13. Pp. No 25 Dan Pendirian Apotek

  • Uploaded by: silverray85
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 13. Pp. No 25 Dan Pendirian Apotek as PDF for free.

More details

  • Words: 5,776
  • Pages: 60
Loading documents preview...
Adinda Meutia Deni Herdiana Hafni Nurzanah S. Rakhmatika Rizki Indriyani Angga Geganaputra Irfan Ramdan Nurul Lestari Faris R. Mersa Nurain K. Rehmadanta Elluth Nurfaizah

Oleh: Elizabeth Luciana A. V. Naomi Dwi Cahyanti Aziz Maulana Hidayat Jules Bonardo P. Nila Dahniar A. Danti Sri Handayani H. Ambarsari Ayuningtyas Maulana Azhari Lubis M. Iqbal Tawakal Meriana Sinaga Gustin Hidaytai Yusi Astuti

Reinaldini S. Rista Aprilia S. Budi Haryadi Teguh Adhi W. M. Zulfikar B. Tri Hendro P. Anggiyana Rijal S. M. Stephanie M. R.

PP Tentang Apotik

Pelaksanaan Pasal 4 UU No. 7 1963

Apotek : Distribusi perbekalan farmasi yang tidak lepas dari pengawasan Pemerintah dan harus bekerja sesuai dengan rencana dan pimpinan Pemerintah

Menyediakan dan menyalurkan obat dan perbekalan farmasi lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Mendukung dan membantu terlaksananya usaha Pemerintah untuk menyediakan obat-obat secara merata dengan harga yang dapat terjangkau masyarakat.

Sekarang ini, Apotik lebih mendahulukan usahanya dalam mengejar keuntungan.

Diperlukan perubahan terhadap PP No. 26 Tahun 1965.

PP No. 26 Tahun 1965

PP No. 25 Tahun 1980

Pasal 5 Ayat 2 UUD 1945

UU No. 9 Tahun 1960

UU No. 3 Tahun 1953

PP No. 20 Tahun 1962

PP No. 36 Tahun 1964

UU No. 7 Tahun 1964

PP No. 26 Tahun 1965

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980  Pasal

I  Pasal II  Pasal III

Pasal I Mengubah ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6, PP Nomor 26 Tahun 1965, berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1 Yang dimaksud dengan apotik adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat.  Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan, penyerahan obat atau bahan obat.

dan

Pasal 2 Tugas dan fungsi apotik adalah : Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan; 2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat; 1.

 Dalam pengertian peracikan termasuk juga melaksanakan pembuatan dan atau pengolahan terbatas yaitu berdasarkan permintaan dengan resep. 3.

Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Pasal 3 Judul Kepala di atas Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi: PENGELOLAAN APOTIK;  Pasal 3 Setelah mendapat izin Menteri Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, apotik dapat diusahakan oleh : 1) Lembaga atau Instansi Pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di Pusat dan di Daerah; 2) Perusahaan milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah;  maksudnya ialah Perusahaan Milik Negara yang dalam anggaran dasarnya telah ditentukan bahwa perusahaan tersebut bergerak dalam bidang kesehatan atau obat-obatan. 3) Apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri Kesehatan. 

Pasal 4 Pengelolaan apotik menjadi tugas dan tanggungjawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi. 2. Tatacara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab apoteker sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan. 3. Tugas dan tanggung jawab seorang apoteker sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang dokter berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Tugas dan tanggung jawab apoteker dan dokter sesuai profesinya masing-masing berdiri sendiri pada bidangnya, tidak saling mengurangi atau tidak saling bertentangan. 1.

Pasal 6 

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dan hal-hal teknis lainnya yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.

Pasal II 

Apotik yang telah mendapat izin dari Menteri Kesehatan pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan, diwajibkan menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) tahun.

 Masa waktu penyesuaian 3 (tiga) tahun dimaksudkan agar apotik yang telah ada mendapat kesempatan yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru, untuk perubahan bentuk usaha, dan penyiapan apoteker yang akan menjadi pengelola apotik, sementara itu pelayanan kepada masyarakat tidak boleh terganggu.

Pasal III 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1965 Ketentuan Umum  Tugas dan Fungsi  Usaha Apotik  Izin Mendirikan Apotik  Pelaksanaan Peraturan Pemerintah  Peraturan Penutup 

Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 – 4 Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 – 8

Ketentuan Umum Pasal 1 Yang dimaksud dengan apotik dalam Peraturan Pemerintah ini ialah: suatu tempat tertentu, di mana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 huruf c dan pasal 3 huruf b Undang-undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran-Negara tahun 1963 No. 81 ).  Fungsi sebuah apotik bagi masyarakat ditentukan oleh Undang-undang Farmasi;  Oleh sebab itu didalam Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat ketentuan mengenai apotik sebagai badan perniagaan;  Dalam peraturan ini ditetapkan ketentuan pokok mengenai hal-hal disekitar tugas dari sebuah apotik.

Tugas dan Fungsi Pasal 2 Tugas dan fungsi apotik, ialah: a. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat. b. Penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi: obat, bahan obat, obat asli Indonesia, kosmetik, alatalat kesehatan, dan sebagainya.  Dengan pasal ini diperluas lapangan farmasi yang dapat disajikan kepada umum oleh sebuah apotik. Dengan demikian diperluas juga pertanggung jawaban seorang apoteker yang ditetapkan dalam pasal 4. Selain itu diharapkan bahwa penjualan obat-obat beralih dari tempat-tempat yang dahulu berada diluar pengawasan Menteri Kesehatan, ke-apotikapotik.

Usaha Apotik Pasal 3 *16726 Apotik dapat diusahakan oleh: a. Lembaga-lembaga Pemerintah tertentu, di pusat maupun di daerah; b. Perusahaan Negara, Perusahaan Swasta, Koperasi, dan sebagainya.  Lembaga pemerintahan tertentu, umpamanya: Rumah Sakit Umum, yang mempunyai apotik sendiri. Jenis badan hukum yang mengusahakan apotik diperluas oleh pasal itu. Berdasarkan pasal ini dapat diikuti perkembangan beraneka macam perusahaan dalam rangka prinsip ekonomi terpimpin. Apotik-apotik ini dapat dibimbing kearah tugas kedudukannya kelak dalam masyarakat Sosialis Indonesia.

Usaha Apotik Pasal 4 1.

2.

3.

Pertanggungan jawab teknis farmasi, sesuai dengan Undangundang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi (lembaran-Negara tahun 1963 No.81), dari sebuah apotik terletak pada seorang apoteker. Pertanggungan jawab seorang apoteker seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan. Pertanggung jawaban seorang apoteker seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 dan 2, tidak mengurangi pertanggungan jawab seorang dokter menurut peraturanperaturan perundangan.  *16728 Adakalanya bertanggung jawab atas akibat pemakaian obat/alat-alat kesehatan, dan sebagainya yang diserahkan oleh seorang dokter kepada sebuah apotik, terletak pada apoteker dan/atau dokter tersebut.

Izin Mendirikan Apotik Pasal 5 Untuk mendirikan apotik harus ada izin dari Menteri Kesehatan yang menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai: a. Syarat-syarat kesehatan dari ruangan (tempat) apotik; b. Alat-alat perlengkapan dan obat-obat yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian; c. Hal-hal lain yang dianggap perlu.  Pasal ini tidak mengurangi keharusan adanya izin mendirikan perusahaan dari instansi-instansi di pusat maupun didaerah. Izin Menteri Kesehatan bermaksud untuk memberikan jaminan umum, bahwa baik tempatnya maupun segala usaha perkerjaan sebuah apotik, teknik farmasi dapat dipertanggungjawabkan.

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pasal 6 

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.

Peraturan Penutup Pasal 7 Peraturan ini dapat disebut "Peraturan Pemerintah tentang Apotik".

Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari tanggal ditetapkannya. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MenKes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, pada pasal 10 menyatakan bahwa Pengelolaan Apotek meliputi : 1) Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. 2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. 3) Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi.  Persyaratan Apotek dan Apoteker pengelola Apotek menurut PerMenKes No.922/MenKes/Per/1993 yaitu : 1) Untuk mendapatkan izin Apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana Apotek yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. 2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. 3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.



Persyaratan mengenai Apotek berdasarkan PerMenKes No.922/MenKes/Per/X/1993 disebutkan sebagai berikut : 1) Persyaratan gedung sesuai kebutuhan, yang penting pelayanan obat dapat dilakukan dengan baik. 2) Sebelum melaksanakan kegiatannya, APA wajib memiliki SIA. Izin Apotek berlaku untuk seterusnya selama Apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan sesuai persyaratan dan APA dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian yang baik.



Menurut PerMenKes RI No.922/MenKes/Per/X/1993 Bab III pasal 5 dan PerMenKes RI No.184/MenKes/Per/X/1995, bahwa untuk menjadi Apoteker pengelola Apotek harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Ijazah terdaftar pada Departemen Kesehatan. 2) Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai Apoteker. 3) Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri. 4) Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai Apoteker. 5) Tidak terikat di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker pengelola Apotek di Apotek lain. Apoteker pengelola Apotek harus ada di Apotek selama Apotek buka, apabila berhalangan dapat digantikan oleh Apoteker pendamping.



Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan 1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal 25, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut surat izin apotek apabila : 1) Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan yang dimaksud pasal 5. 2) Apoteker tidak memenuhi kewajiban dimaksud dalam Pasal12. 3) Apoteker Pengelola Apotek terkena ketentuan dimaksud dalam pasal 15 ayat (2). 4) Apoteker Pengelola Apotik terkena ketentuan dimaksud dalam pasal 19 ayat (5). 5) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. 6) Surat Izin Kerja Apoteker Pengelola Apotik dicabut. Pemilik sarana Apotik terbukti terlibat dalam pelanggaran Perundang-undangan di bidang obat. 7) Apotik tidak lagi memenuhi persyaratan dimaksud dalam pasal 6 (Anonim, 2002).



Apoteker Pengelola Apotek terkena ketentuan seperti dimaksud pada Keputusan Menteri Kesehatan 1332/MenKes/SK/X/2002 (Pasal 19 ayat 1) yang menyatakan bahwa apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker pendamping.

Tata Cara Studi Kelayakan dan Pendirian Apotek 1. 2. 3.

Studi Kelayakan Tata Cara pendirian Apotek Pengelolaan Apotek

1. Studi Kelayakan Perencanaan pendirian apotek diawali dengan studi kelayakan untuk melihat kelayakan usaha sebelum didirikan. Studi kelayakan (Feasibility Study) adalah penelitian tentang layak atau tidaknya suatu usaha dilaksanakan.  Dilakukan untuk meyakinkan bahwa semua sumberdaya dan keahlian dapat digunakan untuk mendirikan sebuah apotek. hal terpenting dari studi kelayakan adalah prospek pemasaran  dituangkan dalam rencana anggaran pendapatan (diperhitungkan dari penjualan obat dengan resep dan tanpa resep) dan belanja (diperhitungkan dari pembelian obat, biaya rutin gaji karyawan, tagihan serta biaya penyusutan) untuk lima tahun pertama.  Dari data tersebut dapat diperhitungkan Payback period, Breakeven point, prosentase BEP, kapasitas BEP,dan Return of investment selama rencana lima tahun pertama dengan mempertimbangkan keuntungan bersih rata-rata  Waktu Balik Modal.  Semakin kecil waktu balik modal maka semakin prospektif pendirian apotek, hal ini menandakan semakin besar tingkat pengembalian modal dan keuntungan bersih rata-rata juga semakin besar. 

2. Tata Cara Pendirian Apotek 

Setelah otonomi daerah tata cara perijinan apotek menurut Kepmenkes RI Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002, pasal 4 bahwa izin apotek diberikan oleh Menteri dan Menteri melimpahkan wewenang pemberian ijin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Berdasar pasal 7 dan 9, Ketentuan dan Tata cara pemberian ijin apotek adalah sebagai berikut : 1) Permohonan Izin Apotik diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1 2) Dengan menggunakan Formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam ) hari setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotik untuk melakukan kegiatan. 3) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir APT-3;

4) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala DinKes Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4; 5) Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3), atau pernyataan dimaksud ayat (4) Kepala DinKes Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotik dengan menggunakan contoh Formulir Model APT- 5. 6) Dalam hasil pemeriksaan Tim DinKes Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT.6. 7) Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan. 8) Terhadap permohonan izin apotik yang ternyata tidak memenuhi persyaratan dimaksud pasal 5 dan atau pasal 6 , atau lokasi Apotik tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala DinKes Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai alasannya dengan menggunakan contoh Formulir Model APT- 7.

3. Pengelolaan Apotek 1)

Manajemen Pendukung a. b. c. d.

e.

2)

Struktur Organisasi Apotek SIM (Sistem Informasi Manajemen) Apotek SDM (Sumber Daya Manusia) Keuangan (finance) Perpajakan

Pengelolaan Obat, Perbekalan Farmasi dan Barang Lain a. b.

c.

Selection Procurement Aspek Asuhan Kefarmasian

1) Manajemen Pendukung a. Struktur Organisasi Apotek Agar manajemen apotek berjalan dengan baik, maka salah satu fungsi dasarnya, yaitu organisasi, harus disusun dengan baik pula. Organisasi apotek yang sangat diperlukan secara umum ialah: 1) Tenaga ahli di bidang farmasi (profesional) 2) Tenaga administrasi 3) Tenaga pembantu (pendidikan umum). b. SIM (Sistem Informasi Manajemen) Apotek Sistem informasi manajemen atau sering dikenal dengan MIS merupakan penerapan sistem informasi di dalam organisasi untuk mendukung informasi yang dibutuhkan oleh semua tingkatan manajemen. Dapat pula didefinisikan sebagai kumpulan dari interaksi sistem-sistem informasi yang berguna untuk semua tingkatan manajemen di dalam kegiatan perencanaan dan pengendalian.

SIM tergantung dari besar kecilnya organisasi dapat terdiri dari sistem-sistem informasi sebagai berikut: 1) 2) 3)

Sistem informasi akuntansi (accounting information system). Sistem informasi pemasaran (marketing information system). Sistem informasi manajemen persediaan (inventory management information system). 4) Sistem informasi personalia (personnel information system). 5) Sistem informasi distribusi (distribution information system). 6) Sistem informasi pembelian (purchasing information system). 7) Sistem informasi kekayaan (treasury information system). 8) Sistem informasi analisis kredit (credit analysis information system). 9) Sistem informasi penelitian dan pengembangan (research and development information system). 10) Sistem informasi teknik (engineering information system). (Hartono, 1999).

c. SDM (Sumber Daya Manusia) Apotek harus dikelola oleh apoteker yang profesonal  harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pemimpin dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Personalia di apotek terdiri dari : 1. Apoteker Pengelola Apotek (APA). 2. Asisten Apoteker. 3. Administrasi. 4. Keuangan /Kasir /Penjualan HV. 5. Reseptur /Juru resep. 6. Pembantu umum. 7. Pemilik Sarana Apotek (PSA). 8. Jika bekerja sama dengan pemegang saham apotek.

Administrasi yang biasa dilakukan apotek meliputi antara lain : 1. Administrasi, kegiatannya meliputi: agenda/mengarsipkan surat masuk dan surat keluar, pengetikan laporan-laporan seperti laporan narkotika, AA yang bekerja, jumlah resep dengan harganya, omzet, alat dan obat KB, obat generik, dan lain-lain. 2. Pembukuan: keluar dan masuknya uang disertai bukti-bukti pengeluaran dan pemasukan. 3. Administrasi penjualan: resep, bebas, langganan, dan pembayaran secara tunai atau kredit. 4. Administrasi pergudangan, dicatat penerimaan barang untuk apa dan siapa. Masing-masing barang diberi kartu stok, dan membuat defekta. 5. Administrasi pembelian, dicatat pembelian harian secara tunai atau kredit dan dicatat darimana, nota-notanya dikumpulkan secara teratur. Selain itu dicatat kepada siapa berhutang dan masing-masing dihitung berapa hutang apotek. 6. Administrasi piutang, dicatat penjualan kredit pada siapa, pelunasan piutang, dan penagihan sisa piutang. 7. Administrasi kepegawaian, dilakukan dengan mengadakan absensi karyawan, mencatat kepangkatan, gaji, dan pendapatan lainnya dari karyawan .

Sehubungan dengan pengelolaan SDM, kegiatan yang perlu dikerjakan adalah : 1. Mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan. 2. Mendorong para karyawan untuk bekerja giat. 3. Memilih dan menempatkan mereka sesuai dengan pendidikannya. 4. Merekrut para calon karyawan dan mendidik sebagai calon pengganti yang tua. d. Keuangan (finance) 1. Laporan Rugi-Laba Laporan rugi-laba (loss and profit statement) adalah laporan informasi tentang pendapatan, biaya, laba atau rugi yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu. Biasanya berisi hasil penjualan, HPP (persediaan awal + Pembelian - persediaan akhir), laba kotor, biaya operasional, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, laba bersih setelah pajak, pendapatan non usaha, dan pajak. 2. Neraca Laporan yang menunjukkan keadaan keuangan suatu unit usaha pada waktu tertentu, ditunjukkan dengan jumlah harta yang dimiliki (aktiva) dan jumlah kewajiban (pasiva).

3. Laporan Utang-Piutang Laporan utang adalah laporan yang berisi utang yang dimiliki apotek pada periode tertentu dalam satu tahun, sedangkan laporan piutang berisikan piutang yang ditimbulkan karena transaksi yang belum lunas dari pihak lain kepada pihak apotek. e. Perpajakan Merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menyerahkan sebagian dari kekayaannya atau penghasilannya (hasil pendapatan) kepada negara menurut UU yang ditetapkan oleh pemarintah dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Menurut UU perpajakan No. 17 Tahun 2000, ada beberaa pajak yang dikenakan untuk usaha apotek. Diantaranya: 1. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 Pasal 21 UU perpajakan No. 17 tahun 2000 menyatakan pajak ini merupakan pajak terhadap gaji karyawan setiap tahun yang telah dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Pajak ini dikenakan pada karyawan tetap yang penghasilannya telah melebihi PTKP dan dibayarkan sebelum tanggal 15 setiap bulan. Keterlambatan pembayaran dikenakan denda Rp 50.000,00 ditambah 2% dari nilai pajak yang harus dibayarkan.

2. Pajak Penghasilan (PPh) 23 Pajak ini dikenakan pada badan usaha berbentuk CV saat pembagian deviden yaitu sebesar 15 %. 3. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 PPh pasal 25 merupakan angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan. Besarnya angsuran PPH pasal 25 adalah 1/12 pajak penghasilan tahun lalu dan dibayarkan paling lambat tanggal 15 setiap bulannya yang pada akhir tahun diperhitungkan pajak sesungguhnya yang harus dibayar. Berdasarkan Undang-undang Perpajakan No. 17 tahun 2000, perhitungan PPH 25 adalah sebagai berikut: a. PPh 25 badan 1. Jika keuntungan suatu perusahaan <> 2. Jika keuntungan suatu perusahaan diatas Rp 50 juta – Rp 100 juta, maka dikenakan pajak sebesar 15%. 3. Jika keuntungan suatu perusahaan > Rp 100 juta, maka dikenakan pajak sebesar 30%.

b. PPh 25 Perorangan 1. Jika keuntungan suatu perusahaan <> 2. Jika keuntungan suatu perusahaan diatas Rp 25 juta - Rp 50 juta, maka dikenakan pajak sebesar 10%. 3. Jika keuntungan suatu perusahaan diatas Rp 50 juta – Rp 100 juta, maka dikenakan pajak sebesar 15%. 4. Jika keuntungan suatu perusahaan diatas Rp 100 juta – Rp 200 juta, maka dikenakan pajak sebesar 25%. 5. Jika keuntungan suatu perusahaan diatas Rp 200 juta, maka dikenakan pajak sebesar 35%. Cara menghitung pajak penghasilan ada 2, yaitu: 1. Sistem pembukuan Pajak dihitung dari keuntungan bersih yang terdapat dalam neraca laba-rugi. 2. Sistem perhitungan normatif Digunakan untuk omset yang kurang dari Rp 600.000,00/tahun. Prosentase mormatif dikelompokkan menurut wilayah dan jenis usaha.

a. Menurut wilayah 1. Sepuluh Ibukota propinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Suurabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak). 2. Ibukota propinsi lainnya. 3. Daerah lainnya. b. Jenis Usaha 4. PPh 28 Apabila pajak yang terhutanng untuk satu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak (PPh pasal 25), maka setelah dilakukan perhitungan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah dilakukan pemeriksaan dengan hutang pajak berikut sanksi-sanksinya. 5. Pajak Pelunasan (PPh 29) Merupakan pajak pelunasan yang mengatur mengenai cara pembayaran kekurangan pajak penghasilan yang telah dibayarkan.

6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dikenakan pada setiap pembelian berapapun jumlah rupiah yang dibelanjakan. Besarnya pajak yang harus dibayar sebesar 10% dari jumlah pembelian. 7. Pajak Bumi Bangunan (PBB) Dikenakan setiap tahun dan besarnya tergantung luas tanah dan bangunan serta lokasi. 8. Pajak Reklame Dikenakan pada pemasangan papan nama. Besarnya pajak tergantung lokasi apotek, besarnya papan nama, jalan termasuk kelas I, II, atau III, dan lingkungan perumahan, pendidikan, atau bisnis.

9. Pajak Inventaris Dikenakan terhadap barang-barang inventaris milik apotek.

2) Pengelolaan Obat, Perbekalan Farmasi dan Barang Lain a. Selection Merupakan proses memilih dengan rasional sejumlah obat denngan tujuan untuk menghasilkan pengadaan yang lebih baik, penggunaan obat yang lebih rasional dan harga yang lebih rendah. Dilakukan untuk menentukan apakah obat benarbenar diperlukan, disesuaikan dengan pola penyakit dan tingkat perekonomian penduduk. Pedoman seleksi obat yang dikembangkan dari WHO, yaitu: 1. Dipilih obat yang secara ilmiah, medik, dan statistik memberikan efek terapetik yang jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko efek sampingnya. 2. Diusahakan jangan terlalu banyak jenis obat yang diseleksi (boros biaya), khususnya obat-obat yang memang bermanfaat untuk jenis penyakit yang banyak diderita masyarakat. Hindari duplikasi dan kesamaan jenis obat yang diseleksi.

3. Jika memasukkan obat-obat baru, harus ada bukti yang spesifik bahwa obat baru yang akan dipilih tersebut memang memberikan efek terapetik yang lebih baik dibanding obat pendahulunya. 4. Sediaan kombinasi hanya dipilih jika memang benar potensinya lebih baik daripada sediaan tunggal. 5. Jika alternatif pilihan obat banyak, pilih drug of choice dari penyakit yang prevalensinya tinggi. 6. Pertimbangan administratif dan biaya yang dibutuhkan. 7. Kontraindikasi, peringatan dan efek samping harus dipertimbangkan. 8. Dipilih obat yang standar mutunya tinggi. 9. Didasarkan pada nama generik. Kriteria dalam melakukan seleksi obat adalah sebagai berikut: 1. Relevan dengan pola penyakit yang ada. 2. Tetapkan efikasi dan keamanan. 3. Kinerja obat di beberapa kenyataan. 4. Memiliki kualitas termasuk bioavaililibitas dan stabilitas.

5. 6. 7. 8. 9.

Cost-benefit ratio dalam keseluruhan pengobatan. Obat yang sudah dikenal dengan farmakokinetika yang baik. Dalam bentuk senyawa tunggal. Pertimbangan diskon. Keberlangsungan keberadaan obat di pasaran.

b. Procurement (perencanaan, pengadaan, distribution inventory) 1. Perencanaan Merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran serta menghindari kekosongan obat. Pertimbangan yang harus dilakukan APA dalam melaksanakan pemesanan barang, yaitu memilih PBF yang memberikan keuntungan dari segala segi (misalnya, harga yang ditarkan sesuai, ketepatan waktu pengiriman, diskon dan bonus yang dirikan sesuai, jangka waktu kredit yang cukup, serta kemudahan dalam pengembalian obat-obatan yang hampir kadaluwarsa).

Sesuai KepMenKes No. 1027 Tahun 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, maka dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu memperhatikan: 1. Pola penyakit. 2. Tingkat perekonomian masyarakat. 3. Budaya masyarakat. Dalam perencanaan pengadaan ini, ada empat metode yang sering dipakai, yaitu: 1. Metode Epidemiologi. Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan pola pengobatan penyakit yang terjadi dalam masyarakat sekitar. 2. Metode Konsumsi. Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan data pengeluaran barang periode lalu. Selanjutnya data tersebut dikelompokan dalam kelompok fast moving cepat beredar) maupun slow moving (lambat beredar). 3. Metode Kombinasi. Metode ini merupakan gabungan dari metode epidemiologi dan metode konsumsi. Perencanaan pengadaan barang dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan melihat kebutuhan sediaan farmasi periode sebelumnya. 4. Metode Just In Time. Perencanaan ini dilakukan saat obat dibutuhkan dan obat yang ada di apotek dalam jumlah terbatas. Perencanaan ini untuk obat-obat yang jarang dipakai atau diresepkan dan harganya mahal serta memiliki waktu kadaluarsa yang pendek.

2. Pengadaan Pengadaan barang di apotek melipputi pemesanan dan pembelian. Pembelian barang dapat dilakukan secara langsung ke produsen atau melalui PBF. Proses pengadaan barang dilakukan melalui beberapa tahap : a. Tahap persiapan, dilakukan dengan cara mengumpulkan data barang-barang yang akan dipesan dari buku habis (buku defecta), termasuk obat baru yang ditawarkan supplier. b. Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan (SP). SP minimal dibuat 2 lembar (untuk supplier dan arsip apotek) dan ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan NO SIK. SP narkotika dibuat rangkap 5 (satu lembar untuk administrasi apotek dan 4 lembar diserahkan ke PBF Kimia Farma yang selanjutnya akan didistribusikan ke PBF, Dinas Kesehatan propinsi, BPOM, dan penanggung jawab narkotika di Manager Kimia Farma Pusat). Satu SP hanya digunakan untuk memesan 1 item narkotika produk Kimia Farma. SP mencantumkan Rayon dan No. SP, nama dan alamat apotek, serta tanda tangan dan No. SIK dari APA. SP untuk golongan Psikotropika dibuat rangkap 2 (lembar 1 untuk PBF dan lembar 2 untuk arsip). SP dapat dibuat oleh apotek yang bersangkutan, dan satu SP dapat digunakan untuk memesan barang lebih dari satu item.

3. Distribution Inventory Penyimpanan obat digolongkan berdasarkan bentuk bahan baku. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari zat-zat yang bersifat higroskopis, demikian pula halnya terhadap barang-barang yang mudah terbakar. Serum, vaksin, dan obat-obat yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar disimpan dalam lemari es. Obat-obat narkotika disimpan dalam almari khusus (PerMenKes No. 28 tahun 1978) untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penyalahgunaan obat-obat narkotika. PerMenKes No. 28 tahun 1978 tentang penyimpanan narkotika, pasal 5: 1. Apotek dan rumah sakit harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika. 2. Tempat khusus pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat b. Harus mempunyai kunci yang kuat. c. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan: bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfina, petidina dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari. d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.

Penyusunan obat dilakukan dengan cara alphabetis untuk mempermudah pengembilan obat saat diperlukan. Pengeluaran barang di apotek menggunakan sistem: 1. FIFO (First In First Out). 2. FEFO (First Expir First Out) untuk obat-obat yang memiliki waktu kadaluwarsa lebih singkat disimpan paling depan yang memungkinkkan diambil terlebih dahulu. Control Inventory  Fungsi: mengetahui kekurangan bahan, mengecek kerusakan bahan atau barang, mengontrol jatuh tempo kliennya. Tugas: membuat defecta regular dengan kolom sebagai berikut: no, item, nama barang dan satuan, jumlah satuan, supplier. c. Aspek Asuhan Kefarmasian 1. Pengobatan Mandiri Merupakan tindakan mengobati diri sendiri dengn obat tanpa resep (golongan obat bebas dan bebas terbatas) yangn dilakukan secara tepat guna dan bertanggung jawab.

Pemerintah juga turut berperan serta dalam meningkatkan upaya pengobatan sendiri dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 347 tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek. Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh Apoteker di apotek. Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria yang tercantum dalam Permenkes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep yakni : 1) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun. 2) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit. 3) Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. 4) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia. 5) Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Penggunaan OWA perlu dicatat tetapi tidak perlu dilaporkan. Beberapa kewajiban apoteker dalam penyerahan obat wajib apotek yaitu : 1. Memenuhi ketentuan dan batasan yang tercakup dalam tiap-tiap jenis Obat Wajib Apotek tersebut. 2. Membuat catatan pasien dan obat yang telah diserahkan. 3. Memberikan informasi tentang obat, meliputi dosis, aturan pakai, efek samping dan informasi lain yang dianggap perlu. Obat wajib apotek didasarkan pada tiga surat keputusan menteri kesehatan yaitu : 1. Keputusan Menkes RI No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek No 1 yang terdiri dari 7 kelas terapi yaitu : oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut dan tenggorokan, obat saluran napas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuscular, antiparasit, dan obat kulit topikal. 2. Keputusan Menkes RI No. 924/MENKES/PER/IX/1993 tentang daftar obat wajib apotek No. 2 yang terdiri dari 34 jenis obat generik sebagai tambahan lampiran Keputusan Menkes RI No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek No 1. 34 jenis obat tambahan tersebut yaitu : albendazol, bacitracin, benorilats, bismuth subcitrate, carbinoxamin, clindamicin, dexametason, dexpanthenol, diclofenac, diponium, fenoterol, flumetason, hydrocortison butyrat, ibuprofen, isoconazol, ketokonazole, levamizole, dll.

3. Keputusan Menkes RI No. 1176/MENKES/SK/X/1999 tentang daftar obat wajib apotek no. 3 yang terdiri dari 6 kelas terapi yaitu : saluran pencernaan dan metabolisme, obat kulit, antiinfeksi umum, sistem muskuloskeletal, sistem saluran pernafasan, dan organ-organ sensorik 2.

Pelayanan Obat atas Resep Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004, Bab III, ada 3 macam pelayanan yang harus diberikan di apotek, yaitu: a. Pelayanan resep i. Skrining resep Apoteker melakukan skrining resep yang meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Apabila ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. ii. Penyiapan resep Peracikan : kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah.

Penyerahan obat : sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Informasi obat : Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Konseling : suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Monitoring penggunaan obat adalah setelah menyerahkan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu, seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya. b. Promosi dan Edukasi Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu penyebaran informasi tentang kesehatan, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan dan lain-lain.

c. Pelayanan residensial (home care) Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/Menkes/Per/X/1993, Bab VII, disebutkan tentang pelayanan apotek antara lain: 1. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek. 2. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. 3. Apoteker tidak diijinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis di dalam resep dengan obat paten. 4. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis di dalam resep, Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

5. Apoteker wajib memberikan informasi: a. Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. b. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. 6. Apabila Apoteker menganggap bahwa resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep (bila dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep). 7. Salinan resep harus ditandatangani oleh Apoteker. 8. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu tiga tahun. 9. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10. Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker pendamping, atau Apoteker pengganti diijinkan untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai Obat Wajib Apotek (OWA) tanpa resep.

Berdasarkan Permenkes RI No.026/Menkes/Per/I/1981 tentang Pengelolaan dan Perijinan Apotek menyebutkan bahwa resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Dalam Permenkes RI No.280/Menkes/SK/V/1981 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek, disebutkan mengenai kelengkapan resep sebagai berikut : 1. Nama, alamat, dan nomor ijin praktek dokter, dokter gigi, atau dokter hewan. 2. Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat. 3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep 4. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dari dokter hewan. 6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan dosis yang melebihi dosis maksimal.

Salinan resep diatur dalam KepMenKes No. 280 tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengelolaan Apotek, disebutkan bahwa salinan resep adalah salinan yang dibuat oleh apotek, yang selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli harus memuat pula : 1. Nama dan alamat apotek 2. Nama dan nomor Surat Ijin Pengelolaan Apotek 3. Tanda tangan atau paraf Apoteker Pengelola Apotek 4. Tanda “det” atau “detur” untuk obat yang sudah diserahkan, tanda “nedet” atau “ne-detur” untuk obat yang belum diserahkan 5. Nomor resep dan tanggal pembuatan.

Pasal 7 KepMenKes No. 280 tahun 1981 tentang penyimpanan dan pemusnahan resep menyebutkan bahwa : 1. Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. 2. Resep yang mengandung narkotika harus dipisahkan dari resep lainnya. 3. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu dimaksud ayat 1 pasal; ini, dapat dimusnahkan. 4. Pemusnahan resep dimaksud ayat 3 pasal ini, dilakukan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang memadai ole Apoteker 5. Pengelola apotek bersama-sama dengan sekurang-kurangnya seorang petugas apotek. 6. Pada pemusnahan resep, harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh mereka yang dimaksud pada ayat 4 pasal ini.

3. Konseling Menurut KepMenKes No. 1027 tahun 2004, Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengoatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan ysalah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. 4. Monitoring Efek samping Obat (MESO) Terlaporkan Makna obat menurut Menkes RI (1984, Manual on Adverse Drug Reaction) obat ditakrifkan sebagai bahan atau produk yang dipakai untuk mencegah, mendiagnosis, meringankan atau menyembuhkan suatu kondisi patologi atau mempengaruhi mekanisme patologi demi keuntungan penderita. Monitoring efek samping obat mengkaji mengenai penyebaran (siapa yang terkena, seberapa besar jumlah dan derajatnya) efek samping obat dan faktor-faktor (faktor intrinsik, faktor obat, dan faktor ekstrinsik) yang menentukan terjadinya.  Faktor intrinsik : umur, jenis kelamin, kehamilan, faktor patologik, dan genetik.  Faktor ekstrinsik : interaksi obat dan antaraksi obat dengan yang lain.

5. Pelayanan informasi Obat (PIO) Merupakan salah satu kewajiban Apoteker seperti yang dicantumkan dalam PerMenKes No. 922/MenKes/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek yaitu Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan pada pasien dan informasi mengenai penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional. Kegiatan Apoteker dalam memberikan pelayanan informasi obat adalah : 1) Merancang organisasi pelayanan informasi obat termasuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. 2) Melakukan need assessment dan menyusun prioritas pemberian respon berdasarkan tingkat kegawatan. 3) Menciptakan media informasi berupa leaflet, brosur, poster, dan lain-lain berdasarkan analisis kecenderungan permasalahan yang sering timbul. 4) Menerima pertanyaan baik lisan maupun tertulis, baik langsung maupun tidak langsung dari profesi kesehatan lain, pasien, masyarakat maupun pihak lain yang berkepentingan.

5)

Mengklasifikasikan kategori penanya (dokter, perawat, Farmasis, pasien atau keluarganya, masyarakat), kategori pertanyaan (stabilitas obat, cara pemakaian obat, efek samping dan lain-lain), tujuan dan latar belakang pertanyaan. 6) Menelusuri, menyaring dan memilih literatur yang relevan dengan pertanyaan yang diterima. 7) Memformulasikan dan mengkomunikasikan jawaban dengan jelas, baik secara lisan maupun tertulis. 8) Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat dengan sistematis). 9) Memonitor dan evaluasi kegiatan pelayanan informasi obat secara berkala. 10) Melakukan promosi kesehatan dengan jalan kampanye dengan topik-topik yang berhubungan dengan kesehatan. 11) Melakukan pelayanan home care.

6. Evaluasi Penggunaan Obat Manfaat terapi obat optimal tidak tercapai karena jumlah penggunaan yang kurang, atau berlebihan atau penyalahgunaan obat dalam perawatan pasien, dan juga berbagai ketidaktepatan penggunaan obat. Adapun sasaran evaluasi penggunaan obat (EPO) dalah sebagai berikut : 1. Mengadakan pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus. 2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat. 3. Mengidentifikasikan bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan. 4. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan. 5. Mengurangi resiko tuntutan hukum.

Related Documents


More Documents from "Luciano Fontes"