3. Tugas Ukuran-ukuran Epidemiologi

  • Uploaded by: lisa.prihastari
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 3. Tugas Ukuran-ukuran Epidemiologi as PDF for free.

More details

  • Words: 9,174
  • Pages: 43
Loading documents preview...
I.

UKURAN-UKURAN EPIDEMIOLOGI Epidemiologi merupakan studi tentang kejadian yang berkaitan dengan kesehatan/kejadian penyakit (kecelakaan, keterbatasan dan kematian) pada sebuah populasi, serta bagaimana tingkat kesehatan dan perjalanan penyakit tersebut mempengaruhi hereditas, lingkungan biologis, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Epidemiologi juga merupakan ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan distribusi (penyebaran)

masalah

kesehatan

pada

sekelompok

orang/masyarakat

serta

determinannya (faktor-faktor yang mempengaruhinya). Untuk menentukan besarnya peluang/risiko terjadinya suatu penyakit sampai terjadinya kematian di sebuah populasi, untuk mengetahui perubahan status kesehatan dalam periode tertentu, ataupun untuk membandingkan status kesehatan antara dua kelompok populasi yang berbeda, diperlukan sebuah pengukuran dalam epidemiologi. Konsentrasi pengukuran epidemiologi adalah masalah kesehatan. Masalah kesehatan ini sangatlah beraneka ragam, tergantung dari macam masalah kesehatan yang akan diukur dan diteliti, di makalah ini akan dibahas tentang pengukuran epidemiologi umum serta epidemiologi oral. Diharapkan dengan pengukuran epidemiologi, penentuan faktor yang mempunyai sebab akibat dan penentuan upaya pencegahan dan penanggulangan dapat mudah dilaksanakan dan juga efisiensi tercapai. Pengukuran dalam epidemiologi bersifat kuantitas, jadi yang dinilai adalah nilainilai kuantitas. Untuk melakukan pengukuran tersebut, terlebih dahulu harus mengenal parameter matematis yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara jumlah kejadian penyakit dengan besarnya populasi kejadian penyakit terjadi, yaitu rasio, proporsi dan rate. Secara umum, bentuk dasar rumus untuk rasio, proporsi dan rate adalah sama, yaitu

x (k ) . Perbedaan perhitungan dari berbagai ukuran penilaian y

terletak pada penetapan x ,y dan nilai yang diberikan pada k. Rasio merupakan perbandingan antara dua kejadian. Nilai rasio didapat dengan pembagian suatu kuantitas dengan kuantitas lainnya, misalnya

a . Nilai a, disebut b

sebagai numerator/pembilang dan nilai b, disebut denumerator/penyebut. Nilai pembilang dan penyebut boleh berbeda dan denumerator mungkin tidak memuat numerator serta antara numerator dan denumerator boleh tidak ada hubungan antar keduanya. Jenis rasio ada 2, ada yang memiliki satuan, misalnya jumlah dokter per 100.000 penduduk dan yang tidak memiliki satuan, misalnya sex ratio (karena penyebut 1

dan pembilang satuannya sama). Contoh kasus dengan penghitungan rasio, misalnya sex ratio DKI Jakarta (laki-laki 40 orang dan perepempuan 60 orang) adalah 1 : 1,5. Proporsi merupakan tipe rasio yang unsur numeratornya adalah bagian dari unsur denominatornya. Ukuran ini jika dikalikan dengan 100 (persen), maka sering disebut persentase frekuensi. Misalnya, 28 kasus demam berdarah dari 56 orang, berarti proporsinya adalah

28 x 100 56

= 50%. Proporsi digunakan untuk melihat komposisi

suatu variabel dalam populasinya. Ciri dari proporsi adalah tidak mempunyai satuan/dimensi, karena satuan dari pembilang dan penyebutnya sama, sehingga saling meniadakan. Rate merupakan tipe rasio yang digunakan untuk mengkuantifikasi proses dinamik (peristiwa) yang berlangsung dalam suatu batas waktu tertentu, seperti pertumbuhan

dan

kecepatan.

Rate

merupakan

nilai

untuk

mengukur

kemungkinan/probability kejadian dalam populasi terhadap beberapa peristiwa tertentu, misalnya kasus atau kematian karena penyakit infeksi. Perhitungan rate dihitung dengan cara pembagian jumlah individu yang mengalami peristiwa (numerator), dengan jumlah total keseluruhan yang mungkin mengalami peristiwa/populasi berisiko (denominator) dan perkalian dengan suatu konstanta/tetapan (F), biasanya kelipatan 10, tapi umumnya pengalinya adalah 100, yang kita sering sebut dengan persentase. Dengan format umum yaitu

numerator x F . Rate merupakan bentuk khusus dari denominator

suatu proporsi yang memuat waktu (atau faktor lain). Ciri ukuran rate adalah mempunyai satuan ukuran dan besarnya tidak terbatas (secara teoritis nilainya tebentang dari 0 hingga tak terhingga). Dalam contoh, rumus rate dapat menjawab pertanyaan, jika sejumlah x kasus penyakit atau kematian yang terjadi pada populasi yang besarnya y, berapa banyak kejadian yang diharapkan dapat terjadi pada populasi yang

besarnya

k,

sehingga

x rate jumlah yang diharapkan = y k

 rate =

dapat

didefinisikan

menjadi

x (k ) . Misalnya, kasus DBD tahun y

2005 di kota A adalah 400 orang, penduduk di kota A tahun 2005 sebanyak 30.000, jadi rate nya adalah

400 x 1000=13,3 30.000

/ 1000 penduduk. Dengan mengetahui jumlah

rate dari suatu peristiwa yang dinyatakan dalam x, maka frekuensi yang terjadi pada 2

peristiwa tersebut dapat dibandingkan secara logis diantara berbagai populasi, dan faktor-faktor yang menunjang perbedaan pengamatan yang terjadi dapat dicari. Ukuran-ukuran epidemiologi dapat dibagi menjadi 2, yaitu ukuran epidemiologi umum dan ukuran epidemiologi oral. Berikut penjelasan kedua ukuran tersebut: 1. Ukuran Epidemiologi Umum Ukuran-ukuran epidemiologi umum terdiri dari 3, yaitu: a. Ukuran Frekuensi Perhitungan frekuensi penyakit sangatlah penting dalam epidemiologi. Ukuran frekuensi dimaksudkan untuk menilai keadaan penyakit pada suatu populasi tertentu, mengukur kejadian penyakit atau kematian pada suatu populasi. Ukuran frekuensi merupakan dasar dari epidemiologi deskriptif. Ukuran frekuensi suatu kejadian diamati dan diukur dengan menggunakan Prevalensi dan Insidensi. Kedua ukuran ini lebih menggunakan rate. 1) Prevalensi Untuk mengukur prevalensi dari suatu penyakit, diperlukan melakukan sebuah survai pada studi cross-sectional dengan sampel acak pada suatu populasi yang mengalami suatu kondisi tertentu pada waktu tertentu. Prevalensi mengukur keberadaan penyakit, dan angka prevalensi digunakan untuk mengukur jumlah orang yang sakit di dalam suatu populasi tertentu dan pada suatu periode waktu tertentu pula. Prevalensi merupakan ukuran yang menggambarkan frekuensi penderita lama dan baru yang ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu di sekelompok masyarakat tertentu (gambar 1). Pada perhitungan angka prevalensi, numerator-nya berupa suatu periode waktu. Denumerator angka prevalensi adalah jumlah penduduk, yang digunakan adalah jumlah seluruh

penduduk

tanpa

memperhitungkan

penduduk

yang

kebal/berisiko, sehingga dapat dikatakan angka prevalensi sebenarnya bukanlah suatu rate yang murni, karena penduduk yang tidak mungkin terkena penyakit juga dimasukkan dalam perhitungan.

3

Terdapat 2 angka prevalensi, yaitu: a) Periode Prevalence Periode Prevalence yaitu jumlah penderita kasus lama dan baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan jangka waktu yang bersangkutan. Nilai Periode Prevalence hanya digunakan untuk penyakit Kanker dan Kelainan Jiwa. Rumus Periode Prevalence adalah: jum lah kasus lama∧baru pada periode tertentu x 100 jum lah penduduk di pertengahan periode yang sama b) Point Prevalence Point Prevalence yaitu jumlah penderita lama dan baru suatu penyakit pada suatu saat dibagi dengan jumlah penduduk pada saat itu. Point Prevalence dapat dimanfaatkan untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Rumusnya adalah, jum lahkasuslama∧baru pada titik waktu tertentu x 100 jum lah penduduk pada saat waktu yang sama Contoh kasus, suatu daerah dengan jumlah penduduk tanggal 1 Juli 1999 sebanyak 150.000 orang, dilaporkan keadaan penyakit ISPA pada bulan Januari 75 kasus, Maret 50 kasus, Juli 30 kasus baru dan 15 kasus lama. Periode

Prevalence

=

75+ 50+ 30+15 x 1000=1,1 per 1000 penduduk 150.000 Point Prevalence (pada bulan Juli) = 30+15 x 100.000=3 per 100.000 penduduk 150.000 Angka Point Prevalence dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang menyebabkan peningkatan atau penurunan angka tersebut, berikut diantaranya:

4

Meningkatnya Point Prevalence Menurunnya Point Prevalence 1. Angka insiden/jumlah Menurunnya jumlah penderita penderita baru meningkat baru 2. Lamanya masa sakit menjadi Masa sakit menjadi lebih pendek lebih panjang/meningkat 3. Imigrasi penderita Emigrasi penderita 4. Emigrasi orang sehat Imigrasi orang sehat 5. Imigrasi tersangka pendekrita Meningkatnya

angka

atau mereka yang berisiko kesembuhan dan meningkatnya tinggi menderita

angka kematian

Gambar 1 Grafik prevalensi (data RS untuk pengidap schizoprenia selama 5 tahun) 2) Insidensi Insidensi mengukur kemunculan penyakit, yaitu suatu ukuran frekuensi kejadian/penderita kasus baru suatu penyakit dalam suatu populasi tertentu selama suatu periode waktu tertentu pula (gambar 2). Untuk dapat menghitung angka insidensi suatu penyakit, sebelumnya harus terdapat data tentang jumlah penderita baru dan jumlah penduduk dalam sebuah populasi yang mungkin terkena penyakit baru (population risk). Angka

insidensi dari suatu penyakit, biasa digunakan dalam studi

cohort/prospective, dengan membuat suatu kelompok orang yang saat 5

ini tidak terpapar penyakit tapi memiliki berisiko suatu penyakit, kemudian peneliti mengikuti kelompok tersebut untuk melihat bagaimana perkembangan penyakitnya. Angka insiden dinyatakan dengan

x (k ) . y

Insiden merupakan nilai yang sangat berguna dalam epidemiologi deskriptif untuk menerangkan/menentukan seseorang/kelompok yang menderita atau terancam/berisiko, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan program pencegahan dan penanggulangan serta menentukan sasaran utama dalam suatu program.

Gambar 2 Grafik Insidensi (Wolf 1988) Secara garis besar ada 2 macam angka insidensi, yaitu Insidence Rate (IR)/Insidence Density dan Insidence Cumulatif. a) Insidence Rate (IR)/ Insidence Density IR dari kejadian suatu penyakit adalah jumlah kasus/penderita baru yang ditemukan terjadi di suatu penduduk/populasi yang mungkin terkena penyakit baru tersebut selama periode waktu tertentu (umumnya 1 tahun, dihitung saat pertengahan tahun). Rumus IR, adalah:

6

IR

=

jumlah kasus atau penderita yang baru terjangkit penyakit jumlah penduduk ( populasi)berisiko penyakit pada waktu tertentu Misalnya, pada tahun 1977, sebanyak 412 kasus penyakit tertentu dilaporkan terjadi dalam suatu kota berpenduduk 212.000. berapakah IR per 100.000 penduduk kota selama tahun tersebut? IR =

412 =194,3 212.000

/ 100.000.

Ciri-ciri IR adalah memiliki satuan, yaitu per waktu (tanpa satuan ini maka IR kehilangan maknanya) dan besar IR berkisar antara 0 sampai tidak terhingga. IR digunakan untuk mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi, mengetahui risiko terkena masalah kesehatan yang akan dihadapi dan untuk mengetahui beban tugas yang harus diselenggarakan oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan. b) Cumulative Insidence (CI) CI atau insiden kumulatif merupakan salah satu modifikasi dari nilai IR, dimana yang dihitung adalah proporsi individu yang pada awal periode dalam keadaan bebas penyakit dan beralih menjadi sakit selama periode tersebut atau mempunyai risiko terkena penyakit pada akhir periode. Dalam hal ini, pembilang merupakan bagian dari penyebut, sehingga insiden kumulatif merupakan individu sehat yang terkena penyakit selama periode tertentu dan merupakan nilai risiko rata-rata bagi individu dalam populasi untuk terkena penyakit tertentu dalam periode tertentu pula. Perhitungan dengan menggunakan CI lebih tepat karena berdasarkan lamanya waktu risiko terjadi, yaitu: CI

=

jum lah individu yang terkena penyakit selama periode tertentu jumlah individu dalam populasi pada awal periode tersebut Macam-macam CI: i.

Attack Rate

7

Attack Rate menghitung jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu saat dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit tersebut pada saat yang sama. Attack Rate bermanfaat untuk memperkirakan derajat serangan atau penularan suatu penyakit, dimana makin tinggi Attack Rate, maka makin tinggi pula kemampuan penularan penyakit tersebut. Rumus yang digunakan dalam Attack Rate, yaitu: jumlah penderita baru dalam satu saat jumlah penduduk yang mungkinterkena penyakit tersebut dalam waktu ii.

Secondary Attack Rate (SAR) Secondary Attack Rate adalah jumlah penderita baru suatu penyakit yang terjangkit pada serangan kedua dibandingkan

dengan

jumlah

penduduk

dikurangi

penduduk yang pernah terkena penyakit pada serangan pertama. Secondary Attack Rate digunakan untuk menghitung penyakit menular dalam suatu populasi yang kecil (misalnya dalam satu keluarga). Rumus yang digunakan, yaitu: SAR

=

jumlah penduduk −penduduk yang terkena serangan pertama ¿ ¿ jumlah penderita baru pada serangan kedua ¿

c) Hubungan Insidensi dan Prevalensi Suatu perubahan prevalensi penyakit dapat mencerminkan suatu perubahan dalam insidensi atau outcome, bahkan keduanya. Hubungan insidensi dan prevalensi, kaitannya adalah dengan masa inkubasi suatu penyakit, yaitu masa inkubasi penyakit yang cepat dapat memberi gambaran bahwa peningkatan insidensi penyakit belum pasti akan diikuti dengan peningkatan prevalensi, hal ini disebabkan masa inkubasi mempengaruhi dan biasanya diikuti dengan hasil akhir dari penyakit yaitu sembuh 8

atau mati. Penyakit yang masa inkubasinya lama, biasanya diikuti oleh peningkatan angka insiden dan akan diikuti pula dengan angka prevalensi. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya sakit/durasi sakit. Lamanya sakit/durasi sakit adalah periode mulai didiagnosanya penyakit sampai berakhirnya penyakit tersebut, yaitu sembuh, mati ataupun kronis. Hubungan antara ketiganya dapat didefinisikan Prevalensi=Insidensi x Duration

sebagai: P=I x D

.

atau

Rumus tersebut, hanya berlaku jika dipenuhi 2

syarat, yaitu: (1) Nilai insidensi dalam waktu yang cukup lama bersifat konstan; dan (2) Lama berlangsungnya suatu penyakit bersifat stabil, dimana keduanya tidak menunjukkan perubahan yang mencolok. Gambaran hubungan tersebut, adalah (gambar 3):

Gambar 3 Hubungan antara Prevalensi dan Insidensi b. Ukuran Asosiasi Ukuran asosiasi digunakan untuk mengukur keeratan hubungan asosiasi antara faktor risiko (exposure) dengan penyakit (outcome). Ukuran ini memperlihatkan eratnya hubungan statistik antara suatu faktor studi tertentu dengan suatu penyakit yang diduga merupakan akibat pemaparan tersebut. 9

Dalam prakteknya ukuran asosiasi digunakan untuk menilai faktor penyebab atau pencegah masalah kesehatan tertentu. Ukuran rasio (perbandingan relatif) adalah rasio 2 frekuensi penyakit dengan membandingkan antara kelompok terpajan dengan yang tidak terpajan. Ukuran perbedaan efek (perbandingan absolut) adalah perbedaan antara ukuran frekuensi penyakit suatu kelompok terpajan dengan yang tidak terpajan. Ukuran risiko, dapat diartikan sebagai derajat ketidakpastian. Risiko = 0, berarti adanya kepastian suatu peristiwa tidak akan terjadi. Hubungan antara pemaparan dan akibatnya diukur dengan menggunakan 2 ukuran asosiasi, yaitu relatif/relative dan absolut. Pengukuran-pengukuran ini dipergunakan dalam studi case-control/retrospektif. 1) Relatif a) Relative Risk (RR) RR adalah pengukuran kemungkinan mendapatkan penyakit pada kelompok yang terpajan dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpajan.

RR

=

insiden kelompok yang terpajan(expose) . insiden kelompok yang tidak terpajan(non−expose) RR menggunakan 2 kelompok dengan membandingkan rasio kedua insidensinya. RR digunakan untuk menyatakan risiko pada suatu kelompok yang terpajan suatu faktor (misalnya laki-laki, hipertensi atau merokok) dibandingkan dengan risiko pada suatu kelompok referensi yang tidak terpajan (misalnya perempuan, normotensi, bukan perokok). Contoh perhitungan RR, menghitung hubungan antara merokok dengan penyakit kanker prostat, dari 1000 perokok, 90 nya menderita Ca prostat dan dari 1000 yang bukan perokok, 30 nya menderita Ca prostat. Jika ditanyakan besarnya risiko yang ditanggung oleh perokok untuk terkena Ca prostat dibandingkan dengan yang bukan perokok dapat dijelaskan sebagai berikut: Ca Prostat

Jumlah

Risiko 10

+

-

Perokok

90

910

1000

0,09

Bukan Perokok

30

970

1000

0,03

Jumlah

120

1880

2000

RR = 3,0

Kesimpulannya, perokok yang mempunyai risiko menderita Ca prostat 3 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bukan perokok. b) Odds Ratio (OR) OR biasanya digunakan pada penelitian kasus kontrol atau cohort, juga pada penelitian retrospektif. OR merupakan perbandingan antara odd expose pada kasus dengan odd expose pada kontrol. Dinyatakan

dengan,

OR

odd expose pada kasus odd expose case = . odd expose pada kontrol odd expose control

= Contohnya,

mengetahui hubungan antara merokok dengan kanker prostat, dari 1000 perokok, 90 nya menderita Ca prostat dan dari 1000 yang bukan perokok, 30 nya menderita Ca prostat. Ditanyakan besarnya risiko yang ditanggung oleh perokok untuk terkena Ca prostat dibandingkan dengan bukan perokok. Ca Prostat

Risiko

+

-

Perokok

90

910

90/910

Bukan Perokok

30

970

30/970

Jumlah

90/30

910/970

OR = 3,2

Kesimpulannya, besar risiko untuk menderita Ca prostat pada perokok adalah 3,2 kali lebih besar dibandingkan dengan risiko menderita prostat pada yang bukan perokok. 2) Absolut 11

a) Risk deference (perbedaan risiko) / Attributable Risk (AR) / Excess Risk (ER) / Absolute Risk (AR) AR merupakan pengukuran dengan dasar asosiasi/hubungan sebab akibat, yang membedakan kedua kelompok yang memungkinkan beresiko terpajan suatu kejadian penyakit (gambar 4). Jadi, AR adalah pengukuran risiko pada kelompok terpajan dikurangi dengan risiko pada kelompok tidak terpajan. ( AR =risiko kelompok terpajan−risiko kelompok tidak terpajan ).

AR berguna untuk mengukur besarnya masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh suatu pemajan dan juga bermanfaat untuk melakukan penilaian prioritas untuk aksi kesehatan masyarakat. AR juga digunakan untuk memperkirakan penurunan risiko terkait perubahan kebiasaan.

Gambar 4 Grafik Attributable Risk c. Ukuran Dampak Potensial Ukuran dampak potensial digunakan untuk memperkirakan kontribusi faktor studi yang diteliti terhadap terjadinya/tercegahnya suatu masalah kesehatan/ penyakit tertentu pada populasi tertentu. Dalam praktiknya, ukuran dampak potensial digunakan untuk mengukur besarnya kontribusi suatu 12

program intervensi terhadap perbaikan derajat kesehatan masyarakat. Ukuran ini juga berguna untuk meramalkan efficacy, effectiveness suatu pengobatan dan strategi intervensi pada suatu populasi. Contoh pengukurannya adalah: 1) Attributable Risk (AR) AR dapat memberikan informasi tentang risiko penyakit tertentu pada kelompok terpajan yang dapat disebabkan oleh suatu pajanan dan jumlah kasus penyakit tertentu pada kelompok populasi yang terpajan yang dapat dihilangkan apabila pajanan tersebut dikurangi. AR=risiko kelompok terpajan−risiko kelompok tidak terpajan ), atau dinyatakan sebagai selisih antara risiko pada kelompok terpajan dengan risiko pada kelompok tidak terpajan. Contoh, kasus hubungan antara merokok dengan kanker paru, dari 100 perokok berat, 5 orang menderita Ca paru (besar risiko:

5 =0,05 ) dan dari 100 bukan 100

perokok, 2 orang menderita Ca paru (besar risiko: AR =0,05−0,02=0,03

2 =0,02 ), jadi 100

(3% insidensi Ca paru disebabkan oleh

kebiasaan merokok). 2) Attributable Risk Persent (AR%) AR% memberikan informasi tentang risiko proporsi penyakit tertentu pada kelompok populasi terpajan yang dapat disebabkan oleh suatu pajanan dan jumlah kasus penyakit tertentu yang dapat dihilangkan jika pajanannya dieliminir. AR% dinyatakan dengan, AR = AR% =

risiko populasi−risiko tidak terpajan risiko tidak terpajan AR x 100 risiko terpajan

3) Population Attributable Risk (PAR) PAR dinyatakan sebagai pembagian risk deference dengan rate kejadian pada populasi yang terpajan. PAR menerangkan tentang risiko terkena penyakit tertentu pada seluruh populasi studi baik terpajan maupun tidak terpajan yang disebabkan pada sebuah pajanan dan jumlah kasus penyakit tertentu pada seluruh populasi baik yang terpajan maupun tidak terpajan yang dapat dihilangkan apabila pajanan tersebut. 13

PAR = insiden (populasi) – insiden (tidak terpajan) = risiko populasi – risiko tidak terpajan 4) Population Attributable Risk Percent (PAR%) PAR% dikenal juga dengan sebutan etiologic fraction (EF) yang memberikan informasi tentang proporsi risiko terjadinya penyakit pada seluruh populasi yang dapat dicegah dengan mengeliminasi pajanannya. Rumusnya adalah: PAR% =

risiko populasi−risiko tidak terpajan x 100 risiko tidak terpajan

5) Prevent Fraction (PF) PF merupakan proporsi dari kasus baru potensial yang dapat dicegah oleh faktor pajanan dalam seluruh populasi jika faktor pajanan tidak ada. Rumusnya adalah: PF =

risiko tidak terpajan−risiko populasi x 100 risiko tidak terpajan

Ukuran ini pada studi intervensi sering disebut efficacy. Pengukuran Angka Kematian (Mortality Rate/Mortality Ratio) Dewasa ini di seluruh dunia muncul kepedulian terhadap ukuran kesehatan masyarakat yang mencakup penggunaan bidang epidemiologi dalam menulusuri penyakit dan mengkaji data populasi. Penulusuran terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi status kesehatan penduduk paling baik dilakukan dengan menggunakan ukuran dan statistik yang distandarisasi, yang hasilnya kemudian juga disajikan dalam tampilan yang distandarisasi. Mortalitas merupakan istilah epidemiologi dan data statistik vital untuk Kematian. Di kalangan masyarakat, ada 3 hal umum yang dapat menyebabkan kematian, yaitu: (1) Degenerasi organ vital dan kondisi terkait; (2) Status penyakit; dan (3) Kematian akibat lingkungan atau masyarakat, misalnya bunuh diri, kecelakaan, pembunuhan, bencana alam, dsb. Macam-macam jenis Angka Kematian dalam epidemiologi, antara lain: A. Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate) Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate) sering disingkat AKK/CDR, merupakan jumlah semua kematian yang ditemukan pada satu jangka waktu 14

(umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk pada pertengahan waktu yang bersangkutan. Istilah Crude/Kasar digunakan karena setiap aspek kematian tidak memperhitungkan variabel-variabel seperti usia, jenis kelamin atau

variabel

lain.

Rumus

CDR/AKK

=

jumlah seluruh kematian xK . jumlah penduduk pertengahan tahun B. Angka Kematian Perinatal (Perinatal Mortality Rate) Periode yang paling besar risiko kematian di kalangan masyarakat adalah periode perinatal dan periode setelah usia 60 tahun. Di dalam kedokteran klinis, evaluasi terhadap kematian anak beberapa hari atau beberapa jam bahkan beberapa menit setelah lahir merupakan hal yang penting agar kematian yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam periode tersebut bisa dicegah. Angka Kematian Perinatal/Perinatal Mortality Rate/PMR merupakan jumlah kematian janin yang dilahirkan pada usia kehamilan 28 minggu atau lebih ditambah dengan jumlah kematian bayi yang berumur kurang dari 7 hari yang dicatat selama 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama (WHO, 1981). PMR dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan kesehatan masyarakat, terutama kesehatan ibu hamil dan bayi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya PMR adalah: 

Banyaknya bayi BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah)



Status gizi ibu dan bayi



Keadaan sosial ekonomi



Penyakit infeksi, terutama ISPA



Pertolongan persalinan

Rumusnya

adalah,

PMR

=

jumlah kematian janin lahir usia kehamilan 28 minggu ataulebih+ kematianbayi usia<7 th (sela jumlah bayilahir hidup pada tahun yang sama C. Angka Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal Mortality Rate) Neonatal Mortality Rate/NMR, merupakan jumlah kematian bayi berumur kurang dari 28 hari yang dicatat selama 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Dengan diketahui NMR, maka dapat diketahui tinggi rendahnya

usaha

perawatan

postnatal,

kebutuhan

program

imunisasi, 15

pertolongan persalinan dan penyakit infeksi, terutama ISPA. Rumusnya adalah, NMR =

jumlah kematian bayiumur kurang dari 28 hari xK. jumlah lahir hidup pada tahun yang sama

D. Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate) Angka Kematian Bayi/Infant Mortality Rate/IMR didapat dari jumlah seluruh kematian bayi berumur kurang dari 1 tahun yang dicatat selama 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. IMR digunakan sebagai indikator yang sensitif terhadap derajat kesehatan masyarakat. Rumusnya adalah, IMR =

jumlah kematian bayiumur 0−1 tahundalam 1tahun xK. jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama

E. Angka Kematian Balita (Under Five Mortality Rate) Angka Kematian Balita/Under Five Mortality Rate/UFMR adalah jumlah kematian balita (bawah umur lima tahun) yang dicatat selama 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. UFMR digunakan untuk pengukuran status kesehatan bayi, dengan rumus yaitu, UFMR =

jumlah kematianbalita dalam1 tahun xK. jumlah penduduk balita pada tahun yang sama

F. Angka Kematian Paska-Neonatal (Postnatal Mortality Rate) Angka kematian paska-neonatal diperlukan untuk menulusuri kematian di negara yang belum berkembang, terutama pada wilayah tempat bayi meninggal pada tahun pertama kehidupannya. Kejadian ini biasanya akibat malnutrisi, defisiensi nutrisi dan penyakit infeksi. Jadi, Postnatal Mortality Rate didefinisikan sebagai kematian yang terjadi pada bayi usia 28 hari sampai 1 tahun selama 1 tahun per 1000 kelahiran hidup. Rumusnya adalah, Postnatal

Mortality

Rate

=

jumlah kematian bayiusia 28 minggu−1 tahun xK. jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama G. Angka Kematian Janin (Fetal Death Rate) Istilah kematian janin sama dengan istilah lahir mati, sehingga Angka Kematian Janin (Fetal Death Rate) merupakan angka kematian yang terjadi akibat keluar atau dikeluarkannya janin dari rahim, terlepas dari durasi kehamilannya. Jika 16

bayi tidak bernafas atau tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan biasanya ditentukan dari pernapasan, detak jantung, detak tali pusat atau gerakan oto volunter. Angka Kematian Janin/Fetal Death Rate/FDR merupakan proporsi jumlah kematian janin yang dikaitkan dengan jumlah kelahiran pada periode waktu tertentu, biasanya dalam 1 tahun. Rumus penghitungannya adalah, FDR

=

jumlah kematian janin pada periode1 tahun xK. jumlah kematian janin+ janin lahir hidup pada periode yang sama H. Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate) Angka Kematian Ibu/Maternal Mortality Rate/MMR merupakan jumlah kematian ibu sebagai akibat dari komplikasi kehamilan, persalinan dan masa nifas dalam 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Tinggi rendahnya MMR, dipengaruhi oleh sosial ekonomi, kesehatan ibu sebelum hamil, bersalin dan nifas, pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan pertolongan persalinan dan perawatan saat nifas. Rumusnya adalah, MMR =

jumlah kematian ibuhamil , persalinan dan nifas dalam 1 tahun xK. jumlah lahir hidup pada tahun yang sama

I. Angka Kematian Spesifik menurut Umur (Age Specific Death Rate) Angka Kematian Spesifik menurut Umur/Age Specific Death Rate/ASDR digunakan untuk mengetahui dan menggambarkan derajat kesehatan masyarakat dengan melihat kematian tertinggi pada golongan umur, untuk membandingkan taraf kesehatan masyarakat di berbagai wilayah dan untuk menghitung rata-rata harapan hidup. Rumusnya, ASDR =

dx x 1000 ( permil ) , dimana dx adalah jumlah kematian px

yang dicatat dalam 1 tahun pada penduduk golongan umur tertentu, sedangkan px adalah penduduk pertengahan tahun pada golongan umur tersebut. J. Cause Specific Mortality Rate (CMSR) Cause Specific Mortality Rate (CMSR) adalah jumlah seluruh kematian karena satu sebab penyakit dalam satu jangka waktu tertentu (1 tahun) dibagi dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit tersebut, maka rumusnya: CMSR

=

17

jumlah seluruh kematian karna sebab penyakit tertentu xK jumlah penduduk yang mungkinterkena penyakit tertentu pada tengahtahun . K. Case Fatality Rate (CFR) Case Fatality Rate (CFR) merupakan jumlah seluruh kematian karena satu penyebab penyakit tertentu dalam 1 tahun dengan jumlah penderita penyakit tersebut pada tahun yang sama. CFR digunakan untuk mengetahui penyakitpenyakit dengan tingkat kematian yang tinggi. Rumusnya adalah, CFR =

jumlah seluruh kematian karna penyakit tertentu xK jumlah seluruh penderita penyakit tertentu

2. Ukuran Epidemiologi Oral Klinisi biasanya berfikir tentang kesehatan secara kualitatif. Selama melakukan pemeriksaan dan diagnosis, dokter gigi biasanya hanya melihat penyakitnya saja tetapi tidak mencoba melihat bagaimana kemungkinan penyakit tersebut di masa yang akan datang. Pengukuran kesehatan gigi dan mulut populasi masyarakat, memiliki standart dan pendekatan yang objektif. Diagnosa yang spesifik berdasarkan gejala klinis, hasil radiografi, mikrobiologi atau pemeriksaan patologi membuat penentuan langkah apa yang harusnya diambil oleh dokter gigi. Pengukuran epidemiologi oral cenderung unik, dalam hal ini dituntut penyamaan pemeriksa mengenai diagnosa penyakit gigi dan mulut, misalnya karies gigi dan periodontitis. Penentuan diagnosa yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan hasil yang baik. Di kedokteran gigi, masalah kesehatan gigi dan mulut dilakukan dengan mengukur atau menghitung sejumlah lesi dengan berbagai macam kriteria. Penggunaan pengukuran epidemiologi oral adalah untuk (1) Mengetahui proses biologi normal, maksudnya adalah mengetahui tahapan pertumbuhan jaringan gigi dan juga order of eruption gigi geligi; (2) Mengerti riwayat penyakit, misalnya dengan melakukan observasi perjalanan penyakit dan bagaimana keadaannya dalam populasi; (3) Melihat distribusi penyakit, bisa berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, wilayah geografi dan status sosio-ekonomi; (4) Mengidentifikasi determinan dari penyakit, oleh karena masing-masing penyakit memiliki multifaktor penyebab penyakit; (5) Melakukan pencegahan penyakit dan kontrol terhadap penyakit gigi dan mulut; dan (6) Melakukan perencanaan dan evaluasi 18

terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut, misalnya ketersediaan tenaga kesehatan ataupun alat-alat kesehatan yang ada di daerah terpencil. Pengukuran penyakit gigi dan mulut memiliki sampel yang berasal dari orang pada populasi. Contoh sampel yang representatif ditemukan pada survai nasional, misalnya di US (United States) data populasinya terdapat pada National Center fo Health Statistic dan di Indonesia terdapat pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, 2004 dan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, 2010, 2013. Metode pengukuran penyakit gigi dan mulut 1. Counts/Hitung Cara yang paling mudah untuk mengukur penyakit adalah dengan menghitung jumlah kasus yang terjadi. Pengukuran yang simpel dari berbagai kasus sangat membantu pada kondisi yang tidak umum, dapat melihat besar-kecilnya prevalensi atau menurun-meningkatnya prevalensi. 2. Proportions/Proporsi Sama dengan pengukuran epidemiologi umum, mengukur proporsi jika terdapat faktor determinan, denominator muncul. Pada proporsi tidak dimasukkan unsur waktu, jadi yang ditampilkam adalah diagnosa kasus. Proporsi dapat digunakan untuk menggambarkan prevalensi karies anak sekolah, prevalensi dari keseluruhan tooth loss pada orang dewasa, ataupun prevalensi dari berbagai kondisi yang terjadi di suatu wilayah. 3. Rates/Angka Rates merupakan angka yang menggunakan denominator yang terstandar dan unsur waktu dimasukkan kedalam penghitungannya. Rates biasanya tidak banyak digunakan pada penghitungan penyakit gigi dan mulut, kecuali untuk menggambarkan insidensi karies pada waktu tertentu dengan uji klinis dan juga untuk penghitungan tahunan hilangnya periodontal attachment pada studi longitudinal. 4. Indexes/Indeks Seseorang yang menderita penyakit karies, hanya 2 gigi dari 32 gigi yang ada memiliki intensitas/derajat keparahan yang rendah terhadap penyakit tersebut dibandingkan dengan seseorang yang memiliki lesi karies sebanyak 16 dari 32 gigi yang ada. Prevalensi tidak membedakan derajat keparahannya, sehingga biasanya untuk melihat determinan dari penyakit 19

gigi dan mulut secara epidemiologi digunakan indeks. Indeks ini memiliki skala numerial dengan skor pada spesifik kriteria. Skor indeks dapat melihat penyakit gigi dan mulut yang dialami seseorang ataupun populasi. Terdapat berbagai macam tipe skala yang digunakan untuk mengukur penyakit, misalnya nominal, ordinal, interval dan rasio. Skala yang umum digunakan pada epidemiologi oral adalah skala ordinal, walaupun beberapa skala juga digunakan pada penghitungan statistik misalnya interval atau rasio. Di berbagai literatur, indeks dibagi menjadi 2 ada yang reversibel dan ireversibel. Indeks ireversibel mengukur kondisi kumulatif yang tidak dapat kembali, misalnya karies gigi (yang sudah berkembang hingga gigi berlubang sampai dengan kehilangan gigi). Indeks reversibel dipakai pada kondisi inflamasi, seperti gingivitis. Pada pengukuran/perhitungan penyakit gigi dan mulut, dapat menggunakan beberapa skala, hal ini tergantung pada kondisi, sehingga dokter gigi/praktisi sebaiknya mengontrol perkembangan dari pasien melalui serangkaian uji klinis. Epidemiologi menyatukan antara ilmu dasar dan studi klinis guna meningkatkan pemahaman kita terhadap penyakit. Dokter gigi dapat mengetahui faktor penyebab dan faktor risiko sehingga diagnosis dan rencana perawatan dapat ditentukan dengan baik. Epidemiologi juga dapat menampilkan uji klinis yang berbasis bukti/data. Pengukuran penyakit gigi dan mulut, yang akan dibahas adalah pengukuran karies gigi, penyakit periodontal, fluorosis pada gigi dan berbagai kondisi lain, yaitu seperti maloklusi, kanker mulut, cleft lip, cleft palate dan kesehatan rongga mulut serta kualitas hidup. a. Pengukuran Karies Gigi Indeks adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap suatu penyakit gigi tertentu. Ukuranukuran ini digunakan untuk mengukur derajat keparahan dari suatu penyakit mulai dari yang ringan sampai yang berat. Untuk mendapatkan data tentang status karies seseorang atau kelompok diperlukan indeks karies agar penilaian yang diberikan pemeriksa sama atau seragam. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti Indeks DMF dan belakangan ini Indeks SiC juga mulia dipergunakan. 20

Sejak awal abad 20, pengukuran tentang proporsi kehilangan gigi molar akibat permanen dan persentase erupsi gigi tetap yang terkena karies sudah dimulai. Tahun 1930-an, di Hagerstown (Maryland), Klein, Palmer dan Knutson pertama kali mendeskripsikan pengukuran karies gigi dengan indeks DMF. Kemudian tahun 1981, juga diperkenalkan oleh Slack. DMF selanjutnya sejak saat itu, indeks DMF diterima dan dipraktekkan secara universal dan merupakan indeks yang paling mudah digunakan dan terbaik. Indeks DMF, merupakan indeks ireversibel, maksudnya adalah jaringan keras gigi yang mengalami kerusakan maka gigi tersebut tidak dapat pulih/sembuh dan akan meninggalkan bekas kerusakan yang menetap. Indeks DMF mengukur total life time caries experience/keseluruhan pengalaman hidup terhadap karies. Kategori gigi yang dihitung dalam DMF, yaitu D untuk gigi berlubang karena karies gigi dan masih dapat ditambal, M untuk gigi yang hilang/dicabut

karena

karies

gigi

dan

F

untuk

gigi

yang

telah

ditambal/ditumpat karena karies dan dalam keadaan yang baik, bisa berupa crown, bridge pontics dan tumpatan dari sekunder karies. Skor DMF (Decay Missing Filled) menunjukkan jumlah gigi dengan karies pada seseorang atau sekelompok orang dengan melakukan penjumlahan D + M + F. Pemeriksaan indeks DMF dapat diaplikasikan untuk keseluruhan gigi, dihitung per gigi (DMF-T) ataupun dihitung per permukaan gigi (DMF-S). DMF tidak membedakan kedalaman karies, misalnya karies superficial, media atau profunda. Pada pengukuran, semua gigi diperiksa, kecuali gigi molar tiga karena biasanya tidak tumbuh, sudah dicabut ataupun tidak berfungsi. Skor rata-rata

DMF

kelompok

populasi

diperoleh

dari

jumlah D+ M + F . Menurut WHO, kategori DMF-T dimulai jumlah orang yang diperiksa dari 0,0 - 1,1 (sangat rendah); 1,2 - 2,6 (rendah); 2,7 - 4,4 (sedang); 4,5 - 6,5 (tinggi) dan > 6,6 (sangat tinggi). Pemeriksaan DMF dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar dan tidak memerlukan pemeriksaan radiograf untuk mendeteksi karies aproximal. Indeks DMF digunakan untuk gigi permanen/tetap, sedangkan untuk gigi susu digunakan modifikasi dengan indeks def (decay exfoliate filled). Awalnya indeks untuk gigi susu dinyatakan sebagai dmf, pertama kali dipakai 21

oleh Grubbel tahun 1944. Dikarenakan kategori “m” sulit dideteksi apakah gigi susu telah hilang oleh karena karies atau tanggal secara normal atau ada sebab lain, jadi diganti komponen “m” diganti dengan “e”. Kategori gigi yang dihitung dalam def, yaitu d untuk gigi berlubang karena karies gigi, e untuk gigi yang diindikasikan untuk dicabut karena karies gigi dan f untuk gigi yang ditambal/ditumpat karena karies. Di beberapa penelitian, “e” tidak digunakan, jadi hanya df-t karena mencegah kemungkinan terjadinya kesalahan, keraguan apakah gigi tersebut benar-benar menyebabkan hilang karena karies atau bukan. Seringkali gigi sulung hilang karena faktor resorbsi fisiologi atau trauma.

Rumus

def-t

sama

dengan

DMF-T,

yaitu

jumlah d+ e+ f . jumlah orang yang diperiksa Prinsip batasan dalam indeks DMF, diantaranya adalah: 

Skor DMF tidak terkait dengan jumlah gigi yang berisiko dan tidak lansung memberikan indikasi intensitas serangan/keparahan dalam satu individu. Skor DMF juga tidak memiliki denominator.



Indeks DMF memberikan bobot penilaian yang sama pada kondisi gigi yang missing/dicabut, lubang yang tidak tertangani dan gigi yang ditumpat dengan baik.



Indeks DMF tidak valid jika gigi dicabut/hilang yang disebabkan bukan oleh karies gigi. Gigi yang missing bisa karena penyakit periodontal pada orang dewasa, bisa juga dicabut karena kebutuhan perawatan orthodonti. Aturan mengenai kriteria tersebut harus ditentukan dengan seksama.



Indeks DMF dapat memberikan estimasi berlebihan dari pengalaman karies dengan restorasi pencegahan.



Data DMF sedikit digunakan untuk perkiraan kebutuhan perawatan (Caies Treatment Needs).



Indeks DMF tidak dapat dihitung pada gigi yang dilakukan sealant. Sealant sudah ada sejak 1938, dan jelas tidak dimasukkan ke dalam kategori F indeks DMF, karena sealant tidak dilakukan karena pengalaman karies.



Karies sekunder pada tumpatan permanen, tumpatan sementara dimasukkan ke dalam kategori D. 22



Gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan ke dalam kategori F.



Untuk DMFS, permukaan gigi yang diperiksa adalah gigi anterior dengan empat permukaan fasial, lingual, mesial, distal sedangkan untuk gigi posterior ada 5 permukaan, fasial, lingual, mesial, distal dan oklusal.



Penghitungan DMFS, bila gigi sudah dicabut karena karies, maka pada waktu menghitung permukaan yang hilang dikurangi satu permukaan, sehingga untuk gigi posterior dihitung 4 permukaan dan untuk gigi anterior dihitung 3 permukaan. Untuk mengetahui distribusi dari prevalensi karies pada populasi

dikembangkan Indeks SiC (Significant Caries Index). Indeks SiC ini bukanlah indeks baru, walau baru dikenal sekitar tahun 2000. Brathal mengusulkan indeks SiC digunakan sebagai standar pengukuran statistik epidemiologis yang lebih ditekankan pada individu yang memilik angka karies yang tinggi pada suatu populasi. SiC berdasarkan nilai distribusi DMF pada populasi, dan merupakan cara untuk mengekspresikan distribusi karies yang melampaui ratarata DMF. Indeks SiC bersama skor DMF akan memberikan ringkasan data yang lebih lengkap tentang karies pada seluruh penduduk. Distribusi yang tidak seimbang, memperbesar kesenjangan antara skor DMF dan nilai SiC. Global skor yang direkomendasikan tahun 2015 untuk SiC adalah 3.0 atau kurang dari 3.0, dan jika diadopsi dan digunakan, akan memberikan informasi yang lebih lanjut mengenai distribusi dari karies gigi. Indeks SiC mudah dihitung, skor SiC diperoleh dari rata-rata DMF-T pada sepertiga populasi yang mempunyai skor karies paling tinggi. Untuk mengukur/menghitung indeks ini, yang harus dilakukan adalah mengurutkan individu sesuai dengan skor DMF-T nya, kemudian memilih sepertiga dari populasi dengan skor karies paling tinggi, dan terakhir adalah menghitung DMF-T untuk kelompok studi. Metode lain untuk pengukuran karies gigi adalah dengan Grainger’s hierarchy, merupakan desain skala ordinal untuk menyederhanakan pencatatan status karies suatu populasi dengan menggunakan lima zona keparahan serangan karies. Adapula pengukuran dengan “komposit” sebagai indikator, yaitu FS-T dengan menghitung restorasi yang baik pada gigi dan T-Health 23

dengan menghitung jaringan gigi yang sehat dan memberikan bobot numerik pada setiap gigi sehat, gigi yang ditambal dan gigi yang berlubang. Indeks UTN (Utility Treatment Needs) digunakan untuk melihat kebutuhan perawatan dalam

suatu

populasi.

Rumus

yang

digunakan,

UTN

=

rata−rata D 100 . Kemudian untuk menghitung prevalensi rata−rata D+rata−rata F terjadinya

karies

dalam

suatu

populasi,

dapat

dihitung

jumlah DMF−T x 100 . jumlah orang yang diperiksa b. Pengukuran Penyakit Periodontal Pengukuran pada penyakit periodontal, diantaranya adalah: 

Pengukuran Gingivitis Gingival Index (GI) pada awal 1960 oleh Loe dan Silness mulai digunakan untuk menilai derajat keparahan inflamasi. Pengukuran GI pada 4 permukaan gingiva, yaitu mesial, distal, bukal dan lingual. Rumusnya adalah GI =

jumlah nilai keseluruhan: 4 . jumlah gigi yang diperiksa

Masing-masing area diskor

oleh skala ordinal dari 0 – 3 dengan masing-masing kriterianya, yaitu: -

0 : gingiva normal.

-

1 : inflamasi ringan/mild (sedikit perubahan warna, sedikit edema, tidak ada perdarahan saat probing).

-

2 : inflamasi sedang/moderate (kemerahan, edema dan warna gusi mengkilar, serta perdarahan saat probing).

-

3: inflamasi berat/severe (ditandai kemerahan dan edema, disertai ulserasi, dan perdarahan spontan).

GI digunakan untuk menilai keadaan rongga mulut yang selektif, yaitu dimana gigi geligi sudah erupsi. GI sebagai indeks dari gingivitis, tidak memperhitungkan perubahan lebih dalam dari jaringan periodonsium, namun cukup sensitif untuk membedakan antara kelompok yang menderita gingivitis ringan sampai yang parah, meskipun mungkin tidak membedakan antar kelompok rentang tengah. Yang menjadi standar pengukuran gingivitis secara klinis adalah perdarahan setelah melakukan probing.

24

Perbaikan selanjutnya dari indeks perdarahan pada gingiva, yang biasa dikenal dengan BOP (Bleeding On Probing), ialah Eastman Interdental Bleeding

Index,

pengukuran

ini

lebih

sensitif

namun

tidak

direkomendasikan pada program kesehatan masyarakat, karena indeks dengan derajat sensitivitas seperti ini jarang digunakan di survei sehingga memerlukan studi cohort dan case-control, indeks tersebut memiliki kekuatan diskriminatif yang samar pada kondisi di lapangan, dan terutama terkait kontrol infeksi dari perdarahan gingiva yang justru akan memperparah kondisi sebelumnya. Perkembangan berikutnya adala Modified Gingival Index (MGI), dengan rumus

dan

skor

yang

sama

dengan

GI,

yaitu

MGI

=

jumlah nilai keseluruhan: 4 memiliki kriteria yaitu: jumlah gigi yang diperiksa -

0 : tidak ada inflamasi

-

1 : inflamasi ringan, sedikit perubahan warna, sedikit perubahan pada tektur tapi tidak melibatkan gingiva margin dan papila gingiva.

-

2 : inflamasi ringan, sedikit perubahan warna, sedikit perubahan pada tektur dan melibatkan gingiva margin dan papila gingiva.

-

3 : inflamasi sedang, warna mengkilat kemerahan, udem dan atau hipertrofi pada gingiva margin dan papila gingiva.

-

4 : inflamasi berat, kemerahan, udem dan atau hipertrofi pada gingiva margin dan papila gingiva, prodarahan spontan atau terdapat ulserasi.



Pengukuran Periodontitis Pengukuran pada periodontitis berdasarkan

keadaan klinis dimana

kehilangan perlekatan dan dengan mengetahui kedalaman probe (gambar 5). Periodontitis merupakan penyakit yang disebabkan bakteri dimana terjadi inflamasi jaringan gingiva disertai dengan hilangnya perlekatan ligamen periodontal dan tulang alveolar yang mendukung gigi geligi. Manifestasi klinisnya mulai dari infeksi bakteri sampai respon dari host. Kebanyakan studi tentang periodontitis tergantung dari survei radiografi yang melihat hilangnya tulang alveolar dari gigi. Pengukuran epidemiologi yang digunakan adalah Periodontal Index (PI), yang awalnya diperkenalkan oleh Russel pada tahun 1956. PI digunakan 25

untuk

mengukur

keparahan

inflamasi

gingiva

maupun

destruksi

periodontal. Skor dihitung dengan menjumlahkan skor dari setiap gigi yang diperiksa lalu dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa. Kelemahan indeks ini adalah hasil pengukurannya bisa lebih rendah dari keadaan sebenarnya dikarenakan peralatan yang digunakan hanyalah kaca mulut tanpa menggunakan probe.

Gambar 5 Pengukuran Periodontitis dilihat dari kehilangan perlekatan dan adanya kedalaman poket Kriteria PI, adalah: -

0 : gingiva normal.

-

1 : terlihat daerah inflamasi pada daerah gingiva bebas tetapi perluasannya tidak sampai mengelilingi gigi.

-

2 : inflamasi terus meluas mengenai gigi.

-

4 : menggunakan foto roentgen, bila ada resorbsi krista tulang alveolar.

-

6 : telah terjadi pembentukan saku/poket.

-

8 ; destruksi disertai kehilangan fungsi pengunyahan, gigi goyang dan terkadang

terjadi

drifting.

Nilai

PI

per

orang,

jumlah nilai individual . jumlah gigi yang diperiksa Kondisi klinis

Nilai

Tingkat penyakit

rentangan / Normal Gingivitis ringan

skor PI 0,0 - 0,2 0,3 – 0,9 26

Mulai ada penyakit periodontal Sudah ada penyakit periodontal Penyakit periodontal terminal Pengukuran lain adalah dengan PDI

0,7 – 1,9 Reversibel 1,6 – 5,0 Irreversibel 3,8 – 8,0 (Periodontal Disease Index) oleh

Ramfjord, dimana pengukuran dilakukan hanya pada gigi 16, 21, 24, 36, 41, 44 atau gigi lain yang dianggap perlu. Kriterianya adalah:



-

0 : tidak ada inflamasi.

-

1 : inflamasi ringan pada gingiva belum seluruhnya terkena.

-

2 : inflamasi sedang sekitar gigi telah terkena

-

3 : gingivitis parah, merah, udem, cenderung pendarahan dan ulserasi.

Periodontal Treatment Needs Pengukuran

epidemiologi

yang

digunakan

untuk

mengukur

dan

memperkirakan kebutuhan perawatan jaringan periodontal adalah CPITN (Community Periodontal Index of Treatment Needs). CPITN digunakan pertama kali tahun 1982 oleh Ainamo dkk dan dipromosikan mendunia oleh WHO untuk dipergunakan. CPITN memerlukan penggunaan periodontal probe khusus, dengan ujungnya bulat dengan diameter 0,5mm, terdapat kode warna garis hitam antara 3,5 – 5,5 mm untuk memudahkan penglihatan dan penanda sirkular pada 8,5 mm dan 11,5 mm. Tekanan probing yang direkomendasikan tidak lebih dari 20 g (akan menimbulkan ketidaknyamanan). Pemeriksaan CPITN menggunakan 6 sekstan, yaitu sekstan 1 (kanan atas), elemen gigi 17 – 14; sekstan 2 (anterior depan atas), elemen gigi 13 – 23; sekstan 3 (kiri atas), elemen gigi 24 – 27; sekstan 4 (kiri bawah), elemen gigi 37 – 34; sekstan 5 (anterior depan bawah), elemen gigi 33 – 43; sekstan 6 (kanan bawah), elemen gigi 44 – 47. Indeks CPITN tergantung 3 kelompok umur, yaitu 20 tahun atau lebih, biasanya yang diperiksa 10 gigi indeks yaitu gigi 17, 16, 11, 26, 27, 31, 36, 37, 46 dan 47; 16 – 19 tahun dan kurang dari 15 tahun biasanya yang diperiksa 6 gigi indeks (16, 11, 26, 31, 36 dan 46). Indikatornya adalah ada atau tidaknya pendarahan gusi, kalkulus supra atau subgingiva dan poket/saku periodontal, dangkal (4-5 mm) atau dalam (6 mm). Kriteria dari CPITN adalah: -

0 : gingiva sehat / periodonsium sehat  tidak membutuhkan perawatan. 27

-

1 : terlihat adanya perdarahan, langsung atau ketika menggunakan kaca setelah melakukan probing  memerlukan perbaikan OH.

-

2 : terdapat kalkulus sewaktu probing tetapi area hitam dari probe masih terlihat (3,5 – 5,5 mm dari ujung probe)  perbaikan OH dan skeling.

-

3 : poket mencapai 4 - 5 mm (margin gingiva terletak pada area hitam dari probe, 3,5 – 5,5 mm dari ujung probe)  perbaikan OH dan skeling.

-

4 : poket > 6 mm (area hitam tidak lagi terlihat)  perbaikan OH, skeling dan perawatan komprehensif.

Tujuan CPITN adalah: -

Mendapatkan data tentang status periodontal masyarakat

-

Merencanakan program penyuluhan

-

Menentukan kebutuhan perawatan (jenis tindakan, beban kerja, kebutuhan tenaga)

-



Memantau kemajuan kondisi periodontal individu

Pengukuran Plak dan Kalkulus Pengukuran plak dan kalkulus juga penting dalam pengukuran epidemiologi penyakit periodontal. Biasanya pengukurannya dengan Indeks Higiene Oral/Oral Hygiene Index/OHI, dikembangkan oleh Green dan Vermillion. Tujuan OHI adalah sebagai studi epidemiologi penyakit periodontal, untuk menilai hasil guna dari penyikatan gigi, evaluasi praktek kesehatan masyarakat dan untuk melihat jangka pendek maupun jangka panjang program kesehatan masyarakat. OHI terdiri dari 2 komponen yaitu Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI). Gigi yang diperiksa hanya keenam gigi saja (gigi 16, 11, 26, 31, 36 dan 46). 0 1 2

Kriteria DI Tidak ada debris Debris menutupi < 1/3 gigi

Kriteria CI Tidak ada kalkulus Supragingiva kalkulus

Debris menutupi > 1/3 gigi

menutupi < 1/3 gigi Supragingiva kalkulus menutupi > 2/3 gigi atau ada 28

3

Debris menutupi > 2/3 gigi

flek subgingiva kalkulus Supragingiva kalkulus menutupi > 2/3 gigi atau ada

Nilai DI = Nilai CI =

subgingiva di sekeliling gigi jumlah total nilai setiap gigi jumlah permukaan gigi yang diperiksa

Nilai OHI = Nilai DI + Nilai CI. Derajat kebersihan mulut dikategorikan menjadi 0,0 – 1,2 (Baik/Good), 1,3 – 3,0 (Sedang/Fair), dan 3,1 - 6,0 (Buruk/Poor). Indeks Plak/Plaque Index/PI dikembangkan oleh Silness dan Loe, pengukurannya berdasarkan pada ketebalan penumpukannya. Alat yang digunakan untuk pengukuran ini yaitu kaca mulut, sonde dan blower. Kriteria skor PI: -

0 : tidak ada plak.

-

1 : ada lapisan tipis plak menumpuk ke tepi gingiva bebas dan permukaan gigi yang berdekatan.

-

2 : penumpukan plak yang sedang didalam saku dan dapat terlihat oleh mata telanjang.

-

3 : permukaan gigi tertutup oleh plak yang tebal

Rumus PI =

total nilai plak . jumlah permukaan yang diperiksa

c. Pengukuran Fluorosis pada Gigi Dental fluorosis adalah hipomineralisasi dari enamel gigi yang disebabkan kelebihan konsumsi fluorida selama proses perkembangan gigi. Berdasarkan kuantitas dan waktu konsumsi fluorida selama periode ini, penampakan klinis dari fluorosis mulai dari perubahan yang hampir tak terlihat sampai stain/bercak coklat yang buruk dengan lubang atau email yang rapuh. Terdapat beberapa indeks terkait pengukuran fluorosis pada gigi, diantaranya:



Dean’s Fluorosis Index Dean’s Fluorosis Index adalah indeks pertama yang menyusun kriteria untuk mengkategorikan fluorosis gigi pada 7 poin skala ordinal, yaitu normal, questionable, vey mild, mild, moderate, moderately severe, dan severe (gambar 6). Dean’s Fluorosis Index adalah indeks yang 29

direkomendasikan WHO pada survey dasar. Dean menggunakan 7 poin skala ini pada tahun 1930, namun pada tahun 1942 Dean memperbaiki indeks fluorosis menjadi 6 poin, dengan menggabungkan poin 6 dan 7 menjadi severe. Dibawah ini merupakan tabel yang menggambarkan skala penghitungan Dean’s Fluorosis Index berserta kriterianya:

Poin Skala Normal

Kriteria 

Email memperlihatkan permukaan translusen/tembus.



Permukaannya

Questionable 

halus,

mengkilap

dan

biasanya

berwarna krem putih pucat (pale creamy white). Email mengalami sedikit penyimpangan

dari

translusensi email yang normal, antara sedikit flek putih sampai bintik-bintik putih (white spots). 

Klasifikasi ini dipilih jika didiagnosis belum pasti bentuk paling ringan dari fluorosis ataupun normal.

Very Mild



Kecil, opaque/buram, area putih kertas kecil yang sangat ringan yang meliputi kurang dari 25% dari permukaan gigi.



Biasanya wilayah buramnya tidak lebih dari 1-2 mm

Mild

pada ujung cusps dari premolar atau molar dua. Daerah putih buram mencakup kurang dari 50% dari

Moderate

permukaan gigi.  Semua permukaan gigi terkena

Severe



Atrisi pada permukaan gigit.

 

Noda cokelat mungkin ada. Termasuk klasifikasi “Moderately

severe”

dan

“Severe”. 

Semua permukaan gigi terkena dan hipoplasia menandai keseluruhan gigi yang terkena.



Tanda utama pada klasifikasi ini adalah lubang terpisah atau konfluen (discrete or confluent pitting).



Noda cokelat tersebar luas dan gigi seringkali menyajikan tampilan terkorosi.

30



Gambar 6 Distribusi pengukuran fluorosis dengan Dean’s Index Tooth Surface Index Of Fluorosis (TSIF) TSIF merupakan indeks yang dikembangkan pada tahun 1980 dan sudah digunakan pada penelitian yang dilakukan di National Institute of Dental Research. Skala yang digunakan pada TSIF lebih sensitif jika dibandingkan dengan Dean’s Index untuk mengidentifikasi bentuk yang paling ringan dari fluorosis. Skala TSIF didefinisikan dalam skor 1-7 pada masing-masing permukaan gigi di dalam mulut. Hasil dari TSIF memberikan data distribusi ordinal daripada skor rata-rata (gambar 7). Berikut ini tabel TSIF beserta kriterianya:

Skala

Kriteria

(dala m skor) 0 Enamel tidak menunjukkan adanya fluorosis. 1 

Enamel menunjukkan adanya fluorosis, yaitu daerah dengan total perkamen (parchment)-putih

kurang dari

sepertiga permukaan enamel. 31



Pada kategori ini fluorosis terbatas hanya untuk tepi insisal gigi

anterior

dan

ujung

cusp

gigi

posterior

("snowcapping"). 2

Total perkamen-putih fluorosis sepertiga dari permukaan, tetapi kurang dari dua pertiga.

3 Total perkamen-putih fluorosis paling sedikit dua pertiga dari permukaan. 4



Enamel menunjukkan staining seperti tingkatan flourosis sebelumnya.



Staining didefinisikan sebagai perubahan warna berkisar ringan sampai coklat sangat gelap.

5 

Ada lubang terpisah (discrete pitting) pada enamel, dengan staining pada enamel yang masih utuh.



(Lubang) pit berupa cacat pada permukaan enamel dengan lantai kasar yang dikelilingi oleh dinding enamel utuh.



Daerah lubang biasanya ada stain atau berbeda warna dengan enamel sekitarnya.

6 Ada lubang (discrete pitting) dan staining pada enamel yang utuh. 7 

Ada lubang konfluen (confluent pitting) pada permukaan enamel.



Sebagian besar enamel mungkin hilang dan anatomi gigi berubah.



Ada noda coklat tua.

32

Gambar 7 Distribusi pengukuran fluorosis dengan TSIF



Thylstrup-Fejerskov Index (TF Index) TF index memiliki dasar biologis yang lebih kuat dibandingkan dengan Dean’s Index, karena nilai indeks dikembangkan dengan mengaitkannya dengan gambaran histologis enamel yang terkena. TF indeks dapat digunakan pada gigi tertentu ataupun keseluruhan gigi geligi. Hampir sama dengan TSIF, TF indeks juga lebih memberikan data distribusi ordinal daripada skor rata-rata (gambar 8).

Skala

Kriteria

(dala m skor) 0 1

Normal translusensi dari enamel, setelah pengeringan udara.  Garis putih sempit sesuai dengan perikimata.

2

 

[Dean = Questionable / Very Mild]. Permukaan halus: garis opak lebih jelas mengikuti 33

perikimata. Sesekali pertemuan garis berdekatan. 

Permukaan oklusal: Opacity tersebar <2 mm dan opacity jelas dari cuspal ridge.

3

 

[Dean = Questionable / Very Mild]. Permukaan halus: Penggabungan dan tidak beraturan (daerah awan) opacity.



Gambaran jelas dari perikimata sering terlihat antara opacity.



Permukaan oklusal: area konfluen menandai dari opacity.



Daerah aus muncul hampir normal tetapi biasanya dibatasi oleh tepi enamel buram.

4

 

[Dean = Very Mild / Mild]. Permukaan halus: Seluruh permukaan menunjukkan tanda opacity atau tampak putih seperti kapur.



Bagian dari permukaan yang terekspos oleh atrisi tidak terpengaruh.



Permukaan oklusal: seluruh permukaan menunjukkan tanda opacity.

 5

Atrisi sering jelas tak lama setelah erupsi.

 [Dean = Mild / Moderate]  Permukaan halus dan permukaan oklusal: menampilkan seluruh permukaan ditandai opacity dengan kehilangan enamel terluar (lubang) <2 mm.

6



[Dean = Parah / Severe].



Permukaan halus: Pit secara teratur dalam band horisontal bands <2 mm di vertikal extension.



Occlusal vertikal: daerah konfluen <3 mm hilangnya enamel.

7



Terlihat Atrisi.

 

[Dean = Severe] Permukaan halus: Kehilangan enamel terluar di daerah yang

tidak

teratur

melibatkan

<1/2

dari

seluruh

permukaan. 34



Permukaan Oklusal: Perubahan morfologi disebabkan oleh penggabungan lubang dan atrisi.

 

8

[Dean = Severe] Permukaan Halus dan Oklusal: Kehilangan enamel terluar yang melibatkan > 1/2 dari permukaan.

 

9

[Dean = Severe] Permukaan Halus dan oklusal: Kehilangan bagian utama dari enamel dengan perubahan penampilan anatomi permukaan.



Biasanya Cervical Rim tidak terkena.



[Dean = Severe]

Gambar 8 Distribusi pengukuran fluorosis dengan TF Index 

Developmental Defects Of Dental Enamel Index (DDE) DDE index sebaiknya dihindari jika diperlukan diagnosa fluorosis

sebelum

melakuan

pencatatan

enamel

opacity,

karena

seringkali

menimbulkan bias. Survei nasional anak-anak di Irlandia memodifikasi indeks ini, karena cendering mudah. DDE indeks ini mendiagnosis banding antara bentuk ringan dental fluorosis (questionable, very mild, dan mild) dan non-fluorida opacity dari enamel. Karakteristi

Bentuk Fluorosis Ringan

Non-Flourida Opacity

k Opacities Enamel 35

Daerah yang

Biasanya

terlihat

pada Biasanya

terkena

atau dekat ujung puncak permukaan atau tepi insisal.

dapat

garis

bayangan sketsa pensil; garis

halus;

di

mengenai seluruh mahkota.

Menyerupai Bentuk lesi

berpusat

mengikuti

garis

tambahan pada enamel, membentuk

Seringnya

lingkaran atau

oval.

irregular

Caps tidak pada cusp.

Demarkasi

Bayangan

terlihat

di

sekitar enamel normal.

Warna

Sedikit lebih buram dari enamel

normal,

warna

kertas putih. Incisal edge, ujung

cusp

memiliki

Jelas berbeda dari enamel yang normal.

Biasanya berpigmen pada saat erupsi; kuning krim ke oranye kemerahan gelap.

penampilan buram. Tidak menunjukkan noda pada saat erupsi (dalam derajat ringan, jarang).

Gigi yang terkena

Paling sering pada gigi kalsifikasinya Dapat terjadi pada semua Terbanyak pada lambat (premolar, molar gigi. dua dan molar tiga). permukaan labial gigi insisif yang

Jarang pada insisif bawah. bawah. Dapat terjadi secara Biasanya terlihat enam tunggal. Biasanya satu 36

atau

delapan

gigi sampai

tiga

gigi

yang

homolog. Sangat jarang terkena. Pada gigi sulung. terjadi pada gigi sulung.

Tidak ada. lubang enamel tidak terjadi dalam bentuk Hipoplasia Berat

yang

lebih

ringan.

Permukaan memiliki

email

Tidak ada sampai parah. Permukaan enamel tampak goresan, perabaan kasar.

penampilan

mengkilap, halus untuk perabaan.

Deteksi Sering terlihat di bawah cahaya yang kuat; paling mudah

terdeteksi

oleh

garis pandang tangensial dengan mahkota gigi.

Terlihat paling mudah di bawah cahaya yang kuat pada garis pandang tegak lurus terhadap permukaan gigi.

d. Pengukuran Kondisi lain pada Epidemiologi Kesehatan Gigi dan Mulut Beberapa kondisi yang dipelajari di epidemiologi kesehatan gigi dan mulut juga dilakukan pengukurannya, seperti maloklusi, kanker mulut, cleft lip, cleft palate dan kesehatan rongga mulut serta kualitas hidup. Berikut pemaparannya: 

Maloklusi Keadaan maloklusi sulit untuk didefinisikan dikarenakan persepsi yang berbeda pada setiap individu dan kebudayaan mengenai apa itu masalah maloklusi. Permasalahan ini telah ada sejak lama dan berkutat pada hal yang sama yaitu berpusat pada klasifikasi dan skor dari maloklusi. 37

Klasifikasi Angel yang telah ada sejak abad ke 19, mungkin masih digunakan dalam rencana perawatan tapi tidak dapat diterapkan dalam epidemiologi

yang

menggunakan

angka-angka

nominal.

Adapun

Malalignment Index menaksir besarnya rotasi dan displacement dari gigi, sedangkan Occlusal Feature Index menunjukan seberapa parah keadaan crowded/berjejal,

interdigitasi

antar

cups,

dan

overbite

vertikal-

horizontal. Indeks HLD (Handicapping Labio-Lingual Deviation) diterapkan dalam kesehatan masyarakat saat melakukan perkiraan kebutuhan perawatan untuk program ortodonti masyarakat di Kota New York. Grainger megembangkan TPI (Treatment Priority Index) untuk memperkirakan kebutuhan perawatan, sebuah indeks yang hanya digunakan sekali dalam studi nasional tentang kebutuhan ortodonti pada anak-anak. Setelahnya, indeks ini tidak pernah lagi diterapkan. Salah satu model indeks yang sukses digunakan untuk mengukur adalah Occlusal Index (OI) yang mengukur 9 karakteristik dari umur gigi, relasi molar, overbite,

overjet,

posterior

crossbite,

posterior

openbite,

tooth

displacement, relasi garis wajah, kehilangan gigi insisif permanen rahang atas.

Di eropa indeks IOTN (Index of Orthodontic Treatment Need) digunakan sejak pertama kali dikenalkan pada tahun 1989. IOTN merupakan modifikasi dari skala orang swedia dan kombinasi dari pengukuran fungsional dan estetik. Oklusi fungsional dikategorikan dalam lima tingkatan, dimana pengukuran estetik menggunakan 10 titik poin skala ordinal yang mengizinkan setiap individu menentukan persepsi estetik gigi geliginya sendiri. Indeks PAR (The Peer Assessment Rating) didesain untuk menemukan semua anomali oklusal yang mungkin ditemukan dalam single skor. Ini mungkin terlihat terlalu berlebihan, tetapi indeks PAR ditemukan sama dengan realitas OI. Pencarian masih terus berlanjut untuk sebuah pengukuran yang meliputi berbagai hal dan ICON (Index of Complexity, Outcome, and Need) sampai di era milenium. Indeks ini menunjukkan korelasi yang baik dengan persepsi pasien pada 38

estetik, bicara, fungsi dan kebutuhan perawatan. Perkembangan dari indeks ini menekankan pada tingkat kesulitan masalah komplek ini. Indeks ini meskipun digunakan tetapi tidak menawarkan nilai lebih dibandingkan indeks yang lain. Kompleksitas dari maloklusi dan kesulitan yang muncul selama perkambangan indeks yang tidak adekuat, membuat para peneliti percaya bahwa maloklusi secara fungsional dan nyata tidak dapat dilakukan pengukuran dalam tujuan epidemiologi. Sedangkan dalam usaha untuk menginterpretasi data dari overbite, crowding dan kondisi klinis lainnya mungkin saja dilakukan. Indeks selanjutnya adalah DAI (Dental Aesthetic Index), dipublikasikan pada tahun 1986, DAI dimulai dari alasan bahwa pengaruh maloklusi terhadap masalah penyakit mulut lainnya diragukan dan keuntungan utama dari perawatan ortodonti adalah efeknya yang memperbaiki sosial dan psikologis individu. Menurut WHO, sebagai pemandu dan protokol survey, menyarankan penggunaan DAI untuk merekam maloklusi menurut beberapa kategori yaitu: (1) kehilangan insisif, kaninus, dan gigi premolar; (2) crowded insisif atas dan bawah pada segmen anterior; (3) sela atau jarak di rahang atas dan mandibula pada segmen anterior; (4) diastema diantara 2 insisif sentral rahag atas; (5) ketidakteraturan yang luas di daerah depan dari 4 insisif rahang atas (rotasi atau displacement dari pergerakan normal); (6) ketidakteraturan yang luas di daerah depan dari 4 insisif rahang bawah (rotasi atau displacement dari pergerakan normal); (7) overjet anterior rahang atas dan rahang bawah; (8) open bite vertikal anterior; dan (9) relasi molar anteroposterior 

Kanker Mulut Seperti kanker pada umumnya, peristiwa dari kanker mulut biasanya ditampilkan dalam bentuk proporsi atau rate. Umur-perhitungan rate setiap tahun dari kematian kanker mulur, sebagai contoh, turun dari 23,1 per 100.000 populasi di tahun 1970 menjadi 19,9 per 100.000 di 1985. Lima tahun survival rate dari 67%. Sebagai contoh, berati bahwa 67% dari orang yang didiagnosa 5 tahun sebelumnya masih mampu bertahan hidup. Data kanker selalu dijaga dalam daftar di hampir seluruh negara. 39

Informasi disampaikan pada registrasi melalui dokter dan tenaga rumah sakit. 

Cleft Lip and Cleft Palate / Celah Bibir dan Palatum Peristiwa dari celah bibir dan palatum biasanya ditampilkan sebagai proporsi; bahwa 1 bayi dalam 700 kelahiran mengalami kondisi ini, seperti halnya pada penyakit mulut yang bersifat jarang, sehingga lebih cocok ditampilkan dalam proporsi atau rate. Celah bibir dan palatum, sebagai salah satu kelainan kongenital, dilaporkan dalam sertifikat kelahiran di USA, meskipun sistem ini belum dilakukan diseluruh dunia.



Kesehatan rongga mulut dan kualitas hidup Meskipun secara filosofis lebih diperlukan untuk mengukur kesehatan ketimbang penyakit namun prakteknya epidemiologi berfokus pada pengukuran penyakit karena kesehatan sangat sulit untuk didefinisikan secara operasional. Saat konsep sulit didefinisikan, itu juga sulit utnuk diukur. Beberapa penelitian berusaha membuat perkembangan dari indeks kesehatan mulut.

Kesehatan lebih dari sekedar tidak mengalami penyakit, beberapa komentator berpendapat bahwa perkiraaan subjektivitas individual tentang kesehatan mulutnya sama benarnya dengan pengertian dokter gigi. Inilah yang membedakan dengan penghitungan penyakit, karena indikator subjektivitas dan indikator klinis dari kesehatan mulut sangat sedikit berhubungan. OHIP (The Oral Health Impact Profile) mengukur pengaruh sosial dari kondisi mulut yang dirasakan oleh individu dan berasal dari pernyataan yang diberikan oleh pasien gigi selama wawancara. OHIP sebenarnya berawal dari 49 item skala tapi kemudian menjadi lebih ringkas menjadi 14 item skala, dimana ukuran kesehatan rongga mulut kaitannya dengan kualitas hidup sebagai validitas di versi awal dan lebih mudah untuk dikerjakan. Indeks lainnya yang telah dipakai secra meluas adalah GOHAI (The General Oral Health Assessment Index). GOHAI 40

terdiri dari 12 item skala yang memperkirakan fungsi fisik, fungsi psikososial, dan rasa sakit atau ketidaknyamanan. Indeks sperti ini mempunyai potensi yang baik untuk merangking kerusakan di mulut yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari orang, sehingga memperluas perspektif kita tentang kesehatan mulut dan membantu baik rencana perawatan klinis dan penelitian. Pengukuran objektif dari karies atau periodontitis terlihat lebih sederhana dibandingkan memperkirakan pengaruh subjektif dari penyakit mulut dan disabilitas dalam kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Burt Brian, A. Stephan. 2005. Dentistry, Dental Practice and the Community. 6th ed. Elsevier Saunders: US 2. Gordis, Leon. 2014. Epidemiology. Elsevier Saunders: US 3. N. Nasry. 2008. Epidemiologi. Rineka Cipta: Jakarta 4. Szklo, Movses., and Javier, F. 2007. Epidemiology Beyond the Basics. Jones and Bartlett Publishers: Boston 5. Vetter, Norman., and Matthews, Ian. 1999. Epidemiology and Public Health Medicine. Churchil Livingstone: London 6. Webb, P., and Bain, C. 2011. Essential Epidemiology 2nd Edition. University Press Cambridge: UK

41

UNIVERSITAS INDONESIA

UKURAN-UKURAN EPIDEMIOLOGI (Umum dan Oral)

MAKALAH Untuk tugas Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Komunitas

Annisa Septalita, drg. 42

Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Komunitas Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 2014

43

Related Documents

Tugas 3 - Gpr
March 2021 0
Tugas 3 Tegar
January 2021 1