394770249 Referat Stunting Fix Docx

  • Uploaded by: jurnal
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 394770249 Referat Stunting Fix Docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,260
  • Pages: 22
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pendek di identifikasikan dengan membandingkan tinggi seseorang anak dengan standar tinggi anak pada populasi yang normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Anak dikatakan pendek (stunting) jika tingginya berada dibawah -2 SD dari standar WHO.1 Studi studi saat ini menunjukan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang pendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu anak pendek merupakan predictor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di massa yang akan datang.1 Pendek (stunting) merupakan tragedi yang tersembunyi. Pendek terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan anak. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan perkembangan anak yang irreversible (tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan pernah mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa.1 Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015-2019. Target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% (RPJMN. 2015-2019). Intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan di sector kesehatan, namun hanya berkontribusi 30%, sedangkan 70%nya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitive yang melibatkan berbagai sector seperti

ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, Pendidikan, social dan sebagainya.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Perawakan pendek atau short stature adalah tinggi badan yang berada dibawah persentil ke 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut atau kurva baku NCHS. Perawakan pendek dapat disebabkan karena berbagai kelainan endokrin maupun non-endokrin. Penyebab terbanyak adalah kelaianan non-endokrin seperti penyakit infeksi kronik, gangguan nutrisi, kelainan gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan lain lain. Pemantauan tinggi badan dibutuhkan untuk menilai normal tidaknya pertumbuhan anak. Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan diperlukan untuk pemberian hasil yang lebih baik.3 Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru Nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan Panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umumnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (multicentre growth reference study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementrian Kesehatan (kemenkes) adalah balita dengan nilai z score nya kurang dari -2 SD / Standar deviasi (stunted) – 3 SD (severely stunted).4 Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek menurut umur hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median standar panjang atau tinggi badan menurut umur. Telah diketahui bahwa semua masalah anak pendek, bermula pada proses tumbuh kembang janin dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Apabila dihitung dari sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi sampai anak usia 2 tahun merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan manusia, disebut sebagai window opportunity.5

B. Epidemiology Pada tahun 2015 Kementerian Kesehatan melaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang merupakan studi potong lintang dengan sampel dari rumah tangga yang mempunyai balita di Indonesia. Hasil mengenai persentase balita pendek adalah sebagai berikut.2

Menurut hasi PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya presentase balita pendek di Indonesia juga tinggi dab merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga , prevalensi balita pendek di Indonesia tertinggi dibandingkan Myanmar (35%) Vietnam (23%) Malaysia (17%) Thailand (16%) dan singapura (4%). Global Nutritiom Report (GNR) tahun 2014 melaporkan bahwa Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai 3 masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita.2

C. Etiology Stunting disebabkan oleh factor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh factor gizi buruk yang di alami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu diberlakukan pada 1.000 hari

pertama kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa factor yang menjadin penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut:4 1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP- ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.4

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).4

3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.4

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.4

Namun diliteratur lain disebutkan juga penyebab stunting adalah:5 1. Salah satu faktor risiko kejadian Stunting kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat terjadi perlambatan pertumbuhan dan berpengaruh terhadap status gizi. Penyakit infeksi ( diare dan ISPA ) dapat mengakibatkan berat badan turun secara akut dan berpengaruh pada status gizi balita bila terjadi dalam jangka waktu yang lama. Balita dengan status gizi yang kurang mempunyai sistem imun yang rendah yang dapat membuat balita mudah terkena penyakit infeksi.5

2. Anak dengan defisiensi vitamin A memiliki kecenderungan stunting karena pada masa anak-anak vitamin A mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel, apabila terjadi defisiensi dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan dapat meningkatkan risiko infeksi seperti penyakit campak dan diare.5

3. Paparan pestisida yang diterima oleh ibu hamil dapat juga menjadikan bayinya stunting. Beberapa jenis pestisida dikenal sebagai thyroid disrupting chemicals (TDCs), dapat mengganggu struktur dan fungsi kelenjar tiroid, mengganggu sintesis, sekresi, transpor, pengikatan dan eliminasi hormon tiroid, yang berdampak terjadinya hipotiroidisme. Hipotiroidisme pada ibu hamil menyebabkan terjadinya gangguan tumbuh-kembang janin/anak yang dilahirkannya.5 4. Defisiensi seng akan menyebabkan perubahan pada beberapa sistem organ seperti sistem saraf pusat, saluran pencernaan, sistem reproduksi dan fungsi pertahanan tubuh baik. Faktor predisposisi terjadinya defisiensi seng adalah karena: a. Konsumsi dan absorbsi kurang, b. Meningkatnya pengeluaran, c. Utilisasi kurang, d. Kebutuhan meningkat. Manifestasi defisiensi Zn yang khas pada anak adalah keterlambatan pertumbuhan.5

D. Patogenesis. Meskipun prevalensi stunting pada tingkat global yang tinggi, untuk penjelasan ini, jalur yang paling mudah dikerjakan untuk intervensi yang efektif adalahmendorong pertumbuhan yang sehat di negara berkembang. Dari studi epidemiologi jelas bahwa pemberian ASI yang kurang optimal dan pemberian makanan pelengkap tidak adekuat, infeksi berulang dan defisiensi mikronutrien merupakan faktor terjadinya stunting. Kegagalan pertumbuhan juga terjadi dalam interaksi faktor-faktor sosial, seperti akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan, stabilitas politik, urbanisasi, kepadatan penduduk dan jaringan dukungan sosial,meninjau pemahaman saat ini tentang kegagalan pertumbuhan di seluruh perjalanan hidup dan mencoba untuk intervensi.6

Gambar: Pathogenesis terjadinya stunting.6

a) Antenatal period Pertumbuhan janin diatur oleh interaksi kompleks antara status gizi ibu, endokrin ,sinyal metabolik dan perkembangan plasenta. Ukuran bayi yang baru lahir merupakan cerminan dari lingkungan intrauterine; prevalensi bayi berat lahir rendah (<2,5 kg) sekitar enam kali lebih tinggi

dalam

negara

berkembang

dibandingkan

dengan

negara-negara

maju.

The

INTERGROWTH-21st Project, melakukansebuah studi populasi pertumbuhan janin di delapan negara, menunjukkan bahwa panjang bayi baru lahir sangat mirip

di antara wanita yang

makmur, sehat, dan terdidik. Bayi dengan berat lahir rendah termasuk yang lahir terlalu cepat (prematur), terlalu kecil (kecil untuk usia kehamilan, SGA), atau keduanya. Pada tahun 2010, sekitar 27% bayi lahir hidup secara global adalah SGA dan hampir 3 juta bayi lahir prematur dan SGA memiliki risiko pertumbuhan dan kematian yang lebih tinggi. Menggunakan data dari study yang dilakukan, Christian et al. menunjukkan bahwa, risiko stunting postnatal meningkat nyata di antara bayi yang lahir prematur.6 Kekurangan gizi ibu berkontribusi pada sekitar 20% kematian ibu dan meningkatkan risiko hasil kehamilan yang merugikan, kematian anak dan stunting.Perawakan ibu yang pendek, indeks massa tubuh yang rendah dan berat badan yang buruk selama kehamilan adalah indeks utama yang terkait dengan bayi berat lahir rendah. Kehamilan dini selama masa remaja, ketika ibu sendiri masih tumbuh, meningkatkan risiko stunting ibu lebih lanjut. Kelahiran yang berjarak dekat juga meningkatkan tuntutan nutrisi pada ibu.6 b) Lahir sampai 6 bulan Bayi sehat mengalami kecepatan pertumbuhan maksimal antara kelahiran sampai usia 6 bulan. Selanjutnya, beberapa bulan pertama kehidupan muncul sangat penting untuk perkembangan saraf jangka panjang. Ketika pertumbuhan di antara bayi di negara berkembang dievaluasi menggunakan standar pertumbuhan WHO 2006, prevalensi stunting pada paruh pertama bayi dua kali lipat dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya, di beberapa negara, seperti India, 20% bayi kerdil sebelum usia 6 bulan. Karena itu ada peningkatan apresiasi terhadap gizi kurang pada bayi di bawah 6 bulan. Dalam program gizi realisasi bahwa intervensi perlu ditargetkan lebih awal dari yang sebelumnya.6

Pemberian ASI eksklusif (EBF) selama 6 bulan pertama telah direkomendasikan oleh WHO sejak 2001. Meskipun manfaat EBF untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.Kegagalan pertumbuhan yang terus menerus dari kehidupan janin melalui 6 bulan pertama kehidupan pascanatal menunjukkan keberadaan faktor-faktor umum, yang belum terdefinisi dengan baik.Dalam sebuah studi tentang pasangan ibu-bayi Zimbabwe, ada bukti peradangan kronis di awal kehidupan (oleh Usia 6 minggu). Tingkat penanda inflamasi (misalnya CRP) secara terusmenerus lebih tinggi pada stunted dibandingkan pada bayi tanpa stunting, dan dikaitkan dengan tingkat peradangan ibu saat lahir, menunjukkan satu mekanisme umum yang potensial yang menghubungkan kegagalan pertumbuhan.6

c) Periode dari usia 6 hingga 24 bulan adalah salah satu periode paling kritis untuk pertumbuhan, juga merupakan waktu prevalensi stanting puncak di negara berkembang, karena tingginya permintaan akan nutrisi ditambah dengan terbatasnya kualitas dan kuantitas makanan pendamping.6

Kekurangan vitamin A, seng, zat besi dan yodium umum, dan beberapa defisiensi mikronutrien sering ditemukan pada anak, yang mana mempengaruhi banyak aspek seperti aspek fisiologi, termasuk fungsi saraf dan kekebalan tubuh. Diperkirakan sekitar 17,3% dari populasi global berada dalam risiko kekurangan zinc dan prevalensi negara tertentu dari asupan zinc yang tidak adekuat berhubungan dengan prevalensi stunting di 138 negara berpenghasilan rendah dan menengah. konsumsizinc harian (10 mg / hari) selama 24 minggu menyebabkan kenaikan ratarata (SD) sekitar 0,38 cm. Penelitian yang menyelidiki dampak vitamin A pada pertumbuhan telah melaporkan hasil yang beragam.6

Beberapa dekade yang lalu, studi di Guatemala menunjukkan bahwa infeksi berulang dapat mengganggu pertumbuhan, terutama selama paruh kedua masa bayi, penelitian selanjutnya telah mengkonfirmasi pengamatan ini. Namun, ada hubungan dua arah antara infeksi dan kekurangan gizi; beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang kekurangan gizi mengalami peningkatan frekuensi, durasi dan keparahan infeksi. Oleh karena itu sulit untuk membedakan sebab dan akibat.6

Diare adalah salah satu infeksi yang paling sering terjadi di masa kanak-kanak, terutama dalam kondisi sanitasi dan kebersihan yang buruk, meskipun hasil studi bervariasi, apakah diare tidak dapat menyebabkan stunting. Dalam analisis data dari sembilan studi berbasis masyarakat dengan data diare, Secara keseluruhan, 25% pengerdilan dikaitkan dengan lima atau lebih episode diare dapat menyebabkan stunting. Dalam penelitian yang lebih baru; seorang anak dengan beban diare (23 hari per tahun) adalah 0,38 cm lebih pendek pada usia 2 tahun daripada anak tanpa diare.6

d) Di atas usia 24 bulan Stunting cenderung dilihat sebagai suatu kondisi yang ditentukan dalam 1000 hari pertama, karena kegagalan pertumbuhan dimulai secara antenatal dan berlanjut selama 24 bulan pertama, Namun, baru-baru ini telah diusulkan bahwa periode window of the opportunity

untuk

Pertumbuhan catch-up dapat melampaui 24 bulan, sekitar 70% dari kekurangan terjadi pada 1000 hari pertama dan 30% antara 2 dan 5 tahun.6

Pertanyaan tentang potensi pemulihan di luar 1000 hari pertama tetap penting untuk berbagai komponen sindrom stunting dapat terjadi pada waktu yang berbeda. Apa yang menyebabkan pertumbuhan kurang juga dapat terjadi melebihi 24 bulan, dan apakah intervensi akan bermanfaat meningkatkan, tetap tidak pasti. Masa remaja adalah waktu di luar masa bayi ketika kecepatan pertumbuhan adalah maksimal dan merupakan kesempatan terakhir untuk mengejar pertumbuhan yang kurang, meskipun untuk mencapai potensi pertumbuhan penuh mungkin membutuhkan pertumbuhan yang terbatas.6

5. Penilaian stunting secara antropometri Memberikan contoh dua gadis dari Maladewa dengan tinggi badan yang sama (86 cm). Sementara salah satu gadis, pada 2 tahun dan 2 bulan, tumbuh secara memadai, yang lain, yang berusia 4 tahun dan 4 bulan, sangat terhambat. Tidak mungkin membedakan gadis mana yang kerdil hanya dengan mengamati mereka bermain dan berinteraksi satu sama lain. Kesadaran perbedaan usia mereka memicu alarm, tetapi hanya ketika ketinggian mereka diukur dan

dibandingkan dengan standar WHO bahwa pertumbuhan yang sangat stunted dari salah satu gadis menjadi jelas. Mengukur panjang anak-anak (hingga 24 bulan) atau tinggi badan (dari 24 bulan ke atas) harus menjadi praktik standar.7

Menilai pertumbuhan linear bukanlah hal yang sulit, tetapi itu membutuhkan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip utama dan perhatian terhadap detail. Keakuratan dan keandalan pengukuran panjang dan tinggi sangat tergantung pada ketangguhan, presisi, pemeliharaan dan kalibrasi peralatan antropometrik; teknik pengukuran dan penetapan prosedur kualitas. Variabilitas dalam pengukuran panjang dan tinggi dapat dihasilkan dari berbagai pengaruh, termasuk pengaturan di mana pengukuran diambil, perilaku dan kerja sama anak, akurasi dan ketepatan instrumen, kemampuan teknis antropometri dan metode pencatatan data. Pelatihan yang sesuai dan

kepatuhan terhadap metode dan prosedur standar sangat penting untuk mengurangi kesalahan pengukuran dan meminimalkan bias.7

Gambar dibawah menunjukkan posisi yang benar dari kaki bayi dan tangan pekerja kesehatan untuk mengukur panjang telentang pada anak-anak di bawah 2 tahun. Mengukur panjang bayi muda sangat halus karena tekanan lembut pada lutut yang diperlukan untuk meluruskan kaki. Berbagai materi pelatihan tersedia untuk berbagai tingkat keahlian. Kursus Pelatihan WHO tentang Penilaian Pertumbuhan Anak (WHO 2008) mengajarkan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mengukur berat dan panjang / tinggi anak-anak dan untuk merencanakan dan menafsirkan pengukuran. Kesalahan dalam merencanakan pada grafik adalah umum, dan bahkan para profesional yang paling berpengalaman dapat secara tidak sengaja membuat mereka, namun perencanaan yang benar dan interpretasi pengukuran sangat penting untuk mengidentifikasi masalah pertumbuhan.7

6. Dampak stunting

Kelompok Studi Gizi Ibu dan Anak (Victora dkk. 2008) meninjau penelitian kohort dari lima negara berpenghasilan rendah dan menengah: Brasil, Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan. Penelitian ini melibatkan tindak lanjut jangka panjang pada anak-anak hingga remaja akhir dan dewasa. Kelompok studi menyimpulkan bahwa bayi dengan ukuran kecil saat lahir dan stunting pada masa kanak-kanak dikaitkan dengan perawakan pendek pada masa dewasa, akan menyebabkan kurangnya lemak pada

massa tubuh, sekolah kurang, berkurangnya fungsi

intelektual, mengurangi pendapatan dan menurunkan berat lahir bayi yang lahir dari wanita yang sendiri telah kerdil sebagai anak-anak. Bukti terbaru juga menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dari wanita yang kerdil memiliki risiko kematian yang lebih besar daripada anak-anak dari ibu dengan tinggi badan normal.8 Anak-anak yang stunted biasanya tumbuh menjadi orang dewasa kerdil , Ada kesempatan untuk memperbaiki defisit tinggi selama masa remaja karena anak-anak kerdil sering mengalami keterlambatan dalam pematangan tulang, memperpanjang periode total waktu untuk pertumbuhan tinggi badan. Namun, potensi untuk secara substansial mengurangi defisit tinggi selama masa remaja terbatas karena penundaan pematangan biasanya lebih pendek dari 2 tahun. Selain itu, remaja yang memasuki periode ini kerdil sering hidup di bawah kondisi gizi, sosioekonomi dan lingkungan yang sama merugikan yang memicu stunting ketika mereka masih anak-anak.8 Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting.9 1) Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh 2) Dalam jangka Panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognittif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker stroke dan disabilitas pada usia tua

Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas dan daya saing bangsa.9

7. Tatalaksana stunting 7.1 Diagnosis -

Anamnesis.3



riwayat kelahiran dan persalinan, meliputi juga berat dan Panjang lahir (untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan janin terhambat)



pola pertumbuhan keluarga (baik pertumbuhan linier maupun pubertas)



riwayat penyakit kronis dan obat obatan (misalnya steroid)



riwayat asupan nutrisi maupun penyakit nutrisi sebelumnya



riwayat tumbuh kembang



data antropometri yang ada sebelumnya



data antropometri kedua orang tua (untuk menentukan potensi tinggi genetic) Target height/mid parental height:3 Laki laki = (TB ayah +(TB IBU + 13)) x ½ Perempuan = (TB ibu + (TB ayah -13))x ½ Potensi tinggi genetic = target height ± 8,5 cm

7.2 Pemeriksaan penunjang.3 Kriteria awal untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut (khusus) pada anak dengan perawakan pendek a) Tinggi badan dibawah persentil 3 atau -2SD b) Kecepatan tumbuh dibawah persentil 25 Pemeriksaan radiologis3 

Umur tulang (bone age)



Bone survey, CT scan, MRI, USG kepala bayi (atas indikasi)

8.Rekomendasi pemberian makan.10 a. Air susu ibu

Data riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa hanya 15,3% bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif 6 bulan, bahkan pada bulan pertama hanya 39,8% bayi yang masih mendapatkan ASI eksklusif. ASI adalah makanan ideal untuk bayi sehingga pemberian ASI eksklusif berhasil adalah dengan inisiasi menyusui dini. Langkah kedua adalah posisi dan perlekatan yang benar, serta bayi mengisap secara efektif (mengisap kuat, perlahan , dalam, disertai jeda dibeberapa isapan). Langkah ketiga adalah menilai kecukupan ASI. Kecukupan ASI dipastikan dengan frekuensi buang air kecil 6-8 kali sehari, durasi menyusu 10-30 menit untuk satu payudara dan kenaikan berat badan yang adekuat. ASI memiliki komponen imunologis yang dapat melindungi bayi dari pathogen dilingkungan melalui mekanisme spesifik berupa antibody (igA, igG dan igM) dan non spesifik yang meliputi lactoferin, lisozim, efek anti viral, dan anti protozoa dari asam lemak bebas dan monogliserida.10 b. Makanan Pendamping ASI (MPASI) WHO Global strategy for feeding infant and young children pada tahun 2003 merekomendasikan agar pemberian MPASI memenuhi syarat, yaitu: 10 Tepat waktu (timely) artinya MPASI harus diberikan saat ASI eksklusif sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi 1. Adekuat, artinya MPASI memiliki kandungan energi, protein, dan mikronutrien bayi sesuai usianya. 2. Aman, artinya MPASI disiapkan dan disimpan dengan car acara yang higenis, diberikan menggunakan tangan dan peralatan makan yang bersih 3. Diberikan dengan cara yang benar (properly fed) artinya MPASI diberikan dengan memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang seorang anak. Frekuensi makan dan metode pemberian makan harus dapat mendorong anak untuk mengonsumsi makanan

secara aktif dalam jumlah yang cukup menggunakan tangan, sendok, atau makan sendiri (disesuaiakan dengan usia dan tahap perkembangan seorang anak).

9.Tindakan untuk mengurangi pengerdilan.11 Untuk mencapai target stunting global untuk 2025 Rekomendasi berdasarkan bukti berikut harus dilaksanakan dalam skala, untuk mencapai kemajuan pengurangan stunting sesuai dengan Target World Health Organization.11

1. Meningkatkan identifikasi, pengukuran dan pemahaman tentang pengerdilan dan peningkatan cakupan kegiatan pencegahan stunting. • Kembangkan target pengerdilan nasional yang sejalan akan berkontribusi pada pencapaian Global World Health Assembly. • Perkuat metode untuk menilai secara akuratbeban pengerdilan, agar dapat merencanakan secara efektif,merancang dan memonitor program pencegahan stunting • Memasukkan penilaian pertumbuhan linear ke dalam rutinitaslayanan kesehatan anak, untuk memberikan kritis, secara realtimeinformasi untuk pengaturan dan kemajuan targetpemantauan. • Mengintegrasikan nutrisi dalam strategi promosi kesehatandan memperkuat kapasitas layanan pengiriman

di

sekolah

dasarsistem

kesehatan

dan

perawatan

berbasis

masyarakat

untukpencegahan stunting dan malnutrisi akut,didukung oleh program perlindungan social. • Promosikan pandangan holistik malnutrisi melaluipemahaman bahwa pengerdilan, pemborosan dandefisiensi mikronutrien dapat terjadi di tempat yang samaanak, keluarga dan komunitas, dan pastikan layananuntuk kekurangan gizi diimplementasikan lebih lanjutmode kohesif. 2. Menetapkan kebijakan dan / atau memperkuat intervensiuntuk meningkatkan gizi dan kesehatan ibu,dimulai dengan gadis remaja.11 • Terapkan program

yang memberikan

mingguansuplementasi

zat

sertapencegahan dan pengobatan infeksi dansuplemen gizi selama kehamilan.

besi

dan folat,

• Mengesahkan kebijakan tenaga kerja, termasuk bersalinperlindungan, mendukung eksklusif dan berkelanjutanmenyusui. • Terapkan instrumen peraturan sepertiPemasaran Pengganti ASI 3. Implementasikan intervensi untuk peningkatan eksklusifmenyusui dan menyusui secara komplementerpraktik.11 • Lindungi dan promosikan ASI eksklusif dienam bulan pertama untuk menyediakan nutrisi “aman” danlindungi bayi dari infeksi gastrointestinal. • Promosikan konsumsi diet yang sehat dan terdiversifikasi,termasuk makanan kaya nutrisi berkualitas tinggidalammasa makan komplementer (6-23 bulan). • Tingkatkan asupan mikronutrien melalui makananfortifikasi, termasuk makanan pendamping, dan penggunaan suplemen kapan dan di mana diperlukan. • Memupuk praktik penyimpanan dan penanganan makanan yang aman, kehindari infeksi dari kontaminasi mikroba dan mikotoksin. 4. Perkuat intervensi berbasis masyarakat,termasuk peningkatan air, sanitasi dan kebersihan (WASH), untuk melindungi anak-anak dari diarepenyakit dan malaria, cacingan dan penyebab lingkungan infeksi subklinis. Adapun menurut literatur lain intervensi gizi terdiri dari intervensi gizi spesifik dan sensitive.9 1. Intervensi gizi spesifik : merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sector kesehatan. a) Intervensi dengan sasaran ibu hamil 

Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis



Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat



Mengatasi kekurangan iodium



Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil



Melindungi ibu hamil dari malaria

b) Intervensi dengan sasaran Ibu menyusui dan anak 0-6 bulan 

Mendorong inisiasi menyusui dini



Mendorong pemberian ASI eksklusif

c) Intervensi dengan sasaran Ibu menyusui dan anak 7-23 bulan 

Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI



Menyediakan obat cacing



Menyediakan suplementasi zink



Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan



Memberikan perlindungan terhadap malaria



Memberikan imunisasi lengkap



Melakukan pencegahan dan pengobatan diare

Diskusi stunting di Indonesia12 Analisis meneliti factor factor yang berhubungan dengan stunting pada anak 0-23 bulan dari tiga kabupaten di Indonesia. Prevalensi stunting pada populasi ini (28,4%) lebih rendah dari data survei nasional 2013 untuk Indonesia (23,9%) dan serupa di maluku utara (29,0%). Penelitian menemukan bahwa anak yang kerdil yang sumber asal air minumnya tidak diolah kemungkinan menjadi kerdil adalah 3X ditambah dengan jamban yang tidak nyaman.12 Hubungan antara WASH dan status gizi belum sepenuhnya diselidiki di Indonesia. Selain itu evaluasi di Jawa Timur menemukan pengurangan prevalensi kecacingan yang ditularkan melalui tanah dan hasilnya terjadi peningkatan tinggi badan, berat badan pada anak yang memiliki kakus yang cukup memadai tapi hanya untuk orang yang mampu membangun kakus. Hasil penelitian iniadalah membangun kakus sebagai hasil dari program.12

Kesimpulan Berbagai studi menyebutkan berbagai factor individu, rumah tangga, dan tingkat masyarakatyang terkait dengan pengerdilan, factor risiko utama termasuk anak laki laki, anak anak yang dianggap kecil saat lahir, anak anak dari keluarga yang kurang mampu (miskin) dan anak anak yang lahir ditumah dengan bantuan dari dukun, perlunya intervensi di tingkat individu. diperlukan untuk mrningkatkan kesehatan anak pada tingkat individu, penekanan harus diberikan pada ibu yang mendidik dan terutama ibu muda tentang kesehatan dan praktik pemberian makan anak termasuk sumber air minum yang aman untuk anak anak mereka.13Intervensi yang meningkatkan kualitas rumah tangga dan memperbaiki kondisi air dan sanitasi harus diimplementasikan untuk mengurangi stunting. Kegiatan program perencanaan keluarga yang mendukung ibu selama kehamilan dan menyusui dapat berdampak positif pada bayi baru lahirdan saudara kandung yang lebih tua.14 Dengan menggunakan tinggi menurut umur z score (HAZ) sebagai indicator status gizi anak dalam analisis factor penentu perubahan status gizi dari waktu ke waktu dan di seluruh daerah pedesaan dan perkotaan. Stunting didefinisikan sebagai HAZ kurang dari 2 SD standar refensi internasional NCHS / CDC/ WHO.15

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. 2015. Pendek (Stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya. Jakarta. Hal.1 2. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI. 2016. Situasi Balita Pendek. Jakarta. Hal.1. 3. IDAI. 2010. Pedoman pelayanan medisikatan dokter anak indonesia. Jilid 1. Jakarta. IDAI. Hal 243-8. 4. Kepmenkes. 2017. 100 kabupaten/kota prioritas yntuk intervensi anak kerdil (stunting). Kepmenkes. Hal 5. 5. Wellina W, KartasuryaM, Rahfilludin Z. 2013. Faktor Risiko Stunting pada anak umur 1214 bulan: vol 5 no. 1, Des 2016: hal 55-61. 6. Prendergast A, Humphrey J. The stunting syndrome in developing countries. London. Centre of paediatrics, Blizard institute, Queen Mary University of London. Diunduh 18-9-2018 www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4232245/ 7. Onis M, Branfa F. 2016. Childhood stunting: a global perspective. WHO. Diunduh 18-92018 www.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5084763/ 8. Kathryn D, Begum K. 2011. Long-term consequences of stunting in early life. Di unduh 189-2018 www.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1740-8709.201100349.x

9. Kementrian desa, pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi. 2017. Buku saku desa dalam penanganan stunting. Hal 8. 10. IDAI. Rekomendasi praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi dan batita di Indonesia untuk mecegah malnutrisi.2015.hal 8-16 11. WHO. WHA Global Nutrition targets 2025: Stunting policy brief. Di unduh 20-9-2018 www.who.int/nutrition/topics/globaltargets_stunting_policybrief.pdf 12. Aidan A, sebayang S, Nandy R. Determinants of stunting in Indonesian children: evidence from cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector

in

stunting

reduction.

Di

unduh

20-9-2018.

www.bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-016-3339-8 13. Chirande L, Charwe D, Agho K. Determinants of stunting and sever stunting among underfives in Tanzania. Di unduh 20-9-2018 www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4618754/ 14. Altare C, Darge T, Mutebei G. factors associated with stunting among pre-school children in Southern

Tanzania.

Di

unduh

20-9-2018

www.academic.oup.com/tropej/article/62/5/390/2414101 15. Zanello G, Srinivasan S, Shankar B. What explains Cambodia success in reducing child stunting

2000-2014.

Di

unduh

https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.371/journal.pone.0162668

20-9-2018

Related Documents


More Documents from "arumtrividiati"