Allah Dan Masa Depan

  • Uploaded by: Duta April
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Allah Dan Masa Depan as PDF for free.

More details

  • Words: 3,130
  • Pages: 47
Loading documents preview...
Allah dan Masa Depan

A. Krisis dan Pengharapan Iman Israel kepada Allah memungkinkan mereka untuk berpegang pada keyakinan bahwa suatu saat bangsa itu akan dipulihkan kepada keagungan yang semula dan akan mengambil bagian dalam kemuliaan Kerajaan Allah. Namun demikian, bertambahnya dosa dan keengganan untuk mendengar panggilan Allah untuk kembali kepadaNya membawa kepada kesimpulan, diantara para nabi pra-pembuangan, bahwa pengharapan hanya terletak pada sisi jauh dari penghakiman. Mereka yang mengalami pembuangan dan mencoba untuk memahaminya menyadari bahwa itu adalah penghakiman Allah atas dosa, namun sekaligus juga membuka jalan kepada pembaharuan berkat-berkat di masa depan.

B. Penghakiman Ilahi. B.1. Sejarah Deuteronomistik Allah memilih umat Israel sebagai sebuah tindakan dari anugerah yang berdaulat, namun untuk menikmati berkat Allah dan tinggal di tanah yang telah Ia berikan, mereka harus menaati Dia: jika mereka tidak taat, berkat ilahi akan berhenti. Dua jalan ini diperhadapkan di depan bangsa itu dalam kitab Ulangan (mis. Ul. 30:15-18), dan prinsip ini menyediakan sebuah dasar teologis bagi penafsiran sejarah Israel dan Yehuda.

Diperhadapkan dengan kejatuhan Yerusalem dan pembuangan bangsa itu, para panulis kitab Yosua, Hakim-hakim dan Samuel berusaha untuk menerangkan bagaimana musibah semacam itu dapat terjadi; bagaimana Allah, yang telah memilih dan memanggil umat-Nya, kelihatannya dapat berbalik menentang mereka. Jawabannya dapat ditemukan dalam ketidataatan yang terus menerus dari umat itu. Allah bukannya tidak setia; justru, setelah bertahun-tahun berkutat dengan dosa-dosa umat itu, ia menggenapi firman-Nya.

Sejarah Deuteronomistik disebut demikian karena si penulis nampaknya menafsirkan peristiwa-peristiwa yang membawa kepada kekalahan dan pembuangan bangsa Israel pada 722-721 SM dan Yehuda pada tahun 587 SM dalam terang dari prinsip yang diperkenalkan dalam Ulangan: ketaatan membawa kepada berkat dan kemakmuran, ketidaktaatan mengakibatkan kekalahan dan pembuangan dari negeri itu pada akhirnya.

Jadi, dalam Yosua dan Hakim-hakim, kemenangan dan penguasaan atas negeri itu bergantung pada ketaatan; dalam kitab Rajaraja, para penguasa tidak dihakimi dari pencapaian-pencapaian mereka namun oleh bagaimana Allah memandang tindakan-tindakan mereka (mis. 2 Raj. 13:1-3), dan kekalahan kerajaan utara oleh Asyur diterangkan sebagai akibat dari kegagalan Israel untuk mendengarkan peringatan-peringatan Allah dan menaati hukum-hukum-Nya (2 Raj. 17:7-20).

Von Rad membuat komentar “Firman Allah ialah kunci kepada sejarah keselamatan. Allah telah memberikan perintah-perintah-Nya, dan Ia telah mengancamkan penghakiman yang keras sebagai konsekuensi dari ketidaktaatan. Penghakimanpenghakiman itu telah terjadi.”

Kita telah melihat bahwa janji akan ‘keamanan’ (Ul. 12:10) digenapi dalam masa Daud (II Sam. 7). Salomo juga mengacu kepada keamanan yang Allah telah berikan kepadanya dan bangsa itu, dan mengaitkannya dengan ketiadaan ‘musuh’ (I Raj. 5:4). Menyusul penyembahan berhala Salomo, kita diberitahu bahwa Allah membangkitkan seorang musuh, bahkan dua, yaitu Hadad dan Rezon, yang terus menerus menyusahkan Salomo (I Raj. 11:11-25). Disini kita melihat sebuah prinsip yang serupa: kedamaian yang dijanjikan dalam kitab Ulangan bergantung pada ketaatan yang setia, sementara dosa menyebabkan kedamaian itu terganggu.

Dalam pandangan Noth Sejarah Deuteronomistik adalah negatif: ia menerangkan tentang kekalahan dan pembuangan dari bangsa itu . Von Rad, bagaimanapun, mencatat bahwa disamping prinsip berkat dan kutuk ini ada kesabaran Allah. Ini juga memainkan peranan penting dalam penafsiran sejarah keselamatan, dan diterangkan atas dasar janji Allah kepada Daud. Ketika dosadosa umat itu layak mendapatkan penghukuman yang jauh lebih awal dan lebih lengkap, Allah menahan diri (mis. I Raj. ..:13; 2 Raj. 8: 18-19).

Dan, bahkan setelah kejatuhan Yerusalem dan penawanan raja-raja terakhirnya, Yoyakhin dan Zedekia, catatan tambahan dalam 2 Raja-raja 25:27-30 memberikan secercah harapan. Setelah tigapuluh tahun, Yoyakhin dibebaskan dari penjara dan diberi tempat mulia di meja raja Babel. Keputusan si penulis untuk mengakhirinya disini, dan bukannya pada catatan penghakiman, menunjuk kepada kepercayaan bahwa penghakiman Allah atas umat-Nya dan pada monarki bukanlah perkataan akhir-Nya.

C. Nabi-nabi

Penghakiman yang menjelang sebagai akibat dari kemurtadan juga merupakan tema kunci dari nabi-nabi pra-pembuangan. Amos mengutuk dosa sosial dari kerajaan utara, khususnya penindasan atas yang miskin dan pemutarbalikkan keadilan (mis. 2:68; 5:1012; 6:4), dan menghubungkan ini dengan bencana yang akan datang (5:2; 6:7; 8:2).

Hosea berbicara menentang dosa-dosa agamawi umat itu, termasuk penyembahan berhala, upacara yang hampa dan kegagalan untuk menunjukkan kepada Yahweh kesetiaan yang dituntut oleh hubungan perjanjian mereka (mis. 4:11-14, 1719; 6:4, 6-10). Dan sekali lagi, konsekuensinya adalah penghukuman (psl. 7-10). Pesan yang sama tentang penghakiman, kali ini bagi kerajaan Selatan, hadir dalam pengajaran Yesaya (mis. 3:15; 5:5-6; 28:14-18; 29:1-4), Yeremia (mis. 4; 6; 14:1-6; 22) dan Yehezkiel (mis. 4-7; 21).

Amos juga menentang rasa aman yang palsu. Orang Israel meyakini pemilihan Allah atas mereka menjamin masa depan mereka, sehingga oleh karenanya mereka tidak perlu untuk bertobat. Dalam nubuatannya Amos pertama-tama menyerang dosa-dosa dari musuh-musuh tradisional Israel: Siria, Filistea, Tirus, Edom, Amon, Moab dan Yehuda. Kemudian, setelah mendapatkan perhatian para hadirin, ia berpaling kepada Israel. Dalam pandangan Allah, Israel sama seperti mereka semua: sebuah kerajaan yang berdosa (9:8), layak untuk menerima hukuman. Dan, secara signifikan, adalah pemilihan Israel, hal dimana umat itu membangun rasa amannya, yang merupakan basis dari dakwaan Allah.

“.....” (Am. 3:2; bdk. 2:9-11)

Rasa aman Israel yang palsu terlihat juga dalam pengharapan yang dikaitkan dengan Hari Tuhan. Umat itu mengharapkan suatu hari yang berkemenangan dan pemulihan, namun Amos dan Yoel secara khusus memperingatkan umat itu bahwa hari itu justru akan menjadi sebuah hari kekalahan dan penghakiman (Yl. 1:15; 2:1-2; Am. 5:18, 20).

Meskipun para nabi pra-pembuangan (sebelum Yeremia) tidak sering mengacu kepada perjanjian Sinai, gagasan bahwa umat itu memiliki iman yang patah dengan Allah dan tidak berbuat sesuai dengan kewajiban-kewajiban dari hubungan khusus mereka dengan Dia adalah sebuah tema sentral. Di padang gurun, ketika Allah membawa keluar Israel dari Mesir, Ia mengambilnya sebagai pengantin perempuan-Nya (ms. Yer. 2:2; Yeh. 16:8; Hos. 2:14-16); dengan menyembah ilah-ilah lain, umat itu telah melakukan perzinahan (mis. Yer. 2:32; 3:1; Yeh. 16:15-43; 23; Hos. 1:2; 2:2-13; 8:9-10).

Israel berada dalam pelanggaran perjanjiannya, dan beberapa nas menggambarkan Allah membawa tuntutan hukum melawan bangsa itu (lihat mis. Yer. 24-13; Hos. 4:1-3; Mi. 6:1-5; bdk. Yes. 1:2-3; 3:13-15). Bagi Yeremia, perjanjian Sinai adalah penting bagi pesannya. Ia mengaskan kembali pesan Ulangan, bahwa janji Allah akan berkat dalam tanah itu bersifat bersyarat pada ketaatan, dan bahwa ketidaktaatan akan membawa kutukan Allah (mis. Yer. 11:3-8). Gambar yang dilukis oleh para nabi adalah lantas sebuah bangsa yang telah gagal dan sebuah perjanjian yang telah dilanggar. Itu, bagaimanapun juga, hanyalah sebagian dari pandangan secara keseluruhan.

C.1. Penghakiman dan Pengharapan Disamping pesan penghakiman ini, tulisan-tulisan nubuat juga mengandung sebuah pesan pengharapan bagi masa depan (mis. Yes. 2:2-4; 11:1-9; 14:1-2; 32:1-8; Yer. 31; 33; Yeh. 20:39-44; 37-48; Hos. 11:8-11; 14:4-7; Am. 9:11-15). Beberapa sarjana berpendapat bahwa kemunculan pengharapan yang sebenarnya muncul hanya selama pembuangan di Babel, dan kata-kata pengharapan dari nabi-nabi pra-pembuangan adalah suntingan; bagaimanapun juga, ada dasar-dasar yang baik untuk menerima pesan pengharapan sebagai bagian dari nubuatnubuat yang asli. Para nabi memberikan sebuah penjelasan mengenai kekalahan dan pengasingan dari bangsa itu.

Disepanjang sejarah Israel, meski dengan panggilan yang berulang untuk bertobat, bangsa itu telah tidak setia. Pengasingan adalah sebuah titik balik. Itu adalah penghakiman Allah atas dosa, namun para nabi melihatnya juga sebagai sebuah sarana untuk Allah membawa permulaan yang baru bagi umat-Nya. Apa yang nampak sebagai bencana nasional adalah, sebenarnya, merupakan persyaratan teologis. Bangsa itu harus mati terlebih dahulu sebelum ia dapat dilahirkan kembali; pembaharuan hanya dapat terjadi jika semua keinginan dan pengharapan palsu telah disapu habis. Tema dari kitab-kitab nabi-nabi adalah kelahiran kembali sekembalinya dari pembuangan, pendudukan kembali negeri itu dan pemulihan status Israel sebagai suatu bangsa.

Sebagaimana yang dicatat oleh Clemens: Israel akan dihakimi dan perjanjian akan diakhiri. Namun di balik penghakiman ini mereka juga menunjuk kepada sebuah awal yang baru ketika Israel akan dilahirkan kembali, dan akan menjadi sekali lagi umat perjanjian. Tradisi pemilihan yang lama digunakan oleh para nabi untuk menggambarkan pemilihan-kembali Israel, dan perjanjian baru yang akan Yahweh buat dengan mereka. Janji-janji perjanjian kuno kini diharapkan untuk menemui penggenapan mereka ketika penghakiman telah berlalu, dan permulaan yang baru dibuat.

C.2. Kaum Sisa Dalam PL, kata-kata dari akar kata bahasa Ibrani ‫שאר‬ seringkali berhubungan dengan mereka yang bertahan dari suatu krisis tertentu. Pada masa Ahab dan Izebel bangsa itu secara keseluruhan memeluk penyembahan Baal; namun demikian (dan sangat mengejutkan Elia) Allah memelihara sekumpulan sisa dari mereka yang tetap setia kepada-Nya (I Raj. 19:18). Setelah kemusnahan Kerajaan utara , bangsa Yehuda mungkin merasa bahwa mereka adalah kaum sisa, terutama ketika mereka membandingkan apa yang tinggal dari bangsa itu dengan kerajaan Daud yang luas.

Menyusul serbuan Asyur atas Yehuda, yang berakibat pada kemusnahan akan sebagian besar kota-kotanya, mereka yang diam di Yerusalem melihat diri mereka sebagai kaum sisa (2 Raj. 19:4; bdk. Ay. 30-31). Nantinya, orang Yahudi yang tetap tinggal di Yehuda setelah pembuangan, dan yang diikuti oleh yang lain di wilayah-wilayah sekitar, diacu sebagai ‘kaum sisa’ (mis. Yer. 40:11; Yeh. 9:8). Dalam konteks teologis, Kaum sisa mengacu kepada bagian yang relatif kecil dari penduduk yang, menyusul pembuangan (yang dilihat sebagai penghakiman ilahi atas kemurtadan bangsa itu), akan berpaling kembali kepada Allah dan menerima berkat-berkat penyelamatan-Nya.

Seperti yang telah kita perhatikan, para nabi melihat penghakiman dan pembuangan sebagai bagian dari tujuan Allah bagi umat-Nya. Penghakiman, meskipun mengenaskan dan layak sepenuhnya, tidak akan mengakibatkan kehancur -an total. Justru, sebagaimana diamati oleh Bright, ia, ‘akan menjalankan fungsi paedagogis; ia akan berfungsi sebagai sebuah pembersihan yang dirancang untuk mendisiplinkan dan memurnikan bangsa itu dan membawa keluar kaum sisa yang disucikan.’

Sebagai sebuah contoh, Bright menunjuk kepada Yesaya 1:21-26. Nas ini meratapi kebusukan spiritual dan moral dari Yerusalem dan mengancamkan penghukuman, namun ia adalah sebuah penghukuman yang bertujuan untuk menyingkirkan hal-hal yang harus dibuang dan dengan demikian mempersiapkan jalan bagi pemulihan. Bangsa itu secara keseluruhan telah gagal; meskipun demikian beberapa orang yang setia akan muncul dari dalam api penghakiman untuk mengalami berkat-berkat dari keselamatan Allah. Nampaknya bahwa nabi-nabi yang melayani sebelum dan selama pembuangan menghubungkan kaum sisa ini dengan mereka yang akan kembali dari Babel (mis. Yes. ..., 16; 28:5; Yer. 23:3; 31:7; 50:20; Mi. 2:12, 14; 2:2; Za. 8:6, 12-13).

Namun demikian, kembalinya mereka itu tidak segemilang yang diharapkan oleh orang-orang. Ia tidak menghasilkan pendirian Kerajaan Allah, dan, dari cara dosadosa lama muncul kembali dengan cepat, sangatlah jelas bahwa krisis dari pembuangan tidaklah menghasilkan pengharapan akan pembaruan batin. Sebagai hasilnya, gagasan mengenai suatu kaum sisa yang setia menjadi dikaitkan dengan masa depan yang jauh.

Nabi Yesaya memperkenalkan unsur penting lain kepada gagasan itu. Nama (simbolik) dari putra Yesaya yaitu Syear-Yasyub berarti ‘kaum sisa akan kembali’ (Yes. 7:3). Dalam terang dari krisis yang menghadap bangsa itu, ini dapat diterjemah -kan sebagai sebuah peringatan ‘hanya sekelompok sisa yang akan kembali’; atau sebagai sebuah janji bahwa kebinasaan yang akan datang tidak akan total: ‘sekelompok sisa akan kembali’. Penafsiran ganda yang sama diberikan dalam Yesaya 10:20-23, yang menunjuk kepada pemusnahan dari bangsa itu, namun menjanjikan sekelompok sisa.

Bagi Yesaya, pemisahan ini dikaitkan dengan iman kepada Allah (10:20; bdk. 7:9). Lantas, sebagaimana menawarkan pengharapan, gagasan kaum sisa juga menyerukan iman, dan dengan demikian menghadapkan bangsa itu dengan sebuah pilihan. Tidak semuanya akan memasuki berkat masa yang akan datang, namun hanya mereka yang berpaling kepada Allah dan menaruh percaya kepadaNya.

D. Perjanjian Sinai dan Perjanjian Daud Kita telah memperhatikan ketegangan antara perjanjian Sinai dan perjanjian Daud. Dengan melanggar perjanjian Sinai, umat mungkin telah menduga bahwa hubungan mereka dengan Allah dan berkat-berkat yang dihubungkan dengan hubungan itu akan berakhir. Perjanjian (takbersyarat) Daud memberikan sebuah basis teologis bagi keberlanjutan Israel sebagai umat Allah dan bagi pengharapan di masa yang akan datang.

Bright mencatat kepentingan kedua perjanjian tersebut bagi iman Israel: ‘yang satu menekankan pemilihan Allah atas Israel, tujuan-Nya dan janji-Nya yang pasti baginya, yang tidak dapat dibatalkan oleh apapun; yang lain menekankan ketetapan-ketetapan yang benar..yang wajib mereka taati jika ikatan perjanjian ingin dipertahankan.’

Ada, meskipun demikian, kebutuhan untuk mempertahankan sebuah keseimbangan yang baik diantara kedua penekanan ini, dan pada masa Yeremia keseimbangan itu telah diganggu. Karena janji-janji Allah yang takbersyarat kepada Daud dan terutama pemilihan-Nya atas Sion, umat di Yerusalem percaya bahwa masa depan yang aman telah dijamin. Allah hadir dalam kota itu, dan akan melindunginya serta penduduknya.

Yeremia, berakar dalam teologi perjanjian Sinai, memiliki sebuah pesan yang berbeda. Umat itu telah melanggar perjanjian itu dan harus bertobat sebelum terlambat. Nantinya dalam pelayanannya, ketika jelas bahwa tidak akan ada pertobatan, khotbah Yeremia menjadi sebuah peringatan keras mengenai kehancuran yang segera datang. Bahkan setelah pengangkutan dari banyak penduduk Yerusalem, keyakinan populer akan perlindungan Allah bagi Sion masih tetap ada.

Yesaya telah memperingatkan tentang suatu penghakim -an yang akan menghasilkan suatu kaum sisa yang murni dan disucikan (Yes. 1:21-26). Mereka yang tertinggal di kota itu setelah kejatuhan Yerusalem pada 587 SM melihat diri mereka sendiri sebagai kaum sisa itu (mis. Yeh. 11:15; 33:24), dan sekarang menanti-nantikan pemulihan yang dijanjikan. Yeremia menolak pandangan tersebut: kota itu akan ditinggalkan dan penduduknya akan dibawa kedalam pembuangan. Namun ia juga memercayai janji-janji Allah. Penghakiman yang akan datang merupakan bagian dari tujuan Allah bagi umat-Nya dan Ia tidak akan menyela untuk mencegahnya, tidak pula akan membuang umat-Nya. Pengharapan akan masa depan ini diungkapkan dalam janji Perjanjian Baru (Yer. 31).

Bright mengomentari: Allah, yang telah menghukum umat-Nya melalui syarat-syarat dari perjanjian-Nya, akan datang kepada mereka lagi di padang gurun pembuangan dan akan membuat dengan mereka perjanjian yang baru dan yang kekal. Celah yang mengerikan antara tuntutantuntutan perjanjian yang olehnya umat itu dihakimi, dan janji-janji Allah yang pasti yang iman tidak dapat menyerah, dijembatani dari sisi anugerah ilahi.

D.1. Perjanjian yang Baru D.1.a. Keberlanjutan dengan Perjanjian (lama) Sinai. Perjanjian baru adalah penggenapan dari perjanjian Sinai yang lama. Yeremia 31 mengandung banyak kiasan pada keluaran, mengindikasikan bahwa kembali dari pembuangan dilihat sebagai sebuah pengalaman padang gurun yang kedua. Acuan-acuan kepada pengembaraan di padang gurun (Yer. 31:2, 9) dan pembebasan dari tawanan (Yer. 31: 11, 16), dan penyebutan Allah terhadap Israel sebagai anak sulung-Ku (Yer. 31:9), sebuah ungkapan yang hanya ditemukan dalam Keluaran 4:22, semua mengingat -kan pada keluputan dari Mesir.

Di masa lalu, Allah dengan penuh rahmat melepaskan umat-Nya dari Mesir dan, melalui perjanjian, mengambil mereka sebagai umatNya sendiri. Sekarang, dalam situasi yang sejajar, ia sekali lagi menjanjikan kelepasan, pemulihan dan sebuah hubungan yang baru berdasarkan atas perjanjian baru yang kekal.

Acuan kepada hubungan suami-istri antara Allah dan Israel (Yer. 31:32), sebagaimana yang telah kita lihat, juga menunjuk kembali kepada Sinai dan kepada periode ‘bulan madu’ di padang belantara (mis. Yer. 2:2). Hosea juga, menarik dari pengalaman rumah tangganya yang tidak bahagia, menyamakan perjanjian di Sinai dengan ikatan pernikahan antara Allah dan Israel, yang telah dilanggar oleh Israel (Hos. 2: 2-13). Namun demikian, meskipun kemurtadan membawa penghakiman ilahi, tujuan Allah tidaklah untuk menolak istrinya namun membawa rekonsiliasi. Oleh karena itu Dia akan membawa Israel kembali ke padang belantara (Hos. 2:14-15), kemana hubungan itu dimulai.

Dan di tempat permulaan baru itu Dia akan membuat perjanjian yang secara nyata berbeda dari perjanjian di Sinai dan akan berujung pada sebuah ‘pernikahan’ yang akan bertahan selamanya (Hos. 2:16-23; bdk. Yeh. 16:60-63; 37:26-28). Lembah Akhor (kesukaran), yang terletak pada pintu masuk ke Tanah Perjanjian dan yang telah menjadi tempat kegagalan dan penghakiman (Yos. 7:26), akan dinamai kembali pintu pengharapan (Hos. 2:15), menunjukkan kesiapan Allah untuk mengampuni dan kerinduan -Nya untuk memulihkan berkatberkat dari hubungan semula umat itu dengan Dia.

D.1.b. Apa yang Membuat Janji Yeremia Baru? Satu perbedaan penting adalah ketika tuntutan-tuntutan eksternal hukum taurat mencirikan perjanjian Sinai, oerjanjian yang baru dicirikan oleh hukum internal, ditanam dalam pikiran dan dituliskan pada hati umat itu, dan membawa dengannya pembaruan batin yang perlu yang akan membuat ketaatan itu menjadi mungkin. Orientasi batiniah dari hukum telah diantisipasi oleh perjanjian yang lama (Ul. 6:6), ketetapan-ketetapan ini .....(bdk. 10:16; 30:6); namun karena hati umat itu keras dan tidak mau menerima (mis. Mzm. 95:8; Za. 7:12; bdk. Im. 26:41; Yer. 9:26), hal itu tidak terjadi.

Sebagai pembanding, transformasi batiniah yang menyertai perjanjian yang baru akan berujung pada sebuah kodrat yang baru dan hati yang baru yang mampu untuk menerima petunjuk Allah dalam cara yang sebelumnya mustahil (Yer. 4:4; 24:7). Perubahan hati ini akan membawa pada realisasi dari ideal perjanjian yang merupakan hakikat dari hubungan-hubungan yang ditetapkan dengan Abraham dan di Sinai: “...” (Yer. 31:33b; bdk. Kej. 17:8; Kel. 6:7; Ul. 29:13)

Dalam Yeremia 32:38-41 perubahan hati ini sekali lagi dihubungkan dengan sebuah hubungan perjanjian baru, sebuah perjanjian yang, karena Allah telah lakukan segala hal yang perlu untuk memastikan keberlanjutannya, dapat digambarkan sebagai kekal (lihat juga Yes.55:3; 61:8; Yer. 50:5; Yeh. 16:60; 37:26). Bright mencatat bahwa ‘karena ketentuan-ketentuan diukirkan pada pikiran dan kehendak mereka, umat itu dimampukan untuk selaras dengan ketentuan-ketentuan itu, dan secara sungguh-sungguh menjadi umat Allah’.

Von Rad membuat komentar yang serupa: ‘apa yang diuraikan secara singkat disini adalah gambaran dari seorang yang baru, seorang yang sanggup untuk mentaati secara sempurna karena adanya perubahan yang ajaib pada kodratnya. Kodrat yang baru dan batiniah ini memampukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan Allah dapat dilihat juga dalam janji tentang hati dan roh yang baru dalam Yehezkiel 36:26-27.

Ini menunjuk kepada sarana-sarana yang olehnya Allah akan membawa pembaruan batin atas umat-Nya, dan dengan demikian akan memotivasi dan memampukan mereka untuk hidup sesuai dengan ketetapan dan hukum-Nya: didiami oleh Roh (lihat juga Yeh. 37:14; 39:29; bdk. Yes. 59:21). Disini, sekali lagi, kita melihat bahwa tujuan Allah dalam pembaruan adalah untuk memenuhi ideal perjanjian: kamu aka menjadi umat-Ku, dan Aku akan menjadi Allahmu (Yeh. 36:28).

Sifat khusus perjanjian baru yang lain adalah bahwa hubungan yang baru dengan Allah ini tidak memerlukan perantaraan manusia: “...” (Yer. 31:34b). Hubungan perjanjian lama dengan Allah diperantarai, secara unik, oleh Musa (mis. Kel. 20:19; 24: 3-4; Bil.12:6-8; Ul. 5:4), namun juga oleh imam-imam (mis. Im. 9:7; 2 Raj. 11:17; bdk. Ibr. 5:1), nabi-nabi (mis. I Sam. 12:6-25) dan raja (mis. 2 Raj. 23:3). Dibawah perjanjian yang baru, setiap orang akan memiliki akses langsung kepada Allah, dan dapat menikmati hubungan yang pribadi dan intim dengan Dia. Ini berkenaan dengan karunia Roh yang telah dicurahkan hanya atas individu-individu tertentu yang, dalam era keselamatan, akan dicurahkan atas semua manusia (Yl. 2:28-29).

Pengenalan pribadi akan Allah dikaitkan kepada ketetapan selanjutnya “...” (Yer. 31:34c). Dosa yang telah terbukti begitu merusak hubung -an antara Allah dan umat-Nya akan dihadapi dengan suatu cara sedemikian rupa sehingga ia dapat dihapus, dan tidak lagi menciptakan penghalang antara Allah dan umat manusia. Ini tidaklah baru dalam dirinya. Sebagaimana yang telah kita lihat, ada ketentuan yang rinci (meskipun terbatas) bagi pengampunan dosa dibawah perjanjian lama dalam upacara keagamaan.

Dan bahkan terpisah dari sistem korban umat Allah tahu bahwa mereka dapat bersandar kepada belas kasihan dan kasih setia-Nya untuk mengampuni dan memulihkan hubungan yang dirusakkan oleh dosa (mis. Mzm. 51:12; 103:12; 130:3-4; Yes. 43:25).

Kata-kata Yeremia akan pertama-tama dipahami melawan latar belakang dari kesediaan Allah yang terus-menerus untuk mengampuni ini. Jadi ini bukanlah, pada awalnya, menawarkan sebuah sarana yang baru dan lebih efektif dalam memastikan pengampunan ilahi; ia lebih merupakan janji tentang awal yang baru. Allah dan setia dan berbelas kasihan akan mengampuni kegagalan dan pemberontakan di masa lalu;

Ia akan melupakan bagaimana mereka berulangkali melanggar janji perjanjian mereka dan mengabaikan panggilan-Nya yang terus-menerus kepada mereka untuk kembali pada-Nya; tidak peduli apa yang telah terjadi sebelumnya, Allah akan datang kepada umatNya lagi, untuk membaharui dan dengan demikian akan membawa sebuah hubungan yang dipulihkan dengan mereka (lihat juga mis. Yes. 44:22; Yer. 33:8; 50:20; Mi. 7:18).

Related Documents


More Documents from "Duta shinta"