Allah Dan Para Ilah.docx

  • Uploaded by: Duta shinta
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Allah Dan Para Ilah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,334
  • Pages: 20
Loading documents preview...
Teologi Perjanjian Lama (suatu pendekatan tematik) Allah dan ‘para ilah’ Nama-nama Allah Ada apa di balik sebuah nama? Di dalam dunia Timur Dekat Kuno sebuah nama membangun identitas dan menceritakan sesuatu tentang karakter seseorang. Memilih sebuah nama adalah hal yang penting. Sehingga, sebagai contoh, Hawa dinamai sesuai dengan peranan yang akan digenapinya sebagai ibu dari segala yang hidup (Kej. 3:20); Lamekh menamakan putranya Nuh, yang bunyinya mirip dengan kata Ibrani untuk ‘penghiburan’, dan berkata, ia akan menghibur kita dari ....(Kej. 5:29). Malaikat yang mengabarkan kelahiran Yesus berkata kepada Yusuf, Engkau harus menamainya Yesus [bentuk Yunani dari Yosua, yang berarti TUHAN menyelamatkan] karena Ia akan menyelamatkan... (Mat. 1:21). Nama Allah juga menyingkapkan sesuatu tentang sifat dan karakter-Nya. Dalam agama kafir, mengetahui nama ilah akan memberikan akses kepada kekuatannya dan dapat digunakan secara magis untuk memanipulasi ilah tersebut. Allah melarang nama-Nya disalah gunakan dengan cara demikian:...... (Kel. 20:7). Ia telah menyingkapkan nama-Nya bukan supaya Ia dapat dimanipulasi namun supaya pria dan wanita boleh mengenal Dia dan memiliki hubungan dengan Dia. Beragam istilah digunakan dalam PL untuk mengacu kepada Allah. Elohim Istilah Ibrani “Elohim” dapat berarti ‘Allah’ atau ‘ilah-ilah’. Kata ini sering mengacu kepada Allah (Kej 1:1; Kel. 3:6; Ul. 4:35; Yes. 40:28); kadang-kadan mengacu kepada ilah-ilah bangsa lain (Kel. 12:12; 20:3; Yos. 24:15; Mzm. 96:5; Yer. 2:28; 11:13). “elohim” adalah bentuk jamak. Satu penjelasan dari penggunaan bentuk plural adalah bahwa ia menekankan keagungan atau kehebatan. Clements menawarkan penjelasan lain. Ia menyarankan bahwa orang Israel menyembah Allah pada tempat kudus yang lebih tua dimana kumpulan dewa-dewi telah disembah sebelumnya, dan untuk menekankan bahwa Allah mereka yang satu menggantikan semua elohim yang sebelumnya disembah di tempat kudus tersebut, dan untuk memastikan bahwa tidak satupun dari dewa-dewi lain itu disembah disamping Yahweh, Ia diberikan kedudukan tersebut; penggunaan istilah tersebut kemudian menunjuk Yahweh sebagai satu-satunya Allah yang superior bagi, dan menggantikan yang lain. El ‘El adalah istilah yang umum bagi ‘allah’. Kata ini kadangkala merujuk kepada Allah Israel (meskipun hanya dipakai selama 199 kali, sementara elohim digunakan lebih dari 2000 kali), khususnya dalam kitab Ayub dan Mazmur. Ia seringkali digabungkan dengan ungkapan-ungkapan yang lain, terutama dalam kisah bapa-bapa leluhur; sebagai contoh El Shaddai (Kej. 17:1; Kel. 6:3) secara tradisional diterjemahkan sebagai ‘Allah Mahakuasa’, dan El Elyon ‘Allah Mahatinggi’; yaitu Kej. 14:18-20). Istilah tersebut juga menggambarkan dewa-dewa yang tidak berdaya, yang dikontraskan dengan Allah yang benar (Yes. 44:6-23; 45:7).

El juga adalah nama diri dari dewa Kanaan yang utama, yang muncul dalam ungkapan-ungkapan campuran yang serupa dengan yang ditemukan dalam kisah-kisah bapa leluhur. Ini telah membawa kepada spekulasi tentang hubungan antara Allah yang disembah oleh para bapa leluhur dan ilah-ilah Kanaan. Yahweh Ini adalah nama diri Allah yang disingkapkan kepada Musa (Kel. 3:14-15; 6:3) dan muncul lebih dari 6000 kali dalam PL. Nama tersebut terdiri dari empat konsonan: Yhwh (Tetragrammaton). Dari sebuah penanggalan awal, ia dianggap sebagai terlalu suci untuk diucapkan dengan keras, dan dalam pembacaan umum PL dibaca sebagai adonay (tuhanku); ini tercermin dalam mayoritas terjemahan Inggris (juga Indonesia), dimana nama Allah disebut dengan ‘TUHAN’. Bentuk mustahil ‘Yehova’ berasal dari huruf-huruf vokal ‘adonay’ yang ditempatkan pada bentuk konsonan ‘yhwh’. Pembacaan yang umum diterima ialah ‘Yahweh’, meskipun pengucapan yang sebenarnya tidak diketahui lagi. Apa yang disiratkan oleh nama itu? Meskipun beragam akar yang lain dari nama Yahweh telah diajukan, yang paling umum diterima ialah yang disarankan oleh PL, dimana ia dikaitkan dengan kata kerja ‘menjadi’: Allah berkata kepada Musa, “AKU ADALAH AKU [ehyeh asyer ehyeh]. Ini yang harus engkau katakan kepada orang Israel: AKU [ehyeh] telah mengutus.... “Allah juga berkata kepada Musa, katakan (Kel. 3:14) kepada orang Israel, “TUHAN (yehwah)...telah mengutus... ini tidak hanya menekankan eksistensi Allah namun juga kehadiran-Nya diantara umat-Nya dan aktivitas bagi mereka”. Aspek penting yang lain dari perjumpaan Allah dengan Musa dan pewahyuan dari nama Allah adalah bahwa ia ditampilkan sebagai menandai sebuah masa yang baru dalam hubungan antara Allah dan umat-Nya. Lebih dari sebuah pewahyuan baru yang mendasar, Goldingay mengambil penjelasan dari nama Allah (yang ia terjemahkan ‘Aku akan menjadi yang aku akan menjadi’) sebagai sebuah jaminan bahwa Yang telah bersama dengan para Bapa leluhur akan berada bersama dengan umat-Nya dalam situasi yang mereka hadapi; itu menekankan bahwa Allah ‘selalu dapat menjadi sesuatu yang baru ketika situasi yang baru membutuhkannya. ‘ ini menekankan keberlanjutan dengan iman dari para bapa leluhur, dan bahwa komitmen Allah bagi umat-Nya dan kuasa-Nya untuk bertindak bagi kepentingan mereka tidak dibatasi oleh keadaan atau tempat. Namun demikian, meskipun itu adalah aspek yang penting bagi nama tersebut, ia tidak sepenuhnya adil bagi implikasi Keluaran 6:3, bahwa pewahyuan itu menandai sebuah pergeseran baru yang penting. Mengapa Allah menyingkapkan nama-Nya? Fretheim mencatat beberapa aspek dari ini. Pertama, pemberian nama menekankan kekhasan: dengan mengungkapkan nama-Nya, Allah memisahkan diri-Nya dengan ilah-ilah lain. Kedua, pemberian nama menyamakan/mengidentifikasikan seseorang dengan sebuah komunitas dan dalam sejarah. Ketika Dia berjumpa dengan Musa, Allah memberikan diri-Nya bagi orang Israel, dan masuk dalam sejarahnya. Ketiga, menyingkapkan nama membuka kemungkinan akan keintiman dalam hubungan: ia mewakili keterbukaan terhadap orang lain dan kesediaan untuk membuat suatu komitmen dengannya. Dengan menyingkapkan nama-Nya, Allah telah menjadikan diri-Nya sendiri terbuka bagi mereka yang ingin masuk ke dalam suatu hubungan dengan-Nya. Memimpin dari ini, pemberian nama membawa kerapuhan(sifat mudah diserang).Seperti yang telah kita lihat, dalam

sistem agama lain, pengetahuan akan nama ilah digunakan dalam formula sihir sebagai alat untuk memanipulasi kuasa ilah. Allah, tentu saja, tidak dapat dimanipulasi; namun demikian, fakta bahwa Dia memberikan peringatan terhada penyalah gunaan nama-Nya menunjukkan bahwa hal semacam itu dapat dianggap sebagai sebuah kemungkinan dan dicoba kan di Israel juga. Dan kita tahu hal tersebut terjadi dalam beberapa kesempatan. Dengan berkomitmen kepada orang lain, Allah berisiko disakiti jika orang tersebut menggunakan hubungan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan mengungkapkan diri-Nya dengan cara yang sedemikian intim, Ia juga membuka diriNya terhadap kemungkinan kesakitan akibat penolakkan mereka terhadap-Nya. El, Yahweh, Musa, dan Monoteisme Yahweh dan agama para leluhur Kisah-kisah bapa leluhur Ada perdebatan mengenai tanggal dan sumber Pentateukh. Menurut pandangan tradisional; sumber paling awal, J, kemungkinan mundur hingga abad kesepuluh SM, namun kitab tersebut sebagai suatu keseluruhan belum berada dalam bentuknya yang sekarang hingga setelah periode pembuangan, dan mencrminkan beberapa dari reevaluasi teologis yang serius yang dihasilkan oleh krisis itu. Lebih baru lagi banyak dari apa yang dianggap benar dalam studi Pentateukh telah ditantang, meskipun tidak ada konsensus keilmuan/kesarjanaan baru yang telah muncul. Pendekatan literer memandang narasi para bapa leluhur sebagai sebuah unit yang koheren, namun sekali lagi menyebutkan dengan pasti sebuah tanggal pasca-pembuangan terhadap karya finalnya. Wenham mengusulkan akan tanggal yang lebih awal. Dalam pandangannya Kejadian kemungkinan mencapai bentuk akhirnya sebelum tahun 900 SM, dengan J sebagai editor utama terakhirnya. Sungguh pun demikian, ini masih meninggalkan jarak beberapa ratus tahun ditengah-tengahnya, ketika kisah-kisah para leluhur ditulis dan ketika peristiwa-peristiwa yang diuraikannya terjadi. Ini memunculkan pertanyaan tentang historisitas dari kisah-kisah tersebut. Umumnya para sarjana percaya bahwa kisah para bapa leluhur mencerminkan agama dan teologi dari para penulis yang kemudian. Banyak yang menganggap bahwa kisah-kisah tersebut sebagian besarnya adalah rekaan, kemungkinan besar berdasarkan kisah-kisah dongeng. Namun, bukti sejarah dan arkeologi menunjukkan bahwa kebiasaan, tradisi dan hukum yang dikaitkan dengan kisah bapa leluhur konsisten dengan tanggal milenium kedua awal. Wenham juga menunjuk kepada praktek-praktek agamawi dalam kisah bapabapa leluhur yang begitu berbeda dari praktik pada masa setelahnya sehingga anggapan bahwa tradisi tersebut diciptakan nampaknya mustahil. Perdebatan akan terus berlangsung, dan tidak ada yang bisa dibuktikan. Adalah masuk akal untuk menyimpulkan, sungguhpun, bahwa kisah-kisah leluhur merupakan sebuah unit sastra, yang ditulis oleh pengarang terakhir (atau editor), yang memiliki akses kepada bahan tradisional terpercaya yang memungkinkannya untuk menghasilkan riwayat/catatan yang akurat, namun juga memiliki beberapa kebebasan untuk menggunakan teknik sastra dan retorik dalam penyajiannya. El dan Yahweh Dalam PL kisah-kisah leluhur disajikan sebagai latar belakang penyembahan Yahweh. Nama Allah yang umumnya dikaitkan dengan bapa leluhur ialah ‘El Shaddai’ (Kej. 17:1; 28:3; 35:11; 43:14; 48:3; Kel. 6:3), dan meskipun dalam bentuk akhir dari teksnya El Shaddai disamakan dengan Yahweh, disarankan/dinyatakan bahwa pada asalnya mereka adalah ilah yang berbeda. Ini adalah contoh

usaha oleh kalangan kritik historis untuk merekonstruksi dunia di belakang teks, dan kemudian mendasarkan diskusi teologis dari dunia itu. Sebagaimana yang telah kita perhatikan, “El’ adalah nama dari ilah tertinggi Kanaan, dan beberapa berpendapat bahwa nama-nama yang digabungkan dengan El memiliki latar belakang Kanaan, mengacu antara ilah tertentu yang dihubungkan dengan wilayah tertentu di Kanaan, atau kepada penunjukkan lokal dari ilah tertinggi Kanaan. Sehingga, sebagai contoh, Clements menyebutkan El Shaddai sebagai ilah lokal dari wilayah sekeliling Hebron, yang mengadakan perjanjian dengan Abraham, serta mengaruniakan kepadanya serta mereka yang menyatakan diri sebagai keturunannya, kepemilikan atas tanah itu. Abraham juga memanggil kepada ‘El Olam’ (Allah yang Kekal; Kej. 21:3 3) dan dengan menerima berkat Melkisedek serta mempersembahkan kepadanya sepersepuluh dari jarahannya (Kej. 14:1820) ia memberikan janji setianya kepada El Elyon-meskipun penggunaannya terhadap gelar Yahweh, EL Elyon, pencipta langit dan bumi (Kej. 14:22), yang hampir persis paralel dengan kata-kata Melkisedek sebelumnya (Kej. 14:19), menandakan bahwa ia menganggap Allah Melkisedek sebagai Allahnya. Yakub mendirikan sebuah tugu bagi El Bethel (Kej 31:13). Dalam Kejadian 16:13 Hagar menyebutkan El-Roi (Allah yang melihat/menjagaku), dan Ishak mungkin telah dikaitkan dengan Allah ini (Kej. 24:62). Adalah pemandangan yang umum bahwa suku-suku Israel menyembah ilah-ilah ini di Kanaan, dan bahwa nama Israel (digabungkan dengan nama “El” ketimbang “Yahweh”) diambil untuk menunjukkan keutamaan El pada masa bangsa itu didirikan. Kisah-kisah Abraham, Ishak, dan Yakub ditulis setelah penyembahan terhadap Yahweh telah dibentuk di Israel, dan berfungsi untuk meleburkan ilah-ilah El (Kanaan) menjadi satu Allah, yang kemudian dapat diidentifikasikan dengan Yahweh, dan juga untuk meliputi kebiasaan agama lain, seperti mengapa tempat suci yang satu lebih penting dari yang lain. Bagi mereka yang menganut pandangan tersebut, ini membangkitkan pertanyaan tentang kapankah suku-suku Israel mulai menyembah Yahweh, dan bagaimana hal ini akhirnya diambil alih dari penyembahan El. Hipotesis Orang Keni Ini adalah usulan bahwa Yahweh asalnya disembah oleh oleh orang Keni, sebuah klan Midian, dan bahwa Musa diperkenalkan kepada penyembahan Yahweh oleh ayah mertuanya, Yitro (Rehuel), seorang imam Midian (Kel. 2:15-22; 3:1). Musa diklaim tidak mengetahui apapun tentang Yahweh sebelum pertemuannya dengan Yitro di Midian dan bahwa di tempat itulah ia mengalami pertemuan yang sangat penting dengan Yahweh di semak belukar yang menyala. Menurut Albertz, ketika Yitro mengunjungi perkemahan Israel setelah peristiwa keluaran, ia mempersembahkan korban dan mengundang orang Israel untuk makan bersama di hadapan Allah (Kel. 18:9-12), dan dengan demikian menegaskan status keimamannya. Namun demikian, perkataannya pada peristiwa itu, “sekarang aku tahu bahwa...” memberi kesan bahwa ia telah dikenalkan kepada Yahweh oleh Musa, ketimbang sebaliknya. Albertz mengusulkan bahwa”Israel” telah eksis sebagai persekutuan suku di Kanaan sebelum kedatangan “kelompok Keluaran”, dibawah Yosua. Persekutuan ini dibentuk dari kelas-kelas bawah masyarakat Palestina, utamanya para petani dan gembala di wilayahpedesaan di pegunungan, untuk melawan dominasi dari kaum ningrat perkotaan. Kelompok ini menyembah El, yang merupakan simbol dari kemerdekaan mereka. Ketika kelompok keluaran, yang juga terdiri dari masyarakat kelas

bawah dan tersisih, tiba, mereka bergabung dengan persekutuan tersebut, dan ilah mereka, Yahweh, juga berkenaan dengan pembebasan, diadopsi oleh segenap Israel. Allah bapa-bapa leluhur Dalam esainya yang berpengaruh ‘Allah Bapa-bapa leluhur’ Albrecht Alt mencoba untuk menjelaskan mengapa mereka menyembah Yahweh, yang kemungkinan besar akrab bagi suku-suku yang tinggal di Kanaan di padang belantara, menjadi agama pusat yang di sekitarnya mereka semua dapat bersatu. Secara khusus dia bertanya kalau-kalau ada sesuatu dalam masa lalu keagamaan mereka darimana penyembahan Yahweh mungkin dibangun. Alt mengatakan bahwa suku-suku yang menyembah ilah tersebut dikaitkan dengan nenek moyang suku tersebut (ilah bapa-bapa leluhur) dan mencatat bahwa hal ini memiliki hal-hal tertentu yang sama dengan yahwisme, khususnya dalam pandangan bahwa Allah tidak terhubung dengan (dan dengan demikian terbatas pada) suatu tempat, namun memiliki hubungan dengan umat-Nya dan terlibat dalam sejarah mereka. Alt berpendapat bahwa bapa-bapa, asalnya tidak terhubung, merupakan nenek moyang dari suku-suku terpisah yang tinggal di Kanaan, masing-masing dengan ilah leluhurnya. Dengan berlalunya waktu suku-suku tersebut bersatu dan menyusun sebuah silsilah yang menghubungkan nenek moyang mereka. Lantas ‘ilah bapa-bapa leluhur’ yang terpisah menjadi “Allah bapa-bapa leluhur” tunggal. Alt menyimpulkan bahwa agama ini menyediakan dasar darimana segi-segi khas dari Yahwisme dapat bertumbuh dan menjadi diterima secara luas. Bapa-bapa leluhur dan El Otto Eisfeldt berpendapat bahwa Abraham menyembah ilah Semitik El, dan bahwa ilah-ilah Abraham, Ishak dan Yakub adalah acuan kepada El, ketimbang ‘ilah-ilah bapa leluhur’ suku yang diajukan oleh Alt. Suku-suku yang datang dari Mesir dan tiba di Kanaan melalui Sinai memperkenalkan penyembahan Yahweh kepada mereka yang telah tinggal di negeri tersebut, dan Yahweh secara berangsur mengambil alih dari El kedudukan sebagai Allah tertinggi. Menurut Eissfeldt, ini mungkin menjelaskan sikap yang relatif simpatik dari Yahwisme terhadap ibadah terhadap El dibandingkan dengan kekejamannya terhadap penyembahan Baal. Ia mengusulkan bahwa Keluaran 32:8-9 dan Mazmur 89 mencerminkan sebuah periode dari sejarah Israel ketika El masih dianggap lebih tinggi dari Yahweh. Pandangan ini mengakui bahwa narasi bapa-bapa leluhur merefleksikan tradisi-tradisi teologis, namun hanya memiliki sedikit atau tanpa nilai historis. Alt, sebagai contoh, tidak melihat kaitan historis antara bapa-bapa leluhur dan Kanaan, atau antara bapa-bapa lehur dan satu sama lain. Eissfeldt memandang kisah-kisah tersebut sebagai sejarah kesukuan: mereka menjelaskan kebiasaan dan hubungan-hubungan didalam dan diantara suku-suku dalam bentuk kisah-kisah fiksi tentang keluarga-keluarga dan pribadi-pribadi. Cross membubuhkan kepentingan sejarah yang lebih besar kepada kisah-kisah bapa-bapa leluhur. Ia mempertahankan bahwa bapa-bapa leluhur menyembah ilah Kanaan El, dan bahwa gabungan-gabungan dengan El bukanlah ilah-ilah yang lain namun penandaan-penandaan lokal dari El. Ia lebih jauh berpendapat bahwa penyembahan El melalui nama-nama ini merupakan bagian asli dari agama bapa-bapa leluhur, ketimbang dari sebuah tambahan kepada tradisi tersebut setelah pendudukan. Ia menekankan kontinuitas antara agama bapa leluhur dan penyembahan Yahweh dan mengusulkan bahwa Yahweh mungkin merupakan

suatu julukan bagi El. Namun demikian ada perbedaan-perbedaan penting antara ibadah bapa leluhur dan Kanaan. Allah Bapa-bapa Leluhur Salah satu karakteristik dari agama bapa leluhur adalah dalam penyembahan mereka akan Allah yang esa. Ini kontras dengan praktik dari leluhur Abraham dan orang Kanaan. Kissah-kisah bapa leluhur menekankan kontinuitas ibadah: Allah yang menampakkan diri kepada Yakub di Betel memperkenalkan diri-Nya sendiri sebagai Allah bapamu Abraham dan Allah Ishak (Kej. 28:13). Nenek moyang Abraham di Mesopotamia kemungkinan besar merupakan penyembah bulan. Barangkali mungkin untuk melacak suatu keturunan penyembah yang setia dari Nuh melalui Sem (Kej. 11:1026); bagaimanapun juga, Yosua 24:2 nampaknya menunjukkan bahwa panggilan Abraham mewakili sebuah perpindahan dari penyembahan berhala keluarga tersebut. Wenham mencatat bahwa Il (El) merupakan anggota dari dewa-dewi Mesopotamia dalam milenium ketiga sebelum masehi, dan dengan demikian abraham mungkin akrab dengan nama tersebut, dan kemungkinan bahkan menjadi pengikut El sebelum ia tiba di Kanaan. Ini kemungkinan bahwa Abraham mengenali Allah yang memanggil dia dalam Kejadian 12 dengan El, dan bahwa nama-nama yang digabungkan dengan El mengacu kepada manifestasi dari Allah yang satu itu. Namun demikian, pemahaman bapa leluhur akan, dan hubungan dengan, Allah yang telah memanggil dia tetaplah sangat pribadi: itu tidak dimediasi melalui ibadah (baik Mesopotamia atau Kanaan) namun merupakan hasil dari pewahyuan langsung. Segi lain dari agama leluhur ialah kekurangannya akan struktur dan formalitas. Meskipun tugu-tugu dan mezbah-mezbah didirikan pada titik-titik dimana-mana, Allah diyakini menyertai bapa-bapa leluhur dalam perjalanan mereka. Ia adalah Allah keluarga atau puak, lebih daripada suatu tempat khusus, dan dalam narasi leluhur ini diungkapkan dalam bentuk suatu perjanjian (covenant), yang dibuat pertama dengan abraham dan diperbarui kepada generasi berikutnya dari keluarganya. Dengan demikian, meskipun El Shaddai mungkin telah memiliki kaitan dengan wilayah di sekitar Hebron, dalam narasi leluhur Ia dihubungkan, utamanya, dengan bapa-bapa leluhur sendiri, memperkenalkan diri-Nya kepada masing-masing mereka, dan menyediakan kontinuitas diantara mereka. Tidak ada indikasi bahwa bapa leluhur mengadopsi ibadah Kanaan atau mempersembahkan korban kepada tempat-tempat suci Kanaan yang sudah ada. Bahkan jika julukan-julukjan El yang disebutkan dalam Kitab Kejadian digunakan secara umum oleh orang Kanaan, itu tidak berarti bahwa bapa-bapa leluhur menganut praktik agamawi yang sama. Seperti yang telah kita perhatikan, hubungan mereka dengan Allah adalah pribadi dan pemahaman teologis mereka berkembang dalam konteks hubungan tersebut, melalui pewahyuan langsung. Asosiasi Allah dari para bapa leluhur, El Shaddai, dengan sebuah keluarga ketimbang suatu tempat membedakan-Nya dari ilah-ilah El orang kanaan, yang seringkali merupakan ilah lokal (atau penunjukkan lokal dari El). Kemungkinan bahwa cerita tentang ujian abraham adalah, sebagian, merupakanpolemik terhadap korban anak yang hadir dalam beberapa bentuk agama Kanaan, ketika para leluhur mempersembahkan korban, itu adalah pada mezbah yang mereka bangun sendiri, dan tidak ada penyebutan tentang penyembah yang lain atau keimaman yang melayani. Dengan demikian kasus yang kuat dapat dibuat untuk memisahkan antara agama dari para bapa leluhur dengan agama Kanaan. Dikatakan bahwa para bapa leluhur memiliki sikap yang relatif

tenang terhadap penyembah El yang lain. Dan itu tetap merupakan hal yang diperdebatkan dan spekulasi hanya pada apa yang bertumpang tindih apa yang mereka pahami disana untuk menjadi antara Allah mereka dan ilah-ilah El yang disembah oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Sikap mereka kontras dengan keeksklusifan dari iman Musa, dan mungkin menjadi konsekuensi dari suatu agama yang kurang resmi, dimana garis-garis batas yang ditarik lebih sedikit. Bapa-bapa leluhur dan Yahweh Kitab Keluaran mengindikasikan bahwa iman yang dinyatakan kepada Musa merupakan kelanjutan agama para bapa leluhur (Kel. 3:6, 13-15) dan sekaligus berbeda darinya (Kel. 6:3). Sebuah perbedaan yang signifikan adalah pewahyuan kepada Musa mengenai nama Tuhan, Yahweh. Namun demikian, beberapa nas menggunakan nama itu ketika mengacu kepada masa yang jauh lebih awal (cth. Kej. 4:1; 4:29; 9:26; 14:22; 15:2, 7-8; 28:16). Penjelasan yang umum adalah bahwa Keluaran 6:3 berada dibawah sumber (P) yang menghubungkan pewahyuan dari nama ilahi secara eksklusif kepada Musa, dan dalam kisah bapa leluhur mengacu kepada El Shaddai; bahan yang lain datang dari sumber J, yang mengacu kepada Yahweh dalam keseluruhannya. Bagaimanapun juga, hal itu tidak menjelaskan mengapa editor final dari Pentateukh tampaknya tidak peduli terhadap inkonsistensi tersebut. Penjelasan yang lain, yang diarahkan kepada harmonisasi, memperhatikan kaitan yang dekat antara nama itu dan karakter Allah, dan mengusulkan bahwa nama itu sendiri mungkin bukan tidak dikenal oleh para bapa leluhur, namun sebelum pewahyuan kepada Musa mereka tidak sadar akan kepentingannya secara sepenuhnya. Sebuah penjelasan yang serupa adalah yang ditawarkan oleh komentator Yahudi yang lebih tua: nama itu telah diketahui, namun tidak kepada kemuliaan yang dihubungkan dengan nama tersebut. Penjelasan lain adalah bahwa meskipun nama Yahweh tidak dikenal oleh para bapa leluhur, mereka yang menceritakan kembali kisah-kisah tersebut mengakui bahwa Allah yang mereka sembah sebagai Yahweh adalah Allah yang sama yang berbicara kepada, dan yang disembah oleh, Abraham, Ishak, dan Yakub dan orang-orang sebelum mereka, dan dengan demikian mereka menggunakan nama tersebut dalam catatan/riwayat mereka tentang peristiwa-peristiwa sebelumnya. Wenham mengusulkan bahwa ‘editor Yahwistik dari Kitab Kejadian begitu diyakinkan dengan identitas Yahweh dan Allah yang menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada para bapa leluhur, bahwa ia tidak hanya menggunakan Yahweh dalam narasi, namun juga lebih dengan hemat dalam pelaporan perkataan manusia dan malaikat’. Seperti yang telah kita perhatikan, ada fokus yang meningkat pada narasi dalam PL, dan penerimaan yang berkembang (bahkan diantara para sarjana konservatif) bahwa si narator memiliki beberapa kebebasan dalam menceritakan kembali cerita tersebut. Sementara tidak beranjak dari rincian historis mendasar, narator mungkin, meskipun demikian, memilih untuk tidak melaporkan .....verba dari tokoh-tokoh dalam narasi karena ia ingin membuat poin tertentu. Pengakuan dari peranan narator ini telah mengubah sifat dari jenis perdebatan ini. Ini sekarang kurang tentang bagaimana menjelaskan inkonsistensi yang jelas dalam teks tersebut, dan lebih tentang mempertimbangkan kepentingan naratif dari bahasa tersebut dan peristilahan yang dipergunakan. Dalam hal ini si narator memiliki tujuan yang pasti: ia menggunakan nama Yahweh dalam narasi yang terdahulu secara sengaja, karena ia ingin untuk menekankan kontinuitas antara peribadahan bapa leluhur dan peribadahan terhadap Yahweh yang kemudian. Monoteisme

Monoteisme adalah kepercayaan bahwa hanya ada satu Allah yang layak sebagai objek sesembahan dan disamping Dia tidak ada allah lain. Istilah yang lain, monolatri, berarti menyembah satu Allah, namun tanpa klaim bahwa tidak ada ilah yang lain. Diyakini secara luas bahwa monoteisme yang sejati dikembangkan kemudian dalam iman Israel, mencapai kepenuhan ekspresinya dalam Yesaya 40-55 (yang oleh beberapa ahli dikatakan bertanggal abad keenam SM). Pengembangan dari Monoteisme Pandangan yang umum ialah bahwa selama masa awal dari sejarahnya Israel bersifat politeistik. Penentangan yang prinsip terhadap politeisme, dalam bentuk sebuah gerakan pembelaan terhadap penyembahan satu-satunya terhadap Yahweh, muncul hanya pada abad kesembilan SM (dengan nabi-nabi seperti Elia); ia tumbuh dan menjadi lebih diterima secara luas selama masa kerajaan dan berkembang menjadi monoteisme penuh selama dan setelah pembuangan. Ada beberapa masalah dengan pendekatan ini. Pertama-tama hanya ada sedikit bukti tentang periode yang diperpanjang dari politeisme di Israel. Nampaknya bahwa aspek-aspek dari Ibadah Kanaan telah menyusupi ibadah Israel, danterus dipraktikkan, namun ini bukanlah bagian dari iman resmi Israel. Masalah kedua ialah bahwa dimana pergerakan kepada suatu bentuk monoteisme terjadi dalam konteks-konteks lain, itu bukanlah secara berangsur: ia datang melalui revolusi bukan evolusi. Sementara benar bahwa iman Israel didasarkan pada perjumpaan langsung dengan Allah, dan perkembangannya mungkin tidak mengikuti pola yang terlihat dimanapun, model evolusi melihat pergerakan yang didorong oleh faktor manusia ketimbang pewahyuan ilahi, dan kurangnya bukti dari perkembangan semacam itu dari politeisme kepada monoteisme dimanapun merupakan kelemahan yang serius dalam argumen evolusioner. Isu yang ketiga ialah, mengapa harus ada pergerakan semacam itu? Darimanakah daya dorong penyembahan satu-satunya kepada Yahweh berasal? Dan mengapa, diluar dari semua bangsa di Timur Dekat Kuno, ini terjadi hanya di Israel? Albertz berpendapat bahwa itu pastilah berakar dari ikatan istimewa antara Yahweh dan persekutuan suku Israel setelah keluaran. Ini, pada gilirannya, mengusulkan bahwa akar-akar iman monoteistik Israel mundur kembali pada periode awal dari sejarah Israel. Baru-baru ini, Stephen Cook berpendapat bahwa ‘Yahwisme alkitabiah’, yang termasuk penyembahan Yahweh sebagai Allah satu-satunya, bukanlah suatu perkembangan yang kemudian, namun memiliki akar yang dalam dalam iman Israel. Ia mencatat bahwa bagi banyak sejarah Israel ini eksis sebagai pandangan minoritas yang menjadi dominan hanya dalam Yudaisme awal, dan bahwa, ketimbang menjadi sebuah inovasi teologis, polemik melawan penyembahan berhala dan panggilan untuk menyembah Yahweh saja yang merefleksikan aliran tradisi kuno ini. Sepertiyang telah kita perhatikan, menurut kisah para leluhur, para leluhur menyembah satu Allah, yang kemungkinan besar pertama-tama mereka kenali sebagai El; meskipun, seperti juga yang telah kita perhatikan, pemahaman teologis mereka tumbuh dari hubungan mereka dengan Allah, bukan dari keterlibatan dalam agama Kanaan, dan pada saaatnya perbedaaan-perbedaan jelas muncul. Namun demikian sikap mereka yang cukup tenang terhadap penyembah El yang lain menunjukkan bahwa mereka cenderung bersifat monolatri ketimbang monoteis.

Penyembahan Yahweh, dihubungkan dengan Musa, dibarengi dengan eksklusivisme yang lebih besar dan oleh instruksi-instruksi yang jelas yang tidak ada hubungannya dengan ilah-ilah bangsa lain. Perintah pertama bersifat tegas: Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu (Kel. 20:3). Ini adalah permulaan dari iman monoteis Israel, yang muncul juga secara tersirat dalam Ulangan 4:35, 39, engkau ditunjukkan hal-hal ini supaya engkau tahu bahwasanya Tuhan dialah Allah; disamping Dia.... Sebelumnya dalam pasal tersebut sifat sejati dari ilah-ilah lain diuraikan: mereka adalah ilah-ilah dari kayu dan batu buatan manusia, yang tidak dapat melihat atau mendengar atau mencium (ay. 28). Banyak sarjana yang berpendapat bahwa kitab Ulangan ditulis pada tahun yang relatif belakangan (pada, atau tepat sebelum, pemerintahan Yosia), namun dapat diperdebatkan bahwa kitab itu, dan demikian juga permulaan dari monoteisme, adalah lebih awal. Sebuah bentuk dari Momoteisme eksis di Mesir dibawah Firaun Akhenaten (c. 1352-1336 SM), di abad yang sama dengan Musa dan Keluaran. Akhenaten, yang naik takhta sebagai Amenhotep IV, mengambil namanya dari bulatan matahari, Aten, yang ia maklumkan, untuk disembah sebagai satu-satunya ilah. Dalam budaya politeistik Mesir ini bukanlah perubahan yang mudah untuk dibuat, dan itu tidak bertahan melebihi masa hidup Firaun. Setelah kematiannya, Akhenaten dikutuk sebagai bidat, dan Mesir kembali kepada politeisme. Tidak ada bukti bahwa permulaan monoteisme dibawah Musa dari segi manapun didasarkan pada apa yang terjadi pada Akhenaten; namun demikian, itu menandakan bahwa monoteisme di Israel tidak harus merupakan sebuah gagasan yang belakangan. Penting untuk diingat bahwa monoteisme adalah sebuah kategori teologis, dan tidak memiliki banyak arti dalam awal-awal kehidupan agamawi bangsa Israel, dimana perhatian utamanya ialah untuk mengenal lebih baik Allah yang telah menyingkapkan diri-Nya kepada mereka, dan untuk menjalani implikasi-implikasi praktis dari hubungan mereka dengan Yahweh dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ilah lain ada atau tidak bukanlah sebuah isu penting; apa yang penting ialah fakta bahwa bagi Israel tidak ada Allah lain selain Yahweh. Ia adalah Allah mereka dan hubungan mereka adalah hanya dengan Dia saja. Hal ini mungkin tidak secara eksplisit menyangkal keberadaan ilah-ilah lain, namun menegaskan bahwa mereka tidak layak mendapat perhatian. Yahweh mengatasi ilahilah lain: Ia sajalah sang Pencipta (Mzm. 95:3-5); Ia adalah Allah seluruh bumi (Mzm. 97:9); Ia adalah Allah yang menguduskan umat Israel bagi diri-Nya sendiri (Kel. 32:8-9; Yos. 24:2-3),dan orang-orang tidak boleh menyembah selain Dia (Kel. 20:3; Ul. 5:7). Kebesaran Allah tidak meninggalkan ruang bagi pesaing; ini adalah monoteisme praktis, jika bukan teoritis ketat. Vriezen juga mengaitkan monoteisme dengan Musa; ia berpendapat bahwa kisah Daud bahkan nyanyian Debora tidak mungkin dapat dipahami tanpa pengakuan akan kepercayaan kepada satu Allah yang firman-Nya tegas di Israel dan di bumi... oleh karenanya, tidak ada yang menghalangi pengakuan akan Yahweh monoteistik yang diberikan oleh Musa...meskipun tidak dikejar olehnya hingga puncaknya. Dalam hemat saya adalah masuk akal untuk mengadopsi pandangan bahwa akar-akar dari monoteisme Israel mundur kembali kepada saat Musa dan Keluaran, meskipun (sebagaimana dicatat oleh Vriezen) implikasi penuhnya tidak diungkapkan hingga kemudian. Penyembahan Yahweh satusatunya meneruskan dari penyembahan bapa leluhur akan satu Allah, El Shaddai. Namun begitu, penyembahan satu-satunya kepada Yahweh selalu berada dibawah tekanan dari pengarruh agama Kanaan. Kesaksian dari PL sendiri adalah bahwa setelah pendudukan, unsur-unsur dari ibadah Kanaan merayap kedalam Yahwisme (mis. Mzm. 106:34-39; bdk. Hak. 17:5; 18:30-31), dan tentu saja

mungkin juga sisa-sisa dari masa lalu masyarakat pra-Yahwistik. Sebelumnya ada, kaitan dekat antara Yahweh dan El, meskipun kurangnya polemik terhadap El mengusulkan bahwa hal ini tidak berkembang menjadi problema yang serius. Kemungkinan, sebagaimana diusulkan Cross, bahwa ada pembedaan radikal antara keduanya pada tahapan awal dalam sejarah agama Israel. Untuk menekankan pemisahan dengan El, kemungkinan besar beberapa atribut dan aspek dari penyembahan ilah Kanaan Baal dimasukkan dalam iman Yahwistik Israel, memimpin kepada sinkretisme yang dikutuk oleh Elia dalam abad kesembilan dan oleh Hosea satu abad kemudian. Usaha-usaha untuk memulihkan ibadah yang benar dibuat oleh Hizkia dan Yosia, namun efeknya tidak permanen. Adalah berlawanan dengan latar belakang pembuangan (suatu krisis teologis dan politis yang membawa kepada reevaluasi radikal dari iman Israel) sehingga menjadi lebih perlu untuk menekankan atribut Allah Israel atas ilah-ilah Babel, dan ungkapan-ungkapan klasik tentang monoteisme dihubungkan dengan periode itu. Meskipun, seperti yang telah kita lihat, ini bukanlah sesuatu yang baru: ia membangun diatas, dan menarik implikasi dari, gagasan-gagasan yang mundur kembali kepada masa Musa dan keluaran. Segi-segi dari monoteisme sejati Satu-satunya Allah Nas-nas PL yang kemudian ini menekankan bahwa Allah adalah unik: Dia adalah satu-satunya Allah (Yes. 43:10; 44:6; 45:5-6, 21; 46:9), dan tidak ada yang menyamai Dia (Yes. 40:18, 25; 46:5). Ilah lain digambarkan sebagai hampa (Yer. 2:5, 11; 10:8; 14:22); mereka bukanlah allah (Yer. 2:11; 5:7) namun hanya eksis sebagai ilah-ilah pahatan (Yes. 40:18-20; 44:9-20; 46:1-2; Yer. 2:26-28; 10:1-16). Yesaya menggunakan beberapa gambaran untuk menggambarkan kesia-siaan dari ilah-ilah tersebut. Pertama, ia mencatat bahwa meskipun mereka dibuat dengan baik, mereka menjatuhkan (Yes. 40:20) dan, untuk berda di sisi aman, lebih baik untuk memakukan mereka (Yes. 41: 7). Kedua, dalam situasi kritis ilah yang sama yang disembah oleh orang dan dimintai pertolongan harus dibawa dengan hati-hati oleh mereka yang menyembahnya (Yes. 46:1-2). Berbanding terbalik, Allah membawa dan mendukung umat-Nya (ay. 4). Dalam serangan tajam yang lain (Yes. 44:14-17) ia menggambarkan bagaimana seorang manusia membelah sepotong kayu menjadi dua, kemudian membuat sebuah berhala dari belahan yang satu dan yang sebelah lagi untuk membuat api dimana ia memasak makanan diatasnya. Dengan kata lain mereka yang menyembah berhala sedang bersujud kepada kayu api! Ada dua faktor penting dalam menekankan klaim Yahweh sebagai satu-satunya Allah yang benar: Ia adalah Pencipta dan Tuhan atas sejarah Allah sebagai Pencipta Yesaya 40:12-26 menunjuk kepada kekhasan Allah dengan memusatkan pada peranan-Nya dalam penciptaan. Pasal ini dimulai dengan janji Allah untuk membebaskan umat-Nya yang terasing, dan selanjutnya menekankan kuasa-Nya atas bangsa-bangsa dan apa yang mereka sembah sebagai ilah. Allah sendiri merancang dan menciptakan langit dan bumi (ay. 12-14); ilah-ilah yang lain hanyalah ilah-ilah buatan (ay. 18-20). Kontras antara Allah Israel dan berhala-berhala yang disembah oleh orang Babel diawali dengan pertanyaan “dengan siapa lalu... (ay. 18). Pertanyaan ini kemudian diulang lagi dalam ayat 25, “dengan siapa hendak kamu samakan Aku?” kata Yang Kudus, dimana itu

mengawali sebuah bagian yang menegaskan Allah sebagai pencipta dan pengendali bulan dan bintang-bintang (ay. 25-26). Budaya politeistik seperti Babel memuja benda-benda langit sebagai ilah. Disini benda-benda langit tersebut dilihat sebagai bagian dari ciptaan: disabdakan oleh Allah dan menempati tempatnya atas titah-Nya dalam urutan yang telah ditetapkan-Nya. Yahweh, kemudian, tidak memiliki bandingan: kuasa dan otoritasnya adalah mutlak. Di bagian-bagian lain juga pandangan tentang Allah sebagai Pencipta adalah tegas dan membedakan-Nya dari ilah-ilah bangsa-bangsa (Yes. 45:18; Yer. 10:11-16; 51:18-19; Mzm. 96:5). Sebuah kesimpulan penting dari ini ialah bahwa ciptaan bersaksi kepada sang pencipta (Mzm. 19:1-4; bdk. Rm. 1:20). Allah sebagai Tuhan atas sejarah Faktor penentu lain dalam klaim Yahweh sebagai satu-satunya Allah ialah kuasa-Nya untuk mengarahkan jalannya sejarah, yang ditunjukkan dalam penggenapan nubuatan. Allah sendirilah yang dapat mengumumkan apa yang akan terjadi, dan kemudian mewujudkannya. Ia telah menunjukkan kepada umat-Nya berulang-ulang bahwa apa yang Dia katakan dapat dipercaya, dan Dia menantang allah-allah palsu untuk menunjukkan bukti yang sama. Kita melihat sebuah contoh dari hal ini dalam Yesaya 41:21-29. Ilah-ilah bangsa-bangsa ditantang, katakan kepada kami.... (ay. 23). Mereka tidak dapat melakukannya dan dikutuk sebagai tidak berarti dan samasekali hampa (ay. 24,29). Sebuah ungkapan penting lain dari hal ini adalah dalam Yesaya 46:9-10: ... Hal ini lebih jauh menekankan kepentingan dari aktivitas Allah dalam sejarah Israel sebagai sarana untuk membuat Diri-Nya dikenal .

1. Natur dan keberadaan Allah Para penulis PL tidak menaruh perhatian kepada gagasan-gagasan yang abstrak tentang Allah. Dia bukan merupakan subjek studi dan spekulasi, namun Yang Hidup yang menyingkapkan diri-Nya sendiri melalui aktivitas-Nya di dalam dunia dan perjumpaannya dengan umat-Nya. Pemahaman mereka akan Allah dinyatakan utamanya melalui cerita tentang apa yang Allah telah lakukan (melalui cerita-cerita dimana Dia melibatkna Diri-Nya dalam kehidupan Umat-Nya) ketimbang dengan daftar atribut-atribut dan pernyataan dalil-dalil abstrak, yang berusaha untuk menetapkan siapa Allah itu. Meskipun demikian, kita dapat mencatat beberapa hal tentang Allah yang menjadikan Diri-Nya sendiri dikenal dalam PL. Sifat Allah Allah bersifat pribadi Sangatlah jelas dari cara Allah seringkali digambarkan dalam istilah-istilah manusiawi bahwasanya ia dianggap sebagai makhluk berpribadi. Allah berbicara, mendengar, melihat; Dia memiliki wajah dan tangan; Dia digambarkan berjalan-jalan di taman pada hari sejuk (Kej. 3:8); Ia dapat menjadi marah (Bil. 11:10; Mzm. 78:21; Yes. 34:2) dan berduka (Kis. 6:67; I Sam. 15:11; Yer. 42:10). Gambarangambaran ini tentang Allah menunjuk kepada cara Dia datang kepada kita dengan cara yang

membumi; kesediaan ini untuk menyamakan diri-Nya dengan kita menunjukkan juga kerinduan-Nya untuk hubungan, dan menunjuk ke depan, puncaknya pada inkarnasi. Kita melihat bahwa Allah adalah bersifat pribadi juga dari cara PL menggambarkan hubungan antara Allah dan umat-Nya. Sehingga, sebagai contoh, itu disamakan dengan hubungan antara ayah dan anak (lih. Kel. 4:2-3; Hos. 11:1-4) dan antara suami dan pengantin perempuan (lih. Yer. 2:2; 3:14; 31:32; Yeh. 16:8-14; Hos. 2:14-23) gambaran-gambaran ini menampilkan sifat Allah yang hangat dan lembut dan mengindikasikan bahwa Dia dapat mengetahui pahitnya penolakkan. Eichrodt juga melihat sebuah hubungan antara sifat pribadi Allah dan pewahyuan akan Nama IlahiNya: Dengan menyingkapkan Nama-Nya, Allah telah, sebagaimana terjadi, membuat diri-Nya sendiri dikenal oleh mereka; Ia telah membuka kepada mereka bagian yang paling dalam dari keberadaan-Nya dan memberikan kepada mereka sebuah sarana jalan masuk kepadaNya...didalam Nama Allah perjanjian mereka menemui Dia dalam pribadi dan mengalami aktivitas-Nya. Allah adalah roh Meskipun Allah adalah pribadi dan Dia memilih untuk terlibat dengan dunia-Nya, PL menekankan bahwa Ia ada sebelum dunia, menciptakannya dan tetap diatasnya serta berbeda darinya. Sebuah aspek penting dari ini adalah bahwa Allah adalah kekal. PL menguraikan asal-usul dari dunia namun tidak asal usul Allah: Ia ada dari sejak mulanya (Kej. 1:1) dan akan tetap ada melampaui ciptaan (lih. Mzm. 90:2; 93:2; Yes. 57:15). Sebagai pencipta dan sumber dari segalanya, Allah adalah keberadaan (being) yang berbeda dari dunia alami. Kita melihat contoh akan ini dalam Yesaya 31:3, orang-orang Mesir adalah manusia dan bukan Allah, kuda-kuda mereka adalah daging dan bukan roh. Dua urutan dari makhluk, daging (dikaitkan dengan manusia) dan roh (dikaitkan dengan Allah), adalah berbeda satu sama lain (Bdk. Yoh. 4:24). Hizkia membuat pembedaan yang serupa, antara manusia daging, yang dilambangkan oleh raja Asyur dan pasukannya, dan Allah, yang kehadiran-Nya menjamin keamanan umat-Nya: bersamanya hanyalah pasukan daging, namun dengan kita adalah TUHAN Allah kita yang menolong dan berperang bagi kita (2 Taw. 32:8; bdk. Hos. 11:9; lihat juga Bil. 23:19; I Sam 15:29; Yes. 55:8-9). Dalam nas-nas ini penekanan utamanya ialah pada kuasa Allah atas kelemahan manusia, namun pembedaan secara ontologis juga penting: kuasa Allah terhubung/ terkait dengan siapa Dia. Pembedaan ini tercermin dalam larangan pembuatan patung-patung (Kel. 20:4-5; Im. 26:1). Salah satu alasan pelarangan ini adalah untuk mencegah penyembahan ilah lain dalam bentuk berhalaberhala. Alasan yang lain ialah bahwa membuat dan menyembah patung-patung menurunkan sifat rohani dari agama Israel dan transendensi Allah. Dalam Ulangan 4:15-19 perintah untuk tidak membuat patung atau menyembah obyek-obyek fisik dihubungkan dengan pengingat bahwa ketika Allah menampakkan diri kepada Musa di gunung Horeb, Ia tidak memiliki bentuk. Penekanan disini tidak sebanyak pada bahaya penyembahan ilah-ilah lain (meskipun itu pernah ada) namun pada sifat Allah sendiri. Allah ada diatas dan melampaui representasi fisik apapun tentang Dia. Gagasan bahwa Allah adalah, dalam natur keberadaan-Nya, diatas dan melampaui tatanan alami dan oleh karenanya tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk fisik berarti bahwa penggambaran Allah

dalam istilah-istilah pribadi (mis. Sebagai ayah atau suami) dibatasi. Gambaran-gambaran ini bermanfaat bagi kita, untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran tertentu tentang karakter Allah, namun tidaklah seharusnya ditekankan terlalu jauh. Ini juga berlaku ketika menyangkut isu-isu gender. Dalam dunia kuno ada dewa maupun dewi dan dewa tertinggi dari sebuah dewa-dewi umumnya memiliki pasangan. Sehingga, sebagai contoh, El berpasangan dengan Asyera dan Baal dengan Anat. Gagasan tentang yahweh sebagai satu-satunya Allah, bagaimanapun juga, tidak menyisakan ruang bagi pasangan wanita. Kita memperhatikan juga bahwa gambaran personal dari Allah dalam PL adalah sebagian besar maskulin, dan Allah secara konsisten diacu sebagai ‘dia/he’. Namun tidak satupun dari hal-hal ini menyiratkan bahwa Allah harus dipandang secara eksklusif sebagai pria. PL dituliskan melawan latar belakang budaya, agama, dan politik yang, pada dasarnya waktu itu, bersifat patriarkhal. Pandangan dunia tersebut tercermin dalam teks, dan harus dicatat pada saat ditafsirkan dan diaplikasikan secara teologis. Namun ada juga gambaran yang bersifat feminin, khususnya dalam kitab Yesaya. Phyllis Tribe mencatat bahwa kata Ibrani untuk ‘belas kasihan’ (raharnim) berasal dari akar kata yang bermakna ‘rahim’ (rehern), menyiratkan sutu kaitan antara kasih Allah bagi umat-Nya, dan kasih seorang ibu bagi anaknya (mis. Yes. 46:3-5; 49:15; 63:764:12). Ia juga menunjuk kepada nats-nats lain yang menyiratkan metafora Allah sebagai ibu (mis. Yes. 42:14; 66:13). Disamping gambaran-gambaran ini adalah gambaran yang lebih tradisional dari Allah sebagai bapa, mengindikasikan bahwa untuk memahami Allah dengan baik adalah dengan membuat perbandingan dengan karakteristik-karakteristik kedua jenis kelamin tersebut. Namun demikian, mereka semua hanyalah perbandingan: para penulis menggunakan hal-hal yang mereka ketahui dan pahami untuk berbicara tentang Allah, yang melampaui pengetahuan dan pengertian. Allah bukanlah Pria, tidak pula Dia Priasekaligus wanita-Dia melampaui jenis kelamin. Karakteristik-karakteristik ilahi Kekudusan Kualitas ini, lebih dari kualitas yang lain berhubungan erat dengan sifat dan keberadaan Allah. Jacob mengusulkan bahwa ‘Kekudusan bukanlah satu kualitas ilahi diantara yang lainnya, bahkan yang terutama, karena ia mengungkapkan karakteristik Allah dan bersesuaian tepat dengan keilahian-Nya. Allah adalah kudus karena siapa diri-Nya. Kekudusan menyampaikan gagasan tentang pemisahan. Dalam TDK, kekudusan dilihat dalam pengertian kekuatan alam yang takberpribadi yang dihubungkan dengan obyek-obyek atau tempattempat sakral, meskipun tanpa konotasi moral. Kekuatan ini dapat berupa positif dan menguntungkan, atau negatif dan terhubung dengan bahaya dan larangan. Istilah ‘kudus’ jarang diterapkan bagi ilah. Bertolak belakang dengan hal itu, dalam PL, kekudusan difokuskan kepada Allah (mis. Kel. 15:11; 28:36; Im. 10:3; 2 Sam. 2:2; Yes. 6:3; 8:13); ia adalah Yang Kudus; dan tempat, benda serta manusia dianggap sebagai ‘kudus’ karena persekutuan mereka dengan-Nya. Kekudusan terbalut dengan kemuliaan Allah yang takterhampiri. Sinai ditutup karena Allah ada disana (Kel. 19:23); Ruang Maha Kudus menaungi Tabut Perjanjian, lambang dari kehadiran Allah, dipisahkan dari ruang tabernakel yang lain dengan akses yang sangat terbatas (Kel. 26: 33-34; Im. 16:2); bahkan makhluk-makhluk surgawi menyembunyikan wajah mereka dalam hadirat Allah (Yes. 6:2-3); dan usaha-usaha yang tidak sah untuk menerobos pembatas dari kesucian ilahi akan mendapatkan hukuman (Im. 10:1-3; Bil. 4:15-20; 2 Sam. 6:6-7). Kekudusan, meskipun demikian, bukanlah hanya mengenai pemisahan; ia juga terkait dengan hubungan. Pembatasan dan larangan

diadakan bukan untuk menjauhkan ALLah dari manusia namun untuk menyediakan sarana dan kondisi yang olehnya Yang Sepenuhnya Lain dapat memiliki kontak dan masuk ke dalam suatu hubungan dengan umat-Nya. Dalam TDK, kekudusan hanya memiliki sedikit hubungan dengan kesucian moral; sehingga, misalnya, pelacuran bakti dianggap sebagai kudus. Dalam PL, sungguhpun demikian, karena kekudusan dibalut dengan karakter Allah, maka ia terkait erat dengan kesucian (mis. Yos. 24:19; Mzm. 15; 24:3-4; Yes. 5:16; 6:5; Hab. 1:13). Sebuah aspek penting dari hal ini ialah bahwa orang-orang yang menjadi milik Allah dipanggil untuk menjadi kudus juga: kuduslah karena Aku kudus (Im. 11:44-45; bdk. I Ptr. 1:16; Im. 20:26). Kekudusan terkait erat dengan kemuliaan Allah (Mis. Kel. 15:11; 29:43; Im. 10:3; Yes. 6:3; Yeh. 28:22), yang dapat dilihat sebagai manifestasi lahiriah dari kesucian. Kebenaran Kebenaran harus berkaitan dengan perilaku yang benar dalam konteks suatu hubungan; menurut Sebass, kebenaran dalam PL bukanlah tentang tindakan yang sesuai dengan suatu standar hukum yang absolut, namun mengenai sikap yang dalam rangka memelihara hubungan dua arah antara Allah dan manusia. Dengan demikian kebenaran Allah muncul dalam keAllahan-Nya dalam berhubungan dengan manusia, yaitu dalam penebusan dan dalam keselamatan. Namun kebenaran juga memiliki dimensi etis dan legal. Ia dipresentasikan sebagai antitesis dari kejahatan dan ketidakbenaran (Mis. Kel. 23:7; Ul 25:1; I Raj. 8:32; Ayb. 35:8; Mzm. 45:7; Ams. 10:2); ia digunakan untuk menggambarkan timbangan dan takaran (Im. 19:36; Ul. 25:15; Yeh. 45:10; Ayb. 31:6), dan korban-korban yang sesuai dengan standar serta aturan tertentu (Ul. 33:19; Mzm. 4:5; Mal. 3:3). Ia juga berhubungan erat dengan keadilan. Allah adalah lurus (benar) dan adil (Ul. 32:4); Dia mencintai kebenaran dan keadilan (Mzm 33:5), dan mereka membentuk dasar dari takhta-Nya (Mzm. 89:14; 97:2; lihat juga misalnya Ayub 37:32; Mzm. 9:8; 11:7; Yes. 16:5; 28:17). Dan, sama seperti dengan kekudusan, Allah menginginkan kebenaran, dilihat sebagai tindakan yang benar yang sesuai dengan kewajiban perjanjian mereka, termasuk penyembahan yang benar, keadilan dan ketaatan terhadap hukum Taurat, nyata diantara umat-Nya (mis. Mzm. 94:15; Yes. 1:26; 33:5; Hos. 10:12; Am. 5:24). Kebenaran juga dihubungkan dengan tindakanAllah untuk umat-Nya. Brueggemann menggambarkan -nya sebagai ‘kapasitas siaga Yahweh untuk hadir dalam situasi-situasi masalah dan untuk campur tangan dengan penuh kuasa dan ketegasan dalam kepentingan rehabilitasi, restorasi, dan kesejahteraan. Karena kaitan antara kebenaran dan keadilan, orang miskin dan tertindas dapat bersandar pada kebenaran Allah untuk menegakkan keadilan dalam perkara mereka (mis. Mzm. 9:45; 103:6; 112:9; Yes. 11:4), dan orang percaya dapat mempercayai Allah, dalam kebenaran-Nya untuk melindungi dan dan melepaskan mereka dari musuh-musuh mereka (mis. Mzm.5:8; 31:1; 35:24; 71:2; 143:11). Pada tingkat nasional ada keyakinan bahwa Allah, dalam kebenaran-Nya akan campur tangan untuk menyelamatkan umat perjanjian-Nya, yang melihat diri mereka sendiri sebagai korban-korban yang tertindas oleh bangsa-bangsa di sekitarnya dan oleh karenanya dapat memohon Allah untuk menopang mereka. Kebenaran dengan demikian berkaitan erat dengan pembebasan ilahi; yang seringkali ditafsirkan sebagai pertahanan diri (vindikasi) (mis. Mzm. 24: 5; 35:23-27; Yes. 54:17), dan, khususnya di Yesaya 40-66, paralel dengan penyelamatan (mis. Yes. 45:8; 46:12-13; 51:5-8; 56:1; bdk. Mzm. 98:2), dimana ia sering digambarkan sebagai karunia dari Allah (mis. Yes. 54:14; 61:3, 10-11; 62:1-3; bdk. Hos. 2:19).

Sebagaimana yang telah saya indikasikan, keselamatan ini mungkin dapat sebagai hasil dari tindakan benar Allah yang sesuai dengan hubungan perjanjian-Nya dengan umat-Nya; dengan demikian tindakan-tindakan yang ajaib yang melaluinya Allah membebaskan umat-Nya digambarkan sebagai benar (mis. Hak. 5:11; I Sam. 12:7; Mi. 6:5). Hubungan ini, bagaimanapun juga, dan bersamanya dasar dari pembebasan Allah,terancam bahaya oleh ketidaktaatan bangsa Israel. Fakta bahwa orang terus mengaitkan kebenaran Allah dengan penyelamatan dan pembebasan, diluar dari ketidak benaran mereka, membawa kepada kebenaran yang dihubungkan dengan pembenaran dari orang berdosa dan sehingga dilihat sebagai dasar yang mungkin bagi pengampunan dan belas kasihan (Mis. Mzm. 51:14; 143:1; Mi. 7:9). Kasih dan Kesetiaan Beberapa aspek kunci dari karakter Allah termaktub dalam ringkasan ortodoks tentang atributatribut ilahi dalam Keluaran 34:6......... ‘Penyayang’ (rahum) menyangkut gagasan dari menunjukkan belas kasihan, dan, seperti yang telah kita lihat, menyatakan kasih dari orangtua kepada seorang anak (Yes. 49:15; Mzm. 103:13). Dalam PL kata sifat ‘pengasih’ (...) senantiasa menggambarkan Allah, dan biasanya dipasangkan dengan ‘Penyayang’ (Kel. 34:6; 2 Taw. 30:9; Neh. 9:17; Mzm. 86:15; 103:8; 111:4; 145:8; Yl. 2:13; Yun. 4:2). Kata benda dari akar yang sama (hen) mengacu kepada perkenan atau iktikad baik yang diberikan secara cuma-cuma bagi kepentingan orang lain. Pada jantung dari hubungan antara Allah dan umat-Nya adalah istilah hesed (diterjemahkan sebagai ‘kasih setia’ dalam Keluaran 34:6-7). Ini tidak dapat disampaikan secara memadai dalam bahasa kita: ‘kata ini menyangkut kebaikan dan belas kasihan, namun juga menyangkut kesetiaan, tugas dan kewajiban. Dalam PL, hesed muncul sebagian besar dalam konteks hubungan, khususnya hubungan perjanjian, dan menyatakan ‘kesetiaan serta loyalitas...ia adalah komitmen batiniah dan penempatan dari iktikad baik bersamaan dengan ungkapan lahiriahnya dalam tindakan yang bertanggung jawab dan berbelas kasih’ Hesed biasanya dikaitkan dengan Allah, dan menyatakan kasih-Nya yang unik dan setia bagi umatNya. Ia terkait erat dengan perjanjian ilahi. Hubungan Allah dengan Israel diacu sebagai perjanjian hesed’ (Ul. 7:9, 12; 1 Raj. 8:23; Neh. 1:5; 9:32; Dan. 9:4), dan dalam beberapa nas istilah hesed dan berit (perjanjian) muncul dalam bait sejajar (mis. Mzm. 89:28; 106:45; Yes. 54:10). Hubungan ini diungkapkan dalam dua cara yang saling melengkapi. Pertama, hesed berasal dari perjanjian. Dengan masuk ke dalam suatu perjanjian dengan umat-Nya, allah telah mengikatkan diri-Nya sendiri untuk menunjukkan hesed kepada mereka. Ini termasuk kasih, kesetiaan dan keteguhan terhadap janji-janji perjanjian-Nya. Termasuk juga kebaikan, belas kasihan dan anugerah yang bersabar dengan, dan tetap komit terhadap, umat-Nya tidak peduli akan dosa mereka, dan menyediakan dasar bagi pengampunan dan pemulihan.” Ini membawa kepada karakteristik penting lain dari hesed Allah. Kedua, sebagaimana berasal dari perjanjian antara Allah dan umat-Nya, ia juga menjadi sarana yang melaluinya hubungan itu berlanjut, meskipun, karena ketidaksetiaan umat-Nya, ia mungkin secara lebih baik dihentikan. Ia dengan demikian menyediakan dasar bagi pemulihan dan janji tentang perjanjian baru (mis. Yer. 31:3; Hos. 2:18-20).

Hesed bertumpang tindih secara arti dengan kata-kata yang lain seperti kasih, anugerah, kebaikan dan kesetiaan. Ia berhubungan erat dengan ‘kesetiaan’, yang menunjuk kepada sifat mutlak Allah yang dapat dipercaya dan diandalkan. Ini karena ia mengandung begitu banyak gagasan yang yang saling berhubungan sehingga hesed begitu baik menyatakan tanggapan Allah terhadap umat-Nya: kesetiaan-Nya yang tetap dan kasih-Nya terhadap mereka; komitmen-Nya untuk bertindak sesuai dengan hubungan janji itu, dan, dalam kesabaran-Nya yang ramah dengan kegagalan mereka, komitmen-Nya untuk melanjutkan hubungan dalam semua yang berusaha mengancam hubungan itu. Hesed menyediakan dasar pada mana perjanjian antara Allah dan umat-Nya berlangsung. Kata kerja ‘ahab’ dan kata benda ‘---‘ juga diterjemahkan kasih, dapat dilihat sebagai dasar bagi pilihan Allah atas Israel pada mulanya (Mis. Ul. 4:37; 10:15; Mal. 1:2). Kasih ini tidak bersyarat (Ul. 7:7-8) dan kekal (I Taw. 31:3). Ia disamakan dengan kasih antara ayah dan anak (Hos. 11:1-4) dan antara suami dan anak (Hos. 3:1; lihat juga Yer. 2:2). Pernyataan-pernyataan ini mengungkapkan anugerah dan perkenan Allah terhadap, perasaan-Nya yang dalam bagi, dan komitmen-Nya bagi umat-Nya. Ketika Israel berpaling dari kasih Allah, Dia merasakan sakitnya penolakan (mis. Hos. 11:1-4, 8-9). Dosa membawa kemurkaan (Oer. 2-3; Yes. 50:1), namun kasih Allah tidak, kemudian, berakhir. Penghukuman Allah adalah bagian dari kasihNya; itu bersifat mendidik, bertujuan untuk membuat umat-Nya sadar akan keseriusan dosa mereka, dan untuk membimbing mereka kembali kepada-Nya (mis. Hos. 2; 6:1-3; 11:10-11; bdk. Ibr. 12:5-6). Dan karena kasih-Nyalah maka Allah bersedia untuk menebus dan menyelamatkan umat-Nya (mis. Ul. 7:8; mzm. 44:26; 103:4; Yes. 63:9; Hos. 1:7; Zef. 3:17). Murka Dalam ringkasan yang diperluas dari atribut ilahi dalam Keluaran 34:6-7 penghukuman dari dosa berdiri di samping kesetiaan dan kasih Allah. Ini menegaskan kemungkinan akan permusuhan Allah. Ia digambarkan sebagai Allah yang cemburu (mis. Ul. 4:24; 6:15; 32:16), yang menuntut kesetiaan total umat-Nya. Dan murka-Nya menyala terhadap hal-hal itu dan orang yang bersalah terhadap-Nya (mis. Kel. 4:14; 32:10-11; Bil. 11:1, 33; Ul. 29:20, 24; Mzm. 89:46; Yes. 30:27; Yer. 7:20). Eichrodt menyebut ini sebagai bukti lebih jauh dari karakter personal Allah. Meskipun begitu, ia bukan sebuah ledakan spontan di depan gangguan-gangguan kecil. Dalam PL kemarahan ilahi selalu dbenarkan sepenuhnya. Ini tidak sama dengan kasus ilah-ilah lain, yang dapat mencurahkan amarahnya atas manusia secara sewenang-wenang sebagai akibat dari kekesalan yang muncul tiba-tiba. Dalam epic Atrahasis, contohnya, kita melihat bagaimana dewa Enlil terganggu karena keributan yang dibuat oleh manusia mengganggu tidurnya, dan sebagai akibatnya ia mengirim banjir untuk menyapu umat manusia. Ketika sesuatu yang begitu relatif sepele dapat menghasilkan konsekuensi yang sedemikian merusak, adalah agak mengherankan jika manusia merasa kurang paham akan perkenan dan niat dewa-dewa dan berusaha keras untuk menyenangkan mereka. Murka Allah dapat dihubungkan dengan ketidaksenangan-Nya, namun bukanlah sewenang-wenang. Ia adalah retribusi, penghukuman bagi dosa, yang berkenaan dengan kegagalan memenuhi tuntutan yang diberikan Allah. Dengan demikian, meskipun akan selalu ada unsur misteri dan tak terduga disekeliling murka ilahi, namun ia juga dapat ditebak (mis. Bil. 25:3; Ul. 29:25-28; Yos. 7:1; 9:20; 2 Taw. 32:25; 36:16; Mzm. 78:21; Yes. 5:22-25), dan dapat dihindarkan melalui pertobatan dan ketaatan (mis. Bil. 16:46; 2 Taw. 12:7, 12; 32:26; Yer. 4:4).

Murka ilahi dapat ditujukan terhadap dosa, pemberontakan dan kesombongan Israel (Mis. Ul. 6:1315; Yos. 7:1; I Sam. 28:18-19; Yes. 10:5-6; Amos 2:4-16) dan bangsa-bangsa lain (Mis. Yes. 10:12-19, 25-27; Am. 1:3-2:3; Mi. 5:15; Zef. 3:8). Ia terjadi tiba-tiba terhadap mereka melanggar kekudusan dan sifat Allah yang tidak dapat dilanggar (Mis. Im. 10:2; Bil. 1:...; Yeh. 43:8; 48:11) murka juga memiliki dimensi eskatologis; Hari Tuhan akan menjadi hari kemurkaan (Mis. Mzm. 110:5; Yes. 13:913; Zef. 1:15; 2:2). Namun ada juga pegharapan keyakinan bahwa murka Allah bukanlah akhir (Mis. Yer. 32:37; Hos. 11:9; 14:4; lihat juga Yes. 48:9-11; Yeh. 20:8-9): sementara dan terbatas (mis. Yes. 26:20; 40:1-2; Yeh. 16:42); sebagai kebalikkan dari hesednya, yang tidak pernah gagal (Mzm. 30:5; 103:9-14; Yes. 54:7-8). sehingga, sebagai contoh, penghukuman Allah mencapai keturunan yang ketiga dan keempat, sementara hesed-Nya meluas sampai seribu generasi (Kel. 20:5-6; lihat juga 34:7). Roh Allah Kata Ibrani untuk ‘roh’, ruah, harus berkaitan dengan pergerakan udara. Sama seperti padanan Perjanjian Barunya, kata Yunani pneuma, ia juga berarti ‘angin’ atau ‘nafas’. Itu mengacu kepada nafas yang memberikan hidup kepada daging manusia, dan juga kepada perasaan dan watak manusia. Ruah sebagai pikiran yang kuat Ketika ruah mengacu kepada angin, ia sering dikaitkan dengan kuasa badai (mis. I Raj. 18:45; 2 Raj. 3:17; Mzm. 55:8; 148:8; Yes. 7:2, 41:16; Yeh. 1:4; 17:10). Ada juga perasaan misteri dan takjub. Angin adalah agen Allah: ia melakukan bidding-nya (mzm. 135:7; 148:8); Ia berkendara diatas sayapnya (Mzm. 18:10; 104:3); ia memberitakan kedatangan-Nya (I Raj. 19:11; Yeh. 2:4), dan ini adalah sebuah lambang dari murka dan penghakiman-Nya (mis. Mzm. 11:6; 103:16; Yes. 17:13; Yer. 4:11-12; Yeh. 13:13; Hos. 13:15; bdk. Yes. 4:4). Allah juga menggunakan angin untuk membuat banjir reda (Kej. 8:1) dan untuk membelah air Laut Merah (Kel. 14:21; bdk. 15:8, 10; lihat juga mis. Kel. 10:13, 19; Bil. 11:31; Yes. 11:15; Yun. 1:4; 4:8). Roh Tuhan Aktivitas Roh adalah aktivitas Allah Dalam PL kehadiran dan aktivitas Roh disamakan dengan kehadiran dan aktivitas roh diidentifikasi -kan dengan hadirat dan aktivitas Allah sendiri (mis. Mzm. 51:11; 143:10; Hag. 2:4-5; Za. 4:6). Smith menjelaskan Roh Tuhan sebagai ‘manifestasi dalam pengalaman manusia tentang kuasa Allah yang memberikan hidup dan menciptakan energi’; Michael Green menggambarkan Roh sebagai ‘Allah yang bertindak bagi kepentingan umat-Nya’, dan menurut John Goldingay, ‘pembicaraan tentang aktivitas Roh Allah adalah cara Perjanjian pertama menggambarkan aktivitas Allah dalam dunia’. Sebuah nas yang penting disini adalah Yesaya 63:7-14. Ini melihat kembali pada berkat-berkat Allah pada saat keluaran dan orang-orang tak tahu berterimakasih dari umat tersebut yang, tidak peduli apapun yang telah Allah lakukan bagi mereka, memberontak terhadap Dia. Secara khusus ia mengingatkan Keluaran 33:14, dimana Allah berkata kepada Musa, my presence... dalam Yesaya 63 Rohlah yang berada diantara umat itu (ay. 11), dengan demikian mengaitkan Roh dengan hadirat ilahi, dan juga Roh yang memberikan orang-orang perhentian (ay. 14). Dalam nas ini juga Roh Kudus disejajarkan dengan lengan kuasa Allah yang berkemenangan (ay. 12). Melalui Roh, kemudian, Allah

hadir dalam dunia dan diantara umat-Nya, dan melalui Roh kehidupan dan kuasa ilahi tersedia bagi umat-Nya, menyanggupkan mereka untuk menjadi dan melakukan apa yang sebaliknya tidak mungkin. Kita memperhatikan juga kesejajaran dalam Yesaya 34:16 antara mulut Allah, yang mengumumkan panghakiman, dan karya Roh-Nya, yang akan melaksanakannya. Karena Roh begitu erat diidentifikasikan dengan Allah dan tindakan-Nya dalam dunia, para penulis PL umumnya tidak melihat-Nya dalam pengertian personal, meskipun gagasan bahwa Roh dapat didukakan (Yes. 63:10) memang nampaknya mengarah kepada pandangan yang lebih personal seperti yang kita lihat dalam PB (bdk. Ef. 4:30). Roh berkuasa dan misterius Seperti ketika istilah tersebut diaplikasikan kepada angin, Ruah Allah juga digambarkan sebagai berkuasa dan misterius; ia seperti angin driving: kuat, tidak terlihat, tidak dapat dikendalikan dan ditebak (mis. Yes 40:7; 59:19). Sehingga, dalam I Raja-raja 18:12, Obaja menggambarkan ruah yhwy sebagai angin puting beliung yang dapat membawa Elia (lihat juga mis. 2 Raj. 2:16; Yeh. 3:14; 11:1; 43:5), dan ketika Simson diserang oleh seekor singa, Roh Allah turun atasnya dalam kuasa sehingga ia dapat mencabik singa itu dengan tangan kosong (Hak. 14:6). Roh mengimpartasikan (menanamkan) kehidupan Ruah Allah memainkan peranan dalam mendayagunakan kehidupan jasmani. Dalam Mazmur 104:29-30 ia mengacu kepada Roh Allah maupun nafas yang menghidupkan tubuh manusia: Ketika Engkau... menyiratkan kaitan erat antara keduanya (bdk. Kej. 6:17; 7:15; Ayb. 33:4; 34:14; Yes. 57:16). Roh juga membawa kehidupan rohani, pembaruan dan penyegaran. Kita melihatnya, sebagai contoh, dalam Yeh. 37:1-14, ketika ruah Allah membangkitkan tulang-tulang kering Israel. Dalam ayat-ayat ini ruah muncul dengan beragam arti: sebagai angin (ay. 9), sebagai nafas yang membawa kehidupan kepada daging yang mati (ay. 5, 9, 10) dan juga sebagai Roh Allah yang membawa kehidupan rohani dan pemulihan bagi umat-Nya (ay. 14; lihat juga Yeh. 36:26-27; bdk. 11:19; 18:31). Dalam beberapa nats di PL Roh juga disamakan dengan hujan,membawa kehidupan dan kesuksesan (fruitfulness) (mis. Yes. 32:15; 44:3-4; Yl. 2:23-29). Roh Allah juga dikaitkan dengan penciptaan. Dalam Kejadian 1:2, ruah Allah melayang-layang diatas air purba sebelum aktivitas penciptaan Allah, dan dalam Ayub 26:12-13 ruah Allah adalah penolong dalam kemenangan atas kekacauan purba, yang mana, sekali lagi, dihubungkan dengan penciptaan. Dalam Mazmur 33:6 nafas (ruah) dari mulut-Nya sejajar dengan perkataan-perkataan Yahweh, yang olehnya langit diciptakan (bdk. Mzm. 104:30). Roh menyanggupkan nubuat Sebagaimana yang baru saja dicatat, dalam Mazmur 33:6 firman dan nafas (ruah) Allah adalah paralel: dengan firman TUHAN langit dijadikan (bdk. 2 Sam. 23:2; Ams. 1:23; Yes. 59:21). Kaitan ini terlihat juga dalam hubungan dekat dalam PL antara Roh Allah dan nubuat. Bernubuat adalah tanda dari Roh Allah yang menghinggapi seseorang; sebagai contoh tua-tua Israel (Bil. 11:25-29), Saul (I Sam. 10:6, 10; 19:23), orang-orang Saul (I Sam. 19:20) dan puncaknya, semua orang (Yl. 2:28; bdk. Yes. 59:21). Roh mengilhami nabi-nabi, menyanggupkan mereka untuk mengucapkan firman Allah (mis. Yeh. 11:5; Mi. 3:8). Dalam Hosea 9:7 nabi-nabi sejajar dengan orang yang diilhami (haruah,

‘orang yang dari roh’; lihat juga Bil. 24:2; 2 Sam. 23:2; 2 Taw. 15:1; 20:14; 24:20; Neh. 9:30; Yes. 48:16; Yeh. 2:2; 3:24; Za. 7:12). Harus diperhatikan, meskipun demikian, bahwa dalam periode pra pembuangan nampaknya ada keengganan untuk menghubungkan Roh dengan nubuat. Beberapa nabi pra pembuangan menyebutkan pengilhaman mereka berasal dari Roh; pastinya, amos dan Yeremia tidak mengacu kepada Roh dalam semua hubungan dengan nubuat mereka, dan lebih condong untuk menyebutkan nubuat mereka dengan firman Allah (mis. Amos 3:8; Yer. 20:9; 23:18). Kurangnya penekanan atas Roh inilah yang mungkin menjauhkan nabi-nabi yang kemudian dari ocehan (ekstatik/kegembiraan yang meluap-luap) yang mencirikan nabi-nabi dari agama lain di sekitar Israel, dan juga nabi-nabi palsu di Israel yang mencoba untuk menyamainya. Roh dihubungkan dengan keterampilan dan kecakapan Ini terkadang nampak sebagai kecakapan manusiawi yang biasa,yang meskipun demikian dilihat sebagai datang dari Allah-sebagaimana dalam kasus keterampilan kesenian Bezaleel dan orangorang lain yang ditunjuk untuk mengerjakan Kemah Pertemuan (Kel. 31:3-4; 35:31; bdk. 28:3). Ia dapat juga dilihat dalam kemampuan supranatural yang lebih dramatis, seperti contohnya kekuatan super Simson (mis. Hak. 14:6; 15:14-15). Roh mendayagunakan pemimpin Musa, pemimpin Israel, diberkati dengan Roh; ketika tanggungjawab kepemimpinan didelegasikan kepada tua-tua Israel, Roh turun ke atas mereka (Bil. 11:17, 25) Roh juga turun atas hakim-hakim Israel; contohnya Otniel (Hak. 3:9-10), Gideon (Hak. 6:34), Yefta (Hak. 11:29) dan Simson (Hak. 13:25). Minyak yang melaluinya para raja diurapi juga dilihat sebagai indikasi kehadiran Roh Allah. Ketika Samuel mengurapi Saul, ia berjanji bahwa Roh akan turun atasnya (I Sam. 10:1, 6; 11:6), dan ketika Saul ditolak sebagai raja, Roh meninggalkan dia (I Sam 16:14). Kaitan antara minyak dan Roh bahkan lebih jelas dalam kasus Daud; lalu Samuel mengambil tanduk... (I Sam 16:13). Segi penting lain lagi dari pengurapan Daud adalah ketika Roh turun atas Saul dan atas hakim-hakim Israel hanya pada saat tertentu dengan maksud untuk memperlengkapi mereka untuk tugas tertentu, namun Roh turun atas Daud mulai hari itu dan seterusnya-mengindikasikan sebuah pemberian permanen. Mengurapi seseorang sebagai raja mendemonstrasikan baik pilihan maupun pemberian kemampuan dari Allah. Namun demikian, seperti yang telah diduga sebelumnya, tidak ada penyebutan mengenai peranan Roh dalam hubungannya dengan pengurapan raja-raja Israel maupun Yehuda setelah Daud. Penghilangan ini kemungkinan disengaja, menunjuk kepada kegagalan umum dari kerajaan itu, yang berlawanan dengan pemerintahan ideal Daud. Namun demikian, diluar kegagalan itu, masih tersisa harapan akan Mesias dari Daud, yang seperti Daud pendahulunya, juga akan diurapi dan ditinggali secara permanen oleh Roh (Yes. 11:1-3). Hamba TUHAN, kadang-kadang diidentikkan dengan Mesias, juga diurapi dengan Roh, baik untuk peranan rajani menegakkan keadilan (Yes. 42:1) dan bagi peranan profetik memproklamasikan firman Allah (Yes. 61:1; bdk. Luk. 4:18). Meskipun ada kaitan antara pengilhaman kenabian dan Roh, ini nampaknya tidak dikaitkan dengan suatu ‘pengurapan’ resmi. Terlepas dari sosok kenabian dalam Yesaya 61:1 dan kesejajaran antara yang diurapi dan nabi-nabi dalam I Tawarikh 16:22 (Mzm. 105:15), nampaknya mengacu kepada

bapa-bapa leluhur, satu-satunya referensi PL kepada seorang nabi yang diurapi adalah ketika Elia diutus untuk mengurapi Elisa sebagai penggantinya (I Raj. 19:16), dan disana penekanan tersebut nampaknya menjadi lebih kepada penunjukkannya kepada tugas tersebut ketimbang pendayagunaannya bagi tugas itu. Disamping raja-raja dan (kemungkinan) nabi-nabi, imam-imam juga diurapi (lih. Kel. 28:41; 30:30; 40:15; Bil. 3:3). Pengurapan dengan minyak sekali lagi mungkin melambangkan kehadiran Roh Allah yang memampukan, meskipun hal itu tidak disebutkan secara eksplisit. Roh Kudus Ungkapan ini muncul tiga kali dalam PL (Mzm. 51:11; Yes. 63:10-11), dan julukan yang sama ‘roh Allah’, muncul dalam Nehemia 9:20 dan Mazmur 143:10. Karena kehadiran Roh mengindikasikan kehadiran Allah, yang kudus, tuntutan etis tertentu tidak terelakkan. Jadi, dosa orang-orang mendukakan Roh (Yes. 63:10), dan Mazmur 51:11 sang penulis sadar bahwa dosanya dapat membuat Allah mencabut Roh-Nya. Judul dari Mazmur tersebut dianggap berasal dari Daud, dan meskipun ada tambahan-tambahan yang kemudian, mazmur itu membentuk bagian dari teks kanonik. Menghubungkan doa tersebut dengan Daud memberikannya ketajaman/kepedihan khusus, karena mancabut Roh-Nya adalah apa yang baru saja Allah lakukan terhadap pendahulu Daud, Saul (I Sam. 16:14). Sebuah akibat wajar dari ini adalah dibawah perjanjian yang bru, Allah akan memampukan umat-Nya untuk memenuhi tuntutan kekudusan-Nya dengan menaruh Roh-Nya dalam mereka, memberikan hati yang baru dan kemampuan yang baru untuk memenuhi hukum-Nya (Yeh. 36:26-27). Roh dan eskatologi Ada hubungan yang dekat, khususnya dalam tulisan-tulisan nubuat yang kemudian, antara Roh dan kedatangan era keselamatan. Kita telah melihat bahwa agen-agen keselamatan eskatologis, Mesias dan Hamba, akan didiami dengan Roh (Yes. 11:1-3; 42:1; 61:1). Kita melihat juga bahwa janji pembaruan berkat dan kemakmuran dalam masa yang akan datang dihubungkan dengan pencurahan Roh (Yes. 32:15-20; 44:3-5). Dalam masa baru itu Roh akan dicurahkan keatas semua manusia (Yes. 59:21; Yeh. 39:29; Yoel. 2:28-29; Za. 12:10; bdk. Bil. 11:29), membawa pembaruan batin yang perlu yang memampukan hubungan dengan Allah yang lebih dekat dan lebih langsung (Yeh. 36:26-27; bdk. Yer. 31:31-34). Kehadiran Yesus memulai kerajaan Allah, dan dengan kedatangan dari zaman yang bru ini, kita melihat perkembangan dari beberapa aspek peranan Roh Kudus. Seperti dalam PL, pelayanan profetik dalam PB juga dikaitkan dengan Roh (I kor. 12:10), meskipun sekarang akan lebih luas, mencerminkan pencurahan Roh yang universal di masa yang mendatang (lih. Yl. 2:28-29; bdk. Kis. 2:18), dan peranan-peranan PL yang lain, seperti memampukan dan melengkapi bagi tugas kepemimpinan, kuasa untuk pelayanan, pembaruan, dan pemberian hidup yang baru, memiliki kesejajaran dalam PB. Namun demikian, ada perkembangan dalam pemahaman akan peranan dan aktivitas Roh, dan kita harus berhati-hati terhadap membaca pandangan kita tentang Roh, berdasarkan atas PB dan mungkin pada penekanan denominasional tertentu, kembali kepada PL. Sehingga, sebagai contoh, salah satu manifestasi PB tentang Roh yang tidak ditonjolkan secara eksplisit dalam PL adalah-berbicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda-beda ( I Kor. 12:10).

Related Documents

Allah Dan Para Ilah.docx
February 2021 0
Allah Dan Penciptaan.docx
February 2021 0
Allah Dan Masa Depan
February 2021 0
Cinta Dan Murka Allah
January 2021 1
Allah Dan Umat-nya (2)
February 2021 0
Allah Dan Umat-nya (1)
February 2021 0

More Documents from "Duta April"