Allah Dan Penciptaan.docx

  • Uploaded by: Duta shinta
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Allah Dan Penciptaan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,466
  • Pages: 19
Loading documents preview...
Allah dan Penciptaan Gagasan tentang penciptaan dalam TDK Riwayat penciptaan yang lain Riwayat penciptaan dan air bah dalam kitab Kejadian memiliki titik temu dengan sejarah-sejarah mula-mula dari sekitar Israel, meskipun secara umum, perbedaannya jauh lebih besar dari persamaannya. Satu teks, Epik Penciptaan Babilonia, yang mengambil namanya dari dua kata pertama teks tersebut, Enuma Elish, ‘ketika di atas’ diklaim sebagai memiliki kesejajaran yang dekat dengan Kejadian dan kadangkala disebut sebagai ‘Kejadian Babel’. Teks tersebut menggambarkan kemenangan Marduk, dewa negeri Babel, atas Apsu dan Tiamat (perempuan) (yang melambangkan air kekacauan mula-mula) dan pelantikan Marduk sebagai raja atas dewa-dewi yang lain. Setelah membunuh Tiamat, Marduk membagi tubuhnya untuk membentuk langit dan bumi, dan dari darah suami serta komandan pasukannya, Kingu, ia menciptakan manusia untuk melakukan pekerjaan dewa-dewi sehingga dengan demikian memungkinkan para dewa untuk hidup nyaman. Kit atelah mencatat sebelumnya Epik Atrahasis, yang utamanya berkenaan dengan banjir yang universal. Ia tidak menguraikan penciptaan dunia, namun ada menyertakan sebuah riwayat yang terperinci tentang penciptaan umat manusia. Sebuah kelompok dewa kelas kedua yang bertanggung jawab untuk bekerja di bumi, mengadakan “mogok” kerja. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, biangkeladi pemberontakan tersebut dibunuh, dan dari darahnya, dicampur dengan tanah liat, tujuh pasang manusia diciptakan-sekali lagi untuk melakukan pekerjaan tersebut dan dedngan demikian membebaskan dewa-dewi dari jerih payah mereka. Adalah sebuah pandangan yang umum bahwa gagasan tentang Allah sebagai pencipta dalam Kejadian dan Deutero Yesaya bangkit selama pembuangan dan dipengaruhi oleh kisah-kisah penciptaan Mesopotamia ini. Gunkel, bersama-sama dengan banyak orang pada akhir abad kesembilan belas dan permulaan abad keduapuluh, menganggap riwayat Kejadian sebagai tidak lebih dari sebuah versi yahudi dari Enuma Elish, meskipun pemikran tersebut tidak meluas pada saat ini. Para sarjana yang lebih kemudian mengakui kaitan dengan mitos Kanaan atau Ugarit. Pembuangan merupakan periode formatif dalam perkembangan teologi Israel. Penghancuran Yerusalem dan Bait Allah, serta pengasingan dari negeri itu, membawa kepada evaluasi yang serius dari hubungan bangsa itu dengan Allah, dan mempertanyakan bagaimana mempertahankan hubungan itu di tengah-tengah budaya yang bermusuhan dan politeistik. Ini tercermin dalam teologi penciptaan. Adalah sebuah pandangan yang umum bahwa sumber P (termasuk Kejadian 1) adalah berasal dari pasca pembuangan dan berpusat pada penciptaan untuk menekankan kuasa dan keagungan Allah atas dewa-dewa Babel. Jika demikian, riwayat Alkitab haruslah dilihat sebagai bukan bergantung pada mitos-mitos Babel namun sebagai polemik terhadapnya. Meskipun ada bahasa yang serupa dan bahkan kiasan yang disengaja, tujuannya adalah untuk menekankan superioritas dari Allah Israel. Dialah, bukan moster-monster kekacauan Babel, ada lebih dahulu, dan mengadakan alam semesta. Penekanan ini juga berfungsi untuk meyakinkan kembali umat itu bahwa Allah memiliki otoritas final dalam sejarah umat-Nya. Sebagaimana yang telah kita perhatikan, ada pertanyaan-pertanyaan tentang penanggalan dari sumber-sumber Pentateukh. Ada juga pengakuan yang tumbuh bahwa penggambaranpenggambaran dalam PL memiliki kaitan yang lebih dekat dengan Ugarit daripada Mesopotamia. Mungkin ada kiasan-kiasan terhadap mitos Mesopotamia, namun mitos-mitos ini kemungkinan

besar dikenal di seluruh TDK dengan baik sebelum pembuangan. Kapanpun ia ditulis, sungguhpun, riwayat Alkitab tentang penciptaan, menekankan prioritas Allah dan kuasa-Nya atas ilah-ilah lain, akan mengambil signifakansi yang baru selama pembuangan. Kita melihat penekanan yang diperbarui ini juga dalam Yesaya 40-55. Pada suatu waktu ketika umat Allah melihat sedikit dari aktivitas-Nya ini dalam sejarah, mereka berfokus, alih-alih, pada kuasa-Nya atas alam, dan atas fakta bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dapat memberikan umat-Nya permulaan yang baru (lih. Yes. 40). Mitos dalam PL Apa itu ‘mitos’? Childs mencatat dua pengertian dasar dari mitos. Untuk yang satu ia mengutip Gunkel, ‘mitos adalah kisah-kisah tentang dewa-dewi’. Yang kedua, pengertian yang lebih luas, menganggap mitos sebagai kisah-kisah yang mencerminkan suatu tahap awal dari perkembangan intelektual manusia dan usaha untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa serta fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh pandangan dunia pra ilmiah dengan intervensi supranatural oleh dewa-dewa atau makhluk-makhluk lain. Dengan demikian mitos bukanlah sekedar fiksi; mereka menyampaikan kebenaran dasar: mereka adalah refleksi atas apa yang telah terjadi, yang melaluinya orang mengungkapkan pandangan mereka tentang dunia dan pemahaman mereka akan realitas. Memandang dengan cara ini, bagian-bagian dari PL mungkin dapat digambarkan sebagai mite, meskipun istilah tersebut harus digunakan dengan hati-hati. Seperti yang telah saya tekankan, bahan Alkitab ditulis dalam cara yang dapat dimengerti oleh para pembaca pertamanya. Sebagai Firman Allah, Kitab suci memiliki relevansi yang berkelanjutan bagi setiap generasi, termasuk generasi kita. Namun demikian, mereka dimulai pada titik tertentu dalam sejarah, ditujukan kepada orang dan situasi tertentu, dan oleh karenanya perlu untuk menyampaikan kebenaran yang terkandung di dalamnya dalam cara-cara yang cocok dengan pemahaman dan pandangan dunia dari mereka yang pertama-tama menerima pesannya. Karena bahasa dan ungkapan mitologis adalah hal yang umum pada saat itu, tidaklah mengejutkan apabila para penulis PL akan menggunakannya dalam tulisantulisan mereka. Ini tidak berarti menyiratkan bahwa mereka sekedar meminjamnya atau bahwa mereka menganut pandangan agamawi di belakang istilah-istilah tersebut-dan perlambang sering ditransformasikan sedemikian menjadi polemik terhadap pandangan-pandangan religius yang lain. Namun bagaimanapun juga, ini adalah cara yang bermanfaat dalam menyajikan kebenaran yang tidak dapat dengan mudah untuk diungkapkan dengan cara yang lain pada saat itu. Chaoskanpf Istilah ini mengacu kepada penggambaran umum penciptaan sebagai pertempuran antara dewa pencipta dan kekuatan-kekuatan kekacauan, biasanya diwakili oleh air purba dan monster-monster yang muncul daripadanya. Chaoskanf merupakan sebuah karakteristik tema dari epik penciptaan Babilonia, Enuma Elish, dan ada unsur-unsur dari mitos Ugaritik yang menggambarkan kemenangan Baal atas dewa laut, Yam, meskipun ia pada hakekatnya bukan mitos penciptaan. Sebuah versi dari motif ini mungkin dapat ditemukan dalam PL. Beberapa nas mengacu kepada Lewiatan, seekor monster kekacauan yang dikalahkan oleh Baal (lih. Mzm. 74:14; Yes. 27:1), dan Rahab (mis. Ayb. 26:12; Yes. 51:9), yang kemungkinan monster lain semacam itu. Ada juga acuan kepada tannin, istilah yang lebih umum bagi ‘monster laut’ atau ‘naga’ (Mis. Mzm. 74:13; Yes. 27:1). Gunkel

mengusulkan bahwa ‘samudera raya (the deep/abyss)’ (tehom) dalam Kejadian 1:2 merupakan acuan kepada Tiamat. Sungguhpun demikian, meskipun istilah-istilah tersebut memiliki akar yang sama, tidak ada kaitan secara langsung diantara mereka, dan usulan apapun akan kebergantungan adalah tidak berdasar, kenyataannya tidak ada indikasi langsung dari chaoskanf motif dalam Kejadian 1. Namun demikian, penggunaan dari istilah yang sama rumpunnya mengindikasikan persesuaian narasi: acuan kepada tihom dan pemisahan air mungkin sekalimembawa mitos Babilonia ke dalam pikiran, meskipun dalam konteks kekinian ini akan, utamanya , menyoroti perbedaan teologis. Meskipun bahasa dan perlambang mitologis yang ditemukan dalam beberapa nas PL mungkin memiliki peredaran luas dalam TDK, para penulis PL menggunakannya dalam cara yang berbeda. Perlambang tersebut diambil dari lingkungan aslinya (kafir) dan memberikannya arti serta makna yang baru. Bukannya menggambarkan ilah yang bermusuhan memperebutkan kekuasaan, PL menekankan bahwa hanya ada satu Allah yang adalah Tuhan atas langit dan bumi. Dan dimana motif Chaoskaf muncul dalam konteks ini, ia terkait, utamanya, bukan dengan kemenangan Allah sebelumnya dalam pertempuran semesta pra-penciptaan namun dengan kehadiran-Nya yang terus menerus dalam dunia. Dengan demikian perlambang mitologis dapat mengungkapkan kuasa Allah atas alam (Mis. Mzm. 93:1-4). Ia dapat juga diaplikasikan kembali kepada peristiwa-peristiwa dari sejarah Israel. Air yang bergelombang sering kali diambil untuk melambangkan Laut Merah, dikeringkan untuk membuat jalan bagi orang Israel untuk menyeberang (Mis. Mzm. 74:12-17; 77:1619; Yes. 51:9-10). Dalam Mzm. 46 lautan yang meraung dipadamkan dalam mitos penciptaan (ay. 23) disamakan dengan bangsa-bangsa yang mengancam yang ditundukkan di hadapan Allah (ay. 6). Di bagian-bagian lain juga monster-monster laut melambangkan musuh-musuh historis Israel. Karena kaitan erat antara Chaoskanpf dan pembagian Laut Merah dalam kitab Keluaran, Mesir lebih sering digambarkan dalam cara ini. Ia dilambangkan dengan Lewiatan (Mzm. 74:14), dengan Rahab (Mzm. 87:4; Yes. 30:7; 51:9) dan dengan tannin (Yeh. 29:3-5; 32:2-8). Istilah ini juga diterapkan kepada Babel (Yer. 51:34). Lewiatan dalam Yesaya 27:1 mungkin mewakili suatu musuh tertentu, namun kemungkinan besar terlihat lebih umum sebagai kuasa manusia melawan Allah, yang akhirnya akan dikalahkan. Kemenangan Allah atas monster-monster kekacauan pada penciptaan kemudian dihadirkan. Kekacauan dan ketidaktertiban masih mengancam untuk mengganggu tujuantujuan Allah; monster-monster, dalam bentuk bangsa-bangsa yang menindas atau kafir atau tidak percaya masih mengancam kehidupan dan iman dari umat Allah, namun mereka juga akan dikalahkan. Dan dalam penglihatan akan masa depan motif ini dimitologisasikan kembali dan diberikan lingkungan apokaliptik: pertempuran purba yang berujung pada penciptaan dan kekalahan unsur-unsur yang memberontak dan kacau akan diulangi dalam penaklukkan eskatologis dari kejahatan dan janji akan kedatangan ciptaan baru (mis. Yes. 2-4:2-1-2-3; 27:1). Cara melihat masa depan dalam pengertian masa lalu ini kadang –kadang disebut sebagai Uneit Wird Endgeit (sejarah purba menjadi akhir zaman); akhir masa oleh karenanya merupakan sebuah cerminan dari apa yang terjadi pada permulaan. Perlambang mitologis lantas memampukan para penulis PL untuk menunjukkan kemenangan Allah dalam penciptaan sebagai peristiwa masa lalu, sebuah realitas masa kini dan harapan masa depan. Kosmologi TDK

Wilayah perbandingan lain antara PL dan TDK adalah dalam kosmologi yang mereka tampilkan/ ada godaan dalam lingkup tertentu untuk mencocokkan gambaran kosmos dalam Kejadian kedalam lingkup ilmiah modern. Kemungkinan besar, meskipun begitu, bahwa pemahaman para penulis PL tentang isu-isu seperti penciptaan dan air bah memiliki banyak kesamaan dengan orang-orang sezaman mereka di Ugarit dan Mesopotamia, yang mana merupakan alasan adanya kesamaankesamaan dalam kisah yang mereka ceritakan. Dalam kosmologi PL bumi dikelilingi dengan langit, sebuah permukaan luas yang padat yang menahan air diatasnya (Kel. 1:6-7). Ada juga air dibawah bumi (Kej. 7:11). Matahari, bulan dan bintang ditempatkan di langit (Kej. 1 :14-18). Beberapa nas juga mengacu kepada peletakkan bumi (mis. 2 Sam. 22:16; Mzm. 82:5; 102:25; 104:5; Ams. 8:29; Yes. 24:18; 48:13; 51:13, 16; Za. 12:1), dan dunia orang mati, Sheol, dianggap berada di suatu tempat dibawah bumi (Ayb. 11:8; Mzm. 86:13; Ams. 9:18; Am. 9:2). Gambaran umumnya mirip dengan daerah lain di TDK. Di Babel ada tiga tingkatan langit (surga) dan tiga tingkatan bumi. Di Mesir langit kadangkala dilambangkan dengan dewi Nut yang membungkukkan badannya melingkupi bumi, dan kadangkala dengan seekor sapi. Menafsirkan Kejadian 1-11 secara teologis? Beberapa kalangan menerima kisah-kisah dalam Kejadian 1-11 tentang penciptaan, kejatuhan, air bah, menara Babel dan lain-lain sebagai peristiwa historis. Dan tentu saja, tidak satupun dari kisah tersebut yang berada diluar jangkauan kuasa Allah. Namun demikian, sedemikian penting pun pertanyaan mengenai historisitasnya , namun hal ini tidaklah sentral bagi bab-bab ini; isu utama disini ialah makna teologisnya. Kejadian 1-11 adalah ‘sejarah purba’ atau ‘prasejarah’. Ia berkenaan dengan permulaan: asal-usul dunia, dan juga asal-usul dari hal-hal yag memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia, seperti dosa, kematian, pernikahan, konflik (antara suami dan istri, dalam keluarga dan komunitas dan antara bangsa-bangsa), sifat Allah dan hubungan-Nya dengan manusia, penghakiman, pengampunan, dan kovenan. Orang percaya dalam PL diperhadapkan dengan dunia yang sama sebagaimana tetangganya di Babel dan Ugarit. Mereka juga menyadari akan mitologi-mitologi dari bangsa-bangsa sekitar, dalam mana bangsa-bangsa tersebut berusaha untuk meriwayatkan dunia sebagaimana mereka melihatnya, meskipun dari sudut pandang yang sangat berbeda; dan mereka menyajikan penjelasan mereka sendiri tentang perihal hal-hal,l sebuah penjelasan yang menempatkan Allah sebagai pusat. Ini bukan berarti mengatakan bahwa ini adalah cara manusia untuk menjelaskan asal-usul sesuatu. Ia tetap adalah wahyu Allah, namun pewahyuan yang diberikan dalam bentuk yang paling masuk akal bagi mereka yang menerimanya, ketimbang keharusan mengacu kepada standar modern dari penyelidikan ilmiah dan sejarah. Kejadian 1-11 juga menggambarkan kecenderungan yang makin dalam terhadap dosa, dan dengan demikian mempersiapkan bagi kisah penyelamatan, dan panggilan abraham dalam Kejadian 12. Gambar...... Segi-segi dari kisah penciptaan Alkitab Transendensi Allah Riwayat penciptaan versi yang lain menampilokan agama yang politeistik dan naturalistik. Kekuatankekuatan alam dan unsur-unsur dalam dunia jasmani disamakan dengan dewa-dewa yang bangkit

dari kekacauan purba. Berkebalikan dengan Alkitab yang menjelaskan hanya satu Allah, yang ada secara mandiri dari dunia dan yang menjadikan dunia. Dalam PL, bahkan ketika bahasa dan perlambang yang sama digunakan, kekuatan alam tidaklah didewakan. Adalah mungkin bahwa penggambaran matahari dalam Mzm. 19:4-6 mencerminkan mitos TDK tentang dewa matahari. Namun, pemazmur telah mengubah karakter mereka secara radikal. Matahari bukanlah salah satu dewa melainkan bagian dari karya Tangan Allah: Ia telah membuatnya, ia menetapkan tempatnya dan ia menggenapi fungsi fisiknya yaitu menyediakan panas dan cahaya. Sebagaimana yang telah kita lihat, aktivitas kreatif Allah merupakan kunci pembedaan yang memisahkan-Nya dari “dewadewa” bangsa-bangsa. Imanensi Allah Sebagai penciptanya, dunia menjadi milik Allah (mis. Mzm. 24:1-2; 95:4-5). Ia tidak mengaturnya dengan hukum-hukum fisiknya sekaligus kemudian meninggalkannya berjalan sendiri. Ia tetap merawatnya: Ia memerintahkan musim-musim (Kej. 8:22), menyediakan air dan menumbuhkan rumput (Mzm. 104:13-14), mengirim kilat, angin dan hujan (Yer.10:13; 51:16), mengeluarkan bintang-bintang (Yes. 40:26; Ayb. 38-39) dan menopang kehidupan (Ayb. 34:14-15; Mzm. 104:29). Kemakmuran dan berkat dari tanah itu dihargai sebagai aktivitas Allah yang terus menerus (mis. Ul. 28:1-14; Mzm. 65:9-13; Hos. 2:8-9); ketika Ia menarik hadirat-Nya, berkat-berkat pun berhenti (Mis. Ul. 28:51-63). Dalam Yesaya 40-66 kuasa penciptaan Allah merupakan sumber keyakinan umat-Nya: Allah atas alam adalah juga Allah atas sejarah yang dapat diandalkan untuk pembebasan (Yes. 40:2131; 42:5-6; 43:1; 45:11-13; 48:12-15; 51:9-16; 65:17-25; lihat juga mis. Mzm. 74: 12-23; 136). Kuasa pencipta Allah dan aktivitas-Nya yang terus menerus, membawa keteraturan dari kekacauan, terang dari kegelapan dan kehidupan dari kematian, memberikan pengharapan bagi umat-Nya. Allah juga terlibat dalam urusan-urusan pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa untuk menggenapi tujuan-Nya (mis. Yes. 46:10; Dan. 4:35). Ini dapat terjadi melalui intervensi langsung, melalui mujizat, dimana hukum-hukum alam ditahan sementara, dan juga secara tidak langsung, dengan mempengaruhi jalannya peristiwa sejarah dan menggerakkannya menuju tujuan yang ditunjukkan Allah, namun tanpa intervensi yang terang-terangan. Gagasan tentang providensi adalah, seperti istilah Eichrodt, ‘tuntunan Allah atas takdir manusia’ akan dibahas secara lebih rinci dibawah ini, ketika kita melihat Allah dan bangsa-bangsa. Penciptaan oleh Firman Allah PL kadangkala menggambarkan Allah sebagai seorang penjunan tanah liat (mis. Ayb. 10:9; Yes. 45:9; Yer. 18:6-7), namun ini biasanya terkait bukan dalam penciptaan dunia melainkan dalam membentuk penduduk dunia, teristimewa bangsa Israel. Penciptaan itu sndiri biasanya dihubungkan dengan ‘firman’ Allah (mis. Kej. 1:6-7, 9, 11, 14-15; Mzm. 33:6, 9; 148:5-6; bdk. Yes. 55:11). Ini lebih jauh menekankan kuasa transenden Allah. Ada persamaan antara penciptaan oleh Firman Allah dan peranan Hikmat dalam penciptaan di Ams. 8:22-31. Penciptaan dan kekacauan Dalam mitos-mitos penciptaan yang lain surga dan bumi dibentuk dari kekacauan. Seperti yang telah kita lihat, dalam mitos babel Enuma Elish langit dan bumi dibentuk dari tubuh Tiamat yang dikalahkan, kadang-kadang dihubungkan dengan kata Ibrani tehom (samudera raya) dalam Kejadian

1:2. Ini dapat menyinggung kepada Enuma Elish, menguatkan gagasan akan kondisi pra penciptaan yang kacau. Penggambaran bumi sebagai ‘tak berbentuk dan kosong’ (tohu) juga diambil untuk menyiratkan suatu kekacauan purba yang darinya alam semesta dijadikan. Terkait dengan ini adalah perdebatan mengenai terjemahan dari Kejadian 1:1 serta hubungannya dengan ayat 2. Pandangan tradisional adalah bahwa apa yang kosong dan tak berbentuk (ay. 2) adalah merupakan hasil dari tindakan penciptaan Allah yang sebelumnya (ay. 1), yang menjadikan materi dari tidak ada, dan ini kemudian ditransformasikan dengan tindakan yang berikutnya. Terjemahan lain mengambil ayat 2 untuk menggambarkan kondisi alam semesta sebelum Allah mulai menciptakan; dan ini dapat diambil untuk menyiratkan bahwa materi kaekacauan telah ada sebelum karya penciptaan dimulai. Meskipun demikian, masih ada cukup dukungan bagi pandangan tradisional. Gagasan bahwa Allah menciptakan alam semesta dari ketiadaan juga disiratkan oleh nas-nas yang menunjuk kepada Allah memanggil segala sesuatu menjadi ada (mis. Mzm. 148:5; Ams. 8:22-27) dan ayat-ayat lain yang menekankan praeksistensi-Nya (mis. Mzm. 90:2; bdk. Ibr. 11:3). Jika langit dan bumi diciptakan dari sesuatu yang lain, maka materi haruslah, dalam pengertian tertentu, kekal. Para penulis PL menyangkal itu. Allah tidak menciptakan alam semesta dari seorang monster yang mati (seperti dalam Enuma Elish), atau mengatur materi yang sudah ada disana sebelumnya. Hanya Allah satu-satunya yang abadi; segala sesuatu yang lain berasal dari pada-Nya. Namun hal itu memunculkan pertanyaan penting lain. Jika Allah memang menciptakan dari yang tidak ada, mengapa memulai dari sesuatu yang tidak berbentuk dan kosong? Nampaknya aneh bahwa Allah akan menciptakan kekacauan, atau sesuatu yang menyerupainya. Alasannya adalah teologis. Ayat-ayat tersebut meletakkan dua gagasan sebelah menyebelah. Yang pertama adalah, melawan gagasan yang ditemukan di mitos penciptaan Ugarit dan Babilonia, tatanan penciptaan ialah karya Allah sendiri. Itu adalah signifikansi dari Kejadian 1:1, yang merupakan setting dari semua setelahnya. Allah menjadikannya. Yang kedua adalah kita melihat dalam tindakan penciptaan suatu proses dimana Allah membawa keteraturan dari kekacauan. Kekacauan dalam Kejadian 1:2 menunjuk kepada suatu dunia tanpa kuasa Allah yang mengubahkan. Keseluruhan pasal itu selanjutnya menunjukkan bahwa kuasa sedang bekerja: merubah apa yang tidak berbentuk dan kosong menjadi sesuatu yang dapat Allah nyatakan sebagai sangat baik. Ini menggambarkan kekacauan, daripada ketiadaan, sebagai lawan dari penciptaan, dan memungkinkan kemungkinan bahwa dosa dan penolakkan tujuan-tujuan Allah bagi dunia dapat membuka jalan bagi dunia untuk kembali kepada kekacauan sekali lagi. Kita melihat sesuatu seperti itu dalam sepanjang sisa Kejadian 1-11 khususnya dalam air bah. Kisah air bah mengindikasikan bahwa kekacauan belum disingkirkan dari penciptaan; sebaliknya ia hanya ditahan, dan mungkin diijinkan kembali sebagai akibat dari dosa manusia. Sehingga Yeremia menyamakan penghakiman yang turun kepada Israel seperti kembali kepada kekacauan pra-penciptaan: kepada suatu bumi yang tak berbentuk dan kacau (Yer. 4:23; bdk. Kej. 1:2). Yesaya 24 menunjuk kepada penghancuran bumi yang disebabkan oleh pelanggaran janji kekal (ay. 5) sekali lagi mungkin sebuah acuan kepada perjanjian dengan Nuh, dan berlanjut kepada penggambaran ketidakstabilan kosmik (ay. 18b-20), termasuk pembukaan tingkap-tingkap langit, yang secara langsung menggemakan bahasa air bah (Kej. 7:11; 8:2), dan penggoncangan dasar-dasar bumi (bdk. Mzm. 82:5). Zefanya 1:2-4 juga menunjuk kepada sebuah bencana yang menggemakan kehancuran air bah (Kej. 6:7) dan melambangkan pembalikkan ciptaan. Kita telah melihat juga bagaimana musuh-musuh historis Israel terkadang dilambangkan sebagai monster-monster kekacauan, menyiratkan bahwa bencana-bnecana nasional seperti penawanan Mesir dan pengasingan Babel dipandang sebagai kembali kepada keadaan kekacauan. Namun meskipun dosa

mungkin menyebabkan Allah menarik tangan-Nya, dan membangkitkan kembali kekacauan, ada pengharapan keyakinan bahwa Allah yang pernah mengalahkan monster-monster samudera raya dan membawa keteraturan atas kekacauan sanggup untuk melakukannya lagi, dan bahwa Dia akan memulihkan umatNya. Dan tentu saja prinsip tersebut juga berlaku bagi perkara sehari-hari dalam hidup umat Allah. Allah masih berada dalam ‘bisnis’ membawa tatanan dari kekacauan dan terang dari kegelapan. Penciptaan dan penebusan Dalam beberapa nas tindakan ajaib Allah dalam penciptaan diceritakan bersamaan dengan tindakan penyelamatan-Nya dalam sejarah (mis. Mzm. 33; 136; 148). Kaitan antara penciptaan dan penebusan ini terutama nyata dalam Yesaya 40-55, dimana gagasan Allah sebagai pencipta menekankan kuasa-Nya untuk menggenapi janji-Nya menyelamatkan umat-Nya. Von Rad mencatat pentingnya motif penciptaan dalam menguatkan iman: Allah yang menciptakan dunia dari kekacauan memiliki kuasa untuk melepaskan Israel dari kekacauan pengasingan dan membangun dia kembali di tanahnya. Von Rad mencatat hubungan yang erat dalam Yesaya 51:9-11 antara kuasa Allah dalam penciptaan dan pembebasan-Nya atas umat-Nya dalam Keluaran. Jalan di kedalaman laut agar orang-orang tebusan dapat menyeberang (Yes. 51:10b) mengacu kepada keluaran; sedangkan acuan kepada air di samudera raya yang luas dan kepada Rahab (ay. 9) menyiratkan kemenangan Allah atas air kekacauan pada penciptaan. Maka penciptaan dan keluaran dibawa bersama sebagai satu tindakan dalam tujuan penebusan Allah. Dalam Yesaya 45:18 kita diberitahu bahwa Allah tidak menciptakan dunia supaya kosong (....; bdk. Kej. 1:2), namun menjadikannya untuk ditinggali. Tujuan Allah bagi Yerusalem yang runtuh adalah sama (Yes. 44:26), dan cara bagaimana ia diungkapkan, sebagai sebuah kata perintah, merupakan kenang-kenangan akan perkataan penciptaan Allah dalam Kejadian 1. Dalam Yesaya 44:27 ada acuan lebih jauh kepada Allah mengeringkan air samudera raya (lihat juga Yes. 50:2). Ini sekali lagi membawa tradisi keluaran dan penciptaan bersama-sama: gagasan bahwa dalam penebusan Allah membangkitkan umat-Nya dari kekacauan. Kaitan eratnya dengan penciptaan juga mengindikasikan bahwa keluaran dapat dilihat sebagai tindakan penciptaan yang olehnya umat Allah dijadikan. Dengan menghubungkan ini kepada pembebasan dari Babel, pembebasan itu juga dilihat sebagai sebuah tindakan penciptaan, yang akan menghasilkan penciptaan dan pembaruan Israel. Menurut Stuhlmueller, firman Allah dalam Deutero-Yesaya memilki kuasa penciptaan semacam ini bagi kehidupan bangsa yang dalam pembuangan. Namun demikian, bangsa Israel tidaklah hidup dalam keterasingan. Menciptakan kembali dunia Israel menyangkut yang lain, termasuk Koresh dan bangsa-bangsa sekitar. Ini membawa kepada penegasan bahwa Allah bukan hanya pencipta Israel namun juga pencipta seluruh bumi, dan ini, pada gilirannya, menyanggupkan para nabi untuk melihat ke depan juga kepada penebusan an penciptaan final bukan hanya Israel namun juga seluruh dunia. Ini memiliki implikasi penting bagi gagasan misi terhadap bangsa-bangsa di luar Israel dalam PL. Kaitan erat antara penciptaan dan penebusan, bagaimanapun juga, memungkinkan kita tidak hanya melihat penebusan Israel sebagai suatu tindakan penciptaan namun juga untuk melihat tindakan penciptaan itu sendiri sebagai tindakan penyelamatan dalam mana Allah membebaskan kosmos dari kekacauan (Mis. Mzm. 74:12-17). Ini berhubungan dengan perjanjian Nuh, yang, sebagaimana telah kita lihat, lebih ajuh mengungkapkan kerinduan Allah untuk memelihara dunia dari kekacauan, dan

yang signifikansi implisit penebusannya ditegaskan secara eksplisit dalam Yesaya 54:9-10, dimana ia menyediakan pola bagi aktivitas Allah sebagai penebus umat-Nya dari pembuangan. Ini menunjuk kepada suatu komitmen ilahi bagi penebusan keseluruhan tatanan ciptaan, dan ini, sekali lagi, memiliki implikasi signifikan bagi pandangan PL tentang misi dunia. Pria dan wanita Penciptaan manusia Manusia diciptakan dari debu tanah (Kej. 2:7;lihat juga 3:19; Ayb. 10:9; Mzm. 104:29; Pkh. 3:20), menunjukkan kesatuan dengan seluruh ciptaan Allah. Sebagai daging, manusia memiliki tatanan kehidupan dengan ciptaan yang berbeda dengan Allah (Yes. 31:3). Namun demikian, mereka juga berbeda dari tatanan ciptaan yang lain, dan memiliki tempat yang khusus di dalamnya. Manusia digambarkan sebagai memiliki nafas kehidupan, yang , sebagaimana telah kita lihat, diberikan oleh Allah; namun ekspresi yang sama tersebut digunakan dalam hubungan dengan makhluk hidup yang lain (Kej. 1:30; 6:17). Apa yang lebih menentukan dalam menekankan keberbedaan dari manusia ialah bahwa mereka diciptakan segambar dengan Allah (Kej. 1:26-27). Diciptakan segambar dengan Allah Alkitab tidak menjelaskan apa arti ungkapan ini, dan meskipun banyak usulan yang diberikan, kebanyakan adalah, sebagaimana yang diamati oleh Hamilton, “berdasarkan atas kesimpulankesimpulan subjektif ketimbang oleh eksegesis objektif”. Penggunaan yang paling lazim dari istilah ‘gambar’ (tselem) mengusulkan kesamaan fisik, dan ungkapan ‘segambar dengan Allah’ telah diambil untuk menyiratkan bahwa manusia dalam pengertian tertentu ‘nampak seperti Allah’. Namun demikian, kita telah mancatat bahwa ada perbedaan fundamental dan ontologis antara Allah dan tata ciptaan dan bahwa adalah mustahil untuk membuat tiruan fisik dari Allah. Terjemahan semacam itu, kemudian, adalah hampir tidak mungkin, dan ini mungkin tercermin dalam penggunaan istilah yang lebih abstrak ‘kesamaan’ (detut). Meskipun kita mungkin tidak sampai kepada pemahaman yang akurat tentang ungkapan ‘diciptakan dalam gambar Allah’, beberapa hal penting mungkin disiratkan olehnya, yang dapat dikatakan untuk memisahkan manusia dari makhluk yang lain. Manusia memiliki ciri-ciri spiritual Allah Sementara mustahil untuk menunjukkan kesamaan fisik, ungkapan tersebut mungkin menandakan bahwa manusia, sebagaimana dipisahkan dengan ciptaan yang lain, memiliki kesamaan kualitas spiritual tertentu dengan Allah. Ini termasuk hal-hal seperti kepribadian, kecerdasan, dan kehendak bebas. Namun demikian, karena sedikitnya dasar objektif untuk menentukan ciri dan kualitas mana yang dimaksudkan, daftar apapun akan bersifat subjektif dan akan mencerminkan agenda teologis penyusunnya. Manusia diciptakan untuk berhubungan dengan Allah. Unngkapan ini mungkin mengindikasikan suatu hubungan yang istimewa antara manusia dan Allah. Westermann mengusulkan, ‘artinya adalah bahwa manusia diciptakan sedemikian sehingga sesuatu

dapat terjadi antara manusia dan Allah. Manusia diciptakan untuk berdiri di hadapan Allah’. Manusia diciptakan Allah dan bagi Allah dan dapat menemukan makna mereka seutuhnya hanya dalam hubungan dengan Dia. Manusia diberikan kuasa untuk memerintah bagi Allah Aspek dijadikan segambar dengan Allah ini adalah satu yang paling jelas dikaitkan dengan teks Alkitab. Kejadian 1:26 mengungkapkan dua gagasan yang sejajar: marilah kita menjadikan... dan biarlah mereka berkuasa...atas... (lihat juga Kejadian 2:19-20; mzm. 8:3-8). Dijadikan segambar dengan Allah terkait erat dengan memiliki otoritas untuk memerintah. Gagasan ini tercermin dimana-mana dalam TDK, dimana ungkap-an ‘gambar allah’ dapat diterapkan bagi para raja, sebagai perwakilan dewa-dewa di bumi. Allah telah menciptakan manusia dengan kuasa dan tanggungjawab untuk memerintah atas dunia-Nya bagi-Nya. Manusia diciptakan untuk mencerminkan kemuliaan Allah Terkait dengan panggilan istimewa ini, pemazmur menggambarkan manusia sebagai sedikit lebih rendah dari malaikat-malaikat dan dimahkotai dengan ...dengan kemuliaan dan hormat (Mzm. 8:5). Allah menciptakan manusia sebagai puncak karya penciptaan-Nya dan telah memberikan mereka suatu tempat yang unik dalam tata ciptaan. Hal ini berbanding terbalik secara tajam dengan mitosmitos seperti Epik Atrahasis dan Enuma Elish, dimana orang-orang disiptakan sebagai lebih sedikit dari budak-budak dewa-dewi. Dalam PL manusia diciptakan segambar dengan Allah, untuk mencerminkan kemuliaan Allah dalam dunia-Nya, dan manusia lantas dianugerahi dengan harkat dan status yang samasekali berbeda. Keunikan hubungan manusiawi Aspek yang lain dari keunikan manusia adalah hubungan istimewa antarpribadi. Tidak ada hubungan dari tata ciptaan yang lain yang dapat ditemukan yang menyediakan pemenuhan yang hanya dimungkinkan melalui hubungan-hubungan dengan manusia yang lain, dan teristimewa dalam pernikahan (Kej. 2:20-24). Acuan kepada manusia yang diciptakan pria dan wanita (1:27) adalah sangat penting. Akan didiskusikan nanti mengenai cara PL menggambarkan peranan masing-masing dari pria dan wanita. Untuk saat ini yang perlu kita perhatikan ialah, pertama, kedua jenis kelamin diciptakan segambar dengan Allah. Kedua, hanya melalui hubungan satu dengan yang lain maka tujuan Allah untuk memenuhi dan menaklukkan bumi, yang, sebagaimana telah kita lihat, dikaitkan dengan diciptakan dalam gambar Allah, akan digenapi. Ketiga, hubungan tersebut bersifat harmonis: tidak ada kesan hierarki: dengan pria lebih tinggi dari wanita. Trible berpendapat bahwa tidak ada juga kesan prioritas atau superioritas dalam Kejadian 2:21-24, dan mempertahankan bahwa perbedaan antara kedua jenis kelamin datang hanya dengan penciptaan wanita; dari satu ‘makhluk bumi’, Allah menciptakan dua makhluk seksual. Usulan ini menarik, meskipun dalam konteks naratif itu, yang ditulis dari sudut pendang patriarkhal, kita mungkin memahami bahwa Adam diciptakan sebagai pria ddan Hawa sebagai pasangan (wanita)nya. Meskipun demikian penekanan dari bagian naratif ini akan muncul sebagai asal-usul dan kebergantungan antar kedua jenis kelamin: tanpa seorang pendamping wanita, kelaki-lakian Adam tidak akan memiliki makna. Manusia dan lingkungannya.

Dalam Kejadian 1:28 manusia diberitahu untuk bertambah banyak dalam jumlah, menaklukkan bumi dan berkuasa atas segala yang hidup. Hubungan antara manusia dan lingkungan adalah isu yang besar dewasa ini. Ketika kitab Kejadian dituliskan, dampak dari kehidupan sehari-hari pada lingkungan adalah kecil dan masalah tersebut kurang penting. Meskipun begitu, memerintah bumi, yang telah kita ambil sebagai aspek kunci dari apa yang dimaksud dengan menjadi manusia yang berbeda, menyiratkan penatalayanan yang bertanggung jawab (Kej. 2:15), bukan eksploitasi yang egois. Sebagai wakil Allah, manusia akan memiliki kepedulian-Nya bagi ciptaan-Nya. Kita juga melihat manusia dalam hubungan dengan penciptaan: Adam menamai binatang-binatang (Kej. 2:1920); mereka makan makanan yang sama (Kej. 1:29-30); sebelumnya, tidak ada pembunuhan, meskipun hubungan tersebut berubah oleh kejatuhan dalam dosa dan ada perbedaan yang mencolok dalam ketentuan makanan antara Kejadian 1:29 dan 9:3. Riwayat penciptaan pelengkap Kritik sumber menganggap Kejadian 1:1-2:4a sebagai variasi riwayat penciptaan, yang dianggap berasal dari sumber P dan J secara berturut-turut. Adalah lebih baik untuk melihatnya, bagaimanapun juga, sebagai riwayat pelengkap, masing-masing dengan gayanya sendiri dan penekanan yang berbeda, yang berpusat pada aspek-aspek berbeda dari kisah penciptaan dan mengungkapkan aspek-aspek yang berbeda dari Allah. Pembagian antara riwayat-riwayat ini biasanya dibuat pada pasal 2:4. Bagian pertama dari ayat tersebut (inilah riwayat penciptaan langit dan bumi) menutup riwayat yang pertama, dan bagian yang kedua (ketika TUHAN Allah menciptakan langit dan bumi) memperkenalkan yang pertama. Bagaimanapun, ayat itu memiliki struktur khiastik, yang menghubungkan kedua bagian dan mengindikasikan bahwa kedua riwayat penciptaan telah ditempatkan bersisian untuk sebuah tujuan. Khiasme tersebut juga menyiagakan kita kepada penekanan-penekanan yang berbeda dari masing-masing riwayat. Yang petama berkenaan dengan langit dan bumi (lih. Juga Kej. 1:1; 2:1) dan berfokus kepada dimensi kosmik dari karya penciptaan Allah. Yang kecua mengacu kepada bumi dan langit, menunjuk kepada ketertarikan Allah kepada dan hubungan-Nya dengan bumi. Riwayat yang pertama menekankan transendensi Allah ketika Ia menjadikan kosmos dengan firmanNya dan klimaksnya ialah penciptaan manusia, yang diberikan kuasa atas dunia. Jika riwayat ini menjadi terkemuka selama pembuangan, fokus pada Allah sebagai pencipta akan menekankan superioritas-Nya atas ilah-ilah lain serta kuasa-Nya untuk memberikan umat pilihan-Nya awal yang baru. Penciptaan manusia dan pelembagaan Sabat mencerminkan tempat istimewa yang dimiliki umat Allah dalam tujuan ilahi. Riwayat yang kedua adalah lebih membumi. Ia berpusat pada penciptaan manusia, dan menggambarkan keterlibatan intim Allah dengan mereka. Ia membentuk mereka, seperti penjunan membentuk tanah liat; ia menghembuskan kehidupan atas mereka; ia menemukan pendamping untuk Adam, karena tidak baik baginya seorang diri; Ia menanamkan sebuah taman dan menempatkan Adam dan Hawa didalamnya; Ia berjalan-jalan dengan mereka pada hari sejuk. Riwayat ini meneruskan dengan menggambarkan bagaimana hubungan yang sempurna dengan Allah dirusakkan dengan pemberontakan dan dosa manusia (Kej. 3: 1-24). Dengan meletakkan kejatuhan dalam dosa dalam konteks ini, penulis sedang membuat sebuah pokok teologis yang penting: dosa bukan hanya pemberontakan terhadap otoritas Allah (meskipun itulah dosa) namun

juga merupakan penolakan atas hubungan yang intim dan penuh kasih yang untuknya Allah menciptakan manusia. Kepribadian manusia Penulis PL tidak memperkenalkan untuk memberikan gambaran yang komprehensif dari tampilan manusia, dan nampaknya bahwa pemahaman tersebut tidak statis. Namun demikian, ada empat unsur yang menyusun kepribadian manusia. Nepes Nepes seringkali dasosiasikan dengan kehidupan batin dari seseorang: ia adalah tempat dari kebutuhan-kebutuhan terdalam (bdk. Ayb. 7:11; Mzm. 119:28; 143:6) dan perasaan serta hasrat (bdk. Ul. 6:5; Mzm. 42:1; Ams. 13:4). Ia juga kerap dikaitkan dengan hubungan sesorang dengan Allah (mis. Mzm. 25:1; 57:1; Yes. 61:10), dan khususnya kerinduan akan Allah dan keselamatan-Nya (mis. Mzm. 35:3, 9; 42:1-2; 63:1, 5, 8; 84:2; Yes. 26: 9). Ini telah membawa nepes kepada penerjemahannya sebagai ‘jiwa’, yang dapat menyesatkan. Orang Kristen memandang jiwa sebagai unsur batiniah dari kepribadian manusia, sekalipun hanya unsur yang menjadikan kita diri kita. Sebagaimana ia berbeda dari, dan akan tetap hidup terlepas dari kematian, tubuh. Dalam PL nepes tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan manusia itu, termasuk tubuh. Sebagai contoh, dalam Mazmur 84:2, jiwaku (nepes)..... nepes disejajarkan dengan ‘hati dan dagingku’, dan mengacu kepada keseluruhan keberadaan sang pemazmur, termasuk fisiknya. Nepes meliputi keseluruhan pribadi, dan dalam beberapa nas ‘jiwaku’ dapat berarti ‘saya’ atau ‘aku’ (mis. Mzm. 7:2). Dengan demikian nepes bukanlah sesuatu yang dimiliki manusia, ia adalah manusia itu. Adalah dalam pengertian ini maka istilah tersebut digunakan dalam Kejadian 2:7, TUHAN Allah membentuk manusia dari debu tanah.... makhluk hidup (nepes). Ruakh (nafas/roh) Kita telah melihat bahwa ruakh dapat mengacu kepada nafas yang menggerakkan manusia yang mati. Ia dapat juga menyatakan watak dan perasaan manusia. Dukacita (Kej. 26:35) adalah, secara harfiah, ‘dukacita roh’; susah hati adalah ‘menderita dalam roh’ (I Sam. 1:15). Ketika ratu Seba melihat pelataran istana Salomo (I Raj. 10:5), ia takjub (NIV); secara harfiah ‘tidak ada lagi ruakh didalam dia’. Smith menyarankan bahwa dalam kasus semacam itu apa yang dirasakan mengambil alih pribadi tersebut kepada penyingkiran semua perasaan yang lain; dengan demikian ruakh adalah gerak hati yang menguasai kehidupan seseorang dan yang mengendalikan perilakunya. Sehingga, dalam percakapannya dengan Ayub, Elhu berkata: (ayb. 32:18-19) Ruakh Yakub (dan dengan demikian keseluruhan kepribadiannya) dibangkitkan kembali oleh berita bahwa Yusuf masih hidup (Kej. 45:27; bdk. Hak. 15:19). Pemazmur berbicara tentang kebutuhan akan ruakh yang kokoh atau benar (Mzm. 51:10), yang olehnya maksudnya keseluruhan watak yang menunjukkan dirinya sendiri dalam tindakan yang menyenangkan Allah; Kaleb memiliki ruakh yang lain (Bil. 14:24), yang menghasilkan tindakan mengikut Allah dengan segenap hatinya. Kebalikannya, Israel yang tidak setia adalah suka melawan dalam ruakhnya (Yes. 29:24), yang menghasilkan gaya hidup yang tidak menyukakan Allah. Leb (hati)

Menurut Dyrness, hati itu ‘terletak pada tingkat yang paling dalam dari perasaan dan adalah tanggapan terhadap kehidupan yang paling menonjol’. Ketika digunakan dalam pengertian figuratif dalam PL, hati adalah tempat kehendak ketimbang dari (sebagaimana sering kita berpikir) emosi. Seseorang yang hatinya dikeraskan tidak terbuka pada nalar (mis. Kel. 7:22); orang membutuhkan hati yang mengerti (Mis. Ul. 29:4; I Raj. 3:9; Yes. 6:10; 42:25); hati yang membedakan mencari pengetahuan (Ams. 15:14). Hati juga diasosiasikan dengan tanggapan seseorang kepada Allah (Mis. I Sam 12:20; Mzm. 119:36; Yer. 3:10; 31:33), dan oleh karenanya, akhirnya perlu untuk dibarui (Mis. Yer. 4:4; Yeh. 11:19-20; 18:31; 36:26). Dalam nubuatan Yehezkiel hati yang baru ini terkait erat dengan roh yang baru; kedua-duanya menyiratkan sebuah transformasi yang akan memampukan pemahaman yang baru akan Allah dan hasrat serta kesanggupan yang baru untuk mentaati Dia. Basar (daging) Hal ini secara umum mengacu kepada keberadaan jasmani, ragawi. Kata ini bisa mengacu kepada daging, seringkali kepada daging korban (mis. Kel. 12:8; Im. 7:15). Ia juga adalah istilah untuk tubuh manusia (mis. Im. 16:24, 26; Yeh. 10:12). Dalam kesatuan fisik antara suami dan istri keduanya menjadi satu daging (Kej. 2:24), dan anggota keluarga dari seseorang digambarkan sebagai bagian dari daging orang itu (mis. Kej. 29:14; Im. 25:49; Hak. 9:2). PL tidak menyarankan bahwa daging adalah jahat dalam dirinya. Ia kadangkala ditampilkan secara positif. Sebagai contoh, janji Allah untuk menggantikan hati batu umatNya dengan hati daging (Yeh. 11:19) menunjukkan bahwa daging, sebagaimana maksudnya ia diciptakan, adalah reseptif kepada Allah dan responsif pada kehendak-Nya. Namun demikian, PL juga menunjuk kepada kelemahan dan kefanaan daging manusia, khususnya ketika dibandingkan dengan kekuatan dan kekekalan Allah (mis. 2 Taw. 32:7-8; Mzm. 78:39; Yes. 40:6-8; Yer. 17:5). Kita juga telah mencatat pembedaan dalam Yesaya 31:3 antara daging, dikaitkan dengan manusia, dan roh (ruakh), yang diasosiasikan dengan Allah (lih. Juga Kej. 6:3). Tubuh, jiwa, dan roh Kita telah memperhatikan kepentingan ruakh sebagai nafas yang memberikan hidup bagi daging manusia (lih. Mis. Ayb. 33:4; 34:14-15; Mzm. 104:29-30; Yes. 42:5; 57:16; Yeh. 37:9-10). Kita juga telah menarik perhatian kepada Kejadian 2:7, dimana nepes, esensi dasar kehidupan manusia, meliputi tubuh, yang diciptakan dari debu tanah, dihidupkan oleh nafas Allah. Kata Ibrani untuk ‘nafas’ disini ialah nepes, bukannya ruakh; namun demikian, dalam konteks ini arti kedua istilah ini bertumpang tindih, dan dalam ungkapan yang serupa di tempat lain kata ruakh yang digunakan. Walhasil kita dapat menyarankan (sedikit menyederhanakan berlebihan) suatu persamaan, basar + ruah = nepes, untuk menunjukkan hubungan antara istilah-istilah tersebut. Ini menekankan, lebih jauh, bahwa istilah nepes mengacu tidak kepada satu unsur dari kepribadian manusia, namun kepada keberadaan manusia. Kita juga harus jelas mengenai bagian yang dimainkan oleh ruakh. Ia berasal dari Allah dan akan selalu menjadi milik Allah (mis. Ayb. 12:10; 33:4; Yes. 57:16; Za. 12:1), dan ketika Allah menariknya, hidup berakhir dan tubuh kembali kepada debu (Ayb. 34:14-15; Mzm. 104:29; 146:4; Pkh. 12:7). Didalam hal ini kita melihat bahwa PL tidak melihat kepribadian manusia sebagai tripartit (tubuh, jiwa, dan roh), atau bahkan bipartit (daging dan roh); dalam PL kepribadian manusia adalah sebuah kesatuan. Karena ruakh ditiupkan kedalam keberadaan manusia oleh Allah maka ada dimensi spiritual yang penting, namun ketika ruakh kembali kepada Allah, maka hasilnya adalah kematian

atas keseluruhan manusia itu. Ada gagasan dalam PL bahwa setelah kematian suatu ‘bayangan’ dari pribadi itu tetap hidup dalam Sheol; meskipun sekali lagi, ini tidak seharusnya dikacaukan dengan pandangan Kristen tentang ‘jiwa’. Ada pokok-pokok dimana makna ruakh, nepes dan leb bertumpang tindih. Ruakh kadangkala dikaitkan dengan nepes (mis. Ayb. 7:11; 12:10; Yes. 26:9). Ruakh dan leb seringkali muncul dalam bait sejajar (mis. Ul. 2:..; Mzm. 51:10, 17; Ams. 17:22; Yes. 57:15), menunjukkan hubungan yang erat diantara mereka. Leb juga dikaitkan dengan nepes, khususnya dalam formula dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, yang muncul dua puluh kali dalam PL (mis. Ul. 4:29; 6:5; Yos. 23:14; 2 Raj. 23:25). Meskipun demikian, meskipun lingkaran arti mereka saling bersilangan, masingmasing dari istilah tersebut juga memiliki unsur-unsur khas. Asal-usul dan penyebaran dosa Perintah Allah Manusia diciptakan sebagai puncak dari ciptaan Allah yang teramat baik: diciptakan untuk berhubungan dengan Allah, diciptakan untuk memerintah atas bumi mewakili Allah dan diciptakan untuk memantulkan kemuliaan Pencipta mereka. Pertanyaan apakah mereka akan memenuhi peranan ini dimunculkan oleh pendahuluan dari sebuah perintah ilahi: engkau bebas untuk... (kej. 2:16-17). Alasan untuk perintah itu. Perintah ini memberikan manusia sebuah kesempatan untuk memainkan peranan aktif dalam hubungan mereka dengan Allah. Ia memberikan sebuah pilihan: mentaati firman Allah dan mempertahankan hubungan, atau tidak taat dan menolak hubungan itu. Ini menunjukkan bahwa Allah menginginkan sebuah hubungan dengan manusia yang dimasuki dengan bebas. Ia juga menekankan bahwa sebuah unsur kunci dalam hubungan tersebut adalah ketaatan. Allah memperhatikan kita, komit kepada kita dan menginginkan memiliki hubungan dengan kita; namun ini bukanlah sebuah hubungan yang sejajar. Tanggapan yang patut bagi manusia ialah mentaati Dia. Kita melihat ini dalam perjanjian di Sinai. Kaitan antara perjanjian dan Hukum mengindikasikan bahwa hidup di dalam hubungan dengan Allah dan menggenapi tujuan-tujuan-Nya di dunia menuntut ketaatan. Kita melihatnya juga dalam pemisahan di Ulangan 30:15-20 antara ketaatan, yang membawa kepada berkat dan kehidupan (yang dilihat dalam istilah kemakmuran dan hubungan dengan Allah di negeri itu), dan ketidaktaatan, yang membawa kepada kematian (dilihat dalam istilah penarikan berkat-berkat ilahi dan pada akhirnya pengusiran dari tanah itu). Perintah ilahi juga membuat pernyataan tentang perilaku manusia. Manusa bukanlah agen bebas: mereka perlu untuk menerima, dan bertindak dalam, batasan-batasan yang ditentukan dalam rangka untuk mempertahankan hubungan di dalam komunitas dan hubungan mereka dengan Allah. ‘Pengetahuan yang baik dan yang jahat’ Makna yang akurat tentang ungkapan ini tidaklah jelas. Ia dapat hanya berarti, mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Namun demikian, itu akan menyiratkan bahwa sebelum makan buah itu Adam dan Hawa tidak mengetahui perbedaannya sehingga secara moral tidak dapat bertanggungjawab dan tidak dapat dianggap bertanggungjawab atas ketidaktaatan mereka.

Sebaliknya, ungkapan tersebut mungkin mengacu kepada pengetahuan yang dialami tentang baik dan jahat. Sebelum mereka jatuh dalam dosa, mereka mungkin telah menyadari tentang apa yang benar dan apa yang salah, namun pembedaan itu bukan bagian dari pengalaman mereka. Pengetahuan akan apa itu berdosa datang hanya ketika mereka memilih yang jahat, tidak mentaati Allah, dan makan buah yang terlarang. Kemungkinan yang lain, yang mungkin lebih cocok dengan konteks ayat tersebut, adalah bahwa frasa tersebut menunjuk kepada sarana yang olehnya manusia mungkin mencoba untuk mengambil kontrol atas takdir mereka sendiri. Dengan memakan buah tersebut mereka akan memiliki bagi diri mereka sendiri pengetahuan akan apa yang berguna dan yang berbahaya, dan dengan demikian dapat terbebas dari ketergantungan kepada Allah dan firman-Nya. Gagasan memakan buah pohon itu bersesuaian, dalam cara tertentu, mengambil tempat Allah, adalah segaris dengan pencobaan ular: engkau akan menjadi seperti Allah (Kej. 3:5). Pencobaan dan kejatuhan (Kej. 3:17) Ular Pencobaan datang melalui ular. Dalam Yudaisme yang kemudian dan di PB ular disamakan dengan Setan; teks paling awal yang melakukan hal ini ialah Kebijakan Salomo 2:24 (melalui kedengkian setan, kematian masuk ke dalam dunia), yang bertanggal pada awal era Kristen. Dalam mitologi TDK, monster-monster purba kadang-kadang digambarkan sebagai ular (mis. Lewiatan); ular juga dikaitkan dengan kebijaksanaan, dan ada unsur-unsur dari kedua hal tersebut disini. Asosiasinya dengan kekacauan bisa jadi penting dalam konteks ini. Allah telah menciptakan dunia dari kekacauan, namun, sebagaimana yang telah kita lihat, tatanan yang berlanjut dalam penciptaan tergantung pada Allah, dan tetap tinggal disitu ancaman bahwa dosa dan pemberontakan membuka jalan kepada kekacauan untuk kembali (sebagaimana dengan air bah). Dengan menggoda Hawa untuk keluar dari kebergantungan kepada Allah, ular mewakili kemungkinan tersebut. Narasi tersebut juga mengindikasikan sebuah konflik yang sedang berlangsung antara ular dan benih sang perempuan (3:15). Ini tercermin dalam godaan terus menerus bagi manusia untuk menjadi seperti Allah, untuk mengendalikan takdir mereka sendiri dan dengan demikian memungkinkan dunia untuk jatuh kembali kepada kekacauan. Formulasi ‘ia akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya (NRSV) tidak harus mengindikasikan sebuah hasil yang menentukan, meskipun ia memang mengesankan bahwa ular akan menjadi lebih buruk. Dan, karena ia diletakkan dalam konteks penghakiman Allah atas ular, kita dapat menduga bahwa ia bermaksud untuk mengesankan sebuah hasil yang berpihak pada keturunan Hawa. Ada juga kesejajaran (..) dalam Epik Gilgames, dimana seekor ular menghalangi Gilgames dari memakan tanaman yang akan memberikannya hidup abadi. Ini tidak untuk menyarankan bahwa penulis Kejadian menyalin kisah tersebut: perbedaan-perbedaan signifikan mengesampingkannya. Namun mungkin sekali bahwa ia menggunakan perlambang populer untuk menyampaikan maksudnya. Dalam Kejadian 3:1 ular digambarkan sebagai ‘cerdik’ atau ‘pintar’. Istilah ini mungkin memiliki pengertian bijaksana atau berpikiran sehat, namun juga bisa berarti licik atau lihai. Ia terdengar mirip dengan kata untuk ‘telanjang’ (arum) yang digunakan dalam Kejadian 2:25, sebuah perangkat puitis yang menghubungkan riwayat penciptaan dengan riwayat kejatuhan.

Sifat pencobaan itu Si ular pertama-tama memunculkan pertanyaan dalam pikiran Hawa: Apakah Allah sungguh berkata? (Kej. 3:1). Tanggapannya menunjukkan bahwa ia mungkin sebelumnya sudah merasakan tidak puas. Jadi, ia menekankan larangannya ketimbang kecukupan yang berlimpah: ia menghilangkan kata ‘setiap’ (ay. 2) dan melebih-lebihkan perintah itu: engkau tidak boleh memakan-atau merabanya (ay. 3; bdk. 2:17). Itu memberika sang ular pijakan kaki. Ia melanjutkan untuk seketika itu menantang apa yang Allah katakan, sekali-kali kamu tidak akan mati (ay. 4), ia mempertanyakan motif Allah dalam memberikan perintah tersebut, dan pada akhirnya memberikan tawaran yang hampir mustahil untuk ditolak: ketika kamu memakannya...kamu akan menjadi seperti Allah (ay. 5). Hasrat ini untuk menjadi seperti Allah, dan bahkan mengambil tempatnya, ada pada inti pencobaan dan dosa (Yes. 14:12-15). Penghakiman ilahi Rasa bersalah Ungkapan pertama untuk rasa bersalah bersifat subjektif: Adam dan Hawa merasa malu (Kej. 3:7-10) di hadirat Allah (lih. Juga Yes. 6:5). Ia meneruskan permainan pada bunyi suara yang serupa ‘telanjang’ dan ‘cerdik’ dan memperkenalkan sebuah ironi: mereka ingin untuk menjadi ‘bijaksana’ dan justru menemukan bahwa mereka ‘telanjang’. Namun rasa bersalah juga bersifat objektif (lih. Kel. 34:7; Im 4:13; 5:17; Bil. 14:18). Eichrodt menggambarkannya sebagai ‘pertanggung jawaban untuk penghukuman di tangan Allah’. Dosa membawa rasa bersalah di hadapan Allah, hakim ilahi, bahkan dimana tidak ada kesadaran subjektif akan itu. Perhatikan juga bahwa PL mengakui bahwa semua dosa pada akhirnya adalah melawan Allah (Mzm. 51:4; lih. Juga Im. 5:19; 6:2). Penghukuman Dalam TDK yang lain penghukuman adalah suatu reaksi dari dewa yang tersinggung, dan karena karakter yang beragam (serta ketidakstabilan emosional) dari para dewa, ini dapat menjadi sewenang-wenang. Seperti yang telah kita lihat, dalam epik Atrahasis banjir dikirimkan untuk menghapus umat manusia karena keributan mereka mengganggu tidur Enlil: ‘Enlil mendengar keributan mereka dan memanggil dewa-dewa agung. Keributan manusia telah menjadi terlalu bising bagiku, dengan keriuhan mereka tidurku terganggu’. Ini berbanding terbalik secara tajam dengan alasan penghukuman Allah yang diberikan dalam Kejadian 6:5-6,...... Dalam Kejadian 3 konsekuensi dosa ialah maut. Jalan masuk kepada pohon kehidupan ditutup (Kej. 3:22-24) dan manusia akan kembali kepada debu darimana mereka berasal (Kej. 3:19). Ini nampaknya mengikuti peringatan Allah dalam Kejadian 2:17,..... hal ini secara tradisional diambil untuk merujuk kepada kematian jasmani: sebagai akibat dari dosa, maut masuk ke dalam dunia dan manusia menjadi makhluk fana. Kemungkinan ada juga kaitan antara dosa dan memendeknya jangka waktu hidup manusia dalam Kejadian 6:3-6. Namun demikian, Kejadian 2:17 menyiratkan ganti rugi langsung, ketika Adam terus hidup hingga lanjut usia 930 tahun! Fakta bahwa ancaman/peringatan tersebut tidak langsung diberlakukan mengurangi keseriusan hukuman tersebut jika ia hanya mengacu kepada kematian fisik saja. Dan bagi mereka yang pertama kali membaca cerita ini, hidup sampai usia selanjut itu tiddak akan menandakan penghakiman ilahi. Mungkin akan lebih baik, oleh karenanya, untuk memahami kematian dalam Kejadian 2:17 utamanya dalam pengertian pemisahan

dari Allah. Ddalam PL, kematian jasmani juga memiliki dimensi spiritual: ia mengakhiri hubungan dengan Allah. Senada dengan itu, hidup adalah lebih dari sekedar eksistensi: ia juga mengenai terus menikmati berkat-berkat kehadiran Allah (Ul. 30:15-16, 19-20). Ancaman dan hukuman yang nyata disini adalah pengusiran dari taman, dan dengan itu penyingkiran dari berkat-berkat dari berada dalam hadirat Allah. Sebagai akibat dari hal ini adalah bahwa manusia tidak diperkenankan lagi untuk makan dari Pohon Kehidupan, sehingga kematian, disini, tentu termasuk kefanaan; namun ia lebih dari itu. Acuan kepada kembalinya ke debu kembali mengindikasikan kefanaan, namun ia juga mengingatkan manusia darimana ia berasal, dan seperti apa mereka jadinya tanpa Allah. Mereka mencari nkehidupan yang terpisah dari Dia, dan, sebagai akibatnya, akan kembali kepada keadaan mereka yang semula tanpa Dia. Tujuan Allah bagi manusia Dalam Kejadian 1:28 tujuan Allah baagi manusia diungkapkan dalam instruksi tiga berganda: bertambah banyak, taklukkanlah bumi, dan berkuasalah atas segala yang hidup. Lawrence Turner melihat ini sebagai satu dari beberapa nas dalam Kejadian yang mengumumkan tema-tema penting dalam narasi berikutnya dan mengindikasikan bagaimana pembaca mungkin mengharapkan plot tersebut berkembang. Secara signifikan semua ketiga unsur ini dikurangi oleh kejatuhan dan penghakiman karenanya yang diumumkan dalam Kejadian 3:24-29. Sebagai akibat dari penghakiman Allah, sarana dalam perkembang biakan, kelahiran bayi, dibuat susah dan menyakitkan (ay. 16); akan sulit juga untuk mengolah tanah itu (ay. 17), dan kekuasaan atas binatang-binatang, telah lebih dahulu dikikis oleh kenyataan bahwa ular yang menipu pasangan manusia yang pertama, digantikan dengan konflik (ay. 15). Setelah kejatuhan, hal-hal ini lebih jauh dikikis. Perintah untuk berkembang biak dan bertambah banyak dipersulit dengan pembunuhan (Kej. 4:8, 23-24). Ada juga penyulitan yang lebih jauh dalam Kejadian 6:13. Ini merupakan teks yang sulit, namun mengindikasikan bahwa ketika manusia mulai berlipat ganda, hasilnya adalah negatif. Masalah-masalah yang dikaitkan dengan menaklukkan bumi bahkan lebih besar. Diluar Eden, pertanian akan menjadi sukar. Kain mulai menjadi seorang petani, namun dosanya membawa kepada kesukaran yang lebih jauh (Kej. 4:11-12). Dan ketika kita sampai kepada kisah air bah, ini nampaknya mengesankan bahwa, jauh dari manusia menaklukkan bumi, bumi telah menaklukkan manusia. Menaruh Hawa pada tempatnya Semua literatur, termasuk PL, mencerminkan sesuatu dari nilai-nilai kultural dan ideologis dari para penulisnya: orang-orang menulis dalam konteks dunia yang mereka ketahui. Penulisan mereka juga bisa jadi melayani sebuah agenda tertentu. Diargumentasikan bahwa PL mencerminkan (dan berusaha untuk mempertahankan) nilai-nilai dan perhatian dari sebuah masyarakat patriarkhal, dan itu adalah apa yang kita lihat dalam Kejadian 2-3, yang dapat dibaca sebagai sebuah penjelasan mengapa wanita harus tetap ditempatkan dibawah otoritas laki-laki. Hawa diciptakan setelah Adam; Adam menamainya, menandakan otoritasnya atas wanita itu; ia adalah yang bertangung jawab atas pemberian jalan terhadap pencobaan dan atas ketidaktaatan yang membawa kepada pengusiran dari taman. Sejauh menyangkut peranannya, ia adalah penolong Adam; sesuai dengan yang dinyatakan oleh namanya (ibu dari segala yang hidup). Peranannya untuk melahirkan anak, satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Adam sendiri. Phyllis Trible mengambil sudut pandang yang lebih positif: ia berpendapat bahwa Hawa ditampilkan sebagai tegas dan yakin, sementara Adam bersifat

pasif. Sudah jelas bahwa Hawa yang berbicara dengan si ular, yang tidak mentaati Allah dan membawa Adam kepada pencobaan. Di sisi lain, Adam tampak sukarela untuk dibawa dan tidak menawarkan perlawanan, dan tidak ada petunjuk dalam narasi tersebut bahwa Hawa menggunakan tipuan apapun untuk menarik Adam kepada dosanya. Dalam pasal-pasa Kejadian ini Hawalebih dicirikan secara penuh ketimbang Adam. Kit adiberikan wawasan kepada tekanan batin Hawa, ketidakpuasannya yang memuncak dengan kehidupan didalam taman dan hasratnya akan pengetahuan, sementara karakter Adam tampak datar dalam perbandingan. Adalah tidak mungkin jika nas tersebut dimaksudkan untuk menantang ideologi patriarkhal; namun ia tidak juga menawarkan dukungan yang sepenuhnya. Perbedaan dalam karakterisasi adalah penting. Gagasan tentang pria yang lemah, pasif, dan tidak bertanggung jawab dalam sebuah teks yang mungkin diharapkan untuk menegaskan dominasi pria adalah sebuah kontradiksi, dan membangkitkan keraguan tentang kesesuaian pria pada status yang diberikan kepadanya. Hawa tidak menggulingkan Adam; sebaliknya, keduanya gagal untuk memenuhi peranan yang untuknya Allah telah menciptakan mereka. Kejatuhan manusia Menurut penafsiran tradisional Kristen, dosa dari pasangan manusia pertama memiliki dampak yang dahsyat dan permanen atas seluruh umat manusia. Ada berdiri sebagai perwakilan umat manusia, dan rasa berdosa serta konsekuensi dari dosanya lantas mempengaruhi setiap anggota manusia setelahnya. Beberapa, sungguhpun demikian, mempertanyakan penafsiran ini, berpendapat bahwa teks tersebut tidak menyiratkan signifikansi yang mencakup semuanya dan bahwa sisa PL tidak menganggapnya atau mengaitkan kehadiran dosa dalam dunia dengan suatu ‘kejatuhan’ purba. Kita harus waspada untuk membaca lebih kedalam teks dari apa yang sebenarnya ia katakan. Namun demikian, meskipun istilah ‘kejatuhan’ mungkin tidak dipakai, efek dari dosa yang diuraikan dalam Kejadian 3:14-19, pada manusia dan tata-ciptaan, memang mengindikasikan sebuah signifikansi yang mencakup luas dan berlanjut. Ini dikuatkan dengan acuan kepada Hawa sebagai ibu dari segala yang hidup yang langusung mengikuti (kejadian 3:20), mengesankan bahwa seluruh umat manusia sekarang harus hidup dengan konsekuensi dari dosanya dan dosa Adam. Kita juga telah mencatat bagaimana penghakiman ini mengancam tujuan Allah dalam menciptakan manusia (diumumkan dalam Kej. 1:28) dan dengan demikian menunjuk kepada dampak serius dari dosa pada ciptaan itu sendiri. Posisi dari Kejadian 3 dalam sejarah purba juga menunjukkan kepentingannya. Sifat dosa sebagai keinginan untuk menjadi seperti Allah dan dengan demikian melepaskan diri dari ketergantungan kepada-Nya adalah penting bagi kemerosotan yang dimulai disini dan memuncak dalam pemberontakkan melawan Allah oleh para pembangun menara di Babel. (Kej. 11: 1-9). Sedemikian ia juga memberikan sebuah penjelasan teologis bagi masalah-masalah eksistensi manusia setiap hari. Para penulis PL mengakui sifat ketersebaran dosa dalam natur manusia (mis. Mzm. 51:5; Yer. 17:9; bdk. Kej. 6:5; 8:21; Ayb. 14:4; 15:14; Mzm. 58:3). House mencatat bahwa setelah Kejadian 3, tidak ada manusia yang menghindari dari dosa: ia mempengaruhi setiap manusia dalam setiap generasi, dan nampaknya mungkin bahwa, dalam posisinya pada awal kanon, kisah ketidaktaatan Adam dan Hawa dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa demikian. Goldingay mempertanyakan kepatutan dari istilah ‘Kejatuhan’ namun mengijinkan kegunaannya, Dalam penegasannya bahwa pada permulaan dari kisah manusia sesuatu terjadi yang membawa kepada perubahan kepada situasi manusia sekali untuk selamanya... manusia pertama bertindak

sedemikian rupa yang memiliki implikasi yang menentukan bagi setiap orang yang datang kemudian, yang tidak mampu membatalkan apa yang telah mereka lakukan. Eichrodt agak kurang kritis terhadap istilah tradisional tersebut: ia mengesankan bahwa Kejadian 3 memang sungguh menunjuk kepada sebuah peristiwa menentukan, yang olehnya rencana Allah bagi manusia dalam ciptaan-Nya dihalangi dan sejarah manusia kemudian ditandai dengan cap permusuhan terhadap Allah. Peristiwa ini memiliki karakter dari sebuah ‘kejatuhan’ yaitu kejatuhan dari garis perkembangan yang dikehendaki oleh Allah, dan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh narasi berikutnya, mendesak sebuah pengaruh yang menentukan pada perilaku spiritual dari semua manusia. Penyebaran dosa Kejadian 4-11 mendaftarkan percepatan kecenderungan kedalam dosa. Ketidaktaatan dalam Kejadian 3 menjadi pembunuhan dalam Kejadian 4. Dan dalam jeda beberapa generasi, apa yang dilakukan oleh Kain secara rahasia dan yang ia coba sembunyikan (Kej. 4:8-9), diakui secara terangterangan oleh Lamekh dan bahkan menjadikan kesempatan baginya untuk menyombongkan diri (Kej. 4:23-24). Ini memuncak kepada kesimpulan tragis Allah tentang keadaan manusia (Kej. 6:5-6), dan keputusan-Nya untuk mengirimkan air bah. Setelah air bah Allah memberkati Nuh (Kej. 9:1-3). Ini serupa dengan berkat dalam Kejadian 1:28, meskipun ada perbedaan-perbedaan yang jelas. Perintah yang pertama tidak diubah, berbuahlah dan berkembang biaklah... (9:2), meskipun kesulitan untuk melaksanakan tugas tersebut semakin bertambah. Perintah kedua, menaklukkan bumi, hilang sepenuhnya, mengesankan bahwa tugas tersebut mulai sekarang menjadi mustahil. Gagasan tentang manusia yang menguasai binatang masih disana (9:2-3) namun hubungan tersebut sekarang menjadi atas ketakutan, dengan ijin yang diberikan untuk membunuh binatang untuk makanan. Seperti yang telah kita perhatikan, Kejadian 1:28 dapat dilihat sebagai sebuah pengumuman, memperingatkan kepada pembaca akan apa yang akan menjadi isu yang penting dalam plot yang akan terbentang. Modiifikasi yang substansial dalam Kejadian 9:1-3 menyarankan kita untuk melihat kebelakang pada teks dan memperhatikan bagaimana dan mengapa perubahanperubahan telah terjadi-dalam kasus ini utamanya sebagai akibat dari kejatuhan. Setelah air bah kebusukan moral manusia berlanjut, dan dalam Kejadian 11 kita melihat pemberontakan yang lebih jauh atas Allah di Babel. Orang-orang ingin membuat nama bagi mereka sendiri (Kej. 11:4); mereka ingin mengendalikan takdir mereka sendiri- sebuah keangkuhan yang menggemakan keangkuhan Adam dan Hawa, yang juga ingin menjadi seperti Allah dan melepaskan diri dari kebergantungan terhadap Dia (Kej. 3:5). Di Babel, meskipun demikian, dosa yang dimulai di taman Eden dapat dilihat sebagai yang sudah bertumbuh secara lebih penuh, ke dalam hasrat yang arogan bukan hanya untuk menjadi mandiri dari Allah namun untuk menggantikan Dia: untuk menggantikan tempat-Nya sebagai Tuan atas ciptaan dan atas sejarah, dan dengan jerih payah serta kecerdikan manusia, bahkan untuk memperoleh akses kepada surga itu sendiri. Keputusan untuk membangun menara juga berhubungan dengan keengganan untuk terserak memenuhi bumi (Kej. 11:4), mengesankan penolakan terhadap tujuan Allah bagi manusia untuk memenuhi bumi. Kesombongan dan pembangkangan semacam itu tidak boleh dibiarkan tanpa hukuman, sehingga dengan demikian penghakiman Allah dijatuhkan kembali, menyerakkan manusia dan mengacaukan bahasa mereka. Anugerah ilahi

Sungguhpun demikian, bahkan terhadap latar belakang dari kecenderungan yang panjang dan tak dapat ditawar terhadap dosa, anugerah Allah nyata dalam ungkapan belas aksihan yang mengikuti kutukan dan penghakiman dalam Kejadian 3-11. Adam dan Hawa diusir dari taman Eden, namun tidak sebelum Allah memberi mereka pakaian (3:21); Kain dijadikan seorang pengembara, namun diberikan tanda perlindungan ilahi (4:15); diluar kehancuran global yang ditimbulkan oleh air bah, Nuh dan keluarganya diselamatkan, dan pengacauan bahasa di Babel diikuti dengan silsilah Sem (11:10-26), yang mengaitkan sejarah purba kepada para bapa leluhur, dan memperkenalkan janji pemulihan melalui Abraham. Panggilan Abraham dalam Kejadian 12 menandai sebuah titik balik: ia membuka jalan bagi bangsabangsa, pada siapa penghakiman Allah baru saja dijatuhkan, puncaknya untuk menerima berkat-Nya.

Related Documents

Allah Dan Penciptaan.docx
February 2021 0
Allah Dan Masa Depan
February 2021 0
Cinta Dan Murka Allah
January 2021 1
Allah Dan Para Ilah.docx
February 2021 0
Allah Dan Umat-nya (2)
February 2021 0
Allah Dan Umat-nya (1)
February 2021 0

More Documents from "Duta April"