Allah Dan Umat-nya (2)

  • Uploaded by: Duta April
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Allah Dan Umat-nya (2) as PDF for free.

More details

  • Words: 6,540
  • Pages: 97
Loading documents preview...
ALLAH DAN UMAT-NYA (2) IBADAH DAN KORBAN

A. Tempat-tempat Ibadah

Dyrness mendefinisikan cara pemujaan ini sebagai ‘bentuk dari tanggapan Israel kepada penyataan Allah,’ melalui mana ‘Allah menentukan bagi Israel apa yang menjadi ungkapan yang kelihatan dari iman mereka’. Dalam Israel sistem ibadah yang ditetapkan secara teratur menyediakan latar dalam mana yang sementara dan yang kekal dapat bertemu, dan dengan demikian memberikan sarana yang melaluinya umat Allah dapat men dekat dan menyembah Dia.

Para penulis PL mengakui bahwa Allah tinggal di dalam surga, yang mereka bayangkan sebagai berada diatas bumi. Ia turun untuk melihat apa yang terjadi di Babel dan di Sodom (Kej. 11:5; 18:21); Yakub melihat tangga yang menuju surga, dengan Allah berdiri diatasnya (Kej. 28:12-13); pada pentahbisan Bait Suci Salomo mencatat bahwa langit, bahkan langit yang tertinggi sekalipun, tidak dapat memuat Engkau (I Raj. 8:27

Yesaya menggambarkan Allah sebagai bertakhta diatas bulatan bumi (40:22; lihat juga Kel. 19:11; 20:22; Ul. 4:36; 26:15; Mzm. 2:4; 18:9; Yes. 31:4). Namun Allah surgawi juga membuat tempat tinggal-Nya di tengahtengah umat-Nya, dan, dibawah persyaratan tertentu, khususnya mereka yang ditentukan oleh cara pemujaan itu, mereka dapat mendekat dan menjumpai Dia.

Perjumpaan dengan Allah dapat terjadi dimanapun, meskipun tempattempat yang dihubung-hubungkan dengan pewahyuan yang khusus dari Allah seringkali dianggap sebagai kudus dan memiliki tempat penting khusus dalam ibadah Israel (Kej. 12:67; 13:14-18; 35:6-7).

A.1. Tempat-tempat Ibadah dalam Masa Bapa-bapa Leluhur

Beragam mesbah dihubung-hubungkan dengan para bapa leluhur: Betel (Kej. 12:8; 35:6-7), Sikhem (Kej. 12:6-7), Mamre (Kej. 13:18), Bersyeba (Kej. 26:23-35) dan Moria (Kej. 22:9). Kita telah melihat bahwa beberapa dari tempat ini adalah tempat ibadah Kanaan prasejarah, dan bahwa para bapa leluhur menyembah ilah-ilah yang sebelumnya telah dikaitkan dengan tempat keramat tersebut. Acuan terhadap pohon-pohon keramat (mis. Kej. 12:6; 21:33; 35:4) juga diper- gunakan untuk mencerminkan unsur-unsur dari penyembahan Kanaan.

Namun demikian, sebagaimana kita telah amati, para bapa leluhur menyembah secara pribadi pada mesbah-mesbah yang mereka bangun, dan tidak ada penyebutan, pada kuil apapun atau imam yang menjalankan tugasnya. Ini menyiratkan bahwa bahkan jika kuil-kuil memiliki kaitan Kanaan, para bapa leluhur tidak bergabung dengan praktik peribadatan Kanaan atau menyembah dewadewi Kanaan.

A.1a Kemah Suci Niat Allah untuk mendirikan hadirat-Nya diantara umat-Nya berkaitan erat dengan Keluaran dan Perjanjian Sinai (mis. Kel. 29:45-46). Umat itu menyadari kehadiran Allah di Sinai (Kel. 24:15-18), namun Dia tidak dibatasi kepada satu tempat, dan kemah suci memampukan mereka untuk mengetahui Allah tetap tinggal diantara mereka, bahkan setelah meninggalkan Sinai. Tujuan dari kemah suci dijadikan jelas dalam Keluaran 25:8, dan mereka harus membuat tempat kudus bagi-Ku, supaya Aku akan diam di tengah-tengah mereka.

Sebelum pembangunan Kemah Suci, ada ‘kemah’ yang jauh lebih sederhana didirikan diluar perkemahan, yang dikenal sebagai ‘kemah pertemuan’, dimana Musa bertanya kepada Allah (Kel. 33:7-11, namun yang tidak secara permanen dikaitkan dengan hadirat ilahi. Kemah Suci sangat berbeda: ia dibangun di tengahtengah perkemahan Israel dan mewakili hadirat Allah yang diam diantara umat-Nya. Di tengahtengah-Nya adalah Ruang Maha Kudus, yang menampung Tabut Perjanjian (Kel. 25:10-22).

Ini adalah peti kayu yang dilapisi dengan emas, berisi dua loh Hukum (Kel. 25:16); tutupnya, dinaungi dengan sayap-sayap kerubim emas, kemungkinan dilihat sebagai takhta Allah (mis. I Sam. 4:4; 2 Sam. 6:2; 2 Raj. 19:15). Tujuan dari susunan Kemah suci yang rumit adalah untuk memisahkan yang kudus dari yang najis dan dengan demikian untuk menyediakan syarat-syarat yang akan mengijinkan Allah yang kudus untuk berdiam diantara umat-Nya. Melalui pemujaan dan upacaraupacaranya, orang-orang yang sebaliknya akan disingkir kan dari hadirat Allah, atau berisiko disambar karena mendekati Dia, dapat memiliki akses kepada-Nya.

Gagasan bahwa Allah diam diantara umat-Nya adalah sangat berbeda dengan pandangan umum bahwa dewa-dewi dikaitkan dengan tempat-tempat tertentu dan bahwa kuasa mereka terbatas pada wilayah tersebut. Namun, adalah merupakan godaan yang terusmenerus bagi Israel untuk membatasi Allah dengan cara tersebut dan, begitu mereka berada di Kanaan, mereka mengadopsi penyembahan terhadap dewa-dewi Kanaan yang dikaitkan dengan negeri baru itu.

A.1b. Tempat-tempat Kudus di Kanaan? Setelah pendudukan tanah itu,beberapa tempat kudus menjadi pusat-pusat penyembahan, termasuk Betel, Gilgal, Mizpa, Rama, Sikhem, Silo, dan Gibeon. Dalam Ulangan 12 Musa memberikan petunjuk untuk menyembah pada satu tempat kudus: tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu sebagai kediaman-Nya untuk menegak- kan nama-Nya (v). Banyak para sarjana yang berpendapat bahwa ini mencerminkan sentralisasi ibadah dalam Bait Suci di Yerusalem, khususnya selama pemerintahan Yosia.

Adalah mungkin bahwa Musa telah dapat membayangkan sebuah tempat kudus yang sentral, meskipun setelah pemisahan sukusuku di Kanaan hal ini akan menjadi semakin sulit. Kemungkinan yang lain adalah bahwa Ulangan 12 cenderung untuk membuat pembedaan antara tempat ibadah yang ditunjuk oleh Allah, dan tempat-tempat suci Kanaan dimana umat itu mungkin tergoda untuk menyembah.

Perserakan suku-suku itu ke seluruh penjuru Kanaan membuatnya sulit untuk mempertahankan keteraturan dalam kehidupan keagamaan bangsa itu; keberadaan dari sebuah tempat kudus yang terpusat yang dalam suatu cara dapat mengawasi ibadah dari bangsa itu dilihat sebagai sebuah perbaikan terhadap kekacauan (Ul. 12:8).

Pada masa-masa awal pendudukan di Kanaan ada beberapa pusat-pusat penyembahan, meskipun tempat kudus yang utama sepertinya adalah yang menaungi Tabut Perjanjian. Tabut tersebut terletak di Gilgal (Yos. 4:19-10; 5:9-10; 7:6; bdk. Hos. 12:11), Sikhem (Yos. 8:30-33; 24:1) dan Betel (Hak. 20:18, 26-28; 21:2). Belakangan, Silo menjadi menonjol, dengan pertama-tama kemah pertemuan (Yos. 18:1) dan kemudian struktur yang lebih mendasar yang digambarkan sebagai sebuah ‘bait’ (I Sam. 1:9; 3:3), meskipun masih ada tempat-tempat kudus di Betel, Mizpa dan Gilgal (I Sam. 7:16).

Suku-suku tersebut berkumpul di Silo untuk sebuah perayaan tahunan (Hak. 21:19), kemungkinan Hari Raya Pondok Daun. Setelah Tabut dirampas oleh orang Filistin, Gibeon menjadi bukit pengorbanan yang paling penting (I Raj. 3:4-5), dan Kemah Suci pun didirikan disana (I Taw. 16:39; 21:29; 2 Taw. 1:3). Bahkan setelah pendirian tempat kudus pusat yang permanen oleh Daud dan Salomo di Yerusalem, penyembahan pada tempat-tempat kudus lain tetap berlangsung. Pada waktu tempat-tempat pemujaan lokal ini atau ‘bukit-bukit pengorbanan’ menjadi dikaitkan dengan penyembahan berhala, meskipun mereka masih digunakan untuk ibadah selama periode kerajaan, dan hanya Hizkia dan Yosia yang mengadakan usaha yang sungguh-sungguh untuk menyingkirkannya (mis. 2 Raj. 18:4, 22; 23:8, 13).

Seperti yang telah kita lihat, Musa menunjuk pada kebutuhan akan sebuah sistem penyembahan terpusat untuk penjagaan terhadap keberagamaan yang bebas (Ul. 12:8). Dalam kitab Hakim-hakim bahasa yang serupa digunakan untuk menunjuk pada kebutuhan akan otoritas politik yang lebih terpusat, berfokus kepada pribadi raja, untuk menjaga terhadap kekacauan moral (mis. Hak. 17:6; 21:25).

Nampaknya bahwa keserupaan dari rumusan nya adalah disengaja, dan menunjukkan kaitan erat antara hadirat Allah diantara umat-Nya dan keberlanjutan akan hubungan mereka dengan Dia, dan penahbisan kerajaan duniawi. Keduanya datang bersamaan dibawah Daud, yang menetapkan Yerusalem sebagai baik pusat agamawi maupun politik dari bangsa itu.

A.2. Bait Suci Bait suci Yerusalem, direncanakan dan dipersiapkan oleh Daud dan dibangun oleh Salomo, memainkan peranan sentral dalam agama Israel. Sama seperti Kemah Suci, ia juga dikaitkan dengan hadirat Allah diantara umat-Nya. Pada saat penahbisannya ia diliputi dengan awan yang melambangkan hadirat Allah (I Raj. 8:10-11; bdk. Kel. 40:34-35) dan ia dianggap sebagai tempat kediaman Allah (mis. I Raj. 8:13; 2 Raj. 19:14; Mzm. 27:4; 76:2; 132:13-14). Sion, bukit dimana bait itu berdiri, terkadang disejajarkan dengan bait dan demikian juga, dengan hadirat Allah.

Dalam bahasa kiasan, yang mencerminkan baik tradisi kuno yang menggambarkan ilah-ilah yang mendiami gunung-gunung (sebagai tempat yang terdekat dengan surga) dan juga keutamaannya di masa depan, Sion digambarkan sebagai gunung TUHAN (Yes. 2:2; bdk. Mi. 4:1; lihat juga misalnya Mzm. 43:3; 48:1; 68:16). Namun demikian, sama seperti awan kemuliaan memenuhi bait suci, Yehezkiel menggambarkan bagaimana dosa umat itu dapat menyebabkan kemulia- an tersebut menyingkir (Yeh. 10:3-4, 18-19; 11:23), meskipun dia juga menunjuk kepada kembalinya pada akhirnya (Yeh. 43:4-5).

Secara signifikan, sebuah tugas penting bagi orang-orang buangan yang kembali ialah untuk membangun kembali bait tersebut dalam rangka untuk memastikan berkat-berkat yang dihubung kan dengan kehadiran Allah (Hag. 1:9; lih. Juga Za. 2:10-13; 8:3). Penekanan pada bait suci mem berikan kesan bahwa Allah mungkin diyakini hadir dalam tempat tertentu, dan bahwa umat dapat datang ke tempat itu untuk mendekat kepada Dia ; namun begitu, ada pengakuan juga bahwa Ia tidak dapat ditampung disana (I Raj. 8:27; bdk. Yes. 40:22).

Bait itu juga dihubungkan dengan wangsa Daud (mis. 2 Raj. 6:5-6) dan dengan tradisi Sion, yang menggambarkan Sion (yang mewakili seluruh kota Yerusalem) sebagai takhta Allah (mis. Mzm. 46; 47; 74) dan dengan demikian, juga merupakan simbol dari pemilihan Israel. Pemilihan ilahi atas Israel, Daud dan Sion termasuk janji perlindungan dari musuh-musuh bangsa itu (Mis. Yes. 37:35), yang didemonstrasikan dalam pembebasan yang ajaib dari Sanherib pada tahun 701 SM (2 Raj. 18:17-19:37).

B. Keimamatan B.1. Imam-imam dan orang Lewi Menurut para penulis PL, keimamatan di Israel dibentuk dalam hubungannya dengan Kemah Suci. Sebuah acuan awal pada imam-imam (Kel. 19:22, 24) mungkin mengacu kepada tua-tua Israel atau kepala-kepala keluarga, yang bertanggung jawab bagi korban-korban Paskah pertama. adalah juga mungkin bahwa teruna-teruna Israel yang mempersembahkan korban dalam Keluaran 24:5 adalah anak-anak sulung, yang, setelah Paskah, dikuduskan kepada Allah dan mungkin telah memiliki peranan keimaman. Belakangan tempat mereka diambil oleh kaum Lewi (Bil. 3:14, 25).

Tempat istimewa dari kaum Lewi dikaitkan dengan semangat mereka dalam berpihak kepada Musa setelah dosa Israel menyembah anak lembu emas (Kel. 32:26-29; Ul. 10:8). PL mengacu kepada suatu perjanjian dengan kaum Lewi (Neh. 13:29; Yer. 33:21; Mal. 2:8). Pelembagaan dari perjanjian ini tidak disebutkan, namun pemisahan kaum Lewi kemungkin -an telah diungkapkan secara resmi dengan cara itu. Ada juga penyebutan tentang sebuah perjanjian keimamatan yang kekal yang dibuat dengan cucu Harun Pinehas dan keturunannya (Bil. 25:10-13), meskipun ini kemungkinan besar berhubungan dengan tugas pelayanan imam besar. Kedua perjanjian itu menekankan janji Allah untuk melestarikan keimaman yang setia di Israel.

Bilangan 3:6-10 memperkenalkan tempat istimewa dari Harun dan para keturunannya: hanya mereka yang dapat melayani sebagai imam-imam di kemah suci (Bil. 3:10). Peranan utama Harun diuraikan dalam penunjukkannya sebagai imam besar, sebuah tugas pelayanan yang turun temurun (Bil. 16:32) yang diturunkan pertama-tama melalui putra Harun Eleazar (Bil. 20:26, 28; 25: 10-13; Ul. 10:6) dan kemudian melalui Zadok (Yeh. 40:46; lih. Juga I Taw. 6:3-8).

Kaum Lewi yang lain membantu Harun (Bil. 3:6-9), khususnya dalam menjaga Kemah Suci (Bil. 1:50-53). Sebagai balasan atas pekerjaan ini, dan karena pengudusan mereka bagi Allah berarti mereka tidak menerima bagian dari tanah itu (mis. Bil. 18:24; Yos. 14:4), selain dari empat puluh delapan kota yang dikhususkan bagi mereka (Bil. 35; Yos. 21), kaum Lewi didukung oleh perpuluhan umat itu (Bil. 18:21-24).

Wellhausen menawarkan sebuah rekonstruksi dari hubungan antara imam-imam dan kaum Lewi. Ia mulai dengan ketetapan yang diperkenalkan dalam Yehezkiel 44:6-16, yang mengritik kaum Lewi, dan hanya memperkenankan kaum Zadok untuk melayani sebagai imam. Larangan ini nampaknya adalah sesuatu yang baru, dan Wellhausen menyimpulkan bahwa ketetapan yang sama dalam kitab Bilangan tidak mungkin telah ada pada saat itu. Dengan demikian pemisahan antara imam dan orang Lewi merupakan ide yang belakangan, dan acuan terhadap Harun serta keturunannya diperkenalkan dalam waktu yang kemudian untuk meng- hubungkan keimaman dengan periode Musa.

Dalam pandangan Wellhausen karakter yang sebenarnya dari ibadah Israel adalah lebih kurang terperinci dibanding yang disiratkan oleh Bilangan 3:6-10 (P). Domba Paskah yang pertama disembelih oleh kepala-kepala keluarga, dan pendekatan sederhana ini berlanjut kepada periode pendudukan. Jadi, sebagai contoh, di Silo Samuel muda tidur di samping Tabut (I Sam. 3:3), nampaknya bertentangan dengan peraturan (kemudian) di Imamat 16.

Menurut Wellhausen, keimaman turun temurun dimulai dengan penunjukkan Daud atas Zadok. Menetapkan Yerusalem sebagai ibukota negara juga membawa kepada pemusatan ibadah, dan ini, bersama dengan pembangunan bait, membawa kepada sistem dua tingkat diantara kaum Lewi: mereka yang melayani di bait Yerusalem menjadi lebih menonjol, sementara pada sisi lain timbangan adalah mereka yang tetap melayani di tempat-tempat ibadah lokal yang menjadi dihubungkan dengan penyembahan berhala.

Ketika Yosia menghapuskan bukit-bukit pengorbanan sebagai bagian dari reformasi agamanya, kaum Lewi yang melayani disana datang ke Yerusalem untuk mencari pekerjaan. Kitab Ulangan, yang umumnya diberi tanggal selama pemerintahan Yosia, mendukung sentralisasi ibadah di Yerusalem, namun juga bersikeras pada hak kaum Lewi daerah yang dicopot untuk melayani disamping keimaman Yerusalem (mis. Ul. 18:6-7).

Pada masa Yehezkiel, percampuran ini telah menjadi masalah yang serius, dan ada kebutuhan untuk memisahkan kaum Zadok keimaman Yerusalem yang telah lama berdiri, dari kaum Lewi yang datang dari luar dan membawa praktik-praktik berhala bersama mereka. Jalan keluar Yehezkiel adalah dengan mengizinkan kaum Lewi untuk melayani di Bait namun tidak di tempat kudus (Yeh. 44:10-16). Ketetapan-ketetapan dalam P, yang mengijinkan semua keturunan Harun, bukan hanya kaum Zadok, untuk melayani sebagai imam-imam, dapat menjadi jalan keluar yang berkompromi.

Untuk menjustifikasi pemisahan antara imam-imam Harun dan kaum Lewi dan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar pada keimaman, kisah-kisah tentang permulaan keimaman dituliskan kedalam sejarah dari periode padang gurun. Hal ini juga perlu untuk mengkontruksi sebuah silsilah yang menghubungkan Zadok dengan Harun (mis. I Taw. 6:3-8).

Namun demikian, tidaklah perlu, untuk menganggap pembedaan antara imam-imam dan orang Lewi sebagai ide yang belakangan. Bilangan 3:6-10 dapat dihubungkan dengan periode padang gurun, dan pada saat itu pembedaan itu dapat dipertahankan. Setelah pendudukan tidaklah praktis lagi untuk memiliki satu titik sentral dimana setiap orang dapat datang, dan ibadah diadakan pada banyak tempat-tempat lokal. Kemungkinan di pusat-pusat utama ibadah itu hanya imam-imam yang dapat melayani di tempat kudus (di hadapan Allah) namun di pedesaan, dimana kemungkin an kekurangan imam, seorang Lewi adalah lebih baik daripada tidak ada samasekali.

Jadi Mikha bersukacita untuk dapat mengangkat seorang Lewi sebagai imam (Hak. 17:10-13), dan orang Lewi yang sama, Yonatan (cucu Musa), diangkat sebagai imam oleh kaum Dan (Hak. 18:1931). Di bawah kondisi seperti itu pelarangan terhadap kaum Lewi mungkin telah dilonggarkan, dalam praktik jika tidak secara resmi. Adalah mudah untuk melihat dari sikap cucu Harun, yang bersedia untuk melayani di kuil berhala, bagaimana pelayanan kaum Lewi yang tidak diawasi dan dipertanggungjawabkan dapat jatuh kedalam kesesatan.

Selama masa Kerajaan idealnya imam-imam Harun didampingi oleh kaum Lewi (mis. I Taw. 6:48-49; 23:28-32). Bahkan di Yerusalem, sekalipun, kekurangan imam-imam yang ditahbiskan mungkin membuat kaum Lewi terpaksa untuk mengambil tanggungjawab keimaman (2 Taw. 29:34), dan mungkin sekali bahwa di wilayah-wilayah terpencil kaum Lewi bahkan melayani secara teratur semacam itu. Dua hal yang membawa kaum Lewi ke Yerusalem: penunjukan Yerobeam atas imam-imam non-Lewi untuk melayani di tempattempat kudus Utara (yang nantinya menimbulkan kemarahan kaum Lewi, dan merampas pekerjaan mereka (2 Taw. 11:13-15), dan penghapusan bukitbukit pengorbanan oleh Yosia (2 Raj. 23:8-9).

Ulangan 18:6-7 (Yang tidak harus ditanggali sebagai masa yang belakangan semasa dengan Yosia) mungkin mendahului pergerakanpergerakan ini, dan memberikan orang-orang Lewi dari daerah-daerah provinsi hak untuk tidak melayani sebagai imam-imam di tempat kudus pusat (lih. Juga 2 Raj. 23:9) namun untuk melayani dalam hal yang sejajar dengan kaum Lewi yang lebih dulu melayani disana. Pada masa Hizkia pembedaannya nampak longgar, yang mana membawa kepada kerusakan ibadah di Bait suci.

Pelarangannya pada dasarnya sebuah pengembalian kepada perintah-perintah dalam Bilangan 3:10; meskipun, karena masalah itu dianggap disebabkan oleh mereka yang datang dari luar, hanya mereka yang telah melayani dari sejak permulaan (kaum Zadok) yang diijinkan untuk melanjutkan sebagai imam-imam di tempat kudus.

B. 2. Peranan imam di Israel Diluar pelayanan di tempat kudus, peranan imam dan Kaum Lewi adalah serupa, dan dengan demikian akan dipertimbangkan bersama. Peranan ini diindikasikan dalam berkat orang Lewi: “...... (Ul. 33:10)

B.2a. Memberi petunjuk Imam mewakili Allah dihadapan umat tersebut, dan mereka bertanya kepada Allah untuk menge- tahui kehendak-Nya (mis. Bil. 27:21; I Sam. 14: 36, 41-42; 28:6). Untuk mendampingi dalam hal ini ia menggunakan Urim dan Tumim (Kel. 28:30; Bil. 27:21; Ul. 33:8). PL tidak menjelaskan apakah, atau bagaimanakah, kedua benda ini dipergunakan; keduanya mungkin merupakan sejenis dadu, atau kemungkinan batu yang pipih yang berhubungan dengan pilihan ‘ya’ atau ‘tidak’ . Dalam penguraian tentang pakaian imam besar, Urim dan Tumim diletakkan di tutup dada, sebuah kantong yang dijahit pada efod (Kel. 28:30; Im. 8:8; bdk. Ams. 16:33).

Orang Lewi juga dipercayakan Taurat oleh Musa (Ul. 31:9). Sebuah pernyataan jelas dari tanggungjawab keimaman untuk memberikan petunjuk dalam Hukum Taurat adalah dalam Maleakhi 2:6-7,....(lih. Juga misalnya 2 Taw. 35:3; Neh. 8:7-9; Yer. 18:18; Yeh. 7:26; Hag. 2:11). Sebagai bagian dari tanggungjawab ini, imam memiliki peranan yudisial (mis. Ul. 17:8-12; 19:17; 2 Kor. 19:8-11); mereka menetapkan apa yang tahir dan apa yang najis (mis. Im. 14:48, bdk. Ul. 24:8), dan mengucapkan berkat ilahi (mis. Bil. 6:23-27; Ul. 10:8; 2 Kor. 30:27).

B.2b. Mempersembahkan Korban Imam besar juga berdiri bagi umat itu dihadapan Allah (mis. Bil. 3:12, 41; 8:16-17). Sebuah bagian penting dari tugasnya ialah untuk mempersembahkan korban bagi umat tersebut. Biasanya si penyembah menyembelih korban sembelihannya sndiri, meskipun ia secara hukum upacara najis (2 Taw. 30:17; Yeh. 44:11), dankemudian imam memercikkan darah korban itu di atas mezbah (mis. Im. 1:5, 11; 2 Taw. 29:22-24). Mempersembahkan korban untuk dosa adalah penting dalam melestarikan kekudusan umat Allah, dan untuk memenuhi peranan ini, imam juga harus berada dalam kondisi disucikan bagi Allah (mis. Kel. 28:41; I Taw. 15:14; 2 Taw. 5:11; 29:34).

B.2c. Kewajiban-kewajiban lain Kaum Lewi bertanggungjawab bagi tempat kudus, dan terutama Tabut Perjanjian, yang memuat kedua loh Hukum dan yang merupakan simbol kehadiran Allah diantara umat-Nya (mis. I Taw. 15:2, 12-15; lih. Juga mis. Ul. 31:24-26; 2 Sam. 15:24; I Raj. 8:34). Dalam Bait Yerusalem tanggungjawab kaum Lewi termasuk melayani sebagai penjaga pintu gerbang, menjaga kesucian tempat kudus (I Taw. 9:19-20, 22-27; 15:23-24; 2 Taw. 23:6; bdk. Bil. 1:53) dan, sebagai para penyanyi dan pemain musik, memimpin umat dalam ibadah (mis. I Taw. 6:31-32; 15:16, 27; 25:131; 2 Taw. 20:21-22; Neh. 12:45).

C. Hari-hari Raya C.1. Hari-hari Raya Musim Semi C.1.a. Paskah/Roti Tidak Beragi Paskah dirayakan pada malam tanggal 14 Nisan (Abib), dan melihat kembali pembebasan Israel dari Mesir. Itu merupakan salah satu dari tiga ‘hari raya ziarah’ dimana umat didorong untuk berkumpul pada satu tempat ibadah pusat. Paskah diikuti segera dengan Hari Raya Roti Tidak Beragi, yang menandai permulaan panen jelai (lih. Im. 23:9-14; Ul. 16:9). Kedua hari raya tersebut kemungkinan memiliki akarnya dalam hari raya musim semi yang jauh lebih awal yang dikaitkan dengan tahun penggembalaan dan pertanian secara berurutan, yang ditafsirkan dalam terang keluaran. Berkas panen yang pertama diunjukkan selama hari raya Roti Tidak Beragi pada hari setelah Sabat (Im. 23:9-14) meskipun tidak jelas apakah itu adalah Sabat mingguan atau hari pertama dari Roti tidak Beragi.

C.1.b. Hari Raya Tujuh Minggu Ini adalah hari raya ziarah yang kedua. Ia me rayakan akhir panen gandum dan dirayakan selama tujuh minggu, yaitu limapuluh hari, setelah pengunjukkan berkas pertama (Im. 23: 15-16). Dalam tradisi Yahudi yang kemudian hari raya tersebut dibuat untuk menandai peringatan perjanjian Sinai.

C.2. Hari-hari Raya Musim Gugur C.2.a. Hari Pendamaian (Im. 16) Hari ini dirayakan pada hari kesepuluh dari bulan yang ketujuh (Tisri). Ia merupakan hari pertobatan nasional pada mana imam besar mempersembahkan korban untuk penghapusan dosa. Sebuah unsur khas dari upacara ini adalah pemilihan antara dua kambing melalui undian: satu bagi TUHAN dan satu bagi Azazel (Azael; Im. 16:8). Yang pertama kemudian dipersembahkan sebagai persembahan pentahiran (ay. 9). Nantinya dalam persembahan korban itu Imam Besar menumpangkan tangannya diatas kambing yang kedua dan secara simbolik memindahkan kepadanya dosa dan pemberontakkan bangsa itu. Kambing itu kemudian dibawa keluar dan dilepaskan di tempat sunyi (secara harfiah ‘negeri pengeratan’) di padang gurun (ay. 22), dengan membawa dosadosa Israel bersamanya.

Seperti yang telah kita lihat, Azazel kemungkinan adalah nama dari seorang iblis padang gurun, meskipun ini tidak seyogianya dilihat sebagai sebuah persembahan atau korban bagi Azazel, namun sebaliknya sebagai mengirim kembali dosa ke asalnya. Kemungkinan besar bahwa ‘pengeratan’ mengacu kepada kematian kambing itu di padang gurun (menurut Misnah, kambing tersebut didorong ke sebuah tebing yang curam), dan disarankan bahwa Azazel seharusnya diterjemahkan sebagai ‘bagi kebinasaan’ atau ‘ke tebing curam’. Apapun makna pasti dari istilahistilah Ibrani tersebut, kepentingan upacara tersebut adalah jelas, dan kambing yang dibawa menyingkir ke wilayah tandus adalah gambaran yang jelas tentang penyingkiran dosa.

C.2.b. Hari Raya Pondok Daun Ini adalah hari raya ziarah Israel yang ketiga, dan dimlai pada tanggal lima belas Tisri. Ini merupakan hari raya panen, merayakan pengumpulan buah dan merupakan suatu masa untuk bersukacita atas pemeliharaan Allah (Im. 23:40; Ul. 16:14); para rabi menggambarkan ini sebagai ‘masa sukacita kita’. Bagi Hari Raya Paskah dan Roti Tidak Beragi, akar pertanian dari hari raya ini kemungkinan adalah kuno, namun seperti mereka ia juga dikaitkan dengan pembebasan dari Mesir dan, selama delapan hari perayaan tersebut, umat tersebut tinggal dalam pondok-pondok daun untuk mengingatkan harihari mereka di tneda-tenda di padang gurun. Pentingnya hari raya ini dilihat dalam fakta bahwa ia terkadang diacu sebagai cukup hanya ‘hari raya’ (Mzm. 81:3; Yeh. 45:25).

D. Korban D.1. Teori-teori Korban Eichrodt mencatat bahwa sebuah unsur penting dalam korban primitif adalah kepercayaan bahwa ilah-ilah bergantung pada korban-korban sebagai makanan mereka. Praktik PL dalam memasak makanan dan menggunakan garam kemungkinan adalah merupakan peninggalan dari gagasan tersebut, namun para penulis tidak pernah melihat persembahan korban seperti itu. Allah tidak membutuhkan makanan, dan Dia tidak bergantung pada manusia (mis. Mzm. 50:8-15).

Korban-korban juga dapat dilihat sebagai pemberian kepada ilah-ilah. Dalam dunia pra-ilmiah, kekuatankekuatan alam seringkali dipandang sebagai ilahilah, dan manusia mencoba untuk mengambil hati mereka dengan mempersembahkan korban. Hal-hal ini dimaksudkan untuk meninggikan seorang dewa yang dianggap layak untuk menrima pujian, untuk mendamaikan dewa yang marah, atau untuk memengaruhi pemberian dari dewa yang enggan-dan karena niatnya adalah untuk menyenangkan dan mempengaruhi ilah itu, pemberiannya haruslah sesuatu yang bernilai.

Dalam PL, korban-korban adalah pemberian kepada Allah dan dimaksudkan untuk menyenangkan Dia; korban-korban tersebut bukanlah suap untuk menenangkan Dia atau untuk memeroleh pertolonganNya, namun merupakan ungkapan pujian: korbankorban itu mengakui kemuliaan dan kuasa-Nya, dan tidak dipersembahkan untuk mengatasi keacuhan-Nya namun dalam pengakuan akan apa yang Dia telah lakukan di masa lalu, dan pada kebutuhan untuk bergantung kepada-Nya bagi masa kini dan masa depan. PL menolak dengan kuat gagasan apapun bahwa upacara korban atau rumusan agamawi dapat digunakan untuk memanipulasi Allah.

Sebuah aspek penting dari korban adalah untuk membawa penyucian dan pendamaian. Penyucian adalah penting, dan sistem agamawi termasuk upacara-upacara rinci bagi penyucian, pentahiran dan pengudusan. Dalam PL, darah dikaitkan erat dengan dengan ketahiran ibadah, termasuk penyucian dari kenajisan yang diakibatkan oleh penyakit (mis. Im. 14:1-7) atau dosa (Kel. 30:10; Im. 16:11, 15-15, 27; 2 Taw. 29:24). Mayoritas korban dalam PL mengandung beberapa unsur penebusan. Dalam kasus dosa, penebusan juga harus berkaitan dengan pemalingan murka ilahi (pendamaian).

Beberapa orang berpendapat bahwa Allah tidak butuh untuk dipuaskan demi untuk menunjukkan iktikad baik bagi manusia-sebaliknya, dalam anugerah-Nya yang berdaulat Ia telah bertindak secara sepihak untuk menyediakan sarana yang melaluinya dosa manusia dapat diatasi. Namun ini merupakan kesalah pahaman terhadap murka Allah, yang mendampingi anugerah-Nya. Murka dikaitkan dengan penghakiman adil atas dosa, dan pendamaian hanyalah mungkin ketika keadilan ilahi dipenuhi. Itu menuntut pertobatan dan ketaatan dan, sejauh korban-korban merupakan ungkapan dari itu, mereka dapat dikatakan untuk memalingkan murka Allah dan menjauhkan penghakiman yang layak bagi dosa.

Bagaimana darah binatang menyediakan penyucian dan pendamaian tidak dinyatakan secara eksplisit dalam PL. Ia mungkin termasuk gagasan untuk membuat ganti rugi kepada Allah karena telah menyinggung Dia. Persembahan korban juga menyiratkan kesadaran akan dosa dan akan kebutuhan untuk didamaikan dengan Allah. Gagasan penting lainnya adalah bahwa korban, dalam pengertian tertentu, mengambil tempat si penyembah.

D.2. Jenis-jenis korban Korban-korban dalam PL dapat dibagi kedalam tiga kategori luas: D.2.a. Korban Persembahan Ini diberikan sebagai upeti, dalam pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah (mis. I Taw. 29:4). Mereka mencakup persembahan buah sulung dan ketetapan-ketetapan mengenai yang sulung. Korban persembahan juga dipersembahkan sebagai ucapan syukur akan berkat yang diterima. Unsur ini hadir dalam korban panen, yang merupakan pengakuan bahwa hasil dari tanah itu (dan tanah itu sendiri) adalah milik Allah, sekaligus perayaan pemetikan hasilnya

Istilah yang umum bagi korban semacam itu ialah minkhah (Kej. 32:13; Hak. 3:15; I Sam. 26:19; 2 Sam. 8:2). Ini kadangkala mengacu kepada korban sajian (mis. Im. 2; 6:14; 7:910) namun kadangkala digunakan secara lebih umum (mis. Kej. 4:3-5; Bil. 16:15; I Sam. 2:17; I Taw. 16:29; Yes. 1:13; Mal. 3:3).

Juga dihubungkan dengan jenis korban ini adalah ‘olah biasanya diterjemahkan sebagai “korban bakaran”. Korban-korban tersebut akan dibakar sepenuhnya diatas mezbah (mis. Kel. 29:15-18; Im. 1:13; 9:12-14). Binatangbinatang yang digunakan untuk korban bakaran ialah lembu, kambing, ataupun burung merpati. Binatang-binatang ini biasanya binatang jantan yang tak bercacat; yang paling umum ialah anak domba berumur setahun.

Dan korban tersebut biasanya didampingi oleh korban sajian (Im. 23:10-13; Bil. 28:3-6). Pembakaran dapat dilihat sebagai cara perpindah an korban dari dunia jasmani ke dunia rohani: asap yang naik melambangkan ‘ia naik’ kepada Allah. Mungkin juga bahwa dengan terbakar sepenuhnya, ‘olah mewakili sebuah pemberian yang tidak dapat dibatalkan, sebuah korban yang tidak dapat dinikmati siapapun selain Allah, dan hal itu membuatnya diterima dan menyenangkan Dia.

Korban bakaran merupakan korban yang paling umum. Mereka, dan korban pendamping berupa korban sajian, dipersembahkan dua kali setiap hari dalam tempat kudus (Bil. 28:34). Imamat 1:3-13 menggambarkan bagaimana orang perorangan membawa korban bakaran. Si penyembah membawa seekor binatang yang tidak bercela dari kawanannya ke tempat suci. Ia me- numpangkan tangannya atas kepalanya untuk menanda kan bahwa ia dipersembahkan untuk menggantikan dia dan penerimaannya melambangkan penerimaan orang itu. Kemudian binatang tersebut disembelih, dikuliti dan dipotong-potong. Imam-imam mengambil darahnya dan memercikkannya di sekeliling mezbah, dan membakar potongan-potongan korban tersebut diatas mezbah.

D.2.b. Korban-korban persekutuan/persatuan Ia seringkali diartikan sebagai ‘persembahan persekutuan’, didasarkan pada sifat makanan yang mendampingi pengorbanan tersebut. Terjemahan ‘korban keselamatan’ menghubungkan shelem dengan kilom (pendamaian). Korban ini digambarkan dalam Imamat 3. Bentuk ini serupa dengan korban bakaran, meskipun dalam hal ini Allah, imam dan penyembah semuanya mendapat bagian dari korban tersebut.

Bagian Allah ialah apa yang dibakar diatas mezbah, imam menerima dada dan paha kanan (Im. 7:31-34), dan sisanya dimakan oleh si penyembah dan keluarganya (Im. 7:15-16; Ul. 12:7). Binatang-binatang yang diijinkan untuk korban-korban ini adalah sama dengan untuk korban bakaran, kecuali burung-yang tidak cukup besar bagi perjamuan makan persekutuan.

Imamat 7:12-16 mencatat tiga jenis korban persekutuan, dengan aturan-aturan yang agak berbeda: persembahan syukur (ay. 12; lih. Juga 2 Taw. 29:31; Mzm. 50:14; 116:17); persembahan nazar, dibuat dalam pemenuhan sebuah nazar (ay. 16; lih. Juga. Mzm. 50:14; 56:12; 116:17-18); dan persembahan sukarela (ay. 16; lih. Juga Kel. 35:29; Ul. 16:10; Ezr. 1:4; Mzm. 54:6). Shelem juga dikaitkan dengan perjanjian (Kel. 24:5; Ul. 27:7; Yos. 8:30-31; 2 Sam. 6:17-18; I Raj. 8: 63-64) dan kemungkinan besar termasuk ucapan syukur kepada Allah maupun pembaharuan sumpah perjanjian.

D.2.c. Korban penebus dosa Kata kunci ketika membahas korban penebus dosa adalah ‘pendamaian’, yang mungkin menandakan penyucian atau pentahiran, atau pembayaran tebusan. Korban bakaran memainkan peranan utama dalam mengadakan pendamaian bagi dosa (Im. 1:4; Bil. 15:2226; 2 Sam. 24:25; Ayb. 1:5; 42:8), dan memalingkan murka Allah (Kej. 8:20-21; 2 Taw. 29:7-8). Dua persembahan selanjutnya yang juga bertujuan untuk mengatasi pemisahan antara manusia dan Allah yang disebabkan oleh dosa adalah persembahan pentahiran (hatta’t), seringkali diacu sebagai korban penebus dosa, dan perbaikan atau persembahan salah (‘slam)

D.2c.1. Persembahan pentahiran Persembahan pentahiran dipersembahkan untuk mengadakan pendamaian bagi dosa, dan untuk mentahirkan tempat kudus. Ia dipersembahkan pada beberapa hari raya (mis. Bil. 28:11-29:38), meskipun, biasanya, ia dibawa oleh perorangan yang telah melakukan dosa yang tidak disengaja (Im. 4:2-3, 13-14, 22, 27), atau yang menjadi tidak tahir (mis. Im. 5:1-6; 12:1-7). Tindakan pembangkangan yang disengaja tidak dapat diperdamaikan dengan cara ini (Bil. 15:27-31).

Korban pentahiran dan korban bakaran memiliki beberapa segi yang sama, memberikan kesan unusr-unsur kunci dalam korban pendamaian, namun upacara-upacara juga memiliki unsur-unsur khas yang penting. Apa yang memisahkan korban pentahiran adalah bahwa darah korban digunakan untuk mentahirkan tempat kudus. Dalam kasus dosa seorang pemimpin atau individu, darah korban dilumurkan pada tanduk-tanduk mezbah (Im. 4:25, 34); bagi seorang imam atau seluruh komunitas, seekor lembu dikorbankan dan darahnya diambil kedalam tempat kudus.

Beberapa dipercikkan di depan tirai yang memisahkan tabut (Im. 4:6, 17) dan beberapa dioleskan pada tanduk-tanduk mezbah pembakaran ukupan (Im. 4:7, 18). Ini semua adalah satu-satunya korban, selain dari korban pada Hari Raya Pendamaian, dimana bagian dari korban diambil didalam tempat kudus. Sisa darahnya dicurahkan pada bagian bawah mezbah diluar tempat kudus.

Brown mengusulkan bahwa ‘korban tersebut menyerap kenajisan’, dan ini menerangkan mengapa perlu untuk menghancurkan atau menggosok bejana yang dipakai (Im. 6:28), dan ketika darahnya telah diambil ke tempat kudus, untuk membakar habis sisa lembu itu diluar perkemahan (Im. 4:11-112, 21; 6:30). Ini menunjukkan bahwa dosa tidak hanya menajiskan seseorang namun juga mencemari tempat kudus Allah. Allah adalah kudus dan tidak dapat tinggal ditengahtengah dosa; jadi jika orang-orang ingin terus mengalami kehadiran-Nya diantara mereka, haruslah ada pentahiran-oleh darah.

Fakta bahwa perintah mengenai penyucian tempat kudus beragam menurut kepada pribadi atau kelompok yang telah melakukan dosa memberikan kesan bahwa ada tingkatan pencemaran yang berbeda. Sementara semua dosa diperlakukan dengan serius, dosa-dosa pribadi biasanya memiliki dampak yang tidak terlalu besar bagi kehidupan agamawi bangsa itu ketimbang dosa dari seluruh umat itu-meskipun pribadi tersebut adalah seorang imam. Dalam kasus dosa seluruh umat atau mereka yang diberikan tanggungjawab untuk memelihara kehidupan rohani umat itu, pencemaran bergerak jauh lebih dalam, dan untuk memulihkannya, darah harus dibawa lebih jauh kedalam tempat kudus.

Hewan-hewan yang berbeda yang digunakan dalam korban tersebut dapat juga mengindikasikan tingkatan pencemaran yang berbeda. Seekor lembu dikorbankan untuk mengadakan pendamaian bagi imam-imam. Imamat 4:3 menunjukkan bahwa seekor lembu juga dikorbankan untuk mendamaikan dosa dari komunitas tersebut; meskipun di nas lain binatang yang ditentukan ialah seekor kambing jantan (Im. 9:15; 16:5; Bil. 15:24; 2 Taw. 29:21; Ezr. 6:17; Yeh. 43:22-27).

Untuk mendamaikan dosa seorang pemimpin, korbannya juga adalah seekor kambing jantan (Im. 4:23; Bil. 7). Korban yang dipersembahkan bagi dosa perorangan dari umat itu adalah seekor kambing betina (Im. 4:28; Bil. 15:27) atau anak domba (Im. 4:32; Bil. 6:14). Pembagian skala ini nampaknya mengaitkan keseriusan dosa dengan nilai korban. Dalam kasus perorangan yang tidak mampu untuk menyediakan seekor kambing atau anak domba, burung (Im. 5:7) atau bahkan gandum (Im. 5:11) dapat dipersembah kan sebagai gantinya.

Perintah menyangkut persembahan pentahiran menekankan bahwa dosa-dosa yang dilakukan adalah tidak disengaja dan si pelaku mungkin tidak menyadari perbuatannya. Pada Hari Pendamaian, bahasa yang dipergunakan adalah berbeda. Pada saat itu pendamaian diadakan bagi kecemaran dan pemberontakkan orang Israel, apapun dosa mereka itu (Im. 16:16), mengindikasikan bahwa dosa-dosa yang disengaja adalah termasuk juga didalamnya.

Dalam rangka menyucikan tempat kudus dari tingkatan pencemaran yang lebih besar ini, darah korban dibawa lebih jauh kedalam tempat kudus, tepat didalam Tempat Maha Kudus, dan dipercikkan diatas serta didepan Tabut (Im. 16:15-17). Sebagaimana yang telah kita lihat, ritual dari Hari Pendamaian juga menggambarkan pelanggaran dari bangsa itu dipindahkan kepada seekor kambing, yang membawa dosa-dosa itu ke padang gurun (Im. 16:21-22).

Hari Pendamaian berkenaan dengan dosa bangsa itu secara keseluruhan, dan tujuannya adalah, utamanya, untuk mentahirkan tempat kudus supaya hadirat kudus Allah dapat terus berdiam diantara umat-Nya. Agar ini terjadi, dan agar umat itu dapat selamat dari penghakiman Allah, ada persyaratan bagi pengampunan secara korporat-bahkan bagi pembangkangan yang disengaja. Nampaknya tidak ada pendamaian yang bersesuaian bagi dosa perorangan yang disengaja.

D.2.c2. Persembahan penggantian Ini dipersembahkan untuk mengadakan penggantian bagi pelanggaran-pelanggaran tertentu. Ia serupa dengan persembahan persekutuan, meskipun dalam kasus ini hanya seekor domba atau anak domba berumur setahun yang dapat dipersembah kan, dan bagian tubuh binatang yang tidak dibakar diatas mezbah diambil dan dimakan oleh para imam. Korban penggantian juga didampingi dengan denda (Im. 5:14-16; Bil. 5:5-8). Persembhan ini dijelaskan sebagai sebuah tebusan (Im. 5:15), dan termasuk gagasan mengadakan pengganti rugian kepada Allah, sebagaimana juga kepada orang lain kepada siapa dosa itu dilakukan.

E. Korban dan Pengampunan E.1. pentingnya Korban Faktor umum penting dalam pentahiran dan korban-korban bakaran adalah bahwa orang yang mempersembahkan korban menumpang kan (atau menekankan) tangannya pada binatang yang akan dipersembahkan sebelum menyembelihnya. Dalam kasus korban bakaran, hal ini dijelaskan: ia haruslah... (Im. 1:4)

Ini menyiratkan semacam penggantian. Dengan menumpangkan tangannya diatas kepala kepala korban, si penyembah menyamakan dirinya dengan si korban, yang kemudian disembelih menggantikan tempatnya. Satu cara untuk memahami hal ini adalah sebuah tindakan penyerahan: melalui korban si penyembah mempersembahkan hidupnya sendiri kepada Allah. Kemungkinan yang lain adalah bahwa korban tersebut dikorbankan sebagai tebusan: si korban mati bukannya si penyembah.

Dalam kasus ini korban akan memiliki efek memalingkan hukuman Allah. Gagasan bahwa korban itu memberikan bau-bauan yang menenangkan (Im. 1:9) juga menyiratkan memalingkan murka dan menarik perkenan Allah kepada orang yang mempersembahkan nya. Menekankan tangan keatas korban juga mengindikasikan pemindahan dosa secara simbolik, seperti dalam kasus kambing bagi Azazel pada Hari Raya Pendamaian (Im. 16:2122).

Menumpangkan (kedua) tangan pada binatang ini dikaitkan dengan pengakuan (Im. 5:5), yang mungkin telah dibarengi dengan beberapa pernyataan pertobatan. Poin yang patut bagi ini adalah ketika si penyembah menumpangkan tangannya atas kepala binatang korban sebelum menyembelihnya. Ini mengindikasikan bahwa, betapapun mekanistis upacara korban itu jadinya, sebuah aspek interior penting hadir sejak awalnya.

faktor umum kedua ialah penumpahan darah. Beragam korban menggenapi perananperanan yang berbeda, dan riwayat bagi perbedaan-perbedaan dari binatang yang dikorbankan dan cara dari darah itu digunakan. Bagaimanapun juga, diluar penekanan-penekanan yang berbeda, adalah jelas bahwa penumpahan darah memainkan sebuah peranan penting dalam menangani pemisahan dari Allah yang disebabkan oleh dosa.

Ini paling baik dijelaskan melalui gagasan penebusan penggantian: menumpahkan darah menandakan kematian, dan kematian binatang, untuk menggantikan si pendosa atau komunitas yang berdosa, membuka jalan bagi pentahiran dan pengampunan, dan bagi kelanjutan kehadiran Allah diantara umat-Nya.

F. Hesed dan Pengampunan Sistem korban menawarkan suatu solusi sebagian kepada pengampunan dan pemeliharaan dari sebuah hubungan dengan Allah di hadapan dosa manusia. Namun ia hanya sebagian: tidak semua dosa dapat didamaikan dengan cara ini. Secara umum korban-korban bakaran dan pentahiran hanya berlaku bagi dosa-dosa yang tidak disengaja. Hari Raya Pendamaian tahunan membuat persyaratan bagi dosa-dosa yang disengaja dari umat itu; namun tidak ada persyaratan yang serupa bagi perorangan.

Beberapa dosa disengaja yang ditujukan terhadap kepemilikan orang lain mungkin masih dicakup oleh persembahan pemulihan, yang didampingi oleh ganti rugi bagi pihak yang dirugikan. Namun tantangan yang disengaja dari hukum-hukum yang menyentuh sifat dan karakter Allah sendiri tidak dapat diperdamaikan melalui korban, dan berakibat si pelanggar dienyahkan dari umat-Nya (mis. Bil. 15:30-31). Hukuman ini kemungkinan besar dikaitkan dengan aktivitas langsung Allah. Komunitas itu mungkin juga disyaratkan untuk mengambil tindakan yang tepat; bagaimanapun, jika mereka gagal untuk mengambil tindakan, Allah akan mulai menjalankan ancaman-Nya.

sifat dari ancaman itu tidaklah jelas. Ia kemungkinan kematian prematur, penghakiman diluar kubur dengan menolak penguburan yang pantas yang akan memungkinkan persekutuan yang berlanjut dengan para leluhur, atau keturunan yang ditolak. Adalah lebih alami, sungguhpun, untuk mengambilnya sebagai memutuskan hubungan si pendosa dengan komunitas.

Kejadian 17:14 mengusulkan sebuah kaitan antara dienyahkan dari umat itu dan bergerak diluar batas dari perjanjian. Nampaknya masuk akal, oleh karenanya, untuk mengambil ungkapan untuk mengindikasikan bahwa dibawah situasi tertentu, Allah akan bertindak untuk menaruh pihak yang bersalah diluar perlindungan perjanjian.

Perjanjian Sinai menyediakan perlindungan bagi bangsa itu secara keseluruhan dalam hubungan mereka dengan Allah; ini termasuk memalingkan murka Allah dengan memprsembahkan korban-korban yang layak, dan menyediakan suatu lingkungan ibadah dalam mana manusia yang berdosa dapat mendekat dan berjumpa dengan Allah yang kudus. Dalam beberapa kasus perlindungan-perlindungan tersebut dapat ditarik. Pelanggaran-pelanggaran tertentu menaruh si pendosa diluar cakupan perjanjian, dan dengan demikian diluar penyediaan korban yang hanya berlaku bagi mereka yang berada dalam perjanjian.

bagi mereka yang dosanya telah menempatkan mereka diluar jangkauan sistem korban, pengampunan masih dimungkinkan dengan permohonan langsung kepada hesed Allah. Allah telah berkomitmen untuk menunjukkan hesedNya bagi umat-Nya karena perjanjian yang telah Ia masuki bersama mereka. Korban diletakkan dalam konteks itu: persembahan-persembahan dibawa sesuai dengan persyaratan dari perjanjian, dan tanggapan Allah, juga dalam kesetiaan kepada perjanjian, adalah mengampuni.

Mempersembahkan korban dengan demikian tidak bertentangan dengan hesed. Sistem korban, bersama dengan setiap aspek dari perjanjian itu, adalah efektif secara akurat karena hesed Allah: karena komitmen-Nya yang penuh kasih dan setia bagi unat perjanjian-Nya. Namun hesed juga mengungkapkan kasih Allah yang terus menerus bagi umat-Nya ketika mereka melanggar janji itu, dan adalah dasar bagi pemulihan, yang membawa, pada puncaknya, kepada janji dari perjanjian yang baru. Dalam kasus ini hesed dekat artinya dengan ‘anugerah’, dan menyediakan dasar bagi permohonan untuk mereka yang dosanya telah menempatkan mereka diluar jaminan-jaminan perjanjian.

Permohonan-permohonan tersebut secara khusus menonjol dalam Mazmur (mis. Mzm. 25:7; 130:7). Sebuah contoh penting ada dalam Mazmur 51:1; dimana si pemazmur, yang telah melakukan jenis dosa yang serius dan disengaja yang akan menempatkan dia diluar persediaan sistem korban, berdoa: “...”

Dalam situasi ini si pelanggar telah melangkah diluar penyediaan normal dari korban untuk pengampunan dan mungkin menduga, dengan benar, untuk diputuskan dari umat-Nya. Jadi ia memohon dengan sangat, atas dasar dari hesed ilahi, agar ia tidak dibuang dari hadirat Allah (ay. 11a). Kekuatan dari bahasa ini, selamatkan aku dari hutang darah (ay. 14), jangan membuang aku dari hadapan-Mu/janganlah mengambil roh Mu yang kudus dari padaku (ay. 11), mengindikasikan kemungkinan nyata akan pemisahan dari Allah.

Itu dapat juga diisyaratkan oleh ayat 18-19, yang, ketika dibaca sebagai bagian dari keseluruhan kanonikal, nampaknya menunjuk kepada suatu waktu setelah permohonan kepada hesed Allah telah didengar, ketika si pemazmur dapat lagi bergabung dalam ibadah komunitas orang percaya, yang termasuk membawa korban-korban yang benar dan korban-korban bakaran. Ini menyiratkan bahwa korban-korban tersebut tidak segera dipersembahkan, dan mengisyaratkan pelanggaran dalam persekutuan yang perlu untuk dipulihkan.

korban, oleh karenanya, dibatasi dalam perbatasan perjanjian, dan tidak dapat menolong mereka yang melangkah keluar dari perbatasan itu. Sebaliknya, hesed Allah, yang beroperasi sebagian besar dalam hubungan timbal balik yang dibangun oleh perjanjian itu, juga mampu untuk menjangkau mereka yang diluar batasannya, dan, oleh mujizat anugerah, menawarkan pengampunan yang memungkinkan mereka untuk ditarik kembali kepada hubungan yang dipulihkan dengan Allah. Apakah prmohonan terhadap hesed Allah cukup?

Dalam Mazmur 51, pemazmur tidak hanya memohon hesed Allah namun juga mengambil pandangan negatif terhadap korban:”...” (ay. 16-17). Beberapa menganggapnya sebagai menyiratkan akan penolakan dari korbankorban binatang dan mengklaim dukungan untuk ini dari nabi-nabi pra-pembuangan, yang nampaknya juga menolak korban dan lebih menyukai perilaku yang benar (mis. Yes. 1:11-17; Yer. 6:20; Hos. 6:6; Am. 5:21-24; Mi. 6:6-8).

Cara yang lebih baik untuk menerjemahkan bahasa negatif ini adalah bahwa ia relatif. Ia tidak mengutuk korban itu sendiri namun gagasan bahwa hanya tindakan ritual saja yang merupakan tanggapan yang cukup kepada Allah, dan menekankan bahwa korban hanya memiliki makna ketika diikuti oleh, dan berada dibawah, sikap hidup yang benar. Nabi Samuel, yang tentunya tidak menolak korban, mengatakan sesuatu yang serupa ketika ia mengritik ketidaktaatan Saul:”...” (I Sam. 15:22).

Secara signifikan, korban-korban masih memiliki tempat setelah mereka kembali dari pembuangan (mis. Ezr. 3:1-6; Neh. 12:43; Mal. 1:6-9) dan bahkan dalam penglihatan profetik tentang Kerajaan Allah (Yer. 33:18; Yeh. 40:38-43; 46; Za. 14:20-21; Mal. 1:11) mengindikasikan bahwa para penulis PL tidak menggambarkan akhir dari sistem korban.

Seperti yang telah kita lihat, pemohon dalam Mzm. 51 telah menempatkan dirinya diluar cakupan dari sistem korban, dan kata-katanya dalam ayat 1617 dapat dianggap bukan sebagai pernyataan umum mengenai korban namun sebagai sebuah komentar atas situasinya sendiri di hadapan Allah. Karena ia berdiri diluar perjanjian, tidak ada korban binatang yang dapat ia bawa untuk mengadakan pendamaian bagi dosanya. Satusatunya korban yang dapat ia persembahkan ialah penyesalan yang sungguh-sungguh.

Ini dibuktikan dalam narasi di 2 Sam. 12:1-4, yang memberikan lingkup kanonikal dari Mzm. 51. Disana pertobatan Daud diikuti segera dengan pengampunan: TUHAN telah menghapuskan dosamu (2 Sam. 12:13),tanpa menyebutkan tentang korban. Mungkin ada unsur terhadap ini juga dalam dakwaan profetik dari korban. Tentu saja ini bahkan mungkin untuk melihat Mazmur 51 sebagai menyediakan sebuah pola bagi pertobatan bangsa itu secara menyeluruh.

Sebagaimana mengutuk formalisme dan sinkretisme religius, nabi-nabi juga mengumumkan pemutusan hubungan perjanjian antara Allah dan umat-Nya (Yes. 24:5; Yer. 11:10; 31-32; Hos. 6:7; 8:1; Mal. 2:14; bdk. Yes. 50:1; Yer. 3:8). Bagi mereka, sebagaimana bagi pemazmur, berdiri diluar perjanjian, tidak ada lagi korban yang dapat dipersembahkan untuk mendamaikan dosa mereka.

Dan komentar mengenai Allah tidak menerima atau disenangkan dengan korban dapat dihubungkan secara khusus dengan konteks tersebut, ketimbang diambil sebagai pernyataaan umum mengenai relevansi yang berlanjut (atau sebaliknya) dari sistem korban. Mengingat kondisi spiritual dari bangsa itu, tidak ada korban yang dapat dibawa oleh umat itu. Apa yang masih tinggal, sebagaimana dalam kasus si pemazmur, adalah pertobatan yang tulus dan dari hati serta kembali kepada Allah. Dan juga, seperti dalam kasus pemazmur, pengampunan dan

Related Documents

Allah Dan Umat-nya (2)
February 2021 0
Allah Dan Penciptaan.docx
February 2021 0
Allah Dan Masa Depan
February 2021 0
Cinta Dan Murka Allah
January 2021 1
Allah Dan Para Ilah.docx
February 2021 0
Allah Dostu Derki 2
March 2021 0

More Documents from "dibbace"