Antropologi Dan Gizi

  • Uploaded by: Evie Saswari TL Tihan
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Antropologi Dan Gizi as PDF for free.

More details

  • Words: 2,896
  • Pages: 9
Loading documents preview...
ANTROPOLOGI DAN GIZI MASALAH TENTANG GIZI YANG MENCUKUPI Dari 4 triliun manusia di dunia, ratusan juta orang menderita gizi buruk dan kekurangan gizi. Angka yang tepat tidak ada; tidak ada sensus mengenai kelaparan, dan perbedaan antara gizi cukup dan gizi kurang merupakan jalur yang lebar, bukan suatu garis yang jelas. Apapun tolak ukur kita, kelaparan (dan sering mati kelaparn) merupakan hambatan yang paling besar bagi perbaikan kesehatn di sebagian terbesar negara-negara di dunia. Kekurangan gizi menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, menyebabkan banyak penyakit kronis, dan menyebabkan orang tidak mungkin melakukan kerja keras. Lagi pula, banyak spesialis percaya bahwa kekurangan protein kalori dalam periode kanak-kanak setelah disapih menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Banyak dari masalah kekurangan gizi berasal dari ketidakmampuan negara-negara nonindustri untuk menghasilkn cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang berkembang. Hanya peningkatanpeningkatan yang besar dalam produksi makanan di dunia, melalui metode-metode pertanian yang lebih baik saja yang dapat mengurangi gizi buruk dan dan kekurangan gizi yang berasal dari kekurangan kalori dan protein yang menyolok. Namun banyak dari masalah juga tergantung pada kepercayaan-kepercayaan yang keliru, yang terdapat di mana-mana, mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan, dan juga tergantung pada kepercayaan-kepercayaan, pantanganpantangan, upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka. Kekurangan gizi disebabkan oleh kebiasaankebiasaan makanan yang buruk, tentunya tidak terbatas pada dunia ketiga, hal itu ditemukan juga dalam jumlah yang berlimpah di negara kita sendiri. Karena pengakuan bahwa masalah gizi diseluruh dunia didasarkan atas bentuk budaya maupun

karena

kurang

berhasilnya

pertanian,

maka

semua

organisasi

pengembangan internasional maupun nasional yang utama menaruh perhatian tidak semata-mata pada pertambahan produksi makanan melainkan juga pada kebiasaan makanan tradisional yang berubah, untuk mencapai keuntungan maksimal dari gizi yang diperoleh dari makanan yang tersedia. Hal ini merupakan tugas yang luar biasa sukarnya, karena kebiasan makanan telah terbukti merupakan yang paling menetang perubahan diantar semua kebiasaan. Apa yang kita sukai dan yang tidak kita suka, kepercayaan-kepercayaan kita terhadap

apa yang dapat kita makan dan yang tidak dapat kita makan, dan keyakinankeyakinan kita dalam hal makanan yang berhubungan dengan keadaan kesehatan dan penanggalan ritual, telah ditanamkan dalam usia muda. Hanya dengan sangat susah payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak muda, untuk memulai dengan makanan yang sama sekali berlainan. Karena kebiasaan makan, seperti semua kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang menyeluruh, maka program-program pendidikan gizi yang efektif yang mungkin menuju kepada perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi. Studi mengenai makanan dalam konteks budayanya, yang menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli antropologi; sebagaimana halnya dengan kepercayaan dan praktek medis, para ahli antropologi pada hari pertama dalam penelitian lapangannya, telah mengumpulkan keterangan tentang praktek-praktek makan dan kepercayaan tentang makanan dari penduduk

yang

mereka

observasi.

Dan,

sebagaiman

perhatian

terhadap

kepercayaan dan praktek medis, apabila digabungkan dengan perhatian praktis tentang kesehatan, akan mengarah pada antropologi kesehatan, maka demikian pula, perhatian mengenai kepercayaan tentang makanan dan praktek-prkteknya, jika digabungkan dengan perhatian yang praktis tentang masalah-masalah gizi sedunia, menjurus ke suatu bidang baru, antropologi gizi. Ketua komisi untuk antropologi gizi (dalam siciety Pelto dan Jerome 1978), Norge Jerome, belum lama berselang mendefinisikan bidang baru ini. “Antropologi gizi” meliputi disiplin ilmu tentang gizi dan antropologi. Bidang itu memperhatikan gejala-gejala antropologi yang mengganggu status gizi dari manusia. Dengan demikian, evolusi manusia, sejarah dan kebudayaan, dan adaptasinya kepada variabel gizi yang berubah-ubah dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam, menggambarkan bahan-bahan yang merupakan titik perhatian dalam antropologi gizi. MAKANAN DALAM KONTEKS BUDAYA Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan,

pntangan-pantangan,

dan

tahayul-tahayul

yang

berkaitan dengan produksi , persiapan dan konsumsi makanan, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi

dan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya. Meskipun mereka mngakui bahwa makanan adalah yang utama bagi kehidupan, yaitu di atas segalanya merupakan suatu gejala fisiologi, para ahli antropologi budaya paling sedikit menaruh perhatian khusus terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubungan-hubungan sosial, sanksisanksi, kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola ekonomi dan menguasai sebagian besar dari kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sebagaimana halnya dengan sistem medis yang memainkan peranan dalam mengatasi kesehatan dan penyakit, demikian pula kebiasaan makan memainkan peranan sosial dasar yang menjauh mengatasi soal makanan untuk tubuh manusia semata-mata. Terhadap beberapa dari peranan tersebut dan terhadap ciri-ciri budaya dari makanan itulah pertama-tama kami tujukan perhatian kami. 1. Kebudayaan menentukan makanan Semula terpikir, nampaknya aneh untuk menanyakan, “Apakah itu makanan?”. Makanan adalah yang tumbuh di ladang-ladang, yang berasal dari laut, yang di jual di jual di pasar dan yang muncul di meja kita pada waktu makan. Pertanyaan itu, bagaimanapun juga, adalah dasar dari pengertian tentang masalah gizi. Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dipakai oleh organisma yang hidup, termasuk manusia, untuk mempertahankan hidup. Lebih cepat, bagi para anggota masyarakat, makanan dibentuk secara budaya; bagi sesuatu yang akan dimakan, ia memerlukan pengesahan budaya, dan keaslian. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang akut, akan mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena pantangan agama, tahayul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan yang bergizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”. Dengan kata lain, penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu memelihara dan menjaga kesehatan orgasme yang menelannya. Makanan adalah suatu konsep budaya, suatu pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita”. Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan

orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik. Di Amerika Serikat, kita mengenal variasi makanan yang berlimpah ruah. Mungkin tidak ada masyarakat lain di dunia ini dimana, paling sedikit, diantara kelas menengah dan kelas atas, ada sedemikian banyak makanan yang beraneka ragam yang disantap. Namun ada banyak makanan bergizi yang sangat dihargai oleh warga budaya lain yang kita kenal, yang biasanya tidak kita anggap sebagai makanan : kuda, anjing, burung-burung kecil, kodok, kadal, landak laut, ikan gurita, rumput laut, acon, armadilos, ular desis, capung, semut, larva serangga, belalang dan kutu terbang. Mungkin sekali, suatu makanan dari segi gizi dapat diterima dan digolongkan sebagai “makanan” yang sebagian besar orang Amerika tidakpernah memakannya. Selanjutnya pilihan-pilihan pribadi lebih mengurangi lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu, karena tidak dari seorangpun dari kita yang menikmati secara mutlak segala sesuatu yang diakui oleh kebudayaan kita sebagai makanan. Pengalaman-pengalaman masa kecil , sebagaimana yang kita catat, banyak mempengaruhi kegemaran kita pada usia dewasa; makanan yang kita kenal semasa kanak-kanak tetap menarik kita, sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih mudah ditolak. Meskipun sejumlah orang gemar mencoba-coba makann baru, sebagian besar lagi paling senang dengan menu yang telah dikenal. Di Amerika Serikat, beberapa penelitian menyatakan bahwamakanan yang “paling tidak disukai”, termasuk buttermilk (cairan asam dari mentega), parsnip (jenis akarakaran), terong, caviar (telur ikan), hominy (bagian dari jagung), tiram, keju, limburger, kaki babi, dan organ-organ dalam seperti otak, hati, ginjal, jantung, dan babat. 2. Nafsu makan dan lapar Bukan makanan (food) saja dibatasi secara budaya, namun juga konsep tentang makanan (meal), kapan dimakannya, terdiri dari apa, dan etiket makan. Diantara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa lapar , serta berapa banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Pada waktu bangun pagi, sebagian besar orang Amerika merasa memerlukan makanan lebih banyak daripada orang Eropa. Perut sebagian besar orang Amerika mengirim isyarat lapar terus menerus setelah tengah hari meskipun sarapannya lebih dari cukup. Sedangkan di Meksiko perut berada dalam keadaan pasif sampai

jam 3 atau 4 sore. Kemudian mereka mengirim makanan ringan pada jam 9 atau 10 malam hari. Dengan kata lain, nafsu makan dan lapar adalah gejala yang berhubungan, namun juga berbeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan untuk memuaskannya, adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya lapar mnggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan merupakan suatu konsep fisiologi. 3. Semua masyarakat mengklasifikasikan makanan Dalam setiap kelompok, makanan diklasifikasikan dengan cara-cara yang bervariasi : apa yang layak bagi waktu-waktu makan yang resmi, dan sebagai makanan ringan diantara waktu makan ; dan menurut pemikiran tentang status dan perstise, menurut pertemuan sosial, usia, keadaan sakit dan sehat, dan menurut nilai-nilai simbolik serta ritual. Orang Amerika misalnya, mempunyai kepercayaan yang kuat mengenai apa yang wajar bagi tiap waktu makan. Meskipun beberapa orang yang suka makan dapat menikmati bistik pada waktu sarapan, mereka bahkan akan menganggap sop, selada dan poding coklat sebagai hal yang tidak wajar. Walaupun telur adalah wajar untuk setiap waktu makan, cara memasaknya tidak demikian. Telur yang digoreng hanya dapat diterima pada waktu sarapan, namun sebagai dadar , telur itu dapat disantap pada semua waktu makan. Sedemikian kuatnya pendapat orang Amerika tentang sarapan, sehingga kita barangkali merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang mempunyai ungkapan “makanan sarapan” (breakfast foods). Pertimbangan status memainkan peranan yang penting, terutama dalam merubah kebiasaan makanan. Orang Meksiko di pedesaan, misalnya lebih suka tortilas jagung bila mereka ingin mengenyangkan perut, namun roti tawar semakin dilihat sebagai makanan status, terutama untuk dimakan pada waktu sarapan. Cusler dan degive telah menunjukan bagaimana dikalangan rakyat kecil kulit putih dan hitam di Amerika Serikat bagian tenggara, makanan yang berwarna terang lebih berprestise daripada makanan yang berwarna gelap (Cussler dan Degive 1970), suatu gejala yang dicatat dibanyak bagian dunia, dan bukan hanya diantara orang-orang yang berrkesadaran tentang kelas. Pilihan kalangan luas terhadap beras putih giling misalnya, yang dalam hal gizi kurang baik dari pada beras coklat yang tidak digiling, rupa-rupanya ada kaitannya dengan iode-ide prestise. Makanan yang dipandang bermutu, dibungkus dan sangat luas diiklankan tampaknya mempunyai daya penarik yang tak tertahan bagi orang-orang di negara sedang berkembang, meskipun

banyak dari makanan ini lebih rendah gizinya dibandingkan dengan makanan tradisional. Negara-negara maju juga mencerminkan ide-ide status yang lepas dari kenyataan gizi yang sebenarnya seperti, misalnya, kegemaran yang hampir universal kepada daging sapi dibandingkan dengan daging babi atau domba. Kemungkinan klasifikasi makanan yang paling tersebar luas, dan khususnya yang penting dalam kaitannya dengan kesehatan adalah dikotomi “panas dingin” yang diuraikan dalam diskusi tentang patologi humoral. Kualitas lokal apapun yang diberikan kepada setiap makanan yang bijaksana dan penghindaran jumlah yang berkelebihan antara panas dan dingin, kesehatan dapat dipertahankan sebaikbaiknya. Demikianlah di sebuah desa di India bagian utara, makanan panas termasuk kacang polong yang sudah dikupas, gula kasar, susu kerbau, telur dan ikan, dan khususnya makanan panas dari daging, bawang merah dan bawang putih. Susu dianggap tidak boleh dimakan dengan daging maupun dengan ikan karena “panas” yang dihasilkannya. Makan makanan yang ekstra panas secara teratur dan sebagai kebiasaan akan menghasilkan temperamen yang panas dan lekas marah. Makanan dingin termasuk sayur-sayuran daun wortel, cestnut air dll. 4. Peranan-peranan simbolik dari makanan Makanan nyatanya merupakan sesuatu yang pokok dalam hidup. Makanan juga penting bagi pergaulan sosial. Jika tidak ada cara-cara dimana makanan dimanipulasikan secara simbolis untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu dan kelompok-kelompok, sukarlah untuk meramalkan, bagaimana kehidupan sosial dapat terjadi. a) Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial Barangkali di setiap masyarakat, menawarkan makanan (dan kadang-kadang minuman) adalah menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya. Tidak memberi makanan (seperti halnya seorang ibu yang mengancam anaknya yang nakal) atau gagal menawarkan makanan dalam suatu konteks dimana hal itu justru diharapkan dari segi budaya, adalah menyatakan kemarahan atau permusuhan. Sama halnya, menolak makanan yang ditawarkan adalah menolak tawaran kasih sayang atau persahabatan, mengungkapkan permusuhan terhadap si pemberi. Dalam bahasa inggris, kita mengungkapkan simbolisme ini dalam peribahasa “ menggigit tangan yang memberi makanan”. Orang merasa sangat tentram apabila makan bersama dengan

teman-teman dan orang-orang yang disayangi, dan dalam sebagian besar masyarakat, makanan umum dan makanan pribadi mengekspresikan perasaan ini. Biasanya kita tidak membagi makan dengan musuh-musuh kita, pada kesempatan yang sangat jarang, bila kita berbuat itu, makan bersama itu saja menandai bahwa paling sedikit untuk sementara waktu antagonisme disingkirkan. Di TzintzunTzan, seorang ibu pernah menyatakan penyesalan bahwa putrinya yang sulung kawin dengan orang luar desa dan bahwa ia hanya sekali-kali saja menjenguknya. Putri bungsunya tinggal hanya beberapa rumah dari tempat tinggalnya, dan bagi si ibu, hal itu merupakan suatu sumber kebahagiaan besar untuk dapat terus-menerus mengirimkan sedikit makanan kecil, dan makanan khusus kepada putrinya. Dan sekali-kali, walaupun berarti perjalanan sehari penuh, ia merasa terdorong untuk membuat suatu makanan istimewa dan membawanya kepada putri sulungnya yang tinggalnya jauh. b) Makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok Di Amerika kita mengenal peranan makanan dalam mempertahankan ikatan keluarga dan persahabatan. Idealnya, paling sedikit adalah makan bersama, berkumpul di meja besar, yang melambangkan keakraban keluarga; di masa lalu yang lebih sederhana keadaannya di Amerika, makan bersama di hari minggu sepulang dari gereja, bersama kakek nenek, orang tua, dan anak-anak dirasakan secara sadar sebagai sesuatu yang menitikberatkan persatuan keluarga. Pada tingkat yang lebih luas, makanan serinh di hargai sebagai lambing-lambang identitas suku bangsa atau nasional. Namun tidak semua makanan mempunyai nili lambing seperti ini, makanan yang mempunyai dampak yang besar adalah makanan yang berasal, atau dianggap berasal dari kelompok itu sendiri, dan bukan yang biasanya dimakan dibanyak negara yang berlainan atau juga dimakan oleh banyak kelompok suku bangsa. Sebagai suatu symbol dari persatuan nasional, makan malam thanksgiving di Amerika menggambarkan hal ini: kita harus menghidangkan kalkun, yakni unggas yang hidup di Amerika utara dan diburu oleh leluhur kaum pendatang kita, buah cranberries yang tumbuh dirawa-rawa dekat Plymouth; pudding jagung yang semula makanan pokok di dunia baru, yang di ajarkan oleh orang Indian kepada imigran pertama untuk ditanam; dan pie labu kuning di buat dari labu, tanaman asal Amerika. Didunia dewasa ini, kegunaan simbolis dari makanan makanan asli sering merupakan suat alat untuk mengukuhkan ikatan nasional dan ikatan suku bangsa.

Dimeksiko, kalkun dengan saos mole di hidangkan bersama tortillas, kacangkacangan dan bubur alpukat guacamole, yang terkenal sebagai makanan upacara, karena semua bahannya berasal dari benua baru (Amerika), kebanyakan dari meksiko. Saos mole itu khususnya menarik; terdiri dari fanili dan coklat (keduanya berasal dari pantai teluk atau gulf coast), kacang tanah (dari hindia barat) serta tomat dan cabai yang biasa dimakan dimeksiko sebelum ditaklukan oleh spayol. Makanan simbolis lainnya termasuk domba di negara-negara arab, tuak pohon palma dari afrika barat, cabai pedas, jagung asli choclos, dan ikan local diacar dengan jeruk (ceviche) dan couscous di Saharan Afrika. c) Makanan dan stress Makanan

khusus

dapat

mereupakan

pencerminan

identitas

dari

yang

memakanananya, melebihi benda-benda budaya lainnya; dengan demikian, makanan member rasa ketentraman dalm keadaan yang menyebabakan stres. Sejauh mungkin, banyak imigran di Amerika Serikat melanjutkan pola-pola makanan mereka mereka seperti yang dimakan di reumah mereka, yamng sering kali diperoleh dengan usaha dan biaya yang berat. Sebaliknya, orang Amerika yang tinggal di luar negara mereka lebih senang bilamana mereka bias memperoleh “ wakil” Amerika dalam bentuk makanan yang dibekukan, makanan kaleng, makanan dalam kotak yang biasanya mereka makanan di negaranya. Nilai keamanan psikologis dari makan juga dibuktikan dengan suatu kecenderungan umum untuk makan melebihi biasanya dan makan makanan kecil diantara waktu-waktu makan, apabila seorang tidak merasa bahagia atau mengalami keadaan stress yang berat. Burgess dan Dean menyatakan bahwa sikap-sikap terhadap makanan sering mencerminkan persepsi tentang bahaya maupun perasaan stress. Menurut mereka, suatu cara untuk mengatasi stress dari dalam, sehubungan dengan ancaman terhadap jiwa atau terhadap keamanan emosional adalah melebih-lebihkan bahaya dari luar, cara lainnya adalah mempersalahkan ancaman dari dalam akibat pengaruh-pengaruh

luar.

Berbagai

macam

usaha

magis

dilakukan

untuk

menghindari bahaya dari luar atau untuk mengimbangi suatu jenis ancaman tertentu terhadap ancaman lain. “ praktek memberi makanan yang „dipanasi‟ atau „didinginkan‟khususnya dalam kondisi-kondisi klinis tertentu mungkin merupakan suatu bentuk dari jenis teknik keseimbangan ini ; serupa halnya, menghindari makanan tertentu mungkin tanpa disadari merupakan suatu teknis magis untuk

mengelahkan apa yang dipandang sebagai pengaruh-pengaruh yang mengancamyang bukan dari hal gizi” ( Burgess dan Dean 1962 : 68 ). Curierr juga menginterpretasikan dikotomi panas –dingin meksiko dalam pengertian isi, simbolis maupun pengertian luarnya yang berhubungan dengan kesehatan. “dingin,” tulisnya, “dikaitkan dengan aspek-aspek keberadaan yang mengancam, sedangkan hangat dikaitkan dengan rasa aman” ( Currier 1966 : 256). Dengan demikian, maka baik untuk di cacat bahwa sebagian besar orang Amerika menilai makanan panas lebih baik dipada makanan dingin, walau[un tidak nampak kelerasi kepercayaan itu denagn gizi. Meskipun demikian, kita bersusah payah untuk memestikan bahwa paling sedikit satu kali dalam sehari, kita menghidangkan makanan panas, dan banyak orang mersaa lebih mampu menghadapi tantangan sehari- hari jika mereka keluar rumah setelah diperkuat dengan sarapan yang panas. d. Simbolisme Makanan Dalam Bahasa Pada tingkat yang berbeda, bahasa mencerminkan hubungan psikologis yag sangat dalam di antara makanan, persepsi kepribadian dan keadaan emosional. Dalam bahasa inggris, yang pada ukuran tertentu mungkin tidak tertandingi oleh bahasa lain, kata – kata sifat dasar yang biasa di gunakan untuk menggambarkan kualitas – kualitas makanan digunakan juga untuk menggambarkan kualitas – kualitas manusia : dingin, hangat,manis, asam, pahit, asin, pedas,sangat masam, sangat pedas, asam (yang tajam), keras, empuk, kering, sedang, kuat, lunak, segar, rusak, dan sebagainya. Kata – kata yang di gunakan dalam bahasa inggris untuk mendeskripskan persiapan makanan (satu proses sementara di mana ada awal dan akhir) adalah juga kata – kata yang di gunakan untuk melukiskan situasi kejiwaan (yang sifatnya sementara,jadi kebalikan dari karekteristik kepribadian dasar yang tetap) : “ mendidih,” artinya sangat marah (boiling mad), “ hangat” artinya mulai marah (simmering with anger), “ menguap”, artinya panas hati (karena sesuatu hal) (burnet up with something), “ di rebus” artinya marah (karena sesuatu).

Related Documents


More Documents from "wina"

Antropologi Dan Gizi
February 2021 2
March 2021 0