Artikel K3.docx

  • Uploaded by: reny
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel K3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,818
  • Pages: 18
Loading documents preview...
ARTIKEL UPAYA MENCEGAH DAN MEMINIMALKAN RESIKO DAN HAZARD PADA TAHAP IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN

Disusun Oleh : Dimas Dwi Nugroho

P27820714003

Adeng Hidayatullah

P27820714007

Qonita

P27820714012

Reny Afni Putri

P27820714016

Ichtiyar Rizki Zerniansya

P27820714019

Fitri Ardiana

P27820714022

Fenika Nikmatul Rizki

P27820714026

Fitrah Nurani Erba Putri

P27820714030

Brainia Logi Ansari

P27820714035

PRODI DIV GAWAT DARURAT KAMPUS SURABAYA JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA TAHUN AKADEMIK 2015/2016

A. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja secara umum 1. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pengendalian Bahaya Di Tempat Kerja :

2.

o

Pemantauan dan Pengendalian Kondisi Tidak Aman di tempat kerja.

o

Pemantauan dan Pengendalian Tindakan Tidak Aman di tempat kerja.

Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pembinaan dan Pengawasan : o

Pelatihan dan Pendidikan K3 terhadap tenaga kerja.

o

Konseling dan Konsultasi mengenai penerapan K3 bersama tenaga kerja.

o

Pengembangan Sumber Daya ataupun Teknologi yang berkaitan dengan peningkatan penerapan K3 di tempat kerja.

3. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Sistem Manajemen : o

Prosedur dan Aturan K3 di tempat kerja.

o

Penyediaan Sarana dan Prasarana K3 dan pendukungnya di tempat kerja.

o

Penghargaan dan Sanksi terhadap penerapan K3 di tempat kerja kepada tenaga kerja.

Serta upaya pencegahan dapat dilakukan dengan Pelayanan kesehatan kerja diselenggarakan secara paripurna, terdiri dari pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan dalam suatu sistem yang terpadu. 1. Pelayanan preventif kesehatan kerja. - Pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan khusus - Imunisasi - Kesehatan Lingkungan Kerja. - Pelindung diri terhadap bahaya - bahaya pekerjaan - Penyerasian manusia dengan mesin alat kerja (ergonomi) - Pengendalian bahaya lingkungan kerja. 2. Pelayanan promotif kesehatan kerja Pelayanan ini diberikan kepada tenaga kerja yang sehat dengan tujuan untuk meningkatkan kegairahan kerja, mempertinggi efesiensi dan kerja. Kegiatannya antara lain meliputi: • Pendidikan dan penyuluhan tentang Kesehatan Kerja.

produktivitas

• Pemeiiharaan berat badan ideal • Perbaikan gizi, menu seimbang dan pemilihan makanan yang sehat dan aman. • Pemeiiharaan lingkungan kerja yang sehat. • Olah Raga. 3. Pelayanan kuratif. • Pelayanan diberikan kepada pekerja yang sudah mengalami gangguan kesehatan karena pekerjaan. • Pelayanan diberikan meliputi penghobatan terhadap penyakit umum maupun penyakit akibat kerja. 4. Pelayanan rehabilitatif Pelayanan diberikan kepada pekerja yang telah menderita cacat sehingga menyebabkan ketidak mampuan bekerja secara permanen baik sebagian maupun seluruh. kemampuan bekerjanya. Kegiatannya antara lain: • Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuannnya yang masih ada secara maksimal. • Penempatan kembali pekerja yang cacat secara selektif sesuaikemampuannya.

B. KASUS 1. Seorang Perawat RSUD Gunung Jati Positif Difteri

Erika Lia Rabu, 10 Februari 2016 - 17:59 WIB Seorang Perawat RSUD Gunung Jati Positif Difteri Seorang perawat di RSUD Gunung Jati, Kota Cirebon, diketahui positif difteri pascamenangani pasien yang menderita penyakit yang sama. (Ilustrasi pasien di RSUD Gunung Jati/Dok Sindonews) CIREBON - Seorang perawat di RSUD Gunung Jati, Kota Cirebon, diketahui positif difteri pascamenangani pasien difteri. Berdasarkan informasi, perawat yang terkena difteri berinisial Ru dan bertugas di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Gunung Jati. Ru diketahui merupakan perawat pertama yang menangani pasien pertama difteri yang masuk rumah sakit tersebut. Direktur Utama RSUD Gunung Jati, Heru Purwanto menyatakan, perawat bersangkutan kini menjalani perawatan intensif di ruang isolasi. Rencananya, terhadap Ru akan dilakukan kultur tenggorokan. "Saat ini kesehatannya membaik, tapi untuk memastikan difterinya sembuh atau belum, akan dilakukan kultur tenggorokan terhadap pasien (Ru)," paparnya, Rabu (10/2/2016). Pascakultur tenggorokan dilakukan, pihaknya akan mengamati kondisi pasien sebagai pertimbangan akan dipulangkan atau terus dirawat. Sementara, seorang warga RT 09/02 Blok Wetan, Desa Kedokan Bunder, Kabupaten Indramayu, Lusiana, yang didiagnosa difteri oleh RSUD Gunung Jati saat ini kondisinya pun sudah mulai membaik. Lusiana sempat minta dipulangkan dari RSUD Gunung Jati Cirebon, sebelum kemudian dirawat di RSUD Indramayu. Kini, pihak rumah sakit telah mengizinkannya pulang ke rumah.

Sebagaimana diketahui, serangan difteri pertama kali diketahui diderita empat warga yang masih satu keluarga asal Blok Puhun, Desa Sampih, Kecamatan Susukanlebak, Kabupaten Cirebon. Dari empat orang itu, tiga di antaranya meninggal dunia setelah sempat menjalani perawatan di RSUD Gunung Jati Cirebon. Difteri kemudian menyebar dan menyerang belasan warga lain, termasuk empat warga Kabupaten Majalengka. Total, korban meninggal sejauh ini empat orang, tiga warga Kabupaten Cirebon dan seorang warga Kabupaten Majalengka. Belasan lainnya masih dirawat di RSUD Gunung Jati hingga kini. (sms) DAFTAR PUSTAKA lia,

erika.

2016.

Seorang

Perawat

RSUD

Gunung

Jati

Positif

Difteri

(http://daerah.sindonews.com/read/1084247/21/seorang-perawat-rsud-gunung-jati-positifdifteri-1455098637 di unduh pada tanggal 28 maret 2016 pukul 14:00 wib) Upaya Pencegahan :

1. Perawat memakai APD ketika ke pasien seperti memakai handscoon, masker. Serta melakukan cuci tangan sesuai dengan tata cara yang benar dan waktu yang tepat. 2. Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melindungi diri sendiri dari penularan. 3. Menjaga keselamatan pasien yang gelisah selama berada di tempat tidur. 4. Menjaga keselamatan klien dan tenaga kesehatan dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptik, menggunakan alat kesehatan dalam keadaan steril. 5. Melindungi semaksimal mungkin klien dari infeksi nosokomial seperti penempatan klien terpisah antara infeksi dan non infeksi. 6. Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.

2. Harian Terbit. Koran Aspirasi Rakyat Ribuan Perawat di Indonesia Tertular Hepatitis B www.harianterbit.com Di Publish Pada : Rabu, 17 September 2014 13:24 WIB

Ilustrasi Jakarta, HanTer - Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, menunjukkan sebanyak 7.000 tenaga kesehatan (Nakes) terinfeksi hepatitis B. Sebanyak 4.900 di antaranya disebabkan karena tertusuk jarum suntik, dan hanya 2.200 yang terinfeksi dari populasi. Hal ini menunjukkan jika tenaga kesehatan menjadi profesi yang paling rawan tertular hepatitis B. “Penggunaan jarum suntik yang tidak aman berisiko menularkan virus Hepatitis B dari pasien kepada tenaga kesehatan. Mayoritas tenaga kesehatan yang tertular lewat jarum suntik ini adalah perawat,” kata Peneliti Hepatitis dari Universitas Indonesia, dr Lukman Hakim Tarigan MMedSc, ScD, di Jakarta, kemarin. Ia mengungkapkan, penularan virus hepatitis B terjadi dalam insiden ‘kecelakaan’. Kecelakaan berupa tertusuk jarum terjadi saat Nakes mencoba menutup jarum suntik.

Dengan metode penutupan yang salah dan kurang hati-hati, banyak Nakes yang akhirnya tertusuk jarum. “Rata-rata empat dari tindakan menutup jarum suntik bekas pakai, satu diantaranya tertusuk jarum,” tuturnya. Di negara-negara maju, kata dia, penggunaan jarum suntik seperti yang banyak dipakai di fasilitas kesehatan di Indonesia sudah lama ditinggalkan. Umumnya, mereka lebih memilih jarum suntik yang aman, sehingga risiko untuk tertusuk setelah digunakan menjadi sangat kecil. “Itu sebabnya penting ditekankan standar keselamatan kerja bagi para Nakes tersebut,” ujarnya. Menurut Lukman, imunisasi hepatitis harus dilakukan oleh semua tenaga kesehatan. Mereka harus diberi perlindungan khusus misalnya dengan memberikan dalam tiga dosis vaksinasi. Hal ini untuk menekan jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi hepatitis B. “Kalau tiga dosis ini bisa memberikan perlindungan 90 persen. Kalau hanya mendapatkan satu dosis masih bisa kemungkinan terinfeksi. Selain itu, penggunaan jarum suntik di rumah sakit yang steril dan aman wajib dilakukan,” paparnya. Sementara itu, Ali Sulaiman, Divisi Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi hepatitis tinggi di dunia. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa Indonesia bagian barat tercatat 9,4 persen atau 1 dari 10 penduduk Indonesia mengidap hepatitis B. “Jadi total penduduk Indonesia yang mengidap virus hepatitis B ada 22,3 juta orang, dimana separuhnya membutuhkan pengobatan. Jika tidak diobati, maka dalam 10 tahun ke depan akan berubah menjadi sirosis hati yang membutuhkan transplantasi hati,” tandasnya. (Tryas)

Upaya Pencegahan :

1. Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melindungi diri sendiri dari infeksi 2. Menjaga keselamatan klien dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptik, menggunakan alat kesehatan dalam keadaan steril. 3. Menjaga keselamatan klien dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptik, menggunakan alat kesehatan dalam keadaan steril. 4. Mempertahankan ventilasi dan cahaya yang adekuat.

2. Rumah Sakit terhadap Perawat : Cedera Anda Bukanlah Masalah Kita Diperbarui 25 februari 2015 jam 5:09 PM Dipublikasikan 18 februari 2015 3:51 PM

Terry Cawthorn adalah seorang perawat yang sudah bekerja selama 20 tahun di Rumah Sakit Mission. Tetapi karena ia mengalami cidera tulang belakang yang terjadi berulang kali, dan hal tersebut disebabkan karena mengangkat pasien, ia dipecat. Cawthorn mengambil jalan hukum untuk menghadapi pihak rumah sakit dan masih harus berjuang dalam kehidupan sehari-hari akibat cidera yang dialaminya. Pihak rumah sakit sama sekali tidak mengakui bahwa cidera yang dialami Cawthorn adalah akibat dari pekerjaannya sebagai perawat. Mereka juga menolak bahwa perkerjaan sehari-hari perawat berisiko menciderai perawat maupun berdampak buruk terhadap perawat. Hampir seluruh rumah sakit di seluruh negeri memiliki pendapat yang sama. Sekilas, Cawthorn menceritakan sebuah pengalamannya. Pada suatu sore, di hari ulang tahun ke 45-nya. Seorang pasien yang memiliki badan lumayan besar baru saja melakukan operasi caesar, dan Cawthorn membantu memindahkannya dari brankat ke tempat tidur. Hal tersebut bisa dilakukan ribuan kali olehnya setiap hari. Hampir setiap memidahkan pasien secara tidak langsung ia juga menjadi tumpuan beban bagi pasiennya tersebut. Karena ia selalu menjaga pasiennya agar tidak terjatuh.

Perawat sangat mungkin memiliki resiko cidera akibat dari mengangkat pasien selama bertahun-tahun. Tetapi studi penelitian oleh pemerintah dan universitas AS pada 1990-an mengatakan bahwa pihak rumah sakit bisa mencegah atau meminimalisir cidera pada perawat. Jika pihak rumah sakit mau sedikit mengeluarkan biaya untuk membeli peralatan khusus untuk memindahkan pasien, seperti kerekan langit-langit otomatis dan mereka harus melakukan pelatihan khusus dan intensif untuk stafnya.

Upaya Pencegahan : 1. Sediakan sarana dan prasana yang tidak mempersulit pekerjaan perawat seperti bad otomatis 2. Sediakan tempat istirahat perawat yang nyaman sehingga mencukupi kebutuhananya 3. Menejer mengatur shift dinas pearawat sesuai dengan kebutuhannya 4. Manajer membuat progam senam untuk perawat setiap satu minggu sekali 4. Nyeri Otot yang Terjadi pada Perawat Keperawatanmerupakan salah satu pekerjaan yang memiliki resiko terhadap terjadinya kecelakaan dalam bekerja. Lingkungan kerja, tanggungjawab, serta tugas yang diberikan menjadi alasan utama pekerjaan perawat berada di posisi terdepan terhadap terjadinya kecelakaan dalam bekerja. Beberapa pekerjaan yang dilakukan perawat yang dapat beresiko menimbulkan bahaya akan disebutkan dibawah ini: Perawat dalam melaksanakan pekerjaannya akan selalu berhadapan dengan nyeri dalam bekerja. Penelitian di iran menyatakan bahwa, rata-rata perawat selalu mengalami nyeri otot pada saat bekerja. hampir 89% perawat selalu mengalami nyeri otot dalam bekerja. Beberapa bagian tubuh yang mengalami nyeri adalah 74% bagian pinggang dan 48.5% bagian lutut. Sebuah penelitian yang dilakukan di belanda, sekitar 57% perawat selalu mengalami cedera/nyeri otot pada beberapabagian tubuhnya. Pada beberapa penelitianlainnya, yaitu di brazil. Sekitar 80.7% melaporkan bahwa sebagian besar perawat pernah mengalami nyeri otot. Pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa Negara, dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir seluruh perawat di setiap Negara di dunia, selalu dan pernah mengalami nyeri otot ataupun cedera yang mengakibat kanterganggunya system musculoskeletal mereka. Ini semua disebabkan karena pekerjaan perawat yang biasanya selalu mengandalkan kekuatan otot/fisik untuk memindahkan bed

pasien dan juga memindahkan serta mengangkat pasien dari satu tempat ketempat yang lain.

Referensi 1. Madani M, MasoudiAlavi N, Taghizadeh M. Non-Specific Musculoskeletal Pain and Vitamin D Deficiency in Female Nurses in Kashan, Iran. J Musculoskeletal Pain. 2014:1–7. 2. Engels JA, van der Gulden JW, Senden TF, van't Hof B. Work related risk factors for musculoskeletal complaints in the nursing profession: results of a questionnaire survey. Occup Environ Med.1996;53(9):636–41. [PMC free article] [PubMed] 3. Souza AC, Alexandre NM. Musculoskeletal symptoms, work ability, and disability among nursing personnel. Workplace Health Saf. 2012;60(8):353– 60. doi: 10.3928/21650799-20120726-04. [PubMed][Cross Ref] 4. Ando S, Ono Y, Shimaoka M, Hiruta S, Hattori Y, Hori F, et al. Associations of self estimated workloads with musculoskeletal symptoms among hospital nurses. Occup Environ Med. 2000;57(3):211–6.[PMC free article] [PubMed] Upaya Pencegahan:

1. Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melindungi diri sendiri dari kecelakaan. 2. Menjaga keselamatan pasien yang gelisah selama berada di tempat tidur. 3. Melakukan tindakan dengan tidak membungkuk dan perawat sering melakukan olahraga ringan 4. Untuk manajer rumah sakit atau kepala ruangan dari masing-masing ruangan di rumah sakit tersebut dapat membentuk shift-shift yang sesuai dengan beban kerja yang sesuai. 3. Beban stres dan frustrasi akibat pekerjaan pada staf layanan kesehatan

Tidak harus diberitahukan kepada pembaca HATIP bahwa secara turuntemurun profesi layanan kesehatan selalu melelahkan atau bahwa epidemi HIV/AIDS memburukkan tuntutan kerja yang dibebankan pada petugas layanan kesehatan. Namun, keparahan dan intensitas epidemi HIV sering dianggap terlalu besar oleh petugas layanan kesehatan, khususnya karena melibatkan seluruh keluarga (termasuk anak) yang sering kali menderita karena kesulitan keuangan dan masalah lain secara bersamaan.Berdasarkan sebuah proyek penelitian yang melibatkan 20 LSM AIDS di Kanada, “bekerja di bidang HIV/AIDS yang demikian rumit dan tidak berperikemanusiaan” itulah yang menyulitkan untuk mempertahankan tenaga kerja secara efektif. Hal ini muncul karena staf itu harus terus menghadapi masalah komunikasi, keletihan, depresi, duka yang tidak terselesaikan, banyaknya pergantian staf dan frustrasi.Pengamatan yang serupa juga dilaporkan dalam sejumlah survei terhadap petugas kesehatan di Afrika.Walaupun beberapa laporan tersebut diperoleh dari survei dan wawancara, bukan dari penelitian terkontrol secara teliti, namun demikian laporan itu menunjukkan kecenderungan yang konsisten. “Frustrasi terhadap pekerjaan dan perwujudannya (misalnya, patah semangat, tidak mampu memberi layanan, berpendapat bahwa mustahil untuk membuat perubahan) harus dicegah dengan segala cara,” Profesor Alta Van Dyk dari University of South Afrika (UNISA) menulis. Dia melakukan penelitian terhadap 243 perawat yang baru mulai belajar konseling HIV/AIDS di UNISA, meminta mereka mengisi angket yang agak terstruktur tentang faktor stres yang berdampak pada petugas layanan kesehatan yang terlibat dalam layanan terkait HIV/AIDS, gejala stres terhadap pekerjaan, dan macam dukungan dari pemberi kerja atau organisasi yang tersedia bagi mereka, lalu mereka diminta membuat karangan pendek yang menceritakan tentang pengalaman

mereka

serta

mekanisme

yang

mereka

pakai

untuk

menghadapinya. Prof. Van Dyk menunjukkan bahwa peserta penelitian tersebut merupakan ‘contoh praktis’ perawat. Oleh karena mereka cukup giat untuk belajar tentang hal itu dan “oleh karenanya memilih untuk memberdayakan diri

mereka dengan pengetahuan yang lebih banyak untuk menghadapi HIV atau AIDS di tempat kerja mereka,” mereka barangkali tidak mewakili petugas layanan kesehatan secara umum. Walaupun demikian topik kunci yang sebenarnya terjadi: petugas layanan kesehatan “bergumul dengan beban kehilangan yang berlebihan, terlalu mengenal pasiennya, takut terhadap pajanan HIV sewaktu bekerja, dan kesulitan untuk menangani diri sendiri dan stigmatisasi pasien dan masalah kerahasiaan. Pada umumnya perawat berpendapat bahwa mereka belum dilatih secara memadai untuk memberikan konseling terkait HIV; sebagian besar mereka merasa tidak didukung oleh atasan, keluarga dan teman mereka; dan mereka sering marah tentang lambatnya kinerja pemerintah serta pesan kesehatan yang salah.” Yang penting, tidak ada hubungan antara faktor stres dan segala variabel sosio-demografi perawat, “menunjukkan bahwa mengalami tekanan di bidang HIV/AIDS merupakan faktor warisan yang dikaitkan dengan pekerjaan,” dia menulis. Namun, perawat yang lebih muda lebih mungkin melaporkan gejala terkait stres (rs = – 0,135, p < 0,05). Beberapa pengamatan menonjol di dalam penelitian itu – salah satunya adalah lebih dari separuh perawat merasa kesulitan untuk mempertahankan batas hubungan secara profesional dengan pasien, dan kurang lebih empat dari lima (khususnya perawat) “mengakui bahwa mereka merasa perlu untuk ‘menyelamatkan’ pasien, sering menyatakan rasa frustrasi mereka dalam bentuk karangan karena tidak mampu menyelamatkan pasien.” Prof. Van Dyk mencatat bahwa banyak penelitian melaporkan bahwa perawat yang tidak membuat jarak hubungan emosional secara tepat akan lebih menderita akibat stres dan frustrasi terhadap pekerjaannya. Berdasarkan laporan UNAIDS tentang penatalaksanaan stres bagi perawat HIV/AIDS, “rasa frustrasi bukanlah sebuah ‘peristiwa’ tetapi sebuah proses tekanan dan kecemasan yang dialami setiap hari yang tidak ditanggapi, secara bertahap akan mengganggu kesehatan mental dan fisik perawat itu, sehingga pada akhirnya mengorbankan layanan dan hubungan pribadi.”17

Karena rasa frustrasi muncul secara bertahap, barangkali perawat akan tetap bekerja sampai kesehatan dan kinerjanya mencapai titik terendah. 18Oleh karena itu, mereka dapat menderita “mati rasa” untuk jangka yang lama, sehingga selama itu pasien mungkin akan terabaikan, diobati tanpa rasa kasih, bekerja seperti robot; atau rawan pelecehan secara mental/fisik.Dalam penelitian UNISA, kurang lebih 21% petugas layanan kesehatan mengatakan mereka tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi pada pasien mereka. Walaupun sebagian besar peserta dalam penelitian UNISA melaporkan memakai mekanisme ‘positif’ untuk bertahan dengan stres, banyak orang yang benar-benar frustrasi belum menemukan mekanisme untuk mampu bertahan secara positif. Setelah bekerja di bidang ini sejak awal 1990-an, secara pribadi penulis sudah mengamati banyak kasus stres berat dan/atau frustrasi pada perawat yang mengarah pada perilaku yang merugikan diri sendiri, termasuk kecanduan alkohol dan narkoba serta tidak sedikit kasus HIV yang tertular dari komunitas. Pada kasus di atas hazard yang terganggu pada petugas kesehatan khususnya perawat yaitu Ergonomic hazards dan Psychosocial hazards

Upaya Rumah Sakit :

1. Memberikan ruangan isolasi khusus untuk pasien yang menderita HIV AIDS Alasan: Sehingga perawat tidak langsung terpapar setiap hari dia bekerja 2. Rumah sakit khususnya ruangan perawatan pasien HIV AIDS lebih meperhatiakan fasilitas alat pelindung diri untuk tenaga kesehatan dan mefasilitasinya Alasan: Karena dengan adanya alat pelindungi diri itu para petugas khususnya perawat yang 24 jam mendampingi pasien bisa bekerja dengan aman, sehingga tidak beresiko tertular

3. Kebijakan rumah sakit seharusnya memfasilitasi pemeriksaan kesehatan untuk tenaga kesehatan yang mengalami kecelakaan saat melakukan tindakan seperti tertusuk jarum bekas pasien HIV AIDS Alasan: Dengan adanya pemeriksaan itu para perawat bisa terjmin kesehatannnya dan ada pemantauan 4. Tersedianya asupan sehat untuk tenaga kesehatan untuk mempertahankan kondisi imun supaya tidak sampai mengalami penurunan Alasan: Untuk menjaga kesehatan para petugas kesehatan khususnya para perawat 5. Bagi manajer atau kepala ruangan dapat mengatur shift dengan baik Alasan: Pembagian shift kerja sangat membantu mengurangi beban kerja petugas kesehatan sehingga mereka bisa bekerja gantian dan bisa bekerja semaksimal mungkin 6. Dapat dilakukan pendampingan dalam segi spiritual dan juga dapat diadakan konsultasi Alasan: Sehingga beban kerja maupun beban psikologis bisa diatasi. 7. Upaya pencegahan dapat dilakukan seperti dengan pemberian doorprize kepada perawat berprestasi Alasan: Sehingga perawat tersebut bisa mendapat hiburan dan terhindar dari sifat frustasi Upaya Perawat: 1. Menjaga keselamatan klien dan tenaga kesehatan dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptik, menggunakan alat kesehatan dalam keadaan steril. Alasan: Meskipun beresiko tertular petugas kesehatan harus tetap menjaga keselamatan pasien karena keselamatan pasien merupakan tujuan perawat dalam merawat pasien

2. Jika perawat dalam kondisi syok, perawat tarik nafas lalu mengeluarkan secara perlahan beberapa kali Alasan: Sehingga perawat bisa mengurangi kondisi syok 3. Ikutlah membangun iklim kerja yang menyenangkan, yaitu dengan bersikap terbuka dan berkomunikasi dengan sesama rekan kerja Alasan: Dengan ukut serta membangun iklim kerja yang menyenangkan perawat bisa mengurangi beban kerjanya dengan saling bertukar pikiran ke sesama rekan kerja 4. Berolahraga teratur merupakan hal yang sangat penting dalam mengurangi stress. Berolahraga akan memobilisasi otot-otot kita, mempercepat aliran darah dan membuka paru-paru untuk mengambil lebih banyak oksigen Alasan: Sehingga perawat bisa menjaga kesehatannya, tidak mudah sakit dengan sering berolahraga 5. Risiko dan beban HIV/AIDS pada petugas layanan kesehatan Barangkali karena banyak petugas layanan kesehatan yang enggan menjalani tes HIV di tempat kerjanya atau tidak terbuka tentang hasilnya, maka agak sulit untuk mengetahui secara pasti berapa banyak petugas layanan kesehatan yang terinfeksi HIV. Di AS, Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa pada 31 Desember 2000, 24.844 orang dewasa yang dilaporkan dengan AIDS di AS pernah bekerja di layanan kesehatan.Kasus tersebut mewakili 5,1% dari 486.826 kasus AIDS yang dilaporkan pada CDC yang tidak memiliki informasi tentang pekerjaannya. Khusus di AS, hanya ada 57 kasus penularan HIV yang dikonfirmasi terjadi setelah terpajan HIV waktu bekerja dan 139 kasus yang tidak melaporkan faktor risiko lain selain riwayat terpajan darah, cairan tubuh terkait pekerjaan atau terinfeksi HIV akibat alat laboratorium. Rasio risiko tertular akibat satu kali terluka pada kulit diperkirakan kurang lebih tiga per 1.000, yang lebih tinggi dari risiko setelah pajanan melalui

hubungan seks.Di seluruh dunia, diperkirakan sedikit di atas 4% penularan HIV pada petugas layanan kesehatan adalah pajanan melalui luka karena benda tajam waktu sedang bekerja. Walaupun sebagian besar penularan HIV akibat pajanan dalam pekerjaan diyakini terjadi di Afrika sub-Sahara, hal itu tetap berarti bahwa sebagian besar infeksi HIV pada petugas layanan kesehatan ditularkan melalui komunitas. Namun, apakah petugas layanan kesehatan lebih atau kurang mungkin tertular HIV dibandingkan masyarakat umum? Datanya beragam. Pada 2002, Human Sciences Research Council melakukan survei yang melibatkan 595 responden dari rumah sakit pemerintah/swasta dari empat provinsi (Mpumalanga, Provinsi Northwest, KwaZulu Natal dan Free State) yang diskrining terhadap HIV dengan memakai tes HIV OraSure. 31 Rasio seroprevalensi secara keseluruhan adalah 15,7% (CI: 95%; 12,2-19,9%) – sama dengan rasio seroprevalensi pada 2002 pada masyarakat umum yang dewasa, berusia antara 15 hingga 49 tahun di Afrika Selatan (~15,5%). Walaupun confidence interval hampir sama, ada beberapa kecenderungan yang layak dicatat. Sebagai contoh, prevalensi sedikit lebih tinggi di fasilitas kesehatan primer dan klinik (17,5%) dibandingkan di rumah sakit (15,3%). Ada perbedaan berdasarkan provinsi, seroprevalensi berkisar dari 9,6% di Free State hingga 19,7% di Provinsi Northwest. Prevalensi berbeda secara bermakna antara petugas kesehatan bukan dokter (20,3%) dan dokter (13,7%). Dan terakhir, seroprevalensi yang lebih tinggi pada kelompok usia yang lebih muda (20% pada 18-35 tahun) banding 16,6% pada kelompok usia 36-45 tahun. Penelitian pengamatan pada HIV yang bahkan lebih besar dilakukan beberapa tahun kemudian terhadap 1.493 staf di rumah sakit Coronation dan Helen Joseph di Johannesburg, termasuk dokter, staf rekanan, perawat, siswa perawat dan petugas umum.Tingkat prevalensi pada kohort tersebut lebih rendah yaitu 11,5%. Ada perbedaan berdasarkan pekerjaan: seroprevalensi 2% pada dokter, 5,7% pada staf rekanan, 13,7% pada perawat, 13,8% siswa

perawat dan 12,3% di petugas umum. Prevalensi tertinggi berdasarkan usia adalah pada kelompok usia 25-34 tahun (15,9%). Penelitian tersebut juga mengamati tingkat persentase yang menunjukkan petugas layanan kesehatan perlu mulai pengobatan. Ada 74 dari 172 peserta HIV-positif (43%) dalam penelitian menyediakan contoh darah untuk tes CD4. Median jumlah CD4 adalah 397 (kisaran 69-1359) tetapi 18,9% memiliki jumlah CD4 kurang dari 200 dan 28% memiliki jumlah CD4 pada kisaran 201350. Dalam tajuk rencana bersama Dr. Olive Shisana dari Human Sciences Research Council menghitung bahwa apabila temuan tersebut diperbandingkan dengan jumlah secara keseluruhan, jumlah perawat dengan AIDS, atau rentan mengalami infeksi oportunistik (perawat dengan jumlah CD4 200-350) akan melampaui

jumlah

perawat

yang

dihasilkan

pada

dua

tahun

mendatang.uu “Persediaan perawat tidak mencukupi permintaan. Itu bahkan sebelum mempertimbangkan kemungkinan perawat beremigrasi, atau pindah ke jenis pekerjaan lain.” Walaupun harus mendorong menghasilkan lebih banyak perawat, tidak ada alasan mengapa perawat dan petugas lain yang HIV-positif harus dilepas sebagai ‘hilang’. Bagaimana pun juga, mereka dapat diobati. Data Connelly dkk memberi kesan bahwa kurang lebih 2,2% perawat akan segera memenuhi kriteria untuk pengobatan berdasarkan pedoman yang ada saat ini. Angka tersebut sedikit lebih tinggi dari persentase petugas layanan kesehatan yang dilaporkan mengambil bagian dalam program ART, dari survei TTR terhadap lima negara yang dipresentasikan oleh Dr. Corbett di Paris, Prancis, yaitu 1,9% pada perawat dan 1,6% petugas lain, dari staf yang dipilih secara acak dan klinik terbaik yang dilaporkan mengunjungi klinik ART di rumah sakit mereka.34 “Tingkat kematian staf pada 2006 adalah hampir 1% di klinik biasa,” Dr. Corbett mengatakan. “Angka yang tinggi di rangkaian tempat kerja, tetapi bukan tingkat yang sangat tinggi yang dilaporkan oleh beberapa penelitian

yang lebih kecil pada setiap klinik di Afrika.” Dia mengatakan pada HATIP bahwa manajer sumber daya manusia di klinik enggan membuat perkiraan tentang jumlah kematian atau pensiunan yang terjadi di klinik. Namun, pada bagian lain dalam survei, responden melaporkan kurang lebih 45% (di klinik biasa) dan 41% (di klinik terbaik) pensiun atau meninggal pada tahun sebelumnya diyakini adalah akibat AIDS.

Upaya Pencegahan : 1. Menjaga keselamatan klien dan tenaga kesehatan dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptik, menggunakan alat kesehatan dalam keadaan steril. 2. Mempertahankan ventilasi dan cahaya yang adekuat. HATIP 128: Memperhatikan perawat dalam menghadapi HIV dan TB : Peninjauan Klinis (bagian pertama) MeOleh: Theo Smart, 22 Januari 2009 Laporan tambahan oleh Lance Sherriff. 1. Uebel KE, Nash J, Avalos A. Caring for the Caregivers: Models of HIV/AIDS Care and Treatment Provision for Health Care Workers in Southern Africa. JID; 196:S500-4, 2007.

Related Documents

Artikel
February 2021 2
Artikel Pene
February 2021 0
Artikel Ilmiah Erp
January 2021 0
Artikel Ronald Frank
February 2021 2

More Documents from "Fitrana Kurniawan Annur"

Artikel K3.docx
January 2021 0
March 2021 0
Referat (parkinson)
February 2021 1
Rktp-2020 Reni.doc
February 2021 1