Asa210132010in.pdf

  • Uploaded by: Hanik Annur Maria
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asa210132010in.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 29,161
  • Pages: 77
Loading documents preview...
TAK ADA pILIHAN

RINtANgAN AtAS KESEHAtAN REPRoDUKtIf DI INDoNESIA

KESEHATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

Amnesty International adalah gerakan global 2,8 juta orang di lebih dari 150 negara dan wilayah, yang melakukan kampanye untuk hak asasi manusia (HAM). Visi kami adalah setiap orang bisa menikmati semua hak-hak yang diabadikan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal dan instrumen HAM internasional lainnya. Kami adalah organisasi yang independen dari pemerintah, ideologi politik, kepentingan ekonomi atau agama apa pun dan didanai pada pokoknya oleh anggota dan sumbangan masyarakat.

Amnesty International publications pertama diterbitkan pada tahun 2010 oleh Amnesty International publications Sekretariat Internasional peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom www.amnesty.org © Amnesty International publications 2010 Indeks: ASA 21/013/2010 Indonesian Bahasa asli: Inggris Dicetak oleh Amnesty International, Sekretariat Internasional, Inggris Semua hak dilindungi undang-undang. penerbitan ini memiliki hak cipta, tetapi bisa direproduksi dengan cara apa pun tanpa bayaran untuk tujuan advokasi, kampanye dan pengajaran, namun bukan untuk diperjualbelikan. pemilik hak cipta meminta agar penggunaan semacam itu dilaporkan kepada mereka untuk penilaian dampak. Untuk penyalinan dalam keadaan lain apa pun, atau untuk pemakaian di penerbitan lain, atau untuk penerjemahan atau adaptasi, izin tertulis harus didapatkan terlebih dahulu dari penerbit, dan mungkin ada biaya yang harus dibayar. Untuk meminta izin, atau untuk pertanyaan apa pun lainnya, harap hubungi [email protected] Foto sampul : Seorang perempuan hamil duduk di depan pusat kesehatan masyarakat di Jakarta, Indonesia, Maret 2010. © Amnesty International

Tak Ada Pilihan Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia

3

DAFTAR ISI Glosarium ....................................................................................................................6 Dalam Bahasa Inggris ................................................................................................6 Dalam Bahasa Indonesia ............................................................................................7 Peta Indonesia..............................................................................................................8 1. PENDAHULUAN DAN RINGKASAN ............................................................................9 1.1 Metodologi dan ucapan terima kasih....................................................................12 2. PENSTEREOTIPAN GENDER DAN AKIBATNYA .........................................................16 2.1 Peran perempuan didefinisikan melalui Perkawinan dan kelahiran anak ..................16 2.2 Sikap terhadap seksualitas perempuan ................................................................18 2.3 Para korban kekerasan seksual ............................................................................20 2.4 Kriminalisasi perilaku pribadi..............................................................................22 3. RINTANGAN-RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF....................................25 3.1 Diskriminasi terhadap perempuan dan gadis yang tak menikah...............................25 3.2 Korban pelanggaran seksual yang tidak menikah ...................................................29 3.3 Batasan pada pilihan reproduktif perempuan dan gadis yang menikah.....................30 3.4 Halangan lain atas hak-hak seksual dan reproduktif ..............................................32 4. ABORSI TAK AMAN DAN ANCAMAN KRIMINALISASI................................................36 4.1 Pengecualian hukum yang tidak diketahui ............................................................36 4.2 Kriminalisasi aborsi dan konsekuensinya ..............................................................40 5. STUDI KASUS PEKERJA RUMAH TANGGA SEBAGAI KELOMPOK YANG RENTAN .......42 5.1 Dampak kegagalan melindungi hak-hak seksual dan reproduktif pekerja ..................43

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

4

Tak Ada Pilihan Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia

5.2. Rang Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga..................................................... 47 6. UPAYA MEMENUHI SASARAN MDG DAN KONSISTENSI DENGAN HAK ASASI MANUSIA ................................................................................................................................ 48 7. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA .................................... 51 7.1 Hak atas kesetaraan dan tidak adanya diskriminasi............................................... 51 7.2 Hak atas standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai ......................................... 52 7.3 Pelarangan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya ............................................. 54 7.4 Hak untuk hidup ............................................................................................... 54 7.5 Akuntabilitas dan pemulihan hukum ................................................................... 55 8. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................................ 57 8.1 Basmi diskriminasi gender dalam segala bentuknya .............................................. 57 8.2 Cabut rintangan atas informasi dan layanan kesehatan reproduktif ......................... 58 8.3 Dekriminalisasi aborsi guna menjamin akses terhadap layanan yang aman .............. 60 8.4 Memastikan akuntabilitas negara untuk melindungi hak-hak kesehatan reproduktif.. 61 8.5 Berikan kepada PRT jaminan adanya perlindungan penuh sebagai pekerja .............. 61 Catatan akhir ............................................................................................................. 63

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Amnesty International Nopember 2010

5

Indeks: ASA 21/013/2010

6

Tak Ada Pilihan Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

GLOSARIUM   DALAM BAHASA INGGRIS ARROW: Pusat Sumber Daya dan Riset Asia Pasifik tentang Perempuan (Asian-Pacific Resource and Research Centre for Women) CEDAW: Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) CRC: Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the rights of the Child) ICCPR: Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) ICESCR: Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) IDHS: Survei Demografis dan Kesehatan Indonesia (Indonesia Demographic and Health Survey) ILO: Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) IPPF: Federasi Keluarga Berencana Internasional (International Planned Parenthood Federation) MDG: Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) MMR: Rasio Kematian Ibu (Maternal Mortality Ratio) WHO: Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

7

DALAM BAHASA INDONESIA

  Bappenas: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional BKKBN: Badan Kependudukan 1Keluarga Berencana Nasional KPAI: Komisi Perlindungan Anak Indonesia Komnas HAM: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas Perempuan: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan KUHAP:Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana PKBI:Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PIK-KRR: Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja Posyandu: Pos Pelayanan Terpadu Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat UU PKRDT: Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

8

Tak Ada Pilihan Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

PETA INDONESIA

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

9

1. PENDAHULUAN DAN RINGKASAN KASUS MIRIANA

Miriana (21 tahun) adalah pekerja rumah tangga yang berbasis di Jakarta. Dia keluar dari sekolah saat berusia 12 tahun, dan menikah saat dia berusia 14 tahun. “Waktu nikah saya 14 tahun… kalau saya dulu [sebelum menikah] belum tahu caranya [mengenai keluarga berencana]... bagaimana caranya... harusnya gimana... saya dulu belum tahu... belum tahu apa-apa soal nikah dulu tentang alat KB [keluarga berencana]... soal nikah harusnya begini-begini juga kurang... belum tahu.... saya umur 15 tahun baru anak [pertama] lahir… setelah melahirkan umur tiga bulan, saya tahu tentang KB, cara-caranya itulah... setelah itu.”2 Miriana, seperti banyak perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi di Indonesia,3 menghadapi tantangan besar dalam mengakses informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduktif. Sejumlah hambatan yang dihadapinya merupakan akibat langsung dari perundang-undangan dan kebijakan yang diberlakukan oleh negara yang mendiskriminasi kaum perempuan dan para gadis. Penghalang lainnya muncul dari sikap dan praktek yang mendiskriminasi di kalangan pekerja kesehatan4 serta para anggota komunitas lainnya, yang juga gagal ditangani negara. Meskipun adanya komitmen Indonesia untuk mempromosikan kesetaraan gender, kaum perempuan dan para gadis di seluruh Indonesia masih terus menghadapi hambatan serius dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) mereka. Dalam laporan ini, Amnesty International menyoroti berbagai hambatan yang dihadapi kaum perempuan dan para gadis dalam mewujudkan hak-hak seksual dan reproduktif. Rintangan yang digambarkan dalam laporan ini merupakan pelanggaran kewajiban Indonesia atas HAM internasional untuk melindungi perempuan dan gadis dari diskriminasi, serta juga merupakan pelanggaran atas hak akan kesehatan, khususnya kesehatan reproduktif. Laporan ini memeriksa hambatan khusus atas kesehatan reproduktif perempuan dan gadis, termasuk halangan-halangan khusus yang dihadapi oleh perempuan dan gadis yang tidak menikah; perempuan dan gadis yang menikah, termasuk mereka yang tak memiliki anak; dan para korban pelanggaran seksual. Bab 4 menggambarkan dampak kriminalisasi aborsi pada kesehatan reproduktif. Bab 5 mempelajari kasus para pekerja rumah tangga (PRT), yang menghadapi halangan dalam mendapatkan hak-hak seksual dan reproduktif. Laporan ini ditutup dengan serangkaian rekomendasi untuk pihak berwenang Indonesia, yang jika diimplementasikan, akan banyak memperbaiki pemenuhan HAM bagi perempuan dan gadis di Indonesia, termasuk kesehatan reproduktif mereka. Karena perempuan dan gadis bisa hamil, mereka secara tidak proporsional terpengaruh oleh batasan yang diberlakukan negara atas hak-hak seksual dan reproduktif, dan kegagalan negara melindungi serta memenuhi hak-hak ini. Pembatasan oleh negara itu termasuk, antara lain, undang-undang yang mendukung peran berdasarkan stereotip gender, terutama menyangkut perkawinan dan kehamilan dan kelahiran anak; undang-undang yang mengkriminalkan seks konsensual serta penyediaan informasi tentang hak-hak seksual dan reproduktif; undang-undang dan kebijakan yang mendiskriminasi dengan landasan status pernikahan dan tidak menyertakan perempuan serta para gadis yang tidak menikah dalam akses penuh untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduktif; undang-undang yang menuntut adanya izin suami untuk perempuan dan gadis yang menikah dalam mengakses layanan kesehatan reproduktif

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

10 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

tertentu; dan kriminalisasi aborsi dalam semua kasus kecuali jika kesehatan ibu atau janin dalam bahaya, atau dalam kasus korban pemerkosaan. Hak-hak seksual dan reproduktif di Indonesia makin terganggu oleh kegagalan negara untuk mengatasi sikap dan praktek yang mendiskriminasi perempuan serta memperkuat peran stereotip untuk lelaki dan perempuan. Misalnya, para pekerja kesehatan sering menolak memberikan layanan penuh atas layanan kontrasepsi yang tersedia kepada para perempuan dan gadis yang menikah tapi tak mempunyai anak, sebagian besar karena adanya pandangan khusus mengenai peran gender dan pentingnya memiliki anak. Negara juga tidak berhasil menjamin bahwa semua perempuan dan gadis yang menjadi korban pemerkosaan bisa secara efektif mengakses informasi dan layanan kesehatan reproduktif. Meskipun aborsi secara sah tersedia untuk perempuan dan gadis yang mengandung karena pemerkosaan, fakta ini tidak banyak diketahui, bahkan di lingkungan pekerja kesehatan sekalipun, dan para korban pemerkosaan yang menjadi hamil bisa menghadapi halangan besar dalam mengakses layanan aborsi yang aman. Konteks keseluruhan ini membuat banyak perempuan dan gadis di Indonesia berisiko mengalami kehamilan yang tak diinginkan, yang pada gilirannya membuat mereka rentan terhadap beragam masalah kesehatan dan pelanggaran HAM, termasuk dipaksa untuk menikah muda atau keluar dari sekolah. Sejumlah dari mereka mungkin berusaha mendapatkan aborsi, sering kali dalam kondisi yang tak aman seperti halnya kasus Sharifah yang meninggal dua hari setelah melakukan aborsi gelap dalam kondisi yang tak aman.

KASUS SHARIFAH

Sharifah meninggal dua hari setelah melakukan aborsi gelap. Dia berusia 17 tahun dan tak menikah. “Punya temen, [Sharifah], sempet pernah mau nganterin masih SMA kelas 2... , [Umur dia] 17 tahun... temen saya

pacarnya anak kuliahan jadi udah dewasa banget... udah lama [pacaran] sih 1,5 tahun, awet sih... kalo temen [saya] mah pertamanya pake buat HP apa namanya kondom, terus katanya “nggak enak tau ”... Saat [Sharifah] hamil [pacarnya] tidak mau bertanggung jawab… ... temen [saya] dikeluarin [dari sekolah]... dia nangis…bilang sama mamah [saya] katanya... Cuma [Sharifah]mau ke warung ternyata bohong ke pondok cabe anterin tapi nggak ikut kedalemnya, kayanya sih aborsi gitu, serem tempatnya, gubuk lagi... banyak banget pohon singkong... Saya rasa dia menggugurkan kandungan di sana… tapi dia jadi sakit... udah nggak mau makan, terus dibawa ke dokter katanya kekurangan darah ... setelah dua hari [aborsi] dia meninggal...”5 Undang-undang dan praktek yang membatasi akses terhadap informasi serta layanan seksual dan kesehatan reproduktif, dikombinasikan dengan pengkriminalan aborsi, mungkin merupakan faktor signifikan dalam tingginya jumlah aborsi secara tak aman di Indonesia setiap tahun.6 Sebuah studi tahun 2001 yang dilakukan Universitas Indonesia memperkirakan bahwa mungkin ada sekitar dua juta kasus aborsi secara sengaja per tahunnya di Indonesia – 30 persen di antaranya di antara perempuan yang tidak menikah.7 Banyak dari aborsi ini dilakukan dalam kondisi tidak aman. Menurut angka resmi pemerintah, aborsi secara tak aman bertanggung jawab atas antara lima sampai 11 persen kematian ibu di Indonesia.8 Sejumlah kelompok perempuan dan gadis menghadapi ancaman tambahan terhadap hak-hak seksual dan reproduktif mereka, sering kali karena negara tak mampu mengambil tindakan memadai guna melindungi mereka dalam konteks jika para perempuan dan gadis ini masuk kelompok yang rentan. Satu kasus contoh adalah kondisi buruk yang dialami para PRT – yang diperkirakan berjumlah 2,6 juta orang, dengan mayoritas besar kaum perempuan dan gadis. Mereka menghadapi risiko khusus penganiayaan karena mereka tidak secara penuh dilindungi hukum sebagai pekerja; pekerjaan mereka dilakukan di rumah

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 11 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

majikan mereka; dan sering kali mereka terasing dari keluarga mereka dan dukungan lain. Kegagalan negara melindungi hak para PRT dengan memadai menyebabkan adanya rintangan tambahan atas hak mereka untuk menikmati hak-hak seksual dan reproduktif. Para PRT perempuan dan gadis dapat menghadapi tantangan dalam mengakses informasi dan pendidikan mengenai seksualitas serta reproduksi karena pembatasan yang dikenakan atas gerakan mereka; mereka mungkin menghadapi kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya di tempat kerja mereka; dan mereka berisiko mengalami pelanggaran selama dan sesudah kehamilan. Kegagalan untuk menjamin bahwa perempuan dan gadis dapat mewujudkan hak-hak seksual dan reproduktif mereka dengan terbebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kriminalisasi menggoyahkan kemampuan Indonesia untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium PBB (MDG), dan terutama MDG3 mengenai kesetaraan gender dan MDG5 mengenai perbaikan kesehatan ibu.

BOKS 1: DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN, APAKAH ITU? Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) mendefinisikan istilah “diskriminasi terhadap perempuan” sebagai pembedaan, pengesampingan atau pelarangan apa pun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai akibat atau tujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan oleh perempuan, dengan mengabaikan status perkawinan mereka, atas suatu dasar persamaan lelaki dan perempuan, akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lain apa pun.9 Dengan meratifikasi CEDAW, negara artinya berkomitmen untuk menjalankan serangkaian cara-cara guna mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bentuk, termasuk: Memasukkan prinsip kesetaraan lelaki dan perempuan dalam sistem hukum mereka, menghapus semua undangundang diskriminatif dan mengesahkan undang-undang yang tepat yang melarang adanya diskriminasi terhadap perempuan; 

Membentuk pengadilan dan lembaga umum lainnya guna memastikan adanya perlindungan efektif terhadap perempuan dari diskriminasi; dan 

Memastikan penghapusan semua tindakan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang-orang, organisasi atau perusahaan.10 

Guna memerangi diskriminasi gender, serta menangani rintangan terhadap kesehatan reproduktif yang, merupakan salah faktor penyumbang pada tingginya mortalitas ibu, Amnesty International merekomendasikan pihak berwenang untuk mengambil langkah-langkah berikut sebagai prioritas:  Mencabut semua undang-undang dan regulasi, baik di tingkat pusat dan daerah, yang melanggar hak-hak seksual dan reproduktif, dan memastikan bahwa perempuan dan gadis dapat mewujudkan hakhak mereka dengan terbebas dari paksaan, diskriminasi dan ancaman kriminalisasi. Ketetapan-ketetapan hukum dan kebijakan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan kesehatan seksual dan reproduktif yang mendiskriminasi dengan alasan status perkawinan harus dicabut, karena hal-hal itu merupakan rintangan khusus dalam memastikan bahwa perempuan dan gadis yang tidak menikah dapat mengakses informasi dan layanan reproduktif yang mereka perlukan;

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

12 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Mendekriminalisasi aborsi dalam keadaan apa pun guna memerangi tingginya jumlah aborsi gelap yang berbahaya. Dalam kasus adanya perempuan dan gadis yang hamil tanpa diinginkan sebagai akibat pemerkosaan atau saat kehamilan bisa mengancam hidup atau kesehatan perempuan, pastikanlah bahwa mereka memiliki akses terhadap layanan aborsi yang aman; dan



 Mengesahkan undang-undang tentang PRT sejalan dengan standar-standar internasional, guna memastikan bahwa para perempuan dan gadis PRT bisa mendapatkan perlindungan dengan tingkat yang sama seperti para pekerja lain di Indonesia. UU itu harus menyertakan ketetapan yang berkaitan dengan kebutuhan khusus perempuan, termasuk ketetapan mengenai maternitas.

1.1 METODOLOGI DAN UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini disusun menggunakan pekerjaan Amnesty International sebelumnya mengenai kekerasan terhadap perempuan di dalam komunitas miskin dan termarginalisasi di Indonesia. Laporan Amnesty International bulan Februari 2007, Eksploitasi dan Pelanggaran: Situasi Sulit Pekerja Rumah Rumah Tangga Perempuan dan Gadis di Indonesia, yang menyoroti faktor-faktor yang membuat para PRT perempuan dan gadis berisiko mengalami kekerasan rumah tangga, serta juga ketidakadaan perlindungan hukum untuk mereka sebagai pekerja.11 Selanjutnya Amnesty International memasukkan laporan ke Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komite CEDAW) pada bulan Juli 2007.12 Laporan ini juga meneruskan laporan Amnesty International tahun 2009, Urusan yang belum selesai: Akuntabilitas Polisi di Indonesia, yang menggarisbawahi antara lain kerentanan perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi, khususnya di perkotaan besar, akan pelanggaran yang dilakukan polisi tanpa adanya akses memadai terhadap pemulihan hak.13

Demonstrasi pada Hari Hak Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2010 menyoroti bagaimana pemerintah melalaikan perempuan di Indonesia, 8 Maret 2010. © AI

Amnesty International Nopember 2010

Laporan ini mencerminkan analisis Amnesty International baru-baru ini mengenai sejauh mana perundang-undangan tertentu di Indonesia yang telah memasukkan hukum dan standar HAM internasional, termasuk ketetapan-ketetapan yang terkandung dalam CEDAW. Indonesia merupakan negara pihak Konvensi ini. Khususnya, laporan ini disusun dari serangkaian surat terbuka yang ditujukan kepada pihak berwenang di Indonesia di penghujung tahun 2009 – awal tahun 2010, yang menggarisbawahi kekurangan sejumlah undang-undang dalam menjamin non diskriminasi dan hak-hak seksual dan reproduktif.14 Pada saat penulisan laporan ini, Amnesty International masih belum menerima tanggapan tertulis atas korespondensi ini. Temuan dalam laporan ini terutama berdasarkan pada kunjungan Amnesty International ke Indonesia pada

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 13 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

bulan Maret 2010. Delegasi Amnesty International mengunjungi Jawa (Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur); Sumatra (Aceh dan Sumatra Utara); Bali; dan Lombok di Nusa Tenggara Barat (Indonesia bagian timur). Dua lokakarya terpisah, yang masing-masing berlangsung satu hari, diadakan pada bulan Maret 2010 untuk berkonsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan non pemerintah di Jakarta dan Lombok mengenai pekerjaan yang telah direncanakan organisasi ini. Delegasi mewawancarai, secara perseorangan atau melalui diskusi grup fokus, lebih dari seratus mantan dan para perempuan serta gadis Indonesia yang masih bekerja sebagai PRT, yang tinggal di rumah atau di luar rumah majikan mereka, mengenai hal-hal yang menyangkut seksualitas dan reproduksi. Mereka berusia antara 13 dan 58 tahun, dan kira-kira sepertiganya sudah menikah. Wawancara dengan para PRT dilakukan di lima provinsi Indonesia: Provinsi Jawa Barat; Provinsi Banten; Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (DKI Jakarta); Provinsi Aceh di bagian barat Indonesia; dan Nusa Tenggara Barat di bagian timur Indonesia. Sebagian besar wawancara dilakukan di lingkungan perkotaan. Akan tetapi, banyak dari responden yang berasal dari daerah pedesaan, dan melahirkan di desa asal mereka, di luar kota-kota besar. Delegasi juga mewawancarai secara perseorangan atau melalui diskusi kelompok fokus, 33 perempuan dan gadis lainnya mengenai masalah hak-hak seksual dan reproduktif di Lombok dan Aceh. Selama berlangsungnya riset di bulan Maret 2010, 18 bidan dan dokter diwawancarai di Jawa Barat, Yogyakarta, Jakarta, Lombok dan Aceh. Para pemberi layanan kesehatan reproduktif dan dukun melahirkan tradisional (DMA) juga diwawancarai. Amnesty International bertemu dengan 16 pejabat pemerintah di Jakarta, Yogyakarta, Lombok dan Aceh (sejumlah di antara mereka adalah dokter). Amnesty International juga bertemu para aktivis hak-hak perempuan, organisasi-organisasi non pemerintah (ornop), pengacara, pejabat kepolisian, pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan badan-badan donor, dan akademisi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender, seksualitas dan reproduksi. Para pejabat pemerintah pusat diberi tahu mengenai riset yang sudah direncanakan Amnesty International sebelum kunjungan-kunjungan tersebut. Riset ini juga mengandalkan pemonitoran berita harian mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hakhak seksual dan reproduktif di Indonesia selama dua tahun terakhir; pembacaan secara ekstensif atas publikasi akademisi dan publikasi profesional lainnya mengenai mortalitas15 ibu yang bisa dicegah dan morbiditas16; analisis undang-undang dan peraturan setempat; dan informasi dari pengacara, ornop-ornop serta kontak-kontak lain yang relevan di Indonesia. Studi ini terutama berfokus pada fasilitas kesehatan publik (di Indonesia ada juga struktur kesehatan swasta yang beroperasi).17 Statistik yang disebutkan dalam laporan ini diambil terutama dari sumber data resmi, khususnya Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia yang menerbitkan statistik tentang kesehatan reproduktif orang yang “pernah menikah”18 di kalangan perempuan dan lelaki19 dan Survei Kesehatan Reproduktif Remaja Indonesia yang memberikan data tentang para pemuda yang “belum pernah menikah”20 yang berusia antara 10-24 tahun.21 Riset Amnesty International dilakukan dengan bantuan banyak organisasi lokal yang namanya dirahasiakan demi melindungi mereka. Amnesty International ingin mengutarakan penghargaannya yang paling dalam atas bantuan mereka. Riset ini tak mungkin terwujud tanpa mereka. Amnesty International berterima kasih kepada semua perempuan dan gadis yang dengan murah hati bersedia menceritakan kisah mereka. Organisasi ini juga ingin mengutarakan kekaguman yang men dalam kepada pekerjaan yang hebat dan menginspirasikan dari ratusan pegiat HAM di seluruh Indonesia yang mempromosikan hak-hak seksual dan reproduktif tanpa lelah, sering kali dalam konteks yang sulit, dan

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

14 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

yang mendukung para perempuan serta gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi dalam melaksanakan hak-hak mereka. Laporan ini diterbitkan sebagai bagian Kampanye Menuntut Martabat (Demand Dignity Campaign) global Amnesty International yang diluncurkan tahun 2009, yang bertujuan memaparkan dan memerangi pelanggaran HAM yang menggerakkan dan memperdalam kemiskinan.22

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 15 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

BOKS 2: HAK-HAK SEKSUAL DAN REPRODUKTIF, APAKAH ITU? Hak-hak seksual dan reproduktif tertanam dalam HAM yang diakui dalam traktat-traktat HAM internasional, standar-standar regional, undang-undang dasar nasional dan standar HAM lain yang relevan. Pemenuhan hak-hak seksual dan reproduktif membutuhkan adanya penghormatan berbagai hak-hak yang berhubungan dengan integritas fisik dan mental, termasuk hak untuk hidup, untuk kebebasan dan keselamatan seseorang, untuk kebebasan dari penyiksaan serta perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, serta untuk privasi dan penghormatan terhadap kehidupan berkeluarga, serta hak-hak yang berkaitan dengan kebebasan hati nurani dan ekspresi dan kebebasan dari diskriminasi. Hak-hak ini berkaitan secara langsung dengan prinsip-prinsip yang menopang hak-hak seksual dan reproduktif – integritas fisik dan mental individu, keotonomian individu, dan prinsip non diskriminasi atas dasar gender, ras, asal-usul negara, orientasi seksual, disabilitas atau status sosial-ekonomi. Tabel di bawah ini memberikan ringkasan dari sejumlah komponen utama hak-hak seksual dan reproduktif:23 Hak-hak seksual

Hak-hak reproduktif

Kebebasan untuk memilih untuk aktif secara seksual atau tidak;

Akses ke layanan dan informasi mengenai kontrasepsi dan keluarga berencana;

Kebebasan melakukan hubungan seks konsensual;

Akses ke pendidikan kesehatan seksual, termasuk untuk anak-anak dan para pemuda;

Kebebasan melakukan hubungan seks yang tidak dikaitkan dengan reproduksi.

Akses ke barang-barang dan layanan untuk mencegah mortalitas dan morbiditas ibu yang bisa dihindari; Akses tanpa diskriminasi terhadap pengobatan fertilitas; Penggunaan secara etis teknologi reproduktif baru; Kebebasan dari sterilisasi, aborsi dan kehamilan secara paksa.

Akses ke pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual, termasuk HIV/AIDS; Penghapusan kawin paksa (termasuk terhadap anak-anak) dan praktek tradisional merusak yang membahayakan kesehatan seksual dan reproduktif; Kebebasan dari mutilasi alat kelamin perempuan. Hak-hak seksual dan reproduktif merupakan hal inti dalam pemenuhan hak asasi setiap individu. Penghargaan terhadap hak-hak ini penting bagi martabat manusia dan terhadap pelaksanaan kesejahteraan fisik, emosional, mental dan sosial. Pemenuhan hal-hal ini meningkatkan kehidupan dan hubungan pribadi serta membantu mencapai kesetaraan dan pemberdayaan gender. Semua orang harus diizinkan menikmati hak-hak seksual dan reproduktif mereka dengan terbebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

16 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

2. PENSTEREOTIPAN GENDER DAN AKIBATNYA “Ketidaksetaraan gender sudah lama menjadi masalah… Perempuan tidak memiliki hak untuk membuat keputusan penting, bahkan sekalipun keputusan yang berdampak pada hidup mereka sendiri” Dr Budiharja Moehamad Singgih, Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Indonesia, 2010.24

Penstereotipan gender dalam bidang hubungan keluarga lazim terjadi di Indonesia dan perempuan serta para gadis berada dalam tekanan untuk menerima sikap yang mencerminkan stereotip sempit atas seksualitas perempuan. Situasi ini memaparkan perempuan dan gadis terhadap diskriminasi dan pelanggaran HAM mereka. Hal ini juga merusak kemampuan perempuan dan gadis untuk membuat keputusan secara bebas tentang hidup mereka. Karena kegagalan mengatasi stereotip gender ini, negara tidak menghormati kewajiban HAM internasionalnya, terutama ketetapan-ketetapan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).

2.1 PERAN PEREMPUAN DIDEFINISIKAN MELALUI PERKAWINAN DAN KELAHIRAN ANAK Meskipun status perempuan di Indonesia telah berubah selama beberapa dasawarsa terakhir, khususnya dengan meningkatnya partisipasi perempuan dalam angkatan tenaga kerja formal, peran dan status mereka masih dipandang terutama dalam hubungan dengan perkawinan dan menjadi ibu.25 Kedua aspek ini – menikah dan mempunyai anak – secara luas dipandang sebagai hal penting dan sama-sama inklusif dalam kehidupan seorang perempuan: semua perempuan harus menikah dan mempunyai anak, dan perempuan mana pun yang mempunyai anak harus menikah. Pentingnya pernikahan bagi perempuan dan gadis merupakan salah satu faktor penyebab lazimnya perkawinan usia dini di Indonesia. Walau jumlahnya menurun, pernikahan pada usia dini masih relatif tersebar luas, khususnya di daerah pedesaan dan perkampungan kumuh.26 Sebuah studi baru-baru ini menemukan Seorang ibu beranak empat berusia 50 tahun dari Jawa. Ia menikah di usia 13 dan melahirkan anak pertama di usia 14. © AI

Amnesty International Nopember 2010

bahwa 690.000 pernikahan melibatkan anak-anak (berusia di bawah 18 tahun) di Indonesia pada tahun 2009,27 yang merupakan sepertiga dari semua pernikahan. Selama masa

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 17 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

melakukan wawancara, Amnesty International bertemu banyak perempuan dan gadis yang menikah ketika masih anak-anak,28 terkadang semuda 13 tahun. Meskipun masih muda sekali, banyak dari mereka segera memiliki anak pertama setelah menikah (lihat kasus Susun di bawah ini).

KASUS SUSUN

Susun adalah PRT berusia 34 tahun di Jawa Barat. Dia memiliki tiga anak. Dia keluar dari sekolah saat berusia 12 tahun. Dia pertama menikah ketika berusia 16 tahun, dan menikah kedua kalinya waktu berumur 22 tahun. Suami keduanya seorang sopir ojek. Putri Susun menikah ketika berusia 15 tahun. “Saya pertama nikah ketika umur 16 tahun.... Ya rasanya ga enak namanya juga dipaksa terus… Orang tua saya paksa saya menikahi sepupu saya… Usia sepupu saya waktu itu 28 tahun. .. Saya benci banget, sampai saya bilang: yaudah ma kalo emak mau nikah sama dia mah nikah aja nyai mah ga mau...temen-temen saya juga sampai bilang nyai kok kamu mau sih? Padahal kan ga pacaran ga apa .iya emang siapa yang mau kawin? Orang nyai mah ga mau kawin. Saya berkata begitu kepada teman saya [waktu itu]... terus ga bertahan lama juga pas saya hamil empat bulan udah pisahan tuh… Terus pas saya hamil 7 bulan udah ditalak tuh, pisahan dah. Terus pas lahir baru diurus surat cerainya… jadi ga pernah ada rasa cinta jadinya ya pada biasa aja gitu… [Salah seorang] anak saya itu, [Aria] nikah umur 15 tahun… Suaminya usianya 22 tahun [waktu itu]… Mereka emang suka sama suka jadinya nikah… [Anak perempuan saya] disuruh ikut KB tapi anaknya ga mau biar punya anak dulu baru KB gitu… jadi sekarang udah punya anak dan dia ikut KB.”29 Pernikahan dini yang menuntun pada adanya kehamilan pada usia dini dapat meningkatkan risiko para gadis untuk meninggal dalam kehamilan dan saat kelahiran bayi. Gadis berusia 10-14 tahun memiliki lima kali kemungkinan untuk meninggal dalam kehamilan atau saat melahirkan daripada perempuan yang berusia dua puluh tahunan. Gadis berusia 15-19 tahun dua kali lipat kemungkinannya untuk meninggal.30

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Peran stereotip perempuan – dan juga pria – dimasukkan dalam undang-undang. UU Perkawinan (No 1/1974) menyatakan bahwa “suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga” (Pasal 31.3). “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” (Pasal 34.1), sementara “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya” (Pasal 34.2). UU Perkawinan menyatakan usia sah untuk menikah adalah 16 tahun untuk perempuan, dan 19 untuk lelaki (Pasal 7). UU Perkawinan ini memberi otoritas untuk adanya poligami.31 Menurut Pasal 4.1 dan 4.2, lelaki bisa memiliki lebih dari satu istri apabila (a) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Ketetapan-ketetapan yang berkaitan dengan poligami melanggar hak atas kesetaraan di hadapan hukum karena pria berhak menikah dengan lebih dari satu perempuan, tetapi perempuan tidak diizinkan menikah dengan lebih dari satu pria. Terlebih dari itu, ketetapan semacam itu mendukung peran stereotip gender dan perlakuan yang membeda-bedakan antara lelaki dan perempuan. Misalnya, prasyarat yang ditetapkan dalam Pasal 4(c) (seorang lelaki dapat mencari istri lain jika si istri tidak bisa memiliki anak) mendukung pandangan stereotip gender bahwa fungsi utama perempuan adalah melahirkan anak. Ketetapan ini menyiratkan bahwa perempuan yang harus disalahkan jika pasangan suami istri tidak memiliki anak – sebuah asumsi yang secara medis tidak memiliki landasan karena baik lelaki ataupun

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

18 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

perempuan mungkin tidak memiliki anak karena berbagai macam alasan, misalnya infertilitas. Hal ini memberi stigma kepada perempuan dan gadis yang tidak bisa memiliki anak, atau yang tak punya anak dan ingin menunda kehamilan. Lebih jauh lagi, hal ini memperkukuh asumsi bahwa perkawinan harus dilakukan dengan tujuan penerusan keturunan dan karenanya menstigma pasangan yang memutuskan tidak ingin menjadi orang tua, apakah itu untuk sementara waktu atau secara prinsip.

2.2 SIKAP TERHADAP SEKSUALITAS PEREMPUAN

KASUS SIRI Siri adalah PRT berusia 38 tahun dari Jawa Barat. Dia menikah ketika berusia 18 tahun dan hanya menyelesaikan sekolah dasar [sampai dengan usia 12 tahun]. Dia punya dua anak dan berpenghasilan Rp 200.000 per bulan. “Saya punya dua anak… satu perempuan dan satu lelaki… Suami saya kerja di [pabrik] konfeksi… [Bayi] perempuan saya disunat umur pas... ada delapan hari... Di tempat saya masih banyak orang yang menyunat anak perempuan… terus kan kadang kemaren tuh... [Meskipun] bidannya bilang sekarang udah nggak usah disunat gitu... ibu bidan [tetap] menyunat anak perempuan saya... cuma dikorek gitu pake gunting... harus disunat perempuan itu… Buat membersihkan gitu, emang udah harus begitu... katanya itu kan ciri orang islam gitu ya... terus... untuk membuang penyakit apa, apa gitu sih... Saya menerima informasi tentang KB [dari bidan dan Posyandu]… dalam bahasa [Indonesia]… ya ada yang kita ngerti, ada yang nggak… a saya tahu tentang [penyakit ditularkan secara seksual]… orang-orang nakal yang pada…mengeluarkan segala apa itu... berhubungan intim terus ganti lagi… ya kita harus jangan nakal… jangan suka gonta-ganti pasangan gitu…”32 Di Indonesia, seks masih merupakan subjek tabu yang tidak dibahas secara terbuka. Sikap terhadap seksualitas perempuan dan peran perempuan dalam konteks hubungan seksual umumnya masih konservatif. Kesucian sebelum pernikahan dinilai tinggi,33 dan perempuan serta gadis yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan (atau yang dipercaya melakukannya) mendapat stigma.34 Seksualitas perempuan pada umumnya dipandang dari sudut untuk mempunyai anak, dengan tekanan kecil pada kenikmatan perempuan. Dalam perkawinan, perempuan dan gadis diharapkan setia kepada suami mereka dan menjalankan peran rumah tangga.35 Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, sepertiga perempuan “yang pernah menikah” yang diwawancarai percaya bahwa istri tidak dibenarkan menolak melakukan hubungan seks dengan suaminya jika si istri merasa lelah atau sedang tidak ingin melakukannya.36 Dalam tahun-tahun belakangan ini, sikap konservatif akan isu-isu mengenai seksualitas makin lazim di sejumlah bagian negara ini, terkadang akibat adanya tekanan dari kelompok-kelompok radikal. Hak asasi perempuan dan lesbian, homoseksual, biseksual/panseksual dan transgender secara khususnya akibatnya menjadi dibatasi, terkadang dengan cara kekerasan.37

MUTILASI KELAMIN PEREMPUAN

“Pertama kali saya melihat jelas bagaimana seksualitas perempuan ditindas adalah dalam kasus putri saya sendiri. Saya tahu sunat untuk perempuan bukan kewajiban – bahwa itu hanyalah wahana untuk mengontrol tubuh perempuan dan seksualitas mereka…” Nursyahbani Katjasungkana, aktivis hak-hak perempuan, 2010. 38

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 19 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

“[Anak perempuan saya jalan tiga tahun]... waktu baru lahir langsung disunat”

Lila, 23 tahun, PRT

berbasis di Jawa Barat, 2010.39 

Mutilasi Kelamin Perempuan (MKP) dapat berbeda-beda bentuknya dan memiliki efek yang berlainan pada perempuan dan gadis. Jika hal ini memerlukan adanya pemotongan, penjahitan atau pembuangan bagian atau semua organ eksternal kelamin perempuan untuk alasan-alasan non terapeutik, maka hal ini bisa berdampak merugikan pada kesehatan dan kesejahteraan perempuan dan gadis. MKP diasosiasikan dengan serentang komplikasi kesehatan di seputar kehamilan dan kelahiran anak, termasuk fistula yang diakibatkan dari masalah dalam persalinan yang terhambat (obstructed labour) dan meningkatnya risiko untuk dilakukan bedah caesar darurat.40 MKP masih lazim dilakukan di Indonesia. Sebuah studi tahun 2003 yang dilakukan Population Council di Jakarta dengan dukungan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan menyimpulkan bahwa pelaksanaan MKP di Indonesia bisa dibagi ke dalam dua kelompok utama: jenis yang “hanya simbolis" yaitu tidak ada pengirisan atau pemotongan (28% dari semua kasus dalam studi), dan bentuk yang “berbahaya” yang melibatkan pengirisan (49%) dan pemotongan (22%). Studi itu menyimpulkan bahwa penemuan tersebut “tidak mengungkapkan adanya komplikasi fisik atau psikologis segera atau jangka panjang yang jelas [akibat MKP] untuk para gadis atau perempuan. Namun, pengamatan langsung atas prosedur menunjukkan bahwa pelaksanaan [MKP] di Indonesia jelas melibatkan rasa sakit dan pemotongan nyata atas kelamin dalam sekitar tiga perempat kasus.”41 MKP merupakan sebuah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang harus diberantas. Apabila negara tidak mampu mengatasi dengan efektif praktek MKP, hal ini juga memperkuat persepsi bahwa yang lainnya berhak mengontrol seksualitas seorang perempuan atau gadis, yaitu dengan mengambil keputusan mewakili si perempuan atau si gadis dalam keadaan apa perempuan atau gadis itu harus (atau tidak boleh) melakukan aktivitas seksual. Tidak ada undang-undang yang secara khusus melarang praktek MKP meskipun hal ini merupakan sebuah bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan.42 Sebuah edaran pemerintah tahun 2006 yang ditandatangani Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, secara khusus memperingatkan dampak negatif kesehatan MKP pada perempuan.43 Walaupun sebagian besar bidan dan dokter yang diwawancarai Amnesty International mengetahui tentang edaran pemerintah itu, banyak yang masih melakukan MKP, yang menurut mereka secara “simbolis” untuk memenuhi permintaan keluarga. Para pekerja kesehatan merasa dengan demikian mereka tidak melukai sang bayi, dan sekaligus menghormati garis panduan yang ditetapkan dalam edaran pemerintah. Dalam sebuah kasus, seorang bidan yang berbasis di Jakarta mengatakan kepada Amnesty International bahwa dia menggunakan betadine yang tampak seperti darah agar kelihatan seolah-olah dia telah melakukan MKP.44 Dalam kasus lainnya, seorang bidan yang berbasis di Jawa Barat menjelaskan dia hanya membersihkan klitoris bayi jika keluarga memintanya melakukan MKP.45 Sebagian besar perempuan dan gadis yang diwawancarai Amnesty International di bulan Maret 2010 telah mengalami MKP sewaktu mereka bayi atau jika tidak, telah memilih MKP untuk bayi perempuan mereka sendiri dalam tahun-tahun belakangan ini. Praktek ini umumnya dilakukan oleh dukun melahirkan tradisional dalam waktu enam minggu pertama setelah seorang bayi perempuan dilahirkan. Perempuan yang diwawancarai mengatakan mereka minta agar MKP dilakukan kepada bayi perempuan mereka karena alasan keagamaan. Sepengetahuan mereka MKP disyaratkan kepada Muslim, tetapi dasar keagamaan ini telah ditentang oleh sejumlah kelompok Muslim dan para ahli.46 Alasan lainnya yang dikatakan para perempuan itu terentang dari ingin memastikan “kebersihan” bayi perempuan (bagian luar kelamin

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

20 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

perempuan dianggap kotor)47 dan menghindari penyakit; meneruskan praktek budaya atau setempat; sampai usaha untuk menenangkan atau menekan hasrat perempuan terhadap ‘aktivitas seksual’ saat mereka dewasa.48 Sejumlah perempuan menggambarkan prosedur itu sebagai ‘goresan simbolis’, sementara yang lainnya menjelaskan yang dilakukan adalah pemotongan sekerat kecil bagian dari klitoris. Banyak perempuan yang diwawancara menyepakati bahwa akan ada sedikit pendarahan sebagai akibat MKP. Dalam kesimpulan observasinya pada tahun 2007, Komite CEDAW merekomendasikan Indonesia untuk mengembangkan sebuah rencana aksi guna menghapus praktek MKP, termasuk dengan menerapkan kampanye pembangkit kesadaran umum guna mengubah persepsi budaya yang dikaitkan dengan MKP, dan memberikan pendidikan sehubungan dengan adanya praktek yang merupakan pelanggaran HAM perempuan dan gadis yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam agama.49

2.3 PARA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

KASUS LILA Lila adalah PRT berusia 23 tahun di Jawa Barat. Dia menikah saat berusia 19 tahun. Dia sekolah sampai SMP [15 tahun]. Dia menceritakan kepada Amnesty International mengenai kekerasan fisik dan seksual yang dideritanya karena suaminya selama paling tidak dua tahun. Dia kini akan bercerai. “Sebelum bekerja sebagai PRT. [saya] kerja di pabrik [lokal] kan siang malem… masuk shift… Saya hanya bisa bekerja di situ sebab saya punya izin [resmi] dari suami. Saya jarang ada di rumah sehingga suami saya marah… dan bertemu orang lain… Suami saya ta’ sabarin... kepada saya [paling tidak selama dua tahun]. … ada [kekerasaan] …. seperti menjambak rambut aku, terus mukul ini aku… daerah bibir pipi sekitarnya, mencekek aku juga…dilempar pake handphone… dilempar handphone kena ini pilingan, telinga… Setiap kali dia mengatakan akan berubah tapi tetap kasar kepada saya.... Makan aja kadang kita nggak enak, ya itu dipaksa…dia maksanya ya itu…ya itu kita…dia seperti memperkosa, ya…perlakuannya seperti memperkosa… aku seperti diperkosa… nggak pernah [cerita] seperti itu… Saya pergi ke bidan setelah itu karena saya merasa sakit ketika buang air kecil. Sangat sakit… saya tidak memberi tahu [bidan apa yang terjadi]... membuat [bidan tidak] percaya.. aku menutupi… tapi tidak bertanya-tanya lagi.... Saya tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang pelanggaran seksual [oleh suami saya]… menurut aku itu pribadi banget ya jadi malu… ya hancur aja, kecewa pasti, sakit bener-bener, kita nggak ada harganya dimata laki-laki, padahal kita tuh ada hubungan suami istri tapi bagaimana sih rasanya nggka dihargain gitu, nggak dianggap, kaya dilecehkan... Saya hanya memberi tahu serangan [fisik] kepada orang tua saya... dan Pastor… tapi tidak pernah melapor [ke polisi]. Saya sangat takut orang-orang akan bertanya… Sekarang kami akan bercerai.”50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara tradisional merupakan undang-undang yang dipakai untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) tahun 2004 dan diloloskannya UU Perlindungan Saksi tahun 2006, perlindungan hukum yang tersedia bagi korban dan para saksi kekerasan dalam rumah tangga sudah meningkat banyak.51 Namun, perempuan dan gadis yang menjadi korban kekerasan seksual masih terus menghadapi rentangan halangan dalam hukum dan pelaksanaannya ketika mereka melapor kepada polisi. Definisi yang merujuk kepada ‘perkosaan’ atau ‘kekerasan seksual’ yang ada dalam UU PKDRT dan KUHP masih kurang jelas. Definisi yang ada sempit sifatnya dan tidak konsisten di antara kedua legislasi itu, yang menyebabkan adanya tingkat ketidakjelasan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran pidana dan apa yang

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 21 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

tidak.52 Sebagai contoh, pemerkosaan dalam perkawinan masih belum dimasukkan sebagai tindak pidana dalam KUHP, dan UU PKDRT merujuk kepada kekerasan seksual, tapi tidak secara khusus kepada perkosaan. Selain itu, UU juga menuntut adanya dua unsur bukti untuk perkosaan (misalnya kesaksian korban; tertuduh; ahli, dll.) – yang dalam kenyataannya sangat sulit ditunjukkan oleh korban.53 Juga ada masalah serius dalam penerapan UU PKDRT. Misalnya, sebuah studi yang dilakukan sebuah ornop Indonesia, Rifka Annisa, menggarisbawahi bahwa petugas kepolisian cenderung meminta sertifikat perkawinan sipil dari korban kekerasan rumah tangga yang melaporkan tindakan kekerasan oleh pasangannya,54 yang mengesampingkan dalam pelaksanaannya perempuan dan gadis yang tidak menikah atau yang melakukan nikah siri.55

Para gadis berusia antara 13 dan 15 tahun yang bekerja sebagai PRT, Jawa. PRT anak sering bekerja dalam isolasi dan rentan terhadap kekerasan fisik, psikologis dan seksual. PRT secara sah dilindungi oleh UU PKDRT. © AI

Bagi perempuan dan gadis yang mengandung sebagai akibat kekerasan seksual, halangan-halangan ini juga menjadi rintangan untuk memastikan mereka bisa mengakses perawatan kesehatan reproduktif yang mereka perlukan. Sebagai contoh, meskipun para korban pemerkosaan kini secara sah berhak atas layanan aborsi, mereka hanya bisa secara sah mengakses layanan ini setelah melapor kepada yang berwenang dan dalam enam minggu pertama kehamilan (lihat Bagian 4 “Aborsi berbahaya dan ancaman kriminalisasi”, h36. Kekerasan terhadap perempuan masih merupakan hal yang lumrah terjadi. Menurut laporan tahun 2010 dari Komnas Perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan dalam relasi personal merupakan mayoritas besar dalam kasus semacam itu yang dilaporkan, dengan adanya kekerasan seksual lebih dari 45 persen dari kasus-kasus tersebut, dan kekerasan oleh suami terhadap istri lebih dari 95 persen dari kasus-kasus. Perempuan muda serta gadis berusia antara 13 dan 18 tahun merupakan kelompok usia dengan catatan kasus terbanyak yang melibatkan kekerasan dalam masyarakat (misalnya penjualan manusia atau trafficking, kekerasan di tempat kerja, dll).56

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

22 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

2.4 Kriminalisasi perilaku pribadi

“Idenya mudah. Orang tua jelas takut putri mereka kehilangan kegadisan sebelum saatnya tiba, jadi sebelum mereka melanjutkan studi mereka, mereka menjalani tes keperawanan dan secara otomatis melindungi martabat mereka” Bambang Bayu Suseno, anggota DPRD Jambi, Sumatra Tengah, mengusulkan adanya tes keperawanan untuk perempuan sebelum memasuki sekolah, September 2010.57

Dalam tahun-tahun belakangan, khususnya sebagai hasil proses desentralisasi, terdapat peningkatan dalam pengesahan undang-undang yang membatasi hak-hak seksual dan privasi, termasuk undangundang yang mengkriminalkan hubungan seks konsensual di antara orang dewasa atau menghukum lelaki atau perempuan dewasa yang tidak menikah yang berduaan sendirian, tanpa ditemani sanak-saudara (misalnya khalwat). Perempuan dan gadis sering kali secara tidak seimbang terkena dampak undangundang seperti itu, akibat adanya pandangan stereotip gender mengenai seksualitas, dan karena mereka bisa menjadi hamil; kehamilan di luar perkawinan bisa diinterpretasikan sebagai bukti tindak pidana.

SEKS KONSENSUAL DAN ANCAMAN KRIMINALISASI Hubungan seksual konsensual antara lelaki dan perempuan, jika paling tidak salah satu yang terlibat sudah menikah, dianggap sebagai tindak kriminal dalam undang-undang nasional (perzinaan atau hubungan di luar perkawinan). KUHP menyatakan bahwa lelaki atau perempuan yang sudah menikah atau tidak menikah yang memiliki hubungan seksual konsensual dengan seseorang yang sudah menikah bisa dihukum penjara maksimum sembilan bulan (Pasal 284). Undang-undang dan regulasi yang mengkriminalkan hubungan seksual konsensual di luar perkawinan melanggar hak privasi, kesetaraan di hadapan hukum, dan hak-hak seksual serta reproduktif. Saat perempuan dan gadis dihadapkan pada pengasingan sosial jika mereka diketahui melakukan, atau dicurigai melakukan kontak seksual, mereka secara tidak seimbang lebih terkena akibatnya daripada kaum pria.

KASUS SARI

Petugas kepolisian menuduh Sari, seorang gadis berusia 14 tahun, melakukan perzinaan ketika Sari datang untuk melapor bahwa dia diperkosa. Sari datang ke kantor polisi di Aceh untuk melaporkan bahwa dia diperkosa seorang pria berusia 25 tahun yang sudah menikah. Namun petugas kepolisian pada awalnya tidak memercayainya. Malah mereka menuduhnya melakukan hubungan seks dengan pria yang sudah menikah karena mereka saling menyukai. Petugas kepolisian menuduhnya melanggar peraturan hukum mengenai perzinaan.58

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 23 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

KRIMINALISASI DALAM KONTEKS PROSES DESENTRALISASI – STUDI KASUS ACEH

“[S]aat perempuan tidak berpakaian sesuai dengan hukum Shari’a, mereka minta diperkosa” Ramli Mansur, Kepala Bupati Aceh Barat, memberi komentar mengenai alasan mengapa perda pemakaian busana muslim diberlakukan di Kabupaten Aceh Barat, Agustus 2010.59

Sebagai bagian proses desentralisasi yang dimulai tahun 1999-2000, dan paket otonomi khusus untuk provinsi tertentu di Indonesia, meningkat pula peraturan daerah dan regulasi yang disahkan mengenai sejumlah isu, seperti kesehatan, pendidikan, dan urusan keluarga.60 Sejumlah peraturan dan regulasi ini tidak selaras dengan hukum dan standar internasional, dan juga tidak menghormati ketetapan-ketetapan yang ada dalam Konstitusi Indonesia serta UU HAM (No. 39/1999). Sebuah studi tahun 2009 yang diterbitkan Komnas Perempuan mencatat lebih dari 60 regulasi daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.61

Tanda yang memperingatkan komunitas lokal di Aceh bahwa khalwat dilarang. Khalwat didefinisikan sebagai dua orang dewasa dari jenis kelamin berlainan yang tidak menikah dan bukan saudara dekat dan berduaan tanpa kehadiran orang lain. © AI

Di Aceh, sebuah peraturan daerah (perda) mengenai Khalwat,62 yang disahkan pada tahun 2003 (No 14/2003), melarang pria dan perempuan dewasa yang tidak menikah, yang bukan sanak-saudara, untuk berada berduaan tanpa kehadiran orang lain, dengan pencambukan sebagai hukumannya.63 Komnas Perempuan telah mengomentari hal ini: “Dalam prakteknya, argumentasi bahwa khalwat bisa terjadi di mana pun kapan pun sering kali dipakai dalam penegakan … peraturan hukum. Hal ini menyebabkan kriminalisasi perempuan dalam

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

24 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

semua jenis hubungan sosial dengan lawan jenis. Dengan khalwat ini, tertuduh, khususnya perempuan, dipandang sebagai kriminal yang… melakukan hal amoral dan harus merasa malu. Sebagai contoh, seorang korban … mengatakan dia ditangkap saat duduk dengan pacarnya di sebuah warung di pinggir jalan… oleh Wilayatul Hisbah … Meskipun mereka tidak melakukan apa-apa yang salah, korban dan pacarnya diinterogasi berjam-jam.”64 Banyak orang salah memahami khalwat, dengan memercayai bahwa khalwat hanya mengkriminalisasi hubungan seksual di luar perkawinan, padahal faktanya khalwat mengkriminalkan orang yang hanya duduk sendirian dengan orang dari lawan jenis yang bukan sanak-saudara.65 Menurut Komnas Perempuan, penerapan perda tentang khalwat ini telah menyebabkan adanya penangkapan dan penahanan yang “salah”. Dalam sejumlah kasus, penangkapan dan penahanan ini juga membuat perempuan dipaksa mengaku bahwa mereka melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang bukan suaminya. Dalam sebuah kasus, hal ini menyebabkan seorang perempuan diasingkan untuk jangka panjang dari desanya karena dia dicap atau mendapat stigma dari masyarakat luas sebagai akibat adanya asumsi bahwa dia melakukan hubungan seks di luar nikah.66 Pada bulan September 2009, DPR Aceh mengesahkan Qanun Hukum Jinayat yang juga mengandung sejumlah ketetapan yang melanggar hukum HAM internasional. Hukum pidana ini mengkriminalkan sejumlah tindakan termasuk orang dewasa tak menikah yang berduaan sendirian (khalwat); hubungan seksual konsensual yang melibatkan mereka yang sudah menikah (zina); hubungan intim antara mereka yang belum menikah seperti berciuman (ikhtilath) dan homoseksualitas. Hukum Pidana Aceh ini belum diimplementasikan sejak diundang-undangkan, sebagian karena banyaknya kritikan yang muncul di tingkat daerah, nasional dan internasional. Qanun Jinayat itu kini dimasukkan lagi ke DPR Aceh meskipun kerangka waktu untuk pembahasannya masih belum jelas.67 Perda ini juga menetapkan adanya penghukuman, termasuk pelemparan batu sampai mati untuk zina dan pencambukan sampai 100 kali untuk homoseksualitas.68

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 25 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

3. RINTANGAN-RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF “[K]ehamilan dan aborsi berisiko tinggi … memerlukan perhatian khusus. Langkah-langkah kritis untuk mengurangi kematian ibu memperbaiki tingkat prevalensi pencegahan kehamilan dan mengurangi kebutuhan yang tak terpenuhi melalui perluasan akses dan perbaikan kualitas keluarga berencana dan layanan kesehatan reproduktif” laporan MDG 2010 oleh pemerintah Indonesia, September 2010.69

Keseluruhan konteks penstereotipan gender dalam hubungannya dengan seksualitas, perkawinan dan mengandung anak didukung oleh perundang-undangan, kebijakan serta praktek diskriminatif yang merupakan rintangan atas kesehatan reproduktif perempuan dan gadis di Indonesia. Secara khusus, perempuan dan gadis yang tidak menikah berisiko mengalami kehamilan tak diinginkan dan akses yang tak memadai ke layanan kesehatan reproduktif selama kehamilan. Perempuan dan gadis yang menikah menghadapi pembatasan hak-hak seksual dan reproduktif, khususnya dalam bidang keluarga berencana. Ini menyebabkan banyak perempuan dan gadis mendapatkan risiko kehamilan tak diinginkan, serta risiko yang terkait dengan kesehatan lainnya (misalnya penyakit yang ditularkan secara seksual termasuk HIV yang tengah meningkat di Indonesia, dan aborsi berbahaya).70

3.1 DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN DAN GADIS YANG TAK MENIKAH Di Indonesia, pemerintah secara eksplisit membuat perbedaan dalam hukum dan kebijakan antara perempuan dan gadis yang menikah dan tak menikah sehubungan dengan akses ke layanan serta informasi kesehatan seksual dan reproduktif.

KERANGKA KERJA HUKUM YANG DISKRIMINATIF Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa “[s]etiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah” (Pasal 28B (1)). Akan tetapi, UUD ini tidak memuat ketetapan khusus yang menjamin hak-hak bagi lelaki dan perempuan yang tidak menikah untuk memiliki anak. Ketidakadaan ini menyiratkan bahwa hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan hanya dilindungi dalam konteks perkawinan.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

26 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Baik UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (No. 52/2009)71 dan UU Kesehatan (No. 36/2009) menyatakan bahwa akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduktif hanya diberikan kepada pasangan yang menikah dengan sah, yang artinya mengesampingkan orang-orang yang tidak menikah dari layanan ini. Menurut Pasal 72 dan 78 UU Kesehatan, akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduktif hanya disediakan untuk ‘pasangan yang sah’ dan ‘pasangan usia subur’), yang menyiratkan bahwa dalam prakteknya hanya pasangan yang menikah bisa mengakses ketetapan keluarga berencana tersebut. Menurut UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, hak-hak reproduktif dan ketetapan tentang keluarga berencana ditujukan kepada pasangan yang menikah secara sah (dalam ‘perkawinan yang sah’).72 Pasal 21.1 menyatakan bahwa kebijakan keluarga berencana ditujukan untuk mendukung suami dan istri (atau calon suami dan istri) dalam mengambil keputusan yang benar tentang hak reproduksi mereka. Pasal 24.1 dan 25.2 menyatakan bahwa layanan kontraseptif ditujukan kepada pasangan suamiistri yang sah. Ketetapan-ketetapan tersebut melanggar UU HAM Indonesia dan traktat-traktat HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan CEDAW.73 Ketetapan-ketetapan itu bersifat diskriminatif dengan menggunakan landasan gender dan status perkawinan. Ketetapan-ketetapan itu memberi risiko kehamilan tak diinginkan kepada perempuan yang tidak menikah. Seperti dijelaskan di atas, kehamilan tak diinginkan bisa menuntun pada serentang risiko serius bagi perempuan tak menikah yang mungkin tak bisa mengakses layanan perawatan kesehatan reproduktif dan bisa mendapat stigma secara sosial.

BOKS 3: CELAH DALAM PROGRAM INFORMASI PEMERINTAH UNTUK REMAJA YANG BELUM MENIKAH Pemerintah memiliki berbagai program informasi74 mengenai kesehatan reproduktif untuk para remaja;75 tetapi ada celah besar dalam apa yang diliput oleh program-program tersebut. Celah-celah tersebut pada tingkat tertentu mencerminkan sikap budaya serta batasan hukum pada akses terhadap layanan kesehatan reproduktif bagi mereka yang tidak menikah, dan juga pada pemberian informasi mengenai seksualitas dan reproduksi (lihat Bab 3.4, “Halangan lain atas hak-hak seksual dan reproduktif”, h32. Khususnya, terlihat ada keengganan besar untuk memasukkan informasi mengenai kontrasepsi, seperti kondom, sebagai bagian dari program kesehatan reproduktif yang menargetkan para remaja yang belum menikah, karena takut akan dianggap mempromosikan “seks bebas”. Meskipun sejumlah sekolah memberikan informasi mengenai kesehatan reproduktif kepada para remaja, dampak program semacam ini tetap terbatas. Menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja tahun 2007, hanya 30 persen perempuan dan gadis yang sekolah diajari tentang keluarga berencana di berbagai tingkat pendidikan yang berbeda.76 Ornop-ornop lokal yang memberikan informasi tentang kesehatan seksual dan reproduktif kepada para remaja yang belum menikah mengutarakan kekhawatiran mereka bahwa program kesehatan reproduktif pemerintah tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan remaja. Program-program tersebut tidak memberikan informasi memadai tentang risiko kesehatan yang mereka hadapi yang terkait dengan usia tertentu (misalnya kehamilan pada usia dini). Program semacam itu menjelaskan sistem reproduktif lelaki dan perempuan, tetapi tidak menangani kebutuhan remaja akan informasi mengenai hubungan seksual dan pencegahan kehamilan tak diinginkan melalui penggunaan alat kontrasepsi.77

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 27 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

RINTANGAN-RINTANGAN ATAS AKSES TERHADAP LAYANAN KESEHATAN REPRODUKTIF

“Merupakan hal yang sangat tabu bagi orang yang tidak menikah untuk mencari alat kontrasepsi… Orang itu akan dipandang sebagai mencari seks bebas” Seorang aktivis HAM, Maret 2010.78

“Kalo nggak memiliki surat nikah, nggak bisa [Keluarga Berencana]”

Lila, PRT berusia 23 tahun.79

Bidan dan dokter pemerintah yang diwawancarai Amnesty International pada bulan Maret 2010 membenarkan mereka tidak memberikan layanan kesehatan reproduktif, termasuk kontrasepsi dan keluarga berencana, kepada perempuan dan gadis yang tidak menikah. Walaupun para pekerja kesehatan tersebut tidak secara langsung merujuk kepada undang-undang, mereka menjelaskan bahwa penyediaan layanan keluarga berencana hanya dimaksudkan untuk pasangan yang sudah menikah. Para petugas kesehatan kabupaten dan pejabat pemerintah lainnya yang diwawancarai bulan Maret 2010 membenarkan bahwa kontrasepsi dan layanan keluarga berencana hanya dimaksudkan untuk orang yang menikah sesuai hukum dan kebijakan.80 Komite tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite ESCR), yang memonitor penerapan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) oleh negara, menyatakan bahwa “[n}egara harus menahan diri untuk tidak membatasi akses terhadap kontrasepsi serta cara lain untuk merawat kesehatan seksual dan reproduktif, dengan melakukan penyensoran, penahanan atau secara sengaja memberikan informasi kesehatan yang salah, termasuk informasi dan pendidikan seksual”.81 Dengan menolak memberikan akses kepada perempuan dan gadis untuk mendapatkan metode-metode keluarga berencana seperti kontrasepsi, negara meneruskan diskriminasi dengan dua alasan. Pertama, yaitu diskriminasi dengan alasan status perkawinan. Kedua, penolakan layanan kontrasepsi untuk lelaki dan perempuan yang tidak menikah memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap perempuan dan gadis karena mereka bisa menjadi hamil, maka ada juga – dalam prakteknya – diskriminasi dengan alasan gender. Sebagai negara pihak ICECSR, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa penyediaan layanan serta informasi kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan reproduktif, diberikan dengan bebas tanpa diskriminasi, dan bahwa kelompok yang paling rentan serta termarginalisasi harus diprioritaskan (lihat Boks 4: hak atas kesehatan). Karena perempuan dan gadis yang tak menikah menghadapi rintangan dalam hukum, kebijakan dan pelaksanaan dalam mengakses layanan serta informasi kontrasepsi, mereka berisiko mengalami kehamilan tak diinginkan, penyakit menular seksual, dan pelanggaran HAM. Sebagai contoh, remaja yang belum menikah yang hamil sering kali dipaksa berhenti sekolah.82 Daripada menghadapi penolakan masyarakat luas, sejumlah perempuan dan gadis mungkin memutuskan untuk menikah ketika mereka menjadi hamil, atau jika tidak, mencari aborsi yang tak aman yang memberikan mereka risiko masalah kesehatan serius dan mortalitas ibu. Seorang aktivis yang bekerja untuk hak-hak seksual dan reproduktif di Aceh menjelaskan: “Ada para pemuda yang datang kepada kami karena hamil di luar perkawinan… mereka sudah hamil beberapa bulan dan mencoba menemukan jalan keluar… sebagian malu untuk meneruskan sekolah… sebagian minta digugurkan…”83

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

28 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

KASUS AIDA

Aida hamil di luar nikah. Dia berusaha melakukan aborsi yang tak aman. “Kemarin [pada bulan Februari 2010]... seorang gadis datang [ke puskesmas dengan kakaknya]... dia belum menikah... mereka tidak bilang ini keguguran… mereka bilang sakit perut.. akhirnya lihat ada daerahnya… barunya kita tahu orang ini hamil dan keguguran… baru tanya apakah keguguran sendiri… tapi susah kalau anaknya… ternyata.. dia hamil tanpa suami… dia tidak tahu ayahnya… dia malu… dia masih sekolah… dia keguguran ke tempat… mereka kasih obat… Kemudian… karena sudah beraksi obat… mulai pendarahan… baru lahir di Puskesmas… anaknya empat bulan… Ibunya sehat saja…”84 Untuk perempuan dan gadis yang ingin memelihara bayi mereka, tetap tak jelas bagaimana mereka bisa mengakses layanan kesehatan reproduktif selama kehamilan dan pada saat kelahiran, tanpa menikah terlebih dahulu. Riset Amnesty International mengisyaratkan bahwa ketakutan akan stigmatisasi dapat membuat perempuan dan gadis hamil, khususnya jika mereka dari komunitas miskin dan termarginalisasi, enggan meminta perawatan sebelum dan sesudah melahirkan jika mereka tidak menikah.85 Para pekerja kesehatan yang diwawancarai di Lombok dan Aceh menjelaskan bahwa remaja yang tidak menikah terkadang datang kepada mereka untuk meminta layanan kesehatan reproduktif, dengan mengatakan mereka diperkosa.86 Namun, para pekerja kesehatan itu percaya banyak remaja melakukan hubungan seks dengan pacar mereka dengan sukarela karena mereka suka sama suka, dan kemudian mengklaim diperkosa agar menghindari stigma yang melekat pada seks pranikah dan/atau sebagai cara untuk mengakses layanan kesehatan reproduktif. Dalam kasus seperti itu, mereka menasihatkan si gadis untuk menikah, daripada memiliki anak di luar ikatan perkawinan. Meskipun dukungan kesehatan reproduktif diberikan dalam sejumlah kasus kepada perempuan dan gadis yang tidak menikah oleh pusat-pusat kesehatan pemerintah (misalnya perawatan sesudah aborsi, lihat kasus Aida di atas), tidak ada sistem yang menyeluruh untuk memastikan perempuan dan gadis yang tidak menikah yang hamil untuk bisa mengakses perawatan kesehatan reproduktif yang mereka perlukan dari puskesmas, tanpa memandang status perkawinan mereka. Sebuah studi tahun 2009 yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Pemerintah daerah Nusa Tenggara mencatat: “[P]erempuan hamil yang tidak menikah tidak mengunjungi, atau sedikit mengunjungi, layanan kesehatan ibu termasuk perawatan sebelum dan sesudah melahirkan. Juga terlihat bahwa perempuan yang tidak menikah lebih mungkin melahirkan bayi mereka di rumah dan dibantu oleh [dukun melahirkan tradisional].”87

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 29 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

3.2 KORBAN PELANGGARAN SEKSUAL YANG TIDAK MENIKAH

KASUS ENNI

Enni adalah perempuan berusia 39 tahun yang belum menikah. Dia hamil tahun lalu setelah dilaporkan diperkosa di Indonesia bagian timur. Di permulaan kehamilannya, Enni pergi ke dokter; tapi kemudian dia tidak pergi lagi setelah kehamilannya mulai terlihat oleh orang lain. Dia memutuskan untuk tinggal di rumah saja. Saat Amnesty International berkunjung di bulan Maret 2010, dia sudah hamil tujuh bulan dan tidak mau ke rumah sakit karena khawatir tentang apa yang akan dikatakan orang karena dia tidak menikah. Jika terjadi komplikasi persalinan, katanya kepada ornop-ornop lokal, dia mungkin akan terlalu malu untuk meminta layanan rumah sakit negeri setempat. Ornop-ornop setempat mengatakan kepada Amnesty International apabila Enni memerlukan operasi (misalnya bedah caesar), dia memerlukan izin dari suaminya yang tentunya tidak mungkin dalam situasinya karena dia tidak menikah.88 Pada saat penulisan laporan ini, Enni telah melahirkan seorang bayi laki-laki; akan tetapi dia memutuskan tidak memeliharanya, karena dia tidak mampu membesarkan anak. Dia memberikan bayinya untuk diadopsi sebuah keluarga yang lebih mampu di Indonesia bagian barat.89 Perempuan dan gadis yang tak menikah yang menjadi korban perkosaan mungkin tidak menerima akses layanan kesehatan reproduktif, apakah itu karena mereka tidak tahu bahwa mereka berhak atas layanan itu atau karena takutnya akan stigmatisasi (lihat kasus Enni di atas). Korban pelanggaran seksual yang tidak menikah yang kemudian hamil dapat menghadapi tantangan serius dalam mengakses layanan perawatan kesehatan, dan sikap-sikap diskriminatif bisa menyebabkan korban perkosaan didorong keluarga mereka atau masyarakat luas untuk menikahi pelakunya, daripada memiliki anak di luar ikatan pernikahan.

Penampungan untuk perempuan dan gadis korban pelanggaran, Indonesia bagian timur. © AI

Tanya, seorang PRT berusia 22 tahun, dipaksa majikannya di Jakarta untuk melakukan hubungan seks dengan adik lelakinya antara bulan Juni dan Oktober 2004. Saat Tanya menjadi hamil, keluarga majikannya melakukan rapat dan meminta si adik menikahi Tanya. Namun, si adik menolak, dengan alasan Tanya buruk rupa. Tanggal 15 November 2004, keluarga itu mengusir PRT tersebut dari rumah mereka. Dia hanya diberi sisa gajinya dan uang transportasi Rp 40.000.90

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

30 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Bila negara tidak mampu memastikan dalam praktek bahwa korban pemerkosaan dijamin akan bisa mengakses perawatan kesehatan, hal ini melanggar hak-hak seksual dan produktif perempuan; terlebih dari itu negara juga gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan reparasi yang berhak didapat korban sesuai hukum dan standar HAM internasional.

3.3 BATASAN PADA PILIHAN REPRODUKTIF PEREMPUAN DAN GADIS YANG MENIKAH Menurut Survei Demografis dan Kesehatan 2007, tingkat kebutuhan yang tak terpenuhi dari layanan dan informasi keluarga berencana serta kontrasepsi di kalangan perempuan dan gadis yang menikah masih tetap tinggi, khususnya di antara mereka yang hidup dalam kemiskinan.91 Namun, riset Amnesty International tahun 2010 menemukan bahwa batasan atas akses terhadap layanan dan informasi keluarga berencana untuk para perempuan dan gadis yang menikah masih besar. Hal ini sebagian besar diakibatkan adanya persyaratan untuk mendapatkan persetujuan suami dan batasan atas perempuan dan gadis yang menikah tapi tak punya anak untuk melaksanakan hak-hak mereka dalam menentukan apakah mempunya anak atau tidak.

PERSYARATAN AGAR ADANYA PERSETUJUAN SUAMI DALAM PEMBERIAN KONTRASEPSI

“[Seorang perempuan harus dapat] izin suami [jika ingin membeli alat kontrasepsi]… [siapa tahu] kalau suaminya masih mau punya anak” seorang PRT di agen penyalur tenaga kerja di Jakarta, 2010. 92 Perempuan dan gadis yang menikah menghadapi batasan-batasan – berdasarkan hukum dan praktek – yang mengoyahkan kemampuan mereka untuk mengambil keputusan secara bebas mengenai kapan dan apakah ingin hamil. Walaupun perempuan dan gadis mungkin bisa mendapatkan jenis tertentu alat kontrasepsi, seperti misalnya pil (yang mungkin bisa dibeli di toko setempat tanpa izin suami), kemampuan mereka untuk mengakses dengan bebas informasi dan layanan semua jenis kontrasepsi dari pekerja kesehatan masih dibatasi. Baik hukum maupun praktek mensyaratkan agar mereka meminta izin suami sebelum meminta layanan kontrasepsi dari fasilitas kesehatan yang dikelola pemerintah. UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Indonesia menyatakan bahwa keputusan mengenai perencanaan keluarga harus diambil bersama-sama di antara pasangan suami-istri.93 Dalam UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ini, pilihan atas kontrasepsi tidak hanya tergantung pada seorang individu. Pasal 24.1 menyatakan bahwa layanan kontrasepsi merupakan tanggung jawab pasangan suami-istri sesuai dengan pilihan dan kondisi kesehatan. Terlebih dari itu, Pasal 26.1 mengatur bahwa jika penggunaan kontrasepsi mengandung risiko kesehatan, maka perlu ada persetujuan suami dan istri. Seorang bidan yang bekerja di sebuah puskesmas di Aceh mengatakan kepada Amnesty International di bulan Maret 2010: “[Jika mereka ingin] pil … mereka harus mendapat persetujuan suami … karena keluarga berencana melibatkan dua orang … begitu juga dengan suntikan … mereka harus mendapat izin suami.”94

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 31 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Seorang bidan berbasis di Jawa Barat membenarkan: “ya, harus ijin suami… kalau suami boleh, [kita bisa memberikan] KB… kalo suami nggak boleh, ya nggak, taat dengan suami… kalo suntik dengan pil itu izin lisan [cukup]… yang tertulis hanya IUD [Alat Kontrasepsi Dalam Rahim], implant dan MOW [Medis Operasi Wanita] harus [ada izin suami]… karena kan yang bertanggung jawab itu suami jadi nanti kalau ada apa-apa nggak mau tanggung jawab suaminya, kita kan juga perlu ijin itu jadi nanti kalau ada apa-apa nggak nyalahin kita… kadang suaminya ikut kesini, kadang nggak pake dokumen sih hanya “bu nggak boleh sama suami” ya udah terserah, kita udah memberikan penyuluhan nggak mau juga, panjang lebar kita ngomong akhirnya nggak boleh juga.”95

Alat pendidikan yang dipakai seorang bidan di Indonesia untuk mendiskusikan pilihan kontrasepsi bagi pasangan yang sudah menikah © AI

PEREMPUAN DAN GADIS YANG TAK MEMILIKI ANAK DITOLAK MENDAPATKAN AKSES TERHADAP LAYANAN KONTRASEPTIF

KASUS MARTA Marta, seorang PRT berusia 30 tahun dari Jakarta pergi ke puskesmas sebelum hamil; akan tetapi bidan menolak memberinya kontrasepsi. Setelah baru saja menikah saya pergi ke puskesmas, tapi kata mereka "kalau belum punya anak, jangan pakai KB... punya anak dulu... karena nantinya akan susah punya anak... kau mungkin akan kering.." Jadi saya nggak pakai kontrasepsi... Saya tidak punya banyak pengalaman jadi hamil... Setelah saya punya anak, [mereka] memberi tahu saya tentang kontrasepsi… Kini saya menggunakan kontrasepsi.”96

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

32 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Melampau interpretasi UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menuntut adanya persetujuan suami, riset Amnesty International juga menemukan bahwa akses ke kontrasepsi sering kali dibatasi untuk perempuan dan gadis jika mereka belum punya anak. Seorang bidan berbasis di Jawa Barat mengatakan kepada Amnesty International: “Jika mereka baru menikah… mereka tak perlu melakukan keluarga berencana…menggunakan metode kontrasepsi [modern]… saya beri tahu saja [metode tradisional] seperti sanggama terputus [penarikan sebelum ejakulasi] atau metode kalender… untuk mereka yang belum punya anak kami merekomendasikan mereka menggunakan metode ini dulu… untuk yang sudah punya anak kami beri tahu tentang suntikan dan pil.”97 Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan mengisyaratkan mereka takut jika mereka dimintai pertanggungjawaban jika seorang perempuan tidak memiliki anak setelah diberi sebuah metode kontrasepsi. Seorang bidan yang diwawancarai di Aceh menjelaskan meskipun dia tidak menganggap alat kontrasepsi bisa menyebabkan ketidaksuburan, dia memilih tidak memberikan akses ke metode kontrasepsi modern bagi perempuan yang tidak punya anak. Dia menjelaskan dia tidak ingin melawan keyakinan budaya masyarakat dan dimintai pertanggunggugatan atas hal ini.98 Ketakutan para pekerja kesehatan untuk dimintai pertanggungjawaban oleh para anggota masyarakat bisa dijelaskan sebagian dengan tingginya nilai kepemilikan anak di masyarakat Indonesia. Seorang bidan yang bekerja erat dengan masyarakat setempat di tingkat komunitas mungkin tidak mau disalahkan jika satu pasangan tidak memiliki anak. Melampaui fakta bahwa UU tidak mengizinkan mereka memberikan prosedur atau perawatan kontraseptif yang memiliki risiko kesehatan tanpa izin suami (Pasal 26.1 UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga), sikap-sikap budaya ini menjelaskan mengapa para bidan juga meminta persetujuan tertulis dari suami untuk bisa memberikan jenis tertentu kontrasepsi atau mengakses prosedur tertentu (misalnya sterilisasi).99 Kebijakan Indonesia tentang Kesehatan Reproduktif (2005) memperjelas bahwa layanan keluarga berencana harus diberikan kepada perempuan dan gadis yang paling rentan terhadap mortalitas dan morbiditas ibu: yaitu, yang paling muda; mereka yang punya anak banyak; mereka yang mempunyai anak yang usianya berdekatan satu dan yang lainnya; dan yang usianya sudah lebih tua.100 Namun, penolakan para pekerja kesehatan memberikan kontrasepsi kepada perempuan dan gadis yang tak mempunyai anak berarti bahwa banyak perempuan muda, terutama jika mereka tak punya cara lain untuk mendapatkan informasi dan layanan, akan lebih mungkin memiliki pemahaman yang salah dan kurang mengerti mengenai kontrasepsi dan keluarga berencana.101 Mereka mungkin akan hamil bahkan jika mereka mencoba menghindarinya. CEDAW juga menjamin hak-hak perempuan, dengan dasar kesetaraan dengan pria, guna memutuskan secara bebas dan secara bertanggung jawab menentukan jumlah anak dan menentukan jarak usia di antara anak serta memiliki akses terhadap informasi, pendidikan dan cara-cara untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak ini.102

3.4 HALANGAN LAIN ATAS HAK-HAK SEKSUAL DAN REPRODUKTIF Perundang-undangan Indonesia, termasuk KUHP, mengandung sejumlah ketetapan yang membatasi akses terhadap hak-hak seksual dan reproduktif, atau memiliki dampak mengerikan dalam pemberian informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduktif.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 33 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

BATASAN DALAM PEMBERIAN INFORMASI MENGENAI SEKSUALITAS DAN REPRODUKSI KUHP Indonesia mengandung ketetapan hukum yang mengkriminalisasi pemasokan informasi kepada orang-orang sehubungan dengan pencegahan dan penghentian kehamilan (Pasal 534; Pasal 535; dan Pasal 283).103 Hukumannya terentang antara dua sampai sembilan bulan penjara. Ketetapan-ketetapan tersebut mengkompromikan kemampuan pejabat negara dalam sistem kesehatan dan pendidikan, pemberi layanan seksual dan reproduktif dan para aktivis, untuk menyebarkan informasi tentang seksualitas dan reproduksi yang sesuai dengan usia. Selain itu, ketetapan itu bertentangan dengan tugas negara untuk memastikan semua orang memiliki akses terhadap informasi tentang kesehatan seksual dan reproduktif sesuai dengan hukum dan standar HAM internasional, dan khususnya ketetapan yang termuat dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC). 104 Ketetapan-ketetapan ini berarti bahwa seseorang yang memberikan materi tertulis atau materi visual lain untuk tujuan pendidikan seks atau informasi mengenai seksualitas serta reproduksi, termasuk kontrasepsi, bisa dinyatakan melakukan pelanggaran hukum dan bisa dikenai tuntutan pidana. Walaupun Amnesty International tidak mengetahui adanya individu yang dihukum penjara karena melanggar ketetapan-ketetapan ini, fakta bahwa ketetapan tersebut menjadi bagian perundang-undangan Indonesia memiliki efek yang mengerikan bagi para pemberi informasi. Hal ini khususnya bertambah parah bila informasi itu ditujukan kepada sebuah grup yang sudah menjadi sasaran pembatasan hukum lain atas hak-hak seksual dan reproduktif mereka (misalnya pria dan perempuan yang tidak menikah). Sejumlah pegiat hak-hak seksual dan reproduktif yang diwawancarai bulan Maret 2010 mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka khususnya merasa berisiko ditangkap karena memberikan informasi mengenai kontrasepsi modern seperti kondom.105 Mereka juga menyatakan kekhawatiran mengenai UU Pornografi baru (no. 44/2008) yang belum lama ini disahkan dan yang menurut mereka bisa menghalangi mereka menyebarkan informasi mengenai pendidikan seks dengan terbebas dari ancaman kriminalisasi. UU Pornografi mendefinisikan pornografi secara luas. Definisi itu mencakup materi yang “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”, dan memberikan hukuman antara empat dan 15 tahun penjara untuk mereka yang memproduksi, menyebarkan, mendanai atau menggunakan materi semacam itu.106 UU baru ini dan ketetapannya yang luas meningkatkan efek mengerikan dari pembatasan hukum lain mengenai penyediaan atau penyebaran informasi atau pendidikan mengenai masalah hak-hak seksual dan reproduktif. Seorang pembela HAM yang berbasis di Yogyakarta menjelaskan: “Sejauh ini UU [Pornografi] ini belum digunakan, tapi mungkin di masa depan. Masalahnya tergantung kepada masyarakat untuk memutuskan apakah [suatu tindakan] melanggar kesusilaan masyarakat… Sepanjang informasi mengenai hak-hak seksual dan reproduktif melanggar norma sosial, saya dan teman-teman saya bisa ditangkap dan didakwa… jika orang-orang merasa tak nyaman dan berpikir saya mempromosikan seks ini bisa menjadi masalah... itu selalu tergantung kepada para pemimpin masyarakat... jika mereka sangat fundamentalis maka ada kemungkinan besar [kami akan ditangkap].”107

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

34 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

PEMBATASAN DALAM AKSES TERHADAP KONTRASEPSI DARURAT Pasal 299 KUHP menjatuhkan hukuman sampai empat tahun penjara kepada siapa pun yang mengobati seorang perempuan, yang menyebabkan gugurnya kandungannya atau yang membuatnya percaya bahwa pengobatan itu membantu menggugurkan kandungannya. Jika orang yang memberikan pengobatan ini seorang profesional kesehatan seperti dokter, bidan atau apoteker, dan ditemukan bersalah melanggar ketentuan hukum ini, maka orang itu akan dilarang berpraktek. Kelihatannya ada kontradiksi antara ketetapan-ketetapan KUHP yang memidana kontrasepsi darurat, dan kenyataan pemerintah telah mengambil sejumlah langkah percobaan dalam merumuskan panduan tentang pengobatan semacam itu.108 Meskipun salah satu pil kontrasepsi darurat/pil pasca senggama (Postinor) secara komersial sudah tersedia sejak 2004,109 panduan pemerintah yang menjelaskan kondisi yang membuat pil ini boleh diberikan kepada perempuan dan gadis kelihatannya tidak diimplementasikan di puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia.110 Bukan saja situasi ini membuat para profesional kesehatan menghadapi ketidakpastian mengenai hak-hak dan tugas mereka sehubungan dengan pemberian informasi serta layanan kontrasepsi darurat, tetapi juga membuat banyak korban kekerasan seksual – dan juga perempuan yang mengalami kegagalan alat kontrasepsi – berisiko mengalami kehamilan tak diinginkan. Seorang pejabat kesehatan setempat yang bekerja di Jakarta mengatakan kepada Amnesty International: “Jelas tak ada [pil pasca senggama] di puskesmas dan hal ini belum dijadikan program. Pil ini hanya bisa diberikan dalam kasus tertentu, jika sudah ada pemeriksaan medis dan mungkin akan diberikan oleh rumah sakit.”111 Seorang dokter yang bekerja di puskesmas di Lombok mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka tidak memberikan kontrasepsi darurat kepada perempuan dan gadis karena takut hal itu digunakan untuk “alasan yang salah”. Menurutnya, banyak pasien yang datang ke puskesmas untuk menggugurkan kandung mengatakan bahwa mereka diperkosa padahal kenyataannya tidak. Dokter itu percaya mereka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan dan mereka merasa malu. Dia menekankan bahwa kontrasepsi darurat tidak cocok untuk tempat seperti Lombok karena daerah itu daerah Muslim.112 Sebuah studi tahun 2009 yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Pemerintah daerah Nusa Tenggara mencatat: “[U]ntuk kontrasepsi darurat, walau memang ada pelatihan untuk personel kesehatan di sejumlah provinsi, tetap belum ada patokan atau protokol di tingkat nasional atau provinsi untuk pemberiannya. Kementerian Kesehatan telah menyebarkan panduan dan menyediakan pelatihan tentang kontrasepsi darurat, tapi [informasi, pendidikan dan komunikasi] mengenai kontrasepsi darurat masih belum jadi bagian kebijakan [Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana]”.113

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 35 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

BOKS 4: HAK ATAS KESEHATAN Indonesia telah meratifikasi banyak traktat HAM yang menjamin hak atas standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai, termasuk ICESCR dan CEDAW. Hak atas kesehatan meliputi pula hak atas kesehatan ibu, anak dan reproduktif.

Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban mewujudkan hak atas kesehatan, termasuk hak atas kesehatan seksual dan reproduktif. Pemerintah juga memiliki tugas untuk memprioritaskan kelompok yang paling rentan dan termarginalisasi saat mengalokasikan sumber daya, dan untuk menangani diskriminasi dalam layanan dan informasi kesehatan. Perealisasian hak perempuan atas kesehatan menuntut adanya pencabutan semua rintangan yang menghalangi akses terhadap layanan, pendidikan dan informasi kesehatan, termasuk di bidang kesehatan seksual dan reproduktif. Fasilitas, alat dan layanan kesehatan harus tersedia, bisa diakses, bisa diterima dan berkualitas bagus. Dalam prakteknya, keempat hal yang saling berkaitan dan unsur penting hak atas kesehatan ini berarti: 1. Ketersediaan – Pemerintah Indonesia berkewajiban memastikan bahwa kesehatan masyarakat yang berfungsi dan fasilitas, alat dan layanan perawatan kesehatan, begitu juga program-program, tersedia. Hal ini termasuk faktor penentu yang melandasi kesehatan seperti akses terhadap air bersih, sanitasi yang memadai, nutrisi dan rumah sakit, klinik serta fasilitas lainnya; personel medis yang terlatih dan profesional yang menerima gaji yang kompetitif di dalam negeri; serta obat-obatan yang penting. 2. Aksesibilitas – fasilitas, alat dan layanan kesehatan harus bisa diakses semua orang tanpa diskriminasi. 3. Penerimaan – semua fasilitas, alat dan layanan kesehatan harus menghormati etika medis dan layak secara budaya. 4. Kualitas – fasilitas, alat dan layanan kesehatan harus secara ilmiah dan medis layak dan berkualitas baik. Hal ini mensyaratkan, antara lain, personel medis yang terampil, obat-obatan yang secara ilmiah disetujui dan tidak kadaluarsa, serta perlengkapan rumah sakit.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

36 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

4. ABORSI TAK AMAN DAN ANCAMAN KRIMINALISASI “Biasanya aborsi [gelap] dilakukan untuk menghilangkan malu... karena hamil diluar nikah... pacaran di tempat gelap lalu melakukan hubungan seks... takut sama orang tua dan karena laki-laki tidak bertanggungjawab” Diskusi Kelompok Fokus dengan PRT, 15 Maret 2010 Aborsi merupakan tindak pidana dalam kebanyakan kasus di Indonesia. Perempuan atau gadis yang berusaha menggugurkan kandungan (usia sah atas tanggung jawab pidana di Indonesia adalah delapan tahun),114 atau seorang pekerja kesehatan yang melakukannya, bisa dikenai hukuman masing-masing sampai empat dan 10 tahun penjara. Ini artinya aborsi di Indonesia sering kali dilakukan secara gelap dalam kondisi yang tidak aman. Menurut laporan MDG pemerintah tahun 2007, aborsi secara tidak aman bertanggung jawab atas 11 persen mortalitas ibu di Indonesia.115 Namun dalam laporan Peta Jalan MDG 2010, pemerintah mengindikasikan bahwa aborsi tidak aman hanya mencapai lima persen dari kematian ibu di Indonesia.116

4.1 PENGECUALIAN HUKUM YANG TIDAK DIKETAHUI Hanya ada dua pengecualian menurut perundang-undangan Indonesia yang mengizinkan seorang perempuan meminta aborsi dan pekerja kesehatan bisa melakukan aborsi secara sah. Pasal 75.2 (1) UU Kesehatan menetapkan bahwa aborsi bukanlah tindak pidana: (1) jika ada “[i]ndikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan”, dan (2) dalam kasus kehamilan akibat perkosaan. Amnesty International menyambut baik pengecualian ini, meskipun sejumlah aspek UU ini yang berkaitan dengan layanan aborsi secara aman masih tetap melanggar HAM perempuan. Saat ini, seorang perempuan yang hamil karena diperkosa, atau seorang perempuan yang mengalami komplikasi yang mengancam nyawa akibat kehamilan, harus memenuhi lima dari enam kriteria seleksi yang ada,117 untuk bisa mengakses layanan aborsi menurut UU Kesehatan (lihat Pasal 75 dan 76).

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 37 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Pasal 75 dan 76 menyatakan bahwa aborsi bisa dilakukan secara sah dalam dua kasus ini dalam keadaan sebagai berikut: Melalui adanya konseling atau penasihatan sebelum dan sesudah tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang;



 Sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;  Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan; 

Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;



Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan



Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Sejumlah kriteria ini akan sulit dipenuhi dalam prakteknya, khususnya untuk perempuan dan gadis yang tinggal di daerah terpencil atau yang memiliki akses terbatas terhadap layanan perawatan kesehatan yang umumnya terjadi karena jarak dan/atau faktor sosial-budaya lainnya. Riset Amnesty International bulan Maret 2010 mengisyaratkan bahwa perempuan dan gadis mungkin tidak bisa mengakses layanan aborsi yang sah dan aman yang berhak mereka dapatkan karena adanya rintangan sosial-budaya, keuangan dan administratif.

PERSETUJUAN SUAMI DALAM KASUS YANG MENGANCAM NYAWA Untuk mendapatkan layanan aborsi sah dalam kehamilan yang mengancam nyawa ibu atau janin, UU Kesehatan menuntut adanya persetujuan dari suami (Pasal 76.(d)). Dengan kata lain, seorang perempuan tidak diizinkan UU untuk mendapatkan layanan aborsi sah di Indonesia kecuali jika dia memiliki suami, dan suaminya menyetujui. Satu-satunya pengecualian untuk kriteria ini adalah korban perkosaan, yang bisa meminta aborsi tanpa memandang status perkawinan. Ketetapan yang menyangkut adanya persetujuan suami bersifat diskriminatif dengan dasar perkawinan dan jenis kelamin karena ketetapan ini menyingkirkan perempuan dan gadis yang tidak menikah dari layanan aborsi aman yang sah. Selain itu persyaratan yang menyangkut persetujuan suami dalam kasuskasus yang membahayakan nyawa seorang perempuan membuat hidupnya berisiko. Komite CEDAW telah menyatakan kekhawatirannya mengenai persyaratan-persyaratan tersebut di Indonesia. Dalam observasi akhirnya, komite itu menyatakan bahwa: “[K]omite ini lebih lanjut lagi merasa khawatir dengan adanya persyaratan bahwa seorang perempuan harus mendapatkan persetujuan suami sehubungan dengan sterilisasi dan aborsi, sekalipun jika nyawanya dalam bahaya”.118

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

38 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

KORBAN PERKOSAAN DAN TENGGAT WAKTU ENAM MINGGU Pemberian aborsi legal untuk korban perkosaan hanya diizinkan dalam waktu enam minggu pertama kehamilan. Kerangka waktu yang terbatas ini berarti kebanyakan korban perkosaan mungkin tidak bisa mendapatkan aborsi yang aman dalam kerangka waktu yang disyaratkan karena mereka mungkin belum tahu bahwa mereka hamil pada saat itu. Korban pemerkosaan mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk mengakui dan melaporkan kepada yang berwenang bahwa mereka diperkosa, khususnya dalam keadaan latar belakang yang menstigmatisasi seks sebelum dan di luar perkawinan, dan dalam sejumlah kasus malah bisa dipidanakan Sebuah studi oleh Asian-Pacific Resource and Research Centre for Women (ARROW) baru-baru ini menyimpulkan bahwa korban perkosaan menghadapi berbagai rintangan dalam mendapatkan informasi serta layanan yang terkait dengan aborsi yang aman, termasuk perlunya melakukan penuntutan terhadap penyerang, mendapatkan laporan polisi, otorisasi pengadilan, atau melakukan tes medis lain untuk bisa memenuhi syarat.119 Sejumlah rintangan ini berkaitan dengan kekurangan yang ada dalam hukum dan praktek, yang tidak mampu melindungi sepenuhnya korban pelanggaran seksual. Sebagai contoh, masih tidak jelas bagaimana perempuan dan gadis yang menikah yang menjadi korban perkosaan dalam konteks perkawinan bisa mengakses layanan aborsi sah yang berhak didapatkan korban perkosaan karena pemerkosaan dalam perkawinan masih belum sepenuhnya dimasukkan dalam undang-undang pidana (lihat Bab 2, “Penstereotipan gender dan konsekuensinya”, h16). Komite HAM yang memantau kepatuhan negara terhadap ICCPR, telah menyatakan bahwa memaksa seorang korban perkosaan untuk mengandung sampai penuh waktu atau untuk mencari aborsi yang tidak aman merupakan pelanggaran atas larangan penyiksaan yang dimuat dalam Pasal 7 Kovenan tersebut, di selain ketetapan lainnya (lihat Bab 7 “Kewajiban HAM Indonesia”, h51.120

PENGECUALIAN YANG SAH TIDAK BANYAK DIKETAHUI

“Ini pertama kali saya mendengar tentang hal itu [ketetapan hukum untuk para korban perkosaan dalam UU Kesehatan]” seorang dokter berbasis di Jakarta yang bekerja di puskesmas setempat, Maret 2010.121

Para pekerja kesehatan yang diwawancarai Amnesty International bulan Maret 2010 hanya mengetahui adanya satu pengecualian untuk aborsi, yaitu layanan aborsi sah bisa diberikan kepada perempuan dan gadis jika ada komplikasi yang berkaitan dengan kesehatan ibu atau janin. Umumnya mereka tidak mengetahui pengecualian yang berhubungan dengan layanan aborsi sah untuk korban perkosaan. Kebanyakan pejabat pemerintah yang diwawancarai Amnesty International juga tidak mengetahui tentang ketentuan baru ini, yang disahkan tahun 2009.122 Tidak adanya pemahaman ini mengisyaratkan bahwa para pekerja kesehatan dan pejabat pemerintah masih terus mengandalkan pengetahuan mereka tentang ketentuan pemberian aborsi sah berdasarkan pada UU Kesehatan yang lama (No. 23/1992), yang menyatakan tindakan medis tertentu diizinkan dalam kasus adanya komplikasi yang mengancam jiwa ibu atau janin (Pasal 15). UU Kesehatan tahun 1992 digantikan oleh UU Kesehatan yang baru pada bulan September 2009 yang memperluas pengecualian aborsi yang sah kepada korban perkosaan.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 39 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Sebagian besar mayoritas perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi yang diwawancarai Amnesty International bulan Maret 2010 tidak membedakan layanan aborsi yang sah dan yang gelap. Mereka percaya aborsi merupakan hal yang ilegal dalam semua kasus dan bertentangan dengan persepsi moral dan agama.

UU Kesehatan Indonesia yang baru diloloskan tahun 2009 yang kini memberikan akses ke aborsi jika terjadi kehamilan akibat pemerkosaan. ©AI

Ketidaktahuan di antara perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi mengenai ketentuan baru yang berkaitan dengan perkosaan dalam UU Kesehatan 2009, dan mengenai pengecualian hukum pada umumnya, sangatlah mengkhawatirkan. Itu berarti perempuan dan gadis mungkin mencari aborsi tidak aman secara gelap, atau jika tidak menggugurkan kandungan mereka sendiri dengan cara-cara yang berbahaya, meskipun mereka mungkin berhak mendapatkan aborsi yang sah.

SIKAP PARA PEKERJA KESEHATAN Di kalangan sejumlah pekerja kesehatan kelihatannya ada keengganan untuk memberikan perempuan dan gadis akses terhadap layanan aborsi yang aman karena keyakinan moral atau agama mereka. Ornop-ornop lokal di Surabaya menjelaskan banyak dokter dan bidan menolak melakukan aborsi sekalipun bila hal itu sah menurut alasan moral dan agama. Mereka melaporkan dokter cenderung merekomendasikan perempuan dan gadis meneruskan kehamilan mereka dengan mengatakan bahwa menggugurkan kandungan adalah “dosa”. Menurut ornop-ornop itu, hal ini dapat menyebabkan perempuan dan gadis berusaha mendapatkan aborsi yang tidak aman.123 Bilamana para pemberi layanan kesehatan tidak memberikan informasi mengenai layanan aborsi sah yang aman kepada perempuan dan gadis yang mungkin berhak mendapatkan layanan ini, maka mereka merusak hak-hak seksual dan reproduktif. Negara memiliki tugas untuk memastikan para perawat kesehatan memberikan informasi tentang semua opsi yang tersedia sehubungan dengan kesehatan

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

40 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

reproduktif perempuan sehingga perempuan dan para gadis bisa mengambil keputusan yang terinformasi mengenai hak-hak seksual dan reproduktif mereka.

4.2 KRIMINALISASI ABORSI DAN KONSEKUENSINYA Baik KUHP dan UU Kesehatan menjatuhkan hukuman jangka panjang untuk perempuan, dan para individu, termasuk pekerja kesehatan, yang mencoba mencari dan/atau melakukan aborsi ilegal. Selain itu, UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa aborsi dilarang dipakai sebagai metode untuk mengatur kehamilan (Pasal 21.3). Menurut KUHP, seorang perempuan yang berusaha menggugurkan kandungannya dalam situasi yang tidak sah mungkin bisa dijatuhi sampai dengan empat tahun penjara (Pasal 346)124 dan para individu, termasuk pekerja kesehatan, yang melakukan atau memfasilitasi aborsi ilegal mungkin bisa dipenjara sampai dengan 10 tahun (Pasal 349).125 Terlebih dari itu UU Kesehatan menyatakan siapa pun yang melakukan aborsi bisa dijatuhi hukuman sampai 10 tahun penjara atau denda sampai satu miliar rupiah (Pasal 194). Selama masa wawancara Amnesty International di bulan Maret 2010, seorang pekerja kesehatan mengutarakan keprihatinannya mengenai kerangka waktu enam minggu untuk korban perkosaan, dengan menjelaskan bahwa untuk dia dan rekan-rekan sekerjanya implikasi kerangka waktu ini tidaklah jelas. Ada ketidakjelasan di kalangan para pekerja kesehatan tentang apa yang akan terjadi jika seorang praktisi medis melakukan prosedur aborsi setelah tenggat waktu enam minggu berakhir.126 Seorang ahli mengenai kesehatan reproduktif mengatakan kepada Amnesty International bahwa UU Kesehatan memiliki efek menakutkan pada sejumlah pekerja kesehatan di Indonesia yang kini lebih takut lagi untuk melakukan aborsi.127 Seorang dokter yang melakukan aborsi di bagian timur Indonesia membenarkan bahwa rekan-rekannya enggan melaksanakan aborsi, sebagian karena mereka takut akan risiko kriminalisasi.128 Wawancara Amnesty International dengan para pekerja kesehatan, dukun melahirkan tradisional dan ornop-ornop mengisyaratkan bahwa ancaman kriminalisasi merupakan rintangan besar bagi profesi kesehatan. Sepengetahuan Amnesty International, penuntutan hukum terhadap mereka yang melakukan aborsi sangat jarang.129 Namun dalam beberapa bulan belakangan ini ada beberapa yang ditangkap dengan dakwaan aborsi. Sebagai contoh, seorang bidan berusia 48 tahun dari Jawa Timur baru-baru ini ditangkap dengan dakwaan aborsi. Menurut berita surat kabar, banyak pasiennya adalah mahasiswi.130

TERSEBARLUASNYA ABORSI ILEGAL YANG TIDAK AMAN

“Sering ada wanita yang meminta bantuannya untuk diurut agar bayi yang dikandungnya bisa digugurkan tapi saya tidak pernah membantu untuk mengugurkan karena takut dosa. Biasanya alasan aborsi karena laki-laki tidak bertanggung jawab dan anak masih kecil” Wawancara dengan dukun tradisional, Jawa Barat, Maret 2010. 131

Untuk mengetahui jumlah aborsi ilegal yang tidak aman tidaklah mudah, karena tidak ada data komprehensif dan termutakhir mengenai hal ini di Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Indonesia tahun 2001 memperkirakan mungkin ada sampai dua juta kasus pengguguran sengaja per

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 41 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

tahunnya di Indonesia – 30 persen di antara mereka adalah perempuan tak menikah.132 Banyak dari aborsi ini dilakukan dalam kondisi tidak aman. Menurut angka resmi pemerintah, aborsi secara tak aman bertanggung jawab atas antara lima sampai 11 persen kematian ibu.133 Aborsi secara tidak aman juga menyebabkan risiko kesehatan termasuk adanya infeksi jamur (thrush) yang kambuh berulang kali; pendarahan vaginal; tingginya kemungkinan terkena infeksi saluran reproduktif atau kemungkinan terkena penyakit menular seksual; dan mengganggu kesuburan.134 Para PRT, pekerja kesehatan dan pegiat ornop-ornop memberi tahu Amnesty International tentang banyaknya kasus perempuan dan gadis yang berusaha menggugurkan kandungan diam-diam, melalui bantuan dukun tradisional. Banyak aborsi gelap ini dilakukan dalam kondisi yang tidak aman. Detty, seorang PRT berusia 18 tahun mengingat pengalamannya: “Saya mempunyai teman yang hamil pada saat masih sekolah kelas 2 SMA [Sekolah Menengah Atas]... dia mencoba melakukan aborsi dengan obat peluntur pada saat usia kehamilan 40 hari tapi gagal dan akhirnya bayi lahir cacat... dia belum bisa berjalan dan tidak lancar bicara”.135

DEKRIMINALISASI ABORSI Pelapor Khusus PBB mengenai hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang bisa didapatkan telah menjelaskan bahwa “[k]etetapan yang menghukum perempuan yang melakukan aborsi harus dicabut.”136 Mendekriminalisasi aborsi di Indonesia akan menjamin bahwa baik perempuan maupun pekerja kesehatan tidak akan menghadapi tuntutan pidana hanya karena semata-mata berusaha menggugurkan kandungan atau memberikan bantuan medis yang tepat. Bilamana perempuan dan dokter tidak lagi diancam kriminalisasi, layanan aborsi yang aman akan lebih mungkin diakses oleh lebih banyak perempuan – yang artinya membatasi jumlah aborsi tidak aman yang memberikan risiko terhadap kesehatan perempuan, dan dalam sejumlah kasus menyebabkan kematian atau cedera. Para dokter di Indonesia akan lebih mungkin memberikan layanan aborsi dalam kasus di mana mereka memang dimaksudkan untuk memberikan layanan itu, tapi jika ada ancaman kriminalisasi mereka tidak akan melakukannya. Dekriminalisasi aborsi tidak berarti pihak berwenang di Indonesia akan memberikan layanan aborsi dalam semua keadaan – ini hanya berarti bahwa aborsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan di mata hukum. Kriminalisasi terhadap aborsi sendiri merupakan rintangan dalam mengakses layanan aborsi yang sah, sekalipun ada dua hal menurut hukum Indonesia yang memberikan hak kepada seorang perempuan untuk melakukan aborsi. Kriminalisasi menyebabkan adanya salah pemahaman bahwa semua aborsi adalah tindakan ilegal. Alih-alih diberi informasi dan akses bilamana perempuan memang memiliki hak, mereka malah dihadapkan pada situasi yang membuat mereka harus mencari informasi dan membuktikan bahwa mereka memiliki hak dengan melawan asumsi bahwa aborsi adalah tindakan pidana. Terlebih dari itu, dengan kriminalisasi aborsi, negara membuat banyak perempuan dan gadis terdesak dalam situasi yang menuntun mereka untuk mencari aborsi ilegal yang tidak aman, sekalipun mereka harus mempertaruhkan nyawa mereka. Studi-studi global menemukan bahwa seorang perempuan yang ingin menggugurkan kandungan akan tetap melakukannya tanpa memedulikan apakah itu sah atau tidak sah.137 Negara harus mengambil tindakan komprehensif guna mencegah risiko adanya perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman. Di antara tindakan komprehensif itu harus termasuk pula dekriminalisasi aborsi.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

42 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

5. STUDI KASUS PEKERJA RUMAH TANGGA SEBAGAI KELOMPOK YANG RENTAN “Perempuan juga bisa mengalami risiko kesehatan dari pekerjaan mereka, yang sering diakibatkan karena status mereka yang dipandang lebih rendah dan terbatasnya akses ke pendidikan” Pidato yang disampaikan mewakili Menteri Kesehatan

138

Indonesia, Endang Rahayu Sedyaningsih, Mei 2010.

KASUS LATIFAH Latifah yang berusia 18 tahun adalah pengasuh bayi (baby-sitter) dari Jawa Barat. Bekas majikan lelakinya melecehkannya secara seksual, dan tidak mengizinkannya berkomunikasi dengan dunia luar dengan bebas. Dia keluar dari sekolah saat berusia 12 tahun. Latifah mulai bekerja waktu dia berusia 14 tahun. Dia bercerita kepada Amnesty International tentang pelecehan seksual yang dia dan PRT lain alami, saat bekerja dengan majikan terakhirnya: “Dia meminta kami mengurut kakinya di kamar tidur waktu istrinya tidak ada di rumah… Katanya dia bisa memberi uang… Rp 20.000, tapi saya tidak mau… Suatu hari, dia keluar dari kamar hanya memakai handuk, dan menunjukkan kepada kami alat kelaminnya. Karena istrinya saat itu pulang, dia cepat-cepat masuk ke kamar mandi… Suatu malam dia datang ke kamar kami (kamar itu tidak dikunci karena kuncinya rusak) saat kami sedang tidur. Istrinya sedang tidur dengan anak mereka. Katanya dia sedang mencari sesuatu. Saya tidak memberi tahu istrinya karena takut istrinya tidak akan percaya… dan mereka akan bertengkar dan mungkin bercerai… Saya bercerita ke tetangga mengenai hal ini. Kata tetangga hal itu sering terjadi terhadap PRT di rumah ini. Kami tidak punya ponsel… Saya mengambil telepon dari anak di keluarga itu yang sudah lebih besar dan menelepon agen perekrutan. Saya minta mereka menjemput kami… Saya tidak mau bekerja untuk majikan ini lagi.”139 Bab-bab sebelumnya mendeskripsikan mengenai rintangan atas akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduktif (misalnya layanan keluarga berencana) yang secara khusus berkaitan dengan undang-undang, kebijakan dan praktek yang melanggar HAM perempuan, dan khususnya hak-hak seksual dan reproduktif. Akan tetapi, hak-hak seksual dan reproduktif juga terpengaruh oleh kegagalan melindungi HAM secara lebih luas lagi. Salah satu contohnya adalah perlakuan terhadap PRT. PRT Perempuan dan gadis di Indonesia biasanya meninggalkan sekolah saat masih muda dan dengan demikian memiliki akses terbatas terhadap sejumlah informasi mengenai seksualitas dan reproduksi. Amnesty International bertemu dengan banyak PRT remaja di bulan Maret 2010 yang berhenti sekolah waktu mereka masih berusia di bawah 15 tahun. Akses terhadap program pemerintah mengenai pendidikan seks menjadi lebih sulit bagi remaja yang meninggalkan sistem pendidikan, meskipun juga

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 43 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

ada batas atas informasi yang diberikan kepada remaja dalam sistem pendidikan (lihat Boks 3: Celahcelah dalam program informasi pemerintah untuk remaja yang belum menikah). Dalam kasus PRT remaja, akses mereka terhadap sumber informasi publik tentang masalah seksual dan reproduktif mungkin juga terbatas karena mereka hidup di rumah majikan, dan sering belum menikah. Mereka mungkin tidak bisa bergerak bebas ke luar rumah, atau tidak bisa dengan bebas mengakses sumber informasi publik di dalam rumah (misalnya televisi, radio). Tahun 2007 Amnesty International menyorot sampai sejauh mana PRT di Indonesia – sebagian besar adalah perempuan dan gadis – berada di posisi yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender dan pelanggaran atas hak-hak mereka, sebagian karena mereka tidak sepenuhnya diakui sebagai pekerja dan umumnya pekerjaan mereka dilakukan di belakang layar. Tidak adanya perlindungan hukum140 berdampak pada pelaksanaan hak-hak seksual dan reproduktif para PRT. Sebagai contoh, mereka berisiko kehilangan pekerjaan karena hamil, tanpa adanya kompensasi dalam bentuk apa pun. Mereka juga mungkin dipaksa untuk bekerja dalam situasi yang berbahaya untuk diri mereka sendiri dan bayi mereka yang belum lahir.

5.1 Dampak kegagalan melindungi hak-hak seksual dan reproduktif pekerja Sensus terakhir yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2001 menyebutkan jumlah PRT di Indonesia sebanyak 570.000. Tapi studi Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyimpulkan bahwa ada sekitar 2,6 juta PRT di Indonesia, terutama perempuan dan gadis.141 Kira-kira sepertiga dari PRT adalah gadis (berusia di bawah 18 tahun).142 Mayoritas besar PRT di Indonesia berasal dari Indonesia sendiri.143 Terlepas dari angka-angka ini – yang sangat berbeda-, hanya ada sedikit informasi mengenai PRT dan situasi mereka di Indonesia. Sensus Kependudukan dan Perumahan Indonesia yang dilakukan di seluruh bagian negeri tahun 2010 tidak menyertakan pertanyaan khusus untuk mencoba mendapatkan data mengenai PRT dalam tiap rumah tangga.144

BOKS 5: APAKAH ITU PEKERJA RUMAH TANGGA? Walaupun tidak ada definisi standar dari PRT, definisi di dalam legislasi di seluruh dunia tampaknya menyepakati bahwa pekerjaan di rumah tangga mensyaratkan adanya komponen-komponen berikut: tempat bekerja adalah rumah pribadi; pekerjaan yang dilakukan berhubungan dengan melayani rumah tangga; pekerjaan dilakukan mewakili majikan langsung, sang pemilik rumah tangga; PRT berada langsung di bawah otoritas pemilik rumah; pekerjaan harus dilakukan secara reguler dan dengan cara terus-menerus; dan majikan tidak mendapatkan penghasilan berupa uang dari aktivitas yang dilakukan PRT.145

KERANGKA KERJA HUKUM YANG DISKRIMINATIF PRT memiliki risiko mengalami berbagai pelanggaran HAM, termasuk jam kerja yang lama tanpa istirahat, dan dalam sejumlah kasus tanpa dibayar, sebagian karena PRT tidak mendapatkan tingkat perlindungan yang sama dengan pekerja lain menurut UU Tenaga Kerja (No. 13/2003).146 Kasus Lenny, gadis berusia 14 tahun, yang dipaksa bekerja 19 jam sehari selama beberapa bulan tanpa bayaran, menggambarkan kerentanan PRT dari eksploitasi dan pelanggaran di tempat kerja, yang bisa meningkat sampai pada kemungkinan adanya perdagangan manusia (trafficking) dan kerja paksa.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

44 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

KASUS LENNY Pada bulan Februari 2010, Lenny, seorang PRT berusia 14 tahun, diculik dan dianiaya oleh majikannya selama tiga bulan. Lenny, seorang gadis berusia 14 tahun dari Jawa setuju untuk menjadi PRT dengan gaji 300,000 rupiah per bulan, sebagian untuk menolong ibunya yang sakit. Namun, Lenny dilaporkan [ditipu] oleh agen perekrutan yang bukannya memberi pekerjaan sebagai PRT seperti yang disiratkannya, tapi malah membawanya pulang ke rumahnya dan “menjual” Lenny ke majikan baru dengan bayaran 100,000 rupiah. Menurut ornop-ornop setempat, Lenny diberi obat dalam perjalanannya ke Aceh, tempat asal majikan barunya – yang jaraknya beratus kilometer dari kediaman ibu Lenny yang sakit. Lenny menjalani tiga bulan bekerja dari pukul 4 pagi sampai 11 malam untuk majikan barunya. Meskipun mereka memberi tahu Lenny gajinya 200.000 rupiah per bulan, dia tak pernah dibayar. Lenny menderita berbagai bentuk pelanggar fisik dan psikologis di tangan majikannya. Sebagai contoh, mereka sering mengatainya “bodoh” atau “gadis dari gunung yang tak tahu apa-apa”. Lenny bercerita kepada ornop setempat bahwa majikan barunya sering memukulnya dengan sendok besar, batang besi, atau gunting. Mereka juga memukulkan kepala Lenny ke dinding. Pada bulan Februari 2010, Lenny berhasil melarikan diri dari majikannya.147   UU Tenaga Kerja nasional melindungi hak-hak fundamental pekerja, termasuk pengaturan jam kerja per minggu, masa istirahat yang jelas didefinisikan, pengaturan liburan dan cuti, dan pembayaran upah minimum. UU Tenaga Kerja menggarisbawahi tanggung jawab yang dimiliki “para pengusaha” atas kesehatan dan keselamatan karyawan. Ini termasuk memastikan bahwa karyawan mendapatkan waktu istirahat yang cukup (Pasal 79), dan lingkungan kerja yang sehat dan aman (Pasal 86 dan 87). UU Tenaga Kerja menyatakan karyawan tetap harus dibayar penuh jika karyawan sakit, ada pesta penting keluarga (pernikahan, khitanan, dll) dan kematian dalam keluarga (Pasal 93). Ketetapan-ketetapan khusus dalam UU Tenaga Kerja juga mengatur perlindungan kepada karyawan perempuan selama masa haid,148 saat kehamilan dan saat bekerja malam. UU Tenaga Kerja ini menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan yang hamil pada malam hari, jika menurut surat keterangan dokter, bisa berisiko membahayakan kesehatan atau keselamatan mereka dan keselamatan bayi dalam kandungan (Pasal 76.2). Seorang pengusaha juga dilarang memutuskan hubungan kerja jika seorang pekerja perempuan tidak bekerja karena hamil, melahirkan, mengalami keguguran atau menyusui bayinya (Pasal 153.1 (e)). UU juga menyatakan bahwa setiap pekerja harus menerima perlindungan sehubungan dengan keselamatan dan kesehatan pekerjaan dengan mencegah kecelakaan dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan, mengendalikan bahaya di tempat kerja, mempromosikan kesehatan, perawatan medis dan rehabilitasi (Lihat Pasal 86 dan komentar penjelasannya). Menurut UU Tenaga Kerja, para pekerja perempuan juga berhak mendapatkan istirahat, dimulai dengan satu setengah bulan sebelum melahirkan anak dan satu setengah bulan setelah melahirkan, yang total mencapai 12 minggu cuti melahirkan (pasal 82.1). Selain itu, seorang pekerja perempuan yang mengalami keguguran juga berhak mendapatkan masa istirahat satu setengah bulan atau masa istirahat seperti yang dinyatakan dalam keterangan medis yang dikeluarkan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82.2). Seorang pekerja perempuan yang berhak mendapat cuti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 82 harus menerima upah penuh (Pasal 84).

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 45 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Akan tetapi, perlindungan ini hanya diberikan kepada pegawai seorang “pengusaha” dalam “perusahaan” atau “usaha sosial atau usaha lain yang mempunyai pengurus” – sebuah definisi yang tak bisa dipenuhi oleh rumah tangga pribadi dan PRT. Hanya satu ayat dalam satu pasal yang menyebutkan perlindungan yang berlaku bagi pekerja lain – dengan mewajibkan para majikan dari para pekerja itu untuk memberikan perlindungan bagi kesejahteraan dan keselamatan mereka (Pasal 35.3). Ayat ini menyatakan bahwa dalam mempekerjakan seseorang, para pemberi kerja “wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan, baik mental maupun fisik tenaga kerja”. Pelanggaran atas ketentuan ini bisa dikenai hukuman “sanksi pidana pemenjaraan minimum satu bulan dan maksimum empat tahun dan/atau denda minimum 10 juta rupiah dan maksimum 400 juta rupiah.”149 Namun, ayat ini tidak menjelaskan tolok ukur yang dipakai untuk mengukur penyediaan perlindungan ini. Karena itu, pasal ini hanya memiliki dampak kecil dalam realitas sehari-hari para PRT, dan tentunya tidak memberikan kepada mereka landasan hukum untuk menuntut pembatasan waktu kerja atau upah minimum yang masuk akal misalnya.150

Perempuan PRT berdemonstrasi menuntut hak-hak mereka, termasuk untuk adanya perlindungan hukum, Februari 2010. © Rumpun Tjoek Nyak Dien

Tidak adanya perlindungan hukum untuk PRT merupakan pelanggaran hukum dan standar HAM internasional yang berhubungan dengan hak-hak pekerja. Khususnya, dengan tidak memasukkan PRT perempuan dan gadis dalam perlindungan hukum sehubungan dengan kebutuhan khusus gender mereka, negara juga melanggar kewajibannya sebagai negara pihak CEDAW151, CRC152, dan ICESCR153.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

46 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

PRT YANG HAMIL TIDAK DILINDUNGI DI TEMPAT KERJA

“Tidak ada majikan yang ingin PRT-nya hamil… jika PRT hamil artinya dia akan berhenti kerja” Ita, seorang PRT berusia 30 tahun yang tidak menikah, Maret 2010. 154

Tidak semua PRT yang diwawancarai Amnesty International pada bulan Maret 2010 merupakan PRT saat mereka hamil. Dari mereka yang hamil saat mereka bekerja, Amnesty International menemukan bahwa perlakuan terhadap mereka selama masa kehamilan dan kelahiran tergantung sepenuhnya pada kemauan baik majikan mereka, karena mereka tidak punya perlindungan hukum menurut UU Tenaga Kerja. PRT yang hamil mungkin dipaksa bekerja untuk waktu yang panjang tanpa adanya waktu yang cukup untuk istirahat, jika mereka ingin tetap bekerja.155 Sejumlah PRT yang diwawancarai Amnesty International dipaksa bekerja bahkan waktu mereka tidak sehat atau merasa bahwa pekerjaan yang mereka lakukan terlalu berat untuk kondisi mereka dan dapat memberi risiko bagi kesehatan dan kehamilan mereka. Penemuan ini sejalan dengan riset Amnesty International tahun 2007 yang menemukan bahwa sejumlah PRT mendapat waktu yang cukup untuk istirahat ketika mereka sakit, sementara yang lainnya harus terus bekerja saat mereka merasa tidak sehat.156 Secara keseluruhan Amnesty International menemukan bahwa PRT perempuan biasanya meninggalkan pekerjaan mereka jika hamil, alih-alih bekerja, terkadang dalam keadaan buruk. Menurut ICESCR dan standar lainnya,157 para ibu harus diberikan perlindungan khusus sebelum dan sesudah melahirkan anak. Selama masa itu, mereka harus diberikan cuti dengan dibayar atau cuti dengan tunjangan keamanan sosial yang memadai (Pasal 10). Lebih jauh lagi, Pasal 12 CEDAW menuntut negara pihak memastikan bahwa perempuan mendapatkan “pelayanan yang tepat dalam hubungannya dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah melahirkan, dengan memberikan pelayanan gratis jika perlu, serta juga gizi yang memadai selama kehamilan dan masa menyusui”. Banyak PRT mengatakan kepada Amnesty International bahwa seorang PRT yang hamil bisa kehilangan pekerjaan atau tidak akan dibayar lagi jika memutuskan mengambil cuti melahirkan. Sebagai contoh, Rini, seorang PRT berusia 45 tahun dari Jawa Barat mengatakan kepada Amnesty International bahwa dia bekerja sampai kehamilannya berusia delapan bulan. Namun, ketika dia berhenti bekerja, majikannya berhenti membayar upahnya (lihat kasusnya di bawah ini).

KASUS RINI Rini adalah PRT berusia 45 tahun dari Jawa Barat. Anak ketiganya meninggal tahun 2008 saat anaknya berusia dua minggu.158 Ketika terakhir hamil, Rini berusia 43 tahun. Dia bekerja sampai kehamilannya berusia delapan bulan. Waktu dia berhenti bekerja, majikannya berhenti membayar gajinya. Dia bercerita kepada Amnesty International: “Waktu saya hamil [tahun 2008]… saya bekerja seperti biasa… saya mencuci baju [dengan tangan] dari pukul 6 sampai 11 pagi… beberapa kali saya pergi ke Posyandu… [di sana] mereka memberi saya [obat] tapi saya tak tahu obat apa… saya melahirkan di rumah… ada kakak dan suami saya… tapi [bidan] nggak ada… Pak M [dukun tradisional] [datang] memandikan bayi… dia dibayar Rp 50.000… tidak ada yang periksa [medis] setelah lahir… tidak ada pemeriksaan… bayi lelaki saya meninggal dua minggu kemudian.”

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 47 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

5.2. RUU PEKERJA RUMAH TANGGA

“[Majikan harus] memperlakukan kami sebagai manusia, bukan seperti hewan” seorang PRT berusia 14 tahun, Maret 2010.159 Dalam sebuah perkembangan yang positif, naskah legislasi yang menyangkut perlindungan PRT sedang dibahas tahun ini di Komisi IX DRR yang membidangi urusan Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kependudukan. RUU ini memuat ketentuan yang melarang dipekerjakannya PRT anak di bawah usia 15 tahun (Pasal 7); dan mengatur adanya bayaran yang memadai (Pasal 9, 32), masa istirahat – satu hari istirahat per Minggu dan 12 hari cuti tahunan – (Pasal 34); hak untuk membentuk serikat buruh (Pasal 10); dan syarat untuk pemutusan hubungan kerja (Pasal 36). Pelanggaran atas sejumlah ketetapan tertentu dalam RUU ini bisa dikenai sanksi administratif dan pidana (Pasal 43-51).160 Meskipun Amnesty International menyambut baik pembahasan RUU ini di DPR, Amnesty International juga prihatin bahwa rancangan itu masih belum memenuhi hukum dan standar HAM internasional, khususnya yang berhubungan dengan perlindungan pekerja perempuan sebelum dan sesudah kehamilan. Rancangan undang-undang itu tidak mengandung satu ketetapan pun yang menyangkut kebutuhan khusus perempuan, meskipun mayoritas besar PRT di Indonesia adalah perempuan.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

48 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

6. UPAYA MEMENUHI SASARAN MDG DAN KONSISTENSI DENGAN HAK ASASI MANUSIA “Jika kita berhasil dalam mencapai MDG pada tahun 2015, yang sepenuhnya memang mungkin, ini akan menjadi prestasi tunggal paling penting dari generasi kita. Dan itu akan menjadi prestasi yang bermanfaat bukan hanya untuk tetangga kita, masyarakat kita, negara kita, tetapi untuk kemanusiaan” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 161

Indonesia secara konsisten telah menyampaikan komitmen kuatnya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG).162 Indonesia juga telah membentuk tujuan nasional yang ambisius guna memberantas kemiskinan seperti dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan diakui secara luas sebagai hal penting dalam menangani kemiskinan dan mencapai MDG. Namun, perempuan dan gadis masih terus menderita dari diskriminasi gender, kekerasan dan pelanggaran HAM lain di seluruh bagian benua dan di semua masyarakat. Seperti yang disoroti oleh analisis di bab-bab sebelumnya, perempuan dan gadis mengalami ketidaksetaraan dan diskriminasi yang menyebar dalam akses mereka terhadap hak-hak, peluang dan sumber daya. Kelompok-kelompok tertentu perempuan dan gadis seperti PRT menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, yang menghalangi akses mereka terhadap berbagai layanan, termasuk layanan kesehatan seksual dan reproduktif. Karenanya begitu mencolok bahwa keprihatinan ini tidak begitu ditampilkan dalam MDG secara keseluruhan dan bahwa target dan indikator yang sensitif gender juga sama terbatasnya dan tidak memadai. Undang-undang HAM internasional mensyaratkan semua negara menjamin adanya kesetaraan dan tidak adanya diskriminasi.163 MDG, sebaliknya, tidak memuat persyaratan eksplisit bagi negara untuk secara komprehensif mengidentifikasi dan menangani eksklusi serta diskriminasi. Sementara Deklarasi Milenium menegaskan ulang komitmen negara-negara untuk “melawan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan untuk mengimplementasikan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan”, kesetaraan gender serta hak-hak perempuan hanya direfleksikan sebagian dan dengan sangat buruk di MDG. MDG 3, untuk mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, telah dikurangi menjadi satu target tunggal saja – menghapus perbedaan gender dalam pendidikan – dan dua indikator pelengkap mengenai persentase perempuan yang terlibat dalam pekerjaan

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 49 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

yang dibayar dan keperwakilan politik. Ini sangat berbeda jauh dengan kewajiban negara-negara menurut CEDAW, yang mensyaratkan pemerintah untuk mengatasi diskriminasi terhadap perempuan serta menjamin persamaan di semua bidang.164 MDG tidak mengharuskan negara-negara untuk mengambil tindakan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi semacam itu dalam hukum, kebijakan dan praktek. Sebagai akibatnya, perempuan dan gadis masih terus menderita karena diskriminasi, kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya. Dalam laporan MDG 2010 Indonesia mengidentifikasi bahwa mempromosikan persamaan gender harus menjamin peran perempuan dalam pembangunan; perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk penganiayaan; dan pengarusutamaan kesetaraan gender dalam semua kebijakan serta program sambil membangun kesadaran masyarakat yang lebih besar mengenai isu gender.165 Dalam laporan Peta Jalan tahun 2010-nya, Indonesia mempertahankan fokus yang lebih sempit, mengidentifikasi tantangan untuk mencapai kesetaraan gender terutama di bidang pendidikan, pekerjaan dan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik.166 Namun, sebagaimana disorot dalam laporan ini, kebijakan serta program yang dirumuskan pemerintah Indonesia tidak mengidentifikasi dan tidak mengatasi secara memadai diskriminasi gender atau rintangan yang dihadapi perempuan dan gadis dalam mewujudkan HAM mereka, termasuk hak-hak kesehatan seksual dan reproduktif. Dengan hanya tersisa lima tahun lagi dalam kerangka waktu MDG, hanya sedikit kemajuan telah dicapai untuk menyikapi keprihatinan ini dalam kenyataan sehari-hari perempuan serta gadis di Indonesia.167 Undang-undang, peraturan atau mekanisme tertentu telah dipasang di tingkat daerah dan pusat untuk mengatasi diskriminasi gender dan kekerasan berbasis gender,168 dan sejumlah kebijakan telah ditujukan untuk menyebarkan kesadaran gender dalam pemerintahan serta di lingkungan pemberi layanan kesehatan.169 Namun, langkah-langkah tersebut dan dampaknya dijawab dengan tantangan oleh praktek serta sikap diskriminatif yang telah menyebar, yang telah mengakar dalam undang-undang, peraturan dan kebijakan, atau menjadi bagian sikap atau praktek tradisional yang bersikap diskriminatif terhadap perempuan dan gadis, khususnya dalam hubungan dengan hak-hak seksual dan reproduktif. Mengatasi diskriminasi, marginalisasi serta eksklusi harus menjadi pusat dari semua upaya untuk bisa memenuhi MDG. Analisis dalam bab-bab sebelumnya mengenai PRT serta rintangan terhadap hak-hak seksual dan reproduktif menggarisbawahi tantangan yang ada dengan pencapaian MDG. Kegagalan mengintegrasikan HAM perempuan secara penuh dalam upaya untuk memenuhi semua target MDG berarti bahwa ketidaksetaraan dan diskriminasi struktural yang dialami perempuan sering kali tidak ditangani dalam kebijakan dan program-program negara MDG, yang sangat mungkin merusak prestasi semua MDG, termasuk MDG 5 tentang perbaikan kesehatan ibu.170 Selama 20 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai strategi dan kebijakan kesehatan guna memperbaiki kesehatan reproduktif di dalam komunitas miskin dan termarginalisasi. Akan tetapi, mortalitas ibu masih tetap merupakan tantangan besar terhadap prestasi target MDG negara pada tahun 2015. Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengakui bahwa mereka tidak akan mampu mencapai target MDG-nya dalam mengurangi tiga perempat dari rasio mortalitas ibu antara 1990 dan 2015 kecuali jika upayanya diintensifkan.171 Guna mencapai target 102 kematian ibu per 100.000 lahir hidup (live births) pada tahun 2015, pemerintah Indonesia harus mengurangi separuh dari Rasio Kematian Ibu sekarang ini.172

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

50 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Dalam laporan MDG 2007, Indonesia mengakui bahwa penurunan angka mortalitas ibu sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak semuanya secara langsung berhubungan dengan sektor kesehatan. Kesehatan seorang individu bukan saja dipengaruhi oleh sektor perawatan kesehatan, tetapi juga oleh lingkungan fisik, kondisi sosialekonomi, dan juga lingkungan budaya serta politik. Karenanya, untuk melawan tantangan-tantangan ini, pendekatan yang sistematis serta terintegrasi dibutuhkan.173 Di Pertemuan Puncak MDG bulan September 2010 di New York, para pemimpin berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah guna mewujudkan hak semua orang atas pelaksanaan standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang bisa dicapai, termasuk dalam kesehatan seksual dan reproduktif. Para pemimpin dunia tersebut juga menekankan komitmen mereka untuk membangun pendekatan yang efektif, multisektor dan terintegrasi, bagi penyediaan akses universal terhadap kesehatan reproduktif Ibu dan anak di sebuah puskesmas, Indonesia bagian timur pada tahun 2015, termasuk mengintegrasikan keluarga berencana dan layanan kesehatan seksual dan perawatan © AI kesehatan dalam strategi serta program nasional.174 Riset Amnesty International mengkonfirmasi perlunya bagi pemerintah Indonesia untuk melanjutkan upaya melawan ketidaksetaraan dan diskriminasi gender, khususnya di bidang hubungan keluarga dan akses terhadap kesehatan seksual dan reproduktif, guna mencapai MDG 3. Bukan saja semua upaya ini menyumbang pada pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, upaya ini juga mungkin bisa membantu mencabut sejumlah rintangan dalam mencapai MDG 5 tentang perbaikan kesehatan ibu.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 51 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

7. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA 7.1 HAK ATAS KESETARAAN DAN TIDAK ADANYA DISKRIMINASI Hak akan kesetaraan di hadapan hukum dijamin dalam UUD (Pasal 27.1) dan UU HAM 1999 (Pasal 3.2). Hak akan non diskriminasi dijamin dalam UUD (Pasal 28.I (2)) dan UU HAM 1999 (Pasal 3.3). Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) melarang adanya diskriminasi dengan alasan jenis kelamin sehubungan dengan semua hak yang dijamin oleh traktat-traktat ini.175 Menurut ICCPR, ada juga hak yang berdiri sendiri atas kesetaraan dan non diskriminasi.176 Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) mensyaratkan negaranegara pihak untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bentuknya.177 Seperti dikatakan sebelumnya, Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan menyatakan bahwa “[t]indakan-tindakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dianggap tidak cocok jika sistem perawatan kesehatan tidak memiliki layanan untuk mencegah, mendeteksi dan mengobati penyakit yang khusus dialami perempuan.”178 CEDAW juga menjamin hak-hak perempuan, dengan dasar kesetaraan dengan pria, guna memutuskan secara bebas dan secara bertanggung jawab menentukan jumlah anak dan menentukan jarak usia di antara anak serta memiliki akses terhadap informasi, pendidikan dan cara-cara untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak ini.179 Perempuan di sebuah puskesmas, Jawa. © AI

Baik Komite ESCR serta Komite CEDAW telah menjelaskan bahwa pemenuhan hak-hak perempuan akan kesehatan menuntut adanya pencabutan semua rintangan yang menganggu“akses terhadap layanan, pendidikan dan informasi kesehatan, termasuk dalam bidang kesehatan seksual dan reproduktif.”180 Komite CEDAW menyatakan bahwa:

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

52 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

“Rintangan-rintangan termasuk persyaratan atau kondisi yang berprasangka pada akses perempuan seperti bayaran yang tinggi untuk mendapat layanan perawatan kesehatan, persyaratan untuk adanya persetujuan lebih dahulu dari suami, orang tua dan pihak otoritas rumah sakit, jarak dari fasilitas kesehatan dan tidak adanya transportasi umum yang mudah dan terjangkau harganya.”181 Komite CEDAW juga telah menegaskan bahwa “akses ke perawatan kesehatan, termasuk kesehatan reproduktif merupakan hak dasar menurut Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan”.182 Komite tersebut melanjutkan dengan mengatakan bahwa Pasal 12: “[M]enuntut negara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam akses mereka ke layanan perawatan kesehatan, sepanjang siklus hidup, khususnya di bidang keluarga berencana, kehamilan, persalinan dan selama masa setelah kelahiran183… Tindakan-tindakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dianggap tidak cocok jika sistem perawatan kesehatan tidak memiliki layanan untuk mencegah, mendeteksi dan mengobati penyakit yang khusus dialami perempuan.”184 Menurut Komite CEDAW, kelompok-kelompok perempuan tertentu, selain menderita karena diskriminasi yang ditujukan kepada mereka sebagai perempuan, juga menderita dari berbagai bentuk diskriminasi lain yang berdasarkan pada “ras, suku atau identitas agama, kecacatan tubuh, usia, kelas, kasta atau faktor lainnya.”185 Diskriminasi kumulatif semacam ini merusak akses perempuan terhadap perawatan kesehatan seksual dan reproduktif. Menurut Pelapor Khusus PBB mengenai hak bagi semua orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai, perempuan yang termarginalisasi, seperti perempuan yang hidup dalam kemiskinan dan suku minoritas atau perempuan masyarakat adat, “… lebih rentan terhadap mortalitas ibu.”186 Prinsip-prinsip kesetaraan dan non diskriminasi, demikian penjelasan Pelapor PBB tersebut, meningkatkan kebutuhan untuk “mempromosikan distribusi perawatan kesehatan yang lebih adil, termasuk penyediaan perawatan di daerah pedesaan atau miskin, atau di daerah yang banyak memiliki penduduk masyarakat adat atau suku minoritas.”187 Negara-negara harus memberikan perhatian khusus pada penurunan tingkat mortalitas ibu “di komunitas, wilayah dan kelompok yang rentan.”188 Ide pendekatan “interseksionalitas” berusaha menangkap konsekuensi struktural dan dinamis dari interaksi antara dua atau lebih bentuk diskriminasi atau sistem subordinasi. Pendekatan ini khususnya membahas mengenai cara rasisme, patriarki, ketidakberuntungan ekonomis dan sistem diskriminasi lainnya, yang diperkuat oleh kebijakan pemerintah, berkolusi untuk tidak memberdayakan perempuan yang hidup di interseksi berbagai identitas yang termarginalisasi.189 Untuk memastikan bahwa semua kelompok perempuan secara penuh dan substansial menikmati HAM mereka, tindakan-tindakan khusus diperlukan untuk menangani hal-hal yang membuat perempuan terpengaruh secara berbeda-beda dalam pelaksanaan hak mereka sebagai akibat diskriminasi interseksional.

7.2 HAK ATAS STANDAR KESEHATAN TERTINGGI YANG BISA DICAPAI Hak atas kesehatan diberikan dalam UUD Indonesia (Pasal 28.H), UU HAM 1999 (Pasal 9; 49.2; 62), dan UU Kesehatan (Pasal 4-8).190 UU HAM mengatur bahwa seorang perempuan memiliki perlindungan khusus dalam konteks ancaman terhadap fungsi-fungsi kesehatan reproduktifnya (Pasal 49.2 dan 49.3).

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 53 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

ICESCR menuntut negara-negara pihak seperti Indonesia untuk mengambil langkah-langkah guna membantu “pengurangan angka lahir mati dan mortalitas bayi serta untuk pembangunan anak yang sehat”. Komite ESCR, badan yang bertanggung jawab memonitor traktat ini, telah menyatakan bahwa kewajiban traktat ini harus: “[M]emahami langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kesehatan anak dan ibu, layanan kesehatan seksual dan reproduktif, termasuk akses terhadap keluarga berencana, perawatan sebelum dan sesudah melahirkan, layanan darurat dokter kandungan dan akses terhadap informasi, dan begitu juga sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk bertindak atas informasi tersebut".191 Lebih jauh lagi, CEDAW menuntut negara pihak untuk “memastikan bahwa perempuan mendapatkan pelayanan yang tepat dalam hubungannya dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah melahirkan, dengan memberikan pelayanan gratis jika perlu, serta juga gizi yang memadai selama kehamilan dan masa menyusui.” (Pasal 12.2)

Ibu dan anak menunggu di sebuah puskesmas, Indonesia bagian timur © AI

Sementara hak atas kesehatan harus tunduk kepada pemenuhan secara progresif dan ketersediaan sumber daya, menurut Komite ESCR ada sejumlah kewajiban yang tidak harus tunduk baik kepada batasan sumber daya atau realisasi progresif, tapi bisa langsung dilaksanakan. Kewajiban-kewajiban yang bisa langsung dilaksanakan ini termasuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan yang berbasis pada sistem non diskriminasi; penyediaan perawatan kesehatan primer air bersih yang aman dan sanitasi yang layak; serta penyebaran secara adil semua fasilitas, alat dan layanan kesehatan. Komite ESCR menuntut negara-negara pihak untuk menjamin bahwa layanan, alat dan fasilitas kesehatan yang berkaitan dengan pencegahan mortalitas ibu harus tersedia, bisa diakses, bisa diterima dan berkualitas baik.192

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

54 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Menurut sejumlah traktat internasional yang sudah diratifikasi Indonesia, perempuan berhak atas rentangan layanan kesehatan yang memainkan peran penting dalam memperbaiki kesehatan ibu, termasuk: 

Layanan perawatan kesehatan primer sepanjang hidup seorang perempuan;193



Pendidikan dan informasi tentang kesehatan seksual dan reproduktif;194



Layanan perawatan kesehatan seksual dan reproduktif, seperti pelayanan keluarga berencana;195



Layanan kesehatan sebelum melahirkan;196



Personel medis yang terampil untuk membantu saat kelahiran;197



Perawatan kandungan darurat;198 dan



Layanan kesehatan setelah melahirkan.199

7.3 PELARANGAN PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN BURUK LAINNYA Pasal 28G (2) UUD Indonesia mengatur bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. UU HAM juga mengatur agar semua orang terbebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat (perlakuan buruk lain) (Pasal 33.1); namun undang-undang nasional masih jauh dari melindungi orang-orang di Indonesia dari penyiksaan serta perlakuan buruk lainnya.200 Hukum dan standar HAM internasional melarang penyiksaan dalam keadaan apa pun bahkan sekalipun “dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa”. 201Hak untuk terbebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan diatur dalam ICCPR, dan Indonesia juga merupakan negara pihak dari Konvensi tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam yang Lain, Tidak Manusiawi dan Merendahkan. Komite HAM PBB, yang mengawasi implementasi ICCPR, telah menyatakan bahwa memaksa seorang korban pemerkosaan untuk memelihara kehamilannya sampai penuh waktu atau untuk mencari aborsi yang tidak aman jelas merupakan pelanggaran atas pelarangan penyiksaan yang dimuat dalam Pasal 7 Kovenan itu. Menurut Komite tersebut, menolak memberikan akses kepada seorang wanita untuk mendapatkan perawatan kandungan yang bisa menyelamatkan nyawa, termasuk perawatan sesudah aborsi, merupakan pelanggaran atas hak mereka untuk hidup dan merupakan sebuah bentuk perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.202

7.4 HAK UNTUK HIDUP Hak untuk hidup dinyatakan dalam UUD Indonesia (Pasal 28A) dan UU HAM (Pasal 4, 9, 53). ICCPR, yang telah diratifikasi Indonesia, menjamin bahwa “[s]emua manusia memiliki hak inheren untuk hidup”.203 Komite HAM PBB menegaskan bahwa “hak inheren untuk hidup” tidak bisa dipahami dengan

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 55 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

cara terbatas dan menuntut negara-negara untuk mengambil langkah positif guna menjamin perlindungan atas hak ini.204 Komite itu juga sudah menggarisbawahi kewajiban negara pihak untuk mengambil semua langkah yang dimungkinkan untuk meningkatkan harapan hidup.205 Dalam observasi dan rekomendasi penutupnya, sambil memonitor pengimplementasian ICCPR oleh negara-negara dalam hubungannya dengan hak untuk hidup, Komite HAM secara konsisten telah mengemukakan kekhawatirannya tentang tingginya tingkat mortalitas ibu.206 Komite itu merekomendasikan: “Untuk menjamin hak untuk hidup, negara pihak harus memperkuat upayanya dalam hal itu, khususnya dalam memastikan bisa diaksesnya layanan kesehatan, termasuk perawatan kandungan darurat. Negara pihak harus memastikan bahwa para pekerja kesehatannya mendapatkan pelatihan yang memadai. Negara pihak harus membantu perempuan menghindari kehamilan yang tak diinginkan, termasuk dengan memperkuat program keluarga berencananya dan pendidikan seks, serta memastikan bahwa mereka tidak dipaksa melakukan aborsi gelap, yang membahayakan nyawa mereka.”207

7.5 AKUNTABILITAS DAN PEMULIHAN HUKUM Komite ESCR telah menyatakan bahwa siapa pun yang menjadi korban pelanggaran hak atas kesehatan harus memiliki akses ke peradilan yang efektif atau upaya pemulihan hukum lainnya yang tepat baik di tingkat nasional maupun internasional: “Semua korban pelanggaran semacam itu harus berhak mendapatkan hak reparasi yang memadai, yang mungkin berbentuk restitusi, kompensasi, kepuasan atau jaminan tidak akan ada pengulangan.” Komisi itu juga menyatakan bahwa: “Ombudsman nasional, komisi HAM, forum konsumen, asosiasi hak-hak pasien atau institusi yang serupa harus menangani pelanggaran atas hak untuk kesehatan.”208 Walaupun hak atas kesehatan dijamin dalam undang-undang Indonesia, jumlah kasus yang menggunakan pengadilan sebagai wahana untuk menegakkan kewajiban negara untuk menjamin hak atas kesehatan sangatlah kecil.209 Dalam prakteknya, pasien yang mengajukan pengaduan, atau seorang pekerja kesehatan yang dituduh, mungkin tidak bisa mendapatkan perlindungan dari sistem peradilan pidana Indonesia atas hak-hak mereka sebagai korban, saksi dan tertuduh karena kelemahan struktural endemis, termasuk menyebarluasnya korupsi.210 UU No 29/2004 mengenai Praktik Kedokteran mengatur tentang pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, MKDKI.211 Tanggung jawab dokter dan hak-hak pasien dijabarkan dalam undang-undang.212 Siapa pun yang merasa bahwa kepentingan mereka dirugikan secara langsung oleh pengobatan yang dilakukan seorang dokter bisa melaporkannya. MKDKI dapat memeriksa sebuah kasus dan memutuskan apakah seorang pekerja kesehatan memang telah melakukan pelanggaran disipliner atau etis dan memberlakukan sanksi.213 Namun penggunaan mekanisme ini masih sangat terbatas.214 Ikatan Dokter Indonesia telah mengembangkan Kode Etika Kedokteran Indonesia atau KODEKI yang menggarisbawahi tanggung jawab dokter terhadap pasien, rekan sejawat dan kepada diri mereka sendiri.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

56 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

IDI juga memiliki Majelis Kehormatan Etika Kesehatan atau MKEK yang memonitor kepatuhan terhadap kode-kode etik. Majelis ini mengurusi pengaduan dari masyarakat tentang pelanggaran kode etik dan juga diberi kekuasaan memberlakukan sanksi.215 Selain itu ada badan-badan lain di Indonesia, tempat para individu bisa mengajukan pengaduan jika mereka tidak puas dengan pengobatan yang mereka dapatkan dan yakin bahwa HAM mereka, dan khususnya hak atas kesehatan, telah dilanggar. Badan-badan itu termasuk Komisi HAM Nasional;216 Komisi Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan;217 dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).218 Akan tetapi, komisi-komisi tersebut tidak memiliki kekuasaan menyerahkan penemuan mereka ke Kejaksaan Agung, kecuali untuk Komnas HAM dalam sejumlah kasus tertentu yang terbatas.219 Mereka hanya bisa melakukan penyelidikan, mempublikasikan penemuan mereka serta membuat rekomendasi bagi badan-badan yang terkait. Ombudsman Republik Indonesia bisa juga menerima pengaduan tentang “Kelalaian administrasi dalam penyelenggaraan layanan masyarakat”, melakukan penyidikan dan membuat rekomendasi untuk Presiden, parlemen, pejabat pemerintah, kepala-kepala daerah serta badanbadan layanan masyarakat.220

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 57 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

8. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI “Kemajuan kesehatan perempuan merupakan tantangan bagi sejarah manusia. Karena itu, ada keperluan mendesak untuk bisa menyikapinya dengan sangat serius” Pidato yang disampaikan mewakili Menteri Kesehatan Indonesia, Endang Rahayu Sedyaningsih, Mei 2010.221

Kelompok-kelompok tertentu, seperti perempuan dan gadis yang tidak menikah, korban pelanggaran seksual, dan PRT, menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, yang merusak kemampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak seksual dan reproduktif, dan akhirnya menjadi rintangan bagi akses mereka terhadap layanan serta informasi kesehatan reproduktif. Rintangan semacam itu membuat perempuan dan gadis, khususnya jika mereka dari komunitas yang miskin dan termarginalisasi, menghadapi risiko kesehatan yang buruk dan bahkan kematian. Pihak berwenang di Indonesia harus meneruskan usaha mereka untuk memberantas ketidaksetaraan dan diskriminasi gender, khususnya dalam bidang hubungan keluarga dan akses terhadap kesehatan seksual dan reproduktif. Bukan saja usaha-usaha ini bisa menyumbang pada pencapaian MDG 3 mengenai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, tetapi juga akan membantu mencabut sejumlah rintangan yang mungkin mengkompromikan kemampuan Indonesia dalam mencapai MDG 5 tentang perbaikan kesehatan ibu. Dalam bab ini, Amnesty International memberikan serangkaian rekomendasi utama untuk pihak otoritas Indonesia. Rekomendasi-rekomendasi itu khususnya ditujukan kepada Presiden Indonesia, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan para Menteri atau Kepala Badan-Badan yang relevan, termasuk Menteri Kesehatan, Ketua Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Kepala Biro Pusat Statistik. Kementerian-kementerian itu memiliki tanggung jawab khusus di bidang-bidang kesetaraan gender, masalah ketenagakerjaan, keluarga berencana, hukum, kesehatan ibu dan pendidikan. Rekomendasi tertentu yang berkaitan dengan reformasi perundang-undangan juga diarahkan kepada badan legislatif nasional, DPR dan khususnya Komisi III yang membidangi masalah HAM, hukum dan reformasi keamanan, Komisi VIII yang membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan; dan Komisi IX yang membidangi urusan Ketenagakerjaan, Kependudukan dan Kesehatan.

8.1 BASMI DISKRIMINASI GENDER DALAM SEGALA BENTUKNYA Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban mengambil semua langkah yang tepat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya. Ini termasuk pencabutan semua undangundang, peraturan dan kebijakan yang menjadikan adanya diskriminasi terhadap perempuan seperti

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

58 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

dijabarkan dalam CEDAW. Indonesia adalah negara pihak Konvensi ini. Hal ini juga termasuk penghapusan praktek-praktek yang berbahaya bagi perempuan, atau yang berdasarkan pada peran stereotip untuk perempuan, serta memastikan bahwa perempuan dan gadis dapat melaksanakan hak-hak seksual dan reproduktif mereka di Indonesia dengan terbebas dari diskriminasi, paksaan dan ancaman kriminalisasi. Hal ini menuntut pihak berwenang Indonesia, khususnya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Kesehatan untuk bekerja sama dengan DPR, dan khususnya Komisi III, VIII dan IX:  Melakukan peninjauan atas semua undang-undang, peraturan dan kebijakan yang mendiskriminasi perempuan dan gadis untuk menyelaraskan mereka dengan hukum dan standar HAM internasional, dan khususnya CEDAW. Perhatian khusus harus diberikan kepada peraturan daerah yang telah disahkan dalam dasawarsa terakhir ini sebagai bagian desentralisasi, dan yang mendiskriminasi perempuan dalam hukum atau melalui pengimplementasiannya; dan  Menyelenggarakan kampanye pembangkit kesadaran untuk menjelaskan bahwa hak-hak seksual dan reproduktif adalah hak asasi manusia dan hak-hak itu harus diberikan dengan terbebas dari diskriminasi, paksaan serta ancaman kriminalisasi.

Hal ini mensyaratkan bahwa DPR, khususnya Komisi III dan VIII:  Meninjau dan mengamendemen UU Perkawinan untuk menyelaraskannya dengan hukum dan standar HAM internasional. Khususnya ketentuan hukum yang mendiskriminasi perempuan (misalnya dalam hal usia boleh menikah, dan poligami) dan ketentuan yang menstereotipkan peran lelaki dan perempuan yang harus dicabut;  Meninjau dan mengamendemen KUHP untuk menyelaraskannya dengan hukum dan standar HAM internasional. Khususnya ketetapan hukum yang memidanakan hubungan seks konsensual di luar pernikahan dan penyebaran informasi mengenai kesehatan serta hak-hak seksual dan reproduktif harus dicabut. Selain itu, KUHP harus secara eksplisit memidana pemerkosaan dalam konteks perkawinan; dan  Mengundang-undangkan legislasi khusus dengan hukuman yang tepat untuk melarang mutilasi kelamin perempuan.

8.2 CABUT RINTANGAN ATAS INFORMASI DAN LAYANAN KESEHATAN REPRODUKTIF Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk mengambil semua langkah yang tepat guna menjamin hak atas kesehatan sesuai dengan hukum dan standar HAM internasional. Hal ini menuntut otoritas Indonesia untuk menjamin bahwa perempuan dan gadis bisa secara penuh mengakses pendidikan – termasuk pendidikan seksualitas – dan informasi mengenai seksualitas dan reproduksi yang dicocokkan dengan usia. Hal ini juga menuntut otoritas di Indonesia untuk menjamin bahwa perempuan dan gadis bisa secara bebas mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduktif, bebas dari diskriminasi, paksaan dan ancaman kriminalisasi.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 59 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Hal ini menuntut bahwa otoritas di Indonesia, dan khususnya Menteri Kesehatan, Kepala BKKBN, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Pendidikan:  Secara terbuka mendukung pekerjaan para pegiat HAM, yang mempromosikan dan menyediakan layanan (misalnya kontrasepsi) serta informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduktif . Memastikan bahwa semua orang yang mengintimidasi mereka melalui kekerasan atau jalan lain yang tidak sah dibawa ke pengadilan dan bahwa para korban mendapatkan reparasi;  Melakukan kampanye bertarget untuk menyorot dampak kebijakan, undang-undang dan praktek, di tingkat pusat dan daerah, yang menstereotipkan peran perempuan dan gadis pada kesehatan perempuan dan gadis. Kampanye-kampanye ini harus dilakukan khususnya di daerah pedesaan dan di kalangan yang paling kurang terdidik. Kampanye-kampanye itu harus menyoroti tautan antara praktek yang diskriminatif dan kesehatan reproduktif;  Memastikan program pendidikan kesehatan reproduktif yang komprehensif disertakan dalam kurikulum sekolah nasional, dan bahwa pelajar yang hamil tidak dikeluarkan dari sekolah. Materi-materi harus dikembangkan sedemikian rupa, sehingga remaja, tanpa memandang tingkat pendidikan atau status perkawinan mereka, bisa secara penuh mengakses informasi mengenai pencegahan kehamilan dini yang tak diinginkan dan penyakit yang menular secara seksual, termasuk HIV/AIDS. Materi-materi harus dikembangkan dengan cara yang tidak diskriminatif serta tidak mengukuhkan penstereotipan peran lelaki dan perempuan;  Mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwa pejabat pemerintah, pekerja kesehatan dan penyelenggara layanan lainnya memberikan kepada perempuan dan gadis, tanpa memandang status perkawinan mereka, informasi dan layanan yang cocok dengan usia mengenai program kesehatan reproduktif. Mekanisme pemonitoran harus dipasang untuk memastikan bahwa program kesehatan reproduktif diimplementasikan dengan bebas tanpa diskriminasi;  Memastikan bahwa program-program tentang kontrasepsi darurat (termasuk pil pasca senggama) diimplementasikan di seluruh bagian Indonesia, dan dipromosikan oleh para pekerja kesehatan, sebagai cara memberantas kehamilan yang tak diinginkan; dan  Menjamin bahwa kelompok yang rentan seperti korban pelanggaran seksual bisa mengakses layanan dan informasi perawatan kesehatan reproduktif tanpa penundaan dan dengan privasi. Kelompok itu harus bisa menerima konseling jika diperlukan, dan mengakses informasi yang menyeluruh mengenai layanan kesehatan reproduktif yang merupakan hak mereka, termasuk kontrasepsi darurat dan layanan aborsi.

Hal ini mensyaratkan bahwa DPR, khususnya Komisi VIII dan IX:  Meninjau dan mengamendemen UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga untuk menyelaraskannya dengan hukum dan standar HAM internasional. Khususnya ketetapan yang mendiskriminasi dengan alasan status pernikahan (misalnya akses terhadap layanan keluarga berencana) harus diamendemen; dan

Meninjau dan mengamendemen UU Kesehatan untuk menyelaraskannya dengan hukum dan standar HAM internasional. Khususnya ketetapan yang mendiskriminasi dengan alasan status pernikahan (misalnya akses terhadap layanan kesehatan reproduktif) dan persyaratan sah untuk adanya persetujuan suami harus diamendemen.



Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

60 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

8.3 DEKRIMINALISASI ABORSI GUNA MENJAMIN AKSES TERHADAP LAYANAN YANG AMAN Sebuah unsur penting dalam melindungi hak-hak perempuan dan gadis adalah memastikan mereka bisa mengakses layanan aborsi yang menjadi hak mereka secara sah. Mengingat bahwa aborsi tidak aman merupakan penyebab besar kematian ibu di Indonesia, mendekriminalisasi aborsi akan menjadi langkah positif menuju pemberantasan mortalitas ibu. Hal ini mensyaratkan bahwa otoritas Indonesia, khususnya Menteri Kesehatan, Menteri Hukum dan HAM, serta Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana:  Memastikan bahwa perempuan dan gadis memiliki akses terhadap informasi mengenai layanan aborsi yang legal. Para pekerja kesehatan harus menyediakan informasi yang sesuai dengan usia mengenai layanan aborsi aman dan legal tanpa memandang keyakinan atau agama mereka pribadi. Mekanisme pemonitoran harus dipasang untuk memastikan para pekerja kesehatan menyediakan layanan ini dalam prakteknya;  Meminimalkan persyaratan, dan mengembangkan serta menggunakan protokol yang jelas guna memfasilitasi perujukan secara cepat dan akses terhadap perawatan yang tepat untuk para korban kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual. Pejabat kepolisian, pejabat pengadilan dan penyedia perawatan kesehatan harus dilatih untuk memahami perlunya tindakan dengan cepat dan berbelas kasih, selain juga perlunya mengkoordinasi layanan mereka. Mereka harus disadarkan mengenai rentangan penuh perawatan kesehatan seksual dan reproduktif yang komprehensif yang tersedia bagi para korban, termasuk layanan aborsi yang legal;

Memastikan para pekerja kesehatan dilatih mengenai aborsi aman serta perawatan pasca-aborsi. Mengundang-undangkan protokol yang relevan, menyadari situasi apa yang mewajibkan mereka untuk menawarkan akses aborsi kepada seorang perempuan sebagai satu pilihan dalam rentangan menyeluruh layanan kesehatan reproduktif yang disesuaikan khusus untuk perempuan hamil dan/atau korban perkosaan; dan



 Memastikan bahwa perempuan mana pun yang mengalami komplikasi yang berkaitan dengan prosedur aborsi menerima perawatan darurat tepat waktu.

Amnesty International juga merekomendasikan bahwa DPR, khususnya Komisi IX: 

Mencabut ketetapan hukum yang mengkriminalkan aborsi baik dalam KUHP maupun UU Kesehatan;

 Mencabut ketetapan hukum yang mengkriminalkan penyebaran informasi mengenai pencegahan kehamilan dalam KUHP; dan 

Merevisi UU Kesehatan, dan khususnya:

1. Mencabut ketetapan hukum yang menyangkut persetujuan suami; 2. Meninjau batas waktu sehubungan dengan akses ke layanan aborsi yang sah untuk korban perkosaan; dan 3. Merevisi ketetapan hukum dalam UU Kesehatan guna memastikan bahwa perempuan yang menderita

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 61 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

komplikasi akibat aborsi memiliki hak eksplisit untuk menerima perawatan pasca-aborsi tanpa memandang apakah aborsinya dilakukan dengan legal atau tidak.

8.4 MEMASTIKAN AKUNTABILITAS NEGARA UNTUK MELINDUNGI HAK-HAK KESEHATAN REPRODUKTIF Sebuah unsur penting dalam memperbaiki hak-hak seksual dan reproduktif adalah untuk memastikan bahwa negara bertanggung gugat dalam penyampaian informasi serta layanan mengenai kesehatan reproduktif. Khususnya, harus ada sistem yang dipakai untuk mengizinkan adanya pengaduan dari individu, dan jika diperlukan, para individu harus bisa mengajukan mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak atas kesehatan mereka ke pengadilan, dan menerima reparasi. Selain itu, harus pula ada mekanisme pemonitoran guna memastikan para pekerja kesehatan untuk memberikan perawatan kesehatan seksual dan reproduktif sejalan dengan hukum dan standar HAM internasional, termasuk sehubungan dengan non diskriminasi dan kesetaraan gender. Hal ini mensyaratkan otoritas Indonesia, dan khususnya Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Kesehatan: Memastikan adanya pemulihan hukum yang efektif kepada semua korban, termasuk akses ke peradilan dan hak atas reparasi, termasuk restitusi, rehabilitasi, kompensasi, kepuasan dan jaminan tidak akan ada pengulangan; dan



 Mendorong Komnas HAM dan badan pemonitoran lainnya untuk menangani pelanggaran atas hak kesehatan reproduktif sebagai bagian pekerjaan mereka dan memastikan bahwa sistem untuk memasukkan informasi mengenai pelanggaran bisa diakses dan dipublikasikan dengan baik.

8.5 BERIKAN KEPADA PRT JAMINAN ADANYA PERLINDUNGAN PENUH SEBAGAI PEKERJA Sebagai sebuah kelompok yang khususnya berisiko mengalami kekerasan serta eksploitasi rumah tangga, PRT memerlukan perlindungan dan dukungan tingkat tinggi dari negara serta institusi lain yang terkait. Namun, pekerjaan mereka jarang diatur oleh kontrak, dan mereka tidak disertakan dalam perlindungan hukum hak-hak dasar pekerja. Pemerintah harus memastikan bahwa PRT perempuan dan gadis bisa secara penuh melaksanakan hak-hak seksual dan reproduktif mereka, tanpa paksaan, diskriminasi dan ancaman kriminalisasi. Hal ini mensyaratkan bahwa DPR, khususnya Komisi IX:  Meloloskan legislasi khusus yang mengatur hak-hak perburuhan para PRT sesuai dengan hukum dan standar internasional, termasuk ICESCR dan Konvensi-konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional)222 yang relevan, dan khususnya:

1. Ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam legislasi itu tidak boleh kurang baik jika dibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam UU Tenaga Kerja;223 2. UU PRT yang baru harus dengan eksplisit melarang dipekerjakannya anak-anak di bawah usia 15 tahun sebagai PRT, dan anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh dilibatkan dalam bentuk terburuk perburuhan anak, sebagaimana diatur dalam CRC dan Konvensi ILO No. 138 dan 182, yang telah diratifikasi Indonesia;224 dan

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

62 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

3. UU itu harus secara eksplisit menyertakan ketetapan hukum yang berkaitan dengan kebutuhan khusus perempuan, khususnya selama dan setelah kehamilan.  Meratifikasi Konvensi Perlindungan Maternitas ILO (No. 183) yang mengatur ketetapan mengenai cuti melahirkan, perlindungan pekerjaan, dan non diskriminasi.

Selain itu, hal ini mensyaratkan bahwa otoritas Indonesia, khususnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Biro Pusat Statistik, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Nasional, serta otoritas daerah yang relevan: Dengan segera melakukan survei terperinci untuk mengetahui jumlah PRT di setiap provinsi Indonesia. Survei ini harus mengumpulkan data tentang jenis kelamin, usia, asal mereka, latar belakang sosial-ekonomi dan kondisi hidup serta pekerjaan;



 Memastikan bahwa PRT diakui dan diperlakukan dengan sah sebagai pekerja dan menikmati semua hak yang diberikan dalam hukum dan standar internasional;  Mempublikasikan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan layanan yang relevan, seperti adanya bagian khusus gender di kantor polisi dan Pusat-pusat untuk Layanan Terintegrasi untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak, di kalangan PRT, majikan mereka dan agen perekrutan, termasuk di media massa;

Menyelenggarakan pelatihan untuk memastikan para praktisi hukum, termasuk hakim dan jaksa penuntut dan polisi secara penuh diberi tahu mengenai isi dan penerapan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga;



 Memastikan tanggapan medis atas kekerasan terhadap perempuan diintegrasikan ke semua bidang perawatan (misalnya layanan darurat, layanan kesehatan reproduktif, layanan kesehatan mental, dan layanan yang berkaitan dengan HIV/AIDS);  Mengambil langkah-langkah guna memastikan PRT bisa mendapatkan kebebasan bergerak dan berkomunikasi;  Mengambil langkah-langkah guna memastikan pendidikan gratis dan wajib untuk semua orang sampai usia 15 tahun; dan

Merancang program pendidikan mengenai hak-hak seksual dan reproduktif untuk memberikan PRT akses terhadap informasi tentang keluarga berencana dan kontrasepsi, perkawinan dan kehamilan usia dini, serta pencegahan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.



Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 63 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

CATATAN AKHIR 1 Sebelumnya dikenal dengan nama Badan “Koordinasi” Keluarga Berencana Nasional. Nama ini telah berubah sejak diberlakukannya UU Perkembangan Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga (No. 52/2009). 2 Diskusi kelompok fokus Amnesty International, Jakarta, 12 Maret 2010. Bukan nama sebenarnya. Semua nama semua yang diwawancarai telah diganti demi alasan

keselamatan. 3 Pemerintah Indonesia memperkirakan ada 70 juta orang di Indonesia yang miskin atau berada di ambang kemiskinan di Indonesia. Angka ini diperoleh dari perkiraan yang diberikan dalam Kementerian Kesehatan, Pedoman Pelaksanaan: Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) 2008, 2008. Jakarta, h84. Definisi kemiskinan yang lebih tinggi (mereka yang berpenghasilan kurang dari 2 dolar Amerika per hari) membuat jumlah total orang miskin di Indonesia berada di sekitar 100 juta orang. Dalam Claudia Rokx, George Schieber, Pandu Harimurti, Ajay Tandon, dan Aparnaa Somanathan, Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map, Bank Dunia, 2009, h46. 4 Untuk tujuan laporan ini, seorang pekerja kesehatan merujuk kepada semua pekerja yang dibayar yang dipekerjakan dalam organisasi atau lembaga yang tujuan utamanya

meningkatkan kesehatan (misalnya dokter, bidan, dll.). 5 Diskusi kelompok fokus Amnesty International, Banten, 13 Maret 2010. 6 Diperkirakan bahwa secara global aborsi yang tidak aman menyebabkan 13 persen kematian ibu. Situs web:

http://www.who.int/making_pregnancy_safer/topics/maternal_mortality/en/index.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010. 7 Studi ini dilakukan di enam wilayah Indonesia: Studi ini juga memilih 10 kota besar. Pemetaan sosial yang komprehensif mengenai titik-titik penyampaian layanan aborsi digunakan dalam studi ini untuk secara langsung memperkirakan jumlah rata-rata kasus aborsi per bulan. Dalam B Utomo, V Hakim, Attas Hendartini Habsjah et al, Incidence and Socio-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia: A Community Based Survey in 10 Major Cities and 6 Districts, Pusat Riset Kesehatan, Universitas Indonesia, 2001, Jakarta h8, (B Utomo et al, Incidence and Socio-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia). 8 Angka resmi pemerintah bervariasi. Angka baru-baru ini mengindikasikan bahwa aborsi menyumbang pada lima persen kematian ibu di Indonesia, lihatlah BAPPENAS, A roadmap to accelerate achievement of the MDGs in Indonesia, 2010, h123, (Laporan Peta Jalan MDG 2010). Situs web: http://www.bappenas.go.id/node/118/2767/aroadmap-to-accelerate-achievement-of-the-mdgs-in-indonesia/, diakses 7 Oktober 2010. Akan tetapi angka sebelumnya mengindikasikan bahwa aborsi menyumbang pada 11 persen kematian ibu di negara itu, lihatlah BAPPENAS, Report on the Achievement of Millennium Development Goals Indonesia 2007, 2007, (Laporan MDG 2007 ), h52. Situs web: http://www.undp.or.id/pubs/docs/MDG%20Report%202007.pdf, diakses pada tanggal 8 Oktober 2010. Menurut National Strategic Plan on Making Pregnancy Safer dari Menteri Kesehatan , yang dipublikasikan pada 2001, diperkirakan angka aborsi adalah lapan belas peratus, h9. 9 Pasal 1. 10 Pasal 2, CEDAW. Juga lihat situs web: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/cedaw.htm, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010. 11 Amnesty International, Exploitation and Abuse: the plight of women domestic workers, (AI Indeks: ASA 21/001/2007), Februari 2007. 12 Amnesty International, Briefing to the UN Committee on the Elimination of Discrimination against Women: women and girl domestic workers, (AI Index: 21/007/2007),

Juli 2007. 13 Amnesty International, Unfinished Business – Police accountability in Indonesia, (AI Index: ASA 21/013/2009), Juni 2009. Lihat khususnya Bab 3.3 “Women at particular risk”. 14 Komentar hukum Amnesty International baru-baru ini termasuk Surat Terbuka Bersama Amnesty International dan LBH Masyarakat kepada DPR mengenai peninjauan dan pengesahan KUHP baru (AI Indeks: ASA 21/022/2009), November 2009; Surat terbuka Amnesty International kepada Menteri Dalam Negeri mengenai disahkannya KUHP Aceh, (AI Indeks: ASA 21/021/2009), November 2009; dan Surat Terbuka Bersama Amnesty International dan Federasi Apik kepada Meneteri Kesehatan mengenai UU Kesehatan (No. 36/2009), (AI Indeks: 21/001/2010), Februari 2010.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

64 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

15 Lihat, sebagai contoh, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Using Human Rights for Maternal and Neonatal Health – A tool for strengthening laws, policies and standards of care, 2006, (WHO, Using Human Rights for Maternal and Neonatal Health); Asian-Pacific Resource and Research Centre for Women (ARROW), A Report of Indonesia field Test Analysis and Rights and Realities: Monitoring Reports on the Status of Indonesian women’s Sexual and Reproductive Health and Rights, 2006, (ARROW Report); Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah di Nusa Tenggara, Measuring the fulfilment of Human Rights in Maternal and Neonatal Health – Using WHO tools, Report on Provincial & District Laws, Regulations, Policies and Standards of Care, November 2008. 16 Untuk setiap kematian ibu, diperkirakan sekitar 20 perempuan menderita cedera, infeksi atau penyakit yang berkaitan dengan kehamilan (juga disebut morbiditas ibu). Dalam sejumlah kasus, penyakit-penyakit tersebut bisa menuntun pada adanya cacat jangka panjang, seperti prolapsus uteri (turun berok), infertilitas, obstetric fistula (adanya lubang di antara dubur dan vagina atau antara saluran air kemih/dubur dan vagina) atau inkontinensia. Lihat Gita Nanda, Kimberly Switlick dan Elizabeth Lule, Accelerating Progress towards Achieving the MDG to Improve Maternal Health: A Collection of Promising Approaches, Bank Dunia, 2005, Washington DC, h4. Situs web: http://siteresources.worldbank.org/HEALTHNUTRITIONANDPOPULATION/Resources/281627-1095698140167/NandaAcceleratingProgresswithCover.pdf, diakses tanggal 7 Oktober 2010. Di Indonesia, tidak jelas berapa banyak perempuan dan gadis yang menderita karena cedera yang berkaitan dengan kehamilan karena tidak adanya data. Namun, sebuah studi baru-baru ini menyugestikan bahwa masalah ini berskala besar. Lihat C. Ronsmans, S. Scott, P. Deviany, dan F. Nandiaty, Estimation of populationbased incidence of pregnancy-related illness and mortality (PRIAM) in two districts in West Java, Indonesia, Juli 2008. 17 Swastanisasi dalam layanan perawatan kesehatan makin meningkat, termasuk penyelenggaraan layanan keluarga berencana, sejak pertengahan tahun 1990-an, di bagian tertentu Indonesia (misalnya di Kabupaten Bogor). Hal ini menyebabkan melemahnya penyelenggaraan kesehatan yang dilakukan oleh negara dalam sejumlah kasus karena adanya kompetisi dalam hal ketersediaan sumber daya manusia dan melemahnya sistem perujukan. Dalam presentasi PowerPoint “Isu-isu kespro terkini di Indonesia”, oleh Atashendartini Habsjah, lokakarya Amnesty International, 10 Maret 2010, Jakarta. Lihat juga Stein Kristiansen dan Purwo Santoso, Surviving decentralisation? Impacts of regional autonomy on health service provision in Indonesia, 2005. 18 Istilah “pernah menikah” yang digunakan dalam survei, merujuk kepada perempuan dan lelaku yang menikah atau pernah menikah di masa lalu dan menyertakan pula

para janda/duda mati/cerai. 19 Lihat Survei Demografis dan Kesehatan Indonesia – 2007 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), Desember 2008, h129-145 (Survei Demografis dan Kesehatan Indonesia – 2007). Survei ini merupakan yang keenam dalam serangkaian survei yang dilakukan sebagai bagian proyek Survei Demografis dan Kesehatan Internasional. Survei itu memberikan informasi terinci mengenai kependudukan, keluarga berencana, dan kesehatan untuk pembuat kebijakan dan manajer program. Survei itu dilaksanakan di 33 provinsi Indonesia, dengan mengumpulkan informasi dari lebih 40.000 rumah tangga – lebih dari 32.000 perempuan yang menikah dan lebih dari 8.000 lelaki yang menikah. Data itu tidak menyertakan pasangan yang tidak menikah. 20 Istilah “tidak/belum pernah menikah”, yang digunakan dalam survei ini, merujuk kepada perempuan dan lelaki yang tidak/belum pernah menikah.

21 Untuk data tentang perempuan yang tidak menikah dan remaja, lihat Statistik Indonesia (Badan Pusat Statistik), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Macro International, Survei Kesehatan Reproduksi Remaja 2007, Desember 2008 (Survei Kesehatan Reproduksi Remaja 2007). Lebih dari 8.000 perempuan yang tidak menikah yang berusia antara 15 dan 24 diwawancarai untuk survei ini. Situs web: http://www.measuredhs.com/pubs/pdf/FR219/FR219.pdf, diakses 7 Oktober 2010. 22 Untuk keterangan lebih lanjut, lihat halaman web Amnesty International mengenai Kampanye Menuntut Martabat (Demand Dignity). Situs web: http://www.amnesty.org/en/demand-dignity, diakses 7 Oktober 2010. Lihat juga laporan Amnesty International baru-baru ini tentang Mortalitas Ibu, misalnya, Deadly delivery: The maternal health care crisis in the USA, (AI Indeks: AMR 51/007/2010), Maret 2010; Giving Life: Risking Death – Maternal Mortality in Burkina-Faso, (AI Indeks: 60/001/2009), Desember 2009; Not even when her life is at stake: How the total abortion ban in Nicaragua criminalizes doctors and endangers women and girls (AI Indeks: AMR:43/004/2009), Juli 2009, dan Fatal Flaws: Barriers to Maternal Health in Peru, (AI Indeks: AMR 46/008/2009), Juli 2009. 23 Tabel ini dibuat oleh Amnesty International. 24 Dalam The Jakarta Globe,“Gender Inequality Seen as a Major Obstacle”, 4 Agustus 2010. Situs web: http://www.thejakartaglobe.com/home/gender-inequality-seen-as-a-

majorobstacle-in-meeting-mdgs/389465, diakses 7 Oktober 2010. 25 Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Iwu Dwisetyani Utomo, “Women’s lives: Fifty years of change and continuity”, dalam Terence Hull (Ed.), People, Population, and

Policy in Indonesia, Equinox publishing, 2005; Susan Blackburn, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge University Press, 2004; dan Linda Rae Bennet,

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 65 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Women, Islam and modernity – Single women, sexuality and reproductive health in contemporary Indonesia, Routledge Curzon, 2004, (Linda Rae Bennet, Women, Islam and modernity). 26 Lihatlah Lapora gabungan periodik keempat dan kelima negara-negara pihak: Indonesia, UN Doc. CEDAW/C/IDN/4-5, 27 Juli 2005, paragraf 163 (Combined fourth and

fifth periodic reports of States parties: Indonesia). Lihat juga, WHO, Using Human Rights for Maternal and Neonatal Health, h8, Lihat di atas No 15. 27 The Jakarta Globe, “The Thinker: Let’s talk about sex”, 17 Mei 2010. Situs web: http://www.thejakartaglobe.com/columns/the-thinker-lets-talk-about-sex/375460,

diakses 7 Oktober 2010. Juga dikutip di Primaironline “Pernikahan dini di Indonesia capai 690 kasus per tahun”, 10 September 2009. Situs web: http://www.primaironline.com/berita/detail.php?catid=Sosial&artid=pernikahan-dini-di-indonesia-capai-690-kasus-per-tahun, diakses 7 Oktober 2010. 28 Konvensi tentang Hak-Hak Anak mendefinisikan anak adalah “setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun” (Pasal 1). 29 Wawancara Amnesty International dengan Susun, Jawa Barat, 22 Maret 2010. 30 We the Children: End-Decade Review of the Follow-up to the World Summit for Children: Laporan Sekretaris Jendral, 4 Mei 2001, h50, paragraf 181. Situs web:

http://www.unicef.org/specialsession/documentation/documents/a-s-27-3e.pdf, diakses 11 Oktober 2010. 31 Poligami juga disebut dalam ketetapan hukum lainnya. Lihat misalnya peraturan pemerintah No. 10/1983, yang kemudian direvisi dengan peraturan pemerintah No. 45/1990, yang menetapkan bahwa pegawai negeri lelaki bisa menikah dengan lebih dari satu perempuan hanya setelah mendapatkan izin dari atasan. Peraturan itu juga menetapkan bahwa izin hanya diberikan jika istri pegawai negeri itu memenuhi salah satu dari tiga kriteria – yaitu istri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri; memiliki penyakit yang tak dapat disembuhkan; atau tidak bisa melahirkan anak. 32 Wawancara Amnesty International dengan Siri, Jawa Barat, 14 Maret 2010. 33 Lihat, misalnya, Linda Rae Bennet, Women, Islam and modernity, Lihat di atas No.25, h23-27. 34 Sudah pernah terjadi “salah” tangkap atas perempuan karena adanya asumsi “mereka pekerja seks, atau adanya tuduhan mereka menggunakan tanda-tanda yang

mengisyaratkan mereka memberikan pelayanan seksual” akibat adanya peraturan-peraturan daerah yang mengkriminalkan prostitusi. Lihat laporan Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi di Indonesia, 2009, h33, (Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah). 35 Lihat, Linda Rae Bennet, Women, Islam and modernity, Lihat di atas No.25, h29. 36 Survei Demografis dan Kesehatan Indonesia – 2007, lihat di atas No.19, h43.

37 Bulan Maret 2010, konferensi regional kelompok Gay, Lesbian, Biseksual dan Transgender di Surabaya dibatalkan sebagian akibat adanya tindak kekerasan oleh para anggota Front Pembela Islam (FPI). Lihat Antara News, “Gays Forced To Cancel Regional Conference”, 25 Maret 2010. Pada bulan April 2010, pelatihan HAM untuk kelompok waria dibatalkan sebagai akibat kekerasan yang dilakukan para anggota FPI. Lihat The Jakarta Post, “Indonesian police said ‘powerless’ against radical Islamist assaults”, 4 Mei 2010. Lihat juga The Jakarta Globe, “Acehnese Gays Face a Climate of Fear and Abuse”, 19 Agustus 2010. 38 The Jakarta Post, “Nursyahbani Katjasungkana: A new perspective on sex”, 16 Agustus 2008. Situs web: http://www.thejakartapost.com/news/2010/08/16/nursyahbani-

katjasungkana-a-new-perspective-sex.html, diakses 7 Oktober 2010. 39 Wawancara Amnesty International dengan Lila, Jawa Barat, 17 Maret 2010. 40 Lihat Amnesty International, Ending Female Genital Mutilation to promote the achievement of the Millennium Development Goals, h3. 41 Studi ini dilakukan di Banten, Jawa Timur, Sumatra Barat, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Studi itu berdasarkan survei rumah tangga dengan sampel 1.694 ibu dari gadis berusia di bawah 19 tahun. Lihatlah Dewan Kependudukan, Female Circumcision in Indonesia: Extent, Implications and Possible Interventions to Uphold Women’s Health Rights, Jakarta, September 2003 (Population Council, Female Circumcision in Indonesia). Situs web: http://www.popcouncil.org/pdfs/frontiers/reports/Indonesia_FGM.pdf, diakses 7 oktober 2010. Lihat juga Basilica Dyah Putranti, Faturochman, Muhadjir Darwin, dan Sri Purwatiningsih, Male and Female Genital Cutting among Javanese and Madurese, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, 2003. Dan juga IRIN, “Female genital mutilation persists despite ban”, 2 September 2010.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

66 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

42 Kekerasan dalam rumah tangga diakui sebagai salah satu manifestasi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang melanggar hak-hak perempuan dan gadis. Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, pelanggran seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, mutilasi kelamin perempuan serta praktek tradisional lainnya yang mencelakakan perempuan, kekerasan bukan oleh suami dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi” (Pasal 2 (a)). 43 Edaran untuk Pegawai Kesehatan mengenai Pencegahan dan Pelarangan Medikalisasi Sunat Perempuan, Kementerian Kesehatan, Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 20 April 2006, dikutip dalam WHO, Using Human Rights for Maternal and Neonatal Health – A tool for strengthening laws, policies and standards of care; A Report of Indonesia field Test Analysis, 2006. Patokan untuk layanan kebidanan yang disahkan Kementerian Kesehatan tahun 2001 menyatakan bahwa bidan harus menghindari praktek yang berbahaya dan mendukung praktek yang baik. Lihat “Standar Pelayanan Kebidanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia”, 2001, Buku 1, dikutip dalam WHO, Using Human Rights for Maternal and Neonatal Health, Lihat di atas No 15, h34. 44 Wawancara Amnesty International dengan bidan, Jakarta, 12 Maret 2010. 45 Wawancara Amnesty International dengan bidan, Jawa Barat, 11 Maret 2010. 46 Lihat misalnya Dr Amal Abd El-Hadi, “Islam, Law and Reproductive Health in Egypt”, dalam Zainah Anwar and Rashidah Abdullah (Eds), Islam, Reproductive Health and Women’s Rights, Sisters in Islam, 2001, h167–168. 47 Dalam Dewan Kependudukan, Female Circumcision in Indonesia , Lihat di atas No 41, h3–4. 48 Di antara kepercayaan yang ada adalah “bahwa pengurangan atau pembuangan jaringan peka bagian luar alat kelamin, khususnya klitoris, bisa melemahkan hasrat

seksual perempuan, mempertahankan kesucian dan keperawanan sebelum pernikahan kesetiaan selama pernikahan, serta meningkatkan kenikmatan seksual pria.” Alasanalasan lainnya terentang dari alasan sosiologis (inisiasi gadis menjadi perempuan dewasa dan pertahanan kohesi sosial); Alasan-alasan higienis dan estetik; mitos-mitos maternal (misalnya bahwa hal itu bisa meningkatkan kesuburan dan mempromosikan kesintasan anak); dan alasan-alasan keagamaan dalam komunitas Muslim. Dalam Dewan Kependudukan, Female Circumcision in Indonesia , Lihat di atas No 41, h3–4. 49 Komite CEDAW, Concluding comments of the Committee on the Elimination of Discrimination against Women: Indonesia, UN Doc. CEDAWC/IDN/CO/5, 10 Agustus 2007, (CEDAW Committee, Concluding comments:Indonesia), paragraf 21. 50 Wawancara Amnesty International dengan Lila, Jawa Barat, 17 Maret 2010. 51 Masih ada kekurangan dalam perlindungan terhadap para korban dan saksi mata. Lihat sebagai contoh, Asian Legal Resource Centre, Witness Protection Lacking in

Indonesia and Nepal, 24 Agustus 2010. Juga lihat Studi Rifka Annisa, Pemantauan Implementasi Undang-Undang Pengapusan Dalam Rumah Tangga di enam Propinsi Di Indonesia, 2009, h 42–49, (Studi Rifka Annisa). 52 Meskipun UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2004 memidana kekerasan seksual dalam konteks rumah tangga, dan menjatuhkan sampai dengan 12 tahun hukuman penjara dalam kasus suami yang menggunakan kekerasan seksual kepada istrinya – atau sebaliknya (Pasal 46 dan 53), definisi yang disahkan masih belum cukup komprehensif. Dalam UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan seksual dijabarkan sebagai “pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut” dan “pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Hukum HAM internasional menuntut bahwa definisi pemerkosaan bukan hanya berfokus pada kekuatan atau ancaman penggunaan, tapi juga pelanggaran atas hak keotonomian seksual. KUHP juga menggunakan definisi perkosaan yang mirip, yang didefinisikan sebagai barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan (pasal 285). Orang yang bersalah melanggar Pasal ini bisa dikenai hukum sampai dengan 12 tahun penjara. Amnesty International merekomendasikan bahwa UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan KUHP diamendemen agar konsisten dengan hukum dan standar HAM internasional, seperti misalnya, definisi yang digunakan dalam Unsur-unsur Kejahatan dalam Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional. Definisi pemerkosaan dalam Unsur-Unsur Kejahatan memuat aspek-aspek berikut: (1) “Pelaku menginvasi tubuh seseorang dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan adanya penetrasi, betapa pun sedikitnya, ke bagian tubuh korban, atau bagian tubuh pelaku dengan organ seksual, atau lubang dubur atau alat kelamin korban dengan barang apa pun atau bagian tubuh yang mana pun”, dan (2) “Invasi dilakukan dengan kekuatan, atau dengan ancaman kekuatan atau pemaksaan, sebagaimana yang disebabkan oleh ketakutan akan adanya kekerasan, tekanan, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, terhadap orang tersebut atau orang lainnya, atau dengan memanfaatkani lingkungan yang memaksa, atau invasi itu dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sebenarnya”. Dalam Report of the Preparatory Commission for the International Criminal Court Elements of Crimes Article 8 (2) (e) (vi)–1, UN Doc. PCNICC/2000/1/Add.2, 2 November 2000.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 67 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

53 Masih ada kekurangan dalam undang-undang pidana di Indonesia dalam menangani tantangan tertentu dari penyidikan pelanggaran yang melibatkan kekerasan seksual.

Misalnya, KUHAP mengatur bahwa seorang hakim hanya bisa menjatuhkan hukuman pidana kepada seseorang jika orang itu memiliki dua unsur bukti. Kedua bukti itu bisa berupa keterangan saksi; terdakwa; seorang ahli; sebuah surat; atau sebuah petunjuk (Pasal 183-184). UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga meminta adanya dua unsur bukti dalam kasus kekerasan seksual (Pasal 54 dan 55). 54 Lihat Studi Rifka Annisa, lihat di atas No.51, h27-29. 55 Nikah siri merujuk ke pernikahan tak resmi, yang dilakukan di tingkat masyarakat.

56 Lihat Laporan Tahunan 2009 Komnas Perempuan, Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang, (Komnas Perempuan, Tak Hanya di Rumah). Situs web: http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2010/03/Catatan-Tahuhan-Kekerasan-terhadap-Perempuan-tahun2009-edisi-Launching.pdf, diakses 7 Oktober 2010. 57 The Jakarta Post, “Councilors mull virginity as criteria for enrollment”, 22 September 2010. Seorang anggota DPRD Provinsi Jambi menyarankan agar perempuan dan

gadis yang mendaftar ke sekolah negeri menjalani tes keperawanan. Jika mereka tidak lolos tes, mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Ide ini sudah dikritik para pejabat pemerintah, dan dilaporkan tidak akan dilaksanakan. Lihat Agence France Presse, “Indonesia Rejects Proposal to Subject Girls to Virginity Tests”, 28 September 2010. 58 Wawancara Amnesty International dengan ornop-ornop, Aceh, 22 Maret 2010. 59 Lihat transkrip lengkap wawancara dengan Ramli Mansur, di The Jakarta Globe, “West Aceh District Chief Says Shariah Law Needed or There Will Be Hell to Pay”, 18

Agustus 2010. Lihat juga The Jakarta Globe, “Outrage, Ridicule leveled at West Aceh Politician After Rape Comment”, 19 Agustus 2010. 60 Lihat UU No.22/1999 yang mengatur tentang desentralisasi, dekonsentrasi dan otonomi daerah serta UU No. 25/1999 yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Juga lihat UU tentang Pemerintahan Daerah (No. 32/2004). 61 Komnas Perempuan, Atas nama Otonomi Daerah, lihat di atas No 34. 62 Meskipun peraturan daerah ini seharusnya tidak lagi berlaku sejak disahkannya UU Pemerintahan Aceh di tahun 2006, Komnas Perempuan telah mendokumentasikan bahwa sejumlah perda Islamis yang diloloskan di awal tahun 2000 masih diberlakukan. “Meskipun kemudian UU No. 18 tahun 2001 [tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh] dibatalkan (setelah diberlakukannya UU No.11 Tahun 2006), quanun [perda] yang dikeluarkan dengan dasar UU No.18 masih tetap berlaku sampai hari ini”, dalam Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah, lihat di atas No. 34. 63 Dalam perda mengenai khalwat, khalwat dijabarkan sebagai: “perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf [orang dewasa] atau lebih yang berlainan jenis yang

bukan muhrim [bukan sanak keluarga dekat] atau tanpa ikatan perkawinan”. Warga Muslim di Aceh yang ditemukan bersalah melakukan khalwat dapat dijatuhi hukuman cambuk antara 3 sampai 9 pukulan atau didenda antara 2.5 sampai 10 juta rupiah. 64 Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah, Lihat di atas No 34, h40.

65 Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah, Lihat di atas No 34. h41. 66 Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah , Lihat di atas No 34, h41-42. 67 Wawancara Amnesty International dengan ornop-ornop, Aceh, 24 Maret 2010; dan korespondensi email Amnesty International, 22 September 2010. 68 Lihat Siaran Pers Amnesty International Indonesia must repeal "cruel" new stoning and caning law, 17 September 2009. Situs web: http://www.amnesty.org/en/news-andupdates/news/indonesia-must-repeal-cruel-new-stoning-caning-law-20090917, diakses 7 Oktober 2010. 69 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Report on the Achievement of Millennium Development Goals Indonesia 2007, 2007, h6. Situs web:

http://www.bappenas.go.id, diakses 11 Oktober 2010. 70 Wabah HIV di Indonesia termasuk yang tumbuh paling pesat di Asia. Di penghujung tahun 2009, diperkirakan ada 333.200 orang yang mengidap HIV di Indonesia.

Angka kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan telah meningkat dengan tajam dari 2.682 kasus di tahun 2004 menjadi 19.973 pada bulan Desember 2009. Di antara kasuskasus itu, 25 [persen] adalah perempuan. Wabah AIDS kini mengenai hampir semua bagian Indonesia… Tahun 2004 hanya 16 dari 33 provinsi yang melaporkan adanya HIV. Akan tetapi, di akhir tahun 2009, AIDS dilaporkan di 32 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Kenaikan ini mencerminkan adanya penyebaran infeksi dan sekaligus adanya pelaporan yang lebih baik karena meningkatnya ketersediaan dan penggunaan konseling serta pemeriksaan". Dalam Komisi Nasional AIDS, Republic of

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

68 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Indonesia Country Report on the Follow up to the Declaration of Commitment On HIV/AIDS (UNGASS), Periode Pelaporan 2008-2009, 2009, h8. Situs web: http://data.unaids.org/pub/Report/2010/indonesia_2010_country_progress_report_en.pdf, diakses 7 Oktober 2010. 71 UU ini menggantikan UU Kependudukan (No. 10/1992).

72 Pasal 1.11 dan 1.12. 73 Juga lihat Pasal 2 dan 23 ICCPR; Pasal 2 ICESCR; dan Pasal 1 CEDAW. 74 Tahun 1996, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) untuk mempersiapkan layanan kesehatan reproduktif remaja, yang menyertakan layanan tentang kesehatan reproduktif, termasuk keluarga berencana, kesehatan ibu, kesehatan remaja dan HIV/AIDs dalam puskesmas. Tahun 1998, Kementerian Kesehatan menerbitkan garis panduan manajemen mengenai layanan kesehatan reproduktif pokok untuk puskesmas-puskesma dan sebuah kebijakan untuk menyebarkan informasi dan layanan kesehatan reproduktif kepada para remaja. Dari tahun 2000, Badan Koordinasi Keluarga Berencana bertanggung jawab atas program Bina Keluarga Remaja (BKR), Pusat Informasi & Konselling Kesehatan Reproduksi Remaja, PIK – KRR, dan Kesadaran Keluarga akan AIDS. Dari tahun 2001,Kementerian Pendidikan memperkenalkan pendidikan kesehatan reproduktif di sekolah-sekolah. Lihat Laporan ARROW, lihat di atas No 15, h136. Lihatlah Laporan gabungan periodik keempat dan kelima negara-negara pihak: Indonesia, lihat di atas No 26, masing-masing paragraf 129, 135 dan 139, h44, h46 dan h47; Kementerian Kesehatan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Badan Koordinasi Keluarga Berencana, UNFPA, WHO, Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia Jakarta, 2005, (Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia ), dan Bab 2 A.2 “Panduan Pengelolaan Pusat Informasi & Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR)”, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Jakarta, 2008, h12. 75 Organisasi Kesehatan Dunia dan Kementerian Kesehatan di Indonesia mendefinisikan “remaja” sebagai mereka yang berusia antara 10 dan 19 tahun. Namun, Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana di Indonesia mendefinisikannya sebagai mereka yang berusia antara 10 dan 24 tahun. Selain itu, Survei Kesehatan Reproduktif Remaja tahun 2007 mengandalkan pada wawancara dengan remaja berusia 10 dan 24 tahun yang “tidak pernah menikah" , tapi dengan memfokuskan diri pada mereka yang berusia 15-24 tahun, lihat di atas No. 21. 76 Survei Kesehatan Reproduktif Remaja tahun 2007 , lihat di atas No. 21, h31. 77 Wawancara Amnesty International dengan ornop-ornop, Yogyakarta, 5 Maret 2010. 78 Lokakarya Amnesty International mengenai hak-hak seksual dan reproduktif, Lombok, 18 Maret 2010.

79 Wawancara Amnesty International dengan Lila, Jawa Barat, 17 Maret 2010. 80 Wawancara Amnesty International, Maret 2010. 81 Komite tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum No. 14 (Hak untuk mendapatkan standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai) 11 Agustus 2000, UN Doc. E/C.12/2000/4, paragraf 34 (ESCR Committee, General Comment No. 14). 82 Ornop-ornop setempat membenarkan bahwa gadis yang tidak menikah yang jatuh hamil biasanya dipaksa keluar sekolah. Satu penjelasan yang diberikan seorang guru SMU adalah mengizinkan gadis yang hamil meneruskan sekolah dapat mendorong yang lainnya melakukan hal yang sama. Tampaknya ini bukan kebijakan pemerintah pusat, sekolahlah yang memutuskan apa yang harus dilakukan jika ada pelajar yang hamil.

83 Wawancara Amnesty International dengan ornop-ornop, Aceh, 24 Maret 2010. 84 Wawancara Amnesty International dengan bidan, Lombok, 20 Maret 2010. 85 Lihat, Linda Rae Bennet, Women, Islam and modernity, Lihat di atas No.25.

86 Wawancara Amnesty International di Lombok dan Aceh, 20 dan 24 Maret 2010. 87 Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Measuring the fulfilment of Human Rights in Maternal and Neonatal Health in 2 cities and 2 districts in West and East Nusa Tenggara, Indonesia, 2009, h70, (Measuring the fulfilment of Human Rights in Maternal and Neonatal Health).

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 69 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

88 Wawancara Amnesty International dengan ornop-ornop setempat, Lombok, 19 Maret 2010.

89 Koresponden email Amnesty International dengan ornop setempat, 14 Juli 2010. 90 Wawancara Amnesty International dengan lembaga bantuan hukum, Jakarta, Maret 2006. 91 Menurut Survei Demografis dan Kesehatan Indonesia – 2007, 12,7 persen perempuan menikah dari kuintil kekayaan terendah memiliki kebutuhan keluarga berencana yang tidak terpenuhi (baik untuk memberi jarak maupun membtasi anak) berbeda dengan 7,3 persen dan 8,9 persen untuk mereka yang berada di kuintil kekayaan lainnya, lihat di atas No.19, h93. 92 Wawancara Amnesty International dengan seorang agen perekrut PRT, Jakarta, 22 Maret 2010. 93 Memang demikian dalam UU Kependudukan sebelumnya (No. 10/1992). Komentar penjelasan Pasal 19 menyatakan bahwa suami dan istri memiliki tanggung jawab

bersama untuk menegosiasikan kesepakatan mengenai waktu dan pengaturan jarak anak serta pilihan yang akan mereka buat. 94 Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan, Aceh, 24 Maret 2010. 95 Wawancara Amnesty International dengan bidan, Jawa Barat, 11 Maret 2010. 96 Diskusi kelompok fokus Amnesty International, Jakarta, 12 Maret 2010. 97 Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan, Jawa Barat, 11 Maret 2010. 98 Wawancara Amnesty International dengan bidan, Aceh, 24 Maret 2010. 99 Praktek persyaratan adanya otorisasi suami untuk sterilisasi disebutkan dalam Measuring the fulfilment of Human Rights in Maternal and Neonatal Health, lihat di atas No. 87, h30. 100 Lihat Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia [Policy and National Strategy on Reproductive Health], lihat di atas No 74.

101 Lihat WHO dan John Hopkins, Family Planning: A Handbook for Providers, 2007. Situs web: http://www.infoforhealth.org/globalhandbook/handbook.pdf, diakses 11 Oktober 2010. Lihat juga International Planned Parenthood Federation tentang mitos kontrasepsi. Situs web: http://www.ippf.org/Templates/Myths.aspx?NRMODE=Published&NRNODEGUID={476CAE21-4E6C-4CDF-8C04EB3A0EE218DF}&NRORIGINALURL=%2fen%2fResources%2fContraception%2fdefault.htm&NRCACHEHINT=Guest, diakses 11 Oktober 2010. 102 Pasal 16 (1) (e) CEDAW. 103 Pasal 534 menyatakan bahwa “[b]arang siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan

atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa di dapat, sarana atau pertolongan yang demikian itu bisa didapat, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan”. Pasal 535 menyatakan bahwa “[b]arangsiapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan sarana atau pertolongan untuk menggugurkan kandungan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menyatakan bahwa sarana atau pertolongan yang demikian itu bisa didapat,diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan”. Pasal 283 menyatakan barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umumya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. 104 Lihat Pasal 17 dan 24 CRC, dan Komite tentang Hak-Hak Anak, Komentar Umum 4 (Kesehatan dan Perkembangan remaja dalam konteks Konvensi mengenai Hak-hak

Anak) General Comment 4 (Adolescent health and development in the context of the Convention on the Rights of the Child), 1 July 2003 UN Doc. CRC/GC/2003/4, paragraf 26 and 28. Juga lihat Komite ESCR, Komentar Umum No. 14 – hak untuk kesehatan diinterpretasikan oleh Komite itu "sebagai hak inklusif yang mencakup bukan saja pada perawatan kesehatan yang tepat waktu dan layak tetapi juga faktor penentuan kesehatan yang mendasari, seperti… akses ke pendidikan dan informasi yang berkaitan dengan kesehatan, termasuk tentang kesehatan seksual dan reproduksi”, lihat di atas No.81, paragraf 11. Selain itu, Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No.24 (Perempuan dan Kesehatan) 1999, (Komite CEDAW General Recommendation No. 24 (Women and Health)) menyatakan bahwa “Negara-negara pihak harus memastikan hak-hak remaja perempuan dan lelaki akan pendidikan kesehatan seksual dan reproduktif oleh orang yang sudah dilatih dengan benar dalam program yang dirancang khusus

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

70 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

yang menghormati hak-hak mereka akan privasi dan kerahasiaan”, paragraf 18. Situs web: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/recommendations/recomm.htm#recom24, diakses 11 Oktober 2010. 105 Wawancara Amnesty International dengan pembela HAM, Yogyakarta, 5 Maret 2010. 106 UU Pornografi (No. 44/2008) mendefinisikan pornografi sebagai “gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan,

gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. 107 Wawancara Amnesty International dengan pembela HAM, Yogyakarta, 5 Maret 2010.

108 Lihat Kementerian Kesehatan dan WHO, 2004, Pedoman pelayanan kontrasepsi darurat , 2004. 109 Pedoman pelayanan kontrasepsi darurat , lihat di atas No. 108.

110 Lihat juga, WHO, Using Human Rights for Maternal and Neonatal Health, h8, Lihat di atas No 15, h14. 111 Wawancara Amnesty International dengan pejabat kesehatan setempat, Jakarta, 19 Maret 2010. 112 Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan, Lombok, 20 Maret 2010. Lihat juga Measuring the fulfilment of Human Rights in Maternal and Neonatal Health, Lihat di atas No. 87, h26. 113 Lihat Measuring the fulfilment of Human Rights in Maternal and Neonatal Health, Lihat di atas No 87, h30.

114 Lihat UU tentang Pengadilan Anak-anak (No.3/1997), Pasal 1. 115 Laporan MDG 2007, lihat di atas No.8, h52. 116 Laporan Peta Jalan MDG 2010, lihat di atas No.8, h123. 117 Meskipun totalnya ada enam kriteria, sejumlah dari kriteria itu hanya berlaku bagi korban perkosaan; dan yang lainnya hanya berlaku dalam kasus-kasus yang

mengancam jiwa janin atau ibu. 118 Komite CEDAW, Concluding comments:Indonesia, lihat di atas No 49, paragraf 16. 119 Laporan ARROW, lihat di atas No 15, h75.

120 Lihat juga laporan Amnesty International, Not even when her life is at stake: How the total abortion ban in Nicaragua criminalizes doctors and endangers women and girls , lihat di atas No 22, h30. 121 Wawancara Amnesty International dengan dokter, Jakarta, 15 Maret 2010. 122 Fatwa tahun 2005 oleh Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa aborsi dizinkan jika janin belum berusia 40 hari dalam kasus kehamilan akibat pemerkosaan (Fatwa

No. 4/2005). Fatwa ini tidak mengikat secara hukum. 123 Wawancara Amnesty International dengan ornop-ornop, Surabaya, 24 Maret 2010. 124 Pasal 346 KUHP yang mengatur bahwa “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. 125 Pasal 349 KUHP menyatakan bahwa “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan Pasal 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan”. Lebih jauh lagi, Pasal 348 KUHP menyatakan bahwa (1) "Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 71 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

126 Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan, Yogyakarta, 05 Maret 2010. 127 Wawancara lewat telepon Amnesty International dengan pakar kesehatan reproduktif, Juli 2010. 128 Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan, 19 Maret 2010.

129 Lihat Laporan ARROW, lihat di atas No 15, h76-77. 130 Tempo Interaktif, “Polisi Jember Perdalam Penanganan Kasus Aborsi Ilegal”, 15 Agustus 2010. Juga lihat Tempo Interaktif, “Polisi Tuban Tangkap Dukun Aborsi”, 27

Juli 2010. 131 Wawancara Amnesty International dengan dukun melahirkan tradisional, Jawa Barat, 14 Maret 2010. 132 Lihat B. Utomo et al, Incidence and Socio-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia, lihat di atas No 7, h8. 133 Lihat di atas No 8. 134 Linda Rae Bennet, Women, Islam and modernity, Lihat di atas No.25, h113-114.

135 Wawancara Amnesty International dengan Detty, Jakarta, 17 Maret 2010. 136 Lihat Hak setiap orang akan penikmatan standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang bisa dicapai: Laporan Pelapor Khusus, Paul Hunt, UN Doc. E/CN.4/2004/49, 16 Februari 2004, (Laporan Pelapor Khusus mengenai Hak atas Kesehatan), paragraf 30. 137 Lihat International Planned Parenthood Federation, Death and Denial: Unsafe Abortion and Poverty, Januari 2006, h1. 138 Pidato disampaikan mewakili Menteri Kesehatan Republik Indonesia di Resepsi Tahunan IFPMA pada pertemuan ke-63 Majelis Kesehatan Dunia. Tema: Memenuhi

MDG 5 PBB: Tantangan dalam memperbaiki kesehatan perempuan. Jenewa, 19 Mei 2010. Situs web: the challenges of improving women’s health. Jenewa, 19 Mei 2010. Situs web: http://www.ifpma.org/fileadmin/templates/Events/2010/pdfs/20100519_WHA_Reception_Engko_Indonesia_19May2010.pdf, diakses 11 Oktober 2010. 139 Wawancara Amnesty International dengan Latifah, Jawa Barat, 15 Maret 2010. 140 Dalam satu langkah yang positif, PRT secara khusus dimasukkan dalam UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2004. Mereka disebut sebagai “orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut" (Pasal 2.1 (c)). Lihat laporan tahun 2007 Amnesty International mengenai PRT, lihat di atas No 11. 141 Persentase PRT pria masih tetap marginal. Menurut perkiraan ILO, PRT pria berjumlah kurang dari lima persen dari jumlah keseluruhan PRT. Survei ILO dilakukan tahun 2002 oleh Universitas Indonesia dan Program Internasional ILO tentang Penghapusan Buruh Anak (IPEC). Perkiraan ILO berdasarkan metode ekstrapolasi, dalam ILO, Bunga-bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak Di Indonesia, (ILO, Bunga-bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak Di Indonesia) 2004. 142 Lihat ILO, Bunga-bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak Di Indonesia, lihat di atas No 141, h20. 143 Lihat laporan tahun 2007 Amnesty International mengenai PRT, lihat di atas No 11.

144 Korespondensi email, 8 Juli 2010; dan wawancara Amnesty International, Jakarta, 9 dan12 Maret 2010. 145 Lihat Ramirez-Machado, José Maria, Domestic work, conditions of work and employment: A legal perspective, ILO, Conditions of Work and Employment Series No. 7, 2003, h9–15. 146 Patut dicatat bahwa studi pemerintah baru-baru ini menemukan bahwa pekerja perempuan yang tidak menikah juga berisiko didiskriminasi oleh majikan mereka karena mereka mungkin meminta surat kawin dari perempuan untuk memberikan mereka akses ke cuti melahirkan meskipun tidak ada peraturan nasional yang mensyaratkannya. Dalam Measuring the fulfilment of Human Rights in Maternal and Neonatal Health, Lihat di atas No 87. 147 Wawancara Amnesty International dengan pekerja HAM, Aceh, 22 Maret 2010; dan korespondensi email, Agustus/September 2010. 148 UU Tenaga Kerja memuat ketetapan yang mengizinkan perempuan untuk beristirahat pada hari pertama dan kedua periode menstruasi mereka jika mereka merasa sakit

dan memberi tahu pengusaha mengenai hal ini (Pasal 81). Selain dari itu, para pengusaha diminta untuk memberikan tempat atau ruang bagi perempuan yang perlu

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

72 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

menyusui selama jam kerja (Pasal 83). 149 Pasal 186.1. 150 Lihat laporan tahun 2007 Amnesty International mengenai PRT, lihat di atas No 11. 151 Pasal 11. 152 Pasal 24 (2) (d). 153 Pasal 10 (2). 154 Wawancara Amnesty International dengan Ita, Jakarta, 17 Maret 2010.

155 Laporan Amnesty International 2007 tentang PRT mendokumentasikan bagaimana PRT sering bekerja dengan jam kerja yang panjang dan hanya diizinkan istirahat sedikit atau tidak ada istirahat. Mereka yng diwawancara tahun 2006 bekerja rata-rata 70 jam seminggu, tapi banyak yang bekerja lebih lama lagi. Selama masa riset dilakukan di bulan Maret 2010, Amnesty International juga bertemu dengan PRT yang bekerja dengan jam kerja yang panjang tanpa istirahat. PRT yang menjaga anak kecil terutama rentan mendapatkan pekerjaan dengan jam kerja panjang karena mereka diminta menjaga anak pada malam hari, terutama jika mereka sakit, walaupun sudah bekerja dengan jam kerja panjang sepanjang hari. Lihat laporan tahun 2007 Amnesty International mengenai PRT, lihat di atas No 11. 156 Sejumlah dari mereka merasa dipandang dengan kecurigaan ketika mereka sakit dan meskipun mereka ingin istirahat mereka berkewajiban untuk terus bekerja. Sebagai tambahan, sangat sedikit PRT yang dilatih mengenai bagaimana menggunakan bahan yang berpotensi berbahaya walaupun adanya laporan yang mengindikasikan PRT menghadapi risiko serius dalam rumah tangga. Lihat laporan tahun 2007 Amnesty International mengenai PRT, lihat di atas No 11, h72. 157 Lihat pasal 24 (2) (d) CRC. Indonesia adalah negara pihak CRC. CRC mengatur bahwa negara-negara harus mengambil langkah yang tepat untuk memastikan perawatan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan untuk para ibu. Lihat juga Konvensi ILO tentang Perlindungan Maternitas (183) yang belum diratifikasi Indonesia. 158 Wawancara Amnesty International dengan Rini, Jawa Barat, 11 Maret 2010. 159 Diskusi kelompok fokus Amnesty International, Banten, 13 Maret 2010.

160 Komentar ini berdasarkan salinan draf dari bulan April 2010. 161 Presiden Republik Indonesia, Dr Susilo Bambang Yudhoyono, di Konferensi Tahunan keenam Jaringan Parlementer mengenai Bank Dunia, Helsinki, Finlandia, 23 Oktober 2005. Situs web: http://www.kbri-canberra.org.au/speeches/2005/051023_PresRI.htm, diakses 7 Oktober 2010. 162 Selain menjadi penanda tangan Deklarasi Milenium, Indonesia menunjukkan komitmennya kepada MDG dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana

Pembangunan Lima Tahun, h23. Situs web: http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/English/MDG-IDN_English_Complete.pdf, diakses 7 Oktober 2010. Juga lihat Peta Jalan MDG 2010, lihat di atas No 8. 163 Lihat misalnya Pasal 2 (1) ICCPR; dan Pasal 2 CEDAW. 164 Pasal 1, CEDAW. 165 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Laporan tentang Prestasi Sasaran Pembangunan Milenium

Indonesia 2010 (Laporan MDG 2010). h6. 166 Dalam Laporan Peta Jalan MDG 2010, pemerintah menggarisbawahi tantangan berikut ini: meningkatkan kesetaraan gender di semua level pendidikan di semua

provinsi; memberlakukan penegakan hukum guna memastikan kesempatan yang sama tanpa ada diskriminasi untuk perempuan dan lelaki dalam pekerjaan dan di tempat kerja; menyediakan perlindungan bagi para pekerja perempuan guna memastikan pemenuhan hak-hak mereka; dan menignkatkan partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif dan politk. Lihat di atas No.8, h94-95. 167 Lihat Komnas Perempuan, Tak Hanya di Rumah, lihat di atas No 56. 168 Lihat UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (2004); dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pedagangan Orang (2007). Di tingkat lokal, lihat misalnya,

Qanun Aceh No.6/2009 Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan , 2009. Lihat juga Laporan gabungan periodik keempat dan kelima negara-negara pihak:

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 73 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

Indonesia. lihat di atas No. 26, paragraf 21 dan 25-28. Untuk keterangan lebih lanjut tentang pengimplementasian pengarusutamaan gender di Indonsia, lihat Laporan MDG 2010, lihat di atas No 165, h55. 169 Lihat misalnya Keputusan Presiden No.9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-

2009, Keputusan Presiden Pengarus-utamaan Gender dalam Bidang Kesehatan , Kementerian Kesehatan, 2002; dan Rencana Strategis untuk Keluarga Berencana oleh Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional 2004-2009, indikator 1.5. 170 Pada saat peringatan Landasan Aksi Beijing yang ke-15, Komisi Status Perempuan menyatakan bahwa “perspektif kesetaraan gender tidak tercerminkan dengan baik

dalam perumusan banyak Sasaran Pembangunan Milenium dan target serta indikator mereka sekarang ini, dan sering tidak terintegrasi dengan eksplisit dalam strategi serta rencana untuk mencapai Sasaran-sasaran itu. Tidak cukup ada koherensi antara upaya-upaya untuk mengimplementasikan Landasan Aksi Beijing itu dan strategi serta aksiaksi untuk mencapai Sasaran-sasaran, dan ketidakadaan koherensi ini merupakan faktor penyumbang dalam kinerja yang tidak merata dan lamban dalam mewujudkan banyak dari Sasaran tersebut", Linkages between implementation of the Beijing Platform for Action and the achievement of the Millennium Development Goals: Moderator’s Summary, UN Doc. E/CN.6/2010/CRP.7, 10 March 2010, para 2. 171 Laporan MDG 2010, lihat di atas No.165, h67. 172 Laporan Peta Jalan MDG 2010, lihat di atas No.8, h122.

173 Laporan MDG 2007, lihat di atas No.8, h53. 174 Draf resolusi yang dirujuk ke Rapat Pleno Tingkat Tinggi Majelis Umum oleh Majelis Umum pada sesinya yang ke-64, Keeping the promise: united to achieve the Millennium Development Goals, UN Doc. A/65/L.1, 17 September 2010, paragraf 75 (b) and (c). 175 Pasal 2, ICCPR; Pasal 2, ICESCR. 176 Pasal 26, ICCPR. 177 Pasal 2, CEDAW. 178 Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 24 (Perempuan dan Kesehatan) lihat di atas No. 104, paragraf 11. 179 Pasal 16 (1) (e). 180 lihat Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 21; dan Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 24 (Perempuan dan Kesehatan) lihat di atas No. 104, paragraf 31 (b). 181 Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 24 (Perempuan dan Kesehatan) lihat di atas No. 104, paragraf 21. 182 Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 24 (Perempuan dan Kesehatan) lihat di atas No. 104, paragraf 1. 183 Komite CEDAW,om Rekendasi Umum No. 24 (Perempuan dan Kesehatan) lihat di atas No. 104, paragraf 2. 184 Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 24 (Perempuan dan Kesehatan) lihat di atas No. 104, paragraf 11. 185 Lihat Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 25, 2004, paragraf 12. Situs web: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/recommendations/General%20recommendation%2025%20%28English%29.pdf, diakses tanggal 11 Oktober 2010. Lihat juga Komite ESCR, Komentar Umum No. 16 (hak yang setara antara lelaki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial dan budaya), UN Doc. E/C.12/2005/4, 2005, para 3. 186 Laporan Pelapor Khusus tentang hak atas kesehatan, lihat di atas No 136, paragraf 10. 187 Laporan Pelapor Khusus tentang hak atas kesehatan, lihat di atas No 136, paragraf 28(b). 188 Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No 24, lihat di atas No.104, paragraf 26. 26. Juga lihat, komitmen negara-negara yang diabadikan dalam Landasan Aksi Beijing, paragraf 32, untuk “mengintensifkan upaya guna memastikan adanya penikmatan atau pelaksanaan yang sama atas semua HAM dan kebebasan fundamental bagi perempuan dan gadis yang menghadapi banyak rintangan terhadap pemberdayaan dan pemajuan mereka karena adanya faktor seperti ras, usia, bahasa, etnisitas, budaya,

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

74 Tak Ada Pilihan

Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

agama, atau karena mereka cacat, atau karena mereka masyarakat adat." 189 CEDAW, OHCHR, UNIFEM, Gender and Racial Discrimination; Laporan pertemuan kelompok pakar, 2000, h11. 190 Juga lihat mukadimah UU Kesehatan. 191 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 14. 192 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 11.

193 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 21; dan Komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 24 (Perempuan dan Kesehatan) lihat di atas No. 104, paragraf 8. 194 Lihat Pasal 17 dan 24 CRC; Komite CRC, Komentar Umum 4 (Adolescent health and development in the context of the Convention on the Rights of the Child ,lihat di atas No 104, paragraf 26 dan 28; Komite ESCR, Komentar Umum No. 14, lihat di atas No 81, paragraf 11; dan komite CEDAW, Rekomendasi Umum No. 24, lihat di atas No 104, paragraf 18. 195 Pasal 12, CEDAW; Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 14.

196 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 12, CEDAW; Pasal 24 (2) (b), CRC. 197 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 12 (d) dan paragraf 36. Paragraf-paragraf tersebut menyebutkan “Personel medis yang terampil” dalam artian umum (paragraf 14) dan lalu “kesehatan seksual dan reproduktif” di antaranya (paragraf 36). 198 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 14.

199 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 12, CEDAW; Pasal 24.2 (b), CRC. 200 Lihat Amnesty International, Briefing to the UN Committee Against Torture (AI Indeks: ASA21/003/2008), 15 April 2008. Lihat juga laporan Amnesty International tahun 2009 mengenai akuntabilitas polisi, lihat di atas No. 13. 201 Pasal 4 (1) dan 4 (2) ICCPR. 202 Lihat Final Conclusions of the UN Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/NIC/CO/3, 2008, paragraf 13.

203 Pasal 6, ICCPR. 204 Komentar Umum Komite HAM No. 6 (Hak untuk Hidup), April 1982, (Human Rights Committee General Comment No. 6 (The right to life)), paragraf 5. Situs web: http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/%28Symbol%29/84ab9690ccd81fc7c12563ed0046fae3?Opendocument, diakses 11 Oktober. 205 Komentar Umum Komite HAM No. 6 (Hak untuk Hidup), lihat di atas 205, paragraf 5. 206 Lihat misalnya, Concluding Observations of the Human Rights Committee on Zambia, UN Doc. CCPR/C/ZMB/CO/3/CRP.1, Juli 2007, paragraf 18. Untuk contoh lainnya lihat Pusat Hak-hak Reproduktif, Bringing Rights to Bear: Preventing Maternal Mortality and Ensuring Safe Pregnancy, Oktober 2008. 207 Concluding Observations of the Human Rights Committee on Mali, UN Doc. CCPR/CO/77/MLI, 16 April 2003, para 14. 208 Komite ESCR, Komentar Umum No.14, lihat di atas No.81, paragraf 59.

209 Lihat Bivitri Susanti, “The Implementation of the Rights to Health Care and Education in Indonesia”, dalam Varun Gauri (Ed.), Courting Social Justice: Judicial Enforcement of Social and Economic Rights in the Developing World, Bank Dunia, September 2008, h229. 210 Lihat juga laporan Amnesty International tahun 2009 mengenai akuntabilitas polisi, lihat di atas No. 13. 211 Lihat Pasal 55 UU tentang Praktik Kedokteran.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

Tak Ada Pilihan 75 Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Di Indonesia

212 Lihat Pasal 51 UU tentang Praktik Kedokteran. 213 Lihat Pasal 66 -69 UU tentang Praktik Kedokteran. 214 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia hanya menerima 19 pengaduan tahun 2008 dan 36 tahun 2009. Dalam Tempo Interaktif, “Belajar dari Kasus Budi”, 31 Mei 2010. 215 Lihat Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, “Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia”, Ikatan Dokter Indonesia, 2006. Situs web: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf, diakses 11 Oktober 2010. 216 Komnas HAM juga dapat menerima pengaduan tentang berbagai pelanggaran HAM sebagaimana digarisbawahi dalam UU HAM (No. 39/1999). Pasal 49.2 dan 49.3 UU HAM secara khusus dikaitkan dengan hak-hak kesehatan reproduktif perempuan. 217 Komnas Perempuan memiliki sistem untuk menerima pengaduan mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Situs web: http://www.komnasperempuan.or.id/alur-pengaduan/ , diakses 31 Juli 2010. 218 Komisi Perlindungan Anak bisa menerima pengaduan mengenai pelanggaran UU Perlindungan Anak (UU No. 23/2002). Bagian ke-2 UU itu berkaitan dengan kesehatan anak. 219 Lihat juga laporan Amnesty International tahun 2009 mengenai akuntabilitas polisi, bab 6.3.2 “Komisi Hak Asasi Manusia – Komnas HAM, lihat di atas No. 13, h5657. 220 Lihat situs web: http://www.ombudsman.go.id/Website/archieve/Prosedur/1/id, diakses 11 Oktober 2010; dan UU No. 37/2008, Ombudsman Indonesia. Lihat juga

laporan Amnesty International mengenai akuntabilitas polisi, Bab 6.3.3 “Ombudsman Nasional”, lihat di atas No 13, h58-59. 221 Pidato disampaikan mewakili Menteri Kesehatan Republik Indonesia di Resepsi Tahunan IFPMA pada pertemuan ke-63 Majelis Kesehatan Dunia. lihat di atas No 183.

222 Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi ILO berikut ini: Konvensi No. 19 tentang Kesetaraan Perlakuan (Kompensasi Kecelakaan); Konvensi No. 27 tentang Pencatatan beban (paket yang dikirim dengan kapal besar); Konvensi No. 29 tentang kerja Paksa; Konvensi No 45 tentang Kerja Bawah Tanah (bagi perempuan); Konvensi No 69 tentang Sertifikasi Juru Masak Kapal; Konvensi No. 81 tentang Pengawasan Buruh; Konvensi No.87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi; Konvensi No. 88 tentang Pelayanan Ketenagakerjaan; Konvensi No. 98 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Perjanjian Kerja Sama; Konvensi No. 100 tentang Upah yang Sama untuk Jenis Pekerjaan yang Sama; Konvensi No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa; Konvensi No. 106 tentang Istirahat Akhir Pekan (Komersial dan Perkantoran); Konvensi No.111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan); Konvensi No. 120 tentang Kebersihan (Komersial dan Perkantoran); Konvensi No. 138 tentang Usia Minimum; Konvensi No. 144 tentang Konsultasi Tripartit (Standar Perburuhan Internasional); Konvensi No. 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak; dan Konvensi No. 185 tentang Konvensi Dokumen Identitas pelaut (Direvisi). Situs web: http://www.ilo.org/ilolex/cgi-lex/ratifce.pl?(Indonesia), diakses 11 Oktober 2010. 223 Untuk keterangan lebih terperinci, lihat laporan tahun 2007 Amnesty International mengenai PRT, lihat di atas No 11.

224 Konvensi No. 138 diratifikasi tahun 1999, dan Konvensi No. 182 tahun 2000.

Amnesty International Nopember 2010

Indeks: ASA 21/013/2010

BAIK DALAM KoNfLIK YANg BANYAK DISoRot AtAU DI SUDUt YANg tERLUPAKAN DI DUNIA, AMNESTY INTERNATIoNAL BERKAMPANYE UNtUK KEADILAN, KEBEBASAN DAN MARtABAt BAgI SEMUA oRANg SERtA BERUSAHA MENggALANg DUKUNgAN MASYARAKAt UNtUK MEMBANgUN SEBUAH DUNIA YANg LEBIH BAIK ApA YANg BISA ANDA LAKUKAN? Para aktivis di seluruh dunia telah menunjukkan bahwa memang mungkin menolak kekuatan berbahaya yang merusak hak asasi manusia. Jadilah bagian dari gerakan ini. Perangi mereka yang menyebarkan ketakutan dan kebencian.  Bergabunglah dengan Amnesty International dan menjadi bagian gerakan dunia yang mengkampanyekan diakhirinya pelanggaran HAM. Bantu kami membuat perbedaan.  Menyumbanglah untuk membantu pekerjaan Amnesty International.

Bersama-sama kita bisa membuat suara kita didengar. Saya tertarik untuk menerima keterangan lebih lanjut tentang menjadi anggota Amnesty International nama alamat negara

Saya ingin memberi sumbangan kepada Amnesty International (sumbangan diterima dalam £ pound Inggris, $Dolar Amerika atau euro €) jumlah harap didebit dari

Visa

Mastercard

nomor

SAYA INgIN MEMBANTU

tanggal akhir masa berlaku tanda tangan Harap kembalikan formulir ini ke kantor Amnesty International di negara Anda. Untuk kantor Amnesty International di seluruh dunia: www.amnesty.org/en/worldwide-sites Jika tidak ada kantor Amnesty International di negara Anda, harap kembalikan formulir ini ke: Amnesty International, Sekretariat Internasional, Peter Benenson House, 1 Easton Street, London WC1X 0DW, United Kingdom

www.amnesty.org

email

TAK ADA pILIHAN

RINTANgAN ATAS KESEHATAN REpRoDUKTIf DI INDoNESIA Kaum perempuan dan para gadis menghadapi berbagai rintangan dalam memenuhi hak-hak seksual dan reproduktif mereka di Indonesia rintangan itu berakar pada diskriminasi gender. Rangkaian undang-undang, kebijakan dan pelaksanaannya bersifat diskriminatif dan memperkuat penstereotipan gender. perempuan dan gadis yang tidak menikah tidak diperbolehkan mendapat akses penuh kepada layanan kesehatan reproduktif, sementara mereka yang menikah harus meminta persetujuan suami mereka untuk mengakses sejumlah layanan ini. pembatasan semacam itu memaparkan perempuan dan gadis pada kehamilan yang tak diinginkan dan risiko kesehatan lainnya.

Amnesty International Sekretariat Internasional Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom www.amnesty.org Indeks: ASA 21/013/2010 November 2010

KESEHATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

Undang-undang, kebijakan dan praktik semacam ini membatasi perempuan dan gadis dalam membuat keputusan secara bebas mengenai hidup mereka. Dan dapat menyebabkan kaum perempuan serta gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi dirugikan lebih besar lagi. Rintangan seperti itu melanggar kewajiban Indonesia dalam HAM internasional untuk melindungi perempuan dan para gadis dari diskriminasi. Rintangan tersebut juga memblokir perwujudan hak akan kesehatan, khususnya kesehatan seksual, reproduktif dan kesehatan ibu. pemerintah Indonesia telah berikrar untuk menjunjung tinggi Sasaran pembangunan Milenium perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi jika Indonesia ingin mengurangi ketidaksetaraan gender dan memperbaiki kesehatan ibu di negara itu, maka Indonesia harus memastikan bahwa perempuan dan gadis dapat melaksanakan hak-hak seksual dan reproduktif mereka dengan terbebas dari paksaan, diskriminasi serta ancaman pemidanaan.

More Documents from "Hanik Annur Maria"