Asas Hukum Pembuktian Perdata-1

  • Uploaded by: Reza Bagus Hermawan
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asas Hukum Pembuktian Perdata-1 as PDF for free.

More details

  • Words: 34,644
  • Pages: 200
Loading documents preview...
http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

ASAS-ASAS HUKUM PE MBUKTIAN PE RDATA

http://pustaka-indo.blogspot.com Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997, bahwa: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menyebarkan suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.

ASAS-ASAS HUKUM PE MBU K T IAN PE R DATA

http://pustaka-indo.blogspot.com

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA ©2012 Achmad Ali Edisi Pertama. Cetakan Ke-1

Kencana. 2011.0075 Hak Penerbitan pada Prenada Media Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

Cover Percetakan Lay-out

Irfan Fahmi Fajar Interpratama Offset SatuCahayapro

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PROF. DR. ACHMAD ALI, S.H., M.H. Hukum Pembuktian Perdata Jakarta: Kencana, 2012 Ed. 1. Cet. 1; xii, 177 hlm; 21 cm 1. Hukum ISBN 978-602-8730-74-7 001.42

Cetakan ke-1, Januari 2012

KEN C A N A PRENADA MEDIA GROUP Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220 Telp: (021) 478-64657, 475-4134 Faks: (021) 475-4134 Email: [email protected] Http: www.prenadamedia.com INDONESIA

I. Judul

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................... v DAFTAR SINGKATAN ................................................. ix BAGIAN PERTAMA PEDAHULUAN ............................................................. 1 A. Hukum sebagai Suatu Sistem ...................................... 1 B. Pengertian Hukum Acara Perdata ............................. 3 C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana ........................................... 8 D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana Internasional ....................................... 13 BAGIAN KEDUA HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA DALAM PROSES PERDATA ........................................ 15 A. Arti Membuktikan ..................................................... 15 B. Pengertian Hukum Pembuktian ............................... 22 C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian Ilmiah Lainnya ............................................................ 23 D. Letak Hukum Pembuktian ........................................ 25 E. Hukum Pembuktian dalam Sollen dan Sein ............ 30 F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quad Erat Demostrandum) dan Apa yang Tidak Perlu Dibuktikan ................................................................ 32

http://pustaka-indo.blogspot.com

G. H.

Siapa yang Mengajukan Alat Bukti .......................... 44 Siapa yang Menilai Pembuktian ............................... 51

BAGIAN KETIGA TUJUAN PEMBUKTIAN ............................................. 57 BAGIAN KEEMPAT ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN ........................ 61 A. Asas Audi Et Alteram Partem .................................... 61 B. Asas Ius Curia Novit ................................................... 63 C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propris Causa .......... 64 D. Asas Ne Ultra Petits .................................................... 65 E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum ................. 65 F. Asas Nemo Plus Juris Transferra Potest Quam Ipse Habet ................................................................ 66 BAGIAN KELIMA ALAT-ALAT BUKTI DALAM PROSES ....................... 69 A. Pengertian Alat Bukti .................................................... 73 B. Klasiikasi Alat Bukti ..................................................... 73 C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh Alat Bukti yang Secara Tegas Itu? ................................ 77 D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti ........................... 78 E. Kekuatan Pembuktian (Visprobandi) dari Alat-Alat Bukti ............................................................... 80 F. Bagaimana Kekuatan Pembuktian dari Alat Bukti di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk buku IV BW) ...... 85 G. Teori-Teori Pembuktian ................................................ 87 H. Teori-teori Pembuktian ................................................. 90 I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony) ............................... 92 J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan ......................... 93 vi

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

K. Pengakuan (Confession, Bakentenis) .......................... 95 L. Sumpah Sebagai Alat Bukti ........................................... 95 BAGIAN KEENAM PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN ...................... 99 BAGIAN KETUJUH ASAS BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 119 BAGIAN KEDELAPAN TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN .................... 117 A. Teori Negative Non Sun Probanda ............................. 117 B. Teori Hak ...............................................................118 C. Teori De Lege Late (Menurut Hukum Positip .......... 120 D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik) ......................... 121 E. Toori Audi Et Alteram Partom ................................... 122 BAGIAN KESEMBILAN SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 123 A. Sifat Yang Kasuistis ...................................................... 123 B. Sifat Yang Yuridis ......................................................... 127 BAGIAN KESEPULUH BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TEORI DAN PRAKTIK .... 131 A. Permasalahan Teoretis ................................................ 131 B. Permasalahan Dalam Yurisprudensi ......................... 136 BAGIAN KESEBELAS TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN ....................... 141 A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum ........... 141 B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum ... 145 Daftar Isi

vii

http://pustaka-indo.blogspot.com

C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum .... 148 BAGIAN KEDUA BELAS PERRJANJIAN PEMBUKTIAN .................................. 153 A. Pengertian Perjanjian Pembuktian ............................ 153 B. Isi Perjanjian Pembuktian ........................................... 153 C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan ........... 154 D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat Bukti Tulisan ...............................................................155 E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian ...... 155 DAFTAR LITERATUR LANGSUNG ......................... 157 DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG ........... 163 DAFTAR ISTILAH ASING ......................................... 167 DAFTAR NAMA ORANG .......................................... 173 DAFTAR PERATURAN/UNDANG-UNDANG ........ 173 DAFTAR YURISPRUDENSI ...................................... 177

viii

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR SINGKATAN

No hn Prof S.H. M.A. R.M. M.A P.N. P.T. hlm vs Mr. KUH Perdata

= nomor = tahun = Prefessor = Sarjana Hukum = Master of Art = Raden Mas = Mahkamah Agung = Pengadilan Negeri = Pengadilan Tinggi = halaman = versus = Master in de Rechten = Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Dagang/KUHD = Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana BPHN = Badan Pembinaan Hukum Nasional

http://pustaka-indo.blogspot.com

UU R.I H.R. BW S. Stbl. R.M. hemis

= = = = = = =

N.J.B.

=

A.A. WvK Rv.

= = =

Km DD

= =

Bag. Ed. Pdt. K AS CV HIR I.S. P4D

= = = = = = = = =

PP SK

= =

x

undang-undang Republik Indonesia Hoge Raad Burgelijk Wetboek Staatsblad Staatsblad Rechtgeleerd Magazijn hemis (nama majalah) Nederland Juristenbland (nama majalah) Ars Aequi (nama majalah) wetboek van koophandel Wetboek van Burgelijke Rechtsvordering kilometer tanda plat Sulawesi Selatan untuk kendaraan bermotor darat Bagian Editor perdata Kasasi Algemene Bepaling van Wetgeving Comenditaire Vennootschap Herzien Indonesis Reglement Indische Staatsregeling Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah Peraturan Pemerintah surat keputusan

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

R.bg. RD S.E.M.A.

= Rechtsregkement Buitengewesten = Reglement op de Rechterlijke Or­ ganitatie = Surat Edaran Mahkamah Agung

Daftar Singkatan

xi

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Pertama

PENDAHULUAN

Ius Vigilanticus Scriptum est “Hukum ditulis untuk orang-orang yang berjaga-jaga”

A. Hukum sebagai Suatu Sistem Di dalam setiap karya penulis tentang hukum, selalu yang pertama penulis kemukakan adalah “Hukum sebagai Suatu Sistem” karena cari fokus inilah munculnya berbagai masalah, berbagai bidang hukum. Hukum sebagai suatu sistem berarti hukum itu harus dilihat, harus diterima, dan harus diterapkan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling kaitmengait satu sama lain. Atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H.1 bahwa sistem adalah suatu kesatuan, suatu kebulatan di mana setiap problem baru mendapatkan jawabannya atau penyelesaiannya. Juga yang dirumuskan oleh Van Vollenhoven bahwa, “Innerlijke samen­ hang waarin ieder nieww probleem zijn antwoord vindt.” Sehubungan dengan hukum sebagai suatu sistem maka sistem hukum itu sendiri memiliki unsur-unsurnya, yang secara garis besarnya terbagi atas:

http://pustaka-indo.blogspot.com

1. 2. 3.

lembaga legislatif; lembaga peradilan; kebiasaan.

Jadi,terlihat bahwa lembaga peradilan adalah salah satu unsur dari sistem hukum. Peradilan merupakan salah satu pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang konkrit melalui pengadilan. Tuntutan hak yang konkret itu sehubungan dengan asas “hakim yang pasif ” yang didasarkan pada asas “Wo kein Kla­ ger ist, ist kein Richter” (di mana tidak ada tuntutan/penuntut, maka tidak ada hakim). Setiap masalah hukum tidak bisa kita lepaskan dari sistem hukum itu secara keseluruhan, sehingga setiap yuris harus senantiasa mengingat hukum sebagai sistem. Hal ini dapat kita lihat bahwa seorang petugas hukum tidak boleh membuat statement ataupun aturan dalam bentuk ataupun isi yang bertentangan dengan konstitusi misalnya, sekalipun statement­nya atau aturannya itu tidak berada dalam bidang hukum publik. Atau di bidang peradilan misalnya tidak mungkin putusan pengadilan negeri dapat membatalkan putusan Mahkamah Agung. Setiap sistem hukum selalu mengenal pembagian, hanya saja pembagian itu selalu dilihat dari berbagai sudut. Pembagian yang konvensional, yang paling banyak diterima orang sementara ini adalah: a. hukum publik; b. Hukum privat. Sehubungan dengan tempat “hukum acara perdata” itu sendiri, pada umumnya para ahli hukum memasukkannya 2

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

di bidang hukum privat, termasuk penulis sendiri. Walaupun di dalam kenyataannya memang ada beberapa ahli hukum isinya yang memasukkan hukum acara perdata sebagai bagian hukum publik, dengan alasan bahwa ditinjau dari segi lembaga pengelolanya serta aparat termasuk hakim, maka hukum acara perdata termasuk hukum administrasi negara, dalam hal ini hukum publik tentunya.2 Penulis sendiri menganggap hukum acara perdata sebagai bagian dari hukum privat, tidaklah secara konsekuen. Hanya saja jika pembagian hukum atas publik dan privat masih mau dipertahankan, maka letaknya hukum acara perdata dimaksudkan untuk mempertahankan hukum perdata/privat materiil. Tetapi, seandainya kita mau keluar dari pembagian hukum publik dan privat, maka penulis lebih cenderung menempatkan hukum acara perdata dalam bidang “hukum per­ adilan”. Penulis cenderung untuk membuat suatu bidang hukum baru, yang disebut “hukum peradilan” yang mencakupi hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara lainnya. Sebab, menurut pandangan penulis pembagian atas publik dan privat dewasa ini sulit untuk dipertahankan, mengingat batasan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan sudah sulit dipisahkan secara tegas. Apalagi dengan munculnya bidang-bidang hukum baru, seperti hukum lingkungan hidup, hukum angkasa, dan sebagainya.

B. Pengertian Hukum Acara Perdata Salah satu pembagian hukum secara ortodoks (the or­ thodox classiication) adalah pembedaan antara dua bidang hukum: Pendahuluan

3

http://pustaka-indo.blogspot.com

a. b.

substantive law; procedural law.

Pembagian seperti ini ditemukan di dalam sistem Hukum Anglo Saks (common law) di USA, Inggris, dan negaranegara comonwealth-nya. Hukum acara perdata menurut pembagian di atas, termasuk dalam bidang procedural law (hukum proses). Adapun hukum perdata materiil dan hukum dagang termasuk dalam bidang substantive law (hukum materiil). George Whitecross Patton3 tidak menyetujui pembedaan di atas, alasan Patton adalah: “Firstly, the whole law remedies does not belong to procedure, and secondly, there are rigths in the realm procedure just as in that of substantive law....” Jadi, pertama, karena keseluruhan hukum, bukan hanya hukum proses adalah bersifat “pemulihan hak”; dan kedua, di dalam hukum proses pun terdapat pengaturan hak dan kewajiban. Jika kita mengikuti jalan berpikir dari Patton di atas, maka kita melihat bahwa di dalam hukum materiil (substantive law) pun di samping mengatur hak dan kewajiban, juga bersifat pemulihan hak. Di lain pihak hukum proses (procedural law) pun di samping bersifat pemulihan hak, juga berisikan hak dan kewajiban. Karena itulah, sehingga Patton4 menganggap pembedaan antara “substantive law dengan procedural law” adalah kesalahan pembuat undang-undang. Yang dimaksud sebagai pemulihan hak adalah: “...A power damages, s a remedial right ...” Jadi, merupakan suatu kemampuan untuk memulihkan kembali hak melalui ganti kerugian. Lain lagi pandangan kaum realis, yang beranggapan bah4

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

wa baik di dalam “substantive law” maupun “procedural law” tidak berisikan hak dan kewajiban, tetapi keduanya bersifat pemulihan hak. Di dalam kenyataannya, hukum proses (the law proce­ dural) pun menciptakan hak dan kewajiban, atau lebih tepatnya lagi menciptakan: a. hak untuk menuntut ganti kerugian; b. kebebasan untuk menutut; c. kebebasan untuk memulihkan haknya; d. kekebalan (immunities). Antara lain diketahui bahwa walaupun di dalam hukum acara ada suatu hak untuk menuntut jawaban dari seorang saksi, di mana saksi itu berkewajiban untuk memberi jawaban, tetapi seorang saksi pun memiliki hak istimewa (the pri­ vilege) untuk menolak memberi jawaban, jika dengan jawabannya nanti ia bisa terlibat sebagai terdakwa. (Ini contoh dalam hukum acara pidana) Oleh karena itulah, penulis berpendapat bahwa pembedaan antara hukum materiil (substantive law) dan hukum acara (procedural law) jangan atas kriteria “hak dan kewajiban” serta “pemulihan”. Suatu cara pembedaan lain adalah apa yang dikemukakan oleh Charles F. Hamphill J.R. & Phyllis D. Hamphill5 yang membedakan atas: a. substantive law; b. adjective law (procedural law). Dikatakan bahwa substantive law adalah: “...hat area of the law which sets forth, deines. And creates rights, as distinguished from so called ADJECTIVE LAW, or PROCEDURAL Pendahuluan

5

http://pustaka-indo.blogspot.com

LAW, which provides the legal and method for enforcing or obtaining those rights. For example, the substantive law states that RAPE is an unlawful and forcible sexual assault on a female. Adjective law, for example, may provide that a female victim in a rape prosecution may not be cross examined as to whether she was previously chaste, unless some other witness testiies in open court that the victim was of questionable morals.

Jadi, mereka memberikan batasan tentang substantive law sekaligus dengan membandingkannya dengan adjective law. Tetapi mereka pun memberikan penjelasan tersendiri lagi tentang adjective law: “...hat body of the law which provides procedure and methods for enforcing legal rights. Adjective law is synonymous with procedural law. It is that part of the law concerned with methods for enforcing or maintaining rigths. Adjective (procedural) law is distinguished from substantive law that body of law which the courtc are established to administer.”

Dengan mengetahui perbedaan antara hukum materiil dan hukum proses (hukum acara), juga dengan mengetahui letak persamaannya, akan lebih mudah kita memahami pengertian daripada hukum acara perdata sendiri sebagai bagian dari hukum pada umumnya. Menurut Prof. Dr. R. Wiryono Prodjodikoro,S.H.,6 bahwa hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Deinisi di atas kurang menjelaskan apa kaitan hukum acara perdata dengan hukum sebagai satu sistem tersendiri. Kaitan antara pengertian hukum acara perdata dengan hu6

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

kum sebagai satu sistem, dapat lebih telihat dalam pengertian hukum acara perdata yang diberikan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H7. “Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.”

Selanjutnya beliau menjelaskan lagi, bahwa:8 “...Lebih konkret lagi, dapatkah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan daripada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan, dalam hal ini kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.”

Mengapa penulis mengatakan bahwa pendapat dari Prof. Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H. di atas lebih menampakkan kaitan yang erat antara pengertian hukum acara perdata di satu pihak dan hukum sebagai satu sistem di pihak lain, tidak lain karena di dalam uraian tersebut tampak pembagian atas: a. Hukum materiil. b. Hukum formal. Dengan memerhatikan apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tiba pada kesimpulan, bahwa Hukum acara per­ data adalah serangkaian aturan­aturan hukum bagi warga masyarakat yang ingin mempertahankan keperdataannya Pendahuluan

7

http://pustaka-indo.blogspot.com

dengan perantaraan hakim di muka persidangan pengadilan, dalam rangka melaksanakan aturan­aturan hukum materiil. Mengapa penulis lebih cenderung untuk menggunakan istilah “aturan” daripada “peraturan”, karena istilah “peraturan” lebih memberi makna hukum yang tertulis belaka, sedangkan istilah “aturan” selain hukum tertulis juga hukum tidak tertulis (di Indonesia adalah hukum adat). Mengapa pula penulis harus menegaskan perkataan “di muka persidangan pengadilan”, karena hukum formal tidak ahanya meliputi hukum acara perdata belaka yang memprosesnya di muka sidang pengadilan. Kita pun mengenal bagian daripada hukum acara yang tidak berlangsung di muka sidang pengadilan, seperti arbitrasi dan notaris. Demikian pula jika kita hanya menggunakan istilah “di muka pengadilan” masih bisa menimbulkan pengertian yang ambivalensi, karena bisa diartikan hanya di muka “gedung pengadilan”, padahal maksudnya tidak demikian.

C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana Jika kita ingin memberdakan antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana, maka akan ditemukan banyak sekali perbedaannya, antara lain penulis dapat mengemukakan beberapa di antaranya di bawah ini:

1. Perbedaan dari segi inisiatif pengajuan perkaranya Di dalam hukum acara pidana inisiatif untuk mengajukan perkara pidana ke muka persidangan pengadilan adalah jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum, sedangkan dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara perdata ke muka persidangan pengadilan ada8

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

lah pihak penggugat (the plaintif) yang mewakili kepentingannya sendiri secara perorangan. Jadi, dalam hal ini terlihat kepentingan umum pada hukum acara pidana dan kepentingan perseorangan pada hukum acara perdata.

2. Perbedaan dari segi keterikatan hakim pada alat-alat pembuktian Di dalam hukum acara pidana, hakim tidak semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, tetapi di samping terikat pada alat bukti yang sah, hakim harus terikat pada keyakinannya sendiri atas kesalahan si terdakwa. Inilah yang dalam sistem Hukum Anglo Saks dinamakan “beyond reasonable doubt”, sedangkan di dalam hukum acara perdata, hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan bahwa dalam hukum acara perdata cukup dengan “pre­ ponderance of evidence” sebagaimana yang dikatakan oleh Mc Cormich,9 bahwa: “Evidence preponderates when it is more convicing to the trier than the opposing evidence”.

3. Perbedaan dari segi kebenaran yang ingin dicapai Di dalam hukum acara pidana, sebagai konsekuensi dari keterikatan hakim pada keyakinannya sendiri, sehingga dikatakan bahwa hakim dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari “kebenaran materi”, sedangkan di dalam hukum acata perdata, karena hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan hanya mencari “kebenaran formal”. Dalam hubungan ini ada motto: Lebih baik membebasPendahuluan

9

http://pustaka-indo.blogspot.com

kan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tak salah.

4. Perbedaan dari segi pemisahan peristiwanya dan hukumnya Di dalam hukum acara pidana, terdapat perpaduan antara penetapan peristiwa dan penemuan hukum, sedangkan di dalam hukum acara perdata ada pemisahan. Para pihak hanya membuktikan “peristiwa” yang dipersengketakannya saja, sedang soal “hukumnya” adalah menjadi tugas hakim, sesuai asas IUS CURIA NOVIT (hakim dianggap akan hukumnya). Jadi, di dalam hukum acara pidana jaksa tidak membuktikan. Jaksa mempunyai inisiatip penuntutan dan dalam tuduhannya menentukan tema ke arah aman proses harus diarahkan, tetapi kemudian untuk selanjutnya jaksa sama kedudukannya dengan pembela, dan hakim dalam diskusi persidangan. Karena itu, menurut Enschede,10 dalam hukum acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang membuktikan.

5. Perbedaan dari segi penghentian pemeriksaan perkara Di dalam hukum acara pidana, kalau suatu perkara pidana sudah sekali diajukan oleh kejaksaan ke muka persidangan pengadilan, maka diteruskan atau tidaknya perkara itu pada asasnya tidak tergantung atas kehendak dari jaksa atau terdakwa. Pada asasnya kejaksaan tidak berwenang untuk mencabut tuntutannya, sedangkan di dalam hukum acara perdata, pada asasnya para pihak yang berperkara bebas untuk menghentikan pemeriksaan perkara itu sebelum hakim menjatuhkan putusannya. Misalnya, dalam hal ada perdamaian antara penggugat dan tergugat. 10

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dikatakan pada asasnya, karena ada pengecualian tertentu yang dalam seri hukum acara perdata terbitan berikutnya akan penulis bahas secara khusus.

6. Perbedaan mengenai beban pembuktian Di dalam hukum acara pidana, masalah beban pembuktian (the burden of proof) tidak sepenting dan seserius dalam hukum acara perdata: untuk menjelaskan lebih lanjut dapat ditemukan dalam bab-bab berikutnya dalam buku ini.

7. Perbedaan dari segi aktif dan pasifnya hakim Di dalam hukum acara pedata, pada dasarnya merupakan sengketa para pihak, di mana luas ruang lingkup persengketaan itu ditentukan oleh para pihak. Di sinilah terlihat sikap pasif dari hakim (verhanlungs maxim), jadi proses perdata merupakan “penyelesaian persengketaan”, sedangkan di dalam hukum acara pidana, bukan penyelesaian persengketaan. Hal in terlihat bahwa di dalam hukum acara pidana, walaupun terdakwa sudah mengadakan pengakuan, hakim tidak boleh meneriman begitu saja pengakuan terdakwa, tetapi harus aktif menyelediki kebenaran pengakuan itu, sedang tadi di dalam hukum acara perdata hakim wajib menerima pengakuan tergugat. Di sini, terlihat bahwa dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif (eventual maxim).

8. Perbedaan dari segi kepentingan yang dilindungi Dari sudut kepentingan yang dilindungi, maka di dalam hukum acara pidana mengahadapi dua kepentingan: 1. kepentingan umum; 2. kepentingan hukum. Adapun di dalam hukum acara perdata, dua pihak Pendahuluan

11

http://pustaka-indo.blogspot.com

yang berperkara sama bobot kepentingannya, sehingga berlaku asas AUDI ET ALTERAM PARTEM,11 yaitu baik pihak penggugat maupun tergugat harus diperlakukan sama. Dalam arti kata kans untuk kalah dan menang sama, tergantung nantinya pada pembuktian mereka sehingga keduanya memiliki kepentingan hukum yang sama. Di dalam hukum acara pidana tidak demikian. Kepentingan yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, sedangkan kepentingan yang diwakili terdakwa adalah kepentingan perseorangan. Kepentingan perseorangan di sini membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindungan hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah dihukum, sedangkan kepentingan hukum menghendaki agar yang tidak salah tidak dihukum.

9. Perbedaan dari segi sanksinya Di dalam hukum acara pidana, selain sanksi deinitif seperti hukum penjara, denda dan lain-lain dikenal juga adanya sanksi yang bersifat sementara, misalnya penahanan sebelum vonis dengan pertimbangan untuk memperlancar persidangan atau untuk kepantingan lain, misalnya terdakwa dikhawatirkan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya. Adapun di dalam hukum acara perdata tidak dikenal sanksi sementara. Sebagai catatan, perlu penulis kemukakan bahwa sita­ konservatoir bukanlah sanksi sementara.

10. Perbedaan dari segi sifat hukum Di dalam hukum acara pidana, tujuan hukuman adalah dengan sengaja membebankan nestapa kepada si pelaku.12 Adapun di dalam hukum acara perdata tujuan hukuman adalah untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku. 12

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Perdata Internasional Hal yang paling menonjol yang membedakan antara hukum acara perdata dean hukum acara perdata internasional adalah: – Di dalam hukum acara perdata, para pihak hanya berkewajiban membuktikan peristiwanya, sedangkan menyangkut hukumnya adalah menjadi tugas hakim. – Adapun di dalam hukum acara perdata internasional, para pihak di samping harus membuktikan peristiwanya yang dipersengketakan, juaga harus dapat membuktikan “HUKUM APA YANG BERLAKU”. Dengan kata lain, hukum negara manakah yang berlaku? Negara penggugatkah? Ataukah negara tergugat? Ataukah negara lainnya lagi?

Endnote: 1.

2. 3. 4. 5.

6. 7. 8.

Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, S.H. “Kuliah Ilmu Hukum”. Pendidikan Pascasarjana Hukum, Lembaga Pendidikan Doktor, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1981............... Dr. Sunarjati Hartono, S.H, “Kapita Selekta Perbandingan Hukum”, Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hlm. 72. George Whitecross Patton, “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford at the Clarendon Press, 1964, hlm. 535. Ibid. hlm. 535. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632, hlm. 13. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. “Hukum Acara Perdata Indo­ nesia”. Penerbit Sumur Bandung, 1980, hlm. 13. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo S.H. “Hukum Acara Per­ data Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 2. Ibid.

Pendahuluan

13

http://pustaka-indo.blogspot.com

9.

Edward W. Cleary. “Mc.Cormick’s Handbook of Law of Evidence”. St. Paul, Minn, West Publishing, Co. 1972, hlm. 793. 10. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 al. 5/6, hlm. 506. 11. Lihat tesis penulis untuk meraih gelar master dalam hukum acara perdata. 12. Prof. Mr. M.M. Djojodiguno, dalam kuliah Perkembangan Ilmu Hukum Umum, oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H.

14

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kedua

HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA DALAM PROSES PERDATA Juris Ignerantia Nocet,Facti Non Nocet “Tidak mengenal hukum adalah merugikan, tidak mengenal fakta-fakta tidak merugikan” A. Arti Membuktikan Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Inggris sering menggunakan istilah dua perkataan, yaitu: proof dan evidence. Adapun dalam hukum Belanda disebut “bewijs”. Tetapi, walaupun demikian, arti dari “membuktikan” itu sendiri banyak sekali, dan karena itu, untuk memahami pengertian hukum pembuktian itu sendiri tentu saja kita terlebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau membuktikan itu sendiri. Apalagi untuk kita kaitkan dengan pengertian “alat bukti” dan pengertian “beban pembuktian”. Oleh karena membuktikan memiliki pengertian yang sangat luas, yang tidak hanya terdapat dalam bidang hukum saja, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan arti membuktikan secara umum. Untuk itu, sebuah pengertian yang sangat menarik telah dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo,1 sebagai berikut:

http://pustaka-indo.blogspot.com

1.

Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma, bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya bukti lawan. kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional. Di sisi pun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, selain kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya, yang mempunyai tingkatantingkatan: a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian ini besifat intuitif, dan disebut conviction intime. b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang

2.

3.

16

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, hal ini terlihat bahwa ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Suatu pendapat yang menarik di kemukakan oleh H. Drion.2 Bahwa pembuktian yuridis itu adalah pembuktian yang “historis”. Dari uraian H. Drion, penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut; bahwa dikatakan pembuktian yuridis adalah pembuktian historis, karena ada yang hendak dibuktikan dalam suatu persengketaan perdata ataupun perkara pidana adalah sesuatu yang “sudah terjadi”, sesuatu yang sudah berada di masa silam. Jadi, pembuktian yuridis yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang terjadi secara in­concreto. Suyling3 menyatakan bahwa pembuktian secara yuridis tidak hanya berarti memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga berarti terjadinya suatu peristiwa yang tidak tergantung pada tindakan para pihak (seperti pada persengketaan) dan tidak pula tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada pengakuan dan sumpah). Di lain pihak, Eggens4 mengatakan bahwa membuktikan seperti menetapkan peristiwa hukum, tetapi juga dalam arti luas menetapkan hubungan hukumnya sendiri. Tentang pengertian dari istilah “evidence” itu sendiri, penulis tertarik dengan apa yang diuraikan secara panjang lebar oleh Sir Roland Burrows.5 Yang memberikan deinisi Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

17

http://pustaka-indo.blogspot.com

tentang pembuktian itu, deinisi mana pula diikutinya dengan penjelasan, dituliskannya bahwa: “Evidence, as used in judicial proceeding, has several meanings. he two mainsenses of the word are: irstly, the means, apart from argument and inference, whereby the court is informed as to the issues of fact as ascertained by the pleadings; secondly, the subject­ matter of such means. he word is also use to denote that some fact may be admitted as proof and also in some cases that some fact has relevance to the issues of fact. In a real sense evidence is that which may be placed before the court in order that it may decide the issues of fact. here also are other shades of meaning that it is not necessary to discuss here. hus it has bean held that “evidence” in the inheritance (Family Provision) Act, 1938, covers all the material that persons outside a court of law take into consideration when deciding how to act (Re Vrindt, Vrindt V. Swain, (1940) Ch, 920). Evidence, in the irst sense, means the testimony, whether oral, documentary or real, which may be lagally received in order to prove or disprove some fact in dispute....”

Deinisi yang dikemukakan oleh Sir Roland Burrows di ata memang cukup panjang, tetapi dari deinisi itu menjadi sangat jelaslah pengertian dari “evidence” itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Sir Roland bahwa ada dua pengertian yang utama dari kata “evidence”, yaitu: 1. Bagian dari alasan dan kesimpulan, dengan jalan mana pengadilan mengetahui peristiwa yang dipersengketaan sebagai suatu kepastian. 2. Pokok dari persoalan apa saja. Jadi, arti kedua ini adalah arti luasnya. Selain itu, perkataan “evidence” juga menurut Sir Roland digunakan: a. Untuk menunjukkan beberapa fakta yang mungkin dikenali sebagai bukti. b. Dan juga dalam beberapa kasus tentang beberapa fakta 18

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

yang mempunyai relevansi dengan peristiwa yang dipersengketakan. Dari sekian banyak pengertian tentang “evidence itu Sir Roland memberi arti yang paling khusus, yaitu bahwa pembuktian atau alat bukti ditempatkan di muka pengadilan agar pengadilan dapat memutus peristiwa yang dipersengketakan, jadi pengertian utamanya adalah selaku alat yang menghasilkan putusan. Dalam arti alat bukti, maka mencakupi: – kesaksian; – whether oral; – documentary atau real. Yang mana menurut hukum agar peristiwa yang dipersengketakan itu terbukti ataukah tidak terbukti. Adapun pengertian “evidence” di dalam “INHERITAN­ CE” (Family Provision) Act 1938, dikatakan sebagai meliputi seluruh alat-alat tentang person yang di luar suatu pengadilan, dan digunakan untuk menjatuhkan putusan. Sir Roland mengakui masih banyak lagi pengertian pembuktian lain, tetapi tidak relevan dibicarakan dalam pembicaraan mengenai hukum pembuktian ini. Berlainan dengan Sir Roland, maka Milton C. Jacobs6 mengemukakan pengertian pembuktian dari segi tujuannya, rumusan mana didasarkan pada putusan pengadilan dalam perkara Clark melawan Brooklyn Heights R. Co.: “he object of evidence is to inform the trial tribunal of the material facts, which are relevant as bearing upon the issues, in oder that the truth may be elicited and a just determination of the controversy reached.”

Jadi, dari segi tujuannya Milton C. Jacobs melihat adanya dua tujuan pembuktian: Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

19

http://pustaka-indo.blogspot.com

1. 2.

untuk mencapai kebenaran; untuk dapat menghasilkan puusan.

Kedua tujuan itu dicapai dengan jalan memberikan bahan-bahan tentang peristiwa yang dipersengketakan kepada pengadilan. Bahan-bahan mana tentu saja yang relevan dengan persoalan yang dipersengketakan. Dengan membedakan antara istilah “proof” dan istilah “evidence”, maka Milton C. Jacobs membedakan sebagai berikut:7 “Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence.”

Jadi, dalam hubungan ini “evidence” itu adalah alat buktinya, sedangkan “proof” adalah hasil atau akibat yang timbul dari alat bukti. Lebih lanjut dikatakan oleh Milton C. Jacobs,8 bahwa istilah evidence merupakan penggunaan umum bagi pembuktian yang terjadi di muka pengadilan atau proses pengadilan. Di kalangan ahli hukum Indonesia, maka Prof. Dr. R. Supomo9 mengemukakan pengertian pembuktian dengan membedakannya sebagai berikut: a. Pengertian yang luas. Pembuktian adalah membenarkan hubungan dengan hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan penggugat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Berhubung dengan itu, maka membuktikan dalam arti yang luas adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat bukti yang sah. b. Pengertian yang terbatas. Bararti bahwa yang perlu dibuktikan itu hanyalah hal20

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

hal yang dibantah oleh tergugat. Hal ini yang diakui tergugat tidak perlu dibuktikan lagi. Menurut Anema,10 membuktikan adalah memberi kepastian kepada hakim tentang peristiwa-peristiwa hukum dengan alat-alat tertentu untuk dapat mengabulkan akibat hukum yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa itu oleh hukum. Prof. R. Subekti, S.H.11 memberikan arti membuktikan dengan mengikat hakim untuk membenarkan kebenaran peristiwa/hak yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perkara. Penulis sendiri berpendapat bahwa pengertian membuktikan yang perlu kita persoalkan di sini hanyalah pengertian membuktikan dalam hukum acara perdata, karena pembicaraan kita saat ini berada dalam bidang hukum acara perdata. Penulis dalam hal ini, dapat memberikan batasan sekadar sebagai pegangan, bahwa pembuktian dalam proses perdata adalah: “Upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan persengketaan mareka atau untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu, dengan menggunakan alat bukti yang ditentukan hukum, sehingga dapat dihasilkan suatu penetapan atau putusan oleh pengadilan.”

a. b.

Mengapa penulis harus membatasi dengan dua hal: untuk menyelesaikan persengketaan; atau untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu.

Karena, kalau hanya untuk menyelesaikan persengketaan saja, bagaimana halnya dengan pembuktian dalam perkaraHukum Pembuktian Pada Umumnya ...

21

http://pustaka-indo.blogspot.com

perkara voluntair di mana di situ tidak ada persengketaan. Demikian juga kita tidak bisa mengatakan bahwa pembuktian hanya untuk menghasilkan putusan, karena pada umumnya pengertian “putusan” hanya berlaku bagi pengadilan yang sesungguhnya (contentieuse jurisdicte), yaitu dalam hal persengketaan ada, sedangkan dalam peradilan voluntair hanya dihasilkan “penetapan”.

B. Pengertian Hukum Pembuktian Sama halnya dengan pengertian “pembuktian”, maka pengertian hukum pembuktian pun terdapat banyak pendapat di kalangan yurist. Prof. R. Subekti, S.H12 mengemukakan bahwa hukum pembuktian memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim. Penulis kurang menyetujui batasan yang terlalu umum itu, karena bukan hanya hukum pembuktian yang memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim, melainkan keseluruhan aturan hukum acara, baik hukum acara perdata maupun hukum acara lainnya, juga memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim. Penulis lebih setuju deinisi yang dikemukakan oleh Edward W. Cleary,12 bahwa: “he law of evidence is the system of rules and standards by which the admission of proof at the trial of law suit is regulated.”

Deinisi Cleary di atas lebih menampakkan kekhususan hukum pembuktian dalam peranannya melalui pembuktian di muka persidangan, juga menunjukkan suatu sistem hukum dan standar bagi keseluruhan aturan pembuktian. 22

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

Oleh karena itu, lebih tepatnya jika penulis merumuskan batasan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai berikut: “Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim.”

C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian Ilmiah Lainnya Sehubungan dengan terdapatnya perbedaan pembuktian yuridis dan pembuktian ilmiah, maka menurut Lord Justice Danning.14 Baik dalam pembuktian yuridis maupun pembuktian ilmiah lainnya adalah: “he degree of probality which a reasonable and just man wuld reqiure to come to a conclusion....depens on the conclusion to which he is required to come ...”

Mengapa ada perbedaan antara pembuktian dan pembuktian ilmiah? Semuanya akan penulis kemukakan secara terperinci di bawah ini. Sehubungan dengan itu, Edwin C. Concrad15 menyatakan bahwa: “He learns early in his practice that legal rules of evidence are not and never will be based on principles of science. He does comprehend, that science is science and law is law and never the twain shall meet.”

Walaupun antara pembuktian yuridis dan pembuktian ilmiah adalah “never the twain shall meet”, tetapi bukan berarti tidak bisa dibuktikan, karena itu penulis memberikan tiga perbedaan antara keduanya: 1. Pembuktian yuridis adalah bersifat historis (lihat pendapat H. Drion,15 artinya yang ingin dibuktikan secara yuridis itu adalah suatu peristiwa yang telah terjadi, seHukum Pembuktian Pada Umumnya ...

23

http://pustaka-indo.blogspot.com

suatu yang berada di masa lampau. Adapun pembuktian eksakta khususnya dan pembuktian ilmiah lainnya adalah untuk membuktikan sesuatu yang di masa sekarang. Di dalam pembuktian ilmiah, tidak dibedakan antara pihak yang mengajukan pembuktian dan pihak yang menilai pembuktian. Walaupun ada perbedaannya tetapi tidak secara tegas terpisah. Lain halnya dengan pembuktian yuridis, di mana antara pihak yang mengajukan pembuktian dan pihak yang menilai pembuktian itu dibedakan secara terpisah, yaitu: a. Yang mengajukan alat bukti adalah: (i) dalam perkara perdata: para pihak; (ii) dalam perkara pidana: Jaksa. b. Yang menilai pembuktiannya itu adalah hakim.

2.

3.

Hasil dari pembuktian ilmiah lebih pasti dan eksak daripada hasil pembuktian yuridis. Misalnya, dalam pembuktian yuridis, jika seorang tergugat mengakui telah berutang kepada penggugat, maka sekalipun tergugat berdusta, oleh hakim hal itu harus diterima sebagai terbukti benar telah berutang.

Sehubungan dengan hal ini, perlu diketahui adanya perbedaan antara sistem peradilan Anglo Saks di negara-negara com­ mon law, dengan sistem peradilan kontinental, seperti yang dianut di Indonesia (sebagai akibat warisan penjajahan Belanda). Perbedaannya yang sehubungan dengan masalah pembuktian ini adalah: – Dalam sistem kontinental, hakimlah yang memeriksa baik peristiwanya maupun hukumnya. – Dalam sistem Anglo Saks, hakim memeriksa segi hukumnya dan juri menangani segi fakta atau peristiwanya. Dalam 24

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

hal ini juri hanya menyatakan “guilty or not guilty”, selanjutnya tugas hakim untuk follow­up masalah hukumnya. Dari apa yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa di dalam hukum pembuktian dibedakan atas: 1. Siapa yang mengajukan alat bukti. 2. Siapa yang menilai alat bukti.

D. Letak Hukum Pembuktian Sering timbul keraguan kita, apakah hukum pembuktian hanya merupakan bagian dari hukum acara perdata ataukah bagian hukum perdata materiil? Pertanyaan ini timbul dengan pengaturan masalah pembuktian dalam buku IV KUH perdata kita. Sebenarnya pengaturan masalah pembuktian dalam buku IV KUH perdata adalah sama dengan penempatan seseorang yang “salah kamar”, karena hukum pembuktian adalah bagian dari hukum acara perdata, bukan hukum perdata materiil. Penyebab dari “salah kamar” itu adalah harus ditinjau dari segi historis hukum acara perdata di Eropa. Dahulu dikenal adanya: a.

Hukum Formal dengan unsur-unsur materiil.

b.

Hukum Formal dengan unsur-unsur formal.

Penulis sadar, hal ini mungkin akan membingungkan beberapa pembaca. Penulis sendiri pun sebelumnya pernah mengkaji benar-benar masalahnya dan menjadi bingung sendiri. Sebab, bukankah hukum formal adalah formal, dan yang materiil itu adalah hukum materiil? Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

25

http://pustaka-indo.blogspot.com

Di zaman dahulu di Eropa, sebagian besar yuris berpandangan adanya dua jenis hukum formal dan adanya dua jenis hukum materiil. Hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil adalah hukum formal yang memuat tentang hak dan kewajiban, misalnya pembuktian, termasuk hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, karena di dalam pembuktian diatur tentang hak dan kewajiban para pihak untuk membuktikan. Berbeda dengan hukum formal yang hanya memiliki unsur-unsur formal, adalah semata-mata hal yang murni prosesuil sifatnya, misalnya: hakim memakai toga, para pihak duduk didepan meja hakim, dan sebagainya. Karena pertimbangan bahwa hukum pembuktian adalah hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, maka dimasukkan ke dalam Buku IV KUH Perdata (BW). Menurut anggapan penulis, seyogianya pembagian semacam itu tidak dianut lagi pada zaman kini, karena hanya menimbulkan kebingungan belaka. Pembuat undang-undang di negeri Belanda pun, sebagai tempat asal BW Indonesia, sudah tidak mengakut pembagian demikian itu. Terbukti dari BW baru Belanda yang tidak lagi memasukkan pengaturan hukum pembuktian dalam BW baru itu. Sebagai gambaran agar pembaca lebih memahaminya, penulis di bawah ini mencantumkan BW baru BELANDA dalam sistematikanya;17 – Yang telah diundangkan: Buku I : Hukum Perorangan dan Hukum Keluarga Buku II : Badan-badan Hukum – Yang telah disetujui parlemen, tetapi belum diundangkan: 26

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com



Buku III : Hukum Harta Benda Umumnya Buku IV : Hukum Warisan Buku V : Hak-hak Benda Buku VI : Bagian Umum Hukum Perikatan Yang masih dalam persiapan: Buku VII : Perjanjian-perjanjian Khusus Buku VIII : Alat-alat Pengangkutan dan Pengangkutan Buku IX : Hak-hak atau hasil pikiran

Selain itu, hukum pembuktian adalah termasuk hukum acara perdata, ketentuannya dapat kita lihat pada konstitusi ris yang mencantumkannya huruf “i” dari lampiran pokokpokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada RIS menurut pasal 51 yang berbunyi bahwa: “...Asasasas pokok hukum acara perdata, termasuk didalamnya hukum pembuktian....” Dari beberapa uraian di atas, cukup kuatlah alasan penulis jika mengatakan bahwa hukum pembuktian adalah bagian dari hukum acara perdata. Dewasa ini, selama belum ada Undang-Undang Hukum acara perdata yang baru, maka HIR, RBG, dan buku IV BW masih tetap berlaku bagi hukum pembuktian. Khususnya hukum pembuktian dalam Buku IV BW disusun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hukum harta kekayaan di muka hakim perdata. Adapun bagi acara declaratoir atau peradilan voluntair pada asasnya tidak tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV BW, kecuali diperlakukan secara analog.19 Di dalam perkembangannya dewasa ini, hukum pembuktian lebih banyak dikembangkan oleh DOKTRINA (para ahli hukum) dan YURISPRUDENSI (putusan peradilan). Dan Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

27

http://pustaka-indo.blogspot.com

diharapkan bahwa di dalam hukum acara perdata itu kita kelak diatur di dalamnya secara lebih lengkap dan sesuai zaman. Di atas telah penulis kemukakan bahwa hukum pembuktian yang diatur di dalam BW Buku IV hanya berlaku untuk perkara contradictoir, dan tidak diperuntukkan bagi perkara-perkara voluntair atau declaratoir. Tetapi walaupun demikian, hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, diperlakukan secara analogi maupun a contrario bagi perkara decralaratoir (atau peradilan semu). Karena, isi aturan pembuktian yang terdapat dalam Buku IV BW, aturan pembuktian yang terdapat dalam HIR atau R.bg. maka sama saja, bahwa jika dikatakan Buku IV BW hanya berlaku bagi perkara-perkara contradictoir, demikian pula HIR dan R.bg. Dari mana dapat diketahui bahwa hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya berlaku bagi perkara-perkara contradictoir? Ini diatur oleh yurisprudensi, dengan putusan H.R. tertanggal 19 Desember 1932 bahwa BW Buku IV semata-mata hanya diperuntukkan bagi perkara-perkara contradictoir. Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud sebagai perkara-perkara contradictoir adalah perkara persengketaan perdata yang sesungguhnya, di mana jelas ada pihak yang bersengketa, ada penggugat dan ada tergugat. Dalam hal ini pengadilan menghasilkan “putusan” yang sifatnya dimenangkan salah satu pihak yang berperkara, entah penggugat, entah tergugat. Demikan juga dalam hal adanya pihak ketiga yang melakukan intervensi. Adapun perkara decralatoir adalah perkara yang di bawah yurisdiksi peradilan voluntair (peradilan semu), dalam hal mana pengadilan tidak memberikan dua pihak yang 28

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

berperkara, karena hanya ada satu pihak yang memohonkan penetapan, misalnya si A memohonkan kepada pengadilan agar ia ditetapkan sebagai wali dari anaknya, dan sebagainya. Jadi, dalam hal ini pengadilan hanya menghasilkan suatu “penetapan”, bukan “putusan”. Tadi dikatakan, bahwa walaupun hukum pembuktian dalam Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya diperuntukkan bagi perkara contradictoir, namun diperlukan secara analogi atau a contrario bagi perkara decralatoir. Sebagaimana diketahui analogi dan a contrario adalah jenis penafsiran yang digunakan dalam hukum perdata. Perbedaan antara analogi dan a contrario adalah bahwa: – analogi memperluas suatu aturan hukum; – a contrario mempersempit suatu aturan hukum. Contoh klasik dari analogi, ialah: BW mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Kemudian dianalogikan bahwa walaupun undang-undang hanya mengatur tentang “jual-beli”— adalah suatu bentuk “peralihan hak”—maka pengadilan sejak puluhan tahun yang lampau telah memperluas undangundang, dengan menganalogikan bahwa bukan hanya “jual beli” yang tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa, melainkan semua bentuk peralihan hak lainnya pun, tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Jadi, hibah pun misalnya, juga tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Contoh klasik dari argumentum a contrario adalah Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa wanita yang bercerai dari suaminya, mempunyai masa idah 300 hari, di mana dalam masa iddah itu wanita tersebut belum boleh melangsungkan perkawinan baru. Yang diatur hanyalah waHukum Pembuktian Pada Umumnya ...

29

http://pustaka-indo.blogspot.com

nita. Bagaimana dengan pria yang bercerai? Undang-undang tidak mengatur, tetapi berdasarkan a contrario, diperoleh hasilnya aturan yang menganggap bahwa karena undang-undang hanya mengatur bagi wanita, maka berarti sebagai lawannya, yaitu pria yang tidak mempunyai masa idah. Aturan hukum pembuktian yang khusus mengatur tentang perkara-perkara yang decralatoir atau peradilan voluntair, ternyata hanya diatur dalam satu Pasal HIR, yaitu Pasal 145 ayat 2 yang dapat penulis simpulkan esensi aturannya tentang pengecualian aturan orang bisa menjadi saksi (baca sendiri isi pasal 145 ayat 2 HIR). Selebihnya diterapkan hukum pembuktian bagi perkara contradictoir berdasarkan analogi dan a contrario tadi. Pada hakikatnya, penafsiran analogi dan a contrario itu adalah perwujudan dari asas putusan yang dicetuskan oleh Aristoteles, bahwa perkara yang sama seyogianya diputus sama dan perkara yang tidak sama seyogianya diputus tidak sama. Adanya analogi dan a contrario selaras dengan kewajiban hakim yang tidak boleh tidak harus memutus perkara yang telah diajukan padanya berdasarkan asas IUS CURIA NOVI, di mana walaupun undang-undang tidak mengaturnya, hakim harus menciptakan hukumnya.

E. Hukum Pembuktian dalam Sollen Sein Ada semacam pembagian dunia penelitian hukum atas: Dunia sollen (dunia cita). Dunia sein (dunia nyata).

a. b.

Untuk jelasnya, penulis menggambarkannya dengan secara skematik. 30

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

Jika kita membandingkan skema di atas dengan letak daripada hukum pembuktian itu sendiri, dapatlah penulis mengatakan bahwa hukum pembuktian terletak di dalam dunia sollen maupun di dalam dunai sein. Terutama karena hukum pembuktian adalah termasuk pada hukum formal yang lebih menonjol peranannya sebagai pelaksanaan. Jadi, sebagai aturan tentang pembuktian, yang merupakan bagian dari aturan hukum acara perdata, maka dapat dikatakan hukum pembuktian ini termasuk dalam dunia sollen. Adapun sebagai “law enforcement” maka pembuktian itu termasuk dalam dunia sein. Pengertian “law enforcement” sendiri berarti pelaksanaan hukum. Tetapi dalam hal ini penulis perlu menggarisbawahi bahwa pelaksanaan hukum itu ada dua macam: 1. Pelaksanaan hukum secara otomatis (tanpa sengketa). 2. Pelaksanaan hukum dalam hal ada persengketaan (pada umumnya melalui peradilan). Pelaksanaan hukum secara otomatis dapat kita rasakan sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita mengendarai mobil atau motor di arah jalan kiri, kita mengasuh anakUndang-undang TERTULIS NORM Sollen

PERILAKU Sein

Putusan pengadilan TIDAK TERTULIS KEBIASAAN PERJANJIAN LAW ENFORSEMENT KESADARAN HUKUM

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

31

http://pustaka-indo.blogspot.com

anak kita, kita membayar ketika kita membeli barang dan sebagainya. Maka dalam hubungan ini, hukum pembuktian yang termasuk dalam dunia sein adalah termasuk dalam jenis pelaksanaan hukum di dalam hal ada sengketa perdata. Karena itulah mempelajari hukum pembuktian harus pula menghayati sein.

F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quoderat Demonstrandum) dan Apa yang Tidak Perlu Dibuktikan Pada zaman dahulu, ada yang beranggapan bahwa yang dapat dibuktikan hanyalah “peristiwa”, sedangan “hak” tidak dapat dibuktikan. Pendapat tersebut sudah tidak diterima dewasa ini.18 Sehingga dewasa, ini hal-hal yang dapat dibuktikan (Quod Erat Demonstrandum) adalah: a. Peristiwa (factum). b. Hak (ius). Dapat dibuktikannya hak kita bisa lihat pada Pasal 163 HIR (Pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) yang isinya menyatakan: “Barangsiapa menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”

Selain itu, yurisprudensi pun menerima pendapat tentang dapat dibuktikannya hak. Sekarang penulis terlebih dahulu ingin melihat, apakah yang dimaksudkan peristiwa dan apa pula yang dimaksud hak.

32

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

1. Pengertian peristiwa Pengertian “peristiwa” yang dapat dibuktikan di dalam hukum pembuktian ini berbeda dengan pengertian “peristiwa hukum”. Peristiwa hukum sebagaimana yang kita ketahui adalah “Peristiwa yang oleh hukum diberi akibat hukum.” Adapun peristiwa yang harus dibuktikan jauh lebih luas lagi, yaitu sesuatu yang kompleks sifatnya, karena peristiwa ini merupakan suatu keseluruhan dari keadaan, kejadian, hubungan dan sebagainya. Jadi, bukan hanya suatu kejadian, bahkan sering kali tidak dilihat secara keseluruhan oleh pancaindra.

2. Pengertian hak Dalam bahasa Belanda, dikenal adanya dua jenis “hukum”: a.

Hukum objektif.

b.

Hukum subjektif.

Sebenarnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka hukum objektif itu adalah “hukum” itu sendiri, sedangkan hukum subjektif adalah “hak”. Menurut Prof. Holand20 yang dimaksudkan sebagai “hak” adalah: “One man’s capasity of inluencing the acts of an other, by means, nota of his own strength, but of the opinion or the force of society.”

Jadi, menurut Prof. Holand, hak merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi perbuatan/tindakan orang lain, bukan dengan jalan kekuatannya sendiri, melainkan didasarkan pada pendapat atau kekuatan masyarakat. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

33

http://pustaka-indo.blogspot.com

Atau seperti yang dikatakan oleh Ernest Barker21, bahwa: “My right in general are my part and portions of a whole system of right, as expressed an embodied in my particular person, an they are part and portion”.

Jadi pada asasnya, kata Ernest Barker, hak adalah bagian dari keseluruhan sistem hukum. Atau menurut Dias22 bahwa: “A right is a claim, whether enforceable or not, which resides by virtue of a rule of law in any given person, that another person, also by virtue of law, shall behave in a particular way.”

Jadi, Dias lebih memandang hak itu sebagai suatu tuntutan yang karena adanya suatu kaidah hukum yang dipunyai oleh seseorang terhadap orang lain, agar orang lain itu berbuat/bertindak menurut suatu kaidah tertentu itu. Bagi sistem hukum Barat, hak adalah alat untuk memungkinkan manusia memperkembangkan jiwa raganya secara sepenuhnya. Demikian kata Ernest Barker.23 Adapun bagi kita di Indonesia, hak itu bukanlah untuk digunakan secara sepenuhnya, melainkan juga harus memerhatikan kepentingan kolektif. Menurut penulis, kebebasan yang sebebas-bebasnya justru adalah ketidakbebasan. Marilah penulis memberikan sebah contoh sebagai berikut: Jika si A dengan sebebas-bebasnya menggunakan haknya untuk menggunakan mobil pribadinya dengan kecepatan maksimal 120 kilometer perjam ditengah keramaian kota, apakah yang terjadi? Malapetakalah yang akan menimpa orang lain yang juga adalah pemakai jalan raya, sehingga kebebasan bagi si A adalah ketidak bebasan bagi orang lain. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengartikan hak itu sebagai: 34

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

“Kebebasan untuk berbuat sesuatu menurut hukum, dengan me­ merhatikan kepentingan kolektif.”

Perkataan memerhatikan kepentingan kolektif disini, bukan berarti lantas kepentingan pribadi si pemilik hak sudah diatasi sama sekali oleh kepentingan kolektif, karena itu penulis tidak menggunakan kata “tunduk” kepada kepentingan kolektif, tetapi “memerhatikan” kepentingan kolektif. Ini berarti antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif harus selaras. Sehubungan dengan hal di atas, ada pepatah hukum yang menyatakan: “Quod licet jovi non licet bovi”, apa yang boleh dilakukan oleh seseorang belum berarti yang lain juga boleh melakukannya.” Setelah kita mengetahui pengertian “peristiwa” dan “hak”, timbullah pertanyaan, dari suatu peristiwa, apanya yang harus dibuktikan?. Jawabannya adalah bahwa yang harus kita buktikan pada suatu peristiwa adalah “kebenarannya”. Bahwa peristiwa tersebut benar telah terjadi. Di dalam hukum pembuktian, tidak semua peristiwa itu harus dibuktikan. Untuk mengetahui mana yang harus dibuktikan dan mana yang tidak perlu dibuktikan, maka penulis di bawah ini menjelaskannya dengan gambar berikut. Jadi, ada dua macam peristiwa dalam hubungannya dengan pembuktian ini: 1.

Peristiwa yang irelevan (tidak relevan).

2.

Peristiwa yang relevan.

Sehubungan dengan peristiwa yang relevan dan irelevan ini, ada ahli hukum lain yang menggunakan istilah: Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

35

http://pustaka-indo.blogspot.com

Keterangan gambar: A = Peristiwa yang tidak relevan. B = Peristiwa yang relevan. B1, B2, B3, dan B4 adalah peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan.

1. 2.

Ratio Decidendi. Obitar Dictum.

a.

Ratio Deciendi Ratio decidendi ini adalah inti dari suatu perkara yuridis, yakni bagian yang dianggap mempunyai sifat yang menentukan. Dengan kata lain, Ratio decidendi adalah faktor yang sejati (material fact), faktor esensi yang justru mengakibatkan suatu putusan demikian. Obiter Dictum Kebaikan dari ratio decidendi adalah obiter dictum ini. Jadi, merupakan bagian dari peristiwa yuridis yang tidak penting diperhatikan. (mengenai hal ini, lebih mendetailnya dapat dibaca pada hlm. 30-31, Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H., “Pedo­ man Pelajaran Tata Hukum Indonesia).

b.

Peristiwa yang irelevan ini sudah jelas tidak perlu dibuktikan, berdasarkan asas “MINIMA NON CURAT PRAETOR”, yaitu bahwa hakim tidak memerhatikan hal-hal yang remeh, atau asas lain “NULTA SED NON MULTUM”, yaitu banyak 36

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

http://pustaka-indo.blogspot.com

dalam jumlah, tetapi tidak ada yang penting. Tetapi perlu diketahui, bahwa tidak semua peristiwa yang relevan yang perlu dibuktikan. Ada empat peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan (dalam gambar penulis sebagai B1, B2, B3, dan B4), yaitu: 1. Peristiwa prosesuil. 2. Peristiwa notoir. 3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum. 4. Peristiwa yang oleh undang-undang sendiri telah ditentukan bahwa tidak perlu dibuktikan lagi. Baiklah, di bawah ini penulis menjelaskan masing-masing dengan lebih mendetail. ad. 1. Peristiwa prosesuil Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil adalah peristiwa yang terjadi di muka persidangan pengadilan yang memeriksa perkara yang bersangkutan yang harus dibuktikan tadi. Penulis dalam hal ini dapat membagi peristiwa prosesuil itu atas: a. Peristiwa prosesuil murni. b. Peristiwa Prosesuil yang tidak murni. Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil murni, adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka persidangan pengadilan, yang bersifat yuridis prosesuil, misalnya penggugat mengadakan pengakuan murni, sehingga perkara itu bisa diputus dengan dasar pengakuan murni dari tergugat itu. Adapun yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil yang tidak murni adalah peristiwa-peristiwa yang terHukum Pembuktian Pada Umumnya ...

37

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

jadi di muka persidangan, yang sebenarnya hanya peristiwa biasa, tetapi karena mempunyai pengaruh terhadap peristiwa pemeriksaan, maka harus dicatat dalam berita acara. Misalnya, si tergugat atau si penggugat ketika sedang diperiksa dimuka persidangan, tiba-tiba menguap dengan membuka mulut lebar-lebar, yang berakibat secara kebetulan seekor lalat masuk menyangkut di kerongkongannya, sehingga ia kelabakan dan berjingkrak-jingkrak, atau mungkin pingsan karena sesak nafas, sehingga menimbulkan kegemparan di persidangan, atau menyebabkan terjadinya gangguan pada pemeriksaan perkara tersebut. Peristiwa prosesuil ini dianggap diketahui hakim sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. ad. 2. Peristiwa notoir Ini harus berhati-hati untuk menyatakan atau menggalangkan suatu peristiwa ke dalam Notoir­Feiten atau peristiwa notoir ini, karena kadang-kadang suatu peristiwa kelihatannya adalah peristiwa notoir, padahal bukan. Peristiwa notoir itu sendiri adalah suatu peristiwa yang dianggap peristiwa yang sudah diketahui oleh orang yang memiliki penidikan cukup dan telah mengenal keadaan masa di mana ia hidup, tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut lagi, termasuk pula peristiwa yang diketahuinya dari sumber-sumber umum (mass media misalnya) tanpa mengadakan peristiwa yang cukup untuk digunakan sebagai argumentasi pembenaran bagi suatu tindakan yang sifatnya merupakan sifat yang memiliki arti. (Bandingkan pula pendapat P.A. Stein24 dan pendapat Prof.Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo.25 Atau pendapat Prof. Mr. A. Pitlo,26 bahwa tidaklah ter38

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

masuk dalam peristiwa notoir jika peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui hakim yang bersangkutan, atau hakim yang menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian atau keadaan. Ini berarti bahwa “private knowledge” dari hakim atau yang dalam istilah hukum kontinental disebut “Eigen Weten­ schap des Rechters”, masih memerlukan pembuktian dan tidak termasuk peristiwa notoir. Misalnya, hakim kebetulan melihat tergugat mengadakan perjanjian jual beli rumah yang kini dipersengketakan, di mana hakim itu sendiri yang kebetulan memeriksa perkaranya, maka dalam hal ini terjadinya perjanjian jual beli rumah itu masih tetap harus dibuktikan oleh para pihak, karena ini hanya merupakan “Eigen Wetenschap des Rechters” dan bukan Notoir Feiten. Lazimnya peristiwa notoir ini diartikan sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh sebab itu, maka hakim berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas juga, harus tahu juga peristiwa notoir ini, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sebagai contoh, bahwa hari kemerdekaan Republik Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hal ini tidak memerlukan pembuktian lagi di muka pengadilan. Adalah tidak eisien apabila harus didatangkan seorang saksi sejarah yang membuktikan bahwa proklamasi Indonesia itu benar tanggal 17 Agustus 1945. Dalam hal timbul perselisihan akan hal semacam itu sulit untuk dimasukkan dalam golongan “diketahui umum”, sehingga dalam hal demikian perselisihan akan timbul, peristiwa yang bersangkutan masih harus dibuktikan. Demikian Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

39

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

pendapat Prof. R. Soekardono, S.H.27 Tadi penulis mengemukakan bahwa sering suatu peristiwa dianggap notoir feit, padahal sebenarnya bukan. Penulis dapat memberikan sebuah contoh: jika si X dikatakan sebagai orang terkaya di kota Ujungpandang, ini belum merupakan peristiwa notoir, karena kriteria kaya tidaknya seseorang masih merupakan sesuatu yang relatif dan masih memungkinkan diperdebatkan. Lain halnya dengan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari diproklamasikannya Republik Indonesia, tidak mungkin diperdebatkan lagi. Penulis membagi ada tiga macam peristiwa notoir: a. Peristiwa notoir yang bersifat internasional. b. Peristiwa notoir yang bersifat nasional. c. Peristiwa notoir yang bersifat lokal/kedaerahan. Peristiwa notoir yang bersifat internasional misalnya, bahwa Israel melakukan invasi militer ke wilayah Lebanon, atau Partai Buruh Solidaritas dibubarkan oleh pemerintah Polandia. Peristiwa notoir yang sifatnya internasional ini pada umumnya berlaku bagi hukum acara perdata internasional, tetapi bukan berarti bahwa dalam hukum acara perdata biasa tidak mungkin berarti. Sebagai contoh: jika tergugat ingin membuktikan ketidakberadaannya di Indonesia, karena berada di Lebanon pada saat tentara Israel melakukan invasinya, ini sudah merupakan peristiwa notoir intenasional, yaitu tentang saat tentara Israel melakukan invasi itu. Adapun peristiwa notoir yang bersifat nasional, misalnya meletusnya Gunung Galunggung di Jawa Barat. Atau bahwa Menteri Pertahanan Republik Indonesia sekarang (tahun 1982) adalah Jenderal TNI M. Yusuf. 40

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dan peristiwa notoir lokal/kedaerahan, misalnya bahwa Kantor Pengadilan Negeri Ujungpandang terletak di Jalan Kartini persimpangan/pojok jalan Jenderal Sudirman, bahwa bioskop artis terletak di jalan G. Lompabatang dan lainlainnya. Ini hanya merupakan peristiwa notoir yang berlaku bagi penduduk tetap Ujungpandang atau Makasar. Tidak perlu dibuktikan lagi bahwa bioskop artis itu apakah benar terletak di jalan G. Lompobatang atau tidak. Yang dewasa ini masih merupakan polemik dalam literatur-literatur hukum pembuktian antara para ahli hukum adalah apakah termasuk pula dalam pengertian peristiwa notoir, peristiwa yang merupakan desas-desus? Atau secara lengkap penulis mempertanyakan, apakah peristiwa-peristiwa: a. desas-desus, b. rumor (desas-desus buruk bagi seseorang), c. fama, juga sejenis desas-desus, d. communis, opinie doctorum (pendapat umum para ahli), dapat dimasukkan sebagai peristiwa notoir atau bukan? Masih diperdebatkan kini. ad. 3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum Yang penulis maksudkan di sini, sebagai peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum adalah peristiwa yang berdasarkan pengalaman, atau dengan kata lain kesimpulan yang didasarkan pada pengetahuan umum. Pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah tidak bersifat normatif, jadi merupakan ketentuan umum berdasarkan pengalaman manusia yang digunakan untuk menilai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan itu. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

41

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pengetahuan tentang pengalaman, misalnya: bahwa seorang manusia yang berlari nonstop selama dua jam, pasti akan kepayahan; bahwa mobil yang dilarikan dengan kecepatan 100 kilometer per jam, kemudian tiba-tiba direm, pasti meninggalkan “remspoor” (bekas rem di aspal); jika seorang manusia ditembak kepalanya sehingga kena dengan sebutir peluru, maka orang itu pasti mati.

– –



Semua contoh di atas tidak membutuhkan pembuktian lagi, sesuai asas “MANIFESTA NON EGENT PROSATIONE” (fakta-fakta yang dikenal umum tidak perlu memerlukan pembuktian). Coba dibayangkan jika untuk membuktikan bahwa seorang yang ditembak kepalanya akan mati, harus dibuktikan dengan menampilkan seorang “sukarelawan” yang bersedia benar-benar ditembak kepalanya di muka persidangan, bukankah suatu hal yang tidak mungkin?. Lalu di mana letak perbedaan antara peristiwa notoir dengan peristiwa yang berdasarkan pengetahuan umum? Perbedaannya adalah: – peristiwa notoir, hakim mengenal peristiwanya secara konkret, misalnya warna emas adalah kuning; – peristiwa yang didasarkan pengetahuan umum, hakim menerapkan suatu pengetahuan umum, misalnya mobil lebih cepat larinya dari manusia. ad. 4. Peristiwa yang oleh undang­undang sendiri telah ditentukan bahwa tidak perlu dibuktikan Dalam hal ini ada yang juga termasuk peristiwa prosesuil. Sebagai contoh: – dengan telah dilaksanakannya sumpah pemutus (sum42

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com





pah decisoir), yang oleh undang-undang tidak memungkinkan pembuktian perlawanan lagi, maka peristiwa yang dipersengketakan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut; jika seorang tergugat mengakui gugatan penggugat dalam bentuk pengakuan murni, berarti peristiwa yang dipersengketakan yang telah diakui secara murni oleh tergugat tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut, dan perkara itu dianggap selesai; dalam hal tergugat tidak datang, padahal telah dipanggil secara patut, lalu hakim menjatuhkan hukuman verstek yang menyatakan tergugat kalah, maka peristiwa yang di persengketakan yang dimuat dalam gugatan penggugat tanpa diadakan pembuktian sudah dianggap benar, dan kemudian tanpa mendengar serta di luar hadirnya tergugat dijatuhkan hukuman verstek. (sebagai catatan, perlu diketahui, bahwa tidak mesti seorang hakim men­ jatuhkan hukuman putusan yang menyatakan kalahnya tergugat secara verstek jika tergugat tidak hadir, meski­ pun telah dipanggil secara patut, bisa saja dengan per­ timbangan bahwa gugatan si penggugat tidak ada dasar hukumnya, maka hakim dalam ketidak hadiran tergugat menyatakan penggugat yang kalah, bukan tergugat).

Mengenai hal ini, lihat Pasal 8 dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 atau Pasal 200 R.bg. Untuk menjelaskan mana peristiwa yang relevan dan mana yang irelevan, penulis memisalkan sebagai berikut: Terjadi tabrakan antara mobil Mercy putih milik Tuan A dan mobil Toyota milik Tuan B, sehingga Tuan B meminta ganti rugi. Terjadinya tabrakan pada Jumat kliwon. Dan lokasiHukum Pembuktian Pada Umumnya ...

43

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

nya di perempatan jalan Kartini, jalan G. Sawakarang, Jalan Sudirman, Tuan A memakai baju safari merah muda, berkacamata, sedangkan Tuan B memakai Jean sepasang warna biru. Pada saat kecelakaan, di atas mobil Tuan A ikut anakananya. Adapun di atas mobil Tuan B ikut pacarnya Miss X, seorang aktris jelita. Cepat kendaraan 50 kilometer per jam, baik Tuan A maupun Tuan B. Dari keseluruhan yang dikemukakan di atas, yang termasuk peristiwa relevan hanyalah bahwa yang mengemudikan mobil adalah Tuan A dan Tuan, kecepatannya masing-masing 50 kilometer per jam, lokasinya di jalan-jalan tersebut. Adapun isinya, seperti baju Tuan A dan Tuan B, pacar Tuan B yang aktris jelita dan sebagainya adalah peristiwa yang irelevant, sehingga tidak perlu dibuktikan.

G. Siapa yang Mengajukan Alat Bukti? Buat kita di Indonesia, jelas kita tidak dapat menerima ajaran Jhon Austin, yang menganggap hukum sebagai dipisahkan secara tegas dari keadilan, hukum tidak di dasarkan pada nilai-nilai yang baik dan buruk, tetapi atas dasar daripada penguasa, atau seperti yang dituliskan oleh Judith Shklar27 bahwa: “Treating law as an isolate block of concepts that have no relevant characteristic or function—apart from their possible validity or invalidity within a hyppthatical system.”

Buat kita di Indonesia, hukum tidak dapat dipisahkan dari keadilan, dan hukum itu harus menciptakan kemanfaatan yang sebenar-benarnya bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia. Karena itulah di dalam proses peradilan Indonesia, para pihak yang berperkara (dalam proses perdata) maupun ter44

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

tuduh (dalam proses pidana) senantiasa dijamin hak-haknya untuk membuktikan ketidakbersalahannya (he Presumption of Innocemce). Hal ini sejalan dengan pandangan Roscoe Pound yang berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai lembaga yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, serta adalah tugas ilmu hukum untuk memperkembangkan suatu kerangka dalam mana kebutuhan sosial dapat dipenuhi secara maksimal. Terbukti dari apa yang dituliskannya: “....he record of a continually wider recognizing and satisfying of human wants or claims or desires through social control, a more embracing and more efective security of social interest, a continually more complete and efective elimination of waste and precluding of friction in human enjoyment of the goods of existence—in short a continually more aicacious social engineering.”29

Roscoe Pound meganjurkan agar mempelajari hukum sebagai suatu proses. Di dalam hukum acara perdata, yang berhadapan adalah dua pihak yang terlibat dalam suatu persengketaan perdata. Keduanya memiliki kedudukan yang sama di muka hukum, termasuk di muka pengadilan (hakim), berdasarkan asas AUDI ET ALTERAN PARTEM. Walaupun demikian, terlebih dahulu kita harus jelas mengetahui siapakah yang dimaksudkan para pihak dalam suatu perkara perdata? Hal ini sangat penting, karena yang harus mengajukan alat bukti ini adalah para pihak itu. Pada asasnya setiap orang mempunyai hak, dan karena itu adalah suatu kewajaran jika setiap orang berusaha untuk mempertahankan atau membela haknya, berwanang untuk bertindak selaku pihak dalam perkara perdata, baik sebagai Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

45

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

penggugat maupun tergugat atau dalam hal tertentu sebagai pihak yang melakukan intervensi, hal ini sesuai dengan asas: “Legitima persona standi in jidicio.” Tetapi selain manusia, kita harus ingat bahwa pengertian “orang” menurut hukum, juga termasuk badan hukum atau yang lazim disebut “RECHTAPERSOON”. Sehingga yang dimaksud pihak dalam perkara perdata ada dua macam: 1. Manusia. 2. Badan hukum. Di dalam suatu persengketaan perdata sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu: penggugat (eiser, plaintif), dan tergugat (gedaagde, defendant). Mengenai orang yang aktif bertindak sebagai pihak di muka persidangan pengadilan, dapat kita bagi atas: a. Orang yang mempunyai kepentingan langsung. b. Orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung. Jika orang yang berkepentingan langsung yang bertindak sendiri di muka pengadilan disebut sebagai “pihak materiil”, tetapi sekaligus juga merupakan “pihak formal”, karena mereka sendiri yang beracara. Yang dimaksudkan sebagai orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung adalah: a. Wali b. Pengampu c. Pengacara Wali ini mewakili orang yang masih di bawah umur. Di Indonesia terdapat banyak peraturan mengenai batas umur kedewasaan. Batas umur itu berkisar antara 15 tahun hingga 46

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

21 tahun. Batas umur untuk perkawinan saja ada berbagai macam, menurut BW bagi laki-laki adalah 18 tahun dan bagi wanita 15 tahun, sedang menurut U. U No. 1 Tahun 1974 bagi laki-laki 19 tahun dan wanita 16 tahun. Batas-batas umur dewasa itu adalah a. Dewasa untuk memilih: 17 tahun (berdasarkan Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1975). b. Dewasa menurut Undang-Undang Kerja adalah 18 tahun (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1951 jo. UU. No. 12 Tahun 1948). c. Dewasa untuk menjadi saksi di muka persidangan pengadilan adalah 15 tahun (Pasal 145 ayat 1 No. 3, 145 ayat 4 HIR, 172 ayat (1) No. 4 jo. 173 R.bg.m 1912 BW). d. Dewasa untuk dapat dituntut pidana adalah 16 tahun. Bagi golongan pribumi, maka di dalam S. 1931 No. 54 diatur bahwa jika ketentuan undang-undang menggunakan istilah “belum cukup umur” maka bagi golongan Indonesia yang dimaksud adalah semua orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Walaupun di dalam praktik peradilan di Indonesia dewasa ini belum pernah terjadi masalah umur dalam pengajuan gugatan di muka persidangan pengadilan, tetapi untuk kepastian hukum perlu adanya ketentuan atau pedoman bagi batas umur untuk orang yang hendak mengajukan gugatan. Menurut penulis, untuk saat ini pedomannya adalah Pasal 330 BW dan S. 1931 No. 54 yang menentukan batas umur 21 tahun sebagai batas umur dewasa. Pengampu atau kurator adalah orang yang mewakili kepentingan orang yang berada di bawah kuratele atau pengampuan. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

47

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Orang yang biasanya ditempatkan di bawah kuratele adalah: a. sakit ingatan; b. pemboros; c. pemabuk. Tetapi, perlu diketahui bahwa pada umumnya mereka yang diletakkan di bawah pengampuan karena pemboros atau pemabuk, ketidakmampuannya hanyalah terbatas pada perbuatan-perbuatan di lapangan hukum harta kekayaan. (Bandingkan pendapat Asser Scholten29) Demikian pula seorang istri yang tunduk pada BW tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa bantuan daripada suaminya, sesuai ketentuan Pasal 110 BW, kecuali dalam hal perceraian atau apabila ia dituntut dalam perkara pidana. Adapun kuasa yang merupakan juga pihak yang tidak berkepentingan langsung biasanya diarahkan kepada pengacara. perlu penulis tegaskan di sini, bahwa pengertian pengacara di satu pihak, dengan pengertian advokat di lain pihak, tidaklah identik. Penulis dapat membedakannya sebagai berikut: ADVOKAT : adalah pengacara profesional, seorang pengacara yang memang pengerjaan pokoknya adalah kepengacaraan, dan telah resmi diangkat oleh negara sebagai advokat. (lihat peraturan menteri kehakiman No. 1 Tahun 1965 tertanggal 28 Mei 1965, Jo. Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965). PENGACARA: adalah lebih luas pengertiannya, karena disamping termasuk di dalamnya advokat, 48

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

juga tercakup setiap badan hukum yang menjalankan fungsi pengacara, misalnya dosen-dosen fakultas hukum yang aktif di biro bantuan hukum fakultas hukum masing-masing. Selain itu ada istilah lain yaitu “POKROL” yang penulis artikan sebagai: setiap orang yang bukan sarjana hukum, yang menjalankan fungsi kepengacaraan. Dalam hubungan ini, menurut hemat penulis, seyogianya pokrol dilarang berpraktik untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hukum. Kapan seseorang boleh bertindak sebagai kuasa? Kalau memenuhi salah satu persyaratan atau beberapa persyaratan di bawah ini. Untuk menjadi kuasa penggugat: a.

Harus mempunyai surat khusus seperti yang diatur oleh pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.

b.

Ditunjuk selaku kuasa dalam surat gugatan, seperti yang diatur oleh Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.

c.

Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan jika gugatan diajukan secara lisan, diatur oleh pasal yang sama di atas.

d.

Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di persidangan, juga diatur oleh pasal yang sama di atas.

e.

Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei Jo. Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang Pokrol.

f.

Telah terdatar sebagai advokat atau memenuhi syarat setempat tentang izin untuk membela perkara. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

49

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Untuk dapat menjadi kuasa tergugat: Pada asasnya memiliki persyaratan yang sama dengan persyaratan untuk menjadi kuasa bagi penggugat di atas. Sebagaimana jika negara/pemerintah yang bertindak selaku pihak di muka persidangan perdata selaku QUASI STAATRECHT? Sebagai warga negara semu? Siapa yang disyaratkan dapat menjadi kuasanya? Ini ditentukan oleh S. 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat 2 HIR, Pasal 147 2 R.bg. a. Pengacara yang diangkat oleh pemerintah. b. Jaksa. c. Orang-orang tertentu atau para pejabat yang diangkat atau ditunjuk. Juga yang sering dipertanyakan, bagaimana dengan suatu Badan Hukum Privat? Siapa yang harus mewakilinya di depan sidang pengadilan? Dalam hal ini diatur oleh psal 1655 BW dan pasal 8 no. 2 Rv., bahwa adan hukum bertindak melalui pengurusnya atau wakilnya. Adapun nama pengurus dari badan hukum itu tidak harus di muat dalam gugatan, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak sebagai pihak materi ataupun pihak formal dalam perkara. Demikian pendapat dari star bubwann.31 Semua orang yang dianggap tidak cakap untuk bertindak disebut dengan istilah “PERSONAE MISERABILE”. Sehingga dapatlah kita nyatakan bahwa didakannya lembaga Personae Miserabile itu adalah bertujuan untuk melindungi orangorang tersebut sendiri. Dewasa ini yang sering menjadi pertanyaan, bagaimana halnya dengan orang tua? sampai batas umur berapa baru tergolong sebagai “Personae Miserabile”? Belum ada ketentuannya hingga saat ini. Tetapi menurut hemat penulis seyo50

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

gianya jika kelak diatur oleh undang-undang tidak dibatasi dari segi usianya, karena ada orang tua yang berusia 70-90 tahun tetapi belum pikun, sedangkan ada yang baru 50 tahun sudah pikun. Karena itulah pengaturannya harus di atur dari segi “pikunnya”. Tentu saja ini pun bukan persoalan yang terlalu mudah, karena kriteria kepikunan masih bisa diperdebatkan lagi. Jadi, kita kembali kepada masalah siapakah yang harus mengajukan alat bukti, jawabannya adalah semua orang yang menjadi pihak formal di depan pengadilan, termasuk pula pihak yang sekaligus adalah pihak materiil.

H. Siapakah yang Menilai Pembuktian Dalam sistem peradilan kita di Indonesia, satu-satunya yang menjadi pihak penilai pembuktian adalah hanyalah “HAKIM”. Berbeda dengan sistem peradilan Anglo Saks di negara-negara common law, di mana selain hakim yang menilai segi hukumnya, ada lagi “JURI” yang menilai segi fakta atau peristiwanya. Hakim di dalam menilai pembuktian ini, di dalam proses perdata semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, jadi seperti yang berulang-ulang penulis tuliskan di bagian depan, hanya bersifat “propederence evidence”, tidak harus “Beyond Ressonable Doubt” seperti halnya dalam perkara pidana. Asas yang mewajibkan hakim untuk menilai pembuktian, dan bukan para pihak adalah asas “UNTERBUCHUNG­ SMAXIME”, yaitu asa yang mewajibkan hakim untuk mengumpulkan alat bukti dan menilainya. Alat bukti yang dikumpulkan itu adalah alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Adapun para pihak diwajibkan mengHukum Pembuktian Pada Umumnya ...

51

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

ajukan dan meyakinkan hakim dan alat buktinya, sesuai asas “VERHANDLUNGO MAXIME”. Selain menilai pembuktian sebagai salah satu tugas hakim, maka tugas hakim yang lain sehubungan dengan masalah pembuktian ini adalah untuk membebani pembuktian kepada para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa tugas hakim yang utama dalam kaitannya dengan masalah pembuktian ini adalah: a. Membebani pembuktian kepada para pihak. b. Menilai pembuktian yang diajukan para pihak. Dan justru kedua tugas hakim itulah yang paling berpengaruh pada putusan akhirnya. Tugas-tugas hakim yang lain tentunya masih banyak, antara lain:32 a. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. b. Hakim yang sudah diserahi perkara tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, tetapi wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. c. Tugas hakim itu tidak berakhir hanya dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi juga menyelesaikan pada pelaksanaannya (eksekusi). d. Khususnya dalam perkara perdata, hakim harus membentuk pihak-pihak yang berperkara dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk terwujudnya peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 52

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Jika kita ingin menyimpulkan tugas hakim pada garis besarnya, dapatlah kita bagi menjadi tiga, yaitu: 1. mengonstatir; 2. mengkualiisir; 3. mengkostituir. Agar bagi pembaca awam jelas, baiklah penulis memberikan suatu contoh imajiner; Si A menggugat si B, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1981, ketika mobil Mercy berplat DD 952 diparkir oleh si A di depan rumahnya yang terletak di tepi Jl. G. Lampobatang No. 5 Ujungpandang, tiba-tiba ditabrak oleh mobil Toyota biru dengan plat DD 511 milik si B yang dikendarai oleh si B sendiri. Kecepatan mobil si B itu adalah sangat kencang dan diperkirakan melebihi kecepatan maksimum yang ditentukan bagi kendaraan jika berada dalam kota. Akibatnya mobil milik si A rusak berat dan menderita kerugian seharga mobil Mercy itu. Untuk itu si A menggugat pada si B agar si B antara lain dihukum untuk membayar ganti kerugian sejumlah mobil Mercy itu...bdan seterusnya.... Menghadapi perkara di atas, hakim pertama-tama harus mengonstatir, benarkah telah terjadi peristiwa tarakan dengan kronologis dan akibat yang sesuai dengan yang dinyatakan si A dalam gugatannya? Untuk ini, hakim harus dapat membuktikan terjadinya peristiwa tadi. Dalam hal ini, bukanlah kewajiban hakim untuk aktif mengadakan penyelidikan agar memperoleh bukti-bukti, melainkan pihak pengugatlah yaitu si A yang harus mampu mengajukan alat bukti yang dapat membuktikan bahwa benar peristiwa tabrakan itu telah terjadi. Sebaliknya bagi si B, jika menyangkali perbuatan si A, Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

53

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

juga harus mampu mengajukan alat bukti yang membuktikan ketidakbenaran gugatan ini. Dalam hal ini, misalnya si A berhasil membuktikan terjadinya peristiwa tabrakan tadi, maka tugas hakim selanjutnya adalah mengadakan kualiikasi peristiwa. Jadi mengkualiisir. Peristiwa tabrakan itu, kemudian dapat dikualiisir oleh hakim, sebagai perbuatan melawan hukum (Onrechtma­ tigdaad) berdasarkan Pasal 1365 BW (KUH Perdata). Atas dasar kualiikasi sebagai perbuatan melawan hukum itulah, hakim kemudian melakukan konstituiring, memutus perkara itu dengan menghukum si A selaku penggugat. Di dalam tahap konstituiring inilah hakim melakukan penalaran silogisme atas logika. Melihat keseluruhan tugas hakim yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah jelas diketahui bahwa hakim tidak hanya bertugas untuk menemukan dan mengharapkan hukum, tetapi jauh lebih berat lagi, yaitu menciptakan hukum dalam hal hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Karena itulah Cardozo33 menyatakan: “he law which is the resulting product is not found but made. he process in its highest reaches is not discovery, but creation”

Yang lebih berat lagi, bahwa hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya itu senantiasa mempertahankan posisi objektifnya yang merupakan hal yang paling prinsip dalam keseluruhan jabatan dan fungsinya selaku hakim. Apalagi jika dikaitkan dengan pepatah yang bersifat asas pula, bahwa “Nemo judex idoneus in proris cause,” yaitu bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik bagi dirinya sendiri. Mungkin asas tersebut kekecualiannya hanyalah bagi 54

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

orang-orang pilihan, seperti para rasul dan nabi, paling tidak para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatab misalnya. Untuk menjamin terlaksananya posisi objektif para hakim, penulis menyarankan kira-kira sudah tepatlah jika segi inansial dan kesejahteraan ekonomis para hakim menjadi perhatian dari pemerintah kita, agar godaan untuk menyimpang dari prinsip objektivitas itu bisa dicegah, paling tidak dikurangi seminimal mungkin, sehingga asas lain yang juga merupakan asas penting dalam hukum pembuktian perdata, “AUDI ET ALTERAM PARTEN”, juga bisa terwujudkan dalam dunia sein.

Endnote: 1.

Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 96-97. 2. Prof. Mr. H. Drion. “Bewijzen in hetrecht”. R.M. hemis 1966 af1 5/6. 3. Prof. Mr. H. Wiersma. “Bewijzen in het Burgelijk Gding”. R.M. hemis 1966 af1 5/6. 4. Ibid. 5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632, hlm. 13. 6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York, hlm. 1. 7. Ibid. 8. Ibid. 9. Prof. Dr. R. Supomo. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”. Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 88-85. 10. Asser-Anema-Verdan. “Van Bewijs” N.V. Uit Gevers Maatschappij W. E. J. Tjeenk Willing, Zwolle, 1955, hlm. 35. 11. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradnyparamita, Jakarta, 1978, hlm. 5-6. 12. Prof. R. Subekti, S.H. Ibid.

Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...

55

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

13. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 1. 14. Prof. H. Drion, Op.Cit. hlm. 416. 15. Journal of Forensic Science, vol. 9. No. 4, hlm. 445. 16. Prof. H. Drion, op­cit. 17. Conpendium Hukum Belanda, hlm. 9. 18. Achmad Ali, S.H. “Pembuktian Dalam Proses Perdata”.Ujungpandang, 1980, hlm. 6. 19. Ibid. 20. Wisa B. R. “Gutlines of Jurisprudence”. 1959, hlm. 31. 21. Ernest Baker. “Principles of Social and Political heory”. 1963, hlm. 137. 22. Wisa, B. R, Op.Cit., hlm. 34. 23. Ernest Baker, op­cit, hlm. 137. 24. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S. H. Op.Cit, hlm. 86. 25. Ibid. 26. Prof. Mr. A. Pitlo. “Pembuktian dan Daluarsa”(terjemahan). Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976, hlm. 16. 27. Prof. R. Sukardono, S.H, “Penggunaan Upaya­upaya Pembuktian dalam Prosedur Perdata”. Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1971 No. 12, hlm. 49. 28. Judith Bhklar. Legalism. Cambridge, Harvard University Press, 1964, hlm. 34. 29. Roesco Pound. “An Introduction to the Philosophy of Law”. New Haven”. Yale University Press, 1959, hlm. 47. 30. Asser-Scolten-WIARDA. “Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de beoefening van het Nederland Bugerlijk Recht”. Earste Deel Earste Stuk: Familia recht, N, V. Witgevers Mastschappij N. E. J. TjeenkWillink, Zwolle, 1947, hlm. 539. 31. Star Bussmann. “Hoofdstukkan van burgerlijk Rechtsvardering”. Harlem Deerven F. Bahn, N. V. 1948. 131. 32. Undang-Undang Pokok kekuasaan Kehakiman. (UU No. 14 Tahun 1978). 33. Benyamin N. Cardozo LLD. “he Narure of Judicvial Process”. New Haven, Yale University Press, 1977.

56

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Ketiga

TUJUAN PEMBUKTIAN

Lex Meminen Cogit Ad Impossibilia “Undang-undang tidak memaksa seorang pun untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin” Pada hakikatnya tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pihak menang, dan pihak yang lain kalah (jika merupakan peradilan yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan (jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu. Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak yang dikenakan hukuman. Sama halnya jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya pihak itu merupakan akibat dari perbuatan hukum yang pernah dilakukannya? Dengan perkataan lain, apakah perbuat­ an yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya meru­ pakan suatu hubungan sebab akibat? Mengenai permasalahan ini, Hans Kelsen mengemukakan salah satu teori yang terkenal sebagai “Toerekeningstheoris”

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

(teori pertanggung jawab). Menurut teori Hans Kelsen yang kemudian diikuti oleh Paul Scholten itu, tindakan yang dilakukan seseorang sehingga ia di hukum, bukan merupakan hubungan sebab akibat. Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu merupakan pertanggungjawaban atau perbuatannya sendiri. Berbeda dengan batu yang dilemparkan ke atas, maka akibatnya pasti akan jatuh kembai ke bawah. Berlainan dengan tindakan seseorang yang membeli suatu barang, belum tentu akibatnya ia harus membayar dan kemudian ia memang tidak membayar. Apakah akibatnya ia akan di hukum? Belum tentu. Oleh karena itu, dalam hal ini lebih tepatlah jika dikatakan bahwa ia membeli suatu barang, maka sebagai pertanggungjawabannya ia harus membayar harga barang yang dibeli tadi. Atau, kalau ia tidak membayarnya sehingga berakibat ia dijatuhi hukuman oleh hakim, maka hukuman itu merupakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak membayarnya harga barang yang dibelinya. Jadi tidak berdasarkan hukum kausalitas seperti jatuhnya batu ke bawah yang dilemparkan ke atas. Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu, maka di sini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum pembuktian di dalam menetukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara. Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan. 58

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

a. b. c.

Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah: Gerachtgkeit (keadilan). Zwegkmassigkeit (kemanfaatan). Rechtsicherheit (kepastian hukum).

Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena terjadinya konlik di antara berbagai kepentingan manusia (conlict of human interest). Akibat konlik antar-kepentingan itu, sehingga menghendaki adanya penyelesaian fungsi hukum. Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di dalamnya untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara. Kita selalu harus ingat, bahwa proses perdata adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua pihak. Berbeda dengan proses pidana, di mana tidak terdapat persengketaan antara jaksa dan terdakwa. Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada hakikatnya, maka dengan pembuktian dalam proses perdata, bertujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan memberi kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak melupakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap masyarakat pada umumnya. Itulah tujuan pembuktian perdata menurut hemat penulis. Secara ilosoinya dapat dikatakan tujuan pembuktian adalah: “QUOD BONUM FELIX FAURTUMQUE”, apa yang baik, bahagia dan karunia (oleh Allah).

Tujuan Pembuktian

59

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Keempat

ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN

Judex Ne Prucedat Ex Oicio “Di mana tidak ada yang menggugat, di sana tidak ada hakim”

Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata dikenal asas-asas tersendiri, yang berbeda dengan apa yang dikenal dalam hukum pembuktian lainnya. Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik tersendiri selaku bagian dari hukum privat (privaatrecht [Belanda], private law [Inggris], droit prive [Perancis], privatrecht [Jerman]). Asas-asas ini selaras dengan sifat hukum acara perdata itu sendiri, seperti tersebut di atas.

A. Asas Audi Et Ateram Partem Milton C. Jacobs1 mengatakan bahwa: “General rules of evidence are the same in equity as at law.” Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas “AUDI ET ALTERAN PARTEN”, atau “EINES MANRES REDE IST KEINES MANNES REDE”. Asas kesamaan kedua pihak yang berperkara di muka pengadilan.

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Hal ini berarti, bahwa hakim tidak boleh memberi putusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar kedua belah pihak. Acara “verstek” pun bukan kekecualian dari asas ini, karena putusan verstek dijatuhkan hanya jika tergugat sudah dipanggil secara patut, tetapi tetap tidak mau hadir ke persidangan. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan setelah tergugat diberi kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau menggunakan kesempatan yang diberikan oleh hukum itu. Justru menurut penulis, lembaga verstek itu diadakan adalah sebagai perwujudan dari asas Audi Et Alteram Partem. Di mana dengan adanya lembaga verstek, dengan adanya ancaman untuk menjatuhkan putusan verstek, putusan kerana tergugat tidak hadir, merupakan dorongan bagi tergugat untuk hadir menggunakan haknya berdasarkan asas Audi Et Alteram Partem. Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak tetap sama, tidak pincang atau berat sebelah. Di sini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban pembuktian (lihat bagian ketujuh buku ini). Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama bagi kedua pihak yang berperkara secara adil, maka suatu perkara tidak dapat disidangkan dua kali (Bisde eadem re ne sit actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal adanya “Beneicium” atau hak istimewanya. Aturan hukum pembuktian berlaku sama, baik bagi penggugat maupun tergugat. Baik penggugat maupun tergugat dapat membuktikan 62

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

semua alat bukti, kecuali dalam hal-hal khusus, misalnya antara penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pembuktian (lihat Bag. XII).

B. Asas Ius Curia Novit Asas “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memiksikan bahwa setiap hakim itu harus di anggap tahu akan hukumnya perkara yang di periksanya. Hakim sama sekali tidak boleh untuk memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim itu tidak mengetahui hukumnya. Demikian juga hakim harus menciptakan hukumnya jika memang harus dihadapinya belum diatur oleh undang-undang atau yurisprudensi. Penciptaan hukum oleh hakim ini biasanya dengan menggunakan metode analogi atau argumentum a contrario. Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, sehingga para pihak di dalam pembuktian, hanya wajib untuk membuktikan fakta yang dipersengketakan, sedangkan pembuktian masalah hukumnya adalah menjadi kewajiban hakim. Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, maka pada sistem hukum Anglo Saks (common law) dibedakan pemeriksaan perdata ataupun pidana atas: a. Pertanyaan tentang fakta (Quaestio facti) adalah tugas juri. b. Pertanyaan tentang hukumnya (Quaestio juris) adalah tugas hakim. Asas Ius Curia Novit ini dianut juga oleh hukum positif kita di Indonesia, antara lain lihat ketentuan Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14 Tahun 1970.

Asas-Asas Hukum Pembuktian

63

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri. Jadi sudah jelas, bahwa baik penggugat maupun tergugat sama sekali tidak dibolehkan sekaligus manjadi saksi di dalam pembuktian, untuk perkara mereka sendiri. Saksi sebagai alat bukti, harus didatangkan orang lain yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang melarang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak mampu” manjadi saksi (recusatio) adalah: a. orang yang tidak mampu secara mutlak; b. orang yang tidak mampu secara nisbi. ad. 1. Orang yang tidak mampu secara mutlak Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi: 1. keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan yang lurus dari salah satu pihak yang berperkara. 2. suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun sudah bercerai. (lihat pasal-pasal: 145 HIR, 172 RBG, 1910 BW). ad. 2. Orang yang tidak mampu secara nisb Mereka ini dapat didengar sebagai keterangannya, tetapi tidak sebagai keterangan kesaksian: 1. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun. 2. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.

64

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

D. Asas Ultra Ne Petita Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut oleh penggugat. Berbeda dalam hukum pembuktian pidana di mana hakim dapat menyelidiki perkara itu lebih dari fakta yang terungkap oleh jaksa, bahkan kalau perlu saksi yang kemudian ternyata terlibat dalam tindak pidana itu, dapat ganti dijadikan terdakwa. Asas Ne Ultra Petita dalam hukum pembuktian ini membatasi hakim perdata untuk “preponderance of evidence”, hanya terikat pada alat bukti yang sah. Berbeda dengan hukum acara pidana, di mana hakim harus “beyond reasonable doubt”, harus yakin benar akan kebenaran alat bukti.

E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya suatu asas yag aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat dipersengketakan. Asas ini dalam hukum pembuktian merupakan “hak mutlak” pihak tergugat. Di mana sebagai contoh: Jika si A menggugat si B bahwa si B telah berutang kepada si A sejumlah Rp 10.000,- tetapi sebenarnya si B sama sekali tidak pernah berutang kepada si A. Namun ketika dalam pemeriksaan di muka persidangan pengadilan perdata, si B mengadakan pengakuan murni (aveu pu et simple) bahwa ia benar telah berutang sejumlah Rp 10.000,- kepada si A. Hakim berdasarkan asas “De Gustibus Non Est Diputandum”, Asas-Asas Hukum Pembuktian

65

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

tidak boleh menolak pengakuan si B, meskipun misalnya, hakim itu yakin sekali bahwa si B sebenarnya tidak pernah berutang kepada si A, selaku penggugat. Hukum pembuktian perdata, memberikan kepada tergugat kebenaran dalam hal pengakuan, sepanjang tidak bertentangan dengan asas lainnya. (Lihat asas ke VI di bawah ini). Dalam hal si B di atas, oleh hukum dianggap si B sama saja menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah Rp 10.000,- kepada si A. Dan siapa pun tidak bisa melarang seseorang untuk menyumbangkan hartanya sendiri.

D. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan banyak hak daripada yang ia miliki. Dihubungkan dengan asas sebelumnya, yaitu “De Gus­ tibus Non Est Diputandum”, maka dapatlah penulis memberi contoh sebagai berikut: Jika menggugat rumah yang terletak di Jl. G. Lampobatang No 5 adalah rumah si A, bukan rumah milik si B. Dalam perkara ini, yang digugat adalah si B, yang kebetulan menguasai rumah itu. Di dalam persidangan itu si B selaku tergugat mengadakan pengakuan murni, bahwa “benar rumah itu adalahmilik si A”. Padahal sebenarnya si B hanyalah penyewa atau hanya menjaga rumah Jl. G. Lampobatang No. 5 itu. Pemilik rumah itu sendiri adalah Tuan A. Dalam hal ini pengakuan murni si B tetap bukan merupakan alat bukti yang sah, karena bertentangan dengan asas “Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet” ini, karena si B tidak berhak mengakukan sesuatu sebagai milik

66

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

orang lain, padahal ia sendiri bukan pemilik rumah itu. Lain halnya jika rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu adalah benar milik si B, maka pengakuannya itu oleh hukum pembuktian diartikan sebagai sumbangan si B kepada si A.

Endnote: 1.

Milton C. Jacobs. Civil Trial Evidence. Second edition, New York, hlm. 2.

Asas-Asas Hukum Pembuktian

67

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kelima

ALAT-ALAT BUKTI DALAM PROSES PERDATA

Errare Humanum Est, Turpe In Errope Perseverare “Membuat kekeliruan ialah sifat manusia, akan tetapi tidaklah baik untuk terus mempertahankan kekeliruan ....” G. W. Paton1 menyatakan bahwa: “In a civil case a reasonable preponderance of propability is suicient for a ferdict, but in criminal case the crown must prove the guilt of the prisoner beyond reasonable doubt.....”

Dan karena keterikatan hakim perdata akan alat-alat bukti itulah, sehingga peranan alat bukti dalam proses perdata sangat menentukan, berbeda dengan hakim pidana yang “beyond reasonable doubt”. Masalah alat bukti, seperti halnya dengan masalah pembuktian pada umumnya senantiasa merupakan permasalahan yang rumit untuk diselesaikan. Kesukaran itu terutama dapat dilihat pada zaman dahulu kala pada peradilan yang masih primitif. Ada tiga kesulitan yang dihadapi oleh pengadilan primitif, sehingga ia hampir-hampir tidak dapat dan tidak mampu menyelesaikan masalah pembuktian itu, yaitu: 1. Sebagai akibat kurang mampunya mereka mengadakan analisis terhadap alat-alat bukti. pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

2.

Sebagai akibat meratanya kebiasaan bersumpah palsu (perjury) pada masa itu. Sebagai akibat ketakutan dari setiap pengadilan akan kemungkinan terjadinya pelanggaran yang mendobrak kepentingan warga masyarakat melalui putusannya.

3.

Hal-hal inilah di Eropa, di masa lalu yang mengakibatkan titik awal bagi pengadilan mulai melepaskan tanggung jawab putusan pengadilan dari faktor tanggung jawab manusia, dan dialihkan kepada tanggung jawab kepada Tuhan melalui ancaman doa dan siksaan yang dapat menimpa orang yang melakukan sumpah palsu. Penggunaan sumpah sebagai alat bukti dalam pemeriksaan di muka pengadilan ada manfaatnya, tetapi juga banyak kelemahannya. Seperti yang juga dikemukakan oleh G. W. Pato2 bahwa: “he ordeal by oath may be useful, if it is used where there is no evidence, or where the fact are exclusifaly within the knowledge of one party, but there is always the danger that a weak court my resort to it, even where there is evidence, in order to avoid either the diiculty of deciding or the danger which my result from a decision againts a popular igure.....” Demikianlah juga pendapat dari Diamond3.

Jadi kegunaan yang utama dari sumpah sebagai alat bukti itu, jika di dalam satu kasus memang tidak terdapat alat bukti lain sama sekali. Di zaman dahulu, hingga pada tahun 1833 di Inggris berlaku apa yang dinamai Compurgation (wager of law) dalam pelaksanaan utang piutang, di mana para pihak di atas mana diletakkan beban pembuktian (the burden of proof) diperintahkan untuk bersumpah bersama dengan dua belas orang saksi yang dipercaya. Apa yang dimaksudkan sebagai Compurgation dijelas70

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

kan oleh Peter J. Dorman4 sebagai berikut: “..... In England, a type of trial in which a defence consisted of the defendand’s swearing that the claim against him was unfouded and producing the requisite number (usually eleven) of compurgators, or oath helpers, to swear that they believed the defendant. he efect of the defense was a vardict for the devendant. Wager of law or compurgation was allowed only in cases of debt on simple contract and only on be half of people of good character. Also called compurgation. Abolished in 1833”.

Mungkin lebih jelas lagi jika kita melihat rumusan compurgator yang dituliskan Charles F. Hemphill J.R. & Phillis D. Hamphill5 bahwa: “..... An individual who takes the witness stand and testiies as a cha­ racter witness in favour of someone accused of crime, or for a de­ fendant in a civil action.”

Mengapa penulis secara panjang lebar membicarakan tentang compurgation atau wager of law ini, karena menurut para ahli justru compurgation inilah merupakan permulaan dari “lisensi sumpah palsu”, hal mana kemudian memang sekali terjadi dan digunakan orang semata-mata agar ia dapat mengalahkan gugatan lawannya. Di zaman dahulu di Eropa, khususnya di Inggris, masih ada lagi cara-cara untuk pembuktian yang berkaitan dengan kepercayaan, antara lain: – Besi yang sangat panas. – Air. – Meneguk roti suci. Yang bagaimana pelaksanaannya secara mendetail, hingga kini masih merupakan teka-teki. Efektivitas dari alat-alat bukti yang berkaitan dengan kepercayaan itu adalah karena dapat mempengaruhi psikologis seseorang yang memang merasa bersalah. Sebagai contoh: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

71

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

karena seseorang menyadari bahwa dirinya bersalah, maka ketika ia disuruh menelan roti suci untuk membuktikan kejujurannya dalam menyatakan sesuatu, mulutnya sudah terlebih dahulu kering karena ketakutan, sehingga berakibat sulitnya ia menelan roti suci itu. Ini sebagai pengaruh psikologis dari rasa bersalahnya. Kemudian karena perkembangan dan kemajuan zaman, maka dunia peradilan pun khususnya mengenai alat-alat buktinya mengalami kemajuan. Pembuktian kemudian tidak lagi di serahkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa semata-mata seperti sumpah, tetapi juga kembali diserahkan efektivitas manusia dan benda-benda lain sebagai alat untuk membuktikan, atau yang lazimnya dinamai “alat bukti” (evidence). Mulailah peranan alat bukti tertulis atau surat (writings) menjadi lebih menonjol, khususnya dalam lalu lintas keperdataan. Karena di dalam lalu lintas keperdataan, dua pihak yang melakukan perhubungan hukum senantiasa dengan sengaja telah menyiapkan alat bukti terlebih dahulu, seandainya kelak mereka terlibat dalam perselisihan. Dan bukankah hakikat dari hukum itu sendiri untuk menyelesaikan konlik kepentingan yang terjadi di dalam masyarakat. Logika manusia pun mulai digunakan, jika ternyata alat bukti lain sukar atau tidak ada sam sekali. Maka dikenal “persangkaan-persangkaan” (prasumption) sebagai alat bukti yang tidak bersifat langsung. Di samping itu, seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa manusia pun muncul sebagai salah satu atau beberapa alat bukti. Ini terlihat dalam alat bukti kesaksian, di mana pihak ketiga yang terjun kepersengketaan untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya suatu hubungan hukum atau 72

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

peristiwa yang dipersengketakan. Juga pihak yang terlihat langsung bisa menjadi alat bukti, dalam hal pihak tergugat mengadakan pengakuan.

A. Pengertian Alat Bukti Alat bukti jelas adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata. Lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Milton C. Jacobs6 bahwa: “Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence”.

Adapun Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertukusumo, S.H.7 menyatakan bahwa: apakah sesuatu itu merupakan alat bukti, tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi/diajukan dalam persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetapkan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak di persidangan. Jadi, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti. Sebagai contoh: akta notaris, walaupun belum diajukan ke muka persidangan, sudah merupakan bukti. Sering di kalangan yuris sendiri terjadi kesalahpahaman, dikiranya yang dimaksudkan sebagai alat bukti itu hanyalah alat bukti tertulis, pada hal tidak demikian halnya, selain alat bukti tertulis, pengertian alat bukti masih banyak. Untuk itu berikut ini penulis memberikan klasiikasi alat bukti.

B. Klasiikasi Alat Bukti Di dalam doktrin atau ilmu hukum, dikenal banyak klasiikasi mengenai alat bukti atau evidence ini. Antara lain beberapa di antaranya penulis kemukakan di bawah: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

73

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

1. Klasiikasi G. W. Paton8 Alat bukti dapat terbagi atas: i. Oral ii. Documentary iii. Material Yang dimaksudkan oleh Paton sebagai alat bukti yang bersifat oral adalah alat bukti yang diucapkan secara lisan. Jadi, termasuk kesaksian dan sumpah. Adapun alat bukti yang tergolong “documentary” adalah yang dunia hukum kita Indonesia dinamai “alat bukti tertulis”. Dan alat bukti “material” adalah alat bukti dalam wujud benda konkret, selain pada alat bukti tertulis. Mengenai alat bukti “material” ini perlu penulis kemukakan, bahwa kadang-kadang suatu surat pun bisa tergolong di dalamnya, dalam hal surat itu bukan dalam hal fungsi alat bukti tertulis, melainkan dalam fungsi benda biasa. Contoh yang paling jelas, jika kita ambil dalam kasus pidana misalnya selembar surat yang berlumuran darah korban, dalam hal ini fungsinya sebagai alat bukti “material”, bukan selaku “documentary”

2. Klasiikasi Sir Rolan Burrows9 Klasiikasi yang dikemukakan oleh Sir Roland dalam bukunya “Phipson on the Law of Evidence” cukup banyak, antara lain: a. Pembagian atas alat bukti yang orisinal (original evidence) dan alat bukti yang tidak orisinal (unoriginal evidence) Yang dimaksudkan sebagai original evidence adalah alat bukti kesaksian, yaitu saksi yang langsung mengucapkan ke74

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

saksiannya secara lisan di muka persidangan pengadilan. Yang dimaksudkan “unoriginal evidence” adalah keterangan saksi yang dilakukan secara tertulis. Buat kita di Indonesia, keterangan saksi yang dilakukan secara tertulis, tidak termasuk dalam alat bukti “kesaksian”, tetapi termasuk alat bukti tertulis (istilah lainnya: writing atau evidence in writing). b.

Pembagian alat bukti primer (primary evidence) dan alat bukti sekunder (secondary evidence) Alat bukti primer adalah alat bukti yang diutamakan, sedangkan alat bukti sekunder adalah alat bukti yang baru dibutuhkan jika alat bukti primer tidak ada. Dalam hukum acara perdata Indonesia, alat bukti primernya adalah alat bukti tertulis. Khususnya alat bukti akta otentik. c.

Pembagian atas “direct evidence” dan “indirect evidence” Di Indonesia, yang termasuk alat bukti yang “direct” adalah semua alat bukti yang secara langsung dapat dibuktikan adanya hubungan hukum atau peristiwa yang ingin dibuktikan, jadi tidak berdasarkan kesimpulan belaka. Karena itu termasuk dalam “direct evidence” adalah: alat bukti tertulis, kesaksian, sumpah, dan pengakuan. Adapun “indirect evidence” adalah persangkaan-persangkaan (presumptions). Indirect evidence ini sering disebut juga “Circumstantial Evidence” atau juga “Presumptive Evidence”. Selain dari pembagian di atas, maka dalam ilmu hukum Anglo Saks dikenal lagi cara pengklasiikasian lain yang menghasilkan istilah-istilah alat bukti lain, yang penting diAlat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

75

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

ketahui pembaca, terutama calon ilmuwan, agar di dalam membaca literatur hukum Anglo Saks tidak bingung karenanya. Yang penulis maksudkan antara lain oleh Edward W. Cleary10 menyebutkan suatu jenis alat bukti yang disebut “DEMONSTRATIVE EVIDENCE”. Jika kita bandingkan dengan klasiikasi Paton. Maka “demonstrative evidence” ini bisa disamakan dengan alat bukti “metrial” Hamphill11 memberikan suatu deinisi tentang apa yang dimaksud sebagai “demonstrative evidence”, yaitu: “...Any kind of evidence, or legal proof, other than that given by oral testimony: evidence that is directed toward the senses such as sight, touch or smell. A knife found at the scene of a crime, a human hair cought in the ingernail of the slain ictim, a ingerprint, are all examples of demonstrative evidence.”

Jadi, “demonstrative evidence” ini merupakan beberapa macam alat bukti lain selain daripada yang diberikan dengan kesaksian lisan, pembuktian mana didasarkan pada indra yang sehat, seperti: penglihatan, sentuhan, atau penciuman. Sebilah pisau yang ditemukan di tempat terjadinya pembunuhan, sehelai rambut manusia yang melekat pada kuku tangan dari korban pembunuhan, atau suatu sidik jari, semuanya merupakan contoh dari demonstrative evidence. Walaupun contoh-contoh itu dari perkara pidana, tetapi yang jelas pembaca dapat memperoleh gambaran dari contoh itu. Selain itu, ada lagi yang disebut sebagai “Real Evidence”, yaitu:12 1.

evidence from things as distinct from persons;

2.

material object produced for the inspection of the court;

3.

perception by the court (or its result) as distinct from the facts perceived.

76

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Masih ada lagi istilah-istilah lain, seperti second hand evidence, extrinsic evidence, conliting evidence, admissible evidence, cumulative evidence, dan lain-lainnya. d. Pembagian menurut Prof. R. Subekti, S.H.13 1. Alat bukti langsung: misalnya alat bukti tertulis dan kesaksian. 2. Alat bukti yang tidak langsung: yaitu. e.

Pembagian alat­alat bukti menurut undang­undang Undang-undang (BW, HIR, dan R.bg.) pada dasarnya membagi alat bukti dalam hukum acara perdata atas: 1. Alat bukti tertulis atau surat. 2. Kesaksian. 3. Persangkaan-persangkaan. 4. pengakuan. 5. Sumpah. 6. Keterangan ahli (expertise). 7. Pemeriksaan setempat (descente).

C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh Alat Bukti yang Secara Tegas Itu? Secara tegas memang undang-undang hanya mengatur ketujuh alat bukti di atas, tetapi apakah ini berarti tidak ada alat bukti lain yang dapat digunakan dalam pembuktian perdata? Menurut pendapat penulis, dengan diaturnya lima alat bukti secara tersendiri dalam satu pasal khusus, yaitu Pasal 164 HIR (sama dengan pasal 284 R.bg., Pasal 1866 BW) mengenai alat bukti tertulis, kesaksian, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah, baru disusul dengan pasalAlat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

77

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

pasal tersendiri mengenai keterangan ahli dan tersendiri lagi mengenai pemeriksaan setempat, ini membuktikan bahwa pembuat undang-undang tidak bermaksud secara limitatif hanya mengakui adanya sejumlah alat bukti tertentu. Bukti lain adalah dengan dicantumkannya tentang alat bukti “tongkat berkelar” pada Pasal 1524 BW, yang bukan merupakan salah satu alat bukti yang tujuh di atas. Oleh kerana itu, menurut hemat penulis sudah seyogianya dipikirkan mengenai alat-alat bukti baru kini muncul dalam lalu lintas keperdataan dunia modern, sejauh mana daya pembuktiannya dalam hukum pembuktian perdata yang modern dewasa ini. Alat-alat bukti yang baru muncul itu, misalnya: a.

pembicaraan telepon;

b.

testing darah;

c.

hasil komputer;

d.

fotocopy;

e.

rekaman kaset;

f.

hasil fotograi;

g.

dan sebagainya.

Tentu saja menjadi tugas para ilmuwan hukum untuk membahas

D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti Di dalam hal kita mengajukan alat bukti itu ada empat cara untuk mengajukannya: a.

Mengajukan secara langsung mengenai apa yang harus dibuktikan. Jadi, pertama ini memperlihatkan peristiwanya (tentu saja potongan peristiwa, sebab peristi78

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

b.

c.

wanya secara keseluruhan adalah mustahil untuk diperlihatkan). Dalam hal cara pertama ini, contohnya: Si A melempari kaca jendela si B dengan batu merah. Dalam hal ini si B menuntut ganti rugi atas perbuatan si A yang menjadi kualiisir sebagai “onrechtmatigedaad” (Pasal 1365 BW). Dengan cara pertama, yang dibawa ke persidangan oleh si B untuk membuktikan perbuatan si A adalah berupa batu merah yang dijadikan alat mengakibatkan kaca jendela si B pecah. Jika dihubungkan dengan pengklasiikasian alat bukti, maka alat bukti yang dapat digunakan dengan cara pertama ini adalah “MATERIAL EVIDENCE” atau “DEMONSTRATIVE EVIDENCE”. Menjadikan surat yang menggambarkan peristiwa yang lampau. Dalam hal ini contohnya: Si A untuk membuktikan benar telah terjadi perjanjian jual beli si C, dengan mengajukan akta jual beli. Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara kedua ini, adalah alat bukti tertulis atau surat (writing). Cara ketiga untuk membuktikan adalah dengan mendatangkan orang-orang tertentu ke muka persidangan pengadilan untuk memberikan keterangan tentang peristiwa. Sebagai contoh: Si A untuk membuktikan benar si B-lah yang menabrak mobilnya, mengajukan tiga orang yang melihat si B menabrak mobil si A dengan mobilnya si B. Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara ketiga ini adalah alat bukti kesaksian atau expertise (keterangan ahli). Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

79

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

d.

Cara keempat untuk membuktikan sesuatu adalah dengan jalan membuktikan hal lain. Biasanya cara ini digunakan dalam hal membuktikan sesuatu yang sulit untuk dibuktikan. Sebagai contoh: Jika si A ingin membuktikan bahwa pada tanggal 9 November 1952 ia tidak berada di Yogyakarta, adalah dengan cara membuktikan bahwa pada tanggal dan waktu yang bersangkutan, ia berada di Makasar. Jadi pembuktian cara keempat ini menggunakan alat bukti persangkaan-persangkaan (persumptions).

Dari keempat cara untuk membuktikan itu, dapat kita simpulkan ke dalam dua kelompok: 1. Cara pembuktian langsung: yaitu cara pertama, kedua, dan ketiga. 2. Cara yang membuktikan tidak langsung: yaitu cara keempat.

E. Kekuatan Pembuktian (Vis Probandi) dari Alat-alat Bukti Setelah para pihak mengajukan alat buktinya, maka adalah tugas hakim untuk mengadakan penilaian terhadap alat bukti, sejauh mana kekuatan alat bukti itu berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ada lima jenis kekuatan pembuktian atau daya bukti dari alat bukti, yaitu: 1. Kekuatan pembuktian yang sempurna, yang lengkap (volledig bewijsracht). 2. Kekuatan pembuktian lemah, yang tidak lengkap (on­ volledig bewijsracht). 80

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

3. 4. 5.

Kekuatan pembuktian sebagian (gedeeltelijk bewijsracht). Kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende bewijsracht). Kekuatan pembuktian perlawanan (tegenbewijs atau kracht van tegen bewijs).

Baiklah kita akan meninjau satu persatu kekuatan pembuktian di atas. Ad. 1. Kekuatan pembuktian sempurna Kekuatan pembuktian sempurna ini adalah kekuatan yang memberi kepastian yang cukup kepada hakim, kecuali kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga hakim akan menberi akibat hukumnya. Contoh: Akta. Jadi, dalam hal ini bilamana akta tersebut digunakan sebagai alat bukti dan akta ini berisi perjanjian jual beli, pihak penggugat telah berhasil membuktikan dengan akta tersebut bahwa benar ada perjanjian jual beli antara penggugat dan tergugat. Dan bila tergugat menyangkali kebenaran itu, tergugatlah yang dibebani pembuktian untuk membuktikan tidak adanya perjanjian. Yang penting digarisbawahi dalam hal kekuatan pembuktian sempurna ini adalah alat bukti sudah tidak perlu dilengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan. Suatu contoh bahwa kekuatan pembuktian sempurna masih dapat dilawan dengan pembuktian lawan adalah kasus yang pernah terjadi di dunia peradilan. Seorang juru sita telah mendapat tugas melakukan pemanggilan terhadap penggugat yang bernama Tuan B. Kemudian di dalam pemeriksaan ternyata Tuan B tidak datang, Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

81

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

padahal di dalam pemeriksaan itu relas panggilan dihaturkan sebagai bukti, bahwa Tuan B telah dipanggil secara patut untuk menghadap pada sidang tersebut, di mana dalam relas panggilan itu juga telah disebutkan bahwa juru sita telah bertemu dengan Tuan B sendiri. Pada hari persidangan itu tergugat Tuan C telah hadir, sehingga hakim tidak ragu lagi dan menggugurkan gugatan karena ketidakhadiran penggugat (Tuan B). Tetapi setelah putusan dijatuhkan, beberapa hari kemudian datanglah Tuan B kepengadilan itu menanyakan kapan perkaranya disidangkan. Ternyata juru sitanya sama sekali tidak pernah bertemu dengan si penggugat ini, karena hari itu si penggugat baru saja tiba dari luar negeri. Si B selaku penggugat dapat membuktikan keberadaannya di luar negeri selama waktu-waktu pemanggilan hingga pengguguran perkaranya. Pemeriksaan kemudian diadakan terhadap juru sita itu dan ternyata juru sita itu sesungguhnya tidak pernah memanggil Tuan B selaku penggugat. Akibatnya ketua pengadilan negeri tersebut melakukan tindakan administratif terhadap juru sita tersebut, dan untuk penggugat dianjurkan untuk mengajukan gugatan baru. Dari contoh di atas, ternyata bahwa kekuatan bukti sempurna masih dapat digugurkan dengan kekuatan pembuktian lawan yang kuat. Demikian juga dalam hal akta notaris, jika pada minuut yang disimpan oleh notaris terdapat tanda-tangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut dapat dibuktikan, maka gugurlah kekuatan pembuktian dari akta notaris tersebut. Kekuatan pembuktian sempurna itu, juga memiliki daya berlaku yang terbatas, sebagai contoh: kekuatan pembuktian sempurna dari akta autentik yang bersifat akta partij itu hanya berlaku bagi kedua pihak atau ahli warisnya serta 82

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

orang-orang yang memperoleh hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, kekuatan pembuktian sempurna dari suatu akta autentik adalah tidak berlaku. Dari suatu akta autentik, kekuatan yang berlaku bagi pihak ketiga hanyalah kekuatan pembuktian bebas, artinya kekuatannya diserahkan kepada pertimbangan hakim sepenuhnya. Berbeda dengan kekuatan pembuktian yang menentukan, tidak memungkinkan pembuktian perlawanan. ad. 2. Kekuatan pembuktian lemah Kekuatan pembuktian lemah atau tidak lengkap ini adalah tidak memberikan kepastian yang cukup, sehingga hakim tidak memberikan akibat hukum hanya atas dasar alat bukti yang lemah. Gugatan yang hanya didasarkan pada alat bukti demikian itu harus ditolak. ad. 3. Kekuatan pembuktian sebagian Kekuatan pembuktian sebagian ini memang sepintas lalu mirip dengan kekuatan pembuktian lemah, tetapi berbeda. Untuk menjelaskan sekaligus penulis memberikan contoh untuk keduanya: Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang kepada si A sejumlah Rp 1000.000,- pada tanggal 1 januari 1978, dan dengan perjanjian utang itu akan dibayar oleh si B paling lambat tanggal 27 Maret 1981. Dalam kasus ini, ternyata si A hanya dapat mangajukan alat bukti berupa satu orang saksi saja, padahal berdasarkan asas kesaksian UNUS TESTIS NULLUS TESTIS, kesaksian demikian tidak dapat diterima sebagai kesaksian, karena SATU SAKSI BUKAN SAKSI. Apakah kekuatan pembuktian itu lemah atau merupakan Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

83

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

kekuatan pembuktian sebagian, tergantung dari tanggapan tergugat. a.

Jika tergugat menyangkali sama sekali gugatan si A, jadi si B menyatakan bahwa si B sama sekali tidak pernah berutang kepada si A dalam jumlah berapa pun, maka kekuatan pembuktian si A itu bersifat lemah dan karenanya harus ditolak.

b.

Adapun si B selaku tergugat menyangkali sebagian, tetapi mengakui bagian, jadi misalnya si B mengakui bahwa benar ia telah berutang pada si A sejumlah yang digugat oleh si A, yaitu Rp 1000.000,- tetapi tidak benar si B menjanjikan untuk dibayar paling lambat tanggal tanggal 27 Maret 1981, melainkan tanggal 9 November 1982, inilah yang merupakan kekuatan pembuktian sebagian.

ad. 4. Kekuatan pembuktian menentukan Kekuatan pembuktian yang bersifat menentukan adalah kekuatan pembuktian yang tidak memungkinkan pembuktian perlawanan sama sekali. Jadi, inilah bedanya dengan kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan pembuktian lawan. Contoh dari alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan adalah alat bukti SUMPAH. ad. 5. Kekuatan pembuktian perlawanan Kekuatan pembuktian perlawanan adalah kekuatan dari alat bukti yang melumpuhkan pembuktian dari pihak lawan. Sebagai contoh: Si A menggugat si B bahwa pada tanggal 15 Agustus 1960, si B telah menabrak mobil si A yang diparkirkan di depan toko buku Hidayat di Jl. G. Lampobatang 5 Ujungpan84

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

dang, sehingga mobil si A rusak berat, si A mengajukan tiga orang saksi untuk membuktikan gugatannya itu. Tetapi si B mengajukan pembuktian perlawanan, dengan mengemukakan sejumlah alat bukti bahwa pada tanggal 14 Agustus 1960 hingga tanggal 17 Agustus 1960, ia tidak berada di Ujungpandang tetapi berada di luar negeri.

F. Bagaimana Kekuatan dari Alat Bukti di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk Buku IV BW) Pada umunya mengakui, bahwa alat bukti selain: alat bukti tertulis, kesaksian, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah, maka di luar dari itu masih ada alat bukti lain, misalnya expertise (keterangan ahli) dan descente (pemeriksaan setempat) yang juga diatur dalam HIR. Tetapi, selain expertise dan descente biasa masih diperdebatkan. Misalnya antara lain: a.

fotokopi;

b.

kaset;

c.

gramaphone (phonograph)’

d.

potret;

e.

ilm;

f.

radar;

g.

komputer;

h.

televisi;

i.

tes darah;

j.

dan sebagainya.

Mengenai alat bukti di atas, pada umumnya kekuatan pembuktiannya adalah kekuatan pembuktian bebas, artinya diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim. Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

85

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pada dasarnya alat-alat di atas dapat merupakan alat bukti jika merupakan suatu objek jual beli, misalnya perjanjian jual beli televisi atau kaset. Dalam hal ini televisi atau kaset ini dapat dijadikan alat bukti jika terjadi persengketaan mengenai perjanjian itu. Adapun jika alat-alat itu bukan sebagai objek, melainkan untuk membuktikan suatu peristiwa, misalnya: Si X seorang suami mengugat bercerai untuk si Z istrinya, yang digugatnya telah melakukan perzinaan dengan lelaki si B, sebagai alat bukti untuk membuktikan bahwa istrinya telah berzina dengan si B, maka si X mengajukan kaset yang berisikan suara rekaman, suara-suara erotik saat si Z bercumbu dengan si B di dalam kamar. Atau si X mengajukan ilm yang menunjukkan adegan persetubuhan antara si Z dan si B yang di ilmnya secara diam-diam tanpa sepengetahuan istrinya si B. Dalam hal ini, alat bukti kaset atau ilm itu kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Kalau hakim memastikan bahwa adegan ilm atau suara kaset itu asli atau gambar dari si Z dan B, maka hakim akan menerima alat bukti itu. Tetapi jika hakim meragukan, karena kaset, ilm, dapat dimanipuasi dengan trik-trik tertentu, maka alat bukti itu ditolak. Demikian juga fotokopi, biasanya baru diterima selaku alat bukti jika sudah dilegalisir oleh pengadilan bahwa benarbenar fotokopi itu sesuai dengan aslinya. Jadi aslinya harus dibawa dahulu untuk disesuaikan dengan kopinya, barulah kopi itu bisa dijadikan sebagai alat bukti. Hal ini pun masuk akal, karena memang fotokopi paling gampang dimanipulasi, sehingga sama sekali berbeda dengan aslinya. Jadi kesimpulannya, bahwa pada dasarnya alat-alat bukti hasil teknologi modern itu memberi kekuatan pembuk86

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

tian bebas kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

G. Teori-teori Pembuktian Sejauh mana hakim itu seyogianya diikat oleh hukum positif di dalam perkara perdata, ada tiga teori yang paling berbeda: 1. Teori negatif. 2. Teori positif 3. Teori bebas. ad. 1. Teori negatif Teori negatif ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bagi hakim di dalam pembuktian. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat “larangan-larangan bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi kebebasan hakim di dalam pembuktian. ad. 2. Teori positif Teori Posotif ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, selain berupa “larangan-larangan” juga berupa perintah-perintah. ad. 3. Teori bebas Teori ini menginginkan hakim sama sekali tidak diikat dengan hukum positif tertulis dalam hal pembuktian, tetapi penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Kelihatannya Keneth Culp Davis14 salah satu pengikut yang menginginkan kebebasan hakim dalam hal pembuktian, terlihat dalam pandangan di bawah ini mengenai beban pembuktian: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

87

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

“he concept of burden of proof or burden of going forward is almost always irrelevant to the judge’s assumption of extra record fact in his thinking about pleadings, evidence, law, policy, or discreation. At every step the judge uses relevant portions of his education and experience, and he does not conine his thinking in anymold such as burden of proof ….”

Kenneth Culp Davis mengikuti pendapat hayer dan Nigmore. Kenneth Culp Davis menampakkan kecenderungannyaa bahwa sebaiknya hakim di dalam setiap langkahnya adalah menggunakan hasil pendidikan yang pernah diperolehnya serta hasil pengalamannya sendiri, dan tidak dibatasi dengan pemikiran-pemikiran yang mengikat, misalnya ketentuanketentuan mengenai beban pembuktian. Selain Kenneth Culp Davis, maka masih banyak ahli hukum yang menganut teori bebas itu, mungkin tidak pada masalah beban pembuktiannya tetapi pada masalah pembuktian lainnya. Tentu saja masing-masing teori ada kelemahan dan ada kelebihannya. Kebaikan jika hakim bebas dalam pembuktian. 1. Dengan kebebasan dapat menutupi kekurangan hakim akan pengetahuan mengenai penguasaan undang-undang. Terutama bagi hakim yang kebetulan “kurang begitu senang membaca dan belajar”, memudahkan dirinya jika tidak diikat oleh hukum positif dalam hal pembuktian. 2. Dalam hal menilai keterangan kesaksian, maka jika hakim bebas, hakim dapat melakukan penilaian secara “karakter evidence” pada pribadi saksi, sehingga bagi saksi yang tidak dapat dipercayai hakim bebas untuk melakukan penilaian sendiri. 88

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

3.

Dengan memberi hakim kebebasan di dalam pembuktian, maka perkembangan hukum pembuktian kita akan lebih cepat daripada harus menunggu proses perkembangan hukum tertulis yang tentu jauh lebih lamban, dari perkembangan hukum tidak tertulis. Dengan demikian hakim dalam putusannya dapat lebih menyesuaikan dengan kebutuhan hukum warga masyarakat.

Kelemahan jika hakim bebas dalam pembuktian. Tentu saja kelemahan yang paling mungkin dan paling mencolok adalah “BELUM SIAPNYA” mental dan penguasaan ilmu hukum sebagian besar hakim kita di Indonesia untuk menilai pembuktian itu secara terlalu bebas, terutama kesewenang-wenangan dapat terjadi karenanya. Sehubungan teori pembuktian bebas yang menginginkan hakim bebas dalam pembuktian, timbul pertanyaan, dalam hal apa saja penganut teori pembuktian bebas itu menginginkan hakim bebas dalam masalah pembuktiannya? Jawabannya adalah: 1. Kebebasan hakim dalam hukum pembuktian merupakan kebebasan di dalam menerima alat-alat bukti. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam hukum pembuktian ada yang disebut “ADMISSIBILITY”, yaitu dapat tidaknya diizinkan suatu alat bukti tertentu dalam peristiwa tertentu. Jadi, hakim diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menentukan kapan alat bukti tertentu digunakan. 2. Penilaian yang mandiri oleh hakim. Dalam hal ini hakim mempunyai posisi yang objektif dan penilaiannya objektif pula. Dengan kebebasan yang lebih, hakim dapat melakukan penilaian yang mandiri. Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

89

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

3.

Penilaian secara mandiri pula ke arah kebenaran yang sebenarnya dari peristiwanya.

Pendapat pribadi penulis sendiri tentang kebebasan hakim ini adalah jika kita menginginkan menganut teori pembuktian bebas, maka untuk menjaga kepastian hukum dalam memberikan kebebasan hakim, juga sedikit demi sedikit kita harus mengarah kepada sistem “presedent”, yaitu mengikuti putusan hakim yang terlebih dahulu. Karena di dalam sistem Anglo Saks, yang mana hakimnya tidak terikat pada undangundang seperti sistem kontinental, lalu mengikatkan diri pada “presedent”. Setiap sistem hukum mempunyai cara sendiri untuk mempertahankan kepastian hukumnya. Sistem Anglo Saks tidak diikat oleh undang-undang, tetapi diikat lagi oleh pre­ sedent. Sistem kita di Indonesia pada hakikatnya tidak diikat oleh presedent, tetapi diikat oleh ketentuan undang-undang. Sebab bagaimana pun hakim tidak boleh dibiarkan terlalu bebas, mengingat bahaya kebebasan itu pun banyak sekali, apalagi dalam negara yang masih berkembang seperti kita, di mana masih banyak faktor-faktor kultur, maupun ekonomis yang memengaruhi objektivitas hakim.

H. Alat Bukti Tertulis (Surat) Walaupun dalam Buku II dan seterusnya penulis akan membahas secara mendetail setiap jenis alat bukti, tetapi dalam buku I ini pun tetap penulis akan mengutarakan secara garis besarnya beberapa alat bukti yang lazim digunakan dalam hukum pembuktian perdata, termasuk pertama-tama ini alat bukti tertulis atau surat (geschrit, writings). Suatu alat bukti termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat jika memenuhi tiga unsur berikut ini:15 90

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

1. 2. 3.

Harus memuat tanda-tanda bacaan. Bermaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang. Sengaja dibuat untuk digunakan sebagai pembuktian.

Alat bukti tertulis atau surat ini dapat digolongkan ke dalam tiga jenis: 1. Akta autentik. 2. Akta dibawah tangan. 3. Surat-surat lain yang bukan akta. Secara lebih umum, dapat dipersempit pembagian itu menjadi: 1. akta. 2. bukan akta. Pengertian akta Akta adalah alat bukti tertulis yang diberi tanda tangan serta memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu perikatan, atau menjadi dasar dari suatu hak dengan ketentuan bahwa sejak semula akta ini sengaja dibuat untuk pembuktian. Jadi dapatlah kita menemukan 3 unsur yang harus terdapat pada suatu akta, entah itu akta otentik, maupun akta di bawah tangan, yaitu: 1. harus ada tanda tangan. 2. harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu perikatan atau menjadi dasar dari suatu hak. 3. harus sejak dibuatnya sengaja dimaksudkan untuk pembuktian. Akta itu sendiri terbagi lagi atas dua macam, yaitu: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

91

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Akta autentik: yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu. Akta di bawah tangan: yaitu akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.

a. b.

Pengertian surat yang bukan akta Yang termasuk dalam surat-surat yang bukan akta adalah semua alat bukti tertulis yang memenuhi unsur untuk adanya alat bukti tertulis, tetapi tidak memenuhi unsur-unsur untuk diakuinya sebagai suatu akta. Lihat pendapat penulis.16

I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony) Menurut penulis, kesaksian adalah alat bukti yang diberitahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi, yang bukan pihak dalam perkara tersebut, untuk memberikan kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan. Dengan demikian, unsur yang harus ada pada alat bukti kesaksian adalah: 1.

Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi secara lisan di muka persidangan.

2.

Tujuannya untuk memberi kepastian kepada hakim tentang peristiwa yang dipersengketakan.

3.

Saksi itu bukan salah satu pihak yang beperkara.

Sesuai dengan pengertian di atas, jelaslah bahwa keterangan yang diberikan secara tertulis oleh saksi bukan alat bukti kesaksian, melainkan bernilai alat bukti tertulis atau surat. Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi itu, atau yang dinamai “keterangan kesaksian” haruslah mengenai apa 92

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi. Sehingga keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga atau “testimonium de auditu” pada umumnya tidak diperkenankan. Asas dari kesaksian ini adalah: “UNUS TESTIS NULLUS TESTIS”, satu saksi bukan saksi. Ini berarti bahwa jika hanya ada satu kesaksian, maka tidak boleh diterima sebagai alat bukti. Minimal harus ada dua kesaksian. Keterangan satu orang saksi, kalau keterangan itu dapat dipercayai oleh hakim, barulah dapat menjadi alat bukti sempurna jika dilengkapi alat bukti lain. Pembahasan secara mendetail mengenai kesaksian ini, akan penulis bahas dalam Buku III Seri Hukum Pembuktian ini, dalam satu buku tersendiri.

J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan Menurut E. W. Cleary17 persangkaan-persangkaan atau PRESUMTIONS adalah: “he slipperiest member of the family of legal terms....”

Persangkaan-persangkaan itu adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena dengan persangkaan-persangkaan kita menarik kesimpulan dari peristiwa yang telah terbukti ke arah peristiwa yang belum terbukti. Sebagai contoh: si Chika terbukti ada di Makasar pada tanggal 9 November 1952, berarti dari peristiwa yang telah terbukti di atas, kita menarik kesimpulan bahwa karena si Chika ada di Makasar, tentunya si Chika tidak berada di New York pada saat yang sama itu. Menurut Ch. J. Enschede18 persangkaan-persangkaan ini merupakan pembuktian yang bersifat sementara. Dalam hukum positif kita di Indonesia, dapat dibedakan dua jenis persangkaan: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

93

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

1.

persangkaan-persangkaan menurut hakim.

2.

persangkaan-persangkaan menurut undang-undang.

ad. 1. Persangkaan­persangkaan menurut hakim (presumtions facti, rechterlijke vermoedens) Adalah persangkaan-persangkaan yang dilakukan oleh hakim, berdasarkan kenyataan. Jadi hakimlah yang membuat jenis persangkaan-persangkaan ini. ad. 2. Persangkaan­persangkaan menurut undang­undang (presumptions juris, rechtsvermodens).: Adalah persangkaan-persangkaan yang ditentukan oleh undang-undang sendiri, dibagi lagi atas dua jenis: a.

Yang masih memungkinkan pembuktian lawan (presum­ ptions juris tantum).

b.

Yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (presum­ tiones juris et de jure).

Perbedaan antara persangkaan-persangkaan menurut hakim dan persangkaan-persangkaan menurut undang-undang adalah: a.

Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang sudah ditetapkan terlebih dahulu sebelum peristiwa konkret terjadi.

b.

Persangkaan-persangkaan menurut hakim ditetapkan oleh hakim, setelah adanya peristiwa konkret yang terjadi.

Penjelasan secara lebih luas tentang persangkaan-persangkaan ini akan akan penulis bahas dalam Buku IV Seri Hukum Pembuktian ini dalam satu buku tersendiri.

94

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

K. Pengakuan (Confession, Bekentenis) 1. 2. 3.

Pengakuan sebagai alat bukti ada tiga macam: Pengakuan murni (aveu pur et simple). Pengakuan dengan kualiikasi (aveu qualiie). Pengakuan dengan klausuls (aveu complexe).

Penulis menjelaskan masing-masing dari ketiga jenis pengakuan di atas: ad. 1. Pengakuan murni: Pengakuan tergugat mengenai seluruh isi gugatan penggugat. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang kepada sejumlah Rp 100.000,-, kemudian si B mengakui bahwa benar ia telah berutang sejumlah Rp 100.000,- kepada si A. ad. 2. Pengakuan dengan kualiikasi: Pengakuan tergugat tetapi disertai dengan sangkalan terhadap sebagian gugatan. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa si B telah membeli rumahnya seharga Rp 45.000.000,- dan belum dibayar oleh si B. B mengakui telah membeli rumah si A, tetapi bukan seharga Rp 45.000.000,- melainkan hanya Rp 30.000.0000,-. ad. 3. Pengakuan dengan klausul: Pengakuan tergugat yang disertai dengan klausul yang bersifat membebaskan. Contoh: Si A menggugat bahwa si B telah membeli rumah si B seharga Rp 50.000.000,- dan belum di bayar oleh si B. Kemudian si B mengakui, bahwa benar ia telah membeli rumah si A seharga Rp 50.000.000,- tetapi ia telah membayarnya lunas. Baik pengakuan dengan kualiikasi maupun pengakuan dengan klausul harus diterima secara bulat oleh hakim, Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

95

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

tidak bias dipisahkan dari keterangan tambahannya. Hal ini berdasarkan asas pengakuan “ONSPLITSBARE AVEU” (pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan). Ulasan yang lebih mendetail tentang pengakuan, akan dibahas secara tersendiri dalam Buku V Seri Hukum Pembuktian ini.

L. Sumpah sebagai Alat Bukti Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi sumpah itu ada dua: 1.

Sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah asser­ toir, yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak.

2.

Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir, misalnya: sumpah seorang saksi. Jadi di sini, kesaksiannya yang alat bukti, bukan sumpah itu sendiri yang hanya merupakan janji.

Sumpah sebagai alat bukti, yang umum dikenal adalah tiga jenis: 1.

Sumpah decisoir (sumpah pemutus)

2.

Sumpah supletoir (sumpah pelengkap).

3.

Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).

ad. 1. Sumpah decisoir Sumpah decisoir ini adalah sumpah yang dibebankan kepada salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak lainnya. Jadi, misalnya si penggugat meminta agar tergugat bersumpah. Sumpah decisoir ini dapat dibebankan walaupun tidak ada pembuktian sama sekali. Dan pembebanan sum-

96

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

pah decisoir ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan. Sumpah decisoir ini mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan (Beslissende bewijskracht). Jadi tidak memungkinkan lagi pembuktian lawan (tegen bewijs). Isi sumpah decisoir harus mengenai hal ini yang pokok dan bersifat menyelesaikan persengketaan (LITIS DECISOIR). ad. 2. Sumpah supletoir Sumpah supletoir ini adalah sumpah pelengkap, yang bersifat melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup. Sumpah supletoir ini diperintahkan oleh hakim karena jabatannya (ex oicio). Jadi misalnya hanya ada satu saksi saja, padahal ada asas “UNUS TESTIS NULLUS TESTIS”, maka untuk melengkapinya pihak yang mengajukan satu saksi saja, diperintahkan oleh hakim untuk bersumpah. Kepada pihak mana hakim memerintahkan untuk bersumpah supletoir adalah tergantung pertimbangan hakim. Sumpah supletoir ini masih memungkinkan pembuktian lawan. ad. 3. Sumpah aestimatoir: Sumpah aestimatoir ini adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya. Sumpah aestimatoir ini baru dibebankan hakim kepada penggugat, jika penggugat telah berhasil membuktikan haknya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya masih simpang siur. Kekuatan pembuktiannya sama dengan sumpah supletoir, bersifat sempurna tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan.

Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata

97

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Endnote: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9. 10.

11. 12. 13. 14.

15.

16. 17. 18.

98

G. W. Paton. “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford, at the Clarendon Press 1964, hlm. 545. Ibid, hlm. 541. A. B. Diamond. “Primitive Law”. Second editions, ch. xxx. Peter J. Dorman. “Dictionary of Law”. Running Press, Phiadelphia, Pennsylvania, USA, 1976. hlm. 37. Charles F. Hemphill, J.R. & Phylle D. Hemphil. “he Dictionary of Practical Law”. Prentice-hall, Inc. Englewood Clifs”, 1975 hlm. 49. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York, 1949, hlm. 1. Prof. Dr. R.M. Sudik Mertokusumo S.H. “Kuliah Hukum Acara Perdata untuk Program S-II Hukum Keperdataan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Tahun 1982. G. W. Paton. Op.Cit., hlm. 542. Sir Roland Burrows. “Phipson on the Law of Evidence”. Ninth Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952, hlm. 2, 3 dan 4. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law or Evidence”. Second Edition, St. Paul, Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 524-529. Charles F. Hemphill, J.R… Op­cit., hlm. 61. Sir Roland Burrows. Op.Cit., hlm. 3. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradnyaparamita. Jakarta, 1978, hlm. 22. Kenneth Culp Davis “A System Judicial Notice Based on Fairness and Convenience”. Termuat dalam “perpective of law” Essay for Austim Wakeman Scott, (Ad. Rescoe Pound dkk.), Little Brown Company, Boston, Toronto, USA, 1964, hlm. 79. Ahmad Ali. “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis, serta Peranan dan Perkembanganya dalam Hukum Acara Perdata”. (Makalah untuk Program S-II Universitas Gajah Mada Yogyakarta 1982), hlm. 32. Ibid., hlm. 33. E. W. Cleary. Op.Cit., hlm. 803. Ch. J. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 af1. 5/6 hlm. 488.

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Keenam

PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN

Ut Sementem Feceris, Ita Meted “Siapa yang menanam sesuatu, dialah juga yang akan memetik hasilnya.” Untuk mengetahui arti dan pengertian dari “Beban Pembuktian” (Burden of Proof, Bewijslast), terlebih dahulu kita harus mengerti arti perkataan “bukti” (proof) itu dahulu. Menurut Edward W. Cleary:1 “Proof, is an ambiguous word. We sometimes use it to mean evidence, such as testimony or documents. Sometimes, when we say a thing is “proved” we mean that we are convinced by the data submitted that the alleged fact is true. hus, “proof ” is the end result of conviction or persuasion produced by the evidence….”

Jadi, E. W. Cleary melihat arti perkataan “bukti” itu bersifat rangkap. Di mana arti bukti itu bisa dua pengertian: 1. Sebagai alat bukti, misalnya kesaksian, dokumen, dan lain-lain. 2. Sebagai terbukti, yang berarti bahwa kita meyakini akan data yang diberikan tentang suatu fakta itu adalah memang benar. Sehingga E. W. Cleary menyimpulkan, bahwa perkataan

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

“bukti” berarti hasil akhir dari keyakinan atau persuasi yang diprodukkan oleh alat bukti. Dari pengertian “bukti” di atas, E. W. Cleary bertitik tolak untuk memberikan pengertian tentang “beban pembuktian” itu sendiri sebagai berikut:2 “....he term encompasses two separate burdens of proof. One burden is that of producing evidence satisfactory to the judge, of a particular fact in issue. he second is the burden of persuading the trier of fact that the alleged fact is true....”

Jadi menurut Cleary di atas, dapat dibedakan adanya dua beban pembuktian yang terpisah, yaitu: 1. Beban untuk mengajukan alat bukti yang dapat memuaskan hakim, tentang suatu fakta tertentu (the burden of producing evidence). 2. Beban untuk meyakinkan “the trier of fact” bahwa apa yang diajukan adalah benar (the burden of persuasion). Lebih jauh Cleary menuliskan bahwa:3 “he burden of producing evidence on an issue means the liability to an adverse ruling (generally a inding or directed verdict) if evidence on the issue has not been produced. It Is usually cast irst upon the party who has pleaded existence of the fact, but as we shall see, the burden may shit to the adversary when the pleader has discharged his initial duty. he burden of pruducing evidence is a critical mecha­ nism in a jury trial, as it empowers the judge to decide the case wi­ thout jury consideration when a party fails to sustain the burden”.

Kemudian selanjutnya Cleary menjelaskan lagi bahwa:4 “he burden of persuasion becomes a crucial factor only if the parties have sustaine a their burdens of producing evidence and only when all of the evidence has been introduced...”

Jadi, yang terpenting dari uraian Cleary di atas adalah bahwa:

100

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

a. Beban untuk mengajukan alat bukti merupakan “a cri­ tical mechanism” di dalam peradilan juri. b. Beban untuk mengajukan alat bukti walaupun pada hakikatnya adalah kewajiban penggugat tetapi dapat berpindah ke pihak lawan. c. Beban untuk dinilai (burden of persuasion) barulah menjadi faktor yang berarti jika para pihak sudah mengajukan alat buktinya. Selain E. W. Cleary, maka beberapa ahli hukum lain memberikan batasan pengertian tentang beban pembuktian, antara lain Charles F. Hemphill J.R. dan Phyllis D. Hemphill5 yang menuliskan bahwa: “he burden of proof is: 1. In evidence law, the obligation or necessity to prove those facts in dispute in the trial of a lawsuit. Most courts say that the burden of proof involves two obligations: a. the duty of producing evidence as the trial progresses, and; b. establishing the truth of the claim by a preponderance of the evidence. 2. In a criminal prosecution, the burden of proof is on the pro­ secutor (on the government) to prove all material issues that may be in doubt. his is an airmative duty. At the outset of the trial, the defendant has no duty to prove innocence.”

Jadi, pada dasarnya kedua ahli hukum ini pun sependapat dengan E. W. Cleary yang memberi dua artian tentang beban pembuktian itu. Pertama bahwa di dalam hukum pembuktian, fakta tentang persengketaan di buka persidangan di mana pada umumnya pengadilan berpendapat bahwa beban pembuktian meliputi dua kewajiban: a) Kewajiban untuk mengajukan alat bukti ke muka persidangan pengadilan; dan Pengertian Beban Pembuktian

101

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

b) Kewajiban untuk membuktikan kebenaran dari tuntutan itu dengan alat bukti yang benar-benar meyakinkan. Adapun pengertian kedua yaitu dalam hukum pidana, beban pembuktian itu ada pada jaksa (dalam hal ini mewakili pemerintah) untuk membuktikan semua hal yang berkaitan dengan tuntutan pidana yang mungkin masih meragukan. Kewajiban mana merupakan kewajiban yang sifatnya airmatif. Dan para permulaan pemeriksaan di muka persidangan pengadilan, tidak ada kewajiban terdakwa untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Berbeda dengan itu, Mr. H. hesing6 menyatakan bahwa: “Beban pembuktian adalah aktivitas untuk mengadakan atau menciptakan proses psikis pada hakim untuk membenarkan/meyakini adanya dan terjadinya fakta-fakta yang dikemukakan dan yang daripadanya diinginkan suatu akibat hukum oleh salah suatu pihak yang beperkara, di mana secara luas termasuk hal mengemukakan dalil /fakta dan secara terbatas hanya yang sifatnya, bentuknya, dan intinya khusus untuk meneguhkan dalil/fakta yang sudah diterangkan itu.”

Jadi, Mr. H. hesing melihat arti beban pembuktian dari segi proses psikis pada diri hakim. Peter J. Dorman7 memberikan arti beban pembuktian secara sangat singkat, yaitu: “A regirement to prove a disputed fact.” Lewis Mayers8 menuliskan bahwa: “At the trial, the burden of proof, as it is celled, may rest on one party or the other as to a particular issue. hat burden is to adducu, on the issue a preponderence of the credible evidance....”

Jadi oleh Lewis Mayers, beban pembuktian dilihat dari fungsinya untuk menyakinkan hakim dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Beban pembuktian ini bu102

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

kan suatu keharusan untuk dibebankan kepada para pihak. Hanya “boleh”, jika dibutuhkan. Perhatikan perkataan “may rest.” Sehubungan dengan hal di atas, penulis menegaskan di sini bahwa pembuktian itu barulah dilakukan jika: a. sama sekali tidak ada alat bukti yang diajukan oleh baik pihak penggugat maupun pihak tergugat ; atau b. alat-alat bukti yang diajukan kedua pihak sama kuatnya. Perbedaan yang paling mencolok antara beban pembuktian dalam perkara pidana dan perkara perdata adalah: a. Dalam perkara pidana, beban pembuktian itu harus bersifat “beyond reasonable doubt”; b. Sedangkan dalam perkara perdata, beban pembuktian itu sifatnya “preponderence evidence”. Seperti apa yang dikemukakan oleh Stephen Gillers,9 bahwa hukum acara pidana “...yet other courts have said that the charges must be sustained by proof that is reasonably certain, with reasonably doubts being resolved in favor of the attorney....” Adapun dalam hukum acara perdata dikatakannya: “....In an ordinary civil action, it is generally not reguired that the miscon duct be prove beyond a reasonable doubt....”

a.

Beban mengajukan alat bukti. Sebagaimana dijelaskan tadi, bahwa pengertian beban pembuktian itu ada dua yaitu: 1. Beban untuk mengajukan alat bukti (the burden of producing evidence); 2. Beban untuk menyakinkan, untuk dinilai (the bur­ den of persuasion). Pengertian Beban Pembuktian

103

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Mengenai beban untuk mengajukan alat bukti, dalam sistem hukum Inggris adalah kewajiban pertama bagi para pihak yang dibebani pembuktian. Tetapi di dalam sistem hukum kita di Indonesia, antara beban untuk mengajukan alat bukti dan beban untuk meyakinkan, untuk dinilai tadi tidak diadakan pemisahan tahapannya, sekaligus berlangsung dalam saat para pihak dibebani pembuktian. hayer10 menyebutkan beban untuk mengajukan alat bukti itu dengan istilah lain yaitu “he duty of going forward.” Adapun McNaughton11 menyebutkanya dengan istilah “he burden of production of evidence,” penggunaan istilah yang berbeda-beda di atas perlu kita ketahui, khususnya para ilmuwan. Di dalam bahan jika membaca literatur-literatur dari sistem common law. Sehubungan dengan beban untuk mengajukan alat bukti ini, Dean McCormick12 menulis bahwa: “In the writer (s view the burden of producing eviden has far more inluence upon the inal outcome of cases than does the burden of persuasion, which has become very largely a matter of the technigque of the wording of instructions to juries. his wording may be chosen in the particular case as a handle for reveral but will seldom have been a factor ini the jury’s decision.”

Jadi, menurut penulisnya beban untuk mengajukan alat bukti itu jauh lebih berpengaruh terhadap putusan, daripada beban penilaian, beban untuk menyakinkan (the burden of persuasion). Tentu saja bagi kita di Indonesia, di mana antara kedua beban itu sekaligus dilaksanakan tidak mengenal penahapan seperti dalam sistem Inggris, maka pengaruh yng lebih besar dari salah satunya tidak ada. Keduanya berpengaruh sama besarnya terhadap 104

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

putusan, karena beban pembuktian mengandung risiko pembuktian. Beban untuk mengajukan alat bukti ini, pada umumnya dibebankan kepada pihak yang menyatakan mempunyai suatu hak gugatanya, tetapi kemudian bisa saja beralih pada pihak lawannya dalam proses selanjutnya. Beban untuk mengajukan alat bukti ini merupakan suatu “critical mechanism” di dalam suatu peradilan jury, karena dengan adanya beban untuk mengajukan alat bukti, membuktikan bagi hakim untuk memutus perkara tanpa pertimbangan juri, yaitu jika yang dibebani untuk mengajukan alat bukti ternyata tidak dapat melaksanakannya. b.

Beban untuk meyakinkan, beban penilaian (the burden of persuasion) Penulis menerjemahkan istilah “the burden of persua­ sion” dengan beban untuk penilaian, karena dengan beban yang kedua ini pihak yang telah mengajukan alat bukti dinilai alat buktinya oleh hakim (dan juri). Dinilai apakah dengan alat bukti tersebut benar-benar meyakinkan bahwa peristiwa yang dinyatakan adalah benar. Karena itu pula sehingga di dalam sistim hukum common law, beban penilaian ini barulah menjadi faktor yang mempunyai arti, jika beban untuk mengajukan alat bukti telah dilaksanakan. Sebenarnya dengan sistem hukum kita di Indonesia pun, apa yang mau di nilai jika alat bukti belum diajukan? Adapun mengenai istilah beban penilaian ini, oleh Wigmore disebutnya “the risk of nonpersuasion.”13 Menurut penulis hal mana mengandung arti bahwa jika Pengertian Beban Pembuktian

105

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

alat bukti yang diajukan itu tidak dapat meyakinkan kebenaran fakta yang dikemukakan, mengandung risiko kalah terhadap pihak yang bersangkutan. Selanjutnya hayer14 menuliskan bahwa: “... It marks ... the peculiar duty of him who has the risk of any given proposition on which parties are at issue, who will lose the case if he does not make this proposition out, when all has been said and done ...”

Jadi, hayer juga menegaskan adanya risiko pembuktian bagi siapa yang yang dibebani, tetapi ternyata tidak berhasil meyakinkan kebenaran proposisi yang dikemukakan. Suatu hal yang menarik dalam sistem peradilan Anglo Saks (common law) adalah dimungkinkan suatu persengketaan berakhir tanpa putusan hakim. Hal demikian itu tidak dimungkinkan di Indonesia, di mana hakim wajib untuk memberi putusan dalam setiap perkara yang dihadapinya. Kesimpulan: Dari pengertian beban pembuktian yang telah dikemukakan secara panjang lebar di atas, dapatlah disimpulkan bahwa beban pembuktian itu merupakan kewajiban airmatif bagi para pihak untuk tampil ke muka persidangan pengadilan dengan membuktikan tentang fakta-fakta mengenai pokok perkara yang dipersengketakan. Mengenai ini, perhatikan juga pendapat Charles F. Hemphill J.R, & Phyllis D. Hemphill.15 Sebagai kesimpulan akhir yang dapat kita tarik, tentang pengertian beban pembuktian itu adalah bahwa: 1. Beban pembuktian baru muncul jika: a. sama sekali tidak ada alat bukti yang di ajukan para pihak; 106

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

b.

2.

atau alat bukti yang diajukan para pihak sama kuatnya atau sama lemahnya. Beban pembuktian adalah pembebanan dari hakim kepada para pihak yang beperkara untuk: a. Mengajukan alat-alat bukti sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. b. Membuktikan kebenaran fakta yang dikemukakannya berdasarkan alat bukti yang diajukan itu, sehingga hakim yakin akan kebenaran fakta yang dikemukakan itu (dalam hal proses perdata, keyakinanya bersifat preponderance of evidence)

Endnote: 1.

Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 783. 2. Ibid. 3. Ibid. 4. Ibid., hlm. 784. 5. Charlas F. Hemphill J.R. & Phillis D. Hemphill. “he Dictionary of Practical Law”. Prantice Hall, Inc. Englewood Clifs, N.J. 1979, hlm. 33. 6. Mr. H. hesing. “De grondslogan van de Bewijslast in de Civila Procedure”. S’Graven hage, 1961 blz 54. 7. Peter J. Dorman. “Dictionary of law”. Runing Press Philadelphia, Pennsylvania, 1976, hlm. 28. 8. Lewis Maers. “he Machinery of Justice; An Introduction to Legal Structure and Process”. Foundations of law in a business socie, series, Prentice Hall Inc. Englewood Clifs, New Jersey, 1963, hlm. 39. 9. Stephen Gillers. “An American Civil Liberties Union Handbook: he Rights of Lawyers and Clients”. A Discus Book/Published by A von Books, USA, 1979, hlm. 72. 10. James Bradley hayer. “Preliminary Treatise on Evidence”. 1898, ch. 9, hlm. 355.

Pengertian Beban Pembuktian

107

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

11. McNaughton, “Burden of Production of Evidence”. Dikutip oleh Edward W. Cleary dalam “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”, hlm. 783. 12. Dean McCormick. Terkutip Ibid., hlm. 784. 13. Wigmore. Terkutip Ibid., hlm. 784. 14. James Bradley hayer. Ibid., hlm. 784. 15. Charles F. Hemphill J.R. & Phyllis D Hemphill. Op.Cit., hlm. 33.

108

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Ketujuh

ASAS BEBAN PEMBUKTIAN

Negativa non sunt probanda “Sesuatu yang negatie, Sulit untuk dibuktikan”

Ada suatu pepatah hukum Romawi, yang berbunyi: “SI VIS PACEM PARA BELUM” yang berarti “hendak damai, siapkan perang”. Demikianlah suatu proses perdata. Dua pihak yang memiliki kepentingan yang berlawanan, tampil ke muka persidangan pengadilan untuk menyelesaikan “perang” atau “persengketaan” mereka, demi menuju penyelesaian persengketaan itu melalui suatu putusan hakim. Karena untuk kepastian hukum, maka tiap putusan hakim yang telah dijatuhkan harus selalu dianggap benar dan sah, kecuali jika ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkannya. Hal ini sesuai asas “RES YDICATA PROVERI TATE HABETUR”; atau serupa tetapi tak sama, asas lain yang bunyinya “res Judicata jus facit inter partes” (putusan hakim menimbulkan hak antara para pihak yang beperkara); atau juga asas yang bunyinya “res judicate pro veritate accip­ itur” isi daripada suatu putusan hakim sebagai benar). Kewajiban para pihak untuk membela kepentingannya

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

masing-masing di muka persidangan pengadilan dengan menunjukkan alat bukti (the burden of producing evidence) dan meyakinkan hakim kebenaran alat bukti itu (the burden of persuasion). Tetapi, dalam hal, sama sekali tidak ada alat bukti yang diajukan kedua pihak sama kuat adalah kewajiban hakim untuk membebani salah satu pihak atau kedua pihak dengan beban pembuktian (the burden of proof). Tentu saja pelaksanaan beban pembuktian itu diatur dengan asas tertentu yang bersifat restrictief; bersifat membatasi kebebasan hakim sehingga dapat terhindarkan penyalahgunaan jabatan atau wewenang; de tournament de pouvoir. Asas beban pembuktian diatur oleh Pasal 163 HIR (pasal 283 R.bg., 1865 KUH Perdata) yang isinya: “Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membukti­ kan adanya hak atau peristiwa itu.” Ini berarti bahwa baik penggugat maupun tergugat, dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib untuk membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib untuk membuktikan sangkalannya. “Reo negate actori incumbit probation;” kalau tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikannya. Tetapi tidak berarti setiap tergugat menyangkali gugatan, selalu pihak penggugatlah yang harus membuktikan. Dalam hal ini hakim harus teliti mempertimbangkan sesuai kasus yang dihadapinya. Sebab bisa saja, Reus excipiendo it actor; tergugat dianggap sebagai penggugat jika ia menyang110

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

kal. Dengan kata lain, ada kalanya tergugat pun dapat dibebani pembuktian jika ia menyangkali gugatan penggugat. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran sangkalan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Secara terperinci, penulis dapat mengemukakan beberapa asas yang terpenting dalam masalah beban pembuktian; 1. Yurisprudensi berpendapat bahwa hakim di dalam membebani pembuktian, hendaknya yang dibebani dengan pembuktian itu adalah yang paling sedikit dirugikan, jika ia harus membuktikannya. Sebagai contoh yang mudah, jika kita melihat dalam kasus pidana. Jika si A dituduh oleh si B bahwa si A mencuri cincin berlian milik si B. Maka tentu saja pihak yang paling sedikit dirugikan jika dibebani untuk membuktikan (seandainya ini adalah kasus perdata) adalah si B. Adapun pihak yang paling banyak dirugikan jika dibebani untuk membuktikan adalah si A yang dituduh. Mengapa demikian? Si A sebagai orang yang dituduh, berarti masih mengandung dua kemungkinan; a. ataukah ia benar mencuri; b. ataukah ia sama sekali tidak mencuri. Seandainya si A sama sekali tidak mencuri, bagaimana mungkin ia membuktikannya bahwa ia benar tidak mencuri? Terlalu berat bagi Si A untuk dibebani. Adapun bagi si B, dengan tindakanya menuduh si B selaku pencuri tentu mendasarkan pada suatu kecurigaan atau dugaandugaan tertentu. Sehingga berdasarkan kecurigaan atau Asas Beban Pembuktian

111

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

2.

dugaannya, bukanlah sesuatu yang berat baginya untuk membuktikannya. Paling tidak masih lebih ringan bagi si B untuk di bebani pembuktiaan daripada si A. Walaupun kasus ini perkara pidana, tetapi pembaca pasti dapat menerapkan jika dihadapkan pada kasus perdata. Asas yang kedua, yang masih berkaitan erat dengan asas pertama di atas, adalah asas “negative non sunt proban­ da”, asas bahwa sesuatu yang bersifat negatie, sulit untuk dibuktikan. Sesuatu yang bersifat negatie biasanya ditandai dengan perkataan “TIDAK”. Misalnya: Si A menyatakan bahwa ia tidak berutang kepada si B. Atau si X menyatakan bahwa ia tidak menubruk mobil si Z, dan lain-lain. Sehubungan dengan hal ini, G.W. Paton1 menuliskan bahwa: “Should not be forced on a person without very strong reasons.” Dalam hal ini, penulis meyetujui jika dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang bersifat negatie itu, sulit untuk dibuktikan. Tetapi, penulis tidak sependapat jika dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang negatie itu MUSTAHIL dibuktikan. Mengapa penulis menganggap bahwa sesuatu yang bersifat negatie, TIDAK MUSTAHIL untuk dibuktikan? Di bawah ini penulis memberikan contoh: Jika si Polan diwajibkan untuk membuktikan ketidakberadanya di Yogyakarta pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret 1981. Berarti si Polan disuruh untuk membuktikan sesuatu yang negatie. Maka si Polan dalam hal ini dapat membuktikan ketidakberadaannya diYogya-

112

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com 3.

4.

karta pada saat tersebut diatas, dengan cara membuktikan keberadaannya pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret 1981 di Makassar. Dari contoh yang penulis berikan di atas membuktikan bahwa sesuatu sifatnya negatie, tidak mustahil untuk dibuktikan. Tetapi tetap merupakan sesuatu yang sulit untuk membuktikannya. Karena itu penulis tetap sependapat, bahwa hakim jangan membebani suatu pihak untuk membuktikan sesuatu yang negatie; kecuali jika terpaksa sekali dilihat dari segi kasusnya. Sehubungan dengan pendapat penulis ini, yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 15 Maret 1972 (No. 547 K/ Sip/1971) memutuskan bahwa pembuktian yang dibebankan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatie adalah berat daripada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan. Asas yang ketiga adalah asas iktikad baik. Asas ini berbunyi bahwa iktikad baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu benda. Barang siapa menggugat akan adanya iktikad buruk bagi bezutter itu, harus membuktikannya. Jadi, dengan asas ini adalah telah ditetapkan bahwa jika penggugat dalam gugatannya mendakwa/menyatakan adanya iktikad buruk pada si tergugat yang merupakan bezitter dari barang yang digugat si penggugatlah yang harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 533 BW). Asas yang keempat adalah asas bahwa jika seseorang telah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain maka Asas Beban Pembuktian

113

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com 5.

selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, kecuali jika terbukti sebaliknya. Sebagai kasus imajiner untuk menjelaskan asas ini, dapat penulis berikan contoh: Si A dan si B sedang menunggu berangkatnya bus jurusan Pdi stasiun bus. Karena si A ini ke kamar kecil, si A menitipkan kopernya kepada si B yang kebetulan duduk satu bangku dengannya. Si B menerima “tugas gratis“ itu dari si B, dan bersedia untuk menjaga koper si A itu selagi si A di kamar kecil. Ketika si A sudah/masih di kamar kecil, datang seorang wanita yang mengaku pada si B sebagai nyonya si A yang disuruh oleh si A untuk mengambil koper yang tadi dititipkan si A kepada si B. Si B percaya dan menyerahkan koper itu pada wanita yang mengaku nyonya A tadi. Tetapi, setelah wanita itu pergi dengan membawa koper si A, tiba-tiba muncul si A dari kamar kecil meminta kopernya. Si B mau melepaskan tanggung jawab. Tetapi berdasarkan asas ini, maka si B tetap dianggap bertanggung jawab atas kopor si A sehingga hukum selalu menganggap si B meneruskan penguasaan itu (bertanggung jawab) kecuali jika terbukti sebaliknya. Jadi, dalam hal ini beban pembuktian untuk membuktian bahwa koper itu benar telah diserahkan kepada wanita itu, jatuh pada si B. (lihat Pasal 535 BW). Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemiliknya. Sehingga, jika seseorang menggugat orang yang mengusai suatu benda bergerak, si penggugatlah yang selamanya harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 1977 ayat 1 BW).

114

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

6.

Asas bahwa adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (lihat Pasal 1244 BW). 7. Asas bahwa siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan (lihat Pasal 1365 BW). 8. Asas yang menyatakan bahwa siapa yang menunjukkan tiga kuitansi yang berturut-turut terakhir dianggap telah membayar semua cicilan. Sehingga, jika ada seseorang yang menggugat si pemegang tiga kuitansi terakhir berturut-turut itu, dialah (penggugat) yang harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 1394 BW). 9. Asas risiko pembuktian, yaitu bahwa barang siapa dibebani dengan pembuktian lalu ternyata tidak mampu untuk membuktikan, harus dikalahkan dalam perkara itu. 10. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan hal yang tidak biasa itu. (Lihat putusan Mahkama Agung), yang (tertanggal 21 November 1956, Nomor 162 K/ Sip/195). 11. Asas yang menyatakan bahwa jika isi suatu surat dapat diartikan dua macam, yaitu menguntungkan dan merugikan bagi si penanda tangan surat, maka si penanda tangan yang harus dibebani untuk membuktikan positumnya. (Lihat Putusan M. A. tanggal 11 September 1957, Nomor 74 K/Sip/1955)

Ednnote: 1.

G.W. Paton “A text book of Jurisprudence”. Oxford, At the Clarendon Press, 1964, hlm. 542.

Asas Beban Pembuktian

115

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kedelapan

TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN

Audi Et Alteram Partem “Dengarlah juga pihak lainnya”

Di samping adanya asas-asas beban pembuktian yang merupakan hasil pemikiran para ahli hukum, juga undangundang dan yurisprudensi, maka di dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal juga “teori-teori beban pembuktian” yang merupakan pedoman bagi hakim di dalam memutuskan siapa yang harus dibebani dengan pembuktian dalam setiap kasus yang diperiksanya.

A. Teori Negativa Non Sunt Probanda Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian “Negativa non sunt probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk dibuktikan. Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa barang siapa yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus membuktikannya, jadi bukan pihak yang menyangkalinya. Karena teori ini bersifat menguatkan belaka, sehingga beberapa ahli hukum menamainya juga dengan nama “teori

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

bloot airmatif” antara lain Asser-Anema-Verdam.1 Dan juga Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.2 Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt probanda” ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir selalu penggugatlah yang dibebani pembuktian. Teori pertama ini menganggap bahwa sesuatu yang sifatnya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk dibuktikan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo obligatur (tiada orang berkewajiban melakukan lebih daripada kemampuannya), maka orang yang menyatakan/mengemukakan sesuatulah yang harus dibebani dengan pembuktian. Tentu saja teori itu tidak selamanya benar dalam setiap kasus. Pembaca dapat melihatnya sendiri jika telah membaca keseluruhan buku ini.

B. Teori Hak Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang mendasari proses perdata. Dengan lain kata, proses perdata itu senantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki perorangan. Dengan demikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum secara perdata adalah semata-mata untuk mempertahankan hak. Dengan demikian, barang siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak, dialah yang dibebani dengan pembuktian. Perbedaannya dengan teori Negativa non sunt probanda adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat harus membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini, tidak seluruh peristiwa harus dibuktikan si penggugat. Penganut teori ‘hak” ini antara lain Asser-Anema-Verdam, membagi peristiwa itu ke dalam: 118

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

a. b.

Peristiwa umum. Peristiwa khusus. 1. Peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende Tatsachen). 2. Peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbulnya hak (rechtshindernde Tatsachen). 3. Peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende Tatsachen).

Penganut teori ini membagi beban pembuktian sebagai berikut: a. Pihak penggugat wajib untuk membuktikan adanya peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. b. Pihak tergugat wajib untuk membuktikan. 1. Tidak adanya peristiwa-peristiwa umum. 2. Adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbulnya hak. 3. Adanya peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak. Untuk jelasnya penulis memberikan contoh kasus imajiner sebagai berikut: Si Baco menggugat kapada Basse, bahwa si Basse telah menerima mobil Toyota plat DD. 2731981 yang dibeli si Basse dengan harga Rp 15.000.000,- dari si Baco, tetapi si Basse belum membayarnya. Dalam hal ini berdasarkan teori “hak” ini, karena ternyata si Basse menyangkali gugatan si Baco, beban pembuktiannya dibagi: a. Si Baco selaku penggugat, harus membuktikan bahwa: 1. Perjanjian jual beli memang telah terjadi antara dia dengan si Basse. Teori-Teori Beban Pembuktian

119

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

2. 3.

b.

Benar harga yang disepekati adalah Rp. 15.000.000 Benar mobil itu sudah diserahkan kepada si Basse selaku pembeli. Si Basse selaku tergugat, harus membuktikan bahwa: 1. Dia telah membayar harga yang sejumlah Rp 15.000.000,itu kepada si Baco selaku penjual. 2. Atau membuktikan adanya cacat pada persesuaian kehendak.

P. A. Stein3 tidak menyetujui teori ini dengan alasan bahwa teori ini hanya mampu memecahkan masalah jika gugatan si penggugat didasarkan pada “hak”. Bagaimana dalam gugatan perceraian? Menurut Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.,4 kelemahan lain dari teori ini adalah karena teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam suatu persengketaan yang bersifat prosesuil.

C. Teori De Lege Lata (Menurut Hukum Positif) Menurut teori ini, dengan si penggugat mengajukan gugatannya berarti bahwa si penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan hukum yang berlaku terhadap peristiwa yang diajukan. Karena itulah, maka si penggugat harus dibebani pembuktian untuk membuktian kebenaran dari peristiwa yang diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya untuk diterapkan pada peristiwa itu. Sebagai contoh: jika si A menggugat tentang suatu perjanjian, maka si A harus mencari dalam undang-undang apa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, lalu membuktikannya. 120

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dalam contoh ini, si A tentu harus berdasarkan Pasal 1320 BW dan karena Pasal 1320 BW tidak menyebutkan adanya cacat dalam persesuaian kehendak, sehingga si A pun tidak perlu membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak itu. Tentang adanya cacat dalam persesuaian kehendak itu, pihak lawanlah yang harus membuktikannya. Ini berarti hakim hanya dapat mengabulkan gugatan jika unsurunsur yang ditetapkan oleh hukum/undang-undang itu ada. Bagaimana dengan persoalan yang tidak diatur dalam undang-undang? Inilah kelemahan teori ini.

D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik) Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara perdata adalah bagian dari hukum privat, tetapi bagaimanapun kepentingan publik termasuk di dalamnya. Sebab, kepentingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena itu, teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi wewenang yang lebih besar di dalam mencari kebenaran. Teori ini menghendaki agar bagi para pihak dibebani dengan kewajiban yang bersifat hukum publik, di mana ke wajiban itu harus disertai dengan saksi pidana. Tentu saja teori ini terlalu berlebihan untuk diterapkan di Indonesia dewasa ini.

E. Teori Audi Et Alteram Partem Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara perdata pada umumnya, yaitu asas “AUDI ET ALTERAM PARTEM”, asas kedudukan yang sama secara prosesuil dari kedua pihak yang beperkara. Asas ini mewajibkan hakim agar memberi kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil. Teori-Teori Beban Pembuktian

121

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Karena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada para pihak yang beperkara secara patut, di mana ada kalanya hanya tergugat, dan ada kalanya kedua-duanya. Dengan asas ini, hakim benar-benar harus adil membagi beban pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat tergugat mengenai perjanjian jual beli itu dan bukannya tergugat yang harus membuktikan tentang tidak adanya perjanjian tersebut antara penggugat dan tergugat. Kalau tergugat mengemukakan bahwa ia membeli sesuatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu batal karena kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikanbahwa ia mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak mempunyai utang pada tergugat.

Endnote: 1.

2. 3. 4.

Asser-Anema-Verdam. “Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht”. Vijfde – Deel: Van Bewijs, NV, Uitgevers Maat schappij, W.E.J.T Jeenk Uillink, Zwolle 1934 hlm. 64. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 104. Mr. P. A. Stein. “Compendium can het – Burgelijk Procesrecht”, Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 118. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumio, SH. Op.Cit, hlm. 105.

122

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kesembilan

SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN

Si Duo Faciunt Idem Non Est Idem! “Kalau dua orang melakukan hal yang sama, maka hal itu adalah tidak sama.” Sifat dari beban pembuktian itu sendiri dapat digolongkan ke dalam tiga sifat; penggolongan ke dalam tiga sifat ini adalah sebagai penyempurnaan pembagian yang penulis dahulu bedakan hanya atas dua sifat.1 Ketiga sifat beban pembuktian itu adalah masing-masing: 1. Sifatnya yang kasuistik. 2. Sifatnya yang yuridis. 3. Sifatnya yang historis.

A. Sifatnya yang Kasuistik Hukum positip kita di Indonesia hanya mengatur satu Pasal mengenai asas beban pembuktian secara umum yaitu Pasal 163 HIR (sama bunyinya dengan Pasal 285 R.bg. Pasal 1865 – BW) yang bunyinya: “Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

1. 2.

Dari ketentuan Pasal di atas, yang jelas hanyalah dua hal: Yang dapat dibebani pembuktian adalah baik penggugat maupun tergugat. Yang dapat dibuktikan adalah peristiwa dan hak.

Tetapi selanjutnya, kapan penggugat yang dibebani, kapan tergugat, dan kapan kedua-duanya, baik penggugat maupun tergugat sekaligus? Semuanya itu tidak jelas. Karena itulah, sehingga dikatakan bahwa beban pembuktian itu mempunyai sifat yang yuridis, artinya tergantung pada kasusnya. Kita tidak dapat menentukan secara umum, bahwa dalam hal beban pembuktian selalu penggugatlah yang dibebani, atau selalu kedua pihaklah yang dibebani, atau selalu tergugatlah yang dibebani. Penentuan semacam itu jelas tidak mungkin. Malah akan menimbulkan kekakuan dan ketidakadilan. Karena itulah sifat kasuistik dari beban pembuktian perlu dipertahankan oleh pembuat undangundang. (Bandingkan pendapat penulis pada tahun 1980).2 Pada umumnya hakim cenderung untuk selalu membebani penggugat dengan pembuktian manakala tergugat menyangkal, antara lain dapat penulis berikan tiga putusan pengadilan sebagai contohnya: 1. Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene (Sulawesi Selatan) tertanggal 5 Agustus 1964, Nomor 16/1962 yang mempertimbangkan antara lain: “Menimbang bahwa tergugat menyangkal kebenaran dalil/dalil-dalil penggugat, maka pada penggugatlah terletak kewajiban untuk membuktikan dalil-dalilnya.”3 2. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 3 Agustus 1962, Nomor 243/1962/Pdt yang mempertimbangkan antara lain: 124

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

“Menimbang bahwa di mana tergugat menyangkal gugatan penggugat, maka penggugatlah yang wajib membuktikannya.”4 3.

Putusan Pengadilan Negeri Sengkang (Sulawesi Selatan) tertanggal 1 Agustus 1964 Nomor 80/1964 yang mempertimbangkan antara lain: “Menimbang bahwa oleh karena tergugat menyangkal kebenaran isi gugatan tersebut, maka pihak penggugat harus membuktikannya.”5

Kecenderungan hakim untuk selalu membebani penggugat dengan pembuktian, jika tergugat menyangkal gugatan adalah sebagai akibat kesalahpahaman tentang makna Pasal 163 HIR (285 R.bg., 1865 BW) dan ketidakmengertian akan adanya sifat kasuistik dari beban pembuktian ini. Ini pun tidak terlepas dari kesalahan pihak pengajar mata kuliah Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum yang kurang memberikan pengalaman tentang masalah beban pembuktian ini, dalam materi perkuliahannya; juga tidak terlepas dari kurangnnya literatur berbahasa Indonesia yang membahas secara luas masalah beban pembuktian ini. Dari sifat kasuistik beban pembuktian ini, dapat disimpulkan adanya tiga kemungkinan kepada siapa beban pembuktian itu diletakkan dalam suatu perkara, yaitu: 1.

Penggugatlah yang dibebani dengan pembuktian.

2.

Tergugatlah yang dibebani dengan pembuktian.

3.

Baik penggugat maupun tergugat, keduanya dibebani dengan pembuktian.

Untuk jelasnya, baiklah di bawah ini penulis memberikan masing-masing sebuah contoh: Sifat Beban Pembuktian

125

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

1.

2.

3.

Si A menggugat si B, karena si B sebagai orang yang diberi hak untuk memungut uang sewa pintu-pintu toko tidak menyetorkan kepada si A yang menyuruhnya memungut uang sewa, dengan sangkalan si B selalu tergugat, bahwa pintu-pintu toko tersebut tidak selalu menghasilkan sewa. Dalam hal ini, karena si tergugat sebagai pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, haruslah yang dibebani pembuktian untuk membuktikan hal yang tidak biasa itu. (Lihat Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 November 1956 Nomor 162 K/Sip, 1955). Si A menggugat si B, bahwa si B selaku pihak penjual dalam sengketa jual beli belum menyerahkan seluruh barang yang telah dibeli oleh si A selaku pembeli menurut kontrak, sedang si B selaku penjual membantah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang diperjualbelikan. Dalam hal ini maka kedua pihak dibebani pembuktian. Pihak pembeli harus dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pembayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual harus membuktikan mengenai barang-barang yang telah diserahkannya. (Lihat Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 1957 No. 197 K/Sip/1956). Jika si A menggugat si B, dengan gugatan bahwa arloji Rolex yang dipakai dan dikuasai oleh si B sekarang ini adalah arloji milik si A, sedang si B menyangkali gugatan si A, maka dalam hal ini beban pembuktian hanya jatuh pada diri penggugat, karena barang siapa menguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemiliknya. (Lihat Pasal 1977 ayat 1 BW).

Karena sifat beban pembuktian yang kasuistik ini, maka hendaklah hakim di dalam melakukan pembagian beban 126

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

pembuktian, senantiasa memerhatikan asas-asas beban pembuktian pada khususnya dan asas-asas hukum pembuktian pada umumnya.

B. Sifatnya yang Yuridis Sifat kedua dari beban pembuktian ini adalah sifat yuridis yang melekat padanya. Sifat yuridis dari beban pembuktian ini dapat kita lihat dalam tiga hal: 1. Pada risiko pembuktian. 2. Pada pengaturan beban pembuktian baik dalam hukum formil maupun hukum materiil. 3. Dapat dikasasinya masalah beban pembuktian ke Mahkamah Agung. Ad. 1 Sifat yuridis dari risiko pembuktian Dengan adanya pembebanan pembuktian, selalu diikuti dengan risiko pembuktian, karena siapa yang memikul beban pembuktian itu jika gagal membuktikannya akan menerima risiko berupa kalah dalam perkaranya. Jadi jelas menunjukkan sifat yuridisnya, karena kalah atau menangnya salah satu pihak adalah soal yuridis, yaitu sebagai akibat dari suatu proses perkara yang diatur oleh hukum acara perdata. Mengenai risiko pembuktian dapat dibaca lebih jelas pada Bagian Kesebelas buku ini. Ad. 2. Sifat yuridis pada pengaturannya dalam hukum formil maupun hukum materiil Mengenai sifat yuridis beban pembuktian, karena pengaturannya baik dalam hukum formal maupun hukum materiil, penulis akan menyebutkan beberapa pasal undang-undang sebagai berikut: Sifat Beban Pembuktian

127

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 1244 BW: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikat itu, disebabkan karena suatu yang tak terduga pun tidak dapat dipertanggungjwabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad baik tidaklah pada pihaknya. b. Pasal 1394 BW: Tentang pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan tahunan untuk nakah, bunga abadi atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran, dari mana ternyata pembayaran tiga angsuran berturut-turut, terbitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya. c. Pasal 1977 ayat 1 BW: Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. (Jadi, siapa yang menggugatnya, ialah yang dibebani pembuktian). d. Pasal 1365 BW: Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut (dalam hal itu, penggugat yang dibebani pembuktian). e. Pasal 468 ayat 2 KUHP Dagang: Si pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada

a.

128

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

barang itu, kecuali jika dibuktikannya bahwa tidak dapat diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarinya, atau cacat daripada barang tersebut atau oleh kesalahannya dari yang mengirimkannya. Ad. 3. Sifat yuridis dari dapat dikasasinya Penulis sependapat dengan Prof. Dr. R. Subekti, S.H.,6 yang meyatakan bahwa soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka pengadilan kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan. Hal tersebut sudah terbukti dengan banyaknya putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan memutuskan perkara mengenai masalah beban pembuktian.

Endnote: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Achmad Ali. Beban Pembuktian Dalam Praktik (Skripsi). Ujungpandang, 1980, hlm. 18. Achmad Ali. Ibid. Hasil penelitian putusan-putusan pada Pengadilan Tinggi Ujungpandang menyangkut perkara-perkara perdata. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28. Prof. Dr. R. Subekti, S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit Pradyaparamita, Jakarta, 1978, hlm. 17.

Sifat Beban Pembuktian

129

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kesepuluh

BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TEORI DAN PRAKTIK Ultra Posse Neno Obligator “Tiada orang berkewajiban, melakukan lebih dari kemampuannya.”

Sekalipun beban pembuktian mempunyai asas-asas yang telah tercantum pada Pasal 163 KIR, tetapi isi Pasal 163 KIR itu masih sering menimbulkan kekaburan tentang beban pembuktian itu sendiri, baik secara teoritis maupun di dalam praktik/Yurisprudensi. Begitu banyaknya masalah yang sering timbul menguasai beban pembuktian ini, sehingga tidak mungkin penulis dapat mencantumkannya secara lengkap sempurna dalam buku sederhana ini, karena itu hanya beberapa di antaranya yang penulis sempat kemukakan. Bagi mahasiswa, tentunya dapat mengadakan penelitian tersendiri untuk melengkapinya.

A. Permasalahan Teoretis 1. Masih adakah asas beban pembuktian lain yang diatur dalam HIR selain pasal 163 HIR? Pada umumnya kalangan yuris di Indonesia sependapat, jika dikatakan bahwa asas beban pembuktian yang diatur

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

oleh HIR, hanyalah pada Pasal 163 HIR, tetapi menurut penulis selain Pasal 163 HIR tersebut, maka masih ada satu pasal lain yang terdapat di dalam HIR yang merupakan asas beban pembuktian, yang merupakan kekecualian bagi Pasal 163 KIR yang merupakan asas umum tadi. Pasal yang penulis maksudkan adalah Pasal 176 KIR, yang isinya adalah: “Tiap­tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tiada wenang akan menerima sebagiannya saja dan menolak yang sebagian lain, sehingga merugikan orang yang mengaku itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan ka­ lau orang yang berutang, dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti benar.” Dengan merenungi isi Pasal 176 KIR di atas, yang merupakan pasal yang mengatur tentang pengakuan yang tidak dapat dipisahkan-pisahkan (onsplitsbare bekentenis, onsplits­ bare aveu), sebenarnya juga merupakan asas beban pembuktian khusus. Sebagai diketahui, bahwa pengakuan adalah salah satu alat dalam hukum acara perdata. Sehingga, sebagai misal: Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang sejumlah satu juta rupiah kepada si A, sedang si B selaku tergugat mengakui bahwa benar ia (si B) telah berutang sejumlah satu juta rupiah dari si A; oleh hukum pembuktian perdata, pengakuan si B (tergugat yang merupakan “pengakuan murni”) harus diterima oleh hakim. Dan penggugat karenanya tidak diwajibkan untuk membuktikan berutangnya si B lagi. Tetapi dalam hal dua jenis bentuk pengakuan lain yang bukan pengakuan murni, yaitu: a. Pengakuan dengan klausul. b. Pengakuan dengan kualiikasi. Berlaku Pasal 176 HIR ini. 132

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Penulis dapat menjelaskannya dengan sebuah contoh kasus imajiner sebagai berikut: Si A menggugat bahwa si B telah berutang sejumlah Rp 50.000,kepada si A. Si B selaku tergugat mengakui bahwa benar ia telah berutang sejumlah Rp 50.000,- dari si A, tetapi telah dibayarkan lunas. Jadi dalam hal ini pengakuan si B adalah “pengakuan dengan klausul.” Menurut Pasal 176 ini, tiap-tiap pengakuan harus diterima keseluruhannya, apabila pada pengakuan itu dibutuhkan suatu keterangan yang membebaskan (klausul). Dari kasus di atas: 1. Si B mengaku telah berutang sejumlah Rp. 50.000,-. 2. Si B menyatakan bahwa utang yang Rp. 50.000,- telah dibayar lunas. Berdasarkan Pasal 176 KIR ini, maka penggugat yang dihadapkan kepada pengakuan yang tidak dapat dipisahkan itu dapat mengambil dua macam jalan: a. Pengakuan yang dibubuhi keterangan tadi boleh penggugat anggap sebagai suatu penyangkalan atas tuntutannya, dan atas dasar penyangkalan itu ia mengajukan buktibukti yang diperlukan untuk menguatkan tuntutannya itu. b. Penggugat mengajukan alat bukti, bahwa pembubuhan keterangan atas pengakuan tergugat itu tidaklah benar, dan jika ia berhasil dalam pembuktiannya itu maka ia kemudian meminta kepada hakim agar diadakan pemisahan terhadap pernyataan tergugat. Setelah itu penggugat meminta agar tergugat dihukum atas dasar pengakuan yang sekarang telah dibersihkan dari “klausul” itu.

Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian

133

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

2. Apakah Pasal 163 HIR hanya merupakan asas beban pembuktian saja? Pada umumnya beberapa yuris kita menganggap bahwa Pasal 163 HIR (pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) hanyalah pasal yang merupakan asas “beban pembuktian” (burden of proof). Memang jika melihat isi Pasal 163 HIR itu, yang paling cepat tertangkap jelas adalah adanya asas “beban pembuktian” adalah para pihak yang beperkara. Yang membebani pembuktian jelas adalah hakim. Tetapi jika kita merenungi lebih teliti dan dalam isi Pasal 163 HIR, akan kita jumpai bahwa selain sebagai asas beban pembuktian, juga berisikan beberapa asas lain, yaitu: a. Asas pembagian beban pembuktian. b. Asas dapat dibuktikannya HAK, selain daripada PE­ RISTIWA. c. Asas sifat kasuistiknya beban pembuktian. Asas pembagian beban pembuktian harus dibedakan dengan asas beban pembuktian sendiri. Jadi, Pasal 163 HIR, sekaligus sebagai: a. Asas beban pembuktian (burden of proof). b. Asas pembagian beban pembuktian. Asas pembagian beban pembuktian ini, tampak dari isi Pasal 163 HIR itu bahwa penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat wajib membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat.

134

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

3. Risiko pembuktian Sekalipun pada bagian-bagian terdahulu penulis telah menyinggung sedikit tentang masalah risiko pembuktian ini, tetapi ada baiknya penulis mengemukakannya di sini lebih mendetail lagi. Kalau salah satu pihak yang beperkara dibebani pembuktian, dan ternyata tidak mampu untuk membuktikan, maka pihak itu akan dikalahkan karenanya. Inilah yang dimaksudkan dengan risiko pembuktian. Karena adanya risiko pembuktian inilah sebenarnya sehingga masalah beban pembuktian sangat menentukan jalannya peradilan. Hakim karenanya harus sangat berhatihati dalam melakukan pembagian beban pembuktian. Sebagai contoh-contoh kasus imajinasi yang menampakkan risiko pembuktian ini, dapat penulis kemukakan sebagai berikut: a. Baik penggugat maupun tergugat sama-sama tidak mampu mengajukan alat-alat bukti berupa alat bukti tertulis, saksi. Karena itu pengugat meminta agar si tergugat melakukan “Sumpah Delicior” atau sumpah pemutus. Jika tergugat bersedia dan melakukan sumpah yang dimintakan oleh penggugat, maka sebagai risiko pembuktiannya penggugat harus diputus oleh hakim sebagai pihak yang kalah. b. Jika si tergugat menolak untuk melakukan sumpah yang dibebankan padanya itu, maka sebagai risiko pembuktiannya adalah hakim harus menyatakan/memutuskan tergugatlah sebagai pihak yang kalah. c. Kalau tergugat mengembalikan sumpah itu kepada penggugat, yaitu bahwa penggugatlah; sedangkan penggugat

Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian

135

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

d.

menolak pengembalian sumpah dari tergugat, maka sebagai risiko pembuktiannya hakim harus memutuskan pihak penggugat yang kalah. Adapun kalau penggugat menerima pengembalian sumpah tergugat, maka tergugatlah yang menjadi pihak yang kalah.

Itulah sedikit gambaran tentang risiko pembuktian yang mengikuti beban pembuktian.

B. Permasalahan dalam Yurisprudensi Masalah beban pembuktian dianggap sebagai masalah hukum, karenanya dipersoalkan di tingkat kasasi (Mahkamah Agung) Banyak putusan kasasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa masalah beban pembuktian itu, antara lain beberapa di antaranya penulis kemukakan berikut ini.

1. Onsplitsbaar aveu Dalam hal penggugat asli menuntut kepada tergugat asli penyerahan sawah sengketa kepada penggugat asli, bersama kedua anaknya atas alasan bahwa sawah tersebut adalah budel warisan dari almarhum suaminya yang kini dipegang oleh tergugat asli tanpa hak. Yang atas gugatan tersebut tergugat asli menjawab bahwa sawah itu kira-kira lima belas tahun yang lalu telah dibeli plas dari penggugat asli oleh almarhum suami tergugat asli. Jawaban tergugat asli tersebut merupakan suatu jawaban yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaar aveu), maka sebenarnya penggugat aslilah yang harus dibebani untuk membuktikan kebenaran dalilnya, i.c. bahwa tanah sawah sengketa adalah milik almarhum suaminya. 136

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

(Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Mei 1958 Nomor 8 K/Sip/1957, dalam perkara Bok Ngali melawan Bok Maji Siti Fatimah).

2. Membuktikan sesuatu yang tidak biasa Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa harus membuktikan hal yang tidak biasa itu, i.c. orang yang diberi hak untuk memungut uang sewa pintu-pintu toko mengajukan bahwa pintu toko tersebut tidak selalu menghasilkan sewa. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 November 1956 Nomor 162 K/Sip/1955, dalam perkara: Pr. Halijah binti Wan Abdoerrachman Albasi melawan para ahli waris dari Laisengh).

3. Isi surat diartikan dua macam Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, yaitu menguntungkan dan merugikan bagi penanda tangan surat, penanda tangan surat ini patut dibebani untuk membuktikan positumnya. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1957 Nomor 74 K/Sip/1955 dalam perkara M. Soleh Unding bin Haji Abdullah lawan Herman Uzir bin Arsjat).

4. Kontrak jual beli Dalam persengketaan jual beli, di mana pihak pembeli mendalilkan bahwa ia belum menerima seluruh barang yang dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual membantah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang diperjualbelikan, pihak pembeli harus dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pembayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual meBeberapa Permasalahan Beban Pembuktian

137

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

ngenai barang-barang yang telah diserahkan. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 1957 Nomor 197 K/Sip/1956, dalam perkara Saleh Bisjir melawan N.V. Cultur Maats chappy “Bayabang”).

5. Cap dagang Pihak yang mendalilkan bahwa cap dagang yang telah didatarkan oleh pihak lawan telah tiga tahun lamanya tidak dipakai harus membuktikan adanya non-usus selama tiga tahun itu. Dan tidaklah tepat bila dalam hal ini beban pembuktian diserahkan kepada pihak lawan, yaitu untuk membuktikan bahwa ia selama tiga tahun itu secara terus-menerus menggunakan cap dagang termaksud. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 108 K/Sip/1954 dalam perkara Handelsvereniging Hermsen Verwey & Dunlop N.V. melawan Sie Kian Bing).

6. Sengketa tanah perkarangan Dalam hal penggugat mendalilkan ia menuntut penyerahan kembali tanah pekarangan tersengketa yang kini diduduki oleh tergugat, oleh karena pekarangan tersebut dahulu hanya di pinjamkan saja oleh penggugat kepada tergugat. Adapun tergugat membantah dengan dalil bahwa pekarangan tersebut dahulu benar milik penggugat, tetapi pekarangan itu telah dibelinya lepas dari penggugat; pembebanan pembuktian haruslah sebagai berikut: 1. penggugat diberi kesempatan untuk membuktikan hal peminjaman tanah tersebut kepada tergugat; dan 2. kepada tergugat diberi kesempatan untuk membuktikan tentang pembelian lepas tanah tersebut. 138

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

(Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 94 /K/Sip 1956 dalam perkara Sani ban melawan Bok Karsija).

7. Terguggat asal menyangkal Karena tergugat asal menyangkal, penggugat asal harus membuktikan dalilnya; alasan pengadilan tinggi untuk membebankan pembuktian pada penggugat asal karena tergugat asal menguasai sawah sengketa bukan karena pembuatan melawan hukum; tidak berdasarkan hukum. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1975 Nomor 540 K/Sip/1972 dalam perkara Lai Masina melawan Lomo Dea dan Tori’buta).

8. Tentang Pasal 176 HIR Perkembangan Yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR (pengakuan yang terpisah) ialah bahwa dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah hakim bebas menentukan pada siapa harus dibebankan kewajiban pembuktian. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 November 1975 Nomor 272 K/Sip/1973, dalam perkara Sjarifudin Gafar al. Pak Ekut Sepik melawan Haji Abdul Hamid & Haji Achmad M.)

9. Juga tentang Pasal 175 HIR Penggunaan Pasal 176 HIR ada baiknya dalam praktik peradilan terutama dalam hal-hal tergugat adalah pihak yang ekonomis lemah. Sebaliknya, di dalam hal lain-lainnya sebaiknya harus diberi kesempatan kepada hakim untuk di dalam tiap-tiap perkara tersendiri mempertimbangkan, pihak manakah yang layak dapat dilindungi, sehingga lawannyalah yang harus dibebani pembuktian. Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian

139

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

(Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Agustus 1958 Nomor 134 K/Sip/1958, dalam perkara A.8. Papilaya melawan Lie Boen Ong).

140

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kesebelas

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN

Melius est accipere quamfacere injuriam “Lebih baik mengalami ketidak-adilan daripada melakukan ketidak-adilan.”

A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum Sosiologi hukum bukan cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, melainkan hanya salah satu cara untuk mempelajari hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.,1 bahwa hukum dapat ditinjau dari tiga cara yang ketiga-tiganya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah masing-masing: 1. Menanyakan tentang lahirnya/jadinya lembaga-lembaga hukum dan pandangan-pandangan hukum, yang disebut juga mengarangkan lahirnya hukum secara kausal genetis. Metode ini melihat hukum sebagai perilaku serta pertimbangan-pertimbangan manusia yang hendak menerangkan kenyataan yang phisis-psychis secara historis sosiologis, dihubungkan dengan gejala-gejala lain. Ini adalah metode sejarah hukum-hukum sosiologi hukum. 2. Menanyakan apa hukum itu (bukan bagaimana menjadi hukum) dan sekaligus menjawab pertanyaan apa yang

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

3.

sah, apa yang dalam keadaan konkret tertentu harus terjadi menurut hukum. Metode ini disebut metode yuridis yang melihat peraturan hukum yang berlaku sebagai satu kesatuan yang dapat diterangkan dari dirinya sendiri, menerangkan secara logis sistematis. Menerangkan bagaimanakah (apakah) hukum itu seharusnya? Mencari ukuran untuk menilai hukum. Menanyakan tentang keadilan. Ini merupakan metode ilsafat hukum yang menilai hukum.

Sosiologi hukum adalah sangat berguna bagi kalangan hukm, yaitu kaum profesi hukum. Yang penulis maksudkan sebagai kaum profesi hukum adalah para sarjana hukum; yang profesinya di bidang: a. Pendidikan hukum: Dosen Fakultas Hukum. b. Pembinaan hukum: antara lain yang aktif di BPHN. c. Perancangan hukum: ahli hukum yang duduk dalam lembaga legislatif. d. Pelaksanaan hukum: jaksa, hakim, pengacara, dan lainlainnya. Di sini perlu penulis tegaskan bahwa pengertian profesi itu tidak sesederhana yang sering digunakan orang awam, yang sering mengindentikkan “profesi” dengan “pekerjaan”. Bandingkan pendapat penulis dalam harian Pedoman Rakyat 1982.2 Pengertian profesi menurut Dietrich Rueschemeyer3 adalah: “he professions are conceived of as service occupations that: (1) apply a systematics body of knowledge to problems which; (2) are highly relevant to central value of the society.”

142

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Jadi, profesi itu adalah lebih sempit dari pengertian pekerjaan. Sebab profesi adalah pekerjaan harus merupakan penerapan suatu ilmu untuk pemecahan problem dan harus sangat relevan dengan nilai-nilai sentral dari suatu masyarakat. Karena itu, Districh Rueschemeyer mengatakan lagi:4 “heir high degree of learned competence creates special problems of social control, laymen cannot judge the professional performance; in many cases they cannot evenset the concrets goals for the professional’s work ....”

Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan Rueschemeyer di atas, karena dalam kenyataannya memang pekerjaan profesional itu sulit untuk dinilai oleh masyarakat awam. Katakanlah, suatu putusan pengadilan dengan bahasa profesi khas hukum akan membingungkan bagi orang awam yang membacanya. Sama saja dengan pengertian profesi yang dikemukakan oleh H. P. Fairchild5 bahwa yang dimaksudkan dengan profesi itu adalah kegiatan-kegiatan yang mempunyai khas: “... A high degree of technical skill, entailing specialized preparation generally at recognized instituions of learning, oicial regulation and licensure, a stong feeling of class honour and solidarity, manifested ini vocational associations to secure a monopoly of the service, and in codes of ethics enjoining the responsibility of the profession to the collective it serves.”

Kegunaan sosiologi hukum bagi kaum profesi hukum antara lain adalah: 1. bagaimana memahami hukum dengan mengaitkannya dengan konteks kemasyarakatan, dengan kenyataan sosial; 2. menganalisis sejauh mana efektivitas hukum di dalam masyarakat, baik sebagai alat “sosial kontrol” maupun sebagai “social engineering”; Tinjauan Sosiologi Hukum ...

143

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

3. 4.

5.

mengkonkretkan kaidah hukum dan pengertian hukum yang belum jelas atau kurang pasti; secara tidak langsung dapat menjadi bahan bagi pembentukan hukum yang merupakan hukum yang hidup (living law) oleh hakim di dalam putusannya; dan sebagainya.

Masih banyak lagi kegunaan sosiologi hukum ini, tetapi yang penulis cantumkan di atas yang erat kaitannya dengan dunia hukum acara saja, khususnya bagi hakim. Mengapa harus dengan sosiologi hukum, mengapa tidak dengan ilmu hukum dogmatis saja? Hal ini karena sesuai apa yang dikemukakan oleh Harold Laski,6 bahwa: “he supreme problem for the jurists of this epoch is the need to awaken to the responsibilities of the issues they confront. For only a realistic awareness of what that issue fully implies can save us from the grim regours of a new dark age.”

George Gurvitch7 membagi sosiologi hukum itu atas tiga macam: 1. Sosiologi hukum sistematis. 2. Sosiologi hukum diferensial. 3. Sosiologi hukum genetis. Dua lainnya tidak akan kita persoalkan di sini, tetapi hanya “Sosiologi Hukum Sistematis” atau yang disebut juga “Mikrososiologi Hukum” yaitu yang objek pembahasannya antara lain: lembaga-lembaga hukum, termasuk tugas hakim di Pengadilan.

144

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum Pada bagian-bagian terdahulu, penulis telah mengemukakan tugas-tugas hakim secara optik ilmu dogmatik hukum atau menurut teori ilmu hukum, yang didasarkan pada bunyi perundang-undangan dalam arti luas. Misalnya, menurut Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970). Tetapi, optik sosiologi hukum tidak ingin melihat bagaimana tugas hakim di dalam undang-undang atau apa yang tertulis, tetapi bagaimana tugas hakim di dalam kenyataannya. Sebab, pandangan sosiologi hukum adalah seperti yang dikemukakan oleh tokoh Eugen Echrlich8 bahwa: “he centre of gravity of legal developmentlies not in legislation, no in juristic science not in judicial decision but in society it self”.

Menurut Dr. Soerjono Sukanto, S.H., M.A.,9 di dalam ilmu hukum sebenarnya dikenal paling sedikit ilmu hukum tiga pendekatan terhadap keputusan pengadilan, yaitu: 1.

Approach tradisional.

2.

Approach konvensional.

3.

Approach behavioral. Kadang-kadang dipecah menjadi dua saja:

1.

Yang tradisional.

2.

Yang modern.

Dengan yang tradisional dimaksudkan sebagai pendekatan aliran “analytical jurisprudence” dari John Austin. Adapun pendekatan yang modern adalah aliran-aliran Sosio­ logical Jurisprudence dan Realistic Jurisprudence, yang berkembang di USA. Tinjauan Sosiologi Hukum ...

145

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Seberapa pandangan sosiologis tentang tugas hakim, antara lain adalah: 1. Tugas hakim adalah sebagai policy makers. Dalam hubungannya sebagai policy makers hakim tidak hanya bertugas untuk menemukan dan menerapkan hukum, tetapi juga untuk membentuk hukum. Dasar pandangan ini adalah bahwa hukum adalah bagian dari sistem sosial, sehingga kalau hakim semata-mata hanya menemukan hukum, tidak akan ada political jurisprudence, oleh karena pusat perhatian politik adalah kekuasaan dan kekuasaan berarti memilih. 2. Tugas hakim adalah mengkonkretkan aturan hukum dengan kombinasi cara berpikir hakim itu sendiri, serta faktor-faktor sosial lainnya yang membentuk pribadi hakim itu selaku seorang warga masyarakat. Dalam hal ini, walaupun dikatakan bahwa tugas hakim di dalam jabatannya selaku hakim harus dipisahkan secara tugas dari faktor pribadi hakim, tetap saja di dalam kenyataannya adalah sangat sulit memisahkan antara faktor pribadi hakim dengan tugas jabatannya. Pandangan ini bertitik tolak bahwa hakim sebagai manusia adalah makhluk sosial yang mustahil bisa dilepaskan bagai roket yang terlepas dari induknya. Sehubungan dengan pandangan kedua di atas, maka para ahli sosiologi hukum sependapat bahwa faktor sosial yang turut memengaruhi hakim di dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan-putusannya adalah antara lain: a. faktor etnis si hakim itu sendiri; b. faktor etnis dari nyanyanya; c. faktor latar belakang pendidikan dari hakim itu; 146

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

d. e. f. g.

Faktor kondisi ekonomisnya (gaji serta penghasilan lainnya); faktor keyakinan agamanya; faktor latar belakang status sosial keluarga/orang tua si hakim; dan sebagainya.

Penulis tentu saja tidak akan membahas secara luas satu persatu faktor-faktor di atas, tetapi sebagai contoh hanya akan mengemukakan tiga contoh konkret yang terjadi dalam fakta: 1. Berdasarkan hasil penelitian seorang sosiolog di Amerika Serikat, diperoleh data bahwa hakim yang berasal dari keluarga kaya pada umumnya cenderung “memihak” pada pihak yang juga berasal dari keluarga kaya di dalam perkara perdata. Dikatakan pada umumnya kalau data membuktikan lebih dari 50% hakim-hakim yang menjadi sampelnya terbukti demikian. 2. Menurut seorang ahli sosiologi hukum kita di Indonesi, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.,10 seorang hakim kenalannya (penulis sengaja tidak mencantumkan namanya) terkenal sangat jujur dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai hakim, kejujurannya itu akibat pengaruh “keimanannya” yang kuat dari hakim itu akan kepercayaan agama yang dianutnya, sehingga cara berpikir yang dibentuk oleh ajaran agamanya membuat putusan-putusannya senantiasa objektif. Masih sehubungan dengan tugas hakim ini, ada suatu pendapat yang menarik dari Lawrence Friedman11 yang telah mencoba untuk menarik garis persamaan antara pengadilan dengan suatu depertement store (Toserba). Menurut Prof. Friedman, pengelolaan kedua badan itu akan tampak dalam Tinjauan Sosiologi Hukum ...

147

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

bentuk reaksi yang hampir sama pada waktu keduanya menghadapi kenaikan dalam jumlah persoalan yang datang kepada mereka. Lembaga pengadilan pada waktu menghadapi kenaikan dalam jumlah perkara masuk, sedangkan Toserba pada waktu menghadapi kenaikan dalam jumlah (volume) kegiatan bisnisnya. Kenaikan dalam jumlah kegiatan tersebut tidak serta merta menimbulkan kesulitan. Bahkan ampai pada satu tingkat tertentu, kenaikan itu bagi Toserba yang bersangkutan merupakan suatu pahala. Dengan demikian, sejumlah pekerja akan memperoleh tempat, cabang-cabang dibuka dan penambahan-penambahan akan ditambah, maka langganan akan mengalami perlakuan atau pelayanan yang kurang menyenangkan. Tempat menjadi berjubel, pelayan merosot, tempat parkir sulit, dan sebagainya. Selanjutnya, oleh Profesor Friedman dikatakan12 bahwa kedudukan pengadilan di Amerika Serikat adalah sama dengan toserba yang menghadapi kenaikan dalam jumlah bisnisnya, tetapi tidak mampu memperluas fasilitas dan stafnya. Dikatakan bahwa respons yang diberikan oleh lambaga-lembaga pengadilan di situ terhadap tuntutan-tuntutan baru adalah bagaikan rayapan seekor kura-kura, artinya lamban sekali. Hal ini disebabkan oleh karena penguasaan atas urusan kepegawaian tidak ada di tangan lembaga itu sendiri. Pasaran kerja relatif tetap; pengadilan-pengadilan tidak mungkin membuka cabang-cabang atas kemauan sendiri oleh karena terikat oleh birokrasi dengan prosedurnya yang sering berbelit-belit. Dan lain-lain persoalannya yang semacamnya.

C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian, 148

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

dan hakim adalah seorang manusia, makhluk sosial, warga masyarakat. Penggugat dan tergugat adalah yang dapat dibebani dengan pembuktian, dan baik tergugat maupun penggugat kedua adalah manusia biasa yang juga adalah “zoon politican” atau makhluk sosial. Memang sudah ada Pasal 163 HIR sebagai asas beban pembuktian, tetapi jika salah satu pihak menggunakan faktorfaktor X untuk memengaruhi perasaan subjektivitas hakim yang juga adalah manusia biasa, maka hakim dapat memainkan beban pembuktian ini untuk keuntungan salah satu pihak. Hal-hal yang menyangkut beban pembuktian, yang dapat dimainkan oleh seorang hakim yang sudah a’priori cukup banyak, mengingat betapa abstraknya asas umum beban pembuktian yang terdapat dalam Pasal 163 HIR. Suatu keuntungan untuk menutupi kelemahan undangundang ini adalah karena masalah pembagian pembuktian dianggap sebagai masalah yuridis yang dapat dikasasi ke Mahkamah Agung, sehingga meskipun pengadilan negeri atau pengadilan tinggi salah menerapkan pembagian beban pembuktian, entah kesalahan itu dikarenakan ketidaktahuan ataupun kesalahan yang diakibatkan faktor-faktor subjektivitas, maka pada tingkat kasasi kesalahan tersebut dapat dipulihkan kembali. Karena itu, sepatutnyalah Mahkamah Agung lebih banyak memberikan aturan-aturan konkret melalui putusan kasasinya dalam hal beban pembuktian ini. Adanya asas yang berdasarkan yurisprudensi, bahwa pihak yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika harus membuktikan, belum menjamin terlaksananya pembagian beban pembuktian secara adil dan patut; Tinjauan Sosiologi Hukum ...

149

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

karena biasa saja disalahtafsirkan oleh beberapa oknum hakim. Bagaimana upaya untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang (onrechtmatige overheidsdaad) dari oknum hakim dalam hal membagi beban pembuktian ini? Apakah cukup dengan sanksi-sanksi melalui perundang-undangan saja? Faul Bohannan,13 seorang ahli antropologi, pernah mengatakan bahwa: “Hukum adalah cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk mengobati dan mempertahankan dirinya.” Dengan demikian, untuk mencegah masalah yang timbul di dalam ruang lingkup pengadilan (termasuk oknum hakimnya) tidaklah cukup hanya dengan penanganan dari segi hukum saja. Yang penting diperhatikan adalah banyak faktor, misalnya: a. bagaimana meningkatkan penghasilan resmi para hakim, sehingga keadaan ekonomis rumah tangganya cukup; sehingga merupakan rem untuk “mencari tambahan penghasilan” dengan cara melanggar hukum atau de tournament de pouvoir; b. bagaimana meningkatkan pengetahuan hukum para hakim (terutama hakim junior) dengan melengkapi kantor/ ruang para hakim di pengadilan dengan perpustakaan yang memadai; c. bagaimana meningkatkan minat membaca para hakim kita; d. dan sebagainya. (Secara lebih jelas, baca artikel penulis tentang Aspek Sosilogis Hakim.14

150

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Endnote: 1.

2. 3.

4. 5. 6. 7. 8.

9.

10.

11.

12. 13.

14.

Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H., dikutip oleh Achmad Ali, dalam “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis, serta Peranan dan Perkembangannya dalam Hukum Acara Perdata”. (Sebuah Makalah) dalam program Pendidikan Pascasarjana UGM Yogyakarta, 1982, hlm. 6. Achmad Ali, “.... termuat dalam harian Pedoman Rakyat tgl ... 1982, Ujungpandang. Districh Rueschemeyer. “Lawyers and Docters: A Comparison of Two Professions”, termuat dalam “Sociology of Law”. (Selected Readings), Edited by Vilhelm Aubert, Penguin Books, Baltimore, Maryland, 1969, hlm. 200. Ibid. M.P. Fairchild. “Dictionary of Sociology and Related Scineces”. Ames, Iowa: Littleield, Adam & Co. 1959, hlm. 235. Laski, N. J. “A Grammar of Politics”. Fith Editons, Londong: Steven & Sons, 1966, hlm. XXVII. George Gurvitch. “Sosiologi Hukum” (terjemahan Sumantri Mertodipura). Bharatara, Jakarta, 1961, hlm. 233-240. Eugen Echrlich, dikutip oleh Achmad Ali dalam artikel, “Aspek­ aspek Sosiologis dari Putusan Hakim”, termuat dalam harian Pedoman Rakyat, tanggal 22 Maret 1982. Dr. Soerjono Sukanto, S.H., dalam kuliah sosiologi hukum bagi peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981 yang diikuti oleh penulis antara lain. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., kuliah sosiologi hukum bagi peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981 yang diikuti oleh penulis antara lain. Lawrence Friedman, dikutip dari Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Hukum Masyarakat dan Pembangunan”. Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hlm. 88-89. Ibid. Paul Bohannan, dikutip dari Achmad Ali. “Peranan Sarjana Hu­ kum dalam Era Pembangunan”. Harian Pedoman Rakyat, tanggal 23 Februari 1981. Achmad Ali, “Aspek­aspek Sosiologis dari Putusan Hakim”. Harian Pedomana Rakyat, tanggal 22 Maret 1982. Tinjauan Sosiologi Hukum ...

151

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagian Kedua Belas

PERJANJIAN PEMBUKTIAN

A. Pengertian Perjanjian Pembuktian Perjanjian pembuktian (Bewijsovereenkomst) adalah perjanjian antara dua pihak yang menentukan aturan pembuktian yang bagaimanakah yang akan dilakukan dalam prosedur tertentu. Jadi, perjanjian pembuktian ini merupakan kekecualian dari ketentuan umum mengenai pembuktian yang berlaku dalam hukum acara perdata. Perjanjian pembuktian ini adalah perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak yang mengadakan hubungan keperdataan, yang dilakukan sebelum terjadinya persengketaan.

B. Isi Perjanjian Pembuktian 1. 2. 3.

Isi dari suatu perjanjian pembuktian itu ada tiga: Untuk menyampingkan alat-alat tertentu. Justru untuk mengizinkan alat-alat bukti tertentu yang dalam keadaan normal tidak digunakan. Mengatur kekuatan pembuktiannya.

Jadi, perjanjian pembuktian ini dapat mengambil aturan-aturan di luar BW; tetapi dapat juga sepakat untuk meng-

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

gunakan aturan-aturan tertentu di dalam BW, misalnya mereka mengadakan perjanjian bahwa satu saksi saja sudah cukup; jadi bertentangan dengan asas-asas umum kesaksian, Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi). Perjanjian pembuktian ini bisa juga bahwa mereka mengadakan perjanjian bahwa jika kelak timbul perselisihan antara mereka berdua, maka satu-satunya alat bukti tertulis misalnya, sedang pembuktian dengan saksi tidak dibolehkan.

C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan Sekalipun hukum kita di Indonesia membolehkan orang mengadakan perjanjian pembuktian ini, tetapi tetap ada batasan atau larangan hal-hal apa yang dilarang untuk diperjanjikan. Hal-hal yang terlarang untuk diperjanjikan dalam perjanjian pembuktian ini adalah: 1. Membolehkan para pihak menggunakan bukti-bukti lain di mana undang-undang dengan tegas telah menetapkan suatu alat bukti sebagai satu-satunya yang berlaku, misalnya apa yang ditetapkan dalam Pasal 180 BW bahwa dalam hal tidak adanya persatuan harta kekayaan dalam perkawinan, maka masuknya barangbarang tidak dapat dibuktikan dengan cara lain hanya dengan mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan surat pertelahan yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang bersangkutan, surat mana harus dilekatkan pula pada surat asli perjanjian kawin. Dalam hal di atas, kedua pihak tidak boleh membuat perjanjian pembuktian bahwa satu-satunya alat bukti yang digunakan adalah saksi misalnya, karena bertentangan dengan Pasal 150 BW tadi. 154

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

2.

3.

Meniadakan kemungkinan-kemungkinan pembuktian lawan di mana undang-undang secara tegas menjamin adanya hak mengadakan pembuktian lawan itu, misalnya yang ditetapkan di dalam Pasal 274 ayat 2 KUH Dagang yang menegaskan bahwa si penanggung (perusahaan asuransi) selaku berhak untuk membuktikan di muka hakim bahwa harga yang disebutkan dalam polis terlalu tinggi. Mengadakan perjanjian yang bermaksud menutup sama sekali kemungkinan pembuktian lawan (tegenbewijs). Perjanjian semacam ini dianggap sebagai melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, karena berarti menyerahkan suatu pihak kepada kesewenang-wenangan pihak lawannya.

D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat Bukti Tulisan Perjanjian pembuktian ini sangat erat kaitannya dengan “alat bukti tertulis”, karena hampir semua perjanjian pembuktian cenderung memperjanjikan bahwa satu-satunya alat bukti yang boleh digunakan adalah alat bukti tertulis. Jadi, dengan diperbolehkannya para pihak mengadakan perjanjian pembuktian, juga merupakan salah satu faktor yang lebih memperbesar peranan alat bukti tertulis.

E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian Suatu hal yang penting diketahui adalah bahwa perjanjian pembuktian ini berbeda dengan suatu jenis perjanjian lain, di mana diperjanjikan bahwa sesuatu unsur dari perjanjian itu akan ditetapkan dengan suatu cara tertentu. Misalnya, banyak terdapat dalam perjanjian asuransi, bahwa besarnya kerugian harus ditetapkan oleh beberapa ahli.

Perjanjian Pembuktian

155

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Perjanjian semacam ini tidak mengenai pembuktian, tetapi mengatur mengenai cara menetapkan sesuatu. KUH Perdata (BW) sendiri membolehkan bahwa perjanjian jual beli harga dapat diserahkan kepada perkiraan seorang pihak ketiga (Pasal 1465 BW). Di dalam perjanjian pembuktian dibolehkan untuk memperjanjikan, bahwa suatu alat bukti bebas dalam perjanjian bagi kedua belah pihak merupakan suatu alat bukti yang mengikat antara kedua pihak, misalnya antara penjual dan pembeli diperjanjikan bahwa surat timbang, yaitu surat yang dibuat oleh seorang pihak ketiga, dan karena itu menurut hukum pembuktian hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat tentang diserahkannya sejumlah barang kepada pihak pembeli.

156

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR LITERATUR LANGSUNG (Yang Terdapat dalam Kutipan)

1. 2.

3.

4.

5.

6.

7.

Achmad Ali. Bahan Pembuktian dalam Proses Perdata. Skripsi, Ujungpandang, 1980. —————. Peranan Pengadilan dalam Sistem Kodii­ kasi. (Makalah), Pendidikan Pascasarjana UGM., Yogyakarta, 1981. —————. Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis, serta Peranan dan Perkembanganya da­ lam Hukum Acara Perdata. (Makalah), Pendidikan Pascasarjana, UGM. Yogyakarta, 1982. —————. Peranan Sarjana Hukum dalam Era Pembangunan. (Artikel), termuat dalam Pedoman Rak­ yat, Ujungpandang, tanggal 23 Februari 1981. —————. Aspek­aspek Sosiologis dari Putusan Hakim. (Artikel), termuat dalam harian Pedoman Rakyat, Ujungpandang, tanggal 22 Maret 1982. Asser-Anema-Verdam. Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht. Vijfde – Deel: Van Bewijs, N.V. Witgevers Maat schappij, W.E.J. Tjeenk Uillink, Zwolle 1953. Asser-Scolten-Viarda. Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de beoefening van het Nederland Bugerlijk Recht, Earste Deel Earste Stuk: Familia recht, N, V. Witgevers Mastschappij

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

20. 21.

N.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1947. Burrows, Sir Roland. Phipson on the Law of Evidence. Ninth Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952. Busmann, Mr. C.U. Star: Hoofdstukken van Burgerlijke Rechtsvordering, Haarlem, De erven F. Bohn N.V., 1948. Baker, Ernest. Principles of Social and Political heory. 1963. Cleary, Edward W. McCormick’s Handbook of the Law of Evidence. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972. Cardozo LLD, Benyamin N. he Nature of Judicial Process. New Haven, Yale University Press. Dorman, Peter J. Dictionary of Law. Running Press, Philadelphia, Pennsylvania, USA, 1976. Drion, Prof. Mr. H. Bewijzen in hetrecht. R.M. hemis 1966 af1. 5/6. Diamond, A.S.. Primitive Law. Second Editions, Ch. xxx. Enschede, Prof. Mr. Ch. J. Bewijzen in het strafrecht. R.M. hemis 1966 af1. 5/6. Fairchild, H.P. Dictionary of Sociology and Related Scineces. Ames, Iowa: Littleield, Adam & Co. 1959. Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Terjemahan Sumantri Mertodipura), Bharatara, Jakarta, 1961. Gillers, Stephen. An American Civil Liberties Union Handbook: he Rights of Lawyers and Clients. A Discus Book, Published by A von Books, USA, 1979. Jacobs, Milton C. Civil Trial Evidence, Second Edition, New York, 1949. Laski, N.J. A Grammar of Politics. Fith Editions, London, Steven & Sons, 1966.

158

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

22. Mayers, Lewis. he Machinery of Justice; An Introduction to Legal Structure and Process. Foundations of law in a business Socies, Series, Prentice Hall Inc. Englewood Clifs, New Jersey, 1963. 23. Paton, G. W. A Text Book of Jurisprudence. Oxford, at the clarendon Press, 1964. 24. Pound, Roesco. Perspective of Law. Essay for Austin Wakeman Scott, Little Brown and Company, Boston, Toronto, USA, 1964. 25. Pound, Roesco. An Introduction to the Philosophy of Law. New Haven, Yale, University Press, 1959. 26. Pitlo, Prof. Mr. A. Pembuktian dan Daluwarsa. (Terjemahan), PT Intermassa, Jakarta, 1976. 27. Sunarjati Hartono, Dr.S.H. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1976. 28. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981. 29. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Beberapa Asas Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktik. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980. 30. Supomo, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Acara Perdata Peng­ adilan Negeri. Penerbit Fasco, Jakarta, 1958. 31. Subekti, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit Pradyaparamita, Jakarta, 1978. 32. Sukardono, Prof. R. S.H. Penggunaan Upaya­upaya Pembuktian dalam Prosedur Perdata. Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1971 No. 12. 33. Bhklar, Judith. Legalism. Cambridge, Harvard University Press, 1964. 34. Stein, Mr. P.A. “Compendium van het–Burgelijk Pro­ Daftar Literatur Langsung

159

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.

48. 49. 50.

cesrecht”, Kluwer, Deventer, 1973. Soejono Sukanto, Dr. S.H. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1979. Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. S.H. Hukum Mayarakat dan Pembangunan. Penerbit Alumni, Bandung, 1976. Hemphill & Hemphill. he Dictionary of Practical Law. Prentice Hall, Inc. Englewood Clifs. hesing, Mr. H. De Grondslogan van de Bewijslast in de Civila Procedure”. S’Gravenhage, 1961. hayer, James Bradley. Preliminary Treatise on Evidence, 1898. Wirjono Prodjodikoro, hayer, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit Sumur Bandung, 1980. Wiersma, Prof. Mr. H. Bewijzen in het Burgelijk Geding, R.M. hemis, 1966. Wise. B. R. Cutlines of Jurisprudence. 1959. ——————. Compendium Hukum Belanda. ——————. Journal of Forensic Science. Vol. 9. No. 4. ——————. Undang­Undang Pokok Kekuasaan Keha­ kiman. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab Undang­Undang Hukum Perdata (BW). Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1978. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab Undang­Undang Dagang dan Undang­Undang Kepailitan. Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1973. Chidir Ali. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pem­ buktian. Jilid 1, Binacipta, 1981. ——————. Idem, Jilid 2. Retnosupartinah & Kunthoro Basuki. Kumpulan Un­

160

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

dang­undang dan Peraturan­peraturan Pemerintah yang Berhubungan dengan Masalah Peradilan. Penerbit Seksi Peradilan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1980. 51. Tresna, Mr. R. Komentar HIR. Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1975. 52. Wantjik Saleh, K. S.H. Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata. PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1973.

Daftar Literatur Langsung

161

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG (Daftar Literatur yang Merupakan Bahan Bacaan dalam Menyusun Buku Ini, Tetapi Tidak Terdapat dalam Kutipan)

1.

2. 3. 4. 5. 6.

7.

8.

Apeldoorn, Prof. Mr. L.J, Van. Pengantar Ilmu Hukum. (Terjemahan Utarid Sandino). Penerbit Nooedhof Kolf N.V., Jakarta 1957. Achmad Sanusi, Prof. Dr. S.H. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Tarsito, Bandung, 1977. Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum di Indonesia. Penerbit LP3ES,Jakarta, 1981. Amin, S.M. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1976. —————. Bertamasya Ke Alam Hukum. Penerbit Fasco, Jakarta, 1954. A.T Hamid. Cara­cara Beperkara dan Praktik Pengadilan. Penerbit Dana Kesejahteraan Pegawai Pengadilan Negeri Ujungpandang,1980. Clad.J.C. Beberapa catatan tentang pengalaman Selandia Baru dalam pelayanan hukum kepada mereka yang ekonominya lemah. Termuat dalam majalah hukum dan keadilan, No. 14, 1980. Hapsoro, Prof. B. R. M. S.H., “Sistem Peradilan di Kraton-Kraton Jawa Tengah,” termasuk dalam majalah Sangkakala Peradilan, No. 5, 1972.

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

9.

10. 11. 12.

13. 14.

15.

16. 17. 18. 19. 20.

Hermin Hadati Koeswadji. Beberapa Permasalahan Hukum dan Pembangunan Hukum, dan Pendidikan Hukum, Hukum dan Bantuan Hukum. Penerbit PT Bina Ilmu, Surabaya, 1980. Kusumandi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hu­ kun Indonesia. Penerbitan Aksara Baru Jakarta, 1976. Karjadi, M. Peradilan di Indonesia. Penerbit Politeia Bogor, 1975. Katz, June. Masalah Bantuan Hukum bagi orang miskin di Amerika Serikat. Termasuk dalam majalah hukum dan keadilan, No. 5/5 Tahun 1973. Ko Tjay Sing, Prof. Rahasia Pekerjaan Doktor dan Advokat. Penerbit Gramedia, Jakarta,1978. Lev, Daniel,S., Bushlayer (Pokrol Bambu)in Indonesia. termuat dalam majalah hukum dan keadilan, No. 5 tahun 1973. Lintoong Oloan Siahaan. Jalanan Peradilan Perancis Le­ bih Cepat dari Peradilan Kita. Penerbit Ghalia, Indonesia, 1981. Moraland, Caroll C. Equal Justice Under Law, Oceana Publications, Inc. New York, 1957. ———————. Jurimetrie. Ars Aequi, Beutler Publicite, Amsterdam. ———————. Susunan pengadilan dalam Negara Republik Indonesia. Pustaka Rakyat N.V. Jakarta, 1952. Rubini S.H dan Chidir Ali S.H. Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni, Bandung, 1952. Ruslan Salah, Prof., Jurimetrie, Suatu Cara Berpikir dan Berbuat dalam Hukum. Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1979.

164

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

21. Surrency, Erwin C. A Guide to Legal Research. Supplement ed. Edition, Oceana Publication Inc Dobbs Ferry, New York, 1966. 22. Subekti, Prof. R. S. H. Praktik Hukum. Penerbit Alumni, Bandung 1974. 23. Subekti, Prof. R. S.H. Hukum Acara Perdata. Penerbit Binacipta, 1977. 24. Soerjono Sukanto, Dr, S.H, MA dan Purnadi. Perundang­ undangan dan Yurisprudensi. Penerbit Alumni, Bandung, 1972. 25. Sri Soemantri, S.H. Hak Menguji Material di Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung, 1972. 26. Soemarno P. Wirjanto, Mr. Profesi Advokat. Penerbit, Alumni, Bandung, 1976. 27. Sudikno Pertokusumo, Pro. Dr. R.M. S.H. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Penerbit Liberty, Yogyakarta 1981. 28. Subekti, Prof. R. S.H. Kekuasaan Mahkama Agung RI. Penerbit Alumni Bandung, 1980. 29. Soerjono Sukanto, DR. S.H, M.H. Pendidikan Hukum, Penelitian dan Profesi yang Berhubungan dengan Hukum. Termuat dalam majalah hukum dan keadilan No. 5/6 tahun 1973. 30. Sri Uindojati. Kesan­kesan dari Australia. Termuat dalam majalah Sangkakala Peradilan, No. 4.197131. 31. Sudikno Mertokumo, Prof. Dr. R.M. S.H. Bunga Rampai Ilmu Hukum. Penerbit Seksi Peradilan Falkutas Hukum UGM, Yogyakarta, 1981. 32. Wantjik Saleh, S.H. Kehakiman dan Peradilan. Ghalia Indonesia, 1977. Daftar Literatur Tidak Langsung

165

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR ISTILAH ASING

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

a caontrario 29 a critical mechanism 105 Act 20 Admissibility 92 Admissible evidence 79 Advokat 49 Aestimatoir 99 airmatif 107 akta partij 86 Analisis 72 analog 28 analogi 29 Anglo Saks 4 Arbitrase 9 argumentasi 39 argumentum a contrario 30 assertair 99 Audi et Alteram Partem 12 Autentik 78 aveu complexe 98 Aveu pur et simple 68 aveu qualiie 98 Behaviour 252 Bekentenis 98 Beneicium 65 Beslissende Bewijskracht 83 Bewijs 16 beyond reasonable doubt 10 bezitter 118 Bis de eadem re ne sit actio 65

31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58.

bloot airmatif 122 Circumstantial evidence 78 Common Law 4 Commonwealth 4 Communis Opinio Doctorum 42 Compurgation 74 Compurgator 74 Confession 98 Conlic of human interest 62 Conlicting evidence 79 Contentieuse jurisdictie 23 Contradictoir 28 Conviction intime 17 Conviction raisonnee Cumulative evidence 79 De gustibus non est Dis­ putandum 68 De lege lata 125 De tournament de pouvoir 115 debitur 119 Decisoir 43 Declaratoir 28 defendant 47 deinisi 23 Demonstrative evidence 79 Diferesial 151 Direct evidence 78 documentary 20 Documentary 77

Daftar Istilah Asing

167

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94.

Dogmatik hukum doktrin 28 Dosen 49 Droit Prive 64 Eigen Wetenschap des Rechters 39 Eigenrichting 8 Eines Mannes Rede Ist Keines Mannes Rede 64 eiser 47 eksekusi 53 Equity 64 Errare Humanum Est, Turpe in Errore Perseverare 71 esensi 31 Eventual maxim 12 Evidence 16 Evidence in writing 78 ex oicio 100 Expertise 80 Extrinsic evidence 79 factum 33 Fama 42 Family Provision 20 Fenomenologik 2 Fiksi 66 Finansial 55 fokus 2 Follow up 25 Formal yuridis 60 Fructus stantes 4 gedaagde 47 Gedeeltelijk Bewijskracht 83 General rules 64 Genetis 151 Gerechtigkeit 61 Geschrit 91 guilty or not guilty 25 Hand­Book 4

168

95. historis sosiologis 148 96. Hukum Objektif 34 97. Hukum Positif Quaestio facti 66 98. Hukum Subjektif 34 99. Immunities 6 100. in concreto 18 101. Inderect evidence 78 102. Inheritance 20 103. Innerlijke samenhang waarin ieder nieuw probleem zijn antwoord vindt 2 104. intervensi 29 105. intuitif 17 106. irrelevant 36 107. Ius 33 108. Ius curia novit 11 109. Ius Publicum 125 110. Ius Vigilantibus Scriptum Est 6 111. Judex ne Procedat ex Oicio 63 112. Juris Ignorantia Nocet, Facti Non Nocet 15 113. Jury 25 114. karakter evidence 92 115. kasasi 134 116. Kasuistis 130 117. klassik 30 118. kolektif 35 119. kompleks 34 120. Konlik 62 121. konstatir 53 122. konstituir 53 123. Konstitusi 28 124. Kontinental 25 125. Kracht van tegenbewijs 84 126. kuratele 48 127. kurator 48

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

128. kwaliisir 53 129. law enforcement 32 130. legitima persona standi in judicio 46 131. Lex Neminem Cogit Ad Impossiblia 59 132. lisensi 74 133. Litis Decisoir 100 134. living law 150 135. Manifesta non egent Proba­ tione 43 136. Material 77 137. Material evidence 82 138. material facts 37 139. Melius est accipere quam facere in jurism 145 140. Membuktikan secara konvensional 17 141. Mikro Sosiologi Hukum 151 142. Minima non curat praetor 37 143. minuut 85 144. Multa sed non Multum 37 145. Ne Ultra petita 67 146. negatie 117 147. Negative non sunt probanda 113 148. Neme judex odoneus in propria cause 55 149. Nemo plus juris Transferre Potest Quam Ipse Habet 69 150. Nemo Testis Indoneus in Propris Causa 66 151. norm 32 152. Normatif 42 153. Notaris 9 154. Notoir 37 155. Notoir Feiten 39

156. Obiter Dictum 37 157. Onrechtmatigedaad 55 158. onsplitsbare aveu 99 159. Onvolledig Bewijskracht 83 160. optik 151 161. Oral 76 162. Original evidence 77 163. orthodox classiications 4 164. pembuktian historis 18 165. Pendentes 4 166. Perjury 72 167. Personae miserabile 51 168. pihak formal 47 169. pihak materiil 47 170. Pokrol 49 171. Policy maker 252 172. Political Jurisprudence 252 173. Posisi Ubyektif 55 174. positum 120 175. praecumptiones juris et dejure 97 176. praesumptiones juris tantum 97 177. precedent 93 178. preponderance of evidence 10 179. Presumptions 75 180. Presumptions Facti 97 181. Presumptions juris 97 182. Presumtive evience 78 183. Pride is the Beginning of Destruction 5 184. Primary evidence 78 185. Primitif 72 186. Privastrecht 64 187. private knowledge 39 188. Private Law 64 189. procedural law 4 190. profesi 149

Daftar Literatur Langsung

169

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

191. profesional 150 192. promissoir 99 193. Proof 16 194. Prosesuil 27 195. psychis 107 196. Quad Erat Demonstrandum 33 197. Quaestio facti 66 198. Quaestio juris Quaestio facti 66 199. Quasi Staatrecht 50 200. Quod Bonum Felix Faus­ tumque 62 201. Quod Licet Jovi non licet bovi 36 202. ratio decidendi 37 203. real 20 204. Real evidence 79 205. Realistic Jurisprudence 152 206. Rechterlijke vermoedens 97 207. Rechtserzeugende Tetsachen 123 208. Rechtshindernde Tetsachen 123 209. Rechtsicherheit 62 210. Rechtspersoon 46 211. rechtsvermedens 97 212. Rechtsvernichtende m Tatsa­ chen 124 213. Recusatio 67 214. relevant 23 215. remspoor 42 216. Reo negante actitori in­ cumbit prabatic 115 217. Res judicata jus facit inter partes 114 218. Res judicata pro veritate ac­ cipitur 114 219. Res judicata provery tate

170

habatur 114 220. restrictief 115 221. Reus excipiendo it actor 115 222. Rumor 42 223. schematik 31 224. Second hand evidence 79 225. Secondary evidence 78 226. Si due faciunt iden non est idem 129 227. Si vis pacem para bellum 114 228. Sita konservatoir 13 229. social control 150 230. social engineering 150 231. Socialogical Jurisprudence 152 232. Soilen­sein 3 233. standar 23 234. substantive law 4 235. supletoir 99 236. Syllogisme 55 237. Testimonium de Auditu 96 238. Testimony 95 239. the burden of persuasion 105 240. the burden of producing evidence 105 241. the burden of producing of evidence 109 242. he burden of proof 11 243. the duty of going forward 109 244. he law of procedure 5 245. the plaintif 9 246. he presumption of Inno­ cence 45 247. he privilege 6 248. he risk of nonpersuasion 110 249. Toerekeningstheoris 60

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

250. Togenbewijs 84 251. Ultra posse nemo obligatur 123 252. Unoriginal evidence 77 253. Untersuchungsmaime 52 254. Unus testis, nullus testis 87 255. Ut sementem feceris, its metis 103 256. Verhandlungsmaxim 12 257. verstek 44 258. Vis Probandi 83 259. Volledig Bewijskracht 83 260. voluntair 23

261. Wager of Law 74 262. whether oral 20 263. wo kein klager ist, ist kein Richter 3 264. Writings 75 265. yuridis 17 266. yurisdiksi 29 267. yurisprudensi 28 268. yurist 23 269. zoom politican 155 270. Zweekmassigkeit 62

Daftar Literatur Langsung

171

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR NAMA ORANG

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

Asser-Anema-Verdam Anema Aristoteles Asser Scholten Charles F. Hamphill Codoza Districh Rueschamayer Diamond Dias Drion Enschede Eggens Edward Cleary Eugen Echlich Fairchild Friedman Ernest Baker Edwin Baker Edwin C. Caared Hollad, Prof Hans Kelsen John Austin Judith Shklar Kenneth Culp Davis Kusumadi Pudjosewojo Lod Justice Denning Laski

28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54.

Lewis Meyer N. Naguhtan MC. Cormick Milton C. Jacobs Paton P.A. Stein Pittle, Prof Peter J. Darman Paul Bohenran Roscoe Pound Sudikno Mertokusumo Suyling Sir Roland Burrows Supomo, Prof Subekti, Prof Sukardono Prof Star Bushman Stephen Giller Satjipto Rahardjo, Prof Echalten Surjono Sukanta hesing hayur Umar bin Chattab Wugmaer Wirjono Pradjodikara Van Vollenhoven

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR PERATURAN/ UNDANG-UNDANG

KUH Perdata (BW) Pasal 1365 Pasal 1910 Pasal 1866 Pasal 1924 Pasal 1465 Pasal 533 Pasal 535 Pasal 1977 ayat 1 Pasal 1244 Pasal 1394 Pasal 1320 Pasal 150 Pasal 1865 Pasal 1912 Pasal 330 Pasal 110 Pasal 1655 Buku IV Peraturan Mentri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 Keputusan Mentri Keha Pasal 145 ayat kiman No. J.P. 14/2/11 HIR Pasal 145 ayat 2 Pasal 163 Pasal 145 ayat 1 Pasal 145 ayat 4 Pasal 123 ayat 183 Pasal 123 ayat 2

Pasal 176 RBG Pasal 172 Pasal 284 Pasal 283 Pasal 200 Pasal 147 ayat 1 Pasal 172 Pasal173 Peraturan Lain: U.U. No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 U.U. No. 1 h. 1947 Pasal 9 U.U. No. 1 h. 1975 U.U. No. 1 Tahun 1948 Pasal 8 No. 2 Rv K.U.H Dagang: Pasal 274 ayat 2 Pasal 468 ayat 2 U.U. No. 1 Tahun 197 B. 1922 No. 522

pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

DAFTAR YURISPRUDENSI

1.

2.

3.

4. 5. 6.

7.

Putusan Pengadilan Negeri Sengkang Tertanggal 1 Agustus 1964, Nomor 80/1964/pdt. Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene Tertanggal 5 Agustus 1964, Nomor 16/1962/pdt. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Tertanggal 3 Agustus 1962, Nomor 243/1961/pdt. Putusan H.R., 19 Desember 1932 Putusan M.A. 15 Maret 1972 Nomor: 547 K/Sip/1971 Putusan M.A. 21 Nopember 1956, Nomor 162 K/ Sip/1955. Putusan M.A. 11 September 1957, Nomor 74 K/Sip/1955.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

Putusan M.A. tanggal 30 Desember 1957 Nomor 197 K/Sip/1956. Putusan M.A. tanggal 28 Mei 1958 Nomor 8 K/ Sip/1957. Putusan M.A. tanggal 10 Januari 1957 Nomor 108 K/ Sip/1954. Putusan M.A. tanggal 10 Januari 1957 Nomor 94 K/ Sip/1956. Putusan M.A. tanggal 11 September 1975 Nomor 540 K/Sip/1972. Putusan M.A. tanggal 27 Nopember 1975 Nomor 272 K/Sip/1973. Putusan M.A. tanggal 30 Agustus 1958 Nomor 134 K/ Sip/1958.

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com 178

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

INDEKS

rtokusumo, R.S. Soedikno, Prof. Dr.: 1, 16, 73, 141 Adjective law: 5-6 Advokat: 48 Akta - dalam Alat bukti; tertulis: 91-92 Alat bukti: 73-77 - Dalam Hukum acara pidana: 9 - Tertulis: 90-92 Anema: 21 Audi Et Alteram Partem - dalam Beban pembuktian: 121-122 Audi et alteram partem: 12, 4561-63 Austin, Jhon: 44, 145 Barker, Ernest: 34 Batas umur: 46-47 Beban pembuktian: 11, 99107, 110-111, 131-139

- Asas: 110-115 Behavioral, approach - dalam Keputusan pengadilan: 145 Bohannan, Faul: 150 Burrows, Roland, Sir: 17-19, 74 BW Baru: 26 Circumstatial evidence: lihat indirect evidence Cleary, Edward W.: 22, 56, 93, 100 Compurgation: 70-71 Contentieuse jurisdicte: 22 Contradictoir: 27-29 Curia novit: 63 Danning, Lord Justice: 23 Davis, Kenneth Culp: 88 De gustibus non est dispitandum: 65 De Lege Lata, Teori - dalam Beban pembukIndeks

179

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

tian: 120-121 Declaratoir: 28 Demonstrative evidence: 76 Descente: 85 Documentary - dalam Klasiikasi; alat bukti: 74 Dorman, Peter J.: 71, 102 Drion. H.: 17 Eggens: 17 Enschede, Ch., J.: 93 Eventual maxim: 11 Evidence: 17-19 Expertise: 85 Fiardchild, H.P. 143 Friedman, Lawrence: 147148 Gillers, Stephen: 103 Gurvitch, George: 144 Hak - Dalam Pembuktian: 3235 Hak, Teori - dalam Beban pembuktian: 118-120 Hamphill, Charles F.: 5, 71, 76, 101 Hamphill, Phyllis D.: 5, 71, 76, 101 180

Holand, Prof.: 33 Hukum acara perdata: 8-14 Hukum acara pidana internasional: 13-15 Hukum acara pidana: 8-12 Hukum materiil: 4 Hukum perdata: 3 Hukum privat - Dalam Sistem Hukum: 2 Hukum proses: 4, 5 Hukum publik - Dalam Sistem Hukum: 2 Indirect evidence: 75 Ius Curia Novit: 10 Jacobs, Milton C.: 19, 73 Jaksa - Dalam hukum acara pidana: 8 Kasuistik - dalam Beban pembuktian: 123-127 Kebenaran formal: 9 Kebenaran materi: 9 Kebiasaan - Dalam Sistem Hulum: 2 Kekuatan pembuktian: 8087 - sempurna: 80-83

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

- lemah: 80, 83 - sebagian: 80, 83 - menentukan: 84 - perlawan: 84 Kelsen, Hans: 58 Konvensional,. Approach - dalam Keputusan pengadilan: 145 Kuasa: 49-50 Kuratele: 48 Laski, Harold: 144 Law enforcement: 31 Legislatif, lembaga - Dalam Sistem Hukum: 2 Legitima persona standi in judicio: 46 Lus Publicum, Teori - dalam Beban pembuktian: 121 Martokusumo, Soedikno: 7 Material - dalam Klasiikasi, alat bukti: 74 Mayers, Lewis: 102 McCormick, Dean: 104 Negativa Non Stunt Probanda, Teori - dalam Beban pembuktian: 117-118

Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet: 66 Nemo testis indoneus in propria causa: 64 Obitar dictum: 36 Onsplitsbaar aveu: 136-137 Oral - dalam Klasiikasi, Alat bukti: 74 Patton, George Whitecross: 4, 69-70, 74 Pembuktian ilmiah: 23-24 Pembuktian: 15-56 - Tujuan: 20 Pemulihan hak: 4 Pengacara - dalam Persengketaan perdata: 46, 48 Pengakuan - dalam Alat buklti: 95 - dalam Beban pembuktian: 132-1133 o dengan klausul: 132 o dengan kualiikasi: 132 - pembagian: 134 Pengampu - dalam Persengketaan perdata: 46, 47-48 Indeks

181

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Penggugat - Dalam Hukum acara perdata: 9 - Dalam Persengketaan perdata: 46 Penyalahgunaan wewenang: 150 Peradilan, Lembaga - Dalam Sistem Hukum: 2 Peradilan: 2 Peristiwa - Dalam Pembuktian: 3233, 35 - Prosesuil: 37 - Notoir: 37-40 - Pengetahuan umum: 4142 - Tidak perlu di buktikan: 42-44 Perjanjian pembuktian: 153-156 Pound, Roscoe: 45 Presumptive evidence: lihat indirect evidence Procedural law: 4 Prodjodikoro, R. Wiryono, Prof. Dr.: 6 Profesi: 143 Proof: 20, 99 182

Ratio decidendi: 36 Real evidence: 76` Rechtapersoon: 46 Resiko pembuktian: 135-136 Rueschemenyer, Dietrich: 143 Saksi - tidak mampu: 64 Scholten, Paul: 58 Shklar; Judith: 44 Sistem hukum: 1-2 Soekardono, R. Prof.: 39 Sollen sein: 30-32 Sosiologi hukum - dalam Beban pembuktian: 141-148 - macam: 144 Subekti, R. Prof. Dr.: 21, 22 Subtantive law: 4 Subtantive law: 5-6 Sukanto. Soerjono, DR.: 145 Sumpah - dalam Alat bukti: 96 - decisoir: 96-97 - supletoir: 96-97 - aestimatoir: 96-97 Supomo, Prof. Dr.:20 Suyling: 17

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Teori Bebas - dalam Pembuktian: 8790 Teori negatif - dalam Pembuktian: 87 Teori positif - dalam Pembuktian: 87 Tergugat - Dalam Persengketaan perdata: 46 hayer: 104 hesing, H.: 102 Tradisional, approach - dalam Keputusan pengadilan: 145 Tugas hakim - dalam Pembuktian: 5255 Tugas hakim - dalam Sosiologi hukum: 145-148 Tujuan hukum: 59 Ultra ne petita: 65 Unterbuchungsmaxime: 51 Unus testis nullus testis - dalam Alat bukti, Pembuktian: 93 Van Vollenhoven: 1 Verhandlungo maxime: 52

Verhanlung maxim: 11 Vis Probandi: lihat Kekuatan pembuktian Voluntair: 28 Wager law: 70-71 Wali - dalam Persengketaan Perdata: 46 Yuridis - dalam Beban pembuktian: 127-129 Kesaksian - dalam Alat bukti: 92-93 Persangkaan - dalam Alat bukti: 93-94

Indeks

183

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com 184

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Literatur Langsung

185

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com 186

Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Literatur Langsung

187

pustaka-indo.blogspot.com

Related Documents


More Documents from "Kang Wahab"