Askep Morbus Hansen

  • Uploaded by: Anonymous xh699eTd8I
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Morbus Hansen as PDF for free.

More details

  • Words: 2,394
  • Pages: 8
Loading documents preview...
ASKEP MORBUS HANSEN BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kesehatan merupakan milik yang sangat berharga bagi seseorang, tanpa kesehatan berarti segala aktivitas seseorang terhambat, oleh karena kondisi tubuh terganggu. Menyadari hal ini maka setiap orang dituntut untuk dapat memiliki daya tahan tubuh yang kuat sehingga tidak akan mudah diserang oleh berbagai macam penyakit menular, dalam hal ini dapat mempengaruhi social seseorang dalam hidupnya Permasalahan penyakit Morbus Hansen ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalahmasalah tersebut dapat mengakibatkan penderita morbus hansen menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. 2. Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Untuk memperoleh gambaran langsung tentang Asuhan Keperawatan pada klien dengna Morbus Hannsen b. Tujuan Khusus Untuk mengethaui gambaran tentang ;  Pengkajian keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen  Diagnosa Keperawatan dengan Morbus Hansen  Mengetahui rencana keperawatan pada klien dengan Morbus Hannsen BAB II TINJAUAN TEORITIS 1. Pengertian Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat. penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998) 2. Etiologi Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta/ morbus Hansen yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama

jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo. 3. Patogenesis Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis. M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selulartinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman.. Sayangnya setelah sernua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebinan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif. . Patofisiologi Mycobakterium Leprae Masa inkubasi 2 – 10 tahun Lesi pada kulit dan mukosa Syaraf dan perifer/mati rasa Respon tulang dan pemendekan jari-jari Kerusakan bentuk tubuh karena infiltrasi kulit 4. Tanda Dan Gejala Tanda Dan GejalaAda 3 tanda cardinal pada penyakit kusta bila salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit : 1. lesi kulit yang anestesi 2. Penebalan saraf perifer 3. Ditemukan mycobacterium leprae. Selain itu menurut Ridley dan toppling, kusta dapat dikelompokan berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik menjadi 5 kelompok 1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)

Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, gejalanya dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. 2. Tipe Borderline tuberkuloid (BT). Lesi mengenai tepi TT, berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit dipinggirnya, tetapi gambaran hipopigmentasi, gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik. 3. Tipe Borderline-Borderline (BB).Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk macula infilit, permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa didapat lesi punchedout yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah, merupakan cirri khas tipe ini 4. Tipe Borderline Lepromatous (BL).Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit darem dengan cepat menyebar keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi dikulit. 5. Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap, terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping hidung, dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan punggung tangan dan permukaan ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung, dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis 5. Pemeriksaan Diagnostik a. Pemeriksaan Bakterioskopik Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling infiltratif. Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga. Denngan menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler. b. Test Mitsuda Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan berarti lepromim test positif 6. Pencegahan a. Penerangan dengan memberikan sedikit penjelasan tentang seluk beluk penyakit lepra pada pasien;

b. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutic. c. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra 7. Pengobatan obat-obatan umum yang biasa dipakai dalam pengobatan Morbus Hansen : a. PB ( Tipe kering ) Pengobatan bulanan :hari pertama : 2 Kapsul Rifampisin I Tablet Dapsone (DDS) Pengobatan harian : hari ke 2 – 28 : tablet Dapsone (DDS) Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6 – 9 bulan b. MB ( Tipe basah ) Pengobatan bulanan : hari pertama :2 Kapsul Rifampisin 3 Tablet Lamrene 1 Tablet Dapsone pengobatan harian : hari ke 2 – 28 :1 Tablet Lamrene 1 Tablet Dapsone (DDS) lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12 – 18 BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS A. Pengkajian 1. Identitas Klien Mencakup Nama, umur Jenis Kelamin alamat, pekerjaan pendidikan agama dll. 2. Riwayat Kesehatan o RKD Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang kurang baik o RKS Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya Komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan ( mati rasa pada daerah yang lesi ) o RKK Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular 3. Riwayat Psikososial Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita 4. Riwayat Sosial Ekonomi Biasanya klien yang menderita penyakit ini kebanyakan dari golonganmenengah kebawah terutam apada daerah yang lingkungannya kumuh dan sanitasi yang kurang baik

5. Pola Aktifitas Sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan. 6. Pemeriksaan fisik Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik. a. Sistem penglihatan Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok b. Sistem pernafasan Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan. c. Sistem Persyarafan  Kerusakan Fungsi Sensorik Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.  Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).  Kerusakan fungsi otonom Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. d. Sistem musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi. e. Sistem Integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. Diagnosa Keperawatan 1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi 2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan 3) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik 4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh C. Intervensi Keperawatan Diagnosa I : Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsurangsur sembuh. Kriteria hasil :1) Menunjukkan regenerasi jaringan 2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi Intervensi: 1. Kaji / catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi. 2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi Rasional: menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar. 3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi. 4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi 5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan Rasional: Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan Diagnosa 2 : Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsurangsur hilang Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang Intervensi: 1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi. 2. Observasi tanda-tanda vital Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien 3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri. 4. Atur posisi senyaman mungkin Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi Rasional: menghilangkan rasa nyeri Diagnosa 3 : Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan Kriteria: 1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari 2) Kekuatan otot penuh Intervensi: 1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas 2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas 3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi 4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas 5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan Dianosa 4 : Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat Kriteria: 1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri 2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative Intervensi : 1. Kaji makna perubahan pada pasien Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal 2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri. Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan 3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah Rasional: Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas 4. Berikan penguatan positif Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif 5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes, (1998), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta 2. Mansjoer, Arif, (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta. 3. Juall, Lynda,(1995) Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta, 4. Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya 5. Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta 6. Sjamsoe – Daili, Emmi S. (2003). Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta 7. Daili ESS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H,(2003) Kusta,. Jakarta: Balai Peneroit FKUI. 8. Freedberg IM, Eisen AZ., Wolff K., Austen KF., Goldsmith LA., Kazt SI, (2003) editor. Dalam : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke – 6. New York : Mc Graw-Hill, https://nefyskep.wordpress.com/2012/05/29/askep-morbus-hansen/

Related Documents


More Documents from "Kenny Najoan"