Aum-atlas Harimau Nusantara

  • Uploaded by: Steffi G
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Aum-atlas Harimau Nusantara as PDF for free.

More details

  • Words: 54,549
  • Pages: 282
Loading documents preview...
AUM!

ATLAS HARIMAU NUSANTARA AUM!

SPESIMEN TARING HARIMAU JAWA DARI CIANJUR, 1937, DI MUSEUM ZOOLOGI BOGOR, LIPI.

AT L A S H A R I M A U N U S A N TA R A

Ada peristiwa besar yang selalu luput dari perhatian banyak orang, yaitu harimau masih hidup di alam liar Sumatra. Ia belum punah. Sudah sewajarnya bila kabar gembira itu sebagai kesempatan menarik napas panjang untuk merenung dan waspada. Renungan dan kewaspadaan penting lantaran Indonesia punya pengalaman pahit dengan punahnya harimau bali dan harimau jawa. Agaknya perlu melihat secara jernih hubungan manusia dengan harimau pada zaman ini. Hari-hari ini, kabar yang beredar didominasi kisah konflik harimau dengan manusia. Sebenarnya, konflik hanya salah satu bentuk interaksi harimau dengan manusia. Yang sering luput dari perhatian adalah interaksi yang damai dan senyap. Relasi inilah yang terjadi di garis depan pelestarian harimau: patroli, kampanye, pemantauan, mitigasi konflik, penegakan hukum, diskusi konservasi dan kebijakan. Setelah berpuluh tahun mempercepat deforestasi, eksploitasi, pembangunan, penduduk berlipat ganda, kini saatnya memungut waktu untuk jeda sejenak. Mungkin ini tidak banyak pengaruhnya bagi harimau, tapi memberikan peluang bagi manusia menyeimbangkan hubungan yang timpang selama ini. Akankah zaman memberikan ruang yang cukup bagi harimau? Akankah kemanusiaan menemukan jalan terbaik bagi sang pemangsa dan spesies terancam punah yang lain? Sekaranglah saat menentukannya. Dan atlas ini baru langkah awal, bukan akhir.

AUM!

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

AUM!

ATLAS HARIMAU NUSANTARA Hak cipta 2019 Forum HarimauKita REDAKSI Agus Prijono Munawar Kholis Laksmi Datu Bahaduri ILUSTRASI & TATA LETAK Agus Prijono KARTOGRAFER Oktafa Rini Puspita Saddam Husein KONTRIBUTOR ARTIKEL Sunarto, Abmi Handayani, Dolly Priatna, Agustinus Wijayanto, Akbar A. Digdo, Erni Suyanti Musabine, Sugeng Dwi Hastono, Munawar Kholis, Wido R Albert, Febri A. Widodo, Wulan Pusparini, Giyanto, Laksmi Datu Bahaduri, Ligaya Tumbelaka, Ahmad Faisal, Yoan Dinata, Fahrul Amama, Silfi Iriyani, Dedi Kiswayadi, Tomi Ariyanto, Rudijanta T Nugraha, Hariyo T Wibisono, Fransisca Noni Tirtaningtyas, Muhammad Yunus. KONTRIBUTOR FOTO Dwi Oblo, Agus Prijono, Regina Safri, Asep Abdullah, Fitriani Dwi Kurniasari, Febri A Widodo, Kusdianto, Giyanto, Nanda P Nababan, Radinal, Boyhaqi, Erni Susanti Musabine, Sugeng Dwi Hastono, Ahmad Faisal, Wilson Novarino, David Whellan. KONTRIBUTOR FOTO KAMERA JEBAK WWF Indonesia - Balai Besar KSDA Riau, APP Sinarmas, Tiger Heart Bengkulu - Forum HarimauKita, Taman Nasional Berbak-Sembilang - Zoological Society of London Indonesia Programme, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - Fauna & Flora International Indonesia Programme, Balai KSDA Bengkulu. FOTO sampul depan: David Whellan - Sampul belakang: Agus Prijono. AKSARA teks: Minion Pro dan Avenir LT 45 Book. SARAN SITASI: Forum HarimauKita. 2019. Aum! Atlas Harimau Nusantara. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, GEF UNDP. Jakarta. Atlas ini disusun oleh Forum HarimauKita, yang didukung kerjasama antara Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan GEF UNDP dalam proyek “Transforming Effectiveness of Biodiversity Management on Sumatran Priority Landscapes.” ISBN 978-602-0854-32-8

Harimau sumatra, Panthera tigris sumatrae. FOTO: DWI OBLO

D AFTAR I SI

PRAKATA 10 PROLOG 16

BAGIAN SATU

BAGIAN DUA

NUSANTARA HARIMAU

NUSANTARA HARIMAU

MEMAHAMI SANG SAJA RIMBA 22

YANG SILAM, YANG KELAM 52

BAGIAN TIGA

BAGIAN EMPAT

IKHTIAR SUMATRA

HARAPAN NUSANTARA

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA 88

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU 158 EPILOG 262 CATATAN PUSTAKA 266 PROFIL PENULIS 272 DAFTAR PUSTAKA 276 INDEKS 278 UCAPAN TERIMA KASIH 282

Danau Kerinci, Kerinci, Jambi. Kawasan ini dikelilingi ratusan bukit yang menjadi rumah harimau. FOTO: AGUS PRIJONO

KATA PENGANTAR

9

PRAKATA DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Pulau Jawa, Bali, dan Sumatra, merupakan habitat tiga anak jenis harimau di Indonesia, dimana dua anak jenis di antaranya, yakni harimau jawa dan bali, berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species 2008 telah dinyatakan punah pada tahun 1970an dan 1940-an. Semenjak itu, belum pernah ada informasi tertulis secara lengkap mengenai kronologi punahnya dua anak jenis harimau kebanggaan Indonesia serta upaya konservasi yang telah dijalankan oleh para pihak. Sudah seharusnya bangsa Indonesia memiliki sebuah dokumentasi sejarah, pengetahuan, dan upaya konservasi harimau, terutama harimau sumatra. FOTO: AGUS PRIJONO

10

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Informasi mengenai satwa harimau dirangkai dalam sebuah dokumen “Atlas Harimau Nusantara”, yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi Indonesia dalam upaya pengelolaan dan penyelamatan harimau terutama di Sumatra. Pendalaman mengenai runutan kejadian punahnya harimau jawa dan harimau bali serta perspektif rampogan sebagai tradisi yang dilakukan di masa silam, menggariskan cerita yang menjadi pembelajaran terhadap upaya konservasi harimau sumatra. Adanya "Atlas Harimau Nusantara" juga sebagai sumber pengetahuan untuk membantu berbagai pihak dalam memahami apa yang telah diupayakan, kelemahan yang masih dimiliki dan mengalokasikan sumberdaya untuk perbaikan pengelolaan konservasi harimau. Buku ini juga menjadi bacaan bagi masyarakat yang mau memahami lebih jauh mengenai harimau di Indonesia dan menggugah kesadaran untuk semakin terlibat dalam pelestarian harimau sumatra khususnya, dan keanekaragaman hayati Indonesia pada umumnya. Saya sangat mengapresiasi penyusunan buku ini yang disusun secara kolaboratif dan memperkuat jejaring para pihak, merapatkan barisan berbagai mitra serta membangun kesadaran dan aksi kolektif untuk menyelamatkan, mencegah kepunahan dan melindungi harimau sumatra dan habitatnya serta menuliskannya sebagai sebuah pembelajaran. Salam Lestari!

Jakarta, April 2019 Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem

Ir. Wiratno, M.Sc

KATA PENGANTAR

11

KATA PENGANTAR KETUA FORUM HARIMAUKITA

Jika mendengar kata “atlas” yang tergambar di benak adalah sebuah buku penuh dengan peta rupa Bumi. Namun sebenarnya kata atlas juga menggambarkan keadaan tempat, proses, dan peristiwa. Begitulah kami merasukkan jiwa para pejuang konservasi harimau ke dalam pustaka ini. Atlas ini disusun berbeda dengan laporan proyek yang kadang terfokus pada tujuan untuk menampilkan kisah sukses. Selain memberikan pelajaran keberhasilan, atlas ini juga menyajikan batu dan kerikil masalah yang masih menunggu solusi. Sebagai permulaan, kisah sedih punahnya harimau jawa dan harimau bali dihadirkan kembali. Hal itu bukan untuk mengungkap kegagalan pekerja konservasi terdahulu. Itu sekadar pengingat karena hari ini tidak ada lagi manusia yang dapat bertutur secara langsung bagaimana gejala-gejala kepunahan itu terjadi. 12

FOTO: ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON INDONESIA PROGRAMME

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Buku ini menampilkan sepenggal demi sepenggal kisah yang berserak, agar pengalaman kepunahan dapat mendobrak jiwa sehingga harimau sumatra tidak mengikuti alur cerita kerabatnya yang telah punah. Dalam membaca buku ini, ada baiknya membekali diri terlebih dahulu tanpa ekspektasi berlebihan, mengingat ada beberapa informasi ataupun gambar yang tidak selalu menggembirakan. Buku ini tidak ditujukan untuk mengarahkan siapapun menjadi pesimis, atau menjadi optimis berlebihan dengan perjuangan konservasi harimau di Indonesia. Optimisme akan berkembang dengan sendirinya jika manusia mampu mengatasi egoismenya, yang kadang merasa tak memiliki kelemahan dalam menyelamatkan harimau sumatra. Ketika menyadari ikhtiar selama ini masih ada titik lemahnya, optimisme konservasi akan tumbuh dan berkembang. Tanpa membaca buku ini pun pembaca yang telah memahami kondisi terkini konservasi harimau. Ingar-bingar media elektronik dan cetak sudah cukup kencang memberitakan kejadian-kejadian konflik manusia dan harimau. Atlas ini juga akan banyak mengisahkan tentang konflik, tapi dengan cara pandang yang seimbang dengan mencari akar masalah konflik. Sejak 1990-an, banyak pekerjaan lapangan dalam konservasi harimau di Sumatra. Bab-bab tertentu menyinggung sejarah konservasi namun belum semuanya tertuang dalam pustaka ini. Atlas ini hanya membatasi paparan upaya konservasi kurang lebih dalam kisaran lima tahun belakangan. Kontribusi buku ini diperoleh dari pejuang-pejuang konservasi di lapangan, para peneliti, pemerhati, hingga staf pemerintah. Forum HarimauKita sebagai inisiator penulisan atlas ini mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas tuntasnya penyusunan, dan mengucapkan terima kasih kepada kontributor, editor, penulis, ilustrator. Secara khusus, kami menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, khususnya Direktorat Keanekaragaman Hayati (KKH). Juga kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atas izin pengambilan gambar koleksi harimau di museum, dan lembaga-lembaga mitra yang juga memfasilitasi terkumpulnya berbagai data dan informasi. Munawar Kholis KATA PENGANTAR

13

Tim kampanye WWF turut menyemarakkan Kemah Konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di Lampung, 2017. FOTO: AGUS PRIJONO

PROLOG

15

PROLOG

LANGKAH PERTAMA...

Hingga detik ini, ada peristiwa besar yang selalu luput dari perhatian banyak orang: harimau masih hidup di alam liar Sumatra. Ia belum punah. Sudah sewajarnya bila kabar gembira itu sebagai kesempatan menarik napas panjang untuk merenung dan waspada. Renungan dan kewaspadaan penting lantaran Indonesia punya pengalaman pahit dengan punahnya harimau bali dan harimau jawa. Memang benar, kenyataan getir yang dulu mendorong dua subspesies kucing besar itu ke jurang kepunahan dapat dilihat di sekujur Sumatra. Hutan-hutan menyusut, pemburu terus mengintai, pembangunan fisik mengoyak kawasan konservasi, kepunahan lokal merajalela. Di lapangan, ada banyak bukti empat petaka itu mengancam kelestarian harimau. Yang melegakan, ada upaya untuk mengimbangi tantangan itu. Terlebih lagi, populasi harimau sumatra masih terbilang 'lumayan'. Populasinya belum sekarat betul sehingga para pelestari dapat meneropong masa depan harimau, lalu mengajukan sejumlah jalan penyelamatan. Untuk melestarikan harimau sumatra, bekal utamanya adalah sains. Ilmu pengetahuan itu tentang: apa, siapa, mengapa, bagaimana, dan di mana harimau sumatra. Pengetahuan membekali semua pihak untuk memahami skala ruang dan waktu dalam upaya pelestarian pemangsa kelas wahid itu. Namun harus disadari, pengetahuan terus berkembang sehingga data dan informasi tentang harimau sumatra selalu bersifat sementara. Maksudnya, kelak pemahaman tentang ekologi, populasi, dan sebaran harimau akan semakin akurat dan persis. Atas dasar itu, para pelestari akan mampu memprediksi peluang, tantangan, dan solusi menghadapi perkembangan zaman. Prediksi adalah benang merah sains. Hanya mereka yang berpengetahuan

Coretan arang di dinding rumah di pedalaman Kerinci ini mengingatkan: menghindari satwa dengan pagar, sementara pagar manusia adalah hukum. Dekat rumah ini, harimau dilaporkan memangsa ternak warga. Beberapa pekan kemudian, harimau coba menerkam perempuan pekebun, yang untungnya bisa diselamatkan suaminya.

yang bisa menciptakan desain besar jangka panjang. Prediksi memang selalu memiliki dua wajah: yang optimis dan yang pesimis. Justru itulah, para pelestari dapat menemukan cara untuk melambungkan sisi optimis, sembari menekan sisi yang pesimis. Pengetahuan dalam konservasi harimau mencegah para pelestari terjebak dalam pandangan pura-pura. Karena itu, perlu melihat secara jernih hubungan manusia dengan harimau pada zaman ini. Umumnya, kabar yang beredar di media didominasi kisah konflik harimau dengan manusia. Sebenarnya, konflik hanya salah satu bentuk interaksi harimau dengan manusia. Yang sering luput dari perhatian adalah interaksi yang damai dan senyap. Relasi inilah yang sedang dan terus berlangsung di garis depan pelestarian harimau: patroli, kampanye, pemantauan, mitigasi konflik, penegakan hukum, diskusi konservasi, dan kebijakan. Setelah berpuluh tahun mempercepat deforestasi, eksploitasi, pembangunan, penduduk berlipat ganda, kini saatnya memungut waktu untuk jeda sejenak. Mungkin hal itu tidak banyak pengaruhnya bagi harimau, tapi memberi peluang untuk manusia menyeimbangkan hubungan yang timpang selama ini. Akankah zaman memberikan ruang yang cukup bagi harimau? Akankah kemanusiaan menemukan jalan terbaik bagi harimau dan spesies terancam punah lainnya? Sekaranglah saatnya untuk menentukan, dan atlas ini baru langkah awal, bukan akhir. ***

FOTO: AGUS PRIJONO

PROLOG

17

Beragam sesajian sebagai syarat untuk menggelar pertemuan dengan 'sahabat harimau' di Kerinci, Jambi. FOTO: AGUS PRIJONO

Penari Ngagah Harimau merontaronta saat yang 'liyan' merasuki tubuhnya.

FOTO: AGUS PRIJONO

U... U... U... NINAK PANUNGGUNG PAMATO DI ALAM KINCAI, DINGANG TUJUH BUKIK, TUJUH LUHOH, TUJUH GUGUK, TUJUH PAMATO, MALANTAK MUDEK NINEK LANG KALAUT, MALANTAK ILE NINIK JALANGKANG TINGGI, DI TANGOH-TANGOH NINEK HULU BALANG TIGEA, DENGAN KEMBANG REKANNYO PAMANGKU GUNUNG... AYO DAN SIRINTAK HUJAN PANAH... Bait pertama syair Ngagah Harimau, Pulau Tengah, Kerinci, Jambi. Sebelum 1960-an, para tetua adat merapal syair ini bila ada upacara 'bayar bangun' harimau yang mati. Saat harimau sirna dari perbukitan Pulau Tengah, adat ini turut punah. Syair ini menyeru para leluhur di penjuru mata angin untuk menyaksikan Ngagah Harimau, agar relasi manusia dan harimau kembali pulih.

Ornamen bersosok harimau menghiasi dinding Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur, yang mulai didirikan sekitar abad ke-12. FOTO: DWI OBLO

22

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

B A G I A N S AT U

N U S A N TA R A H A R I M A U

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

23

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

JEJAK DUA JUTA TAHUN LALU

Pernah pada suatu masa, kira-kira dua juta tahun lalu, sebaran harimau nyaris menjangkau seluruh dataran Asia, dari Turki Timur sampai Laut Okhotsk, Rusia. Sayangnya, hanya dalam kurun satu abad terakhir, wilayah hidup harimau telah jauh menyusut, tinggal menyisakan kantong-kantong habitat yang terpisah satu sama lain. Harimau sebenarnya dapat dijumpai di berbagai macam hutan, dari hutan kering, hutan lembab, hutan musim, hingga hutan bakau. Ia dapat dijumpai di hutan-hutan konifer, habitat berumput tinggi, hingga hutan tropis Sumatra. Ini menunjukkan kemampuan adaptif harimau terhadap variasi ketinggian, suhu, dan curah hujan. Mampu mendiami berbagai habitat dan iklim menunjukkan habitat bukan menjadi elemen terpenting dalam sejarah evolusi harimau. Namun keragaman trah tigris dari kucing Panthera ini kemungkinan besar karena mengikuti sebaran cervid (jenis rusarusa) dan bovid (jenis kerbau) di Asia Tenggara pada kala Pleistosen. Sebaran harimau nampaknya seiring dengan evolusi sebaran ungulata besar: rusa, banteng, kerbau, dan kijang, yang menciptakan wilayah baru bagi pemangsa berbadan besar yang hidup di pinggir hutan. Pleistosen merupakan kala dengan iklim yang berfluktuasi secara ekstrem. Sedikitnya ada empat masa glasial yang beku, yang muncul berselang-seling dengan masa interglasial yang hangat. Suhu dingin berkaitan dengan zaman es yang diperkirakan paling berat menimpa daerah garis lintang utara. Sedangkan di daerah tropis, efeknya adalah perubahan tinggi permukaan laut. Pada masa glasial, air di kutub membeku, permukaan laut menurun sehingga menghasilkan daratan kering yang luas, seperti hamparan di Dangkalan Sunda. Pada saat iklim menghangat, lapisan es di kutub mencair, lalu permukaan laut naik, dan menutupi jembatan daratan. Di Asia Tenggara, pulau-pulau yang berada di Dangkalan

Sederetan spesimen macan tutul, harimau jawa, dan harimau bali di Museum Zoologi Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sunda: Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, putus-sambung seiring dengan perubahan iklim. Pulau-pulau itu akan tersambung saat es di kutub membeku, kemudian terpisah saat es meleleh (hingga akhirnya seperti saat ini). Bagi mamalia besar, Pleistosen merupakan kala yang penuh kekacauan. Tingkat spesiasi dan kepunahan meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan kala Tersier, dan beberapa mamalia mengalami ledakan penyebaran. Rusa berkembang biak dengan baik selama Pleistosen. Dari pusat perkembangan satwa ini di Asia, jenis keturunan cervid yang hidup di hutan dan berbadan kecil (mirip kijang sekarang), menyebar dan mendiami berbagai wilayah. Awal Pleistosen ditandai dengan munculnya lembu, bison dan banteng. Kajian sebaran harimau berdasarkan fosil jauh lebih sulit, mengingat lokasi fosil yang terserak. Fosil tertua berasal dari Cina utara dan Jawa. Fosil dari Jawa diperkirakan berasal dari 1,66 dan 1,81 juta tahun lalu. Bukti fosil tersebut memberikan petunjuk bahwa harimau telah menyebar ke Asia Timur. Petunjuk ini juga didasarkan bukti fosil harimau dari masa tengah sampai akhir Pleistosen yang hanya diketahui berasal dari Cina, Sumatra, dan Jawa. Sementara itu, fosil harimau dari masa Holosen tercatat ditemukan di Jawa dan Kalimantan. Namun, harimau di Kalimantan nampaknya sudah lama punah. ***

FOTO: AGUS PRIJONO SEIZIN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

25

HARIMAU GLOBAL Pengetahuan tentang evolusi sebaran harimau hanya sebatas kala Pleistosen, sekira dua juta tahun lalu. Hingga kini, dipercayai kala Pleistosen terdiri dari empat zaman es (glasial), yang diselingi dengan periode hangat interglasial. Analisis lebih rinci menunjukkan ada lebih dari 28 siklus glasial atau interglasial selama 1,7 juta tahun di kala Pleistosen. Iklim yang berubah-ubah itu menjadi faktor penting bagi evolusi sebaran harimau. Pleistosen adalah zaman susah bagi harimau dan mamalia. Mereka berkali-kali harus beradaptasi dengan perubahan iklim. Yang tak mampu bertahan, punah!

KAZAKHSTAN

UZBEKISTAN

TURKMENISTAN

Harimau kaspia P. t. virgata

KYRG TAJIKISTAN

AFGANISTAN

IRAN

PAKISTAN

Gurun dan kompetisi dengan singa membatasi sebaran harimau ke barat.

HIDUP TAMBAH SUSAH

Dalam satu abad terakhir, daerah sebaran harimau di dunia telah menyusut drastis, tinggal 7 persen dari total area historisnya. Selama abad ke-20 saja, tiga ras harimau telah punah dari muka Bumi. Kepunahan itu beruntun: harimau bali, menyusul harimau kaspia, lalu harimau jawa. Sementara itu, harimau cina selatan pun tidak pernah teramati di alam secara pasti sejak 35 tahun silam. Pada zaman ini, harimau harus bersaing dengan manusia. Hidupnya semakin rumit dan sulit.

Panthera palaeosinensis harimau tertua yang diketahui, hidup sekira 2 juta tahun lalu.

Fosil tertua harimau modern berasal dari 1,6 -1,8 juta tahun lalu.

Seluruh subspesies berasal dari satu leluhur yang hidup 72.000 108.000 tahun lalu.

Melihat sebarannya saat ini, nampaknya ada pembatas lingkungan bagi penyebaran harimau. Saat zaman glasial, es di kutub membeku, dan menurunkan permukaan laut. Saat laut surut, Dangkalan Sunda menjadi jembatan bagi populasi harimau dari daratan Asia ke pulau-pulau.

Harimau modern

RUSIA

MONGOLIA

Harimau amur P. t. altaica

GYZSTAN

CINA

NEPAL

Harimau cina selatan P. t. amoyensis

Saat interglasial, suhu Bumi yang hangat mencairkan es di kutub, lalu permukaan laut naik. Permukaan laut yang naik mengisolasi populasi di kepulauan Sunda: Sumatra, Jawa, Bali.

INDIA MYANMAR LAOS

BANGLADESH

THAILAND

Harimau bengal P. t. tigris

Harimau indocina P. t. corbetti

KAMBOJA

VIETNAM

Harimau malaya P. t. jacksonii MALAYSIA

I

Harimau sumatra Panthera tigris sumatrae

N

D

O

N

E

S

I

A

DANGKALAN SUNDA

Harimau jawa P. t. sondaica 0 km

700

Harimau bali P. t. balica

PUNAH

Status sebaran harimau saat ini

GENTING PUNAH

Sebaran historis harimau

Ada populasi ex-situ, tapi di alam liar (insitu) tak terdeteksi dalam 50 tahun terakhir.

Sebaran yang mungkin telah punah

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM, WWW. IUCNREDLIST.ORG. TEKS: DINERSTEIN, E., LOUCKS, C., WIKRAMANAYAKE, E., GINSBERG, J., SANDERSON, E., SEIDENSTICKER, J., FORREST, J., BRYJA G., HEYDLAUFF, A., KLENZENDORF, S., LEIMGRUBER, P., MILLS, J., O’BRIEN, T. G., SHRESTHA, M., SIMONS, R., & SONGER, M. 2007. THE FATE OF WILD TIGERS. BIOSCIENCE 57 (6), JUNE 2007; SEIDENTICKER, J., CHRISTIE, S., & JACKSON, P. (EDITORS). 1999. RIDING THE TIGER, TIGER CONSERVATION IN HUMAN-DOMINATED LANDSCAPES. THE ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON, CAMBRIDGE UNIVERSITY PRESS; SUNARTO, WIDODO, E., & PRIATNA, D. TANPA TAHUN. RAJUT BELANG: PANDUAN PERBAIKAN PRAKTIK PENGELOLAAN PERKEBUNAN SAWIT DAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA. DEPARTEMEN KEHUTANAN, WWF, HARIMAUKITA, ZSL.

NUSANTARA HARIMAU Selama kala Pleistosen, terjadi masa glasial beberapa kali yang diselingi periode interglasial. Evolusi sebaran harimau di Nusantara dipengaruhi perubahan iklim pada kala Pleistosen yang menyebabkan permukaan laut naik-turun. Hal itu membuat Dangkalan Sunda beberapa kali timbul-tenggelam seiring meluap dan surutnya permukaan laut selama Pleistosen.

KALIMANTAN

SUMATRA

Secara zoogeografis, harimau pernah menghuni Kalimantan tapi tak didukung bukti akurat. Bukti harimau di pulau ini berupa ujung gigi taring di Gua Niah, Sarawak.

DANGKALAN SUNDA

Pada masa interglasial, es kutub mencair, laut membanjiri Dangkalan Sunda, lalu mengurung tiga harimau di Sumatra, Jawa, dan Bali. Pada 8.000 tahun lalu, jarak pulau yang dekat memungkinkan harimau dapat berenang dari pulau ke pulau .

Harimau sumatra Panthera tigris sumatrae

J SAMUDRA HINDIA

Harimau jawa P. t. sondaica

A

W

A

BALI

Fosil palung betis di Jawa berusia 1,6 dan 1,8 juta tahun. Ini bukti: awal kala Pleistosen, harimau telah menyebar ke Asia Timur. Harimau bali P. t. balica

PULAU HARIMAU Di luar daratan Benua Asia, harimau menghuni pulau-pulau Dangkalan Sunda: Sumatra, Jawa, dan Bali. Dengan punahnya harimau jawa dan harimau bali, berarti tinggal satu harimau pulau di muka Bumi. Sepanjang masa sejarah, hanya Nusantara yang dikenal sebagai kepulauan yang dihuni harimau. Sumatra, Jawa, dan Bali merupakan wilayah harimau paling ujung: sisi selatan khatulistiwa.

S A M U D R A PA S I F I K

SULAWESI

PAPUA

DANGKALAN SAHUL

TUTUPAN HUTAN DI BALI, JAWA, DAN SUMATRA, 2014.

0 km

360 km

PUNAH GENTING PUNAH

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: SEIDENTICKER, J., CHRISTIE, S., & JACKSON, P. (EDITORS). 1999. RIDING THE TIGER, TIGER CONSERVATION IN HUMAN-DOMINATED LANDSCAPES. THE ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON, CAMBRIDGE UNIVERSITY PRESS; WHITTEN, T., SOERIAATMADJA, R. E., DAN AFIFF, S. A. 1999. EKOLOGI JAWA DAN BALI. EDITOR SERI: S. N. KARTIKASARI. PRENHALLINDO, JAKARTA.

APALAH ARTI SEBUAH NAMA... SUNARTO

Perdebatan sistematika terbaru semakin menegaskan amanat konservasi harimau di Sumatra. Frasa judul di atas dipopulerkan William Shakespeare melalui salah satu karya dramanya yang paling kesohor ‘Romeo dan Juliet.’ Frasa yang tak asing ini menggambarkan bahwa kualitas seseorang, atau sesuatu, tidak akan berubah oleh nama atau sebutan apapun yang disematkan padanya. Apakah pesan dari frasa tersebut juga berlaku bagi harimau, yang menurut salah satu publikasi ilmiah terakhir tersemat nama baru? Saat ini, masih sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, pergantian nama harimau hasil studi taksonomi mutakhir sempat menggemparkan kalangan pegiat konservasi satwa loreng ini. Perubahan nama ilmiah ini juga dapat menimbulkan beberapa implikasi konservasi. Studi taksonomi kucing terbesar dunia ini telah dipublikasikan di SCIENCE ADVANCES Volume 1 Nomor 5 Tahun 2015. Andreas Wilting dan koleganya dari beberapa lembaga riset di Eropa, menjadi penulis karya ilmiah ‘Planning tiger recovery: Understanding intraspecific variation for effective conservation.’ Studi ini menggunakan beberapa pendekatan dan teknik baru dalam mengklasifikasikan subspesies harimau. Berbeda dengan studi taksonomi umumnya, yang cenderung membagi sekelompok taksa menjadi beberapa spesies atau subspesies (biasa disebut splitter), studi ini justru menyederhanakan klasifikasi subspesies—biasa disebut sebagai clumper. Harimau di seluruh dunia, yang selama ini dibagi menjadi sembilan subspesies: bali, jawa, sumatra, malaya, indocina, cina selatan, benggala, kaspia, dan amur, dari hasil studi ini diciutkan menjadi dua subspesies saja. Berdasarkan studi ini, seluruh subspesies harimau yang tersebar di daratan Asia, mulai dari Rusia, Timur Tengah, India, Cina, Indocina hingga semenanjung Malaysia, kini dianggap sebagai satu anak jenis 30

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Termasuk keluarga felid, harimau punya perilaku yang tak berbeda dengan kucing. Seperti yang satu ini: mengintiintip dari sela-sela dedaunan.

saja. Mereka disebut harimau kontinental. Nama ilmiah Panthera tigris tigris, yang selama ini hanya untuk menyebut harimau benggala (yang tersebar di India, Nepal, dan Bhutan), diusulkan sebagai nama ilmiah untuk seluruh harimau kontinental. Sementara itu, tiga subspesies di Indonesia, termasuk yang telah dinyatakan punah, kini dianggap satu subspesies. Ketiganya disebut harimau sunda, dengan nama ilmiah Panthera tigris sondaica. Nama ilmiah itu sebelumnya hanya digunakan untuk menyebut harimau jawa. Kata “sunda” tentu bukan mengacu pada wilayah adat di Jawa Barat, melainkan pada kawasan biogeografi yang lebih luas, yang antara lain mencakup Sumatra, Jawa, dan Bali. Teknik dan metode klasifikasi dalam studi ini tergolong lengkap dan menarik. Selain didasarkan pada ciri tubuh atau morfologi, yang biasa digunakan dalam taksonomi tradisional, studi ini juga menggunakan teknik genetika dengan analisis DNA. Tak hanya itu, studi ini bahkan juga menilai aspek ekologi yang dipertimbangkan bersama-sama dengan aspek morfologi dan genetika. Karakter ekologi yang dipertimbangkan antara lain relung dan kemampuan adaptasi harimau pada beragam tipe habitat. Ketiga faktor itu dianalisis secara menyeluruh, dengan beragam pendekatan statistika yang memungkinkan penggolongan harimau secara lebih obyektif dan akurat.

FOTO: DWI OBLO

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

31

Dua spesimen kulit harimau jawa (kiri) dan harimau bali (kanan) koleksi Museum Zoologi Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dari spesimen ini para peneliti bisa mencuplik contoh bagian tubuh lalu diuji secara genetik untuk menelaah taksonomi harimau. Bahkan sejak dipaparkan secara ilmiah pada awal abad ke-20, taksonomi harimau bali sudah mengundang perdebatan. Sebagian pakar memandang harimau bali adalah harimau jawa yang menyeberangi Selat Bali. Hanya saja, pendapat itu tidak didukung dengan bukti yang kuat.

32

FOTO: AGUS PRIJONO SEIZIN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Dari studi ini terungkap individu-individu dari beberapa subspesies yang selama ini dianggap berbeda, ternyata punya banyak kemiripan karakter dan membuatnya sulit dibedakan—khususnya secara genetika. Hal itu diduga disebabkan adanya fenomena penurunan populasi satwa tersebut secara drastis yang terjadi di akhir kala Pleistosen. Munculnya kontroversi atas studi ini terkait beberapa hal. Salah satunya, berhubungan dengan kebanggaan suatu negara atau wilayah yang selama ini telah terbangun atas keberadaan satu subspesies harimau yang dianggap unik. Sebagai jalan tengah, setiap negara tampaknya akan mengikuti nama ilmiah terbaru, namun tetap mempertahankan nama umum di setiap tempat. Lantaran harimaunya tidak berbeda secara taksonomi, kini dimungkinkan untuk melakukan translokasi dan reintroduksi antar-negara di daratan utama Asia. Di sisi lain, hasil klasifikasi baru ini semakin menunjukkan keunikan harimau di Indonesia. Karena itu, harimau sunda hanya dapat dijumpai di Indonesia, dan kebanggaan itu tentu saja juga disertai tanggung jawab besar. Negara-negara pemilik harimau di dataran Asia dapat saling berbagi dalam hal kebanggaan maupun tanggung jawab konservasi. Namun bagi Indonesia, selain dapat berbangga, juga harus mengemban amanah konservasinya sendirian. Rupanya, perkembangan taksonomi harimau belum berhenti. Di saat akhir proses penulisan buku ini, hasil riset lebih anyar dipublikasikan di jurnal CURRENT BIOLOGY pada akhir Oktober 2018. Menariknya, studi terbaru yang memakai teknik analisis full genome dari 32 spesimen ini kembali menghasilkan pemisahan harimau menjadi sembilan subspesies (termasuk tiga yang telah punah). Studi ini kembali mengonfirmasi keunikan harimau sumatra. Harimau pulau ini khususnya memiliki karakter khusus pada gen ADH7 yang berasosiasi dengan ukuran tubuh yang relatif lebih kecil. Dengan ukuran tubuh demikian, serta rambut lebih gelap dan corak loreng yang lebih pekat dipercaya merupakan hasil adaptasi dan seleksi alam dalam waktu yang lama di pulau tropis. Bagaimanapun, kedua karya ilmiah tersebut tetap menegaskan kewajiban untuk melestarikan harimau sumatra. Bukankah bila harimau sumatra punah, Indonesia dan dunia akan kehilangan subspesies harimau pulau yang kini tinggal semata wayang? *** MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

33

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

WIBAWA SANG PEMANGSA Membincangkan harimau seperti mencari batas cakrawala: tak pernah sampai, lalu berakhir di tempat yang sama. Itu karena ia menyandang beragam nama besar.

FOTO: AGUS PRIJONO

34

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Patung harimau dan prajurit Siliwangi Jawa Barat. Relief di dinding bawah menggambarkan perjuangan Prabu Siliwangi, yang didampingi seekor harimau. Setelah kepunahannya, harimau jawa seolah 'hidup' sebagai lambang bagi divisi Tentara Nasional Indonesia Jawa Barat.

Sesekali, luangkan waktu mengamati kucing. Hewan yang sering berkeliaran di rumah ini dapat menjadi pengantar untuk mengenali harimau. Lantaran masih sekeluarga, perilaku harimau mirip-mirip kucing, seperti: soliter (kecuali saat berbiak dan mengasuh anak) berburu sendirian, dan menandai wilayahnya. Misalnya saja, persis seperti kucing, harimau suka menandai tempat-tempat tertentu. Cara mencari makan pun persis: berburu sendirian, mengintai, mendekat pelan-pelan, mengendap, lalu menerkam mangsa. Bila pernah melihat kucing mencakari permukaan yang kasar, begitu pula harimau. Perilaku ini untuk mengasah cakar-cakar sang harimau. Bedanya, harimau adalah kucing besar—sangat besar. Sebagai penguasa mata rantai makanan, ia menguasai daerah yang luas namun dengan kepadatan rendah. Ia berperan sebagai pengatur populasi satwa yang menghuni mata rantai makanan di bawahnya. Seekor harimau betina membutuhkan kawasan sekira 50 kilometer persegi, sementara pejantan lebih luas, sekira tiga kali daerah jelajah betina. Tak ada satwa yang menyandang begitu banyak gelar seperti harimau. Selama berabad-abad, nama besar satwa ini telah membentuk pandangan hidup di Jawa dan Sumatra. Di relung terdalam pandangan dunia itu, harimau jelas bukan binatang yang pantas diburu dan ditangkap. Jadi, ada mekanisme untuk menjaga keseimbangan antara reputasi harimau yang menakutkan dengan citranya sebagai inspirasi pandangan hidup. Dalam mitos, cerita rakyat, dan kesenian, harimau dipandang sebagai protagonis kebaikan. Imaji harimau dapat ditemukan di wayang, relief candi, dan lukisan. Bahkan di masa modern Indonesia, patung satwa ini bertebaran di sejumlah tempat yang menyiratkan harimau tetap menjadi simbol vitalitas hidup. Bahkan meski telah punah pun, harimau jawa tetap hidup dalam ruang budaya, simbol, dan kisah-kisah lokal. Ia seperti ada dan tiada. Setiap kali mengisahkan sang pemangsa ini, seolah ia masih hidup di belantara terpencil. Membincangkan harimau seperti mencari batas cakrawala: tak pernah usai, dan akhirnya sampai di tempat sama. Itu karena ia satwa yang bermartabat, diselimuti mitos, dengan segudang nama besar lainnya. MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

35

MENGENAL SI LORENG Bila manusia punya sidik jari, harimau punya loreng. Selain untuk penyamaran, pola loreng menjadi identitas setiap individu harimau. Selintas lalu, pola garis seekor harimau nampak mirip dengan individu yang lainnya. Tapi, bahkan pola di sisi kiri dan kanan tubuh tidaklah simetris. Perbedaan pola loreng itu menjadi tanda identitas setiap individu harimau. KARAKTER HARIMAU PENGUASA WILAYAH

Menguasai teritori untuk bertahan hidup dan berkembang biak.

MANGSA

Hidupnya tergantung pada kelimpahan mangsa.

MARTABAT LOKAL Berikut beberapa nama lokal harimau di Sumatra dan Jawa. PULAU JAWA Simbah, kyai, loreng, gembong, maung, lodhaya.

PULAU SUMATRA Rimueng, rimau, imau, datuk, inyiak, ompung, ampang limo.

Tubuhnya berselimut rambut tebal berloreng untuk penyamaran, kehangatan, dan perlindungan. Harimau memiliki dua tipe rambut pelindung luar dan dalam. Rambut luar lebih panjang untuk perlindungan; Rambut dalam bisa memerangkap udara yang menjaga tubuh tetap hangat.

ELUSIF DAN KRIPTIF Warna dan loreng membuat harimau cenderung menghindari manusia dan untuk berkamlufase saat berburu.

WAJAH Salah satu petunjuk untuk membedakan dua individu yang berbeda.

TUBUH Pola loreng di tubuh harimau bercorak beda-beda. Sisi kiri dan kanan asimetris.

KAKI Bila citra kamera memotret sisi depan, pola di kaki menjadi pembeda individu.

JELAJAH LUAS

Hidupnya menjelajah mencari mangsa, istirahat, kawin, dan aktivitas lain.

STATUS HARIMAU Lembaga persatuan konservasi dunia IUCN memasukkan seluruh subspesies harimau dalam daftar terancam punah.

GENTING

Harimau amur

Harimau bengal

Harimau malaya

KRITIS

Harimau indocina

Harimau sumatra

Harimau cina selatan

PUNAH

Harimau bali

Harimau jawa

Harimau kaspia

KEBIJAKAN KONSERVASI HARIMAU UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 13/2014 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kerusakan Hutan serta merupakan salah satu dari 25 spesies prioritas. Lebih spesifik lagi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra 2007-2017, dan menyusul 2018 - 2028. KONVENSI INTERNASIONAL TERKAIT HARIMAU SUMATRA Convention International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), Convention on Biological Diversity (CBD), Convention Concerning the Protection of World Cultural and Natural Heritage (World Heritage Convention-UNESCO), ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985 serta kerjasama bilateral.

PUNGGUNG Bagian ini dapat memberikan petunjuk untuk identifikasi.

EKOR Loreng yang melingkar seperti cincin menjadi penanda identifikasi.

SUMBER: KHOLIS, M., FAISAL, A., WIDODO, F. A., MUSABINE, E. S., HASIHOLAN, W., & KARTIKA, E.C. TANPA TAHUN. PEDOMAN PENANGGULANGAN KONFLIK MANUSIA DAN HARIMAU SUMATERA. DITJEN KSDAE, KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN; SEIDENTICKER, J., CHRISTIE, S., DAN JACKSON, P. 1999. RIDING THE TIGER, TIGER CONSERVATION IN HUMAN-DOMINATED LANDSCAPES. THE ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON, CAMBRIDGE UNIVERSITY PRESS; PHILIP J. NYHUS & RONALD TILSON. 2010. WHERE THE TIGER SURVIVES, BIODIVERSITY THRIVES. KYOTO JOURNAL 75 PP 86-87. HTTP://WWW. KYOTOJOURNAL. ORG/BIODIVERSIT BD_PRINT/86/KJNYHUS-TILSON; SUNARTO, WIDODO, E., & PRIATNA, D. TANPA TAHUN. RAJUT BELANG: PANDUAN PERBAIKAN PRAKTIK PENGELOLAAN PERKEBUNAN SAWIT DAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA. DEPARTEMEN KEHUTANAN, WWF, HARIMAUKITA, ZSL.

PREDATOR ULET Ia jarang mengaum. Namun sekali meraung, gemanya menggetarkan seisi hutan dalam radius 1,5 km. Kekuatan utamanya adalah tenaga, bukan daya berlari jauh dalam waktu lama. Ia tipe pemangsa yang mengintai, mengendap, melompat, lalu menyergap—mematikan— dengan tumpuan kaki pendek nan kokoh.

JAGOAN TAKTIK Ia mengandalkan taktik perburuan individual: bersembunyi, mengendap, mengejar, menyergap tiba-tiba, lalu menuntaskan nyawa mangsanya.

LORENG Semburat garis hitam di sekujur tubuh menyamarkan pemangsa ini dari pindaian mangsa yang ia intai.

Mata pemburu ini berpendar saat gelap. Sebuah mekanisme penerangan dari belakang oleh membran yang memantulkan cahaya melalui retina.

Kumis mystacial di moncong mulut digunakan saat menyerang mangsa dan navigasi dalam kegelapan.

SENSOR KUMIS Harimau punya lima jenis misai sebagai sensor pendeteksi keadaan sekeliling. Letak lima rambut ini tersebar di tubuh harimau. Kumis harimau tebal, kuat, dan lentur, mengakar dalam, dan diselimuti kapsul darah. Darah akan mengaliri akar misai bila bersentuhan dengan sesuatu, yang akan mendorong gerakan si harimau.

Telapak yang tebal dan lebar membuat harimau dapat berjalan senyap saat mengintai mangsa. Cakar-cakarnya terjaga tetap tajam dan bisa meregang keluar-masuk.

Teritori dan daerah jelajah seekor harimau bervariasi tergantung pada jenis kelamin, musim, lokasi, dan kepadatan satwa mangsa. Bila kepadatan satwa mangsa tinggi, wilayah jelajah harimau cenderung sempit.

Harimau membutuhkan 5-6 kg daging setiap hari untuk kelangsungan hidupnya. Ini berarti ia butuh 1.825 sampai 2.190 kg daging setiap tahun. Menu favoritnya: rusa sambar, babi hutan, muncak.

EKOR Ekor untuk keseimbangan dan berperan dalam komunikasi visual. Saat rileks, ekornya menjuntai santai. Perilaku agresif terlihat dari ekor yang bergoyang kirikanan atau kedutan-kedutan intens.

PERILAKU TERITORIAL Setiap individu harimau punya batas wilayah jelajah masing-masing. Luas jelajah harimau berbeda-beda bergantung kerapatan mangsa dan jenis kelamin. Teritori pejantan dewasa biasanya bersinggungan dengan teritori beberapa betina.

SUMBER: KHOLIS, M., FAISAL, A., WIDODO, F. A., MUSABINE, E. S., HASIHOLAN, W., & KARTIKA, E.C. TANPA TAHUN. PEDOMAN PENANGGULANGAN KONFLIK MANUSIA DAN HARIMAU SUMATERA. DITJEN KSDAE, KLHK; SEIDENTICKER, J., CHRISTIE, S., & JACKSON, P (EDITORS). 1999. RIDING THE TIGER, TIGER CONSERVATION IN HUMAN-DOMINATED LANDSCAPES. THE ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON, CAMBRIDGE UNIVERSITY PRESS; PHILIP J. NYHUS & RONALD TILSON. 2010. WHERE THE TIGER SURVIVES, BIODIVERSITY THRIVES. KYOTO JOURNAL 75 PP 86-87. HTTP://WWW. KYOTOJOURNAL.ORG/BIODIVERSIT BD_PRINT/86/KJNYHUSTILSON; SUNARTO, WIDODO, E., & PRIATNA, D. TANPA TAHUN. RAJUT BELANG: PANDUAN PERBAIKAN PRAKTIK PENGELOLAAN PERKEBUNAN SAWIT DAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA . DEPARTEMEN KEHUTANAN, WWF, HARIMAUKITA, ZSL.

FOTO: ASEP ABDULLAH

JASA HARIMAU BAGI PERADABAN KRISIS YANG MELANDA HARIMAU ADALAH TENGARA DARI KRISIS YANG LEBIH LUAS. TERSINGKIRNYA HARIMAU PERTANDA EKOSISTEM SEDANG GOYAH. DENGAN KATA LAIN, MELINDUNGI HARIMAU BERARTI MELINDUNGI HUTAN SEISINYA: KERAGAMAN HAYATI DAN JASA LINGKUNGAN. DI MASA LALU WILAYAH HUNIAN HARIMAU MENJADI HUTAN LARANGAN YANG PANTANG UNTUK DIUSIK. BAHKAN KITAB JAWA KUNO NITI-SASTRA MENYEBUT HARIMAU DAN HUTAN SALING MELINDUNGI. PUSTAKA ABAD KE-15 ITU BERISI PANDANGAN MORALISTIK: HARIMAU AKAN MENINGGALKAN HUTAN YANG DITEBANGI MANUSIA. LANTAS, MANUSIA MENGEJAR HARIMAU YANG TAK BISA LAGI BERSEMBUNYI DI HUTAN. ITU TENGARA MURAM DARI PANDANGAN JAWA KUNO.

PENJAGA KAWASAN SARAT KARBON

Hutan yang menyelimuti lanskap harimau adalah penyimpan cadangan karbon, yang membantu mitigasi perubahan iklim.

PERAWAT BUDAYA

Dalam budaya Bali, Jawa, dan Sumatra, harimau merupakan simbol budaya dan pandangan hidup. Bahkan setelah punah, harimau jawa pun masih menjadi simbol bagi divisi Tentara Nasional Indonesia di Jawa Barat.

PELINDUNG PERADABAN

Melindungi harimau juga berarti menjaga dan merawat ekosistem di wilayah jelajahnya: hidrologi, plasma nutfah bagi obat-obatan, dan pangan.

MENDORONG EKONOMI LOKAL

Dengan melibatkan masyarakat dalam konservasi harimau, terbuka peluang untuk mengembangkan ekonomi lokal melalui skema pembiayaan karbon, perhutanan sosial dan lainnya. Fungsi ekonomi lainnya: harimau membantu pengendalian hama tanaman masyarakat, semisal babi hutan.

Seorang penari putri yang trance merangkak di depan patung harimau saat Ngagah Harimau di tepi Danau Kerinci, Kerinci, Jambi. Ngagah Harimau merupakan tradisi lama yang kemudian dibangkitkan kembali dalam bentuk seni kontemporer. Di masa lalu, tradisi ini bisa dikatakan sebentuk mitigasi konflik harimau dan manusia. Setiap ada harimau mati, entah alami ataupun dibunuh karena memangsa ternak, masyarakat menggelar Ngagah Harimau di rumah adat.

42

FOTO: AGUS PRIJONO

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

BUDAYA

Di Jawa dan Sumatra, harimau disebut dengan penuh hormat: simbah, kyai, datuk, inyiak, sahabat, beliau. Masih banyak sebutan lain, namun pada hakikatnya selalu bernuansa hormat dan gentar. Salah satu tradisi dari masa Jawa klasik yang masih bertahan sampai sekarang adalah memandikan gong Kyai Macan atau Kyai Pradah di Lodoyo, Blitar, Jawa Timur. Setiap Maulud, ribuan orang mencari berkah dari air siraman gong itu. Kawasan Lodoyo, Blitar, dan Kediri adalah sarang harimau yang terkenal dan terbesar pada 1840-an. Hingga 1970-an, masyarakat Lodoyo masih meyakini kepercayaan adanya harimau jelmaan. Kepercayaan ini juga berkembang di Kerinci, Sumatra. Setiap desa di bentang alam Kerinci memiliki tradisi untuk menghormati harimau sumatra. Salah satu tradisi yang dikemas secara kontemporer adalah Ngagah Harimau di Pulau Tengah. Dahulu, tradisi ini untuk menyantuni harimau yang mati. Istilah lokalnya, bayar bangun. Mata diganti mata, kulit diganti kulit, cakar diganti cakar. Di masa lalu, setiap ada harimau mati—entah karena konflik ataupun alami, warga mengaraknya dengan tari dan silat keliling desa. Pemangku adat lantas menyeru penunggu pematang di tujuh bukit, tujuh jurang, tujuh pematang untuk turut menyaksikan ngagah harimau. Setelah disantuni, manusia dan harimau kembali harmonis demi kenyamanan anak-cucu. Perhelatan Ngagah Harimau yang terakhir digelar pada 1960-an, dan semenjak itu Pulau Tengah tak lagi pernah menghelat tradisi adat itu. Kini sudah tidak ada lagi harimau. Sirna hutan, sirna harimau, sirna pula adat istiadat. MORAL

Harimau menjadi inspirasi etika sosial masyarakat di pedalaman Jawa dan Sumatra. Di masa Jawa klasik misalnya, tempat-tempat yang dihuni harimau disebut angker, keramat, dan biasanya menjadi hutan larangan. Dalam ritual adu harimau dan banteng, harimau dianggap mewakili Belanda dan banteng mewakili Jawa. Sebagai simbol Belanda, harimau mewakili citra kekacauan dari pihak asing yang mengancam tatanan Jawa. Dalam pertarungan itu, raja berharap harimau kalah, sebagai tanda tunduknya kekacauan dari kekuatan pemberi hidup— diwakili kerbau, hewan pertanian Jawa. Artinya, adu macan dan banteng dipandang sebagai upaya menjaga keseimbangan kosmik antara yang baik dan yang jahat. Tak heran, dalam ritual itu sang raja menginginkan banteng atau kerbau keluar sebagai pemenang. MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

43

Secara sosial, harimau dijadikan kekuatan moral bagi masyarakat Jawa dan Sumatra sebagai sebentuk ‘hukuman’ bagi pelanggar etika, seperti hubungan asmara terlarang, menebang kayu di hutan larangan, ataupun melanggar tabu. Dengan kata lain, harimau sebagai mekanisme kendali sosial untuk ‘menghukum’ pengganggu tatanan sosial. Di sejumlah tempat di Sumatra, terutama di wilayah dengan pengaruh adat Minangkabau, harimau yang berkeliaran di pemukiman sebagai isyarat ada orang yang melanggar etika sosial. Di pedalaman Aceh, pada abad lampau, bila setelah kematian seseorang berubah menjadi harimau, almarhum diyakini sebagai orang yang berdosa. Sementara itu, di wilayah Batak Simalungun, ada kepercayaan: orang tua yang menjalani kehidupan asketik bisa menghilang, lalu berubah menjadi harimau, gajah, dan ular. Di wilayah Batak lainnya, ada keyakinan bahwa setelah kematiannya, orang yang jahat akan berubah menjadi harimau. Selain itu, ada kepercayaan, orang yang dimangsa harimau dinilai melanggar adat.

Tiga bersaudara yang 'bersahabat dengan harimau' sedang menggelar ritual di pedalaman Kerinci. Orang-orang berkemampuan spiritual seperti mereka dapat dijumpai di pelosok Kerinci, Sungai Penuh, Jambi.

SUPRANATURAL

Di wilayah Jawa bagian barat hingga kini masih ada mitos tentang harimau putih. Tokoh besar Jawa bagian barat, Raja Siliwangi selalu dikaitkan dengan harimau putih, yang menegaskan sisi supranatural harimau. Macan putih juga dikaitkan dengan dua kerajaan Hindu di Kediri dan Blambangan (Banyuwangi), Jawa Timur. FOTO: AGUS PRIJONO

44

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

DI MASA JAWA KLASIK, TEMPAT YANG DIHUNI HARIMAU DISEBUT ANGKER, KERAMAT, DAN BIASANYA MENJADI HUTAN LARANGAN. Tidak heran, Blambangan di ujung timur Jawa, utamanya Taman Nasional Alas Purwo, dan habitat terakhir harimau jawa: Taman Nasional Meru Betiri, masih menjadi pusat spiritual tradisional Jawa hingga kini. Sebaliknya, di ujung barat Jawa, kini Taman Nasional Ujung Kulon, juga menjadi jantung spiritual yang berkaitan dengan harimau. Hingga awal abad ke-20, Ujung Kulon masih dipandang sebagai wilayah harimau. Pada abad lalu, di wilayah Priangan, ada imbauan yang melarang masyarakat melakukan perjalanan ke gunung selama bulan Maulud. Karena saat itulah harimau di Ujung Kulon berganti tempat dengan harimau di Lodoyo, Blitar, Jawa Timur. (Ini bersamaan dengan tradisi Maulud di Lodoyo: memandikan gong Kyai Pradah. Dalam bahasa Sunda, kata lodaya juga berarti maung atau harimau). Ada kebiasaan di sebagian Sumatra dan Jawa, harimau dipandang sebagai penjaga makam-makam keramat. Kepercayaan ini banyak dijumpai di Aceh, yang meyakini kuburan orang suci memiliki penjaga harimau. Sebagian orang memercayai harimau penjaga sebagai roh almarhum, sebagian yang lain mengira harimau kiriman Tuhan. Orang-orang spesial dengan kemampuan supranatural punya hubungan gaib dengan arwah harimau. Seperti di Kerinci, Jambi, Sumatra, tempat hewan ini masih eksis, terdapat kepercayaan bahwa harimau ‘gaib’ adalah leluhur dan sahabat yang bisa dipanggil dengan perantara orang-orang spesial. Melalui mereka, harimau gaib dapat memberikan bantuan kepada seseorang untuk menyelesaikan kesulitan hidup. Manusia penghubung ini nampaknya lebih tepat disebut syaman atau dukun, yang menjadi perantara antara arwah harimau dengan manusia. Selama kurun 1830-an dan 1940-an, di Jawa dikenal fenomena seperti di Kerinci, yang disebut sima leluhur. Setelah dekade pertama abad ke-20 istilah itu semakin langka mengingat harimau telah menghilang dari sebagian besar wilayah Jawa. Namun demikian, keyakinan ini belum hilang sama sekali, utamanya di pelosok Jawa. Harimau sebagai leluhur juga disebutkan di Bali akhir abad ke-19. Karena itu, orang Bali takut membunuh harimau lantaran khawatir mungkin yang dibunuh adalah leluhurnya. MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

45

PELINDUNG DESA

Masyarakat Sumatra dan Jawa meyakini adanya harimau penunggu desa. Pada masa abad ke-18, di Cirebon sampai Priangan, dikenal macan bumi yang dipercaya melindungi desa dari gangguan harimau liar. Di Yogyakarta, macan bumi dianggap harimau yang lahir di sekitar desa, atau setidaknya sudah ada di sekitar desa. Penduduk menghormati macan bumi, tidak ada yang ingin menangkap, apalagi membunuh, karena tidak membahayakan orang dan ternak. Macan bumi melindungi desa, dan mencegah harimau asing masuk ke desa. Di wilayah Besuki, dekat habitat terakhir harimau jawa di Meru Betiri, penduduk mengenal keberadaan harimau 'baik' yang tinggal di lingkungan desa. Harimau baik diyakini tidak pernah memangsa ternak penduduk. Kepercayaan serupa juga berkembang di Sumatra, yang disebut harimau tanjung ataupun harimau pematang. Penutur lokal umumnya menggambarkan harimau pelindung berupa macan kumbang berwarna hitam, dengan seuntai garis putih di dada. Apapun itu, alam bawah sadar masyarakat sebenarnya memendam nilai budaya terkait dengan interaksi manusia dengan harimau. Citra budaya ini dikisahkan turun-temurun, dan membentuk pandangan hidup. Harimau penunggu diyakini tidak akan mengganggu manusia, dan menjaga ketentraman desa. Kalaupun ada yang menggangu, biasanya dipandang sebagai perbuatan harimau liar dari luar wilayah desa. BIOLOGI

Harimau adalah pemangsa di puncak piramida makanan. Karena itu, ia mengendalikan populasi mangsa yang ada di rangkaian rantai makanan di bawahnya. Kehadiran harimau menandakan rantai makanan berputar: dari produsen (tumbuhan) – herbivor (konsumen 1) – karnivor (konsumen 2) - dekomposer (pengurai). Dengan demikian, adanya harimau menandai kesehatan ekosistem. Sebagai pemangsa, ia terampil berburu secara individual. Ia tipe pemangsa seperti penembak jitu: mengintai, mengendap, lalu menyergap dengan bertumpu pada kaki pendek yang kokoh. Kekuatan utamanya terletak pada tenaga, bukan daya berlari jauh dalam waktu lama. Semburat lorengnya menyamarkan harimau saat mengintai mangsa di antara rimbunnya tumbuhan. Tubuh harimau penuh dengan fitur-fitur mematikan: siungnya disangga rahang kokoh yang mampu meremukkan tulang, cakarnya bisa meregang sampai beberapa sentimeter. Matanya berpendar saat gelap: mekanisme penerangan dari belakang lensa oleh membran yang memantulkan cahaya melalui retina. 46

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

KONSERVASI Patung harimau, yang nampak komikal, di seputaran Titik Nol Yogyakarta. Sejak punah, masyarakat Jawa mengenal harimau hanya dari patung, lukisan dan perabot lain.

Reputasinya sebagai pemangsa dengan daerah jelajah yang luas membuat satwa ini pantas menjadi ikon konservasi. Dalam konservasi, harimau menyandang gelar flagship species: hewan yang dapat menarik kepedulian masyarakat untuk mendukung upaya pelestarian alam. Ia juga spesies payung, umbrella species. Artinya, melestarikan harimau juga berarti memayungi dan melindungi florafauna di wilayah jelajahnya. Di sisi lain, karisma tersebut menegaskan konservasi harimau membutuhkan kontribusi banyak pihak. Umumnya, daerah jelajah harimau juga mencakup kawasan hutan di luar kawasan konservasi. Bahkan, kawasan lindung yang ada saat ini tak cukup memadai untuk mendukung keberlangsungan hidup harimau dalam jangka panjang. Jadi, selain pengelolaan kawasan hutan yang efektif, konservasi harimau perlu peran aktif para pihak yang bekerja di kawasan nonhutan, seperti perkebunan dan hutan tanaman yang menjadi habitat satwa ini. Demikian juga, peran masyarakat yang menjadi pengelola kawasan hutan dalam skema perhutanan sosial. Ini mengingat wilayah hutan sosial dapat menjadi kawasan penyangga habitat harimau, karena lokasinya biasanya dekat dengan habitat harimau. Bergabungnya para pihak tersebut dapat menambah habitat dan jalur koridor bagi harimau. Pada saat yang sama, sinergi para pihak akan memudahkan mitigasi konflik: mengurangi potensi, mencegah, dan menangani konflik antara harimau dan manusia. ***

FOTO: DWI OBLO

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

47

KADATON SIMA* KERAJAAN HARIMAU R. Kartawibawa, 1925

TAK SEDIKIT DUSUN YANG MEMILIKI BENTUWAH: HARIMAU PENJAGA DUSUN, YANG MUNCUL PADA HARIHARI BAIK.

* Cuplikan penuturan R. Kartawibawa dalam Bakda Mawi Rampog, terbitan Bale Pestaka, 1925.

48

Sepengetahuan saya, kawasan yang disebut kerajaan harimau atau kadaton sima adalah Lodoyo, Blitar bagian selatan; Gadungan, di Pare, Kediri; Keduwang, Wonogiri; dan Cilacap. Di mana pun, hutan memang ada harimaunya, tapi tidak berkeliaran banyak seperti di tempat-tempat tersebut. Harimau di daerah itu besar-besar, ibaratnya: jejakjejaknya sebesar piring. Semakin ramai daerahnya, semakin habis hutannya, habis pula harimaunya. Menurut penuturan orang-orang tua, harimau memiliki ratu. Ratunya: siluman harimau putih. Punggawanya adalah harimau yang besar, yang juga siluman, tapi dapat dipanggil dan dilihat, asal mengerti syarat dan cara mengundangnya. Harimau gadungan ini diyakini berasal dari orang sakti yang bisa berubah menjadi harimau. Ada kisahnya, tapi saya lupa. Bapak saya bercerita, orang-orang di Dusun Gadungan bisa berubah menjadi harimau. Bila menjaga ladang atau menempuh perjalanan pada malam hari, mereka berubah menjadi harimau Sementara itu, hutan belantara memang berisi harimau hewan sebenar-benarnya. Hanya saja, lantaran dibilang ada yang memelihara, kalau ke hutan sebaiknya meminta izin kepada sang penunggu hutan. Menurut saya, hal itu hanya kepercayaan orang dusun semata. Ketika hutan masih lebat, permukiman masih jarang-jarang, harimau banyak berkeliaran—seperti anjing kampung. Kadang harimau menunggui orang kondangan, ataupun orang yang berjualan pada malam hari. Memang, tidak sedikit dusun yang memiliki bentuwah: harimau penjaga dusun, yang muncul pada saat hari-hari baik, serta tidak mau mengganggu orang dan ternak. Saking banyaknya harimau, orang dusun tidak punya rasa takut. Kalau pun orang dimangsa harimau, ya, dipandang apes saja. Tidak seperti zaman sekarang, orang dimangsa harimau kok dianggap mengejutkan dan bikin geger.

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Inilah satu dari dua spesimen harimau jawa yang tersimpan di Museum Zoologi Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sejak punah, museum tak bisa lagi menambah koleksi spesimen harimau jawa. Spesimen tahun 1940 ini berasal dari Blitar, Jawa Timur. Blitar selatan masih dikenal sebagai sarang harimau yang terakhir hingga awal abad ke-20. FOTO: AGUS PRIJONO SEIZIN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

49

Citra harimau yang tertatah di wayang Jawa di Yogyakarta. Kesenian dan budaya memberikan ruang bagi harimau, yang telah punah di Jawa, untuk tetap 'hidup' dalam kenangan khalayak. FOTO: DWI OBLO

50

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

51

Citra kobaran api dan seringai raksasa yang terpahat di sisi belakang gunungan wayang Jawa. Posisi gunungan yang menampilkan citra ini sebagai penggambaran zaman kisruh, kehidupan sedang goyah. FOTO: DWI OBLO

52

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

BAGIAN DUA

N U S A N TA R A H A R I M A U

YANG SILAM, YANG KELAM

YANG SILAM, YANG KELAM

53

PENGANTAR

DUA SIRNA, SATU TERSISA

Indonesia satu-satunya negara kepulauan yang dihuni harimau.

Hingga 1980-an, tiga subspesies harimau menguasai tiga pulau: Bali, Jawa, dan Sumatra. Sayangnya, pada 1940-an harimau bali punah, yang lantas disusul harimau jawa pada 1980-an. Jarak dua kepunahan pemangsa kelas atas yang tak sampai setengah abad adalah kehilangan besar bagi Nusantara. Kepunahan itu bermula dari ujung timur menuju barat. Kini, pulau paling barat, Sumatra, menjadi benteng terakhir bagi satwa pemangsa ini. Sumatra adalah pertaruhan terakhir dalam melestarikan harimau di bumi Nusantara. Dua gelombang kepunahan telah menyapu habis populasi harimau bali dan harimau jawa. Ironisnya, Jawa dan Bali seakan tidak meratapi sirnanya si harimau. Kini, disadari atau tidak, alam bawah sadar Jawa memendam kerinduan akan harimau. Kerinduan ini manusiawi, yang menyiratkan bahwa kepunahan barangkali pantas diratapi. Kerinduan itu tersirat dari kehebohan setiap ada kabar perjumpaan harimau jawa. Selain itu, banyaknya patung satwa ini di berbagai sudut desa dan kota bisa jadi juga sebentuk kerinduan yang lain. Tengara zaman apakah ini? Bila pun kepunahan dirasakan sebagai tengara runtuhnya kemanusiaan, adakah satu atau dua generasi merasakan kehilangan? Apalagi kepunahan dua harimau kepulauan itu benar-benar karena perilaku gegabah manusia. Nasib harimau jawa dan harimau bali menunjukkan betapa manusia telah bertindak bagaikan Tuhan: menentukan satu spesies beranak-pinak, sambil membinasakan spesies yang lain. Agak sulit menerka bahwa sirnanya harimau meninggalkan pelajaran pahit. Buktinya, kebanyakan orang lebih menyukai satwa ini hadir dalam bentuk perabot: patung, hiasan, lukisan. Ada juga jimat dari kuku, taring, kulit, ataupun kumis harimau. Yang lebih kejam, mereka yang

Citra lukisan orangorang Eropa yang berpesta perburuan di wilayah Priangan, Jawa bagian barat.

ingin tuah kewibawaan, tega memajang patung harimau. Ironisnya, wujudnya pun sering tidak elok: tubuh melar kegemukan, seringai komikal, dengan sepasang mata redup. Dengan demikian, harimau jawa dan harimau bali adalah ikon kepunahan Indonesia: tiga pulau, tiga subspesies harimau, dua kehilangan. Punahnya harimau bali dan harimau jawa yang hanya berselang 40 tahun menunjukkan kiamat harimau begitu nyata di depan mata. Pertanyaannya: adakah harimau punya sejarah seperti halnya manusia? Merunut kembali kisah hidup dua harimau pulau ini penting untuk memetik hikmah dalam menyelamatkan harimau sumatra. Hidup memang semakin sulit bagi harimau sumatra. Kucing besar ini menghadapi berbagai ancaman. Ada ancaman utama yang kerap disebut 'empat mala': penggundulan hutan, perburuan, konflik dengan manusia, dan alih fungsi lahan. Empat mala ini pernah mendera harimau bali dan harimau jawa. Hasilnya? Siapa pun tahu: mereka punah. Kini, tinggal satu subspesies tersisa dengan sekali kesempatan final untuk melestarikan sang raja hutan. Satu lagi tragedi, harimau akan punah selamanya dari bumi Nusantara. Sekali lagi lengah, harimau tuntas punah. Tak bisa dibayangkan betapa Nusantara harimau tanpa harimau.

FOTO: REPRO ‘KLAMBOES, KLEWANGS, KLAPPERBOMEN’

YANG SILAM, YANG KELAM

55

YANG SILAM, YANG KELAM

HARIMAU BALI

MUSNAH DI UJUNG BEDIL PEMBURU

Pemangsa terkecil dari semua ras tigris ini tidak banyak dikenal sains. Tidak mengherankan, nasib harimau bali bisa dibilang amat tragis. Karena itu pula, tidak ada banyak informasi tentang harimau bali. Pada 1830, daerah pegunungan Pulau Bali dikenal sebagai wilayah hunian harimau. Begitu juga daerah Jembrana, pegunungan Buleleng, dan Tabanan merupakan daerah jelajah harimau. Kedua daerah tersebut tercakup dalam wilayah bagian barat Bali. Sekitar satu dekade kemudian, ahli botani Swiss H. Zollinger menemukan harimau mendiami pegunungan Bangli, Bali bagian timur. Catatan-catatan itu menegaskan harimau pernah tersebar di seluruh bagian utara Bali. Kendati sampai 1881, dilaporkan masih ditemukan di sekitar Bangli, namun sejak 1860-an harimau bali semakin jarang. Selama dekade terakhir keberadaannya, sebaran harimau terbatas di ujung barat pulau. Salah satu penyebab punahnya harimau bali adalah pembangunan wilayah ini pada zaman kolonial. Pembangunan lahan pertanian dan infrastruktur jalan telah dimulai pada akhir 1800-an dan awal 1900an, yang berkontribusi mengubah ekosistem Bali. Jalan-jalan utama sudah dikembangkan pada 1935 yang memecah-belah hutan habitat harimau. Infrastruktur jalan terutama untuk menghubungkan sisi barat dan timur pulau yang dikenal sulit untuk ditembus. Namun, perburuan untuk rekreasi menjadi penyebab utama yang mengakhiri harimau bali. Selama 1920 - 1930-an, para pemburu mengejar harimau bali tanpa pandang bulu. Perburuan juga menyasar satwa mangsa, yang mempengaruhi persediaan pakan harimau. Padahal, selama masa pergantian abad ke-19 menuju abad ke20, Bali Barat masih dipandang sebagai wilayah harimau. Sampai 1930-an, kawasan yang kini menjadi taman nasional ini dikenal

Satu-satunya spesimen harimau bali di Museum Zoologi Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang menjadi bukti otentik hewan ini memang pernah menghuni Pulau Bali.

sebagai daerah jelajah harimau yang membuat orang berpikir dua kali untuk melewati jalan yang menembus hutan Bali Barat. (Kini, jalan itu menjadi jalur utama dari Gilimanuk ke daerah lain di Pulau Bali. Jalan lebar dan beraspal mulus itu membelah Taman Nasional Bali Barat). Wilayah di tepi barat Bali ini menjadi tempat berburu harimau yang populer bagi orang Eropa. Pada masa 1935, perburuan dengan senjata api begitu intensif, sehingga beberapa ahli menduga harimau bali bakal punah dalam beberapa tahun. Pada paruh pertama 1936, pemburu membunuh lima harimau bali, dan pada 1937, seekor harimau betina dewasa dibunuh di Sumber Kima, Bali Barat. Selama kurun 1933 sampai 1937, 14 harimau meregang nyawa di ujung bedil pemburu. Kendati populasinya telah banyak berkurang, setelah itu masih ada saja laporan enam harimau di dataran rendah, dan mungkin lebih banyak di pegunungan. Beberapa catatan menyimpulkan 1937 merupakan tahun terakhir bagi harimau bali. Bisa jadi, tahun kepunahan ras ini terjadi pada 1942, dan pasti punah sekitar 1955. Upaya melindungi harimau bali mulai terlihat pada 1947, saat dewan raja-raja Bali melindungi hutan Banyuwedang sebagai suaka perlindungan satwa, yang menjadi cikal bakal Taman Nasional Bali Barat. Sampai 1970-an masih terdengar kabar ihwal perjumpaan dengan harimau bali. ***

FOTO: AGUS PRIJONO SEIZIN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

YANG SILAM, YANG KELAM

57

KECIL NAN RENTAN Pulau Bali adalah contoh nyata bahwa flora dan fauna di pulau kecil sangat rentan mengalami kepunahan. Apalagi satwa pemangsa seperti harimau yang butuh mangsa dan wilayah jelajah luas. Tak heran, hanya dalam hitungan belasan tahun semenjak dikenal sains, ia sirna dari muka Bumi. Pembangunan lahan pertanian dan infrastruktur jalan telah dimulai pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, yang mengubah bentang alam Bali. Jalan-jalan utama sudah dikembangkan pada 1935, dan memecah-belah habitat hutan harimau. Infrastruktur jalan terutama untuk menghubungkan sisi barat dan timur pulau yang dikenal sulit ditembus dan dilalui di masa lalu.

TAMAN NASIONAL BALI BARAT Wilayah tepi barat ini menjadi lokasi perburuan harimau, rusa dan satwa lain bagi orang Eropa. Pada 1935, perburuan dengan senjata api begitu intensif sehingga beberapa ahli menduga harimau bali bakal punah dalam beberapa tahun.

Negara

SURGA PERBURUAN

Sudah semenjak 1906, Bali menjadi tempat favorit bagi para pemburu yang tertarik dengan pegunungan yang sunyi, penuh rusa dan harimau. Banyak pemburu melakukan perjalanan tahunan ke pulau ini. Seperti pembuat bom E. Munaut dari Surabaya, yang membunuh 20 harimau bali pada 1913. Atau, Ledeboer bersaudara, dari Jawa Timur, yang menembak 11 harimau bali sebelum tahun 1915.

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: ASHRAF, MOHAMMED. 2006. THE EXTIRPATION OF BALI AND JAVAN TIGER: LESSONS FROM THE PAST . TIGER PAPER, JULY-SEPTEMBER 2006, REGIONAL QUARTERLY BULLETIN ON WILDLIFE AND NATIONAL PARKS MANAGEMENT. DIUNDUH DI HTTPS://WORKS.BEPRESS.COM/BIOCENTRISM/12/; BOOMGARD, PETER. 2001. FRONTIERS OF FEAR, TIGERS AND PEOPLE IN THE MALAY WORLD, 1600 - 1950 . YALE UNIVERSITY; WHITTEN, T., SOERIAATMADJA, R. E., & AFIFF, S. A. 1999. EKOLOGI JAWA DAN BALI . EDITOR SERI: S. N. KARTIKASARI. PRENHALLINDO, JAKARTA.

SEBELUM PUNAH PADA 1940-AN, BERAPA KIRA-KIRA POPULASI HARIMAU BALI? Jika bisa diterima asumsi kepadatan rata-rata di hutan dataran rendah bagi seekor harimau adalah 15 km persegi, dan sekalipun seluruh Bali adalah habitat harimau, maka hanya ada 110 ekor harimau bali dewasa pada satu waktu yang bersamaan.

Singaraja

Pada 1840-an ahli botani Swiss H. Zollinger mencatat harimau mendiami pegunungan Bangli. Catatan ini menegaskan harimau pernah tersebar di sisi timur Bali. Bangli

Tabanan

Gianyar

Amlapura

Semarapura

Badung

DENPASAR

TAMAN NASIONAL

TUTUPAN HUTAN 2014

JALAN ARTERI

KILOMETER

0

9

18

YANG SILAM, YANG KELAM

H A R I M A U J A WA

TERLAMBAT DI TIKUNGAN TERAKHIR

Kendati sedikit berumur lebih panjang, harimau jawa akhirnya menyusul harimau bali. Harimau jawa mungkin telah punah pada medio 1970-an, yang lalu dinyatakan punah pada 1980-an. Artinya, hanya dalam kurun 40 tahun, dua ras harimau punah secara berurutan: harimau bali pada 1940-an dan harimau jawa pada 1980an. Sebelum tersudut di habitat terakhirnya, di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, si raja hutan tersebar luas di Pulau Jawa. Dari ujung barat sampai timur, pemangsa ini menguasai wilayahwilayah liar. Wilayah Jawa bagian barat, Banten dan Priangan, disebut sebagai sarang harimau sepanjang abad ke 19. Ke arah Jawa bagian tengah, di wilayah Weleri, antara Pekalongan dan Semarang, yang dilalui jalan pos, dikenal sebagai kawasan kekuasaan harimau. Selain aumannya kerap terdengar, kadang-kadang harimau juga menunjukkan diri di jalan. Hanya saja, pada 1850-an, populasi harimau di kawasan itu menurun lantaran penebangan hutan. Cerita serupa juga ada di bentang jalan antara Surakarta dan Ngawi, di perbatasan Jawa bagian tengah dan timur. Semakin ke timur, wilayah Blitar dikenal sebagai sarang harimau terluas pada 1840-an. Kawasan ini masih diselimuti belantara yang belum banyak tersentuh manusia sampai 1860-an. Namun, dalam dasawarsa selanjutnya, pemerintah kolonial memegang kendali atas eksploitasi hutan jati dan pembukaan lahan budidaya di kawasan ini. Di selatan Blitar, terdapat hutan Lodoyo yang diduga memiliki kepadatan harimau tertinggi. Hingga kini, setiap Maulud, masyarakat adat Lodoyo, yang memercayai harimau jejadian, menggelar tradisi mencuci gong Kyai Pradah atau Kyai Macan. Sampai 1906, Blitar menjadi tempat terakhir perhelatan rampogan macan. Rampogan macan adalah tradisi pengepungan harimau dan macan tutul di alun-alun saat menjelang hari raya Idul Fitri. Kira-kira 60

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Inilah citra terakhir harimau jawa yang diabadikan Andries Hoogerwerf di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, pada 1938. Sejak itu, tak ada foto harimau jawa di alam liar.

sejak abad ke-17, alun-alun istana Jawa bagian tengah-selatan menjadi palagan rampogan macan dan adu harimau versus kerbau. Ada pesan dalam ritual ini: harimau sebagai simbol penjajah Belanda, dan kerbau adalah simbol manusia Jawa. Untuk keperluan ritual tersebut, raja Jawa biasanya memiliki kandang berisi harimau. Dalam perhelatan tersebut, khalayak berharap kerbau menjadi pemenang. Tak perlu heran, bila harimau di atas angin, sang raja bisa saja mendadak menghentikan pertarungan. Bahkan, pada zaman Amangkurat III, harimau menjadi eksekutor hukuman bagi Pangeran Puger bersama sejumlah keluarga yang dianggap bersalah di Kartasura. Semakin ke timur, memasuki wilayah yang belum banyak dikenal hingga abad ke-19: Pasuruan, Probolinggo, Besuki, dan Banyuwangi. Kendati wilayah pesisir cukup padat pemukiman, pedalaman wilayah ini sebagian besar masih tertutup hutan. Satu lokasi yang bereputasi sebagai sarang harimau adalah Klakah, yang berada di bentangan jalan antara Probolinggo - Lumajang. Kawasan liar yang cukup terkenal adalah Gunung Baluran dan sekitarnya—kini taman nasional. Gunung Baluran yang berhutan lebat menjadi tempat favorit bagi harimau dan pemburu sampai akhir periode kolonial. Di sisi selatan Besuki dan Banyuwangi—yang terlambat dikuasai pemerintah kolonial—terdapat Taman Nasional Meru Betiri yang menjadi tanah terakhir harimau jawa.

FOTO: REPRO ‘EKOLOGI JAWA DAN BALI”

YANG SILAM, YANG KELAM

61

Jejak-jejak cakaran harimau jawa di sebatang pohon di wilayah Sindangbarang, Jawa Barat. Kemungkinan foto ini diambil di kawasan Cianjur selatan.

Daerah yang dikenal sebagai sarang harimau tersebut umumnya berada di sepanjang jalan raya dan jalur kereta api. Sementara itu, daerah-daerah terpencil masih jarang dikunjungi sehingga catatan tentang harimau nyaris tidak ada. Misalnya saja, Blitar selatan di Jawa bagian timur. Daerah ini masih dikenal sebagai wilayah harimau sampai 1840-an karena belum tersentuh jalur kereta api. Blitar selatan baru dibuka pada 1860, dan perkebunan tembakau mulai berkembang pada 1900. Kendati tak berhasil, perkebunan tembakau telah membuka tutupan hutan. Lahan bekas perkebunan tembakau ini lantas dijadikan hutan jati oleh otoritas kehutanan Belanda. Selama masa kolonial, untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian, pemerintah membuka lahan-lahan baru yang subur. Ekspansi perkebunan diiringi dengan pembukaan jalan, rel kereta api dan migrasi tenaga kerja ke daerah terpencil. Perlahan-lahan, hal itu menyebabkan berkurangnya habitat, dan populasi harimau terkurung di kantong-kantong hutan. Sementara itu, berdirinya Himpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda (NIVN) pada 1912 belum menyentuh upaya pelestarian harimau. Ringkasnya, sejak masa awal kolonial abad ke-17, kompeni dan kerajaan Jawa telah mendorong penangkapan harimau melalui FOTO: REPRO ‘EKOLOGI JAWA DAN BALI’

62

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

sistem imbalan dan ritual istana. Kemudian, jumlah harimau yang sudah berkurang drastis diperburuk dengan menyusutnya habitat dan perburuan. Sampai 1960-an, harimau hanya tercatat di dua kawasan konservasi: Ujung Kulon, Banten, dan Meru Betiri, Jawa Timur. Sayangnya, pada 1970, harimau tidak lagi terlihat di Ujung Kulon, dan populasi hanya tersisa di Meru Betiri. Selama kurun 1960-1970-an, jagawana masih melaporkan perjumpaan dan insiden konflik dengan harimau jawa di sejumlah tempat yang tercakup di lanskap Ijen, Raung, Marapi— dekat Meru Betiri. Sekitar 1980, tim pakar dan pemerintah menyusun rencana pengelolaan Meru Betiri untuk menyelamatkan harimau. Tim sempat melakukan survei, dan menemukan tanda keberadaan harimau. Hasilnya, tim menduga hanya tiga hingga lima harimau dewasa yang diyakini hidup di Meru Betiri. Jadi, berbekal segelintir populasi itulah tim menyusun rencana pengelolaan Meru Betiri. Lalu pada 1979, penampakan harimau dilaporkan dari sekitar Gunung Slamet, di perbatasan Jawa bagian barat dan tengah. Pada 1987, sebuah tim menemukan jejak, goresan, dan kotoran harimau di Meru Betiri. Tim lain coba mencari sang harimau pada 1990 dan hanya menemukan jejaknya. Semenjak itu, ada sejumlah kabar ihwal harimau jawa. Pada 1994 misalnya, harimau dilaporkan di Banyuwangi, tak jauh dari Meru Betiri. Menurut surat kabar pada tahun itu, harimau dipercaya masih ada di ujung timur Jawa. Penemuan lain yang diduga harimau jawa dilaporkan dari Gunung Kidul, selatan Yogyakarta, pada 1999. Hanya saja, laporan tersebut, dan laporan setelahnya, tanpa pembuktian lebih lanjut—semisal bukti dengan kamera jebak. Hingga kini, sejumlah pihak memandang harimau masih hidup di pedalaman Jawa. Kendati sulit dibuktikan di alam nyata, harimau jawa justru 'hidup' dalam kisah dan ruang ingatan penutur lokal. Namun perlu diingat, banyak orang kerap tak bisa membedakan harimau loreng dengan macan tutul. Seandainya harimau masih hidup, peluangnya teramat kecil, dan butuh pembuktian dalam waktu lama. Bahkan pada 2018, beredar foto kabur bersosok harimau dari Taman Nasional Ujung Kulon, yang lalu terbukti ternyata macan tutul. Namun, foto itu telah mendorong sejumlah pemerhati menggelar ekspedisi untuk membuktikan keberadaan harimau jawa. Mengingat hampir setiap jengkal Jawa telah tersentuh manusia, bukankah lebih mudah membuktikan harimau jawa masih ada ketimbang ia telah punah? Bila pun masih ada populasinya, seberapa siap negeri ini melestarikan sang harimau di pulau terpadat ini? *** YANG SILAM, YANG KELAM

63

PENGUASA JAWA YANG SIRNA Sungguh tak mudah menentukan waktu punahnya harimau jawa yang diselimuti kepercayaan spiritual, karena orang punya kesan mendalam terhadapnya. Tak heran, kadang-kadang ada saja laporan perjumpaan harimau tunggal di wilayah terpencil di media sosial. Tetapi, biasanya itu macan tutul yang lebih mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang telah berubah. Punahnya harimau jawa merangsang sebagian orang untuk terus membuktikan ia belum punah. Sampai saat ini, setiap ada laporan baru, pemerhati terus berupaya membuktikan satwa penguasa Jawa ini belum punah.

IBUKOTA HARIMAU

Sejak mendirikan pos dagang pada abad ke-17, konflik harimau-manusia telah pecah di Batavia. Ibukota negara ini dahulunya wilayah jelajah harimau jawa.

DKI JAKARTA

SERANG

BANTEN Ujung Kulon 1940

Gunung Halimun 1970

Subang 1940

Cibadak 1940

BANDUNG

J AWA B A R AT

Gunung Tampomas 1940 Banyumas 1940

Gunung Malabar Garut 1940 Gunung Gelap 1970

HARI-HARI TERAKHIR Sejumlah catatan pada 1940-an menunjukkan sebaran tahun-tahun terakhir harimau jawa. Setelah tahun itu, catatan lebih bersifat dugaan tanpa pembuktian lebih lanjut. Pada 2000, pemerhati merilis sebaran harimau jawa hasil penelitian di sejumlah wilayah yang belum tercantum pada peta yang dibuat pada 1980-an. Meski begitu, berbagai usaha itu lebih banyak meninggalkan pertanyaan ketimbang kepastian. Satu hal yang pasti: Taman Nasional Meru Betiri, di sudut selatan Jawa Timur adalah habitat terakhir harimau jawa.

Leuwueng Sancang 1940

SEBARAN HARIMAU JAWA Catatan 1940 Catatan 1970, tanpa konfirmasi Catatan dirilis pada 2000 Meru Betiri 1970

64

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

KILOMETER

0

64

134

Boja 1940

SEMARANG SURABAYA

J AWA T E N G A H Surakarta

Baluran

Kediri

J AWA T I M U R

DI YOGYAKARTA

Gunung Kidul 1940

Blitar Banyuwangi 1940

MERU BETIRI 1970

Presiden Soeharto menegaskan perlindungan harimau jawa, namun tak ada tindakan nyata di lapangan. Untuk melindungi harimau jawa, pemerintah mesti merelokasi sekira 5.000 pekerja perkebunan teh di batas taman nasional. Faktanya, tak ada aksi di lapangan, dan upaya penyelamatan sekadar untuk menunjukkan niat baik.

Alas Purwo

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: RAHARYONO, D., & PARIPURNO, E. T. 2001. BERKAWAN HARIMAU BERSAMA ALAM. YAYASAN KAPPALA INDONESIA, THE GIBBON FOUNDATION, PUSAT INFORMASI LINGKUNGAN INDONESIA – JARINGAN PROGRAM PERGERAKAN LSM, BOGOR; SEIDENSTICKER, J., & SUYONO. 1980. THE JAVAN TIGER AND MERU BETIRI RESERVE: A PLAN FOR MANAGEMENT. WORLD WIDE FUND, INTERNATIONAL UNION FOR CONSERVATION OF NATURE AND NATURAL RESOURCES, DIREKTORAT PERLINDUNGAN DAN PENGAWETAN ALAM; WHITTEN, T., SOERIAATMADJA, R. E., & AFIFF, S. A. 1999. EKOLOGI JAWA DAN BALI . EDITOR SERI: S. N. KARTIKASARI. PRENHALLINDO, JAKARTA.

YANG SILAM, YANG KELAM

65

SIMA AMBABAL HARIMAU LOLOS DARI RAMPOGAN R. Kartawibawa, 1925

* Cuplikan penuturan R. Kartawibawa dalam Bakda Mawi Rampog, terbitan Bale Pestaka, 1925.

66

Keadaan pasti kisruh bila ada harimau yang lolos atau sima ambabal dari medan rampogan. Setiap ada harimau yang lolos, khalayak pasti panik bukan kepalang. Lha… ada yang terpisah dari anaknya, dari temannya, ada juga yang terluka karena lari tunggang langgang. Itulah yang menjadi cerita dari mulut ke mulut. Saya sudah pernah melihat harimau lolos dari rampogan. Di Kediri, ada harimau besar yang bisa menjebol barisan bertombak itu, lantaran masih gesit dan sehat. Rupanya, harimau ini ditangkap malam 25 Ramadan— mendekati 1 Syawal jelang lebaran, sehingga, ia masih segar dan kuat. Setelah keluar kandang, harimau itu langsung lari, berhenti sejenak menatap barisan orang di sisi utara. Dalam sekejap mata, ia melompat, dan mendarat di barisan depan. Tentu saja, orang yang menjadi sasaran lompatan harimau itu kocar-kacir. Sialnya, lantaran tidak menduga, barisan di bagian belakang ikut bubar. Harimau pun lolos. Saat menerabas barisan, harimau itu mencakari orang-orang. Enam orang terluka berdarah-darah. Wah, tak terbayangkan betapa kisruhnya suasana! Kebetulan, harimau itu bersembunyi di bawah meja si penjual rawon. Suami si penjual rawon berteriak minta tolong. Tanpa pikir panjang, ia menggebrak meja itu dengan gagang pikulan. Hancur-leburlah seluruh dagangan istrinya. Harimau itu akhirnya bisa dibunuh. Sebelum benar-benar mati, harimau itu merangkak dari bawah meja, dan si suami menggebukinya sampai mati. Lantaran marah, suami itu mengumpati si harimau: gara-gara ia, dagangan istrinya porak-poranda. Siapa pun yang pernah menonton harimau lolos, pasti bisa berkisah tentang keriuhan orang. Lantaran akan lebaran, orang-orang ingin memakai baju bagus, dan tidak heran ada yang mencopet, mengutil,

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

dan sebagainya. Saat akan digelar rampogan, beberapa orang mendirikan panggung dengan seizin penyelenggara. Panggungnya begitu besar yang bisa menampung tiga ribu orang. Yang banyak menonton dari panggung umumnya kaum perempuan. Kalau panggung itu tidak kokoh, pasti bisa roboh karena menanggung beban banyak orang. Sementara itu, orang dan anak-anak yang tidak punya uang biasanya menonton dengan memanjat pohon beringin, sehingga dahan-dahannya penuh orang. Pada suatu lebaran, saya pernah menonton rampogan di Blitar. Ada macan kumbang yang sudah terluka parah tapi masih mampu menyerang salah seorang di barisan. Orang itu ketakutan dan lari, sementara teman-teman di sekelilingnya tidak bisa menombak. Akhirnya, si macan kumbang lolos, lalu naik di salah satu pohon beringin. Memang macan kumbang dikenal pandai memanjat pohon. O… betapa paniknya orang-orang di atas pohon. Ada yang merosot dari dahan, ada yang terjun langsung. Ada seorang Cina di pohon itu, yang saking takutnya, langsung melompat. Begitu sampai tanah, ia langsung pingsan. Kepalanya berdarah-darah karena kulitnya selebar telapak tangan terkelupas. Pada saat itu, orang Cina berambut kucir. Rupanya, ada anak yang iseng mengikatkan kuciran rambutnya ke akar pohon beringin.

Suasana rampogan macan di Kediri, untuk menyambut lebaran Idul Fitri. Pergelaran terakhir rampogan macan yang di Kediri dan Blitar sekitar 1906.

FOTO: REPRO ‘JAVA’S ONUITPUTTELIJKE NATUUR’

YANG SILAM, YANG KELAM

67

68

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Dengan perspektif masa kini, rampogan macan dinilai sebagai perhelatan keji yang menjadi salah satu penyebab sirnanya harimau jawa. Dalam foto muram ini, tubuh harimau jawa, macan kumbang, dan macan tutul bergelimpangan mati seusai rampogan. Semuanya terluka parah di bagian lambung.

FOTO: REPRO ‘JAVA’S ONUITPUTTELIJKE NATUUR’

YANG SILAM, YANG KELAM

69

NASIB TRAGIS DUA TRAH TIGRIS Kepunahan bagaikan hantu: menyelinap diam-diam, lalu mengejutkan di tikungan terakhir. Persis seperti itu nasib harimau bali dan harimau jawa, dua subspesies Panthera tigris. Nasib paling tragis dialami harimau bali. Ia punah dalam kesunyian: dikenal dalam waktu sangat singkat, lalu sirna. Meski sedikit beruntung, akhir hidup harimau jawa pun tak kalah dramatis. Upaya penyelamatan baru datang saat ia tinggal lima ekor di tanah terakhirnya Meru Betiri. Belanda tiba seputar 1600, lalu mendirikan kantor VOC di pantai barat laut Banten: Batavia—kini Jakarta. Sejak itu, satwa pemangsa ini memasuki babak sejarah. 1605 1620-an

Harimau jadi ancaman penghuni Batavia. Saksi mata: Sultan Agung mengirim punggawa berburu 200 harimau selama 3 bulan. Harimau diadu dengan prajurit (mungkin rampogan macan). 1644

Imbalan uang untuk penangkap harimau dan satwa lain: badak, ular besar, dan buaya. 1648 - 1654

Catatan duta kompeni: Sunan Amangkurat I sesekali menggelar adu harimau vs banteng. 1670

Saran untuk penangkapan harimau dekat Batavia. Ratusan harimau dan macan tutul ditangkap di sekitar kota. 1820

Ada ide membentuk tim pembasmi harimau jawa. Usul ini sia-sia, tapi tetap ada upaya membasmi harimau jawa. 1830–1870

Ritual harimau mulai dikurangi, mungkin karena populasi harimau berkurang. Tahun 1830: masa tanam paksa yang mendorong pembukaan lahan baru di wilayah liar. 1862

Terbit aturan bagi warga yang ingin jadi pemburu harimau profesional dengan senjata api. Juga, pendaftaran ‘kecelakaan’ bagi korban harimau. 1879

Tulah harimau mendera Gunung Muria dan Probolinggo, disusul Kediri pada 1880. 1886 & 1887

Harimau jawa yang dibunuh pada 1886: 126, dan pada 1887: 116. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pembunuhan harimau pada dasawarsa 1860-an. 1897

Pemerintah kolonial menghapus sistem imbalan untuk harimau jawa dan macan tutul.

70

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Catatan awal tentang ritual adu harimau vs banteng dan rampogan macan di kerajaan Jawa. 1625

Gubernur Jenderal melaporkan harimau menyerang warga Batavia—sekitar 60 korban dari populasi 6.000 manusia. 1648

Imbalan uang menjadi kebiasaan: bukti kompeni mendorong perburuan harimau dan satwa lainnya. 1659

Konflik harimau makin kerap seiring berkembangnya permukiman ke luar Batavia. Ekspansi pertanian menyingkirkan habitat harimau. 1703

Sunan Amangkurat III menghukum Pangeran Puger bersama sejumlah keluarganya. Mereka dimasukkan ke kandang harimau di Kartasura. 1830

Di daerah Bogor dan Priangan, sekitar 100 harimau dan macan tutul dibunuh setiap tahun. 1861

Pemerintah meminta residen di Jawa melaporkan harimau di wilayahnya. Data itu untuk membasmi harimau, lantaran tingginya konflik. 1875

Awal istilah 'harimau pemakan manusia,' dengan fenomena ‘tulah harimau’ atau serangan harimau ke manusia. Konflik bermula di Priangan dan Banten, lalu merembet ke timur. Tren perburuan harimau meningkat. 1880

Ritual harimau kian jarang. Harimau musnah di kawasan yang mudah dijangkau. Gejala awal berkurangnya populasi harimau jawa makin kentara. 1894

Pukulan terakhir tulah harimau jawa melanda wilayah Gunung Muria, Jepara.

1906 Bali menjadi favorit pemburu rusa dan harimau. Rampogan macan terakhir di Blitar dan Kediri. Blitar selatan dinilai sarang harimau terakhir. 1912 Berdiri Himpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda (NIVN). 1915 – 1918 Kandang harimau di istana Surakarta tiada lagi. Pemburu menembak 22 harimau bali.

1930-an Sampai tahun ini Bali Barat masih menjadi tempat berburu favorit bagi orang Eropa modern. 1937 Harimau bali betina dewasa dibunuh di Sumber Kima, Bali Barat. Beberapa penulis menyatakan tahun ini harimau bali telah punah. 1942 Mungkin harimau bali punah pada tahun ini, dan sudah pasti punah setelah 1955. 1950 Harimau jawa kira-kira tinggal 25 ekor, 13 di antaranya di Ujung Kulon. 1972 Kira-kira hanya ada 7 harimau jawa di Meru Betiri. 1980 Rencana pengelolaan harimau jawa di Meru Betiri. Tim peneliti menduga populasi harimau tak sampai 5 ekor. Dasawarsa ini sebagai harihari terakhir bagi harimau jawa. 1990 Tim lain coba mencari harimau jawa, hanya menemukan jejak-jejaknya. UU Nomor 5/1990 memperkuat perlindungan harimau.

1900 Masa awal abad ke-20, ritual harimau tiada lagi digelar di pusat kerajaan Jawa. Di istana Yogyakarta, kandang kerajaan hanya berisi macan tutul. 1909 Holotipe: spesimen untuk subspesies harimau bali ditembak pada tahun ini. Pemerintah kolonial merilis undang-undang melindungi beberapa mamalia dan burung. 1913 Pemburu dari Surabaya membunuh 20 harimau bali. Himpunan Perlindungan Alam mengusulkan 12 daerah perlindungan, di antaranya Ujung Kulon dan Alas Purwo. Sejak itu, pemerintah kolonial mendirikan sejumlah kawasan lindung. 1922 Pemerintah tak lagi butuh statistik harimau yang ditangkap dan dibunuh. Namun, sistem imbalan tak pernah sepenuhnya dihapus—utamanya di Sumatra, lantaran harimau masih jadi ancaman. 1936 – 1937 Pemburu membunuh lima harimau bali. Empat dari sisa populasi harimau jawa mati makan bangkai beracun di Priangan dan Banten. 1938 Foto terakhir harimau jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. 1945 Indonesia merdeka. 1970 Pemerintah melindungi harimau. 1979 Harimau jawa dilaporkan di sekitar Gunung Slamet. 1987 Tim peneliti menemukan jejak, cakaran, dan kotoran harimau di Meru Betiri. 1994 Berita harimau jawa dijumpai di Banyuwangi. Sejak 1990-an seluruh kabar perjumpaan dengan harimau jawa tanpa verifikasi pakar. YANG SILAM, YANG KELAM

71

YANG SILAM, YANG KELAM

PESAN DARI DUA KERABAT

Terlambat adalah terlambat. Soal kepunahan, tak ada permakluman ‘lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali’. Sekali terlambat, harimau jawa dan harimau bali punah selamanya. Menyimak kembali punahnya dua trah harimau itu memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana mendudukkan harimau dalam konservasi di Indonesia? Di satu sisi, satwa ini menjadi ikon konservasi, di sisi lain ia juga ikon kepunahan. Pertanyaannya, adakah hikmah untuk menjembatani dua sisi tersebut? Punahnya pemangsa kelas atas ini adalah dua tragedi peradaban yang mengajarkan agar tidak ada yang ketiga. Tragedi pertama: harimau bali punah terlalu cepat, terlalu mengejutkan. Bahkan, sains belum sempat mengenal lebih jauh tentang ekologi harimau bali. Bali bisa dibilang sebagai pulau terkecil di muka Bumi yang dihuni harimau. Hal ini menegaskan bahwa flora-fauna di pulau kecil memang rentan terhadap kepunahan. Sebelum tersudut di sisi barat, harimau menghuni bagian lain Pulau Bali. Pembangunan lahan pertanian dan jalan sudah dilakukan pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, yang berkontribusi mengubah ekosistem Bali. Jalan-jalan utama dikembangkan pada 1935, yang memecah blok-blok besar hutan habitat harimau. Dan, akhirnya sisa populasi harimau bali tersudut di Bali Barat, yang kemudian menjadi medan perburuan bagi orang-orang Eropa. Hidup pemangsa ini amat tragis lantaran diburu habis-habisan saat demam perburuan untuk olahraga melanda Bali zaman kolonial. Di masa awal abad ke-20, Pulau Bali sudah menjadi tanah impian yang menjanjikan kenikmatan tropika—termasuk berburu. Saat itu, turis, seniman, petualang, dan pemburu telah berbondong-bondong ke Bali. Pada saat itu, permukiman masih jarang-jarang sehingga manusia dan harimau mendiami kawasan yang berbeda. 72

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Spesimen kulit dan tengkorak harimau jawa dan harimau bali tersimpan bersama spesimen macan kumbang dan macan tutul. Museum Zoologi Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melestarikan spesimen satwa pemangsa ini untuk keperluan sains.

Jelaslah, kepunahan harimau bali sebagian besar disebabkan perkembangan pada zaman kolonial. Olah raga berburu menjadi pemusnahan sistematis bagi kehidupan harimau bali. Hal ini berbeda dengan tragedi kedua yang dialami harimau jawa. Satwa ini sudah lama dikenal sebagai penguasa hutan belantara jawa sejak berabad-abad lampau. Sebagian masyarakat Jawa klasik mengenal istilah kedaton sima atau kerajaan harimau, yang merujuk kepada hutan yang dihuni pemangsa ini. Catatan pertama yang mengisahkan pemangsa ini sudah ada sejak abad ke-17, saat Belanda menginjakkan kakinya di pantai barat laut Banten. Kira-kira dua dekade setelah mendirikan kantor VOC, harimau acap kali menggerayangi permukiman Batavia. Konflik pun pecah. Bahkan, harimau dipandang lebih banyak membunuh pemukim Belanda, dibandingkan dengan serangan musuh—orang pribumi. Dalam perspektif pemerintah kolonial, harimau adalah hewan pengganggu yang pantas dibasmi. Seawal 1648, pemerintah telah memberikan hadiah bagi penangkap harimau. Sistem imbalan ini terus berkembang, dan diatur pemerintah pada 1815 dan 1870, lalu dihapus pada 1897. Masih terkait dengan repotnya menghadapi harimau, pada 1862 terbit aturan yang memungkinkan siapa pun menjadi pemburu profesional dengan izin memiliki senjata api. Aturan itu juga mengatur pendaftaran ‘kecelakaan’ bagi korban konflik. Sedikit banyak, kebijakan tersebut mendorong perburuan harimau.

FOTO: AGUS PRIJONO SEIZIN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

YANG SILAM, YANG KELAM

73

Harimau bali dikenal hanya dari lima kulit dan delapan tengkorak, salah satu set di antaranya tersimpan di Museum Zoologi Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Deskripsi pertama harimau bali dilakukan pada 1912, dan mungkin telah punah hanya dalam jangka 30 tahun sesudahnya. Pada 1963, ada laporan sejumlah penduduk melewati bangkai seekor harimau di hutan. Lima ekor harimau bali dibunuh pada enam bulan pertama 1936. Tetapi laporan pasti yang terakhir berasal dari tahun 1937 ketika harimau bali ditembak dengan sengaja di Sumber Kima, Bali, untuk Museum Zoologi Bogor. Dan, sekarang spesimen ini menjadi satu-satunya bukti adanya binatang ini di Bali (atas). Sementara spesimen tengkorak harimau jawa berasal dari kampung Tamanjaya, seputar Gunung Honje, Banten. Tamanjaya kini berada di seputar Taman Nasional Ujung Kulon. Spesimen tengkorak harimau yang dikoleksi pada 1938 ini tak diketahui jenis kelaminnya. Pada tahun itu juga, foto terakhir harimau jawa diabadikan oleh Andries Hoogerwerf di Ujung Kulon (bawah).

74

FOTO: AGUS PRIJONO (SEMUANYA) SEIZIN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

YANG SILAM, YANG KELAM

75

Di sisi lain, istana Jawa juga memiliki tradisi adu harimau versus banteng dan rampogan macan. Tradisi ini, mau-tak-mau berpengaruh pada berkurangnya populasi harimau jawa. Selama dasawarsa 1830– 1870, ritual mulai berkurang, mungkin karena harimau semakin sulit ditemukan di kawasan yang bisa dijangkau. Hingga 1906, rampogan macan yang terakhir digelar di Kediri dan Blitar, yang terletak jauh dari pusat istana Jawa. Selama kurun yang sama, revolusi pertanian Belanda di Pulau Jawa merambah pedalaman liar. Kebun kopi pertama di Priangan telah ditata pada akhir abad ke-18, dengan menggerakkan ribuan tenaga kebun. Hal itu semakin mendekatkan manusia dalam pusaran konflik dengan harimau. Pada masa ini, hutan dan gunung begitu menakutkan karena dihuni harimau dan badak sampai abad ke-19. Kebun-kebun kopi yang terletak di daerah terpencil memicu kekhawatiran para buruh. Jika ada laporan tentang harimau yang terlihat di perkebunan, mereka menolak bekerja. Di Priangan, dalam dua bulan saja, 33 orang menjadi korban serangan harimau. Selama mengunjungi kebun kopi, perjalanan pejabat perkebunan didahului bebunyian angklung dan rebana untuk mengusir binatang itu. Dengan demikian, perusahaan Hindia Belanda secara sistematis merombak lahan subur di Jawa menjadi unit-unit produksi. Populasi harimau dan satwa liar lain menurun lantaran kawasan hutan, dataran aluvial, dan cekungan sungai berubah menjadi lahan budidaya. Sementara itu, sebagian besar kawasan hutan hujan yang luas telah berubah menjadi kebun jati. Budidaya tanaman monokultur ini secara signifikan mengurangi populasi mangsa yang menjadi sumber pakan harimau. Harimau jawa semakin langka terutama di wilayah-wilayah padat penduduk dengan lahan-lahan pertanian yang memotong kawasan hutan. Akibatnya, setelah masa tulah, atau konflik harimau dan manusia, muncul masalah baru: serangan hama babi hutan. Sampai tahap ini, terlihat bahwa berkurangnya populasi harimau karena kebijakan imbalan sebagai respon atas konflik, tradisi kerajaan Jawa, perluasan permukiman dan revolusi pertanian Belanda. Pada tahap selanjutnya, berkembang perburuan untuk olah raga di kalangan kolonial. Populasi harimau yang tersisa, dan juga satwa mangsanya, kembali menghadapi tekanan. Sampai awal abad ke-20, harimau yang semakin sedikit masih saja diburu untuk kesenangan. Sekitar 1900, meski telah langka, Jawa bagian tengah masih menjadi medan perburuan harimau bagi bangsa Eropa. Pada masa ini, perburuan tradisional dengan jerat dan mangsa beracun turut memperburuk keadaan. 76

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Sebenarnya, awal abad ke-20 menjadi momen penting dengan munculnya kesadaran konservasi dengan berdirinya Himpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda (NVIN). Himpunan yang terbentuk pada 1912 ini untuk melindungi kawasan penting dan satwa liar—kecuali hewan yang berbahaya. Pada 1913, himpunan mengirim petisi yang menuntut pemerintah mendirikan monumen alam. Pemerintah merespon petisi ini pada 1916 dengan Ordonansi Monumen Alam, Staatsblad Nomor 278. Dalam keputusan itu, gubernur jenderal berwenang menentukan wilayah yang bakal dijadikan cagar alam, entah untuk konservasi maupun sains. Dengan keputusan tersebut, artinya perburuan satwa dibatasi. Hanya saja, selama pergantian abad itu, di Jawa bagian barat dan timur, yang diduga tersisa 500 harimau, masih sering dikunjungi pemburu Eropa. Hingga akhir masa kolonial, kendati perburuan semakin dibatasi, entah dengan izin ketat maupun pembatasan jumlah hewan buruan. Namun upaya itu nampaknya sudah terlambat bagi harimau jawa. Ringkasnya, harimau yang telah merepotkan sejak abad ke-17 mendorong kompeni, lalu pemerintah kolonial, memberikan imbalan untuk penangkapan hewan ini. Kemudian, jumlah harimau yang sudah berkurang drastis itu diperburuk oleh menyusutnya habitat dan perburuan baik untuk kesenangan maupun ekonomi. Upaya konservasi Himpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda pada 1912 belum menyentuh harimau. Inisatif konservasi harimau jawa datang amat terlambat: rencana pengelolaan harimau jawa di Meru Betiri baru ada pada 1980. Hikmahnya: kepunahan itu terlalu mahal. Sirnanya harimau jawa disebabkan banyak faktor, mulai dari ritual kerajaan, konflik menahun, menyusutnya habitat, sampai perburuan—apapun bentuknya. Kini, harimau sumatra menghadapi persoalan yang kurang lebih serupa, dan lebih kompleks. Di Pulau Sumatra, memang tidak dijumpai tradisi sejenis ritual harimau seperti di Jawa. Hanya saja, sejak paruh kedua abad ke19 sampai awal abad ke-20, Sumatra menjadi tumpuan baru bagi pemerintah kolonial untuk permukiman, perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Setelah kemerdekaan, hal itu diteruskan Indonesia: harapan pembangunan ada di Sumatra. Tantangan semakin besar dan semakin rumit. Hutan-hutan menyusut lebih cepat, konflik masih terjadi, perburuan menyasar harimau dan hewan mangsanya. Akankah harimau sumatra mengikuti garis nasib dua kerabatnya? *** YANG SILAM, YANG KELAM

77

MANUSIA DAN HARIMAU DI JAWA ABAD KE-19 ABMI HANDAYANI

Memahami kembali hubungan harimau dan manusia Jawa di abad lampau. Generasi muda Indonesia hanya dapat mendengarkan kisah dan melihat ilustrasi harimau jawa dan harimau bali. Itu lantaran dua subspesies harimau itu telah lama punah. Kini tersisa harimau sumatra, yang populasinya terus menurun, sementara perburuan dan konflik terus terjadi. Apakah harimau sumatra akan berakhir punah seperti saudaranya di Jawa dan Bali? Pertanyaan ini perlu direnungkan dan dicari jawabannya. Karena itu, paparan ini hadir sebagai kontribusi dalam upaya pelestarian harimau di Indonesia. Gagasan utamanya, menghadirkan perspektif historis dengan berfokus pada perburuan harimau di Jawa pada abad ke-19. Selain itu, juga refleksi dialog antara rumpun ilmu humaniora dan rumpun ilmu lainnya. Harapannya, di masa mendatang dialog atau penelitian multidisipliner akan meningkat sehingga diperoleh perspektif yang lebih kaya dan menyeluruh. JAWA ABAD KE-19

Ada sebab mengapa E. R. Schidmore menyebut Jawa sebagai ‘kebun’, ‘perhiasan’ atau ‘mutiara dari Timur’.1 Dengan luas sekitar 130.000 kilometer persegi, bagi Schidmore, juga para pelancong dan naturalis lain, Jawa adalah pulau yang demikian indah. Alfred Russel Wallace misalnya, memandang Jawa sebagai pulau tropis terbaik dan menarik di dunia. Dalam karangannya tentang alam di dunia Melayu, ia menuliskan kesannya: “Seluruh permukaannya bertabur pemandangan gunung dan hutan. [Jawa] memiliki tiga puluh gunung api, beberapa di antaranya mencapai ketinggian sepuluh atau dua belas ribu…. Kelembaban dan panasnya iklim menyebabkan gunung-gunung ini diselimuti vegetasi yang subur, terkadang sampai puncak, sementara hutan dan perkebunan menyelimuti lereng-lerengnya.”2

Rampogan macan berarti mengadu harimau dengan kerbau, yang selanjutnya para abdi dalem menghujani harimau dengan senjata tajam sampai mati. Upacara ini digelar terutama saat istana menerima tamu agung.

Dalam kesempatan yang lain, Antoine Cabaton, seorang filolog Prancis dan salah satu pelopor studi maritim di Asia Tenggara, mengungkapkan kesannya tentang keragaman flora dan fauna di Jawa. “Letak pulau di bawah garis ekuator memungkinkan musim panas dan musim hujan hadir secara berkala; gunung-gunungnya yang tinggi memecah angin, memadatkan embun di awan dan menyuburkan tanah dengan lava, menyegarkan tanah dengan air yang memberi kehidupan, [dan] tanaman di Jawa menjadi sangat kaya ragamnya…. Faunanya lebih kaya daripada Sumatra dan Borneo, dengan perbedaan yang mudah dikenali. Jawa mungkin tidak memiliki gajah, tapir, dan orang utan, tetapi di pulau ini masih ada sejumlah badak, macan kumbang, macan tutul, dan tentu saja di jantung pulau ini—ada harimau yang kekuatannya masih diperhitungkan.”3 Situasi geografis menjadikan pulau ini menjadi salah satu tempat tersibuk dalam sejarah Indonesia. Sejak setidaknya abad ke-16, Jawa adalah salah satu simpul dalam jaringan besar perdagangan, yang merentang dari pantai timur Benua Afrika sampai Dunia Baru di Amerika Selatan. Salah satu konsekuensinya, tentu saja adalah volume populasi. Penelitian demografi pada masa paruh kedua sampai menjelang akhir abad ke-19 menunjukkan pertumbuhan populasi di Jawa mencapai 2,05 persen.4

FOTO: REPRO ‘KLAMBOES, KLEWANGS, KLAPPERBOMEN’

YANG SILAM, YANG KELAM

79

Perkiraan pada 1800 menyebut populasi manusia di Jawa menyentuh 7,5 juta, yang meningkat dua kali lipat pada 1850. Pada 1900, populasi penduduk Jawa mencapai 30,4 juta.5 Menurut Peter Boomgaard, sejarawan Belanda yang memiliki minat besar terhadap harimau dalam sejarah Indonesia, ledakan populasi ini beriringan dengan pertumbuhan ekonomi lantaran pemerintah kolonial mendongkrak produksi komoditas untuk memenuhi pasar dunia.6 Peningkatan populasi Jawa bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia berita baik bagi pertumbuhan ekonomi; di sisi lain menjadi mimpi buruk bagi spesies-spesies selain manusia. Pertumbuhan populasi dan ekonomi di Jawa menjadi salah satu faktor penentu berkurangnya hutan, yang berarti menyusutnya habitat harimau. Akibatnya, pada abad ke-19 frekuensi persinggungan antara manusia dan harimau di Jawa meningkat, dan mendorong perburuan. Pada akhirnya, rangkaian peristiwa ini berujung pada kepunahan. Situasi itu diperburuk dengan tiadanya kesadaran untuk pelestarian harimau. (Secara global, kesadaran dan gerakan konservasi harimau baru diadopsi negara-negara di dunia pada paruh kedua abad ke-20.) MANUSIA DAN HARIMAU DI JAWA

Berdasarkan klasifikasi yang disusun Coenraad Jacob Temminck, harimau jawa termasuk dalam ordo carnivora, famili felidae, genus panthera dan spesies Panthera tigris. Secara umum, ciri harimau jawa mirip dengan subspesies lain: tubuh berotot, kepala besar, wajah dibingkai bulu-bulu panjang yang membentuk jambang, kuping bulat kecil, dengan bintik putih di bagian tengah, warna dasar bervariasi antara coklat dan oranye, dan di seluruh tubuhnya terdapat garis yang membentuk pola belang berwarna gelap.7 Beratnya diperkirakan mencapai 140 kg untuk jantan, dan 115 kg untuk betina. Dari harimau yang ditemukan mati di Ujung Kulon, dan beberapa spesimen, para ahli memperkirakan panjang tubuh harimau berkisar 230 - 270 cm untuk jantan, dan 200 - 250 cm untuk betina.8 Secara umum harimau dapat beradaptasi dan tinggal di dataran yang sangat dingin, seperti di Rusia; di dataran panas dan kering seperti di Rajashtan; dan hutan tropis lembab, seperti di Sumatra, Jawa dan Bali.9 Pada 1980-an, harimau diperkirakan mendiami pegunungan dan hutan. Di Jawa bagian barat, habitat harimau berada di Ujung Kulon, Cibadak, Subang, Gunung Malabar, Tampomas, Garut dan Leuweung Sancang. 80

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Bukan hal luar biasa bertemu harimau saat perjalanan di Jawa pada abad ke-17. Begitu banyaknya hingga satwa ini menjelajahi wilayah di pusat kota Batavia. Hal yang sama juga untuk hewan-hewan lain: rusa, badak, buaya, dan kerbau liar.

Di Jawa bagian tengah, populasinya diperkirakan tersebar di Banyumas, Boja, dan rangkaian pegunungan di pesisir selatan Jawa. Kemudian di ujung timur Jawa, habitat harimau berada di kawasan Baluran, Banyuwangi, dan Meru Betiri.10 Selain pemetaan Seidensticker tersebut, ada pula sumber berbahasa Jawa, utamanya ihwal tradisi rampog macan, yang dalam pengantarnya ia berkisah: “Ing poendi-poendi wana inggih wonten sima, nanging boten pating sliwer kados ing wana-wana ingkang koela atoeraken poenika waoee, simanipoen gembong-gembong, ageng-ageng, paribasan: tipake salajah-lajah. Saja redja nagarinipoen, saja telas wananipoen, telas simanipoen.”11 Interaksi antara manusia dan harimau tampaknya memang tak terhindarkan. Keduanya ditakdirkan membutuhkan ruang yang sama. Situasi ini terjadi sejak setidaknya kala Pleistosen.12 Dan salah satu interaksi itu berwujud perseteruan yang menyebabkan beberapa subspesies harimau menghilang dari muka bumi. Dalam buku yang membahas harimau di dunia Melayu, Peter Boomgaard mengungkapkan kesannya: harimau adalah musuh manusia yang paling keras kepala.13 Akan tetapi, di sisi lain, ia salah satu satwa yang dapat dengan mudah ditemukan dalam aspek kultural dan identitas peradaban manusia. Di Cina misalnya, harimau menjadi salah satu binatang yang digunakan dalam astrologi. Di India, harimau diasosiasikan dengan Syiwa, dan di Indonesia ia hadir dalam memori masyarakat tentang

FOTO: REPRO ‘KLAMBOES, KLEWANGS, KLAPPERBOMEN’

YANG SILAM, YANG KELAM

81

82

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Spesimen harimau jawa di Museum Zoologi Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ini berasal dari Blitar, Jawa bagian timur. Dikoleksi oleh RMA Hario Sosro Adinegoro pada tahun 1910 (atas-bawah, halaman sebelah).

Prabu Siliwangi di Jawa Barat, Blambangan di Jawa Timur (juga ada kerajaan bernama Macan Putih di Banyuwangi). Istana-istana Mataram Islam di Jawa Tengah memiliki acara khusus yang melibatkan harimau yaitu tarung sima-maesa dan rampog macan. Dalam pertunjukan Jawa, harimau juga hadir dalam pewayangan yang menjadi salah satu detail elemen dalam gunungan wayang. Di kalangan masyarakat, harimau seringkali diasosiasikan dengan keleluhuran yang menempati posisi cukup mulia dalam alam pikir masyarakat. Persoalan kehadiran harimau dalam perspektif manusia memang menarik didiskusikan. Namun diskusi itu tidak akan dibahas terperinci dalam paparan ini. Selain perlu usaha mendalam, situasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah waktu untuk memaknai rumitnya hubungan manusia dengan harimau bukan hanya terjadi dalam satu atau dua dekade belakangan. Selanjutnya kegelisahan ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian terakhir dari artikel ini. Sementara itu, saat ini diskusi tampaknya perlu dikembalikan ke jalur awal: tentang perburuan harimau di Jawa pada akhir abad ke-19. Pada periode ini, sampai setidaknya paruh kedua abad ke-20, di Jawa dan Sumatra terjadi apa yang dikenal dengan “tijgerplaag”, yang secara harfiah berarti ‘hama harimau’ atau ‘tulah harimau’. Dari hasil perbincangan informal dengan seorang ahli biologi, ketika kata hama disematkan kepada hewan tertentu, saat itulah terpikirkan tentang gangguan dalam skala cukup besar dan sering terjadi. Peter Boomgaard beranggapan ‘hama harimau’ tidak memiliki makna universal. Ia mendefinisikannya sebagai ‘jumlah yang setidaknya dua kali lipat dari jumlah rata-rata pada tahuntahun tersebut’. Dan, ia menguraikan fenomena ini dengan merujuk pada banyaknya manusia dan harimau yang terbunuh akibat konflik pada tahun-tahun setelah 1850.14 Boomgaard mengidentifikasi wilayah yang mengalami kesulitan karena hama harimau: Jepara dan Probolinggo pada 1879, Kediri pada 1880, Banten pada 1882, Rembang pada 1883, Besuki pada 1888 dan Banyuwangi pada 1889.15 Situasi inilah, saat manusia merasa terancam oleh harimau, yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perburuan. Tentu saja, dapat dipikirkan kemungkinan lain, seperti perburuan untuk tujuan ilmiah, namun sejauh ini belum ada bukti kuat untuk mendukung hipotesis ini. Secara konkret, perwujudan ‘hama harimau’ adalah seranganserangan harimau terhadap manusia. Sedikit menyinggung tentang sumber, informasi mengenai hal ini dapat ditemukan dengan mudah

FOTO: AGUS PRIJONO (SEMUANYA) SEIZIN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

YANG SILAM, YANG KELAM

83

hadir menjadi berita dalam surat kabar harian berbahasa Belanda. Berita-berita ini berdatangan dari tempat-tempat di Jawa, seperti dari Desa Tawangrejo di Caruban, Madiun, yang terjadi penyerangan harimau terhadap seorang penduduk desa yang hendak bepergian. Kemudian dari Desa Klangon, juga di Madiun, yang diberitakan seekor harimau menyerang seorang anak perempuan yang sedang memetik lombok di kebun. Akibat serangan itu, si anak meninggal dunia.16 Berita lain datang dari Tulungagung, harimau menyerang seorang lelaki yang hendak pergi ke hutan bersama istrinya dan ia terluka parah.17 Kemudian dari Malang, seorang pegawai kebun kopi yang hendak pulang ke rumah diserang seekor harimau.18 Selain manusia, diberitakan juga bahwa harimau kerap menyerang dan memangsa ternak warga, seperti yang dilaporkan dari Buitenzorg (sekarang Bogor), Randublatung, dan Selorok.19 Sebagai respon dari serangan harimau, pada paruh terakhir abad ke-19, administrasi Hindia Belanda mengeluarkan surat edaran mengenai premi atau imbalan untuk penangkapan harimau. Dalam edaran ini, pemerintah juga mengimbau orang-orang Eropa dan pemerintah daerah agar lebih memerhatikan masalah harimau.20 Untuk program ini, pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 menyiapkan pasukan khusus yang terdiri lima puluh orang dan penembak-penembak jitu yang dibekali dengan senapan Beaumont, senjata angkatan darat Belanda antara 1895-1945. Mereka akan dibagi menjadi kelompok kecil, yang akan dipimpin seorang sersan dan harus siap ketika ada permintaan atau keluhan tentang harimau dari daerah-daerah.21 Selain itu, ada juga inisiatif masyarakat untuk mengatasi ketakutan dan masalah yang disebabkan harimau. Masyarakat dalam hal ini bukan hanya orang Jawa tetapi juga orang Eropa, yang umumnya militer atau pemilik perkebunan, seperti R. A. Kerkhoven22 di Priangan. Pada 1883, Kerkhoven menceritakan upayanya membunuh harimau dengan ramuan dari tanaman wali kambing dalam sebuah artikel.23 Sementara itu, kerjasama orang Eropa dan Jawa nampak di salah satu berita tentang wedana di Tuban yang mengorganisir perburuan harimau yang mencuri kudanya. Wedana itu mempekerjakan seorang pemburu setempat, Kria Drana, serta 200 penduduk. Dalam perburuan itu, terlibat juga orang Eropa yang disebut bernama G.W.F. Kehrer. Mereka beramai-ramai mencari harimau yang diduga bersalah. Setelah pencarian yang cukup lama, mereka berhasil menemukan harimau tersangka, lalu membunuhnya. 84

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Berkaca pada kasus-kasus di atas, setidaknya hingga awal abad ke-20, nampaknya harimau masih digolongkan berbahaya sehingga perlu dimusnahkan. Baru pada paruh kedua abad ke-20, kesadaran konservasi meluas di negara-negara yang dihuni harimau. Namun saat itu, untuk harimau Jawa segala usaha nampaknya sudah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Saat Indonesia mengadakan penelitian, populasi harimau jawa telah jauh berkurang, hingga diduga punah pada medio 1970-an, dan dinyatakan punah pada 1980-an. KAJIAN KE DEPAN

Artikel ini hanya sebagian kecil dari seluruh penelitian yang telah dilakukan, dan kemungkin yang dapat dilakukan. Pertamatama, yang penting disebutkan ketersediaan sumber berita untuk kasus Sumatra cukup banyak. Selain Peter Boomgaard, yang dalam 'Frontiers of Fear' menyinggung persoalan harimau di Sumatra, tak banyak yang memanfaatkan sumber-sumber itu untuk membangun narasi historis tentang hubungan manusia dan harimau sumatra— dan kerumitannya. Pemetaan dan penelitian sejarah harimau sumatra setidaknya dapat dilakukan dengan menelusuri berita surat kabar, arsip kolonial tentang Sumatra, catatan-catatan dari pelancong atau peneliti. Dan, yang terpenting: upaya menghidupkan sumber-sumber dari daerah-daerah di Sumatra. Ini penting dilakukan agar peneliti dapat menghadirkan narasi yang berimbang dengan memeriksa kedua jenis sumber. Penelitian lainnya terkait kesadaran dan gerakan konservasi satwa di Indonesia. Persoalan ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya, siapa agen-agen yang menyuarakan perlindungan satwa, yang mungkin dilacak dari dokumen kolonial dan aparatur ilmiahnya dalam mengusahakan adanya natuurmonumenten. Namun, sama seperti sebelumnya, juga perlu mencermati gagasan-gagasan pelestarian yang melekat pada berbagai kebudayaan di Indonesia. Untuk melakukan penelitian semacam ini, kerangka konseptual yang dapat digunakan adalah environmental history dan animal history. Sebagai kerangka konseptual, keduanya juga masih menyisakan banyak ruang untuk dimanfaatkan dan diperdebatkan di Indonesia. Terlepas dari persoalan kebaruan penggunaannya dalam studi sejarah di Indonesia, yang perlu disoroti dari dua pendekatan ini adalah karakter multidisiplinernya. Penerapan kedua sub-disiplin ilmu ini dapat mewadahi dialog dan kerjasama antara ilmu humaniora dengan, misalnya, biologi dan kehutanan—serta cabang ilmu lain ihwal pelestarian satwa di Indonesia.*** YANG SILAM, YANG KELAM

85

Akankah harimau sumatra yang berkeliaran di alam liar akan berakhir seperti ini? Dengan seringai palsu, dan hanya membuat anak-anak melengking ketakutan?

86

FOTO: AGUS PRIJONO DIFOTO DI MUSEUM ZOOLOGI BOGOR, KEBUN RAYA BOGOR, LIPI.

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

YANG SILAM, YANG KELAM

87

Halimun menyelimuti bentang alam di rangkaian Bukit Barisan Selatan, Lampung. Gunung, perbukitan dan daratan landai inilah yang menjadi habitat harimau sumatra. Tak jauh dari lokasi pemotretan ini, beberapa tahun lalu, harimau dilaporkan memangsa ternak warga. FOTO: AGUS PRIJONO

88

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

BAGIAN TIGA

I K H T I A R S U M AT R A

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

89

PENGANTAR

HARIMAU NUSANTARA MUNAWAR KHOLIS

Pertaruhan terakhir di Bumi Andalas. Jejeran Bukit Barisan Sumatra tercipta dari benturan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Geliat lempeng selama jutaan tahun ini membentuk dataran rendah, pegunungan, gunung berapi, dan danau di Pulau Sumatra. Anugrah alam itulah yang membentuk berbagai tipe ekosistem Sumatra yang kaya keragaman hayati. Sebagai bagian dari rangkaian ‘cincin api’, Bukit Barisan memanjang dari utara ke selatan, terdiri ratusan bukit terjal dan tak cukup ramah untuk dihuni manusia. Rangkaian bukit ini tak hanya membentang di Sumatra, tetapi terus ke sisi selatan Jawa hingga Nusa Tenggara. Pun begitu harimau yang mendiami sepanjang pulau-pulau di Dangkalan Sunda. Kehidupan harimau berawal dari satu leluhur, lalu menyebar ke Sumatra, Jawa, dan Bali. Dengan demikian, makhluk karismatik ini menapakkan jejak-jejaknya di Nusantara bukan karena tersesat. Kucing besar ini terbagi dalam tiga subspesies: harimau sumatra, harimau jawa, dan harimau bali. Dari telaah taksonomi, peneliti mengusulkan hanya ada satu ras di Indonesia: harimau sunda, Panthera tigris sondaica. Namun, studi taksonomi terkemudian menegaskan kembali pemisahan harimau menjadi sembilan subspesies, termasuk tiga ras harimau di Indonesia. Bagaimana pun, kedua kajian taksonomi itu tetap menegaskan kewajiban untuk melestarikan harimau sumatra. Dan, tetap relevan untuk menyebut harimau sumatra sebagai harimau kepulauan lantaran ia satu-satunya yang menghuni pulau, di luar Benua Asia. Sejak 1990-an, setelah punahnya harimau jawa, Sumatra menjadi bentang terakhir harimau yang tersisa. Benteng persembunyian terakhir ini membentang dari Aceh sampai Tanjung Karang, Lampung. Menurut para ahli—dan telah terbukti dari berbagai penelitian, harimau lebih memilih dataran rendah. Ia tidak memilih tempat terjal, seperti puncak-puncak deretan Bukit Barisan. 90

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Pembukaan hutan Sumatra untuk perkebunan telah dimulai sejak akhir abad ke-19, di Deli, pesisir timur. Beberapa orang nampak berdiri di puncak pohon raksasa, yang ditopang akar banir sebesar rumah. Elit perkebunan pun biasa berburu setiap akhir pekan.

Dataran rendah memang menjadi pusat sumber daya sehingga disukai satwa liar, tumbuhan, dan bahkan manusia. Bagi harimau, dataran rendah adalah medan perburuan, lantaran hewan mangsa juga berdiam di situ. Satwa mangsa enggan hidup di dataran yang lebih tinggi juga karena sulit mencari makanan. Secara fisik, manusia adalah makhluk lemah dibandingkan dengan harimau maupun hewan mangsanya. Sama-sama mendiami dataran rendah, manusia unggul dalam akal dan teknologi. Inilah yang membuat manusia mampu beradaptasi, dan hidup di semua tempat. Pada akhirnya, manusia menguasai kawasan-kawasan yang semula menjadi tempat hidup satwa liar. Naluri pemangsa menuntun harimau tetap menghuni dataran rendah meski tak berhutan lagi. Apa boleh buat, harimau terpaksa mendiami habitat yang telah berubah menjadi kebun dan pemukiman. Benturan pun tak terelakkan: setiap jejak harimau di permukaan tanah menimbulkan rasa takut bagi manusia. Saat ini, habitat di dataran rendah tidak banyak tersedia. Harimau tinggal memiliki bentangan Bukit Barisan, yang juga rentan ditembus manusia. FOTO REPRO BUKU ‘ KLAMBOES, KLEWANGS, KLAPPERBOMEN ’

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

91

TERDESAK KE DATARAN TINGGI

Secara tak sadar, selama 30 tahun terakhir, manusia semakin mendesak harimau ke dataran yang lebih tinggi. Pedalaman hutan memang jauh dari hiruk-pikuk manusia, dan menjadi tempat yang aman bagi harimau. Namun, sumber daya di dataran tinggi tak sekaya dataran rendah. Hal itu pernah terjadi di Jawa. Sedikit berbeda dengan Sumatra, gunung-gunung di Jawa berupa gunung api yang cenderung soliter. Tak heran, gunung-gunung di Jawa tidak membentuk deretan panjang seperti Bukit Barisan. Hal ini menjadikan Jawa lebih rentan fragmentasi hutan. Gunung api aktif di Jawa memaksa harimau dan satwa mangsa turun gunung. Lalu, yang terjadi terjadilah: satu per satu harimau di Jawa berusaha untuk tetap hidup di dataran rendah. Namun, masa lalu menuturkan konflik harimau dan manusia mewarnai sejarah Jawa. Konflik habis-habisan, sampai populasi terakhir: harimau jawa menjadi korban konflik, perburuan, hingga akhirnya tak satu pun yang tersisa. Barangkali harimau di Sumatra lebih beruntung ketimbang saudaranya di Jawa. Tapi tengara Sumatra meniru Jawa begitu nampak terlihat: harimau dipaksa mendiami dataran yang lebih tinggi, dan terkurung di habitat-habitat yang terpisah.

Jerat yang dipasang pekebun di pedalaman Kuantan Singingi, Riau, menyasar harimau betina yang bunting. Jerat pemburu merupakan alat yang mematikan bagi harimau.

DIHADANG RATUSAN JERAT

Saat ini, tim gabungan dan lembaga swadaya masyarakat telah menempuh ribuan kilometer jalur patroli di wilayah inti harimau. 92

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

FOTO: FITRIANI DWI KURNIASARI WILDLIFE CRIME TEAM RIAU/WWF-INDONESIA CENTRAL SUMATRA PROGRAM

Patroli untuk mengamankan habitat dan populasi harimau dari jeratjerat pemburu. Ratusan jerat telah dimusnahkan, tapi pemburu juga masih terus saja memasangnya. Ini seperti pacuan antara protagonis dengan para kriminal. Sekitar 600-an ekor harimau sumatra kini menghadapi ratusan jerat yang tersebar di hutan-hutan dataran dataran rendah hingga pegunungan di Bukit Barisan. Perlu kerja keras bersama para pihak, untuk penegakan hukum dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencegah punahnya harimau di Sumatra. KERJASAMA PARA PIHAK

Pemerintah telah menetapkan taman nasional, suaka margasatwa, dan cagar alam yang dapat menjadi rumah terakhir bagi harimau sumatra. Tiga taman nasional di antaranya mengamankan sebagian Bukit Barisan. Di ujung utara, Taman Nasional Gunung Leuser melindungi sebagian ekosistem Leuser; di bagian tengah, ada Taman Nasional Kerinci-Seblat; dan di ujung selatan menghampar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Harimau juga mendiami dataran rendah, seperti Taman Nasional Batang Gadis, Sumatra Utara; Taman Nasional Way Kambas, Lampung; Taman Nasional Berbak-Sembilang, Jambi; Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, Riau; Cagar Alam Pinus Jantho dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh; Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Sumatra Selatan, dan beberapa kawasan konservasi lain. Di dataran rendah, habitat harimau telah terkoyak perkebunan dan pemukiman yang terus berkembang. Padahal, harimau yang butuh daerah jelajah luas menuntut kesinambungan hutan-hutan. Inilah yang kini mulai langka. Alhasil harimau masuk ke wilayah manusia, lalu pecahlah konflik. Sayangnya kawasan konservasi di dataran rendah tidak cukup luas bagi harimau untuk bertahan hidup. Satwa pemangsa ini membutuhkan daerah penyambung, atau biasa disebut koridor hutan. Tanpa koridor, dalam puluhan tahun ke depan, daya sintas harimau di dataran rendah akan berkurang, entah karena konflik ataupun perburuan. Bila koridor tak terwujud, kelak hanya tersisa populasi harimau di pegunungan Bukit Barisan. Pada saat yang sama, deforestasi masih terus terjadi di kawasan konservasi. Berbagai upaya menahan penggundulan hutan konservasi nampaknya belum sepenuhnya berhasil. Indonesia perlu memperkuat strategi konservasi mamalia besar di Sumatra, seperti harimau, badak, orangutan, dan gajah. Kebijakan pemerintah daerah perlu dipaduserasikan demi pembangunan berkelanjutan yang mewadahi konservasi keragaman hayati.*** MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

93

LINI MASA HARIMAU SUMATRA Kendati masih bertahan hidup hingga sekarang, harimau sumatra masih dalam status terancam punah. Hantu kepunahan masih membayangi satwa yang dipuja dan sekaligus ditakuti ini. Di sisi lain, patut disyukuri, para pihak memberikan perhatian serius bagi kelangsungan hidup penguasa rimba Sumatra ini. Sejak kira-kira tiga dekade lalu, perlahan tapi pasti, para pelestari telah berupaya keras. Mereka berpacu dengan waktu. Tak ada lagi langkah mundur; yang ada: terus maju menyelamatkan si kucing besar. 1773 1816

Catatan di Mukomuko, Bengkulu, harimau begitu banyak dijumpai seluruh negeri. 1838

Imbalan atau premi pertama untuk harimau yang ditangkap atau dibunuh wilayah pesisir barat Sumatra. 1847

Di Tebingtinggi, serangan harimau sangat besar. Dari 47 pekerja kebun, 17 menunjukkan bekas luka serangan harimau. 1897

Imbalan dihapus lantaran tak efektif. Di Kampar, pantai timur, setiap desa diperintahkan membangun perangkap dengan umpan ternak hidup. Sistem ini cukup berhasil,100 harimau terperangkap. 1928

Usulan pertama untuk melindungi sepanjang lanskap Bukit Barisan. 1910 - 1940

Pemerintahan di Sumatra menawarkan imbalan harimau. Daerah semi-otonom, seperti Asahan dan Langkat, memiliki anggaran untuk membasmi hewan berbahaya. Perkebunan di Deli juga menawarkan hadiah. 1934 –1935

Pendirian kawasan lindung di lanskap Leuser dan Bukit Barisan Selatan, yang kelak menjadi taman nasional. 1973

Konvensi internasional perdagangan dan peredaran tumbuhan dan satwa terancam punah, CITES, menetapkan harimau sumatra masuk Appendix 1: perdagangannya diawasi secara ketat. 1984 Tercatat adanya ekspor ilegal tulang harimau ke Taiwan. 1992 Lokakarya pertama analisis populasi dan habitat harimau. Konsensus: populasi 500 ekor: 400 di Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak, Bukit Barisan Selatan, dan Kerumutan dan Rimbang. Sisanya, 100 di luar kawasan konservasi.

Catatan dari Rawas, Palembang, sebuah kampung tak berpenghuni karena kehadiran harimau. 1800-an

Di wilayah Bengkulu, harimau cukup merepotkan. Elit perusahaan Inggris sering membawa kepala harimau yang dibunuh. 1844

Di wilayah Batak, para wanita yang bekerja di sawah berlindung di bawah keranjang anyaman rotan untuk berlindung dari harimau. 1854

Imbalan untuk meredam konflik harimau. Korban serangan harimau: 300 di Palembang dan 100 di Mandailing, Pesisir Barat Sumatra. 1900

Laporan rerata 60 orang menjadi korban serangan dalam setahun. 1904

344 harimau dibunuh dan sekitar 60 orang menjadi korban. 1930-an

Harga kulit harimau sumatra dalam lembaran utuh berkisar 150-350 gulden. 1970

Pemerintah melindungi harimau sumatra dengan terbitnya Keputusan Menteri Pertanian No. 421/ Kpts/Um/8/1970. 1977

Populasi harimau di alam pada 1970-an diduga sekitar 1.000 ekor. 1980-an Penunjukan taman nasional: Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan yang melindungi habitat inti harimau sumatra dan mamalia besar lain. 1990 UU Nomor 5 memperkuat perlindungan harimau sumatra.

1994 Pakar menduga sekira 36 harimau diburu pada awal 1990-an. 1997 Sejak 1985 – 1997 hutan Sumatra berubah sekitar 6,7 juta hektare. Ini menekan populasi harimau. Korban konflik harimau-manusia selama 1978 – 1997 umumnya pria yang bekerja siang hari di tepi hutan. Konflik tertinggi di Sumatra Barat, 48 kasus; Riau, 36; dan Aceh, 34. 2002 Selama 1998 - 2002, tercatat 35 ekor harimau korban konflik. Sekira 253 ekor harimau tersingkir dari habitatnya. TRAFFIC melakukan observasi 24 kota besar dan kecil di 8 provinsi. Hasilnya, hanya di 7 kota kecil tak ditemukan bukti perdagangan harimau. Sejak 1998, 253 harimau dibunuh atau ditangkap. Rata-rata 51 harimau per tahun. 2000 - 2004 Tercatat 40 orang tewas berkonflik dengan harimau. 2007 Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra 2007 – 2017. Perkiraan populasi di beberapa kawasan konservasi, dan belum dapat digunakan untuk menduga populasi di seluruh Sumatra. Dugaan: 250 ekor di 8 dari 18 kawasan yang diduga dihuni harimau. Harimau sumatra di lembaga konservasi ex-situ di Indonesia: 127 ekor. Di luar negeri: 244. 2016 Proyek Sumatran Tiger di empat lanskap: Kerinci Seblat, Leuser, Bukit Barisan Selatan dan BerbakSembilang. Proyek ini bertujuan meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap prioritas Sumatra. Untuk mencapai sasaran itu, proyek mengadopsi praktik manajemen yang baik dengan indikator keberhasilan pemulihan populasi harimau.

1993 Selama 1970-1993, tercatat 3.994 kg tulang harimau diekspor ke Korea Selatan. 1995 Sumatran Tiger Project pertama di Taman Nasional Way Kambas. Pemantauan populasi pertama kali dengan kamera intai. 2000 Pada dasawarsa ini perkembangan baru dalam upaya melindungi harimau dan menghentikan perburuan, taman nasional memiliki unit perlindungan harimau. Tim ini berpatroli untuk mendeteksi perburuan, investigasi, penangkapan, dan pendidikan masyarakat di sekitar taman nasional. 2004 Pemerintah menetapkan Tesso Nilo sebagai taman nasional untuk memastikan masa depan harimau. 2006 Survei ulang TRAFFIC di 22 kota besar dan kecil di 7 provinsi—kecuali Aceh. Hasilnya, hanya 9 kota besar dan kecil tidak ditemukan perdagangan harimau. 2007 - 2008 Sumatra Wide Tiger Survey yang pertama di seluruh Sumatra. Survei okupansi ini merupakan kegiatan kolaboratif untuk memantau pola sebaran harimau di seluruh kawasan yang tersisa di Sumatra. 2008 Lompatan penting konservasi harimau: Global Tiger Initiative. Setiap negara menyusun program nasional pemulihan harimau: National Tiger Recovery Program (NTRP). Strategi Konservasi Harimau Sumatra 2007 - 2017 menjadi bekal dalam menyusun NTRP tersebut. 2018 Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra 2018 - 2028. Pada strategi pada periode ketiga ini, para pihak menekankan upaya konservasi harimau di lanskap yang belum tersentuh pengelolaan. Para pelestari menggelar Sumatra Wide Tiger Survey yang kedua. Dengan membandingkan survei sebelumnya, dapat diketahui sebaran harimau dalam skala ruang dan waktu.

WASPADA SUMATRA

Harimau sumatra dalam desakan zaman. Sejak masa transisi abad ke-19 ke abad ke-20, Sumatra mulai dipandang sebagai tanah harapan baru. Usai perang Jawa yang menguras keuangan kolonial, pemerintah kolonial lantas melirik sumber daya Bumi Andalas. Ekspansi Belanda salah satunya didorong motif ekonomi dengan membuka perkebunan komoditas ekspor dan pertambangan—seperti batu bara di Sumatra Barat atau minyak di Sumatra bagian utara. Setelah Jawa, Sumatra dipandang wilayah yang masih ‘kosong’ untuk dibuka demi kepentingan ekonomi. GELOMBANG PERTAMA

Ekspansi ekonomi Belanda diiringi dengan masuknya modal asing untuk perkebunan. Pada 1870, pemerintah menerapkan kebijakan pintu terbuka demi aliran investasi swasta di sektor perkebunan tembakau di Sumatra bagian timur. Ini bisa dikatakan gelombang pertama pembukaan wilayah hutan dengan ribuan kuli dari Cina dan Jawa. Pada 1891, perkebunan tembakau surut lantaran produksi melebihi permintaan pasar. Untuk itu, pada 1904, pemodal melirik komoditas lain: karet, kopi, teh, dan kelapa sawit. Seperti di Jawa, perkebunan baru di Sumatra dibuka dengan membersihkan belantara dan kawasan lain yang belum digarap. Antara 1910 - 1940, selain otoritas di Batavia, kadang-kadang perkebunan menawarkan imbalan untuk perburuan harimau. Beberapa daerah di Sumatra yang semi-otonom punya anggaran tahunan untuk membasmi hewan berbahaya, termasuk harimau. Selain untuk melindungi diri, aset, dan investasi, imbalan mendorong pekebun menjadi pemburu. Setelah 1870, seiring dengan keinginan mendapatkan konsesi perkebunan, gaya hidup berburu berkembang di kalangan elit perkebunan. Pemilik perkebunan juga menggunakan perangkap harimau, seperti perangkap tikus tapi berukuran raksasa. Perangkap

Pembukaan lahan besar-besaran lanskap di Deli, pesisir timur Sumatra ini untuk perkebunan tembakau. Setelah hutan lebat ditebangi, bukit-bukit Deli terlihat seperti lanskap permukaan Bulan yang keriput. Begitu kesan yang berkembang saat ledakan investasi perkebunan tembakau di Deli.

berbahan besi produksi Jerman ini bisa dibeli di Batavia, dan digunakan pemilik perkebunan di Aceh, Asahan, Deli, dan Padang (juga Pulau Jawa: di Priangan dan Besuki). GELOMBANG KEDUA

Sekitar dua dekade setelah kemerdekaan, pemerintah Orde Baru hendak meningkatkan pendapatan negara dari sektor kehutanan. Sejak 1970-an, seperti meniru kebijakan pintu terbuka Belanda, pemerintah menerbitkan kebijakan yang mendorong pemodal dan badan usaha menjalankan pengusahaan hutan. Sekali lagi, kawasan hutan di Sumatra dan pulau luar Jawa, menjadi lahan baru bagi pengusahaan hutan. Fase awal pengusahaan hutan bersifat ekstraktif: menebangi kayu-kayu komersial dari hutan hujan tropis. Memang ada beberapa skema silvikultur, seperti tebang pilih, tebang habis permudaan alam, hutan tanaman industri, dan sebagainya, faktanya sampai berakhirnya Orde Baru pada 1998, industri kehutanan memasuki masa senjakala. Ini menunjukkan praktik pengusahaan yang gagal dalam menjaga kelestarian hutan. Hingga era Reformasi, pada 2005, masih ada tak kurang 389 hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri. Selama 1985 sampai 1997, hampir 6,7 juta hektare tutupan hutan telah menghilang dari Pulau Sumatra.

FOTO: REPRO ‘KLAMBOES, KLEWANGS, KLAPPERBOMEN’

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

97

GELOMBANG KETIGA

Pengelolaan hutan masa Orde Baru menyisakan gejolak dan konflik sosial. Setelah kisruh politik 1998, pembalakan liar menghantam hutanhutan tersisa di Sumatra. Praktik penebangan liar serta perdagangan kayu ilegal mencapai puncaknya menjelang berakhirnya Orde Baru menuju era Reformasi. Masa ini bisa dibilang kegelapan bagi hutan Sumatra dan pulau-pulau lain. Pada 1999, kerugian dari tindak kejahatan kehutanan mencapai 59 juta kubik kayu per tahun. Pada periode 1990 –2000, setelah Brazil, Indonesia menjadi negara kedua tertinggi di dunia yang kehilangan tutupan hutan. Selama kurun 2004-2010, kerugian negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 169,7 triliun. Kerugian ini belum membilang hilangnya sumberdaya alam hayati, bencana alam akibat rusaknya hutan, dan rusaknya tata kelola kehutanan. Antara 2000 – 2005 saja diperkirakan deforestasi di Pulau Sumatra mencapai 1,35 juta hektare, dengan rata-rata per tahun 269.100 hektare. 98

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Manusia menduduki habitat harimau, lalu mengembangkan lahan budidaya. Warga mengunduhnya secara bebas, seperti di Bukit Barisan Selatan (kiri). Sementara itu, kawasan hutan juga telah dikelola manusia. Seperti di wilayah hutan kemasyarakatan di Lampung ini yang sedang didera konflik dengan gajah (kanan).

Pada masa ini, perambahan juga menyasar kawasan konservasi, menusuk langsung ke wilayah perlindungan bagi harimau dan satwa liar lain. Hingga kini, hampir tak ada solusi efektif untuk mengurai masalah perambahan. Pada saat yang sama, tuntutan otonomi daerah memunculkan pemekaran wilayah-wilayah baru. Sebagian wilayah baru ini berada di kawasan hutan, yang membutuhkan jaringan jalan dan infrastruktur bagi pusat-pusat ekonomi baru. Sekali lagi, muncullah fenomena desa-desa definitif di kawasan hutan. Selama masa ini, pada 2000, kepala daerah berwenang memberikan izin pemanfaatan kayu skala 100 hektare dan hak pengusahaan hutan skala 10 ribu hektare. Akibatnya, skala pembukaan kawasan hutan semakin meluas, dengan praktik pengelolaan yang mengabaikan kelestarian. Ringkas cerita, kawasan hutan yang semestinya menyangga kawasan konservasi justru semakin dirambah populasi manusia.***

FOTO: AGUS PRIJONO (KEDUANYA)

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

99

Banda Aceh

WASPADA SUMATRA ROBOHNYA SUMATRA KAMI Rimba raya Sumatra menjadi rumah bagi harimau, gajah, badak, dan orangutan. Namun dalam dua dekade belakangan, hutan tua Sumatra menyusut 40 persen. Belantara yang dulu lebat kini tinggal 8 persen. Sumatra telah kehilangan 7,5 juta hektare hutan antara 1990 - 2010, dan sekitar 2,6 juta hektare di antaranya hutan primer. Kajian peneliti menunjukkan tingkat degradasi hutan Sumatra turun sekitar 61 persen antara 1990 - 2000, turun dari 542 ribu hektare ke 211 ribu hektare per tahun. Luasan hutan yang musnah akibat penebangan liar juga menurun dari 192 ribu hektare per tahun menjadi 40 ribu hektare per tahun. Sementara degradasi hutan primer antara 2000 - 2010 menurun drastis: 218 ribu hektare per tahun, menjadi 42 ribu hektare per tahun. Menurunnya degradasi hutan ini nampaknya lantaran menipisnya cadangan kayu alam di Sumatra.

ACEH

DEFORESTASI SUMATRA 1990 - 2010 42 persen

RIAU

Angka rata-rata kehilangan hutan Riau yang tertinggi di Sumatra. Sekitar 42 persen hutan di provinsi ini sirna antara 1990 hingga 2010.

18

SUMATRA SELATAN 15

JAMBI 8

SUMATRA UTARA 7

ACEH 5

SUMATRA BARAT 4

BENGKULU 1 LAMPUNG

PENYUSUTAN TUTUPAN HUTAN PRIMER 1990 - 2010 0,5 ACEH

1

1,5 2000 2010

2 JUTA HEKTARE 1990

SUMATRA UTARA SUMATRA BARAT RIAU JAMBI SUMATRA SELATAN BENGKULU LAMPUNG

PETA: ESRI, USGS, NOAA, WWW.INTACTFORESTS.ORG, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: MARGONO, B. A., TURUBANOVA, S., ZHURAVLEVA, I., POTAPOV, P., TYUKAVINA A., BACCINI, A., GOETZ, S., AND HANSEN, M.C. 2012. MAPPING AND MONITORING DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION IN SUMATRA (INDONESIA) USING LANDSAT TIME SERIES DATA SETS FROM 1990 TO 2010 . ENVIROMENTAL RESEARCH LETTER. DEFORESTASI MELAMBAT, TAPI HUTAN TROPIS SUMATERA KINI TELANJUR MUSNAH . MONGABAY.CO.ID.

PENDORONG DEFORESTASI Antara 1950-an - 1960-an, penyebab utama hilangnya hutan Sumatra adalah ekspansi pertanian dan penebangan hutan skala kecil untuk kopi dan karet. Pada dekade selanjutnya, di era 1970-an hingga 1990an, operasi perusahaan kayu skala besar dan hutan tanaman industri menjadi faktor utama deforestasi, sementara program transmigrasi dan kebakaran hutan antara 1982 -1983 menjadi faktor sekunder. Setelah era 1990-an, perkebunan sawit, industri bubur kertas dan bubur kayu menjadi faktor utama deforestasi, sementara penebangan liar menjadi penyebab utama degradasi hutan.

Medan

SUMATRA UTARA

Pekanbaru

RIAU SUMATR A BAR AT

Padang

Jambi

JAMBI

BENGKULU

Palembang

SUMATRA SELATAN

Hutan Utuh 2016

Bengkulu

Hutan Primer 2014 Hutan Terdegradasi 2000 Hutan Terdeforestasi 2012 - 2014 Hutan Terdeforestasi 2000 - 2012

LAMPUNG

Hutan Terdeforestasi 1990 - 2000 KILOMETER

0

105

210

Bandarlampung

WASPADA SUMATRA

HARIMAU DI KALA ANTROPOSEN

Sungguh, ini situasi yang tak nyaman. Namun rasa tak enak kadang diperlukan untuk memahami derita panjang harimau sumatra. Simak sejenak kisah pilu dari pedalaman Kuantan Singingi, Riau, ini. Masih tumbuh dalam kandungan, dua janin itu meregang nyawa mengikuti kematian induknya. Semula, si induk terjerat jebakan senar yang dipasang pekebun. Harimau itu sebenarnya bisa melepaskan diri. Namun, rupanya senar baja itu masih melilit pinggangnya. Beberapa hari kemudian, tim pelestari menemukan ia mati tergantung di tepi jurang dengan sling yang mencekik pinggangnya. Kejadian ini begitu dramatis: harimau betina itu bunting! Memandangi foto ini semestinya tak nyaman bagi akal yang beradab. Sebingkai foto yang merangkum seribu kata ihwal citra kelam interaksi harimau dengan manusia di zaman ini. Sampai dasawarsa kedua abad ke-21, hubungan antara manusia dan harimau sumatra seolah meniti kembali garis nasib harimau jawa: pertikaian tiada akhir. Dari abad ke-17 sampai era kolonial berakhir, pelajaran dari Jawa menegaskan konflik selalu berujung pada satu pihak yang kalah, entah manusia entah harimau. Hasil akhirnya: kekuasaan harimau di Jawa dan Bali runtuh pada abad ke-20. Itu kisah pertarungan habis-habisan. Sekarang, lantaran pertikaian tiada akhir, khalayak mengenal harimau sumatra dari berita-berita konflik. Dan sayangnya, berita konflik hampir selalu diikuti dengan prasangka negatif. Alhasil, harimau sumatra mesti menerima prasangka buruk. Tak mengejutkan bila persepsi khalayak terombang-ambing di antara dua kutub: rindu dan dendam. Saat konflik, kerinduan mengemuka dengan adanya desas-desus harimau masih dijumpai di Pulau Jawa. Di balik kabar angin itu, tersirat harapan dan kerinduan akan kehadiran harimau di alam liar Jawa.

Tim medik satwa membedah total harimau betina yang mati terjerat sling. Dari hasil nekropsi, diketahui harimau betina ini menderita kerusakan ginjal dan hati. Setiap kematian berarti satu langkah mendekatkan harimau sumatra ke jurang kepunahan.

FOTO: FITRIANI DWI KURNIASARI WILDLIFE CRIME TEAM RIAU/WWF-INDONESIA CENTRAL SUMATRA PROGRAM

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

103

Bayangkan menjemput ajal dengan cara penuh penderitaan seperti ini. Semakin banyak bergerak, jerat sling di pinggang harimau betina ini semakin mencekik erat. Banyak bergerak berarti semakin dekat dengan maut.

Sementara itu, rasa dendam nampak dari tersebarnya gambar-gambar pembantaian harimau sumatra di sosial media. Foto keji itu tersebar telanjang, tanpa sensor, tanpa pengendapan terlebih dahulu. Mari menyimak apa yang terjadi selama 2018. Tahun itu bisa dipandang sebagai momen saat relasi harimau dan manusia memasuki zaman digital. Pertikaian harimau dengan manusia merambah ranah media sosial. Simak video Bonita yang berkeliaran di perkebunan sawit seputar Suaka Margasatwa Kerumutan. Atau, foto yang menampilkan seekor harimau mati dengan usus terburai. Bagaimana mendudukkan berita-berita konflik itu dalam upaya pelestarian harimau sumatra di lanskap yang dikuasai manusia? Di antara manusia dengan harimau sebenarnya ada wilayah perantara: hutan belantara. Lanskap hutan selamanya dalam keadaan dinamis sebagai hasil proses yang lambat dan tak kasat mata. Di dalam proses itu, karena perannya sebagai pemangsa kelas atas, harimau berkuasa penuh. Ia pemuncak piramida makanan yang mengendalikan ekosistem. Meski penguasa rantai makanan, harimau tidak memandang manusia sebagai mangsa. FOTO: FEBRI A WIDODO/WWF-INDONESIA

104

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

KERINDUAN MENGEMUKA SAAT KONFLIK PECAH: DESAS-DESUS TENTANG HARIMAU JAWA JUSTRU BEREDAR DI MEDIA SOSIAL. DI BALIK DESAS-DESUS ITU TERSIRAT PENGHARAPAN HARIMAU MASIH HIDUP DI ALAM LIAR JAWA Atau, dengan sedikit imajinasi bebas, bila berhadapan satu lawan satu dengan tangan kosong: manusia paling banter ada berada di level tengah piramida makanan. Manusia jelas tunduk di hadapan kucing besar ini. Tidak heran, sebelum abad ke-20, kawasan liar begitu bermartabat disebut sarang harimau, kerajaan harimau, rumah harimau. Ia adalah raja rimba raya yang seakan menghentikan waktu di daerah kekuasaannya. Namun di kemudian hari, siapa pun mengamati lanskap harimau telah berubah drastis. Sayangnya, pengalaman menunjukkan perubahan itu sering kali buruk. Di Jawa, lanskap harimau telah didera deforestasi sejak 1850-an, dan kira-kira satu abad kemudian harimau jawa punah. Itu pula yang terjadi di Pulau Sumatra sampai abad ke-21. Alam liar Sumatra bukan lagi entitas yang tetap dan tidak dapat diubah. Manusia pelan-pelan merenggut hutan harimau untuk perkebunan, pertambangan, dan permukiman. Selanjutnya, perlahan tapi pasti, lanskap harimau telah menjadi lanskap antroposen: manusia merambah dan menguasai Sumatra. Perubahan lanskap itu memengaruhi daerah jelajah harimau secara langsung dan tak langsung. Sebagai penguasa mata rantai makanan, harimau tentu bereaksi. Itu naluri karnivor. Lalu berputarlah lingkaran setan: manusia memengaruhi harimau, harimau pun bereaksi terhadap manusia. Berbeda dengan Jawa, untuk sementara ini, Sumatra bisa memutus lingkaran setan itu: wilayah-wilayah penting bagi harimau dilindungi dan dikelola. Kawasan konservasi didirikan—beserta kawasan hutan dan kawasan budidaya—untuk melindungi populasi harimau trah terakhir ini. Kawasan konservasi adalah benteng terakhir bagi populasi inti harimau di lanskap yang telah dikuasai manusia. Indonesia telah kehilangan dua dari tiga ras harimau kepulauan. Terlalu banyak pengetahuan yang lenyap karena punahnya harimau. Bahkan harimau sumatra pun masih menyisakan misteri. Lantas, bagaimana kelak hubungan manusia dan harimau: terus berkonflik atau bisa hidup bersama? Atau bukan keduanya?*** MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

105

BANDA ACEH Sigli Jantho

WASPADA SUMATRA

Bireuen

ACEH Takengon

KECAMUK KONFLIK Penggundulan hutan mempersempit habitat harimau sumatra. Populasinya terpecah-pecah di sisa hutan yang terputus-putus. Apa boleh buat: harimau terpaksa berebut ruang hidup dengan manusia. Benturan pun tak terelakkan. Padahal, tak semua orang yang berinteraksi dengan harimau punya pengetahuan yang cukup untuk hidup di wilayah jelajah harimau. Lantaran habitatnya menyusut, populasi mangsanya menurun, sementara populasi manusia semakin meningkat, harimau terpaksa berselisih dengan masyarakat. Interaksi negatif ini menimbulkan korban dan kerugian di kedua belah pihak.

Langsa Melauboh Blangkeujeren Blangpidie

Tapaktuan

K

230 TITIK TERPANAS Aceh membukukan insiden konflik terbanyak. Kasus terbanyak: pemangsaan ternak, 122 insiden.

KISAH KLASIK

Perselisihan antara manusia dan harimau telah terjadi pada abad-abad lampau. Pada masa kolonial, harimau dipandang sebagai hewan berbahaya dan pengganggu. Prasangka ini semakin memanaskan situasi: manusia dan harimau terjebak dalam pusaran konflik. Jawa membuktikan, harimau akhirnya kalah. KORBAN MANUSIA 1820 - 30

400 200

1850-an 90

1862 - 81 Jawa

Sumatra

KORBAN MANUSIA DI SUMATRA 1818 - 1855 100 Bengkulu - 1818 Lampung - 1820 Palembang - 1854 Tapanuli - 1855 100

KORBAN KONFLIK 1978 - 1997 MANUSIA HARIMAU

146

TEWAS

30

LUKA

400

180

50 60

1882 - 1904

265 97 MATI

DITANGKAP

675 300

TERNAK

392

PIARAAN UMUM

354

KAMBING

95

SAPI & KERBAU

27

ANJING

27

KUDA

PENYULUT KONFLIK Selain berkurangnya tempat hidup, ada beberapa faktor yang dapat memicu pertikaian antara harimau dan manusia. Dari kajian data konflik yang tercacat, ada beberapa faktor pemicu. Ini dua di antaranya.

1

Jarak desa dengan taman nasional atau hutan lindung. Semakin dekat, peluang konflik semakin besar.

2

Langka

Babussalam Bin

Kepadatan ternak di pemukiman dekat hutan. Semakin padat ternak, peluang konflik semakin besar.

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: BOOMGARD, PETER. 2001. FRONTIERS OF FEAR, TIGERS AND PEOPLE IN THE MALAY WORLD, 1600 - 1950. YALE UNIVERSITY. KARTIKA, E. C. 2017. SPATIO-TEMPORAL PATTERNS OF HUMAN TIGER CONFLICT IN SUMATRA 2010 -2016. DIREKTORAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM, KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, JAKARTA. NYHUS, P.J. & R. TILSON. 2004. DIKUTIP DALAM SUNARTO, WIDODO, E., DAN PRIATNA, D. TANPA TAHUN. RAJUT BELANG: PANDUAN PERBAIKAN PRAKTIK PENGELOLAAN PERKEBUNAN SAWIT DAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA. DEPARTEMEN KEHUTANAN, WWF, HARIMAUKITA, ZSL.

Do

TITIK KONFLIK 2001 - 2016 Pertikaian terheboh terjadi selama empat bulan pertama 2018, saat harimau memangsa dua manusia di Indragiri Hilir, Riau. Sebelumnya, pada 2009, Salma menebar ketakutan di Jambi. Ia memangsa 10 manusia. Kisah dua harimau betina itu hanya segelintir dari ribuan kasus konflik harimau-manusia. Selama kurun 2001-2016, di seluruh Sumatra tercatat 1.065 kasus. Titik-titik konflik menyebar di sekujur pulau, dari utara ke selatan, dari pesisir barat ke pesisir timur.

at

njai MEDAN

Kabanjahe

oloksanggul

71

SUMATRA UTARA Balige

Bagan Siapiapi

Rantauprapat

Tarutung

148

Dumai Padang Sidempuan

Panyabungan

WASPADA! Serangan harimau terhadap manusia dominan di Provinsi Riau: 75 kasus.

RIAU PEKANBARU Pelalawan Kampar

Limapuluhkota Payakumbuh

SUMATRA BARAT

Rengat

Tanah Datar

WASPADA JUGA! Serangan terhadap manusia terbanyak kedua ada di Jambi.

Sawahlunto

PADANG

203

Muara Sabak Painansalido JAMBI

JAMBI

82 Mukomuko Utara

Muara Aman

Sukamarga

Argamakmur

NASIB HARIMAU Akhir konflik di Bengkulu didominasi harimau dibunuh atau ditangkap: 30 kasus.

PALEMBANG Lubuklinggau

Curup

SUMATRA SELATAN

Tebingtinggi

BENGKULU

216

Lahat Pagaralam

Ogan Komering Ulu

Manna

LAMPUNG

KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL LOKASI KONFLIK

Liwa

TAMAN NASIONAL

KILOMETER

0

105

13

Musi Banyuasin

BENGKULU

210

HANYA MELINTAS Konflik umumnya berlevel rendah: harimau berkeliaran.

Sukadana

95

Kotaagung

BANDARLAMPUNG

WASPADA SUMATRA Selama 2001-2016, di seluruh Sumatra tercatat 1.065 kasus konflik dengan berbagai tingkat risiko. Risiko Tinggi

Risiko Rendah

Risiko Sedang

375

376

184

Harimau berkeliaran di tempat manusia. Tanpa korban, tapi menebar ketakutan.

Harimau memangsa ternak. Dampak: ternak mati atau terluka, menebar ketakutan.

Harimau menyerang manusia, ada korban mati atau terluka.

130

Manusia membunuh harimau dengan racun, senapan ataupun jerat.

SEBARAN DAN TINGKAT RISIKO KONFLIK 2001 - 2016 Sumatra Selatan Lampung Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Bengkulu Aceh 25

50

75

100

Level Rendah

125

150

Level Sedang

175

200

Level Tinggi, korban manusia

225

250

Level Tinggi, korban harimau

NASIB HARIMAU KORBAN KONFLIK Setelah konflik usai, nasib harimau bermacam-macam.

879 LARI

8

LARI, TERLUKA

130 M ATI

43

KEBUN BINATANG

5

TRANSLOKASI

Usai selamat dari serangan harimau, warga di pedalaman Kerinci Seblat ini mengaku bisa merasakan kehadiran kucing besar itu. Konflik selalu merugikan kedua belah pihak: harimau dan manusia. FOTO: AGUS PRIJONO

WASPADA SUMATRA

GENEALOGI PERBURUAN HARIMAU

Perburuan harimau punya sejarah panjang, sejak dari masa klasik, kolonial, kemerdekaan, hingga kini. Sepanjang masa itu, harimau hampir selalu menjadi sasaran perburuan dengan beragam dalih. Pada masa klasik, salah satu tujuan perburuan harimau adalah untuk status kerajaan Jawa. Selama abad ke-17 sampai 18, perburuan harimau berkembang untuk keperluan perhelatan istana: rampogan macan dan adu harimau versus banteng. Untuk itu, di kompleks istana Jawa, terdapat kandang harimau dan satwa lain. Meski tidak berburu harimau, untuk ritual kerajaan itu, raja Jawa memiliki balapunggawa penangkap harimau. Pada saat yang bersamaan, di wilayah jajahan kolonial, harimau dikejar-kejar karena dianggap mengganggu manusia. Harimau dalam pandangan kolonial termasuk golongan hewan berbahaya yang pantas dibasmi. Semenjak pertama kali membangun pos dagang di Batavia pada abad ke-17, pejabat kompeni telah mempekerjakan pemburu profesional. Kadang-kadang, para elit kompeni juga menggelar perburuan di luar Batavia. Rusa dan babi hutan adalah hewan buruan biasa. Tetapi, seiring waktu para pemburu kompeni juga mengejar hewan pengganggu: ular besar, badak, buaya, dan harimau. Informasi tentang perburuan harimau oleh petani Jawa sebelum tahun 1700 amat langka dan kurang rinci. Sebagian besar informasi tentang perburuan selama abad ke-18 lebih banyak mengacu kawasan di sekitar Batavia. Yang sering disebut adalah tentang perangkap harimau berupa kandang kayu berpintu penjebak, dengan hewan umpan di dalamnya. Petunjuk awal tentang perburuan berangka tahun 1627–1631 tentang perangkap harimau yang dibangun Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier. Kandang jebak ini rupanya meniru perangkap asli dari Jawa. Beberapa kali disebutkan kandang ini berhasil menjebak harimau.

Dua janin ini turut meregang nyawa bersama induk yang terjerat sling. Seolah hampir tak ada yang meratapi kematian satu, dua, atau tiga harimau.

Setelah 1800, situasi itu tidak banyak berubah meski pemerintah Belanda mengambil-alih kewenangan kompeni. Dalam perspektif masa kini, istilah hewan pengganggu biasa disebut dengan konflik harimau dan manusia. Dengan demikian, sejarah perburuan berkaitan erat dengan pertikaian harimau dengan manusia. Harimau begitu merepotkan sehingga pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan sistem imbalan untuk membasminya (dan macan tutul). Sistem hadiah ini mendorong siapa pun memburu harimau dengan segala cara. Bahkan dalam perkembangannya, teknik perburuan juga memakai cara Nusantara, dengan kandang perangkap dan jebakan mangsa beracun. (Bila harimau ada di mana-mana, Anda bisa mengikat kambing yang mengembik-embik di tepi hutan. Dan bravo, Anda dapat harimau!) Namun, sebagian masyarakat berpendapat harimau tidak pantas diburu secara sistematis. Harimau yang tidak mengganggu ternak dan manusia dipandang sebagai pelindung desa. Pandangan ini lazim ditemukan di Jawa dan Sumatra. Sebagian lagi, masyarakat berpandangan membunuh harimau akan meningkatkan jumlah babi hutan, lalu menjadi hama tanaman. Berdasarkan pengalaman, bila pemangsa ini dibunuh, kawanan babi hutan akan lebih sering merusak tanaman pertanian.

FOTO: FITRIANI DWI KURNIASARI WILDLIFE CRIME TEAM RIAU WWF-INDONESIA CENTRAL SUMATRA PROGRAM

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

111

Tapi, nampaknya zaman berubah. Sistem imbalan menimbulkan fenomena baru: orang Jawa mencari nafkah dengan menangkap harimau—dan macan tutul. Keberadaan pemburu lokal profesional ini tercatat di Priangan, Jawa bagian barat; serta Madiun dan Besuki, Jawa bagian timur. Keberadaan pemburu profesional memang masih jarang disebut sebelum 1860. Barangkali jabatan ‘mantri harimau’ di Yogyakarta dan Banyumas, yang spesialis membuat perangkap, bisa dibilang sebentuk pendahulu pemburu profesional. Sangat mungkin untuk menerka: naiknya nilai imbalan pada 1854 semakin mendorong orang menjadi pemburu. Pada 1853 misalnya, penduduk di Banten sisi utara memburu harimau kendati tidak mengganggu manusia dan ternak. Pun di ujung timur Jawa, pada 1895, pemburu-pemburu di Banyuwangi mengejar harimau demi mendapatkan imbalan. Pada 1872 imbalan yang untuk kepala harimau di Tegal, Jawa bagian tengah, senilai 3.000 gulden. Waktu itu, ada beberapa lusin harimau dibunuh untuk memperoleh imbalan. Keadaan sedikit berbeda di Sumatra. Kepercayaan lokal terhadap harimau membuat imbalan tidak efektif. Pandangan supranatural masyarakat Sumatra meyakini harimau adalah leluhur, dan diyakini bisa membantu manusia. Bila seseorang diserang harimau berarti ia telah melakukan kesalahan. Namun, bukan berarti tak ada perburuan, terutama bagi harimau yang menyerang ternak dan manusia.

Benda-benda ini mungkin bagian tubuh harimau. Di sejumlah pelosok Sumatra dapat dijumpai orang yang sengaja menyimpan serpihan kulit, kuku, siung, sekadar untuk kewibawaan. Satu keyakinan fiktif yang mematikan bagi harimau.

FOTO: AGUS PRIJONO

112

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Semenjak kebijakan Tanam Paksa, yang membuka lahan-lahan budidaya baru di pedalaman Jawa, cakupan konflik dan perburuan semakin meluas. Pun, ketika Belanda membuka perkebunan di pesisir timur Sumatra. Harimau yang kerap menghampiri kompleks perkebunan mendorong pemilik kebun memburu satwa ini. Umumnya, para pemburu berasal dari dunia militer dan pemilik perkebunan. Berkembangnya perkebunan baru, baik di Jawa maupun Sumatra, rupanya menarik minat pemodal dan aristokrat Belanda yang hobi berburu untuk datang ke Indonesia. Jadi, meski imbalan sudah dihapus—tapi masih diberikan di Sumatra, antara akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, tujuan perburuan bertambah. Dari hanya untuk mendapatkan imbalan, kini juga untuk olah raga kesenangan. Dalam olah raga berburu, membunuh harimau berarti mendapatkan piala. Sebenarnya, pemerintah kolonial Belanda pada 1909 menerbitkan perlindungan spesies dan hukum perburuan. Undang-undang ini untuk melindungi beberapa mamalia dan burung. Undang-undang itu lantas diganti dengan ordonansi perlindungan satwa liar pada 1931. Setahun kemudian, pemerintah merilis undang-undang yang menetapkan dasar hukum untuk mengawasi cagar alam dan suaka margasatwa. Namun, pada akhirnya gaya hidup berburu adalah penentu nasib harimau di Bali dan Jawa. Perburuan merupakan pukulan terakhir bagi keberadaan harimau bali, yang terbukti punah selamanya pada 1940-an. Di Pulau Jawa, perburuan menyasar sisa-sisa populasi harimau yang telah terkurung di habitat kecil dan terpisah-pisah. Dari masa kemerdekaan sampai mendekati hari-hari terakhirnya, harimau jawa masih diburu, entah dengan menjebaknya dengan mangsa beracun ataupun dengan senapan. Di tengah maraknya perburuan untuk kesenangan dan konflik, ada juga perburuan secara sengaja untuk ilmu pengetahuan. Spesimen harimau bali ditembak dengan sengaja di Sumber Kima, Bali, pada 1937 untuk Museum Zoologi Bogor. Pada saat ini, spesimen itu menjadi satu-satunya bukti adanya harimau di Bali Sementara itu, perburuan di Sumatra belum sampai menghabisi harimau. Selain jumlah harimau lebih banyak dibandingkan di Jawa dan Bali, juga lantaran Belanda keburu angkat kaki dari Indonesia. Tapi, bukan berarti tak ada perburuan harimau sumatra. Selama 1975 dan 1992, Korea Selatan mengimpor 6.128 kilogram tulang harimau—rata-rata 340 kilogram per tahun. Sebagian besar impor ini berasal dari Indonesia: 3.720 kilogram, atau 61 persen selama 18 tahun. MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

113

Sementara impor dari negara lain bersifat sporadis, impor tulang harimau dari Indonesia terbilang rutin—hampir setiap tahun. Bila rata-rata bobot kerangka harimau sekira 12 kilogram, jumlah total berat tulang itu berasal dari pembunuhan sekitar 300-an ekor harimau. Kemudian, dari 1980 sampai 1987, Taiwan mengimpor 3.949 kg tulang harimau dan beruang dari Singapura. Tulang harimau dari Singapura nampaknya berasal dari Indonesia, karena negara kecil itu tak memiliki harimau. Catatan-catatan ini menegaskan perburuan harimau untuk memenuhi pasar obat tradisional dan perdukunan. Organ harimau memang telah lama untuk pengobatan tradisional Asia. Kulit, cakar, dan taringnya dipandang bertuah medis dan magis. FOTO: REGINA SAFRI

114

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Perburuan dan perdagangan organ harimau sumatra melibatkan jaringan tertutup dengan mata rantai yang panjang, kompleks, dan berlapis. Di tingkat pemburu dan pembeli, para pelaku berkelompok dan terhubung dalam relasi yang saling menguntungkan.

Seluruh ekspor harimau dari Indonesia sudah pasti ilegal. Pemerintah Indonesia telah melindungi harimau sumatra sejak 1970. Di tingkat global, konvensi internasional ihwal perdagangan dan peredaran tumbuhan dan satwa terancam punah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang disepakati pada 1973, memasukkan harimau sumatra dalam Appendix 1. Artinya, perdagangan dan peredaran harimau sumatra harus dikendalikan dan diawasi secara ketat. Dan, Indonesia menjadi salah satu dari 169 negara yang meratifikasi perjanjian internasional yang disusun berdasarkan resolusi sidang IUCN pada 1963 ini. Pada 1990, terbit Undang-undang Nomor 5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menegaskan perlindungan bagi harimau sumatra. Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah menetapkan pertukaran satwa harimau hanya dapat dilakukan atas persetujuan presiden. Dengan demikian, apapun dalihnya, perburuan harimau melanggar peraturan. Sebagai satwa yang terancam punah, harimau pantas dilindungi dari segala bentuk perburuan. Bahkan untuk melindungi keberadaan harimau juga mesti dibarengi dengan menjaga satwa mangsanya dari perburuan. Melestarikan harimau, namun pada saat yang sama membiarkan perburuan mangsanya seperti menjerumuskan pemangsa ini pada kelaparan. Pada tahap selanjutnya, tiadanya mangsa akan mendorong harimau mendekati permukiman untuk mencari mangsa mudah: ternak. Lingkaran sebab-akibat ini, yang jarang dipahami banyak kalangan, akan berujung pada konflik harimau dengan manusia. Dampak berikutnya, konflik menjadi dalih untuk melegalkan perburuan harimau sebagai aksi balas dendam. Pada saat ini, niat perburuan semakin rumit: mulai dari dalih ekonomi, balas dendam, sampai tak sengaja menjerat harimau dengan jebakan. Bagaimana pun, pada akhirnya setiap perburuan yang merenggut nyawa semakin mendekatkan harimau ke jurang kepunahan. Satu kematian berarti selangkah menuju kepunahan. *** MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

115

WASPADA SUMATRA

Banda Aceh

LANSKAP KONSERVASI HARIMAU Dengan memerhatikan laju deforestasi, tingkat konflik, dan perburuan, yang mengancam kelestarian harimau, para pelestari menentukan lanskap konservasi harimau atau tiger conservation landscapes (TCL). Kawasan lanskap diidentifikasi berdasarkan sejarah distribusi harimau dunia, kesesuaian habitat, perkembangan penduduk, dan aspek lainnya. Dari hasil identifikasi itu, ada 76 landskap konservasi harimau secara global. Penurunan populasi dan habitat yang drastis menjadi alasan kenapa 76 lanskap ini penting untuk dipertahankan. Pada 2006 para ahli mendefinisikan lanskap konservasi sebagai blok hutan yang potensial sebagai habitat harimau berdasarkan rekaman pasti bahwa selama 10 tahun terakhir diyakini masih dihuni harimau.

ULU MASEN

EKOSISTEM LEUSER Kondisi saat ini: Hanya subpopulasi di Leuser-Ulu Masen dan Kerinci Seblat yang dapat bertahan hingga 100 tahun.

LANSKAP KONSERVASI HARIMAU DI SUMATRA

Para pelestari mengkaji setiap petak hutan yang dihuni dan tidak dihuni harimau. Pada tahap selanjutnya, pelestari melakukan ekstrapolasi kepadatan harimau di habitat serupa yang dimonitor, dan luasan habitat yang tersedia. Harimau sumatra saat ini masih ada di 23 lanskap. Hasil analisis tingkat kelangsungan hidupnya: populasi harimau diperkirakan berada dalam kisaran 600 ekor. Populasi harimau tersebut terdistribusi di tiga tipe lanskap: kecil, sedang, besar. POPULASI MINIMAL UNTUK SINTAS

Berbekal data deforestasi dan perburuan, pelestari menduga nasib harimau di masa datang. Dengan analisis populasi, dapat diduga peluang hidup harimau dalam jangka waktu dan lingkungan tertentu.

35

Dibutuhkan minimal 35 ekor, agar harimau mampu bertahan hidup pada satu lanskap. Itu pun dengan syarat: daya dukung habitat setara untuk 70 ekor harimau. DUA TIPE LANSKAP KONSERVASI HARIMAU

Arah strategi dan aksi konservasi harimau di masa datang didasarkan pada dua tipe lanskap: terkelola dan belum terkelola. Pembagian ini didasari pemahaman bahwa lanskap yang belum terkelola memiliki lebih banyak tantangan, dan perlu intervensi pengelolaan intensif, dibandingkan dengan lanskap yang terkelola. LANSKAP TERKELOLA

Ada otoritas pengelola dari pemerintah, dengan anggaran dan program khusus konservasi harimau.

LANSKAP BELUM TERKELOLA

Masih dihuni harimau, bisa di bawah otoritas pemerintah atau tidak, tapi tak ada anggaran dan program khusus konservasi harimau

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM, FORUM HARIMAUKITA. TEKS: PUSPARINI, WULAN. 2016. LAPORAN AKHIR SUMATRAN TIGER PVA 2016 . PENYUSUN: WULAN PUSPARINI, TOMI ARIYANTO, LILI SADIKIN, FEBRI ANGGRIAWAN WIDODO. DISUSUN FORUM HARIMAUKITA UNTUK KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN. TIDAK DIPUBLIKASIKAN.

SKALA LANSKAP

Dari analisis kesintasan populasi, harimau tersebar di tiga skala lanskap: kecil, sedang, besar, dengan jumlah minimum di tiap sub-populasi antara 1 hingga 185 harimau. LANSKAP BESAR BERDAYA DUKUNG

>70

Medan

TANAH KARO

LANSKAP SEDANG BERDAYA DUKUNG

ASAHAN

20-70

SENEPIS-BULUHALA DOLOK SURUNGAN

LANSKAP KECIL BERDAYA DUKUNG

BATANG TORU

<20

GIAM SIAK KECIL

BARUMUN

KISARAN POPULASI DI 23 LANSKAP

BATANG GADIS

Pekanbaru

600-an

KAMPAR

TESSO NILO

PASAMAN

HASIL PENDUGAAN TERBAIK 2016

Perhitungan ini berdasarkan data kamera jebak di sejumlah lanskap sebelum 2016.

KERUMUTAN MANINJAU

RIMBANG BALING BETABUH-SOSA

Padang BATANGHARI

BUKIT TIGAPULUH

Jambi

BERBAK-SEMBILANG

BUKIT DUABELAS

KERINCI SEBLAT HUTAN HARAPAN

DANGKU

Palembang PADANG SUGIHAN

LANSKAP BELUM TERKELOLA LANSKAP BESAR LANSKAP SEDANG

Bengkulu

LANSKAP KECIL KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL

TUTUPAN HUTAN 2014

BUKIT BALAI REJANG

TAMAN NASIONAL KILOMETER

0

WAY KAMBAS 105

210

BUKIT BARISAN SELATAN

Bandarlampung

WASPADA SUMATRA MASA DEPAN HARIMAU SUMATRA Berbekal data tingkat deforestasi dan perburuan, para pelestari coba menduga nasib harimau di masa datang. Dengan analisis populasi minimal yang hidup berkelanjutan, pelestari menduga peluang hidup harimau dalam jangka waktu dan lingkungan tertentu. Hanya saja, perlu diingat paparan ini berdasarkan pemodelan dari data terbaik 2016. Masih banyak ketidakpastian dari parameter pemodelan. Survei dan tambahan data di masa mendatang akan segera disusun untuk memperbaiki analisis populasi secara lebih akurat. ANCAMAN UTAMA HARIMAU SUMATRA

KONFLIK

PERBURUAN

DEFORESTASI

SKENARIO SATU ABAD KE DEPAN SITUASI POPULASI SAAT INI Kondisi saat ini: laju deforestasi 0,11 - 12,56 persen, dan perburuan menyasar 2 persen jantan dan 1 persen betina. Populasi harimau di lanskap kecil akan punah, sementara di lanskap besar dan sebagian lanskap sedang, populasi bisa bertahan hidup. PELUANG KEPUNAHAN

100%

83%

31%

LANSKAP KECIL PELUANG PUNAH 100%

LANSKAP SEDANG PELUANG PUNAH 83%

LANSKAP BESAR PELUANG PUNAH 31%

SKENARIO BILA ANCAMAN SAAT INI DIHILANGKAN Seandainya seluruh ancaman perburuan dan deforestasi saat ini ditiadakan, peluang kepunahan di salah satu lanskap sedang dan lanskap besar dapat berkurang. Contohnya untuk lanskap Batanghari dan Bukit Barisan Selatan. BATANGHARI

Peluang punah turun: 68% menjadi 17%.

BUKIT BARISAN SELATAN

Daya sintas naik: 32% menjadi 83%.

Peluang punah turun: 72% menjadi 30%.

Daya sintas naik: 28% menjadi 70%.

TEKS: PUSPARINI, WULAN. 2016. LAPORAN AKHIR SUMATRAN TIGER PVA 2016. PENYUSUN: WULAN PUSPARINI, TOMI ARIYANTO, LILI SADIKIN, FEBRI ANGGRIAWAN WIDODO. DISUSUN FORUM HARIMAUKITA UNTUK KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN. TIDAK DIPUBLIKASIKAN; INFOGRAFIS BERPACU DENGAN KEPUNAHAN, FORUM HARIMAUKITA.

SKENARIO ANCAMAN MENINGKAT Skenario 10 tahun ke depan: bila laju deforestasi meningkat 0 - 25 persen per tahun, dan perburuan menyasar 10 persen jantan dan 5 persen betina. Berikut ambang batas hingga populasi harimau mulai mengalami kepunahan di salah satu lanskap. AMBANG BATAS LANSKAP SEDANG

LANSKAP KECIL

Tak ada ambang batas: populasi akan punah dalam kondisi ancaman apapun.

Laju deforestasi 3% Perburuan menyasar 3% jantan, 1% betina Dengan laju deforestasi 9% per tahun selama 10 tahun, populasi akan punah.

AMBANG BATAS LANSKAP BESAR

Laju deforestasi 7% Perburuan menyasar 20% jantan, 2% betina. Dengan laju deforestasi 20% per tahun selama 10 tahun, populasi akan punah.

STRATEGI APA YANG BISA DILAKUKAN? SKENARIO PENGELOLAAN METAPOPULASI Metapopulasi adalah sekumpulan subpopulasi yang karena habitatnya terputus, individu hanya dapat berinteraksi pada derajat tertentu. Skenario ini membayangkan populasi harimau di Sumatra sebagai satu populasi besar yang terdiri 23 subpopulasi yang dapat saling berinteraksi. Artinya, setiap lanskap yang terpisah harus saling terhubung. Hanya populasi di Leuser - Ulu Masen dan Kerinci Seblat yang mampu bertahan meski tak terkoneksi dengan lanskap lain. Di sisi lain, bila tak terkoneksi, peluang kepunahan di 21 lanskap kecil sangat tinggi. Konsep koridor hanya mungkin bagi populasi di lanskap sedang dan besar, sementara di lanskap kecil umumnya terisolasi. Untuk populasi di lanskap kecil dibutuhkan koneksi dengan cara translokasi ataupun koridor buatan. Skenario metapopulasi ini menghubungkan subpopulasi di 23 lanskap yang terpisah melalui tiga cara: dispersal alami, translokasi, penambahan individu baru, dan perlindungan. Selain metapopulasi, strategi lain adalah pengamanan habitat dari perambahan, pembalakan, perburuan, dan mitigasi konflik.

DISPERSAL ALAMI Penyebaran harimau melalui koridor antar-lanskap secara alami.

TRANSLOKASI Perpindahan dengan bantuan manusia: pemindahan harimau konflik ke area lain, atau menambah individu baru.

PERLINDUNGAN Menjaga populasi kecil untuk berkembang biak dan menjadi sumber keragaman genetik.

MANFAAT METAPOPULASI MEMPERPANJANG KESINTASAN POPULASI LANSKAP KECIL

WAY KAMBAS

KAMPAR

8

12

14 TAHUN

MENURUNKAN PELUANG KEPUNAHAN LANSKAP SEDANG

LANSKAP BESAR

BUKIT BARISAN SELATAN, RIMBO PANTI - PASAMAN, BUKIT TIGAPULUH, BUKIT BALAI REJANG SELATAN

BATANGHARI

Peluang kepunahannya di bawah

RIMBANG BALING

50

PERSEN

48 41

0 7

PERSEN

PERSEN

BERBAK-SEMBILANG

19 TAHUN

7

19 TAHUN

WASPADA SUMATRA JALAN YANG MERENGGUT Lanskap konservasi Leuser-Ulu Masen dan Kerinci Seblat merupakan wilayah penting bagi kelestarian harimau. Sebagai dua lanskap terbesar, area ini punya daya dukung lingkungan tertinggi bagi harimau. Akan tetapi, tingginya tingkat pembangunan di Sumatra mengancam keutuhan lanskap. Ancaman yang paling sering adalah janji politisi lokal untuk membangun jalan tembus, ataupun rencana pemerintah pusat membangun pembangkit listrik di dalam kawasan konservasi. Hal itu dikhawatirkan memecah-belah populasi harimau sehingga mempercepat laju kepunahan. Sebelum terlambat, para pelestari coba mempelajari dampak jalan dan membuat skenario dengan pemodelan efek pembangunan jalan terhadap populasi dan habitat harimau di Leuser-Ulu Masen dan Kerinci Seblat. Dampak awal pembangunan jalan sering kali tidak langsung memecah-belah habitat. Umumnya, dampak awalnya akan memicu pembalakan, perambahan, perburuan, dan konflik, yang lalu menekan habitat dan populasi harimau. LANSKAP YANG TERCERAI-BERAI Jika terealisasi, pembangunan jalan Ladia-Galaska (Lautan India, Gayo-Alas-Karo) di Leuser-Ulu Masen diperkirakan akan membagi lanskap konservasi harimau ini menjadi 16 blok hutan yang terpisah. Luasan blok-blok hutan ini bervariasi antara 32 - 7.314 kilometer persegi. Hasil permodelan populasi harimau pada 16 blok hutan adalah 4 blok di antaranya: 2, 6, 12, dan 12 (Rawa Tripa) terlalu kecil untuk menampung bahkan hanya satu harimau. Untuk lanskap Rawa Tripa memang sudah kecil dan terpisah sejak awal, sebelum adanya efek pembangunan Ladia Galaska. RAMALAN BURUK Nasib harimau di lanskap Leuser-Ulu Masen jauh lebih buruk dibandingkan dengan dampak fragmentasi di Kerinci Seblat akibat jalan evakuasi bencana alam. Tidak ada populasi yang layak atau mendekati layak sintas di blok-blok hutan Lueser-Ulu Masen. Peluang kepunahan pun sangat tinggi, lebih dari 70 persen di 5 blok, dan 66 persen di blok 13. Bila dibandingkan sebelum dan sesudah pembangunan jalan, peluang kepunahan harimau di Leuser-Ulu Masen melejit hampir 9 kali lipat, dari 5 persen menjadi 49 persen; keragaman genetik turun hingga 29 persen, dari 0,89 menjadi 0,63; pertumbuhan populasi pun turun 150 persen, dari 0,03 menjadi -0,015. DAMPAK NEGATIF JALAN TERHADAP POPULASI PELUANG PUNAH KIAN BESAR

5%

49

% NAIK hampir 9 kali

KERAGAMAN GENETIK KIAN MISKIN

0,89

0,63

TURUN 29 persen

PERTUMBUHAN MINUS

0,03

-0,015

TURUN 150 persen

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: FORUM HARIMAU KITA. TANPA TAHUN. INFOGRAFIS: APA YANG TERJADI JIKA PEMBANGUNAN JALAN DILAKUKAN DI KAWASAN KONSERVASI? DITJEN KSDAE, KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, HARIMAUKITA; PUSPARINI, WULAN. 2016. LAPORAN AKHIR SUMATRAN TIGER PVA 2016. PENYUSUN: WULAN PUSPARINI, TOMI ARIYANTO, LILI SADIKIN, FEBRI ANGGRIAWAN WIDODO. DISUSUN FORUM HARIMAUKITA UNTUK KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN. TIDAK DIPUBLIKASIKAN.

ANALISIS POPULASI Populasi harimau di lanskap utuh: 420, di lanskap terbelah jalan: 68.

BANDA ACEH Populasi harimau di lanskap Leuser - Ulu Masen yang utuh.

Sigli Jantho

2

Populasi harimau di lanskap yang dipisahkan jalan.

Bireuen

3

4

1 Takengon

ACEH

6

Langsa

7

9

8

5

10

11

Meulaboh

12

Blangpidie

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

Blok hutan 13, Aceh bagian Barat, mungkin memilki keragaman genetik tertinggi ketimbang blok yang lain. Akan tetapi, populasi di blok ini tetap tak mampu sintas.

Langkat

14

13

Binjai

MEDAN

Babussalam

Tapaktuan Kabanjahe

AREA DIPERBESAR

Blok hutan 15: Suaka Margasatwa Rawa Singkil telah tersudut sebelum pembangunan Ladia Galaska. Bila jalur jalan dibuat, akan semakin memisahkan kawasan ini dari ekosistem Leuser. Kawasan berawa gambut ini dihuni harimau dan orangutan.

TAMAN NASIONAL JALAN SEDANG DIKONTRUKSI

SUMATR A UTAR A

16

15

KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL JALAN SUDAH EKSIS

KILOMETER

0

35

70

Rawa Tripa, blok hutan 12, terkucil dan terputus dari ekosistem Leuser. Jalan dan permukiman memutus koridor yang menghubungkan Rawa Tripa dengan ekosistem Leuser. Para pegiat lingkungan Aceh memenangi gugatan terhadap kebun sawit yang membakar ekosistem gambut ini beberapa tahun silam. Hingga 2018, kasus hukum Rawa Tripa kembali mencuat. Kawasan ini berlimpah karbon, dan menjadi tempat hidup harimau dan orangutan di pesisir barat Aceh. FOTO: AGUS PRIJONO

WASPADA SUMATRA

SKENARIO DAMPAK JALAN DI KERINCI

Bila kelima jalan untuk jalur evakuasi bencana alam benar-benar dibangun, Kerinci Seblat akan terbagi menjadi 6 blok, plus satu blok nomor 6 yang memang telah terkucil sebelumnya. Alhasil ada 7 blok hutan. Luas blok hutan bervariasi 355 - 4.454 kilometer persegi. Ironisnya, populasi di enam blok hutan tersebut tidak bakal sintas. Blok yang mendekati layak sintas adalah nomor 7, yang pertumbuhan populasinya positif, peluang kepunahan 33 persen, sedikit di atas ambang batas 30 persen. Namun, peluang kepunahan di empat blok diprediksi lebih dari 80 persen, dengan hanya tiga blok: 4, 5, dan 7 yang memiliki keragaman genetik yang memadai. Secara umum, populasi di akhir simulasi untuk Kerinci Seblat yang utuh sejumlah 257, masih lebih tinggi dari populasi seluruh blok hutan, sejumlah 78. Bila dibandingkan sebelum dan sesudah pembangunan jalan, peluang kepunahan harimau di Kerinci Seblat yang terpecah-belah naik 6 kali lipat, dari 3 persen menjadi 19 persen. DAMPAK NEGATIF JALAN TERHADAP POPULASI PELUANG PUNAH KIAN BESAR

3%

19

% NAIK hampir 6 kali

KERAGAMAN GENETIK KIAN MISKIN

0,86

0,73

TURUN 19 persen

PERTUMBUHAN KIAN LAMBAN

0,03

HASIL ANALISIS POPULASI Populasi lanskap utuh: 257, lanskap terpotong-potong: 78

Populasi harimau di lanskap Kerinci Seblat yang utuh.

0,0037

TURUN 87,6 persen

Populasi harimau di lanskap yang dipisahkan jalan.

MENCARI JALAN TENGAH BAGI HARIMAU Rencana pembangunan jalan evakuasi yang memotong lanskap harimau mesti diperhitungkan secara matang. Pembangunan jalan harus diiringi dengan memastikan keterhubungan habitat dan populasi. Pemerintah daerah juga turut bertanggung jawab memastikan masyarakat tidak berburu dan merusak habitat harimau. Pemerintah pusat dapat mengembangkan konsep pembangunan infrastruktur yang mempertimbangkan satwa liar. Caranya: pengendalian dampak negatif jalan terhadap populasi dan habitat harimau, perencanaan koridor satwa, dan mengembangkan opsi-opsi pendanaan bagi infrastruktur yang ramah lingkungan. PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM, FORUM HARIMAUKITA. TEKS: FORUM HARIMAU KITA. TANPA TAHUN. INFOGRAFIS: APA YANG TERJADI JIKA PEMBANGUNAN JALAN DILAKUKAN DI KAWASAN KONSERVASI? DITJEN KSDAE, KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, HARIMAUKITA; PUSPARINI, WULAN. 2016. LAPORAN AKHIR SUMATRAN TIGER PVA 2016. PENYUSUN: WULAN PUSPARINI, TOMI ARIYANTO, LILI SADIKIN, FEBRI ANGGRIAWAN WIDODO. DISUSUN FORUM HARIMAUKITA UNTUK KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN. TIDAK DIPUBLIKASIKAN.

RIAU

SUMATR A BAR AT

1 3 2

JAMBI 4

Blok hutan 7 bisa dibilang harapan di masa depan bila jaringan jalan benarbenar mengoyak Kerinci Seblat. Pertumbuhan populasinya positif, peluang kepunahan 33%, sedikit di atas ambang batas 30%. Populasi di tahun ke-100 masih lebih besar dari populasi awal.

7 Mukomuko Utara

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

SUMATRA SELATAN

5

Sukamarga

Muara Aman

BENGKULU AREA DIPERBESAR

6 Argamakmur TAMAN NASIONAL KILOMETER

RENCANA JALAN

0

30

60

BENGKULU

Curup

Pengendara baru saja ke luar dari Taman Nasional Kerinci Seblat, melalui jalan baru yang dibangun saat pemilihan kepala daerah 2018 di Kerinci. Letak jalan ini di Renah Pemetik, di antara blok hutan 3 dan 4. Rencananya, dari wilayah ini akan dibangun jalan tembus ke Bungo. Tapi, jalur jalan ini nampaknya berbeda dengan rencana jalan evakuasi. Bisa diduga, agaknya jalan ini untuk memberikan akses pekebun di taman nasional. FOTO: AGUS PRIJONO

UPAYA SUMATRA

Sejak seperempat abad lalu, para pihak telah berupaya melestarikan harimau sumatra. Menyimak tantangan yang menuntut kewaspadaan Sumatra, mengingatkan kembali pada perhatian pertama terhadap harimau sumatra pada 25 tahun lalu. Saat itu, para pelestari menggelar lokakarya pertama untuk menentukan arah konservasi harimau sumatra. Sejak itu, para pelestari telah melewati dua strategi konservasi harimau sumatra, yang pada 2018 memasuki yang ketiga. Namun, sejatinya momentum awal perlindungan harimau tercetus saat pemerintah menetapkan kawasan konservasi demi melindungi kekayaan hayati Sumatra. Status kawasan konservasi itu macammacam: cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di luar kawasan tersebut, membentang kawasan hutan dengan berbagai fungsi: hutan produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Seiring perkembangan sains, semakin banyak pihak yang terlibat dalam konservasi harimau. Para pihak ini mencakup lembaga swadaya masyarakat internasional dan nasional, yang beraktivitas bersama otoritas pengelola kawasan konservasi. Sementara itu, di luar kawasan hutan, sejumlah pihak swasta juga berkontribusi dalam pelestarian satwa pemangsa ini sesuai dengan kapasitasnya. Para pelestari melaksanakan berbagai program di kawasan tertentu yang tercakup dalam lanskap konservasi harimau. Meski programnya bermacam-macam, namun pada akhirnya bermuara pada kelestarian harimau sumatra. Artinya: segenap pihak bergerak bersama dalam ikhtiar menyelamatkan harimau. Pada saat yang sama, para pihak menyadari cakupan masalah dan tantangan terlalu luas, sedangkan tenaga, pikiran, dan dana terlalu terbatas. Disadari pula, aksi konservasi para pihak yang tertuang di pustaka ini juga hanya mencakup lima tahun terakhir. Pada masa sebelumnya, banyak pihak sudah bersumbangsih dalam konservasi harimau. Pada halaman selanjutnya akan dipaparkan kiprah berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam melestarikan harimau. ***

S U M ATR A BE R GE R A K Dari ujung utara sampai selatan, dari tepi pesisir barat sampai pesisir timur, para pelestari bergiat sepanjang waktu untuk melestarikan harimau. Upaya konservasi tersebar di lanskap konservasi harimau di Bukit Barisan sampai dataran rendah. Dan, melestarikan harimau sekaligus juga merawat seisi ekosistem. Namun, semakin menggumuli pemangsa ini, para pelestari juga menyadari daya upaya selama ini masih belum cukup menenangkan hati. Ini juga berarti bahwa sambil berikhtiar, para pihak juga memetik pembelajaran.

Banda Aceh

ACEH

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

Medan

SUMATRA UTARA

RIAU

Pekanbaru

SUMATR A BAR AT

Padang

SUAKA MARGASATWA RIMBANG BALING

TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH

HUTAN LINDUNG BATANGGADIS

JAMBI

Jambi

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

TAMAN NASIONAL BERBAK SEMBILANG

LEMBAGA PELESTARI

Lokasi para pihak yang melakukan konservasi harimau tersebar dari utara sampai selatan. Para pihak ini terdiri dari: Flora & Fauna International (FFI) - Indonesia Programme, Yayasan WWF Indonesia, Forum Konservasi Leuser (FKL), Wildlife Conservation Society (WCS) - Indonesia Program, Zoological Society of London (ZSL) - Indonesia Programme, dan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatra (PKHS). Tentu, selain lembaga itu, masih ada lembaga lain yang berkontribusi dalam pelestarian harimau. Seluruh lembaga ini bekerja sama dengan unit pelaksana teknis di setiap kawasan konservasi.

KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL

TUTUPAN HUTAN 2014 TAMAN NASIONAL

Palembang BENGKULU

SUMATRA SELATAN

Bengkulu

LAMPUNG

TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

Bandarlampung

KILOMETER

0

105

210

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM.

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

129

Banda Aceh

UPAYA SUMATRA

ULU MASEN Bersama tujuh komunitas ranger dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah I Aceh, FFI melaksanakan aksi konservasi harimau. Dengan memfasilitasi hutan desa, FFI melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan di lanskap harimau. Kegiatan utama di hutan desa: patroli perlindungan dan monitoring keragaman hayati, sembari mengembangkan ekonomi setempat.

ACEH

FAUNA & FLORA INTERNATIONAL (FFI) INDONESIA PROGRAMME TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

DUA AKSI KONSERVASI HARIMAU Fauna & Flora International Indonesia Programme bekerja di dua lanskap: Ulu Masen dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ulu Masen terdiri dari hutan lindung dan cagar alam, sebagian lagi hutan produksi, sedikit areal penggunaan lain, dan non-hutan. Ulu Masen adalah salah satu kawasan rekomendasi Global Tiger Recovery untuk pemulihan harimau. Sementara itu, di Taman Nasional Kerinci Seblat, ada area inti pemantauan harimau dengan dua tim yang bekerja simultan: Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat (PHSKS) dan Monitoring Harimau Sumatera Kerinci Seblat (MHSKS). Tim pertama berfokus pada penegakan hukum dan patroli; tim kedua memantau populasi harimau. Di luar taman nasional, FFI mendampingi masyarakat untuk mengelola hutan dengan skema perhutanan sosial. Ringkasnya, FFI bekerja di dua sisi: di dalam dan di luar kawasan konservasi. PERHUTANAN SOSIAL Fauna & Flora International bekerja di lima Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi untuk mengembangkan perhutanan sosial di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Skema yang dikembangkan: hutan desa dan hutan adat. Keberadaan hutan desa dan hutan adat dapat memperluas habitat dan menjadi koridor bagi harimau di sekitar taman nasional. Pengelola hutan desa dan hutan adat berpatroli untuk perlindungan dan pemantauan keanekaragaman hayati. HUTAN DESA DAN HUTAN ADAT

41 64,9 DESA

RIBU HEKTARE

SEDANG PROSES IZIN, HUTAN DESA DAN HUTAN ADAT

14 22,9 DESA

RIBU HEKTARE

Sebaran skema perhutanan sosial di wilayah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Inisiatif ini menautkan banyak pihak dalam upaya konservasi harimau, pembangunan desa, dan ekonomi lokal. KPHP UNIT VI MERANGIN

76,137 hektare

KPHP UNIT VII HULU SAROLANGUN KPHP UNIT I KERINCI KPHP UNIT II BUNGO KPHP UNIT III BUNGO

121,102 34,250 56,728 69,064

Medan

SUMATRA UTARA

AREA DIPERBESAR

RIAU Pekanbaru

SUMATR A BAR AT

TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH

Padang LANSKAP KERINCI SEBLAT Bersama Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, FFI rutin berpatroli dan memantau populasi harimau di area pemantauan intensif.

TAMAN NASIONAL BERBAK SEMBILANG

JAMBI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

Jambi

TUTUPAN HUTAN 2014 KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL

WILAYAH KERJA FFI

SU M AT R A S E L ATA N

TAMAN NASIONAL KILOMETER

0

105

210

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: FAUNA & FLORA INTERNATIONAL (FFI) - INDONESIA PROGRAMME.

BENGKULU

Bengkulu

LANSKAP K E R I N C I S E B L AT

Kamera jebak merekam harimau sumatra dan kucing emas di kawasan hutan desa di lanskap Kerinci Seblat. Citra ini membuktikan kawasan hutan desa memiliki daya dukung untuk dua pemangsa dari keluarga kucing ini. Untuk melindungi satwa liar dan tumbuhan, masyarakat pengelola hutan desa berpatroli secara berkala.

FOTO: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN FAUNA & FLORA INTERNATIONAL - INDONESIA PROGRAMME

Banda Aceh

UPAYA SUMATRA

ACEH

YAYASAN WWF INDONESIA (WWF) TANAH AIR HARIMAU Untuk membantu memulihkan harimau, jaringan WWF mendeklarasikan penyelamatan 50 Tiger Heartlands di bawah program global. Lima di antaranya berada di Sumatra karena kekritisannya untuk ketahanan populasi harimau sumatra. Karena keunikan dan tingginya tingkat ancaman, harimau di Sumatra membutuhkan perhatian khusus dari WWF dan komunitas global. Visinya: untuk mendapatkan ketahanan populasi jangka panjang dengan memfokuskan pada kawasan – kawasan yang menjadi target inisiasi berdampak tinggi. Dari 2018 hingga 2025, WWF – Indonesia akan memfokuskan pada penyelamatan populasi harimau dan habitatnya di lima Tiger Heartlands di Sumatra: Rimbang Baling, Bukit BatabuhBukit Tigapuluh, Batanghari, Bukit Barisan Selatan, dan Samarkilang. Pendekatannya, mengintegrasikan berbagai pendekatan bersama para pihak.

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

DARI LANSKAP KE LANSKAP WWF bersama mitranya aktif di beberapa lanskap harimau. Di Sumatra bagian tengah, WWF berkolaborasi dengan Balai Besar KSDA Riau, YAPEKA dan INDECON melaksanakan program IMBAU. Di Rimbang Baling, WWF mempelajari dan mengangkat kearifan lokal dalam menjaga hutan dan sungai. Kearifan masyarakat dijadikan model dan contoh untuk pengembangan di wilayah lain di Sumatra maupun dunia. Kerjasama juga dikembangkan WWF bersama dengan berbagai pihak. PERLINDUNGAN TERINTEGRASI Mencakup beberapa kegiatan di lapangan dan perkotaan, baik kegiatan langsung maupun dukungan kebijakan. Di lapangan, proteksi satwa di habitatnya melalui patroli berbasis masyarakat dengan teknologi SMART (Spatial Monitoring and Reporting Tool). Kesadaran dan kebanggaan masyarakat lokal tentang pentingnya menjaga satwa dan habitatnya merupakan kunci keberhasilan perlindungan harimau. Di luar habitat, WWF berupaya meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan menekan permintaan bagian-bagian tubuh satwa liar langka, melalui perubahan perilaku dan gaya hidup. Pun, WWF berupaya mendorong pelaksanaan kebijakan, peraturan, dan perundangan untuk pembangunan berkelanjutan, dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, khususnya satwa dan kekayaan hayati.

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: YAYASAN WWF INDONESIA (WWF).

SAMARKILANG

SAMARKILANG

Aksi konservasi menitikberatkan upaya perlindungan habitat sebagai daerah tangakapan air dan monitoring spesies payung, termasuk harimau

LANSKAP RIMBANG BALING - BUKIT BETABUH

Medan

Bersama konsorsium IMBAU dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, WWF melakukan perlindungan, monitoring harimau, mendukung kebijakan pengelolaan, dan pemberdayaan masyarakat. Program pengamanan habitat harimau dengan tim patroli reguler dan pemantauan anti-perdagangan harimau. Selain itu, WWF mendorong sinkronisasi kebijakan yang mendukung konservasi harimau melalui RPJMDes 12 desa yang sejalan dengan konservasi. Di sektor usaha, WWF mendukung pihak swasta di dalam maupun sekitar lanskap untuk mengedepankan kegiatan berkelanjutan. Target sementara ini 5 perusahaan: 2 perkebunan sawit, 2 hutan tanaman industri, 1 perusahaan kayu alam.

SUMATR A UTAR A

RIAU Pekanbaru SUAKA MARGASATWA RIMBANG BALING SUMATR A BAR AT

BUKIT BETABUH

Padang BATANG GADIS Upaya konservasi harimau masih belum intensif di lanskap ini. Alhasil, belum banyak pencapaian.

HUTAN LINDUNG BATANG GADIS

TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH

JAMBI

Jambi

LANSKAP BUKIT TIGAPULUH Aksi konservasi bersama Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh: menjaga luas tutupan lahan, monitoring satwa liar. Mendorong perusahaan melakukan restorasi ekosistem dan produksi berkelanjutan melalui better management practices untuk mendukung konservasi satwa liar.

TAMAN NASIONAL BERBAK SEMBILANG

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

BUKIT BARISAN SELATAN Bersama Balai Besar Taman Bukit Barisan Selatan dan KPH Batu Tegi, WWF melakukan perlindungan, penguatan lembaga konservasi, dan pemberdayaan. Di Merpas, Bengkulu: penguatan mitigasi konflik, dukungan kandang antiserangan harimau, sekolah lapang. WWF juga mendukung penyusunan rencana pembangunan wilayah yang ramah satwaliar, dan penegakan hukum.

BENGKULU

SU M AT R A S E L ATA N Bengkulu

LAMPUNG TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

TUTUPAN HUTAN 2014 KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL

WILAYAH KERJA WWF TAMAN NASIONAL

Palembang

KILOMETER

0

105

210

KPH BATUTEGI Bandarlampung

TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

LANSKAP RIMBANG BALING

Harimau memiliki wilayah jelajah luas, yang meliputi berbagai macam medan. Harimau juga mampu melintasi pegunungan terjal, yang membuktikan ia tangguh dan mampu beradaptasi nyaris di segala kondisi lingkungan.

FOTO: WWF INDONESIA - BALAI BESAR KSDA RIAU

UPAYA SUMATRA FORUM KONSERVASI LEUSER (FKL) MELINDUNGI EKOSISTEM LEUSER Hingga awal 2018, Forum Konservasi Leuser mengoperasikan 25 tim perlindungan satwa liar atau Wildlife Protection Team, khususnya di kawasan hutan habitat satwa liar, termasuk harimau sumatra di Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh. Kawasan ekosistem Leuser mencakup lanskap konservasi harimau Leuser - Ulu Masen: Taman Nasional Gunung Leuser, Ulu Masen, Samarkilang, dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Forum Konservasi Leuser bekerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Aceh. MENYISIR LEUSER Setiap tim patroli terdiri dari empat masyarakat dan seorang jagawana dari pihak berwenang. Anggota dari masyarakat dilatih untuk patroli antiperburuan satwa. Distribusinya: 15 tim di Leuser bagian barat: Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya; dan 8 tim di Leuser bagian timur: Gayo Lues, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Tamiang. PEMANTAUAN POPULASI Monitoring populasi dan habitat harimau sumatra juga menjadi bagian dari tugas tim perlindungan satwa liar. Tim mengumpulkan data keberadaan harimau sumatra di lokasilokasi patroli yang menyentuh seluruh kawasan Ekosistem Leuser. Selain itu, di beberapa lokasi penting tim memasang kamera intai. Pada 2017, FKL memasang 50 kamera intai di beberapa kawasan penting di Leuser. Begitu juga FKL mengoperasikan 19 tim monitoring dalam Survei Okupansi Harimau Sumatra (Sumatra Wide Tiger Survey) bersama Wildlife Conservation Society. PANTAU KEJAHATAN HUTAN Pemantauan kerusakan hutan Leuser dilakukan tim khusus terlatih. Ada 12 tim di seluruh Ekosistem Leuser: Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan dan Nagan Raya. Selain itu, FKL mengaktifkan 4 tim monitoring perdagangan satwa liar. Data-data dilaporkan ke pihak berwenang untuk penegakan hukum. Bersama Taman Nasional Gunung Leuser, FKL memasang kamera jebak untuk memonitor perburuan di beberapa akses penting ke taman nasional. SELAMA PATROLI 2014 - 2017, TIM MENGAMANKAN:

4.542 300 jerat,

di antaranya jerat harimau.

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: FORUM KONSERVASI LEUSER (FKL).

Banda Aceh

ACEH KAWASAN EKOSISTEM LEUSER Kawasan ini membentang di Aceh dan Sumatra Utara, mencakup lanskap penting dan luas bagi konservasi harimau sumatra.

KAWASAN EKOSISTEM LEUSER

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

Medan

SUAKA MARGASATWA RAWA SINGKIL

SUMATRA UTARA

RIAU RESTORASI HUTAN Restorasi kawasan hutan dilakukan terhadap 3.000 hektare lahan kelapa sawit ilegal yang telah diserahkan kepada pemerintah Aceh pada 2009 – 2011. Dari luas tersebut, baru 2.000 hektare yang telah dikembalikan fungsinya sebagai hutan. Di sebagian wilayah restorasi, FKL bersama masyarakat yang menanami bekas perkebunan ilegal dengan tanaman hutan serba guna: durian, jengkol, petai, aren, asam gelugur dan lainnya. Kawasan hutan yang direstorasi merupakan habitat penting harimau sumatra.

Pekanbaru

Padang

SUMATR A BAR AT

JAMBI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT AREA DIPERBESAR

KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL

TUTUPAN HUTAN 2014 TAMAN NASIONAL

WILAYAH KERJA FKL

BENGKULU

KILOMETER

0

105

210

Bengkulu

Banda Aceh

UPAYA SUMATRA WILDLIFE CONSERVATION SOCIETY (WCS) INDONESIA PROGRAM TEMUKAN-LINDUNGI-INSPIRASI Dalam menjalankan misinya, Wildlife Conservation Society menerapkan tiga strategi pokok: intervensi berbasis sains, pengembangan kemitraan, dan penggalangan dukungan masyarakat. Untuk mencapai tujuannya, WCS memakai pendekatan “Menemukan-Melindungi-Menginspirasi” atau “Discover-Protect-Inspire”. WCS menerapkan strategi konservasi harimau tersebut di Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas. Bersama Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Balai Taman Nasional Way Kambas, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu, WCS melaksanakan upaya konservasi tersebut.

ACEH

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

DAYA UNGKIT DALAM KONSERVASI Sebagai mitra Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, WCS membangun kapasitas lembaga dan meningkatkan daya ungkit dalam menjalankan misi konservasi. Membangun landasan kelembagaan yang lebih kuat dengan memperkuat WCS sebagai organisasi untuk mendukung berbagai program konservasi. Pun, WCS meningkatkan daya ungkit untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki sehingga mendapatkan dampak lebih nyata melalui kemitraan dan keterlibatan yang lebih besar dalam pengembangan kebijakan publik. AKSI DI TINGKAT TAPAK Di tingkat tapak, WCS mengembangkan berbagai aksi konservasi bersama balai taman nasional dan balai konservasi sumber daya alam terkait. Untuk mitigasi konflik manusia dengan harimau, WCS mengajak masyarakat di kawasan penyangga untuk membangun kandang anti-serangan satwa liar. Di sejumlah desa penyangga taman nasional, WCS juga mendorong satuan tugas masyarakat yang mandiri dalam menangani konflik. Dalam hal ini, ada tim Wildlife Response Unit (WRU) yang menanggapi dan mendampingi satuan tugas. Upaya penegakan hukum melalui Wildlife Crime Unit dan Forest Crime Unit. Sementara itu, WCS juga mendukung balai taman nasional meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dengan management effectiveness tracking tools (METT).

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: WILDLIFE CONSERVATION SOCIETY (WCS) - INDONESIA PROGRAM.

Medan

SUAKA MARGASATWA RAWA SINGKIL

LANSKAP LEUSER - RAWA SINGKIL Aksi konservasi harimau bersama Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh berupa monitoring populasi harimau dan mangsanya, patroli kawasan, migitasi konflik manusia-satwa liar, dan penegakan hukum. Selain itu, WCS mendukung balai taman nasional meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Sementara di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dilakukan patroli pengamanan kawasan, dan migitasi konflik manusia-satwa liar, termasuk harimau.

SUMATRA UTARA

RIAU Pekanbaru KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL

TUTUPAN HUTAN 2014 TAMAN NASIONAL WILAYAH KERJA WCS

SUMATR A BAR AT

Padang

JAMBI

Jambi

TAMAN NASIONAL BERBAK SEMBILANG

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

Palembang BENGKULU

SUMATRA SELATAN BUKIT BARISAN SELATAN BUKIT BALAI REJANG Upaya bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu dan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk memantau populasi, patroli perlindungan, migitasi konflik, satgas mandiri konflik, dan kandang antiserangan satwa liar.

Bengkulu

BUKIT BALAI REJANG SELATAN

TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

KILOMETER

0

105

LAMPUNG

Bersama Balai Taman Nasional Way Kambas, WCS memonitor populasi harimau, patroli kawasan, migitasi konflik manusia-satwa dan penegakan hukum.

210

Bandarlampung

LANSKAP BUKIT BARISAN SELATAN

Anggota tim Wildlife Response Unit WCS memasang kamera jebak di permukiman di seputar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pengetahuan mitigasi konflik dari WCS membekali warga dalam menanggapi hadirnya harimau di permukiman. Di wilayah ini, sebagian peternak membangun kandang antiserangan satwa liar.

FOTO: AGUS PRIJONO

UPAYA SUMATRA SUMATRA UTARA

ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON (ZSL) INDONESIA PROGRAMME KONSERVASI HARIMAU DI LANSKAP GAMBUT Hamparan hutan rawa gambut di Sumatra terbentang di pesisir timur, di antaranya lanskap Berbak-Sembilang. Sejak 1990-an, tekanan terhadap lanskap ini meningkat karena pesatnya pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan pembukaan lahan, pembalakan, dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan di rawa gambut menjadi isu utama kehutanan dan perubahan iklim, yang berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Berbak-Sembilang, ZSL membentuk unit patroli Tiger Protection and Patrol Unit (TPPU) dan cyber tracker untuk pengelolaan informasi. Untuk keberlanjutan program, unit ini beranggotakan polisi hutan dan masyarakat mitra polhut yang berpatroli setiap bulan. Upaya perlindungan tersebut diiringi dengan upaya di luar kawasan: edukasi, pendampingan masyarakat serta mitigasi konflik. Selain di Berbak-Sembilang, ZSL juga berupaya di Suaka Margasatwa Dangku bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Selatan. MENGAJAK MASYARAKAT Pemberdayaan masyarakat juga salah satu kunci bagi kelestarian harimau di Berbak-Sembilang. Program kemasyarakatan yang telah, dan sedang, berjalan meliputi peningkatan produktivitas kakao dan karet. Program ini untuk meningkatkan ekonomi setempat sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat ke dalam kawasan taman nasional. MENELISIK ANCAMAN Konservasi harimau membutuhkan pengetahuan mengenai ancaman utamanya. Karena itu, pada 2013 disusun Kajian Ancaman terhadap Harimau di Berbak-Sembilang (BerbakSembilang Tiger Threat Assessment).Kajian menggali ancaman dari tiga faktor utama: ancaman langsung terhadap harimau, ancaman terhadap mangsa, dan ancaman terhadap habitat. Ketiga ancaman itu dilihat dari tiga sisi: geografis, tingkat keparahan ancaman, dan kemampuan untuk pulih kembali tersebab ancaman. Masing-masing memiliki empat tingkat risiko: sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Hasil kajian memberikan peta jalan bagi penyelamatan harimau di kawasan ini. Ada sejumlah rekomendasi. Pertama, membentuk unit penegakan hukum dan mitigasi konflik. Kedua, menciptakan sistem manajemen adaptif berdasarkan monitoring dan intervensi manajemen yang efektif. Ketiga, menciptakan dasar hukum untuk melindungi habitat harimau di luar kawasan lindung dan menerapkannya di dalam dan di antara lanskap harimau prioritas. Dan terakhir, mempertahankan konektivitas antara habitat yang terfragmentasi untuk konservasi harimau.

AREA DIPERBESAR

PANTAU POPULASI BERBAK per 100 kilometer persegi 2010

2015

2018

1,02 1,2 1,6

Pekanbaru

RIAU

Padang

Distribusi harimau terkonsentrasi di area inti harimau Berbak (Berbak Tiger Core Area). Hal ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, upaya perlindungan dapat semakin terarah dan terfokus di core area. Di sisi lain, populasi harimau sangat rentan perburuan ataupun penurunan keragaman genetika dalam jangka panjang.

SUMATR A BAR AT

Jambi

JAMBI

TAMAN NASIONAL BERBAK-SEMBILANG

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

Pangkalpinang

SUAKA MARGASATWA DANGKU Palembang BENGKULU

SUMATRA SELATAN Bengkulu

TUTUPAN HUTAN 2014 KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL TAMAN NASIONAL KILOMETER

0

LAMPUNG

WILAYAH KERJA ZSL

105

TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

210

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON (ZSL) - INDONESIA PROGRAMME.

TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

Bandarlampung

FOTO: TAMAN NASIONAL BERBAK-SEMBILANG

LANSKAP BERBAK SEMBILANG

Saat berpatroli, tim Tiger Protection and Patrol Unit (TPPU) Taman Nasional Berbak Sembilang memergoki dan menangkap pembalak liar. Dari sisi habitat, ada beberapa ancaman langsung dan tak langsung yang berpengaruh terhadap harimau. Pembalakan liar merupakan salah satu ancaman tertinggi bagi habitat harimau di Berbak-Sembilang.

UPAYA SUMATRA PENYELAMATAN DAN KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (PKHS) KIPRAH DI LANSKAP YANG TERKUCIL Ancaman utama kelestarian harimau di Taman Nasional Way Kambas adalah perburuan dan perkawinan sedarah. Taman nasional berdiri sendirian dan terputus dari lanskap harimau yang lain. Lantaran itu, aliran genetik harimau di kawasan ini sangat rendah. Dalam kurun 1995-1999 saat hasil penelitian dipublikasikan tercatat sedikitnya 6 harimau mati akibat perburuan. Kemudian, dari 1999 - 2005 juga diyakini 6 harimau kembali menjadi korban perburuan liar. Dengan demikian populasi harimau di Way Kambas memang sangat terancam kelestariannya. Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) melakukan aksi konservasinya selama 1995 hingga 2015 bersama Balai Taman Nasional Way Kambas dan Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Pekanbaru

SUMATR A BAR AT Padang

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

PENGUASA WAY KAMBAS Meski dikelilingi populasi manusia, Taman Nasional Way Kambas berada dalam kekuasaan harimau sumatra. Daerah jelajahnya berpusat di Tiger Intensive Monitoring Area (TIMA). Sedikitnya ada empat harimau yang mendominasi Way Kambas selama 1995 - 2016. GEMBONG RAHWANA Berkuasa selama tiga tahun, kurun Oktober 1995 sampai Oktober 1998. BUYUNG Penerus Gembong, yang berkuasa selama 4 tahun, antara Oktober 1997 sampai Februari 2001. GOGON Penerus Buyung ini terpantau pertama kali pada Juni 1999. Ia penguasa terlama: 12 tahun, antara 1999 sampai 2011. GIBRAL Mendominasi setelah masa Gogon, dan masih berkuasa hingga 2015.

PETA: ESRI, USGS, NOAA, BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN, DIREKTORAT PEMOLAAN DAN INFORMASI KONSERVASI ALAM. TEKS: MUHAMMAD YUNUS, PENYELAMATAN DAN KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (PKHS).

TUTUPAN HUTAN 2014 KAWASAN KONSERVASI DI LUAR TAMAN NASIONAL

WILAYAH KERJA PKHS TAMAN NASIONAL

AREA DIPERBESAR

R I AU

Selama 2002 - 2015, PKHS melakukan aksi konservasi di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh: pemantauan populasi, mitigasi konflik, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat.

TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH

Jambi JAMBI

TAMAN NASIONAL BERBAK SEMBILANG

Palembang

S U M AT R A S E L ATA N

BENGKULU

Bengkulu

LAMPUNG TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN KILOMETER

0

105

210

Bandarlampung

Pemantauan populasi harimau berjangka panjang antara 1995-2015, dengan menentukan Tiger Intensive Monitoring Area (TIMA). Ini adalah kawasan yang cukup luas, dengan tipe habitat yang mewakili kawasan Way Kambas. Lokasi TIMA di tengah kawasan, seluas 13 x 13 km persegi, atau sekira 13 persen dari luas Taman Nasional Way Kambas.

FOTO: AGUS PRIJONO

LANSKAP WAY KAMBAS

Tim PKHS memasang kamera intai untuk memantau populasi dan habitat harimau di Taman Nasional Way Kambas. Pemantauan jangka panjang menunjukkan lanskap yang kecil dan terpisah ini mampu menopang populasi harimau di pesisir timur Lampung. Sayangnya, pemantauan untuk sementara waktu terpaksa dihentikan lantaran banyaknya kamera yang hilang. Pertanyaannya: bagaimana nasib pemantauan harimau di kawasan ini?

UPAYA SUMATRA

MENELISIK PETAK-PETAK HUTAN

Ekspedisi saintifik: Sumatra Wide Tiger Survei untuk memahami harimau sembari menumbuhkan generasi konservasi. Inilah survei terbesar dalam skala ruang dan waktu. Secara keruangan, survei ini menelusuri hampir sekujur Sumatra, melibatkan banyak pihak, dan berlangsung selama tiga tahun 2007 - 2009. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama lembagalembaga internasional dan nasional bahu-membahu dalam merancang dan menuntaskan kerja akbar ini. Lembaga pelestarian itu meliputi: Wildlife Conservation Society (WCS), Fauna & Flora International (FFI), Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE), World Wildlife Fund (WWF), Zoological Society of London (ZSL), Sumatran Tiger Conservation and Protection (STCP), Yayasan Leuser Internasional (YLI), dan Yayasan Badak Indonesia (YABI). Kolaborasi saintifik ini kerap disebut survei okupansi: Sumatra Wide Tiger Survey, yang menjadi salah satu capaian penting dalam konservasi harimau. Demi memahami lebih dekat tentang harimau, tim survei mendekam ratusan hari di dalam hutan, hidup menyatu dengan alam, mempelajari distribusinya, satwa mangsanya, habitat yang disukai dan dihuni karnivor ini. Untuk satu tujuan, tim menggali pemahaman baru mengenai dinamika kehidupan harimau. Sebuah pemahaman yang kemudian menjadi landasan dalam bekerja terarah dan terintegrasi untuk konservasi harimau. Demi kepentingan survei, Sumatra dibagi dalam lebih dari 700 petak, yang berdimensi 17 x 17 kilometer. Petak yang ditelisik adalah petak dengan luas hutan sekurangnya 30 kilometer persegi. Jika seluruhnya diselimuti hutan, petak itu disurvei paling tidak sejauh 40 kilometer. Pada survei 2007-2009 lalu, para pelestari berhasil menyigi dan menyisir 394 petak. Dari jumlah petak tersebut, 206 di antaranya dihuni harimau, yang merentang mulai dari dataran rendah hingga pegunungan.

Survei okupansi melibatkan banyak pihak, yang terdiri dari otoritas pengelola kawasan konservasi, pegiat, pelestari, dan lembaga swadaya masyarakat bidang konservasi. Hasil survei ini akan memperbaharui data dan informasi tentang harimau sumatra, dan satwa terancam punah lainnya.

Dan, mempelajari harimau nampaknya memang tidak akan pernah usai. Hari ini, berselang 10 tahun dari survei pertama itu, tentu kondisi hutan, masyarakat, dan pembangunan telah banyak berubah. Begitu juga sebagian habitat harimau pun mengalami perubahan fungsi lahan. Kenyataan itu membuat harimau semakin sulit untuk bertahan hidup. Karena, habitat yang berubah memaksa sebagian harimau menjelajahi wilayah tak jauh dari aktivitas manusia. Sebagian harimau yang lain terpaksa berkonflik, atau menemui ajal di tangan pemburu. Sebagian lagi, harimau yang bernasib baik masih berada di relung hutan yang tak tersentuh manusia. Lantaran itu, pada 2018, para pihak kembali memperbaharui pemahaman dan pengetahuan mengenai status populasi harimau di lanskap yang terus berubah. Semula, pendekatan lanskap konservasi harimau, atau tiger conservation landscape, beserta kategorinya mengarahkan upaya konservasi di lanskap-lanskap besar. Dari analisis populasi (population viability analysis [PVA]) para ahli menyarankan: untuk melestarikan harimau perlu upaya serius dalam menghubungkan lanskap-lanskap yang terpisah-pisah. Ini memang langkah maju bagi pendekatan lanskap konservasi harimau. Tapi, pendekatan ini juga perlu penyempurnaan terus-menerus guna menjawab tantangan zaman.

FOTO: EDY SUSANTO

MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

153

KAWASAN YANG DISURVEI 2007 - 2009 GUNUNG LEUSER

JEJAK SURVEI 2007-2009 Satu dekade silam, para pelestari menjelajahi 394 petak di lanskaplanskap harimau sumatra. Dari jumlah itu, 206 di antaranya dihuni harimau, dengan lokasi yang merentang mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Tim menempuh perjalanan sejauh 13 ribu kilometer lebih, kira-kira setara dengan 13 perjalanan pulang balik dari ujung barat ke ujung timur Jawa. Ribuan kilometer jejak survei itu untuk mendata keberadaan harimau di setiap petak. Segores cakaran di batang pohon adalah bukti bernilai untuk menentukan apakah sang pemangsa ini mendiami sepetak hutan.

KERINCI SEBLAT 1.229

ULU MASEN BUKIT BARISAN SELATAN

1.001

RIAU UTARA

739

BUKIT TIGAPULUH

733

BATANGHARI

726

BUKIT BALAI REJANG

686

BETABUH - SOSA

360 336

BUKIT DUABELAS WAY KAMBAS

330 293

BERBAK DANGKU

216

RIMBANG BALING

160

KERUMUTAN

120

NANJAK MAKMUR

120

TESSO NILO

40

Para konservasionis telah mendesain, lalu menyempurnakan metode, dan Sumatra Wide Tiger Survey bisa mulai dijalankan kembali. Rencananya, para pelestari akan mendata 712 petak yang melibatkan 73 regu yang terdiri dari 354 personel. Survei yang menunjukkan kolaborasi para pihak ini melibatkan 43 otoritas kawasan konservasi, lembaga swadaya masyarakat, donor, dan pihak swasta. Yang luar biasa, survei yang dahulu baru bisa selesai dalam tiga tahun, kali ini akan ditargetkan tuntas dalam satu tahun. Jadi, paling tidak butuh upaya tiga kali lipat lebih intensif. Ditambah lagi, dalam survei kali ini, tim juga mencuplik sampel kotoran harimau guna analisis kepadatan populasi melalui DNA. Inovasi ini menunjukkan kapasitas pelestari yang semakin berkembang. MEMBANGKITKAN GENERASI KONSERVASI HARIMAU

Para pelestari muda telah lahir. Pada saat survei pertama, mereka yang menjadi anggota tim, sebagian telah berkembang, dan kini bisa memimpin. Itu terutama setelah menuntut ilmu di lapangan dan berimprovisasi menjalankan upaya konservasi. Sebagian yang lain menuntut ilmu di berbagai universitas. Bahkan, ada yang belajar di mancanegara, lalu kembali untuk mengembangkan konservasi. 154

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

SKALA SURVEI 2018 - 2019

712 43 73 354

PETAK

LEMBAGA

REGU

PERSONEL

KILOMETER 3655 2.767

KOLABORASI SAINTIFIK 2018 - 2019 Survei besar-besaran ini untuk memantau pola sebaran harimau di seluruh kawasan yang tersisa di Sumatra. Survei digelar antar-waktu, atau pengulangan dengan jeda tertentu, sehingga diperoleh sebaran populasi harimau. Selanjutnya, hasil survei dapat menentukan efektivitas bagi intervensi konservasi harimau. Selain itu, tim juga juga akan meneliti kawasan-kawasan penyangga. Dalam perkembangan 10 tahun belakangan, ternyata kawasan penyangga masih dihuni harimau sumatra. Survei yang akan berlangsung selama 2018 - 2019 ini memakai cara yang sama dengan penelitian sebelumnya: metode deteksi keberadaan harimau. Selain itu, juga akan diketahui faktor-faktor biofisik dan intensitas gangguan yang mempengaruhi pola sebaran satwa liar. Kegiatan ini sebagai mandat Strategi Konservasi Harimau Sumatra 2007 – 2017, dan menjadi bagian terpenting dari kajian kebutuhan Strategi Konservasi Harimau Sumatra 2018 – 2028. Dengan membandingkan hasil survei sebelumnya, pengambil keputusan dan pelaku konservasi dapat mengetahui apakah populasi harimau cenderung menurun, stabil, atau meningkat, baik dalam skala ruang dan waktu. Selain mendata harimau, tim juga meneliti satwa kunci lain: gajah, badak, tapir, serta satwa mangsa harimau.

Sebagai wahana belajar bersama, Forum HarimauKita memfasilitasi penyusunan panduan monitoring harimau sumatra. Panduan ini berisi tata cara survei okupansi, pemantauan kepadatan populasi, hingga metodologi mencuplik sampel DNA. Ini membanggakan. Para peneliti dan ahli statistik di tim lapangan berkontribusi dalam menyusun buku panduan ini. Selain itu, panduan ini juga diintegrasikan dalam metode pemantauan populasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan bahan ajar kurikulum resmi Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan. Upaya-upaya itu untuk membangkitkan semangat generasi muda yang kelak menjadi tumpuan dalam menyelamatkan harimau—dan bahkan untuk konservasi spesies lain. Tambahan pula, fokus berbagai lembaga yang bergiat dalam konservasi harimau telah mengarah pada peningkatan kapasitas konservasionis Indonesia. Sepuluh tahun lalu, para pelestari belajar ihwal survei lapangan, analisis data, dan berbagai upaya konservasi dari pakar internasional. Tentu tetap memerlukan sumbangsih pakar internasional, namun pada beberapa tahun terakhir ini, para pelestari jauh lebih mandiri dalam berbagai aspek konservasi. *** MENJAGA HARIMAU NUSANTARA

155

Hidup masyarakat di pedalaman Rimbang Baling sangat dekat dengan alam. Mereka yang sebenarnya berada paling dekat dengan satwa liar, terutama harimau. Dengan inisiatif konservasi, masyarakat ini dapat bersumbangsih dalam menyelamatkan harimau sumatra.

FOTO: DWI OBLO

Harimau di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta, menjadi bagian dari konservasi ex-situ, yang mendukung pelestarian in-situ. FOTO: AGUS PRIJONO

158

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

B A G I A N E M PAT H A R A PA N N U S A N TA R A

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

159

PENGANTAR

PEMBELAJARAN DARI SUMATRA

Para pelestari berbagi pengalaman dalam konservasi harimau sumatra. Pertukaran ide yang dapat melahirkan sintesis baru. Pengalaman sejati dalam pelestarian harimau tentu ada di lapangan dengan segala situasi dan kondisinya. Dari berbagai pelajaran itu para pemerhati, akademisi, praktisi, dan pegiat konservasi menuangkan gagasan, pengalaman, dan kegelisahan. Bab ini lebih tepat disebut sebagai 'atlas' pemikiran dan gagasan yang mengendap di ruang ingatan para pelestari. Temanya merentang lumayan luas: dari ikhtiar konservasi di lanskap industri, medis harimau, kampanye, hingga penegakan hukum. Tentu saja, masih banyak pelajaran di luar sana yang belum tertuang dalam pustaka ini. Meski demikian, cakupan pembelajaran dari para pelestari cukup untuk memindai gerakan konservasi harimau di Indonesia secara umum. Dan yang terpenting, hikmah kerja keras itu berdasarkan pengalaman langsung. Di antara berbagai persoalan, seperti diuraikan para pelestari, terselip harapan, solusi, dan inovasi. Itu juga berarti melestarikan harimau bagaikan mencari butiran mutiara di lautan pasir. Pencarian solusi dan inovasi dalam melestarikan harimau membutuhkan daya tahan, keteguhan jiwa, dan akal yang peka. (Anda harus menyisihkan ruang tertentu di sudut sanubari Anda untuk harimau.) Semangat inilah yang terawat selama beberapa dekade belakangan, yang menumbuhkan generasi-generasi baru. Pelajaran dari setiap pelestari berbeda-beda sehingga memperkaya pertukaran gagasan. Pada tahap selanjutnya, berbagi pengalaman bisa melahirkan sintesis yang mendorong arah baru dalam upaya pelestarian harimau sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan begitu, di relung terdalam pelestarian harimau sumatra, terdapat tuntutan untuk terus berkiprah. Paparan dari para pelestari ini diharapkan dapat menumbuhkan, dan merawat, asa dalam konservasi harimau. Kelestarian harimau sumatra menuntut ikhtiar para pihak sepanjang masa. ***

Sebagai spesies payung, dengan melindungi harimau sekaligus mewarat jasa lingkungan, seperti lanskap Ulu Masen yang teduh ini. FOTO: DWI OBLO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

161

KONSERVASI HARIMAU DI BENTANG ALAM INDUSTRI DOLLY PRIATNA

Membuka peluang kontribusi bagi pelaku industri dalam pelestarian harimau sumatra. Secara global, harimau (Panthera tigris) adalah salah satu ikon konservasi. Namun, jumlah dan habitat harimau dunia terus menyusut dari waktu ke waktu. Catatan para ahli menunjukkan, populasi kucing besar ini anjlok drastis: dari 100.000 pada awal 1900-an, hingga tinggal 3.500 pada saat ini. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, jumlah dan luas daerah sebaran harimau secara global menyusut 40 persen. Fakta lainnya, dalam lima dekade terakhir, tiga trah harimau dinyatakan punah: harimau kaspia, harimau bali, lalu menyusul harimau jawa. Saat ini, satu ras harimau di Cina bagian selatan, Panthera tigris amoyensis, juga sedang di ambang kepunahan. Populasinya yang sangat kecil sehingga dinilai tidak ‘layak’ untuk bertahan dalam jangka panjang. Demikian juga nasib harimau sumatra (P. t. sumatrae). Luas dan kualitas habitat raja rimba ini terus menyusut. Tren penyusutan itu berbanding terbalik dengan meningkatnya populasi manusia dan masifnya pembangunan ekonomi berbasis lahan. Upaya menyelamatkan harimau sumatra dari kepunahan bukannya tidak dilakukan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan sejumlah kebijakan dan mendirikan kawasan-kawasan konservasi. Upaya itu disertai dengan aksi nyata guna melindungi harimau: melindungi habitat, mencegah perburuan-perdagangan, serta mitigasi konflik manusia dan harimau. Bahkan sejak awal 1980an, lebih dari tiga dekade silam, telah banyak keterlibatan berbagai organisasi konservasi internasional yang turut mendukung pelestarian kucing terbesar ini. Namun ironisnya, fakta berbicara lain. Populasi harimau sumatra ternyata terus menurun. Perkiraan pada 1978 masih ada sekitar 1.000 ekor; prediksi 1987 menyajikan angka 800 ekor; perhitungan 1992 menyebutkan tinggal 500 ekor. Lalu, estimasi dengan metode yang lebih canggih pada 2010 menunjukkan harimau di alam tinggal 325 ekor. 162

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Harimau jantan dewasa, Abimanyu, yang rutin memanfaatkan kawasan lindung dalam konsesi hutan tanaman industri di Sumatra Selatan. Rekaman kamera jebak pada Desember 2014 ini menunjukkan bentang alam industri dapat bersumbangsih dalam konservasi harimau.

Melihat kenyataan ini, nampaknya upaya dan dukungan para pihak belum cukup efektif untuk menjamin kelangsungan hidup harimau sumatra. Selama ini, barangkali pendekatan intervensi konservasi harimau belum tepat. Selama beberapa dekade, para ahli percaya, dengan berfokus pada perlindungan di taman nasional, suaka margasatwa, dan cagar alam, sudah cukup memadai untuk mencegah kepunahan macan loreng ini. Pandangan selama ini yang meyakini harimau hanya menempati hutan-hutan di kawasan konservasi, ternyata juga keliru. Belakangan, para ahli tahu kalau harimau memanfaatkan belantara lebat sebagai tempat berlindung dan saat induk membesarkan anaknya saja. Selebihnya, harimau lebih menyukai ekoton: wilayah transisi antara hutan dengan areal terbuka bersemak belukar. Ekoton memang kaya hewan ungulata yang menjadi makanan favorit harimau. Terlebih lagi, harimau ternyata juga melintasi perkampungan yang berbatasan dengan hutan. Bahkan baru-baru ini, didapat fakta satwa ini juga menggunakan areal bersemak di perkebunan sawit, karet, dan hutan tanaman industri. Bagi harimau sumatra, kawasan budidaya itu sebagai habitat tambahan tempat mencari makan. Dan yang terpenting, kawasan budidaya itu juga sebagai batu loncatan dan koridor dalam pergerakan harimau ke kawasan hutan yang lebih luas.

FOTO: APP SINARMAS

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

163

Mosaik hutan alam dan hutan tanaman di satu konsesi hutan tanaman industri, dengan berbagai peruntukan lahan lain di sekitarnya di bentang alam Provinsi Riau. Citra yang diabadikan pada Oktober 2015 ini menunjukkan kerumunan hutan alam menjalar di sela hutan tanaman, yang memberikan koridor bagi harimau dan satwa lain untuk melintas ke wilayah lain.

FOTO: APP SINARMAS

164

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

PENDEKATAN BENTANG ALAM: SEBUAH SOLUSI?

Berkembangnya teknologi dalam dunia konservasi, seperti kamera jebak, radio pelacak, dan kalung berpiranti GPS, banyak membantu dalam menambah pengetahuan tentang harimau. Teknologi telah memperbaiki dalam menaksir populasi, memahami tingkah laku dan ekologi harimau. Semakin mudahnya penyebaran informasi juga membuat para praktisi semakin memahami fakta konflik manusia-harimau yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Selain perburuan dan perdagangan bagian tubuhnya, kini disadari konflik menjadi salah satu ancaman bagi harimau. Dalam beberapa kasus, konflik sering berakhir ditangkapnya harimau. Tidak jarang, konflik berakhir dengan kematian harimau akibat amukan masyarakat. Padahal, sering kesalahan bukan di pihak harimau, namun manusia-lah yang merangsek ke habitat harimau. Saat hutan Sumatra masih luas, populasi penduduknya masih jarang, industri berbasis lahan masih terkendali, manusia dan harimau sumatra hidup di relungnya masing-masing. Meski ada interaksi, namun di antara kedua spesies ini tidak saling menekan. Pada kondisi seperti itu, pendekatan konservasi konvensional yang hanya ‘bermain’ di kawasan konservasi, mungkin cukup untuk melestarikan harimau. Namun, situasinya kini jauh berbeda. Perubahan besar telah terjadi selama 30 tahun terakhir: kawasan hutan banyak dirombak menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, dan infrastruktur. Sebagai satwa berwilayah jelajah luas, hal itu memaksa harimau harus melintas dan mencari makan di areal yang berubah. Itu juga berarti harimau harus mengambil risiko terbesar: berhadapan dengan manusia. Namun bukan berarti tanpa harapan. Kini, untuk melestarikan harimau perlu memperhatikan cakupan wilayah yang lebih luas, melampui batas kawasan konservasi. Dengan kata lain, upaya konservasi harimau harus menggandeng para pihak di sekitar kawasan konservasi. Untuk meminimalkan risiko kepunahan harimau, dibutuhkan pendekatan yang tepat dan inovatif: melibatkan semua aktor di satu mosaik bentang alam dengan berbagai peruntukan lahan. Dan, juga mendorong para pihak untuk mengambil perannya masing-masing. Pendekatan bentang alam atau lanskap konservasi harimau, telah diperbincangkan sejak lebih dari 10 tahun lalu. Pendekatan ini dipercaya tepat dan ampuh untuk mengatasi tantangan konservasi saat ini. Pendekatan ini pun seharusnya dapat digunakan dalam upaya melestarikan harimau sumatra. Tentu dengan syarat: para pihak, dari pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha, sampai masyarakat di satu lanskap memiliki persepsi dan tujuan yang sama. GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

165

Masyarakat perlu memahami dan menyadari, mereka berkebun, berladang, memelihara ternak dan mencari penghidupan di areal yang juga dihuni harimau. Mereka menggunakan ruang yang sama dengan harimau, sehingga memahami perilaku ekologinya menjadi satu keniscayaan. Ini merupakan ‘modal dasar’ untuk menghindari terjadinya konflik manusia-harimau. Pada saat yang sama, diperlukan keberpihakan pemerintah pusat dan daerah pada konservasi harimau, dengan menimbang keberadaan harimau dalam merancang kebijakan penataan ruang untuk pembangunan. Selain itu, pemerintah juga harus lebih serius dalam menjaga dan mengamankan kawasan-kawasan hutan yang menjadi tanggung-jawabnya. Seiring dengan itu, untuk memberikan efek jera, pemerintah mesti tegas dalam menegakkan hukum bagi para pelaku kejahatan kehutanan dan konservasi. Pada kawasan hutan yang terlanjur berubah, ataupun yang kelak akan dikembangkan menjadi areal budidaya, ada regulasi yang mewajibkan setiap konsesi mengalokasikan 10 persen arealnya untuk kawasan lindung. Kawasan lindung dalam konsesi, baik hak guna usaha ataupun hutan tanaman industri, penempatannya harus disesuaikan dengan kebutuhan harimau. Namun, agaknya itu saja dirasa belum cukup. Areal-areal konsesi masih perlu dikaji nilainya bagi kepentingan konservasi. Kajian ini untuk mengetahui secara indikatif, daerahdaerah mana saja dalam konsesi yang menjadi lintasan dan habitat harimau, serta areal-areal berhutan mana yang harus dipertahankan. Dengan demikian, dalam operasionalnya, para pemegang konsesi dapat mengelola dengan pendekatan ‘pengelolaan terbaik’ (best practices) agar kawasannya menjadi ramah konservasi harimau. Para pihak dalam satu bentang alam tidak dapat berupaya secara parsial. Perlu berkoordinasi, agar bercak-bercak hutan dalam setiap konsesi dapat berfungsi optimal. Selanjutnya, perlu memetakan kawasan lindung, areal bernilai konservasi tingggi, areal berhutan dengan stok karbon tinggi, serta perladangan masyarakat, untuk memastikan keterhubungan antar-habitat dan koridor harimau dalam satu lanskap. Perambahan dan pembalakan liar bisa terjadi di setiap kawasan hutan. Tidak terkecuali di dalam areal konsesi. Maka, para pelaku industri sudah semestinya berupaya serius dalam menjaga keutuhan kawasan lindung, areal bernilai konservasi, areal dengan stok karbon tingginya, dan mencegah perburuan liar. Bila hal tersebut dilakukan, areal konsesi dapat berfungsi menjadi batu loncatan, koridor, dan bahkan habitat tambahan bagi harimau 166

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Babi hutan (Sus scrofa) yang hidup di areal hutan tanaman merupakan salah satu mangsa favorit harimau. Mencegah perburuan hewan mangsa dapat menjamin ketersediaan pakan di lanskap industri, sehingga dapat mengurangi potensi konflik manusia-harimau. Foto ini diabadikan kamera jebak pada Oktober 2017 di satu konsesi HTI di Riau.

di luar kawasan konservasi. Ini bakal menjadi kontribusi signifikan dari pelaku industri dalam pelestarian harimau di Sumatra. Untuk legalitas eksistensi areal-areal bernilai konservasi tinggi di satu bentang alam, dapat dikemas dalam skema kawasan ekosistem esensial. Inisiasinya dapat didorong melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang lalu dikukuhkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya, pengelolaan bentang alam dapat dilakukan melalui satu forum, atau memberdayakan Kesatuan Pengelolaan Hutan, yang telah ditetapkan pemerintah untuk mengelola setiap jengkal kawasan hutan. Konsep lanskap nampaknya cocok untuk menjawab tantangan yang dihadapi dalam konservasi harimau. Saat ini, habitat harimau di Sumatra sebagian besar berada pada satu mosaik bentang alam dengan penggunaan lahan untuk berbagai tujuan. Keadaan tersebut menuntut para pihak untuk mengupayakan terciptanya harmoni antara manusia dengan harimau. Hidup ko-eksis ini dapat menghindari pecahnya konflik manusiaharimau. Lebih jauh, pengelolaan dengan pendekatan bentang alam dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yang menjaga keseimbangan antara kepentingan sosial-ekonomi dengan konservasi. ***

FOTO: APP SINARMAS

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

167

DESA DAN KONSERVASI HARIMAU AGUSTINUS WIJAYANTO DAN AKBAR A. DIGDO

Membumikan konservasi harimau dalam pembangunan wilayah desa. Tidak sedikit desa-desa yang berdiam di kawasan konservasi, entah di taman nasional maupun suaka margasatwa. Keberadaan desa ini menjadi tantangan bagaimana menyeimbangkan upaya konservasi dan pembangunan desa. Kebijakan konservasi dan kehutanan memang telah memuat adanya pemberdayaan dan peran serta masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Namun demikian, sinergi antara kepentingan konservasi dengan pembangunan desa sering belum optimal di tingkat tapak. Karena itu, perlu ditempuh pendekatan kreatif yang dapat menjembatani kedua kepentingan itu. Peluang untuk itu terbuka dengan terbitnya Undang-undang Desa. Sesuai amanat undang-undang itu, pembangunan desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong pembangunan desa secara mandiri dan berkelanjutan yang berorientasi pada ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Desa juga didorong untuk mengembangkan potensinya dan melestarikan lingkungan hidup. Salah satu contoh sinergi pembangunan desa dan konservasi dapat dilihat di Suaka Margasatwa Rimbang Baling, kelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau. Pendekatan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi dapat digunakan untuk menyelaraskan konservasi harimau dengan pembangunan wilayah melalui rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM Desa). Inisiatif ini didampingi Program IMBAU (WWF-YAPEKA-INDECON). Upaya untuk memasukkan aspek konservasi telah dimulai sejak penggalian gagasan pada tahap kajian keadaan desa. Sementara itu, pihak KPHK diharapkan dapat mewadahi masyarakat untuk melakukan kegiatan lestari di blok pemanfaatan dan blok khusus di suaka margasatwa. 168

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Suasana pagi di kampung tua Ludai, yang berada di dalam kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Kampung tua ini masuk dalam blok khusus, untuk mewadahi adanya pemukiman sebelum ada suaka margasatwa.

Pengelolaan Suaka Margasatwa Rimbang Baling memang terbagi dalam beberapa blok: perlindungan, pemanfaatan, blok khusus, rehabilitasi, religi, budaya, dan sejarah. Blok pemanfaatan ditetapkan karena letak, kondisi, dan potensinya, sesuai untuk pemanfaatan jasa lingkungan. Blok pemanfaatan dapat mewadahi pemanfaatan jasa lingkungan secara lestari, seperti wisata alam, pemakaian air, dan lainnya, sesuai aturan yang berlaku. Selain itu, blok ini juga memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya di suaka margasatwa. Sedangkan blok khusus untuk mewadahi keberadaan masyarakat yang sudah ada sebelum penunjukan suaka margasatwa, dan menampung pembangunan strategis nasional. Sementara dari sisi desa, rencana pembangunan desa dapat mewadahi kegiatan yang mendukung konservasi di blok pemanfaatan dan blok khusus. Contoh bagus menautkan konservasi dengan pembangunan desa terlihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Tanjung Belit dan Batu Sanggan di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kampar. Tanjung Belit adalah desa penyangga, sementara Batu Sanggan berada di dalam suaka margasatwa. Rencana pembangunan kedua desa tersebut telah memasukkan aspek-aspek yang beririsan dengan konservasi. Dalam rencana bidang pembinaan kemasyarakatan misalnya, tercantum kegiatan

FOTO: DWI OBLO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

169

Salah satu praktik pembangunan berkelanjutan berupa pertanian intensif di lahan warga Desa Tanjung Belit. Pertanian intensif dapat mencegah pembukaan lahan baru yang dapat mengganggu habitat harimau (atas). Kearifan lokal menjadi modal sosial untuk mendorong masuknya upaya konservasi dalam pembangunan desa, seperti panen ikan di lubuk larangan di Kampung Ludai (kanan). Sebaliknya, pengelola kawasan konservasi sepantasnya memberi ruang partisipasi di blok pengelolaan. Dengan skema kemitraan, masyarakat berkesempatan memanfaatkan jasa lingkungan suaka margasatwa, seperti ekowisata dan air.

FOTO: DWI OBLO

170

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

171

MENAUTKAN KONSERVASI DENGAN DESA Dua kebijakan berpeluang untuk menyelaraskan desa dengan konservasi. Kebijakan pertama: undang-undang desa; kebijakan kedua: undang-undang kehutanan dan konservasi. Kedua kebijakan itu beserta turunannya, dipadukan dalam bentuk pembangunan berkelanjutan, yang dituangkan dalam rencana desa dan rencana pengelolaan kawasan konservasi. KEBIJAKAN DESA UU No. 6/2014 PP No. 43/2014

Pengelolaan sumberdaya alam dan pembangunan berkelanjutan Konsep untuk harmonisasi kebijakan kehutanan dan pembangunan desa.

UU No. 5/1990, UU No. 41/1999 PP No. 108/2015

Internalisasi di desa melalui perencanaan desa

Dokumen rencana tata ruang, dan rencana jangka menengah kabupaten dan provinsi.

Permendagri No. 114/2014

Hasil kajian di desa: untuk memahami potensi, kecenderungan, dan modal sosial. Proses Fasilitasi Pemanfaatan sumberdaya alam dan keterlibatan masyarakat di blok pengelolaan dan rencana pengelolaan suaka margasatwa.

Fasilitasi untuk memasukkan pembangunan berkelanjutan dalam konteks pembangunan desa dan pengelolaan kawasan konservasi. Integrasi vertikal KLHK: dari pusat sampai tapak

Permen No. P43/2017 Permen No. P44/2017

KEBIJAKAN KEHUTANAN

Hasil evaluasi untuk memperbaiki konsep pembangunan berkelanjutan.

Hasil penyelarasan: Rencana kegiatan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan kerjasama pengelolaan dengan KLHK.

Aksi kegiatan matapencaharian berkelanjutan dan konservasi.

Monitoring dan evaluasi

IRISAN DESA DENGAN KONSERVASI DESA Desa menuangkan berbagai kegiatan di rencana pembangunan jangka menengah, sesuai tata ruang dan sumber dayanya. Bagi desa di batas ataupun berada di kawasan konservasi, melalui rencana pembangunan itulah, desa memasukkan aspek konservasi, seperti patroli kawasan ataupun tim mitigasi konflik mandiri. Kegiatan konservasi sesuai dengan keadaan setempat.

172

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

KAWASAN KONSERVASI Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan ruang kelola sesuai dengan tujuan: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Di ruang kelola atau blok pemanfaatan, pengelola menampung kepentingan desa. Bentuk pemanfaatan bersifat lestari: ekowisata, air, dan jasa lingkungan lain. Pengelola juga dapat berkontribusi bagi desa melalui pemberdayaan masyarakat.

PEMBELAJARAN DARI RIMBANG BALING DAPAT MENJADI PERTIMBANGAN DALAM MENYELARASKAN KEPENTINGAN KONSERVASI DAN PEMBANGUNAN DESA DI TEMPAT LAIN.

penyadartahuan mitigasi konflik dengan binatang buas. Demikian juga, dalam bidang pemberdayaan masyarakat yang memasukkan pelatihan mencegah kebakaran lahan dan hutan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, biogas, dan lainnya. Dalam rencana pembangunan dua desa itu, masyarakat diajak untuk mengoptimalkan lahan garapannya dengan tanaman produktif, tanpa membuka lahan baru yang menganggu habitat harimau. Desa juga memahami bagaimana memperlakukan lingkungannya untuk berinteraksi dengan satwa liar. Selain itu, media radio komunitas, yang dikembangkan di Tanjung Belit, menjadi sarana bertukar informasi konservasi yang dapat dijangkau masyarakat di desa-desa hulu yang terpencil. Demikian juga pemanfaatan jasa lingkungan melalui ekowisata sungai, yang menjadi salah satu alternatif pemanfaatan berkelanjutan di Batu Sanggan. Masyarakat mendapat manfaat langsung dan berperan dalam mengurangi tekanan dalam kawasan yang menjadi habitat harimau. Pembelajaran dari dua desa tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam menyelaraskan kepentingan konservasi dan pembangunan desa di tempat lain. Pemberdayaan masyarakat, semisal tim patroli berbasis masyarakat, dapat didukung dengan pendanaan dari desa. Sehingga, desa secara langsung mendukung pekerjaan pengelola kawasan konservasi yang didiami harimau. Jadi, sudah saatnya pengelola kawasan konservasi terjun ke lapangan untuk mendapatkan informasi dan masukan dari masyarakat, pemerintah daerah, desa, dan tokoh adat. Pun, pemerintah desa dan daerah, sepantasnya membuka diri terhadap masuknya aspek-aspek konservasi dalam rencana pembangunan wilayahnya. Dengan begitu, sifat saling membuka diri akan memberikan peluang bagi sinergi para pihak di tingkat tapak. Kegiatan konservasi menjadi prioritas di desa; dan sebaliknya, pihak pengelola akan memasukkan pemberdayaan masyarakat dalam manajemen kawasannya.*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

173

PENGINTAI DALAM SENYAP ERNI SUYANTI MUSABINE

Diam-diam, berbagai jasad renik mematikan mengintai populasi harimau di alam liar. Harimau sumatra dikenal mampu hidup di hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan. Sayangnya, habitat yang semakin menyusut memaksa harimau memasuki wilayah aktivitas manusia. Dengan berkeliaran di pemukiman, harimau dapat dengan mudah mencari mangsa ternak. Satwa mangsa harimau sumatra memang tidak terbatas ruminansia liar, tetapi juga hewan domestik. Hanya saja, dari sejumlah kejadian konflik, nampaknya sakit dan penyakit juga mendorong harimau mendekati pemukiman. Pada Desember 2008 misalnya, seekor anak harimau tanpa induk ditemukan di pinggir jalan desa yang menuju perkebunan sawit PT Agri Andalas, Bengkulu Tengah, Bengkulu. Ia terlihat lemah. Setelah mendapatkan perawatan di Laboratorium dan Klinik Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Bengkulu, harimau itu akhirnya mati. Namun, kematiannya membuka kotak pandora tentang hidupmati harimau sumatra. Usai bedah bangkai, ternyata anak harimau itu mati lantaran penyakit tersebab bakteri. Memang, siapa pun tak bakal mudah mengetahui harimau liar yang sakit dan yang sehat. Ini lantaran harimau acap tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas dan khas. Selain itu, sulit juga untuk menjumpai harimau liar di habitatnya—lalu memeriksa kesehatannya. Yang sering terjadi: harimau lebih mudah dijumpai di daerah rawan konflik. Selama ini, harimau terdeteksi sakit atau mengidap penyakit setelah tertangkap. Jadi, setiap harimau yang diselamatkan dari jebakan pemburu dan konflik, selalu menjalani pemeriksaan medis. Bagi harimau yang selamat dan hidup, pemeriksaan medis untuk mengetahui status kesehatannya. Kemudian, hasil cek medis menjadi pertimbangan upaya selanjutnya: ia layak dilepasliarkan, atau harus dikarantina untuk pengobatan sampai sembuh. Atau, jalan terakhir terbaik: ia disuntik mati. 174

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Pengobatan dan perawatan medis harimau korban konflik dari Kabupaten Seluma, Bengkulu, Mei 2015. Warna dan pola loreng harimau ini pudar lantaran digerogoti dermatitis atau penyakit kulit, dan diselamatkan di kantor Balai KSDA Bengkulu.

Pilihan suntik mati tentu dengan beberapa syarat ketat. Pertama, harimau memang menderita penyakit menular mematikan, yang bisa mengancam sesamanya, satwa lain, maupun manusia. Kedua, peluang untuk sembuh sangat kecil. Dan ketiga, suntik mati untuk mengurangi derita harimau yang dirundung penyakit. Sementara untuk harimau yang ditemukan mati, selanjutnya medik melakukan nekropsi atau bedah bangkai. Ini untuk mengetahui penyebab kematiannya. Apakah ia mati secara wajar; mati karena unsur kesengajaan; mati karena sakit atau penyakit. Dari pemeriksaan medis itu, harimau hidup ataupun mati akan diketahui status kesehatannya. Dengan prosedur medis itu, medik veteriner mengetahui beberapa harimau yang dievakuasi dari daerah konflik dan perburuan di Bengkulu, Jambi, dan Sumatra Barat, menunjukkan kondisi sakit. Hasil cek medis menyingkap adanya beberapa penyebab penyakit yang menyerang harimau di alam. Salah satunya, penyakit tersebab parasit. Penyakit parasiter ini terlihat dari gejala klinis dan pemeriksaan spesimen. Dari pemeriksaan spesimen, beberapa harimau yang mati menderita nekrosis hati, kerusakan ginjal, infeksi paru-paru, dan radang usus. Penyakit parasiter dari endoparasit, beberapa di antaranya bersifat zoonosis dari kelas Nematoda, yakni cacing gilig Ancylostoma sp. Ancylostomiasis menggerogoti kekebalan tubuh sehingga harimau

FOTO: BALAI KSDA BENGKULU

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

175

rawan terserang parvovirus, hepatitis, distemper, serta Toxocara sp dengan patogenitas tinggi, dan bisa menginfeksi manusia. Dari sisi konservasi, penyakit parasiter bisa menular dari harimau sakit ke harimau sehat. Penularan penyakit parasiter bisa melalui satwa mangsa, ataupun dari hewan domestik yang sakit. Penularan terjadi saat harimau memangsa hewan domestik yang sakit. Atau, bisa juga melalui kontaminasi feses, air, dan tanah yang tercemar agen penyakit. Sementara itu, penyakit dari cacing, ada jenis Paragonimus sp., Dipylidium sp. dan larvanya. Infeksi campuran dari cacing-cacing tersebut menyebabkan kematian harimau dengan beberapa gejala klinis, seperti dehidrasi, jinak, rambut rontok, dan kurus. Selain endoparasit, ada juga ektoparasit yang dijumpai pada harimau sumatra, yaitu Rhipicephalus sp. Infestasi caplak ini dapat menyebabkan iritasi, dan anemia. Parasit ini juga vektor biologis penyakit parasit darah protozoa Babesia dan bakteri intraseluler Ehrlichia canis. Yang terakhir ini, agen penyebab penyakit Erlichiosis yang sering menyerang anjing. Penyakit parasit darah yang ditemukan pada harimau adalah Anaplasmosis dengan gejala klinis berperilaku pasif dan lesu. Anaplasma spp dilaporkan menyebabkan penyakit pada kucing, namun belum diketahui prevalensi infeksi, manifestasi penyakit, serta rekomendasi pengobatannya. Catatan-catatan medis tersebut menunjukkan penyakit berpotensi mengurangi populasi harimau di alam liar. Dampak terburuk infestasi FOTO: BALAI KSDA BENGKULU

176

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Pada 24 April 2013, tim medik veteriner memeriksa harimau yang menderita penyakit parasiter. Harimau yang lesu ini diselamatkan dari Talang Sebaris, Seluma, Bengkulu (kiri). Dengan nekropsi, medik dapat menelisik adanya larva migran pada organ hati harimau itu (atas).

penyakit parasiter adalah kematian. Ini pernah terjadi pada harimau korban jerat pemburu dan konflik di Muara Emat, Kerinci, Jambi, pada November 2011. Setelah berhasil diselamatkan, harimau nahas itu akhirnya meregang nyawa. Hasil pemeriksaan bedah bangkai menunjukkan ia terinfestasi berbagai jenis cacing. Lantas bagaimana mengobati harimau liar yang sakit? Agak sulit menjawab pertanyaan ini. Harimau sakit tentu perlu diselamatkan dengan cara ditangkap dengan kandang jebak, lalu diisolasi untuk pengobatan. Jawaban itu sederhana, tapi rumit. Yang lebih masuk akal: meminimalkan penularan penyakit dari hewan domestik ke harimau liar. Upaya ini pernah dilakukan dengan vaksinasi anjing-buru dan anjing piaraan masyarakat yang berdiam di kawasan hutan dan di daerah rawan konflik. Selain itu, juga ada layanan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan hewan domestik. Upaya lain adalah mencegah masuknya anjing-buru babi ke habitat harimau dan daerah rawan konflik. Ini mengingat beberapa anjing buru di Sumatra ada yang menderita penyakit yang bisa ditularkan kepada harimau liar—contohnya, cacing jantung. Pemukiman yang dekat hutan membuat harimau lebih mudah berinteraksi dengan manusia. Masyarakat pedalaman Sumatra biasa memelihara hewan, seperti anjing penjaga dan anjing-buru. Kebiasaan memelihara ini tentu berisiko membuka kontak penyakit dari hewan domestik ke harimau liar. Perlu dipikirkan juga, di masa mendatang, ada tim medik yang bisa bergerak untuk mencegah penularan penyakit dari hewan domestik ke harimau—dan sebaliknya. Sejauh ini, yang telah dilakukan adalah melatih dokter hewan yang tinggal di daerah rawan konflik. Pelatihan yang berlangsung sejak 2011 sampai 2018 ini salah satu materinya tentang penanganan medis harimau yang diduga sakit, harimau korban konflik dan perburuan liar. ***

FOTO: ERNI SUYANTI MUSABINE

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

177

LUKA DAN NESTAPA KONFLIK SUGENG DWI HASTONO

Dunia medik yang menyingkap harimau-harimau korban konflik yang sakit dan mengidap penyakit. Selama ini, saat konflik harimau dengan manusia meletus, perhatian khalayak lebih tertuju kepada korban manusia. Memang, relatif lebih mudah menghitung kerugian yang dialami manusia: terluka, ternak dimangsa, sampai hilang nyawa. Namun, dari pihak lawan, sungguh tidak mudah untuk menilai kerugian yang dialami harimau. Lagipula, antara harimau dan manusia tak bisa berkomunikasi secara verbal. Tim medik konservasi satwa liar dan tim mitigasi berdiri di antara dua pihak yang bertikai ini. Dan itu tak mudah, lantaran harus menyelamatkan dua pihak yang bertarung. Dendam dan amarah dari pihak manusia dapat dibaca dari ucapan dan tindakan. Tapi, bagaimana membaca amarah atau keluhan harimau? Dari pengalaman selama menangani konflik harimau dengan manusia, medik satwa menemukan beberapa kasus sakit – penyakit yang diderita harimau korban. Barangkali, sakit – penyakit adalah pertanda lain dari kerugian yang dialami harimau. TRAUMA FISIK

Sebagai penguasa rantai makanan, dipastikan tidak ada satwa lain yang akan memangsa harimau. Artinya, agak aneh bila harimau mengalami trauma fisik. Di alam liar, harimau mengalami trauma fisik mungkin lantaran berkelahi dengan sesamanya. Dari hampir semua kasus, harimau mengalami trauma fisik karena jerat pemburu. Jerat dari senar baja misalnya, dapat melukai telapak kaki hingga tungkai bawah. Itulah bagian tubuh harimau yang paling sering terluka jeratan. Selain itu, harimau korban konflik juga mengalami luka tertembus peluru, anak panah para pemburu, atau benda runcing-tajam lain. Bahkan, baru-baru ini seekor harimau betina yang mengandung dua anak, ditemukan mati tergantung di pinggir jurang akibat jerat sling yang melingkar di pinggangnya. 178

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Bedah bangkai dari harimau betina korban jerat pemburu untuk menelisik penyebab kematiannya. Dari pembedahan ini, tim medik mengetahui sang harimau ini juga sedang bunting dengan dua janin. Hanya dari kasus konflik dan korban jerat, tim medis dapat menyingkap harimau liar juga rentan terhadap sakit dan penyakit. INFEKSI KUMAN

Luka perkelahian, jerat, peluru, benda tajam-runcing yang tidak mendapatkan penanganan tim medik, berisiko diikuti terinfeksi kuman (bakteri). Tidak jarang harimau yang ditemukan dengan luka jerat yang bernanah—tanda pembusukan, sehingga terpaksa diamputasi untuk membuang bagian yang telah membusuk. Luka yang tak tertangani dengan baik membuat infeksi menjadi kronis, yang selanjutnya sepsis atau infeksi menyebar ke bagian tubuh lain. Bila begitu, sepsis dapat mengancam jiwa harimau. Pada tingkat yang kronis, tim medik terpaksa mengamputasi bagian tubuh harimau. Ini bukan hal mudah bagi harimau. Amputasi menurunkan daya gerak dan kemampuan harimau untuk berburu demi bertahan hidup di alam liar. Sehingga, harimau yang teramputasi terpaksa menjalani sisa hidupnya di lembaga konservasi ex-situ. Ia menjadi harimau berkebutuhan khusus, yang bergantung pada manusia untuk mendapatkan pakan dan pasangan hidup. FOTO: FITRIANI DWI KURNIASARI WILDLIFE CRIME TEAM RIAU/WWF-INDONESIA CENTRAL SUMATRA PROGRAM

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

179

INFESTASI PARASIT

Pertama-tama, infestasi parasit tersebab kelompok parasit eksternal di antaranya caplak dan pinjal. Kedua parasit ini menghisap darah harimau melalui gigitan di permukaan kulit. Selain menyebabkan anemia, caplak dan pinjal juga dapat menularkan penyakit, seperti babesia, anaplasma dan ehrlichia. Perlahan-lahan, penyakit-penyakit itu membuat harimau menderita malnutrisi—lalu dapat mati. Sementara itu, cacing pita dan cacing gilig adalah parasit internal yang sangat mudah ditemukan pada harimau. Harimau dapat terinfeksi bila memangsa satwa atau ternak yang kebetulan mengidap kelompok cacing tersebut. Ancylostoma sp adalah salah satu cacing gilig yang dapat bermigrasi dari saluran pencernaan harimau: menembus dinding usus, dan dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh. Akibatnya, seringkali anak harimau yang masih muda dapat terinfestasi cacing ini karena migrasi dari induk ke janin di dalam kandungan. Semua jenis cacing akan menghisap darah sehingga harimau menderita anemia – malnutrisi. Dampak selanjutnya, daya tahan tubuh harimau merosot, lalu mudah sakit. Migrasi larva cacing gilig menyebabkan radang dan pendarahan hebat di berbagai organ tubuh harimau. Bila sudah begitu, nyawa harimau tinggal menunggu waktu. Luka harimau mengeluarkan darah dan berbau amis yang disukai lalat. Serangga ini hinggap, lalu menggerogoti jaringan luka, dan bertelur. Dalam hitungan jam, telur menetas menjadi larva, 180

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Dari pemeriksaan nekropsi pada 13 November 2011, tim medik menemukan cacing dewasa pada saluran cerna harimau yang dievakuasi dari Desa Muara Emat, Kerinci, Jambi.

lantas bergerak menuju luka terbuka itu untuk makan jaringan dan bersarang. Bila sudah begitu, terjadilah kerusakan jaringan di area luka, yang dikenal dengan istilah myasis larva migran. Bila kebetulan harimau menjilati luka yang menjadi sarang lalat, bisa jadi larva ikut masuk ke saluran pencernaan. Pada beberapa kasus, ditemukan larva lalat booth yang melukai, membenamkan diri, dan bersarang di saluran pencernaan dan pernapasan. GANGGUAN METABOLISME

Harimau yang sudah tua akan mengalami proses penurunan fungsi organ tubuh. Dehidrasi yang serius misalnya, akan mengurangi pasokan oksigen dan nutrisi ke sekujur tubuh. Dampak selanjutnya, harimau tua mengalami kegagalan fungsi organ, atau kematian jaringan, yang dapat menyebabkan kematian. Timbunan cairan di dalam rongga perut, atau ascites, umumnya terjadi karena malnutrisi maupun gangguan fungsi organ sirkulasi darah dan ginjal. Pada kasus gangguan metabolisme tersebab penurunan fungsi organ, sangat sulit untuk menyelamatkan si harimau. Di alam liar, harimau tua dan sakit pasti bersembunyi. Alhasil sulit menemukan harimau tua yang sakit tersebab gangguan metabolisme. Kasus harimau mati dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada Maret 2015 misalnya, terindikasi mengalami kerusakan hati. Timbunan cairan ascites juga pernah ditemukan pada Mei 2014. FOTO: ERNI SUYANTI MUSABINE

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

181

182

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Caplak menyerang harimau sumatra yang menjadi korban konflik (atas). Cacing nematoda yang menembus usus dan bersarang di diafragma harimau (bawah). POTENSI ANCAMAN PENYAKIT LAIN

Selain sakit – penyakit di atas, masih ada potensi penyakit lain yang tak kalah membahayakan bagi harimau. Harimau yang merupakan hewan dalam familia felidae rentan terhadap infeksi Toxoplasma sp yang memang memiliki inang utama dari keluarga kucing dan kucing besar. Terlebih lagi, cara utama penularan toxoplasmosis adalah memakan daging mentah yang terinfeksi toxoplasma. Kemudian ada rabies yang disebabkan Lyssa Virus, yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas. Penyakit ini berpotensi menjadi ancaman, mengingat tim medik pernah menemukan kasus rabies pada primata, lutung dan makaka—salah satu mangsa harimau. Jangan lupa juga, beberapa provinsi di Sumatra: Lampung, Sumatra Utara, dan Aceh, merupakan wilayah endemis rabies. Toxoplasmosis dan rabies adalah penyakit yang bersifat zoonosis: dapat menular dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Satu lagi penyakit yang mengkhawatirkan: canine distemper virus (CDV). Ini salah satu penyakit virus yang bersumber dari anjing, dan beberapa jenis karnivor lainnya. Sejumlah laporan menyebut CDV dapat menyebabkan perubahan perilaku harimau, yang bisa berujung kematian. Potensi penularan penyakit ini semakin besar karena pemburu babi hutan sering membawa anjing ke dalam hutan. Dalam beberapa kali insiden konflik, ada kasus harimau yang memangsa anjing. Bila anjing-buru yang ke hutan maupun anjing yang dimangsa harimau terinfeksi virus CDV, mereka dapat menularkan penyakit ini ke harimau. Masuknya pemburu babi bersama anjing ke hutan adalah ancaman penularan CDV—juga beberapa penyakit lain. Seluruh penyakit ini memang tak selalu menyebabkan harimau penderita menemui ajal secara langsung. Tapi, tetap saja memengaruhi kelestarian populasi karena harimau sakit akan menurun kemampuan berburunya. Ia lantas terdorong mencari buruan yang mudah di pemukiman. Dengan demikian, harimau sakit dapat menyulut konflik. Penyakit CDV juga dapat mengurangi kemampuan bayi harimau untuk bertahan hidup, ataupun membuat harimau rentan terhadap penyakit lain.*** FOTO: SUGENG DWI HASTONO (SEMUANYA)

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

183

YANG TERSIRAT DARI BALIK KONFLIK MUNAWAR KHOLIS

Pertikaian harimau dan manusia menandakan gejala ekosistem sedang merana. Meski konflik merupakan bentuk interaksi yang paling dominan antara harimau dan manusia, ada beberapa interaksi lain yang juga perlu dicermati. Dalam perspektif bentang alam, harimau sebenarnya berinteraksi secara tak kasat mata dalam proses ekosistem. Dalam proses interaktif itu, harimau memberikan dampak positif maupun negatif terhadap manusia. Agaknya, perlu diingat: habitat favorit harimau bukan dataran tinggi di atas batas vegetasi pegunungan (alpin dan sub-alpin). Dataran tinggi memang jauh dari manusia dan relatif aman dari perburuan. Kendati ada harimau yang mendiami dataran tinggi, umumnya dalam kepadatan rendah. Populasinya tak sepadat, misalnya, dibandingkan dengan habitat rawa gambut maupun hutan bakau, seperti di Taman Nasional Berbak-Sembilang. Dahulu harimau menyukai berdiam di hutan dataran rendah karena berlimpah satwa mangsa. Selama ada makanan, di situ ia hidup. Sayangnya, hutan dataran rendah sudah menjadi wilayah yang didominasi manusia. Artinya, perombakan habitat di dataran rendah, plus perburuan, membuat harimau terpaksa pergi meninggalkan wilayah utamanya. Pilihan lain, jika harimau tak mengungsi, adalah berkonflik dengan manusia. Ini memaksa harimau menjalani hidup yang sulit. Ia di bawah ancaman ratusan jerat yang ditebar bagaikan ranjau darat. Fakta menunjukkan konversi hutan semakin merangsek ke habitat harimau. Akibatnya, jarak antara aktivitas manusia dengan habitat harimau semakin beririsan. Terjadilah interaksi yang semakin intensif, lalu meletus pertikaian. Data dari berbagai Balai Konservasi Sumber Daya Alam, yang disusun Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Forum HarimauKita menunjukkan tingginya konflik. Selama kurun 2001 sampai 2016, terjadi 1.069 insiden konflik dalam berbagai bentuk. 184

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Harimau ini terjerat sling di kawasan hutan produksi Air Rami, Mukomuko, Bengkulu pada 2012. Harimau yang cacat semakin sulit mencari mangsa. Seandainya kembali ke alam liar, ia akan mencari mangsa mudah: ternak di perkampungan. Artinya, konflik akan terus terjadi.

Dari delapan provinsi di Sumatra, Aceh, Bengkulu, Jambi, dan Riau, merupakan empat provinsi dengan insiden konflik terbanyak. Aceh dan Bengkulu didominasi konflik dengan dampak terhadap ternak, sedangkan Riau didominasi konflik yang berujung jatuhnya korban manusia. Unit pelaksana teknis, dengan dukungan dari para mitra, sudah mengelola data konflik sejak 2000-an. Data ini menjadi bekal untuk menyerap pembelajaran dalam memahami dan menangani konflik. Saat ini, juga tersedia call center di setiap Balai Konservasi Sumber Daya Alam, yang membuka saluran bagi masyarakat untuk memberi informasi tentang satwa, konflik, perdagangan liar dan aduan lain. PEMBELAJARAN 1: KONFLIK HARIMAU DAN DEFORESTASI

Sebelum heboh kasus harimau Bonita, yang menyita perhatian masyarakat, Riau sudah dikenal sebagai wilayah yang didominasi konflik, berupa serangan harimau terhadap manusia. Wajar bila muncul pertanyaan: apa yang terjadi dengan hutan di Riau? Kenapa terjadi konflik berskala berat di sana? Pertama-tama, perlu melihat kondisi habitat serta perubahanperubahannya di Sumatra, khususnya Riau. Cara termudah: melihat data citra satelit—kini, citra satelit mudah diperoleh. Lagipula, ada pakar yang menganalisis deforestasi berdasarkan citra satelit—meski

FOTO: ERNI SUYANTI MUSABINE

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

185

tak banyak. Referensi yang banyak menjadi rujukan deforestasi di Sumatra adalah studi Belinda Margono dan kawan-kawan pada 2012 dan 2014. Analisis citra menunjukkan menyusutnya hutan Riau selama dua dekade terakhir terjadi di dataran rendah, pegunungan, dan wilayah perbatasan lahan basah. Hanya saja, perlu dicatat, tak semua bentuk deforestasi tersebut bertentangan dengan peraturan kehutanan. Meski begitu, citra satelit ini cukup untuk menampilkan hubungan deforestasi dengan pola konflik harimau. Indikasinya jelas: ada hubungan sebab-akibat antara ketersediaan habitat dan insiden konflik. Lantaran itu, perlu kebijakan lebih kuat untuk memastikan tersambungnya antar-habitat kecil, dan kualitas habitat harimau di daerah rawan konflik. Ini sebagai upaya untuk mitigasi konflik. Sebenarnya, pecahnya konflik tidak terjadi secara mendadak. Sebelum meletus, ada berbagai faktor awal yang saling terkaitan, yang tanpa disadari membuka peluang konflik. Faktor itu lumayan banyak, mulai dari deforestasi, degradasi lahan—baik legal maupun ilegal, perburuan, hingga kebiasaan beternak dengan melepas hewan piaraan. Dari pengalaman selama dua dekade belakangan terdapat beberapa pembelajaran utama dalam menanggulangi konflik.

Populasi manusia menduduki lahan di hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, lalu merombaknya menjadi kebun kopi. Di seputar tempat ini, ditemukan jejak-jejak harimau. Semakin masuk ke hutan, manusia tanpa sadar meningkatkan risiko konflik.

FOTO: AGUS PRIJONO

186

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

PEMBELAJARAN 2: MENANGANI SEJAK MASIH DINI

Pemerintah pusat tidak tinggal diam dalam menghadapi situasi konflik satwa dan manusia. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2008 merupakan kemajuan besar dalam membekali kapasitas dan menempatkan petugas di lapangan untuk menangani konflik satwa liar. Meski dalam praktiknya masih ada kekurangan, namun semangat menanggulangi konflik sudah tertanam secara formal. Penanganan konflik dilakukan sesuai dengan tingkat risikonya. Karena itu, diperlukan pemahaman dan penguasaan situasi konflik, seperti dijelaskan peraturan menteri itu. 1. Risiko rendah. Konflik tidak berpotensi mengancam keselamatan manusia maupun harimau, tetapi menimbulkan rasa takut dan tidak aman. Tindakan langsung di lapangan tidak terlalu mendesak. Perlu tindakan pemantauan dan persiapan masyarakat untuk menghindari konflik. 2. Risiko sedang. Konflik tidak berpotensi mengancam keselamatan manusia dan harimau bila dilakukan langkahlangkah penanganan. Pada tahap ini perlu pengiriman tim penanggulangan konflik ke lokasi. 3. Risiko tinggi. Konflik berpotensi sangat mengancam keselamatan manusia bila tidak dilakukan langkah-langkah penanganan. Konflik berisiko rendah tentu saja dapat meningkat levelnya jika tidak ditangani secara dini dengan pencegahan yang tepat. Beberapa contoh penanganan konflik secara dini: sosialisasi, penghalauan, dan memperbaiki kebiasan beternak masyarakat dengan mengandangkan ternak pada sore dan malam hari. Penanganan konflik sejak dini bertujuan untuk meminimalkan dampak; mengajak masyarakat berperilaku secara aman di wilayah yang ada harimau, lalu menghalaunya; dan melakukan antisipasi agar konflik berkepanjangan dapat dicegah. Di Aceh misalnya. Kendati jumlahnya terbilang tinggi, namun sebagian besar konflik berisiko ringan: harimau hanya melintas dan memangsa ternak. Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh dan mitranya segera merespon saat level konflik masih rendah. Respon cepat ini untuk mencegah dampak konflik berkembang menjadi membahayakan manusia dan satwa. Metode ini terlihat cukup efektif: sejak 2011 tidak terjadi lagi kematian harimau akibat konflik. Dengan demikian, untuk dapat menanggapi saat konflik masih berisiko rendah, diperlukan sistem pemantauan yang efektif sehingga informasi dini dapat direspon secara cepat. GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

187

Mitigasi konflik menuntut banyak pihak terlibat. Contohnya: konflik gajah - manusia di lanskap Bukit Barisan Selatan. Pertikaian terjadi di hutan kemasyarakatan dalam wewenang Kesatuan Pengelolaan Hutan. Untuk mengurus si gajah, melibatkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Sementara itu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga terlibat karena kawasannya menjadi habitat gajah. Dari sisi sosial, pemerintah daerah selayaknya mendampingi masyarakat. Jadi, minimal ada empat pihak berwenang yang terlibat. FOTO: AGUS PRIJONO

188

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

PEMBELAJARAN 3: PEMBANGUNAN RAMAH LINGKUNGAN

Untuk menangani konflik secara memadai harus dengan sudut pandang yang luas. Karena itu, prinsip bentang alam dalam penanggulangan konflik menjadi induk dari segala upaya penanganan teknis di lapangan. Pertama-tama, mulai dari pemahaman bahwa konflik merupakan gejala dari ketidak-seimbangan pengelolaan bentang alam. Strategi penanggulangan konflik harus melibatkan para pihak yang bekerja di bidang konservasi, pengelola kawasan hutan produksi, dan pelaksana pembangunan daerah. Dampak konflik bagi masyarakat dapat berupa kerugian ekonomi dalam bentuk ternak atau hilangnya kesempatan untuk bekerja di kebun lantaran situasi yang rawan. Kerugian paling tak ternilai adalah hilangnya nyawa. Tentu saja sudah pasti bahwa merespon konflik sejak dini akan membutuhkan sumber daya waktu, tenaga, dan finansial yang tidak sedikit. Karena itu, sudah semestinya tanggung jawab mitigasi konflik menjadi beban bersama para pihak, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Berbagi peran tersebut akan meringankan beban penanggulangan konflik. Konflik perlu ditangani secara komprehensif dari berbagai aspek: kawasan hutan, satwa mangsa, koridor antar-hutan, keterlibatan instansi terkait, dan masyarakat. Jadi, jelaslah mitigasi konflik tak hanya bisa mengandalkan respon ‘reaktif ’. Di wilayah yang rawan konflik, respon reaktif hanya akan memperburuk keadaan: masyarakat akan mengambil tindakan sendiri yang bisa membahayakan kedua belah pihak. Kegagalan menitikberatkan mitigasi konflik secara komprehensif, tanpa koreksi terhadap ketidakseimbangan ekosistem, berpotensi akan terus menggiring harimau ke dalam pertikaian. Jangan sampai sejarah di Jawa terulang kembali: konflik demi konflik terjadi, korban berjatuhan, hingga akhirnya menyapu populasi harimau. Pembangunan ekonomi ramah lingkungan yang tersurat dalam rencana pembangunan daerah untuk memastikan mitigasi konflik menjadi bagian tugas strategis pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat berkontribusi dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki daya dukung lingkungan, dan menjaga konektivitas habitat harimau. Dengan demikian, konservasi harimau tak hanya menjadi tanggung jawab institusi konservasi sumber daya alam, tapi juga menjadi tujuan bersama yang terus digaungkan sebagai wujud nyata capaian pembangunan berkelanjutan.*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

189

MERAWAT KERINCI SEBLAT WIDO R ALBERT

Kerja keras di area pemantauan intensif untuk menangkal perburuan dan menyigi populasi harimau. Taman Nasional Kerinci Seblat terbentang seluas lebih dari 1,3 juta hektare. Dengan luasan tersebut, butuh usaha dan sumber daya yang tak sedikit untuk upaya konservasi harimau sumatra di bentang alam Kerinci Seblat. Komponen pokok dalam upaya konservasi harimau di tingkat tapak adalah perlindungan dan pemantauan populasi. Dalam upaya tersebut, Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat bersama mitra kerja Fauna & Flora International – Indonesia Programme membentuk tim konservasi harimau. Tim ini terdiri dua unit kerja: Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat (PHSKS) dan Monitoring Harimau Sumatera Kerinci Seblat (MHSKS). Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat bekerja intensif dalam upaya perlindungan: patroli rutin untuk mencegah perburuan di dalam dan sekitar taman nasional. Sementara itu, Monitoring Harimau Sumatera Kerinci Seblat secara berkala memantau populasi harimau di sekitar Kerinci Seblat. Usaha perlindungan dan pemantauan yang mencakup seluruh taman nasional, berada di empat provinsi: Jambi, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, dan Bengkulu, dirasa sangat berat. Apalagi personel dan dana juga terbatas. Untuk memaksimalkan perlindungan dan pemantauan, dipilihlah lokasi prioritas yang menjadi fokus utama patroli intensif dan pemantauan. Salah satu wilayah fokus tersebut dikenal dengan nama Core area – Taman Nasional Kerinci Seblat. Area pemantauan itu terbilang kecil dibandingkan dengan total luas wilayah taman nasional. Luasnya tidak sampai 1/10 dari luas taman nasional. Wilayah ini terletak di bagian tengah taman nasional, yang membentang di Jambi dan Bengkulu. Berdasarkan pengamatan berkala, core area masih memiliki populasi harimau yang baik. Namun, tingkat ancaman perburuan juga tinggi. 190

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Tim Monitoring Harimau Sumatera memasang kamera jebak untuk memantau populasi di lanskap Kerinci Seblat. Kawasan pemantauan hanya mencakup tak sampai 1/10 dari luas Taman Nasional Kerinci Seblat yang 1,3 juta hektare. Meski begitu, upaya di area kecil ini membuktikan patroli dan pemantauan intensif dapat menjaga populasi harimau, dan menurunkan ancaman perburuan.

FOTO: AGUS PRIJONO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

191

FOTO: AGUS PRIJONO

192

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Kamera jebak menghasilkan citra individu-individu harimau di area pemantauan Kerinci Seblat. Dari citra yang terkumpul selama beberapa tahun, tim mengetahui perkembangan populasi harimau di lanskap ini. Tak jarang, kamera juga memotret orang-orang yang memasuki taman nasional secara ilegal.

Tim berpatroli dan memantau populasi secara berkala setiap tahun. Total 32 individu harimau yang berhasil diidentifikasi dari rekaman kamera jebak. Penemuan jerat di daerah ini juga tinggi. Pada 2014 – 2015, tim membongkar tak kurang 30 jerat harimau aktif. Jerat-jerat ini tidak saja menyasar harimau, namun juga satwa lain. Satu kejadian terekam tim monitoring pada 2015: menemukan kamp pemburu harimau di dalam hutan. Di kamp itu, tim menemukan kulit segar dan tulang harimau yang baru satu hari dikuliti pemburu. Daging harimau berserakan dibuang tidak jauh dari kamp. Pada saat itu, pemburu berhasil kabur. Beruntung, pemimpin dari perburuan tersebut berhasil ditangkap pada 2016, lantas divonis 3,5 tahun penjara. Dan pada 2018, salah seorang pelaku yang kabur pada 2015 berhasil ditangkap pada operasi penegakan hukum perdagangan kulit harimau. Kulit harimau yang dijual ternyata adalah harimau jantan dewasa yang terekam kamera jebak yang dipasang di sekitar core area akhir 2013. Kerja keras tim pelestarian dan monitoring terbukti berhasil menurunkan jumlah jerat harimau secara drastis. Selain itu, juga terekam pertumbuhan populasi harimau, seperti terfotonya seekor harimau betina secara berkala sejak 2005. Harimau itu terekam sejak masih anak hingga dewasa, dan ia memiliki wilayah jelajahnya sendiri. Di salah satu bagian core area, yang semula banyak ditemukan jerat pemburu, berkat patroli berkala, jumlahnya menurun drastis. Dan pada saat yang sama, jumlah harimau yang terekam kamera jebak meningkat. Dulu, di awal pemantauan, saat temuan jerat masih tinggi, harimau yang terekam kamera hanya dua ekor. Dengan perlindungan secara berkala, saat temuan jerat menurun, individu harimau yang terekam kamera semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dari pemantauan mutakhir, kamera jebak merekam tujuh harimau. Wilayah core area memiliki populasi harimau yang stabil dari tahun ke tahun. Dan, dengan menekan tingkat perburuan, diharapkan upaya konservasi harimau menjadi lebih efektif. *** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

193

FOTO: EDY SUSANTO

194

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Saat senja menjelang, ibu ini menggiring kerbaunya ke dekat rumahnya. Pemukiman di pelosok Kerinci Seblat ini dikelilingi taman nasional, yang menjadi rumah harimau. Tata cara beternak ini perlu diperbaiki untuk mitigasi konflik. Salah satunya caranya: melindungi ternak di kandang yang kokoh. GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

195

MEMBILANG SANG DATUK FEBRI A. WIDODO

Menduga populasi harimau di hutan belantara: tantangan dan peluang inovasinya. Seperti sudah diketahui secara umum, definisi populasi adalah kumpulan makhluk hidup yang sejenis dalam suatu area dalam waktu tertentu. Pertanyaannya, bagaimana menghitung ukuran populasi? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada objek beserta wilayahnya yang akan diukur. Pendugaan populasi manusia misalnya, relatif mudah dilakukan karena bisa memakai metode sensus untuk seluruh penduduk. Tim sensus mengunjungi satu per satu rumah, lalu mendata jumlah jiwanya. Tentu saja, tantangannya, sensus mencakup seluruh wilayah seluas sebaran penduduk. Itu berbeda dalam menduga populasi harimau sumatra. Pemangsa ini pemalu, susah dijumpai, dan menghuni wilayah luas di belantara liar. Sulit membayangkan, untuk mengetahui jumlah harimau di kawasan tertentu, lantas mengirimkan puluhan orang untuk menghitung satu-satu. Lagipula, bertemu langsung dengan satwa ini bukanlah ide yang bagus. Namun, pendugaan populasi satwa ini penting sebagai dasar menentukan arah dan upaya konservasi di masa depan. Misalnya saja, bila populasinya menurun, berarti perlu tindakan konservasi guna menjaga keseimbangan alam. Karena, sebagai pemuncak mata rantai makanan, harimau berperan sebagai pengatur ekosistem. Di masa lalu, karena keterbatasan teknologi, peneliti dan pemerhati menduga harimau dengan pendekatan sederhana, seperti survei transek dengan mendeteksi jejak maupun tanda-tanda perjumpaan lainnya. Hasil deteksi jejak dan perjumpaan ini akan digunakan dalam menduga populasi dengan pendugaan perpendicular, yang mempertimbangkan jumlah deteksi dan jaraknya dari transek. Alhasil, bias perhitungannya lumayan tinggi karena tanpa mengidentifikasi individu. 196

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Pemasangan kamera jebak perlu ketelitian dan kehati-hatian agar hasilnya sesuai harapan. Salah satunya: memberikan penanda ujicoba, dan memastikan kamera bekerja dengan baik sebelum ditinggalkan. Tim akan kembali lagi untuk mengunduh hasil jepretan dan mengisi baterai.

Namun, survei transek ini lebih cocok untuk mengetahui kekayaan dan kelimpahan relatif satwa, ketimbang untuk mengukur populasi. Survei transek juga cocok untuk memprediksi tingkat hunian harimau—daripada untuk menduga populasi. Kendati begitu, dengan distance sampling memungkinkan survei transek dapat juga untuk menduga populasi. Survei ini memang relatif mudah dan murah. Hanya saja, salah satu kelemahannya adalah akurasinya sangat rendah. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan informasi populasi yang akurat mutlak diperlukan. Kemudian, muncul penggunaan metode mark - recapture untuk menduga populasi satwa dengan informasi dasar berupa individu-individu yang bisa dikenali dan diidentifikasi. Berkat teknologi kamera jebak, peneliti dapat mengenali individu yang terpotret, lalu menjadi bekal penting dalam memperkirakan populasinya. Untuk hewan ini, setiap harimau yang terpotret kamera dapat dikenali melalui perbedaan pola belangnya. Tantangannya, memasang kamera jebak di alam liar tidak mudah, entah karena medan yang sulit, cuaca, ataupun kondisi sosial. Tekanan sosial tak jarang menjadi kendala dalam pemasangan kamera. Ada saja oknum yang sengaja mencuri ataupun merusak kamera jebak. Tak ayal, beberapa kali peneliti menemukan kamera hangus terbakar, hanyut terbawa air, atau malah hilang dicuri seseorang. Padahal harga kamera jebak tidaklah murah.

FOTO: WWF - INDONESIA/FEBRI A WIDODO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

197

198

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Makan siang sahaja di tengah hutan saat pemasangan kamera jebak. Menunya: sambal teri, tahu, kerupuk (atas). Untuk survei lapangan lebih dari dua pekan, setiap orang membawa beban setidaknya 15 kg beras, dan kebutuhan lainnya. Seringkali, tim mesti melewati jalurjalur ekstrem demi mencapai titik lokasi pemasangan kamera. Kerja keras ini kadang berakhir memilukan bila kamera dicuri atau dirusak orang yang tak bertanggung jawab (kiri).

Tantangan itu perlu dijawab dengan inovasi dan pemutakhiran kamera jebak. Beberapa inovasi muncul dengan adanya alat pelacak atau pendeteksi lokasi kamera penjebak. Atau, malah kamera jebak dapat mengirimkan gambar langsung secara real time melalui sinyal GSM maupun sinyal satelit. Namun teknologi itu tidaklah mudah dan murah. Selain itu, khususnya untuk sinyal GSM juga belum menjangkau semua tempat lantaran terbatas cakupan wilayahnya. Kapasitas baterai juga menjadi masalah untuk kamera jebak yang dapat memancarkan atau mencari sinyal. Seiring berjalannya waktu, kamera jebak tak hanya digunakan sebagai alat pemantauan harimau. Kamera ini juga menjadi alat dokumentasi untuk bahan produksi material kampanye. Bahkan belakangan ini, muncul pengembangan kamera jebak 360 derajat yang mampu merekam ke segala penjuru arah. FOTO: WWF - INDONESIA /KUSDIANTO (SEMUANYA)

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

199

FOTO: WWF - INDONESIA/BALAI BESAR KSDA RIAU

200

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Dari rekaman kamera jebak, peneliti mengetahui identitas setiap harimau yang terpotret dengan menelisik pola loreng di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Jadi, perlu sepasang kamera buat memotret sisi kanan dan kiri. Foto ini Ini baru satu contoh pola loreng di sisi kiri, yang harus dilengkapi dengan foto sisi kanan. Dengan mengenali setiap individu, di suatu wilayah, peneliti bisa menduga populasi harimau.

Hanya saja, pengembangannya masih belum sempurna, terutama ukurannya yang cukup besar dan kapasitas energinya masih terbatas. Akankah di masa datang lahir kamera jebak super-canggih yang mampu memantau 360 derajat, mengirim obyek ke peneliti, aman dari pencurian, dengan kapasitas energi besar, dan tentu saja harganya terjangkau? Apapun itu, kehadiran peneliti di lapangan tetap penting karena ia perlu merasakan langsung suasana habitat harimau. Peneliti tak hanya duduk di belakang meja, sembari menunggu hasil jepretan datang otomatis. Analisis gambar dari jepretan kamera jebak selama ini masih memerlukan peneliti untuk mengidentifikasi individu, dan menduga populasi dengan perangkat lunak terpisah. Akankah kelak ada perangkat lunak yang bisa menganalisis secara otomatis foto, lalu langsung muncul angka dugaan populasi harimau? Selain itu, identifikasi individu juga dapat dilakukan dengan menggunakan informasi genetik DNA (deoxyribonucleic acid). Survei lapangan untuk mengoleksi DNA harimau tidak murah dan sulit. Survei dengan cara ini umumnya dilakukan bila penempatan kamera jebak tidak memungkinkan untuk analisis. Pendekatan DNA tak banyak digunakan dalam menduga populasi, melainkan lebih untuk tujuan lain, seperti mengetahui kekerabatan harimau. Sejauh ini, tingkat keberhasilan dalam mengoleksi DNA harimau pun masih minim. Agaknya, perlu perangkat baru yang dapat memudahkan mengoleksi informasi genetik harimau. Perkembangan lain yang perlu perhatian adalah kegandrungan memakai pesawat nir-awak atau drone dalam konservasi satwa liar. Sejauh ini masih belum ada drone yang mampu menghitung populasi, semisal memindai suatu kawasan, lalu diketahui jumlah harimaunya. Di sisi lain, penggunaan pesawat ini juga perlu dibatasi. Soalnya, alihalih untuk mendukung upaya konservasi, drone bisa dimanfaatkan pemburu untuk mengejar harimau di alam liar.*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

201

202

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Kamera jebak mengabarkan berita yang cukup mengggembirakan: di beberapa tempat harimau terekam sedang kawin. Citra ini menunjukkan harimau masih punya harapan untuk berkembang biak di alam liar Sumatra. FOTO: WWF - INDONESIA/BALAI BESAR KSDA RIAU

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

203

HARIMAU DATARAN TINGGI WULAN PUSPARINI

Populasi di lanskap Leuser menunjukkan luasnya relung habitat dan lentingnya daya hidup sang karnivor. Pertanyaan besarnya: berapa harimau yang ada di Sumatra? Untuk menjawab pertanyaan ini sungguh tidak mudah. Pertama-tama, mesti memasang serangkaian kamera jebak di luasan area penelitian selama tiga bulan. Kedua, berdasarkan hasil rekaman kamera itu, lalu dihitung populasinya dengan metode statistika spatially explicit capture recapture. Pertanyaan selanjutnya yang lebih menarik: apakah populasi harimau sumatra naik, stabil, atau malah turun? Untuk menjawab ini, proses perhitungan dengan kamera jebak tadi harus dilakukan secara periodik, atau berulang. Masalahnya, tidak banyak lokasi di Sumatra yang memiliki pengukuran populasi berulang. Hanya ada beberapa lokasi yang telah dilakukan pengukuran berkala, seperti Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, Kerinci Seblat, dan Langkat di lanskap Leuser. Syarat agar perkembangan populasi bisa diamati adalah pengukuran berulang itu harus dilakukan di area studi yang sama dengan metode yang sistematis. Nah, mari melihat lebih lanjut lokasi yang terakhir, yaitu Langkat di sebelah timur dari lanskap Leuser atau Taman Nasional Gunung Leuser. Langkat memiliki perwakilan habitat yang lengkap, mulai dari hutan dataran rendah, perbukitan, sub-pegunungan, hingga pegunungan. Tetapi yang menarik, habitat di Langkat didominasi sub-pegunungan hingga pegunungan dengan ketinggian rata-rata lokasi kamera jebak berada di atas 1.400 meter dari muka laut. Di lokasi ini, peneliti telah melakukan tiga kali survei dengan kamera jebak untuk memantau populasi harimau sumatra. Selama hampir sepuluh tahun pemantauan, 2010-2013-2018, harimau yang teridentifikasi ada 23 ekor, yang terdiri dari 14 ekor betina, lima jantan, dan empat ekor tak teridentifikasi jenis kelaminnya. Tiga ekor betina yang sama terfoto selama dua periode 2010 dan 2013, dan hanya seekor harimau jantan yang terfoto berulang di tiga periode 2010 hingga 2018. 204

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Harimau jantan dewasa yang selalu terfoto di ketiga periode survei, 2010-2013-2017. Hanya seekor harimau jantan inilah yang terfoto berulang di Langkat. Total individu harimau yang terekam kembali (recapture) yang cukup rendah menunjukkan dinamika populasi di Langkat sangat tinggi, dengan tingkat kemampuan hidup berkelanjutan (kesintasan) antar-periode: 0,85.

FOTO: WCS-IP & TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

205

Total individu harimau yang terekam kembali (recapture) yang cukup rendah ini menunjukkan dinamika populasi di Langkat sangat tinggi, dengan tingkat keberlanjutan hidup (kesintasan) antar-periode 0,85. Nilai ini cukup baik bagi populasi harimau. Bicara sedikit lebih teknis, dengan pendekatan analisis multisession dari spatially explicit capture recapture, ternyata harimau di Langkat populasinya stabil...! Itu berita baik mengingat banyaknya ancaman di daerah penyangga di wilayah Langkat. Oh ya, untuk melihat kecenderungan populasi, nilai yang harus dibandingkan adalah kepadatan, yaitu jumlah harimau per 100 km persegi. Jadi yang dibandingkan bukan jumlah harimau total, ya. Ini dilakukan agar perbandingan lebih sahih, karena berbicara dengan satuan luasan yang sama dan standar. Analisis permulaan menunjukkan kepadatan harimau di Langkat selama 2010 hingga 2018 kira-kira sama, yaitu 1 harimau per 200 km persegi. Habitat optimal untuk kesintasan jangka panjang karnivor terbesar di Sumatra ini adalah area yang aman dari gangguan manusia, banyak mangsa, serta sumber air di hutan dataran rendah. Tapi, seperti umumnya hutan dataran rendah Sumatra, Langkat dikelilingi ancaman langsung, seperti kerusakan habitat dan perburuan satwa mangsa. Atau, bahkan mungkin juga perburuan harimau itu sendiri. Menarik untuk dilihat, harimau yang terfoto kamera jebak di hutan dataran rendah Langkat adalah harimau-harimau jantan, sedangkan harimau-harimau betina terfoto di area pegunungan. Perbandingan jumlah individu harimau: satu jantan untuk setiap empat betina.

Harimau betina dewasa yang terfoto pada survei 2010 dan 2013 di Langkat (atas). Harimau jantan yang terekam di Aceh Selatan (kanan).

FOTO: WCS-IP, TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

206

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Belum diketahui dengan pasti apakah perbedaan deteksi jenis kelamin di habitat yang berbeda ini mencerminkan respon harimau terhadap perbedaan gangguan. Mungkin saja ini hanya keunikan spesifik yang ada di setiap area. Contohnya, di area lain dari lanskap Leuser, yaitu di Aceh Selatan, harimau yang terfoto di pegunungan justru harimau-harimau jantan, dan tanpa ada harimau yang terfoto di dataran rendah. Meski banyak harimau di Leuser hidup di pegunungan, tapi dari foto, mereka tak terlihat kurus atau kekurangan makanan. Memang, mangsa utama harimau, seperti rusa dan babi hutan, paling banyak menghuni hutan dataran rendah hingga perbukitan. Tapi, hasil analisis pemodelan okupansi terlihat di pegunungan Langkat pun masih ada mangsa, seperti kijang muncak. Sebaran satwa mangsa, seperti rusa dan babi, semakin sedikit seiring naiknya tinggi tempat. Itu berbeda dengan kijang muncak yang tak sensitif terhadap tinggi tempat, yang menyukai area dengan tutupan hutan yang baik dengan sumber air. Harimau-harimau di Leuser menunjukkan betapa luasnya relung habitat dan lentingnya daya hidup karnivor ini. Mereka bisa hidup lestari di berbagai tipe habitat, bahkan hingga di ketinggian di mana satwa mangsa jauh lebih sedikit dibandingkan di hutan dataran rendah. Resep utama keberlanjutan hidup harimau sepertinya adalah area yang aman dari gangguan manusia dan tersedianya satwa mangsa. Bila ini dipenuhi, harimau akan beradaptasi menyesuaikan dengan lingkungan untuk hidup dan berkembang biak. *** FOTO: WCS-IP, USAID, BKSDA ACEH, TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

207

MEMBURU PEMBURU SI RAJA RIMBA GIYANTO

Kejahatan terhadap harimau melibatkan jaringan yang rumit dan tertutup. Kejahatan satwa liar di Indonesia menempati urutan ketiga setelah perdagangan narkoba dan perdagangan manusia dari segi besarnya kerugian bagi negara. Sementara dari sisi organisasi jaringan, perdagangan satwa liar menempati urutan keempat setelah perdagangan narkoba, senjata, dan perdagangan manusia. Salah satu jenis satwa liar yang menjadi target perdagangan di pasar gelap adalah harimau sumatra. Perdagangan harimau sumatra merupakan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar. Umumnya, harimau sumatra yang dijual dalam bentuk bagian tubuhnya: kulit, tulang, tengkorak, kumis, penis, taring, dan kuku. Harimau sumatra yang beredar di pasaran tidak hanya dari perburuan, namun ada indikasi juga dari kepemilikan ilegal dan dari lembaga konservasi yang melibatkan oknum lembaga konservasi tersebut. Permintaan pasar yang terbuka dengan harga yang tinggi, nasional maupun internasional, memicu perburuan hampir di semua habitat harimau di Sumatra. JARINGAN DAN MODUS OPERANDI

Khusus untuk harimau sumatra, perdagangannya dilakukan oleh jaringan tertutup dengan mata rantai yang panjang, kompleks dan berlapis. Di tingkat pemburu dan pembeli, para pelaku berkelompok dan saling terhubung dalam hubungan yang saling menguntungkan. Dalam jaringan itu, pemburu berada di tingkat paling bawah yang berperan penting dalam organisasi perdagangan. Para pemburu punya spesialisasi khusus, terlatih, dan berpengalaman. Mereka memahami perilaku dan habitat kesukaan harimau. Mereka bahkan terampil dalam memodifikasi alat berburu. Mereka lihai memasang perangkap di tempat-tempat yang berpeluang besar mendapatkan harimau. Pemburu biasanya diberi modal awal oleh pembeli atau cukong. 208

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Tim gabungan Polda Aceh, Polres Biruen, dan BKSDA Aceh menangkap pelaku berinisial AS, dengan barang bukti kulit serta tulang harimau sumatra, pada 17 Maret 2016 di Kabupaten Biruen, Aceh.

Modal untuk meringankan beban, lantaran dalam sekali perburuan, pemburu menghabiskan waktu berhari-hari dengan biaya jutaan rupiah. Sementara itu, pembeli memiliki latar belakang dan level yang beragam. Satu pembeli dapat terhubung dengan pembeli lain, sehingga dalam satu kasus perdagangan tubuh harimau, dapat ditemukan dua sampai tiga pembeli untuk produk yang sama. Ada dua kelompok besar yang bermain di level pembeli harimau sumatra. Kelompok pertama: pembeli lokal Indonesia. Mereka terhubung dengan berbagai kelompok yang saling membantu dan punya wilayah operasi sendiri. Kelompok kedua: pembeli lintas-provinsi atau skala ekspor. Mayoritas pelakunya warga negara asing Cina ataupun WNI beretnis Cina. Pelaku ini membatasi bisnisnya di kalangan etnis tertentu, atau hanya mencakup bisnis keluarga. Pembeli di kelompok kedua ini didominasi pelaku dengan latar belakang etnis Cina, karena negara pasar terakhir adalah Cina atau Vietnam. Di dalam bisnis keluarga atau etnis tertentu, tingkat kepercayaan akan tinggi bila mitra bisnis dari kalangan keluarga atau etnis yang sama. Alhasil, tertangkapnya pelaku tak serta-merta menghentikan kejahatan, lantaran mereka bisa mengalihkan bisnis haramnya ke anggota keluarga lain. Fenomena ini hanya dijumpai di perdagangan

FOTO: WCS-IP/GIYANTO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

209

ilegal untuk jenis satwa tertentu: harimau, trenggiling, kepala rangkong gading. Perdagangan gelap harimau tidak hanya dilakukan antara penjual dan pembeli, namun dapat juga melibatkan pihak lain: kurir dan makelar. Karena berperan dalam memainkan harga, kurir dan makelar dapat menjadi faktor penentu terjadinya transaksi. Dalam jaringan gelap ini, kurir dan makelar juga berperan penting dalam memutus jalur komunikasi antara satu pelaku dengan pelaku lain. Mereka ibaratnya menjadi simpul dari beberapa pelaku. Itulah sebabnya, ketika operasi penangkapan digelar, penegak hukum sulit mengembangkan mata rantai jaringan perdagangan. Alhasil, operasi FOTO: WCS-IP/NANDA P. NABABAN

210

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Sidang kasus perdagangan harimau sumatra pada 1 Juni 2016, dengan tersangka berinisial AS dan MAS di Pengadilan Negeri Biruen, Aceh.

terbatas pada pelaku yang tertangkap tangan, dan sulit mengurai pelaku yang lain. Karena itu, pengembangan kasus kriminal satwa tergantung pada kemampuan interogasi dan teknologi dalam penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, lebih dari lima kasus perdagangan harimau, ditemukan keterlibatan oknum penegak hukum, dan pelaku lain yang terkait dengan sindikat internasional. Adanya berbagai level pelaku ini membuat harga harimau sumatra menjadi semakin mahal. Masingmasing level berupaya mendapatkan keuntungan sendiri-sendiri. Berkembangnya Internet dan media sosial telah mengubah strategi perdagangan harimau secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Perdagangan harimau yang awalnya melalui pertemuan langsung, dan terbatas antara penjual dengan pembeli, kini berubah menjadi transaksi daring atau online. Transaksi daring lebih praktis, murah, aman, dan menjangkau pasar global. Pada 2014, International Fund for Animal Welfare (IFAW) meneliti perdagangan satwa via Internet di 16 negara. Hasilnya: perdagangan hidupan liar daring sebanyak 33.006 di 280 situs web terbuka. Sebanyak 9.482 iklan daring menawarkan spesies hidupan liar Appendix I dan II konvensi internasional perdagangan spesies terancam punah CITES, termasuk harimau sumatra. Pelaku perdagangan daring umumnya memakai rekening pihak ketiga, sering disebut rekening bersama, sebagai sarana bertransaksi. Ketika kesepakatan jual-beli terjadi, pengiriman kepada pembeli dilakukan dengan memakai jasa pihak ketiga, baik kurir, bis, kendaraan travel, maupun layanan pengiriman barang. Dan, konflik harimau dengan manusia menjadi salah satu peluang bagi para pemburu untuk mendapatkan harimau. Pelaku memanfaatkan informasi yang berkembang di masyarakat, maupun dari media massa, untuk memasang perangkap dengan target harimau yang berkonflik. Rasa resah dan kecewa masyarakat terhadap penanganan konflik yang berlarut-larut kerap menjadi pembenaran untuk memburu harimau sumatra—misalnya di Mandailing Natal, Sumatra Utara, beberapa waktu lalu. GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

211

JUMLAH KASUS BERKEKUATAN HUKUM TETAP 2003 - SEPTEMBER 2018. 35

Meningkatnya jumlah penangkapan bukan berarti naiknya perburuan harimau. Itu dapat dijadikan petunjuk meningkatnya kemampuan dan komitmen aparat dalam 4-5 tahun terakhir. Ini dimungkinkan dengan semakin terlatihnya aparat dalam mendeteksi daerah rawan kejahatan satwa liar, mampu menyelesaikan perkara, dan partisipasi aktif dari lembaga terkait.

12

11 7

2003-06 2007-10 2011-14 2015-’Sep 18

RERATA VONIS KURUNGAN DAN DENDA 2003 - SEPTEMBER 2018.

44,5

Rerata hukuman kurungan bagi pelaku selama 20032006: 25,6 bulan, kemudian menurun pada 20072010: 20,7, dan 20112014: 8,8. Namun selama 2015-September 2018 kembali meningkat dengan rerata 22,6 bulan. Sedangkan untuk rerata denda cenderung meningkat dalam setiap periodenya, yang tertinggi terjadi pada 2015 September 2018: Rp 37,6 juta.

Rerata vonis kurungan (bulan)

25,6

22,6

20,4 8,8 ?

8,1

3,1

2003-2006

Rerata hukuman denda (juta)

2007-1010

2011-2014

2015-’Sep 18

DAFTAR VONIS HUKUMAN PENJARA LEBIH DARI 24 BULAN KURUNGAN (BULAN)

DENDA (JUTA RP)

SUBSIDER (BULAN) 100 1

RIAU - 2016

48

BENGKULU - 2016

48

ACEH - 2018

48

50

48

50

RIAU - 2016

60

BENGKULU - 2017

42

BENGKULU - 2017

42

LAMPUNG - 2003

42

?

LAMPUNG - 2005

42

? ?

36

BENGKULU - 2017

36

50

LAMPUNG - 2018

36

50

LAMPUNG - 2018

36

50

ACEH - 2016

36

50

BENGKULU - 2016

LAMPUNG - 2005

36

30

?

SUMATRA UTARA - 2008 32

?

LAMPUNG - 2003

?

212

30

5 4 4 3

2 100

30 32

5

6

LAMPUNG - 2003

JAMBI - 2017

3

50 30

3

4

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

2

UPAYA PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum bagi pelaku kejahatan harimau sumatra sudah dilakukan dan masih berjalan hingga saat ini. Sejak 2003, sedikitnya ada 64 operasi penangkapan yang berhasil sampai putusan hukum di pengadilan. Operasi penangkapan yang terbanyak terungkap, dan pelakunya menjalani proses hukum, terjadi pada antara 2015 – September 2018, yaitu 35 penangkapan. Meningkatnya jumlah penangkapan bukan berarti meningkatnya kejahatan terhadap harimau sumatra. Namun hal itu dapat dijadikan petunjuk meningkatnya kemampuan dan komitmen aparat dalam 4-5 tahun terakhir. Hal itu dimungkinkan dengan makin terlatihnya aparat dalam mendeteksi daerah rawan kejahatan satwa liar, mampu menyelesaikan perkara, dan partisipasi dari pihak terkait—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, polisi, bea cukai, dan aparat bandara AvSec. Dari 64 penangkapan itu, 104 pelaku telah divonis di meja hijau— sampai September 2018. Setiap pelaku divonis dengan hukuman kurungan dan denda yang beragam. Hukuman tertinggi: 48 bulan, dengan denda seratus juta rupiah di Riau pada 2016. Jumlah pelaku yang divonis hukuman kurungan lebih dari 24 bulan sejak 2003 sebanyak 27 orang, yang 21 vonis di antaranya terjadi pada periode 2015 - September 2018, dan enam vonis pada periode sebelumnya. Terjadi penurunan jumlah rata-rata hukuman kurungan kepada pelaku dari 2003-2006 sampai 2011-2014. Namun terjadi peningkatan yang signifikan pada periode 2015 sampai September 2018, dengan rata-rata vonis: 44,5 bulan. Sedangkan untuk rata-rata denda cenderung meningkat dalam setiap periode. Rata-rata denda tertinggi terjadi pada 2015 - September 2018, yaitu Rp 37,6 juta. Meningkatnya hukuman dalam 4 tahun terakhir menunjukkan kasus kejahatan terhadap harimau menjadi kasus yang serius—khususnya bagi jaksa dan hakim. Sehingga, vonis hukuman lebih tinggi dari periode sebelumnya. Selain itu, hal tersebut barangkali juga karena adanya peningkatan kapasitas penanganan tindak pidana satwa liar dalam 4 tahun terakhir. Pemantauan kasus-kasus harimau yang sedang ditangani juga menghasilkan hukuman yang signifikan. Pemantauan ini penting mengingat penyidik, jaksa, dan hakim, perlu mendapatkan informasi status konservasi satwa, nilai kerugian negara, atau dampak ekologi hilangnya harimau. Pemantauan kasus tak hanya dilakukan oleh praktisi hukum, namun juga media massa yang berkontribusi dalam menyebarluaskan hasil penanganan perkara.*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

213

RELAWAN BERHATI HARIMAU LAKSMI DATU BAHADURI

Perjuangan generasi muda berjiwa konservasi demi masa depan harimau Indonesia. Pada awal 2011, momen itu tercipta: lahirlah jaringan relawan Forum HarimauKita, Tiger Heart. Relawan Tiger Heart lantas berjuang bersama lembaga konservasi Wildlife Conservation Society - Indonesia Program, Zoological Society of London – Indonesia, YayasanWWF Indonesia, Fauna & Flora International - Indonesia Programme, Forum Konservasi Leuser, Perkumpulan Konservasi Harimau Sumatra dan lembaga lain. Sejak itu, kolaborasi ini berkontribusi dalam gerakan konservasi harimau. Hingga 2018, sebanyak 310 relawan Tiger Heart menjadi basis gerakan untuk menyuarakan pentingnya konservasi habitat dan satwa-satwa kunci Indonesia—terutama harimau. Ini sebentuk model community outreach: Tiger Heart berkampanye menyentuh segala lapisan masyarakat di berbagai kota. Rentang tema kampanye beragam, mulai dari menggalang partisipasi publik dalam perlindungan harimau dan habitatnya. Tak hanya itu, Tiger Heart juga turun ke lapangan bersama pengelola kawasan konservasi untuk menggelar ‘sapu jerat’. Semenjak Hari Harimau se-Dunia - Global Tiger Day dicanangkan, Forum HarimauKita, Tiger Heart, dan pemerintah berinisiatif terdepan dalam perhelatan itu. Hari Harimau merupakan peringatan tahunan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap konservasi kucing besar itu. Peringatan ini disepakati pada International Tiger Forum di Tiger Summit, Saint Petersburg, November 2010. Dalam pertemuan itu, disepakati Hari Harimau se-Dunia diperingati setiap 29 Juli. Tekad untuk menggelar Hari Harimau dilandasi oleh kondisi populasi-populasi harimau yang rentan punah. Dan sejak 2011, secara serentak perayaannya digelar di kota-kota di Sumatra, dan sebagian kota di Jawa, dengan melibatkan lembaga pegiat konservasi, mahasiswa, masyarakat, dan pihak swasta. 214

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Kampanye konservasi harimau dari relawan Tiger Heart menjangkau segala lapisan masyarakat. Hari Harimau seDunia menjadi sarana menautkan hasil dan upaya konservasi harimau dengan khalayak luas.

Salah satu tujuan peringatan, seperti tercantum dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra, untuk meningkatkan dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi harimau, baik nasional maupun global secara persuasif. Perkembangan itu mendasari pentingnya mendorong peran relawan untuk mempertajam kampanye, dan membawa perubahan positif serta aksi nyata bagi konservasi harimau. Pada satu pertemuan tahunan, Forum HarimauKita menegaskan relawan dapat dilibatkan dalam setiap konservasi harimau—apapun bentuknya. Salah satu aksi nyatanya: sapu jerat. Aksi ini berpeluang dapat dikembangkan, dan menjadi gerakan yang mewadahi partisipasi publik dalam pengamanan kawasan konservasi. Aktivitas sapu jerat juga dapat dipadukan dengan wisata minat khusus jelajah alam, sehingga lebih bermakna bagi ekosistem. Pada hakikatnya, sapu jerat merupakan aksi bersama dalam memerangi perburuan liar. Seperti diketahui, selain perubahan habitat dan konflik, perburuan merupakan ancaman mematikan bagi harimau, di mana para pemburu umumnya menggunakan jebakan jerat. Hal ini terlihat dari banyaknya temuan alat pembunuh itu selama patroli. Jerat terbuat dari berbagai bahan dengan ukuran dan desain yang beragam, tergantung pada satwa sasaran. Jerat tak hanya menyasar

FOTO: TIGER HEART BENGKULU - FORUM HARIMAUKITA

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

215

harimau, tapi juga bisa menjerat hewan mangsa dan spesies terancam punah lain. Atau sebaliknya, jerat untuk satwa lain tak jarang juga menyasar harimau. Artinya, apa pun dalihnya, jerat pemburu adalah alat yang mematikan bagi satwa liar—bahkan kadang melukai petugas patroli. Selama 2015 – 2018, polisi hutan dan mitra telah memusnahkan sekitar 1.326 jerat. Para jagawana dan tim patroli telah menyisir segala medan, yang jika diukur jarak tempuhnya mencapai 44.969 kilometer. Jangkauan yang hampir 45 kali panjang Pulau Jawa ini ditempuh jagawana kawasan konservasi bersama mitranya di enam lanskap: Bukit Barisan Selatan, Kerinci Seblat, Leuser, Ulu Masen, Rimbang Baling, dan Berbak Sembilang. FOTO: TIGER HEART BENGKULU - FORUM HARIMAUKITA

216

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Relawan menelisik jejak harimau di sebatang pohon saat aksi sapu jerat. Aksi ini berpeluang menjadi gerakan yang mewadahi partisipasi publik dalam pengamanan kawasan konservasi.

Upaya Tiger Heart bersama mitra dan partisipasi masyarakat dalam memusnahkan jerat tentu harus didukung dengan penegakan hukum untuk memberikan efek jera kepada pemburu. Namun, saat ini proses hukum terhadap pemburu belum pernah dilakukan petugas bila si pemburu belum memperoleh satwa buruannya. Seperti banyak diketahui, masyarakat di tepi hutan, yang juga memanfaatkan hasil hutan, dapat menilik kembali kearifan leluhurnya yang mampu memanfaatkan hutan secara berkelanjutan. Para leluhur di perbatasan hutan ini bertahun-tahun telah memetik inspirasi dari harimau. Memang, selain berperan secara ekologi, harimau juga mewarnai budaya dan peradaban manusia. Para leluhur di Sumatra mempercayai harimau merupakan nenek moyang, atau yang dituakan. Suku Melayu memanggilnya datuk, yang bisa diartikan kakek. Suku Minangkabau memanggilnya inyiak, yang juga berarti kakek. Di tempat lain, Aceh, harimau disebut rimueng. Berbagai sebutan itu menunjukkan masyarakat menempatkan harimau dalam posisi terhormat sebagai simbol penjaga ketentraman wilayah. Sebagai contoh, di Aceh, ketika ada harimau mati, masyarakat melakukan upacara adat kenduri. Ada juga yang meyakini, auman dan terlihatnya harimau di desa sebagai pertanda akan datangnya bahaya dan terjadi hal-hal buruk yang dilakukan masyarakat yang menyalahi aturan. Dikenalnya harimau baik yang tak menimbulkan masalah, hanya melintas, dan harimau tidak baik, juga mendasari masyarakat dalam menindak harimau yang masuk kampung. Bahkan beberapa kearifan lokal mengadopsi perilaku harimau dalam gerakan beladiri. Dahulu, ternak yang dimangsa harimau dianggap hal biasa, sebagai perwujudan bentuk “sedekah” untuk yang dituakan. Petani hutan di sejumlah tempat mempersembahkan durian pertama yang jatuh untuk harimau—simbol ia dituakan. Masih kuatnya kepercayaan terhadap adat dan peran tokoh adat, dapat dipastikan membentuk pandangan dan persepsi positif masyarakat terhadap harimau. Namun kearifan lokal kini mulai memudar seiring dengan perkembangan zaman dan kerapnya konflik manusia-harimau di desa sekitar kawasan hutan. Nampaknya, sambil menegakkan hukum formal, perlu juga membangkitkan kembali kearifan lokal terhadap harimau .*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

217

KONSERVASI EX-SITU HARIMAU SUMATRA LIGAYA TUMBELAKA

Menjaga populasi cadangan untuk menyangga kelestarian harimau di alam liar. Lembaga konservasi di Indonesia telah membuktikan mampu mengelola dan merawat harimau sumatra. Bahkan Beberapa lembaga konservasi mampu meningkatkan jumlah harimau melalui perkembangbiakan. Saat ini, program pengembangbiakan harimau dilaksanakan melalui Global Species Management Plan (GSMP). Hasil pendataan sensus dan silsilah harimau sampai Februari 2018, ada 119 ekor di 16 lembaga konservasi Perkumpulan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI). Sampai Oktober 2018, jumlahnya menjadi 129 ekor di 17 lembaga konservasi umum, dan 1 lembaga konservasi khusus. Peningkatan ini karena adanya kelahiran pada 2018, dan masuknya data baru dari satu lembaga konservasi khusus. Populasi harimau PKBSI merupakan populasi ex-situ primer. Dalam populasi ini, sejumlah besar harimau berada pada usia tua, dengan beberapa harimau muda. Dengan kondisi ini, dapat menyebabkan penurunan populasi dalam waktu yang singkat, kecuali ada upaya meningkatkan perkembangbiakan. Analisis data menunjukkan diperlukan 6 anakan dari perkawinan indukan yang terkontrol pada tahun mendatang, untuk mempertahankan jumlah populasi saat ini. Mulai 2008, Indonesia bekerja sama dengan perhimpunan kebun binatang di Eropa, Amerika, Australia, dan Jepang dalam strategi perkembangbiakan harimau sumatra (GSMP). Sasarannya: harimau sumatra ex-situ dapat mencapai keragaman genetik global 94,3 persen, dengan mengawinkan 10 harimau asal alam yang berada di PKBSI. Keragaman genetik populasi harimau PKBSI saat ini masih berada dalam kategori sedang: 89,3 persen, di bawah target minimum standar 90 persen. Dari data Studbook Nasional Indonesia, tercatat 10 harimau asal alam dengan garis genetik murni yang baru, atau langka, dan tidak punya keturunan. 218

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Harimau sumatra di Taman Margasatwa Ragunan, DKI Jakarta, menjadi bagian dari populasi ex-situ sebagai cadangan primer. Untuk menjaga populasi ex-situ saat ini, diperlukan 6 anakan dari perkawinan indukan yang terkontrol pada tahun mendatang. Tantangannya: belum semua lembaga konservasi yang memiliki harimau sumatra mau turut berkontribusi dalam program penangkaran terpadu (cooperative breeding program). Selain itu, proses pemindahan harimau antar-institusi yang harus mengikuti prosedur pemerintah, terkadang lambat dalam pelaksanaannya.

FOTO: ASEP ABDULLAH

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

219

CADANGAN TERAKHIR

Populasi di lembaga konservasi ex-situ menjadi cadangan terakhir bila harimau sumatra liar punah di alam. Caranya: pengembangbiakan terkontrol untuk menjaga kemurnian jenis dan mencegah kawin sedarah. Pendataan silsilah dilakukan secara nasional maupun internasional. Lembaga konservasi juga sarana edukasi bagi masyarakat, dan tempat belajar tenaga kesehatan untuk pengendalian harimau. SEBARAN HARIMAU SUMATRA EX-SITU SAMPAI OKTOBER 2018 JANTAN

Taman Safari Indonesia I

BETINA

Taman Margasatwa Ragunan Kebun Binatang Surabaya Kebun Binatang Medan Taman Margasatwa Kinantan Bukittinggi Maharani Zoo & Goa

DUA TIPE LEMBAGA KONSERVASI Kebun Binatang Bali Kebun Binatang Tamansari Bandung

LEMBAGA KONSERVASI UMUM

untuk tujuan umum, seperti taman safari, taman margasatwa, dan kebun binatang. LEMBAGA KONSERVASI KHUSUS

Kebun Binatang Gembira Loka

untuk tujuan tertentu, seperti pusat penyelamatan satwa, ataupun pusat rehabilitasi satwa.

Taman Hewan Pematang Siantar

POPULASI CADANGAN PRIMER

Batu Secret Zoo - Batu

Taman Satwa Taru Jurug Surakarta Gelata Lestari Tambling Wildlife Nature Conservation Taman Safari Indonesia II Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi Agrowisata Sido Muncul

129

di 18 lembaga konservasi Indonesia

POPULASI CADANGAN SEKUNDER

265

Amerika Utara, Eropa, Australasia, Jepang

Taman Satwa Cikembulan Garut

POPULASI HARIMAU SUMATRA 6 TAHUN TERAKHIR

POPULASI JANTAN DAN BETINA 6 TAHUN TERAKHIR

120 ekor

60 ekor

100

50

2013 2014 2015 2016 2017 2018

220

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

2013 2014 2015 2016 2017 2018

KERAGAMAN GENETIK POPULASI HARIMAU PKBSI SAAT INI MASIH BERADA DALAM KATEGORI SEDANG: 89,3 PERSEN, DI BAWAH TARGET MINIMUM STANDAR 90 PERSEN. Dalam strategi ke depan, satwa-satwa ini yang harus diprioritaskan dalam perkembangbiakan ex-situ PKBSI. Dengan demikian, akan membantu menstabilkan struktur usia, lantaran masih ada harimau muda yang dapat bereproduksi beberapa tahun kemudian. Hal ini dapat meningkatkan keragaman genetik, dan mengurangi perkawinan sedarah di masa depan. Untuk keberhasilan program ini, lembaga konservasi PKBSI telah memiliki harimau sumatra untuk perkawinan lintas-lembaga sesuai rekomendasi dari pengelola populasi harimau dan studbook keeper. Pemindahan atau transfer harimau sumatra akan terjadi guna pencapaian strategi ini. Bagi lembaga konservasi PKBSI yang ingin memelihara harimau akan dimungkinkan, dengan syarat memenuhi sarana dan prasarana kandang, sumberdaya manusia berkompeten, dan mengikuti standar pemeliharaan harimau. Syarat ini juga berlaku bagi semua lembaga konservasi yang telah mempunyai harimau sumatra. Bila sampai saat ini masih belum memenuhi standar pengelolaan, dengan pedoman PKBSI-GSMP, lembaga konservasi perlu segera mencapai standar itu. Untuk itu, Perkumpulan Kebun Binatang seIndonesia akan segera menyusun pedoman standar pemeliharaan dan perkembangbiakan harimau sumatra. Sampai saat ini, 265 harimau sumatra dikelola di luar Indonesia. Ini membentuk populasi ex-situ sekunder, atau cadangan harimau sumatra, yang perlu diperhatikan populasi dan keragaman mutu genetiknya. Hampir semua harimau sumatra di luar negeri punya kekerabatan satu sama lain. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan harimau populasi sekunder memperoleh darah baru dari PKBSI yang tak berkerabat. Sehingga, tidak perlu perbaikan genetik di PKBSI, dan dapat menjadi kandidat berharga untuk dikawinkan dengan harimau sumatra di luar Indonesia di masa mendatang. Kegiatan ini untuk meningkatkan kelangsungan populasi global harimau sumatra, yang terkoordinasi dalam Global Species Management Plan. *** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

221

PELEPASLIARAN HARIMAU SUMATRA AHMAD FAISAL DAN YOAN DINATA

Keputusan cepat dan tepat adalah kunci yang menentukan masa depan harimau korban konflik. Konteks bahasan dalam artikel ini adalah pelepasan kembali harimau liar tangkapan (yang tertangkap ataupun ditangkap) pada saat konflik. Dengan kata lain, bukan pelepasliaran harimau captive yang lahir di lembaga konservasi—semisal di kebun binatang ataupun taman safari. Pada 2012, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, didukung beberapa lembaga swadaya masyarakat, telah menyusun Pedoman Praktis Pencegahan dan Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Harimau. Kendati pedoman itu telah menyinggung soal pelepasliaran, namun nampaknya masih diperlukan adanya panduan detail yang menjelaskan teknis dan tahapan pelepasliaran. Pengambilan keputusan yang cepat dan tepat adalah kunci yang menentukan masa depan harimau tangkapan. Prosesnya perlu melibatkan orang-orang berkompeten, seperti dokter hewan, ahli biologi, ahli ekologi dan ahli perilaku harimau. Keputusan tindakan yang akan diambil terhadap harimau tangkapan perlu menimbang beberapa aspek: kesehatan, biologi dan ekologi. Kondisi kesehatan harimau yang akan dilepas tentu saja harus normal untuk menunjang kelangsungan hidupnya di alam liar. Ia juga mesti bebas dari gangguan kesehatan, semisal tidak mengidap penyakit yang dapat menular kepada harimau liar lainnya. Dalam hal ini, dokter hewan bertanggung jawab atas penilaian kesehatan si harimau, berdasarkan pemeriksaan fisik secara langsung dan pemeriksaan sampel biologis, seperti darah, feses, organ, dan bagian lain yang diperlukan. Seringkali pada kasus harimau yang terjerat, kaki yang terluka tak dapat diselamatkan sehingga harus diamputasi. Pada kasus seperti itu, harimau tidak dapat dilepasliarkan kembali karena ia bakal sulit bertahan hidup dalam kondisi cacat. 222

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Pemasangan kalung GPS dilakukan saat harimau terbius pada pemeriksaan terakhir mendekati hari pelepasliaran. Perangkat GPS membantu tim memantau pergerakan harimau dalam jangka pendek.

Meski begitu, di beberapa tempat di Sumatra, kamera jebak pernah merekam harimau dengan kaki cacat—kemungkinan besar karena terjerat, lalu bisa lepas sendiri. Di sisi lain, ada juga beberapa kasus harimau tertangkap dalam kondisi normal secara fisik tapi proses pelepasannya tak bisa segera dilakukan, baik ke habitat asalnya ataupun ke habitat lain. Hal itu terjadi lantaran mesti menimbang banyak hal, seperti penentuan lokasi pelepasliaran, tidak tersedianya perangkat pemantau kalung GPS (GPS collar), dan lain-lain. Dalam melepas satwa liar, termasuk harimau, kesehatan menjadi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan. Prinsip utama pelepasliaran adalah mencegah penularan penyakit, terutama yang infeksius, dari harimau yang dilepas ke populasi harimau yang sudah menghuni habitat setempat. Dan, tentu saja harus tetap memperlakukan si harimau tangkapan sebagai harimau liar, bukan harimau captive. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui observasi langsung untuk menentukan skor kondisi tubuh, kehamilan, jenis kelamin, luka luar yang dapat teramati dan abnormalitas tubuh luar lainnya. Hasil observasi tersebut dapat dijadikan pertimbangan apakah harimau dapat segera dilepas, atau masih perlu tindakan medis lanjutan sebelum dilepas.

FOTO: AHMAD FAISAL - ZSL INDONESIA

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

223

Pun, tim medis perlu mengambil sampel biologis, seperti darah, feses, dan rambut. Tak hanya untuk medis, pencuplikan sampel juga penting buat pemeriksaan genetika. Informasi genetika kelak bermanfaat dalam pengelolaan kantong-kantong populasi harimau yang tersebar di kawasan yang terfragmentasi—yang dihuni beberapa harimau, bahkan sangat sedikit individu. Sampel biologis tersebut juga dapat menjadi bahan penelitian, mengingat sedikitnya informasi untuk pemantauan kesehatan harimau liar. Uji laboratorium terhadap sampel darah dapat memberikan informasi mengenai kesehatan harimau apakah terinfeksi parasit, bakteri, virus, ataupun adanya kelainan sistemik tubuh lainnya. Namun, berdasarkan pengalaman, nampaknya perlu adanya panduan dalam menentukan kondisi harimau liar yang memadai untuk dilepasliarkan. Misalnya saja, status kesehatan standar untuk menentukan apakah harimau dapat dilepas langsung, atau masih perlu intervensi medis sebelum pelepasan. Dengan demikian, penilaian kesehatan sesuai standar baku, bukan berdasarkan subjektivitas dokter hewan. Melengkapi aspek kesehatan, aspek biologi juga perlu diperhatikan dalam menyelamatkan harimau konflik. Salah satunya: apakah harimau konflik itu perlu ditangkap atau tidak. Seandainya perlu ditangkap, harus juga menimbang kemungkinan dan peluang pelepasliaran pasca-penangkapan. Aspek biologi yang perlu diperhatikan antara lain umur, jenis kelamin, dan tingkah laku. Hal-hal itu yang menjadi dasar yang menentukan harimau tangkapan dapat segera dilepas, berikut tahap-tahap pelepasliarannya. Dalam banyak kasus, harimau konflik yang ditangkap adalah dewasa muda yang produktif, umur tiga sampai lima tahun, sehingga penting dilepasliarkan untuk menunjang keberlangsungan populasi harimau di alam. Harimau betina yang produktif memiliki prioritas untuk dilepasliarkan agar dapat berkembang biak. Sementara itu, pejantan berperan untuk menjaga dan menyebarluaskan variasi genetik. Namun demikian, di sisi lain, perlu juga memperhatikan sejarah konflik dan tingkah laku si harimau. Misalnya, apakah harimau itu pernah memangsa manusia atau menyerang ternak. Untuk harimau dengan riwayat pernah memangsa manusia, atau biasa disebut man-eater, beberapa ahli dan praktisi tidak merekomendasikan untuk dilepasliarkan. Pengalaman dari beberapa kasus di India, meski sudah melewati proses rehabilitasi, dan lalu dilepas, harimau yang pernah memangsa manusia ternyata kembali melakukan perbuatannya. 224

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Harimau bernama Gadis Liku ini akhirnya keluar dari kandang untuk bebas kembali di Taman Nasional Kerinci Seblat. Ia sempat melewati perawatan selama dua bulan di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan Bukittinggi. Pada Mei 2016, ia memangsa sapi masyarakat di Ranah Pesisir, Pesisir Selatan. Setelah penghalauan, rupanya ia masih berkeliaran. Untuk mencegah jatuhnya korban manusia maupun si harimau, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Barat memutuskan untuk menangkapnya. Sebelum dilepaskan kembali, tim medis memeriksa kesehatan Gadis Liku.

FOTO: WILSON NOVARINO (SEMUANYA)

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

225

Desain kandang angkut tak terlalu terbuka agar harimau tak terlihat dari luar. Namun kandang mesti berventilasi, dan berlubang pakan yang cukup, untuk mencegah harimau mengalami stres. Saat pelepasan, harimau dipastikan dalam keadaan sadar, dan cukup isitirahat usai pengangkutan. Alat dokumentasi, katrol penarik pintu, jalur keluar harimau, dokter hewan, dan petugas bersenjata api mesti dipersiapkan secara matang dan siap siaga.

Akhirnya, harimau pemangsa manusia itu harus ditangkap kembali, atau ditembak mati. Kendati begitu, hal itu masih menjadi perdebatan para ahli dan praktisi sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Dalam menentukan harimau tangkapan layak dilepasliarkan atau tidak, harus berdasarkan pertimbangan tim yang terdiri dari dokter hewan, ahli biologi dan ekologi harimau. Dan selanjutnya, unit pelaksana teknis konservasi sumber daya alam setempat membentuk tim pelepasliaran: dokter hewan, ahli biologi, polisi kehutanan dan pihak terkait lainnya. FOTO: AHMAD FAISAL - ZSL INDONESIA

226

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Tidak hanya pada saat pelepasliaran, tim ini bertugas mulai dari sebelum sampai sesudah pelepasliaran. Pendeknya, tim bekerja mulai dari menentukan titik lokasi lepas, tahap-tahap saat pelepasan, dan pemantuan usai lepas liar. Lokasi pelepasliaran ditentukan berdasarkan kajian ekologi dan analisis kesesuaian habitat dengan variabel spasial dan non-spasial. Secara umum, kajian ekologi menyangkut beberapa hal, seperti ketersediaan mangsa, ancaman perburuan, aktivitas manusia, tipe habitat, topografi, populasi harimau liar, dan sosial masyarakat. Tentu saja titik pelepasliaran yang sangat disarankan adalah lanskap yang sama dengan lokasi penangkapan si harimau. Harapannya, hal ini dapat menjaga keberlangsungan populasi harimau di lanskap tersebut. Setelah pelepasliaran, tim akan memonitor pergerakan harimau. Pada tahap inilah kalung GPS sangat berguna untuk memantau pergerakan dan lokasi harimau secara berkala. Pemasangan kalung GPS sebaiknya dilakukan pada saat harimau dibius dalam pemeriksaan kesehatan menjelang pelepasan. Pemasangan kalung GPS mendekati pelepasan ini untuk menghindari pemakaian baterai yang tidak perlu. Dan, perlu juga memastikan kalung GPS dapat berfungsi baik, dan sabuknya tidak mencederai harimau. Pemantauan pergerakan harimau dapat dilakukan selama periode yang telah disepakati bersama tim monitoring. Jika terdeteksi harimau mendekati pemukiman, atau tak bergerak dalam waktu lama, tim harus segera menuju titik lokasi untuk memeriksanya. Jika harimau berada dekat pemukiman, maka tim dapat melakukan pengusiran. Jika terdeteksi tak bergerak dalam waktu lama, tim harus memeriksa ke titik lokasi untuk mengonfirmasi keadaan si harimau. Hanya saja, pemantauan dengan kalung GPS hanya untuk jangka pendek, hanya dalam kisaran beberapa bulan. Sementara untuk pemantauan jangka panjang, tim dapat memakai kamera jebak. Pelepasliaran harimau selalu menjadi berita yang sensasional di media massa. Namun ada juga aspek lain yang tak kalah penting, yaitu upaya memperbaiki habitat harimau dan perlindungan dari perburuan. Tanpa upaya-upaya itu, pelepasliaran akan menjadi kurang berguna. Pada akhirnya, upaya pelepasliaran dapat dikatakan berhasil bila harimau dapat bertahan hidup berdampingan dengan manusia, dan populasinya tetap terjaga. Hal ini dapat dicapai dengan perencanaan dan penanganan yang baik dengan melibatkan para pihak terkait.*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

227

INSPIRASI DARI SAINS FAHRUL AMAMA

Menuju kemandirian masyarakat sebagai pelestari harimau sumatra. Dalam pelestarian harimau sumatra, Wildlife Conservation Society senantiasa menerapkan pendekatan konservasi berbasis sains. Upaya konservasi diawali dengan survei lapangan untuk mendapatkan data kepadatan populasi dan menentukan status konservasi. Pendekatan sains juga digunakan untuk mengidentifikasi faktor pembatas dan ancaman kelestarian harimau. Secara umum, strategi WCS dalam konservasi hidupan liar adalah “Discover-Protect-Inspire.” Ancaman utama bagi pemangsa ini adalah menurunnya populasi akibat perburuan. Harimau dibunuh untuk diambil kulit, tulang, dan organ tubuhnya yang lain. Pada saat yang sama, satwa mangsa harimau pun diburu, sementara hutan habitatnya tak sedikit yang dirombak. Dampaknya berantai: daerah jelajah harimau berubah, dan pecahlah konflik dengan manusia. Perseteruan itu umumnya berupa pemangsaan ternak, atau harimau berkeliaran di pemukiman. Pemangsaan ternak mendorong manusia melakukan aksi balas dendam, yang berdampak pada menurunnya populasi harimau. Karena itu, seluruh upaya WCS dilakukan di habitat kunci harimau, seperti perlindungan, mitigasi konflik, dukungan penegakan hukum, serta kampanye. Hakikatnya, WCS menerapkan pendekatan berbasis lanskap di tingkat tapak, sebagai bagian dari implementasi strategi nasional konservasi harimau. Perlindungan kawasan konservasi menjadi kunci utama dalam melestarikan harimau di alam. Karena itu, Wildlife Conservation Society mendorong perlindungan kawasan secara kolaboratif dan terpadu di tiga taman nasional: Gunung Leuser, Bukit Barisan Selatan, dan Way Kambas. Dukungan tersebut melalui patroli berbasis Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART). Berkolaborasi dengan mitra lainnya, WCS mendukung pemangku kawasan menjaga intensitas dan konsistensi patroli. 228

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Masyarakat membangun kandang ternak anti-serangan harimau secara mandiri di batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Selain menjaga aset ternak aman, peternak juga nyaman dan tidak resah.

Data patroli yang memadai diharapkan dapat memberikan informasi akurat bagi pengelolaan kawasan konservasi. Untuk itu, WCS terus meningkatkan dukungan bagi patroli perlindungan dari tahun ke tahun. Berkat dukungan itu, cakupan patroli di Bukit Barisan Selatan meningkat, dari 18 persen dari luas kawasan pada 2014, jadi 27 persen pada 2017. Sementara di Leuser, luas areal yang dipatroli pada 2014 hanya mencakup 8,3 persen, meningkat jadi 16,4 persen dari luas kawasan pada 2017. Untuk meningkatkan upaya mitigasi konflik manusia dengan satwa liar, WCS memulai program Wildlife Response Unit (WRU) pada 2007. Program ini untuk mengurangi kerugian dan mencegah jatuhnya korban, baik manusia maupun satwa liar, dengan merespon konflik secara cepat dan efisien. Kehadiran unit tanggap satwa liar ini juga memperkuat implementasi kebijakan dan pengembangan teknik penanggulangan konflik melalui peningkatan peran, kapasitas, ketrampilan, dan kemandirian para pihak. Dalam menangangi konflik, unit tanggap satwa liar memakai pendekatan yang tak mematikan, dengan memfasilitasi masyarakat membangun kandang ternak anti-serangan harimau (tiger proof enclosure-TPE). Wildlife Response Unit pun mengembangkan inovasi dengan menggunakan alat penanggulangan konflik dan melatih masyarakat menangani satwa liar—termasuk dokter hewan.

FOTO: EDY SUSANTO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

229

Selama 2008-2017, Wildlife Response Unit telah merespon 550 konflik harimau-manusia dan mendorong pembangunan 500 unit kandang anti-pemangsaan di 50 desa di lanskap Leuser dan Bukit Barisan Selatan. Dari pengalaman, respon cepat unit ini sangat menentukan keberhasilan dalam penanganan konflik. Dan, yang tak kalah penting, tim mampu memelihara persepsi positif masyarakat terhadap harimau. Hasilnya, hingga kini di lanskap Leuser dan Bukit Barisan Selatan, tidak ada harimau yang terbunuh akibat aksi balas dendam karena memangsa ternak. Kandang anti-pemangsaan juga amat efektif, dalam arti tak tercatat adanya harimau memangsa ternak di dalam kandang. Secara konsisten pula, WCS mendukung penegakan hukum dari pihak berwenang. Penegakan hukum memberikan efek jera untuk mencegah pembunuhan harimau dengan dalih balas dendam. Tindakan balas dendam ditengarai juga berkaitan dengan perburuan dan perdagangan harimau. Di sisi lain, untuk meningkatkan persepsi positif terhadap harimau, WCS menggelar kampanye penyadartahuan masyarakat. Kampanye dibarengi dengan promosi prinsip hidup koeksis dengan membangun sikap toleran terhadap keberadaan harimau. Hasilnya, sudah sewajarnya semua upaya tersebut bisa mengurangi ataupun menghentikan ancaman bagi harimau dan habitatnya. Indikasi positifnya dapat dilihat dari hasil survei kamera jebak di Bukit Barisan Selatan pada 2015. Untuk kawasan hutan dataran rendah Bukit Barisan Selatan, perkiraan kepadatan harimau 2,8 individu per 100 kilometer persegi adalah angka yang bagus. Di Gunung Leuser, khususnya di Langkat-Bendahara, hasil survei menunjukkan indikasi peningkatan populasi. Pada 2010, perkiraan kepadatan harimau 0,44 individu per 100 kilometer persegi, meningkat jadi 0,46 pada 2013. Dan pada 2018, angkanya naik menjadi 0,59 individu. Hasil analisis deforestasi di Gunung Leuser dan Bukit Barisan Selatan juga menggembirakan. Laju kehilangan hutan di Taman Nasional Gunung Leuser pada 2011 yang 0,29 hektare per tahun, berkurang menjadi 0,27 di 2015. Dan, pada 2017 menjadi 0,01. Semua hasil positif ini menunjukkan implementasi yang konsisten akan membawa dampak positif bagi pelestarian harimau dan habitatnya. Di Bukit Barisan Selatan, penurunan laju deforestasi cukup tinggi terjadi, khususnya di wilayah perlindungan intensif (IPZ). Laju deforestasinya menurun dari 0,18 persen per tahun pada 2000-2005 menjadi 0,02 persen pada 2005-2011. Pada 2011-2015, laju deforestasi menjadi -0,04 yang menunjukkan bertambahnya tutupan hutan dari suksesi sekunder di areal bekas perambahan—khususnya di Resor Sukaraja Atas. 230

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Staf Balai Besar Taman Nasional Bukti Barisan Selatan dan tim Wildlife Response Unit WCS berdiskusi dengan satuan tugas konflik mandiri di desa Sukaraja. Satgas mandiri ini memungkinkan warga melakukan mitigasi konflik untuk menyelamatkan manusia dan satwa.

Pada 2017, WCS menginisiasi pengembangan masyarakat desa mandiri (MDM) dalam mitigasi konflik di sebelas desa di lanskap Leuser dan Bukit Barisan Selatan. Konflik yang sporadis, tersebar luas, dan cenderung berulang membutuhkan kemandirian masyarakat dalam menanganinya. Dengan bekal mitigasi konflik, masyarakat setempat bisa lebih cepat dalam menanggapi konflik harimau. Masyarakat desa mandiri dapat meredam konflik agar tidak berkembang menjadi membahayakan kedua belah pihak. Wildlife Response Unit bekerja bersama masyarakat membangun kemandirian itu melalui pendampingan, pelatihan, sosialisasi dan kampanye. Di lanskap Leuser, delapan desa di Aceh dan Sumatra Utara telah didampingi sejak 2017. Lima desa di antaranya, Seumanah Jaya, Panton Lues, Batu Napal, Terlis, dan Listen, telah membentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) dan satgas mitigasi konflik sendiri. Dua satgas mitigasi konflik yang terbentuk telah bekerja efektif berdasarkan surat keputusan desa. Sementara di Bukit Barisan Selatan, satgas mitigasi konflik di desa mempromosikan pembangunan kandang ternak anti-serangan harimau kepada masyarakat. Peternak mulai membangun kandang anti-serangan secara mandiri, dan memandangnya sebagai proteksi terhadap investasi dalam usaha peternakan. Masyarakat yang berketrampilan, sadar, dan berdaya, pada gilirannya akan menjelma menjadi masyarakat mandiri pelestari harimau.***

FOTO: AGUS PRIJONO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

231

KEARIFAN DI BATAS BUKIT BARISAN SELATAN

Wildlife Response Unit, tim dari Wildlife Conservation Society – Indonesia Program, bekerja di bentang alam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tim ini menanggapi segala bentuk konflik satwa liar dengan manusia. Salah satu peristiwa konflik terjadi di Way Asahan, Desa Kubu Perahu, di sekitar taman nasional. Tim lantas sosialisasi, dan mendapati jejak yang diduga induk harimau dan anaknya. Salah seorang tetua Kubu Perahu, Selamet, mengatakan ternaknya pernah dimangsa harimau. Sejak 1970, Selamet telah hidup dan menetap di Kubu Perahu. Sebagian masyarakat Kubu Perahu meyakini ada dua golongan harimau: jadi-jadian dan sungguhan. Harimau jejadian dipercaya melintasi pemukiman di bulan tertentu, biasanya Muharam. Harimau jadi-jadian juga diyakini sebagai perwujudan prajurit Prabu Siliwangi, raja Pajajaran dari tanah Pasundan. Karena itu, pada Muharam, warga desa membatasi aktivitasnya, terutama saat malam hari. Dalam kearifan Kubu Perahu, sebagian orang yang pernah ke hutan pernah bertemu sosok yang selalu bertopi yang diyakini sebagai manusia harimau. Berbeda dengan harimau jejadian, kata Selamet, harimau sungguhan biasanya cenderung menghindar bila bertemu manusia. Manajer Program Lanskap Bukit Barisan Selatan Firdaus R. Affandi menuturkan, begitu banyak kearifan lokal di Kubu Perahu. Sosok harimau sumatra diagungkan dalam berbagai kepercayaan. “Manusia dan harimau membangun sebentuk komunikasi dengan bijak. Warga menghalau harimau cukup dengan kearifan lokal, tidak dengan sarana yang terbilang kasar, seperti meledakkan petasan,” terangnya. Dahulu, saat menemukan jejak harimau, warga biasanya menutupinya dengan dedaunan. Maksudnya, mencegah harimau kembali lagi di masa depan. Pun, ada kepercayaan lokal: jangan sampai jejaknya terinjak, karena niscaya si harimau akan mengikuti si penginjak. 232

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Saat di hutan, kehadiran harimau ditandai bau anyir yang khas. Tiba-tiba nyamuk ataupun agas pun bertambah banyak. Primata siamang kadang juga melengking dengan nada pendek. Bila harimau memang ada di sekitaran, warga biasanya menyalakan rokok yang beraroma tajam. Ini untuk menghalangi harimau mengendus kehadiran manusia. Tentu saja, tetap berdoa dan berpikir positif: memasuki hutan dengan niat baik. Tak hanya harimau, kearifan lokal juga berkaitan dengan satwa liar lain. Pecing misalnya, zat pembau yang digunakan untuk mengusir babi hutan yang menjadi hama bagi petani. Pecing terbuat dari darah kambing yang disimpan dalam waktu lama. Atau, ada juga yang membuat rajah bertuliskan Arab yang dijampi-jampi tetua. Warga lebih memilih pecing ketimbang jaring bentang untuk melindungi tanamannya. Mereka khawatir, jika memakai jaring, yang masuk malah harimau. Saat ini, generasi seusia Selamet sudah langka. Tak banyak lagi yang memahami kearifan lokal dalam berkomunikasi dengan alam. Pemangsaan ternak oleh harimau adalah konsekuensi dari siklus alam yang terganggu. Hutan di Kubu Perahu masih bagus, namun sudah banyak warga dari luar desa yang memburu satwa liar, termasuk harimau. Firdaus mengungkapkan, agar harimau tidak memangsa ternak, dapat dicegah dengan tidak memburu satwa mangsanya. Nampaknya dibutuhkan banyak masyarakat, seperti Selamet, yang memakai logika alam dan kearifan lokal: harimau dan hutan tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Warga mengunduh getah di hutan damar, tak jauh dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tegakan damar milik masyarakat ini membentuk hutan yang bisa menjadi tambahan habitat bagi harimau. Sayangnya, kini pewaris menebangi hutan damar untuk diambil kayu, dan ganti komoditas budidaya.

FOTO: AGUS PRIJONO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

233

Masyarakat Pesanguan, desa penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, memiliki satuan tugas mandiri konflik satwa liar dengan manusia. Satuan tugas ini berada di garis depan pananganan konflik, mengingat lokasi yang terpencil dan sulit dijangkau tim Wildlife Respon Unit WCS dan taman nasional.

234

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

FOTO: AGUS PRIJONO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

235

AKSI KONSERVASI DI ULU MASEN SILFI IRIYANI

Pendekatan konservasi dengan skema hutan desa: manfaat bagi masyarakat dan melindungi harimau. Ulu Masen merupakan hamparan ekosistem yang mencakup berbagai jenis kawasan hutan. Fauna & Flora International mencatat, sebagian besar kawasan Ulu Masen terdiri dari hutan lindung dan cagar alam, sebagian lagi hutan produksi, sedikit areal penggunaan lain dan non-hutan. Ekosistem Ulu Masen memiliki biodiversitas tinggi dan menjadi salah satu habitat harimau sumatra. Karena itu, kawasan ini menjadi salah satu habitat rekomendasi Global Tiger Recovery untuk pemulihan harimau sumatra. Ulu Masen berada dalam wilayah yang dilindungi versi IUCN tingkat VI. Artinya, Ulu Masen merupakan kawasan lindung dengan rekomendasi untuk dikelola secara terpadu berbasis masyarakat, perlindungan ekosistem, dan minim pembangunan industri. Nilai penting itulah yang menjadi pertimbangan aksi konservasi FFI di wilayah ini. Aksi konservasi tidak hanya dalam aspek perlindungan, namun juga kerja kolaboratif dengan para pihak untuk memperkuat dampak dan manfaat konservasi. Beberapa pendekatan konservasi merujuk pada kepentingan mendasar. Pertama, kolaborasi melindungi habitat untuk mengurangi ancaman kerusakan hutan dengan patroli bersama, terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah I Aceh, FFI Aceh Program, dan tim patroli dari unsur masyarakat. Kedua, kolaborasi mengurangi perburuan dan perdagangan satwa melalui operasi jerat dan membentuk jaringan informan. Ketiga, memperkuat kelembagaan pengelola hutan di tingkat tapak. Selain itu, juga dilakukan pelatihan dalam pengelolaan kawasan hutan, baik bagi KPH I Aceh, masyarakat, dan mitra lokal. Aktivitas ini untuk penguatan data dasar dalam mendukung konservasi harimau sumatra. Hingga saat ini, FFI Aceh Program telah berupaya melindungi habitat harimau dengan mendorong pengelolaan hutan 236

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Lanskap Ulu Masen tercakup dalam ekosistem Leuser yang membentang di Aceh dan Sumatra Utara. Kawasan ini sarat jasa lingkungan yang menyokong kehidupan manusia, flora dan fauna.

desa di Pidie dan Pidie Jaya, Aceh. Di Pidie, meliputi Gampong Mane, 4.620 hektare; Gampong Blang Dalam, 1.048 hektare, dan Gampong Lutueng, 2.271 hektare. Sementara di Pidie Jaya: Gampong Blang Sukon, 1.110 hektare, dan Gampong Kayee Jatoe, 1.088 hektare. Sebagai salah satu pendekatan dalam konservasi harimau, hutan desa juga memberikan manfaat bagi masyarakat pengelola hutan desa. Dalam dokumen 'Tiger Conservation Landscape' disebutkan perlindungan terhadap habitat harimau juga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat dan fungsi ekosistem Ulu Masen memberi manfaat jasa lingkungan dan ekonomi, baik bagi masyarakat sekitar. Sehingga, kawasan ini kemudian didorong untuk dikelola masyarakat melalui skema hutan desa. Skema ini sekaligus bagian dari upaya perlindungan habitat harimau sumatera. Sementara itu, dalam perlindungan habitat dan hewan mangsa, sejak 2016 hingga 2018 telah dilakukan patroli bersama KPH I Aceh. Fauna & Flora International Aceh bersama tujuh community ranger dan KPH I melakukan patroli selama 565 hari dengan jarak tempuh 3.300 kilometer. Patroli ini fokus di wilayah Ulu Masen yang berada di wilayah pengelolaan KPH I. Jumlah hari patroli paling banyak pada 2017: 306 hari, dan melibatkan tujuh komunitas jagawana dengan jarak tempuh 1.750 km.

FOTO: DWI OBLO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

237

Keumala Rangger 713 km

JEJAK PATROLI 2016 - 2018 Dalam upaya perlindungan habitat harimau dan mangsanya, sejak 2016 hingga 2018 digelar patroli bersama: FFI, Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah I Aceh, dan tujuh komunitas ranger. Patroli berfokus pada wilayah Ulu Masen di wilayah kelolaan KPH I. Jumlah hari patroli terbanyak pada 2017: 306 hari, melibatkan tujuh komunitas ranger. Sementara pada 2016, hanya lima komunitas ranger. Perbedaan ini karena pada 2017 dan 2018, patroli didukung program persatuan konservasi alam dunia IUCN, yang diselaraskan dengan patroli di hutan desa.

Blang Raweu Rangger

Beungga Rangger

Meutala Rangger

Lembah Paleng Rangger Sabee Rangger

JENIS TEMUAN SELAMA PATROLI 2016 - 2018

KAYU ILEGAL

Jantho Rangger 248 km

1.017

kubik

PEMBALAKAN KAYU

665

101

PERAMBAHAN

233

PERBURUAN

136

45

JERAT DIHANCURKAN

119

PERTAMBANGAN

238

19

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Hari patroli

Jarak tempuh

Lanskap Ulu Masen sarat jasa lingkungan yang menyokong kehidupan manusia, flora dan fauna.

Pada 2016 hanya lima tim patroli hutan masyarakat yang aktif dan melakukan patroli selama 129 hari patroli, dengan jarak tempuh 848 km. Adanya perbedaan ini dikarenakan pada 2017 dan 2018 aktivitas patroli didukung IUCN yang juga diserasikan dengan patroli di wilayah hutan desa. Patroli swadaya dari pengelola hutan desa dilakukan melalui pendanaan dari berbagai sumber. Salah satunya, pembiayaan dari hasil usaha kelompok yang dikontribusikan untuk patroli hutan. Lembaga pengelola hutan desa secara reguler juga dilatih beragam keterampilan pengelolaan hutan desa, termasuk pemahaman konservasi harimau sumatra dan habitatnya. Hasil survei FFI pada 2017 menunjukkan masyarakat sekitar hutan desa memiliki pemahaman yang baik tentang harimau sebagai satwa dilindungi, juga gajah, trenggiling, dan orangutan. Selama 2016 – 2018, tim patroli menemukan 233 tandatanda aktivitas perambahan, 665 tanda pembalakan liar, 19 tanda pertambangan ilegal, 136 temuan tanda perburuan satwa. Patroli juga menghancurkan 119 jerat, dan temuan 1.000 kubik kayu hasil penjarahan. Patroli juga menemukan tanda keberadaan harimau sumatra berupa jejak dan rekaman kamera jebak. Tantangan terbesar yang dihadapi dalam konservasi harimau, di antaranya penegakan hukum terhadap aktivitas yang mengancam habitat dan harimau. Untuk mengatasi tantangan itu, FFI Aceh bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan KPH I melakukan koordinasi dan bersinergi secara aktif. Salah satu upaya yang dilakukan secara nyata: mensinergikan rencana kerja, memperkuat kapasitas tim, dan penyadartahuan bersama. ***

FOTO: RADINAL/FFI ACEH

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

239

HUTAN DESA DAN KONSERVASI DEDI KISWAYADI

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk pengembangan ekonomi, pembangunan desa, dan konservasi. Fauna & Flora International telah mendorong pengelolaan hutan di tingkat tapak melalui skema hutan desa. Pengelolaan hutan berbasis desa, atau gampong di Aceh, merupakan tingkatan terkecil pengelolaan di tingkat tapak dalam konteks lokasi. Meski begitu, tetap diperlukan penyesuaian dalam konteks budaya mukim sebagai identitas kelembagaan masyarakat yang menghimpun beberapa desa (gampong-gampong). Dalam konteks pengelolaan yan lebih padu, direkomendasikan untuk pola pengaturan pengelolaan yang diperkuat di level kemukiman dalam hal penyusunan reusam atau aturan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui perhutanan sosial merupakan salah satu upaya dalam melindungi habitat dan satwa yang dilindungi. Pada 2013, FFI memfasilitasi lima hutan desa di dua kabupaten: Pidie dan Pidie Jaya, total area lebih dari 10 ribu hektare. Hutan desa itu sudah mendapatkan penetapan areal kerja (PAK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2015 dan hak pengelolaan hutan desa (HPHD) dari gubernur Aceh pada 2016. Lima lokasi hutan desa itu terbagi dalam dua blok hutan. Pada 2017, FFI memfasilitasi tiga gampong di Pidie dan 1 desa di Aceh Besar. Saat ini, ada empat lokasi yang telah diusulkan, dan sudah diverifikasi Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan wilayah Sumatra dengan luas 21.594 hektare. Berdasarkan peta indikatif, 79.026 hektare kawasan Ulu Masen dicadangkan sebagai wilayah perhutanan sosial. Dan, FFI mendorong dan memfasilitasi sekitar 31.731 hektare untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dalam fasilitasi itu, FFI mendorong desa melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, pengembangan ekonomi, dan konservasi. Di antaranya: penyusunan rencana kelola hutan desa dan qanun desa, mendorong pemanfaatan dana desa untuk patroli, mitigasi konflik, rehabilitasi lahan, dan pemberdayaan ekonomi melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. 240

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Masyarakat mengolah rotan yang dipanen dari kawasan hutan desa untuk dijadikan tudung sajian makanan. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan bukan kayu lainnya dari hutan desa, untuk mendorong ekonomi masyarakat. Hasil olahan ini dipasarkan ke kota terdekat dan ada juga yang ditampung pengusaha rotan. Dari penjualan, hasilnya dibagi untuk si pembuat kerajinan dengan lembaga pengelola hutan desa.

FOTO: BOYHAQI/FFI ACEH

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

241

FOTO: BOYHAQI/FFI ACEH

242

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Hutan desa di Ulu Masen sungguh berlimpah hasil bumi. Salah satunya durian. Warga ini memikul durian dari hutan desa, melewati seutas kabel penyeberangan.

Salah satu klausul qanun adalah perlindungan beberapa spesies penting: harimau, gajah, orangutan, rangkong, trenggiling, murai batu, dan hewan lain yang dilindungi. Selain itu, juga tanaman endemik lokal, seperti meudang jeumpa (Elmerrillia tsiampaca). Selain itu, FFI juga melakukan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas pengelola hutan desa dan masyarakat. Beberapa pelatihan yang telah diinisiasi: penyusunan rencana pengelolaan hutan desa, teknik pembibitan dan pengembangan kebun bibit, pelatihan peradilan adat, patroli monitoring keanekaragaman hayati. Juga ada lokalatih skema pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan, pelatihan dekorasi pelaminan dan menjahit untuk ibu-ibu, pelatihan kerajinan rotan, penggemukan sapi serta sekolah lapang yang bekerjasama dengan Balai Perhutanan Sosial wilayah Sumatra. Dengan adanya hutan desa, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti jernang dan rotan tanpa rasa takut akan ditangkap pengaman hutan atau pihak kepolisian. Selain itu, lembaga pengelola juga menjalin kerjasama dengan beberapa pengusaha rotan untuk menampung hasil rotan dari hutan desa. Sampai saat ini, kelompok ibu-ibu mendukung pengelolaan hutan desa melalui usaha pelaminan telah menghasilkan pendapatan bersih 5,8 juta rupiah. Masyarakat sekitar juga melakukan perlindungan hutan desa. Berada dekat dengan hutan desa, mereka mencegah perburuan satwa, mencegah masuknya orang dari luar desa yang akan memanen hasil hutan, serta menjaga lubuk sungai dari oknum yang ingin menuba dan menyetrum ikan. Sebab, selama aturan pengelolaan terus berjalan, pendapatan masyarakat akan meningkat—khususnya yang memanfaatkan ikan jurung dari sungai di dalam hutan desa. Masyarakat bisa mendapatkan penghasilan minimal 150 ribu rupiah per hari.*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

243

HARIMAU RAWA GAMBUT TOMI ARIYANTO DAN YOAN DINATA

Upaya konservasi karnivor di bentang alam rawa gambut BerbakSembilang. Harimau terjaga, masyarakat sejahtera. Hamparan hutan rawa gambut di Sumatra terbentang di pesisir timur, di antaranya bentang alam Berbak-Sembilang. Kawasan yang berada di batas Jambi dan Sumatra Selatan ini menjadi tandon karbon tertinggi di Indonesia yang mencapai 100 juta ton. Sejak 1990-an, tekanan terhadap hutan lanskap ini meningkat pesat karena pesatnya pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan pembukaan lahan, pembalakan, dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan di rawa gambut menjadi isu utama kehutanan dan perubahan iklim, yang berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Pentingnya lanskap ini mendorong pemerintah menetapkan Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Sembilang. Dua kawasan ini lalu bergabung menjadi Taman Nasional Berbak-Sembilang pada 2015, dengan luasan 344.157 hektare. Selain sebagai situs RAMSAR dan Cagar Biosfer UNESCO, secara global, Berbak-Sembilang juga salah satu lanskap konservasi harimau, Tiger Conservation Landscape, kelas IV dengan status ‘kurang data.’ Minimnya pengetahuan mengenai harimau mendorong inisiatif konservasi harimau di BerbakSembilang. Untuk itu, Balai Taman Nasional Berbak dan Zoological Society of London mendorong pengarusutamaan isu harimau di kawasan lahan basah ini. Program konservasi harimau dikembangkan melalui proyek karbon, dikenal Berbak Carbon Initiatives Project, menjadi terobosan dalam upaya pendanaan jangka panjang. Program tersebut dimulai pada 2008, yang bersamaan dengan kasus konflik manusia dan harimau yang cukup besar dan menjadi perhatian luas. Konflik itu menjadi sorotan pertama dari khalayak terhadap keberadaan harimau di Berbak-Sembilang. Dalam waktu yang berdekatan dengan momentum itu, Berbak menjadi salah satu bentang alam yang disertakan dalam survei seluruh Sumatra, Sumatra Wide Tiger Survey, yang lantas diikuti pemantauan, patroli, dan mitigasi konflik yang berkelanjutan. 244

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Harimau di BerbakSembilang mampu beradaptasi dengan habitatnya yang didominasi wilayah berair—sebagian dipengaruhi pasang surut, dan daya dukung mangsa yang rendah.

Pemantauan populasi harimau di hutan rawa gambut memiliki tantangan tersendiri dibandingkan dengan bentang alam lain. Jika di bentang alam lain, jalur satwa mudah diidentifikasi dengan melihat punggungan bukit. Namun di rawa gambut, tak semudah itu. Genangan air di musim basah, dan tumpukan serasah kering ketika musim kemarau, membuat sangat sedikit jejak yang dapat diamati. Setelah melakukan berbagai percobaan yang melibatkan masyarakat dan identifikasi lokasi secara bertahap, pada 2010 untuk pertama kalinya kepadatan harimau di Berbak dapat diperkirakan: 1,02 individu per 100 kilometer persegi. Lalu diikuti dengan monitoring pada 2015: 1,2 individu, dan 2018: 1,6 individu. Trennya: kepadatan harimau meningkat. Apakah tren itu berarti populasi harimau meningkat? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kehati-hatian. Ini mengingat, berdasarkan distribusinya, harimau di Berbak tersebar pada wilayah yang cukup sempit, dengan proporsi tumpang-tindih yang tinggi. Hasil kajian okupansi dari data kamera jebak menunjukkan, hanya 30 persen wilayah Berbak yang dihuni harimau. Kajian lebih mendalam tentang kebakaran hutan menunjukkan bahwa harimau masih menghuni wilayah bekas kebakaran. Bahkan harimau terfoto pada lokasi hutan bekas terbakar. Mengapa hunian harimau di Berbak memiliki proporsi yang cukup kecil? Ini nampaknya dipengaruhi adanya bekas kebakaran yang menimbulkan cekungan air di tengah kawasan sehingga lintasan harimau terputus.

FOTO: TAMAN NASIONAL BERBAK-SEMBILANG ZOOLOGICAL SOCIETY OF LONDON

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

245

Sayangnya keberhasilan pemantauan di wilayah Berbak belum dapat dicapai di wilayah Sembilang. Hingga saat ini, belum diperoleh data yang cukup untuk analisis populasi. Distribusi yang cukup sempit tersebut tentu saja menyebabkan harimau di Berbak sangat rentan terhadap perburuan. Pada 2012, ditemukan harimau terjerat hingga mati di tengah hutan Berbak. Selain perburuan dengan jerat konvensional, penggunaan setrum listrik marak dilakukan di Berbak-Sembilang, baik untuk perburuan maupun perlindungan kebun dari hama babi. Setidaknya, hingga saat ini, terdapat dua harimau yang mati karena kabel listrik voltase tinggi. Bahkan pada 2017-2018, ditemukan beberapa bukti penggunaan setrum listrik untuk perburuan di beberapa lokasi. Hal ini mendorong program ujicoba pagar listrik yang ramah satwa. Kendati sudah ujicoba, penerapannya secara masif belum dapat dilakukan. Ini terutama teknologinya yang masih terbilang mahal. Upaya perlindungan harimau di Berbak-Sembilang secara terus dilakukan, dan disertai dengan adopsi pengembangan teknologi. Bahkan Berbak menjadi percobaan pertama teknologi SMART untuk konservasi harimau pada 2013. Balai Taman Nasional Berbak Sembilang dan Zoological Society of London membentuk unit patroli harimau sumatra, Tiger Protection and Patrol Unit (TPPU) yang didukung dengan perangkat SMART dan cyber tracker untuk pengelolaan informasi. Untuk keberlanjutan program, unit patroli itu beranggotakan polisi hutan dan masyarakat mitra polhut yang aktif berpatroli setiap bulan. Patroli itu diiringi dengan upaya di luar kawasan: edukasi, pendampingan masyarakat, serta mitigasi konflik, untuk menjaga harimau Berbak. Karakteristik harimau di hutan rawa gambut mungkin berbeda dengan kawasan lain. Harimau di Berbak-Sembilang mampu beradaptasi dengan habitatnya yang didominasi wilayah berair— sebagian dipengaruhi pasang surut, dan daya dukung mangsa yang rendah. Konsentrasi distribusi harimau di Berbak berhasil teridentifikasi, dan ditetapkan sebagai area inti harimau Berbak (Berbak Tiger Core Area). Namun, hal ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, upaya perlindungan dapat semakin terarah dan terfokus, di sisi lain populasi tersebut sangat rentan perburuan ataupun penurunan keragaman genetika dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat juga salah satu kunci bagi kelestarian harimau di bentang alam Berbak-Sembilang. Program kemasyarakatan 246

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Berbak-Sembilang merupakan lanskap lahan basah yang menjaga cadangan karbon terbesar di Indonesia. Dengan melindungi harimau berarti melindungi seluruh kekayaan hayati di lanskap ini.

yang telah, dan sedang, berjalan meliputi peningkatan produktivitas kakao dan karet di beberapa desa. Program ini untuk meningkatkan ekonomi setempat sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat ke dalam kawasan taman nasional. Prosesnya, bermula dengan penguatan kelompok tani dan pembentukan kelompok belajar, yang disebut sekolah lapang, yang diadakan setiap bulan. Melalui sekolah lapang, masyarakat memeroleh pengetahuan intensifikasi produk pertanian ramah lingkungan. Proses sekolah lapang menghasilkan semangat: ‘harimau terjaga, masyarakat sejahtera.’ *** FOTO: TAMAN NASIONAL BERBAK-SEMBILANG

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

247

MENYISIR ANCAMAN BAGI HARIMAU

ANCAMAN BERISIKO TINGGI: PEMBALAKAN LEGAL MAUPUN ILEGAL, PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KOMERSIAL, DAN PERAMBAHAN.

248

Konservasi harimau membutuhkan pengetahuan mendalam mengenai ancaman utamanya. Karena itu, pada 2013 disusun dokumen Kajian Ancaman terhadap Harimau di BerbakSembilang (Berbak-Sembilang Tiger Threat Assessment). Kajian ini untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan ancaman spesifik terhadap harimau-lanskap. Harapannya, kajian ini sebagai dasar mengembangkan rencana aksi mitigasi konflik manusia-harimau dan menjamin kelangsungan populasi harimau di lanskap konservasi prioritas. Dokumen ini akan digunakan untuk mendorong kolaborasi semua pemangku kepentingan di bentang alam—masyarakat, pemerintah, perusahaan—dalam menerapkan strategi jangka pendek dan panjang konservasi harimau. Ini terutama dari perspektif manfaat timbal-balik yang dapat diperoleh dari pengurangan ancaman harimau. Jika ancaman berkurang dan pengelolaan lahan yang efektif diterapkan di Berbak-Sembilang, bukti menunjukkan hunian harimau dapat pulih dan berkembang secara alami. Dengan kondisi itu, dan adanya habitat yang cukup, akan memungkinkan harimau dan manusia hidup berdampingan, tanpa konflik, di lanskap yang sama. Kajian ini menggali ancaman dari tiga faktor utama: yaitu ancaman langsung terhadap harimau, ancaman terhadap mangsa, dan ancaman terhadap habitat. Ketiga ancaman itu dilihat dari tiga sisi: cakupan geografis, tingkat keparahan ancaman, dan kemampuan untuk pulih kembali tersebab ancaman. Masing-masing memiliki empat tingkat risiko: sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Untuk ancaman langsung terhadap harimau, hasil kajian mengungkap perburuan memiliki tingkat risiko yang tinggi. Risiko tinggi dari perburuan dilihat dari data Wildlife Conflict Response Team, kerjasama Zoological Society of London dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi yang memperkirakan

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

10 harimau terbunuh selama 2010-2012. Sedangkan risiko kematian harimau karena pagar listrik, pembunuhan harimau yang tak sengaja keluar dari hutan, terjeratnya harimau oleh jerat satwa lain, serta penyakit memiliki risiko sedang. Ancaman lain, terbunuhnya harimau oleh racun pestisida di perkebunan berisiko yang rendah. Ancaman bagi satwa mangsa terdiri dari perburuan dan penyakit. Ancaman perburuan satwa mangsa di BerbakSembilang cukup rendah, sedangkan penyakit berisiko sedang. Walaupun belum banyak penelitian mengenai penyakit pada satwa mangsa (termasuk ternak) namun penyakit berpotensi mempengaruhi harimau. Sehingga, penyakit satwa mangsa berkategori sedang—hingga ada penelitian lebih lanjut. Dari sisi habitat, ada beberapa ancaman langsung dan tak langsung yang berpengaruh terhadap harimau. Ancaman berisiko tinggi: pembalakan legal maupun illegal, pembangunan infrastruktur komersial, dan perambahan, secara langsung menyebabkan penurunan kuantitas dan fragmentasi habitat. Sebagai hutan rawa gambut yang rawan terbakar, kebakaran hutan dan lahan juga berisiko tinggi. Ancaman sedang berasal dari pengumpulan hasil hutan bukan kayu dan aktivitas pengambilan ikan. Ancaman ini dinilai sedang karena berpeluang meningkatkan risiko konflik manusiaharimau dan kerusakan habitat. Misalnya, kebakaran hutan dan lahan dapat disebabkan aktivitas pengawetan ikan dengan cara dipanggang, yang meninggalkan api tidak terkendali. Sedangkan pertambahan kebutuhan lahan untuk pertanian dan ladang penggembalaan dinilai sebagai ancaman yang rendah. Hasil kajian memberikan peta jalan bagi penyelamatan harimau di Berbak-Sembilang yang disertai dengan jangka waktu pelaksanaan. Rekomendasi menekankan sejumlah aspek, yaitu pertama, pembentukan unit penegakan hukum dan mitigasi konflik. Kedua, menciptakan sistem manajemen adaptif berdasarkan monitoring dan intervensi manajemen yang efektif. Ketiga, menciptakan dasar hukum untuk melindungi habitat harimau di luar kawasan lindung dan menerapkannya di dalam dan di antara lanskap harimau prioritas. Dan terakhir, mempertahankan konektivitas antara habitat yang terfragmentasi untuk keberhasilan konservasi harimau di bentang alam Berbak-Sembilang. GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

249

KONSERVASI DI LANSKAP PRIORITAS RUDIJANTA T NUGRAHA

Harimau sumatra pantas menerima perhatian dan kerja keras dari seluruh elemen bangsa. Proyek Sumatran Tiger yang dimulai pada 2016 bertujuan meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap prioritas Sumatra. Untuk mencapai sasaran itu, proyek mengadopsi praktik manajemen yang baik di kawasan lindung dan lanskap produksi yang berdekatan. Keberhasilan proyek dengan indikator pemulihan populasi harimau. Untuk mencapai sasaran tersebut, Proyek Sumatran Tiger melakukan intervensi melalui tiga komponen. Komponen pertama, meningkatkan efektivitas lembaga pengelola wilayah lindung yang akan membantu mengatasi lemahnya kapasitas manajemen wilayah lindung dan kontrol atas sumber daya alam. Selanjutnya, komponen kedua meliputi membangun sistem koordinasi lintas-sektoral untuk lanskap-lanskap prioritas guna mengatasi hambatan kedua buruknya koordinasi kelembagaan antar berbagai organisasi yang bergerak di bidang konservasi hutan dan alam liar. Dan, komponen ketiga: pembiayaan berkelanjutan untuk manajemen keanekaragaman hayati yang akan mengatasi hambatan rendahnya manajemen dan perencanaan keuangan untuk wilayah lindung. Tiga komponen tadi diterapkan bersama para mitra dan pengelola kawasan konservasi di empat taman nasional: Bukit Barisan Selatan, Kerinci Seblat, Berbak-Sembilang, dan Gunung Leuser. Ancaman utama keragaman hayati di Sumatra, dan tempat lain di Indonesia adalah degradasi dan hilangnya habitat di hutan. Ancaman lain, yang juga mengancam harimau, umumnya perburuan liar untuk konsumsi (seperti perburuan rusa untuk diambil dagingnya), perdagangan organ harimau, serta pembunuhan harimau sebagai aksi balas dendam akibat konflik. Pertikaian antara harimau dan manusia adalah tanda adanya relasi yang negatif. Untuk menekan interaksi yang merugikan itu, perlu mitigasi konflik dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan teknis 250

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Jagawana Taman Nasional Bukit Barisan Selatan bersama tim WCS mengecek kamera jebak untuk memantau harimau sumatra di lanskap Bukit Barisan Selatan. Taman nasional satu dari empat lanskap prioritas proyek Sumatran Tiger.

melalui berbagai metode mitigasi; kedua, pendekatan dalam dimensi manusia dalam menyikapi konflik. Upaya ini perlu kerja jangka panjang dan konsisten sehingga berdampak positif di masa datang. Sementara itu, pada tataran proyek, kondisi harimau di lanskap prioritas memang sangat tergantung pada intensitas perlindungan dari institusi pengelola kawasan lindung—balai taman nasional dan balai konservasi sumber daya alam. Ini mengingat ancaman perburuan selalu ada, dan selalu terjadi, bila tidak dipantau secara rutin. Contohnya: di Taman Nasional Kerinci Seblat, pada 2013-2015 terjadi perburuan yang membuat kelimpahan harimau di areal pemantauan intensif menurun. Lantaran itu, Proyek Sumatran Tiger bekerjasama dengan Fauna & Flora International dan Taman Nasional Kerinci Seblat melakukan pemantauan dan perlindungan harimau. Sinergi tersebut—antara lembaga swadaya dengan otoritas kawasan konservasi—diharapkan dapat mengisi kendala dari sisi sumberdaya manusia dan pendanaan. Dari sisi pengelola kawasan, sumberdaya manusia masih memerlukan peningkatan kapasitas untuk upaya konservasi yang komprehensif. Kapasitas teknis maupun nonteknis sangat penting dan dibutuhkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dari sisi anggaran, pengelolaan kawasan konservasi masih bertumpu pada anggaran pemerintah yang masih terbatas, sementara dukungan para pihak maupun donor tidak bersifat rutin dan berkelanjutan.

FOTO: AGUS PRIJONO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

251

Kepadatan ternak di dekat kawasan hutan menjadi salah satu faktor pemicu konflik harimau dengan manusia. Mitigasi konflik memerlukan dua pendekatan: teknis penanganan konflik dan nonteknis menyangkut pengelolaan masyarakat dalam menyikapi. Itu berarti mitigasi konflik membutuhkan keterlibatan banyak pihak untuk menangani dengan dua pendekatan tersebut. Tujuan akhir dari mitigasi konflik: masyarakat aman, harimau selamat. FOTO: EDY SUSANTO

252

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Dalam mendorong perlindungan, proyek tidak terbatas pada penanganan perburuan dan perdagangan ilegal harimau, tetapi juga menekan tingkat perambahan di kawasan konservasi. Selain patroli untuk pencegahan dan penindakan perambahan, upaya lain melalui dukungan penyelesaian perambahan dengan kemitraan konservasi, seperti sedang dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kawasan konservasi merupakan harapan terakhir pelestarian harimau dalam jangka panjang. Dengan demikian, pengelola mesti fokus pada tujuan kawasan konservasinya. Bila memang untuk perlindungan spesies misalnya, perlu kegiatan yang berfokus pada konservasi spesies. Jadi, demi pencapaian tujuan itu, pengelolaan kawasan yang efektif menjadi perhatian utama. Dalam skala yang lebih luas, pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berupa jaringan antar-kawasan. Kawasan konservasi bisa dibilang hanya sebagian kecil dari lanskap harimau yang lebih luas. Pada tataran lanskap, upaya konservasi harimau mau tak mau mesti melibatkan pihak-pihak lain: pemerintah daerah, perkebunan, perusahaan hutan tanaman dan masyarakat. Pengalaman menunjukkan, tidak mudah untuk mengajak dan melibatkan pihak lain di luar kalangan konservasi. Itulah sebabnya, kapasitas kelembagaan pengelola konservasi di tingkat nasional juga perlu ditingkatkan untuk mempermudah koordinasi dan sinergi lintas-kementerian, pemerintah daerah dan industri budidaya. Inilah yang menjadi perhatian penting dalam meningkatkan keterhubungan dan keterkaitan para pihak dalam konservasi harimau. Selama tiga dekade terakhir, harus diakui adanya peningkatan cukup signifikan, dari mulai banyaknya lembaga yang terlibat sampai meningkatnya kapasitas pemantauan, perlindungan, mitigasi konflik, dan kesadaran publik. Selain itu, peralihan generasi juga berjalan dengan banyaknya lapisan usia muda yang terlibat dalam konservasi harimau. Sebagai kucing besar terakhir yang dimiliki Indonesia, punahnya harimau sumatra pasti merugikan di tingkat lokal maupun global. Secara nasional, Indonesia akan kehilangan salah satu spesies kebanggaan yang berperan dalam memelihara jaringan ekosistem di habitatnya. Secara global, kalangan ilmuwan akan kehilangan potensi sumberdaya dan pengetahuan yang bisa didapatkan dari keberadaan harimau sumatra. Apapun tantangan dan kendalanya, selagi masih ada waktu, harimau sumatra pantas mendapatkan perhatian dan kerja keras dari seluruh elemen bangsa.*** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

253

REFLEKSI KONSERVASI HARIMAU

Sering bertambahnya pengetahuan, gambar besar tantangan konservasi harimau pun semakin terang. Momentum pertama konservasi harimau sumatra terjadi seperempat abad lalu di Padang, Sumatra Barat. Saat itu, pada 1994 para pihak berkumpul dan menggelar lokakarya untuk menentukan arah konservasi harimau sumatra. Ada tiga tujuan lokakarya: mengkaji kesintasan populasi dan habitat harimau sumatra, menyusun strategi pengelolaan untuk mencegah kepunahan harimau, dan rekomendasi aksi konservasi bagi pemerintah dan lembaga konservasi global. Sejak 1994 sampai kini, upaya konservasi harimau sumatra telah melewati banyak perkembangan. Dari waktu ke waktu, pengetahuan dan pemahaman tentang harimau sumatra terus berkembang. Cara ringkas untuk melihat perkembangan itu, salah satunya dengan menilik kembali tiga momentum penyusunan strategi konservasi harimau: 1994, 2007, dan 2018. Pada 1994, dalam menyusun strategi konservasi, para pihak berbekal sedikit pengetahuan. Analisis kesintasan populasi dan habitat masih bertumpu pada kajian dari pihak luar, dan terbatas di taman nasional: Kerinci Seblat, Gunung Leuser, Way Kambas, Berbak, Bukit Barisan Selatan; serta dua suaka margasatwa, yaitu Kerumutan dan Rimbang Baling. Lalu pada 2007, para pihak menyusun strategi konservasi kedua untuk jangka waktu 2007 – 2017. Berbeda dengan yang pertama, pada strategi konservasi kedua, Indonesia telah memiliki peneliti dan praktisi harimau—meski belum cukup banyak. Alhasil, substansi strategi konservasi disesuaikan dengan kapasitas para peneliti dan praktisi harimau. Dari sisi penyusun saja sudah berbeda dengan yang pertama: kontribusi lebih dominan dari para praktisi Indonesia. Pada saat yang sama, pengelolaan kawasan konservasi di lanskap harimau juga semakin mantap. Sejumlah mitra internasional dan nasional juga mendampingi pengelola kawasan, yang memudahkan untuk 254

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Relokasi harimau korban konflik di Seluma, Bengkulu dari kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu ke Taman Wisata Alam Seblat pada 28 Oktober 2015.

mendapatkan data populasi, perburuan, deforestasi, dan sebagainya. Data-data lebih komprehensif dibandingkan dengan strategi konservasi yang pertama—kendati belum mencukupi. Perkembangan penting yang menentukan setelah 2007 adalah inisiatif konservasi harimau di tingkat global. Dalam Global Tiger Initiative, negara-negara yang menjadi habitat harimau berkomitmen mendorong konservasi satwa ini di negaranya. Setiap negara lantas menyusun program nasional pemulihan harimaunya (National Tiger Recovery Program-NTRP). Dan untuk Indonesia, Strategi Konservasi Harimau Sumatra 2007 - 2017 menjadi bekal dalam menyusun NTRP tersebut. Ringkasnya, NTRP dari Global Tiger Initiative merupakan versi ringkas Strategi Konservasi 2007 – 2017 itu. Salah satu tujuan Global Tiger Initiative adalah untuk menggalang pendanaan konservasi harimau di lanskaplanskap utama. National Tiger Recovery Program mendorong upaya di enam lanskap utama konservasi harimau: Leuser–Ulu Masen, Kerinci Seblat, Bukit Tigapuluh, Kampar – Kerumutan, Berbak Sembilang, dan Bukit Barisan Selatan – Bukit Balai Rejang Selatan. Keenam lanskap ini dipilih berdasarkan telah tersedianya unit manajemen, luas kawasan, status perlindungan, infrastruktur, peluang populasi bisa bertahan dalam jangka panjang, potensi komitmen dari lembaga swadaya masyarakat, dan kemungkinan pelibatan para pihak.

FOTO: BALAI KSDA BENGKULU

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

255

Global Tiger Initiative bisa dibilang lompatan penting dalam perkembangan konservasi harimau di Indonesia. Semua negara harimau mendefinisikan aksi-aksi yang berpengaruh signifikan terhadap konservasi harimau ke depan. Untuk Indonesia, ada tiga aksi utama. Pertama, penguatan kapasitas pengelola kawasan konservasi di lanskap utama dan kapasitas pemantauan populasi di area pemantauan. Kedua, mengembangkan kolaborasi antar-sektor pemerintahan di lanskap prioritas. Dan ketiga, mengembangkan pendanaan berkelanjutan. Salah satu hasil dari Global Tiger Initiative adalah proyek konservasi harimau Global Enviroment Facility. Seiring berakhirnya strategi konservasi 2007-2017, kini memasuki babak ketiga untuk 2018-2028. Kini, para pihak menyusun strategi dengan berbekal sains yang berkembang selama 2007 -2017. Sepanjang kurun itu, pengetahuan konservasi harimau telah mengalami banyak perkembangan. Salah satunya, analisis kesintasan populasi harimau— biasa disebut PVA, population viable analysis. Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut membuat masalah dan tantangan lebih terang benderang dengan pasokan data deforestasi, perburuan, konflik, sosial, dan sebagainya. Dan kini, semakin jelas semua tantangan itu terjadi hampir di seluruh lanskap konservasi harimau. Bila dibandingkan yang pertama dan kedua, yang hanya mencakup beberapa lanskap, strategi konservasi 2018 – 2028 mengkaji seluruh petak hutan yang dihuni dan tidak dihuni harimau. Hanya saja, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, tentu masih ada yang perlu diperbaiki—itu juga berarti ada kemajuan. Dalam jangka sepuluh tahun sebelumnya, ada informasi yang nyata bahwa strategi konservasi luput menangani populasi harimau di lanskap-lanskap kecil. Memang, selama 2007 – 2017, konservasi berfokus di lanskap besar dan utama. Hasil kajian peneliti memang mendorong arah pendanaan konservasi ke lanskap-lanskap besar. Pertimbangannya, ketimbang mengelola seluruh lanskap yang bakal tidak efektif, peneliti dan praktisi lebih menyarankan untuk melindungi lanskap besar yang menjadi sumber individu baru di lanskap kecil. Idenya: populasi di lanskap utama diselamatkan terlebih dahulu, dengan zona tanpa gangguan manusia, sehingga pertumbuhan populasinya positif bagi lanskap lain di sekitarnya. Idenya disebut dengan konsep source-sink area. Sederhananya, ada daerah sumber populasi di lanskap besar—yang dilindungi dan dikelola, dan lanskap kecil dengan populasi yang rentan hilang, entah karena konflik ataupun perburuan. 256

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Warga di Pulau Tengah, Sungai Penuh, Jambi, menyaksikan pergelaran Ngagah Harimau. Kesenian ini membangkitkan kembali tradisi lama yang punah seiring hilangnya harimau di Pulau Tengah. Konservasi harimau nampaknya pantas melibatkan budayawan dan seniman dalam kampanye penyadaran.

Secara saintifik, selama dasawarsa lalu, memang aksi konservasi mengacu hasil penelitian yang mendorong perhatian ke lanskap utama yang dihuni 50 – 100 harimau. Karena fokus ke sana, konflik dan perburuan justru sering terjadi di lanskap yang belum tertangani. Harapannya, dalam strategi ke depan, ada mobilisasi pendanaan untuk lanskap-lanskap kecil. Kelak, konservasi harimau di lanskap besar tetap berjalan, sembari mengelola populasi harimau di lanskap kecil. Dengan demikian, secara ringkas, dalam konteks strategi konservasi kini dikenal dua lanskap: yang terkelola dan belum terkelola. Untuk itu, perlu pembelajaran dari pengalaman konservasi harimau selama ini. Misalnya saja, pendekatan tim anti perdagangan ilegal cukup berhasil dalam hal jumlah penanganan kasus yang ditangani. Itu bagus. Namun kenapa angka kasus perburuan dan perdagangan harimau masih tetap tinggi setelah 10 tahun berlalu? Pantas diduga, harimau tersebut berasal dari lanskap-lanskap kecil yang belum terkelola. Atau, bisa juga berasal dari sebagian wilayah lanskap besar, namun masih luput dari perhatian.

FOTO: AGUS PRIJONO

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

257

FOTO: AGUS PRIJONO

258

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Tim Pelestarian Harimau Sumatra Kerinci Seblat mengunjungi Renah Pemetik, di batas taman nasional, untuk mitigasi konflik harimau. Tim ini melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mencegah ekskalasi konflik. Tim ini berada di antara dua kepentingan: menentramkan masyarakat, menyelamatkan harimau.

Karena itu, perlu untuk melacak asal-usul harimau yang masih bertahan di lanskap kecil (kurang dari 500 kilometer persegi) dan lanskap yang berinteraksi dengan manusia. Ini merupakan salah satu pekerjaan di masa datang untuk mengetahui mana lanskap kecil yang dihuni dan tidak dihuni harimau. Bila sudah teridentifikasi, lantas dilihat kemungkinan koneksi lanskap kecil dengan lanskap utama. Begitu juga, kemungkinan koneksi antara lanskap-lanskap kecil. Atau, bisa juga lanskap-lanskap kecil tidak lagi dihuni harimau, dan tak mungkin lagi dihubungkan dengan lanskap mana pun. Pilihan yang mungkin adalah menjadi sanctuary atau suaka harimau. Apapun itu, ke depan perlu dipikirkan berbagai alternatif dalam konservasi harimau. Pilihan apapun didasarkan pada sains dan pengetahuan lanskap-lanskap yang belum terkelola tentang populasi, sebaran, habitat, dan daya dukungnya. Itu hal-hal yang penting untuk dijawab secara saintifik dalam tahun-tahun mendatang. Jika sudah terjawab, langkah selanjutnya pemetaan pihakpihak terkait di lanskap-lanskap kecil. Hanya dengan mengetahui para pemangku di lanskap yang dihuni harimau, pengembangan strategi konservasi akan lebih efektif. Dari sana, lantas menggali skema pendanaan yang paling mungkin, entah dengan skema hutan sosial, perdagangan karbon atau yang lain. Skema pendanaan menjadi tantangan terbesar dalam konservasi harimau. Pengalaman menunjukkan, karena luasnya cakupan lanskap, seberapa pun besarnya dana, pada akhirnya tetap harus memilih skala prioritas konservasi. Kendati perkembangan cukup menggembirakan, studi harimau sebenarnya tidak hanya tentang populasi, tapi selayaknya juga memperhatikan sejarah, psikologi, budaya, sosiologi, dan antropologi. Ini nampaknya yang kurang tersentuh dalam strategi konservasi harimau. Kajian berbagai disiplin ilmu tersebut akan menentukan langkah-langkah konservasi harimau ke depan. Dari hasil kajian itu, langkah selanjutnya adalah menerjemahkannya dalam bahasa publik dan kebijakan. *** GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

259

Himbauan bagi masyarakat tentang perlindungan spesies dilindungi di pelosok Kerinci Seblat, yang berbatasan dengan taman nasional. FOTO: AGUS PRIJONO

260

AUM! ATLAS HARIMAU NUSANTARA

GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU

261

Imaji harimau dan banteng di sisi depan gunungan wayang Jawa. Citra ini merupakan simbol keadaan semesta yang seimbang: pohon kehidupan, satwa liar dan manusia. FOTO: DWI OBLO

EPILOG

GARIS DEPAN DI MASA DATANG HARIYO T WIBISONO

Telah banyak kemajuan dalam upaya konservasi harimau sumatra selama dua dekade terakhir. Namun demikian, para pelestari menyadari tantangan terhadap kelestarian harimau sumatra tidak akan pernah reda. Pemerintah, para praktisi, akademisi, sektor swasta, pemuka agama, dan masyarakat luas adalah mata rantai yang tak terpisahkan dari untaian rantai ekosistem harimau sumatra. Karena itu, sinergi para pihak tersebut harus terus digalakkan dan diperkuat dengan satu tujuan: menyelamatkan harimau Indonesia yang terakhir. Tidak bisa dipungkiri, hingga saat ini upaya konservasi harimau sumatra masih didominasi entitas internasional. Mimpi yang harus terus ditanamkan kepada generasi muda adalah memastikan kepemimpinan anak-anak bangsa di dalam konservasi hidupan liar di Indonesia di masa datang. Pemerintah harus terus mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya entitas-entitas baru konservasi yang mumpuni, baik di tingkat lokal maupun nasional. Lembaga-lembaga pendidikan nasional harus terus memperkuat kapasitas ilmiahnya untuk menghasilkan generasi baru yang kompetitif di dalam praktikpraktik konservasi harimau sumatra. Harimau sumatra adalah harta hidup tak ternilai sekaligus harga diri bangsa Indonesia. Setelah punahnya harimau bali dan harimau jawa, kehilangan harimau sumatra pasti merupakan aib bangsa. Harimau sumatra masih menjelajah bebas di rumahnya. Ruang hidup dan sumberdaya alamnya masih cukup tersedia. Praktisi anak bangsa dan pengetahuan masih terus tumbuh. Oleh karena itu, asa masih terbentang luas di depan mata. Tugas bersama adalah menjaga dan memupuk asa itu agar terus tumbuh, agar anak cucu masih dapat menelusuri jejak harimau sumatra di alam liar. Agar mereka bangga memiliki harimau sumatra. Karena, harimau sumatra adalah harimau terakhir bangsa Indonesia. *** EPILOG

263

FOTO: AGUS PRIJONO

264

ATLAS KONSERVASI HARIMAU NUSANTARA

Saat jembatan desa sedang dibangun, anak-anak membantu menyeberangkan kendaraan yang lewat. Anak-anak pedalaman Kerinci Seblat ini calon generasi yang kelak bisa berkontribusi dalam konservasi harimau. MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA

265

CATATAN PUSTAKA

BAGIAN SATU NUSANTARA HARIMAU: MEMAHAMI SANG RAJA RIMBA Jejak Dua Juta Tahun Lalu Kitchener, Andrew C. 1999. Tiger Distribution, Phenotypic Variation and Conservation Issues. Dalam: Seidenticker, J., Christie, S., dan Jackson, P. (Editors). Riding the Tiger, Tiger Conservation In Human-Dominated Landscapes. The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Sunquist, M., Karanth, U., dan Sunquist, F. 1999. Ecology, Behaviour and Resilience Of The Tiger And Its Conservation Needs. Dalam: Seidenticker, J.,Christie, S., dan Jackson, P. (Editors). Riding the tiger, tiger conservation in human-dominated landscapes. The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Sunarto, Widodo, E., dan Priatna, D. Tanpa tahun. Rajut Belang: Panduan Perbaikan Praktik Pengelolaan Perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri dalam Mendukung Konservasi Harimau Sumatera. Departemen Kehutanan, WWF, Harimaukita, ZSL. Wibawa Sang Pemangsa Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in The Malay World, 1600 1950. Yale University. Dinerstein, E., Loucks, C., Wikramanayake, E., Ginsberg, J., Sanderson, E., Seidensticker, J., Forrest, J., Bryja G., Heydlauff, A., Klenzendorf, S., Leimgruber, P., Mills, J., O’brien, T. G., Shrestha, M., Simons, R., & Songer, M. 2007. The Fate of Wild Tigers. Bioscience 57 (6), June 2007. doi:10.1641/B570608. Haidir, I.A., Albert, W. R., Pinondang, I. M. R., Ariyanto, T., Widodo, F.A., dan Ardiantiono. 2017. Pedoman Pemantauan Populasi Harimau Sumatera. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. Direktorat Jenderal KSDAE, KLHK, Jakarta. Kartawibawa, R. 1925. Bakda Mawi Rampog. Wedalan: Bale Pestaka, 1925. Kitchener, Andrew C. Tiger Distribution, Phenotypic Variation and Conservation Issues. Dalam: Seidenticker, J., Christie, S., dan Jackson, P. 1999. Riding The Tiger, Tiger Conservation In Human-Dominated Landscapes. The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Kholis, M., Faisal, A., Widodo, F. A., Musabine, E. S., Hasiholan, W., dan Kartika, E.C. Tanpa Tahun. Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau Sumatera. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. National Geographic Indonesia. 2018. Arwah Rimba, Syaman dan Tarian di Kerinci yang Menyatukan Manusia dan Harimau. Edisi Juli 2018. Philip J. Nyhus and Ronald Tilson. 2010. “Where the Tiger Survives, Biodiversity Thrives.” Kyoto Journal 75 pp 86-87 Available at: http://www.kyotojournal.org/biodiversity/ BD_print/86/KJnyhus-tilson. pdf. Raharyono, D., dan Paripurno, E. T. 2001 Berkawan Harimau Bersama Alam. Yayasan Kappala Indonesia, The Gibbon Foundation, Pusat nformasi Lingkungan Indonesia – Jaringan Program Pergerakan LSM, Bogor. Kartodirjo, S. dan, Suryo, D. 1994. Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media, Yogyakarta. Sunarto, Widodo, E., dan Priatna, D. Tanpa tahun. Rajut Belang: Panduan Perbaikan Praktik Pengelolaan Perkebunan Sawit dan Hutan Tanaman Industri dalam Mendukung Konservasi Harimau Sumatera. Departemen Kehutanan, WWF, Harimaukita, ZSL. Sunquist, M., Karanth, U., dan Sunquist, F. 1999. Ecology, behaviour and resilience of the tiger and its conservation needs. Dalam: Seidenticker, J.,Christie, S., dan Jackson, P. (Editors). Riding the Tiger, Tiger Conservation in Human-dominated Landscapes The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., dan Afiff, S. A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Editor Seri: S. N. Kartikasari. Prenhallindo. Jakarta.

266

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

BAGIAN DUA NUSANTARA HARIMAU: YANG SILAM, YANG KELAM Dua Sirna, Satu Tersisa Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in The Malay World, 1600 1950. Yale University. Cribb, Robert. 1988. The Politics of Environmental Protection In Indonesia. Working Paper No. 48. Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Australia. Kholis, M., Faisal, A., Widodo, F. A., Musabine, E. S., Hasiholan, W., dan Kartika, E.C. Tanpa Tahun. Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau Sumatera. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Harimau Bali, Musnah di Ujung Bedil Pemburu Ashraf, Mohammed. 2006. The Extirpation of Bali and Javan Tiger: Lessons from The Past. Tiger Paper, July-September 2006, Wildlife and National Parks Management. https:// works.bepress.com/biocen trism/12/ Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in The Malay World, 1600 1950. Yale University. Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., dan Afiff, S. A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Editor Seri: S. N. Kartikasari. Prenhallindo. Jakarta. Harimau Jawa, Terlambat di Tikungan Terakhir Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in The Malay World, 1600 1950. Yale University. Cribb, Robert. 1988. The Politics of Environmental Protection in Indonesia. Working Paper No. 48. Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Australia. Kartawibawa, R. 1925. Bakda Mawi Rampog. Wedalan: Bale Pestaka, 1925. Pandji Yudistira. 2012. Sang Pelopor, peranan Dr. S H Kooders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia. Kementerian Kehutanan. Raharyono, D., dan Paripurno, E. T. 2001. Berkawan Harimau Bersama Alam. Yayasan Kappala Indonesia, The Gibbon Foundation, Pusat nformasi Lingkungan Indonesia – Jaringan Program Pergerakan LSM, Bogor. Seidensticker, J., dan Suyono. 1980. The Javan Tiger and Meru Betiri Reserve: A Plan for Management. World Wide Fund, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 - 1939. Penerbit Taman Siswa. Yogyakarta. Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., dan Afiff, S. A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Editor Seri: S. N. Kartikasari. Prenhallindo. Jakarta. Manusia dan Harimau di Jawa Abad ke-19 1. E. R. Schidmore, Java: The Garden of the East, Singapore: Oxford University Pess, 1897. 2. Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago, Singapore: Periplus Classic, hlm. 76. 3. Antoine Cabaton, Java, Sumatra, and the Other Islands of the Dutch East Indies, London: Adelphi Terrace, 1911), hlm. 53-56. 4. Peter Boomgaard, Children of the Colonial State. Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880, Netherlands: Free University Press, hlm. 167. 5. Peter Boomgaard dan A.J. Goorszen, Changing Economy in Indonesia Vol. 11. Population Trends 1795-1942, Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1991, hlm. 82. 6. Boomgaard, Children of the Colonial State … hlm. 203. 7. Vratislav Mazak, “Panthera tigris” dalam Mammalian Species No. 152, Panthera tigris (8 Mei 1981), hlm. 1-2. 8. Andries Hoogerwerf, Udjung Kulon: The Land of the Last Javan Rhinoceros, Leiden: E.J. Brill, 1970, hlm. 246. 9. Andrew K. C. dan N. Yamaguchi, “What is a Tiger? Biogeography, Morphology and Taxonomy” dalam R. Tilson dan P. J. Nyhus (ed.), Tiger of the World. The Science, Politics and Conservation of Panthera tigris, London: Elsevier, 2010, hlm. 56

CATATAN AKHIR

267

10. John Seidensticker dan Suyono, The Javan Tiger and the Meru Betiri Reserve: A Plan for Management, Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dan World Wildlife Fund, 1980. 11. R. Kartawibawa, Bakda Mawi Rampog, Wedalan: Bale Pestaka, 1925. Terjemahan: Di setiap hutan pasti ada macan, namun tidak berkeliaran di hutan yang saya sebutkan tadi (Kartawibawa merujuk pada kadaton sima atau kerajaan harimau di Lodoyo [Blitar selatan], Gadungan [Pare, Kediri], Kedoewang [Wonogiri], dan Cilacap). Macannya besar-besar, ibaratnya: tapaknya sebesar piring tembikar. Semakin ramai daerahnya, semakin habis hutannya, semakin habis macannya. 12. Amanda Williams, “Did Neandhertals and sabre-toothed wage battles? Fossil remains reveal the predators lived side by side with our ancerstors.” 13. Peter Boomgaard, Frontiers of Fear… hlm. 39. 14. Boomgaard, Frontiers of Fear … hlm. 249. 15. Boomgaard, Frontiers of Fear … hlm. 83-84. 16. Bataviaasch Handelsblad No. 99, Senin 29 April 1878, hlm. 4. 17. Bataviaasch Nieuwsblad, No. 80, 7 Maret 1891, hlm. 2. 18. De Locomotief, N0. 192, Senin 22 Agustus 1898, hlm. 2. 19. De Grondwet, No. 14, 27 November 1894, hlm. 7; Leeuwarder Courant, No. 257, Rabu 31 Oktober 1894, hlm. 6; De Telegraaf, No. 1851, Selasa 5 Januari 1898, hlm. 6; Java Bode, No. 76, 1 April 1879, hlm. 4. 20. “Premies op Het Dooden van Tijgers” dalam De Locomotief No. 88, Sabtu 17 April 1897. 21. "Jachtcomando” dalam Bataviaasch Nieuwsblad No. 168, Sabtu 20 Juni 1903. Rudolph Albert Kerkhoven adalah keponakan Karl Albert Ruolph Bosscha dan penggagas Nederlandsch Indische Stenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda. Keluarga Kerkhoven adalah filantropis yang mendirikan observatorium Bosscha dan Technische Hoogeschool te Bandoeng. 22. R.A. Kerkhoven dan E.J. Kerkhoven, “A Tiger Hunt in Java” dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society No. 12, Desember 1883, hlm. 269. BAGIAN TIGA IKHTIAR SUMATRA, MENJAGA HARIMAU SUMATRA Waspada Sumatra Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay World, 1600 1950. Yale University. Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). 2007 – 2017. Departemen Kehutanan, Jakarta. Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, Siswomartono, D. Manansang, J., and Tilson, R. Last of the Indonesian Tigers: a Cause for Optimism. Dalam: Seidenticker, J., Christie, S., dan Jackson, P. 1999. Riding the Tiger, Tiger Conservation in Human-dominated Landscapes. The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Ng, J. and Nemora. 2007. Tiger Trade Revisited in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Malaysia. Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Sinar Harapan, Jakarta. Sjamni, Adnan. 1949. Sumatra Pulau Harapan. Grafica, Djakarta. Sumardjani, Lisman. 2007. Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. WG Ternure. PDF. Whitten, T., Damanik, S. J., Anwar, J, dan Hisyam, N. 1997. The Ecology of Sumatra. The ecology of Indonesia Series Volume I. Periplus, Singapore. Wulan, Y C., Yasmi, Y., Purba, C., & Wollenberg, E. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.

268

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Harimau di Kala Antroposen Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay World, 1600 1950. Yale University. Margono, B. A., Turubanova, S., Zhuravleva, I., Potapov, P., Tyukavina A., Baccini, A., Goetz, S., and Hansen, M.C. 2012. Mapping and Monitoring Deforestation and Forest Degradation in Sumatra (Indonesia) Using Landsat Time Series Data Sets from 1990 to 2010. Enviromental Research Letter, doi: 10.1088/17489326/7/3/034010 Forum HarimauKita. Tanpa Tahun. Infografis: Berpacu dengan Kepunahan. Ditjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Forum Harimaukita. Global Tiger Initiative Secretariat. 2012. Managing Tiger Conservation Landscapes and Habitat Connectivity: Threats and Possible Solutions. Experiences from Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Nepal, Thailand, and Vietnam. The World Bank, Washington, D.C. https://www.researchgate.net/publication/259344793 Kartika, E. C. 2017. Spatio-Temporal Patterns of Human Tiger Conflict in Sumatra 2010 -2016. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta. Kholis, M., Faisal, A., Widodo, F. A., Musabine, E. S., Hasiholan, W., dan Kartika, E. C. Tanpa Tahun. Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau Sumatera. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. PDF. Pusparini, Wulan. 2016. Laporan Akhir Sumatran Tiger PVA 2016. Penyusun Wulan Pusparini, Tomi Ariyanto, Lili Sadikin, Febri Anggriawan Widodo. Disusun Forum HarimauKita untuk KLHK. Tidak dipublikasikan. Shepherd, Chris R. and Magnus, Nolan. 2004. Nowhere to Hide: The Trade in Sumatran Tiger. TRAFFIC Southeast Asia. https://www.researchgate.net/publication/242391386 Whitten, T., Damanik, S. J., Anwar, J, dan Hisyam, N. 1997. The Ecology of Sumatra. The ecology of Indonesia Series Volume I. Periplus, Singapore. Genealogi Perburuan Harimau Ashraf, Mohammed. 2006. The Extirpation of Bali and Javan Tiger: Lessons from the Past. Tiger Paper, July-September 2006, Regional Quarterly Bulletin on Wildlife and National Parks Management. https://works.bepress.com/biocentrism/12/ Boomgard, Peter. 1997. Hunting and Trapping in the Indonesian Archipelago, 15001950. Dalam: Boomgard, P., Colombijn, F., and Henley, D. (Editors). Paper Landscapes, Explorations in the Enviromental History of Indonesia. Leiden, KITLV Press. Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay World, 1600 1950. Yale University. Jepson, P. & R.J. Whittetaker. 2000. Histories of Proctected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and Their Adoption in The Netherlands Indies (Indonesia). Enviroment and History 8: 129 - 172. Mill, Judy A. 2015. Blood of the Tiger, A Story of Conspiracy, Greed, and the Battle to Save a Magnificent Species. Beacon Press, Boston, Massachusetts. Ng, J. and Nemora. 2007. Tiger Trade Revisited in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Malaysia. Raharyono, D., dan Paripurno, E. T. 2001. Berkawan Harimau Bersama Alam. Yayasan Kappala Indonesia, The Gibbon Foundation, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia – Jaringan Program Pergerakan LSM, Bogor. Shepherd, Chris R., and Magnus, Nolan. 2004. Nowhere to Hide: The Trade in Sumatran Tiger. TRAFFIC Southeast Asia. https://www.researchgate.net/publication/242391386 Whitten, T., Damanik, S. J., Anwar, J, dan Hisyam, N. 1997. The Ecology of Sumatra. The ecology of Indonesia Series Volume I. Periplus, Singapore. Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., dan Afiff, S. A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Editor Seri: S. N. Kartikasari. Prenhallindo. Jakarta.

CATATAN AKHIR

269

BAGIAN EMPAT HARAPAN NUSANTARA, GARIS DEPAN KONSERVASI HARIMAU Pengintai dalam Senyap Fowler ME., et al. 1993. Parasitic Deseases of Carnivores. Zoo and Wild Medicine Current Therapy (3th ed), U.S.A, p 401. Foreyt WJ. 1997. Veterinary Parasitology Reference Manual (4th ed), Washington, 1997. p 12-40. Klos HG, Lang EM. 2005. Handbook of Zoo Medicine. Diseases and Treament of Wild Animals, Canada, p 101. Membilang Sang Datuk Lettink, M., and Armstrong, D.P. 2003. An introduction to using mark-recapture analysis for monitoring threatened species. Department of Conservation Technical Series 28A: 5–32. Silveira, L., Ja’como, A. T., & Diniz-Filho, J. A. 2003. Camera trap, line transect census and track surveys: a comparative evaluation. Biological Conservation 114 , 351–355. Sunarto, S., M. J. Kelly, K. Parakkasi, S. Klenzendorf, E. Septayuda and et al. 2012. Tigers Need Cover: Multi-Scale Occupancy Study of the Big Cat in Sumatran Forest and Plantation Landscapes. PLoS ONE 7 (1). Thomas, L. Buckland, A. T. Burnham, K. P. Anderson, D. R. Laake, J. L. Borchers, D. L., & Strindberg, S. (2002). Distance sampling. Encyclopedia of Environmetrics Volume 1, 544–552. ISBN 0471 899976. Wibisono, H. T., M. Linkie, G. Guillera-Arroita, J. A. Smith, Sunarto, and et al. (2011). Population Status of a Cryptic Top Predator: An Island-Wide Assessment of Tigers in Sumatran Rainforests. PLoS ONE 6 (11). Memburu Pemburu Si Raja Rimba 1. https://nasional.tempo.co/read/1066973/kisah-harimau-sumatera-yang-matidibunuh-warga-mandailing-natal/full&view=ok 2. Data-data dari Database Wildlife Crime Unit – Wildlife Conservation Society Indonesia Program. 3. Kejahatan satwa liar di Indonesia menempati urutan ketiga setelah perdagangan narkoba dan perdagangan manusia dari segi besarnya kerugian negara yang ditimbulkan dari https://news.detik.com/berita/d-3998884/menteri-lhk-kejahatansatwa-liar-peringkat-ke-3-di-indonesia. 4. Perdagangan satwa liar melibatkan jaringan terorganisir, dan menempati urutan keempat setelah perdagangan narkoba, senjata, dan perdagangan manusia dari http://nationalgeographic.grid.id/read/13307329/kesadaran-penegak-hukumuntuk-melindungi-satwa-nusantara?page=all 5. Untuk membantu melancarkan aksinya... dari http://banjarmasin.tribunnews. com/2017/10/12/ini-modus-penyelundupan-potongan-tubuh-satwa-di-bandaratersangka-berpangkat-kapten. 6. Pada 2014, International Fund for Animal Welfare (IFAW) melakukan penelitian tentang perdagangan online di 16 negara. Hasilnya: perdagangan hidupan liar daring sebanyak 33.006 di 280 situs web terbuka. Sebanyak 9.482 iklan daring ini menawarkan spesies hidupan liar bekategori Appendix I dan II Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), termasuk harimau sumatra dari https://www.ifaw.org/united-states/news/wanted-%E2%80%93-dead-or-alivegrisly-wildlife-cybertrade-exposed.

270

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

CATATAN AKHIR

271

PROFIL PENULIS Urutan nama sesuai dengan urutan artikel di atlas

SUNARTO ekolog satwa di WWF, anggota Dewan Penasehat Forum HarimauKita,

dan Perkumpulan Konservasi Gajah Indonesia. Ia anggota dari tiga Specialist Group IUCN, yaitu: Cats, Asian Elephants, dan Asian Rhino. Hasil studi dan pengalamannya telah dipublikasikan di Tropical Biodiversity, PLoS ONE, Oryx, Sinar Harapan, Kompas, Tempo, MetroTV, Majalah National Geographic, dan Channel TV NatGeo Wild. ABMI HANDAYANI sedang studi di Universiteit Leiden, Belanda, dengan fokus

sejarah kolonial dan global. Ia juga memiliki minat pada sejarah lingkungan dan sejarah intelektual. DOLLY PRIATNA adalah kepala Departemen Konservasi Lanskap pada Asia Pulp & Paper Group (APP) sejak 2012. Ia membuat strategi dan merancang

konservasi keanekaragaman hayati, mengkoordinasikan kajian, pemantauan, perlindungan, dan pengelolaan kawasan bernilai konservasi tinggi di konsesi pemasok kayu. Secara bersamaan, ia juga mengajar di Program Studi Manajemen Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Pakuan Bogor. Saat ini masih tercatat sebagai Dewan Penasehat pada Asian Journal of Conservation Biology dan Forum HarimauKita, Wakil Ketua Dewan Pengurus Yayasan Belantara, dan Anggota Badan Pengembangan Usaha di Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). AGUSTINUS WIJAYANTO saat ini aktif di Perkumpulan Pemberdayaan

Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam YAPEKA sebagai deputi direktur eksekutif. Yapeka adalah perkumpulan yang fokus pada pemberdayaan masyarakat dan pendidikan konservasi alam. Ia juga Livelihood Project manager untuk Intergrated Tiger Habitat Conservation Program di Rimbang Baling, Riau, bersama WWF-INDECON. Perhatian utama Agus adalah pengembangan strategi pengelolaan sumberdaya alam dan pemberdayaan masyarakat. AKBAR A. DIGDO saat ini direktur eksekutif Perkumpulan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam-YAPEKA. Ia punya minat khusus

pada inisiatif konservasi berbasis masyarakat di kawasan lindung laut, pemantauan pesisir, dan ekowisata. Akbar salah satu tokoh kunci di kalangan lembaga swadaya masyarakat untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM LMP) di sejumlah wilayah di Sumatra. ERNI SUYANTI MUSABINE berkiprah sebagai kepala urusan Program dan

Kerjasama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu. Ia juga aktif di advisory board ‘Centre for Orangutan Protection” dan “Animals Indonesia”. Di Forum HarimauKita, ia koordinator Human-Tiger Conflicts, Wildlife Diseases & Genetics Forum HarimauKita. Berbagai penghargaan telah ia terima: Kick Andy Heroes Awards, Perempuan Inspirasi Bidang Lingkungan ‘Garnita Malahayati’ Bengkulu, Perempuan Inspiratif NOVA kategori Perempuan dan Lingkungan, dan Lifetime Achievement Orangutan Friends Awards.

272

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

SUGENG DWI HASTONO berpraktik di Amanah Veterinary Services, Lampung.

Sejak 2012, membantu Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung dalam menangani konflik satwa liar. Ia sering diminta karya baktinya oleh Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Suaka Rhino Sumatra. Ia aktif menjadi narasumber di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada 2017, ia bergabung sebagai anggota Forum HarimauKita. MUNAWAR KHOLIS berkecimpung di konservasi harimau sejak 2002, diawali

dari pusat penyelamatan satwa (PPS). Ia menangani konflik harimau-manusia, berpatroli, monitoring populasi dan kegiatan awareness di Fauna-Flora International dan Wildlife Conservation Society. Ia turut mengembangkan Forum HarimauKita, dan saat ini menjadi ketua periode 2017-2019. Tahun 2016 bergabung dengan USAID-LESTARI untuk konservasi keragaman hayati Indonesia. WIDO R ALBERT sejak 2014 berkiprah di FFI-Indonesia Programme sebagai

koordinator Program Monitoring Harimau Sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat. Sejak duduk di bangku kuliah, ia telah tertarik pada konservasi satwa liar, dan berpartisipasi dalam konservasi khususnya harimau sumatra. Ia mengawali menjadi volunteer Forum HarimauKita sebagai anggota Tiger Heart Padang, kemudian anggota aktif Forum HarimauKita sejak 2015, dan pengurus pada 2017-2019. FEBRI A. WIDODO koordinator program penelitian dan pemantauan harimau

dan gajah untuk WWF – Indonesia Program Sumatra Tengah. Ia anggota Forum HarimauKita sebagai pengurus 2017-2019. Selain itu, Febri juga terlibat ekspedisi dengan Biosphere Expeditions untuk konservasi harimau di Rimbang Baling. Selain tertarik pada satwa liar, ia juga berpengalaman dalam bidang ekowisata arung jeram dan Search and Rescue (SAR). WULAN PUSPARINI telah aktif di bidang konservasi harimau sejak 2008. Saat

ini ia bekerja di Wildlife Conservation Society - Indonesia Program sebagai senior species conservation project. Selain memberikan nasihat teknis terhadap konservasi spesies di program terestrial, ia juga mengepalai Unit Sains yang bekerja lintas-program untuk menjamin pendekatan konservasi berlandaskan kaidah ilmiah yang baik. Ia juga aktif menerbitkan jurnal ilmiah dan studi untuk konservasi harimau. GIYANTO memulai kegiatan profesional di konservasi lingkungan pada 2004

sebagai peneliti satwa liar. Bekerja untuk isu perdagangan ilegal satwa liar sejak 2007 dengan monitoring pasar burung di Medan, Sumatra Utara. Bergabung dengan Wildlife Conservation Society - Indonesia Program pada 2008 sebagai ketua Wildlife Crime Unit untuk perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar di Aceh dan Sumatra Utara. Saat ini ia menjabat senior Wildlife Crime Unit & Forest Crime Unit specialist yang mengoordinasi tim di beberapa wilayah di Indonesia.

PROFIL PENULIS

273

LAKSMI DATU BAHADURI bekerja di Forum HarimauKita sebagai executive

officer. Ia mengelola seluruh kegiatan FHK dan jaringan relawan Tiger Heart untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melindungi harimau sumatra dan satwa liar lainnya. Ia tertarik pada monitoring mamalia dan burung, interaksi antara satwa liar dan perdagangan satwa liar. Juga, ia bertanggung jawab sebagai project manager pada Microgrant 2 GEF UNDP. LIGAYA TUMBELAKA sebagai dosen di Divisi Reproduksi dan Kebidanan Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Ia menjadi studbook keeper harimau sumatra nasional Indonesia sejak 1995. Ligaya mendapatkan pengalaman sebagai dokter hewan satwa liar dan mengelola kebun binatang sejak 1992, saat ditunjuk oleh tim kerjasama IPB dan Taman Safari Indonesia Bogor. Pada 2018, Ligaya menjadi co-covenor program Global Species Management Plan untuk harimau sumatra bekerjasama dengan WAZA, IUCN dan PKBSI. AHMAD FAISAL dokter hewan dan biologiwan konservasi. Saat ini ia bekerja di

Wildlife Conservation Society – Indonesia Program dan juga salah satu pengurus Forum HarimauKita untuk Divisi Kesehatan Satwa Liar dan Mitigasi Konflik periode 2017-2019. Konservasi satwa liar selalu menjadi aspirasi utamanya baik dalam pekerjaan maupun pendidkan. Selama kurun 10 tahun dia telah bekerja untuk pusat rehabilitasi orangutan di Kalimantan Timur, penangkaran monyet ekor panjang di Kepulauan Riau, konservasi harimau di Jambi dan Sumatra Selatan, serta anggota IUCN Reintroduction Specialist Group. YOAN DINATA berpengalaman dalam konservasi selama 14 tahun yang fokus

pada konservasi mamalia besar: harimau sumatra, gajah, dan tapir. Selain itu, ia berpengalaman dalam pelatihan konservasi tingkat dasar dan lanjutan untuk universitas, LSM, perusahaan dan Nature Lover Group di Jawa dan Sumatra. Sejak 2008, ia anggota aktif dan ketua Forum HarimauKita 2015-2017. Ia tertarik pada ekologi populasi felids, manajemen habitat, dan perdagangan satwa liar. Saat ini, Nata sebagai Tiger Conservation project manager untuk Zoological Society of London. FAHRUL AMAMA adalah koordinator Pengembangan Jejaring Konservasi di

Program Terestrial WCS Indonesia. Ia membantu memfasilitasi pengembangan kerjasama parapihak dalam upaya pelestarian harimau sumatra di lanskap Leuser, Bukit Barisan Selatan, dan Way Kambas. SILFI IRIYANI saat ini sebagai policy & governance coordinator, Fauna &

Flora International – Aceh Program. Semenjak 2008, Silfi telah berkiprah di Wildlife Conservation Society dan Conservation International. Selain sebagai anggota The International Association for The Study of The Commons (IASC), Silfi juga berkiprah di beberapa bidang, di antaranya pengelolaan hutan, REDD+, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pendidikan dan penyadaran, mitigasi konflik manusia dengan satwa liar, sistem analisis dan pemodelan. DEDI KISWAYADI beraktivitas sebagai biodiversity and wildlife coordinator,

Fauna & Flora International – Aceh Program. Ia pernah bekerja di Australian Indonesian Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD-

274

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

AusAID), dan Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh (BRR). Tugas kerja Dedi mencakup survei kamera jebak, okupansi, stok karbon, patroli, mitigasi konflik manusia dan harimau, hingga membangun jaringan kerja. TOMI ARIYANTO sejak 2014 bekerja dalam konservasi harimau di Zoological

Society of London (ZSL) Indonesia sebagai koordinator riset dan monitoring. Tomi berpengalaman selama 10 tahun bekerja di konservasi spesies dan bentang alam, khususnya harimau sumatra dan orangutan di Kalimantan. Aktif sebagai anggota Forum HarimauKita sejak 2016, dan pengurus 2017-2019. RUDIJANTA T NUGRAHA adalah national project manager untuk Transforming Effectiveness Biodiversity Conservation in Priority Sumatra Landscapes GEF UNDP. Ia telah bekerja dalam bidang konservasi dan kehutanan selama 10

tahun di Taman Nasional Kerinci Seblat. Ia juga aktif di Tiger Protection and Conservation Unit (TPCU) selama 4 tahun, manajer Taman Nasional Alas Purwo, dan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

HARIYO T. WIBISONO, akrab dipanggil Beebach, memulai karir di bidang

konservasi harimau sejak 1998. Ia satu dari sedikit praktisi konservasi harimau yang masih aktif hingga saat ini. Sejak 2017, Beebach menjadi peneliti pada San Diego Zoo Global for Conservation Research. Pada 2018, bersama beberapa rekan, ia mendirikan Yayasan Sintas Indonesia untuk konservasi hidupan dan alam liar Indonesia. Selama karirnya, Beebach telah memimpin dan menginisiasi pengembangan beberapa dokumen: Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra 2007 – 2017, Rencana Pemulihan Harimau Sumatra 2012 – 2022, dan Strategi dan Rencana Aksi Harimau Sumatra 2018 – 2028. Ia juga memimpin Sumatra Wide Tiger Survei yang pertama pada 2007, dan yang kedua 2018. FRANSISCA NONI TIRTANINGTYAS saat ini bekerja di Fauna & Flora

International sebagai national biodiversity monitoring specialist. Ia juga kerap menulis tentang konservasi di media massa dan berkiprah dalam konservasi burung laut. MUHAMMAD YUNUS berkiprah dalam konservasi harimau di Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) Lampung. Salah satu generasi

pertama dalam pelestarian harimau sumatra.

OKTAFA RINI PUSPITA berkontribusi untuk peta di pustaka ini. Pada 2015, ia

bergabung dengan Wildlife Conservation Society - Indonesia Program sebagai conservation management officer yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Aktivitas itu utamanya terkait dengan implementasi dan pengembangan sistem SMART yang terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi berbasis resor. Ia juga fasilitator penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. AGUS PRIJONO adalah penulis lepas, ilustrator satwa liar, dan kontributor

National Geographic Indonesia.

PROFIL PENULIS

275

DAFTAR PUSTAKA Ashraf, Mohammed. 2006. The Extirpation of Bali and Javan Tiger: Lessons From The Past. Tiger Paper, July-September 2006, Regional Quarterly Bulletin on Wildlife and National Parks Management. https://works.bepress.com/biocen trism/12/ Boomgard, Peter. 1997. Hunting and Trapping in the Indonesian Archipelago, 15001950. Dalam: Boomgard, P., Colombijn, F., and Henley, D. (Editors). Paper Landscapes, Explorations in the Enviromental History of Indonesia. Leiden, KITLV Press. Boomgard, Peter. 2001. Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay World, 1600 1950. Yale University. Cribb, Robert. 1988. The Politics of Environmental Protection in Indonesia. Working Paper No. 48, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Australia. Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) 2007 – 2017. Departemen Kehutanan, Jakarta. Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, Siswomartono, D. Manansang, J., and Tilson, R. Last of the Indonesian Tigers: a Cause for Optimism. Dalam: Seidenticker, J., Christie, S., dan Jackson, P. 1999. Riding the Tiger, Tiger Conservation in Human-dominated Landscapes. The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Haidir, I.A., Albert, W. R., Pinondang, I. M. R., Ariyanto, T., Widodo, F.A., dan Ardiantiono. 2017. Pedoman Pemantauan Populasi Harimau Sumatera. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. Direktorat Jenderal KSDAE, KLHK, Jakarta Hoogerwerf, Andries. 1970. Udjung Kulon: The Land of the Last Javan Rhinoceros. Leiden: E.J. Brill. Jepson, P. & R.J. Whittetaker. 2000. Histories of Proctected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and Their Adoption in The Netherlands Indies (Indonesia). Enviroment and History 8: 129 - 172. Jacson, P. & Nowell, K. 2008. Panthera tigris ssp. sondaica. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T41681A10509194. ------------. 2008. Panthera tigris ssp. balica. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T41682A10510320. Kartawibawa, R. 1925. Bakda Mawi Rampog. Wedalan: Bale Pestaka. Kitchener, Andrew C. Tiger Distribution, Phenotypic Variation and Conservation Issues. Dalam: Seidenticker, J., Christie, S., dan Jackson, P. 1999. Riding the Tiger, Tiger Conservation in Human-dominated Landscapes. The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Kholis, M., Faisal, A., Widodo, F. A., Musabine, E. S., Hasiholan, W., dan Kartika, E.C. Tanpa Tahun. Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau Sumatera. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Margono, B. A., Turubanova, S., Zhuravleva, I., Potapov, P., Tyukavina A., Baccini, A., Goetz, S., and Hansen, M.C. 2012. Mapping and Monitoring Deforestation and Forest Degradation in Sumatra (Indonesia) Using Landsat Time Series Data Sets from 1990 to 2010. Enviromental Research Letter, doi: 10.1088/17489326/7/3/034010 Mill, Judy A. 2015. Blood of the Tiger, A Story of Conspiracy, Greed, and the Battle to Save a Magnificent Species. Beacon Press, Boston, Massachusetts. National Geographic Indonesia, Juli 2018. Arwah rimba, syaman dan tarian di Kerinci yang menyatukan manusia dan harimau. Kartodirjo, S. dan, Suryo, D. 1994. Sejarah perkebunan di Indonesia, kajian sosial ekonomi. Aditya Media, Yogyakarta. Kartika, E. C. 2017. Spatio-temporal Patterns of Human Tiger Conflict in Sumatra 2010 -2016. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Konservasi

276

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta. Kholis, M., Faisal, A., Widodo, F. A., Musabine, E. S., Hasiholan, W., dan Kartika, E. C. Tanpa Tahun. Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau Sumatera. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. PDF. Ng, J. and Nemora. 2007. Tiger Trade Revisited in Sumatra, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Malaysia. Pandji Yudistira. 2012. Sang Pelopor, peranan Dr. S H Kooders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia. Kementerian Kehutanan. Philip J. Nyhus and Ronald Tilson. 2010. “Where the tiger survives, biodiversity thrives” Kyoto Journal v75 pp 86-87 Available at: http://www.kyotojournal.org/biodiversity/ BD_print/86/KJnyhus-tilson. pdf. Pusparini, Wulan. 2016. Laporan Akhir Sumatran Tiger PVA 2016. Penyusun Wulan Pusparini, Tomi Ariyanto, Lili Sadikin, Febri Anggriawan Widodo. Disusun Forum HarimauKita untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Raharyono, D., dan Paripurno, E. T. 2001 Berkawan Harimau Bersama Alam. Yayasan Kappala Indonesia, The Gibbon Foundation, Pusat nformasi Lingkungan Indonesia – Jaringan Program Pergerakan LSM, Bogor. Sjamni, Adnan. 1949. Sumatra Pulau Harapan. Grafica, Djakarta. Schidmore, E.R. 1897. Java: The Garden of the East, Singapore: Oxford University Pess. Seidensticker, J., dan Suyono. 1980. The Javan tiger and Meru Betiri Reserve: A plan for management. World Wide Fund, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 - 1939. Penerbit Taman Siswa. Yogyakarta. Sumardjani, Lisman. 2007. Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman Untuk Penyelesaian Terbaik. WG Ternure. PDF. Sunarto, Widodo, E., dan Priatna, D. Tanpa tahun. Rajut belang: Panduan perbaikan praktik pengelolaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri dalam mendukung konservasi harimau Sumatera. Departemen Kehutanan, WWF, HarimauKita, ZSL. Sunquist, M., Karanth, U., dan Sunquist, F. Ecology, behaviour and resilience of the tiger and its conservation needs. Dalam: Seidenticker, J.,Christie, S., dan Jackson, P. 1999. Riding the tiger, tiger conservation in human-dominated landscapes. The Zoological Society of London, Cambridge University Press. Whitten, T., Damanik, S. J., Anwar, J, dan Hisyam, N. 1997. The Ecology of Sumatra. The ecology of Indonesia Series Volume I. Periplus, Singapore. Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., dan Afiff, S. A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Editor Seri: S. N. Kartikasari. Prenhallindo, Jakarta. Yudistira, Panji. 2012. Sang Pelopor, peranan Dr. S H Kooders dalam sejarah perlindungan alam di Indonesia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.

REPRODUKSI FOTO

Foto-foto lama direproduksi dari beberapa sumber buku berikut: - Sijthoff, A.W. 1980. Java’s Onuitputtelijke Natuur, Reisverhalen, tekeningen en fotografieen van Franz Wilhelm Junghuhn. - Heijboer, Pierre. 1977. Klamboes, Klewangs, Klapperbomen. Den Haan. - Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., dan Afiff, S. A. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Editor Seri: S. N. Kartikasari. Prenhallindo, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA

277

INDEKS A Aceh 90, 93, 95, 97, 100, 106, 108, 116, 121, 122, 129, 130, 134, 138, 139, 140, 141 Adu harimau dan banteng 60, 61, 70, 76 Alas Purwo 65, 71 Alfred Russel Wallace 78 Amur 30 Anaplasma spp 174 Anaplasmosis 174 Ancylostoma sp 173, 178 Amur 30 ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources 1985 37 Asahan 94, 97 Asia 24, 25, 26, 28, 30, 33 Asia Tenggara 24

and Natural Heritage (World Heritage ConventionUNESCO) 37 Convention International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) 37

B Bali 54, 56, 57, 58, 59, 71, 72, 74, 78, 80 Bali Barat 56, 57, 71, 72 Baluran 61, 65, 81 Bangli 56, 59 Banten 60, 61, 63, 70, 71, 73, 74, 83, 112 Banyumas 64, 81, 112 Banyuwangi 44, 61, 63, 65, 71, 81, 83, 112 Batavia 64, 70, 73, 81 Belanda 61, 70, 71, 73, 76, 77, 80, 84 Benggala 30 Bengkulu 172, 173, 175, 183, 188, 253 Berbak-Sembilang 93, 95, 144, 147 Besuki 46, 61, 83, 97, 112 Bhutan 31 Blambangan 44, 45 Blitar 22, 43, 45, 48, 49, 60, 65, 67, 71, 76, 83 Bogor 57, 70, 73, 74, 83, 84 Boja 65, 81 Bukit Balai Rejang 117, 119, 141, 154 Bukit Barisan 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 99, 118, 129, 134, 135, 140, 141, 142 Bukit Barisan Selatan 88, 93, 94, 95, 99, 118, 134, 135, 140, 141, 142

F Flagship species 47 Flora & Fauna International 129 FFI 129, 130, 131, 152 Forum HarimauKita 155 Forum Konservasi Leuser 129, 138 FKL 129, 138, 139

C Cagar Alam Pinus Jantho 93 Sanine distemper virus 181, CDV 181 Cibadak 64, 80 Cilacap 48 Cina 25, 30, 160, 207 Cina Selatan 30 Cirebon 46 Coenraad Jacob Temminck 80 Convention Concerning the Protection of World Cultural

278

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

D Dangkalan Sunda 24, 26, 28 Deforestasi 93, 98, 101, 105, 116, 118, 119 Deli 91, 94, 97 Dipylidium sp 174 Dispersal 119 Distemper 174, 181 E E. R. Schidmore 78 Ehrlichia canis 174

G Garut 64, 80 Global Tiger Initiative 95 Gunung Baluran 61 Gunung Honje 74 Gunung Kidul 63, 65 Gunung Malabar 64, 80 Gunung Slamet 63, 71 G.W.F. Kehrer 84 H Hama harimau 83 Tulah harimau 70, 83 Harimau Harimau amur 37 Harimau bali 27, 28, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 78 90, 113, 160 Harimau bengal 37 Harimau cina selatan 37 Harimau indocina 37 Harimau jawa 25, 26, 28, 31, 32, 35, 41, 45, 46, 49, 90, 92, 102, 105, 113 Harimau kaspia 37 Harimau malaya 37 Harimau sumatra 33, 43, 55, 77, 78, 85, 86, 88, 90, 93, 94, 102, 103, 104, 105, 106, 113, 114, 115, 128, 132, 134, 138, 139, 148, 153, 154, 155, 156, 158, 160, 161,

163, 172, 174, 181, 188, 194, 202, 206, 207, 209, 211, 216, 217, 218, 219, 226, 230, 234, 237, 244, 249, 251, 252 Harimau sunda 90 Himpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda 71, 77 Holosen 25 Hutan adat 130 Hutan desa 130 H. Zollinger 56, 5 I Ijen 63 India 30, 31 Indocina 30 J Jawa 22, 25, 27, 28, 30, 31, 35, 36, 41, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 52, 54, 55, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 70, 71, 73, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 90, 92, 96, 97, 102, 105, 106, 110, 111, 112, 113, 154 Jambi 173, 175, 179, 183, 188, 218, 242, 246, 255 Jepara 70, 83 K Kalimantan 25, 28 Kamera jebak 161, 163, 165, 189, 191, 195, 197, 199, 202, 204, 221, 225, 228, 237, 243, 249 Kawasan konservasi 93, 94, 95, 99, 120, 128, 129, 130, 140, 141, 153, 154, 160, 161, 163, 165, 166, 168, 170, 171, 212, 213, 214, 215, 226, 227, 248, 249, 251, 252, 254 Kaspia 30 Kediri 43, 44, 48 Kepunahan 54, 55, 57, 58, 72, 73, 77, 80, 118, 119 Kerinci 42, 43, 44, 45 Kerinci Seblat 94, 95, 109, 116, 119, 120, 124, 125, 127, 130, 131, 132 Kolonial 56, 60, 61, 70, 71, 72, 73, 76, 77, 80, 85 Konflik 56, 60, 61, 70, 71, 72, 73, 76, 77, 80, 85, 92, 93, 94, 95, 98, 99, 102, 104, 106, 107, 108, 111, 113, 115, 116, 119, 135, 140, 141, 142, 144, 149, 160, 163, 164, 165, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 177, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 193, 209, 213, 215, 220, 222, 226, 227, 228, 229, 230, 232, 238, 242, 244, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 253, 254, 255, 257 Konservasi 63, 72, 77, 80, 85 93, 94, 95, 99, 105, 116, 120, 128, 129, 130, 135, 138, 139, 140, 141, 144, 149, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 160, 161, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 170, 171, 174, 176, 177, 187, 188, 191, 194, 199, 206, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 224, 226, 227, 234, 235, 236, 237, 238, 242, 244, 246, 247, 248, 249, 251, 252, 253, 254, 255, 257 Korea Selatan 95, 113 Koridor 93, 119, 122, 124, 130, 161, 162, 164, 187

L Lanskap belum terkelola 116, 117 Lanskap konservasi harimau 116, 120, 128, 129, 138, 153 tiger conservation landscapes 116 bentang alam 161, 162, 163, 164, 165, 182, 187, 188, 230, 242, 243, 244, 246, 247 Lanskap terkelola 116 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 25, 32, 49, 57, 73, 74, 83 Lembaga konservasi 177, 206, 212, 216, 217, 218, 219, 220, 252 Leuser 93, 94, 95, 116, 119, 120, 121, 122, 129, 138, 140, 141, 152 Leuweung Sancang 80 Lodoyo 43, 45, 48, 60 Lumajang 61 M Madiun 112 Macan kumbang 67 Macan tutul 60, 63, 64, 69, 70, 71, 73, 79, 111, 112 Malaya 30 Malaysia 30 Marapi 63 Meru Betiri 60, 61, 63, 64, 70, 71, 77, 81 Museum Zoologi Bogor 25, 32, 49, 57, 73, 74, 83, 113 Metapopulasi 119 Mitigasi konflik 42, 47, 160, 170, 171, 176, 184, 187, 193, 226, 227, 229, 238, 242, 244, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 257 Monitoring Harimau Sumatera Kerinci Seblat (MHSKS) 130 N National Tiger Recovery Program (NTRP) 95 Ngagah Harimau 42, 43 Ngawi 60 Nekropsi 173, 175, 179 Nematoda 173 P Padang 93, 97, 101, 107, 117, 129, 131, 135, 139, 141, 145, 148 Panthera 24, 26, 27, 28, 31 Panthera tigris 70, 80, 160 Panthera tigris amoyensis 160 Panthera tigris sondaica 31, 90 P. t. sondaica 27, 28 Panthera tigris tigris 31 P. t. altaica 27 P. t. amoyensis 27

DAFTAR PUSTAKA

279

P. t. balica 27, 28 P. t. corbetti 27 P. t. jacksonii 27 P. t. virgata 26 Pulau Tengah 43 R Rusia 24, 30 P Paragonimus sp 174 Parvovirus 174 Pasuruan 61 Pekalongan 60 Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat (PHSKS) 130 Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera 148 PKHS 129, 148, 149, 151 Pemangsa 34 Perburuan 55, 56, 57, 58, 63, 70, 72, 73, 76, 77, 78, 80, 83, 84, 91, 92, 93, 95, 96, 110, 111, 113, 115, 116, 118, 119, 138, 145, 148 Peter Boomgaard 80, 81, 83, 85 Pieter de Carpentier 110 Pleistosen 24, 25, 26, 28, 33 Populasi 116, 117, 118, 119, 120, 121, 124, 138, 145, 160, 163, 172, 174, 181, 187, 188, 189, 191, 194, 195, 199, 202, 203, 204, 212, 216, 217, 219, 221, 222, 225, 226, 228, 243, 244, 246, 248, 252, 253, 254, 255, 257 Priangan 45, 46, 55, 60, 70, 71, 76, 84, 97, 112 Probolinggo 61, 70, 83 Pulau Tengah 43 R Rampogan 60, 66, 67, 69, 70, 76 Raung 63 Rabies 181 Rembang 83 Rhipicephalus sp 174 Rusia 24, 30 S Samarkilang 134, 135 Semarang 60 Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra 2007 – 2017 95 Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling 93, 166, 167 Suaka Margasatwa Padang Sugihan 93 Suaka Margasatwa Rawa Singkil 93, 121, 138, 140, 141 Suaka Margasatwa Rawa Singkil 139, 140 Suaka Margasatwa Rimbang Baling 129, 135 Subang 80

280

ATLAS HARIMAU NUSANTARA

Subspesies 54, 55, 70, 71, 78, 80, 81 Sumatra 24, 25, 27, 28, 30, 31, 35, 36, 37, 41, 43, 44, 45, 46 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 105, 106, 107, 108, 111, 112, 113, 119, 120, 128, 129, 134, 138, 139, 144, 152, 154, 155 Sumatra Barat 95, 96, 108, 173, 188, 223, 252 Sumatran Tiger Conservation and Protection 152 Sumatra Wide Tiger Survey 95, 138, 152 T Tamanjaya 74 Taman Nasional Alas Purwo 45 Bali Barat 57 Meru Betiri 45, 60, 61, 64 Ujung Kulon 45, 61, 63, 71, 74, 80 Batang Gadis 93 Berbak-Sembilang 93, 129, 131, 135, 141, 144, 149 Bukit Barisan Selatan 129, 135, 141, 145, 149 Bukit Tigapuluh 131, 149 Gunung Leuser 129, 130, 134, 139, 140 Kerinci Seblat 129, 131, 135, 139, 141, 145 Way Kambas 93, 95, 140, 141, 148, 149, 151,129, 135, 141, 145, 149 Tampomas 64, 80 Tegal 112 Tesso Nilo 95 Translokasi 108, 119 Toxocara sp 174 U Ulu Masen 116, 119, 120, 121, 130, 138 Umbrella species 47 W Wildlife Conservation Society 129, 138, 140, 152 WCS 129, 140, 141, 142, 152 Weleri 60 Y Yogyakarta 46, 47, 50, 63, 71, 112 Yayasan Badak Indonesia 152 Yayasan Leuser Internasional 152 Yayasan WWF Indonesia 129 WWF 92, 103, 104, 111, 129, 134, 135, 137, 152 Z zoonosis 173, 181

DAFTAR PUSTAKA

281

UCAPAN TERIMA KASIH Buku ini merupakan karya dari sumbangsih banyak pihak: individu-individu yang bekerja di berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam konservasi harimau. Dari lembaga tersebut, dimungkin untuk mendapatkan data dan informasi yang kemudian diadaptasi menjadi teks dan infografis. Dengan ini, seluruh tim Atlas Harimau Nusantara mengucapkan terima kasih: 1. Direktorat Kawasan Konservasi dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atas perkenan untuk memotret spesimen harimau bali dan harimau jawa di Museum Zoologi Bogor, 3. Fauna & Flora International - Indonesia Programme, 4. Wildlife Conservation Society (WCS) - Indonesia Program, 5. Yayasan WWF Indonesia, 6. Zoological Society of London (ZSL) - Indonesia Programme, 7. Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), 8. Forum Konservasi Leuser (FKL). Begitu juga ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang tidak kami sebutkan satu per satu. Karya ini tentu masih melewatkan banyak pihak, gagasan, dan inisiatif konservasi harimau sumatra yang memang mencakup banyak kalangan. Atas dasar itu, karya ini tidak berniat untuk mengabaikan upaya-upaya pihak lain dalam melindungi dan menyelamatkan satwa pemangsa ini.

Related Documents

Nusantara Sehat
January 2021 1
Resep Nusantara
February 2021 1
Asma Raja Harimau
January 2021 1
Soal Wawasan Nusantara
February 2021 0
Menuju Nusantara Jaya
January 2021 1

More Documents from "Ganesha Nurahmad"