Bab 6

  • Uploaded by: resa.pradita
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 6 as PDF for free.

More details

  • Words: 2,466
  • Pages: 6
Loading documents preview...
BAB 6 Perspektif Corporate Governance Dialektika Konsepsi Governance Perspektif terkini dalam CG dapat dikategorikan menjadi paradigma yang berada pada dua kutub yang berlawanan yaitu shareholding versus stakeholding. Perspektif shareholding memiliki fokus terhadap kepentingan pemegang saham atau pemilik dengan memaksimumkan kepentingannya berupa keuntungan atas investasi yang dilakukan. Sedangkan perspektif stakeholding memberikan implikasi bahwa manajemen harus mempertimbangkan peningkatan kemakmuran pemangku kepentingan dibansingkan pemilik korporasi. Sebagai representasi dari perspektif shareholding, the finance model of CG menekankan perlunya perlindungan maksimal terhadap hak-hak para pemegang saham (shareholder rights) melalui seperangkat peralatan control mechanisms, terutama pada perusahaan publik. Sebagai representasi perspektif stakeholding, the stakeholder view of CG muncul dengan proposisi yang memperlebar tujuan korporasi (lebih dari sekadar memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham) menjadi tujuan untuk menghasilkan output yang lebih luas terhadap berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders)The stakeholder's model memberikan penekanan pada corporate efficiency di dalam konteks sosial atau lingkungan tempat korporasi tersebut berada, sebagai akibat beragamnya jenis dan kepentingan stakeholders. Model dan Perspektif Corporate Governance Secara ideologis dan teoretis, perspektif shareholding didasarkan pada supremasi hak kepernilikan individu hak kepemilikan pribadi merupakan hal yang fundamental dalam menciptakan keseimbangan sosial (social order) guna mendukung perkembangan perekonomian negara yang efisien. Dengan demikian individualism menjadi karakteristik dan acuan utama CG menurut perspektif shareholding, sehingga ideologi individualistis dimaksud diakomodasi dalam bentuk undang-undang perusahaan. perspektif shareholding cenderung beranggapan bahwa organisasi (korporasi) merupakan legal person yang mempunyai tugas secara legal untuk memuaskan kepentingan pemiliknya. Perspektif stakeholding mempunyai pandangan organisasi atau korporasi sebagai suatu "entitas sosial" (the corporation as a social entity). Perspektif ini didasarkan pada pandangan bahwa korporasi terlibat di dalam berbagai aspek kehidupan sosial, sehingga keberadaannya membawa dampak pada masyarakat, baik dari segi kemampuan meningkatkan kesejahteraan maupun dampak (risiko) yang ditimbulkannya. Konsekuensinya, korporasi harus menyadari tanggung jawab sosial (sosial obligations). Perspektif terbaik antara Shareholding dan Stakeholding Pemahaman terhadap fenomena CG dapat dilakukan secara universal, namun praktik CG yang ada di berbagai negara harus dilihat sesuai dengan konteks spesifik lingkungan suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai perbedaan lingkungan yang signifikan, terutama yang berhubungan dengan aspek hukum, budaya serta perangkat institusional lainnya. Pendekatan ini sejalan dengan paradigma "one-size-does-not-fitsall!" yang dikemukakan oleh OECD untuk mengakomodasi berbagai perbedaaan dimaksud serta sebagai isyarat dinamisnya konsepsi CG di dalam praktik. Perbedaan terhadap berbagai aspek lingkungan organisasi yang mempengaruhi praktik CG, dapat dijelaskan melalui efektivitas mekanisme kontrol dalam sistem CG

yang dianut oleh suatu negara. Di berbagai negara Anglo Saxon dengan sistem keuangan berbasis pasar (market-Oriented) pengendalian utama terhadap korporasi didasarkan pada mekanisme pasar. Kondisi demikian didasari oleh keandalan mekanisme pengendalian korporasi berbasis pasar di negara tersebut di dalam mendisiplinkan perusahaan yang tidak mematuhi aturan CG. Sebaliknya, di berbagai negara sedang berkembang dan umumnya mempunyai sistem keuangan berbasis jaringan (network oriented) implementasi CG belum sepenuhnya dapat mengandalkan berfungsinya mekanisme pasar sebagai perangkat pengendalian utama. Solusi dari pertanyaan mana yang terbaik adalah tergantung sistem dan model CG yang diadopsi oleh korporasi selayaknya merupakan kerangka CG yang kompatibel dengan lingkungan atau konteks tempat korporasi tersebut beroperasi. Konvergensi Sistem Corporate Governance Sistem outsider CG berbasis pasar sebagaimana lazim ditemukan di Amerika Serikat dan lnggris, memiliki karakteristik kepemilikan korporasi yang menyebar dan menguatnya supremasi nilai bagi pemegang saham, merupakan perspek:tif yang dominan dalam perkembangan CG secara internasional. Dalam kaitan ini, problema keagenan antara prinsipalagen menjadi puncak permasalahan dalam implementasi CG. Sementara di berbagai riegara Eropa daratan sistem CG dengan pola relationship-based menjadi karakteristik utama, sebagai refleksi dari keberagaman budaya di benua Eropa daratan serta perbedaan sejarah dan seperangkat nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat mereka. Sistem insider ini menjadikan sumber pembiayaan korporasi sangat tergantung kepada industri perbankan dibandingkan pendanaan melalui pasar modal, serta mengandalkan dukungan pendanaan dari rekan bisnis dan kerabat dekat mereka. Model lainnya yang dikenal adalah sistem CG berupa struktur korporasi berbasis keluarga (family- based) sebagaimana ditemukan di berbagai negara Asia-Pasifik yang juga dipengaruhi oleh tradisi budaya lokal dan aspirasi masyarakat Timur. Dignam dan Galanis (1999) mengklaim bahwa terdapat indikasi kuat organisasi OECD mendukung sepenuhnya konvergensi sistem CG menuju arah market-based, outsider system". Namun demikian, Guillen (2000) memberikan kritik terhadap kecenderungan perkembangan tersebut bahwa CG model tidak dapat dipisahkan atau diisolasi dari perkembangan dan institusi perekonomian di suatu negara. Pertama, sistem CG dibentuk dan dipengaruhi oleh tradisi legal di suatu negara yang sulit diharapkan berubah dalam waktu dekat. Kedua, model CG berinteraksi secara kompleks dengan dengan fitur dan karakteristik institusional di suatu negara sebagai dasar bagi korporasi untuk berkompetisi. Ketiga, konvergensi sistem CG sulit untuk diwujudkan karena proses perubahan atas berbagai hal terkait CG, baik yangdipengaruhi arus globalisasi atau tidak, lebih ditentukan oleh dinamika politik di suatu negara yang hasil akhimya sulit untuk diprediksi. Secara umum, bukti empirik selama 20 tahun terakhir baik untuk korporasi yang berada berbagai negara maju maupun negara berkembang tidak mengarah kepada konvergensi sistem CG. Sejalan dengan hal tersebut, Branson (2000) berpendapat bahwa pendekatan one size fits all apporach yang dijadikan dasar dari proses konvergensi model CG menunjukkan tidak sensitifnya para pihak yang mengajukan klaim tersebut terhadap faktor ekonomi dan kultural di suatu negara atau wilayah. Konvergensi CG akan lebih mungkin untuk dilakukan dan terjadi untuk skala regional dibandingkan dengan skala global,

seperti untuk berbagai negara yang terdapat di wilayah Asia-Pasifik. Lebih lanjut, walaupun akan terjadi konvergensi CG hal tersebut lebih terbatas untuk area tertentu seperti akuntansi keuangan (financial accounting) dan berbagai standar pengungkapan (disclosure standards) untuk korporasi. Model Corporate Governance Hal utama yang menjadi penyebab perbedaan fundamental CG di berbagai belahan dunia; context and culture. Untuk faktor pertama (context) terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi implementasi CG sehingga dapat berbeda dalam praktik CG di setiap negara; (a) implikasi dari perbedaan pola kepemilikan (ownership patterns), (b) alternatif terhadap mekanisme pengendalian berbasis pasar (alternative markets for corporate control), dan (c) perbedaan pola pembiayaan entitas korporasi (different ways of financing corporate entities). Ketiga faktor dimaksud akan berpengaruh terhadap perilaku korporasi dalam menjalankan aktivitasnya. Akibatnya, efektivitas mekanisme CG juga sangat ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik dominan korporasi dengan lingkungan tempat korporasi tersebut berada. Pola kepemilikan terhadap perusahaan publik di berbagai belahan dunia memiliki perbedaan besar dan beragam. Pada kondisi kepemilikan saham sebuah korporasi sebagian besar dimiliki oleh external shareholders maka BOD harus dapat menempatkan diri sedemikian rupa dalam mengoptimalkan peran yang dimilikinya. Sebaliknya, jika kepemilikan signifikan atas perusahaan oleh holding company atau pemerintah, maka BOD dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus responsif sesuai dengan ekspektasi pemilik tersebut. Dalam jangka panjang pola atau struktur kepemilikan alas korporasi secara fundamental akan memberikan dampak terhadap kemampuan BOD di dalam menjalankan kekuasaan yang telah diberikan kepada mereka sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Pada perusahaan dengan ciri kepemilikan tersebar (widely dispersed) maka BOD dapat memiliki kebebasan lebih besar berdasarkan inisiatif sendiri dalam menjalankan tugasnya, dibandingkan dengan peran BOD pada perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi (concentrated ownership) dan didominasi oleh a block of investors. Dengan posisi demikian, maka BOD harus memiliki kernampuan untuk memahami dan sensitivitas terhadap pihak tertentu yang berpotensi untuk mempengaruhi keputusan mereka. Di samping perbedaan context sebagaimana telah diuraikan, maka perbedaan fundamental kedua CG didasarkan pada aspek budaya (culture) karena CG secara nyata memiliki komponen budaya dalam mekanismenya. Implikasi penting dari perbedaan budaya tergambar dari dikenalnya berbagai model CG yang dikenal secara umum yang akan dibahas secara ringkas pada bagian berikut. 1. The American Rule-based Model Ciri utama dan rnendasar dari model CG Amerika adalah keberadaan unitary board (single- tier) dengan dominasi yang tegas dari anggota BOD yang berasal dari luar perusahaan (independent outside directors). Untuk ciri lainnya model ini sama dengan model CG lnggris/negara persemakmuran di mana otoritas pasar modal Amerika (SEO mensyaratkan bahwa setiap korporasi wajib (mandatory) memiliki komite audit (audit committee), komite nominasi (nominating committee), dan komite remunerasi (remunerating committee).

Pada model Ameri ka, pemegangsaham memil iki pengaruh yangsedikitdan terbatas terhadap penentuan anggota BOD. Dalam model ini, pemegang saham selaku pemilik perusahaan hanya dapat mengekspresikan ketidakpuasan mereka melalui mekanisme menyuarakan komplain (voice) atau menjual saham mereka (exit) sebagai bentuk ketidakpuasan. Sementara untuk model CG lnggris/negara persemakmuran, pemegang saharn dengan kepemilikan 10% dari hak suara (voting rights) pada perusahaan publik dapat memaksa diadakannya pertemuan luar biasa (extraordinary meeting) dan memiliki hak memilih terhadap keputusan strategis atau mengganti anggota BOD. Pada model lnggris/negara persemakmuran posisi chairman dari BOD (di Indonesia komisaris utama) clan chief executive officer (di Indonesia direktur utama) dijabat oleh individu yang berbeda. Namun demikian pada model Amerika, kedua posisi tersebut (chairman of the board dan chief executive officer).biasanya dijabat oleh individu yang sama dalam sebuah korporasi. Walaupun terdapat tekanan yang kuat untuk memisahkan posisi tersebut agar diduduki oleh individu yang berbeda (spliting the roles of chairman and CEO), namun pada praktiknya belum diterapkan secara umum. Jika dibandingkan dengan struktur korporasi di Indonesia, sesuai dengan undang-undang perseroan, seseorang tidak dapat menduduki posisi sebagai anggota direksi clan dewan komisaris pada perusahaan yang sama pada waktu yang bersamaan di sebuah korporasi. Sehingga secara legal-formal elemen pelaksana operasional (direksi) sudah terpisah dengan pengawas (dewan komisaris) korporasi. Perbedaan fundamental dan prinsipil antara model Amerika dan model lnggris telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Lazim dikenal bahwa model Amerika didasarkan kepada rule-based sehingga dalam melakukan assessment penerapan CG regulator akan mernpertanyakan" Apakah tindakan perusahaan legal? Is this legal? Sementara pada model lnggris didasarkan pada principles-based sehingga pertanyaan yang diajukan regulator menjadi berbeda Apakah tindakan perusahaan sudah benar?Is this right? Dengan demikian, maka pada model Amerika CG diregulasi secara ketat melalui legal statute and mandatory rules untuk mendukung implementasi model CG mereka, sehingga anggota BOD akan menerima sanksi jika tidak patuh terhadap regulasi. 2. The United Kingdom/Commonwealth Principles-based Model Model CG lnggris/persernakrnuran rnenggunakan· basis principles based. Pada model UK prinsip CG yang diatur melalui code of good corporate governance principle or good practice dalarn rnenentukan bentuk tanggung jawab elemen struktur governance, bukan berdasarkan hukum (not the rule of law). Pada konsep ini perusahaan harus melaporkan bahwa mereka telah mengikuti dan mematuhi prinsip-prinsip CG yang ditetapkan sesuai dengan standar pedoman CG, atau mereka harus menjelaskan (explain) alasan tidak mematuhinya. Dengan dasar ini, maka pola CG-UK sering disebut juga dengan 'comply or explain' approach to corporate governance. Secara konseptual model CG negara lnggris (UK)/persemakmuran berhubungan dengan self-regulation sebagai thema dasar. Pada kondisi ini kepatuhan menjadi pilihan sukarela dan bukan bersifat mandatory, dengan konsekuensi bahwa sanksi akan diberikan oleh pasar berdasarkan eskposur penerapan CG di perusahaan yang dapat bermuara pada status delisting di pasar modal. Pada keseluruhan negara persemakmuran pedoman CG mereka tetap mensyaratkan perlunya; (a) independent non - executive atau outside directors, (b) audit committee, (c) remuneration committee, (d) nomination committee, serta (e) high levels of tranparency and

accountability. Ciri lainnya yang membedakan model CG lnggris/persemakmuran dengan model Amerika adalah bahwa pedoman CG untuk negara yang menganut CG model lnggris/persemakmuran mensyaratkan pem isahan yang tegas antara Chairman of the Board dengan Chief Executive Officer. 3. The Continental European Two-tier Model Berdasarkan tradisi hukum dan hukum perseroan di negara kontinental Eropa (Eropa daratan) memiliki karakteristik rule based. Ciri governance di negara daratan Eropa ditandai dengan kecenderungan pasar keuangan yang kecil dan kurang likuid, sehingga peranan the market for corporate control sebagai bagian dari mekanisme governance menjadi lemah. Pada berbagai negara yang menganut model ini, diidentifikasi bahwa pembiayaan korporasi melalui pinjaman bank lazim digunakan untuk mendanai kebutuhan korporasi. Investor di negara daratan Eropa cenderung terkonsentrasi dan pada umumnya ditemukan ciri kepernilikan terkonsentrasi kepada keluarga seperti terdapat di negara Italia dan Prancis. Sistem dewan · dua tingkat (two-tier boards) disyaratkan dalam struktur korporasi yang menganut pola Eropa daratan seperti Jerman dan Belanda serta berbagai perusahaan di Italia dan Prancis. · Sesuai dengan pola kontrak sosial yang lazim ditemukan pada kultur sosial masyarakat Eropa, praktik CG di negara Eropa daratan seringkali mengakomodasi berbagai komponen sosial dalam entitas korporasi mereka. Misalnya co-determination rule seperti yang ditemukan di Jennan mensyaratkan separuh dari dewan komisaris (supervisory board) merupakan perwakilan buruh (employee representative directors) yang diseleksi melalui asosiasi serikat buruh. Sementara, separuh anggota dewan komisaris lainnya berasal dari perwakilan pemilik modal yang ditentukan dan dipilih oleh para pemegang saham. Pembagian tersebut bertujuan untuk mendorong terjadinya keseimbangan kepentingan antara institusi dan pengelola (direksi/manajemen) perusahaan. 4. The Japanese Business-network Model Keberadaan korporasi berbasis jaringan bisnis ditemukan di negara Jepang yang dikenal juga dengan nama keireisu", Model klasik dari. keiretsu merefleksikan kohesi sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Jepang. Konsekuensi dari. pola tersebut dalam praktik perusahaan dicirikan oleh hal berikut: (a) penekanan pada persatuan di seluruh aspek organisasi, (b) hubungan kekeluargaan, (c) masa kerja seumur hidup, (d) kebijakan personalia untuk peningkatan komitmen terhadap organisasi, (e) inisiasi bahwa perusahaan sebagai bagian dari keluarga, (f) konsensus dalam pembuatan keputusan, (g) pelatihan bersifat cross-functional, (h) promosi jabatan berdasarkan loyalitas, (i) kehidupan sosial yang berimbang, serta (j) pentingnya kinerja. Pada model CG Jepang berbasis jaringan bisnis ini, kekuasaan dalam perusahaan berada pada manajemen puncak, terutama the president and the chairman. Peranan investor pada model CG Jepang relatif kecil dalam hubungannya dalam berbagai aspek perusahaan. Pada model klasik CG Jepang memiliki orientasi pada model stakeholder bukan pada model shareholder, namun kekuasaan atas perusahaan berada pada jaringan keiretsu. Sementara mekanisme the market for corporate control relatif tidak berjalan dalam model CG Jepang karena pengambilalihan paksa perusahaan tidak pernah terjadi.

Corporate Governance dan lnstitusionalisasi Pada bagian berikut diidentifikasi berbagai institutional arrangements yang diperlukan dalam mendukung kesuksesan implementasi governance: - Diperlukan sistem hukum yang andal termasuk sistem pengadilan yang independen dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, pertimbangan yang sehat dan dapat ditegakkan, serta bebas dari intervensi pemerintah dan politik, - Dibutuhkan pasar modal yang likuid, memenuhi standar dan kualifikasi internasional serta mendorong munculnya investor institusi, - Ketersediaan lernbaga keuangan yang andal, termasuk stock brokers, dukungan terhadap proses penambahan saham baru dan financial advisers - Penguatan otoritas regulator pasar keuangan (terutama pasar modal) seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia, - Dorongan untuk memfasilitasi pengungkapan informasi yang komprehensif dengan tingkat transparansi yang semakin tinggi, - Terdapatnya asosiasi profesi akuntan dan asosiasi profesi legal yang memiliki reputasi dan diakui secara internasional, mampu untuk mendisiplinkan anggota profesi mereka, dan menjamin kepatuhan terhadap standar akuntansi dan kebutuhan legal dalam mendukung implementasi CG yang sehat, - Diperlukan akuntan publik yang profesional, andal, dan mampu menjaga independensi profesi dengan klien mereka, - Ketersediaan organisasi profesional seperti BOD/Dewan. Komisaris dan Sekretaris Perusahaan dengan kualifikasi tinggi serta disiplin, - Ketersediaan lembaga pendidikan profesi yang mampu untuk memberikan pendidikan dan pelatihan dalam bidang CG untuk kualifikasi yang relevan, - Organisasi konsultan yang mampu dan andal dalam memberikan advis kepada perusahaan dan dewan komisaris, - Tersedianya pelatihan keuangan dan CG serta pengembangan pendidikan profesional yang berkelanjutan, - Ketersediaan hasil riset dan publikasi hasil riset terkait isu CG, baik berupa implikasi kebijakan CG maupun hasil penelitian empirik yang dapat diterapkan. Sejalan dengan konsepsi governance as work in progress maka belum seluruh aspek tersebut tersedia di setiap negara, terutama di berbagai negara dengan perekonomian yang masih berkembang. Pada beberapa negara, progres terhadap hal tersebut mengalami kemajuan yang berarti karena didukung penuh oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Pada beberapa negara yang telah memiliki CG dengan standar relatif tinggi, peluang untuk pengembangan serta meningkatkan CG secara lebih Ian jut semakin terbuka untuk dicapai.

Related Documents

Bab 6
February 2021 2
Bab 6
February 2021 12
Bab 6
January 2021 10
Sop Bab 6 Sam
February 2021 2
Bab 6 Fungi
January 2021 0
H Bab 6 Ebp
January 2021 1