Bab Iii

  • Uploaded by: N P Rahayu
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Iii as PDF for free.

More details

  • Words: 1,675
  • Pages: 8
Loading documents preview...
BAB III PEMBAHASAN Berdasarkan jurnal di atas, maka kami berusaha untuk melakukan telaah jurnal dengan cara membandingkannya terhadap beberapa penelitian serupa atau literatur dan kemungkinan untuk mengadaptasi hal – hal bermanfaat yang terdapat pada jurnal tersebut di Indonesia, khususnya dalam bidang penanganan infeksi intrauterin serta persalinan preterm. Secara nasional sampai saat ini memang belum terdapat angka pasti yang menyatakan besarnya kejadian infeksi intrauterine dan persalinan preterm di Indonesia.2 Seiring dengan semakin meningkatnya kejadian persalinan preterm dalam masalah obstetrik saat ini maka perlu diketahui faktor apa saja yang berpengaruh dalam memicu terjadinya persalinan preterm khususnya infeksi intrauterine. American College of Obstetricans and Gynecologist menyatakan bahwa pada haid yang teratur, persalinan preterm dapat didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.1,3 Angka kejadian persalinan preterm berkisar antara 10-15% dari kehamilan yang merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas neonatal. Namun angka kejadian ini dapat berbeda di setiap negara Eropa, Angkanya berkisar antara 5-11% sedangkan USA, pada tahun 2000 sekitar satu dari sembilan bayi dilahirkan premature (11.9%), dan di Australia kejadiannya sekitar 7%. Berbeda dengan negara berkembang kejadiannya masih jauh lebih tinggi, misalnya di India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Sudan 31% dan Malaysia 10% 20. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam review journal bahwa persalinan premature tidak merata pada seluruh wanita terutama untuk negara berkembang yang masih tinggi kejadiannya sedangkan faktor pembedanya masih belum ada penjelasannya.4 Faktor resiko lain yang berpengaruh dalam kelahiran premature menurut review journal ini adalah riwayat kelahiran premature sebelumnya terutama pada trimester kedua dimana dapat dideteksi dengan sistem scoring resiko Creasy yaitu

1

suatu kehamilan dikatakan beresiko rendah terhadap persalinan premature apabila hasil scoring resikonya antara 1-5, sedang pada skor 6-9, dan resiko tinggi jika >10 seperti yang dikemukakan dalam tinjauan teori sebelumnya. Hal tersebut juga membuktikan bahwa infeksi sering terjadi pada kehamilan kurang dari 30 minggu sesuai dengan yang dijelaskan pada review journal ini.4 Tabel 1. Sistem Scoring Resiko Creasy Skor

Karakteristik Ibu

1

Abortus < 1th • Dua anak terakhir • Sosial ekonomi

2

rendah Usia <20 tahun

3

Social ekonomi sangat rendah

4

Usia < 18 tahun pernah pielonefritis

Riwayat Obstetri

Kebiasaan

Keadaan Kehamilan Sekarang

Bekerja di luar rumah

Kelelahan fisik

2 kali abortus

Merokok >10 batang per hari

3 kali abortus

Bekerja berat

Kenaikan BB < 13 kg sampai 32 minggu kehamilan Sunsang pada kehamilan 32 minggu, BB turun 2 kg, kepala sudah engaged, demam Perdarahan sebelum 12 minggu Pendataran serviks Iritabilitas uterus Plasenta previa Anomali uterus Hidramnion Terpapar DES Hamil kembar Operasi abdomen

5

Abortus trimester II

10

Abortus trimester III berulang Pernah persalinan premature

Simhan dan Caritis (2007) menyatakan berdasarkan pertimbangan klinis dan bukti eksperimental terdapat 4 jalur yang memicu terjadinya persalinan preterm di antaranya distensi berlebihan dari miometrium maupun membran pada janin, perdarahan desidua, aktivasi endokrin fetus yang terlalu dini, dan infeksi intrauterin.5 Bagan 1. Patogenesis Persalinan Preterm

2

Sumber: Lockwood CJ, Kuczynski E. Risk stratification and pathological mechanisms in preterm delivery. Paediatr Perinat Epidemiol. 2001;15 Suppl 2:78-89.

Klein dan Gibbs (2005) menyatakan bahwa sekitar 50% kejadian persalinan preterm spontan berhubungan dengan infeksi traktus genital (ascending infection), dan sering terjadi pada usia kehamilan kurang dari 30 minggu. Klein dkk juga mengemukakan bahwa infeksi yang terjadi pada beberapa tempat di tubuh juga berkaitan erat dengan terjadinya persalinan preterm spontan di antaranya: infeksi intrauterine, infeksi traktus genital bagian bawah, serta infeksi yang berasal dari lokasi jauh contohnya periodontitis.6 Infeksi intrauterine atau sering juga disebut korioamniotis secara klinis terjadi pada cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera, sebelum, atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri. Secara garis besar infeksi bakteri pada uterus dapat muncul di antara jaringan maternal dan membrane fetus (contohnya di ruang choriodecidual), di membrane fetus (amnion dan chorion), di plasenta, di dalam cairan amnion, di tali pusat, atau di fetus. 2 Bakteri dapat 3

mencapai jaringan intrauterine melalui: transfer transplasenta dari infeksi sistemik maternal, aliran retrograde infeksi dari rongga peritoneal melalui tuba fallopi, atau ascending infection bakteri dari vagina dan serviks, accidental introduction pada saat melakukan prosedur invasive seperti amniosentesis. Selain itu endotoksin dapat masuk ke dalam rongga amnion secara difusi tanpa kolonisasi bakteri dalam cairan amnion. Jalur paling sering adalah melalui ascending infection, hal ini dibuktikan dari temuan histologi paling sering dan berat ditemukan pada lokasi dimana terjadi rupture membrane daripada lokasi lain, bakteri yang didapatkan serupa dengan bakteri pada saluran genital bawah. Goncalves dkk (2002) membagi infeksi intrauterin ke dalam 4 tahap berdasarkan invasi mikroba, yaitu 7: •

Tahap I : invasi mikroorganisme dari vagina atau serviks baik organisme fakultatif atau organisme patogen termasuk vaginosis bakterialis



Tahap II : infeksi desidua, reaksi inflamasi lokal akan menyebabkan desiduitis dan akan meluas ke korion



Tahap III : infeksi intraamnion. Infeksi tahap II akan meluas menginvasi pembuluh darah janin (koriovaskulitis) dan kemudian menyebar ke cairan amnion (amnionitis)



Tahap IV : infeksi sistemik janin

Gambar 1. Tahap-tahap ascending infection

4

Cunningham dkk menyatakan bahwa infeksi pada membran dan cairan amnion yang disebabkan oleh bermacam-macam jenis mikroorganisme dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, persalinan preterm, ataupun keduanya. Namun jalan masuk mikroorganisme ke dalam cairan amnion pada kondisi selaput ketuban yang masih utuh belum jelas. Pada 20% kasus wanita dengan persalinan preterm dapat ditemukan bakteri maupun virus saat pemeriksaan amniosentesis. Endotoksin sebagai produk dari bakteri dapat merangsang monosit desidua untuk menghasilkan sitokin yang selanjutnya dapat merangsang asam arachidonat dan produksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2α bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi miometrium.8 Pernyataan tersebut juga oleh didukung oleh Goncalves dkk bahwa mikroorganisme yang berasal dari vagina atau serviks, setelah naik ke uterus akan berkoloni di desidua atau selaput amnion, dimana bakteri tersebut kemudian akan memasuki kantong amnion. Lipopolisakarida atau toksin lainnya yang dihasilkan oleh

5

bakteri akan menginduksi produksi sitokin pada sel di dalam desidua, membran, atau janin itu sendiri. Baik lipopolisakarida atau beberapa sitokin yang meningkat tersebut akan menyebabkan peningkatan pengeluaran prostaglandin dari fetal membran, desidua, atau keduanya. Peningkatan sitokin dan prostaglandin ini akan mempengaruhi pematangan serviks dan kontraksi miometrium sehingga memicu terjadinya persalinan.7 Infeksi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke traktus genital ini akan memicu respon inflamasi intrauterine. Respon inflamasi inisial yang ditimbulkan oleh toksin bakteri diperantarai oleh reseptor khusus pada fagosit mononuclear, desidua, dan trofoblas. Toll-like receptors ini merupakan kelompok respetor yang ditingkatkan jumlahnya untuk mengenali molekul yang berhubungan dengan pathogen. Reseptor ini berada di plasenta pada sel trofoblas. Di bawah pengaruh ligan seperti lipopolisakarida bakteri, respetor ini akan mengeluarkan kemokin, sitokin, dan prostaglandin yang merupakan bagian dari proses peradangan, misalnya : pada perangsangan oleh lipopolisakarida bakteri, produksi IL-1 akan ditingkatkan. IL-1 akan menyebabkan peningkatan sintesis sitokin lain sperti TNF, IL-6, IL-8; untuk proliferasi, aktivasi dan migrasi leukosit, modifikasi matriks protein ekstraseluler dan efek mitogenik serta sitotoksik meliputi demam dan respon fase akut.8 Hal ini mendukung pernyataan yang telah dikemukakan dalam jurnal di atas bahwa invasi bakteri rongga koriodesidua memicu pengeluaran sitokin. Klein dan Gibbs (2005) menyatakan bahwa studi multipel secara in vivo maupun in vitro mendukung hipotesis bahwa infeksi traktus genital bagian bawah yang asenden memicu terjadinya persalinan preterm. Invasi bakteri menuju desidua mengaktivasi leukosit dan produksi sitokin. Sitokin tersebut akan memicu pembentukan prostaglandin di amnion, korion, desidua, dan miometrium. Akibatnya maka akan terjadi kontraksi uterus, dilatasi serviks, pajanan terhadap membran, dan semakin meluasnya invasi bakteri dalam rongga uterus. Sitokin juga menstimulasi produksi metalloproteinase oleh korion dan amnion. Matriks metalloproteinase ini

6

berperan dalam melembutkan serviks serta degradasi membran amnion dan menyebabkan selaput ketuban menjadi pecah seperti yang terdapat pada jurnal di atas. 6 Selain berasal dari traktus genital, Gibbs dkk menyatakan bahwa infeksi intrauterine pemicu persalinan preterm ini juga dapat berasal dari penjalaran melalui plasenta, melalui darah (blood borne), melalui saluran telur (transfallopian, intraperitoneal), atau iatrogenik (akibat prosedur invasi) dapat bersumber pula dari ekstrauterin seperti radang piala ginjal (pielonefritis), bakteriuri tanpa gejala (asymptomatic bateriuria), periodontitis, malaria, penyakit radang paru (pneumonia) seperti yang diungkapkan dalam review journal ini walaupun jarang. Oleh sebab itu organisme penyebab dari korioamnionitis seringkali bersifat multipel.9 Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur yang telah kami urai tersebut menunjukkan bahwa infeksi intrauterine berkaitan erat dalam memicu terjadinya persalinan preterm. Sebagai seorang praktisi kesehatan maka diharapkan dapat membuat diagnosa dengan cepat dan tepat. Anamnesa yang lengkap dan terarah dapat membantu dalam mendiagnosa dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik serta penatalaksanaan

yang

bersifat

komprehensif.

Mengingat

komplikasi

yang

ditimbulkan dari persalinan preterm adalah angka kematian perinatal yang cukup tinggi maka dibutuhkan tindakan pencegahan untuk mengurangi kejadian persalinan preterm khussusnya oleh infeksi intrauterin. Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk mengetahui diagnosis infeksi intrauterine diantaranya adalah pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang lebih pasti terhadap korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik dengan akurasi tes tergantung dari konsentrasi bakteri saat pengambilan sampel. Namun, pemeriksaan-pemeriksaan di atas tidak satupun yang cukup sensitif dan spesifik digunakan secara tersendiri terlepas dari gejala dan tanda klinis untuk mendiagnosis korioamnionitis. Telah disebutkan sebelumnya bahwa terjadinya

7

korioamnionitis berhubungan dengan ketuban pecah dini. Untuk mendiagnosa adanya ketuban pecah dapat dilakukan pemeriksaan inspekulo (untuk melihat adanya genangan atau rembesan cairan amnion), nitrazin tes, USG, fluoresen intraamnonitik, tes diamin oksidase, fibronektin janin, dan pemeriksaan AFP pada sekret vagina. Wanita dengan vaginosis bakterial dapat dilakukan deteksi konsentrasi fibronectin yang tinggi pada servikal atau vagina, atau konsentrasi sitokin yang tinggi pada cairan amnion, servikal, vagina atau serum. Walaupun sebenarnya hal tersebut tidak dapat mengurangi kelahiran atau menunda kelahiran premature.2 Upaya untuk menurunkan angka kejadian persalinan preterm dapat ditempuh dengan cara melakukan pencegahan sedini mungkin. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan preterm antara lain sebagai berikut 3 : 1) Pendidikan masyarakat melalui media yang ada tentang bahaya & kerugian kelahiran preterm. 2) Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun). 3) Hindari jarak kehamilan terlalu dekat. 4) Menggunakan kesempatan periksa hamil & memperoleh pelayanan antenatal yang baik. 5) Anjuran tidak merokok maupun mengkonsumsi obat terlarang. 6) Hindari kerja berat dan istirahat yang cukup. 7) Mengusahakan makan lebih baik selama masa hamil untuk cegah gizi buruk & anemia. 8) Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm. 9) Lakukan penanganan pada infeksi genital/saluran kemih. 10) Deteksi dan pengamanan faktor risiko terhadap persalinan preterm.

8

Related Documents

Bab Iii
January 2021 2
Bab Iii Turbin Francis
February 2021 1
Bab Iii - Jembatan
February 2021 0

More Documents from "mhmmdfaizal"

Bab Iii
January 2021 2
January 2021 0
Wu Wei Bujenje
January 2021 1
February 2021 3