Bahan Ajar Morfologi Sungai

  • Uploaded by: emsallewerang
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bahan Ajar Morfologi Sungai as PDF for free.

More details

  • Words: 5,900
  • Pages: 47
Loading documents preview...
Morfologi sungai adalah ilmu yang mempelajari tentang geometri (bentuk dan ukuran), jenis, sifat dan perilaku sungai dengan segala aspek dan perubahannya dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, morfologi sungai ini akan menyangkut juga sifat dinamik sungai dan lingkungannya yang saling terkait. Dua proses penting dalam sungai adalah erosi dan pengendapan, yang dipengaruhi oleh jenis aliran air dalam sungai yaitu:  

aliran laminer: jika air mengalir dengan lambat, partikel akan bergerak ke dalam arah paralel terhadap saluran. aliran turbulen: jika kecepatan aliran berbeda pada bagian atas, tengah, bawah, depan dan belakang dalam saluran, sebagai akibat adanya perubahan friksi, yang mengakibatkan perubahan gradien kecepatan. Kecepatan maksimum pada aliran turbulen umunya terjadi pada kedalaman 1/3 dari permukaan air terhadap kedalaman sungai.

Sungai Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar antar 0,1–1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada perairan sungai, biasanya terjadi pencampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi kolom air seperti pada perairan lentik. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut.

Klasifikasi perairan sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan perbedaan suhu air, sedangkan klasifikasi perairan lotik justru dipengaruhi oleh kecepatan arus atau pergerakan air, jenis sedimen dasar, erosi dan sedimentasi (Haslam, 1995). Dalam

pembahasan

masalah

sungai,

pengetahuan tentang komponen–komponen

terlebih

dahulu

perlu diperdalam

sungai. Komponen tersebut dalam

realitasnya berpengaruh terhadap segala sistem, mekanisme, dan proses yang berjalan di sungai yang bersangkutan. Komponen–komponen tersebut dalam perkembangan sungai saling berpengaruh dan saling terikat satu dengan yang lain membentuk sungai yang bersangkutan. Komponen–komponen yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap sungai adalah diantaranya komponen hidrolik, komponen sedimen dan morfologi, komponen ekologi dan komponen sosial sungai.

Komponen Hidrolik Sungai Komponen hidrolik sungai meiputi berbagai hal yang berhubungan dengan aliran air dan sedimen. Komponen hidrolik sungai yang dominan misalnya

debit aliran, kecepatan aliran, tinggi muka air, tekanan air,

turbulensi aliran makro memanjang sungai maupun melintang sungai, distribusi kecepatan mikro pada lokasi–lokasi tertentu, gelombang sungai, dan lain–lain. Komponen hidrolik ini tidak hanya aliran air yang mengalir pada badan atau palung sungai dan bantaran banjir, namun juga aliran yang mengalir di lapisan bawah dasar sungai. Aliran air di sungai tidak diartikan hanya sebatas besarnya debit dan tinggi muka air secara fisik saja, namun diartikan lebih luas menyangkut keterkaitan antara debit dan tinggi muka air dan distribusi time series tinggi muka air. Perubahan tinggi muka air sepanjang tahun sangat berpengaruh terhadap keberadaan flora dan fauna terhadap habitat sungai berupa formasi sedimen yang terangkut maupun yang terendapkan, hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap ekosistem sungai yang bersangkutan.

Komponen hidrolik yang sangat penting di daerah muara termasuk daerah– daerah yang masih terpengaruh air laut adalah pasang surut. Pengaruh hidrolik air asin dan sekaligus pasang atau surut dapat menyediakan diversifikasi hidrolik sepanjang sungai. Di samping itu juga berpengaruh terhadap diversifikasi kadar garam (salinitas) yang tentu saja akan berpengaruh terhadap habitat di sekitar muara sungai tersebut. Komposisi pasang surut dan komposisi salinitas sangat berperan dalam pembentukan jenis dan jumlah flora dan fauna di sungai yang bersangkutan. Komponen hidrolik lainnya yang penting sebagai base flow air sungai adalah mata air sepanjang sungai. Mata air sepanjang sungai ini pada umumnya jumahnya sangat banyak, baik yang berukuran mikro (Q < 1 l/dt), meso (1 l/dt < Q < 10 l/dt), maupun makro (Q > 10 l/dt). Pemahaman masyarakat bahwa sumber air sungai berasal dari sumber mata air tertentu di daerah hulu perlu dikoreksi. Sebetulnya debit air sungai selain berasal dari run off dari kedua sisi daerah aliran sungai, juga berasal dari mata air di kedua sisi sungai baik di hulu, tengah , maupun di hilir (Maryono, 2005).

Komponen Sedimen dan Morfologi Sungai Komponen sedimen yang dimaksud adalah sedimen dasar (bed load) dan sedimen tersuspensi (suspended load), namun dalam eko–hidrolik yang dimaksud dengan sedimen tidak hanya sedimen anorganik, namun juga sedimen organik, karena sebenarnya semua yang terlarut dan mengalir dalam aliran air sungai terkait langsung dengan penyediaan substrat makanan untuk ekologi sungai. Sedimen anorganik misalnya lumpur, pasir, kerikil, dan batu. Dan sedimen organik adalah serasah daun yang sedang dan telah membusuk, kayu–kayuan yang ikut terbawa hanyut, humus yang terlarut, serta mikroorganisme, benthos, dan plankton yang terbawa aliran air. Sedimen terlarut ini akan berpengaruh besar pada hidrolika aliran air. Karena dengan sedimen ini dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya sebagai jenis flora dan fauna disepanjang sungai, sedang flora dan fauna sepanjang sungai tersebut dapat mempengaruhi morfologi dan aliran sungai. Sedimen anorganik berupa batu–batu besar akan bergerak sangat pelan ke arah hilir. Sedimen berupa batuan besar dengan ukuran lebih dari 20 cm akan menjadi tempat kehidupan yang baik bagi flora dan fauna. Batuan kecil berukuran kurang dari 20 cm akan menjadi tempat persembunyian ikan dan fauna akuatik lainnya jika ada banjir, peningkatan kecepatan air, atau kenaikan suhu udara.

Komponen sedimen berinteraksi langsung dengan komponen morfologi sungai. Sedimen yang terangkut akan mengalir menyusuri sungai dari hulu hingga hilir. Sedimen akan mengendap di berbagai tempat sesuai dengan kondisi dan situasi hidrolik, geologi, geografi, dan ekologi setempat. Pengendapan sedimen anorganik sungai akan membentuk berbagai komponen morfologi sungai, misalnya riffle, dune, antidune, bar, pulau, meander, dan lain–lain. Sedang sedimen organik berupa dedaunan akan terbawa aliran dan akan terendapkan di berbagai tempat, membusuk setelah mencapai jarak dan lama tertentu, menjadi makanan bagi fauna sungai. Sedimen terangkut berupa biji–bijian, spora, tunas, dan lain–lain akan menyebar ke sepanjang sungai dan tumbuh sesuai dengan lokasi dan kondisi masing–masing. Kayu– kayuan yang tersangkut dipinggir sungai dapat menjadi tempat hidup fauna dan tempat bertelur berbagai macam hewan air atau sekedar lapuk menjadi makanan fauna air (Maryono, 2005).

2.3 Komponen Ekologi Sungai Komponen ekologi sungai adalah segala komponen biotik yang hidup di sungai, baik makhluk hidup yang bergerak secara aktif contohnya ikan, maupun makhluk hidup yang tidak dapat bergerak atau berpindah contohnya tumbuhan. Komponen ekologi sungai (sebagai contoh di Jawa adalah Sungai Gajahwong di Yogyakarta) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Flora dan fauna yang disebutkan dalam tabel tersebut kehidupannya sangat tergantung dengan keberadaan sungai yang menjadi habitatnya. Berbagai organisme tersebut hidup pada berbagai tempat atau bagian dari sungai. Misalnya berbagai jenis pohon bambu hidup di pinggir sungai, namun pohon mahoni lebih banyak ditemukan di bagian luar sempadan sungai.

Komponen Sosial Sungai Komponen sosial sangat berpengaruh terhadap sungai, baik hidrolik, sedimen, dan morfologi sungai, kualitas air sungai, dan ekologi flora dan fauna sungai. Sebagai contoh yang paling mudah dipahami adalah bahwa kualitas air sungai dipengaruhi oleh sejauh mana kesadaran dan persepsi masyarakat terhadap sungai. Jika kesadaran masyarakat akan fungsi sungai secara komprehensif cukup tinggi, maka kualitas air sungai akan membaik. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya kesadaran dan cara berpikir masyarakat tentang sungai, maka masyarakat tidak akan membuang sampah dan limbah begitu saja ke sungai. Jika persepsi masyarakat tentang vegetasi pinggir sungai baik, dalam arti masyarakat mengerti manfaat vegetasi untuk sungai sendiri maupun untuk berbagai fauna yang hidup di sepanjang sungai, maka masyarakat akan dapat menangguhkan pembangunan talud sungai dan memelihara vegetasi sungai tersebut. Jika kesadaran dan pengeetahuan masyarakat tentang sungai rendah maka pembangunan talud akan berjalan cepat, sehingga morfologi sungai berubah total.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi . Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, wilayah sungai merupakan gabungan dari beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS). Sedangkan sistem alur sungai (gabungan antara alur badan sungai dan alur sempadan sungai) merupakan sistem river basin yang membagi DAS menjadi beberapa subDAS yang lebih kecil. Oleh karenanya segala perubahan yang terjadi di DAS akan berakibat pada alur sungai. Areal DAS meliputi seluruh alur sungai ditambah areal dimana setiap hujan yang akan jatuh di areal tersebut mengalir ke sungai yang bersangkutan. Alur sempadan sungai didefinisikan sebagai alur pinggir kanan dan kiri sungai yang terdiri dari bantaran banjir, bantaran longsor, bantaran ekologi, serta bantaran keamanan.

Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama, yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu atau daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah tengah dan daerah hilir. Daerah tadahan merupakan daerah sumber air bagi DAS yang bersangkutan, sedang daerah penyaluran air berfungsi untuk menyalurkan air turah (excess water) dari sumber air ke daerah penampungan air, yang berada di sebelah bawah DAS. Daerah penampungan air dapat berupa danau atau laut. Dilihat dari segi hidrologi, DAS merupakan suatu kesatuan hidrologi yang bulat atau utuh. DAS menjadi bagian dari sistem darat.

Pada pengelolaannya, DAS dipandang sebagai suatu kesatuan sumber daya darat. Pengelolaan sumberdaya berpokok pada hubungan antara kebutuhan manusia dan ketersediaan sumberdaya

untuk memenuhi kebutuhan itu. Pengelolaan

diperlukan, baik apabila ketersediaan sumberdaya tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan, maupun jika ketersediaannya melimpah. Pada kejadian pertama, tujuan pengelolaan ialah mendapatkan manfaat sebaik-baiknya, yang dengan kata lain, memilih peruntukan yang dapat memberikan imbalan yang paling berharga. Harga imbalan dapat dipertimbangkan menurut ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosialbudaya maupun keamanan-kemantapan nasional. Hal ini disesuaikan dengan garis kebijakan nasional. Pada kejadian kedua, tujuan pengelolaan adalah mencegah pemborosan.

Penghijauan merupakan salah satu tindakan dalam pengelolaan DAS sebagai sumberdaya darat. Penghijauan perlu dikaitkan dengan tindakan-tindakan lain yang relevan untuk memperoleh hasil yang memadai. Penghijauan beserta tindakantindakan penunjang atau pelengkapnya pada asasnya bertujuan mengatur atau mengendalikan “status quo’’ DAS ke arah yang dikehendaki, atau untuk mencegah “status quo” beralih ke arah yang tidak dikehendaki (Maryono, 2005).

Klasifikasi sungai menurut Kern Klasifikasi Sungai Nama Sungai Kecil Kali kecil dari suatu mata air

Lebar Sungai <1m

Kali kecil Sungai kecil

1-10 m 10-20

Sungai

20-40

menengah Sungai besar Sungai Bengawan

40-80 80-220 m

Sungai Menengah

Sungai besar

>220 m

Klasifikasi Menurut Heinrich & Hergt (1999) Meurut Heinrich & Hergt sungai dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Tabel 2.3) : Tabel 2.3 Klasifikasi sungai menurut Heinrich & Hergt Nama

Luas DAS

Lebar Sungai

Kali kecil dari suatu mata air

0-2 km²

0-1 m

Kali kecil

2-50 km²

1-3 m

Sungai kecil

50-300 km²

3-10 m

Sungai besar

>300 km²

>10 m

Klasifikasi Menurut Helfrich et al. (dalam Heinrich & Hergt, 1998) Sungai kecil disebut juga dalam bahasa inggris brooks, branceches, creeks, forks, dan runs, tergantung bahasa lokal masing-masing daerah yang ada. Semuanya berarti sungai kecil. Sedang terminology yang membedakan antara sungai kecil (stream) dan sungai besar (river) hanya tergantung kepada pemberi nama pada pertama kalinya. Selanjutnya sungai kecil didefinisikan sebagai air dangkal yang mengalir di suatu daerah dengan lebar aliran tidak lebih dari 40 m pada muka air normal. Sedang kondisi yang lebih besar dari sungai kecil ini disebut sungai atau sungai besar.

Klasifikasi Menurut Leopold et al. (1964) Leopold et al. (1964) mengklasifikasikan sungai kecil dan sungai atau sungai besar berdasarkan lebar sungai, tinggi sungai, kecepatan aliran sungai, dan debit sungai. Ini terlihat jika lebar sungai cukup besar tapi debit air kecil maka sungai tersebut merupakan sungai kecil. Sedangkan sebaliknya jika lebar sungai tidak terlalu besar namun debitnya besar maka biasanya disebut sebagai sungai atau sungai besar, karena kedalaman maupun kecepatan aliran sungai tersebut besar. Untuk penggunaan di Indonesia, dimana ditemukan jenis sungai dengan berbagai variasi lebar dan kedalaman serta debit alirannya, maka klasifikasi menurut Leopold et al. (1964) ini sangat cocok. Selanjutnya dapat diperdetail dengan klasifikasi menurut Kern (1994).

Disamping klasifikasi tersebut ada klasifikasi berdasarkan orde sungai, misalnya sungai paling kecil di hulu dalam suatu DAS disebut sungai orde 1. Pertemuan sungai orde 1 menghasilkan sungai orde 2, selanjutnya pertemuan antara sungai orde 2 menghasilkan

sungai orde 3, dan seterusnya.

Sementara pertemuan antara sungai

dengan orde yang berbeda tidak menghasilkan orde sungai berikutnya, namun tetap menjadi sungai orde terbesar dari kedua sungai yang bertemu tersebut. Klasifikasi ini tidak selalu dikaitkan dengan besar-kecilnya, lebar-sempitnya, atau dalam-dangkalnya suatu sungai

Pengertian pembagian sungai menjadi besar, sedang, dan kecil ini penting kaitannya dengan penelaahan sifat-sifat sungai pada umumnya. Sungai-sungai kecil akan mempunyai karakteristik yang hampir sama, demikian juga sungai sedang dan sungai besar. Perkembangan terakhir dalam teknik sungai kaitannya dengan ekologi, semakin banyak ahli sungai yang memfokuskan penelitian pada sungai-sungai kecil. Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai beberapa definisi yaitu: a)

Sungai atau aliran sungai adalah suatu jumlah air yang mengalir sepanjang lintasan di darat menuju ke laut sehingga sungai merupakan suatu lintasan di mana air yang berasal dari hulu bergabung dan menuju ke satu arah yaitu hilir (muara);

b) Sungai merupakan suatu tempat kehidupan perairan yang membelah daratan. Sungai merupakan bagian siklus hidrologi yang terdiri dari beberapa proses yaitu evaporasi/penguapan air, kondensasi, dan presipitasi. Berdasarkan siklus hidrologi, diketahui bahwa jumlah air tawar yang ada di bumi mencapai 1.384.120.000 km3, tetapi yang tersedia untuk kehidupan hanya 0,14% atau ± 193 juta km3, dimana 50% dari jumlah tersebut berada di danau dan 2,75 juta km3 berada di sungai (Haslam, 1992)

Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Kualitas Sungai. Kualitas sungai merupakan indikator kondisi sungai apakah masih dalam keadaan baik atau tercemar. Pencemaran sungai didefinisikan sebagai perubahan kualitas

suatu

perairan

akibat kegiatan manusia, yang pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia itu sendiri ataupun makhluk hidup lainnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh senyawa yang masuk ke aliran sungai yang bergerak ke hilir bersama aliran air atau tersimpan di dasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat juga terjadi pencuciaan atau pengenceran. Senyawa tersebut (utamanya yang beracun) berakumulasi dan menjadi suatu konsentrasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan (Miller, 1991

Menurut Miller (1991) terdapat 2 bentuk pencemar, yaitu : 1.

Point Sources; merupakan sumber pencemar yang membuang efluen (limbah cair) melalui pipa, selokan atau saluran air kotor ke dalam badan air pada lokasi tertentu. Misalnya pabrik, tempat-tempat pengolahan limbah cair (yang menghilangkan sebagian tapi tidak seluruh zat pencemar), tempat-tempat penambangan yang aktif dan lain-lain. Karena lokasinya yang spesifik, sumber-sumber ini relatif lebih mudah diidentifikasi, dimonitor dan dikenakan peraturan-peraturan.

2.

Non-point sources; terdiri dari banyak sumber yang tersebar yang membuang efluen, baik ke dalam badan air maupun air tanah pada suatu daerah yang luas. Contohnya adalah limpasan air dari ladang-ladang pertanian, peternakan, lokasi pembangunan, tempat parkir dan jalan raya. Pengendaliaan sumber pencemar ini cukup sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengidentifikasi dan mengendalikan sumber-sumber pencemar yang tersebar tersebut. Oleh kerena itu, dibutuhkan suatu pendekatan terpadu dengan penekanan pada pencegahan pencemar. Pencegahan tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui penataan ruang yang baik.

Beberapa jenis kegiatan utama yang menimbulkan pencemaran sungai antara lain : 1.

Kegiatan domestik; termasuk didalamnya kegiatan kesehatan (rumah sakit) dan food additivies (seperti bahan pengawet makanan) serta kegiatan-kegiatan yang berasal dari lingkungan pemukiman baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Efluen yang biasa dibuang biasanya berupa pencemar organik, tapi juga dapat berupa senyawa anorganik, logam, garam-garaman (seperti deterjen) yang cukup berbahaya karena bersifat patogen.

2. Kegiatan industri; mempunyai banyak sekali variasi; bisa berupa efluen organik (dari pabrik makanan dan dapat juga dari industri minyak dan pertrokimia). Sedangkan efluen anorganik dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja, mobil atau industri berat lainnya; partikel dan debu dapat dihasilkan oleh kegiatan industri pertambangan. Bisa juga berupa pencemaran panas, misalnya dari pembangkit tenaga listrik. 3.

Kegiatan pertanian; terutama akibat penambahan pupuk dan pembasmi hama, dimana senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru aktif pada konsentrasi rendah. Selain itu, sedimen termasuk pencemaran yang cukup besar ketika terjadi penebangan pohon-pohonan, pembuatan parit-parit, perambahan hutan dan lain-lain. Belum lagi, efluen organik yang dihasilkan oleh peternakan dapat menyebabkan pencemaran yang cukup serius. Selain itu, banyak masyarakat di sepanjang sungai mendirikan bangunan di

atas tanah bantaran sungai maupun di atas sepadan (tanah setelah bantaran sungai). Kondisi demikian ini menyebabkan kondisi sungai sudah tidak alami dan sering menimbulkan bencana tanah longsor. Yang lebih memprihatinkan lagi, juga terjadi pada para pengembang yang membangun perumahan di bantaran sungai. Anehnya lagi setiap ditegur, mereka bisa menunjukkan sertifikat. Sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Maka untuk menata kawasan sungai diperlukan peraturan yang jelas dan permanen.

Fungsi Sebagai Saluran Irigasi

Dalam perencanaan pembangunan irigasi teknis, sungai yang ada dapat dipakai sebagai saluran irigasi teknis, jika dari segi teknis memungkinkan Kehilangan air disaluran dengan menggunakan sungai kecil lebih kecil daripada menggunakan saluran tanah buatan, karena pada umumnya porositas sungai relatif rendah mengingat adanya kandungan lumpur dan sedimen gradasi relatif kecil. Kaitannya dengan ekologi, perlu dipertimbangkan besarnya debit suplai air di sungai. Sejauh mungkin tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan flora dan

fauna

pengambilan

sungai yang air

bersangkutan.

Jika pada

dengan menggunakan bendung, harus diperhitungkan

jumlah debit air minimum yang harus tersedia di sungai bagian hilir bendung agar kehidupan ekologi sungai masih dapat berlangsung, demikian pula pada penggunaan sungai untuk saluran irigasi harus dipertimbangkan besarnya debit tambahan maksimum yang masih dapat ditolelir, baik bagi hidrolik maupun bagi ekologi sungai tersebut. Penelitian tentang debit air minimum dan debit air maksimum di suatu sungai kaitannya dengan ekologi sungai dewasa ini sedang berjalan relatif intensif. Hasil- hasil penelitian ini belum banyak dilaporkan

dalam temu

ilmiah. Penelitian yang dilakukan oleh Schera (1999) mengenai “mindess Wassermenge”

(“Debit

Air Minum”) dapat dijadikan sebagai langkah awal

penelitian-penelitian selanjutnya (Maryono, 2005).

Fungsi Ekologi Sungai mempunyai fungsi vital kaitannya dengan ekologi. Sungai dan bantarannya biasanya merupakan habitat yang sangat kaya akan flora dan fauna sekaligus sebagai barometer kondisi ekologi daerah tersebut. Sungai yang masih alamiah dapat berfungsi sebagai aerasi alamiah yang akan meningkatkan atau menjaga kandungan oksigen air sungai. Komponen ekologi sungai adalah vegetasi daerah badan, tebing, dan bantaran sungai. Pada sungai sering juga ditemui sisa-sisa vegetasi misalnya kayu mati yang posisinya melintang atau miring di sungai. Kayu mati ini pada sungai kecil dan menengah menunjukkan fungsi hidrolik maupun ekologi yang berarti (Scherle, 1999; Kern, 1994) . Disamping itu juga terjadi terjunan-terjunan kecil yang dapat meningkatkan kandungan oksigen dalam air. Kondisi fisik yang demikian ini merupakan habitat yang cocok untuk flora dan fauna suatu sungai, sekaligus berfungsi sebagai retensi aliran air.

Pemeliharaan Sungai Sungai dan ekosistem yang ada disekitarnya merupakan sebuah kekayaaan hayati yang tidak ternilai harganya. Tidak hanya untuk diberdayakan bagi generasi saat ini, tapi juga untuk dapat terus dinikmati oleh generasi yang akan datang. Mengingat hal tersebut, pemeliharaan sungai merupakan suatu aktivitas yang mutlak mendapat perhatian dari berbagai pihak. Yang dimaksud dengan pemeliharaan sungai adalah segala usaha yang bertujuan untuk menjaga kelestarian fungsi sungai. Pemeliharaan

tersebut

meliputi

pemeliharaan

sendiri,

misalnya

sungai

itu

penggerukan dasar sungai atau muara sungai sebagi akibat dari pendangkalan sungai karena pembuangan sampah ke sungai dan juga pemeliharaan bangunan – bangunan dalam rangka perbaikan dan pengaturan sungai seperti tanggul/talut dan perkuatan tebing sungai. Sungai perlu dipelihara agar keasliannya tetap terjaga karena tidak hanya untuk memberdayakan bagi generasi saat ini saja, tapi juga untuk dapat terus dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Pengelolaan Sungai Pengelolaan sungai yang dimaksudkan disini adalah segala usaha yang dilaksanakan

untuk memanfaaatkan

potensi sungai,

memelihara fungsi sungai dan mencegah terjadi bencana yang dapat ditimbulkan oleh sungai. Dengan demikian pengelolaan sungai luas sekali dan diantaranya dapat disebutkan : 1. Perbaikan dan pengaturan sungai 2. Pengoperasian bangunan-bangunan sungai 3. Pengendalian administratif seperti pembatasan atau pelarangan atas kegiatan- kegiatan yang dapat memberikan dampak negatif terhadap fungsi sungai. 4. Pemberian izin atas pemanfaatan air sungai. 5. Pemberian tanda batas-batas daerah sepanjang sungai. Dalam melaksanakan pengelolaan sungai, langkah-langkah yang tepat perlu dilaksanakan sehingga dicapai fungsi dan manfaat sungai sebagai milik umum, menjamin

kesejahteraan

umum,

pelestarian

dan

Jenis sungai menurut alirannya dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : 1) Aliran Permanen Aliran permanen yaitu aliran sungai yang tetap sepanjang tahun. Hal ini disebabkan sebagai berikut : (1) hujan yang turun sepanjang tahun di daerah hulu (2) hutan yang masih lebat di daerah hulu (3) mata airnya berasal dari salju abadi. Contoh : sungai-sungai di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya 2) Aliran Periodik Aliran periodik yaitu aliran sungai yan tidak tetap sepanjang tahun. Aliran periodik ini pada musimkemarau kering dan pada musim penghujan kadang-kadang banjir. Contoh sungai-sungai di Jawa dan Nusa Tenggara. Adanya banjir tersebut dipengaruhi juga oleh hal-hal sebagai berikut : 1. lebat dan lamanya turun hujan di daerah aliran sungai 2. morfologi daerah/bentuk permukaan tanah 3. lebat dan tidaknya tumbuh-tubuhan di daerah tersebut 4. ada atau tidaknya daun-daun sebagai akumulasi air.

Tipe-tipe Sungai 1. Sungai konsekuen longitudinal, ialah sungai yang alirannya sejajar dengan antiklinal. 2. Sungai konsekuen lateral, ialah sungai yang alirannya menuruni lerenglereng asli dari permukaan tanah seperti dome block mountain atau dataran yang baru terangkat. 3. Sungai subsekuen (strike river), ialah sungai yang tegak lrus dengan sungai konsekuen. 4. Sungai insekuen, ialah sungai yan gterjadinya tidak ditentukan oleh sebab-sebab yang nyata. Sungai ini mengalirnya tidak mengikuti batuan atau lereng, tetapi mengalir dengan arah yan tidak tentu, sehingga terjadi pola aliran yang dendritik (menyebar). 5. Sungai resekuen, ialah sungai yang mengalir mengikuti batuan, tetapi arahnya sesuai dengan sungai konsekuen yang asli. 6. Sungai obsekuen, ialah sungai yang mempunyai arah aliran berlawanan dengan sungai konsekuen. 7. Sungai gabungan (compound river), ialah sungai yang membawa air dari daerah yang berlawanan geomorfologinya. 8. Sungai komposit, ialah sungai yang mengangkut air dari daerah yang berlainan struktur geologinya. 9. Sungai anteseden, ialah sungai yang kekuatan erosi ke dalamnya dapat mengimbangi pengangkatan daerah. 10. 10)Sungai reserved, ialah sungai yang kekuatan erosi ke dalamya tidak mampu mengimbangi pengangkatan daerah, sehingga arah alran sungai ini berbelok menuju ke tempat lain yang lebih rendah. 11. 11)Sungai anaklinal, ialah sungai yang mengalir pada permukaa yang secara lambat terangkat dan arah pengangkatan itu berlawanan dengan arah arus sungai. 12. 12)Sungai superimposed, ialah sungai yang mengalir pada lapisan sedimen yang datar yang menutupi lapisan batuan bawahnya.

Pola aliran sungai 1. Pola dendritik, pola aliran sungai yang anak-anak sungainya bermuara pada sungai induk secara tidak teratur. Tempat pertemuan anak-anak sungai dengan induk ada yang berbentuk sudut lancip dan tumpul. Pola aliran ini terdapat di daerah yang batuannya homogen dan lerengnya tidak begitu terjal. 2. Pola trelis, pola aliran sungai yang sungai-sungai induknya hampir sejajar dan anak-anak sungainya juga hampir sejajar. Anak-anak sungai ini hampir membentuk sudut 900 dengan sungai induknya. 3. Pola rectanguler, pola aliran sungai yang terdapat di daerah yang terstruktur patahan. Aliran air pada pola ini membentuk sudut sikusiku. 4. Pola radial sentrifugal, suatu pola aliran sungai yang arahnya menyebar. Pola aliran ini terdapat di kerucut gunung berapi atau dome yang berstadium muda. Pola aliran ini umumnya menuruni lereng-lereng pegununungan. 5. Pola radial sentripetal, pola aliran sungai yang arah alirannya menuju pusat. Pola aliran ini terdapat di daerah cekungan. 6. Pola paralel, pola aliran sungai yang arah alirannya hampir sejajar antara sungai yang satu dengan yang lain. Tempat pertemuan anakanak sungai dengan sungai induknya berbentuk sudut lancip. Pola aliran ini terdapat di daerah perbukitan dengan lereng yang terjal.

POLA ALIRAN Dendritik

Trelis

Rectangular

Pinnate Radial Sentrifugal Radial Sentripetal Anular

KETERANGAN pola aliran yang tidak teratur, bentuknya seperti akar pohon, biasa terdapat di daerah dataran atau dataran pantai. terdapat juga di dataran tinggi atau plateau. pola aliran menyirip seperti daun dan anak-anak sungainya membentuk sudut siku-siku terhadap induk sungai, biasa terdapat di daerah pegunungan lipatan pola aliran menyirip seperti daun dan anak-anak sungainya membentuk sudut siku-siku terhadap induk sungai, biasa terdapat di daerah pegunungan patahan poal aliran sungai yang anak-anak sungainya membentuk sudut lancip l pola aliran yang menyebar meninggalkan pusat, terdapat di daerah gunung yang berbentuk kerucut. pola aliran yang mengumpul menuju pusat, terdapat didaerah cekungan pola aliran melingkar didaerah dome atau perbukitan

GAMBAR

Arti pentingnya sungai bagi kehidupan 1) Irigasi/pengairan sawah 2) Penangkapan ikan air tawar 3) Pembangkit tenaga listrik 4) Hubungan lalu lintas 5) Olah raga

Bentuk Komponen Bio-fisik Sungai meliputi: (1) bentuk struktur sungai, (2) lingkungan fisik sungai, dan (3) spesifik vegetasinya; sedangkan telaah lebih jauh (analisis dan pembahasan) dititik bertakan untuk mengungkap peranan fungsi bantaran sungai, dalam kaitannya dengan peranan fungsi jasa bio-hidrologis. Bentuk Struktur dan Karakteristik Lingkungan Sungai A. Struktur Sungai Menurut Forman dan Gordon (1983), morfologi pada hakekatnya merupakan bentuk luar, yang secara rinci digambarkan sebagai berikut;

A

B

C

B

A

F D

D E

E Gambar-1. Bentuk Morfologi Sungai (dimodifikasi)

Keterangan : Keterangan : A = Bantaran sungai. B = tebing/jering sungai. C = badan sungai. D = batas tinggi air semu. E = dasar sungai. F = vegetasi riparian

Lebih jauh Forman (1983), menyebutkan bahwa bagian dari bentuk luar sungai secara rinci dapat dipelajari melalui bagian-bagian dari sungai, yang sering disebut dengan istilah struktur sungai. Struktur sungai dapat dilihat dari tepian aliran sungai (tanggul sungai), alur sungai, bantaran sungai dan tebing sungai, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut: 1. Alur dan Tanggul Sungai Alur sungai (Forman & Gordon, 1983; dan Let, 1985), adalah bagian dari muka bumi yang selalu berisi air yang mengalir yang bersumber dari aliran limpasan, aliran sub surface run-off, mata air dan air bawah tanah (base flow). Lebih jauh Sandy (1985) menyatakan bahwa alur sungai dibatasi oleh bantuan keras, dan berfungsi sebagai tanggul sungai. 2. Dasar dan Gradien sungai Forman dan Gordon (1983), menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan matrial yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya. Dasar sungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa presen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air.

3. Bantaran sungai Forman dan Gordon (1983) menyebutkan bahwa bantaran sungai merupakan bagian dari struktur sungai yang sangat rawan. Terletak antara badan sungai dengan tanggul sungai, mulai dari tebing sungai hingga bagian yang datar. Peranan fungsinya cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien, menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat tetumbuhan yang spesifik (vegetasi riparian), yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu mengendalikan air pada saat musim penghujan dan kemarau. 4. Tebing sungai Bentang alam yang menghubungkan antara dasar sungai dengan tanggul sungai disebut dengan “tebing sungai”. Tebing sungai umumnya membentuk lereng atau sudut lereng, yang sangat tergantung dari bentuk medannya. Semakin terjal akan semakin besar sudut lereng yang terbentuk. Tebing sungai merupakan habitat dari komunitas vegetasi riparian, kadangkala sangat rawan longsor karena batuan dasarnya sering berbentuk cadas. Sandy (1985), menyebutkan apabila ditelusuri secara cermat maka akan dapat diketahui hubungan antara lereng tebing dengan pola aliran sungai

B. Kerapatan sungai Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti yang dikemukan Sandy (1985) adalah bagian dari muka bumi yang dibatasi oleh topografi dan semua air yang jatuh mengalir kedalam sungai, dan keluar pada satu outlet. Sedangkan kerapan sungai yang dimaksudkan adalah ratio (perbandingan) jumlah panjang sungai dalam (km) terhadap luas Daerah Aliran Sungai. C. Karakteristik sungai Karakteristik sungai memberikan gambaran atas profil sungai, pola aliran sungai dan genetis sungai, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut; 1. Profil sungai Berdasarkan perkembangan profil sungai (Lobeck, 1939; Pannekoek, 1957 dan Sandy, 1985), dalam proses pengembangnnya mengalami tiga taraf yaitu: Periode muda, terdapat di daerah hulu sungai, yang mempunyai ketinggian relief yang cukup besar. Ciri spesifiknya terdapatnya sayatan sungai yang dalam, disebabkan oleh penorehan air yang kuat dari air yang mengalir cepat dan daya angku yang besar. Erosi tegak sering dijumpai, sehingga lebah curam berbentuk huruf (V) sering juga ditemukan. Contoh yang jelas di hulu Sungai Cipeles sekitar Cadas Pangeran. Periode dewasa, dijumpai di bagian tengah sungai, yang dicirikan dengan pengurangan kecepatan aliran air, karena ketinggian relief yang berkurang. Daya angkut berkurang, dan mulai timbul pengendapan di beberapa tempat yang relatif datar. Keseimbangan antara kikisan dan pengendapat mulai tampak, sehingga di beberapa tempat mulai terjadi akumulasi material, arus akan berbelok-belok, karena endapan yang mengeras, dan di tempat endapan inilah yang sering terjadi meander. Periode tua, di daerah hilir dengan ketinggian rendah, yang dicirikan tidak terjadi erosi tegak, dan daya angkut semakin berkurang, sehingga merupakan pusat-pusat pengendapan. Tekanan air laut di bagian muara sungai sering menyebabkan delta.

2. Pola Aliran Cotton (1949), menyatakan bahwa letak, bentuk dan arah aliran sungai, dipengaruhi antara lain oleh lereng dan ketinggian, perbedaan erosi, struktur jenis batuan, patahan dan lipatan, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan bentuk genetik dan pola sungai. Pola sungai adalah kumpulan dari sungai yang mempunyai bentuk yang sama, yang dapat menggambarkan keadaan profil dan genetik sungainya (Lobeck, 1939; Katili (1950), dan Sandy, 1985). Lebih jauh dikemukakan bahwa ada empat pola aliran sungai yaitu: (1). Pola denditrik, bentuknya menyerupai garis-garis pada penampang daun, terdapat di struktur batuan beku, pada pengunungan dewasa. (2). Pola retangular, umumnya terdapat di struktur batuan beku, biasanya lurus mengikuti struktur patahan, dimana sungainya saling tegak lurus (3). Pola trellis, pola ini berbentuk kuat mengikuti lipatan batuan sedimen. Pada pola ini terpadapt perpaduan sungai konsekwen dan subsekwen. (4). Pola radial, pola ini berbentuk mengikuti suatu bentukan muka bumi yang cembung, yang merupakan asal mula sungai konsekwen. 3. Genetik Sungai Menurut Lobeck (1939), klasifikasi genetik sungai dibedakan menjadi empat yaitu: (a). Sungai konsekwen, yaitu sungai yang bagian tubuhnya mengalir mengikuti kemiringan lapisan batuan yang dilaluinya. Contoh S. Cipanas, Sungai Cacaban. (b). Sungai Subsekwen, yaitu sungai yang mengalir pada lapisan batuan yang lunak, dan biasanya merupakan sungai yang tegak lurus terhadap sungai konsekwen. (c). Sungai Obsekwen, adalah sungai yang mengalir berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan, atau sungai yang mengalir dan berlawanan dengan sungai konsekwen. (d). Sungai antiseden, sungai yang mengalir melalui patahan, dengan adanya teras,

4. Tata Nama Sungai Sandy (1985), membedakan nama bagian sungai menjadi empat yaitu (a) induk sungai, yang merupakan tumbuh sungai terpajang dan lebar mulai dari hulu sungai sampai ke hilir sungai: (b) anak sungai adalah cabangcabang sungai yang menyatu dengan induk sungai, (c) alur anak cabang sungai, adalah cabang-cabang sungai yang menyatu dengan anak sungai, dan (d) alur mati (creek), adalah alur-alur di bagian teratas yang kadang kala berair apabila hujan, dan pada waktu tidak ada hujan maka akan kering. B. Lingkungan Bio-fisik Sungai 1. Vegetasi Spesifik Bantaran Sungai Jenis vegetasi riparian di Indonesia dari bagian hilir sampai dengan bagian hulu cukup bervariasi, dan menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh batuan dasar dan ketinggian tempat. Waryono (1985) menyebutkan bahwa jenis vegetasi asli riparian yang dominan dijumpai di S. Mahakan Kalimantan Timur meliputi: waru (Hisbiscus tiliaceus); renghas (Gluta veluntino), cangkring (Erytrina sp), kempas (Koompasia malacensis), keciat (Spatodea campanulata), dan bungur (Lagerstromea filamentosa). Jenis vegetasi riparian di DKI Jakarta, tercatat 10 jenis dan nampaknya sama seperti yang dijumpai di bantaran Citandui, Cimanuk, dan Citarum bagian tengah. Jenis-jenis dimaksud adalah: Gluta renghas, Lagerstromea indica, Syzygium polianthum, Vitex pubescens, Pithecelobium sp, Hisbiscus tiliaceus, Sterculia foetida, Alstonia scholaris, Pterospernum javanicum dan Erytrina variegata (Waryono, 2002).

2. Lingkungan Fisik Sungai Kedalam sungai Menurut Sandy (1985), kedalaman sungai sangat tergantung dari jumlah air yang tertampung pada alur sungai yang diukur dari penampang dasar sungai sampai ke permukaan air. Level rataan dasar sungai pengukurannya dirata-ratakan minimal dari tiga titik yang berbeda yaitu di bagian tengah dan kanan kirinya.

Debit sungai Debit sungai adalah besaran volume air yang mengalir per satuan waktu. Volume air dihitung berdasarkan luas penampang dikalikan dengan tinggi air. Sumber air sungai terbesar berasal dari curah hujan, di bagian hulu umumnya curah hujannya lebih tinggi, dibanding di daerah tengah dan hilir. Sumber lainnya berasal dari aliran bawah tanah, yang dibedakan menjadi air sub surface runof, mata air dan air bawah tanah (base flow). Pada musim penghujan, aliran bawah tanah bersumber dari air hujan., yang masuk melalui peristiwa infiltrasi perkolasi. Air perkolasi menuju ke lapisan air tanah dalam (ground water), namun sering ada yang keluar kesamping (sub-surface runof). Air aliran samping ini sering keluar pada waktu musim hujan dan atau musim kemarau, yang berbeda dengan aliran bawah tanah yang akan keluar pada waktu musim kemarau.

Suhu air Secara umum, temperatur air sungai secara horizontal dipengaruhi oleh ketinggian tempat (elevasi). Sandy (1985), mengemukakan bahwa di daerah-daerah hulu air sungai relatif dingin, sedangkan di bagian tengah dan hilir semakin tinggi suhunya. Akan tetapi Cole (1979), menyatakan bahwa selain pemanasan bersumber dari matahari, suhu air sungai juga sering bersumber dari batuan kapur dan atau panas bumi. Tinggi rendahnya temperatur air sungai, akan berpengaruh terhadap kehidupan (biota) perairan sungai. Salinitas Salinitas air sungai, di bagian hulu dan tengah hampir jarang dipengaruhi oleh salinitas, berbeda dengan di daerah hilir. Tingginya salinitas air sungai di daerah hilir, disebabkan oleh pengaruh pasang surut air laut. Namun demikian Lebeck (1939), menyatakan bahwa salinitas air baik di bagian hulu, tengah dan hilir selain dipengaruhi oleh pengaruh air laut, juga dipengaruhi oleh kandungan unsur hara yang bersifat basa. Padatan Tersuspensi Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh musim. Pada cwaktu musim penghujan kadungan lumpur relatif lebih tinggi karena besaran laju erosi yang terjadi; sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai dipengaruhi oleh laju aliran air yang terbatas menoreh hasil-hasil endapan sungai.

C.ANALISIS SUNGAI 1. Struktur Sungai Mencermati atas Gambar-I (Profil Sungai), dapat ditelusuri bahwa struktur sungai pada hakekatnya merupakan komponen (elemen) atau bagian dari morfologi sungai, yang meliputi badan sungai, tebing sungai, bantaran sungai dan tanggul sungai. Bagian dari badan sungai dapat diketahui gradien sungainya. Permukaan bumi menunjukkan adanya relief, baik dalam sekala besar maupun kecil yang memungkinkan terjadinya aliran dari hulu ke hilir. Bentuk dan lingkungan fisik sungai secara alamiah terlihat sejak munculnya bumi keper mukaan. Air merupakan salah satu di antara faktor-faktor penyebab terbentuknya sungai yang dipengaruhi oleh besaran curah hujan, jenis batuan, dan ketinggian tepat. Curah hujan sebagai sumber air sungai, jenis batuan dan ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap bentuk komunitas vegetasi bantaran sungai, serta berpengaruh terhadap temperatur air sungai, salinitas, dan tingkat kekeruhannya. Mencermati atas uraian profil sungai, dimana ada tiga taraf dalam proses pengembangnnya (periode muda, dewasa dan tua), nampaknya apabila ditelusuri lebih jauh, akan memperlihatkan bentuk struktur yang berbeda antara periode yang satu dengan lainnya. Hal ini terlihat dari kenampakan seperti mengapa meader terjadi di bagian tengah atau dekat ke hilir, delta selalu berada di daerah hilir, dan gerusan dasar sungai lebih cenderung terjadi di gradien yang lebih besar presentase kelerengannya. Demikian halnya terhadap pola aliran air yang nampaknya secara spesifik juga akan memperlihatkan struktur yang berbeda antara pola yang satu dengan lainnya. Hal ini mengingat bahwa terbentuknya pola aliran sungai sangat dipengaruhi oleh dominansi batuan pembentunya (batuan beku dan atau batuan sedimen).

2. Peranan fungsi Bantaran sungai Seperti diungkapkan oleh Forman dan Gordon (1985), bahwa bantaran sungai pada dasarnya merupakan habitat dari vegetasi riparian. Dengan demikian menelaah peranan fungsi bantaran sungai, bukan terbatas pada peranan fungsi fisiknya, namun demikian peranan fungsi vegetasi riparian juga memberikan informasi yang cukup berperan dalam mengungkap peranan fungsi jasa biologis dan hidrologisnya. Peranan fungsi jasa biologis vegetasi riparian, disamping berfungsi sebagai penyaring (filter) nutrien yang diangkut oleh aliran permukaan, juga mampu mengendalikan erosi. Nutrien yang terbawa oleh aliran permukaan bersumber baik dari air hujan maupun tanah yang tererosi. Dihambatnya aliran permukaan oleh tetumbuhan, maka infiltrasi menjadi besar, hingga nutrien akan tersaring dan masuk kedalam tanah. Demikian halnya akibat tertahannya air limpasasn maka besaran sedimen yang terangkut oleh air limpasan menjadi terhambat dan diendapkan. Dengan demikian daerah riparian umumnya kaya akan hara mineral tanah, dan merupakan habitat (tempat) tumbuh dari berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi. Di sisi lain peranan fungsi jasa biologis vegetasi riparian juga mampu menyediakan berbagai sumber pakan satwa liar, seperti burung, mamalia terbang, dan atau kehidupan lainnya. Selain jasa biologis pepohonan bantaran sungai di wilayah perkotaan juga berperan sebagai pelerai dan atau penghalau kecepatan angin, menyerap berbagai bentuk polutan, serta mampu mengendalikan iklim mikro, yang erat kaitannya dengan kenyamanan lingkungan hidup. Peranan fungsi jasa hidrologis vegetasi riparian, seperti halnya peranan fungsi vegetasi secara umum telah banyak diungkap oleh beberapa akhli hidrologi. Namun demikian secara spesifik bahwa vegetasi riparian lebih mampu dalam pengaturan tata air baik pada waktu musim penghujan dan kemarau. Jasa lain, vegetasi riparian yaitu kemampuan vegetasi dalam merubahan besaran unsur-unsur hara mineral dan atau sifat fisik-kimia baik air maupun tanahnya.

Related Documents

Bahan Ajar Morfologi Sungai
February 2021 0
Bahan Ajar Sma
January 2021 0
Bahan Ajar Beton
March 2021 0
Bahan Ajar Fisika
January 2021 0
Bahan Ajar Peluang
January 2021 0
Bahan Ajar Jarkom
February 2021 0

More Documents from "Hanum Nikma"

Bahan Ajar Morfologi Sungai
February 2021 0