Bedah Preprostetik

  • Uploaded by: Nizajaul
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bedah Preprostetik as PDF for free.

More details

  • Words: 4,213
  • Pages: 29
Loading documents preview...
MAKALAH BEDAH PREPROSTETIK

Diselesaikan untuk memenuhi persyaratan tutorial mata kuliah DSP 8

Oleh : Astrid Widhowaty S.

(160110120030)

Niza Tapiza

(160110120031)

Andita Nurseptiani L.

(160110120032)

Irene Mariani N.

(160110120035)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2015

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Bedah Preprostetik”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah DSP 8. Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis hingga terwujudnya makalah ini. Dengan selesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritikan yang bersifat membangun dari semua pihak demi baiknya makalah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Jatinangor, 26 Mei 2015 Penulis,

Kelompok Tutorial 3

DAFTAR ISI

3

KATA PENGANTAR

2

DAFTAR ISI

3

BAB I PENDAHULUAN

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5

2.1 Bedah Preprostetik

5

2.2 Alveoloplasti

5

2.3 Frenektomi

20

2.4 Vestibuloplasti

22

BAB III KESIMPULAN

26

DAFTAR PUSTAKA

27

BAB I PENDAHULUAN

4

Bedah preprostetik adalah suatu tindakan pembedahan yang dilakukan sebelum pembuatan gigi tiruan. Tindakan ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan tulang alveoler rahang agar dapat menjadi lebih baik untuk penempatan suatu gigi tiruan. Tempat gigi tiruan di rongga mulut disebut dengan denture bearing. Tindakan bedah untuk memperbaiki denture bearing dapat dilakukan pada jaringan lunak (gingiva) dan tulang alveoler rahang atau secara bersamaan pada keduanya. Tujuan bedah preprostetik selain untuk memperbaiki keadaan tulang alveoler rahang dapat pula dimaksudkan untuk memperdalam sulkus gingiva sehingga tulang alveoler rahang akan memiliki bentuk lebih menonjol atau prominent atau lebih tinggi sehingga gigi tiruan (terutama gigi tiruan lengkap atau fulldenture) dapat terletak lebih stabil di rongga mulut. Bedah preprostetik ini dapat untuk melakukan modifikasi atau memperbaiki keadaan tulang alveolar rahang sehingga setelah perbaikan pada pasien dapat dilakukan pemasangan gigi tiruan dengan lebih baik karena gigi tiruan dapat terletak stabil, tidak sakit sehingga pasien akan lebih merasa nyaman pada pemakaian gigi tiruannya. Tindakan bedah preprostetik dapat dilakukan baik di rahang atas maupun di rahang bawah. Bedah preprostetik bertujuan untuk membentuk jaringan keras dan jaringan lunak yang seoptimal mungkin sebagai dasar dari suatu protesa. Bedah preprostetik ini lebih ditujukan untuk modifikasi tulang alveolar dan jaringan sekitarnya untuk memudahkan pembuatan protesa yang baik, nyaman dan estetis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5

2.1. Bedah Preprostetik Bedah preprostetik bertujuan untuk membuang lesi atau abnormalitas jaringan pada jaringan keras dan jaringan lunak dari rahang sehingga penempatan protesa dapat dilakukan dengan sukses. Abnormalitas pada jaringan keras dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu : 1

Abnormalitas jaringan yang dapat dihaluskan dengan alveoloplasty segera setelah ekstraksi gigi (contoh : tepi tulang yang tajam) atau abnormalitas tulang alveolar yang terdeteksi pada rahang tidak bergigi yang dapat

2

direkonturing. Abnormalitas kongenital, misalnya torus palatinus dan torus mandibula.

2.2. Alveoloplasti 2.2.1. Definisi Menurut Archer, alveolektomi adalah suatu tindakan bedah untuk membuang prosesus alveolaris, baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun pembuangan seluruh prosesus alveolaris diindikasikan pada rahang yang diradiasi sehubungan dengan perawatan neoplasma yang ganas.Oleh karena itu penggunaan istilah alveolektomi yang biasa digunakan kurang tepat tetapi karena sering digunakan maka istilah tersebut masih dapat diterima. Akhir-akhir ini banyak ahli bedah mulut yang menggunakan istilah alveoloplasty dan alveoplasty untuk menyatakan tindakan pembentukan kembali prosesus alveolaris dibandingkan pembuangannya. Alveoloplasty adalah suatu tindakan bedah untuk membentuk prosesus alveolaris sehingga dapat memberikan dukungan yang baik bagi gigi tiruan immediate maupun gigi tiruan yang akan dipasang beberapa minggu setelah operasi dilakukan. Setiap tindakan ekstraksi gigi selalu diikuti dengan resorbsi tulang alveolar sehingga dalam melakukan tindakan alveolektomi seorang dokter gigi harus melindungi tulang sebanyak mungkin sehingga dapat membentuk suatu jaringan pendukung gigi tiruan yang baik. 2.2.2. Etiologi

6

Indikasi untuk prosedur ini jarang dilakukan tetapi mungkin dilakukan saat proyeksi gigi anterior yang eksesif dari ridge pada area premaksilaris menjadi masalah

untuk

estetik

dan

kestabilan

gigi

tiruan

pada

masa

yang

mendatang.Maloklusi klass II divisi I adalah tipe yang sangat memungkinkan untuk dilakukan prosedur ini (Wray, 2003).Prosedur ini juga diindikasikan pada morfologi tulang yang abnormal akibat resorpsi pasca ekstraksi, pertumbuhan lokal yang eksesif, dan kelainan kongenital. 2.2.3. Indikasi Indikasi dilakukannya tindakan alveoloplasty adalah : 1

Pada rahang dimana dijumpai neoplasma yang ganas dan untuk

2

penanggulangannya akan dilakukan terapi radiasi Pada prosesus alveolaris yang dijumpai adanya undercut, cortical plate yang tajam, puncak ridge yang tidak teratur, tuberositas tulang, dan elongasi sehingga mengganggu dalam proses pembuatan dan

3

adaptasi gigi tiruan Jika terdapat gigi yang impkasi atau sisa akar yang terbenam dalam

4 5 6

tulang, alveoloplasty dapat mempermudah pengeluarannya. Pada prosesus alveolaris yang dijumpai adanya kista atau tumor Pada saat akan melakukan tindakan apikoektomi Jika terdapat ridge prosesus alveolaris yang tajam atau menonjol sehingga dapat menyebabkan facial neuralgia maupun rasa sakit

7

setempat. Pada kasus prognatisme maksila dapat dilakukan alveoloplasty yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan anteroposterior antara

8

maksila dan mandibula Setelah tindakan pencabutan satu atau beberapa gigi sehingga dapat

segera dilakukan pencetakan yang baik untuk pembuatan gigi tiruan 9 Adanya torus palatinus maupun torus mandibula yang besar 10 Untuk memperbaiki overbite dan overjet 2.2.4. Kontraindikasi Adapun kontraindikasi dilakukannya tindakan alveoloplasty adalah :

7

1

Pada pasien yang masih muda karena sifat tulangnya masih elastis sehingga proses resorpsi tulang lebih cepat dibandingkan dengan

2

pasien tua Pada pasien wanita atau pria yang jarang melepaskan gigi tiruannya karena rasa malu sehingga jaringan pendukung gigi tiruan menjadi kurang sehat akibat selalu dalam keadaan tertekan dan jarang dibersihkan. Hal ini mengakibatkan proses resorpsi tulang dan

3

terhambatnya proliferasi jaringan Jika bentuk prosesus alveolaris tidak rata tapi tidak menganggu adaptasi gigi tiruan baik dalam hal pemasangan, retensi, maupun stabilitas.

2.2.5. Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan dalam Melakukan Alveoloplasty Dalam melakukan tindakan alveoloplasty terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan oleh seorang dokter gigi, yaitu : 2.2.5.1 Bentuk Prosesus Alveolaris Pada pembuatan gigi tiruan dibutuhkan bentuk prosesus alveolaris yang dapat memberikan kontak serta dukungan yang maksimal. Karena itu selain menghilangkan undercut yang dapat mengganggu pemasangan gigi tiruan, maka dalam melakukan alveoloplasty harus diperhatikan juga bentuk prosesus alveolaris yang baik yaitu bentuk U yang seluas mungkin sehingga dapat menyebarkan tekanan mastikasi pada permukaan yang cukup luas. 2.2.5.2 Sifat Tulang yang Diambil Untuk mendapatkan suatu hasil terbaik maka suatu gigi tiruan harus terletak pada tulang kompakta, bukan tulang spongiosa.Karena itu pada waktu melakukan alveoloplasty dengan pembuangan tulang yang banyak harus diusahakan untuk mempertahankan korteks tulang pada saat membuang tulang medular yang lunak.Hal ini disebabkan karena tulang spongiosa lebih cepat dan lebih banyak mengalami resorbsi dibandingkan dengan tulang kompakta.

8

2.2.5.3 Usia Pasien Usia pasien juga harus dipertimbangkan dalam melakukan alveoloplasty karena semakin muda pasien maka jangka waktu pemakaian gigi tiruan semakin lama. Tulang pada pasien muda lebih plastis dan lebih cenderung mengalami resorbsi dibandingkan atrofi, serta pemakaian tulang alveolar lebih lama daripada pasien tua.Jadi pembuangan tulang pada pasien muda dianjurkan lebih sedikit dan mungkin tidak perlu dilakukan trimming tulang. 2.2.5.4 Penambahan Free Graft Jika pada waktu pencabutan gigi atau alveoloplasty dilakukan ada tulang yang secara tidak sengaja terbuang atau terlalu banyak diambil, maka harus diusahakan untuk mengembalikan pecahan tulang ini ke daerah operasi.Pecahan tulang ini disebut free graft.Replantasi free graft ini dapat mempercepat proses pembentukan tulang baru serta mengurangi resorbsi tulang. Boyne menyatakan bahwa penggunaan autogenous bone graft lebih baik daripada homogenous dan heterogenousbone graft untuk pencangkokan, dan semakin banyak sumsum tulang dan selsel endosteal pada tulang semakin baik. 2.2.5.5 Proses Resorbsi Tulang Pada periodontitis tingkat lanjut yang ditandai dengan resorbsi tulang interradikular, maka alveoloplasty harus ditunda sampai soket terisi oleh tulang baru. Penundaan selama 4-8 minggu ini dapat menghasilkan bentuk sisa ridge yang lebih baik. Selain itu harus diingat juga bahwa pada setiap pembedahan selalu terjadi resorbsi tulang, maka harus dihindari terjadinya kerusakan tulang yang berlebih akibat suatu tindakan bedah, karena keadaan ini dapat mempengaruhi hasil perawatan. 2.2.6. Komplikasi Dalam melakukan suatu tindakan bedah tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya komplikasi, demikan pula halnya dengan alveolektomi. Dimana

9

komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi antara lain: rasa sakit, hematoma, pembengkakan yang berlebihan, timbulnya rasa tidak enak pasca operasi (ketidaknyamanan), proses penyembuhan yang lambat, resorbsi tulang berlebihan serta osteomyelitis. Tetapi semua hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan prosedur operasi serta tindakan-tindakan pra dan pasca operasi yang baik. 2.2.7. Macam-Macam Alveoloplasti 2.2.7.1. Recontouring of Edentulous Alveolar Ridge Terkadang setelah ekstraksi gigi dan luka telah sembuh, tulang alveolar yang tersisa dapat berbentuk irregular pada beberapa tempat, atau bahkan pada semua daerah. Hal ini terjadi karena pasien tidak melakukan perawatan rekonturing tulang yang adekuat setelah ekstraksi gigi untuk memastikan proses penyembuhan yang optimal. Pada kasus ini, tulang harus dihaluskan untuk mencegah terjadinya luka dan untuk mencegah hilangnya dukungan (support) untuk gigi tiruan lengkap.Jika terdapat projeksi tulang yang cukup besar pada daerah tulang alveolar, pertama buat insisi sepanjang kritsta dari tulang alveolar dimana projeksi tulang terjadi, setelah itu refleksikan flap mukoperiosteal. Daerah tulang tersebut dihaluskan menggunakan bone file, lalu tulang dipalpasi untuk memastikan apakah sudah halus atau belum. Setelah itu lakukan irigasi menggunakan larutan saline dan luka dijahit. Saat refleksi flap dan menggunakan bone file, jari telunjuk pada tangan yang tidak dominan diletakkan pada sisi lingual dari flap untuk melindunginya dari kecelakaan instrument yang mungkin terjadi. Jika terdapat tulang alveolar yang irregular pada semua daerah tulang alveolar, teknik bedah yang digunakan adalah insisi ekstensif sepanjang tulang alveolar, refleksi flap mukoperiosteal, haluskan tulang, luka dibersihkan dan dijahit. Prosedur ini tidak terlalu sulit sebab pembuluh darah yang kecil atau besar dan kumpulan saraf pada daerah ini mudah dikenali sehingga luka atau trauma dapat dicegah.

10

Gambar 2.2.7.1-1 Rekonturing Daerah Tulang Alveolar pada Pasien Tidak Bergigi

11

Gambar 2.2.7.1-2 Rekonturing Seluruh Tulang Alveolar pada Pasien Tidak Bergigi

2.2.7.2.

Setelah Pencabutan Satu Gigi

12

Ketika sebuah gigi hipererupsi dikarenakan tidak adanya gigi antagonis, ketidakrataan tulang biasanya diobservasi setelah ekstraksi.(Gambar 2.2.4-1).

Gambar 2.2.7.2-1 Gambaran hipererupsi gigi akibat kehilangan gigi antagonis (Fragiskos, 2007) Hal ini dapat menyebabkan masalah untuk proses penyembuhan normal dan abnormalitas pada tulang alveolar, tampak dari obstruksi penempatan dari peralatan restorasi prostetik. Pada kasus berikut, segera setelah ekstraksi gigi, rekontur dari gusi pada area tersebut harus dilakukann.Prosedur relatif secara keseluruhan seeperti berikut ini: 1. Setelah ekstraksi gigi, sebuah flap dibuat dan sebuah rongeur digunakan untuk memotong bagian tajam dari soket sampai secara klinis ruang interarkus dibuat. 2. Setelah itu, permukaan tulang dihaluskan menggunakan bur dan bonefile, dan semua kelebihan gingiva dihilangkan dengan gunting jaringan lunak.

13

Gambar 2.2.7.2-2Menghaluskan alveolar ridge menggunakan bone rongeur dan dengan bur tulang (Fragiskos, 2007). 3. Area tersebut diirigasi dengan larutan saline dengan jumlah banyak dan luka dijahit dengan interrupted suture.

Gambar 2.2.7.2-3Penjahitan pada jaringan lunak (Fragiskos, 2007).

2.2.7.3. Setelah Pencabutan Dua atau Tiga Gigi Ketika dua atau tiga gigi di maksila atau mandibular diekstraksi (Gambar 2.2.7.3-1),prosedur hampir sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya untuk ekstraksi gigi tunggal.

14

Gambar 2.2.7.3-1 Pencabutan dua sampai tiga gigi.(Fragiskos, 2007). Lebih spesifik, setelah ekstraksi gigi, apabila terdapat batas alveolar irregular dalam jumlah yang besar atau jika alveolar ridge tinggi, bagian mukosa pertama-tama dihilangkan dengan wedge-shaped incisions, mesial dan distal ke soket pos-ekstraksi.

Setelah itu tulang direkontur menggunakan rongeur dan bur tipe akrilik, semetara itu luka dijahit (Gambar 2.2.7.3-2).

15

Gambar 2.2.7.3-2 Tahapan penghalusan tulang alveolar sampai dengan penjahitan pada ekstraksi dua sampai tiga gigi (Fragiskos, 2007). Ketika terdapat iregularitas pada soket pos-ekstraksi ditemukan dengan palpasi, rekontur tulang dapat dilakukan menggunakan hanyabonefile atau kombinasi dengan rongeur.

16

Gambar 2.2.7.3-3 Alveoloplasti menggunakan bonefile dan rongeur (Fragiskos, 2007). 2.2.7.4. Setelah Pencabutan Gigi Multipel Prosedur ini termasuk di antaranya adalah: 1. Ektraksi yang dijadwalkan 2. Refleksi gingiva 3. Penghalusan tulang alveolar 4. Perawatan luka 5. Penjahitan mukoperiosteum Lebih spesifik lagi, Prosedur seperti berikut ini, setelah pemeriksaan klinis dan radiografi pada gigi yang akan diekstraksi (Gambar 2.2.7.4-1), anestesi lokal

17

diberikan dan semua gigi dihilangkan pada waktu yang bersamaan dengan hatihati, sehingga dinding alveolar ditinggalkan seutuh mungkin (Gambar 2.2.7.4-1).

Gambar 2.2.7.4-1 Gambaran radiografi gigi maksila yang membutuhkan penghalusan tulang alveolar (Fragiskos, 2007). Sebuah insisi dibuat di alveolar ridge untuk memotong interdental papilla dan gingiva direfleksi dari prosesus alveolaris (Gambar 2.2.7.4-2).

Gambar 2.2.7.4-2 Insisi sepanjang alveolar ridge untuk memotong interdental papilla. Refleksi dan deviasi mukoperiosteal flap untuk melihat area tulang yang akan dikontur (Fragiskos, 2007).

18

Segera setelah itu, ujung tulang yang tajam dihilangkan (tulang intraseptap irregular dan proyeksi tulang) menggunakan rongeur (Gambar 2.2.7.4-3) dan setelah meretraksi mukoperiosteum, tulang dihaluskan dengan bonefile sampai permukaan tulang terasa halus saat diperiksa (Gambar 2.2.7.4-3).

Gambar 2.2.7.4-3Penghilangan dan penghalusan tulang menggunakan rongeur (Fragiskos, 2007).

Batas flap dikurangi menggunakan gunting jaringan lunak sehingga terdapat kontak sempurna setelah penghilangan tulang (Gambar 2.2.7.4-4).

19

Gambar 2.2.7.4-4 Penghilangan kelebihan jaringan menggunakan guntingjaringan lunak(Fragiskos, 2007). Setelah itu salin dalam jumlah banyak digunakan untuk mengirigasi luka dan diikuti dengan menjahit menggunakan teknik continuous suture. (Gambar 2.2.7.4-5)

Gambar 2.2.7.4-5 Penjahitan dan gambar klinis setelah dua bulan pascaoperasi (Fragiskos, 2007). Alveoloplasti harus dibatasi untuk rekontur iregularitas besar dan spikula tulang. Dengan kata lain, penghalusan keseluruhan dari alveolar ridg eakan menyebabkan hasil negatif keseluruhan stabilitas dan retensi dari gigi tiruan penuh yang diinginkan.

2.3. Frenektomi

20

Frenektomi merupakan prosedur untuk menghilangkan frenulum (Ghosh, 2006). Frenulum yang biasanya membutuhkan prosedur frenektomi adalah frenulum labial dan frenulum lingual. Frenektomi diindikasikan jika frenulum tersebut menyebabkan masalah, contohnya adalah masalah fonasi, menyebabkan tension pada margin gingiva, untuk memfasilitasi perawatan ortodonti, dan untuk memfasilitasi perawatan eksodonti. 2.3.1. Frenektomi Labial Perlekatan frenulum labial terdiri dari jaringan fibrosa tipis yang dilapisi oleh mukosa yang meluas dari pipi dan bibir ke periosteum alveolar. Ketinggian perlekatan tersebut bervariasi antar individu. Pada individu yang bergigi, perekatan frenulum tersebut jarang menimbulkan masalah, tetapi untuk individu tidak bergigi, frenulum tersebut dapat mengganggu kestabilan, fitting, dislokasi, dan kenyamanan dalam penggunaan protesa. Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk frenektomi labial, diantaranya adalah simple excision technique, Z-plasty technique, localized vestibuloplasty with secondary epithelialization, dan laser-assisted frenectomy. simple excision technique dan Z-plasty technique efektif digunakan jika jaringan fibrosa dan mukosa pada perlekatan relatif rendah. Localized vestibuloplasty with secondary epithelialization lebih dipilih jika perlekatan frenulum memiliki dasar yang lebar dan laser-assisted technique dpilih untuk membuat eksisi lokal dan ablasi perlekatan jaringan mukosa dan fibrosa yang eksesif sehingga epitelisasi sekunder dapat terjadi. Eksisi dari frenulum ini termasuk prosedur mudah dan dapat dikerjakan oleh dokter gigi umum. Instrumen yang biasanya digunakan adalah dua hemostat, meskipun teknik yang digunakan dapat bervariasi. Setelah dilakukan anestesi lokal, bibir diangkat keatas dan frenulum dipegang oleh dua hemostat yang diletakan pada margin superior dan inferior. Perlu diperhatikan bahwa infiltrasi anestesi langsung pada frenulum seharusnya dihindari karena dapat mendistorsi anatomi frenulum dan dapat mengakibatkan kesalahan identifikasi. Bibir kemudian diretraksi lebih jauh lagi dan pisau scalpel yang tipis digunakan untuk

21

menginsisi jaringan yang terdapat dibelakang hemostat, pertama-tama di belakang hemostat bawah dan diikuti jaringan dibelakang hemostat atas. Frenum dapat mengalami hipertrofi dan jika hal tersebut terjadi akan terdapat jarak yang luas diantara insisif sentral sehingga jaringan yang berada diantara dan dibelakang insisif sentral harus dibuang pula. Jahitan interrupted ditempatkan di sepanjang margin lateral pada arah linear setelah mukosa pada margin luka dilonggarkan dengan menggunakan gunting. Pada Z-plasty technique eksisi jaringan ikat fibrosa dilakukan dengan cara yang sama, tetapi setelah eksisi dibuat dua insisi obliq yang membentuk huruf Z pada masing-masing ujung di area yang dieksisi sebelumnya. Kedua flap tersebut kemudian dilonggarkan dengan hati-hati dan dirotasi untuk menutup insisi vertikal yang telah dibuat secara horizontal. Ekstensi oblique tersebut juga membutuhkan penutupan. Teknik ini dapat mengurangi ablasi vestibuar yang terkadang terlihat setelah eksisi linear frenulum. Teknik selanjutnya melibatkan localized vestibuloplasty with secondary epithelialization. Prosedur ini menguntungkan jika dasar perlekatan sangat lebar, seperti pada kebanyakan perlekatan frenulum mandibula anterior. Lokal anestesi diinfiltrasi terutama pada area supraperiosteal di sepanjang margin perlekatan frenulum. Insisi dibuat pada jaringan submukosa dan jaringan dibawah submukosa tanpa memperforasi periosteum. Diseksi supraperiostteal diselesaikan dengan melonggarkan jaringan mukosa dan submukosa dengan gunting atau dengan tekanan jari pada spons yang diletakan di periosteum. Setelah lapisan periosteal yang bersih teridentifikasi, bagian pinggir dari flap mukosa dijahit ke periosteum dengan kedalaman maksimum setinggi vestiulum dan periosteum yang terekspos dibiarkan sembuh dengan epitelisasi sekunder. Surgical splint atau denture dengan liner jaringan lunak seringkali berguna dalam periode penyembuhan inisial. Eksisi perlekatan frenulum dapat pula dilakukan melalui laser. Bagian perlekatan frenulum yang terdiri dari tendon diablasi dengan laser dan seringkali tidak membutuhkan jahitan untuk reapproximation jaringan karena reepitelisasi dapat terjadi pada margin luka.

22

2.3.2. Frenektomi Lingual Penghilangan frenulum lingual merupakan prosedur yang sederhana. Prosedur ini dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan hemostat. 1

Teknik Dengan Menggunakan Hemostat Setelah pemberian anestesi lokal, lidah diretraksi keatas posterior dengan

jahitan traction yang melewati ujung lidah. Frenulum kemudian dipegang pada pertengahannya dengan hemostat lurus yang sejajar dengan dasar mulut. Scalpel digunakan untuk mengeksisi bagian jaringan yang dipegang oleh hemostat, pertama-tama eksisi jaringan diatas hemostat diikuti dengan jaringan dibawahnya. Margin luka kemudian dilonggarkan dengan gunting dan jahitan interrupted ditempatkan. 2

Teknik Tanpa Bantuan Hemostat Frenulum lingual juga bisa dihilangkan dengan scalpel tanpa bantuan

hemostat. Setelah retraksi lidah keatas, frenulum diinsisi dengan insisi converging, pertama-tama pada area perlekatan lingual kemudian pada sisi lainnya. Setelah frenulum longgar dan lidah dilepaskan, lidah diretraksi lebih jauh ke superior dan posterior untuk memfasilitasi pembuangan sisa frenulum yang masih pada tempatnya. Setelah pembuangan frenulum, margin luka dilonggarkan dengan jahitan. 2.4. Vestibuloplasti 2.4.1. Vestibuloplasti Submukosa Pada tahun 1959, Obwegeser mendeskripsikan vestibuloplasty submukosa untuk mengekstensi jaringan linggir alveolar dalam maksila.Prosedur ini khususnya berguna pada pasien yang mengalami resorpsi linggir alveolar dengan gangguan pada ikatan dari linggir. Vestibuloplasty submukosa ideal dilakukan jika sisa dari rahang atas secara anatomis kondusif untuk rekonstruksi prostetik.Panjang mukosa yang adekuat harus ada agar prosedur ini sukses dilakukan tanpa perubahan yang tidak proporsional dari bibir atas.Jika pisau lidah atau kaca mulut ditempatkan pada ketinggian vestibulum maksila tanpa distorsi atau inversi dari bibir atas, berarti

23

terdapat kedalaman labiovestibular yang adekuat.Jika terjadi distorsi maka vestibuloplasty

maksila

menggunakan

split-thickness

skin

graft

atau

vestibuloplasty laser merupakan prosedur yang tepat. Vestibuloplasty submukosa dapat dilakukan di dalam ruang praktek dengan outpatient general anesthesia atau sedasi yang dalam.Insisi midline dilakukan melalui mukosa di dalam maksila diikuti dengan pemisahan mukosa secara bilateral.Pemisahan supraperiosteal dari otot intermediate dan ikatan jaringan lunak telah selesai. Insisi tajam dari bidang jaringan intermediate dibuat pada ikatan dekat dengan crest dari alveolus maksila. Lapisan jaringan dapat dieksisi atau direposisi ke arah superior. Penutupan insisi dan penempatan stent post-bedah atau gigi tiruan secara kaku pada palatum perlu dilakukan untuk mempertahankan posisi baru dari ikatan jaringan lunak.Pembukaan gigi tiruan atau stent dilakukan 2 minggu setelah pembedahan. Selama periode pemulihan, jaringan mukosa berikatan dengan periosteum yang ada dibawahnya, menghasilkan ekstensi fix jaringan yang melapisi alveolus maksila. Reline final dari gigi tiruan pasien dapat dilakukan kira-kira 1 bulan setelah pembedahan. 2.4.2. Vestibuloplasti Maksila Jika vestibuloplasty submukosa merupakan kontraindikasi, pedicled mukosa dari bibir atas dapat direposisi pada kedalaman vestibulim dalam supraperiosteal.Periosteum yang terekspos dapat dibiarkan untuk epitelisasi secara sekunder. Split-thickness skin graft dapat dilakukan untuk mempersingkat periode pemulihan.Sebagai tambahan, penempatan gigi tiruan yang telah di-reline dapat meminimalisir ketidaknyamanan pasien dan membantu membentuk dan mengadaptasi jaringan lunak dibawahnya dan/atau skin graft.Pilihan lainnya dalam situasi ini adalah vestibuloplasty laser.Laser karbondioksida digunakan untuk mereseksi jaringan dalam bidang supraperiosteal pada kedalaman

24

vestibulum yang diinginkan. Gigi tiruan dengan reline halus ditempatkan untuk mempertahankan kedalaman vestibular. Pembukaan gigi tiruan dalam 2 hingga 3 minggu memperlihatkan vestibulum yang telah terepitelisasi dengan baik yang terekstensi pada kedalaman yang diinginkan. 2.4.3. Lip-Switch Vestibuloplasty Pada vestibuloplasty sebelumnya, insisi pada bibir bawah dan pemisahan submukosa hingga ke alveolus diikuti dengan diseksi supraperiosteal hingga kedalaman vestibulum. Flap mukosa kemudian disutur pada kedalaman vestibulum dan distabilisasi dengan stent atau gigi tiruan. Jaringan labial kemudian dibiarkan untuk berepitelisasi secara sekunder. Pada vestibuloplasty transposisional, periosteum diinsisi pada crest alveolus dan ditranspos lalu disutur pada submukosa labial. Flap mucosal yang telah dielevasi kemudian diposisikan diatas tulang yang terekspos dan disutur pada kedalaman vestibulum. Prosedur ini memberikan hasil yang memuaskan apabila terdapat ketinggian mandibular yang adekuat.Tinggi minimal 15 mm dapat diterima untuk prosedur diatas.Kerugian meliputi hasil yang tidak diduga, bekas luka, dan kambuh (relapse). 2.4.4. Prosedur Vestibuloplasty Mandibula dan Perendahan Dasar Mulut Sebagai tambahan pada ikatan otot labial dan jaringan lunak pada area penempatan gigi tiruan, otot mylohyoid dan genioglossus di dalam dasar mulut juga memberikan masalah yang serupa pada aspek lingual dari mandibula. Trauner mendeskripsikan bahwa melepas otot mylohyoid dari area linggir mylohyoid dan mereposisikannya ke arah inferior , dapat secara efektif memperdalam area dasar mulut dan meringankan pengaruh otot mylohyoid terhadap gigi tiruan. Setelah dua teknik ekstensi vestibular dilakukan, skin graft dapat digunakan untuk menutupi periosteum. Kombinasi prosedur ini dapat secara efektif mengeliminasi gaya penggeser dari ikatan mukosa dan otot serta

25

memberikan dasar yang luas dari jaringan terkeratinisasi pada area penempatan gigi tiruan. Prosedur grafting jaringan lunak dengan vestibuloplasty bukal dan dasar mulut diindikasikan jika linggir alveolar adekuat untuk area penempatan gigi tiruan telah hilang namun setidaknya masih tersisa ketinggian tulang mandibular 15 mm. Tulang yang tersisa harus memiliki kontur yang adekuat sehingga bentuk dari linggir alveolar yang terekspos setelah perosedur adekuat untuk dilakukan konstruksi gigi tiruan.Jika terdapat kelainan tulang yang besar, seperti konkavitas yang besar dalam aspek superior dari mandibula posterior, maka harus dikoreksi melalui prosedur grafting atau alveoplasty minor sebelum prosedur jaringan lunak. Keuntungan dari teknik ini adalah penutupan dini dari periosteum yang meningkatkan kenyamanan pasien dan memungkinkan konstruksi gigi tiruan lebih awal.Kerugian utama yang dapat dialami pasien post bedah adalah perlunya untuk dirawat di rumah sakit dan pembedahan di lokasi donor dan pembengkakan moderat serta ketidaknyamanan.Pasien jarang mengeluhkan tentang penampilan atau fungsi kulit dalam kavitas oral.

26

BAB III KESIMPULAN

Keberhasilan dari persiapan bedah prostetik bergantung pada evaluasi dan rencana perawatan yang telaten. Secara umum, kelainan tulang harus ditangani lebih dulu. Perbaikan jaringan lunak seringkali ditunda hingga augmentasi tulang dan contouring selesai dilakukan. Augmentasi tulang secara simultan dilakukan ketika augmentasi tulang ditujukan untuk meningkatkan kontur dibandingkan dengan membuat augmentasi signifikan dalam tinggi atau lebar alveolar. Desain dan tujuan akhir dari prosthesis final yaitu fungsi jangka panjang, kualitas estetik, dan pertahanan jaringan harus dipertimbangkan dalam semua fase perawatan. Hasil diskusi pada topik ini berupa sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama dari saudari Riza Artika Octaninda npm 37 mengenai indikasi untuk masing-masing teknik frenektomi labial dan jawabannya adalah pada teknik 1 dan 2 indikasinya jika jaringan fibrosa & mukosa pada perlekatan relatif rendah. Teknik 3 jika perlekatan frenulum memiliki dasar yang lebar. Teknik 4 untuk eksisi lokal dan ablasi perlekatan jaringan mukosa dan fibrosa yang eksisif. Pertanyaan selanjutnya dari saudari Annisa Cahyani npm 26 mengenai bagaimana bentuk prosesus alveolaris yang tidak rata namun tidak mengganggu lalu jawabannya adalah Bentuk iregular tidak di puncak, tidak menimbulkan efek samping, mungkin bisa membantu retensi gigi tiruan (sebagai undercut). Pertanyaan ketiga dari saudari Finka Nur Ikhwani npm 34 mengenai apa saja instruksi post bedah preprostetik pada pasien. jawabannya adalah Diberikan periodontal pack setelah operasi, instruksi: 1 Jangan lepas periodontal pack selama 4 hari 2 Hindari makan-minum 1 jam setelah operasi 3 Dilarang merokok 4 Hindari makanan panas, jangan berkumur selama 1 hari setelah operasi 5 Jangan makan keras, lengket, kasar 6 Mengunyah pada sisi yang tidak dioperasi 7 Gunakan larutan saline hangat atau obat kumur setelah 1 hari operasi 8 Menggosok gigi dengan hati2

27

9

Instruksikan untuk kontrol pada minggu ke-1 (pada hari ke-4 untuk membuka periodontal pack dan jahitan) dan ke-3 pasca bedah Selain itu, perlu diketahui juga komplikasi dari bedah preprostetik, salah satu

contohnya adalah hematoma yang biasanya terjadi pada frenektomi akibat pembersihan epitel yang tidak bersih. Pertanyaan keempat diajukan oleh saudari Ratna Citra Nabila npm 36 mengenai kontraindikasi vestibuloplasti submukosa dan contoh tegangan pada margin

gingiva

yang

disebabkan

oleh

frenulum.

Kontraindikasi

pada

vestibuloplasti submukosa adalah jika tinggi dan lebar linggir alveolar tidak memadai untuk dilakukan vestibuloplasti, umumnya minimal 15 mm dan dapat diperiksakan dengan kaca mulut yang diletakkan di lipatan mukobukal. Apabila tidak terjadi distorsi pada kaca mulut dan bibir tidak mengalami inversi maka dapat dianggap bahwa linggir alveolar memiliki ketinggian dan kedalaman yang memadai untuk dilakukan vestibuloplasti dan bukan merupakan kontraindikasi. Tegangan pada margin gingiva dari frenulum dapat disebabkan oleh jahitan yang terlalu tegang sehingga menyebabkan ketidaksejajaran jahitan dan menimbulkan tarikan atau tegangan. Pertanyaan kelima diajukan oleh saudari Alysa Widyatari npm 27 mengenai kelebihan teknik z-plasty dibandingkan eksisi sederhana dan dimana lokasi anestesi frenulum tanpa infiltrasi langsung pada frenulum. Jawaban untuk pertanyaan pertama adalah dapat meningkatkan kedalaman vestibular, lebih baik secara estetik, mempercepat penyembuhan jaringan dan mengurangi kontraksi jaringan. Jawaban dari pertanyaan kedua adalah lokasi anestesi dilakukan di daerah sekitar frenulum namun tidak terlalu dekat dengan frenulum. Pertanyaan keenam diajukan oleh saudari Nurul Datin Jeliha npm 28 mengenai apa saja indikasi untuk ekstraksi multiple. Jawabannya adalah bila gigi tersebut mengalami supraerupsi akibat kehilangan gigi antagonis sehingga dapat menyebabkan sindrom kombinasi. Pertanyaan ketujuh diajukan oleh saudari Shintia Hawari npm 33. Pada teknik ke-3 frenektomi, apakah penyembuhan dengan surgical splint atau dental liner hanya dapat dilakukan pada teknik tersebut atau dapat dilakukan pada teknik lain kemudia pertanyaan yang kedua adalah perbedaan dari lip-switch vestibuloplasty dan vestibuloplasti mandibula. Jawaban untuk pertanyaan pertama adalah hanya

28

digunakan pada teknik ke-3 saja. Jawaban untuk pertanyaan yang kedua adalah pada lip-switch vestibuloplasty, flap dibuat pada mukosa mucobukal kemudian dilakukan insisi pada alveolar crest dan flap disutur ke bagian anterior. Pada vestibuloplasti mandibula, insisi dibuat pada perlekatan di bawah lidah (dasar mulut). Demikian kesimpulan dan hasil diskusi tutor kami pada topik bedah preprostetik.

DAFTAR PUSTAKA Aditya, G. 1999. Alveoloplasti sebagai tindakan bedah preprostodontik. Jurnal Kedokteran Trisakti, Januari-April 1999 Vol 18. Fragiskos, FD. 2007. Oral Surgery. Berlin: Springer

29

Ghali, G.E., Larsen, E. Peter, Waite, Peter D. 2004. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. Ontario : BC Deker Inc

Hupp, JR. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgergy. Missouri: Mosby Elsevier Wray, D., Stenhouse, D., Lee, D., and Clark, AJE. 2003. Textbook for General and Oral Surgery. Philadelphia: Churchill Livingstone

Related Documents

Bedah Preprostetik
February 2021 0
Bedah Mukogingival
February 2021 0
Bedah Perio
February 2021 0

More Documents from "dr.hendra"

Bedah Preprostetik
February 2021 0