Bells Palsy

  • Uploaded by: Marsela Vineta Halim
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bells Palsy as PDF for free.

More details

  • Words: 4,856
  • Pages: 30
Loading documents preview...
Kasus 2

Topik

: Bells Palsy

Tanggal Kasus

: 9 Desember 2017

Presenter

: dr. Rasdita Nurhidayati

Tanggal Presentasi

:

Pendamping

: dr. Rola Astuti

Tempat Presentasi

: RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin

Objektif Presentasi

: Keterampilan, Diagnostik, Dewasa Deskripsi: pasien laki-laki dewasa (Tn.B) usia 53 tahun datang dengan keluhan sakit kepala pada bagian wajah dan belakang telinga, terasa pusing melayang, dan wajah terasa tebal sekitar 4 jam SMRS. Keluhan disertai dengan rasa mual dan penurunan selera

makan.

Tidak

didapatkan

kelumpuhan pada ekstremitas

ataupun

penurunan kesadaran. Tujuan : Diagnosis, tatalaksana simptomatis dan kausatif Bells Palsy serta edukasi tindakan preventif

Data untuk bahan diskusi : 1. Diagnosis

1

Bell’s Palsy 2. Riwayat Pengobatan Sebelumnya Belum pernah 3. Riwayat Kesehatan/Penyakit Sekarang : Pasien laki-laki dewasa usia 53 tahun datang dengan keluhan nyeri pada bagian kepala bagian belakang telinga dan wajah, sensasi terasa seperti diikat dan ditindih benda berat, skala nyeri 4, sudah meminum paracetamol membaik sebentar tapi kemudian kembali nyeri. Muncul mendadak sejak 4 jam SMRS. Nyeri simultan, durasi sekitar 10 menit kemudian hilang dan timbul kembali. Keluhan disertai dengan ra sa pusing melayang, tidak berputar, dan tidak dipengaruhi oleh posisi. Selain itu sekitar 1 jam SMRS, pasien mengeluhkan wajahnya terasa tebal, sulit digerakkan terutama saat tersenyum dan mengangkat alis. Kesulitan bicara disangkal, kehilangan sensasi sen soris disangkal. Pasien juga mengeluhkan ada perasaan mual dan tidak ingin makan. 4. Riwayat Kesehatan/Penyakit : -

Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal

-

Riwayat darah tinggi (+) tidak terkontrol: kadang-kadang minum amlodipine 5mg

-

Riwayat trauma disangkal

-

Riwayat kencing manis disangkal

-

Riwayat sroke disangkal

-

Riwayat sakit kulit (herpes zoster) disangkal

2

5. Riwayat Keluarga Riwayat Diabetes Melitus (+) dan Hipertensi (+) Ibu Kandung 6. Riwayat Pekerjaan Karyawan swasta 7. Lain-lain : Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Vital Sign

: TD N

: 190/110 mmHg : 86x/menit

RR : 20 x/menit T

: 36,6 oC

Pemeeriksaan Fisik Kulit

: Kelembaban cukup. Ikterik (-) Pucat (-)

Kepala dan Leher

:

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-) ikterik (-/-)

Hidung

: Sekret (-) epitaksis (-) deviasi septum (-) concha hiperemis (-/-) edem (-/-)

Mulut

: Mukosa basah. sianosis (-)

Wajah

: Nyeri tekan pipi (-/-) nyeri tekan frontalis (-/-)

Leher

: Pembesaran KGB (-) peningkatan JVP (-)

Pemeriksaan Thorax Pulmo

3

Inspeksi

: Pergerakan dinding dada simetris. Retraksi (-),

Palpasi

: Fremitus vokal simetris kanan dan kiri

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Vesikuler. Ronkhi basah halus (-/-). Wheezing (-/-)

Cor Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus kordis teraba pada ICS IV linea midclavikula sinistra

Perkusi

: Batas jantung Atas : ICS II linea parasternalis sinistra Bawah : ICS V linea parasternalis sinistra Kanan : ICS II linea parasternal dextra Kiri : ICS V linea midklavikula sinistra

Auskultasi

: S1>S2. Reguler. Murmur (-) Gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen Inspeksi

: Datar

Auskultasi

: Bising usus (+) normal, undulasi (-)

Palpasi

: Supel. H/L/M tidak teraba. Nyeri tekan (-)

Perkusi

: Timpani

Pemeriksaan Ekstrimitas : Edema (-), Akral hangat (-/-) Status Neurologis Kesadaran

: Compos mentis

GCS

: E4 V5 M6

4

Gerakkan abnormal

: Tidak ada

Status neurologis Tanda rangsang selaput otak 1. Kaku Kuduk

: (-) tidak ada tahanan pada tengkuk

2. Brudzinski

: (-/-) tidak ditemukan fleksi pada tungkai

3. Brudzinski II

: (-/-) tidak ditemukan fleksi pada tungkai

4. Kernig

: (-/-) tidak timbul tahanan

5. Laseque

: (-/-) tidak timbul tahanan

Tanda peningkatan tekanan intrakranial 1. Pupil

: isokor

2. Refleks cahaya : +/+ Pemeriksaan saraf kranial 1. N-1 (Olfaktorius)

: Tidak ada gangguan penciuman

2. N-11 (Optikus)

:

a. Visus

: tidak dilakukan

b. Warna

: tidak dilakukan pemeriksaan

c. Funduskopi

: tidak dilakukan pemeriksaan

d. Lapang pandang

: tidak dilakukan pemeriksaan

3. N-111, 1V, V1 (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens) a. Gerakkan bola mata : (+/+) Normal b. Ptosis

: (-/-)

c. Pupil

: Isokor, bulat, 3mm/3mm

d. Reflek pupil

:

5



Langsung

: +/+



Tidak langsung

: +/+

4. N-V (trigeminus) a. Sensorik 

N-V1 (opthalmikus) : +



N-V2 (maksilaris)



N-V3 (mandibularis) : +



Pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba

:+

b. Motorik

: dapat merapakan gigi dan membuka mulut

c. Refleks kornea

: reflex kornea mata sebelah kanan menurun

5. N- V11 (fasialis) a. Sensorik (indra pengecap)

: tidak dilakukan pemeriksaan

b. Motorik 

Kerutan dahi

: asimetris



Angkat alis

: asimetris



Menutup mata

: kanan paresis ringan/+



Menggembungkan pipi : kanan paresis ringan / kiri baik



Menyeringai

: kanan sudut mulut lebih

rendah / kiri baik 

Gerakkan involunter : +/-

6. N- V111 (vestibulokoklearis) a. Keseimbangan

6



Nistagmus



Tes romberg : (-)

: (-)

b. Pendengaran 

Tes rinne



Tes schwabach: Tidak dilakukan



Tes Weber

: Tidak dilakukan

: Tidak dilakukan

7. N- IX, X (glosofaringeus, Vagus) a. Refleks menelan

:+

b. Refleks batuk

:+

c. Perasat Lidah (1/3 anterior)

: tidak dilakukan

d. Refleks muntah

: tidak dilakukan

e. Posisi Uvula

: Normal, deviasi (-)

f. Posisi arkus faring

: Simetris

8. N- X1 (aksesoris) a. Kekuatan M. Sternokleidomastoideus: +/+ b. Kekuatan M. Trapezeus

: +/+

9. N-X11 (hipogolosus) a. Tremor lidah

:-

b. Atrofi lidah

:-

c. Ujung lidah saat istirahat

:-

d. Ujung lidah saat dijulurkan

:-

a. Pemeriksaan Motorik 1. Refleks

7

a. Refleks fisiologi 

Biceps

: N/N



Triceps

: N/N



Achiles

: N/N



Patella

: N/N

b. Refleks Patologis 

Babinski

: -/-



Oppenheim

: -/-



Chaddock

: -/-



Gordon

: -/-



Scaeffer

: -/-



Hoffman- trommer: -/-

2. Kekuatan Otot 5 Ektremitas Superior Dextra 5 Ektremitas Inferior Dextra

5 Ektremitas Superior Sinistra 5 Ektremitas Inferior Sinistra

Sensoris + Ektremitas Superior Dextra +

+ Ektremitas Superior Sinistra +

8

Ektremitas Inferior Dextra

Ektremitas Inferior Sinistra

3. Tonus Otot a. Hipotoni

:-

b. Hipertoni

:-

b. Sistem Ekstrapiramidal 1. Tremor

:-

2. Chorea

:-

3. Balismus

:-

c. Sistem koordinasi 1. Romberg test

: tidak dilakukan pemeriksaan

2. Tandem walking

: tidak dilakukan pemeriksaan

3. Finger to finger test

: tidak dilakukan pemeriksaan

4. Finger to nose test

: tidak dilakukan pemeriksaan

d. Fungsi Kortikal 1. Atensi

: dalam batas normal

2. Konsentrasi

: dalam batas normal

3. Disorientasi

: dalam batas normal

4. Kecerdasan

: tidak dilakukan pemeriksaan

5. Bahasa

: tidak ada

6. Memori

: tidak ditemukan gangguan memori

7. Agnosia

: pasien dapat mengenal objek dengan baik

e. Susunan Saraf Otonom

9

Inkontinensia

:-

Hipersekresi keringat

:-

Diagnosis Kerja Diagnosis Klinis

: bell’s palsy dextra paralisis n. facialis perifer

Diagnosis Topik

: Suspek Inflamasi N. VII Perifer

Diagnosis Etiologi

: Bells Palsy

A. Definisi Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak akibat lesi nervus fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain Bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu isi wajah1. Istilah Bell’s palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis perifer yang timbul secara akut2. Kebanyakan orang belum mengetahui nama dari panyakit ini. Adalah Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali menemukan penyakit ini pada abad ke-19.5

B. Etiologi Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti tetapi dapat diduga bahwa penyebab dari penyakit ini adalah karena saraf yang mengendalikan otot wajah membengkak, terinfeksi, atau mampat karena aliran darah berkurang.5 Ada pula para ahli yang menyatakan bahwa pada kasus Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.1 Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.1,3

10

1. Kongenital Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).3

2. Infeksi Proses infeksi di intraKranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik (OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.1

3. Tumor Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.2

4. Trauma Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2

11

5. Gangguan pembuluh darah Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.1

6. Idiopatik Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3

7. Penyakit-penyakit tertentu Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom Guillian Barre. Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkan oleh kerusakan saraf fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan atau pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan pasti, kendati demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai penyebabnya. Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada kasus yang ringan, kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga proses penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi jeratan pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabut saraf. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.

C. Patofisiologi Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak diketahui penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini

12

yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain: infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3 Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sebagai berikut: 1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema. 2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin. 3. Terdapat degenerasi akson. 4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak. Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap Nv. VII.

Gambar 1. Nervus Facialis

13

D. Manifestasi Klinis Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa : -

Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.

-

Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).

-

Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.

-

Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

-

Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.

Gambar 2. Gejala bell’s palsy berhubungan dengan lokasi lesi

14

E. Diagnosis Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n. fasialis perifer. Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. Fasialis.

1. Anamnesis Pasien biasa mengeluhkan; perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.

2. Pemeriksaan fisik a. Pemeriksaan saraf motorik Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otototot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut : - M. Frontalis

: diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.

- M. Sourcilier

: diperiksa dengan cara mengerutkan alis.

- M. Piramidalis

: diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas.

- M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat. - M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi. - M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan sambil memperlihatkan gigi. - M. Businator

: diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi.

- M. Orbikularis Oris

: diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul.

- M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke

15

Bawah. - M. Mentalis

: diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang Tertutup rapat ke depan.

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri : -

Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )

-

Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )

-

Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )

-

Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 ) Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan

mempunyai nilai tiga puluh ( 30 ).1

b. Tonus Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1 c. Gustomeri Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum percabangan korda

timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya

pengecapan).2 Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab

16

bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2 Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.1 d. Salivasi Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.4 e. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabutserabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.4,5 Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis. f. Refleks stapedius Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.

17

g. Uji audiologik Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen saraf kranialis.2 h. Sinkinesis Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :1 -

Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.

-

Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a).

18

-

Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.

Pemeriksaan House-Brackman Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam tabel:6 Grade

Penjelasan

Karakteristik

I

Normal

Fungsi fasial normal

II

Disfungsi

Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada

ringan

inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis. Pada istirahat simetri dan selaras. Pergerakan dahi sedang sampai baik Menutup mata dengan usaha yang minimal Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan pergerakan

III

Disfungsi

Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan

sedang

antara kedua sisi Adanya sinkinesis ringan Dapat

ditemukam

spasme

atau

kontraktur

hemifasial Pada istirahat simetris dan selaras Pergerakan dahi ringan sampai sedang Menutup mata dengan usaha

19

Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum

IV

Disfungsi

Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan

sedang berat

asimetri Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada Tidak dapat menutup mata dengan sempurna Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V

Disfungsi berat

Wajah tampak asimetris Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai Dahi tidak dapat digerakkan Tidak dapat menutup mata Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI

Total parese

Tidak ada pergerakkan

3. Pemeriksaan penunjang Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG).2 a. Elektromiografi (EMG) EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 20

hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari. b. Elektroneuronografi (ENOG) ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.2

F. Penatalaksanaan a) Glukokortikoid Farmakologi dan penggunaan klinis Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon inflamasi, obat-obat ini juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi dan kelainan “immune-immediate”. Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid digunakan tidak begitu jelas ditemukan dalam banyak kondisi dimana steroid ini digambarkan. Pada berbagai petunjuk dan indikasi menyatakan penggunaan steroid sebagai empiris. Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat serangan, contohnya pada Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada pemulihan total. Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan tipe-tipe sel. Efek anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek dari denyut pembuluh darah, permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit dan biosintesis kolagen. Demopilus et al menerangkan buktti bawa peroksidasi lemak menginduksi radikal-radikal oksigen bebas membenttuk basis molekul untuk degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses tersebut. Hall dan Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan metilprednisolon

21

yang dibutuhkan untuk memproduksi pengaruh anti-oksidan ini, dan prepenatalaksanaan dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif. Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic idiopatik masih

menadi

controversial.

Sementara

glukokortikoid

nampak

dalam

penggunaanya untuk mengurangi rasa sakit dan memperpendek periode dari kebutaan, ada sedikit bukti bahwa steroid tersebut mempengaruhi level utama dari penyembuhan visual. Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid, glokokortikoid steroid memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction. Efek-efek yang saling mempengaruhhi dari steroid penyembuhan

fungsi

neuromuskular

ini

pada

dapat

kelainan

mengkontribusikan seperti

inflamasi

polyradiculoneuropati (Guilan Barre Syndrom), patologi yang disebabkan inflamasi, demyelinisasi segmental. Penggunaan steoid pada tatalaksana Bell’s Palsy Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan komprehensif dalam penggunaan terapi steroid pada Bell’s Palsy. Kebanyakan pembelajaran akhir-akhir ini mengenai kegunaan steroid pada Belss Palsy didasarkan pada pasien yang diperlakukan dengan control sebelumnya. Berdasarkan penelitian ini, yang menggunakan dosis yang lebih besar dari steroid dan dosis luas gllukokortikoid dengan dextrran dan pentoxiflin memberikan dampak rata-rata perkembangan kesembuhan dari pasien yang mendapat tindakan walaupun penatalaksanaan tersebut tidak menampakkan statistic yang signifikan pada sudi-studi sebelumnya. Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells Palsy dengan alasan stetroid dapat: 

Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini



Mencegah atau mengurangi sinkinesis



Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis



Mencegah sinkinesis autonomic

22

Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut adalah menginduksi kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis glukokortikoid yang optimal untuk penanganan inflamasi neuritis tergantung dari pemberian kortikosteroid saat proses penyakit berlangsung. Seperti yang telah ditunjukkan pada respon EEMG, pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy dalam 5-10 hari. Lesi-lesi pada pada organ-organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu, tampaknya pada inflamasi saraf facial (saraf VII) pada virus ini dapat ditangani pada periode ini. Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral prednisone (1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari. Dosis harian harus ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini memaksimalkan aktivitas anti inflamasi sementara meminimalkan efek samping dan konsisten dengan anti inflamasi yang efektif pada hipersensitiv akut, autoimun, dan kelainan inflamasi lainnya.

Efek samping Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka pendek termasuk aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada pasien palsy facial akut yang berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek samping akut lainnya termasuk perubahan CNS seperti psychotic breaks, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal. Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan inflamasi dapat mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi jamur. Infeksi laten dapat reaktivasi dan berkembang. Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan system imun bisa menutupi gejala adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.

b) Terapi Antivirus Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam menangani facial palsy akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari aktivitasnya, toksisitas yang rendah, asiklovir (acycloguanosine), analog nukleosida purin

23

sintetik, telah digunakan untuk mencegah HS tipe I dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi), itulah asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida. Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada deficit neurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya pendengaran. c) Dekompresi nervus Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah dilakukan Balance dan Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi listrik nervus fasial mulai ditinggalkan. Yang terpenting, segen vertical telah didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid direkomendasi (prosedur yang dilakukan adalah termasuk htimpani dan segmen mastoid), dan akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen meatal. Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May menemukan bahwa dekompresi meningkatkan penyembuhan pada pasien yang stimulasi nervusnya telah berkurang 75%atau lebih. Bagaimanapun, prosedur ini tidak menampakkan bukti signifikan antara yang mendapatkan operasi yang sembuh (87% dari 273pasien) dengan pasien yang sembuh dengan sendirinya.

G. Gejala Sisa Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:2 1. Kontraktur Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.

24

2. Sinkinesia (associated movement) Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.

3. Spasme spontan Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy.

H. Prognosis Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air mata buaya.

Terapi di Bhayangkara : 

IVFD RL 20 tpm drip neurobion 1 amp



Inj. Piracetam 3 x 3 gram



Inj. Citicolin 3 x 500



Inj. Omeprazole 1x40mg



Inj. Ondansetron 3x4mg



PO Candesartan 8 mg 1x1

25

Daftar Pustaka 1. Mardjono M, Sidharta P. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 2004. 2. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007. 3. Aminoff, MJ et al. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition, Mcgraw-Hill. 2005. 4. Ropper, AH., Brown, Robert H. Adams & Victors’ Principles of Neurology, Eight Edition, McGraw-Hill. 2005. 5. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 1997. 6. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2006.

26

Lampiran Follow up tanggal 9 Desember 2017 – 13 Desember 2017 Subjektif

9/6/17

10/6/17

11/6/17

12/12/17

13/12/17

Nyeri kepala

+

<

-

-

-

Rasa tebal

++

+

+

-

-

Mual

+

+

-

-

-

Pusing

+

+

+

<

-

Makan/minum

<

<

<

+

+

Objective

9/12

10/12

11/12

12/12

13/12

Nadi

90

88

80

84

88

Respirasi

20

20

20

20

24

36,7

36,4

36,5

36,6

36,5

180/100

160/100

160/90

140/90

140/90

Suhu TD Keutan dahi

Asimetris Asimetris Asimetris

Simetris

Simetris

Angkat Alis

Asimetris Asimetris

Simetris

Simetris

Simetris

Menutup mata Bersiul Sudut bibir Gerakan involunter Assesment

Sulit

Sulit

<<

<<

<<

_

_

_

_

_

Jatuh

Jatuh

Jatuh

Jatuh

Jatuh

+

+

+

<<

<<

HT grade II + Bells Palsy

27

Planning

9/12

10/12

11/12

12/12

13/12

IVFD Rl 20 tpm drip NB

+

+

+

+

-

Inj. Piracetam 3x3 gram

+

+

+

-

-

Inj. Citicolin 3x500

+

+

+

-

-

Inj. Omeprazole 1x40mg

+

+

+

+

-

Inj. Ondansetron 3x4mg

+

+

k/p

k/p

k/p

Inj. Metilprednisolone

-

+

+

+

-

Inj. Mecobalamin

-

+

+

+

+

Po. Ibuprofen 3x400mg

-

-

+

+

-

Po. Prednisone 1x40mg

-

-

-

+

+

Po. Candesartan 1x 8mg

+

+

+

+

+

Po. Herbesser CD 100 1x1

-

+

+

+

+

Darah lengkap Leukosit

: 9.300/uL (L)

Limfosit

: 29% (L)

Eritrosit

: 4,54 juta/uL (L)

Netrofil

: 66% (H)

Hemoglobin

: 13,8g/dL (L)

Monosit

:3%

Trombosit

: 195.000/uL

Basofil

: 0%

Kimia Klinis GDS

: 139 mg/dL

Asam Urat

: 3,3 mg/dL

Ureum

: 44 mg/dL

Kolesterol total

: 180 mg/dL

Kreatinin

: 2,1 mg/dL

Trigliserida

: 119 mg/dL

SGPT

: 26 u/L

SGOT

: 20 u/L

28

29

30

Related Documents

Bells Palsy
January 2021 1
Bells Palsy
March 2021 0
Bells Palsy Tajuddin
January 2021 1
Ppt Bells Palsy
February 2021 0

More Documents from "FinaNurInsiyah"