Bell's Palsy

  • Uploaded by: Joko Santoso
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bell's Palsy as PDF for free.

More details

  • Words: 2,808
  • Pages: 15
Loading documents preview...
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

Tutorial Klinik Neurologi

BELL’S PALSY

Disusun oleh: Joko Santoso Prilandy Jayastari

Pembimbing: dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA Juli 2015

Tutorial Klinik

BELL’S PALSY

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak

Menyetujui,

dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA Juli 2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul “Bell’s Palsy”. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1. dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A., sebagai dosen pembimbing selama stase anak divisi neurologi. 2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini. 3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis. 4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Juli, 2015

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Wajah merupakan kawasan motorik nervus Facialis yang sangat penting danmemberikan kekhasan tersendiri bagi yang melihatnya. Suatu kelainan yang terjadi di sepanjang perjalanan nervus Facialis menyebabkan gangguan terhadap otot yg dipersarafi, baik yang bersifat parese ataupun paralisis tergantung tingkat dan beratnya lesi. Pada umumnya masyarakat awam menganggap bahwa mulut mencong ataumerot akibat adanya kutukan dan juga yang menganggap terkena angin jahat, padahal sebenarnya secara ilmiah terjadi kerusakan pada N. Facialis yang disebut Bells Palsy. Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini terjadi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles

Bell,

meskipun

dan penatalaksanaannya, yang paling sering di dunia.

masih Bell

banyak

palsy

kontroversi

mengenai

merupakan penyebab paralisis

etiologi fasial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bell’s Palsy Definisi Bell’s palsy adalah paralisis fasialis dimana paralisis ini terjadi secara tibatiba pada satu sisi muka.

Epidemiologi 60-75% kasus paralisis fasialis unilateral yang akut adalah bell’s palsy. Di Amerika, insidensi tahunan adalah 23 kasus per 100,000 orang. 63% pasien yang didiagnosa bell’s palsy paralisis terjadi pada bagian kanan muka. Insidensi bell’s palsy paling banyak terjadi di Jepang dan insidensi paling sedikit di Swedia. Secara umum, insidensi bell’s palsy ini terjadi pada 15-30 kasus per 100.000 populasi. Bell’s palsy menyerang perempuan dan pria dengan insidensi yang sama. Namun begitu, wanita muda pada usia 10-19 tahun lebih sering terjadi berbanding pria pada golongan usia yang sama.4

Struktur anatomi Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah. b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus saliva torius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis. c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus. Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleustraktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani. Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventro lateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian

lateral

traktus

kortikospinal.

Karena posisinya

yang

berdekatan

(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI danVII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian

melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otototot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikusventer posterior.

Etiologi Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy. Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al. menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.

Patofisiologi Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramenstilomastoid eus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang meyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk

seperti

corong

yang

menyempit

pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik ter sebut, adanya

inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan

gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infra nuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaraskortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. 1 Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis

nervus

fasialis

LMN

akan

timbul

bersamaan

dengan

tuli

perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).

Berdasarkan

beberapa penelitian bahwa penyebab utama

Bell’s palsy

adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum,

nervusfasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.1 Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit diforamen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 1 2.1.

Grading Sistem grading pada pasien Bell’s palsy adalah skala I hingga VI. 1. Grade I adalah fungsi fasial yang normal. 2. Grade II adalah disfungsi yang ringan. Kelemahan yang ringan pada inspeksi yang teliti. Tonus ototnya normal dan simetris, pergerakkan dahi normal, dapat menutup mata secara sempurna, mulut sedikit asimetris 3.

dengan usaha maksimal. Grade III adalah disfungsi sedang dimana terjadi gangguan pergerakan dahi,

ada kontrktur, mata dapat menutup dengan usaha maksimal,

pergerakan mulut sedikit melemah, tonus otot normal. 4. Grade IV adalah disfungsi sedang yang berat. Kelemahan yang nyata terjadi pada grade ini dimana tidak ada pergerakan dahi sama sekali, mata tidak menutup secara sempurna, mulut asimetris. 5. Grade V adalah disfungsi yang parah dimana terjadi paresis unilateral, tidak ada pergerakan dahi , mata tidak dapat menutup sama sekali, pergerakan mulut sedikit. 6. Grade VI adalah paresis total. Tidak ada pergerakan sama sekali. Manifestasi Klinik Biasanya

timbul

secara

mendadak,

penderita

menyadari

adanya

kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikatgigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa sa lah satu sudutnya lebih rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran

klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menhgilang sehingga lipatan nasilabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes darisudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pa da sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersyarafi m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata).

Karena

kedipan

terjadi iritasi oleh debu dan

mata yang berkurang maka akan

angin, sehingga

menimbulkan

epifora.

Dalam

mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh.

Selain

kelumpuhan

tidak didapati gangguan lain

seluruh

otot

wajah

sesisi,

yang mengiringnya, bila paresisnya benar-

benar bersifat Bell’s palsy. Pemeriksaan Fisik Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.

Differensial Diagnosa Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya. Pemeriksaan Peunjang Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada

penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus. Penatalaksanaan Non-medikamentosa

 Tindakan

fisioterapi

seperti

terapi

panas

superfisial,elektroterapi

menggunakan arus listrik.  Perawatan mata Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata

dengan

lensa

berwarna

atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja.  Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas  Istirahat  Pembedahan Jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan

lateral

tarsorrhaphy. Medika mentosa Untuk

menghilangkan

penekanan,

menurunkan

edema

akson

dan kerusakan N.VII dapat diberikan prednisone (kortikosteroid) dan antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari setelah onset. Prednison dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin. -

Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari dan berhenti selama10-14 hari.

Dosis Prednison Dosis dewasa Dosis anak

Kontraindikasi

-

1 mg/kg atau 60 mg PO qd selama 7 hari diikuti tapering off dengan total pemakaian 10 hari. 1 mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari. Hipersensitivitas,

diabetes

beratyang tak terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC,osteoporosis.

Obat-obat antiviral Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000mg /hari selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 hari. Dapat juga menggunakan Valactclovir 1 gram yang diberikan 3 kali selama 7 hari.

. Dosis Antiviral Nama obat Dosis dewasa Dosis anak Kontraindikasi -

Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-1. HSV-2, dan VZV Dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari <2 tahun : belum dipastikan >2 tahun : 20 mg/kg PO selama10 hari Hipersensitif, penderita gagalginjal

Vitamin B Preparat aktif B12 (Metil kobalamin) berperan sebagai kofaktor dalam proses remielenasi, dengan dosis 3x500μg/hari.

Komplikasi Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

Prognosis Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah: a. Usia di atas 60 tahun. b. Paralisis komplit. c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh. d. Nyeri pada bagian belakang telinga. e. Berkurangnya air mata. Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.

TINJAUAN PUSTAKA 1. Price SA, Wilson LM . Patofisiologi:

konsep klinis proses-

proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. Hal.966-71. 2. Lumbantobing. Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia, 2007. 3. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit araf. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC; 2007. Hal 140. 4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi 5.

Klinis Dasar, 5thed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.

Related Documents

Bells Palsy
January 2021 1
Cerebral Palsy
January 2021 1
Bells Palsy
March 2021 0
Bell's Palsy
January 2021 1
Bell's Palsy
January 2021 1

More Documents from "Joko Santoso"