Catatan Gusdur.pdf

  • Uploaded by: Haridan Madridnistas
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Catatan Gusdur.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 10,611
  • Pages: 55
Loading documents preview...
1

Catatan Gusdur

PersEbook369

2

Ebook.No.05.10.05

Catatan Gusdur Penyusun : Egi Septiana Layout : Om369 Diterbitkan oleh

PersEbook369 Bandung [email protected] http://ebookgratis369.blogspot.com Hak cipta dilindungi oleh rido

Allah SWT ISBA: 42443

Catatan Gusdur

PersEbook369

3

Terima kasih kepada Sang Almarhum KH Abdurahman Wahid atas semua jasa, karya, dan perjuangannya. Dan terima kasih kepada segenap pengurus situs gusdur.net yang menjadi sumber isi ebook ini. Semoga Allah SWT meridoi segala usaha dan karya kita semua. Amin…

Catatan Gusdur

PersEbook369

4

DAFTAR ISI EBOOK Bagian 1 Catatan Tinta Kehidupan Gusdur Latar Belakang Keluarga Pengalaman Pendidikan Perjalanan Karir Penghargaan

5

Bagian 2 Catatan Politik Gusdur Memahami Sufisme Politik Gus Dur

18

Bagian 3 25 Catatan Tinta Gusdur Dapatkah NU Berperan Politik Nasional? Inul, Rhoma, dan Saya Jalan Rakyat Menuju Demokrasi Umat Islam, Dimanakah Alamatmu? Penutup Anekdot

Catatan Gusdur

54

PersEbook369

5

Latar Belakang Keluarga Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas". Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim

Catatan Gusdur

PersEbook369

6 adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia. Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokohdengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya. Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Catatan Gusdur

PersEbook369

7 Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya ceritacerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia. Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

Pengalaman Pendidikan Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-

Catatan Gusdur

PersEbook369

8 Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik. Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Catatan Gusdur

PersEbook369

9 Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur. Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.

Catatan Gusdur

PersEbook369

10 Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santrisantri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihanpesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajardengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan tokotoko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Catatan Gusdur

PersEbook369

11 Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas. Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid alBaghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh. Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai

Catatan Gusdur

PersEbook369

12 bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya. Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

Perjalanan Karier Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas

Catatan Gusdur

PersEbook369

13 Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note. Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES. Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap 'menyimpang'-dalam kapasitasnya sebagai

Catatan Gusdur

PersEbook369

14 seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987. Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid. Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum 'elit Islam' tersebut dengan organisasi sektarian. Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam

Catatan Gusdur

PersEbook369

15 orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami. Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolikfundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, Kyai Ma'sum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan. Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia

Catatan Gusdur

PersEbook369

16 Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batasbatas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.

Penghargaan  

   

 



Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990 Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991 Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991 Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994 Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998 Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000 Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000 Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000 Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan

Catatan Gusdur

PersEbook369

17

  

politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000 Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000 Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001 Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002

Catatan Gusdur

PersEbook369

18

Memahami Sufisme Politik Gus Dur Oleh: M. Luqman Hakiem Kaidah-kaidah visioner yang sering dilontarkan oleh kalangan Nahdhiyyin (NU), adalah Al-Muhafadzatu „alal Qadimis Shalih wal-Akhdzu bil Jadidil Aslah, yang berarti melestarikan nilai-nilai tradisi lama yang baik, dan merespon nilai-nilai baru yang lebih baik. Kaidah yang dijadikan sebagai legitimasi untuk perubahan-perubahan wacana dan kebudayaan NU, ketika menghadapi tantangan zaman. Sesungguhnya kaidah tersebut lebih menekankan pola hubunganhubungan transformatif Syari‟ah (legacy) dalam membangun kerangka sosiologis. Di satu sisi tetap memberikan penghargaan terhadap sejarah masa lalu, makna-makna kultural yang telah dibangun oleh para

Catatan Gusdur

PersEbook369

19 pendiri Republik, para Kiai, para Agamawan dan para budayawan. Sementara dalam dialektika sejarah, tidak bisa dihindari adanya percepatan rasionalisme Barat dan akulturalisme Islam dan nilai-nilai lokal. Sehingga responsi terhadap pembaharuan mendapatkan tempat terhormat dalam kebudayaan pemikiran NU. Tulisan ini lebih sedikit melompat ke belakang, tanpa harus memutar jarum jam sejarah kebudayaan NU, yaitu perspektif yang lebih fundamental dibanding sekadar kaidah-kaidah sosial dan hukum (fiqhiyah) yang selama ini dijadikan basis kebijakan untuk pengambilan keputusan konstituen NU, melali Bahsul Masail. Yaitu, perspektif Sufisme yang menjadi jiwa dan batin setiap gerakan historis masyarakat NU itu sendiri. Dari sinilah kita akan melihat kepribadian kepemimpinan Gus Dur, yang merefleksikan cara pandang sekaligus style kepribadian yang unik. Bahwa apa yang dipresentasikan Gus Dur adalah kristalisasi dari seluruh nilai-nilai ke-NUan dalam proses kebangsaan, khususnya dalam konstelasi demokratisasi. Bisa saja nilai-nilai seperti pengembangan pluralisme, toleransi, desakralisasi negara, hubungan antar agama, modernitas dan tradisi lokal, serta perdamaian, hanya akan muncul dalam wacana dan "kepentingan" praktikal, manakala tidak dijembatani oleh kultur yang berbasis pada moralitas tertinggi. Karena itu, Sufisme menjadi nuansa yang paling menarik perhatian Gus Dur untuk dijadikan "titik kordinat" antara nilai-nilai keagamaan dalam tradisi NU dan fakta-fakta ke-Indonesiaan yang plural dalam berdemokrasi. Sebagai salah satu tokoh Sufi di Indonesia, Gus Dur memerankan satu pandangan yang sangat liberal,

Catatan Gusdur

PersEbook369

20 dibanding – sekadar – berpijak pada tradisi-tradisi formal NU. Liberalitas Gus Dur sesungguhnya tidak lepas dari cara pandang Sufisme terhadap dunia, dengan menerjemahkan lebih substansial apa yang disebut dengan "rahmatan lil‟alamin". Karena, transformasi nilai-nilai terdalam dibalik cahaya rahmat itu sendiri, dalam tradisi NU justru tumbuh dari cahaya Sufisme yang dijadikan sebagai pegangan moral para Ulama dan Kiai-kiai terdahulu. Bahkan titik kordinat bagi perdamaian agama sekali pun, Sufisme berada di garda depan, sebab perdamaian sesungguhnya tidak pernah maujud dalam fakta ketika kecintaan kepada Tuhan dan sesama makhluk tidak tumbuh dari kedalaman jiwa. Karena perilaku Sufistik itulah, Gus Dur menjadi ancaman bagi seluruh gerakan apa pun yang tidak memihak pada moralitas terdalam. Ketika kebijakan-kebijakan "ke-Sufian" masuk dalam pola kepemimpinannya, maka terjadi benturan-benturan psikologis dengan nuansa-nuansa penyimpangan moral itu sendiri. Karena itu, ketika kita kembali ke masa lalu, kita akan menemukan fakta-fakta sejarah bahwa eksistensi Indonesia, baik sebagai negara maupun sebagai bangsa, akan terlihat bahwa Nation Building mendahului State Building. Dengan bahasa lain, kultur kebangsaan kita telah terbentuk sebelum negara ini terbentuk. Dari sinilah, sehari-hari kita bisa merasakan betapa hubungan-hubungan antar sesama dalam bentuk "rasa batin" mendahului segala hubungan, dari sekadar kepentingan rasional dan teknikal. Bahkan dalam tradisi sosial keagamaan sekali pun, landasan-landasan batiniyah ternyata lebih kuat jaringan kebudayaannya dibanding dengan landasan-landasan ritus-formal. Kelak, landasan-landasan ini begitu kuat tarik menariknya

Catatan Gusdur

PersEbook369

21 dalam pergulatan politik elit yang memperebutkan hegemoni kebudayaan keagamaan dalam instrumen kekuasaan. Maka, jangan heran jika tarik menarik itu secara verbal tampak dalam konflik politik NU-Muhammadiyah, adalah konflik memperebutkan "kekuasaan nilai" yang harus hegemonik dalam kehidupan bangsa dan ummat. Yaitu perebutan formalitas agama dalam konstelasi bernegara, sehingga bendera-bendera Islam diformalkan dalam partai, slogan dan konstitusi vis a vis kultur "moralitas agama" untuk kebangsaan, dimana kultur agama mendasari perilaku bernegara. Tradisi Wali Songo yang sering dijadikan acuan dakwah NU misalnya, adalah tradisi Sufistik budaya, bahkan dalam pola akulturasi dengan kekuasaan formal dan kebudayaan lokal. Kalau tradisi "halal-haram" diterapkan begitu saja dalam formalitas budaya, agama akan mengalami keterasingan dan kekeringan. Karena itu, para Wali memilih Jalan Sufistik menuju Tuhan, bahkan dalam konstribusinya terhadap pengelolaan kekuasaan di zaman dinasti Islam awal di Jawa, ketika secara de jure Raden Fattah menjadi raja, dan secara de facto para Wali-lah yang memimpin spiritualitas bangsa ketika itu. Demokrasi dan Sufisme Pada diri GusDur Disinilah Sufisme menjadi penghubung efektif, ketika demokrasi diterjemahkan dalam hubungan saling menghargai di tengah pluralitas yang sedang bergerak. Sebab, kebebasan, penghargaan terhadap hak-hak kemakhlukan, kecintaan sesama, kehambaan individu, dan sejumlah nilai-nilai yang bisa mempertemukan perspektif bersama hanya pada Sufisme. Sebab hanya

Catatan Gusdur

PersEbook369

22 Sufisme-lah yang melihat dua titik pandang: Allah dan manusia. Pandangan-pandangan Sufistik itulah yang melampaui "halal-haram", sehingga hubungan kebangsaan tidak dihorisonkan pada belahan-belahan yang saling berhadapan, hitam dan putih. Di sini, jika tidak kita cermati, lompatan-lompatan pemikiran Gus Dur terasa konstroversial, karena di satu sisi ia harus menjadi Kiai Bangsa, di lain pihak ketika ia harus menjadi Presiden. Ketika ia masih menjadi presiden ada posisi dualistik. Posisinya sebagai Kiai Bangsa adalah posisi Sufistik dalam membangun kearifan hidup bersama, sementara tugas-tugas formal kepresidenannya, jelas berhubungan dengan amanat yang dilimpahkan oleh MPR kepadanya. Namun, ketika posisi Kiai Bangsa dinilai lebih menonjol ketimbang kepresidenannya, tiba-tiba gugatangugatan muncul sampai pada titik paling kritis. Suatu gugatan "halal-haram" dari lawan-lawan politiknya. Mengapa Gus Dur lebih banyak menonjolkan Kiai Bangsa ketimbang kepresidenannya? Karena kebutuhan bangsa saat ini bukanlah kebutuhan formalitas dan "topengtopeng" dibalik birokrasi dan penyelenggaraan negara. Setelah tiga dasawarsa bangsa ini dibelenggu oleh formalisme dan ritualisme monopolitik, maka, pertamatama bangsa ini membutuhkan pencerahan jiwa agar bisa kembali ke fitrah kebangsaannya. Tanpa kesadaran psikhologis akan hakikat berbangsa, demokrasi akan gagal dibangun, apalagi oleh sekadar mayoritas dan minoritas dalam perolehan suara, menang dan kalah belaka. Berarti, Gus Dur tetap mengambil wilayah hati nurani, untuk menjadi jiwa demokrasi. Disebut hati nurani disini, bukanlah ambisi-ambisi batin yang diaksentuasikan dalam jeritan protes atau

Catatan Gusdur

PersEbook369

23 pemberontakan rasional. Protes-protes apa pun namanya, selalu merujuk pada ketidakadilan. Tetapi penegakan keadilan belaka, ternyata tidak cukup untuk menegakkan rumah kebangsaan. Karena fondasi rumah kebangsaan kita adalah cinta dan kasih sayang, bukan keadilan. Kasih sayang atau rahmat, ketika diimplementasikan dalam proses berdemokrasi, akan melahirkan penghargaan terhadap pluralitas secara adil dan egaliter. Sementara penegakan keadilan tanpa rahmat, hanya melahirkan kemenangan penuh dendam. Inilah yang ingin dihindari Gus Dur, ketika dulu mengadili Soeharto, jangan sampai timbul rasa dendam terhadap tokoh Orba tersebut. Sebab siapa pun merasa tidak mendapatkan ketidakadilan ketika ia harus dihukum, namun harus pula menerima dendam kemanusiaan. Dalam kisah legendaris, yang dipresentasikan secara dramatis antara Sunan Kalijogo dengan Syeikh Siti Jenar, terpantul suatu cerminan, bahwa eksekusi terhadap Syeikh Siti Jenar, sedikit pun tidak mengurangi rasa cinta Sunan Kalijogo terhadap kawannya itu. Karena, sesungguhnya jiwa dan hati Sunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar berada dalam dataran yang sama. Dan sebaliknya, sikap demokrat sejati Syeikh Siti Jenar yang secara "berani" menghadapi eksekusi, adalah karena penghargaannya terhadap konstitusi dan hukum para Wali. Maka, di dalam drama eksekusi tersebut, prosedurprosedur formal tidak boleh mengintervensi aturan-aturan jiwa yang menjadi batin dari suatu keputusan. Karena intervensi rasionalisme terhadap spiritualisme bisa melahirkan emosi-emosi negatif, sebalikinya intervensi spiritualisme terhadap rasionalisme bisa melahirkan

Catatan Gusdur

PersEbook369

24 kalim-klaim sakralisme dalam bentuk sekularisme yang maniak. Oleh sebab itu, dendam terhadap tokoh yang bersalah, bisa disebut sebagai "dosa demokrasi" ketika penegakan hukum sebagai salah satu lemen demokrasi, justru ditaburi oleh "balas dendam". Sementara fakta yang kita lihat dalam proses demokratisasi kita, justru ada elemen lain yang ditolerir dalam proses penegakan hukum, yaitu proses dendam sejarah. Kenyataan ini menunjukkan adanya pertanyaan besar yang belum dijawab oleh mereka yang ingin menegakkan demokrasi itu sendiri. Nilai-nilai dan roh demokrasi model apakah yang hendak ditegakkan bagi demokrasi Indonesia? Sebagai suatu wacana, Sufisme bisa disebut sebagai wacana baru bagi proses penegakan wacana kedemokrasian kita. Walau pun begitu, -- setidaktidaknya, -- kita melihat sebagian praktek Sufisme bagi demokrasi itu ada dalam perilaku kepemimpinan Gus Dur. Terlepas suka maupun tidak, sangat tidak demokratis manakala kita bersikap apriori begitu saja terhadap gerakan Demokrasi Gusdurian, sebelum kita memahami secara tulus apa dan siapa Gus Dur dalam konteks kebudayaan dan hakikat-hakikat keagamaan.

Catatan Gusdur

PersEbook369

25

Banyak karya tulis yang telah dibuat oleh gusdur. Memang selain mahir memaparkan sesuatu lewat tausiah atau pesan-pesan verbalnya beliau juga mahir memaparkan opini dan pendafatnya lewat media tulisan. Dan berikut beberapa karya tulis beliau: Dapatkah NU Berperan Politik Nasional? Paris, 12 Desember 2003 Bagi banyak orang timbul kegamangan akan kemampuan NU, baik melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) maupun lain-lainnya, untuk memimpin sebuah pemerintahan nasional? Bukankah ini sama dengan „punguk merindukan bulan‟? Mereka menilai para Kyai di pedesaan justru tidak memiliki pengalaman nasional untuk memerintah dengan baik. Sebaliknya, para Kyai di perkotaan justru mempertontonkan akhlak/moralitas yang rendah; mereka tahan menderita, tetapi tidak tahan

Catatan Gusdur

PersEbook369

26 kaya. Lalu bagaimana jika para Kyai itu baik yang di desa maupun yang di kota ternyata salah pilih orang, sehingga yang memimpin negeri kita hanyalah para pencari muka dan pengikut paham; “asal bapak senang saja”. Memang harus diakui, pandangan dan pertanyaan ini adalah sesuatu yang valid (absah) dalam kehidupan serba rumit ini. Apalagi di kala kita akan menerapkan demokrasi yang sesungguhnya setelah pemilu nanti. Apalagi jika pada pertanyaan itu ditambahkan sebuah hal lain; rakyat kita, yang umumnya masih berada pada taraf pendidikan yang belum tinggi, belum dapat memasuki era industrialisasi yang kita perlukan untuk maju. Kalau mereka mencapai hal itu dalam waktu lima tahun lagi, masihkah mereka setia pada para Kyai mereka sekarang? Kalau tidak, siapakah yang akan mereka ikuti dalam “jangka panjang”? Hal ini juga ditanyakan oleh para pemuka agama-agama lain pada waktu akan dimulai industrialisasi di sebuah negara. Paling tidak, para “peninjau/pengamat” mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang terasa sangat menyudutkan para agamawan itu. Belajar dari pengalaman sejarahlah kita harus menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan di atas. Kegagalan melakukannya, hanya akan membawa irrelevansi agama kita, yaitu Islam . ***** Hal pertama yang dapat kita kemukakan, adalah tentang fungsi Islam sebagai agama bagi kehidupan kita di masa ini. Haruskah Islam memasuki semua lorong kehidupan, dan memberikan “cap”-nya kepada kita semua; benarkah masyarakat kita masih “Islami”, kalau kita kurangi jumlah lorong-lorong yang dimasukinya? Artinya, haruskah Islam memasuki semua bidang kehidupan, tanpa pandang

Catatan Gusdur

PersEbook369

27 bulu? Ini adalah sebuah pertanyaan pelik, yang jawabannya tentu terasa pahit bagi kita. Hadratu alSheikh Mohammad Hasjim Asj‟ari, Ra‟is Akbar NU, memimpin bahtsul masa‟il (pembahasan masalah), di mana diputuskan “musik strijk” (orkes/band musik kita sekarang) hukum agamanya diharamkan. Keputusan itu tidak pernah diubah, namun dalam praktek diabaikan. Dalam hal ini, kita semua pernah mengabaikan satu atau dua keputusan agama yang dirumuskan oleh para ulama dengan serius, melalui perdebatan terbuka yang hangat. Walaupun demikian, haruslah diakui dalam hal-hal utama kita tetap berpegang pada kaidah-kaidah Hukum Islam (fiqh) dari madzhab kita. Contoh terakhir adalah kasus penyedap masakan Ajinomoto, yang secara lantang diharamkan oleh Din Syamsuddin dari MUI. Para Kyai NU di Jawa Timur memutuskan, pembuatan Ajinomoto itu tidak bertentangan dengan ajaran agama, walaupun jika tabung minyak babi pecah dan membuat kristal-kristal penyedap bumbu masakan itu terkontaminasi minyak babi. Ini diputuskan setelah para ulama NU itu mendapat janji pihak pabrik penyedap masakan itu, bahwa bejana air yang digunakan untuk membuat kristal akan disamakan hukumnya dengan air yang mengalir (al-ma aljari) jika dibuatkan kran pembuang, yang seukuran dengan air yang masuk ke dalam bejana itu. Jadi air masuk (in-take) sama besarnya dengan air keluar (outtake). Dengan demikian, in-take dan out-take pembuatan penyedap masakan itu masih aplikatif hukumnya. Ini kenyataan yang menunjukkan bahwa hukum fiqh berlaku lebih dari “hukum” yang dikeluarkan Din Syamsuddin. Dengan demikian, menjadi nyatalah bagi kita, bahwa ada sesuatu yang membuat “hukum agama” lebih dihargai dan diterima oleh publik, dari pada “hukum politik”, dari

Catatan Gusdur

PersEbook369

28 siapapun yang mengeluarkannya. Tentu timbul pertanyaan, mengapakah keadaan menjadi demikian? Tidak kurang-kurang para pemimpin politik yang menggunakan baju Islam, baik melalui MUI maupun NU dan Muhammadiyah, penerimaan mereka atas “hukum fiqh” masih lebih kecil dari pada penerimaan masyarakat. Ini berarti ada sesuatu yang ada dalam hukum fiqh itu, yang tidak dimiliki oleh pendapat politik yang menggunakan nama Islam sekalipun. Ini sering penulis dapati dalam pernyataan demi pernyataan yang dikemukakan oleh berbagai organisasi/gerakan Islam, seperti PUI, Persis, FPI, Laskar Jihad dan akhir-akhir ini gerakan jihad fi sabilillah. Jelaslah dengan demikian, letak kekuatan NU dan Muhammadiyah. Nah, kenyataan ini membawa kita kepada sebuah keadaan lain, yaitu bahwa keputusan politik apapun di kalangan gerakan-gerakan Islam, masih kalah dengan keputusan “fiqh” dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan gerakan Islam. Karenanya, setiap keputusan yang “dibungkus” dalam “hukum fiqh” masih jauh lebih berharga dari pada yang lain-lain. Di sinilah terletak kekuatan kita, yang terkadang sangat menentukan. Ketika para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk menerima gagasan persamaan status hukum bagi semua warga negara RI, melalui pencoretan Piagam Jakarta, dan praktis mematikan (minimal untuk sementara) gagasan Negara Islam, kemudian menggantikannya dengan istilah “Negara Pancasila”, maka segera pengesahan konsep “Negara Pancasila itu berdasarkan “hukum fiqh”. Keputusan itu nyatanya masih dipakai terus hingga sekarang, dan hingga masa selanjutnya. Dengan demikian, jelaslah kekuatan “hukum fiqh” ternyata masih

Catatan Gusdur

PersEbook369

29 belum tertandingi oleh gagasan / pendapat lain yang diajukan kepada masyarakat. Jelaslah, apa yang ditentukan oleh “Hukum fiqh” itu, dalam “bahasa awam” seringkali disebut sebagai akhlak/moralitas, ternyata juga memiliki kekuatannya sendiri. Krisis multi-dimensiyang melanda negeri kita selama tuju tahun terakhir ini, oleh “masyarakat bawah” dianggap sebagai “hukuman” Tuhan –minimal cobaanNya, atas langkanya akhlak moralitas yang dipakai sebagai dasar tindakan-tindakan yang diambil/dilaksanakan selama beberapa dasa warsa terakhir ini. Setuju atau tidak atas pendapat seperti itu, dalam kenyataan akhlaq dan moralitas berperan dalam “keputusan” pemilihan umum yang akan datang. Terutama pemilu legislatif, karena ternyata saat ini para “wakil rakyat” yang mengisi jabatan-jabatan legislatif, bahkan memberikan contoh tidak baik kepada masyarakat dalam soal akhlak atau moralitas itu. Banyak warga masyarakat merasa bahwa kepercayaan atau amanat yang mereka berikan kepada para legislator itu, ternyata disia-siakan saja. Bukannya turut mengatasi krisis yang ada, mereka bahkan bersama pihak ekskutif bermotif komersial untuk kepentingan sendiri/ golongan dalam mengambil keputusan. ***** Di sini kita lihat hubungan antara agama dan politik. Hubungan itu tidak bersifat agama, karena hal itu sama saja artinya dengan membuat sebuah “negara agama”. Negara mengambil keputusan-keputusan berdasarkan pertimbangan kenegaraan, ada yang bersifat hukum, tetapi kebanyakan bersifat politis. Nah, peranan agama dalam hal ini adalah untuk menjaga agar keputusan-

Catatan Gusdur

PersEbook369

30 keputusan yang diambil, jangan melanggar kaidah-kaidah akhlak/moral. Karena itu kita tetap memerlukan para agamawan dan mereka yang berbudi luhur, termasuk yang menjadi warga lembaga-lembaga keagamaan dan para pengamat berbagai gerakan keagamaan. Suara mereka harus diperhatikan, karena merekalah yang menjadi “penjaga hati-nurani” sebuah bangsa. Kalau mereka dibuat tidak berkutik karena materialisme dimenangkan atas pendapat mereka, dalam jangka panjang kita juga yang rugi. Demikian juga organisasi gerakan keagamaan, para agamawan dan pembawa pesan budi luhur sebuah bangsa, harus juga diserahi tugas untuk menjaga agar orientasi kita sebagai bangsa tidak semata-mata bersifat kebendaan/materialistik. Harus ada spiritualitas kerohaniahan yang menentukan orientasi dan masa depan bangsa. Selalu diciptakan keseimbangan antara capaian materialistik dan kerohaniahan, yang membuat bangsa itu maju secara empirik dan teknologi, tetapi tidak meninggalkan kaidah-kaidah moral dari agama apapun. Dalam hal ini, observasi kita mengenai sikap materialistik yang dominant, yang disandarkan pada pertimbanganpertimbangan geopolitik belaka dalam percaturan internasional, akhirnya, menimpa seluruh dunia saat ini, termasuk negara-negara yang dianggap “berindustri maju”. Kenyataan inilah yang mendorong penulis mengajak kita semua untuk menjaga keseimbangan antara agama dan politik dalam pengertian di atas. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan? Inul, Rhoma, dan Saya Jakarta, 14 Mei 2003

Catatan Gusdur

PersEbook369

31 Pada permulaannya, kasus Inul lepas dari perhatian penulis. Namun kemudian Rhoma Irama-yang oleh penulis biasa dipanggil "Bang Haji"- menurut berita meminta kepada beberapa stasiun televisi dan beberapa jenis media lain untuk tidak menyiarkan/menayangkan Inul melakukan "pengeboran". Penulis tidak tahu efektifitas tindakan Bang Haji itu, tapi Sastro Ngatawi pada suatu hari meminta penulis bertemu Inul, dalam sebuah acara makan siang di Hotel Grand Melia di kawasan Kuningan, Jakarta. Penulis menyetujui pertemuan itu , dan dalam acara itu Inul menyampaikan beberapa hal kepada saya. Salah satunya yang memang sudah diketahui, adalah kenyataan bahwa memang berat "pukulan" yang dilontarkan Bang Haji atas kegiatan pergelaran seni Inul tersebut. Namun, begitu penulis turut menyikapi masalah ini, banyak pihak (terutama kaum perempuan) yang semula diam saja, lalu banyak bergerak menyuarakan pendapat mereka yang umumnya menyalahkan Bang Haji. Bahkan ada yang mengancam akan mengajukan somasi kepada Bang Haji ke Pengadilan Negeri. Tentu saja, hal ini dirasakan penulis sebagai sesuatu yang kontra produktif, karena bagaimana pun Bang Haji adalah seorang aktivis yang berjuang untuk kebesaran Islam dan kejayaan kaum Muslimin. Sikapnya ditentukan oleh cara perjuangannya itu. Dalam pandangan penulis, Bang Haji melakukan perjuangan dengan caranya sendiri untuk menjaga moralitas sesama muslim, seperti yang dirumuskan fi'qh/hukum Islam, sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Kitab suci Al Quran menyatakanya: "Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan di muka bumi, karena kalian mewajibkan apa yang diperintah agama dan mencegah apa yang dilarang agama" (Kuntum khairah

Catatan Gusdur

PersEbook369

32 ummatin ukhrijat li al-nas ta-muruna bi al-ma'ruf wa tanhauna an' al-munkar). Dengan demikian apa yang diperbuat Bang Haji sepenuhnya benar. Namun caranya dengan mengeluarkan larangan pada Inul itu, tidak dapat dibenarkan oleh konstitusi. Menurut Undang-Undang Dasar (UUD) kita, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya, selama tidak bertentangan dengan konstitusi. Dan yang menentukan hal itu bukanlah perorangan warga masyarakat, melainkan hanya Mahkamah Agung. Dengan kata lain, Bang Haji melakukan pelanggaran konstitusi demi menjaga moral dan akhlak kaum muslimin dari kerusakan. Karena berusaha menjaga prosedur seperti yang digariskan dalam UUD 45, maka penulis melakukan tindakan dengan berpendapat, "Bang Haji secara konstitusional tidak berhak melakukan pelarangan terhadap Inul karena "pengeboran"- nya. ***** Tindakan mempertahankan konstitusi itu dilakukan penulis, karena UUD kita memang sangat sering dilanggar, termasuk oleh pemerintah. Kalau pelanggaran demi pelanggaran oleh siapa pun di negeri ini dibiarkan, maka tentu kita tidak akan dapat menegakkan demokrasi. Karena dasar dari demokrasi adalah tegaknya kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di hadapan Undang-Undang. Sedangkan tanpa kedaulatan hukum itu tidak akan ada demokrasi di negeri ini. Karena concern terhadap penegakkan demokrasi di negeri ini, maka dengan sendirinya penulis harus menegakkan kedaulatan hukum. Dan ini hanya akan dapat tercapai apabila konstitusi juga dihormati dan dilaksanakan dalam kehidupann kita sehari-hari. Itulah sebabnya, mengapa penulis "berani" menentang tindakan

Catatan Gusdur

PersEbook369

33 Bang Haji itu, walaupun menyetujui maksud Bang Haji menjaga moralitas bangsa akibat dari pagelaran-pegelaran seni yang melanggar norma. Jika Bang Haji melihat bahaya bagi kaum muslimin, penulis bahkan memperluasnya bagi seluruh anak bangsa. Karena itulah, penulis sepakat dengan Bang Haji mengenai pentingnya arti menjaga moralitas masyarakat, tetapi dengan tidak melarang pagelaran Inul. Sikap yang dikeluarkan Bang Haji sebenarnya harus melalui imbauan kepada masyarakat, dengan tidak melarang lembaga-lembaga umum seperti stasiun televisi atau media massa. Jadi antara esensi dan prosedur harus diusahakan bersamaan. Contoh klasik ini memperlihatkan kepada kita betapa sulitnya menjaga kedaulatan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Itu tidak berarti penulis sepenuhnya bertentangan dengan Bang Haji, tetapi memiliki persamaan esensi, yaitu pentingnya menjaga moralitas bangsa. Tentu saja, banyak orang yang menyetujui langkah "jalan pintas" yang dilakukan Bang Haji itu. Tetapi dalam jangka panjang hal itu justru menghancurkan kedaulatan hukum, dengan demikian demokrasi tidak akan tegak di negeri kita. Mengapa terjadi "pertentangan" seperti ini? Karena ada kerancuan soal pemilik kedaulatan hukum tertinggi dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. ***** Mengapa penulis melakukan tindakan tegas seperti itu? Jawabnya sederhana saja, yaitu pengalaman pribadi penulis atas hilangnya kedaulatan hukum. Sebagaimana diketahui, pada tanggal 21 Juli 2001, para ketua umum partai politik yang berkuasa, dengan dibantu beberapa pihak, di rumah Megawati Soekarnoputri di bilangan Kebagusan (Pasar Minggu, Jakarta) telah memutuskan

Catatan Gusdur

PersEbook369

34 menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Tindakan itu diambil guna memungkinkan menilai langkah-langkah penulis dalam kasus Brunei dan Bulog. Kenyataannya, dalam kedua kasus itu, tidak terdapat bukti hukum untuk menyalahkan penulis. Karena itu penyelesaiannya lalu dilarikan ke dalam "penyelesaian politis". Inilah kerancuan kalau kita tidak setia kepada konstitusi. Karena penulis tidak ingin hal itu terjadi kembali, apalagi jika penyimpangan UUD 45 itu dilakukan oleh orang yang sangat dihormati seperti Bang Haji. Karena itulah, penulis rela dimarahi dan ditentang oleh siapa pun termasuk sejumlah ulama NU (Nahdlatul Ulama) sendiri. Dengan kesadaran penuh penulis bertemu dengan Bang Haji, walau tanpa ada kesesuaian dalam langkah-langkah yang diambil untuk menjaga moralitas bangsa. Karena penulis tetap berkesimpulan prosedur dan esensi (proses dan tujuan), selamanya harus ada kesesuaian. Hanya dengan cara demikianlah kedaulatan hukum dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Selama ada seorang warga negara dalam kedudukan yang sama seperti penulis, mengambil tindakan untuk mempertahankan supremasi hukum di negeri kita, selama itu pula masih ada harapan bagi demokrasi untuk dapat ditegakkan di negeri kita. Hal itu hanya dapat dilakukan, apabila kita tidak memisahkan konstitusi (kedaulatan hukum) dari prosedur penegakkan hukum itu sendiri. Kerangka itu pula yang mendasari penulis menentang divestasi Indosat dan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar & Minyak) juga TDL (Tarif Dasar Listrik) tanpa ada kenaikan pendapatan masyarakat. Karena dalam UUD 45 disebutkan negara melaksanakan hajat hidup orang banyak. Sedang dalam satelit milik Indosat terkandung informasi intelejen mengenai negara kita. Berarti keselamatan kita sebagai bangsa--dalam hal ini informasi intelejen dalam satelit Indosat- tidak boleh

Catatan Gusdur

PersEbook369

35 diserahkan kepada orang lain, karena ia merupakan hajat hidup orang banyak. Keputusan tentang hal ini harus dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Pemerintah tidak dapat mengambil langkah apa pun sebelum MA mengeluarkan keputusan membolehkannya. Begitu juga dengan kenaikan harga BBM dan TDL. Kedengarannya mudah menegakkan konstitusi, tetapi sulit dalam pelaksanaan bukan? Jalan Rakyat Menuju Demokrasi Dalam sebuah siaran radio swasta niaga, sosiolog Universitas Indonesia (UI), Thamrin Amal Tomagola menyatakan kesangsiannya bahwa Indonesia akan dapat mencapai demokrasi melalui partai politik (Parpol). Ia juga menolak keinginan kalangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, agar proses demokratisasi dipelopori oleh universitas, dengan tenaga-tenaga LSM dan mahasiswa sebagai perintisnya. Thamrin lebih menyenangi peranan universitas-universitas di daerah, sehingga pendapat daerah akan muncul lebih menonjol, ketimbang pendapat dari pusat-pusat keistimewaan (center of excellence) yang dibangun oleh sejumlah universitas-universitas berkaliber nasional, seperti UGM, UI, dan ITB. Pandangan Thamin sangat menarik untuk dikaji, karena terkait dengan sejumlah lembaga di daerah yang lebih mencerminkan desentralisasi-desentralisasi. Dengan kata lain, Thamrin mensyaratkan desentralisasi sebagai tonggak penguji bagi berlangsungnya demokratisasi di negeri kita. Benarkah? Penulis beranggapan tidak. Karena mengukur demokratisasi dengan desentralisasi kekuasaan sangatlah riskan. Menurut penulis, desentralisasi adalah hasil dari proses demokratisasi, bukan sebaliknya.

Catatan Gusdur

PersEbook369

36 Apabila terjadi proses demokratisasi yang benar, dengan sendirinya akan tercapai kematangan yang memungkinkan berlangsungnya desentralisasi kekuasaan. Penulis yakin hal itu akan terjadi manakala ada sponsornya yang gigih dan konsisten. Dengan memberikan kepada kita semua untuk memilih pemimpin itu, penulis yakin bahwa pada waktunya akan muncul seorang pemimpin bangsa yang dapat melakukan sebuah proses demokratisasi. Ini berarti, penulis melihat adanya jalan bagi Parpol untuk mengembangkan demokratisasi tanpa terganggu oleh kemelut politik yang ada dewasa ini. Kalau meminjam istilah Von Clausewitz dua abad yang lalu, bahwa perang terlalu penting untuk hanya diputuskan oleh para jenderal. Penulis beranggapan pula bahwa demokratisasi kehidupan kita tidak hanya cukup dirumuskan oleh para pengamat saja, setinggi apapun kredibilitasnya saat ini. Soalnya ini menyangkut seluruh kehidupan bangsa, sehingga ia harus diputuskan oleh seluruh bangsa pula, melalui kesepakatan antara pihak eksekutif yang kuat dan pihak legislatif yang sama kekuatannya, dengan diperiksa oleh sebuah Mahkamah Agung yang bertanggung jawab. Mayoritas Bisu Bukannya kita mengabaikan para pengamat, tetapi kita tidak boleh terlalu mengagungkan mereka, seolah-olah mereka adalah pemegang kebenaran. Pendapat mereka, seperti juga pendapat orang-orang lain, mempunyai nilai sendiri. Apalagi mereka hanya mengenal dunia akademis saja, yang tidak boleh dijadikan kebenaran mutlak. Kebenaran yang harus kita ikuti adalah yang diputuskan oleh rakyat, melalui Pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh Richard Nixon, disebut sebagai "mayoritas bisu" (silent majority), yang merupakan sebuah kekuatan "pemberontakan" di Amerika Serikat 30-an

Catatan Gusdur

PersEbook369

37 tahun yang lalu. Ia ditertawakan oleh hampir semua pengamat, yang menguasai dunia pers, elektronika dan media cetak saat itu. Apalagi ia mengemukakan hal itu setelah ia terlibat dalam scandal Hess sewaktu ia menjadi wakil Presiden di bawah Presiden Eisenhower. Saat itu, ia dianggap sudah "habis" karir politiknya dan tamat keterlibatannya dengan dunia pemerintahan, paling tidak demikianlah pendapat pers. Namun Nixon adalah orang yang tidak mudah putus asa dan dalam waktu 30 tahun ia berhasil kembali ke dunia politik. Hal itu dilakukannya melalui dua cara. Pertama, ia mengumpulkan kekuatan politik dari partai Republik. Kedua, ia memulai sebuah tradisi baru dalam pemerintahan Amerika Serikat. Ia berbicara langsung kepada "mayoritas bisu" yang dikenalnya dengan baik tanpa memperdulikan pendapat para pengamat, yang dinilai tidak tahu apa yang mereka lakukan. Hal itu sekarang terjadi pula dalam perpolitikan Indonesia, dalam bentuk sikap acuh tak acuh para pengamat atas kepercayaan rakyat yang sebenarnya. Mereka tidak tahu bahwa kebanyakan rakyat yang akan memberikan suara dalam Pemilu nanti, membedakan antara mengerti dan tahu. Rakyat tidak tahu banyak tentang dunia politik dan pemeritahan, tetapi mengerti mana yang baik dan buruk, dan mana yang benar atau salah. Mereka tidak dapat di tipu dengan slogan-slogan yang kosong dari kebenaran dan jauh dari kenyataan. Mereka tidak mudah menelan oleh janji-janji kosong, melainkan mereka menyimak dengan tekun pernyataan demi pernyataan mengenai bagaimana demokrasi yang berintikan dan berlandaskan kedaulatan hukum. Dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di hadapan undang-undang. Dari sinilah mereka menjadi mengerti apa yang harus dilakukan, yaitu memberikan

Catatan Gusdur

PersEbook369

38 suara kepada pihak yang benar-benar melakukan upaya demokratisasi. Mengerti Dan Tahu Dari kenyataan ini, menjadi penting bagi kita untuk memiliki kemampuan membedakan, sikap mengerti dari kurangnya pengetahuan. Islam secara mendalam membedakan mana yang dianggap mengerti dan mengatahui itu. Dalam pandangan Islam, keterdidikan memiliki kedua dimensi itu. Karenanya, orang yang tahu banyak tetapi tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu masalah, belum tentu pendapatnya benar. Dalam hal ini, sikap mengerti dari seorang awam akan lebih punya nilai daripada pendapat "para ahli". Karenanya anggapan bahwa rakyat kita bodoh dan dapat dibodohi, harus diragukan kebenarannya. Menurut pemahaman penulis, pendapat yang benar harus dapat dimengerti kegunaannya bagi kehidupan kita di masa depan. Atas dasar pemikiran seperti itulah, bangsa kita yang masih rendah pengetahuannya (menurut statistik), yang terbelakang dari sudut pengembangan SDM, mungkin saja mendirikan demokrasi. Warga bangsa yang bodoh dan kurang pengetahuan itu mampu menumbangkan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Dalam pada itu, mengapa pula transisi demokrasi tidak terjadi di negeri-negeri ASEAN yang lain, yang dianggap lebih maju dan canggih? Tentu saja, tidak semua bangsa mengalami stadium yang sama pada waktu yang sama pula. Masingmasing memiliki pengalaman yang berbeda, dan itu membuat sejarah peradaban umat manusia sangat menarik. Bangsa India, terlepas dari perbedaan antara kaya dan miskin yang demikian besar, ternyata memiliki disiplin hidup yang jelas untuk memprioritaskan teknologi terapan yang perlu untuk mengangkat derajat hidup

Catatan Gusdur

PersEbook369

39 mereka sebagai bangsa. Juga melalui sistim hukum yang memiliki pengekangan sangat kuat atas kekuasaan. Akan halnya kita, pengalaman bangsa kita yang serba beragam merupakan salah satu bahan ramuan yang akan melanjutkan demokratisasi di negeri kita. Umat Islam, Dimanakah Alamatmu? Jakarta, 12 Agustus 2003 Beberapa tahun yang lalu, Sydney Jones menulis sebuah artikel dalam jurnal ilmiah “Indonesia”, terbitan Univeritas Cornell, di New York. Dalam tulisan itu ia menyebutkan beberapa kali istilah “umat Islam”, yang sebenarnya telah diartikan berbeda-beda oleh para ahli yang berlainan lebih dari 100 tahun lamanya. Penulis juga senantiasa menyatakan, paling tidak kata itu memiliki dua buah arti penting. Di satu pihak maksud dari kata itu adalah semua orang yang beragama Islam, jadi istilah umat Islam sama dengan istilah kaum Muslimin. Setiap orang yang memberikan kesaksian dan berkeyakinan bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad adalah pesuruhNya” ini udah termasuk kaum Muslimin. Dalam pengertian umum itu umat Islam berarti setiap orang Muslim dalam sebuah negara. Arti kedua, adalah orang yang mendukung sebuah gerakan keagamaan Islam, seperti umat Muhammadiyah, NU, Persis, dll. Berdasar maksud dua pengertian tadi, maka ketika ada klaim misalnya bahwa umat Islam menolak perjudian. Maka sejak hal itu akan dijadikan sebuah ketentuan formal, Rancangan Undang-Undang (RUU)nya dibawa ke DPR dan kemudian diundangkan atas dukungan semua anggotanya, termasuk kaum Non-Muslim. Memang undang-undang tersebut dibuat atas inisiatif kaum

Catatan Gusdur

PersEbook369

40 Muslimin -paling tidak para pemimpin mereka. Namun telah terjadi perpindahan dan UU tersebut menjadi “milik bersama” dengan mereka yang tidak menjadi warga berbagai gerakan Islam dan juga Non-Muslim. Banyak produk-produk hukum formal seperti ini, yang telah dihasilkan di negeri kita. Dengan mengerti keadaan sebenarnya yang timbul dari kenyataan historis seperti itu, kita dapat melihat bagaimana pentingnya memahami aspirasi sebuah kaum, dan dapat menghindari kerugian yang mungkin ditimbulkan dalam kehidupan kaum Muslimin bangsa kita. Karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk membedakan arti kata umat Islam yang dimaksud berdasarkan penggunannya. Ketika ada klaim bahwa mayoritas “umat Islam” menginginkan negara agama, kita serta-merta dapat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah para warga berbagai gerakan Islam yang ada di negeri ini. Namun hal itupun belum tentu benar demikian adanya, karena seluruh bukti-bukti historis justru menunjukkan keadaan sebaliknya yaitu bahwa gagasan tersebut hanyalah pendapat minoritas. ***** Klaim partai-partai politik yang menamakan diri “Partai Islam” yang dalam kenyataan tidak mewakili pendapat mayoritas bangsa ini, terjadi dalam sidang-sidang Dewan Konstituante tahun 1956-1959 dan dalam sidang-sidang MPR beberapa tahun terakhir ini . Usulan agar supaya konstitusi kita mencantumkan Piagam Jakarta ternyata ditolak. Penolakan ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang mengambil inisiatif untuk memasukkan Piagam

Catatan Gusdur

PersEbook369

41 Jakarta ke dalam konstitusi kita, hanyalah kelompok minoritas. Namun masalahnya adalah walaupun mereka adalah golongan minoritas, namun berjumlah cukup signifikan yaitu antara 25 hingga 45 % suara dalam Dewan Konstituante dan MPR. Walaupun kedua lembaga itu telah dan akan dibubarkan, namun hal ini masih juga menjadi sesuatu yang dapat berbuntut panjang. Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas, hanyalah melalui pemilihan umum. Jika partai politik yang mengklaim pembawa aspirasi umat Islam ini menang, dengan sendirinya masalah lama ini akan muncul kembali dalam perdebatan politik kita di masa yang akan datang. Tapi kalau partai-partai politik yang “bukan” partai politik Islam yang memenangkan lebih dari 70 % suara, maka dapat diharapkan untuk selanjutnya masalah ini selesai dengan sendirinya. Lagilagi masalahnya berkisar pada istilah aspirasi “umat Islam”. Karena itu untuk sementara waktu kita masih harus bersabar menunggu datangnya sang waktu bagi penyelenggaraan pemilu tersebut. Berkaitan dengan itu ada lagi masalahnya, yaitu keraguraguan cukup besar dikalangan warga masyarakat kita: Benarkah pemilu akan terselenggara tepat pada waktunya? Karena kasus kematian Marimutu Manimaren yang diliputi kerahasiaan dan peledakan bom yang berkekuatan sangat besar di Hotel Marriott telah menimbulkan keragu-raguan, apakah itu tidak disengaja untuk menggagalkan pemilu? Karenanya, pemerintah (dan ini berarti juga aparataparatnya yang penting seperti Polri, BIN dan sebagainya) harus segera berbicara tentang hal ini. Sikap untuk mengangap hal ini tidak penting justru akan

Catatan Gusdur

PersEbook369

42 memperpanjang kekhawatiran masyarakat . Hanya dengan kejelasan persoalan, bukan dengan langkah sangat cepat yang hanya untuk “mendinginkan keadaan”, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dapat dijaga. Banyaknya kejadian yang ditimbulkan oleh para teroris, kasus yang tidak dapat diterangkan asal-usulnya dan jawaban yang tidak bertanggung jawab dari aparat pemerintah akhir-akhir ini, bagaimanapun juga akan membuat kepercayaan masyarakat berkurang. Kalau kepercayaan ini habis sama sekali, maka tentulah para penguasa pemerintahan akan dihadapkan kepada sesuatu yang lebih besar: revolusi sosial atau sering juga dinamakan konflik horizontal. Tanda-tanda pertamanya sudah terjadi secara meluas di negeri kita saat ini, dalam bentuk penjarahan-penjarahan oleh rakyat. Karena itulah pemerintah saat ini sangat menjaga kepercayaan masyarakat, namun sangat disayangkan semakin menjadi-jadinya KKN di segala bidang, -betapa kecilnya sekalipun- telah mengurangi kepercayaan itu. Salah satu bentuknya adalah meluasnya anggapan keadaan di era Soeharto jauh lebih baik dari era sekarang ini. Kalau masyarakat sampai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dengan sendirinya pendekatan politis kepada umat Islam semakin efektif, hal ini dapat dilihat dari semakin suburnya “partai politik Islam”; hal yang tentu tidak diharapkan oleh para pemimpin negara kita saat ini. Jadi, tidak jalan lain bagi kita selain memfungsikan Islam secara kultural/budaya, untuk menjamin agar supaya “Islam politik” tidak tumbuh lagi dan merusak pohon konstitusi kita.

Catatan Gusdur

PersEbook369

43 ***** Dari apa yang digambarkan di atas, dengan sendirinya memunculkan kebutuhan untuk mengetahui definisi “umat Islam” yang sebenarnya dan mengetahui juga secara tepat konfigurasi keadaan di luar anggapan yang telah ada sering sangat ditentukan oleh perkembangan politik. Baru-baru ini, penulis diwawancarai oleh radio Inggris, BBC World Service penulis ditanya apakah lagu yang disukai. Ketika penulis menyatakan lagu Me and Bobby McGee, pewawancara pertelpon itu sangat terkejut. Tahukah anda siapa penyanyinya? jawab penulis, tahu ia Janis Joplin mati karena overdosis narkoba pada usia 24 tahun. Lagu Me and Bobby Mc Gee menceritakan seorang perempuan hippy yang mengikuti seorang masinis lokomotif disel selama 3 hari sepanjang anak benua A.S dan tidur dengannya di kota-kota persinggahan tanpa perkawinan. Ini jelas melanggar ajaran agama, tetapi bagi saya yang penting nadanya enak. Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa kita memerlukan kejelasan mengenai subyektifitas kaum Muslimin dan gerakan-gerakan Islam di negeri ini. Tanpa kejelasan itu, kita hanya akan berputar-putar belaka mengenai berbagai aspek dari kehidupan kita sebagai bangsa. Inilah hal yang menimbulkan keprihatinan kita, karena kita justru menghargai ke-bhineka-an. Tentu saja, dengan hanya bermodalkan kesimpangsiuran mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah “umat Islam” tersebut, kita akan tetap berada dalam kegelapan. Pemilu akan datanglah yang dapat memberikan jawaban yang pasti, apa sebenarnya aspirasi “umat Islam”? Sebelum itu tidak bijaksana kiranya kita mengambil langkah strategis dalam

Catatan Gusdur

PersEbook369

44 kaitan “membungkam” gerakan Islam dan gerakan Islam lain di dunia ini. Sangat sulit memahaminya dewasa ini, apalagi dengan penerapan dalam kenyataannya, bukan? Keberanian Menjadi Pemimpin Bangsa Dewasa ini bangsa kita tengah bersiap-siap menyambut pemilu 2004, dengan segala duka dan suka, kelebihan dan kekurangannya. Ada yang menyangsikan, dapatkah bangsa ini melakukan pemilu yang demokratis? Banyak juga yang mempertanyakan dapatkah dilaksanakan Pemilu yang jujur dan mungkin dapat dipertanggungjawabkan kepada generasi-generasi mendatang? Ada pula yang melihat bahwa kita masih jauh dari demokrasi, tanpa menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan istilah tersebut. Tetapi rakyat kebanyakan justru percaya kepada kemampuan bangsa kita untuk melaksanakan pemilihan umum yang demokratis. Tentu saja masih akan terdapat kecurangankecurangan dan kesalahan-kesalahan dalam pemilihan umummendatang, tetapi itu adalah hal yang sudah diramalkan akan terjadi. Ketika penulis, sebagai salah seorang pimpinan PKB ditanya oleh seorang wartawan Australia bukankah demokratisasi memerlukan waktu sangat panjang, sekitar 80-90 tahun dan mengapakah penulis berani membentuk PKB untuk sasaran tersebut? Penulis menjawab menurut pepatah Tiongkok kuno, perjalanan 10.000 lie (sekitar 5000 km) dimulai dengan sebuah ayunan langkah pertama. Penulis berharap, pemilu yang akan datang, merupakan ayunan langkah pertama seperti digambarkan oleh pepatah tersebut. kalau partai-partai politik lain dikuasai preman dan ada pula yang menggunakan uang sebagai alat memenangkan pihaknya dalam pemilu, penulis

Catatan Gusdur

PersEbook369

45 memilih untuk melakukan pembersihan di kalangannya sendiri. Tentu saja, “pembersihan” yang dilakukan itu tidak dapat diselesaikan sekaligus. Namun dalam pandangan penulis, kebersihan politik akan menjadi salah satu faktor menangnya peserta pemilu, karena rakyat telah sadar saat ini. Mereka tidak akan memberikan suara bagi partai politik yang kotor. Terkadang, tindakan penulis untuk membersihkan PKB dianggap oleh sementara pengamat sebagai tindakan yang sia-sia belaka. Mereka menunjuk kepada pengalaman masa lampau, ketika pemerintahan Orde Baru memegang peranan yang menentukan, dan selalu memenangkan pemilu. Tidak mereka sadari, sebenarnya Orde Baru tidak pernah memenangkan pemilu, yang mereka lakukan adalah rekayasa pemilu, guna menguntungkan pihak sendiri. Rekayasa itu dilakukan melalui manipulasi hasil pemungutan suara. Caranya, dengan menghitung suara “pihak lawan” dalam pemilu, atau suara yang tidak dicoblos oleh para pemilih, seolah-olah dua pertiga atau lebih sisanya mendukung pihak sendiri. Dengan cara itu, terjadi hal-hal menggelikan, seperti penghitungan suara di pedalaman Sulawesi Selatan. Namun, para “pengamat” menganggap rakyat memilih parpol itu, yang penulis rasa merupakan pendapat yang salah Hal-hal semacam ini sudah bukan rahasia lagi, dan saat ini tinggal menjadi kenangan bagi para pemilih.. Penulis yakin, dengan penjagaan aparat negara yang juga menginginkan kejelasan dari pemilu itu, kita semua harus berpendirian bahwa persiapannya dapat dilaksanakan dengan baik, walaupun pelaksanaannya masih banyak kekuarangannya. Bahkan menurut kabar angin yang sampai ke telinga penulis, KPU dan Panwaslu turut bermain uang. Benar atau tidaknya kabar angin itu, akan

Catatan Gusdur

PersEbook369

46 dibuktikan oleh pemerintahan yang akan datang. Tetapi, dalam jangka panjang hal-hal seperti itu akan “hilang” dengan sendirinya, jika penghasilan para warga negara meningkat dan cukup untuk kebutuhan sehari-hari karena itu, pemilu yang ideal dapat dilakukan saat ini di negeri kita, namun ia cukup “bersih” secara relatif , untuk menjadi permulaan yang nyata dan kongret bagi proses demokratisasi kehidupan bangsa kita. Memang, jalan menuju demokratisasi kehidupan sebuah bangsa tidak sama. Di Malaysia demokratisasi masih bertumpu pada hal-hal formal belaka, yang selalu memenangkan UMNO (United Malaysian National Organization), seperti adanya ISA (Internal Security Act), yang memungkinkan penangkapan dan penahanan seseorang tanpa pemberian alasan oleh pemerintah kepada DPR maupun publik. Jika nanti ISA telah dirubah, guna memungkinkan pertanggung jawaban yang jujur oleh pemerintah, barulah demokratisasi yang penuh akan tercapai di negeri itu. Selama ISA masih dapat dipakai oleh pemerintah sekehendak hatinya, selama itu pula demokratisasi yang sebenarnya belum tegak di negeri jiran tersebut. Namun, bagaimanapun juga proses demokratisasi telah mulai berjalan di negeri itu, sehingga kita dapat melihat atau mengharapkan proses menuju pelaksanaan demokratisasi dengan segala suka dan dukanya. Demikian pula republik rakyat Tiongkok, orang mengeluhkan, bahwa pemerintahan Jiang Zemin sebagai tidak demokratis tetapi tidak dapat disangkal bahwa mereka adalah para pengikut Deng Hsiao-Ping yang oleh orang para pejabat Tionghoa sendiri diakui menggunakan cara “pragmatis” dalam menyelesaikan segala macam masalah. Pragmatis itu sebenarnya adalah paham politik,

Catatan Gusdur

PersEbook369

47 yang oleh Deng dijadikan “ideologi ekonomis”. Karena pragmatisme di bidang ekonomi itu, menuntut keleturan sikap, maka dengan sendirinya ia merupakan bagian dari proses demokratisasi. Namun, ketika para mahasiswa menuntut pemerintahan federal bagi Tiongkok, maka hal itu menimbulkan ketakutan pada para pemimpin RRT, seperti Jiang Zemin, akan berantakannya Tiongkok sebagai sebuah negara hal inilah yang membuat mereka mengambil sikap yang „otoriter” terhadap para mahasiswa itu. Ketika para mahasiswa yang menuntut pemerintahan federal berdemonstrasi di lapangan Tiananmen, maka bagi Jiang Zemin dan kawan-kawan tidak ada pilihan lain selain mengirimkan Tank:. Hasilnya adalah gambar yang unik sebuah foto seorang mahasisawa yang dengan tangan terhentang menghadapi sebuah Tank besar dengan moncong bermeriam yang sangat menakutkan. Gambar inilah yang dicetak oleh seluruh pers di dunia, seolah-olah seolah-olah tidak ada demokrasi di Tiongkok. Di sinilah, kesalah pengertian “pihak barat” mengatakan tidak ada demokrasi di Tiongkok pada hari ini. Soal tersebut dibiarkan oleh Jiang Zemin dan kawan-kawan tanpa ada bantahan sedikitpun. Akibatnya RRT tetap dikucilkan dari percaturan dunia. Baru beberapa tahun yang lalu RRT diterima kembali dalam masyarakat internasional melalui penetapan Beijing sebagai tempat berlangsungnya Olimpiade beberapa tahun lagi. Barulah Jiang Zemin mengorgnaisir perayaan terima kasih besarbesaran melalui sebuah perayaan di lapangan Tiananmen, dengan mendatangkan para penyanyi kelas dunia diantaranya, Pavarotti dan Placido Domingo. Jelaslah dari kedua contoh Malaysia dan Tiongkok itu, bahwa demokratisasi adalah sebuah proses, yang tidak

Catatan Gusdur

PersEbook369

48 sekali jadi. Karena ukuran yang kita bawa berbeda dari apa yang dianggap “barang lumrah” di dunia kapitalis atau di negeri-negeri yang memang sudah demokratis. Hal inilah yang dilakukan oleh “para pejuang HAM” di negeri kita, sebagian besar hingga hari ini. Ukuran-ukuran “orang luar” menggunakan untuk menilai “perkembangan akar rumput” di negeri kita, yang berbeda dari “nilai-nilai demokratis yang sudah mapan”. Untunglah, akhir-akhir ini timbul kesadaran, bahwa hal itu tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Karenanya, penulis gembira dengan adanya kenyataan bahwa telah terbentuk Aliansi Anti Politisi Busuk. Ini menunjukan, para aktivis kita mulai berbicara dengan “bahasa rakyat” yang menjadi perhatian akar rumput. Semoga kesadaran seperti ini tumbuh luas dan mencakup pihak-pihak “kalangan atas” juga. Hanya dengan kerjasama kalangan atas dan buruh, termasuk juga partai-partai politik, perjuangan untuk kepentingan demokrasi di negeri ini dapat berhasil dengan sungguhsungguh. Karena itu, menyamaratakan para pejuang halhal ideal dengan para politisi yang doyan uang, sama sekali tidak produktif, yang dimenangkan haruslah para pejuang demokrasi itu. Mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan? Moralitas Agama dalam Politi New York, 10 Desember 2003 Seorang kawan menyampaikan kepada penulis di New York, baru-baru ini. Dalam cerita itu, ia menyatakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dipimpinnya bertemu dengan 19 Duta Besar dari berbagai negeri Muslim. Ia mengemukakan kepada mereka, bahwa

Catatan Gusdur

PersEbook369

49 perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, harus didasari rasa saling percaya dan dipercayai. Karena hal itu hanya dapat tumbuh dari keyakinan agama, maka persoalannya terletak pada penyampaian ajaran dan pelaksanaan agama oleh para Rabbi Yahudi dan Ulama Muslim. Semuanya mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi sang teman merasa bahwa anggukan tersebut tidak keluar dari hati yang murni. Dalam jawabannya, penulis menyatakan hal itu wajar-wajar saja. Bukankah kalau apa yang disampaikannya itu benar terwujud, maka para diplomat itu akan kehilangan peran sebagai “penyelesai kesulitan dan pertentangan.” Bukankah hal itu sama saja dengan menyampaikan kepada seorang jenderal bahwa perang itu tidak perlu. Di sini penulis melihat adanya miskomunikasi antara berbagai pihak, tentang peranan masing-masing dalam percaturan hidup bersama. Bersama antara berbagai macam bangsa maupun bersama antara berbagai pandangan dan pengelompokan yang ada dalam sebuah masyarakat. Apalagi kalau masyarakat itu sangat besar, seperti bangsa Indonesia. Karenanya, kita harus sanggup menghargai dua hal sekaligus. Pertama, haruslah dihargai perbedaan pandangan, cara hidup, kebiasaan dan afinitas orang banyak. Kedua, harus ada pengambilan keputusan atas nama semuanya, walaupun pada dasarnya adalah pandangan segolongan pihak saja, yaitu pihak sang pemimpin yang mengemudikan negara. Lalu, bagaimana kita harus memadukan dua hal yang saling bertentangan itu? Penulis kira, hanya ada satu jalan untuk menembus kebuntuan yang diakibatkan oleh kedua hal yang saling bertentangan di atas. Hal itu adalah kepentingan umum, yang oleh Islam dirumuskan sebagai kebijakan dasar yang harus diikuti dan dilaksanakan

Catatan Gusdur

PersEbook369

50 semua pemimpin; al-maslahah „ammah (kemaslahatan bersama). Karena itulah penulis menyetujui adagium fiqh (hukum Islam) yang berbunyi “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas yang dipimpinnya harus terkait langsung dengan kemaslahatan mereka (Tasharruf alimam a‟la al-ra‟iyyah manuutun bi al-maslahah). Kata “kepentingan” ini sekarang diganti dengan kata lain, yaitu kesejahteraan. Kata “kesejahteraan” itupun, karena belum digunakan secara umum pada tahun 1945, oleh Pembukaan UUD kita juga diberi nama lain yaitu “masyarakat adil dan makmur”. Tapi istilah-istilah yang berbeda satu dari yang lainnya itu, mempunyai persamaan hakiki yaitu bukan kepentingan sang pemimpin atau golongannya. Karenanya penulis sendiri sangat heran mendengar ada seorang anggota DPR-RI, bahwa ia bukanlah wakil rakyat melainkan wakil partainya di lembaga tersebut. Bukankah dengan pernyataan itu, ia tidak menyadari bahwa ia mewakili daerah pemilihan tertentu, dan karenanya adalah wakil rakyat. Bahwa kemudian ia menjadi anggota fraksi tertentu, itu hanyalah soal disiplin kerja. Kenyataan itu tidak mengubah statusnya sebagai wakil rakyat dalam lembaga terhormat itu. Rupanya hal ini tidak disadari oleh banyak sekali anggota DPR-RI saat ini, dari berbagai fraksi. Dalam hal ini, kita hanya dapat turut bersedih hati, tanpa dapat berbuat apa-apa. ****** Dalam dunia yang hiruk-pikuk ini, banyak persoalan timbul karena perbenturan kepentingan antara berbagai pihak. Bahkan negara adi-kuasa seperti AS tidak malu menyerang sebuah negara “sedang” semacam Irak yang tidak mampu mempertahankan diri. Akan berakhir di sini

Catatan Gusdur

PersEbook369

51 sajakah perlawanan bangsa Irak terhadap “penjarahan” yang sebenarnya bermotifkan bisnis itu? Ternyata tidak, karena sejauh ini sudah ada 400 jiwa melayang, di kalangan tentara pendudukan maupun para petugas badan-badan internasional yang bertugas di sana. Dalam hal ini, penulis bukan membela Saddam Husein, karena memang benar-benar seorang tiran yang patut diganjar dengan hukuman mati. Beberapa orang pemikir dan penganjur Islam di kalangan kaum Sunni yang melaksanakan ajaran Islam di Irak, seperti Sheikh Aziz Badri, Dr. Abdul Karim Zaidan maupun Rasyid Ubaidi, telah kehilangan nyawa, dan entah berapa lagi dari kalangan Syi‟ah. Namun keputusan unilateral/sepihak oleh AS untuk menyerbu Irak, adalah pelanggaran atas hukum internasional, apapun alasannya. Dalam sebuah konferensi internasional bulan Februari 2003 di ibu kota AS, Washington DC, penulis menyampaikan bahwa jika dalam waktu tiga bulan Saddam Husein tidak tertangkap, maka rakyat AS akan marah karena korban yang berjatuhan. Jika ini yang terjadi, AS harus menarik pasukan-pasukannya, dan ini berarti pemerintahan yang ada akan dianggap sebagai “pemerintahan boneka” oleh rakyat Irak sendiri. Supaya pemerintahan yang akan disusun dapat diterima rakyat, maka persetujuan para pengikut Saddam Husein diperlukan dalam pembentukan pemerintahan baru itu. Ini berarti, pertimbangan-pertimbangan geopolitis saja tidak mencukupi kebutuhan untuk mendirikan pemerintahan yang diakui/diterima sebagai “pemerintahan yang sah”. Karena itulah, pertimbanganpertimbangan berbagai kepentingan, diletakkan dalam kerangka acuan. Pertimbangan-pertimbangan geo-politis

Catatan Gusdur

PersEbook369

52 belaka, akan lebih menjauhkan lagi diri kita dari perdamaian. Inilah sebenarnya yang menjadi sendi bagi sikap anti-hegemoni dalam percaturan internasional, seperti yang dibawakan oleh pemerintahan Mao Zedong di RRT dan gagasan to build the world a new (membangun kembali dunia baru) dari alm. Presiden Soekarno. Ini juga yang melandasi Konferensi Asia Afrika I Bandung di tahun 1955. Bahwa kedua gagasan itu kemudian dilecehkan orang, tentu disebabkan oleh merajalelanya “perang dingin” dan pesatnya perlombaan persenjataan antara Barat dan Timur. Sekarang, blok Timur secara material sudah kalah, namun Blok barat tidak lagi dapat menghentikan pengembangan teknologi mutakhir di bidang persenjataan. Karena jika industri yang telah berkembang pesat itu dihentikan, maka mengakibatkan pengangguran besar-besaran. ***** Mengingat hal itu, maka timbul pertanyaan: bagaimana kita akan mampu “menginjak rem” hubungan internasional yang semakin lama semakin didominasi kekerasan? Jawabnya adalah; membentuk konfigurasi internasional baru yang memunculkan faktor lain, di samping pertimbangan-pertimbangan geopolitis. Karena kawasan geopolitis adalah milik para diplomat berbagai negara yang saling mempengaruhi, dengan para pemimpin politik di negara masing-masing, maka tidak heranlah jika sikap mendua lalu ditunjukkan para diplomat itu; mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi tidak mau mewujudkan ketika mendengarkan sebuah pertimbangan lain di luar geopolitis. Sinisme itu tampak seperti yang diceritakan penulis dalam gambaran di atas. Dan celakanya sikap seperti ini yang justru dianggap sebagai “perwujudan diplomasi” yang dibanggakan orang di mana-

Catatan Gusdur

PersEbook369

53 mana. Nah, kewajiban kitalah untuk memperbaiki hal ini secara menyeluruh. Tetapi apakah cara yang ditempuh untuk tujuan di atas, yaitu mewujudkan percaturan internasional yang tidak hanya bersandar pada pertentangan kepentingan belaka? Jawab satu-satunya tentu adalah menambahkan sebuah unsur lain dalam percaturan internasional. Karena hanya dengan faktor tambahan itulah peperangan dahsyat harus dapat dihindarkan. Unsur atau faktor tersebut adalah moralitas yang bersumber pada agama. Namun, hal ini sulit diwujudkan oleh adanya dua sebab. Pertama, karena pihak agama selalu menganggap pihak orang yang tidak beragama (kaum atheis) sebagai lawan, padahal sebenarnya mereka adalah lawan bicara yang baik. Kata Prof. Hasan Hanafi, seorang Atheis adalah pencari Tuhan yang tidak dapat menemukan-Nya. Sebab kedua, antara kaum beragama sendiri juga terjadi perebutan tempat untuk menentukan mana yang lebih dekat dengan kebenaran Tuhan. Karean itu mudah mengatakannya, namun sulit melaksanakannya, bukan?

Catatan Gusdur

PersEbook369

54

Gus Dur Beli Pesawat Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat dulu, Pertengahan tahun 2000, Gus Dur bertemu dengan eksekutif puncak Boeing, industri pusat raksasa pesawat terbang. Orang pun bertanya-tanya, apa pula urusannya Gus Dur dengan pembuat pesawat itu? Memangnya dia ahli pesawat terbang seperti Habibie? Akhirnya kepala protokol Istana Presiden Wahyu Muryadi mengungkapkan maksud pertemuan itu; Gus Dur mau beli pesawat kepresidenan, yang selama ini memang tidak pernah dimiliki oleh pemerintah indonesia. Kebiasaan Gus Dur tetap ampuh; bikin pernyataan kontroversial di luar negeri, dan menimbulkan reaksi di dalam negeri.

Pers Indonesia pun sibuk mengusut rencana pembelian pesawat yang waktunya dirasa tidak tepat itu. Krisis

Catatan Gusdur

PersEbook369

55 ekonomi saja sama sekali terlihat belum diatasi, lha kok Presiden RI mau punya pesawat pribadi. "Perlu dong," kata Wahyu Muryadi sambil membandingkan dengan Presiden Amerika serikat, yang sudah lama memiliki air force one yang mewah itu. Dari mana uang puluhan juta dollar untuk membeli pesawat itu? Menko Rizal Ramli, yang bekas aktivis dan pengamat ekonomi yang kritis kok malah bilang siap melaksanakan dan uang untuk pembelian pesawat sudah ada, apa ini bukan pemborosan uang negara? Apa memang ada "uang nganggur" di laci pemerintah? Apa Rizal Ramli ingin cari muka kepada bosnya? Mendengar sikap siap melaksanakan Rizal Ramli,kritik publik kian gencar. Sampai Gus Dur sendiri kembali ke Jakarta. Wartawan bertanya,"Gus, mengapa anda merasa perlu membeli pesawat boeing itu?" Jawab Gus Dur; "Lho, siapa yang mau beli pesawat?" Wahyu Muryadi dan Rizal Ramli kali ini yang pusing. Sudah sibuk membela rencana Gus Dur, eh yang dibela malah membantahnya

Catatan Gusdur

PersEbook369

Related Documents


More Documents from "Sabar Andriko Sianturi"

Catatan Gusdur.pdf
January 2021 1