Loading documents preview...
Presentasi Kasus SEORANG ANAK LAKI-LAKI 2 BULAN DENGAN CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK DIPLEGI ET CAUSA HIDROCEPHALUS POST VP SHUNT
Oleh: Febimilany Riadloh G99161042 Pembimbing dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD DR.MOEWARDI 2016
BAB I STATUS PENDERITA I.
ANAMNESIS A. Identitas Pasien Nama
: An. AYF
Umur
: 2 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki Agama
: Islam
Alamat
: Karangasem Rt.01/Rw.09, Laweyan, Surakarta
Status
: Belum menikah
Tanggal masuk: 4 Desember 2016 Tanggal periksa: 5 Desember 2016 No. RM
: 013542xx
B. Keluhan Utama Kejang C. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien
datang
bersama
keluarganya
ke
IGD
RSUD
dr.Moewardi dengan keluhan kejang satu jam SMRS. Dari alloanamnesis didapatkan pasien kejang secara tiba-tiba. Kejang yang terjadi kurang dari satu menit, kemudian berhenti sendiri. Pada saat kejang seluruh tubuh pasien kaku, mata melirik ke atas, tidak ada demam, tidak ada muntah. Setelah kejang berhenti keadaan pasien
kembali seperti semula. Frekuensi kejang satu kali dalam 24 jam. Pasien masih mau minum, BAB 2 kali sehari, dan BAK lancar. Pasien memiliki riwayat hidrocephalus et causa papilloma plexus choroideus kongenital post op VP shunt pada bulan Oktober. Pasien sebelumnya pernah mengalami kejang yang pertama saat berusia satu hari. Selain itu pasien juga mempunyai riwayat epilepsi umum dengan terapi Na fenitoin. Pasien lahir cukup bulan, 37 minggu melalui persalinan normal per vaginam, dengan BBL 2500 gram. Keluarga pasien mengatakan bahwa kakak dari ayah pasien juga sering mengalami kejang. D. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat trauma
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat alergi obat
: disangkal
Riwayat mondok
:
Riwayat operasi
-
persalinan 28 September 2016
-
Op VP shunt 28 Oktober 2016
: - Op VP shunt 28 Oktober 2016
Riwayat Kehamilan -
Lahir di RSDM, jaundice/warna kulit kuning, observasi di ruangan HCU
-
Usia kehamilan
: 37 minggu
-
Riwayat persalinan : persalinan normal, per vaginam
-
BBL
: 2500 gram
-
Riwayat gangguan prenatal Malformasi kongenital : disangkal Infeksi TORCH
: disangkal
Radiasi
: disangkal
Asfiksia
: disangkal
- Riwayat gangguan natal Hipoksia
: disangkal
Perdarahan intrakranial : disangkal Trauma lahir
: disangkal
Premature
: disangkal
- Riwayat gangguan postnatal Trauma kapitis
: disangkal
Infeksi
: disangkal
Kernicterus
: disangkal
Kejang
: sejak usia 1 hari
E. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat kejang keluarga
: paman pasien epilepsi (+)
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi Pasien diberikan ASI melalui NGT. Berat badan
: 4,0 kg
Panjang badan
: 55,2 cm
G. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah anak pertama. Ayah dan ibu pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Pasien dirawat inap di RS dr. Moewardi dengan menggunakan fasilitas BPJS. II.
PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 5 Desember 2016.
Gambar 1. Pasien
A. Status Generalis Keadaan umum sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup. B. Tanda Vital Nadi Respirasi Suhu
: 94 x / menit : 49 x / menit : 36,7º C
Berat badan
: 4.0 kg
C. Kulit Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-). D. Kepala Bentuk kepala makrocephal (lingkar kepala 42 cm), kedudukan kepala simetris. E. Mata Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), nistagmus (+/+), strabismus (+/+), refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/ +), pupil (2 mm/2 mm) isokor, oedem palpebra (-/-), mata cowong (-/-). F. Hidung Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (+/+). G. Telinga Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-). H. Mulut Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris (-), lidah tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-). I. Leher Simetris, trakea di tengah, JVP dalam batas normal, limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-). J. Thorax a. Retraksi (-), simetris b. Cor Inspeksi : Ictus Cordis tak tampak Palpasi : Ictus Cordis tak kuat angkat Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
c. Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: Pengembangan dada kanan sama dengan kiri : Fremitus raba kanan sama dengan kiri : Sonor/Sonor : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (/-)
K. Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi
: dinding perut sejajar dinding dada : peristaltik (+) normal : timpani : turgor kembali cepat (<2 detik), nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba
L. Ekstremitas Capillary refill time < 2 detik Arteri dorsalis pedis teraba kuat Edema -
-
-
Akral dingin
Tonus
normal
Meningkat
normal
Spastik -
-
Meningkat+
Asworth 3
+ Asworth 3
M. Status Neurologis 1. Kesadaran
: compos mentis
2. Fungsi luhur
: sulit dievaluasi
3. Fungsi vegetatif
: sulit dievaluasi
4. Fungsi sensorik
: sulit dievaluasi
5. Fungsi motorik dan refleks
Lengan Kekuatan Tonus
Atas Ka/ki Kesan >3 Normal
Reflek fisiologis Reflek biseps Reflek triseps Reflek patologis Reflek hofman Reflek tromner Tungkai Kekuatan Tonus
Tengah Ka/ki Kesan >3 Normal
Bawah Ka/ki Kesan >3 Normal
Atas Ka/ki
Tengah Ka/ki
-/-/Bawah Ka/ki
Kesan >3 (spastik) Meningkat Ashworth 3
Kesan >3 (spastik) Meningkat Ashworth 3
Kesan >3 (spastik) Meningkat Ashworth 3
+2 +2
Klonus Lutut Kaki Reflek fisiologis Reflek Patella Reflek Achilles Reflek patologis Reflek babinsky Reflek chaddok Reflek Oppenheim Reflek schaeffer Reflek gordon
-/-/+2 +2 +/+ -/-/-/-/-
6. Nervi craniales N.I : sulit dievaluasi N.II : sulit dievaluasi N.III : nistagmus (+) N.IV : nistagmus (+) N.V : dalam batas normal N.VI : nistagmus (+) N.VII : dalam batas normal N.VIII : sulit dievaluasi N.IX : sulit dievaluasi N.X : dalam batas normal N.XI : sulit dievaluasi N.XII
: sulit dievaluasi
7. Meningeal sign Kaku kuduk
: (-)
Brudzinksi I-II
: (-)
Laseque
: (-)
Kernig
: (-)
8. Refleks primitif : refleks rooting (+), refleks sucking (+) N. Range of Motion (ROM)
NECK
ROM Pasif
Aktif
Fleksi
0 - 70º
Sde
Ekstensi
0 - 40º
Sde
Lateral bending kanan
0 - 60º
Sde
Lateral bending kiri
0 - 60º
Sde
Rotasi kanan
0 - 90º
Sde
Rotasi kiri
0 - 90º
Sde
Ektremitas Superior
Shoulder
Elbow
Wrist Finger
Fleksi Ektensi Abduksi Adduksi Eksternal Rotasi Internal Rotasi Fleksi Ekstensi Pronasi Supinasi Fleksi Ekstensi Ulnar Deviasi Radius deviasi MCP I Fleksi MCP II-IV fleksi DIP II-V fleksi
ROM Pasif Dekstra Sinistra 0-90º 0-90º 0-50º 0-50º 0-180º 0-180º 0-75º 0-75º 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º 0-150º 0-150º 0º 0º 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º 0-70º 0-70º 0-30º 0-30º 0-20º 0-20º 0-50º 0-50º 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
ROM Aktif Dekstra Sinistra
Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde
Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde
PIP II-V fleksi MCP I Ekstensi Fleksi Trunk
Ekstensi Rotasi
Ektremitas Inferior
Hip
Knee
Ankle
Fleksi Ektensi Abduksi Adduksi Eksorotasi Endorotasi Fleksi Ekstensi Dorsofleksi Plantarfleksi Eversi Inversi
0-100º 0-30º
0-100º 0-30º
0-30o 0-30o 0-35o
0-30o 0-30o 0-35o
ROM Pasif Dekstra Sinistra 0-120º 0-120º 0-30º 0-30º 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º 0-120º 0-120º 0º 0º 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º 0-50º 0-50º 0-40º 0-40º
Sde Sde
Sde Sde
Sde
Sde
Sde Sde
Sde Sde
ROM Aktif Dekstra Sinistra
Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde
Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde Sde
O. Manual Muscle Test (MMT) Ektremitas Superior Fleksor Ekstensor Abduktor Adduktor Internal Rotasi Eksternal Rotasi Fleksor Elbow
Wrist
Eksternsor Supinator Pronator Fleksor Ekstensor Abduktor Adduktor
M. Deltoideus anterior M. Bisepss anterior M. Deltoideu M. Teres Mayor M. Deltoideus M. Biseps M. Latissimus dorsi M. Pectoralis mayor M. Latissimus dorsi M. Pectoralis mayor M. Teres mayor M. Infra supinatus M. Biseps M. Brachilais M. Triseps M. Supinatus M. Pronator teres M. Fleksor carpi radialis M. Ekstensor digitorum M. Ekstensor carpi radialis M. Ekstensor carpi ulnaris
Dekstra >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Sinistra >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3 >3
Fleksor Ekstensor Ektremitas Inferior Hip Fleksor Ekstensor Abduktor Adduktor Knee Fleksor Ekstensor Ankle Fleksor Ekstensor Finger
M. Fleksor digitorum M. Ekstensor digitorum M. Psoas mayor M. Gluteus maksimus M. Gluteus medius M. Adduktor longus Hamstring muscle Quadriceps femoris M. Tibialis M. Soleus
>3 >3 Dekstra >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik)
>3 >3 Sinistra >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik) >3 (spastik)
P. Skrining Perkembangan Skrining perkembangan pasien dilakukan menggunakan Denver Development Screening Test (DDST), didadaptkan hasil sebagai berikut: a. Personal sosial : -
pasien dapat menatap muka pemeriksa
-
pasien dapat tersenyum spontan
-
belum dapat membalas senyum pemeriksa
b. Adaptif-motorik halus: -
pasien dapat mengikuti ke garis tengah
c. Dalam aspek bahasa: -
pasien belum dapat bereaksi terhadap bel
-
pasien belum dapat bersuara
d. Motorik kasar: -
pasien belum dapat mengangkat kepala
Melalui skrining perkembangan dengan DDST, dapat disimpulkan
pasien
mengalami
keterlembatan
perkembangan. III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium Darah Pemeriksaan laboratorium darah 4 Desember 2016 SITOLOGI Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Hb
10.4
g/dl
9.4-13.0
Hct
32
%
28-42
Leukosit
4.9
103/ L
5.0-19.5
Trombosit
297
103 / L
150-450
Eritrosit
3.54
106/ L
3.10-4.30
Rujukan
MCV
INDEX ERITROSIT Hasil Satuan 90.7 / m
80.0-96.0
MCH
29.4
pg
28.0-33.0
MCHC
32.4
g/dl
33.0-36.0
RDW
12.9
%
11.6-14.6
MPV
9.1
fl
7.2-11.1
PDW
17
%
25-65
Pemeriksaan
HITUNG JENIS Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Eosinofil
3.20
0.00-4.00
Basofil
0.10
Netrofil
42.70
% % % %
18.00-74.00
Limfosit
49.10
%
60.00-66.00
Monosit
4.90
%
0.00-6.00
0.00-1.00
KIMIA KLINIK Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
GDS
66
mg/dl
60 - 100
ELEKTROLIT Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Natrium Darah
131
mmol/ L
129-147
Kalium Darah
5.0
mmol/ L
3.6-6.1
Clorida Darah
100
mmol/ L
98-106
Calcium Ion
0.59
mmol/L
1.17-1.29
B. Laboratorium Urine Pemeriksaan urine 6 Desember 2016 Pemeriksaan Urobilinogen Berat Jenis pH Leukosit Nitrit Protein Glukosa Keton Bilirubin Eritrosit Warna Kejernihan Leukosit Epitel Squamous Epitel
Hasil Normal 1.015 7.5 0.3 Negatif Negatif Normal Negatif Negatif 1.5 Kuning Jernih 0.3 Negatif Negatif
Satuan mg/dl
Transisional Epitel bulat Hyaline Yeast like cell Mukus Granulated Sperma Konduktivitas
negatif 0 0.0 0.0 Negatif 0.0 8.3
IV.
ASSESMENT A. Cerebral palsy tipe spastik diplegi
Rujukan
mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl /ul
1.015-1.025 4.5-8.0 0-12 Negatif Negatif Normal Negatif Negatif 0-6.4
/LPB /LPB /LPB
0-12 Negatif Negatif
/LPB /LPK /ul /ul /LPK /ul 3.0-32.0
Negatif 0-3 0.00-0.00 0.00-0.00 Negatif 0.0 mS/cm
/LBP
B. Hydrocephalus non-comunicans post VP shunt V.
DAFTAR MASALAH A. Problem Medis Pediatri dengan 1.
Cerebral palsy tipe spastik diplegi
2.
Epilepsi umum ec. Peningkatan tekanan intrakranial dan hipokalsemia
3.
Kepala hydrocephalus non-comunicans post VP shunt
4.
Massa supratentorial DD papiloma
5.
Pneumonia obstruktif
6.
Gizi baik, normoweight, severe stunted
B. Problem Rehabilitasi Medik 1. Fisioterapi
: Kaku pada kedua
lengan dan tungkai 2. 3.
VI.
tumbuh kembang 4. 5. 6. PENATALAKSANAAN A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. B. 1.
Speech Terapi : Keterlambatan bicara Okupasi Terapi : Keterlambatan Sosiomedik : Tidak ada Ortesa-protesa : Tidak ada Psikologi : Tidak ada
Terapi Medikamentosa O2 nasal 2 lpm Diet ASI on cue via NGT Infus D5-1/2 NS 18 ml/jam Injeksi sibital (5 mg/ kgBB/hari) setara 10 mg /12 jam IV Mucohexin 2x1 pulv Nebu NaCl 0,9% 5 ml/8 jam + ventolin 1/3 Jika kejang injeksi sibital loading (20 mg/KgBB IV = 80 mg IV bolus) Rehabilitasi Medik: Fisioterapi : proper bed positioning, stretching dan strengthening exercise, Bobath exercise, alih baring/2 jam
2.
Speech Terapi
:
Oromotor
exercise 3. 4.
Okupasi Terapi kembang, sensori integrasi Sosiomedik
:
Stimulasi : Tidak ada
tumbuh
5. 6. VII.
Ortesa-protesa Psikologi
: Tidak ada : Tidak ada
IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP A. Impairment
: Cerebral palsy tipe spastik diplegi,
keterlambatan perkembangan, kepala hydrocephalus, B. Disabilitas
: Belum ada disabilitas
C. Handicap
: Belum ada handicap
VIII. PLANNING A. Planning diagnostik : EEG, EKG, MSCT Scan B. Planning terapi : penatalaksanaan rehabilitasi medik C. Planning edukasi e. Edukasi mengenai penyakit anak kepada keluarga f. Edukasi mengenai terapi yang akan dilakukan kepada keluarga D. Planning monitoring : evaluasi hasil rehabilitasi medik IX.
GOAL A. Jangka pendek 1. Menurunkan spastisitas. 2. Minimalisasi impairment pada pasien 3. Mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk yang menurunkan keadaan penderita B. Jangka panjang Memperbaiki kemampuan personal sosial, bahasa, dan motorik pasien dalam melaksanakan aktivitas harian dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
X.
PROGNOSIS Ad vitam
: dubia
Ad sanam
: dubia
Ad fungsionam
: dubia
BAB II TINJAUAN PUSTAKA CEREBRAL PALSY A. PENDAHULUAN Cerebral palsy (CP) adalah kelainan gerak dan postur akibat lesi yang tidak progresif pada otak yang belum matur. Abnormalitas neurologi menghasilkan pola gerak abnormal yang dikenal khas pada CP. Kelainan motorik dari CP sering diikuti dengan gangguan sensori, kognisi, komunikasi, persepsi, kejang, dan atau perilaku. Cerebral palsy merupakan penyebab utama dari disabilitas pada anak. Insiden 1,5-2 dari 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia sendiri prevalensi CP sekitar1-5 per 1000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak perempuan. Kemajuan teknologi dan perawatan merupakan suatu harapan untuk menurunkan morbiditas neonatus. B. ETIOLOGI Penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu: 1) Pranatal : Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya: a) Malformasi kongenital b) Faktor sosioekonomik c) Infeksi dalam rahim d) Toksik atau obat-obat teratogenik e) Ibu menderita retardasi mental, kejang, dan hipertiroid f) Komplikasi plasenta g) Cidera perut h) Kelahiran yang berulang 2) Neonatal a) Prematur <32 minggu b) BBL < 2500 gram c) Retardasi pertumbuhan
d) Presentasi abnormal e) Perdarahan intrakranial f) Cidera g) Infeksi h) Hipoksia dan bradikardi i) Kejang j) hiperbilirubinemia 3) Pasca natal Kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat menimbulkan cerebral palsy, dapat terjadi pada: a) Cidera dan infeksi b) Perdarahan intrakranial c) Koagulopati C. GEJALA KLINIS Gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis ‘cerebral palsy’. Kelainan fungsi motorik terdiri dari: 1.
Spastisitas Terdapat peninggian tonus otot dan reflex yang disertai dengan klonus dan refleks Babinski yang positif. Tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan dalalam pronasi serta jari-jari dalm fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam fleksi plantar, dan telapak kaki berputar ke dalam. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besar kerusakan, yaitu: a. Monoplegia: kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya. b. Hemiplegia: kelumpuhan lengan dan tungkai di pihak yang sama. c. Diplegia: kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan d. Tetraplegia: kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai
2.
Tonus otot yang berubah Apabila bayi dibiarkan berbaring akan tampak flasid, tetapi bila dirangsang atau diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastis.
3.
Koreo-atetosis Sikap abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement).
4.
Ataksia Gangguan koordinasi, menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat.
5.
Gangguan pendengaran Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.
6.
Gangguan bicara Gangguan dalam mengontrol otot-otot sehingga sulit untuk membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
7.
Gangguan mata Strabismus konvergen dan kelainan refraksi.
D. KLASIFIKASI Berdasarkan gejala klinis maka cerebral palsy dibagi oleh Crothers dan Paine (1959) menjadi 3 tipe yaitu : 1) tipe spastik (piramidal), 2) tipe diskinetik (ekstrapiramidal), dan 3) tipe campuran. CP spastik paling sering terjadi (60-80%), yang 25% meerupakan tipe diskinetik, dan tipe campuran (5-15%). Spastisitas akibat dari kerusakan sistem piramidal terutama korteks motor di otak. 1) Tipe spastis atau piramidal. CP spastik ini menunjukkan gejala upper motor neuron (UMN): -
Hiperrefleksia
-
Klonus (normal ada klonus pada neonatus)
-
Refleks Babinski positif (abnormal setelah usia 2 tahun)
-
Refleks primitif yang menetap
-
Overflow reflexes seperti crossed adductor
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut: a.
Monoplegia (satu anggota gerak yang terlibat, lengan atau tungkai)
b. c. d.
Diplegia (anggota gerak bawah yang terlibat) Triplegia (mengenai tiga anggota gerak) Quadriplegia (mengenai empat anggota gerak dan togok)
e.
Hemiplegia (mengenai satu sisi tubuh termasuk anggota gerak atas dan bawah)
2) Tipe Diskinetik (ektrapiramidal) Tipe diskinetik ditandai dengan adanya gerakan ekstrapiramidal. Gerakan abnormal ini akibat adanya regulasi tonus, kontrol postur, dan koordinasi abnormal. Gerakan diskinetik digambarkan sebagai berikut a. Chorea Gerak tiba-tiba, tidak teratur, gerakan biasanya terjadi di kepala, leher, dan ekstremitas b.
Choreoatetoid Kombinasi gerak atetosis dan chorea, pada umumnya didiminasi gerak atetoid
c.
Distonia Pelan, gerakan ritmikdengan tonus otot yang berubah-ubah ditemukan pada ekstremitas dan togok, postur abnormal. Distonia digambarkan sebagai peningkatan tonus yang tidak bergantung pada kecepatan/lead pipe artinya bahwa tonus tidak akan menurun dengan peregangan pelanpelan. Kelainan di cerebellar.
d.
Ataksia Koordinasi dan balans jelek, sering berhubungan dengan nistagmus,
dismetria dan pola jalan yang wide base, jarang terjadi kontraktur. 3) Tipe campuran Kombinasi spastik dan diskinetik. E. PATOGENESIS Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi dorsal yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada minggu ke 5 6 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital seperti kranioskisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 2 4. Gangguan pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali, makrosefali. Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 3 5. Migrasi terjadi melalui dua yaitu secara radial, sd berdiferensiasi dan daerah periventikuler dan subventrikuler ke lapisan sebelah dalam koerteks serebri; sedangkan migrasi secara tangensial sd berdiferensiasi dan zone germinal menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri, agenesis korpus kalosum. Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pascanatal. Gangguan pada stadium ini mengakibatkan translokasi genetik, gangguan
metabolisme. Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Pada stadium ini terjadi proliferasi neuron, dan pembentukan selubung myelin. Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus piramidalis daerah paraventnkuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis. F. DIAGNOSIS Sistim klasifikasi alternatif berdasarkan pada fungsional dan beratya CP. Yang paling sederhana dari sistim ini, menggunakan ringan, sedang, dan berat. 1) Ringan Tidak ada keterbatasan aktivitas. 2) Sedang Ada kesulitan dalam aktivitas sehari-hari (ADL), memerlukan alat bantu/ortesa. 3) Berat Keterbatasan ADL sedang sampai berat. G. PENATALAKSANAAN Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang sesuai dengan karateristik kejangnya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine dapat menolong. Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan. Pada keadaan dengan depresi diberikan imipramine (tofranil). Fisioterapi harus segera dimulai secara intensif. Fisioterapi diberikan untuk mencegah kontraktur, sehingga perlu diperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Program latihan dapat dilakukan di rumah, namun pada penderita yang berat dianjurkan untuk tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi dilakukan sepanjang penderita hidup. Terapi okupasi dengan menggunakan strategi alternatif dan peralatan adaptif, terapis okupasi bekerja untuk mempromosikan partisipasi independen anak dalam
kegiatan sehari-hari dan rutinitas di rumah, sekolah dan masyarakat. Peralatan adaptif mungkin termasuk walkers, tongkat berkaki empat, sistem tempat duduk atau kursi roda listrik. Terapi wicara diberikan pada anak dengan gangguan wicara bahasa. Terapi wicara dapat membantu meningkatkan kemampuan anak untuk berbicara dengan jelas atau berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Terapi wicara juga dapat mengajarkan anak Anda untuk menggunakan perangkat komunikasi, seperti komputer dan suara synthesizer, jika komunikasi sulit. Terapi wicara juga dapat mengatasi kesulitan otot yang digunakan dalam makan dan menelan. H. FISIOTERAPI a.
Stretching and Strengthening Exercise Stretching exercise bertujuan untuk penguluran dan mengurangi spastisitas pada tubuh dan anggota gerak. Dapat dilakukan pada ekstremitas atas maupun bawah. Pada lengan anak dapat dilakukan gerakan-gerakan fleksi-ekstensi pada sendi-sendi shoulder, elbow, maupun jari-jari tangan. Untuk tungkai dapat dilakukan gerakan-gerakan fleksi-ekstensi, adduksi-abduksi pada hip.
Strengthening exercise berfungsi untuk menguatkan otot-otot tubuh dan anggota gerak anak, yang gerakannya disesuaikan dengan usia pasien. Misalnya latihan kekuatan head and neck dengan cara memposisikan anak dalam keadaan tengkurap.
b.
Bobath Exercise Bobath exercise atau disebut juga Neurodevelompental Therapy (NDT) adalah
sebuah sistem latihan terapi untuk pasien dengan lesi dari sistem saraf pusat, terutama anak-anak dengan cerebral palsy dan orang dewasa dengan hemiplegia. Pengobatan individual, berlangsung dari posisi horisontal (termasuk berguling) untuk duduk, berlutut, dan berdiri. Dengan manipulasi dan bimbingan yang tepat dari gerakan kepala, batang, dan anggota tubuh pasien, terapis menekan refleks yang tidak diinginkan dan reaksi postural normal, berkonsentrasi pada tertentu "titik kunci dari kontrol." pola gerakan ini refleks-menghambat dan postur dikendalikan memfasilitasi gerakan otomatis dan sukarela aktif, yang selanjutnya menimbulkan atau difasilitasi oleh rangsangan proprioseptif dan taktil (misalnya, penyadapan). Pertama kali diterbitkan pada tahun 1948 oleh London terapi fisik Berta Bobath dan pada tahun 1950 oleh suaminya, ahli saraf Karel Bobath, metode ini sering disebut metode Bobath. International Bobath Instructor Training Association (IBITA, 1998) menyatakan tujuan yang akan dicapai dengan konsep Bobath: 1. Melakukan identifikasi pada area-area spesifik otot-otot antigravitasi yang mengalami penurunan tonus. 2. Meningkatkan kemampuan input proprioceptive. 3. Melakukan identifkasi tentang gangguan fungsi setiap individu dan mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “Normal”. 4. Fasilitasi specific motor activity. 5. Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan gerak. 6. Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih efektif. Metode bobath mempunyai beberapa teknik yaitu:
1. Inhibisi adalah suatu upaya untuk menghambat dan menurunkan tonus otot. Tekniknya disebut Reflex Inhibitory Paternt. Perubahan tonus postural dan patern menyebabkan dapat bergerak lebih normal dengan menghambat pola gerak abnormal menjadi sikap tubuh yang normal dengan menggunakan teknik “Reflex Inhibitory Pattern”. 2. Fasilitasi adalah upaya untuk mempermudah reaksi-reaksi automatik dan gerak motorik yang sempurna pada tonus otot normal. Tekniknya disebut “Key Point of Control” yang bertujuan untuk: a. Untuk memperbaiki tonus postural yang normal. b. Untuk memelihara dan mengembalikan kualitas tonus normal. c. Untuk memudahkan gerakan-gerakan yang disengaja, diperlukan dalam aktifitas sehari-hari. 3. Stimulasi yaitu upaya untuk memperkuat dan meningkatkan tonus otot melalui proprioseptif dan taktil. Berguna untuk meningkatkan reaksi pada anak, memelihara posisi dan pola gerak yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi secara automatic. Tapping: ditujukan pada group otot antagonis dari otot yang spastic. Placcing and Holding: Penempatan pegangan. Placcing Weight Bearing: Penumpuan berat badan.
I. SPEECH THERAPY Oral Motor Exercise Oral motor exercise adalah latihan yang dirancang untuk meningkatkan jangkauan gerakan di lidah, bibir, dan rahang, yang membantu bicara dan atau fungsi menelan. Ketika melakukan latihan ini, penting untuk memindahkan daerah yang ditunjuk sejauh yang pasien bisa dalam setiap arah sampai merasakan otot meregang.
J. OKUPASI TERAPI SENSORI INTEGRASI Terapi sensori integrasi menekankan stimulasi pada tiga indera utama, yaitu taktil, vestibular, dan proprioseptif. Ketiga sistem sensori ini memang tidak terlalu familiar dibandingkan indera penglihatan dan pendengaran, namun sistem sensori ini sangat penting karena membantu interpretasi dan respons anak terhadap lingkungan. Sistem taktil Sistem taktil merupakan sistem sensori terbesar yang dibentuk oleh reseptor di kulit, yang mengirim informasi ke otak terhadap rangsangan cahaya, sentuhan, nyeri, suhu, dan tekanan. Sistem taktil terdiri dari dua komponen, yaitu protektif dan diskriminatif, yang bekerja sama dalam melakukan tugas dan fungsi sehari-hari. Hipersensitif terhadap stimulasi taktil, yang dikenal dengan tactile defensiveness, dapat menimbulkan mispersepsi terhadap sentuhan, berupa respons menarik diri saat disentuh, menghindari kelompok orang, menolak makan makanan tertentu atau memakai baju tertentu, serta menggunakan ujungujung jari, untuk memegang benda tertentu. Bentuk lain disfungsi ini adalah perilaku yang mengisolasi diri atau menjadi iritabel. Bentuk hiposensitif dapat berupa reaksi kurang sensitif terhadap rangsang nyeri, suhu, atau perabaan suatu obyek. Anak akan mencari stimulasi yang lebih dengan menabrak mainan, orang, perabot, atau dengan mengunyah benda. Kurangnya reaksi terhadap nyeri dapat menyebabkan anak berada dalam bahaya. Sistem vestibular Sistem vestibular terletak pada telinga dalam (kanal semisirkular) dan mendeteksi gerakan serta perubahan posisi kepala. Sistem vestibular merupakan dasar tonus otot, keseimbangan, dan koordinasi bilateral.Anak yang hipersensitif terhadap stimulasi vestibular mempunyai respons fight atau flight sehingga anak takut atau lari dari orang lain. Anak dapat bereaksi takut terhadap gerakan sederhana, peralatan bermain di tanah, atau berada di dalam mobil. Anak dapat menolak untuk digendong atau diangkat dari tanah, naik lift atau eskalator, dan seringkali terlihat cemas. Anak yang hiposensitif cenderung mencari aktivitas tubuh yang berlebihan dan disengaja, seperti bergelinding, berputar-putar, bergantungan secara terbalik, berayun-ayun dalam waktu lama, atau bergerak terus-menerus.
Sistem proprioseptif Sistem proprioseptif terdapat pada serabut otot, tendon, dan ligamen, yang memungkinkan anak secara tidak sadar mengetahui posisi dan gerakan tubuh. Pekerjaan motorik halus, seperti menulis, menggunakan sendok, atau mengancingkan baju bergantung pada sistem propriosepsif yang efisien. Hipersensitif terhadap stimulasi proprioseptif menyebabkan anak tidak dapat menginterpretasikan umpan balik dari gerakan dan mempunyai kewaspadaan tubuh yang rendah. Tanda disfungsi sistem proprioseptif adalah clumsiness, kecenderungan untuk jatuh, postur tubuh yang aneh, makan yang berantakan, dan kesulitan memanipulasi objek kecil, seperti kancing. Hiposensitif sistem proprioseptif menyebabkan anak suka menabrak benda, menggigit, atau membentur-benturkan kepala.
DAFTAR PUSTAKA 1. Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (2007). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI 2. Bax M, Goldstein M, Rosenbaum P, Leviton A, Paneth N, Dan B, et al (2005). Proposed definition and classification of cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 47(8):571-6. 3. Cerebral Palsy pioneers http://www.cerebralpalsy.org/about-cerebral-palsy/history-andorigin/pioneers - diakses pada 27 november 2016 4. Reddihough DS, Collins KJ (2003). The Epidemiology and Causes of Cerbral Palsy, Australian Journal of Physiotherapy 49: 7-12. Melbourne: Royal Childrens Hospital 5. American College of Obstetricians and Gynecologists, American Academy of Pediatrics (2003). Neonatal Encephalopathy and Cerebral Palsy: Defining the Pathogenesis and Pathophysiology. Washington, DC: American College of Obstetricians and Gynecologists. 6. Capute AJ, Accardo PJ, (2001). Developmental Disabilities in infancy and Childhood. 2nd ed. Baltimore, Md: Brookes Publishing; Vol 2 7. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 4th ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 2001. 4. 8. Papile LA, Burstein J, Burstein R, Koffler H. Incidence and evolution of subependymal and intraventricular hemorrhage: a study of infants with birth weights less than 1,500 gm. J Pediatr. 1978 Apr. 92(4):529-34. 9. Mayo Clinic – Cerebral Palsy Treatment http://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/cerebral-palsy/diagnosis-treatment/treatment/txc-20236572 - diakses pada 7 Desember 2016 10. Smith, Laura K (1996). “Brunnstrom’s Clinical Kinesiology”, Fifth Edition. Philadelphia: F.A Davis Company. 11. Eisenberg MG. (1995). Dictionary of Rehabilitation. New York: Springer Publishing Company. 375 p. 12. Knox V, Evans AL (2002). Evaluation of the functional effects of a course of Bobath therapy in children with cerebral palsy: a preliminary study. London: Developmental Medicine & Child Neurology vol. 44: (447-460)