Damapk Korupsi Terhadap Pelayanan Kesehatan (7-13)

  • Uploaded by: Wawan Narendra
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Damapk Korupsi Terhadap Pelayanan Kesehatan (7-13) as PDF for free.

More details

  • Words: 2,729
  • Pages: 9
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alam yang tersedia,namun nyatanya rakyat Indonesia banyak yang menderita. Penderitaan yang di jalani rakyat tidak lain dan tidak bukan adalah dampak dari otonomi daerah yang kurang terstruktur. Hal ini dikarenakan rendahnya moral – moral para pejabat yang memegang kekuasaan di Indonesia. Hal ini sangat mencoreng nama bangsa Indonesia sebagai Negara yang memiliki kekayaan lebih. Jika hal ini tidak di tanggapi dengan serius maka Negara Indonesia tidak akan mencapai puncak emas seperti yang dicita – cita kan dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. Korupsi telah menjadi budaya yang mendarah daging di negara kita tercinta ini. Sebagai negara yang menggunakan adat dan budaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai nilai moralitas dan kejujuran, sangat miris rasanya bila mengetahui bahwa negara ini menempati posisi kedua sebagai negara terkorup di Asia Pasifik menurut survei dari The World Justice Project. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat menghawatirkan dan berdampak buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi lebih dari sekedar pencarian keuntungan yang bersifat individu tetapi sudah merupakan perilaku umum. Hal ini sangat mencoreng nama bangsa Indonesia sebagai Negara yang memiliki kekayaan lebih. Terutama dalam pelayanan kesehatan, Pemberantasan korupsi disektor kesehatan masih belum maksimal. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya potensi korupsi yang belum diusut oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Kasus korupsi kesehatan yang diusut hanya mampu menyeret kasus dan pelaku pada tingkat middle-lower seperti kadinkes dan direktur Rumah Sakit. Sedangkan, kasus korupsi ditingkat middle-upper seperti yang berpotensial melibatkan pejabat Depkes, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) serta anggota DPR masih belum satupun yang diusut. Padahal, korupsi ditingkat ini memiliki dampak yang besar bagi kualitas pelayanan kesehatan yang dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Hasil kajian ICW tentang korupsi kesehatan dari 51 kasus korupsi kesehatan yang diusut sampai tahun 2008 dan menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 128 miliar hanya mampu menyeret regulator ditingkat lokal kadinkes dan DPRD serta direktur rumah sakit. Sedangkan korupsi ditingkat middle upper nol. Selain itu, kasus korupsi yang terungkap masih berputar dalam pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up sebanyak 22 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp 103 miliar. Hanya sebagian kecil korupsi dengan modus penyuapan terungkap. Padahal modus penyuapan merupakan modus paling banyak dan potensial terjadi terutama korupsi ditingkat middle upper yang mungkin melibatkan pejabat Depkes, DPR, BPOM dan Badan pengawas kesehatan lainnya. Hasil kajian lainnya menunjukkan bahwa kesempatan merupakan faktor dominan pemicu korupsi kesehatan diantara dua faktor utama seperti rasionalisasi tindakan korupsi 1

dan tekanan diluar individu. Lebih dalam lagi, faktor kesempatan menguat karena besarnya diskresi atau kewenangan pejabat, rendahnya transparansi, dan akuntabilitas serta penegakan hukum disektor kesehatan. Selain itu, suara warga yang minim juga telah meningkatkan kesempatan korupsi disektor kesehatan ini. Akibat-akibat dari korupsi serta kasus yang tidak terungkap tersebut, maka kami disini akan membahas mengenai dampak dari korupsi terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah Agar Pembahasan dalam makalah ini tidak meluas, maka penulis mencoba menguraikan pembahasan terhadap permasalahan sebagai berikut. 1. Apakah dampak korupsi terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah sebagai berikut. a. Untuk mengetahui dan memahami tentang dampak korupsi terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat. 1.4 Manfaat Penulisan Manfaat Penulisan Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai referensi maupun materi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat serta diberikan penanggulangannya bagi pemerintah. 1.5 Metode Penulisan Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metodi studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka tentang dampak korupsi terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Selain itu, penulis juga memperoleh data dari internet sebagai tambahan dan referensi.

BAB II PEMBAHASAN 2

2.1 Dampak Korupsi Terhadap Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Sektor kesehatan juga menjadi salah satu sektor yang sangat rentan terhadap korupsi, termasuk karena beberapa kondisi yang menjadi alasan seperti; skala dan biaya pengadaan, pembangunan rumah sakit mahal, pengadaan peralatan berteknologi tinggi, perancangan pengadaan kebutuhan obat, serta dikombinasikan dengan kuatnya vendor dan perusahaan farmasi. Situasi ini menyebabkan sektor kesehatan memicu munculnya penyuapan dan membesarnya konflik kepentingan. Negara-negara yang lebih maju seperti Amerika Serikat pun mengalaminya, perusahaan-perusahaan farmasi telah lama diduga memberikan hadiah dan menawarkan bantuan pribadi kepada dokter untuk meningkatkan peresepan obat untuk jenis obat tertentu yang diproduksi pihak farmasi. Dokter pun akan lebih memprioritaskan kantung pribadi mereka di atas kepentingan pasien (Vian, 2005). Di lain pihak, oknum pemerintah sering menggunakan kebijakan dalam pengesahan dan akreditasi fasilitas kesehatan, penyedia layanan, jasa, dan produksi. Situasi ini cenderung membuka resiko penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan penggunaan sumber daya. Pasien yang berinteraksi dengan penyedia layanan pun beresiko, sebab diantara keduanya dapat terjadi ketidakseimbangan informasi dan permintaan layanan kesehatan. Akibatnya, pasien melakukan korupsi dalam bentuk suap ke penyedia layanan kesehatan. Korupsi seperti ini sudah menjadi hal umum dengan aplikasiyang semakin meluas di dunia (Lewis, 2000; Vian, 2005). Tenaga kesehatan yang membolos juga sangat sering ditemukan. Selain itu, oknum tertentu menggunakan sumber daya pemerintah untuk praktek swasta (Vian, 2005). Sebuah studi mengungkapkan fakta mengenai fenomena korupsi yang dilakukan di beberapa negara dimana kesempatan untuk korupsi datang ketika faktor tata kelola atau manajemen yang buruk. Lembaga kesehatan tidak menerapkan atau mengelola sistem yang tepat, maka petugas kesehatan banyak yang tidak hadir (absen), pungutan liar diambil dari pasien, dan aset layanan kesehatan dapat digelapkan tanpa konsekuensi berarti bagi mereka yang menyalahgunakan atau merusak sistem, yang mengakibatkan kinerja pelayanan kesehatan menjadi rendah dan menurunkan status kesehatan penduduk (Lewis, 2006a). Korupsi memiliki dampak sangat besar. Pada tingkat makro, korupsi menjadikan biaya sosial tinggi. Korupsi dapat membatasi pertumbuhan ekonomi, menurunkan pendapatan pemerintah yang menjadi aset investasi, mengurangi produktivitas investasi pemerintah, dan menurunkan kualitas infrastruktur pemerintah yang sudah ada. Di sektor kesehatan, korupsi mengurangi sumber daya kesehatan secara signifikan, menurunkan kualitas layanan, menurunkan kesetaraan dan efektivitas pelayanan kesehatan, menurunkan volume dan meningkatkan biaya layanan yang diberikan. Masyarakat akan terhambat untuk menggunakan layanan kesehatan dan pada akhirnya memiliki dampak korosif pada tingkat kesehatan penduduk (Vian, 2002). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa korupsi memiliki efek negatif dan signifikan terhadap indikator kesehatan seperti angka kematian bayi dan anak, setelah disesuaikan untuk dengan pendapatan, pendidikan pada wanita, pengeluaran untuk kesehatan, dan tingkat urbanisasi (Gupta et al., 2002; Gurgur dan Azfar, 2004). Studi lainnya yang dilakukan oleh International Moneter Fund (IMF) menggunakan data dari 71 negara, hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara dengan indeks korupsi yang tinggi secara sistematis memiliki tarif layanan kesehatan lebih tinggi dan linear dengan tingkat kematian bayi (Gupta et al., 2001). 3

Korupsi pada sektor kesehatan melibatkan aparat dan pejabat tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Pada tingkat rendah menyentuh pada kepala dinas kesehatan (Dinkes) pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sedangkan pada tingkat tinggi melibatkan pejabat pada kantor kementerian kesehatan dan lembaga lainnya pada tingkat nasional seperti BPOM maupun anggota DPR yang membidangi kesehatan. Hasil investigasi Indonesia Corruption Warch (ICW) sampai tahun 2008, kasus korupsi pada sektor kesehatan telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 128 miliar. Kasus-kasus tersebut melibatkan para pejabat tingkat lokal seperti level kepala dinkes dan DPRD serta direktur rumah sakit, sedangkan korupsi pada tingkat tinggi belum terungkap ketika itu. Modus korupsi yang dominan masih berputar dalam pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 103 miliar, sisanya adalah modus penyuapan. Dampak korupsi pada sektor kesehatan dapat mengakibatkan menurunnya derajat kesehatan masyarakat yang berimbas pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Indikator IPM seperti angka kematian bayi dan angka harapan hidup sangat terkait dengan pendanaan sektor kesehatan. Apabila terjadi korupsi pada sektor kesehatan, maka akan berimbas penurunan angka harapan hidup dan menaikkan angka kematian bayi. Dampak korupsi lebih jauh adalah naik dan tingginya harga obat-obatan dan rendahnya kualitas alat kesehatan pada rumah sakit dan puskesmas serta sarana kesehatan masyarakat lainnya. Terjadinya kasus-kasus korupsi pada sektor kesehatan yang melibatkan pejabat pada kementerian kesehatan dan dinas kesehatan lokal menunjukkan rendahnya transparansi dan akuntabilitas serta kepatuhan pada hukum. Besarnya diskresi atau kewenangan pejabat dan rendahnya etika pejabat sektor kesehatan menyebabkan menguatnya dan meningkatnya kesempatan melakukan praktek korupsi disektor kesehatan. Sektor kesehatan merupakan urusan publik yang tidak lepas dari praktek korupsi. Korupsi pada sektor kesehatan melibatkan aparat dan pejabat tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Pada tingkat rendah menyentuh pada kepala dinas kesehatan (Dinkes) pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sedangkan pada tingkat tinggi melibatkan pejabat pada kantor kementerian kesehatan dan lembaga lainnya pada tingkat nasional seperti BPOM maupun anggota DPR yang membidangi kesehatan. Hasil investigasi Indonesia Corruption Warch (ICW) sampai tahun 2008, kasus korupsi pada sektor kesehatan telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 128 miliar. Kasus-kasus tersebut melibatkan para pejabat tingkat lokal seperti level kepala dinkes dan DPRD serta direktur rumah sakit, sedangkan korupsi pada tingkat tinggi belum terungkap ketika itu. Modus korupsi yang dominan masih berputar dalam pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 103 miliar, sisanya adalah modus penyuapan. Pada tingkat pejabat dinas kesehatan lokal, salah satu kasus korupsi dilakukan oleh dr Laode Budiono MPH, Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Brebes atas dugaan korupsi dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) tahun 2009/ 2010 senilai Rp 150 juta. Dana Jamkesmas senilai Rp 150 juta itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Laode yang juga mantan Direktur RSUD Brebes itu ditahan di Lembaga Pemasyarakat (LP) Brebes sejak Rabu (19/10). Penahanan dilakukan atas beberapa pertimbangan dan sesuai asal 21 KUHP, di antaranya, dikhawatirkan melarikan diri, dikhawatirkan menghilangkan barang bukti dan tersangka menggulangi perbuatannya. Sementara dr Laode Budiono membantah tindakannya masuk korupsi karena hanya 4

meminjam uang Rp 150 juta dari dana Jamkesmas di Puskesmas Jatibarang (Cybernews). Kasus lainnya pada tingkat lokal terjadi di Nias Selatan (Nisel) yang melibatkan Mantan Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan setempat, Rahmat Al Yakin Dachi. Pengadaan obat-obatan generik pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Nisel tahun 2007 dengan nilai kontrak Rp 3,7 miliar seharusnya melalui proses lelang, namun terdakwa bersama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia Lelang menetapkan PT Septa Sarianda sebagai rekanan melalui Penunjukan Langsung (PL), seolah-olah sebagai pemenang lelang. Pihak panitia lelang tidak menetapkan daftar harga sesuai SK Menkes No.521/Menkes/SK/IV/2007 tentang Harga Obat Generik sehingga dalam pengadaan 203 jenis obat generik tersebut, PT Septa Sarianda melakukannya di atas harga resmi sebagaimana ditetapkan dalam SK Menkes tersebut. Pihak Pemkab Nisel membayar pengadaan obat-obatan generik tersebut kepada P Damanik sebesar Rp 3,2 miliar. Namun hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumut ditemukan kerugian negara (Pemkab Nisel) sebesar 2,07 miliar. Dalam perkara ini, penyidik menyita uang sebesar Rp 1,7 miliar yang tersimpan di rekening Pemkab Nisel untuk negara. Terdakwa divonis satu tahun enam bulan (18 bulan) penjara karena melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Terdakwa juga divonis untuk membayar denda senilai Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan (Analisa, 28/10/2011). Korupsi Skala Besar Salah satu kasus korupsi skala besar pada tingkat pemerintah pusat adalah kasus korupsi alat kesehatan pada Kemenko Kesra pada 2009 yang melibatkan terdakwa Sutedjo Yuwono. Soetedjo Yuwono adalah Sekretaris ketika Aburizal Bakrie menjadi Menko Kesra. Kasus ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sarat dengan korupsi yakni penunjukan langsung proyek alkes itu. PT Bersaudara adalah perusahaan yang menjadi rekanan pada proyek tersebut. Soetedjo Yuwono didakwa melakukan korupsi dalam proyek pengadaan alat kesehatan untuk penanggulangan wabah flu burung tahun 2006. Terdakwa melaksanakan pengadaan peralatan rumah sakit untuk penanggulangan flu burung tahun anggaran 2006 pada Kemenko Kesra bertentangan dengan Keppres tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Perbuatan korupsi Sutedjo secara sendiri atau bersama-sama dengan orang lain yang diantaranya adalah Ngatiyo Ngayoko (Pejabat Pembuat Komitmen Kemenko Kesra), Daan Ahmadi (Direktur Utama PT Bersaudara) dan M Riza Husni (Direktur Keuangan PT Bersaudara). Soetedjo didakwa dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dakwaan subsider Pasal 3 UU yang sama. Terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatannya selaku kuasa pengguna anggara DIPA APBN-P Kemenko Kesra tahun 2006. Soetedjo telah memenangkan PT Bersaudara sebagai pelaksana proyek pengadaan dengan metode penunjukan langsung. Proyek pengadaan alat kesehatan senilai Rp 98,6 miliar itu telah mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp 36,2 miliar. Kerugian berasal dari penggelembungan harga alatalat kesehatan yang dibeli Kemenko Kesra. Pembayaran bersih yang diterima PT Bersaudara untuk 2006 sebesar Rp 88,3 miliar. Dari pembayaran tersebut yang dipergunakan oleh PT Bersaudara untuk realisasi pengadaan hanya sebesar Rp 48,054 miliar. Pada kasus pengadaan alat kesehatan tahun 2007, KPK menetapkan seorang mantan pejabat di Kementerian Kesehatan bernama Rustam Syarifuddin Pakaya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Penetapan Rustam sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan pengembangan kasus korupsi 5

pengadaan alat kesehatan untuk penanggulangan flu burung pada 2006. Akibat perbuatannya, Rustam dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus korupsi tingkat pemerintah pusat lainnya yang ditangani Kejaksaan Agung adalah kasus dugaan korupsi di Kementerian Kesehatan dalam pengadaan alat bantu belajar mengajar pendidikan dokter/dokter spesialis di rumah sakit dengan nilai proyek Rp 417 miliar. Kasus korupsi pelaksanaan pekerjaan pengadaan alat bantu belajar mengajar pendidikan dokter/dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan pada Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia di Kemkes terjadi pada 2010. Ada tiga orang yang menjadi tersangka pada kasus tersebut berdasarkan surat penetapan tersangka ditandatangani sejak 20 Oktober 2011 yakni Widianto Aim (Ketua Panitia Pengadaan), Syamsul Bahri (Pejabat Pembuat Komitmen) dan Bantu Marpaung (Direktur PT Buana Ramosari Gemilang). Syamsul berperan sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Widianto sebagai ketua panitia pengadaan melakukan korupsi dengan pemenang tender, Bantu Marpaung. Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang saat ini masih menjaabt tak lepas dari isu korupsi. Adalah Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) yang melaporkan Endang dan Nazaruddin ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (16/6/2011) atas dugaan korupsi Pengadaan Alat Bantu Belajar Mengajar (ABBM) Pendidikan dokter/dokter Spesialis di Rumah Sakit (RS) Pendidikan dan RS Rujukan Tahun 2010 pada Kementerian Kesehatan. Proyek ini berasal dari APBN Perubahan 2010 lalu yang diduga melibatkan para mafia anggaran di DPR yang diatur oleh Muh Nazaruddin (anggota Fraksi Partai Demokrat) dan kawan-kawan. KP3I menganggap pengadaan ABBM tersebut sarat rekayasa dan korupsi dengan potensi kerugian negara yang sangat besar. Dampak Korupsi Para pejabat korup pada sektor kesehatan telah mencederai upaya pembangunan kesehatan yang oleh Notoatmodjo bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Notoadmodjo, 2010:53).

BAB III

6

PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa dampak korupsi terhadap pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah : 1. Terjadinya ketidakseimbangan informasi dan permintaan layanan kesehatan yang mengakibatkan pasien melakukan korupsi dalam bentuk suap ke penyedia layanan kesehatan. 2. Kinerja pelayanan kesehatan menjadi rendah dan menurunkan status kesehatan penduduk, sebab lembaga kesehatan tidak menerapkan atau mengelola sistem yang tepat, yang mengakibatkan petugas kesehatan banyak yang tidak hadir (absen), pungutan liar diambil dari pasien, dan aset layanan kesehatan dapat digelapkan tanpa konsekuensi yang secara tidak langsung berarti mereka yang menyalahgunakan atau merusak sistem. 3. Korupsi mengurangi sumber daya kesehatan secara signifikan 4. Menurunkan kualitas layanan 5. Menurunkan kesetaraan dan efektivitas pelayanan kesehatan 6. Menurunkan volume dan meningkatkan biaya layanan yang diberikan 7. Masyarakat akan terhambat untuk menggunakan layanan kesehatan dan pada akhirnya memiliki dampak korosif pada tingkat kesehatan penduduk (Vian, 2002), dengan pendapatan, pendidikan pada wanita, pengeluaran untuk kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara dengan indeks korupsi yang tinggi secara sistematis memiliki tarif layanan kesehatan lebih tinggi dan linear dengan tingkat kematian bayi (Gupta et al., 2001). 8. Menurunnya derajat kesehatan masyarakat yang berimbas pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Indikator IPM seperti angka kematian bayi dan angka harapan hidup sangat terkait dengan pendanaan sektor kesehatan. 9. Penurunan angka harapan hidup dan menaikkan angka kematian bayi 10. Naik dan tingginya harga obat-obatan dan rendahnya kualitas alat kesehatan pada rumah sakit dan puskesmas serta sarana kesehatan masyarakat lainnya 11. Organisasi rumah sakit menjadi sebuah lembaga yang mempunyai sisi bayangan yang semakin gelap 12. Ilmu manajemen yang diajarkan di pendidikan tinggi menjadi tidak relevan 13. Direktur yang diangkat karena kolusif (misalnya harus membayar untuk menjadi direktur) menjadi sulit menghargai ilmu manajemen 14. Proses manajemen dan klinis di pelayanan juga cenderung akan tidak seperti apa yang ada di buku-teks.

B. Saran Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar 7

kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan dan pemikiran yang intelektual khususnya dalam mata kuliah anti korupsi Khususnya mengenai dampak pada pelayanan kesehatannya.

DAFTRA PUSTAKA

8

Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Penerbit Sinar Baru

9

Related Documents


More Documents from "Putri Septia Sari"