Disaster Victim Identification

  • Uploaded by: Vardian Mahardika
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Disaster Victim Identification as PDF for free.

More details

  • Words: 6,384
  • Pages: 22
Loading documents preview...
LATAR BELAKANG Angka kejadian bencana yang merenggut banyak nyawa di Indonesia semakin meningkat. Indonesia merupkan wilayah yang rawan bencana baik bencana alam maupun akibat ulah manusia disebabkan letak geografis, jumlah penduduk, keterbatasan sarana. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak berita mengenai kejadian bencana. Misal, aksi teror bom, kecelakaan transportasi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, dll. Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data sebaran kejadian bencana dan korban meninggal di Indonesia sejak tahun 1815 hingga 2014 yang didapatkan bahwa angka kejadiannya cenderung meningkat dalam kurun 10 tahun terakhir.

PENGERTIAN IDENTIFIKASI Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup maupun mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi juga diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Identifikasi forensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan (Dr. Amri, 2000). MACAM CARA IDENTIFIKASI Objek identifikasi dapat berupa orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Identifikasi terhadap orang tak dikenal yang masih hidup meliputi: Penampilan umum (general appearance), yaitu tinggi badan, berat badan, jenis kelamin, umur, warna kulit, rambut dan mata. Melalui metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tingi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya. 1. Perbedaan Umur Jenis Kelamin Pria Dan Wanita 2. Pakaian 3. Sidik jari 4. Jaringan parut 5. Tato 6. Kondisi mental 7. Antropometri

Tugas melakukan identifikasi pada orang hidup tersebut menjadi tugas pihak kepolisian. Dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan bantuan dokter, misalnya pada kasus pemalsuan identitas di bidang keimigrasian atau kasus penyamaran oleh pelaku kejahatan (Dr. Amri, 2000). Sedangkan identifikasi terhadap orang yang sudah meninggal dunia dapat dilakukan terhadap: 1. Jenazah yang masih baru dan utuh 2. Jenazah yang sudah membusuk dan utuh 3. Bagian-bagian dari tubuh jenazah HUKUM TERKAIT IDENTIFIKASI KORBAN MENINGGAL Dasar hukum dan undang-undang bidang kesehatan yang mengatur identifikasi jenazah adalah antara lain: Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam KUHAP pasal 133: 1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokterdan atau ahli lainnya. 2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegasuntuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuatkan identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang diilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat (Budiyanto et al, 1997).

PENGERTIAN BENCANA Menurut WHO bencana merupakan Setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajad kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.

Menurut UU RI No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dalam definisi yang mengacu pada UN-ISDR (International Strategy for Disaster Reduction), bencana didefinisikan sebagai “gangguan serius terhadap suatu sistem, komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi atau lingkungan yang meluas melampaui kemampuan mereka (komunitas atau masyarakat yang terkena dampak) untuk mengatasinya dengan sumber daya mereka sendiri“. Sedangkan Depkes RI mendefinisikan bencana sebagai Peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.

HUKUM TERKAIT BENCANA Secara

garis

besar,

Undang-Undang

No.

24/2007

membahas

mengenai

penyelenggaraan penanggulangan bencana dari landasan nilai, kelembagaan, distribusi kewenangan dan aturan hukum. Berdasarkan fokus bahasan dari tiap pasal, maka UndangUndang No. 24/2007 dapat dibagi menjadi beberapa segmen sebagai berikut: 1. Pasal 1-4

Definisi dan nilai dasar

a. Pasal 1 berisi pengertian dari istilah-istilah yang menjadi acuan dalam undang-undang ini. Pasal-pasal selanjutnya berisi nilai dasar, prinsip-prinsip dan tujuan dari penanggulangan bencana. 2. Pasal 5-9

Distribusi kewenangan

a. Segmen ini membahas mengenai pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah, serta tanggung jawab yang meliputi kewenangan tersebut. 3. Pasal 10-25

Lembaga Pemerintah dalam penanggulangan bencana

a. Segmen ini membahas mengenai institusi pemerintah yang secara khusus ditunjuk untuk menangani penanggulangan bencana, baik ditingkat pusat maupun daerah beserta struktur, tugas dan fungsinya. Institusi tersebut adalah BNPB di pusat dan BPBD di daerah. 4. Pasal 26-30

Peran masyarakat dan entitas non pemerintah

a. Segmen ini menjelaskan mengenai hak dan distribusi peran dari pihak diluar pemerintah, yaitu masyarakat, lembaga usaha (perusahaan) serta lembaga internasional. 5. Pasal 31-59

Penyelenggaraan penanggulangan bencana

a. Segmen

ini

membahas

penanggulangan

mengenai

bencana

dan

prinsip

dasar

tahapan-tahapan

penyelenggaraan beserta

alur

penyelenggaraan dari tiap tahap. 6. Pasal 60-70

Aturan pendanaan

7. Pasal 71-73

Pengawasan

8. Pasal 74-85

Hukum dan aturan pelengkap

IDENTIFIKASI JENAZAH PADA BENCANA MASSAL Identifikasi korban mati merupakan suatu hak asasi manusia (HAM) pada serta pemenuhan aspek legal sipil juga untuk keluarganya, termasuk identifikasi masalah korban bom atau korban akibat terorisme lainnya. Identifikasi korban mati dilakukan dalam rangka memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Telah memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. DVI (Disaster Victim Identification) adalah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada Interpol DVI guideline. DVI diperlukan untuk menegakkan hukum, bagian proses penyidikan, identifikasi visual yang diragukan, kepentingan umum yaitu asuransi, warisan, status perkawinan dan dapat dipertanggung jawabkan. Di Indonesia prosedur DVI mengacu pada standar DVI Interpol, menggunakan formulir DVI, bisa ada penyesuaian dengan situasi tempat kejadian perkara, mempunyai SOP dan MOU. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakykan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.

Selain itu, proses identifikasi korban bencana massal ini adalah untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan. Peran ilmu kedokteran forensik terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, pada kecelakaan massal, maupun bencana alam yang mengakibatkan banyak korban mati.

TEKNIK IDENTIFIKASI FORENSIK Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban. Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol (1). Proses DVI meliputi 5 fase yang pada setiap fase memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan teknik. Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari fingerprint (FP), dental records (DR) dan DNA serta Secondary Identifiers yang terdiri dari medical (M), property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem dan postmortem. Primary identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers. Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat Natural Disaster ataupun Man Made Disaster, memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda antara kasus yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini menyebabkan tindakan pemeriksaan identifikasi dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa sesuai dengan keadaan jenazah yang ditemukan. Kejadian bencana massal tersebut akan menghasilkan keadaan jenazah yang mungkin dapat intak, separuh intak, membusuk, tepisah berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi dari bermacam-macam keadaan (Prawestiningtyas et al, 2009).

STRUKTUR PERSONAL DVI

CORONER (KETUA)

INVESTIGASI

STAFF ADMINISTRASI

KANIT DVI TKP

KOMANDAN DVI

KANIT DVI POST MORTEM

KANIT DVI ANTEMORTEM

KANIT DVI REKONSILASI

FASE DISASTER VICTIM IDENTIFICATION Pada prinsipnya, disaster victim identification terdiri dari lima fase, yaitu : 1. Initial Action at the Disaster Site Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut : 1. Memberi tanda dan label di TKP 

Membuat sektor sektor / zona pada TKP dengan ukuran 5 x 5 m yang sesuai dengan situasi dan kondisi geografis



Memberikan tanda pada setiap sektor



Memberikan label orange pada jenazah dan potongan jenazah, label diikat pada tubuh/ ibu jari kanan jenazah



Menentukan label putih pada barang-barang pemilih yang tercecer



Membuat sketsa dan foto tiap sektor

2. Evakuasi dan Transportasi Jenazah dan barang



Memasukkan jenazah dan potongan jenazah kedalam kantong jenazah dan diberi label sesuai label jenazah



Memasukkan barang – barang yang terlepas dari tubuh korban dan diberi label sesuai nama jenazah



Diangkut ketempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah dan dibuat berita acara penyerahan kolektif

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan. Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah : 

Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.



Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.



Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.



Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.



Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.



Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana.



Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.



Pada

langkah

documentation

organisasi

yang

memimpin

komando

DVI

mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. 

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.

2. Collecting Post Mortem Data

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap – lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi : Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode identifikasi. Ada 9 macam metode identifikasi yaitu: 1.

Metode Visual

Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya muka, tungkai dan sebagainya. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut masih utuh atau masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut. 2.

Perhiasan

Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dan sebagainya dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, bentuk atau bahan yang khas dan sebagainya. 3.

Pakaian

Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat mempersempit kemungkinan tersangka. 4.

Dokumen

Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport, kartu golongan darah, tanda pembayaran dan lain sebagainya yang ditemukan dalam dompet atau tas korban dapat menunjukkan identitas orang yang membawa dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak palsu. 5.

Identifikasi secara medis

Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah

dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umur, berat badan, warna kulit, rambut, dan sebagainya. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto rontgen untuk mengetahui keadaan sutura; bekas patah tulang atau pen serta pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang, data laboratorium, adanya tatoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dan sebagainya. 6.

Odontologi forensik

Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan. 7.

Serologi forensik

Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA). Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas. 8.

Sidik jari

Telah lama diketahui bahwa sidik jari setiap orang di dunia tidak ada yang sama sehingga pemeriksaan sidik jari dapat digunakan untuk identifikasi individu. 9.

Eksklusi

Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dan sebagainya), maka jika (n-1) individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.

Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu : (a). Primer/utama 1. Catatan atau hasil pemeriksaan gigi geligi (Dental Records) 2. sidik jari (Finger Prints) 3. DNA (b). Sekunder/pendukung 1. visual 2. property (Barang kepemilikan) 3. data medis (Medical) Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan. 3. Collecting Ante Mortem Data Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi – informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban. 4. Reconciliation Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah. 5. Debriefing and Returning to the Family

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah. 

Meninjau kembali pelaksanaan DVI



Mengenali dampak positif dan negatif operasi DVI



Menetukan keaktifan persiapan tim DVIsecara psikologis



Melaporkan temuan serta memberikan masukan untuk meningkatkan operasi berikutnya

METODE UNTUK IDENTIFIKASI KORBAN BENCANA SECARA MASSAL 1.

Dental Records

Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jati diri seseorang. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik jari tidak dapat dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari. Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (dental record). Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data pembanding antemortem. Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai berikut : a. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem. Karena gigi komposisinya sebagian besar

terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, sedangkan bahan organik dan airnya sedikit sekali. b. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai: 

umur



jenis kelamin



ras



golongan darah



bentuk wajah



DNA

c. Kemungkinan tersedianya data ante mortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis. 2.

Pemeriksaan Sidik Jari

Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan sidik jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Sifat yang dimiliki oleh sidik jari antara lain : a. Perennial nature, yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada kulit manusia seumur hidup. b. Immutability, yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah, kecuali mendapatkan kecelakaan yang serius. c. Individuality, pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap orang. Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang sama mempunyai sidik jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar monozigot. Atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang penting khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui jati diri seseorang, oleh karena selain kekhususannya, juga mudah dilakukan secara masal dan murah pembiayaannya. Walaupun pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan dokter, dokter masih punya kewajiban yaitu untuk mengambil (mencetak) sidik jari, khususnya sidik jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya telah membusuk. Teknik pengembangan sidik jari pada jari telah keriput, serta mencopot kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prodedur yang harus diketahui oleh dokter.

Menurut Francis Galton (1822-1916) mengatakan bahwa tidak ada dua sidik jari yang sama, artinya setiap sidik jari dimiliki seseorang adalah unik. Berdasarkan klasifikasi, pola sidik jari dapat dinyatakan secara umum ke dalam tiga bentuk yaitu : 1.

Tipe Arch, Pada patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian mulai naik di tengah, dan berakhir di ujung yang lain.15

2.

Tipe Loop, Pada patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian membentuk sebuah kurva, dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika kerutan itu muncul.15

3.

Tipe Whorl, Pada patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi sebuah titik pusat dari jari. 15

3.

Pemeriksaan DNA

DNA atau DeoxyriboNucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifatsifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak komposisi DNA nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya. Sedangkan tes DNA adalah metode untuk mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau secara

sederhananya

adalah

metode

untuk

mengidentifikasi,

menghimpun

dan

menginventarisir file-file khas karakter tubuh.16 Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu (1) tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak dan (2) tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi korban yang telah hancur, sehingga untuk mengenali identitasnya diperlukan pencocokan antara DNA korban dengan terduga keluarga korban ataupun untuk pembuktian kejahatan semisal dalam kasus pemerkosaan atau pembunuhan. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus-kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes DNA.16 DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA mitokondria dan DNA inti sel. Perbedaan kedua DNA ini hanyalah terletak pada lokasi DNA tersebut berada dalam sel, yang satu dalam inti sel sehingga disebut DNA inti sel, sedangkan yang satu terdapat di mitokondria dan disebut DNA mitokondria. Untuk tes DNA, sebenarnya sampel DNA yang paling akurat digunakan dalam tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah. DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang dapat

berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Sebagai contoh untuk sampel sperma dan rambut. Yang paling penting diperiksa adalah kepala spermatozoanya karena didalamnya terdapat DNA inti, sedangkan untuk potongan rambut yang paling penting diperiksa adalah akar rambutnya. Tetapi karena keunikan dari pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan DNA mitokondria dapat dijadikan sebagai marka (penanda) untuk tes DNA dalam upaya mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal. Untuk akurasi kebenaran dari tes DNA hampir mencapai 100% akurat. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola DNA bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh faktor human error terutama pada kesalahan interprestasi fragmen-fragmen DNA oleh operator (manusia). Tetapi dengan menerapkan standard of procedur yang tepat kesalahan human error dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan. Polimorfisme penggunaan DNA dalam forensik genetik Pengenalan teknik biologi molekuler, terutama analisis DNA, untuk identifikasi manusia adalah kemajuan terbaru dalam kedokteran hukum. Upaya substansial telah terus-menerus telah dibuat dalam upaya untuk mengidentifikasi mayat dan sisa-sisa manusia setelah perang, masalah sosial-politik dan bencana massal. Selain itu, karena dinamika sosial kota-kota besar, selalu ada kasus orang hilang, serta mayat tak dikenal dan sisa-sisa manusia yang ditemukan. Dalam beberapa tahun terakhir, ada juga peningkatan permintaan untuk penggalian sisa-sisa manusia untuk menentukan hubungan genetik dalam gugatan perdata dan tindakan pengadilan. Deteksi asam deoksiribonukleat (DNA) polimorfisme telah menjadi alat yang ampuh dalam identifikasi, sejak penggunaan pertama dalam kerja kasus penyelidikan forensik, oleh Jeffreys et.al (1985). Perkembangan teknologi untuk mendapatkan polimorfisme DNA dan studi validasi mereka telah sangat cepat. Pada mayat, DNA degradasi sangat cepat, bahkan dalam periode post-mortem awal. Degradasi jaringan lunak sangat jelas setelah interval waktu yang singkat, konsekuensinya peningkatan bakteri cepat yang wajar dalam mayat membusuk, terutama pada mereka yang terkena suhu panas di negara tropis seperti Brasil. Ada beberapa teknologi DNA yang digunakan dalam penyelidikan forensik antara lain: 1. Polimorfisme Panjang Fragmen restriksi (RFLP)

RFLP adalah teknik untuk menganalisis variabel panjang fragmen DNA yang dihasilkan dari mencerna sampel DNA dengan jenis khusus dari enzim. Enzim ini, sebuah endonuklease pembatasan, memotong DNA pada pola urutan tertentu tahu sebagai situs endonuklease pembatasan pengakuan. Ada atau tidak adanya pengakuan situs tertentu dalam sampel DNA menghasilkan variabel panjang fragmen DNA, yang dipisahkan menggunakan elektroforesis gel. Mereka kemudian hibridisasi dengan probe DNA yang mengikat urutan DNA komplementer dalam sampel. RFLP adalah salah satu aplikasi pertama analisis DNA untuk penyidikan forensik. Dengan perkembangan baru, teknik DNA-analisis yang lebih efisien, RFLP tidak digunakan sebanyak dulu karena membutuhkan jumlah yang relatif besar DNA.Selain itu, sampel rusak oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau cetakan, tidak bekerja baik dengan RFLP. 2. Analisis PCR Reaksi berantai polimerase (PCR) digunakan untuk membuat jutaan salinan tepat DNA dari sampel biologis. amplifikasi DNA dengan PCR memungkinkan analisis DNA pada sampel biologi sekecil beberapa sel-sel kulit. Dengan RFLP, sampel DNA harus tentang ukuran seperempat. Kemampuan PCR untuk memperkuat jumlah kecil seperti DNA memungkinkan bahkan sampel yang sudah terdegradasi untuk dianalisis. Great perawatan, bagaimanapun, harus diambil untuk mencegah kontaminasi dengan bahan biologis lain selama mengidentifikasi, mengumpulkan, dan memelihara sampel. 3. STR Analisis Short tandem repeat (STR) teknologi yang digunakan untuk mengevaluasi daerah-daerah tertentu (lokus) dalam DNA nuklir. Variabilitas di daerah STR dapat digunakan untuk membedakan satu profil DNA dari yang lain. Federal Bureau of Investigation (FBI) menggunakan satu set standar dari 13 daerah STR khusus untuk CODIS. CODIS adalah sebuah program perangkat lunak yang beroperasi lokal, negara, dan database nasional profil DNA dari pelaku dihukum, bukti TKP belum terpecahkan, dan orang hilang. Kemungkinan bahwa dua individu akan memiliki profil DNA yang sama 13-lokus adalah sekitar satu dalam satu milyar. 4. Analisis DNA mitokondria Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menguji DNA dari sampel yang tidak dapat dianalisis dengan RFLP atau STR. DNA nuklir harus diekstrak dari sampel untuk digunakan dalam RFLP, PCR, dan STR, namun, analisis

mtDNA menggunakan DNA yang diekstraksi dari organel seluler lain yang disebut mitokondria yang. Sedangkan sampel biologis yang lebih tua yang kekurangan bahan bernukleus seluler, seperti rambut, tulang, dan gigi, tidak dapat dianalisis dengan STR dan RFLP, mereka dapat dianalisis dengan mtDNA. Dalam penyelidikan kasus yang sudah terpecahkan selama bertahun-tahun, mtDNA sangat berharga. 5. Y-Kromosom Analisis Kromosom Y trurn langsung dari ayah ke anak, sehingga analisis penanda genetik pada kromosom Y ini sangat berguna untuk menelusuri hubungan antara lakilaki atau untuk menganalisis bukti biologis melibatkan kontributor beberapa laki-laki. Metode identifikasi yang sangat kuat ini bermanfaat dalam pemeriksaan paternitas, dalam memecahkan maslah-masalah imigrasi, dalam penyelidikan kriminal, dan dalam memantau transplantasi sumsum tulang. Penggunaan PCR untuk analisis sangat bermanfaat dalam analisa forensik, karena identifikasi dapat dilakukan hanya dari sedikit sampel, darah, akar rambut, kulit, atau jaringan lain. Metode analisis DNA untuk identifikasi korban meninggal Mobil box yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah. Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban. Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA. Singkatan dari deoxyribonucleic acid, DNA adalah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu. Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku. Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban. Teori yang dikembangkan tim bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai. Kurang dari dua minggu, tim gabungan EijkmanPolri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal. Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman. Demikianlah, suatu penelitian dasar

telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan. Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya (Rizal, 2005).

Keunggulan metode analisis DNA Asam deoksiribonukleat (DNA) merupakan molekul berisi informasi pada semua sel hidup dalam tubuh manusia untuk menjalankan fungsinya. Asam nukleat merupakan senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi tentang genetika (Evan P., Sinly. 2007). DNA juga mengontrol pewarisan karakteristik dari orang tua kepada keturunannya. Dengan pengecualian kembar identik , DNA setiap orang adalah unik, yang membuat pengambilan sampel DNA yang berguna untuk memecahkan kejahatan, mengidentifikasi korban bencana, dan menemukan orang hilang. Penemuan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) memberikan hasil DNA fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu. Karena setiap individu mempunyai DNA fingerprint yang berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini bisa digunakan sebagai bukti kuat kejahatan di pengadilan (Evan P., Sinly. 2007). Profiling DNA dapat memainkan peran penting dalam memecahkan kejahatan, karena memiliki potensi untuk menghubungkan serangkaian kejahatan dan atau untuk menempatkan tersangka di TKP. DNA dapat membantu untuk membuktikan tersangka bersalah (http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DNA). Langkah pertama dalam mendapatkan profil DNA untuk perbandingan adalah pengumpulan sampel dari TKP dan sampel referensi dari tersangka . Sampel biasanya diperoleh dari darah , rambut atau cairan tubuh . Kemajuan teknologi memungkinkan DNA sampel yang akan diperoleh dari jejak DNA yang lebih kecil yang ditemukan di TKP. Menggunakan metode ilmu forensik, sampel dianalisis, menghasilkan profil DNA yang dapat dibandingkan dengan profil DNA lain dalam database. Hal ini menciptakan kesempatan bagi ' hits' - orang-ke - scene , adegan -to adegan atau hubungan orang - ke-orang - di mana koneksi sebelumnya tidak diketahui. Ilmuwan forensik menggunakan DNA yang terletak dalam darah, sperma, kulit, liur atau rambut yang tersisa di tempat kejadian untuk mengidentifikasi kemungkinan

tersangka, sebuah proses yang disebut fingerprinting genetika atau pemrofilan DNA (DNA profiling). Dalam pemrofilan, short tandem repeats dan minisatelit, dibandingkan. Bagian ini adalah bagian panjang relatif dari bagian DNA yang berulang. Pemrofilan DNA dikembangkan pada 1984 oleh genetikawan Inggris Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, dan pertama kali digunakan untuk mendakwa Colin Pitchfork pada 1988 dalam

kasus

pembunuhan

Enderby

di

Leicestershire,

Inggris

(http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_deoksiribonukleat). Banyak yurisdiksi membutuhkan terdakwa dari kejahatan tertentu untuk menyediakan sebuah contoh DNA untuk dimasukkan ke dalam database komputer. Hal ini telah membantu investigator menyelesaikan kasus lama di mana pelanggar tidak diketahui dan hanya contoh DNA yang diperoleh dari tempat kejadian (terutama dalam kasus perkosaan antar orang tak dikenal). Metode DNA adalah salah satu teknik paling tepercaya untuk mengidentifikasi seorang pelaku kejahatan, tetapi tidak selalu sempurna, misalnya bila tidak ada DNA yang dapat diperoleh, atau bila tempat kejadian terkontaminasi oleh DNA dari banyak orang. Identifikasi melalui DNA sangat membantu karena sifatnya pasti/ definitif dan tidak berubah, mungkin terjadi kelainankelainan tertentu tetapi pola dari apa yang kita periksa tidak berubah, cuma ada keburukannya tergantung dari tempat dimana sumber-sumber tersebut ditemukan, misalkan lembab, banyak jamur, itu akan merusak DNA, tetap bisa dilakukan pemeriksaan

tapi

akan

membutuhkan

waktu

lebih

lama

(http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/9161). Yang digunakan untuk pemeriksaan DNA adalah bagian dari tubuh orang yang ingin dites dan juga pembandingnya. Umumnya bagian tubuh yang lebih mudah dilakukan pemeriksaan adalah darah atau melakukan swap mukosa pipi. Sedangkan, jika menggunakan rambut, akan diperlukan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Jika menggunakan sampel darah, maka yang diambil adalah sel darah putih dan bukan sel darah merahnya. Hal ini dikarenakan sel darah merah tidak memiliki inti sel yang merupakan pengujian paling akurat (inti sel tidak bisa berubah). 4.

Identifikasi Medik

Metode ini menggunakan data umum dan data khusus. Data umum meliputi tinggi badan, berat badan, rambut, mata, hidung, gigi dan sejenisnya. Data khusus meliputi tattoo, tahi lalat, jaringan parut, cacat kongenital, patah tulang dan sejenisnya. Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara

atau modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X) sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya. Upaya identifikasi pada kerangka bertujuan membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus, deformitas, dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Dicari pula tanda kekerasan pada tulang. Perkiraan saat kematian dilakukan dengan memperhatikan keadaan kekeringan tulang. Bila terdapat dugaan berasal dari seseorang tertentu, maka dilakukan identifikasi dengan membandingkannya dengan data ante mortem. Bila terdapat foto terakhir wajah orang tersebut semasa hidup, dapat dilaksanakan metode superimposisi, yaitu dengan jalan menumpukkan foto rontgen tulang tengkorak di atas foto wajah yang dibuat berukuran sama dan diambil dari sudut pemotretan yang sama. Dengan demikian dapat dicari adanya titiktitik persamaan. Penentuan ras mungkin dilakukan dengan pemeriksaan antropologik pada tengkorak, gigi geligi dan tulang panggul atau tulang lainnya. Arcus zygomaticus dan gigi insicivus atas pertama yang berbentuk seperti sekop memberi petunjuk ke arah ras Mongoloid.12 Jenis kelamin ditentukan berdasarkan pemeriksaan tulang panggul, tulang tengkorak, sternum, tulang panjang serta scapula dan metacarpal. Pada panggul, indeks iso-pubis (panjang pubis dikali 100 dibagi panjang ischium) merupakan ukuran yang paling sering digunakan. a)

Identifikasi jenis kelamin pada kerangka

Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang-tulang, seperti : tulang panggul, tengkorak, tulang-tulang panjang, tulang dada, dimana yang mempunyai nilai tinggi di dalam hal penentuan jenis kelamin adalah tunggal panggul baru kemudian tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan rangka seorang pria. 

Panggul Pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain, jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90% kasus. Bentuk dari “Greater schiatic notch” mempunyai nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.



Tengkorak Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tulang tengkorak, diperlukan penilaian dari berbagai ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri-ciri ini akan tampak jelas setelah usia 14-16 tahun. Ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan tengkorak dewasa adalah 90%.



Tulang dada Ratio panjang dari manubrium sterni dan corpus sterni menentukan jenis kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh panjang corpus sterni, dan ini mempunyai ketepatan sekitar 80%.



Tulang panjang Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih besar panjang, lebih berat dan lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (os.femur) merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis kelamin ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%. Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligament serta perangai radiologis perlu diperhatikan.

b)

Penentuan Umur pada kerangka

Untuk kepentingan menghadapi kasus – kasus forensik, maka penentuan atau lebih tepatnya perkiraan umur, dibagi dalam tiga fase, yaitu : bayi yang baru dilahirkan; anak – anak yang dan dewasa sampai umur 30 tahun dan dewasa diatas 30 tahun.11 

Bayi yang baru dilahirkan Perkiraan umur bayi sangat penting bila dikaitkan dengan kasus pembunuhan anak dalam hal ini penentuan umur kehamilan (maturitas), dan viabilitas. Kriteria yang umum dipakai adalah : berat badan, tinggi badan, dan pusat-pusat penulangan. Tinggi badan mempunyai nilai yang lebih bila dibandingkan dengan berat badan di dalam hal perkiraan umur.

Tinggi badan diukur dari puncak kepala sampai ke tumit (crown heel),dapat digunakan untuk perkiraan umur dan menurut rumus dari HAASE. Cara pengukuran lain yaitu dari puncak kepala ke tulang ekor (crown-rup), dipergunakan oleh STREETER. 

Anak – anak dan dewasa di bawah 30 tahun

Saat terjadinya unifikasi dari dyaphises memberi hasil dalam bentuk perkiraan. Persambungan speno-occipital terjadi dalam umur 17-25 tahun. Pada wanita, saat persambungan tersebut antara 17-20 tahun. Tulang selangka merupakan tulang panjang yang terakhir mengalami unifikasi. Unifikasi dimulai pada umur 18-25 tahun, dan mungkin tidak lengkap sampai 25-30 tahun. Dalam usia 31 tahun ke atas unifikasi menjadi lengkap. Tulang belakang (ossis vertebrae),sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur – alur yang dalam yang berjalan radier pada bagian permukaan atas dan bawah dalam hal ini corpus vertebranya. 

Dewasa di atas 30 tahun Perkiraan umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura – suturanya. Penutupan pada bagian tubula interna biasanya mendahului tabula externa. Sutura sagittalis, coronarius, dan sutura lambdoideus mulai menutup pada umur 20 -30 tahun. Lima tahun berikutnya terjadi penutupan sutura parieto-mastoid dan sutura squamosa, tetapi dapat juga tetap terbuka atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan menutup hingga usia 70 tahun.

c)

Penentuan Tinggi badan pada kerangka

Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaan dimana yang harus diperiksa adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari tulang saja. Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek, sedang atau jangkung. Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang-tulang panjang, yaitu : 

Tulang paha (femur), menunjukkan 27 persen dari tinggi badan,



Tulang kering (tibia), 22 persen dari tinggi badan,



Tulang lengan atas (humerus), 35 persen dari tinggi badan



Tulang belakang, 35 persen dari tinggi badan

Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang: 

Pengukuran dengan osteometric board,



Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)



Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah : -

Formula Stevenson

-

Formula Trotter dan Gleser

Formula Trotter dan Gleser dan Stevenson merupakan formula untuk manusia ras mongoloid. 5.

Identifikasi Visual

Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannnya. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta latar belakang pendidikan, mengingat adanay kemungkinan faktor-faktor tersebut turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut. 6.

Pemeriksaan Barang Kepemilikan (Property)

a.

Dokumen. Dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, paspor, kartu golongan darah,

tanda pembayaran, dsb) dan sejenisnya yang kebetulan ditemukan dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Perlu diingat pada kecelakaan masal, dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan karena ada kebiasaan seseorang di dalam menaruh dompet atau tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang; sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang dapat terlempar sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak diperhatikan kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah busuk atau rusak. b.

Pakaian dan Perhiasan. Pencatatan yang diteliti atas pakaian, bahan yang dipakai,

mode serta adanya tulisan-tulisan, seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau initial nama, dapat memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan atau potonganpotongan dengan ukuran 10 cm x 10 cm, adalah merupakan tindakan yang sangat tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya telah dikubur. Perhiasan seperti anting-anting, kalung, gelang, serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila pada perhiasan itu terdapat initial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam gelang atau cincin; akan membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menentukan identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik. Khusus anggota ABRI, identifikasi dipermudah oleh adanya nama, serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.

Related Documents


More Documents from "Kurnia Saras"

Laporan Antipiretik
January 2021 1
Lp Ckd Icu 1
January 2021 2