Disiplin Dan Tindakan Disipliner

  • Uploaded by: Firman Hendrawan
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Disiplin Dan Tindakan Disipliner as PDF for free.

More details

  • Words: 4,512
  • Pages: 18
Loading documents preview...
2.1 Disiplin dan Tindakan Disipliner 2.1.1

Pengertian Disiplin dan Tindakan Disipliner

2.1.2

Proses Tindakan Disipliner

2.1.3

Pendekatan-pendekatan Tindakan Disipliner

2.1.4

Masalah – masalah dalam Pelaksanaan Tindakan Disipliner

2.2 Pemberhentian 2.2.1

Pengertian Pemberhentian

2.2.2

Alasan-alasan Pemberhentian

2.2.3

Tahap-tahap Dalam Proses Pemberhentian

2.2.4

Jenis Pemberhentian

2.2.5

Proses Pemberhentian

2.2.6

Undang-undang dan Konsep Pemberhentian

2.3 Employment At Will 2.4 Demosi Sebagai Sebuah Alternatif Pemberhentian 2.5 PHK/Layoff 2.5.1

Pengertian Pemutusan Kerja

2.5.2

Sifat Pemutusan Hubungan Kerja

2.6 Transfer dan Promosi

2.7 Undang-undang Disiplin PNS 2.1 Disiplin dan Tindakan Disipliner 2.1.1

Pengertian dan Tindakan Disipliner

Disiplin adalah kondisi kendali diri karyawan dan perilaku tertib yang menunjukan tingkat kerja sama tim yang sesungguhnya dalam suatu organisasi.salah satu aspek hubungan internal kekaryawanan yang penting namun sering kali sulit dilaksanakan adalah penerapan tindakan disipliner. Tindakan disipliner mengenakan sanksi terhadap karyawan yang gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan. Keith Ayers, presiden Integro Leadership Institute, sebuah perusahaan konsultasi di west chester, pennsylvania, mengatakan studinya menunjukan bahwa mereka yang berkinerja buruk mencakup antara 11 sampai 16 persen dari seluruh karyawan. Mereka yang bekerja buruk bergerak seperti kanker yang menyebar ke seluruh bagian tempat kerja. “Para karyawan yang tidak melakukan apa – apa cenderung menyebarkan ketidakpuasan. Dampaknya pada profitabilitasa bisa sangat besar,” kata robert moore, CEO effectiveness Connection, sebuah perusahaan konsultasi di tampa, florida. Terhadap para karyawan inilah sebagian besar tindakan disipliner ditujukan

2.1.2

Proses Tindakan Disipliner

Proses tindakan disipliner bersifat dinamis dan berkelanjutan. Karena tindakan – tindakan seseorang bisa mempengaruhi orang – orang lainnya dalam sebuah kelompok kerja, penerapan tindakan disipliner yang tepat bisa mendorong perilaku baik dari para anggota kelompok

2.1.3

Pendekatan – pendekatan Tindakan Disipliner

A. Aturan Tungku Panas Menurut pendekatan ini, tindakan disipliner harus memiliki konsekuensi – konsekuensi berikut ini, yang merupakan analogi dan menyentuh tungku panas. 1. Membakar dengan segera. Jika tindakan disipliner diambil, hal tersebut harus muncul dengan segera sehingga orang yang bersangkutan akan mengerti alasan dari tindakan itu. 2. Memberikan peringatan. Juga sangat penting untuk memberikan peringatan dini bahwa hukuman akan mengikuti perilaku yang tidak dibenarkan. Saat orang bergerak mendekati kompor panas, hawa panasnya memperingatkan mereka bahwa mereka bisa terbakar jika menyentuhnya; dengan demikian, mereka memiliki kesempatan untuk mencegah terbakarnya diri mereka jika mereka memilih untuk itu. 3. Memeberikan hukuman yang konsisten. Tindakan disipliner juga harus konsisten dalam arti setiap orang yang melakukan perbuatan yang sama akan mendapatkan hukuman yang sama. Seperti tungku panas, setiap orang yang menyentuhnya dengan tekanan dan dalam periode waktu yang sama akan terbakar dengan derajat yang sama. 4. Membakar tanpa pandang bulu. Tindakan disipliner harus bersifat impersonal tungku panas membakar setiap orang yang menyentuhnya.

Jika Kondisi yang meliputi semua situasi tindakan disipliner sama, tidak akan ada masalah dengan pendekatan ini. Namun, situasi sering kali sangat berbeda, dan banyak variabel bisa muncul dalam masing – masing kasus tindakan disipliner.

B. Tindakan Disipliner Progresif Pendekatan tindakan disipliner yang dirancang untuk memastikan bahwa sanksi minimum yang diberikan sudah tepat untuk sebuah pelanggaran. Tujuan dari tindakan disipliner progesif adalah mengomunikasikan secara formal isu – isu permasalahan kepada para karyawan secara langsung dan tepat sehingga mereka bisa meningkatkan kinerjanya. Penggunanya memerlukan jawaban atas serangkaian pertanyaan mengenai berat tidaknya pelanggaran. Manajer pertanyaan – pertanyaan, secara berurutan, untuk menentukan tindakan disipliner yang tepat, seperti yang diilustrasikan gambar berikut.

Perilaku Tidak Benar

Apakah pelanggaran ini merupakan tindak indisipliner?

Tidak Tidak Ada Tindak Indisipliner

Ya Apakah pelanggaran ini memerlukan lebih dari peringatan lisan?

Tidak Peringatan Lisan

Ya Apakah pelanggaran ini memerlukan lebih dari peringatan tertulis?

Tidak Peringatan Tertulis

Ya Apakah pelanggaran ini memerlukan lebih dari skorsing?

Tidak Skorsing

Ya

Pemberhentian

C. Tindakan Disipliner Tanpa Hukuman Proses memberi karyawan cuti dibayar untuk memikirkan tentang mau tidaknya ia mengikuti peraturan dan tetap bekerja untuk perusahaan disebut tindakan disipliner tanpa hukuman. Tindakan ini untuk menggantikan kebijakan – kebijakan disipliner formal yang bersifat menghukum untuk dilema-dilema seperti keterlambatan kronis atau sikap yang buruk untuk membuat para karyawan mau mengambil tanggung jawab pribadi atas tindakan mereka dan menjadi contoh baik untuk pencapaian misi dan visi perusahaan.

Dewasa ini, banyak organisasi telah meninggalkan peringatan, ancaman, percobaan, demosi, pemberhentian sementara disipliner tanpa bayaran,

dan hukuman – hukuman lainnya terhadap

masalah disiplin dan memilih penggunaan tindakan disipliner tanpa hukuman. Pertimbangkanlah contoh berikut.



Pabrik General Electric di Vermont, salah satu dari banyak fasilitas GE yang telah mengadopsi disiplin tanpa hukuman, melaporkan bahwa peringatan tertulis turun dari 39 menjadi 23 menjadi 12 dalam waktu dua tahun.



GTE’s Telephone Operations mengurangi seluruh keluhan sebesar 63 persen dan keluhan disipliner sebesar 86 persen setahun setelah manajemen menggunakan pendekatan tersebut

2.1.4

Masalah – masalah dalam Pelaksanaan Tindakan Disipliner 1. Kurangnya pelatihan. Manajer mungkin tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjalankan tindakan disipliner. 2. Rasa takut. Manajer mungkin khawatir jika manajemen puncak tidak akan mendukung tindakan disipliner. 3. Menjadi satu – satunya. Manajer mungkin berpikir, “Tidak ada orang lain yang mendisiplinkan para karyawan, jadi mengapa saya harus melakukanya?” 4. Rasa bersalah. Manajer mungkin berpikir, “Bagaimana saya bisa mendisiplinkan seseorang jika saya melakukan hal yang sama?” 5. Kehilangan persahabatan. Manajer mungkin meyakini bahwa tindakan disipliner akan merusak persahabatan dengan seorang karyawan atau teman – teman karyawan tersebut. 6. Hilangnya waktu. Manajer mungkin enggan untuk menyisihkan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan dan menjelaskan tindakan disipliner. 7. Kehilangan kendali diri. Manajer mungkin khawatir akan kehilangan kendali dirinya saat berbicara kepada karyawan mengenai pelanggaran peraturan. 8. Rasionalisasi. Manajer mungkin berpikir, “Karyawan tahu bahwa hal itu tidak boleh dilakukan, jadi mengapa saya harus berbicara tentang itu?

2.2 Pemberhentian

PEMBERHENTIAN 2.2.1 Pengertian Pemberhentian Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003, pemberhentian adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antar pekerja dan pengusaha. Sedangkan Moekijat mengartikan bahwa pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerjas seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan. Pemberhentian menurut adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumber daya manusia. Istilah pemberhentian sinonim dengan separation, pemisahan, atau pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan. Fungsi pemberhentian harus

mendapat perhatian yang serius dari manajer perusahaan, karena telah diatur oleh undangundang dan memberikan risiko bagi perusahaan maupun untuk karyawan bersangkutan. Pemberhentian harus sesuai dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1964 KUHP dan seizin P4D atau P4P atau dengan Keputusan Pengadilan. Pemberhentian juga harus memperhatikan Pasal 1603 ayat 1 KUHP yaitu menangani “tenggang waktu saat dan izin pemberhentian”. Perusahaan yang melakukan pemberhentian akan mengalami kerugian karena karyawan yang dilepas membawa biaya penarikan, seleksi, pengembangan, dan proses produksi berhenti. Karyawan yang dilepas akan kehilangan pekerjaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, ekonomis, dan kejiwaannya. Manajer dalam melaksanakan pemberhentian harus memperhitungkan untung dan ruginya, apalagi kalau diingat bahwa saat karyawan diterima adalah dengan cara baik-baik, sudah selayaknya perusahaan melepas mereka dengan cara yang baik pula. Pemberhentian harus didasarkan atas Undang-undang No. 12 Tahun 1964 KUHP, berperikemanusiaan dan menghargai pengabdian yang diberikannya kepada perusahaan, misalnya dengan cara memberikan uang pensiun dan pesangon. Pemberhentian adalah hukuman terberat yang bisa diberikan organisasi kepada karyawan; dengan demikian, hukuman tersebut harus menjadi bentuk tindakan disipliner yang dipertimbangkan secara sangat cermat. Pengalaman diberhentikan bersifat traumatis bagi para karyawan tanpa memandang posisi mereka dalam organisasi. Mereka bisa mengalami perasaan gagal, takut, kecewa, dan marah. Waktu yang sulit juga dialami oleh orang yang mengambil keputusan pemberhentian. Menyadari bahwa pemberhentian bisa mempengaruhi bukan hanya karyawan yang bersangkutan, namun juga keluarganya secara keseluruhan. Meningkatkan trauma tersebut. Tidak mengetahui seperti apa reaksi dari karyawan yang diberhentikan juga bisa menciptakan kecemasan besar bagi manajer yang harus melakukan pemberhentian. Seseorang yang diberhentikan bisa merespons dengan kekerasan di tempat kerja. Ketika keputusan diambil untuk memberhentikan seorang karyawan, karyawan tersebut seharusnya tidak terlalu terkejut atas keputusan itu karena ia mestinya telah mendapatkan peringatan eksplisit dan konseling menjelang pemberhentian. Karyawan tersebut harus mendapatkan saran mengenai langkah-langkah spesifik yang harus diambilnya untuk mempertahankan pekerjaannya. Dukungan harus diberikan untuk menunjukkan padanya apa yang harus dikerjakan untuk mempertahankan pekerjaannya. Karyawan tersebut juga harus diberi jangka waktu yang wajar untuk memenuhi ekspektasi atasannya.

Riset menunjukkan bahwa hari Jumat sore mungkin merupakan waktu terbaik untuk memberhentikan karyawan, karena hal tersebut memberinya akhir minggu untuk menenangkan diri. Bayaran terakhir harus tersedia pada saat pemberhentian. Lebih lanjut, memberhentikan karyawan pada akhir harus memperkecil kesempatan terjadinya diskusi di antara para karyawan lainnya yang bisa mengganggu pekerjaan. Para manajer harus mencoba merencanakan pemberhentian dan tidak melakukannya berdasarkan emosi.

2.2.2 Alasan-alasan Pemberhentian Pemerintah telah mendapatkan kebijakannya sebagai tertuang di dalam undangundang No. 13 Tahun 2003 bahwa, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: 1.

Pekerja berhalangan masuk karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus.

2.

Pekerja berhalangan Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

3.

Pekerja mengerjakan ibadah yang diperintahkan agamanya.

4.

Pekerja menikah

5.

Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.

6.

Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerjan lainnya dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

7.

Pekerja mendirikan, mejadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pernjanjian kerja bersama.

8.

Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindakan pidana kejahatan.

9.

Karena perbedaan yang paham, agama, aliran politik, suku, wana kulit, golongan, jenis kelami, kondisi fisik atau status perkawinan.

10. Pekerjaan dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Hasibuan (xx) menyebutkan beberapa alasan karyawan diberhentikan dari perusahaan yaitu:

1.

Undang-undang Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari suatu

perusahaan. Misalnya, karyawan anak-anak, karyawan WNA, atau karyawan yang terlibat dalam organisasi terlarang. 2.

Keinginan perusahaan Pemberhentian semacam ini telah diatur oleh Undang-undang No. 12 Tahun 1964,

seizing P4D atau P4P, serta tergantung status kepegawaian karyawan bersangkutan. Keinginan perusahaan memberhentikan karyawan disebabkan hal-hal berikut: a.

Karyawan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya

b.

Perilaku dan disiplinnya kurang baik

c.

Melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan

d.

Tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain

e.

Melakukan tindakan amoral dalam perusahaan. Konsekuensi-konsekuensi pemberhentian berdasarkan keinginan perusahaan adalah

sebagai berikut: a.

Karyawan dengan status masa percobaan diberhentikan tanpa memberikan uang pesangon.

b.

Karyawan dengan status kontrak diberhentikan tanpa memberikan uang pesangon.

c.

Karyawan dengan status tetap, jika diberhentikan harus diberikan uang pesangon, yang besarnya adalah: 

Masa kerja sampai 1 tahun = 1 bulan upah bruto.



Masa kerja 1 – 2 tahun = 2 bulan upah bruto.



Masa kerja 2 – 3 tahun = 3 bulan upah bruto.



Masa kerja 3 tahun dan seterusnya = 4 bulan upah bruto.

Sedang besarnya uang jasa adalah sebagai berikut: -

Masa kerja 5 – 10 tahun = 1 bulan upah bruto.

-

Masa kerja 10 – 15 tahun = 2 bulan upah bruto.

-

Masa kerja 15 – 20 tahun = 3 bulan upah bruto.

-

Masa kerja 20 – 25 tahun = 4 bulan upah bruto.

-

Masa kerja 25 – 30 tahun = 5 bulan upah bruto. Besarnya uang pesangon bagi beberapa perusahaan telah ditetapkan dalam peraturan-

peraturan perusahaan tetapi besarnya tidak boleh kurang dari yang ditetapkan undang-undang.

Pemberhentian karyawan berdasarkan atas keinginan perusahaan dilakukan dengan tingkatantingkatan sebagai berikut: a.

Perundingan antara karyawan dengan pimpinan perusahaan.

b.

Perundingan antara pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.

c.

Perundingan P4D dengan pimpinan perusahaan.

d.

Perundingan P4P dengan pimpinan perusahaan.

e.

Keputusan Pengadilan Negeri. Jelasnya pemberhentian karyawan atas keinginan karyawan tidak boleh dilakukan

sewenang-wenang dan harus berdasarkan pada undang-undang. 3.

Keinginan Karyawan Pemberhentian atas keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan

untuk berhenti dari perusahaan tersebut. permohonan hendaknya disertai alasan-alasan dan saat akan berhentinya, misalnya bulan depan. Hal ini perlu agar perusahaan dapat mencari penggantinya dan kegiatan perusahaan tidak terhambat. Alasan-alasan pengunduran, antara lain: a.

pindah ke tempat lain untuk mengurus orang tua,

b.

kesehatan yang kurang baik,

c.

untuk melanjutkan pendidikan, atau

d.

berwiraswasta. Jika banyak karyawan yang berhenti atas keinginan sendiri, hendaknya manajer

mencari penyebab yang sebenarnya dan menginstropeksi agar turnover karyawan dapat dicegah. Misalnya, menaikkan balas jasa, berlaku adil, dan menciptakan suasana serta lingkungan pekerjaan yang baik. Karyawan yang berhenti atas permintaan sendiri, uang pesangon hanya diberikan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan saja karena tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya. Pemberhentian atas keinginan karyawan sendiri, tetap menimbulkan kerugian bagi perusahaan karena karyawan itu membawa biaya-biaya penarikan, seleksi, dan latihan. Sedangkan pengadaan karyawan baru akan membutuhkan biaya-biaya penarikan, seleksi, dan pengembangan. 4.

Pensiun Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang,

ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempensiunkan karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaan, dan sebagainya.

Undang-undang mempensiunkan seseorang karena telah mencapai batas usia dan masa kerja tertentu. Misalnya usia 55 tahun dan minimum masa kerja 15 tahun. Keinginan karyawan pensiun atas permintaan sendiri dengan mengajukan surat permohonan setelah mencapai masa kerja tertentu, dan permohonannya dikabulkan oleh perusahaan. Karyawan yang pensiun akan memperoleh uang pensiun yang besarnya telah diatur oleh undang-undang bagi pegawai negeri, dan bagi karyawan swasta diatur sendiri oleh perusahaan bersangkutan. Pembayaran uang pensiun bagi pegawai negeri dibayar secara periodik, sedangkan bagi karyawan swasta biasanya berupa uang pesangon pada saat ia diberhentikan. Pembayaran uang pensiun adalah pengakuan atau penghargaan atas pengabdian seseorang kepada organisasi dan memberikan sumber kehidupan pada usia lanjut. Adanya uang pensiun akan memberikan ketenangan bagi karyawan sehingga turnover karyawan relatif rendah. 5.

Kontrak kerja berakhir Karyawan kontrak akan dilepas atau diberhentikan apabila kontrak kerjanya berakhir.

Pemberhentian berdasakan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka diterima. 6.

Kesehatan karyawan Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawan. Inisiatif

pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan ataupun keinginan karyawan. Besar gaji karyawan yang sakit-sakitan dibayar perusahaan berdasarkan P4/M/56/4699, P4/M/57/6542, dan 04/M/57/6150. 7.

Meninggal dunia Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan

perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga yang diringgalkan sesuai dengan peraturan yang ada. Karyawan yang tewas atau meninggal dunia saat melaksanakan tugas, pesangon atas golongannya diatur tersendiri oleh undang-undang. Misalnya, pesangonnya lebih besar dari golongannya dinaikkan sehingga uang pensiunnya lebih besar. 8.

Perusahaan dilikuiditas Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut.

Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sedang karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan pemerintah.

2.2.3 Tahap-tahap Dalam Proses Pemberhentian Terdapat empat tahap yang harus diikuti dalam proses pemberhentian karyawan, yaitu: a.

Manajer dari karyawan yang bersangkutan harus melakukan pemberhentian dan melakukannya secara pribadi.

b.

Proses pemberhentian harus singkat dan dilakukan dengan bahasa yang tidak kasar.

c.

Manajer tidak perlu membicarakan alasan pemberhentian dan tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan keputusan tersebut.

d.

Harus ada orang lain yang menangani mekanisme untuk keluar seperti gaji terakhir dan asuransi.

2.2.4 Jenis-jenis Pemberhentian Karyawan Terlepas dari kemiripan dalam pemberhentian para karyawan pada berbagai level, ada perbedaan-perbedaan yang nyata berkenaan dengan karyawan nonmanajerial/ nonprofesional, eksekutif, serta manajer tingkat menengah dan bawah dan juga professional. a.

Pemberhentian Karyawan Nonmanajerial/Nonprofesional Orang-orang dalam kategori ini bukanlah manajer dan bukan pula orang yang terlatih

secara profesional, seperti insinyur atau akuntan. Mereka umumnya mencakup karyawankaryawan seperti buruh pabrik baja, pengemudi truk, pramuniaga, dan pramusaji. Jika perusahaan memiliki serikat pekerja, prosedur pemberhentian biasanya didefinisikan dengan jelas dalam perjanjian antara pekerja dengan manajemen. Sebagai contoh, minum (minuman keras) saat bekerja bisa diidentifikasi sebagai alasan untuk pemberhentian segera. Di sisi lain, kemangkiran bisa memerlukan tiga kali peringatan tertulis oleh atasan sebelum tindakan pemberhentian bisa diambil. Jika perusahaan tidak memiliki serikat pekerja, karyawan-karyawan tersebut umumnya bisa lebih mudah diberhentikan karena kemungkinan besar mereka adalah karyawan at-will. Di sebagian besar perusahaan yang tidak ada serikat pekerja, pelanggaranpelanggaran yang bisa menyebabkan pemberhentian dimasukkan dalam buku panduan karyawan perusahaan. Terkadang, terutama di perusahaan yang lebih kecil, proses pemberhentian bersifat informal dengan supervisor lini pertama menyampaikan kepada para karyawan mengenai tindakan yang menyebabkan pemberhentian. Terlepas dari ukuran organisasi, manajemen harus memberikan informasi kepada karyawan mengenai tindakantindakan yang bisa menyebabkan pemberhentian.

b.

Pemberhentian Eksekutif Tidak seperti orang-orang dalam sebagian besar posisi di organisasi, para CEO tidak

perlu cemas bahwa posisi mereka akan dihilangkan. Dalam sebuah studi yang dilakukan untuk mengungkapkan alasan-alasan organisasi memecat para CEO-nya, ditemukan bahwa dewan direksi kehilangan kepercayaan terhadap mereka. Para eksekutif biasanya tidak memiliki prosedur penilaian formal. Alasan-alasan pemberhentiannya mungkin tidak sejelas untuk para karyawan tingkat bawah. Beberapa di antara alasan-alasan tersebut meliputi isuisu sebagai berikut: 1.

Penurunan ekonomi. Terkadang, kondisi bisnis bisa memaksa dilakukannya pengurangan dalam jumlah eksekutif.

2.

Reorganisasi/perampingan. Dalam rangka meningkatkan efisiensi atau sebagai hasil merger dengan perusahaan lain, sebuat perusahaan bisa melakukan reorganisasi atau perampingan, yang berakibat pada penghapusan beberapa posisi eksekutif.

3.

Perbedaan filosofis. Perbedaan dalam filosofi untuk menjalankan bisnis bisa terjadi antara seorang eksekutif dengan pejabat kunci lainnya dalam perusahaan. Dalam rangka mempertahankan konsistensi dalam filosofi manajemen, eksekutif tersebut bisa digantikan.

4.

Penurunan produktivitas. Eksekutif mungkin mampu mencapai kinerja yang memuaskan di masa lalu, namun untuk berbagai alasan, tidak mampu lagi menjalankan pekerjaannya seperti yang diharapkan. Sebuah organisasi bisa mendapatkan manfaat-manfaat positif dari pemberhentian para

eksekutif, namun tindakan tersebut juga menimbulkan potensi situasi berbahaya bagi perusahaan. Memberhentikan seorang eksekutif senior adalah keputusan yang mahal, sering kali dalam cara yang lebih mahal dari sekedar paket pemberhentian. Dampaknya pada organisasi harus diukur dalam aspek hubungan, produktivitas, integritas stratejik, dan keyakinan investor, sebagaimana aspek keuangannya. Banyak perusahaan khawatir membentuk citra publik negatif yang mencerminkan ketidakpekaan atas kebutuhan para karyawannya. Perusahaan-perusahaan tersebut takut bahwa reputasi itu akan menghalangi usahanya merekrut para manajer berkualitas tinggi. Di samping itu, terkadang para eksekutif yang diberhentikan membuat pernyataan publik yang merusak reputasi para mantan pemberi kerja mereka.

c.

Pemberhentian Manajer Tingkat Menengah dan Bawah serta Para Profesional Biasanya, kelompok karyawan yang paling rentan dan mungkin paling terabaikan

dalam kaitannya dengan pemberhentian adalah para manajer tingkat menengah dan bawah serta para profesional. Para karyawan dalam jabatan-jabatan tersebut bisa jadi tidak memiliki pengaruh politik seperti yang dimiliki seorang eksekutif yang diberhentikan. Meski tentunya tidak direkomendasikan, pemberhentian mungkin bisa didasarkan pada hal-hal kecil seperti sikap atau perasaan seorang atasan langsung pada hari tertentu.

2.2.5 Proses Pemberhentian Pemberhentian karyawan hendaknya berdasarkan peraturan dan perundang-undangan agar tidak menimbulkan masalah. Proses pemecatan karyawan harus menurut prosedur sebagai berikut: 1.

Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan.

2.

Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.

3.

Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan, dan P4D.

4.

Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan, dan P4P.

5.

Pemutusan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri. Prosedur ini tidak perlu dilakukan semuanya, jika pada tahap tertentu telah dapat

diselesaikan dengan baik. Tetapi jika tidak terselesaikan, penyelesaiannya hanya dengan keputusan pengadilan negeri.

2.2.6 Undang-undang dan Konsep Pemberhentian Sebab-sebab 1 1. Keinginan Perusahaan

Alasan-alasan 2 1. Tidak cakap dalam masa percobaan 2. Alasan mendesak 3. Pegawai sering mangkir/tidak cakap

Dasar Hukum 3 Pasal 1603 1 KUHP

Pasal 1603 0 KUHP a) P4/M/57/6388 = mendesak b) P4/M/57/6083 4. Pegawai ditahan oleh = tidak mendesak negara P4/M/56/4599 5. Buruh dihukum oleh hakim P4/M/57/6231

6. Buruh sakit-sakitan P4/M/56/4699 P4/M/57/6542

Keterangan 4 Tidak pesangon

diberi

Idem Idem Diberi uang pesangon dan uang jasa Selama dalam tahanan diberi tunjangan Bila bersifat mendesak tidak diberi apa-apa; bila tidak, diberi

P4/M/57/6150

7. Buruh usia lanjut

2. Keinginan pegawai

3. Sebab-sebab lain

Sakit bulan I = 100% gaji Sakit bulan II = 75% gaji Sakit bulan III = 60% gaji Sakit bulan IV = 25% gaji Bulanbulan selanjutnya, pensiun kebijaksanaan perusahaan.

Peraturan 8. Penutupan badan perusahaan usaha/pengurangan tenaga kerja 1. Tidak cakap dalam Pasal 1603 1 KUHP Tidak diberi apa-apa alasan pekerjaan 2. Alasan-alasan Pasal 1603 p mendesak 3. Menolak bekerja pada majikan baru 4. Pegawai meninggal a) Pasal 1603 j a) di luar hubungan dunia KUHP kerja diberi uang duka pada pegawai tetap b) UU Kecelakaan b) dalam hubungan kerja, ahli waris dapat tunjangan 5. Berakhir masa Pasal 1603 1. tidak diberi apa-apa hubungan kerja KUHAP

1 Status karyawan

7

2

uang pensiun/ pesangon

Perundangundangan

Pemberhentian

6

atau Separation

Meninggal dan sebab lain

3 Keinginan perusahaan

4

5

Keinginan karyawan

Pensiun

Konsep Pemberhentian 2 Karyawan harian honorer

1 Karyawan percobaan

Status Karyawan

3 Karyawan kontrak

4 Karyawan tetap

Status Karyawan

2.3 EMPLOYMENT AT WILL Faktor-faktor seperti ras, agama, gender, asal kebangsaan, usia, dan ketidakmampuan tidak boleh dipertimbangkan sebagai standar untuk mempekerjakan seseorang kecuali faktor

tersebut termasuk BFOQ. Prinsip dasar yang sama harus digunakan sebagai cara untuk memberhentikan para karyawan. Sebagai contoh, kenyataan bahwa seseorang berusia tertentu tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk memberhentikannya. Terlepas dari berbagai standar kekaryawanan yang harus dihindari berdasarkan hukum, keputusan pengadilan, dan peraturan pemerintah, kira-kira dua dari tiga karyawan A.S. hampir sepenuhnya bergantung pada berlanjutnya itikad baik para pemberi kerja mereka. Orang-orang yang termasuk kategori ini dikenal sebagai at-will employees. Yang bukan termasuk di sini adalah orangorang yang dikontrak untuk periode waktu tertentu sebagaimana dengan perjanjian perundingan bersama antara pekerja dan manajemen. Para guru biasanya memiliki kontrak tahunan dan bukan merupakan at-will employee. Selain itu, para karyawan yang melaporkan tindakan illegal (whistleblowers), tidak termasuk dalam employment at will. Employment at will menurut adalah kontrak tidak tertulis yang tercipta ketika seorang karyawan setuju bekerja untuk pemberi kerja namun tidak ada kesepakatan mengenai seberapa lama pihak-pihak tersebut mengharapkan hubungan kerja itu berlangsung. Umumnya, sebagian besar sistem hukum A.S. beranggapan bahwa pekerjaan para karyawan memiliki hak yang sama untuk melepaskan pekerjan mereka kapan saja. Secara historis, karena presiden common law yang telah berusia seabad di Amerika Serikat, hubungan kerja tanpa durasi yang pasti umumnya bisa dihentikan atas keinginan kedua pihak. Meskipun konsep employment at will telah menjadi agak using pada beberapa tahun terakhir, keputusan Mahkamah Agung California baru-baru ini mungkin membalikkan tren tersebut. sebelumnya, dalam keputusan bersejarah tahun 1988 sehubungan dengan kasus Foley vs Interactive Data Corporation, para karyawan yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu, termasuk masa kerja, promosi, kemajuan, dan penilaian yang baik, bisa menunjukkan kontrak implied-in-fact dan bisa diberhentikan hanya dengan alasan yang dapat diterima. Belakangan, dalam kasus Guz vs Bechtel National, Inc., kriteria-kriteria Foley yang ditetapkan setahun sebelumnya, tidak, dalam, dan dari substansinya, “mengandung jaminan kontraktual mengenai kepastian kerja di masa depan,” kata para hakim. Karena dokumendokumen personalia milik Bechtel “tidak mengharuskan adanya pembatasa atas kewenangan untuk menghapus jabatan atau unit kerja, untuk beberapa alasan atau alasan sama sekali,” Guz tidak punya kasus yang didasarkan pada kontrak untuk di bawa ke pengadilan. Waktu yang akan menentukan konsep employment-at will dengan Wrongful Discharge from Employmwnt Act (WDEA)-nya. Setelah masa percobaan (enam bulan jika tidak ditetapkan selain itu), seorang karyawan di Montana tidak bisa diberhentikan kecuali dengan alasan yang bisa diterima. Sembari mengakhiri employment-at will secara efektif,

WDEA juga secara efektif menghapus pembayaran ganti rugi yang besar. Santunan umum, kerugian atas tekanan emosional, serta kerugian atas sakit dan penderitaan telah dihilangkan. Dengan hanya sebuah pengecualian yang sangat terbatas undang-undang tersebut juga menghapus pembayaran denda. Upah dan tunjangan yang hilang maksimal hanya empat tahun – dikurangi apa yang bisa diperoleh karyawan dengan bekerja secara wajar. Pengadilan telah membuat pengecualian-pengecualian tertentu pada doktrin employment-at will. Beberapa di antaranya termasuk melarang pemberhentian yang melanggar kebijakan publik, mengizinkan para karyawan untuk mengajukan tuntutan yang didasarkan pada penjelasan dalam buku panduan karyawan, dan mengizinkan tuntutan yang didasarkan pada doktrin common law mengenai itikad baik dan kesepakatan yang adil. Para pemberi kerja bisa melakukan tindakan tertentu untuk membantu melindungi mereka dari tuntutan hukum karena pemberhentian illegal yang didasarkan pada penyimpangan dari kontrak kerja yang tersirat. Pernyataan dalam dokumen-dokumen seperti formulir lamaran dan manual-manual kebijakan yang mengemukakan jaminan kerja dan pekerjaan tetap harus dihindari jika para pemberi kerja ingin meminimalkan tuntutan karena pemberhentian illegal. Mengatakan pada seseorang dalam sebuah wawancara kerja bahwa ia bisa berharap untuk menduduki jabatan sepanjang yang ia inginkan bisa dianggap perjanjian kontraktual dan menjadi dasar untuk tuntutan hukum. Seseorang tidak boleh dipekerjakan tanpa pernyataan yang ditandatangani atas ketentuan at-will. Selain itu, manual kebijakan harus dinyatakan secara jelas dengan huruf cetakan yang tebal dan lebih besar dari normal, sehingga sangat jelas bagi karyawan bahwa ini adalah sebuah hubungan at-will. Panduan-panduan lain yang bisa membantu organisasi menghindari tuntutan pemberhentian illegal meliputi hal-hal seperti mendefinisikan tugas-tigas karyawan secara jelas, memberikan umpan balik yang berguna secara berkala, dan melaksanakan penilaian kinerja yang realistis secara berkala. Meskipun pemberi kerja memiliki hak legal untuk memberhentikan seorang karyawan secara sepihak, ada batas-batas etis yang perlu dipertimbangkan. Beberapa di antaranya meliputi: melakukan pemberhentian hanya sebagai alternatif terakhir, setelah semua opsi lainnya digunakan; memberikan pemberitahuan sebanyak mungkin; memberikan pesangon sebesar mungkin dan bantuan lainnya sebisa mungkin; tidak memberhentikan karyawan karena hal-hal selain alasan bisnis yang sah (bukan alasan-alasan pribadi, seperti menggantikannya dengan anak atau menantu sang pemilik); tidak membohongi karyawan mengenai alasan pemberhentiannya; dan selalu mengatakan kebenaran. Perlakukan para karyawan dengan penghargaan dan rasa hormat sebanyak mungkin. Namun, tidak ada hukum yang menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan etis tersebut harus diikuti.

2.5 Pemutusan Hubungan Kerja 2.5.1

Pengertian Sastrohadiwiryo (2003:305) mengemukakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah suatu proses pelepasan keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja, baik atas permintaan tenaga kerja yang bersangkutan maupun atas kebijakan perusahaan yang karenannya tenaga kerja tersebut dipandang sudah tidak mampu memberikan produktivitas kerja lagi atau karena kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan.

Mangkunegara, (2001:165) mengemukakan pemberhentian pegawai adalah pemutusan hubungan kerja baik sementara maupun untuk selamanya yang harus dilakukan oleh pihak perusahaan atas permintaan pegawai atau karena kehendak pihak perusahaan.

Jadi, yang dimaksud dengan PHK adalah pelepasan hubungan antara perusahaan dengan tenaga kerja baik atas permintaan tenaga kerja yang bersangkutan atau karena (kebijakan) perusahaan.

2.5.2

Sifat Pemutusan Hubungan Kerja Menurut sifatnya, pemutusan hubungan kerja dapat dibedakan menjadi 3, yaitu pemutusan hubungan kerja secara hormat, pemutusan hubungan kerja sementara, pemutusan hubungan kerja secara tidak hormat.

1. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Hormat Pemutusan Hubungan Kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja terjadi karena hal berikut: a) Keinginan tenaga kerja yang bersangkutan. Maksudnya adalah seorang tenaga kerja akan mengundurkan diri di suatu perusahaan, bila dia berkeinginan untuk pindah ke perusahaan lain yang memiliki masa depan yang lebih baik dan menjanjikan. b) Telah mencapai batas waktu kontrak kerja yang telah disepakati antara perusahaan dengan tenaga kerja yang bersangkutan. c) Akibat Ekonomi Di perusahaan terjadi penurunan hasil produksi karena hasil produksi sulit dipasarkan, atau karena biaya produksi dan bahan baku yang mahal, atau hal lainnya. d) Kemajuan teknologi dan komputerasi terkadang menuntut seorang tenaga kerja memiliki bekal pendidikan formal sebelumnya terutama di bidang teknologi dan komputerasi.

e) Kondisi fisik psikologis tenaga kerja yang bersangkutan sudah tidak cukup lagi sehingga mereka tidak mampu melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya. f)

Tenaga kerja yang bersangkutan meninggal dunia.

2. Pemutusan Hubungan Kerja Sementara Pemutusan hubungan kerja sementara antara perusahaan dengan tenaga kerja terjadi bila seseorang tenaga kerja itu mendapat hukuman tahanan sementara dari pihak berwajib karena diduga melakukan suatu hal yang menyangkut tindak pidana kejahatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang dapat merugikan individu, kelompok, perusahaan, organisasi, maupun pemerintah.

3. Pemutusan Hubungan Kerja dengan tidak hormat Pemutusan Hubungan kerja secara tidak hormat, secara terpaksa harus dilakukan oleh pihak manajemen, bila: a) Tenaga kerja yang bersangkutan melanggar kontrak kerja serta janji yang telah disepakati pada saat mengadakan ikatan kerja bersama. b) Bertindak dan berperilaku yang merugikan perusahaan baik dalam kuantum besar maupun kecil secara langsung maupun tidak langsung dan merupakan alternatif terbaik atas pengambilan keputusan yang dilakukan manajer. c) Tenaga kerja yang bersangkutan karena dinyatakan melakukan tindak pidana sehingga mengakibatkan yang bersangkutan dihukum penjara, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum yang pasti. d) Kemangkiran yang terus-menerus dan telah diperingatkan beberapa kali oleh manajer, akan tetapi tenaga kerja tersebut tetap demikian, bahkan yang bersangkutan berusaha mempengaruhi tenaga kerja lain untuk melakukan hal yang serupa.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2000. Manajemen Sumber Daya manusia Perusahaan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Related Documents


More Documents from "galih rizki"