Dmp Fix

  • Uploaded by: Dini Tyas
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dmp Fix as PDF for free.

More details

  • Words: 8,905
  • Pages: 51
Loading documents preview...
1

PENATALAKSANAAN STRETCHING DAN STRENGTHENING DALAM BORDER CASE: DYSTROPHIA MUSCULORUM PROGRESSIVA (DMP)

Disusun oleh:

1. DINITYAS SULISTYA RINI (170) 2. NORMA NOVITA SARI (187)

PROGRAM STUDI DIV FISIOTERAPI JURUSAN FISIOTERAPI POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA 2016

2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam suatu kehidupan manusia yang ada di bumi ini pasti akan menemui suatu kematian dan juga sebaliknya antara individu mahkluk hidup yang satu dengan yang lainya akan mejalani suatu hubungan kekeluargaan untuk meneruskan kelangsungan hidup, sebagai tanda untuk mempertahankan kehidupan, dengan adanya kelahiran individu baru. Kehidupan pada umumnya manusia lahir, berkembang dan tumbuh dalam keadaan normal, seperti contoh awal manusia lahir belum mampu untuk melakukan aktivitas secara mandiri, makan dan minum, karena melewati proses perkembangan dan pertumbuhan yang seimbang dengan seiringnya waktu tertentu manusia dapat melakukan aktivitas tersebut secara mandiri. Tapi ada juga yang mempunyai kekurangan dari fisik, psikologis, dalam suatu perkembangan nya tersebut. Ada banyak hal yang menyebabkan tumbuh kembang manusia mengalami gangguan, seperti timbulnya penyakit, adanya gangguan metabolisme karena virus, dan adanya gangguan yang di bawa sejak lahir, untuk makalah yang kami buat ini akan membahas tentang gangguan yang dibawa sejak lahir yaitu Dystrophia Musculorum Progressiva. Dystrophia Musculorum Progressiva merupakan penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan sering mengenai anak laki-laki daripada anak perempuan. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar 1 dari 36006000 kelahiran bayi laki-laki (Tay, 2012). Dystrophia Musculorum Progressiva atau yang sering dikenal dengan istilah singkatan DMP merupakan suatu kelainan distrofi otot yang bersifat progresif yang disebabkan karena abnormalitas gen yang di turunkan secara Xlinked atau pun secara autosom. Dalam kasus ini ditemukan adanya gangguan berupa kelemahan otot, biasanya diketahui saat anak sudah berjalan sekitar usia 36 tahun (pada tipe Duchenne Muscular Dystrophy) dan belakangan (pada tipe Becker Muscular Dystrophy), kecuali pada Congenital Muscular Dystrophy yang terlihat hipotoni saat lahir. Gangguan lain pada penderita penyakit ini yaitu sering

3

jatuh, mengeluh nyeri, kesulitan menaiki tangga, dan toe walking. Terlihat pembesaran otot terutama bagian betis. Kelemahan yang paling dahulu terlihat adalah fleksor leher pada usia prasekolah. Kelemahan bersifat umum, namun predominan bagian proksimal dahulu. Gelang panggul mendahului gelang bahu beberapa tahun sebelumnya. Sebesar 50% Duchenne Muscular Dystrophy menderita skoliosis pada usia 12-15 tahun. Kelainan otot dijumpai juga pada miokardium. Pada penderita DMP ditandai adanya Gower's sign yaitu kesulitan bangkit dari lantai (bertumpu pada lutut dan tangan, lutut ekstensi sementara lengan ke depan, lalu lengan menumpu pada paha sementara bangkit ke posisi tegak sehingga tercapai ekstensi hip maksimal) (Anurogo dito, 2010). Fisioterapi merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan penting dalam penanganan kasus ini. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan kemampuan gerak dan fungsi tubuh secara maksimal sepanjang daur kehidupan. Termasuk pelayanan dalam keadaan dimana gerak dan fungsi terancam oleh penuaan, cedera, nyeri, penyakit, gangguangangguan, atau faktor-faktor kondisi dan lingkungan. Gerak fungsional adalah suatu titik pusatnya keadaan tubuh yang sehat (WCPT, 2011). Adapun permasalahan fisioterapi yang muncul pada kasus ini antara lain seperti penurunan kondisi umum pasien, gangguan pernapasan, kelemahan otot, kontraktur dan lain-lain. Untuk menangani permasalahan-permasalahn tersebut serta memperlambat progresifitas maka diperlukan latihan-latihan. Latihan-latihan yang dapat diberikan seperti strengthening, stretching, dan lain-lain. B. Rumusan masalah

Sesuai dengan latar belakang diatas, maka adapun rumusan masalah sebagai berikut: apakah penatalaksanaan fisioterapi pada anak dengan kasus Dystrophia Musculorum Progressiva (DMP) mengunakan modalitas terapi latihan dapat terjadi peningkatan kekuatan otot?

4

C. Tujuan Penulisan Sesuai dengan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penulisan sebagai berikut: untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada anak dengan kasus Dystrophia Musculorum Progressiva (DMP) mengunakan modalitas terapi latihan dapat terjadi peningkatan kekuatan otot. D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan uraian diatas, adapun manfaat penulisan diantaranya adalah: (1) untuk penulis supaya menambah wawasan pengetahuan penulis, (2) untuk teman sejawat supaya menjadi bacaan atau acuan untuk pembuatan makalah selanjutnya, (3) untuk pembaca supaya menjadi ilmu pengetahuan, (4) untuk instansi terkait supaya menjadi acuan untuk pembuatan makalah selanjutnya.

BAB II KAJIAN TEORI

5

A. Anatomi Fungsional 1. Otot

Otot adalah merupakan kelompok jaringan terbesar di dalam tubuh, dan membentuk sekitar setengah dari berat tubuh. Otot rangka sendiri membentuk sekitar 40% pada pria dan 32% pada wanita. Pada otot polos dan otot jantung membentuk sekitar 10% sisanya dari berat tubuh total. Otot-otot tersebut dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara sesuai dengan karakteristik mereka. Pertama, otot digolongkan sebagai otot serat lintang (otot rangka dan jantung) dan otot polos. Kedua, otot dapat digolongkan ke dalam otot volunteer (otot rangka) dan otot involunter (otot jantung dan otot polos). a. Struktur otot rangka Ada dua sistem jaringan yang membentuk tubuh manusia, yaitu sistem jaringan rangka dan jaringan otot. Kedua jaringan tersebut penting untuk tubuh kita karena kedua jaringan tersebut memberi proteksi pada tubuh, memberi penyanggaan dan membantu dalam melakukan gerakan. Tulang merupakan sistem jaringan penunjang yang khusus dari sistem kerangka tubuh manusia. Untuk dapat melakukan fungsinya sebagai sistem penunjang, tulang-tulang harus digerakkan secara bersamaan. Peresendian merupakan penghubung antar tulang satu dengan tulang lainnya dimana terdapat ligamen yang berperan dalam persendian tersebut dan dibantu dengan otot-otot disekitarnya. Otot rangka memiliki bagian berbagai macam bentuk dan ukuran serta terdiri dari beberapa unit kecil. Myofibril adalah bagian unit dari otot yang berkontraksi, rileks dan memanjang. Myofibril disusun oleh sarkomer-sarkomer

6

yang terdiri dari pola terang dan pola gelap. Penyusun utama dari sarkomer adalah aktin dan myosin. Fungsi utama jaringan otot adalah untuk menghasilkan gerakan melalui kemampuannya berkontraksi dan menegang. Otot melekat pada tulang melalui tendon. Ujung otot yang melekat dan permanen atau tidak bergerak disebut origo, sedangkan ujung otot yang bergerak dengan tulang disebut insersio. Saat otot berkontraksi, otot-otot menegang lalu kemudian diteruskan pada tulang-tulang melalui tendon. Saat itulah terjadi gerakan. Jadi dapat dikatakan bahwa gerakan terjadi sebagai akibat interaksi antara sistem jaringan otot dan rangka (Alter, 1996).

(a)

(b)

7

Gambar 2.1. (a) letak otot rangka dalam tubuh; (b) struktur otot rangka (Zuhri, 2013) b. Fisiologi otot rangka Stimulus dihantarkan saraf menuju sel otot, kemudian ion Ca terlepas dari reticulum sarcoplasma. Protein myosin sebagai enzim memecah ATP à ADP + E. Setiap kontraksi otot merupakan peristiwa pemecahan ATP à ADP + E (Zuhri, 2013). c. Mekanisme gerak otot Dari hasil penelitian dan pengamatan dengan mikroskop elektron dan difraksi sinar X, Hansen dan Huxly (l955) mengemukkan teori kontraksi otot yang disebut model sliding filaments. Model ini menyatakan bahwa kontraksi didasarkan adanya dua set filamen di dalam sel otot kontraktil yang berupa filament aktin dan filamen miosin. Rangsangan yang diterima oleh asetilkolin menyebabkan aktomiosin mengerut (kontraksi). Kontraksi ini memerlukan energi.

8

Pada waktu kontraksi, filamen aktin meluncur di antara miosin ke dalam zona H (zona H adalah bagian terang di antara 2 pita gelap). Dengan demikian serabut otot menjadi memendek yang tetap panjangnya ialah ban A (pita gelap), sedangkan ban I (pita terang) dan zona H bertambah pendek waktu kontraksi.

Ujung miosin dapat mengikat ATP dan menghidrolisisnya menjadi ADP. Beberapa energi dilepaskan dengan cara memotong pemindahan ATP ke miosin yang berubah bentuk ke konfigurasi energi tinggi. Miosin yang berenergi tinggi ini kemudian mengikatkan diri dengan kedudukan khusus pada aktin membentuk jembatan silang. Kemudian simpanan energi miosin dilepaskan, dan ujung miosin lalu beristirahat dengan energi rendah, pada saat inilah terjadi relaksasi. Relaksasi ini mengubah sudut perlekatan ujung myosin menjadi miosin ekor. Ikatan antara miosin energi rendah dan aktin terpecah ketika molekul baru ATP bergabung dengan ujung miosin. Kemudian siklus tadi berulang Iagi.

B. Dystrophia Musculorum Progressiva (DMP)

Dystrophia musculorum progressiva (DMP) adalah Suatu kelainan pada anak yang ditandai dengan kelemahan otot secara progessif (progressive muscle degeneration) dan terjadi pseudohypertropy (hipertropi semu) yang menyerang pada umur 3 – 12 th. Dystrophia musculorum progressiva (DMP) merupakan kelainan akibat heredofamiliar, terkait sifat sex di salah satu kromosom X pada sex wanita yg bersifat resesif ( X Xd ) .

1. Tanda dan gejala

9

Adapun tanda dan gejala dari Dystrophia musculorum progressiva (DMP) adalah sebagai berikut: a. Canggung cara berjalan, melangkah, atau berjalan. (Pasien cenderung untuk berjalan pada kaki depan mereka, karena suatu tonus betis peningkatan juga. Berjalan kaki adalah adaptasi kompensasi untuk kelemahan ekstensor lutut). b. Sering jatuh. c. Kelelahan. d. Kesulitan dengan keterampilan motorik (berlari, melompat, melompat). e. Peningkatan lumbar lordosis, menyebabkan pemendekan otot fleksor hip. Ini memiliki efek pada postur keseluruhan dan cara berjalan, melangkah, atau berjalan. f. Otot kontraktur tendon achilles dan paha belakang merusak fungsi karena serat otot memendek dan fibrosis terjadi pada jaringan ikat. g. Progresif kesulitan berjalan. h. Pseudohypertrophy (pembesaran semu) dari lidah dan otot betis. Jaringan otot akhirnya digantikan oleh jaringan lemak dan ikat, maka pseudohypertrophy panjang. i. Risiko tinggi gangguan neurobehavioral (misalnya, ADHD), gangguan belajar (disleksia), dan non-progresif kelemahan dalam keterampilan kognitif tertentu (terutama memori jangka pendek verbal), yang diyakini sebagai hasil dari distrofin hadir atau disfungsional dalam otak. j. Akhirnya kehilangan kemampuan untuk berjalan biasanya pada usia 12 tahun. k. Cacat tulang skeletal cacat termasuk skoliosis dalam beberapa kasus. a. Histologi

10

Adanya pelepasan serabut otot secara besar-besaran dan diganti oleh jaringan ikat dan penimbunan sel-sel lemak. Jaringan menyatu membentuk jaringan yg non elastis dan tidak kuat, kemudian menyebabkan penyusutan serabut otot sehingga mengalami fibrosis.

2. Tipe Dystrophia musculorum progressiva (DMP) a. Duchenne Merupakan kategori DMP berat. DMP ini mempunyai gejala awal normal pada periode tertentu tonus otot menurun mulai dari arah distal ke proksimal yang menyebabkan kekuatan otot menurun drastis sehingga aktifitas menurun ( problem gross – fine motor). Pada DMP tipe duchenne tidak terdapat gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga tidak ada gangguan pada kognitif. Kualitas hidup menurun karena otot-otot diafragma mengalami pelemahan. 1) Gambaran patologi Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.2 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer.

11

Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427 kDa,dan terdiri dari 3685 asam amino. Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membran sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot. Erb pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilah dystrophia muscularis progressiva. Pada tahun 1855, Duchenne memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak.Becker mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat diturunkan secara autosomal resesif, autosomal dominant atau X-linked resesif. Hoffman et al menjelaskan bahwa kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD dan Becker Muscular Dystrophy (BMD). (Wedhanto, 2007). 2) Patogenesis Duchenne muscular dystrophy (DMD) disebabkan oleh mutasi gen distrofin di lokus Xp21. Distrofin bertanggung jawab untuk menghubungkan sitoskeleton dari setiap serat otot yang mendasari lamina basal (matriks ekstraselular) melalui kompleks protein yang mengandung banyak sub unit. Tidak adanya distrofin memungkinkan kelebihan kalsium untuk menembus sarcolemma (membran sel). Perubahan dalam jalur sinyal menyebabkan air masuk ke dalam mitokondria yang kemudian meledak. Dalam distrofi otot rangka, disfungsi mitokondria menimbulkan amplifikasi stress-induced sinyal kalsium sitosol dan amplifikasi dari stres akibat reaktif oksigen spesies (ROS) produksi. Dalam kompleks proses yang melibatkan beberapa jalur dan tidak jelas dipahami, meningkatkan stres oksidatif dalam kerusakan sel sarcolemma dan akhirnya

12

menyebabkan kematian sel. Serat otot mengalami nekrosis dan akhirnya diganti dengan adiposa dan jaringan ikat. DMD diwariskan dalam pola X-linked resesif . Wanita biasanya akan menjadi pembawa untuk penyakit sementara laki-laki akan terpengaruh. Biasanya, pembawa perempuan akan menyadari mereka membawa mutasi sampai mereka memiliki anak yang terkena dampak. Putra seorang ibu pembawa memiliki kesempatan 50% dari mewarisi gen cacat dari ibunya. Putri seorang ibu pembawa memiliki kesempatan 50% menjadi pembawa atau memiliki dua salinan normal gen. Dalam semua kasus, sang ayah juga akan melewati Y normal untuk anaknya atau X normal untuk putrinya. Pembawa Perempuan kondisi X-linked resesif, seperti DMD, dapat menunjukkan gejala tergantung pada pola mereka Xinaktivasi. Duchenne muscular dystrophy (DMD) disebabkan oleh mutasi pada gen distrofin, yang terletak pada kromosom X. DMD memiliki kejadian 1 di 4.000 laki-laki yang baru lahir. Mutasi dalam gen distrofin baik dapat diwariskan atau terjadi secara spontan selama transmisi germline.

3) Manifestasi klinis Penyakit ini ditandai dengan progressive weakness dan wasting of muscles. Hal ini terlihat pada laki-laki, dan diturunkan sebagai karakteristik resesif sexlinked dengan tingkat mutasi yang tinggi. Gambaran klinis biasanya terlihat dalam tiga tahun pertama, dan penyakit berlangsung sampai pasien tidak mampu berjalan yang mungkin terjadi di dekat usia 12, atau pada awal masa remaja. Si anak

13

meninggal karena infeksi pernapasan atau gagal jantung beberapa waktu di dekade kedua atau ketiga. Kelemahan otot relatif simetris dan dimulai pada proksimal pelvic girdle, shoulder girdle dan trunk. Tangan biasanya mempertahankan beberapa fungsi yang berguna sampai tahap akhir dari penyakit, meskipun extreme weakness dari lengan dan otot sekitar shoulder girdle membuatnya sangat sulit bagi anak untuk menggunakan tangannya tanpa bantuan mekanis. Pseudohyperthrophy terlihat sampai batas tertentu di hampir setiap pasien, di calf muscle, quadriceps, gluteal dan deltoid muscles, dan kadang-kadang terjadi pada grup otot yang lain. (Shepherd, 1980). Gejala utama dari duchenne muscular dystrophy (DMD), gangguan neuromuskuler progresif, adalah kelemahan otot yang berhubungan dengan pengecilan otot dengan otot menjadi yang pertama terkena dampak, terutama yang mempengaruhi otot-otot pinggul, daerah panggul, paha, bahu, dan otot betis . Kelemahan otot juga terjadi pada lengan, leher, dan daerah lain, tetapi tidak sedini di bagian bawah tubuh. Betis sering diperbesar.

b. Backer Merupakan Kategori DMP sedang yang mengenai sampai usia belasan dan usia maksimal adalah 20 tahun. Gejala dari DMP backer adalah gower’s sign (+), gower manuver (+), mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan kekuatan terbatas, paralysis total jika otot tubuh bagian distal sudah terkena yang akan

14

menyebabkan otot-otot seluruh tubuh akan paralysis, proses lebih lama dari tipe duchenne. Pada DMPtipe backer dilakukan terapi mulai umur 8 tahun. c. Tipe lain (kategori DMP ringan) Limb girdle: jika yg terkena bagian leher, shoulder girdle; jika yg terkena

1)

limb girdle bawah pelvic + thigh (otot quadriceps & otot sekitarnya). 2)

Fascio scapulo humeral : yang terkena pada fascio scapula – shoulder girdle. 3) Scapulo peroneal limb : yang terkena shoulder girdle dan peroneus. 4) Distal pattern : lengan bawah atau tungkai bawah yang terkena.

3. Diagnosis banding dengan spinal muscular atrophy (SMA) a. Definisi spinal muscular atrophy (SMA) SMA adalah penyakit genetik otot-saraf (neumuscular genetic disorder) yang ditandai dengan kelumpuhan otot. Walaupun tampilan klinik yang nyata dari pasien-pasien SMA adalah kelumpuhan otot, terutama pada kedua kaki. Sumber utama kelumpuhan bukan disebabkan oleh rusaknya sel-sel otot itu sendiri. Kelumpuhan yang terjadi murni disebabkan oleh rusaknya sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang (spinal cord). Ini berbeda dengan distrofi otot dimana kerusakannya memang terjadi di otot itu sendiri. Yang dimaksud dengan sumsum tulang belakang (spinal cord) dalam tulisan ini adalah bagian dari sistem saraf pusat yang berjalan secara kontinu dari otak turun hingga ke punggung bagian bawah. Dari sumsum tulang belakang ini keluar cabang-cabang persarafan yang bertanggung jawab untuk berbagai bagian tubuh, termasuk anggota gerak tangan dan kaki. Gerakan-gerakan otot seperti kita ketahui, dikendalikan oleh otak dengan perantaraan sumsum tulang belakang, dimana saraf-saraf yang menghubungkan otak dengan otot melewati sumsum tulang belakang.

15

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kerusakan sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang menyebabkan hilangnya kemampuan kontrol motorik, terutama pada otot-otot yang bertanggungjawab untuk gerakan-gerakan seperti merangkak, berjalan, mengunyah, kontrol kepala dan leher dan bahkan pernafasan. Dalam hal ini otot-otot kaki dan pernafasan lebih sering dan lebih parah mengalami kelumpuhan dibandingkan otot-otot lain. Kelumpuhan menyebabkan otot tidak pernah digunakan, sehingga membuatnya mengecil (atrofi), terutama terlihat pada kaki. b. Jenis spinal muscular atrophy (SMA) Berdasarkan tingkat keparahannya, SMA dibagi kedalam tiga tipe. 1) SMA Tipe I, atau disebut juga Werdnig-Hoffmann Disease, adalah tipe yang paling parah. Gejala-gejala pada SMA Tipe I dimulai sangat awal, bisa sejak sebelum kelahiran atau paling lambat sejak usia 6 bulan setelah kelahiran. Gejala-gejalanya ditandai dengan kesulitan bernafas, tidak dapat menyusu dan kelemahan otot yang menyeluruh. Problem utama pada bayi SMA tipe I adalah kelemahan pada otot-otot pernafasan, yang membuatnya sering bergantung pada alat bantu pernafasan. Bayi dengan SMA Tipe I memiliki harapan hidup yang sangat rendah, dimana semua atau hampir semua meninggal sebelum usia 2 tahun disebabkan kegagalan pernafasan. 2) SMA Tipe II memiliki tingkat keparahan yang kurang, jika dibandingkan dengan tipe I. Gejala-gejala SMA pada tipe II dimulai antara umur 6 hingga 18 bulan. Anak-anak dengan SMA tipe II dapat duduk tanpa dibantu dan kadang-kadang dapat berdiri dengan susah payah berpegang pada kakinya. Namun tidak satupun yang dapat berjalan.

16

Walaupun harapan hidupnya lebih tinggi dibandingkan SMA tipe I, pada umumnya anak-anak dengan SMA tipe II mengalami masalah berat pada pernafasan yang menjadi penyebab kematian pada usia awal kanak-kanak. 3) SMA tipe III atau yang juga disebut Kugelberg-Welander Disease, adalah tipe dengan tingkat keparahan paling rendah. Gejala-gejalanya baru dimulai pada usia setelah 18 bulan. Biasanya diawali dengan perkembangan motorik yang normal dan kemudian pada usia awal kanak-kanak mengalami penurunan kemampuan motorik yang signifikan. Pada kasus-kasus yang jarang, gejala baru mulai muncul pada usia dewasa (beberapa ahli menyebutnya SMA Tipe IV). c. Karakteristik genetika molekuler pada SMA Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan pada gen SMN1 yang terletak pada lengan panjang kromosom 5 (disebut juga 5q). Sebagian besar (95%) pasien SMA, sama sekali tidak memiliki SMN1, dimana dikatakan SMN1 mengalami deletion. Sementara pada sekitar 3% pasien, SMN1-nya ada tetapi mengalami kerusakan pada urutan DNA. Sebagian kecil (2%) pasien SMA tidak menunjukkan kelainan apapun pada SMN1, disebut dengan non-5q SMA. SMA diturunkan dari orangtua kepada anak secara autosomal recessive. Dalam hal ini, kedua orang tua adalah pembawa (carrier) kerusakan pada gen SMN1, namun sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala SMA atau sehat. Untuk sebuah penyakit genetik, SMA terbilang cukup sering terjadi dengan insidensi 1 diantara 6.000-10.000 kelahiran hidup. Sementara 1 diantara 40 orang sehat adalah pembawa kerusakan pada gen SMN1 yang tidak menunjukkan gejala-gejala SMA. Jika dua orang pembawa kerusakan gen SMN1 menikah, maka terdapat kemungkinan 25% anak-anak yang dilahirkan akan menderita SMA. Sementara terdapat kemungkinan 50% anak-anak yang

17

dilahirkan akan sehat namun menjadi pembawa kerusakan gen SMN1 dan 25% persen kemungkinan anak-anak yang dilahirkan sehat dan memiliki gen SMN1 yang juga sehat. Yang menarik dari SMA adalah bahwa gen SMN1 sesungguhnya memiliki gen kembaran yang terletak tepat disampingnya pada lengan panjang kromosom 5, disebut juga gen SMN2. Kedua gen, SMN1 dan SMN2 memiliki urutan DNA yang 99,9% sama dan seharusnya dapat menghasilkan protein yang sama, yaitu yang disebut protein SMN. Hal lain yang menarik adalah, walaupun 95% pasien SMA mengalami kehilangan (deletion) SMN1, tidak ada satupun pasien yang juga mengalami kehilangan SMN2.

Perbedaan urutan DNA antara SMN1 dan SMN2 yang hanya 0,01% itu ternyata amat sangat penting atas berfungsi atau tidaknya masing-masing gen. Pada SMN1, urutan DNA-nya memungkinkannya untuk berfungsi secara normal dan menghasilkan protein SMN yang fungsional. Sementara pada SMN2, urutan DNA-nya membuatnya tidak mampu berfungsi secara normal dimana protein SMN yang dihasilkan tidak fungsional.

C. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan kekuatan otot dengan manual muscle testing (MMT) Manual muscle testing (MMT) adalah suatu usaha untuk menentukan atau mengetahui kemampuan seseorang dalam mengkontraksikan otot atau grup ototnya secara volunter atau disadari. Adapun skala otot yang digunakan secara internasional untuk mengukur kekuatan otot menurut Oxford:

18

0 (Zero)

: Tidak ada kontraksi yang terobservasi (dengan inspeksi atau palpasi).

1 (Trace) : Ada sedikit kontraksi tetapi tidak sampai terjadi gerakan sendi. 2 (Poor) : Subyek mampu bergerak dengan LGS penuh, tanpa melawan gravitasi (complete range of movement without gravity). 3 (Fair)

: Subyek mampu bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi (complete range of movement against gravity).

4 (Good) : Subyek mampu bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dengan tahanan sedang/moderat (complete range of movement against gravity with some resistance). 5 (Normal) : Subyek mampu bergerak dengan LGS penuh, melawan gravitasi dengan tahanan maksimal (Complete range of movement with maximal resistance).

2. Presentase nilai progresifitas a. Tingkat progresifitas

> 10%/th

Sangat progresif

5 - 10%/th

Sedang

< 5%/th

Ringan

b. Nilai progresifitas Normal Good G+

11 10

19

G

9

G-

8

Fair F+

7

F

6

F-

5

Poor P+

4

P

3

P-

2

Trace

1

Zero

0 c. Protokol penghitungan presentase progresifitas Jumlah otot yang dihitung ada 28 otot (14 pasang), yaitu otot abdominalis,

quadriceps, gluteus maximus, gluteus medius, tibialis anterior, iliopsoas, latisimus dorsi, serratus anterior, triceps brachii, pectoralis, deltoideus, rhomboideus, lower trapezius, upper trapezius. Total skor : 28 x 11 = 308 poin Total hasil pengukuran x 100 % 308 ( Kekuatan otot x 2 ) + 1 x 100% 308 Dilakukan per tahun: Progresifitas = % tahun I - % Tahun II. 3. Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Lingkup gerak sendi (LGS) atau range of motion (ROM) adalah luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh suatu sendi. LGS dapat juga

20

diartikan sebagai ruang gerak/batas-batas gerakan dari suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut dapat memendek atau memanjang secara penuh atau tidak. Terdiri dari inner range, middle range, outer range dan full range. Dalam praktek fisioterapi, salah satu tehnik evaluasi yang paling sering digunakan untuk mengukur LGS adalah penggunaan goniometer. Adapun tujuan pengukuran LGS: a. Untuk mengetahui LGS pada satu sending dibandingkan dengan sendi yang lainnya (sendi sakit dibandingkan dengan sendi normal). b. Membantu penegakan diagnose terapi c. Untuk evaluasi keberhasilan terapi d. Untuk dokumentasi e. Dapat membantu meningkatkan motivasi klien f. Dapat digunakan untuk penelitian

4. Pengukuran antropometri Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui ukuran-ukuran fisik seorang anak dengan menggunakan alat ukur

21

tertentu, seperti timbangan dan pita pengukur (meteran). Pengukuran antropometri yang akan dilakukan adalah: a. b. c. d. e. f. 1)

Lingkar kepala Panjang tungkai kanan (dari trochantor major) Panjang tungkai kiri (dari trochantor major) Panjang tungkai kanan (dari SIAS) Panjang tungkai kiri (dari SIAS) Lingkar segmen: Tungkai

Patokan

Kanan

Kiri

15 cm diatas condylus lateral 10 cm diatas condylus lateral 5 cm diatas condylus lateral tepat pada condylus lateral 5 cm dibawah condylus lateral 10 cm dibawah condylus lateral 15 cm dibawah condylus lateral

2) Lengan Patokan 15 cm diatas epicondylus lateral 10 cm diatas epicondylus lateral 5 cm diatas epicondylus lateral tepat pada epicondylus lateral 5 cm dibawah epicondylus lateral 10 cm dibawah epicondylus lateral 15 cm dibawah epicondylus lateral

Kanan

Kiri

22

5. Pemeriksaan sensoris Pemeriksaan sensoris meliputi : Pemeriksaan Sensoris

Nilai

Visual Auditory Smell & Taste Touch (Hand and Foot ) Tactile Vestibular Proprioceptive Nilai diisi dengan skor : 0: Tidak berfungsi sama sekali 1: Kurang fungsinya 2 : Normal

6. Pemeriksaan fungsional dengan GMFM GMFM adalah suatu jenis pengukuran klinis untuk mengevaluasi perubahan fungsi gross motor pada penderita DMP. Terdiri dari 88 item pemeriksaan, aktifitas pada posisi berbaring dan berguling (17 item), duduk (20

23

item), merangkak dan kneeling (14 item), berdiri (13 item), berjalan (12 item), berlari dan melompat (12 item). Rumus penilaian GMFM : A. Berbaring dan berguling

total dimensi A/51 x 100%

B. Duduk

total dimensi B/60 x 100%

C. Merangkak dan berlutut

total dimensi C/42 x 100%

D. Berdiri

total dimensi D/39 x 100%

E. Berjalan, berlari dan melompat

total dimensi A/72 x 100%

Total skor = A+B+C+D+D / 5 7. Indeks Barthel Indeks Barthel merupakan penilaian pemeriksaan kemampuan fungsional yang didasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas fungsional. Penilaian ini meliputi 10 kemampuan, yaitu: No 1 2

3

Aktivitas Makan Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebalinya/ termasuk duduk di tempat tidur Kebersihan diri (mencuci muka, menyisir, mencukur dan menggosok gigi)

Bantuan

Mandiri

5

10

5 - 10

15

0

5

4

Aktivitas di toilet (menyemprot, mengelap)

5

10

5

Mandi

0

5

10

15

5

10

6 7

Berjalan di jalan yang datar ( jika tidak mampu jalan melakukannya dengan kursi roda) Naik turun tangga

24

8

Berpakaian (termasuk memakai sepatu)

5

10

9

Mengontrol BAB

5

10

10

Mengontrol BAK

5

10

Total

100

Penilaian: 0 – 20

: Ketergantungan penuh

21 – 61

:Ketergantungan berat (sangat bergantung)

62 – 90

: Ketergantungan moderat

91 – 99

: Ketergantungan ringan

100

: Mandiri

D. Intervensi Teknologi intervensi yang digunakan dalam makalah ini adalah terapi latihan yang terdiri dari stretching dan strengthening. Stretching yaitu meregangkan suatu jaringan yang mengalami perlengketan atau pemendekan, selain itu stretching juga bertujuan untuk menambah LGS dan meningkatkan fleksibilitas otot (Kisner, 1996). Stretching disini lebih digunakan untuk memelihara LGS dan meningkatkan fleksibilitas jaringan disekitar sendi. Strengthening yaitu merupakan latihan yang dilakukan dengan memberikan tahanan dari luar terhadap kerja otot yang membentuk suatu gerakan. Tahanan dari luar tersebut bisa berasal dari tahanan normal maupun mekanik (Kisner, 1996). Apabila otot itu berkontraksi dengan melawan suatu tahanan, maka ketegangan dalam otot itu akan naik. Karena ketegangan otot

25

bertambah (bila melawan suatu tahanan) maka untuk memperkuat otot-otot lengan menggunakan tahanan. Tahanan yang diberikan bisa menggunakan tahanan manual, kantong pasir, per dan karet. Efek penggunaan latihan strengthening adalah (1) menambah kekuatan dan daya tahan otot (2) memperbaiki ketidakseimbangan otot (3) mengembangkan koordinasi gerakan (4) memperbaiki kemampuan fungsional dan (5) memperbaiki kondisi umum pasien. Dalam sebuah jurnal yang berjudul result of manual resistance exercise on a manifesting carrier of Duchene muscular dystrophy yang dilakukan selama 12 minggu pada anak yang menderita DMP. Dalam jurnal ini menunjukkkan adanya peningkatan kekuatan otot pada seluruh ekstremitas setelah dilakkan terapi latihan berupa penguatan otot dengan tahanan manual dari terapis. Selain itu pasien juga tidak mengalami jatuh tak beralasan selama periode latihan 12 minggu tersebut (Bohannon, 1986). BAB III LAPORAN STATUS KLINIS

LAPORAN STATUS KLINIK (KASUS TUMBANG)

NAMA MAHASISWA

:

N.I.M.

:

TEMPAT PRAKTIK

: YPAC SURAKARTA

PEMBIMBING

: EDY WASPADA SSt. Ft

26

Tanggal Pembuatan Laporan

: 18 oktober 2016

Kondisi/kasus

: FT A (PEDIATRI)

I.

KETERANGAN UMUM PENDERITA

Nama Anak

: Alin Afifah

Umur

: 7 Tahun

JenisKelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Pekerjaan Ortu

: Swasta

Alamat

: Trenggalek

No. CM

: 9862

II.

DATA-DATAMEDISRUMAH SAKIT

(Diagnosis medis, catatanklinis, medikamentosa, hasil lab, radiologi (jikaada), termasuk Status GPA) Hasil pemeriksaan tanggal 18 Agustus 2015 Diagnosis medis

: Distrophy Muscular Progressiva

Medika Mentosa

:-

Hasil Lab

: profil jantung normal

Status GPA

: G1 P1 A0

SEGI FISIOTERAPI

27

A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

1. Keluhan Utama Dan Riwayat Penyakit Sekarang (Termasuk didalamnya lokasi keluhan, onset, penyebab, kemampuan yang dicapai anak saat ini, ketidakmampuan anak yang belum dicapai diandingkan dengan pencapaian pada usianya, riwayat gangguan yang mengarah pada kondisi saat ini. Riwayat kehamilan dan persalinan yang berkaitan dengan kondisi saat ini)

Pemeriksaan tanggal 5Oktober 2016 : Pasien usia 7 tahun mengeluh masih belum bisa berdiri dan kelemahan padakedua kedua kakinya sehingga sulit untuk berdiri. Keluhan terjadi saat anak memasuki usia 1 tahun. Anak belum bisa berjalan hingga saat ini.

28

Sebelumnya anak berkembang dengan normal. Pada usia 3 bulan anak mampu tengkurap, usia 6 bulan mampu berguling, 9 merangkak, dan pada umur 14 bulan anak masih belum bisa berjalan. Riwayat saat pre natal, natal, dan post natal tidak ditemukan adanya gangguan pada anak maupun ibu.

2. Riwayat Keluarga Dan Status Sosial (Kondisi saat ibu hamil sampai melahirkan, potensi gangguan kehamilan karena lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal, status asupan nutrisi saat kehamilan) Ibu hamil dan melahirkan dengan normal tanpa ada gangguan yang berarti. Keluarga juga tidak memiliki riwayat penyakit DMP.

3. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta Tidak ada

B. PEMERIKSAAN OBYEKTIF

1. Pemeriksaan Tanda Vital (Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, antropometri spt tinggi badan, berat badan, lingkar kepala) DN

: 90x/menit

RR

: 22x/menit

Temp

: normal

29

2.

TB

: 105 cm

BB

: 20 kg

Inspeksi / Observasi (kesan pertama profil anak dilihat dari aspek fisik, sosial dan emosional serta kognitif saat bertemu dengan anak) Statis : -

Neck Shoulder Elbow &wrist Trunk Pelvic Hip, knee, dan ankle

: cenderung fleksi : cenderung protraksi : tampak normal : lordosis ringan dan dada agak membusung ke depan : torsi anterior : kelemahan pada ankle, sehingga pasien hanya berdiri

dengan menumpu kedua lututnya.

Dinamis : -

Pasien belum bisa berjalan secara mandiri. Pasien tidak mampu berdiri dari posisi duduk sehingga membutuhkan bantuan orang lain

3.

Palpasi

(postural maping tonus otot saat posisi statis dan dinamis) -

Teraba tonus otot yang lembek pada hampir di seluruh tubuh pasien seperti otot

-

fleksor lengan, abdominal, fleksor hip, dan dorsi dan plantar fleksi ankle. Teraba suhu pasien yang normal, tidak ada perbedaan suhu antara kaki dan

-

kepala Teraba otot yang spasme pada otot paravertebrae seperti erector spine dan latissimus dorsi

4. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

30

a. Kemampuan fungsional dasar : Anak sudah mampu merangkak dan anak belum bisa berjalan secara mandiri. b. Kemampuan fungsional aktivitas : Anak mampu makan sediri, mengontrol BAB dan BAK, dan berpakaian. Anak belum mampu naik turun tangga secara mandiri, mandi masih membutuhkan bantuan.

5. Pemeriksaan Spesifik: ( Pemeriksaan sensorik, pemeriksaan spastisitas, DDST, GMFM) a. Pemeriksaan kekuatan otot dengan MMT

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Nama Otot Upper Trapezius Lower Trapezius Rhomboideus Deltoideus Pectoralis Triceps Brachii Serratus Anterior Latisimus Dorsi Iliopsoas Quadriceps Gluteus Maximus Gluteus Medius Tibialis Anterior Abdominalis Total Skor

Nilai Otot Dekstra Sinistra 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 1 1 3 3

Skor Dekstra Sinistra 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 7 7 7 7 2 2 7 7 188

Presentase total skor = 188 x 100% = 61,03 % 308 Kesimpulan : ditemukan adanya kelemahan pada otot ekstremitas atas dan bawah terutama pada otot deltoid, rhomboid, pectoralis, serratus anterior, latisimus dorsi, trapezius, triceps, ilipsoas, dan gluteus dan abdominalis dengan nilai otot 3, sedangkan tibialis anterior dengan nilai 1. Pada otot quadriceps memiliki nilai 4. Pemeriksaan progresifitas belum bisa dilakukan karena pemeriksaan baru dilakukan satu kali dan onset belum terjadi lebih dari setahun.

31

b. Pemeriksaan antropometri lingkar segmen dan ekspansi thoraks dengan midline 1) Pengukuran Ekspansi Thoraks

No 1 2 3

Patokan Manubrium sterni Papilla mamae Proc. Xhypoideus

Hasil 0,5 cm 1 cm 1 cm

2) Pengukuran Lingkar Segmen Tungkai Patokan

Kanan (cm)

Kiri (cm)

15 cm diatas condylus lateral

28

27

10 cm diatas condylus lateral

26

25,5

5 cm diatas condylus lateral

23

23

tepat pada condylus lateral

23

21

5 cm dibawah condylus lateral

21

20

10 cm dibawah condylus lateral

21

20

15 cm dibawah condylus lateral

20

20

Kanan (cm)

Kiri (cm)

15 cm diatas epicondylus lateral

17,5

17,5

10 cm diatas epicondylus lateral

16

16

5 cm diatas epicondylus lateral

17

16,5

tepat pada epicondylus lateral

15

16

5 cm dibawah epicondylus lateral

16

15

10 cm dibawah epicondylus lateral

13

12,5

15 cm dibawah epicondylus lateral

13

12

Lengan Patokan

32

Kesimpulan : pada pemeriksaan ekspansi thoraks anak saat inspirasi dan inspirasi ditemukan hasil 0,5-1 cm saat diukur dengan midline. Hal ini menunjukkan kurangnya mobilitas dan fleksibilitas pada thoraks saat digunakan untuk bernafas. Pada pemeriksaan lingkar segmen, ditemukan bahwa lengan dan tungkai kiri lebih besar dibandingkan dengan lengan dan tungkai kanan. Namun selisihnya tidak terlalu jauh, hanya berkisar 0,5-1 cm saja. c. Pemeriksaan gerak aktif dan pasif TABEL HASIL PEMERIKSAAN GERAK AKTIF

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Gerakan Abduksi bahu Adduksi bahu Abduksi horizontal bahu Adduksi horizontal bahu Fleksi bahu Ekstensi bahu Eksorotasi bahu Endorotasi bahu Fleksi siku Ekstensi siku Palmar fleksi Dorsal fleksi Pronasi Supinasi Fleksi hip Ekstensi hip Abduksi hip Adduksi hip Eksorotasi hip Endorotasi hip Fleksi knee Ekstensi knee Plantar fleksi Dorsal fleksi

Kanan Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM TABEL

HASIL PEMERIKSAAN GERAK PASIF

Kiri Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM Tidak Full ROM

33

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Gerakan Abduksi bahu Adduksi bahu Abduksi horizontal bahu Adduksi horizontal bahu Fleksi bahu Ekstensi bahu Eksorotasi bahu Endorotasi bahu Fleksi siku Ekstensi siku Palmar fleksi Dorsal fleksi Pronasi Supinasi Fleksi hip Ekstensi hip Abduksi hip Adduksi hip Eksorotasi hip Endorotasi hip Fleksi knee Ekstensi knee Plantar fleksi Dorsal fleksi

Kanan Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM

Kiri Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM

Kesimpulan : Pada hasil pemeriksaan gerak aktif dan pasif dapat disimpulkan bahwa ditemukan adanya keterbatasan LGS aktif pada sendi anggota gerak seperti sendi bahu, pangul, dan trunk. Sedangkan pada LGS pasif tidak terdapat keterbatasan. d. Pemeriksaan sensoris

Sensoris Visual Auditori Touch (hand & foot) Smell Taste Tactile Proprioceptive Vestibullar

Keterangan 2 2 2 2 2 2 1 1

34

Kesimpulan : pada pemeriksaan sensorik ditemukan adanya gangguan pada sensoris vestibular dan propioseptif dengn nilai 1. e. Pemeriksaan gross motor dengan GMFM (hasil terlampir) Dimensi A : 92,1 % Dimensi B : 83,3 % Dimensi C : 86 % Dimensi D : 0% Dimensi E : 0% TOTAL : Kesimpulan : anak berada pada dimensi A. f.

Pemeriksaan fungsional dengan indeks barthel

No 1 2

3

Aktivitas Makan Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebalinya/ termasuk duduk di tempat tidur Kebersihan diri (mencuci muka, menyisir, mencukur dan menggosok gigi)

Bantuan

Mandiri

Nilai

5

10

10

5-10

15

5

0

5

5

4

Aktivitas di toilet (menyemprot, mengelap)

5

10

10

5

Mandi

0

5

0

10

15

10

6

Berjalan di jalan yang datar ( jika tidak mampu jalan melakukannya dengan kursi roda)

7

Naik turun tangga

5

10

5

8

Berpakaian (termasuk memakai sepatu)

5

10

5

9

Mengontrol BAB

5

10

10

10

Mengontrol BAK

5

10

10

35

Total

70

Skor ketergantungan : 70 (ketergantungan moderat) Kesimpulan : pada pemeriksaan fungsional dengan indeks barthel, ditemukan bahwa tingkat ketergantungan anak adalah moderat yaitu dengan skor nilai 70. Anak masih membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yaitu pada saat mandi, naik turun tangga, dan berpakaian. g. Gower manuver/gower sign Hasil : negatif Kesimpulan : hasil test gower sign yang negatif menunjukkan bahwa anak tersebut belum memiliki salah satu gejala khas yang dimiliki oleh anak yang menderita DMP.

C. UNDERLYING PROCCESS (CLINICAL REASONING)

36

Pre Natal :

Post Natal :

Natal:

-Kondisi ibu saat hamil tidak mengeluhkan apa-apa -Tidak terdapat infeksi virus

-

anak lahir normal Lahir spontan Anak lahir cukup bulan

-

Anak tidak kejang Tidak ada riwayat

Heredofamiliar 

Rusaknya sel-sel saraf pada spinal

kromosom X pada wanita

cord SMA

DMP

Impairmen

Function

Participatio

t

al

n

Sensoris

Restriction Kognitif

Motoris

Vestibular

-

propioceptif

-

-

Aktivita Dasa NDT; NDT; Kelemahan fasilitasi fasilitasi naik otot berdiri -Naik turun LGS menurun berdiri dari turun tangga tangga Potensi dari -toileting jongkok kontraktur Gangguan respirasi

Breathing Goal: exercise Strengthening D. DIAGNOSIS - Meningkatkan KU Stretching - Menjaga kekuatan otot NDT; fasilitasi - Meningkatkan LGS sendi dari posisi - Mencegah kontraktur duduk ke berdiri 1. Impairment

-Pemalu -Sedikit bicara

Goal selanjutnya:

FISIOTERAPI - dengan Play Bisa duduk ke berdiri sedikit bantuan Mandiri

Therapy Komunikasi

-

Kondisi umum : adanya gangguan respirasi karena anak mudah lelah dan nafas

-

pendek Adanya gangguan sensoris pada vesitibular Postur trunk mulai lordosis Tonus postural hipotonus karena sulit melawan gravitasi saat hendak berdiri dari

-

posisi duduk Adanya kelemahan otot trapezius, deltoid, gluteus, quadriceps, dan gastroc.

37

-

Adanya potensial kontraktur pada otot trapezius, deltoid, gluteus, quadriceps, dan gastroc.

2. Functional Limitation a. Pasien sudah bisa : - Berdiri dengan menumpu lutut b. Pasien belum bisa : - Berdiri - Mengangkat lengan dengan full ROM

3. Disability/Participation restriction Pasien bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar meskipun dengan sedikit bantuan

E. PROGRAM FISIOTERAPI

1. Tujuan Jangka Panjang -

Anak mampu berdiri dari posisi duduk meskipun dengan sedikit bantuan Anak mampu mengangkat lengan ke atas sehingga dapat melakukan aktivitas

-

fungsional tangan dengan baik Menjaga postur agar tidak timbul problem sekunder seperti skoliosis, lordosis, maupun kifosis

2. Tujuan Jangka Pendek -

-

Meningkatkan kondisi umum pasien terutama pada problem respirasi Meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kontraktur pada otot AGA dan AGB Meningkatkan tonus otot postural agar bisa melawan gravitasi Memperbaiki gangguan sensoris vestibular

3. Teknologi Intervensi Fisioterapi -

Breathing excercise Stretching Strengthtening Latihan gerak pasif dan aktif NDT fasilitasi berdiri dari posisi duduk

38

F. RENCANA EVALUASI a. b. c. d. e. f.

Evaluasi kekuatan otot dengan MMT Evaluasi antropometri lingkar segmen dan ekspansi thoraks dengan midline Evaluasi gerak aktif dan pasif Evaluasi sensoris Evaluasi postur dengan GMFM Evaluasi fungsional dengan indeks barthel

G. PROGNOSIS

-

Quo ad vitam Quo ad sanam Quo ad functionam Quo ad cosmeticam

: buruk sebab DMP merupakan penyakit yang progresif : buruk sebab DMP merupakan penyakit yang progresif : buruk sebab DMP merupakan penyakit yang progresif : buruk sebab DMP merupakan penyakit yang progresif

H. PELAKSANAAN TERAPI HARIAN

Total durasi latihan : ± 30 menit 1. Breathing excercise - Tujuan : menjaga KU, meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan -

ekspansi thoraks, rileksasi Respon : anak mampu mengambil nafas dalam dan menghembuskannya dengan

-

maksimal, adanya gerakan pada thoraks Posisi terapis : duduk di samping pasien Posisi anak : tidur telentang diganjal bantal pada kepala Pelaksanaan : terapis meminta pasien meminta pasien mengambil nafas dalam dari hidung dan dihembuskan lewat mulut. Terapis memgang dada pasien untuk

-

merasakan nafas dan gerakan thoraks Dosis : tarik nafas 8 kali hitungan, lalu dihembuskan. Diulangi 8 kali/sesi

2. Stretching (penguluran) - Tujuan : mencegah kontraktur otot, rileksasi otot, meningkatkan LGS - Respon : anak merasa nyaman saat diulur dan target LGS dapat terpenuhi - Posisi terapis : duduk di samping pasien - Posisi anak : tidur telentang diganjal bantal pada kepala - Pelaksanaan : latihan ini dilakukan dengan cara menjauhkan origo dan insersio otot dengan cara mengulur otot tersebut berlawanan dengan fungsi otot tersebut. Stretching dilakukan pada otot-otot yang potensial kontraktur. Salah satunya otot bantu pernapasan.

39

-

Dosis : ringan

3. Strenghtening - Tujuan : meningkatkan kekuatan otot, menjaga postur, meminimalisir deformitas - Respon : anak mampu melawan tahanan dari terapis tanpa ada gerakan -

kompensasi maupun asosiasi Posisi terapis : duduk di samping pasien Posisi anak : disesuaikan dengan otot yang akan dikuatkan Pelaksanaan : terapis melakukan penguatan pada otot yang mengalami kelemahan

-

dengan memberi tahanan/beban submax dari tenaga terapis pada otot tersebut. Dosis : tahan 6-8 detik, ulangi 8 kali per otot

4. Latihan gerak pasif dan aktif - Tujuan : menjaga sifat fisiologis otot, mencegah kontraktur otot, rileksasi otot, -

meningkatkan LGS, meningkatkan kekuatan otot Respon : sendi bergerak full ROM dan tidak ada gerakan kompensasi maupun

-

asosisasi Posisi terapis : duduk di samping pasien Posisi anak : diposisikan sesuai dengan otot yang akan dilatih Pelaksanaan : terapis melakukan latihan gerak pasif dan pada otot-otot yang

-

mengalami kelemahan Dosis : dilakukan pengulangan 6-8 kali tiap otot

5. NDT fasilitasi berdiri dari posisi duduk - Tujuan : fasilitasi berdiri, meningkatkan kekuatan otot postural, memperbaiki sensoris pada sendi dan vestibular, menigkatkan kesimbangan, meningkatkan -

tonnus otot postural, sebagai latihan anti gravity, meningkatkan kontrol kepala Respon : anak mampu mengontrol kepala dan mampu berdiri dari posisi duduk

-

walaupun dengan bantuan. Posisi terapis : duduk di belakang pasien Posisi anak : duduk di depan terapis Pelaksanaan : terapis memfasilitasi anak untuk bangkit berdiri dari posisi duduk dengan pegangan pada pelvic. Anak diminta memgang lututnya sendiri untuk

-

membantu berdiri. Dosis : dilakukan pengulangan 6-8 kali tiap sesi

40

I.

EVALUASI SETELAH SELESAI TERAPI

(Pencapaian anak pada saat setelah terapi, hal hal yang belum tercapai dan faktor penyebab) -

Pencapaian anak pada sesaat setelah terapi : belum ada perubahan yang signifikan yang terjadi setelah terapi, namun keadaan tidak semakin memburuk setelah

-

dilakukan terapi Hal-hal yang belum tercapai : peningkata kekuatan otot yang signifikan belum

-

tercapai, gerakan bangkit ke berdiri dari duduk belum tercapai Faktor penyebab : anak kurang ada motivasi saat berlatih/terapi

II.

RENCANATERAPI SELANJUTNYA

Rencana terapi selanjutnya masih sama dengan terapi sebelumnya, yaitu : -

Breathing excercise Stretching Strengthtening Latihan gerak pasif dan aktif NDT fasilitasi berdiri dari posisi duduk

III.

RENCANA TINDAK LANJUT SETELAH SATU SERI TERAPI

Setelah dilakukan satu seri terapi yaitu 4 kali terapi, maka rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk program terapi selanjutnya adalah : -

Melanjutkan terapi yang sudah ada sebelumnya Latihan strenghtening dengan memberikan beban berupa kantong pasir sehingga

-

bisa lebih terukur Play therapy yaitu diberikan terapi dengan permainan atau dengan alat bantu mainan untuk meningkatkan semangat anak saat melakukan terapi.

J. HASIL TERAPI AKHIR

a. Evaluasi kekuatan otot dengan MMT

41

No

Nilai Otot Dekstra Sinistra

Nama Otot

T awal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Upper Trapezius Lower Trapezius Rhomboideus Deltoideus Pectoralis Triceps Brachii Serratus Anterior Latisimus Dorsi Iliopsoas Quadriceps Gluteus Maximus Gluteus Medius Tibialis Anterior Abdominalis

T akhir

T awal

T akhir

Skor Dekstra T awal

T akhir

Sinistra T awal

T akhir

3 3 3 3 3 3

3 3 3 3 3 3

3 3 3 3 3 3

3 3 3 3 3 3

7 7 7 7 7 7

7 7 7 7 7 7

7 7 7 7 7 7

7 7 7 7 7 7

3

3

3

3

7

7

7

7

3 3 4

3 3 4

3 3 4

3 3 4

7 7 8

7 7 8

7 7 8

7 7 8

3

3

3

3

7

7

7

7

3 1 3

3 1 3

3 3 1 1 3 3 Total Skor : 188

7 2 7

7 2 7

7 2 7

7 2 7

Presentase total skor = 188 x 100% = 61,03 % 308 Kesimpulan : belum tercapai adanya peningkatan kekuatan pada otot ekstremitas atas dan bawah secara signifikan.Pada otot deltoid, rhomboid, pectoralis, serratus anterior, latisimus dorsi, trapezius, triceps, ilipsoas, dan gluteus dan abdominalis dengan nilai otot 3, sedangkan tibialis anterior dengan nilai 1. Pada otot quadriceps memiliki nilai 4.. Walaupun begitu, latihan penguatan akan tetap menjaga fungsi fisiologis otot sehingga keadaan anak tidak menjadi lebih buruk. b. Evaluasi antropometri lingkar segmen dan ekspansi thoraks dengan midline 1) Evaluasi Pengukuran Ekspansi Thoraks

No 1 2 3

Patokan Manubrium sterni Papilla mamae Proc. Xhypoideus

Hasil 0,5 cm 1 cm 1 cm

42

2) Evaluasi Pengukuran Lingkar Segmen Tungkai Patokan

Kanan (cm)

Kiri (cm)

15 cm diatas condylus lateral

28

27

10 cm diatas condylus lateral

26

25,5

5 cm diatas condylus lateral

23

23

tepat pada condylus lateral

23

21

5 cm dibawah condylus lateral

21

20

10 cm dibawah condylus lateral

21

20

15 cm dibawah condylus lateral

20

20

Lengan Patokan

Kanan (cm)

Kiri (cm)

15 cm diatas epicondylus lateral

17,5

17,5

10 cm diatas epicondylus lateral

16

16

5 cm diatas epicondylus lateral

17

16,5

tepat pada epicondylus lateral

15

16

5 cm dibawah epicondylus lateral

16

15

10 cm dibawah epicondylus lateral

13

12,5

15 cm dibawah epicondylus lateral

13

12

Kesimpulan : setelah dilakukan breathing excercise dan strenghtening otot, belum ditemukan adanya peningkatan ekspansi thoraks. Pada evaluasi ekspansi thoraks anak saat inspirasi dan inspirasi ditemukan hasil 0,5-1 cm saat diukur dengan midline. Hal ini menunjukkan masih kurangnya mobilitas dan fleksibilitas pada

43

thoraks saat digunakan untuk bernafas. Kemudian pada pemeriksaan lingkar segmen, ditemukan bahwa lengan dan tungkai kiri lebih besar dibandingkan dengan lengan dan tungkai kanan. Namun selisihnya tidak terlalu jauh, hanya berkisar 0,5-1 cm. c. Evaluasigerak aktif dan pasif TABEL HASIL EVALUASI GERAK AKTIF

No

Gerakan

Kanan

Kiri

T Awal

T Akhir

T Awal

T Akhir

1

Abduksi bahu

Tidak Full

Tidak Full

Tidak Full

Tidak Full

2

Adduksi bahu

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

3

Abduksi

ROM Full ROM

ROM Full ROM

ROM Full ROM

ROM Full ROM

4

horizontal bahu Adduksi

Full ROM

Full ROM

Full ROM

Full ROM

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

horizontal bahu Fleksi bahu Ekstensi bahu Eksorotasi bahu Endorotasi bahu Fleksi siku Ekstensi siku Palmar fleksi Dorsal fleksi Pronasi Supinasi Fleksi hip

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Tidak Full

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Tidak Full

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Tidak Full

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Tidak Full

16

Ekstensi hip

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

Abduksi hip

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

18

Adduksi hip

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

19

Eksorotasi hip

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

20

Endorotasi hip

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

17

44

21

Fleksi knee

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

22

Ekstensi knee

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

Plantar fleksi

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

Dorsal fleksi

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM Tidak Full

ROM

ROM

ROM

ROM

23 24

TABEL HASIL EVALUASI GERAK PASIF

No

Gerakan

Kanan

Kiri

T Awal

T Akhir

T Awal

T Akhir

1 2 3

Abduksi bahu Adduksi bahu Abduksi

Full ROM Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM Full ROM

4

horizontal bahu Adduksi

Full ROM

Full ROM

Full ROM

Full ROM

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

horizontal bahu Fleksi bahu Ekstensi bahu Eksorotasi bahu Endorotasi bahu Fleksi siku Ekstensi siku Palmar fleksi Dorsal fleksi Pronasi Supinasi Fleksi hip Ekstensi hip Abduksi hip Adduksi hip Eksorotasi hip Endorotasi hip Fleksi knee Ekstensi knee

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM Full ROM

45

23 24

Plantar fleksi Dorsal fleksi

Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM

Full ROM Full ROM

Kesimpulan : belum ada peningkatan LGS aktif yang signifikan, namun anak sudah mau berusaha untuk meningkatkan gerakannya. d. Evaluasi sensoris

Sensoris Visual Auditori Touch (hand & foot) Smell Taste Tactile Proprioceptive Vestibullar

T Awal 2 2 2 2 2 2 1 1

T Akhir

2 2 2 2 2 2 1 1

Kesimpulan : setelah diberikan perlakuan, belum ditemukan adanya perbaikan yang signifikan pada pemeriksaan sensorik, yaitu masih ditemukan adanya gangguan pada sensoris vestibular dan propioseptif dengn nilai 1. Hal ini ditunjukkan dengan ketergantungan anak untuk bangkit berdiri. Anak masih membutuhkan bantuan penuh dari orang lain untuk bangkit berdiri dari posisi duduk. Namun anak sudah jarang jatuh tanpa sebab setelah terapi. e. Evaluasi postur dengan GMFM (hasil terlampir) Dimensi A : 92,1 % Dimensi B : 83,3 % Dimensi C : 90% % Dimensi D : 0% Dimensi E : 0% TOTAL : Kesimpulan : terdapat sedikit peningkatan kemampuan gross motor yang dicapai anak tetapi GMFM tetap pada dimensi A. f.

Evaluasi fungsional dengan indeks barthel

46

No

Aktivitas

1

Makan Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan

2

sebalinya/ termasuk duduk di tempat tidur Kebersihan diri (mencuci muka, menyisir,

3

mencukur dan menggosok gigi)

T Awal

T Akhir

10

10

5

10

5

5

4

Aktivitas di toilet (menyemprot, mengelap)

10

10

5

Mandi

0

0

10

15

Berjalan di jalan yang datar ( jika tidak mampu

6

jalan melakukannya dengan kursi roda)

7

Naik turun tangga

5

5

8

Berpakaian (termasuk memakai sepatu)

5

5

9

Mengontrol BAB

10

10

10

Mengontrol BAK

10

10

70

70

Total

Skor ketergantungan : 70 (ketergantungan moderat) Kesimpulan : pada pemeriksaan fungsional dengan indeks barthel, belum ditemukan adanya peningkatan kemandirian dari anak. Tingkat ketergantungan anak masih pada level moderat yaitu dengan skor nilai 70. Anak masih membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yaitu pada saat mandi, naik turun tangga, dan berpakaian.

…………………, ………………………… Mengetahui, Pembimbing,

Praktikan,

47

__________________________

____________________________

NIP.

NIM.

Catatan Pembimbing:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pasien dengan diagnosa dystrophy muscular progressive (DMP) berjenis kelamin perempuan dengan umur 7 tahun telah diberikan terapi inti dengan pendekatan dengan terapi latihan berupa stretching, strengthening, dan latihan gerak aktif. Problematik yang ditemukan adalah: a. Kondisi umum : adanya gangguan respirasi karena anak mudah lelah dan nafas pendek b. Adanya gangguan sensoris pada vesitibular

48

c. Postur trunk mulai lordosis d. Tonus postural hipotonus karena sulit melawan gravitasi saat hendak berdiri dari posisi duduk e. Adanya kelemahan otot trapezius, deltoid, gluteus, dan gastroc. f. Adanya potensial kontraktur pada otot trapezius, deltoid, gluteus, dan gastroc. g. Belum mampu berdiri dari posisi duduk, dikarenakan kelemaha otot-otot gastroc. Pasien diberikan terapi dengan terapi latihan berupa stretching, strengthening, dan latihan gerak aktif. Terapi dengan pendekatan terapi latihan dilakukan 3 kali per minggu selama 2 minggu dengan durasi latihan 15-30 menit. Terapi latihan yang dilakukan yaitu berupa stretching, strengthening, dan latihan gerak aktif dan pasif. Latihan lebih diutamakan pada latihan penguatan (strengthening) otot-otot tungkai atas dan lengan atas. Beban yang digunakan adalah beban manual dari tangan terapis. Hasil yang diperoleh dari penatalaksanaan terapi dengan terapi latihan yaitu: a. Tidak ada peningkatan yang signifikan pada kemampuan fungsional dengan menggunakan GMFM. b. Terdapat peningkatan kognitif yang semula anak malu dan sedikit bicara, pada akhir terapi, anak sudah mulai mau diajak berinteraksi dengan terapis. Anak sudah mau berlatih dengan baik. c. Belum ada perubahan sensoris yang terjadi selama terapi. Terapi latihan adalah gerakan tubuh untuk memperbaiki impairment, meningkatkan kemampuan fungsional, mengurangi faktor resiko, mengoptimalkan kesehatan secara menyeluruh dan meningkatkan kebugaran

49

(Bandy and Sanders, 2008). Dalam sebuah jurnal dengan judul Result of Manual Resistance Exercise on a Manifesting Carrier of Duchene Muscular Distrophy yang dilakukan selama 12 minggu pada anak yang menderita DMP., menunjukkan adanya peningkatan kekuatan otot pada seluruh ekstremitas setelah dilakkan terapi latihan berupa penguatan otot dengan tahanan manual dari terapis. Selain itu pasien juga tidak mengalami jatuh tak beralasan selama periode latihan 12 minggu tersebut (Bohannon, 1986).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dystrophia musculorum progressiva (DMP) adalah Suatu kelainan pada anak yang ditandai dengan kelemahan otot secara progessif (progressive muscle degeneration) dan terjadi pseudohypertropy (hipertropi semu) yang menyerang pada umur 3 – 12 th. Dystrophia musculorum progressiva (DMP) merupakan kelainan akibat heredofamiliar, terkait sifat sex di salah satu kromosom X pada sex wanita yg bersifat resesif ( X Xd ) . SMA adalah penyakit genetik otot-saraf (neumuscular genetic disorder) yang ditandai dengan kelumpuhan otot. Walaupun tampilan klinik yang nyata dari pasien-pasien SMA adalah kelumpuhan otot, terutama pada kedua kaki. Sumber utama kelumpuhan bukan disebabkan oleh rusaknya sel-sel otot itu sendiri. Kelumpuhan yang terjadi murni disebabkan oleh rusaknya sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang (spinal cord). Ini berbeda dengan distrofi otot dimana kerusakannya memang terjadi di otot itu sendiri.

50

Treatment yang diberikan pada kasus ini meliputi: a. Pre-treatment: Standing 30 menit b. Treatment inti: Stretching, Strengthening, NDT (body to body, neck to body, stimulasi duduk, stimulasi berdiri). c. Post-treatment: general massage

B. SARAN Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang Dystrophia musculorum progressiva (DMP) dan tindakan yang harus dilakukan pada pasien dengan Dystrophia musculorum progressiva (DMP). Serta bagi pembaca agar bisa menambah wawasan mengenai Dystrophia musculorum progressiva (DMP).

DAFTAR PUSTAKA

51

Shepherd., Roberta, B., 1980; Physiotherapy In Paediatrics. London: William Heinemann Medical Books Limited. Wedhanto., Sigit., 2007; Laporan Kasus Dunchenne Muscular Dystrophy. Divisi Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kisner, C., Colby, L.A., 2007; Therapeutic Exercise: Foundation and Techniques Fifth Edition, F.A. Davis Company, Philadelphia, hal. 273-275. Alter J., Michael., 1996; 300 Teknik Peregangan Olahraga, Terjemahan Jamal Khabib, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. R., W., Bohannon., 1986; Result of Manual Resistance Exercise on a Manifesting Carrier of Duchene Muscular Dystrophy, American, Vol. 66, Hal 975-975. Bandy., William., D., Sanders., Barbara .,2007; Plyometrics. Therapeutic Exercise for Physical Therapist Asisstant, United State, Wolters Kluwer.

Related Documents

Dmp Fix
February 2021 2
Dmp
February 2021 3
Dmp Status Klinik
February 2021 1
Bab I Dmp
February 2021 0
Bab Ii Dmp
February 2021 0

More Documents from "Tedi Hartoto"

Dmp Fix
February 2021 2
Referat Peb.docx
March 2021 0
Kak Kip-k
March 2021 0
Soal Pasien Safety
January 2021 1