E-book Plk Perdoski 2014

  • Uploaded by: bodro
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View E-book Plk Perdoski 2014 as PDF for free.

More details

  • Words: 80,234
  • Pages: 357
Loading documents preview...
PE R

DO SK I

PANDUAN LAYANAN KLINIS DOKTER SPESIALIS DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA (PERDOSKI) Tahun 2014

SK I

PE R

DO

PAND DUAN LAYANAN KLINIS K D DOKTE ER SPE ESIALIIS DERMATOLOG GI DAN VENE EREOLOGI

Perhimp punan Do okter Spe esialis Ku ulit dan Kelamin K In ndonesia a (P PERDOSK KI) T Tahun 2014

i

SK I

P PANDUAN LAYANAN KLINIS DOKTER SPESIA ALIS DER RMATOLOG GI DAN VE ENEREOLO OGI

PERDOSKI P PANDUAN LAYANAN KLINIS Ta ahun 2014 GI DAN VE DOKTER SPESIA ALIS DER RMATOLOG ENEREOLO OGI PERDOSKI

Ta ahun 2014

DO

Tim Penyusun dan Ed ditor DR.Dr. Aida Suriadire edja, Sp.KK(K), FINSDV, FAAD DV oruan, Sp.KK(K K), FINSDV, FAA ADV Prof. Dr. Theresia L. To Widaty y, Sp.KK(K), FIN NSDV, FAADV Dr. Sandra Tim Penyusun dan Ed ditor M Aida Yulianto Listy yawan, Sp.KK(K), AADV FINSDV, FA DR.DR.Dr. Dr. M. edja, Sp.KK(K), DV Suriadire FINSDV, FAAD Dr.Dr. A Theresia Agnes Sri Siswa ati, Sp.KK(K), FK), FINSDV, FINSDV, FAADV VADV L. To oruan, Sp.KK(K FAA Prof. DR. Med. Dr. Retno o Danarti, Sp.K KK(K), FINSDV NSDV, FAADV Dr. Sandra Widatyy, Sp.KK(K), FIN D Yulianto Dr. Cita Rosita SP Sp.KK(K), FK), FINSDV, FINSDV, FAADV VAADV M Listy yawan, Sp.KK( FA DR. DR. Dr. M. Nati, Sp.KK(K), Nopriyati, Sp.KK K Dr. Agnes A Sri Dr. Siswa F FINSDV, FAADV V DR. Med. Dr. Retno o Danarti, Sp.K KK(K), FINSDV DR. Dr. D Cita Rosita SP Sp.KK(K), FINSDV, F FAADV V S N Nopriyati, Sp.KK K Dr. Sekretaris Dr. Benny Nelson

PE R

S Sekretaris K Benny Nelson Kontributor Dr. Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual K pok Studi Herp pes Kelomp K Kelompok StudKontributor A Kerja Ki Dermatosis Akibat Si Infeksi Morbus Hlar Seksual Hansen K Kelompok Kelompok StudStudi Menu Kelompok Stu udi Derpes matologi pokImuno Studi Herp Kelomp Kelomp pok Studi Psoria asis Kerja K Kelompok Stud i Dermatosis A Akibat Kelompok SStudi Dematom S Morbusmikologi H Hansen KelompokStudi Kellompok StudiStu Dudi Imuno Der Dermatologi An nak Indonesia Kelompok matologi Kelom mpok Studi Der rmatologi Kosm metik a Kelomp pok Studi Psoria asis Indonesia Kelom mpokKelompok Studi Tum mor Bedahmikologi Kulit Indonesia S dan Studi Dematom Kel DDermatologi Las ser Indonesia Kelompok lompokStudi StudiDermatologi D An nak Indonesia PmpokPakar Para matologi Vmetik Indonesia Venereologi Kelom StudiDerm Der rmatologidan Kosm a Kelom mpok Studi Tum mor dan Bedah Kulit Indonesia Kelompok Studi Dermatologi D Lasser Indonesia Se ekretariat: P Para Pakar Derm matologi dan Venereologi V PP P PERDOSKI Ruko Grand Salemba Se ekretariat: a Jala an Salemba I No o. 22, Jakarta 10430, Indonesia

PP P PERDOSKI

Ruko Grand Salemba a Jala an Salemba I No o. 22, Jakarta 10430, Indonesia

PE ERHIMPUNA AN DOKTER SPESIALIS KULIT K DAN KELAMIN K IND DONESIA (PERDOSKI) JAK KARTA 2014 PE ERHIMPUNA AN DOKTER SPESIALIS KULIT K DAN KELAMIN K IND DONESIA (PERDOSKI) JAK KARTA 2014

ii

Kelompok Studi Dermatologi Laser Indonesia Para Pakar Dermatologi dan Venereologi Sekretariat: PP PERDOSKI Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat 10430

SK I

Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta

DISCLAIMER

-

PE R

-

PLK PERDOSKI disusun berdasarkan asupan dari para pakar Dermatologi dan Venereologi serta Kelompok Studi terkait Buku PLK dimaksudkan untuk penatalaksanaan pasien sehingga tidak berisi informasi lengkap tentang penyakit atau kondisi kesehatan tertentu Buku PLK ini digunakan untuk pedoman penatalaksanaan pasien Hasil apapun dalam penatalaksanaan pasien di luar tanggung jawab tim penyusun PLK Pemilihan tatalaksana agar disesuaikan dengan kompetensi & legalitas obat terkait

DO

-

ISBN : 978-602-98468-4-3

iii

KATA PENGANTAR

SK I

Assalamualaikum Wr Wb, Undang-Undang Republik Indonesia no. 29 tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran pasal 44 ayat 1 menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Sehubungan dengan hal tersebut, PERDOSKI menerbitkan Panduan Layanan Klinis (PLK) tahun 2014 ini yang merupakan revisi dari Panduan Pelayanan Medik PERDOSKI tahun 2011.

Tim penyusun buku ini terdiri atas anggota PERDOSKI yang berasal dari beberapa cabang dan juga bekerja di institusi pendidikan. Setelah selesai merevisi, bahan diberikan kepada Kelompok Studi (KS) dan atau peer group (bila tidak ada KS-nya) untuk lebih disempurnakan. Terakhir bahan dikembalikan kepada tim penyusun untuk editing.

DO

Penyakit dan tindakan pada PLK ini mengacu pada dermatologi non infeksi, dermatologi infeksi, genodermatosis, dermato-alergo-imunologi, dermatologi kosmetik termasuk laser, tumor dan bedah kulit, venereologi (infeksi menular seksual) dan kedaruratan kulit. Umumnya penyakit maupun tindakan tersebut telah diperoleh pada waktu pendidikan dokter spesialis sebagaimana telah tertera dalam Standar Kompetensi Kolegium Dermatologi dan Venereologi Indonesia. Adapun ketrampilan tindakan yang memerlukan sertifikat kualifikasi tambahan dari Kolegium adalah tindakan yang belum pernah diperoleh sewaktu menjadi peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau didapat dalam pelatihan lintas disiplin ilmu lain.

PE R

Dengan selesainya buku ini, ucapan terima kasih pertama-tama dihaturkan kepada Ketua Umum dan Ketua Bidang II PP PERDOSKI tahun 2011-2014 atas kepercayaannya menunjuk Tim Penyusun. Selanjutnya penghargaan yang tinggi diberikan kepada seluruh anggota Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga buku ini dapat terwujud. Tidak lupa terima kasih sebesar-besarnya ditujukan kepada Kelompok Studi dan para pakar (peer group) yang telah ikut menyempurnakan isi buku ini. Last but not least terima kasih sedalam-dalamnya disampaikan kepada Dr. Benny Nelson sebagai sekretaris yang telah berupaya semaksimal mungkin hingga akhirnya buku ini selesai.

Walaupun telah berusaha keras namun tidak ada gading yang tidak retak. Karena itu pada kesempatan ini disampaikan juga permohonan apabila ada kesalahan. Mohon agar koreksi dan asupan dapat diberikan langsung kepada PP PERDOSKI.

Akhirnya diharapkan agar PLK ini dapat menjadi panduan dan membantu para dokter spesialis dermatologi dan venereologi dalam melakukan pelayanan kedokteran. Dengan demikian tercapai pelayanan yang optimal kepada seluruh rakyat Indonesia terutama pelayanan kesehatan dermatologi dan venereologi. Jakarta, Agustus 2014 Atas nama Tim Penyusun

DR.Dr. Aida SD Suriadiredja, Sp.KK(K) FINSDV, FAADV

iv iv

SAMBUTAN KETUA UMUM PP PERDOSKI

Sejawat terhormat,

SK I

2011-2014

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya, buku panduan ini dapat terselesaikan tepat waktu. Panduan Layanan Klinis ini (PLK) adalah revisi dari buku Panduan Pelayanan Medis (PPM) yang telah dimiliki dan digunakan oleh PERDOSKI sebelumnya. Sesuai dengan kebutuhan dan arahan Kementerian Kesehatan bahwa diperlukan Panduan dalam melaksanakan layanan yang dapat diakses dan diaplikasikan secara nasional mulai dari layanan tingkat pratama sampai tingkat utama agar layanan berjalan sesuai dengan keilmuan yang berkembang dan sesuai dengan prasana yang ada untuk pencapaian ”service excellent”.

DO

Panduan ini direncanakan akan dapat diakses secara online oleh seluruh anggota PERDOSKI. Buku ini adalah rangkaian buku yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA, mulai dari standar kewenangan medik dan clinical pathway, serta standar profesi. Didahului oleh pembentukan Pokja, yang terdiri dari utusan anggota dari berbagai daerah, dilanjutkan dengan pertemuan yang intensif dari seluruh bidang terkait dipandu oleh bidang Pendidikan dan Profesi PERDOSKI, serta asupan dari seluruh kelompok studi terkait, maka makin sempurnalah panduan ini. Rasa hormat dan penghargaan setingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyempurnaan buku ini, dan semoga panduan ini dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh anggota dalam melaksanakan layanan dengan target peningkatan kesehatan nasional di bidang kesehatan kulit dan kelamin.

PE R

Tak ada pekerjaan yang sempurna, masih diperlukan asupan dari teman sejawat sekalian terhadap panduan ini, terutama para anggota yang berada di daerah dengan masalah yang spesifik, dan kami sangat terbuka untuk hal tersebut. Manfaatkan panduan ini dengan baik dalam membantu teman sejawat melaksanakan layanan.

Jakarta, Agustus 2014 Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK FINSDV, FAADV

v v

Sambutan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin Kolegium Dermatologi dan Venereologi

SK I

Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pelayanan kesehatan dalam derajat yang optimal dan peningkatan derajat kesehatannya harus segera diupayakan, pernyataan ini tertera dalam UUD 1945 pasal 28. Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah perundangan dan peraturan untuk memfasilitasi terciptanya amanah UUD 1945 tersebut, antara lain diterbitkannya Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan perlunya Standar Pelayanan Medis. Standar ini menjadi pedoman yang dirancang oleh profesi agar para dokter yang berkepentingan dapat menjalankan pelayanan kesehatan secara baku, aman dan bermanfaat optimal bagi masyarakat luas. Dengan semangat kesehatan adalah hak seluruh rakyat indonesia dan merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka diperlukan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan sebagai standar yang digunakan di seluruh pusat pelayanan kesehatan tingkat satu, dua dan tiga.

DO

Kolegium Dermatologi dan Venereologi merupakan badan pengampu ilmu yang selalu mencari pembaharuan dalam bidang penatalaksanaan penyakit dan gangguan estetis untuk meraih kesehatan serta kesempurnaan penampilan kulit dan kelamin. Semua jenis pelayanan kesehatan kulit dan kelamin ini dituangkan dalam standar kompetensi yang selalu dinilai kembali dan direvisi secara berkala. Penentuan kompetensi spesialis ini mendapat asupan dari profesi melalui kelompok studi dan dalam pendidikan dokter spesialis dermatologi dan venereologi dituang dalam bentuk modul penatalaksanaan gangguan kesehatan kulit dan kelamin. Penetapan jenis dan modul layanan medis tersebut harus merujuk pada pelayanan berbasis bukti (evidence based medicine) yang berasal dari pakar-pakar dalam dan luar negeri yang berkecimpung di dunia dermatologi dan venereologi khususnya, dan ilmu kedokteran umumnya. Saat ini Standar Kompetensi Dermatologi dan Venereologi tahun 2014 telah tersusun, dan pedoman ini menjadi titik tolak penentuan jenis layanan yang harus dikuasai dokter spesialis dermatologi dan venereologi.

PE R

Standar kompetensi dan modul pelayanan medis ini disetujui oleh Konsil Kedokteran Indonesia serta menjadi dasar penyusunan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan untuk bidang dermatologi dan venereologi. Dengan bantuan panduan ini diharapkan para dokter spesialis dermatologi dan venereologi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tepat serta pihak terkait dapat memakainya sebagai penilaian baku mutu juga perkiraan biaya kesehatan bidang penyakit kulit dan kelamin. Jakarta, Agustus 2014 Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi 2011-2014 DR.Dr.Tjut Nurul Alam Jacoeb, SpKK(K) FINSDV, FAADV

vi

vi

SALINAN SURAT KEPUTUSAN No. 003/SK/PERDOSKI/PP/II/13 TENTANG

SK I

TIM REVISI PANDUAN LAYANAN KLINIK (PLK) PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA

Menimbang: a. Dalam rangka menjamin mutu pelayanan medik Spesialis Kulit dan Kelamin perlu adanya penyempurnaan PLK Spesialis Kulit dan Kelamin. b. Bahwa untuk menyempurnakan PLK tersebut perlu dibentuk Panitia /Tim. c. Bahwa nama-nama tercantum di bawah ini dianggap cakap dan mampu sebagai Tim Revisi PLK.

DO

Mengingat: 1. AD dan ART PERDOSKI 2. Buku Kompendium 3. KONAS PERDOSKI XIII Manado 2011 4. Renstra PERDOSKI 2011-2014

Memperhatikan : a. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK). b. Usulan dari PP PERDOSKI, PERDOSKI Cabang, Kelompok Studi dan Institusi Pendidikan Dokter Spesialis (IPDS) untuk revisi PLK. c. Hasil Rapat Pertemuan PP PERDOSKI dan Kolegium IKKK untuk membentuk Tim Revisi PLK. MEMUTUSKAN 1.

Menetapkan Tim Revisi PLK PERDOSKI:

: DR.Dr. Aida Suriadiredja, Sp.KK(K), FINS-DV : Prof. Dr. Theresia L. Toruan, Sp.KK(K), FAADV Dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV DR. Dr. M. Yulianto Listyawan, Sp.KK(K), FINS-DV, FAADV Dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINS-DV DR. Med. Dr. Retno Danarti, Sp.KK DR. Dr. Cita Rosita SP Sp.KK(K) Dr. Nopriyati, Sp.KK

PE R

Ketua Anggota

2.

Tim Revisi menyerahkan PLK yang telah direvisi kepada PP PERDOSKI selambatnya 1 (satu) bulan sebelum Kongres Nasional (KONAS) XIV PERDOSKI Bandung bulan Agustus 2014.

Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan catatan apabila terdapat kekeliruan akan diperbaiki sebagaimana mestinya. Ditetapkan di: Jakarta

Pada tanggal : 13 Februari 2013

Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK, FINS-DV, FAADV Ketua Umum

vii

vii

DAFTAR ISI

SK I

Halaman Kata Pengantar Tim Penyusun .................................................................................. iv Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI .............................................. v Sambutan Ketua Kolegium Dermatologi dan venereologi ........................................ vi Surat Keputusan Tentang Tim Revisi Panduan Layanan Klinis PERDOSKI ....................................................................... vii Daftar Isi .................................................................................................................... viii Daftar Singkatan ........................................................................................................ xii 1

A. Dermatologi Non Infeksi A. 1. Dermatitis numularis ................................................................................. A. 2. Dermatitis popok ...................................................................................... A. 3. Dermatitis seboroik .................................................................................... A. 4. Liken simpleks kronikus ............................................................................ A. 5. Miliaria ....................................................................................................... A. 6. Pitiriasis alba ............................................................................................. A. 7. Pitiriasis rosea ........................................................................................... A. 8. Prurigo aktinik ............................................................................................ A. 9. Prurigo nodularis ....................................................................................... A. 10. Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy (PUPPP) ......................

5 8 10 14 16 19 21 23 25 27

B. Dermatologi Infeksi B. 1. Creeping eruption (Hookworm-related cutaneous larva migrans) ............ B. 2. Dermatofitosis ............................................................................................ B. 3. Herpes zoster............................................................................................. B. 4. Hand-Foot-Mouth Disease ......................................................................... B. 5. Histoplasmosis ........................................................................................... B. 6. Kandidiasis / kandidosis............................................................................. B. 7. Kriptokokosis.............................................................................................. B. 8. Kusta .......................................................................................................... B. 9. Malassezia folikulitis .................................................................................. B. 10. Mikosis profunda ....................................................................................... B. 11. Moluskum kontagiosum ............................................................................. B. 12. Pioderma ................................................................................................... B. 13. Pitiriasis versikolor ..................................................................................... B. 14. Skabies ...................................................................................................... B. 15. Staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS)........................................ B. 16. Toxic shock syndrome (TSS) .................................................................... B. 17. Tuberkulosis kutis ...................................................................................... B. 18. Varisela ..................................................................................................... B. 19. Veruka vulgaris / common warts ...............................................................

30 32 38 41 43 45 50 52 62 64 70 73 78 80 84 86 88 93 96

PE R

DO

Pendahuluan ..........................................................................................................

C. Genodermatosis C. 1. Akrodermatitis enteropatika ....................................................................... 99 C. 2. Inkontinensia pigmenti (sindrom Bloch-Sulzberger) ................................... 102 C. 3. Epidermolisis bulosa yang diturunkan ........................................................ 106

viii

viii

4. Tuberous sclerosis complex ....................................................................... 5. Displasia ektodermal ................................................................................. 6. Iktiosis ........................................................................................................ 7. Neurofibromatosis tipe 1 ............................................................................

113 117 123 130

D. Dermato-Alergo-Imunologi D. 1. Cutaneus lupus eritematosus spesifik ........................................................ D. 2. Dermatosis IgA linear ................................................................................. D. 3. Dermatitis herpetiformis Duhring ................................................................ D. 4. Dermatitis kontak alergi .............................................................................. D. 5. Dermatitis kontak iritan ............................................................................... D. 6. Erupsi kulit akibat alergi obat ..................................................................... D. 7. Pemfigus .................................................................................................... D. 8. Urtikaria ...................................................................................................... D. 9. Psoriasis ....................................................................................................

132 137 141 145 148 151 155 159 166

E. Dermatologi Kosmetik E. 1. Akne vulgaris ............................................................................................. E. 2. Melasma ................................................................................................... E. 3. Freckles ..................................................................................................... E. 4. Vitiligo ........................................................................................................ E. 5. Alopesia androgenik .................................................................................. E. 6. Penuaan kulit ............................................................................................. E. 7. Deposit lemak dan selulit .......................................................................... E. 8. Hiperhidrosis ............................................................................................. E. 9. Bromhidrosis dan Osmidrosis ...................................................................

180 184 188 190 194 198 199 200 202

Laser E. 10. Laser CO2 untuk kelainan kulit ................................................................. E. 11. Laser untuk kelainan vaskular ................................................................... E. 12. Laser untuk skar ........................................................................................ E. 13. Laser dan IPL untuk kelainan pigmen ....................................................... E. 14. Laser penghilang tato ................................................................................ E. 15. Laser dan IPL penghilang rambut ............................................................. E. 16. Laser untuk resurfacing ............................................................................. E. 17. Laser dan sinar untuk akne vulgaris ..........................................................

204 205 206 208 209 210 211 213

PE R

DO

SK I

C. C. C. C.

F. Tumor dan Bedah Kulit: Tumor Jinak Adneksa F. 1. Siringoma .................................................................................................. F. 2. Trikoepitelioma .......................................................................................... Epidermis dan kista epidermis F. 3. Keratosis seboroik ..................................................................................... F. 4. Kista epidermal .......................................................................................... F. 5. Nevus verukosus ....................................................................................... Jaringan ikat F. 6. Dermatofibroma ......................................................................................... F. 7. Fibroma mole............................................................................................. F. 8. Keloid.........................................................................................................

ix

216 217 218 220 221 222 223 224

ix

225 226 227 228 229

SK I

Karena virus, neoplasma, hiperplasia, dan malformasi vaskular F. 9. Angiokeratoma ........................................................................................... F. 10. Granuloma piogenikum ............................................................................. F. 11. Limfangioma .............................................................................................. F. 12. Nevus flameus ........................................................................................... Sel melanosit dan sel nevus F. 13. Nevus melanositik .....................................................................................

Pra Kanker F. 14. Keratosis aktinik ....................................................................................... 232 F. 15. Leukoplakia .............................................................................................. 233 F. 16. Penyakit Bowen ........................................................................................ 234 Tumor Ganas Epidermis dan adneksa F. 17. Karsinoma sel basal ................................................................................. 236 F. 18. Karsinoma sel skuamosa ......................................................................... 240 Sel melanosit F. 19. Melanoma maligna .................................................................................... 244

251 253 254 256 257 258 259 260 261 263 264 265 266 267 269 270 271 272 273 275

G. Venereologi (Infeksi Menular Seksual) G. 1. Infeksi gonore ............................................................................................ G. 2. Herpes simpleks genitalis (HG) .................................................................. G. 3. Infeksi genital non spesifik (IGNS) .............................................................. G. 4. Kandidosis vulvovaginalis (KVV) ................................................................ G. 5. Kondiloma akuminata (KA) ......................................................................... G. 6. Sifilis ............................................................................................................ G. 7. Trikomoniasis ..............................................................................................

278 282 286 291 294 296 299

PE R

DO

Tindakan Bedah Dalam Dermatologi F. 20. Biopsi kulit ................................................................................................. F. 21. Eksisi/flap/graft .......................................................................................... F. 22. Bedah listrik ............................................................................................... F. 23. Bedah beku ............................................................................................... F. 24. Bedah kimia (chemical peeling) ................................................................. F. 25. Subsisi ..................................................................................................... F. 26. Skin Needling ........................................................................................... F. 27. Dermabrasi dan Mikrodermabrasi ............................................................ F. 28. Bedah sedot lemak ................................................................................... F. 29. Injeksi bahan pengisi (filler) ....................................................................... F. 30. Injeksi toksin botulinum ............................................................................ F. 31. Blefaroplasti .............................................................................................. F. 32. Transplantasi rambut ................................................................................ F. 33. Bedah kuku ............................................................................................... F. 34. Skleroterapi .............................................................................................. F. 35. Bedah Mohs ............................................................................................. F. 36. Face Lift menggunakan benang ................................................................ F. 37. Minimum incision face lift ........................................................................... F.38. Non-surgical face lift ................................................................................... F.39. Vitiligo .........................................................................................................

x

x

G. 8. Ulkus mole .................................................................................................. 302 G. 9. Vaginosis bakterial ...................................................................................... 304

SK I

H. Kedaruratan Kulit H. 1. Angioedema ................................................................................................ 307 H. 2. Nekrolisis epidermal (SSJ dan NET) ........................................................... 313 H. 3. Sindrom DRESS ......................................................................................... 317

321 327 329 335 342

PE R

DO

Lampiran 1. Uji Tempel ........................................................................................................ 2. Uji Intradermal ................................................................................................. 3. Uji Provokasi Obat ........................................................................................... 4. Uji Tusuk .......................................................................................................... 5. Himbauan Tim Perumus ..................................................................................

xi

xi

DAFTAR SINGKATAN

DO

SK I

: autosomal dominan : acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth syndrome : ankyloblepharon filiforme adnatum-ectodermal dysplasi-cleft palate syndrome : antihistamin : alpha hydroxy acid : acquired immunodeficiency syndrome : American joint committee on cancer : anti nuclear antibody : anti double stranded DNA : alat pelindung diri : autosomal recessive : basement membrane zone : benzoil peroksida : complement C3 : complete blood count : chronic bullous disease of chilldhood : complete lymph node dissection : computed tomography : cutaneous T-cell lymphoma : chest X-ray : dermatosis IgA linear : dystrophic epidermolysis bullosa : direct immunofluorecence : dermatitis kontak alergi : dermatitis kontak iritan : discoid lupus erythematosus : diabetes melitus : deoxyribose nucleic acid : dokter spesialis kulit dan kelamin : epidermolisis bulosa : epidermolisis bulosa akuisita : epidermolisis bulosa simpleks : ectrodactyl-ED-cleft lip/plate syndrome : enzyme Immnunoassay : enzyme-linked immunosorbent assay : electron microscope : eritema nodusum : erupsi obat alergi : fixed drug eruption : fine needle aspiration biopsy : hematoksilin eosin : hypohidrotic ectodermal dysplasia : herpes genitalis : human immunodeficiency virus : human papilloma virus : hormon replacement therapy : herpes zoster : imunoglobulin A : imunoglobulin E : interferon : infeksi genital nonspesifik

PE R

AD ADULT AEC AH AHA AIDS AJCC ANA Anti DNA APD AR BMZ BPO C3 CBC CBDC CLND CT CTCL CXR DAL DEB DIF DKA DKI DLE DM DNA Dr. Sp.KK EB EBA EBS EEC EIA ELISA EM EN EOA FDE FNAB HE HED HG HIV HPV HRT HZ IgA IgE IFN IGNS

xii

xii

SK I

inflammatory linear verrucous epidermal nevous immune defects infeksi menular seksual Intense Pulsed Light Source intravenous immunoglobulin junctional epidermolysis bullosa kalau perlu kondilomata akuminata karsinoma sel basal kelompok studi bedah kulit karsinoma sel skuamosa kandidosis vulvovaginalis linear IgA dermatoses lactate dehydrogenase lupus eritematosus laju endap darah limfogranuloma venereum moluskum kontagiosum mycobacterium leprae particle agglutination melanoma maligna narrow band nekrolisis epidermal toksik pertolongan pertama pada kecelakaan psoriasis area and severity index pustular eksantema generalisata akut positron emission tomography purified protein derivative personal safety devices Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy pityriasis versicolor chronic recessive dystrophic EB repeated open application test subcutan systemic lupus erythematosus sentinel-lymph-node-biopsy Sindrom Stevens Johnson susunan syaraf pusat tuberkulosis tricloro acetic acid telinga hidung tenggorok tumor, node, metastasis treponema pallidum hemagglutination assay tes serologik untuk sifilis uretritis nongonore uretritis nonspesifik uji provokasi oral ultraviolet A ultraviolet B venereal disease research laboratory virus herpes simpleks 1 virus herpes simpleks 2 X-linked recessive

DO

: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

PE R

ILVEN IM IMS IPL IVIG JEB k/p KA KSB KSBK KSS KVV LAD LDH LE LED LGV MK MLPA MM NB NET P3K PASI PEGA PET PPD 5TU PSD PUPPP PVC RDEB ROAT SC SLE SLNB SSJ SSP TB TCA THT TNM TPHA TSS UNG UNS UPO UVA UVB VDRL VHS 1 VHS 2 X-LR

xiii

xiii

SK I DO PE R

PENDAHULUAN

1

PELAYANAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

SK I

Sesuai dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik, tingkat layanan dibagi menjadi PPK1 (Pusat Pelayanan Kesehatan), PPK 2, dan PPK 3. PPK 2 masih dibagi menjadi 2A dan 2B. PPK 2A adalah RS tipe C dan D yang memiliki Spesialis Dermatovenereologi PELAYANAN DERMATOLOGI DANDAN VENEREOLOGI PELAYANAN DERMATOLOGI VENEREOLOGI

Pelayanan Dermatologi dan Venereologi di Rumah Sakit Dibagi menjadi layanan di PPK1, PPK 2, PPK 3. PPK 2 dibagi menjadi 2A dan Dibagi menjadi layanan di PPK1, PPK 2, PPK 3. PPK 2 dibagi menjadi 2A 2B, dan dimana 2B, dimana (dise­ 2A adalah RS tipe dan yang memiliki Spesialis Dermatovenereologi 2A adalah RSCtipe CD dan D yang memiliki Spesialis Dermatovenereologi suaikan dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik Ber­dasarkan Pelayanan Dermatologi dan Venereologi di Rumah SakitSakit (disesuaikan Pedoman Pelayanan Dermatologi dan Venereologi di Rumah (disesuaikan dengan Pedoman Tingkat Pelayanan Kesehatan Dermatologi dandengan Venereologi) Standar Kewenangan MedikMedik Berdasarkan Tingkat Pelayanan Kesehatan Dermatologi dan dan Standar Kewenangan Berdasarkan Tingkat Pelayanan Kesehatan Dermatologi Venereologi) Venereologi)

I

IJenis Jenis pelayanan pelayanan

: -

-

II

IITenaga Tenaga

III

Kegiatan III Kegiatan : pelayanan pelayanan

  1. 2.

PPK 2PPK 2

3.

4.

5.

6.

2

2

PPK 3PPK 3

2A 2A 2B 2B Merupakan - Merupakan - Merupakan - Merupakan - Merupakan - Merupakan - Merupakan - Merupakan pemeriksaan pemeriksaan pemeriksaan kesehatan pemeriksaan pemeriksaan pemeriksaan kesehatan pemeriksaan pemeriksaan kesehatan kulit dan kesehatan kulit dan kesehatan kulit dan kesehatan kulit dan kesehatan kulit dan kulit dan kulitkelamin dan kelamin kesehatan kulit dan kelamin dengan atau atau kelamin dengan atau atau dengan atau tanpa kelamin dengan kelamin dengan kelamin dengan dengan atau tanpa kelamin dengan tanpa tanpa tindakan medikmedik tanpa tanpa tindakan medikmedik tindakan medikmedik tindakan medikmedik tindakan tindakan tindakan tindakan sederhana sederhana sederhana spesialistik sederhana sederhana sederhana spesialistik Dapat dilakukan oleh oleh- Dapat dilakukan oleh oleh - Dapat dilakukan oleh oleh - Dilakukan oleh oleh - Dapat dilakukan - Dapat dilakukan - Dapat dilakukan - Dilakukan dokterdokter umumumum di tempat umumumum di dokterdokter spesialis kulit dan spesialis kulit kulit di tempatdokterdokter di spesialis kulit dandokterdokter spesialis praktek pribadipribadi atau atau tempattempat praktek pribadipribadi kelamin di tempat dan kelamin di praktek praktek kelamin di tempat dan kelamin di Pusat Pusat kesehatan atau rumah sakit tipe pribadipribadi atau atau rumahrumah sakit tipe kesehatan atau rumah sakit tipe praktek praktek sakitB tipe B primerprimer C danCB dan B rumahrumah sakit tipe danC dan dan A dan (pendidikan) sakitC tipe A (pendidikan) (nonpendidikan) B (nonpendidikan) (nonpendidikan) B (nonpendidikan) : Paramedik  Paramedik  Dr.Sp.KK  Dr.Sp.KK  Paramedik  Dr.Sp.KK  Dr.Sp.KK dan dan  Paramedik Sp.KK(K) Sp.KK(K)  Nonmedik  Paramedik Nonmedik  Nonmedik  Paramedik  Nonmedik  Paramedik  Paramedik  Nonmedik  Nonmedik  Nonmedik  Nonmedik 1. Melakukan 1. Melakukan anamnesis 1. Melakukan 1. Melakukan 1. Melakukan anamnesis 1. Melakukan : Melakukan 1. Melakukan pemeriksaan dan dan 2. Menjelaskan anamnesis anamnesis pemeriksaan 2. Menjelaskan anamnesis anamnesis tindaktindak medikmedik pemeriksaan 2. Menjelaskan Menjelaskan pemeriksaan 2. Menjelaskan 2. Menjelaskan dermatologik dan atau kesehatan pemeriksaan pemeriksaan dermatologik dan atau layanan layanan kesehatan pemeriksaan pemeriksaan kulit dan venereologik yang yang dermatologik dan dan dermatologik dan dan kulitkelamin dan kelamin venereologik dermatologik dermatologik tingkattingkat pratama akan dijalani pasienpasien atau venereologik atau venereologik pratama akan dijalani atau venereologik atau venereologik 2. Melakukan yang akan yang akan 2. Melakukan 3. Melakukan yang dijalani akan dijalani3. Melakukan yang dijalani akan dijalani penanganan lanjut lanjut pemeriksaan fisis fisis pasienpasien pasienpasien penanganan pemeriksaan pasienpasien dermatologik dan atau 3. Melakukan Melakukan terhadap dermatologik dan atau terhadap 3. Melakukan 3. Melakukan rujukanrujukan dari sarana venereologik pemeriksaan fisis fisis pemeriksaan fisis fisis dari sarana venereologik pemeriksaan pemeriksaan kesehatan di sediaan dermatologik dan dan 4. Membuat dermatologik dan dan kesehatan di 4. Membuat sediaan dermatologik dermatologik tingkattingkat pratama laboratorium atau venereologik atau venereologik pratama laboratorium atau venereologik atau venereologik 3. Melakukan sederhana: sediaan Membuat sediaan 3. Melakukan sederhana: 4. Membuat sediaan 4. Membuat sediaan 4. Membuat pemeriksaan dan dan a. Kerokan kulit kulit laboratorium laboratorium pemeriksaan a. Kerokan laboratorium laboratorium tindaktindak medikmedik kulit kulit untuk untuk sediaan sederhana: sederhana: sediaan sederhana: sederhana: dan kelamin mikologik a. Kerokan kulit kulit a. Kerokan kulit kulit dan kelamin mikologik a. Kerokan a. Kerokan spesialistik atau atau untuk untuk sediaan untuk untuk sediaan spesialistik sediaan sediaan b. Slit b. skin Slitsmear skin smear subspesialistik untuk untuk sediaan mikologik mikologik subspesialistik sediaan mikologik mikologik meliputi: kusta kusta b. Usap meliputi: b. duh Usaptubuh duh tubuh b. duh Usaptubuh duh tubuh b. Usap a. Pemeriksaan vagina, serviks, vagina, serviks, a. Pemeriksaan c. duh Usaptubuh duh tubuh vagina, serviks, vagina, serviks, c. Usap laboratorium vagina, serviks, uretra uretra untuk untuk uretra uretra untuk untuk laboratorium vagina, serviks, penunjang sediaan uretra uretra untuk untuk sediaan penunjang sediaan sediaan lain: lain: sediaan venereologik venereologik sediaan venereologik venereologik venereologik biopsi/histopat 5. Melakukan tindakan Melakukan tindakan venereologik biopsi/histopat 5. Melakukan tindakan 5. Melakukan tindakan ologik,ologik, biakan, d. Tindakan bedahbedah pengobatan, tindakan biakan, d. Tindakan pengobatan, pengobatan, tindakan pengobatan, serologik mayormayor filler, botox, serologik tindakan filler, botox, filler, botox, chemical filler, botox, chemical tindakan b. Tindakan uji kulit, peeling, tindakan b. Tindakan 5. Melakukan uji kulit, peeling, tindakan chemical peeling, chemical peeling, 5. Melakukan bedahbedah mayormayor yaitu uji tusuk, uji eksisi eksisi eksisi eksisi (bedah minor)minor) tindakan yaitu uji tusuk, uji tindakan (bedah c. Perawatan tempel, uji tempel(bedah(bedah minor)minor) Mampu melakukan c. Perawatan tempel, uji tempel6. Mampu melakukan pra/pasca sinar (photo-patch), uji 6. Mampu melakukan pertolongan pertama pra/pasca sinar (photo-patch), uji 6. Mampu melakukan pertolongan pertama

PE R

:

PPK 1PPK 1

DO

Tempat Tempat : pelayanan pelayanan

2

pada keadaan darurat penyakit kulit Mengadakan penyuluhan kesehatan kulit dan kelamin

7.

pertolongan pertama pada keadaan darurat penyakit kulit Mengadakan penyuluhan kesehatan kulit dan kelamin

6.

7.

8.

IV

Fasilitas ruang

/

:

   

Ruang periksa Ruang tunggu Kamar kecil Ruang tindakan

     

Alat

:

Peralatan diagnostik  Stetoskop dan tensimeter  Lampu periksa dengan kaca pembesar  Mikroskop cahaya  Lampu Wood Peralatan tindakan  Komedo ekstraktor  Set bedah minor  Perlengkapan alat dan obat untuk mengatasi syok anafilaktik  Perlengkapan cuci alat, sterilisasi, dan pembuangan sampah  Set tes IVA  Kursi Ginekologik

Ruang periksa Ruang Tunggu Kamar kecil Ruang tindakan/ruang bedah Laboratorium Rawat rawat inap

Peralatan diagnostik  Peralatan diagnostik pada PPK 1  Perlengkapan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan dermatologik dan venereologik Peralatan tindakan  Peralatan tindakan pada PPK 1

     

Ruang periksa Ruang Tunggu Kamar kecil Ruang tindakan/ruang bedah Laboratorium Rawat rawat inap

4.

5.

      

Peralatan diagnostik  Peralatan diagnostik pada PPK 1  Uji tusuk dan uji tempel Peralatan tindakan  Peralatan tindakan pada PPK 1  Set tindakan rejuvenasi  Elektrokauter  Set bedah krio  Kit uji tusuk dan uji tempel

DO

V

provokasi Melakukan tindakan pengobatan, tindakan filler, botox, chemical peeling, tindakan eksisi (bedah minor) Mampu melakukan pertolongan pertama pada keadaan darurat penyakit kulit Mengadakan penyuluhan kesehatan kulit dan kelamin

bedah Melakukan pemeriksaan dan tindak medik kulit dan kelamin sesuai dengan tersedianya tenaga ahli dan sarana yang ada Penyuluhan kesehatan kulit dan kelamin

SK I

7.

Ruang periksa Ruang Tunggu Kamar kecil Ruang tindakan/ruang bedah Ruang sinar UVB (bila mampu) Laboratorium Rawat rawat inap

Peralatan diagnostik  Peralatan diagnostik pada PPK 1 dan 2  Laboratorium histopatologik dan serologik  Mikroskop Lapang pandang gelap  Dermoskopi Peralatan tindakan  Peralatan tindakan pada PPK 1 dan 2  Set bedah laser  UVB cabin

PE R

Dikutip dari Standar Kewenangan Medik Berdasarkan Tingkat Pelayanan Kesehatan PERDOSKI tahun 2014

3

3

SK I DO

A

PE R

DERMATOLOGI NON-INFEKSI

4

Dermatologi Non-Infeksi

A.1. DERMATITIS NUMULARIS (L30.0) A.1. DERMATITIS NUMULARIS (L30.0) Definisi

: Dermatitis numularis (DN) ialah dermatitis dengan penyebab tidak diketahui, lesi berbentuk bulat seperti mata uang logam, berbatas tegas dengan efloresensi berupa papul atau papulovesikel yang bergabung, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing) dengan penyulit. Klasifikasi penyakit: Dermatitis numularis Dermatitis numularis dengan infeksi sekunder Dermatitis numularis yang meluas (generalisata) Varian: Dermatitis likenoid dan diskoid eksudatif (Sulzberger-Garbe)

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: : 

Riwayat perjalanan penyakit: didahului rasa gatal dengan papul eritematosa mirip insect bites, kemudian melebar sebesar koin (numular) atau seluas plakat, bagian tengah resolusi membentuk lesi anular, dapat setempat atau meluas (generalisata), sering kambuh (kronik-residif) Menyerang terutama orang dewasa (50-65 th), bayi dan anak-anak (jarang), pria lebih sering daripada wanita Predileksi ekstremitas bagian atas, tangan bagian dorsal (wanita); ekstremitas bawah (pria)

DO  



SK I

I.

Diagnosis banding

: Dermatitis kontak alergik Dermatitis stasis Dermatitis atopik Tinea korporis

PE R

Selalu harus disingkirkan Tinea korporis

Pemeriksaan penunjang Penatalaksanaan



III.

:

-

Tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus

: Nonmedikamentosa :  Cegah garukan dan jaga hidrasi kulit agar tidak kering.  Konsultasi: Bila ada stres konsul ke ahli psikologi atau psikiater Medikamentosa: Prinsip: mengurangi pruritus serta menekan inflamasi dan infeksi 1. Topikal: - Kortikosteroid potensi sedang sampai kuat bergantung pada stadium dan berat penyakit. - Inhibitor kalsineurin: takrolimus dan pimekrolimus - Preparat tar - Emolien untuk xerosis Dermatologi Non‐Infeksi |5

Dermatologi Non-Infeksi

5

SK I

- Bila akut dan eksudatif sebaiknya dikompres dulu dengan larutan NaCl 0,9%. - Bila ada infeksi sekunder oleh bakteri: antibiotik 2.Sistemik: - Antihistamin (bila pruritus hebat) - Kortikosteroid jangka pendek: untuk kasus berat dan luas - Antibiotik yang sesuai bila disertai infeksi sekunder Bila penyakit luas: Fototerapi broad/narrow band UVB Kepustakaan

: 1. Susan Burgin. Nummular Eczema. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012.h. 182-4. 2. Paller AS, Mancini AJ. Nummular dermatitis. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 59-60.

PE R

DO

IV.

6

Dermatologi Non-Infeksi

Dermatologi Non‐Infeksi |6

V. V. Bagan Alur Bagan Alur

Plak numular dengan erosi, ekskoriasi, eksudasi/transudasi

Infeksi sekunder oleh bakteri

Kompres

Plak numular Skuama, likenifikasi, xerosis kronik

Lesi membaik: - infeksi sekunder (-) - eksudasi (-)

-

PE R

Sembuh

Generalisata

Antihistamin

DO

Antibiotik sistemik/topikal

SK I

Dermatitis numularis

Fototerapi

kortikosteroid topikal potensi sedang – kuat preparat tar emolien inhibitor kalsineurin

Kambuh

Rekalsitrans Pikirkan faktor risiko Diagnosis alternatif

Dermatologi Non‐Infeksi |7

Dermatologi Non-Infeksi

7

A.2. DERMATITIS (L.22) A.2. DERMATITIS POPOKPOPOK (L.22) Definisi

: Dermatitis popok (napkin dermatitis, diaper dermatitis): adalah dermatitis di daerah genitokrural sesuai dengan tempat kontak popok (bagian yang cembung) dengan kelainan kulit ini dijumpai pada bayi dan orang dewasa yang memakai popok. Klasifikasi: ● Dermatitis popok iritan ● Dermatitis popok kandida

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :  Riwayat perjalanan penyakit: kontak lama dengan popok basah (urin/feses)  Tempat predileksi genitokrural sesuai dengan tempat kontak popok  Makula eritematosa, berbatas agak tegas, (bentuk mengikuti bentuk popok yang berkontak), disertai papul, vesikel, erosi, dan ekskoriasi.  Bila berat dapat menjadi infiltrat dan ulkus.  Bila terinfeksi jamur kandida tampak plak eritematosa (merah cerah), lebih membasah disertai maserasi, kadang pustul, dan lesi satelit.

DO



Diagnosis banding



Pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

: 1. Penyakit Leterrer-Siwe 2. Akrodermatitis enteropatika 3. Sebo-psoriasis : Tidak ada pemeriksaan khusus. Bila diduga terinfeksi jamur kandida, pemeriksaan KOH/Gram dari kerokan kulit. : Nonmedikamentosa: Edukasi cara menghindari penyebab dan menjaga higiene, serta cara penggunaan popok dan mengganti secepatnya bila basah (popok tradisional), mengganti popok sekali pakai bila kapasitasnya telah penuh. Dianjurkan pakai popok sekali pakai jenis highly absorbent.

PE R

III.

SK I

I.

Medikamentosa: Prinsip: menekan inflamasi dan mengatasi infeksi kandida 1.Topikal: - Bila ringan: krim/salap bersifat protektif (seng oksida, pantenol) - Kortikosteroid potensi lemah (salap hidrokortison 1% / 2,5%) waktu singkat (3 – 7 hari) - Bila terinfeksi kandida: antifungal kandida, yaitu nistatin atau derivat azol dikombinasi dengan seng oksida.

2.Sistemik: - Tidak perlu

8 IV.

Dermatologi Non-Infeksi Kepustakaan

Dermatologi Non‐Infeksi |8

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012. 2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL,

oksida. 2.Sistemik: - Tidak perlu : 1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012. 2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of Dermatology, 3rd ed. New York: Elsevier; 2012. p. 230-31. 3. Ravanfar P, Wallace JS, Pace NC. Diaper dermatitis: A review and update. Curr Opin Pediatr 2012; 24: 472-9.

Kepustakaan

SK I

IV.

V. Bagan Alur

DO

Riwayat pemakaian popok

Genitalia dan bokong (permukaan konveks) Makula eritematosa, lembab, skuama, erosi

PE R

Dermatitis popok iritan

Genitalia, bokong (lipatan) papul eritematosa, merah terang, lembab, plak eritematosa, lesi satelit

Krim bersifat protektif Steroid topikal potensi lemah

KOH/Gram: kandida(+)

Dermatitis popok kandida

A: air (udara)→popok dibuka saat tidur B: barrier ointment: (pasta seng oksida,petrolatum) C: cleansing dan antikandida (air biasa, minyak mineral) D: diapers ganti sesering mungkin E: edukasi orangtua dan pengasuh

Kombinasi antikandida topikal (nistatin / derivat azol) dengan seng oksida

Dermatologi Non‐Infeksi |9

Dermatologi Non-Infeksi

9

A.3. DERMATITIS SEBOROIK (L21.9) : Dermatitis seboroik (DS) ialah penyakit kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dengan predileksi di daerah seboroik dengan penyulit.

II. Kriteria diagnostik  Klinis

: : 

DO

Riwayat perjalanan penyakit: dapat dimulai pada masa bayi berusia 2 pekan, menyembuh sebelum usia 1 tahun. Kelainan umum berupa eritema dan papuloskuama membentuk plakat eritroskuamosa di tempat predileksi (daerah sebore), yaitu wajah terutama di alis dan nasolabial, skalp, retroaurikular, sternal terutama daerah V, interskapula, aksila, umbilikus dan genito-krural  Pada bayi dan anak: relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopik atau dianggap sebagai awal dermatitis atopik (sebo-atopik), skuama dan krusta lebih berminyak (oleosa). Di skalp krusta dapat menebal dan menyerupai topi (cradle cap). Bila meluas dapat menjadi eritroderma, dapat merupakan bagian dari sindrom Leiner bila disertai anemia, diare dan muntah, serta infeksi sekunder bakteri.  Pada dewasa: kelainan kulit lebih kering, tempat predileksi terutama daerah berambut atau kepala (pitiriasis sika/dandruff). Gatal terutama bila berkeringat atau udara panas.  DS yang berat: kronik residif, meluas sehingga menjadi eritroderma, atau bentuk psoriasiformis (skuama yang tebal)  Pada pasien defisiensi imun pertimbangkan kemungkinan pengidap virus HIV/AIDS : 1. Pada bayi: dermatitis atopik 2. Pada dewasa: psoriasis 3. Di lipatan: dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis Harus disingkirkan: Histiositosis sel Langerhans (pada bayi) : Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis

Diagnosis banding

PE R



SK I

I. Definisi



Pemeriksaan penunjang

III. Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa :  Hindari faktor pencetus dan faktor yang memperberat. Medikamentosa: ● Prinsip: Menghilangkan dan mengeluarkan skuama dan krusta, menghambat kolonisasi jamur, mengontrol infeksi sekunder, mengurangi eritema dan gatal. 

Topikal: Bayi: Skalp: untuk mengangkat krusta: asam salisilat 3% dalam D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 10

10

Dermatologi Non-Infeksi

SK I

minyak olive/kelapa atau vehikulum yang larut dalam air; kompres minyak olive/kelapa hangat; aplikasi steroid potensi lemah (hidrokortison 1%) krim atau lotion selama beberapa hari; sampo imidazol, krim/ losio ketokonazol 2%, sampo ketokonazol 1%; sampo bayi; perawatan kulit umum dengan emolien, krim, atau pasta lunak.

Daerah intertriginosa: kliokuinol 0,2 – 0,5% dalam lotion atau minyak zink. Untuk kandidiasis, krim nistatin diikuti pasta lunak. Dermatitis basah: aplikasi gentian violet, 0,1 – 0,25% atau ketokonazol 2% krim, lotion atau pasta lunak.

DO

Dewasa: Skalp: Sampo selenium sulfida 1,0 – 2,5%, imidazol (ketokonazol 2%), zinc pyrithione, benzoil peroksida, asam salisilat, tar. Krusta atau skuama: aplikasi semalaman glukokortikosteroid atau asam salisilat dalam vehikulum yang larut dalam air, atau secara oklusif.



Wajah dan badan Hidrokortison 1% salap atau krim



Otitis eksterna seboroik: Glukokortikosteroid potensi lemah krim atau salap. Untuk pemeliharaan: solusio aluminium asetat 1 atau 2 kali sehari. Pimekrolimus topikal juga efektif. Blefaritis seboroik: Kompres hangat, debridemen halus dengan aplikator berujung kapas, dan sampo bayi satu atau beberapa kali sehari. Antibiotik topikal berupa natrium sulfacetamide ophthalmic ointment. Untuk penggunaan preparat mata yang mengandung glukokortikosteroid dikonsulkan ke spesialis mata. Jika Demodex folliculorum ditemukan dalam jumlah banyak, dapat digunakan krotamiton, permetrin, benzil benzoat. Dermatitis seboroik berat atau eritroderma: Kortikosteroid sistemik

PE R





Pilihan terapi:  Antijamur: Topikal: imidazol. (ketokonazol 2%, itrakonazol, mikonazol, flukonazol, ekonazol, bifonazol, klimbazol, siklopiroks, siklopiroksolamin, butenafin 1% krim. Oral: ketokonazol, itrakonazol, terbinafin. Metronidazol: D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 11

Dermatologi Non-Infeksi

11

  



SK I



Topikal: metronidazol 1-2% (gel, krim), 0,75% (lotion), 1 atau 2 kali/hari Inhibitor kalsineurin: Salap takrolimus atau krim pimekrolimus Analog vitamin D3: Kalsipotriol (krim, lotion, salap), takalsitol salap Isotretinoin: Isotretinoin oral 0,05 – 0,10 mg/kg BB/hari selama beberapa bulan.untuk yang berat / rekalsitran Fototerapi Narrow-band UVB Psoralen dan UVA untuk yang luas (eritroderma) dan rekalsitran Konsultasi: Bila ada stres ke psikolog atau psikiater. Bila ada kelainan sistemik ke dokter spesialis anak atau penyakit dalam.

: 1. Collins CD, Hivnor C. Seborrheic dermatitis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. : Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill; 2012.h.259-66. 2. Paller AS, Mancini AJ. Seborrheic dermatitis. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 56-57. 3. Reider N, Fritsch PO. Seborrheic dermatitis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology, 3rd ed. New York: Elsevier; 2012. p. 219-21.

PE R

IV. Kepustakaan

DO

Tindak lanjut: Bila menjadi eritroderma atau bagian dari penyakit Leiner: perlu dirawat untuk pemantauan penggunaan antibiotik dan kortikosteroid sistemik jangka panjang. Bila ada kecurigaan penyakit Leterrer–Siwe perlu kerjasama dengan dokter spesialis anak

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 12

12

Dermatologi Non-Infeksi

V. Bagan Alur

Riwayat bintik dan bercak kemerahan bersisik di daerah Riwayat bintik dansebore bercak kemerahan bersisik di daerah sebore

SK I

Gambaran klinis Papul-plak eritroskuamosa, krusta

Bayi

Skalp  Selenium sulfid 1-2,5 %  Ketokonazol 2 % sampo  Sampo seng pyrition  Benzoil peroksida  Asam salisilat  Coal tar

Intertriginosa  Minyak seng  Kliokuinol lotion/minyak 0,2-0,5 %  Candida: Nystatin

Wajah & badan  Krim kortikosteroid potensi lemah (hidrokortison 1%)

DO

Skalp  Krim hidrokortison 1%  Sampo ringan untuk bayi  Sampo anti jamur  Emolien  Asam salisilat 3% dalam minyak olive/ kelapa

Dewasa

Kanalis otikus eksterna  Krim kortikosteroid potensi lemah  Krim pimekrolimus untuk maintenance  Aluminium asetat solution 1-2 x/hari

PE R

Seluruh tubuh (eritroderma) Sistemik:  Kortikosteroid  Antibiotik Topikal:  Kortikosteroid potensi lemah  Emolien

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 13

Dermatologi Non-Infeksi

13

A.4. LIKEN SIMPLEKS KRONIK (L28.0) Definisi

: Liken simpleks kronikus (neurodermatitis sirkumskripta) merupakan peradangan kulit kronik, sirkumskrip, sangat gatal, ditandai kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol akibat garukan atau gosokan berulang.

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :   

    





Diagnosis banding

:

1. Dermatitis atopik likenifikasi 2. Psoriasis likenifikasi 3. Liken planus hipertrofik Selalu disingkirkan: 1. Liken sklerosus, infeksi human papiloma virus (HPV), tinea kruris (vulva,perianal) 3. Infeksi HPV, tinea kruris (skrotum)



Pemeriksaan penunjang

:

Histopatologik.

Penatalaksanaan

:  

PE R

III.





     

14

Terutama menyerang dewasa, usia 30 – 50 tahun Perempuan lebih banyak daripada laki-laki Sangat gatal, sampai dapat mengganggu tidur, terutama pada waktu tidak sibuk. Gatal dapat paroksismal, terusmenerus, sporadik, menghebat bila ada stres psikis. Garukan secara sadar merupakan cara untuk menggantikan rasa gatal dengan nyeri. Lesi biasanya tunggal tetapi dapat lebih dari satu Ukuran lesi lentikular sampai plakat Bentuk umumnya lonjong Letak lesi dapat dimana saja, terutama mudah dijangkau oleh tangan (skalp, tengkuk leher, ekstremitas ekstensor, pergelangan tangan dan anogenital) Stadium awal berupa eritema dan edema atau kelompokan papul Stadium lanjut berupa kulit menebal dengan ekskoriasi, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Karena garukan berulang, bagian tengah menebal, kering dan berskuama serta pinggirnya hiperpigmentasi

DO



SK I

I.

Dermatologi Non-Infeksi

Ditujukan untuk menghambat siklus gatal-garuk Kelainan sistemik yang menyebabkan gatal harus disingkirkan terlebih dahulu Steroid topikal, biasanya potensi kuat, bila perlu diberi penutup impermeable, dapat dikombinasi dengan preparat tar/emolien Preparat antipruritus nonsteroid yaitu: mentol, fenol dan pramoxine KS intralesi (triamsinolon asetonid) Topikal takrolimus Antihistamin sedatif (hidroksizin) Inhibitor reuptake serotonin selektif Antidepresan trisiklik (doksepin) malam hari Konsultasi psikiater bila diperlukan

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 14

1.

Kepustakaan

2. 3.

V. Bagan Alur

Susan Burgin. Nummular Eczema. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012. 184-7 Paller AS, Mancini AJ. Lichen simplex chronicus. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 55-56. Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Cropley TG. Lichen simplex chronicus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology, 3rd ed. New York: Elsevier; 2012. p. 115-16.

SK I

IV.

DO

Gatal, riwayat bercak dan bintik-bintik (skalp/leher (tengkuk)/ ekstremitas (ekstensor) pergelangan tangan/anogenital Papul-papul eritematosa, makula, edema

Antihistamin sedatif/nonsedatif Steroid topikal potensi sesuai derajat inflamasi

Sembuh

Kambuh/kumat-kumatan

PE R

Stres psikis



Antidepresan trisiklik (doksepin) malam hari



Konsultasi psikiater bila diperlukan

Kulit menebal, hiperpigmentasi, skuama



Steroid topikal, biasanya potensi kuat, bila perlu diberi penutup impermeable, dapat dikombinasi dengan preparat tar/emolien



KS intralesi (triamsinolon asetonid)



Antihistamin sedatif (hidroksizin)

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 15

Dermatologi Non-Infeksi

15

A.5. MILIARIA (L74.3) Definisi

: Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat, ditandai dengan vesikel miliar disertai penyulit, tersebar di tempat predileksi, dapat mengenai bayi, anak, dan dewasa. Klasifikasi (berdasarkan gambaran klinis dan histopatologi):  Miliaria kristalina (sudamina)  Miliaria rubra (prickly heat)  Miliaria pustulosa  Miliaria profunda

II.

Kriteria diagnostic  Klinis

: : 

  

Diagnosis banding

: 1. 2. 3. 4.

PE R





III.

16

Riwayat hiperhidrosis, berada di lingkungan panas dan lembab, bayi yang dirawat dalam inkubator Miliaria kristalina: terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm) subkorneal, tanpa tanda inflamasi, mudah pecah dengan garukan, dan deskuamasi dalam beberapa hari. Miliaria rubra: jenis tersering, vesikel miliar atau papulovesikel di atas dasar eritematosa sekitar lubang keringat, tersebar diskret Miliaria pustulosa. berasal dari miliaria rubra dimana vesikelnya berubah menjadi pustul Miliaria profunda: merupakan kelanjutan miliaria rubra, berbentuk papul, mirip folikulitis, dapat disertai pustul

DO



SK I

I.

Pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

Campak (morbili) Erupsi obat morbiliformis Eritema toksikum neonatorum Folikulitis

: Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis Histopatologi: menunjukkan obstruksi kelenjar keringat parakeratotik sesuai dengan masing-masing tipe miliaria.  Miliaria kristalina: di stratum korneum  Miliaria rubra/pustulosa: stratum spinosum/midepidermis  Miliaria profunda: di dermo-epidermal junction. : Nonmedikamentosa: Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup. Mandi air dingin dan memakai sabun. Pakai pakaian tipis dan menyerap keringat.

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 16

SK I

Medikamentosa: Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi, membuka retensi keringat 1. Topikal: - Liquor Faberi - Bedak kocok mengandung kalamin, dapat ditambahkan antipruritus (mentol, kamfer) - Lanolin topikal menghilangkan dan mencegah timbulnya miliaria profunda 2. Sistemik: - Antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada bayi dan anak) atau nonsedatif Tindak lanjut: Pada umumnya tidak perlu, kecuali mencurigai erupsi morbiliformis akibat alergi obat. Kepustakaan

: 1. Fealey RD, Hebert AA. Disorders of the eccrine sweat glands and sweating. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th. New York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 946. 2. Goddard DS, Gilliam AE, Frieden IJ. Vesicobullous and erosive diseases in newborn. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier; 2013. p. 528-9. 3. Paller AS, Mancini AJ. Cutaneous disorders of newborn. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 15. 4. Coulson IH. Disorders of sweat glands. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p.44.15-6.

PE R

DO

IV.

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 17

Dermatologi Non-Infeksi

17

V.

Bagan Alur

Miliaria kristalina (vesikel miliar, tanpa radang, mudah pecah)

SK I

Miliaria

Miliaria rubra (vesikel/papulovesikel di atas dasar eritematosa

Miliaria pustulosa (vesikel menjadi pustul)

Miliaria profunda (papul, mirip folikulitis, dapat pustul;

Nonmedikamentosa : Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup. Mandi air dingin dan memakai sabun. Pakai pakaian tipis dan menyerap keringat.

PE R

DO

Medikamentosa: 1. Topikal: - Liquor Faberi - Bedak kocok mengandung kalamin, dapat ditambah antipruritus (mentol, kamfer) - Lanolin topikal menghilangkan dan mencegah timbul miliaria profunda 2. Sistemik: - Antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada bayi dan anak) atau nonsedatif 3. Untuk kasus miliaria rubra dengan superinfeksi: antibiotik

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 18

18

Dermatologi Non-Infeksi

A.6. PITIRIASIS ALBA (L30.5) Definisi

: Pitiriasis alba adalah dermatitis tidak spesifik, sering dijumpai pada anak dan remaja, terutama mengenai daerah wajah dan leher. Etiologi dan patogenesisnya diduga berhubungan langsung dengan atopi, jumlah pajanan sinar matahari, dan tidak memakai tabir surya. Kadar tembaga yang rendah dalam serum, sebagai kofaktor tirosin, penting dalam patogenesis penyakit ini.

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :  Didahului plak eritematosa ringan dengan tepi sedikit meninggi, yang memudar setelah beberapa pekan menjadi makula/plak berwarna merah muda/pucat dengan skuama putih halus di atasnya (powdery white scale). Lesi kemudian berkembang menjadi makula/ patch hipopigmentasi tanpa skuama yang menetap sampai beberapa bulan atau tahun.  Tempat predileksi: wajah, lengan sisi ekstensor, punggung, badan.  Plak hipopigmentasi atau sewarna kulit dengan skuama halus, bentuk bulat-oval tak beraturan, batas agak tegas, ukuran lentikular, numular sampai plakat.  Pitiriasis alba pigmented merupakan varian dari yang klasik dengan infeksi dermatofit superfisial, hampir selalu mengenai wajah. Secara klinis ditandai oleh hiperpigmentasi yang dikelilingi daerah hipopigmentasi berskuama. : 1. Hipopigmentasi pasca inflamasi 2. Pitiriasis versikolor 3. Nevus depigmentosus, nevus anemikus 4. Vitiligo 5. Mikosis fungoides :  Tidak ada yang khusus, kecuali ada keraguan  Bila sangat diperlukan, dilakukan biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologi (pada pitiriasis alba gambaran dermatopatologi tidak spesifik).

DO

Diagnosis banding

PE R



SK I

I.



III.

Pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: Terapi suportif, yaitu menghindari/mengurangi pajanan sinar matahari, pemakaian tabir surya, mengurangi suhu air mandi Medikamentosa: Pitiriasis alba adalah penyakit yang swasirna Steroid topikal dan emolien sangat membantu Tretinoin topikal dapat digunakan namun bersifat iritasi Pitiriasis alba yang luas dan yang berpigmen D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 19

Dermatologi Non-Infeksi

19

memberi respons lebih baik terhadap terapi UV dan antijamur oral. Kepustakaan

: 1. Ruiz-Maldonado R. Hypomelanotic conditions of the newborn and infant. Dermatol Clin 2007; 25: 373-82. 2. Lin RL, Janniger CK. Pityriasis alba. Cutis 2005; 76: 214. 3. Lapeere H, Boone B, De Schepper S, et al. Hypomelanoses and hypermelanoses. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke8. Editor: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Mc Grew Hill: New York, 2012 p. 807-8.

PE R

DO

SK I

IV.

20

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 20

A.7. PITIRIASIS ROSEA (L.42) Definisi

: Pitiriasis rosea adalah erupsi kulit yang akut dan sering dijumpai, bersifat hilang sendiri, secara khas dimulai sebagai plak oval dengan skuama halus pada badan (“herald patch”) disertai penyulit. Lesi awal ini diikuti beberapa hari sampai beberapa pekan kemudian oleh lesi-lesi serupa yang lebih kecil di badan yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit (lines of cleavage). Berhubungan dengan reaktivasi virus HHV 7 dan HHV6 Biasa asimptomatik, kadang flu-like symptoms

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: : 

SK I

I.

DO

Dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch) pada 50-90% kasus. Lesi ini berbatas tegas, diameter 2-4 cm, bentuk oval atau bulat, berwarna salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi (terutama pada pasien dengan kulit gelap); dengan skuama halus di bagian dalam tepi perifer plak. Lesi primer ini biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang di leher atau ekstremitas proksimal. Jarang di wajah atau penis. Timbulnya lesi sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan setelah lesi awal, tetapi umumnya dalam 2 pekan setelah plak primer. Erupsi simetris terutama pada badan, leher dan ekstremitas proksimal. Terdapat 2 tipe utama lesi sekunder: (1) plak kecil menyerupai plak primer tetapi berukuran lebih kecil, sejajar dengan aksis panjang lines of cleavage dengan distribusi seperti pola pohon cemara dan (2) papul kecil, kemerahan, biasanya tanpa skuama, yang secara bertahap bertambah jumlahnya dan menyebar ke perifer. Kedua tipe lesi ini dapat terjadi bersamaan. Morfologi lesi sekunder dapat tidak khas, dapat berupa makula tanpa skuama, papul folikuler, plak menyerupai psoriasis, maupun plak tidak khas. Daerah palmar dan plantar dapat terkena dengan gambaran klinis menyerupai erupsi eksematosa. Pitiriasis rosea tipe vesikular jarang dijumpai, biasanya pada anak dan dewasa muda. Dapat pula dijumpai varian pitiriasis rosea bentuk urtikaria, pustular, purpurik,atau menyerupai eritema multiformis.

PE R





Diagnosis banding



: Pitiriasis rosea tipe papular tanpa plak primer menyerupai sifilis sekunder Pitiriasis rosea yang hanya berupa plak primer atau bila letaknya di daerah inguinal dapat menyerupai tinea korporis. D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 21

Dermatologi Non-Infeksi

21

III.

Pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

: Tidak diperlukan :   

Kepustakaan

V.

Bagan Alur

: 1. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th. New York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 458-63. 2. Wood GS, Reizner GT. Other papulosquamous disorders. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier; 2013. p. 1657. 3. Paller AS, Mancini AJ. Papulosquamous and related disorders. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 86-7. 4. Sterling JC. Virus infections. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p.33.78-81.

DO

IV.

Pitiriasis rosea adalah penyakit yang hilang sendiri, tidak diperlukan terapi bila tanpa komplikasi. Kortikosteroid topikal potensi sedang dapat digunakan sebagai terapi simtomatik untuk pruritus. Fototerapi efektif pada pitiriasis rosea, namun dapat terjadi hiperpigmentasi pasca inflamasi.

SK I



PE R

 Lesi awal berupa plak oval dengan skuama halus pada badan (“herald patch”)  Diikuti lesi serupa lebih kecil di badan yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit (lines of cleavage)  Asimptomatik, kadang flu-like symptoms

Pitiriasis rosea

  

22

Tanpa terapi dapat hilang sendiri Kortikosteroid topikal potensi sedang Fototerapi

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 22

A.8. PRURIGO AKTINIK (L57.0) Definisi

: Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari. Kelainan ini persisten dan jarang.

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :     

IV.

V.

Gambaran klinis: papul atau nodul disertai ekskoriasi dan krusta dapat soliter atau berkelompok, gatal Tempat predileksi: area terpajan sinar matahari seperti dahi, pipi, dagu, telinga, dan lengan Rasio perempuan:lelaki adalah 2:1 Awitan pada anak terutama usia 10 tahun Riwayat penyakit prurigo aktinik dalam keluarga



Diagnosis banding

: Polymorphic light eruption, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, insect bites, prurigo nodularis



Pemeriksaan penunjang

: 

Histopatologi: akantosis, spongiosis, eksositosis di epidermis disertai infiltrat limfohistiositik Cutaneous phototesting

DO



Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: Menghindari pajanan sinar matahari

PE R

III.

SK I

I.

Kepustakaan

Bagan Alur

Medikamentosa: Prinsip: fotoproteksi 1. Topikal: - Tabir surya - Kortikosteroid potensi kuat untuk mengatasi inflamasi dan gatal - Fototerapi NB-UVB atau PUVA - Takrolimus atau pimekrolimus 2. Sistemik: - Imunosupresif seperti azatioprin dan siklosporin

: 1. Vandergriff TW, Bergstresser PR. Abnormal responses to ultraviolet radiation: idiopathic, probably immunologic, and photoexacerbated. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th. New York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 1053-5. 2. Lim HW, Hawk JL. Phorodermatologic disorders. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier; 2013. p. 1470-1. 3. Paller AS, Mancini AJ. Photosensitivity and photoreactions. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 440-1 4. Hawk JL, Young AR, Fergusson J. Cutaneous photobiology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed.

United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p. 29.13-5 D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 23

Dermatologi Non-Infeksi

 Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari  Biasa pada anak usia 10 tahun

23

United Kingdom: Willey Blackwell; 2010. p. 29.13-5

V.

Bagan Alur

SK I

 Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari  Biasa pada anak usia 10 tahun

Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (+)

Tidak

Persisten

Penyakit lain

Ya

Prurigo aktinik

PE R

DO

Prinsip: Fotoproteksi 1. Topikal: - Tabir surya - Kortikosteroid potensi kuat - Fototerapi NB-UVB atau PUVA - Takrolimus atau pimekrolimus 2. Sistemik: - Talidomid 50-100 mg/hari - Imunosupresif seperti azatioprin dan siklosporin

24

Dermatologi Non-Infeksi

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 24

A.9. PRURIGO NODULARIS (L28.1) Definisi

: Kelainan kronik ditandai nodul hiperkeratotik dan gatal akibat tusukan dan garukan berulang.

II.

Kriteria diagnostic  Klinis

: :     

Lesi berupa nodul diameter 0,5-3 cm, permukaan hiperkeratotik Sangat gatal Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum Dapat terjadi pada semua usia, terutama 20-60 tahun Berhubungan dengan dermatitis atopik



Diagnosis banding

: Perforating disease, liken planus hipertrofik, pemfigoid nodularis, prurigo aktinik, keratoakantoma multipel



Pemeriksaan penunjang

: 

Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, hati dan tiroid untuk mengetahui kelainan penyebab gatal Rontgen thorak Tes HIV Histopatologi: serupa dengan LSK

DO   

Penatalaksanaan

: Prinsip: menghambat siklus gatal-garuk 1.Topikal: - Kortikosteroid poten - Antipruritus nonsteroid seperti mentol dan fenol - Emolien - Takrolimus 2.Sistemik: - Antihistamin sedatif atau antidepresan trisiklik - Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) - Kalsipotrien 3. Intervensi - Triamsinolon asetonid intralesi

PE R

III.

SK I

I.

IV.

Kepustakaan

: 1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th. New York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 184-7. 2. Weisshar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Croplay TG. Pruritus and dysesthesia. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier; 2013. p. 114-5

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 25

Dermatologi Non-Infeksi

25

 

V.

Bagan Alur

SK I

 Nodul hiperkeratotik, gatal  Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum

 Riwayat tusukan dan garukan berulang  Riwayat dermatitis atopik

Prurigo nodularis

PE R

DO

Prinsip: mencegah siklus gatal-garuk 1.Topikal: - Kortikosteroid poten - Antipruritus nonsteroid seperti mentol  dan fenol - Emolien - Triamsinolon asetonid intralesi - Takrolimus 2.Sistemik: - Antihistamin sedatif atau antidepresan trisiklik - Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) - Kalsipotrien - Talidomid - Siklosporin 3. Bedah beku 4. BB-UVB, PUVA, fototerapi UVA1

26

Dermatologi Non-Infeksi

A.10. PRURITIC URTICARIA PAPULE AND PLAQUE IN PREGNANCY (O26.8) Definisi

: Dermatosis pruritus yang terjadi paling sering pada primigravida pada kehamilan lanjut.

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :     



Diagnosis banding

:  



Terjadi pada primigravida selama kehamilan lanjut; namun dapat terjadi lebih cepat. Polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria, vesikular, purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa. Lesi ukuran 1-2 mm plak urtikaria eritematosa dikelilingi halo pucat yang sempit. Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik dalam striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal. Pruritus biasanya pararel dengan erupsi dan terlokalisasi pada kulit yang terlibat Paling sering: pemfigoid gestasionis, atopic eruption of pregnancy, dermatitis kontak Pikirkan: erupsi obat, viral eksantem, pitiriasis rosea, dermatitis eksvoliativa atau ekzematosa Singkirkan: skabies

DO



SK I

I.

Pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan abnormalitas  Pemeriksaan histopatologik meliputi parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang eksositosis eosinofil : Medikamentosa : Pruritus kadang-kadang sangat mengganggu. Terapi pruritus secara simtomatis.

: 1. Karen JK, Pomeranz MK. Skin changes and diseases in pregnancy. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. editor. Mc Grew Hill: New York, 2012 p. 1204-12 2. Shornick KJ. Dermatosis in pregnancy. Dalam: Dermatology. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editor. Mosby: London. 2008 p. 398-9. 3. Geraghty LN, Pomeranz MK. Physiologic changes and dermatoses of pregnancy. Int J Dermatol 2011; 50: 77182 4. Bremmer M. The skin disorders of pregnancy: A family physician’s guide. JFP 2010 Feb; 59(2): 89-96

PE R

III.

: 

D e r m a t o l o g i N o n ‐ I n f e k s i | 27

Dermatologi Non-Infeksi

27

BAGAN ALUR

SK I

Primigravida selama kehamilan lanjut. Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik dalam striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal. Pruritus biasanya pararel dengan erupsi dan terlokalisasi pada kulit yang terlibat. Polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria, vesikular, purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa. Lesi ukuran 1-2 mm plak urtikaria eritematosa dikelilingi halo pucat yang sempit.

DO

Erupsi dimulai dari abdomen, secara klasik dalam striae gravidarum, dan jarang pada periumbilikal. Pruritus biasanya pararel dengan erupsi dan terlokalisasi pada kulit yang terlibat.

pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan abnormalitas, pemeriksaan histopatologik meliputi parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang eksositosis eosinofil.

PE R

PRURITIC URTICARIA PAPUL AND PLAQUE IN PREGNANCY

D e r m a t o l o g i   N o n ‐ I n f e k s i | 28

28

Dermatologi Non-Infeksi

SK I DO

B

PE R

DERMATOLOGI INFEKSI

Dermatologi Infeksi

29

B.1. Creeping Eruption (Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans) (B76.9)

Kriteria diagnostik

:

: Sumber penularan adalah kontak dengan feses hewan yang terinfeksi. Larva akan penetrasi kulit manusia dan bermigrasi beberapa sentimeter per hari pada lapisan antara stratum germinativum dan stratum corneum. Kebanyakan dari larva tersebut tidak dapat menembus lapisan yang lebih dalam dan akhirnya mati dalam hitungan hari atau bulan. Lesi kulit tipikal muncul 1-5 hari setelah paparan berupa plak eritematosa, vesikular, atau linear, serpiginosa. Lebar lesi kira-kira 3mm, panjang 15-20cm. Lesi tunggal atau multipel, terasa gatal bahkan nyeri. Tempat predileksi adalah kaki dan bokong. Karena infeksi ini memicu reaksi inflamasi eosinofilik, pada beberapa pasien dapat disertai dengan wheezing, urtkaria, dan batuk kering.



Klinis



Diagnosis banding

: 

-



Pemeriksaan penunjang

: 

Biopsi kulit jika diperlukan

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: 1. Pada tempat yang endemik, disarankan pasien memakai pelindung berupa sepatu atau sandal 2. Pasien disarankan tidak duduk langsung di atas pasir ataupun yang hanya dialasi handuk. Sebaiknya gunakan matras atau kursi. Medikamentosa: Penyakit ini sebenarnya self-limiting dan sembuh sendiri setelah 1-3 bulan. Obat-obatan diperlukan karena rasa gatal yang lama dan berat yang jika digaruk ditakutkan menjadi superinfeksi.  Sistemik : 1. Albendazole 800mg selama 3 hari, jika terdapat gangguan gastrointestinal dosis dapat diturunkan menjadi 400mg selama 5 hari , atau 2. Ivermektin 200 µg/kg selama 1-2 hari  Topikal : 1. Albendazole 10% dioleskan 3 kali sehari selama 7-10 hari

PE R

III

: Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang yang seharusnya hidup pada hewan, contohnya A.braziliense, A. caninum, Uncinaria stenocephala, Bunostomum phlebotomum.

SK I

II

Definisi

DO

I

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 30

30

Dermatologi Infeksi

Kepustakaan

V

Alur

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2544-2560 2. Dwight D. Bowman, Susan P. Montgomery, Anne M. Zajac, Mark L. Eberhard, Kevin R. Kazacos. Hookworms of dogs and cats as Agents of Cutaneous Larva Migrans.Trends in Parasitology, 26 (2010),pp162-167 3. Cord Sunderkötter, Esther von Stebut, Helmut Schöfer, Martin Mempel, et al. S1 guideline diagnosis and therapy of cutaneous larva migrans (creeping disease). Journal der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft, 12(2014),pp 86-91

SK I

IV

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek Creeping eruption

DO

Tidak

Creeping eruption

Medikamentosa  Albendazole  Ivermektin

PE R

Diagnosis banding lainnya

Ya

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 31

Dermatologi Infeksi

31

B.2. DERMATOFITOSIS (B35)

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: Merupakan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp.dan Microsporum sp). Terminologi “tinea” atau ringworm secara tepat menggambarkan dermato-mikosis, dan dibedakan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Klasifikasi menurut lokasi:  Tinea kapitis (ICD 10 : B35.0)  Tinea korporis (ICD 10 : B35.4)  Tinea kruris (ICD 10 : B35.6)  Tinea pedís (ICD 10 : B35.3)  Tinea manum (ICD 10 : B35.2)  Tinea unguium (ICD 10 : B35.1)  Tinea Imbrikata (ICD 10 : B35.5) : : Tinea kapitis Bergantung pada etiologinya. o Noninflammatory, human, atau epidemic type (“grey patch”) Inflamasi minimal, rambut pada daerah terkena berubah warna menjadi abu-abu dan tidak berkilat, mudah patah di atas permukaan skalp. Lesi tampak berskuama, hiperkeratosis, batas tegas karena rambut yang patah. Berfluoresensi dengan lampu Wood. o Inflammatory type, kerion Biasa disebabkan oleh patogen zoofilik atau geofilik. Spektrum inflamasi berkisar mulai dari folikulitis pustular sampai kerion. Sering terjadi alopesia sikatrisial. Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri, limfadenopati servikal posterior, demam, dan lesi lain pada kulit glabrosa. Fluoresensi lampu Wood dapat positif. o “Black dot” Disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik. Rambut mudah patah pada permukaan skalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada daerah alopesia (black dot). Kadang masih terdapat sisa rambut normal di antara alopesia. Dapat bervariasi, hanya skuama difus dengan sedikit rambut rontok. Tinea korporis Mengenai kulit tidak berambut, keluhan gatal terutama bila berkeringat, dan secara klinis tampak: lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfi yang

SK I

Definisi

PE R

DO

I

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 32

32

Dermatologi Infeksi

PE R

DO

SK I

terdiri atas eritema, skuama dan kadang papul dan vesikel di tepi, normal di tengah (central clearing). Tinea kruris Lesi serupa tinea korporis, terletak di daerah inguinal, dapat meluas ke suprapubis, perineum, perianal dan bokong. Area genital dan skrotum dapat terkena pada pasien tertentu Sering disertai gatal dengan maserasi atau infeksi sekunder. Tinea pedis  Tipe interdigital (chronic intertriginous type) Bentuk klinis paling banyak. Dimulai dengan skuamasi, erosi dan eritema pada daerah interdigital dan subdigital kaki, terutama pada tiga jari lateral Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar ke telapak kaki yang berdekatan dan bagian kura-kura kaki. Jarang mengenai dorsum kaki. Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri segera menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatofitosis kompleks atau athlete’s foot).  Tipe hiperkeratotik kronik Klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, pada kulit yang tebal (telapak kaki, aspek lateral dan medial kaki), dikenal sebagai “moccasin-type.” Dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter kurang dari 2 mm. Tinea manum unilateral umumnya terjadi berhubungan dengan tinea pedis hiperkeratotik sehingga terjadi “two feet-one hand syndrome”.  Tipe vesikobulosa Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dari 3 mm, vesikopustul, atau bula pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar. Jarang dilaporkan pada anak-anak.  Tipe ulseratif akut Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif menyebabkan vesikopustul dan daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis, limfadenopati, dan demam. Tinea manum Biasanya unilateral, terdapat 2 bentuk:  Dishidrotik: lesi segmental atau anular berupa vesikel dengan skuama di tepi pada telapak tangan, jari tangan, dan tepi lateral tangan.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 33

Dermatologi Infeksi

33

Hiperkeratotik: vesikel mengering dan membentuk lesi sirkular atau iregular, eritematosa, dengan skuama. Lesi kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur.

SK I



Tinea unguium Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur nondermatofita, atau ragi (yeasts). Dapat mengenai kuku tangan maupun kuku kaki, dengan bentuk klinis: 1. Onikomikosis subungual proksimal (OSP) 1. Onikomikosis subungual distal lateral (OSDL) 2. Onikomikosis superfisial putih (OSP) 3. Onikomikosis endoniks (OE) 4. Onikomikosis distrofik totalis (ODT)

DO

Klinis dapat ditemui distrofi, hiperkeratosis, onikolisis, debris subungual, perubahan warna kuku, dengan lokasi sesuai bentuk klinis.

Tinea Imbrikata Penyakit ditandai dengan lapisan stratum korneum terlepas dengan bagian bebasnya menghadap sentrum lesi. Terbentuk lingkaran konsentris tersusun seperti susunan genting. Bila kronis, peradangan sangat ringan dan asimtomatik. Rambut tidak pernah terkena.

Diagnosis banding

PE R



: a. Tinea kapitis Dermatitis seboroik, pitiriasis sika, psoriasis, dermatitis atopik, liken simpleks kronik, alopesia areata, trikotilomania. b. Tinea pedis dan manum Dermatitis kontak, psoriasis, sifilis sekunder, keratoderma, skabies, pompoliks (eksema dishidrotik) c. Tinea korporis Psoriasis, pitiriasis rosea, Morbus Hansen PB/ MB, eritema anulare centrifugum, tinea imbrikata d. Tinea kruris Eritrasma, kandidosis, dermatitis intertriginosa, dermatitis seboroik e. Tinea unguium Kandidosis kuku, onikomikosis dengan penyebab lain, onikolisis, 20-nail dystrophy (trachyonychia), brittle nail, dermatitis kronis f. Tinea imbrikata Tinea korporis D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 34

34

Dermatologi Infeksi



Penatalaksanaan

: Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic) : pada suhu 28o C selama 1–4 pekan. (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan kecuali pada tinea unguium). Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali M.gypsium). Medikamentosa a. Topikal: - Obat pilihan: Golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1 – 2 pekan - Alternatif :  Golongan azol : misal, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol  Siklopiroksolamin  Asam undesilinat  Tolnaftat 2 kali sehari selama 2 – 4 pekan b. Sistemik: Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi 1. Griseofulvin oral 10 – 25 mg/kgBB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, atau itrakonazol 2 x 100 mg/hari. 2. Terbinafin oral 1 x 250 mg/hari hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif Catatan: o Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis o Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol.

SK I

Pemeriksaan penunjang

PE R

DO

III



D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 35

Dermatologi Infeksi

35

SK I

: Pengobatan khusus untuk: Tinea kapitis:  Sistemik: Obat pilihan untuk spesies microsporum: Griseofulvin fine particle/ microsize, 20 – 25 mg/kgBB/hari, 6-8 pekan Alternatif: Itrakonazol 3-5 mg/hari, 4-6 pekan Terbinafin 62,5-250 mg/hari (bergantung berat badan) selama 2-4 pekan Obat pilihan untuk spesies Trikopiton : Terbinafin : 62,5-250mg/hari Alternatif : Griseofulvin atau flukonazol  Rambut dicuci dengan sampo antimikotik: selenium sulfida 1,8% 2-4 x/pekan atau Sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali

DO

Tinea unguium: - Terbinafin 1x250mg/hari selama 6 pekan untuk kuku tangan dan 12-16 pekan untuk kuku kaki - Itrakonazol dosis denyut (2x200mg/hari selama 7 hari, istirahat 3 pekan) sebanyak 2 denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut untuk kuku kaki

PE R

Tinea pedis Khusus bentuk mocassin foot: itrakonazol 2 x 100 mg/hari atau terbinafin 1 x 250 mg/hari selama 4 – 6 pekan.

36

Dermatologi Infeksi

Tinea imbrikata - Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung KgBB) selama 4-6 pekan - Griseofulfin microsize 10-20 mg/KgBB/hari selama 6-8 pekan

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 36

Kepustakaan

V

Bagan Alur

:

a. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam Dermatomikosis Superfisialis edisi ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 24-99 b. Gupta KA, Tu LQ. Dermatophytosis: Diagnosis and treatment. J Am Acad Dermatol 2006;54:1050-5. c. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaudhry MM. Optimal Management of Fungal Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin Dermatol 2004; 5 (4): 225-237 d. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology 2nd ed. People’s Meical Publishing House. USA. 2011;353-363 e. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2277

DO

SK I

IV

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek dermatofitosis

Tidak

Ya

Diagnosis Pemeriksaan klinis, mikroskopis, kultur (untuk t. unguium), memastikan diagnosis

PE R

Diagnosis banding lainnya

Tinea korporis/ kruris/ imbrikata

Tinea kapitis

Tinea unguium

Tinea pedis/ manum

Nonmedikamentosa  Edukasi pasien Medikamentosa  Topikal  Sistemik (mempertimbangkan luas dan berat, rekuren, rekalsitran, lokasi )

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 37

Dermatologi Infeksi

37

B.3. HERPES ZOSTER (B02)

II

Kriteria diagnostik  Klinis

Diagnosis banding : 1. Infeksi virus herpes simpleks 2. Bila terdapat di daerah setinggi jantung, dapat salah diagnosis dengan angina pektoris pada fase prodromal 3. Dermatitis venenata

PE R



: Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela-zoster yang terjadi setelah infeksi primer. : :  Masa tunas 7-12 hari, lesi baru tetap timbul selama ±1 pekan, masa resolusi berlangsung 1-2 pekan  Gejala prodromal: Sistemik: demam, pusing, malese Lokal: nyeri otot-tulang, gatal, pegal, dsb  Timbul eritema yang segera menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta  Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persarafan  Bentuk khusus:  Herpes zoster oftalmikus: timbul kelainan pada mata dan kulit di daerah persarafan cabang kesatu nervus trigeminus  Sindrom Ramsay-Hunt: timbul gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga gangguan pengecapan  Neuralgia pasca herpes: Nyeri menetap di dermatom yang terkena setelah erupsi HZ menghilang. Batasan waktunya adalah nyeri yang masih timbul 3 bulan setelah erupsi kulit menyembuh. Umumnya nyeri akan berkurang dan spontan menghilang setelah 1–6 bulan.

SK I

Definisi

DO

I



III

38

Pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

:

Tidak diperlukan

: Medikamentosa: 1. Topikal:  Stadium vesikular: bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin untuk mencegah vesikel pecah  Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik dan krim antiseptik/ antibiotik.  Jika agak basah atau berkrusta dapat diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 38

Herpes zoster oftalmikus Asiklovir / valasiklovir sampai 10 hari pada semua pasien Rujuk ke dokter mata

DO



SK I

2. Sistemik:  Usia < 50 tahun Umumnya ringan dan sembuh spontan. Cukup diberikan terapi simtomatik analgetik : asam mefenamat 3-4 x 250 – 500 mg/hari , atau dipiron 3 x 500 mg/hari, atau parasetamol 3 x 500 mg/hari ditambah kodein 3 x 10 mg/hari Bila lesi luas : asiklovir oral 5 x 800 mg/ hari, atau valasiklovir 3 x 1000 mg/hari  Usia > 50 tahun Perjalanan penyakit seringkali berat Terapi simtomatik asiklovir oral 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari, atau valasiklovir 3 x 1000 mg/hari atau famsiklovir 3 x 500 mg/hari bila lesi luas diberikan asiklovir intravena 3 x 10 mg/kgBB/hari selama 5 hari

 Herpes zoster otikus dengan paresis nervus fasialis Asiklovir/valasiklovir oral 7-14 hari dan kortikosteroid 40–60 mg/hari selama 1 pekan pada semua pasien Rujuk THT

PE R

 Kemungkinan terjadi neuralgia pasca Herpes zoster Selain diberi asiklovir pada fase akut, dapat diberikan antidepresan trisiklik (amitriptilin 10 – 75 mg/hari) sampai 3 – 6 bulan setelah rasa sakit berkurang atau Gababentin 300 mg---- dose/hari 46 pekan, atau Pregabalin 50-70 mg ---- dose/hari 24 pekan 

Vaksinasi Dosis tunggal direkomendasikan kepada semua yang berusia lebih dari 50 tahun, baik yang sudah memiliki riwayat terkena varisela ataupun belum. Tidak boleh diberikan pada pasien imunokompromis

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 39

Dermatologi Infeksi

39

V

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA,

Kepustakaan

Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2383. 2. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology 2nd ed. People’s Meical Publishing House. USA. 2011;337-345 3. Tami Hendrikz, Philip Malouf, James E. Foy. Vaccines for Measles, Mumps, Rubella, Varicella, and Herpes Zoster : Immunization Guidelines for Adults. J Am Osteopath AssocOctober 1, 2011 vol. 111 no. 10 suppl 6 S10-S12

Bagan Alur

SK I

IV

Gejala & pemeriksaan fisik

Tidak

Herpes zoster

DO

DD lainnya

Sesuai

Imunokompeten

> 50thn, atau mengenai mata

PE R

< 50 thn

Ringan

Simtomatis

Imunokompromais

Berat

Ringan

Berat

Antiviral ± Prednison

Antiviral

Antiviral

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 40

40

Dermatologi Infeksi

B.4. Hand-Foot-Mouth Disease (HFMD) (B08.4) Definisi

: Penyakit yang disebabkan entervirus nonpolio, yang paling sering coxsackie A16 dan enterovirus 71, dan umumnya ditemukan pada anak-anak.

II

Kriteria diagnostik

:

: Masa inkubasi 3-6 hari. Gejala yang dikeluhkan adalah demam, malaise, nyeri perut, dan gejala ISPA. Kelainan tersering berupa lesi oral multipel disertai nyeri di lidah, mukosa bukal, palatum durum, ataupun orofaring. Lesi oral diawali makula dan papul berwarna merah muda yang berkembang menjadi vesikel kecil dengan eritema di sekelilingnya. Lesi mudah terkikis, membentuk erosi berwarna kuning keabuan dikelilingi lingkaran eritematosa. Lesi kulit muncul setelah lesi oral, terutama di telapak dan sisi tangan dan kaki, bokong, dan terkadang genitalia eksternal serta wajah. Lesi kulit berkembang mirip dengan lesi oral. Lesi yang sudah berkrusta akan sembuh dalam waktu 7-10 hari.

Klinis



Diagnosis banding

:     



Pemeriksaan penunjang

: 

DO



Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Herpangina Varisela Erupsi obat Eritema multiforme Herpes gingivostomatitis

Jika epidemik terjadi, dapat dilakukan kultur atau PCR untuk determinasi strain

: Nonmedikamentosa: Disarankan isolasi orang yang sedang sakit. Medikamentosa: Penyakit ini merupakan penyakit swasirna. Diberikan pengobatan simptomatik bila perlu.

PE R

III

SK I

I

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest

BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2360-2562 2. Zhang Y, Zhu Z, Yang W, et al. An emerging recombinant human enterovirus 71 responsible for the 2008 outbreak of Hand Foot and Mouth Disease in Fuyang city of China. Virology Journal 2010, 7:94 3. Wong SS, Yip CC, Lau SK, Yuen KY. Human enterovirus 71 and hand, foot and mouth disease. Epidemiol Infect 2010; 138: 1071-89.

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 41

Dermatologi Infeksi

41

Alur

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek HFMD

Tidak Diagnosis banding lainnya

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek HFMD

SK I

V

Tidak

Ya

HFMD

Diagnosis banding lainnya

PE R

DO

Medikamentosa  Simtomatik

42

Dermatologi Infeksi

H

Medikamento  Simtoma

B.5. HISTOPLASMOSIS (B39)

Kriteria diagnostik  Klinis



:

SK I

II

: Histoplasmosis adalah infeksi jamur dimorfik yaitu Histoplasma sp.

Definisi

Infeksi dimulai dari infeksi paru dan biasanya asimtomatik dan swasirna pada sebagian besar pasien. Lesi kulit pada infeksi primer hasil formasii kompleks-imun atau akibat penyebaran langsung dari paru. Walaupun asimtomatik, hasil pemeriksaan histoplasmin pada kulit akan menunjukkan hasil yang positif. Pada pasien dengan gejala akut, ditandai batuk, nyeri dada, demam, nyeri sendi, dan ruam yang dapat berupa eritema toksik, eritema multiforme, atau eritema nodusum. Pasien dengan gejala progresif disertai penurunan berat badan yang cepat, hepatosplenomegali, anemia, dan lesi kulit berupa papul, nodul kecil, atau seperti moluskum kecil, serta ulkus oral atau faringeal pada pasien kronik, dapat pula ditemukan Addison disease jika kelenjar adrenal sudah terinfiltrasi.

DO

I

Diagnosis banding

:   

 

Pemeriksaan penunjang

PE R



III

Penatalaksanaan

: 

 

Moluskum kontagiosum Kriptokokosis Infeksi yang disebabkan (Penicilliosis) Blastomikosis Kala-azar

P.marneffei

Pemeriksaan sputum, darah perifer, sumsum tulang, atau spesimen biopsi untuk menemukan sel intraselular yang seperti ragi (histoplasma) Kultur jika diperlukan (perlu kehati-hatian) Tes serologi jika diperlukan

: Nonmedikamentosa: Medikamentosa: 1. Amphotericin B Intravena 1mg/kgBB/ hari selama 4-6 pekan dapat dipakai untuk infeksi berat dan penyebaran luas. Amphotericin B aman untuk ibu hamil 2. Itrakonazol 3x200-300mg selama 3 hari kemudian 1-2x200mg selama 6-12 pekan merupakan terapi yang memiliki efektivitas tinggi. Itrakonazol 12x200mg juga dapat digunakan sebagai profilaksis dan direkomendasikan pada pasien HIV dengan CD4 < 150 sel/mm3 D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 43

Dermatologi Infeksi

43

Kepustakaan

V

Alur

:

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152 2. L.Joseph Wheat, Alison G. Freifeld, Martin B. Kleiman, et al. Clinical Practice Guideline for The Management of Patients with Histoplasmosis: 2007 Update by The Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. (2007) 45 (7):807-825. 3. Price CR, Glaser DA dan Penneys NS. Mycotic Skin infection in HIV-1 disease. Pathophysiology, diagnosis and treatment. Dermatol Therapy 1999; 12 : 87-107.

SK I

IV

DO

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek Histoplasmosis

Ya

Tidak

Diagnosis banding lainnya

Histoplasmosis

Medikamentosa  Amphotericin B atau  Itrakonazol Edukasi

PE R



D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 44

44

Dermatologi Infeksi

B.6. KANDIDIASIS / KANDIDOSIS (B37) Definisi

: Kandidiasis (USA) atau kandidosis (Eropa) merupakan kelompok penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans atau oleh spesies lain genus Candida. Organisme tersebut pada umumnya dapat menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, dan saluran cerna, tetapi dapat juga menyebabkan penyakit sistemik. Klasifikasi:  Kandidiasis kutis (ICD 10 : B37.2)  Kandidiasis oral (ICD 10 : B37.0)  Kandidiasis vulvovaginal (ICD 10 : B37.3)  Kandida balanitis/ balanopostitis (ICD 10 : B37.4)  Kandidiasis kuku (ICD 10 : B37.2)  Kandidiasis mukokutan kronik (ICD 10 : P37.5)  Kandidiasis diseminata (ICD 10 : B37.8)

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: : Kandidiasis kutis  Dapat ditemukan pada semua umur usia, mengenai daerah intertriginosa yang lembab dan mudah mengalami maserasi, misalnya: sela paha, ketiak, sela jari, infra mamae, atau sekitar kuku, dan juga dapat meluas ke bagian tubuh lainnya.  Kulit tampak bercak eritematosa berbatas tegas, bersisik, basah, dikelilingi oleh lesi satelit berupa papul, vesikel dan pustul kecil di sekitarnya.

DO

SK I

I

PE R

Kandidiasis mukosa Merupakan infeksi oportunis, dapat berupa: Kandidiasis oral :  Kandidiasis pseudomembran akut (thrush): Bercak berwarna putih (pseudomembran) tebal, diskret atau konfluen pada mukosa bukal, lidah, palatum,dan gusi  Kandidiasis atrofik akut (kandidiasis eritematosa): Bercak halus (papila lidah menipis) tertutup oleh pseudomembran tipis pada permukaan dorsal lidah Dapat disertai rasa panas atau nyeri.  Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis): Mukosa palatum yang kontak dengan gigi tampak edematosa dan eritematosa, bersifat kronik Dapat dijumpai keilitis angularis  Keilosis kandidal (keilitis angularis/perleche): - Pada sudut mulut tampak eritema, fisura, maserasi yang terasa nyeri.

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 45

Dermatologi Infeksi

45

PE R

DO

SK I

Kandidiasis area genitalia:  Kandidiasis vulvovaginal: Keluhan: Duh vagina berwarna putih susu, disertai rasa gatal dan panas, kadang disuria Pemeriksaan: tampak plak berwarna putih, dasar eritematosa, pada dinding vagina disertai edema di sekitarnya yang dapat meluas sampai ke labia dan perineum  Balanitis dan balanopostitis kandida: Keluhan: kulit penis tampak eritematosa, panas transien, muncul setelah hubungan seksual Pemeriksaan: Papul atau papulopustul rapuh pada glans penis atau sulkus koronarius penis Kandidiasis kuku Tampak perubahan kuku sekunder, tebal mengeras, onikolisis, Beau’s line dengan diskolorisasi kuku berwarna coklat atau hijau sepanjang sisi lateral kuku, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat debris di bawah kuku.  Paronikia kandida: Tampak kemerahan, bengkak, dan nyeri pada kuku disertai retraksi kutikula sampai lipat kuku proksimal, dapat disertai pus. Kandidiasis mukokutan kronik Merupakan suatu sindrom kandidosis kronik rekuren pada pasien yang ditandai dengan infeksi resisten terhadap terapi. Onset sebelum usia 6 tahun. Merupakan manifestasi akibat defek sistem imunologi, umumnya defek imunitas selular. Berupa infeksi yang luas, eritematosa atau granulomatosa, pada membran mukosa, kulit dan kuku. Kandidiasis diseminata Infeksi kandida yang meluas secara hematogen dari orofaring atau saluran cerna, dan melibatkan banyak organ, kadang ke kulit. Karakteristik lesi kulit: papul-papul eritematosa verdiameter 0,5-1 cm, bagian tengah tampak hemoragik atau pustular, kadang nekrotik. Lokasi lesi pada badan, ekstremitas. Gejala sistemik: demam dan mialgia : Kandidiasis kutis : eritrasma, dermatitis intertriginosa, dermatofitosis, dermatitis seboroik Kandidiasis kuku: tinea unguium, brittle nail, trachyonychia, dermatitis kronis Kandidiasis oral : difteri, leukoplakia, kheilitis, liken planus, infeksi herpes, eritema multiforme Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis vaginalis, gonore akut, infeksi genital nonspesifik, vaginosis bakteri, vaginitis bakteri. Kandida balanitis/balonopostitis : infeksi bakteri, herpes simplek, psoriaris, liken planus

 Diagnosis Banding

46

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 46

Penatalaksanaan

Diperlukan jika klinis tidak khas, dilakukan di tingkat pelayanan lanjut: Kandidiasis superfisialis :  Pewarnaan sediaan langsung kerokan kulit dengan KOH 20% atau Gram : ditemukan pseudohifa  Kultur dengan agar Saboraud: tampak koloni berwarna putih, tumbuh dalam 2-5 hari Kandidiasis sistemik :  Jika ada lesi kulit; dari kerokan kulit dapat dilakukan pemeriksan histopatologi dan kultur jaringan kulit. Nonmedikamentosa Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi

Medikamentosa  Kandidiasis kutis Topikal: Nistatin dan krim Imidazol (mikonazol) Sistemik : Ketokonazol 1x 200 mg/hari selama 14 hari Bedak mikonazol selanjutnya dapat untuk pencegahan  Kandidiasis oral : Nistatin 400.000-600.000 unit, 4x/hari selama 14 hari Solusio gentian violet 1-2% 2x/hari selama 3 hari Sistemik : Ketokonazol 200-400 mg/hari selama 2-5 pekan atau Flukonazol 150-200 mg dosis tunggal  Kandidiasis vulvovagina: Topikal:  Imidazol: klotrimazol 500 mg dosis tunggal  Nystatin intravagina, 1x/hari, selama 10-14 hari. Aman untuk wanita hamil Sistemik:  Ketokonazol 1x 200 mg selama 5-7 hari  Flukonazol 150 mg dosis tunggal  Itrakonazol 2x100 mg, selama 3 hari Untuk kandidiasis vulvovaginal rekuren ( kambuh ≥4x/th)  Klotrimazol 500 mg intravagina 1x/pekan selama 3-6 bulan  Flukonazol 150 mg per oral pada hari 1, 4, 7 (3 hari) dilanjutkan 150 mg per pekan selama 3-6 bulan  Ketokonazol 2x 200 mg/hari selama 14 hari dilanjutkan 1 x 100 mg / hari selama 6 bulan  Balanitis/Balanopostitis kandida : Topikal : Krim mikonazol 2 x sehari 2-4 pekan Sistemik :  Flukonazol 150 mg dosis tunggal  Ketokonazol 1 x 200 mg /hari selama 7-14 hari

PE R

DO

III

Pemeriksaan Penunjang

SK I



D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 47

Dermatologi Infeksi

47

Kepustakaan

: 1. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam Dermatomikosis Superfisialis edisi ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 100-148 2. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2298 3. Sexually Transmitted Infection. Management Guidelines Department of STI Control.2007 4. Pappas PG, Rex JH, Sobel JD, Filler SG, Dismukes WE, Walsh TJ, et al . Guidelines for treatment of candidiasis. Clin Infect Dis 2004;38:161-89. 5. Roberts DT, Taylor WD, Boyle J. Guidelines for treatment of onychomycosis. Br J Dermatol 2003;(148):402-410. 6. Samaranayake LP, Cheung LK, Samaranayake YH. Candidiasis and other fungal diseases of the month. Dermatol Ther 2002;15:251-269.

PE R

IV

DO

SK I

 Paronikia kandida : Topikal: solusio imidazol : Timol 4% dlm alkohol absolut/kloroform Sistemik :  Ketokonazol 1x 200mg/hari sampai sembuh  Flukonazol 150 mg/ pekan sampai sembuh  Kandidiasis kuku Lihat tinea unguium, tetapi terbinafin tidak efektif.  Kandidiasis mukokutan kronik o Flukonazol 100-400 mg/ hari sampai sembuh o Itrakonazol 200-600 mg/ hari sampai sembuh Dilanjutkan terapi maintenance dengan obat sama selama hidup  Kandidiasis diseminata Sistemik: amfoterisin B deoksikolat: 0,7 mg/kg BB/hari IV, pengobatan bekerjasama dengan Spesialis Penyakit Dalam. Alternatif lain: Amfoterisin B liposomal, Flukonazol, Vorikonazol, dengan memperhatikan resistensi spesies Candida

V

Bagan Alur

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 48

48

Dermatologi Infeksi

V

Bagan Alur

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 48

Diseminata

Mukokutan

Kutis

Kuku

SK I

KANDIDIASIS

Oral

Genital

Tidak

Klinis sesuai ?

Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang

DO

DIAGNOSIS

TERAPI

Topikal

Sistemik

PE R

Edukasi

Dermatologi D e r m a t o l oInfeksi g i I n f e k s 49 i | 49

B.7. KRIPTOKOKOSIS (B45) Definisi

: Kriptokokosis merupakan penyakit disebabkan oleh jamur C.neoformans.

II

Kriteria diagnostik

:

yang

Klinis

: Manifestasi klinis yang tersering adalah meningoensefalitis. Terdapat bentuk subklinikal, dengan hasil tes kulit positif. Lesi kutaneus tidak patognomonik, seperti papul atau pustul akneiformis yang berkembang menjadi nodul atau plak krusta tidak rata, ulkus, dan infiltrat. Abses dingin, selulitis, dan lesi noduler juga dapat muncul Inokulasi langsung pada kulit memberikan gambaran nodul soliter yang kemudian pecah dan menjadi ulkus



Diagnosis banding

:   

Histoplasmosis Penisiliosis Moluskum kontagiosum



Pemeriksaan penunjang

:    

Pemeriksaan mikroskop dengan tinta India Kultur jika diperlukan Tes serologi jika diperlukan Latex agglutination atau enzyme-linked immunosorbent assay

DO



Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: Medikamentosa: 1. Amphotericin B Intravena 1mg/kgBB/hari ditambah dengan flusitosin 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis per oral selama paling sedikit 2 pekan. Kemudian dilanjutkan dengan flukonazol 400mg/hari per oral selama minimal 8-10 pekan. 2. Flukonazol 1200mg/hari ditambah flusitosin 100mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis per oral selama 6 pekan 3. Tanpa penyakit susunan syaraf pusat Flukonazol 200-400 mg / hari sampai sembuh 4. Profilaksis : Flukonazol 200 mg/ hari selama hidup untuk CD4 < 50 cell / mm3

PE R

III

infeksi

SK I

I

IV

Kepustakaan

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152 2. John R Perfect, William E, Dismukes, Francoise Dromer, et al. Clinical Practice Guidelines for the Management of Cryptococcal Disease 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. (2010) 50 (3):291-322.doi: 10.1086/649858

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 50

50

Dermatologi Infeksi

V

SK I

3. Venkatesan P, Perfect JR, Myers SA. Evaluation and Management of fungal infection in Immunocompromised patients. Dermatol Therapy 2005; 18 : 44-57. 4. Price CR, Glaser DA dan Penneys NS. Mycotic Skin infection in HIV-1 disease. Pathophysiology, diagnosis and treatment. Dermatol Therapy 1999; 12 : 87-107.

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek kriptokokosis

Alur

Ya

Tidak

Diagnosis banding lainnya

PE R

DO

Kriptokokosis

Medikamentosa  Amphotericin B + flusitosin  flukonazol  Flukonazol + flusitosin  Flukonazol  Profilaksis 

Edukasi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 51

Dermatologi Infeksi

51

B.8. KUSTA (A30)

Diagnosis didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama) menurut WHO, yaitu: 1. Bercak kulit yang mati rasa Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri. 2. Penebalan saraf tepi Dapat /tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu 3. Ditemukan kuman tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf. Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.

DO

II. Kriteria diagnostik  Klinis

SK I

Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, selanjutnya dapat menyebar ke organ lain, kecuali susunan saraf pusat.

I. Definisi

PE R

Selain tanda kardinal di atas, dari anamnesis didapatkan riwayat berikut:   

Riwayat kontak dengan pasien Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis, dan keadaan sosial ekonomi Riwayat pengobatan

Pemeriksaan fisik meliputi: 





52

Inspeksi: Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi, morfologi) harus diperhatikan Palpasi:  Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki  Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri tekan, nyeri spontan) Tes fungsi saraf:

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 52

  

Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu Tes otonom Tes motoris: Voluntary muscle test (VMT)

Diagnosis banding

Lesi kulit  Makula hipopigmentasi : leukoderma, vitiligo, tinea versikolor, pitiriasis alba, morfea dan parut  Plak eritema : tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus, granuloma anulare, sifilis sekunder, sarkoidosis, leukemia kutis dan mikosis fungoides  Ulkus : ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit Raynaud & Buerger Gangguan saraf Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf, trauma



Pemeriksaan penunjang



Komplikasi

Laboratorium  Bakterioskopik : sediaan kerokan jaringan kulit dengan pewarnaan Ziehl Neelsen  Biopsi / PA  Lain-lain: pemeriksaan serologi  Komplikasi imunologis : reaksi reversal, reaksi eritema nodosum leprosum  Komplikasi neurologis : ulkus, claw hand, drop hand, drop foot, kontraktur,mutilasi, absorbsi

DO

SK I



1. Medikamentosa Pengobatan kusta adalah Multi Drug Treatment (MDT), standar WHO (2012) Tipe PB Jenis Obat < 10thn 10-15 thn >15 thn Keteranga n Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di depan petugas DDS 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di depan petugas 25 mg/hari 50 mg/hari 100 Minum di mg/hari rumah

PE R

III. Penatalaksanaan

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan dalam 6-9 bulan

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 53

Dermatologi Infeksi

53

Tipe MB Jenis Obat

10-15 thn

>15 thn

Rifampisin

300 mg/bln

450 mg/bln

600 mg/bln

Dapson

25 mg/bln

50 mg/bln

100 mg/bln

25 mg/hari

50 mg/hari

100 mg/bln

150 mg/bln

100 mg/hari 300 mg/bln

50 mg/2x sepekan

50 mg/ setiap 2 hari

Klofazimin (Lampren)

Keteranga n Minum di depan petugas Minum di depan petugas Minum di rumah Minum di depan petugas Minum di rumah

SK I

< 10thn

50 mg/hari

DO

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan

PE R

1.4. MDT alternatif  Bila pasien tidak dapat minum rifampisin karena efek samping dan/atau menderita penyakit penyerta seperti hepatitis kronis, diberikan klofazimin 50 mg/hari bersama dengan 2 obat berikut -- ofloksasin 400 mg/hari, minosiklin 100 mg/hari atau klaritromisin 500 mg/ hari -- selama 6 bulan. Dilanjutkan dengan klofazimin 50mg/hari, ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 18 bulan.  Bila terjadi toksisitas terhadap DDS, seperti sindrom dapson, pada pasien MH tipe PB, DDS diganti klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan. Pada pasien MH tipe MB, MDT tetap dilanjutkan tanpa DDS selama 12 bulan.  Bila pasien menolak pemberian klofazimin, maka klofazimin dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg /hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan, atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan (ROM) selama 24 bulan

2. Rawat inap Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan:  Efek samping obat berat  Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat  Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)  Pasien dengan rencana tindakan operatif

3. Nonmedikamentosa  Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, tindakan bedah,

54

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 54

penggunaan protese, dan terapi okupasi  Rehabilitasi nonmedik, meliputi: rehabilitasi mental, karya, dan sosial  Penyuluhan kepada pasien, keluarga dan masyarakat

II. Klinis

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (eritema nodosum leprosum)

SK I

REAKSI KUSTA I. Definisi

Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2 dapat dilihat pada tabel berikut: Gejala / tanda Tipe kusta

DO

Waktu timbulnya

Reaksi tipe 1 Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB Biasanya dalam 6 bulan pertama pengobatan

Umumnya baik, demam ringan (sub febris) atau tanpa demam Peradangan di Bercak kulit lama kulit menjadi lebih meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadangkadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul bercak baru Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi saraf. Silent neuritis (-) Radang mata Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB Udem pada (+) ekstri-mitas Peradangan Hampir tidak ada pada organ lain

PE R

Keadaan umum

Reaksi tipe 2 Hanya pada kusta tipe MB

Biasanya setelah mendapatkan pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan Ringan sampai berat disertai kelemahan umum dan demam tinggi Timbul nodul kemerahan, lunak & nyeri tekan. Biasanya pada lengan & tungkai Nodus dapat pcah (ulserasi) Dapat terjadi

Hanya pada kusta tipe MB (-) Terjadi pada mata, kelenjar getah bening, sendi, ginjal, testis dll.

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut: D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 55

Dermatologi Infeksi

55

1. Penanganan Reaksi Prinsip pengobatan reaksi ringan  Berobat jalan,  Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu  MDT diberikan terus dengan dosis yang sama*  Menghindari / menghilangkan faktor pencetus  Imbolisasi organ tubuh yang terkena neuritis Prinsip pengobatan reaksi berat  Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu  MDT tetap diberikan dengan dosis yang sama*  Menghindari / menghilangkan faktor pencetus.  Memberikan obat anti reaksi: Prednison, Lamprene, talidomid (bila tersedia)  Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit *Catatan: MDT hanya diberikan pada reaksi yang timbul sebelum dan selama pengobatan. Bila telah release from treatment (RFT), MDT tidak diberikan lagi

DO

III. Penatalaksan aan

Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir Adanya nyeri raba saraf tepi Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir Adanya makula pecah atau nodusl pecah Adanya makula aktif (meradang) diatas lokasi saraf tepi Adanya gangguan pada organ lain

SK I

     

PE R

2. Obat anti reaksi terdiri dari :  Prednison Cara pemberiannya:  2 pekan pertama: 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan  2 pekan kedua: 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan  2 pekan ketiga: 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan  2 pekan keempat:15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan  2 pekan kelima: 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan  2 pekan keenam: 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan Bila diperlukan dapat digunakan kortikosteroid jenis lain dengan dosis yang setara dan penurunan dosis secara bertahap juga.  Lampren Obat dipergunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang berulang-ulang dan tergantung steroid. Cara pemberian:  1 x 300 mg/hari selama 2 bulan, dilanjutkan  1x 200 mg/hari selama 2 bulan, dilanjutkan

56

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 56

 Anamnesis 1. Riwayat pengobatan MH sebelumnya: pernah mendapat terapi MDT dan dinyatakan telah RFT yang ditentukan oleh wasor atau dokter kusta yang berwenang 2. Terdapat lesi baru dan/atau gangguan sensibilitas baru dan/atau perluasan gangguan yang sudah ada sebelumnya, dan/atau pembesaran saraf baru. 3. Telaah hasil pemeriksaan lab sebelumnya (slit skin smear, histopatologi, dan serologi)  Pemeriksaan status dermatologikus: 1. Relaps pada kasus PB:  Lesi kulit sebelumnya memperlihatkan tanda aktif kembali, seperti adanya infiltrasi, eritema bertambah luas, atau tampak adanya lesi satelit. Seringkali jumlah lesi juga bertambah.  Terdapat pembesaran saraf dan nyeri disertai dengan bertambahluasnya daerah lesi yang mengalami anestesi dan/atau disertai defisit motorik.  Dapat ditemukan keluhan nyeri/sakit pada lokasi sepanjang saraf perifer tanpa bukti-bukti kerusakan saraf.  Dapat terjadi neural relapse yaitu terjadinya relaps yang hanya mengenai saraf tanpa kelainan kulit.  Spektrum klinis MH dapat berubah ketika relaps. 2. Relaps pada kasus MB:  Lesi infiltrasi di dahi,, punggung bawah, dorsum manus /pedis dan bagian atas bokong. Dapat ditemukan papul dan nodul kemerahan, mengkilap, lunak tanpa atau dengan infiltrasi padalokasi-lokasi di atas. Dapat ditemukan nodul subkutan pada daerah lengan bagian belakang dan paha bagian anterolateral.  Pada saraf dapat ditemukan edema nodular sepanjang saraf kutaneus dan perifer yang r m a t o lnyeri o g i   Isaraf n f e kbaru s i | 57 menyertai penebalanD edan/atau dengan gangguan fungsi.  Lesi pada relaps terbentuk dalam waktu berbulanbulan. Dermatologi Infeksi Pada kasus MH yang sebelumnya melibatkan mata, dapat57 terjadi relaps pada iris atau yang lebih jarang terbentuk lepromata. Dapat pula ditemukan lesi pada daerah mukosa berupa papul atau nodul di palatum durum, bagian dalam bibir, dan

PE R

II. Diagnosis

Relaps adalah timbulnya tanda dan gejala kusta pada pasien yang telah menyelesaikan pengobatan yang adekuat, baik selama masa pengawasan maupun setelahnya. Pengobatan harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan dan dihentikan oleh petugas yang berwenang.

DO

RELAPS I. Definisi

SK I

 1 x 100 mg/hari selama 2 bulan Bila terdapat keluhan keluhan gastrointestinal, dapat diberikan dengan dosis terbagi  Thalidomid, bila obat ini tersedia (hanya untuk reaksi tipe 2)

SK I

sepanjang saraf kutaneus dan perifer yang menyertai penebalan dan/atau nyeri saraf baru dengan gangguan fungsi.  Lesi pada relaps terbentuk dalam waktu berbulanbulan. Pada kasus MH yang sebelumnya melibatkan mata, dapat terjadi relaps pada iris atau yang lebih jarang terbentuk lepromata. Dapat pula ditemukan lesi pada daerah mukosa berupa papul atau nodul di palatum durum, bagian dalam bibir, dan glans penis.

PE R

DO

Kriteria diagnosis MH relaps: 1. Kriteria klinis (peningkatan ukuran dan perluasan lesi yang sudah ada, timbul lesi baru, timbul eritema dan infiltrasi kembali pada lesi yang sudah membaik, penebalan atau nyeri saraf) 2. Kriteria bakteriologis: dua kali pemeriksaan BTA positif (selama periode pengobatan) pada pasien yang sebelumnya BTA negatif pada lokasi mana saja. Atau jika terdapat peningkatan BI 2+ atau lebih dibandingkan dengan pemeriksaan BI sebelumnya pada 2 lokasi, dan tetap positif pada pemeriksaan ulang. Hal ini dikatakan relaps jika pasien sudah menyelesaikan terapi MDT sebelumnya (WHO) 3. Kriteria teurapetik: untuk membedakan dengan RR, dapat dilakukan sbb: pasien diterapi dengan prednison/prednisolon (1kg/kgbb). Jika RR, maka akan terdapat perbaikan klinis secara berangsur dalam 2 bulan. Jika tidak ada perbaikan gejala atau hanya sebagian membaik atau justru lebih bertambah, dapat dikatakan tersangka relaps. 4. Kriteria histopatologis: muncul kembali granuloma pada kasus PB dan meningkatnya infiltrasi makrofag disertai dengan ditemukannya basil solid serta peningkatan BI pada kasus MB. 5. Kriteria serologis: pada kasus LL, pengukuran antibody PGL-1 IgM merupakan indikator yang bagus untuk terjadinya relaps Catatan: 3 kriteria pertama sudah cukup untuk menegakkan diagnosis relaps.

Perbedaan reaksi reversal dan relaps dapat dilihat pada tabel berikut: No Gejala Reaksi tipe 1 Relaps . (reaksi reversal) 1. Interval/onset Umumnya dalam 1 tahun atau lebih setelah 4 pekan – 6 RFT: bulan pengobatan atau PB: 3 tahun pada non dalam 6 bulan lepromatosa setelah RFT.

58

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 58

Timbulnya gejala

3. 4.

Tipe kusta Lesi lama

5.

Lesi baru

6.

Ulserasi

7.

Keterlibatan saraf

BT, BB, BL Beberapa atau seluruh lesi menjadi berkilap, eritematosa, dan bengkak; nyeri tekan (+); konsistensi lunak. Terjadi perubahan tipe ke arah yang lebih baik; edema tangan dan kaki Jumlah beberapa, morfologi sama (+) pada reaksi berat Neuritis akut yang nyeri; ada nyeri spontan; abses saraf; tibatiba ada paralisis otot disertai meluasnya gangguan sensoris

DO PE R 8.

Borderline: 5 tahun MB: 9 tahun Lambat, bertahap Semua tipe Eritema dan plak di tepi lesi. Lesi bertambah dan meluas.

SK I

2.

Pada reaksi berulang sampai 2 tahun setelah RFT Mendadak, cepat

9.

Gangguan sistemik BTA

10.

Tes lepromin

Mungkin (+) Terjadi penurunan IB, peningkatan bentuk granuler Reaksi Fernandez (+) pada tipe BL dan BB yang menjadi secara berurutan menjadi BB dan BT

Jumlah banyak (-)

Terjadi keterlibatan saraf baru; tanpa nyeri spontan; nyeri tekan (+); gangguan motoris dan sensoris terjadi lambat/perlahan Mungkin (-) IB mungkin (+) pada pasien dengan IB yang sebelumnya (-) Hasil tes tergantung tipe saat relaps

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 59

Dermatologi Infeksi

59

Respons terhadap pemberian steroid

Excellent. Lesi membaik dalam 2-4 pekan; tetap membaik dengan pengobatan 2 bulan.

Respons tidak ada atau sedikit.

SK I

11.

Pasien diobati MDT sesuai hasil pemeriksaan dan tipe relaps yang ditemukan pada saat itu.

Kepustakaan

1. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam : Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-7 New York : Mc Graw-Hill, 2012. 2. Jopling WHJ., Mc Doughall AC. Handbook of Leprosy. Edisi ke-5. New Delhi; CBS publishers & Distrubutors,1988. 3. Brycesson A., Pflatzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. London; Churchill Livingstone, 1990. 4. The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP), 2002. 234 Blythe Road London, W14 OHJ, Great Britain. How to Diagnose and Treat Leprosy. Learning Guide One. 5. The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP), 2002. How to recognize and manage Leprosy Reaction, 234 Blythe Road London, W14 OHJ, Great Britain. Learning Guide Two. 6. Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, penyunting. Kusta, edisi ke-2. Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 2003. st 7. IAL Textbook of Leprosy. Kar and Kumar editors. 1 edition. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd New Delhi, St Louis 2010 8. WHO Expert Committee on leprosy, eighth report (WHO Technical Report Series ; no 369) , 2012 9. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Direktorat Jenderal Pengandalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2013

PE R

DO

III. Penatalaksanaan

60

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 60

Bagan Alur

Ada

Kusta

Jumlah bercak Penebalan saraf & ggn Fungsi, Pem. BTA

SK I

Tanda kardinal

Ragu

Tidak Ada

Tersangka

Bukan Kusta

Observasi 3-6 bulan

BTA / Histopatologi

Tanda kardinal

Bercak >5 Saraf >1 BTA (+)

DO

Bercak 5 Saraf 1 BTA (-)

PB

Ada

Tidak Ada

Ragu

MB

RUJUK ke konsultan

MDT PB / MB

PE R

Bila terdapat kontraindikasi / efek samping

MDT Alternatif

Bila terdapat Reaksi

Terapi reaksi

Bila terdapat Relaps

MDT ulang

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 61

Dermatologi Infeksi

61

B.9. MALASSEZIA FOLIKULITIS Definisi

: Merupakan radang pada folikel pilosebasea yang disebabkan oleh genus Malassezia.

II

Kriteria diagnostik

: : Lesi biasanya terdapat di dada, punggung, leher, dan lengan, berupa papul eritematosa atau pustul perifolikular berukuran 2-3 mm. Gatal lebih sering dijumpai dibandingkan pada Pitiriasis Versikolor. Penyakit ini kadang dijumpai bersamaan dengan akne vulgaris yang rekalsitran, hal ini mungkin berkaitan dengan kulit yang berminyak. Faktor predisposisi antara lain: diabetes melitus, penggunaan glukokortikoid, antibiotik, dan obat imunosupresif, kehamilan, keganasan (leukemia, penyakit Hodgkin), transplantasi organ (ginjal, jantung, sumsum tulang), AIDS, serta sindroma Down : - Akne korporis - Erupsi akneiformis - Folikulitis kandida - Folikulitis bakterial - Insect bites - Miliaria - Dermatitis kontak : Pemeriksaan langsung dengan memakai larutan KOH 20%. Spesimen berasal dari bagian dalam isi pustul, papul atau papul komedo yang diambil menggunakan ekstraksi komedo. Hasil positif ditentukan sebagai +3 atau +4 berdasarkan grading jumlah spora per lapangan pandang besar mikroskop. Grading spora: +1: bila ditemukan 1-2 spora, tidak ada kelompokkan spora +2: bila ditemukan kelompok kecil spora yang terdiri dari < 6 spora atau 12 spora yang tersebar +3: bila ditemukan kelompok besar spora yang terdiri dari 7-12 spora atau 20 spora yang tersebar +4: bila ditemukan kelompok spora yang terdiri dari >12 spora atau 21 spora yang tersebar.

Klinis



Diagnosis banding



Pemeriksaan penunjang

PE R

DO



62

SK I

I

Dermatologi Infeksi

Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan ostium folikel melebar dan bercampur dengan materi keratin. Dapat terjadi ruptur dinding folikel D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 62

sehingga terlihat respons radang campuran dan sel datia benda asing

IV

Kepustakaan

V

Bagan Alur

: Terapi sistemik:  Ketokonazol 200mg/hari selama 4 pekan, atau  Flukonazol 150 mg/pekan selama 2-4 pekan, atau  Itrakonazol 200 mg/hari selama 2 pekan :

1. Pfaller MA, Diekema DJ, Merz WG. Infections caused by non-Candida, non-Cryptococcus yeasts. Dalam: Anaisse EJ, McGinnis MR, Pfaller MA, editor. Clinical Mycology; edisi ke2. New York: Churchill Livingstone Elsevier, 2009: 251-70 2. Janik MP, Heffernan MP. Martin. Yeast infections: Candidiasis and Tinea (Pytiriasis) Versikolor. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dermatology in general medicine; edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill, 2008:1822-30 3. Jacinto-Jamora S, Tamesis J, Katigbak ML. Pytirosporum folliculitis in the Philippines: diagnosis, prevalence and management. Journal American Academic of Dermatology.1991;24:693-6

DO



SK I

Penatalaksanaan

III

PE R

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek Malassezia Folikulitis

Ya

Tidak

Malassezia Folikulitis

Diagnosis banding lainnya

Medikamentosa



Ketokonazol 200mg/hari selama 4 minggu  Flukonazol 150 mg/minggu selama 2-4 minggu  Itrakonazol 200 mg/hari selama 2 minggu Edukasi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 63

Dermatologi Infeksi

63

B.10. MIKOSIS PROFUNDA Definisi

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: Mikosis profunda merupakan suatu kelompok heterogen infeksi jamur yang berkembang dari trauma transkutaneus. Infeksi berkembang perlahan, umumnya tidak nyeri, sesuai dengan pertumbuhan agen penyebabnya dan beradaptasi dengan lingkungan jaringan penjamunya. Berikut dibahas : misetoma (eumisetoma, aktinomisetoma), sporotrikosis, kromomikosis, dan zigomikosis subkutan.  Misetoma (Eumisetoma ICD10 : B47.0 Aktinomisetoma ICD10 : B47.1) Misetoma adalah penyakit infeksi jamur kronik supuratif jaringan subkutan, khas ditandai dengan tumefaksi, abses, sinus, fistul dan granul. Penyebab dapat jamur (eumisetoma) atau oleh Actinomycetes (aktinomisetoma).  Sporotrikosis (ICD10 : B42) Sporotrikosis adalah infeksi jamur kronis yang disebabkan oleh Sporotrichium schenkii. Klasifikasi : tipe lokalisata, tipe limfangitis kronis (tersering, ICD10 : B42.1), tipe kutaneus menetap, dan tipe diseminata  Kromoblastomikosis/ Kromomikosis (ICD10 : B43) Adalah penyakit jamur kronis invasif pada kulit dan jaringan subkutan yang disebabkan oleh bermacam jamur berpigmen (dermatiaceae) yang membentuk sel muriform (badan sklerotik).  Zigomikosis subkutan/ Basidiobolomikosis (ICD10 : 46.8) Penyakit infeksi yang disebabkan tersering oleh Basidiobolus ranarum. : :  Misetoma: pada lokasi inokulasi (umumnya ekstremitas) terbentuk papul/nodus. Selanjutnya terjadi pembengkakan, abses, sinus, dan fistel multipel, serta keluar granul. Warna granul membantu dugaan penyebab: granul hitam pada eumisetoma, granul merah, kuning pada aktinomisetoma, warna lain dapat oleh keduanya. Lesi lanjut terdapat gambaran parut. Dapat mengenai tulang.  Sporotrikosis: Bentuk limfokutan berupa pembesaran kelenjar getah bening, kulit dan jaringan subkutis di atas nodus sering melunak dan pecah membentuk ulkus indolen mengikuti garis aliran limfa.  Kromoblastomikosis: pada tempat inokulasi timbul nodus verukosus kutan yang perlahan membentuk

PE R

DO

SK I

I

64

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 64



Diagnosis banding

: 1. 2. 3.

: Sediaan langsung : i. Misetoma: sediaan KOH granul berwarna tampak filamen halus (aktinomisetoma) atau lebar (eumisetoma) ii. Kromoblastomikosis: sediaan KOH kerokan kulit dapat ditemui sel muriform (badan/ sel sklerotik berpigmen). Perlu konfirmasi dengan: 1. Pemeriksaan histopatologis. Tampak granuloma tanpa perkijuan dan ada eosinofil. 2. Kultur untuk memastikan spesies penyebab. Dilakukan dengan 3 kultur yaitu Sabouraud dextrose agar (SDA), SDA + antibiotik dan SDA + antibiotik+ sikloheksimid

Penatalaksanaan

: Sporotrikosis : Obat pilihan : itrakonazol 200 mg/hari, atau solusio kalium iodida jenuh (KI) 3 X 5 tetes / hari dinaikkan perlahan sampai terjadi gejala toksik mual, muntah, hipersalivasi dan lakrimasi, kemudian diturunkan dan dipertahankan pada dosis sebelum terjadi gejala toksik. Dapat dengan tablet Jodkali 200 mg/ tablet, dosis 30 mg/ KgBB/ hari Kromomikosis : penyembuhan sulit dan sering kambuh. Obat pilihan : Itrakonazol 200-400 mg/hari (dengan atau tanpa 5 fluoro-urasil) selama beberapa bulan, dapat kombinasi itrakonazol dan terbinafin 250-500 mg/hari. Lesi kecil dapat bedah eksisi. Lesi lanjut dapat berakhir amputasi. Alternatif: kombinasi itrakonazol dengan bedah beku, pemanasan topikal. Zigomikosis subkutan : Obat pilihan : Itrakonazol 200 mg/hari selama 3 bulan atau solusio kalium yodida jenuh/ tablet Jodkali 200 mg/tablet dosis 30 mg/KgBB/hari.

PE R

III

Pemeriksaan penunjang

Misetoma : tuberkulosis kutis, infeksi bacterial (botriomisetoma), osteomielitis kronik, aktino misetoma. Sporotrikosis: Infeksi Mikobakterium atipik, leismaniasis Kromoblastomikosis: Veruka vulgaris, tuberculosis kutis verukosa, elefantiasis, karsinoma sel skuamosa.

DO



SK I

vegetasi papiloma besar. Tempat predileksi: tungkai dan kaki.  Zigomikosis subkutan: nodus subkutan yang membesar dan tidak nyeri, teraba keras seperti kayu, kadang gatal.

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 65

Dermatologi Infeksi

65

IV

Kepustakaan

DO

SK I

Aktinomisetoma Obat pilihan : kombinasi antibiotik Rifampisin 600 mg/ hari dan kotrimoksazol 2 x 2 tablet (2x1 tablet forte) Streptomisin sulfat 14 mg/kgBB/hari IM 1 bulan kemudian tiap 2 hari sekali, dikombinasi dengan ko-trimokasozol yang terdiri atas: 23 mg/kgBB/hari sulfametoksazol + 4,6 mg/kgBB/hari trimetoprim. Alternatif kombinasi streptomisin: dengan dapson 100 mg/hari, atau rifampisin 4,3 mg/kgBB/hari, atau sulfadoksinpirimetamin 500 mg 2x/pekan. Penambahan Amikasin 15 mg/kgBB/hari selama 3 pekan dalam tiap siklus 5 pekan ko-trimoksazol dapat diberikan pada penyebab Nocardia yang rekalsitran (regimen Walsh). Eumisetoma: sulit, lama (bulan s/d tahun) dan hasil bervariasi bergantung penyebab. Obat pilihan : Itrakonazol 200 mg/hari. Pada penyebab M. mycetomatis dan M. grisea dapat dengan ketokonazol 200 mg/hari. Dapat dengan terbinafin 250-500 mg/hari. Lesi lanjut dapat berakhir amputasi. Catatan: Perhatikan semua kontraindikasi dan kemungkinan efek samping akibat obat antijamur sistemik maupun antibiotik jangka panjang. Kriteria sembuh : sembuh klinis dan laboratoris.

:

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2312 2.

PE R

3.

4. 5. 6.

66

Dermatologi Infeksi

Richardson M and Lass-Flo C. Changing epidemiology of systemic fungal infections. Clin Microbiol Infect, 2008; 14 (Suppl. 4): 5–24 Hay RJ. Deep fungal infections. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed., vol.1, Mc Graw Hill, 2007: ch 190; 1831-1835 Revankar SG. Dematiaceous fungi. Mycosis, 2007; 50: 91-101 Fluckiger U, Marchetti O, Bille J, Eggimann P, Zimmerlie S, Imhof A, et al. Treatment options of invasive fungal infections in adults. Swiss Med Wkly, 2006; 136: 447–463 Trying KS, Lupi O, Hengge UR. Dalam: Tropical Dermatology. st 1 ed., Elsevier Inc., 2006: 197-214

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 66

V

Bagan Alur

SK I

Lesi kulit dicurigai sebagai Misetoma

Anamnesis 1. Riwayat trauma 2. Peninggian lesi, pembentukan nodul, abses, fistula, drainage grain 3. Warna dan ukuran granul

DO

Pemeriksaan 1. Pemeriksaan granul dengan KOH 10-20% 2. Histopatologi 3. Kultur isolasi dan identifikasi agen 4. Foto rontgen, untuk deseksi lesi tulang dan perubahan jaringan lunak

PE R

Aktinomisetoma

Antibiotik Yang sesuai

Edukasi

Eumisetoma

Antijamur Yang sesuai

Edukasi

Dermatologi Infeksi

67

Lesi kulit yang dicurigai Sporotrikosis

Anamnesis Sering terjadi pada tukang kebun, petani, buruh lapangan Riwayat pajanan tanah atau tumbuhan misalnya mawar, rumput

SK I

1. 2.

Klinis : Nodus multiple yang muncul dari distal ke proksimal sepanjang limfe,selanjutnya membentuk ulkusulkus kecil tidak nyeri, pada ekstremitas atas dan bawah, dan wajah pada anak-anak. Atau nodus tunggal yang menjadi ulkus menetap tanpa nyeri

Diagnosis banding

Sporotrikosis

DO

Pemeriksaan penunjang Isolasi jamur dari kultur eksudat Biopsi kulit Pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis banding

Sesuai sporotrikosis

PE R

Itrakonazol Solusio Kalium Iodida jenuh atau Tablet Jodkali Edukasi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 68

68

Dermatologi Infeksi

Lesi kulit dicurigai Kromoblastomikosis

SK I

Anamnesis 1. Sering terjadi pada penduduk daerah pedesaan (petani, pemotong kayu, pemotong karet) 2. Sering terjadi pada usia 35 – 40 tahun

Klinis : Satu atau lebih nodul pada daerah trauma membentuk plak eritematous batas tegas. Lesi berkembang papilomatosa atau verukosa ireguler. Sering disertai ulserasi. Infeksi dapat menyebar secara limfatik atau hematogen.

Kromoblastomikosis

DO

Diagnosis banding

Pemeriksaan penunjang : KOH dari krusta, eksudat Kultur untuk isolasi jamur pada medium Sabouraud Biopsi (dan kultur utk diagnosis banding tuberculosis kutis)

PE R

Sesuai kromoblastomikosis : Kecil: bedah eksisi dilanjutkan itrakonazol Besar: Itrakonazole 200mg perhari (dengan atau tanpa Flusitosin 30 mg/ kg/ hr) atau Terbinafine 250 mg, atau kombinasi ke 2 nya Ketokonazol 10 mg/KgBB/hari Edukasi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 69

Dermatologi Infeksi

69

B.11. MOLUSKUM KONTAGIOSUM (B08.1) Definisi

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: Moluskum kontagiosum ( MK ) ialah penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Poxvirus. :    

  Diagnosis banding



Pemeriksaan penunjang

: Veruka, granuloma piogenik, melanoma amelanotik, karsinoma sel basal, varisela, epitelioma, papiloma. Pada pasien imunokompromais perlu dipikirkan infeksi jamur yaitu kriptokokosis, histoplasmosis, dan penisilosis : Biasanya tidak diperlukan. Pemeriksaan Giemsa terhadap bahan massa putih dari bagian tengah papul menunjukkan badan inklusi moluskum di dalam sitoplasma. Pemeriksaan histopatologik dilakukan apabila gambaran lesi tidak khas MK. Tampak gambaran epidermis hipertrofi dan hiperplasia. Di atas lapisan sel basal didapatkan sel membesar yang mengandung partikel virus disebut badan moluskum atau Henderson-Paterson bodies : Nonmedikamentosa: Penjelasan/penyuluhan pada orangtua pasien:  Tanpa pengobatan, MK dapat sembuh sendiri dalam beberapa bulan/tahun. Tetapi dalam kurun waktu tersebut dapat meluas ke seluruh tubuh dan menularkan ke orang lain, timbul infeksi sekunder, serta menimbulkan gangguan kosmetis.  Moluskum dapat diobati dengan obat topikal, tetapi memerlukan ketekunan dan kesabaran serta memakan waktu lama.

PE R

DO



III

Terutama menyerang anak usia sekolah, dewasa muda yang aktif secara seksual, dan pasien imunokompromais. Masa inkubasi berlangsung satu sampai beberapa pekan. Tidak ada keluhan. Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk kubah, di tengahnya terdapat lekukan (delle). Jika dipijat akan tampak keluar massa berwarna putih seperti nasi yang merupakan badan moluskum. Kadang berbentuk lentikular dan berwarna putih seperti lilin. Dapat terjadi infeksi sekunder sehingga timbul supurasi. Lokasi: muka, badan, dan ekstremitas.

SK I

I

Penatalaksanaan

Medikamentosa: 1. Tindakan bedah kuretase/enukleasi:

70

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 70



 

Lesi kulit dibersihkan dengan alkohol 70% Bila perlu diberi anestesi krim EMLA 5% dioleskan pada tiap lesi, tutup plester dan dibiarkan 1-2 jam Dengan memakai pinset mata, lesi moluskum dijepit agar isi keluar, atau dengan ujung skalpel no 11 untuk membuka papul dan mengeluarkan isi papul. Luka diolesi dengan salep antibiotik Tindakan terapi beku/nitrogen cair diulang dengan interval 3 pekan

SK I

 

PE R

DO

2. Terapi topikal :  Kantaridin (0,7% atau 0,9%) dioleskan pada lesi dan dibiarkan selama 3-4 jam, setelah itu dicuci. Dalam 1-2 hari timbul lepuh yang akan pecah menimbulkan erosi/ekskoriasi. Dapat diberikan salap antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat dilakukan sebulan sekali sampai tidak ada lesi lagi.  Podofilin (10%-25% dalam bentuk resin) atau (0,3% atau 0,5% dalam bentuk krim). Dioleskan pada tiap lesi sepekan sekali  Krim imikuimod 5% 3-5 kali/pekan  Gel retinoid 0,1%  Pasta perak nitrat  Asam trikoloroasetat (25% - 35%)  Sidovovir topikal (gel 1%, 3% atau krim 1%, 3%)  Kalium hidroksida (10%) 2 kali/hari selama 30 hari atau sampai terjadi inflamasi dan ulserasi di permukaan papul  Campuran asam salisilat dan asam laktat topikal  Krim adapalen 1% selama 1 bulan  Pulsed dye laser: pulsa ganda untuk tiap lesi menggunakan sinar laser 585 nm lebar pulsa 450 usec dan 5 mm spot size pada 6,8-7,2 J/cm2. 3. Terapi Sistemik : Simetidin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk pasien imunokompromais: sidovovir oral interferon-� α sub kutan.

IV

Kepustakaan

: 1. Lee R. Schwartz RA. Pediatric molluscum contagiosum: Reflections on the last challenging pox virus infection.

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 71

Dermatologi Infeksi

71

3. Terapi Sistemik : Simetidin 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk pasien imunokompromais: sidovovir oral interferon-� sub kutan.

V

Bagan Alur

: 1. Lee R. Schwartz RA. Pediatric molluscum contagiosum: Reflections on the last challenging pox virus infection. Part1. Cutis 2010; 86: 230-6. 2. Lee R. Schwartz RA. DPediatric e r m a molluscum t o l o g i contagiosum: I n f e k s i | 71 Reflections on the last challenging pox virus infection. Part2. Cutis 2010; 86: 287-92. 3. An update on the clinical management of cutaneous molluscum contagiosum. Skin Therapy Lett 2014; 19: 5-8. 4. Nguyen HP, Franz E, Stiegel KR, et al. Treatment of molluscum contagiosum in adult, pediatric, and immunodeficient populations. J Cutan Med Surg 2014; 18: 1-8. 5. Olsen JR, Gallacher J, Piguet V, Francis NA. Epidemiology of molluscum contagiosum in children: A systematic review. Fam Pract 2014; 31: 130-6. 6. Chen X, Anstey AV, Bugert JJ. Molluscum contagiosum virus infection. Lancet Infect Dis 2013; 13: 877-88.

SK I

Kepustakaan

Kelainan berupa papul kemerahan sewarna kulit atau putih mutiara pada kulit atau mukosa sangat mungkin suatu MK

DO

IV

DIAGNOSIS Apakah gambaran klinis sesuai MK?

TIDAK

Pemeriksaan Penunjang Giemsa Histopatologis

YA

PE R

Non Medikamentosa Terapi topikal Terapi sistemik

72

Dermatologi Infeksi

YA

Konfirma si MK?

TIDAK

DIAGNOSIS BANDING

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 72

B.12. PIODERMA (L08.0) : Pioderma adalah istilah yang digunakan untuk infeksi

Definisi

kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri piogenik, yang paling sering adalah S. aureus dan Streptokokkus β-hemolitik grup A antara lain S. pyogenes.

SK I

I

DO

II

Kriteria diagnostik Klinis

:

: Pioderma superfisialis

Gejala konstitusi tidak ada. a. Impetigo nonbulosa Tempat predileksi: daerah wajah, terutama di sekitar nares dan mulut Lesi awal berupa vesikel atau pustul berdinding tipis yang mudah pecah membentuk krusta tebal kekuningan (honey colour). Lesi dapat melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit di sekitarnya. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi. b. Impetigo bulosa Tempat predileksi: daerah intertriginosa (aksila, inguinal, gluteal), dada dan punggung Vesikel-bula kendor, berisi cairan jernih; dapat timbul bula hipopion di atas kulit normal. Tanda Nikolsky negatif. Bula pecah meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah eritematosa (kolaret) dan cepat mengering c. Ektima Merupakan bentuk pioderma ulseratif yang disebabkan oleh S. aureus dan atau Streptococcus grup A. Predileksi: ekstremitas bawah atau daerah terbuka Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lengket,

PE R



Terdapat 2 bentuk pioderma: 1. Pioderma superfisialis, lesi terbatas pada epidermis  Impetigo nonbulosa  Impetigo bulosa  Ektima  Folikulitis  Furunkel  Karbunkel 2. Pioderma profunda, mengenai epidermis dan dermis  Erisipelas  Selulitis  Flegmon  Abses multipel kelenjar keringat  Hidradenitis

berwarna kuning keabuan kotor. D e r m tampak a t o l o ulkus g i I n bentuk f e k s i | 73 Apabila krusta diangkat, punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi, berwarna keunguan. d. Folikulitis

Dermatologi Infeksi Merupakan salah satu bentuk pioderma pada folikel rambut dan jaringan sekitarnya. Dibedakan menjadi 2 bentuk: 1. Folikulitis superfisialis (impetigo Bockhart/ impetigo folikular ) Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila,

73

berwarna kuning keabuan kotor. Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi, berwarna keunguan. d. Folikulitis

PE R

DO

SK I

Merupakan salah satu bentuk pioderma pada folikel rambut dan jaringan sekitarnya. Dibedakan menjadi 2 bentuk: 1. Folikulitis superfisialis (impetigo Bockhart/ impetigo folikular ) Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila, ekstremitas bawah, bokong (dewasa). Terdapat rasa gatal dan panas. Kelainan berupa pustul kecil dome-shaped, mudah pecah, pada folikel rambut, multipel. 2. Folikulitis profunda (sycosis barbae) Predileksi: dagu, atas bibir. Nodus eritematosa dengan perabaan hangat, nyeri e. Furunkel/karbunkel Merupakan peradangan pada folikel rambut dan jaringan sekitarnya. Predileksi: daerah berambut yang sering mengalami gesekan, oklusif, berkeringat, misalnya leher, wajah, aksila, dan bokong. Lesi berupa nodus eritematosa, awalnya keras, nyeri tekan, dapat membesar 1-3 cm, setelah beberapa hari terdapat fluktuasi, bila pecah keluar pus. Karbunkel timbul bila yang terkena beberapa folikel rambut. Karbunkel lebih besar, diameter dapat mencapai 310 cm, dasar lebih dalam. Nyeri, sering disertai gejala konstitusi. Pecahnya lebih lambat, sembuh dengan skar.



74

Diagnosis banding

Dermatologi Infeksi

Pioderma profunda  Terdapat gejala konstitusi  Erupsi kulit diikuti rasa nyeri: 1. Erisipelas: merah cerah, infiltrat di bagian pinggir, edema, vesikel dan bula di atas lesi 2. Selulitis: infiltrat eritematosa difus 3. Flegmon: selulitis dengan supurasi 4. Abses kelenjar keringat: tidak nyeri, bersama miliaria, nodus eritematosa bentuk kubah 5. Hidradenitis: nodus, abses, fistel di daerah ketiak atau perineum 6. Ulkus piogenik : ulkus dengan pus : 1. Impetigo nonbulosa: ektima 2. Impetigo vesikobulosa: D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 74

Dermatofitosis Pemfigus vulgaris Staphylococcal scalded skin syndrome 3. Ektima: impetigo nonbulosa 4. Folikulitis: a. Pseudofolikulitis barbae b. Folikulitis keloidal (acne keloidal nuchae) c. Folikulitis pitirosporum d. “Hot tub” folikulitis 5. Erisipelas: selulitis 6. Hidradenitis: skrofuloderma 7. Karbunkel  Akne kistik  Hidradenitis supurativa : Bila diperlukan:  Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram  Kultur dan resistensi spesimen lesi  Kultur dan resistensi darah bila diduga bakteremia



Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa:

Membatasi penularan: edukasi terhadap pasien dan keluarganya agar menjaga higiene perorangan yang baik. Mengatasi faktor predisposisi dan keadaan komorbid, misalnya infestasi parasit atau dermatitis atopik Medikamentosa: Prinsip: pasien berobat jalan, kecuali pada erisipelas, selulitis dan flegmon dianjurkan rawat inap. 1. Topikal:  Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas kalikus 1/5000, rivanol 1‰, larutan povidon iodine 1%; dilakukan 3 kali sehari masing-masing 1 jam selama keadaan akut  Bila tidak tertutup pus atau krusta: *salap/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2%, neomisin, dan basitrasin.  Dioleskan 2–3 x sehari, selama 7–10 hari. 2. Sistemik: minimal selama 7 hari First line:  Kloksasilin: dewasa 4 x 250–500 mg/hari per oral; anak-anak 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari. Pada S.aureus resisten eritromisin  Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3 x 250-500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari.  Sefaleksin: 40-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.  Trimetoprim-sulfometoxazol 160/800mg selama

PE R

DO

III

Pemeriksaan penunjang

SK I

  

7 hari e r m a t o l oterbagi g i   I nselama f e k s i 7| 75 Tetrasiklin 3 xD 250-500mg hari  Doksisiklin, Minosiklin 2 x 100mg selama 7 hari Dermatologi Infeksi 75 Second line:  Azitromisin 1 x 500 mg/hari (hari I), dilanjutkan 1 x 250 mg (hari II-V)  Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis, selama 10 hari  Eritromisin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari; anak

7 hari Tetrasiklin 3 x 250-500mg terbagi selama 7 hari  Doksisiklin, Minosiklin 2 x 100mg selama 7 hari Second line:  Azitromisin 1 x 500 mg/hari (hari I), dilanjutkan 1 x 250 mg (hari II-V)  Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis, selama 10 hari  Eritromisin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari; anakanak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari Kasus yang berat atau infeksi di daerah berbahaya (misalnya maksila), antibiotik diberikan parenteral. Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat: vankomisin 1–2 gram/hari dalam dosis terbagi, intravena, selama 7 hari Apabila lesi besar, nyeri, disertai fluktuasi, dilakukan insisi dan drainase Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensi

DO

SK I



Tindakan: Bila ada abses, dapat dilakukan insisi

Kepustakaan

: 1. Gorwitz RJ. A review of community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus skin and soft tissue infections. Pediatr Infect Dis 2008; 27(1):1-7 2. Tschachler E, Brockmeyer N, Effendy I, Geiss HK, Harder S, Hartmann M, et al. Streptococcal infections of the skin and mucous membranes. JDDG 2007; 6: 527-532 3. Roberts S, Chambers S. Diagnosis and management of Staphylococcus aureus infections of the skin and soft tissue. Int Med J 2005; 35: S97-105 4. Ki V, Rotstein C. Bacterial skin and soft tissue infections in adults: A review of their epidemiology, pathogenesis, diagnosis, treatment and site of care. Can J Infect Dis Med Microbiol 2008;19:173-84. 5. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology 2nd ed. People’s Meical Publishing House. USA. 2011;349-352 6. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2128-2147

PE R

IV

76

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 76

Bagan Alur

SK I

V

Tidak

Ringan – Sedang

Pilihan I:  Mupirosin  Asam fusidat Pilihan II:  Basitrasin

PE R

Ya

Berat

DO

Antibiotik Topikal

Sembuh

Diagnosis Banding

Antibiotika Sistemik Pilihan I: - Kloksasilin - Amoksisilin asam klavulanat - Sefalosporin generasi I - Sefalosporin generasi II Pilihan II: - Azitromisin - Klindamisin - Eritromisin

Tidak

Kultur & Resistensi Apabila pasien gagal diterapi dengan obat pilihan I

Terapi berdasarkan: - Hasil kultur dan resistensi - Mupirosin di sekitar nares untuk karier

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 77

Dermatologi Infeksi

77

B.13. PITIRIASIS VERSIKOLOR (B36.0) Definisi

II

Kriteria diagnostik  Klinis

Pemeriksaan penunjang

Sering Jarang  Vitiligo  Pitiriasis alba  Psoriasis gutata  Pitiriasis rosea  Pitiriasis rubra pilaris  Dermatitis seboroik  Infeksi dermatomikosis  Morbus Hansen  Leukoderma :  Pemeriksaan dengan lampu Wood : terlihat fluoresensi berwana kuning keemasan.  Pemeriksaan langsung dengan mikroskop dan larutan KOH 20% : tampak spora berkelompok dan hifa pendek. Spora berkelompok merupakan tanda kolonisasi, sedangkan hifa menunjukkan adanya infeksi.  Kultur : tidak diperlukan : Nonmedikamentosa: Hindari suasana lembab, panas, dan keringat berlebih. Medikamentosa: 1. Topikal Obat pilihan : Sampo selenium sulfida 2,5% atau sampo zinc pyrithione dioleskan di seluruh daerah yang terinfeksi/ seluruh badan, 7-10 menit sebelum mandi, sekali/hari atau 3-4 kali sepekan. Khusus untuk daerah wajah dan genital digunakan vehikulum solutio atau golongan azol topikal (krim mikonazol 2x / hari). Alternatif : sampo ketokonazole 2 % dioleskan pada daerah yang terinfeksi/ seluruh badan, 5 menit sebelum mandi, selama 3 hari berturut-turut, atau terbinafin 1% dioleskan pada daerah yang terinfeksi, 2x/hari selama 7 hari

Penatalaksanaan

PE R

III

:

DO

 Diagnosis banding

: Penyakit infeksi oportunistik kulit epidermomikosis, disebabkan oleh jamur Malassezia sp. (Pitryrosporum orbiculare / P.ovale) yang ditandai dengan makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan kadang eritematosa. : :  Penyakit ditemukan pada semua usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun, lesi terutama pada daerah seboroik; tidak menular, serta ada kecenderungan genetik  Keluhan umumnya tidak ada, kadang timbul rasa gatal terutama bila berkeringat.  Status dermatologi : Predileksi lesi terutama di daerah seboroik, yaitu tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas; berupa bercak hipopigmentasi, eritema hingga kecoklatan, konfluen dengan skuama halus.

78

SK I

I

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 78

2. Untuk lesi luas atau jika sulit disembuhkan dapat

V

Kepustakaan

Bagan Alur

: 1. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam Dermatomikosis Superfisialis edisi ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 24-34 2. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2307 3. Lange DS, et all/ Ketokonazol 2 % shampoo in the treatment of tinea versicolor: A multicentre randomized, double blind, placebo controlled trial. J A A D,1998; 39 ( 6 ): 944-950

DO

IV

SK I

digunakan ketokonazol oral 200 mg/hari selama 10 hari. Alternatif: itrakonazol 200-400 mg/hari selama 7 hari dan flukonazol 400mg single dose Obat dihentikan bila pemeriksaan klinis, lampu Wood, dan pemeriksaan mikologis langsung berturut-turut selang sepekan telah negatif. 3. Pada kasus kronik berulang terapi pemeliharaan dengan topikal tiap 1-2 pekan atau sistemik ketokonazol 2X200 mg/hari sekali sebulan.

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek pitiriasis versikolor

Tidak

PE R

Diagnosis banding lainnya

Ya

Pitiriasis versikolor

Nonmedikamentosa  Edukasi pasien Medikamentosa  Topikal  Oral (mempertimbangkan lesi luas dan berat, rekuren, rekalsitran)

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 79

Dermatologi Infeksi

79

B.14. SKABIES (B86) Definisi

: Penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var. hominis dan produknya. Manifestasi klinis skabies meliputi :  Lesi pada tempat infestasi  Manifestasi kutan hipersensitif terhadap kutu  Lesi sekunder olek karena garukan  Lesi sekunder oleh karena infeksi  Lesi varian : skabies pada bayi, skabies pada orang bersih, skabies incognito, skabies nodularis, skabies yang ditularkan hewan, skabies dengan HIV/AIDS, skabies Norwegia (skabies berkrusta)

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: : Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, Keadaan umum pasien baik

SK I

I

PE R

DO

Diagnosis perkiraan (presumtif) apabila ditemukan trias: 1. Lesi kulit pada daerah predileksi.  Lesi kulit: terowongan (kunikulus) berbentuk garis lurus atau berkelok, warna putih atau abu-abu dengan ujung papul atau vesikel. Apabila terjadi infeksi sekunder timbul pustul atau nodul.  Daerah predileksi pada tempat dengan stratum korneum tipis, yaitu: sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak, areola mamae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna, dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat mengenai telapak tangan dan telapak kaki. 2. Gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturnal). 3. Terdapat riwayat sakit serupa dalam satu rumah/kontak.



80

Diagnosis pasti Apabila ditemukan: tungau, larva, telur atau kotorannya melalui pemeriksaan penunjang (mikroskopis). Diagnosis banding :  Prurigo  Pedikulosis korporis  Dermatitis atopik  Papular urtikaria  Insect bite

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 80

Pemeriksaan penunjang

: Beberapa cara untuk menemukan terowongan:  Kaca pembesar  Tinta cina  Uji tetrasiklin  Epiluminescence microscopy (dermatoskopi).

SK I



Beberapa cara untuk menemukan tungau:  Kerokan diambil dari beberapa lesi (papul baru, tidak eksoriasi) pada tempat predileksi, kemudian diletakkan di atas gelas obyek, ditetesi KOH/NaCl/ minyak mineral, ditutup dengan kaca penutup, lalu diperiksa di bawah mikroskop.  Membuat biopsi irisan kulit Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa :  Penyuluhan higiene perorangan dan lingkungan  Pengobatan secara tepat dan benar, serta seluruh orang yang tinggal serumah harus serempak mendapat pengobatan. Medikamentosa : 1. Topikal:  Krim permetrin 5% dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 8 jam. Dapat diulang setelah satu pekan.

DO

III

Salap sulfur 5-10%, dioleskan 3 malam berturutturut.  Krim krotamiton 10% dioleskan selama 8 jam pada hari ke 1,2,3, dan 8  Emulsi benzil–benzoat (10%), dioleskan selama 24 jam penuh  Gama benzen heksaklorida (gameksan) 1% dalam krim atau losio, cukup sekali pemakaian, dapat diulang bila belum sembuh. 2. Sistemik :  Antihistamin sedative (oral) untuk mengurangi gatal.  Bila infeksi sekunder dapat ditambah antibiotik sistemik.  Ivermektin (oral) 0,2 mg/kg dosis tunggal, 2-3 dosis setiap 8 – 10 hari. Tidak boleh pada anakanak dengan berat kurang dari 15 kg, wanita hamil dan menyusui

PE R



D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 81

Dermatologi Infeksi

81

V

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2569 2. Shimose L, Munoz-Price LS. Diagnosis, prevention, and treatment of scabies. Curr Infect Dis Rep. 2013;15: 42631. 3. FitzGerald D, Grainger RJ, Reid A. Interventions for preventing the spread of infestation in close contacts of people with scabies. Cochrane Database Syst Rev. 2014. doi: 10.1002/14651858.CD009943.pub2.

Kepustakaan

Bagan Alur

SK I

IV

Pasien dengan gatal dan lesi skabies

DIAGNOSIS Apakah gejala klinis dan hasil laboratorium menyokong skabies?

Tidak

DO

Diagnosis banding

Ya

EVALUASI Apakah pasien menunjukkan gejala skabies berkrusta?

Ya

Terapi sesuai skabis berkrusta

Tidak

PE R

Terapi untuk pasien dan semua kontak risiko tinggi Edukasi pasien Farmakoterapi  Lini pertama (skabisid topikal): o Permetrin  Lini kedua (skabisid topikal): o Benzil benzoat o Crotamiton o Sulfur  Terapi simtomatik: o Antihistamin oral o Kortikosteroid topikal  Infeksi bakterial sekunder: o Terapi dengan antibiotik yang sesuai

82

Dermatologi Infeksi

Follow-up lihat algoritme follow up

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 82

SK I

Terapi skabies berkrusta?

DO

C. Edukasi pasien D. Farmakoterapi  Ivermectin (oral) Ditambah  Skabisid (topikal) Terapi hiperkeratosis:  Obat keratolitik (misalnya: asam salisilat) Terapi simptomatik o Antihistamin oral o Kortikosteroid topikal Infeksi bakterial sekunder: o Terapi dengan antibiotik yang sesuai

Follow up Pemeriksaan ulang pasien, 1-2 pekan setelah terapi awal

Tidak

Evaluasi Apakah terjadi perbaikan terhadap rasa gatal & lesi kulit atau lewat mikroskopis?

PE R

Terapi untuk skabies non-krusta

Ulang terapi

Ya

Tidak memerlukan terapi lanjut

Dermatologi Infeksi

83

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 83

B.15.B.15. STAPHYLOCOCCAL STAPHYLOCOCCAL SCALDED-SKIN SCALDED-SKIN (SSSS) (SSSS) / SINDROM / SINDROM KULIT KULIT LEPUH LEPUH STAFILOKOKAL STAFILOKOKAL I Definisi Definisi

: SSSS merupakan penyakit infeksi yangyang : SSSS merupakan penyakit infeksi mengancam nyawa, disebabkan oleh oleh toksintoksin mengancam nyawa, disebabkan eksfoliatif oleh oleh bakteri Staphylococcus aureus eksfoliatif bakteri Staphylococcus aureus padapada lapisan kulit. kulit. lapisan

II

diagnostik II Kriteria Kriteria diagnostik  Klinis  Klinis

: : : Gejala : Gejala awal awal dapatdapat berupa berupa demam demam dengan dengan ruamruam berwarna berwarnamerah-oranye, merah-oranye,pucat, pucat,makula makula eksantema, terbatas di kepala dan menyebar ke ke eksantema, terbatas di kepala dan menyebar bagian tubuhtubuh lain dalam beberapa jam. jam. Gejala ini ini bagian lain dalam beberapa Gejala disertai dengan rhinorrhea purulen, konjungtivitis, disertai dengan rhinorrhea purulen, konjungtivitis, atau atau otitis otitis media. Tanda Nikolsky positif. media. Tanda Nikolsky positif. Dalam waktuwaktu 24-4824-48 jam, jam, makula eksantema Dalam makula eksantema secara bertahap berubah menjadi lepuh, secara secara bertahap berubah menjadi lepuh, secara khusus berbentuk bullae besarbesar lembut yangyang khusus berbentuk bullae lembut merupakan lapisan epidermis yangyang berkerut dan dan merupakan lapisan epidermis berkerut tampak seperti kertas tisu. tisu. tampak seperti kertas Setelah 24 24 jam, jam, bullae tersebut pecah Setelah bullae tersebut pecah meninggalkan krusta berkilat, lembab, dan dan meninggalkan krusta berkilat, lembab, memiliki permukaan berwarna merah. PadaPada tahaptahap memiliki permukaan berwarna merah. ini pasien akanakan iritabel, sakit,sakit, demam dengan sad sad ini pasien iritabel, demam dengan man man facies, krusta perioral, fisurafisura bibir bibir dan edema facies, krusta perioral, dan edema wajahwajah ringan. ringan.

Nekrolisis epidermal epidermal toksiktoksik (NET) (NET) Diagnosis banding  Diagnosis banding :  :  Nekrolisis   Penyakit Penyakit Kawasaki Kawasaki   Penyakit Penyakit Leiner Leiner : Bila : diperlukan: Bila diperlukan: Pemeriksaan  Pemeriksaan  Pemeriksaan  Pemeriksaan sederhana sederhana dengan dengan pewarnaan pewarnaan penunjang penunjang GramGram  Kultur  Kultur dan resistensi dan resistensi spesimen spesimen lesi lesi resistensi diduga  Kultur  Kultur dan dan resistensi darahdarah bila bila diduga bakteremia bakteremia

PE R



DO



SK I

I

III

IIIPenatalaksanaan Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: : Nonmedikamentosa: Medikamentosa: Medikamentosa: Prinsip: eradikasi S.aureus. Pasien biasanya harusharus Prinsip: eradikasi S.aureus. Pasien biasanya dirawat inap inap dan mendapatkan antibiotik sistemik dirawat dan mendapatkan antibiotik sistemik dan terapi suportif lainnya yangyang diperlukan. dan terapi suportif lainnya diperlukan. 1. Antibiotik antistafilokokal IV : IV : 1. Antibiotik antistafilokokal  Lini :  pertama Lini pertama : a. Metisilin 25mg/kgBB tiap tiap 6 jam jika jika a. Metisilin 25mg/kgBB 6 jam <40kg atau atau 1g/kgBB tiap 6 jam <40kg 1g/kgBB tiap 6 jika jam jika >50kg >50kg b. Flukloksasilin 6,25-12,5mg/kgBB tiap tiap b. Flukloksasilin 6,25-12,5mg/kgBB

84

Dermatologi Infeksi

D e r Dmeartm o al ot go il oI gn if eI kn sf ei k| 84 s i | 84

SK I

6 jam jika <40kg atau 250-500mg tiap 6 jam jika > 50kg  Lini kedua : makrolid (eritromisin 1-4g/hari terbagi 4 dosis atau klaritromisin 7,5mg/kgBB tiap 12 jam) 2. Terapi parenteral dapat diganti dengan terapi oral antibiotik beta-laktamase selama 1 pekan (dicloxacillin, cloxacillin, cephalexin)

Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) pada infeksi berat: vankomisin 1–2 gram/hari dalam dosis terbagi, intravena, selama 7 hari Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensi

Alur

: 1. Roberts S, Chambers S. Diagnosis and management of Staphylococcus aureus infections of the skin and soft tissue. Int Med J 2005; 35: S97105 2. Braunstein I, Wanat KA, Abuabara K, et al. Antibiotic sensitivity and resistance patterns in pediatric staphylococcal scalded skin syndrome. Pediatr Dermatol 2014; 31: 305-8. 3. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2148-2152 4. Ronni Wolf, Batya B. Davidovici, Jennifer L. Parish, Lawrence Charles Parish, editor. Dalam: Emergency Dermatology. China : Everbest, 2010;109-114

DO

Kepustakaan

PE R

IV

V

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek SSSS

Tidak

Diagnosis banding lainnya

 

Ya SSSS

Medikamentosa  Rawat Inap  Antibiotik IV antistafilokokal / makrolid

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 85

Dermatologi Infeksi

85

TOXIC SHOCK SYNDROME / SINDROM SYOK TOKSIK (A48.3) B.16.B.16. TOXIC SHOCK SYNDROME (TSS)(TSS) / SINDROM SYOK TOKSIK (A48.3) Definisi I Definisi

: TSS merupakan respons inflamasi terhadap : TSS merupakan respons inflamasi terhadap superantigen Staphylococcus superantigen dari dari Staphylococcus sp. sp. atau atau Streptococcus sp, yang secara ditandai Streptococcus sp, yang secara klinisklinis ditandai oleh oleh demam, hipotensi keterlibatan demam, ruam,ruam, hipotensi dan dan keterlibatan multiorgan menggambarkan spektrum multiorgan yang yang menggambarkan spektrum berat.berat.

II

Kriteria diagnostik diagnostik II Kriteria

:

:

: Sindrom stafilokokal : Sindrom syok syok toksiktoksik stafilokokal Gejala berupa demam, Gejala awal awal onsetonset akut akut berupa demam, nyeri nyeri tenggorokan, dan mialgia. Secara ditemukan tenggorokan, dan mialgia. Secara klinisklinis ditemukan makula eritematosa deskuamasi makula eritematosa diikutidiikuti deskuamasi dalamdalam 1-2 1-2 pekan. Erupsi dimulai dari batang tubuh, menyebar pekan. Erupsi dimulai dari batang tubuh, menyebar ke ekstremitas hingga ke telapak tangan dan kaki. ke ekstremitas hingga ke telapak tangan dan kaki. selulitis, apabila DapatDapat terjaditerjadi selulitis, dan dan apabila terjaditerjadi invasiinvasi streptokokalke keperedaran peredarandarahdarahdapatdapat streptokokal menimbulkan fasciitis necrotizing dan miositis. menimbulkan fasciitis necrotizing dan miositis. Kelainan ini dapat disertai muntah, Kelainan ini dapat disertai diarediare dan dan muntah, hipotensi, pingsan, bahkan hipotensi, pingsan, atau atau bahkan syok.syok. PadaPada pemeriksaan ditemukan konjungtiva pemeriksaan klinisklinis dapatdapat ditemukan konjungtiva hiperemis, inflamasi faring, dan strawberry tongue. hiperemis, inflamasi faring, dan strawberry tongue.

 Klinis Klinis



sepsis  Diagnosis banding :  :  SyokSyok sepsis Diagnosis banding  Penyakit Penyakit Kawasaki  Kawasaki  Sindrom Sindrom eksfoliatif stafilokokal  eksfoliatif stafilokokal  Sindrom Sindrom Stevens-Johnson  Stevens-Johnson  Leptospirosis Leptospirosis   SyokSyok hemoragik  hemoragik viral viral  Campak Campak   Rocky Rocky Mountain spotted Mountain spotted feverfever 

PE R

DO





III

 Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang penunjang

Penatalaksanaan IIIPenatalaksanaan

86

SK I

I

: diperlukan: Bila diperlukan: : Bila  Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan  Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan GramGram  Kultur dan resistensi spesimen  Kultur dan resistensi spesimen lesi lesi

: Nonmedikamentosa: : Nonmedikamentosa: Medikamentosa: Medikamentosa: Prinsip: eradikasi S.aureus. Pasien dirawat Prinsip: eradikasi S.aureus. Pasien harusharus dirawat inapmendapatkan dan mendapatkan antibiotik sistemik dan terapi inap dan antibiotik sistemik dan terapi suportif diperlukan. suportif yang yang diperlukan. Antibiotik disarankan adalah vankomisin Antibiotik yang yang disarankan adalah vankomisin 15- 1520mg/kgBB 8 jam klindamisin 20mg/kgBB setiapsetiap 8 jam dan dan klindamisin 600- 600900mg 900mg setiapsetiap 8 jam8 jam

Dermatologi Infeksi

s i | 86 DerD m ea rt m o laot go il oI gn if eI kn sf ie |k86

Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensi Kepustakaan

V

Alur

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2154-2156 2. Ronni Wolf, Batya B. Davidovici, Jennifer L. Parish, Lawrence Charles Parish, editor. Dalam: Emergency Dermatology. China : Everbest, 2010;98-107 3. Kulhankova K, King J, Salgado-Pabón W. Staphylococcal toxic shock syndrome: Superantigenmediated enhancement of endotoxin shock and adaptive immune suppression. Immunol Res. 2014 May 11. [Epub ahead of print]

SK I

IV

DO

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek TSS

Tidak

Diagnosis banding lainnya

PE R

 

Ya TSS

Medikamentosa  Rawat Inap  Antibiotik vankomisin + klindamisin

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 87

Dermatologi Infeksi

87

B.17. TUBERKULOSIS KUTIS (A18.4)

Kriteria diagnostik Klinis



: Infeksi pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (jenis human) atau Mycobacterium atipik : : Gambaran klinis yang paling sering terjadi: Skrofuloderma Merupakan infeksi M. tuberculosis pada kulit akibat penjalaran langsung organ di bawah kulit yang telah terkena tuberkulosis, tersering berasal dari KGB, tulang atau sendi.  Predileksi adalah tempat yang banyak kelenjar getah bening: leher, ketiak, paling jarang lipat paha, kadang ketiganya diserang sekaligus.  Mulai sebagai limfadenitis, mula-mula beberapa kelenjar, kemudian makin banyak dan berkonfluensi.  Terdapat periadenitis, menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya  Kelenjar mengalami perlunakan tidak serentak sehingga konsistensi bermacam-macam: keras, kenyal, lunak (abses dingin).  Abses akan memecah membentuk fistel yang kemudian menjadi ulkus khas: bentuk memanjang dan tidak teratur, sekitarnya livid, dinding bergaung, jaringan granulasi tertutup pus seropurulen atau kaseosa yang mengandung M. tuberculosis.  Ulkus dapat sembuh spontan menjadi sikatriks/parut memanjang dan tidak teratur (cord like cicatrices), dapat ditemukan jembatan kulit (skin bridge) di atas sikatrik.

DO

II

Definisi

SK I

I

PE R

Tuberkulosis kutis verukosa Merupakan kelainan reinfeksi M. tuberculosis, terjadi inokulasi langsung ke kulit.  Tempat predileksi: tungkai bawah dan kaki, bokong, tempat yang sering terkena trauma.  Lesi biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran serpiginosa.  Terdiri atas ”wart like” papul / plak dengan halo violaseous berukuran lentikular di atas kulit eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks. Lupus vulgaris Merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan oleh M. tuberculosis yang disebarkan secara hematogen atau limfogen dari fokus tuberkulosis ekstrakutan

88

Dermatologi Infeksi

D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 88

SK I

(endogen maupun eksogen).  Tempat predileksi: muka, badan, ekstremitas, bokong  Kelompok papul / nodus merah yang berubah warna menjadi kuning pada penekanan (apple jelly colour)  Bila nodus berkonfluensi terbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus  Pada involusi terjadi sikatriks

PE R

DO

Inokulasi primer (tuberculosis chancre) Merupakan inokulasi langsung M. tuberculosis pada kulit.  Predileksi wajah, ekstremitas, daerah yang mudah terkena trauma  Dapat berupa papul, nodus, pustul, atau ulkus indolen, indurasi positif, dan dinding bergaung. Tuberkulosis miliar kutis Merupakan infeksi M. tuberculosis pada kulit dengan rute hematogen dari fokus di badan.  Fokus infeksi pada paru atau selaput otak.  Pada individu imunosupresif.  Lesi diseminata seluruh tubuh berupa papul, vesikel, pustul hemoragik atau ulkus.  Prognosis buruk. Tuberkulosis kutis orifisialis Merupakan infeksi M. tuberculosis yang terjadi secara autoinokulasi pada periorifisial dan membrana mukosa.  Terjadi pada pasien dengan tuberkulosis organ dalam.  Predilkesi sekitar mulut, orifisium uretra eksternum, perianal.  Lesi berupa papulonodular yang membentuk ulkus hemoragik / purulen, dinding menggaung, dolen.  Prognosis buruk.



Diagnosis banding

: Lupus vulgaris  Morbus Hansen, granumolma fasiale  Sarkoidosis Tuberkulosis kutis verukosa  Kromomikosis  Veruka vulgaris  Blastomikosis Skrofuloderma  Hidradenitis supurativa, limfogranuloma venereum Tuberkulosis milier kutis  Reaksi obat papuler D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 89

Dermatologi Infeksi

89

Pemeriksaan penunjang

SK I



Tuberkulosis kutis orifisialis  KSS  Stomatitis aphthosa Prinsip:  Pemeriksaan darah tepi dan LED.  Tes tuberkulin: PPD-5TU hasil positif > 10 mm.  Pemeriksaan bakteriologik: sediaan apus ditemukan basil tahan asam (hasil lebih kurang delapan pekan).  Pemeriksaan histopatologik. Skrofuloderma  Pengecatan Ziehl Neelsen dari pus: tampak BTA.  Kultur atau PCR untuk identifikasi M. tuberculosis.  Histopatologis bagian tengah lesi tampak masif nekrosis dan pembentukan abses/tepi abses/ dermis terdiri atas granuloma tuberkuloid

DO

Tuberkulosis kutis verukosa  Tes tuberkulin, kultur, atau PCR untuk identifikasi M. tuberculosis.  Histopatologis: hiperplasia pseudoepiteliomatosa, dengan infiltrat inflamasi neutrofil dan limfosit.

PE R

Lupus vulgaris  Diaskopi: apple jelly .  Tes tuberkulin, kultur, atau PCR untuk identifikasi M. tuberculosis.  Histopatologis: granuloma tuberkel dengan sel epiteloid, sel raksasa Langhans, dan infiltrat mononuklear Inokulasi primer (tuberculosis chancre)  Tes tuberkulin positif setelah afek primer beberapa pekan  Kultur atau PCR untuk identifikasi M. tuberculosis Tuberkulosis milier kutis  Tes tuberkulin umumnya negatif  Histopatologis: nekrosis jaringan dengan infiltrat nonspesifik. Basil tuberkel banyak ditemukan Tuberkulosis kutis orifisialis  Tes tuberkulin positif kuat  Histopatologis: bakteri tahan asam banyak ditemukan pada tuberkel maupun dinding ulkus

III

90

Penatalaksanaan

Dermatologi Infeksi

: Medikamentosa 1. Topikal - Pada bentuk ulkus: kompres kalium permanganas 1/5000 D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 90

SK I

2. Sistemik  Tahap intensif (dua bulan)  INH dewasa : 5 mg/kgBB/hari, oral, dosis tunggal  Rifampisin 10 mg/kgBB/hari, oral, dosis tunggal pada saat lambung kosong (sebelum makan pagi) o Anak : 10-20mg/kgBB/hari. Maksimal : 600mg/hari  Etambutol : 15-25 mg/kgBB/hari, oral, dosis tunggal o Anak: Maksimal 1250mg/hari  Pirazinamid: 20-30 mg/kgBB/hari, oral, dosis terbagi o Anak : 30-40mg/kgBB/hari. Maksimal : 2000mg/hari

DO

 Tindak lanjut (empat bulan berikut) o INH: dewasa 5 mg/kgBB/hari, anak 10 mg/kgBB/hari (maksimal 300mg/hari), oral, dosis tunggal o Rifampisin: 10 mg/kgBB/hari, anak 1020mg/kgBB/hari (maksimal 600mg/hari), oral, dosis tunggal pada saat lambung kosong

Kriteria penyembuhan: Skrofuloderma:  Fistel dan ulkus menutup  Kelenjar getah bening mengecil, berdiameter kurang dari 1 cm, dan konsistensi keras  Sikatriks eritematosa menjadi tidak merah lagi  Laju endap darah menurun dan normal kembali

PE R

Tuberkulosis verukosa  Tidak dijumpai lesi serpiginosa  Dijumpai sikatriks tidak eritematosa  Laju endap darah menurun dan normal kembali.

IV

Kepustakaan

: 1. Gupta KA, Tu LQ. Dermatophytosis: Diagnosis and treatment. J Am Acad Dermatol 2006;54:1050-5. 2. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaudhry MM. Optimal Management of Fungal Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin Dermatol 2004; 5 (4): 225-37 3. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2225

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 91

Dermatologi Infeksi

91

V Bagan Alur

SK I

Observasi tuberkulosis kutis

Pemeriksaan penunjang (biopsi kulit)

Tidak

Ya

DO

Rontgen paru

PE R

Negatif

92

Dermatologi Infeksi

Terapi sesuai TB kulit

Positif

Terapi sesuai TB kulit

Dermatologi Infeksi |

B.18. VARISELA (B01)

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: Infeksi akut oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorfi, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Kelainan pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh infeksi primer virus varisela-zoster dengan karakateristik demam, malese, dan vesikel yang tersebar generalisata : :  Demam, nyeri kepala, dan lesu, sebelum timbul ruam kulit.  Lesi berupa makula eritematosa yang dapat berubah menjadi vesikel ”dewdrop on rose petal appearance”  Dalam beberapa jam sampai 1-2 hari lesi membentuk krusta dan mulai menyembuh.  Lesi biasanya mulai dari kepala atau badan berupa makula eritematosa yang cepat berubah menjadi vesikel.  Lesi menyebar sentrifugal (dari sentral ke perifer) sehingga dapat ditemukan lesi baru di ekstremitas, sedangkan di badan lesi sudah berkrusta.  Pada anak-anak, erupsi kulit terutama berbentuk vesikular: beberapa kelompok vesikel timbul 1-2 hari sebelum erupsi meluas.  Jumlah lesi bervariasi, mulai dari beberapa sampai ratusan. Umumnya pada anak-anak lesi lebih sedikit, biasanya lebih banyak pada bayi (usia < 1 tahun), pubertas dan dewasa.  Kadang-kadang lesi dapat berbentuk bula atau hemoragik.  Selaput lendir sering terkena, terutama mulut, dapat juga konjungtiva palpebra, dan vulva.  Keadaan umum dan tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dsb) dapat memberikan petunjuk tentang berat ringannya penyakit.  Status imun pasien perlu diketahui untuk menentukan apakah obat antivirus perlu diberikan. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat membantu menentukan status imun pasien, antara lain: Keadaan imunokompromis, misalnya keganasan, infeksi HIV/AIDS,pengobatan dengan imunosupresan, misalnya kortikosteroid jangka panjang atau sitostatik, kehamilan, bayi berat badan rendah akan menyebabkan gejala dan klinik lebih berat

SK I

Definisi

PE R

DO

I

Diagnosis banding





Pemeriksaan penunjang

: 1. Hand, food and mouth disease ; pola penyebaran lebih akral, mukosa lebih banyak terkena, sel Tzank tidak ditemukan. 2. Reaksi vesikular terhadap gigitan serangga: seringkali berkelompok, pola penyebaran akral, berupa urtikaria papular dengan titik di tengahnya. D e r m a t o l o g i I n f e k s i | 93 3. Erupsi obat variseliformis. Sel Tzank tidak ditemukan sel raksasa bertumpukan inti. 4. Lain-lain: dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et varioliformis akut, skabies impetigenisata,Infeksi moluskum 93 Dermatologi kontagiosum, impetigo :  

Jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi Pada pemeriksaan darah tepi : jumlah leukosit dapat sedikit meningkat, normal, atau sedikit menurun



Pemeriksaan penunjang

:     

Penatalaksanaan

Jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi Pada pemeriksaan darah tepi : jumlah leukosit dapat sedikit meningkat, normal, atau sedikit menurun beberapa hari pertama. Ensim hepatik : kadang meningkat. Sel raksasa berinti bantak dengan pemeriksaanTzank; biasanya positif, tetapi juga ditemukan pada infeksi HSV Kultur virus dari cairan vesikel : seringkali positif pada 3 hari pertama, tetapi tidak dilakukan karena sulit dan mahal.

: Nonmedikamentosa  Bila mandi, harus hati-hati agar vesikel tidak pecah  Jangan menggaruk dan dijaga agar vesikel tidak pecah, biarkan mengering dan lepas sendiri  Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah mencapai stadium krustasi  Rawat bila berat, bayi, usia lanjut dan dengan komplikasi  Makanan lunak, terutama bila terdapat banyak lesi di mulut

DO

III

SK I

berkelompok, pola penyebaran akral, berupa urtikaria papular dengan titik di tengahnya. 3. Erupsi obat variseliformis. Sel Tzank tidak ditemukan sel raksasa bertumpukan inti. 4. Lain-lain: dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et varioliformis akut, skabies impetigenisata, moluskum kontagiosum, impetigo

PE R

Medikamentosa: 1. Topikal Lesi vesikular: diberi bedak agar vesikel tidak pecah, dapat ditambahkan mentol 2% atau antipruritus lain Vesikel sudah pecah/krusta: antiseptik 2. Sistemik:

 Antivirus Dapat diberikan pada : usia pubertas, dewasa, pasien yang tertular orang serumah, neonatus dari ibu yang menderita varisela 2 hari sebelum sampai 4 hari sesudah melahirkan. Bermanfaat terutama bila diberikan < 24 jam setelah timbulnya erupsi kulit Dosis : Asiklovir  Bayi/anak : 4 x 20-40 mg/kg (maks. 800 mg/hr) selama 5-7 hari  Dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 5-7 hari  Valasiklovir, untuk dewasa 3 x 1 gram/hari selama 7

94

Dermatologi Infeksi

hari D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 94  Simtomatik Antipiretik : diberikan bila demam, hindari salisilat karena dapat menimbulkan sindrom Reye Antipruritus : antihistamin yang mempunyai efek sedatif, atau sedativa  Vaksinasi Diindikasikan kepada semua dewasa yang tidak menunjukkan adanya imunitas terhadap varisela, kecuali mereka memiliki kontraindikasi (alergi, imunodefisiensi parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan

Kepustakaan

V

Bagan Alur

:

1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill, 2012; 2383. 2. KSHI. Penatalaksanaan kelompok penyakit herpes di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: 2002. 3. Tami Hendrikz, Philip Malouf, James E. Foy. Vaccines for Measles, Mumps, Rubella, Varicella, and Herpes Zoster : Immunization Guidelines for Adults. J Am Osteopath AssocOctober 1, 2011 vol. 111 no. 10 suppl 6 S10-S12

DO

IV

SK I

hari  Simtomatik Antipiretik : diberikan bila demam, hindari salisilat karena dapat menimbulkan sindrom Reye Antipruritus : antihistamin yang mempunyai efek sedatif, atau sedativa  Vaksinasi Diindikasikan kepada semua dewasa yang tidak menunjukkan adanya imunitas terhadap varisela, kecuali mereka memiliki kontraindikasi (alergi, imunodefisiensi parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan jarak 4 pekan.

Gejala & pemeriksaan klinis suspek varisela

Tidak

Ya

VARISELA

PE R

Diagnosis banding lainnya

Imunokompeten

Imunokompromais

Simtomatis Antipruritus : Antihistamin Antipiretik : Parasetamol Farmakoterapi Antiviral

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 95

Dermatologi Infeksi

95

VERUKA VULGARIS / COMMON WARTS B.19.B.19. VERUKA VULGARIS / COMMON WARTS (B07)(B07) Definisi Definisi I

: Penyakit disebabkan berbagai papilomavirus : Penyakit disebabkan berbagai tipe tipe papilomavirus ditandai proliferasi epitelial Infeksi diawali ditandai proliferasi jinak jinak epitelial kutan.kutan. Infeksi diawali inokulasi ke epidermis melalui epidermal. inokulasi virus virus ke epidermis melalui barierbarier epidermal. Maserasi kulit merupakan predisposisi utama. Maserasi kulit merupakan faktorfaktor predisposisi utama. imunokompromis, lesi dapat Pada Pada kasuskasus imunokompromis, lesi dapat luas luas dan dan rekalsitran. rekalsitran.

II

Kriteria diagnostik Kriteria diagnostik II  Klinis  Klinis

:

:

SK I

I

: Veruka Vulgaris : Veruka Vulgaris KutanKutan DItemukan tunggal berkelompok, DItemukan lesi lesi kulit kulit tunggal atau atau berkelompok, bersisik, memiliki permukaan berupa bersisik, memiliki permukaan kasarkasar berupa papulpapul atau atau seperti duri. muncul Lesi muncul secara perlahan nodulnodul yang yang seperti duri. Lesi secara perlahan bertahan dengan ukuran dan dan dapatdapat bertahan dengan ukuran kecil, kecil, atau atau membesar. Lesi dapat menyebar ke bagian membesar. Lesi dapat menyebar ke bagian tubuhtubuh lain. lain.

dan klavus  Diagnosis banding :  :  KalusKalus dan klavus Diagnosis banding  Kista Kista epidermal  epidermal inklusiinklusi  Keratosis Keratosis arsenik  arsenik  Granuloma Granuloma piogenik  piogenik  Psoriasis Psoriasis   Sifilis Sifilis sekunder  sekunder  Karsinoma Karsinoma kunikulatum  kunikulatum  Milkers Milkers nodules nodules   Orf Orf 

PE R



DO

Veruka vulgaris Mukosa Veruka vulgaris Mukosa umumnya berwarna Lesi Lesi umumnya kecil, kecil, lunak,lunak, berwarna merahmerah mudamuda atau putih. Biasanya ditemukan di gusi, mukosa atau putih. Biasanya ditemukan di gusi, mukosa labial,labial, palatum durum. Terkadang lidah,lidah, atau atau palatum durum. Terkadang dapatdapat pula pula muncul di uretra dan dapat menyebar ke kandung muncul di uretra dan dapat menyebar ke kandung kemih. disebabkan karena kontak seksual. kemih. DapatDapat disebabkan karena kontak seksual.



III

 Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang penunjang

Penatalaksanaan Penatalaksanaan III

96

Dermatologi

 Pemeriksaan histopatologi :  : Pemeriksaan histopatologi

: Nonmedikamentosa: : Nonmedikamentosa: Penularan veruka vulgaris adalah melalui paparan Penularan veruka vulgaris adalah melalui paparan langsung lesi yang mengandung langsung pada pada lesi yang mengandung virus.virus. Hindari paparan langsung. Hindari paparan langsung. Medikamentosa: Medikamentosa: Prinsip : destruksi sel terinfeksi, dan rekurensi Prinsip terapiterapi : destruksi sel terinfeksi, dan rekurensi seringkali terjadi, apapun modalitas dipakai. seringkali terjadi, apapun modalitas yang yang dipakai. Pemilihan pengobatan bergantung dari lokasi, jumlah, Pemilihan pengobatan bergantung dari lokasi, jumlah, dan ukuran, dan kooperasi dari pasien. dan ukuran, serta serta umur umur dan kooperasi dari pasien. pasien anak-anak, biasanya diperlukan Pada Pada pasien anak-anak, biasanya tidak tidak diperlukan karena biasanya regresi dengan terapi,terapi, karena biasanya akan akan regresi dengan sendirinya. diperhatikan adalah sendirinya. Yang Yang harusharus diperhatikan adalah virus virus tersebut dapat menyebar ke orang lain. D ea rt m s i | 96 Derm o laotgoi l oI ng fi eI knsf ie |k96 Terapi: 1. Agen kaustik seperti : asam salisilat, asam laktik, asam triklorasetat, asam retinoat 2. Podofilin (kontraindikasi pada wanita hamil) 3. 5-fluorouracil Infeksi 4. Bleomisin intralesi 5. Isotretinoin oral 6. Cantharidin Tindakan : 1. Cryotherapy menggunakan nitrogen cair yang

V

Alur

: 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest

BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012;2421-2433 2. Chunjun Yang, Shengxiu Liu, Sen Yang. Treatment of facial recalcitrant verruca vulgaris with holmium: YAG laser: An update. Journal of Cosmetic and Laser Therapy. 2013. 15(1).pp 39-41 3. Federica Dall’Oglio, Valentina D’Amico, Maria R. Nasca, Giuseppe Micali. Treatment of Cutaneous Warts. Am J Dermatol 2012 : 13(2),pp73-96

DO

Kepustakaan

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala suspek veruka vulgaris

PE R

IV

SK I

tersebut dapat menyebar ke orang lain. Terapi: 1. Agen kaustik seperti : asam salisilat, asam laktik, asam triklorasetat, asam retinoat 2. Podofilin (kontraindikasi pada wanita hamil) 3. 5-fluorouracil 4. Bleomisin intralesi 5. Isotretinoin oral 6. Cantharidin Tindakan : 1. Cryotherapy menggunakan nitrogen cair yang dibubuhi pada ujung kapas atau tabung semprot 2. Kuretase atau eksisi pada yang tidak respons pada pengobatan topikal 3. Laser

Tidak

Diagnosis banding lainnya

Ya Veruka Vulgaris

Medikamentosa  Terapi  Bedah

D e r m a t o l o g i   I n f e k s i | 97

Dermatologi Infeksi

97

SK I DO

C

PE R

GENODERMATOSIS

98

Genodermatosis

C.1. AKRODERMATITIS ENTEROPATIKA (E83.2) Definisi

: Akrodermatitis enteropatika (AE, MIM 201100): ialah kelainan akibat defisiensi zink yang diturunkan secara resesif autosomal. Penyebab pasti belum diketahui, diduga karena mutasi gen SLC39A4 pada kromosom 8q24.3, yang mengkode transporter zink Zip4 menyebabkan defek absorpsi zink di usus halus.

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :    



Diagnosis banding

: 1. Malabsorpsi akibat defisiensi zink didapat, biotin, vitamin B12, asam lemak esensial 2. Kwashiorkor 3. Fibrosis kistik



Pemeriksaan penunjang

: 

PE R III.

Terjadi beberapa hari hingga pekan setelah lahir pada bayi yang diberi susu formula, atau segera setelah disapih. Ditandai trias: lesi kulit akral dan periorifisial, diare, dan alopesia Tempat predileksi: akral jari tangan dan kaki, perioral, periokular, anogenital Kelainan kulit: dermatitis eksematosa, simetris, bula dan erosi dibatasi krusta pada bagian perifer lesi. Keadaan umum buruk, lemah, anoreksia. Dapat disertai gejala sistemik lainnya akibat defisiensi zinc

DO

 

SK I

I.

Penatalaksanaan



Pengukuran kadar zink plasma: <50 μg/dl (normal: 70 – 250 μg/dl, defisiensi ringan: 40 – 60 μg/dl) Histopatologi: parakeratosis konfluen, spogiosis fokal, akantosis epidermal, serta gambaran dermatitis psoriasiformis

: Nonmedikamentosa: Mengkonsumsi makanan berkadar zink tinggi, (daging, ikan, unggas, telur) dan suplemen makanan mengandung zink. Medikamentosa: Prinsip: suplementasi zink seumur hidup 1. Topikal: Krim pelembab atau krim antibiotik (bila ada infeksi sekunder) 2. Sistemik: Anak: zink elemental 0,5-1 mg/kg 1-2 kali/hari Dewasa: zink elemental 15-30 mg/hari G e n o d e r m a t o s i s | 99

Genodermatosis

99

Tindak lanjut: Untuk kelainan bawaan dipantau kadar zink plasma setiap 6 bulan sekali secara teratur : 1. Jen M, Yan AC. Cutaneous changes in nutriotional disease. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th. New York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012. p. 1521-3. 2. Paller AS, Mancini AJ. Inborn errors of metabolism. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. p. 548-50. 3. Ruiz-Maldonado R, Orozco-Covarrubias L. Skin manifestastions of nutritional disorders. Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, editor. Textbook of Pediatric dermatology.Edisi ke-2. Oxford: Blackwell Science; 2006.h. 603 (Mohon gunakan referensi terbaru) 4. Corbo MD, Lam J. Zinc deficiency and its management in the pediatric population: a literature review and proposed etiologic classification. J Am Acad Dermatol 2013; 69: 616-25.

SK I

Kepustakaan

PE R

DO

IV.

 

100

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 100 

V.  

Bagan Alur Riwayat:

SK I

eksematisasi akut, dermatitis erosif, diare Gambaran klinis:

  pada tepi lesi Erosi-ekskoriasi disertai bula dan krusta di daerah akral, perioral, periokular, anogenital, tangan Kadar zink serum

Normal 

< 50 μg/dl

 

Akrodermatitis enteropatika

DO

Penyakit lain 

Konsumsi makanan kaya zink Bila perlu: Konsul spesialis gizi?

Sistemik Seng pikolinat atau seng glukonat (dosis sesuai kadar zink serum) Topikal:

PE R

  Krim antibiotik (infeksi sekunder)

Sembuh

Evaluasi kadar zink setiap 6 bulan

G e n o d e r m a t o s i s  | 101 

 

Genodermatosis

101

C.2. INKONTINENSIA PIGMENTI (SINDROM BLOCH-SULZBERGER) (L80)

II.

Definisi

: Inkontinensia pigmenti (IP, MIM 308300) merupakan sindrom neurokutan yang diturunkan secara dominan terkait X dan dan bersifat letal in utero pada sebagian besar laki-laki yang terkena dan ekspresinya bervariasi pada wanita. Berbagai kelainan rambut, kuku, skeletal, anomali gigi, mata dan saraf berkaitan dengan kelainan ini. Mutasi pada gen NEMO (nuclear factor-kappa B (NF-B) essential modulator) yang terletak pada kromosom Xq28 ditemukan sebagai penyebab IP. NEMO dibutuhkan untuk aktivasi faktor transkripsi NF-B dan oleh karenanya sangat penting pada berbagai jalur imunologi, inflamasi dan apoptosis.

Kriteria diagnostik

: :

Klinis

Manifestasi pada kulit secara klasik dibagi menjadi 4 stadium, namun demikian tidak seluruh stadium muncul dan beberapa stadium dapat tumpang tindih. Kelainan yang terjadi pada kulit terdistribusi mengikuti garis Blaschko. Lesi kulit pada stadium yang berbeda ditandai oleh: Stadium 1: eritema, vesikel dan pustul Stadium 2: papul, lesi verukosa, dan hiperkeratosis Stadium 3: hiperpigmentasi Stadium 4: hipopigmentasi, atrofi dan skar/sikatriks

PE R

DO



SK I

I.

102

Genodermatosis





Stadium 1 biasanya terjadi dalam beberapa minggu pertama kehidupan dan ditandai oleh vesikel atau pustul yang timbul di atas kulit yang eritematosa. Vesikel dapat ditemukan di manapun pada tubuh tetapi biasanya tidak pada wajah. Secara khas erupsi vesikobulosa tampak pada saat atau segera setelah lahir, dan mengikuti garis Blaschko. Vesikel/ bula menyembuh dalam beberapa minggu dan kadang-kadang diikuti oleh erupsi baru. Stadium 1 berakhir dalam 4 bulan, meskipun episode erupsi vesikobulosa pernah dilaporkan kambuh pada sebagian kasus pada usia dewasa yang dipicu oleh demam atau infeksi. Lesi hiperkeratotik pada stadium 2 dapat timbul lebih awal (usia 4 minggu). Biasanya lesi tersebut timbul pada ekstremitas bawah, saat lesi G e n o d e r m a t o s i s  | 102





DO



SK I



vesikobulosa mulai menyembuh. Pada lebih dari 80% kasus lesi hiperkeratotik menyembuh dalam 6 bulan. Stadium 3 adalah lesi IP yang paling khas, berupa garis hiperpigmentasi, terutama pada badan mengikuti garis Blaschko. Hiperpigmentasi memudar dan menghilang pada akhir usia dekade ke-2. Stadium 4 terjadi pada sebagian kecil pasien IP, ditandai oleh patch atau alur hipopigmentasi tak berambut (hairless) terutama pada tungkai bawah. Selain hal tersebut di atas, gambaran khas IP adalah focal absence of sweating. Pada kuku dapat dijumpai rigi, pitting dan perubahan menyerupai onikogrifosis. Dapat pula timbul tumor hiperkeratotik subungual. Alopesia sikatrikal pada vertex sering didapatkan, dan dapat ditemukan sebagai tanda sisa (residual sign) IP pada pasien yang lebih tua. Manifestasi okular pada pasien IP sering asimetrik dan didapatkan pada 25%-77% pasien, a.l.: iskemia retina, neovaskularisasi retina dengan perdarahan dan eksudasi, gliosis preretina, atrofi optik dan hipoplasi foveal; mikroftalmos, katarak, pigmentasi konjungtiva, perubahan kornea, hipoplasia iris, uveitis, ftisis; nistagmus, strabismus, miopia. Kelainan neurologis meliputi kejang (sering dimulai pada minggu-minggu awal kehidupan), paralisis spastik, retardasi mental dan motorik, serta mikrosefalus. Kelainan gigi terjadi pada lebih dari 80% kasus, berupa tidak tumbuh gigi, gigi bentuk konus dengan tambahan Cup di gigi posterior, dan gigi terlambat tumbuh. Kelainan pada gigi tersebut dapat membantu menegakkan diagnosis IP. Anomali kardiovaskular kadang-kadang dilaporkan terjadi pada pasien IP, meliputi: fibrosis endomiokardial, tetralogi Fallot asianosis dan insufisiensi trikuspidalis, hipertensi pulmonal.



PE R





Diagnosis banding



: Bergantung pada stadium klinis IP. Lesi vesikular: herpes simpleks, varisela, impetigo, kandidiasis, eritema toksikum, melanosis pustular, akropustulosis infantil, dan miliaria rubra. Lesi verukosa: nevus linear epidermal Lesi hiperpigmentasi: sindrom Naegeli-FrancheschettiJadassohn. G e n o d e r m a t o s i s  | 103 

 

Genodermatosis

103

Pemeriksaan penunjang

: Nonmedikamentosa:  Edukasi tentang penyakit dan himbauan untuk skrining oftalmologi secara rutin sebulan sekali pada tahun pertama kehidupan, kemudian evaluasi tiap tahun karena adanya insidensi tinggi terjadinya squint dan ambliopia.  Monitor neurologik yang teliti karena keterlibatan saraf pusat sering manifes dalam mingu-minggu awal kehidupan.  Konseling genetik - Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada setiap kelahiran anak perempuan, umumnya bila laki-laki terkena, berat dan fatal - Penjelasan penyakit dan progresivitas: kelainan tidak hanya di kulit tetapi dapat mengenai organ lain. Kelainan kulit menjadi hipopigmentasi pada stadium 4, kemudian dapat menghilang. - Konseling marital

PE R

DO

Penatalaksanaan

: Pemeriksaan histopatologik (HE) pada setiap fase:  Fase-1: spongiosis intraepidermal dan vesikel/bula dengan eosinofil dan sel-sel diskeratotik  Fase-2: lesi hiperkeratosis dengan diskeratosis dan eosinofil  Fase-3: pigmen inkontinensia–kadang-kadang dengan clumps besar  Fase-4: tanpa pigmen di epidermis, tidak ada inkontinensia, tidak ada eosinofil, tidak didapatkan glandula ekrin. Diagnosis pasti dengan ditemukannya mutasi gen NEMO pada kromosom Xq28.

SK I



Medikamentosa: Prinsip: - Terapi lokal terhadap lesi vesikel/bula untuk melindungi terhadap infeksi dan skar. Pada stadium yang 2,3,4, kulit mungkin kering dan perawatan kulit dengan pelembab sangat penting. - Konsultasi ke dokter spesialis anak, mata, gigi, dan saraf

G e n o d e r m a t o s i s  | 104   

104

Genodermatosis

Kepustakaan

: 1. Berlin AL, Paller AS, Chan LS. Incontinentia pigmenti: A review and update on the molecular basis of pathophysiology. J Am Acad Dermatol 2002; 47: 16987. 2. Aradhya S, Nelson DL. NF-kappaB signaling and human disease. Curr Opin Genet Dev 2001; 11: 300-6. 3. The International Incontinentia Pigmenti Consortium. Genomic rearrangement in NEMO impairs NF-kappaB activation and is cause of incontinentia pigmenti. Nature 2000; 405: 466-72. 4. Aradhya S, Woffendin H, Jakins T, et al. A recurrent deletion in the ubiquitously expressed NEMO (IKKgamma) gene accounts for the vast majority of incontinentia pigmenti mutations. Hum Mol Genet 2001; 10: 2171-9. 5. Minić S, Trpinac D, Obradović M. Systematic review of central nervous system anomalies in incontinentia pigmenti. Orphanet J Rare Dis 2013. doi: 10.1186/1750-1172-8-25.

PE R

DO

SK I

IV.

G e n o d e r m a t o s i s  | 105 

 

Genodermatosis

105

C.3. EPIDERMOLISIS BULOSA YANG DITURUNKAN (Q81.9) : Istilah epidermolisis bulosa (EB) mengacu kepada kelompok heterogen kelainan mekanobulosa yang diturunkan secara genetik, khas ditandai oleh bula pada kulit, dan kadang-kadang pada mukosa, karena respons terhadap trauma gesekan ringan.

Definisi

SK I

I.

PE R

DO

Klasifikasi: Telah dilakukan revisi klasifikasi EB yang diturunkan, berdasarkan fenotip klinis dan genotip, yaitu: 1. EB-Simpleks (EBS, “epidermolytic EB”) yang meliputi:  EBS-WC (Weber-Cockayne; protein/gen yang terlibat: K5, K14); OMIM 131800  EBS-K (Köbner; protein/gen yang terlibat: K5, K14); OMIM 131900  DM (Dowling-Meara; protein/gen yang terlibat: K5, K14); OMIM 131760  EBS-MD (with muscular dystrophy; protein/gen yang terlibat: Plectin) 2. Junctional EB (JEB)  JEB-H (Herlitz; protein/gen yang terlibat: laminin-5)  JEB-nH (non-Herlitz; protein/gen yang terlibat: Laminin-5; kolagen tipe XVII)  JEB-PA (with pyloric atresia; protein/gen yang terlibat: integrin 64) 3. Dystrophic EB, DEB”)  DDEB (Dominant dystrophic EB; protein/gen yang terlibat: kolagen tipe VII); OMIM 131750  RDEB-HS (recessive dysrophic EB; HallopeauSiemens; protein/gen yang terlibat: kolagen tipe VII); OMIM 226600  RDEB-nHS (recessive dystrophic EB; nonHallopeau-Siemens; protein/gen yang terlibat: kolagen tipe VII)

Cara penurunan EB yang diturunkan Tipe utama EB EBS JEB DEB

106

Genodermatosis

Cara transmisi yang sering

Dominan autosomal Resesif autosomal Dominan autosomal Resesif autosomal

Cara transmisi yang jarang

Resesif autosomal Dominan autosomal-/ Resesif autosomal Heterozigot

G e n o d e r m a t o s i s | 106

Kriteria diagnostik Tabel 1. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB simpleks

Cara penurunan  Awitan (biasanya)  Distribusi kulit (predominan) 

EBS, Köbner

75,1%-100% 1%-5% 10,1%-25% 10,1%-25%

75,1%-100% 10,1%-25% 50,1%-75% 50,1%-75%

  75,1%-100% 10,1%-25% 25,1%-50% 75,1%-100%

<1% <1% Kalus fokal

1%-5% 5,1%-10% Kalus fokal

Tidak ada  1%-5%  Sering konfluen

Tidak ada

Tidak ada

Bervariasi

Sering

Bula tersusun herpetiformis Sering 

1%-5% <1%

10,1%-25% 1%-5%

10,1%-25% Frekuensi normal 1%-5% <1% <1% Tidak ada <1%

10,1%-25% Frekuensi normal 10,1%-25% 1%-5% 1%-5% Tidak ada 1%-5%

10,1%-25% Frekuensi normal 10,1%-25% 1%-5%  5,1%-10% 1%-5%  5,1%-10%  

Tidak ada Tidak ada Tidak ada 0,6%

Tidak ada Tidak ada Tidak ada 0,6%

Tidak ada  Tidak ada  Tidak ada  1,4% 

ADA Sejak lahir

Generalisata (jarang pada telapak tangan dan telapak kaki)

DO

Kelainan pada kulit (frekuensi)  Bula  Milia  Skar atrofik  Distrofi kuku atau tak ada kuku  Jaringan granulasi  Abnormalitas kepala  Keratoderma (telapak tangan dan telapak kaki)  Lain-lain 

EBS, WeberCockayne ADA Bayi atau kanakkanak awal Telapak tangan dan telapak kaki 

PE R

Relative inducibility bulla (pencetus)  Keterlibatan ekstrakutan  Anemia  Retardasi pertumbuhan  Kavitas oral  Abnormalitas jaringan lunak  Hipoplasi enamel  Karies  Saluran gastrointestinal  Saluran genitourin  Okular  Pseudosindaktili  Saluran pernafasan  Risiko kumulatif pada usia 30 untk menderita:  Karsinoma sel skuamosa  Melanoma maligna  Karsinoma sel basal  Mati (semua penyebab) 

   Ket: ADA: dominan autosomal    

EBS, DowlingMeara  ADA  Sejak lahir

SK I

 

Generalisata

  5,1%-10% 10,1%-25%    

G e n o d e r m a t o s i s  | 107   

Genodermatosis

107

Tabel 2. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB junctional

75,1%-100% 5,1%-10% 50,1%-75% 75,1%-100% 50,1%-75% 10,1%-25% Absen

JEB, non-Herlitz RA  Sejak lahir Generalisata   75,1%-100% 5,1%-10%  50,1%-75% 75,1%-100% 10,1%-25% 25,1%-50% Absen 

Tidak ada Tinggi

Tidak ada  Tinggi 

SK I

JEB, Herlitz RA Sejak lahir Generalisata

50,1%-75% 25,1%-50%

PE R

DO

  Cara penurunan  Awutan (biasanya)  Distribusi kulit (predominan)  Kelainan pada kulit (frekuensi)  Bula  Milia  Skar atrofik  Distrofi kuku atau tak ada kuku  Jaringan granulasi  Abnormalitas kepala  Keratoderma (telapak tangan dan telapak kaki)  Lain-lain  Relative inducibility bulla (munculnya bula setelah trauma)  Keterlibatan ekstrakutan  Anemia  Retardasi pertumbuhan  Kavitas oral  Abnormalitas jaringan lunak Hipoplasia enamel  Karies  Saluran gastrointestinal  Saluran genitourin  Okular  Pseudosindaktili  Saluran pernafasan  Risiko kumulatif pada usia 30 untuk menderita:  Karsinoma sel skuamosa  Melanoma maligna  Karsinoma sel basal  Mati (semua penyebab) 

50,1%-75% 75,1%-100% Eksesif 25,1%-50% 5,1%-10% 25,1%-50% 5,1%-10% 25,1%-50% Tidak ada Tidak ada Tidak ada 42,2%

  5,1%-10%  10,1%-25%   75,1%-100% 75,1%-100% Eksesif  10,1%-25% 5,1%-10%  25,1%-50% Absen  10,1%-25%   Jarang  Tidak ada  Tidak ada  38,2% 

Ket: RA: resesif autosomal  

108  

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 108 

Tabel 3. Perbandingan gambaran klinis subtipe EB distrofik DDEB

RDEB, Hallopeau-Siemens 

Cara penurunan  Awitan (biasanya)  Distribusi kulit (predominan)  Kelainan pada kulit (frekuensi)  Bula  Milia  Skar atrofik  Distrofi kuku atau tak ada kuku  Jaringan granulasi  Abnormalitas kepala  Keratoderma (telapak tangan dan telapak kaki)  Lain-lain  Relative inducibility bulla (pencetus)  Keterlibatan ekstrakutan Anemia  Retardasi pertumbuhan  Kavitas oral  Abnormalitas jaringan lunak  Hipoplasia enamel  Karies 

ADA  Sejak lahir Generalisata   75,1%-100%   75,1%-100% 75,1%-100%

RA Sejak lahir Generalisata

75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%

RDEB, nonHallopeauSiemens RA  Sejak lahir Generalisata   75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100% 75,1%-100%

Absen 10,1%-25% Tidak ada

10,1%-25% 25,1%-50% Tidak ada

10,1%-25% 10,1%-25% Tidak ada

Tidak ada Tinggi

Tidak ada Tinggi 

Tidak ada Bervariasi

  25,1%-50% 10,1%-25%   75,1%-100%

75,1%-100% 75,1%-100%

DO

  10,1%-25% 1%-5%   50,1%-75%

SK I

 

75,1%-100%

10,1%-25% Frekuensi normal

10,1%-25% Frekuensi normal

10,1%-25% 1%-5% Absen Absen Absen  

75,1%-100% 1%-5% 50,1%-75% 75,1%-100% 1%-5%

Tidak ada 0,8% 

39,6% 2,5% (sampai usia 12)

Karsinoma sel basal  Mati (semua penyebab) 

0,9%  Tidak ada

Tidak ada 38,7%

PE R

Saluran gastrointestinal  Saluran genitourin  Okular  Pseudosindaktili  Saluran pernafasan  Risiko kumulatif pada usia 30 untuk menderita:  Karsinoma sel skuamosa  Melanoma maligna 

 

III.

Penatalaksanaan

25,1%-50% Frekuensi normal  25,1%-50% 1%-5%  10,1%-25% 25,1%-50% 1%-5%    14,3%  0,7% (sampai usia 12) Tidak ada 10% 

: Di tingkat pelayanan dasar: EB ringan EB simpleks Di tingkat pelayanan lanjut: EB berat Nonmedikamentosa : Cara perawatan kulit berlepuh: hindari tindakan yang menimbulkan trauma ringan; pakaian kasar, plester gosokan saat mandi. Sepatu G e n o d e r m a t o s i s  | 109 



 

Genodermatosis

109





SK I



sebaiknya lembut dan longgar. Perlu kerjasama dengan fisioterapis untuk mencegah kontraktur. Menjaga nutrisi: makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Pada bentuk distrofik makanan harus lembut atau cair. Pada bayi hindari penggunaan bottle feeding, makanan/ susu dapat diberikan dengan sendok lembut, serta hindari makanan panas/ terlalu dingin. Perawatan intensif di ruang perinatal intensive care unit, bekerjasama dengan dokter spesialis anak, mata, THT, gizi, dll. Perawatan di inkubator, infus cairan dan nutrisi. Konseling genetik: - Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada setiap kelahiran - Penjelasan penyakit dan progresivitas - Konseling marital

PE R

DO

Medikamentosa: Prinsip:  Melindungi kulit terbuka dan mencegah infeksi/ sepsis, terapi paliatif.  Pada kondisi berat harus dirawat intensif di ruang perinatal dan ditangani oleh dokter spesialis anak, kulit, dan fisioterapis.

 

110

Genodermatosis

1.Topikal: - Antibiotik untuk bagian yang mengalami erosi atau ekskoriasi, dirawat terbuka sesuai perawatan luka bakar. - Kortikosteroid pada kasus yang berat (misalnya tipe Herlitz) 2.Sistemik: - Kortikosteroid pada kasus yang berat dan fatal - Vitamin E dosis tinggi untuk tipe distrofik (anti kolagenase): 600-2000 iμ/ hari - Difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kgBB/hari harus hati-hati karena jarak dosis terapeutik-dosis letal sangat pendek. Tindak lanjut: 1. Pantau setiap 1 bulan terhadap kelainan kulit yang timbul 2. Konsultasikan keadaan umum, pada dokter spesialis anak/ perinatologi untuk komplikasi dan nutrisi. G e n o d e r m a t o s i s  | 110 

Kepustakaan

: 1. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith

2.

3.

5.

Bruckner  AL.  Epidermolysis  bullosa.  In:  Eichenfield  LF,  Frieden IJ, Esterly NB, eds. Neonatal Dermatology. 2nd ed.  Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 159‐72. 

PE R

DO

.

LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012 Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. A Textbook of Skin Disorders of Childhood th and Adolescence. 4 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p. 303‐13. Atherton DJ. Mellerio JE, Denver JE. Epidermolysis bullosa. Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, editor. Textbook of Pediatric dermatology. Edisi ke-3. Oxford: Blackwell Science, 2006.

SK I

IV.

G e n o d e r m a t o s i s  | 111   

Genodermatosis

111

PE R

DO

SK I

Bagan Alur: Pendekatan diagnosis pasien epidermolisis bulosa yang diturunkan (genetik)

 

112

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 112 

C.4. TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX (Q85.1) :

Tuberous sclerosis complex (TS; OMIM 191100) merupakan kelainan yang diturunkan secara dominan autosomal dengan ekspresivitas yang bervariasi, ditandai oleh hamartoma di berbagai organ terutama kulit, otak, mata, jantung dan ginjal. TS diperkirakan terjadi pada 1 : 10000 populasi dan terjadi pada semua kelompok etnis. TS disebabkan oleh mutasi pada 2 gen yang berbeda, yaitu TSC1 pada kromosom 9q34 dan TSC2 pada kromosom 16p13.

II. Kriteria diagnostik : 

Klinis

:





Pada bayi dan anak sering didahului oleh kejang mioklonik generalisata atau fokal. Namun demikian, tidak ada gambaran EEG yang patognomonik pada penyakit ini. Kelambatan tumbuh kembang, retardasi mental, autisme, dan gangguan perilaku merupakan tanda yang paling sering ditemukan. Terdapat korelasi antara spasme infantil atau kejang generalisata dengan retardasi mental, maupun antara usia awitan kejang dengan beratnya retardasi mental. Makula hipopigmentasi berbentuk bulat atau oval, tetapi lesi yang paling karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot). Ukurannya bervariasi mulai dari 1 cm sampai beberapa cm, dan jumlah lesi bervariasi dari beberapa sampai lebih dari 75. Diagnosis spesifik pada usia anak dimungkinkan apabila: o Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi pembuluh darah (kapiler) penuh atau angiografi fluoresen ditemukan hamartoma retina, atau o CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan gambaran karakteristik berupa tuber, yaitu massa radioopak/kalsifikasi di korteks atau subependimal yang menyebabkan pelebaran atau elevasi girus serebral. Bila terjadi kalsifikasi, lesi ini tampak pada radiografi kepala sebagai gambaran batu pada otak (brain stones). Angiofibroma kutan (dulu disebut adenoma sebaseum) biasanya timbul antara usia 2 dan 6 tahun, tetapi dapat ditemukan sejak lahir bahkan sampai usia 20an tahun. Lesi ini patognomonik untuk TS, terjadi pada 65%-90% pasien, dan terdiri atas papul 1-10 mm dengan permukaan dome-shape, warna merah muda sampai merah, terdistribusi simetris pada lipatan nasolabial, pipi dan dagu, dan jarang pada dahi, kelopak mata, telinga dan kepala. Plak fibrosis atau nodus dapat ditemukan pada dahi, pipi, dan kepala dan dapat timbul sejak lahir. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nevi jaringan ikat tipe kolagen tanpa pelebaran vaskular. Shagreen patch atau peau chagrine adalah plak yang ditemukan pada badan, permukaan tidak rata mirip kulit jeruk, kadang berbenjol-benjol, sewarna dengan kulit. Fibroma subungual dan periungual (tumor Könen) merupakan lesi patognomonik dan dilaporkan pada 10%-50% pasien; biasanya G e n o d e r m a t o s i s  | 113

DO



SK I

i. Definisi



PE R









Genodermatosis

113





Diagnosis banding



Pemeriksaan penunjang

1. Kejang: epilepsi 2. Hipopigmentasi: vitiligo 3. Angiofibroma: akne vulgaris, akne rosasea, trikoepitelioma, trikilemoma, milia, xantoma, moluskum kontagiosum. 4. Kalsifikasi intrakranial: sindrom Sturge-Weber, toksoplasmosis kongenital

:

    

:

Röntgen tulang kepala/CT scan (ditemukan tuber) ( Röntgen adalah nama orang, jadi tidak bisa diubah mjd bahasa Indonesia) USG/MRI: mencari tumor organ internal Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan sistemik lainnya

Kerjasama antar multidisiplin: Ilmu kesehatan kulit, kesehatan anak, psikiatri, psikolog, neurologi, mata, penyakit dalam, radiologi, bedah, bedah saraf

PE R

IIi. Penatalaksanaan

:

DO



SK I



muncul setelah pubertas. Secara klinis terdiri atas papul 5-10 mm, firm, smooth, budlike, tumbuh dari nail bed. Lesi kulit yang jarang ditemukan dan tidak spesifik: bercak café-aulait, polip fibroepitelial, plak merah keunguan, diffuse skin bronzing, dan neuroma mukosal; juga fibroma gingiva dan pit pada enamel gigi. Hamartoma retina patognomonik untuk TS dan dilaporkan pada 5076% pasien. Dapat dijumpai 2 tipe: (1) lesi datar abu-abu atau kekuningan, smooth semi-transparan dengan tepi tidak tegas atau (2) lesi multinodular yang digambarkan seperti mulberry, telur katak, atau telur salmon. Hamartoma renal, misalnya angiomiolipoma dan ginjal polikistik, terjadi pada sekitar 15% pasien dan tidak pernah ditemukan pada periode prenatal atau neonatal.

Nonmedikamentosa: Kepada orangtua atau pengasuhnya: penjelasan perkembangan penyakit (kelainan apa yang harus diperhatikan untuk segera dilaporkan pada dokter) dan tentang penatalaksanaan penyakit yang diderita.  Konseling genetik - Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada setiap kelahiran - Penjelasan penyakit dan progresivitas - Konseling marital 

 

114

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 114 

IV. Prognosis

SK I

Medikamentosa: Prinsip:  Umumnya tanpa terapi, kecuali bila ada tumor yang mengganggu fungsi atau estetika.  Pencegahan kejang, terutama pada usia awal, dapat meningkatkan perkembangan mental. Intervensi neurologis mungkin diperlukan bila terjadi tanda peningkatan tekanan intrakranial (misalnya nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan, edema papil)  Angifibroma dapat diterapi dengan dermabrasi, elektrokauter, atau laser. Prognosis bervariasi, bergantung pada berat penyakit. Beberapa pasien mempunyai inteligensi normal, tanpa kejang, hidup normal. Penyebab tersering kematian adalah komplikasi neurologis, rabdomioma kardial, penyakit ginjal, dan tumor otak.

:

BAGAN ALUR:

DO

Makula hipopigmentasi bulat/oval, tetapi lesi yang paling karakteristik adalah lanceolate (ash leaf-spot). Ukurannya bervariasi mulai dari 1 cm sampai beberapa cm, dan jumlah lesi bervariasi dari beberapa sampai lebih dari 75.

PE R

Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dijumpai dilatasi pembuluh darah (kapiler) penuh atau angiografi fluoresen ditemukan hamartoma retina, atau CT-scan atau MRI dengan kontras gadolinium menunjukkan gambaran karakteristik berupa tuber, yaitu massa radioopak/kalsifikasi di korteks atau subependimal yang menyebabkan pelebaran atau elevasi girus serebral.

    

Röntgen tulang kepala/CT-scan (ditemukan tuber) USG/MRI: mencari tumor organ internal Konsultasi dokter spesialis saraf: epilepsi Konsultasi dokter spesialis mata: fakoma, glioma Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam atau anak: kelainan sistemik lainnya

Tuberous sclerosis complex

G e n o d e r m a t o s i s  | 115 

 

Genodermatosis

115

       

PE R

 

1. Krueger DA, Northrup H; International Tuberous Sclerosis Complex Consensus Group. Tuberous Sclerosis Complex surveillance and management: Recommendation of the 2012 International Tuberous Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr Neurol 2013; 49: 255-65. 2. Northrup H, Krueger DA; International Tuberous Sclerosis Complex Consensus Group. Tuberous Sclerosis Complex diagnostic criteria update: Recommendation of the 2012 International Tuberous Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr Neurol 2013; 49: 243-54. 3. Rovira A, Ruiz-Falcó ML, García-Esparza E, et al. Recommendation for the radiological diagnosis and follow-up of neuropathological abnormalities associated with tuberous sclerosis complex. J Neurooncol 2014 Apr 27. (Epub ahead of print)

DO

 

:

SK I

V. Kepustakaan

               

G e n o d e r m a t o s i s  | 116    116

Genodermatosis

C.5. DISPLASIA EKTODERMAL (Q82.4) Definisi

: Displasia ektodermal (DE) adalah kelompok kelainan yang diturunkan, secara karakteristik ditandai oleh defek perkembangan yang melibatkan setidaknya dua struktur utama embrionik ektodermal: kulit, rambut, gigi, kuku, glandula sebasea.

II.

Kriteria diagnostik

: (Bagan terlampir)

Klinis

: DISPLASIA HIPOHIDROTIK EKTODERMAL (displasia ektodermal anhidrotik, sindrom ChristSiemens-Touraine; OMIM 305100) X-LHED  Insidens:1 dalam 100.000 kelahiran  Secara khas kelainan diturunkan secara resesif terkait-X (X-linked recessive). Pada laki-laki yang terkena ekspresinya lengkap (full blown). sedangkan pada wanita pembawa gen (carrier) dapat tanpa kelainan, atau apabila terdapat kelainan biasanya terdistribusi patchy.  Kelainan ini dapat diturunkan dari ibu pembawa gen atau timbul pada seseorang karena mutasi de novo. Sekitar 70% laki-laki yang terkena mendapatkan mutasi ini dari ibu pembawa gen. Antara 60-80% wanita pembawa gen menunjukkan beberapa tanda klinis kelainan ini, yang paling sering adalah hipotrikosis patchy dan hipodonsia.

DO



SK I

I.

PE R

Gambaran klinis Dermatologis  Pada laki-laki yang terkena, saat lahir dapat ditandai oleh membran kolodion atau dengan skuama, menyerupai iktiosis kongenital.  Rambut kepala jarang, tipis, dan tumbuh lambat. Rambut tubuh yang lain biasanya jarang atau tidak ada.  Kemampuan untuk berkeringat terganggu secara signifikan. Sebagian besar laki-laki yang terkena menderita intoleransi panas yang nyata.  Pori-pori kelenjar keringat biasanya tidak dapat dilihat pada pemeriksaan fisik dan rigi sidik jari tidak tampak jelas.  Gangguan berkeringat (ketidakmampuan berkeringat secara adekuat terhadap panas lingkungan) menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Terjadinya panas tinggi yang tak dapat dijelaskan, biasanya menyebabkan kecurigaan penyakit infeksi, keganasan, atau penyakit autoimun sebelum G e n o d e r m a t o s i s | 117

Genodermatosis

117



 

SK I

 

diagnosis yang benar dapat ditegakkan. Anak-anak yang menderita kelainan ini secara khas menunjukkan intoleransi panas dengan episode hiperpireksia, yang dapat menyebabkan kejang dan kerusakan neurologis. Kuku biasanya normal. Keriput dan hiperpigmentasi periorbital khas dan sering dijumpai, walaupun sering tidak diperhatikan pada saat lahir. Hiperplasia glandula sebaseus, terutama pada wajah dapat muncul setiap saat dan tampak sebagai papul-papul miliar seperti pearl (mutiara), berwarna kecoklatan sampai putih menyerupai milia. Tidak adanya puncta lacrimal merupakan temuan khas. Wanita karier dengan displasia ektodermal hipohidrotik terkait-X, menunjukkan gambaran kulit normal dan abnormal mengikuti garis Blaschko.

PE R

DO

Sistemik oligodonsia, atau anodonsia  Hipodonsia, merupakan gambaran yang dapat dijumpai pada X-LHED pada laki-laki yang terkena.  Adanya hypoplastic gum ridges pada bayi yang terkena dapat merupakan petunjuk awal diagnosis penyakit.  Gigi primer dan sekunder berbentuk peg shaped merupakan gambaran khas  Pasien menunjukkan wajah yang khas dengan frontal bossing, depressed nasal bridge, saddle nose, dan bibir bawah yang besar.  Manifestasi otolaringologis meliputi sekresi nasal kental dan impaksi, sinusitis, infeksi saluran nafas atas yang berulang dan pneumonia, produksi saliva berkurang, suara menyerupai suara kuda, dan frekuensi asma meningkat.  Refluks gastroesofageal dan kesulitan makan mungkin merupakan masalah pada masa anak.  Wanita pembawa gen X-LHED dapat terkena sama beratnya dengan pasien laki-laki atau hanya menunjukkan sedikit tanda penyakit ini. Intoleransi terhadap panas, bila ada, biasanya ringan. Kelainan pada gigi dapat berupa anodonsia atau peg–shaped, dan rambut kepala tipis atau patchy. Pemeriksaan dermatologis yang teliti terhadap kulit wanita pembawa gen sering ditemukan keringat dari pori-pori berkurang atau distribusi yang patchy.

 

118

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 118 

SK I

Diagnosis dan diagnosis banding  Kulit berskuama saat lahir sering salah diagnosis dengan iktiosis kongenital.  Demam berulang sering diduga infeksi  Diagnosis HED dapat cepat diketahui jika sudah ada dugaan sebelumnya, misalnya anak laki-laki berisiko dilahirkan dari keluarga dimana penyakit ini sudah diketahui/ didiagnosis.  Pemeriksaan pori-pori keringat dan foto panorama rahang dapat menuntun ke arah diagnosis dengan cepat. DISPLASIA EKTODERMAL HIDROTIK (Sindrom Clouston; OMIM 129500)  Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada gen connexin, GJB6 atau connexin 30 pada kromosom 13q11-q12.1.

PE R

DO

Gambaran klinis  Rambut kepala wry, brittle, berwarna terang, dan sering didapatkan alopesia setempat.  Sering didapatkan makula hiperpigmentasi retikular atau difus. Kulit di atas lutut, siku, jari, dan sendi sering menebal dan hiperpigmentasi. Kuku tampak menebal dan terjadi perubahan warna; sering disertai infeksi paronikia persisten.  Abnormalitas pada mata meliputi strabismus, pterigium, konjungtivitis dan katarak prematur.  Gigi biasanya tak ada kelainan tetapi sering terdapat karies.  Kelainan ektodermal lain adalah leukoplakia oral, tuli sensorineural, polidaktili, sindaktili, dan poromatosis ekrin difus.  Berlawanan dengan bentuk hipohidrotik, sebagian besar pasien mempunyai kemampuan berkeringat normal dan kelenjar sebaseus berfungsi normal.

Diagnosis banding Kelainan pada kuku sering didiagnosis banding dengan pakionikia kongenita SINDROM AEC, ANKYLOBLEPHARON FILIFORME ADNATUM-ECTODERMAL DYSPLASIA-CLEFT PALATE SYNDROME (HAY-WELLS SYNDROME; OMIM 106260)  Kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada tumor suppressor gene p63, gen yang juga berperan pada patogenesis sindrom EEC, limb-mammary syndrome, acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth (ADULT) syndrome. G e n o d e r m a t o s i s  | 119 

 

Genodermatosis

119





Sering didapatkan dermatitis erosif kronik dengan granulasi abnormal pada kulit kepala. Pada kulit kepala juga sering terjadi infeksi bakterial rekuren. Pada kulit kepala selalu terdapat alopesia patchy, dan rambut kepala yang ada sering wiry, kasar dan berwarna terang. Rambut tubuh jarang bahkan tidak ada. Biasa dijumpai atresia atau obstruksi duktus lakrimalis. Kuku dapat normal, atau hiperkonfeks dan menebal, distrofi parsial atau bahkan tidak ada kuku. Seluruh perubahan dapat ditemukan pada pasien yang sama. Kemampuan berkeringat biasanya normal, meskipun beberapa pasien merasakan intoleransi panas secara subyektif.

DO



SK I

Mutasi yang menyebabkan EEC dan AEC terletak pada kelompok (cluster) yang berbeda pada gen tsb.  Sindrom AEC merupakan kelainan dominan autosomal dengan penetransi lengkap dan ekspresi bervariasi. Gambaran klinis Dermatologi  Pada 90% bayi yang terkena, saat lahir didapatkan kulit mengelupas dan erosi superfisial, menyerupai membran kolodion. Skuama akan mengelupas dalam beberapa minggu dan kulit di bawahnya kering dan tipis.







PE R

Sistemik  Celah palatum dengan atau tanpa celah bibir terjadi pada 80% pasien yang dilaporkan.  Mungkin didapati hipodonsia dengan gigi yang tidak tumbuh atau salah tumbuh.  Sering terjadi otitis media berulang dan kehilangan pendengaran konduktf sekunder, yang mungkin merupakan konsekuensi celah palatum.

SINDROM EEC, ECTRODACTYLY-ECTODERMAL DYSPLASIA– CLEFT LIP/PALATE SYNDROME (EEC, OMIM 129900)  Sindrom ini diturunkan secara dominan autosomal yang melibatkan jaringan ektodermal dan mesodermal. G e n o d e r m a t o s i s  | 120 

 

120

Genodermatosis

SK I

Gambaran klinis  Sindrom EEC ditandai oleh ektrodaktili (split hand or foot deformity, lobster-claw deformity) yang merupakan gambaran utama. Selain itu didapatkan juga celah bibir/palatum, hipotrikosis, hipodonsia, distrofi kuku, anomali duktus lakrimalis, dan kadang hipohidrosis.  Pada kasus tanpa celah bibir/palatum, morfologi wajah khas dengan hipoplasia maksilaris, filtrum pendek, dan broad nasal tip.  Kelainan gigi meliputi mikrodonsia dan oligodonsia dengan hilangnya gigi sekunder yang awal/prematur. Sering terjadi karies berat.  Dapat terjadi hipohidrosis, tetapi relatif ringan.  Kuku dapat hipoplastik dan distrofik  Retardasi mental terjadi pada 5-10% kasus.  Kelainan genitourin sering ditemukan, meliputi hipospadia glandular, uretheric reflux, dan hidronefrosis.

Penatalaksanaan umum

: Nonmedikamentosa:  Menjaga keseimbangan suhu tubuh (termoregulasi) dengan senantiasa berada di ruang sejuk (ber-AC) atau lembab, mandi air dingin, pakaian tipis, banyak minum, menghindari udara panas, dan mengurangi aktivitas yang menyebabkan berkeringat.  Konseling genetik - Penjelasan pola penurunan genetik dan risiko pada setiap kelahiran anak perempuan umumnya, dan bila laki-laki terkena dapat berakibat berat dan fatal - Penjelasan penyakit dan progresivitas: kelainan tidak hanya di kulit tetapi dapat mengenai organ lainnya  Konseling pra-marital

PE R

III.

DO

Diagnosis banding Odontotrichomelic syndrome (OMIM 273400) Aplasia kutis kongenital dengan defek ekstremitas (sindrom Adams-Oliver; OMIM 100300) Ektrodaktili dengan celah palatum tanpa displasia ektodermal (OMIM 129830)

Medikamentosa: Penatalaksanaan penyakit dikerjakan secara multidisiplin: 1. Topikal:  Pelembab (misalnya urea 10%) untuk kulit kering G e n o d e r m a t o s i s  | 121 

 

Genodermatosis

121

SK I

 Asam salisilat 3-5% dalam salap/emolien untuk hiperkeratosis palmoplantar  Perbaikan/restorasi gigi, konsultasi dokter gigi  Mata: air mata artifisial  Tenggorokan kering: saliva artifisial  Paru: hindari rokok, lingkungan berdebu. 2. Sistemik: Antibiotik bila terjadi infeksi pada kuku atau infeksi lainnya. Konsultasi dengan dokter spesialis lain sesuai dengan organ yang terkena. Tindak lanjut: Pantau setiap satu bulan sekali Konsultasikan ke dokter spesialis sesuai kebutuhan Kepustakaan

: 1. Bree AF, Agim N, Sybert VP. Ectodermal Dysplasias. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. editor. Mc Grew Hill: New York, 2012 p. 1691-702. 2. Bergendal B. Orodental manifestations in ectodermal dysplasia: A review. Am J Med Genet A. 2014 doi: 10.1002/ajmg.a.36571. [Epub ahead of print] 3. Itin PH. Etiology and pathogenesia of ectodermal dysplasias: Am J Med Genet A. 2014. doi: 10.1002/ajmg.a.36550. [Epub ahead of print]

DO

IV.

PE R

.

 

122

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 122 

C.6. IKTIOSIS (Q80.9) Definisi

: Istilah iktiosis digunakan untuk kelompok kelainan kulit yang mempunyai gambaran utama berupa skuama generalisata. Kelompok iktiosis secara klinis maupun etiologi sangat heterogen sehingga terdapat kesulitan dalam klasifikasinya. Pada PPM ini klasifikasi didasarkan pada iktiosis yang tidak disertai sindrom, iktiosis yang disertai sindrom, kelainan yang berkaitan dengan iktiosis, dan iktiosis didapat (Tabel.1) Secara prinsip, iktiosis dapat diturunkan atau didapat, timbul sejak lahir atau setelahnya, dapat terbatas hanya pada kulit atau merupakan bagian dari kelainan multisistem. Keparahan penyakit dapat bervariasi, mulai dari kekeringan kulit misalnya pada iktiosis vulgaris sampai yang bersifat fatal misalnya iktiosis harlequin.

SK I

I.

PE R

DO

Iktiosis vulgaris (OMIM 146700) Iktiosis vulgaris dominan autosomal adalah penyakit yang cukup sering dijumpai dan relatif ringan. Kelainan ini tidak dijumpai saat lahir tetapi biasanya timbul dalam tahun pertama kehidupan. Gambaran klinis Khas skuama putih keabuan yang menutupi terutama permukaan ekstensor ektremitas dan badan. Skuama lebih prominen pada permukaan ekstensor ekstremitas, tidak dijumpai pada sisi fleksor dan daerah diaper. Skuama halus, putih sering dijumpai pada daerah yang luas. Ekstremitas bawah sering merupakan daerah yang paling berat terkena, skuama melekat di tengah, dengan “cracking” (fisura superfisial pada stratum korneum) pada tepinya. Beberapa kelainan yang sering ditemukan pada iktiosis vulgaris adalah:  Keratosis folikularis, ditemukan terutama pada anak-anak dan remaja. yang  Aksentuasi palmoplantar marking merupakan gambaran khas dan terdapat pada 80-90% pasien. Penatalaksanaan  Iktiosis vulgaris berespons baik terhadap salap topikal yang mengandung urea atau asam laktat.  Hati-hati penggunaan urea pada daerah tubuh yang luas sebelum usia 1 tahun (boleh diberikan, tetapi harus dalam pengawasan dokter bila daerah luas)

G e n o d e r m a t o s i s | 123

Genodermatosis

123



SK I



Iktiosis vulgaris tidak boleh diterapi dengan salap yang mengandung salisilat karena dapat menyebabkan keracunan yang membahayakan jiwa disebabkan oleh absorpsi perkutan. Diagnosis pasti: riwayat keluarga dan pemeriksaan tambahan, misalnya pemeriksaan histopatologi atau biokimia untuk menyingkirkan iktiosis resesif terkaitX (X-linked recessive ichthyosis), misalnya tes steroid sulfatase atau elektroforesis lipoprotein.

PE R

DO

Iktiosis resesif terkait X (X-linked XRI)  XRI merupakan iktiosis tipe ke 2 terbanyak  Diagnosis prenatal defisiensi sulfatase plasenta memungkinkan diketahuinya diagnosis sejak awal, tetapi pemeriksaan ini belum pernah dilakukan di Indonesia.  Saat lahir skuama halus tidak terlihat nyata; mulai usia 2-6 bulan hiperkeratosis tebal berwarna coklat gelap sampai kuning kecoklatan menutupi badan, ekstremitas, dan leher. Skuama tidak didapatkan pada wajah namun didapatkan pada preaurikular.  Palmar dan plantar normal yang dapat membedakan dengan iktiosis vulgaris.  Abnormalitas pada mata jarang didapatkan, tetapi 10-50% laki-laki yang terkena dan pada beberapa wanita karier ditemukan opasitas kornea asimtomatik. Dari beberapa laporan kasus tidak didapatkan ektropion, eklabium, kelainan kuku maupun rambut.

 

124

Genodermatosis

Epidermolitik hiperkeratosis (sin: Bullous congenital ichthyosiform erythroderma of Brocq, Bullous ichthyosis; OMIM 113800)  Merupakan kelainan dominan autosomal dengan penetrans lengkap tetapi mempunyai variabilitas klinis yang luas.  Sangat jarang, insidens sekitar 1:200000 sampai 1:300000;  Disebabkan oleh mutasi heterozgot pada gen yang mengkode keratin 1 dan keratin 10 (KRT1, KRT10) yang diekspresikan pada lapisan epidermis yang berdiferensiasi.  Hampir separuh kasus terjadi secara sporadik dan menunjukkan mutasi baru.

G e n o d e r m a t o s i s  | 124 

SK I

Gambaran klinis  Biasanya diketahui sejak lahir dengan adanya erosi dan daerah luas kulit yang denuded serta eritroderma, yang disebabkan oleh peningkatan fragilitas epidermis dan dipicu oleh trauma friksional selama proses persalinan.  Pada masa selanjutnya komponen bulosa menjadi kurang prominen dan mulai tampak hiperkeratosis berat  Kulit kepala sering terkena dan parah sehingga menyebabkan gangguan batang rambut dan kerontokan rambut.  Bibir, mata, membran mukosa, dan gigi normal.  Pada masa bayi morbiditas perinatal tinggi serta potensial mortalitas karena sepsis dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

DO

Diagnosis banding  Staphylococcal scalded skin syndrome dan nekrolisis epidermal toksik Penatalaksanaan  Bayi dengan eritema, bula, erosi luas, dan kulit yang denuded memerlukan perawatan di neonatal intensive care unit. Harus dihindari trauma terhadap kulit dan timbulnya bula, monitor terhadap terjadinya sepsis  Pada beberapa pasien diperlukan terapi dengan antibiotik spektrum luas

PE R

Terapi topikal:  Seperti iktiosis kongenital lain, terapi hiperkeratosis epidermolitik adalah simtomatik  Hiperkeratosis yang luas, tebal, keras memerlukan hidrasi, lubrikasi, dan terapi keratolitik (krim dan lotion yang mengandung urea, asam salisilat, asam alfa hidroksi, atau propilen glikol). Namun demikian sering tidak dapat ditoleransi dengan baik terutama pada anak-anak, karena adanya rasa terbakar dan stinging jika terdapat fisura atau kulit denuded. Aplikasi topikal asam salisilat dan asam laktat harus hati-hati karena risiko absorbsi sistemik  Tretinoin topikal dan preparat Vit D efektif tetapi dapat menyebabkan iritasi kulit.  Berendam untuk melembabkan kulit dan abrasi mekanis pada stratum korneum yang menebal (gosok hati-hati dengan sikat lembut, spons, dsb)  Pemakaian antiseptik, misalnya sabun antibakterial, klorheksidin, atau iodin dapat membantu mengontrol kolonisasi bakterial. G e n o d e r m a t o s i s  | 125 

 

Genodermatosis

125



Dianjurkan penggunakan lubrikans dan emolien setidaknya 2 kali sehari, dilakukan segera setelah mandi Infeksi kulit bakterial biasa dijumpai pada hiperkeratosis epidermolitik dan sering memicu bula sehingga memerlukan terapi topikal dengan salap antibiotik atau bahkan antibiotik oral.

SK I



Terapi sistemik  Retinoid oral sangat efektif untuk mengurangi hiperkeratosis dan frekuensi infeksi pada pasien dengan EH generalisata, namun demikian obat ini dapat meningkatkan fragilitas epidermis dan dapat menyebabkan eksaserbasi bula. Dianjurkan memulai terapi dengan dosis yang sangat rendah dengan tujuan mencapai dosis pemeliharaan serendah mungkin. Meskipun antibiotik oral sangat membantu selama episode bula dan superinfeksi bakterial, terapi preventif yang terus-menerus (antibiotik oral atau topikal) harus dihindari karena risiko berkembangnya resistensi bakterial.

DO



PE R

Iktiosis lamelar (IL) (sin: Nonbullous congenital ichthyosiform erythroderma, Non-erythrodermic autosomal recessive lamellar ichthyosis)  Kelainan genetik heterogen dan pada sebagian besar keluarga diturunkan secara resesif autosomal  Sangat jarang, prevalensi sekitar 1:200000 sampai 1:300000 kelahiran hidup Gambaran klinis  IL merupakan kelainan kornifikasi berat yang tampak sejak lahir.  Sebagian besar bayi yang terkena saat lahir terbungkus oleh membran kolodion disertai eritroderma.  Dalam beberapa minggu pertama kehidupan, membran kolodion secara bertahap menjadi skuama lebar generalisata  Secara khas IL ditandai oleh skuama lebar, coklat gelap, pipih yang membentuk pola mosaik dengan eritroderma minimal atau tidak ada. Skuama melekat di tengah dan meninggi pada tepinya, sering menimbulkan fisura superfisial. Skuama lebar ini selain terdapat pada hampir seluruh tubuh juga terdapat pada wajah, fleksura, telapak tangan dan telapak kaki.

 

126

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 126 



 

Ketegangan kulit wajah sering menyebabkan ektropion, eklabium, serta hipoplasia kartilago nasal dan aurikular. Ektropion yang parah dapat menimbulkan madarosis, konjungtivitis, dan penutupan kelopak mata yang tidak sempurna yang dapat menyebabkan keratitis. Pada kepala terdapat alopesia skar (scarring alopecia) terutama pada bagian perifer skalp, yang merupakan gambaran umum pada IL. Peradangan pada lipatan kuku (nail folds) dapat menyebabkan distrofi kuku dengan penebalan lempeng kuku dan rigi kuku.

SK I



Diagnosis banding  Eritroderma iktiosiformis kongenital (congenital ichthyosiform erythroderma), sindrom Netherton, sindrom Sjögren-Larsson, dan trikotiodistrofi.

DO

Penatalaksanaan  Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis (bullous congenital ichthyosiform erythroderma) Terapi topikal:  Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis (bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Terapi sistemik  Sama dengan epidermolitik hiperkeratosis (bullous congenital ichthyosiform erythroderma)

Kriteria diagnostik  Klinis

: :   

PE R

II.





Diagnosis banding - Pemeriksaan penunjang

Awitan dan riwayat perjalanan penyakit Penurunan genetik Tempat predileksi: lokal, generalisata atau universalis Skuama yang spesifik mirip sisik ikan, variasi ukuran, warna dan tebal bergantung jenis. - Gambaran klinis: kelainan pada kulit, kuku, rambut, SSP, dan mata - Gejala sistemik yang menyertai

: : Pemeriksaan PA  Iktiosis vulgaris: hiperkeratosis dan stratum granulosum menipis  Resesif terkait-X (X-linked): hiperkeratosis, stratum granulosum menebal  Iktiosis lamelar klasik: hiperkeratosis, stratum granulosum menebal G e n o d e r m a t o s i s  | 127 

 

Genodermatosis

127

 

: 1. Richard G, Moss C, Traupe H, et al. Ichthyosis and disorders of cornification. Dalam: Pediatric Dermatology. Schachner LA, Hansen RC, editor. London:Mosby 2003. p. 385-445. 2. Oji V, Traupe H., Ichthyoses: Differential diagnosis and molecular genetics. Eur J Dermatol 2006; 16: 349-59. 3. Fleckman P, DiGiovanna JJ. The Ichthyosis. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. Editor: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Editor. 2012, Mc Graw Hill: New York. p. 507-37 4. Richard G, Ringpfeil F. Ichthyoses, erythrokeratodermas and related disorders. Dalam Dermatology. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editor. Mosby, London 2013. P837-862. 5. 5. Judge MR, Mclean WHI, Munro Cs. Disorders of Keratinization. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. United Kingdom: Willey Blackwell;2010. 19.4-19.64

SK I

Kepustakaan

DO

III.

Iktiosiform eritroderma nonbulosa: akantosis, para- keratosis, hipergranulosis. Epidermolitik hiperkeratosis: hiperkeratosis, vakuolisasi (mikro-vesikel)

         

PE R

                 

 

128

Genodermatosis

G e n o d e r m a t o s i s  | 128 

Tabel 1. Klasifikasi iktiosis  Iktiosis vulgaris

Diagnosis

OMIM 146700

Iktiosis terkait-X Epidermolitik hiperkeratosis Brocq (EHK) Iktiosis bullosa Siemens Iktiosis histriks Curth-Macklin Nonbullous congenital ichtyosiform erythroderma (NBCIE) Iktiosis lamellar

308100 113800 146600 146800 146590 242100 604780 242300 601277 604777 604781 146750

SK I

Tipe Iktiosis nonsindromik

CIE/ iktiosis lamellar tipe intermediate Iktiosis lamellar autosomal dominan kongenital iktiosiformis eritroderma Iktiosis in confetti Harlequin fetus Sindrom peeling skin tipe A

242500

Sindrom Netherton/ iktiosis linearis sirkumfleksa

256500

Sindrom Sjögren-Larsson Neutral lipid storage disease Penyakit Refsum Trikotiodistrofi Infantile Gaucher disease Sindrom Neu-Laxova Sindrom Zunich-Kaye (Sindrom CHIME: ocular colobomas, congenital hearth disease, early onset ichthyosiform dermatosis, mental retardation and ear anomalies (conductive hearing loss), epilepsy), X-linked dominant chondrodysplasia punctata (sindromConradi-HünermannHapple) Rhyzomelic chondrodysplasia punctata Cardiofasciocutaneous syndrome Restrictive dermopathy Multiple sulfatase deficiency

270200 275630 266500 601675

Kelainan yang berkaitan

Sindrom KID (keratitis-ichthyosis-like-deafness)

DO

Iktiosis disertai sindrom

PE R

Sindrom CHILD (Congenital hemydysplasia ichthyosiform nevus and limb defect) Mutilating keratoderma dengan iktiosis Sindrom KLICK (keratosis linearis with ichthyosis congenita and sclerosing keratoderma) Keratosis spinulosa decalvans. Sindrom IFAP (Ichthyosis follicularis, atrichia, and photophobia) Ichthyosis, follicular atrophoderma, hypotrichosis, and hypohidrosis Migratory ichthyosis with diabetes mellitus Ichthyosis, hepatosplenomegaly, and cerebellar degeneration Ichthyosis-mental retardation syndrome with large keratohyalin granules in the skin Sindrom eritroderma iktiosiformis, keterlibatan kornea, ketulian; autosomal resesif

Iktiosis didapat

G e n o d e r m a t o s i s  | 129 

 

Genodermatosis

129

C.7. NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1 (Q85.01) Definisi

: Kondisi autosomal dominan dengan insiden 1:3000 kelahiran hidup

II.

Kriteria diagnostik

:

SK I

I.

1. Enam atau lebih makula cafe-au-lait lebih besar dari 5 mm pada individu prepubertal, dan lebih dari 15 mm pada individu postpubertal 2. Dua atau lebih neurofibroma tipe apapun atau satu neurofibroma pleksiform 3. Freckling pada regio aksila atau inguinal 4. Glioma optikum 5. Dua atau lebih nodul Lisch iris 6. Lesi tulang yang dapat dibedakan seperti sphenoid displasia atau penipisan korteks tulang panjang dengan atau tanpa pseudarthrosis 7. Saudara tingkat pertama (orang tua, saudara) dengan NF-1 dengan kriteria di atas

:

Klinis



Diagnosis banding

DO



:

   

Neurofibromatosis tipe 1 Neurofibromatosis tipe 2 Familial cafe-au-lait spots Sindrom LEOPARD

Pemeriksaan penunjang

:

1. Pemeriksaan histopatologi 2. Evaluasi radiologik

IV.

Penatalaksanaan

:

1. Konseling genetik 2. Pemeriksaan ophtalmologik 3. Pemeriksaan tekanan darah 4. Bedah LASER untuk café-au-lait spots 5. Bedah eksisi untuk Neurofibroma kutaneus

PE R

III.

V.

130

Kepustakaan

Genodermatosis

:

1. Robert Listernick dan Joel Charrow. The Neurofibromatoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012.p.1680-8 2. Disorders of Pigmentation. In: Paller A dan Mancini A, eds. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. London: Elsevier; 2011.p. 234-67

G e n o d e r m a t o s i s | 130

SK I DO

D

DERMATOLOGI

PE R

ALERGO-IMUNOLOGI

Dermatologi Alergo-Imunologi

131

D.1. CUTANEUS LUPUS ERITEMATOSUS SPESIFIK (L93) Definisi

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: Cutaneous lupus eritematosus: merupakan satu bentuk penyakit lupus eritematosus ringan, kelainan terbatas terutama dikulit, perjalanan penyakit mulai akut, subakut dan menjadi kronis. Penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut, menyerang multiorgan, menjadi lupus eritematosus sistemik (SLE). Klasifikasi: LE spesifik: yang terdiri dari a. LE kutan akut (ACLE) localized ACLE, generalized ACLE b. LE kutan subakut (SCLE) annular SCLE, papulosquamous SCLE c. LE kutan kronik (CCLE) Classic discoid LE/DLE (Localized DLE, generalized DLE), Hypertropic/verrucous DLE, Lupus profundus/ lupus panikulitis, Mucosal DLE (oral DLE, conjunctival DLE), Lupus tumidus, Childblain LE, Lichenoid DLE/ Lichen planus overlap/lupus planus

DO

SK I

I

PE R

: : LE-spesifik: 1) ACLE  Lokalisata maupun generalisata, tergantung dari distribusi lesi.  Area kulit yang terpapar sinar UV  Hiperpigmentasi paska inflamasi sangat sering terjadi pada pasien berkulit gelap  Tidak terjadi jaringan parut kecuali terjadi infeksi bakteri sekunder  Lokalisata: classic buterfly rash/malar rash of SLE; bisa meliputi daerah dahi, dagu dan daerah V pada leher; bisa terjadi pembengkakan hebat pada wajah; diawali dengan makula atau papula pada wajah yang selanjutnya saling menyatu dan hiperkeratotik.  Generalisata:erupsi eksantematosa atau morbiliformis yang tersebar dan seringkali terpusat pada bagian ekstensor dari lengan dan tangan yang ditandai dengan ruas-ruas jari yang terpisah. ACLE yang sangat akut bisa mencetuskan timbulnya TEN (Toxic Epidermal necrolysis) namun sangat jarang terjadi 2) SCLE  Makula eritematosa dan atau papula yang kemudian menjadi plak papuD e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 132

132

Dermatologi Alergo-Imunologi



SK I



loskuamosa atau anulare yang hiperkeratotik Fotosensitif dan timbul pada area yang terpapar sinar UV Biasanya sembuh berupa leukoderma yang mirip vitiligo dan teleangiektasia tanpa jaringan parut yang bertahan lama bahkan permanen Umumnya terdapat pada area leher, bahu, ekstremitas superior dan batang tubuh



Diagnosis banding

: 1. Dermatitis numularis 2. Dermatitis atopic

PE R



DO

3) CCLE  Riwayat perjalanan penyakit: kronik gejala prodromal, gejala subjektif,  gejala sistemik: demam, nyeri sendi, fotosensitivitas, rambut rontok  Tempat predileksi: wajah, skalp, area V pada leher, bagian ekstensor lengan.  Morfologi: plak eritematosa, berbatas tegas, ukuran bervariasi lentikularnumular-sampai plak, skuama melekat (adheren) bila diangkat tampak sumbatan keratin folikular, dapat disertai atrofi dengan tepi yang lebih kemerahan atau dengan zona hiperpigmentasi

Dermatologi Alergo-Imunologi

133

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 133

Pemeriksaan penunjang

: 





Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: Hindari pajanan matahari atau menggunakan pelindung matahari secara fisik dan kimia. Medikamentosa: Prinsip:  Mengendalikan penyakit  Mencegah perluasan  Deteksi dini penyakit menjadi sistemik 1. Topikal:  Kortikosteroid topikal potensi sedang misalnya triamsinolon asetonid 0,1%, untuk area wajah topikal steroid potensi superkuat misalnya clobetasol propionat 0,05% atau bethamethasone propionat 0,05%  Kortikosteroid intralesi misalnya triamsinolon asetonid suspensi 2,5-5,0mg/ml  Kalsineurin inhibitor: pimecrolimus 1% dan takrolimus 0,1% ointment  Penggunaan tabir surya spektrum luas dan kedap air dengan SPF≥30. 2. Sistemik: - Klorokuin 2x250 mg/ hari dievaluasi setelah 6 minggu, diturunkan sesuai dengan perbaikan klinis dan serologis - Prednison: 20-40 mg/ hari sebagai dosis tunggal pagi hari, dievaluasi diturunkan sesuai dengan perbaikan klinis/ serologis. - Terapi alternatif: siklofosfamid, metotreksat D e r m a tharus o l o gberhati-hati). i A l e r g o - I m u n o l o g i | 134 (pemberian

PE R

III

DO



Pemeriksaan histopatologik: (HE): Penipisan epidermis disertai hiperkeratosis relatif dan sumbat keratin pada muara folikel. Penebalan membran basal epidermis, disertai degenerasi mencair pada sel lapisan basal epidermis, infiltrat limfositik berbentuk pita dengan sedikit sel plasma dan histiosit, terutama di sekitar apendiks kulit yang atrofik. Perubahan degenerasi jaringan ikat terdiri atas hialinisasi, edema, perubahan fibrinoid, terutama di bawah epidermis, degenerasi elastotik prematur pada kulit yang terpajan matahari. Pemeriksaan direct immunoflourescence (DIF)/ lupus band test: ditemukan endapan IgG, IgA, IgM dan komponen komplemen (C3,C4, Ciq, properdin, faktor B dan Membrane attact complex C5b0C9) terdeposit pada taut dermo-epidermal berupa pita yang tersusun lurus atau granular kontinyu. Pemeriksaan laboratorium: urin rutin, darah dan sel LE serta pungsi sumsum tulang. Pemeriksaan serologi: kadar ANA dalam serum, anti DsDNA, anti Sm, C3, TSS (tes serologi untuk sifilis)

SK I



134

Dermatologi

Tindak lanjut:  Pemeriksaan urin rutin, darah, dan serologi berkala Alergo-Imunologi  Pemantauan efek samping pemakaian kotikostreroid topikal dan sisitemik jangka panjang.  Pemantauan pemakaian obat golongan antimalaria (klorokuin) jangka panjang, (dapat terjadi efek samping pada mata).

       

Kepustakaan

: 1. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. In:

PE R

IV

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) Ulserasi yang bisa berakibat pada sekunder infeksi TEN Post Inflamatory Hiperpigmentation Scarring/ disfigurement Kalsifikasi Distrofik Hipotrofi kulit Lupus Mastitis

DO

Komplikasi

SK I

perbaikan klinis/ serologis. - Terapi alternatif: siklofosfamid, metotreksat (pemberian harus berhati-hati). Tindak lanjut:  Pemeriksaan urin rutin, darah, dan serologi berkala  Pemantauan efek samping pemakaian kotikostreroid topikal dan sisitemik jangka panjang.  Pemantauan pemakaian obat golongan antimalaria (klorokuin) jangka panjang, (dapat terjadi efek samping pada mata).  Konsultasi ke dokter spesialis mata: pemantauan fotofobia dan gangguan penglihatan, terutama buta warna.  Konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi dan alergi-imunologi  Pemantauan pasien menerapkan upaya pencegahan pajanan sinar matahari

Goldsmith LA, Ktz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K,editors. Fitzpatrick,s : Dermatology in General Medicine 8th ed .New York: The McGraw Hill company, 2012. 2. Winkelmann RR, Kim GK, Del Rosso JQ. Treatment of cutaneous lupus erythematosus: Review and assessment of treatment benefits based on Oxford Centre for Evidence-based Medicine criteria. Clin Aesthetic Dermatol 2013; 6: 27-38

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 135

Dermatologi Alergo-Imunologi

135

V. ALUR

Area yang terpapar sinar UV

SK I

Papula/plak hiperkeratotik

-Malar rash/ classic butterfly rash -Sembuh berupa Makula hiperpigmentasi

DO

-Plak hiperkeratotik atau anular -Sembuh berupa lekoderma yang menyerupai vitiligo dan teleangiektasia

-Kenaikan titer ANA yang bermakna -Anti dsDNA positif -AntiSm -Hipokomplementemia

PE R

ACLE

-Anti Ro/SS-A (7090%) -Anti La/SS-B (30-50%) -ANA test (60-80%) -Faktor rematoid Positif

SCLE

-Batas jelas -Berbentuk koin -Tertutup oleh skuama yang lekat -Eritema dan hiperpigmentasi pada bagian tepi dan jaringan parut atrofi pada bagian sentral, teleangiektasia dan hipopigmentasi

-ANA test positif pada 30-40% pasien -Faktor rematoid positif

CCLE

1. Topikal:  Kortikosteroid topikal potensi sedang misalnya triamsinolon asetonid 0,1%, untuk area wajah topikal steroid potensi superkuat misalnya clobetasol propionat 0,05% atau bethamethasone propionat 0,05%  Kortikosteroid intralesi: triamsinolon asetonid suspensi 2,5-5,0mg/ml  Kalsineurin inhibitor: pimecrolimus 1% dan takrolimus 0,1% ointment  Tabir surya spektrum luas dan kedap air dengan SPF≥30. 2. Sistemik: - Klorokuin 2x250 mg/ hari dievaluasi setelah 6 minggu. - Prednison: 20-40 mg/ hari sebagai dosis tunggal pagi hari. - Alternatif: siklofosfamid, metotreksat.

136

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 136

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.2. DERMATOSIS IgA LINEAR

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: Dermatosis IgA linear atau chronic bullous disease of childhood (CBDC): merupakan penyakit bulosa didapat pada kulit dan membran mukosa yang ditandai secara khas oleh deposisi linear IgA sepanjang zona membran basalis. Kelainan ini didapatkan pada anak usia 3-9 tahun. Tempat predileksi di wajah, genitalia, meluas ke perineal dan bokong, tangan dan kaki. Mukosa dapat terkena (70% kasus). Erupsi ini dapat disebabkan oleh obat misalnya vancomycin. : :  Riwayat perjalanan penyakit: kronik residif.  Tempat predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia, perianal, pantat. Keterlibatan mukosa terjadi pada 50% kasus.  Gejala subjektif gatal, kadang disertai gejala prodromal  Klinis ditandai vesikel dan bula tegang di atas dasar eritematosa, berukuran miliar sampai lentikular, berkelompok tersusun mirip rosette (cluster of jewel)

SK I

Definisi

DO

I



Diagnosis banding

: 1. 2. 3. 4.

Eritema multiforme bulosum Dermatitis herpetiformis Duhring Pemfigoid bulosa Epidermolisis bulosa



Pemeriksaan penunjang

: 

Pemeriksaan histopatologi kulit dengan pengecatan HE: ditemukan celah subepidermal dengan neutrofil sepanjang basal membran. Direct immuno fluorescence (DIF): Ditemukan deposisi IgA dan C3 berbentuk pita di sepanjang taut dermo-epidermal.

PE R



D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 137

Dermatologi Alergo-Imunologi

137

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa : Edukasi dan konseling: diperlukan pengertian pasien terhadap penyakit dan kepatuhan berobat. Beberapa penderita dapat mengalami remisi spontan Medikamentosa: Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi 1. Topikal: Diberikan apabila penyakit terlokalisata, yaitu: - Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik topikal Mupirosin 2% atau Asam fusidat 2-5% - Dapat diberikan kortikosteroid topikal potensi tinggi (Klobetasol Propionate 0,05%). - Dapat juga diberikan tacrolimus sebagai terapi topikal tambahan - Kompres dengan Nacl 0,9%

SK I

III

PE R

DO

2. Sistemik: - Antihistamin golongan sedatif bila ada keluhan gatal CTM 0,09 mg/kg/ dosis 3x sehari - Steroid sistemik (prednison 60-80 mg/hari) disertai dengan steroid sparing agent (azathioprine atau MTX). Dosis mingguan MTX mungkin efektif dan lebih nyaman untuk pasien. Dosis steroid diturunkan secara perlahan untuk mencegah relaps. - Dapson 0,5-1mg/kg BB/hari atau 25-50 mg/hari setelah ada perbaikan dosis dapat diturunkan hingga 12,5-25 mg/hari atau kurang. Dosis diturunkan perlahan-lahan sampai dosis pemeliharaan dicapai. - Bila tidak toleran dengan dapsone dapat diganti dengan sulfapiridin - Bila tidak responsif dapat dikombinasi dengan Prednison 0,5-1 mg/kg BB/hari - Bila kasus sulit diatasi, dapat dipertimbangan pemberian Azathioprine, Mycophenolate mofetil, Intravenous immunoglobulin (IVIG) 3. Obat alternatif: - Sulfonamid - Siklosporin A - Eritromisin

Tindak lanjut: Kontrol teratur setiap 1 bulan untuk penurunan dosis obat dan mencapai dosis pemeliharaan. Pemantauan efek simpang sulfone antara lain terhadap kemungkinan terjadi methemoglobinemia (pemeriksaan kadar G6PD)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 138

138

Dermatologi Alergo-Imunologi

Komplikasi

V

Kepustakaan

-

Simblefaron Penurunan penglihatan Keganasan Infeksi Paraproteinemia

SK I

IV

: 1. Rao CL, Hall III RP. Linear Immunoglobulin A dermatosis

2. 3. 4. 5.

PE R

DO

6.

and chronic bullous disease of childhood. In: Wolf K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. 8th ed. New York : Mc Graw-Hill; 2012. p. 623-9. Patsatsi A. Chronic bullous disease or linear IgA dermatosis of childhood- revisited. J Genet Syndr Gene Ther 2013; 4: 6. Fernandez SR, Alonso AE, Gonzalez JEH, Galy JMM. Practical management of thr most common bullous disease. Actas Dermosifiliogr 2008; 99:441-55. Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating autoimmune bullous disorders with systemic medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28. Culton DA, Diaz LA. Treatment of subepidermal immunobullous disease. Clin Dermatol 2012; 30: 95-102. Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int 2011; 108: 399-405.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 139

Dermatologi Alergo-Imunologi

139

Bagan Alur 

Riwayat perjalanan penyakit: kronik residif.



Tempat predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia, perianal, bokong



Gejala subjektif gatal, kadang disertai gejala prodromal



Klinis ditandai vesikel dan bula tegang di atas dasar eritematosa, berukuran miliar sampai lentikular, berkelompok tersusun mirip rosette (cluster of jewel)

SK I

VI

DO

Histopatologi: celah subepidermal dengan neutrofil pada basal membran Direct immuno fluorescence (DIF): endapan IgA dan C3 berbentuk pita di sepanjang taut dermo-epidermal.

Dermatosis Ig A linear (CBDC)

Topikal

:-

Sistemik : -

PE R

-

Antibiotik ( Mupirosin 2%, Na Fusidat 2-5%) Kortikosteroid potensi tinggi (Klobetasol propionate 0,05%) atau Tacrolimus Kompres dengan Nacl 0,9% Antihistamin (CTM 0,09 mg/kg/x 3dd1) Steroid sistemik (prednison 60-80 mg/hari) disertai dengan steroid sparing agent Dapson 0,5-1mg /kgBB/hari atau 25-50 mg/hr Sulfapiridin

Perbaikan -

Perbaikan +

Dosis dapson diturunkan perlahan hingga dosis 12,525mg/hri

140

Terapi kombinasi dengan Prednison 0,5-1 mg/kg/ hari Atau obat alternatif

Dermatologi Alergo-Imunologi D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 140

D.3. DERMATITIS HERPETIFORMIS DUHRING (L13.0)

II

Definisi

Kriteria diagnostik 

Klinis

: Dermatitis herpetiformis Duhring ialah penyakit bulosa autoimun bersifat kronik dan kambuhan, dengan gejala ruam bersifat polimorfik terutama berupa papulovesikular, tersusun berkelompok dan simetrik disertai rasa sangat gatal. Kelainan ini berkaitan dengan deposit IgA pada kulit dan enteropati sensitif-gluten. Banyak terjadi pada usia antara 30-40 tahun, meskipun dapat terjadi pada usia anak. Perbandingan laki-laki:perempuan = 2:1. : :  

Riwayat perjalanan penyakit: kronik, hilang timbul. Tempat predileksi biasanya pada area ekstensor ekstremitas dan badan dengan distribusi simetris, dapat timbul pada skalp dan/atau nuchal posterior. Lesi dapat diawali dengan suatu papul eritematus, plak menyerupai urtikaria selanjutnya juga timbul vesikel dan bula tegang berkelompok di atas dasar eritematosa. Garukan menyebabkan erosi, ekskoriasi, krusta. Dispigmentasi postinflamasi terjadi setelah sembuh. Keluhan dapat bervariasi dari rasa panas yang hebat serta gatal hingga tanpa gejala. Berkaitan dengan sensitivitas pasien terhadap gluten dan iodida

DO



SK I

I



PE R



D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 141

Dermatologi Alergo-Imunologi

141



Diagnosis banding

: 1. Eritema multiforme bulosum 2. Dermatosis IgA linear 3. Pemfigoid bulosa



Pemeriksaan penunjang

: 

III

Penatalaksanaan

SK I



Pemeriksaan histopatologi kulit dengan pengecatan HE ditemukan kumpulan mikroabses neutrofil pada papila dermis dan terdapat celah subepidermal Direct immuno fluorescence (DIF): ditemukan deposit IgA granular pada papila dermis atau dermal epidermal junction.

: Nonmedikamentosa : Diet rendah gluten: menghindari makanan berasal dari gandum, misalnya roti, kue, oats, mie, dan obat yang mengandung iodida

DO

Medikamentosa: Prinsip: mengurangi pruritus, menekan inflamasi 1. Topikal: - Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik - Kortikosteroid topikal yang sangat poten

PE R

2. Sistemik: - Dapson: dosis awal dewasa 100-150 mg/hari hingga 300-400 mg/hari atau pada anak dapat 12 mg/kgBB/hari. - Sulfapiridin: dosis dewasa 1-1,5 g/hari dapat digunakan pada pasien dengan intoleransi terhadap dapson, pasien lanjut usia, serta pada pasien dengan masalah kardiopulmoner - Antihistamin golongan sedatif

Tindak lanjut:  Pemantauan efek simpang pemakaian dapson dan sulfapiridin, keduanya menyebabkan methemoglobinemia terutama pada pasien dengan defisiensi G6PD, kontrol setiap 1 bulan.  Kontrol teratur setiap bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan.  Konsultasi ke Bagian Gastroenterologi bila ada dugaan coeliac diseases  Konsultasi ke ahli gizi untuk diet bebas atau rendah gluten.

Komplikasi

142



Enteropati sensitif gluten dapat mengakibatkan steatorrhea, malabsorpsi, anemia yang diakibatkan defisiensi besi atau folat.

Dermatologi Dermatologi Alergo-Imunologi

A l e r g o - I m u n o l o g i | 142

Kepustakaan

: 1. Wolf K, Goldsmith LA,

2. 3. 4.

PE R

DO

5.

Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc GrawHill, 2012 Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating autoimmune bullous disorders with systemic medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28. Culton DA, Diaz LA. Treatment of subepidermal immunobullous disease. Clin Dermatol 2012; 30: 95-102 Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int 2011; 108: 399-405. Herrero-Gonzalez JE. Clinical Guidelines for th Diagnosis and Treatment of Dermatitis Herpetiformis. Actas Dermosifiliogr 2010;101(10):820-6.

SK I

IV

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 143

Dermatologi Alergo-Imunologi

143

Bagan Alur Riwayat perjalanan penyakit: kronis residif.



Tempat predileksi pada area ekstensor ekstremitas dengan penyebaran simetris



Vesikel dan bula tegang berkelompok di atas dasar eritematosa, meninggalkan erosi, ekskoriasi, krusta



Berkaitan dengan sensitivitas terhadap gluten dan iodida

SK I





Histopatologi kulit: kumpulan mikroabses neutrofil pada papila dermis dan terdapat celah subepidermal



Direct immuno fluorescence (DIF): deposit IgA granular di puncak dermis atau dermal epidermal junction

papila

DO

V

Dermatitis herpetiformis duhring

PE R

Diet bebas gluten Topikal:: Bila erosi dan ekskoriasi: antibiotik Sistemik: - Dapson: dosis awal dewasa 100-150 mg/hari atau pada anak dapat 12 mg/kgBB - Sulfapiridin: dewasa dosis 1-1,5 g/hari - Antihistamin golongan sedatif, kortikosteroid topikal yang sangat poten

Penyakit terkontrol: Dapson 25 mg/minggu Atau sulfapirindin: 1-1,5 gr per hari

144

Dermatologi Alergo-Imunologi

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 144

D.4. DERMATITIS KONTAK ALERGI (L23) Definisi

II

Kriteria diagnostik  Klinis

Diagnosis banding

: 1. 2. 3. 4.

Dermatitis kontak iritan Dermatitis numularis (bila berbentuk bulat oval) Dermatitis seboroik (di kepala) Dishidrosis (bila mengenai telapak tangan dan kaki)



Pemeriksaan penunjang

: 

Tes kulit (tes tempel) untuk mencari penyebab Pada DKA kosmetika, apabila tes tempel negatif dapat dilanjutkan dengan tes pakai (use test), tes pakai berulang (repeated open application test – ROAT)

DO



Penatalaksanaan



: Nonmedikamentosa:  Hentikan pajanan alergen tersangka  Pada pasien usia produktif, anamnesa tentang kemungkinan sumber alergen berasal dari tempat kerja.  Penilaian identifikasi alergen (tes tempel lanjut dengan bahan-bahan yang lebih spesifik)  Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD) yang sesuai: sarung tangan, krim barier Medikamentosa:  Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan gambaran klinis  Gatal: beri antihistamin generasi kedua  DKA akut derajat sedang – berat, refrakter: dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari)  Siklosporin oral  Topikal: sesuai dengan sajian klinis o Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%

PE R

III

: Dermatitis kontak alergi (DKA) ialah dermatitis yang terjadi akibat pajanan dengan bahan alergen di luar tubuh Klasifikasi:  DKA lokalisata  DKA sistemik : :  Riwayat terpajan dengan bahan allergen  Terjadi reaksi berupa dermatitis, setelah pajanan ulang dengan alergen tersangka yang sama  Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, sedangkan bila pajanan berulang lesi memberat  Gejala subyektif berupa rasa gatal  Terdapat tanda dermatitis (akut, subakut, kronik)  Lesi bersifat lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai dengan bahan penyebab  Pada DKA sistemik, lesi dapat tersebar luas/generalisata  Efloresensi polimorf

SK I

I

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 145

Dermatologi Alergo-Imunologi

145

o

SK I



Vesikular akut: aluminum sulfat/kalsium asetat topikal o Kering/kronik/likenifikasi: beri krim kortikosteroid potensi kuat (momethasone furoate), emolien, inhibitor kalsineurin: takrolimus , pimekrolimus Refrakter/tidak dapat menghindari faktor-faktor pencetus: fototerapi shortwave UVB

Tindak lanjut: Pada DKA yang mengenai telapak tangan (hand dermatitis) dapat sangat menyulitkan untuk melaksanakan tugas sehari-hari sehingga dianjurkan pemakaian APD sesuai dan pemberian emolien

Infeksi Sekunder (penatalaksanaan sesuai dengan lesi, pemilihan jenis antibiotik sesuai kebijakan masing-masing rumah sakit) Patch test:  Hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi paska inflamasi  Hasil positif yang persisten  Koebner Fenomena pada pasien yang memiliki psoriasis aktif atau liken planus 

Kepustakaan

: 1. Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic contact dermatitis.

In: Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill, 2012. 2. Bourke J, Coulson I, English J.Guidelines for the managementof contact dermatitis:an update. British J Derm 2009. 160:946-954. 3. English JSC. Current concept of irriitant contact dermatitis. Occup environ med 2004. 61:722-726. 4. Smedley J. Concise guidance: diagnosis, management and prevention of occupational contact dermatitis. Clin Med 2010. 5:487-90.

PE R

IV

DO

Komplikasi

146

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 146

Dermatologi Alergo-Imunologi

Bagan Alur  

Riwayat kontak dengan alergen Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, bila kontak berulang lesi memberat



Tanda dermatitis o Akut, subakut, kronik o Gejala subjektif: gatal Lesi bersifat lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai bahan penyebab



SK I

V

Tes tempel



+

Cari kemungkinan false-negative karena efek anti-inflamasi

DO

Dermatitis kontak alergi

Nonmedikamentosa: 

Hentikan pajanan dengan alergen tersangka Anjuran penggunaan alat pelindung diri/APD (sarung tangan , krim barier)

PE R



Medikamentosa: Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan gambaran klinis  Gatal: beri antihistamin generasi kedua  Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari) Topikal: sesuai dengan sajian klnis  Basah (madidans): beri kompres terbuka  Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 147

Dermatologi Alergo-Imunologi

147

D.5. DERMATITIS KONTAK IRITAN (L24)

II

Kriteria diagnostic  Klinis

: Dermatitis kontak iritan (DKI) ialah dermatitis yang terjadi sebagai akibat pajanan dengan bahan iritan di luar tubuh, baik iritan lemah maupun iritan kuat Klasifikasi: ● DKI Akut ● DKI kronik kumulatif : :  Riwayat terpajan dengan bahan iritan  Terjadi reaksi berupa dermatitis, pada iritan kuat akan terjadi dermatitis akut pada pajanan pertama (satu kali), sedangkan pada iritan lemah akan terjadi dermatitis kronis setelah pajanan berulang  Bila pajanan dihentikan, lesi membaik, bila pajanan berulang lesi bertambah berat  Gejala subyektif berupa rasa gatal, terbakar / nyeri  Terdapat tanda dermatitis (akut, subakut, kronik)  Lesi lokalisata, berbatas tegas, bentuk sesuai dengan luas kontak bahan penyebab  Efloresensi monomorf

SK I

Definisi

DO

I

Diagnosis banding



Pemeriksaan penunjang

: 1. Dermatitis kontak alergi 2. Dermatitis numularis (bila berbentuk bulat) 3. Dermatitis seboroik (bila di kepala) Harus disingkirkan: Lokalisata: 1. DKA 2. Penyakit Bowen Diseminata: 1. DKA 2. Sifilis sekunder 3. Cutaneus T Cell Lymphoma : Tes kulit (tes tempel) hanya diperlukan apabila tidak dapat dibedakan dengan dermatitis kontak alergi

PE R



III

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: ● Identifikasi dan eliminasi bahan iritan tersangka. Pada pasien usia produktif, anamnesa tentang kemungkinan sumber iritan berasal dari tempat kerja.  Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD) : sarung tangan, krim barier Medikamentosa: 1.Sistemik: simtomatis sesuai gejala dan sajian klinis Gatal: beri antihistamin generasi kedua Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari) 2.Topikal: sesuai dengan sajian klinis D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 148

148

Dermatologi Alergo-Imunologi

o

SK I

Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9% o Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang (flusinolon asetonid) o Emolien dengan bahan dasar petrolatum o Pimekrolimus sebagai pengganti kortikosteroid topikal potensi lemah Pada kasus yang berat dan kronis, bisa digunakan Psoralen + UVA/UVB atau obat sistemik misalnya azathioprine dan siklosporin Bila ada superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal / sistemik Tindak lanjut: Pada DKI kumulatif yang mengenai telapak tangan (hand dermatitis) dapat sangat menyulitkan untuk melaksanakan tugas sehari-hari, sehingga dianjurkan pemakaian APD sesuai dan pemberian emolien

Kepustakaan

: 1. Amado A, Sood A, Taylor JS. Irritant contact dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill, 2012. 2. Bourke J, Coulson I, English J.Guidelines for the managementof contact dermatitis:an update. British J Derm 2009. 160:946-954 3. English JSC. Current concept of irriitant contact dermatitis. Occup environ med 2004. 61:722-726. 4. Smedley J. Concise guidance: diagnosis, management and prevention of occupational contact dermatitis. Clin Med 2010. 5:487-90.

PE R

IV

Infeksi sekunder (terapi infeksi sekunder sesuai dengan klinis dan pemilihan jenis antibiotik sesuai dengan kebijakan masing-masing rumah sakit)

DO

Komplikasi

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 149

Dermatologi Alergo-Imunologi

149

V

Bagan Alur Riwayat kontak dengan bahan iritan

Iritan kuat:

Sabun, deterjen, surfaktan, pelarut organic, minyak Berhari-hari, berbulanbulan, bertahun-tahun setelah kontak

Bahan kimia kaustik (asam dan basa)

Segera setelah kontak



Gatal, nyeri, Bercak-bercak eritem, hyperkeratosis, fisura



DKI kronik kumulatif

DKA



Topikal:

Kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasi



Emolien (petrolatum based) Inhibitor kalsineurin Fototerapi (psoralen+UVA /UVB)

Tes tempel

Sistemik :  

150

DKI akut

+

Topikal:   

PE R



 

Rasa terbakar, gatal, nyeri seperti tersengat Eritema, edema, batas tegas sesuai bahan penyebab, vesikulasi, eksudasi, bula, nekrosis jaringan

DO

 

SK I

Iritan lemah:





Identifikasi & eliminasi bahan-bahan iritan Proteksi

Lesi basah : kompres terbuka Lesi kering : kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasi Emolien

Sistemik :  

Kortikosteroid setara prednison 20 mg/hari 3 hari Antihistamin

Bila ada infeksi sekunder oleh bakteri:

Antihistamin Azathioprine

Antibiotika sistemik/topikal

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 150

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.6. ERUPSI KULIT AKIBAT ALERGI OBAT (L27) : Erupsi kulit akibat alergi obat atau allergic drug eruption adalah reaksi alergi pada kulit atau mukokutan yang terjadi akibat pemberian obat sistemik, baik yang masuk ke dalam tubuh secara peroral, pervaginam, per-rektal, atau parenteral. Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, pengobatan, profilaksis. Termasuk dalam pengertian obat ialah jamu. Perlu diingat bahwa obat topikal dapat pula menyebabkan gejala sistemik akibat penyerapan obat oleh kulit.

Definisi

SK I

I

Kriteria diagnostik  Klinis

b. Bentuk berat 1. Pustular eksantema generalisata akut (PEGA) 2. Eritroderma 3. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) 4. Nekrolisis epidermal toksik (NET) atau sindrom Lyell 5.Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) * Lihat bab terkait

: : 

PE R

II

DO

Klasifikasi*: a. Bentuk ringan 1. Urtikaria dengan atau tanpa angioedema 2. Erupsi eksantematosa 3. Dermatitis medikamentosa 4. Purpura 5. Eksantema fikstum (fixed drug eruption/FDE) 6. Eritema nodosum 7. Eritema multiforme 8. Lupus eritematosus



  

Riwayat menggunakan obat secara sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, runtutan pemberian pengaruh paparan matahari) atau kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus). Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu pemberian obat, apakah timbul segera, beberapa saat atau jam atau hari. Jenis kelainan kulit yang terjadi antara lain pruritus, eritema, skuama, urtikaria, lepuh, erosi, ekskoriasi ulkus maupun nodus. Keluhan sistemik. Riwayat atopi diri dan keluarga, alergi terhadap alergen lain, serta alergi obat sebelumnya. Kelainan kulit umumnya generalisata atau universal, dapat setempat misalnya eksantema fikstum. D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 151

Dermatologi Alergo-Imunologi

151



Jenis kelainan kulit yang lazim pada erupsi yang ringan atau berat.

Diagnosis banding

: Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi, misalnya: 1. Eritroderma: dapat disebabkan oleh perluasan penyakit seboroik dan psoriasis, atau akibat keganasan; 2. Eritema nodosum (EN): EN akibat kusta, demam rheuma dan keganasan. 3. Eritema: morbili. 4. Purpura: Idiopatik trombositopenik purpura, dengue hemoragic fever. 5. FDE: eritema multiforme bulosum 6. PEGA: pustular psoriasis 7. SSJ: pemfigus vulgaris 8. NET: kombustio



Pemeriksaan penunjang

:

DO

Dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi kulit (minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang) dan memenuhi syarat uji kulit, dilakukan di tahap lanjut: 1. Uji tempel tertutup, 2. Uji tusuk bila uji tempel negatif 3. Uji provokasi peroral bila uji tusuk negatif

Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa: Penjelasan kondisi pasien, diminta menghentikan obat tersangka penyebab.  Bila pasien sembuh: Berikan kartu alergi, berisi daftar obat yang diduga menyebabkan alergi, kartu tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas kesehatan setiap kali berobat.  Pasien diberi daftar jenis obat yang harus dihindarinya (obat dengan rumus kimia yang sama). 

PE R

III

SK I



Medikamentosa: Prinsip: 1. Hentikan obat 2. Atasi keadaan umum, terutama pada yang berat untuk life saving. 3. Berikan obat antialergi yang paling aman dan sesuai.

1. Topikal: - Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi (ikuti prinsip dermatoterapi) - Pada purpura dan eritema nodosum tidak perlu - Eritroderma, SSJ, NET (lihat bab masingmasing)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 152

152

Dermatologi Alergo-Imunologi

Komplikasi    Kepustakaan

Infeksi sekunder Eritrodermi Sepsis

1. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Edisi ke-8. New York : Mc GrawHill, 2012. 2. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. N Engl J Med 366;26, 2012. 3. Joint Council of Allergy, Asthma & Immunology. Drug Allergy: An Updated Practice Parameter. Annals of Allergy, Asthma & Immunology vol. 105, (10), 2010. 4. Warrington R and Silviu-Dan F. Drug allergy. AACI 7(suppl1): 510, 2011.

PE R

DO

IV

SK I

2. Sistemik: - Atasi keadaan umum terutama kondisi vital. - Pada yang ringan: prednison 30 mg/ hari. - Anthistamin: merupakan lini pertama pada urtikaria dan pruritus, atau EOA yang disertai rasa gatal. Dapat digunakan antihistamin sedatif atau nonsedatif. - Pada eritroderma dan PEGA: prednison 40-60 mg/hari, Bila berat: rawat inap (lihat PPM SSJ dan TEN).

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 153

Dermatologi Alergo-Imunologi

153

V

Bagan Alur

  

Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu pemberian obat, apakah timbul segera, beberapa saat atau jam atau hari. Kelainan kulit: eritema, papul, skuama, urtikaria, vesikel/ bula, erosi, ekskoriasi sampai ulkus dan nodus. Pruritus

Ringan:

6. 7.

Berat:

Urtikaria dengan/tanpa angioedema Erupsi eksantematosa Dermatitis medikamentosa Purpura Eksantema fikstum (fixed drug eruption) Eritema nodosum Eritema multiforme

1. 2. 3. 4.

Pustular eksantema generalisata akut (PEGA) Eritroderma Sindrom Stevens-Johnson Nekrolisis epidermal toksik (NET) atau sindrom Lyell

DO

1. 2. 3. 4. 5.

SK I

Riwayat menggunakan obat secara sistemik atau kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus)

1. Topikal: - Ikuti prinsip dermatoterapi - Pada purpura dan eritema nodosum tidak perlu

Sesuai PPM masing-masing

PE R

2. Sistemik: - Atasi keadaan umum terutama kondisi vital. - Ringan: prednison 30 mg/ hari. - Anthistamin: merupakan lini pertama pada urtikaria dan pruritus, atau EOA yang disertai rasa gatal. Dapat digunakan antihistamin sedatif atau nonsedatif.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 154

154

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.7. PEMFIGUS Definisi

: Pemfigus merupakan penyakit autoimun bulosa serius yang menyebabkan akantolisis kulit dan membran mukosa dan sering menyebabkan kematian apabila tidak diterapi secara adekuat. Umumnya mengenai usia dekade ke-4 atau ke-6, tetapi dapat mengenai semua usia.

II

Kriteria diagnostik  Klinis

: :  



Keadaan umum buruk Lesi kulit umumnya gatal, diawali oleh lesi oral yang nyeri sebelum berlanjut menjadi erupsi kulit generalisata berupa bula kendor pada kulit normal, meluas hingga ke seluruh tubuh. Karena bula ini mudah pecah, kadang hanya dapat dilihat erosi yang sangat nyeri pada beberapa pasien. Lesi mukosa: tampak erosi mukosa mulut yang nyeri Di tempat predileksi terdapat bula kendur, lentikular sampai numular, di atas dasar kulit normal atau eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian menjadi keruh. Tanda Nikolsky positif Perjalanan klinis kambuhan, sering diperlukan terapi seumur hidup.

DO



SK I

I

 



Diagnosis banding

: 1. Dermatitis herpetiformis Duhring 2. Pemfigoid bulosa



Pemeriksaan penunjang

: 

PE R







Pemeriksaan histopatologik HE: terdapat bula intraepidermal supra basal, akantolisis. Pemeriksaan imunofluoresens direk: didapatkan deposit IgG dan C3 di interselular epidermis baik pada kulit lesi maupun perilesi. Pemeriksaan serologik: kadar IgG di dalam serum meningkat (titer IgG, autoantibodi terhadap desmoglein 3, biasanya berkorelasi dengan aktifitas penyakit; oleh karenanya respon klinis dapat dimonitor dengan titer antibodi) Pemeriksaan darah, urin, feses rutin dilakukan; Pada pemberian krotikosteroid jangka panjang perlu diperiksa fungsi ginjal dan fungsi hati, kadar gula darah puasa dan 2 jam setelah makan serta reduksi urin; Pada pemberian terapi ajuvan Azathioprine perlu diperiksa kadar TPMT (Thiopurine methyl-transferase)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 155

Dermatologi Alergo-Imunologi

155

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa : Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga mengenai penyakit, terapi, serta prognosis. Memberi edukasi cara merawat lepuh, menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter Medikamentosa: Prinsip:  Mengatasi keadaan umum yang buruk  Mengendalikan reaksi autoimun  Penatalaksanaan multidisiplin, terutama bila menggunakan kortikosteroid jangka panjang dan sitostatika yaitu antara lain bersama dengan Bagian Penyakit Dalam, Hematologi, Alergi-imunologik 1. Topikal: - Bila banyak lesi erosif atau ekskoriasi dapat diberikan krim mupirosin 2% atau asam fusidat 2-5%. - Untuk membersihkan krusta dapat dilakukan kompres terbuka dengan NaCl 0,9%. 2. Sistemik: - Terapi lini pertama: glukokortikoid sistemik, dimulai dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. Respon klinis yang bagus biasanya tampak setelah 2-3 bulan, kemudian dosis dapat diturunkan menjadi 40mg/hari dan di tapering of selama 6-9 bulan sampai dosis pemeliharaan 5 mg selang sehari). Tapering dapat dilakukan baik dengan menurunkan dosis 10 mg/bulan dan kemudian 5 mg/bulan atau dengan selang sehari: 40/20, 40/0, 30/0, 20/0, 15/0, 10/0, dan 5/0 dilanjutkan dengan 5/0 untuk pemeliharaan. - Pada klinis yang berat dapat diberikan kortikosteroid terapi denyut. Cara pemberian kortikosteroid secara terapi denyut (pulsed therapy): metalprednisolon sodium suksinat i.v. selama 2-3 jam, 250-1000 mg. Atau injeksi deksametason atau metil prednisolon i.v 1 g/hari selama 4-5 hari. - Pada pemberian prednison > 40 mg/hari sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis mencegah infeksi sekunder. - Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan sebagai steroid sparing agent: mikofenolat mofetil (2-2,5 g/hari 2xsehari), azathioprine (1-3 mg/kgBB/hari atau 50mg setiap 12 jam namun disesuaikan dengan kadar TPMT), siklofosfamid (50-200 mg/hari), Dapsone (100 mg/hari), imunoglobulin intravena (1,2-2 g/kg BB terbagi dalam 3-5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu untuk 1-34 siklus), Rituximab (0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari dan dapat diulang sebagai monoterapi setiap 21 hari)

PE R

DO

SK I

III

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 156

156

Dermatologi Alergo-Imunologi

-

Pada Pemfigus foliaceus, lesi lokalisata cukup dengan terapi topikal kortikosteroid, namun bila lesi maka terapi ~ pemfigus vulgaris Pemberian sitostatik harus dilakukan dengan kerjasama Bagian Hematologi atau atas anjuran Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi, dan diberikan bila tidak ada kontraindikasi.

SK I

-

Tindak lanjut: 1. Pemantauan keadaan umum: bila dirawat dilakukan setiap hari, bila berobat jalan 1 x seminggu, atau bergantung kondisi pasien. 2. Pemantauan IgG dalam serum. 3. Pemantauan efek samping terapi kortikosteroid atau sitostatik jangka panjang 4. Kerjasama dengan Bagian Penyakit Dalam, Alergi-imunologi, dan departemen lain yang terkait. Komplikasi

V

Kepustakaan

-

Malnutrisi Dehidrasi Sepsis

DO

IV

: 1. Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Wolf K, Goldsmith

2.

3.

PE R

4.

5.

6.

7.

LA, Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. 8th ed. New York : Mc Graw-Hill; 2012. p. 586-99. Harman KE, Albert S, Black MM. Guidelines for the management of pemphigus vulgaris. Br J Dermatol 2003; 149:926-37. Fernandez SR, Alonso AE, Gonzalez JEH, Galy JMM. Practical management of thr most common bullous disease. Actas Dermosifiliogr 2008; 99:441-55. Hofmann S, Jakob T. Bulous autoimmune skin disease. In: Shoenfeld Y, Meroni PL, editors. The general practice guide to autoimmune diseases. Berlin:Pabst Science. 2012. p. 127-34. Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating autoimmune bullous disorders with systemic medications. J Clin Aestetic Dermatol 2009; 2: 19-28. Strowd LC, Taylor SL, Jorizzo JI, Namazi MR. Therapeutic ladder for pemphigus vulgaris: Emphasis on achieving complete remission. J Am Acad Dermatol 2011; 64: 490-4. Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of autoimmune blistering skin diseases. Dtsch Arztebl Int 2011; 108: 399-405.

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 157

Dermatologi Alergo-Imunologi

157

Bagan Alur     

Keadaan umum buruk Lesi kulit umumnya tidak gatal namun nyeri. Timbul lepuh berbulan-bulan, mula-mula di kulit kepala berambut, ke kulit lainnya dan selaput lendir, meluas ke seluruh badan Lesi mukosa: tampak erosi mukosa mulut yang nyeri Di tempat predileksi terdapat bula kendur, lentikular sampai numular, di atas dasar kulit normal atau eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian menjadi keruh. Tanda Nikolsky positif

SK I

VI

Histopatologi: bula intraepidermal suprabasal, akantolisis Imunofloresen: deposit IgG & C3 interseluler

Pemfigus

Ringan

Rawat luka dgn Na Cl 0,9%, Antibiotik topikal (Mupirosin 2% atau Na Fusidat 2-5% Kortikosteroid sistemik: Prednison 1 mg/kg/hari bila tidak didapatkan respon dalam 7-10 hari dtingkatkan 1,5 mg/kgBB /hari. Pada klinis yang berat diberikan suntikan deksametason atau metil prednisolon i.v 1 g/hari selama 4-5 hari.

DO

Rawat luka dgn Na Cl 0,9%, Antibiotik topikal (Mupirosin 2% atau Na Fusidat 2-5% Kortikosteroid topikal atau Prednison dosis rendah 1mg/kgBB/hari Pada Pemfigus foliaceus, lesi lokalisata cukup dengan terapi topikal kortikosteroid, namun bila lesi maka terapi ~ pemfigus vulgaris

Sedang-berat

Perbaikan +

158

Perbaikan -

Perbaikan -

PE R

Perbaikan +

Dosis kortikosteroid diturunkan secara perlahan hingga dosis setara dengan prednison 15-20 mg/ hari

Pertimbangan terapi ajuvan:

- Mikofenolat mofetil (2-2,5 g/hari

2xsehari), - Azathioprine (1-3 mg/kgBB/hari atau 50mg setiap 12 jam namun disesuaikan dengan kadar TPMT) - Siklofosfamid (50-200 mg/hari) - Dapsone (100 mg/hari) - imunoglobulin intravena (1,2-2 g/kg BB terbagi dalam 3-5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu untuk 1-34 siklus), - Rituximab(0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari dan dapat diulang sebagai monoterapi setiap 21 hari)

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 158

Dermatologi Alergo-Imunologi

D.8. URTIKARIA (L50) Definisi

: Urtikaria merupakan suatu kelompok penyakit/kelainan/

kondisi yang mempunyai kesamaan pola reaksi kulit yang khas yaitu perkembangan lesi kulit urtikarial yang berakhir 124 jam dan/atau angioedema yang berakhir sampai 72 jam. Urtikaria diklasifikasikan menjadi 3 grup (Tabel 1). Angioedema merupakan pembengkakan mendadak yang non-pitting pada kulit, membran mukosa atau keduanya, termasuk traktus respiratorius atas dan gastrointestinalis, yang biasanya bertahan selama beberapa jam sampai 3 hari.

SK I

I

Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria Grup Urtikaria spontan

Keterangan Wheal spontan < 6 minggu

Urtikaria kronik Urtikaria kontak dingin (cold contact urticaria)

Wheal spontan > 6 minggu Faktor pencetus: udara/air/angin dingin

Delayed pressure urticaria

Faktor pencetus: tekanan vertikal (wheal arising with a 3-8 latency)

Urtikaria kontak panas (hot contact urticaria)

Faktor pencetus: panas yang terlokalisir

Urtikaria solaris

Faktor pencetus: UV dan/atau sinar tampak

Urtikaria factitia/ Urtikaria dermografik

Faktor pencetus: kekuatan mekanis (wheal muncul setelah 1-5 menit)

Urtikaria/ angioedema fibratori Urtikaria angiogenik

Faktor pencetus: misal pneumatic hammer Faktor pencetus: air

Urtikaria kolinergik

Dicetuskan oleh naiknya temperatur tubuh

Urtikaria kontak

Dicetuskan oleh kontak dengan bahan yang bersifat urtikariogenik

Urtikaria yang diinduksi oleh latihan fisik (exercise)

Faktor pencetus: latihan fisik

PE R

DO

Urtikaria fisik

Sub grup Urtikaria akut

Kelainan urtikaria lain

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 159

Dermatologi Alergo-Imunologi

159

II

Kriteria diagnostik Klinis

:

 Urtikaria ditandai secara khas oleh timbulnya wheals dan/atau angioedema secara cepat. Wheal terdiri atas tiga gambaran klinis khas yaitu (i) udem di bagian sentral dengan ukuran bervariasi, hampir selalu dikelilingi oleh eritema, (ii) disertai oleh gatal atau kadang-kadang sensasi seperti terbakar, dan (iii) berakhir cepat, kulit kembali ke kondisi normal biasanya dalam waktu 1-24 jam.  Pedoman untuk diagnosis diawali dengan evaluasi rutin pasien, yang meliputi anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik, dan menyingkirkan penyakit sistemik berat dengan pemeriksaan laboratorium dasar. Tes provokasi dan laboratorium spesifik sebaiknya dilakukan secara individual dengan didasarkan penyebab yang dicurigai. Anamnesis sebaiknya meliputi: 1) Waktu mulai munculnya urtikaria (onset), 2) Frekuensi dan durasi wheals, 3) Variasi diurnal, 4) Bentuk, ukuran, dan distribusi wheals, 5) Apakah disertai angioedema, 6) Gejala subjektif yang dirasakan pada lesi, misal gatal, nyeri, 7) Riwayat keluarga terkait urtikaria, atopi, 8) Alergi yang dulu atau saat ini, infeksi, penyakit internal, atau penyebab lain yang mungkin, 9) Induksi oleh bahan fisik atau latihan fisik (exercise), 10) Penggunaan obat (NSAID, injeksi, imunisasi, hormon, obat pencahar (laxatives), suppositoria, tetes mata atau telinga, dan obat-obat alternatif), 11) Makanan, 12) Kebiasaan merokok 13) Jenis pekerjaan 14) Hobi 15) Kejadian berkaitan dengan akhir pekan, liburan, dan perjalanan ke daerah lain 16) Implantasi bedah 17) Reaksi terhadap sengatan serangga 18) Hubungan dengan siklus menstruasi 19) Respon terhadap terapi 20) Stres 21) Kualitas hidup terkait urtikaria

PE R

DO

SK I



:



160

Langkah kedua adalah pemeriksaan fisik pasien, yang sebaiknya juga meliputi tes dermografisme (terapi antihistamin harus dihentikan setidaknya 2-3 hari dan terapi immunosupresi untuk 1 minggu). Langkah diagnostik selanjutnya bergantung pada subtipe urtikaria, seperti dirangkum pada Tabel 2 D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 160

Dermatologi Alergo-Imunologi



Diagnosis banding

Penyakit kulit yang dapat bermanifestasi sebagai lesi urtikaria

:

Dermatitis urtikarial Dermatitis kontak (iritan atau alergik) Reaksi gigitan arthropoda Erupsi obat eksantematosa Mastositosis (anak-anak) Penyakit bulosa autoimun  Subepidermal: pemfigoid bulosa, pemfigoid gestasional, dermatosis IgA linear, EB akuisita, Dermatitis herpetiformis Duhring  Intraepidermal: Pemfigus herpetiformis PUPPP (pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy) Small-vessel vasculitis (vaskulitis urtikarial) Dermatitis progesteron/estrogen Autoimun Dermatitis granulomatosa interstisial Selulitis eosinofilik (sindrom Wells) Hidradenitis ekrin neutofilik Musinosis folikular urticarial-like

SK I

Biasa dijumpai

PE R

DO

Jarang

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 161

Dermatologi Alergo-Imunologi

161



Pemeriksaan penunjang

o Gambaran histopatologi Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan udem pada dermis atas dan tengah, disertai dilatasi venula postkapiler dan pembuluh limfatik dermis atas. Tabel 2. Tes Diagnostik Urtikaria Grup

Sub grup

Urtikaria spontan

Urtikaria akut

Urtikaria kronik

Program diagnostik lanjutan (bergantung pada penyebab yang dicurigai) Tidak ada (kecuali sangat dicurigai pada riwayat pasien, misal alergi)

UV dan sinar tampak pada berbagai panjang gelombang Elisitasi dermografisme

Singkirkan dermatoses lain yang diinduksi cahaya

Urtikaria factitia/ Urtikaria dermografik Urtikaria angiogenik

Pakaian basah pada temperatur tubuh diaplikasikan selama 20 menit Latihan fisik dan provokasi rendam/mandi air panas Tes tusuk/tempel dibaca setelah 20 menit Bergantung pada riwayat tes latihan fisik dengan/ tanpa makanan

Tidak ada

PE R

Kelainan urtikaria lain

Urtikaria kontak dingin (cold contact urticaria) Delayed pressure urticaria Urtikaria kontak panas (hot contact urticaria) Urtikaria solaris

Tes diagnostik rutin Tidak ada (kecuali sangat dicurigai pada riwayat pasien, misal alergi) DL, erythrocyte sedimentation rate (ESR) /C-reactive protein (CRP), menyingkirkan obat yang dicurigai (misal NSAID) Tes provokasi (dan threshold test) dingin (balok es, air dingin, angin dingin) Tes tekan (0,21,5kg/cm2 selama 10 dan 20 menit) Tes provokasi panas dan threshold test (air hangat)

Urtikaria kolinergik Urtikaria kontak

Urtikaria/ anafilaksis yang diinduksi oleh latihan fisik

162

Tes untuk (i) penyakit infeksi (misal Helicobacter pylori), (ii) alergi tipe I, (iii) autoantibodi, (iv) hormon tiroid, (iv) tes fisik, (v) diet bebas-pseudoalergen untuk 3 minggu dan triptase, biopsi

DL dan ESR/CRP, cryoproteins menyingkirkan penyakit lain, terutama infeksi Tidak ada

DO

Urtikaria fisik

SK I

o

Tidak ada

DL, ESR/CRP

Tidak ada

Tidak ada Tidak ada

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 162

Dermatologi Alergo-Imunologi

Penatalaksanaan

:

 Nonmedikamentosa : Identifikasi dan menghindari kemungkinan penyebab.  Medikamentosa: Prinsip: Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Dapat dilakukan di unit gawat darurat bersama-sama dengan / atau dikonsulkan ke Spesialis THT 1. Topikal:  Bedak kocok dibubuhi antipruritus mentol dan kamfer 2. Sistemik: Urtikaria akut: - Antihistamin (AH) nonsedatif - Bila dengan AH nonsedatif tidak berhasil, dapat digunakan hydroxyzine atau diphenhydramine 25 – 50 mg qid. - Angioedema disertai obstruksi saluran napas: a. Epinefrin dapat mengatasi urtikaria berat atau angioedema atau jika terdapat edema laring. b. Kortikosteroid setara Prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis diturunkan 5 – 10 mg/hari. c. Konsul THT Urtikaria kronik:  Terapi lini pertama: Antihistamin H1 generasi kedua non sedasi (nonsedating second generation H1-AH/ nsAH)  Terapi lini kedua: Jika gejala menetap setelah 2 minggu, antihistamin H1 generasi kedua non sedasi dapat dinaikkan dosisnya sampai 4x.  Terapi lini ketiga: Bila gejala masih menetap sampai 1-4 minggu, dosis regimen terapi nsAH dapat diganti generasi pertama antihistamin sedasi atau antihistamin non sedasi generasi kedua dengan pilihan menambahkan antagonis leukotrien. Jika terjadi eksaserbasi gejala dapat diberikan kortikosteroid sistemik untuk 3-7 hari.  Terapi lini keempat: Jika gejala masih menetap sampai 1-4 minggu regimen terapi nsAH dapat dilanjutkan dengan kombinasi siklosporin, antihistamin H2 non sedasi generasi kedua, dapson, atau omalizumab. Apabila masih terjadi eksaserbasi gejala, perlu ditambahkan kortikosteroid sistemik selama 3-7 hari.

PE R

DO

SK I

III

IV

Komplikasi

: Kesulitan menelan

Edema laring --> kesulitan bernafas --> kematian

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 163

Dermatologi Alergo-Imunologi

163

Kepustakaan

: 1) Zuberbier 2T, Bindslev-Jensen C, Canonica W, et al. EAACI/GA LEN/EDF guideline: definition, classification and diagnosis of urticaria. Allergy 2006: 61: 316–320 2) Zuberbier T. A Summary of the New International EAACI/GA2LEN/EDF/WAO Guidelines in Urticaria . WAO Journal 2012; 5:S1–S5 3) Kaplan AP. Angioedema. WAO Journal 2008; 1:103-113 4) Peroni A, Colato C, Schena D, Girolomoni G. Urticarial lesions: If not urticaria, what else? The differential diagnosis of urticaria. Part I. Cutaneous diseases. J Am Acad Dermatol 2010;62:541-55. 5) Chow S. Management of chronic urticaria in Asia: 2010 AADV consensus guidelines. Asia Pac Allergy 2012;2:149160 6) Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke 8. New York: McGraw-Hill 2012; 414-430

PE R

DO

SK I

IV

164

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 164

Dermatologi Alergo-Imunologi

Penanganan Urtikaria/ Angioedema Kronik Idiopatik Autoimun:

Berespon --> Pertahankan pada dosis dimana urtika ringan, tidak perlu sampai hilang

Berespon

SK I

Antihistamin nonsedatif: Satu obat atau kombinasi 2-4 kali dosis yang dianjurkan untuk rhinitis

 Antihistamin lain hingga dosis maksimal, mis. Hydroksizin atau difenhidramin (25-50 mg qid)  Tambahan antagonis H2, antagonis leukotrien

Respon tidak memadai

Dosis rendah perhari (10 mg prednison atau setara) steroid atau steroid selang sehari (20-25 mg qod) dengan menurunkan dosis perlahan menggunakan tablet prednison 5mg dan 1 mg

DO

Riwayat menggunakan kortikosteroid atau dengan hipertensi, diabetes, osteoporosis, striae berat, obesitas morbid

Siklosporin bersama steroid hingga dosis maksimum 15 mg/ hari – diturunkan bertahap dengan tujuan tidak menggunakannya

PE R

Siklosporin tidak efektif atau ada efek samping  Dosis rendah steroid seperti di atas  Metotreksat mingguan  γ globulin intravena  Plasmaferesis bagi subgrup autooimun

Respon baik terhadap steroid  Menurunkan dosis setiap 2-3 minggu bila dapat ditoleransi  Tujuan: urtikaria ringan, angioedema jarang

Respon kurang terhadap steroid --> siklosporin, ketika respon dicapai, eliminasi kortikosteroid

D e r m a t o l o g i A l e r g o - I m u n o l o g i | 165

Dermatologi Alergo-Imunologi

165

D.9. PSORIASIS Definisi

:

II

Kriteria diagnostik

:

• Klinis Tanda dan gejala

:

Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik residif ditandai oleh plak eritematosa, di atasnya terdapat skuama kasar, transparan, berlapis-lapis, disertai adanya fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner. Psoriasis dapat timbul pada semua usia, tetapi jarang pada usia kurang dari 10 tahun, sering muncul antara usia 15 dan 30 tahun.1

SK I

I

Psoriasis tipe plak • Bentuk psoriasis yang paling banyak • Plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama berwarna keperakan adalah karakteristik tetapi tidak harus ada • Daerah yang terkena biasanya: Siku, lutut, kepala, celah intergluteal, palmar dan plantar Kadang-kadang genitalia juga terkena

DO

Psoriasis guttata • Onset mendadak dan biasanya terjadi setelah infeksi streptokokal pada saluran pernafasan atas • Bentuk seperti tetesan air, plak merah muda dengan skuama • Biasanya ditemukan pada badan dan ekstremitas

PE R

Psoriasis pustularis generalisata dan lokalisata Generalisata • Juga disebut psoriasis von Zumbusch • Secara khas ditandai oleh pustul steril yang mengenai sebagian besar area tubuh dan ekstremitas • Pada kasus yang berat pustul dapat bergabung dan membentuk kumpulan pus (lake of pustules) • Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan terhadap infeksi, hilangnya cairan dan nutrien • Sering disertai dengan gejala sistemik misal demam dan malaise • Dapat membahayakan kehidupan Lokalisata • Pustul terlokalisasi pada palmar dan plantar • Pustul dapat terletak di atas plak • Sangat mengganggu karena kesulitan menggunakan tangan atau kaki

Psoriasis eritroderma • Generalisata, berat, eritema yang luas dengan skuama yang dapat mengenai sampai 100% luas permukaan tubuh

166

Dermatologi Alergo-Imunologi

29



Diagnosis



Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan terhadap infeksi, temperatur tubuh yang tak dapat terkontrol, hilangnya cairan dan nutrien Sering disertai dengan gejala sistemik yaitu demam dan malaise Dapat membahayakan kehidupan

SK I



Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

Riwayat • Usia awitan bimodal: 16-22 tahun dan 57-60 tahun • Infeksi, terutama streptokokus dapat memicu atau mengeksaserbasi penyakit • Obat (misal litium, antimalaria, alkohol, β-bloker) dapat memicu penyakit • Riwayat pengobatan dan pembedahan • Review riwayat keluarga, sosial, dan gejala

DO

Pemeriksaan fisik • Diagnosis biasanya dapat dibuat dari penampilan klinis plak • Inspeksi semua area tubuh terutama permukaan ekstensor, badan, perineum, kepala, kuku, sendi, serta daerah prominen lain.

PE R

Tes diagnosis • Mungkin diperlukan untuk penyakit yang sulit atau atipik • Tidak ada petanda serologis atau tes laboratorium yang patognomonik untuk psoriasis • Biopsi kulit, studi serologis sifilis, kultur bakteri, HLA typing, pemeriksaan mikroskopis (KOH), dsb dapat digunakan untuk membedakan psoriasis dari penyakit yang lain.



Diagnosis banding

:



Pemeriksaan penunjang

:

1. Sifilis psoriasiformis 2. Dermatitis seboroik 3. Parapsoriasis • Bila sangat perlu: biopsi kulit • Pemeriksaan ASTO • Pemeriksaan faktor rhematoid • Foto rontgen tulang sendi

Dermatologi Alergo-Imunologi

167 30

Penatalaksanaan

:

EDUKASI PASIEN

A

• • • • •

Edukasi terhadap pasien dan keluarga merupakan kunci penting untuk keberhasilan penatalaksanaan Pasien harus disadarkan bahwa terapi hanya akan mengontrol psoriasis tetapi tidak menyembuhkannya Yakinkan pasien bahwa psoriasis banyak dijumpai dan tidak menular Diskusikan berbagai pilihan terapi, efek samping dan hasil yang diharapkan Diskusikan kemungkinan faktor penyebab eksaserbasi

SK I

III

PRINSIP TERAPI Pilihan terapi sangat individual Sebagian besar pasien akan mendapatkan terapi multipel simultan Dokter harus memahami semua pilihan terapi sehingga terapi yang tepat dapat dipilih untuk masing-masing pasien

PE R

DO

Pertimbangan berikut akan mempengaruhi pilihan dan frekuensi terapi: • Keparahan, luas permukaan tubuh yang terkena, regio tubuh yang terkena • Pengaruh psoriasis pada kualitas hidup • Derajat gangguan psikologis yang disebabkan oleh penyakit • Rasio risiko vs keuntungan harus dipertimbangkan untuk masing-masing rejimen terapi • Adanya komorbiditas misal penyakit hepar, hipertensi dihubungkan dengan sindrom metabolik • Kenyamanan pasien • Biaya terapi B







FOTOTERAPI/ FOTOKEMOTERAPI

Fototerapi biasanya digunakan pada pasien dengan psoriasis generalisata sedang sampai berat dengan luas permukaan tubuh yang terkena > 3% (termasuk psoriasis gutata) atau terdapat gejala mitigating lain Kontraindikasi: pengobatan radiasi sinar pengion penyakit dengan fotosensitif misalnya lupus eritematosus, xeroderma pigmentosus, porfiria, pengguna obat-obat bersifat fotosensitizer: antara lain griseofulvin dan diuretika, pasien dengan riwayat terapi arsenik, pasien melanoma, kanker kulit non melanoma multipel. Kontraindikasi tambahan untuk PUVA: penyakit hati, pemakai siklosporin atau metotreksat, hamil dan menyusui. Perhatian khusus: pasien tipe kulit 1-2, atopik, eritroderma (vasodilatasi luas), mudah terbakar, pasien tidak tahan panas atau tidak kuat berdiri.

31

168

Dermatologi Alergo-Imunologi

• • • •

Toksisitas: akut: eritema, pruritus, terbakar kulit; kronis: photoaging, lentigen, telangiektasia, secara teoritis mempunyai risiko tinggi terhadap keganasan. Toksisitas tambahan PUVA: akut:mual dan muntah, pusing dan sakit kepala, bula, onikolisis akibat sinar, melanokia; kronis: fotokarsinogenesis untuk kaukasia tipe kulit I-III setelah 200 penyinaran Lubrikan dan emolien diperlukan untuk meningkatkan dayaguna fototerapi Jika memungkinkan, kulit yang tidak disinar harus dilindungi dengan tabir surya Lindungi daerah payudara, okular, dan genital selama sesi fototerapi Monitoring: sebelum terapi: penapisan kanker kulit, katarak, dan pada masa terapi evaluasi kulit keseluruhan, awasi efek samping

SK I



DO

Ultraviolet B (UVB) broadband (BB) • Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 4 minggu terapi, kulit bersih (clearance) dapat tercapai setelah 20-30 terapi, terapi pemeliharaan (maintenance) dapat memperpanjang masa remisi. Laju remisi 5% setahun • Dosis awal: menurut tipe kulit 20-60mJ/cm2 atau 50% minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan 530mJ/cm2 atau ≤25% MED awal, penyinaran 3-5 kali/minggu

PE R

Ultraviolet B (UVB) narrowband (NB) • Efek: penyembuhan awal terlihat setelah 8-10 terapi, kulit bersih dapat tercapai setelah 15-20 terapi, terapi pemeliharaan dapat memperpanjang masa remisi. Laju remisi 38% setahun • Dosis awal: menurut tipe kulit 130-400mJ/cm2 atau 50% minimal erythemal dose (MED), dosis dinaikan 15-65mJ/cm2 atau ≤10% MED awal, penyinaran 3-5 kali/minggu • UVB dapat dikombinasikan dengan: o Analog Vit D topikal o Coal tar topikal o PUVA o Retinoid (dosis fototerapi harus direndahkan) o Metotreksat (dapat digunakan dosis kumulatif rendah)

PUVA • Efek: penyembuhan awal terlihat dalam satu bulan terapi, 89% pasien mendapatkan perbaikan plak dalam 20-25 kali terapi selama 5.3-11.6 minggu. Terapi pemeliharaan tidak ditetapkan, masa remisi 3-12 bulan • Dosis: 8-metoksi psoralen, 0.4-0.6mg/kgBB diminum peroral 60-120 menit sebelum disinar UVA. Kaca mata bertabir ultra violet diperlukan untuk perlindungan di

Dermatologi Alergo-Imunologi

32

169

SK I



luar rumah 12 jam setelah minum psoralen. Dosis UVA menurut tipe kulit 0.5-3.0J/cm2, dosis dinaikan 0.5-1.5 J/cm,2penyinaran 2-3 kali/minggu. PUVA dapat dikombinasikan dengan: o Retinoid oral (mempunyai efek sinergis, dapat digunakan dosis rendah) o Metotreksat (hanya dapat digunakan untuk psoriasis berat) o Analog Vit D o Steroid topikal o UVB

DO

Soak/ bath PUVA • Dapat digunakan pada pasien dengan psoriasis lokalisata, terutama palmar dan plantar • Merupakan alternatif pada pasien dengan psoriasis generalisata yang tidak dapat mentoleransi psoralen oral • Efek: penyembuhan awal terlihat dalam satu bulan terapi, 89% pasien mendapatkan perbaikan plak dalam 30 kali terapi selama 5 -12 minggu. Terapi pemeliharaan tidak ditetapkan, masa remisi 3-12 bulan • Dosis: 0.1% 8-metoksipsoralen dalam emolien, dioles 30 menit sebelum sinar; 50mg 8-metoksi psoralen dalam 100 L air, dioles 20-30 menit sebelum. Dosis UVA menurut tipe kulit 0.5-3.0J/cm2, dosis dinaikan 0.5-1.5 J/cm,2penyinaran 2-3 kali/minggu. C

TERAPI TOPIKAL

PE R

Emolien: • Bagian penting dari terapi psoriasis, terutama pada fase non-akut • Efek: Melembutkan dan menghaluskan stratum korneum (soften & smoothen), dengan cara mekanisme trapping sehingga menurunkan kecepatan hilangnya air transepidermal o Petrolatum, minyak mineral meningkatkan efikasi fototerapi o Beberapa emolien (misal yang mengandung asam) mungkin mengiritasi kulit yang inflamasi • Pilihan pasien dan daerah lesi menentukan formula yang akan digunakan, misalnya petrolatum, parafin cair, minyak mineral, gliserin, dsb

Kortikosteroid • Pilihan terapi untuk psoriasis pada wajah, hairline, daerah postaurikular dan lipatan • Efek: anti inflamasi, vasokonstriksi dan menurunkan turnover sel (sitostatik), sehingga kortikosteroid potensi

170

Dermatologi Alergo-Imunologi

33







DO



SK I



sedang dan kuat lebih sesuai untuk psoriasis oleh karena efek sitostatiknya. Dosis: dapat dipakai 1-2 kali sehari, dapat dikombinasi dengan obat topikal lain, fototerapi, obat sistemik Takifilaksis (toleransi yang cepat) dan efek samping pada terapi jangka lama membatasi pemakaian kortikosteroid. Gunakan secara bijaksana untuk mencapai keuntungan maksimal dengan efek samping minimal Pilihan sediaan bergantung pada lokasi lesi yang akan diterapi, usia pasien, keparahan lesi, potensi (StoughtonCornell) Skalp: lotion, spray, solusio dan gel lebih dipilih karena dapat digosokkan pada skalp Wajah: potensi rendah, hindari poten-superpoten Lipatan tubuh: potensi rendah bentuk krim atau gel. Palmar dan plantar: steroid potensi sangat poten, hanya sedikit efektif Flare-up psoriasis dapat terjadi setelah steroid dihentikan; terapi kortikosteroid harus diturunkan perlahan Digunakan sebagai kombinasi dengan bahan yang ditoleransi lebih baik; tingkatkan potensi kortikosteroid saat flare-up dan tapering jika dalam remisi Biasanya digunakan kombinasi dengan: analog Vit D dan retinoid topikal

PE R

Ditranol (Antralin) • Terapi efektif untuk psoriasis plak, memperlambat kecepatan proliferasi populasi sel stem sehingga jadi keratinisasi normal • Efek: efikasi rendah bila merupakan monoterapi dibandingkan dengan kortikosteroid atau kalsipotriol • Dosing; kontak cepat diawali dengan konsentrasi 1% • Pewarnaan dan iritasi • Tidak sesuai untuk daerah yang luas dari lesi kecil, daerah lipatan atau wajah • Kehamilan kategori C; anak dapat dipakai dengan perhatian intensif Keratolitik • Asam salisilat adalah keratolitik yang paling sering digunakan • Efek: tidak ada data bila dipakai secara tunggal dengan kombinasi tacrolimus atau mometason furoate mempunyai potensi perbaikan lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian tacrolimus atau mometason tunggal. • Efek samping/kontraindikasi: bila pemakaian lebih dari 20% permukaan tubuh, penyerapan sistemik dapat terjadi, terutama pada pasien yang mengalami gangguan fungsi hati ataupun fungsi ginjal. Asam salisilat dapat mengurangi efikasi UVB, karena asam salisilat mempunyai efek tabir.

34

Dermatologi Alergo-Imunologi

171



Kehamilan asam salisilat dapat dipakai pada kehamilan, hindari pemakaian pada anak-anak, karena efek penyerapan oleh kulit yang besar.

DO

SK I

Retinoid (topikal) • Tazaroten merupakan retinoid topikal yang efektif untuk psoriasis • Dapat digunakan untuk terapi psoriasis tipe ringansedang yang melibatkan < 20% luas permukaan tubuh • Efek dan dosis: memperantarai diferensiasi dan proliferasi sel. Lebih dari 50% perbaikan terlihat pada 63% dan 50% pasien yang diobati Tazarotene masingmasing 0.1% gel dan 0.05% gel, sekali sehari selama 12 minggu, dibandingkan dengan 315 pasien yang diobati vehikulum. Dalam 12 minggu lesi menghilang pada 50-51% pasien yang diterapi Tazaroten dengan konsentrasi masing-masing 0.1% dan 0.05%. • Paling baik dikombinasi dengan topikal kortikosteroid. • Efek samping dan Kontraindikasi iritasi pada lesi atau sekitarnya, bersifat fotosensitizer. • Kehamilan dan menyusui: kategori X, anak-anak tidak ada data <18 tahun • Awitan lambat dan jika digunakan sebagai terapi tunggal dapat menimbulkan iritasi kulit (dermatitis retinoid), sehingga biasanya digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid topikal • Dapat dikombinasikan dengan: steroid topikal

PE R

Analog Vit D • Preparat yang tersedia adalah kalsipotriol dan kalsitriol • Dapat digunakan untuk jangka lama • Efektif untuk psoriasis plak kronik ringan-sedang; mungkin tidak sesuai untuk psoriasis inflamasi • Efek: 70-74% pasien diobati dengan salep kalsipotriol atau kalsipotrien menghasilkan 75% perbaikan atau bahkan sangat baik dibandingkan dengan plasebo yang hanya 18-19%. Untuk pemakaian pada skalp kalsipotriol atau kalsipotrien memperbaiki psoriasis skalp 60% pasien dibandingkan dengan plasebo yang hanya 17%. Bila dikombinasi dengan betametason dalam empat minggu berhasil membersihkan psoriasis 48% pasien plak psoriasis sedang dan berat, 16.5% bila hanya kalsipotriol, 26.3% bila hanya betametason dan 7.6% dengan plasebo. Kombinasi kalsipotriol dan betametason sekali shari dalam 52 minggu berhasil membersihkan psoriasis 70-80% tanpa efek samping. • Dosis: kalsipotriol 2 kali sehari, kalsipotriol kombinasi dengan betametason sekali sehari. • Aksi onset lambat, efek mungkin tak tampak dalam 6-8 minggu

35

172

Dermatologi Alergo-Imunologi

• •

Reaksi simpang/kontraindikasi: iritasi, peningkatan kadar kalsium serum terutama bila diberikan 100 gram/hari, fotosensitif tetapi bisa dikombinasi dengan fototerapi UVB, efek samping kortikosteroid topikal bila dikombinasi dengan betametason. Kehamilan; kategori C; anak-anak : aman Dapat dikombinasikan dengan terapi lain: o Kortikosteroid topikal o UVB o PUVA (Kalsipotriol harus diaplikasikan setelah paparan UVA karena UVA menginaktifasi kalsipotriol) o Siklosporin-A o Metotreksat o Retinoid oral

SK I



DO

Tar • Efektif digunakan untuk plak kronik pada psoriasis ringan-sedang • Efek: Menekan sintesis DNA pada epidermis, dapat menyebabkan folikulitis steril. Pengobatan dengan 1% losio coal tar lebih baik dibandingkan dengan ekstrak 5% coal tar. • Kurang disenangi pasien karena berbau/masalah pruritus • Dapat digunakan tunggal atau sebagai tar bath, atau diaplikasikan langsung pada plak psoriasis (hindari wajah dan fleksural/lipatan) • Lebih sering digunakan sebagai terapi untuk kulit kepala dengan kortikosteroid atau kombinasi dengan UVB (terapi Goeckerman) D

TERAPI SISTEMIK

PE R

Metotreksat • Antimetabolit yang dapat digunakan pada pasien yang gagal dengan terapi topikal dan fotokemoterapi • Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis sedang-berat (psoriasis yang mengenai > 10% luas permukaan tubuh) • Sangat efektif terutama untuk terapi jangka lama psoriasis berat termasuk psoriasis eritroderma dan psoriasis pustularis • Efek: 36% pasien terkendali dengan 7.5mg/minggu secara oral, dosis dinaikkan bila perlu, PASI 75 dicapai setelah 16 minggu. • Dosis: diberikan sebagai dosis oral tunggal mingguan. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai menghasilkan repons pengobatan yang optimal; dosis maksimal tidak boleh melebhih 30mg/minggu. Dosis harus diturunkan serendah mungkin sampai jumlah yang dibutuhkan secara memadai dapat mengendalikan

36

Dermatologi Alergo-Imunologi

173



DO



SK I



psoriasis dengan penambahan obat topikal. Dianjurkan untuk melakukan dosis uji 2.5-5mg/minggu. Pemakaian dapat berlangsung sepanjang tidak memberikan tanda toksisitas hati dan sumsum tulang dengan pemantauan yang memadai. Pemberian asam folat 1-5mg perhari secara oral, kecuali pada hari pemberian metotreksat, akan mengurangi efek samping Toksisitas: peningkatan nilai fungsi hati (bila 2 kali lipat pantau lebih sering; 3 kali lipat turunkan dosis dan bila lebih dari 5 kali lipat hentikan pemberian). Anemia aplastik, leukopenia, trombositopenia, pneumonitis intersisial, stomatitis ulserativa, mual, muntah, diare, lemah, cepat lelah, menggigil, demam, pusing, menurunnya ketahanan terhadap infeksi, ulserasi dan perdarahan lambung, fotosensitif dan alopesia. Interaksi obat: obat hepatotoksik misalnya barbiturat, sulfametoksazol, NSAID, penisilin, trimetoprim. Biopsi hati dilakukan setelah pemberian metotreksat 3.54 gram diikuti setiap 1.5 gram. Pasien dengan ririsko kerusakan hati, biopsi hati dipertimbangkan setelah pemberian metotreksat 1-1.5 gram. Kontraindikasi absolut: hamil, menyusui, alkoholisme, penyakit hati kronis, sindroma imunodefisiensi, hipoplasia sumsum tulang belakang, lekopenia, trombositopenia, anemia yang bermakna, hipersensitivitas terhadap metotreksat. Kontraindikasi relatif: abnormalitas fungsi renal, hepar, infeksi aktif, obesitas, diabetes melitus. Pemantauan: Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium; darah lengkap,fungsi hati dan renal, biopsi sesuia anjuran, pemeriksaan kehamilan, uji HIV, PPD, foto toraks. Dapat dikombinasikan dengan: o UVB o PUVA o Retinoid o Siklosporin





PE R



Siklosporin • Efektif untuk psoriasis rekalsitran tipe plak sedang sampai berat, psoriasis pustulosa generalisata, dewasa, nonimunocompromised, psoriasis palmoplantar. • Efek: 36% dan 65% pasien berhasil dengan dosis masing-masing 3 dan 5 mg/kgbb/hari selama 8 minggu. Keberhasilan meningkat 50-70% pasien dengan dosis yang sama hanya waktu yang lebih panjang 8-16 minggu dan dapat mencapai melenyapkan lesi psoriasis 75% (PASI 75) • Dosis: 2.5-5.0mg/kgBB/hari dosis terbagi. Dosis dikurangi 0.5-1.0 mg/kgbb/hari bila sudah berhasil, atau mengalami efek samping. Pengobatan dapat diulang

174

Dermatologi Alergo-Imunologi

37







DO



SK I



setelah masa istirahat tertentu, dan dapat berjalan selama 1-2 tahun, selama tidak ada efek samping. Pemakaian jangka lama (> 2 tahun) tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas dan kemungkinan keganasan Kontraindikasi: bersamaan dengan pemberian imunosupresan lain (metotreksat, PUVA, UVB, tar batubara, radioterapi), fungsi renal terganggu, keganasan, hipersensitif terhadap siklosporin, hindari vaksin, perhatian seksama bila diberikan pada pasien dengan infeksi berat juga diabetes melitus tidak terkontrol. Toksisitas: gangguan fungsi ginjal, hipertensi, keganasan, hyeri kepala, hipertrikosis, hiperplasia ginggiva, akne memburuk, mual, muntah, diare, mialgia, flulike syndrome, letargia, hipertrigliserida, hipomagnesium, hiperkalemia, hiperbilirubinemia, meningkatnya risiko infeksi dan keganasan. Jika memungkinkan rotasi penggunaannya dengan terapi lain atau gunakan pada periode kambuh yang berat Interaksi obat: menginduksi/menghambat sitokrom P450 3A4. Menurunkan pembuangan (clearence) digoksin, prednisolon, statin, diuretik (potasium sparing), tiazid, vaksin hidup, NSAID. Grapefruit Monitoring: pemeriksaan fisik, tensi, ureum, kretinin, urinalisis PPD, fungsi hati, pola lipid, magnesium, asam urat, dan potasium, uji kehamilan. Kehamilan kategori C, menyusui: kontraindikasi, anakanak hanya bila psoriasis berat Pernah digunakan dengan kombinasi: Analog Vit D topikal Metotreksat (menurunkan dosis efektif lebih rendah pada ke 2 obat)

• •

PE R



Retinoid • Asitretin oral pilihan pada psoriasis dapat digunakan sebagai monoterapi untuk psoriasis pustular dan psoriasis eritroderma. Efek menguntungkan terjadi jauh lebih lambat jika digunakan untuk psoriasis tipe plak dan guttatae tetapi sangat baik jika dikombinasikan dengan PUVA dan UVB (diperlukan dalam dosis rendah) • Dosis: 10-50mg/hari, untuk mengurangi efek samping lebih baik digunakan dalam dosis rendah dengan kombinasi misalnya UV dengan radiasi rendah. • Kontraindikasi: perempuan reproduksi, gangguan fungsi hati dan ginjal. • Toksisitas; kheilitis, alopesia, xerotic, pruritus, mulit kering, paronikia, parestesia, sakit kepala, pseudomotor serebri, nausea, nyeri perut, nyeri sendi, mialgia, hipertrigliserida, fungsi hati abnormal.

Dermatologi Alergo-Imunologi

38

175

• • •

Interaksi obat: meningkatkan efek hipoglikemik gibenklamid, mengganggu pil kontrasepsi: microdosed progestin, hepatotoksik, reduksi ikatan protein dari fenitoin, dengan tetrasiklin meningkatkan tekanan intrakranial. Monitoring: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, kombinasi dengan turunan vitamin A lainnya. Retinoid sangat teratogenik dan cenderung untuk menetap pada jaringan tubuh Dapat dikombinasikan dengan UVB, PUVA, metotreksat, siklosporin

SK I



DO

Hidroksiurea • Antimetabolit yang dapat efektif sebagai monoterapi, meskipun kurang efektif daripada obat sistemik lain • Diindikasikan untuk pasien yang gagal terhadap terapi topikal, UVB, tidak dapat mentoleransi PUVA, metotreksat, atau terapi sistemik lain • Hampir separuh dari pasien yang mempunyai perbaikan penyakit dengan terapi hidroksiurea menunjukkan toksisitas sumsum tulang dengan leukopenia atau trombositopenia Mikofenolat mofetil • Banyak pasien mencapai remisi jangka lama tetapi mungkin perlu 12 minggu untuk melihat efek maksimal • Karena obat ini adalah imunosupresan, terdapat risiko kecil untuk terjadinya penyakit limfoproliferatif dan keganasan nonkutaneus • Dapat digunakan dalam kombinasi dengan Siklosporin sehingga dosis Siklosporin dapat di taper off selama remisi penyakit

PE R

Sulfasalazin • Efek: berguna pada psoriasis tipe plak sedang-berat o Keefektifan cenderung lebih rendah daripada obat sistemik lain • Efek samping biasa dijumpai tetapi cenderung tidak terlalu berat dan reversibel Agen biologik Penggunaan agen biologik disusun dalam buku tersendiri

39

176

Dermatologi Alergo-Imunologi

Kepustakaan

1. Gudjonsson Psoriasis. Dalam: Dalam: Fitzpatrick's Fitzpatrick's GudjonssonJE, JE, Elder Elder JT. JT. Psoriasis. : 1. Dermatology in General Medicine. Wolff K, GoldsmithLA, LA, Katz Katz SI, Dermatology in General Medicine. Goldsmith SI, etGilchrest al. editor. BA, Mc Grew NewMc York, 2008Hill: p. 169-193. et al.Hill: editor. Graw New York, 2012 p. 2. Lebwohl M, Menter A, Koo J, Feldman SR. Combination therapy to 197-242. treat moderate to severe psoriasis. J Am Acad Dermatol 2004; 50: 2. 416-430. Lebwohl M, Menter A, Koo J, Feldman SR. Combination 3. Lebwohl in psoriasis therapy. psoriasis. Dermatol Clin 2000; 18: therapyM.toAdvances treat moderate to severe J Am Acad 13-19. Dermatol 2004; 50: 416-430. 4. Lebwohl M, Ali S. Treatment of psoriasis. Part 2. Systemic 3. Lebwohl M. Advances in psoriasis therapy. Dermatol Clin therapies. J Am Acad Dermatol 2001; 45: 649-661. 2000; 18: M, 13-19. Ali S. Treatment of psoriasis. Part 1. Topical therapy 5. Lebwohl 4. and Lebwohl M, Ali S. Treatment of psoriasis. 2. Systemic phototherapy. J Am Acad Dermatol 2001; 45:Part 487-498. SR,JKoo A, Bagel J. 45: Decision points for the 6. Feldman therapies. AmJYM, AcadMenter Dermatol 2001; 649-661. of M, systemic for psoriasis. J AmPart Acad1.Dermatol 5. initiation Lebwohl Ali S.treatment Treatment of psoriasis. Topical 2005; 53: 101-107. therapy and phototherapy. J Am Acad Dermatol 2001; 45: 7. Lebwohl M. A clinicians paradigm in the treatment of psoriasis. J 487-498. Am Acad Dermatol 2005; 53 (Suppl 1): S59-69. 6. Feldman SR, Koo JYM,NJ, Menter A, CA, Bagel J. Decision points 8. Menter A, Chair, Korman Elmets Feldman SR, Gelfand JM, KB et ofall.systemic Guidelines of care for of for Gordon the initiation treatment for manangement psoriasis. J Am psoriasis and psoriatic Section 4. Guidelines of care for Acad Dermatol 2005;arthritis. 53: 101-107. management and treatment of psoriasis with traditional 7. the Lebwohl M. A clinicians paradigm in the treatment of psosystemic agents. J Am Acad Dermatol 2009; 61: 451-85 riasis. A, J Am Acad NJ, Dermatol 53 (Suppl 1):Gelfand S59-69.JM, 9. Menter Korman Elmets2005; CA, Feldman SR, 8. Gordon MenterKB A,et Chair, Korman NJ, Elmets CA, Feldman Gelall. Guidelines of care for manangement of SR, psoriasis and arthritis. 5. Guidelines of management care for the fandpsoriatic JM, Gordon KB etSection al. Guidelines of care for treatment of psoriasis with phototherapy and photochmeotherapy. of psoriasis and psoriatic arthritis. Section 4. Guidelines of J Am Acad Dermatol 2010; 62: 114-35 care for the management and treatment of psoriasis with traditional systemic agents. J Am Acad Dermatol 2009; 61: 451-85 9. Menter A, Korman NJ, Elmets CA, Feldman SR, Gelfand JM, Gordon KB et al. Guidelines of care for management of psoriasis and psoriatic arthritis. Section 5. Guidelines of care for the treatment of psoriasis with phototherapy and photochemotherapy. J Am Acad Dermatol 2010; 62: 114-35

PE R

DO

SK I

IV

Dermatologi Alergo-Imunologi

177 40

Algoritme diagnosis dan terapi

Bagan Alur Diagnosis tidak jelas

Bukan psoriasis

Kesan klinis

Keadaan klinis yang mendukung diagnosis psoriasis: • Lesi simetri • Distribusi ekstensor • Tanda Auspitz • Lesi berbatas tegas • Skuama keperakan

SK I

V

Biopsi

Pikirkan diagnosis banding

Psoriasis

Psoriasis kronis tipe plak

DO

Eritrodermik/ psoriasis pustular • Asitretin • Siklosporin A • PUVA, NB-UVB • Metotreksat • Biologikal • Steroid sistemik*

Berat > 10% luas permukaan tubuh

Pusat pelayanan/RS • Modifikasi Goeckerman

PE R

Terapi sistemik Lini 1: • metotreksat • asitretin • biologikal

Sedang > 3%-10% luas permukaan tubuh

Lini 2: • asam fumarat ester • siklosporin A • obat lain: o hidroksiurea o 6-tioguanin o celicept o sulfasalazin

Fototerapi Lini 1: • NB-UVB • BB-UVB

Lini 2: • PUVA • Klimatoterapi

Psoriasis guttata: • Tanpa terapi • NB-UVB • BB-UVB • Terapi topikal o Analog Vit D3 o Steroid topikal

Ringan < 3% luas permukaan tubuh

Terapi topikal Lini 1: • Emolien • Glukokortikoid • Analog Vit D Lini 2: • Ditranol • Tazaroten • tar

Keterangan: Panah titik-titik menunjukkan dapat dipakai sebagai terapi alternatif.

178

Dermatologi Alergo-Imunologi

41

SK I DO

E

DERMATOLOGI

PE R

KOSMETIK & LASER

Dermatologi Kosmetik & Laser

179

E.1. AKNE VULGARIS (L.70.0) :

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :

Akne vulgaris yaitu peradangan kronis pada folikel pilosebaseus, secara klinis ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodul, kista dengan berbagai macam tingkat dan keparahan yang sering dijumpai pada usia remaja. Terkadang akne dapat sembuh sendiri, meninggalkan sekuele berupa bintik atau skar hipertropik

SK I

Definisi

Terutama menyerang usia remaja - Predileksi pada wajah, punggung, dada atas, bahu dan lengan atas - Efloresensi : komedo hitam dan putih, papul, pustul nodus, kista, jaringan parut, hiperpigmentasi pasca inflamasi - Kriteria diagnosis : gradasi ringan, sedang dan berat sesuai klasifikasi Lehman et al, 2002  Akne gradasi ringan : komedo < 20 atau lesi inflamasi < 15, total lesi < 30.  Akne gradasi sedang : komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50 atau total lesi 30-125  Akne gradasi berat : kista > 5 atau komedo > 100 atau lesi inflamasi > 50 atau total lesi > 125.

DO

I.

:

1. Rosasea 2. Dermatitis perioral 3. Erupsi akneiformis 4. Lupus miliaris diseminatus fasiei 5. Folikulitis Gram negatif 6. Pioderma fasiale 7. Akne venenata 8. Tumor kulit di wajah Ekskohleasi komedo

PE R

 Diagnosis banding

III.

 Pemeriksaan penunjang Penatalaksanaan

: :

1. Umum - Hindari pemencetan lesi dengan cara nonhigienis - Pilih kosmetik nonkomedogenik - Lakukan perawatan kulit wajah 2. Medikamentosa a. Derajat ringan Topikal retinoid atau agen keratolitik +/- Benzoil peroksida (BPO) atau antibiotik topikal (klindamisin gel 1,2 dan sol 1,2% atau eritromisin sol 1%). b. Derajat sedang Retinoid topikal dan BPO atau antibiotik topikal, +/- D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 167

180

Dermatologi Kosmetik &

antibiotik oral, pilihan : - Tetrasiklin 500 mg 2x/hari - Doksisiklin 50-100 mg 2 x/hari - Minosiklin 50-100 mg 2 x/hari Laser - Klindamisin 150-300 mg 2-3 x/hari Catatan: Antibiotika oral selama minimal 6-8 pekan, maksimal 12-18 pekan. c. Derajat berat BPO + retinoid topikal + antibiotik oral, bila tidak

+/-

SK I

antibiotik oral, pilihan : - Tetrasiklin 500 mg 2x/hari - Doksisiklin 50-100 mg 2 x/hari - Minosiklin 50-100 mg 2 x/hari - Klindamisin 150-300 mg 2-3 x/hari Catatan: Antibiotika oral selama minimal 6-8 pekan, maksimal 12-18 pekan. c. Derajat berat BPO + retinoid topikal + antibiotik oral, bila tidak berhasil: isotretinoin oral: 0,1-2,0 mg/kgBB/hari s/d dosis kumulatif 120-150 mg/kgBB

DO

Catatan: - Antibiotik oral selama minimal 6-8 pekan, maksimal 12-18 pekan - Pemberian isotretinoin oral dengan persyaratan ketat - Untuk wanita dengan akne derajat sedang dan berat dan ada indikasi faktor hormonal sebagai penyebab dapat diberikan antiandrogen oral.

Terapi pemeliharaan - Retinoid topikal: tretinoin krim (0,025%; 0,05% dan 0,1%), gel (0,025%) atau keratolitik +/- BPO

PE R

Tindakan khusus:  Ekstraksi komedo  Injeksi kortikosteroid intralesi  Peeling kimiawi (as. glikolat, as. trikloroasetat)  Dermabrasi  Punch graft  Colagen implant  Laser

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 168

Dermatologi Kosmetik & Laser

IV.

Kepustakaan

:

1. Zaenglein AL, Graber

181

EM, Thibouttot DM. Ac

Kepustakaan

:

1. Zaenglein AL, Graber EM, Thibouttot DM. Acne Vulgaris and acneiform Eruptions: Disorders of the Sebaceous Gland: Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions. In: Goldsmith LA, Kats SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th ed. United State: McGraw-Hill Companies; 2012. p. 897-917 2. Layton AM. Acne Vulgaris: Disorders of Sebaceous Glands. In: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology Volume 2. 8th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010. p. 42.17-27. 3. Zaenglein AL, Thiboutot DM. Acne Vulgaris: Adnexal Diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rappini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. United Kingdom: Mosby Elsevier; 2008. p. 495-508 4. Gollnick, Cunliffe W, Berson D, Dreno B, Finlay A, Leyden JJ, dkk. Management of acne. J Am Acad Dermatol. 2003; 49: S2-4. 5. Hasil Asean Meeting Saigon 2003.

PE R

DO

SK I

IV.

182

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 169

Dermatologi Kosmetik & Laser

V. Bagan Alur Akne Vulgaris

Akne Vulgaris

DIAGNOSIS Apakah gambaran klinis sesuai akne?

SK I

Kunjungan Awal Pasien dengan Keluhan

DIAGNOSIS ALTERNATIF Terapi pasien sesuai Diagnosis

DO

EVALUASI Kategori Akne Berdasarkan tipe & keparahan

DERAJAT RINGAN

Edukasi pasien

Edukasi pasien

Retinoid topikal dan BPO atau Antibiotik topikal +/Antibiotik oral

PE R

Retinoid topikal atau Keratolitik +/BPO atau Antibiotik topikal

DERAJAT SEDANG

TERAPI PEMELIHARAAN Retinoid topikal

DERAJAT BERAT

Edukasi pasien

BPO + Retinoid topikal + Antibiotik oral atau Isotretinoin oral bila terapi lain gagal

TERAPI PEMELIHARAAN Retinoid topikal +/- BPO

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 170

Dermatologi Kosmetik & Laser

183

E.2. MELASMA (L.81.1) Definisi

:

II.

Kriteria diagnostik

:

 Klinis

:

Hipermelanosis didapat terutama di wajah dan leher berwarna coklat muda atau tua, dipengaruhi oleh faktor hormonal, pajanan sinar matahari, kehamilan, genetik, pemakaian kontrasepsi oral, obat-obatan dan kosmetik.  

:

    

Bercak kecoklatan, hiperpigmentasi, simetris, ireguler, batas tegas Terdapat 3 pola utama distribusi lesi: 1. Pola sentrofasial : hipermelanosis meliputi pipi, dahi, bibir atas, hidung dan dagu (63%) 2. Pola malar : meliputi pipi dan hidung (21%) 3. Pola mandibular : meliputi ramus mandibula (16%) Genetik Pajanan sinar ultraviolet Hormon seks perempuan (estrogen dan progesteron) Kontrasepsi (dietil stilbestrol), Terapi sulih hormon pada perempuan postmenopouse, Kehamilan dan Kosmetik. Disfungsi sedang tiroid dan ovarium, Nutrisi, Obat epilepsi

DO

 Faktor pencetus

SK I

I.

    

:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Hiperpigmentasi pasca inflamasi, Freckles Lentigo senilis Okronosis eksogen Drug-induced hyperpigmentation Lichen planus pigmentosus dermatitis kontak pimentid

PE R

 Diagnosis banding

 Pemeriksaan penunjang

:

Sinar Wood Pemeriksaan dengan sinar Wood dapat membedakan hiperpigmentasi epidermal dengan dermal. Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar Wood melasma dibagi atas: - Melasma tipe epidermal: warna lesi tampak lebih kontras dan jelas dibandingkan dengan kulit sekitarnya. - Melasma tipe dermal: warna lesi tidak bertambah kontras. - Melasma tipe campuran: lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak. Biopsi untuk DD/ okronosis eksogen D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 171

184

Dermatologi Kosmetik & Laser

Penatalaksanaan Penatalaksanaan

: :

Nonmedikamentosa: Nonmedikamentosa: Hindari pajanan langsung sinar matahari terutama 09.00 s/d 15.00sinar WIB matahari terutama  antara Hindaripukul pajanan langsung antara pukul 09.00 s/d 15.00 WIB  Gunakan tabir surya berspektrum luas dengan SPF bilasurya keluar rumah pada pukul 07.00SPF s/d  minimal Gunakan30tabir berspektrum luas dengan 16.00 WIB. minimal 30 bila keluar rumah pada pukul 07.00 s/d  16.00 Menghilangkan faktor etiologi atau predisposisi, antara WIB. lain menghentikan pemakaian obat kontrasepsiantara oral,  Menghilangkan faktor etiologi atau predisposisi, menghindari obat atau bahan yang menimbulkan lain menghentikan pemakaian obat kontrasepsiiritasi, oral, menyarankan pemakaian kosmetika menghindari obatpenghentian atau bahan yang menimbulkan iritasi, sedang dipakai, penghentian mencegah pemberian obat yang dapat menyarankan pemakaian kosmetika merangsang hiperpigmentasi, memeriksa kemungkinan sedang dipakai, mencegah pemberian obat yang dapat adanya penyakit kulit lain atau penyakit sistemik, dan merangsang hiperpigmentasi, memeriksa kemungkinan memberikan pertimbangan alternatif kegiatan sehariadanya penyakit kulit lain atau penyakit sistemik, dan hari/olahraga kepada pasien, baik mengenai waktu memberikan pertimbangan alternatif kegiatan seharimaupun kondisi lingkungan. hari/olahraga kepada pasien, baik mengenai waktu maupun kondisi lingkungan. Medikamentosa: Karena waktu pengobatan panjang maka diperlukan Medikamentosa: pertimbangan terhadap efektifitas dan efek Karena waktu serius pengobatan panjang maka diperlukan samping setiap serius pengobatan terhadap melasma. pertimbangan terhadap efektifitas dan efek samping setiap pengobatan terhadap melasma. Pengobatan topikal: A. Hidroquinon 2-5% (krim, gel, losio) Pengobatan topikal: B. retinoat 0,05% - 0,1% A. Asam Hidroquinon 2-5% (krim, gel, (krim losio)dan gel) C. azeleat 20% (krim) B. Asam retinoat 0,05% - 0,1% (krim dan gel) D. (krim, gel, losio) C. Asam glikolat azeleat 8-15% 20% (krim) E. 4%8-15% (krim, gel, losio) D. Asam kojik glikolat E. Asam kojik 4% Pengobatan oral: Dianjurkan Pengobatan bila oral:pigmentasi meliputi daerah yang lebih luas dan sampai dermis: meliputi daerah yang lebih Dianjurkan bila ke pigmentasi 1. askorbat luasAsam dan sampai ke dermis: 2. 1. Glutation Asam askorbat 3. 2. Pycnogenol Glutation 4. 3. Proanthocyanidin-rich Pycnogenol 4. Proanthocyanidin-rich Bedah kimia -Bedah Asam glikolat 20-70% kimia - Asam trikloroasetat 10-30% glikolat 20-70% - Jessner Asam trikloroasetat 10-30% - Jessner Dermabrasi Dermabrasi Kamuflase kosmetik Kamuflase kosmetik

PE R

DO

SK I

III. III.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 172 D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 172

Dermatologi Kosmetik & Laser

185

Bedah Laser : Q switched Nd:Yag dengan panjang gelombang 532nm  epidermal 1064nm  dermal

Kepustakaan

:

1. Hilde Lapeere, Barbara Boone, Sofie De Schepper, Evelien Verhaeghe et al. Hypomelanoses and Hypermelanoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012.p. 14922. Mary Wu Chang. Disorders of Hyperpigmentation. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p1049-74 3. Aditya K. Gupta, Melissa D. Gover, et.al. The treatment of melasma: A review. J Am Acad Dermatol 2006; 55:1048-65 4. Micheal et.al. Open Label Treatment of Moderate or Marked Melasma with a 4% Hydroquinone Skin Care System Plus 0.05% Tretinoin Cream. J Clin Aesthet Dermatol. 2013;6(11):32–38.

PE R

DO

IV.

SK I

Cara lain : HF, LED, Mesoterapi, Skin Needling. Pengobatan dilakukan secara kombinasi dan simultan.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 173

186

Dermatologi Kosmetik & Laser

V. Bagan Alur

SK I

PASIEN DENGAN KELUHAN MELASMA

Tidak

Diagnosis Apakah gambaran klinis sesuai melasma ?

Ya

Diagnosis Alternatif

Evaluasi kategori tipe melasma

Epidermal

Dermal

DO

Campuran

Non medikamentosa : Tabir surya SPF ≥ 30 + Edukasi pasien/terapi non medikamentosa

Non medikamentosa : Tabir surya SPF ≥ 30 + Edukasi pasien/terapi non medikamentosa

Non medikamentosa : Tabir surya SPF ≥ 30 + Edukasi pasien/terapi non medikamentosa

PE R

Medikamentosa - Hidrokinon - Asam retinoat - Asam azeleat - Asam glikolat - Asam kojik

Teruskan Ya Terapi dengan masa istirahat setiap 3 bulan

Follow up

Adakah perbaikan setelah 3/6 bulan Tindakan lain : peeling, laser, LED, mesoterapi, dll

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 174

Dermatologi Kosmetik & Laser

187

E.3. FRECKLES (L.81.2) Definisi

:

II.

Kriteria diagnostik

:

 Klinis

:

Bercak kecoklatan miliar sampai lentikular batas tegas, ireguler, tersebar, predileksi di wajah.

 Diagnosis banding

:

1. Hiperpigmentasi pasca inflamasi 2. Melasma 3. Lentigo senilis

 Pemeriksaan penunjang :

:

Sinar Wood Biopsi/PA

:

Nonmedikamentosa: - Hindari sinar matahari dengan selalu memakai tabir surya/ pelindung fisik - Pengobatan saat kehamilan dan menyusui tidak dianjurkan - Lama pengobatan minimal 6 bulan.

DO

III. Penatalaksanaan

Merupakan salah satu jenis hipermelanosis berupa bercak miliar sampai lentikular, tersebar di wajah. Penyebab pasti tidak diketahui kemungkinan berhubungan dengan pajanan sinar matahari dan genetik.

SK I

I.

PE R

Medikamentosa: Topikal: - Hidroquinon 2-5 % - Tretinoin 0,025 – 0,1% - Asam azeleat 20% - Asam kojik 4% - Tabir surya : SPF minimal 15 Tindakan : - Bedah listrik - Bedah kimia : Peeling: AHA, Jessner, TCA - Bedah Laser : Q switched Nd:Yag dengan panjang gelombang 532 nm.

IV.

Kepustakaan

:

1. Park HY, Yaar M. Disorder of Melanocytes: Biology of Melanocytes. In: Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, Klaus W, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th ed. United State: McGraw-Hill Companies; 2012. p. 847-9 2. Bishop JAN. Lentigos, Melanocytic Naevi and Melanoma: The freckle or ephelis. In: Tony B, Stephen B, Neil C, Christoper G, editors. Rook’s Textbook of Dermatology 8th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010.p. 54.1-3

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 175

188

Dermatologi Kosmetik & Laser

V.

Bagan Alur

SK I

Pasien dengan keluhan freckles

DIAGNOSIS Apakah anamnesis & gambaran klinis sesuai freckles

Tidak

Diagnosis alternatif

Ya -

PE R

DO

Edukasi pasien Farmakoterapi: • Sunscreen • Asam retinoat • Asam alfa hidroksi • Hidroquinon • Asam azeleat • Asam kojik - Tindakan lain:  Bedah kimia  Laser  Bedah listrik, dll

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 176

Dermatologi Kosmetik & Laser

189

E.4. VITILIGO (L.80) Definisi

:

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

: :

Penyakit kulit dan membran mukosa kronis progresif terjadi akibat destruksi melanosit, dengan karakteristik hipo/amelanosis didapat, dengan makula-patch depigmentasi berbatas tegas diakibatkan oleh kehilangan fungsi melanosit progresif. Faktor predisposisi/pemicu: genetik, trauma fisik (burn, zat kimia), penyakit internal (diabetes melitus, tiroid) serta penyakit autoimun,stres.   

Makula depigmentasi atau hipo/amelanosis, batas tegas Predileksi: orifisium, wajah, genital, membran mukosa, daerah ekstensor, tangan, dan kaki. Etiolgi: trauma fisik, genetik, penyakit internal dan auto imun, virus. Klasifikasi : 1. Lokalisata : Fokal ( 1-2 regio ) Segmental Mukosal 2. Generalisata : Akrofasial Vulgaris Campuran 3. Universal ( lebih dari 80 % LPB)

DO



SK I

I.

:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Hipopigmentasi pasca inflamasi Pitiriasis alba Albinisme Pitiriasis Versicolor Chronic (PVC) Morbus Hansen Cutaneous T-cell Lymphoma (CTCL) Nevus anemicus Piebaldism Sarkoidosis

Sinar Wood Biopsi/histopatologi Jika dalam anamnesis dicurigai adanya pengaruh faktor sistemik, dianjurkan untuk pemeriksaan yang sesuai dengan kecurigaan sistemik. Contoh: Diabetes Melitus  pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah post prandial Tiroid  pemeriksaan T3, T4 dan TSH

PE R

 Diagnosis banding

III.

 Pemeriksaan penunjang

:

  

Penatalaksanaan

:

Nonmedikamentosa - Hindari stres - Gunakan tabir surya - Hindari trauma D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 177

190

Dermatologi Kosmetik & Laser

Medikamentosa: Pengobatan bergantung klasifikasi

SK I

Topikal Klasifikasi 1. Lokalisata a. Fokal

b. Segment al

DO

c. Mukosal 2. Generalisata a. Akrofasi al b. Vulgaris c. Campur an

Pengobatan I Kortikosteroi d potensi I, II, III salap (Evaluasi 1 bulan, jika tidak responsif, ganti) Transplantasi autolog Transplantasi autolog

PE R

3. Universal

PUVA UVB NB UVB NB/PUVA Depigmentas i kulit normal (Benzoquino n 20%)

Alternatif delsoralen 0,01% + sunlight

PUVA

PUVA + Kalsipotriol

PUVA + kalsipotriol Kombinasi UVB NB + Kortikosteroid salap

Protokol 1. Lama pengobatan NB UVB/PUVA maksimal 3 tahun, tetapi jika dalam waktu 6 bulan tidak ada respons, pengobatan dihentikan. 2. Pada pengobatan depigmentasi, dilakukan bertahap Topikal: - Kortikosteroid topikal - Takrolimus topikal - Kalsipotriol Topikal

Oral 

Detrovalen oral 10-60 mg/hari selama 2 jam sebelum penyinaran diberikan dalam waktu 6 bulan -1 tahun. D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 178

Dermatologi Kosmetik & Laser

191

  

Antioksidan: metionin sulfoksida reduktase (MSR), katalase, superoksida dismutase, dan polipodium leukotomos. Kortikosteroid Sistemik Tumor Nekrosis Faktor- Inhibitor α: infliximab, Imunosupresan Sistemik: azatioprin, siklofosfamid.

SK I



Fotokemoterapi - Psoralen dan Terapi Ultraviolet A - Radiasi narrowband Ultraviolet B (NBUVB) Fototerapi khellin dan sinar UVA (KUVA). Khellin: bahan organik dengan efek dan dapat diberikan secara topikal atau oral. - L-Fenilalanin

DO

Terapi Laser - Laser Excimer - Bioskin - Laser Helium Neon

Terapi Bedah - Autologous Thin Thiersch Grafting - Suction Blister Grafts - Autologous Mini-Punch Graft - Transplantasi Kultur Melanosit Autologous

PE R

Kriteria penyembuhan Repigmentasi berupa pulau pigmentasi folikular atau pigmentasi marginal. Pada vitiligo universal berupa depigmentasi bertahap.

IV.

Kepustakaan

:

1. Stanca A. Birlea, Richard A. Spritz, & David A. Norris. Vitiligo. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012.p.232-6 2. Jean-Paul Ortonne and Thierry Passeron. Vitiligo and Other Disorders of Hypopigmentation. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p.1023-91 3. Ali Alikhan et al. Vitiligo: A comprehensive quality of overview: PartI. Introduction, epidemiology, life,diagnosis, differential diagnosis, associations, histopathology, etiology, and work-up. J Am Acad Dermatol: 2011;65.p. 472-91 4. Felsten LM, Alikhan A, Petronic-Rosic V, 2011. Vitiligo: A comprehensive overview treatment options and approach to treatment. J Am Acad Dermatol: 2011; 65(3).p.493-514

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 179

192

Dermatologi Kosmetik & Laser

Bagan Alur

PASIEN DENGAN BERCAK HIPOPIGMENTASI

SK I

V.

DIAGNOSIS Apakah gambaran klinis sesuai vitiligo

Diagnosis Alternatif

Ya

EVALUASI KLASIFIKASI VITILIGO

LOKALISATA

KS salap topikal

Akrufosial

Alternatif : PUVA + Kalsipotriol

Alternatif : Delsoralen 0,01% + sunlight

Transplantasi Autolog Alternatif : PUVA

PE R

Segmental

Alternatif : PUVA + Kalsipotriol

Depigmentasi kulit normal : Benzokuinon (MBEH) 20%

NBUVB

Vulgaris

Transplantasi Autolog

Mukosal

PUVA

DO

Fokal

UNIVERSAL

GENERALISATA

Campuran

Alternatif : Kombinasi NBUVB + KS salap

NBUVB / PUVA Alternatif : Kombinasi NBUVB + KS salap

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 180

Dermatologi Kosmetik & Laser

193

E.5. ALOPESIA ANDROGENIK (L.64) Definisi

: Alopesia terpola akibat faktor hormon androgen dan genetik. Sifat fisik yang diwariskan secara herediter, tergantung androgen, menyebabkan konversi rambut terminal menjadi rambut velus dalam pola karakteristik

II.

Kriteria diagnostik  Klinis

:

: Kebotakan rambut kepala terpola:  Pada pria penipisan rambut di temporal, frontal/parietal, verteks, oksipital  Pada wanita penipisan rambut difus terutama di daerah frontal/ parietal

 Diagnosis banding

:

   

Telogen efluvium Alopesia areata difus Trikotilomania Sifilis sekunder

 Pemeriksaan penunjang

:

  

Feritin Thyrotrophin-stimulating hormone (TSH) Biopsi skalp

DO

III.

SK I

I.

Penatalaksanaan

: Medikamentosa: 1. Finasteride 1 mg/hari . 2. Dutasteride 0,5 mg/hari 3. Cyproteron acetat (CPA) 100 mg/hari (hari 5-15 siklus menstruasi), ethinyl estradiol 50 µg/hari (hari 25) atau 50 mg (hari 1-10 siklus menstruasi) dan ethinyl estradiol 35 µg/hari (hari 1-21) 4. Spironolakton 200 mg/hari

PE R

Pengobatan Topikal: 1. Minoksidil 2-5%, 2x sehari (1 ml atau 25 tetes) 2. 17α-dan 17β-estradiol Non Medikamentosa: 1. Rambut palsu 2. Pembedahan 3. Laser

IV.

194

Kepustakaan

:

1. Otberg N, Shapiro J. Hair Growth Disorders. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012: p.1818-77 2. Sperling LC, Sinclair RD, El Shabrawi-Cablen L. Alopecias. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rappini RP, Schaver JV. Dermatology. 3rd ed. Madrid: Mosby; 2012. p. 1136-56

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 181

Dermatologi Kosmetik & Laser

V.

Bagan Alur

Pada pria:

SK I

3. Rogers NE, aurom MR. Medical Treatment for Male and Female Pattern Hair Loss. J Am Acad Dermatol 2008; 59: 547-66 4. Vogt A, McElwee K.J, Blume-Peytavi U. Biology of Hair Follicle. In: BlumePeytavi, Tosti A, Whiting DA, Trueb RM. Hair Growth and Disorders. 1st ed. Berlin: Springer-Verlag; 2008. p.1-22

Norwood-Hamilton stadium III-IV

Transplantasi rambut ± reduksi skalp dan/atau

 Finestride  Topikal minoksidil  Sinar laser fluence rendah  Rambut palsu

DO

Finestride oral/dan larutan minoksidil topikal dan/atau sinar laser fluence rendah selama 1 tahun

Norwood-Hamilton stadium Va, VI, VII

Perbaikan atau stabilisasi

Ya

PE R

Terapi medis dilanjutkan

Tidak

Transplantasi rambut ± reduksi skalp

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 182

Dermatologi Kosmetik & Laser

195

Pada wanita: Ludwig stadium I-II Larutan minoksidil topikal selama 1 tahun

Endokrin

Rambut palsu dan/atau  Androgen/finestride  Sinar laser fluence rendah

Perbaikan atau stabilisasi Ya

Tidak

Area occipital

DO

Minoksidil topikal dilanjutkan

SK I

Ludwig stadium III

Ya

Rambut palsu dan/atau  Antiandrogen/ finestride  Sinar laser fluence rendah

PE R

Transplantasi rambut dan/atau  Antiandrogen/finestride  Sinar laser fluence rendah

Tidak

196

Dermatologi Kosmetik & Laser

SK I DO PE R Dermatologi Kosmetik & Laser

197

E.6. PENUAAN KULIT

II.

Kriteria diagnostik

:

 Klinis

:

 Diagnosis banding

:

 Pemeriksaan penunjang

:

Penatalaksanaan

:

Proses penurunan kemampuan mengembalikan fungsi normal kulit

Kekeringan kulit, kerut, kelonggaran kulit, berbagai neoplasma jinak, elastis kulit hilang.

Medikamentosa: 1. Topikal: - Foto proteksi/tabir surya - Asam retinoat - Asam alfa hidroksi (AHA) 2. Sistemik: - Antioksidan: vit. A (retinol), vit. C, vit E, beta karoten, biofavinoid. - Terapi sulih hormon (HRT) 3. Lain-lain: - Laser/ IPL - lnjeksi botulinum toxin - lnjeksi bahan pengisi (filler) - Bedah kimia - Bedah listrik, dll

PE R

DO

III.

:

Definisi

SK I

I.

IV.

Kepustakaan

: 1.

2.

3.

4.

Yaar M, Gilchrest BA. Aging of Skin. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012: p.1213-26 Rohrer TE, Wesley NO, Glogau R, Dover JS. Evaluation of Beauty and the Aging Face. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rappini RP, Schaver JV. Dermatology. 3rd ed. Madrid: Mosby; 2012. p. 2473-8 Leslie Baumann. Cosmetic Dermatology. Principles and Practice. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Co. 2009. p. 3441 Farage MA, Miller KW, Elsner P, Maibach HI. Intrinsic and Extrinsic Factors in Skin Ageing: A Review. Int J Cosmet Sci, 2008: 30: 87-95

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 185

198

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.7.DEPOSIT LEMAK DAN SELULIT (L.99) Definisi

:

Deposit lemak: hiper- atau hipoakumulasi lemak di area tubuh yang berbeda (kantong mata, buccal (chipmunk feature), anterior neck, payudara pada pria, abdomen, dan bokong). Selulit: nodul dan lekuk pada kulit, terlihat dan teraba ireguler, nampak seperti kulit jeruk.

II.

Klinis

:

- Stadium 0, permukaan kulit tidak rata - Stadium I, kulit lunak saat berdiri atau berbaring, namun beberapa selulit timbul apabila kulit dicubit - Stadium II, kulit tampak berlekuk tanpa manipulasi atau cubitan - Stadium III, kulit tampak berlekuk dan meninggi pada daerah yang sama

Diagnosis banding

:

Lipodistrofi

Pemeriksaan penunjang

:

Trigliserida

III.

Penatalaksanaan

:

-

IV.

Kepustakaan

:

DO

SK I

I.

Exercise 30 menit/hari Diet Infrared Diode laser Rediofrekuensi Liposuction Mesotherapy

PE R

1. Vessabhinanta V, Obagi S, Singh A, Baumann L. Fat and The Subcutaneous Layer. In: Leslie Baumann. Cosmetic Dermatology. Principles and Practice. New York: McGrawHill Co. 2008; 14-21

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 186

Dermatologi Kosmetik & Laser

199

E.8. E.8.HIPERHIDROSIS HIPERHIDROSIS(L.74.8) (L.74.8) Kelainanproduksi produksikeringat keringatpada padakelenjar kelenjarekrin ekrinatau atau Definisi DefinisiHiperhidrosis Hiperhidrosis : : Kelainan keringat keringatberlebihan berlebihanselama selamaminimal minimal6 6bulan bulantanpa tanpa primer primer sebab sebabyang yangjelas jelasdan dantidak tidakdihubungkan dihubungkandengan dengan penyakit penyakitsistemik. sistemik. Definisi DefinisiHiperhidrosis Hiperhidrosis sekunder sekunder

Kelainan Kelainan produksi produksi keringat keringat disebabkan disebabkan penyakit penyakit sistemik sistemikdapat dapatbersifat bersifatdapat dapatlokal lokalatau atauumum. umum.

: : Kriteria Kriteriadiagnosis diagnosishiperhidrosis hiperhidrosisprimer: primer: 1.1.Fokal, Fokal,tampak tampakkeringat keringatberlebih berlebih 2.2.Keringat Keringatberlebihan berlebihanselama selamaselama selama6 6bulan bulan 3.3.Tidak Tidakada adapenyebab penyebabsekunder sekunderjelas jelas 4.4.Setidaknya Setidaknyadua duadari darihal halberikut: berikut: • Bilateral • Bilateraldan dansimetris simetris • Berkeringat • Berkeringatmengganggu mengganggukegiatan kegiatansehari-hari sehari-hari • Paling • Palingsedikit sedikitsatu satuepisode episodeper perpekan pekan • Onset • Onsetusia usia< <2525tahun tahun • Terdapat • Terdapatriwayat riwayatkeluarga keluarga • Berhenti • Berhentiberkeringat berkeringatselama selamatidur tidur   Predileksi Predileksi: :telapak telapaktangan, tangan,telapak telapakkaki, kaki,tumit, tumit, aksila, aksila,sedikit sedikitpada padaarea areakraniofasial kraniofasialdan danpaha, paha, sering seringterjadi terjadiakibat akibatsuhu, suhu,stres, stres,atau ataugembira. gembira.   Klasifikasi Klasifikasi: : 1.1. Hiperhidrosis Hiperhidrosisprimer primer 2.2. Hiperhidrosis Hiperhidrosissekunder sekunder

DO

II.II. Kriteria Kriteriadiagnostik diagnostik  Klinis  Klinis

SK I

I. I.

: : 1.1. Burning Burningfeet feetsyndrome syndrome 2.2. Blue BlueRubber RubberBleb BlebNevus NevusSyndrome Syndrome 3.3. Demam Demam(febrile (febrileillnesses) illnesses) 4.4. Diabetes Diabetesmellitus mellitus 5.5. Eccrine Eccrineangiomatous angiomatoushamartoma hamartoma 6.6. Eccrine Eccrinenevus nevus 7.7. Gout Gout 8.8. Hipoglikemia Hipoglikemia 9.9. Hodgkin Hodgkindisease disease 10. 10. Menopause Menopause

PE R

 Diagnosis  Diagnosisbanding banding

 Pemeriksaan  Pemeriksaan penunjang penunjang

200

: :   Kolorimetri Kolorimetridan dangravimetri gravimetri   Termografi Termografi   Pemeriksaan Pemeriksaanlaboratorium: laboratorium:darah darahrutin, rutin,ureum ureum kreatinin, kreatinin,fungsi fungsitiroid tiroiddll. dll.   Pemeriksaan Pemeriksaanradiologi radiologi   Biopsi/histopatologi Biopsi/histopatologi D De er m r ma ta ot ol ol og ig iK Ko os m s me et itki k& &L aL sa es er r| 187 | 187

Dermatologi Kosmetik & Laser

Penatalaksanaan

:

Lini Pertama Topikal: - Aluminium klorida hexahydrate 6,25%, 15%, 20% - Aluminium klorida 12% - Garam zirkonium - Aldehid →Obat topikal ini digunakan setiap malam selama 3-5 malam, kemudian setiap beberapa hari sesuai kebutuhan.

SK I

III.

DO

Lini Kedua Injeksi: - Iontophoresis 2-3 kali sepekan - Botulinum toxin A setiap 4-6 bulan Terapi oral: Oxybutynin 1,25-5 mg Glycopyrrolate 1-2 mg Clonidine 0,1-0,3 mg Propranolol 10-40 mg Clonazepam 0.25-0.5 mg Lini Ketiga - Eksisi lokal - Simpatektomi

Kepustakaan

:

PE R

IV.

1. Robert D. Fealey & Adelaide A. Hebert. Disorders of the Eccrine Sweat Glands and Sweating. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012.p. 1743-61 2. Jami L Miller .Diseases of the Eccrine and Apocrine Sweat Glands. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p.587-602 3. D.L. Bovell, A.D. Corbett, S. Holmes, A. MacDonald and M. Harker. The absence of apoeccrine glands in the human axilla has disease pathogenetic implications, including axillary hyperhidrosis. British J Dermatol 2007; 156: pp1278– 86 4. Alexander K.C. Leung, MBBS, FRCP, Paul Y.H. Chan, MD, and Matthew C.K. Choi, MD. Hyperhidrosis. Inter J Dermat 1999; 38: 561–7

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 188

Dermatologi Kosmetik & Laser

201

E.9. BROMHIDROSIS DAN OSMIDROSIS (L.75.0) Definisi

:

Bau badan yang berlebihan atau secara spesifik tidak menyenangkan muncul setelah puberitas berasal dari peningkatan sekresi kelenjar apokrin, sering berasal dari aksila.

II.

Klinis

:

Bau badan yang tidak enak. Predileksi: aksila merupakan tempat yang paling sering terkena, tetapi dapat juga terjadi pada genital atau plantar pedis.

Diagnosis banding

:

Ekrin bromhidrosis  Fish odor syndrome (trimethylaminuria)  Phenylketonuria  Sweaty feet syndrome  Odor of cat syndrome  Isovaleric acidemia  Hypermethioninemia Proses pencernaan makanan, obat-obatan, toksin:  Gagal hati (fetor hepaticus)  Gagal ginjal  Benda asing di nasal pada anak-anak  Hygiene yang buruk  Halusinasi olfaktori Gangguan dismorfik tubuh

DO :



PE R

Pemeriksaan penunjang

SK I

I.

III.

Penatalaksanaan

:



Pemeriksaan laboratorium: tidak terdapat kelainan yang berhubungan dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Biopsi

Nonmedikamentosa  Sering membilas atau mencuci aksila  Mengunakan deodoran atau anti perspirant (alumunium klorida), parfum  Mengganti pakaian yang kotor.  Mencabut bulu atau rambut aksila Medikamentosa  Injeksi botulinum toxin A.  Laser Q-switched Nd:YAG  Simpatektomi

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 189

202

Dermatologi Kosmetik & Laser

Kepustakaan

:

1.

2.

3.

PE R

DO

4.

Christos et.al. Disorders of the Apocrine Sweat Glands. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012.p. 1761-65 Jami L Miller .Diseases of the Eccrine and Apocrine Sweat Glands. In: Bolognia JL.MD, Lorzzo JL, Raini RP, Shaffer JV, editors. Dermatology. 3nd ed. Edinburg: Mosby; 2012.p.587-602 D.L. Bovell, A.D. Corbett, S. Holmes, A. Mac Donald and M. Harker. The absence of apoeccrine glands in the human axilla has disease pathogenetic implications, including axillary hyperhidrosis. British J Dermatol 2007; 156: p1278– 86 Alexander K.C. Leung, MBBS, FRCP, Paul Y.H. Chan, MD, and Matthew C.K. Choi, MD. Hyperhydrosis with symptoms of blue pigmented chromhidrosis and bromhidrosis. British J Dermatol 2010; 62: p37

SK I

IV.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 190

Dermatologi Kosmetik & Laser

203

E.10. Laser CO2 untuk Kelainan Kulit Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

Penatalaksanaan tumor jinak kulit dengan menggunakan laser CO2

II

Indikasi medik

tindak :

Tumor jinak kulit : seboroik keratosis, veruka vulgaris, skin tags, hiperplasia sebaseus, kutil (warts), xanthelasma, syringoma, dll

III

Penatalaksanaan

:

1. Penjelasan informasi tentang penggunaan laser dan efek samping yang mungkin terjadi 2. Persetujuan tindakan laser 3. Dokumentasi kelainan dari depan dan samping 4. Persiapan dan perlindungan mata pasien, dokter dan petugas medis dan cuci tangan sebelum tindakan 5. Pencegahan infeksi sebelum tidakan bila diperlukan 6. Anastesi topikal 7. Tindakan laser dengan parameter pada alat (power) sesuai dengan kondisi penderita. 8. Perawatan setelah tindakan dan cuci tangan

IV

Alat

V

Kepustakaan

DO

SK I

I

: Laser CO 2, hand piece konvensional, panjang gelombang 10.600 nm. Mode : continous pulsed 1. Goldberg DJ ed. Laser Dermatology. Berlin : Sringer Verlag, 2005. 2. Goldman MP. Cutaneus laser surgery. Boca Raton ; Taylor and Francis Company. 2005. 3. Krupashankar DS. Standart guidelines of care CO2 laser for removal of benign skin lesions and resurfacing. Indian Journal of Dermatology Venereologyand Leprology. 2008. 74.7.61-67

PE R

:

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 191

204

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.11. Laser untuk kelainan vaskuler Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Alat

1. Malformasi kapiler (Port wine stain) 2. Hemangioma 3. Spider angioma 4. Telangiectasis 5. Venous laike 6. Anomali vaskuler lain 7. Granuloma Piogenic

1. Penjelasan informasi tantang penggunaan laser dan efek samping yang mungkin terjadi 2. Persetujuan tindakan laser 3. Dokumentasi kelainan vaskular dari depan dan samping 4. Persiapan dan perlindungan mata pasien, dokter dan petugas medis dan cuci tangan sebelum tindakan 5. Pencegahan infeksi sebelum tidakan bila diperlukan 6. Anastesi topikal 7. Tindakan laser dengan parameter pada alat (fluence, diameter spot, pulsed duration) sesuai dengan kondisi penderita. 8. Perawatan setelah tindakan dan cuci tangan

DO

:

Penatalaksanaan kelaianan pembuluh darah di kulit dengan menggunakan laser dan IPL

SK I

I

1. Frequency – Doubled Nd YAG (Potassium-Tytanyl– Phosphate (KTP) 532nm dan 1064nm 2. Pulsed dye laser (PDL) 585-595nm 3. Alexandrite laser 710nm 4. Long Pulsed Neodymium:Yttrium-Aluminium-Garnet (Nd:YAG). 1064nm 5. Kombinasi PDL dan Nd:YAG laser 6. Intense Pulsed Laser (IPL)

PE R

:

V

Kepustakaan

: 1. Michael D, Kilmer S, Lasers for Treatment of Vascular Lesions

, in: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 33 – 44 2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012 3. Goldman MP, Cutaneous and Cosmetic laser Surgery. Mosby, 2006

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 192

Dermatologi Kosmetik & Laser

205

E.12. Laser untuk Skar Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser dibawah ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

Penatalaksanaan kelainan kulit berupa gangguan penyembuhan luka berupa skar atropik, hipertropik skar dan keloid dengan menggunakan laser CO2 Fractional, Pulsed Dye Laser (PDL), laser Mid Infrared 1320 nm, 1450 nm, 1540 nm.

II

Indikasi tindak medik

: Pengunaaan laser untuk mengobati skar atropik, hipertropik dan keloid yang menyebabkan gangguan fungsional, kosmetis, pruritus dan disestesia

III

Penatalaksanaan

:

IV

Alat

SK I

I

DO

1. Anamnesis yang meliputi umur, lama terjadinya skar atau keloid dan terapi sebelumnya yang didapat. 2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima informasi 3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik 4. Dokumentasi berupa foto yang diambil dari depan dan samping. 5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping 6. Anastesi topical dan atau Zimmer. 7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien 8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

1. Skar hipertropik dan keloid dengan menggunakan Pulsed Dye Laser 585 / 595 nano meter, laser CO2 fraksional. 2. Skar atropik menggunakan : a. Laser resurfacing ablative (CO2 dan Erbium YAG laser). b. Laser resurfacing non ablative : 1. 1064 nm Q Switched Nd:YAG laser 2. 1064 nm Long pulse Nd:YAG 3. 1320 nm Nd:YAG 4. 1450 nm diode 5. 1540 nm erbium-doped-phosphate glass laser 6. 585 nm flash lamp-pumped pulsed dye laser atau 595 nm long pulsed dye laser 3. Laser Fractional Resurfacing : non ablatif (Nd:YAG 1320/140 nm, Er: Glass 1540 nm dan ablatif (2940 nm Erbium YAG dan 10.600 CO2) D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 193

PE R

:

V

Kepustakaan

206

: 1. Vejjabhinanta V, Patel Shalu S , Nouri K. Laser for scars. In :

Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 45 – 50 . Dermatologi Kosmetik Laser J. Fractional Photothermolysis.In: 2. Manstein D, & Laubach Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 45 – 50 . 123 – 147

Kepustakaan

: 1. Vejjabhinanta V, Patel Shalu S , Nouri K. Laser for scars. In :

Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 45 – 50 . 2. Manstein D, Laubach J. Fractional Photothermolysis.In: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 45 – 50 . 123 – 147

PE R

DO

SK I

V

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 194

Dermatologi Kosmetik & Laser

207

E.13. Laser dan IPL untuk Kelainan Pigmen Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

Tindakan untuk menghilangkan kelainan pigmentasi di kulit dengan menggunakan laser yang bersifat selektif dan non selektif terhadap pigmen

II

Indikasi medik

tindak :

1. Kelainan pigmentasi epidermal : lentigenes, Café Au Lait, makula, freckles, keratosis seboroik, nevus spilus, nevus Becker dan post-inflammatory hyperpigmentation. 2. Kelainan pigmentasi dermal : nevi melanositik, nevus Ota, melasma , post inflammatory hyperpigmentation dan gangguan pigmentasi karena obat.

III

Penatalaksanaan

:

1. Anamnesis yang meliputi umur, lama terjadinya pigmentasi dan terapi sebelumnya yang didapat. 2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima informasi 3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik 4. Dokumentasi kelainan dari depan dan samping 5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping 6. Anastesi topikal dan atau infiltratif. 7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien 8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

IV

Alat

DO

SK I

I

1. Laser yang bekerjaterhadap pigmen secara non selektif : carbon dioxide (10.600 nm), erbium-YAG (2940 nm), erbium (1540 nm), yttrium scandium gallium garnet (YSGG, 2790 nm), fraksional CO 2 dan fraksional Erbium-YAG, IPL . 2. Laser yang bekerja secara selektif terhadap pigmen : Q-switched ruby 694 nm, Q-switched alexandrite (755 nm), Q-switch neodymium:YAG dan KTP (1064 dan 532 nm)

PE R

:

V

208

Kepustakaan

:

1. Graber EM, Dover JS. Lasers and light for treating pigmented lesions. In: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New York, 63 -81. 2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012 , 45 – 53.

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 195

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.14. Laser Penghilang Tato Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan semua laser di bawah ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

Penggunaan laser untuk menghilangkan tato. (amatir, profesional, kosmetik, traumatik, medisinalis dan iatrogenic)

II

Indikasi medik

tindak :

Tato dengan warna satu ataupun lebih pada berbagai bagian tubuh

III

Penatalaksanaan

IV

Alat

V

Kepustakaan

SK I

I

DO

: 1. Anamnesis yang meliputi umur, lama tato dibuat dan terapi sebelumnya yang didapat. 2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang diberikan (penting diinformasikan bahwa penghilangan tato tidak bisa dilakukan dalam satu kali tindakan, diperlukan beberapa kali) dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima informasi 3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik 4. Dokumentasi tato dari depan 5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping 6. Anastesi topikal dan atau infiltrative atau sedasi general anesthesia 7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien 8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

PE R

A. Nanosecond : - Laser QS Nd: YAG Double frequency 532 nm untuk warna hitam, biru, hijau - Laser QS Rubby 694 nm untuk warna hitam, hijau, Biru - Laser QS Nd:YAG 1064 nm untuk warna hitam dan biru B. Picosecond : - Alexandrite 755 nm

:

1. Vejjanbhinanta V, Caperton CV, Wong C et al. Laser treatment of tatto. In :Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 83 – 89. 2. Kirby W, Chen CL, Desai A, Desai T. Causes and Recommendations for Unanticipated Ink Retention Following Tatto Removal Treatment. The Journal of Clinical Aesthetic Dermatology. July 2013.6.7. 27 - 31

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 196

Dermatologi Kosmetik & Laser

209

E.15. Laser dan IPL Penghilang Rambut Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

Penggunaan laser atau IPL untuk menghilangkan rambut yang diakibatkan oleh suatu penyakit atau rambut yang tidak dikehendaki

II

Indikasi medik

tindak :

III

Kontraindikasi

:

Pada area yang akan dihilangkan rambutnya terdapat infeksi yang aktif, riwayat keloid, riwayat infeksi berulang, vitiligo yang aktif dan psoriasis

IV

Penatalaksanaan

:

1. Anamnesis yang meliputi umur, lama rambut tumbuh dan terapi sebelumnya yang didapat. 2. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima informasi 3. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik 4. Dokumentasi area yang akan dihilangkan rambutnya. 5. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping 6. Anastesi topikal dan atau infiltratif 7. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien 8. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

V

Alat

VI

Kepustakaan

SK I

I

DO

Hirsutisme, hipertrichosis, atau estetika (unwanted hair)

Long-Pulsed Ruby 694 nm Long-Pulsed Alexandritte 755 nm Pulsed Diode 800 nm Long Pulsed Nd:YAG 1064 nm Intense Pulsed light (IPL). IPL dikombinasikan dengan Radiofrequency. Q-Switch Nd:YAG 1064 nm (temporary hair removal)

PE R

: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

210

: 1. Vejjabhinanta V, Nouri K, Singh A et al. Laser hair

removal. In: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 91 – 102. 2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012, 45 - 53

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 197

Dermatologi Kosmetik & Laser

E.16. Laser untuk Resurfacing Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

Menggunakan laser sebagai usaha untuk memperbaiki fungsi kulit yang terganggu yang merupakan bagian dari proses pencegahan penuaan kulit dengan cara merangsang perbaikan fungsi jaringan ikat kolagen

II

Indikasi medik

tindak :

1. Kerutan yang ringan atau sedang, terutama pada area tubuh yang non movement. 2. Kerusakan kulit akibat paparan ultraviolet (dispigmentasi dan keratosis) 3. Skar atropik yang dangkal, hipertrofik, dan keloid 4. Lesi kulit superfisial.

III

Kontraindikasi

:

1. Penderita dengan harapan yang berlebihan 2. Sering terkena paparan matahari atau terkena sunburn 3. Sedang menderita infeksi yang aktif 4. Penderita dengan riwayat terjadi skar atau mudah keloid

IV

Penatalaksanaan

DO

SK I

I

1. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima informasi 2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik 3. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping 4. Dokumentasi foto. 5. Anastesi topikal dan atau infiltratif 6. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien 7. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

PE R

:

V

Alat

:

1. Ablative laser : CO2 (pulsed) 10.600 nm,Er.YAG (pulsed) 2940 nm 2. Non ablative laser : Pulsed dye 585 –595nm Nd:YAG QS 1064 nm Nd:YAG LP 1064 nm Diode LP 1450 nm Er:glass LP 1540 nm IPL 515 – 1200nm 3. Fraksional : a. Ablative :  CO 2 (10.600 nm)  Er:YAG (2940 nm)  Combine CO2 + Erbium b. Non ablative : D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 198

Dermatologi Kosmetik & Laser

211

:

SK I

Kepustakaan

1. Wanitphakdeedecha R, Alster TS. Laserfor resurfacing. In: Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 103 – 122. 2. Manstein D, Laubach J. Fractional Photothermolysis. Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 123 – 148. 3. Neal PM, Dobrescu A,Chapman J, Haseltine M. Devices for rejuvenation of the Aging Face. Cos Derm. September 2012. 25.9 . 412 - 418

PE R

DO

VI

Pulsed dye 585 –595nm Nd:YAG QS 1064 nm Nd:YAG LP 1064 nm Diode LP 1450 nm Er:glass LP 1540 nm IPL 515 – 1200nm 3. Fraksional : a. Ablative : CO 2 (10.600 nm) nm)  Nd:YAG (1320/1440 Er:YAG(1540 (2940nm) nm)  Er:Glass  Er:Glass (1550/1927 nm) Combine CO2 + Erbium  Combine CO2 b. Non ablative : + Erbium D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 198

212

Dermatologi Dermatologi Kosmetik & Laser

K o s m e t i k & L a s e r | 199

E.17. Laser dan Sinar untuk Akne Vulgaris Kualifikasi : Spesialis kulit dan kelamin yang mengerjakan laser jenis ini harus telah mengikuti pelatihan dan workshop hands-on secara terstruktur dan terus menerus yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Dermatology Laser Indonesia Definisi

:

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Alat

Akne vulgaris

1. Pemberian keterangan tentang tindakan laser yang diberikan dalam formulir yang khusus dan ditandatangani oleh pemberi informasi dan penerima informasi 2. Menandatangani formulir persetujuan tindakan medik 3. Persiapan berupa cuci tangan dan perlindungan mata pada pasien, dan dokter dan petugas medis pendamping 4. Anastesi topikal dan atau infiltratif 5. Tindakan laser dengan menggunakan parameter yang ada pada alat disesuaikan dengan kondisi kelainan pada pasien 6. Cuci tangan dan perawatan paska tindakan

DO

:

Penatalaksaaan penderita akne vulgaris dengan menggunakan laser dan sinar

SK I

I

1. Laser : a. Pulsed Dye laser (585 -595 nm) b. Potassium Titanyl Phosphate (KTP,532 nm) c. Diode (1450 nm) d. Nd:YAG ( 320 nm) e. ER: Glass (1540 nm)

PE R

2. Terapi berbasis sinar : a. Sinar Biru (415 nm) b. Kombinasi sinar Biru/Merah (400-500 / 600 - 650 nm) c. Intense Pulsed light (IPL)

V

Kepustakaan

: 1. Vejjabhinanta V, Nouri K, Singh A et al. Laser hair removal. In : Lasers in Dermatology and Medicine, Nouri K (eds) , 2011, Springer, London, New york, 91 – 102. 2. Goldberg DJ.Current Trends in Intense Pulsed Light, Clinical Aesthetic, vol 6, No 6, June 2012, 45 - 53

D e r m a t o l o g i K o s m e t i k & L a s e r | 200

Dermatologi Kosmetik & Laser

213

SK I DO

F

PE R

TUMOR DAN BEDAH KULIT

214

Tumor dan Bedah Kulit

SK I DO PE R

TUMOR JINAK

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 202

Tumor dan Bedah Kulit

215

ADNEKSA F.1. SIRINGOMA (D23.9) Definisi

: Tumor jinak duktus kelenjar ekrin

II

Kriteria diagnostik

:

 Klinis

 Diagnosis banding

: Papul 1-2 mm,multipel, sewarna kulit/ kekuningan . Lebih banyak pada wanita, mulai muncul saat pubertas. Predileksi ; dibawah mata, dapat ditemukan pula di kelopak mata, wajah, aksila, periumbilikalis, dada atas dan vulva. : Silindroma

 Histopatologi

:

III

Penatalaksanaan

: Tindakan: Bedah listrik, Bedah laser Bedah pisau Bedah beku Dermabrasi

IV

Kepustakaan

: 1. Ahmed TSS, Del Friore J, Seykore JT. Tumors of

SK I

I

DO

Pada dermis ditemukan gambaran duktus ekrin multipel menyerupai tanda koma (comma-like) atau ‘tadpoles’

PE R

Epidermal Appendages. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, Jhon B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 851-910 2. Srivastava D, Taylor RS. Appendage tumor and Hamartoma of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1337-1362

216

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 203

F.2. TRIKOEPITELIOMA (D23.9) Definisi

: Tumor jinak folikel rambut. Terdapat 3 bentuk klinis: soliter, multipel, dan desmoplastik

II

Kriteria diagnostic

:

SK I

I



Klinis

: Tumbuh saat pubertas. Lesi muncul terutama pada wajah, namun dapat pula ditemukan pada kulit kepala, leher, dan batang tubuh bagian atas. Lesi : sering kali berupa papul milier, multipel, merah muda atau sewarna dengan kulit, yang bertambah besar dan banyak. Dapat pula ditemukan lesi soliter berbentuk nodular atau berupa plak difus.



Diagnosis banding

: Silindroma Karsinoma sel basal



Histopatologi

Ditemukan kista tanduk (horn cysts) dalam berbagai ukuran dan pulau-pulau basaloid. : Tindakan: Bedah listrik Bedah pisau Bedah beku Bedah laser

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

DO

III

PE R

: 1. Ahmed TSS, Del Friore J, Seykore JT. Tumors of

Epidermal Appendages. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, Jhon B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 851-910. 2. Srivastava D, Taylor RS. Appendage tumor and Hamartoma of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1337-1362

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 204

Tumor dan Bedah Kulit

217

EPIDERMIS

DAN

KISTA EPIDERMIS

F.3. KERATOSIS SEBOROIK (L82) Definisi

:

II

Kriteria diagnostik  Klinis

Tumor jinak epidermal yang paling sering ditemukan

:

Kelainan bersifat herediter. Muncul diatas usia 30 tahun. Lesi bervariasi dari papul kecil hingga plak, hiperpigmentasi, dengan permukaan verukosus. Lesi dapat bertambah banyak seiring dengan bertambahnya usia. Lesi dapat muncul pada wajah, batang tubuh, dan ekstremitas. Pada wanita sering kali ditemukan pada lipatan payudara.

:

Nevus melanositik Karsinoma sel basal Karsinoma sel skuamosa Melanoma maligna

Diagnosis banding



Histopatologi

DO



:

PE R 

III

SK I

I

Pemeriksaan dermoskopis:

Penatalaksanaan

:

Terdapat 6 tipe gambaran histologpatologi:  Irritated  Adenoid or reticulated  Plane  Clonal  Melanoachantoma  Inverted follicular keratosis  Benign squamous keratosis Ditemukan hiperkeratosis, akantosis, dan papilomatosis. Pada epidermis yang akantotik, ditemukan 2 tipe sel, yaitu sel skuamosa dan sel basaloid. Sel basaloid berukuran kecil, berpenampilan sama dengan nukleus yang berukuran relatif besar. Ditemukan girus dan sulkus, millia-like cyst, comedo-like openings, fat fingers, hairpin vessels, gambaran mouth-eaten pada tepi lesi. Tindakan: Bedah listrik Bedah beku Bedah laser Dermabrasi Topikal 5 FU

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 205

218

Tumor dan Bedah Kulit

Kepustakaan

:

1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA. Benign epithelial tumors, hamartomas and hyperplasia.in ; Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336. 3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia, 2009. 189-191.

PE R

DO

SK I

IV

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 206

Tumor dan Bedah Kulit

219

F.4. KISTA EPIDERMAL (L72) Definisi

II

Kriteria diagnostik

:

Merupakan kista pada kulit yang paling sering ditemukan. Berasal dari epidermis atau epitel folikel rambut. Kista terbentuk dari sumbatan epitel sehigga dermis terisi keratin dan debris yang kaya akan lemak.

Tumbuh pada usia remaja hingga dewasa muda. Lesi ditemukan pada wajah, leher, batang tubuh bagian atas, dan skrotum. Lesi berupa nodul dermal/subkutan 0.5-5 cm dengan punctum di tengahnya. Biasanya soliter, namun dapat pula ditemukan multipel. Lipoma, kista trikilemal, milia

Klinis

:



Diagnosis banding

:



Histopatologi

:

Dinding kista terdiri atas susunan sel epitel skuamosa lengkap dengan lapisan granular. Kista terisi sebukan keratin.

DO



SK I

I

Penatalaksanaan

:

Tindakan: Bedah pisau Bedah listrik Bedah laser

IV

Kepustakaan

:

1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA. Benign epithelial tumors, hamartomas and hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h.1319-1336

PE R

III

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 207

220

Tumor dan Bedah Kulit

F.5. NEVUS VERUKOSUS (Q82.5) Definisi

II

Kriteria diagnostik  Klinis

 Diagnosis banding

: Dapat ditemukan saat lahir atau usia anak-anak, jarang ditemukan pada usia remaja. Lesi berupa papul verukosus, warna bervariasi: sewarna kulit, cokelat, keabuan. Berbatas tegas, dapat tersusun linier atau mengikuti Blaschko line. : Nevus sebaseus Liken striatus Liken planus Parakeratosis Psoriasis : Ditemukan gambaran hiperkeratosis, papilomatosis, dan akantosis dengan elongasi rete ridges.

DO

 Histopatologi

SK I

: Tumor jinak epidermal

I

Penatalaksanaan

: Tindakan: Bedah listrik Bedah laser Bedah pisau

IV

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Lever’s

PE R

III

Histopathology of the Skin. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Edisi ke10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA. Benign epithelial tumors, hamartomas and hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 208

Tumor dan Bedah Kulit

221

JARINGAN IKAT F.6. DERMATOFIBROMA (D23.9) Definisi

II

Kriteria diagnostik Klinis



Diagnosis banding



Hitopatologi

: Lesi berupa nodul soliter dengan predileksi di ekstremitas. Nodul berdiameter 3-10 mm, berbentuk kubah ataupun dapat berupa cekungan dari kulit normal sekitarnya, licin mengkilat atau berskuama, perabaan kenyal, Biasanya tidak nyeri, warna bervariasi: sewarna kulit, merah muda, cokelat. Batas tidak jelas, dimple sign positif. Nodul dapat membesar dengan lambat, dan menetap atau regresi spontan dalam beberapa tahun. : Keloid : Sebukan sel spindle yang padat, dapat pula ditemukan fibrosit dan makrofag pada dermis. Pada lesi awal dapat ditemukan sel raksasa benda asing. Lesi yang lanjut ditandai dengan adanya serabut kolagen yang tersusun acak.

DO



SK I

: Tumor jinak jaringan ikat

I

 Pemeriksaan dermatoskopis:

Pigmentasi cokelat atau merah kebiruan, central white-scar like patch, dengan white network pada tengah lesi, pada tepi lesi dapat ditemukan pigment network tersebar diskret.

Penatalaksanaan

: Tindakan: Bedah pisau

IV

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Lever’s

PE R

III

222

Tumor dan Bedah Kulit

Histopathology of the Skin. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Edisi ke10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic myofibroblastic tumors. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2008. h. 707-717. 3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia, 2009. 189-191.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 209

F.7. FIBROMA MOLE Definisi

:

II

Kriteria diagnostik

:

Klinis

:



Diagnosis banding

:



Histopatologi

:

Mulai muncul pada usia dewasa. Lebih banyak ditemukan pada wanita dan obesitas. Lesi berupa papul bertangkai dengan diameter 1-10 mm, lunak, sewarna kulit hingga hiperpigmentasi. Lesi tidak nyeri. Predileksi lesi pada leher, kelopak mata, aksila, inframammae, dan inguinal. Neurofibroma, Keratosis seboroik, nevus melanositik, moluscum contagiosum Ditemukan gambaran papilomatosis, hiperkeratosis, dan akantosis reguler. Dapat ditemukan kista tanduk (horn cysts). Tumpukan jaringan ikat mengandung serabut kolagen yang longgar dan terkadang ditemukan dilatasi kapiler yang berisi eritrosit.

DO



Tumor lunak jaringan ikat Nama lain : Skin tag atau achrocordon

SK I

I

Penatalaksanaan

:

Tindakan: Bedah listrik Bedah pisau Bedah laser

IV

Kepustakaan

:

1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Thomas VD, Snavelly NR, Lee KK, Swanson NA. Benign epithelial tumors, hamartomas and hyperplasia. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1319-1336.

PE R

III

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 210

Tumor dan Bedah Kulit

223

F.8. KELOID Tumor jinak jaringan ikat yang didahului trauma. Tumbuh melebihi batas luka.

 Klinis

:

 Diagnosis banding

:

Tumbuh paling sering saat usia 30 tahun. Pada kulit berwarna. Lesi berupa papul atau nodul, Warna bervariasi: sewarna kulit, eritema, hiperpigmentasi. Lesi dapat berbentuk linier, oval, bulat atau clawlike. Permukaan licin, pada perabaan kenyal hingga keras dan kadang disertai nyeri. Predileksi lesi di daun telinga, bahu, punggung, dan dada. Dermatofibroma Skar hipertrofi FIbromatosis

 Histopatologi

:

II

Kriteria diagnostik

Penatalaksanaan

:

PE R

III

IV

224

Serabut kolagen eosinofilik tebal, homogen, tersusun secara acak

DO

Definisi

SK I

:

I

Kepustakaan

:

Tumor dan Bedah Kulit

Medikamentosa: Topikal : - Ekstrak cephae - Ekstrak centella asiatica - Kortikosteroid - Silikon gel Tindakan: - Injeksi intralesi: kortikosteroid, 5FU - Bedah beku - Bedah pisau - Bedah laser - Radiasi 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic myofibroblastic tumors. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2008. h. 707-717

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 211

KARENA VIRUS,NEOPLASMA,HIPERPLASIA,DAN MALFORMASI VASKULAR F.9. ANGIOKERATOMA (D28.0) Definisi

:

II

Kriteria diagnostik

: :

Klinis



Diagnosis banding

Histopatologi

:

Limfangioma Melanoma maligna Hemangioma Fibrosarkoma Fibro / rhabdomyoma

:

Ditemukan pelebaran kapiler dan venule pada dermis dan subkutis. Pada lesi lanjut dapat ditemukan akantosis, hiperkeratosis dan papilomatosis.

PE R



Lesi berupa papul atau plak,hiperkeratotik, berwarna ungu tua hingga kehitaman, perabaan keras. Terdapat 4 variasi klinis angiokeratoma:  Solitary Angiokeratoma  Angiokeratoma of Fordyce Lesi ditemukan di skrotum atau vulva.  Angiokeratoma of Mibelli Lesi ditemukan di siku, lutut, dan dorsum manus.  Angiokeratoma corporis diffusum (Fabry Disease) Lesi ditemukan di batang tubuh bagian bawah.

DO



Dilatasi kapiler disertai hiperkeratosis

SK I

I

III

Penatalaksanaan

:

Tindakan: Bedah pisau Bedah laser Bedah beku

IV

Kepustakaan

:

1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056. 2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093

225 T u mTumor o r d a dan n B eBedah d a h KKulit u l i t | 212

F.10. GRANULOMA PIOGENIKUM (L98.0) Definisi

: Lesi vaskular yang tumbuh dengan cepat didahului trauma ringan

II

Kriteria diagnostik

:

SK I

I



Klinis



Diagnosis banding

: Lesi berupa nodul eritematosa, warna dapat bervariasi mulai dari merah terang, merah gelap, keunguan, hingga cokelat kehitaman. Lesi soliter, permukaan licin dengan atau tanpa erosi dan krusta. Lesi mudah berdarah. Muncul pada jari, bibir, mulut, : batang tubuh, dan jari kaki.



Histopatologi

Jaringan granulasi, hemangioma infantil, melanoma : maligna Proliferasi kapiler dengan edema dan sebukan netrofil.

Penatalaksanaan

: Tindakan: Bedah listrik Bedah pisau Bedah beku Bedah laser Topikal imiquimod

IV

Kepustakaan

: 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like

DO

III

PE R

condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056. 2. Mathes EF, Frieden IJ. Vascular tumor. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1456-1469

226

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 213

F.11. LIMFANGIOMA (D18.1) Definisi

: Hiperplasia dan dilatasi pembuluh limfe

II

Kriteria diagnostik

:

 Klinis

: Lesi berupa vesikel multipel berkelompok, berisi cairan jernih atau serosanguinosa, menyerupai gambaran telur kodok (frog-spawn).

 Diagnosis banding

: Angiokeratoma

 Histopatologi

: Ditemukan dilatasi pembuluh limfe pada dermis superfisial, dilapisi oleh hiperplasia epidermis dan hiperkeratosis padat.

III

Penatalaksanaan

: Tindakan: Bedah listrik Bedah pisau Bedah beku

IV

Kepustakaan

DO

SK I

I

: 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like

PE R

condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056. 2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 214

Tumor dan Bedah Kulit

227

F.12. NEVUS FLAMEUS (Q82.5) Definisi

: Malformasi kapiler Nama lain: Port wine stain

II

Kriteria diagnostik

:

 Klinis

: Lesi berupa makula eritematosa atau kebiruan, tepi ireguler, muncul sejak lahir dan tidak pernah hilang spontan. Umumnya ditemukan pada wajah pada area persyarafan nervus trigeminus. Seiring bertambahnya usia, warna lesi akan bertambah gelap dan dapat disertai munculnya papul dan nodus vaskular di atasnya.

 Diagnosis banding

: Sarkoma Kaposi

 Histopatologi

: Telangiektasis dapat ditemukan secara histologis setelah usia 10 tahun. Dilatasi kapiler pada lapisan dermis superfisial yang seiring dengan bertambahnya usia akan merambah ke pembuluh kapiler di lapisan dermis yang lebih dalam hingga subkutan.

DO

SK I

I

Penatalaksanaan

: Tindakan: Bedah laser

IV

Kepustakaan

: 1. Calonie E. Vascular tumors, tumors and tumor like

PE R

III

228

Tumor dan Bedah Kulit

condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 1007-1056. 2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformations. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 2076-2093

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 215

SEL MELANOSIT DAN SEL NEVUS F.13. NEVUS MELANOSITIK (D22.9) Definisi

:

II

Kriteria diagnostik

:

Klinis

:



Diagnosis banding

:



Histopatologi

:

Pemeriksaan Dermoskopis:

IV

Dibedakan menjadi 3:  Nevus melanositik junctional Kumpulan sel nevus terletak setinggi dermalepidermal junction.  Nevus melanositik compound Kumpulan sel nevus terdapat pada dermis dan epidermis.  Nevus melanositik dermal Kumpulan sel nevus terletak pada dermis.

Penatalaksanaan

Ditemukan pigment network yang reguler, tepi lesi difus, pola pigmentasi homogen, dan black dots/globule.

:

PE R

III

Muncul pada usia anak dan bertambah banyak pada saat dewasa. Selanjutnya lesi akan berinvolusi secara bertahap dan sebagian besar lesi hilang setelah mencapai usia 60 tahun. Lesi berupa makula, papul, atau nodul hiperpigmentasi, berbatas jelas, berukuran kecil (<1 cm). Keratosis seboroik Melanoma maligna

DO



Tumor jinak sel melanosit dan nevus

SK I

I

Kepustakaan

:

Tindakan: Bedah pisau Bedah listrik Bedah laser

1. Elder DE, Elenitsas R, Murphy GF, Xu X. Benign pigmented lesions and malignant melanoma. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 699-790. 2. Grichnick JM, Rhodes AR, Sober AJ. Benign Neoplasias and Hyperplasias of Melanocytes. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1377-1416. 3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia, 2009. 189-191

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 216

Tumor dan Bedah Kulit

229

V Bagan Alur

SK I

Alur Tatalaksana tumor jinak

Anamnesis Keluhan tumor jinak

Pemeriksaan klinis Lesi sesuai tumor jinak

DO

Histopatologis Sesuai tumor jinak

Dermoskopi Sesuai tumor jinak

Tumor jinak

PE R

Epidermal Dermal dan Subkutan Tehnik ablatif: - Bedah listrik - Eksisi - Bedah beku - Laser CO2 - Topikal keratolitik, misal: as.salisilat

Evaluasi 1-3 bulan kemudian untuk rekurensi dan bekas operasi

230

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 217

SK I

PE R

DO

PRA KANKER

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 218

Tumor dan Bedah Kulit

231

F.14. KERATOSIS AKTINIK (L57.0) Definisi

II

Kriteria diagnostik Klinis



Diagnosis banding



Histopatologi

Penatalaksanaan

: Lesi berupa papul kuning kecoklatan, disertai sqkuama kasar. Muncul pada area tubuh yang terpajan matahari, seperti: kepala, leher, lengan, dan punggung tangan. : Keratosis seboroik : Pada lapisan basal meluas hingga folikel rambut terdapat keratinosis berukuran besar berwarna terang dengan pleomorfisme ringan sampai sedang. Ditemukan juga keratinosit atipik dan parakeratosis. : Medikamentosa: Topikal: Imiquimod, 5FU -Photodynamic therapy

DO

III

 

: Proliferasi abnormal dari sel keratinosit epidermal akibat pajanan sinar matahari. Merupakan lesi prakanker dari karsinoma sel skuamosa. :

SK I

I

Tindakan: Curatage Bedah pisau (shave) Bedah beku Bedah listrik

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.

Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 12611282.

PE R

IV

232

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 219

F.15. LEUKOPLAKIA (K13.2) Definisi

II

Kriteria diagnostik

: Displasia epitel pada mukosa oral. Merupakan lesi prakanker dari karsinoma sel skuamosa. :

SK I

I



Klinis

: Lesi berupa plak putih lekat pada mukosa oral.



Diagnosis banding

: Liken planus, kandidiasis, leukoderma



Histopatologi

: Penebalan hiperkeratotik atau parakeratotik dari lapisan tanduk. Ditemukan juga akantosis dan sebukan infiltrat inflamasi kronik.

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

: Tindakan: Topikal retinoid Bedah laser (CO2) Bedah pisau Kerjasama dengan Departemen Ilmu Bedah

DO

III

PE R

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 1261-1282

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 220

Tumor dan Bedah Kulit

233

F.16. PENYAKIT BOWEN (D00-D09) Definisi

: Karsinoma sel skuamosa in situ

II

Kriteria diagnostik

:

 Klinis

: Lesi berupa plak tipis eritematosa, tepi ireguler, berbatas tegas, disertai skuama atau krusta, menyerupai lesi psoriasis. Lesi membesar secara : lambat. Psoriasis Dermatitis Dermatomikosis : Karsinoma in situ dengan hilangnya bentuk epidermal dan diferensiasi reguler yang disebut sebagai windblown appearance. Dinding epidermis menebal dengan membran basal yang tetap intak. Selain itu, ditemukan juga keratinosit yang polimorfik, diskeratosis sel, peningkatan laju mitosis, dan ditemukannya sel-sel multinuklear. Ditemukan glomerular vessels disertai dengan skuama.

 Diagnosis banding

 Histopatologi

III

DO

Pemeriksaan Dermoskopis:

SK I

I

Penatalaksanaan

: Medikamentosa: Topikal : - 5 Fluorourasil (FU) - Imiquimod

PE R

Tindakan: Bedah pisau, eksisi, Mohs Bedah beku Curetage

IV

Kepustakaan

: 1. Kirkham N. Tumor and cyst of the epidermis.

Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott- William & Willkins, 2009. h. 791-850. 2. Duncan KO, Geisse JK, Letufeli DJ. Epithelial Precancerous Lesions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. h. 12611282. 3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia, 2009. h. 189-191

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 221

234

Tumor dan Bedah Kulit

SK I DO PE R

TUMOR GANAS

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 222

Tumor dan Bedah Kulit

235

EPIDERMIS DAN ADNEKSA F.17. KARSINOMA SEL BASAL (C44) Definisi

:

II

Kriteria diagnostik Klinis



Diagnosis banding

PE R 236

KSB noduloulseratif KSB berpigmen KSB superfisial KSB morfeaformis Fibroepitelioma Pinkus

:

    

:

1. KSB nodular - Nevus melanositik dermal - KSS - Tumor adneksa - Dermatofibroma 2. KSB berpigmen - Melanoma nodular - Superfisial spreading melanoma - Lentigo maligna melanoma - Tumor adneksa - Nevus compound - Nevus biru 3. KSB superfisial - Penyakit Bowen - Mammary atau extramammary Paget’s disease - Superficial spreading melanoma - Plak psoriasis soliter - Plak dermatitis soliter 4. KSB morfeaformis - Skar - Morfea - Trikoepitelioma 5. Fibroepitelioma Pinkus - Skin tag - Fibroma - Nevus dermapapilomatosa

DO



Karsinoma sel basal (KSB) adalah tumor ganas yang berasal dari sel non-keratinisasi yang membentuk lapisan basal epidermis. Umumnya timbul di bagian tubuh yang terpajan sinar matahari. Berukuran beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Jika tidak diobati, dapat menginvasi jaringan di sekitarnya, sehingga menimbulkan gangguan fungsi dan kosmetik. KSB sangat jarang bermetastasis.

SK I

I

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 223

Pemeriksaan penunjang

:

Dermoskopi KSB berpigmen - Negative feature: pigment network - Positive feature (paling sedikit satu gambaran ditemukan)  Ulceration  Large blue-gray ovoid nests  Multiple blue gray globules  Leaf like areas  Spoke wheel areas  Arborizing (tree like) telangiektasia

SK I



Histopatologi  Pembagian menurut Lever  Tidak berdiferensiasi, tipe solid, dibagi atas circumscribe dan infiltratif  Berdiferensiasi : keratotik, sebasea dan adenoid.

DO

 Pembagian menurut prognosis - Tipe Agresif: Infiltratif, morfeaformis dan basoskuamosa - Tipe Nonagresif : Nodular dan superfisial

Radiodiagnostik Karena KSB jarang bermetastasis, pemeriksaan ini bukan merupakan suatu keharusan. Pentahapan (penentuan stadium) Sama dengan karsinoma sel skuamosa (lihat PLK KSS)

Faktor risiko untuk rekuren

PE R

Anamnesis dan pemeriksaan fisis Lokasi/ukuran

Tepi Primer/rekuren Pernah diradioterapi Patologi Subtipe Perineural atau vaskular

Risiko rendah Area L < 20 mm Area M < 10 mm Area H < 6 mm Batas jelas Primer Negatif

Risiko tinggi Area L > 20 mm Area M > 10 mm Area H > 6 mm Batas tidak jelas Rekuren Positif

Nodular, superfisial Negatif

Pertumbuhan agresif Positif

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 224

Tumor dan Bedah Kulit

237

Pentahapan sama dengan Karsinoma Sel Skuamosa Penatalaksanaan

:

 Tindakan bedah 1. Eksisi dengan evaluasi tepi. Dapat dikerjakan dengan potong beku atau langsung. 2. Mohs micrographic surgery 3. Radioterapi 4. Bedah beku 5. Elektrodesikasi dan kuret 6. Bedah laser CO2 7. Terapi fotodinamik (PDT) 8. Terapi target (misalnya inhibitor gli1 dan gli2)*

SK I

III

 Topikal* 1. 5-Fluorourasil (5-Fu) 2. Imiquimod Sistemik*

Kepustakaan

PE R

IV

DO

Tindak lanjut Setiap 6 bulan dalam 5 tahun pertama. Kemudian setiap tahun seumur hidup.

238

Tumor dan Bedah Kulit

:

1. Carucci JA, Leffell DJ, Pettersen JS. Basal cell carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1294303. 2. Cockerell CJ, Tran TK, Carucci J, Tierney E, Lang PL, Maize JC Sr, dkk.. Basal cell carcinoma. Dalam: Rigel DS, Robinson JK, Ross M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk. Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York: Elsevier-Saunders;2011.h.99-123. 3. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia, 2009.

4. Kirkham N. Tumors and cysts of Epidermis. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of The Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott-Williams and Wilkins, 2009. h. 791-849. 5. NCCN.org. Basal cells and squamous cells skin cancers. NCCN clinical practice guidelines in oncology (NCCN Guidelines®). Version 2.2014. 6. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Skin cancer (PDQ®): Basal cell carcinoma of the skin. Treatment. Health professional version. Tersedia di: http://www. Cancer.gov/templates/page_print.aspx. Modifikasi terakhir 25 Okt 2014. Diunduh tgl 27-072014.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 225

V

Bagan Alur

Primer

Tumor non agresif pada badan atau ekstremitas

Tumor agresif pada badan atau ekstremitas

Rekuren

Tumor yang berlokasi di kantus, nasolabial, periorbital atau retroaurikuler

Ukuran berapa saja atau lokasi dimana saja

- Eksisi atau Mohs micrographic micrografic surgery

DO

- Eksisi atau Mohs micrographic micrografic surgery

SK I

Karsinoma sel basal

PE R

Eksisi, radioterapi atau terapi ablatif (bedah listrik, bedah beku, bedah laser, kemoterapi intralesi, terapi fotodinamik, topikal* : 5-FU dan imiquimod)

Keterangan:

* = Peringatan, menunggu persetujuan BPOM.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 226

Tumor dan Bedah Kulit

239

F.18. KARSINOMA SEL SKUAMOSA (C44) Definisi

II

Kriteria diagnostik Klinis

Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah tumor ganas yang berasal dari keratinosit epidermis suprabasal. Umumnya pajanan ultraviolet merupakan faktor risiko penting sehingga timbul di bagian tubuh yang terpajan sinar matahari. Sebagian besar muncul dari lesi prekursor. Jika ditemukan dan diterapi sedini mungkin cure rate dapat mencapai 95%, tapi KSS dapat tumbuh agresif dengan destruksi lokal dan bermetastasis.

:

Faktor predisposisi  Lesi prekursor (keratosis aktinik, penyakit Bowen)  Pajanan ultraviolet  Pajanan radiasi ionisasi  Pajanan terhadap karsinogen lingkungan  Imunosupresi  Luka bakar atau pajanan panas yang lama  Skar kronik atau dermatosis inflamasi  Infeksi human papilloma virus  Genodermatosis (albinism, xeroderma pigmentosum, porokeratosis, epidermolisis bulosa)  Mutasi P53, Bcl2, dll

DO



:

SK I

I

Gambaran klinis Plak atau papul keratotik sewarna kulit atau eritematosa, kenyal keras tetapi kadangkadang berpigmen  Nodus yang berulserasi

PE R





240

Diagnosis banding

Tumor dan Bedah Kulit

:

1. Veruka vulgaris 2. Keratosis seboroik 3. Keratosis aktinik 4. Nevus melanositik 5. Granuloma piogenikum 6. Poroma ekrin 7. Infeksi jamur dalam (mis.kromomikosis) 8. Penyakit Bowen 9. Karsinoma sel basal 10. Keratoakantoma 11. Tumor ganas kulit lainnya

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 227



Pemeriksaan penunjang

:

Dermoskopi - Glomerular (coiled) vessels - Dotted vessels - Scales

SK I

Histopatologi - Keratinosit atipik, horn pearls - Derajat diferensiasi menurut Broder Radiodiagnostik - Foto thorax - USG/CT Scan Abdomen - Bone scan - CT scan lesi

Gambaran risiko tinggi tumor primer

Anatomi Lokasi Diferensiasi PENTAHAPAN

> 2 mm (ketebalan Breslow) Clark level > 4 Invasi perineural Lesi primer di kuping Lokasi primer bibir Buruk atau tidak berdiferensiasi

DO

Kedalaman/invasi

PE R

Tumor primer (T) Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan T0 Tumor primer tidak ada Tis Karsinoma insitu T1 Tumor berukuran kurang dari 2 cm dengan kurang dari 2 gambaran risiko tinggi T2 Tumor berukuran 2 cm atau tumor ukuran berapa saja dengan lebih atau sama dengan 2 gambaran risiko tinggi T3 Tumor dengan invasi ke maksila, mandibula, orbita, atau tulang temporal T4 Tumor dengan invasi skeleton (aksial atau apendikular) atau invasi perineural ke dasar tengkorak

Tahap

0 I II III

IV

Tis T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1

N0 N0 N0 N0 N1 N1 N1 N2

Kelenjar limfe regional (N) Nx Kelenjar limfe tidak dapat ditentukan N0 Tidak ada metastasis kelenjar limfe N1 Metastasis pada KGB ipsilateral soliter, < 3 cm (diameter terbesar) N2 Metastasis pada KGB ipsilateral soliter, > 3 cm tetapi < 6 cm; atau KGB ipsilateral multipel, < 6 cm; atau KGB bilateral atau kontralateral, < 6 cm N2a Metastasis KGB ipsilateral soliter, > 3 cm tetapi < 6 cm N2b Metastasis KGB ipsilateral multipel, < 6 cm N2c Metastasis pada KGB kontralateral atau bilateral, < 6 cm N3 Metastasis KGB > 6 cm Metastasis jauh (M) Mx Metastasis tidak dapat ditentukan M0 Tidak ada metastasis jauh M1 Metastasis jauh M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 228

Tumor dan Bedah Kulit

241

III

N2 N2 N3 N berapa saja N berapa saja

Penatalaksanaan

:

M0 M0 M0 M0 M1



Tindakan bedah : - Mohs micrographic surgery - Eksisi dengan evaluasi tepi. Dapat dikerjakan dengan potong beku atau langsung. Non eksisi ablatif (KSS insitu atau keadaan khusus) - Elektrodesikasi dan kuret - Bedah beku - Bedah laser CO2



Radioterapi



Topikal : imiquimod, 5 fluorourasil*



Sistemik**

SK I

T2 T3 T berapa saja T4 T berapa saja



IV

Kepustakaan

DO

Tindak lanjut Setiap 3-6 bulan dalam 2 tahun pertama. Selanjutnya setiap 6-12 bulan seumur hidup.

:

1.

2.

PE R

3.

242

Tumor dan Bedah Kulit

4.

5. 6.

Grossman D, Leffell DJ. Squamous cell carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: McGraw-Hill; 2012.h.1283-94. Bhambri S, Dinehart S, Bhambri A. Squamous cell carcinoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk. Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York: ElsevierSaunders;2011.h.124-39.

Kirkham N. Tumors and cysts of Epidermis. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of The Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: LippincottWilliams and Wilkins, 2009. h. 791-849.

Cutaneus squamous cell carcinoma and other cutaneous carcinoma. Dalam: Edge SB, Byrd DR, Compton CC, dkk. Penyunting: AJCC Cancer Staging Manual. Edisi ke-7. New York: Springer, 2010.h.301-14. NCCN.org. Basal cells and squamous cells skin cancers. NCCN clinical practice guidelines in oncology (NCCN Guidelines®). Version 2.2014. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Skin cancer (PDQ®): Squamous cell carcinoma of the skin Treatment. Health professional version. Tersedia di: http://www. Cancer.gov/templates/page_print.aspx. Modifikasi terakhir 25 Okt 2013. Diunduh tgl 27-072014.

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 229

V

Bagan Alur

SK I

Karsinoma sel skuamosa

Anamnesis Keluhan sesuai KSS Faktor predisposisi

Pemeriksaan klinis Lesi sesuai gambaran KSS

DO

Histopatologi

Tidak sesuai KSS

PE R

Tatalaksana sesuai diagnosis

Sesuai KSS

KSS insitu/ non high risk

1. Eksisi 2. Terapi ablatif (non bedah) 3. Topikal*, misal: 5FU, imiquimod

High risk / metastasis

1. 2. 3. 4.

Eksisi Sistemik** Radiasi Bedah Mohs

*) persetujuan BPOM BPOM *) Peringatan: Peringatan:Menungggu Menunggupersetujuan

**) Sesuai dengan obat-obat yang disetujui BPOM

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 230

Tumor dan Bedah Kulit

243

SEL MELANOSIT F.19. MELANOMA MALIGNA (C43) Definisi

II

Kriteria diagnostik

: Faktor risiko  Pajanan sinar ultraviolet o Lepuh terbakar surya setiap saat; pajanan sinar UV high levels intermiten atau sporadic o Pajanan kronik berlebihan  Karakteristik fenotipe o Kulit terang, ketidakmampuan menjadi kecoklatan (tan), kecenderungan terbakar surya atau frekles (Skin phototype I dan II) o Mata biru atau hijau o Rambut merah atau pirang o Mempunyai nevus melanositik (NM) yang banyak, dan atau lebih dari satu NM atipik o NM kongenital besar  Riwayat melanoma sebelumnya  Riwayat melanoma dalam keluarga  Mutasi p16, BRAF atau MC1R  Xeroderma pigmentosum  Supresi imun (kontroversi)

PE R

DO

 Klinis

SK I

: Melanoma maligna (MM) adalah tumor ganas melanosit yaitu sel yang menghasilkan melanin, berasal dari neural crest. Walaupun sebagian besar MM muncul pada kulit tapi dapat juga timbul di permukaan mukosa, misalnya uvea. Apabila ditemukan dan diterapi sedini mungkin, ketahanan hidup 5 tahun masih di atas 90%, tapi berpotensi letal dengan risiko yang meningkat bila terlambat didiagnosis dan diterapi.

I

Gambaran klinis  Superficial spreading melanoma (SSM)  Nodular melanoma (NM)  Lentigo malignant melanoma (LLM)  Acral lentigo melanoma (ALM) Gambaran MM dini/ABCD  A= asimetris  B= border/tepi yang tidak teratur  C= color/warna yang bermacam-macam  D= diameter sama atau lebih dari 6 mm, atau terdapat perbedaan penampilan, misal “ugly duckling”  E= elevasi Tidak berlaku untuk NM

244

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 231

 Diagnosis

: I. SSM 1. Nevus atipik 2. Nevus melanositik 3. Keratosis seboroik 4. KSB

SK I

banding

II. NM Berpigmen 1. Nevus melanositik 2. Nevus biru 3. Nevus Spitz berpigmen 4. KSB berpigmen Amelanotik 1. KSB 2. Hemangioma 3. Granuloma piogenik 4. Karsinoma sel Merkel

DO

III. LLM 1. Lentigo solaris 2. Keratosis aktinik berpigmen 3. Keratosis seboroik datar 4. KSB superfisialis berpigmen

IV. ALM termasuk ALM subungual 1. Veruka plantaris 2. Hematoma 3. Nevus palmoplantar 4. Melanokhia longitudinal 5. Onikomikosis 6. Granuloma piogenik

: Dermoskopi - Negative feature (tidak ditemukan)  Symetrical pigmentation pattern  Presence of only a single color - Positive feature (paling sedikit satu gambaran ditemukan)  Blue white veil  Multiple brown dots  Pseudopods  Radial streaming  Scar like depigmentation  Peripheral black dots/globules  Multiple (5-6) colors  Multiple blue gray dots  Broadened network

PE R

 Pemeriksaan

penunjang

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 232

Tumor dan Bedah Kulit

245

Histopatologi  Radial (horizontal) growth phase  Vertical growth phase

N1

Jumlah KGB metástasis 1

N2

2-3

N3

4 atau lebih KGB, atau KGB kusut (matted nodes) atau intransite/ KGB satelit Lokasi

DO

N

SK I

Klasifikasi Tumor Nodes Metastasize (TNM) melanoma T Ketebalan Ulserasi (mm) < 1,O a. tanpa ulserasi & T1 mitosis < 1/ mm2 b. dengan ulserasi atau mitosis > 1/mm2 T2 1,01 – 2,0 a. tanpa ulserasi b. dengan ulserasi T3 2,01 – 4,0 a. tanpa ulserasi b. dengan ulserasi T4 > 4,0 a. tanpa ulserasi b. dengan ulserasi

PE R

M

M1a Kulit jauh, subkutan atau metástasis KGB M1b Metastasis paru M1c Metastasis viseral yang lain Metastasis jauh lainnya

a. mikrometastasis b. makrometastasis a. mikrometastasis b. makrometastasis c. in-transite metástasis atau satelit tanpa KGB metastasis

Serum lactate dehydrogenase (LDH) Normal

Normal Normal Meningkat

Pulasan (pewarnaan) khusus untuk diagnostik - S 100 - HMB 45 - Melan-A (apabila fasilitas tersedia)

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 233

246

Tumor dan Bedah Kulit

SK I

Pulasan (pewarnaan) khusus untuk prognostik apabila fasilitas tersedia - BRAF - P16 Pemeriksaan radiodiagnostik - Foto thorax - USG/CT scan abdomen - Bone scan - CT scan kepala (bila ada indikasi) - CT scan lesi (bila ada indikasi) Sentinel lymph node biopsy ( bergantung pada adanya indikasi / fasilitas)

PE R

DO

Pentahapan (Penentuan Stadium) American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010 Berdasarkan TNM (Tumor, Node, Metastasis) Pentahapan klinis Pentahapan patologis T N M T N M 0 T1s N0 M0 T1s N0 M0 IA T1a N0 M0 T1a N0 M0 IB T1b N0 M0 T1b N0 M0 T2a N0 M0 T2a N0 M0 IIA T2b N0 M0 T2b N0 M0 T3a N0 M0 T3a N0 M0 IIB T3b N0 M0 T3b N0 M0 T4a N0 M0 T4a N0 M0 IIC T4b N0 M0 T4b N0 M0 M0 III T apa N1 saja N2 N3 IIIA T1-4a N1a M0 T1-4a N2a M0 IIIB T1-4b N1a M0 T1-4b N2a M0 T1-4a N1b M0 T1-4a N2b M0 T1-4 a/b N2c M0 N1b M0 IIIC T1-4b N2b M0 T1-4b M0 N3 T apa saja IV T apa N M1 T apa N M1 saja apa apa saja apa apa saja saja saja saja

Tumor dan Bedah Kulit

247

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 234

Ketahanan hidup untuk melanoma TNM Tahap I-III American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010 Tumor

IA IB IB IIA IIA IIB IIB IIC IIIA

T1a T1b T2a T2b T3a T3b T4a T4b T1T4a T1T4b T1T4a T1T4b

NO N0 N0 N0 N0 N0 N0 N0 N1a/N2a

mikroskopik

Ketahanan hidup 5 tahun (%) 97 94 91 82 79 68 71 53 78

N1a/N2a

mikroskopik

55

N1b/N2b

makroskopik

48

N1b/N2b/N3

38

T1T4a

N3

Makroskopik atau 4+ KGB apa saja 4+ KGB apa saja

IIIB IIIB

DO

IIIC

IIIC

III

KGB

Penatalaksanaan

:

Beban KGB tumor

SK I

Tahap

47

Sesuai dengan stadium

Tindakan bedah: - Eksisi dengan evaluasi tepi lesi

PE R





Ajuvan - interferon-α 2b - BCG



Sistemik :** 1. Kemoterapi 2. Imunoterapi 3. Terapi target



Radioterapi

Tindak lanjut IA-IIA : Setiap 6-12 bulan selama 5 tahun. Kemudian setiap tahun bila ada indikasi klinis IIB-IV: Setiap 3-6 bulan selama 2 tahun. Sesudah itu setiap tahun bila ada indikasi klinis

248

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 235

Kepustakaan

:

1. Bailey EC, Sober AJ, Tsao H, Mihm MC, Jr., Johnson TM. Cutaneous melanoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: McGraw-Hill; 2012.h.1417-44. 2. Paek SC, Tsao H, Johnson TM. Melanocytic Tumor: Cutaneous melanoma. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York:McGraw-Hill; 2008.h.1134-57 3. Goulard JM, Halpern AC. Management of the patient with melanoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW dkk. Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York: Elsevier-Saunders; 2011.h.318-26. 4. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, Mc Carthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia, 2009. 5. Elder DE, Eletritsas R, Murphy GF, Xu X. Benign pigmented lesion and malignant melanoma. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, john B Jr, editor. Lever’s Histopathology of The Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott-Williams and Wilkins, 2009. h. 699-789. 6. Balch CM, dkk. Melanoma of the skin. Dalam: Edge SE, Byrd DR, Carducci MA, Compton CC. AJCC cancer staging manual. Edisi ke-7. New York: Springer, 2010. 7. NCCN.org. Melanoma. NCCN clinical practice guidelines in oncology (NCCN Guidelines®). Version 4.2014. 8. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Melanoma Treatment (PDQ®): Health professional version. Tersedia di:http://www.Cancer.gov/templates/page_print.aspx. Modifikasi terakhir 11 Juli 2014. Diunduh tgl 27-07-2014.

PE R

DO

SK I

IV

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 236

Tumor dan Bedah Kulit

249

V

Bagan Alur Primer lesi tersangka Biopsi eksisi (dianjurkan)

DO SK I

Biopsi insisi Lesi luas/kecurigaan rendah

MM insitu

Ketebalan < 1 mm

< 1 mm (0,75 mm dgn SLNB (+))

1,01 – 2 mm

> 2 mm

Batas bebas 0,5-1,0 cm

Batas bebas 1,0 cm

Batas bebas 1,0 cm

Batas bebas 1,0-2,0 cm

Batas bebas 2,0 cm

pengawasan

Lesi nodus tersangka

Pertimbangkan SLNB

CLND dan penetapan (mis CXR, LDH, CT, MRI, PET)

FNA atau

biopsi terbuka

Pertimbangan IFN á2b, atau uji klinis vs observasi

Curiga penyakit telah menyebar

FNA dengan petunjuk CT atau biopsi terbuka

PE R

Soliter atau terbatas

Observasi ulang scan

Tidak ada perubahan

Progresif

SLNB CLND CXR CT FNA LDH PET SSP

250

: surgical lymph node biopsy : completion lymph node dissection : chest X-ray : computed tomography : fine needle aspiration : lactate dehidrogenase : positron emission tomography : susunan saraf pusat

Tumor dan Bedah Kulit

Pertimbangkan reseksi

Pengawasan

Tersebar

Metastasis SSP tidak ada

Pengobatan sistemik dacarbasin atau IL-2 atau uji klinis

Metastasis SSP

SSP stabil

Radiasi, reseksi beberapa lesi (1-3), uji klinis

** = Sesuai dengan obat-obat yang disetujui BPOM

TINDAKAN BEDAH DALAM DERMATOLOGI F.20. BIOPSI KULIT Definisi

II

Indikasi medik

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Pengambilan jaringan kulit untuk diagnosis berbagai macam tumor dan peradangan kulit

:

1. Diagnosis untuk proses keganasan kulit 2. Evaluasi berbagai diagnosis tumor jinak kulit 3. Evaluasi berbagai penyakit kulit yang diagnosisnya ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi

:

1) 2) 3) 4)

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Tindakan biopsi: a) Shave biopsy menggunakan skalpel untuk lesi eksofitik atau tumor epidermal b) saucerization untuk lesi yang mencapai dermis bagian atas atau tengah c) Biopsi plong (punch biopsy): menggunakan biopsi plong ukuran 1-10 mm. Indikasi: kelainan rambut, lesi kulit yang uniformis, atau lesi yang mencapai dermis bagian tengah dan subkutis, misalnya tumor epidermal, peradangan kulit, pemeriksaan imunofluoresensi, mikroskop elektron, dan kultur bakteri d) Biopsy insisi untuk mendapatkan specimen yang besar, atau kelainan matriks kuku e) Wedge biopsy untuk memeriksa ulkus dan mencakup kulit normal di sekitarnya f) Biopsi eksisi dilakukan untuk pengangkatan total seluruh lesi kulit dengan atau tanpa mengikut sertakan kulit normal. Misalnya nevus yang diduga melanoma.

DO

tindak

:

SK I

I

1. Elsaie ML, Vejjabhinanta V, Nouri K. Biopsy techniques. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:35-37 2. Garg A, Levin NA, Benhard JD. Structure of skin lesion and fundamentals of clinical diagnosis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz AI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York: McGrawHill, 2012:26-42 3. Perez M, Lodha R, Nouri K. Skin biopsy techniques. Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh: Mosby, 2003:75-9 4. Bisarccia E, Scarborough DA. The Columbia Manual of Dermatologic Cosmetic Surgery. New York:McGraw-Hill, 2002 5. Schultz BC. Skin biopsy. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH. Roenigk’s Dermatologic Surgery. Principle and Practice, edisi ke-2. New York: Marcell Dekker,1996:177-90 6. Llamas Velasco.M, Paredes B.E. Basic concept in skin biopsy part 1. Acta Derm-Syph.2012, 103(1):12-20. 7. Llamas Velasco.M, Paredes BE. Basic concept in skin biopsy part 2.ActaDerm-Syph.2012,103(1):100-101

PE R

:

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 238

Tumor dan Bedah Kulit

251

V

Bagan Alur

SK I

Biopsi Kulit

Kelainan peradangan dan tumor kulit

Diagnosis

Radang dan tumor kulit (klinis dan PA)

Ya

DO

Shaved biopsy

Eksofitik superfisial: seboroik, aktinik keratosis jinak, papul angioma

Biospi silet (saucerization)

Biopsi eksisi Neoplasma, KSS

Clip biopsy

Biopsi insisi

PE R

Pengambilan jaringan sampai subkuit (KSS, melanoma, nevus atipikal

Lesi sangat superfisial (skin tag, veruko filiformis)

252

Biopsi plong

Tumor superfisial, radang, imunofluoresensi, imunofenotiping, mikroskop elektron, kultur

Tumor dan Bedah Kulit

Pengambilan jaringan kulit yang sehat maupun tidak sehat

Biopsi oral Sama dengan biopsi kulit (liken planus, leukoplakia, KSS)

F.21. EKSISI/FLAP DAN GRAFT Definisi

:

Pemindahan jaringan kulit yang masih tersambung pada tempat asalnya atau pengambilan tandur kulit untuk menutupi defek pada bedah kulit

II

Indikasi tindakan medik

:

Adanya defek kulit yang perlu ditutup akibat pembedahan tumor jinak: lipoma, kista, nevus, tumor ganas: karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna dan kelainan kulit lain: revisi skar, dll

III

Penatalaksanaan

:

1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Anastesi lokal 5. Tindakan: Eksisi, dibebaskan, kemudian dirapatkan kembali dengan jahitan kulit. Untuk luka dengan tegangan yang tinggi diperlukan jahitan subkutan 6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pascatindakan

DO :

1. Nguyen TH, McGinness JL. Skin flaps. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:77-95. 2. Sheehan J, Kingsley M, Rohrer TE. Excisional surgery and repair, flaps, and grafts. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz AI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, 2012: 2921-2949. 3. Rohrer TE, Cook JL, Nguyen TH, Mellette JR Jr. Flaps and grafts in dermatologic surgery. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007.

PE R

IV Kepustakaan

SK I

I

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 240

Tumor dan Bedah Kulit

253

F.22. BEDAH LISTRIK :

Penggunaan arus listrik frekuensi tinggi pada jaringan biologis dengan tujuan memotong, melakukan koagulasi, desikasi, dan fulgurasi jaringan. Sebutan tindakan bedah listrik mencakup elektrofulgurasi, elektrodesikasi, elektrokoagulasi, elektroseksi, elektrokauter, dan, elektrolisis. tindak : 1. Elektrofulgurasi: penggunaan elektroda tunggal yang mampu menghasilkan bunga api tanpa menyentuh jaringan. Indikasi: veruka, skin tag, keratosis seboroik 2. Elektrodesikasi: pada prinsipnya sama dengan elektrofulgurasi kecuali elektrodanya kontak dengan jaringan dan tidak menghasilkan bunga api. Indikasi: keratosis, veruka 3. Elektrokagulasi: tehnik yang digunakan untuk mencapai hemostatis dan modalitas terapi beberapa lesi kulit. Indikasi: hemostasis 4. Elektroseksi: untuk memotong jaringan dengan perdarahan yang minimal 5. Elektrokauterisasi: menggunakan energi panas dengan voltase yang rendah 6. Elektrolisis: hanya digunakan untuk sistem biterminal

Definisi

II

Indikasi medik

III

Penatalaksanaan

DO

SK I

I

1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Anastesi lokal 5. Tindakan: lesi patologis didestruksi atau dipotong dengan jarum elektroda bedah listrik. Perdarahan dihentikan dengan penekanan, fulgurasi, atau bedah listrik bipolar. 6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan 7. Pasien dengan IECD (implantable electronic cardiac device) yang mendapatkan tindakan bedah listrik sebaiknay diawasi oleh supervisor dan ahli anestesi. Hasil EKG paling tidak 1 lead dimana spike dan atau komlpeks QRS dapat terlihat dan teridentifikasi

PE R

:

IV

Kepustakaan

:

1. Choudry S, Mcleod MP, Leal-Khouri S. Electrosurgery. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:77-95. 2. Vujevich J.J, Goldberg L.H.: Cryosurgery and electrosurgery. Dalam: Wolff K,Goldsmith LA, Katz A.I, Gilchrest B.A, Paller A.S, Leffel D.J [Ed]. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill, 2012: 29682976. 3. Leal-Khouri S, Lodha R, Nouri K. Electrosurgery..Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh; Mosby, 2003: 81-3

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 241

254

Tumor dan Bedah Kulit

V

SK I

4. Bisaccia E, Scarborough D.A. The Columbian Manual of Dermatologic Cosmetic Surgery. New York: McGraw-Hill, 2002. 5. Bracamonte B.G, Rodriguez J, Casado R, Vanaclocha F. Electrosurgery in patients with implantable electronic cardiac devices (pacemakers and defibrillators). Acta Dermo Syph 2012: 128-132.

Bagan Alur

Bedah Listrik

Ya

DO

Indikasi: pengobatan tumor dan kelainan kulit lain

Elektroseksi Indikasi: memotong jaringan lesi dengan perdarahan minimal

Elektrodesikasi Indikasi: lesi epidermal, telangiektasis

Elektrokauter Indikasi: tumor jinak yang kecil dan superfisial

PE R

Elektrokoagulasi Indikasi: lesi epidermal (keratosis seboroik, skin tags, veruka)

Elektrokoagulasi Indikasi: hemostasis

Elektrolisis Indikasi: biterminal

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 242

Tumor dan Bedah Kulit

255

F.23. BEDAH BEKU (CRYOSURGERY) Definisi

:

Tindakan bedah menggunakan bahan kriogen/pembeku dengan tujuan menghancurkan sel dari jaringan patologis

II

Indikasi medik

tindak :

Lesi jinak : keratosis seboroik, veruka, lentigo solaris, keloid dan skar hipertrofi, dermatofibroma, hiperplasia sebaseus, skin tag, molluskum kontangiosum, milia. Lesi preganas/premalignant : keratosis aktinik, penyakit Bowen (karsinoma intra-epitelial). Lesi ganas/malignant : karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, lentigo maligna.

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Anastesi lokal atau topikal Tindakan: tehnik spray atau teknik kapas lidi Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pascatindakan

DO

: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

SK I

I

1. Pasquali P. Cryosurgery. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013:51-57. 2. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editor. Dalam: Fitzpatrick’s dematology in general medicine, edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012 3. Zimmerman E, Crawford P. Cutaneous cryosurgery. American Family Physician, 2012; 86 (12) : 1118-1124

PE R

:

256

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 243

F.24. BEDAH KIMIA Definisi

:

Pembedahan menggunakan bahan diaplikasikan pada permukaan kulit

kimia

yang

II

Indikasi medik

tindak :

Indikasi sesuai tipe kedalaman peel. Superfisial : Kerusakan kulit akibat matahari (kulit kusam, kerutan, keratosis), gangguan pigmentasi (melasma, PIH, solar lentigen), akne yang menetap (+/), ekstraksi komedo. Medium : photoaging (kerutan/keriput), gangguan pigmentasi, skar atrofi superfisial Dalam : photoaging berat, gangguan pigmentasi dan skar/parut

III

Penatalaksanaan

:

1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien (evaluasi priming), alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Anastesi dan tindakan 5. Siapkan peel di tempat yang sesuai; kepala pasien dielevasikan 45 derajat. Kulit dibersihkan dari lemak yang mengganggu absorbsi dengan alkohol/aseton. Oleskan petrolatum gel di ujung mata dan bibir. Bahan kimia dioleskan dengan kapas lidi atau karet busa dengan lama kontak 2-3 menit. Bahan AHA perlu dinetralisasi dengan larutan natrium bikarbonat, bahan lain tidak perlu 6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pascatindakan

IV

Kepustakaan

DO

SK I

I

PE R

:

1. Hexsel DM, Fernandes JD, Hexsel CL. Chemical peeling. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:217-222. 2. Rubin MG. Chemical peels. In: Procedures in cosmetic dermatology. Elsevier, 2006. 3. Tanzi EL, Alster TS. Ablative lasers, chemical peels, and dermabrasion. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K (eds). Fitzpatrick’s dematology in general medicine, edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 244

Tumor dan Bedah Kulit

257

F.25. SUBSISI Definisi

:

II

Indikasi medic

tindak :

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

untuk

Skar hipotrofik yang tertarik ke dermis 1. 2. 3. 4. 5.

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Anastesi lokal dengan suntikan Tindakan: aseptik kulit, jarum (18 G 1,5 inch Nokor Admix ) ditusukkan 900 atau secara horizontal sejajar permukaan kulit. Kemudian dilakukan gerakan memotong seperti kipas atau maju-mundur guna membebaskan permukaan kulit dari subkutis. 6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pascatindakan

DO

:

Tindakan pembebasan jaringan subkutis perbaikan sikatriks hipotrofik dan kerutan

SK I

I

:

PE R

1. Alsufyani MA. Subcision: a further modification, an ever continuing process. Dermatology Research and Practice, 2012. 2. Kucuktas M, Engin B, Kutlubay Z, Serdaroglu S. Subcision treatment of acne scars. Journal of the Turkish Academy of Dermatology, 2013; 7(3) : 1-5 3. Sanchez FH. Treatment of acne scars. Dalam: Nouri K. (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013: 197-206

258

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 245

F.26. SKIN NEEDLING Definisi

:

Tindakan rejuvenasi kulit dengan proses inflammatory healing dan platelet derived growth factor

II

Indikasi medik

tindak :

1. 2. 3. 4.

Skar atrofi/hipertrofi Wrinkle Stretchmarks Skin laxity

III

Penatalaksanaan

:

1. 2. 3. 4. 5.

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Tindakan skin healing pada daerah yang akan diterapi. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pascatindakan

IV

Kepustakaan

:

1. Orentreich DS, Orentreich N. Subcutanous incisonless (subcision) surgery for the correction of depressed scars and wrinkles. Dermatol Surg 1995;21(6):543-9 2. Fernandes D. Upper lip treatment. Paper presented at the ISAPS Conference. Taipei, Taiwan, October 1996 3. Falabell AF, Falanga V. Wound healing. Dalam: Fremkel FK, Woodley DT [Ed]. The biology of the skin. New York: Parthenon Publ Group, 2001 4. Kim SE, Koe DS, Lee AY, Moon HS. Medical conference presentation. Medical science Lab of the Dept of Dermatology at Eulji University School of Medicine and the Dept. Of Dermatology, School of Medicine at Dongguk University Dongguk University, 2005. 5. Schwartz et al. http://www.dermaroller.deCIT-findings.htm. Abstract. Reflections about collagen induction therapy (CIT). A hypothesis for the machanism of action of collagen induction therapy (CIT) using microneedles. 1st. Ed. February 2006. 2nd Rev. January 2007

PE R

DO

SK I

I

T u mTumor o r d a dan n B eBedah d a h KKulit u l i t | 246 259

F.27. DERMABRASI dan MIKRODERMABRASI :

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

:

IV

Kepustakaan

:

Tindakan meratakan kulit secara mekanis, dalam hal mikrodermabrasi menggunakan silika Kerusakan kulit akibat matahari, penuaan dini kulit, kelainan pigmentasi, parut superfisial, parut akne vulgaris, tumor jinak kulit 1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Anastesi lokal/umum 5. Tindakan: aseptik kulit, pada dermabrasi dilakukan dengan diamond fraise putaran tinggi. Bila perlu kulit “dikeraskan” dahulu dengan kriogen supaya lebih mudah dikikis. 6. Pada mikrodermabrasi menggunakan kristal 7. Dekontaminasi, cuci tangan dan perawatan pasca tindakan

SK I

Definisi

1. Allemann IB, Hafber J. Dermabrasion. Dalam: Nouri K. (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013: 207-211 2. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of cosmetic surgery. Philadelphia: WB Saunders Company, 2009. 3. Tanzi EL, Alster TS. Ablative lasers, chemical peels, and dermabrasion. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K (eds). Fitzpatrick’s dematology in general medicine, edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012.

PE R

DO

I

260

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 247

F.28. BEDAH SEDOT LEMAK

II III

Tindakan pengambilan kumpulan jaringan lemak subkutis untuk keperluan tandur dan donor mesenchymal stem cells dan untuk menghilangkan lemak yang tidak dikehendaki Indikasi tindak : Tandur lemak untuk rekonstruksi maupun mendapatkan dan perbaikan contour tubuh, lipoma, lipodistrofi, hiperhidrosis medik aksilaris, rekonstruksi : 1. Persetujuan tindak medik Penatalaksanaan 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Anastesi lokal pada lemak subkutis dengan tumesen (1000 cc NaCl 0.9%, 1 cc adrenalin/epinefrin 1:1000, 10 cc natrium bikarbonat 8,4%, 50 cc lidokain 1%) Tunggu 1520 menit 5. Tindakan: lemak disedot dengan kanula diameter 2-5 mm, tumpul (atraumatik) dengan menggunakan spuit untuk harvest lemak atau alat suction untuk keperluan baody contouring 6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan 7. Pasca tindakan: daerah yang disedot harus diberikan pembalut elastis/korset selama 7-10 hari untuk mencegah hematoma

Definisi

Kepustakaan

:

:

1. Stebbins WG, Leonard AL, Hanke CW. Liposuction. Dalam Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K (eds). Fitzpatrick’s dematology in general medicine, edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012. 2. Narins RS. Safe liposuction and fat transfer. New York: Marcel Dekker, Inc., 2003 3. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of cosmetic surgery. Philadelphia: WB Saunders Company, 2002 4. Sattler G, Sonja G, Ferris KM, Al Qubaisy Y. Liposuction. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blcakwell, 2013:223-227

PE R

IV

Pengambilan lemak lebih dari 100 ml yaitu jumlah yang sesuai untuk kebutuhan tandur kulit dan mesenchymal stem cells, memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

DO

I

:

SK I

Peringatan

Tumor dan Bedah Kulit

261

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 248

V

Bagan Alur

SK I

(1) Kebutuhan akan tandur lemak atau mesenchymal stem cells datau keluhan Timbunan lemak yang tidak semestinya pada bagian tubuh tertentu

(A) Edukasi 1. Merubah pola makan dan olahraga 2. Farmakoterapi

(2) Evaluasi Timbunan lemak tidak berkurang, penderita menghendaki BSL

DO

(3) Dilakukan BSL

PE R

(3A) Body contouring: leher, wajah, badan, perut, dan ekstremitas

262

Tumor dan Bedah Kulit

(3B) Pengambilan lemak untuk donor atau pengobatan: lipoma, ginekomastia, pseudoginekomastia, broohidrosis, lipodistrofi

(3C) Rekonstruksi kulit serta penunjang flap (cutaneous debulking

F.29. INJEKSI BAHAN PENGISI (FILLER) I

Definisi

:

Penggunaan bahan pengisi untuk perbaikan contour kulit

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

:

1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Injeksi bahan pengisi sesuai teknik masing-masing bahan (linear threading, fanning, cross-hatching, serial puncture dan volumizing) 5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan

IV

Kepustakaan

:

1. Donofrio LM. Soft tissue augmentation. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York, McGraw-Hill, 2012:3044-3052 2. Vujevick J, Baumann L. Permanent fillers. Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh: Mosby;2003:259-80 3. Bisaccia E, Scarborough DA. The Columbia Manual of Dermatologic Cosmetic Surgery. New York:McGraw-Hill, 2002 4. Mariwalla K. Temporary fillers. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013:259-285

PE R

DO

SK I

Kelainan kulit akibat penuaan dini dan revisi skar

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 250

Tumor dan Bedah Kulit

263

F.30. INJEKSI TOKSIN BOTULINUM I

Definisi

:

Penyuntikan toksin botulinum untuk menghilangkan kerutan dan indikasi kulit lainnya

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

:

IV

Kepustakaan

: 1.

1. 2. 3. 4. 5.

SK I

Kerutan wajah dan leher, hiperhidrosis, bromhidrosis

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Injeksi toksin pada otot yang akan didenervasi Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan

PE R

DO

Glogau RG. Botulinum toxin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York, McGraw-Hill, 2012:3053-3061 2. Carruthers J, Carruthers A. Botulinum toxin: procedures in dermatology. Chicago: Saunders, 2013 3. Hexsel DM, Soreifmann M, Hexsel CM. Botulinum toxin. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:253-258

264

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 251

F.31. BLEFAROPLASTI : Pengambilan kulit lebih dalam dari epidermis, memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I

Definisi

: Tindakan pembedahan kulit kelopak mata

II

Indikasitindaktindak : Dermatochalasis, steatochalasis, blepharoschalasis, medik oriental-lids, xanthelasma , ptosis, floppy eyelid syndrome, laxity of eyelids

III

Penatalaksanaan

IV

Kepustakaan

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Anastesi lokal/umum Tindakan: kulit di buka dengan skalpel/ bedahlistrik/ laser CO2. Otot orbikularis okuli dibuang sedikit, lemak dibawahnya dibuang dengan sangat memperhatikan hemostasis. Kulit dirapatkan kembali dengan jahitan halus, atau tidak perlu penjahitan (pada kelopak mata bawah, teknik transkonjungtiva). 6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pascatindakan

DO

: 1. 2. 3. 4. 5.

SK I

Peringatan

1. Lee WW, Samimi DH. Upper eyelid blepharoplasty. fillers. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:229-232 2. Kaminer MS, Dover JS, Arndt KA. Atlas of Cosmetic Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company, 2002 3. Butani A. Blepharoplasty. Dalam: Alam M.(eds). Evidence based procedural dermatology. New York: Springer;2012:.403-415 4. Moody BR, Weber PJ. Blepharoplasty and browlift. Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005:673690

PE R

:

Tumor dan Bedah Kulit

265

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 252

F.32. TRANSPLANTASI RAMBUT I

Definisi

:

Tindakan tandur alih rambut

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

:

1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Anastesi lokal tumesen 5. Tindakan: pengambilan donor dengan eksisi atau pisau plong (punch). Graft dipotong kecil-kecil diameter 2-3 mm. Penanaman tandur pada daerah resipien dengan terlebih dahulu membuat lubang dengan plong/laser CO2/skalpel. Selama tindakan, graft yang terdiri dari rambut + akarnya (folikel) harus di tangani dengan hatihati, tetap dibasahi NaCl supaya tetap hidup. 6. Dekontaminasi, cuci tangan dan perawatan pasca tindakan

IV

Kepustakaan

:

1. Withworth JM, Seager DJ. Hair restoration Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh, Mosby;2003:217-32 2. Unaeze J, Ciocon DH. Hair transplantation. Dalam: Alam M (eds). Evidence based procedural dermatology. New York: Springer;2012 :.377-389 3. Unger WP, Unger RH, Unger MA. Hair transplantation and alopecia reduction. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, et al. Dalam Fitzpattrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New York: McGrawhill; 2013:30613076

PE R

DO

SK I

Kebotakan male pattern/androgenic, trauma/luka bakar.

266

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 253

F.33. BEDAH KUKU :

II

Kriteria Diagnostik

:

III

Penatalaksanaan

:

Tindakan bedah untuk kelainan pada kuku, yang bertujuan untuk menegakkan diagnosa dengan biopsi, untuk menyembuhkan infeksi, untuk mengurangi nyeri, menghilangkan tumor, dan untuk memastikan hasil kosmetik terbaik pada kelainan kuku yang kongenital ataupun didapat. 1. Kelainan kongenital 2. Infeksi 3. Proses peradangan 4. Tumor 5. Trauma kuku 6. Medikasi.

SK I

Definisi

1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 1) Alat yang dibutuhkan sama seperti peralatan bedah kulit lainnya, namun ditambah nail elevator, single-or-double pronged skin hooks, double-action nail splinter, clippers, splitting scissor, English nail splitter, pointed scissors, curved iris scissors, small nosed hemostat, disposable biopsy punches, penrose drains, Luer-lok syringe, jarum 30-gauge 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Drapping (menutup tangan yang akan dilakukan tindakan dengan handscoen steril, yang ujung handscoennya telah digunting pada jari yang akan dilakukan tindakan, sedangkan pada kaki, hanya ditutup kain steril yang difiksasi dengan clamps). 5. Anastesi lokal 2) Proximal digital block* 3) Distal digital block* 4) Transthecal block* 5) Wrist block* 6. Pemasangan Tourniquet 7. Tindakan bedah kuku 6) Nail avulsion* 7) Biopsi matriks kuku* 8) Matricectomy* 8. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pasca tindakan

PE R

DO

I

IV

Kepustakaan

:

1. Baran R. Nail surgery. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz AI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ [Ed]. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York, McGraw-Hill; 2012:2956-67 2. MacRarlane DF, Scher RK. Nail surgery. Dalam: Nouri K, LealKhouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh, Mosby; 2003:195-201

T u mTumor o r d a dan n B eBedah d a h KKulit u l i t | 254 267

V

Bagan Alur

SK I

1 Pasien dengan kelainan kuku

A. Pencegahan:  Edukasi penderita  Preparat topikal

DO

2. Evaluasi: haruskah penderita diberikan terapi nonfarmakologik

YA

PE R

Avulsi Biopsi Matricectomy

268

Tumor dan Bedah Kulit

F.34. SKLEROTERAPI : Penyuntikan bahan sklerosan untuk pengobatan telangiektasis dan venulektasis superfisial pada ekstremitas inferior, termasuk penyuntikan sejumlah bahan iritan tertentu pada dilatasi vena kulit yang tidak normal dilanjutkan dengan pembebatan

Definisi

II

Kriteria Diagnostik : 1. Telangiektasis 2. Vena retikular 3. Varises

: 1. Weiss RA, Weiss MA. Treatment for varicose and telangiectatic leg veins. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K [Ed}. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;2012:2997-3008 2. Perez MI. Sclerotherapy. Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh:Mosby; 2003:259-80 3. Bisaccia E, Scarborough DA. The Columbian Manual of Dermatologic Cosmetic Surgery. New York: McGraw-Hill, 2002 4. Goldman MP. Sclerotherapy. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH. Roenigk & Roenigk’s Dermatologic Surgery. Principle and Practice, edisi ke-2. New York; Marcell Dekker:1169-84 5. Gloviczki P, Comerota AJ, Dalsing MC, Eklof BG, Gillespie DL, Glovicski ML, etc. The care of patients with varicose veins and associated chronic venous diseases: Clinical practice guidelines of the Society for Vascular Surgery and the American Venous Forum. Journal of Vascular Surgery; 2011; 53(5): 2s-48s. 6. Gopal B, Keshava SN, Moses V, Surendrababu NSR, Stephan E, Agarwal S, etc. Role of percutaneous sclerotherapy in venous malformations of the trunk and extremities: A clinical experience. Biomed Imaging Interv J; 2013; 9(3):e18:1-6 7. Parnis J, Cannataci C, Umana E, Cassar K. Foam sclerotherapy: the Maltase experience. Malta Medical Journal; 2013; 25(1): 50-4

PE R

IV Kepustakaan

: 1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Injeksi bahan sklerosan intramuskular 5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan paska tindakan

DO

III Penatalaksanaan

SK I

I

Tumor dan Bedah Kulit

269

F.35. BEDAH MOHS : Memerlukan surat keterangan kompetensi tambahan dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I

Definisi

: Tindakan bedah kulit berupa eksisi in toto tumor disertai pemeriksaan jaringan tumor dengan mikroskop secara horizontal frozen section

II

Indikasi medik

III

Penatalaksanaan

: 1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Tindakah bedah MOHS 5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan *paska tindakan*

IV

Kepustakaan

: 1. Alcalay J, Alkalay R. Mohs micrographic surgery. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K [Ed]. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi ke-8. New York:McGraw-Hill; 2012:2950-6 2. Nouri K, Leal-Khouri, Lodha L. Mohs micrographic surgery . Dalam: Nouri K, Leal-Khouri S. Techniques in Dermatology Surgery. Edinburgh;Mosby;2003:103-16 3. Wheeland RG, Ratz JL, Bailin PL, Mohs micrographic surgery technique. Dalam: Roenigk RK, Roenigk HH. Roenigk & Roenigk’s Dermatologic Surgery Principle and Practice, edisi ke-2. New York;Marcell Dekker:738-44 4. Arnon O, Pagkalos VA, Xanthinaki AA, Silberstein E. DoubleBladed Scalpel in Mohs micrographic surgery. ISRN Dermatology; 2012: 1-4 5. Foroozan M, Sei JF, Amini M, Beauchet A, Saiag P. Efficacy of Mohs micrographic surgery for the treatment of derrmatofibrosarcoma protuberans: systematic review. Arch Dermatol. 2012 Sep;148(9):1055-63.

SK I

Peringatan

PE R

DO

tindak : 1. Karsinoma Sel Basal (Basalioma)* 2. Karsinoma Sel Skuamosa* 3. Melanoma* 4. Lentigo maligna 5. Dermatofibrosarcoma*

270

Tumor dan Bedah Kulit

I

Definisi

II Indikasi medik

: TIndakan bedah kulit untuk penanganan pengenduran jaringan lunak kulit atau ptosis wajah akibat gravitasi menggunakan benang Aptos. tindak : Ptosis lemak malar, ptosis kulit mandibula, ptosis alis

: 1. Persetujuan tindak medik 2. Persiapan pasien, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Tindakah bedah a. Marking b. Anesthesia tumesen c. Insersi benang d. Tarik kulit kearah kaudal e. Pemotongan kelebihan benang 5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan paska tindakan

DO

III Penatalaksanaan

: 1. Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift. Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005; 657-672 2. Sulaimanidze MA, Fournier PF, Sulaimanidze GM. Removal of facial soft tissue ptosis with special threads. Dermatol Surg 2000;28:367-371 3. Sandhofer M, Sandhofer-Novak R, Blugerman G, Sattler G. Aptos-lifting: Eine minimal invasive method zur gesichtsrejuvenation. Aesthet Dermatol 2003;1:10-17 4. Lycka B, Bazan C, Poletti E, Treen B. The emerging technique of the antiptosis subdermal suspension thread. Dermatol Surg 2004;30:41-44

PE R

IV Kepustakaan

SK I

F.36. FACE LIFT MENGGUNAKAN BENANG

Tumor dan Bedah Kulit

271

F.37. MINIMUM INCISION FACE LIFT :

Memerlukan surat keterangan kualifikasi tambahan dari Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

I

Definisi

:

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Tindakah bedah a. Marking b. Anestesia tumesen c. Insisi d. Undermining e. Plikasi SMAS f. Pemotongan kelebihan kulit g. Penjahitan luka 5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan pascatindakan

DO

Kepustakaan

1. 2. 3. 4.

:

perawatan

1) Langdon RC, Sattler G, Hanke CW. Minimum incision face lift. Dalam: Robinson JK, Hanke CW, Sengelmann RD, Siegel DM. Surgery of the skin. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005; 657-672 2) Chipps LK, Moy RM. Facelifts. Dalam: Nouri K (ed): Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell: 2013:233-239.

PE R

IV

:

Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher dengan pembedahan kulit Ptosis kulit akibat faktor gravitasi berupa kulit yang kendur pada sisi mandibula dan bawah dagu

SK I

Peringatan

272

Tumor dan Bedah Kulit

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 259

F.38. NON SURGICAL FACE LIFT Definisi

:

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

Kepustakaan

:

1. 2. 3. 4.

Persetujuan tindak medik Persiapan pasien, alat, petugas Pencegahan infeksi sebelum tindakan Tindakan non surgical face lift  Laser untuk pengencangan kulit  Radiofrekuensi  High Intensity Focused Ultrasound 5. Dekontaminasi, cuci tangan, dan pascatindakan

perawatan

1. Weiss RA, Weiss MA, Munavalli G. Monopolar radiofrequency facial tightening: a retrospective analysis of efficacy and safety inover 600 treatments. J Drug Dermatol 2006 Sep5(8):707-712 2. Alster TS, Tanzi E. Improvement of neck and cheek laxity with a nonablative radiofrequency device: a lifting experience. Dermatol Surg 2004;30(4 pt 1):503-507 3. Lauback HJ. Intensed focused ultrasound: evaluation of a new treatment modality for precise microcoagulation within the skin. Dermatol Surg 2008;34:727-734 4. Key DJ. Single treatment skin tightening by radiofrequency and longpulsed 1064 nm Nd:Yag laser compared. Lasers Surg Med 2007;39:169-175 5. Chan HHL. Lasers for skin tightening. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013:391-395 6. Mayoral FA. Radiofrequency for skin tightening. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2013:396-399

PE R

DO

IV

:

Mengurangi atau menghilangkan kerutan wajah dan leher tanpa pembedahan Mengencangkan dan menarik kulit muka sehingga kerutan berkurang, serta menghilangkan kulit yang kendur pada sisi mandibula dan bawah dagu

SK I

I

Tumor dan Bedah Kulit

273

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 260

V

Bagan Alur

(1) Penderita

SK I

Datang dengan keluhan penuaan dini berupa sagging pada daerah wajah dan leher

(A) Edukasi

Berbagai alternatif untuk mengatasi aging baik operatif maupun nonoperatif, serta pencegahan aging yang berlanjut

(2)

DO

Penderita minta untuk facelift tanpa operasi

PE R

1) 2) 3) 4)

274

Tumor dan Bedah Kulit

Radiofrekuensi Laser Ultrasound Benang anti ptosis

F.39. VITILIGO Definisi

:

Tindakan bedah untuk vitiligo yang telah stabil lebih dari 1 tahun dan usia di atas 12 tahun, Lesi < 3% luas tubuh

II

Indikasi medik

tindak :

III

Penatalaksanaan

:

1. Persetujuan tindakan medis 2. Persiapan penderita, alat, petugas 3. Pencegahan infeksi sebelum tindakan 4. Anastesi lokal 5. Tindakan: autologous skin graft dengan menggunakan biopsi plong, split thickness graft, epidermal blister graft, cultured melanocyte graft, single hair graft 6. Dekontaminasi, cuci tangan, dan perawatan pascatindakan

IV

Kepustakaan

:

1. Sheth R, Kamat A, Doshi A, Lodaya B. Cosmetic dermatologic surgery in ethnic skin. Dalam: Nouri K (ed). Dermatologic surgery step by step. West Sussex: WileyBlackwell, 2013: 293-298 2. Avram MR, Tsao S, Tannous Z, Avram MM. Color atlas of cosmetic dermatology. New York; McGraw-Hill, 2007 3. Savant SS. Miniature punch grafting. Dalam: Savant SS, Shah R, Gore D [Ed]. Textbook and atlas of dermatosurgery and cosmetology. Mumbai: ASCAD: 2004;998:235-9 4. Jin SIK BURM, Rhee SC, Kim YW. Superficial dermabrasion and suction bilister epidermal grafting for postburn dyspigmentation. Dalam: Asian Skin Dermatologic Surgery, 2007;33:326-32 5. Oiso N, Suzuki T, Kaneda MW, Tanemura A, Tanioka M, Fujimoto T. Guidelines for the diagnosis and treatment of vitiligo in Japan. Journal of Dermatology 2013;40:344-354 6. Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, et al. Dalam Fitzpattrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New York: Mc Grawhill; 2012:792-803

PE R

DO

Vitiligo

SK I

I

Tumor dan Bedah Kulit

275

T u m o r d a n B e d a h K u l i t | 262

V

Bagan Alur

SK I

(1) Penderita mengeluh vitiligo

A. Edukasi 1. Penjelasan tentang berbagai hipotesis yang mendukung diagnosis vitiligo 2. Menjelaskan berbagai metoda pengobatan 3. Prognosis vitiligo serta pencegahan

DO

(2) Evaluasi Haruskah penderita diberikan terapi nonfarmakologi ?

1. Ya, apabila vitiligo dalam keadaan stabil minimal 6 bulan pada orang dewasa 2. Dengan topikal kurang berhasil 3. Penderita menghendaki pengobatan nonfarmakologis

(3B) Tandur kulit dengan tehnik suction blistering for epidermal grafting

PE R

(3A)

Tandur kulit dengan tehnik punch grafting

276

Tumor dan Bedah Kulit

(3C) Transfer melanosit autologus melalui epidermal graft

SK I DO

G

PE R

VENEREOLOGI (INFEKSI MENULAR SEKSUAL)

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

277

V e n e r e o l o g i | 264

G.1. INFEKSI GONORE (A54) Definisi

: Gonore adalah suatu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonnorrhoeae suatu kuman gram negatif, berbentuk biji kopi, letaknya intra atau ekstra seluler.

II

Kriteria diagnostik Klinis

: Anamnesis adanya coitus suspectus

SK I

I

Anamnesis Gonoroe pada pria: 1. Gatal pada ujung kemaluan 2. Nyeri saat kencing 3. Keluar duh tubuh purulen dari uretra Anamnesis Gonoroe pada wanita: 1. Keputihan 2. Kadang asimptomatik Pada keduanya didapatkan adanya riwayat kontak seksual sebelumnya, dan atau gejala komplikasi lainnya.

DO

Pemeriksaan klinis: Gonore pada pria: 1. Edema dan eritematus pada orificium uretradisertai disuria 2. Duh tubuh uretra mukopurulen dengan atau tanpa massase 3. Infeksi rektum pada pria homoseksual dapat menimbulkan duh tubuh anal atau nyeri / rasa tidak enak di anus / perianal 4. Infeksi pada farings biasanya asimtomatik

PE R

Gonoroe pada wanita: 1. Seringkali asimtomatik 2. Cerviks eritem, edem, kadang ektropion 3. Duh tubuh endoserviks mukopurulen 4. Kadang dijumpai swab bleeding 5. Dapat disertai nyeri pelvis /perut bagian bawah 6. Infeksi pada uretra dapat menyebabkan disuria

Diagnosis banding

: Pria: 1. Ureteritis Non Gonoroe 2. Infeksi Saluran Kencing Wanita: 1. Bacterial Vaginosis 2. Kandidiasis Vulvovaginal 3. Trikomoniasis

278

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 265

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: • Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangan seksual tetapnya. • Anjurkan abstinensia sampai terbukti sembuh secara laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri supaya memakai kondom. • Kunjungan ulang pada hari ke-3 dan hari ke-8. • Konseling: jelaskan mengenai penyakit gonore, kemungkinan komplikasi, cara penularan, serta pentingnya pengobatan pasangannya. • Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit infeksi menular seksual (IMS) lainnya Medikamentosa : • Obat pilihan : Sefiksim 400 mg per oral • Obat alternatif : Levofloksasin# 500 mg per oral dosis tunggal atau Tiamfenikol 3,5 gram per oral dosis tunggal atau Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal atau Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular dosis tunggal

SK I

: 1. Pemeriksaan gram dari sekret uretra atau serviks ditemukan diplokokus Gram negatif di dalam leukosit polimorfonuclear (DGNI) 2. Kultur menggunakan media selektif Thayer-Martin dan agar coklat McLeod (jika tersedia) 3. Tes Thomson( Percobaan dua gelas) (jika tersedia) 4. Tes Definitif ( dari hasil kultur yang positif) (jika tersedia) - Tes Oksidasi - Tes Fermentasi - Tes Beta-Laktamase 5. Tes resistensi/sensitivitas: kerjasama dengan bagian Mikrobiologi. Untuk kecurigaan infeksi pada faring dan anal dapat dilakukan pemeriksaan dari bahan duh dengan kultur Thayer Martin atau PCR terhadap N.gonorrhoeae dan C.Trachomatis

PE R

DO

III

Pemeriksaan penunjang

# tidak boleh diberikan pada ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

hamil,

Bila sudah terjadi komplikasi seperti bartolinitis, prostatitis • Obat pilihan : Sefiksim 400 mg peroral selama 5 hari • Obat alternatif : Levofloksasin 500 mg per oral 5 hari atau Tiamfenikol 3,5 gram per oral 5 hari atau

V e n e r e o l o g i  | 266 

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

279

Kanamisin 2 gram injeksi intramuskular 3 hari atau Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular 3 hari

Kepustakaan

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc GrawHill, 2001 4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. 5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE R

DO

IV

SK I

Komplikasi pada pria : Epididymitis, orchitis, dan infertilitas. Komplikasi pada wanita : pelvic inflammatory disease (PID), bartholinitis, infertilitas

V e n e r e o l o g i  | 267 

280

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V Bagan alur  

Penderita dengan

keluhan duh tubuh uretra Pasien dengan keluhan duh tubuh uretra  atau vagina Pasien dengan keluhan duh tubuh uretra  atau vagina 

SK I

atau vagina 

Dilakukan Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis 

anamnesis dan pemerik

Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis 

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa gram dan basah 

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa gram dan basah 

Leukosit penuh,ditemukan diplokokus gram negatif  intra sel, diobati  sebagai Gonore

Leuco penuh,ditemukan diplokokus g intra sel, diobati sebagai Go Leukosit penuh,ditemukan diplokokus gram negatif  Kontrol 7 hari 

intra sel, diobati  sebagai Gonore

Kontrol 7 hari

DO

Adakah keluhan  / gejala?

Tidak ada

Kontrol 7 hari

Adakah keluhan / Gejala?

Ada Adakah keluhan  / gejala?

Kultur & tes resistensi 

PE R

Obati sesuai hasil resistensi  idak ada

Tidak ada 

Ada

Ada Kultur & Tes r

Adakah keluhan  / gejala? 

Obati sesuai has Kultur & tes resistensi  Ada

Tidak ada

Adakah Obati sesuai hasil resistensi  keluhan Gejala?

Rujuk

Adakah keluhan  / gejala? 

Ada

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) Ada 

Rujuk 

Rujuk

281

Tidak

G.2. HERPES SIMPLEKS GENITAL (HG) (A60)

Diagnosis umumnya cukup secara klinis HG episode pertama lesi primer • Vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar eritematosa, disertai rasa nyeri. • Pasien lebih sering datang dalam keadaan lesi berupa ulkus atau berkrusta • Dapat disertai disuria • Dapat disertai duh tubuh vagina atau utera • Dapat disertai keluhan sistemik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan pembengkakan inguinal • Keluhan neuropati (retensi urin, konstipati, parestia) • Pembentukan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari • Berakhir dalam waktu 12-21 hari

DO

II Kriteria diagnostic  Klinis

SK I

Penyakit infeksi genital yang disebabkan oleh virus Herpes simplex (VHS) tipe 2 atau kadang tipe 1,bersifat rekurens. Infeksi akibat kedua tipe VHS bersifat seumur hidup; virus berdiam di jaringan saraf, tepatnya di ganglia dorsalis. Perjalanan infeksi: - HG episode pertama lesi primer - HG episode pertama lesi non-primer - HG rekuren - HG asimtomatik - HG atipikal

I Definisi

PE R

HG episode pertama lesi non primer • Umumnya lesi lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan infeksi primer • Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari • Jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan sistemik, dan neuropati.

HG rekuren • Lesi lebih sedikit dan lebih ringan • Bersifat lokal, unilateral • Berlangsung lebih singkat, dapat menghilang dalam waktu 5 hari • Dapat didahului oleh keluhan parestesia 1-2 hari sebelum timbul lesi • Umumnya mengenai daerah yang sama di penis, vulva, anus, atau bokong. • Riwayat pernah berulang

282

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 269



Pemeriksaan penunjang

1. 2. 3. 4. 5.

SK I

Diagnosis banding

Infeksi Streptococcus Sifilis Chancroid Lymfogranuloma Venereum Granuloma Inguinale

DO



• Terdapat faktor pencetus : - Stres fisik / psikis - Senggama berlebihan - Minuman beralkohol - Menstruasi - Kadang – kadang sukar ditentukan HG atipikal menyerang kulit seperti H. Whitlow daerah jari, putting susu bokong dlsbnya. HG subklinik hanya berupa lesi kemerahan atau erosi yan ringan kadang2 ada vesikel. Keluhan nyeri radikulopathi. HG asimtomatik. Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis antibodi herpes positif HG superklinik dengan gejala ulkus yang luas dan berlangsung lama banyak pada penderita imunokompromis.

Tzanck test ditemukan multinucleated giant cells

Jika tersedia sarana: • Pemeriksaan mikroskop elektron • Kultur jaringan • ELISA • IgM HSV1 & HSV2 • IgG HSV1 & HSV2 HG lesi inisial (primer dan nonprimer) Nonmedikamentosa : • Abstinensia • Konseling - Kecenderungan berulang - Seringnya pelepasan virus subklinis (terutama 6-12 bulan pertama setelah infeksi primer), serta potensi menularkan kepada pasangan seksualnya - Kemungkinan risiko tertular HIV • Pemeriksaan terhadap pasangan seksual tetapnya, bila memungkinkan

PE R

III Penatalaksanaan



Medikamentosa : 1. Simtomatik - Analgesik - Kompres 2. Antivirus : - Asiklovir : 5x200 mg/hari selama 7-10 hari atau - Asiklovir : 3x400 mg/hari selama 7-10 hari atau - Valasiklovir : 2x500-1000 mg/hari selama 7-10 hari, atau

V e n e r e o l o g i  | 270 

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

283

- Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari 3. Kasus berat perlu Rawat Inap di RS : - Asiklovir intravena 5 mg/kgBB tiap 8 jam selama 7-10 hari

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill. 2008 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001 4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. 5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE R

IV Kepustakaan

DO

SK I

HG rekuren Medikamentosa : 1. Lesi ringan : terapi simtomatik 2. Lesi berat : Asiklovir 5 x 200 mg/hari, per oral selama 5 hari atau Valasiklovir 2 x 500 mg/hari per oral, selama 5 hari o Asiklovir: 5 x 200 mg, selama 5 hari atau o Asiklovir: 3 x 400 mg, selama 5 hari atau o Valasiklovir 2 x 500 mg, selama 5 hari atau o Famsiklovir 3 x 250 mg/hari selama 5 hari 3. Rekurensi 6 kali/tahun atau lebih: diberi terapi supresif - Asiklovir 2 x 400mg/hari atau - Valasiklovir 1 x 500 mg/hari atau - Famsiklovir 2 x 250 mg/hari 4. Abstinensia 5. Konseling : - Kecenderungan berulang - Seringnya pelepasan virus subklinis (terutama 6-12 bulan pertama setelah infeksi inisial), serta potensi menularkan kepada pasangan seksualnya - Kemungkinan risiko tertular HIV 6. Pemeriksaan terhadap pasangan seksual tetapnya, bila memungkinkan

V e n e r e o l o g i  | 271 

284

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

IV Bagan Alur

SK I

Pasien dengan keluhan luka kecil-kecil, sebelumnya berupa lenting berisi cairan

Dilakukan anamnesis yang cermat, kambuhan, dan pemeriksaan klinis terdapat pembesaran kelenjar Bila perlu pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap negatif, Pewarnaan Giemsa tidak ditemukan Haemophyllus ducreyi Diobati sebagai HG

PE R

DO

Kontrol 7 hari

Venereologi (Infeksi Menular 285 V e n eSeksual) r e o l o g i  | 272 

G.3. INFEKSI GENITAL NONSPESIFIK (IGNS)

Klinis



Diagnosis banding



Pemeriksaan penunjang

SK I

Kriteria diagnostik •

: Infeksi saluran genital yang disebabkan oleh penyebab nonspesifik. Istilah ini meliputi berbagai keadaan, yaitu uretritis nonspesifik (UNS), uretritis non-gonore (UNG), proktitis nonspesifik, dan infeksi genital nonspesifik pada wanita : : Pria : • Duh tubuh uretra spontan, atau diperoleh dengan pengurutan / massage uretra • Disuria • Bisa Asimtomatik Wanita : • Duh tubuh vagina • Duh tubuh endoserviks mukopurulen • Ektopia serviks disertai edema, serviks rapuh, mudah berdarah • Perdarahan antara dua siklus menstruasi • Perdarahan pascakoitus • Disuria, bila mengenai uretra • sebagian besar asimtomatik : Uretritis/servisitis Gonore, Trikomoniasis, Kandidosis Vulvo- Vaginalis, Vaginosis bakterrial : Bahan dari duh tubuh genital Sediaan apus Gram: • Tidak terdapat diplokokus Gram negatif intra selulardan ekstraselular, • Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa, dan clue cell • Jumlah leukosit PMN >5/LPB (pria) atau >30/LPB (wanita)

PE R

II

Definisi

DO

I

III

Penatalaksanaan

Sediaan basah: • Tidak ditemukan Trichomonas vaginalis Untuk menentukan infeksi Chlamydia trachomatis: bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan cara EIA (enzyme immunoassay): kerjasama dengan Bagian Mikrobiologi dan Bagian Parasitologi. : Nonmedikamentosa: • Abstinensia sampai terbukti sembuh secara laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri anjurkan memakai kondom. • Kunjungan ulang pada hari ke-8 • Konseling: jelaskan mengenai IGNS dan penyebabnya, kemungkinan komplikasi jangka V e n e r e o l o g i | 273

286

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)



SK I



panjang, cara penularan, pentingnya mematuhi pengobatan, serta pentingnya penanganan pasangan seksual tetapnya. Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular HIV Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangannya

Medikamentosa: Obat pilihan : Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal

Obat alternatif : Doksisiklin# 2 X 100 mg/hari,peroral selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari per oral selama 7 hari #

tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak dibawah 12 tahun

: 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc GrawHill, 2001 4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. 5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

DO

Kepustakaan

PE R

IV

V e n e r e o l o g i  | 274 

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

287

V

Bagan alur

SK I

Pasien dengan keluhan duh tubuh uretra atau vagina

Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa pewarnaan Gram dan sediaan basah

DO

Leukosit >5/LPB untuk pria, >30/LPB untuk wanita Tidak terdapat diplokokus Gram negatif intra dan ekstraselular Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa, Trichomonas vaginalis, dan clue cells Diobati sebagai infeksi genital nonspesifik Kontrol 7 hari Adakah keluhan/ gejala?

Ada

PE R

Tidak

Kultur MO & tes resistensi, PCR bila perlu Obati sesuai hasil resistensi MO

Ket.: MO : mikroorganisme

288

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

SK I DO PE R Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

289

SK I DO PE R 290

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

KANDIDOSIS VULVOVAGINAL (B37.3) G.4.G.4. KANDIDOSIS VULVOVAGINAL (KVV)(KVV) (B37.3) Infeksi dan vagina disebabkan oleh Candida Infeksi pada pada vulva vulva dan vagina yang yang disebabkan oleh Candida albicans, atau kadang oleh Candida sp, Torulopsis sp,ragi atau ragi albicans, atau kadang oleh Candida sp, Torulopsis sp, atau lainnya lainnya

SK I

I Definisi I Definisi

Keluhan : II Kriteria diagnostik Keluhan : II Kriteria diagnostik • Gatal pada pada vulva vulva • Klinis • Gatal • Klinis • Vulva lecet,lecet, dapatdapat timbultimbul fisura fisura • Vulva • Dapat terjaditerjadi dispareunia • Dapat dispareunia PadaPada vulvavulva dan vagina tampak : dan vagina tampak : • Eritema • Eritema • Dapat timbultimbul fisurafisura • Dapat • Edema jika berat • Edema jika berat • Duh tubuhtubuh vagina, putih putih sepertiseperti susu, susu, mungkin bergumpal, • Duh vagina, mungkin bergumpal, tidak tidak berbau berbau • Jika genitalia luar dapat dijumpai patch patch eritem eritem dg • mengenai Jika mengenai genitalia luar dapat dijumpai dg lesi satelit lesi satelit

DO

Infeksi genital nonspesifik, Trikomoniasis, Vaginosis • Diagnosis banding Gonore, • Diagnosis banding Gonore, Infeksi genital nonspesifik, Trikomoniasis, Vaginosis bakterial bakterial

Bahan duh tubuh vagina yang berasal dari dinding lateral vagina Bahan duh tubuh vagina yang berasal dari dinding lateral vagina dilakukan pemeriksaan: dilakukan pemeriksaan: • Sediaan apus dengan pewarnaan Gram: ditemukan • Sediaan dengan pewarnaan Gram: ditemukan blastospora dan apus pseudohifa blastospora dan pseudohifa • Sediaan basah dengan larutan KOH 10%: ditemukan • Sediaan dengan larutan KOH 10%: ditemukan pseudohifa dan basah atau blastospora dan atau blastospora • Kulturpseudohifa jamur • Kultur jamur III Penatalaksanaan Nonmedikamentosa : III Penatalaksanaan• Hindari Nonmedikamentosa bahan iritan lokal,: misalnya produk berparfum • Hindari bahan misalnya produk berparfum • Hindari pakaian ketatiritan ataulokal, dari bahan sintesis • Hindari pakaian atau dari bahan sintesispemakaian • Hilangkan faktor ketat predisposisi: hormonal, • Hilangkan faktor yang predisposisi: kortikosteroid dan antibiotik terlalu lama,hormonal, kegemukan, pemakaian dll kortikosteroid dan antibiotik yang terlalu lama, kegemukan, dll Medikamentosa : : ObatMedikamentosa pilihan : Obat pilihan : vagina 500 mg dosis tunggal atau Klotrimazol kapsul Klotrimazol kapsulkapsul vaginavagina 200 mg selama 3 hari atau atau Klotrimazol 500 mg dosis tunggal Klotrimazol kapsulkapsul vaginavagina 100 mg selama 6 hari atau Klotrimazol 200 mg selama 3 hari atau Flukonazol kapsulkapsul 150 mg per oral tunggal 6atau Klotrimazol vagina 100dosis mg selama hari atau Itrakonazol kapsul 2 x 200 mgmg per oral selama hari atau Flukonazol kapsul 150 per oral dosis 1tunggal atau Itrakonazol kapsulkapsul 1 x 200 selama 3 hari atau Itrakonazol 2 xmg/hari 200 mgper peroral oral selama 1 hari atau Ketokonazol kapsul 2 x 200 mg/hari per oral 7 hari3 hari atau Itrakonazol kapsul 1 x 200 mg/hari per selama oral selama Catatan:Ketokonazol Wanita hamil sebaiknya tidak diberikan sistemik.7 hari kapsul 2 x 200 mg/hari per obat oral selama PadaCatatan: penderitaWanita denganhamil imunokompeten jarang terjadi komplikasi, sebaiknya tidak diberikan obat sistemik. sedangkan penderitadengan denganimunokompeten status imun rendah Pada penderita jaranginfeksi terjadijamur komplikasi, dapatsedangkan bersifat sistemik. penderita dengan status imun rendah infeksi jamur dapat bersifat sistemik.

PE R

• Pemeriksaan • Pemeriksaan penunjang penunjang

V e n e r e o l o g i | 278

V e n e Seksual) reologi Venereologi (Infeksi Menular

| 278 291

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001 4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. 5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE R

DO

SK I

IV Kepustakaan

292

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i  | 279 

V

Bagan alur

SK I

Pasien dengan keluhan duh tubuh vagina

Anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh vagina diperiksa pewarnaan Gram dan sediaan basah

DO

PMN >30 untuk wanita ditemukan pseudohifa atau blastospora tidak ditemukan Diplococcus gram negatif,Clue cells dan Trichomonas vaginalis. obati sebagai Kandidosis vulvovaginalis

Kontrol 7 hari

Adakah keluhan / gejala?

PE R

Tidak ada

Ada

Kultur & tes resistensI dan cari faktor predisposisi Obati sesuai hasil resistensi

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

293

V e n e r e o l o g i  | 280 

G.5. KONDILOMATA AKUMINATA (KA) (A63.0)

II Kriteria diagnostik • Klinis

SK I

Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus papiloma humanus (VPH) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa

I Definisi

Umumnya cukup secara klinis : terdapat vegetasi atau papul soliter dapat juga multipel. (bentuk ; akuminata, papul, datar, dan Giant condyloma Buschke-Lowenstein)

Diagnosis banding

Pearly penile papules, kondiloma lata, karsinoma sel skuamosa



Pemeriksaan penunjang

Pada lesi yang meragukan dapat dilakukan tes asam asetat , kolposkopi serta pemeriksaan histopatologi.

III Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa : • Sedapat mungkin lakukan penanganan terhadap pasangan seksualnya • Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV • Kunjungan ulang : dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai

DO



PE R

Medikamentosa : Obat pilihan : 1. Tinktura podofilin 10-25%, lindungi kulit sekitar lesi dengan vaselin agar tidak terjadi iritasi, biarkan selama 1-4 jam, kemudian cuci. Pemberian obat dilakukan seminggu dua kali, sampai lesi hilang. 2. Asam Trikloroasetat 50-90%, aplikasikan seminggu sekali. Respon baik terutama pada wanita hamil. 3. Tindakan bedah: bedah skalpel, listrik,beku dan laser.

IV Kepustakaan

294

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill. 2008 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001 4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. 5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 281

V Bagan Alur

SK I

Pasien dengan keluhan vegetasi pada genital Anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan klinis Didiagnosis KA

Acetowhite, kolposkopi atau bila perlu di biopsi

DO

Diobati sebagai KA

Tidak ada

Adakah keluhan / Gejala?

Ada

PE R

Mencari faktor faktor predisposisi tentang rekurensi

Venereologi (Infeksi Menular Seksual) 295 V e n e r e o l o g i  | 282 

G.6. SIFILIS (A53)

• Diagnosis banding

PE R

• Pemeriksaan penunjang

STADIUM I : Klinis : ulkus tunggal, tepi teratur, dasar bersih, terdapat indurasi, tidak nyeri; terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional STADIUM II : Klinis : terdapat lesi kulit yang polimorfi, tidak gatal dan lesi di mukosa, disertai pembesaran kelenjar getah bening generalisata STADIUM II laten : Klinis : tidak didapatkan lesi di genital atau kulit, hanya ditemukan tes serologi sifilis (TSS) yang reaktif STADIUM III Klinis : didapatkan gumma, yaitu infiltrat sirkumskrip kronis yang cenderung mengalami perlunakan dan bersifat destruktif. Dapat mengenai kulit, mukosa dan tulang. 1. S I : herpes simpleks, ulkus piogenik, skabies, balanitis, LGV, karsinoma sel skuamosa, penyakit Behcet, ulkus mole 2. S II : erupsi obat alergik, morbili, pitiriasis rosea, psoriasis, dermatitis seboroik, kondilomata akuminata, alopesia areata 3. S III : sporotrikosis, aktinomikosis, tuberkulosis kutis gumosa, keganasan STADIUM I : Laboratorium • tes serologi sifilis : dapat (+) atau (-) • pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan Burry (+) atau (-)

DO

II Kriteria diagnostik • Klinis

SK I

Penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Sifilis dapat diklasifikasikan atas sifilis didapat dan sifilis kongenital. Sifilis di dapat terdiri atas stadium primer, sekunder, dan tersier, dan periode laten di antara stadium sekunder dan tersier

I Definisi

STADIUM II : Laboratorium : • pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap dan Burry (+) / (-) • tes serologi sifilis : RPR (++); VDRL (+); TPHA (+) titer tinggi

III Penatalaksanaan

296

STADIUM II LATEN : Laboratorium : TSS (+), tetapi tidak ada gejala klinis Nonmedikamentosa : • Penanganan pasangan seksual sedapat mungkin dilakukan • Konseling : - Tentang penyakit sifilis dan penularannya, cara pencegahan, pengobatan - Kemungkinan risiko tertular HIV

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 283

SK I

Medikamentosa : 1. Obat pilihan Benzatin penisilin G dengan dosis bergantung pada stadium, Stadium dini: stadium I, II & laten < 2 tahun : 2,4 juta unit Stadium lanjut: stadium laten > 2 tahun & III : 7,2 juta unit (injeksi intramuskuler, 2,4 juta unit/kali dengan interval 1 minggu) 2. Obat alternatif : Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari atau Doksisiklin 2 x 100 mg/hari Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau >30 hari (stadium lanjut)

DO

Evaluasi TSS (VDRL) : 1 bulan sesudah pengobatan selesai, ulangi TSS : a. titer ↓ : tidak diberi pengobatan lagi b. titer ↑ : pengobatan ulang c. titer tetap : tunggu 1 bulan lagi 1 bulan sesudah c : Titer ↓ : tidak diberi pengobatan Titer ↑ atau tetap : pengobatan ulang

Pemantauan TSS : pada bulan ke I, II, III, VI dan XII dan setiap 6 bulan pada tahun ke-2

1. 2.

Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008 Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001 Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE R

IV Kepustakaan

3. 4. 5. 6.

V e n e r e o l o g i  | 284 

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

297

V Bagan Alur

Pasien dengan keluhan ulkus di genital, soliter, tidak nyeri

SK I

Dilakukan anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan klinis terdapat pembesaran kelenjar getah bening Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap (pergerakan Treponema pallidum positif) pemeriksaan laboratorium TSS :TPHA&VDRL

Obati sebagai Sifilis stadium I Kontrol 1 bulan

DO

Tes Laboratorium ulang TSS

Adakah kenaikan titer TSS

Ada Terapi ulang

PE R

Tidak ada

V e n e r e o l o g i  | 285 

298

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

G.7. TRIKOMONIASIS (A59.0)

II

Definisi

: Penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berflagel Trichomonas vaginalis

Kriteria diagnostik

:



: Keluhan: Wanita :

Klinis

SK I

I

• 10 – 50% asimtomatik • Duh tubuh vagina berbau busuk, jumlahnya sedikit sampai banyak, encer, berwarna kuning kehijauan, berbusa, dapat terjadi pada 10-30% wanita, dapat disertai gatal pada vulva • Kadang terdapat rasa tidak enak di perut bagian bawah • Vulvitis dan vaginitis • Gambaran serviks strawberry dapat ditemukan pada 2% pasien

DO

Pria: • 15 – 50% asimtomatik, biasanya sebagai pasangan seksual wanita yang terinfeksi • Duh tubuh uretra sedikit atau sedang, dan/atau disuria, dapat juga iritasi uretra dan sering miksi • jarang: duh tubuh uretra purulen

Diagnosis banding



Pemeriksaan penunjang

: Infeksi genital nonspesifik, uretritis gonore, kandidosis vulvo-vaginalis, vaginosis bakterial Wanita: : Bahan duh tubuh yang berasal forniks posterior dilakukan pemeriksaan sediaan basah dengan larutan NaCL fisiologis: didapati parasit Trichomonas vaginalis dengan pergerakan flagelanya yang khas Pria: Bahan sedimen urin sewaktu: dapat ditemukan parasit Trichomonas vaginalis

PE R



III

Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa: • Abstinensia sampai dinyatakan sembuh • Konseling: mengenai trikomoniasis, cara penularan, pentingnya mematuhi pengobatan, dan pentingnya penanganan pasangan • Konseling mengenai kemungkinan risiko tertular HIV • Kunjungan ulang pada hari ke-8 • Bila mungkin periksa dan obati pasangannya

V e n e r e o l o g i | 286

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

299

Medikamentosa:

IV

Kepustakaan

SK I

- Obat pilihan 1. Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal atau 2. Tinidazol 2 gram per oral dosis tunggal - Obat alternatif Metronidazol 2x400 atau 500 mg/hari per oral selama 7 hari atau Tinidazol 2x500 mg/hari per oral selama 7 hari - Bila mungkin periksa dan obati pasangannya Catatan: Pasien dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol selama pengobatan berlangsung sampai 48 jam sesudahnya untuk menghindari disulfiram-like reaction

: 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM,

DO

2.

Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008 Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc GrawHill, 2001 Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. 2005. Anonim. Pedoman tatalaksana infeksi menular seksual. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.2006.

3. 4.

5.

PE R

6. 7.

V e n e r e o l o g i  | 287 

300

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V

Bagan Alur

SK I

Pasien dengan keluhan duh tubuh uretra atau vagina

Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh uretra atau vagina diperiksa gram dan basah

PE R

DO

Leuco >5 untuk pria,>30 untuk wanita Ditemukan Trichomonas vaginalis ,tidak ditemukan diplococcus gram negatip,blastospora, psedohifa dan clue cells diobati sebagai Trikomoniasis

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

301

G.8.. ULKUS MOLE (A57)

II Kriteria diagnostik • Klinis

SK I

Penyakit ulkus genital yang disebabkan oleh Haemophyllus ducreyi

I Definisi

Umumnya cukup secara klinis : terdapat ulkus multipel, tepi tidak teratur, dinding bergaung, dasar kotor, sangat nyeri

• Diagnosis banding

Herpes genitalis, Sifilis stadium I, LGV, Granuloma inguinale

• Pemeriksaan penunjang

Sediaan apus dari dasar ulkus dan diwarnai dengan pewarnaan Gram atau Unna Pappenheim, ditemukan basil negatif – Gram yang berderet seperti rantai

Catatan : Pemeriksaan laboratorium ini dapat mendukung diagnosis, tetapi bila klinis jelas, dan laboratorium (-), tetap dianggap sebagai ulkus mole Nonmedikamentosa : • Sedapat mungkin lakukan penanganan terhadap pasangan seksualnya • Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV • Kunjungan ulang : dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai

DO

III Penatalaksanaan

Medikamentosa : Obat pilihan : Siprofloksasin 2 x 500 mg per oral selama 3 hari atau Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal atau Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 7 hari atau Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular dosis tunggal

1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill. 2008 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012 3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-w. New York, Mc Graw-Hill, 2001 4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. 5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011

PE R IV Kepustakaan

302

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

V e n e r e o l o g i | 289

V Bagan Alur

SK I

Pasien dengan Ulkus genital, multiple, sangat nyeri, terdapat tanda-tanda radang akut

Dilakukan anamnesis yang cermat, dan pemeriksaan klinis

Pemeriksaan Gram : Haemophyllus ducreyi positif Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap Treponema pallidum negatif pemeriksaan laboratorium TSS :TPHA&VDRL non reaktif

Obati sebagai Ulkus mole

PE R

DO

Kontrol 7 hari

V e n e r e o l o g i | 290

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

303

G.9. VAGINOSIS BAKTERIAL (N76) Definisi

: Sindrom klinis yang disebabkan oleh pergantian Lactobaccillus sp penghasil H2O2 yang normal di dalam vagina dengan sekelompok bakteri anaerob batang gram negatif (Prevotella sp, Mobiluncus sp) Gardnerella vaginalis dan Mycoplasma horminis

II

Kriteria diagnostik

:



Klinis

: • Duh tubuh vagina warna putih homogen, melekat pada dinding vagina dan vestibulum, kadang-kadang disertai rasa gatal. • Vagina tidak inflamatif • Cerviks tidak inflamatif • Terciumnya bau amis seperti ikan pada duh tubuh vagina yang ditetesi dengan larutan KOH 10% (tes amin/ Whiff test) • pH cairan vagina >4,5 • 50% wanita asimtomatik



Diagnosis banding

: Infeksi genital nonspesifik, uretritis/servisitis Trikomoniasis, Kandidosis vulvo-vaginalis



Pemeriksaan penunjang

: Bahan duh tubuh vagina, dilakukan pemeriksaan • Sediaan apus dengan pewarnaan Gram : ditemukan clue cells atau • Sediaan basah dengan larutan NaCI fisiologis : ditemukan clue cells

DO

Penatalaksanaan

gonore,

: Nonmedikamentosa : • Pasien dianjurkan untuk menghindari pemakaian vaginal douching atau antiseptik • Komunikasi, informasi dan edukasi

PE R

III

SK I

I

Medikamentosa : 1. Obat pilihan : Metronidazol 2 x 500 mg/hari selama 7 hari atau Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal 2. Obat alternatif : Klindamisin 2 x 300 mg/hari per oral selama 7 hari

IV

Kepustakaan

1. Holmes King K, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM. Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam : Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York : MC Graw – Hill. 2008. 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill, 2012

V e n e r e o l o g i | 291

304

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

Pasien dengan keluhan duh tubuh vagina

Bagan Alur

DO

V

SK I

3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-2. New York, Mc Graw-Hill. 2003. 4. Clinical Effectiveness Group. 2001 UK National Guidelines on sexually transmitted diseases and related conditions. 5. Centers for Diseases Control and Prevention. 2011 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 2011 6. Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. 2005.

Anamnesis dan pemeriksaan klinis

Duh tubuh vagina diperiksa dengan pewarnaan Gram dan sediaan basah

PE R

PMN >30 Ditemukan Clue cells tidak ditemukan diplococcus gram negatif, blastospora, pseudohifa dan Trichomonas vaginalis. obati sebagai Vaginosis bakterial

Kontrol 7 hari

V e n e r e o l o g i  | 292 

Venereologi (Infeksi Menular Seksual)

305

SK I DO H

PE R

KEGAWATDARURATAN DERMATOLOGI

306

Kegawatdaruratan Dermatologi Kegawatdaruratan

D e r m a t o l o g i | 293

H.1. ANGIOEDEMA (T78.3) : Kondisi ditandai edema mendadak pada dermis bagian dalam dan jaringan subkutan atau membran mukosa, disertai nyeri atau rasa terbakar (bukan gatal), menyerang hampir seluruh bagian tubuh dapat terlibat. Lokasi yang sering terkena adalah kelopak mata, bibir, lidah, laring, faring, traktus gastrointestinal, dan genitalia

Definisi

Angioedema disebabkan peningkatan cepat permeabilitas kapiler submukosa atau subkutan dan venula postcapillary disertai ekstravasasi plasma lokalisata. Klasifikasi: 1) Alergik 2) Terkait obat (ACE inhibitor, NSAID, salisilat) 3) C1 inhibitory deficiency (HAE, AAE) 4) Idiopatik 5)Penyebab lain Faktor penyebab angioedema harus selalu dicari, meskipun pada sebagian besar pasien adalah idiopatik.

PE R

DO

Patogenesis dan klasifikasi

SK I

I

Patofisiologi  Angioedema yang diperantarai histamin Histamin yang berlebihan menyebabkan peningkatan aliran darah, permeabilitas endotelial dan edema yang bermanifes sebagai angioedema, urtikaria, dan pada kasus berat: anafilaksis. Pada reaksi yang diperantarai IgE, ikatan alergen menghasilkan cross-linking IgE-sel mast yang menyebabkan degradasi sel mast serta pelepasan histamin dan mediator lain, misalnya triptase.  Angioedema yang diperantarai bradikinin Bradikinin (BK) memainkan peranan fisiologis pada kontrol tonus vaskular. BK terikat pada reseptor pada endotelium vaskular. Reseptor BK1 dapat diinduksi oleh perlukaan jaringan dan reseptor BK-2 kemudian diekspresikan. Ikatan pada reseptor BK-2 diikuti pelepasan substansi P dari serabut saraf yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, dan kebocoran plasma ke dalam ruang interstisial.  Mekanisme lain K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i | 294

Kegawatdaruratan Dermatologi

307



produksi prostaglandin (terutama PGE) oleh K e g a watau a t d aobat r u r aNSAID t a n   D dapat e r m a tmenyebabkan o l o g i  | 294  salisilat angioedema. Penyebab jarang misalnya komponen kompemen vasoaktif, misalnya pada vaskulitis urtikarial hipokomplemen.

: : Edema non-pitting, eritematosa atau sewarna kulit dengan batas tidak tegas. Anamnesis detil untuk menemukan kausa yang mendasari/dicurigai  Gejala yang dirasakan: kesulitan menelan atau bernafas, gejala sistemik, dan kemungkinan faktor yang memicu dan memperparah.  Kecepatan onset  Kaitan dengan ada/tidaknya urtikaria  Tempat angioedema: fasial/perifer/nyeri abdominal  Faktor pencetus o Obat (misal ACE inhibitor, aspirin, NSAID lain) o Paparan pekerjaan (sensitifitas lateks) o Reaksi sengatan serangga o Penyakit hipersensitifitas fisik (urtikaria dingin yang dapat bermanifes sebagai angioedema regional atau generalisata setelah paparan dingin) o Angioedema yang diinduksi oleh exercise, dengan atau tanpa anafilaksis o Sensitifitas yang diperantarai tekanan (pressure-mediated sensitifity) yang dapat menyebabkan angioedema pada telapak kaki setelah berjalan atau berlari, o Hipersensitifitas terhadap makanan.  Riwayat serangan  Usia pertama kali menderita  Respon terhadap terapi (antihistamin/ steroid/ epinefrin)  Riwayat obat  Riwayat keluarga Gambaran lain untuk dugaan angioedema yang jarang: penyakit jaringan konektif atau gejala penyakit limfoproliferatif

PE R

DO

Kriteria diagnostik • Klinis

SK I

 

II

reseptor pada endotelium vaskular. Reseptor BK1 dapat diinduksi oleh perlukaan jaringan dan reseptor BK-2 kemudian diekspresikan. Ikatan pada reseptor BK-2 diikuti pelepasan substansi P dari serabut saraf yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, dan kebocoran plasma ke dalam ruang interstisial. Leukotrien lain yang berlebihan karena inhibisi Mekanisme



Diagnosis banding

: • • • •

Selulitis fasial Penyakit sistemik: overload cairan, sindrom permeabilitas sistemik kapiler Obstruksi venosa (misal edema fasial yang disebabkan oleh sindrom vena cava superior) Dermatitis kontak K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 295 

 

308

Kegawatdaruratan Dermatologi

III

Pemeriksaan penunjang

: Tes laboratorium yang relevan bergantung pada penyebab yang mendasari/dicurigai berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik. • Tes skrining yang terdiri dari hitung darah lengkap, analisis KED, urinalisis, uji fungsi hati. • Bila dicurigai anafilaksis, harus dilakukan pengukuran serial serum triptase sel mast (Triptase mempunyai waktu paruh 4 jam, peningkatan kadar pada 1 dan 4 jam setelah reaksi, dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam, akan mendukung diagnosis anafilaksis). • Tes tusuk atau IgE spesifik antibodi apabila diindikasikan

DO



Serum sickness Obstruksi kelenjar parotid Infeksi (viral, parasit) Myxedema Penyakit inflamatori kronik yang disebabkan autoimun seperti dermatomiositis, keganasan, limfedema, granulomatosis kronik dan atau penyakit infiltratif seperti sarkoidosis, amiloidosis, dan angioedema granulomatosa pada bibir dan area perioral (misal sindrom Melkersson-Rosenthal)

SK I

• • • • •

Penatalaksanaan

: Prinsip: 1. Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Dapat dilakukan bersama-sama dengan / atau dikonsulkan spesialis THT 2. Mencari kemungkinan penyebab urtikaria.

PE R





• •



Eliminasi/hindari faktor penyebab yang dicurigai (misal obat, lateks,makanan, dingin, dll), namun apabila penyebab yang mendasari tidak diketahui, terapi dilakukan berdasarkan gejala. Angioedema disertai obstruksi saluran napas segera dikonsulkan ke Spesialis THT, dengan terlebih dahulu diatasi keadaan darurat di Unit Gawat Darurat Epinefrin atau adrenalin dosis 0,01 ml/ kgBB/ kali subkutan ( maksimal 0,3 ml ) Angioedema pada wajah atau lidah dapat diterapi dengan 60 mg prednison, dan 40 mg diberikan pada hari berikutnya; terapi kemudian dapat dihentikan atau skedul dosis selang sehari. Untuk pasien dengan angioedema berat (melibatkan edema wajah, lidah, dan faring), diphenhydramine efektif diberikan K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 296 

 

Kegawatdaruratan Dermatologi

309



Kepustakaan

: 1. Kanokvalai K, Jiamton S, Boochangkool K, et al. Angioedema: Clinical and etiological aspects. Clin Dev Immunol 2007: 26438. doi: 10.1155/2007/26438 2. Kaplan A. Angioedema. WAO Journal 2008;103:10313. 3. Kaplan A. Chronic urticaria and angioedema. N Engl J Med. 2002; 346: 175–9. Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, Canonica GW, Church MK, et al; Dermatology Section of the European Academy of Allergology and Clinical Immunology; Global Allergy and Asthma European Net- work; European Dermatology Forum; World Allergy Organization. EAACI/GA(2)LEN/EDF/WAO guideline: definition, classification and diagnosis of urticaria. Allergy. 2009;64:1417–1426

PE R

 

DO

SK I

IV

Pada pasien dengan angioedema berulang yang bermanifes sebagai anafilaksis sebaiknya selalu membawa kit epinefrin emergensi.

K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 297   

310

Kegawatdaruratan Dermatologi

Bagan Alur Bagan alur Pasien dengan lesi dan/atau riwayat konsisten  dengan urtikaria kronik dan/atau angioedema 

Apakah pasien  hanya  menderita  angioedema? 

Apakah  lesi urtikaria secara  morfologi sesuai dengan  vaskulitis urtikaria dan  apakah menetap > 24 jam? 

Tidak

Ya

KED Complement assays biopsi

Apakah pasien mempunyai vaskulitis urtikaria?

Ya Tatalaksana vaskulitis

Apakah evaluasi  menemukan kausa  yang mendasari?  

o

Tidak

o o o

Apakah riwayat, pemeriksaan  fisik, dan/atau laboratoris  mengindikasikan penyebab  yang mendasari?  

Tidak

Tatalaksana spesifik Hilangkan faktor yang mungkin memperparah atau menginduksi urtikaria/angioedem Tatalaksana farmakologik spesifik

PE R  



Tatalaksana spesifik

Riwayat lengkap termasuk review sistem  Okupasional  Sengatan, gigitan serangga  Pengobatan  Makanan  Infeksi  Sensitifitas fisik Pemeriksaan fisik Pertimbangkan tes laboratorium dasar: CBC, UA, ESR, LFT Pertimbangkan tes yang sesuai berdasar riwayat, PE, ROS

Ya



Tidak

DO

  

Evaluasi untuk  angioedema 

Ya

Evaluasi untuk vaskulitis: Pertimbangkan

Ya

SK I

Tidak 

Kegawat

Evaluasi yang lebih detil:  Riwayat tambahan  Pemeriksaan fisik tambahan ddan/atau aruratan Dermato  Tes laboratorium tambahan  Pertimbangkan biopsi kulit

l o g i  | 298 

Apakah evaluasi  tambahan akan  menentukan penyebab?  

Ya

Tatalaksana spesifik  Hilangkan faktor yang mungkin memperparah atau menginduksi urtikaria/angioedem  Tatalaksana farmakologik spesifik

Tidak Tatalaksana pasien dengan urtikaria idiopatik dan/atau angioedem

Kegawatdaruratan Dermatologi

311

Gb. Algoritme diagnostik untuk pasien dengan angioedema rekuren Angioedema rekuren tanpa urtikaria 

Tidak 

Ya 

Singkirkan faktor penyebab 

Skrining untuk hereiditary AE (HAE) atau  AE didapat (AAE)

Angioedema  menetap

Disingkirkan HAE  atau AAE

DO

Angioedema  membaik 

SK I

Cari kemungkinan faktor penyebab  (pertimbangkan anafilaksis atipikal dan  obat misal inhibitor ACE)  

Tatalaksana yang  sesuai  

Diagnosis HAE  atau AAE 

Pertimbangkan  dan skrining untuk  penyebab  angioedem jarang  atau angioedem  mimics

Ya 

PE R

Tidak 

Angioedem  histaminergik  idiopatik 

Angioedem non‐ histaminergik  idiopatik 

Angioedema  idiopatik

Terapi dengan  antihistamin

Respon  baik 

Respon  baik 

Terapi dengan   asam traneksamik 

K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 300 

 

312

Tanpa  respon  

Kegawatdaruratan Dermatologi

H.2.NEKROLISIS EPIDERMAL (L51.1-L51.3)

II

Kriteria diagnostik • Klinis

: Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom StevensJohnson (SSJ) dan Epidermal Nekrolisis Toksik (NET), adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis ekstensif. SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa, dan karena kesamaan temuan klinis dan histopatologis, kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang serupa, yang hanya berbeda pada keparahan area permukaan kulit yang terkena. : : • Faktor etiologi terpenting adalah penggunaan obat. Anamnesa riwayat menggunakan obat secara sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, runtutan pemberian obat, pengaruh pajanan matahari) atau kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus). • Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu pemberian obat, apakah timbul segera, beberapa saat atau jam atau hari. • Beberapa faktor pencetus lain adalah infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus, imunisasi), dan telah dilaporkan kejadian nekrolisis epidermal setelah transplantasi sumsum tulang belakang. • Kelainan kulit antara lain: eritema, vesikel, papul, erosi, ekskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura. Menurut total area lepasnya epidermis, dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: SSJ (<10%), tumpang tindih SSJ/ NET (10-30%), dan NET (>30% area tubuh). • Kelainan mukosa (hampir selalu, setidaknya pada dua situs): dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata seperti konjungtivitis kataralis, purulenta, atau dapat menjadi ulkus. Kelainan mukosa oral seperti erosi hemoragis nyeri yang tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital seperti erosi, dapat menyebabkan sinekia (perlekatan). • Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan kelemahan, keterlibatan organ dalam seperti komplikasi pulmonar yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan nafas dan batuk, komplikasi digestif seperti diare profus, malabsorbsi, melena, perforasi kolon.

SK I

Definisi

PE R

DO

I



Diagnosis banding

: 1. Eritema multiforme minor (EEM) 2. Varisela 3. Pustulosis Exanthematus Generalisata Akuta K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 301

Kegawatdaruratan Dermatologi

313

4. Generalized Bullous Fixed Drug Eruption 5. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome 6. Purpura fulminans

Penatalaksanaan

: 1. Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologik: perhatikan letak lepuh: degenerasi hidropik di lapisan basal celah di subepidermal, infiltrat mononuklear di sekitar pembuluh darah. 2. Periksa keseimbangan cairan dan elektrolit (K+, Na+, CL-) Diagnosis kausatif dilakukan setelah sembuh minimal 6 pekan setelah lesi kulit hilang dengan: A Uji kulit: Uji tempel tertutup, Uji tusuk bila uji tempel negatif B Uji provokasi peroral bila uji tusuk negatif : Medikamentosa: Prinsip: • Hentikan obat • Atasi keadaan umum, terutama pada yang berat untuk life saving. Terapi cairan dan elektrolit bila diperlukan. • Berikan obat antialergi yang paling aman dan sesuai (contoh: kortikosteroid, siklosporin A). • Penatalaksanaan sesuai SCORTEN (paling baik dilakukan pada hari ke-3).

DO

III

Pemeriksaan penunjang

SK I



PE R

1. Topikal: - Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi (ikuti prinsip dermatoterapi) - Pada mata sesuai anjuran konsultan Dokter Spesialis Mata. - Lesi di mulut dan bibir: steroid dalam vaselin atau boraks-gliserin. 2. Sistemik: - Hentikan obat yang dicurigai. - Atasi keadaan umum terutama kondisi vital: berikan infus sesuai kondisi - Deksametason intravena 0,15-0,2 mg/kgBB/hari dapat sampai 4-6 x 5 mg/hari, setelah masa kritis diatasi (2-3 hari) dosis segera diturunan cepat (5 mg/hari), setelah dosis rendah, bisa diganti peroral (prednison 2x20 mg/hari) - Antibiotik (yang jarang menyebabkan alergi), spektrum luas, tidak nefrotoksik, dan bersifat bakterisidal: gentamisin 2x80 mg atau klindamisin 2 x 600 mg intravena. - Diet rendah garam dan tinggi protein - Bila kalium turun, berikan KCl 3 x 500 mg/hari K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 302 

 

314

Kegawatdaruratan Dermatologi

Komplikasi

Kepustakaan

 Sepsis  Kegagalan organ dalam  Kematian

: 1. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Steven-

Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke 8. New York: McGraw-Hill 2012; 439448 2. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Steven-Johnson syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2010; 5:39 3. Magana BRD, Langner AL, et al. A systematic review of treatment of drug-induced Steven-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in children. J Popul Ther Clin Pharmacol. 2011; 18(1): e121-e133.

PE R

IV

DO

SK I

- Bila ada ketidakseimbangan cairan, berikan infus larutan Darrow dan glukosa 5% atau sesuai anjuran Dokter Spesialis Penyakit Dalam. - Bila ada pneumonia atau bronkopneumonia terapi antibiotik sesuai anjuran Dokter Spesialis Paru. Nonmedikamentosa : • Penjelasan mengenai kondisi pasien dan diminta menghentikan obat tersangka penyebab. • Bila pasien sembuh: berikan kartu alergi, yang berisi daftar obat yang diduga menyebabkan alergi, kartu tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas kesehatan setiapkali berobat. • Pasien diberi daftar jenis obat yang harus dihindari (obat dengan rumus kimia yang sama). Tindak lanjut:  Pasien rawat inap: kontrol setiap hari, pantau : keadaan umum, kelainan kulit, orifisium, dan mata.  Setelah rawat inap, kontrol setiap pekan: perhatikan kemajuan penyakit dan penurunan dosis obat, sampai obat dihentikan.  Kartu alergi selalu dibawa.

K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 303 

 

Kegawatdaruratan Dermatologi

315

V

Bagan Alur

Gejala prodromal nonspesifik: 1-14 hari (demam, malaise, sakit kepala, rhinitis, batuk, nyeri menelan, nyeri dada, munth, diare, mialgia, dan atralgia

SK I

Riwayat menggunakan obat secara sistemik atau kontak pada kulit terbuka

Kelainan kulit: Eritema, vesikel, papul, erosi, ekskoriasi, krusta kehitaman, purpura. Epidermolisis: Tzanck test (+) (terutama TEN)

Kelainan mukosa: Mata, orifisium mulut, anogenital

Pemeriksaan laboratorium: darah, elektrolit, albumin, fungsi liver

Body surface area (BSA)

< 10 %

SSJ

10 – 30 %

> 30 %

SSJ/TEN

TEN

0 atau 1

DO

SCORTEN SCORE

Ruang perawatan non-intensif

Terapi aktif: - Kortikosteroid sistemik (IV/oral) - Intravenous Immunoglobulin (IVIG) - Keseimbangan hemodinamik, protein, & elektrolit  periksa kadar elektrolit serum - Antibiotik (yang jarang menyebabkan alergi)

PE R

Identifikasi & eliminasi agen penyebab: - Menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab - Mengontrol infeksi

SCORTEN: Sistem scoring prognostik pada pasien epidermal nekrolisis Faktor-faktor Angka Prognostic Usia > 40 tahun 1 Denyut jantung >120 x/menit 1 Keganasan (+ kanker darah) 1 Luas permukaan tubuh terkena >10 1 Kadar ureum serum >10 mM 1 Kadar bikarbonat serum <20 mM 1 Kadar glukosa serum >14 mM 1

SCORTEN 0-1 2 3 4 5

Ruang perawatan intensif

Langkah-langkah suportif: Kulit: - Erosi ditutup dengan kasa dan hydrocolloid dressing Mata: - Lubrikan - Steroid dan antibiotik tetes mata - Melepaskan adhesive lidglobe secara perlahan Saluran pernapasan: - Postural drainage Saluran pencernaan: - tinggi kalori, tinggi protein - IVFD

Angka Mortalitas (%) 3,2 12,1 35,8 58,3 90

K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 304 

 

316

>1

Kegawatdaruratan Dermatologi

H.3.SINDROM DRESS (Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms) (T88.7) : Sindrom DRESS merupakan kumpulan gejala dan tanda reaksi obat idiosinkratik berat pada pemberian obat dalam dosis terapi, yang secara khas ditandai oleh: 1) Demam 2) Erupsi kulit 3) Abnormalitas hematologi (eosinofilia > 1500/µL, atau kelainan hematologi lain misal lekositosis, limfositosis, atau limfosit atipik 4) Keterlibatan sistemik (limfadenopati > 2cm, hepatitis sitolitik dengan AST > 2x normal, nefritis intersitial, pneumonia interstitial, atau miokarditis)

Definisi

SK I

I

II

DO

Sindrom ini terjadi secara akut dalam 2-8 pekan pemakaian obat penyebab. Obat yang pernah dilaporkan sebagai penyebab adalah: anti-konvulsan (karbamazapin, fenobarbital, fenitoin, primidon, lamotrigin, asam valproat, etoksuksimid), antiretroviral (indinavir, nevirapin), alopurinol, siklosporin, kaptopril, diltiazem, preparat emas, meksiletin, sorbinil, terbinafin, zalcitabin, minisiklin, nitrofurantoin, golongan sulfon dan sulfonamid.

Kriteria diagnostik

:



: • •

Klinis



PE R

• •



Diagnosis banding

Keadaan umum buruk Demam dapat terjadi 2-3 hari sebelum atau bersamaan dengan munculnya erupsi kulit. Demam berkisar antara 38-39ºC, sering disertai mialgia, arthralgia, faringitis, dan limfadenopati. Erupsi kulit bervariasi dapat berupa erupsi obat makulopapular, vesikobulosa, eritroderma, maupun dermatitis eksfoliatifa. Sering dijumpai edema pada wajah. Keterlibatan mukosa jarang terjadi, biasanya berupa stomatitis atau faringitis ringan.

: 1. Sindrom Stevens-Johnson 2. Dermatitis eksfoliatifa

K e g a w a t d a r u r a t a n D e r m a t o l o g i | 305

Kegawatdaruratan Dermatologi

317

Pemeriksaan penunjang

: • • •



Penatalaksanaan

: Nonmedikamentosa : • Menghentikan segera obat yang dicurigai sebagai penyebab.

DO

III

Pemeriksaan darah dan urin rutin; SGOT, SGPT, eosinofil darah tepi. Pemeriksaan HbSAg, antibodi anti virus HepatitisA serta anti Hepatitis-C untuk menyingkirkan infeksi virus sebagai penyebab hepatitis. Pemeriksaan serum AFP dan CEA yang dikonfirmasi pemeriksaan USG abdomen untuk menyingkirkan hepatitis akibat keganasan primer atau metastatik. Tes tempel untuk penegakan diagnosis kausatif obat penyebab, sebaiknya dilakukan dalam waktu 6 pekan - 6 bulan sesudah pasien sembuh, atau satu bulan bebas glukokortikoid sistemik kerja lama atau obat imunosupresif lain, atau satu pekan bebas glukokortikoid kerja singkat, atau dua pekan bebas steroid topikal pada tempat yang akan diperiksa.

SK I





Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga mengenai penyakit, terapi, serta prognosis.

Medikamentosa: Prinsip: • Mengatasi keadaan umum yang buruk • Penatalaksanaan multidisiplin • Balans cairan dan elektrolit

PE R

Terapi sistemik:  Prednison 0,5 – 2 mg/kgBB selama 1-8 pekan dan diturunkan berkala selama 6-8 pekan atau steroid sistemik setara prednison 1-2 mg/kgBB  Bila keadaan klinis berat, steroid sistemik dapat diberikan dalam dosis denyut yang besar kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (1,5gr MP i.v. selama 3 hari dilanjutkan dengan 30 mg/hari sampai kondisi pasien membaik)  Pada pemberian prednison > 40 mg/hari sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis mencegah infeksi sekunder.  Bila demam dapat diberikan antipiretik, namun harus hati-hati tentang kemungkinan obat penyebab.

Komplikasi

• •

Dehidrasi Sepsis K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 306 

 

318

Kegawatdaruratan Dermatologi

Kepustakaan

:

1. Nam YH, Park MR, Nam HJ, et al. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms syndrome is not uncommon and shows better clinical outcome than generally recognised. Allergol Immunopathol (Madr). 2014 doi: 10.1016/j.aller.2013.08.003. [Epub ahead of print] 2. Criado PR, Avancini J, Santi CG, et al. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS): A complex interaction of drugs, viruses and the immune system. Isr Med Assoc J. 2012; 14: 577-82. 3. Sullivan JR, Shear NH. The drug hypersensitivity syndrome: What is the pathogenesis? Arch Dermatol 2001; 137: 357-64. 4. Brockow K, Romano A, Bianca M, et al. General considerations for skin test procedures in the diagnosis of druh hypersensitivity. Allergy 2002; 57: 45-51.

SK I

IV

PE R

DO

 

K e g a w a t d a r u r a t a n   D e r m a t o l o g i  | 307   

Kegawatdaruratan Dermatologi

319

SK I DO PE R

TINDAKAN BEDAH LAMPIRAN

320

Lampiran

Lampiran 1 UJI TEMPEL

SK I

Batasan Uji tempel adalah suatu uji kulit yang dilakukan secara in vivo guna memastikan penyebab/ alergen yang diduga menjadi penyebab dermatitis kontak alergika (DKA). Mekanisme terjadinya DKA diperantarai oleh hipersensitivitas tipe lambat (delayed hypersensitivity) terhadap bahan kimia atau bahan lain yang berkontak langsung dengan kulit, misalnya yang dioleskan ke kulit, atau yang terpapar pada kulit pasien, di rumah atau di tempat kerja. Uji tempel dengan Finn chamber merupakan uji tempel yang paling sering digunakan. Selama dilakukan uji tempel, penderita ditempeli alergen yang diduga sebagai penyebab dalam konsentrasi tertentu, dan dilakukan sesuai prosedur baku. Pengambilan keputusan alergen penyebab didasarkan atas analisis hasil pembacaan dan interpretasi hasil Patofisiologi respons kulit pada DKA DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang terdiri dari 2 fase yaitu fase sensitisasi dan elisitasi.

PE R

DO

Fase Sensitisasi Alergen pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah, larut lemak dan memiliki reaktivitas tinggi. Pada saat kontak pertama alergen dengan kulit akan dikenal dan direspons oleh limfosit yang disebut sebagai fase sensitisasi dimana pada fase ini hapten yang merupakan alergen yang belum diproses, bila dipaparkan pada stratum korneum, berpenetrasi ke lapisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh sel Langerhans melalui proses pinositosis. Di dalam sel setelah hapten dicerna oleh enzim sitosolik menjadi antigen lengkap dan diekspresikan pada permukaan sel Langerhans. Sel Langerhans berada dalam bentuk imatur dan dapat berfungsi sebagai makrofag yang memiliki kemampuan terbatas untuk menstimulasi limfosit T. Pada saat kulit terpapar alergen, keratinosit mensekresi sitokin yang menyebabkan sel Langerhans matur dan menjadi aktif dan dapat menstimulasi limfosit T. Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang mengekspresikan molekul CD4. Pengenalan antigen yang telah diproses dalam sel Langerhans oleh limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T – CD3. Selain itu antigen tersebut dapat pula dipresentasikan oleh MHC klas 1 yang akan dikenali oleh CD8. Limfosit T yang telah tersensitisasi bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar getah bening regional untuk berdiferensiasi dan berploriferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Kemudian sel-sel tersebut masuk kedalam sirkulasi. Sebagian kembali ke kulit dan sistem limfoid, tersebar di seluruh tubuh dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.

Fase elisitasi Pada fase elisitasi terjadi kontak ulang dengan hapten yang sama atau serupa. Hapten ditangkap dan dipresentasikan pada permukaan sel Langerhans yang mengeluarkan IL-1 yang menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan IL-2 dan mengekspresikan IL-2 reseptor (IL-2 R). Hal ini menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T teraktivasi mensekresi IFNγ yang mengaktifkan keratinosit yang mengekspresikan ICAM 1 dan HLA-DR.

Lampiran

321 271

SK I

HLA-DR pada keratinosit berinteraksi dengan limfosit T CD4, melalui molekul ICAM 1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat menyebabkan keratinosit menjadi target limfosit Tc. Keratinosit aktif juga memproduksi beberapa sitokin seperti IL-1, IL-6 dan GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan limfosit T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid, dimana kombinasi eicosanoid dan sitokin akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Histamin yang berasal dari sel mast dan histamine dan eicosanoid yang berasal dari sel mast dan keratinosit serta infiltrasi lekosit menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas terhadap berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Kaskade ini merupakan respon kulit pada DKA yang meliputi inflamasi, destruksi seluler dan proses perbaikan.

PE R

DO

Ekstrak alergen Ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel standar terdiri dari 24 jenis. yaitu : 1. Nickel 2. Wool alcohols 3. Neomycin sulfate 4. Potassium dichromate 5. Cain mix 6. Fragrance mix 7. Colophony 8. Epoxy resin 9. Quinoline mix 10. Balsam of Peru 11. Ethylenediamine dihydrochloride 12. Cobalt chloride 13. p-tert-Butylphenolformaldehyde 14. Paraben mix 15. Carba mix 16. Black rubber mix 17. Kathon CG 18. Quaternium-³ 19. Mercaptobenzothiazole 20. p-Phenylenediamine 21. Formaldehyde 22. Mercapto mix 23. Thiomersal 24. Thiuram mix Ekstrak alergen dari bahan yang dicurigai harus memenuhi persyaratan tertentu: 1. kapasitas penetrasi intrinsik, termasuk tidak toksik 2. konsentrasi 3. vehikulum 4. oklusivitas uji tempel 5. waktu paparan.

Ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel pelengkap, bergantung pada hasil uji tempel standar dan uji tempel dengan ekstrak alergen dari bahan yang dicurigai. Contoh ekstrak alergen yang digunakan dalam uji tempel pelengkap bila hasil uji tempel standar Fragrance mix hasilnya positif, antara lain: 1. amylcinnamaldehyde 2. cinnamaldehyde 3. cinnamil alcohol

272

322

Lampiran

4. 5. 6. 7. 8.

eugenol geraniol hydroxycitronellal isoeugenol oak moss absolute

SK I

Indikasi Uji Tempel 1. DKA yang sudah tenang. 2. Dermatitis kontak iritan (DKI) dengan diagnosis banding DKA 3. Dermatitis kronis dengan penyebab belum diketahui

Indikasi Kontra Uji Tempel 1. Dermatitis yang diderita masih dalam fase akut 2. Menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi reaksi kulit, misalnya steroid, anti histamin dan imunomodulator.

DO

Efek Samping Uji Tempel 1. sensitisasi 2. reaksi iritan 3. kambuhnya dermatitis yang diderita sebelumnya 4. fenomena Köbner 5. reaksi positif yang resisten 6. reaksi anafilaksis 7. lesi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pada lokasi dengan reaksi positif 8. reaksi pustular 9. efek karena tekanan 10. infeksi bakteri dan virus 11. nekrosis, terbentuknya skar dan keloid

PE R

Persiapan: 1. Lesi kulit dalam keadaan tenang 2. Tidak mengkonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik (prednison > 10 mg/hari), minimal 3 hari sebelum tes atau sesuai dengan waktu paruh obat.l 3. Untuk alergen nonstandar perlu pengenceran 1/1.000, 1/100, 1/10 Alat dan Bahan untuk Uji Tempel Alerger standar dan nonstandar, alumunium (Finn) chamber dengan plester scanpor.

Metode uji tempel Uji tempel dapat dilakukan dengan menggunakan alumunium (Finn chamber) dengan plester scanpor. Uji tempel dengan Finn chamber menggunakan sejumlah ekstrak alergen dalam petrolatum yang kemudian diletakkan dalam disc. Prosedur Uji Tempel  Bahan alergen yang akan diujikan diisikan pada unit uji tempel dan diberi tanda.  Uji tempel dapat dilaksanakan dengan posisi pasien duduk atau telungkup  Dilakukan pembersihan pada kulit punggung bagian atas dengan kapas alkohol.  Jika hanya satu atau dua jenis yang digunakan, bahan dapat dioles pada daerah lengan atas bagian luar.  Unit uji tempel ditempelkan di punggung dan diberi perekat tambahan berupa plester hipoalergenik

Lampiran

273

323

   

Pasien diijinkan pulang dengan pesan agar lokasi uji tidak basah kena air. Selama dilakukan uji kulit pasien diberitahu untuk tidak mandi, tidak melakukan aktivitas yang menimbulkan keringat berlebihan. Pada deretan bahan yang dibawa pasien (di luar standar), apabila terasa sangat perih/nyeri (reaksi iritan) dapat dibuka sendiri Pembacaan dilakukan pada jam ke 48, 72 dan 96 ( atau dilepas lebih awal jika timbul keluhan sangat gatal atau rasa terbakar pada lokasi uji tempel ). Hasil tes tempel yang positif bermakna dinilai relevansinya dengan anamnesis dan gambaran klinis. Hasil relevansi positif dianggap sebagai penyebab. (pembacaan dilakukan 15 menit setelah plester di lepaskan) Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna

SK I



DO

Pembacaan dan Interpretasi Hasil Uji Tempel Setelah tes tempel dilepas, dilakukan penilaian (sistim grading NACDG) sebagai berikut : ? ............... meragukan, hanya makula eritematous + ............... lemah, eritema, infiltrasi, papul ++ ............... kuat, eritema, infiltrasi, papul,vesikel +++ ............... sangat kuat, reaksi dengan bula – ............... reaksi negatif IR ............... reaksi iritan NT ............... not tested

Respon kulit harus diinterprestasikan sesuai dengan informasi sebelumnya dari riwayat dan pemeriksaan klinis. Tidak jarang reaksi positif disebabkan oleh karena iritasi atau sensitisasi yang tidak berhubungan dengan dermatitis sebelumnya. Jika ditemukan relevansi dari reaksi positif, maka seharusnya dihindari bahan-bahan sebagai penyebab. Bila hasil uji tempel meragukan, dapat dilakukan: 1. Diulang uji tempel dengan bahan tersebut pada penderita dengan serial dilusi 2. Dilakukan uji tempel dengan bahan tersebut pada subyek kontrol 3. Dilakukan pemeriksaan lanjutanpada penderita dengan menggunakan Repeated Open Application Test (ROAT)

PE R

Reaksi positif palsu Beberapa keadaan yang memberikan reaksi positif palsu antara lain : 1. Angry back (excited skin syndrome) 2. Konsentrasi bahan terlalu tinggi 3. Terlalu cepat dilakukan evaluasi 4. Dermatitis karena plester Reaksi negatif palsu Reaksi negatif palsu dapat timbul pada keadaan : 1. Konsentrasi bahan untuk dilakukan tes terlalu rendah 2. Terlalu cepat melepaskan tes tempel dan melakukan interprestasi. 3. Vehikulum yang tidak sesuai 4. Kondisi yang memudahkan timbulnya dermatitis (keringat, gesekan, tekanan, ulserasi) 5. Penggunan kortikosteroid. 6. Fotoalergi Faktor yang mempengaruhi hasil uji tempel 1. Lokasi Punggung lebih reaktif dibandingkan dengan lengan.

274

324

Lampiran

SK I

2. Obat-obatan Beberapa obat-obatan akan menurunkan reaksi dari uji tempel seperti antihistamin, kortikosteroid, antidepresan trisiklik, dopamine dan clonidin. 3. Usia Reaktivitas menurun saat bayi tapi kemudian meningkat pada usia anak-anak dan semakin meningkat pada usia yang lebih tua. 4. Ritme harian dan variasi musim Pada orang yang sensitif terhadap serbuk sari bunga, reaktifitas meningkat pada musim bunga dan setelahnya tetapi reaktifitas menurun diluar musim bunga. 5. Kondisi patologi kulit Beberapa kelainan kulit seperti contohnya eksim dapat merubah reaksi dari uji tempel sehingga dibutuhkan untuk menginterprestasi hasil dengan seksama. 6. Imunoterapi Imunoterapi dapat menghambat reaksi kulit terhadap alergen yang spesifik.

Algoritme

DO

Eksema berulang setelah kontak dengan bahan tertentu

Mengenali patofisiologi DKA dan mencatat gejala dan tanda klinis DKA. Status generalis

Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik Singkirkan DD

Status Dermatologikus: Lokalisasi: Morfologi kulit:

Menyingkirkan DD

PE R

Menetapkan diagnosis DKA dan dugaan alergen penyebab

Menetapkan alergen standar, ekstrak alergen yang diduga dan alergen pelengkap yang akan diuji

Faktor yang mempengaruhi

Indikasi dan kontra indikasi

Melakukan uji tempel sesuai prosedur baku

Evaluasi dan pembacaan hasil uji tempel, serta menganalisis dan menginterpretasikan hasil uji tempel

Lampiran

275

325

Kepustakaan

PE R

DO

SK I

1. Arshad SH. 2002. Skin Test. In: Allergy an Illustrated Colour Text. Southampton; Churchill livingstone. p. 28-9. 2. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. In Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 6th ed. New York: Mc Graw Hill, 2003.p.1164-77. 3. Devos SA, Pieter VDV. Epicutaneous Patch Testing. In: Devos SA, eds. The Importance and Relevance of Epicutaneous Patch Testing. Eur J Dermatol. 2002; 12 (5): 506-13. 4. Fowler JF. How to Patch Test. 1992. In: Larsen WG, Adams RM, Maibach HI, eds. Color Text of Contact Dermatitis. Philadelphia: W.B Saunders Company..p. 8-18. 5. Lachapelle JM, Maibach HI. 2003. Patch Testing. In: Patch Testing and Prick Testing, A Practical Guide. Berlin: Springer.p.7-69. 6. Lachapelle JM, Maibach HI. 2003. The standart and additional series of the patch test. In: Patch Testing and Prick Testing, A Practical Guide. Berlin: Springer..p. 70-94.

326 276

Lampiran

Lampiran 2 UJI INTRADERMAL Definisi

:

Salah satu dari uji kulit yang dilakukan untuk mengkonfirmasi reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE. 1,2 Uji intradermal memiliki sensitivitas yang lebih baik dari pada tes perkutan lainnya1,2 namun spesifisitasnya rendah.1

Indikasi

:

Uji intradermal hanya dilakukan bila hasil prick test dengan obat yang dicurigai memiliki hasil negatif dalam 20 menit.3

SK I

I

Bila sebelumnya pasien memiliki riwayat Erythema multiforme, Steven Johnson Syndrome, Toxic Epidermal :

Prosedur

: 1. Pengenceran bahan dilakukan tidak melebihi 2 jam sebelum uji kulit intradermal dilakukan 2. Pasien berada dalam pengawasan dokter di rumah sakit dalam 6 jam setelah uji intradermal dilakukan. 3. Bila hasil uji intradermal negatif maka glukosa intravena diberikan dalam 2 jam setelah uji intradermal dilakukan. Bila hasil uji intradermal positif maka glukosa diberikan dalam 6 jam setelah uji intradermal dilakukan 4. Selama pasien dalam pengawasan dokter di rumah sakit, dilakukan monitoring tanda-tanda vital 5. Cara pengenceran obat: Solusio steril dari obat yang dicurigai diencerkan menggunakan phenolated saline (0,5% fenol dalam 0,9% larutan normal salin) atau dalam 0,9% larutan normal salin sehingga diperoleh konsentrasi obat 10-4 ,10-3,10 -2, dan 10 -1 6. Prosedur penyuntikan: Phenolated saline atau normal salin digunakan sebagai kontrol negatif. Uji Intradermal dimulai dengan penyuntikan larutan obat dengan konsentrasi terkecil yaitu 10-4. Sejumlah 0,04ml larutan disuntikkan pada permukaan ekstensor sampai terbentuk papula dengan diameter 4-6mm. Bila dalam 30 menit pengamatan hasilnya negatif maka dilanjutkan dengan penyuntikan larutan obat konsentrasi 10 -3 kemudian dilakukan pengamatan dalam 30 menit bila hasil negatif maka dilanjutkan dengan penyuntikan larutan 10-2 dan seterusnya sampai dengan larutan obat murni. Namun bila hasil uji intradermal positif maka uji intradermal dinyatakan selesai pada konsentrasi tersebut. 7. Pembacaan hasil: pada menit ke 30, jam ke 6 dan jam ke 24 setelah uji intradermal dilakukan. Bila terdapat reaksi yang positif, maka diameter urtikaria diukur. Bila hasil uji intradermal negatif, maka dilakukan evaluasi ulang terhadap pasien dalam waktu 7 hari setelah tes dilakukan

PE R

DO

II

Necrolysis dan Vasculitis leucocytoclastic (histopatologi)3

Kontraindikasi

Lampiran

277

327

untuk melihat apakah hasil tetap negatif atau menjadi positif. Bila diperlukan bisa dilakukan evaluasi ulang setelah hari ke 7 uji intradermal. Intepretasi Hasil

Uji intradermal disebut positif bila dalam 30 menit setelah penyuntikan bahan obat terjadi urtikaria dengan diameter lebih dari 10mm.

: 1. Li,JT. Allergy testing. 2002. [cited 2014 May,21]. Available from

URL: www.aafp.org/afp 2. Schwindt C, Hutcheson PS, Leu SY, Dykewicz MS. Role of intradermal skin test in the evaluation of clinically relevant respiratory allergy assesed using patient history and nasal challenges. Ann Allergy Asthma Immunol 2005; 94: 627-33. 3. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A. Guidelines for performing skin test with drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Cont Derm. 2001; 45:321-328.

PE R

DO

IV Kepustakaan

:

SK I

III

328

278

Lampiran

Lampiran 3 UJI PROVOKASI OBAT ( UPO )

DO

SK I

PENDAHULUAN 1) Uji Provokasi Obat ( UPO ) / Oral Challenge adalah metode pemberian obat terkontrol untuk menegakkan diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap obat pada pasien dengan riwayat dugaan alergi obat.1 2) Prosedur diagnostik untuk penegakan diagnosis alergi dikelompokkan berdasar riwayat pasien, uji kulit in vivo, tes laboratorium in vitro dan uji provokasi.5 3) Uji kulit akan memberikan bukti adanya sensitisasi terhadap obat spesifik tetapi harus selalu diinterpretasikan dalam konteks klinis yang sesuai.6 4) Hasil uji kulit negatif tidak dapat menyingkirkan kemungkinan obat sebagai penyebab dalam ADR7,8,9 . 5) Riwayat penyakit tidak selalu dapat diandalkan, terutama bila didapatkan riwayat penggunaan obat multipel.5 6) Uji Provokasi Oral (UPO) sangat direkomendasikan untuk dilakukan terutama pada kasus dengan hasil uji kulit negatif atau meragukan untuk mengkonfirmasi korelasi antara obat dan reaksi.6,7,8,9

PE R

PRINSIP-PRINSIP UPO 1. UPO, meskipun memiliki beberapa keterbatasan, secara luas dipertimbangkan sebagai baku emas untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis hipersensitivitas dan membuktikan ada tidaknya relevansi klinis.6 2. UPO dilakukan dalam pengawasan medis baik terhadap obat alternatif, obat-obat yang memiliki hubungan struktur farmakologis, maupun terhadap obat yang dicurigai sebagai penyebab reaksi hipersensitifitas.1,6,10 3. Dari sejumlah penelitian disimpulkan UPO berperan penting dalam penegakan diagnosis etiologis pada reaksi hipersensitivitas obat tipe I dan tipe IV, terutama terhadap golongan betalaktam.1,10,11,13 4. Jenis reaksi pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat, diantaranya adalah reaksi non-immunologi, reaksi immediate, dan reaksi nonimmediate.9 5. Manifestasi klinis reaksi immediate yang diperantarai IgE terdiri dari generalized urtikaria, rhinitis, angioedema, syok anafilaksis, dan asma brokhial. Pendekatan pertama untuk diagnosis reaksi ini adalah berdasar riwayat reaksi obat yang menekankan gejala yang harus muncul dalam 1 jam setelah konsumsi obat.5,9,11 6. Manifestasi klinis reaksi nonimmediate yang diperantarai sel T terdiri dari eksantem makulopapular, fixed drug eruption, SJS, AGEP, TEN, vasculitis, lupus like syndrome, DRESS. Reaksinya biasanya terjadi lebih dari 1 jam setelah konsumsi obat. Identifikasi reaksi nonimmediate ini terkadang sulit dilakukan karena heterogenisitas mekanisme reaksi dan dapat ditemukannya secara bersama-sama dengan infeksi virus yang mencetuskan reaksi.1,5,11 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI Penilaian resiko dan kemanfaatan masing-masing individu harus dilakukan sebelum UPO. Prinsip kehati-hatian dan pengawasan harus dilakukan pada semua kasus. Indikasi UPO, terbagi dalam 4 kelompok yang saling tumpang tindih : 1) Untuk menegakkan diagnosis hipersensitifitas obat dengan riwayat positif dengan allergologic test negative, tidak dapat disimpulkan, atau tidak tersedia;

Lampiran

329 279

DO

SK I

2) Untuk menyingkirkan kemungkinan hipersensitivitas pada reaksi hipersensitivitas dengan riwayat yang kurang mendukung atau dengan gejala tidak khas, misalnya gejala vagal pada pemberian anestesi lokal; 3) Untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi silang terhadap obat yang memiliki hubungan dengan obat yang terbukti menyebabkan reaksi; 4) Untuk menilai toleransi obat-obat yang secara farmakologis aman atau obat-obat yang secara struktural tidak berkaitan dengan reaksi hipersitifitas yang telah ditegakkan.1,7,9 UPO juga dapat dilakukan untuk membantu individu yang sangat cemas, yang menolak semua obat tanpa bukti toleransi obat. UPO terutama dilakukan pada obat yang sangat vital bagi pasien dan tidak dapat digantikan dengan obat yang lain.1 Kontraindikasi UPO : 1. Wanita hamil merupakan kotraindikasi relatif UPO, dengan pengecualian pada obat yang sangat dibutuhkan selama kehamilan atau pada saat persalinan.6,1 2. UPO juga tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan faktor komorbiditas seperti alergi dan infeksi akut, asma yang tidak terkontrol, gangguan ginjal, hepar, dan ginjal. 3. Reaksi obat jenis yang berat dan mengancam kehidupan merupakan kontraindikasi mutlak untuk UPO, termasuk diantaranya adalah Generalized Bullous Fixed Drug Eruption; Acute Generalized Exanthematous Pustulosis; Toxic Epidermal Necrolysis; Steven Johnson Syndrom; DRESS; Systemic Vasculitis; Systemic Organ Manifestations ( blood citopenia,hepatitis, nephritis, pneumonitis ); Severed Anaphylaxis; Drug Induced Autoimmune Disease.4,9

PE R

PERSIAPAN UPO : 1. Tes dilakukan minimal 4 – 6 minggu setelah lesi kulit menyembuh.10 2. Pertimbangan etika mensyaratkan bahwa obat harus penting bagi pasien dan tidak ada metode lain yang lebih aman atau hasil dari prosedur lainnya tidak dapat disimpulkan. Obat-obat yang kegunaannya dimasa datang bagi pasien sangat terbatas semestinya tidak memerlukan UPO. 3. Informed consent harus disampaikan pada pasien sebelum prosedur tes dilakukan.1 4. Protokol untuk masing-masing individu harus disiapkan dan prosedur tes harus diawasi ahli dibidangnya.9 5. Selama prosedur UPO obat-obatan selain yang diteskan tidak diperbolehkan dikonsumsi. 6. Beberapa jenis obat yang dikhawatirkan mempengaruhi atau mengganggu hasil tes memerlukan periode washout termasuk diantaranya antihistamin, antidepresan, glukokortikoid, beta-bloker, dan ACE-inhibitor (lampiran 1).1 7. Pencatatan secara detail dilakukan pada setiap tahap UPO: 1) tahap awal termasuk data pasien secara lengkap, riwayat medis, dan riwayat terapi obat sebelum UPO; 2) tahap paparan dosis obat, hasil pemeriksaan fisik awal dan selama prosedur terutama yang relevan dengan riwayat reaksi sebelumnya hingga deskripsi efek samping.1 PROSEDUR PELAKSANAAN UPO : Salah satu guideline UPO yang sering dijadikan acuan adalah protokol dari European Network for Drug Allergy ( ENDA) 2003.9 Protokol UPO yang lain berasal dari berbagai penelitian kohort dalam skala kecil terhadap beberapa jenis obat, diantaranya aspirin, cyclooxigenase-2 inhibitor, beta-laktams.10,12-19 A. Protokol European Network for Drug Allergy ( ENDA):

330 280

Lampiran

SK I

1) Pasien dengan riwayat reaksi obat berat dirawatinapkan, sedangkan prosedur pada pasien dengan riwayat delayed type reaction atau pada pasien dengan reaksi yang tidak membahayakan dapat dilakukan dengan rawat jalan.1 2) Pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan pada pasien dengan riwayat bronkhospasme. 3) Pemasangan kateter intravena selama prosedur UPO harus dilakukan pada pasien dengan riwayat syok anafilaksis sebelumnya. 4) Pemantauan tekanan 5) Obat-obat kegawatan seperti kortikosteroid, antihistamin, adrenalin, teofilin, dan inhalan beta-mimetik harus sudah disiapkan pada saat prosedur UPO . 6) Ketersediaan fasilitas resusitasi untuk kegawatan, termasuk diantaranya prosedur intubasi, disarankan tergantung pada berat ringannya reaksi obat sebelumnya, dan jenis obat yang diujikan. 1,10

DO

B. Protokol Lammintausta et al, (2005), sebagai modifikasi protokol UPO dari ENDA: 1) UPO terbukti aman dilakukan dengan rawat jalan setelah pasien dengan riwayat reaksi yang berat disingkirkan terlebih dahulu.12 2) Pengawasan ketat di rumah sakit hanya pada hari pertama UPO dengan pemantauan pada reaksi kulit, tekanan darah, denyut jantung, dan suhu tubuh. 3) Pasien diijinkan untuk pulang ke rumah 3 hingga 4 jam setelah dosis terapi obat tercapai dan bisa dilanjutkan dengan dosis harian regular selama 3-7 hari di rumah. Jika reaksi tidak muncul pasien diminta menghubungi dan reaksi jika dirasakan muncul diminta segera menghubungi, menghentikan obat, dan segera memeriksakan diri kembali.12,14 C. Blanca-Lopez et al, dalam uji provokasi obat terhadap golongan aminopenicilin dengan riwayat reaksi nonimmediate, menetapkan setelah dosis terapi harian tercapai dilakukan pengawasan selama 6 jam di rumahsakit. Pasien selanjutnya dapat melakukan UPO di rumah dengan dosis harian selama 5 hari dengan pemantauan dokter. Penderita diminta segera menghubungi dan mendatangi rumah sakit bila reaksi muncul.10,15

PE R

Beberapa ketentuan lainnya dalam UPO : Pemberian obat untuk UPO dapat dilakukan secara oral, parenteral(iv, im, sc) dan topikal (nasal), bronkhial, konjuntiva, dan perkutan. Secara umum untuk cutaneus adverse drug reactions jalur pemberian obat uji peroral lebih banyak dipilih dibandingkan parenteral karena absorbsinya lebih lambat sehingga bila muncul reaksi dapat segera diterapi.1 1. Jenis obat yang diberikan biasanya merupakan preparat komersil. Khusus untuk obat kombinasi, preparat penyusun obat juga harus diujikan dalam UPO yang terpisah. Dalam hal ini uji terhadap kandungan dan bahan aditif dari obat dapat dipertimbangkan karena komponen tersebut dapat pula memicu reaksi.1 2. Dosis obat untuk UPO tergantung jenis obat, dan derajad keparahan reaksi sebelumnya, rute pemberian, hingga waktu laten setelah aplikasi hingga reaksi, dan status kesehatan pasien. Secara umum dosis dimulai dari dosis rendah, kemudian dinaikkan secara hati-hati, dan dihentikan segera setelah reaksi muncul. Jika tidak ada gejala yang muncul, dapat diberikan dosis maksimal tunggal atau diberikan dosis harian tertentu (lampiran 2).1 3. ENDA menetapkan dosis awal UPO dengan reaksi tipe immediate (riwayat reaksi obat kurang dari 1 jam setelah pemberian obat) dapat dimulai antara 1/10.000 hingga 1/10 dosis terapi tergantung berat ringannya riwayat reaksi. Dosis obat dinaikkan setiap minimal 30 menit hingga dosis terapi tercapai atau hingga gejala reaksi obat

Lampiran

281

331

DO

SK I

muncul.9,10 Pada reaksi non immediate (riwayat reaksi obat lebih dari 1 jam setelah pemberian obat) ENDA menetapkan dosis awal obat tidak boleh lebih dari 1/100 dari dosis terapi, dengan pengecualian pada fixed drug eruption.9 4. UPO harus dilakukan dengan kontrol plasebo (pil laktosa atau salin 0,9% untuk prosedur parenteral), buta tunggal atau bila diperlukan buta ganda. Pemberian plasebo paling sering dilakukan pada hari pertama provokasi tes dengan satu, dua, atau 3 dosis plasebo dalam interval waktu bervariasi disesuikan dengan interval obat yang diujikan, rata-rata 1 hingga 4 jam. Plasebo dapat pula diberikan setelah UPO terhadap obat uji selesai dilakukan untuk kofirmasi hasil yang meragukan dalam periode waktu yang berbeda.1,3 5. Pada Adverse Drug Reaction dengan kemungkinan obat penyebab yang multipel, UPO pertama dilakukan terhadap obat yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk menimbulkan reaksi alergi dan obat yang paling dicurigai sebagai penyebab reaksi hipersensitifitas diberikan paling akhir. Provokasi selanjutnya dapat dilakukan dalam beberapa hari hingga beberapa bulan ke depan tergantung pada jenis obat dan reaksi UPO sebelumnya.1,3,10,12 6. Lama pengawasan UPO, tergantung pada riwayat reaksi obat sebelumnya dan obat yang diujikan, dapat dilakukan hingga 5 kali waktu paruh obat uji untuk menjamin eliminasi seluruhnya.9 ENDA menetapkan waktu untuk pengawasan ketat minimal 2 jam setelah stabilisasi, tetapi untuk pertimbangan keamanan menyarankan pengawasan hingga 24 jam.1 Pada UPO dengan reaksi yang berat seperti syok anafilaksis pasien dapat diminta untuk rawat inap, karena adanya kemungkinan episode bifasik yang dapat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan diterapi lebih awal. 9 Pasien dapat dibekali dengan obat-obat pertolongan pertama, termasuk antihistamin, betamimetik, kortikosteroid, untuk gejala lanjutan yang mungkin masih bisa terjadi. 1

PE R

PENILAIAN HASIL UPO 1. UPO dinyatakan positif bila didapatkan adanya gejala atau tanda reaksi obat yang sesuai dengan reaksi hipersensitivitas pada riwayat sebelumnya. Untuk tipe immediate reaksi muncul dalam waktu 2 jam setelah dosis obat terakhir diberikan (3 jam untuk obat golongan aspirin dan NSAID). 2. UPO dinyatakan negatif bila setelah dosis harian regular diberikan 2 hingga 4 kali tidak ditemukan adanya gejala dan atau tanda-tanda reaksi hipersensitivitas.12 3. UPO ulangan dengan dosis terakhir sangat disarankan pada pasien dengan riwayat reaksi obat dengan gejala subjektif, dengan hasil UPO yang serupa dan tidak khas, setelah dikonfirmasi dengan placebo challenge hasilnya negatif.1 4. Spesifitas dan sensitivitas UPO memiliki keterbatasan karena uji ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan hasil uji kulit positif atas pertimbangan etik.16 Nilai prediksi UPO sangat tergantung pada mekanisme reaksi dan obat yang terlibat. Keterbatasan lain dari tes ini yang harus dipertimbangkan pemeriksa adalah kemungkinan positif palsu dan negatif palsu, sehingga UPO dengan hasil negatif bukan merupakan jaminan toleransi terhadap obat dimasa yang akan datang.1

PENATALAKSANAAN REAKSI OBAT OLEH KARENA UPO 1. Pada setiap prosedur UPO penilaian perlu tidaknya pemberian terapi terhadap reaksi obat sangat bervariasi tergantung berat ringan dan tipe reaksi. 2. Tahap pertama adalah penghentian pemberian obat uji segera diikuti prosedur umum maupun spesifik setelah reaksi muncul. 3. Pemberian terapi supresif atau remittive dapat mulai diberikan bila gejala cukup khas sehingga dapat diambil kesimpulan dari hasil uji.

332 282

Lampiran

SK I

4. Prosedur penatalaksanaan reaksi harus disesuaikan dengan kondisi pasien dan secara umum mengikuti kaidah umum terapi kegawatdaruratan.1 5. Pada tipe immediate dapat dipersiapkan prednisolon 40-60 mg dan antihistamin selama 2 hari . 6. Pada kasus berat seperti reaksi anafilaksis terapi dapat ditambah dengan injeksi intramuskular epinefrin 0,25μg.10 Prosedur UPO dengan segala keterbatasannya terbukti cukup aman dan efektif bila dilakukan secara hati-hati dan dilakukan dalam pengawasan ahli dan terbukti aman dilakukan dengan rawat jalan pada pasien dengan riwayat reaksi yang tidak berat. DAFTAR PUSTAKA

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

PE R

12.

Aberer W, Bircher A, Romano A, et al. Drug provocation testing in the diagnosis of drug hypersensitivity reactions: General considerations. Allergy 2003; 58: 854-63. Lazarou J, Pomeranz BH, Corey PN. Incidence of adverse drug reaction in hospitalized patient: A meta-analysis of prospective studies. J Am Med Assoc 1998; 279: 1200-5. Hunziker et al cyt Wohrl S, Vigl K, Stingl G. Patients with drug reactions-is it worth testing? Allergy 2006; 61: 928-34. Wohrl S, Vigl K, Stingl G. Patients with drug reactions-is it worth testing? Allergy 2006; 61: 92834. Brockow K, Romano A, Blanca M, et al. Rostrum: General considerations for skin test procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002; 57: 43-51 Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, et al. BSACI guideline for the management of drug allergy. Clin Exp Allergy 2008; 39: 43-61. Waton J, Trechot P, Loss-Avay C, et al. Negative predictive value of drug skin tests in investigating cutaneus adverse drug reactions. Br J Dermatol 2008; 160: 789-94. Lammintausta K, Kortekangas-Savolainen O. The usefulness of skin test to prove drug hypersensitivity. Br J Dermatol 2005; 152: 968-74. Blanca M, Romano A, Torres MJ, et al. Update on the evaluation of hypersensitivity reaction to betalactams. Allergy 2009; 64: 183-93. Messad D, Sahla H. Benahmed S, et al. Drug provocation test in patiens with history suggesting an immediate drug hypersensitivity reaction. Annals Internal Med 2004; 140:1001-6. Aberer W, Kranke B. Clinical manifestations and mechanisms of skin reactions after systemic drug administration. Drug Discovery Today: Disease Mechanisms 2008; 5: 237-47. Lammintausta K, Kortekangas-Savalainen O. Oral challenge in patien with suspected cutaneus adverse drug reactions: Finding in 784 patients during a 25-year-period. Acta Derm Venereol 2005; 85: 491-6. Padial A, Antunez C, Blanca-Lopez N, et al. Non-immediate reactions to betalactams: Diagnostic value of skin testing and drug provocation test. Clin Exp Allergy 2008; 38: 822-8. Pichicero ME, Pichicero DM. Diagnosis of penicillin, amoxicillin, and cephalosporin allergy: Reliability of examination assessed by skin testing and oral challenged. J Pediatric 1998; 132: 137-43. Blanca-Lopez N, Zapatero L, Alonso E, et al. Skin testing and drug provocation in the diagnosis of nonimmediate reactions to aminopenicillins in children. Allergy 2009; 64: 229-33. Romano A, Blanca M, Torres MJ. Diagnosis of nonimmediate reaction to betalactams antibiotics. Allergy 2004; 59: 1153-60. Hein UR, Hess SC, Worm M, et al. Evaluation of systemic provocation test in patients with suspected Allergic and pseudoallergic drug reactions. Acta Derm Venereol 1999; 79: 139-42. Kidon MI, Liew WK, Chiang WC, et al. Hypersensitivity to paracetamol in Asian children with early onset of nonsteroidal anti-inflammatory drug allergy. Int Arch Allergy Immunol 2007; 144 : 51-6. Kruse R, Ruzicka T, Grewe M. Intolerance reaction due to the selective cyclooxigenase type II inhibitor Rofecoxib and Celecoxib, result of oral provocation test in patients with NSAID hypersensitivity. Acta Derm Venereol 2003; 83 : 183-5.

DO

1.

13.

14.

15.

16. 17. 18.

19.

283

Lampiran

333

20. Lee AY. Topical provocation in 31 cases of fixed drug eruption: Change of causative drug in 10 years. Contact Dermatitis 1998; 58: 258-60. 21. Ozkaya E. Fixed drug eruption: State of the art. JDGG 2007; 5: 1-6

DO

SK I

Tabel.1 Daftar obat yang dapat mempengaruhi atau menggangu hasil tes1 Jenis Obat Rute obat IR NIR Wash out Antihistamin Oral, iv + 5 hari Antidepresan Oral, iv + 5 hari Glukokortikoid Topikal ? ? Jangka lama Oral, iv 3 minggu Jangka pendek, dosis tinggi ( > 50 mg ) Oral, iv 1 minggu Jangka pendek, dosis rendah (< 50 mg Oral, iv 3 hari ) Beta bloker Oral + + 1 hari Topikal _ ACE-inhibitor* Oral + + 1 hari IR= immediate reaction; NIR= non immediate reaction ? = tidak relevan; *= masih kontroversial Tabel 2 Peningkatan dosis bertahap pada UPO10

______________________________________________________________________________________________________________________

Golongan

PE R

Obat

Dosis

Pada syok anafilaksis dosis yang digunakan 1/10 dosis diatas

334 284

Lampiran

Rute

Dosis Harian_

Lampiran 4 PRICK TEST / UJI TUSUK

SK I

Batasan Uji tusuk merupakan salah satu jenis tes kulit yang merupakan pemeriksaan in vivo yang telah digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis alergi dan memastikan penyebabnya. Dengan cara melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen kemudian ujung jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan epidermal, tanpa menyebabkan perdarahan. Uji ini paling banyak digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit kulit yang disebabkan oleh reaksi alergi makanan maupun hirupan, karena sederhana, relatif mudah dan murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik. Walaupun teknik pelaksanaan uji tusuk relatif mudah namun penentuan indikasi yang tepat dan interpretasi hasil uji tusuk memerlukan keahlian khusus. Dalam satu kali pemeriksaan dapat diperiksa lebih dari 20 jenis alergen, akan tetapi lebih bijaksana untuk membatasi jumlah alergen yang paling sering menjadi penyebab saja yang diperiksa.

DO

Patofisiologi respons kulit Uji tusuk merupakan pengujian secara biologis yang mencerminkan adanya peningkatan IgE dalam darah. Bila alergen disuntikkan ke kulit akan berinteraksi dengan IgE yang terikat pada mastosit sehingga menyebabkan keluarnya beberapa mediator. Mediator utama yang dikeluarkan oleh mastosit adalah histamin yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga timbul eritema/ kemerahan/ flare dan edema/ bentol/ wheal (wheal-flare reaction) pada kulit tersebut. Wheal terjadi karena vasodilatasi dan ekstravasasi plasma akibat pengeluaran histamin. Flare terjadi karena respon neurovaskuler yang dicetuskan oleh histamin dan melibatkan neuropeptid seperti substansi P. Ukuran reaksi kulit bergantung pada tingkat sensitisasi, jumlah alergen yang disuntikkan, jumlah dan releasability dari mastosit dan reaktivitas dari jaringan kulit terhadap histamin.

PE R

Ekstrak alergen Sebaiknya alergen yang digunakan dalam uji tusuk dipilih yang sudah terstandarisasi dan harus mencakup alergen utama seperti tungau debu rumah. Sebelum digunakan potensi alergen diuji dengan metode in vivo dan in vitro. Secara in vitro, alergen diuji dengan menggunakan teknik Radioallergosorbent test (RAST) inhibition. Alergen diuji terhadap serum yang berasal dari individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tersebut, untuk mengkonfirmasi adanya alergen utama dan untuk mengetahui reaktivitas dari ektrak alergen. Potensi alergen sebaiknya juga diuji secara biologis dengan uji kulit secara serial menggunakan ekstrak alergen yang diencerkan 10 kali. Untuk uji tusuk digunakan solusi alergen dengan konsentrasi tertentu yang telah ditentukan alergen utama dari masing-masing ekstrak alergen. Namun, ekstrak alergen yang telah terstandarisasi hanya tersedia untuk alergen hirupan yang umum seperti polen dan tungau debu rumah, sedangkan alergen makanan umumnya tidak distandarisasi. Ekstrak alergen sebaiknya disimpan pada lemari es pada suhu -4°C. Untuk kontrol negatif biasanya digunakan larutan normal salin atau bahan yang digunakan sebagai pelarut dari ekstrak alergen. Bila terjadi reaksi pada kontrol negatif ini biasanya berupa dermografisme yaitu reaksi non spesifik terhadap trauma. Untuk kontrol positif umumnya digunakan larutan histamin 1-10 mg/ml, akan tetapi dapat pula digunakan bahan lain yang dapat merangsang sekresi mediator oleh mastosit seperti larutan kodein fosfat.

Lampiran

285 335

SK I

Indikasi Uji Tusuk 1. Untuk mengetahui alergen penyebab/ pencetus berbagai penyakit yang didasari reaksi hipersensitivitas tipe I/ diperantarai IgE, misalnya urtikaria dan asma. Tidak terdapat batasan umur untuk uji tusuk, bahkan uji tusuk ini dapat dilakukan pada bayi. 2. Sebelum memulai imunoterapi dan selama monitoring perkembangan imunoterapi.

DO

Indikasi kontra uji tusuk 1. Uji tusuk tidak dapat dilakukan bila sedang terjadi kekambuhan penyakit kulit pada penderita misalnya sedang terdapat lesi urtikaria. 2. Penderita sedang dalam terapi antihistamin, terapi kortikosteroid dosis tinggi (lebih dari 10 mg/hari), kortikosteroid topikal, obat antidepresan (imipramin, fenotiazin), dopamin, clonidin. Antihistamin sebaiknya dihentikan minimal 3 hari sebelum tindakan atau disesuaikan dengan waktu paruh dari masing-masing obat. Untuk golongan antihistamin generasi I/antihistamin klasik yaitu selama 24-48 jam. Antihistamin generasi II seperti setirisin, loratadin, feksofenadin, desloratadin harus bebas selama 3-10 hari, sedangkan khusus untuk astemizole harus bebas selama 4-8 minggu. 3. Penderita menggunakan krim atau pelembab pada bagian volar lengan bawah tempat yang akan digunakan untuk lokasi uji tusuk pada saat akan dilakukannya uji tusuk, sebab dapat menyebabkan ekstrak alergen meleleh dan bercampur dengan ekstrak alergen di dekatnya sehingga mengganggu interpretasi hasil. 4. Terdapat lesi kulit pada lokasi tindakan yang akan mengganggu pelaksanaan atau pembacaan hasil. 5. Uji tusuk sebaiknya tidak dilakukan pada wanita hamil kecuali keuntungan yang didapat dari uji tusuk ini melebihi resiko yang mungkin terjadi, sebab pada wanita hamil yang mengalami reaksi alergi yang berat dapat menimbulkan kontraksi uterus.

PE R

Efek Samping Uji Tusuk 1. Reaksi anafilaksis, namun sangat jarang terjadi. 2. Uji tusuk kadang menyebabkan rasa tidak nyaman, tapi umumnya dapat ditoleransi oleh penderita bahkan oleh bayi atau anak kecil. Rasa gatal dan pembengkakan lokal yang terjadi biasanya menghilang sendiri dalam 1-2 jam dan kadang penderita mengeluh merasa ngantuk setelah melakukan uji tusuk. Alat dan Bahan untuk Uji Tusuk 1. Larutan ekstrak alergen beserta larutan kontrol dan alat ukur (diameter) untuk interpretasi hasil 2. Jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet 3. Penggaris dan spidol/pulpen 4. Alkohol 70%, kapas, tisu

Metode uji tusuk Terdapat dua metode uji tusuk yang umumnya digunakan. Prick-puncture test yaitu menggunakan lancet dengan ujung sepanjang 1 mm dan terdapat ”bahu” yang berperanan untuk mencegah penetrasi yang berlebihan. Metode yang kedua adalah modified prick test yaitu melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen kemudian ujung jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan epidermal, tanpa menyebabkan perdarahan. Prosedur Uji Tusuk 1. Persiapan Pengenalan reaksi dan tanda anafilaksis :

286

336

Lampiran

   

3. 4. 5. 6. 7.

Prosedur / tatacara penanganan reaksi anafilaksis : • Epinephrine 1 : 1000 0.3 ml IM (deltoid) • Ukur tekanan darah dan nadi • Beri oksigen • Ulang epinephrine tiap 15 menit • Untuk bronkospasme yang hebat: Aminophylline IV, Hydrocortison sodium succinate 200 mg IV • Untuk sistole < 90 mm Hg: IV line, Dopamine 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml D5W melalui infus sampai tekanan darah mencapai 90 mm Hg lalu titrasi. Lokasi: Uji tusuk dapat dilakukan pada bagian atas punggung atau bagian volar lengan bawah, namun umumnya uji tusuk dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Sebelum uji tusuk dilakukan, posisi penderita sebaiknya diatur terlebih dulu agar penderita merasa nyaman. Kulit tempat dilakukannya uji tusuk dibersihkan dengan alkohol 70% dan biarkan kering sendiri/jangan di keringkan dengan tisu. Tandai kulit dengan penggaris dan spidol/pulpen untuk masing-masing alergen dengan jarak yang cukup (jarak minimal 1,5 - 2 cm, bila memungkinkan jarak ideal 3.5 cm) agar alergen saling terpisah dan hasil tidak tumpang tindih. Teteskan satu tetes larutan histamin sebagai kontrol positif, satu tetes larutan normal salin sebagai kontrol negatif dan masing-masing satu tetes ekstrak alergen sesuai jenis alergen yang dicurigai. Lakukan tusukan melalui larutan yang sudah diteteskan tersebut dengan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet menggunakan metode prick-puncture test atau modified prick test harus diingat tidak boleh timbul perdarahan (perdarahan 1 titik masih ditolerir). Ditunggu 15-20 menit untuk pembacaan hasil.

DO

2.

Terjadi beberapa detik atau menit (dapat pula beberapa jam) setelah paparan. Gejala pada kulit: eritema, gatal pada ekstremitas berlanjut urtikaria dan angioedema Obstruksi jalan nafas sampai asfiksia karena edema laring Obstruksi saluran nafas bawah: wheezing Gangguan gastro intestinal: mual, muntah, nyeri perut dan diare Hipotensi dan vaskular kolaps.

SK I

 

PE R

Pembacaan dan Interpretasi Hasil Uji Tusuk Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit. Alergen dibersihkan dengan tisu yang menyerap alergen dan tidak boleh digosok. Reaksi yang timbul berupa eritema / kemerahan dan juga edema / bentol. Apabila dalam waktu kurang dari 15 menit timbul wheal yang sangat lebar, maka kulit sebaiknya di bersihkan dari larutan alergen untuk menghindari terjadinya reaksi sistemik / reaksi anafilaksis.

Pada pembacaan, kontrol negatif harus tidak ada reaksi, dan kontrol positif harus timbul urtika / bentol. Reaksi ini kemudian dibaca dan dicatat, metode yang lebih akurat dalam menentukan luas area reaksi adalah menggunakan planimetry. Untuk mendapatkan data yang permanen dapat dilakukan cara sebagai berikut : batas dari bentol di tandai menggunakan pulpen / pen fine tip, kemudian gambaran tersebut dipindahkan ke kertas menggunakan plester tembus pandang / translucent tape. Hasil tes dibaca setelah 15 menit dengan melihat bentol yang timbul. Untuk menilai ukuran bentol berdasar The Standardization Committee of Norhern (Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol positif yang timbul

Lampiran

287

337

SK I

akibat histamin dengan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut : - bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3) - bentol larutan kontrol dinilai negatif (-) - derajat bentol + (+1) dan ++ (+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol - untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol histamin dinilai ++++ (+4)

Penilaian ini tidak diukur dengan ukuran mm oleh karena adanya perbedaan reaksi kulit yang bersifat individual dan tidak tetap / berubah dari waktu ke waktu. Pada penderita dengan hasil uji tusuk yang positif tetapi tanpa adanya gejala klinis, kemungkinan besar terdapat pada fase laten atau alergi sub klinis.

DO

Di Amerika cara penilaian ukuran bentol menurut Bousquet (2001) adalah sebagai berikut : 0 : reaksi (-) 1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-) 2+ : diameter bentol 1 – 3 mm > dari kontrol (-) 3+ : diameter bentol 3 – 5 mm > dari kontrol (-) 4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema

Secara umum reaksi minimal 3 mm atau setidaknya setengah dari reaksi yang timbul akibat histamin, dinyatakan positif.

PE R

Dalam interpretasi hasil uji tusuk harus dipertimbangkan adanya positif palsu maupun negatif palsu. Hasil dinyatakan positif palsu bila kontrol negatif memberikan hasil positif, semua alergen positif dengan hasil serupa. Hasil positif palsu biasanya disebabkan oleh karena dermografisme, reaksi iritasi, reaksi non spesifik yang berlebihan karena reaksi kuat oleh alergen yang berdekatan, atau akibat perdarahan karena tusukan yang terlalu dalam. Sedangkan hasil tes dinyatakan negatif palsu bila kontrol positif memberikan hasil positif lemah atau negatif. Negatif palsu dapat disebabkan oleh kualitas dan potensi alergen yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi (antihistamin, steroid), penyakit yang dapat meningkatkan respon kulit, penurunan reaktivtas kulit yang biasanya dijumpai pada bayi dan orang tua, teknik tusukan yang salah (tusukan terlalu lemah) atau waktu pembacaan yang tidak adekuat.

Faktor yang mempengaruhi hasil uji tusuk 7. Lokasi uji tusuk Lokasi tes dapat mempengaruhi hasil uji tusuk, sebab reaktivitas alergen dan histamin berbeda tergantung lokasi tempat tes dilakukan. Kulit pada lengan bagian belakang biasanya lebih reaktif daripada lengan bagian volar. 8. Obat-obatan Obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes kulit harus dihentikan beberapa hari sebelum dilakukan tes kulit, lama inhibisi reaksi dari antihistamin umumya berkaitan dengan waktu paruhnya. Untuk golongan antihistamin generasi I/antihistamin klasik yaitu selama 24-48 jam. Antihistamin generasi II seperti setirisin, loratadin, feksofenadin, desloratadin harus bebas selama 3-10 hari, sedangkan khusus untuk astemizole harus bebas selama 4-8 minggu. Kortikosteroid sistemik dosis rendah atau kortikosteroid inhalasi biasanya tidak mempengaruhi reaktivitas kulit akan tetapi kortikosteroid dosis tinggi atau kortikosteroid topikal dapat menghambat responsivitas

288

338

Lampiran

PE R

DO

SK I

kulit. Obat antidepresan seperti imipramin, fenotiazin dan juga obat penenang lainnya harus dihindari selama 10 hari. Selain itu harus diwaspadai penggunaan dopamin atau klonidin karena berperanan pula dalam menghambat reaktivitas kulit. 9. Usia Pada bayi dan orang tua reaktivitas kulit cenderung menurun, dan meningkat sejak masa anak-anak sampai dewasa. Tes kulit memberikan reaksi paling baik pada usia dekade ketiga dan menurun secara signifikan setelah usia 50 tahun. Pada bayi, tes kulit cenderung kurang reaktif sehingga bila hasil edema 2 mm atau lebih sudah dikatakan positif. 10. Ritme harian dan variasi musim Faktor musim mempengaruhi hasil tes kulit karena berhubungan dengan sintesa Ig E spesifik yang meningkat pada musim pollen sehingga sensitivitas kulit meningkat setelah musim pollen dan menurun sampai musim pollen berikutnya. Terjadinya bentol terhadap histamin atau alergen mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada pagi hari, tetapi perbedaan ini sangat minimal dan seringkali tidak berpengaruh. 11. Kualitas ekstrak alergen Kualitas ekstrak alergen ini sangat penting dan mempengaruhi hasil tes kulit, oleh karena itu bila memungkinkan sebaiknya dipakai alergen yang sudah terstandarisasi. 12. Kondisi patologi kulit Jangan melakukan tes kulit pada penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria maupun dermatitis sebab akan mempengaruhi reaksi kulit terhadap alergen. Pada penderita dengan keganasan. Limfoma, sarcoidosis, diabetik neuropati juga dijumpai adanya penurunan reaktivitas terhadap tes kulit. 13. Imunoterapi Imunoterapi yang sebelumnya didapat oleh seseorang akan menghambat reaksi kulit terhadap alergen.

Lampiran

339 289

Algoritme

Mengenali patofisiologi DKA dan mencatat gejala dan tanda klinis DKA.

SK I

Eksema berulang setelah kontak dengan bahan tertentu

Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik Singkirkan DD Papulo-eritroskuamosa

Status generalis

Status Dermatologikus: Lokalisasi: Morfologi kulit:

DO

Menyingkirkan DD

Menetapkan diagnosis DKA dan dugaan alergen penyebab

PE R

Menetapkan alergen standar, ekstrak alergen yang diduga dan alergen pelengkap yang akan diuji

Faktor yang mempengaruhi

Indikasi dan kontra indikasi

Melakukan uji tempel sesuai prosedur baku

evaluasi dan pembacaan hasil uji tempel, serta menganalisis dan menginterpretasikan hasil uji tempel

290

340

Lampiran

Kepustakaan

PE R

DO

SK I

1. Arshad SH. Skin Test. In: Allergy an Illustrated Colour Text. Southampton: Churchill Livingstone, 2002.p. 24-7. 2. Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of prick testing and its variants. In: Patch testing and prick testing, a practical guide. Berlin: Springer, 2003. p 149-62. 3. McGrath. Anaphylaxis. In: Patterson R, Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic th Diseases, Diagnosis and Management, 5 ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1997.p.43958. 4. Soter NA, Kaplan AP. Urticaria and Angioedema. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 6th ed. New York: Mc Graw Hill, 2003.p. 1129-39.

Lampiran

341 291

Lampiran 5

Kepada Yth. Sejawat anggota PERDOSKI Di Tempat

SK I

HIMBAUAN

Buku Panduan Layanan Klinis Dokter Dermatologi dan Venereologi ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik, saran dan usulan Sejawat untuk perbaikan /penyempurnaan buku ini.

DO

Kritik dan saran dikirim melalui:

PP PERDOSKI Grand Ruko Salemba Jl. Salemba Raya 1 no. 22, Unit no. 11 Telp/Fax. 021.3904517 Email: [email protected] [email protected] Hormat kami,

PE R

Penyusun

atau [email protected]

DILARANG MENGKOPI ATAU MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH BUKU INI TANPA SEIJIN PEMEGANG HAK CIPTA YANG BERADA DI TANGAN PERDOSKI MENURUT UU HAK CIPTA NO. 44 TAHUN 1987.

342 292 Lampiran

DO SK I PE R PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA (PERDOSKI) Tahun 2014

Related Documents


More Documents from "Everage Scraphreak"