Epistemologi_kalam_abad_pertengahan_edis.pdf

  • Uploaded by: MOH KHOROFI
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Epistemologi_kalam_abad_pertengahan_edis.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 48,365
  • Pages: 101
Loading documents preview...
EilsTEMoLoGr

A nAD Pii RTENGAHAN .s.;':: -;-{hn.. ]t'"

,

#\(

1i

EplsTEtr,toLoGr

KALAM Annn

PEnTENGAHAN

Wardani Pengontor: Prof, Dn H. Machasin, M.A.

LKiS

PENGANTAR REDAKSI

EPISTEMOLOGI KALAM ABAD PERTENGAHAN

Wardani

o Wardani xviii

+ 180 halaman; 74,5

xTl cm

Islam ISBN: 979-9492-85-8

1. Teologi

Editor: AhmadSahidah Rancang samPul Nuruddin Seting/LaYouf: Santo Penerbit: LKiS YogYakarta Salakan Iiaru No. 1 Sewon Bantul Jl.

Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta

Telp. / Faks. (o27 4) 419924

e-mail: [email protected] Cetakan I: Februari 2003

Percetakan dan Distribusi: LKiS YogYakarta Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul

Yogyakarta Jl. Parangtritis Km. 4,4 Telp. / Faks. (027 4) 419924 e-mail: [email protected]'id

Mu'tazilah sebagai sebuah aliran teologi rasionalis sempat mengalami kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada era pemerintahan Harun ar-Ra syrd (766 809 M.), dan mencapai puncaknya pada era pemerintahan al-Makmun (813-833 M.)-di mana faham Mu'tazilah sempat menjadi ideologi resmi negara. Tetapi, pada era al-Mutawakkil - sebagai pengganti dari khdifah al-Ma'mun-Mu'tazitah tidak lagi mendapat bmpat dalam pemerintahan karena statusnya sebagai ideologi negara akhirnya dihapus (856 M.). Pada saatitulah popularitas Mtltazilah mulai meredup dan bahkan tenggelam setelah digeser oleh ideologi tradisionalis Sunni. Kelompok Sunni yang sebelumnya (selama era Harun ar-Rasyid dan al-Ma'mun) merasa dikebiri dan dipecundangi, akhimya melakukan serangan balik dengan berusaha

menggusur dan menyingkirkan kelompok Mu'tazilah. Era Dinasti Buwaih pada abad ke-4 H. merupakan era

di

m€ula kelompok Mu'tazilah berusaha bangkit kembali, dan mencoba menepis tuduhan-tuduhan miring yang dilontarkan kelom-

pok Sururi kepadanya dengan menyusnn argumen-argumen rasional. Benturan pemikiran dan kebgangan teologis (kakm) antara kedua kelompok tersebut terus berlanjut, dan bahkan menyeret pada persoalan politik. Masing-masing kelompok berusaha mendekat pada kekuasaan untuk mendapatkan legitimasi-nya-di samping juga untuk menyebarkan paham teologinya.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Al-Qadhi'Abd al-JabbAr merupakan tokoh Mu'tazilah generasi kedua yang hidup pada era Dinasti Buwaih' Dalam hidupnya, ia banyak terlibat dalam berbagai perdebatary baik antar,"ru-u tokoh Mu'tazilah (antara kelompok Mu'tazilah cabang Bashrah dan Mu'tazilah cabang Baghdad) mauPun perdebatan dengan kelompok di luar Mtrltazilah.'Abd al-Jabbar berusaha memban!-un struktur pemikiran rasional kal6m. Meskipun Mu'tazilah dikenal sebagai tokoh rasionalis yang lebih mengedepankan rasio ('aqt) daripada teks (wahyu) dalam mencari kebenaran, namun Abd al-Jabbar bukanlah "rasionalis mumi" yang hanya meng-

andalkan rasio dan mengesampingkan wahyu' Buku ini adalah suatu kajian terhadap epistemologiknl6m abad pertengaha+ khususnya epistemolo $kalfun-ny a'Abd al-Jabbdr. Kajian ini, tentu saja berbeda denganbanyak kajian lainnyayang r"ti"g kali lebih terfokus pada pembahasan tmtang tasio (aqt) darr persoalan kebebasan manusia dalam Islam. Dalam buku ini, peu"*ruh" mengelaborasi dan melakukan kuji* kritis terha""ri" dap epistemolo$kalilm'Abd al-Jabbar sekaligus konsep etikanya. 'Abd al-jabbAr, yang berangkat dari kerangka teologis, mendefinisikan pengetahuan (ilm, ma'rifah) sebagai suatu keyakinan (conaiction)yang diverifikasi dengan dua standar: korespondensi afektivitas psikis (sukfin an-nnfs). Kedua standar i, al6 mi huaiih)dan iersebut, dalam perspektif epistemologis, lebih dikenal sebagai unsur objektivitis ilmu pengetahuan yang terkait dengan fakta, baik fakta empiris-sensual maupun akal budi rasional. Interkoneksitas keduanya menunjukkan bahwa pengetahuan, menurut ,Abd al-|abbar, dibangun atas dasar tolak ukur kebenaran korespondensi dan koherensi. Oleh karena itu, epistemologi'Abd aljabbar pada substansinya merupakan kritik atas realisme model Abu al-basim al-Balkhi dan beberapa tokoh Asy'ariyatu semisal al-Juwaini yang menganggap ilmu sebagai fakta-fakta an sich, dan juga kritik itas pemikiran epistemologi model Abu al-Huzail al-'Allaf tentang ilmu sebagai keyakinan subjektif mumi'

Pengantar Redaksi

Hadirnya buku ini diharapkan bisa menjadi teman dialog yang baik bagi para pembaca. Jika sebelumnya kami telah menerbitkan buku yang juga mengkaji tokoh'Abd al-Jabber, (Al-Q6.dhi ' Abd al-l abbdr, Mutasyabbih Al-Qur' an: D alih Rnsiotnlitas AI-Qur' an,

karya Prof. Dr. Machasin), maka kehadiran buku ini adalah sebagai kelanjutan dan sekaligus pembanding bagi buku-buku yang telah terbit sebelumnya.

MENILAI KEMBALI SIKAP TERHADAP WARISAN SEJARAH Oleh Prof. Dr. H. Machasiry M.A. Dosen Program Pascasarjana

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak dapat diingkari bahwa manusia dibentuk oleh sejarah bangsanya dan menanggung beban-bebannya, di samping menikmati nasib baik". Kata "bangsa" ini dapat diperluas maknanya sehingga mencakup pengertian keluarga suku, agama, dan hal-hal lain yang memberikan pengertian kelompok manusia. Kadang-kadang pewarisan dan penerimaan peninggalan kelompok kepada anggota-anggotanya ini berlangsung sangat panjang, melewati waktu berabad-abad. Demikianlah terasakan bahwa kebencian kaum Atrlussunnah kepada kaum Mu'tazilah yang berasal dari pertikaian pada awal abad ke-3 Fhjriah/ paruh pertama abad ke-9 Masehi belum mudah untuk dilupakan pada abad ke-21 ini. Dalam banyak hal, sebenamya sikap seperti ini merugikan karena banyak dari apa yang dihasilkan oleh usaha manusia muslim pada masa lalu tidak lagi dapat diketahui dan selanjutnya dimanfaatkan untuk perenc.rnaan kehidupan masa depan. Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan kelanjutan dari usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan untuk membuka kembali khazanah masa lampalryan& karena sikap yang disebutkan di atas, telah terkubur dalam lamunan kealpaan. Penulis buku ini mengajak pembacanya untuk melihat bahwa

Menilai Kembali Sikapterhadap Warisan Selarah

xl

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

dalam kerja tokoh kebangkitan kedua kaum Mu'tazilah pembic.rraan mengenai keabsahan pengetahuan manusia mengenai halhal yang diyakini, dilakukan dengan sangat intensif. 'Abd alJabbdr, seorang tokoh Mu'tazilah yang bermadzhab Syafi'i sebagaimana para tokoh Mu'tazilah yang lain, berusaha dengan sangat keras unfuk menerangkan bahwa pengetahuan manusia mengenai hal-hal yang gaib adalah sangat mungkin, melalui sebuah analogi antara yang gaib itu dengan yang hadir di hadap annya. Tentu saja kehadiran'Abd al-Jabbdr sebagai pemikir bermadzhab Syafi'i akan diterima dengan ramah di Indonesia, namun pemikir art knliltn-nya yang berkecenderungan Mu' tazilah akan menimbulkan resistensi dari sebagian besar umat Islam yang menganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Meskipun tidak sekeras yang dialami oleh penolakan umatlslam terhadap pemikiran Mu'tazilah Dr. Harun Nasutiory yang mengusung pemikiran ini ke dalam wacana keislaman di tanah air beberapa tahun yang lalu. Namun, kontroversi semacam ini akan kembali menempatkan persoalan teologi pada diskursus yang diperdebatkan, bukan disucikan. Sudah barang tentu bahwa untuk menjelaskan itu semua diperlukan perbincangan mengenai hakikat pengetahuan, asal-

muasalnya, dan cara kerjanya. Penting diingat di sini bahwa kata ilmu yang dipergunakan oleh'Abd al-Jabbdr kemungkinan berbeda dengan pengertian ilmu yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia sekarang. Suy*g hal ini belum cukup dibicarakan dalam buku ini, namun kiranya perlu diingat bahwa ada perbedaan itu. Meskipun demikian, sebenarnya tidak terlalu sukar bagi pembaca untuk menangkap dari buku ini bahw ayilrg dimaksud dengan ilmu oleh'Abd al-Jabbdr bukantah sekumpulan teori mengenai objek tertentu yang tersusun secara sistematis, melainkan keyakinan mengenai suatu objek yang memuaskan jiwa pemiliknya. Yang terakhir ini dibicarakan dengan cukup jelas dalam buku ini.

Demikian pula pembicaraan mengenai subjek pengetahuan dan " ala(' yang dipergunakannya dalam aktivitas pengetahuan serta untuk apa ia mengetahui. Selain itu,latar belakang teologis dari pembicaraan'Abd al-JabbAr mengenai pengetahuan itu dan tokoh-tokoh sezaman y.rng berbicara mengenai topik yang sarna,

sedikit banyak dibicarakan dalam buku ini. Yang menjadi persoalan bagi orang modern sekarang adalah apakah pemaparan yang dibuat pada abad ke-12 Masehi itu masih relevan. Apakah syarat-syarat validitas pengetahuan yang dibuat'Abd al-Jabbdr itu memenuhi persyaratan validitas pengetahuan zaman ini? Kalau jawabannya ya, apakah itu dapat disumbangkan sebagai suatu pemikiran Islam, tentunya dengan menghilangkan sikap kebencian terhadap kemu'tazilahan pe-

miliknya? Kalau tidak, pelajaran apa yang didapat daripadanya?

Akhimya, selamat rnenjelajahi khazanah pemikiran Islam abad tengah yang kaya dengan percobaan-percobaan untuk memperkuat dasar-dasar keimanan dan selanjutanya mengambil bagian-bagian yang dapat dipakai untuk merekayasa masa depan yang lebih baik. Kebijaksanaan adalah milik yang hil*g dari orang beriman. Karenanya, di mana pun ia temukan, ia akan mengambitrya kembali. Apalagi kalau kebijaksanaan itu di temukan pada orang beriman juga.

Yogyakarta,

2'1,

Maret 2002

PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT., katena ini selesai sesuai dengan target waktu yang telah ditentukan. Sebagai suatu kajian filsafat melalui karya teologi Islam berbahasa klasik, kendala dan tantangan yang dihadapi cukup banyak. Tidak hanya basis pengetahuan filsafat, khususnya epistemolo$i sebagai salah satu cabang filsafat ilmrl tetapi kemampuan dalam memahami style bahasa Arab klasik adalah suatu hal yang niscaya. Kesulitan tersebut diperumit dengan penggunaan termterm telcris knl6rn' AH.al-JabbAr sendiri. Meskipun demikian, kendala dan tantangan tersebut, akhimya dapat ditundukkan di bawah kesungguhan, doa, dan bimbingan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, dengan rasa tulus penulis menyamPaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada namanama berikut: tesis

Pertama,ucapan terima kasih saya sampaikankepada Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, baik dalam kapasitasnya sebagai dosen Pascasarjana, terutama di konsentrasi filsafat Islam, sebagai ketua program studi Agama dan Filsafat, nurupun sebagai $. Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga. Seminar-seminar kelas bersama beliau, terutama pada mata kuliah filsafat Islam,

telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi penulis tesis ini, khususnya perkenalan dengan epistemolo$bayhni, burhini, dan 'irf6ni yang ditawarkan al-Jdbiri.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Bapak Dr. H. Machasin, M.A., yang dalam posisi gandanya, sebagai dosen Pascasarjana dalam mata kuliah ilmtKahmyang banyak membekati penulis dengan pengetahuan tentang karakter metode kal6m l,rJasik, penasihat akademik, dan sekaligus Pem-

DAFTAR ISI

bimbing tesis, blah banyak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi penulis tesis dan penyelesaian studi. Beliau juga berkenan meminjamkan kepada penulis beberapa koleksi langka

karya'Abd

al-Jabbdr.

Kepada semua rekan di konsentrasi filsafat Islam melalui diskusi-diskusi nonformal bersama mereka dan rekan-rekan serta bapak-bapak asal lGlimantan Selatan yang memberikan bantuan moral dan materiil, juga disampaikan terima kasih. Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. M. Zurkani |ahia di Banjarmasin yang telah banyak memberikan banfuan finansial dan dorongan moral untuk penyelesaian

Pengantar Redaksi

studi ini.

Penganlar Penulis

I-astbut notleast,ayah dan ibu, Anwar dan Airmas, dengan segala doa merekayanghrlus di sepanjang malam, selalu menjadi sumber kekuatan penulis untuk menyelesaikan studi. Tentu saja,

saya juga tidak melupakan kesediaan LKiS untuk menerbitkan tesis ini menjadi buku yang bisa diapresiasi peminat keilmuan

keislaman kritis. JogSa,26 Agustus 2002

Wardani

)

v

Pengantar: Prof. DR. H. Machasin, M.A. > ix

Daftar Isi

)

xiii

) xv

PENDAHULUAN >

1

BAB I: 'ABD AL-JABBAR DAN KONDISI PEMIKIRAT{ EPISTEMOLOGI DALAM ISLAM > 19

A.'Abd

al-Jabbdr: Biografi dan Karya

1. Biografi ) L9 2. Karya-karya ) 23

)

B. Konteks Sosio.Historis dan Kultural

19

)

28

C. Peta Perkembangan Pemikiran Epistemologi dalam Islam ) 34 D. Epistemologi dalam Wacana Kal6m: Keterkaitan Ilmu, Keyakinan, dan Kebebasan ) 39 1. Fase Murji'ah ) 41 2. Fase Mu'tazllahl 42 3. Fase Kultdbiyyah dan Asy'ariyyah ) 46

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

xvt

BAB

II:

KONSTRUKSI PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI 'ABD AI-JABBAR > 49 A. Pengertian Pengetahuan ) 49 1. Definisi dan Problematika Terminologis I 49 2. Mn'nA Sebagai Substansi Pengetahuan ) 54 3. lnterrelasi Pengetahuan dan Keyakinan ) 58 B. Tolak-ukur Kebenaran (Validitas): Antara O$ektivitas dan Subjektivitas I 67 1. Unsur Koresponde nsi ( al6 md luwa bih) *bagar Kriteria "Objektif ' > 68 2. Unsur Afektivitas (sulcfin an-nafs) Sebagai Kriteria "subiektif ' > 74

)

80 C. Sumber-sumber Pengetahuan 1. KonseP'Aql'180 88 2. Pengetahuan Dunia Ekstemal 3. Otoritas Khabar > 92' 4. Wahyu dan floblerrntika Pengetahuan hhdtif > %

)

D. Klasifikasi Pengetahuan ) 100 1. Titik-tolak Sebagai Dasar Klasifikasi

2

KlasifikasiPengetahuan: Dharfut

>

100

danMitusbD \m

E. Bagunan Metode-metode "Keilmuan": RasionalEmPirik > 108 1. Prinsipprinsip Dasar Metodologis > 108 2. Metode Nalar Rasional > 111 3. Metode Pengamatan EmPiris > 720

F. Kritik terhadap Skeptisisme > 122 BAB

III:

IMPLIKASI PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI ,ABD ALJABBAR TERHADAP PEMIKIRAN ETIKANIYA > 129 A. Etika "Kritis": Sintesis Antara Esensialisme dan Realisme > 129 B. Dimensi Objektif dan Subjektif dalam Etika ) 132

xvil

Daflar lsi

C. Etika dalam Konteks Humanisme: Relevansi Etika 'Abd al-JabbAr Bagi Pengembangan Epistemologi Moral > 1.M PENUTUP > 155

DAFIAR PUSTAKA >

76'1.

INDEKS > 772 DAFTAR RIWAYAT HIDTIP > 180

PENDAHULUAN

Paruh kedua abad ke-19 merupakan kurun waktu di mana kalangan intelektual Eropa dalam kajian tentanfpemi {initls kiran Mu'tazilah semakin *"r,g,rut Heinrich Steiner dari Zun.ch, misalnya, pada suatu penerbitan karya_karya tentang Mu,tazilah menyebuttokoh teologi ini sebagai tn"yrZr_ti*n lidr 19!5: rf Islam.l Hal ini disebabkan karenl dalam

p"or", Lhborasi per_

tama disiplin kalilm,yang oleh William Montgomery Watt dalam lslamic.Philosophy and Theology: An Extenied Suraey, disebut sebagai "gelombang pertama Hellenisme,, (the

ri",

frst nism), adalah Mu'tazilah yang paling intens dalam "jUrtt pror", hansmisi keilmuwan yunani rc aaam-aiskusi doktrin irtu*., oleh karena itu, Josef van Ess daram Logtc in the crassical

_

Isramic

tyr-1f mis alnya, membantah ke simpul an pengama l:^u.I ta., 'Abdullathif al-Baghdddi ilmuwan musfiL y*j f"a" rnasa-masa awal Dinasti Ayyubiyah (w. 629/ f i3t l.,gz))aJ*u ^ialrf lidak ada di antara fuqaha yang."irp tertarik dengan logika, Dikutip dari wiiliam Monbomeryrvatt, tsranic phitosophy and Theotogy. An Extended

(Edinburgh: Edinbuqh Univeaity pess, 1992),htm.

'i6: '

su'ey,

tNd.

JosefvanEss,'TheLogical structureofrsramicTheorogy',daramrssaJ. Bouilail(ed.),AnAntho_ togyof IslanicStudies,(tr4,onfeal:McGiil-tnOonesA

fnffl6iuedpientprojecd

ini sebenamya merupakan sarah satu bagian yang oit Clasical lslamic Culture' te6ebut.

roit.l

1992), htm.21. Tutban

,Lng dari karyanya, .Logic in the

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

dengan

al-Miwardi (w. 450/1058), penulis al-AWfun as-Sulthiniy-

Al4hazali,4 misalnya' &alam Al-Qisthhs tuttofr*- di al-Mttshtasyf1berupaya meyakinkan bahwa siloAl-Qur'an unglsme model Aristotelian memilikibasis normatif t* p".y*pulan hukum, meskipun van Ess, akhirnya' berkesimpola. Uut*u pada praktiknya, tokoh-tokoh seperti al-]uwayni' kembali i-Baydhawi, fulf"tt ua-Oin ar-Rdzi, dan al-iji sebenamya pamenerapkan logika kaum Stoa's Akan tetapi, bahwa elaborasi Y"iT pemikiran ling jelas dalaniharmonisasi rasionalitas !"8r p"il"tutut -penjelasan doktrin agama, seperti juga diaerdebatkan iutu- diskusi antara AbO Bisyr MattA (870-940 M)' seorang fie-

y ah,"sebagupengecualian

"ot-t

nerjemahbuku-bukufitsafat,danAbOsa'idas-Sirafr(893-979 M)ientang logika danbahasa,6 dalam teologi Mu'tazilah adalah faita nistorit y*g hampir-untuk tidak mengatakan sama se-

kali-tak

terbantah.

IGrena persentuhannya dengan arus pemikirurr ryuf Yrr1ndan keinginan para teologislam untuk mempertahankT-1tk}h atas dasa-r logika rasional tersebu!

literatur-litetatw kal6mwa-

sik_ dalam Grangka apologi-dialektis - secara tak terhindarkan juga memp"rrouliut isu-iru filsafat' Isu-isu tersebut dari segi hanya diletakkan dalam bahasan dialektis -Etoaotogis tidak Dari segi (baydnt), tapi juga diskursif-demonstratit (burh6nQ'

*ut"tt, isu-isu yang dibahas membentang dari isu-i1u

metafisis

hingga ger(m0 waril /ba'd ath-thabfah), etis (falsafah al-akhl6q)

Pendahuluan

secara sistematis dan filosofis persoalan-persoalan sepefii being and reality (al-wuj,frd wa al-foqtqah; beinf dan kenyataan), seperti pada AbtHasyim dan'Abd al-]abbAr (keduanya Mu'tazili) serta Ibn Taymiyyah (Salafi), kausalitas (as-sabab wa al-musabbab),

seperti pada al-GhazAli, Ibn Rusyd, dan'Abd al-Jabbdr, materi dan bentuk (matter andform; al-middahwa ash-shfrrah), substansi (al-jawhnr), aksiden (al-'arailh), atom (jawhar fard),t bori kebrsembunyian dan lompatan (al-lamttnwa ath-thafraft), seperti pada anNazhzhdm dan Mu'ammar,lo dan sebagainya. Untuk model literatw kaldm klasik yang sarat dengan bahasan filsafat, al-Jdbiri menyebut at-Mnwdqif f 'lt* al-Kal6m-nya 'Adhud ad-Din al-iji (1291, -7355) -untuk sekadar contoh- sebagai karya ensiklopedis masalah-masalah kalilrn dan filsafat.1l Terjadinya inbraksi filsafat dan doktrin, sebagaimana diuraikan di atas, berkaitan dengan rasionalisme teologi (theological rationalism) yang kebangkitannya diawali dengan kemunculan Mu'tazilah sebagai aliran lal6m (skoLastisisme Islam) rasional di pertengahan abad ke-8 M.12 Kecuafi faktor religio-politis, pengaruh Yahudi dan Kristerv serta pemikiran Yunani juga menjadi daya yang mendorong terjadinya akselerasi proses kemunculannya. Menurut Majid Fat hry dalam A Hi story of Islamic Philosophy, kebanyakan sumber-sumber otoritatif klasik menyatakan bahwa isu pertama yang menjadi kontroversi teologis adalah persoalan kebebasan/ ketidakbebasan manusi a (free will and predestination) .

al t{m'

solalan logika (mantliq),dan epistemologi ilmu (*"b@!t Oleh aau ibisttmilHjiyyat alJulfim, adu* butlusa Arab modem)' baydni karena itu, menurut Mu\ammaa AUia aLJdbiri/ hadisi membahas telah klasik yang telahmengakar dalam wacanaknlkn

5

(yang disebut sebagai 'logika Karyanya yang lain yang memuat argumen to9'll d.9.h1fl t't')' (Cako: D6r aLMa'rifah' aLllm, Ui'yar aadan fahatui af-'f afisifan'i hlm' 50' van Ess, The Logicat Structure of lstamicTheology, Josep

unaidalam oliver Leaman, An

I

bridge University Press, 1985), hlm. 19. Bunyat at''Aql at-'Anbi: Dirdsah Tafifi1yyah Lihai unian tengkap tentang hal ini dalam bukunya, aLMarkaz ats-Tsaqan alit-'Arabiyyah,(Beirut: fi ats-Tsaqilfat at-Mirifah n

iiqdW iirhin 'Arabi,1993).

Kata being biasanya diterjemahkan dengan'ada'. Meskipun merupakan upaya mendekatkan makna, penerjemahan teaebutkunrg tepat. Kata being, menurut Heidegger, adalah sama dengan 'is' dalam bahasa lnggris sehingga kurang tepat ditedemahkan dengan 'ada'. Uraian detil tentang ini dapat dilihat dalam Lilartin Heidegger, Being and fime: A Tnnslation of Sein und Ziet,lei. John Shmbaugh, (New York State Univensity of Neur York Press, '1996), hlm. 4.

c

Lihat ibrd., teruhma pasal ke-S dan ke{, hlm. 175 dsl l0 Tenbngteorikum0ndan fiafrah,lihat misalnya, HaryAustynWolFon, IiePhilosophyof trcKdan, (Cambridge: Harvard University Press, 1976), hlm.

to Medieval tslanic Philosophy, (cambridge: cam-

6

tntroduction

I

495-517.

"

Muhammad'Abid alJdbiri, Bunyaf at-'Aql at-'Arabi..., hlm. 504-506.

''l

Lihat Majid Fakhry A Hidory of

lslanb

Univeaity Press, 1983), hlm. 324.

Philosophy, (London, Longman, dan New York Columbia

Pendahuluan

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Tokoh-tokoh pertama antara lain: Ma'bad al-Juhani (w. 699), Ghayldn ad-Dimasyqi (w. 7 43),W itshil ibn'AthA' (w. 7 48), Y0nus al-Aswdri, dan'Amr ibn'Ubayd (w.762).13 Heinrich Steiner, sebagaimana dikemukakan, menyebut para teolog Mu'tazilah sebagaithe free-thinkers of Islam (pemikir bebas Islam). Oleh Fazlur Rahman pelabelan tersebut diberi catatan secara historis, bahwa pada perkembangan awalrrya Mu'tazilah bukanlah kalangan rasionalis murni, meski mereka mengklaimbahwa rasio adalah sumber kebenaran moral yang sama tingkatannya dengan wahyu.' Hasan al-Bashri (w .110H,/ 7?3 M), tokoh perbama di Bashrab misalnya, tegas Rahmaru membangun penolakan penafsiran deterministik dalam Islam dan menegaskan tanggung jawab manusia atas dasar motif kesalehan, bukan pemikiran filosofis-spekulatif.ls Di samping itu, doktrin deterministik yang diperangi Mu'razilah di kandangnya sendiri juga segera terbentuk menjadi doktrin sistematis melalui Jahm ibn Shafwdn (128 H/746 W-16 Atas dasar ini, penyebutan oleh Ismail Raji al-Faruqi terhadap Mu'tazilah sebagai philosophers of IslamlT harus dirunut ke belakang, di mana tokoh-tokohnya bersentuhan dengan pemikiran filsafat secara intens dan kemunculannya sebagai teologi dialektika-apologetis antaraliran. Salah satu tokoh Mu'tazilah yang menonjol adalah'Abd al-

- 1025). Meskipun reputasi keilmuannya memperoleh apresiasiyangtinggi dari tokoh-tokohsemasurnya, semisal Shahib ibn'Abbdd (938-995), tokoh Dinasti Buwayh, perhatian akademis kalangan intetektual belakangan brhadap khazanah intelektud keilmuannya, menurutWilliam Montgomery Watt, masih

Jabbdr (935

sangat kurang.l8 Karya monumentalnya, al-Mughnt

f

Abw6b at-

yangterdiri atas 20 jilid, misalnya baru ditemukan oleh tim inelektual Mesir yang dipimpin oleh Dr. Khalil Nami dan Prof. Fu'dd Sayyid, di Perpustakaan al-Mutawakkitiyyah di Shan'A (Yaman) pada tahun 1950-1951.1e Tawfuid roa al-' Adl

Kurun waktu paruh kedua abad ke-20 agal.orya masih belum menuniul(kan perkembangan Li^ y*g seinrbang erhadap karyanya yang berjumlah 61 buah (menurut catatan Dr. Ahmad Fu,ad al-Ahw6ni), 20 padahal al-Mughnt,menurut Dr. Ibrdhim Madkffr, merupakan "karya ensiklopedis yang tak sebanding dengan karyakarya sebelumnya di bidang ilnu knl6m, yang memuat materi persoalan yang kay a".21 Bahkan, alHakim al-Jusyami mencatat bahwa'Abd al-|abbdr telah menulis seratus ribu lembar, dan alAsnawi, sebagaimana dikutip oleh penulis Lis6n al-Mtz6n, menjelaskan bahwa karya-karya'Abd al-Jabbdr mencapai empat ratus ribu lembar.z Proyek yang disebut sebagai ifoa' at-turifs (menghidupkan khazanah intelektual klasik) meminjam istilah Hassan flanafiE dalam DirdsAt Falsafyyah -selama ini agaknya menurut penulis, bergerak dalam mninstream ktnzanah inblektual Sunni. Kekayaan intelektual Mu'tazilah dan Syilah masih memerlukan apresiasi akademis. Jika di kalangan Ast' *yulr,adalah al-Ghazdli (w. 111) 'E william Montgomery watl lslanic Philosophy, hlm. 106. watt menyatakan bahwa sfy/e argumen dalam tulisan-tulMn Abd alJabbar sama dengan karya-karya kal6m kalangan Asy'arlyyin, semisal aLBiqilldni dan alJuwayni. Pandangan-pandangan kalan yang berbeda dikemuiaian dengan menyebut tokoh dan penolakannya. 'AM alJabbdr juga menyebut beberapa nama filsuf. Akan tetapi, rnenurut Watl tak ada indikasi diadopsinya ide-ide filsafat tersebut meiebihi dari apa yarB tehh dilakukan kalargan Asy'ariyyah. Namun, watthmpaknya masih meragukan kesimpulannya ifu sehingga dikatakannya,'Mudl furfrerstudy, however, still required.,

E

i3 lbd., hlm.47. ra FazlurRahman,/slam,(ChicagodanLondon: UniversityofChicagoPress,

l9T9)'hlm. 141.

r5 lbid., hlm.87.

x h

16 /bid., hlm.88.

17 lsmail Raji al-Faruqi,

Self in Mu'tallah Though(, dalam lntemationalPhilosophicalQuaftedy, Vol. Vl. 1966, hlm.366-388. DikutipdariBudhy Munawar-Rahman, Frlsafallslam, hlm.322. Banding-

2

kandenganuraianAhmadAmin, Dhuh?tal-lsl6m,Cet.Vlll,Juzlll,(Caio: Makhbatan-Nafldhatal-

n

Mishriyyah, t.

The

h.), h|m.204.

/brd., Ahmad Fu'6d alAlrwdni,

Tashdif, dalam (pseudo)'Abd alJabMr, (Cairo: Makhbah Wahbah, 1965), htm.5.

syufial-ushltal-Khansah,

lbd.,hlm.20-23, lbrdhinrMadk0r,'Muqaddimah',dalam'AbdalJabbilr,Al-MughnifrAbw6bat-Tawfiidwaat:Adl,Juz Xlll, (Cairo: WizArat ab-Tsaqdfah wa al-lsy6d al{awmi, t.t.).

Lilutlebihlanjut Abdal-lGfmljbndn,'Muqaddimah',dahm(pseudo)'AbdaHabbar,slada,-usrd/

al-Khamnh,hlm.19-23. HassanHanaf,DirdsitFalsafiyyah,(Cairo:MakhbatAngloal-Mishriyyah,19g7),h|m.143.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

danFala ad-Dtn ar-RAzi (w. 1209) yang merupakan "pembela garis depan" pandangan-pandangan Asy'ariyyah, karen kemaPanannya dalam basis filsafag maka tidak berlebihan jika harus dikata,Abd al-Jabbdr menempati posisi yang sama di kalangkan bahwa .r 14g'tazilah. Bahkan, tak hanya tokoh Asy'ariyyah, seperti alBaydhdwi (w. 1308 atau 1316) yang sistematika bologinya diu^ggup f"ttut aensi Mujtazili, atau al-Juwayni (w' 1085) yang daIu* rc*"p teologinya tentang perbuatanmanusia menekankan pada hubungan kiusalitas (yang berbeda dengan pandangal ka iuttgut Asy'ariyyah pada umumnya),2a Fakhr ad-Din ar-Rdzi' tokoh Asy'ariyyah yang relatif lebih banyak menyrta

rytlutiurt

akademis, der,gat';teoltgi filosofis"-ny a Qthilosophical theology)E

dalam kuji* Coldziher, juga dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Multazilah.26 Realitas ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kajian tentang aliran teologi aPa Pun meniscayakan pengkaiian aliran teologilain. Di samping itu,'Abd al-Jabbdr tidak hanya memPe.guruhi wacana teologi Mu'tazilah kurun sesudalurya, tapi juga t"-otogi Sunni dan Syilah.27 Meskipun pada masa'Abd al-Jabbdr *u.* bologi didominasi oleh pemikir-pemikir tradisional, brutama esy'ariyyah dan Maturidiyyuh.Namun, metode yang diterapkan dan isu-isu yang diperdebatkan dari segi karakeristiknya adalah Mu'tazili-28 Isu-isu yang diperbincangkan oleh 'Abd aI-Jabbdr, karena karya-karyanya merupakan karya dalam bidang teologi Islam' tidak dibahas di tawatr tema-tema filsafat. Akan tetapi, ketika mempertanyakan,,absennya wacarna tentang manusia dan seja21 Lihat asy-Syah nstAni, Kitilb at-ltital wa at-Nihat, Cel-ll, (Cairo: Maktabah Anglo al-Mishriyyah;

tt)'

hlm.90.

5

of Fakhr lstilah "teologifilosofis dikemukakan oleh MurEda A. Muhib ad-Din, "PhilosophicalTheology 1994. )CX, dan Vol. XVll tslamicus, Hamdard alam d adoin ar-Rizi in atTabir al-Kabif,

n

William Mon$omeryWatt, lslamrbPhilosophy' hlm. 108.

c. Martin, Ma* R. Woodward, dan Dewi s. Atnaja, Defenden 0f Reason in lslam: hlm. 36. Mulazilisn fton Medieval schootto Modern synbo{ (oxford: oneworld, 1997),

27 Lihat Rk*rard

d

lbtd., hlm.35.

Pendahuluan

rch" (Limildzd Ghhba Mabfoets al-Insdnwa at-TilriWtf Turdtsini alQadtm ?) dalam kajian filsafa! Hassan lanafi menyatakan bahwa sejak al-Kindi hingga al-FirAbi kajian filsafat Islam masih belum memiliki struktur (bunyah) bahasan yang baku, hingga Ibn Sina meletakkarurya dalam tiga wilayah kajian: logika (manthtq), hstka (thabf iyy ah), dan metafis *a (ililhiyy ah). Perkembangan pemikiran Eropa abad tengah dan modem, akhirnya mengembangkannya menjadi: teori bntang pengetahuan (knowledge, mn'ifah), yar;rg ada (being, z,rujfrd), dan tentang ruLai (aalues, qtmali. Tiga obiek kajian filsafat tersebut, menurut Hassan Hanafi, semula merupakan tiga kajian utam a kalim: nazhaiyy at aI-' ilm (ilmu), nazhniyy at al-wujtid (fuing), danililhiyyalr (ketuhanan), di samping sam'iyyiltE Dari sinilah, antara lain, signifikansi kajian tentang epistemologi 'Abd al-Jabbdr melalui karya-karya kaldm-nya bisa dipahami. Dalam konteks ini, adalah bpat jika Hany Austryn Wolfson menyebut isu-isu yang dielaborasi dalam literatur-litenitr kalhm klasik sebagai the philosophy of the kal6m;30 bahasan tentang ketuhanan telah merambah isu-isu filsafat. Pengkajian bntang epistemologi'Abd al-JabbAr juga merupakan kontribusi bagi upaya pemetaan struktur bangunan pemikiran klasik tentang itu. George F. Hourani, dalam Is lamic Rationalisn: the Ethics of ' Ab d al-labbdr, telah mengkaji etika filosofis (rasional),Abd aLI;bbar. Kajian Hourani sampai pada kesimpulan bahwa meskipun tidak

di bawah tema tersendiri, dari persoalan-persoalan yang dibicarakan, dapat dibangun sistem pemikiran etikanya yang bukan tidak sama, menurutrya, dengan "infuisionisme,, hrggris modem.31 E

r 31

Hassan Hanali, Didsdt Falsafiyyah, hlm. 130. Lihat kembali catatan kaki nomor 9. Lihat George F. Hourani, /s/amlc R ationalisn: he Eth'rc of 'AM alJabb64 (oxfod: clarendon press, 1971), hlm. 144-146; william Montgomery watt, tslanic philosophy,hlm. 107. MenurutJonathan

Hanbon, intubionisme adalah "$elheorythatalthough ethbalgeneralizations are nottrue bydefinition, lhose of them which are hue can be seen to be true by any person wifr necessary insighf. Menurutnya, dalam konteks epistemologis, intuisionisme sulit untuk diterima, meskijuga iulit u-ntuk ditolak. LihatJonathan Hanison, "lntuitionism", dalam paul Edwards (ed.), The Encyctipedia of phi/osophy, Vol. lll, (New York Macmillan publishing co., lnc & The Free press dan London: collier Macrnillan Publishers, '1972), hlm. 72-74; Beerling et. al., tnleiding tot de wetenschapleer, ler1.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

thought) Atas dasar asumsi bahwa sistem pemikiran (system of interrelasiada seseor.rng yang utuh (integrated) -setidaknya dengan konsep epistemologl maka kesimantara tJ*"p "titu pulan Hourani tersebut menimbulkan pertanyaan: bagaimanai-h ,eUert-ya struktur bangunan pemikiran'Abd al-JabbAr tenlainnya tang episte*ttogt serta keterkaitannya dengan konsep mem(teritama konsep etikanya). Pertanyaan tersebut sekaligus intuisiosebagai pertanyakan bagaimani identifikasi Hourani li"-" i"ggti" mJdem atas etika'Abd al-JabbAr yang hidup dalam

tradili b"tpikit Mujtazilah. ini akan Berdasarkan uraianyang telah dikemukakan' kaiian sebagai pokok permasalahan dou menginvestigasi iawaban utut konsep epistemologi'Abd-al-labbAr? Ba-

U"tif"t faglimanat

tersebut gaimana iniptitasi konsep epistemologi'Abd al-Jabbdr

terhadap konseP etikanYa? desPertanyaan pertama memerlukan uraian yang bersifat melaepistemologinya k iptif dan sistematis tentang pemikiran hitrya-karyanya. Pertanyaan kedua menuntut uraian yang bersifat analids dengan meniusuri relasi antarkonsep (epistemologr dan etika).

Survei Literatur menIGjian-kaiian brhadap pernikiran'Abd al-Jabbar belum tersenkajian objek jadikan-pemikiran epistemologinya sebagai o$ek diri yang sistematis dat -et dilam' Atas dasar tema atau kaj# ying dibahas, kajian_kajian tersebut selama ini dapat dip"Lk; se;agai berikut32 pertama,kajian tentang akal dan kebe.Penganbr Filsafat llmu", (Yogyakarh: Tiana Wacana, 1970), Soejono Soemaqono dengan judul

r

Pendahuluan

basan manusia (yang agaknya menjadi arus umum perhatian kalangan intelektual terhadap Mu'tazilah), misalnya Al-'Aqlrna alfluriyyah: Dirdsahf Fikr al-Qddltt'Abd al-labbdr al-Mu'tazil4 oleh 'Abd as-Sattdr ar-Rdwi (1976) dan AlJAql'ind al-Mu'tazilah: Tashazrwur alr Aql 'ind al-QAdht ' Abd al-labbdr, oleh Husni Zaynah (1978). Kedua, kajian tentang etika, misalnya Islamic Rationalism: the Ethics of 'Abd al-labbhr, oleh George F. Hourani (1977). Kajian Fauzan Saleb The Problem of Eail in lslnmic Tluology: A Study on the

aI-QaWin al-Qfuiltri 'Abd al-labbir al-flamadzilnf s Thought (1992), sebuah tesis di McGill University,33 tampaknya merupakan pengembangan lebih mendalam dengan terfokus pada konsep " jahatf buruk" (the concept of eoil) dari kajian etika rasionalfilosofis Hourani tersebut. Ketiga,kajian tentan gtakltf sebagai bagian dari persoalan teologis, yaitu kajian'Abd al-Karim'Utsmdn, Nazhariyyat at-TaHrt 416' al-Q6dhi' Abd al-labbdr al-Kalilmiyyah (1977). Pengembangan lebih mendalam dari kajian ini dilakukan o19h Ali Ya'qub Matondang dengan disertasi doktoralnya di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Iakarta, Konsep Takltf Menurut al-Qddht 'Abd al-labbilr dnn Impliknsinya terhadnp Tanggung I awab Mnnusia (1997). Disertasi doktoral'Abd al-Karim'Ustndn, QAdht al-Qfidlwh 'Abd al-labbdr (1967) merupakan bahasan yang luas dan umum tentang'Abd al-Jabbdr serta posisi pemikirannya dalam tradisi pemikiran Mu'tazilah. Keempat, kajian tentang Al-Qu1an dan eksegesisnya seperti artikel yang dihrlis oleh Marie Bernand (19U),I-a Mdthode d'exdgDse coranique de 'Abd Gabbar d traoerse son Mutasabih.s Kajian penting tentang metode burpikit dan struktur argumen teologi 'Abd al-Jabbdr dengan brfokus pada persoalan ayat mutasyilbihfrt, sebagaimana terefleksi dalam karya khususnya, Mutasyilbih Al-Qur'6n, dilakukan oleh Machasin (1994) dengan disertasi doktoralnya sebagaimana disebutkan, dengan menerapkan tidak hanya pendekatan kritis-historis, Concept of

hlm.4&-50.

3

pemehan ini sebagian besar didasarkan atas survei literatur yang telah dilakukan oleh. Matfiasin di Pasca,Abi alJabbir dan Ayat€yat Mubsyabihat AlQuian', disertasi doKoral o.lar;ruoroi

s

rbiftandenganiudul,lroadj'Alaalanoer' hlm. 5-7. el_aunni datin iastonaftbs A/-eur,an, (yogyakarta: LKIS, 2000),

o,l.n.ilrNirn.nXariiagayogiakariitrrisa),d.ndit -ifiai(a'in

(Monteal: McGill Univenity, 1992). Marie Bemand sebenamya juga menulis artikel tentang konsep ilmu menurut Mu'tazilah, yang sebagai atrikel tenfu masih terbab, 'La Notion de 'llm chez Les Premiers Mu'tallites', dalam studra /s/amlca, No.36 (1972),2342dan No.37 (1973), htm.27-56.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

10

tampak dari petetapi juga pendekatan filologis' Sebagaimana titt uaup kaiian-kaiian selama ini tentang pemikiran-pe*itirutt'AH al-Jabbar atas dasar objek kaiian' sebagaimana di-

*"t"".

Ufat
todeberpikirdanstrukturu'g.'*"'''usional,Abdal-Jabbdr.Kajipenyimpulan akal' syaan brsedut, antara liain: *"rnbultt *"tode

dithtah' daltl' dan' madrat nalar (nazhar) dan persoalan hubungan i,nipt*"t p"""";ukan, subjek dan gbielcnVa)' Namun' karena tun-

tutir

perobjek kajian yang menjadi fokusnya maka singgungan konteks dalam hanya dtt"U"t a*"mukakan

soalan episte-ologis

p"ndeLtan rasional'Abd al-|abbdr dalam menyikapi iyuvuyut iutasydbihhf. Bahasan tentang epistemologt-'fq "L JutUatltgudikemukakanolehMachasindalamartikel"Epistetetap *otogi',{Ud al-Jabbdr bin Ahmad al-Hamadzanf'3s yang

ffautu"

memerlukan ekplorasi lebih mendalam' Adalah Mulammad Abid alJabui, pemikir Islamkontempemikir Islam porer asal Muroko, y*g Paling Tel:njol di antara epispemikiran iontemporer lairrnya dalam pengkaiian bangunan

ffirrrsfudies, Sunan Kalijaga' 1991)'

No. 45, (Yogyakarta: lnstitutAgama lshm Negeri

hlm.3$-51'

Pendahuluan

11

temologi Islam klasik. Dalam karyanya, Bunyat aI:AqI al:Arabt: D ir 6sah TafuIfliyy ah N aqdiyy ah Ii N uzham al- Mn' ifah f ats-Tsaqfrfat al:Arabiwah (Struktur Nalar Arab: Studi Anditis-IGitis Atas Epistemologi dalam Kultur Arab)36, al-JAbiri mengungkapkan tradisi baydnt dalam pemikiran Arab (baca: Islam) klasik, yang antara lain dalam bidang kal6m ercfleksi dalam karya-karya'Abd alJabbdr, sebagai tokoh Mu'tazilah generasi alftir. Ketika membahas perbedaanyang substansial dalam dataran epistemologis antara silogisme fiqtr, nahwu, dankal.6m, al-Jdbiri mengatakan bahwa illah dalan oblek-obiek yang dapat dijangka u rusio ( aqliyydt), y au;tg dalam fiqh dan nahwu hanya sampai pada tingkatzhann,dalam rlmu kalfrm sudah menunjukkan tingkat "ilmlf'. Datam konbks ini, berbeda dengan fiqh dan nahwu, persoalan-persoalan mebdo logis kurang memperoleh bahasan yang memadai dalam ilmu knlim.Al-labiri hanya menunjuk karya'Abd al-Jabbdr yang membahas analogi model lsfr syhid bi asy-sydhid 'ald al-ghi'rb (menunjuk yang abstrak atas dasar yang konkret),37 sehingga kajian al-Jdbiri lebih tepat disebut sebagai "pemetaan" strukfur pemikiran Arab dari segi baydn, 'irfhn, dxrburhhn. Sebagai sebuah pemetautr, kujl an al-Jdbiri tidak merupakan kajian sistematis dan mendalam tentang pemikiran epistemologi'Abd al-Jabir, ymgsesungguhnya hanya menjadi bagian dari struktur tersebut Di samping itu, pada tingkat lebih umum, allabtui menghadapi kritikan-kritikan yang sangat fundamental dari tokoh semisal Hasan Hanafis tentang apa yang ia maksud dengan kritik "nalar Arab", yarrg tampaknya sangat ambigu.

s

Karya tersebut merupakan salah safu dari tiga karyanya dalam proyek 'Kritik Nalar Arab' (Nagd al 'Aql al-'Anbf) disamping Takwin al-'Aql al-'Anbi (Formasi NalarArab) dan at-,Aqt as-Siydsi al-'Anhi (Nalar Politik Arab).

17 Lihat

$

ibid, hlm.'155-158.

Lihat Hasan Hanafi, Dir6silFalsaliryah, hlm.93. Kritikterhadap al-Jdbirijuga dilonbrkan oleh Geoqe

Tharabisi tentang pendefinisian'akal" dengan menisbahkan kepada pandangan Andre Lalande, yang dianggap oleh Tharabisi sebagai 'salah alamaf. LihatAhmad Baso, "posmodemisme Sebagai Kritik lslam'(Konfibusi Metodologis'Kritik Nalar'Muhammad Abed alJabiri), dalam Muhammad Abed alJabiri, Post-Tndisionalisme lslam, terj. Ahmad Baso, (Yogyakarb:Lrff,2000), hlm. n<xi.

Epistemologi Kalam Abad Pe(engahan

Kajian yang sama, tapi sangat terbatas uraiannya, dilakukan oleh Marie Bernand dalam artikebrya (No. 35 dan 36) di Studi Islamica, "La Notion de'Ilm Chez les Pemiers Mu'tazilites".3e Kajian yang agak mendalam dilakukan oleh J.R.T.M. Peters (7976) dengan kary artya, God's Created Spee&: A Study in the Speatlatiae Theology of the Mu'tazili Qddhi al-Q'frdhah Abfi al-flasan bin

pemikiran'Abd al-Jabbdr bntang di bawah tema logdc (logika) sebaepistemologi yang diletakkan gai bagian inbgral dari pemikir arr" hlsafa{' -nya meruPakan indikasi yang sangat jelas bagi kesimpulan Peters tentang rasio sebagai sumber safu-satunya pengetahuan atas dasar koherensi, sebuah kesimpulan yang perlu dikaji ,tl*g karena urgumen-argumen sebagaimana dikemukakan di atas. Uraian Peters tentang beberapa aspek epistemologis'Abd d-JabbAr tampalorya bertolak dari analisis istilah-istilah kunci ('ey-terms) brtentu, *petltUthti4 syalrk, dharfiti, dansebagainya yang tak lebih dari "pendefinisian-pendefinisian" (pendekatan definisional).al Kritik metodologis saya adalah bahwa pendekatan melalui kata-kata kunci yang tampak kaku dan ketat tersebut dengan sendirinya menutuP ruang bagi telaah hubungan logis antarkonseP, yang mengasumsikan uraian tentang proses diperolehnya pengetahuan sahih. Di samping itu, uraian Peters tentang "logika" 'Abd al-JabbAr tidak melampaui maksudnya untuk sekadar menjelaskan dasar-dasar argumen rasional sebagai basis bagi apa yang disebutnya sebagai "bologi spekulatif " (spatlatftrc theology) 'Abd al-Jabbdr.

Ahmad al-Hamadzini.& Elaborasi

Pemetaan terhadap kajian-kajian terdahulu tentang pemikiran-pemikiran'Abd al-Jabbdr serta kritik-kritik materi maupun metodologi elah menjelaskan posisi kajian penulis di antara kajian-kajian tersebut, serta yang menjadi wilayah telaaharnya.

s

{

Lihat lebih hnjut dalam Studia lslamra, (Paft: G.P Maisonneuve-Larose), 42 dan N0.37 (1973), hlm,27-56.

No. 36, (1972), hlm'

23-

(Leiden: E.J. Brill, 1976).

11 lstilah 'pendekatan definisional" dikemukakan oleh Rob Fisher dalam, 'Philosophical Approaches", dalam Peter Conn olly (ed.), Approaches to StudyofRe/igrbn, (London dan New York Cassel, 1999)'

hlm. '113. Buku initelah diteriemahkan ke dalam bahasa lndonesia dan diterbitkan oleh [KiS.

Pendahuluan

13

Konskuksi Teoretik Dalan An Arulysis of Knowledge md Valuntion, C.I. l,ewis me_ nyatakan, "All knowledge is knowledge of someone; and ultimately no one can have any ground for his belief which does not lie within his own experience" .42 Pemyataan ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai pembenaran epistemik secara ,,inbrnal" dan "eksbmal". Meski memiliki asumsi yang berbeda inbrnalisme dan ekstemalisme memiliki konsepsi umum tentang justifikasi, yaitu berupaya membedakan antara pengetahuan dari keyakinan yang benar, yang bukan merupakan pengetahuan. Kedua model justifikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut Pertnma, di dalam relasi antara keyakinan dan pengetahuan, intemalisme mengasurrsikan bahwa dengan merefleksikan kesadarannya sendiri, seseorang dapat memformulasikan seperangkat prinsip epistemik yang memungkinkannya untuk mengetahui apakah keyakinannya bisa dijustifikasi. Justifikasi epistemik intemalistik bertolak dan states of mind.ag Kedua,ek-sbmalisme yang menguji kebenaran keyakinan de. ngan "justifikasi ekstemal". Dalam konteks itu, justifikasi berkaitan dengan dua hal, yaitu (1) bori reliabilitas justifikasi eksternal yang mengandaikan proses keilmuan sebagai ,,proses yang reliabel", dan (2) teori penyebaban (causation) bahwa suattt proposls adalah benar jika menyebabkan kita yakin akan kebenarannya. Dalam hal kedua, sebab diart*an sebagai: ,'A adalah sebab bagSB" atau "A adalah faktor kausal bagi 8". Baik bori reliabilitas maupun teori penyebaban harus dikombinasikan.44

Kedua tipe justifikasi epistemik tersebuttentu saja bertolak dari anggapanbahwa proses keilmuan secara epistemologis bukanlah proses yang sama sekati terpisah antara kesadaran internal subjek dan realitas eksternal obiek di luamya. Oleh karena itu, proses keilmuan dalam theoitical frameworkjustifikasi epis'? Rodedck M. Chisholm, Theory of $ tbid.,76-77.

u lbid.,hlm.7744.

Knowledge, (New Jersey: prentice Hall, lnc., lggg), hlm. 75.

Pendahuluan

15

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

temik secara substansial adalah mencari justikasi ("pembenaran yang harus dipahami dalam konteks epistemologis) secara internal maupun eksternal,

Metode dan Pendekatan Secara kategorikal, penelitian

ini dapat dikategorikan

se-

bagai penelitian kepustakaan (library researdt) model penelitian

Uuiaya; ide-ide serta gagasan sebagai produk berpikir manusia' Dalam kategorisasi Anton Bakker,as penelitian ini merupakan penelitian msarat model historis-faktual mengenai tokoh, dengan pemikiran'Abd al-Jabbdr sebagai objek materiilrrya, dan U9*uO epistemologi sebagai bagian dari seluruh kerangka peltkilan ersebut seblagai obiek formal. Uraian yang dikemukakan be-rsifat deskriptif-anutitit. Ot"tt t*ena itu, di samping untuk mengkonstruk pemikiran epistemologi'Abd al-Jabbar secara jelas dan sebagi penelitian ko*"p (coiceptual inqutry), k'aiiandiarahkan pula

,".--u-*"ndalampadakajiananalitisdenganmelaluiaPalang disebut oleh vincent Brummer dalam Theotogy and Philosophicnl

Inrytiry : An Intr ofuiction rebagai' analis;t" konseptual" (concep tual anatyis\. Dengan demikian, konsep sebagai struktur kompleks yani mesd diungkap elemen-elemennya mengasumsikan analisis tlntang bagaimana hubungan antarelemen tersebut'46

Datapenelitiandigalidariduatingkat'Pertamndataprimer' berupa karya-karya'Abd al-Jabbdr. Di antar a t'ary a-karyanya antara iain: ai-tvUglmt 7 Abwdb at-Tawlid wa al: Adl, Y ol. X1I tentang 'an-Naz.har wa at-trria'arif ' (nalar spekulatif dan ilmu pengetahuan), adalah karyanya yang secara kritis dan mendalam mengal-Jabbdr; merupakan ungkapkan pu^itit* "pistemologi'Abd kafanya yang paling representatif untuk kajian ini, di samping turyu-tuty*ytyut g luit , at-lJshfrl al-Khnmsah lnayill).tu-tyta2Vadata bih At-Qur'6"; al-tvt"bttlrbi at-Takttf, dan sebagainya' Kedua, 6

Kanisius, 1999), hlm.61--66. LihatAnton Baker,MetodologiPenetitianFitsafat,((qyakarta:

6

VincentBrummer,TheotogyandPhilosophicatlnquiry:Antntroduction,(NewYorkTheMacmillan Press, Ltd., 198'l), hlm.73.

sekunder, berupa kajian-kajian terdahulu yang dilakukan selama ini (tentang aspek yang berbeda dari tokoh yang sama/ sebagaimana dikemukakan dalam survei literafur), seperti God's Created Spee ch-ny a Peters, Islamic Rationalism-nya Hourani, artikel Marie Bemand,'1L,a Notion de'Ilm Chez les Pemiers Mu'tazilites" , dan sebagainya. Literatur-literatur filsafat ilmu, terutama aspek epis-

temologi, ensiklopedi-ensiklopedi filsafat, dan jumal-jurnal filsafat yang membahas epistemologi secara teoretis sebagai "kerangka berpikir". Penelitian ini menerapkan metode historis dengan pendekatan sistematis-filosofis atas dasar interrelasi dan interdependensi keduanya. Penelitian menjadi bisa dipertanyakan ( questionable) temuannya seandainya hanya bertumpu atas pendekatan sistematis, sehingga temuan konsep bersifat ahistoris. Metode historis (histoical method) diterapkan karena akan melihat pemikiran suatu tokoh yang bergerak dalam fase-fase perkeinbangan pemikirannya. Dalam konbks itu, metode historis dioperasionalisasikan dalam dua tataran: (1) secara eksternal, yaitu kondisi sosio-historis dan iklim intelektual masa yang melingkupinya, termasuk arus perkembangan wacana keilmuan bitlang teologi dan filsafa! (2) secara intemal; pemikiran'Abd aiJabbdr direlasikan dengan biografi, pendidikan, serta pengaruh pemikiran tokoh teologi atau filsafat lainnya.

Unfuk mempertahankan unsur koherensi intemal konsep yang digali dari pemikiran-pemikiran'Abd al-JabbAr yang terscbar dalam berbagai karya dalam kurun waktu yang berbeda, metode historis dioperasionalisasikan dalam bentuk konfirmasi antarpemikiran yang brartikulasi dalam satu karya dengan karya lainnya, sehingga dapat disusun "konstruk pemikiran yang sistt'matis-logis". Sebagaimana dikemukakan, penelitian ini menerapkan pentlt'katan sistematis=filosofis.a7 Sebagai sebuah pendekatan (syste-

"

"System" dalam konteks lilsafat mempunyai dua pengertian: (1 ) kumpulan sesuatu yang dipadukan pada suatu keseluruhan yang konsisten atas dasar adanya intenelasi (interaksi, interdepen-

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

16

diartikan sebagai suafu sismntic approach), " system" tersebut dan "sisbm klasifikasil')' tem berpikir (*it"d;4istem logika" p"**tt1:n"11ti"an'Abd al-Jabbdr diDalam penelitian #,

sistemberpikir "episkonstruk secara siste-#atis danlogis dalam temologi'/. atKetika mengelaborasi pemikiran epistemologi'e;b{ pedari aiUaiaingkan ain aqgtan setiap bagian l"UUir; terGntu tokoh-tokoh "t". i"tgu" P"Tli?" -itiru*yu tersebutL"tuoi depeisoalan itu' Dalam pengertian yang berbicuru;ogu "komparatif-konmikian, penelitian ini me""iuptu" p"ndekatan tertentu' bukan konseP setrastif" dalam tataran konsepkonsep itu terutama untuk memperjelas cara utuh dari satu tokoh' Hal sendiri' sekaligus melipemikiran epistemologit'O!1 al-labbal antartokoh (pengaruh atau dihat hubungan historis"pemikiran pengaruhi).

.

operasional Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 'Abd al-Jabbir sebagai a. Menentukan pemikiran epistemologi objek kajian; serta hipotesis seb. Merumuskan masalah-masalah penelitian bagai jawaban sementara; kajian deskriptifc. Melakukan verifikasi dangan melakukan

analitismelaluistudiliteratr(metodehistoris)mengenaipe'Abd al-iabJAr dengan metode historis mikiran "pirt"*oiogi serta mengkomparasikan dan pendekart titf,*"*-fi1osofis'

pemikiran tokoh lain; dan mengkontraskannya dengan meepistemologi'Abd al-JabbAr dengan

d. Analisis pemikiran

etikanya; lihat impikasinya terhadap konsep dikemue. Mengambil simpulan atas dasar uraian-uraianyang kakan.

17

Ruang Lingkup Kajian Epistemologi dalam pengertian "filsafat pengetahuan" merupakan salah satu cabang filsafat. Oleh karena itu, filsafatilmu

menjadi bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).48 Epistemologi dalam kajian ini bukan dalam ruang lingkup yang lebih luas sebagai cabang filsafat, tapi sebagai salah satu aspek bahasan filsafat ilmu (di samping aspek ontologis dan aksiologis) yang secara esensial membahas secara kritis: bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan, prosedur, tolak ukur kebenarannya, dan sarana/teknik memperoleh.yu. Sebagaimana dikemukakan Brian Carr dan D.f. O/connor dalam Introfuction to the Theory of lfuowledgqn kaiian ini akan mmgungkapkan bangunan epistemologi'Abd al-JabbAr dari empat isu utama: (1) hakikat "mengetahui" secara umum, yang brkait dengan analisis terhadap konsepkonsep semisal keyakirnn dan kebenaran; (2) sumber dan cara memperoleh pengetahuan; (3) apa yang dapat diketahui, dan (a) kritik terhadap skeptisisme.

Kontribusi Keilmuan Ada beberapa hal yang perlu diungkapkan di sini untuk menegaskan kembali sumbangan dari kajian terhadap pemikir Mu'tazilah ini, di antaranya:

1. Kajian ini membantah klaim eksklusif selama ini bahwa berpikir filosofis-kritis hanya menjadi frame berpikir kalangan

{ Jujun S. Surhsutnntn,FllsafatllnuSebuahPengantar,(Jakarta:SinarHarapan, o

tre heory

1984),

hlm.32-33.

witr knowledge in a number ways. First and foremost it seeks to give an account of he nature of knowing in genenl, ...A second mncem of epistemology is wi$ he sources of knowledge, wih fie investigation of tre nature and varieg of Epistemology,

of knowledge, is concemed

modes of aquiring knowledge...The third concem, with he scope of knowledge, is dearly related to of epistemology has been, and for many still is, to defend our criteria forknowledge againstthe attac*of skepticism. Lihat, Brian Candan D.J. O'connor, ,nfoduc-

he oher two... The fourft concem

aksioma, dsb ) kumpulan sesuatu- (obiek, ide, aruran' generalisasi) atas dasar prinsip nsional ioireren'(interensi, yang disusun dalam suat, utanai'ya'ng erg;|;; D,U- ary of Phitosophv' (New York: atau bisa dipahami (skema, n1",r1,6:'i'#ffiii. 287' Sames anU'HoUte Books, 1931), hlm

densi, inteftoneksil

Pendahuluan

b.gi.n-b.gir-*yr: p)

tion to the Theory of l*towledge, (Sussex/ Great Britain: The Harvester Press Limited, 1982), hlm. 1-2. Lihatjuga Rodericft M. Chisholm, Tharyof (aowldge, (NewJersey: Prentice Hall, lnc., 1989), hlm. 1.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

filsafat dari filsuf; suatu klaim yang kemudian menyisihkan tataran kehiduPan Praksis' klasik dalam bidang Kujiun ir,i menelaah seorang tokoh Islam Islam. DalanJkonel<s iWA' at-tur6ts' kajian i* pemikiran epis"pit*^.f"gt ;;t"dt kJntribusi bagi upaya konstruksidari upaya Pemei"*"f"gi Islam klasik, dan sebagai bagian

BAB I ,ABD AL.JABBAR DAN

taannya. kal6m takhrarrya 3. Kajian tentang dimensi-dimensi filsafat dalam sebagai proIslam pemikiran -u",*;"f,ka" sisi historisitasmetodologis dalan-Lurli1z duk sejarah. femuurr-temuan ll ittn' (rethink*"n;uai rig"ifikat bagi upaya-T"*ultu"ti kembali ung;tgi d.k; Ishm dJam pendekatan filsafat' Dengan

sebagai alat dialektika-apoaliran lain- dengan mgmahami

KONDISI PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI DALAM ISLAM

filufut

df',

[ain, pendekatan

Gos

*nlhi&as*terhadap

dapat drpr-oyekstruktur dasar bangunan ^"todotogisnyatersependekatan ,it* ,".uta praksil bagi dialektika sosia! kemanusiaan but diaplikasituo s"Uu[ai sotusi problematika kon@mPorer' yang dihadapkan kepada kal.6rn posisi'Abd Tentu saja kontribusi ini semakin meneguhkan menyerap-keilmuan ballak Islam yang JabbAr sebagai pemikir bid'{' lA*g tidak' gar*rggup*aininealnsebigai dari luar, yan lagi terbelenggu oleh dia telah *"*uhuiiU^utt*a kal6m ndai Jogmuti"*", tetapi juga bisa dikridk dan digugat'

A. 'Abd al-jabbAr : Biografi dan Karya 1.

Bibgrafi

Nama lengkaprrya adalah'AM al-Jabbar ibn Ahmad ibn Khalil ibn'AbdillAh al-Hamadzdni al-Asddabddi, yang dikenal dengan gelar kehormatarr'Imhd ad-Dtn, al-Q6dhi, atau Qhdhi al-Q,frdhah.l Berdasarkan keterangan, ia meninggal pada 4'l..4,415, atau 416 H di usia 90 tahun, J.R.T.M. Peters dalam God's Created Speechmenyebutkan bahwa'Abd al-Jabbdr lahir pada 320 H/932M.2 Tetapi,'Abd al-Jabbdr sendiri dalam karya-karyanya menyatakanbahwa ia memulai pendidikannya dari Muhammad Almad ibn'Umar az-Za'baqi al-Basi, seorang mufoildits yang wafat pada tahun 333 H. Dengan asumsi bahwa'Abd al-Jabbdr memulai pendidikannya pada usia puluhan tahun,'Abd al-Karim 'Utsmdn berkesimpulan bahwa'Abd al-]abbdr lahir antara tahun Tij ad-Din AbO Nasyr'Abd al-Wahhib ibn 'Ali ibn 'Abd aLKAfi as-Subki, Thabaqdt asy-Syitf iyyah al-Kubr6, Juz V eds. Malm0d Muhammad at-Taniji dan 'Abd al-Fattd! Mulammad aLHuk, (Cairo: MaKabah'lsa al€ebi at-ttalabiwa Syuraki'ih, 1967/1386), hlm. 97-98. J.R.T.M. Peters, Godb Creafed Speech: AStudy inthe SpeculativeTheology of the al-QudhatAbu al-flasan bin Ahnad al-Hamadzani, (Leiden: E.J. Brill, 1976), hlm.9.

Mu'tailliQitdi

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

20

ke' 320 dan 325:H.t Asadaba4 yang diperkirakan sebagai Empat Hamadzan kota lahirannya, adalah sebuah kota sebelah barat-daya di lran. secara sederhana kita dapat membagi perjalanan intelektual

'Abdal-Jabbdrkepadaduafase;f.aselp20/325H-346H),fase

perkembangan awalnya di Qazwin, Asadabad, dan Isfahan yang tisa disebut fase "Surrni", untuk tidak menyebutnya sebagai fase ortodoksi, dan fase ll (346/957-n'afat I4\5/1024D disebut sebagai fase "Vrrf tazil|', untuk tidak menyebutrya sebagT f?:" heLrodoksi,y-gbisa dibedakan kepada dua, yaitu fase ketika berada di Buttttuh aut di Baghdad (346/ 957 -369 / 97O)yangmerupakan masa-masa awal konversinya dari teologi Asy'ari ke trrtu,tariur, dan proses intemalisasi doktrin, dan fase ketika ber-

adad'iRamahurmuzdandiRayy(369/970-475/1024)sebagai masa produktif - setelah di Baghdad-bug'Abd al-]abbdr'

I: Sunni (320/325-346H1 Di Qazwin, kota kecil dekat Asadabad, di usia tujuh tahun 'Abdal-JabbdrmemulaipendidikanrryadenganbelajarAlQu/an di Kuttab, sebuah lembaga pendidikan ketika itu. Ia kemudian

Fase

mempelajari hadits dari beberapa mufozdditsfin tetkenal, seperti Zrbayribn'Abd al-Wdhid (w.347 H/958 M) dan AbO al-flasan ibn salamah al-Qaththdn (w. 345 H/956 M). Di samping hadits, 'Abd al-Jabbir, pada fase ini, juga mempelajari fiqh, ush0l A;{ttu dankatim (Asy ariyyah). Agaknya madzhab asy-Sydfii dalam bidang fiqlt'-meskipun reputasi ilmiahnya kemudian menunsebagai penentang terkuat kalangan tradisionalis lukkainya '(mufudditsttn;_uaa[ bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan ,ya. Adalah suatu hal yang unik bahwa 'Abd al-jabbdr merupakan figur sejarah yang telah menginternalisasi dan menye,Abd

aLKarim,Usmin,'Muqaddimah",

dalam (Pseudo)'Abd alJabbat syanaLush1lal-l
ff.n

U.nW.hbah,i96S),hlm. 13; FauzanSaleh,TheProblemofEvilinlslamicTheology: in al-Qidi 'Abd alJabbar aLHamadhani's Thoughf ' Iesis, td, (Monfeal: McGill University, 1992)' hlm.'t0.

tC.ir,

);aili;

ffiConcept oiapQabih

T6f ad-Din as-Subki, Ihabag6l asy-Sydft'Weh al-Kubre,nlm'

97-98'

'Abd al-JabbAr dan Kondisi pemikiran Epistemologi dalam

lslam

21

laraskan kecenderungan sistem berpikir tradisionalis asy-sydfi,i dalam bidang fiqh dengan sistem berpikir rasional Mdtazilan, yang pada figur lain umumnya diselaraskan dengan fiqh Hanafi yang sama-sama rasional. Fiqh asy-sydf i umumnya berafiliasi dengan teologi Asy'ariyyah sebagaimana yang menjadi kecen_ derungan sebagian kalangan ortodoks di abad ke-10 dan ke-11 M. Menurut al-Jusyami (w. 1101). 'Abd al-Jabbdr semula hidup dalam tradisi kal6m As1/ariyyah sebelum ke Mu'tazilah. Fakta inilah yang, menurut Madelung, menghubungkan secara logis da_

lam afiliasi fiqh asy-sydf i-teologi Mu'tazilahs meskipuritidak bersifat ketat, seperti fuqaha flanafi di lGurasan dan Asia Tengah yang tidak semu.rnya simpati dengan kal6mMu'tazrlahJ Pada tahun wH/9s1-lv! ia pergike Flamadzdnunt'kmempelajari hadits danmufofiditsfrn, seperti AbO Muhammad,Abd ar-Rahmdn al-Jalldb dan Abfi Bakr Muhammad ibn zakariyd,. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke ilnfunan

Fase

II: Mu'tazili (346/957 -4t1lt}24) Sekitar tahun U6 H / 9ST H,ia pindah ke Bashrah, awal suatu

perfembangan yang sangat penting dalam kehidupan intelek_ tualnya, di mana ia pertama kali bersentuhan dengan kal6m Mu'tazilah dan Abff Ishdq ibn'A W asy,seorang ulama yang per_ b"tujdengan AbO'AIiibn Khailad, murid eb0 Hasyiilibn ltal-Jubbd'i, tokoh Mu'tazilah yang kelak sangat dominan dalam sistem berpikir'Abd al-Jabbdr. pertemuan,aba a_labUAr dengan tokoh ini dan pergumulan yang dalam terhadap isu-isu konloversial teologis dengan kalangan Mu'tazilah Bashrah menjadi titik tolak konversinya dari teologi Asy'ariyyah ke Mu,tazil'ah.z Madelung dengan berdasarkan informasi Syarfo aI-' LIyfin menje_ Ridad c. lr,'lartin, [&rk R. woodrvard, dan Drvis. Afnala , Defendersof Reasw in lslam: Mu,tazilisn lron Medieval Eclnolto Modem sno.f,o/, (oxford: oneworrd pubrication, 1997), hrm. 50. lbid.,hlm.32. Muhammad 'Amarah, 'Q6dhi at-Qudh6h 'AM alJabb6r al-Hamadzinf (pengantar), ,Abd datam aUabbar,'al-MukhtasharfiUs0l ad-Din; datamMuhammad,Amm6rahied), Ras|,ilaf,Adt wa at-Tawf;id,(Cairo: Dirasy-Syur0q, 1988), htm. 25.

'AM alJabbir dan Kondisi pemlkiran Epistemologi dalam

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

laskan bahwa'Abd al-Jabbdr juga belajar pada penentang Abff Hdsyim, AbO Ahmad ibn Abi'Allan (*. 1018), tapi segera kembali ke Bahsyamiyah, pengikut AbO HAsyim. Bahsyamiyah merupakan kelompok Mu'tazilah aliran Bashrahyang menarik garis perbedaan tajam dengan aliran Baghdad.s

'Abd al-Jabbdr menjadi murid AbO'AbdillAh al-Bashri, tokoh Mu'tazilah penganut madzhab Hanaff, ketika di Baghdad' Menurut seor.rng biografer,'Abd al-JabbAr ketika itu mengkhawatirkan afiliasinya dengan madzhab asy-Sydfi'i dalam bidang fiqh dan berkeinginan mempelajari fiqh Hanafi. AbO'Abdilah al-BasM yang menjadi penasihatnya menyarankan untuk tetap menjadi tokoh madzhab asy-Sydf i.e Di Baghdad, di bawah pengawasan AbO'AHilah al-Bashrt, ia mulai mendiktekan kuryanya. Ketika berada di Ramahurmuz ia mendiktek'anmagnum apusny a, al - Mtt ghnt f Afuadb a t-T awfutil w a al: Adl (20 jilid)10 dan rn"14d

pertemuannya dengan 'Abdulldh ar-Ramdhutmuzi, murid alJubbd'i, ia tak hanya memahami pandangan bologis AbO Hfuyim, tetapi juga pandangan teologis al-]ubbd'i. Reputasi keilmuan'Abd al-Jabbdr sebagai pengajar dut Punulis segera menyebar di kota-kota Iran yang berada di bawah kontrol kekuasaan Dinasti Buwayh, di mana knl6m Mu'taztlah masih dominan. Ia kemudian diundang oleh ash-ShAhib ibn

'Abbad Q26H/938 M-385 H/995M),aizier (wazir) terkenal Buwayh masa pemerintah Mu'ayyid ad-Dawlah, ke Rayy (salah satu kota besar Buwayh yang sekarang merupakan daerah-daerah pinggiran kota Teheran). Tidak ada data sejarah yang jelas tentang posisi apa yang ditempati'Abd al-Jabbdr.l1 Pada sekitar Richard C. Martin, Mark Woodward, dan Dwi S. Atmaja, Defenden of Reason, hlm. 51'

Abbasiyah kepada hakim ketua di Baghdad dan Dinasti Fatipada era selanjutnya. Jabatan ini rebih banyak terkait de^iyuh ngan pengaturan kebijakan politik dalam bidang peradilan agama yang berweweftrng mengangkat dan memberhentikan ha"kim_ hakim, Iika pengangkatan'Abd al-Jabbdr sebagai e6dht at_eudhkh tampak bersifat politis-teorogis, pemberhentiannya dari labatan tersebut olehamir Fakhr ad-Dawlah, dan menggantikannya dengan Abo al-Hisan 'Ali ibn ' Abd, al-' Aziz,*uriiUduk

id;.;;

ilmiahnya di Rayy mengisi kehidupannya -hinggaKegiatan-kegiatan meninggal pada 415 H/1024(S)M. 2.

Karya-karya

'Abd al-Jabbdr adalah seorang ensiklope drs (mawsr2.,i). Tulis_ an-tulisannya, yffigmenurut al-HAkim al-Jusyami, dalam Syarfo al-'Uyfrn, mencapai tidak kurang dari empat ribu lembar,t, ti'dak hanya mewarnaiarus debatteologis kont"ks -urur,yu, tetapi juga rnengisi lembaranlembarankarya fiqlu usul al_fiqh, tafsir, i"dL isu-isu debat (al-j adaliyydt wa an-nuqfid),kriuk doktrin agama lain, dan nasihat-nasihat. Sebagian besar karya-karya ,Abd al-Jabbdr tidak ada lagi, tidak ditemukan, atau masih tersimpan di beberapa pelpustakain atau museum dalam benfuk manuskrip,lengkap atau hanya be_ myrylin of

ryla

rneniadi pegawaistaf wazir. Lihat George F. Hounni, /s/amrb R ationalins:the Ethics

'lMaLlM*,(0xbrd:chrendon prcss, i97r),

hrm.-6; RirJrad r/ailin,

r/a*wooorao,

oan

oris.

'2 sebagian

penulis biogafi'AM.alJabb6rmenghubungkannya dengan pemyataannya sehubungan derBantematian sahabatrya, rbn AbMd, yang dianggap mengindilasikan ku"r'g roia,t .ni. t,iirrr

e

lbrd,derganmengutipJoelL.KnaemerdabmHumanismintheRenaissarreoflslarn,hlm. 178-191. r0 Muhammad 'Ammdnh, Qhdhi al-Qudhdh'Abd al-Jabbiribn Ahnad al-Hanadzdni hlm' 26; 'Abd alJabbdt At-Mughni fi Abw?tb at-Tawhid wa at''Adt, Juz XX, ed' lbrihim Madkor ef'aL, (Cairo: Wiz6nat ats-Tsaq-dfah wa al-lnsydd al-Qawmi dan al-Mu'assasat al-Mishriyah li at-Ta'ffwa at-Tarjamah wa atr-Thibd'ah wa an-Nasyr, '196G-1969)' hlm.256-258. 1r Karena kecenderungan keilmuan lbn 'Abb6d, 'Abd alJabbar mungkin-menurut perkinan George 'Abd alJabb6r F. Houran'r+Jiberiwewenang oleh Dinasti Buwayh untuk mengajarfiqh dan teologi.

23

tahun 375/ 977, ia diangkat sebagai e6dhi at-eudhnh @hief magtstrate), s.oat't' jabatan prestisius yang pernah diberikan Dinisti

Afrnai1a, Defenders of Reason, hlm. 51.

s

lslam

afvaffl.tah1laoorang yang dihormatinya, atau kurang fah/[unang menja gadan'ar+r'ayiniwsiaKludhih, Agaknya bertolak dari lieyakinan teotogis Mu'tazitatr, ,lOOiUabnar belomelhrtentanglbn'Abbid, )t ,'r.+.r.4i&l .l.tt6.i.,,uiri16.litl sinya sebagai Qddhi

{.c,}ii

alAh,ir,Al-Kdnilfrat-Tdrikh,JuztX,(BeirutDArTsidirdanD6rBeirut,

dengan George F. Hounni, /s/amic Rafrbnalbm, hlm. 6. 13

Dikutip dari Madrasin,

AleadiAbd

(Yogyakarta: tXiS,2000), htm. 19.

.iin.ilU.

1966),htm.ir.e;rgkrl

al-Jabbar, Mdasyabih Al-eur'an: Dalih Rasionalitas At_eur,an,

'AM alJabb6r dan Kondisi Pemikiran Epistemologidalam lslam

Pertengahan Epistemologi Kalam Abad

24

Informasi sebagian telah diterbitkan' rupa fragmen-fragmeo dan

lV. Komentar-komentar

eneg:tr:tr# X;tillf "li*"'""i't'"oiehbeberaPaf Brockelmann r.furit,"uuit oleh C'

Literutur;Fuat Sezgin

dalam

;;;

G

Schifthtms; Created God's dalam Peters

Geschichte

'Abd al-Karim'Utsman' ]'R'T'M'

(asy-Syunlt)

des Atabischen

mauPun Yang lainnYa' kategorisasi'Abd Karya-karya'Abd al-]abbdr' berdasarkan wa at-Huriyyah lan' kr:iot:grar-RArvi aJ"^

'i;AqI

Martin' Mark R'

Ri[ard-C' v^;;il;;dt": dalamD efendersof Reasoninlslam' woodward, a*p*ii. et "aja

V.

Syahal-Mufiith

td.

2. Syafu Kasyf al-A'rddh'an al-l'rddh

bs.M

3.Tahdzib asy-Syart

td.

4.Takmilat asy-Syafi'

bs.M

5.

Speech;

as-SattAr sasi penulis*

1.

Syad al-Jawdmi'

bs.M

6. Syakal-Maqdmdt

td.

7. Syafual-Ard''

td.

8. Ta'liq Naqd al-M a' ifah

td.

Persoalan Debat

1. Adab al-Jadal

bs.M

(At-Jadallyydf)

2. Al-'Umdah fi al-Jadalwa al-

td.

MunAzhanh

d"p"t diielaskan dengan tabel berikut

3. Al-Khilflf wa al-Wifdq

td.

4. Md Yajlz fi at-TazAyud wa md

t.

llmu-ilmu Al-Qur'an

(al-Ulim

ll.

6n 1. (BaYdn) MutasYdbih Al-Qu/

bs.M

2. Tanzih Al'Qur' dn' an al'Mathd'in 3, At-Tafsir al-Kabir 4. Tatsblt Dat6'il an-Nubuwwah

td

l$eb at-lJshlt

lsu-isu Teologis

1.

(at-UshiltYYah)

2.

At-Mughni

fi

al-l(hamsah

Abwdb at-Tawf;id wa

td.

Vl. Kritkan-kritikan

995 M td.

-380

al-Mubfth

bi

at-Taklif

H.

bs.M

Ahl 6. Ush0l ad-Din'Atd Madzhab at-Tawfiid wa al-'Adl

td.

7.Ziydddt al'Ushfll S.Taqrib al-Ushil

9. Takmitat SYafr al-U sh0l

lll.

Persoalan Skisme

td.

Syafu at-lJshlt al-l$amsah 5. At-Mukhtashar al-Husnd (At-Mukhtasar fi Ushll ad-Din)

4.

1. Al-llimid 2. At-Tairid 3. Al-Jumal 4. Al-l(hlfir al-Fi'l 5. Ad-Daw6'i wa ash-Shawlfif

16

td.

Yaj0z

al-'Adl

3. At-Ma1ml'fi

25

5. Al-Khilflf bayn asy-Syaykhayn

td.

1. Naqd al-lmdmah

td.

2. Naqd al-Luma'

sb.M

3. Nagd al-Bad6'i'

td.

4. Syafial-Arl'' 5. Ar-Radd'A16 an-Nashdrd

rd.

1. AbMasl'il al-Wdndah'Ale Abi

td.

td.

Vll. Permasalahan dan Jawaban

td.

al-Husayn

2.

Al-M as6'il

al-Wdidah'

A16

td.

al-Jubb6'iyayn

3. Mas6'ilAbi Rasyid

td.

4. Al-Ajwibat ar-Rdziyy\t

td.

5. At-Tarmiyyah

td.

6. Al-Qdsydniyydt 7. Al-Klfiyy1t

td.

rd.

bs.M

L

A[-MishiWdt

td.

bs.M

9. An-Naisdbfiriyydt

td.

td.

10.A|-Khawdizmiyy1tt

td.

970/1-995 sb.M td.

td td.

td.

'AM alJabbdr dan Kondisi pemikkan Epistemologi dalam lslam

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

26

[sic, al-Murdd] Ii ar-R6'id)ts daram bidang hadits yang disebut dalam kategorisasi'Abd as-sattzir ar-Rawi di atas sebagai karya 'Abd al-Jabbdr. IGtiga,,Abd al_Karim,Utsmdn dalam

11.41-'Askariyydt 12.A1-Makkiyydt

13.A\-Muqaddimdt'

f?"-g""""

syarfo al-IJshtil al-Khamsah

1. Kfteb al-'Umad

2. Ushhl al-Fiqh 3. N ashifiat al-Mutafaqqihah 4.

Majmi'al-'Ahd

5. An-Nihdyah 6. Al-Hudhd 7. Al-'Uqild

8. Syad al-'Uqhd

9. Al-Mabsttth 10. Al-lkhtiydrdt

Keterangan:

Td: tidak atau belum ditemukan data; sb.M: penulisan sebelum al-Mughnt; bs.M: penulisan bersamaan dengan penulisan al-Mughni; dan tanda " : karya yang juga dimasukkan dalam kategori lain. Deskripsi yang dikemukakan melalui kajian-kajian intensif tampak masih sangat problematis karena adanya perbedaan yang sangat signifikan dalam jumlah karya-karya yang dianggap sebagai karya-karya 'Abd al-Jabbdr. Pertama, Fuat Sezgrn dalam C*schichtedesArabischenS&ift tumsmenyebu&anL3karya,ymg di antaranya tidak disebut di atas adalah Kitdb ad-Dars yang bersama Kitdb an-Nihiyah dikatakan sebagai bagi an dart al-Mu'tanud al-Bashri.la kdua,Brockelmann menyebut Rishlah f 'IIm al-Kmiya' dan al-Amhlt (Nizhfrm al-Qaw6' id [sic, al-F aw6' id] wa Taqrtb al-Marhd

-dengan meruj * pada Kt6b ot- t iuryot wa al-Amat Ibn al-Murradhd_menyebutkan 69 juduf t"";;*_ paknya menjadi rujukan Mufuammad ,Ammarah ;i;o*'g_ antar al-Mu*ttashar Karya-karya yang tiait aif Llshfi.t ad.-Dtn. ,UfrmAr_fiir,ar,(z,1inU"al_eur,an, S1|adltrs:(1)ar_Adiltahf (3) al-flibnahwa at-fl1kt.m, @) Mas,akh"f A_CnoyUon, (Si i_Ur", wa at-Taminu', dan(6) al_Mujdt.ro Di samping perbedaan tingkat temuan atau investigasi naskah-naskah asli, jiga id""fifik rit_ katu semisal dengan perbandingan antarnaskat, s$Iebahasa, darr m.uatlnnya menjadi persoalan yang sangat penting dalam kon_ ,:\i nensan iry"uha., Ivrrt T,1.fu al-ushfrl al-Khamsah. {1'T Richard C. Martin et.ar.,t7 dengan u"iir"t dari paparan Daniel Gimaret,,Ics Ushfil ut_ff,u-Ju a" qidh, 'Abd.Al-Gabbdr et Leurs Commentairs,, yang dimuat itu* tentang temuannya terhadap manuskrip !:ybtlslryologiques KtAb al-ushfil al-Khamsalr darim koleksi manuskrip di vatikan rr menyimpulkan bahwa: (1) ,Abd al_Jabbar pemah menulis sebuah co.Wndium (uraian ringkas) teologi yurrg air.bu t Kitdb ot_UJ,nt ul-Khamsah; (2) 'Abd it-;ubba, t"uo'.raiur, menulis komentar $v1'b) terhadap karyanya tersebutyang hingga kini m"tlit"(3) Beberap a ta, Itq (superkomeitar) llas ry *2, iai- a_ 1.191 f abb6r brsebut dituris oreh rrrranataim ad-Dn Manakdim lgawdm Ahmad ibn al-flusaynlb"-Alt Haryir" al_flusayni Syasdiw), seorang Mu" t z,ah zaydiyah. HaI yang sama juga dilakican otetr al-Farrazadhi (wafat akhir abad 6-z i1 ouiuri proses ia""in-

f

*:q

r"*i"I"""

dari Fauzan Saleh, Tl:re 'i of Evil in tstanb Theology..., hlm. 31. 'o Muhammad hmmirah, 'Q6dhi arQudh.h 'Abd arJabbdr ibn Ahmad ar-Hamadzanr (penganb4, datam Muhammad Ammirah (ed.), nasan at,ni wa n zt_eo.

prilbn

Dikulip

''

ffi*r-

t'

i-li6a,

Martin, r/ark R' woodwad, dan Dwi s. Arnaia

^.

, Defe*ers of

Reason on

lsran,hrm.

r'LihatDanierGimaret'Lesush0rAH(hamsadueidhiAbdAr-GabbaretLeuncommenbin,,daram 11 Fuat Sezgin, Geschrchle des A rabischen Schrifftums, Band Vol. l, (Leiden: E.J. Brill, 1967), hlm.

6244226.

Annares rsrannrogiques, No,

xv

(rnstitut Fnncais

45-96; Maciasin , At-e6di Abd at_JaOOar..,

-

rrfm.

d'nJ*6ir ' -"--'*

21.

orientare Du caire, 1g7g), hrm.

kasi naskah, Gimaret membandingkan antara KitAb al-UshfiI alKhnmsahyang ditemukannya dengan Syarfo al-Ushhl aLKhamsah (edit 'Abd al-Karim'Utsmdn) yang dianggap sebagai karya'Abd al-JabbAr dengan meletakan margin karya pertarna nomor halaman dan baris yang sesuai dengan karya kedua. Gimaret, akhirnya, berkesimpulan bahwa Syarfuyang ditulis sendiri oleh'Abd alaIJabbdr terhadap conpendium-nya itu telah hilang, dan Syarft Ushhl aLKhnmvhyangdiedit oleh'Abd al-Karim 'UtsmAn dan diterbitkan pada 1965 sebagai karya'Abd al-Jabbdr sesungguhnya adalah Ta'ltq 'al6 syarfu al-lJshfil al-Khnmsalr oleh Minakdim'

Ungkapan Mdnakdim tsumma q6la rafuimahullilh yang merujuk kepada'Abd al-Jabbtu merupakan indikasi lain'le

B. Konteks Sosio-Historis dan Kultural 'Abd al-labbAr hidup pada masa Dinasti Buwayh, yaitu dinasti yang dibangun oleh Bani Buwayh dari suku Dailam di pegu-

nungan t"O"Uft barat-daya laut Kaspia. Mereka sendiri mengklaim (meskipun, sebagaimana dinyatakan al-Biruni, tak memitiki dasar yang cukup) sebagai keturunan raja Sasanid Bahram Gur, yang merupakan patron sastera dan ilmu pengetahuan' Sejak teriadinya polarisasi Syfah-Sunni yang menemukan

bentuk finalrrya, menurutWilliam Montgomery Watt, antara 850 doktrinal - 950 two sejarahkahmmerupakan sejarah ketegangan antara waktu dan politis dengan intensitas berbeda antarkurun

s

'Abd al-Jabb6r dan Kondisi Pemikiran Epistemologi dalam lslam

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

28

lbrcl.

Mu'tazilah dengan Asy' anyyah,Hanbaliyyah yang literalis, atau Maturidiyyah. Kondisi ini memberikan corak dialektis terhadap karya-karyanya. Jika masa al-MutawaLkil (232 24T H/ UT _ 961 M) merupakan masa kemunduran Mu,tazilatg berkuasanya Dinasti Buwayh pada abad ke4 H merupakan kebangkitan kedua Mu'tazilah yang berafiliasi dengan syfah.2r Di alcrir auaa ke,9 IvI, Mu'tazilah disibukkan dengan upaya-upaya menepis kritik-kritik yang ditujukan kepadanya oleh- dalam istilah Richard c. Martin kanan (tradisionalis) dan kalangan ktri (mutfolilah, _-kalangan filsuf, dan intelektual non-muslim).2 Di Bashrah; misalnya, al_ Iahizh (w.868/9 M) menulis Fadhilah al-Mu'tazilah untuk membangkitkan kembali citra Mu'tazilah yang tenggelam pascaMutawakkil (dan pada masa aleddir Bilah p8ir:411lts^J}9lr_ 1031 M berikutnya Mu'tazilah dianggap al-i,tiq6d al_qilitiiyang terlarang).8 Al-Mutawakkil (w. 910 M), yur,g p"-ih dituduh sebagai atheis (mulfoid)karena kritilnya terhadap Al-eu1an, kitab suci Qinnya, rasul, dan agama wahyu, menolaknya dalam Fadht_ Luet al-Mu' tazilah. T etapi, intensitas ketegangan doktrinal tersebut agaknya menurun pada masa Dinasti Buwayh. Khatq At-eur,6n 2r Afiliasi atau aliansi antara syi'ah dan.Mu'tazilah disebabkan karena adanya hubungan teologis antana keduanya: op,ttana, Mu'hzilah menempat
predis_ wa inktu ar-iabfl. Kedua, daram konterc di atas, Dinasti Buwaih merupakan penganut sytah Zailiyyah (kemudian beqeser ke sylah lmimiyyah) yarB sebenamy.

ytlsi.(/"adl

t

..o borogi, .irbn Mu'hzilah karena mengakui lima prinsip dasar (al-lJshll ai-khimsatr) llu;taziAn. eerOeO-aan yang lerjadi hanya padaprwlan juz'iyydt(partikular, cabang), terubma pada masalah kepemimpinan (al-ftr6mah). Aliansi anhra sg'ah dan Mu'hzilah, menurut ieteangan asysyahnstani, terFdisemula ketika Zayd ibn 'Al? ibn al-llusayn mempelajari prinsipprinsip ilaran [,,tu;tazitat pada Mshil ibn 'Atll'. Lihat, Muhammad 'Ammdrah, 'eddhi aLeudhih ...', hl;. 27.; Asy-syahrastani, At-Mitat wa an-l'lifial, cel ll, Juz t, ed. Arrnad Fahmi Mulammad, (BeiM: Ddral(utu-b al-,ltmiyah,,l992l 1413)' hlm. 22: Joel L. r\raemer, Humanism rh rhe Renaissance of rsram: Tne cuttiiat nevuat

pebm{ercamaandengantahunbrbitnyaartikelGimaret(1976}{eskimenyahkanbalwa

sebenanmya merggunakan vesi Manakdim, bhpicenderurg mengarBgap penoalan yang sulit unfuk nya sebagaikarya'Abd alJabbirsendiri. Namun, h rneninggallon suatu oiiawau, yaitu uanwa a;Hikim apusyami dalam Syan al'Uyrin (hlm. 368Fmeski membuat kale'

AM al"lGfm,ubn€n

gori tertentu tentang komentar (sya{) dan menyebutnya sebagai syarhal-ush'l al-Khanlah13. iidak menyebut buru inidatam karegori sya{. LihatJ.R.T.M. Peters, God\ Creded Speedt, hlm. Kemungfrnan jawaban beragam atas persoalan itu tampak akan menjadi spekulasi. Oleh karena gebenamya menielaskan-yang karena tgnJuitu, ataJdasar'bahwa Sya[ al-Ush 0t al-Khamsah (hlm. 56nya masih merepresentasikan secan kuat-pandangan 'Abd alJabbar, guru Minakdim penulis menggunakan sebagai penopang penjelasan'Abd alJabbirsehubungan dengan kon-

duftrythetuyirlAge, (Lekten:E.J. Briil, i986), hlm. z2.'AbdauabMrsendiri-<Jemikhn tr,tdnakdimtllak.mengambil keputusan (tawagguf_ seperti sikap gurunya, Abr] Hisyim dan AbO ,Ali, tentang

sahabat Rasuhllah yang paling ubma. setelah menulis syafral-ushll at-Khansah, Rbo itJaobar bertesimpulan bahwa 'Ali ibn Abi rhdlib adalah sahabat Rasulallah yang utama, seperti skap W-ishil ibn 'Ahd'yarg diberi tabet.SyiT [pseudo] Abd dJabMc Slad aAjsh Ot afrcninsanim.

5f,

766-767.

sep epbtemologi melalui sumber-sumber primer.

E

(Edinbuqh: William i/ongomery Watl lslamic Ph:tlosophy And Theology An Ertended Suruey, Edinbuqh Univenrty Press, 1992), hlm. 56'

29

"

a

Ridard C. lvlartin, ilarft R. Woodead, dan Drvi S. Atnaja, Defenders of Reaso4 hlm. 29. Muhammad Ammdrah,'Qddhial{udhih...', hlm. 26.

'AM al-Jabbir dan Kondisi Pemikiran Epistemologi dalam lslam

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

30

menyusuP ke dimensi

sebagai keyakinan teologis yu'lg P:Tuh memang politik pada *uru Abbutiy"ft p1"-ft'futawakkil)

mT:"l

ibn al-Hasan al-Buhhas asy-Sydfi'i' dipaksa meng*I), *orar,g hukim bermadzhab M)'

n"*"yn. lirrhu^*ud

ffi;;ilb*rt gtO i"i. ikuti paham

fufu

ta"ifJ*'

gugu'ut' tUn'eUUad (326-385 aitr"DtnastBuwayh yang berkuasa

Namuo Fakhr ud-D;;luh, ketika itu, menolakttyu'tn didasarkan pada dya faktor: Penolakan tersebut' mungkin' pertama,trauma*;u'uirnuta'ibuasiyahdengan'mifunah-nyadart' merupakan mayopertimbangan po[tis bahwa kalingT-9unni il"ilrkt kekuutu" poriti"t'E Kedua'menurut Watt'

ffffi

Lliti-Ulr".

ik

teologi Islam cenawal Barat tentang perkembangan

k"rit;;i; i:&;'

i

mutakaltii'finadalah Mu'tazilah

bahi derung padu tyq}l"k""gan iustru menuniukhingga munculnya poslsi do€matik M kan bahwa mutakaltimtti abadke-9 di kalangan ahl al-fozdtts'26 yang mend"t"ti p"'itillko*"*uuf" jika benar' menegaskan telah te{adi

t"*iliki

Kesimpulan Watt iersebu! Iiberal" dan kelom"pencairan" t","gu"gu" t"!y5 1ra-dikal/ Hanbali' ortodoksi Literalisme pok "konservatifT trJaisionalis'i' "mencekik" p",tgtruh furli yan-e sebelumnya Asy'ariyyah, besar-beperkembangan "ta" filsafaL akhimya melonggar sehingga penge'tahuan dan filsafat' E'G' saran terjadi dalam bid;g ilmu PerJumengungkaP-kan hal ini' Browne dalam rit *i i7tory of been stifled by Turkish as"Philosophy *p"ti;rfy, *fttit.irad as well as by the growing cendanry ur,a H*U#te fanaticism' 27 one more revived" '"' strength of al-Ash ari's doctrines' masa perkembangan ilmu Masa Dinasti Buwayh merupakan cukup signlfitan dalam sejarah pengetahuan a". t"ft"Lf ya"g 2'ZuhdiJirullih, Al-Mu'tazitah'(8eirutal-Ahliyyahlian-NasyrwaalTawzt'1974)'hlm'210' sLihatClaudeCahen,"Buwayhids'Buykts'dalamHA'R'Gibbet'al''(eds')'IheEncyclopaediaof r-"tiJtt: t-uzac a co'' 1960)' hlm' 1350-1357' lslam, Vol. l, (Leid.t' r'i'Ei'n'itt 26 William ltronbomery

364.

peradaban Islam. Joel Kraemer menyebut masa ini sebagai ,,re_ naissance Islam".28 Pada masa BuwayhJah, antara lain, lahir se_

jarawan Hildl as-Sabi, ahli geografi Istakhri.dan Ibn an-Nadim yang menyuswr al-Fihisf-nya pada 377 / 997 -g8;g, ahli matematika Abff al-Wafd' al-Bazjarti, ahli perbintangan an-Nasawi, dan fisikawan al-Majusi. 'Abd al-JabbAr tentu juga bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran para filsuf Islam yang hidup pada masa Buwayh, semisal Ibn Miskawaih, filsuf dan sejaraw€rn sekaligus bendahara Buwayh masa Adhud ad-Dawlatr, Ikhwdn ash-Shafd' yang menulis risalah-risalah yang dikenal dengan RnsA'iI llhwdn ash-Shaft', dan lbn Sind (w. 1094. Tokoh yang juga tak kurang pentingnya dan rival Ibn'AbbAd, AbO HayyAn atTaw\idi (w.399/1009), penulis Kitdb al-Imt6, uta al-Mu;6nasah, gurunya/ Abt SulaimAn as-Sijistini (w.371,/981), seorang ahli logika (al-manthiqi), dan Ytsuf al-'Amiri (w. 992M), penulis Kitab al-I'l6mbi Mnn1qib al-Isl6m,juga produk masa Buwayh. Browne merpatat bahwa AbO Nashr al-Fdrdbi meninggal pada 950 M yang filsafatnya bntu memberikan pengaruh brhadap pemikiran sesudahnya. Beberapa pengkaji periode ini, seperti Ian Riclnrd Netbn dalam Al-Farabi and His Sdtoolmenggambarkan pemikiran periode ini bersifat al-Farabist.a Meskipun Dinasti Buwayh adalah penganut Syfah Zaidiyah (yang menurut Netton kemudian bergeser ke Syf ah Im6miyah),s n

Lihat lebih lanjutJoelL. Kraemer, Phi,osophy inthe Renaissane of tstam: Abu sutayn1nas-siiistdni cide, (Leiden: E.J. Brill, 1986). Karyanya yang lain adahh Humanisrn inhe Renaissane

and His

of lslan: the cullunl Revival During the Buytd Age. Menurut Bemard leuris, kebarqkitan Dinasti Buwayh, sebuah Dinasti lnn sytah, di abad ke10 sesungguhnya menandai litik-balit datam selarah perdaban lslam abad tengah. Sytah selalu nerupakan lahan suburbagi badbi intelekfual flsaiat dan misitisbrre yang menyambungkan keterputusan mata nanbi intelekfual di dunh lslam ketika flsafat dibabat habb oleh kalangan ortodoksi (sunni, hadisionalis). Lihat Bemard Lwis, /s/am in Hi$ory: ldeas, People, and Evenb in the Middle East, (chicago dan La salle, lllinois: open court Publishing Company, 1993), hlm. 1't3.

n

Watt lslamic Philosophy hlm' 57'

27E.G.Bmwne,lieraryrr.stolyoseersla,vot'1,(Cambridge:CamblilgeUniversityPrcss,1956)'hlm'

31

Lihat lebih lanjut dalam lan Rk*ard Netton, Ar-Farabi and Hrb school, (London dan New york: Roudedge, 1992); Oliver Leaman, 'lslamic Humanbm in he four$ tenfi centurf, dalam Seyyed Hossein Nasrdan oliverLeaman (eds.), Hidwof lslanicphilovflty,parl l, (London dan NewVork: Roudedge, 1996), hlm. 155.

n

lan Rbhard Nefton, Al-FaraN and H9School hlm. 28.

'Abd al-JabbAr dan Kondisi pemikiran Epistemologi dalam lslam

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

32

tempat kebebasan' tradisi dan pandangan Sunni tetap diberikan Bahkan, Joel L. Kraemer mencatat perkembangan-perkembangan altara tJtotuiiu" politis bagi kebebasan berpendapat' Kra9m91 adiuir, -"r"t* perdebitan pada masa pemerintahan'Adhud AbO Sulaimdn asDawlah antara AbO Bakar al-BAqilldni dan teolog dan filsuf Sili"aaoi,t sebuah perdebatan akademis antara ahli terladi sebelumnya antara Abff Bisyr MattA' ;G;;""" seorang teolog i;ffi aan g,rru at-fArAbi, dan A$o Sa'id as-SirAff' berkuasa anyang irfi*.o'aaind ad-Dawlah, patron as-SijistAni' ia g78M hingga 983 M menunjukkan toleransi yang khusus bagi non-mutli*, t"rutuma Kristen'33 dengan 'Abd al-Jabbdr bntu saja tidak bersentuhan langsung "lingkungan filsafa(' ide-ide filsafatYunani meski berada dalam berpikirnya' telulma di atas. Pemikiran Yunani dan metodologi l"gtk" Aristoteles (al-mantht q aL Ansthi) y"",q 1ili ^tT:i Josef teologr lrir, gs dikatakan sebagai bagian struktur logika -ttT' dari diperoleh kecuali' (tlulogical strucnre of kimi'!*bgq)tanpa dengan langsung tokoh-tokoh a*ut tt't f tarilah yangGrsentuhan (the frst,waae of.Hellerambatan gelombang pertarna H![enisme Yunani karya-karya U"ditiu Islam"melalui penglelahan meruPa"iA *uru Abbusiyah di Baghdad''Abd al-Jabbdr memang Akan tetapi' menurut Perkan tokoh Mu'tazilah cibang Basfuah' cabang Bashrah kiraan William tutontgomef Watt' Mu'tazilah sejarah di banding calebih dahulu muncul i" p"t*"ttan dalam cabang Baghdad lang g"ghaad." Oleh kaiena itu, berbeda dengan grasikan penyeyur,[ f"rJif, U"rorientasi praktis dengan menginte kekuasaan' cailurJ^ prinsipprinsp atktrin ke dalam struktur teoretis dengan terfokus pada ffi ri*trut l"uinLrorientasi Di antara p"#tirur, dan perumusan prinsipprinsip tersebut'3s

tokoh Mu'tazilah di Bashrah adalah Mu,ammar (sezaman dengan yang, karena telah mengungkapkan konsepsi-konse"psi 9_niri4

filsafatYunani dengan cara yang sistemitir, -u*p"ngaruhi per_ kembangan Mu'tazilah belakangan. ,Ali Sami ar._ru"!fya, *e_ nyebut Abfi al-Huzayl al-,AllAf, generasi sesudah Mu,ammar, sebagai "filsuf pertama,, Mu,tazilah.e Ia menggunakan konsep substansi dan aksiden Aristoteles dalam menjelaskan atomisme yang mendominasi teologi Isram.3z c,enerasi Bishrah yang sangat penting bagi pembentukan intelektua|Abd al-Jabbd" uaiur, eu,i 'Ali al-Jubba'i dan puteranya, Abt Hasyim ,yngdisebutnya se_ bagai asy-syaik].W (dua guru). Di samping "\g*ungan teologis,, (theological enoironment), meminjam istilah I.R.T.M. peters, dan ,,lingkungan filosofu,, di atas, pemikiran'Abd al-Jabbir tentu harus Jiput u-i dalam konteks ketidakpuasan ilg" kritiknya _ seperti dituangkannya dalamNaqd al-Luma' 9.T (kritik terhadap al-rttmi) -tetnaaai eoro6 al-Asy'ari, al-KutlAbiyah (aliran fUn fuUaU;, aUn M'hammad Hisyam ibn d-Hakam (Syfah), Khaswiyah.Toioh Aq/ariyyah ter_ penting yang semasa dengan,Abd al_|abbdr adalah am gakr al-Bdqilldni (w. 403 H/1073 M).s pemikiran,Abd al_Jabbdr juga merupakan kritik terhalln,kelompok_kelompok luiru r"p"it as-hlib aihahabi'i (nah;irahs),ss azh-zhahriyyah (materialism iy, n _ sfrfshthi' iyyaft (sofisme),ao dan lain-lain.

r

o

! s

76-79'

Lihat oliver Lea nun,lntodudbn to MedbvaltslamicPh/osophy, sitY Press, 1985), hlm.8-10' hlm' 29' lan Ridrard Netton, At+anbi dnd Hissclrool' hlm' 52' William Mon$omeryWafr, lslarnbPlrilosophy'

(cambridge: cambridge univer-

!AhrnadAmin'DlrrtaalJsl*n,Juzlll,(Caio:lr,lalGbatan.Naldhahal-Mishriyyah,tt),h[n.15s.161.

Alisdmi an-Nasysyet,

Nasy'at at-Fikr ar-Farsafrfr at-tsr6n, Juz r, (cairo: Ddrar-Ma'drif, 19gr), hrm. 444. tugumenhsiyang dikemukakan.an-Nasysydr adatatr: 1t; [,lenurut peniraian loo Asy'af, pandarEan ar-'Aildf tenhng silatTuhan merepres.ntark n

u.l*t

ait#n'ar

t r*, iii oolri"ii.r

bahasan--sebagaimana pemahdinyatakan oreh ar-rihayy6th-+nerupakan objer ti1fun Menurutan-Nazhzhim, ar-'Ail6f mengkaji buku-bukufirsafatyunani; (4t tang gnostsisrre;dan (5)Ar-Aldf semasa dengan upaya penerlemanan hryr-r.iry, di Baghdad masa al-Ma,m0n.

nbr.iilt pdngd;hrr.ri*nGailrr.ri

rr :

31 Joel L. Lraeme r,PhibsophyintreRenaissance of lslam' hlm'

33

r n

William MonQomery Wa( tslamic philosophy,hlm. 53. Konsfuksi pemikiran kal6m aLB6qiildni, yang semasa dengan Abd arJabbir, sena beberapa per_ geseran dad Asy'ariyyah yang dianufrya akibat persentuhinnya dengan ariran lr,lu'tazirarr, anba lain, dapatdirihatdatam ilhamuddio penikjnn Katan At&aqiirani:

Perbdaannya dengan atAsy'ai, (ftgyakarta: Tian Wacana; 1gg7).

siudirenang

eiiilinJm

Ashhdb ath-thabdi'adarah kelompok naturarb yang menegaskan hukum kausalitas.natures. an sich dan menegasikan sama sekari kemungkinin tlterrioaltan lindakan Tuhan Ji orri, ii.i.r.ir.

Pertengahan Epistemologi Kalam Abad

34

itulah yang T"."gttithl Konteks sosio-historis dan kultural *aal-Jabbdr, suatu kondisi di mana dalam kesadaran @ ,rn*' wacarn teotogis dan filosofis' teriadi

pergumulan;t;;

Epistemologi C. Peta Perkembangan Pemikiran dalam Islam

pemetaan kondisi pemikiran Pada bagian ini dikemukakan ;ahm Islam untuk melihat Posisi y""g

epistemologi

b;;;;;;;

k'atfun yang meniadi

atau struktur epistemologi dalam Y3:*u Istam" adalah sesuatu yang salah satu elemennya' "Ep:istemologi -"i"";"af a1J5*t1t ilmiah yang di Barat unik karena upu y*g dalam Islam ditarik ke diskusi dikaii secara filo'orcl'p"kulafrf doktrin agama-teriadi tarikyang-kare" b",J"il;;;; Adalah suatu problemamenarik "ilmiah-p'"-iliJJ "oti;r*iah'' Islam dalamkontek's@a' tika serius y*g did;;;;;;dalitas Islam dan pemetaat-turdtsbahwa kalian terhaaup "pt*Tologi aiUnttutt' kecuali hierarki ilmu an struktur tersebutlJ-banyul uPaya awal berupa simposium versi Osman Bakar dan sebuah r"u^i#,1999 oleh tlu Internationnl rslam and Epistemotffp"J" untuk.membahas karya Mehdi lnstitute of Islamic n*"in'(IIfI) Ha'iriYazdi,ruP;;;;i)'"jrpiut*tt"ry'""-y:::-i!:i:-y:I -a rrr r' r'vL' Ltw L "iliP"oiut;u" dikemua yarr6 komprehensif by Presence'*' r-emetaarr yuttg IQnwledge

semisal Ki6D

nil.s. 0.r". rit raturliteratuf ka,am Asv'ariyyah, tu'sver"-"v r-rar-B'qirrini,'"il#.i*|i'--iilq^iH1o]HH:5l';H:[*ll;i"ilTf' mkonsepsiAristogbs,yailupanas, kualp

peters, God,s created speed,, oleh aFBaqnant'. narurE) ranhidoreh at d-Tanhid

ililri ;; il;"s*aoang

dipahami sebagai empal

ll:

'Abd alJabb6r dan Kondisi Pemikiran Epistemologi dalam ldam

kakan oleh Mulammad'Abid al-Jdbiri dalam tiga seri "kri6k nalar Arab" (naqd al:aql al:arabi), yaitu: Takwin al:Aql aI:Arabt; Bunyat al:Aql al-'Arabt: Dirdsah Tafililiyyah Naqdiyah li Nuzhum aLMa' nfalt fi ats-Tuqdfat al-' Arabiyy ah; dart at: AqI as- Siydst aI: Atabt Uraian berikut lebih bersifat umum dan singkat untuk melihat posisi epistemologi dalam wacana kal6m sefia interkoneksinya dengan episteme model lain. Sari Nusibeh dalam His tory of Islamic Philosophy memetakan

aliran-aliran epistemologi dalam Islam kepada empat varian:42 Pertama, pendekatan konservatif. Model pendekatan terha-

dap epistemologi ini mengasumsikan adanya dua domain kebenar.rn; (1) kebenaran melalui teks-teks wahyu dan (2) kebenaran a3 melalui nalar logika terhadap bks tersebut Kebenaran pertama merupakan kebenaran absolut karena bertolak dari anggapan bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tak mungkin terjangkau (elnated tntths)yang hanya menjadi wilayah keyakinan. Kebenaran kedua, karenanya, hanya merupakan kebenaran "pinggiran'. Produk keilmuan dengan menerapkan pendekatan ini oleh Ibn Khald0n, dalam al- Muqaddimah, dikategorikan sebagai kelompok "ilmu-ilmu yang ditransmisikan" (al:ulfim an-naqliyyah), seperti tafsir, fiqh, ush0l al-fiqtu dan bahasa. Pendekatan model ini men-

iadimainstrecrr pemikiran epistemologi di dunia Islam dan dalam ketegangan dengan disiplin lain merupakan kekuatan yang mendominasi.aa Kedua, pendekatan dialektis yang diterapkan oleh mutaknl-

Iimfin. Meski masih terpusat pada teks sebagai kerangka rujukan

*ffi};f*fr1;fu,ry,6ru,mrli$1t* ar-tt*l'l1t^1Ti:::,#ffi

{

$;{fi,l&rn*mlmmur*ffi

.,

n'f

;#

ua-narom), sva@ atushtil

rearitas reuenann (at-

Sari Nusibeh,'Epistemologyr, dalam Oliver Leaman dan Seyyed Hossein Nasr (eds.), Hidory ol tslam Philosophy,Bagian ll, hlm. 82H40. Bagaimana bansmisi kie'tde filsafat Yunani ke dalam pemikiran epbtemologi lslam yang direpresentasikan oleh lbn Sini, alfiribi, lbn Rusyd' al-Ghazili dipetakan oleh Muharnmad Gall6b, Al-Ma'ritah 'ind Mufakkhi al-Muslimin, (cairo: adoir alMishriyyah li atTa'lif wa alTariamah,

1969), hlm. 47.

|r

Sofir""l

oilttitittti'oaknva

'rcJttl#1ffi o.#'"1o^raa,l

1994)' t4ohamad, (ganOurg: Mizan'

adalah skeptisisme

ndilol'

XVI' No' 3' tslambsocial sciences, Juz Jouma.l .of oleh Ahsin tndonesh re oaram bahasa

Lihat hporan simposium a, Fa[, 1999, hrm. 81_1 20. BukliJ";;i'ffi;,t,r.manran

35

(

ttt.).

'Every humanly athinable truh can be found in the revealed text or can be logically extrapolated from truhs hat are found in trat text According to his vieriv, not every lruth is humanly athinable, and it is fre marft of a believer to accept tnt one can only have faih in fte more elevated fuhs". Lihat, Sari Nusibeh,Epistemology, hlm. 826.

lbrd,hlm.826-{27.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

36

mampu mengajukan per(frame of referene),nalar deduktif kal6m pada diskusi ;;"h"-'p";toalan sekitar teks yang zu{alr merambah

oleh pendekatan-per;.i;g; dan filosofis (yang tidak dilakukan isu-isu epistemologis mendekati our" knka kat6m d"atam yang Nusibeh-"logika "*"i. mendasarkan diri atas-dalam istilah

,,oik"berupa(1)hubunganlogis(interpretasidistingtifatashuunik (terminologt-teri".g".k *at) aan (2) dunia wacaftryangditemukan pada disip minologi khusrs yur,i,"tara umum tidak Pen.ylmlan tin tuit it"p" rl ma'ni, fufi\, mawdhtt't, sul€rn an-nafs)' logika' t*ta* a.nian"logSk'd'ltetki dikridk oleh "guru \e{ua" dalam Pengerui-rataUilir"n ut!-syuntustAnfs harus dipahami

pergeseran secara p€rtian ini. Pendekatan dialektika merupakan ditempatkan pada lahan dari teks ke nalar. Namun, teks masih berp.t*f fundamental sehingga produkpendekatan ini masih wilayah dalam eksplanatif, bukan eGpl'oratif, dan berada

iifat

*qt yyoidalam

kaegorisasi-lUn fcfnUOn Sungguh

pun-d"ttf1'

memposisik*' yy* pengkaii kontempor"", *u'u'u perlu untuk persepsi' kebedalam multi-perspektif (misalnya epistemologt' argumen demi ;;;; berkehendak, dan setagainyi) atas dasaresensi-eksistensi argumen. Diskusi tentang P""yutuutt' identitas' iU"-Sit a dalam .ushtah f al-Falsafa! allsJUugaimar,a dielaborasf ifff fi-p"t merupakan bentuk analogis dalam wacana epistemologi.6 Ketiga,pendekatan filsafat ataufatsafah' Pendekatan.episte(boily of m"rdusarkan "bangunan pengetahuannya"mologi sebagai karangka Y"kknowtedge\atas sejumlah ide-ide filsafat petualangan rasio se' o$ek an. Oleh karena itu, ilmu merupakan hingga aktivitasnya bersifat eksploratif' konsep episDi kalangan filsuf Islam, terdapat perbedaan utama pemikiran episEmologi. Tetapi secara umum, ada dua arus direpresentasikan oleh Ibn SiM dan al-Farabi'

iii

e*ofo[i nftdutyang .5

. dij-rpsl wa

$

r 6Li.ll

a,-Nilal Juz l, hlm'

r

AlMital '(logika dan kal6m adalah sinonim)' Asy-syahrasUini'

23.

SariNusibeh' Epistemology, hlm

'827-428'

'Abd al-Jabbir dan Kondisi Pemikiran Epistemologidalam lslam

37

Epistemologi Ibn Sind lebih dekat dengan epistemologi knldm, sedangkan epistemologi al-FArdbi lebih dekat dengan sistem neo-

Platonik. Akan tetapi dalamkonteks umum filsaf.ataersus disiptin

tradisional, perbedaan-perbedaan epistemologi di antara keduanya tidak tampak pada rincian yang relevan. Oleh karena itu, sintesis ide Platonik dan Al-Qur'dn dielaborasi sebagianfilsuf Islam irntuk meredakan ketegangan pendekatan filsafat uersus konservatif untuk sampai pada formulasi bahwa kebenarankebenaran bergradasi, bukan berdiferensiasi atau konflik. Pendekatan ini mendapat bmpat pada pendekatan mistis.48

kunpa| gtdekatan

mistis. Pendekatan episbmologi ini men-

tlasarkan pada pengalaman intuitif yang individual, yang menghasilkan ilmu ludhtui (pengetahuan-diri yang presensial) sebagaimana menjadi konsep as-Suhrdwardi dan Mulld Sadra, bukan al:ilm al-fuushfilt al-irtis6mt, yaitu pengetahuan yang diupayakan melalui pengalaman tentang dunia eksternal yang representasionade melalui nalar diskursif. Asumsinya adalah bahwa peng.rlaman intuitif akan mampu menyerapkan secara holistik objek prcngetahuan yang dengan pendekatan lain hanya bisa ditangkap secara ftagmental. Karena tidak dapat dideskripsikan atau diverifikasi secara ilmiah, Nuseibeh menganggap pendekatan ini sebagai penyimpangan s dilihat dari perspektif umumnya (epistcmologi positivis yang melihat reguleritas, interpretatif yang melihat makna, atau konstruktivis yang melihat dialektika materi dan pikiran). Meski demikian, pendekatan mistis ingin menjemlntani ketegangan klasik filsafat-ortodoksi karena "kehadiran"

"

{ { "'

lbn Sini

(370FBf4A/1037)

hidup pada masa Dinasti Samaniyah di Bukhara dan kemungkinan

mengenal ile.ile kaldm Mu'hzilah ketika berftunjung ke Rayy dan Hamazan masa Dinasti Buwayh pada pernedntahan Syars ad-Dawlah, pandangannya, sebagaimana pandangan mebfisika al-Kindi

yang sangat Mu'tazili, dipengaruhi oleh faktor historis dan kultural yang melingkupinya. Lihat Muhammad Kimil al-Hun lbn Sin6: Haydtuhu, 'Ashruhu wa Falsafatuhu, (Beirut Ddr al-Kutub al'llmiyyah, 1991), hlm. 10-15. Sari Nusibeh, Eprbtemo/ogy, hlm.829 dan 835.

lbrahim Kalin, 'Knortledge as Lighf, dalam The American Joumal of lslamic Socra/ SciencBs, Juz XVl, No.3, Fall 1999, hlm.90. Sari Nusibeh, Episfemo,ogy, hlm.830.

38

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

'Abd al-Jabb6r dan Kondisi Pemikiran Epistemologidalam lslam

39

epistemologis tersebut menunjukkan dimensi rasionalitas (ifti@rd o7:6qil wa al-ma' qfiL bukan hanya ittiWid al:6if wa al-ma'rfifl .51

bahwa epistemologi kalkm, meski menggunakan nalar logika, masih berkutat pada teks dan belum bersifat demonstratif (&rt rhfui\

Pemetaan tentang epistemologi Islam yang dilakukan oleh Nusibeh memiliki persamaan dan perbedaan dengan pemetaan alJabiri. Pendekataan konservatif yffig, menurut Nusibetu lebih

Meski demikian, dengan menyebutnya "pendekatan dialektis', sebagai pendekatan tersendiri, Nusibeh ingin menunjukkan telah terjadinya pergeseran yang sangat signifikan dalam tingkat penggunaan nalar "spekulatif" dari teksfualitas pendekatan konservatif ke nalar. Oleh karena itu, menurut Nusibeh, berbeda dengan al-Jdbiri yang sangat pesimis, meski terikat dengan teks, pendekaankalilm telah menyentuh dan mengeksplorasi problema-problema filosofis dan spekulatif dengan karakter distingtifnya yaitu merespon persoalan-persoalan filosofis yang muncul karena asimilasi kultural dengan menggunakan terminologi-terminologi sendiri yang unik, semis al fofiL, sulcfin an-nafs, dan mn' n6. Karakter distingtif itulah yang menjadikan knl6m tampak lebih orisinil dibandingkan filsafat Islam. Beberapa konsep kunci yang dibahas oleh al-]dbiri, semisal hubungan antara "ungkapan" (Iafzh) dan "maltna", dasar (ashl) dan cabang (for), substansi dan aksiden, dan beberapa prinsip dasar, misalnya infshil (keterputusan; diskontinuitas), tajwtz (keserbabolehan; keserbamungkinan), dan ntuqdrabahsz (upaya mendekatkan dalam analogr), adalah dalarn konbks penekanannya bahwa logska kalAm, fiqtr" maupun bahasa Arab sebagai epistemologi baydni ymg, karena hanya bersifat eksplanatif (baydni), sangat berbeda dengan logika filsafaL Karakter apologetik kal6manpaknya memperoleh aksentuasi yang lebih kuatpada pemetaan al-Jdbirf dibandingkan pemetaan Nusibeh.

banyak diterapkan pada wilayah ilmu-ilmu yang ditransmisikan(naqliyyah)danpendekatandialektispadadtsiplinkalirnadalah apa yang diistilahkan oleh al-Jdbiri dengan "epistemologi bayilnf ' (al-' aql al-bayfrni), y angtitik-tolaknya adalah teks-teks keaganuran. Pendekatan filsafat adalah sama dengan "epistemologi burhin{' (aI-' aql burhini), sedangkan pendekatan mistis semakna dengan "epistemolo gS' irfdnf' . Menurut al-Jdbiri, wacana-w acarra bayant y angberkembang dalam sejarah Islam pada substansinya berpusat pada dua domain: "kaedah-kaedah interpretasi wacana" (qawdntn tafstr alHtithib), seperti dasar-dasar penafsiran ayat-ayat Al-Qu/an, yang fundamennya telah dirintis sejak masa Rasulallah dan para sahabat dan'syarat-syarat produksi wac ana" (syurfrth int6j al-Ihithhb\ yang baru muncul ketika terjadinya polarisasi kaum muslimin menjadi kubu-kubu p"litik dan aliran-aliran teologis. Domain pertama masih menunjukkan keterikatan kuatnya dengan teks, sebagaimana pendekatan konservatif pada tafsir, sedangkan pada domain kedua teks merambahpada persoalan logika, yaitu tentang bagaim.uvr memproduksi wac.rna sehingga berkaitan dengan logika dalam bahasa danknlim, yang oleh Nusibeh disebut dengan pendekatan dialektis. Sama dengan aksentuasi yang diberikan Nusibeh ketika menyebut epistemologi ka l6m denganpendekatan dialektis, al-Jdbirt dengan menyebutnya sebagai epistemolo gp bayhnt menekankan

D. Epistemologi dalam Wacana Kaldm: Keterkaitan Ilmu, Keyakinan, dan Kebebasan Berbeda dengan episbmologi sebagai wac€uul mumi filosofis, wacana kal6m tenbng epistemolog

5r Dimensi nsionalihs, teruhma, bisa dijelaskan dengan pendekatan intu lfr $rtdni, dzawqf)lasawul fabafi semisal pendekatan lsyriqi Suhr6wardi al-Maqtil, yang sesungguhnya juga mendasarkan pandangan atas logika teaendiri. Lihat'Ali Sdmi anj.lasysyar, ?nabhab al4iyis al-isyr6qf, dalam Manflhii al-Bahts'id Mulakkiri al-lsliln wa lhisydf al-Manhaj al-Ilni fi al-'Alam al-tshmli (Cairo: Ddr al-Ma'drif, 1967), hlm. 344.

ilmu bertolak, setidaknya, dari relasi erat antara tiga hal ilmu pengetahuan (ma'ifah, 'ilm), keyakinan (tm6n), dan isu teologis tentang kebebasan manusia 5, Muhammad'AbirJ alJibiri, Bunyat al-'Aqt at-'Arabi..., hln. 239-249.

40

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

'Abd al-Jabbdr dan Kondisi Pemikiran Epistemologi dalam lslam

(free-will atau predestination). Sejarah teologi Islam menunluttan bahwa epistemologis3 menjadi problematika teologis yang kemudian berkembang secara evolutif menjadi objek kajian yang mendalam, baik secara langsung maupun tidak karena faktor inter-

nal dan ekstemal.il Agaknya, karena interaksi doktrin-filsafa! isu epistemologi model kal6m mengalami perkembangan ekstensif dan elaboratif di kalangan Asy'ariyyah dan Mu'tazilah.'Adhud

ad-Dtur at-iii ltZ}t-1355), generasi Asy'ariyah, misalnya, pada tahap ke-2 (al-mawqif ats-tshni) dalam karyanya, al-Mawdqif f 'IIm al-I6l6rr,5s menunjukkan epistemologi sebagai objek kajian mutakallimfin darr foukamd' (filsuf) sekaligus. "lntelektualisme tee logrs" ini-dalam istilah A.J. Weruinck dalam Tlu Muslim Creed: Its Genesis and Histoicnl Deoelopmenf -seperti tergambar dalam bentuk premis-premis logika lalfun yangnmenurutnya, membangkitkan kritik tajam al4hazdli terhadap intelektulisme ini (meski al-Ghazdli sendiri tak dapat melepaskan logika kal6m model Aristoteles) berkembang karena "akar-akar agama" terkait dengan "akar-akar pengetahuan".56 Pemerian berikut mengemukakan perkembangan historis epistemologi kalhm reiakfase Murji'ah hingga perkembangan terakhir masa'Abd al-Jabbdr.

s s

1. Fase

lsu epistemologi menurut Nashr Hdmid Abfr Z ayd,u, sudah ada sejak munculnya aliran-aliran teologi dalam Islam, yaitu pada

aliran Murji'ah. Aliran ini terbagi ke dalam dua kubu; penganul fabariyyah (kelompok Jahm ibn Shafwdn) dan penganut {adariyyah (kelompok Ghayldn ad-Dimasyqi). Meski sepakat tentang pendefinisian iman sebagai pengetahuan tentang Allah (ma,ifit Alkh) dan kekafuan adalah ketidaktahuan tentang Allah (anna al-kufr billih huwa al-j ahl bih) sebagaimana dinyatakan oleh Jahm, perbedaan terjadi pada koruep kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan karena perbedaan pandangan tentang kebebasan manusia. MenurutAb0 Zayd, ketika menyatakan bahwa "keimanan kepada Allah adalah pengetahuan kedua,,, Ghayhn ad-Dimasyqi telah memunculkan problematika epistemologi dalam kal6m (relasi pengetahuan-iman-kebebasan). Untuk mernbuat distingsi, pengetahuan pertama (pengetahuan tentang Allah yang diyakini oleh kedua kubu Murji'ah tersebut) adalah pengetahuan yang oleh mutakalhmAn disebut pengetahuan dhnrfrri (immediate knowledge),$ sedangkan pengetahuan kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses nalar diskursif (an-nnzhar)yang disebut pengetahuan perolehan (al:ilm al-muktasab, acquired knor.oIedge). Dalam konteks ini, Ghayldn menganggap nalar tersebut berada dalambatas kemampuan manusia. Dengan demikian, pada

lDrd, hlm.20.

Sub$ahasan ini lidak rnngemukakan faktor-fahor intemal dan esKemal kelahinn teologi lslam (lraldm). Namun, dari sutsbahasan ini akan jehs bahwa faklor-faktor penyebab elatemal (flsafal doktin Kristen, dan sebagainya), munrrulnya isu-isu teologi lslam

secana perlahan, sepedi

ite tenhng

'

Nashr Himid Abizayd, Al-lttijdh al-'Aqli fi alrafsk: Dirisah fi eadhiyyat al-ttlajln fi Al-eur'an 'inda al-Mulazilah,CeL lll, (Beirut al-Markazab-Tsaqifi at-'Anbiyyah ad-DdraLBaydhi,, 1996), htm" 47. Berbeda dengan AbO Zayd tentang munwl wacana episiemologi dalam teologi, wensinc* be*esimpulan bahwa sebelum 'Abd al-Qihir al-Baghd6d? (w. 429t1037t38), generasi Asy'ariyyah, Sa'adiyyah al-Faiy0mi (w. 942), lilsuf Yahudi yang menulis karya teologi Kitab aLAn6n6t wa alItiQrid6( adalah teolog (sekaligus lilsuf) pertama yang membahas sfuktur pengetahuan manusia.

:o

.l/ecessaryknowledge (pengetahuan niscaya) sebagai terjemahan lnggris d ai al-'ilm at4harlri, menjadi poblematis karena kata'necessaryr dabm bahasa lnggris filsafat berarti"berimplikasi secara

tawallud, fiab', kebebasan manusia, kekuasan Tuhan, dan sebagainya sebenarnya beaentuhan dengan bu epbtemologi.

s

'Abd ar-Rafinnn ibn Almad aLlT, (yarq lebih dikenal dengan sebuhn aLlfl, At-Mawlqif fi Itm alKaldm, (tula?ah: Dir al-Biz li afr-ThiM'ah wa an-Nasyr wa alTawzl dan Beirut ,Alam al-Kutub,

ttr.), teruhma hlm.

$

Murji'ah

140

dst

A.J. wensinck, Tln Muslin creed: lE Genesis ond Hisloricat Devebpcnt, (New Delhi: oriental Books Reprint corporaton, t.ft.), hlm. 248 dan 250 dengan mengutip asy€yahrastani, al-itlilalwa an-lVbal Juz l, hlm. 28. li|enurutsebagb,nmtakailinfrn, jelas asySyahrasftlni pengehhuan tentarB nasul, dan fondasi keimanan lainnya adalah fondasi/akar (ash/). Oleh karena itu, pengetahuan ( al+na'rifahl adalahfondasi, sedangkan kebatan adalah cabang {far). Lihat asySyahnstAni, Al-Mrla/ wa an-Nifial, Juzl, hlm. 36.

Alhh, sifa[sifat-l.lya,

A.J. Wensinck, The Muslin Creed, hlm.

250-251.

Wensinck, tentu saja, keliru.

logis', yang tenfu menunjukkan adanya aKivitas nalat diskursif. Hal ini berbeda dengan pengertian yang berkembang di kalangan nutakallin,n,lang antara lain dimaknai sebagai "sesuatu yang tak ada pilihan baginsio, sehin menerinnnya'. Atas dasar ini, immediate knowtedge adahh terjemahan yang lebih tepat. Lihat, George F. Hourani, /s/amlc Rafionallsm, hlm. 20.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

dalam wacana kal6m telah merefase awalrrya isu epistemologi dan kebebasan manusia'se lasikan pengetahua;;;;g"""it"an

2. Fase

Mu'tazilah

semakin jelas pada Abo Keterkaitan antara tiga hal di atas al-Asy'arimenal-'A[af. i^tuiUoqAht al-Isl6miyytn'60 berada dalam yang hal-hal "t-*;/ jelaskan pembedaan uf'eUaf antara diluar kemampuanmabatas kemampuan manusia danberada pada pengetahrran yang nusia. Pembedaan tersebut didasarkan sendiri' menu;A diperoleh manusia' Kemampuan manusia tersebut pemhdaan demikian' rutnyo beras"l d",i Allalr Oengan kemampuan "dikotomisasij' dimaksudkan sebagai solusi bagi ile'ti demikian' al-'Alldf selalu manusia a* t"t"u?lu"-AUutt' merupakan produk $ari aktimenvatakan bahwa pengetahuan k"idaan Allah - vang dianugerahkan menffiJ;ffi;;; aengan Proses lgmqeroleh jadi kemampou" **osia-terkait yang tampak kontradikpengetahuan, suatu;;;u"g* To]"gis Ut iot tutoar dari problema tif dengan doktrin ruium t'tri,tazila.. sefelamya ini, ia mengajukan aisti"gti pengetahuan-yang predestination dan Ghavldn mengambil P"ri,i ;;;;i"7"i-'tti meniadi kategorisasi temud-ian yang a,'u tutJgoi Jahm kepuau

'Abd al-JabbAr dan Kondisi Pemikiran Epistemologi dalam

akal budi-rasional

(b"*Pu silogisme'

"fi*drt. an-Nazhzham memenundukkan ,r."*uk"a

6q-ny a al-Ba ghdadi

F ir

J&l oJ.1)11,$lr -

-

"

iS.,p

rrb 6-$Jr,O-6-r iS.;l

.*tt*r4 rorluA'J

perbuabn Tuhan drn

al'?qli' hlm' 47'

++'q$'lff-lwaNasfaflhn*|Giln'ldral-tltti/nfn' Lihat'AnM6htta6al€hurabi' I&ildr 'in routt"t l*noin'itt')' nm' tz4' derBan mengutip (Cairo: Malobah w. u.m#tii rtltntt*o aLAsv'af derEan dari

Maqdt6tat-As/.o,olffi.rl,

oiiiiarrrqti, rrrr.lo,..nsutip

keterangan

ffi?itili''l"#

huan tenhng Alhh dan

iuga rnelihat adany.

aqumen€tgumennf se!,aOlleyeuhuan

p.oioro o.r.r

doffiin a!'adl lva al' pendasaran konsep Joistemologi iniatas tegls AbO Zayd' men'scayakan

Tuhan lawhid Mu'hzilah' oi saiu slsi' keesaan "'ungguhnyt'

--

*n*i.

t$

r'll

'.tr qS.tJJtvl 1,.,l!|lYl

0,,'ngun-*nsJ;,1 ti'tiinn ar

riitilniolJvo',

* tt 9d F iL+ u"'&

4r'lsrl

Mu.otlltlt-|:l **tbuat

sekatyang ketat pada

?ll.,ly*1fff:t3:f1f"i*'ini:l*; 4g:j/taiid Fakhry''some Panadoxitur non rlq:

calam nreMustinwofl,JuzXLlll, lmplirntionsof hetvtu,tazititeviewlirreewiir, 109.

u, s

.Kebaikan

1953,

hlm.9$-

ra'*$,,fi,iffi;j#Li,$r;#, dari tida_k halya benrti bahwa Tuhan-ditiniau sumber keetika-merupakan episiemolosi iirr,uri nVul,eretaioi Jininl'JrrJr Mu hllah-hanya

absolut (al-ktrayryyat at-muthlaqah)

peapeKif etika wa rurran--dalam perspeKif teologi baikan sejati atau mutak, luga 6er,arti uatrwa al-ashtah) sebagai manifestasi keadilan-Nya. wa htatilh metakukan yang bair oan teroaiilJ-s

redaksi berbeda'

6r Kabgofisasib$ehrthmpakpoblematis Murf,1,1?npadaumumnyamengkategorikanpengetad'iskursildan "ilmiah'' AbO Zayd

T$a1 di

berikute

pengakuan kekuasaan mudak-Nya' dan di sisi lain

r,ff##i#ill;i4;#t'ffi#

perbuatan-

keterkaitan kebawah kategori-kategori etika, terutama dalam adilanTuhandengan"doktrinash-shalilhwaal.ashlah.Penafiankemenodai konsep tautfid kuasaan Tuhan atas apa yang dianggap dengan apa Mu,tazilah diberikan pendasaran oleh an-Nazhzhdm (al-khaiiyyat al-muthlayang disebut sebagai "kebaikan absolut" merepresentasitampak yang ioti:' ""aoah paniangan teologis penafian yang buruk dalam kan pengaruh ajaran Manu tentang dualisme (baik-buruk) dalam semesta' Tuhan tlseImplikasi dari doktrin teologi tentang keesaan tentang kesatuan but adiah munculnya konsep an-NazhzhAm anal-hayawini)'KonseP ,ir,autut makhluk hidup (tawfutd at-f'l alal-Farqbayn dalam Nazhzhdm dapat diielasian pudu t"Uputt

#,,iil Affi;;"ilil;* l''i*' " SffI

qiy6s)'62

secara elaboIsu tersebut semakin dipertajam dan dibahas (w' 230 ratif oleh generasi Mu'tazilah berikutnya' an-Nazhzhdm Pembelaan teologis terhadap keadilan Tuhan l{) dan

umummutaknttimtt;;;;h;dgetahuan:(1)pengetahuarrdhndan argumen-argumenrfirt, yaritpengetahuan tentang AUah (tm ikhtivit wa iktis6b)' baik Nashr HAmirJ Abn1ayd, At-lttijdh

43

dari fakta berasal dari fakta empiris-inderawi (al-fozwdsslmaupun

-

s

lslam

il

hlm' 49' Nashr H6mid AbnZayd, Allilijith al- Aqli'

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

44

Perbuatan manusia, termasuk dimensi pengetahuan dan kehendak, adalah satu jenis, yaitu gerak dan diam' Diam itu sendiri' menurut an-Nazhzhdm, adalah gerak yang disebuhrya sebagai

perpe gangad' (fonakah i' timdd).uu Karena aksidensi adalah gI*k, **"riu h*yu *ampu mengetahui aksidensi. Ini berbeda I"r,gur, kekuasaan Tuhan yang mampu mengetahui aksidensi daniubstansi sekaligus. Di sini an-Nazhzhdm membuat pembedaan antara qudrahTuhan dan qudrahmanusia. selanjutnya, tindakan manusia yang pada esensinya adalah gerak diklasifikasikan menjadi dua yaitu tindakan langswry(mubdsyi4 d* tindakan geneiatif / denvanf (mutawallid).Kategori terakhir ini bertolak dari ide tentang "penuliaran" tindakan yan g drsebttfkrah at-tawalIud yangdalam sistem teologi Mu'tazilah menimbulkan diskusi berkepanjangan karena keterkaitannya dengan tanggung jawab rnanusia.-An--Naztrzhdm memandang tindakan generatif secara esensial bukan sebagai tindakan manusia -yang karenanya tidak

" gerak

bertanggung jawab atas tindakan itu-dengan mengemukakan meruPafkrah athahab' bahwa tindakan generatif sesungguhnya menuTuha+ kan manifestasi dari hukum alam fisika. Kekuasaan rutnya, merepresentasikan diri dalam hukum alam tersebutyang tidak diasumsikan berlaku karena kekuatan eksternal di luar kekuasaan-Nya. Manusia sendiri dengan kemampuannya untuk berbuat merupakan bagian dari hukum alam- Dengan argumen ini, an-Nazhzhdm ingrn menghadirkan dimensi kekuasaan Tuhan dalam tindakan manusia, dan meminimalisasi kecenderungan unhrk "membaca" tindakanTuhan dalam skema-skema etika' Konsep teologis ini berimplikasi terhadap konsep episbmologi. Proses penceraPan inderawi (idrdk) terhadap suatu objek, se' bagai langkah awal dalam Proses memperoleh pengetahuan ilmiah, adalah bentuk generatif dari gerak indera. Melihat, misal-

'AM al-Jabbir dan Kondisi Pemikiran Epistemologi dalam lslam

nya, adalah bentuk generatif dari membuka mata yang diarahkan ke objek yang dilihat. Berdasarkan penjelasan'Abd al-JabbAr d,alam al-Mughnt, sebagai bentuk generatif, pencerapan inderawi dalam pandangan an-Naz-hzhAm adalah hukum alam yang dicip

takan Tuhan. Atas dasar ini, pengetahuan sebagai bentuk generatif dari aktivitas nalar (an-nazhar) juga merupakan bagian dari perbuatan Tuhan melalui gerak hati (an-NaztrztrAm mendefinisikan pe ngetahuan ilmiah sebagai "gerak hati" I qJfitl &lSJ- 4p i{-;- ]). Fikrah ath-thab'66 juga mendasari argumen an-Naz-hzhAm tentang eksistensi Tuhan. Dari penjelasan di atas, terdapat interrelasi kuat antara pengetahuan dengan konsep al:adl wa at-tawfuid dalam e pis temolo gi kalQm arr-N azfizhdm.6T

Epistemologi alJahizh (w. 255 H) juga bertolak dari pandangan teologis gurunya, arpNazhzlrAm. Meski demikiaru alJehizh memberi penekanan berikut (1) kemampuan m€rnusia sebagai conditio sine quanon bagS aktivitas nalar yang menjadi salah satu sumlir pengetahuan ( iegi-yt- di,lt - iirF.lt ); (2) al-Jahizh mengaitkan akal dan pengetahuan sebagai tuntutan eksistensi manusia; (3) semua jenis pengetahuan bersifat dharfrfi dengan pendasaran ata;sfkr ah ath- thab' dankorsep ash-shnl"6h wa al-ashlah. Satu hal yang sangat fundamental adalah bahwa ia membuat gradasi pengetahuan dari objeknya yang empiris-inderawi atas tujuan utilitas ke pengetahuan yang objeknya abstrakrasional-transendental atas dasar tujuan kebahagian abadi:

J,tl t+yt &l

iirJ r/pliiru) l*l ,r.rJI,f .JiJ.Js.f l,l*I ( du +, ui.j. 1$I +ril (',|.

ffi Fiknh atlhab', meski menunjukkan

adanya campurtangan Tuhan dalam tindakan manusia dan

semeb, juga menekankan dimensi pandangan nafunals(madzhab ath4habiiryin)yang kemudian

6

Gerak perpega

Nan(hankah at-ftimM)adalah

Ahwd' wa

a*Nifial,Cet

l, Juz

menjadi keyakinan an-Nazhzhimiyyah karena penegasannya teriadap kebenadaan hukum alam. Lihat asy-Syahast6ni, KtAb al-Milalwa an-Ni!a/, Juz l, hlm. 50.

kecenderungan terusnenerus pada makhluk hitJup

alunfgf Uerdent sehingga merupakan genak dalam objek benangkuhn. Lihal, Muhammad AblJ 'gerak dan diam' JAbifr, Binyd at-'Aqi*,nn0t..., hlm. 184. Lihat lebih laniut penjelasan tentarg al' dahm pandangan an].lazhzh6m dan nukallinhn dalam lbn Hazm, Kitdb al-Fbhal fi al-Milalwa

V (Beirut Dir al-Fik, t.tt.)'

hlm.

5$-59'

67 Nashr Hdmid AbnZayd, Al-Mijdh al-'Agli, hlm.

s

/bid, hlm. 53.

49-50.

'Abd al-Jabbir dan Kondisi Pemikiran Epistemologi dalam lslam

Epistemologi Kalam Abad Pe(engahan

3. Fase KtrllAbiyyah6e dan Asy'ariyyah teologi Ibn Salah seorang tokoh aliran KullAbiyyah-aliran al-JabbAr-adaKullAb, yang bar,ylk mendapat kritik dari'Abd Kt6b alpenu-lis H), (w.243 lah al-Hdrits ibn Asad at-vu5asfui karya pertama kalangan mut{alljryAn.yang Aqi,' ^.rupakan Al-Mulasibi, sebagaimembahas akal secara i"uit to-ptehensif' tindakll mlnlsia mana umumnya Asy'ariyyah, memandang melihat tindakkasb uaufui tirriutur,f"f,ut . Teori pJ" "**r"Vu teologi.ini berimplian manusia tidak memiliki efek. Pandangan UJp"i" rc*ep akal yang disebutnya sebagai ins{ng@hnrtzah) .r"rrn di.iot kurr-oten eUatr. Perbedaan ins tng(ghafizah).dengan GF.J";(ma'if ah)adalahbahwa-yangpertama-(insting)mepengetahuan' sedangkan lanq keG;k"" potensi/inst**""ptoa"ft dari pengguna-an akal melalui J"'" tp""g"tahuan) adalah inf al-Muhasitrn mengemuka;tri #ar. nertoiak dari konsepsi (1) i*99 i.ut tigu fase dalam Proses memperoleh pengetahuan: penala1an,(anproses t"*p"u akal sebagai^potensi/ instrumen; (2) yaitu obiek empiris ('iydn tuzhar wa al-istidtfrt)erhadap dua objek, (k'Iubar qdhir' reliable rep.ort'); zhfrhir, sound un ri d*'pemberitaan dtP"t0"" pl fase sesudah penataran,-V-1itu pengetahuan yang oleh sebagai kesemPumaan akal'71

A-OaqiUani

jrnyurusaf

i"gJ"It;*""t^or.,6ivl."Karena

elrlenurutPeten,GodbCreatedSpeec'r,hlm'20,sela.lSiniorisinalitasdankebaruanteologial.

Jcan

bertebihan. Kufldbiyyah adalah teohgi

9unn|11ts_f*efr

p"rkembangannya meniadl o.r#i.r o.ng.n trorogi .l*ty.ri. Aun tet"pi,karena{ahor politik' terutama yaa agaknya lsiariyyair geLtb.ttg ;;;d'Ean

barg dalam sejanat, surutditengah

n

Pasca8uwaYh.

al-?gl , dalam Husayn al-Q0tili {ed'), Lihatlebih laniut aLHafils ibn Asad at-Mulisibi,'Kitab-al-Aqf 1971/1391)' (Beirut Ddral-Fikr' l, Al-Qul6n, Cet

iaiahtn

7r Nashr Hdmid AbnZaVd, Al-tttijilhal-'Agli' hlm' 52-53'

u

250' A.J. Wensinck, The Mustin Creed, hlm'

Salah satu pandangan teologinya yang relevan dengan kon_ teks ini adalah upayanya untuk menyeimbangkan voruntarisme kasb Ast' ariyy ahdengan ide kebebasan qudr ahmanusia Mu' bT.tla}.

dengan menyatakan adanya qudrah yang diberikan kepada lr1Tbu (i:rt*liJtt).^ Di samping itu, seperti pandangan Mu'tazilah, al-Bdqillani dalam hal epistemologi tindakan moral (baik-buruk) memandang adanya keterkaitan kebaikan dengan rilai-nilai intrinsik atau objektif yang dikandungnya. Dengan pen,ltrsaran jni, al-BAqilldni mendefinisikan ilmu dengan , *ur,gu_ t.rhui suatu oQek (yang diketahui) menurutrealitas objektifnya. ( .+ .5l

L,Jc. .1lsll

iix)

Al-Bdqilldni mengklasifikasikan ilmu berdasarkan objeknya kcpada dua kategon: pertarna, pengetahuan yang objeknya eterral (abadi), yaitu pengetahuan bntang Tuhan. Kedua, pengeahu.rrr yang objeknya baru (mufodafs), yang mencakup dua

hal: (L)

yang bersifat dharfriyang diperoleh melalui enam indera (panca irrdera dan indera "rasa"),dan (2) yang bersifatkasbi ataunizhai.

atislam'(tLuKnttof,MuslimPhilo-

Dinasti konteks sosio_historis dan kultural masa

Asy'ari sering tertaru citeranran

Hdsyim).73

r

dengan eqisjemo' Tokoh Asy'ariyyah yang sangat concern al-]abbir adalah Abo togi modet kabm d# su*u'ui"t'gutt'Abd seyan& menurutAJ' Wensinck berhak disebut

ni.r

Buwaytu representasi Mu' taziltterhadap pandangan Asy'ariyyah al-BAqilldni, seperti terlihat dalam al-lnshhf d,an at-Tamhti-nya, sangat mencolok. Oleh karena ifu, pengetahuan tentang pemikir_ an al-BdqillAni menjadi penting untuk memahami pemikiran,Abd al-JabbAr yang, menurut asy-Syahrastdni, dalam hal epistemologi sama-sama bermuara pada pemikiran Abo Hasyim (thartqah Abf

" Nashr Himid AblZayd, Al-lttijdh a/-tAg/i, hlm. 59. " Argumen logika yang dikemukakan oleh al-Baqillani antara lain bahwa gudrah manusia

tidak tetap. Jika qudrah beaifat tetap, bisa disimpulkan bahwa perbuatan tersebut tetap pada waKu yang sama dan bedainan, suafu kesimpulan yang keliru darisegi logika. ALB6qillini juga mengemuka-

lan teorilrlsmdan jawhanLihal,llhamuddin, pemikiran Kat6m At_Baqiilani htm. tOC. pergeseran dari Asy'ariyyah terjadi ketika dikatakannya: (1) rrv

, i&

j

3

is-f cJS; 4g lr!.,;.-L if_,,E 4-{i gr^ :+l Ci-}r ! -{d dt .ll i}

_r*l

.rj l"

J i3.!trl i_oil .,f- 6l+Or{dt-dJ+l uld j,t i, *" (Zl ' ...iJJi)llr j+iiyt is} r Ulbl r l,el$ -I^: rlt o. tili OJ,SJf Ul di.il t.l osr 3 rJ rJ+: J.U tJ j-ti! &iI r,. -, .irili.'.-1 (lJ.+.) :*l ,-r" t+.S t.-.-'.

I ihat, AsysyahnastAni, al-Milat wa an-Nifial,l, htm. 84; Nashr Hdmid AbO Zayd, At_nyan at_,nqn,

hlm.54.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

4B

gS'isnla}rknsbt Dalam konteks relasi isu epistemologi dengan teolo me(bukan muktasab)yang digunakan 3l-B-agillAni sebenamya/ dgkF'

.r.rrut Mulammaa 'Atia at-Jabiri,75 adalah Penguatal naht Asy'ariyyah tentang kasb y angtitik-tolaknya adalah 911* han" (af dl terminologi umum mutakauiittn sebagai"perbuatan

BAB

aLqulAb).76

KONSTRUKSI PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI'ABD AL.JABBAR

Dengan demikian, pada tingkat umum dapat dilihat-garis diametraiyang memis"hk"" epistemologi dalam Y"'ry yY* yutgt"lul"me"relasikannyadengandoktrinkarenabertolakdari 'uturL U* ah(top-down) iar' epistemologi dalam wacana filsafat *iugui abstraLi filosoiis-spekulatif murni (bottom-up)'n Tokoh Asy'ariyyah lairrnya yang mengintefr-1siryn epistemologi dal"* *u.*u l"nlim drsamptng'lS:{

iji, *Uuguiiru"u disebutkan sebelumnya'

9*tutt f-n"tadalah Fakhr ad-Din

hanya #-*" i*. 12@) dan'Abd alQahtu al-BaghdAdi' yang tidak siskritik juga melakukan tapi

m"ngemot^kan klasifikasi ilmu, ematis terhadaP skePtisisme'7E

E

hlm' 219' Muhammad 'Abkl al-J6biri, Bunyaf at''Aqlal-'Arabi"',

76 Lihat misalnya, (Pseudo) Abd alJabMr, Syad al-Ush0lal-Xhamsah' hlm' 90' lralhm bemifat umum anbra epistemologi dalam wacana

u

Dianbra pefiedaan yang mendasardan denganepistemologidalamwacanafilsafatadahhpenggunaanbtilah.pengetahuandharati,dimana di kalangan mereka sendiri, di l,alargan nut*altirniln, y.ng taii.rd.pat perteoaan slgniftkan istilah 'pengetahuan biasa/ non' dengan Orf.i.ng ran Of,irO,i;r",ing U"ttof.t global, pengetanuan dtraniri dalam waana kal6m'

"tf"til"r,g.At ifrlrt' Vrng Oir.fsuOtan menurutalJ.biri,

ofen

*no*rp ig.

nfii.

Secara

tingr"un, 1t1-pungruhuin

yang berasaldarifakta empiris.(!iss1; nalar' sepeniaksioma logika tenbrE

pi pnieutrtnlmelalui tZip"tB.eLutn [,Jtil.riiung].ir.|t t iturpurny.'orit'iiiandio-nr.oinit.Term dari pemoenm'au Oin

O"tip,i.tlp

tr"*fft.rbnh"g h'ubuttS.nt"O.iot

dhaniridi kalangan fibuf bertolak

iU.t, terlakete;ka'rtan premirkonklusidahmlogika'

(adh.4hafirdtal-

prinsip oasardalam'kepastianlrc{,iV'€' Atas dasar ini, menurutauaoiri, Jiempat dari huwa) yang memperlakukan setiap tqriytr,l t..i,ttnrsut lrt prinsip teOiian: @iuwWan.

t id,"f.g;mn,aorriyi'o"nilandyangiunoamintalpadanya,meskiketikaterjadiperubahan; menyimpulkan

teranglof bahwa tidak murgkin tZip,i*ipdO.f a" ionr.Oilrl,iiipr,*ip,kefoayarU Lihat, Mulammad'Abid ali*tr.oinrseuag'ai[eoenann;oan (l)pnnsip kausalitas'

l,jiii.ii*g

Jebirt, dunyat at-'Aql al"Arabi.", hlm'

217-218)'

7s LihaturahnA.J.Wensinck, fheMustinCrced,hlm.25f-261;TarifKhalldi,ArabbHistaicalThottghl

Press' 1996)' hlm' 146-148' inlhe ClassicalPenod, (Camhi
II

A.Pengertian Pengetahuan 1.

Definisi dan Problematika Terminologis Dalim teori pengetahuan atau epistemolo gr, adapembeda-

an yang taiam dan mendasar antara istilah "pengetahuan" Qotoutledge, non-ilmiah) dan "ilmu" (sciorce, pengetahuan il*iuh). Dalam hubungan itu,'Abd al-]abbdr menggunakan tiga istilah, yaitu'ilm, ma'ifah, dandirilyah, yang dianggapnya sinonim. Tiga istilah tersebut digunakan dengan pengertian y€rng sama, tidak secara metafor maupun dengan perluasan makna.l Dengan demikian, istilah-istilah tersebut dalam epistemologi'Abd al-Tabbdr - berbeda dengan epistemologi umumnya - tidak merepresentasikan struktur fundamental pembeda antara aspek ilmiah dan non-ilmiah pengetahuan. Ini harus dilihat dari pendefinisian, kriteria dan halhal yang lebih substansial daripada sekadar terminologi. Namun, sebelum itu, perlu "dipotref' persoalan tersebut dalam konteks pemikiran episbmologi Islam abad tengarh, di mana'Abd al-Jabbdr

|

'Abd alJabbar ibn Ahmad ibn Khalil ibn 'Abdillih al-flamadzini al-Asiddbddi (selanlutrya disebul 'Abd alJabbdr), Al-Mughni fi Abw6b allawf;id wa al-'Adl, Xll, ed. lbrihim Madk0r, (Cairo: alMu'assasatal-Mishriyyahal-Amnnh liatTa'ff wa alTarjamahwa at-TiM'ahwaan{.lasyrdan WizArat as-Saqifah wa alJmyid al-Qawmi, t.fr.), hlm. '16. lde yang sama iuga ditemukan dalam ([Pseudo] 'Abd al-Jabbir, Syd d-llsh0lal-Khansdr, Cet I, ed. 'AM al-lGrfm 'Ubndn, (Caio: lr4akhbah Wahbah, 1965/1384), h|m.310.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

50

bergumul. Survei FtanzRosenthal dalam l*rowledge Tiumphnnt tenlng hal ini mencatat bahwa dalam perkembangan awalnya isnlahT ilmberarti "pengetahuan agama dalam Pengertian legaltradisional" ,2 dansecara umum, sufisme sering mengadoPsidan menyerap istilah-istilah yang berkembang dengan beberapa perbaikan. Mn'ifah, dalam pengertian teknisnya, digunakan sebagai pengetahuan tgnostik)tentang Tuhan, yang digunakan secara ber,u**u-ru*u oleh kalangan sufi dan pemikir keagamaan lainnya yang menemukan basii esensial keimanan dalam pengetahuan *oJul ini.3 Tidak ada perbedaan fundamental atau hakiki, bgas metafisika Rosenthal, antara na'ifah dan'ilm dalam Islam fase-fase awal, dan masing-masing memiliki kesahihan di kalangan sufi ketika itu. Meskipun Penggunaan istilah 'ilm tents berlarijut dan penulis-penulis sufisme menempatkan pengetahuan model ini di atas ma'ifah, agaknya karena evolusi perkembangan bahasa dan semakin menguatrrya sufisme di dunia Islam pada fase-fase sesudahnya, ma'ifah menjadi istilah yang mengyang khas'a iambarkan tentang esensi dari mistisisme Rosenthal ingin mengatakan bahwa sebelum ma'ifah menjadi istilah eksklusif sufisme yang perkembangannya sangat signifikan diberikan insprisai oleh gelombang-gelombang pelikiran al_Ghazali (1058_1i11) dan,Abd al-Jabtdr (935-1025) berada dalam fase sebelumnya dan dalam kultur-kalim dan filsafat Bashrah masa Buwayh, ishlahma'ifah dan'ilm digunakan secara sinonim olehmutaknllimfin, sufi, maupun fuqaha' Bagi'Abd allarn (ghi'tb) hanya Jabbdr sendiri, pengetahuan tentang dunia -dimrrngkir,kan fakta-fakta riil yang dasar atas indikasi olen idanya

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd

ul-ghi'ib).s

Problematika terminologi teknis knl6m pada'Abd al-Jabbdr pada persoalan rlrrn pada umumnya sebenamya tidak berhenti Dengan pehistoris-kultural tentang evolusi perkembangannya' rrckanan yang sama, Bernand mencatat: concemant "Une mise au point terminologique est, tout d'abord' n6cessaire les istilahes 'rlm (savoir)

ianniiWai Uaqdyah

passer ma'iia (connaissance)' On sera amen6 d

qu'il y ait

de 'savoit'-sans stmplement que le mot 'ilm qui exprime la nolion deux istilahes-designe le r6sultat cognitif ,ntr. paraiL adcquation iamiis rationnel (nazhaf . comme, lxtra-rnental auquel aboutit la d6marche de I'examen pour obiet ou du moins pour Dieu commun6ment a en outre, le'jlm en islamologie intellectualis6e et a, pour collaire, la uut Rnat, it revct une allure ie transcendance propre ir la foi; si bien que I'on (i'tiqrid) notion de ceiltude intime ou conviclion le malOm 6tant ce qui est connu par certaine'' "science peut souvent traduire llm pas de doute en tant qu'd la limite' il n'admet er ,u..."ttitrOt bir connaissabte

*r

ramdnedDieu''Tandisquelanotiondema'ifametplutotl'accentsurl,aspect suolectitimptiqudparlaconnaisance,cestleresultatdunazharentantqu'ilest auquel 'ne s'aftache tpfien.nOd par l'intellecl, c'est le savoir du suiet connaisnt iii'aucune conolation mystique ou gnostique"'

6

Afu) Ab aFTawfid w a al: Adl' j:uz XIl " art-rtazhar wa al-ma'dlilf" (sprcutotion andknoznledge\ adalah karya {11g.Pa-

f

Al - Mu ghnt

alling representatif untuk mengkonstruksi epistemologi-'Abd berikut: sebagai pi sini, pengetahuan didefinisikan IaUUar.

Bf ut O"' lt r1 # 1r t,Je ls'il't 6l"J oil,Jno )r r.',r.'v :d'x C rr-l uF 't'1" ,Jts ,.'FI i;.iO" .,i.r l.G .is-,..r; i * .r+ Ou.4r .}r+):f g$ d,,J"tI OF"':si''-{+r

,,lo

i

Crr

"--lrtr

kami (rai imahunullifi) lenpLS.F "Apa yang dikatakan oleh syaikh-syaikh (itrq64 conviction). Ketika jenis keyakinan ngetahuan adjah bahwa ia merupakan

lbid., hlm.165-166.

ab-TsaqAfi al-'Arabi, 1993), hlm. 378.

el

constammentdel'un}l'autre,cetteoscillationprovenantdestextesm6mes utitises'otriln'estpasfaitdedistinctionspecifiqueentre,ilmelma'ifa.Pr6cisons

hlm.164-165.

bahkan, sebagaimana dinya,bd., hlm. 67-168. Penempalan seca nsFJiatpr na'ifahdan 'rilm, abu pemikir-pemikir lslam fase awal meoleh na'ifatr abls penempata n 'llm di atas, di Rosentral takan diklaim obh para pendukung nguad
i1

'alk t,rnpiris (sydhid);dari konkret ke absbak (stidtdl bi asy-syhhid

in Medieval lslam, (Leiden: Franz Rosenfral, Knowbdge friunphant The corcept of Knowtedge E.J. Brill, 1970),

al-Jabbir

tiyrrinrn

-

seperti realitas adanya, tersebut berkaitan dengan suatu obiek tepat

:l;',

,

'Abd at-JabbAt' At-Muhith bi atp5euOol 'abd alJabbir' Svad al- UsnOt 9t'Xna111n.' hlm' 52-60; aL'Ammah liatTa'lif wa (Caino:al-Mu'assasatal-Mishriyyah Iaklif, ed.,UmarasSay'iO'nzmi,.fuzl, 167-169' al-lnba'wa an-Nasyr, t.tr.), hlm'

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

52

sebenamya, hal itu disebui sebagai ketidaktahuan(iahl, ignorance). Ketika keyakinan tersebut berkaitan dengan obiek sesuai dengan realitas adanya, namun tidak meniscayakan kelenangan pikiran,tral itu tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan maupun ketidaktahuan".

"

d1tlt rl uitl OrLe.:iiqtit

ed, #

Pengetahu an adalah ma' ni y arrg meniscayakan kebnangan

jiwa subjek yang mengetahui terhadap objek yang diketahui". Definisi yang dikemukakan'Abd al-Jabb6r, menurutry& me rupakan kritik erhadap dua kuhrb ekstrem pandangan episbmologi yang berkembang pada mas.rnya: Pertmna,k'rlikatas suafu pandangan

-

al-JabbAr

53

terlihat dalam kritik terhadap ide tentang etika yang didasarkan kualitas objektif yang sama sekali terlepas dari upaya konstruksi subjektif manusia, pri-konsepsi, dan pendasaran-pendasaran lain yang mendahuluinya.'Abd al-Jabbdr, dengan demikiary menggesei absolutisme ke relativisme sampai pada tingkat tertentu (ya.g akan dielaborasi dalam uraian berikuQ.

dan berproses melalui suatu cara yang meniscayakan munculnya kepuasan (ke tenangan) jiwa (suk0n an-nafs), itulah yang disebut sebagai pengetahuan, Ketika keyakinan tersebut berkaitan dengan suatu o$ek yang tidak sesuai dengan realitas

.a

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd

berdasarkan kebrang-

Abt alQAsim d-Ka'bi al-Ballfii (w.932), tokoh Mu'tazilah semasanya dan penganut absolutismee etika dan epistemologi, dalam KitAb al-Maqdlit (Maqdl6t al-Islhmiyyin) -bahwa pengetahuan bukan merupakan keyakinan.lo Tetapi, kritik ersebut tampaknya tidak hanya merupakan manifestasi kegelisahan akademisnya terhadap suatu pandangan epistemologi yang bersifat komunaf tetapi juga terhadap absolutisme AbO alQAsim, sebagaimana an

Kedua, pandangannya tentang Pengetahuan sebagai jenis (ge-

nus) keyakinan, menurutnya, memang merupakan representasi

pandangan Abfr al-Huzayl al-'AllAf (750-&10), berdasarkan kei"rur,gur, ab1,Ali al-|ubbi'i (w. 915) dalam Mas6'il al-Kltil6f.Namun, pandangan al-'Alldf bahwa Pengetahuan meruPakan Pro,", b".utgn*" ntasi (istidl6l) y*g substansinya adalah nalar dan berpikir - sebagai penopang ide tentang ilmu sebagai keyakinan *uiihb"tk ttaipada rasio subjekyang juga dikritiknya, sehingga hanya meniadi Lpistemologi su$ektivis yang berdiri pada posisi ekstrerp atas potLi p"ttuma. A1-'Alldf, tegas'466 al-Jabbar, tidak mampu melerai kedua model epistune tersebut'11 Kritiknya atas pelbagai pandangan epistemologf semisal sofisme yang skeptii ltfrtrtthd'tyyoh), relativis (as4fo6b at-tajdhu[), ptug*uti" yang materialis (azh-zhahiyyah) bertolak d ai dua mnintt t"*ersebui Dengan demikian, agaknya, di samping justifikasi teologis, karena posisinya sebagai teolog,'Abd al-JabbAr-mem-

b*S*

hanya menyebut 'difierentia specjfia' (klr6sfisnan), tidak besarna genus fiins), adalah bahwa berdasartan logika dan kebrarpan Abfi 'Abdill6h, gurunya, 'dianbra tujuan definisiadalah menjelaskan obiek yang diberikan batasan sehingga memisahkannya dari sesuafu yang lain sehingga definisi sesuatu harus spesifiK. Disamping alasan logika, definisi pertatu(Fashlfrbaydn haqiqatal-'ilm wa alna'rifah'hln,13)ini sebenamya berl€itan dengan aksenhrasi 'AM alJab$r tentang ma'n6 sebagai esensi ilmu, se

epistemologinya bertolak dari klaimnya sebagai"sintesis" dua iecenderungan umum aliran epistemologi di atas' Berdasarkan kutipan di atas, pengetahuan memiliki arti: (1) eseruinya adalah *o'r|yang diperoleh subjek dengan rasio' (2) pengetahuan merupakan keyakinan (i'tiq6d) subjek yang koresponiensial denganiealitas objek pengetahuan sebagaimana adanya, dan (3) menirnbulkan kepuasan subjek terhadap aPa yang

dangkan definisi kedua (hlm. 25) lebih menekankan prosedur'ilmiah'.

diperolehnya.

lvlarie Bemand, 'La Nofron de 'llm Chez les Premies Mu'tazilites', dalam Studra ls/amba, 1973, No. 36, hlm.

24-25.

hM al-Jabbdr, Al-r\lu ghni ft Abwdb at-Tawf.id wa al-'Adl, Juz Xll, hlm. 25. lbd, hlm. 13. Alasan 'AM alJabbAr mengemukakan definisi yang berbeda dan

Geoge

F. Hourani, ,s,amic Rationalisn:

ke

1971), hlm. 64. Lihat kriliknya terhadapAb0

Ethics

al{6sim,

of 'Abd alJabb?tr, (Oxford: Clarendon

Press,

bahwa sesuatu yang iahat (evi{ gabi!) bukan

merupakan nilaiyarp berdirisendiriahs dasarsifatdan atn+ya, melainkaniuga sangatkondisbnal. Lihat lPseudo]'AM alJabbir, Syad al-Ushilal-l
f0 'Abd alJabbir. Al-Mughnifr Abwdb d-Tawhldwa al''Adl, Juz Xll, hlm. 25. Bandingkan dengan Sya{ al-lJshil al-Khansah, hlm. 18&-189.

'Abd al-]abbir dalam definisi hrsebut menggunakan terminologi-terminologi teknis kalilmKasik,yang sebagian telah dikaji 'r

pengembangan dari ide AbO 'Ali allbid. Setidaknya, epistemologi ilmu 'Abd alJabb6r merupakan al-' Adl, Juz Xl l, hlm. 1 1 . wa at-Taw[id fi Abwtb ugh ni AIM Liha{ Hdsyim. A'b0 dan Jubb6'i

54

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

oleh para islamisis, semisalJ.R.T.M. Peters, Bernand, Madelung, ]osef van Ess dalam kajiannya terhadap knthm al-iii, Frank, dan HattJt Austryn Wolfson.

2. Ma'nk Sebagai Substansi Pengetahuan Ma' nh y angdigunakan dalam literatur-literatur Islam klasik sering dilihat dari pelbagai konteks bahasan; dari problematika hubungan antara "makna" (ma'ni) dan "ungkapan' (lafzh)yarrg sebenamya sangat Aristotelian dalam kujiuo linguistik, jurisprudensi, tafsir ke hubungan antara ma'ni dengan realitas, sebagai wacana fils afat,yangterdiri dari realitas empiris-inderawi (moldrsr2saf) dan realitas akal budi-rasional (ma'qAffifl. Di samping pengertian ini, menurut'Ah Sami an-Nasysydr dalam Mknfrhij al' Bafuts'ind Mufakkir al-lsl6m,12 terminologi ma'ni dapat ditarik secara metafisis dan logis kepada dua domain: syakhsiyyah mu'ayyanah (sebagai entitas partikular), yaitu ma'nd yang ditarik dari beings empiris secara terpis ah dan syakhsiyy ah' ilmmalr (universal), yart'rr ma' nhyang menyangkut ide-ide universal dan abstrak. Dari perspektif lo gjka, ma'nkbisa bersifat substansial (dzitiyyah nnuqawwamah) atau akside nsial (' ar a dhiyy ah).

An-Nasysydr, dengan demikian, telah menunjukkan benang merah ma'nd sebagai terminologi dalam iiteratur-literafur Islam klasik deng an ma'nh sebagai terminologi khusus kal6m, yang juga menyangkut problematika serius dalam diskursus filsafat yaitu hubungan antara "akal" danbeing,l3 meskipun dalam wilayah epistemologi bayifi kal6m ndak seserius itu. Terminolog1'aqlsebagaimana dipahami oleh kalangan bayilniyyftn -didefinisi-

kan sebagai "ungkapan tentang sejumlah ilmu tertentu" ( i-.-r.rrucrru+.leij+" ).1a Ilmu dalam pandangan'Abd al12

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

al: aql).tu J*a' aql adalah ilmu maka yang terakhir ini meniscayakan bahasan tentang apa yang mungkin diketahai (ma'lfrm) yang penyikapannya di kalangan bayilniyytrn terefleksi dalam bahasan tentang wujfid. T eori tentang wujttd di kalangan Mu'tazilah terbagi menjadi dga, yaitu (1) wu|frd sebagai segala sesuatu yang " ada dan tetap" (al-kk'in ats-tshbit) yarrg berdasarkan teori atom Qawhar fard) terwujud melalui proses pencipban sebagai pendapat AbO'Abdilldh al-Bashri (w. 357 FI) dan tokoh-tokoh Mu'ta"ilah Baghdad lainnya; Q) wuj'frd sebagai sifatkebaruan (al-foud:frts)bahwa segala sesuatu tidak bisa cliberikan sifat atau atribut, kecuali setelah sifat"ada" brwujud; dan (3) menurut'Abd al-Jabbdr, wujfrd harus dijelaskan-untuk keluar dari kelemahan definisi logika-dengan menunjuk realitasnya secara langsung (bi al-isydrah il6 al-mawjfidi0.t' Jabbdr adalah kesempumaan akal (kamill

Sebagaimana dikemukakan, konteks sosio-historis dan kultural'Abd al-Jabbdr, antara lain, dikelilingi oleh lingkungan filsafat Alfarabisme, suatu era yang-menurut Wolfsory17 dan ter-

lihat dari karya al-Fdrdbi Ktdb al-l6mi' Baym Ra'yay al-flalfimayn: Aflathfrn al-I16hi wa AisthfithAffs- menandai adanya upaya harmo nisasi pengetahuan doktrinal dan filsafat Pengetahuan filsafat baru segera mempengaruhi sistem bologi Mu'tazilah, seperti bntangnafy ash-shifit. Dalam kultur filsafatini, dari beberapa sumber, muncul teori ma'nh fiamak: ma'6ni) yang pertama kali dikemukakan oleh Mu'ammar (wafat pertengahan abad ke-9 M), dut dikritik oleh Abfi Hdsyim dengan teonafowdl (twggal:fu,lD. Keterangan paling awal tentang teori ma'nd Mu'ammar dikemukakan dalam al-Intishfu-nya al-Khayyith dan Mnqdlilt-nya t5'Aql(dalamdlughniJuzXl,hlm.3T5)tidakdidefinbikandalamblihh-istihhtindakansecaraumum, tetapidalam konteks laklif. Bandingkan,al-Mughnifi Abwdb d-Tafiidwa al-'Adl, JuzXll, hlm. 397398. R.M. Fnnk menerjemahlan kan6l al-'aqldengan 'aktualitas penuh akal". Lihat R.M. Fnnk, 'Several Fundamental Assunptbns of tp Bashna Sdod of he Mu'bzihh', dalam Sludrb lslanba, No. 33, 1971, hlm.7-18.

'Ali

SAmi an-NasysyAr, Manilhij al-BafiE'ind Mutakh al-lsl6n wa lhisyhf al-Manhaj al-'llmi li al'Alan at-lsl6mi, (Cairo: Dir al-Md'arif, 1967), hlm. 38.

13 Lihatlebih lanjutdalam Y0suf Kanam, Alngl waal-Wujhd,CeU ll, (Cairo: DAral-Ma'6rif, ttt.), yang telah menunjukkan kontinuilas pembahasan kedua konsep teaebutsejak pertembangan awal pada

filsafatYunani, ftlsafat lslam, filsafat Eropa abad tengah, dan modem. 11 'Abd alJabbdr, Al-Mughni

fi

Abwdb at-Tawf;id wa al-'Adl, JuzXl, hlm. 375.

'0 Lihat (Pseudo) 'Abd alJabb6r, Syafual-lJshll al-Kharnnh,hlm. 175-177; Muhammad'Abid al-

llbiri, Bunyat al-'Aql al-'Arabi...,

'/

Cet. lll, hlm.

223-225.

HarryAusfynWolbon, IhePhilosophyof theKalam,(Cambridge: Harvard UnivenityPress, 1976), hlm.

148-149.

56

Epistemologi Kalam Abad pertengahan

d-Asy'ad. Penjelasan Mu'ammar, seperti dikutip oleh al-KhayyAth dari Ibn al-Rdwandi adalah bahwa: (1) gerak disebabkan oleh "rebab" dalam (inrcr cause) padatubuh manusia, seperti yang disebut Aristoteles sebagai gerak generatif dan perpindahan dalam kategori substansi; (2) terhadap pertanyaan mengapa suatu benda hidup (body) yang diam cenderung untuk bergerak, ia menjelaskan bahwa dalam gerak adama'n6; (3) terhadap pertanyaan tentang rnengapa dua benda hidup (body) yang diam d.rn suuna-sama memiliki m a'n6, salah satunya digerakkan olehma'nh pada waktu tertentu, sedangkan yang lain diam pada waktu tertientu dan mungkin akan bergerak pada waktu yang lain, jawaban yang dikemukakan adalah bahwa hal itu disebabkan oleh serangkaian ma'6ntyangtak terbatas. Gerak apa pun, dalam formulasi kesimpulan Ib'n ar-Rdwandi, disebabkan oleh seperangkat ma,6nt yang tidak terbatas.ls Penjelasan al-Asy'ari dalarn Mnqdlilt-nya adalah bahwa teori tna'ni Mu' arnmar yang dikemukakan sebagai penjelasan tentang perbedaan pada benda dengan merujuk pada gerak digunakan untuk menjelaskan apa yang dalam istilah-istilah filsafatyunani yang ditransfer ke bahasa Arab, perbe daau';r (klttilnf, differene), " ke lainan" @nayriyyan, otherness), perb.nbrngan (dhiddiyyah, antrariety), atau persamaan yang di antaranya memasukan sebagai aksiden predikat semisal "hidup-mati".1e 4l-Baghdddi dalam al-Farq darr asy-Syahrastdni dalam aI-MilaI mengemukakan kesimpulan umum bahwa jumlah aksiden yang ada pada benda hidup (bodV) tak terbatas. Hanya saja al-Baghdddi menjelaskan bahwa dengan Eorrmn'ni, Mu'ammar ingin menjelaskan bagaimana gerak, rasa, bau, dan aksiden lain menunfut keberadaan seperangkatma'n6 pada subjek aksiden tersebut. Hal itu, menurut penjelasan asySyahrastiini, menyebabkan hubungan tak terputus (tasalsul) antara ma'6nt dan akside4. Mu'ammar dan pengikut bcori ma,n6 disebut sebagai ashbib al-ma'6nt. Teort m.a'nd sebenarnya juga dirE lbrd, hlm. 149-'150.

le lbld., hlm. 15'1-153

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

kemukakan oleh Fakhr ad-Din ar-RAzi (w.

57

1209)20

yang tidak di-

kemukakan di sini. Teori ma' nhMri ammar,dengan demikian, menielaskan bahwa segala sesuatu adalah berbeda, sedangkan aksiden sekaligus berbeda dan sama karena apayangdisebutrya sebagaima'nk. Ma'nd ini selalu ada pada benda hidup (body)yang dari dalam menjadi sebab munculnya gerak dan diam, serta aksiden-aksiden lainrrya.2l Agaknya, bertolak dari keterangan dan analisis yang kurang lebih sama dengan Wolfsoru kesimpulan R.M. Frank tentang ma'nn adalah "the intrinsic causal determinant of (e.9.) the actuality of the accident of motion in the subject is immediate causal determinant of its being-in-mo-

thing's being-so: tion ... "2

Atas dasar pandangan'Abd al-Jabbdr tentang keterkaitan danunjfrd serta teori ma'nh Mu'ammar, dapat dijelaskan sebagai berikut pertamn, teort ma' nd harus dipahami dari kenyataan balrwa 'Abd al-Jabbdr bertolak dari pandangaruIya tentang ilmu sebagai bagian dari "pengalaman" yang ada dalam diri manusia dengan mengatakan bahwa ilmu adalah jenis keyakinan (ltiqdd).ts Oleh karena 7t:u, ma'nh tidak hanya dipahami sebagai aktualitas aksiden gerak yang lebih menekankan pada "proses", tetapi fuga dipahami sebagai "hasil" dari aktivitas internal manusia (nalar dan pengamatan) dengan menghubungkan antara keyakinan dan realitas objektifnya. Kedua, bertolak dari pemahaman ini ju ga, ma'n6 merupakan hasil dari upaya manusia untuk mengobservasi dan menalar serta menghubungkan antaramaiao'aql

rc lbrd, hlm. 153-156. '?1

z

lbid., hlm.'157. Dikutip dari Geoqe F. Hounani, lslanb Rationalisn, hlm. '18. Lihat juga Maciasin, 'Epistemologi 'Abd al.labb6r Bin Ahmad al-HamadzAnf, dabm Al-Jani'ai, No. 45, (lnstitut Agama lslam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,

n

1

991 ).

Abd alJabMr nengatakan bahwa seseorang kadang-kadang menemukan dirinya berkeyaknan (nulaqidl ahu kadang-kadang menalar lnlzhirl. Dengan begitu, ia mengatakan proses tersebut sebagai pengahman largsung nnnwia, yang diurgkapkannya dengan hase tajada nabah' . Lihal Al-Mughnifi Abwdb at-Tawf;id wa el-'Adl Juz Xll, hlm. 5; J.R.T.M. Petea, God's Crealed Speecfi: Study in the Speculative Thalogy of the Mu'tazili Qadhi al-Qudhat Abf al-Hasan bin AhmN alHamadani, (Lei'den: E.J. Brill, 1 976), hlm. 40--41.

I

58

Epistemologi Kalam Abad pertengahan

jfrddt dengan perangkat keilmuan ('aql) sebagatframe untuk melihat realitas. Dalam konteks terakhir inilah, dipahami bahwa seseorang yang melakukan penalaran (nhzhir) harus memil.iki kesempurnaan akal (knmdl al:aql) dengan seperangkat keilmuan tertentu. Albert N. Nader dalam bab "La Principe de raison suffisante" dalam bukunya, Le Systeme philosophique des Mu,tazila (1956), menginterpretasikan ma'n6 sebagai prinsip Leibniz tentang alasan yang cukup (raison suffsante).2a Selain bertoiak dari pemahaman tentang hubungan antara 'aql dart wu|frd yang sesungguhnya menjelaskan terjadinya proses konstruksi akal dari dalam diri manusia dengan perangkat keilmuannya terhadap realitas, ma'ni dalam literafur teologi Islam klasik, menurut van Ess, meski tidak bisa dipasfrkan dan tidak identik, adalah terjemahan dari kosa-kata Yunani (Stoa) le;grov (things)sebagai konsepsi yang ada dalam pikiran kita tentang objek yang ditunjuk yang harus sesuai/korespondensial dengan objek tersebut.r

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

merupakan 1',unakan oleh kalangan Stoa. Pengetahuan bukan steril dari sekali sama yang kerja metodologis dari suatu produk konstruksi akal manusia terhadap realitas di hadaparmya yang pada kadar yang berbeda bertolak dari kesadaran subjektif. Ada keyakinan, pengetahuan a priori, pra'konsepsi, atau asumsi.rsumsi dasar yang mendasari penilaiannya terhadap realitas' Dalam perspektif epistemologi, pengetahuan tidak hanya berkaitan dengan konsepkonsep semisal kebenaran/kesahihan dan reliabilitas, tetapi juga terkait dengan konsep keyakinan, pembuktian, dan sebagainya. Brian Carr dan D.J. C/connor dalam lntroduction to the Theory of lGowledge mengemukakan tiga teori dasar epistemologi tentang keyakinan, yaihr: (1). Keyakinan sebagai sikaP mental y*g disebut sebagai teori mentalistik, yang Pertama kali dikemukakan olehHume dalam Treatise. Hume mendefinisikan keyakinan sebagai "ide yang

hidup". Dengan intepretasi literal apa pun atas ungkapan "ide yang hidup" definisi tersebut hanya terbatas pada keyakinan dalam pikiran Hume yang berbeda dengan keyakinan umum. Namun, bisa dilihat bagaimana dengan filsafat pikirannya sebagai ke@hilosophy of mind) -Hume menafsirkan pemikiran hadiran ide'ide tertentu ke dalam kesadaran (pandangan yang juga denganversi tertentu dikemukakan Descartes) dan lebih jauh menganggaPnya sebagai persepsi biasa.26 llmu, menurut Hume, harus dipahami danthe science of menyang menelaah bagaimana proses b"tpikit manusia dan bagaimana ia membentuk pandangan-pandangannya serta sampai pada keyakinan tentang hakikat fenomena.2T Dalam Proses analisis kausal, terjadi keterkaitan antara ptesent impression-idea-connectiod

3. Interrelasi Pengetahuan dan Keyakinan "All men have a corunon set of basic ideas which are the starting point of knowledge, of good and evil and of God,s existence", demikian terjemahan Cicero dari koinai ennoiai yang di2a Dikutip dari Hary Austyn

wolbon, rhe Philosophy of the Katan, h1m.167. Leibniz sebenamya mengemukakan tiga prinsip, yaitu (1) prinsip yang terbaik/ sempuma (ffre beslof a/possib/e nacrlds), (2) prinsip non*onhadiksi, dan (3) prinsip dengan alasan cukup. prinsip terakhir menyahkan bahwa lidak ada yarq terjadi di alam semesh tanpa ada alasan kejadiannya; ada alasan rnengapa suatu

objek adalah objek itu, bukan yang lain. lranusia tidak mungkin mampu menjelaskan semua alasan dari suafu peristiwa atau objek. Akan tebpi, mengetahui aspek€spek tertenfu merupakan alasan

arkup untuk menjelaskannya. Prinsip ini bertolak dari argumen bahwa karena tak ada dua hal yang identik, pasti ada alasan unfuk itu, dan ahsan tenebut harus ada dalam (dan telah dimasukkan ke dalam) wujud hal ilu sendiri. Menurut Leibniz, alasan orkup bagi segala sesuatu dan bagi alam semesh untukeksb haruseksb diluarnngkaian hktertringga dari perbtiwa-peristiwa yang mungkin. Lihat Tim penulis Rosda, Kanus Filsafat, Cel l, (Bandung: penerbit Remaja Rosdakarya, ,l 995),

inferutsi. Dalam hal ini, keyakinan adalah bagian dari ide

hidup) yang hadir dalam konstruksi realitas's

hlm.281-282.

6

Josef van Ess, 'The Logicd sruc{ure of lslamic Theology", dalam logrb rh classrba/ ls/am, hlm. 33. TulMn iniadalah bagian daritulisan van Ess yang diterbitkan ulang dalam lssa J. Boullata (ed An ), Antlnlogyof ldamic sfudies, (iiilonteal: McGill lndonesia lAlN Developmentproject, 1992). satu hal yang menguafl
jelaskan teori mahd menulis: 'di dunia ini ada sesuatu (asyya' mawjadah) yang tak terbatas ..., tak terhitung, dan tak terbatas." Kala asyy6'digunakan sebagai ganti dari ma dni. Lihat H.A. wofhon, The Philosophy of the Kalam, hlm. 1 55.

(y*g

6

BrianCandanD.J.O'mnnor, lniloducfiontotheTheoryoftOrowledge,(Sussex/GreatBrihin:The Harvester Press Limited, 1982), htm. 44.

21 lbid.,hlm.212.

r

LihatlebihlanjutRiiardH.PopkindanAurumsboll,Phihsc4/hyMadeSimple,(London:Heinemann' 1981), h|m.209.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

60

(2). Keyakinan sebagai kecenderungan prilaku, sebagaimana di-

kemukakan teori disposisional. Keyakinan adalah sesuatu yang dirasakan oleh pikiran, yaitu yang membedakan antara iau-iau pertimbangan dari fiksi imaginasi, dan yang mengubah semua itu sebagaiprinsipprinsipyang mengatur semua tindakan. C.s. Peirce, beberapa Penganut positivisme logis abad ke-20, seperti Hans Reichenbach dan Rudolf Camap, serta filsuf Inggris, Braithwaite dan Ryle, adalah pendukung teori disposisional. Meski begitu, Braitwhite meletakkan keyakinan sebagai self-knowtedge dalam tiga fase'2e (3). Keyakinan sebagai keadaan rnental' Menurut Ramsey' keya-

'

'

merupakan "peta realitas",ymrgberfungsi dalam analogi. Pada Arnstrong, dibmukan penyamaan struktural antara pemikiran dan realitas.3o

ki;

Teori-teori di atas sebenarnya menempatkan keyakinan sebagai bagian dari kesadaran su$ektif yang terlibat dalam proses 'frmbac"aan" terhadap realitas, baik pada skeptisisme David Firr*", t tuopun keraguan kritis Rene Descartes' Tentu saia dalam ada hierarki di mana keyakinan dikerangka jurtiruu"i "pirtemik ukur iari"pasti ", "ielas", "melewati batas keraguan rasional" (beyond reasinable doubt\, hingga predikat "pasti salah"'31 Dengan kesimpulan bahwa "pengetahuan adalah bagian dari jenisi' ti q1d"' Abd al-Jabbdr menghubungkan antara Pengetah; dan keyakinan. Pemerian singkat di atas membantah pemahaman tentang prosedur "keilmuan" dalam pandangan'Abd al-|abbir yang tampak problematis karena, dengan mendasarkan atas keya-kinan, kontradiktif dengan asas kesementaraan dalam simpulan. a

Brian Can dan D.J. O'connor, lntroducibn, hlm.

s

lbid., hlm.57-59.

50-51'

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbdr

Pengetahuan sebagai genas keyakinan dikemukakan dalam at:llmad (kitab ushul fiqh) di samping juga dalam al-Mughni't2 Inkonsisbnsi yang tampak dalam sy arfobar arrgkali bukan meruPakan pendapui'eUd al-Jabbdr, melainkan komentar Mdnakdim'33 'Abd al-labbAr mendeskripsikan keyaktnan (i' tiqdd) sebagaimana pengalaman langsung manusia yang sering digandengkan dengan ."nerci atau nalar (nazha), sehingga keyakinan diukur dengan kualifikasi tertentu. Yang pertama membentuk basis pengetahu-

"keilmuan"' Wal'aupun demikian, karena manusia tidak selalu menemukan dirinya - dalam frase'Abd al-Jabbdr-yakin (mu' tnqtd),secara esensial keyakinan bukan merupakan bagian integral dari esensi manusia.s Oleh karena itu, aktivitas ilmiah sesungguhnya adalah upaya mencari hubungan logis antara keyakinan dengan objek pengetahuan ;*bay' (illnh, caux) dengan kriteria dan prosedur teratas dasar tentu (wajh),35 sifat dan keadaan (bAD tertentu.36

arv sedangkanyang kedua merupakan prosedur

Apa hubungan antara keyakinan, objel dan subjeknya? Dalam interrelasi yang tampak di atas keyakinan an sich bukan merupakan faktor satu-satunya yang menjadikan subjekyakin, karena subjek mengamati suatu fenomena dulu, kemudian menarik kesimpulan atas dasar kualifikasi tertentu. seseorang, misatrya,

melihat gerak pada pohon, kemudian menyimpulkan bahwa pohon tersebut bergerak. Oleh karenaltu, i'tiqhd merupakan sesuatu yang harus ada pada subjek, sehingga keberadaannya menjadikan subjek dalam keadaan @pl)yaktn' 'Abd al-Jabbdr sangat r,AMalJabbar,

At-Mughnifi Abw6bat-Tawfiidwaal-'AdlJuzXll,hlm.25-29,"Fashlliannaal-'ilm

min jins al-i'tiqAd'.

s

Lihat(Pseudo) 'Abd alJabbar, Syafial-lJsh1lal'Khamsah, hlm 46' 3r J.R.T.M. Peters, 6od3 Cre ated speech, hlm. 41; 'Abd al-Jabbir, Al-Mughni ft Abwdb at-Tawfiid Perwa al-'Adl, Juzxll, hlm. 9 menlelaskan persamaan dan perbedaan antan ltq6d dan nazhar. aspek (wa1h). samaannya adalah bahwa kedu.ny. terkait dengan objek dan mencakup seluruh suatu kualitas, Peftedaannya adalah batrwa yang pertamaterkait dengan keberadaan objekdengan

sedangkanyangkeduamerupakanupayauntukmengkonfirmasikandenganobjektentang keberadaan suatu kualitas.

(NewJersey: Prentice-Hall, 1989), hlm. 16; KennehT'

s

Abd alJabbdr, A l-Mughni

O.ff.ghq TlnphttosophyoiKnowledge,disadaurolehPtl.ardonoHadidenganiudulEprbtenologi:

$

lbid,

!1 Roderir*M. Chisholm,

IheoryofKnor+,ced9e,

iitsaiat Pengetahuan,'(Yogyakarta:

Puslaka Kanisius, 1994), hlm 28--42'

61

hlm. 46.

fi

Abwilb alTawf;id w a al-' Adl, Juz Xll, hlm 43

62

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

jelas membantah pandangan tentang ilmu h.anya sebagai keyakinan.37

Atas dasar ini, penerjemahan {tiq6d dengan belief, menurut Peters, adalah keliru, karena kekeliruan dalam memahami teksk,ks lalim'Abd al-Jabb ?r dan mutakattimfinlainnya. Peters, Vajda Bernand, dan Frank menerjemahkan i'tiqdd dengan conaiction. Dengan pengertian yang sama van Ess menerjemahkan istilah tersebut dengan Uber zeugung (Jerman).s

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

si-afirmasi adalah dua hal yang tak terpisahkan (ada proses penyaringan oleh akal terhadap pelbagai fenomena untuk ditunjuk sebagai fakta dan data). Dengan pendasaran ini,'Abd al-JabbAr membedakan antara keyakinan kritis sebagai bagian dari pengetahuan dan keyakinan tidak kritis dalam hierarki berikut:

a lahl (ketidaktahuan).

Petersao membedakan antara jahl (ketdaktahuan, ignorance)at sebagai tidak adanya ilmu sama sekali yang disebutnya sebagai "ketidaktahuan negatif " (einfache Ignoranz) dan jahl sebagai keyakinan yang tidak korespondensial dengan realitas yang disebuturya sebagai "ketidaktahuan positif " (komplexe Unzuissenheif). Dalam penggunaan umumnya dalam bahasa Arab, jahl rnerupakan ketidaktahuan tentang suatu objek tertentu sehingga tidak identik dengan "kebodohan" yang setara dengan kategori pertama Peters. Ketidaktahuan yang dimaksud oleh'Abd al-Jabbdr adalah "ke-

Hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan "negasi-afirmasi".'Abd al-JabbAr dengan sangat baik me. ngartikulasikan hal ini dengan statement singkatnya, berikut ini:

,lA

*f

6h

t cjli h Jl,1i ti ! *i

,il.l

t

e+,j1,4 ,r.rl JfrY 1 l* cLJ ti& ir "l ,, ..t L.ill I! r... 1 )1 Lgx g4f gE l u$ ri +,!

Oleh karena itu, pengetahuan dalam relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek terentu, pengetahuan tidak terlepas dari

tidaktahuan positif".

b. Taqlid dantabkhit. Ketenangan pikiran (sukin an-nafs) ndak ada di dalamnya, tapi belum mengandung kebenaran atau kesesuaian dengan realitas. Taqltd didefinisikan sebagai "menerima pendapat orang lain tanpa didasari oleh argumen".42 Taqltd digunakan oleh 'Abd al-Jabbdr sebagai istilah teknis untuk keyakinan yang tidak kritis dengan mengikuti suatu aliran dan tradisi-tradisinya. Dalam pengertian ini, Peters menyebutrya dengan "tradisionalisme".a3 Namun, membatasi taqltdhanya untuk "alira\" tentu saja keliru. 'Abd al-JabbAr sendiri menggunakan istilah tersebut sebagai keyakinan yang tidak kritis, setidaknya, dalam pengertian berikut pertama, taqltdkepada pandangan individual atas dasar otoritas. Ketidakkritisan ini dibantahnya dengan argumen logika. "subjek yang diikuti pandangannya tidak terlepas dari dua kemung-

salah satunya. Namun, sebagai kerja metodologi keilmuan, nega37 Abd

alJabbdr mengemukakan hal ini dalam bahasan tersendiri. Lihat, AM alJabbAr, Al-llughni fr

Abw6b at-Tawfiid wa al-'Adl, JuzXl| hlm.

3'

J.R.T.M. Peters, God's

Creatd

47-53.

Speech, hlm. 42; Marie Bemand, La Notion

de'lln Chez

Les

Pe

niers Mulazilites, hlm. 24. Hourani menerjemahkan itrigaddengan be/rbf Lihat, George F. Hourani, lslanic Rationalisn, hlm. 17. Eelcf diterjemahkan dergan 'state of believing, conviction or accep tance ftat certain fiings are fue or reaf . Atas dasar ini, trp./ref berkonotasi sebagai perrerimaan atau sikap menblyang terhifup dari rcalitas ahu kebenann di luardirinya, sehingga dbinonimkan dengan lbilh (keimanan). Berbeda dergan ini, onvfulfon lebih berkonotasisebagaisikap nrentalyang terbuka, yang sama sekali tidak didasa*an pefiimbangan (salah satu penggunaannya 'to convict to prwe [a personlguilty [conviXed by he addenef), sehingga disinonimkan dengan 'cerhinit/ dan'opinkm'. Lihat Victoria Neufeld (ed.), Webiler's New WoN C,ollege Didionary, pSA: Macmitlan, lnc., 1996), hlm. 127 dan 305. Meski tidak kaku, ahs dasarmakna konohtifdi atas, befef diterjemahkan dengan

'kepercayan' abu 'keinunan', sedargkan

urviiion diterjennhkan

pengertian di atas.

s

Abd alJabbdr, Al-Mufiith bi at-Takfrf,Juz l, hlm. 196.

dengan 'keyakinan' sebagaimana

{

J.R.T.M. Peten, Godb Created Speech, hlm. 43.

'1 George F. Hourani, /slamic Rationalism, hlm. 17. Abd alJabbir, Syafial-Ushll al-Khamsah, hlm. 61.

"



J.R.T.M. Peters, God's Created Spech, hlm. 44.

64

Epistemologi Kalam

Abd

Pe(engahan

kinan antara sebagai orang yang mengetahui tentang objeknya atau sebaliknya. Jika diterima pengandaian kemungkinan pertama, permasalahan yang sangat mendasar adalah dengan prosedur apakah ilmu tersebut diperoleh. Dalam Syarfudikemukakan statemen'Ali ibn Abi Thdlib r.a. yang berkaitan dengan persoalan validitas pengetahuan, bahwa kebenaran tidak bisa secara metodologis divalidasi dengan kribria-kriteria yang berada di luar diri, termasuk otoritas, tetapi kondisi objektif yang berada di dalamnya. Kutipan brsebut terbaca sebagai berikut

&

l+l

.irl r 1116 / lI Ul dri

dJ

.irl,i* Oj; d

1..

Jl Lt I

d

tr}.i"ry

u

(

[Pseudol Abd alJabbdr, Syad al

l]shil

kinan keliru.aT al-Jabbdr terhadap taqltd sebagai keyakinan yang tidak kritis juga merupakan kritik Grhadap tnbfutt.Istilah ini diartikan sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang tanpa didasari oleh pertimbangan mendalam.as

Kritik'Abd

tema bahasan hampir semua kalang an bayhniyyfrn, baik mutakallimfin, ahli fiqtv maupun ushul fuqh. Zhann oleh'Abd al-]abbdr didefinisikan dengan "sesuafu yang keberadaannya meniscayakan subjek menjadi zhnnn."ae Abt'Ali al-lubbd'i dan AbO Hdsyim berbeda pandangan tentang status zhnnn. Menurut al-JubbA'i, zhann merupakan kategori sendiri di luar keyakinan, sedangkan me-

c. Zhann lstilah ini menjadi bagian dari

),rl

nurut AbO Hdsyim, zhnnn dikategorikan sebagai keyakinan spesifik. Dalam Syarfu erlil'atupaya'Abd al-fabbdr untuk mempertemukan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa jika dihubungan dengan kriteria koresPondensial pengetahuan, zhnnn, bertolak dari prinsip "keserbabolehan" (at-tajwtz). Oleh karena itu, zhann menghadapi dua kemungkinan, yaitu menjadi keyakinan yang hnar dan korespondensial, atau sebaliknya.

d. Ma'rifah atan'ilm yang menjadi tema sentral kajian ini. Keduanya adalah keyakinan yang memenuhi dua kriteria pengetahuan valid yang ditentukan'Abd al-Jabbdr' Bertolak dari proses negasi-afirmasi yang menjadi asas kerja metodologi "keilmuan" dan hierarki keyakinan sebagaimana dikemukakary interrelasi ilmu dan keyakinan, di samping pemerian di atas, pada prinsipnya dapat dilihat dari dua

al-Khamsah, htm. 62.

'AbdalJabbir, Al-Muhfthbiat-Taklif hlm. 15. Abd alJabMr sebenamya sama sekali Udak melihat adanya keterpisahan antara ilmu dan amal (hlm. 16). Namun, hal ifu harus dipahami dalam konteks religius. Dalanr epistemologi, keduanya harus dipbahkan, baik dalam 'proses" keilmuan, karena amal sesungguhnya tidak pemah ada bnpa pergebhuan sebelumnya (hlm. 15), maupun dalam benfuk "poduK keilmuan yarg dalam halvalirjihs, amal tidak menjadi tolak ukur bagi kebenanan ilmu. Berbeda dengan pandingan sufi umumnya yang melihat validitas ilmu membentang dari kebenaran kognitif (',,m) ke kebenaran afiektif (!dt situasi

{

kedekatan Tuhan-hamba), 'Abd alJabbar secara lebih rasional membahsi kebenaran ilmu hanya pada tingkat kognitif. Abd alJabbir, Syafial-llshllal-Khansah,

hlm. 61--62.

65

kiran yang semu) dan keharusan korespondensial dengan realitas, yang dalam hal ini selalu menghadapi pelbagai kemung-

dtlll.;U

Dalam hal bahwa pengetahuan tidak bisa divalidasi dengan sesuatu yang berada di luamya yang paralel dengan ide bahwa ilmu tidak bisa divalidasi dengan otoritas, dalam alMufuitVs'Abd al-JabbAr menguatkannya dengan ide bahwa pengetahuan tidak bisa divalidasi dengan amal yang sesungguhnya berada di luamya, suatu pandangan yang mengingatkan kita dengan perspektif hermeneutis bntang hal yang sama bahwa mengkritik ide seseorang tidak sah secara metodologis dengan mengkritik tindakan atau latar belakang kehidupannya. Kedua , taqltdkepada suatu pandangan publik sebagai pandangan mayoritas. Kuantitas sama sekali tidak menentukan kebenaran.a6 Ketiga, taqltd adalah keyakinan yang tidak kritis karena dilihat dari dua kriteria: sulctin an-nnfs (ketenangan pi-

6

Konstruksi Pemikiran Epislemologi'Abd al-Jabbir

aspek: a7 LihatAMalJabbAr,Al-MughnifiAbwbbat-Tawbidwaa/-AdlJuzXll,hlm.25dan123-126,"Fashl fi bayin fas6d attaqlid'.

4

s

J.R.T.M. Petea, God's Created Speech, hlm. 44.

[Pseudo]'Abd alJabb6r, Syad al-Ushhl al'Khansah, hlm. 395

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

67

1). Keyakinan tidak hanya merupakan sikap mental (teori men-

Tabel:I

talistik) atau kecenderungan prilaku (teori disposisional), tetapi lebih dari itu, menjadi "peta realitas", suatu fase awal kesadaran dari dalam akan realitas dan fakta. Hal ini, antara lain, dapat dijelaskan dengan pandangan'Abd al-Jabbdr tentang zhann. Meski dengan intensitas keyakinan yang berbeda, seperti dijelaskan oleh bayhniyyfin, fuqaha', danushfrIiyyfin, zhnnn disetarakan dengan keraguan (syalck),sebuah penggambaran tentang terjadinya interaksi persepsi individual terhadap realitas yang bertolak dari kegelisahan (khawfl yang oleh'Abd al-JabbAr disebut sebagai bagian dari motif-mohf (ad-daw6,l eksplorasi "ilmiah". Zhnnn sendiri tidak berangkat dari keyakinan yang kosong btapi dari "sinyal" (amhrah sha$foill.so Peters adalah benar ketika menerjemahkan zhann dengan "asumsi".51 Relasi ini bisa disebut sebagai "relasi instrumental" yalr'rg terjadi dalam proses kerja "keilmuan".

Interrelasi Pengetahuan dan Keyakinan

implikasi dari proses negasi-afirmasi, ilmu mengambil jarak dan mengkritisi pelbagai keyakinan sebagai pro 2). Sebagai

duk yang tidak kritis, sebagaimana dikemukakan. Relasi model

ini disebut dengan "relasi distansial". Interrelasi pengetahuan dan keyakinan dalam pandangan 'Abd al-Jabbdr dapat dijelaskan dengan tabel berikut:

s

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbdr

Lihatbi/.,hlm.TFT4.DisampirBitu,kegiahn'keitmuan',menunrtAbdal-Jabb6r,jugadirJasarkan pada apa yang disebuhyasebagaikhdthir(jamak:khawdfhir). al-'Aqli

fi at-Tahir.

Dhdsah ft Qadhiyyat at-Maj6z fr

Korespondensi

( cl*r.x )

Afektivitas

lt.rrt-.*

( ,r.t! O-5-

1.

Ketidaktahuan

tidak ada

ada

distansial

2.

Taqlid

/tabkhlt

?

tidak ada

distansial

3.

Zhann

I

?

tidak ada

instrumental-distansial

4.

'llm I

ada

ada

instrumental-distansial

syakk

ma'ifah

)

Bentuk Relasi )

B. Tolak-ukur Kebenaran (Validitas): Antara

Objektivitas dan Subjektivitas Salah satu persoalan sentral dalam epistemologi adalah bagaimana suatu pengetahuan diukur kebenarannya yang memun-

culkhn teori-teori tentang kebenaran (truth) pengetahuan: teori kebenaran korespondensi, koherensi (Brand Blanshard), pragmatis (filsuf Amerika umumnya; William]ames, Charles Peirce, John Dewey), semantik (Alfred Tarski), atau teonredundancy (F.P. Ramsey).s2

Pengetahuan menurut'Abd al-Jabbdr memiliki kriteria yang mandiri yang ditentukan oleh nilai-nilai intrinsik, sehingga tidak dapat divalidasi dengan tindakan. Ilmu memiliki shifah danfofiI tersendiri.s3 Definisi yang telah dikemukakan dapat memperjelas hal ini bahwa keyakinan ({ tiqilQ menjadi pengetahuan yang sahih iika memenuhi dua kriteria: pertama, kesesuaian keyakinan dengan objeknya seperti apa adanya ('abmthuwabih), dartkedua,

LihatNasrHinid Ablzayd,At-lttij'h

Al-eur'6n'iN at-Mulazilah, cet il, (Beirut al-

Martaz aFTsaqifi al-'Anbi, 1996), hlm. 66--67. Di sini kh6lfrir disebut sebagai motif ekstemal, sedangkan syakk, termasuk di dalamnya ziann, disebut sebagai motif intemal. Apa yang dimaksud 'Abd alJabbdr dengan keraguan sebagai kondisi awal proses mempdroleh ilmu adalah penepsi/ asumsi awal yang, karenanya, tidak kosong sama sekali dari penyikapan terhadap objek (khuluwv alqddk'an al-akhdz wa at-fark). Lihat AM alJabbdr, r/-Mugh ni li Abwitb d-Tawf;id wa at-'Adl, Juz Xll, hlm. 189-190. 51 J.R.T.M. Peten, Godb Creafed Speech, 54 hlm. 45-.47.

Jenis keyakinan

5'?

LihatRobertC. Solomon,lnfoducling Philonphy: ATextWith Readings, (NewYork: HarcourtBrace Jovanovich, Publishers, 1985), hlm. 166 dst; Brian Candan D.J.O'connor, lntroductiontotheTheory of Knowledge,hlm. 16,f-185; PaulHoruvich,'Truth, theories ofl, dalamJonathan Dancydan Emest Sosa(eds.),4 CompaniontoEpisteno/ogy, (Massachusetb: Blackwell, 1993), hlm. 509-515.

s

AMauabbar,Al-MughnifiAbwitbat-Tawfiidwaal-'Adl,JuzXll,hlm.36.Tentangterminologiteknis ini. Lihat HarryAustryn Wolbon, The Phibsophyof the Kalan, hlm. 193-234; SariNuseibeh, "Epistemology", dalam Oliver Leaman dan Seyyed Hossein Nasr, History of lslanic PhrTosophy, Part ll, (London dan NewYork Routledge, 1996), hlm.831--834.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

69

keniscayaan ketenangan jiwa (sukfin an-nafs). Oleh George F. Houranin kriteria pertama disebut sebagai kriteria objektif dan kriteria kedua disebut sebagai kriteria subjektif.

Kedua, meskimerupakan tolak-ukur pertama kebenaran,'Abd al-JabbAr melihat bahwa fakta-fakta empiris - meminjam istilah Kant-adalah dns Ding an sidt. Fakta-fakta brsebut baru sampai ke level sense-data y ang dljadikan tolak-ukur kebenaran jika dikons-

1. Unsur Korespondensiss ('al6 mh huwa bih)

truksi oleh akal. Oleh karena itu, nalar tidak hanya terjadi pada argumen-argumen (an-nnzhar f al-adillah), tetapi juga pada objekobjek empiris (an+uzhar f al-a'y6n).se Di samping itu, argumen sangat mendasar yang dikemukakannya adalah bahwa Pengetahuan dari akal-budi lebih jelas validitasnya karena bertolak dari rnlar sebagai tindakan generatif (z utawallid\ y arrgdilakukan oleh manusia sebagai agen tindakan, sedangkan pengetahuan emPiris bertolak dari penginderaan terhadap sesuatu yang memang ada sejak semula tanpa pengkondisian (mubtada'an).ffi Idrdk sendiri, baik terhadap objek empiris nuupun non€mPiris, bukanlah ma'nff7 yang meniscayakan pengetahuan dengan sendirinya.

Sebagai Kriteria

"Objektif"

Dalam epistemologi korespondensi (kesesuaian dengan realitas) merupakan asas kebenaran pengetahuan. Realitas itu sen-

diri bermuara dari dua hal, yaitu realitas fisikal (fakta empiris, impression dalam terminologi Hume) atau non-fisikal (fakta akalbudi rasiornl). Yang dimakzud oleh'Abd al-Jabbdr adalah keduanya

bahwa kebenaranada pada fakta-fakta empiris sebagaimana juga pada fakta-fakta rasional. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut Pertama, fakta empiris-sensual yang dicerap melalui alatalat indera (al-fonwdss) merupakan tolak-ukur pertama kebenaran.

Hal ini disebabkan, menurutnya, oleh ketergantungan nalar rasional dalam prose s idrdk atas fakta-fakta empiris sederhana yang kebenarannya diterima oleh rasio secara aksiomatik, yang disebutnya sebagai badtfott al:aql.s6 Dalam kritiknya terhadap sofisme (as- Sfifs thi' iyy al), buk an dalam pengertian skeptisisme episteme logis,'Abd al-Jabbir menyatakan bahwa kebenaran sebagai sesuatu yang tidak terbantah bertolak dari fakta-fakta empiris sederhana, seperti pembedaan "hitam-putih", "tinggr-rendah", dan "besar-kecil" .57 "Ide-ide sederhana ditarik dari kesan sederhana", demikian Hume.ss

Kgtiga, penekanan pada kebenaran fakta rasional tersebut sama sekali tidak membawa'Abd al-Jabbdr kepada penegasian kebenaran fakta empiris. Hal ini didasarkan pada pandangan'Abd al-|abbdr ketika mengkritik pandangan relativis (aslfufrb at-tai6lwt) dan penganut sofume (as-Sttfsth6'iyyaft), bahwa rasionalisasi dari

il

/bid., Juz Xll, hlm.97. m /bd., Juz Xll, hlm. 57. Lihat pembedaan oleh 'Abd alJabbirantara tindakan yang didasa*an pada

s

Geoqe

F. Hourani, ls/amic R ationalisn, hlm. 17 .

Ungkapan 'korespondensi' (kesesuaian) sebenamya mencakup kesesuaian pengetahuan dengan realitas, baik realitas empirb maupun non+mpiris atas dasar bahwa beberapa penulis (lihat kem-

bali catahn kaki nomor 52) tidak menyebuhya sebagai teori tesendiri karena kebenanan ilmu diasumsikan sebagai kebenaran korespondensial dengan pengertian itu. Jika yang dimaksud dengan koespondensi derpan ealitas empiris, dalam kajian ini dbebut "teori korespndensf ahu" korespndensi dengan realitas empiris'.

$

Abd

alJabbir,

Al-Mughni

fi Abwib alTawfid

wa al-'Adl Juz Xll, hlm. 54.

s7 lbid., JuzXll, hlm. 42--43.

s

'Acoding

to Hurne, simple irJeas are dedved from simple impression. A simple idea would be

some

hing like red;hesimple impression would beseeing a red round image', RobertC. Solomon, /nfre ducing Phibsophy, hlm. 144.

suattt i'tiqhd tidak dapaf sama sekali, memPengaruhi kondisi nyata objek yang diyakini.62 Bertolak dari pandangannya bahwa realitas empiris merupakan kriteria apa yang disebut pengetahuan yang valid, maka

s

'sebab'dan"ibtidi''(Al-Muhilh,Juzl,hlm.391-392). Menurulnya,tindakangeneatif(mulawallrd) dan largsung (mub6slr) masih berada dalam bahs kemampuan manusia, sebagaimana kritiknya terhadap pandangan thab-nya AbO 'Ubmdn alJihkiz yang berimplikasi, tegas 'Abd alJabbir, pada penyamaan antara nalar dan pengetahuan dengan proses pencerapan inderawi, serh gerak dan kecenderungan genk(ilinM1, Lihat'Abd alJabbdr, Al-Mughni fr Abwdb al-Tawf;idwa al-'Adl,Juz Xll, hlm. 316-323. Dengan pandangan tentang lindakan generatif (mulewalltd) sebagaitindakan manusia karena penelonannya pada pengetahuan sebagai hasil kreasi manusia, ia juga berbeda derqan an{.lalr/ram dan al-'Ailaf. Lihal Nashr Himirl AbnZayd, Al'Miidh alr\g,i, hlm. 61. Parahase yang sering digunakan untuk nalar sebagai tindakan generatif adalah 'an-Nazhar yuwallidu al-'ilm'. 61 lbid., Juz Xll, hlm. 93. 62 lbrd, Juz Xll, hlm. 17.

70

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

tolak-ukur kebenaran yang dikemukakan'Abcl al-Jabbdr bisa di jelaskan dengan teori kebenaran korespondensi (correspondcnce theory of tntth) bahwa suatu pengetahuan baru dianggap valid jika sesuai (correspond) dengan realitas empiris. Pandangannya tentang mawjfrd,sebagaimana dikemukakan, adalah bahwa pengetahuan tentangbeing harus dijelaskan dengan menunjuk langsung realitas objektifnya (bi al-isy 6r ah il6 al-mawi frdht). P enielasan tentang mawjftd, menurut'Abd al-Jabbdr, harus dengan contoh-contoh objek partikular (at-ta' rif bi al-mitsil),sebuah pandangan yang sangat Aristotelian. Tetapi, fakta-fakta empiris brsebutbaru memiliki makna hajika "dimaknai" (dikonstruksi oleh akal) sehingga kebenaran nya adalah kebenaran rasional yang mengasumsikan keharusan adanya konsistensi berpikir logik. Dengan kata lain, pandangan'Abd al-Jabbir dalam konteks itu dapat dijelaskan dengan teori kebenaran koherensi, bahwa suatu keyakinan (pernyataan, kalimat, proposisi, dan sebagainya) adalah benar jika sesuai/konsisten secara logis dengan pemyataan atau keyakinan lain yang benar.6 Teori koherensi menjadi alur yang cukup kuat dalam sistem berpikir'Abd al-JabbAr dengan penekanarurya pada konsisitensi antara premis mayor (mujmal),premis minor (mufashshal), dankonkJusi (ta'ammull.la memiliki sistem b".pikit logika yang sangat ketat. Sebuah logika model silogisme, untuk menyebutnya sebagai contoh, dikemukakan untuk memperjelas hal ini:

a. Berbuat zalim adalah jahat (premis mayor) b. Perbuatan ini adalah zalim (premis minor) b. jadi, perbuatan ini adalah jahat (konklusi)il

kannya dengan premis minor dan mayor sebelumnya' Konklusi yang ditarik koheren dengan premis minor, dan premis minor

Loheren dengan premis mayor. Pengambilan kesimpulan itu sendiri tak ragu lagi adalah proses nalar dan inteleks i (ta' ammul). Ungkapan semisal "fa idzh shafuil hidzihi al-jumlah, fa 16 budda ini benar maka pasti" ') 1fa yajii\..."es fiika kalimat/pernyataan nalar dengan model dan inteleksi proses menggambarkan suatu koherensi. fika silogisme yang dikemukakan tersebut dengan asas koherensi bertolak dari suatu premis mayor yang kebenarannya aksiomatik, pertanyaan yang muncul sekarang: bagaimana'Abd al-Jabbdr menjelaskan pendasarannya? Inilah yang memberi ruang bagi kebenaran korespondensi dengan realitas empiris dalam epistemologi'Abd al-JabbAr' Kebenaran aksiomatik (badfufi al: aqf),sebagaimana dikemukakan, bertolak dari fakta-fakta sederhana yang tak terbantah melalui pengamatan inderawi (altentang fakta-fakta sederfugssah). Dalam al-Mtthtth, pengetahuan hana tersebut disebut sebagai fondasi argumen-argumen (ush'fi| al-adillahJ yang sesungguhnya menjadi kriteria minimd kesempumaan akal untuk takltf,6 seperti pengetahuan aksiomatik tentang ketidakmungkinan suatu benda fisik berada di dua tempat pada waktu y.rng sama, perbedaan dan persamaantrrya,6T hitamprtih, manis-asam, dan panjang-lebar. Pengetahuan aksiomatik a*i rurcu-rukta empiris sederhana yang dharfiri tersebut harus mendasari argumen-argumen atau premis-premis minor yang dikemukakan berikutnya adalah untuk menghindari apa yang disebut dalam logika sebagai "nalar sirkular" (ciratlar teasoning\, begging the question, petitio pinfatlacy of arguing in circle, fallacy of apii (t atni, atar tasalsul al-adillah, yaitu pengambilan kesimputran berdasarkan statement-statement atau pengandaian-Pengs

Abd alJabbdr, A t-tulushni fr Atute/b at'Tawf;idwa d:Adl, JuzXll, hlm. 236-237.lGlawaiab+yaiibu ying berbeda dalim konteks hukunr-{alam konteks lggika harus diteriemahkan dengan 'pasf

-(necessary). "mheres'or ties

The coherence treory of futlr says hat oher statemenb and beliefs.' Lihat Robert C. Solomon, lnlroducing Philosoptty, hlm. 166). a statement or belief is true if and only if it

in wittr

n

71

-

Dari contoh di atas,'Abd al-Jabbdr menarik suatu konklusi yang sahih secara logika karena ada koherensi yang menghubunga

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'AM al-Jabbir

GeoqeF.Hounani,lslamicRationa,,bm,hlm.35,denganmengutipdari'AbdalJabbir,Al-Mughnifi Abwdb al-Tawhid wa al-'Adl, JuzXlll, hlm.

305-306.

s

Abd alJabbdr, A t-Muhilh biat'Taklit, Juz l, hlm. 15--17.

alJabbdr, Al-Mughni fi Abw6b at-Tawfld wa al-'Adl, ed. Muhammad 'Abd al-Halim an-Naliar dan'Abd al-Halim an'Naliir, Juz Xl, hIm.382.

67 Abd

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd

andaian yang justru masih dipertanyakan kebenararurya dan harus dibuktikan, meski diasumsikan benar.68 Kaedah logika ini diformulasikan'Abd al-JabbAn sebagai berikut: ,l;l,

d ol',;51

dl

dll dll,;(1 d J r"I

ru.r

OE cl r+l itrlr oe

ib)l

g d!

dr te

l+

ru

dl

./

t$ yr

) t,4 grX hr 1s[r

Dalam contoh di atas, premis mayor "berbuat salah adalah iaha(' diperoleh dari: (1) observasi atau pengamatan terhadap ada atau tidaknya aspek-aspekpimafacie satu per satu dari contohcontoh partikular bahwa semua kemungkinan yang menjadi tindakan tersebut baik tidak dengan pendekatan iilrdk, melalui persepsi sensual maupun pemahaman fakta-fakta empiris; dan (2) komparasi dan pertimbangan beberapa aspek pima facie ruIai yang ada suatu tindalen.To Dengan demikian, 'Abd al-fabbdr mempertahankan kebenaran koherensi pada argumen logika sebagai tolak-ukur kebenaran ilmu. Namun, pada tingkatyang paling mendasar, ia mendasarkanhal itu pada kebenaran korespondensi. Contoh lain yang dikemukakan'Abd at-Jabbdr yang dapat memperielas hal ini adalah apa yang dikemukakannya dalam Kt6b ar-Llshat al-Khamuh, sebagaimana dikutip Machasin:n a

contoh kekeliruan nalar nrodelfuiiadahh bahwa: Alam serEsb memilikipermulaan (premb mayo). setiap yarq memiliki permulaan mesti ada subjek yang mengawali (penciptaan) (premis minori. Jadi, alam semesta memilikisubjek yang memulai penciptaan (Tuhan) (ronklusij. Logita tenebut adalah keliru karena bertolak dari premb, statement, atau pengandaian yang masihlipersoalkan. Lihat Pafick J. Hurley, bncise lntdudkm fo Logiq (califomia: wadsworfi publishing

r

Company, 1985), hlm. Qf122; Peter A. Angetes, Didionary of phibsophy,(Nav york Bames & Noble Books dan Division of Harper & Row, publishers, 19g'l), hlm. 97; Dagobert D. Runes, Drblro

B

n

nary of Philonphy, (Nw Jeney: Litdefietd, Adams & Co., 1971), htm. 108; The Liang Gie, Kamus togi/
Jika ditanya:Apa dalil yang menuniukkan bahwa Dia (Allah) Hidup ? Diiarab:

Setiap subjek yang mungkin (sha!!) memiliki kemampuan dan mengetahui pasti hidup.

Dalam kudpan di atas, bahwa Allah pasti Hidup meruPakan konklusi yang ditarik secara koheren dari premis mayor "sedap

subjek yang mungkin memiliki kemampuan dan mengetahui pasti hidup"z (secara implisi! premis minornya berbunyi: "Allah adalah subjekyang mungkin memiliki kemampuan dan mengetahui"). Premis mayor tersebut memaksa'Abd al-JabbAr untuk membuktikan kebenarannya. Ada hal yang terkandung dalam premis mayon (1) subjek yang memiliki kemamPuan/ dan (2) subjek yang mengetahui. Untuk memvalidasi yang pertama, ia mengatakan "karena setiap perbuatan dalam kenyataannya (asysy6hid) tidak terjadi, kecuali dari subjek yang memiliki kemampuan". Terhadap persoalan kedua, ia menunjuk contoh-contoh partikular yang tak terbantah "karena perbuatan yang kokoh (alf'l al-mufukarr),73 seperti menulis dan membuat sesuatu, tidak mungkin teriadi, kecuali dari subjek yang mengetahui". Faktafakta pima facie yang ditunjuknya terakhir ini yang digunakan untuk menopang nalar logika sebelumnya sebagai sesuatu yang "aksiomatik" agar tidak E4adi petitio pincipi. Fakta-fakta empiris dan rasional keduanya diberi tempat dan dilibatkan dalam proses inteleksi. Dengan demikian, kesimpulannya tentang objek abstrak ftuhan) yang bertolak dari yang konkret,'Abd al-]abbir menarik kebenaran membentang dari teori kebenaran koherensi ke kebenaran korespondensi. Sebaliknya, jika dilihat dari contoh-contoh partikular konkret sebagai dasar kesimpulan, kebenaran membentang dari bori kebenaran korespondensi ke koherensi.

George F. Hourani, /slamrb Ratbna/lsrn, hlm. 36.

7' Madrasin, I/-Q di AM at.Jabbln Mttasylbih Al-eur,dn: tKis,

2000), hlm.

Datih Rasbnatitas At-eufan,

(qyatab:

67-68 dengan merButip 'AM alJabBr, Ktdb al-llsh0ta/-loramsah,

Edisi Daniel

Gimarcl Annales lslano/ogrgues, No. XV (lnstitut Fnncais d'Ardeologie Orientaledu Caire, 1979), hlm.82-83. Lihat juga Madrasin,'Understanding $e eu/in wifr LogicalAqumenb: Disarssion on 'Abd alJabMr's Reasoning', dalam Al-Jani'ah: Joumat of lstanic studies,Juz 3g, No. 2, hlm. 371.

alJabbir

Dengan demikian, fakta empiris diberi ruang dalam episteal-Jabbdr bersama-sama dengan fakta akal budi se-

mologi'AM 12

lfid. anhra tindakan yang mul*amdan yang bukan muhkam, lihat 'AM aUabbar, Al-Mughnili Abwdb at-Tawhidwaal-'Adl, Juz Xl, h|m.372.

?3 Tenbng perbedaan

74

Epistemologi Kalam Abad pertengahan

hingga kesahihan pengetahuan diukur melalui korespondensi dengan realitas empiris dan koherensi dengan asas-asas logik, meski 'Abd al-Jabbdr sangat menekankan bahwa pengetahuan adalah

hasil konstruksi akal terhadap fakta empiris tersebu! sebagaimana kecenderungan kritisisme Kant kepada rasionalisme dalam wacana filsafat BataLTa

Afektivitas (sukfrn an-nafsl Sebagai Kriteria "Subjektif"

2. Unsur

Validitas pengetahuan, menurut'Abd al-]abbdr, tidak hanya diukur melalui kriteria korespondensialnya dengan realitas empiris dan rasional secara objektif, hpi juga diukur dengan kriteria afektivitas subjektif (sulcfin an-nafs). Dalam perspekstif filsafat ilmu, persoalan "mengetahui bahwa" tidak hanya disyaratkan bahwa pemyataan adalah benar, tetapi juga harus diyakini bahwa statemen ifu benar.7s Kata sulctLn secara etimologis berarti lawan dari gerak. Kata sul6n dalam ungkapansuldn an-nnfsz6 digunakan secara metafor (nuj 6z\ sebagai perbedaan atau keistimewaan yang didami dalam kesadaran kognitif atau keyakinan subjek tentang suatu o[ek seElah proses memperoleh pengetahuan. Perubahan dalam kesadaran kognitif tersebut dalam contoh'Abd al-Jabbdr adalah seperti perubahan kesadaran kognitif dari keyakinan tentang keberadaanZayddi rumah atas dasar beritake keyakinan tentanghalyang sama atas dasar penglihatan langsun g(musyahkdal).2 Dengan demikian, sulcfin an-nnfs merupakan interiorisasi-meminjam terminologi psikologi-seluruh apa yang dicerap subjek secara in7' /bld,

E

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

derawi atau dinalar secara rasional ke dalam kesadaran subjektif setelah kriteria-kriteria yang dianggap sah terpenuhi.

Isilah

nus tedmians, suatu problematika yang harus dipecahkan sebelum

investigasi lebih lanjut Istilah tersebut sebenarnya telah menjadi diskusi di kalangan mutakallimtrn, sltfi, dan para filsuf Islam. Naf digunakan untuk menunjuk pada totalitas kesadaran manusia, yirng mencakup pengertian qalb (hati)m sebagai substratanya dengan aktivitas-aktivitas interiornya (af 6l al-qulfrb).n Dalam konsep tentang manusia, manusia dibentuk dari dua unsur utama, yaitu bentuk (shttr ah) dan struktur (buny ah).80 Yang pertama tampak lebih ditekankan pada aspek fisik, sedangkan yang kedua lebih ditekankan pada aspek psikis. Dalam literatur-literatur

Islam klasik, berdasarkan keterangan al-ijt dalam at-Mnwdqif, istilah nafs mengacu pada aspek penyempurna terhadap aspek fisik dan bersifat instrumental sebagai kemampuan menalar halhal yang universal atau menarik kesimpulan rasional.sl Atas dasar ini, istilahnaTt tentu lebih ditekankanpada aspekkedua, yang sering disebutrya sebagai struktur hati (binyat al-qalb)82 yang men

(London:Roudedge, 1996),

alJabbdr, Syafi al-Ushll al-Khansah, hlm. 90. 'Abd alJabMr nembagi sepuluh petuabn yarg berada dahm bahs kemampuan manusia(al-maqdflrillkcpada dua:('l) perbuabr perhiatan arpgota fubuh, yaitu a/okwdn, kecenderungan untukgen( mengarang, suan, dan rasa sakil dan (2) pe$uatan{erbuatan hati, yaifu keyakinan, keinginan, nsatidaksenang, keraguan (zhann), dan nrenalar. Yang dinnksud dengan alalflen adalah bertumpuldan berpisah serb gerak dan diam. Lihat Syafr al-U shal al-Kh amsah, hlm. 1 1'1.

e

4647;

At-Mughni

hably 6liy min

haitsu ya'qil

algulliyytt wa

yastanbith bi

ar+al.

lln

mengandung dircnsi berpikir. Qalb dalam nalb sebagai alat untuk berpikir dan pusat kesadaran alJabbir mungkin sama dengan apa yang disebut lbn Sina, filsufsezamannya, dengan quwd an-nah an-nethiqah (daya jiwa yang digunakan untuk berpikk). Lihat Jamfl Shalibd, filfikh al-Falsafat al-'Arabiyyah,CeL ll, (Beirut Dar aLKutub al-Lubnani, 1973), hlm. 250.

dalamLaNotion...,hlm.24"menerjemah-

dalam konsep Abd

kannya dengan tranquillitl de l'6me.

(Pseudo) Abd alJabbdr, Syafial-Ushil al-Khamsah, hlm. wa al-'Adl, Juz Xll, hlm. 20-21.

Teksnya: hiya kamdl avwal li jbm

al-Kal6n,(Beirut 'Ahm al-Kutub, t.h.), hlm. 22$-230. Jika di kalangan filsuf lslam, akal dianggap sebagai organon atau instrumen berpikir, sebagairnna dipahami filsuf Yunani, pada'Abd alJabblr konsep akal sangat pmblematis dan tidak dipahami sebagai instumen berpikir. Aktivitas berpikir diungkapkan istilah umum nafs sebagai sesuatu yang

pengertian yang sama adalah tsa/ ash shadr, insyirdh al-fiadr, dan huna'ninaf alqah. peten dalam bukunya, God Oeated Speech, hlm. 49, menerjemahkannya dengan tranquility of soul(ketenarEan

n

/bd., Juz Xl, hlm. 363. 'AM alJabbir juga renyatakan bahwa meski manusitediri dari fuik dan roh (hlm. 335), esensi manusia adalah apa yang disebuhya sebagai'roh yang hk bersfuKur'(ar*?tr al-basfrhaD), bukan temusun dari beberapa unsur [mural
hlm.20-21.

76 (Pseudo)AbdaLJabtEr,Sya[al-lJshllilKhannh,hlm.46-.4S.lstilahlainyangdigunakandengan

jiwa)dandenganpengertianyangsamaMarieBemand

Abd alJabber, A l-Mughni fi Abwdb at-Tawfiid wa al-'Adl Juz Xll, hlm. 22.

7e (Pseudo) 'Abd

rr

Juz Xll, hlm. 58.

LhatJolrn Hcpers,AnlrffiudkntoHtlbvphkatAnalysis,

nafs dalam ungk apan suWn an-nnfs merupakan termi-

fi Abw6b at-Tawfiid

u

(Pseudo) Abd alJabbdr, Syad a/-Ushil al-Khamnh, hlm. 220.

76

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbdr

naf e semisal kejelasan ketika seseorang melihat air, api, atau bumi dengan penyikaparurya. Hal ini berjalan pada satu prinsip metodologi yang sama ('aI6 thariqah whfuidah), yang mendasari verifikasi setelah itu. Proses inilah yang membedakan antara ilnu dengan asumsi (zhann) atau kesimpulan a pioi

nekankan dimerui akal manusia, meski beroperasi dalam totalitas kesadaran jiwa.

Kriteria sukfin an-nafsyang dinilai sebagai kriteria yang terlalu subjektif ini menimbulkan debat dan kritik s3 baik dari penentang Mu'tazilah maupun dari kalangan Mu'tazilah sendiri. Isu-isu yang dimunculkan pada dasarnya sebagai berikut:

a.

Unsur fundamental yang membedakan antara "ilmu" dan nonilmu. Menurut Ab'0 'Utsman d-Jahizh, penentang penting 'Abd al-Jabbdr dari tokoh Mu'tazilah sendiri, sulcfrnan-nafs menyebabkan kabumya batas antara pengetahuan dengan ketidaktahuan Qaht), sepern ketika melihat air pada fatamorgana. AbO 'Ali, gurunya, yang menekankan asas "non-kontradik-si" (nafy aftaniqudh) dalam pengetahuan, juga mengajukan kritik yang sarna, meski memiliki segi-segi pandangan yang sama dengan 'Abd al-Jabbdr. Menurufrtya, sukfrn an-rufs-unhrk membantah kritik tersebut-merupakan keadaan terakhir yang telah dikondisikan oleh conditio sine qua non yangsahih: (1) subjek yang melakukan persepsi inderawi maupun rasional (ldrdk) memiliki perangkat keilmuan sebagat ftame berpikimya ('dqil); (2) ada beberapa'illah (sebab, cazse) yang menghubungkan antara fenomena yang diamati, dan (3) tidak ada ketidakjelasan dalam proses tersebut Proses perpindahan dari pengamatan tersebut ke kesadaran su$ektif itu, menurutnya, adalah sesuatu yang jelas dan dapat dipercaya serta aspek-a

spk

77

(tabkhtt).8s

b.

Stagnasi kegiatan keilmuan. Karena tolak-ukur yang bersifat subjektif, sulcfrn an-nafs dikritik- demikian pengandaian'Abd al-Jabbdr- sebagai penyebab stagnasi bagi kegiatan keilmuan

(f'l al-ma'ifah). 'Abd al-JabbAr tidak menafikan kemungkinan hal itu jika didasarkan adanya sesuatu yang tidak jelas atau adanya motivasi-motivasi lain (ad-daw6' i).86

c. Kritik

yang sangat mendasar yang diajukan terhadap kriteria ini adalah karena bertolak dari tolak-ukur su$ekfrf (ar-rujf iI6 an-nafs), sukfin an-nafs berbenturan dengan "asas non-kontradilgi", baik pada tingkat kesimpulan, sebagaimana ditegaskan AbO'Ali, maupun pada tingkat metodologi, sebagaimana dikemukakan AbO Hasyim. Argumen yang dikemukakan oleh 'Abd al-|abb6r untuk membantah kritik ini pada dasamya adalah sebagai berikut. Pertama, "asas nonkontradiksi" ilmu, menurutnya, kadang-kadang merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan dan bisa dibantah.sT Kedua, berdasarkan rasionalisasi itu, kembali ke kesadaran subjektif (ar-rujft' il6 an-nnfs), membantahnya dengan tega s lgafonsy al-qawl' alayh), serta me-

(wujtfih)

yang menjadi kondisi terwujudnya pengetahuan harus rasio-

s

s 6

'AM alJabMr, Al-Mughni fr Abwdb at-Tutfrid wa al-'Adl Juz Xll, hlm. 34. lbd., hlm.36.

MenurutG.Vaiia,"LaConnaissancedrezSaadia',dalamRevuedesEfudesJurves,No.126(1967), hlm. 135, dari kalangan filsuf, konsep alfiribi tentang pengetahuan yang valid dapat merupakan

r

kritik terhadap kriteria yang dikemukakan oleh 'Abd alJabbdr Hourani secana keliru memahami sukdn an+ab sebagai "the deliberate and rational process whidl his mind goes through, contrasted with the unreflective process of he others". Lihat Lawrence V. Berman, "lslamic Rationalism: the Ehics of 'Abd alJabbdn Book Reviev/, dalam Stanford J. Shaw (ed ), Intemational Joumal ot

87 Asas

Middle EastSfudbs, Vol. Vll, (1976), hlm.59--87; George F. Hourani, lslamicRationalism, hlm. 18; Machasin,'Epistennlogi...', hlm. 45; J.R,T.M. Peters, Godb Oeafed Speeci, hlm. 50. Hourani, dengan begitu, tidak sepenuhnya keliru, karena sukdn an-nafs (lihat penjelasan berikut) bukanlah kesadaran subjektif semata yang terlepas dari inteleksi. Tetapi kekeliruannya terletak pada pengetahuan dalam konsep 'Abd alJabb6r yang tidak selalu benifat diskursif yang meniscayakan nalar.

lbrd, hlm. 37.

'non*ontadilsf

unfuk

rn4ukur

kebenaran ilmu lidak ditolak sepenuhnya, sebagai konsekuensi

logb dari kritiknya teriadap sofsme. Lihat'Abd alJabbtr, Al-Mughni fi Abwdb at-Tawfijd wa al-'Adl, Juz XV ed. Mahm0d al-Khudayf dan Mahm0d Muhammad Qdsim, hlm. 109-110. Asas'nonkonbadilsi'atau hukum penyangkalan sebenamya dikemukakan oleh Aristoteles sebagai prinsip obieKivitas, di samping hukum Uentika (semua yang benar harus sesuaidengan realihs objehifnya) dan hukum penyingkinn yang ketiga (bahwa anbra dua pemyataan yang berbnhngan tidak mungkin ada pemyahan ketiga). Lihat lvtohammadHafra, Alam Pikiran Yunani,(Jalanf:Univeaitas

lndonesia [Ul]Press dan Tintamas, 1986), hlm. 124. Lihatluga Kritik kalargan nutakalfinAn brhadap prinsip prinsip Arbtoteles dalam'Ali Simi an-Nasysydr, Manehij al-Babts,n lm. 143-155.

Epislemologi Kalam Abad Pertengahan

ngemukakan argumen-argumen penopang adalah suatu keniscayaan.s

Konsep'Abd al-Jabbdr tentang ketenangan jiwa (sukfin anrufs) dan prinsip "kembali ke kesadaran subjekti(' (ar-rujf iI6. an-nafs) mendasari pandangannya tentang psikologi "keilmuan". Ketenangan jiwa merupakan kondisi final yang dialami subjek yang melihat terpenuhinya kondisi-kondisi objektifnya. Ketenangan jiwa hanya terjadi jika keyakinan ({tiqAQ terbentuk oleh syarat-syarat diperolehnya pengetahuan secara sahih.se Oleh karena itu, kebnangan jiwa mesti bertolak dari kondisi objektif yang rasional (ma'qfrl\. Keyakinan yang muncul dari proses nalar, misalrya, meniscayakan ketenangan jiwa. Menurut'Abd al-JabbAr, ketenangan jiwa merupakan kondisi kognitif yang berbeda yang dialami oleh subjek tentang keberadaan seseor.rng, misalnya, dengan melihanrya (musyhhadah) sendfui.. Perubahan dalam kesadaran kognitif yang tidak dialami sebelumnya tersebut berbeda dengan kesadaran serupa tentang hal yang sama yang diperoleh hanya melalui berita. Dengan demikiary ketenangan jiwa terwujud jika ada kesesuaian, yang menjadi tolak-ukur objektif pengetahuan, antara keyakinan dengan realitas objektifnya.{ Secara psikologis, konsep sulcfin an-nafs merupakan proses penyerapan, apropriasi, atau interiorisasi ke dalam kesadaran subjektif faktafakta objektif di luamya, sehingga konsep tersebuttidak lagi me-

rupakan tolak-ukur subjektif mumi. Dari pendefinisiartsukftn an-nafs dan kritik serta sanggahannya yang telah dikemukakan di atas, pelabelan kriteria ini sebagai "subjektivitas" tampak sangatproblematis, brutama jika dihubungkan dengan kontras subjektivitas-objektivitas dalam wacana filsafat ilmu yang berkembang di Baral David Bell,er misalB

/bd., JuzXll, hlm.38-39.

@ Machasin, "Epistemologi...', hlm. 44.

$ ei

lbrd., hlm,45. DavirJ Bell, 'Objeclive/subjective', dalam Jona$an Dancl dan Emest Sosa (eds.), A C.ampanbn to

Epistenology, hln, 312.

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'AM al-Jabb6r

nya, mencatat dalam sejarah tentang Pergeseran makna objektivitas dan subjektivitas. Selama beberapa abad sebelum Kantdalam tulisan-tulisan kalangan Skolastik, Descartes, Spinoza, Berkeley, dan lainnya-blah brjadivariasi ma-[ma: objektivitas direprensentasikan sebagai ide, representasi mental, atau isi suafu kesadaran. Descartes, khususnya, memaknai "subjektif" sebagai "realitas yang disebutolehpara filsuf sebagai aktual atau formal". Franz Brentano justru menafsirkan objektivitas (C*genstandlich' keit) sebagai sifat intrinsik dari sikap mental yang menekankan sisi intensionalitasnya, yang mengilhami Husserl dan Alexius Meinong. Meski demikiary dalam ta!41an objektivitas-subjektivitas epistemologis - tidak dalam tataran ontologis - tidak ada pemisahan yang ketat antara subjek dan objek. Konsep'Abd alJabbdr tentang ini juga harus dipahami dari sini.

"subjektivitas" kriteria ini-jika harus diberi label demikian- tidak merupakan subjektivitas radikal, tidak hanya karena penolakinnya atas skeptisisme (as-Sttfsth6'iyyah) y*tg menjadi afiliasinya, tetapi juga karena alasan berikut Pertama, sukfin an-nnfs meski berpusat sebagai pertimbangan

akhir ('Abd al-Jabbdr menggunakan istilah fuuhn, bukan itsbdt ataa tatsfit [penetapan]) pada kesadaran individu (al:ilim),e2 tetapi bertolak dari apa yang telah diketahui melalui "pembacaan" terhadap realias yang diketahui (al-ma'lfim)e3 dengan kualifikasi yang dapat dipercaya dan sahih, menurubrya, sebagaimana dijelaskan: dalam kondisi tertentu (fo,61), ada hubungan kausal ('illah) antara fakta-fakta, tidak ada kesamaran, denganwajhyang ma'qfr| dan sebagainya. Oleh karena ifu, "objektivitas" subjektivitas kriteria inisecara ringkas dijelaskan dengan hubungankausal ma'n6-suldn an-nafs-'ihn. Meskipun meruPakan bagian dari keyakinan subjektif, mt'n6 baru diperoleh dari interaksi subjek e

s

'Abd alJabbar, Al-Mughni fi Abwdb at-Tawfiid wa al-'Adl, Juz Xll, hlm. 20. lbid., hlm. 30. Peters, God's Created Speecfi, hlm. 50, karena lerlalu menekankan pengetahuan dalam konsep'Abd alJabbirsebagai pengalaman dalam (innerexperbne) manusia, secara keliru

rnenganggap sukOn an+afs merupakan kriteria subjektif yang tidak memiliki hubungan langsung dengan apa yang dikehhui('rim, naldm).

80

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

(baca: ide) dengan realitas yang diketahui sehingga sampai pada

tingkat memuaskan, atau sampai pada tingkat "alasan cukup" (raison suffsante) dalam istilah l€ibniz. Kedun, berdasarkan keterkaitan ide dan realitas

brsebu! pan-

dangan'Abd al-Jabbdr ini akan diidentifikasi dengan dua arus utama pandangan tentang subjektivitas dalam episbmologis, yaitu realisme episbmologis dan idealisme epistemologis. Realisme epistemologis berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya

dengan apayanglain dari saya. Sedangkan idealisme epistemologis berpendapatbahwa setiap tindakan mengetahui berakhir dalam suatu ide, yangmerupakan suatu peristiwa subjektif murni.e4 Meski menegaskan dengansulfin an-nafs tentang kesadaran sebagai penghubung antara saya dan yang di luar saya,'Abd al-JabbAr menolak apa yang ada di luar saya sebagai realitas final karena tidak sahihnya bertolak dari realitas empiris an sich (i'tim6d'al6 mujarrad al
dangan'Abd al-fabbdr berbeda dengan idealisme. C. Sumber-sumber Pengetahuan

1. Konsep'Aql Islamisis di abad ke-20,

tegas

A. Kevin Reinhart% dalam

Before Rmelation, dengan mengutip W.C. Smith, sering keliru dalam memahami konsep 'aql di kalangan Mu'tazilah. Kesalah-

pahaman tersebut juga disebabkan oleh kuatrya simbolisme is-

s

Kenneh

$

(Pseudo) 'AM

s

T. Gallagher,

IhePhilosophyof ktowledge,sadunn

P.

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

B1

tilah, semisal reason danintellect di abad ke-18 dan sesudahnya, baik di Barat maupun di dunia Islam. Meskipun demikian, intelektual Barat dan Timur serta Para heresiografer sepakat bahwa 'aqlmenempati posisi sentral dalam epistemologi Mu'tazilah, baik cabang Bashrah maupun Baghdad. 'Abd al-|abbAr sebagai tokoh Mu'tazilah Basfuah, karena bertolak dari diskusi tentang takltf, mendefinisikan 'aql sebagai seperangkat ilmu tertentu sebagai kriteria kesempurnaan intelektual.eT Pendefinisian tersebut agaknya merupakan representasi pandangan Ab0'All yang mendefinisikan 'aql dengan Pengetahuan.s Atas dasar ini, Bemand berkesimpulanbahwa konsepsi 'aql sebagai sesuatu yang diketahui merupakan karakter epistemologi Mu'tazilah secara umum, suafu hal yang bertentangan dengan konsep akal menurut filsuf yang dipandang sebagai instrumen (organon'),e meski tidak sepenuhnya benar.

'Abd al-Jabbdr dengan tegas menolak konsep 'aql sebagai instrumen, substansi (jawhar), alat indera, atau kemampuan, kecuali atas dasar perluasan makna atau perumPamaan (tasybilt), karena hal itu, menurutnya, berimplikasi pada terjadinya perubahan (bertambah-berkurang) pada' aql.roo Fondasi teologis yang mendasari konsep ini adalah keyakinannya tentang kesamaan manusia dalam kapasitas akal untuk memperoleh pengebhuan dharAi.lol Dengan demikian, 'aqlidakmengandung kemampuan atau kapasitas mental sebagaimana kata "rasio" dimaknai. Di abad ke-1"9 kata "rasio", seperti dalam formulasi Adam Ferguson, misalnya, diartikan sebagai" . ..powers of discemment or his intellectual faculties which under the appellation of

Hardono Hadi, hlm.35.

ot 'Abd alJabMr, Al-Mughnl fr Abwdb at-Taftld wa al-'Adl, Juz Xl, hlm' 375.

alJabMr, Syad allJshAt aLKhamsah,hlm, 205.

A. Kevin Reinha( Before Revelation: The fuudaies of Muslin MoratThoughf, (New yorlc State univenity of New York Press, 1995), hlm. '151. Di kalangan heresiografer Asy'ariyyah informasi mengenai konsep Mu'tazilah tenhng 'ag, luga masih kurang. Di kalang an mutakallinan, al\aig ibn Asad al-Mulisibi tampaknya merupakan omng pertama yang secara mendalam membahas tentang hakikat'agL Lihat karyanya, fiisilah fi Mi'iyyat al-'Aql', dalam Husayn aLQ0ff, (ed ) 'Aql wa Fahn Al-Qur'6n, Cel. l, (Beirut Ddr al-Fikr, 1971/1391).

/C,-

s

Al-Asy'ari, Mqe.H *ldaniwfn va lkhtibf d-Mudrallin, MMdyyah, 1969/1389), hlm. 481481.

s

cet ll, (cairo:

Maktabat an-Naldhat al-

A. Kevin Reinharl.Beforc Re,relation, hlm. '151. fo'Abd dJabMr, At-ttlughni fr Abutffi at-lafrfd wa al-'Adl Juz Xl, hlm. 378-380. rot

,bit; hlm.380.

r 82

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

reason...refer to the objects around him either as they are subjects of mere knowledge or as they are subjects of approbation or censure.//102 'Aqlmentpakanbasis bagi segala sesuatu yang diketahui. Akan tetapi, meskipun pengetahuan tersebut merupakan hasil dari kesempurnaan dan hasil interaksi terhadap dunia eksternal, 'aql tenfit tidak bisa dikatakan datang dari luar. Karena penekanan pada keyakinan teologis tentang kesamaan manusia dalam kemampuan, 'aql merupakan potensi yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia. Dengan demikian, 'aqlbukanmerupakan upaya referensial kepada sesuatu yang sudah diketahui sepenuhnya, rnelainkan respon terhadap kondisi atau fenomena di sekelilingnya. Oleh karena itu, 'aql bersifat perseptual, baik terhadaP sesuatu yang sesuai dengan compos mentis dan pengetahuan langsung (dharfirQ maupun yang mennerlukan refleksi dan nalar {iktishbl. 'Aql sendiri yang merupakan seiumlah pengetahuan berada dalam lingkup yang terbatas. Tidak semua pengetahuan dapat diketahui'aql.Harrya sejumlah kecil yang diketahui oleh manusia karena keutamaannya sebagai rnaktrluk yang berpikir-

Dengan uraian di atas, kita menarik dua garis kuat yang ingin dihubungkan'Abd al-Jabblr. Pertama sebagaimana dikemukakan, dalam konteks takltf d.an kesempumaan akal (kamhl al-'aql) tampak penekanannya bahwa manusia memilii
Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

dibgaskan 'Abd al-Jabbdr, merupakan pobrsi manusia untuk memperoleh pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kewajiban

moralitas (at-tahsin wa at-taqbffu al:aqlt sebagai at-takltf al:aql\'to' Fakhry menyebut jenis intelek seperti itu dengan phronesis (kebijaksanaan atau pemaharnan) Aristoteles yang berkaitan dengan potensi manusia mengetahui kebaikanmoral, yang dalam konsep al-FArAbi disebut ta'aqqul.lM Kedua, intelek aktual (al:aql bi al-f'l) yang oleh al-FdrAbi sendiri disebut sebagai tingkat intelek yang digunakan oleh para teolog dialektikus skolastik (tnutakallimfin)' yang tekanannya pada fungsi proskriptif (penolakan) dan preskriptif (penentuan), yang sering diungkapkan dengan parafrase in qdla q6'il(un\..., qilalahu, suatu model intelek kualitas afirmasi positif dan dismissif (penolakan).10s Dua tingkatan intelek dalam koruep al-FdrAbi tersebut memiliki pengertian yang s:rma dengan ' aql dalampandangan'Abd al-jabbdr, yaitu sebagai potensi yang dimiliki oleh semua manusia karena fitrahnya dan intelek dalam terapan para teolog yang masih secara kuat mengikatkan diri dalam nalar bks. Pada tingkahn berikubrya (tiga sampai enam) dalart konsep intelek al-Firdbi, nalar yang dilakukan oleh'aql adalair nalar spekulatif-filosofis.'Abd al-Jabbdr tidak sampai pada konsep' aql srclrr,gai potensi nalar spekulatif-filosofis, karena keterkaitan kuatrya dengan teks-teks keagamaan" Atas dasar pemahaman'Abd al-fabbir tentang'aql sebagai potensi yang dimiliki sernua rnanusia secara universal, FakJrry mengidentikkannya dengan common sense. Reinhart rnenyebut 'aql dalam konsep Mu'tazilah Bashrah ini sebagai common sense dengan pengertian istilahyang kita maknai sehari-hari (nalar sehat) dan dalam pengertian common notion yang digunakan oleh '03

Lihat, misalnya, 'AM alJabbir, tr l-Mughni fi Abw1b at-Tawfid wa al-'Adl, Juz Xl, hlm. 371 dst , "Fasl fi llajat al-Mukallaf ild al-'Aqlwa al-'llm li Yahsun Taklifuh". Bahasan lebih lanjut akan dikemukakan

pada bab lV.

ln lbrdhim 1@

LihatG.J. Wamock,'Reason', dalam Paul Edwards (ed.),TheEncyclopedia ofPhilosophy Vol. Vll' (Nw York Macrnillan Publishing Co., lnc. & The Free Press dan London: Collier Macmillan Publisher, 1972), hlm. 83--85.

Madk0r, AbO Nashr al-Fdr6bi fi az-ZikT aLAlfiWah li WafAfih 940 M, (Cairo: al-Hay'at alMishriyyat aL'Ammah li al-Kitdb, 1983/1403), hlm. 201 .

!6 lan Ridrard Nellon, Al-Farabiand His School, (New Yorkdan London, Routledge, 1992), hlm.4S54.

T Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Stoa dengan ungkapan koinai ennoiai. Ada pengetahuan-pengetahuan yang dapat diketahui oleh manusia normal secara umum

dan oleh manusia matang (tidak sakit pikirary di bawah umur, dan sebagai^yu).tou Sejarah perkembangan pengerttan'aql di kalangan masyarakat Arab pra-Islam, rnenurut Toshihiko lzutsu, juga masih rnengandung pengertian itu.107

Dengan uraian di atas dapat dikonstruks pengertian'aql dalam pengertian sebagai berikuh per tama,' aql y angdimaksud, sebagaimana tampak dari definisi yang dikemukakannya, adalah dengan sejumlah ilmu tertentu. Pengerfian ini ditegaskannya sendin. Kedua, rneski demikian,'Abd al-labbAr juga tidak menolak pengertian'aql sebagai sumber pengetahuan. Ambiguitas yang tampak, sebagaimana dinyatakan Nashr F{Amid AbA Zayd,l$ adalah (1) antara' aql sebagai ilmu-ilmu (produk) dart' aql sebagai instrurnen berpikir rnanusia (proses), (2) 'aql dalam konsep 'Abd alIabbdr oleh AbO Zayd diartikan iebih sebagai pengetahuan-pengetahuan dharfirt yarrs, menurut'Abd ai-Jabbdr, harus digunakan unfuk memaharni masalah-masalah yang sebenarnya memerlukan nalar diskursif, seperti kebaikan rnoralitas dan kewaSiban taklff. Ambiguitas yang tampak tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut

Fertama, 'Abd al-Jabbdr menolak penyebutan 'aql sebagai "insttrrmen" (6lah) t:erpiktr, karena is|j/iah Abh dari segi bahasa berkonotasi sebagai sesuatu yang fuikat. Ia sama sekali tidak menolak jika istilah tersebut dianggap sebagai perluasan makna vang digunakan dengan pengertian sebagai sesuatu yang memungkinkan manusia memperoleh pengetahuan, sebagai "instnmen". Di kalangan filsuf, konsep reason atau intellecf sebenarnya juga tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang fisikal.lD Oleh karena rs.A. Kevin Reinharl, Before Revelalion, hlm. 152-153. r07

l-ihat l€bih lanjut dalam Toshihiko lzubu, God and Man in the Koran, {New Hampshire: Ayer Company Publishers, lnc., 1987), hlm. 65--67,211, 214,rJan231.

fs NashrHdmid AblZayd, Al-lttijih 1@

'Abd alJabbdr, Al-Mughni

a/-,Aqli, hlm.65.

fi Abwdb atTawf;id

wa al-'Adl, JtrzXl, htrn. 379.

Konstruksi Pemikiran Epislemologi'Abd al-JabbAr

85

itu, perbedaan tersebut lebih bersifat redaksional, bukan substansial., meski pemaknaan 'aql sebagai seprangkat ilmu meniadi perbedaan yang jelas dibandingkan konsep filsuf. Begitu jrgu p"nyebutan 'aql sebagai "alat indera" (al-fofissah) berkonotasi, menurutnya, sangat fisikal, kecuali dengan pengertian di atas. Ia mengungkapkan:

r-1.-i. i,q.;p oA iF k ,r"r.A! r,) rU. i la dL# d Jlr {.J- {4 :{'rlI ,/ ,.lr,l. tli rl trLi d+-1J dr1l, && di dllll U C e--J clli5.6'r!11 dFI i,t$ d t *r.:i 1.J. {,{i cllii . r. 3r iJ&}11 Jii[ .fi el.;rll* ddr ,-r"r!t t1; al.)$;I uF lFLi"fu,,/-p$l .-l-J 1o .liltr ; tt rl, ":..1

Keilua, ilmu-ilmu yang disebut dengan istilah 'aql ltd,ak diberikan batasan secara kuantitas, tetapi karakteristiknya. Dua hal yang ingin dikondisikan'Abd al-Jabbdr, dari perspektif teologis sebagai alasan yang cukup untuk pembebanan (takltfl karena kesempumaan akal (kamdl al:aql) dan dari perspektif epistemologis sebagaiframe-work. Dari perspektif terakhir ini, terjadi interkoneksi antarilmu sehingga sebagian ilmu bisa dijelaskan dengan iimu yang lain dalam suatu kesatuan kerja metodologi, seperti interkoneksi ilmu cabang (fa/\ dengarrilmu induk (ashl), atau antara konkret (al-jalty) dengan yang abstrak (al -HMfy).' AM al-Jabbdr menjelaskannya sebagai berikut

&l!lj

f

.:E l+ cl+Ir r-&I e[.,ist {rl "{ &-ri J: l4r,r-ii .rJ clL.[. lJ'jj dl dtr ei tr g.ra1 rijal & !jl, L .,. -
LtJdSel .Jr,st*I ,*e.;r!1511,rqt.,11,

,r, .F

FLI d

J!-,

lt

rir!.,1 t,,,.rL-)te. I!

Yl C!.r rt 1rl+J

pLi,.l.'l k .J-l

et

rt

eyldr^e.-,

uy tui'l

ur

+t'

'Aql, menurut'Abd al-fabbdr, dapat mengetahui objek-objek yang sederhana maupun objekyang meniscayakan nalar yang lebih kompleks. Pengetahuan tentang objek-objek yang kompleks dibarrgn'aql melalui pendasaran pada objek-objek yang sederhana rro

/bid, h|m.378. 1" lbrd., hlm.379-380.

B6

Epislemologi Kalam Abad Pertengahan

yang "aksiomatik". 'Aql semula mengetahui segala sesuafu melalui fenomena fisikal, semisal ketidakmungkinan bertemunya paradoks antara qadtm (abadi) dartmufoCats (baru), wujud dan bukan wujud, ketidakmungkinan berada pada dua tempat pada waktu yang sama, sifat keterpisahan atau keterkumpulan (persamaan dan perbedaan). Hal itu, tegasnya, merupakan sesuatu yang konstan bahwa' aql dapat selalu mengetahui suatu objek disrtan (maw shfifl dengan suatu sifat atau tidak;112 suatu substansi dipahami melalui aksiden-aksiden yang melekat padanya yang dapat dikebhan'aqL Pengetahuan tentang fenomena fisikal sederhana tersebut, misalnya, menjadi fondasibagi pengetahuan dalam kesimpulan bahwa jism (realitas fisik yang tak "hidup" dalam pengerttan kal6m) dan aksiden-aksiden (a'rdd) adalah baru (mufudats). Suatu premis yang dibangun tersebut menjadi basis bagi argumen diskursif dan mendalam untuk membantahpandangan anthropomorfisme (muj assimah). Begptu juga' aql dapat mengetahui keadaan makhluk "hidup" sebagai pengetahuan sederhana ke pengetahuan yang lebih kompleks tentang keterkaitan manusia dengan tindakan dan sifat-sifat khusus yang dimilikinya.rl3 Bahkan, 'aql merupakan sumber pengetahuan tentang persoalan teologi spekrrlatiFla dan kewajiban moral sebelum datangnya wahyu(qabl zanrfid asy-sya/).11s 'AqI, misalnya, dapat mengkonstruksi suafu tindakan moral dalam pernyataan sintetis (moral assessment) atas dasar kelayakan pujian atau celaan (istifuqdq al-maddhistifuqdq adzdzamm), suatu hal yang, menurut Reinhart, dapat mengantarkan kita pada kesimpulan tentang epsitemologi moral Mu'tazilah sebagai "fenomsnnl".116

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbdr

87

Dalam hierarki argumen-argumen keagamaan,'Abd al-JabbAr merrernpatkan ar gaman' aql pada tingkatan pertama sebelum wahyu. Dalam Syarfo se,nda}c.rya, ada dua alasan yang mendasarinya, yaitu

bahwa Al-Qu1an sendiri, menurutnya, bukan merupakan argumen bagi dirinya (xlf-nident), kecuali jika dijelaskan rasionalitasnya melalui'aql.t" Hal ini berarti bahwa 'aql sebagai sumber pengetahuan menjadi sangat penting dalam epistemologi'Abd al-Jabbdr dan Mu' tazilah umunmya. Sumber-sumber lain pengetahuan baru menjadi sumber jika dikonstruksi oleh ' aql manusia.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa konsep 'aql sebagai pengetahuan, atau pengetahuan-pengetahu an dharftrt, sebagaimana

dinyatakan Abo. Zayd, harus dipahami sebagai titik-tolak bagi investigasi untuk memperoleh pengetahuan lain sehingga pada dasamya konse p' aql *bagu " produk" (pengetahu an dharfiri) dart "instrumen" atau "proses" keduanya bisa dijelaskan. Dalam konteks pertama, Louis Gardet dan G. C. Anawatills menerjemahkan 'aql dalam kulfur Arab secara umum sebagai pengetahuan-pengetahuan rasional pasti atau "prinsipprinsip awal" (les pincipes at Peftama,'AbdalJabMrbertolakdaridistingsiyangdibuatryaantarayang'pokoK(aslr/)danyang 'cabang" (far). Penqehhuan tentang Allah dengan argumen nsional, tegasnya, merupakan pokok, sehingga argumen akal menempati posisi awal. Oleh karena itu, menempalkan Al-Qu/an dalam pisi awal--yang tanpa penjelasan rasionalitasnya--+dalah benrgurnen dengan yang "cabang' untuk menjelaskan yang 'pokok', suafu hal yang keliru. Kedua, Al-Qur'an statusnya sebagai hujjah jika dapatdipastikan atau dijehskan secara nasionalsebagaika/6mAlhh yang lvlahaadildan Bijaksana,

tidak berdusta, dan tidak mungkin berdusta. Pengetahuan tentang ini merupakan cabang dari pengehhuan tenbng keesaan
ilt 'Le'aglen tout cas se prendra en kalam comme l'ensemble des mnnaissances ntionelles ndrcessaire €videntes de soi, disons, si I'on veut les principes premiens". Gardet dan Anawatj mencatat bahwa btilah 'agF-yang berkaitan dergan pelbagaialiran pemikiran tentarp hakikat manusia-yang

'r2 113

/brd., h|m.383.

lfid.

rla lgnazGoldziher,lntrodudbntolslanicTheologyand[aw,terj.Andras&RuthHamori,(Newjersey:

Princeton University Press, 1981), hlm. 95 dan 103. la mengungkapkon: 'We can not deny the Mu'tazilites one saluhry consequence of theirwort: $ey were the ones who brought'aql, reason, to bear upon questions of beliefl. n5 lbrd., hlm. 91. Lihat lebih lanlut George F. Hourani, /slamic Ratbnalr.sm, bab ll. 116

A. Kevin Reinhart" Before Revelailbn, hlm. 153.

bertembang dalam kaliim bukanlah istilah AlQufAn. Alinn emanasionisme di kalangan Sylah dan pemikinn-pemikiran lain yang berkecenderungan ke arah itu berupaya menyatukan makna 'agl galb (hali), dan mh dalam suatu konsep utuh tentang penggambaran manusia sebagai wujud yang hllup. Al€azAli (w. 1111 M) yarg "Sunni', tegas mereka, mempunyai andildalam halini. Lihat Louis

GadetdanG.C. Anawati, lntoduclionalaThdologieMusulmane:EssaideTh6ologieConparie, (Sorbonne: Libnire Philosophique J. Vrin, 1981), hlm. 345-364 (lV. La raison), terulama bahasan 'B. en lslam'(hlm. 347). Gardetdan Anawati agaknya ingin menegaskan bahwa konsep 'aglsebagai ilmu dhanfuiyang menunjukkan peqeseran dari konsep asionalitas konsep 'aql Al-Qur'an adalah hasilpeoenfuhan Mu'tazilah dengan Sylah, sebagaimana pada'Abd alJabbArsendiri.

*t Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

88

titik-tolak nalar a tau istidlal,sebagaimana dalam p"rrgut iLr* diskursif' Jika benar konsep 'aql menurrut'Abd-altentu harus dipahaiabba, diterjemahkan dengancommon settse,lle mi dengan pengertian ini.

pf emiers)sebagai

2"

Pengetahuan Dunia Eksternal Dikalanganmutakatlimftn,sebagaimanadicatatal-Asy'ari

dalam Maqdlkt al-Islilmiyytn,setidaknya terjadi poiarisasi P"llg* pat tentang kredibilitas pengetahuan inderawi menjadi tiga belas pendapat Lrmasuk pendapat an-N azhzhdm, Bisyr al-Mu'tamir' tokoh ilrt t'tazilah Aaghdad, al-Iskdfi, AbO al-flusayn ash-Shdlihfi' dan Ahl an-N azhar (pendukung nalar).120

Menurut'Abd al-labbdr, pengalaman tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual merupakan sumber pengetahuan yut i t"[ terbantah. Istilah kunci yang digunaklnlya, mudrakit yang diia"i iara*1, sebenarnya digunakan untuk objek-objek tetapi, Akan persepsi secara inderawi maupun secara rasional. *uarhrat lebih ditekankan pada o$ek-o$ek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyhhadht (objek-objek yang {ilinatf bqet_objek empiris sensual {mudrak6t), sebagaimana dijelaskan dalam }yarfolzl mencakup tujuh hal, yaitu wama, rasa' bau' rasa dingin, Panas, rasa sakit, dan suara, yang sernuanya menjadi objek cerapan panca indera manusia. Pengalaman dunia ektemalimpressioi dalam istilah Hume atau sensasi menurut Locke - me1re

Dalam kulturArab umum, btilah'aqldiklasffikasikan

eqt

it:Ni

l* ^n

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd

bntang kesempumaan akal (knm6l al:aql), 'Abd al-]abbdr menekankan bahwa ilmu' menuruhrya' narus'aiuar,gun dari pengetahuan tentang realitas fisikal yang di,,fondasi ilmv' (ashl li al:ilm).lD Atas dasar- ini, sebutnya sebagai pandangan pira pendukung teori hny'fi\! (ashfupb al-hny,ftl6)ta dttu.tth kur"t u pendasaran yang mereka pijak adalah sesuatu Akcioma/ yang abstrak dan tidak em pLn;is (gh6'ib ghayr fupdhir)'rzr " irft pengetahuan harus bertolak dari realitas empiris diperkuatr,yu d"t gurr kutipan pandangan AbO Hdsyim, gurunya' dalam oi-n oghddaiVy af125 bahwa i dr 6k (persepsi), termasuk penginderaan' *e.ripakan metode memperoleh pengetahuan, meskipun hal itu bukan merupakan kondisi yang cukup untuk memvalidasi suatu pengetahuan. Oleh karena itu, meski tergantung pada kondisi r"Upf. yu"g harus'6qil, pengetahuan tentang objek-objek empiris ,"*.ri *"r,;adi kondisi yang harus ada(conditio sine qunnon)bagS keberadaan ilmu-ilmu lain, seperti ha6ya dalam formula "pengetahuan tentan gmadtttl (objek yang dituniuk, siTntfed) tergantung Per

rz 166 3116![fr, 18

1986), hlm.596--602. Konsep'aql

dan bentuk iform). Oleh karena itu,

'AM

dan Khamsah, hlm.233-234.

ar-Rizi-bahwa

kilk

benda fisik (body) terdiri dari materi (hayulS)

nutakaltin1n adalah kritik terhadap hylemorphisme

lll, Narv Edition' (Leiden: Arbtoteles. Lihat Louis Gardet "Hay0l|t",dabmEncylopaedia of lslam,Juz kritit'Abd alJabbAr sasanan dengan bertentangan ini tampak Hil E.l. iltf, 1971), htm. 328-330. Dalamhalitu' hay0l6yang

al-lstilmiyyin, Juz ll, ed. Muhammad Mulyi ad-Din 'Abd al-

41 1 ), hlm' 7$-82' flamid, (Beirut al-MalGbat al-'Ashriyyah, 1 990/1 rzr hlm. 92. Petea dan Hourani meneriemahkan lpseudo) 'Abd alJabbdr, S}'ad al lJshll al-Khamsah, lslamicRatbnalism,hhn'20./dr6k Createdspeech,hlm.g3; rdrdkdenganpersepsi.Lih;t,eod's (manusiai,'masa3 (buah), memiliki feberapa makna sesuai dengan konteks kalimat'dewasa " alUsh6/ al"melihaf jiia disertai ungkapan'JLbashar" (penglihatan). Lihat lebih laniut Syart

at''Adl, Juz Xll' hlm 67'

(form, bentuk), yang dalam haylldberasal dari bahasa Yunani (rnatfer, nnateri) sebagai lawan 'unshur. mulai diteriemahkan tersebut lstilah alau bahasa Arab umumnya disebut den gan mdddah Gardet dil langan nutakkJimhn ke dalam bahasa Arab pada abad ke38 dan ke4/'10. Menunrt Loub genensi akhir Maturidiyyah untuk btilah tenebut baru digunakan oleh kalangan Asy'ariyyah dan perbedaan konsepsi terladi membantah tesis kalangan Mulhidah. Di kalangan para filsuf sendiri, sylah, atau pada emanasionis kalangan pada ar-RAzi, Bakr AbO tentang istilah tersebut, sepedi konsepoi'AM mempunyai alJabb6t lkhwan ash€hafi'. lbn sina, fibuf blam yang sennsa dengan berdasarkan penplasan Fakhrad-Din

alJabb6r, setidaknya, sampai pada level kedua.

th LihatAb0 al-Hasan al-Asy'ari, Maqilldt

i l-Mughni fi Abwitb at-Tawf;idwa

kE

secara hienarkis kepada ernpat macam: (1)allndel berpikk

tt, (Cairo: Ma'had al-lnmd'al-'Arabi,

tama, kefik'amembahas

pada pengetuhtt* tentang sf.at dilillah (penunjukkan)"'r26

dan (4). al'aqlal-falsaf' deduksi, ind;ksi, dan penggabungin keduanya); (3). al'aglal-lbnni(estetik); ; rjpa, riron, ba*n, Veirunff, datam Ma'in ziyadah (ed ), Al-Mawsl'at al'Falsaf t,4,3j.al'

;iraniyyan,Cett,Vot.

89

rupakan sumber pengetahuan manusia' Hal ini dapat dipahami' antara lain, dari penekanannya pada hal-hal berikut

sense) sebagai fifah atau potensi berpikn (2) at-'aql al'ilmi

lirt.l

al-Jabbdr

bahwaashh6ba/-hay0l6adalahkelompokyangmenafikanrealitasfisik (form), yaitu aspek Olpanami ogn,nOd aiJabMr barangkaliadalah bentuk

elcstemal dari suatu realitas

fisik.

'Abd alJabbar, Al-Mughni fr Abwitb alTawhid wa al'?dl, Juz Xl' hlm 383' lE 'AM alJabb6r, Al-Mughnifr Abw?tb at'Tawf;idwa al-tdl, juz Xll, hlm 60' 121

i5 /bid , Juz Xll,

hlm. 6G-S1.

F Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

IQdun, kelika menolak skeptisisme epistemologis yang meng-

anggap fakta-fakta empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak rnemiliki realitas atau kebenaran, 'Abd al-JabbAr memang menegaskan bahwa indera (baca: sensasi) hanya bisa me laporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya ('al6mh huwa'alnyhlidzAtih), tidak memberikan keputus.rn apa Pm, YmB sesungguhrrya kembali ke subjek.127 Akan tetaPf ketika menjelaskan kesetaraan substans i (tamdtsul al-i awdhir) sehubungan dengan penegasian tasyWt (penyerupaan) dan menyatakan bahwa idrdk tidak mungkin mengetahui suatu objek sebagaimana adanya, fuudfrts (baru), maupun bergerak sekaligus, kecuali melalui sifat paling khusus objek tersebut,'Abd al-Jabbdr menyatakan bahwa kita kadang-kadang dalam proses idrdk dapatmengetahui bahwa suatu objek adalah ada, meski idr6kndakterkait dengan sifat brsebut. Karena tidak mungkin diketahui tanpa keberadaan objeknya, si.fat brsebut baru diketah"i jiku keberadaan objeknya dike' tahui sebelumnya.l4 Dengan penjelasan tersebut,'Abd al-Jabbdr sebenamya ingin menyatakan bahwa ada dimensidimensi objek yang tak tersentuh oleh indera manusia, sehingga selalu terjadi reductio ad absurdum.Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa pengalamanindera manusia sama sekali tidak bisa menyampaikan sesuatu yang riil dari o$ek ke kesadaran kognitif kita. IQtiga,ketika mengkritik pandangan relativis (aslfugb at-taj dtat), dimana pandangan relativisme berimplikasi pada an prinsip "keserbabolehan" (at-taiwtzj bahwa apa yang dilihat se-

bagai hitam mungkin menjadi putih, suatu pengandaian yang kontradikfrf dengan kenyaban.'Abd al-Jabbdr berargumen bahwa keyakinan subjek tidak akan berpengaruh terhadap keadaan obiek.12e Oleh karena itu, 'Abd al-Jabbdr berkesimpulan:

Lil l.r 1+ ig ! :i 1-5 a; lnF d J {-1,r.-al r

lbid , Juz Xll, hlm.

55-56.

9;o o ts;uit,/,r'itl 0t- d- tS 130 ij lL. ir..I ui }i 6. dill

riengan yang perbama, kategori kedua sebenarnya merupakan tahap

awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.

Karena terjadi interrelasi keduanya, di sini dikemukakan pemerian kategori kedua secara singkat. 'Abd al-jabbAr mengJbrd . Juz Xll, hlm. rllbrd., hlm.66.

72.

ra lbrd., Juz Xll, hlm. 6'162.

to

is ibrd , Juz Xll,

'3 Nashr Himkl AbiZayd,

hlm. 48. Unian lebih lajut lentang hal ini dikemukakan dalam bahasan tentang kritik 'Abd alJabbAr terhadap skeptisisme.

gl

'Abd al-Jabbtu sangat meyakini reliabilitas pengetahuan per* septual. Apa yang kita ketahui melalui persepsi inderawi selalu n'rerupakan objek-objek partikular (rnufashshal),131 pengetahuan langsung (dharnq yang tidak mungkin dihilangkan dari kesadaran manusia. Pengetahuan jenis ini tidak memerlukan bukti, karena akhir dari suatu bukti merupakan upaya menghubungkan proposisi yang harus dibuktikan dengan fakta yang perseptual (mudrak). Di samping itu, pendasaran teologis bagi reliabittas sumber pengetahuan ini adalah (1) pengetahuan perseptual, menurutnya, berbeda dengan pandangan tokoh-tokoh Mu'tazilah lainnya, merupakan perbuatan Tuhan secara initiatif (ibtid6'an) yang tidak rrennerlukan pengkondisian sebelumnya untuk memperolehnya,l32 dan (2) pengetahuan yang sebenarnya rnerupakan pengetahuan prinsipil tentang dunia fisika, semisal penetapan aksiden-aksiden pada suatu objek dan kebaruannya, serta keterkumpulan dan keterpisahan, meruPakan prinsip argumen logika bagi doktrin tawfutd.133 Fersepsi sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat drklasifikasikan kepada dua kategori:1s (L) persepsi terhadap fakta-fakta dunia ekstemal, di mana data mate' riil dipersepsi dengan panca indera, dan (2) persepsi inbrnal manusia, "menemukan dirinya" (waiad nafsah) dalam isfilah'AM alBerbeda Jabb6r, atau persepsi introspektif dalarn istilah Hourani.

rs r27

91

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

lbd,

Juz Xll, hlm. 59.

ta Geoqe

F.

Al-lftijdh al-Aqli, hlm. 64

Hounni,lslanb,Rationaltsrn, hlm- 21.

92

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

anggap persepsi introspektif sebagai evidensi paling jelas bagi kebenaran pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana yang dikemukakan adalahbahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa jiwa kita dalam keadaan puas (sukfin an-nafs), kita merasa sakit panas/ atau dingin, dan bahwa "berpikir merupakan otrservasi terhadap keadaan objek dan kornparasi anbra objek tersebut dengan o$ek lain, atau komparasi antara suafu peristiwa dengan peristiwa lain", dan bahwa nalar berbeda dengan keadaan (afowil\ pikiran lainnya, misalnya perbedaan antara keyakinan dan kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif sebenarnya merupakan upaya mernfungsikan 'a4l untuk menyerapkan data pengalaman internal sehingga terjadi proses pemilahan dan perbandingan.

3. Otoritas Khabar Menurut Muhammad 'Abid ai-Jabiri, epistemologi baydni, termasuk epistemologi knlfrm, bertolak dari "teks" yang identik dengart Hubar sebagai otoritas (sulthah), yaitu warisan pemikiran yang ditransmisikan oleh generasi belakang dari generasi terdahulu. Sebagai karakter distingtif yang membedakan dari epistemologi Barat, problematika yang mendasar dari epistern'rlog yang dilontarkan oleh wacana epistemologi Islarn tentan gklubar bukanlah problematika benar-salah secara logik, melainkan Pro' blematika "kemungkinan sahih" (ash shifofu)l3s dan "status" (41wadh). Hal itu karena khabar sebagai otoritas referensial terkait dengan problematika hubungan antara "ungkapan" (lafzh, dalarn perspektif bahasa dannafutuu) dan "makna" (.r,rtt'n6, dalam perspektif fiqh danknldm)"ls Oleh karena itu, epistemologi Islam abad tengah menunjukkan keterkaitan antara khabar di satu sisi dan sumber-surnber pengetahuan di sisi yang lain" 'AM alJabbdr, istilah si!a! di'5 Dalam episternologi baydni mcdrel kalem, termasuk epistemologi hdentkkan dengan btihh.istihhlbwdz, syakk,inkin,danibfiah I sihaf(dalam fiqh)sebagaisesuahl yang mungkin, lidak mustahil, sah, dan semaknanya. Lihat (Pseudo) 'Abd alJabMr,Sya{ alUsh0l al-lftamsah, h|m.394. 1$ Muharnmad AUiO aruanirl, Bunyatal-'Aqlal-'Arabi.., hlm. 116.

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

93

Menurut'Abd al-Jabbdr, khabar adalahsurnber pengetahuan, meski kebiasaan ('Adah, habitus) mempunyai andil dalam proses pertimbangan kebenarannya.l3T Bagian-bagian akhir dari juz XV al-MugJtnt memuat prinsip-prinsip dasar penolakannya terhadap pandangan aliran yang disebutrya s ebagai as-Sumaniyyahls y ang menafikan vaiiditas dan reliabilitas pengetahuan dari khabar.l3e Elaborasi'Abd al-JabbAr akan menunjukkan karakter gandanya; teologis rasional dan juristik karena posisi al-q6dht atat qddhi alqudhhh yang pemah dijabatrya, di samping menuniukkan arus umum diskusi mufoadditsfin tentang masalah yang sama. Secara epistemologis, khabar diklasifikasikan kepada tiga: Pertarna, Hwbar yangyartg meniscayakan pengetahuan langswtg (dharfrri). Ada dua karakteristik yang rnenjadi tolak-ukurnya: (1) orang-orang yang mentransimisikannya harus memberitakan apa yang diketahui secara pasti; dan (2) ]umlah orang yang mentransrnisikan harus.lebih dari empat orang.1ao Karena alasan karakteristik pertama, pernberitaan berdasarkan dari sesuatu yang diindera (mafosfis), orang yang mentransmisikan tidak harus adalah mukmin.lal Dalam faktanya, khabar seperti itu memerlukan pembuktian dengan suafu cara yang dapat memastikan kebenarannya. Untuk mengetahui bahwa kota Makah memang lY 'AM

ts

alJabbir

Al-Mughni

fi

Abwitb at-Tawfiid wa al-'Adl, JuzXY, hlm. 395.

As-Sumaniyyah adalah suatu seKe di lndia yang menganut paham inkamasi (tandsukh) dan mem-

bantah validitas pengetahuan melalui khabar. Lihat 'Abd alJabb?t, Al-Mughni li Abwab at-Tawfiid wa al-'Adl, Juz Xll, hlm. 204; Majd ad-Din Muhammad ibn Ya'q0b al-Fayr0z6b6di, Al-QAnls alMuhith,ed. Y0suf asy-S,vaikh Muhammadal-BiqdT, (Beirut DAral-Fikr, 199t1415), hlm. 1087. P.

Kausdalam Rlisla dqliStudiArientalr(xiv,356), deryan merujuk pada artikelawalH. H. Sdaeder, menganggap bahwa Sumaniyyah bukan merupakan seKe di lndia, melainkan generasi penganut skeptesisme hellenistik" Wiiliarn Montgomery Waft menghubungkan as-Sumaniyyah dengan peno lakan kesahihan pengetahuan dari khabar Lihat, William Montgomery Wall, Early lslam: Collecled

lrflbbs,

(Edinburgh: Edinburgh Univenity Press, 1990), bahasan'The Logical Easb of Early Kaldm",

hlm. 108.

i3 Lihat'AM alJabbdr, Al-Mughni fi

AbwAb

et Tawfiidwa al-'Adl, JuzXV, him.403;Juz Xll, hlrn. 74.

t& lbid., JuzXV, hlm. 333. ta1

lbkl.,Juz XV, hlm.382. Dengan tidak adanya persyaralan'mukmin" pada pentransmisi,'Abd alJabbdr keluar dari arus umurn pemikiran nufiaddils1n yang menyepakati persyaratan itu. Jika di kalangan ulama ushul al-fqh islilah khabarsering- atau selalu-{iidentikkan dengan'hadits', 'Abd alJabb6rtampaknya menggunakan istilah khabaruntuk pengertian yang lebih luas.

94

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

ada "adalah sama dengan" berada di sana dan mengalaminya secara langsung. Ungkapan "adalah sama dengan" merujuk kepada apa yang disebut'Abd al-|abbdr dengan' ddah (kebiasaan). Melalui '6dah dlketahui bahwa di dunia ini ada kota yang namanya Makah yang tidak kita lihat dan beritanya sampai kepada kita. ' Adah adalahapa yang diatur oleh Tuhan menjadi kebiasaan dalarn kelompok manusia normal dan keberadaan umumnya.la2 Jumlah ernpat orang didasarkan pada wahyu (simd) dan persyaratan ke. saksian (syahhdnh) dalam fiqh." Berdasarkan' 6dah, suatu khabar tersebar jika memuatberita yang didasarkan pada pengetahuan langsung. Proses ini terjadi secara tawdtur (berulang-u1ang), dan tawilfur rtu rendiri adalah kebasaan. Pengulangan itu sendiri membentuk apa yang disebut sebagai "keteraturan peristiwa-peristiw a" (iththir hd al-foaw ddi ts).laa Dengan demikian, akhb 6r yang kebenararurya diketahui dengan pasti (pengetahuan langsung) mencakup pengetahuan tentang kota tersebut atau informasi-informasi lain darinya. Pengetahuan yang diperoleh melalui khabar tipe itri disebut denganal:ilm adh-dhnrfrrf dan pengetahuan dari khnbar bersifat global (mujmal\.las Kedua, npeklubaryang kebenarannya diketahui dengan inferensi (isfldl6lj. Tipe ini diklasifikasikan kepada tiga: (1) khabar yang sumbemya diyakini tidak mungkin berdusta, yaitu ,'hnbar Al-Qur'an dan sunnah; {2} khabar yang dinyatakanbenar {tashdtq) oleh seseorang yang kita ketahui memiliki kredibiLitas yang cukup atau tak rnungkin berdusta; p) khnbaryarre harus diserhi kon-

ra /bid, Juz XV hlm. 182 dan 368.

r{

Di kahngan mufaddrtsr?n kuantihs minimal

raripada had'rb mutawdtir diperdeba0
Fandangan 'Abd alJabbir bahwa kuanitihs pentransrnisi adalah lebih dari empat orang secana jelas menunjukkan bahwa ia mengikuti pendapal asy-Syaf i. Lihat Fatchur Rahman, lkhtishar Mustalahulfiadits, Cet. lX, (Bandung: PT. Alra'arif, t.th.), hlm. 79--80.

lsl-ihatMuhammad'AbidaHebif, Bunyatal-'Aqtat-'Arabi...,hlm. 119-l22.MenurutalJabiri,dalam fawdlurada proses semakin bertambahnya kepercayaan(tazdyud quwwat ezfr-ziann) setiap penbansmisi akan kandungan khabaryang sesungguhnya merupakan poses psikologis. An-Nadrdram, menurut alJibiri, adalah tokoh pertama yang membahas faKor psikologis dalam khaDar, yaq kemudian dikut oleh al€haz6ti.

ls 'AH alJabbdr,

Al-Mughni

fi

Abwdb

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

disi-kondisi khususnya (afunhl) untuk kualifikasi sebagai khabar yang benar. 'Abd al-Jabbdr mengkategorikan khabar ini sebagai tawiltur muktasab, y aituberita yang keberurannya diketahui dengan inferensi, tidak ada kesepakatan(tawAthu'), berdusta, atau kekacauern mental otang yang mentransmisikannya.la6 Kategorisasi Al-Qur'an sebagai khnbar yang kebenarannya diketahui dengan inferensi tampak problematis karena statusnya sebagai qath'iy al-wurfid.Barangkali, apa yang dimaksud oleh'Abd al-Jabbdr adalah segi penunjukkannya (dil6lafu), seperti alasannya menempatkan Al-Qu1an sesudah 'aql dalam hierarki argumen. trQtiga, trpe khabar yang disampaikan oleh seseoran g (khabar al-wilfold)yang diketahui melalui persepi dan disampaikan ke beberapa orang sesudahnya.

Berbeda dengankhabar nutawdhr yang dianggap meniscaya-

kan pengetahuan langsung (dharfrri), khnbar Perorangan belum memenuhi kriteria korespondensi dan afektivitas. Ketika menyikapi pandangan an-Nazhzhdm bahwa khabar perorang.rn memungkinkan diperolehnya pengetahluan dhnrfiri i*a diketahui " sebab" yang mendahuluinya, semisal pengetahuan tentang meninggahrya seseorang yang didahului oleh sakit keras (sebab) yang diketahui sebelumnya,'Abd al-Jabbdr menginterpretasikan " rebab" dengan "tan da" (amdrah) atau indikasi.laT Dengan begitu, ia ingin menegaskan "sebab" bagikhabar sama stafusnya dengan suatuHtabar(perorangan)bagpkhabar(perorcngan)laintasbahwa khnbar al-w6!1id yang disertai indikasi kuat (amdrah) hanya mencapai tingkat asumsi/ perkiraan (zhnnn) karena tidak didasarkan perspesi (idrdk) dan bukti (daltl).1ae Karena tidak dipastikan sesuai dengan kriteria korespondensi maupun afektivitas, khabar pev orang.rn secara epistemologis tidak mencapai tingkat pengetahu1s lbrd Juz XV, hlm. , 1{?

al-'Adl, JuzXY, hlm, 334.

338-339.

lbrd, Juz XV, hlm. 392.

rs lbrd., Juz XV hlm. 395. 14s

at-Taffid wa

95

lbrd , Juz XV hlm. 33? Juz Xll, hlm. 362-363; Tanf Khalidi, Arabic Hislorical Thought in the Classi' cal Peiod, (Cambridge: Cambidge University Press, 1996), hlm. 145.

F 96

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Konstruksi Pemikiran Episternologi'Abd al-Jabbir

an, meski dianggapvalid dari segShqh('ibddah) karena statusnya zhann atau ghalabat szh-zhnnn.lsa

hanya terfokus pada problema pengetahuan intuitif dalam pandangan'Abd al-]abbdr.

Khnbar sebagai sumber pengetahuan rnemiliki tiga kemungkinan kualifikasi.'Abd al-jabbdr mendefinisikan kLubar sebagai

Pandangan'Abd al-Jabbdr terartikulasikan dengan jelas dalam kritiknya terhadap a shfuftb al-ma'hnl, kelompok AbCr 'UtsmAn al-Jdhizh (al-Jahizhiyyah)1s dan Abfl'Ali al-Aswdri (w. pertengahan abad ke-9 M),ttu yang berdasarkan keterangan asySyahrastAni,l56 mereduksi pengetahuan hanya kepada pengetahuan langsun g (dhsritn) yang diperoleh melalui thab' , yaltu melalui pengetahuan intuitif yang dianugerahkan Tuhan. Berbeda dengan konsep perbuatan manusia, rnenurut'Abd al-JabbAr, yang bersifat indeistilahinistik bahwa pengehhuan adalah rnumi hasil kreasi manusia, ashfofib al-ma' hif menganggap pengetahuan rnumi sebagai perbuatan Tuhan. Manusia hanya mempunyai arrdil daiarn kehendak (iridah), Pandangan 'Abd ai-Jabbdr juga terefleksi dalam kritiknya @rhadap kesatuan Tuhan dan rnanusia (ittihrd) dan konsep semisalrrya.

pemyataan khusus (knldm rnaldsh'itsh) yang memiliki kemungkinan, yaitu (L) kualifikasi "benat"; (2) kualifikasi "salah"; atau (3) tidak dapat diberi kulifikasi "benar-salah".1s1 Berdasarkan penjelasan dalam Syorb kualifikasi khabar dapat dijelaskan dengan tabel berikut rs2

Tabel 2: Kualifikasi khabar Ktabar

langsung

khabar perorangan

inferensi

4. Wahyu dan Problernatika Fengetahuan Intuitif Pengetahuan tidak hanya bersumber dari objek-objek rasio' nal (ma' qfil6t\, pengalannan dunia eksternal perseptual-sensual (mudrakit; mwsydhnd6t), otoritas, tetapi juga bersumber dari wahyu (mm'tyyht). Meskipun beghr, wahyu rnerupakan sumber pengetahuan yang sam't darr' aqlt,t'arenastatusnya bukan self-nidrnt dan mernerlukan nalar dan inferensi. Peters rrrengemukakan uraian mendalam tentang hal ini.1s3 Oleh karena itu, pemerian berikut

rs Lihat'Abd aLJabbir, Al-Mughni fi Abwdb at-Tawfiid wa al-'Adl, JuzXll, hlm. 316-323. rs Nama lengkapnya adalah'Amr ibn FA'id. Oleh',Abd alJabbdr, lbn al-Murtadhi (penulis a/-Munyah wa al-Amall, al-Hdkim Abti Sa'd alJusyami dalam Sya{ 'Uyun al-Masa'il al-A.swiiriditempatkan

rs (Pseudo)'Abd alJabMr, Sya{ alUsh1lal-Khamsah, hlm. 769. 15r

lbd,

152

lbid., hlm. 768-769.

'$ Lihat

pada tirqkatan ke$ diantara tokob-hkoh Mu'tazilah. Sebagaimana alJdhizh, al-AswAri nenEanggap

Juz XV, hlm. 319.

lebih laniut J.R.T.M. Peters, God's Oeated Speecfi, hlm.

Dalam kritiknya terhadap pengetahuan intuitit'Abd alJabbar rnengemukakan argumen logika Abfi Hasyim sebagai berikut Dengan pendasaran apa - demikian argumen Abfr Hdsyim mereka yang mengklaim kesahihan pengetahuan intuitif bahwa mereka rnemperoleh intuisi; dengan nalar atau intuisi. Jika dengan nalar" berarti bahwa mereka mengakui keabsahan nalar. Sebaliknya, jika dengan intuisi, persoalan tersebut bisa diperdebatkan lebih lanjut. or"*g yang berbeda pendapat dengan karni, tegas Abfr HAsyim, tentang keabsahan nalar tidak menolak pentingnya nalar" kecuali penetapan keyakinan yang memuaskan iiwa. Berbeda dengan itu, intuisi sendiri adalah sesuatu yang diperdebatkan. Dengan demikian, jika mereka memberikan pen-

pengelahuan kila tenhng Tuhan bersifal dhanld Lihat (Pseudo) 'AM alJabbar, Syafial-UshhlalKhensah, hlm. 52 dan catatan kaki nomor 3.

95-102.

ls Asy-Syahrastini, Kitdb al-Milalwa al-Ntlpl,

Juz l, hlm.

65r$6.

F 9B

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

dasaran ilham dengan ilham, berarti mereka menetapkan sesuafu yang ditolak orang iain dengan suatu pendasaran yang juga ditolak.lsz Kritik Abfr HAsyimpada prinsipnya bertolak dari metode berpikir dalam argumen logika. Menetapkan justifikasi atau rasionalisasi terhadap sesuatu harus bertolak dari argumendi luarnya yang statusnya lebih kuat. Pada justifikasi intuisi, argumen yang dijadikan dasar sesungguhnya persoalan yang diperdebatkan itu sendiri. Jadi, terjadi nalar sirkular, fallacy of begging question, atau petitio pnncipi.

Kritik I Ab4 al-]abbdr selaniutnya terhadap pengetahuan in-

tuitif adalah sebagii berikut

a. Pengetahuan

bersumber dari nalar. Nalar dan pengetahuan itu sendiri berada dalarn batas kemampuan manusia;1s8

b. Allah

neenunjukkan dalil dan mendorong manusia untuk memikfukan ayat-ayat-Nya, serta mengecam orang yang berpaling dari perintah tersebullse

c.

Orang-orang kafir dan aliran-aliran teologis, semisal Jabariyah

dan Khasywiyah, jika diterirna pengandaian tentang intuisi sebagai sesuatu yang sahih, tentu berhak untuk mengklaim dengan intuisi keyakinan-keyakinan mereka yang keliru.r60 'Abd al-Jabbar ingin menegaskan bahwa pengetahuart seharusnya merupakan sesuatu yang dapat diverifikasi, umurn, tidak subjektif, dan tebuka untuk dibuktikan ulang.

d. Dalam diri manusia terdapat pengetahuan-pengetahuan

se-

bagai bagian dari keyakinan (i'tiqdd) yang tidak dapat dihilangkan dari kesadaran kita yang disebut sebagai al-'uh2m adhdlurfiiyyah. Mengklaim kognisi tersebut sebagai intuisi adalah tidak benar. Menurut'Abd al-Jabbdr, kita tidak bisa membedakan antara pengalaman biasa dengan infuisi.161 15i

'Abd alJabbir, Al-Mughni fr Abwitb alTawf;id wa al-'Adl, JuzXll, hlm. 344.

's

lbrd., JuzXll, hlm. 343 dan 261.

1s

lbd,

Juz Xll, hlm. 344.

ls /brd,

Juz Xll, hlm. 345.

161

lmd.

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbit

99

e. Manusia sering

mengalami keraguary kemudian melakukan penalaran dan inferensi (istidldl) sehingga mernperoleh insight. Apakah perubahan dalam kesadaran kognitif kita tersebut bisa diklaim sebagai intuisi ? Jika"ya" ,Jahm ibn Shafwdn, tegas 'Abd al-Jabbdr, tentunya diasumsikan valid untuk menyamakan begitu saja antara gerakan-gerakan yang kita lakukan dengan gerakan urat nadi yang berada di luar sadar. Ashfub al-ma' hif,menurutnya, tidak bisa membedakan antara sesuatu yang berada dalam alam kesadaran manusia dan yang tidak.r52

Dalam kritiknya terhadap " penya tu an" (i t tilpd) dalam doktrin trinitas maupun penyatuan Tuhan dan hamba dalam konsep sufisme, dinyatakan bahwa Tuhan bukan merupakan substansi (j awhar) maupun tubuh/ fisik (1ism). Istrlah muj frwar ah (persenyawaan) hanya terjadi antara substansi dan fisik. Di samping itu, mengasumsikan teriadrny a muj dwarah berarli bahwa Tuhan bersifat baru (fugdits), tidak kekal (qadtm).163 Mujfrwarah juga berirnpiikasi pada dua kemungkinan, yaitu (1) terjadi secara total, suatu pengandaian yang tak mungkin, karena akan terjadi pembagianpembagian yang banyak, atau (2) terjadi secara parsial, yang berarti dua substansi berada pada satu waktu di tempat berbeda, sesuatu yang mustahil.l54 'Abd al-]abbAr juga berkesimpulan bahwa substansi Tuhan dan substansi manusia tidak mungkin menyatu, karena dua alasan: (1) yang terjadi hanya keberadaan aksiden dalam substansi, atau (2) seperti perpindahan substansi yang mengalami mujhwarah ke substansi lain, suatu hal yang tak rasional, karena perpindahan tidak terjadi, kecuali pada sesuatu yang tidak mengalarni tahnyy'uz (mengambil bentuk).16s Dalam al-MuUith, d*emukakan bahwa Dhirdr berpendapat bahwa manusia memiliki indera keenarn yang memungkinkannya mengetahui Allah. Pandangan ini oleh'Abd al-Jabbdr ditolak 1m

lbid., JuzXV h|m.346.

16 /brd., Juz

V ed. Mahmud Muhammad al-Khudhayri, hlm. 123.

1n

lbrd., Juz

V hlm. 134.

16

lbrd., Juz

V hlm. 126.

?T

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

100

Dalarn Syorb pengetahuan intuitif tentang Tuhan ditotak dengan argumen "pengandaian" berbagai kemungkinan keliru (at-tajwtz\ yang sering digunakan sebagai basis argumen dialektika A sy' ariyyah- Mu' tazilah.l 67 dengan

tegas.166

Berdasarkan uraian di atas, infuisi bukan merupakan sumber pengetahuan dalam koruep epistemologi'Abd al-Jabbdr. Di sarnping bertolak dari pandangan teologis, secara rasional intuisi dikritik karena kaburnya batas antara kesadaran dan di luar kesadaran subjektivitas (sehingga tak dapat dibuktikani, serta apa yang diklaim sebagai intuisi, menurutnya, sebenamya masih merupakan hasil proses nalar. Pengetahuan intuitif bertolak dari paham penyatuan Tuhan dan hamba yang,, menurutrya, berdasarkan pandangannya tentang "kesetaraan substansi" (tamitsul al-iawdhir), iika Tuhan diasumsikan sebagai substansi, tidak mungkin terjadi.

D. Klasifikasi Pengetahuan 1.

Titik-tolak Sebagai Dasar Klasifikasi

Sebagai ahli hukum dan teolog, klasifikasi dan hierarki menurut 'Abd al-jabbAr sangat jelas merepresentasikan system of

thought kedua kalangan tersebut dan arus umum diskusi pada masa itu. Oleh karena itu, terdapat titik singgung, misalnya, antara konsep epistemologi'Abd al-JabbAr dengan teolog semasanya, seperti al-Bdqill6ni, atau sesudahnya semisal'Abd al-Qdhir al-Baghdadi (dalam Kt6b lIsIuiI ad-Dtn) dan Faklu ad-Dtn ar-RAzi (dalam al-Mufutshshal) dari Asy'ariyah,l$ atau resPon terhadap pandangan kalangan Mtrltazilah terdahulu, semisal al-JAhizh dan bial-Ialr/if Juz I, hlm. 209-210. '6 Lihat'Abd aUalttPir, Al-fuluhlth rt (Pseudo) 'Abd alJabMr, Sytral-Udttl d-Khamsah, hlm. 259. Lihat juga Abd alJatrbir' Al Mughnl fr Abw6b at-Tawf;td wa d:Adl, Juz lv ed., Muhammad Mustrali Eilmi dan Abo al-waftl' al-Ghanimi at-Taftlzini hlm. 38. rs Tenhng khifikasi ilmu menurut'Abd aKldhir alSaghdidi dari As/adyyah, lihat karyanya, /(ildb Ushilad{ii|l,C,eLlll, (Beirut Diral-Kutubal-'lkniyyah, 1981), hlm.8-9;A.J.Wensind<, TlF-Musfrm Creed: lts Genesis and Hffoacal Wv*gnenf (New Delhi: Orienbl Books Repdnt Corporaton' 1979),

hlm.251-263.

Konstruksi Pemikiran Epislemologi Abd al-Jabb6r

101

an-Nazhzhdm. Di kalanganMu'tazilah sendiri, tidak ada kesepakatan tentang klasifikasi ilmu, seperti ashh'\b al-ma'difyangnenganggap bahwa pengetahuan semua bersifat dhnrfiri.16e

Epistemologi'Abd al-JabbAr dibangun atas dasar pandangan teologisnya. Karakter yang sangat jelas dari pendasaran itu adalahbahwa klasifikasi ilmu didasarkan pada teorinya tentang taklif. Sendaknya, ada dua titik-tolak klasifikasi: Pertama, setelah mencapai kesempumaan ak al (kamal aI-' aql) seorang muknllaf harus mengetahui ilmu/pengetahuan yang se-

benarnya tidak lepas dari klasifikasi berikut (1.) pengetahuan tentang perbuatan-perbuatan yang dibebankan (takltfl, sifat dan cara yang harus dilakukan; (2) pengetahuan tentang subjek yang memberikan pembebanan (Allah SIVT., mukalliJ), sifat-sifat, dan kebijaksanaan-Nya; dan (3) pengetahuan tentang konsekuensi perbuatan takltf tercebut.l7 o Kedua, apa yang harus diketahui pada dasamya dapat dikategorikan secara kasar atas dasar pertimbangan: (1) pengetahuan yang dilihat dari aspek kondisi-kondisi (asbhh) yang memung-

kinkan diperolehnya pengetahuan, prosedur, atau hal-hal terkait lainnya, dan (2) pengetahuan dapat dilihat dari segi obiek-olrjek yang diketahui.lTr

D samping itu, atas dasar doktrin pokok Mu'tazilah tentang keesaan dan keadilan Tuhan (al-'adl wa at-tawfotd), menurut'Abd al-Jabbdr, secara hierarkis ada kelompok pengetahuan-pengetahuan tawbtd dengan semua pengetahuan awal yang rnenjadi prasyaratny a (muqaddimht), sebagaimana dikemukakan, seperti pengetahuan tentang kebaruan aksiden-aksiden (foudttts nl-a' rddit) merupakan prasyarat bagi pengetahuan tentang tawfuid dan kelompok pengetahuan-pengetahuan al: adl dengan pengetahuanpengetahuan prasyarahrya, seperti pengetahuan tentang pahala tm

Lihat kembali asy-Syahrastini, KitAb al-Milal wa

170

'Abd alJabbAr, Al-Muhith bi at-Takli,l Juz I, hlm.

171

/brd., Juz l, hlm.20.

a/-Nttal 18.

hlm.

65-€6.

t 102

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

dan siksa.172 Dengan demikian, meski tidak dalam bahasan yang sistematis dan eksplisit, klasifikasi dan hierarki "ilmu" yang disusun oleh'Abd al-JabbAr adalah: (1) pada dasamya bertolak dari pandangan teologis, (2) pembedaan antara ilrnu induk dan cabang, meski tidak secara eksplist dan ketat, dan (3) pembedaan antara proses metodologis.

2.

Klasifikasi Pengetahuan: Dharfiri

d,an

Mukt as ab

Meski tidak dalam bahasan yang sistematis, secara umum 'Abd al-Jabbdr membagi ilmu/pengetahuan menjadi dua, yaitu dhnritri danmuktasab. a. Pengetahu an dharfiri (langsung, immediate knowledgel.rT3 Pengetahuan ini didefinisikan sebagai "pengetahuan yang

muncul dalam diri kita, tetapi bukan dari upaya kita dan tidak mungkin untuk dihilangkan dengan cara apa pttrl".tzt Pendefinisian ini mernberikan aksentuasi pada ide bahwa pengetahuan ini berada di luar kemampuan manusia(ibtid6'an)yangsering dibedakan dengan pengetahuan sebagai hasil dari tindakan generatif (mutawallid) maupun tindakan kokoh (mufl
kan menjadi tiga subkategori:

dlurfifi yarrg diperoleh secara ibtid6' an tanpa pengkondisian, atau pengetahuan tentang diri, seperti peFertama, Pengetahuan

n

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-JabbAr

103

ngetahuan tentang keadaan kita ketika berkehendak, benci, berkeyakinary berasumsi, dan sebagahyu.'n Pengetahuan yang disebut'Abd al-Jabbdr ini merupakan kesadaran diri (self-consciousness) atau keadaan mental biasa yang berada pada level paling awal, tanpa nalar. 'Abd al-|abbAr sering mengungkapkan hal ini dengan frase "menemukan dirinya" (wa1 ad nnfsah). Kedua, Pengetahuan dhnrfti yang diperoleh dengan cara "metode" (md labshul 'an thnrtq), seperti pengetahuan tenatau tang objek-obiek perseptual empiris (rnudrakit) tergantung pada persepsi (idrdk).l?8 Pengetahuan tentang objek yang dilihat tergantung pada proses methat. ldrdk (prsepsi inderawi) merupakan "metode" untuk mengetahui objek-objek perseptual dan empiris brsebut Abd al-Jabbdr menyebutproses brsebut sebagai "metode",

meski, sebagaimana dijelaskan, tidak meniscayakan pengetahuan

diskursif, karena keterkaitannya dengan konstruksi rasio. Akan tetapi, iika subjek yang mempersepsi adalah '6qil (compos mentis) dan tidak ada ambiguitas pada objek yang dipersepsi, Tuhan menciptakan pengetahuan pada subjek tersebut.iTe Ketiga. Pengetahuan dharfirt yang diperoleh dengan "semi-

metode", atau, ntenurut Peters, bentuk analclgis dari suafu cara (mdyajimajrd aththariq). Pengetahuan kita tentang keadaan (lail) tergantung pada pengetahuan tentang esensi/ subj ek (dzit) y ang berada di dalamnya.rs0 Fengetahuan tentang esensi (dzdt) rtu sendiri bukanlah merupakan cara, melainkan merupakan kondisi untuk memperoleh pengetahuan tentang keadaan subjek. Yang dimaksud'Abd al-|abbdr adalah interdepensi pengetahuan-pengetahuan; suatu pengetahuan harus dijelaskan dengan pengetahuan lain. Berbeda dengan sub-kategori kedr.ra, pengetahuan ini terwujud karena keterkaitanniscaya antara dua pengetahuan

lud.

rn Berbeda dengan Hourani dalam islamic Rafionalism, hlm. 20, yang meneriemahkan al-'ilm adhdhafii dengan'pengetahuan langsung' (inmediate knowledge), Peters, dalam God's Creafed Speectr, hlm.5F--54, rnenerjemahkannya dengan'pengetahuan pasti" (necessary knowhdgel. trr (pseudo) 'Abd alJabbir, Sya{

alushll al-Khansah,hlm.48.

'r

'Abd alJabbar, Al-Mughni fi Abwlb alTawhid wa al-?dl Juz Xll, hlm. 254.

176

lbrd., Juz Xll, hlm. 256.

lu (Pseudo) 'Abd alJabbAr, Syafial-Ushil al-Ktamsah, hlm.50. 178

lbid.

lru'Abd alJabber, al-Mughn|iuzXll hlm.59 J.R.T.M. Peters, God's Created Speech, hlm.54.

ls (Pseudo)

'Abd alJabbdr, Syad al-Ushilal-Khansi, hlm. 50. Al-'ilm bial{zetadahh pengetahuan manusiatenhng keberadaannya, dan al-'ilm bi alddl adalah pengetahuan yang berhubungan dengan keadaan (hdl) atau kesadaran. Lihat, Mulammad'Abid al-Jdbiri, Bunyatal-'Aqlal-'Arabi...,hlm.217

"

tr Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

104

tersebut. oleh karena itu, pengetahuan keada an (h6l) subiek tidak mungkin ada tanpa pengetahuan tentang subjek itu sendiri. Pada

sub-[ategori kedua, pengetahuan tentang objek-objek perseptual ernpiris \rnudrnk6t) mungkin diperoleh melalui cara selain persepsi {idrdk).181

Sub-kategori pertama (pengetahuan yang diperoleh tanpa pengkondisian) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengetahuan-pengetahu an dhnrfrri, yang merupakan bagian dari tolak-ukur kesempuonaan akal (kamht at:aqt) dan yang bukan' Pengetahuan kitabahwa Zayd adalah orangyang pernah kita lihat sebelumnya adalah contoh pengetahuan yang bukan sebagai tolak-ukur kesempumaan akal, karena terhadap objek yang sama masih terdapit perbedaan kernampuan untuk memastikannya oleh subjeku.rtl u{ yuttg berbecia.is2 Pengetahuan seba gai tolak-ukur kesempurnaan akal, antara lain, rnencakup: (1) pengetahuan tentang teadaan (w) ataukesadaran diri, seperti keadaan berkehendak dan tidak suka; (2) tentang keadaan realitas fisik dari segi persaf,naan dan perbedaan dan kemustahiian berada di dua tempat pada waktu yang sama; (3) tentang sebagian tindakan moralitas jahat (muqabbafufitJ, yang baik (mufonssanfrt), dan kewajiban yang dikategorikan dalam bahasan tentang " keterkaitan tindakan dan pelaku; yang sesunggutlnya berkaitan dengan penilaian moral pengetahuan tentang motiQnoral assessments; abk6m al-fi'l);tl3 (4) vasi-motivasi {daut6't} sebagai dasar bagi pernahaman tentang luthf.t* Menurut 'Abd al-Jabbdr, pengetahuan dhnrfrri bersifat

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

global (mujmal), sedangkan pengetahuan muktasab bersifat detil (mufashshat).18s Pengetahuan detil yang menjadi tolak-ukur kesempurnaan akal adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi perbedaan persepsi terhadapnya.ls6 Oleh karena itu, menurut Abfr Hdsyim, pengetahuan dhaririharus lebih jelas atau pasti dalam kesadaran kognitif subjek.187

Di samping objek-objek perseptual (mudrakit) yang diketahui melalui persepsi (iilrik), pengetahuan dhnrfiri iuga diperoleh dengan "nalay'' awal - untuk tidak menyebutrya sebagai nalar dir kursif dalam pengetahuan muktasab, yang diistilahkan Hourani sebagai "intuisi rasional" (rational intuition)l&B terhadap tindakantindakan moral, membedakan antara tindakan jahat dan baik atas dasar utilitas (manfaat dan sengsara), seperti berdusta, du* P"ngetahuan bahwa berbuat zalim adalah jahat yang bisa diketahui melalui rasa sakil Pengetahuan tersebut adalah dlnrfin yang ada secara ibtidi'anyang dimiliki oleh orang yang berakal bukan karena keberadaannya sebelum diperolehnya pengetahuan PerseP tual, melainkan karena pengetahuan-pengetahuan yang mendahuluinya bukan merupakan cara untuk memperolehnya'18e Dengan demikian, pengetahuan diperoleh melalui pemahaman langsung brhadap pengalaman-pengalaman partikular. DaXam konEks epir temologi etika, hal itu sejajar dengan apa yang oleh C.D' Broad disebut sebagai Milder Form of Intuitionism about Ethical uniaersal ludgements.ls Pengetahu an dharfirt,sebagaimana tarnpak dalam alJabbar, Al-Mughni fi Ahwitb alTawfiid wa al-'Adl, Juzxll, hlm. 46. Lihat juga Machasin, A/-Qadi 'Abd al-Jabbar..., hln.124-127

'rEt

,bid.

1e lbid., hlm. 51. 1s ,Abd

al-Jabbir, Al-Mughni l$ramsah, hlm.51.

1il

fi

Abwab at-Tawhid wa al-AdJ, Juz Xl, h!m.

382-384; Syarbal-ushal al'

lbid, hlm. 385. trlhfadalah'ungkapan tentang sesuatu yang keberadaannya menyebabkan s+ kewaliban seoiang memilih sikap untuk melaksanakan-atau rnenyebabkannya lebih dekat kepada?dnf;n dan #ninggatkan hal-hat yang jahaf. Lihat,'Abd al-Jabbir, Mutasy&bih Al-Qul6n, ed. dengan be*aitan itu, ft,'thf karena Oleh hlm, 45. th.), t. al-Turits, Dir Zaz0r, Muhammal {eairo:

pemahaman motivasilindakan dan upaya nemaharni hikrnah Tuhan, sebuah pendasaran Mu'tazilah 'AM Lagi doktin tawbid, ash-shaldh wa a!-ashlah, dan konsep terhait lain. Pengetahuan, menurut 'Abd Lihai, beriman. orang yang kepada dikhususkan Tuhan, dari lulhf bagian al-iabbirr, merupakan

105

.

1s

'Abd alJabbdr, Al-Mughni fr Abwdb at'Tawfiid wa

1e

/bid, hlm. 356.

187

al- Adl' Juz Xll, hlm. 375

lbid., Juzxv,hlm. 352. Agaknya karena alasannya yang sarna, al-Baghdadi menyebut al-lIm adir dhaniridengan ilmu/ pengetahuan yang kebenarannya mudah ditenma akal (badihi \, baik dalam hal alirmasi sesuafu atau negasi, dan yang inderawi (!issi). Lihat al-BaqhdAdi , Kttttlt Ush4l ad-Din' hlm.8; A.J. Wensinc*, Ihe Mus/im Creed, hlm. 252; T.J. De Boer,'Nazhaf, dalarn C.E. Bosworth

(ed.),The Encychpaedia of tslam, Vol. Vll, (Lieden dan New York: E.J. Brill' 1993)' hlm' 1052' r& George F. Haurani, lslamic Rafionalism, hlm. 21

'e'Abd alJabbar,

Al-Mugh ni

fi

Abw?tb at-Tawbid w a al-?dl, Juz Xll, hlm. 66.

1s George F. l-lounni, ls/amic Rationalism, hlm.?2.

F 106

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

klasifikasi di atas, juga diperoleh melalui kebiasaan ('6dah) dan pengalaman/ percobaan (taj ibah).ler Dari pemerian di atas,'Abd al-Jabbdr merunut secara logis proses terjadinya pengetahuan. Pengetahuan manusia semula bertolak dari pe ngetah:uan dharfiri y ang sangat mendasar; dari dalam

berupa kesadaran diri (self-consciousness),1e2 misalnya berkehendak dan lcre:nci (mh yafushul fnh mubtadd'an). Pada tingkat selanjutnya, manusia dapat memperoleh pen getahuan dharfri dengan memfungsikan organ inderawinya untuk menerima pengetahuan melalui rangsangan dunia luar atas fakta-fakta sederhana melalui idrkktanpamelibatkan proses inteleksi sistematis dan radikal (rnd yafushul 'an thartq). Pada tingkat lebih kreatif, pengetahuan manusia sudah merupakan hasil dari upaya menghubungkan antara dua pengetahuan berbeda dan saling terkait, semisal pengetahuan tentang @l (aksiden-aksiden pada subjek, seperti diam, bergerak, kualitas, kuantitas) diperoleh jika diketahui "wujud" sub jek sebelumny a (mA yaji majrd athahaiq), karena aksiden-aksiden tersebut bergantung pada wuiud. Dari konteks penentuan aksiden-aksiden (itsbdt al-a'rddh) ini pula, kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat distingsi antara (1) pengetahuan induk dan mendasar (ashl) dengan pengetahuan cabang (far), atau antara (2) pengetahuan-pengetahuan yang konkret dal-ma' 6if al-i aliyyah), yang posisinya seperti pengetahuan induk dengan pengetahuan abstrak yang mendekati posisi ilmu cabang.le3 Pengetahuan cabang bertolak dari pengetahuan

induk

seba-

gaimana pengetahuan abstrak bertolak dari pengetahuan konsilAbdalJabMr Al-MughnifiAbw?tbat-Tawfiidwaal-ldlJuzXlll,hlm.6.BandingkandenganalBaghdddi, ltf6b Ush0led-Din, hlm. 14, tentang al''uhn an-nazhariyyah.

re K. Bertens membuatdistingsi antara pengenalan (ftnowledge) dan kesadann (consciousness). Ke sadann dapat dibedakan antara kesadaran (conscrbusness) biasa yang dimiliki oleh semua makhluk hidup dan kesadaran{iri (self+onsclousness) yang hanya dimiliki oleh manusia. Lihat K. Bertens, Etfia, (Jakarta: PT Gnamedia Pustaka Uhma, 20@), hlm.52-53. Kesadaran dirimerupakan kondbi awal bagi pengenalan manusia terhadap fenomena di luar alau di dalam dirinya, yang kemudian disertai dengan proses penalaran. r$ Lihat 'Abd alJabbdr, At-Mughni fi Abwilb at'Tawhid wa al-'Adl, Juz Xll, hlm. 154-155, dan lihat kembali bahasan lentang konsep'aqL

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

107

kret, sebuah proses analogis yang tidak hanya menjadi wilayah pengetahuan dharfiri, di mana obieknya merupakan fakta sederhana, sebagaimana dijelaskan di atas, juga menjadi dasar logika bagi pengetahuan muktasab y ang obleknya merupakan fakta yang kompleks, sebagaimana pada istidlil bi asy -sy 6hid' ald aI- ghi' ib. b. Pengetahuan muktasab (acquireil knor.oledge). Berbeda dengan pengetahuan dharitri, pengetahuan muk-

diskursif merupakan hasil aktivitas manusia melalui nalar atau refleksi (nazhnr) atau infererui (istidldl).1% Secara umum, pengetahuan diskursif dibedakan antara yang rasion al (' aqliyy dt) dan revelatois (syar'iyydt atau sam'iyydt), seperti pengetahuan tentang Tuhan.les Sedangkan mengenai kondisi-kondisi, metode, dan bagaimana operasionalisasinya dalam nalar akal budi maupun nalar atas fakta empiris dikemukakan dalam bahasan tersendiri. Dalam Syarb dijelaskan bahwa keyakinan menjadi pengetahuan (diskursif) karena beberapa hal: (1) berdasarkan nalar atas dasar aspek (wajh) yang ditunjuk (2) mengingat nalar dan inferensi; dan (3) keyakinan muncul dari orang yang memiliki pengetahuan tentang apa yang diyakininya. Abfi 'AbdillAh al-Bashri menambahkan dengan (4) pengetahuan yang diperoleh dengan menghubungkan pengetahuan partikular dengan tasab atau

kebenaran global; antara pengetahuan empiris dengan keben€u€rn rasional, seperti rnodel deduksi, dan (5) mengingat dalitr.l%

Substarui epistemologi'Abd al-Jabbdr sesungguhnya adalah pandangannya tentang pengetahuan muktasab. Oleh karena itu, pemerian tentang pengetahuan rnuktasab yang lebih mendalam dikemukakan dalam sub-sub bab berikutnya, terutama bahasan

tentang metodologi.

Klasifikasi pengetahuan menurut'Abd al-Jabhdr dapat dikonstruksi dalam tabel berikut: 1s

/bid, hlm. 67--68.

1s'AM alJabb6r, Mutasylbih Al-QurEn, Juz I, hlm.

36,

t$ (Pseudo) AM alJabbdr, Syad a/-Ush1l al-Khamsah, him. 19'1-192.

108

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Tabel 3: Klasifikasi Fengetahuan

dengan

cara semi+ara kesempumaan

kesadaran

akal

diri

'aqlfuil

bisa diketahui, meski objeknya hanya satu.re8 Suatu objek yang sama akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda tidak hanya karena perbedaan perspektif, paradigma, atau conciptual framernork yang digunakan sebagai bagian dari perangkat metodologis, tapi juga karena perbedaan aspek-aspek yang dapat diketahui tentang objek tersebut. Objek itu sendiri adalah satu. syafiyydt

bukan kesempumaan akal

E. Bangunan Metode-metode

"Keilmuan":

Rasional-Empirik 1.

Prinsip-prinsip Dasar Metodologis

Sub-.bab ini mengemukakan pemerian tentang metode memperoleh pengetahuan, isu terpenting dalam epistemologi. Sebelum mengelaborasi konsep tersebut, dikemukakan prinsip-prinsip dasar metodologis "keilmuan" 'Abd al-JabbAr.

Pertama,karakter aktivitas keilmuan pada dasarnya adalah: bersifat klarifikatif atau eksplanatif (tabayyun), bersifat verifikatif dtafunqquq), atau aktivitas akal budi manusia (bashirah) untuk mencari kejelasan (istibshir).1e7 Aktivitas keilmuan pada prinsipnya adalah upaya pembuktian asumsi yang berbasis dalam istilah umum "keyakinan" (i' tiq 6d) melalui fakta-fakta objektif .

piuralisme metodologis. Ferbedaan pada pengetahuan-pengetahuan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan metode yang diterapkan yang tergantung pada dua hal: (1) objek pengetahuan, sehingga perbedaan objek yang dikaji meniscayakan perbedaan metode yang diterapkan, cian (2) aspek-aspek (zaujfrh) pada suatu objek yang diketahui, sehingga perbedaan antarpengetahuan pada esensinya adalah karena perbedaan aspek yang Kedua,

1e7

'Abd al-Jabbar, Al-Mughni fi Abwitb at-Tawhid wa al-'Adl Juz Xll, hlm. 16

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

Atas dasar uraian di atas, berbeda dengan tokoh-tokoh Mu'tazilah Baghdad,'Abd al-JabbAr menyatakan bahwa pengetahuan-pengetahuan pada dasamya tidak memiliki perbedaan fundamental karena perbedaan metode yang diterapkan, karena dalil (baca: metode rasional) setara tingkatkesahihannya dengan "instrumen-instrumen"le dalam proses tindakan (baca: metode empirik), sebagai sesuatu yang nyata. Ia merrconbhkan dengan nalar atas fenomena aksidensial yang berbeda bahwa orang yang melakukan penalaran (nazhar) melalui sarana-sarana fisik sama dengan orang yang melakukan penalaran melalui warna-warna untuk mengenal Allah.200 Dengan demikian,'Abd al-)abbdr mengakui ada pluralisme metodologis bahwa keragaman ilmu pengetahuan menyebabkan keragaman metodologis, karena problemaproblema yang berbeda menirayakan penerapan metodemetode yang berbeda pula. F.S.C. Northrop dalam The Logic of the Scienca and the Hummrities merryatakan hul y*g sama, '1t is dre p'roblem which determines the method. ...there will be as many different rientific methods as there are fundamentally differentproblem./'201 f$ 'Abd alJabbar, Al-Mughni li Abwdb at-Tawhid wa al-'Adl, Juzl, hlm. 191--192.

is

alJabbir menggunakan istilah'instumen'(d/ah) hanya dalam pengertian fisikal, empiris atau inderari, sebagainnna komentamya brhadap penyebuhn 'agldengan insfurnen (dlah) (lihat kembali uraian sebelumnya tenbng ini). Oleh karena itu, metode rasional sebagai suatu aklivitas berpikir yarg absfak sama-sama diekuivaliditasnya derpan metode empirik melaluisemisal penginderaan. 'Abd

m'Abd alJabbar, Al-Muhith bi at-Taklif, Juz l, hlm.

192. lrlenurut'Abd alJabb6r, keterkaitan antan "instrumen'(ie/e[) dengan proses terjadinya tindakan sama dengan hubungan antan ma'eni (kemampuan, pengetahuan, dan keinginan) dengan tindakan yang dimunolkannya, yaifu (1) sesuatl

yang harus ada sebelumnya dan tidak mesti bersamaan keberadaannya dengan tindakan, seperti busur panah ketika memanah; (2) sesuatu yang ada sebelumnya dan bersamaan tindakan, seperti lidah ketika bertutur, atau (3) kebalikan dari yang pertama. Lihat [Pseudo] 'Abd alJabbdr, Sla{ al-

Ushil al-Khamsah, hlm. 409--410. r1 Archie J. Bahm, 'What b 'Science'?", hlm. 13, (bagian yang diterbitkan ulang dari bukunya, Axblogy: The Scbnce of Values, (Albuqueque/New Mexico: World Books, 1980), hlm. 14--49.

110

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Dengan pendasaran pada pluralisme metodr:logis tersebuf metode-metode yang diterapkan pada semua ilmu pengetahuan dalam pengertiannya yang sangat umum dapat dipetakan sebagai berikuh (1) metode habitus, ('Adnh, kebiasaan), upaya penhanr feran, atau mirip hapalan yang ditransmisikan, sebagaimana yang mendasari ilmu bahasa; (2) metode konsensus {muwddhn'Ah taa al+nuwhtha' ah) yxrgpada dasamya rnendekati metode istinbdth {3) metode ilmu yang mengandung unsur upaya pembiasaan sekaligus, seperti rnenghafal dan pengetahuan kredibelitas pentranmisikltabar; (4) metode habitus yang hanya terkait dengan kelompok profesi tertentu; (5) metode trial and error dan percobaan{tajibah),yang disertai dengan indikasi dan hafalan, semisal kedokteran; dan (6) metode inferensi (istidlfrl\ danistinbdth.zo2 Ketiga, keniscayaan metodologis; pengetahuan tentang suafu objek pada aspek yang sama dengan menerapkan metode yang sama/ menurut'Abd al-JabbAr, meniscayakan kesimpulan yang

sama. Prinsip metodologis ini sering dinyatakan dalam bentuk frase "atas dasar metode yang sama" {'aLd thariqahwkfuidnh).Pene-

litian terhadap problema tertentu harus rnengikuti suatu prosedul metodologis yang sama dan sampai pada kesimpulanyang sama. Dari bahasan tentang "nalar menghasilkan pengetahuan" {al-mzhar yuwallid al:ilm),203 bukan ketidakhhuan (jahl),2M prnsip keniscayaan metodologis yang menjadi isu sentral diformulasikan sebagai berikut, (terjemahnya): "...nalar terhadap bukti (dalil) suatu objek yang sama yang dilakukan oleh semua orang terjadi dengan cara yang sama, sehingga dapat dipastikan bahwa apa yang dihasilkan dari proses tersebut tidak akan berbeda, karena jika benar bahwa cara tersebut rnenghasilkan pengetahuan bagi sebagian mereka, pasti bahwa hal yang sama juga diperoleh oleh semua

e

111

2. Metode Nalar l{,asional2o6 a.

Istidlfrl bi asy-SyAhid' alh al-Ghh' ib Metode rasional model ini sebenarnya dapat


dalam klasifikasi umum qiyds atau"deduksi".'Abd al-JabbAr mcndefinisikan qiy d.s (analo gl) seba gai men ghu bu n gka n pc n gc tahuan khusus / cabangffar) dengan pengetahuan pokok/ umun-r (ashl),207

baik analogi dalam bidang hukum

(at-qiy6.s asy-syar'i)

masalah-rnasalah yang diketahui dengan rasio (al-qiyas Dalam 9yarfo dijelaskan sebagai berikut:

maupun

alt

aqli).ror

d.I J..l cJi.I d;.l;ir! i'L+li {iJi td. l" # it-i.l jB'tl ,={+1.l" i, Li U lJ r: l+ tL Ji;.t *j$! Ulr rb U Lfi i[q,{ lll & r}i I rhl ,} S$ ei+,rl'J ,/.t*!S zos &I ../i.ld il+J.; tL! dF.I $I C+ lJL, Berdasarkan kutipan di atas, ada tiga macam pengetahuan: umum atau global, seperti pengetahuan tentang apa yang disebut sebagai perbuatan zalim secara umum yang diketahui akal; (2) pengetahuan partikular berdasarkan objeknya (bi' aynih),seperti pengetahuan bahwa perbuatan tertentu adalah zalinn atas dasar pertimbangan kejelekan yang diketahui secara dharfi,rt; dan (3) pengetahuan analogis dengan menghubungkan pengetahuan kedua dengan pengetahuan pertama. Jadi, metode analogi merupakan metode yang valid, yang disebut juga sebagai nalar rinci (an-nazhir al-mufashshalah) dari pengetahuan global yang diketahui sebelumnya. (1) pengetahuan rasional yang bersifat

Istilah istidlflIberlraitan dengan daltl. Olehkarena itu, istilah terakhir ini akan dijelaskan lebih dahulu. Menurut van Ess, ada m lstilah'metode

nalar rasional" merupakan terjemahan dari istilah teknis'AM alJabbdrna zhar yang sering juga diterjemahkan dengan "refleksi', "berpikir rasional atau diskursif, atau 'spekulatif. Penjelasan rinci tenlaq nazhar lalah dikemukakan dalam J.R.T.M. peters, Godb creafed speech, hlm. 57-€3; bntang perkembangannya sebagai terminotogi filsafat dan leologi, lihat T.J. De Boer,

'Abd alJabbar, Al-Mughnifi Abwdh d-Tawf;idwa d:Adl, JuzXVl, ed. Amin al-Kh0li, hlm.

m Lihat

s

mereka.'ff

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

'Nazhaf, dalam C.E. Boswortr (ed.l, Encycbpaedia of tstam,yol. Vll, hlm. 105G-1052. ru /bid, Juz XV hlm. 280.

Lihat ibrd., Juz Xll, hlm. 104-115.

ru lbrd , Juz Xll, hlm. 1M; lihat juga Geoqe

307-308.

a7 lbrd, Juz XV hlm. 280 dan 320-321;J.R.T.M. Peters, Godb Crealed Speech, hlm.71.

ibid., Juz Xll, hlm. 67 fi.

F. Hourani, ls/arnb

Ralionalisn,hlm.24-25.

m (Pseudo) 'Abd alJabbdr, Syad at-ushttat-Khansah,

htm, 67.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

perbedaan mendasar pemaknaan daltl sebagai terminologS knlilrn danfalsafah, van Ess mencatat2lo 'Now dali/ is not a proof in the Aristotelian sense of the word, an burh6n, aslhefal€sifa would have said; it is not a demonstration scheme, a methodical set of argumentation like a syllogism, for instance, or an induclion; it is only a sign or an indication, in the literal sense of the word dalil We must be clear about this, because the English word "proof (like the German word '8ewels") is ambiguous insofar as it means not only the "sign" but also the whole argumentation developed from it: the object one sees or the fact one observes and which one takes as a "proof for something to be proven, and the whole demonstration

built up on this observation. The mutakallimhn, on the contrary, usually differentiated between dalil, proof in the sense of a 'sign", and dal6la, proof in the sense of scheme and a structure."

Berbeda dengan burhhn (bukti, demonstrasi logika) para filsuf, dalil di kalangan mutakallimftn pada umurnnya, berdasarkan kutipan di atas dan keterangan Kraemer tentang pandangan as-Sirdff terhadap rasio teolog Islam,211 tidak dibangun di atas kriteria-kriteria formal yang ketat sebagaimana pada logika Aristobles. Tetapr, berbeda dengan van Ess, penulis menganggap dnlfl-meski tidak terikat dengan aturan formal logika-masih tepat dite4emahkan dengan "bukti" dalam pengertian sumber referensi formal (yu.g secara hierarkis: akal, Al-Qur'dn, sturnah, dan ijmA'),212 sedangkan "bukti" sebagai "tanda" (slgn) merupakan terjemahan dari istilah lebih umum dill (yang lebih tepat diterapkan dalam pengertian tidak ketat dalam Proses inferensi [istidl6l] dalam konteks ini). Diferensiasi mutakallimfin rmumny a yang dimaksud di atas adalah antara yang penanda atau tanda {d6ll, dalil, sign), oblek yang ditandai (madl,itl (alayhl, signifed), penandaan (dnl6lah), dan proses inferensi (istidl6l).213

2r0

Josef van Ess, TheLogical Strudureof IstanicTheology,hlm,26.

at Lihat Joel l-. Kraemer, Hunanism in fhe Reanaissanc€ of Islam: The Cuftural BuyM Age,(Lieden: E.J. Brill, 1986), hlm. 113, catatan kaki 25. ztz (pssudo) 2r3

113

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbdr

112

'AM alJabbdr, Syat al-Ushhl al-Khamsah, hlm. 88.

Josef van Ess,

Itre

Logical Strudure...", hlm.26.

al-JabbAr memandang dalfrIafr sebagai prinsip yang mendasari pengetahuaa nbukan dharfirt tentang segala hal selain yang sudah diketahui. Atas dasar ini, baik dalalah maupun dalil didefinisikan dengan (1-) sesuatu yang dapat mengantarkan orang yang menalamya kepada pengetahuan tentang yang lain, (2) jika

'Abd

orang yang membuatnya (tanda tersebut) menginginkan tujuan tersebut".21a Pernyataan bersyarat tersebu

t mengimpl ikasikan

bahwa suatu tanda atau simbol-berdasarkan teori semiotikaadalah berm akna (meaningfuI) jika" dimaknai". Hanya saja,'Abd al-JabbAr menarik wewenang pemaknaan tersebut, dan dianggap absalu ke pembuat tanda; wilayah pemaknaan yang menyempitAkan tetapi, bagaimana orang lain dianggap sah memberi pemaknaan, sedangkan ia tidak mengetahui maksud sebenarnya pembuat tanda? Oleh karena itu, pembuatan tanda harus berada dalam pemaknaan yang umum dan tidak menyimpan& yang sesungguhnya memberi wewenang orang lain untuk menafsirkannya. Dengan persyaratan pertama, turunnya salju pada masanya, misalnya, karena tidak mengantarkan pada masalah kenabian Muhammad, tidak disebut sebagai dilAhlx. Berbeda dengan itu, Al-Qur'an dalam konteks tersebut bisa dikatakan sebagai daltl, karena bisa mengantarkan pada pengetahuan tentang kenabian. Dengan persyaratan kedua, jejak seorang pencuri, meski dapat dijadikan "tarrda", tetapi tidak disebut sebagai "tanda", karena tidak dimaksudkan untuk itu oleh pencuri.2ls Dalam kerangka itu, salah satu metode penting dalam epistemologi di kalangan mutakallimirn dan mendasari metode rasional'Abd al-JabbAr adalah "inferensi dari yang konkret ke yang

abstrak" (istidlill bi asy-sydhid 'al6 al-ghi'ib). Metode ini telah dirintis oleh beberapa mutakalim sebelum 'Abd al-Jabb6.r, antara tairu oleh AbO al-Husayn al-KhayyAtfu AbO'Ali dan Abfr HAsyim. Abfr HAsyim sendiri menulis satu bahasan tentang itu dalam al'Askaiyydt. Abfr HAsyim menyebut metode rasionai ini dengan

Revival duing the 211

(Pseudo) 'Abd al-JabbAr, Syakal-Ushil al-Khamsah, hlm. 87.

ets

(pseudo)'Abd al-Jabbir, Syart

alushlt al-Khamsah,

hlm. 87--88.

114

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

"inferensi dari yang diketahui ke yang tidak diketahui" (istidlhl bi al-mn'lftm' al6 md tr6 yu'Iam), karena yang konkret adalah sesuatu yang diketahui danyang abstrak adalah sesuatu yang belum diketahui. Yang abstrak tersebut tidak dapat diketahui tanpa pengkondisian, rnelainkan deng.rn thartqalal-ijr|' wa al-laaml yang oleh 'Abd al-JabbAr disebut dengan istidlil bi al-ma'lfim f mh baynand 'aI6 md huwa gh6'ib 'annd". Istidlill mungkin dilakukan jika ada hubungan (ta'alluq) antara dalfl danmadlfrl. Meski demikian, tidak berarti bahw a " tanda" dalam hakikat dan esensinya harus sesuai dengan yang ditandai sehingga daltl dart madlfrl harus berbeda dalam esensi.216 Ta'alluq, hubungan antara ilalil danmadlfrl, sebagai fakta yang harus sama-sama diperhatikan harus dilihat dalam aspek tertentu, wajh at-ta'alluq. Suatu ayat Al-Quy'an, misaLrya, sebagai tanda atar daltl untuk perintah-perintah yang diderivasi darinya hanya mungkin diinferensi karena zrajh at-ta' alluq bahwa Allah adalah bijaksana dan hanya memerintahkan perbuatan baik dan melarangyang jelek. Jika kita menginferensi dari benda yang bergerak bahwa ada gerak, hal itu karena ada hubungan antara keduanya secara pasn;' al6 waih al
Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

melalui perbuatan-perbuatan-Nya, misatrya, merupakan bentuk analogi dari pendasaran Pada kenyataan konkret bahwa perbuatan hanya terjadi dari manusia yang mamPu melakukannya. Kesamaan antara yang konkret dan abstrak adalah pada cara mengetahui pengambilan keputusan; kemampuan dipastikan secara logis karena keabsahan tindakan. Metode ini mendasari pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan, terutama tawbtd,salah satu pilar doktrin Mu'ta"ilah. Dalam fiqh metode ini disebut qiyds ad-dal6lah.

(2). Inferensi atau analogi atas dasar kesamaan dalam sebab ('illah\.2le Misalnya: konklusi bahwa Allah tidak mungkin meiakukan yang jelek karena pengetahuan-Nya tentang kejelekannya ditarik atas dasar sebab atau alasan yang sama bahwa manusia juga tidak melakukan yang jelek jika telah mengetahui kejelekannya. Metode inferensi model ini diterapkan untuk pengetahuan tentang keadilan (al:adl) Allah. Asy'ariyyah menerapkanrrya untuk menetapkan sifat-sifat AUah sebagai sesuatu tambahan atas zat. Dalam fiqh dan nafowu metode ini disebut qiyhs al:illah. (3). Atas dasar kesamaan pada sesuatu yang sepertr'illah. Berbeda dengan dua tipe di ahs, inferensi ini tidak didasarkan kesamaan'illahmaupwr daldlalr. Di satu sisi, keadaan "berkehendak", misalnya, dapat diketahui secara dharfii dalartkesadaran kita. Hal itu disebutbahwa kita telah "menetapkan" (fuuktn, judge2te

'//lah adahh sebab ahu alasan yarB mendasarisuatu penehpan kesimpuhn ahu kualifikasi(!ukrn), sehingga keberadaannya menentukn kemungkinan penetapan kualilikasi tersebut ([Pseudo] 'AM alJabbir, Syafral-lJshll al-Khansah, hlm. 273). 'lllah harus memenuhi knlena ath-thard wa al' 'al(s (ko+kstensivilas dan ko+ksklusivitas). Afh-lhard (ko+kstensivitas) berarti bahwa suatu 'ii,,afi mungkin diterapkan pada semua kasus-kasus partikularyang ditunjuk oleh dalil, dan harus mun'akrs, kocksklusivitas dalam pengertian: menybihkan setiap kasus hin yang memiliki ',/aD yang dimaksud, dan ketika 'ifiah tidak ada. kualifikasi tidak dapat ditetapkan. Gerak, misalnya, merupalcan

uo 'Abd alJabb6r Al-Muhfth bi at-Taklff, Juz l, hlm. 169.

2n lbki., hlm.55; Josef van Ess, Ihe Loglcal Structure, hlm. 27.

rt

'Abd alJabb'r Al-Muhith bi at-Taklif, Juzl, hlm. 167-168; Muf;ammad 'Abid aHabiri, Bunyat al'Aqlal-'Arabi..., hlm. 155-157; Machasin,AI-Qadi?bdalJabbar..., hlrn.62-$3.

115

'r'it/ah

pada

benda yang bergerak. Lihat, Josef van Ess, Ihe Logical Structure.., hlm.39; 9yafial-Ushfil al' Khansah, hlm. 205-206. An-Nasysylr menyebul kriteria pertama dengan 'the method of agre+ menf (ftrariq at-talezum fi al-wuqi) dan kriteria kedua dengan'method of differene" (thariq at-

takhallutfral-wuq?).Lihat'AliSdmian-Nasysydr,Mandhfal-8aits,hlm. 110-113. Mesidalh{hard (ko+kstensivitas) merupakan qae,l'iilah, temyata 'Abd alJabbir memandangnya tidak berlaku bagisernua illah. Lihat'AM alJabbar, A/-Mughni fi Abwab afTawbidwa al''Adl, JuzXY, hlm.357.

116

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

ment) slfat atau atribut pada subjek berdasarkan kenyataan

konkret dengan indikasi perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Di sisi lain, kita mengetahui sahnya menetapkan hal yang sama pada yang abstrak (Allah SVW.) sehingga dapat menarik kesimpulan dengan menetapkan sifat atau atribut tersebut bahwa Allah berkehendak. Pada dunia konkret pengetahuan tentang itu diperoleh secara dhnrfirt, sedangkan pada dunia abstrak pengetahuan tersebut diperoleh dengan dal6lah. (4). Inferensi atas dasar bahwa pengambilen kesimpulam yang sama pada dunia konkret untuk diterapkan pada dunia abstrak dianggap lebih logis, /ang dalam fiqh disebut qiy6s al-awl6.

Zhnnn dan pengetahuan/ menurutnya, memiliki kredibilitas sumber yang sama-sama diakui untuk mengetahui kebaikan tindakan-tindakan yang dasamya adalah utilitas (kemanfaatan dan kemudharatan).lika suatu tindakan dapat dinilai secara moral betdasark an zhann, w.ara inferensial penilaian yang sama berdasarkan pengetahuan secara logika adalah lebh valid.

Jika menyuguhkan makanan kepada seseorang yang atas dasar perkirakan (zhann) dianggap sebagai perbuatan baik, melakukan hal yang sama atas dasar pengetahuan ('ilm) adalah lebih logis untuk dikategorikan sebagai perbuatan baik. Metode tersebut mempunyai kemiripan dengan metode inferensi AbO Ya'lA al-Hanbaliyang mendasarkannya pada empat haf yaitu' illah, batasan, pembenar (validasi), dan dalil Jika yang pertama disebut qiyhs al:illah, darr yang keempat disebut qiyds ad-dal6lah, maka yang kedua dan ketiga adalah apa yang disebut

oleh'Abd al-Jabbdr sebagai "apayarrg berlaku seperti 'illah'.n0 Kenyataan ini menunjukkan bahwa corak kalim pada umurnnya bersifat Mu'tazili dari segi metode, meski ada proses adopsi dan adaptasi. Bahkan, van Ess menarik metode inferensi mutakallimfin tersebut dari akar sejarah logika Stoa, tidak hanya dalam sistem, tapi juga dalam terminologi.Daltladalah terjemahan dari

a

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabbir

orflreiov, rnadlfrl dari oqpeu6v atau olpalvop€vov, d,an dulfilnh atau

istidlill dari oqpeirois . anak kalirnat bersyarat yang scring 4igunakan "jika...(daltl). ... (madlfrl)"' dalam logika Stoa cliscbut ouvppdvov dari ouvcrrvol untuk menghubungkan-z2r Istidlul hi asy-syilhid'al| al-gf ib selain memperoleh inspirasi terminologi AlQur'an {'frlim al-gayb uta nl-syahhdah), juga sangat mungkin merupakan terjemahan Arab versi Galen dalam On Medical Experience (yang semula terjemahan Hunayn ibn Ishaq) dari AlMughnt f Abwfrb at-Tawhid tna al:Adl,Avoolopopbs '2n b. Penolakan terhadap Mafhfim al-Mukhfrlafah 'Abd al-JabbAr menolak istidlil bi daltl al-khitdb atau yang lebih dikenal dengan maJhfrm al-mukhhlafah, yaltu menetapkan sesuafu yang tidak disebutkan dalamteks dengan nalar logis sebagai kebalikan dari pengertian teks" Penolakan terhadap keabsahan metode nalar teks tersebut diforrnulasikan'Abd al-JabbAr dalam (BayAfl Mutasyilbih AI-Qur'6n: "menyebutkan sesuatu secara khusus tidak menunjukkan penetapan negasi bagi yang lain" (takhshis asy-syai' bi adz-dzikr lh yadullu 'ald hukrn md 'adih atau, seperti dalam Syarb takhshtsh asy-syai' bi adz-dzikr 16 yadullu 'alfr nafy md'AdAh). Oieh karena itu, metode tersebut tidak diterapkan dalam wilayah teolosi maupun hukum.D Malhfim al-mukhdlafah atau daltl al-khithAb di kalangan Sydff iyyah meliputi: sifat, pembatasan (bashr|,syarat, tujuan (ghiyah), dan kuantitas.za Oleh kaal-JabbAr tidak serena itu, dalam konteks metode tersebut "dbd cara konsisten dalam fiqh (asy-Sy6f i), tapi menunjukkan konsistensinya dalann teologi (Mu'tazilah). Keinginannya untuk berpindah dari madzhab asy-SyAfi'i ke Hana{i, sebagaimana pernah

2i Josefvan Ess, Ihelogical Strucfure.,., hln.27-28.

2lbid., him.35. m Abd ai-Jabbir, Mutasyirbih Al"Qur'dn, Juzl, hlm. 48; (Pseudo) 'Abd al-Jabbir, Syafu al-Ushil al' Klrarnsah, hlm. ??3; Machasin, Al-Qadi'Abd al-Jabbar, hlm. 83. Lihat penerapannya ketika mengomentari O.S. Al-Baqarah (2): 2, lihat, Mvfasy.ibln, hlm.48) dan Q.S ALMulk (67): 3, lihat, Syad ai-UshAi aLKhansah, hlrn. 356).

Muhammad 'Ab,id alJ6biri, Bunyat al-'Aql al-'Arabi.., hlm. 157.

117

21 Lihat Muhammad 'Abid ai JAbiri, Bunyat al-'Aql al-'Arabi..., hlrn.61.

Abd Konstruksi Pemikiran Epistemologi

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

118

AbO'AbdillAh al-Bashri' memiliki disampaikan kepada gurunya' tersebut' hubungan dengan p"ttotututt metode

ilffi.'Abd .

fiiGi;;iriaao-*"ri ;;;;"1i"".

"ntit"t

l-,iA ii 14 :ul .-, cd t'A 1 u)r

+1J1,:{

+

u s' r+rtr {ri

dri

dts

ilr

t rvu'Ji''lJ'Ii ')sl cr J'itl'':'l u' i"

J,,J':'ilr;i 6'G''o'.'ll t:jT1'S 'r"Jvl Jri'i'J lrix el'J'r'r dlb ,,i;-^t;Li*l -+l ,1 f)i,v'r+ ircr' ;I* t'rJ u4s q1 tt'su '{J.!

.l .1. ..v-n r

iffi*]lj *'grur* :r'd

.

-

;i )! i+ F,eF dl'ii'

"'g[5rr

-'

oi .^lii, ;L

i

-s52;

t

ir.p

iniorisinal dari 'Ali Sdmi an-Nasysydr menganggaP meto{e Jari togika Aristoteles' Namun' kalangan *utot'atif*in, bukan 6

menyebuhya dengan ess' e*e1l1ffr9hre hlrn 394-396) Peten dengan mengutip Josel van speecfr' hlm 72' Creafed God's eteo' n'r'r"r' J metode tagsim ahu 58' Syad al- tJshlt al-Khamsah' hlm

qotffitilg;;j'

zs (Pseudo)'Abd alJabbdr,

11

I

ya i trt si k rsilogisme dislungtif'zzz sebagian teolog menyebutnya (seperti "baik " memp"'i;;t yans gisme karena rtu' dua premis nya'"t Oleh maupun.. .") untuk 'utu ut^" analogi ini' pada meski'Abd al-|abba' dd"k menielaskan Prosesdi atas' metode ini dari contoh prinsipnya, sebagaimana terlihat mernbatasi beberapa kemung(1) ierdiri dari dua l"^g;;h;itu kemung-

g:ngtif

t"i;l#

c. As'Sibr wa at-Taqstmw menyebut me'Abd al-|abbdr sendiri tidak secara eksplisit terutamaketika menolak tode ini. Tetapi, dari uraianteologisnya' ia menerapkan metode ini pandangan teologis aliran alirarilain' untuk memperoleh pengetahusebagai metoau rurio,tut-u"Aogis dan membagi) dian. As-Sibr wa at-taqstm (mempertentangkan tu*t'a kJmuttgkinan (A' B' c'" ') terapkan a".g* *J"y"i-"-*utt hf' kemudian mengeliminasi kesebagai solusi t"'nulJf tttatu tinggal satu mungkinan-t"-rrr.gtil* tersebut sehingga l*yu teral-]ibdr sering *""y"9lean kemungkinan min "' (ndaklepas dari kemungsebut biasanya dengan td y akiltt imm|(adakalanya' " atau adakinan. . ), atau immi a' y ok':'''''*a misalnya' ketika membantah kalanya. . .)' M"ttd; i"i eit"'uptt"' p""g:tahuan inferenpandangan nUt urdast* lu$o "i-g"lkhi a*".ur,"i dengan inferensi pula dan anoii i"t"s dengan dhnrfrtt Persoalan tersebut bntang AllahSWT' yang berimplikasi pada afakah p"rrg"Lhttun p"ngetahuan muktasab' di akhirat di dunia me*putu'iUugt* a*i itto'A't' 'Abd al-iabbdr memIa diketahui dengan *i'ktosob utut al-Balkhi' bahwa pengetahuan bantah pana*gu" Ab0 alQasim ini: U" tsrtat dhnrfii dengan metode tentang Allah SWT' ai

I

al-Jabb6r

p"*!"?lan/ penafian kinan (futshr or o*'iiii )' iu" tzjt',**,:*gkah inilah mungkrn kinan yang tidak rcg!'y'y1t! wa an-nafy dengan istilih al-itsbdt yang d.imaks.ta 'eui ui-Jabblr (afir-masi dan ne gasi)'230 d.

Al'llz

dm: Argumentum ail hominem

digunakan untuk membantah Metode rasional ini umumnya des"ederhana menyebuhya paham teologis suatu

l"it;;;'"

t*t"

(b{Yu penerimaan terhadap ngan "konsuk"u*i iogi'" p"'[tp n1ut" 1pt^ungkinan) berkonsekuensi kemungkinan "ta' m"""'ima suatu/beberapa kemungsecara logis pudu tJiu*'urr u""gT'li1

tt*;' ;;"; sering diungkapkan rm o'1oii'.wt"nurut Peters' metode lnzimn, alzama, d^^'";;l^;;ii'' asional :;;;;o'h .o1 sur dum' Me tode iu ga bi sa disebut E;; ingrn diban-

kinan lain yang

o

a.b

r

tesis lawanyang ini diterapk"t d"#;;;"guaop"i konklusi-konklusi lo gis tersebut daritesis tah, kemudiut' m"'iu'it bahwa tf"t' lawan' baik karena alasan yang tidak dapat iti"n*" bertentangan dekut""u konklusi ter'"b"t ;;;;;J utt" Dalam menerapkan metode '"las-ielas ngan doktrin atau "t";;;;; '""ai'i'"' menggunakan istilah syubhah al-Jabbdr

ini,'Abd

ketidakjelas*

menJ'ebut argumen-argumen u"*t'"'i"g

hlm' 114' z? 'Ali SAmi an-Na sysylr, Man€thij al-Bafts' lo Logrb' hlm' 27' tntrdudion Concise A 2s Lihat Patick J' Hurley, pAli Sdmi al'Nasysyir, Mandhu al-Bafts' hlm 114' 23o

(Pseudo) 'Abd al-Jabbar' Syafial' C"ut'O Sp'"tr'' hlm T3 Bandingkan

J.R.T.M. Petea' Godb l,)shlt at-Khamsah, hlm 98'

74-76' Created Speech' hlm ar Lihat lebih lanjut dalam J R'T M Peters' God's m bid.

lawannya'232

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

120

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

3. Metode Fengamatan Empiris Abd al-JabbAr sering menggunakan istilah musydhndahtntuk pengamatan dengan indera. Istilah idrhk lebrh tepat diartikan sebagai persepsi, baik terhadap fakta-fakta empiris mauPun rasional. Namun,'Abd al-Jabbdr menggun ak an idrdk lebih cenderung dalam pengertian pengamatan inderawi. Oleh karena itu, istilah terakhir ini mencakup pengertian ru'yah (pengamatan dengan mata atau melihat)" jika idrdk disertai dengan katabashnr. Sebagaimana dikemukakan, menurut'Abd al-JabbAr, pengamatan empiris, meski bukan merupakan mt'n6, adalah titik-tolak pengetahuan sebelum fakta yang diamati dikonstruksi oleh rasio. Meski pengamatan inderawi terhadap fakta-fakta empiris dapat dilakukan melalui semua panca indera, uraian yang dikemukakannya lebih menekankan pengamatan melalui penglihatan (ru' yah)yang mungkin karena bersentuhan langsung dengan isu teologis.

Kritik terhadap kalangan Asy'ariyyah tak ragu lagi tentang ru'yat All6h (melihat Allah) menjadi karakter yang kuat mewamai bori'Abd al-|abbdr bntang "penglihatan' (uisual theory). Kithb at' Tawallud AbO Hdsyim tampaknya sangat memPengaruhi basis argumen'Abd at-Jabbdr tentang itu.233 Ia memberikan ketentuan umum bahwa suatu objek dapat dffiat jika: (1) tidak ada yang menghalangi pengliha tan (irtif6' al-mawdni' ); (2) organ penglihatan (fopssah) dalam keadaan seha! dan (3) objek yang ingin dilihat harus ada.ry Yang menghalangi penglihatan bisa berupa: (1) dit ding atau penghalang langsung @ijib) atau (2) posisi objekberada di luar arah penglihatan tS jihah ghaqr mufopdzhh), yaitu tidak menenrpati salah satu di antara 6ga posisi objek (dijelaskan dalarn uraian di bawah). Objek juga dianggap terhalang jika (3) jarak

antara objek dan subiek cukup iauh, ( ) objek yang dilihat terlalu kecrl (iqqah/lathtfah), (5) indera penglihatan yang tidak sehat.23s

'Abd al-Jabbdr mengembangkan analisis lebih iauh dengan menetapkan tiga hal, yaitu " *bab" ( illnli,"sebab langsung" (sahab), dan "kondisi atau syata(' (syarth\. Menurut Anthony Keith Tuft, tidak adanya sesuatu yang menghalangi penglihatan adalah yang dimaksud'Abd al-Jabbdr dengan' illah. Berfungsinya organ peng-

lihatan secara sehat tampaknya dapat diidentifikasi sebagai "sebab langsurrg" (sabab). Identifikasi ini ditopang dengan analisis terhadap metode logika'Abd al-JabbAr. Suatu "sebab langsung"

menurutnya, dapat diketahui melalui efeknya yang pasti tidak ada atau terjadi jika ada sebab yang mendahuluinya. Keberadaan objek yang ingin dilihat disebut sebagai "syara{'.236 Pertjelasan Anthony KeithTuftdalam konteks itu tidakbegitu akurat. Dalam Sy arb penglihatan terhadap suatu objek adalah mungkin jika ada dua haf yang disebuhrya sebagai " syata(' (1) syaratyang terkait dengan subjek, yaitu kesehatan indera penglihatan, dan (2) yang terkait dengan objek, yaitu ada hubungan foukm (penetapan posisi) antara objek dan subjek. Penetapan posisi objek bagi subjek tersebut didiskusikan dalam teori visualny a tentang muq6balah (oblekyang dilihat berhadapan dengan orang yang melihat(sabab),

nya).u' Berbeda dengan Atlah SWT., objek yang dapat dilihat dengan indera penglihatan harus menempati salah satu posisi, yaitu (1) objek berhadapan dengan subjek (muqdbil); (2) sejajar dengan objek yang berhadapan tersebut dengan subjek (f foil\al-muqdbil);

atau (3) objek tersebut dianggap berhadapan dengan subjek. Dalam Syarfuw kettea hal tersebut secara eksplisit disebut sebagai "syara{' . Posisi pertama adalah ketika objek yang dilihat berhae

Anthony Keifi Tuft, Ihe Orpins, hlm.

2@-206;

(Pseudo) 'Abd aLJabbdr, Syad alUsh 0l al-Khamsah,

hlm.257-258.

a

Anthony Keifr Tut\ The Origins and Development of the Controversy Over Ru'ya in Medieval lslam and lts Relation lo hnlempwaryVisua/ Iheory, (Los Angeles: Univenity of Califomia, 1979), hlm. 177.

2a 'Abd alJabb6r, Mutasyitbih Al-Qur'6n, Juzl, hlm. 323.

121

m

/bid., hlm"

178-'t79.

87 (Pseudo) 'Abd alJabb6r, Syaft a/- llsh[tl al-Khamsah, hlm. 250.

e

/bid., h|m.249.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

122

l.'l

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb3t

melihatrya' Posisi dapan langsung dengan arah mata subjek yang di mana kuakedua adallah sepurdposisi warna buku, misalnya' delitas aksidental yang iebenarnya secara inheren berhadapan

a. Sofisme (radikal) yang menafikan rcttlit,ts tl,ltr rt'tt1'.+,1+llrttirrr dalambenfukapapun{ i;"elc )ri,Ji;i'r u ). I)'rl'rrtt Fl'|l:llita*i ,Abd as-saldm dan Arnir, sebagaimana diktrtilr ( i,rt'rle.l rlirtr Anawati, sofisme ini sama dengan nihilisme ('rniltt1t1iltl

t',iu. S"ut" objek dianggap berhadapan dengan subjek lf bulon bantuan ai-muqdhit)iika kita, mGalnya, melihatw{ah kita dengan visual teori seperti ini, hal cermin. 'RLd alJabbdr menjelaskan 23e (syu'6) a cahay dengan Euclidean tentang keterbalikan cennin terbalik (gan'akis)' secara cermin permukaan yurrg *u*untul li 'Kl"til." rnata cahaya tersebut memantul terbalik, hal itu seperti melihat suatu objek secara langsung'24o 'Abd al-JabbAr, sebagaimana dikemukakan' menganggaP pengemetode empiris sebagai ko-ndisi awal untuk memperoleh atas fetahuan. trrtesti bukan-merupakan mL'n6, konstruksi akal pengarnatan dari bertolak nomena-fenomena empiris tentu harus

b. sofisme yang diidentikkan dengan skeptisisme (alil

denganngan subjek kuiena posisi buku itu sendiri berhadapan

tersebut.

F.

Kritik terhadaP SkePtisisnoe Literatur-literatur klasik kal6m, menurut Gardet dan

(pohsme) Arnwati, banyak memuat kritik terhad ap Sfrfsthh'iyyah al-Farq 'lanUshftl yang muncul iau* katy a-karyakalim, nrisalnya angu'-, Syafu'al|'Aq6'id dan aa-dnal-BaghdAdi , al-Fishallbtl N asafyyahieh at-taftaz6ni' Sebagai pandangan epistemologis' menuofi"ttu y*g bersikap skeptis terhadap realitas bercabang mengeksplorasi jadi beberap-i variant. Oleh karena itu, sebelum model kritik-kritik sistematis'Abd al-Jabbar, akan diidentifikasi Alkritiknya' sasaran sofisme/skeptisisme yang menjadi klasifikasi Baghdaii dalam Kffib Ushil ad-Dtn mengemukakan sebagai penielasan -tentang skeptisisme yang berSfifisth|'iyyah kembang seiring dengan perkemban gan knl6m:

2{(Pseudo).AbdalJabbir,Syafial.lJshllat-Khamsalr,,hlm.24g.Lihatunaiandetildalam.Abdal. Mustha€ HilmidanAbO enwao at_iaddwaal-,Adt,Juzly,d Mulammad Wafi' al-Ghanimi atTaftazeni, hlm 64-69'

in

yang meragukan keberadaan realitas dalam segala st'sttaltt (.;rrli.YJ6ri..r+.til.J"l;Y ). Apa yang dijelaskan oleh alBaghdAdi ersebut merujuk kepada agnostisism e (Id adnyyah) '

c.

Sofisme sebagai relativisme atau subjektivisme ('indiyyah) ii$ol)l .." r.fiel l, .rih.i $ $t! tr # il .." fJ$elt1'{U ,ili','fiil )'

kE

Ll

slc,

241

( lrF

Menurut William Montgomery Watt, tiga varian sofisme tersebutmerupakan pandangan filsafatYunani kuno yang muncul pada awal ibad k + dan ke-5 SM, bukan penentang akif kal6m y*g r"*u"a dengan para mutaknllimfin.' Inadiyyah, berdasarkan Tu*ishkxicon Redhouse, adalah aliran Pyrrhonist (Pyrrho dari HJn).LnadnWah@Hasy-syakk)lebihdekatkepadaaliran"Akademi Tengah".' Indiyy ahadalah aliran Protagoras (481 - 411 SM)' Tulisan S"*to Empiricus bnfu saia memuat semua ifu.2a2 Apa yang disebut sebagai "Akademi Platonisme" berafiliasi dengan skeptisisme [lnho yang memPengaruhi masa Hellenisme akhir dan masa Romawi.2a3 Masuknya pemikiran Hellenistik akhir memperoleh momentunrnya pada masa penerjemahan karya-karya Yunani se-

Mdtazilah merupakan teologi Islam yang secara intens dan pertama kali bersentuhan dengan ide-ide tersebut"

cara besar-besaran pada masa al-Ma'mOn.

2ai

Al-Baghd6di, Klirb Ush}l ad-Din, hlm. 6; A.J. Wensict, The Muslin Creed, hlm. 251-242; Louis Gardet dan M.M. Anawafr, lntrdudion a la Thfiologie Musu/mane, hlm' 376'

24 William Montgomery Watt, Early lslam: Cotlecled Essays, (Edinburgh: Edinburgh University Press,

ae An$ony Keith Tuft, Ihe Ongins, hlm' 232'

JabbAr, Al_Mughn

asy srTrrA[)

al

1990), hlm. 103-104, (pada bahasan 'The Logical Basic of Early Kaldm')' 2{ Helmut Koestet, History, Cufture, and Religion of the Hettenistic Age, (New York dan Berlin: Walter Ihe De Gruyter, 1987), hlm. 141-143. Lihat juga G.P. Kerferd,'sophisf, dalam Paul Edwards, 494--496. Vll, hlm. Vol. Phr'7osophy, of Enc@topaedia

il 124

Epistemologi Kalam Abad pertengahan

Kridk'Abd al-Jabbar terhadap sofisme dikemukakannya ke-

tika mengkritisi pandangan bahwa realitas tergantung pada data inderawi (empirisisme), apa yang dibuktikan r".uru rlsionur mulalui dalil (rasionalisme), dan pandangan bahwa rearitas adalah apa yang dapat dilakukan (pragmatisme), serta pandangan mate_ rialisme (zhahnyyah)f* Dua pasal pada XII al_Mulhni yang luz jelas merupakan kritik terhadap sofisme adarah Fashrfibthiiqaznt man y anfd al-fot q 6' i q (pasaltentang bantahan brhadappandangan orang yang menafikan realitas) dan Fasht ibthil al-qawt bi inna f foaqtqat kull syay' md ya'taqiduh ar-mu' taqid (pasal tentang bantahan frhldap pendapat bahwa realitas segala sesuatu adahi apa yang diyakini setiap orang). Tampaknya tritit'Abd al-Jabba, *"-pakan kritik atas dua moder sofisme di atas: (1) sofisme sebagai nihilisme ketika ia mendefinisikan karangurrrofi, sebagai kalangan menafikan realitas sama sekali ( ii;. .l+^iyl ,y dt orlit ) dr.r +.rrr-;-rl, (2) sofisme sebagai relativisme ketika membantah pandangan bahwa realitas sesuatu adarah keyakinan subjektif. agnotisiJne

mungkin dikategorikan dalam nihilisme.

Pemerian yang akan dikemukakan dimulai dari yang paling mendasar, yaitu kritik atas nihilisme. 'Abd al-)abbdr meilu*uti

kritiknya dengan mengutip pendapat Abfi aledsim al_Baftri (w. 932) yang dikemukaka*ya daram Kit6b aI-Ar6' wa ad-Diy6)dt. Menurut al-Balkhi, berdebat dengan kalangan nihilis adalah hal tidak diperlukan atau merupakan sikap yang keliru. Berdebat hanya rnungkin jika didasarkan *grrro"r, dan fengetahuan. Apa_ kah mereka mengklaim adanya pengetahuurr-? ;iku *"r"ku

menafikan keberadaan pengetahuan, bantahan terhadap mereka tidak diperlukan. Sebaliknya, jika mereka bersikap ragrr, perta_

nyaan mendasar yang dikemukakan: bagaimana *.*ti tut,, bahwa mereka bersikap ragu. oleh karena itu, menurut al-Balkhi, 2{ Penerjemahan apa yang menjaditritik Abd alJabMr dengan ketiga aliran tersebut tidak mengacu pada alinnaliran fibalat dalamsejarah yang tentu muncuijluh sesudah,AM alJabMr Akan blpi, kritiknya sesungguhnya juga merupakan kritik terhadap ariran tersebut, mesti sangat problematis untuk menyamakan begitu saja antan yang berkembang di dunia rsram o.n yangi.rkerb.ng

Barat.

oi

Konstruksi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6r

125

mendidik mereka (ta'dtb) adalah sikap yang paling tepat.2as Menurut AbO 'Ali dan AbCr Hdsyim, berdebat dengan kalangan sofis adalah hal yang "mungkin" dalam pengertian sebagai aktivitas akademis. Hal itu, tegas AbO'Ali, karena kalangan sofis hanya tidak mengetahui bahwa pengetahuan mereka adalah pengetahuan yang diperoleh secara diskursif (iktisdb). Menurut Abfi Hdsyim, keyakinan kalangan sofisme, atas dasar kriteria sukfin an-nafs, dapat diklasifikasikan sebagai "pengetahuan". Oleh karena itu, bantahan terhadap mereka harus dilakukan dengan membuat distingsi antara pengetahuan yang dhnrfr.ri (langsung) dan yang inferensial.26'Abd al-|abbdr, yang tampak terpengaruh oleh pandangan AbO Hdsyim, memulai kritiknya dengan merujuk pada pengetahuan inderawi (mudrakit) yang mendasari pengetahuan diskursif. Pengetahuan bertolak dari pengamatan inderawi, semisal pembedaan hitam-putih, manis-asam, panjang-pendek, besar-kecil. Penolakan kalangan skepfis terhadap fenomena empiris tersebut berarti penolakan terhadap apa yang sesungguhnya diketahui tanpanalar (dhnrfrri).2a7 Pengetahuan bertolak dari "asumsi" (zhann), sesuatu yang tidak secara jelas membedakan antara pengetahuan dan perkiraan keliru seperti pada fatamorgana. Terhadap pandangan ini,'Abd al-Jabb6r membedakan keduanya atas dasar kritena sukfin an-nafs yang tidak terpenuhi pada kekeliruan inderawi. Pada fatamorgana, menurutnya, persepsi inderawi sebenarnya tidak salah. Akan btapi, kondisi-kondisi yang harus dipenuhi pada suatu penginderaan yang menjadi dasar pengetahuan tidak dipenuhi. Pengetahuan inderawi adalah fenomena yang tak bisa dibantah dan dijadikan dasar "aksiomatik" pengetahuan agar tak terjadi apa yang disebut ad infinitum (iBbil md 16 nihiyah lahl.rnt

26'Abd

alJabbir

2s /bld., hlm.42. 2at

lbid.,hlm.43.

20

/brd., hlm.45.

Al-Mughni fr Abwlb alTawf;id w a at-'Adl,

J

uz Xl l, hlm. 4 1.

t 126

Epistemologi Kalam,Abad Pertengahan

Kritik terhadap skeptisisme dalam bentuk relativisme ditujukan oleh'Abd al-JabbAr terutama merujuk pada apa yang, berdasarkan keterangan AbO 'Usm6n al-J6hizh, disebut seba ga asltfufib at-tajdhul (literal: "orang-orang yang berpura-pura tidak mengetahui") yang berpandangan bahwa "segala sesuatu tidak memiliki realitas pada dirinya sendiri atau pada reaiitas itu sendiri" ( t{iii- r t{..8 ,rr .tr^i}t liir ) cr). Relativisme identik dengan pandangan tentang kebaikan atau kejelekan sesuatu secara subjektif (alistfusdn wa al-istiqb6fu). Berbeda dengan rihilisme, relativisme mengakui adanya realitas, meski tidak tergantungpada keadaan objek secara intrinsik, tetapi di luamya (subjek yang rnempersepsi). Akan tetapi, secara substansial, keduanya tidak berbeda. Kritik "Abd al-Jabbdr terhadap relativisme ini secara sistematis adalah dengan menujukkan kekeliruan-kekeliruan pandangan tersebut sebagai konsekuensi logisnya: 1). Objek yang sama akan

memiliki atribut yang bertentangan ketika dua pertimbangan sufiektif tentangnya dikemukakan.

2). Orang akan bisa mengubah keadaan objek hanya dengan rnengubah persepsi subjektifnya terhadap objek tersebut. Bahkan, jika diterima pengandaian keliru itu, eksistensi dan sifat Tuhan hanya tergantung semata pada keyakinarr kita tentang-Nya. Formulasi yang menjadi konsep kunci dalam kritiknya terhadap relativisme adalah: "keyakinan seseor:rng tidak berpengaruh terhadap keadaan objek yang diyakini" ( 3).

$,i + t4.ill

Ji3..l tt.*tiJ).24e

lika tidak ada seseorang pun yang rnempersepsi suatu objek, konsekuensi logisnya adalah bahwa o$ek tersebut tidak bisa dikatakan ada atau tidak ada, abadi atau tidak abadi. Realitas sesuatu tidak tergantung pada keyakinan subjektif, sebagaimana ilmu merupakan hasil inbrkoneksi antara "keyakinan", afektivitas, dan korespondensi dengan objek. 'Abd al-]abbdr merrjelaskarurya sebagai berikut:

Konstruksi Pemikiran Episternologi'Abd al-Jabb6r

t/+j tArltq.[,/.r,U-. r+til-r,14$ drL.! O-f + -il)-.J &i q ,-{iblyl l.Jl S:... y dlhL .Jno1)l .t+ I ,.L.{ u"":+ l, sle rii'i ..rf ,,f .11o; irfu -lyYl;d- ur lr,,y nA i.il

'

/bid, hlm.48.

,u0.!rt,*d,l{

4). Seseorang tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa persepsi-

nya sebelumnya tentang suatu hal adalah keliru atau sama sekali tidak mengetahuinya, karena by defntion persepsinya tersebut dianggap benar. Begrtu juga, ia tidak bisa berkesimpulan persepsi-persepsi orang lain tentang objek yang sama adalah keliru atau sama sekali tidak mengetahuinya.El

Absurditas konsekuensi-konsekuensi tersebut, menurut 'Abd al-jabbAr, dapat diketahui secara jelas. Jadi, dengan menunjukkan konsekuensi-konsekuensi logis dari relativisme, ditemukan sejumlah paradoksyang berdasarkancommon sense tidak dapat diterima. 'Abd al-Jabbdr membedakan sikapnya antara persoalanhukum dan teologi. Pada persoalan pertama, ia mengakui ada relativitas pandangan madzhabmadzhab fiqh sehingga ia menerima formulasi yang beredar di kalangan ahli fiqh dan ushul alfiqh: "setiap mujtahid adalah benar./2s2 Meski demikian, adanya relativitas pandangan, menurutrya, tidak menunjukkan bahwa tidak ada realitas sama sekali yang bisa diketahui oleh semua orang. Jadi, pada persoalan ls tibsdn dan istiqbilfuada realitas yang menghubungkannya secara inheren. Oleh karena ifu, seseorang tidak bisa mengatakanbahwa suatu kezaliman, yang kejahatan/Abd nya diketahui berdasarkan pengetahuannya, adalah baik.253 al-Jabbdr, dengan b"grtu, ingin memberikan aksentuasi pada keadaan objektif dan intrinsik sebagai penentu realitas.

a

/bid., hlm.49.

61 lbid., hlm. 47

-51

;

George F. Hourani, ls/amic Rafionallsrn,

62 Abd alJabbAr, Al-Mughni '?ae

127

a

/bid , hlm.

50-51.

fi Abwdb alTawfid

wa

al hdl,

h

lm. 1 9;

Juz Xll, hlm. 49

t

BAB

III

IMPLIKASI PEMIKIRAN

EPrsrEMoLoGt'ABD AL-JABSAn TERHADAP PEMIKIRAN ETIKANYA

A. Etika "Kritis": Sintesis Antara Esensialisme dan Realisme Bangunan pemikiran epistemologi'Abd al-JabbAr secara substansial merupakankritik, antara lain, terhadap dua pandangan epistemologi, yaitu epistemologi Abff al-Huzayl al-'AllAf (w. 849), yang mereduksi pengetahuan menjadi kesadaran "keyakinan" subjektif semata, dan epistemologi Abfr alQdsim al-Balkhi (w. 932) yang mereduksi pengetahuan sebagai fakta-fakta a n sich. Dalam wilayah etika, model pertama muncul menjadi epistemo. logi moral (etiku) esensialisme yang bersifat statis, ymg menjadi target kritik Mu'tazilah aliran Bashrah, termasuk'Abd al-Jabbdr sendiri. Al-Balkhi dan tokoh Mu'tazilah lainnya dengan pemikfuan epistemologi tersebut memapankan etika yang realis. Dengan

pengaruh sebagian tokoh-tokoh Mu'tazilah, beberapa tokoh Asy'ariyyah, semisal al-Juwayni dan'Abd alQahir al-BaghdAdi dengan mendefinisikan ilmu sebagai "pengetahuan tentang objek sebagaimana adanya" (ma'ifat al-ma'Ifim 'al6 mhhuwa bih) yang berimplikasi pada pembentukan realisme etika, sebenarnya juga menjadi sasaran kritik'Abd al-JabbAr. Mu'tazilah Bashrah dalam konteks kedua ini mengkritik ontologi etika aliran Baghdad yang

130

lmplikasi Pemikiran Epistemologi'Abd al-Jabb6rterhadap Pemikiran

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

131

ini adalah baik sekarang". Kebaikan suatu tindakan tergantung pada elemen-elemen yang membentuknya dan tak terpisahkan darinya, unfuk mengatakanbahwa esensi moralitas tindakan ter-

rigid. Kritik'Abd al-Jabbdr terhadap dua kecenderungan utama etika teologis masanya tersebut menjadi basis bagi etika "kritis"1 yang dibangunnya. Kedua model kecenderungan etika (esensialis' me dan realisme) tersebut akan dijelaskan di sini dalam konteks memperjelas posisi etika'Abd al-Jabbdr.

gantung pada eksistensi tindakan. Reinhart mengidentifikasi nalar etika model ini sebagai esensialisme etika.2 Pertimbangan moral {moraliudgement) remah-mata didasarkan atas ontologi tindakan tanpa terkait dengan konteks di mana tindakan dilakukan sehingga dengan jelas menolak pandangan etika situasionalisme.

Menurut A. Kevin Reinhar9 etika esensialisme al-'AllAf memiliki karakter yang memandang ketidakmungkinan keterpisahan kualitas-kualitas yang menjadikan sesuatu seperti wujudnya. Tidak ada " ag)el" , menurut al-' Anef" yang dapat dikualifikasikan "merah". Apel dan merah yang dikonsepsikan secara tak brpisalrkan. Suatu aksiden berada pada sejumlah atonn dasar sehingga dasarlah yang menjadikan sesuatu sebagai "sebiji apel" dan aksiden-aksidenlah yang menjadikannya "agtel ini" yang rnemiliki hubungan yang tak terelakkan. Atas dasar pembedaan antara sub strata (atom-atom yang menjadi bmpat bagi aksiden) dan aksiden, tidak ada esensi tanpa aksiden-aksiden dan tidak ada aksiden tanpa atom yang ditempatinya.

Al-Balkhi, figur Mu'tazilah Baghdad lairurya, al-]uwayni dan al-Baghdddi (Asy'ariyyah, yang sering dikategorikan sebagai kalangan voluntaris) bersifat realis dalam pengertian mempersepsikan nilai-nilai rnoral tindakan ketika dilakukan; hakikat tindakan merupakan titik-tolak studi mereka tentang teori etika. Dalam koruep epistemologt'AH al-Jabbdr, ada interkoneksi antara dua dimensi ilmu, dimensi korespondensi dengan realitas {'al6 md huwa bih) atau dimensi objektif dan dimensi afektivitas (sukfin an-naIs) yang terkait dengan kesadaran "keyakinan" atau dimensi subjektif ilmu. Ketika mengkritik konsepsi ilmu sebagai fakta-fakta an sichbnpakonstruksi rasio di dalamnya, ia sebenarnya mengkritik realisrne etika. Sebaliknya, ketika menolak konsepsi iknu sebagai kesadaran keyakinan subjektif yang tertutup, ia sebenamya menolak eseruialisme etika yang statis tersebut. Menurutnya, pertimbangan moral (moral judgement) adalah proses dinamis dan dialektis antara faktor-faktor intemal dan eksbrnal tindakan, objektif-subiektif, empiris-rasional, antara bori tindakan secara teoretis dan konteks tindakan dalam wilayah praksis, atau fakta tindakan dan konstruksi rasio. Karena ada paralelitas secara umum antara ide kritisisme etika dengan ide sintesis

Teori di atas berimplikasi terhadap pemikiran etikanya' Dahal tindakan yang baik, menurutnya, tidak ada "tindakan" Xam yang bisa dikualifikasikan "baik". Yaog ada hanyalah "tindakan

'

Etikanya

Richard B. Bnandt membuat dislingsi antara etika normat'f dan etika kritis (ahu mehetika). Yang pel6ma lebih terfokus pada prinsipprinsip atau aksionnaksioma etika sebagaidasarpelimbangan nilai moralitas tind alan (vatue judgemen$. Yang kedua membahas bagaimana lustl'fikasi' prinsip prinsip etika tesebut bisa merupakan nalar atau buKi yang sahih. Lihat Ridard B. Brandt, Efhical

Theory.TheProblensof NormativeaN CnilicalEfhrbs, (NewJensey:Prentice-Hall, lnc.' 1959), hlm. [,leskidemikian, penulb rnenggunakan btilah 'kritb'dalam konteks etika Kanlian bahwa realitas

4-9.

empiris dalam nalat a posteioi diberikan tempat bersama-sama dengan realihs akal budi rasional dalam nalar a pnon (meski kritisisme dianggap cenderung ke nsionalbme, sebagaimana yang kila lihat juga pada'Abd alJabb6r). Rasionalitas'Abd alJabbdr, atau Mu'tazilah secan umum, dalam 'pembacaan' pengkaji sebelumnya, semisal George F Hourani, cenderung mereduksinya menjadi model berpikir rasional a p4on, sedangkan realihs empiris dianggap sebagai dimensi yang hilang

?

dalam epistemologi 'Abd alJabbdr. Sebagai kajian atas pemikiran tokoh dalam bingkaiteologisnya,

hntu saja penulbfuga lidak rnerpgunakan btihh'rnehetil '(ndfawq akmeqYyang dbinonimkan oleh Brandtdengan etika krilb.{alam pengertian yang dimaksudkan Mohammed Arkoun dalam A[ lsl6n: at-Akhldq wa as-sryiisatr, terj. Hdsyim ShAlih, (Paris: Uneso dan Beirut Markaz al-lnma' aL Oawmi, 1990), hlm. 84, sebagai studi ahs pelbagai sfuKur bangun pemikiran etika dengan benda di luarsistem-sistem itr dari segi perbedaan, persamaan, dan metode berpikit, dengan menggunakan

A. Kevin Reinhart, fufore Revelation: The Boundaries of Muslim Moral lhoughf, (New York: State

Univenity of New York Press, 1995), hlm. 141. Tetapi, Reinhart menggolongkan AbO al-Qesim alKa'bi aLBalkhi(hlm. 142-143)sebagaiesensialb, sdatu halyang sangatdiragukan. Hal inidir1asarftan pada kritik'AM al-JabMrtethadap definbiilmu yang sangat realis(empirb)yang dikonfaskan dengan pandangan ilmu sebagai mumi kontruksi akal atau kesadamn'keyakinan' sublektif (esensialis). Dengan perlimbangan ini, saya rnengkategorikan al-Balkhi sebagaiseorarg realis, atas dasarimplikasi epistemologi tersebut terhadap etika.

perangkat ganda logika, epistemologi, dan ontologi.

*1

132

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

o$ektivitas dan subjektivitas etika, yang brakhir ini dikemukakan agak detil dalam uraian berikul

B. Dimensi Objektif dan Subjektif dalam Etika Dasar epistemologis' ali mi huwahld (korespondensial) berimplikasi pada maksim (maxim\3 etika bahwa nilai moralitas tindakan bersifat intrinsik dan objektif untuk mengatakan bahwa pengetahuan nilai tindakan melalui nalar rasional tidak ditentukan oleh faktor-faktor di luar tindakan. Dalam konteks ini, objektivitas adalah rasionalitas, rasio dapatmengetahui dengan keniscayaan intuinf @ulran dzawqt dalamsufisme) baik dan buruk nitai moralitas tindakan (al-mufoassanit wa al-muqabbafofif) secara independen dari wahyu. Atas dasar maxim tersebut,'Abd al-JabbAr mengkritik pertimbangan esbtis (aesthetic judgemutt) etika dengan analogi gambar yang tergantung pada faktor subjektif murni (thnb) orang yang melihatrya.n Kritik epistemologis atas relativisme moral tersebut sebenamya merupakan implikasi dari kritik 'Abd al-Jabbdr terhadap as-Sfrfsthh'iyyah (sofisme) dalam pengertian subjektivisme ('indiyyah) dalam konteks epistemologi yang menyatakan, sebagaimana dikemukakan, bahwa pluralitas pandangan etika sesuai dengan pola pikir subjek atau konteks di mana tindakan dilakukan sama sekali tidak menafikan adanya realitas obiekfif, fundamental, dan umum yang berlaku di setiap ruang dan waktu.

Meski sebagian besar bangunan pemikirannya dipengaruhi oleh Ab'0 Has5rim,'Abd al-Jabbdr tetap melakukan kritik erhadap pernyataan gurunya tersebut bahwa pertimbangan estetik selalu ls$lah maximalau maksi'n pertama kali dipergunakan oleh lmmanuelKant sebagai'subjeclive principle of volitjon'. Sebagai prinsip subjektif, maxim, tenfu sala, mernpunyai pengertian lebih sempit

daripada prinsip. Lihat Howard J. Cuner, Ethhal Theoty and Moral Problems, (Belmont, CA: Wadsworft Publishing Company, 1 999), hlm. 20't

-222.

'AM alJabbdr, AlMughnifr Abwdb at-Tawhid wa aL'Adl,Juz Vl,

l, ed. lbrdhim Madk0rdan Ahmad Fu'6d aLAhwini, (Cairo: al-Mu'assasat al-Mishriyyat al-'Ammah li at-Ta'lif wa atTariamah wa afrThib6'ah wa an-Nasf dan Wizaratab-TsaqAfah wa al-lnsydd al-Qawmi, 1380-1389/1960-1969), hlm. 19-22.

lmplikasi Pemikiran Epistemologi 'Abd al-Jabbdr terhadap Pemikiran

Etikanya

133

memiliki dimensi riil dan spesifik yang yang secara "obiekttf' membedakan antara suatu karya seni dengan lainnya, seperti dalam pertimbangan rasional. Menurut'Abd al-Jabbdr, pertimbangan estetis berpusat pada subjek yang melihatrya, bukan karena kualitas o$ektif, suatu hal fundamental y*g membedakannya dengan pertimbangan moral yang didasarkan atas pengetahuan tentang wajh (aspek) tindakan.s IGitik juga diarahkan pada etika kalangan debr,mtuurs (Truibirah) dan voluntaris dari kalangan Asy'ariyah yang-merninjam kategorisasi Majid Fakhr5f - menganut "moralitas skriptural" bahwa baik dan buruk dibatasi oleh perintah(amr) dan larangan Tuhan. Klaim subjektivisme etis tersebut dibantah oleh'AM al-JabbAr atas dasar bahwa ketika perintah atau larangan yang dianggap sebagai basis fundamental baik dan buruk, perbuatan apa Pun yang diperintahkan atau dilarang secara ipso facto sebagai konsekuensi logisnya akan dinilai baik atau buruk tanpa memPertimbangkan orangyang memberikan perintah atau larangan (Iuhan atau yang lain). Absurditas "nalar" etika seperti itu tampak, menurutnya, ketika baik dan buruk ditarik secara keseluruhan se' cara arbitrer. Oleh karena ifu, sebagaimanamaxim-nya, hanya atas dasar kebaikan atau keburukan intrinsik, suatu tindakan akan menjadi objek yang sesuai dengan perintah atau larangan Tuhan.T

Nilai intrinsik dan objektif tindakan tergantung pada kelayakan suatu tindakan untuk dinilai sebagai "Erpui{'fba* (mn yastafuiqqal-madfu)atan"tercela"/buruk(mdyastafuiqqadz.dzamm

5 5 7

lbrd., Juz Vl: l, hlm.55.

Majid Fakhry

EtiulThqriesinlslam, (Leiden: E.J. Bdll,'1991), hlm.32-33.

'AbdalJabbir, Al-Mughnifi Abwdbat-Tawfiidwaal-'AdlJuzVl: l,hlm.

102. lamenielaskan:

jilL4.ralil:{JJi,,Jr.!,ltr ,l i).1 6!utli.,.aSf-als,-rtl"l ,rryl+..rtdtt l{.rydligi t.., eirS o, .r.j , d^il eJ .tSL dt q+ dl3 .gg U ri1 .=,--, Jl6 i,t dJ I r .qS O-,1r J Jcrr,p.";Sqdts4r:{Lit i-J,Jldi J+l .r+i lr o.lilb{*il{:tr.l+iJ -t+

\rJ .fU- 4J

Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa keburukan tindakantidakterkaitdengan

adanya larangan.

134

idz6 infarada).8 Atas dasar

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

ini, kezaliman adalah perbuatan jahat

karena kezaliman itu sendiri, berdusta adalah jahat karena dusta itu sendiri, dan begitu juga mengingkai (kufr) nikmat. Contohcontoh perbuatan tersebut adalah jahat karena " srta{' tindakan yang melekat padanya.e Ia menolak penilaian tindakan yang dikaitkan dengan jins (genus) dalam pengertian bahwa tindakan tidak bisa dinilai dari kasus spesifik. suatu tindakan harus dinilai dari keumumarurya. Sebagai contotv rasa sakit dalam konbks pe-' ristiwa tertentu tidak rnerupakan pijakan nalar yang cukup untuk menyimpulkannya sebagai jahat.lo Begitu juga pengandaian moral tidak bisa bertolak dari keberadaan suatu tindakan secara aksidental" keberadaan ma'nd - dalam hal mi irddah (keinginan) subjek-kondisi su$ek 11 atau kecenderungan pribadi (thaV)"lz

Sisilain dari dimensi objektivitas etika'Abd al-Jabbdr adalah kebrkaitan dalam pertimbangan moral sebagaimana juga berlaktr dalam epistemologi moral tokoh Mu'tazilah Bashrah secara keseluruhan, antara ernpat terrninologi teknis: wajh (1amak: wuifih), mt'nn,'illah, dan shifah. Ada paralelitas pengerfrartma'ni dalam konteks epistemologi dan moral. Sebagaimana dijelaskan, dalam konteks pertarna, ma' tfr menurut Frank diartikan sebagai aksiden gerak (mengetahui) sedangkan menurut Nader rna'nd diartikan sebagai "alasan yang cukup" sehingga ia dianggap sebagar substansi ilmu. Dalam konteks moral, menurut Reinhart, istilah ini digunakan untuk menggambarkan sifat dasar ontologis kualitas s

7--8, dan 26. Dalam bebenpa tempat dalam bukunya, Al-Mughni fr Abwdb at' (al-!asan) Tawffd wa at-'Adl,'Afr alJabbdr mengemukakan definisi negatif tentang 'yang baiK yang-didrfrni$t an sebagai tindakan yang mengandung aspekaspek (wu.ph) keielekannya. Definisi ierseUut menuruhya, diadopsi dari gurunya, Abq Hdsyim' Namun, dalam banyak tempat dalam karyanya brsebut ii rnenyabkan bahwa kebaikan suafu tindakan dapatdikebhui nrelalui safu aspek (uelr) ielralipun. pengertian ini, tegas Abd al-Jabbir, adalah upaya peyederhanaan oleh Abo Abdiilah pendefinisian Abg H6syim tersebut 'Abd alJabbar bbih cenderung pada pendapat /brd., Juz Vl: l, hlm.

ild.it11i o.ti

kedua. Lihat rbid., Juz Vl: I, hlm. 71.

e 10

FauzanSaleh,'ThePoblemofEvilinlshmicTheology:AStudyOnfreConceptofalQabilinaKladi ,Abd alJabbaraLHamadhani's Thoughf, Iesis. (Montreal McGilluniversity, 1992), hlm' 6G-61.

12 lbrd., hlm.21.

at-Tawfiid wa al-?d/, Juz Vl: l, hlm' 59'

Etikanya

1

35

tindakan dapat dihutindakan.l3 Menurut'Abd al-Jabbdr' suatu satu wajh (segs' ;;;k"" dengan nilai karenaterjadi berdasarkan dalam contoh yang a"t," niu-Wolt suatu tindikan' seperti jahat'' aapal d1\ela$ul "#?l ;ein; dikemukakan "kezaliman adalah j Oleh ka;;;; hngsung (dharfrAatau melah nalar diskursif'1a eksternal suatu tin,"rru i*, kiL minyeb attnajhsebagai dimensi qen;;il ^oral y*[ dapat d*"tur'"i secara langsung- D-alam r:on'oh pengetahuan o$ek-objek tersebut

g;Hf

il;;;"#

intel-eggnsl (karnhl merupakan standar minimal bagi kemllnSan bahwa setiap al-Jabbdr nt-'aqi'1.Atas dasar ini dan statemen'Abd

memPllTlai funnilai moral, terutama tindakan iahat(at-qawfu\, (ashl dhnrfifil1 au*.. y*g blsa ditetaftui dengan nalar sederhana a:Pek.tinkeragaman ;;;g;*""*luk ke realita' *uku dimensi

langsung tersebut dapa.t kia dakan Ulrul'frh)yang diketahui secara moralitas' karena terkait desebut sebagai dimensi "fenomenal" tT.u dt aakan partikular' seperti pertimbang* 1*it "g;fitta"L" tirlduku"' Pengetahuan tentang itu bersebagai akibat dari

""uto

sifat o$ektif.

Frankl6 disebut Dunia "fenomenaf itulah yang oleh R'M'

meniadi fondasi semua pengesebagai pengalaman sensual yang

;";

,"hiiggu

pengalaman basis pertimbangan moral adalah

tidak sama sekali menyedalam konteks intersuLjekfrf -untuk moral merupakan bagibut "objektif" -manusia' Ferdmbangan intrinsik dalam kesadaran an pokok dari proses bu'pikit'"tutu ffiitasontologistindakanadalahmahd'duaistilahlain(.illahdan "apel merah', iika kemerahan dianggap strrfatr) lebih merup.irn tu.i', .i.lO.n'iOif...ntoh yang menyebabkannya menah dbebut shifalt' Kualibs l"ah' oGbut . t sebagaikausatif, ku.l,t 'iu't 147'Nimun dalimAl-Mulrithbiatlakliled''Umar LihatA.KevinReinfrffr"e'fo;htue''ttn'hlm

,Azmi, (Caio: nfi,futssasai aitUisntyyan al nmmah li at-Ta'llf wa al-lnb6' wa an-Nasyr 1965)' Juz l' hlm' 235-236' 'i"ah dipandarE dan ad-Ddr al-Misrrrivvan ri'ai-ilil-t nkan tetapi, bahwa istilah terakhir dianggap na sepefii ma sebagai kualitas pen.*u nif.idni.f"n, dahm diskursif tidak ditemukan perbedaan ntrtr *r#rrurrn virg sebagaidimensi int ra

assayyid

it-i"lt*tn'

teks-teks'AM alJabbar''l.iri

lbid, JuzVl: I, hlm. 61.

rilAbd alJabbir, Al-Mughni fr Abwdb

'Abd al-Jabbar terhadap Pemikiran lmplikasi Pemikiran Epistemologi

1r 'AM

alJabbit

.i

At-Muhithbiat'Taklif, Juz l, hlrn' 236'

wa at-?d/, iuz Vl: i' hlm' 24' alJabbir , Al-Mughni fi Abw6b at-Tawfiid 16R.M.Frank,.SeveralFundarnenblAssumptionsofheBashraSdrooloftreMu'talla",dalamStudi is/amica, No. 33, 1971, hlm S'

15 'Abd

T 136

Epistemologi Kalam Abad Perlengahan

manusia yang otonom. Otonomi dan kebebasan sesunggutrnya tidak terletak secara eksktrusif pada kausalitas efesien (qudrah), tetapi dihubungkan dengan pengetahuan tentang tindakan dan

pertimbangan aspekny a (wajh). Dalam etika'AM al-Jabbdr, manusia diasumsikan dapat mengetahui pertimbangan awal tentang nilai suatu tindakan (pima facie) sebehtm memberikan penilaian final nilai. Rasa sakig manfaat, dan mudharat merupakan bagian dari aspek tindakan untuk pertimbangan moral. Prinsip "utilitarianisme" tersebut berkaitan dengan fakta atau realitas o$ektif yang dapat diketahui setiap orang. Sebagai konsekuensi logis dari pandangan "utilitarianisme" tersebut seseorang berhak - unfuk menyatakan benar secara moral-untuk mempertahankan diri meski harus dengeln membunuh orang lain yangmengancam jiwa atau hartanya, atau mem-

buntrh bukan untuk kepentingannya sendiri. Dalam al-Mughnt 'Abd al-Jabbdr mengemukakan kasus dilema moral hipotetis yang dengan mernberikan komentar analitis kita dapat lebih jauh mengkonstruk sistem etikanya. Seseorang bersembunyi di sebuah rumah karena menyelamatkan diri dari kejaran orangyang ingin rnembunuhnya. Orang lain yang melihatnya masuk ke sebuah rumah, ketika ditanya oleh orang yang ingrn membunuhnya, dihadapkan pada dilema moral: berkata jujur sebagai suatu nilai moralitas dengan rnengorbankan jiwa orang lain atau menyelamatkan jiwa orang lain dengan berdusta.

lmplikasi Pemikiran Epistemologi 'AM al-Jabbir terhadap Pemikiran

Etikanya

137

jiban" yang mengharuskan secara moral dalam kasus hipotetis di atas untuk berkata jujur tanpa melihat konteks. 'Abd al-Jabbir, dengan menyatakan bahwa kehendak berbuat jahat adalah iahat pula, adalah seorang deontologis dalam batas pengertian di atas, yang mengakui adanya dirnensi universal dan o$ektif dalam mcr ralitas yang berlaku umum, serta intrinsik. Akan tetapi, menurutnya, dalam kasus hipotetis di atas, orang tersebut tidak dibenarkan secara moral unfuk berdusta, tetapi harus dengan sindirian (ta'idh) atau semisahya,t' sehingga berdusta atas dasar pertimbangan manfaat dibenarkan secara mora1.20 Dengan uraian di atas, objektivitas etika'Abd al-Jabbdr dapat diidentifikasi dengan deontologi model William David Ross

jujur -1971), filsuf brggris. Menurutrya, meskipunberkata merupakan kewajiban moral universal, intrinsik, dan berlaku umurn, dalarn konteks di atas Ross berupaya mengatasi rigorisme deontologis Kantian dengan menyatakan bahwa berkata jujur merupakan kewajiban pima facie (pada pandangan awal) yang tidak berlaku lagi.2l (1877

Kedua,kemajuan dalam etika model deontologis Kantian tersebut pada substansinya adalah karena dipertimbangkannya, se-

annahi irddahli al-qafu).l7 Etika Kant menetapkan maksim bahwa

perti pada Ross dan'Abd al-JabbAr, etika teleologis-"utilitarian" dalam deontologis. 'Abd al-Jabbdr memasukkan dimensi "utilitaian", pertimbangan manfaat dan bahaya, dalam formulasi model Kantian bahwa "berdusta adalah jahat karena kedustaan itu sendiri". Dengan pemerian di atas dalam konteks etika'Abd al-JabbAr, yang ingin ditekankan adalah bahwa ada dialektika internal dalam sistem berpikimya secara dinamis antara dimensi objektif dan subjektif dalam pertimbangan moraf atau antara dimensi deontologis dan teleologis ("utilitarian").

kebaikan tindakan ditentukan oleh kehendak yang baik pula (menurut'Abd al-|abb6r, kehendak berbuatbaik tidak selalu baik).18 Maksim Kant tersebut membawanya kepada formalisme "kewa-

m

17 lbd., Juz Vl: ll, hlm. 342.

21 Lihat K. Bertens, Efika, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 259-260. Lihat juga Theodore C. Denise, Sheldon P. Peterfreud, dan Nicholas P White, Great Traditions in

Dalam konteks di atas, kita melihat pandangan etika'Abd al-Jabbar dari dua sisi: Pertama, dimensi moralitas universal model

"Kantian" dapat diidentifikasi ketika dinyatakan "kehendak untuk berbuat jahat adalah jahat pula" (irhdah li al-qafu taqbufu Ii

18 lbid., Juz Vl: ll, hlm. 10.

re /brd Juz Vl: ll, h|m. 342. , lbrd., Juz Vl: I, hlm.24.

Ethrcs, (Belmont, CA.: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm.

276-287.

q Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

138

Deontologis adalah objektif karena menetapkan maksimmaksim etika yang ingin diberlakukan secara universal dengan mengacu pada nilai-nilai intrinsik tindakan tanpa menghubungkannya dutru dengan konteks "subjektif" tindakan' Ketika maksim-maksim tersebut ingin dihubungkan dengan konteks dengan asas utilitas, sebenamya terjadi uPaya "subjektif" unfuk menurunkan formalisme deontologis tersebut ke tataran ruang, waktu, dan konteks tindakan khusus. Pengetahuan tentang aspek-aspek findakan, seperti rasa sakit dan manfaa! secara partikular, karena diketahui secara pasti (br adh-dharfirah) adalah bersifat faktual dan objektif. Sebaliknya, pengetahuan yang lebih mendalarn dan diskursif (bi iktisdb) dalam pertimbangan final (bukrn) nilai tindakan untuk ditarik yang universal karena bertolak dari konstruksi rasio su$ek, lebih bersifat su$ektif' Hal ini dapat dijelaskan dalam bentuk tabel berikut: Tabel rft Struktur tindakan rasa sakit, dsb.)/ dasar'teleologis"

Partikular

( iJJJ.bI+ Ma'nd Manusia sebagaitujuan

"Universal'

( qJ-ist{

)

(Dasar 'deontologis")

Uraian di atas telah menunjukkan interkoneksi yang tak terpisahkan antara objektivitas dan su$ektivitas. Keduanya dalam uraian di atas lebih ditekankan pada proses berpikir empirisfaktual (objekti$ dan konstruksi rasio manusia (subjektif), serta deontologis yang ideal dan universal (objektif) dan teleologis-utilitarian yang menghubungkan yang ideal tersebut dengan konteks lokal tindakan (subjektif). Saya ingin menguraikanlebih mendalam implikasi pemikiran episbmologi terhadap etika untuk melihat pemaknaan lain objektivitas dan subjektivitas.

lmplikasi Pemikiran Epislemologi 'Abd al-JabbAr terhadap Pemikiran

Etikanya

139

Persoalan hubungan objektivitas dan sub;eklivitas dalam kajian etika Islam juga bertolak dari pembedaan anbara pendasaran wahyu (subjektif) dan pendasaran rasio (obiektif). Etika yang didasarkan pada pertirnbangan rasio dianggap be rsifat universal, sedangkan etika wahyu bersifat parikular yang berkaitan dengan pengaturan tindakan-tindakan secara spesifik.22 Yang perhma, menurut kategorisasi Majid Fakhry,'?3 disebut "moralitas skriptural" atau, setelah mengalami asimilasi kreatif dengan elemen-elemen pemikiran Yunani, dan teologi Kristen di Damascus, Baghdad, dan di Timur Dekat menjadi "teori etika religius", se-

perti pada al-Hasan al-Bashri, al-MAwardi, dan ar-Rdghib alIshfahAni (w. 1108)- Sedangkan yang kedua melahirkan etika filosofis. Tipe yang sangat problematis adalah etika teologis karena bergerak bolak-balik di antara dua basis, yaitu rasio dan wahyu.

Kajian ahs etika teologis'Abd al-JabbAr telah dilakukan oleh George F. Hourani dalam Islamic Rationalism: the Ethics of 'Abd allabbdr.2a Sayangnya, kajian Hourani untuk rasionalitas etika teologis'Abd al-Jabbdr bertolak dari kontras yang brlalu kaku antara wahyu yang menjadi basis theistic subjectivism dan rasio yang menjadi basis rationalistic objectiaism, atan kontras antara "tradisionalisme" dan ""rasionalisme". Oliver lcaman dalam Anlntroduction to Medieual Islamic Philosoplni')s telah melakukan evaluasi kritis terhadap dua pembedaan yang kaku tersebut. Pada bebe-

rapa ayat yang dijadikan pijakan etika kalangan tradisionalis, voluntaris, atau subjektivis-theistik kesirnpulan moral yang ditarik secara tak bisa dihindarkan melibatkan nalar terhadap teks sehingga ada dirnensi rasionalitas dalam sistem etika teologi tradisionalis, dan sebaliknya. Sebagai konsekuensi dari kenyataan ini, tentu tidak hanya ketidaktepatan mengkontraskan secara z

r 2a

5

Oliver Leaman, lntoduclion to Medieval lslamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 140. Edisi bahasa lndonesia diteriemahkan oleh M. Arnin Abdullah, Pengantar

Filsahtlslan

Abad Perlengahan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm. 2'10.

Majid Fakhry EthicalTheories in /s/am, him. {Oxford: Clarendon Press,

1

6-8.

97 1 ).

OliverLeamandalamAnlntroducliontoMedievallslamicPhilosophy,hlm. 123-165.

Y Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

140

rigid antara rasio dan wahyu, atau antara rasionalisme dan tradisionalisme, karena keduanya lebih merupakan'"tendensi" berpikir.26 Persoalan tipe "rasionalisrne" yang dilabelkan pada etika 'Abd al-JabbAr harus diidentifikasi pada level tertentu atau gradasi rasionalisme, terutama bagaimana ia menempatkan wahyu dalam sistem berpikirnya dalam hal etika. Meskipun ia menyatakan bahwa niiai tindakan sama sekali tidak ditentukan oleh perintah atau larangan, seperti kritiknya terhadap katangan voluntaris, staternen tersebut harus dipahami bahwa substansi nilai tidak tergantung pada perintah atau laranganyarig sesungguhnya berada di luar tindakan' Akan tetapi, hal itu sama sekali ddak menafikan bahwa nilai-nilai inkinsik tindakan dituniukkan pula oleh wahyu di samping nalar rasional. Dengan ungkapan lain, wahyu menyarnpaikan perintah atau larangan terhadap tindakan-tindakan yang memiliki nilai intrinsik yang diakui oleh rasio. Oleh karena itu, bersama "independensi" pengetahuan rasional yang sering diberikan karaktersitik otonomi dan pengesahan- diri (self-oalidating),wahyu dalarn sistem etika'Abd at-JabbAr dan tokoh-tokoh Mu'tazilah lain btap diberikan ruang,t tidak seperti sistem etika sebagian filsuf naturalis di abad ke-9 dan ke-10, semisal ar-RAzi (w. 925).4 6

lmplikasi Pemikiran Epistemologi 'Abd al-Jabb6rterhadap Pernikiran Etikanya

Apa yang disebut sebagai etika teologi rasional-objektif, di samping menegaskan potensi rasio berdasarkan utilitas (manfaat dan mudharat) untuk memahami moralitas tindakan (baik-buruk) secara global qabl ururfid asy -sy ar', tetap mengandaikan informasi wahyu untuk menunjuk tindakan-tindakan moral dari baik-buruk secara partikular dan nyata. Dalam kutipan dari Syarfu al-Ushfi'l al-Klwmsahberikul2e dianalogikan pengetahuan rasio berhadapan dengan wahyu tentang etika dengan seorang pasien secara instingtif atau dengan rasio sederhana (atau intuisi dalam term etika W.D. Ross) mengetahui secara global makanan-makanan yang membahayakan kesehatan. Akan tetapi, ia tidak mengetahui rnakanan tertenfu dari semua jenis makanan yang berakibat langsung terhadap kesehatannya. Ada "intervensi" wahyu dalam pengalaman rasional manusia tentang moralitas, atau, sebalil.rryo ada keterlibatan rasio dalam nalar teks. ual &.i r,,.;,.ilt

arises between

hem',

27 Karena wahyu dianggap sebagai bagian penting dalam epistemologi moral 'Abd alJabbAr, atau

Mu'tazilah seqtra umum, adalah tepat jika kita menggunakan distingsi yang dilakukan oleh Majid Fakhry dalam Efhbal Theories, hlm. 3 antara: (a) nasionalis (mumi), yaifu kalangan Qadariyah dan para teolog Mu'tallah di abad ke8 dan ke9 M, dan (b) semi nasionalis dan voluntaris Menurut saya, istilah semi rasionalis-4nfuk membedakannya dengan rasionalis sebagai kecenderungan berpikir di Ban[ adalah lebih tepat. lstilah yang tepat adalah 'rasionalis parsial", sebagaimana digunakan Geoqe F. Hourani, 'Efiical Presuppositions of tre Qu/dn', dalam lhe Muslim World' Tesis bahwa wahyu (atau kenabian) iidak diberikan ruang dalam pertimbangan moral berdasarkan sumber-sumber berbanesa Anb ditujukan kepada Brahmin(al-Bardhimahl. Lihat keterangan tenhng

inidalam'Abd alJ abbAr, Al-Mughnili Abwdb at'Tawf;idwa al''Adl,JuzXlV' hlm. 160 dst.; Majid

& i ;j i 4 :,J* d+$ lJt at &!lr lJ ri.L.l * J.,r.+"l r.r+lrl J r+ L

e$ -. r'. rcFo .5

,},$lf

,.+lr {p eprl

,AU

r,rb e+ J -l*u.yl q! irS y l,,J'i9 J S I . c,i ll .T'r.rr f': ul .li ct .t .rr'if, ct :.li L .U .tl 0)-$ irl "r*'ri ll cjyrp {li ,-F$ ul+ Lrl q Jr, 0! ,&L .ll' *rb l.Lr #r o* c,l ,+r i.t- rt'it trr d )ue # iJ ttl.; d.lJ T! ldi.J .'t i:L+ .1;E L d}-Eyl oJ$! '.un'd'!3 $J li f.J,Jf+ lJt+ ri l-ri-fS ,rli$ .r .1. ,i albtyd &J q ,fl,n'U e"* {tr"i' db-, ,!i trA it lrli l1 .t$l .,i d.IS,ilLi clau-r ,tl# -r-F $ l, d*.-iir .t"'li" d uld ]hi ! 1,(i r0^ u.iil J qr.l -p, '$tJ u"jrl & 'Fl S i,l olli d$ ij"lc$ US J J.4 dhJ g+ dr +ll''( .di.li qili. ir+! l1:l ri .tjlil. c}'ir OA .&.I

j

r..

t:

'Yl

No.70 (1980), hlm. 25, catatan kaki nomor 10.

a

e )F

j OA d j11, rSl ,l.ngdlalJ s! - d dli rb 15 'ULi lq L pr,5lg fS.fiLi ll t hi J r(lri.l 'l.tl 'l'n+l, Jr d,r,, X .clliS 0-A t",.g,'.r' rL! Ll-1l L 0# d-i; i ! J.rq L &i i-i i,! tjiJ', .i$i[ u3,Jc uhi& lrte 0$J Y J dl'ill d dr sJL'3']tl

"l

,e#.+J dib,-ili,,l,r ,u-+

Lihat uraian detil tentang fadisioanlisme dan rasionalisme dalam teologi lslam dalam Binyamin Abrahanrov, lslanh Theology : Traditionalkn and Rationalism, (Edinburgh: Edinburgh Univeaity Press, 1998). Menuruhya (hlm. ix-x.), rasionalisme adalah 'lhe tendency to consider reason fte principal device or one of he principal devirxs to readr tre trutr in religion, and the preference of reason to revelation and badition in dealing witr some treological matters, mainly when a mnflicl

141

Fakhry Eflrical Theories in ls/am, hlm. 34. Bandingkan dengan George F. Hourani, lslamic Ratio nallsm, hlm. 134.

E

(Pseudo)'Abd alJabb6r, Syafiat-lJshital-Khamsalr, versi Qawam ad-Din tr4anakdim, ed.'Abd alKarim'UbmAn, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1965i, hlm. 564-565.

Tr Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Dalam ungkapan deontologi W. D. Ross, manusia memiliki intuisi tentang kewajiban-kewajiban pima facie dalam pengertian bahwa semua kewajiban tersebut diketahui secara langsung oleh kita. Akan tetapi, kita tidak memiliki intuisi tentang apa yang terbaik dalam suatu situasi konkret. Jika W. D. Ross rnenyelesaikan problema ketidakmampuan intuisi manusia tersebut untuk menentukanyang terbaik dari tindakan dengan mengembalikan ke akal budi,3o'Abd al-Jabbdr sebagai moralis teolog yang bergerak bolak-balik antara rasio-wahyu menyelesaikan masalah serupa yang diielaskan dalam Syarfutercebutdengan wahyu. Dalam kutipan di atas, jelas bahwa wahyu diberikan ruang dalam sistem etika. Rasio secara instittgtif mengetahui kewajiban untuk meninggalkan yang tidak bermanfaat atau mengerjakan yang bermanfaal Akan etapi, dalam konbks tindakan partikular dan sPesifik, terutama yang berkaitan dengan kewajibana agama, rasio harus ditopang oleh wahyu. Karena fungsi afirmatif (penegasan) wahyu terhadap proposisi-proposisi rasio secara global Qumlahl, ide brsebutberimplikasi, setidal,nya pada dua hal: (1) etika wahyu mempunyai dimensi rasionalitas yang dapat diterima oleh akal, atau dengan ungkapan lain, etika su$ektif memiliki dimensi ob jektif, dan (2) karena keterbatasan rasio, sebenarnya dalam pertimbangan objekti{ rasio ada dimensi subjektif (wahyu). Dimensi objektivitas dan subjektivitas brsebutlebih jelas brlihat dalam klasifikasi tindakan moral yang dijelaskannya dalam al-Mufoith bi at-Takltf\l (1) perbuatan-perbuatan yang dianggap

baik (al-mufozssandt), (2) perbuatan-perbuatan yang dianggap buruk/jahat dal-muqabba@t), dan (3) kewajiban-kewajiban (alw6jibht). Tiga kategori perbuatan/ tindakan tersebut masing-masing dapat dibedakan kepada perbuatan yang dinilai karctn shifah

intrinsik, seperti kezaliman dan berdusta, dan perbuatan yang dinilai atas dasar konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkannya terhadap yang lain (ekstrinsik). Tidak hanya karena adanya nilai $

K. Bertens, Et;ka, hlm.260.

31 Abd alJabMr, Al-Muhith bi al-Taklif, Juz l, hlm. 234 dan 238.

lmplikasi Pemikiran Epistemologi 'Abd al-Jabbar terhadap Pemikiran

Etikanya

143

intrinsik dan ekstrinsik pada tiga kategori tersebut, persoalan penting dalam konteks objektivitas dan subjektivitas adalah mengapa 'Abd al-Jabbdr menyebut al-wdjibdf sebagai kategori tersendiri di luar kate gon al-mufozssandt dan al-muqabbafofif ? Istilah tersebut (al-wdjibdt) harus dipahami dari konteks etika wahyu, seperti istilah al-qah6' ifu asy -syar' iyyah32 (perbuatan-perbuatan jelek yang diketahui melaluihukum agama), meski tetap ditemukan rasionalitasnya. Setidaknya, ada tiga sikap utama'Abd al-Jabbdr terhadap wahyu sebagai dimensi su$ektivitas dalam pertimbangan etika. Pertama, wahyu menunjukkan prinsipprinsip dasar yang sebelumnya dapat diketahui oleh rasio, meskipun tidak menguatkan atau memvalidasinya. Fungsi wahyu tersebut karena alasan, (1) prinsipprinsip tersebut ditetapkan secara niscaya; (2) validitas wahyu yang tergantung pada nalar rasional tanp apetition of pinciple @etitio pnncipi) tidak dapat brgantung pada wahyu lain, dan akhimya, (3) untuk menegaskan validitasnya, wah1ru memerlukan wahyu yang lain secara ad infnitum. Kedua, fungsi arbitrasi antara wahyu atau bagian wahyu yang tampak kontradiktif. Ketiga, fungsi spesifikasi tindakan-tindakan secara partikular y.rng secara moral diperintahkan atau yang nilai kebaikannya diniscayakan oleh rasio, tapi hanya dalam term-term yang umum.

Menurut'Abd al-Jabbdr, misi profetis berkaitan dengan penegasaan kewajiban tindakan-tindakan tertentu yang nilai kebaikannya telah diketahui rasio dalam bentuk konfirmasi(taqrtr) atau spesifikasi. Dengan garis pandangan ini, kewajiban "rasio. nal" dapat ditipotogikan kepada tiga, yaitu (1) kewajiban atas dasar nilai-nilai intrinsik; (2) kewajiban atas dasar kemahalembutan Tuhan (l"W yang menegaskan atau mengkhususkan tindakan tertentu; dan (3) kewaiiban atas dasar manfaat. Tipologi ini secara jelas menunjukkan dua dasar piiakan sekaligus dalam pertimbangan moral. Tipe (1) dan (3) bertolak dari nalar rasional objektif. Tipe (2) letrih merupakan pendasaran teologis yang t2 lbid.,hlm.237.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

subjektif, meski diberikan rasionalisasi doktrinal tr:ntang "kewajiban" Tuhan berbuat yang baik dan terbaik (ash-shnlilfu wa alashlafu) kepada manusia. Luthf dalam konteks etika mengimplikasikan adanya kewajiban-kewajiban yang tidak dapat diketahui secrira rasional yang dibebankan kepada manusia atas dasar kernahalernbutan-Nya.

33

Berdasarkan pemerian di atas, tidak ada garis pemisuh ya.g secara jelas memisahkan antara pertirnbangan rasional dan skrip tural. Sebagai dimensi objektif dan su$ektif, keduanya berinteraksi secara dialektis dan kreatif dalam suatu sistem etika teologis yang berkecenderungan rasionatr. Sistem pemikiran etika 'Abd al-Jabbdr tersebut dibangun atas dasar fondasi epistemolop tentang unsur korespondensial('al6mdhuwa hrft) sebagai sisi objektivitas ilmu dan unsur afektivita

s (sulchn an-nafs) sebagai sisi

"sub

jektivitas" ilmu. Objektivitas-subjektivitas tersebut dipahami sebagai proses b"rpikir kreatif dan dialektis fakta dan kontruksi rasio, atau sebagai problematika hubungan akal-wahyu dalam etika.

C. Etika dalam Konteks Humanisme: Relevansi Etika'Abd al-|abbAr Bagi Pengembangan

Epistemologi Moral Fada dasamya, ada dua arus utama penrikiran etika di mana teori-teori etika lainnya berafiliasi.v Pertama, etika deontologis (deon= kewajiban, apa yang harus dilakukan) yang berakar pada

etika Immanuel Kant (7724-78M) yutg mengukur baik-buruk perbuatan dari motif pelaku tindakan' Perbuatan hanya bisa diiebut baik jika didasari oleh kehendak baik pula. Du sollstl (Engkau harus melakukan begitu saja!) merupakan statemen kunci etika Kantian yang mengharuskan dilakukannya suatu Per3

il

lVlajid

Fakhry Ethical Theoriesin ls/am, hlm' 34-35.

Uraian dan kitik tefiadap deontologb dan utilitarianisme berikut disadkan dad K' Bertens, Elika, hlm. 246-261; Fnanz lr&gnb suseno, 13 Tokoh Etit€ seiak zanan Yunani sanpai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 137-158'

lmplikasi Pemikiran Epistemologi 'AM al-Jabbir terhadap Pemikiran

Etikanya

145

buatan atas dasar imperatif kategoris, yaitu keharusan (im pera ti $ tak bersyarat. Imperatif kategoris inilah yang mendasari distingsi

Kant antara kehendak otonom dan heteronom. Tindakan harus dilakukan atas dasar kehendak otonom yang menentukan hukum moral kepada dirinya sendiri,bukanatas dasar sesuatu yang berada di luamya (heteronom). Dengan ide tentang otonomi kehendak tersebut, Kantmendasarkan konsep etikanya atas kehendak manusia.

"Etika kewajiban" Kant dikritik tidak hanya oleh etika kebahagiaan (eudemonistik) y*g mendasarkan diri pada oirtue (keutamaan) model Etika Nikomacheia (The Nicomachean Ethics) AristoEles, tetapi juga oleh "etika nilai" (Max Scheler dan Nicolai Hartmann). Kritik mendasar dari aliran etika terakhir ini adalah bahwa kewajiban tanpa nilai adalah kosong. Menurut Hegel, Kant tidak mampu menentukan secara positif apa yang menjadi kewajiban orang. Alasdair Mclntyre, filsuf lrlandia, dalan After Virture, dengan berbolak dari etika Aristoteles menyatakan bahwa suatu etika di luar konteks suatu komunitas adalah kosong. Dengan demikian, etika deontologi Kantian dikritik karena formalisme dan rigorisme yang kaku. William David Ross, pengikut deontologi Kantian, dengan "kewajiban-kewajiban pima facie" untuk mengatasi dilema-dilema moral ketika terjadinya konflik antarkewajibaru tidak bisa mengatasi kelemahan epistemologi moral, brutama bagaimana menunjukkan norrrul unfuk menentukan kewajiban apa yang berlaku di atas kewajiban pima facie lainnya. Kedua, etika teleologis yang mengukur kriteria baik dan buruk dari konsekuensi(telos = tujuan) tindakan. Yang esensial dalam sistem etika ini adalah sifat tujuan yang mengarahkan hidup, pilihan sarana, etos, dan kegembiraan. Utilitarianisme (utilitas) yang mendasarkan pada formula Bentham the greatest happiness of the greatest number, dan hedonisme (hidon€) adalah teleologis. Seperti deontologis, sistem etika menghadapi kritik-kritik yang sangat penting untuk dipertimbangkan.

Epistemologi Kalam Abad Perlengahan

Dua sistem etika utama tersebu! menurut penulis, mesti dibangun berdasarkan konsepsi tentang hakikat manusia. Kele-

rnahan deontologis maupun teleologis adalah karena bertolak dari pandangan parsial dan reduktif tentang manusia. Karena alasan objektivitas nonna etika yang ditarik ke ide-ide transendental, universal dan formal kaku, deontologis telah mencerabut hakikat manusia dari konteks tindakannya. Sebaliknya, teleologis mereduksi manusia menjadi subjek materiil kosong dari kesadaran traruendental yang sebenamya dalam kesadaran-diri (sefconsciousness) tentang moralitas. Dengan demikian, ada interkoneksi antara etika dan konsepsi tentang hakikat manusia yang sebenarnya menjadi problem epistemologi moral.

Menurut'Abd al-Jabbdr, manusia merupakan totalitas yang terdiri dari struktur (binyah) fisik dan psikis.3s Dimensi fisik berkaitan langsung dengan fenomena empiris, sedangkan dimensi psikis memiliki kepekaan akan sesuatu yang ideal-transendental. Ide dualitas hakikat manusia brsebut diartikulasikan dalan frame epistemologis: ilmu sebagai kesadaran subjektif (sukfrn an-nafs) sebagai ruang bagi sesuatu yang transendental dan universal dan ilmu sebagai fakta objektif ('al6 mi huwa bih) untuk melakukan apropriasi ke dalam dirinya segala sesuatu yang berada ,li luar. Ide dualitas tersebut mendasari secara logis apa yang kita konstruk sebagai "etika humanis", yaifu etika kritis yang berupaya mengatasi kesenjangan antara fakta akal budi manusia dan fakta dunia fisik. Dalam konteks ketegangan deontologisbleologis, etika kritis mensinbsiskanantara tesis deontologis bntang hakikat manusia untuk mengurangi pandangan reduktifnya yang hanya kepada fakta akal budi dan tesis teleologis-utilitarian karena reduksinya terhadap hakikat manusia kepada fakta dunia materiil. Ide'Abd al-Jabbdr tentang dualitas hakikat mas

Abd alJabMr, Al-Mughnifr Abwdh alTawfiid wa at-,Adl Juz Xt, hlm. 310. Bahasan tentang hakikat manusia menjadi penting tidak hanya dalam elika, tehpi juga dalam taklif. pandangan beberapa tokoh Mu'tazilah, semisal al-Aswdf, an-Nazhzhim, Dhirar, AbO al-Hudzayl al-Allif, AbO Hdsyim, dan an-Najjdr, ditanggapi dengan cukup mendalam.

lmplikasi Pemikiran Epistemologi 'Abd al-Jabbir terhadap Pemikiran

Etikanya

147

nusia memiliki paraleiitas dengan pandangan etika, semisal dalam persoalan: apakah dalam sistem etika teologis rasional yang dianutnya, atau etika retgius dalam konteks lebih luas, manusia sebagai agent tindakan moral dipandang sebagai subjek yang otonom atau heteronom? Dengan mengelaborasi jawaban terhadap persoalan etika dalamframe Kantian tersebut, dimensi yang humanis dalam etika 'Abd al-|abbdr dapat dikonstruk.

Konsep tentang keabsahan suatu tindakan (shifutt al-f'l), bahwa suatu tindakan benar-benar dilakukan, menurut'Abd alJabbdr, dikaitkan dengan manusia sebagai agen tindakan yang "mampu" (qddir) dan sadar ('6lim). Tindakan tidak hanya dihubungkan dengan pengetahuan subjek tentang apa yang dilakukan, tetapi juga dihubungkan dengan kehendak subjek. Dalam debat teologis tentang kehendak dan tindakan, 'Abd al-Jabbdr menyatakan bahwa kehendak (ir6dah) mendahului tindakan. Pernyataannya tersebut bukanlah tidak mendasari secara esensial persoalan kehendak manusia. Suatu tindakan tidak dilihat sebagai tindakan insidental, tanpa diletakkan sebelumnya dalam skema pertimbangan moral yang otonom yang didasari oleh pengetahuan, kehendak bebas, dan kemampuan dari subjek. Di samping itu, ia menolak definisi suatu tindakan (f 'l) sebagai "sesuatu yang ad,a (ki'in) yang sebelumnya tidak ada" dalam pengertian dalam waktu (mufodats) atas dasar: (1) perbuatan diketahui blah dilakukan seblah te4adi, dan (2) status aktual atau sekarang suatu tindakan seharusnya tidak dimasukkan dalam definisi. Pembatasan wakfu, menurutnya, hanya bersifat aksidental, bukan esensial.36 Tindakan harus didefinisikan atas dasar tujuan yang terepresentasi oleh kemampuan dan kesadaran. Adalah kualitas tambahan (shtfah zi'idah) yang menentukan kualitas moral tindakan yang bebas. Dalam pengertian tersebut, etika'Abd al-Jabbdr memuat ide tentang kehendak yang otonom dalam pengertian Kantian. Akan tetapi, kehendak yang otonom tidak merupakan kualifikasi yang $

Majid Fakhry EthicalTheoiesin /slam, hlm.32.

lr Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

cukup untuk mengkategorikan suatu tindakan sebagai baik. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilandasi oleh kehendak baik yang otonom. Oleh karena itu, di luar kehendak, perbuatan memiliki kualitas intrinsik dan mandiri, seperti yang dinyatakan oleh Kant tentang objektivitas dan universalitas norma etika dan oleh'Abd al-Jabbdr tentang kejelekan berdusta dan berbuat aniaya (zhulm) atas dasar perbuatan itu sendiri. Meski demikian, fonnalisme danrigorisme otonomi kehendak Kantian dikritik, karena, seperti dalam dilema moral pada kasus hipotetis yang dikemukakan'Abd al-Jabbdr, moralitas kewajiban dan kehendak baik yang otonom untuk berkata jujur justru berkonsekuensi hrang humanis, untuk tidak mengatakan "ddak humanis" (orang lain menjadi korban karena alasan kewajiban kita). Moralitas Kant yang bertolak dari fakta akal budi manusia, kesadaran transendental, dan nilai-nilai universal tidak memberikan solusi moral yang kreatif. Dengan tetap mengakui adanya fakta tersebut sebagai nilai yang objekfif,'Abd al-Jabbdr menarik formalisme objektivitas nilai secara teoretis tersebut ke dalam konteks tindakan. Dengan menyatakan bahwa berdusta dalam konteks di atas, atas dasar utilitas adalah baik, etika'Abd al-jabbdr adalah lebih humanis dibanding deontologi yang kaku. Dalam dilema moral ketil.a terjadinya konflik antarkewajiban,'Abd al-Jabbdr dalam pertimbangan moraLrya memiliki konsep tentang "prioritas" moral yang lebih mendesak bagi nilai kemanusiaan. Mempertahankan hidup orang lain adalah lebih humanis, menurut'Abd al-Jabbdr, dibangdingkan mempertahankan etika kewajiban, menurut Kant, yang pada substansinya juga untuk nilai kemanusiaan. Ada prinsip kebaikan tertinggi (epikeia) ketika terjadi dilema moral yang mengatasi formalisme etika. Sebagaimana legalitas tidak selalu s<.ara de facfo memenuhi asas moralibs, formalisme etika pun bisa kehilangan basis fundamental, yaitu kemanusiaan itu sendiri. Suatu konsep tentang keadilan, misalnya, bisa jadi tidak memenuhi rasa keadilan.

lmpllkasi Pemikiran Epistemologi 'Abd al-Jabb6r lerhadap Pemikiran Etikanya

rakan humanisme sekular. Tanpa ingin mengkontraskannya secara kaku dan berseberangurn, humanisme sekular tampak lebih bisa diperdebatkan dibandingkan humanisme reli giu s, scka I i pu n

yang terakhir ini mungkin akan menjadi sistem etika yang diperdebatkan secata akut ketika rasionattas yang menjadi basis etika sangat diperlukan di tengah masyarakat yang multikultura L Humanisme sekular seba gai autonomy theory dalam perkembangannya di Barat digambarkan oleh Paul KurE dengan sangat pesimis sebagai the modern-day expression of classicnl atheism. Melalui publikasinya, New Humnnist (Mei-Juni, 1933), Ameican Humanist Associafron (AHA) menyatakan "Ethics is autonomous and sifuational, needing no theological or ideological sanction".37 Christopher P. Toumey menulis tentang itu dengan nada yang sama:s 'The second way of defining Secular Humanism holds that atheism constitutes a vacuum of ethical values, which is then filled by an attitude of extreme human autonomy: humanity must be its own supreme being since there is none higher. Finally, autonomy is said to lead to anarchy be+ause each individual will live in a world of moral relativism and situation ethics, with no common standard

of morality. Thus secular humanism is thought to be a slippery slope from atheism to aulonomy to anarchy.'

Memahami konsep otonomi kehendak Kantian yang mendasarkan diri atas universalisme norrna etika dengan otonomi dalam humanisme sekular yang mendasarkan diri atas relativisme etika, sebagaimana tampak dalam kutipan di atas, tentu saja distortif" Tetapi, benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa otonomi kehendak manusia yang diinterpretasikan secara kaku akan mereduksi secara besar-besaran humanitas manusia- Heteronomi, dalam pengertian adanya faktor-faktor ekstemal di luar dirinya yang "memaksa" untuk bertindak tidak scsuai dengan kehendak murni otonom, adalah dimensi moralitas yang hilang" Hebronomi dalam kasus hipotetis sebelumnya adalah dipertim37 Christopher P Toumey, "Evolution and Secular Humanism', dalam Joum alof the Ameican Academy

Dalam konteks humanisme dan perkembangan etika di Baraf otonomi kehendak dalam etika menjadihnrd core dari ge-

of Religion,Al / 2, 1993, hlm. 286.

s

lbid, h|m.284.

150

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

bangkarnya utilitas dalam deontologi, atau konbks di mana suatu tindakan/peristiwa terjadi bersama-sama nilai moral tindakan tersebut yang sudah mapan dalam konstruksi akal. Dalam konteks etika teologi, wahyu sebagai kebenaran absolut (dalam pandangan teolog) yang sesungguhnya di luar diri manusia "dipertimbangkan" bersama-sama rasio sebagai kebenaran relatif yang ada dalam kesadaran rasionalitas manusia. Atas dasaruraian di atas, dalamhalepistemologi moral, konkibusi etika'Abd al-JabbAr yang sangat signifikan adalah dalam konteks ketegangan deontologis-teleologis. Tidak ada satu pun sistem etika yang map.rn yang tidak memiliki kelemahan. Oleh karena ifu, sebagaimana tesisnya tentang ilmu sebagai realitas ('al6 md huwa bih) dan afektivitas (sukfin an-nafs\, tuntutan nilai humanitas meniscayakan etika ganda, yaitu sintesis pendekatan

teleologis dan pendekatan deontologis. Eudemonisme Aristoteles dipertimbangkan dalam pendekatan deontologis, dan sebaliknya.

gt io."lsalisme norrna etika pada deontologi memberikan fundamen yang kukuh dari serangan relativisme etika yang dikritik oleh'Abd al-Jabb6r. Sebaliknya, ide moral model eudemonisme Aristoeles dianggap merrjadi unsur kreatif untuk membentuk eliastisitas dari kekakuan formalisme deontologis, seperti terefleksi dalam kridk'Abd al-Jabbdr terhadap absolutisme realis Abff alQdsim al-Balkhi.3e Dengan pendekatan ganda tersebut, manusia sebagai agen tindakan tidak sepenuhnya sebagai subjek yang oto nom. Dalam pertimbangan moral, ia "dipaksa" unfuk keluar dari, meminjam distingsi Aristoteles, "kearifan teoretis" (sophia) ke "kearifan praksis" Qthronesis). 3

Dalam konteks bahwa nilai monalitas tindakan dilenfukan oleh kehendak manusia dan nilai intrinsik perbualan, 'Abd alJabMr menolak pandangan'ontologis'yang dikemukakan oleh Neo-Phtonis

alfirAbi dan lbn Sind, bahwa suatu tindakan adalah baik dari kualitas ontologisnya. Lihal, Al-Mughni ti Abwdb at-Tawffd wa al-'Adl, JuzYl: l, hlm. 6 dan Juz Vl: ll, hlm. 65 dst Menunrt lslam semisal

'Abd alJabb6r, suafu tindakan dinilaidari segi moralihs karena dilihat dari suatu aspek (wajh). Oleh karena ifu, suafu llndakan yarp sama murgkin rnemiliki nihimoralihs yarg berbeda kaena perbedaan wajh dalan pergertian konlels lindakan. Sujud, misalnya, akan rnemiliki nilai moralitas berbeda antara yang dilakukan tefiedap Tuhan dan lerhadap yang lain, meski slatus ontologisnya sama. Dalam pengertian ini, etika'Abd alJabbirdapat disebutsebagaietika'situasional'dalam

pengertian

nilai monlitas tindakan mempefiifungkan konteks tindakan, termasuk pertimbangan utilitas.

lmplikasi Pemikiran Epistemologi 'AM al-Jabbir terhadap Pemikiran

Etikanya

151

Persoalan lain yang esersial dan sering absen dari perhatian

pengkaji etika dalam konteks otonomi-heteronomi dalam etika Kant dan perkembangan humanisme sekular di Bara t adala h bahwa karena bertolak dari rasionalitas murni, otonomi Kantian dan humanisme sekular kehilangan dimensi conscience (l,atin: conscientia) dalam pertimbangan moral. Istilah etika ini berasal dari sare (rnengetahui) dan con- (bersama dengan) sehingga berarti "turut mengetahui". Pengertian tersebut merujuk pada gejala "penggandaan" seperti pada "bukan saja saya melihat pohon ifu, tapi saya juga "turut mengetahui" bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Dengan adanya keterkaitan dengan kesadaran (consciousness), term tersebut menunjukkan ada fenomena hati nurani. Karena integritas kesadaran manusia, adalah suafu kekeliruan untuk mengidentifikasi hati nurani sebagai perasazrn, kehendak, atau rasio. Semuanya berlangsung secara simultan dan menyatu. Ada tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Ketika melakukan penilaian, hati nurani bertolak dari suatu pertimbangan (judgement) atas dasar rasio praktis. Berbeda dengan rasio teoretis sebagai pengetahuan

(kog"tti|

yang memberikan jawaban atas pertanyaan "apayang dapatsaya

ketahui?", rasio praktis terarah pada tindakan manusia. Rasio teoretis bersifat abstrak, sedangkan rasio praktis bersifat "konkret" dalam pengertian mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan di sini. Putusan hati nurani dalam fiIsafat etika dianggap sebagai norma moral subjektif yang "mengkonkretkan" pengetahuan etis kita yang bersifat umum. Meskipun merupakan suafu totalitas dari rasio, perasaan, dan kehendak, dan meski dianggap mernpunyai dasar rasionalibs, putusan hati nurani bukan merupakan suatu penalaran logis (reasoning).a0 Dalam epistemologi 'Abd al-Jabbdr, kata nafs pada frase sukfin o-n-nnfs merupakan suatu totalitas Qumlah) kesadaran manusia yang tidak hanya mencakup pengertian qalb (ran)al sebagai s

K. Bertens, Efika, hlm.

5$-$0

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

152

sentral berpikia tetapi seluruh kesadaran subjektif. Karena lebih merupakan konstruksi rasio subjektif terhadap fakta di luamya dalam konteks, konsep tersebut paralel dengan consaence (hati nurani) dalam konteks etika dalam pengertian bahwa meski mendasarkan atas rasionalitas, konstruksi rasio-dibandingkan dengan "pembacaan" terhadap realitas-adalah lebih tepat untuk disebut sebagai dimersi "subjektif", karena realitas ketika dikonstruksi oleh rasio bukan lagi merupakan das Ding an sich. Perbandingan dengan etika Kant akan memperjelas kontribusi etika'Abd al-Jabbdr yang hidup pada abad pertengahan sejarah Islam bagi humanisme dalam konteks sekarang. Imperatif kategoris Kant mengimplikasikan bahwa tindakan yang meski dinilai baik secara rnoral menurut sistem etika lain tidak bisa di-

nilai baik jika didasarkart

conscience

(hati nurani), kecuali dida-

sarkan atas kehendak baik yang otonom dan atas dasar kewajib' an. Respon "utilitarian" Abd al-Jabbdr terhadap kasus hipotetis sebagaimana dikemukakan lebih memenuhi nilai humanitas ka-

rena secara epistemologis bertolak dari conscience, di samping nilai intrinsik dari tindakan o$ektif. Oleh karena itu, berbeda de' ngan Kant'Abd al-Jabbdr menganggap tindakan baik yang didasarkan atas conscience adalah baik. Dalam konteks perkembangan humanisme di Barat, conscience adalah elemen yang hilang dalam episternologi moral humanisme sekular. Dimensi tersebut adalah bagian integral yang harus diperhitungkan dalam epistemologi moral sekarang ketika humanisme sekular sebagai "otonomi kehendak yang tidak memerlukan sanksi bologis" dan "penegasian keyakinan" (negation of personal belieflaz dikritik

al Lihat'AM alJabbdr, Al-Mughni ft Abw6b at-Tawf;id wa al-'Adl,iuzXll, hlm. 22. Menurut ketemngan 'AM alJabb6r, Mak ada perbedaan fundarnental antana konsep para filsuf dengan mutakallimin bahwa manusia yang diungkap dengan nafs merupakan tohlitas. Dia mengungkapkan:

.dL,)t

j

1 rLn

pB

4

41

j

pt5t O+1 1 rdi-ry| eJ -,p6l Or-+ iyK:.| d :cl+ir+l du r "r gt{a,J+l ruJ tt.| j, prJ.,p .t,f.!.JS dl J dS il11l r-li.l gy r.ihili.fu.lj .u"iit d[i f)tSI ,JJ".+J

ri14 0li.bJ, .{.{i

12 Christopher P. Toumey, 'Evolution.

...",hlm.282-284.

j

j

lmplikasi Pemikiran Epistemoiogi 'Abd al-Jabbir terhadap Pemikiran

Etikanya

153

karena pendasaran rasionalitas yang tidak memberi ruang bagi yang transendental. Rasionalitas dan conscience bekerja dalam proses dialektis dan dialogis, sebagaimana interkoneksi objekti-

vitas-subjektivitas.

?r

PENUTUP

Seluruh bangunan pemikiran epistemologi,Abd al-Jabbir menunjukkan bahwa ia bukanlah "rasionalis mulrri,, yang bertolak hanya dari spekulasi nalar rasional. Beberapa isulah dan konsep kunci yang digunakannya mendasari pemitirur,,,empiris" -unfuk mengatakan tidak menafikan fakta dan metode empiris - bersama dasar rasionalismenya dalam membangun epistemologi baydnt modelknllm abad pertengahan Islam. Dengan bertolak dari kerangka teologis, pengetahuan (,ilm, ma'ifah, abudirdyah) didefinisikan sebagai jenis keyakinan (conviction)yang diverifikasi dengan dua standar: korespondensi atau kesesuaian dengan realitas objektif ('aI6 mihuwa bih) danafektivitas psikis (sukfin an-na[s). Kedua standar tersebuf dalam perspek_ tif epistemologis, disebut sebagai unsur objektivitas ilmu pe"getahuan yang terkait dengan fakta, baik fakta empiris **.tul -u.rpun fakta akal budi rasionaf dan unsur subjektivitas yang ber_ kaitan dengan konstruksi rasio terhadap realitas. Interkoneksitas keduanya menunjukkan bahwa ilmu, menurut,Abd al-Jabbdr, dibangun atas dasar tolak-ukur kebenaran korespondensi dan koherensi. Oleh karena itu, epistemologi'Abd al-JabbAr pada sub stansinya merupakan kritik atas realisme model AbO al_e6sim al-Balktri dan beberapa tokoh Asy'ariyyah, semisal al-Juwayni (1028-1285), tentang ilmu sebagai fakta-fakta an sichdan kritik

t 156

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

atas pemikiran epistemologis model AbO al-Huzayl

al-'AllAf ten-

tang ilmu sebagai keyakinan subjektif murni. Meski menegaskan inbrdepensi dua unsur tersebut, sebagaimana kritisisme Kantyang dianggap cenderung ke rasionalisme, 'Abd al-Jabber cenderung

menganggap ilmu sebagai hasil dari konstruksi akal terhadap fakta sehingga tidak ada dns Ding an sidryartg" sberil" dari "rekayasa" akal. Kritik atas episbmologi model al-'Alldf adalah bagian dari target kritiknya brha dap as-sftfsthi'iyyah (sofi.sme) dalam pengertian nihilisme (' inidiyyah), relativisme {' indiyyah, ashfoftb attnj6hut), dan agnostisisme (li adnyyall. Kritik terhadap epistemo logi model al-Balkhi mendasari apa yang disebut sebagai skeptisisme epistemologis sebagai bagian integral dari proses b"rpikir.

Atas dasar hubungan kebenaran dan keyakinan (belief and truth) dalanfilsafat ilmu, aktivitas "mengetahui" tidak hanya me' rupakan keadaan mental (teori mentalistik) tentang penghadiran ide-ide dari luar ke dalam kesadaran, tetapi merupakan "akfualitas mengetahui" (salah safu sisi pandangan "empiris" 'Abd al-Jabbdr) atas dasar alasan-alasan cukup (raison suffisante-nya I€ibniz). Inilah yang disebut ma'n6, sebagai substansi ilmu pengetahuan. Mn'nA dikonstruks sebagai proses mengetahui yang berada dalam interrelasi antara ilmu dan keyakinan. Dalam konteks ini, interrelasi tersebut dipahami sebagai: (1) relasi instrumental, bagran dari keyakinan-keyakinan, misalnya zhann, yartg menjadi bagian dari kerja metodologis, dan (2) relasi distansial, yaitu ilmu sebagai produk be.pikit yang mengkritisi produk keyakinan yang tidak kritis, semisal taqltd dan tabklit. Dengan distingsi ini, "mengetahui" adalah proses dinamis di mana terjadi negasi dan afirmasi(nafu waitsbilt) atas dasar sebab ('illah), aspek atau kribria (uran, sifat, dan kondisi (!ril) erbntu. Keyakinan brsebut dalam konteks epistemologis dipahami sebagai "peta realitas" bagi subjek.

'Abd al-Jabbdr mengakui validitas pengetahuan yang bermuara pada sumber-sumber berikut. Pertamn,'aql ataLu pengetahuan rasional. Meski memiliki perbedaan tertentu dengan pe-

Penutup

157

maknaan filsuf, terminologi kal6m tersebut merujuk pengertian sebagai "proses berpikir" yang substansi maknanya sama dengan rasio sebagai instrumen(organon) berpikir di kalangan filsuf, dan sebagai "produk berpikir" (seperangkat ilmu) yang menjadi prinsipprinsip dasar (les pincipes premiers) dalam proses investigasi 'ilmiah".'Aql, menurut'Abd al-Jabbdr, merupakan sumber pengetahuan global tentang objek-objek fisik, atau sifat dan penetapan (bi jumal al-a'ydn wa al-awtsdf wa al-affim) bug persoalan metafisika dan moral. Kedua, dunia eksternal yang berhubungan dengan fakta-fakta empiris-sensual. Pengetahuan tentang o$eko$ek tersebut merupakan standar minimal bagi kesempurna,u:r akal (knmdl aI: aql) y angmenjadi tolak-ukur keabsahan nalar dan taHtf. Ketiga, karena nalar teologis yang bertoiak dari nalar teks,

wahyu dan khabar menjadi bagian integral dari epistemologi bayfrni model kal6m. Meski demikian, keduanya harus "diverifikasi " atas dasar rasionalitas yang berimplikasi pada penempatan

wahyu di bawah akal dalam hierarki argumen keagamaan dan penolakan Hnbar al-wdbid pada persoalan teologis. Dengan menyatakan bahwa khabar adalah sumber pengetahuan, ia mengkritik kalangan yang disebut as-Sumaniyyah. Pengetahuan diklasifikasikan menjadi dua kategori:. pertama, pengetahuan langsung (al:ilm ad-illurfin), yartu pengetahuan yang diperoleh tanpa nalar diskursif. Kedua, pengetahuan diskursif (al' ilm al-muktasab) y ang dtperoleh melalui proses n alar Qnzhar) atlrrt inferensi (istidl6l). 'Abd al-JabbAr merunut secara logik tahapan dalam proses mengetahui manusia, semisal distingsi yang dibuat antara kesadaran diri (self-consciousness) sebagai tahup awal me-

ngetahui dan pemgetahuan (knowledge). Distingsi tersebut yang kemudian mendasari pandangannya tentang conscience morale (kesadaran moral, hati nurani) dalam pertimbangan moral. Pengetahuan diskursif diperoleh melalui metode empiris dan rasional. Kerja metodologis pada hakikatnya adalah bersifat eksplanafrf, klarifikatif, atau verifikatif sebagai aktivitas rasio. Prinsip prinsip yang mendasarinya adalah keniscayaan metodologis ('ali' thaiqah wfrfuldah) dan pluralisme metodologi s. I drik,meski bukan

Y 158

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Penutup

logisnya, mengkonstruk bangunan pemikiran epistemologi Islam dalam sejarah secara komprehensif meniscayakan eksplorasi pemikiran teologis di dalamnya. Kajian terhadap epistemologi'Abd al-jabbdr di abad tengah Islam yang telah dilakukan ini hanya merupakan safu fragmen dari bangunan besar pernikiran epistemologi Islam yang idealnya harus dihubungkan dalam suatu kontinuitas historis dan konseptual yang terkait dengan pemikiran epistemologis tokoh-tokoh lain, baik dari Aq/ariyyah, semisal al-Juwayni, al-Bdqi116ni, dan al-BaghdAdi yang berinteraksi langsung dengan Mu'tazilah dalam banyak konteks, maupun dari tokoh-tokoh Mu'tazilah pra-'Abd al-Jabbdr, semisal al-'Alldf dan an-Nazhzhdm untuk memperoleh bangunan pemikiran Islam secara utuh tentang "epistemologS kal6m" .

merupakan ma'nA, adalah sesuafu yang niscaya dalam penelitian. Pengamatan terhadap fenomena empiris-sensual secara dharni merupakan fundamen bagi nalar rasional (nazhar). Metode empiris brepresentasi secara ielas pada teorinya tentang ru'yah (uisual theory), lstidlill bi asy-sydhid' al6 al-ghi'ib (inferensi dari yang konkret ke yang abstrak), as-sibr wa at-taqstm (silogisme disjungtif), danilzdm (argumentum adhominem) adalah metode rasional dalam

memperoleh pengetahuan diskursif, yang dimaksudkan oleh 'Abd al-|abbAr untuk kepentingan teologis. Dualitas pandangan epistemologis, objektivitas-subjektivitas dan empirisme-rasionalisme, tersebut berimplikasi pada bangunan pemikiran etikanya yang dapat kita konstruk sebagai "etika kritis", sistem etika yang mensintesiskan realisme atau ab solutisme etika model al-Balkhi dan esensialisme model al-Alldf. Obiektivitas dan subjektivitas dalam etika'Abd al-Jabbdr berim' plikasi pula pada upaya mensintesiskan antara pemikiran etika yang dapat diidentifikasi sebagai deontologi dan "utilitarianisme" yang bleologis, dan upaya mempertimbangkan secara dialektis dan dinamis antara etika wahyu dan etika rasio dalam episbmologi moral. Dalam konbks humanisme, sistem etika yang berstandar ganda tersebut menyediakan inbrpretasi kreatif terhadap universalisme norma etika ke dalam konbks tindakan secara partikular sehingga lebih menyentuh dimensi humanitas dibanding etika deontologis atau teleologis murni.

2. Sebagaimana

dieksplorasi secara analitis dalam kajianini (bab IV), pemikiran (etika) teologis Islam, yang sering dilabeli sebagai basis eksklusivisme karena penekanannya pada truth clairz, memiliki implikasi pemikiranyang justru lebih menyentuh dimensi humanitas. Oleh karena itu, sebagaimana kajian terhadap humanisme di abad tengah Islam yang berpusat pada ide-ide filosofis yang dilakukan oleh Joel L. Kraemer dalam Humanism in the Renaissance of lslam: the Cultural Reaiaal duing the Buyiil Age,1 atau hurnanisme Islam klasik yang berpusat pada isu-isu pendidikan yang dilakukan oleh George Makdisi dalam The Rise of Humanism in the Classical Islam and the Chistian West,2 kujiu. terhadap dimensi-dimensi yang humanis dalam teologi Islam bukanlah merupakan sesuatu yang mustahil, terutama aliran Mu'tazilah yang blah menunjukkan kecenderungan kuatnya melakukan pendekatan antropologis dan psikologis. Ekslusivisme knl6m bannekali disebabkan, antara lain, oleh reduksi sejarah tentang debat akrft falsafahknlA?n, sebagaimana yang terjadi antara MattA dan as-Slrdfi, yang terlalu ditekankan.

Dari model epistemologi semacam ini, pemikiran'Abd alJabbar mempunyai implikasi sebagai berikut

1. Meski memiliki sisi orisinalitas, filsafat Islam lebih banyak merupakan pengembangan dari proses asimilasi kultural dengan elemen-elemen filsafatYunani, Persia, unsur Kristen, dan sebagainya. Berbeda dengan itu, karena karakter defensif dan pemikiranapologetilnya, l@lhnleHhbanyak jugabersentuhan dengan nya dari dalam meski secara historis elemen-elemen di luarnya. Oleh karena itu, kalimmerupakan pemikiran Islam yang paling orisinal. Sebagai konsekuensi

159

1

(Leiden: E.J. Brill, 1986).

'? (Edinburgh:

Edinburgh University Press,

1

990).

?T

DAFTAR PUSTAKA

'Abd al-]abbAr ibn Ahmad ibn Khdil ibn'Abdilldh al-HamadzAni al-AsAdAbddi (disebut'Abd al-JabbAr). 1960 1 969. aIMughnf f Abwdb at-Tmnhtd wa aI: AdL Diedit oleh lbrAhim Madkfir. Cairo: al-Mu'assasah al-Mishriyyah al-Arnmah li at-Ta'lif wa ath-Thibd'ah wa an-Nasyr dan Wizfuat ats-TsaqAfah wa al-IrsyAd al-Qawmi. .1979. Ktdb al-Ushfil al-Khamsah. Daniel Gimare! "Les Ushfrl al-Hamsa du Qadi'Abd Al4abbAr et l,eurs Commentaries". Dalam Antnles Islamolo giqaes, No. XV. Institut Francais D'archeologie Orientale Du Caire. t.t. al-Mubtthbi at-Takltf. Juz L Diedit oleh'[Jmar asSayyid 'AzmL, Cairo: al-Mu'assash al-Mishriyyah alAmmah li at-Ta'lif wa al-InbA" wa an-Nasyr. 19ffi. al-Mukhtashar

f

UsltAl ad-D?n. Dalam Muhammad

'Ammdrah (ed.). Ras6'il al-'Adlwa at-Tawfoid. Cairo: DAr asy-Syur0q. t.t. MutasyAbilt AIQur' iln.Adftoleh'Adn6n Muhamrnad Zaruir. Cairo: DAr at-Turdts.

(Pseudo)'Abd al-Jabbtu. 1965 / 7384. Syarfu al-Llshfrl al-Khamsah. Cet. I. Versi Qawdm ad-Din Manakdim. Diedit oleh'Abd al-Karim'UtsmAn. Cairo: Maktabah Wahbah.

162

Epistemologi Kalam Abad pertengahan

Daftar Pustaka

163

'Abd al-Karim'Utsmdn . 196i.,,Muqaddimah,,. Dalam (pseudo) 'Abd al-Jabbdr. Syarfoat-llshfil al_Khamsah. Cairo: Mak_ tabat Wahbah. 'Abd ar-Rahman ibn Ahmad al-Iji. t.t. Al-Mawilqiff 'Ilm al-Kal6m. Makah: Dfu al-Br6,2li ath-Thibd,ah wa an_Nasyr wa at_ Tawzf dan Beirut'Alam al-Kutub. Abrahamov, Binyamin. 1998. Isramic Theology : Trailitionalism and Rationalism. Edinburgh: Edinburgh University press.

Abfi at-Hasan al-Asy'ari. 1969/7989. waw al-rslfuniyfn Cer rI. Dedit oleh Mulammad Muhyi ad_Dtn,Abd al_Hamid. Beirut al-Maktabah at-,Ashriyy a1.,7gg} / 1411 dan edisi Cairo: Maktabah an-Nahdhah al_Mishriyyah. Ahmad Amin. t-t. Dhufofi al-Ist6m. Cairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah. Ahmad Baso. 2000. "Postrnodemisme sebagai Kritik Islam (Kontribusi Metodologis "Kritik Nalar,, Mulammad Abed al-Jebitri'. Dalam \{trhammad Abed at-}abiri, post Tra_ disionalisme Islam. Diterjemahkan oleh Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS. Al-Glrazah.

Lt Mi'ydr al:llm. Cairo: Dar al-lvla,rifah.

AlHarits ibn Asad at-Muhasibi.1971/1s97. Kit6b al:Aql Dalam Husap alQ0fili (ed.). Al:Aql un Fahm Al_eur'6n. Cet I. Beirut Ddr al-Fikr.

'Ali Mushthafd al-Ghurabi. t.t. Tbrikh al-Fir6q N asy' at' IIm al-Kal6m' ind

al- Muslimin.

at-Islfrmiyyah wa

Cat o: tr,laktabah

wa Mathba'ah Mulammad,Ali Shabih wa AwlAdih.

'Ah Sami Nasysydr. 1967. Manihij al-Bafuts ,ind Mufakkir al_Isl6m wa Iktisydf al-Manhaj al: ilmt. Cairo: Dar al_Ma,drif. 1981.. Nasy'at al-Fikr al-Falsaf

al-Ma'drif.

f

al-Istfun. Cairo: DAr

Angeles, Peter A. 198'1,. Dictionary of philosophy. New york: Barnes & Noble Books dan Division oi fiu.p", & Row, Publishers.

Anton Baker. 1999. Metodorogi penelitian Filsafat yogyakarta: Kanisius. Asy-syahra stani- 1992/ r41g At-MilaI wa an-Nifoar. " Cet. II. Diedir oleh Almad Fahmi Mulammad. Beirut DAr al_Kutub

al-'Ilmiyyah dan edisi Cairo: Maktabah Anglo

Mishriyyah

rt

al_

Bahm, Archie I. 1980. .What is ,Science,?,, Bagran yang dibrbit_ kan ulang daribukunya, Axiology: lie Sience"EValues.

Albuquerque/New Mexico: World Books.

Beerling

ef. aI. 1970.

Inteiding tot de wetenschapleer.Diterjemahkan

oleh Soejono Soemargono dengan judul 'pengantar

Filsafat IImu. y ogyakarta: Tiara Wacana.

Berman, Lawrence V.lg76.,,Islamic Rationalism: the Ethics of 'Abd al-Jabbdr: Book Review,,. Dalam Stanford]. Shu* (ed.). lnternationar rournal of Middre East studies. vol vn. Bemand, Marie. "La Notion de,Ilm Chez Ies premiers Mu,tazi_

Iibs". Dalarn Studia Islamica. No. 36 (1972) dan No. 37 (1e73).

Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: penerbit pT. Gramedia pustaka

Utama. Brandt, Richard B. 19!?. EthiulTheory: The problems of Normatiae and

Citical

Ethics. New Jersey:

prentice_Hjf Inc.

Browne, E.G. 1959. U_r:r?rV History of persia. Vol. I. Cambridge:

Cambridge University press.

Brummer, Vincent. 1981. Theology anit philosophical Inquiry: An Introduction New york: The Macmillan press,'Lti.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

1M

Budhy Munawar-Rahman.

-l'996' "Filsafat Islam"' Dalam

Muhammad Wahyuni Nafis (ed.) - Rekorstruksi dan Rentngan Religius Islam' Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina' Cahen, Claude. 1960. "Buwayhids, Buyids". Dalam H'A'R' Gibb et.al. (ed.). The Encyclopaedia of lslam. Vol' I' Leiden: E'J' Brill dan London: Luzac & Co.

Carr, Brian dan D.J. 1982. O connot.Introduction to the TLuory of Knowledge. Sussex/ Great Britain: The Harvester Press

Limited. Chisholm, Roderick M. 1989. Theory of Knowledge' New Jersey: Prentice Hall, hrc. Curzer, Howard !.7999. Ethical Theory and Moral Problems. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company' De Boer, T.J. 1ggg. "Nazhar". Dalam C.E. Boswotth (ed'\' The Encyclopaedia of lslam- Vol. VII. Leiden dan New York: E.J. Brill. Denise, Theodore C. et. aI.7999. Great Traditions in Ethia. Belmong

Daftar Pustaka

165

Frank, R.M. 1971. "Several Fundamental Assumptions of the Bashra School of the Mu'tazilah". Dalam Studialslamico. No. 33. Fuat Sezgin.1967. Geschichte E.J.

des Arabischen

Schifttum.s. l,eiden:

Brill. Band. Yol. l.

G.J. Wamock.1972. "Reason." Dalam Paul Edwards (ed.). The Encydapaediaof Philonplw. Vol. VIL NewYork Ntacmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press dan [,ondon: Collier Macmillan Publisher.

Gallagher, Kenneth T. 1994. The Philosophy of L*towledge. Disadur olehP. Hardono Hadi dengan judulEpistemologi: Filsafat P engetahuan Yogyakarta: Pustaka Kanisius. Gardet, Louis. 1971. "HaytrlA". Dalam Encyclopaedia of lslam, Nr.a Edition. Lieden: E.J. Brill. . dan G. C. Anawati. 1981. Introiluction a Ia Theologie Musulmane: Essai de Th6ologie Comparda Sorbonne: I-ibraire Philosophique J. Vrin.

Fatchur Rahman. t.l. Ikhtishar Musthalafuul Hadtts. Cet. XIV. Bandung: PT. Alma'arif.

Gimaret, Daniel. 7979. "I-es Ushill Al-Khamsa dt Qadhn'Abd alJabbdr et Leurs Commentaries". Dalam Anrnles IslamoIogtques. No. XV. InstitutFrancais d'Archeologie Orientale Du Caire.

Fauzan Saleh. 1gg2. The Problem of Euil in Islamic Theology: A shtdy on the Concept of al-Qabfu in al-Qddi Abd al-labbdr alHamadhani's Thought. Montreal: McGill University'

Goldziher, Ignaz.l9ST.Introduction to Islamic Theology and law. Trans. Andras & Ruth Hamori. New jersey: Princeton University Press.

CA.: Wadsworth Publishing Company'

Fazlur Rahman. 7979.Islam. Chicago dan London: university of Chicago Press. Fisher, Rob. 1999. "Philosophical Approaches"' Dalam Peter Corurolly (ed.'S' Approaches to Study of Relr3'lon' London dan New York: Cassel' Franz Magnis-Suseno' 1997.

1,3

Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani

Sampai Abad ke-19' Yogyakarta: Kanisius'

Hasan $ana fr.1g87. Dirdsdh Falsafyyah.Cairo: Maktabah Anglo

al-Mishriyyah. Harrisoru Jonathan. 1972.'Inbrlfionism". Dalam Paul Edwards @d.). fhe Encyclopaedia of Philosophy. New York: Mac-

millan PublishingCo.,Inc &The Free Press dan l,ondon: Collier Macmillan Publishers.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

166

Horwich, Paul. 1993. "Truth, theories of". Dalam Jonathan Danry dan Ernest Sosa (ed.\. A Companion to Eptstemology. Massachusetts: Blackwell. Hospers, John. 1996. An Introduction to Philosophical Analysis. l,ondon: Routledge.

Hourani, George F. t.t. lslamic Rationalism: the Ethics of 'Abd allabbdr. Oxford: Clarendon Press. 1980. "Ethical Presuppositions of the Qu1an". Dalam The MuslimWorld. No. 70.

Hurley, Patrick J. 1985. A Concise Introduction to Logic. California: Wadsworth Publishing Company. Ibn al-Atsir . 1966. Al-KhmiI dan Ddr Beirut.

f

aFTArikh. Vol. IX. Beirur Ddr Shddir

167

Jujun S. Suriasumantri. 1984. Filsafat llmu: Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Harapan. Koester, HeLnut.L987. History, Culture, and Religion of the Hettenistic Age. New York dan Berlin: Walter De Gruyter. Kraemer, Joel L. 1986. Humanism in the Renaissance of Islam: The Cultural Rniaal iluing the BuytdAge. Leiden: E.J. Brill.

7986. Philosophy

in the Renaissance of Islam: Abu

Sulaymiln as-Sijistdni and His Circle.lciden: E.l. Brill.

Leaman, Oliver. 1996. "Islarnic Humanism in the fourth/tenth

century". Dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.). History of Islamic Philosophy. London dan New York: Routledge.

An lntroduction to Medimal Islamic Philosoplry. Cambridge: Cambridge University Press. Edisi bahasa 7985.

Ibn Hazm. t.t. KitAb aLFishfrI f al-Milal wa al-Ahw6' wa an-Nifotl. Cet. I. Beirut Ddr al-Fikr.

Ibrahim Kalin. Fall 1999. "Knowledge as Light". Dalam

Daftar Pustaka

The

Americnn lournal of lslnmic Social Scimces. VoL L5. No. 3.

IbrAlrim Madk0r. 1983 / 1.403. Abfi Nashr al-Fhrdbt f adz-Dzikrd alAlfyyah liwafdtih 940 M. Cairo: al-Hay'ah al-Mishriyyah al-'Ammah li al-KitAb. Ilhamuddin .7997 . Pemikiran Kalam al-Baqill"ani: Studi Tentang Persamafln dan Perbedaannya dengan al-Asy'ai. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ismail Raji al-Faruqi.7966. "The Self in Mu'tazilah Thought". Dalam lnternational Philosophical Quarterly. Vol. VI. Izubu, Toshihiko. 1987. God and Mnnin the Koran New Hamp shire: Ayer Company Publishers, Inc. iamil Shalibe. 1973. Thrikh al-Falsafah aI-' Arabiyyah. Cet. II. Beirut: Ddr al-Kutub al-Lubndni.

Indonesia dibrjemahkan oleh M. Amin Abdultah . 1989. Dengan judtl Pengantar Filsafat lslam Abad Pertengahnn. Jakarta: Rajawali Pers.

I€wis, Bernard. 1993.Islam in History: lileas, People, and Eoents in the Middle Easf. Chicago dan La Salle, Illinois: Op"^ Court Publishing Company. Machasin. 1997. "Epistemologi'Abd al-Jabbdr Bin Almad alFlamadzAnf'. Dalam Al-lami'ah: lournnl of Islamic Studies. No. 45. Institut Agama Islam Negeri Sunan IGlijaga Yogyakarta. 2000. Al-Qadi'Abd al-Jabbdr dan Ayat-ayat Mutasyabihat Al-Qur'an". Disertasi doktoral di Pascasarjana LAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1994), dan dibrbitkan dengan judul. Al-Qadi 'Abd al-labb6r, Mutasyabih al-

Qur' an:

D

alih Rasi onalit as Al - Qur' an. Y o gy akarta : LKi S.

2000. "Understanding the Qur'dn With Logical Arguments: Discussion on'Abd al-Jabbir's Reasoning".

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

Dalam Al-l6mi'ah: lournal of lslamic Studies. Vol.3g. No.

2. Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Majid Fakhry.

A History of Islamic philosophy. London: Longman and New York Columbia University press. 1,g8g.

1953. "Some Paradoxical Implications of the Mu'tazilite View of Free WilI". Dalam The MuslimWorld. Vol. XUtr. Makdisi, George. 7990. The Rise of Humanism in the Classical Islam and the Cltistian Wesf. Edinburgh: Edinburgh University Press. 799'1..

Ethicnl Theoies in Islam.Ieiden: E.I. Brill.

Daftar Pustaka

169

Muhammad Arkoun. 1990- at-Isl6m: ar-Akhlfr4 wa as-siydsah. Dterjemahkan oleh Hasyim Shalih. paris: Unes- aur, Beirut Markaz al-Inmd, aleawmi. Murtadha A. Muhib ad-Dftr. 1gg4.'phirosophical Theorogy of Fakhr ad-Din ar-Rdzi in at-Tafsti al_Kabir,,. Oliurr, Hamdard Islamiarc. Vol. XVII dan )O( Nashr HAmid Abfi Zayd . 1996. Al-tttijfrh aI-' AqIt at-Tafstr: Dirilsah f Qadhiyyat al-Majfrzf Al-eur'6n'inil al_Muitazilah. CeL ru. Beirut al-Markaz ats-Tsaqffi al_,Arabi.

f

Nettoru Ian Richard. 1992. Al-Fardbt anil His scltoot. New york dan Londoru Routledge. Peters, j.R.T -M.1976. God's Createil speech: A stuily in the speatla-

Majd ad-Drn Mu[ammad ibn Ya'q0b al-Fayr0zabadi. 1991. AtQhmfis al-Mufuith. Cairo: Ddr al-Kutub al-,Ilmiyyah. Martin, Richard C. Mark R. Woodward dan Dwi S. Atrraja. 1997. Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from Medinal School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld.

tiae Theology of the Mu'tazili e6dht at_eudhilt AU" flasan bin Afumad al-Hamadz6nf. l,eiden: E.J. Brill.

Popkin, Richard H. dan Aurum stron. Simple. London: Heinemarn.

ot_

r9g'1.. philosophy Madc

Muhammad Hatta. 1986. Alam Pikiran Yunani.fakarta: Universitas lrdonesia (UI) Press dan Tintamas.

Reinhart, A. Kevin. 1995. Before Reoelation: The Bounilaries of Muslim Moral Thought. New york State University of New York Press.

Mulammad Kdmil al-Hurr. t.t.Ibn Stn6: flayiltuh, 'Ashruh Falsafatuh. Beirut DAr al-Kutub a1-'Ilmiyyah.

Rosenthal, Franz.l9T0. Knowledge Tiumphant: The Concept of Knowledge in Media:al Islam.I*iden: E.j. Brill.

wa

Mulammad Ghaflab. t.t. Al-Mn'ifah'ind Mufakkir al-Muslimtn. Cairo: DAr al-Mishriyyah li at-Ta'lif wa at-Tarjamah.

Runes, Dagobert D.

Muhammad'Abid Al-Jabtui. 1993. Bunyat al-' Aql aI: AraW: Dirilsah

saliba, George .1993. "The Aslt'arites and the science of the stars,,. Dalam Richard G. Hovannisian dan George Sabagh

Tafolfliyy ah N aqdiyyah Ii Nuzhfim aI-Ma' ifah

f

ats-Tsaqilfah

al-'Arabiyyaft. Beirut al-Markaz ats-Tsaqdft al-,Arabi.

ly[trhammad'Ammdrah. 1 988. "Qddhi al-eudhah, Abd al-JabbAr al-Hamadzdnf' (pengantar). Dalam,Abd al-Jabbdr, AlMukhtashar ft Ushfil ad-Dtn. Dalam Muhammad 'AmmArah (ed.). Rns6'il al:Adlzna at-Tawhtd. Cairo: DAr asy-Syur0q.

Dictiorury of philosophy. New Jersey: Uttlefield, Adams & Co. !971,.

(eds.). Religton and Culture in lvlediwal Islmn.

University of Cali:fornia press.

InsAngelis:

Sari Nusibeh. "Episbmology',. Dalam Oliver Leaman dan Seyyed

Hossein Nasr (eds.). 1996. History of lslamic phitosophy. London dan New york Routledge.

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

170

Solomory Robert C. 1985. Introducting Philosophy: A Text With Readings. New York: Harcourt Brace |ovanoviclu Publishers. TAj ad-Din AbO

Nasyr'Abd al-Wahhdb ibn'Ali ibn'Abd al-

Kafi as-Subki. 1967 /1386. Thabaqht asy-Sy6f iyy6h alKubr6. Vol. V. Diedit oleh Mahmod Mu\ammad atTanaji dan'Abd al-Fatt6h Mulammad al-Hulw' Cairo: Maktabah'Isi al-Bdbi al-Halabi wa Syurakd'ih' Tarif Khalid i. 1996. Arabic Histoicnl Thought in tle classical Peiod. Cambridge: Cambridge University Press. The Liang Gie. 1998. Kamus Logikn- Yogyakarta: Penerbit Liberly dan Pusat Belajar Ilmu Berguna (PBIB).

Tim penulis Rosda. 7995. Knnus Filsafat.Cet. I. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.

Toumey, Christopher P.1993. "Evolution and Secular Humanism". Dalam lournal of the Ameican Acadnny of Religion'

Yol.r-N'/2. Tuft, Anthony Keith. 7979. The Oigins and Dmeloryent of the Controoersy Ooer "Ru'yA" in Medimal Islam and Its Relation to Contemporary Visunl Theory.Ios Angeles: Uni-

versity of Califomia. van Ess, losef.7992. "The Logical Structure of Islamic Theology." Dalam Issa J. Boullata (ed.). An Anthology of Islnmic Studies. Montreal McGill-Indonesia IAIN Development Project Victoria, Neufeld (ed.). 7996. Webster's Nmt World College Dictionary. USA: Macmillan, Lrc.

Watt, William Montgomery. 1990. Early lslam: Collected Essays' Edinburgh: Edinburgh University Press. lslamic Phitosophy and Theology: An Extended Suntey. 1992. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Daflar Pustaka

171

Early Islam: Collected Articles. 1990. Edinburgh: Edinburgh University Press. Wensinck, A.J. 1979. The Muslim Creed: Its Genesis and Histoical Daselopmenf. New Delhi: Oriental Books Reprint Cor-

poration. Wolfsoru Huoy Austryn. The Philosophy of the Kntam.Cambridge:

Harvald University Press. Yusuf Karam

.

tt Al: Aqkt:a al-ltrtuj fid. Cet III. Cairo: Dar alNda'arif.

Ziy ddah, Ma'in

(e

d.). 7986. al- Mautsfi' ah al-F alsafyy ah aI: Ar abiy -

yah. Cel.I. Vol. II. Cairo: Ma'had al-Inmd' al-'Arabi.

Zuhdi Jdrull6h. 1974. Al-Mttt'tazikh. Beirut Al-Ahliyyah Nuryr wa at-Tawzf .

li

an-

lndeks

173

al-iii z, g, 40, 4g, s4,7s

'Amribn'Ubayd

al-IskAfi 88 al-Jdbiri 2, 3, 10, 1'1., 35,38,

Amstrong 50 an-nazhar f al-adillah 69 an-nazharfal-a'ydn 69 an-NazhzhAm 3, 33, 43, M,

39, 4, 49, 50, 55, 92, 94, 103, 114, 1'1.6, 117 al-]dhizh 29, 43, 45, 76, 97,

INDEKS

al-|uwayni 2, 5,

ibn'Ayydsy 21 Muhammad 'Abd al-

A

AbO IshAq

AHistory of IslamicPhilosoPhY 3 aprioi 59, 77, 730

Abt Sa'id

A.KevinReinhart 80, 81, U, 86, 730, 137, L35 A.j.Wensinck40, 41, 46, 48, 100, 105 Abbasiyah 23,30,32 'Abd as-SattAr ar-RAwi 9, 10,

24,

27

'Abdullathlf al-BaghdAdi 1 absolutisme 52, 53, 150, 158 AbO'Abdilah al-Bashri 22, 55, 707, 118, 134 AbO Ahmad ibn Abi'AllAn 22 AbO al-Hasan'Ali ibn'Abd al-

'Aziz

?3

AbO al-Husayn ash-Shdlilrl 88

AbO al-Qdsim al-Balkhl L18,

124, 129, 150, 155 AbO'AIi ibn Khalldd 21

Abt Bakr Muhammad Zakanyil 2l

AbOBisyrMattA 2, 32

Abt

Rahman al-Jalab 21 as-Sirlfr. 2, 32

AbO Sulaimdn as-SijistAni 31,

Aksioma 89 al: adl wa at-tswhid 45, 10'l' al:aradh 3 al-AswAri 4,97,746 al-Basi 19 al-Baydhdwi 2, 6 al-Farabi 7, 31., 32, 35, 36,

37, 55, 82,

ibn

83, 150

2

al-Hdkimal-jusyami 5, ?3, 28 al-Hdrits ibn Asad al-Muhnsibi

46,

80

al-hswiss 43, 68

129,13'1.,

al-UshOI al-Khamsah

5,

14,

20, 24, 27, 29, 29, u, 48, 49, 5'1., 52, 55, 61, 63, &, 65, 72, 74, 75, 80, 87, gg, 92, 96, 97,

'6dah 93,94,706,770 AdamFerguson 81 af 6l al-qulfrb 48, 75 Ahl an-Nazhar 88 Ahmad Fu'dd al-AhwAni 5

6,

155, 759 al-kumfrn w a ath- thafr ah 3 al-midilah w a ash-shfirah 3 al-Mdwardi 2, 139 al-muqabbahAt 732, 142, 143 al-Mutawakkil 29

32 ad-dsw6'i 77

Al4hazAli

AbO Bakar al-BAqillAni 32

45, 69, gg, 95,

't46,

126

al-ldhizJtiyyah 97 Al-Jami'ah: Journal of Islarric Studies 72 al-jrwhar 3

100, 102, 103, 104,707, 109, 111., 172, 113, 115, 177, 119, 719, 12'1., 122 al-wijibdt '1.42,'t43 md huraa' alayh lidzhtih 90 'al6mihuwabih 67, 68, 80, ' aI6

129, 13'1., 132, 1.M,'1,46, L50, 155 Alasdair Mclntyre 145

AlbertN. Nader 58 Alexius Meinong 79 Alfred Tarski 67 'AliibnAbiThahb 29, 64 'Ali SAmi an-Nasysydr 38, 54, 77, 115, 119, 119 Amerika 67

4

101,

759

AntonBakker 14 'aql 35, 38, 55, 80, 86, 87, 8& 706, 109, 135, 156, 157

'aradhiyyah 54 ashhib al-hayiln 89 ashhib al-ma'6if 97, 101 ashhhb

at-tajdhul

90, 726,

34, 53,

69,

156 87, 1,A6, 111, 135

ashl 40, 85, ashl li al:ilm 89

6, 29, 36,40, 45, 47, 56, 97, 101 Asy'adyyah 5, 6, 20, 27,29, 30, 33, 34, 40, 41, 46, 47, 49, 90, gg, 100,115, 120, 129, 131, 155, 159 asy-Syahrast/ini

azh-Zhahriyah 53

B Baghdad

129,

33, 55,

8'1.,

88,'t09,

139

Bahsyamiyah 22 bashtrah 108

4, 20, 21, 22, 29, 32, 33, 50, 91, 93, 129,

Bashrah 134 bayhnt

2,

11., 38, 39, 92,155,

'1.57

Before Reaelation 80, 86, 131,, 135

81, M,

Epistemologi Kalam Abad Pe(engahan

174

27,

being 3, 7, 54, 57, 70 Bentham 145

dzlt

lndeks

lV5

formalisme 136, L38, 149, 150

29

103

Berkeley 79 Bisyr al-Mu'tamir 88

dzdtiyyahmuqmruamah 54

FranzBrentano 79

Braithwaite 60 Brand Blanshard 67 BrianCarr 17, 59, 60, 67 bunyah 7, 75 burhdni 2, 38, 39

E

Franz Rosenthal 50 free will and pre ilestination 3 Fu'dd Sayyid 5

E.G. Browne 30

C. Brockelmann 24 C.D. Broad 105 C.I. Lewis 13 C.S. Peirce 60 conditio sine qua non

45,

epikeia 148

2, 7, 8, 10, 1'I.., 12, 13, 14, 75, 76, 77,

epistemologi

18, 28, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 4't, 42, 43, M, 45, 46, 47, 8, 49, 51, 52, 53, ru, 59, 64, 67, 68, 7'L, 73, 79, 80, 81, 85, 87, 90, 92, 93, 95, 100, L05, 107, 108,

76, 89

713, 132, 745, 155,

D D.J.

C/connor 17, 59, 60

ilalil 10,

175

das Ding an

sich 69, 752, 156

DavidBell

78

defacto 748

deontologi 137, 142, 745, 748, 150, 1-58 Descartes 59, 60, 79

dhnrfii 12, 41, 42, 45, 8, 7'1., 8'L, 82, W, 87, 9'l..,

93, 94, 95, 97,

FuatSezgin 24,26 fuqaha 1, 50

eksklusivisme 159

c

10L,

702, 103, \04, 105,706, 107, 177, 173, 775, 116, 118, 125 ilhiildiyyah 56 dialektika-apologetis 4, 18 dililnh 70,89,95, 113 DinastiAyyubiyah 1 diriyah 49, 155 DwiS.Atmaja 27, 22, 23,24,

7?2, 134, 746, 156,

129, 138, 154, 157,

'1,45,

130, 13't, 140, 1M,

151,152, 158, 159

G G. C.

Anawati 87

I

Gegenstandlichkeit 79

Hourani 7, 9, 10, 22, 23, 47, 52, 57, 62, 63, 69, 70, 72, 76, g6, 91, 105, 1L0, 127, 130,

George F.

139, 140, 14't ghn'ib ghayr hitlhir 89 gharizah 46 Ghayldn ad-Dimasyqi 4, 41

ghayriyyah 56

cibb 30 36,39,64,103,156 Hanaff 5, 21,, 22, 117 H.A.R.

F.P. Ramsey 67 F.S.C. Northrop 109

Fakhr ad-Dinar-Rdzi

57, gg,

1oo falsafahal-akhldq 2

2, 6, 48,

39, 40, 85, 87, 106, 11'1. Fazlur Rahman 4 Filsafat 4, 8, 't4, 17, 58, 60,

far'

739

Fiqh 21,

26

il,

Hasan

55, 59, 67 al-Bashrl 4, 139

HasanHanafi 5,7, 1'1. FIAsyim ibn al-fubbd'i 21 hay'itl6 89

hedonisme 145 Heinrich Steiner 4

Hellenisme

'1,,

32, 123

83,

150

5, 22, 49,

132

Idrdk 69,88, 103 Ignaz Goldziher 86 ihya'at-turdts 5 ikhflaf 56 ililhiyyah 7

'illah

6'1,, 76, 79, 115, 1't6, 'i,21,, lU, 135, 156

hil

Hanbaliyyah 29 Hans Reichenbach 60 Harry Austrlm Wolfson

Ibnal-Murtad}lra 27, 97

IbnKhaldfin 35,36 Ibn Rusyd 3, 35 IbnSind 35, 37,89, IbnTaynriyyah 3 Ibrdhim Madk0r

H

F

humanisme 148, '1,49, 'l,S'1., '1,52, 159, '1.59 humanitas '1.49, 150, 't52, 159, 159 Hume 59, 60,5& 88 Husni Zaynah 9, 1O Husserl 79

Esensialisme 129

Etika 106 etos 145 Eudemonisme 150

Heteronomi 149 histoical method 15 huilfits 55, 90, L01

3, Z,

'ilm 7, 37, 39, 41, 42, 49, 50, 51, 52, 6'1, 64, 65, 79, gg, 94, '1,02, 103, 105, 110, 1'1.6, "1,55, 157 infshdl 39 Lrggtis 3, 7, 8, 41, 60, 137 intuisionisme V, 8 Iran 20, 22,31 Irlandia 145 [slnmic Philosophy and Theology: An Extended Surce 'I Ismail Raji al-Faruqi 4 istibshilr 108

Epistemologi Kalam Abad Pertengahan

176

istiillill 46, 51, 53, 88,

9,

94,

Khabar 92,96

lndeks

177

MarkR. Woodward 6, 2'L, 24,

46, 92, %, 94, 95,96, . 110, 157 KhalilNami 5 Khasywiyah 98

Max Scheler 145

istinbdth 77A iththirdil al-hmtidits 94

khswf 66 koinai ennoiai 58,

Mehdi Ha'iri Yazdi 34

i'tiqhd29, 5'1., 53, 60, 6't,62, 67, 69, 78, 108 iftiafrd 38,97, 99

Kristen 3, 32, 40, 139,

I

lafzh 39, il,92 Leibniz 58,80, 156 Logic in the Classical Islamic Cul-

107, 110, 11L, 112, 113, 1'1.4, 177, 118, 157 istiillil bi asy-sy khid' alk al-gh6' ib 5'1,'/..07, 713

72, 19, 24, 28, 33, 54, 57, 6'1., 62, 63, 65, 66, 76, 96, 103,711, 118, 119

J.R.T.M. Peters

Jabariyah 98 Jahn ibnShafwen 4, 4't, 99 iawhar fard 3,

158

L

ture'1,

Louis Gardet 87, 89, 723

55

Jerman 62

jism 47, 86, 99 Joell-.Kraemer 22, 29, 31,32 112, 159 JohnDewey 67 Josef van Ess 1, 32, fu, 5& 712, 1'1.4, 175, 117, 118

Maroko L0 Maturidiyyah 29

117

madlfiI 1A, 112,

1'1.4, 117

mahsfrskt 54 majhz 74

3, 43, 7M, 147

MajidFakhry '1.40,

133,139,

1, 2, 3, 5, 7, 17, 18, 20, 2't, 22, 28, 33, U, 35, 36, 37, 38, 39, 40,

kal6m

{1, 42, 45, 45, 8, 50, 57, 53, il, 62, 86, 92,

96, 112, 776, 722, 723, 755, 757, 158, 159 Kant 46, 69, 74, 79, 132, 736, 7M, 745, 748, 151, 152, 156

o

mistis 37, 38 Moral 80, 13't, 132,1.& Mu'ammar 3,33, 55, 56, Sz mudrak 10, 91 mufashshal 70, 9't, 105, 111 mufoadditsfin 20, 2'1, 93, 94 mufudats 47, 86,'1,47 mujassimah 86 mujfrwarah 99

Mutasydbih 9, 14, 24, 72, l04', 107, 777, 720 mutasyibihit 9, 70 Mu'tazilah 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11,, 20, 2L, 22,23, 26, 27, 29, 30, 32, 33, 37, 40, 4'L, 42, 43, 4,

47, 52, 55, 66, 76, 90, 8't, 93, 96, 97, gg, g'1., 97, 100, 104, 109, 110,

117, 723, 126, 127,129, 130, 13't, 134, 1,40, 146,

158

manthiq 2, 32

ma'qfil 38, 78, 79 ma'qfrlilt il,96 Marie Bernand 9, 12, 75, 52,

62, 74 Ma'ifah 2, 11., 25,35, 50, 55 ma'ifah 7, 39, 4A, 46, 50, 52, 155

1.59

mwnidha' alt wa al-mnndtha' ah 110

P Perpustakaan al-Mutawakki-

liyyah

5

petitio Wncipr 71, 73

positivisme 60 yimafacie 72, 73, 136, 137,

QAdM

al-Qudhilt

23, 27,

21.,22,

Qadtm 7

tt R.M. Frank 55, 57, 135 reductio ad absurdum 90, 119 redundancy 67

relativisme 132, 't49, 150, 156 Richard C. Martin 6, 21, 22,

24, 27,

29

Rudolf Carnap 60

Ryle 60

nafs 36, 39, 75, 76, 79, 13'1,, 1M, '146, 150, 151, 155

S

41.,

9, 19,

29

qalb 74, 75, 87, 757 qiyas 43

N Nashr FIAmid Ab{u Zayd

1,48,

a

Mutakallimfin 42

36, 39, 52, 53, V,55, 56, 57, 58, 69, 79,92, 120, 7?2, 7U, 135,156,

otonom 136, '1.45, '147, 1.49, 150, 752

'1,42, 145

muqirabah 39 Murii'ah 40, 41

ma'nd

K

69,

g't

Nazhar '1,4, 88, 105, 111 Nicolai Harturann 145

mujmal 70,94, 105

Ma'bad al-]uhani 4 Machasin 8, 9, 10, 23, 27, 57, 72, 76,78, 105,714,

42, 43, 45, 46, 47,

M,

29

McGillUniversity 9,20

U

M

Iahl 63

27,

lrhabar

Sari Nusibeh 35, 36

178

Epistemologi Kalam Abad pertengahan

self-eaident 87, 96 semantik 67 semiotika 113

Shahib ibn'Abbdd 4, 22 shfrrah 3, 75

silogisme 2,

1'I.,,

179

tashdtq 94 tasybth 8'L, 90 tmpdtur 94, 95 telos 145

3, 9, 2-t, 22, 29, 29, 30, 33, U, 36, gg, gg, 40, 42, 43, M, 45, 53, 91, 92, 95, 97, %, gg,

teologis

49, 1SB

sim6' 94 skolastisisme 3 SoejonoSoemargono 8

100, 101, 102, 119, 119, 120, 130, 139, .!,43,.1M, '1,47, 152, 155, 757, 159,

speculatioe theology 12 Spinoza 79

Stoa 2,58, 59, U, 116, 117 sufisme 50,99, 132 sfrfsthi'iyyah Sg, 1.g2, 156 sukfrn an-nafs 96, gg, 76, Zg, 13'1, '1.M, 746, 150, 15]-., 155 sulthah 92

Sunni

32, 46, g7

syahiilnh 94, 117 Syihid 711. syalr* 12, 66, 67, 92, l2g Syarh al-'Uy0n 2'!,, Zg, 2g Syf"h 5, 6, 28, 29, g'1.,39 systematic apyoach 15

T ta'ammul 70,

71

tabayyun 108 tabkhtt 63, 65, 67, 72, 156 tahaqquq 108

tahayyuz

9)

tajribah 106, 110 tajwtz 39, 65, 90, 100, 119 Takltf 9, 74, 24 tamfitsul al-jawdhir 90 100

Taqlid 63, 67

159

thnbfiyyah 7 thefree-thinlersof Islam 1, 4 the philosophy of the kal6m T

theological rationalism 3

Toshihiko Izubu 84

5, 6, 20, Zg, 90, g-]-.,

lndeks

trinitas 99 truthclaim 159

U Uberzeugung 62

Universalisme 150 Ush0l al-Fiqh 26

Utilitarianisme 145 utilitarianisme 136, 7M, l1g

v VincentBrummer 14

w W.C.Smith 80 W.D. Ross 141

utajh 61, 79, '1,07, 174, 733, lU, 135, 136, 150, 't56 WilliamJames 6Z William Montgomery W att 7, 4,

5, 6,

%,

7,

28, 30, 32,3g,

123, 139, 144,

123

15g

z

Y Yahudi 3,41 Yaman 5 Yunani 1,

? 3, 32, 39, 35, il, 56, 59, 75, 77, gg,

zhann 1'1,,

65, 66, TS, 77,94, 95, 96, 1-1.6, 125

Zubayr ibn,Abd al_W6hid 20

Zurich

1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Wardani, M.Ag lahir di Tembok Bahalang Kalimantan Selatanpada tanggal 11 April 193 dari orang tua Anwar dan Airmas. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Dasar Negeri di Tembok Bahalang, Batang Alai Selatan, Hulu Sungai (1980 1986), kemudian MTsN di Barabai (1986- 1989), dan MAPK (sekarang MAKN) di Martapura (L990-1993). Kemudian menempuh pendidikan jenjang 91 di Fakultas Ushuluddiru Jurusan Tafsir-Hadits IAIN Antasari Banjarmasin (1994-1998) dan menjadi wisudawan terbaikl pada wisuda sarjana rc(VII danDies Natalis X)OOV IAIN Antasari Banjarmasin. Sedangkan jenjang Magister (92) ia tempuh di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakart4 Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Filsafat Islam (1999-2001). Aktivitasnya sekarang ini adalah sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin pada mata kuliah Metodologi Studi Islam, Madzahib at-Tafsir III, dan Sejarah Peradaban Islam, di samping juga sebagai staf pada perpustakaan Fakultas Ushuludin IAIN Antasari Banjarmasin. Beberapa karya ilmiah yang telah diselesaikan antara lain: "Konsep Masyarakat Ideal dalam AlQul'an" (skipsig7), "Kalam Antroposentris: ltoyeksi Kalam Masa Depan", artikel Banjarmasin Post, dan "Mistisisme dalam ltfihAd dan Wahda! al-Wujfrd",

artikel, Dinamik a B erita.

ehadiran karya ini sangat penting untuk memahami pertikaian pemikiran para pemikir lslam abad pertengahan tentang konsep dualisme dalam meresPon masalah akal dan wahyu. Tampaknya para sarjana skolastik ingin membawa persoalan wahyu yang dianggaP mutlak ke wilayah akal (rasio) yang nisbi. Tentu saia tarik ulur dua sudut pandang telah menyeret Para ulama ke kubu yang sangat ekstrem, meskipun ada sebagian yang mencoba untuk menyelaraskan antara keduanya aPayang kemudian disebut den gan middle of the road.

Tampaknya, persoalan ini masih saia menggelayuti ranah pemikiran lslam hingga sekarang. Dengan buku ini, diharapkan persoalan abad pertengahan tidak lagi menguras energi umat lslam, dan beraniak mengembangkan pemikiran yang lebih aktual dan berkenaan masalah kemanusiaan.

More Documents from "MOH KHOROFI"