Filsafat Ilmu [ierome R]

  • Uploaded by: Saepuloh
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Filsafat Ilmu [ierome R] as PDF for free.

More details

  • Words: 39,293
  • Pages: 235
Loading documents preview...
PUSTAKAPELAJAR

Sejarah 6t Ruang Lingkup Bahasan

Ay^res-tian-fc?

PM I -A '

Filsafat I lmu

Jerome R. Ravertz

Filsafat I lm u Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan

0

PUSTAKA PELAjAR

F il s a l a t I

lmu

Sejarah &Ruang Lingkup Bahasan Judul Asli: The Philosophy of Science

Oxford University Press, 1982 Penulis Jerome R. Ravertz Penerjemah Saut Pasaribu Penyunting Kamdani Desain Cover Nuruddien

Tata Lefak Bima Bayu Atijah Cetakan I, Maret 2004 Cetakan IV, Februari 2009 Cetakan V, Agustus 2014 PP.2004.11 Penerbit PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542, Fax. (0274) 383083 E-mail: [email protected] Pencetak Pustaka Pelajar Offset ISBN: 979-3477-50-4

DAFTAR ISI

Daftar Isi — vii

Sejarah Ilmu — 1 Pendahuluan — 3 I.

Ilmu dalam Peradaban Zaman Kuno dan Abad Tengah — 7

1.

Ilmu dalam Peradaban Yunani— 7

2.

Ilmu dalam Peradaban Romawi— 14

3. II.

Ilmu di Abad Pertengahan — 16

Ilmu dalam Peradaban-peradaban Lain — 19

1.

Islam — 19

2.

India — 22

3.

China dan Jepang — 23

III. Pencipta Ilmu Eropa — 27

1.

Kelahiran Kembali Ilmu di Zaman Renesans — 28 v

2.

Revolusi dalam Filsafat Alam — 34

3.

Hakikat Ilmu Eropa — 45

IV. Ilmu di Zaman Revolusi — 50

1.

Ilmu Selama Revolusi Industri — 51

2.

Asal-usul Intelektual Revolusi — 53

3.

Pengaturan Ilmu dalam Revolusi Perancis — 55

4. V.

Reaksi Romantik dan Ilmu — 58

Zaman Matangnya Ilmu-ilmu — 61

1.

Ilmu dalam Abad ke-19 — 62 l.a. Perbedaan-perbedaan dalam Gaya Penelitian — 63 l.b. Kemajuan dalam Fisika — 67 I.e. Kemajuan dalam Kimia — 68 l.d . Kemajuan dalam Biologi — 69

2. 3.

Awal Abad ke-20 — 72 Masalah-masalah dan Prospek-prospek

Bibliografi — 79 Filsafat Ilmu — 81 Pendahuluan — 83 I.

Pendekatan Umum Pada Filsafat Ilmu — 85

A. Hakikat, Ruang Lingkup dan Hubungan-hubungan Topiknya — B. Perkembangan Historis Filsafat Ilmu —

1.

Periode Klasik dan Abad Tengah: Permulaan Filsafat Alam — 92

2.

Abad ke-17 dan ke-18: Dari Manifesto Hingga Kritik — 100

3.

Sampai Perang Dunia I: Filsafat Fisika Klasik — 108

4.

Perdebatan Abad ke-20: Para Positivistis versus Sejarawan — 116

II.

Konseptualisasi dan Metodologi Ilmu — 127

A. Unsur-unsur Usaha Ilmiah — 129 1. Data Empiris dan Penafsiran Teoretis — 129 2 . Prosedur-prosedur Empiris Ilmu — 139 3.

Struktur-struktur Formal Ilmu — 145

4 . Perubahan Konseptual dan Perkembangan Ilmu — 152 B. Gerakan-gerakan Pemikiran Ilmiah — 160 1.

Penemuan dan Rasionalitas — 160

2.

Pengesahan dan Pembenaran — 169

3.

Penyatuan, Pluralisme, dan Reduksionisme — 175

III. Isu-isu yang Lebih Dalam dan Lebih Luas yang Melibatkan Ilmu — 183

A. Status Filosofis Teori Ilmiah — 183 1.

Status Proposisi dan Konsep-konsep atau Entitas-entitas Ilmiah — 183

2.

Analisis Filosofis dan Praktek

Ilmiah — 189 B. Hubungan antara Ilmu dan Budaya Bibliografi — 208 Indeks — 213

Sejarah Jtmu

PENDAHULUAN

Sampai saat ini, sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan. Kemenangan-kemenangan ilmu m elam bangkan suatu proses ku m u latif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan takhayul; dan dari ilmu lah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup manusia. Kesadaran yang terjadi dewasa ini tentang adanya m asalahmasalah moral yang serius di dalam ilmu, mengenai kekerasan-kekerasan eksternal dan paksaan-paksaan pada pengem bangannya, dan m engenai bahayabahaya dalam perubahan teknologis yang tak terkendali, menantang para sejarawan untuk melakukan penilaian kembali secara kritis terhadap keyakinan awal yang sederhana ini. Sejarawan segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam pendidikannya hanya­ lah salah satu dari sekian banyak gagasan, dan itu me3

rupakan produk dari konteks-konteks yang bersifat sem entara. G agasan itu meliputi kehadiran pusatpusat penelitian di berbagai universitas yang hampir otonom; penerapan hasil-hasil ilmiah secara besarbesaran oleh para teknolog; dan kebebasan penelitian ilmiah dari politik dan agama. Di abad ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan kekaburan antara ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumnya, para sejarawan menemukan bahwa stu di terh ad ap alam d ilak san ak an dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia yang kini ditolak sebagai kerangka yang bersifat m agis dan takhyul. Selain itu, semakin dalam para sejarawan memasuki asal-usul ilmu modern Eropa, mereka justru semakin sulit memisahkan sikap-sikap "ilm iah", dan hasil-hasil "faktual"-nya dari hal-hal yang tampak berlawanan dengannya. Para sejarawan terdahulu memperlakukan percampuran-percampuran itu sebagai anomali-anomali; sekarang percampuran-percampur­ an itu digunakan sebagai bukti-bukti untuk menyingkap konsepsi-konsepsi dunia alamiah dan cara manusia mengenalnya, yang memiliki daya hidup dan makna tersendiri pada zamannya. Oleh karena itu sejarah ilmu menuntut dan memelihara suatu imajinasi yang diperluas:'kemampuan untuk memandang diri seseorang dan ilmunya sebagai suatu tahap dalam evolusi yang berkelanjutan. Dalam suatu periode ketika relevansi dituntut pada studi-studi ilm iah, 4

sejarah ilmu memberikan relevansinya ketika eksplorasinya pada struktur-struktur penyelidikan yang berjarak (distant) dan asing (strange) ke dalam dunia alamiah sebanding dengan analisis kritisnya terhadap sum ber-sum ber langsung konsepsi-konsepsi dan praktek-praktek masa kini. Paparan ini akan disusun di seputar ilmu alam yang diciptakan oleh peradaban Eropa modern, karena bentuk ilmu inilah yang telah membawa dunia ke dalam kondisi sekarang ini, dan, tampaknya, ilmu ini harus dipahami dan dikendalikan jika umat manusia ingin tetap hidup. Akar-akar ilmu ini tertanam dalamdalam di masa lampau dan di banyak peradaban manusia. Di sini peradaban-peradaban itu hanya dapat disebutkan sepintas lalu, tetapi sejak awal harus ditunjukkan bahwa cara memahami dunia alamiah yang sekarang adalah suatu perkem bangan yang masih sangat baru. Adalah mungkin bagi peradabanperadaban besar masa lampau mencapai teknologi, agama dan sistem-sistem hukum yang sangat maju tanpa hadirnya konsepsi ilmu seperti yang kita pahami sekarang ini. Seperti peradaban-peradaban M esir Kuno, Mesopotamia, India, dan Belahan Dunia Barat. Bahkan bangsa Ibrani, bangsa yang agamanya membentuk sebagian besar basis peradaban Eropa, acuh tak acuh terhadap ilmu. M eskipun sekitar dua setengah milenium yang lalu bangsa Yunani menciptakan suatu sistem pemikiran yang sangat mirip dengan 5

pemikiran ilmiah, pada abad-abad selanjutnya hanya sedikit kemajuan yang melebihi prestasi mereka dan pengertian terhadap sistem pemikiran tersebut. Di Eropa ilmu menikmati kemajuan yang berkesinambungan selama 500 tahun, kendatipun pada sebagian besar periode tersebut ilmu mendapat perhatian yang lebih sedikit di kalangan elit budaya. Kehidupan orangorang awam dipengaruhi oleh ilmu hanya secara tidak langsung melalui pemikiran-pemikiran para ilmuwan dan dalam penerapan hasil-hasilnya. Kekuasaan yang besar dan pengaruh ilmu yang meresap ke semua aspek kehidupan adalah perkembangan-perkembangan yang masih sangat baru. Walaupun pengetahuan tentang dunia bebas dari kenyataan-kenyataan khusus pada saat ia ditemukan pertama kali, dan dapat ditula rkan di antara berbagai bangsa dan kebudayaan, namun usaha yang ditempuh manusia untuk mencapai pengetahuan adalah produk lingkungan manusiawi yang terus menerus berubah. Dalam artikel ini yang dapat dibuat hanya pe* nelitian yang luas dan umum. Untuk rincian sejarah topik tertentu, lihat bagian historis dalam artikel mengenai topik tersebut. ❖

6

I

1.

ILMU DALAM PERADABAN ZAMAN KUNO DAN ABAD TENGAH

Ilmu dalam Peradaban Yunani

Kemunculan science Eropa dianggap bermuJa dari para filsuf negara-negara kota Yunani yang mendiami pantai dan pulau-pulau Mediterranian Timur, di akhir abad ke-6 dan ke-5 S.M. Karya mereka hanya dikenal melalui cuplikan-cuplikan, rujukan-rujukan, kutipankutipan singkat yang dibuat oleh para pengarang yang hidup belakangan, m ungkin setelah ratusan tahun. Dengan menyeleksi cuplikan-cuplikan itu para pengarang dapat menjadikannya tampak lebih rasio­ nal dan lebih ilmiah daripada hanya sekedar pembenaran. Sebagai contoh ucapan masyhur Thales yang dikenal sebagai filsuf tertua, "Semuanya adalah air," sebenarnya diikuti dengan cuplikan "dan dunia penuh dengan dewa-dewa". Kendati demikian tampaknya 7

dapat dipercaya bahwa para filsuf Yunani Kuno lebih berminat pada penjelasan tentang fenomena dunia pencerapan inderaw i (perceptual world) daripada mengajukan resep-resep praktis, mereka melakukannva dengan m engutam akan sebab-sebab daripada pelaku-pelaku pribadi, m eskipun sebab-sebab itu sendiri berasal dari analogi yang terdapat dalam pengalaman berkarya dan perilaku manusia (seperti h aln y a p rin sip -p rin sip kosm isn y a E m p ed okles tentang "cinta dan pertentangan"). Dalam keterputusannya dengan penjelasan-penjelasan m itologis kebudayaan mereka sendiri dan peradaban-peradaban kuno, tempat mereka barangkali banyak meminjam pengetahuan m ereka yang terperinci, para filsuf Yunani justru menjadi perintis sikap ilmiah Eropa modern. Satu tradisi yang sangat penting terjadi, yakni aliran Pythagorean secara eksplisit menjadi bersifat religius. Pendiri aliran ini, berusaha menemukan kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial, dan personalitas bilangan, yang dilihat sebagai susunan titik-titik yang terbentuk, adalah bukti yang penting. Filsuf Eleatis yang muncul agak belakangan, Zeno dan Parm enides, menggunakan suatu analisis konseptual yang canggih untuk menyokong posisi filosofis yang menyatakan kesatuan eksistensi yang takberubah. Paradoks-paradoks Zeno mengenai kesatuan dan gerakan menghadirkan suatu tantangan yang masih hidup sampai sekarang. 8

Walaupun di penghujung abad ke-5 S.M. penyelidikan semakin canggih namun masih berupa pen­ jelasan speku latif m engenai fenom ena akal sehat ketimbang argumen yang benar-benar teknis tentang pengalaman-pengalaman buatan yang terkendali (con­ trolled artificial experiences); yang baru muncul bersama Aristoteles. Selain itu, walaupun filsafat ini tumbuh subur di kalangan elit yang hidup di zaman yang dinamai zaman emas ketika Perikles memerintah Athena, namun akal sehat (common sense) pada zaman itu masih bersifat mistis dan magis, yang dapat dilihat dari daftar keahlian yang tertulis dalam Dunia Prometheus karya Aeschylus. Di masa-masa sulit di penghujung abad ke-5 S.M., kecurigaan terhadap ketakberagamaan di kalangan para filsuf menguat dan hal itu tersirat dalam penghu ku m an terhadap A naxagoras dan dalam serangan kepada Sokrates dalam Awan-Awan karya Aristophanes. Ada dua seni yang dipelajari yang pada waktu itu m endekati kem atangannya, pertam a, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya m encoba menerapkan metode yang berdisiplin dalam pengamatan dan penarikan kesimpulan, dan kedua, geometri, yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus dan sedang mendekati masalah-masalah struktur logis (dalam edisi berturut-turut Unsur-Unsur, para pendahulu Euklides) dan m asalah-m asalah 9

definisi (sebagaimana perbandingan irrasional, seperti V 2).

Plato, yang hidup di awal abad ke-4 S.M., adalah seorang filsuf earliest (paling awal/paling tua) yang tulisan-tulisannya masih ada. Ia merupakan seorang propagandis matematika yang sangat berpengaruh. D alam R ep u blik ia b erargu m en bahw a geom etri mempersiapkan pikiran untuk perbincangan dialektis tentang ide-ide yang nyata (the real ideas), yang mana benda-benda inderaw i tak lain daripada bayangbayangnya, dan dari sana menuju kebijaksanaan dan penerangan (illumination). Karyanya Timaeus merupa­ kan karya yang lebih berpengaruh di zaman-zaman yang lebih awal; dalam karya ini ia membuat garis besar suatu kosmogoni di sepanjang arah Pythagorean, meliputi suatu teori musik yang ditinjau dari sudut perimbangan-perimbangan sederhana dan suatu penyelidikan teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada waktu itu. Ia berteman dengan para geometer, termasuk Eudoxus, orang yang barangkali merupakan pendiri kartografi matematis mengenai Bumi yang bersifat bulat, dan juga melakukan suatu penyelidikan y an g m en d alam terh ad ap k u a n tita s-k u a n tita s irrasional. Aristoteles, yang juga hidup di abad ke-4 S.M., adalah seorang filsuf dunia yang terkemuka dan terbesar. Minat-minatnya terentang luas meliputi seluruh bidang alam iah dan m anusia, term asuk etika dan 10

metafisika. M elalui pengam atan-pengam atan yang akurat dan teorisasi yang berdisiplin, ia menciptakan sebuah ilmu biologis dan sebuah taksonom i yang banyak mirip dengan ilmu yang kita gunakan seka­ rang ini. Sarjana-sarjana yang belakangan telah mengenali kesalahan-kesalahan dalam deskripsi-deskripsinya, namun ada kasus-kasus klasik di mana laporanlaporannya yang kelihatannya keliru, diperiksa ulang dan terbukti benar (pada spesies-spesies yang jarang dan bersifat lokal) kurang dari satu abad yang lalu. Ia juga melaksanakan penelitian kooperatif yang terorganisir untuk studi-studi berskala besar, seperti terw ujud dalam stu di kom p aratif terhadap perundang-undangan negara-negara kota Yunani Kuno. Ia merupakan seorang empu dalam metode ilmiah; dalam setiap studi ia m endefinisikan bidang permasalahan, berdialog secara kritis dengan para pendahulunya (biasanya dengan menunjukkan bahwa mereka itu naif dalam beberapa hal penting), dan kemudian meneruskannya dengan pengalaman dan penalaran untuk m engem bangkan argu m enn ya. Sebagian besar pembagian dasariah pengetahuan dan juga pengungkapan prinsip-prinsip metode dan jenisjenis pengetahuan yang berbeda-beda, yang dapat dicapai dengan penggunaan penalaran, berhutang budi pada Aristoteles. Aristoteles memulai karirnya sebagai murid Plato tetapi pada akhir-nya ia tidak setuju dengan gurunva 11

mengenai soal-soal mendasar. Khususnya, ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi dari kenyataan alamiah. Baginya realitas alamiah adalah suatu sistem hidup yang kompleks dan swakelola (self-regu­ lation). Sesungguhnya, seluruh filsafat alam berikutnya m erupakan sebuah dialog antara P lato dan Aristoteles, karena merekalah maka persoalar)-persoalan filosofis yang paling mendalam dihubungkah kepada kehidupan. Studi-studi biologis yang dilakukannya berpuncak pada masalah generasi, penyampaian bentuk di antara tubuh-tubuh yang berlainan. Ia juga mencoba menjelaskan cara kerja sang penyebab pertama seluruh fenomena fisik, melalui pelaksanaan tujuan-tujuannya dalam siklus surgawi. Ia sedikit bersimpati pada sihir; baginya mimpi lebih merupakan akibat dari pikiran-pikiran bawah sadar (subconscious mind) dan akibat ketidaknyamanan badaniah daripada pesan-pesan dari suatu roh. Prinsip-prinsip penjelasannya ada dalam kerangka kualitas-kualitas yang dapat dideteksi dengan panca indera (misalnya panas atau dingin, basah atau kering) dan serangkaian sebab (materi, pelaku, rencana dan tujuan-tujuan, dalam tatanan yang semakin menaik) berdasarkan analogi karya ahli (craftwork) dengan prinsip "seni meniru alam ". Selama beberapa tahun Aristoteles menjadi guru pribadi pangeran yang kemudian menjadi Alexander Agung, dan walaupun kemudian hal ini menyebabkan 12

ia mengalami berbagai kesulitan di Athena, namun pengaruhnya berpindah ke Museum di Alexandria. Tulisan-tulisannya m erupakan basis bagi filsafat alamiah yang walaupun dipraktekkan hingga abad ke-17, tetapi tetap tak terhindarkan akan adanya kesalahpaham an, dan tulisan-tulisannya digunakan untuk menyusun dogma-dogma yang steril. Aristoteles berabad-abad melampaui zamannya dan ia masih me­ rupakan sumber wawasan dan pendidikan hingga di masa kini. Dalam kekaisaran yang dibangun oleh Alexander Agung (di penghujung abad ke-4 S.M.) kebudayaan Yunani tumbuh dengan suburnya. Kota-kota besar menjadi tempat persaingan para sarjana dan teks-teks klasik, dan beberapa di antara mereka mendirikan pusat-pusat belajar seperti Museum yang terdapat di kota terencana Alexandria. Karena bebas dari kuil-kuil religius, pusat-pusat belajar ini mempunyai perpustakaan-perpustakaan besar, memberi pekerjaan bagi para ilmuwan dan sarjana, dan dengan terpeliharanya laporan-laporan danperalatan memungkinkan terjadinya kesinam bungan penelitian. W alaupun zaman Helenistik ini (kasarnya sejak tahun 323 hingga 40 S.M.) tidak mencapai keberhasilan puncak sebagaimana para genius zaman terdahulu, namun zaman ini menghasilkan beberapa matematikawan yang besar (Euklides, A rchim edes, dan Apollonius) dan para astronom (Hipparkhus). Studi-studi di bidang ilmu kedokteran 13

dan fisiologi juga berkembang, dan selama periode ini, alkimia Eropa yang berasal dari alkimia yang dikem bangkan oleh alkem isi M esir, m encoba merasionalisasi perubahan kimiawi dengan teori-teori Aristoteles. 2.

Ilmu dalam Peradaban Rom awi

Menjelang berakhirnya periode pra-Kristen, kekaisaran Romawi mencapai dom inasi atas seluruh dunia Mediterania. Romawi memunculkan paradoks bagi para sejaraw an ilm u. Perad aban ini begitu canggih dan nyata-nyata modern dalam politik dan personalitasnya, begitu gemar mempelajari disiplin hukum, sangat progresif dalam teknologi-teknologi perang negara dan kesehatan publik, dengan akses langsung kepada kumpulan karya-karya ilmu Yunani, namun gagal menghasilkan ilmuwan seorang pun. Memang ada dua ilmuwan yang sangat besar yang hidup selama pemerintahan Marcus Aurelius pada abad kedua masehi, namun keduanya adalah bangsa Yunani. Galen dari Pergamon, mensintesiskan dan memajukan studi kedokteran, anatomi dan fisiologi. Ptolem eus dari A lexandria, membawa astronom i matematis yang mendekati kesempurnaan klasik dan juga mencoba membawa pendekatan matematis dan ilmiah menuju ilmu sosial empiris yang paling awal, serta prediksi astrologis. Di satu sisi, orang Romawi sendiri m enganggap ilmu sebagai hal yang cocok 14

hanya untuk spekulasi yang bersifat sementara (casual speculation). Di sisi lain, ilmu dianggap cocok hanya untuk teknik-teknik praktis. Literatur ensiklopedi mereka berupa suatu kisah yang m em peringatkan betapa merusaknya pengetahuan bila tanpa disertai dengan stand ar-stand ar yang seksam a. M asalahmasalah ilmiah didiskusikan dengan serius di kalangan orang-orang Rom aw i hanya dalam hubungannya dengan filsafat-filsafat yang berbasis etis. Dua aliran terkemuka ialah Stoisisme dan Epikureanisme, dan amanat yang ditawarkan keduanya untuk menjadi manusia bijaksana, yaitu mengagungkan pengunduran diri (resignation) dan mengajarkan kebahagiaan. Walaupun demikian, aliran yang belakangan mampu menghasilkan sebuah maha karya ilmu yang spekulatif, De rerum natura (Tentang Hakekat Benda-benda), karya Lukretius (satu abad sebelum masehi). Amanat dari penjelasan-penjelasan atomistiknya atas fenomena ialah bahwa roh-roh yang bersifat immaterial hanya merupakan fiksi yang berfungsi untuk menanamkan ketakutan dan kepatuhan di kalangan orang banvak yang mempercayai takhayul. Para sejarawan berspekulasi tentang penyebab kegagalan orang Romawi di bidang pengembangan ilmu. Ada yang mencoba melihat perbudakan-yang menghambat dorongan bagi inovasi industri, sebagai penyebabnya, namun hal ini tampaknya terlalu sederhana. Barangkali struktur sosial bangsa Romawi 15

yang berkombinasi dengan kelekatannya yang lama terhadap bentuk-bentuk magis, tidak memberikan tempat bagi penghargaan atas komitmen istimewa untuk jalan yang sulit dan berbahaya dalam mencapai pengetahuan dan kebijaksanaan, yang dapat dilalui lew at penelitian yang berdisiplin terhadap aspekaspek dunia alamiah yang terpisah-pisah. Sebenarnya, ketika orang menyadari betapa sedikitnya kebudayaankebudayaan yang menumbuh-suburkan ilmu, orang dapat membalikkan pertanyaan dengan menganggap Romawi sebagai yang normal dan Yunani Kuno se­ bagai fenomena yang menakjubkan untuk dijelaskan. 3.

Ilmu di Abad Pertengahan

P erad aban Y unani-R om aw i m encap ai penggenapan siklusnya pada sekitar tahun 1000 Setengah abad berikutnya di Eropa sering disebut Abad Gelap. Di Eropa Barat yang diperintah bangsa Roma, ke­ budayaan melek huruf hidup terus hanya di biarabiara. Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne. Sebaliknya, dalam Kerajaan Timur yang diperintah oleh C onstantinopel, berlangsung suatu masyarakat yang beradab, walaupun dalam segenap sejarahnya selama 1000 tahun Byzan­ tium hanya sedikit menghasilkan ilmuwan yang patut dicatat. Sebagai masyarakat yang baru, suatu bentuk masyarakat yang lebih biadab sedang terbentuk di 16

Barar, pada waktu itu ada pekerjaan besar yang mempelopori penebangan hutan dan pengeringan rawarawa untuk tempat tinggal, dan ada beberapa pe­ nemuan penting (peiana kuda, sanggurdi, bajak, kincir angin dan kincir air) yang ditemukan sendiri atau ditiru. Di awal abad ke-11 sebagian besar orang terpelajar mengenai dan memahami ilmu kuno dalam cuplikan-cuplikan yang segeiintir dan tercabik-cabik, namun setelah iru terjadi kemajuan pesat. Pada abad ke-12 dialam i suatu renaissance yang sebagian di­ sebabkan oleh pergaulan dengan peradaban Islam yang lebih tinggi yang terdap at di Spanyol dan Palestina dan sebagian lagi disebabkan perkembangan berbagai kota dengan kelas atasnya yang melek huruf. Dari p eriod e ini m u ncu ilah k aran g an -karan g an spekulatif perdana tentang filsafat alamiah. Abad ke13 menyaksikan berdirmya universitas-universitas dan zam an kebesaran pengetahuan skolastik. Thom as Aquinas, seorang teolog terkemuka dan Roger Bacon, penganjur metode eksperim ental, termasuk dalam zaman ini. Akan tetapi dalam tahun 1350-an Eropa dilanda oleh bencana ekonorni dan sosial dalam bentuk keruntuhan finansial dan Maut Hitam (penyakit pes). Meskipun perdebatan filosofis, termasuk minat terhadap spekulasi matematis, masih terjadi namun secara ilmiah pada periode belakangan telah steril.

17

P en d ap a t-p en d ap at m engenai ilm u di abad tengah simpang-siur. Para sejarawan terdahulu memandang ilmu di zaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatisme dan takhayul, sementara sejarawan lainnya mencoba menunjukkan bahwa banyak fakta dan prinsip pokok ilmu m odern ditem ukan pada waktu itu. Persoalannya menjadi jelas ketika disadari bahwa orang terpelajar pada zaman itu tidak semuanya mencoba melaksanakan penelitian ilmiah seperti yang dipahami sekarang ini. Filsafat alamiah dan faktafakta khusus dipelajari terutama dalam hubungannya dengan agam a, juga untuk m enjelaskan teks-teks alkitabiah (secara harafiah ataupun kiasan) atau dalam rangka perdebatan para pengikut filsuf kafir (terutama Aristoteles sebagaimana di tafsirkan oleh filsuf Muslim A verroes atau dalam pengem bangan kosm ologi N eoplatonis yang mistis yang di dalamnya cahaya dipelajari sebagai bukti bagi realitas yang dapat ditangkap m elalui indera dan dilukiskan secara geometris. Pembedaan antara teknik, magis teoretis dan magis rakyat sama sekali tidak jelas bagi siapapun. Oleh karena itu dalam istilah-istilah modern, Roger Bacon pun adalah korban takhyul yang mudah tertipu. Demikianlah di Efopa dalam periode pertumbuhan yang melahirkan peradaban sekarang ini, ada sesuatu yang dapat disebut ilmu tetapi membutuhkan imaji­ nasi antropologis untuk memahaminya. ❖

18

ILMU DALAM PERADABANPERADABAN LAIN

Deskripsi prestasi-prestasi ilmiah dari peradabanperadaban besar dunia lainnya dibuat secara singkat dalam tulisan ini karena kontribusi-kontribusinya terhadap ilmu sebagaimana dipahami sekarang ini sangat sedikit. 1.

Islam

Kebudayaan Islam paling relevan bagi ilmu Eropa. Bukan sekedar karena dekatnya hubungan antara Islam dengan Judaisme dan Kekristenan, melainkan juga karena adanya kontak kultural yang aktif antara negerinegeri berbahasa Arab dengan Eropa Latin pada masamasa yang menentukan. Ironisnya, zaman kebesaran Islam bersam aan waktunya dengan titik nadir ke­ budayaan di Eropa Barat. Penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh pengikut sang Nabi yang dimulai sejak abad ke-7 hingga abad ke-10 telah membuat 19

1

bahasa Arab menjadi bahasa kaum terpelajar bagi bangsa-bangsa yang terentang mulai dari Persia hingga Spanyol. Para penakluk Arab umumnya membawa kedamaian dan kemakmuran bagi negeri-negeri yang didudukinya. Sebagai contoh, perpustakaan Cordova di Spanyol nyata-nyata memiliki 500.000 buah buku pada saat bangsa-bangsa di Pyrenia utara paling-paling hanya mempunyai 5000 buah buku. Bangsa Muslim juga toleran terhadap keyakinan-keyakinan monoteis lainnya, sehingga orang-orang Yahudi mendapatkan posisi yang tinggi di negeri-negeri Islam pada saat mereka hampir tidak diizinkan hidup di Eropa. Tertarik akan tradisi-tradisi ilmu Yunani, melalui para sarjana Kristen yang ada di Syria, para penguasa Arab yang bertempat di Baghdad pada abad ke-9 memerintahkan penerjemahan besar-besaran terhadap sumbersumber ilmu Yunani, dan segera sesudah itu peran sarjana Arab sendiri bergerak maju khususnya di bidang matematika, astronomi, optik, kimia, dan kedokteran. Akan tetapi basis sosial ilmunya rapuh. Dalam suatu masyarakat teokratis hanya ilmu kedokteran sajalah di antara ilmu-ilmu bangsa-bangsa pemuja berhala yang dianggap patut diterima. Oleh karena itu tak ada satu pun pusat kebudayaan ilmiah yang berkem bang pesat lebih dari satu abad, dan m eskipun bahan-bahannya disebarkan di tengahtengah mereka, tiadanya kesinambungan mencegah berlangsungnya perkembangan yang terus-menerus. 20

Lagipula, gaya kesarjanaan yang berkembang saat itu ialah dukungan bagi seorang individu dalam mencoba meraup seluruh pengetahuan dunia untuk mencapai kebijaksanaan sekuler, atau barangkali sebagai suatu jalan menuju penerangan (illumination). Tokoh-tokoh terbesar saat itu dapat membuat kemajuan-kemajuan kreatif, tetapi jarang sekali ada kerja sama para sarjana yang dibutuhkan untuk membuat orang awam men­ jadi efektif. Kontak antara Islam dan Eropa Latin sebagian besar berlangsung melalui Spanyol, di mana orangorang Kristen dan Yahudi dapat bertindak sebagai perantara dan penerjemah. Abad ke-12 menunjukkan adanya suatu program penerjemahan besar-besaran karya-karya berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin, mula-mula di bidang astrologi, dan magis, kemudian di bidang kedokteran dan akhirnya di bidang filsafat dan ilmu. Rute yang lebih kecil berlangsung melalui Italia, di mana kontak-kontak komersial berlangsung dengan Tunisia. Pa tut diperhatikan bahwa sekolah m edis tertua di Eropa bertem pat di Salerno dan belakangan disaingi oleh Montpellier, yang juga dekat dengan sumber-sumber Arab dan Yahudi. Akan tetapi meskipun merupakan pemimpin, bahkan sepanjang masa-masa penerjemahan, peradaban Islam berada di bawah tekanan bangsa-bangsa barbar yang ada di sepanjang wilayah perbatasan kekuasaannya, dan tidak lama berselang peradaban Islam segera meng21

alami keruntuhan. Di samping sumbangannya yang sangat besar bagi peradaban Barat dalam memelihara dan menularkan warisan Yunani, bahasa Arab juga m em beri kontribusi pada ilmu modern dalam sejumlah kata, terutama berkenaan dengan tetumbuhan dan makanan, dan juga kata-kata seperti alkohol dan aljabar. 2.

India

Peradaban India yang tertua sampai sekarang masih hidup. Peradaban itu telah mencapai tingkat teknologi yang tinggi sejak tahap awalnya. Kontak Eropa dengan peradaban India sebagian besar berlangsung melalui sumber-sumber berbahasa Arab, dan penelitian historis belum cukup maju untuk dapat membedakan prioritas-prioritas dan jalur-jalur penyebarannya. Jelas terlihat bahwa m atem atika India, dengan sistem bilangan dan penghitungannya yang telah b erkem b an g cukup tinggi, m em pengaruhi aljabar Arab; juga melengkapi angka-angka utama Arab (yakni, sembilan digit dan satu angka nol dalam suatu sistem nilai-tempat). Tetapi ciri khas ilmu dalam peradaban ini berkenaan dengan kesadaran yang lebih tinggi (higher consciousness), dan dalam soal ini pemikiran Eropa sangat kurang, namun hanya kadang-kadang saja disadari adanya kekurangan itu. Oleh karena itu prestasi-prestasi Eropa dan India tak dapat dibanding-

22

kan secara ketat melainkan harus dianggap sebagai saling melengkapi satu sama lain. 3.

C hina dan Jepang

Cina memunculkan tantangan yang lebih besar kepada sejaraw an ilmu Eropa. Basis pengetahuan umumnya ialah keduniaan ini, meskipun lebih di•dasarkan pada harm oni antara pribadi ketim bang keteraturan-keteraturan abstrak. Meskipun keduanya berjauhan dan bahasanya berbeda total, terdapat kontak yang berkesinambungan antara Eropa dan Cina sejak zam an Yunani K uno. Um um nya hubungan keduanya bersifat tak langsung dan terbatas pada perdagangan barang-barang antik, namun bahkan pada zam an kuno sudah terd ap at sinkronism e dalam gerakan-gerakan filosofis di Eropa dan Cina, abad ke-13 terjadi kontak personal yang penting, yakni melalui Marcopolo, satu-satunya contoh yang sangat mashyur. Hingga zaman Renaissans teknologi Cina lebih maju dari Eropa. Dalam karyanya yang monumental, se­ jarawan ilmu Inggris, Joseph Needham , telah menunjukkan pola-pola penyampaian serangkaian penemuan-penemuan penting dari Cina bagian barat. Sebenarnya, ketiga penemuan besar, yang diperlihatkan oleh para penulis abad ke-16 dan belakangan oleh Francis Bacon, sebagai hal yang penting bagi transformasi masyarakat Eropa semuanya berasal dari Cina: kompas m agnetis, serbuk mesiu, dan mesin cetak. 23

Namun Eropa tak pernah menyadari hutang budinya kepada Cina, sementara itu, yang lebih penting, bangsa Cina tak pernah mencapai perkembangan hingga men­ jadi ilmu modern dalam jenis yang dicapai bangsa Eropa. Ketidaktahuan orang Eropa akan hutang budinya kepada Cina mudah dijelaskan. Pada masa ketika peralatan teknis diimpor atau ditiru, mereka tidak begitu berminat untuk mempelajari, sehingga asalusul benda-benda itu tak pernah ditanyakan. Ketika para missionaris Jesuit tiba di Cina di akhir abad ke16, membawa hasil-hasil ilmu dan teknologi Barat sebagai bukti keunggulan Kekristenan, saat itu upayaupaya di bidang ilmu dan teknologi mencapai titik nadir di Cina, sehingga banyak prestasi-prestasi penduduk asli telah dilupakan. K egagalan Cina membuat perkembangan ilmu dan teknologi dapat dipertimbangkan dalam hubungannya dengan dua fase penciptaan ilmu Eropa yang didiskusikan di bawah ini. Masyarakat Cina selalu stabil, diperintah oleh penguasa sipil yang tidak turun-temurun dan filsafat yang berlaku di m asyarakat lebih berupa bimbingan praktis ketimbang prinsip-prinsip abstrak. Para pedagang adalah kelas yang tidak dipercaya, dan inovasi teknis harus diselesaikan di dalam birokrasi. Sehingga, ciri khas Renaissans masyarakat Eropa yang m em aksa seni-seni praktis m elaju ke depan, tak pernah terjadi di Cina. Lagi pula, filsafat alam Cina 24

juga didasarkan pada analogi-analogi organis dan hu bu ngan-hu bu ngan harm oni. Filsafat itu tidak pcrnah dapat mengakomodasi gambaran materi mati vang bergerak sesuai dengan hukum-hukum matema­ tis, yang itu merupakan fondasi bagi ilmu Galilean. Berkaitan dengan ini ialah fakta teknis bahwa hanya bahasa Yunani vang menghasilkan bahasa yang bersifat abstrak, matematis logis yang dapat berfungsi sebagai bahasa ilmu. M atem atika bangsa Cina terdiri dari aturan-aturan perhitungan, dan m eskipun sangat canggih, matematika ini hanya dapat diterapkan ke­ pada perhitungan-perhitungan terperinci yang telah dirancang. Demikianlah, Cina gagal menjadi Eropa. Akan tetapi, barangkali bersamaan dengan penghargaan baru Barat akan perlunya pelaksanaan harmoni yang lembut antara diri Individu dengan alam, masyarakat ilmiah barangkali masih mempunyai sesuatu yang patut dipelajari dari cara Cina kuno. A khirnya, terdapat kasus Jepang yang mempesona. Selama beberapa abad Jepang merupakan jajahan kultural Cina. Jepang mengalami penyingkapan singkat dalam ilmu dan agama Barat sebelum para penguasanya di penghujung abad ke-17 mem utuskan untuk m enutup pintu pada pengaruhpengaruh yang dianggap membahayakan. Di penghujung abad ke-19, bangsa Jepang memutuskan berasim ilasi dengan dunia luar dan kem udian melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Agama asli 25

Jepang cukup samar-samar sehingga bisa mengakomodasi setiap pernyataan ilmu Barat. Para ilmuwan Jepang, para teknisi dan orang-orang awam masa kini memutuskan untuk menjalani hidup dalam dua sisi sebagian dalam dunia yang hiper-m odern dan se­ bagian lagi masih dalam salah satu tradisi sosial kuno yang ketat. ❖

26

PENCSPTAAN ILMU EROPA

"Ilmu " adalah ciptaan bangsa Eropa. Meskipun peradaban-peradaban lain m em berikan berbagai kontribusi yang penting kepadanya, dan walaupun di masa kini semua bangsa berpartisipasi dalam pe­ nelitian, ilmu alam secara khas adalah ciptaan Eropa dan koloni-koloni kulturalnya. Ilmu berakar dalam pemikiran dan masyarakat, sama halnya dengan tekno­ logi Eropa dan jiwanya yang serakah; oleh karena itu ilmu adalah bagian penting dari proses pencapaian dominasi atas bangsa yang lemah dan hingga kini masih merupakan ujung kebiadaban dunia. Penciptaan ilmu Eropa mempunyai dua fase; pertama, per­ kembangan teknis di abad ke-16, dan kedua, revolusi filosofis di abad ke-17. Sejak itu muncullah gagasan ilmu yang berlaku hingga saat ini.

27

1.

K elah iran Kem bali Ilmu di Zam an R e n e sa n s

Kata ilmu dan nenek moyangnya Yunani dan Latin adalah suatu hal yang sudah tua, dengan arti-artinya yang terus-menerus berubah. Pada periode masa itu yang dim aksud dengan kata ilmu terbatas pada bidang-bidang yang memberikan pengetahuan menge­ nai teologi dan filsafat. Istilah lainnya ialah seni atau teknik. Beberapa seni disebut liberal dan diajarkan di sekolah-sekolah Latin dan di universitas-universitas. Seni itu ialah bahasa, logika, matematika, dan kaum terpelajar atau para pejabat mempelajari kedokteran dan hukum . Seni lainnya, yang bersifat m ekanis umumnya tergolong pekerjaan yang tidak disenangi karena bayarannya rendah. Konsepsi pengetahuan yang berlaku di masa itu masih berbeda secara radikal dengan konsepsi masa kini. Pada masa itu umumnya diterima bahwa pernah ada suatu zaman keemasan ketika semua hal diketahui (ketika semua manusia m asih berdiam di Taman Eden dan barangkali di zaman kuno atau zamannya para bijaksana). Pene­ muan kembali kebenaran dipandang bukan sekedar soal m em aham i fakta-fakta; sebab tersedianya ke­ benaran pertama kali dan lenyap pada masa berikutnya merupakan peristiwa-peristiwa yang bermakna religius. Karena dunia inderawi sangat dipengaruhi oleh agen-agen ilahi, demonis dan magis, maka untuk menyingkap rahasianya bukan tugas sekuler sematamata. Karena konsepsi modern mengenai ilmu se28

bagian berakar dalam pertentangannya dengan pan­ dangan dunia (world view) ini maka sulit membayangkan kemungkinan adanya sudut pandang (point o f view) ilmiah di dalamnya. Akan tetapi jika para sejarawan masih sepakat dengan anggapan ini maka ia masih terpenjara dalam kategori-kategori zamannya sehingga tak mampu memahami dunia luar yang lebih luas. Tahun 1413 merupakan saat permulaan bagi ekspansi Eropa, saat pertama kali bangsa Eropa menyerbu pantai Afrika, tepat lima ratus tahun sebelum Perang Dunia I, awal pemisahan kekaisaran-kekaisaran Eropa. Di awal abad ke-15 iklim kultural Eropa umumnya suram: universitas-universitas runtuh, gereja terpecahpecah, dan perekonom ian masih menderita akibat pengaruh-pengaruh Maut Hitam. Topik-topik yang kini disebut ilmu ham pir tidak ada kecuali yang dipelajari dalam kaitannya dengan seni praktis. Pada masa itu bahan-bahannya pun tidak mencukupi kebutuhan, kom petensinya rendah, dan organisasi sosialnya tidak berkembang. Asal-usul kelahiran kembali ilmu dapat dilokasikan pada tiga pusat. Asal-usul pertama dan yang terkenal ialah hal yang disebut dengan penemuan manu­ sia dan alam, sebuah produk Renesans yang artistik pada abad ke-15 di Italia. Ilham mengenai hal ini ditemukan di zaman klasik kuno serta fakta bahwa para sarjana Humanis mengedit dan menerbitkan teksteks berbahasa Latin dan Yunani dan menerjemahkan 29

semua bidang, termasuk ilmu. Seni-seni visual, yang secara longgar dikelom pokkan sebagai arsitektur bangkit dan mendapatkan penghormatan sosial serta memberikan suatu silsilah klasik dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang pengarang Roma, Vitruvius. Senim an-senim an besar menjadi orang yang mem­ punyai minat dan kebudayaan yang luas, yang dicoba dilindungi oleh kaum bangsawan. Karir Leonardo da Vinci di penghujung abad ke-15 merupakan contoh bagi posisi yang tinggi dan aktivitas yang meliputi banyak bidang. Pada saat yang sam a, daerah pegunungan di Jerm an selatan, dengan ujungnya yang terletak di Nuremberg dan Cracow, mengalami pertumbuhan pesat dalam pertambangan, metalurgi dan perdagangan. Matematika praktis, teori serta praktek pengolahan besi (metal working) juga berkembang di sana. Sungai Rhine yang menghubungkan daerah ini dengan pusatpusat pertenunan orang Flander yang makmur. Dan sungai ini m erupakan jalu r perdagangan tem pat Gutenberg menemukan mesin cetak. Salah satu spekulasi yang sangat rumit dan mahal saat itu adalah diadakannya suatu penelitian dan pengembangan yang bertujuan m enem ukan sifat-sifat cam puran logam yang tepat untuk membuat cetakan-cetakan logam yang dapat dipakai berulang-ulang. Namun, begitu ditemukan, proses •penyebarannya cepat sekali. D i-peng­ hujung abad ke-15 setiap kota besar mempunyai pe30

nerbitan sendiri, dan tersedianya buku-buku dengan harga murah menyebabkan terjadinya transformasi di bidang pembelajaran dan kebudayaan. Masih dalam abad ke-15 bangsa Spanyol dan Portugis m em ulai penjelajahannya. O rang-orang Portugis terdampar di sekitar pantai Afrika, barangkali menggunakan Brazil sebagai tempat pendaratannya, mencari emas dan Prester Jhon* yang melegenda di Ethiopia. Mereka malah menemukan jalur menuju India, sehingga mereka memintas jalur Timur Tengah untuk mendapatkan rempah-rempah (pada masa itu apa pun dibeli dari bangsa-bangsa Timur yang dianggap superior secara teknis termasuk resep-resep, bum bu-bum bu dan obat-obatan). D idorong oleh kepentingan penelitian kala itu, bangsa Spanyol membiayai perjalanan Colombus beserta para penakluk (Concjuistadores) untuk menyingkapkan dunia baru. Pelayaran melintasi lautan menimbulkan tuntutan baru pada astronomi dan teknik-teknik serta peralatan matematis, orang-orang Spanyol dan Portugislah yang pertama kali melaksanakan penelitian tentang hal itu, khususnya teknik-teknik hidrografis. Dunia baru memperkenalkan tanam-tanaman baru, hewan-hewan baru, penyakit-penyakit baru dan peradaban-per-

* Seorang raja dan pendeta legendaris Kristen Abad Tengah yang konon katanva memerintah baik di Timur Jauh maupun di Ethiopia. (Penerjemah)

31

adaban baru kepada bangsa-bangsa Eropa; kegembiraan dan efek-efek yang tidak menyenangkan dari pe­ nemuan itu berlangsung terus, generasi demi generasi. Buku-buku yang dicetak di abad ke-16 (dalam salinan modernnya) memberikan suatu sumber bukti yang layak untuk suatu bangunan ilmu. Pada perm ulaan abad ini pengetahuan m asih belum b er­ kembang dan sangat tergantung kepada rihgkasanringkasan kacau dari zaman kuno dan sumber-sumber berbahasa Arab. M enjelang pertengahan abad ini muncul berbagai karya yang mengungguli orang-orang terbaik dari para pendahulunya. Di bidang astronomi ada De revolutionibus (1543) karya Polish Nicholaus Copernicus, sebuah maha karya teknis dan juga suatu telaah revolusioner di bidang kosmologi. Di bidang anatom i, Andreas Vesalius seorang bangsa Belgia m enciptakan pendekatan baru kepada penelitian anatomis dan mengajarkannya dalam buku De fabrica (1543). Di bidang matem atika, Gerolam o Cardano, seorang bangsa Italia, mengembangkan aljabar (mem­ berikan solusi umum atas persamaan kubik) dalam karyanya, Ars magna (1545). Selama abad ini pula, Reformasi Protestan meletuskan serangkaian peperangan yang membuat para perwira perang memerlukan keahlian matematis ter­ tentu yang baru, yang berkaitan dengan pembuatan benteng dan keahlian membuat atau menembakkan meriam, yang juga memunculkan kelas-kelas baru 32

para praktisi seperti ahli-ahli bedah militer dan para teknisi. Meskipun beberapa bidang teoretis cenderung spekulatif namun ada kem ajuan besar-besaran di semua seni ini. Menjelang berakhirnya abad ini seni matematis terapan menjadi bagian pendidikan yang standar bagi seorang pria terhormat (gentleman) di Benua E rop a. F ilsu f-m atem atisi Rene D escartes m engajarkannya di sekolah Jesuitnya dan G alileo, seorang Italia, mengajarkannya di universitas Padua. Dengan cara ini untuk sementara waktu muncullah rintangan-rintangan yang menyulitkan dari kelas-kelas yang gila horm at menentang seni-seni itu. Hal ini sangat menentukan bagi pembentukan filsafat baru dan penerimaannya oleh para pendukungnya yang terdidik secara liberal. Walaupun begitu filsafat baru tersebut bukanlah syarat mutlak bagi keberhasilan penuh ilmu. Di sekitar abad itu dan sesudahnya, muncul karya-karya ilmu yang memuat penem uan-penem uan tertentu yang masih d iterim a kebenarannya hingga m asa kini, walaupun para ilmuwan yang menemukannya masih bekerja dalam kerangka pandangan dunia yang se­ cara langsung ditolak oleh filsafat yang baru tadi. Demikianlah William Gilbert (1600) di Inggris men­ jelaskan bahwa jarum kompas dari sudut pandang keberadaan bumi sebagai raksasa, adalah magnit yang sangat lemah, namun ia m elakukan hal ini dalam rangka pembuktian bahwa roh dunia terkandung di 33

dalam magnet. Di Paraguai, Johannes Kepler tak lama kemudian (1609) menemukan orbit-orbit sesungguhnya dari planet-planet, yang berbentuk elipsis (bulatan panjang) di sekitar matahari, dan ia tidak pernah menghentikan penelitiannya terhadap harmoni-harmoni kosmos. Kemudian pada tahun 1628, William Harvey di Inggris merumuskan sirkulasi peredaran darah, namun baginya hal itu lebih berupa gambaran mikrokosmik sirkulasi-sirkulasi dunia ketim bang suatu sistem yang bersifat mekanistik belaka. Campuran yang paling aneh, oleh standar-standar modern, ditemukan dalam kimianya Paracelsus dan para pengikutnya di abad ke-16 dan ke-17. Mereka menggabungkan unsur-unsur keahlian metalurgi, ilmu kedokteran umum, alkimia, agama, mistik, dan perbaikan sosial, dan pada akhirnya mereka benar-benar berhasil se­ bagai ahli kimia. 2.

R evolusi dalam Filsafat Alam

Pada abad ke-17 terjadi perumusan kembali yang radikal terhadap objek-objek, m etode-m etode dan fu ngsi-fu ngsi pengetahuan alam iah. O bjek-objek barunya ialah fenomena yang teratur di dunia tanpa sifat-sifat manusia'wi dan spiritual, metode-metode barunya merupakan penelitian yang berdisiplin dan kooperatif, dan fungsi-fungsi barunya berupa gabungan dari pengetahuan ilmiah dan kekuasaan industrial. Walaupun hal ini sering disebut revolusi ilmiah, tetapi 34

lebih berupa revolusi tentang ilmu ketim bang di dalam ilmu. Dalam sebagian besar bidang penelitian, kemajuan berlanjut terus hingga berabad-abad, dan membuat lingkungan sosial di luar ilmu berubah se­ cara drastis. Karena sebagai penyebab utama lahirnya dan cepatnya difusi filsafat ini, maka perubahan radikal dalam pengetahuan umum kaum terdidik tentang dunia harus diperiksa: singkatnya, perubahan itu ialah dari gagasan suatu kosmos yang hid up yang berasal dari masa-masa yang terdahulu menjadi suatu alam semesta yang mati. Target utama serangan para revolusioner ialah pendidikan tradisional yang lebih tinggi yang disebut Skolastik. Skolastisisme mengasumsikan sebuah dunia yang hidup, yang diciptakan dan dijaga oleh Allah benar-benar hanya demi kebaikan manusia, dan studi mengenai dunia sebagian besar diselesaikan dengan mengutip otoritas-otoritas, baik yang bersifat filosofis maupun dari sumber-sumber kitab suci. Fungsi pe­ ngetahuan ini untuk m erasionalisasi pengalam an inderawi dalam harmoninya dengan agama wahyu. Sebaliknya, ilmu-ilmu terdahulu dan terhormat me­ ngenai astrologi dan alkimia dan yang berhubungan dengannya pada umumnya ditolak mentah-mentah oleh para filsuf baru dengan suatu cemoohan sekilas karena menurut akal sehat mereka, kedua ilmu ini sangat menggelikan sebab tak menuntut adanya pembuktian bahwa sesuatu itu tidak benar. Demikianlah 35

di tahun 1600 seorang terpelajar tahu bahwa Bumi terletak di pusat kosmos, pusat perubahan, bersifat fana, orang Kristen akan diselamatkan, sementara di atasnya planet-planet dan bintang-bintang mengitari, m urni dan tidak berubah namun digerakkan oleh sejenis inteligensi atau roh-roh ilahi dan juga memberi isyarat kepada peristiwa-peristiwa manusiawi r^ielalui lokasi-lokasi dan aspek-aspeknya. Seratus tahun kemudian, keturunan orang Kristen yang sama, tahu (jika ia tidak tinggal di suatu daerah yang dikendalikan oleh Gereja Katolik) bahwa Bumi hanyalah salah satu di antara planet-planet yang bergerak melintasi ruang kosong yang tak terbayangkan jauhnya dan bahwa Allah masih dapat menjalankannya. Sama halnya, orangorang terdahulu, sebagai pribadi yang rasional, akan menerima bukti bekerjanya sihir-sihir dan lazimnya keberadaan para dukun; sementara orang yang belakangan, dengan rasa pasti yang sama, akan menolak mentah-mentah semua cerita-cerita itu yang dianggap sebagai efek-efek penipuan untuk kasus yang satu dan penyiksaan untuk kasus yang lain. Para nabi tokoh-tokoh revolusioner abad ke-17 — abad revolusi ini ialah Francis Bacon di Inggris, lahir tahun 1567, dan Galileo Galilei di Italia, lahir tahun 1564. Masing-masing bertekad melakukan suatu misi besar di samping fakta-fakta dan teori-teori khusus, dan masing-masing dalam caranya sendiri merasakan kekalahan yang tragis. Bacon, yang bekerja secara 36

profesional di bidang hukum dan politik, meminjam tema-tema dari para filsuf pietistik terdahulu dan memandang dirinya sebagai orang yang meresmikan suatu pembaharuan pengetahuan, sehingga penebusan material umat manusia dapat beriringan dengan keselam atan spiritual dalam mempersiapkan masa depan yang penuh kedam aian dan kem akm uran (millenium). Ia berharap dapat melaksanakan program ini melalui dukungan kerajaan namun program ter­ sebut menjadi hancur saat karir publiknya mendadak diberhentikan dalam suatu pemecatan yang tidak adil. Descartes percaya bahwa ia telah menyelamatkan kebenaran dan agama dari kritik merusak para skeptis, melalui sebuah metode yang didasarkan pada contoh geometri. Dengan alat itu ia berharap menjadi Aristoteles baru, yang mengkonstruksi suatu filsafat yang lengkap, mulai dari mekanika sampai pada ilmu kedokteran. Demikianlah ia akan meresmikan sebuah epos baru umur panjang dan kebijaksanaan, karena mewujudnyatakan program rasa persaudaraan mistis kaum Rosicrucian beserta idealisasinya, dia menjadi orang yang diperhitungkan. Namun pekerjaannya tersebut macet dalam kompleksitas setiap aspeknya, dan menjelang akhir hidupnya yang singkat, ia tahu bahwa ia hanyalah seorang metafisikus dan matematikus yang besar. Galileo kurang mementingkan yang ideal dan lebih mementingkan praktek. Ia hanya berkeinginan m en gh an cu rk an konsep si filsafat S k o la stik dan 37

menggantikan dengan filsafatnya, sebentuk pencarian bebas suatu alam semesta matematis yang tak berpribadi. Baginya sistem Copernican merupakan fakta yang sangat indah dan juga merupakan senjata ampuh untuk melawan para profesor bod oh. Ia tak begitu peka terhadap konsekuensi religius dan ideologis pemikirannya yang merupakan revolusi kecil pada zaman dan tempatnya, sehingga ia membuat kesalahan besar yang m enim bulkan bencana, yakni berkonflik dengan teman seniornya dan pelindungnya, Paus Urban VIII. Walaupun ia berada dalam tahanan rumah, sakit dan menjadi buta namun ia tetap memendam kebencian yang terus berkobar terhadap musuh-musuhnya dan, di usia 74 tahun, mahakaryanya tentang mekanika diterbitkan, Two New Sciences. Kontribusi Bacon bagi ilmu memang tidak terlihat, namun ia memberikan suatu cita-cita yang mengilhami dan juga pertimbang­ an-pertim bangan yang cerdas m engenai aktivitas sosial ilmu. Descartes menciptakan suatu metafisika baru, suatu aljabar dan geometri yang maju dan bebe­ rapa hasil-hasil di bidang fisika yang dapat diterima (penjelasan pelangi). Kerja keras Galileo yang sangat luas bagi Kopernikus hanya mempunyai pengaruh kecil yang tak langsung, dan itu merupakan sebuah campuran; namun dengan mekanikanya ia membawa kejelasan relatif kepada ilmu gerak dan meletakkan fondasi-fondasi yang kokoh bagi karya masa depan.

38

Meskipun mereka berbeda-beda dalam gaya dan kontribusinya, ketiga nabi ini mempunyai tekad yang sama terhadap dunia alamiah dan studinya. Alam itu sendiri mereka lihat sebagai sesuatu yang tidak mem­ punyai sifat-sifat manusiawi dan spiritual. Tak mungkin ada dialog dengan alam, entah itu memakai penerangan mistis atau otoritas yang mendapat ilham. Lebih tepatnya, alam harus diselidiki dengan serius dan takberpribadi, dengan memakai pengalaman inderawi dan nalar. Fenomena aneh dan ajaib, seperti gempa bumi, kesembuhan ajaib, kelahiran-kelahiran yang ganjil yang dulu merupakan objek spekulasi, kini dipandang kurang penting dibanding pengam atanpengamatan yang teratur yang dapat diulangi. Per­ hatian penuh dan disiplin diri diperlukan dalam peng­ amatan juga dalam berteori, dan pekerjaan kooperatif diperlukan untuk akumulasi yang mantap dan pengujian hasil-hasilnya. Tujuan-tujuan penelitian yang masih mempertahankan pengaruh m agis dalam idealisasi filsuf tradisional tentang kebijaksanaan kontemplatif telah digantikan dengan dominasi alam demi keuntungan m anusia. Tetapi hilangnya kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan magis, menyebabkan perubahanperubahan dalam metode-m etode dan juga dalam tanggung jawab. Dengan tiadanya kekuatan-kekuatan sihir dan obat-obat awet muda (elixirs), pengetahuan alam menjadi bermanfaat ketika diterapkan kepada 39

p erbaik an -p erb aik an kecil industri dan ilmu kedokteran, serta tidak bersifat merusak. Demikianlah optimisme moral ilmu Eropa modern membangun fondasi-fondasinva dan menjadi akal sehat yang tak dipersoalkan sampai jatuhnya bom atom di dua kota beradab Hirosima dan Nagasaki. Kemapanan masyarakat-masyarakat ilmiah me­ rupakan hasil langsung konsepsi baru pengetahuan alamiah dan m etode-m etode pencapaiannya. Sejak awal sudah disadari bahwa masyarakat-masyarakat tersebut, dengan jurnal-jurnalnya, harus mencapai harmoni antara kebutuhan-kebutuhan komunitas akan penyebaran hasil-hasilnya yang cepat dengan ke­ butuhan-kebutuhan para ilmuwan akan perlindungan milik pribadi atas hasil-hasil kerja kerasnya. Royal Society di London, yang memproklamirkan ketaatannya terhadap cita-cita yang telah ditetapkan oleh Fran cis Bacon dan m enyem bunyikan hubunganhubungannya dengan para pem baharu yang ada dikubu parlemen, diberi izin dengan piagam resmi dalam tahun 1662 oleh.raja yang baru saja dipulihkan kekuasaannya, Charles II. Orang Perancis mengikuti contoh itu, beberapa tahun kemudian kerajaan-kerajaan di Eropa kontinental juga melakukan hal yang sama. G aya-gaya nasional m enyatakan diri sejak awal. Contohnya, Royal Society, merupakan suatu kelompok yang bersifat pribadi dengan dukungan raja yang tak lebih dari dukungan moral, sementara akademi-akademi 40

kontinental didirikan oleh negara dan para anggotanya m endapatkan penghasilan, m eskipun m ereka kehilangan kebebasannya. Berkenaan dengan susunan dan cara kerja dunia alamiah, Para filsuf baru (kecuali Bacon) mengasumsikan bahwa semua fenomena inderawi merupakan hasil interaksi partikel-partikel materi yang kecil. Partikelpartikel ini tidak m em punyai inteligensi ataupun tujuan, sehingga paradigma reaksi ialah pertabrakan bola-bola. Karena itu kualitas-kualitas benda yang dapat dilihat dan dirasakan oleh panca indera (yang merupakan dasar ilmu A ristoteles) hanya bersifat sekunder, hanya akibat-akibat yang ada dalam pikiran kita. Kualitas-kualitas primer adalah yang mampu dilukiskan secara matematis. Meskipun pandangan ini mempunyai banyak variasi yang diperdebatkan (N ew ton khususnya m enam bahkan daya sebagai unsur yang nyata), terdapat demarkasi yang sangat jelas antara pandangan yang mengikuti dengan pan­ dangan yang menentangnya, A ristotelianism e dan aikemia. Dalam beberapa bidang filsafat baru tersebut cocok dengan kemajuan yang dicapai pada tahap itu, dan b id ang-bid ang itu m engalam i tran sform asi. Seperti kosm ologi, m ekanika dan pneum atika. Di tempat lain di bidang ilmu kemajuan-kemajuan yang dicapai tidak terlalu besar. Optik mendapatkan awal modernnva dari Kepler, sedangkan elektrisitas dan 41

m agnetism e dari G ilbert. Teori kimiawi tidak mengalami perkem bangan yang berarti; penjelasan-penjeiasan Robert Boyle di Inggris berkenaan dengan sel darah (pada pertengahan abad ke-17) hanya merasionalisasi ide-ide yang sudah ada. Di bidang biologi dan kedokteran, meskipun ada usaha prematur reduksi menuju model fisika, namun hal ini tidak memperlihatkan hasil hingga dua abad kemudian. Dampaknya yang langsung pada teknologi terbatas pada rasionalisasi m esin-m esin sederhana dan pengem bangan teknik-teknik vakum. Dengan demikian filsafat baru bukan merupakan generalisasi dari keberhasilan ilmu baru. Lebih tepatnya suatu komitmen metafisik yang mendahului, yang akhirnya membuktikan kesuburannya di segala bidang, terhadap generasi-generasi berikutnya. Dengan adanya keadaan-keadaan ini, tidak mengherankan bahw a banyak ilm uw an, khususnya di bidang kimia dan kedokteran, m enolak anggapan bahw a filsafat p artikel (corpu scu lar) m erupakan penghidupan kembali sistem ateistik kuno yang tak bergu na, karena, jika p artikel tidak m em punyai inteligensi atau tujuan, tabrakan-tabrakannya acak, aksidental, maka keseluruhan alam semesta menjadi tak bertujuan. Pada waktu itu kimia belum merupakan studi yang proses-prosesnya terkendali, yang melibatkan reagen-reagen murni melainkan masih terikat pada praktek keahlian industrial dan ilmu kedokteran 42

Parakelsian. Selam a Perang Sipil, di Inggris berlangsung perdebatan mengenai hakikat dan fungsi ilmu serta pendidikan. Dalam perdebatan tersebut para sarjana yang berorientasi matematis menempatkan diri dalam kubu konservatif. Isu yang dimunculkan oleh John Webster di tahun 1654, seorang ahli kimia, ialah apakah universitas-universitas harus mengganti kurikulum kuno m ereka, kurikulum lepas (sterile curriculum), dengan studi-studi murni, yang keras serta keahlian-keahlian praktis yang didasarkan pada kimia Parakelsian atau tidak. Para pendukung status quo (termasuk para cikal-bakal Royal Society) berargumen bahwa ajaran ilmiah yang sejati tersedia bagi orang yang m enginginkannya; tetapi akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka menerima peranan universitas sebagai sekolah penyempurnaan bagi kaum elit karena itu tidak akan menyusahkan para siswa dengan pelajaran-pelajaran baru yang diwajibkan. Karir Sir Isaac Newton di penghujung abad ke-17 melukiskan berbagai keruwetan yang masih berlangsung, meskipun revolusi ilmu telah berhasil gemilang. Newton adalah salah seorang ilmuwan terbesar dan seorang matematikus terkemuka di sepanjang zaman. la menyatukan langit dan bumi dalam satu hukum daya tarik yang tak-berpribadi, hukum gravitasi, dan juga membawa suatu ketepatan logis yang baru ke­ pada m etode-m etode penyelidikan kuantitatif eks­ perimental. Meskipun ia membela kejelimetan dalam 43

berteori, namun ia masih percaya akan kemungkinan dan ketepatan menarik kesimpulan dari fenomena alam menuju suatu diskusi m engenai-dew a-dew i (deity). Ketika ia tiba pada fondasi-fondasi fisikanya dan mendiskusikan ruang, waktu, gravitasi, serta daya, dia menemukan relevansi langsung teologi. Ia juga memakai metode-metode astronomis untuk memperbaiki kronologi kuno dan alkitabiah dan sungguhsungguh percaya bahw a studi terhadap nubuatnubuat Perjanjian Lama akan menghasilkan penafsiran yang benar, sehingga memberikan tuntunan dalam urusan-urusan politik-religius di zamannya. Mahakaryanya, Principia (1687) dalam banyak segi adalah puncak revolusi ilmiah. Akan tetapi pada masa itu tampak dorongan untuk revolusi ilmiah sudah melemah, dan tak ada ilmuwan baru yang tampil ke depan dengan kecakapan yang sama. Sebenarnya, dengan berakhirnya abad ke-17 minat di bidang filsafat alam telah sedemikian surut sehingga Royal Society nyaris bubar. Newton sendiri menghidupkan kembali perkumpulan ini mulai dari tahun 1704 sehingga menjadi sebuah perkum pulan orang-orang terhormat yang menikmati kesempatan mendengarkan eksperimeneksperimen dan koleksi-koleksi. Walaupun demikian karya utama revolusi dalam filsafat telah diselesaikan, dan kebudayaan tulisan Eropa, termasuk ilmu, telah diletakkan dengan kukuh pada jalan menuju sekularisasi yang sempurna. 44

Citra Newton mendominasi ilmu dalam abad ke18, seperti sahabatnya, John Locke m endom inasi filsafat. Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan selama dua abad sebelumnya. Di luar lingkungan Pencerahan (Enlighten­ ment), tak ada perjuangan filosofis yang besar, dan ilmu yang dipraktekkan sebagian besar berupa pengukuhan (consolidation). Segelintir matematikus besar (keluarga Bernoulli dan Leonhard Euler, semuanya orang Switzerland) mengembangkan kalkulus differensial dan integral yang ditem ukan oleh seorang filsuf Jerman Gottfried Leibniz menuju bentuk yang diajarkan sekarang ini. Sejarah alamiah berkembang secara mantap, memperoleh pengaturan sosial dan sintesis intelektual dari seorang ahli botani Swedia, Carolus Linnaeus. "Filsafat eksperimental" telah diolah oleh orang terhorm at, dan sebuah teori yang gemilang mengenai elektrisitas statis telah dirumuskan oleh ilmuwan dan diplomat Amerika, Benjamin Franklin. Meskipun prestasi-prestasi ini bukan kemajuan besar, namun dengan kokoh menetapkan suatu gaya tertentu ilmu yang dibela oleh para nabi filsafat yang baru, walaupun, tentunya, tanpa inspirasi revolusionernya. 3.

H akikat Ilmu Eropa

Karakter khusus ilmu Eropa dapat dijelaskan melalui keadaan-keadaan ketika para ilmuwan menggarap bahan-bahan yang diwarisi selama dua fase ber45

turut-turut. Hal itu mencakup prinsip dasar pengenalan dunia alam iah m elalui argum en dem onstratif, prinsip yang pertama kali dicapai dalam kebudayaan Yunani, kemudian dipungut oleh peradaban Islam namun bukan yang lain. Meskipun pada permulaan Renesans, ilmu Eropa dan teknologi berasal dari tradisi-tradisi yang lebih tua dan umumnya kedudukannya lebih rendah, ciri-ciri khas tertentu masyarakat Eropa pada zaman itu memungkinkannya membuat kemajuan pesat luar biasa. Kendatipun masyarakat masih sebagian besar agraris, tidak demokratis, dan terstratifikasi oleh posisi sosial yang diw ariskan, namun ada beberapa wilayah di mana gay a kehidupan sosial lebih luwes dan individualistis daripada di tem pat lain dim anapun. Ada kebebasan membuat penemuan dan mengeksploitasi penemuan seseorang demi tujuan pribadi tanpa dihalangi oleh penindasan negara. Dalam peradaban-peradaban lain (di Timur Jauh atau di Eropa Abad Tengah), inovasi teknis diawasi dan ditindas jika mengancam stabilitas politik atau sosial. Dalam masyarakat Eropa yang relatif berubah-ubah, setiap individu terdorong untuk melakukan inovasi sebab dengannya mereka dapat memajukan diri sendiri. Selain itu sekat-sekat antara bidang aktivitas yang berbeda-beda, dan penyesuaiannya dengan kelas-kelas yang ada, tidak terlalu ketat se­ hingga membolehkan orang terpelajar berkecimpung dalam penemuan dan, memanfaatkan pengetahuan 46

dan keahlian baca-tulisnya. Penemuan dapat terjadi di bidang peralatan atau pengetahuan; orang dapat bergerak dengan bebas dari obyek yang satu kepada yang lain dan kem bali lagi. Konteks pem antapan aktivitas tersebut adalah ekspansi komersial dan politis negara-negara yang agresif dan yang bersaing satu sama lain, dan negara-negara Eropa melawan dunia. M asyarakat ini telah disebut kapitalisme awal, dan meskipun struktur-struktur politisnya cenderung ke­ pada prinsip negara absolut, namun masih liberal bila dibanding dengan masyarakat-masyarakat totalitarian di zaman kuno dan zaman yang lebih belakangan dan zaman-zaman yang belum lama berselang. Dan hal itu merupakan titik-titik fokus perkembangan komersial dan manufaktur di masa itu (Italia, Jerman selatan), pada saat itulah seni-seni teknis mengalami kemajuan yang sangat pesat. Meskipun menjelang berakhirnya abad ke-16 ilmu Eropa m engungguli sum ber-sum ber dan saingansaingannya, namun hasil-hasilnya masih belum ber­ beda secara kualitatif dari mereka. Sampai kemudian datanglah revolusi dalam filsafat yang mengubah ben tu k ilm u Eropa m enjadi sesu atu yang unik. Sebenarnya hal itu sudah ada pada periode-periode sebelumnya ketika filsafat atomistik materi dibela, namun masih berupa spekulasi filosofis. Di masa kini filsafat itu disuntikkan ke dalam perkembangan ilmu yang sedang tumbuh subur. Awalnya perlahan, namun 47

dengan sedikit mempercepat langkah, sintesis telah mampu menciptakan suatu jenis ilmu baru. Penemuan paling penting ialah gaya baru aktivitas sosial penelitian, di mana kerahasiaan dan kekejaman persaingan yang menjadi ciri para penemu pribadi dikendalikan dan ditertibkan oleh tekad untuk bekerja secara bersama-sama demi kebaikan umum. Akar keadaan ini tertanam pada saat hilangnya kepercayaan pada ke­ kuatan-kekuatan magis, sehingga tak seorang pun ber­ harap dapat menyingkap rahasia-rahasia alam semesta dengan usaha sendiri. Selain itu, idealisme para nabi filsafat baru juga menyerukan etika kerja sama penelitian yang baru, dan meskipun inspirasi ini lambatlaun menyusut, pengaruh-pengaruhnya dipertahankan oleh penyesuaian kode kehormatan para sarjana. Dengan demikian rangsangan bersama antara teori dan praktek, yang dipertahankan dari periode sebelumnya, dipusatkan ke dalam kekuatan proses kumulatif dan swa-koreksi fakta-fakta yang tahan uji tentang dunia alam iah. Keberhasilan filsafat baru terbukti nyata menjelang berakhirnya abad ke-17, dan kendatipun langkah kemajuan mengendur selama abad sesudahnya, namun prestasi-prestasi zaman sebelumnya di bidang pengetahuan dan metode tak pernah hilang lagi. Begitu juga dengan filsafat mengenai benda mati, ternyata, dalam jangka panjang menjadi strategi yang berdayaguna bagi kemajuan ilmiah, meskipun banyak mengalami kesulitan akibat titik tolak yang keliru, 48

ilmu-ilmu gabungan kimiawi dan ilmu sosial pada akhirnya dapat membuat kemajuan-kemajuan pada abad ke-19 dengan hanya berdasarkan konsepsi reduksionis atas dunia alamiah. Ringkasnya, karena itu, ilmu Eropa berhutang budi pada keberhasilan-keberhasilan masa lampau dan karakter khususnya yang mempunyai andil pada m etafisika dan m etode-m etodenya, ciri-ciri dasar m asyarakat Eropa: individualisme agresif yang ditempa oleh suatu prinsip bekerja sama untuk kemaslahatan umum. ❖

49

I t

1V

/

ILMU DI ZAMAN REVOLUSI MODERN

Menjelang abad ke-18, mulailah revolusi industri yang m entransform asikan Eropa dari m asyarakat agraris m enjadi m asyarakat perkotaan; pada akhir abad inilah terjadi Revolusi Prancis, saat mana ideide politik modern dipraktekkan untuk pertama kali. Aktivitas ilmu mengalami perubahan-perubahan yang serupa. Pada masa ini pula fondasi-fondasi sosial dan kelembagaan menantikan matangnya ilmu di abad ke-19. Bersamaan dengan itu muncullah reaksi romantik dalam kesusasteraan dan seni yang mempunyai peran penting dalam ilmu itu sendiri. Pada awal periode ini, ilmu merupakan aktivitas yang dilakukan dalam skala yang sangat kecil, kebanyakan diupayakan oleh para gentleman yang kaya atau oleh para profesional terlatih, seperti fisikawan dan para insinvur, di waktu-waktu luang mereka.

50

Hanya segelintir universitas (misalnya, Edinburgh dan Leiden) yang memberikan instruksi ilmu yang efektif. Ilmu-ilmu matematik (matematika, astronomi, mekanika, optik) dikembangkan dengan baik, namun fisika masih merupakan eksperimen-eksperimen yang tercerai-berai dengan teori-teori yang bersifat kualitatif dan kebanyakan spekulatif. Kimia hampir seluruhnya bersifat empiris, dan ilmu-ilmu kehidupan kebanyak­ an dipautkan dengan aktivitas-aktivitas para kolektor. Pada akhir periode ini ada contoh-contoh kerja ilmiah terorganisir yang sangat berhasil, dan fondasi-fondasinya telah disiapkan untuk teori-teori yang runtut dan efektif di sebagian besar bidang ilmu. 1.

Ilmu Selam a R evolusi Industri

Dalam transformasi industri Eropa yang bertahap namun mendalam, sumbangan langsung ilmu, pada mulanya kecil. Kebanyakan kemajuan awal berasal dari rasionalisasi teknik-teknik kerajinan dan penem uan-penem uan mesin sederhana untuk menggantikan penggarapan-penggarapan manual. Bahkan, bahan-bahan elementer dan pendekatan eksperimental yang berasal dari buku-buku pegangan populer, mem­ punyai peranan penting. Teknologi daya (power tech­ nology), inilah yang pertama kali dipengaruhi oleh penerapan-penerapan ilmu. Ditemukannya mesin uapvakum di Inggris (tahun 1711) yang berasal dari 51

Pneumatika abad ke-17, dan diperbaharui oleh se­ orang insinyur Inggris, James Watt sejak tahun 1763 dan seterusnya, dipandang erat sekali kaitannya dengan perkem bangan-perkem bangan dalam teori panas (theory o f heat). Demikian pula industri kimia terbantu dengan pengorganisasian pengetahuan kimia yang dihasilkan oleh guru medis terkemuka Belanda, Hermann Boehaave dan para pengikutnya.



Sumbangan Revolusi Industri kepada ilmu, pertama-tama tidak langsung Dalam rangka industrialisasi d aerah -d aerah In g g ris (Low lands Scotlan d , M idlands dan Cornwall), dikembangkanlah suatu pertemuan resmi untuk hasil-hasil ilmiah. Filsuf pengusaha seperti josiah Wedgwood, pengrajin tembikar dan pembaharu sosial, bergabung bersama para fisikawan untuk mengupayakan penelitian. membentuk masyarakat-m asyarakat setempat, dan mendukung para ilmuwan. Di penghujung abad itu, bukan hanya kuliah lepas tetapi juga publikasi jurnal-jurnal bagi para spesialis menguntungkan secara ekonomis. Di bagian Eropa kontinental, monarki-monarki yang lebih maju mendirikan perguruan-perguruan tinggi teknik, baik industri, sipil ataupun militer; perguruan-per­ guruan tinggi ini m em berikan latihan bagi para anggota baru yang potensial dan juga menyediakan pekerjaan-pekerjaan. Di Inggris, meskipun telah dimulai sejak awal dan diminati secara luas, pelatihan lanjutan tetap tidak berkembang, padahal secara lokal, 52

lembaga-lembaga yang dibiayai dalam rangka untuk menciptakan pengrajin-pengrajin profesional sedang menggejala pada periode ini dan periode selanjutnya. Meskipun sebagian besar masalah yang muncul dalam praktek industri dan kedokteran di luar jangkauan teori-teori ilmiah pada masa itu, namun tidak diragukan bahwa harapan akan pemecahannya memunculkan suatu rangsangan dan audiens untuk meneliti, sehingga akhirnya membawa pada kemajuan ilmiah secara tidak langsung. 2.

A sal-usul Intelektual Revolusi

Permulaan yang agak lebih awal dari Revolusi Industri adalah sebuah gerakan yang berpusat di Perancis, yang pertama kali membawa ilmu memasuki bidang politik. Gerakan ini dinamai Pencerahan (Enligh­ tenment). Programnya berjuang menentang dogma gereja dan takhyul populer. Senjata utamanya ialah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional. Pen­ cerahan dimulai dalam tahun 1730-an oleh Voltaire dalam gelombang pemujaan bangsa Inggris (anglophilia); dia memakai citra Newton untuk mengejek ortodoksi kosmologi dan fisika Descartes yang berlaku secara resmi pada saat itu. Filsafat-filsafat beroperasi di lingkungan elit para cendikiawan Paris dan mendorong khayalak pembaca yang makin meningkat untuk buku-buku ilmu populer; contohnya, Newtonianisme untuk Wanita merupakan buku yang sangat laris. Pada 53

pertengahan abad itu gerakan ini mencapai kematangan. Ensiklopedis Denis Diderot dan matematikus Jean d'Alambert mengedit Ensiklopedia yang sangat tebal, di dalam nya dem okrasi pengetahuan ditam pilkan dengan penataan artikel berdasarkan abjad, dan kerajinan-kerajinan teknik diberi kharisma dan derajad sama dengan diskusi-diskusi metafisik dan ilmiah. Karena adanya kebencian atas kebodohan dan akhirnya merosotnya penyensoran, filsafat-filsafat itu segera m erekrut semua pikiran-pikiran terbaik Perancis. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa mereka harus meneruskan karya Bacon dalam memajukan penge­ tahuan praktis, namun mereka juga melakukannya dalam gaya Descartes, menundukkan semua hal, baik yang berupa sosial maupun filosofis kepada kritik penalaran. Gerakan segera terpecah menjadi kubukubu para matematikus rasionalis yakni d'Alembert bersam a m uridnya, M arie-Jean-Antoine Condorcet (orang yang menjadi korban Teror selama Revolusi); kubu m rnanH k, D enis D id erot dan Jean-Jacqu es Rosseau; dan kubu.materialis atheis yang dipimpin oleh Paul-Henri Holbach. Walaupun demikian, mereka semua setuju bahwa musuh utama mereka adalah gereja. Bagi mereka semua, ilmu alam telah diikrarkan secara filosofis, yang merupakan kebalikan dari ke­ adaan netral dan positif. Dari ide-ide orang-orang ini lahirlah slogan-slogan Revolusi Perancis, dan konflik-

konflik yang terjadi akhirnya diberantas dengan bidang kekuasaan politik. 3.

Pengaturan Ilmu dalam Revolusi Perancis

Ilmu alam m em punyai peran yang signifikan pada saat Revolusi Perancis. Dari Pencerahan para pelaku revolusi mewarisi keyakinan bahwa ilmu dan metode-m etodenya mengijinkan para ilmuwan terbesar mencurahkan perhatiannya untuk mengorganin i i i i h I i i n I i i s m j . i l i i i l r m i m o m p f i Idli.mk.in ivpublik pada saat dibutuhkan. Selama dan sesudah revolusi tampak suatu sistem pendidikan yang disokong oleh n egara; pem berian beasisw a kepada sisw a-sisw i berbakat, tersedianya pekerjaan-pekerjaan sebagai pengajar dan penguji, tersedianya subsidi-subsidi bagi penelitian, dan penghargaan-penghargaan atas pen em uan-penem u an. Pusat sistem itu ialah Ecole Polytechnique di Paris, sebagian besar ditujukan untuk melakukan pelatihan pada insinyur angkatan bersenjata, namun para ilmuwan terkemuka mengajar di sana, dan mereka mendapat siswa-siswa paling menjanjikan. Gaya dom inan ilmu di zam an Revolusi ialah m atem atis. Dalam penerapannya, m etode-m etode yang digunakan berupa rasionalisasi. H asil yang masih ada sampai sekarang ialah sistem pengukuran yang runtut yang didasarkan pada satuan-satuan alamiah dan desimal. Pada masa Revolusi, Perancis

sudah mempunyai para matematikus yang termasyur (Pierre-Simon Laplace, Joseph-Louis Lagrange, dan Gaspard Monge); dan murid serta pengganti mereka (Jean-Baptiste-Joseph Fourier, Simeon-Denis Poisson, dan Augustin-Louis Cauchy) yang tetap mempertahankan mutunya yang tinggi. Begitupun dalam kimia, pembaharuan peristilahan yang dicapai oleh Antoine Lavoisier dan rekan-rekannya, masih memperlihatkan gaya yang matematis dan abstrak. Senyawa-senyawa kimiawi dilukiskan dengan suatu skema regular dari kombinasi nama-nama pada unsur-unsur pokoknya, dan semua nama tradisional dibuang. Pada puncak Revolusi muncul gerakan balik dalam ilmu yang menyalahkan pendekatan matematis karena bersifat steril dan elitis. Bertolak dari inspirasi yang berasal dari ide-ide demokratik dan romantik Rosseau dan dipandu oleh fisikawan dan jurnalis senior, sang revolusioner Jean-Paul Marat, gerakan ini menuntut "ilmu untuk khalayak", yang terbuka bagi para pengrajin yang terdidik secara otodidak dan yang didasarkan pada kimia praktis dan sejarah alamiah. Mereka mengalami pemutusan dari Akademi Ilmuilmu, pada saat memperkenalkan Museum Sejarah Alamiah yang lebih populer. Pertarungan ideologis dalam soal sifat dasar ilmu kimia barangkali merupa­ kan salah satu faktor eksekusi Lavoisier (1794) selama terjadinya Teror, tetapi dengan runtuh dan hancurnya para Jacobin di akhir tahun 1794 (sebuah kelompok 56

politik yang sangat efektif dalam mendukung gerakangerakan demokrasi radikal di masa Revolusi, ketika itu Marat menjadi pemimpin untuk sementara), kon­ sepsi kimia yang populis ditindas. Ilmu Perancis yang bergaya rasionalistik dan m eritokratik ditetapkan dengan tegas. Di baw ah kekuasaan N apoleon, ilm uw an terkemuka yang masih hid up dan murid-murid generasi pertama m ereka m enikm ati bantuan dan prestise, tetapi "sekolah Laplace" mengalami keruntuhan setelah restorasi monarki di tahun 1815. Sekelompok ilmuwan baru vang termasyur mencoba mengambil alih, tetapi tidak lama kemudian tenaga penggerak itupun menghilang. Walaupun Paris merupakan pusat dunia ilmiah pada tahun 1820-an, namun kemandekan ilmu terjadi juga di sana. Orang bertanya-tanya atas kejadian ini, tentu sebagian besar karena alasan-alasan politis dalam kedua kasus ini, yaitu mengenai dua orang muda yang tersohor kejeniusannya: Sadi Carnot, orang yang menetapkan Prinsip-prinsip dasar thermodinamika, dan Evariste Galois, pencipta kelompok teori di bidang aljabar abstrak. Sesudah tahun 1830, iklim ilmiah di Paris yang selalu menyerap orang berbakat dari propinsi-prop insi, didom inasi oleh karierisme, dan pada abad ke-19 penemuan-penemuan besar dalam ilmu terjadi di berbagai tempat. Para sejarawan ilmu masa kini Tnemandang kemunduran ini 57

bukan sebuah kebetulan tetapi sebagai persoalan yang signifikan yang membutuhkan penjelasan. 4.

R e a k si Rom antik dan Ilmu

Sebagaim ana dalam R evolusi Perancis, pada waktu yang sama, Filsafat Alam (Naturphilosophie) tum buh subur di Jerman. Para penggem arnya, dipandu oleh penyair Goethe dan filsuf Schelling, mencela kekeringan dan ke-takberperasannya ilmu matematis dan eksperimental tradisi Newtonian. Sebagai gantinya, mereka mengajukan sebuah filsafat alam yang di dalamnya tangan dan mata, pikiran serta roh semuanya akan dipersatukan. Goethe gagal menyerang teori Newton mengenai warna, namun ia mengilhami spekulasi biologis di seputar pengorganisasian dan penyatuan prinsip-prinsip yang ada di belakang struktur binatang-binatang vertebrata. Para pengikutnya, se­ bagaimana para pemikir Jerman lainnya pada masa itu, mengupayakan sintesis-sintesis utama fisik dan spiritual yang bersifat spekulatif yang menyangkut seluruh dunia. Di Inggris, pengaruh-pengaruh Naturphilosophie sebagian besar terlihat dengan jelas pada penyairpenyair Rom antik. Sam uel Taylor Coleridge telah mempelajari dan membagi visinya dengan William W ordsw orth. D engan bebas W illiam Blake telah melukis berdasarkan sumber-sumber mistis sebagai N aturphilosophie, dan ia m encela "A tom -atom nya 58

Demokritus dan Partikel-partikel Cahaya N ew ton" sebagai bagian dari kebutaan dan dehum anisasi kebudayaan di zamannya. Prestasi-prestasi ilmiah para penyokong Naturphilosophie yang masih ada sampai sekarang hanya sedikit, walaupun barangkali banyak lagi yang dapat dikenali bila dilakukan penelitian historis yang lebih sim patik. Sebagai contoh, penem uan elektrom agnetisme (1820) oleh fisika wan Belanda, Hans Christian 0 rsted ,y a n g sekarang dikenal sebagai hasil akhir penelitian, membutuhkan waktu bertahun-tahun agar diperhatikan, yang ternyata memperagakan kesatuan dan pengutuban daya-daya alam. Demikian pula pemberitahuan yang paling aw al m engenai gagasangagasan tentang konservasi energi dibuat dalam tahun 1841 oleh seorang fisikawan, Julius Robert von Mayer, yang mempunyai program yang sama. Pola umum orang muda pada zaman itu lazimnya terpikat pada visi kebijaksanaan yang terpadu tersebut selama berada di u niversitas dan kem udian untuk m engisi hidupnya mereka mencoba sedapat mungkin membebaskan diri darinya melalui penelitian yang tekun. Karir jenis ini dilukiskan dengan baik oleh Hermann Ludwig Helmholtz, seorang psikolog dan fisikawan Jerman. Akhirnya Naturphilosophie menjadi suatu pemikiran ortodoksi melalui para profesor universitas. Para pendiri ilmu eksperim ental di Jerm an pada tahun 59

1830-an dan 1840-an merasa jalannya dirintangi oleh mereka dan terjadilah pertarungan-pertarungan sengit. W alaupun para ilm uwan m enang, namun selama beberapa generasi mereka selalu dihantui oleh hantu Naturphilosophie, dan mereka bereaksi dengan mengekang semua tendensi-tendensi spekulatif yang paling keras, memperkuat sifat kering dan gaya tak manusia wi ilmu yang dipandang oleh para penyair dengan perasaan jijik. ❖

60

V

ZAMAN MATANGNYA ILM U-ILMU

Selama abad ke-19, bangsa-bangsa industri maju Eropa membaurkan akibat-akibat revolusi Industri dengan Revolusi Perancis. M asyarakat perkotaan berkembang biak dari suatu bangsa ke bangsa lainnya den gan kem aju an b erb asis ind u stri yang teru smenerus, mengembangkan birokrasi-birokrasi negara untuk mengatur perdagangan dan kesejahteraan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat banyak dalam kehidupan sosial dan politik. Satu demi satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan serupa dalam pencapaian sistem -sistem yang runtut dan dalam penciptaan lem baga-lem baga pengem bangan aktivitas ilmiah. Secara keseluruhan ilmu menganut optimisme abad ini dan mendapat kepercayaan karena dukungannya yang dianggap benar terhadap kemajuan industri.

61

1.

Ilmu dalam Abad ke-19

Bila kita menoleh ke masa larnpau, abad ke-19 tampak sebagai abad gemilang. Ilmu meluas menjadi bidang-bidang penelitian baru dengan sangat berhasil. Perluasan itu m eliputi penggabungan m atem atika dengan eksperim en dalam fisika, penerapan teori kepada eksperim en dalam kim ia, dan eksperim en yang terkendali dalam biologi. Hal ini didukung oleh • berdirinya universitas-universitas baru dan yang telah diperbaharui yang menyokong dilakukannya pene­ litian, pengajaran dan kom unikasi melalui jurnaljurnal dan komunitas-komunitas spesialis. Di penghujung abad ini sudah m em pakan hal yang biasa diselenggarakannya pertemuan-pertemuan internasional, baik mengenai ilmu-ilmu secara umum maupun mengenai disiplin-disiplin khusus. Penelitian yang diorganisir secara sosial m enjadi lebih efektif ketimbang yang dilakukan sendiri-sendiri oleh individu. Di semua bidang pembelajaran, metode-metode yang serba ketat dan pengetahuan yang luas serta mendalam, semakin meningkat. Edisi-edisi Encyclopaedia Britannica yang terbit di penghujung abad ini, dengan paparan historisnya yang panjang mengenai tiap ilmu, adalah monumen bagi abad ini dan tetap merupakan sumber inform asi yang sangat berharga bagi para pelajar.

62

k

1.a. Perbedaan-perbedaan dalam Gaya Penelitian

Masih terlihat perbedaan-perbedaan mencolok di antara bangsa-bangsa terkemuka berkenaan dengan kenyataan-kenyataan dan gaya penelitian. Di Inggris, terlihat jelas tiadanya lembaga-lembaga yang memberi pekerjaan kepada peneliti, sehingga tradisigentlemenam ateur berlangsung jauh lebih lama daripada di tempat lain. Misalnya, matematikus Charles Babbage, fisikawan James Joule dan biolog Charles Darwin. Hal ini menyebabkan ilmu Inggris lebih kurus dibanding Jerm an, khususnya dalam bidang-bidang terapan seperti kimia. Namun lingkup gaya individual dan keeksentrikannya mampu m enutupi kekurangankekurangan kuantitatif. Di Jerman, ilmu-ilmu alam mempunyai andil dalam memunculkan sistem univer­ sitas yang standar dan bergengsi. Di sana penelitian dan pengajaran dipadukan, dan untuk pertama kalinya didirikan laboratorium pelatihan penelitian, yakni oleh ahli kimia Jerman, Justus von Liebig dan sekolahnya. Dengan basis kelembagaan ini dan perlengkapan ilmiah yang sangat maju seperti buku-buku pegangan dan jurnal-jurnal, ilmu Jerman yang bangkit pada tahun 1830, menempati posisi sebagai pemimpin di segala bidang. Dalam periode ini juga, ilmu Perancis merosot dari posisi sebelum nya sebagai pem im pin dalam periode R evolusioner dan periode N apoleon. Di pinggir Eropa, Rusia mempunyai sebuah akademi yang kuat dan beberapa universitas yang progresif di 63

tengah-tengah kondisi-kondisi yang umumnya terbelakang, dan suatu tradisi ilmiah bermutu tinggi (yang d ip ancangkan oleh orang seperti N ikolay Lobachevsky dan Dmitry Mendeleyev) tersedia untuk membantu m odernisasi yang melaju dengan pesat menyusul Revolusi pada tahun 1917. Sepanjang abad ke-19 Amerika Serikat masih tetap merupakan suatu koloni kultural Eropa, kecuali untuk batas tertentu di bidang ilmu-ilmu. Universitas-universitasnya yang besar lebih berorientasi kepada hal-hal yang bermanfaat, m em berikan sumbangan sosial yang kecil bagi pe­ nelitian murni. Di sekitar penghujung abad ini, ilmu­ wan Amerika pergi ke Jerman dalam jumlah yang besar dan sekembalinya menciptakan tradisi-tradisi yang kuat. Namun untuk mencapai kepemimpinan yang bermutu, Amerika Serikat membutuhkan masuknya para sarjana pengungsi dari Nazi Jerman pada tahun 1930-an. Komitmen terhadap apa yang disebut ilmu murni berhasil dengan baik dalam sistem universitas Jerman. Di Inggris, pelaku ilmu dapat melibatkan diri dengan bebas dalam debat-debat filosofis m aupun dalam penerapan industri. Contoh pentingnya ialah Lord Kelvin di bidang Fisika; isu yang diungkapnya bukanlah keterpcncilan sang sarjana dari dunia melainkan kebebasan bertindak sang gentlemen. Juga, dominasi ilm u-ilm u m atem atis dan eksperim ental terhadap bidang ilmu-ilmu bertumbuh sangat lambat selama 64

periode ini. Di awal abad ini geologi merupakan ilmu terkem uka. G eologi m em iliki sisi filosofis dalam spekulasi-spekulasinya mengenai sejarah Bumi dan memiliki sisi praktis dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sejarah alam, yang diwarisi dari abad ke-18, membantu tuan tanah dan juga penyelidik dan kolektor lepas (free-lance collector), seperti Thomas Henry Huxley di bidang biologi. Hanya dalam bagian terakhir-abad itu terlihat kecenderungan yang menandakan ke arah dom inasi peneliti profesional yang terspesialisasi, dengan para ilmuwan eksperimental yang abstrak sebagai pem im pinnya. Indikasi bertahapnya per­ ubahan ini di Inggris dapat dilihat dalam perlawanan terhadap dua istilah yakni ilmuwan (scientist) dan fisikaw an (physicist). M eskipun m enandakan pemakaian umum dalam tahun 1830-an, kedua istilah itu dinyatakan tidak berlaku oleh pelaku ilmu dan juga oleh para filsuf alamiah hingga awal abad ke-20. Hubungan ilmu dengan penerapan-penerapannya mempunyai perubahan bertahap yang sama; meskipun terdapat klaim -klaim yang bertentangan, transisi langsung dari proses-proses laboratorium menuju pabrik menjadi efektif hanya menjelang akhir abad ke-19. Pada awal periode ini, ilmu-ilmu terapan yang sangat sukses ialah yang bersifat tradisional yakni teknik-teknik deskriptif yang penting bagi negara. Ilmu-ilmu ini ialah disiplin-disiplin abstrak kartografi matematis dan perbentengan atau studi-studi sejarah

1

alamiah yang sangat mendalam. Belakangan fisika terlibat langsung dalam proses baru secara kualitatif, seperti generasi tenaga uap yang telah diperbaharui (steam-poioer) dan telekomunikasi listrik. Mula-mula kim ia m em berikan sum bangan bagi rasionalisasi proses industri dan juga mengefektifkan teori-teori pertanian dan nutrisi. Gebrakan ilmu kedokteran melalui terapan muncul sangat lambat, bersama teori bakteri (germ theory) mengenai penyakit. Dan penting untuk diingat bahwa kemajuan kehidupan dan umur panjang di sepanjang abad ini dipandang lebih banyak bergantung kepada sabun dan saluran air yang baik — yaitu, perbaikan sanitasi dan kemajuan ekonomi— ketimbang ilmu medis. Bahan cat (dyestuff) sintetik adalah contoh pertama penemuan laboratorium yang langsung memberikan keuntungan, dan ini merupakan temuan Jerm an. Sebenarnya, penemuan dilakukan tahun 1856 oleh seorang Inggris, William Henry Perkin; namun ia adalah murid pakar kimia Jerman August Wilhelm von Hofman, dan orang-orang Jerman segera mengambil posisi yang kuat dalam industri ini berkat sistem pendidikan teknik mereka yang lebih tinggi bagi para ilmuwan industri. Pada akhir abad ke-19 Jerman mendominasi seltiruh industri kimia, dan juga industri peralatan listrik berat. Hanya orang Amerika, dengan kombinasi antara pasarnya yang besar dan para penemunya yang bebas, yang dapat menyaingi secara efektif. Perancis tertinggal jauh karena mereka 66

kehilangan posisi kepemimpinan yang dulu mereka capai melalui pendekatan rasionalnya terhadap ilmu teknik, dan Inggris berhenti pada prestis awalnya sebagai bengkel dunia . Perang Dunia II memperlihat­ kan kemampuan Jerman mensintesiskan amonia untuk baltan-bahan peledak nitrat dari udara (proses Haber), sementara Inggris bergantung pada Chile untuk kebutuhan bahan peledak nitratnya. 1.b. Kemajuan dalam Fisika

Selama abad ke-19, tiap cabang induk ilmu eksperimental menghasilkan kemajuan besar, yang bila ditinjau ke belakang pada keadaan awalnya, tampak m erupakan tingkat perm ulaan. Fisika m encapai penyatuan eksperimentasi yang ketat dengan teori matematik abstrak yang membawa pengetahuan yang tak terduga dalam nya serta kekuatan penerapan pengetahuan itu. Bidang yang berbeda-beda ditundukkan di bawah kendali dan kemudian disatukan secara berturut-turut oleh konsep energi. Thermodinamika menyatukan ilmu-ilmu tentang panas (heat) dan kerja (work) dan kemudian memungkinkan sebuah teori untuk mengembangkan perubahan kimia. Akar per­ kembangan ini terletak dalam karya para fisikawan di bidang kekuatan rekayasa (power Engineering) yang dipelopori oleh Sadi Carnot dari Perancis dan James Joule dari Inggris, dalam bidang-bidang eksperimental yang beraneka ragam dipelopori oleh orang Jerman 67

Herman Helmhotz, dan dalam penelitian spekulatif mencari agen tunggal perubahan fisika. Listrik dan ■magnetisme disatukan, mula-mula secara eksperimen­ tal dan kemudian secara teoretis, oleh orang Belanda Hans Christian 0 rste d dan orang Inggris, Michael Faraday dan Kelvin; dan suatu konstanta fundamen­ tal dalam teori pengukuran elektromagnetik telah ditetapkan oleh seorang Jerman, Wilhelm Weber, yang dipandang sama dengan kecepatan cahaya yang telah ditetapkan secara astronomis oleh orang Inggris, James Clerk Maxwell. Dengan demikian sifat-sifat umum m ateri dikuasai dan dibuat runtut secara berturutturut. Para fisikawan belakangan dengan tepat menyebut abad ke-19 sebagai abad klasik. 1.c. Kemajuan dalam Kimia

Kimia dibangun di atas fondasi-fondasi teoretis peristilahan Lavoisier dan teori atomik Dalton. Kimia menghabiskan beberapa dekade untuk merampungkan tugas heroiknya mengklasifikasi substansi-substansi ke dalam unsur-unsur dan persenyawaan-persenyawaan. Dekade sejak tahun 1858 memperlihatkan tiga kemenangan besar. Di Italia, Stanislao Cannizarro memecahkan teka-teki kembar mengenai berat atomik dan komposisi kimiawi dengan mensintesakan ideide yang semula ditinggalkan (khususnya hipotesis Avogadro) dengan hasil-hasil eksperim ental baru beserta prinsip-prinsip heuristik yang berkembang 68

dalam pengajaran. Akhirnya, komposisi air diketahui sebagai H 0O dan bukan HO. Segera sesudah itu, Fried rich Kekule di Jerm an m enyingkap struktur senyawa organik yang sebenarnya, dengan ikatantkatan pengganti lingkaran bensin. Kemudian Lothar Meyer di Jerman dan Dmitry Mendeleyev di Russia menjadi ahli struktur tabel periodik unsur-unsur dan dapat memperkirakan sifat-sifat unsur-unsur yang tak dikenal. Setelah itu kimia dapat bergerak ke arah penyatuannya yang lebih dekat dengan fisika dan peningkatan kekuatannya dalam penerapan industri. 1.d. Kemajuan dalam Biologi

Dalam biologi, pendekatan eksperimental per­ tama kali berhasil dikem bangkan dalam fisiologi, terutam a oleh sekolah Johannes M uller di Jerm an dalam suasana reaksi yang kompleks dengan Naturp h ilosophie . Pertim bangan-pertim bangan filosofis dengan cara yang sama mempengaruhi pernyataan teori sel oleh Theodor Schwann. Orang Jerm an ini umumnya reduksionis. Orang Perancis, yang cenderung mempercayai karakter khusus daya-daya vital -m engem bangkan aspek-aspek fisiologi yang lebih sintetik (Claude Bernard) dan ilmu kedokteran (Louis Pasteur). M elalui lapangan ilm u-ilm u m uncullah prestasi konseptual yang barangkali paling penting dalam abad ini: dimensi waktu di dalam alam, baik sebagai suatu hal yang durasinya sangat panjang 69

maupun sebagai kerangka kerja perubahan kualitatif. Fakta-fakta geologis memperlihatkan bukti mengenai rangkaian transformasi struktur yang demikian kompleks dan begitu banyaknya urutan bentuk-bentuk kehidupan sehingga mencoba mendamaikan sejarah ini dengan yang disketsakan dalam Al-Kitab semakin m ustahil. Pertarungan antara m ereka yang mendukung penjelasan-penjelasan naturalistik yang kejam dengan mereka yang mencoba mendamaikan Kitab Kejadian dengan geologi telah dimulai dalam abad ke-18, dan berlanjut ke abad ke-19 dengan isu-isu baru. Dengan skala waktu yang panjang yang diterima secara universal, pemunculan artefak-artefak dan rongsokan manusia yang tertanam dalam lapisanlapisan tanah yang tua, bahkan memunculkan masa­ lah-masalah yang makin menyulitkan, bukti tersebut agaknya ditinggalkan lebih dari seperempat abad. Sektor krusial kemajuan ternyata menjadi sejarah alam iah , dalam m asalah m engenai differen siasi varietas-varietas alamiah, suatu proses yang hasilhasilnya tampak sangat serupa dengan pemeliharaan selektif tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan jinak. Di Inggris, ketidaktertarikan dalam penjelasan-penjelasan adialamiah dan karena wawasan-wawasan yang ditularkan oleh sebuah esei tentang kontrol populasi karya ilm uwan politik Thomas M althus, naturalis Charles Darwin dan Alfred Russell Wallace memahami seleksi alamiah melalui prinsip Victorian kelangsung70

an hidup makhluk yang paling cocok (survival o f the fittest). Kemudian doktrin evolusi (tahun 1859) menyatukan seluruh disiplin historis ini dan dengan perluasan prinsip ini hingga kepada manusia, doktrin ini bertentangan dengan ortodoksi religius. Doktrin ini juga m em berikan prinsip-prinsip penjelasan yang kokoh bagi ilmu-ilmu sosial yang mulai berkembang (penambahan prinsip-prinsip evolusioner dari filsuf sosial Inggris, Herbert Spencer); dan tentu saja itu merupakan sumber slogan-sloganbagi gerakan-gerakan politis yang menyolok dari Sosialisme Marxist terhadap Kapitalisme "bangsawan peram pok" (robber baron). Episode Victorian ini memperlihatkan bahwa netralitas ilmu berkenaan dengan politik dan idiologi, baik dalam ilhamnya maupun dalam pengaruh-pengaruhnya, adalah hal yang sangat baru dan barangkali merupakan fenomena yang bersifat sementara. Tema zaman ini ialah kemajuan, dan ilmu me­ nerim a kepercayaan karena banyaknya kem ajuan nyata yang terjadi dan juga karena menganut optimisme umum zaman itu. Ada tiga faktor yang terdapat dalam pujian umum terhadap ilmu. Yang pertama muncul dari tradisi kuno yang menghargai belajar sebagai suatu sumbangan atau kontribusi bagi per­ adaban, terlepas dari penerapan-penerapannya. Day a tariknya yang lebih populer didasarkan pada penerapanpenerapannya, pertama kepada industri kemudian kepada pengobatan. Faktor yang ketiga, penampak71

annya yang sebentar-sebentar, diwarisi dari Pencerahan: ilmu alam merupakan senjata melawan dogma religiu s dan takhayul populer, baik dalam fakta maupun metodenya. Inga tan akan pengadilan Galileo masih segar dalam cerita ilmu, sehingga perdebatan mengenai Darwinisme di Inggris memberikan dorongan baru kepada perjuangan ideologis ini, di mana Kristen Liberal berpihak kepada kaum agnostik me­ lawan kaum ortodoks. Secara bersama-sama, ketiga kepercayaan ini memperlihatkan banyaknya fungsi suatu agama dan hal ini tetap merupakan inspirasi yang kuat bagi ilmu hingga masa-masa belakangan ini. Pendiskreditan mereka terhadap fungsi-fungsi agama pada periode masa kini menghadirkan persoalan-persoalan serius bagi masa depan ilmu. 2.

A w al Abad ke-20

Tendensi-tendensi tertentu yang terjadi selama abad ke-19 ilmu menjadikan posisi menguat selama periode pergantian. Pada masa ini, ilmu bersifat profesional dalam organisasi sosialnya, reduksionis dalam gayanya dan positif dalam jiwanya. K em u d ian ilm u dipandang, pada dasarnya, sebagai hasil karya penelitian murni. Pengajaran di­ pandang kurang pokok. Aktivitas yang bersifat membantu dan penerapan industri dianggap sebagai tugas bagi para pekerja yang lain dalam lembaga-lembaga lain. Hampir semua penelitian dilakukan oleh para 72

'

ahli yang dilatih dengan sangat ketat, bekerja secara total atau seperlunya untuk pekerjaan ini di dalam lembaga-lembaga khusus. Komunitas-komunitas para ilmuwan yang diorganisir berdasarkan disiplin atau kebangsaan, menikmati otonomi yang tinggi tingkatnya dalam memutuskan tujuan, standar penelitian dan dalam pem berian sertifikat, pem berian pekerjaan serta pemberian imbalan pada anggota-anggotanya. Para ilmuwan individual cenderung dikondisikan oleh kompetisi untuk menjadi pekerja peneliti yang sangat terspesialisasi. Sama halnya, pengajaran di­ ploma (undergraduate) di dalam ilmu cenderung makin menjadi program pregraduate yang terspesialisasi yang dirancang untuk minoritas yang akan meneruskan penelitian. Karena biaya-biaya penelitian makin meningkat melampaui kemampuan individu maka ilmu b erg an tu n g pada su b sid i-su b sid i dari lem bagalem baga besar, baik yayasan derm aw an (seperti Rockefeller) maupun departemen-departemen negaranegara nasional. Lembaga-lembaga ini juga mendirikan laboratorium-laboratoriumnya sendiri, biasanya untuk penelitian terapan, yang terbaik sejajar dengan sistim universitas. K etegangan-ketegangan dalam sistem bantuan luar ini masih terpendam. Demikian pula, tak ada pengenalan sistimatik bahwa mayoritas lulusan perguruan tinggi ilmu bekerja di luar ilmu p ro fesio n al, baik sebagai guru m aupun sebagai pegawai di dalam perusahaan-perusahaan teknologis.

Gaya pekerjaan yang dominan dalam periode ini bersifat reduksionis. Penyelidikan-penyelidikan dipusatkan pada proses-proses murni, stabil dan dapat dikontrol secara buatan yang dapat* terlaksana di laboratorium. Dan teori-teori yang digemari ialah yang mencakup penyebab-penyebab fisik, yang mengguna­ kan argumen-argumen matematis yang berat. Hampir semua filsafat ilmu dalam periode ini mengasumsikan bahwa sebuah ilmu yang nyata bermodelkan pada fisika teoretis. Prestis gaya ini diperlihatkan dengan banyak usaha memperluasnya kepada ilmu-ilmu kemanusiaan. Pembatasan-pembatasannya, sebagaimana dilihat sekarang, terpusat dalam suatu ketidaktahuan yang membahayakan atas fakta-fakta dan prinsip-prinsip perilaku lingkungan alamiah. Jiwa positif ilmu ini terlihat dengan meningkatnya pemisahannya dari refleksi filosofis. Teori-teori relativitas Einstein (1905 dan 1961) dan prinsip ketidakpastian fisikawan Jerman, Werner Heisenberg, dalam teori kuantum (1927) memunculkan diskusi-diskusi filosofis yang bersem angat antara para ilm uw an dengan orang awam. Namun ini m erupakan perkecualian; sesudah itu, contoh utama perhatian-perhatian filosofis, dengan publik awam , berkenaan dengan penelitian ilmiah menimbulkan bencana. Para Nazi menyerang teori-teori dan para ilmuwan berdasarkan ras. Negara Soviet menyerang ilmu genetika dan menganiaya para ilmuwan terkemuka, dengan 74

memanfaatkan pseudo-genetika T.D. Lysenko. Hasilnya, tampak bagi kebanyakan ilmuwan bahwa baik k em aju an ilm u m au pu n p e le sta ria n n ila i-n ila i masyarakat liberal menghendaki suatu afirmasi ter­ hadap netralitas ideologis ilmu dan suatu desakan pada otonomi komplit penelitian. Bagi mereka, ilmu murni bukanlah suatu pengunduran diri melainkan suatu komitmen positif. Prestasi-prestasi ilmiah di awal abad ke-20 terlalu besar bahkan untuk dikatalogkan. Akan tetapi ada suatu pola umum kemajuan. Di tiap bidang utama, kem ajuan didasarkan pada karya deskriptif yang sangat berhasil dari abad ke-19. Pertama-tama berangkat dari suatu analisis yang lebih baik atas unsur-unsur pokok dan mekanisme-mekanismenya dan kemudian m ensintesakan hal yang m elangkahi nam a-nam a disiplin yang diwarisi, yang menghasilkan cangkokan yang kokoh seperti biokimia dan biofisika. Dalam fisika, teori-teori klasik mengenai daya-daya fisik yang utama (panas, listrik, magnetisme) telah disatukan hingga ke fondasi-fondasinya oleh termodinamika; dan bagian awal abad ke-20 menyaksikan penemuan efekefek baru yang m enyeluruh (sinar X, radioaktif), penetrasi ke dalam struktur m ateri (teori atom ik, isotop-isotop). Hal-hal ini menghendaki pembentukan kem bali hu ku m -hu ku m fu ndam ental fisika dan beberapa p raan d aian -p raan d aian m etafisikan y a (relativitas, teori kuantum). Metode-metode analisis 75

kimiawi diperlukan untuk banyak pekerjaan fisika. Sebaliknya, teori-teori fisika yang baru cukup kuat untuk memberikan penjelasan-penjelasan efektif bagi suatu varietas fenomena kimiawi yang luas. Dengan basis ini, industri kimia dapat menghasilkan sejumlah besar deretan substansi-substansi yang seluruhnya sintetik (fiber, plastik). Dalam ilm u-ilm u biologi, metode-metode kimia dan fisika membawa penemuan dan p en jelasan m engenai agen-agen yang halus (vitamin-vitamin, hormon-hormon) dan rekonstruksi atas siklus-siklus rumit transformasi-transformasi kimia dengan mana materi hidup. Ilmu kedokteran dapat dibangun berdasarkan bakteriologi, dan melalui pe­ nem uan obat-obatan khusus dan umum (pertama Salvarsan melawan sifilis, kemudian sulfonamide dan penisilin), obat-obat ini nyaris m elenyapkan baik wabah penyakit klasik maupun penyakit-penyakit ganas kanak-kanak. A gak m engherankan bahwa kemenangan-kemenangan ilmu tampak menjanjikan pengetahuan dan kekuasaan yang berlimpah-ruah. Segelintir orang dapat meramalkan masalah-masalah bahwa sukses-sukses yang sama akan dapat dibawa ke dalam lingkungan sosial dan alamiahnya berdasar­ kan penerapan ilmu dalam jiwa agresif yang tak berubah selama lima'abad ekspansi Eropa.

76

3.

M asalah-m asalah dan Prospek-prospek

Dalam perspektif sejarah yang panjang ini, dapat dilihat bahwa kesulitan-kesulitan moral, politik dan lingkungan yang dihadapi ilmu dan teknologi masa kini tidak seluruhnya baru. Agaknya, semua itu me­ rupakan suatu pembalikan kepada masalah-masalah yang telah dilupakan, pertama dengan kemunduran kepercayaan atas magis dan kemudian denga'n datangnya ilmu yang matang. Dari sini diwarisi suatu ideologi ilmu murni, sebuah teknologi yang di dalamnya semua masalah dipecahkan dengan sangat berhasil, dan se­ buah komunitas para sarjana yang terlindung. Pada masa kini, hubungan ilmu yang intim dengan industri, pertahanan, dan politik telah membuat cita-cita akan ilmu murni ketinggalan zaman dan telah menghadapkan masyarakat pada perlunya suatu konsepsi menge­ nai eara kerja dunia alamiah yang berbeda dari model reduksionis fisika wan. Namun, walaupun para sejarawan tak dapat dipuaskan dengan kisah sederhana tentang keberhasilan terus-menerus yang dituturkan oleh generasi-generasi yang lebih awal, mereka melihat bahwa ilmu Eropa modern adalah suatu bagian penting peradaban. Cacatcacatnya dan juga kebajikan-kebajikannva berasal dari aspek-aspek Eropa yang tertanam dengan kuat dalam cara hidup Barat. Kelangsungan hidup ilmu dan kelangsungan hidup peradaban berjalan beriringan. Menolak kemenangan-kemenangan intelektual dan 77 .

spiritual, serta keuntungan-keuntungan material yang telah dicapai ilmu dan teknologi Eropa merupakan suatu pemotongan (mutilation). Transformasi-transformasi apa yang akan dibawa masa depan dan apakah peradaban dapat berhasil mencapai harmoni dengan alam yang diperlukan bagi kelangsungan hidup tak dapat dijamin. Mendefinisikan suatu masalah menjalani jalan yang panjang menuju solusi-solusinya. M asalah itu hanyalah bagian yang bersifat teknis. Sam a halnya, ia m erupakan salah satu sifat ilmu alamiah dalam peradaban Eropa sebagaimana ia di­ kembangkan selama berabad-abad. ❖

78

BIBLIOGRAFI

Untuk pengantar kepada sejarah umum ilmu, dianjurkan karya-karya berikut ini. Charles Singer, A Short History o f Scientific Ideas to 1900 (1959), jelas dan komprehensif namun sekarang agak kadaluwarsa. J.D. Bernal Science interpretasi History, edisi ketiga, 4 vol. (1971), ditulis dan diilustrasikan dengan baik namun dirusak oleh kepastian pengarangnya bahwa semua penemuan ilmiah yang penting mempunyai hubungan yang sederhana dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial zamannya. S.F. Mason, Main Currents o f Sci­ entific Thought: A History o f the Sciences (1953; Judul berbahasa Inggris, A History o f the Sciences: Main Currents o f Scientific Thought, 1953; edisi revisi, 1962), adalah esei yang lebih spekulatif mengenai ilmu di masyarakat dan mempunyai banyak wawasan yang bernilai; Rene Taton (editor), Histoire gerenerale des sciences, 4 vol. (195764; edisi kedua, 1966— ; Terjemahan berbahasa Inggris, A G eneral H istory o f the Sciences, 1966— ), adalah 79 .

kumpulan esei berbahasa Inggris yang paling baik yang menuntun kepada studi-studi yang lebih spesialis. Untuk ilmu kuno dan Abad Pertengahan, pengantar yang ilm iah diberikan oleh E.J. D ijksterh u is, De mechanisering van het wereldbeeld (1950; terjemahan ber­ bahasa Inggris, The Mechanization o f the World Picture, 1961). M en genai C ina, karya yang standar ialah Joseph Needham, Science and Civilization in China, 7 vol. (1954 - ). Untuk penciptaan ilmu Eropa, pengantar yang disusun dengan baik diberikan Hugh F. Kearney, Science and Change, 1500-1700 (1971). Aspek-aspek sosial dan kelem bagaan ilmu m odern diselidiki dengan seksama dalam Joseph Ben-David, the Scientist sistem Role in Society: A Comparative Study (1971). Sekarang terdapat dalam multivolume Dictionary o f Scientific Bi­ ography, yang diedit oleh C.C. Gillispie (1970 - ) yang akan memberikan informasi yang terpercaya mengenai hidup dan karya banyak ilmuwan. Untuk sejarahsejarah paralel ilmu kedokteran dan teknologi, pengantar yang baik adalah R.H. Shryock, The Development o f Modern Medicine: An Interpretation o f the Social and Scien­ tific Factors Involved (1936 cetak ulangl969); Fredrick Klemm, Technik: Eine Geschichte ihrer Probleme (1954; terjemahan berbahasa Inggris, A History o f Western Tech­ nology, 1959). ❖

80

Jitsafat Jtmu

PENDAHULUAN

Dipahami dalam arti luas — yakni sebagai ke­ majuan progresif pengetahuan manusia atas alam— usaha intelektual terhadap ilmu semula merupakan bagian penting filsafat, dan kedua bidang penyelidikan itu tak pernah dipisahkan dengan tegas. Lebih kurang seratus tahun yang lalu, fisika teoretis — berkenaan dengan perdebatan fundam ental m engenai alam fisik— masih dilukiskan sebagai "filsafat alam iah". Hal ini dimaksudkan untuk membedakannya dari dua bagian utama filsafat lainnya yaitu filsafat moral dan filsafat metafisik — yang belakangan merupakan studi mengenai sifat dasar terdalam realitas atau yang ada (being), juga disebut ontologi. Sebenarnya, baru pada abad ke-20 filsafat ilmu dikenal sebagai disiplin tersendiri, sebagai akibat profesionalisasi dan spesialisasi ilmu-ilmu alam. Dalam artikel ini dibahas isu-isu metodologis dan epistemologis —yakni, isu-isu mengenai cara pen83

dekatan penyelidik kepada alam. Tulisan ini akan membahas topik-topik berikut ini: I.

Pendekatan umum pada filsafat ilmu A.

H akekat, ruang lingkup, dan hubunganhubungan topik.

B. II.

Pekembangan historis masalah-masalahnya.

Konseptualisasi dan metodologi ilmu A.

Unsur-unsur penelitian ilmiah

B.

Gerakan-gerakan pemikiran ilmiah.

. Ill. Isu-isu ilmu yang lebih dalam dan keterlibatannya yang lebih luas A.

Status filosofis teori ilmiah

B.

H ubungan tim bal balik ilmu dengan ke­ budayaan. ♦

84

I

A.

PENDEKATAN UMUM PADA FILSAFAT ILMU

H akikat, Ruang Lingkup dan Hubungan-hubungan Topiknya

Sebagai suatu disiplin, filsafat ilmu pertama-tama berusaha m enjelaskan u nsur-unsur yang terlibat dalam proses penelitian ilmiah yaitu: prosedur-pro­ sedur pengamatan, pola-pola argumen, metode penyajian dan penghitungan, praandaian-praandaian metafisik dan seterusnya. Kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya berdasarkan sudut pandang logika form al, m etodologi praktis dan m etafisika. Dalam bentuk kontemporer filsafat ilmu kemudian menjadi suatu topik bagi analisis dan diskusi eksplisit yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya yaitu: etika, logika dan epistem ologi (teori penge­ tahuan). Pada titik tertentu, batas-batas bagi cabangcaban g terseb u t m asih arbitrer. M isalnya, tidak 85

gam pang m em isahkan dengan tegas pengabsahan (validation) hipotesis ilmiah dari studi formal logika induktif (yang menarik kesimpulan dari fakta-fakta m enjadi prinsip-prinsip um um ), atau antara per­ debatan tentang teori dan pengamatan yang terdapat di dalam filsafat ilmu dengan yang terdapat di dalam epistemologi. Di sepanjang perkembangan filsafat, topik yang digeluti oleh mereka, (seandainya hidup sekarang akan disebut filsuf ilmu) terbagi atas dua jenis utama yaitu: ontologis atau ontal dan epistem ologis, atau epistemik. Pembagian ini mencerminkan pembedaan yang telah berlangsung lama antara objek dan subjek yakni, antara alam yang diperhatikan manusia untuk men­ dapatkan pengetahuan ilmiah, dengan manusia itu sendiri, yang dianggap sebagai pencipta serta penemu atau pemilik pengetahuan tersebut. Sejak tahun 1920 arah baru dalam fisika itu sendiri, — khususnya dalam mekanika kuantum— telah meragukan setiap pem­ bedaan yang ketat dan terburu-buru antara yang mengetahui (the knower) dengan yang diketahui (the known) atau antara pengamat (the observer) dengan yang diamati (the observed). Walau demikian pembedaan itu masih relevan pada tingkat yang lazim dan masih dapat dipertahankan secara hati-hati untuk tujuan-tujuan pen­ jelasan awal. Keasyikan ontal para filsuf ilmu (yakni perhatian mereka atas yang ada (being)) kerap tumpang-tindih 86

dengan bidang-bidang ilmu itu sendiri. Karena mereka telah berhubungan dengan persoalan umum. Jenis entitas dan unsur-unsur atau istilah-istilah teoretis apa yang patut berperan dalam teori-teori ilmiah manusia? Dan jenis eksistensi apa, atau status objektif lain yang mana, yang benar-benar dimiliki halhal tersebut? Karena diterapkan kepada kasus-kasus partikular, masalah umum ini mau tak mau memunculkan pertanyaan-pertanyaan m engenai substansi dan juga metode intelektual. Di awal abad ke-20 perdebatan antara dua orang fisikawan Austria, Ernst Mach dan Ludwig Boltzmann, dengan seorang kimiawan fisik Jerman, Wilhelm Ostwald, tentang eksistensi dan reali­ tas atom, misalnya, mencakup baik isu-isu substantif mengenai fisika maupun isu-isu filosofis mengenai jenis analitis yang lebih ketat. Tumpang-tindih serupa tak dapat dihindarkan juga dalam ilmu-ilmu sosial dan biologis; yaitu mengenai eksistensi dan status agen-agen atau entitas-entitas yang sangat vital dan sosial. H ingga dew asa ini perhatian epistem ik pada masalah itu telah lebih bersifat filosofis murni dalam karakternya, meskipun otonominya kini ditantang oleh perkembangan-perkembangan di bidang psiko­ logi yang m enyelidiki dan bereksperim en dengan proses kognitif, dan lainnya oleh sosiologi yang mempelajari pengkondisian kognisi melalui hubungan87

hubungan antarpribadi dan kelompok. Secara epistem ologis, para filsuf ilmu telah menganalisis dan mengevaluasi konsep-konsep serta metode-metode yang dipakai dalam mempelajari fenomena alamiah dan perilaku manusia, apakah bersifat individual atau kolektif. Dan analisis itu telah meliputi baik konsepkonsep maupun metode-metode umum yang mencirikan seluruh penelitian ilmiah beserta hal-hal yang lebih khusus yang m em bedakan pokok m asalah dengan masalah-masalah ilmu-ilmu khusus yang berbeda-beda. Dalam menangani isu-isu epistemik yang m uncul di sep u tar ilmu dan p rosed u r-p rosed u r ilmiah, tulisan ini menekankan pertimbangan istilahistilah umum; konsep-konsep dan m etode-m etode khas, misalnya, sosiologi, fisiologi, atau fisika kuan­ tum yang didiskusikan di tempat lain. Karena cakupan permasalahannya sangat luas, filsafat ilmu telah menarik perhatian orang dari latar belakang dan minat-minat profesional yang sangat berbeda-beda. Pada titik ekstrim yang satu, filsafat ilmu dimasukkan ke dalam sejenis ilmu populer yang bersifat sepintas lalu (Sweeping). Hal ini terdapat dalam tulisan-tulisan Ernest Haeckel, seorang penganut teori evolusi Darwinis. Pada titik ekstrem lainnya, filsafat ilmu diperlukan sebagai perluasan dari logika formal dan analisis konseptu al. Hal ini dilakukan oleh Positivisme Logis atau Empirisme Logis abad ke-20, aliran filsafat terkemuka yang memandang bahwa 88

pengetahuan hanyalah sesuatu yang dapat diverifikasi secara ilmiah. Filsafat ilmu yang berada di antara kedua ekstrem ini terdapat dalam cara kerja para ilmuwan seperti pakar astrofisika Inggris, Arthur Eddington, dan pakar fisika kuantum Jerman, Werner Heisenberg. Karya mereka telah mengantar hingga ke tapal batas pokok-pokok masalah dan m enghadapkan mereka secara langsung kepada persoalan-persoalan eksis­ tensi, status, dan validitas entitas-entitas dan konsepkonsep teoretis yang sedang mereka geluti. Beda orang, beda cara berpikirnya dalam mendekati filsafat ilmu. Mulai dari yang sangat abstrak dan matematis hingga yang konkret dan historis dan dari sangat positivistik hingga yang sangat teologis. Sejak Rene Descartes, filsuf modern pertama yang sangat penting di abad ke-17, hingga Otto Neurath, seorang Positivis Logis abad ke-20, suksesnya matematika murni dan logika telah mengilhami orientasi m atem atis yang memasukkan seluruh ilmu alam ke dalam sistem formal tunggal menurut pola geometri. Sedang lawannya, yakni dari John Locke, seorang Empirisis Inggris abad 18 hingga N.R. Hanson, filsuf ilmu Amerika Serikat dewasa ini. Di sisi lain, para penentangnya mencari basis yang wajar keyakinan intelektual manusia di dalam hakikat penyelidikan ilmiah yang dianggap sebagai aktivitas manusiawi. Begitu juga seorang Positivis seperti Hans Reichenbach, filsuf Amerika berkebangsaan Jerman di abad ke-20, 89

telah mencari ke dalam filsafat untuk membuktikan bahwa bukan hanya penelitian-penelitian ilmiah yang dapat m em berikan pengetahuan yang berm anfaat. Sementara seorang teis seperti Pierre Duhem, seorang fisikawan teoretis Perancis, tertarik kepada filsafat ilmu, agaknya, untuk memperlihatkan bahwa klaimklaim ilmu terbatas secara inheren sehingga masih menyisakan ruang bagi pengetahuan lainnya, yaitu rumpun kebenaran metafisik dan religius. Keanekaragam an minat dan pendekatan telah mempengaruhi hubungan-hubungan antara filsafat ilmu dengan disiplin-disiplin lain yang berdekatan. Pada tingkat praktis, misalnya, interpretasi filosofis yang berbeda-beda mengimplikasikan prosedur yang berbeda-beda dalam pengujian dan perkiraan ke­ kuatan konsep-konsep dan hipotesis-hipotesis samgannya. Dengan demikian, tak dapat ditarik garis pemisah yang jelas antara analisis filosofis teori-teori ilmiah dengan analisis statistik prosedur-prosedur ilmiah dengan eksperimen-eksperimen. Juga tak dapat ditarik garis pemisah yang jelas antara filsafat ilmu dengan sejarah id e-id e ilm iah. Perd ebatan baru-baru ini ten tang p en u lisan sejarah ilm u — yaitu , tentang masalah-masalah dari metode-metode yang menyorotkan cahaya pada sejarahnya-— menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan khusus yang membawa se­ orang sejarawan ilmu tiba pada analisisnya mengenai 90

perubahan ilmiah mau tidak mau bergantung pada sikap-sikap dan komitmen-komitmen filosofisnya. Pada tingkat yang lebih umum dan abstrak, fil­ safat ilmu tak pernah dapat dipisahkan sama sekali dari m etafisika dan epistem ologi. Tentu saja ada beberapa filsuf abad ke-20 — misalnya, pakar logika filosofis Amerika Serikat Willard V. Quine— yang dengan efektif membatasi bidang-bidang yang sah metafisika dan epistemologi pada apa yang telah disebut aspek-aspek ontal dan epistemik filsafat ilmu. Dalam pandangan Q uine, problem ontologis tradisional mengenai apa yang ada di dalam dunia sejauh yang diketahui manusia harus.dipecahkan dengan analisis logis terhadap klaim-klaim di seputar jenisjenis benda apa yang ada yang tersirat dalam sistemsistem teoretis alternatif. Sementara itu, karya para psikolog kognitif seperti Jean Piaget, seorang Switzer­ land, yang menyelidiki proses-proses yang diperlukan dalam permulaan pengetahuan, mengikis batas-batas antara analisis logis sistem-sistem konseptual, penyelidikan psikologis proses pikiran dengan validasi epistemologis prosedur-prosedur intelektual. Misal­ nya, Piaget m endasarkan penyelidikan-penyelidikannya kepada pencapaian konsep-konsep yang mirip dengan konsep Kant, orang yang memandang bahwa semua pengetahuan memperlihatkan pengaruh struk­ tur pikiran itu sendiri; dan bahkan psikolog itu sendiri, Piaget bahkan merujuk kepada aspek-aspek tertentu 91

karyanya yang dinamai "epistemologi genetik", me­ rupakan suatu rancangan filosofis. Oleh karena itu, penyelidikan masa kini pada filsafat ilmu tidak memuat upaya prasangka terhadap persoalan utama yakni apakah metode-metode ana­ lisis logis saja yang sah ataukah pada titik-titik tertentu topiknya bertumpang-tindih secara sah dengan topiktopik yang berdekatan dengannya seperti psikologi kognitif, sejarah ilmu, dan epistemologi. Sehubungan dengan persoalan ini para filsuf ilmu dibagi secara tajam . Sebagian m enolak aliansi apa pun kecuali dengan logika. Sementara yang lainnya menggarap hubungan-hubungan historis dan perilaku yang lebih luas; dan kedua sudut pandang ini harus diperhitungkan. B.

Perkem bangan H istoris Filsafa t Ilmu

1.

Periode Klasik dan Abad Tengah: Permulaan Filsafat Alam

Pada mulanya persoalan-persoalan ilmu adalah di seputar metode dan substansi yang tidak terpisahkan dari apa yang telah lama disebut sebagai filsafat alam. Usaha pertama melampaui mitologi-mitologi tradisional m enuju penjelasan rasional atas alam, dimulai oleh para filsuf Ionia dan Italia Selatan 600 tahun sebelum masehi. Mereka mencari unsur-unsur atau entitas-entitas yang dikandung oleh semua benda. 92

Pertimbangan-pertimbangan empiris atau hasil pengamatan yang mendalam, yang mendukung penjelasan yang satu atau penjelasan saingannya, masih prematur. Sebagai contoh, apakah manifestasi-manifestasi feno­ mena alam yang berbeda-beda berasal dari suatu bentuk materi tunggal yang kekal atau berasal dari beberapa substansi elementer yang bergabung bersama-sama, dan apakah berupa substansi fundamen­ tal, berlangsung terus dan berubah-ubah, ataukah berupa substansi tersendiri dan bersifat atomik? Yang lainnya bertanya, apakah bentuk-bentuk fenomena yang diamati merupakan bukti dari sesuatu yang ber­ sifat universal, pikiran yang mendasari atau suatu rumpun jenis-jenis roh yang hidup bersama-sama yang bertanggungjawab atas fenomena yang mempunyai tatanan kompleksitas yang berbeda. Pada filsuf Pra-Sokratik mendasarkan jawaban mereka sedapat mungkin pada dasar-dasar epistemik — dengan mempertimbangkan jenis-jenis penjelasan apa yang su ngguh-sungguh dapat d im en g erti— seperti halnya yang berdasarkan pada hal yang ontal atau empiris dengan mempertimbangkan jenis-jenis entitas abadi apa yang mungkin terlihat atau didapat dalam pengalaman, jenis eksistensi yang dibutuhkan (required). Jaw aban m ereka terentang dari suatu ekstrem yang satu, Realisme ontal Parmenides, filsuf terkemuka Eleatisme — menurutnya semua perubahan m erupakan penam pakan-penam pakan sem entara 93

(transton/appearances) yang menyembunyikan hubunganhubungan tim bal-balik realitas-realitas yang lebih dalam, yang tak berubah — hingga pada Heracleitus, filsuf perubahan Ephesian, pada ekstrem yang lain. Menurutnya, sejauh yang diketahui manusia tak ada kenyataan seperti yang dijelaskan Parmenides, sebab segala sesuatu secara empiris berubah secara terusmenerus. Meskipun Plato dan Aristoteles memperlihatkan perhatian cermat terhadap kasus-kasus aktual, namun filsafat ilmu mereka masih berhenti pada percampuran pertimbangan-pertimbangan ontologis, epistemologis dan em piris yang sam a. P ertanyaan-pertanyaan tentang alam didiskusikan dalam Timaeus karya Plato dan Physics karya Aristoteles, misalnya, berciri tidak murni m etafisik ataupun murni empiris walaupun keduanya mempunyai aspek metodologis yang mirip dengan filsafat ilmu modern. Juga konstruksi Plato m engenai teori-teori fundamental ilmu di seputar konsep-konsep dan pola-pola yang dipinjam dari geometri mempunyai pengaruh mendalam pada periode modern — pada Rene Descartes, misalnya, dalam abad ke-17 dan pada logika modern, matematisi Jerman Gottlob Frege, dalam tahun 1810-an dan sesudahnya. Plato berargumen bahwa hanya entitas-entitas matematis yang mempunyai jenis intelligibilitas yang bersifat tetap, yang telah dituntut Parmenides dengan tepat pada unsur-unsur pokok terakhir (ultim ate 94

1

c o n s titu e n ts ) dalam ilmu alam rasional. Dengan demikian, hanya suatu teori fisik yang dibangun berdasarkan kerangka numerik dan geometris yang akan m engungkapkan struktur-struktur dan hubunganhubungan yang benar-benar permanen di balik feno­ mena yang berubah terus-menerus. Di dalam teori demikian seluruh kesimpulan akan sah dengan sendirinya sepanjang masa sehingga terbebas dari ketidaktetapan peristiwa-peristiwa empiris. Dan seiring dengan itu angka-angka dan lambang-lambang (figures) matematika formal akan mempunyai suatu kekekalan (immutability) yang ditolak bagi objek-objek alamiah (physical) yang lazim. Dalam pandangan Plato, astronomi duniawi dan teori materi merupakan bidangbidang ilmiah yang di dalamnya metodologi mate­ matis akan segera memperlihatkan janjinya; gerakangerakan planet-planet harus dijelaskan melalui konstruksi-konstruksi yang ditarik dari geom etri tiga dimensi, dan fisika materi tampaknya meliputi atomatom dengan bentuk-bentuk yang m encerm inkan geometri lima benda padat yang tetap (tetrakahedron, dodekahedron, dan sebagainya). Akan tetapi dalam setiap kasus, teori-teori matematis itu sendiri akan sangat eksak dan dapat dipahami, sementara objekobjek dan proses-proses tak lebih dari ilustrasi-ilustrasi kira-kira dan sementara entitas-entitas dan relasi-relasi teoretis yang tetap yang mendasarinya.

95

Karena minat ilmiah Aristoteles sangat berbeda, — lebih dipusatkan pada fenomena biologi ketimbang gerakan-gerakan planet— secara alami ia mengembangkan m etodologi ilmiah yang sangat berbeda. Dalam pandangannya, entitas-entitas dan relasi-relasi matematis sangat umum dan sangat jauh dari peng­ alam an aktual untuk m enjelaskan rincian-rincian kualitatif entitas-entitas empiris. Jadi unsur-unsur ter­ akhir alam tentunya bukan bentuk-bentuk matematis yang sangat umum dan abstrak, yang dianggap terpisah sama sekali dari fenomena aktual, seperti dinyatakan Plato, melainkan lebih berupa entitas-entitas tertentu yang lebih spesifik, dapat dikenali dalam rangkaian pengalaman empiris yang lazim. Contohcontoh dari esensi dasar seperti itu dapat ditemukan dengan mempelajari siklus hid up yang khas makhluk hidup yang berbeda-beda. Demikianlah, morfogenesis sebuah benih menjadi contoh "terjadinya" tipe yang sama antara binatang dan tumbuhan, yang spesifikasi pada bentuk dew asanya — yang ditentukan oleh esensinya — adalah tujuan alamiah perkembangannya. Setelah m engenai arah tujuan p ro ses-p roses alamiah yang berbeda-beda jenisnya, maka mungkinlah m engkonstruksi klasifikasi esensi-esensi yang menyeluruh yang di dalam bingkainya seluruh dunia almiah, secara prinsip, akan dapat dipahami. Penjelasan-penjelasan yang meliputi sejarah alam tidak lagi memuat sesuatu yang umum dan kekal, yang jelas 96

1

dengan sendirinya, seperti geometrinya Plato meiainkan. kesim pulan-kesim pulan teoretis yang ditarik tidak akan kurang deduktif atau penting, dan akan mempunyai mlai tambah penjelasan langsung karena sifat-sifat kualitatif yang spesifik pada setiap objek dan proses-proses yang diamati berbeda-beda. Perkembangan filsafat ilmu berikutnya, tematema yang dinyatakan Plato dan Aristoteles terjadi lagi berulang-ulang dan ditampilkan kembali sekarang ini melalui pendekatan yang bersaing terhadap topik tersebut— satunya (Platonis) berdasarkan pada logika. Lainnya (Aristotelian) berdasarkan pada sejarah ilmu. Keduanva mendominasi topik tersebut selama pe­ riode Yunani kuno belakangan, padahal hal itu juga penting untuk perdebatan lebih lanjut — antara penerus Atomis Demokritus dan Epikurus dengan para filsuf Stoa, yang dipimpin oleh Zeno dari Citium . Perdebatan ini memberikan analisis pertama yang mendalam atas kekuatan dan kelemahan penjelasanpenjelasan atomis. Di satu sisi kaum Epikurian membela pandangan corpuscular murni di mana satuansatuan m eteri individual bergerak dengan sangat bebas, kecuali pada saat mengadakan kontak aktual. Di sisi lain, bagi kaum Stoa, dunia empiris dapat di­ pahami hanya dalam rangka interaksi-interaksi dan pola-pola stabil yang dipertahankan oleh harmoniharmoni yang mantap pada jarak tertentu.

Kedua perdebatan ini — di antara para Platonis dengan A risto telian is dan antara Stoisis dengan Epikurenis— menampilkan dengan jelas dan untuk pertama kalinya, alternatif utama cara-cara penjelasan yang berlaku pada ilmu dan menganalisis kemungkinan-kemungkinan dan kekurangan-kekurangannya dalam istilah-istilah umum. Lebih dari 2000 tahun sebelum munculnya termodinamika modern dan teori medan (field theory), misalnya, Aristoteles sudah mengenali berbagai kesulitan menjelaskan perubahanperubahan yang terjadi dalam keadaan fisik (contohnya, pencairan dan penguapan) dalam suatu teori materi yang atomistik belaka; sementara itu, bahkan lebih awal lagi, Plato telah memperlihatkan kemungkinan penjelasan matematis terpadu mengenai perbedaanperbedaan di antara substansi-substansi materi yang berbeda-beda jenisnya. Sebenarnya, fisikawan teoretis Werner Heisenberg di abad ke-20 sangat terbiasa mengutip argum en-argum en pra-Sokratis yang berkenaan dengan unsur paling dasar penyusun alam semesta sebagai gagasan yang relevan dengan masa­ lah-masalah masa kini. Berbeda dengan periode sebelum Euklides sang ahli geom etri, (yakni, hingga 300 S.M .), periode H ellenistik, Islam ik, dan Abad Tengah hanya menambahkan sedikit saja bagi pemahaman metodologi dan penjelasan ilmiah. Mulai dari astronom Alexandria, P tolom eu s, yang m em perdalam teori geosen tris, 98

kebanyakan para filsuf alam dengan sengaja membatasi klaim-klaim intelektualnya dalam suatu gaya in stru m en talis; yakni, dengan berupaya sekedar "mengamankan fenomena" dengan merancang secara sistematis prosedur-prosedur matematis untuk memprediksi, misalnya, gerhana bulan dan gerakan planet. Dalam hal ini m ereka m engabaikan m ekanism emekanisme yang penting bagi fenomena itu, dengan dem ikian m elindungi teknik-teknik penghitungan (computational technique) ilmu-ilmu tersebut dari risiko berkonflik dengan teologi selama 1.250 tahun, hingga zaman Kopernikus. Oleh sebab itu, pada puncak Abad Pertengahan, kemungkinan bagi manusia untuk membuat dirinya menjadi tuan intelektual alam, sebagian besar sudah ditinggalkan. Pengertian manusia kini tergantung kepada penerangan A llah. Jam inan pengetahuan ilmiah tidak terletak pada mutu metodologinya melainkan terletak pada berkat Allah, itulah yang memastikan keterpercayaannya (reliability). Dalam pe­ nafsiran ini, manusia tidak mempunyai jalur langsung untuk m em asuki alam; satu-satunya jalan menuju pengetahuan adalah melalui pikiran ilahi. Sehingga semua persoalan utama dalam filsafat ilmu dinyatakan kembali sebagai persoalan teologis, sebagai persoalan di seputar hubungan kemaha-tahuan (omnipotence) Allah dengan pengetahuan manusia yang lebih terbatas. Dalam konteks ini kiasan "penerangan" (illumination) 99

dianggap sangat serius pada abad ke-13 sehingga, pokok persoalan ilmu optik pun digarap oleh seorang sarjana Oxford terkemuka, lebih menyelidiki implikasi-implikasi teologisnya ketimbang muatan fisiknya. 2.

Abad ke-17 dan ke-18: D a ri M a n ife s to Hingga Kritik

Walaupun Renesans intelektual pada abad ke-16 dan 17 disertai dengan sekulerisasi pembelajaran, yang memindahkan pusat perdebatan filosofis dan ilmiah dari biara-biara ke dalam di universitas-universitas bahkan di snlon-salon pertemuan-pertemuan secara teratur di kalangan penulis, artis, dan lain-lain —hubungan antara filsafat dengan teologi tidak terputus secara mendadak. Descartes, Newton, dan Leibniz, sarjana terkemuka zaman itu, mereka semua berusaha mem­ perlihatkan bahwa posisi-posisinya cocok dengan teologi; dan kontroversi-kontroversi di seputar penge­ tahuan manusia dan rahmat ilahi dijumpai lagi dalam gema argumen-argumen, seperti pemyataan Descartes, bahwa metode rasional penelitian dapat dipercayai dengan meyakini bahwa Allah tidak akan menipu kita dengan sengaja. Akan tetapi ada dua faktor baru, yang bersama-sama memberikan suatu otonomi baru bagi perdebatan di seputar metodologi ilmiah. Yang pertam a, sekarang filsafat m enem patkan p ersoalan persoalan utama di dalam filsafat ilmu — dan menghadapinya secara langsung —bukan lagi sebagai per100

soalan sampingan teologi yang dibahas sambil lalu. Yang kedua, persoalan-persoalan ini memperoleh relevansi dan signifikansi baru, karena manusia kemudian menghasilkan yang baru, teori-teori alam yang berbasis empiris dengan kesungguhan yang tak dikenal selama 1. 200 tahun. Antara tahun 1600 sampai 1800 perdebatan dalam filsafat ilmu hampir tak dapat dipisahkan dari per­ debatan dalam ilmu itu sendiri. Sejak Bacon dan Galileo melalui Descartes dan Leibniz hingga Laplace dan Kant, semua peserta utama perdebatan filosofis memainkan peranan penting di pentas ilmiah. Demikianlah Francis Bacon, pengarang metode induksi yang seksam a (lih at b erik u t ini), dan Rene D escartes keduanya memikirkan tujuan intelektual yang sama, yakni merumuskan secara eksplisit suatu metode baru bagi kemajuan intelek, yakni dengan cara

m en yusu n

prosedur-prosedur rasional ilmu dalam cara yang membebaskannya dari asumsi-asumsi yang sewenangvvenang, tak beralasan atau takhayul (berhala-berhala Bacon) dan mendasarkannya pada cara yang tak tergoyahkan dalam konsep-konsep yang bersifat "jelas dan terpilah-pilah" (clear and distinct), atau sahih secara nyata (seperti yang dibedakan oleh Descartes). Yang pasti, ked.uanya menawarkan resep yang berbeda bagi terbentuknya sebuah ilmu yang rasional dan m elukiskan hasil penyelidikan ilmiah dengan istilah-istilah yang sangat berbeda. Di satu sisi Bacon 101

sibuk dengan pengamatan fakta-fakta secara empiris sebagai titik tolak bagi semua ilmu dan menerima teori sejauh itu berasal dari fakta-fakta. Idealnya, ia memandang bahwa ilmuwan harus menghasilkan penyebutan yang seksam a terhadap semua contoh fenom ena empiris yang sedang diselidiki sebagai pendahuluan untuk mengidentifikasi "bentuk" alamiah objek yang dijelaskan. Walaupun Bacon tetap tidak jelas mengenai abstraksi yang diperlukan, lazimnya ia diasumsikan telah mengklaim bahwa proposisi-proposisi teoretis dalam ilmu dapat dibenarkan hanya jika dideduksi secara formal dari penyebutan tersebut. B erbeda dengan apa yang d isebu t "in d u k si Baconian", Descartes berfokus pada persoalan penyusunan sistem-sistem deduktif yang serba koheren dan konsisten dalam teori, yang di dalamnya argumen akan diteruskan dengan jaminan formal yang lazim dalam geometri Euklidean. Sementara Bacon bereaksi terhadap ketergantungan Skolastik pada otoritas Aristoteles, dengan meminta agar manusia kembali ke­ pada pengalaman langsung, Descartes bereaksi ter­ hadap Skeptisisme abad ke-16 yang dianut oleh para humanis, dengan mengacu pada matematika sebagai pola bagi setiap pengetahuan mengenai sejati alam. K arena sebagaim ana aksiom a-aksiom a, d efin isidefinisi dan rumus-rumus Euklides telah menyerap sifat-sifat intrinsik hubungan-hubungan spesial dan m em berikan suatu titik tolak teoretis dari mana 102

seluruh geometri dapat disimpulkan secara deduktif, m aka tugas fisika abad ke-17 ialah m em perluas struktur intelektual Euklides dengan menambahkan lebih lanjut aksiom a-aksiom a, definisi-definisi dan rumus-rumus yang nyata, hanya dengan cara inilah teori-teori gerakan, magnetisme dan panas — akhirnva fisiologi dan kosmologi— mencapai otoritas deduktif yang sama pentingnya. Descartes mulai memperlihatkan dalam volume keempat karyanya Principia Philosophiea ("Prinsip-prinsip Filsafat"), bagaimana semua fenomena fisika yang lazim dapat dijelaskan melalui suatu sistem teori matematis yang tunggal dan menyeluruh, yang didasarkan pada fondasi-fondasi Euklidean dan sesuai dengan prinsip-prinsip deduktivisnya. Kemungkinan untuk menafsirkan alam dengan cara dem ikian sangat berkesan bagi Descartes sehingga m enam bahkan suatu "kep astian m oral" bagi kesimpulan-kesimpulannya. Argumen-argumen Bacon dan Descartes benarbenar merupakan manifesto; keduanya menawarkan program-program intelektual bagi sebuah ilmu alam yang hendak dibangun, dan, sementara itu memang benar bahwa selama 150 tahun kemudian, Galileo, Newton, dan banyak ilmuwan lain benar-benar menyusun ilmu fisika baru yang dianjurkan oleh para filsuf. Bentuk teori yang dihasilkan pun sesuai dengan yang dianjurkan oleh para filsuf sekalipun tidak sama persis dengan apa yang semula diramalkan. Di satu 103

sisi, terdapat sedikit induksi Baconian dalam prose­ dur-prosedur intelektual Newton. Para ilmuwan abad ke-17, seperti Robert Boyle — salah seorang pendiri kimia m odern— yang sungguh-sungguh mencoba m enerapkan m aksim -m aksim Bacon, m enem ukan nasehatnya yang menjemukan malah menghalangi ketimbang membantu dalam merumuskan konsepkonsep teoretis yang menerangi. (Dengan agak kasar dikatakan, bahwa Bacon "berfilsafat seperti Tuan Perdana M enteri"). Di sisi lain, walaupun Newton sangat dipengaruhi oleh contoh matematis Descartes, ia hanya mengikuti maksim-maksim metodologisnya pada suatu poin saja. Diakui bahwa teori gerakan dan gravitasi Principia Newton sebenarnya sesuai dengan re se p -re se p D e scarte s — ditam bah lagi d engan aksioma-aksioma, definisi-definisi dan rumus-rumus dinam is geom etri Euklides— sekalipun demikian Newton tidak berpretensi membuktikan, lewat bukti em piris yang lebih mantap, bahwa asumsi-asumsi tam bahan ini benar-benar nyata dan sah. Sebagai gantinya, ia m em perlakukannya sebagai asum siasumsi kerja yang diterima secara hipotesis asalkan konsekuensi-konsekuensinya memberikan terang, dalam kedalaman yang seksama, pada fenomena yang belum terjelaskan. Dengan tak dapat dihindarkan, klaim-klaim epistemik yang dibuat demi kepentingan penjelasan-penjelasan tersebut tidak cocok dengan ambisi-am bisi Descartes yang sangat "deduktivis". 104

Newton mengetahui, misalnya, bahwa tak ada feno­ mena yang menunjukkan atraksi mekanisme gravitasional dan ia tidak melihat tempat untuk "hipotesishipotesis pura-pura" (feigning hyptheses) tentang hal itu. Dengan cara ini, dalam prakteknya Newton merancang — hampir tidak disengaja— apa yang telah dimiliki oleh para filsuf ilmu yang kemudian dinamakan metode hipotetis-deduktif, yang di dalamnya, seperti diteorikan oleh Descartes, bentuk yang tepat bagi sebuah teori dilihat sebagai sebuah sistem matematis yang di dalamnya fenomena empiris khusus dijelaskan dengan menghubungkannya kembali se­ cara deduktif kepada sejumlah kecil prinsip-prinsip dan definisi-definisi umum. Akan tetapi metode ter­ sebut meninggalkan klaim Cartesian bahwa prinsipprinsip dan definisi-definisi tersebut dapat dibuktikan, dengan tegas dan pasti tanpa terlebih dahulu menyelidiki apa yang disum bangkan oleh konsekuensikonsekuensinya bagi problem-problem dan fenomena ilmiah yang aktual. Mulai dari tahun 1700 wilayah perdebatan filsafat ilmu berpindah. Pertam a-tam a, serangan-serangan pada metode dan asumsi-asumsi Newton yang dilancarkan oleh Leibniz, Berkeley dan sisa-sisa Cartesian terus berlanjut dari sudut pandang yang berbeda. Namun pada tahun 1740 berakhirlah masa bagi mani­ festo dan keberatan-keberatan tersebut; ketepatan basis ilm iah konsep-konsep Newton tak lagi di-

ragukan, dan pertanyaan filosofis menjadi restrospektif yakni, bagaimana Newton melakukannya? Terhadap pertanyaan baru ini, para filsuf abad ke-18 terbagi atas tiga kubu: Empirisme, Rasionalisme dan Kantianisme. Ada orang yang percaya, seperti David Hume, bahwa filsafat Newton sesuai dengan maksim-maksim empiris Francis Bacon dan John Locke. Lagi, ada yang percaya — seperti matematikus Swiss, Leonhard Euler, salah seorang pendiri analisis modern, dan Immanuel Kant di masa m udanya —bahwa prinsip-prinsip fisika Newton akhirnya akan didasarkan pada sebuah basis yang benar-benar demonstratif atau nyata sebagai; mana dikehendaki oleh Rasionalisme Cartesian. Tak ada dari kedua posisi itu yang terbukti benar-benar sukses, seperti diakui Kant sendiri: kubu Empirisme gagal berlaku adil terhadap ketepatan deduktif argumenargumen teoretis Newton; dan kubu Rasionalisme tak dapat m em perlihatkan secara seksama keunikan matematis Sistem Newton. Seperti sudah diketahui, bahkan geometri Euklidean, yang meliputi aksioma mengenai paralel-paralel (menurut satu, dan hanya satu garis dapat ditarik melalui sebuah titik paralel menuju garis lain) tak dapat lagi mengklaim keunik­ an formal. Dalam tahun 1733 dan kemudian 1766, sistem-sistem geometris alternatif dapat dikembangkan secara konsisten di dalamnya aksioma mengenai paralel-paralel digantikan dengan alternatif-alternatif matematis lain yang dapat diterima. Jelaslah, otoritas 106

yang diklaim atas konsep-konsep dan m etodologi Newton tak dapat lagi dipertahankan dalam cara Rasionalis lama; maka muncullah alternatif ketiga, Kantianisme. Salah satu tujuan utama filsafat Kant yang disebut sebagai filsafat Kritis, dengan metodenya yang terkenal dengan sebutan metode transendental, di mana p en getah u an m en cerm in kan stru k tu r k ateg o ris pikiran, ialah memberikan sebuah alternatif pembenar­ an filosofis terhadap h asil-hasil N ew ton. Sistem konsep-konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual m anusia, Kant berargum en, bukan karena pemakaian empiris prinsip-prinsipnya yang nyata (self-evident principles) — tak ada sesuatu yang nyata yang dapat menceritakan kepada si penyelidik tentang apa pun mengenai dunia luar. Kurang lebih sistem konsep-konsep itu relevan karena sokongan induktifnya begitu kuat— tak ada argumen Baconian yang dapat m enghasilkan jenis kepastian yang di­ butuhkan. Lebih tepatnya karena sang ilmuwan dapat mencapai suatu sistem penjelasan-penjelasan yang bersifat rasional, koheren, dan dapat diterapkan secara empiris, hanya dengan mengkonstruksi teori-teorinya di seputar konsep-konsep tersebut (Euklidean dan Newtonian). Dalam kenyataanmya, Kant melangkah lebih ja u h . K an t m en g k laim , ak sio m a -a k sio m a Euklidean dibutuhkan bukan hanya bagi ilmu saja; 107

aksioma-aksioma tersebut memperinci secara ekspiisit struktur-struktur kognitif (pikiran)yang juga tercakup secara implisit —sebagaimana disebutbentuk-bentuk intuisi (khususnya ruang dan waktu)—dalam pengaturan rasional prailmiah pengalaman inderawi ke dalam suatu dunia objek-objek substansial yang koheren dan masuk akal yang dipandang berinteraksi melalui proses-proses sebab-akibat. jangkauan me­ tode transendental Kant kemudian akan memungkinkan seorang pemikir untuk mengenali (atau begitulah harapan Kant) bagaimana dan dalamhal apa pemakaian sistem bentuk-bentuk dan kategori-kategori rasio­ nal yang telah dibentuknya sangatdibutuhkan untuk setiap pengertian koheren atau bahkan untuk peng­ alaman apa pun. 3.

Sampai Perang Dunia I : Filsafat Fisika Klasik

Daya upaya filosofis Kant yang ambisius butuh waktu lama untuk dipahami. Abadbelakangan, dalam tahun 1880-an, para filsuf ilmu dengan cara yang berbeda-beda, seperti Ernst Mach, fenomenalis Austria, dan Heinrich Hertz, perintis teorigelombang elektromagnetik, keduanya melanjutkan persoalan-persoalan yang dibukakan oleh Kant; dan beberapa implikasinya masih diteliti dalam tahun 1970-an, contohnva, dalam psikologi kognitif. Dalam istilah-istilah umum, tesis utama Kant—yakni, bahwa manusia memberikan suatu struktur pada pengetahuannya melalui konsep108

konsep dan kategori-kategori yang bermuara pada pembentukan dan penafsiran pengalaman — terbukti sangat subur; tesis ini membantu dalam menganalisis penyusunan teori, dan tesis tersebut telah ditunjukkan dalam psikologi pengindraan bahwa kem am puan persepsi manusia yang tepat dapat m enghasilkan pengetahuan yang efektif hanya pada tingkat ketika input-input inderawi itu sendiri mempunyai sebuah struktur kognitif atau konseptual. Bila kita melihat kembali ke masa lampau, dalam satu hal, tampaknya Kant telah berusaha terlalu banyak. Mencakup struktur inderawi manusia dan pengaturan intelektual seluruh geometri Euklidean, fisika funda­ mental Newton dan pemikiran-pemikiran prailmiah mengenai substansi dan sebab, Kant bertekad untuk memperlihatkan secara a priori bahwa struktur aktual manusia adalah struktur satu-satunya yang dapat diterima dan yang paling efektif— sekarang ini diketahui pembuktian ini sesat, karena tesisnya bukan soal yang sebenarnya. Hal ini terjadi tidak hanya disebabkan sistem-sistem alternatif geometri dan dinamika dapat dikembangkan secara konsisten dalam istilah-istilah matematika (sebab Kant sendiri telah menyadari hal ini); lebih tepatnya disebabkan oleh astrofisika dan mekanika kuantum telah berhasil dalam memberikan penerapan empiris yang sepenuhnya koheren untuk penjelasan ilmiah pada fenomena alamiah di luar konsep-konsep Eklidean dan post-Newtonian — dan 109

ini tidak dipikirkan sebelumnya oleh Kant. Sebenarnya, di samping matematika murni, Kant dan para penerus terd ekatn ya, yakin bahw a Euklides dan Newton di antara keduanya bagaimanapun juga telah mencapai suatu sistem geometri dan fisika yang luar biasa —jika bukan kebenaran-kebenaran matematis yang terakhir tentang alam. K urang lebih seratu s tahun, fond asi-fondasi epistemik dan komitmen-komitmen ontal apa yang disebut ilmu klasik ini diterima begitu saja secara luas. Oleh karena itu perdebatan dalam filsafat ilmu abad ke-19 berpusat pada topik-topik pinggiran dan menghind ari isu -isu yang dapat m em pertanyakan kemapanan Euklides dan Newton. Validitas sistem klasik tidak dipersoalkan, persoalan-persoalan yang dianggap relevan hanya menyangkut penafsiran implikasi-implikasinya; dan posisi-posisi yang dimunculkannya dapat diklasifikasi dengan penyederhanaan yang agak berlebihan, di bawah kubu doktrin mekanistik (atau Materialis) dan doktrin Idealis. Kubu Idealis mengambil inti tesis Kant bahwa struktur kognitif pengalaman dipaksakan kepada alam ketimbang ditemukan di dalamnya dan mereka mencoba menyelidiki konsekuensi-konsekuensinya yang lebih luas. Psikologi persepsi inderawi, misalnya, yang dulunya ditarik dari studi ilmiah langsung melalui pemisahan mutlak Descartes atas materi dari pikiran, sekarang terbuka bagi penyelidikan; sehingga, pada 110

pertengahan abad ke-19, Herman von Helm holtz, pelopor studi-studi ilmiah yang luas cakupannya, memulai penyelidikan-penyelidikan yang luar biasa ke dalam produksi pengalaman inderawi dan ide-ide manusia yang dilakukan dalam karya monumentalnya Hnndbuch derphysiologischen Optik (1856-67); diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Physilogical Optics, (1921-25). Akan tetapi bagi sebagian besar penerus Kant, jalur Idealis m eninggalkan filsafat ilmu memasuki bidang lain — khususnya, ke dalam ideologi politis, filsafat sejarah dan sosiologi. Dengan demikian, tidak heran bahwa baru pada abad ke-20 Sir Arthur Eddington teoretisi relativitas-kuantum, dalam bukunya Funda­ mental Theory (1946), sekali lagi menerima sungguhsungguh tugas dasar Idealisme Kantian, yakni, memperlihatkan, berdasarkan pada prinsip-prinsip epistemologi yang bersifat a priori, bahwa interpretasi fisik m anusia pada alam m encakup stru ktur-stru ktu r penting yang dipaksakan pada fisika oleh sifat pro­ sedur-prosedur teoretisnya sendiri. Sementara itu, para Materialis mekanistik mengabaikan wawasan-wawasan sentral Kant dan sebagai gantinya berkonsentrasi pada im plikasi-im plikasi sistem Newtonian yang tampak kepada cabang-cabang ilmu lain. Perdebatan filosofis yang bersemangat, se­ cara khusus dihasilkan di bidang-bidang itu yang baru saja mengembangkan metode-metodepenjelasan yang 111

efektif dan konsep-konsep teoretis' mereka sendiri. Satu contoh yang baik dari bidang tersebut ialah psikologi, yang di dalamnya karya seorang pelopor fisio­ logis eksperimental, Claude Bernard, dengan analisis teoretisnya yang mencolok terhadap sistem vasomo­ tor dan mekanisme-mekanisme pengaturan di dalam tubuh, yang mendahului ide-ide abad ke-20 tentang sistem-sistem umpan balik, akhirnya menerobos jalan buntu yang telah berlangsung lama di antara dua kelompok ilmuwan yang bertentangan —para mekanis ekstrem, yang mengakui tidak ada perbedaan sama sekali antara proses-proses organik atau fisiologis dan fenomena fisiokemis dunia inorganik, dan para vitalis yang langsung, yang bersikeras bahwa dua jenis fenomena itu berbeda secara mutlak. Perdebatan juga m endorong suatu pandangan epifenom enal pada pengalaman — sebagai suatu jenis buih (froth) mental subjektif tanpa pengaruh sebab akibat pada mekanisme-mekanisme fisikal yang mendasarinya— dengan demikian mempertajam ancaman yang tampak kepada semua klaim tentang "kehendak bebas" manusia. Sesungguhnya sekarang ini tampak bahwa kesimpulankesimpulan ilmiah yang dipopulerkan seperti evolusionis Jerman, Ernest Haeckel, yang mengawinkan ideide fisika klasik dengan sejarah alam Darwinian baru untuk m em bentuk kosm ologi M aterialistik yang kom prehensif, atau "anti-teologi", yang lebih ber112

r

pengaruh pada masa itu daripada yang terlihat di masa lampau. Ada satu pertukaran yang menjanjikan tentang isuisu epistemik utama di dalam filsafat ilmu pada pertengahan abad, yang terjadi antara William Whewell, seorang filsuf Inggris dan sejarawan ilmu yang terkenal karena karyanya mengenai teori induksi, dan eseis politis, John Stuart Mill: namun pertukaran ini gagal. Perdebatan berakhir dalam tujuan yang berseberangan, sebagian besar lantaran perbedaan-perbedaan dalam temperamen dan hal-hal yang digeluti. Pengetahuan Whewell —bukan cuma ilmu fisik kontemporer melainkan mengenai seluruh latar belakang historisnya— luas sekaligus rinci. Kebutuhan matematis argumen-argumen tersebut seperti yang terdapat dalam dinam ika N ew tonian m engesankannya sebanyak yang dialami Kant: namun ia memberikan pen­ jelasan yang kurang megah untuk alasan-alasan ke­ butuhan ini. Filsafat Whewell, variasi Kantian pada m etode h ip otetik o-d ed u ktif, dihistorisasi: hanya dengan suatu pendekatan progresif maka para fisikawan tiba pada sistem-sistem yang paling koheren dan komperhensif dari apa yang disebut Whewell hipotesis "consilien" — yang diperoleh secara terpisah, namun merupakan sekumpulan hukum-hukum yang serasi — yang cocok dengan pengetahuan empiris juga penyelesaiannya. Mill, di sisi lain, secara prinsip memperhatikan metodologi ilmu-ilmu sosial, yang terpusat 113

pada basis pengam atan ilmu menuj-u pengabaian terus-menerus pengaturan teoretisnya sehingga m e­ nekankan hakikat kesatuan, atau takniscaya dan berubah-ubah semua pengetahuan em p iris yang asli. Tepat pada waktunya, doktrin-doktrinnya yang tertentu, seperti penjelasannya m engenai rumus-rumus aritmetis sebagai suatu varietas generalisasi empiris, m em buat ia diejek orang tertentu: nam u n, untuk sementara waktu, sementara sebagian besar tulisantulisan dan pengetahuan Whewell m eredam kekuatan argumen-argumennya, gaya paparan M ill yang lancar dan kurang teknis merebut hati orang banyak. Akibatnya, baru tahun 1890-an dan awal tahun 1900-an terjadi keraguan-keraguan serius yang bertambah besar terhadap finalitas sintesis Newtonian; dan tu lisan -tu lisan Ernst M ach, H e in ric h H ertz fisikawan Jerman yang terkenal, M ax Planck, Pierre Duhem, dan orang-orang lain m enobatkan fase baru ciri reanalisis kritis yang b erjang kau an jauh pada filsafat ilmu abad ke-20. Dalam satu dan lain cara, semua ilmuwan ini berpaling ke belakang dan melihat pada sistem-sistem Euklidean dan N ew tonian dengan mata yang segar dan kurang terpaku. Mereka telah mempelajari peringatan Kant tentang sifat konstruktif teori-teori formal, tanpa menganut keyakinannya pada rasionalitas yang unik sintesis klasik; dan, akibatnya, topik-topik utama diskusi mereka berkenaan dengan ca ra -ca ra terb aik m enyatakan k e m b a li problem 114

Kantian. M engakui bahwa aktivitas intelektual penyusunan teori mempunyai efek m em bangun kebutuhan fisik ke dalam argumen-argumen teoretis manusia, mereka bertanya, lalu apa yang akan terjadi, secara ontologis, tentang realitas atau kelaziman atomatom, daya-daya, elektron-elektron yang dihasilkan dan sebagainya, dan apa yang dapat dikatakan, secara epistemologis, tentang status kognitif dan kesahihan logis prinsip-prinsip teoretisnya? Pada sisi ekstrem, seorang fisikawan dan filsuf Austria, Ernst Mach, dan Richard Avenarius, pengarang filsafat yang dikenal sebagai empirio-kritisme, men­ jelaskan secara rinci bentuk sensasionalis Empirisisme yang m engingatkan kita pada David Hume, yang telah bersikeras bahwa semua ini dapat dilacak kepada "kesan-kesan" (sensasi-sensasi). Dalam pandangan mereka, konsep-konsep teoretis merupakan fiksi-fiksi intelektual, diperkenalkan untuk mencapai pengaturan dalam organisasi intelektual kesan-kesan panca indra, atau pengam atan-pengam atan, yang hanya untuknya keunggulan ontal dapat diklaim. Sama halnya, semua klaim terhadap pengetahuan ilmiah mem­ punyai kesahihan epistemik hanya bagi mereka sejauh dapat didasarkan pada kesan-kesan indrawi tersebut. Sebagai perlawanan pada posisi instrumentalis atau reduksionis ini, Max Planck, pengarang teori kuantum, membela Realisme terbatas, yang, setidaknya, mengungkapkan cita-cita ke arah yang dituju semua per115

kembangan konseptual di bidang fisik; karena, tanpa suatu keyakinan pada realitas alam eksternal yang kekal (enduring reality o f external nature), ia berargumen, semua motif bagi perbaikan teoretis di dalam ilmu akan sia-sia. Di antara dua posisi yang ekstrem ini, Henri Poincare, yang sama-sama dibedakan dalam matematika dan filsafat ilmu, dan Pierre Duhem, se­ orang fisikawan teoretis Perancis, menempati suatu barisan pertengahan yang disebut posisi konvensio­ nalis, vang berusaha mengatakan yang sebenarnya m engenai unsur-unsur yang sewenang-wenang di dalam konstruksi teori sam bil m enghindari jenis keraguan radikal tentang status ontal entitas-entitas teoretis yang membawa Mach ke dalam Skeptisisme seumur hid up tentang realitas atom-atom. 4.

Perdebatan Abad ke-20: Para Positivistis versus Sejarawan

Di pertengahan abad ke-20, perdebatan dalam filsafat ilmu menjadi semakin mendalam, rumit, dan kritis; dalam kenyataannya selama 50 tahun, kita telah melihat topik itu akhirnya mendapat status sebagai suatu disiplin profesional yang mantap. Tidak sedikit di antara penyebab perkem bangan ini ialah perubahan-perubahan mendalam yang telah terjadi sejak tahun 1900 di dalam fisika teoretis dan cabang-cabang fundamental ilmu alam. Selama sintesis klasik Euklid dan Newton mempertahankan otoritasnya yang tak

dapat diganggu gugat, hanya sedikit kesem patan untuk benar-benar memeriksa secara mendalam basis ontologis dan epistemologis; namun teori relativitas — yang menerangkan geometri-geometri dan hukumhukum yang lebih awal di dalam kerangka wawasan baru ke dalam hubungan-hubungan di antara ruang dan waktu— dan mekanika kuantum — yang menerangkannya dalam kerangka rumusan statistik dan indeterministik— mengajukan tantangan yang frontal kepada sintesis itu, dan mau tak mau, mendorong pertanyaanpertanyaan kritis dan filosofis terhadap kesahihan m etode-m etode dan asum si-asum si yang m enjadi sandarannya. Akibatnya, antara tahun 1920 dan 1940 muncul suatu interaksi yang diperbaharui antara fisikawan teoretis dengan para filsuf ilmu — khususnya para Positivis Wina dan para pengarang mekanika kuantum yang baru. Tem a-tem a utama perdebatan berikutnya sebagian besar diperkenalkan dalam diskusi periode sekitar tahun 1900. Reduksionism e kritis Mach, di dasarkan pada Beitrdge zur Analyse der Empfindungen (1886; terjemahan Inggrisnya, The Analysis o f Sensation..., 1959), yang di dalamnya ia mencoba mereduksi semua pengetahuan menjadi pernyataan-pernyataan tentang sensasi-sensasi, sebagai sumber utama baik Positivisme dan empirisisme logis Lingkaran Wina — sekelompok filsuf dan ilmuwan terkemuka yang bertemu secara teratur di Wina selama tahun 1920-an dan 1930-an— dan 117

juga teori-teori epistemologis tentang data-indra dan konstruksi-konstruksi logis yang dikembangkan di Inggris kira-kira dalam waktu yang bersamaan oleh Bertrand Russell, barangkali logikawan dan filsuf yang kem udian terkem uka di Inggris; oleh G.E. M oore, seorang perintis yang sangat teliti di bidang Analisis Linguistik; dan oleh filsuf lainnya. Sem entara itu, realisme terbatas Planck dan Hartz dilaksanakan lebih jauh oleh filsuf seperti Norman Campbell, seorang fisikawan Inggris yang dikenal karena pembedaannya yang mempertajam antara hukum-hukum dan teoriteori, dan Karl Popper, seorang filsuf Austro-Inggris yang dikenal karena teorinya tentang falsifiabilitas, pandangan keduanya mencerminkan metodologi yang eksplisit banyak ilmuwan yang bekerja di masa kini. Suatu perkecualian yang utama adalah para pengikut positivistik Niels Bohr dalam fisika teoretis aliran Copenhagen. Akhirnya, berlanjut menjadi dukungan su bstansial pada kom prom i-kom prom i lanjutan, konvensionalis, dengan nada tambahan Kantian, di sepanjang garis-garis umum yang dikembangkan oleh Poincare dan Duhem. Dari kompleksitas yang berlimpah filsafat ilmu dewasa ini, dua untaian utama dapat dipilih untuk diuraikan secara khusus di sini. Yang pertama adalah unidian Positivisme neo-Humean, yang pertama berkembang di Lingkaran Wina dan bertumbuh subur dewasa ini di Amerika Serikat dan menggeluti secara 118

mendasar isu-isu epistemologis. Sementara sebagian besar meninggalkan keyakinan Mach bahwa sensasisensasi adalah dasar terakhir satu-satunya pengetahu­ an, para pendukungnya telah melanjutkan, bersama Mach, memandang entitas-entitas teoretis sebagai fiksifiksi atau konstruk-konstruk logis, kesahihannya sepenuhnya tergantung pada kemampuan memberikan basis di dalam pengam atan-pengam atan em piris. Posisi neo-Humean ini banyak berasal dari desakan, jika bukan konfirmasi formal, penekanan Einstein pada peranan esensial sang pengam at di dalam fisika relativitas dan dari serangan pada teori kuantum yang dibuat oleh fisikawan Jerm an, Werner Heisenberg, pada setiap pembedaan yang tajam, pada level-level subatomik, di antara si pengamat, pengamatannya, dan sistem yang diamati (lihat Philosophy o f Nature). Para Positivis Logis dan Empirisis memanfaatkan argumen-argumen epistemik ini sebagai suatu peralatan formal yang diambil dari filsafat matematikkhususnya, dari Principia M athem atica (1910-1913) Russell dan Whitehead. Dalam pandangan mereka, ak tiv itas konstru ksi teori ekuivalen secara logis dengan penciptaan sistem-sistem proposional, yang di dalam nya kelom pok-kelom pok proposisi secara ideal dikemukakan dalam bentuk aksioma tik. Ditafsirkan demikian, metode hipotetiko-deduktif menjadi sebuah resep untuk membagi suatu rangkaian sistemsistem aksiom a yang sem akin m enyeluruh secara 119

progresif, yang didasarkan pada sekumpulan postulat umum alternatif (atau proposisi-proposisi primitif) yang diusulkan tanpa bukti, yang darinya proposisiproposisi em piris, partikular, dapat disim pulkan. Seperti dalam kasus teori relativitas yang khusus, proposisi-proposisi partikular ini — misalnya, bahwa sumbu elips orbit Merkuri akan mendahului (atau berbalik) pada kecepatan tertentu— kemudian dapat digunakan untuk mengesahkan rumus-rumus umum dengan m em bandingkannya dengan pengalam an aktual sehingga — secara langsung atau tidak langsung— juga membuktikan proposisi-proposisi primitif yang lebih umum. Perdebatan berikutnya di dalam aliran Wina berkenaan dengan, sebagian besar, ciri eksak dan daya pembuktian ini —entah itu verifikasi, konfirmasi, atau korroborasi dan/atau falsifikasi. Pada posisi ekstremnya yang paling ambisius, aliran Wina ini ditujukan untuk mengkonstruksi sebuah sistem tunggal ilmu yang terpadu, dengan mana seluruh korpus pengetahuan positif akan tercakup di dalam suatu sistem aksioma yang tunggal dan mencakup segalanya yang dikonstruksi di sekitar logika simbolik Russell yang abstrak. Menurut program ini semua penge­ tahuan ilmiah yang sejati, pertama-tama, disahkan dengan seruan kepada pengam atan -p en gam atan empiris yang netral, dengan resiko dihilangkan se­ bagai yang tak bermakna (meaningless); dan kemudian 120

'

ia harus digabungkan ke dalam skema ilmu terpadu yang lebih besar. Oposisi yang paling kuat kepada aliran Empirisis atau Positivis telah muncul, juga, yang berasal dari aliran Neo-Kantian yang mempertanyakan persis pada kem ungkinan m engidentifikasi kum pulan pengamatan-pengamatan yang netral secara teoretis yang dibutuhkan untuk memperkuat atau tidak mempercayai teori-teori alternatif dalam suatu cara yang logis secara ketat. Aliran Neo-Kantian ini pada filsafat ilmu abad ke-20 telah dikukuhkan oleh pemikir pelopor Heinrich Hertz (dalam teori gelombang elektromagn etik ) dan Ludw ig W ittgenstein (dalam filsafat bahasa). Menolak pertanyaan-pertanyaan epistemologis utama Mach tentang sensasi-sensasi dan ide-ide, kedua orang ini justru telah mulai dari pertanyaanpertanyaan Kantian tentang manfaat representasirepresentasi atau m odel-m odel dalam penjelasan fenomena. Telaah Hertz pada The Principles o f Mechanics (1894), misalnya, menjelaskan secara terperinci dinamika Newtonian sebagai suatu representasi formal yang secara logis m em erlukan kesim pulan-kesim pulan em piris hanya bila fenomena yang bersangkutan sudah dapat dideskripsikan dalam istilah-istilah yang ditarik dari teori itu sendiri; dan Tractatus LogicoPhilosophicus (1922) Wittgenstein memperluas analisis Hertz untuk memberikan suatu teori filosofis bahasa yang umum sebagai suatu instrumen merepresentasi 121

I

fa k ta -fa k ta . Im p lik asi-im p lik asi pen d ekatan ini untuk analisis filosofis dan m etodologi ilmu telah diselidiki lebih lanjut oleh beberapa murid dan penerus W ittgenstein, yang telah mengubah fokus diskusi berlalu dari verifikasi proposisi-proposisi ilmiah menjadi penetapan konsep-konsep dan teori-teori ilmiah; dengan m enyoroti masalah perubahan konseptual, m ereka telah m enghidupkan kembali minat pada signifikansi filosofis sejarah ide-ide ilmiah. Karena, dari sudut pandang ini, pertanyaan-pertanyaan logis tentang struktur sistem-sistem proposisional harus digabungkan dengan yang lain, maka pertanyaanpertanyaan rasional yang sama-sama mendasar tentang cara yang di dalamnya sistem-sistem teoretis yang berbeda menjadi berhasil satu sama lain, (lihat di bawah: Perubahan konseptual dan perkembangan ilmu). Selama periode yang sama ini, perubahan-perubahan luar biasa yang terjadi di dalam ilmu-ilmu seperti fisika teoretis, biokimia, dan psikologi telah merangsang diskusi-diskusi filosofis di kalangan para ilmuwan itu sendiri. Sebagai contoh, penggeseran fisika N ew tonian klasik oleh m ekanika kuantum Heisenberg telah mendorong suatu giliran baru argumen-argumen tentang kausalitas dan determinisme, dengan beberapa orang yang mengelu-elukan Prinsip Indeterminasi Heisenberg —yang memandang bahwa lokasi sebuah partikel secara intrinsik tidak jelas dalam arti bahwa momentumnya persis (dan sebaliknya)—

122

yang memberikan tumpuan kehendak bebas manusia yang oleh determinisme ketat abad ke-19 tampaknva tidak dimungkinkan. Kemajuan dalam Fisiologi selular dan subselular, lebih lanjut, telah memunculkan ronde-ronde lanjutan perdebatan di dalam filsafat biologi. Claude Bernard, eksperimentalis terkemuka kedokteran abad ke-19, tidak pernah berhasil memperluas analisisnya pada mekanisme-mekanisme pengatur, seperti syaraf-syaraf yang mengendalikan ukuran pembuluh-pembuluh darah, untuk mencakup prosesproses embriologi dan morfogenesis (perkembangan bentuk-bentuk organis); dan, pada level yang lebih halus ini, ada jalan buntu yang dibuat lagi sekitar tahun 1900 sampai 1920, antara vitalisme Hans Driesch, yang mengusulkan suatu realitas yang nyaris mirip-roh yang membimbing perkem bangan, dengan mekanisme Jacques Loeb, dua biolog eksperimental dengan minat filosofis. Sekali lagi, para pendukung posisi ekstrem tidak dapat m em buktikan alasan mereka seluruhnya; malahan, para biolog cenderung ke arah konsepsi sistemik yang menengahi, yang dikenalkan pertama kali oleh Paul A. Weiss, seorang biolog per­ kembangan yang ternama pada pertengahan tahun 1920-an. Konsepsi itu dikembangkan kemudian secara rinci menjadi aplikasi-aplikasi teori-teori baru sibernetika dan umpan balik, yang melaksanakan studistudi komparatif pada sistem-sistem kendali otomatis dalam sistem saraf dan dalam rekayasa elektro meka123

nis. Belum lama berselang perkem bangan biologi molekuler telah memaksa para ilmuwan untuk merumuskan kembali masalah morfogenesis sekali lagi — inilah saatnya ketika m asalah bagaim ana memahami pola-pola struktural makromolekul-makromolekul nuklei acid dalam bahan genetis turun-temurun menemukan ungkapan struktural dalam tubuh yang sedang berkem bang sebagai sebuah hasil interaksi dengan lingkungan. Sampai sekarang, pertanyaan ini sebagian besar masih belum terjawab. Secara metodologis, sejak tahun 1940 satu pusat baru perdebatan filosofis telah berkembang, kini dalam ilmu-ilmu behavioral. Sejak Descartes dan Hobes, telah ada ketidaksepakatan yang tajam tentang keabsahan perluasan metode-metode dan kategori-kategori ilmu fisik ke lingkungan proses-proses mental manusiawi yang lebih tinggi dan khas. Bahkan pada tahun 1970an, para psikolog teoretis masih jauh dari sepakat dalam penjelasan-penjelasan mereka mengenai perilaku manusia. Beberapa psikolog bersikeras bahwa tindakan-tindakan manusia tunduk kepada hukumhukum dan m ekanism e-m ekanism e yang sejenis dengan proses-proses fisik; yang lain menolak setiap penyamaan langsung apa pun yang terdapat di antara aturan-aturan perilaku dan hukum -hukum alam. Sampai sekarang perdebatan ini masih hidup dalam psikologi bahasa. Para Behavioris m engikuti B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika, menolak setiap 124

kelas tersendiri untuk hukum-hukum dan prosesproses mental, sementara para psikolog kognitif dan ahli tata bahasa generatif, yang dipimpin oleh Noam Chom sky, berargum en bahw a ak tiv itas-ak tiv itas linguistik bersifat kreatif dan diatur sesuai dengan halhal yang tidak dapat dijelaskan oleh para Behavioris. Begitu juga dalam sosiologi dan antropologi, abad ke-20 telah menjadi periode kontroversi metodologis. Di sini konflik yang tidak terpecahkan berkenaan dengan signifikansi sejarah dalam menjelaskan perilaku kolektif manusia. Di suatu sisi, di dalam sosio­ logi, ada suatu aliran yang disebut strukturalis atau fungsionalis yang mengikuti sarjana Amerika lainnya, Tallcott Parsons. Dalam antropologi, ada etnolog Inggris Arnold Radcliff-Brown dan Bronislaw Malinowski, yang mempelajari mentalitas dan perilaku primitif, yang memandang semua praktek budaya dan lembaga-lembaga sosial yang berfungsi di dalam komunitas tertentu kapan saja, saling berhubungan satu sama lain secara sistematis dalam suatu struktur keseluruhan. Untuk menjelaskan salah satu dari praktek atau lem baga-lem baga itu, mereka menganggap, cukup dengan m enunjukkan bagaim ana ia berhubungan dengan semua aspek-aspek kebudayaan lainnya se­ cara serentak. Di sisi lain, aliran yang lebih berorientasi historis, terutama "para Marxis kritis" (seperti Jurgen H aberm as) m enekankan pengem bangan dinam is karakter struktur-struktur dan hubungan-hubungan 125

sosial. Sekali lagi, di sini perdebatan m etodologis masih berlanjut dan hasil akhirnya belum dapat diramalkan dengan jelas. ❖

126

II

KONSEPTUALISASI DAN M ETODOLOGI ILMU

Sekarang adalah saat yang tepat untuk mendefinisikan masalah-masalah yang selalu berulang, yang m em ainkan peran utam a dalam perdebatan filosofis tentang ilmu dan unsur-unsur krusial yang harus tercakup di dalam laporan suatu filsafat ilmu yang adekuat. Sejak permulaan, para ilmuwan sendiri tertarik bukan hanya untuk m engkatalogkan dan m endeskripsikan dunia alam seperti yang mereka temukan, melainkan untuk membuat cara kerja-cara kerja alam dapat dipahami dengan bantuan teori-teori yang padat dan terorganisir. Seiring dengan itu, para filsuf ilmu diharuskan untuk m em pertim bangkan bukan cuma alam semesta yang terisolasi — sekedar tumpukan fakta-fakta empiris, yang menunggu dengan bisu ditemukan manusia — tetapi juga cara manusia m encerap dan m enafsirkan sendiri fakta-fakta itu ketika memasukkannya ke dalam genggaman suatu 127

teori yang dapat dipahami dan pertimbangan-pertimbangan yang di dalamnya kesahihan ide-ide teoretis yang dihasilkan (atau konsep-konsep) dipengaruhi oleh pemrosesan data empiris. Berbicara secara historis, persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh interaksi manusia dan alam ini menjadi rumit dan membingungkan. Walaupun sampai hari ini para filsuf ilmu menghadapi banyak pertanyaan yang sama, yang sudah diperdebatkan di A thena kuno, nam un deretan dan relevansi p er­ tanyaan-pertanyaan itu diperjelas setiap saat. Misal­ nya, ketika para filsuf pada abad ke-17 menganalisis alam dan ruang lingkup penjelasannya yang mungkin secara matematis dan eksperimental, mereka membantu memperjelas dasar bagi Newton untuk mengembangkan program intelektual dan metodologi fisika teoretis modern. Sementara itu, perdebatan filosofis berikutnya tentang klasifikasi buatan dan alamiah juga memperjelas dasar bagi taksonomi ilmiah sistemikus Sw edia, Carolus Linnaeus dan teori seleksi alam, Charles Darwin. Klarifikasi metodologis dalam filsafat ilmu, telah berkali-kali membawa kemajuan kreatif pada ilmu itu sendiri sehingga, pada gilirannya, memunculkan pengalaman baru yang dapat dimanfaatkan para filsuf untuk memajukan analisis metodologisnya.

128

A.

Unsur-unsur U sah a Ilmiah

Memang cukup mudah mendaftar unsur-unsur utama yang pasti memperoleh tempat di dalam setiap filsafat ilmu, nam un persoalan-persoalan m uncul ketika m em etakan hubungan-hubungan di antara mereka. 1.

Data Empiris dan Penafsiran Teoretis

Yang pertama adalah unsur-unsur empiris. Tugas ilmu ialah menjelaskan peristiwa-peristiwa, prosesproses, atau-fenomena aktual di alam; dan tidak ada sistem ide-ide teoretis, istilah-istilah teknis, dan pro­ sedur-prosedur matematis — atau prosedur-prosedur matematis semata— yang patut disebut ilmiah jika ia tidak bertarung dengan fakta-fakta empiris itu pada titik tertentu dan dengan cara tertentu membantu membuatnya lebih dapat dipahami. Di satu sisi, faktafakta yang sedang digarap mungkin diperoleh dengan menggunakan metode-metode pengamatan — yakni, dengan cara melaporkannya sebagaimana adanya dan ketika terjadi secara alamiah, tanpa menggunakan caracara khusus apa pun untuk mempengaruhi peristiwaperistiwanya. Situasi ini adalah tentu saja, hal normal di dalam astronomi, di mana objek-objek studi tidak dapat dipengaruhi atau dikontrol. Lainnya, fakta-fakta itu boleh jadi ditemukan dengan menggunakan me­ tode-m etode eksperim ental — yakni, dengan merancang peralatan spesial atau perkakas yang dengan 129

bantuannya proses-proses atau fenomena-fenomena dibuat terjadi sesuai dengan permintaan dan di bawah kondisi-kondisi yang dikendalikan secara khusus. Dalam kasus itu, sang ilmuwan dapat menyerang masalah-masalah ilmiah — untuk menggunakan metafor Kant yang bersemangat— dengan "menempatkan Alam untuk dipersoalkan", seperti halnya di dalam fisika dan biologi dasar. Cara lain, suatu kesulitan filo­ sofis muncul seketika berkenaan dengan hasil-hasil studi empiris sang ilmuwan: karena dia harus menanyakan bagaimana mungkin bahan mentah faktafakta empiris tersebut dapat diubah, dinyatakan, dan dideskripsikan di dalam suatu cara yang menerangi masalah-masalah teoretis ilmuwan itu sendiri. Apakah semua fakta em piris apa saja bisa m enjadi bahan mentah ilmu? Ataukah hanya fakta-fakta yang relevansi teoritisnya telah diseleksi lebih dahulu —atau bahkan, pada tingkat tertentu, fakta-fakta itu dibentuk lagi untuk memastikannya? Apakah seorang ilmuwan beru rusan dengan setiap peristiw a em piris yang khusus, tersebut, atau hanya dengan fenomena umum atau keteraturan-keteraturan (regularity) yang dapat dikenali dalam peristiwa-peristiwa itu? Aliran-aliran filsuf yang berbeda memperlakukan bahan mentah ini dengan cara-cara yang sangat berbeda. Di tempat kedua terdapat unsur-unsur konseptual. Setiap ilmu menggunakan abstraksi-abstraksi, term inologi dan teknik-teknik penafsiran dan pen-

jelasan ciri khasnya sendiri, yang jenis-jenisnya bisa sangat berbeda. M ereka bisa saja berupa tipe-tipe ideal, seperti dalam teori gas dan bagian-bagian sosiologi; prinsip-prinsip konservasi, seperti di dalam dinam ika dan energetika; taksa, seperti di dalam sistem atika biologis; partikel-partikel atau unsurunsur pokok seperti di dalam genetika dan fisika su batom ik; m od el-m odel atau d iagram -d iagram aliran, seperti di dalam analisis ekonometrik. Unsurunsur konseptual tersebut adalah kunei-kunci intelek­ tual yang dengannya fenomena dibuat bisa dipahami, dan sebuah perdebatan filosofis yang paling aktif telah mengubah sama sekali bagian yang mereka mainkan dalam penafsiran fenomena. Jika, misalnya, ide parti­ kel-partikel atau unsur-unsur pokok terakhir (ultimate constituents) materi dipandang sebagai suatu konsep yang diciptakan para ilmuwan dalam rangka analisis teoretis mereka sendiri, dapatkah kemudian diklaim suatu eksistensi tersendiri untuk entitas-entitas teoretis tersebut di lingkungan alam itu sendiri? Atau haruskah semua ide tersebut dipandang sebagai fiksi-fiksi atau konstruk-konstruk, sehingga klaim terhadap realitas tidak pernah melampaui makalah tempat ditulisnya penjelasan-penjelasan ilmiah? Demikian pula, jika deskripsi-deskripsi teoretis alam yang terdapat pada ilmu diidealisir dan abstrak tanpa terelakkan, apakah ini menyiratkan bahwa desakan untuk membubuhkan argum en-argum en, m isalnya, di dalam 131

fisika teoretis itu sendiri hanyalah suatu artifak atau produk sam ping prosedur-prosedur ilmuwan itu sendiri untuk menafsirkan fenomena? Atau dapatkah seseorang, bagaimanapun juga, membicarakan peris­ tiwa-peristiwa alamiah itu sendiri sebagai hal yang terjadi "tak terhindarkan"? Akhirnya, setiap ilmu alamiah juga mencakup unsur-unsur formal dan matematis atau unsur-unsur matematis saja. Hal ini boleh jadi berupa algoritmaalgoritma matematis, atau prosedur-prosedur penghitungan, seperti yang digunakan dalam astronomi komputasional sejak zaman Babylonia, atau seperti program-program komputer yang merupakan padanannya di abad ke-20; atau konstruksi-konstruksi geometris, seperti terdapat pada cabang-cabang optik tertentu; atau metode-metode analisis grafis, seperti yang digunakan dalam penanganan data statistik; atau sistem -sistem aksiom atik yang dengannya, sejak zaman klasik, geometri dan fisika diorganisir menjadi skemata formal proposisi-proposisi yang diikat ber­ sama oleh hubungan-hubungan logis. Para filsuf dalam tradisi Platonis memberikan perhatian-perhatian khusus kepada unsur-unsur formal tersebut. Yang dianggap dapat dipahami secara autentik hanyalah teori-teori yang muatannya dapat ditampilkan secara eksplisit dalam sistem -sistem proposisi-proposisi yang formal dan lebih digemari yang bersifat mate­ matis. Teori-teori jenis ini saja yang mampu — seperti 132

diungkapkan oleh ahli logika Jerman yang terkemuka G ottlob Frege — m en ggu nakan "k o n sep -k o n sep dalam bentuknya yang m urni". Demikianlah para filsuf ilmu abad ke-20 telah m encurahkan banyak waktu dan usaha kepada persoalan: seberapa jauh dan pada kondisi-kondisi apa, cabang-cabang ilmu alam lainnya dapat (yakni, mekanika kuantum atau genetika) dimasukkan di dalam bentuk aksiomatik yang definitif yang sama sebagaimana mekanika klasik dan teori listrik? Atau apakah konstruksi formal itu sendiri hanyalah peralatan manusia yang diadopsi untuk menyederhanakan penanganan data empiris, yang tidak menyatakan apa-apa lagi tentang struktur yang mendasari alam itu sendiri? Masing-masing tiga kelompok unsur-unsur ini mengajukan masalah-masalah yang masih menimbulkan ketidaksepakatan yang mendalam bagi para filsuf ilmu; dan perbedaan-perbedaan pandangan ini dapat diilustrasikan secara bermanfaat dengan menunjukkan berbagai pendekatan yang dipakai oleh anggotaanggota aliran yang saling bersaing ketika mendiskusikan masing-masing kelompok. Pada tingkat ekstrem dapat disebut para filsuf dengan kerangka berpikir Empirisis radikal, yang memandang penting, terutama, menekankan fondasi-fondasi em piris pengetahuan ilmiah; bagi mereka, fakta-fakta mentah (raw facts) pengalaman bersifat primer dan berhak mendapatkan penghargaan absolut. Dalam pandangan ini, prinsip133

prinsip teoretis umum mempunyai muatan ilmiah yang autentik hanya bila ditafsirkan sebagai generalisasi-generalisasi empiris tentang data empiris yang dipahami secara langsung; dan, sama halnya, entitasentitas teoretis yang abstrak harus dimengerti sebagai konstruksi-konstruksi logis unsur-unsur yang lebih fundamental yang dapat diidentifikasi secara lang­ sung di dalam pengalaman empiris. (Kepercayaan ini, tentu saja, adalah basis kesimpulan Mach bahwa atomatom submik roskopik hanyalah fiksi-fiksi intelektual dan mendapatkan makna ilmiahnya seluruhnya dari pengalam an-pengalam an indra m akroskopik yang biasa digunakan mereka untuk menjelaskan.) Pada ekstrem yang lain, para filsuf yang benarbenar Rasionalis, atau Cartesian, dapat disebut me­ nolak ide bahwa fakta-fakta empiris yang m entah, di dalam dan pada dirinya sendiri, m em p erlih atk an hubungan-hubungan apa pun yang dapat dipaham i atau diatur oleh hukum — dan tetap m erupakan sesuatu yang kurang penting. Bagi mereka, seperti bagi Plato, pengalaman mentah ilmuwan akan alam adalah sekumpulan yang tidak teratur, atau terus-m enerus berubah, sampai ia berhasil menemukan su atu struk­ tur rasional atau prinsip-prinsip yang m enghubungkan fakta-fakta yang tak bertautan ini dengan suatu keseluruhan yang lebih besar dan lebih d a p a t d i­ paham i. K etim bang m engijinkan sig n ifik a n si dan otoritas yang sama kepada peristiw a-peristiw a yang 134

sedang terjadi, ilmuwan, dalam pandangan ini, harus sangat selektif dalam pengamatan-pengamatan yang dilakukannya; memang, fungsi persis eksperim en yang dirancang dengan baik sekarang ialah untuk menciptakan fenom ena yang dapat m engilu strasikan hubungan-hubungan yang dapat dipaham i, yang merupakan perhatian sejati ilmu sehingga patut mendapat status sebagai fakta-fakta yang sah secara ilmiah. Kedua, pendekatan ini, empiris dan rasionalis, me­ nekankan poin-poin yang sahih dan penting, namun, di dalam bentuk-bentuknya yang ekstrem, mereka menimbulkan kesulitan-kesulitan yang mungkin tak dapat diatasi. Mengenai pendekatan empiris, keterpercayaan (credentials) konsep ilmiah atau teori apa pun tentu saja tergantung kepada suatu tingkat substansial yang berbasiskan pengalaman empiris. Sebenarnya, telah banyak yang dipelajari tentang statistik, kalkulus probabilitas, dan rancangan eksperimen-eksperimen ilmiah dari analisis yang hati-hati terhadap prosedurprosedur yang digunakan untuk m enangani data empiris secara sungguh-sungguh, bahkan sebelum mempersoalkan penafsiran teoretis yang muncul se­ cara langsung. Namun dapat dipertanyakan apakah kesan-kesan indra saja dapat dianggap sebagai bukti bagi posisi ilmiah apa pun, seperti yang diasumsikan oleh Mach dan para filsuf data-indra (sense-data). Semua pengamatan-pengamatan ilmiah yang sejati, seperti diekspresikan Kant, mempunyai bentuk pertimbang135

an-pertimbangan — yakni, yang diekspresikan dalam pernyataan-pernyataan yang menjawab pertanyaanpertanyaan yang dirumuskan terlebih dahulu. Barangkali merupakan tindakan melebih-lebihkan bila bersikeras bahwa semua pernyataan-pernyataan teoretis yang sah di dalam ilmu harus dihubungkan dengan cara deduktif yang ketat kepada pengamatan-pengamatan em piris sehari-hari yang digunakan untuk menjelaskan; dan merupakan sebuah karikatur bila m em perlakukan kekuatan eksplanatoris hukum hukum dan prinsip-prinsip teoretis, sebagai contoh di dalam fisika, tidak berbeda jenisnya dari generalisasi elementer seperti "Semua telur burung robin berwarna biru kehijau-hijauan". Mengenai pendekatan Rasionalis, salah satu dari tugas-tugas utama bagi para filsuf ilmu tentu saja ialah menjelaskan antarhubungan-antarhubungan rasional yang memberi penjelasan-penjelasan ilmiah ciri-khas keterpahamian (intelligibility) yang khas. Dalam hal ini, orang seperti Descartes, Kant, dan Hertz telah memperdalam pemahaman filsuf mengenai usaha ilmiah dengan m engharuskannya m engenali cara-cara di mana pengaturan intelektual teori-teori ilmiah ber­ sandar pada aktivitas-aktivitas konstruktif ilmuwan itu send iri, ketim bang pada fakta-fakta spesifik. Namun, sekali lagi ia akan menyesatkan jika meng­ gunakan fakta ini sebagai dalih untuk memperhatikan teori-teori fisik — untuk mengumandangkan ungkapan 136

Einstein — sebagai seluruhnya "ciptaan-ciptaan bebas pikiran m anusia". Bila langkah dari pengam atanpengamatan menuju teori-teori tidak bersandar pada warisan-warisan formal belaka, ia akan menjadi pembesar-besaran-tandingan (counter-exaggeration) yang sama serius jika menganggap bahwa konstruksi teori benar-benar sewenang-wenang atau tak dibatasi oleh tuntutan-tuntutan im peratif pem ecahan m asalahmasalah spesifik. Oleh karena itu tugas yang belum diselesaikan bagi kebanyakan filsuf ilmu ialah menemukan jalan tengah yang dapat diterima di antara ekstrem-ekstrem Rasionalis dan Em piris sehingga berlaku adil baik kepada fondasi-fondasi empiris teori-teori maupun kepada pengaturan internalnya. Penekanan yang ber­ beda para filsuf umumnya paling-paling mencerminkan perbedaan dalam keasyikan-keasyikan substantifnya. Orang yang tertarik (seperti Mill) pada metodemetode yang memungkinkan pengembangan ilmuilmu manusia atau sosial, secara alamiah menaruh tekanan yang paling kuat kepada basis-basis empiris pengetahuan ilmiah. Orang yang akrab (seperti W he­ well) dengan hasil terakhir yang nyata konstruksi teori di dalam ilmu-ilmu yang mapan, seperti fisika, secara alamiah menekankan koherensi sistematik dan struktur pengertian ilm iah. O rang yang berm inat dengan alam dan kesahihan pengertian historis (seperti Giambattista Vico) juga berakhir dengan penjelasan 137

yang sangat berbeda mengenai kepastian dan keniscayaan orang-orang (seperti Descartes) yang mencita-citakan pengetahuan ilmiah bersifat matematis formal. Jika filsuf terpukau dengan usaha ilmiah yang sangat kompleks, pendekatan ini dapat membawanya kepada pengertian yang lebih eksak terhadap masalahmasalah intelektual yang bervariasi dalam ilmu-ilmu alam dan manusia. Sekali dikenali betapa berbedanya jenis-jenis pertanyaan yang muncul di dalam bidangbidang yang berbeda tersebut seperti elektro-dinamika kuantum dan biologi perkembangan, neurologi klinis dan sosiologi historis, maka tujuan merumuskan suatu metode ilmiah yang tunggal — dengan sekumpulan prosedur dan kriteria yang dapat diterapkan secara universal untuk mennnbang teori-teori atau ide-ide baru di semua bidang ilmu — dapat tampak sebagai sebuah khayalan. Namun desakan sang filsuf yang sah pada generalitas telah'm em bantu mempromosikan perluasan-perluasan dan pemaduan-pemaduan yang penting pengertian manusia. Maka sekali lagi, se­ karang ia harus menghindari untuk mengambil sikap yang terlalu dogmatis, baik untuk maupun menentang generalitas yang lengkap, yang terdapat di benak Kant, yang mengingatkan bahwa akal dapat diharapkan memetakan batas-batasnya yang tepat itu sendiri hanya dengan resiko kadang-kadang akan melampaui batasnya. 138

2.

Prosedur-prosedur Empiris Ilmu

Bersama dengan tiga kelompok unsur yang sudah didiskusikan, tiap fase dalam usaha ilmiah — empiris, formal, dan konseptual, atau interpretatif— m em ­ punyai prosedurnya sendiri yang khas. Pada level pengamatan empiris dan deskripsi, tiga topik itu dapat dibicarakan secara ringkas, semua ini didiskusikan dengan lebih panjang lebar dalam artikel yang lain (lihat Measurement, Theory o f Classification Theory; dan artikel-artikel mengenai ilmu-ilmu dasar). Pertama, ada prosedur-prosedur pengukuran yang membawa para ilmuwan tiba pada perkiraan-perkiraan ku antitatif terhadap variabel-variabel dan besaran-besaran yang dipertimbangkan di dalam teoriteori mereka. Saat ini, ada tubuh pengetahuan yang dikem bangkan dengan baik dan disepakati para sarjana yang berisikan banyak teknik dan tindakan pencegahan yang digunakan di dalam praktek dalam pengukuran kuantitas-kuantitas empiris, dalam menghitung kesalahan-kesalahan yang mungkin atau penyim pangan-penyim pangan yang signifikan dan seterusnya. Akan tetapi tentang signifikansi yang lebih dalam dari prosedur-prosedur pengukuran dan hasil terak h irn y a m asih ada p erselisih an -p erselisih an filosofis yang tidak dapat dipecahkan. Ketidaksepakatan-ketidaksepakatan ini mencerminkan perbedaanperbedaan pendekatan yang sudah disebutkan. Demikianlah, beberapa filsuf m em andang setiap teori 139

ilmiah yang berkenaan dengan besaran-besaran yang dapat diukur (dapat dikuantifikasi) secara intrinsik lebih utama daripada yang bersifat kualitatif (atau, seperti yang akan m ereka katakan, yang bersifat impresionistik), meskipun yang belakangan ini kaya dan terorganisir dengan baik. Yang lain, sebaliknya, akan berargum en bahwa setiap desakan pada pemakaian ukuran-ukuran numeris bagaimanapun juga, bahkan di dalam sebuah ilmu tersebut, sebagai contoh, biologi sistematik, hanya akan membawa si penyelidik menyalahpahami hakikat sebenarnya dari persoalanpersoalan yang dihadapi. Sekali lagi, para filsuf Empi­ risis yang ekstrem atau persuasi Positivis kadangkadang menafsirkan prosedur-prosedur eksperimental yang mengukur besaran-besaran teoretis dalam fisika, m isalnya, m enghasilkan definisi-definisi im plisit istilah-istilah teknis yang bersangkutan — yang disebut d efinisi-d efinisi operasional— dan dengan demikian dianggap dapat mengklaim bahwa warisanwarisan logis yang sedang dicari ilmuwan di antara pengamatan-pengamatan dan teori-teori dimantapkan oleh dekrit linguistik (lihat di bawah, Status proposisiproposisi ilmiah dan konsep-konsep atau entitas-entitas). Kedua, terdapat prosedur-prosedur analitis statistik u ntu k ran can gan ek sp erim en -ek sp erim en ilm iah. Teknik-teknik m atem atis yang digunakan untuk tujuan ini, dalam kenyataannya, ialah yang berhubungan erat dengan teknik-teknik yang terlibat 140

di dalam teori-teori pengukuran, kesalahan yang mungkin, signifikansi statistik, dan yang lainnya. Di bidang ini, hubungan antara diskusi-diskusi filosofis m engenai logika induktif dan prosedur-prosedur praktis pekerjaan para ilmuwan berada pada tingkat yang terdekat. Sementara seorang ilmuwan religius (Blaise Pascal), seorang pendeta Nonkonformis (Tho­ mas Bayes) dan seorang astronom (Pierre Marquis de Laplace), semuanya juga m atem atikaw an, m enganalisis fondasi-fondasi filosofis kalkulus m odern probabilitas pada abad ke-17 dan 18, para matemati­ kawan abad ke-20 dan ahli logika induktif sama-sama telah menyelidiki basis intelektual untuk rancangan dan penafsiran terhadap eksperimen-eksperimen yang signifikan; dan, sekarang ini, prosedur-prosedur yang relevan, membentuk suatu cabang statistik matematis yang tumbuh subur bersama banyaknya penerapan yang bernilai, secara khusus di bidang-bidang seperti sosiologi dan ekonomi, yang di dalamnya dicakup sejumlah besar variabel. Akan tetapi masalah-masalah rancangan eksperim ental, dapat dinyatakan dengan jelas dan tidak ambigu hanya dalam situasi-situasi di mana pertanya­ an-pertanyaan tentang penafsiran-penafsiran teoretis yang fundamental tidak sedang dibicarakan secara aktif; yakni, dalam eksperim en-eksperim en untuk menetapkan yang mana di antara dua antibiotik yang lebih efektif melawan infeksi yang diderita atau untuk 141

mempelajari apakah korelasi-korelasi signifikan yang ada di antara dua variabel-variabel fisik yang diketahui. Akan tetapi segera sesudah pertanyaan-per­ tan yaan yang lebih fu ndam ental terhadap teori muncul, masalah-masalah rancangan eksperimental melampaui ruang lingkup analisis statistik manapun. Lagi pula, hal yang sama berlaku pada prosedurprosedur pemrograman komputer: data numeris yang diperoleh dari eksperim en ilmiah yang langsung, dalam banyak kasus, dapat dimasukkan ke dalam suatu komputer yang diprogram untuk menyeleksi grafik atau rumus yang sesuai dengan data yang berasal dari h ip otesis-h ip otesis yang sesuai dengan seperangkat persyaratan-persyaratan konseptual atau in terp re ta tif yang telah ditentu kan sebelum nya; dengan demikian, dalam arti ini, sebuah komputer dapat digunakan untuk melaksanakan penyimpulanpenyim pulan induktif. Pembagian gaya-gaya jenis baru penafsiran konseptual atau teoretis, sebaliknya, m elibatkan perluasan atau m odifikasi prosedurprosedur penjelasan masa kini untuk memuaskan per­ syaratan-persyaratan intelektual yang baru; dan tugastugas ini membutuhkan teknik-teknik yang lebih daripada sekedar teknik statistik formal atau teknik pemrogaman. Akhirnya penanganan awal data empiris sang ilmuwan mengharuskannya menggunakan prosedurprosedur klasifikasi sistematik. Hakikat dan kesahihan 142

prosedur-prosedur klasifikasi ilmiah dan spesiesspesies, genus-genus, famili-famili, dan seterusnya, — tem pat para ilmuwan membagi pokok masalah empiris— telah menjadi topik perdebatan yang panjang dan mudah menimbulkan pertentangan, yang dibahas dengan panjang lebar di dalam artikel Teori Klasifikasi. Jalan buntu yang berlangsung lama di antara para pendukung sistem -sistem klasifikasi alam iah dengan klasifikasi buatan sebagian besar didobrak —di dalam taksonomi zoologis, bagaimanapun juga— melalui keberhasilan seleksi alamiah teori Darwin. Seperti ditunjukkan Darwin, spesies-spesies yang dimunculkan evolusi organis bukanlah entitas-entitas alamiah yang tidak berubah secara abadi juga bukan fiksi-fiksi belaka tentang penciptaan sewenang-wenang sang zoolog; dianggap sebagai populasi-populasi yang koheren, yang mengisolasi diri, mereka mempunyai realitas yang sejati walaupun bersifat sementara dan dilindungi oleh proses-proses variasi dan pengadaan seleksi. Akan tetapi dalam beberapa bidang pemikiran lainnya, identifikasi pendahuluan dan klasifikasi bahan empiris masih menimbulkan pertanyaan-per­ tanyaan filosofis yang mudah m enim bulkan per­ tentangan. Ketika sosiolog berteori tentang kelompokkelompok sosial atau sistem-sistem di dalam ilmuilmu humaniora misalnya, ia harus memutuskan apa yang harus dilakukan kumpulan manusia dan lembaga-lembaga, atau yang tidak harus dilakukan, untuk 143

menghadapi topik-topik umum ini. Dapatkah tes-tes objektif ditemukan untuk mengidentifikasi satuansatuan alamiah analisis sosiologi? Atau, apakah pilihan satuan-satuan ini diadakan semata-mata untuk kesenangan sosiolog itu sendiri? Ketidakpastian pokok masalah sosiologi itu sendiri menjadi rintangan menuju penciptaan tubuh teori sosial yang disepakati; dan kesulitan-kesulitan yang sebanding juga dapat muncul di dalam antropologi, linguistik dan psikologi. Oleh karena itu, tidak heran bahwa beberapa kritikus bahkan telah mempertanyakan apakah disiplin-disiplin ini benar-benar dapat disebut sebagai ilmu. Sifat kesulitan-kesulitan yang terus berlanjut ini menekankan satu poin signifikansi yang umum tentang hubungan bukti empiris dengan teori-teori ilmiah: walaupun para filsuf mungkin merasa perlu membedakan fase-fase empiris, unsur-unsur dan prosedurprosedur ilmu dari yang teoretis secara analitis, tidak berarti bahwa mereka terus-menerus dapat terpisah dalam praktek nyata. Prosedur-prosedur pengukuran yang memuaskan, rancangan-rancangan eksperimental, dan prinsip-prinsip klasifikasi yang sistem atik adalah, tak diragukan lagi, prasyarat-prasyarat yang dibutuhkan untuk berteori secara efektif; namun sebaliknya, mereka tunduk kepada revisi dan penghalusan dalam kerangka pertimbangan-pertimbangan teoretis berikutnya. Untuk sampai kepada teori-teori dinamis, misalnya, Newton harus memulai dengan 144

bersandar pada pengertian-pengertian akal sehat mengenai usaha, bobot, dan jumlah gerakan; namun ia segera menggantikannya dengan konsep-konsep yang lebih eksak, yang didefinisikan secara teoretis dalam daya, massa, dan momentum, dan perubahan ini juga bereaksi kembali kepada prosedur-prosedur empiris fisika. Begitu juga di bidang ilmu lain, per­ tim bangan m engenai apakah hasil akhir prosedur empiris apa pun relevan atau signifikan secara ilmiah atau tidak, segera berhenti menjadi pertanyaan empiris belaka, ketika perubahan-perubahan teoretis bereaksi kembali kepada prosedur-prosedur empiris tersebut dan memaksa sang ilmuwan memodifikasi caranya mengumpulkan dan melukiskan apa yang dianggap data ilmu yang mentah. Dalam hal ini, bukti empiris yang dipakai untuk membenarkan kesimpulan-kesimpulan ilmiahnya segera kehilangan sifatnya yang murni dan netral secara teoretis. 3.

Struktur-struktur Formal Ilmu

Di bagian ini dan bagian berikutnya, aspek-aspek usaha ilmiah yang akan dibicarakan ialah aspek-aspek yang telah m endom inasi perdebatan m utakhir di dalam filsafat ilmu, yakni, struktur-struktur formal teori ilmiah dan proses perubahan konseptual. Akan segera jelas bahwa masalah-masalah filosofis yang memunculkan kedua aspek tersebut, secara berturut145

turut, bersifat korelatif dan melengkapi — yang satunya bersifat statis, yang lainnya bersifat dinamis. Sejak tahun 1920, kebanyakan filsuf-filsuf analitis ilmu telah mendasarkan program mereka secara eksplisit pada suatu pra-andaian yang diw arisi dari Descartes dan Plato, yakni, bahwa muatan intelektual ilmu alam iah apa pun dapat diungkapkan dalam suatu sistem proposional yang formal, yang mem­ punyai struktur logis esensial yang bersifat terbatas — apa yang disebut dengan singkat oleh filsuf ilmu Am erika yang terkem uka, Ernest Nagel "struktur ilm u" di dalam bukunya yang memakai judul itu (1961). Satu inspirasi langsung dari program ini ialah karya David Hilberg, seorang matematikus akhir abad ke-19. Untuk membuat metode-metode pembuktian m atem atis lebih eksplisit dan lebih mudah untuk dimengerti sehingga dengan demikian berarti lebih ketat, H ilberg m em akai teknik-teknik form alisasi, suatu reduksi kepada hubungan-hubungan sementara yang mengabaikan hakikat relata, dan aksiomatisasi, suatu pelacakan pada warisan-warisan kembali kepada aksioma-aksioma yang diterima. Teknik-teknik yang sama dialihkan ke dalam filsafat m atem atika oleh logikus-perintis Jerm an, G ottlob Frege, dan dijadikan logika simbolik oleh Bertrand Russell dan koleganya Alfred North Whitehead; dan, dari tahun 1920 sampai seterusnya para Positivis Wina dan para penulisnya juga mencoba mengguna146

kannya dalam filsafat ilmu, berharap dapat memper­ lihatkan kesahihan pola-pola formal penyim pulan ilmiah dengan perluasan langsung metode-metode yang sudah akrab dalam logika deduktif. Menurut program yang dihasilkan, tugas pertama bagi filsafat ilmu ialah mengulangi di dalam istilahistilah yang sangat umum jenis analisis yang dipakai Heinrich Hertz, perumus teori gelombang magnetik, dalam ilmu mekanika, untuk memilih aspek-aspek formal ilmu dari aspek-aspek empirisnya. Program itu dilakukan dengan harapan agar ia akan mungkin, pertama-tama, untuk memperlihatkan eksistensi strukturstruktur formal yang esensial bagi ilmu apa pun, yang disebut-sebut dengan tepat, dan kedua, untuk mengidentifikasi hakikat hukum-hukum, prinsip-prinsip, h ip o tesis-h ip otesis dan pengam atan-pengam atan melalui fungsi-fungsi logis yang khasnya. Sekali hal ini telah dilakukan, masa selanjutnya definisi-definisi formal yang ketat dapat diberikan pada kesahihan, probabilitas, tingkat konfirmasi, dan semua relasi pembuktian yang tercakup dalam pertimbangan argumenargumen ilmiah. Pelaksanaan aktual program ini telah melibatkan penyelidikan-penyelidikan yang kompleks dan sangat teknis, selama itu kecerdikan yang hebat telah diperlihatkan — sebagaimana misalnya, oleh seorang sem antikus filosofis terkemuka dan analis, Rudolf Carnap, dalam sistem logika induktifnya, yang ia 147

gunakan untuk mengkritisi argumen-argumen yang m endukung generalisasi-generalisasi empiris, dan oleh Hans Reichenbach, seorang Positivis JermanA m erik a, dalam analisisnya terhadap argum enargumen probabilistik. Akan tetapi sejauh ini, pro­ gram itu telah menghasilkan hasil-hasil substansial hanya ketika diterapkan kepada argumen-argumen yang diekspresikan dalam suatu simbolisme formal yang diidealisasir yang dimodelkan pada kalkulus fu n gsion al logika m atem atis yang lebih rendah. Sebaliknya, sedikit yang telah dilakukan untuk menunjukkan bagaim ana seseorang m ungkin untuk memperluas prosedur-prosedur formal yang dihasilkan menjadi argumen-argumen yang diungkapkan dalam term inologi-term inologi praktis ilmu yang sedang dikerjakan. Perluasan itu, dalam kenyataannya, m enim bulkan kesulitan-kesulitan dan ambiguitasambiguitas yang selama ini belum terpecahkan dan mungkin tidak dapat dipecahkan. Tujuan suatu ana­ lisis formal murni terhadap penyimpulan ilmiah telah menghasilkan kesulitan-kesulitan, misalnya, dengan menggoda para logikus agar cepat-cepat menghindari perbedaan-perbedaan penting di antara generalisasigen eralisasi d esk rip tif sem ata tentang fenom ena alam iah dan teori-teori penjelas (hukum, prinsipprinsip, dan sebagainya) yang iHkembangkan seorang ilm uw an untuk m em buat fenomena itu dapat dipahami; dan yang tidak tahan kepada godaan ini men148

ciptakan masalah-masalah, baik di dalam logika induk­ tif maupun di dalam aplikasi-aplikasinya. Pendukung termasyur program ini, Carl Hempel, semula seorang anggota kelompok Berlin (bersekutu dengan Lingkaran Wina), telah mendiskusikan apa yang dia sebut dilema teoritikus: jika tugas menjelas­ kan fenom ena alam iah menghendaki suatu bukti bahwa sifat fenomena ini secara formal diwariskan oleh kondisi-kondisi peristiwanya, yang disatukan dengan generalisasi-generalisasi langsung tertentu berdasarkan p en g alam an em p iris sebelum nya, dan jik a generalisasi-generalisasi empiris itu mencakup penyimpulan-penyimpulan kepada entitas-entitas hipotesis, maka sang teoritikus dihadapkan dengan suatu pilihan yang menyakitkan hati: karena, dalam kasus itu, baik generalisasi-generalisasinya (hukum-hukumnya) di dalam fakta benar-benar merupakan suatu hubungan logis di antara kondisi-kondisi fenomena dan peristiwa aktualnya dan asumsi entitas-entitas hipotesis yang secara formal berlebih-lebihan; atau yang lain mereka tidak berhasil dalammelakukannya, dan asumsi itu belum menjelaskan fenomena itu secara ketat. Jelaslah, dilema ini dapat dihindari hanya dengan menantang identifikasi hukum-hukum dengan generali­ sasi-generalisasi dan bersikeras bahwa seruan apa pun terhadap hukum-hukum alam selalu melibatkan sang ilmuwan dalam penafsiran fenomena alamiah bukan hanya sekedar membuat generalisasi tentang mereka. 149

K arena p e n g lih atan / p e n g am ata n yang me* lampaui internal logika induktif, persamaan hukumhukum ilm iah dengan g e n e ra lisa si-g e n e ra lisa si empiris yang meragukan, juga telah dikritik karena ia memperlakukan muatan hukum-hukum itu sebagai masalah cara terjadinya peristiwa (happenstance), jauh lebih aksidental atau berubah-ubah daripada yang diungkapkan di setiap hukum alam yang sejati. Dalam pandangan law annya, kekuatan penjelas tentang, misalnya, hukum fisikawan tentang inersia berbeda secara total dari pernyataan yang m enggeneralisir seperti "Semua angsa berbulu putih"; dan orang tidak mempelajari apa pun tentang kesahihan argumenargumen fisik yang aktual sampai analisis filosofisnya menghargai perbedaan krusial itu. Akan tetapi belum terbukti, lebih mudah menganalisis struktur formal ilmu-ilmu dengan cara yang kurang abstrak ketimbang cara para Positivis Wina atau memberikan suatu representasi sejati cara kerja bahasa dan argumen-argumen suara hati. Dalam bukunva Essay on Metaphysics (1940), R.G. Collingwood, seorang filsuf dan sejarawan Inggris, membuat suatu usaha yang mencolok, di mana struktur formal sistem -sistem intelektual dijelaskan dalam istilah-istilah, bukan dalam kerangka pew arisanpewarisan secara langsung di antara proposisi-proposisi yang kurang lebih universal namun lebih tepatnya di antara praandaian-praandaian mutual konsep-konsep yang kurang lebih umum. Dalam penjelasan ini, 150

prinsip inersia bukanlah pernyataan sejati yang paling universal dalam dinamika melainkan, lebih tepatnya, praandaian yang paling dapat diterapkan secara umum, atau prinsip penafsiran. Seperti suatu pen­ jelasan yang mempunyai keunggulan menjelaskan, mengapa di dalam suatu ilmu tertentu, pola-pola argumen formal tertentu melaksanakan kebutuhan nyata yang mereka lakukan; namun pada waktu yang sama ia meletakkan dirinya sendiri terbuka kepada tuntutan yang menghasilkan terlalu banyak relativisme dan karena itu menghancurkan objektivitas penge­ tahuan ilmiah dengan memberi kesan bahwa strukturstruktur konseptual ilmu dipaksakan pada fenomena oleh pilihan sewenang-wenang si teoritikus ilmiah itu sendiri. Oleh karena itu, akhir tahun 60-an menyaksikan suatu pembaharuan yang mempertanyakan tentang asumsi semula, yakni, bahwa seluruh muatan intelek­ tual sebuah ilmu dapat ditangkap dalam suatu sistem proposisional atau praandaian. Keraguan-keraguan tertentu mengenai tesis ini menghidupkan kritik yang diajukan pada pergantian abad tersebut oleh seorang Pragmatis Amerika Serikat, Charles Sanders Pierce, yang berargum en bahwa status logis istilah-istilah teoretis dan pernyataan-pernyataan di dalam sebuah ilmu ialah — dalam hakikat m asalahnya— tunduk kepada perubahan historis seperti pengaturan kon­ septual ilmu yang dikembangkan. (Wawasan yang 151

sam a telah d iselid iki baru-baru ini oleh seorang logikus Amerika Serikat, Willard Quine yang menolak setiap usaha mengklasifikasi pernyataan-pernyataan di dalam teori-teori ilmiah yang menggunakan dikotomi-dikotomi tradisional yang mutlak —berubahubah— niscaya dan sintetik-analitik-sebagai hal yang keliru dan dogmatis.) Kritik lain terhadap tesis ini jauh lebih dalam. Dengan memfokuskan perhatian filosofisnya secara eksklusif pada struktur formal yang statis sistem -sistem proposisional dan, juga, pada muatan intelektual ilmu-ilmu pada parohan yang sama besar, yang bersifat sem entara dan khusus dalam perkem bangannya — mereka menunjukkan— sang filsuf m engalihkan perhatian dari pertanyaan-pertanyaan pelengkap mengenai cara di mana pengaturan konseptual suatu ilmu berubah dan, juga, dari klaimklaim tradisional ilmu alam untuk menjadi usaha yang rasional serta logis. Oleh karena itu, pada titik perdebatan ini, pusat perhatian berganti dari masalah statis m enganalisis suatu ilmu dalam istilah-istilah logis yang statis menjadi masalah historis dalam meng­ analisis proses-proses dinamis perubahan intelektual dan konseptual. 4.

Perubahan K o n s e p tu a l dan P e rkem ba ngan Ilm u

Masalah perkembangan konseptual dewasa ini kembali kepada inti. Persoalan penting yang diajukan ialah: "apakah konsep itu ?" Pada saat masa jaya 152

Empirisisme Logis, pertanyaan itti sebagian besar diabaikan. M engikuti contoh Frege, para Positivis Wina telah m engutuk setiap kecenderungan m e­ mandang filsafat ilmu berkenaan dengan pemikiran ilmiah — yang dalam pandangan mereka pada masa itu merupakan persoalan untuk para psikolog— dan telah membatasi diri mereka sendiri pada analisis for­ mal argum en-argum en ilm iah. Keasyikan dengan logika ini juga tercermin dalam pandangan mereka terhadap konsep-konsep. Untuk menafsirkan sebuah konsep sep erti tenaga (force) yang m engacu baik kepada suatu perasaan atas usaha atau kepada citra mental, mereka berargumen, hanya akan menyebabkan kebingungan. Sebagai gantinya para filsuf harus menyamakan konsep-konsep dengan istilah-istilah dan variabel-variabel yang tampak di dalam sistemsistem proposisional ilmu dan m endefinisikannya, sebagian dengan merujuk kepada peran-perannya di dalam struktur-struktur formal sistem -sistem pro­ posisional itu — dengan d em ikian m em bakukan makna sistematiknya— dan sebagian dengan merujuk kepada peristiw a-peristiw a dan fenomena spesifik yang mereka gunakan untuk menjelaskan — dengan demikian m em bakukan m akna em pirisnya. Oleh karena itu, pada tahun 1920-an dan 1930-an, semua per­ tanyaan filosofis substantif tentang konsep-konsep ilmu ditangani secara ringkas: hanya diterjemahkan menjadi pertanyaan-pertanyaan logis atau linguistik 153

tentang peran-peran form al dan rujukan-rujukan em piris istilah-istilah teknis dan variabel-variabel matematis. Akan tetapi sekali filsafat ilmu didekati secara lebih historis, pertanyaan-pertanyaan substantif harus dihadapi lagi secara tersendiri. Teori-teori ilmiah saingannya sekarang akan dibedakan bukan melulu karena begitu banyaknya sistem-sistem formal alter­ natif, yang didasarkan pada istilah-istilah prim itif yang berbeda dan aksiom a-aksiom a, namun juga karena cara-cara alternatif pengaturan pengetahuan alam, yang didasarkan pada teknik-teknik penjelas yang berbeda dan modus-modus representasi. Akibatnya, ciri-ciri khas konsep-konsep ilmiah yang berbeda akan terletak bukan dalam peran-peran formal mereka satu sama lain dan penyimpulan-penyimpulan empiris, namun di dalam gaya-gaya prosedur penjelas yang terlibat dalam penerapannya. Prosedur-prosedur itu mungkin terdiri dari jenis-jenis yang berbeda: misal­ nya, penghitungan-penghitungan konservasi fisik, diagram-diagram cahaya optik, analisis-analisis fungsional, klasifikasi-klasifikasi taksonomik, rekonstruksirekonstruksi historiko-evolusioner, atau sistem-sistem aksioma dinamis. Oleh karena itu, mereka menyediakan kesempatan-kesempatan untuk memakai rumusrumus matematik atau model-model yang dapat dipahami secara intuitif, atau pohon-pohon genealogis, atau gaya-gaya representasi yang lain. Akan tetapi 154

pada tiap kasus, sang filsuf dapat melukiskan pengaturan konseptual penjelasan-penjelasan yang dihasilkan dalam istilah-istilah yang bukan m odel-m odel intuitif maupun rumus-rumus dan variabel-variabel matematis yang dipakai sendirian: apa yang harus kita pertimbangkan sekarang ialah seluruh pola penafsiran teoretis-model-model, matematika, dan semuanya. Dipandang dari sudut pandang alternatif ini, filsafat ilmu akan diawali dengan mengidentifikasi gaya-gaya penjelasan yang berbeda, ciri khas ilmuilmu yang berbeda-beda atau tahap-tahap yang ber­ beda dalam ilmu yang bersangkutan dan akan mengenali bagaimana perbedaan-perbedaan dalam gaya pen­ jelasan itu m encerm inkan problem -problem khas bidang-bidang dan periode-periode ilmiah yang ber­ beda. Dipahami demikian, generalisasi-generalisasi em piris dan klasifikasi-klasifikasi deskriptif akan membantu mengatur data empiris ilmu dalam suatu cara pendahuluan; namun penafsiran yang serius baru dapat dimulai sesudah titik itu. Tugas filosofis yang utama sekarang ialah menganalisis dengan jelas dan eksplisit, (1) standar-standar yang dijadikan patokan oleh para ilmuwan untuk memutuskan apakah suatu penafsiran sah, benar, atau tidak dan mantap dengan meyakinkan dan (2) pertimbangan-pertimbangan yang m em benarkan pem buangan penafsiran yang telah diterima dewasa ini demi suatu penafsiran alternatif yang baru. 155

Yang pertam a dari pertanyaan-pertanyaan ini ialah yang dicoba dijawab Empirisis Logis dengan cara mereka sendiri. Mereka memperlakukan data empiris dan prinsip-prinsip ilmu sebagai hal yang dihubungkan dengan relasi-relasi logis murni dan berusaha m endefinisikan standar-standar yang diperlukan dalam kerangka suatu teori formal konfirmasi, bukti yang menguatkan, atau falsifikasi. Pertanyaan kedua ialah satu hal yang tidak pernah diselesaikan mereka secara serius. Sebagai gantinya, mereka mengasumsikan bahwa orang pertama-tama menggarap indeks kuantitatif akseptabilitas untuk teori-teori individual yang dipahami secara terpisah dan kemudian menggunakannya sebagai suatu skala untuk mengukur dan membandingkan keunggulan-keunggulan penafsiranpenafsiran teoretis saingan. Akan tetapi, sekarang juga, jelaslah bahwa ketika biofisikaw an, misalnya, meninggalkan satu pendekatan teoretis demi pendekatan lain — yang lebih membawakan hasil dari sudut pan­ dang biofisika— pertim bangan-pertimbangan yang menuntun mereka melakukan hal itu sama sekali tidak dapat dianalisis di dalam istilah-istilah formal saja. Sebaliknya, kemampuan seorang biokemis, misalnya, mempertimbangkan apakah perubahan dalam pen­ dekatan tersebut akan membantu secara efektif untuk memecahkan masalah-masalah teoritisnya atau tidak, merupakan salah satu dari penilaian yang paling tajam tentang jangkauan substantif biokimia itu. 156

Dengan cara ini, pergantian perhatian dari pro­ p osisi-p rop osisi ilmu m enjadi konsep-konsepnya tengah m em buat para filsuf lebih sadar terhadap tingkat di mana pengertian teoretis meliputi penafsir­ an kembali hasil-hasil em piris, bukan transformasi formalnya belaka. Sama halnya, masalah perubahan konseptual yang sedang memunculkan pertanyaanp ertan y aan tentang p ro ses-p ro ses dengan mana penafsiran-penafsiran teoretis berhasil menggantikan satu sama lain dan tentang prosedur-prosedur pertimbangan konseptual yang diterapkan pada perkem ­ bangan rasional suatu ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dewasa ini menjadi diskusi yang aktif, dan beberapa jalur serangan yang sedang dipertimbangkan, tak satu pun yang akhirnya memantapkan dirinya. Pada tingkat yang ekstrem, terdapat orang yang m asih m em an d an g k o n sep -k o n sep te o re tis dan prinsip-prinsip sebagai sistem-sistem yang diorganisir menjadi sistem logis yang rapi, dan terdapat orang yang mencoba mendefinisikan pendirian-pendirian alternatif terhadap ilmu-ilmu yang berbeda sebagai konsekuensi-konsekuensi premis-premis dasar atau praandaian-praandaian yang berbeda. Setelah mengadopsi pendekatan sistematik ini penyelidik kemudian menemukan bahwa perubahan konseptual pada level fundam ental menemukan ruang lingkup yang memadai hanya melalui penggantian satu sistem formal yang komplit dengan sistem yang lain, sistem peng157

ganti yang terpisah dan berbeda. Hasilnya, perubahan teoretis fundam ental dalam pandangan ini, dapat dipaham i hanya sebagai hasil akhir dari revolusirev o lu si in tele k tu a l yang m en yelu ru h , yang di dalamnya satu sistem teoretis keseluruhan-aksiomaaksioma, prinsip-prinsip, kriteria relevansi, standarstandar pertim bangan, dan semuanya — disisihkan demi sistem yang lain. Secara pilihan, ada orang yang membedakan dua jenis prinsip fundamental yang berbeda dalam sebuah ilmu — yang menandai pernyataan-pernyataan teoretis dasar seperti "materi terdiri dari atom-atom yang bergabung m enjadi m olekul-m olekul". Dari maksimmaksim m etodologisnya dan standar-standar per­ timbangan, seperti "semua fenomena fisik dijelaskan dalam istilah-istilah mekanis" — dan orang yang me­ ngenai perubahan-perubahan konseptual fundamen­ tal dalam ilmu sebagai hal yang sah, benar sejauh m ereka m enghargai maksim -m aksim m etodologis yang bersifat definitif di dalam ilmu tersebut. Pan­ dangan yang kedua ini, perubahan-perubahan kon­ septual yang sedalam apa pun pada substansi intelek­ tual sebuah ilmu akan terus dapat dipahami, asalkan pandangan-pandangan baru itu masih diatur oleh pro­ gram yang mantap dan konsep-konsep kerangka kerja ilmu yang bersangkutan. Kemudian revolusi-revolusi di dalam ilmu akan terjadi hanya bila suatu pendekat­ an intelektual yang m enyeluruh tidak dipercaya158

yakni, bahwa iatrokemistri abad ke-16 dan ke-17, JvamT Cl mempelajari kirnia sebagai alat mengobati penyakitatau ketika ilmu tertentu yang sama sekali baru diciptakan, dengan sistem penafsirannya sendiri yang lengkap — yakni, biologi molekuler. Pada tingkat ekstrem yang lain ada orang yang meragukan apakah pembedaan tajam apa pun dapat d itarik di antara pernyataan-pernyataan teoretis substantif dan maksim-maksim prosedur metodologis dan orang yang berargumen bahwa semua aspek ilmu alam iah m ungkin terbuka kepada pertim bangan historis dan m odifikasi. Semakin spesifik doktrindoktrin teoretis dan konsep-kOnsep yang dipertimbangkan, semakin berbahayalah dia, dan semakin siap dimodifikasi atau ditinggalkan atau keduanya. Akan tetapi, dari ketiga sudut pandang ini, dapat dipertanyakan apakah perubahan apa pun, seberapa drastispun ia — bahkan hibridisasi kristalografi, genetika virus, dan biokimia, yang membawa kepada pengukuhan biologi molekuler— selalu bersifat diskontinu atau revolusioner seperti yang disiratkan kedua pan­ dangan yang terdahulu. Sebagai gantinya usaha itu m ungkin dibuat untuk melaporkan prosedur-pro­ sedur dan proses-proses yang terlibat dalam per­ kembangan historis konseptual ilmiah dengan meng­ gunakan bentuk umum teori yang sama pada setiap level — menjelaskan inovasi sebagai suatu pilihan selektif yang dikehendaki antara varian-varian intelek159

tual jenis-jenis yang berbeda; dan, dalam hal ini, teori perkembangan konseptual dapat dihubungkan dengan teori-teori perubahan alamiah dan budaya yang di­ dasarkan secara historis. Alternatif yang manapun diadopsi, satu poin harus dicamkan di dalam pikiran: pada saat masalah-masalah di seputar pengaturan teoretis ilmu yang sedang berubah mulai dilaksanakan dalam suatu cara pengembangan yang autentik, penelitian-penelitian filosofis diberi suatu arah yang sama sekali baru. Langkah ini memaksa orang untuk memandang semua pertanyaan tentang struktur logis dan sistem-sistem proposisional ilmu melawan suatu latar belakang historis yang lebih luas. Dalam konteks yang baru ini ilmu-ilmu alamiah dilihat bukan sebagai struktur-struktur formal yang statis melainkan sebagai usaha-usaha rasional yang dicirikan oleh prosedur-prosedur atau gerakan-gerakan intelektual tertentu. Prosedur-prosedur dasar pengem bangan intelektual ini di dalam ilmu adalah topik yang dibicarakan pada bagian berikutnya. B.

G erakan-gerakan Pem ikiran Ilmiah

1.

Penemuan dan Rasionalitas

D alam m enganalisis ilm u-ilm u alam iah demi tujuan-tujuan filosofis sebagai usaha-usaha yang berkembang secara historis, pertanyaan "apa yang membuat ilmu itu rasional?" dimunculkan dalam suatu 160

r

bentuk yang baru: apakah prosedur-prosedur intelek­ tual yang benar-benar dipakai para ilmuwan untuk menyelidiki dan menjelaskan fenomena alamiah mempuny ai keunggulan-keunggulan intelektual yang terbatas dan objektif sehingga penggunaan mereka hatihati, bijaksana, dan wajib secara rasional? Dalam menjawab pertanyaan ini, opini filosofis cenderung mengutub pada tahun-tahun terakhir ini ke arah dua posisi yang ekstrem: di satu sisi, ekstrem positivis atau formalis, di sisi lain, ekstrem romantik atau irrasionalis. Karena ilham dan keasyikan-keasyikan matematisnya, baik Empirisis Wina maupun penggantinya di Inggris dan di Amerika Serikat, telah menafsirkan rasionalitas prosedur-prosedur ilmiah tergantung semata-mata kepada kesahihan formal, atau logikalitas, argumen-argumen ilmiah. Dalam pandangan mereka, pertanyaan-pertanyaan terhadap rasionalitas dapat dimunculkan tentang pekerjaan sang ilmuwan hanya pada tahap terakhir penelitiannya — yakni, ketika ia m ulai, sebagai hasil akhir karyanya, m em berikan argu m en-argu m en penjelas yang eksplisit untuk mendukung teori-teori atau penafsiran-penafsirannya yang baru— hanya dengan demikian, mereka menyatakan, akan ada apa pun yang dapat dikritik ten­ tang ilmu dalam istilah-istilah logis atau filosofis. Oleh karena itu ada satu pernyataan yang biasa dari analisis Empirisis dewasa ini dalam filsafat ilmu 161

yang harus dibedakan sejak permulaan yakni antara penemuan dan pembenaran. Istilah penemuan mengacu kepada semua tahap dalam penelitian ilmiah yang mendahului perumusan argumen-argumen penjelas baru yang merupakan hasil terakhirnya. Istilah pem­ benaran, sebaliknya, mengacu kepada demonstrasi bahw a kesahihan form al atau kekuatan penjelas argumen-argumen itu membenarkan sang ilmuwan dalam menerima kesimpulan-kesimpulan mereka yang sah dan mantap secara ilmiah. Dalam pandangan ini minat-minat rasional sang filsuf terhadap ilmu dibatasi hanya pada fase terakhir pembenaran. Semua pertanya­ an tentang tahap-tahap yang lebih awal — yakni, tentang penemuan— adalah masalah-masalah psiko­ logi belaka, bukan filsafat yang serius. Seperti yang diungkapkan oleh satu epigram yang diterima luas, "tak ada logika penemuan"; dan pembedaan ini — memberikan persamaan rasionalitas di dalam logikalitas— tam paknya tidak m engesahkan semua pertanyaan tentang rasionalitas langkah-langkah pendahuluan dengan mana seorang ilmuwan tiba pada sebuah pe­ nemuan. Pada kutub ekstrem yang berlawanan, terdapat beberapa tokoh seperti Michael Polanyi, ilmuwan dan filsuf kelahiran Hongaria, dan Arthur Koestler, seorang novelis dan jurnalis, yang menekankan bagian-bagian yang d im ainkan oleh intu isi, hasil dugaan, dan kesem patan dalam penyelidikan ilmiah, mengutip 162

hal-hal ini sebagai bukti bahwa prestasi teoretis menggerakkan suatu kreativitas intelektual yang lebih unggul menuju rasionalitas murni. Menurut argumen Anti-Positivis ini, ilmuwan modern adalah seorang yang berjalan sambil tidur, wawasan kreatif menuntun dia ke tempat tujuan intelektual yang sebelumnya tidak pernah dapat dilihat atau dinyatakan dengan jelas: sebaliknya, setiap keasyikan yang berlebihan dengan rasionalitas prosedur-prosedur ilmiah, berasal dari keinginan seorang pejalan kaki memotong sayapsayap imajinasi dan mengurung sang ilmuwan dalam prosedur-prosedur yang dibakukan, sehingga menghancurkan kesuburan kreatif ilmu. Lebih dari sekedar m en und ukkan intuisi ilm iah kepada p en jelasan intelektual yang tandus dari para Positivis, suatu kesimpulan berlaku, yaitu bahwa orang harus menerima anti-rasionalisme yang romantis. Akan tetapi dalam tiap kasus-kasus ekstrem ini, persamaan awal rasionalitas dengan tuntutan-tuntutan logikalitas menuntut pengkajian yang lebih serius. Tentu saja, aktivitas penyelidikan dan penemuan dapat dikaji dengan memanfaatkan sudut pandang psikologis seperti telah dilakukan, dalam kenyataannya, oleh matematikus Perancis, Jacques Hadamard, dan juga dari sudut pandang filosofis. Namun kemungkinan penyelidikan-penyelidikan psikologis tersebut tidak membuktikan secara jelas, sepenuhnya melalui dirinya sendiri, bahwa prosedur-prosedur penyelidik163

an intelektual pada ilmu dan matematika pada dasarnya bersifat non rasional. Kesempatan, misalnya, membantu membawa bahan yang relevan kepada perhatian seorang ilmuwan. Namun kesempatan — sering dikatakan— membantu mempersiapkan pikiran, dan pantaslah menanyakan seberapa jauh sang ilmuwan bertindak secara rasional, betapapun, dalam memilih item-item yang digarapnya supaya relevan dengan masalah-masalah par.tikularnya. Sama halnya, di dalam kasus intuisi kreatif dan yang lainnya; sekali lagi, manusia dengan pikiran yang terlatih baik sanggup m em berikan pengontrol yang paling bebas kepada imajinasi intelektualnya karena dia akan menjadi yang paling memenuhi syarat untuk menilai konteks rasio­ nal masalah-masalahnya yang terbaru dan mengenali teka-teki yang berarti, yang menjanjikan jalur-jalur analisis, atau jawaban-jawaban yang mungkin kepada pertanyaan-pertanyaannya yang memasuki pikirannya. Dengan tidak merendahkan fase-fase awal penelitian ilmiah sebagai minat psikologis belaka maupun memujinya secara berlebihan sebagai latihan-latihan imajinasi yang kreatif sehingga mengatur persoalan filsafat yang sekarang terlibat di sini; yakni, yang menunjukkan apa yang membuat prosedur-prosedur penyelidikan tertentu lebih rasional daripada pro­ sedur-prosedur lainnya. Untuk m enem ukan jalan tengah antara formalisme dan irasionalisme, pentinglah melihat lebih dekat pada hakikat masalah-masalah 164

penelitian ilmiah. Jika kemajuan konsep-konsep dan teori-teori ilmiah tergantung kepada perkembangan prosedur-prosedur penjelasan yang lebih kuat, maka analisis filosofis penemuan menghendaki agar orang m em perlihatkan apa yang pada dasarnya terlibat dalam merancang, menguji, dan menetapkan deretan aplikasi prosedur-prosedur tersebut. Lebih lanjut, persoalan ini pasti berkenaan, bukan dengan sebuah analisis formal pada argumen-argumen yang dihasilkan itu sendiri, melainkan, pertama-tama dan terutama, dengan penetapan tugas apa yang wajib dilaksanakan oleh prosedur penjelas yang baru, tuntutan-tuntutan pelaksanaan yang bagaimana, apa yang layak untuk diberi kepuasan, dan tujuan-tujuan intelektual apa yang diharapkan dicapai oleh seorang ilmu­ wan pada semua fase penyelidikannya. Diajukan dalam istilah-istilah alternatif ini, problem rasionalitas ilmiah menjadi suatu persoalan memperlihatkan bagaimana perubahan-perubahan konseptual di dalam ilmu menghasilkan pengenalan ide-ide baru, sebagaimana terdapat dalam ungkapan Mach yang ditemukannya di awal tahun 1910 — "diadaptasi lebih baik, kepada fakta-fakta maupun kepada satu sama lain". Adalah hal yang rasional bahwa teori-teori ilmiah yang lebih tua digantikan oleh teori-teori yang lebih baru yang memang lebih unggul secara fungsional; dan tugas bagi para filsuf ilmu ialah mendemonstrasikan secara eksplisit di mana terdapat keadaptasian (adaptness).

Pada zaman sekarang, banyak filsuf ilmu yang lebih muda, m enganalisis secara aktif hakikat persoalan-persoalan ilmu dalam istilah-istilah ini. Secara signifikan, sebagian besar dari orang-orang ini, yang telah mendapatkan pelatihan pertamanya dalam ilmuilmu alamiah, lebih cocok untuk tugas yang menghendaki suatu analisis yang lebih mendalam terhadap proses inovasi intelektual daripada mereka yang dila tih dalam logika formal atau matematika murni yang lazim hingga sampai saat ini. Dalam menempatkan dikotomi sederhana di antara penemuan dan pembenaran, misalnya, ia meminta suatu bagian proses inovasi menjadi suatu urutan yang lebih kompleks melalui tahap-tahap yang berbeda; dan untuk tiap tahap pertimbangan-pertimbangan rasional maupun kausal relevan. Dengan demikian, pada tahap awal dalam penelitian apa pun, seorang ilmuwan harus memutuskan yang mana di antara semua varian gudang metode penjelasan dewasa ini yang mungkin secara filosofis, yang merupakan kemungkinan-kemungkinan yang sejati. Pem ilihan pendahuluan inovasi yang semula masuk akal yang berasal dari inovasi-inovasi yang tidak masuk akal ini, pasti berhubungan dengan — dan berhubungan dalam cara yang paling rasional dan mungkin— jauh sebelum munculnya pertanyaan apa pun terhadap pembenaran. Prosedur pemilihan yang pertama ini juga me­ rupakan satu hal yang dibicarakan ilmuwan itu sendiri 166

dengan meyakinkan dan fasih. Jauh dari memutuskan apakah sugesti-sugesti yang baru itu mungkin atau masuk akal secara autentik berdasarkan psikologis murni atau melalui pelatihan intuisi yang misterius dan non-rasional, para ilmuwan lazimnya menjelaskan alasan-alasan mereka menerima seperangkat varian konseptual yang patut menerima pertimbangan yang serius, bukan varian lain. Pada waktu yang sama, mikro-analisis terhadap inovasi ilmiah tersebut tentu saja harus meninggalkan ruang untuk pertanyaan-pertanyaan kausal dan juga rasional. Selama periode tertentu dalam perkembangan historis ilmu, misalnya, para ilmuwan mendapat nama buruk karena telah mengabaikan kemungkinan-kemungkinan baru yang belakangan ternyata menjadi kunci pemecahan kesu litan-kesu litan teoretis yang krusial. M eninjau kembali kepada periode-periode tersebut, mungkin* lah merekonstruksi, dengan sangat memperhatikan pertimbangan-pertimbangan rasional yang mungkin telah diajukan pada masanya, untuk m enjelaskan pengabaian ini; namun walau demikian, orang kadangkadang terpaksa menyimpulkan bahwa orang berprasangka terhadap kemungkinan-kemungkinan itu karena taktor-faktor eksternal kepada ilm u-ilm u mereka; misalnya, karena pengaruh-pengaruh yang berasal dari kerangka politik, sosial dan budaya yang lebih luas di zaman mereka. Demikianlah, Newton secara khusus takut bahwa teorinya mengenai partikel167

p ertik el m aterial m ungkin ditu du h m endukung Epikureanisme, sementara Darwin menyembunyikan spekulasi-spekulasi pribadinya tentang basis serebral aktivitas mental karena tuduhan-tuduhan publik ke­ pada Materialisme. Oleh karena itu, dalam menganalisis mikrostruktur pem ecahan m asalah ilmiah, perlulah menolak setiap godaan untuk menggeneralisasi secara terburuburu. Para penyelidik ilmiah yang bekerja di bidangbidang yang berbeda, atau pada zaman yang berbedabeda, tam paknya m enghadapi kesulitan-kesulitan teoretis dengan jenis-jenis yang berbeda sama sekali. O leh karena itu orang harus mulai dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan dan tugas-tugas spesifik masing-masing ilmu tertentu, pada tahap yang satu dan tahap yang lain dalam evolusinya, secara terpisah — mencoba mengenali, dalam tiap kasus individualnya, tuntutan-tuntutan intelektual yang khusus dipertemukan dengan konsep baru atau teori apa pun, jika ia ingin berhasil. Pada akhirnya, hasil-hasil yang terkum pul dari m ikro-analisis yang spesifik dapat membawa si penyelidik kepada suatu titik di mana ia sanggup untuk m enggeneralisasi lagi semua persoalan-persoalan teoretis yang berm acam -m acam untuk m enghadapi, misalnya, fisika dan tuntutantuntutan intelektual yang lebih luas yang dipertemu­ kan dengan perubahan-perubahan teoretis yang ber­ hasil dalam suatu kumpulan bermacam-macam situasi 168

ilmiah. Akan tetapi, tahap yang sekarang, walaupun para filsuf ilmu masih belum sanggup meminta pertanyaan-pertanyaan ini, mereka terpaksa melaksanakan analisis mereka dalam cara yang sepotong-sepotong — membangun gambar mereka akan penemuan dan inovasi ilmiah dengan mempertimbangkan sederetan contoh kasus yang luas dan menggunakan cara mereka hanya secara bertahap menuju penjelasan yang lebih kom prehensif terhadap problem atika usaha ilmiah. 2.

Pengesahan dan Pembenaran

Jika situasi ini benar pada tahap paling awal dalam penemuan maka tidak kurang benar dalam kasus pembenaran (Justification) itu sendiri. Di sini lagi, dari tahun 1920 sampai seterusnya, perdebatan dalam filsafat ilmu sangat terfokus pada dua posisi yang bertentangan secara tajam , jika ditinjau ke belakang keduanya tampak terlalu sempit. Di satu sisi, para filsuf Empirisis membuktikan suatu pandangan yang memprediksi tes yang sangat penting bagi kesahihan ilmiah; di sisi lain, para filsuf yang berwatak lebih R asionalis m elihat koherensi dan ruang lingkup sebagai persyaratan-persyaratan yang lebih penting. Bagi para Em pirisis, praandaian fundam ental ialah bahwa fakta-fakta yang membenarkan perubahanperubahan dalam ide-ide ilmiah secara intelektual mendahului teori-teori, jika waktu mengizinkan, yang 169

dikembangkan untuk menjelaskannya, dan juga dapat dikenali secara terpisah dan mendahului semua konstruksi teori. K arena praandaian ini, m ereka memandang prediksi dan pengesahan sebagai langkahlangkah yang sangat penting dan khas dalam prosedur ilm iah, m aka m ereka berpendapat bahw a, untuk menetapkan keabsahan proposisi ilmiah yang umum, perlulah menunjukkan bahwa generalisasi teoretis yang dipertanyakan kesahihannya memerlukan pernyataan-pernyataan faktual yang khusus yang dikuatkan oleh pengamatan-pengamatan empiris yang bebas. Proses pengesahan ini kem udian m elibatkan dua langkah yang esensial (1) langkah formal yang menyimpulkan prediksi-prediksi baru dari teori tersebut dan (2) langkah empiris yang membandingkan pre­ diksi-prediksi tersebut dengan fakta-fakta sehingga memperlihatkan kebenaran teori tersebut atau membuktikan kekeliruannya. Dalam pem erikasaan yang lebih dekat, kedua langkah dalam prosedur Em pirisis yang diterim a menghadapi kesulitan-kesulitan yang serius, dan hal ini menambah kekuatan —dengan tantangan— kepada posisi konstruktivis, sebagai alternatifnya. Mengenai langkah (1), tampaknya tidak ada keberatan terhadap ide m endeduksi prediksi-prediksi faktual tertentu langsung dari hipotesa-hipotesa teoretis, sejauh orang menerima penafsiran Empirisis atas hukum-hukum alam sebagai pernyataan-pernyataan empiris pada 170

level logis yang sama seperti "semua beruang kutub berwarna putih". Akan tetapi ketika penafsiran itu dipertanyakan, kurang jelas apakah penyim pulanpenyim pulan d ed u ktif yang langsung dari teori kepada fakta selalu dapat dipraktekkan. Sebaliknya, jika hukum -hukum teoretis dan laporan-laporan empiris murni, dalam hakikat masalahnya, dibingkai dalam kerangka sekumpulan konsep yang bermacammacam dan berbeda, tak ada prosedur umum yang tersedia bagi penarikan deduktif dari yang satu ke­ pada yang lain. Karena teori kemudian akan menjadi penafsiran ulang (reinterpretasi) fakta-fakta, bukan sekedar generalisasi dari mereka. Sama halnya, dengan langkah (2), suatu pembenturan empiris teori-teori dengan fakta-fakta memunculkan deretan pilihan yang lebih kompleks daripada yang disiratkan oleh penjelasan Empirisis. Ketika berhadapan dengan ketidakcocokan antara prediksi dengan pengamatan, para ilmuwan tentu saja harus memodifikasi penjelasanpenjelasan teoretis m ereka; m odifikasi ini secara normal dapat dibuat dalam beberapa alternatif. Misal­ nya, relevansi teoretis dari suatu pengamatan partikular dapat dipertanyakan; atau suatu penafsiran teoretis alternatif dapat dikem ukakan; atau penghalusan-penghalusan lebih jauh dapat dibuat dalam struktur teori yang bersangkutan — dan semua ini dapat dilakukan sebelum munculnya pernyataan apa pun tentang konflik langsung dan tak dapat dihindar-

kan di antara pengamatan yang bertentangan dengan doktrin teoretis umum yang sedang diselidiki. Saingannya, posisi konstruktivis m em bentuk daya tarik-daya tariknya dari keberatan-keberatan seperti ini. Posisi ini mengikuti jalur pemikiran yang sudah disketsakan oleh fisikawan teoretis Perancis Pierre Duhem pada pergantian abad itu. Mengenai penjelasan ini, tes pokok suatu ilmu ialah bahwa la harus m em berikan pengaturan-pengaturan teoretis yang m enjangkau luas, konsisten, koheren. Fakta-fakta empiris kemudian akan dikenal relevan secara ilmiah hanya pada tingkat bahwa mereka menjadi contoh penafsiran-penafsiran ini dan membuatnya lebih berbeda-beda. Dengan demikian, tak ada pengamatan faktual tunggal yang dapat terus-menerus berlaku sebagai eksperim en yang krusial secara logis dan membuktikan atau menolak setiap doktrin spesifik secara kompulsif, yang terpisah dari kompleks keseluruhan teori dan penafsiran. Oleh karena itu apa yang dipertaruhkan dalam setiap eksperimen, ialah tubuh teori seluruhnya, bersama dengan konvensikonvensi mutakhir yang mengatur penerapan empirisnya; dan sem akin kom prehensif suatu teori, para ilmuwan semakin bebas mengubah rincian-rincian penerapan spesifiknya, daripada menerima suatu contoh-tandingan tunggal sebagai tantangan terhadap kevalidan umumnya.

172

Akan tetapi, jika dua pendekatan filosofis ini sekarang dianggap berlawanan dengan latar belakang yang lebih historis dan lebih luas, mereka tidak lagi tampak menjadi seseksama atau sekontradiktif seperti yang terjadi pada tahun 1920-an dan 1930-an. Tentu saja dengan memilih ilustrasi-ilustrasi yang cocok, orang dapat m em buat tiap posisi menjadi sangat menarik dan masuk akal karena, dalam suatu situasi atau situasi lainnya, pertim bangan-pertim bangan rasional yang membawa bobot yang sejati di dalam pembenaran aktual teori-teori ilmiah yang baru mencakup kesuksesan prediktif dan koherensi konseptual. Tetapi "Kitab Alam ", istilah yang digunakan Galileo, adalah seperti Kitab Suci: ia menawarkan teks-teks untuk mencocokan semua kesempatan dan tujuan. Dan, pada pemikiran yang kedua, dapat dinyatakan bahwa para filsuf Empirisis dan konstruktifis terlalu menyederhanakan proses pembenaran di dalam ilmu dan kriteria yang digunakan para ilmuwan dalam menilai kesahihan konsep-konsep dan teori-teori yang baru. W alaupun tidak berm aksud menjadi tes ke­ sahihan yang tunggal atau sederhana, pertanyaan apakah sukses prediktif atau koherensi, kesederhanaan, otentisitas historis, atau kepahaman mekanis, tetap merupakan pertimbangan utama — dan di dalam arti apa tiap ungkapan yang ambigu— harus dipertimbangkan lagi kasus demi kasus dengan selalu mem-

perhitungkan tuntutan-tuntutan spesifik tiap situasi masalah ilmiah yang baru. Di dalam usaha ilmiah yang berkembang secara historis, m asalah-m asalah intelektual muncul dari banyak tipe yang berbeda, tergantung baik kepada jenis-jenis pokok m asalah yang sedang diselidiki m aupun kepada tahap perkem bangan ilmu yang bersangkutan. Pada satu ilmu dan pada satu tahapannya, bobot ter tentu mungkin melekat kepada suatu prediksi tunggal yang berhasil secara mendadak: seperti ketika teori gelombang cahaya menghasilkan penemuan yang sama sekali tak terduga sehingga rintangan sirkular yang ditempatkan dengan sempurna di depan sebuah titik sumber cahaya menghasilkan suatu bayangan sirkular yang mempunyai bintik yang bersinar di pusatnya. Akan tetapi, pada ilmu yang lain atau di saat lain, hal itu mungkin tidak dapat dipraktekkan maupun tidak relevan untuk menyimpulkan prediksi-prediksi tersebut dan konsep-konsep baru b o leh jad i d isah kan m elalu i p ertim b a n g a n -p er­ timbangan dari jenis-jenis yang lain sama sekali. Bahkan di dalam ilmu yang tunggal seperti fisika, sesungguhnya, para ilmuwan tidak dihadapkan dengan masalahmasalah dan pertimbangan-pertimbangan dari tipe yang tunggal dan seragam pada setiap tahap. Sebagai gantinya, evolusi historis fisika-turun berabad-abad dari Nicole Oresme, Galileo, dan dari Newton kepada Maxwell, Rutherford, dan Heisenberg — telah mem174

bangkitkan suatu genealogi m enyeluruh berbagai masalah; dan pertimbangan-pertimbangan yang terkandung dalam kesu litan-kesulitan teoretis yang dihadapi para fisikawan pada tahap-tahap yang ber­ beda telah mengubah mereka sendiri, dengan benarbenar sah, bersama dengan konsep-konsep substantif dan teori-teori ilmu. Sehingga, dalam kerangka kerja yang lebih kompleks dari usaha rasional yang sedang berkem bang, tugas filsuf tidak lagi m em aksakan kriteria tunggal atau sederhana pilihan intelektual kepada pertimbangan-pertimbangan ilmiah dari semua jenis. Lebih tepatnya, tugasnya ialah mengenali bagai­ mana pertimbangan-pertimbangan rasional dan krite­ ria kesahihan relevan dengan pertim bangan-pertimbangan tertentu yang berubah bersama situasisituasi masalah teoretis yang menghasilkan kontekskonteks historisnya. 3.

Penyatuan, Pluralisme, dan Reduksionisme

Sebagai ilustrasi yang penting mengenai tarikmenarik di antara isu-isu pragmatis dan logis di dalam filsafat ilmu, dapat disebutkan gerakan Penyatuan Ilmu. Di bawah kepemimpinan Otto Neurath yang penuh semangat, seorang sosiolog yang berpengetahuan luas dan filsuf, gerakan ini menampilkan tahap yang ekstrem dalam ambisi-ambisi Posivisme Wina di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II; karena tujuan-tujuan filosofis umum yang memotivasi pe175

nyelidikan ilmu yang terpadu bertentangan secara m encolok dengan pertim bangan-pertimbangan pem ecahan m asalah sp esifik yang m enuntun para fisikawan yang sedang bekerja menuju penyatuan dan p e n g g a b u n g a n k o n sep -k o n se p te o re tis m ereka dengan prosedur-prosedur penjelasan dalam praktek ilmiah yang aktual. Selain tes utam a keberhasilan prediktif, para Positivis Lingkaran Wina juga mengijinkan — dalam istila h -istilah m ereka sen d iri— untuk kebaikankebaikan teoretis koherensi dan kekomprehensifan lebih lanjut. Akan tetapi, pendekatan logiko-matematis m ereka kepada struktur proposisional teori-teori ilmiah menuntun mereka untuk menafsirkan tuntutan pada teori-teori yang koheren dan komprehensif ini dalam suatu arti yang formal. Dalam penafsiran mereka, suatu tubuh ide-ide ilmiah yang terpadu secara total akan menjadi suatu sistem teorema-teorema ilmiah yang komprehensif dan separoh-euklidean, yang didasarkan pada sekumpulan tunggal aksioma-aksioma umum, postulat-postulat, dan proposisi-proposisi p rim itif dan dapat diterapkan kepada fenom ena alamiah dari segala jenis. Karena generalisasi-generalisasi empiris yang cukup mencakup segalanya menjad i titik permulaan dari ilmu terpadu tersebut, maka akan menjadi mungkin, dalam pandangan mereka, untuk mendeduksi pernyataan-pernyataan partikular tentang semua fenomena yang dicakup oleh ilmu-ilmu khusus 176

yang bermacam-macam disatukan di dalam ruang lingkup aksiomatiknya. Mengambil logika simbolik Russell dan Whitehead sebagai inti formalnya, para pembela filosofis penyatuan ilmu kemudian mulai mengkonstruksi, pada suatu pola aksiomatik tunggal, suatu penjelasan yang sangat komprehensif tentang alam yang mampu menjelaskan (yakni, mewariskan) semua fenomena alam yang manapun. Pada pandangan pertama, ambisi ini tampaknya terpuji dan sah, namun sekali lagi program Empirisis tersebut kemudian menghadapi belitan-belitan yang tak disangka-sangka. Alasan-alasan untuk situasi ini tidak hanya penemuan bahwa ide-ide teoretis yang dipakai di dalam cabang-cabang ilmu yang berbedabeda (misalnya, fisika matematis) lebih tahan terhadap penggabungan konseptual daripada yang semula diharapkan (tugas mengkonstruksi suatu teori relativistik yang konsisten pada dirinya mengenai elektrodinamika kuantum, misalnya, adalah satu tugas yang masih mengalahkan para fisikawan); namun yang lebih buruk, yang sekarang menjadi tampak, bahwa beberapa cabang teori ilmiah yang dipandang tepat dan berdasar tidak membantu penjelasan dengan cara matematis yang formal sama sekali. Setiap teori evolusi organis yang memuaskan, misalnya, mempunyai suatu dimensi historis yang tak dapat direduksi; dan tak ada kemungkinan menempatkan zoologi historis pada jenis basis prediktif yang dituntut para empirisis, 177

yang masih kurang digabungkan ke dalam sistem aksiom a terpadu N eurath yang lebih besar. Berhadapan dengan contoh partikular ini, memang, se­ orang filsuf empirisis yang terkenal, Carl Hempel, telah menarik suatu kesimpulan yang agak ekstrem, yakni, bahwa teori seleksi alamiah samasekali bukanlah penjelasan yang sebenarnya atas evolusi organis —bahkan juga bukan sesuatu yang buruk— namun hanyalah suatu deskripsi ulang yang mengembangkan episode-• episode historis yang bersangkutan. Namun ini benarbenar suatu cara yang berputar-putar untuk mengakui bahw a baik persoalan-persoalan historis m aupun ambisi-ambisi teoretis para zoolog evolusioner tidak mematuhi pola kuasi-matematis yang mulai dipaksakan para Empirisis Logis kepada semua ilmu-ilmu alam yang serupa demi penyatuan aksiomatik untuk jangka waktu yang lebih lama. Jika, di sisi lain, tuntutan pada penggabungan atau penyatuan dianggap sebagai masalah praktis metodologi, maka akan ditemukan bahwa para ilmuwan sedang menghadapi masalah-masalah dari jenis yang lebih pragmatis dan berbeda. Ilmu psikologi mengajukan suatu contoh menarik karena, di dalam bidang ini, masalah reduksionisme — yakni, mengenai apakah semua fenomena apa saja dapat direduksi kepada istilah-istilah psiko-kimia belaka— telah berulangulang menghasilkan perdebatan aktif. Sejak zaman Antoine Lavoisier, yang pertama menjelaskan dengan 178

r tepat proses pembakaran — yakni, sejak abad ke-18 dan bahkan sebelumnya— telah ada suatu pembagian metodologis pendapat, yang melibatkan, di satu sisi para kimiawan dan fisiolog yang bermimpi menyamakan fungsi-fungsi fisiologis dengan reaksi-reaksi kimiawi dan merencanakan program mereka untuk biokimia di sekitar ambisi itu dan, di sisi lain, para ilmuwan klinis dan para fisiolog yang berorientasi fungsional yang mempertanyakan legitimasi apa yang disebut program -program fisikalis dan bersikeras bahwa fenomena fisiologis menampilkan ciri-ciri atau aspek-aspek tertentu yang tak dapat dijelaskan di dalam istilah-istilah fisio-kimia saja. Isu-isu ilmiah yang diperdebatkan dalam kasus ini tak pernah berkaitan dengan masalah-masalah formal aksiomatisasi dan integrasi logis saja: sekali lagi, mereka telah melibatkan pertanyaan-pertanyaan substantif penafsiran. Oleh karena itu, resolusi sementara perdebatan ini, yang diselesaikan Claude Bernard dalam pertengahan abad ke-19, tidak tiba pada penyusunan suatu sistem aksioma yang terpadu dari biokimia bersama fisiologi. Lebih tepatnya, Bernard membedakan pertanyaanpertanyaan dan minat-minat yang patut dari kedua ilmu itu dan memperlihatkan ciri substantifnya — dan batas-batas-relevansi bersama. D ipandang sebagai proses-proses ygng dapat dilokasikan dan bersifat spesifik di dalam organ-organ utama tubuh, ia menyatakan, semua fenomena fisio179

logis, sebenarnya, terjadi bersam a ruang lingkup hukum-hukum dan konsep-konsep fisiko-kimia umum sebagai proses-proses pengatur yang sama di dalam sistem -sistem inorganik. Akan tetapi dalam lingkungan-lingkungan-m ikro khusus tubuh, tipe-tipe umum fenomena yang sama membantu fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang unik, yang tidak mempunyai pasangan-pasangan inorganik; dan pada tingkat ini, masalah-masalah dan pertanyaan-pertanyaan khusus muncul di dalam fisiologi^sehingga tidak dapat diterjemahkan secara seksama menjadi bahasa fisika dan kimia inorganis. Walaupun biokim ia dan fisiologi tidak mempunyai pertentangan yang berarti, masih tetap ada suatu pluralitas yang esensial dalam tujuantujuan penjelasan kedua ilmu itu; dan pluralisme ini, pada gilirannya, memunculkan pluralisme yang sesuai dari metode-metode dan konsep-konsep. Namun contoh ini pun tidak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat digeneralisasi dengan aman. Walaupun dalam pandangan-pandangan ter­ tentu tujuan-tujuan penjelasan fisiologi dan biokimia akan, sangat mungkin, selalu berbeda dan terpisah, di dalam kasus-kasus yang lain masalah-masalahnya telah digarap dengan cara lain. Ketika, pada tahun 1873, fisikawan Skotlandia, Jam es Clerk M axwell, misalnya, menggabungkan ilmu-ilmu listrik, magnetisme dan optik yang sebelumnya terpisah menjadi fisika terpadu m engenai elektrom agnetism e, tidak ada 180

r

perselisihan pendapat yang sebanding dan tidak diperlukan himbauan perdamaian metodologis. Dalam kasus ini masih m ungkin, setelah karya M axw ell seperti sebelumnya, membedakan antara fenomena optik, magnetik, elektrik yang langsung pada level empiris; namun pada level teoretis yang lebih umum pembedaan-pembedaan tersebut kehilangan signifikansinya yang terdahulu, dan tidak lagi mempertahankan masalah-masalah, metode-metode, dan kategorikategori penjelasan ketiga ilmu yang terdahulu agar tetap terpisah. Ringkasnya: dalam dorongan metodologis ke arah penyatuan ilmu-ilmu, seperti terjadi dalam fase-fase penemuan dan pengesahan yang lebih awal, godaan intelektual untuk menggeneralisasi secara prematur m elem pangkan jalan para filsuf menuju bahayabahaya nyata tertentu. Dalam prakteknya, kasus pe­ nyatuan teori-teori dan konsep-konsep dari dua ilmu atau lebih harus dipertimbangkan lagi dalam setiap hal, dan jarang dapat diputuskan di kemudian hari, apakah penyatuan tersebut akan mencapai sesuatu yang bermanfaat bagi ilmu-ilmu atau tidak. Sebagai gantinya, orang harus menganalisis tuntutan-tuntutan praktis masalah-masalah mutakhir di dalam bidangbidang yang berbeda dan melihat seberapa jauh persyaratan-persyaratan itu dapat dipertemukan lewat pengembangan suatu perlakuan penjelasan terpadu bagi semua ilmu-ilmu khusus yang sedang digarap. 181 L

Penggabungan konsep-konsep teoretis yang dicapai di dalam proses tersebut tidak hanya terdiri dalam penarikan formal bersama sistem-sistem proposisional yang berbeda: yang lebih tipikal, ia akan membutuhkan pengem bangan suatu pola penafsiran teoretis yang seluruhnya baru. Dan, walaupun hal itu mungkin, dalam kasus-kasus tertentu, untuk menjelaskan teori yang dihasilkan di dalam bentuk aksiomatik, harus ditetapkan, dalam tiap kasus secara terpisah, apakah hal ini bisa dilakukan atau tidak. Dalam arti ini, pe­ nyatuan konseptual dan m etodologis m enyajikan suatu gerakan sejati dalam perkembangan pemikiran ilmiah; namun bentuk logis ilmu terpadu yang dituju para filsuf bukanlah sesuatu yang dapat diletakkannya secara definitif sebelum zamannya tiba. ❖

182

m

is u - is u YAN G LEB IH DALAM DAN LEBIH LUAS YANG MELIBATKAN ILMU

A.

Statu s Filosofis Teori Ilmiah

1.

Status Proposisi dan Konsep-konsep atau Entitas-entitas Ilmiah

Bagian artikel ini yang berjudul Konseptualisasi dan Metodologi Ilmu mengkaji, pertama-tama, bahan-bahan material (unsur-unsur)yang dipakai para ilmuwan dalam mengembangkan teori-teori mereka tentang cara kerja dunia alam iah, dan kedua, langkah-langkah intelektual (gerakan-gerakan) yang membawa mereka sampai kepada pemahaman ilmiah akan alam. Dengan cara meringkas, akhirnya patutlah mempertimbangkan sudut-sudut pandang utama mengenai status intelek­ tual konsep-konsep dan doktrin-doktrin ilmiah yang mewujudkan pemahaman tentang alam yang muncul dari perdebatan filosofis tentang ilmu. Bertitiktolak 183

dari status epistem ik proposisi-proposisi teoretis dalam ilmu, baik jugalah mempertimbangkan klaimklaim yang berbeda yang telah diajukan tentang objektivitas penerapan-penerapannya atau kebenarannya atau kedua-duanya. Kemudian, kembali ke sta­ tus ontal konsep-konsep atau entitas-entitas ilmiah, mungkin perlu juga mempertimbangkan klaim-klaim yang telah dibuat tentang objektivitas rujukannya atau tentang maknanya atau kedua-duanya. Dalam kedua kasus itu tujuan sebuah kritik filosofis terhadap ilmu ialah menetapkan sejauh mana muatan dan rujukan pengetahuan ilmiah dapat dipandang sebagai laporan yang benar tentang struktur aktual dan cara-cara kerja alam dan sebaliknya, dan seberapa jauh mereka mewakili konstruk-konstruk atau artifak-artifak intelek­ tual dalam kerangka yang telah dipilih orang secara kebetulan, atau dianggap patut diingini untuk mengatur pemikiran-pemikiran mereka tentang struktur dan cara-cara kerja alam. B ertitiktolak dari status epistem ik teori-teori ilmiah, tiga pandangan utama dapat dibedakan: pada kutub yang ekstrem ialah posisi Realis yang ketat, yang menekankan basis faktual bagi semua pengetahuan ilmiah dan menekankan kontingensi logis yang disiratkan basis ini bagi semua proposisi-proposisi substantif di dalam ilmu. Dalam pandangan ini, hampir semua pernyataan yang paling formal di dalam ilmu membuat pernyataan-pernyataan tentang bagaimana 184

dunia alam dikonstitusi dan beroperasi dalam ken yataan — yang d ip erten tan g k an dengan sem ua keadaan altematif peristiwa-peristiwa yang secara jelas dapat dipahami dan sangat mungkin, namun ternyata tidak benar mengenai dunia aktual. Dilihat dari pendirian Realis ini, setiap proposisi di dalam ilmu, dari laporan pengam atan yang paling khusus hingga prinsip teoretis yang paling umum, benar-benar melaporkan suatu kumpulan fakta-fakta empiris yang — kurang lebih— komperhensif tentang alam dan citacita menjadi suatu cermin objektif yang akurat menge­ nai fakta-fakta yang —kurang lebih— universal tentang apa yang dibicarakan. Pada kutub ekstrem lawannya, terdapat posisi konvensionalis yang ketat, yang menekankan peran konstruktif artikulasi teori sang ilmuwan itu sendiri dan menekankan keharusan logis untuk mengembangkan struktur konseptual yang dihasilkan. Dalam pandangan ini hampir sebagian besar pem yataan-pem yataan pengamatan m um i di dalam ilmu mencerminkan pola-pola yang digunakan sang ilmuwan untuk membentuk gambar konseptualnya tentang dunia alamiah —pola-pola yang membuat semua keadaan peristiwaperistiwa dapat dim engerti dengan gam blang berdasarkan ide-ide mutakhir yang harus dirumuskan. Dilihat dari pendirian konvensionalis ini, termodinamika teoretis, misalnya, menentukan sifat semua dunia yang m ungkin konsisten dengan p rin sip -p rin sip 185

s

konservasi energi dan peningkatan entropi (atau keacakan): suatu dunia — yang kepadanya termodinamika tidak dapat diterapkan— yang pada faktanya nanti tidak akan sedemikian keliru (gagal) sebagaimana dibayangkan dalam istilah-istilah masa kini. Akhirnya, sederetan luas pandangan-pandangan perantara mencoba menghindari pertentangan utama antara para Realis dart konvensionalis. Suatu pan­ dangan representatif jenis ini, pertama dipopuierkan oleh Mach menjelang akhir abad ke-19, menyerukan serangan Kant pada benda-dalam -dirinya sendiri (ithings-in-themselves), memandang serangan itu sebagai pem berian dasar-dasar untuk melenyapkan semua perdebatan tentang realitas dan objektivitas sebagai hal yang tandus dan kosong yang terelakkan. Dalam bentuknya yang paling maju, posisi yang disebut operasionalis ini mendorong sang filsuf memandang proposisi-proposisi teoretis dalam ilmu sebagai yang bermakna hanya sejauh sebagai praktek ilmiah yang m encakup operasi-operasi spesifik — baik operasioperasi pengukuran m anual, atau operasi-operasi pensil-dan-kertas komputasional— dalam kerangka inilah p rop osisi-p rop osisi itu diberi m akna operasional. Kemudian tak ada yang diramalkan menjadi pengetahuan ilmiah di luar makna operasionalnya, secara khusus, para ilmuwan tidak dimengerti apakah m ereka sebagai yang m engklaim atau yang tidak mengklaim apa pun tentang realitas atau konvensio186

nalitas keadaan-keadaan suatu peristiwa yang mereka laporkan. Dengan demikian ide alam sebagai bendadalam-dirinya sendiri dihilangkan sebagai takhyul intelektual dan suatu rintangan menuju pemahaman ilmiah yang lebih baik, yang bertahan hidup sejak era metafisik yang lebih awal. D isku si-d isku si prim er m engenai im plikasi-" implikasi ontologis teori ilmiah terdapat dalam artikel Metafisika dan Filsafat A lam .Sekalipun demikian di sini pantaslah untuk membedakan tiga pandangan utama. Sekarang pertanyaan utama ialah, apakah semua kata benda dan frase-frase kata benda yang digunakan sebagai istilah-istilah teknis di dalam proposisi-proposisi teoretis ilmu bersandar pada klaim apa saja yang mengacu kepada entitas-entitas yang objektif dan eksternal untuk makna; dan pendekatan-pendekatan terbaru kepada pertanyaan ini sejajar dengan pandangan-pandangan yang sudah ada tentang isu-isu epistemologis, yakni, apakah proposisi-proposisi itu sendiri untuk kebenarannya bersandar pada suatu klaim sebagai yang mencerminkan atau melaporkan fakta-fakta objektif dan eksternal. Di sini, juga, sang Realis menafsirkan semua istilah teknis utama teori ilmiah seperti nama entitas-entitas objektif yang sudah ada secara bebas di dalam alam dari semua teori dan penafsiran manusia. Dalam pandangan ini, entropi, m isalnya — suatu ukuran m eningkatnya keacakan yang dialami setiap sistem total— adalah suatu besaran 187

yang sejati, kepentingan objektif yang, setiap waktu, memainkan suatu bagian krusial dalam cara kerja-cara kerja alam, sekalipun para fisikawan, baru dewasa ini saja mempunyai kecerdasan untuk menemukannya; sehingga baru saja m enjadi persoalan — di dalam bagian-bagian itu kosmos yang dapat diamati— bahwa entropi total suatu sistim yang terisolasi, di mana-mana berkurang. Sang instrum entalis, sesuai dengan bidangnya m em an d an g sem ua p e n g ertia n te o re tis, sep erti entropi, sebagai fiksi atau artifak-artifak intelektual yang diciptakan oleh konstruksi teori sang ilmuwan itu sendiri dan sangat berbeda dari dunia alamiah objek-objek, sistem-sistem, dan fenomena yang harus dijelaskan teori-teori ilmiah. Tak diragukan lagi, teori ilmiah dan realitas eksternal alam benar-benar ber­ hubungan dengan level empiris sehari-hari; meja-meja dan kursi-kursi, batu-batuan dan bunga-bunga. Akan tetapi karena tugas-tugas intelektual berteori ilmiah maka konsep-konsep yang dihasilkan pada dasarnya abstrak; dan setiap pemahaman sesudah entitas-entitas yang nyata, sebagai rujukan eksternal yang objektif istilah-istilah teoretis, mencerminkan suatu kesalahpahaman yang jelas terhadap usaha teoretis ini. Sem entara itu, sang fenom enalis m engulangi, dalam hal istilah-istilah teknis ilmu, kritik agnostik yang sama seperti yang diajukan oleh sang operasionaiis di dalam hal proposisi-proposisi teoretisnya. 188

Dalam pandangan ini, hanya merupakan pembuangan waktu yang percuma bagi para ilmuwan memperdebatkan eksistensi entitas-entitas teoretis yang abadi, yang dipandang sebagai benda-benda-dalam-dirinya sendiri yang bersifat eksternal dan objektif; sama halnya ketika mereka menafsirkan teori-teori ilmiah sebagai pembuatan, atau penolakan, klaim-klaim yang sama tentang eksistensi keadaan-keadaan peristiwa yang bersifat eksternal dan objektif. Sebagai gantinya, istilah-istilah dan konsep-konsep ilmu tersebut semuanya dimengerti sebagai produk dari begitu banyaknya operasi logis, atau semantik atau konstruksi, dan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensinya yang nyata disisihkan sebagai takhayul-takhayul metafisik yang membahayakan. 2.

Analisis Filosofis dan Praktek Ilmiah

A rgu m en-argu m en tentang pand an gan -p an dangan ontologis dan epistemologis yang bersaing ini tak dapat ditinggalkan atau dipertimbangkan dengan aman tanpa pertama-tama melihat pada hubungan yang semakin dekat dan kompleks antara minat-minat analitis yang umum dari para filsuf dan minat-minat intelektual yang lebih spesifik dari pekerjaan para ilmuwan itu sendiri. Karena tingkat di mana tiap-tiap pandangan tentang realitas entitas-entitas dan faktafakta ilmiah yang membawa keyakinan, tergantung — terutam a— kepada apa yang sedang dibicarakan 189

oleh cabang-cabang ilmu. Karena fokus perhatian filosofis telah berubah secara historis dari suatu lahan ilmiah kepada lahan lainnya, maka tingkat-tingkat relatif kemasukakalan posisi-posisi saingan juga telah bervariasi. Sejak tahun 1920-an, misalnya, telah ada suatu tanda hidupnya kembali diskusi filosofis di kalangan para ilmuwan yang bekerja di beberapa bidang yang terspesialisasi — khususnya di kalangan para fisikawan yang menaruh perhatian pada struktur dan perkembangan mekanika kuantum. Dalam istilah-istilah epistemik, ciri penjelasan-penjelasan kuantum-mekanis telah mempromosikan beberapa pertanyaan funda­ mental mengenai status dan pembatasan-pembatasan pengetahuan manusia. Jelaslah, tingkat dan akurasi pengetahuan m anusia tentang alam dibatasi oleh bentuk-bentuk operasi instrumen-instrumen ilmiah. Akan tetapi, juga tidak mungkinkah bahwa signifikansi ciri statistik ini terletak pada suatu level yang lebih dalam? Barangkali hubungan-hubungan objektif yang relevan dan keadaan-keadaan peristiwa di dalam alam itu sendiri diatur secara intrinsik oleh suatu kausalitas yang semata-mata probabilistik dan karena itu pada dasarnya tidak ditentukan. Atau adakah suatu titik yang dicapai pada level mikrofisik di mana setiap pembedaan antara pengetahuan manusia yang subjektif dan keadaan-keadaan peristiwa yang objektif pada akhirnya dihancurkan? Im plikasi-im plikasi ontal 190

m ekanika kuantum telah m em bingungkan seperti implikasi-implikasi epistemik. Apakah sebuah elektron, misalnya, sebuah partikel yang terpisah yang terjadi hanya untuk menghindari pengamatan eksak manusia; apakah ia pada dasarnya ikatan gelombang yang samar yang tidak mem punyai karakteristik-karakteristik dinamis yang tidak persis; apakah ia merupakan konsentrasi probabilitas, suatu simbol teoretis belaka, atau apa? Atau haruskah orang menyisihkan semua per­ tanyaan ontologis ini sebagai yang kurang berarti bagi fisika dan tetap pada cara kerja tugas fisikawan yang tepat, yang m em perluas kekuatan penjelas yang langsung mengenai penjelasan mekanis-kuantum itu sendiri? (lihat Filsafat Alam. Juga karena pertanyaanpertanyaan ini telah memainkan suatu bagian yang penting bukan hanya di dalam filsafat ilmu tetapi juga dalam fisika teoretis itu sendiri, semuanya didiskusikan dari sudut pandang ilmiah dalam artikel Mekanika, Kuantum; Elektron, Hukum-hukum Konservasi; dan Simetri dan Relativitas). Di mana-mana perdebatan filosofis tentang ilmu telah dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang spesifik lainnya. Persis seperti dalam filsafat alam Aristoteles, kontroversi metafisik tentang Ide-ide dan esensi-esensi tercermin dalam pendekatan metodologis Aristoteles sendiri kepada biologi dan kepada studi hubunganhubungan alamiah dan klasifikasi-klasifikasi organisme-organisme, maka ketika abad ke-20 memper191

timbangkan kembali taksonomi tradisional, — dalam keran gka teori ev olu si, gen etik a, dan dinam ika populasi— menjadi suatu kesempatan untuk memperbaharui perdebatan filosofis. Akibatnya, ketidaksepakatan-ketidaksepakatan yang terdahulu tentang klasifikasi-klasifikasi alamiah dan buatan telah dirum uskan kem bali dan telah m enghasilkan pertengkaran baru tentang kem ungkinan pendasaran taksonomi pada ilmu matematis fenetik — di mana sifat-sifat utama spesies-spesies yang berbeda, genus, dan sebag ain ya sem ua d iberi b ilan gan -b ilan g an kuantitaf atau ukuran-ukuran — sehingga mempergunakan sum ber-sum ber teknis komputer modern untuk mencapai tujuan-tujuannya. Sam a h aln ya, dalam p sikologi persep si dan bidang-bidang yang terkait, perluasan pemahaman pada tahun-tahun belakangan ini akhirnya mengijinkan penyusunan pertanyaan-pertanyaan empiris se­ cara autentik tentang persepsi dan kognisi yang cocok untuk p en yelid ikan langsung sebagai ganti dari penelitian yang dibatasi kepada spekulasi-spekulasi a priori yang umum. Hasilnya ialah perdebatan teoretis, yang hal itu akan mempunyai akibat-akibat yang mendalam baik pada epistemologi filosofis maupun ilmu alam iah. Di bidang-bidang perdebatan ini bahkan Mach pun sudah puas dengan hanya mengajukan per­ tanyaan-pertanyaan yang sangat umum, dalam tradisi filosofis Davrd Hume, tentang peran kesan-kesan 192

indrawi sebagai bahan mentah semua kognisi dan persepsi, sekarang jelaslah bahwa banyak perbedaan dan kom pleksitas pendahuluan harus dipecahkan sebelum orang dapat berharap mengenali pertanyaanpertanyaan operatif yang sejati di dalam bidang ini. Jauh dari semua bentuk pengetahuan dan persepsi yang mematuhi suatu pola umum yang tunggal, indra manusia dan hubungan-hubungan praktis dengan dunia menggerakkan kumpulan bermacam-macam sistem perseptu al yang operasi-operasinya tidak membenarkan rumus epistem ologi tentang kesankesan dan ide-ide, data-indra dan konstruksi-konstruksi logis, atau intuisi-intuisi dan skemata. Demikianlah, pada m asa kini, p en y elid ik an -p en y elid ik an beberapa fisiolog, psikolog dan sibernetisi sedang membawa indra m anusia dan ak tiv itas-ak tiv itas kognitif ke dalam ruang lingkup ilmu alamiah, sementara pada saat yang sama mempertahankan kepercayaan pada masalah-masalah dan wawasan-wawasan filosofis yang lebih umum dari filsuf-filsuf seperti Locke dan Leibniz, Hume dan Kant, Helmholtz dan Mach. Pada titik ini aliansi di antara ilmu dan filsafat hanya memindahkan ke dalam bidang-bidang ilmu yang m erupakan w ilayah -w ilayah kebin gu ngan metodologis masa kini, interaksi-interaksi yang sama, yang subur pada abad-abad terdahulu, di mana ilmu m em punyai m eto d e-m eto d e yang sek a ra n g di193

m engerti dengan baik. Interaksi-interaksi ini pada akhirnya tidak mungkin membenarkan satu pun dari posisi-posisi yang bersaing di dalam filsafat ilmu, apakah itu ontologis (Realis, instrum entalis atau fenom enalis) atau epistem ologis (Realis, konven­ sionalis, atau operasionalis). Mungkin pembenaran tersebut, dalam peristiw a apa pun, terlalu banyak diharapkan. Karena dalam semua ilmu khusus yang berbeda — baik alamiah maupun sosial— perkembangan historis pada akhirnya membawa sang penyelidik kepada suatu titik di mana ia siap beroperasi dengan suatu varietas istilah-istilah teknis atau entitas-entitas yang mempunyai sifat-sifat dan fungsi-fungsi logis yang berbeda dan yang padanya proposisi-proposisi atau prinsip-prinsip teoretis yang paling umum men am p ilkan p erbed aan -p erb ed aan yang sesuai di dalam status dan implikasi-implikasi logisnya. Selama diskusi filosofis dibatasi di dalam batasbatas suatu bahasa buatan yang ideal atau sistem yang proporsional, barangkali, ia bisa terus mengajukan dilema-dilema umum yang abstrak tentang, misalnya, entitas-entitas teoretis atau konfirmasi teori. Namun m enghasilkan dilem a-dilem a formal tersebut pada muatan aktual pemikiran ilmiah kontemporer menjadi semakin tidak jelas. Dalam memperdebatkan status ontal entitas-entitas teoretis, m isalnya,. pertanyaan yang harus dihadapi pada tahap tertentu ialah, apakah frase itu dimaksudkan untuk menyembunyikan pe194

ngertian-pengertian semisal gen atau pion, spesiesspesies atau wajah yang dingin, momentum atau super ego, kelas sosial atau pasar ekonomis. (Tentunya, tidak semua istilah ini mempunyai sifat-sifat dan fungsifungsi yang identik.) Dalam memperdebatkan status epistem ik teori-teori ilmiah, juga, harus dijelaskan apakah yang d ip ikirkan orang, m isalnya, skem a matem atis teori medan kuantum -m ekanis, analisis populasional, seleksi alam iah, m ikrostruktur dan m ekanism e-m ekanism e biologi molekuler, urutanurutan perkembangan psikologi kognitif, teori kerja nilai ekonomis, keteraturan-keteraturan umum meteorologi bumi, atau apa. (Sekali lagi, tidak semua teoriteori ini mempunyai jenis-jenis status atau implikasiimplikasi yang identik.) D oktrin-d oktrin dan pendekatan-pen dekatan filosofis yang membawa keyakinan besar ketika diterapkan kepada teori-teori dan ide-ide dari sebuah ilmu m ungkin — tak m engherankan— kehilangan semua kemasukakalannya ketika diperluas ke bidangbidang lain. Demikianlah, suatu analisis empirisis bisa d iterap kan secara langsung kepada m eteorologi namun seluruhnya memberi keterangan yang keliru tentang struktur dan implikasi-implikasi teori elektrom agnetik; sem entara, sebaliknya, penjelasan NeoKantian mengenai fisika teoretis mungkin kekurangan relevansi langsung, misalnya, kepada ide-ide tentang perilaku binatang. Sekarang ini seperti di masa Athena 195

klasik, klarifikasi analitis dalam filsafat ilmu, dalam hal ini, seiring dengan penghalusan-penghalusan m etodologis dalam ilmu-ilmu itu sendiri. Bila memandang ke belakang, wawasan metodologis biolog laut Aristoteles dan astrofisikus teoretis Plato dapat dianggap saling m elengkapi, daripada saling berseberangan. Sama halnya, sekarang ini, filsuf harus melihat pada posisi-posisi saingannya di dalam filsa­ fat ilmu, bukan sekedar jawaban-jawaban kontradiktoris kepada pertanyaan-pertanyaan teknis di dalam filsafat itu sendiri, m elainkan sama-sama sebagai k o n trib u si-k o n trib u si p elen gk ap bagi kem ajuan m etodologis pem aham an teoretis kepada seluruh wilayah yang bermacam-macam dari bidang-bidang ilmiah yang berbeda. B.

Hubungan antara Ilmu dan Budaya

Survei ini, hampir secara eksklusif, telah membicarakan masalah-m asalah filosofis dan argumenargumen tentang ilmu-ilmu yang dipandang sebagai sum ber-sum ber pengetahuan teoretis. Dalam perlawanan Realisme terhadap instrumentalisme, ide-ide m ekanistik melawan ide-ide organis, pengetahuan ilahi melawan kekeliruan manusiawi, atau Ide-ide Platonis m elaw an esensi-esensi A ristotelian, sang filsuf di dalam masing-masing kasus membahas sta­ tus intelektual, im plikasi-im plikasi dan kesahihan konsep-konsep, metode-metode, atau entitas-entitas 196

ilmiah tertentu yang umum. Akan tetapi, membatasi diri hanva pada aspek-aspek intelektual ini, akan berarti menerima suatu abstraksi total teori dari praktek dan ide-ide ilm iah dari ungkapan behavioralnya. Demikianlah, bersama dengan perubahan masa kini penekanan dari ilmu fisik menuju ilmu humaniora dan sosial, orang menemukan bahwa pendekatan-pendekatan abstrak tersebut sekali lagi rentan terhadap kritik karena terlalu mengintelektualisir hakikat dan implikasi-implikasi ilmu. Beberapa dari serangan-serangan ini berasal dari arah neo-Marxis dan mencerminkan desakan Marxian tradisional pada kesatuan teori dan tindakan. (Bukan tak beralasan Lenin mencari-cari kesalahan Ernst Mach sebagai sasaran khusus penghinaan.) Akan tetapi kritik-kritik yang sama juga datang dari orang dengan kesetiaan-kesetiaan intelektual yang sangat berbedamisalnya, dari sosiolog perkotaan Lewis Mumford dan dari para Eksistensialis kontemporer. Oleh karena itu, sebagai penutup, suatu diskusi yang ringkas di sini memberikan beberapa pandangan tentang hubungan antara ilmu dan bagian lain kebudayaan; yakni, tentang relevansi pengetahuan ilmiah kepada lingkunganlingkungan pengalaman dan perhatian dan, sebaliknya tentang signifikansi yang lebih luas, pertimbanganpertim bangan praktis untuk pengertian m anusia mengenai teori itu sendiri.

197

V ariasi pand angan-p and angan ini senantiasa banyak sekali. Para pendukungnya telah tergabung dari semua bidang mulai dari orang seperti Wilhelm Ostwald yang bersemangat dan Julian Huksley evolusionis — keduanya mengakarkan etika pada alam— m enyajikan ide-ide dan prosedur-prosedur ilmiah sebagai obat-obat mujarab yang rasional bagi masalahm asalah intelektual dan praktis dari semua jenis, hingga kepada orang, seperti Pierre Duhem dan Carl von Weizsacker, fisikawan dan filsuf alam, keduanya mengakui adanya Tuhan, dengan sengaja membatasi klaim-klaim ilmu sedem ikian rupa sehingga melindungi kebebasan dari manuver untuk etika, misalnya, atau teologi. Pada masing-masing tahap, yang paling m em bela k laim -klaim ekstrem ilmu adalah para Realis ontologis; dan, dalam memperkuat klaim-klaim ontal dan epistemik mereka, mereka juga bersikukuh pada suatu klaim menolak prioritas intelektual atas nama pengetahuan ilmiah, sangat berbeda dengan bentuk-bentuk pengalaman lain. Sama halnya, orang yang membatasi klaim-klaim kultural yang lebih luas atas ilmu cenderung menjadi fenomenalis; dan dalam memperlemah klaim-klaim filosofisnya, mereka juga telah berusaha membatasi otoritas ilmu kepada perhatian-perhatia-n in telektu aln y a sendiri yang didefinisikan secara sempit. Akan tetapi, apa pun posisi filosofis umum seseorang berkenaan dengan realitas pengetahuan dan 198

entitas-entitas ilmiah, ada pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih p raktis untuk d ihad ap i, p ertan yaanpertanyaan tentang implikasi-implikasi spesifik ideide dan kepercayaan-kepercayaan ilmiah yang berbeda untuk bidang-bidang tindakan dan pengalaman ma­ nusia yang serupa. Pada titik ini, satu tema khusus menyatukan sederetan luas kritikus-kritikus radikal ilmu, termasuk Lewis Mumford, kritikus sosial Amerika Serikat, dan para eksistensialis. Seperti Christian Dane Soren Kierkegaard, seorang perintis dan tokoh eksistensialism e aw al, m enuduh sistem etika yang diuniversalkan oleh Kant mengabaikan individualitas masalah-m asalah dan pertim bangan-pertim bangan etis yang aktual, sehingga sekarang ini terdapat reaksi yang tersebar luas menentang setiap kecenderungan memperlakukan pertimbangan-pertimbangan sosial atau praktis sebagai masalah-masalah teknis, yang dapat ditinggalkan untuk pertimbangan ahli-ahli ilmiah atau teknologis. M etode-m etode umum teknologi, mungkin benar-benar mewakili penerapan-penerapan praktis pem aham an teoretis yang dicapai dengan ilmu; namun semua pertimbangan individual tentang penggunaan teknik-teknik umum tersebut — yakni, dalam membangun suatu bandara udara atau stasiun pembangkit listrik —jangan dibuat dengan menarik rumus umum atau aturan jempol (rule o f thumb) apa pun melainkan dengan menyeimbangkan seluruh deretan pertimbangan-pertimbangan yang bermacam-macam— 199

ekonomis dan estetik, lingkungan dan manusia, dan juga yang semata-mata teknis. Menurut pengkajian masa kini yang lain, sudutsudut pandang teoretis yang diadopsi dalam ilmu alam adalah umum dan abstrak, namun tuntutantuntutan praktis tindakan sosiopolitis dan, a fortiori, tindakan individual adalah konkret dan khusus; dan, dengan sendirinya, perbedaan ini menempatkan suatu larangan yang segera pada relevansi eksistensial ideide ilmiah dan teknik-teknik rekayasa. Para sarjana seperti Thomas Huxley, seorang ilmuwan yang cakap dalam berbagai bidang dan pembela evolusi, atau Wilhelm Ostwald, seorang perintis elektrokimia, yang memandang realitas pada dasarnya sebagai energi, mungkin berargumen dalam istilah-istilah yang umum dan abstrak untuk menafsirkan prinsip-prinsip etis dalam istilah-istilah evolusioner atau termodinamis jika mereka mau (demikianlah para kritikus melanjutkan); namun argumen-argumen spekulatif yang abs­ trak tersebut tidak berhubungan dengan tugas-tugas aktual pertimbangan dan tindakan etis. Di sini, setiap pilihan etis melibatkan suatu konstelasi yang unik dari pertimbangan-pertimbangan dan tuntutan-tuntutan; dan masalah ini tak dapat dihubungkan dengan menariknya kepada aturan universal apa pun melainkan harus dinilai berdasarkan individu, sebagaim ana ketika ia muncul.

200

Yang lain m engam bil pendekatan yang lebih positif ke arah kontribusi ilmu bagi suatu pemahaman nilai-nilai manusia. Tanpa harus mengklaim mengubah etika itu sendiri menjadi sebuah "ilm u", mereka berargumen, bahwa sikap-sikap pribadi dibutuhkan untuk bekerja efektif di dalam ilmu — skeptisisme yang berbahaya dan pikiran terbuka yang kritis— mem­ punyai relevansi yang lebih luas juga kepada perilaku dan hubungan-hubungan sosial manusia. M ereka menganggap bahwa hanya melalui diskusi sosial dan politis yang dilaksanakan dengan semangat tentatif dan kritis yang sama inilah, maka hasrat yang tipikal dan tercela serta kebingungan dapat digantikan oleh pertimbangan yang lebih rasional akan cara-cara yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan secara eksplisit. Sementara ide-ide ilmiah yang spesifik dan doktrin-doktrin itu sendiri mungkin tidak cukup untuk mengarahkan tindakan sosial dan politis, namun demikian, sikap ilmiah, mempunyai signifikansi yang mendalam bagi kebijakan sosial dan etika individual yang sama. Perbedaan ini, di antara kritikus yang berorientasi eksistensial mengenai klaim bahwa ilmu mencakup segalanya dengan orang yang berorientasi sosial yang percaya pada sikap ilmiah, dapat diringkas dengan mengacu kepada diskusi-diskusi kontemporer ten­ tang signifikansi sosial ilmu itu sendiri. Di sisi lain, baru-baru ini ada suatu penghidupan kembali pan201

dangan-pandangan anti-ilmiah yang terang-terangan, yang kurang lebih sudah tidak aktif sejak zaman Blake, Johann Wolfgang fon Goethe, dan para penerusnya dalam gerakan Romantik. Para pendukung posisi antiilmu ini menunjukkan peran utama teknologi militer dalam dukungan finansial riset ilmiah abad ke-20 dan m enolak dalih lazim ilmuwan bahwa ia tidak bertanggungjaw ab untuk penggunaan penem uan-penemuannya yang netral secara etis, dianggap sebagai dalih yang muram dan tidak jujur. Sebaliknya (mereka berargumen), terdapat persekutuan yang berlangsung lama dan mengerikan, yang menghubungkan lembagalembaga kolektif ilmiah dan profesi-profesi teknologis dengan kekuasaan-kekuasaan ekonom is, industrial dan politis. Dihadapkan dengan buah-buah persatuan historis ini (mereka menyimpulkan) sudah waktunya bahwa para ilmuwan mengakui tanggungjawab sosial mereka; dan kegagalan kontrol-kontrol kelembagaan yang lebih banyak, hasil terakhir perenungan moral ini mungkin menjadi bukti yang baik untuk melakukan penundaan sementara riset ilmiah selanjutnya. M ungkin manusia yang sudah m engetahui terlalu banyak untuk kebaikan sendiri dan perlu memahami lebih jauh lagi signifikansi persediaan pengetahuannya yang sudah ada, sebelum menambahnya. Sehingga tidak m em perlebar kembali jurang pemisah antara pengetahuan teoretis dan kebijaksanaan praktis.

202

Di sisi lain, ada yang mengakui ilmu memainkan peranan yang penting dalam dunia modern, namun melanjutkannya dengan menarik kesimpulan yang berlawanan. Daripada memilih menghentikan (orang ini akan m enyatakan), ruang lingkup ilmu harus diperluas; yakni, para sarjana harus mempelajari dan memahami dengan lebih baik cara pelaksanaan ilmu yang berfungsi sebagai suatu unsur dalam tatanan sosial yang lebih besar —barangkali dengan mengembangkan analisis yang lebih memadai terhadap struktur sosial atau barangkali dengan suatu perluasan berskala besar, terhadap metode-metode pelaksanaan penelitian. Terlepas dari hal lain, (mereka menunjukkan), penundaan sementara pada ilmu adalah suatu penundaan sementara pada dosa yang tidak dapat dilaksanakan. Ia dapat dipaksakan hanya jika ketidaksepakatan politis mencapai suatu tingkat yang tidak dapat dibayangkan di kalangan para ilmuwan. Dalam ab sen si p em aksaan-p em aksaan tersebu t, negerinegeri yang berpikiran liberal hanya akan menempatkan dirinya pada kerugian yang tak perlu — baik ekonomis maupun militer— jika dibandingkan dengan negara-negara totalitarian. Daripada mengejar harapan yang sukar dicapai ini, para sarjana harus melakukan usaha yang lebih banyak pada tugas memahami baik prasyarat-prasyarat sosial perkembangan ilmiah yang efektif maupun prioritas-prioritas ekonomi dan politis 203

yang terlibat di dalam penerapan praktis penelitian ilmiah. Jika dibandingkan dengan kontroversi-kontroversi pada abad-abad terdahulu, perdebatan di antara ilmu dan agama dibungkam secara aneh sekarang ini. Dewasa ini hanya sedikit ruang kecil untuk nafsunafsu teologis yang menelan diskusi mengenai teori planet Copernikus yang baru, sejarah James Hutton tentang Bumi, atau teori Darwin tentang seleksi alamnya; dan orang akan ragu-ragu untuk berbicara lebih jauh, seperti yang begitu banyak dilakukan para nenek moyang kita, tentang peperangan di antara ilmu dan agama sebagai hal yang tak terhindarkan. Memang benarlah bahwa segelintir penulis pendukung masih merasa kesulitan untuk memutuskan isu-isu seperti apakah eksistensi kehidupan pada dunia lain akan memerlukan penetapan kembali adanya ke-jatuhan ke dalam dosa dan penebusan yang diajarkan agama Kristen atau sebaliknya, dapat mendesakkan bahwa h asil-h asil ek sp lorasi astronom is m enolak setiap keyakinan religius bahwa Tuhan adalah Pria Tua yang ada di langit. Akan tetapi, bagi sebagian besar orang, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah sedemikian jauh keh ilan g an gig itan n ya yang terdahulu sehingga sekarang ini tampak sangat naif. Apakah alasan bagi perubahan ini? Di zamanzaman terdahulu, istilah kosmologi tidak hanya mencakup struktur astronom is kosm os dan asal-usul 204

spesies m anusia nam un juga signifikansi religius tem pat m anusia di dalam alam . Sebaliknya, para teolog kontemporer, melihat fisika dan biologi sedikit banyak berhubungan dengan sikap-sikap religius dan keasyikan-keasvikan manusia daripada yang dilihat para pendahulunya. Akibatnya, ambisi manusia terdahulu mengkonstruksi suatu pandangan manusia yang tunggal dan menyeluruh, yang mencakup kebenaran-kebenaran esensial baik ilmu maupun agama, tidak lagi memainkan bagian yang aktif dalam kehidupan intelektual seperti di zaman sebelum nya. Satu-satunya cabang ilmu yang masih mampu mendorong perdebatan teologis dengan penuh semangat, bahkan sampai sekarang, adalah ilmu-ilmu humaniora ketim bang ilm u-ilm u alam iah. Im plikasi-im plikasi psikologi Freudian terhadap doktrin rahm at dan kegunaan obat-obat bius yang menimbulkan khayalan untuk menghasilkan pengalaman-pengalaman kuasimistik adalah topik-topik diskusi yang hangat di masa kini, bukan lagi evolusi, astrofisika, dan geologi historis. Perubahan fokus ini telah disertai oleh suatu perubahan dalam ide-ide tentang batas-batas intrinsik ilmu. Dulu diasumsikan bahwa batas-batas di antara ilmu dan aspek-aspek pengalaman manusia lainnya dapat didefinisikan dengan menandai tipe-tipe topik tertentu yang dianggap tertutup secara esensial kepada penyelidikan ilm iah. Pada satu generasi, jan tung teritori terlarang ini masih diperhatikan; dan bagi 205

generasi berikutnya, ia merupakan kehidupan; bagi generasi ketiga, merupakan penciptaan. Dalam pan­ dangan ini, sesuatu yang ada di dalam hakikat esensial aktivitas mental atau aktivitas vital, atau di dalam asalusul tatanan alam yang dibicarakan, tidak mungkin untuk m em perlakukan ia sebagai fenomena yang terbuka bagi studi dan penjelasan melalui metodemetode rasional dan prosedur-prosedur intelektual yang berlaku pada ilmu. Dalam kenyataannya, pan­ dangan ini selalu mempunyai kelemahan, dari sudutsudut pandang ilmiah maupun teologis. Kepada para ilmuwan, ia tampak memaksakan suatu larangan yang sewenang-wenang pada lingkungan cara-cara kerja mereka kemudian bertindak sebagai suatu tantangan dan gangguan yang tetap. Bagi para teolog, ia mem­ punyai kelemahan karena menempatkan klaim-klaim esensial agama, dapat diibaratkan dalam bubungan pasir yang terancam tenggelam suatu ketika akan muncul gelombang pasang — demikian juga dalam pengetahuan ilmiah. Jadi, secara diam-diam disetujui, batas-batas esensial ilmu saat ini didefinisikan di dalam istilah-istilah yang berbeda sama sekali. Batasbatas ini sekarang dikenali dengan mengakui bahwa sifat prosedur-prosedur ilmiah itu sendiri menempat­ kan batas-batas pada relevansi hasil-hasilnya. Seorang sarjana boleh m em ilih m em pelajari objek-objek, sistem-sistem, atau proses-proses apa pun yang disenanginya, nam un hanya pertanyaan-pertanyaan 206

tertentu yang akan dapat dijawab di dalam istilahistilah umum, teoretis yang khas pada ilmu. Perubahan pendekatan ini mungkin tidak menjadikan masalah substantif — yang membatasi tapal batas ilmu secara eksak pada semua titik— jauh lebih mudah dibanding sebelumnya, namun ia mempunyai satu keunggulan yang asli: ia menghargai fakta yang sangat penting, yang menarik perhatian khusus dalam survei ini, bahwa ciri khas ilmu terletak bukan pada tipe-tipe objek dan peristiwa yang dapat diakses ilmu­ wan melainkan dalam prosedur-prosedur intelektual yang dipakai dalam penyelidikan-penyelidikannya dan juga dalam jenis-jenis masalah yang membantunya mencapai solusi ilmiah. ❖

207

BIBUO GRAFI

Ernest Nagel, The Structure o f Science (1961); dan M.W. Wartofsky, Conceptual Foundations o f Scientific Thought (1968), bersam a-sam a m em aparkan pendekatan-pendekatan kepada filsafat ilmu sebagai bidang studi yang umum; sementara Arthur Danto dan Sidney Morgen Besser (eds), Philosophy o f Science (1962), memberikan antologi yang sangat bermanfaat mengenai makalah-makalah klasik mengenai topik tersebut; dan Samuel B. Rapport dan Helen Wright (ed.), Science: Method and Meaning (1964), adalah antologi makalahmakalah nonteknis yang merangsang. Asal-usul dan perkembangan ilmu alamiah dan sikap-sikap para filsuf kepada penjelasan ilmiah di zaman kuno dan Abad Pertengahan digarap dengan baik dalam Samuel Sambursky, The Physical World o f the Greeks, edisi kedua (1962; aslinya diterbitkan pada 209

Hebrew, 1954); dan The Physical World o f Late Antiquity (1962); John H. Randall, JR., Aristotle (1960); dan Alistair C. Crombie, Medieval and Early Modern Science, 2nd ed., 2 vol. (1963). Untuk abad ke-17 dan ke-18, lihat Edwin A. Burtt, The Metaphysical Foundations o f Modern Physi­ cal Science, 2nd ed. (1932); edisi kedua Alexandre Koyre, Newtonian Studies (1965); Herbert Butterfield, The Ori­ gins o f Modern Science: 1300-1800, rev. ed. (1965); edisi revisi I. Bernard Cohen, Franklin and Neioton (1956); dan G o tteried M artin , Im m an uel K an t: O n tolog ie and W issen schaftstheorie (1951; terjem ahan berbahasa Inggris, Kant's Metaphysics and Theory o f Science, 1955). Untuk abad ke-19, kontribusi-kontribusi yang paling signifikan telah datang dari tulisan-tulisan para ilmu­ wan sebagai filsuf: Claude Bernard, Introduction a Petude de la medecine experimentale (1865; Terjemahan berbahasa Inggris, An Introduction to the Study o f Ex­ perimental Medicine, 1927, dicetak ulang 1961); Hermann von Helmholtz, Popular Scientific Lectures (1962; dicetak ulang dari kumpulan kuliah Popular Lectures on Scien­ tific Subjects, seri pertam a dan kedua, 1881); T.H. Huxley, Science and Culture, and Other Essays (1882); dan William Whewell, The Philosophy o f the Inductive Sciences, Founded upon Their History, edisi kedua (1847 dicetak ulang 1966). Latar belakang perdebatan abad ke-20 dalam filsafat ilmu, sebagaimana yang dikembangkan antara tahun 1890 dan 1920, dapat direkonstruksi dari Ernst 210

Mach, DieMechanik in ihrer Entivicklung historisch-kritisch Deirgestellt, e disi kesem bilan (1933 terjemahan berbahasa Inggris, The Science o f Mechanics, 1960); dan Die A n aly se der E m p fin d u n g en .u n d das V erhdltnis des Physischen ziim Psychischen, edisi kelima (1906 ter­ jemahan bahasa Inggris, The Analysis o f Sensations and the Relation o f the Physical to the Psychical, 1959); Karl Pearson, The Grammar o f Science, edisi ketiga (1960); Pierre Duhem, La Theorie physique: son objet et sa structure (1906; terjemahan Inggris, The Aim and Structure o f Physi­ cal Theory, 1954); Henri Poincare, La Science et Phypothesa (1903; terjemahan bahasa Inggris, Science and Hypothesis, 1905); dan Heinrich Hertz, Die Prinzipien der Mechanik (1895; terjemahan berbahasa Inggris, The Principles o f Mechanics, 1889, dicetak ulang 1956), khususnya Pengantar. Rangkaian perdebatan berikutnya, antara tahun 1920 dan 1960, dilukiskan dalam Carl G. Hempel, Aspects o f Science (1965); Rudolf Carnap, Logical Foundations o f Probability, edisi kedua (1962); Karl R. Popper, Logik der Forschung (1953; edisi kedua, 1966; terjemahan berbahasa Inggris, The Logic o f S cien tific D iscovery, 1959); R obin G. Collingwood, An Essy on Metaphysics (1940); Norman R. Campbell, What Is Science? (1921); dan William H. W atson, On U n d erstan d in g P h y sics (1959). Dua pandangan bersisi-dua perdebatan tersebut dari pendirian-pendirian formal yang sangat berbeda dapat ditemukan pada William V. Quine, From a Logical Point 211

o f View, edisi revisi kedua (1961); dan Ronald A. Fisher, Statistical Methods fo r Research Workers, edisi keempat belas (1970). Peter Achinstein dan Stephan F. Barker (editor.), The Legacy o f Logical Positivism (1969), adalah sebuah usaha penilaian historis pada periode itu. Perdebatan dewasa ini tentang perubahan konseptual dan dasar alasan penem uan dalam ilmu adalah topik-topik utama dalam Karl R. Popper, Con­ jectures and Refutations, edisi kedua revisis (1965); N orw ood R. H anson, Patterns o f D iscovery (1958); Stephen Toulmin, Human Understanding, vol. 1 (1972); Thomas S. Kuhn, The Structure o f Scientific Revolutions, edisi kedua revisi (1970); Im re Lakatos dan Alan Musgrave, Criticism and the Groivth o f Knowledge (1970); dan Michael Polanyi, Personal Knowledge (1958); Untuk aspek-aspek budaya yang lebih luas perdebatan kontemporer tentang ilmu, lihat C.H. Waddington, The Sci­ entific Attitude, new ed. (1968); Jacob Bronowski, Sci­ ence and Human Values, edisi revisi (1965); Theodore Roszak, The Making o f Counter Culture (1969); dan Lewis Mumford, The Myth o f the Machine (1967).

212

INDEKS

abad ke-4S.M .,10 abad ke-5S.M., 7, 9 abad ke-6,7 abad ke-7,19 abad ke-9,20 abad ke-10,19 abad ke-11,17 abad ke-12,21,17 abad ke-13,17,23 abad ke-15, 29, 30, 31 abad ke-16,23, 27, 32,34,100 abad ke-17, 10, 13, 25, 27, 34, 36, 42, 43, 44, 48, 52, 89, 94, 104, 128 abad ke-18, 45, 50, 65,179 abad ke-19, 4, 25, 61, 62, 66, 67, 68, 72, 75, 111, 123, 146, 179 abad ke-19,65 abad ke-20, 75, 83, 87, 88, 89, 91, 98, 111, 112, 132, 133, 141,191, 202

Abad Gelap, 16 Abad Klasik, 68 Abad Pertengahan, 16, 99 Abad Tengah, 98 Aeschylus, 9 Afrika, 29 Agama asli, 25 agama Barat, 25 Akademi Ilmu-ilmu, 56 aksioma-aksioma Euklidean, 107 Al-Kitab, 70 Alexander Agung, 12, 13 Alexandria 13, 14, 98 aliansi di antara ilmu dan filsafat ,193 aliran Wina, 120 aljabar Arab, 22 alkemisi Mesir, 14 alkimia Eropa, 14 Amerika Serikat, 45, 64, 66, 118,125,161,199 analisis Empirisis, 161

213

analisis konseptuai, 88 anatomi,14 Anaxagoras, 9 angka-angka utama Arab, 22 anti-ilmiah, 202 anti-rasionalisme, 163 anti-teologi, 112 Apollonius, 13 Aquinas, Thomas, 17 Arab, 20, 21 Archimedes, 13 argumen Anti-Positivis, 163 argumen Baconian, 107 Aristophanes, 9 Aristoteles, 10, 11, 12,13, 14, 18, 37, 41,94,96, 97,98, 102, 191, 196 Aristoteles baru, 37 Aristotelian, 97, 196 Aristotelianis, 98 Aristoteiianisme, 41 Ars magna, 32 atau Materialis, 110 Athena, 13; - klasik, 195: kuno, 128 Atom-atomnva Demokritus, 58 Augustin, 56 Aurelius, Marcus, 14 Austria, 87, 108 Avenarius, Richard, 115 Averroes, 18 Avogadro, 68 Avvan-Awan, 9

214

B Babbage, Charles, 63 Babylonia, 132 Bacon, 17, 36,38,54,101,102, 103, 104 Bacon, Francis, 17, 18, 23, 40, 54, 101, 106 Baghdad, 20 bahasa Arab, 20, 22 bahasa Latin, 21 bahasa Yunani, 25 Baptiste, 56 batas-batas intrinsik ilmu, 205 Bayes, Thomas, 141 Behavioris, 124, 125 Beitrage zur A nalyse der Empfindungen, 117 Belanda, 52, 68 Belgia, 32 benda-benda-daiam-dirinya sendiri, 189 Benua Eropa, 33 berhala-berhala Bacon, 101 Berkeley, 105 Bernard, Claude, 69, 112,123 179 Bernoulli, 45 biofisika, 75 biokimia, 75,159 biologi molekuler, 159 Blake, William 58, 202 Boehaave, Hermann, 52 Boltzmann, Ludwig, 87 Boyle, Robert, 42, 104 Brazil, 31

Brown, 125 Byzantium, 16

C Cannizarro, Stanislao, 68 Cardano, Gerolamo, 32 cara-cara kerja alam, 184,188 C arnap,147 Carnot, Sadi, 57, 67 Cartesian, 105, 134 casual speculation, 15 Cauchy, Louis, 56 Charles II, 40 Chile, 67 Chomsky, Noam, 125 Cina, 23, 24; - kuno, 25 Citium, 97 Coleridge, Samuel Taylor, 58 Colombus, 31 common sense, 9

Condorcet, Antoine, 54 Conquistadores, 31 Constantinopel, 16 controlled artificial experiences, 9

Cordova, 20 Cornwall, 52 Cracow, 30 craft work, 12

D d'Alamberc. Jean, 54 Darwin, Charles, 63, 70, 128, 143, 168 Darwinian baru, 112

Darwinisme, 72 De fabrica#32 De rerum natura (Tentang Hakekat Benda-benda), 15 De revolutionibus, 32 dekrit linguistik, 140 Demokritus, Atomis, 97 Descartes, Rene, 37, 38,54,89, 94, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 110, 124, 136, 138, 146 Diderot, Denis, 54 dilema teoritikus, 149 dinamika Newtonian, 113,121 doktrin evolusi, 71 doktrin Idealis, 110 doktrin mekanistik, 110 Duhem, Pierre, 90, 114, 116, 172, 198 Dunia Prometheus, 9

E Ecole, 55 Eddington, Arthur, 89 Edinburgh, 51 Einstein, 119, 137 eksistensialis, 199; - kontemporer, 197 ekspansi Eropa, 29 eksperimental, 17 Eleatis, 8 Eleatisme, 93 elektrodinamika kuantum, 177 elektromagnetisme, 59

215

Empedokles, 8 empirio-kritisme, 115 Empiris, 137, 119, 121, 169, 170; - Logis, 156, 178; radikal, 133 Empirisis Wina, 161 Empirisisme 115; - Logis, 153 empirisisme logis Lingkaran Wina, 117 Empirisme Logis, 88; -abad ke20 , 88 Empirisme, Rasionalisme, 106 Encyclopaedia Britannica, 62 entropi, 187, 188; - total, 188 Ephesian, 94 Epikureanisme, 15, 168 Epikurenis, 98 Epikurian, 97 Epikurus, 97 Episode Victorian, 71 epistemologi, 85, 86, 91, 92; genetik, 92 epistemologis, 86 Eropa, 4, 5, 6, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,23,24,25, 27, 29, 45, 46, 47, 49, 50, 61, 64, 76; - Abad Tengah, 46; -B a ra t 16, 19; -kontinental 40, 52; -L atin 19, 21;-m o d e m 8,40,77 Ethiopia, 31 etika, 10, 85, 201 Eudoxus, 10 Euklid, 116 Euklidean, 102, 107,109, 114

216

Euklides, 9, 13, 98, 102, 103, 104, 110 Euler, Leonhard, 45, 106 evolusi historis fisika, 174

F Faraday, Michael, 68 fenomenalis, 188, 194, 198 Filsafat Alam (N atu rp h ilo so phie) 58,12, 92,187, 191 filsafat alam Aristoteles, 191 filsafat alam Cina, 24 filsafat alamiah, 17, 18, 83 filsafat atomistik materi. 47 Filsafat eksperimental, 45 filsafat ilm u, 74, 85, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 97, 99, 100, 101, 113, 116, 121, 127, 147, 153, 154, 155, 169, 176, 191, 196; -abad ke-19 110; abad ke-20114; - modern 94 filsafat Kritis, 107 filsafat metafisik ,83 filsafat moral, 83 filsafat partikel (corpuscular), 42 filsafat Skolastik 37 filsuf abad ke-'18,106 filsuf dalam tradisi Platonis, 132 filsuf empirisis 140, 178; -dan konstruktifis 173 filsuf ilmu, 86, 88,92,117,127, 128, 133, 137, 165, 166; Amerika, 146

filsuf Pra-Sokratik, 93 filsuf-filsuf analitis ilmu, 146 fisika Descartes, 53 fisika Newtonian, 107; - klasik, 122

fisika teoretis, 74, 83 fisikawan (physicist ), 65 fisiologi, 14 Flander, 30 formalisme, 164 Franklin, Benjamin, 45 free-lance collector, 65 Frege, Gottlob, 94,133,146,153 Fundamental Theonj, 111 fungsionalis, 125

G Galen, 14 Galilei, G alileo, 33, 36, 37, 38, 101, 103, 173, 174 Galois, Evariste, 57 gelombang pemujaan bangsa Inggris (ianglophilia ), 53 genetika, 133; - virus, 159 gentlemenamateur, 63 geometri, 9; - Euklidean 106, 107, 109 gerakan Penyatuan Ilmu, 176 Gerakan-gerakan Pemikiran Ilmiah, 160 Gereja Katolik, 36 Gilbert, William, 33, 42 Goethe, 58; - Johann Wolfgang fon, 202 Gutenberg, 30

H Habermas, Jurgen, 125 Hadamard, Jacques, 163 Haeckel, Ernest, 88,112 H andbuch der physiologischen Optik, 111 Hanson, N.R. 89 Harvey, William, 34 Heisenberg, Werner, 74,89,98, 119, 174 Helenistik, 13 Helmholtz, Herman von, 59, 68,193, 111 Hempel, Carl, 149, 178 Heracleitus, 94 Hermann, 59 Hertz, Heinrich, 108,114,121, 136, 147 hibridisasi kristalografi, 159 higher consciousness , 22 Hilberg, David, 146 Hipparkhus, 13 Hobes, 124 Hofman, Wilhelm von, 66 Holbach, Henri, 54 Hongaria, 162 hubungan antara filsafat dengan teologi, 100 hubungan antara ilmu dan bagian lain kebudayaan, 197 Huksley, Julian, 198 hukum gravitasi, 43 hukum-hukum fundamental fisika, 75

217

Hume, David, 106, 115, 192, 193 Huxley, Thomas Henry, 65,200

I iatrokemistri abad ke-16 dan ke-17, 159 Ibrani, 5 ide-ide mekanistik melawan ide-ide organis, 196 ideologi ilmu murni, 77 illumination, 10, 21 ilmu alam 27, 55; - rasional, 95 ilmu alamiah, 78 ilmu biologis, 11 ilmu dan agama, 204 ilmu eksperimental, 67 ilmu eksperimental di Jerman, 59 ilmu Eropa, 27 ilmu genetika, 74 ilmu kedokteran, 9,76 ilmu murni, 75, 77 ilmu untuk khalayak, 56 ilmu-ilmu alamiah, 160 ilmu-ilmu biologi, 76 ilmu-ilmu kemanusiaan, 74 ilmu-ilmu khusus, 181 ilmuwan (scientist ), 65 ilmuwan eksperimental, 65 im p likasi ontologis teori ilmiah, 187 India, 5, 22, 31 induksi Baconian 102, 104

218

In g g ris, 23, 33, M r 36, 4 3 , 51, 52, 58, 6S i 64, 6 5, 67, 70, 71, 89; 113, 161 instmmentalis, 188, 194 Ionia,, 92 irasiomlisme, 164 Islam, 17, 19, 21 Italia, 21, 29, 32, 3Si 47, 68, 92

J j Jacobin, 56 i Jacques, 54 Jean, 54, 56 Jepang, 23, 25) Jerm an, 58, 63, 64, 66 , 67, 68, 69, M , 87, 89 112, 114, 119,, 133/146 Jerman selataii, 343, 47 Jhon, Prester,?31 Joseph, 56 Joule, JameS) 63,67 Judaisme, 19

& Kant, Immanuel, 91, 106,107, 108, 109, 110, 111, 113, 114, 130, 135, 136, 138, 186, 193, 199 Kantian, 113, 121 Kantianisme, 106, 107 kapitalisme awal, 47 kartografi matematis, 10 karya-karya berbahasa Arab, 21

Kebudayaan Islam, 19 kebudayaan tulisan Eropa, 44 kebudayaan Yunani, 46 kedokteran, 14 Kekristenan, 19 Kekule, Friedrich, 69 Kelvin, 64, 68 Kepler, Johannes, 34,41 Kerajaan Timur, 16 kerja alam, 127 kerja dunia alamiah, 183 Kierkegaard, Christian Dane Soren, 199 kimia Parakelsian, 43 Kitab Alam, 173 Kitab Kejadian, 70 Kitab Suci, 173 Klarifikasi metodologis dalam filsafat ilmu, 128 klasifikasi alamiah, 143 klasifikasi buatan, 143 Koestler, 162 konservasi energi, 59 konvensionalis, 185,186, 194 Kopernikus, 38, 99 kosmologi, 32; -materialistik, 112

Kristen,20, 21, 36, 204;-Abad Tengah, 31; -Liberal, 72 kritik agnostik, 188

L Lagrange, Louis, 56 langkah empiris, 170 langkah formal, 170

Laplace, Simon, 56,101 Latin, 28, 29 Lavoisier, 56, 68 Lavoisier, Antoine, 178 Leibniz, Gottfried, 45,100,101, 105, 193 Leiden, 51 Lenin, 197 Liebig, Justus von, 63 Lingkaran Wina, 118, 149 Linnaeus, Carolus, 45, 128 Lobachevsky, 64 Locke, John, 45, 89, 106,193 logika, 85; - deduktif, 147; form al 85, 88, 166; induktif, 86, 141, 149; simbolik Russell, 120; sim bolik R ussell da* Whitehead, 177 London, 40 Lukretius, 15

M Mach, Ernst, 87, 108,114,115, 116, 119, 121, 134, 135, 165, 186, 192, 193 Malinowski, Bronislaw, 125 Malthus, Thomas, 70 Marat, Paul, 56, 57 Marcopolo, 23 Marie, 54 Marxian tradisional, 197 Marxis kritis, 125 Marxist, 71 matematika India, 22

219

Materialis mekanistik, 111 Materialisme, 168 Maut Hitam, 17, 29 Maxwell, James Clerk, 68,180, 174 Mayer, Julius Robert von, 59 Mediterania, 14 Mediterranian Timur, 7 mekanika klasik, 133 mekanika kuantum, 86, 122, 133 mekanisme Jacques Loeb, 123 Mendeleyev, Dmitry, 64,69 mesin cetak, 30 Mesir Kuno, 5 Mesopotamia, 5 Metafisika, 187 metafisika, 11, 91 metafisika baru, 38 metode hipotetiko-deduktif, 113, 119 metode hipotetis-deduktif, 105 metode induksi, 101 metode intelektual, 87 metode transendental, 107 metode transendental Kant, 108 metode-metode analisis logis, 92 metode-metode astronomis, 44 metode-metode penyelidikan kuantitatif eksperimental, 43 Meyer, Lothar, 69 Midlands, 52 Mill, John Stuart, 113,114,137 missionaris Jesuit, 24

220

model reduksionis fisikawan, 77 Monge, Gaspard, 56 Montpellier, 21 Muller, Johannes, 69 Mumford, Lewis, 197, 199 Museum Sejarah Alamiah, 56 Muslim, 20

N Nabi, 19 Nagasaki, 40 Nagel, Ernest, 146 Napoleon, 57 Naturphilosophie, 58, 59,60, 69 Nazi, 74; - Nazi Jerman, 64 Needham, Joseph, 23 negeri-negeri berbahasa Arab, 19

negeri-negeri Islam, 20 neo-Iiumean, 119 Neo~Kantian, 121, 195 neo-Marxis, 197 Neoplatonis, 18 netralitas ideologis ilmu, 75 Neurath, Otto, 89,175,178 Newton, Sir Isaac, 43, 44, 45, 53, 100, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 116, 128, 144, 167, 174 Newtonian, 107, 111, 114 Newtonianisme untuk Wanita, 53 Nuremberg, 30

o ontal, 86 ontologi, 83 ontologis, 86 operasionalis, 186, 188, 194 Oresme, Nicole, 174 0rsted, Hans Christian, 59,68 ortodoksi kosmologi, 53 ortodoksi religius, 71 Ostwald, Wilhelm, 87,198,200 Oxford, 100

P Palestina, 17 pantai Afrika, 31 Paracelsus, 34 Paraguai, 34 Paris, 53, 55, 57 Parmenides, 8, 94 Parsons, Tallcott, 125 Par tike 1-par tik el C ahaya Newton, 59 Pascal, Blaise, 141 Pasteur, Louis, 69 Paul, 54 Paus Urban VIII, 38 pembenaran (justification ) 162, 169 p enafsiran Em pirisis atas hukum-hukum alam, 170 Pencerahan (E n lig h ten m en t ), 45, 53 pendekatan eksperimental, 51 pendekatan empiris, 135

pendekatan logiko-matematis, 176 pendekatan matematis, 56 pendekatan rasionalis, 136 pendekatan sistematik, 157 penemuan, 162; - dan pem­ benaran, 166 "penerangan" (illum ination ), 99 pengadilan Galileo, 72 Pengesahan dan Pembenaran, 169 pengetahuan skolastik, 17 penyair-penyair Romantik, 58 penyatuan ilmu-ilmu, 181 penyatuan konseptual dan metodologis, 182 peradaban Barat, 22 peradaban Eropa, 78 Peradaban India, 22 peradaban Islam, 21, 46 Perancis, 40, 53, 54, 55, 57, 63, 66, 67, 69, 90, 116, 163, 172 Perang Dunia 1,175 Perang Dunia II, 67, 175 Perang Sipil, 43 perceptual world , 8 Pergamon, 14 periode Napoleon, 63 periode Revolusioner, 63 Perjanjian Lama, 44 Perkin William Henry, 66 Persia, 20 Philosophy o f Nature, 119 Physics, 94

221

Piaget, Jean, 91 Pierre Marquis de, Laplace, 56, 141 Planck, Max 114, 115 Plato, 10, 11, 12, 94, 95, 96, 97, 98, 134, 146, 196 Platonis, 97, 98, 196 Pluralisme, 175,180 Poincare, Henri, 116 point of view, 29 Poisson, Denis, 56 Polanyi, 162 Polish Nicholaus Copernicus, 32 Polytechnique, 55 Portugis, 31 Positivis, 121, 163 Positivis Jerman- Amerika, 148 Positivis Lingkaran Wina, 176 Positivis Logis, 119; - abad ke20, 89 Positivis Wina, 117,146, 153 Positivisme, 117;- Logis, abad ke-20,88; - neo-Humean 118 Posivisme Wina, 175 post-Newtonian, 109 pra-Kristen, 14 pra-Sokratis, 98 Principia, 44; -Mathematica, 119: - Newton, 104; Philosophiea, 103 Prinsip Indeterminasi Heisen­ berg, 122 prinsip ketidakpastian, 74 Prinsip-prinsip dasar thermodinamika, 57

222

Prinsip-prinsip Filsafat, 103 problem Kantian, 114 program Empirisis, 177 Prosedur-prosedur Empiris Ilmu, 139 proses Haber, 67 pseudo-genetika, 75 psikologi bahasa, 124 psikologi Freudian, 205 psikologi kognitif, 92 Ptolomeus, 14,98 puncak revolusi ilmiah, 44 Pyrenia utara, 20 Pythagorean, 8, 10

Q Quine,. Willard V., 91

« Radcliff, Arnold, 125 Rasionalis, 134, 137 Rasionalis lama, 107 Rasionalisme Cartesian, 106 reaksi romantik dalam kesusasteraan dan seni, 50 reaksi romantik dalam kesusasteraan dan seni, 50 Realis, 184, 185, 186, 187, 194; - ontologis, 198; ontal Parmenides, 93 Realisme terbatas, 115 Reduksionisme, 176, 178; kritis Mach, 117 Reformasi Protestan, 32

Reichenbach, Hans 89, 148 relata, 146 relativitas, teori kuantum, 75 Renaissans masyarakat Eropa, 24 Renesans, 29, 46 Republik, 10 resignation, 15 revolusi dalam filsafat, 47 revolusi filosofis, 27 revolusi ilmiah, 34 revolusi Industri, 50,51,52,53, 61 R evolusi P erancis, 50, 54, 58, 61 revolusi tentang ilmu, 35 Rockefeller, 73 Roma, 30 Romawi, 14, 15, 16 Rosicrucian, 37 Rosseau, 54, 56 Royal Society, 40, 43, 44 Rusia, 63, 69 Russell, Bertrand, 119,146 Rutherford, 174

S Salerno, 21 Schelling, 58 Schwann, Theodor, 69 Scotland, Lowlands ,52 sejarah alam, 65 sejarah bumi, 65 sejarah ilmu, 92 sekolah Laplace, 57

sekolah-sekolah Latin, 28 sekularisasi, 44 self-regulation, 12 signifikansi sosial ilmu, 201 sistem Copernican, 38 skeptisisme, 116, 201; - abad ke-16,102 Skinner, B.F., 124 Skolastik, 35, 102 Skolastisisme, 35 Soviet, 74 Spanyol, 17, 20, 21, 31 Spencer, Herbert, 71 status epistemik teori-teori ilmiah, 195 status ontal entitas-entitas teoretis, 194 Stoa, 97 Stoisis, 98 Stoisisme, 15 struktur dan perkembangan mekanika kuantum, 190 struktur ilmu, 146 Struktur-struktur Formal Ilmu, 145 struktur-struktur formal teori ilmiah, 145 strukturalis, 125 subconscious mind, 12 sum ber-sum ber berbahasa Arab, 22, 32 Sungai Rhine, 30 Swedia, 45 Switzerland, 45,. 91 Syria, 20

223

T tak ada logika penemuan, 162 taksonomi, 11 teknik-teknik hidrografis, 31 Teknologi daya, 51 teknologi Eropa, 27 teori atomik Dalton, 68 teori gelombang cahaya, 174 teori medan (field theory), 98 teori Newton, 58 teori panas (theory o f heat), 52 teori perkembangan konseptual, 160 teori planet Copernikus, 204 teori relativitas Einstein, 74 teori sel, 69 teori seleksi alam, 128 teori seleksi alamiah, 178 teori-teori fisika, 76 teori-teori perubahan alamiah dan budaya, 160 termodinamika modem, 98 Teror, 56 Thales, 7 The A nalysis o f Sensation, 117 the knower, 86 the known, 86 the observer , 86 The Principles of M echanics, 121 the real ideas, 10 Thermodinamika, 67 things-in-them selves,1S6

Timaeus, 10, 94 Timur Jauh, 31, 46 Timur Tengah, 31

224

Tractatus Logico-P hilosophicus, 121 tradisi Newtonian, 58 transtory appearances, 94 tugas fisika abad ke-'17,103 Tunisia, 21 Two New Sciences , 38

U universitas Padua, 33 Unsur-unsur, 9

V Vesalius, Andreas, 32 Vico, Giambattista, 137 Victorian, 70 Vinci, Leonardo da, 30 vitalisme Hans Driesch, 123 Vitruvius, 30 Voltaire, 53

W Wallace, Alfred Russell, 70 Watt, James, 52 Weber, Wilhelm, 68 Webster, John, 43 Wedgwood, Josiah, 52 Weiss, Paul A., 123 Weizsacker, Carl von, 198 Whewell hipotesis "consilien", 113 Whewell, William, 113,114 Whitehead, Alfred North, 119, 146

Wina, 117 Wittgenstein, Ludwig, 121,122 Wordsworth, William, 58 world view, 29

Yunani, 5, 7, 8, 13, 14, 20, 22, 28, 29; - Kuno, 8, 11,16, 23, 97; -Romawi, 16

Z Y

Zeno 8, 97

Yahudi, 20, 21

225

uku ini, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup

B

Bahasan dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas tentang sejarah ilmu. Topik-topik

yangdikaji dalam bagian ini meliputi: Ilmu dalam peradaban zaman kuno dan abad tengah; ilmu dalam peradaban Islam, India, Cina dan Jepang; Pencipta Ilmu Eropa; ilmu di zaman revolusi dan; zaman matangnya ilmu-ilmu.

Bagian kedua membahas tentang filsafat ilmu. Topik-topik ■ r-

yang dikaji dalam bagian ini meliputi: Pendekatan Umum Filsafat Ilmu; Konseptualisasi dan Metodologi Ilmu; Isu-isu yang lebihdalamdan lebih luasyang melibatkan ilmu.

Buku ini sangat penting bagi mahasiswa filsafat,sebagai buku rujukan matakuliah filsafat ilmu. Juga sangat membantu bagi siapa pun yang berminat untuk mengembangkan pengeta­ huan tentang filsafat.

o

ISEN 9 7 9 - 3 4 7 7 - 5 0 - 4

9*789793 4 7 7 5 0 3

Related Documents


More Documents from "Nazar Cah Jombang"

Filsafat Ilmu [ierome R]
January 2021 1