Gambaran Radiologi Obstruktif Jaundice

  • Uploaded by: Monika Ayuningrum
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gambaran Radiologi Obstruktif Jaundice as PDF for free.

More details

  • Words: 3,370
  • Pages: 26
Loading documents preview...
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah1. Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan bilirubin adalah normal, tapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus3. Ikterus obstruktif atau bisa juga disebut kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Penyebab paling sering kolestatik intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun sedangkan penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudocyst pankreas dan kolangitis sklerosing 1. Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu difikirkan berbagai pemeriksaan lanjutan. Diagnosis ikterus bedah atau obstruksi bilier umumnya ditegakkan dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti serta tes laboratorium. Walaupun demikian, sarana penunjang imaging yang non-invasif seperti ultrasonografi; CT Scan abdomen dan pemeriksaan yang invasif seperti Endoscopic RetrogradeCholangioPancreatography(ERCP) sering diperlukan untuk menentukan letak, kausa, dan luas dan lesi obstruksinya.

1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Definisi Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana

kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri. Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice/ kekuningan yang disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum1. Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan terjadinya ikterus obstruktif yang disebut sebagai kolestasis saluran empedu, sebelum sumbatan melebar. Aktifitas enzim alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan tanda adanya kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan abses menyertai demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit ikterus obstruktif1,2. 2.2.

Etiologi Ikterus obstruktif disebabkan oleh dua grup besar yaitu intrahepatik dan

ekstrahepatik. Penyebab dari ikterus obstruktif intrahepatik yaitu1,2: 1. Ikterus obstruktif yang berhubungan dengan penyakit hepatoseluler, seperti Steatohepatitis, hepatitis virus akut A, hepatitis B atau dengan ikterus dan fibrosis, sirosis dekompensata serta hepatitis karena obat. 2. Ikterus obstruktif yang berhubungan dengan duktopenia seperti sindrom Alagille’s, kolestatik familial progresif tipe 1, “non sindromic bile duct paucity”, obat-obatan hepatotoksik, reaksi penolakan kronik setelah transplantasi hati, dan stadium lanjut dari sirosis bilier primer. Penyebab dari ikterus obstruktif ekstrahepatik dibagi dalam dua bagian yaitu1,2: 1. Kolestasis yang berhubungan dengan kerusakan kandung empedu yaitu stadium lanjut sirosis bilier primer, dan obat-obat hepatotoksik. 2. Kolestasis yang berhubungan perubahan atau obstruksi traktus portal seperti batu duktus koledokus, striktur kandung empedu, sklerosis primer kolangitis, karsinoma pankreas, dan pankreatitis kronik. 2

2.3.

Patofisiologi Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk

pencernaan dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon. Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses biasanya menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus. Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan, seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil); level trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh. Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi oksigen jenis radikal bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif.

3

2.4.

Faktor Risiko Riwayat tansfusi darah, penggunaan jarum suntik bergantian, tatoo, pekerjaan

beresiko tinggi terhadap hepatitis B, pembedahan sebelumnya dapat menjadi faktor risiko hepatitis yagn dapat menyebabkan hepatitis sebagai etiologi ikterus obstruktif intrahepatik. Makanan dan obat, contohnya Clofibrate akan merangsang pembentukan batu empedu; alkohol, CCl4, makanan tinggi kolesterol juga akan merangsang pembentukan batu empedu. Disamping itu alkohol juga akan menyebabkan fatty liver disease. 2.5.

Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang timbul antara lain : a. ikterus, hal ini disebabkan penumpukan bilirubin terkonjugasi yang ada dalam darah yang merupakan pigmen warna empedu. b. nyeri perut kanan atas, nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab dan beratnya obstruktif. Dapat ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas maupun kolik bilier. c. warna urin gelap (bilirubin terkonjugasi) . Urin yang berwarna gelap karena adanya bilirubin dalan urin. d. feces seperti dempul. Hal ini disebabkan karena adanya sumbatan aliran empedu ke usus. 2.6.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik utama yang dilakukan pada pemeriksaan jaundice yaitu

memeriksa apakah adanya kekuningan pada sklera. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan pada organ abdomen seperti hati, limfa, dan empedu untuk sebagai langkah awal dalam menentukan penyebab jaundice12.

4

Gambar 2.1.

Ikterus pada Sklera Mata13

Pemeriksaan pada organ hati secara sederhana dapat dilakukan dengan cara perkusi dan palpasi. Pada pemeriksaan limfa, jika limfa tidak mengalami perbesaran maka limfa normalnya tidak teraba dan limfa hanya akan teraba jika mengalami dua kali perbesaran dari ukuran awal14.

Gambar 2.2.

Pemeriksaan Fisik pada Hepar13

Untuk pemeriksaan palpasi pada empedu juga tidak dapat diraba jika empedu berada pada ukuran normal. Selain itu, pemeriksaan empedu memiliki Hukum Courvoisier yaitu bahwa jika jaundice disebabkan oleh penumpukan batu empedu maka empedu tidak akan dilatasi, akan tetapi jika jaundice disebabkan oleh

5

striktur atau penyempitan dan malignansi pada saluran empedu maka akan teraba empedu yang dilatasi dan dapat dipalpasi14,15.

Gambar 2.3.

Pemeriksaan Fisik pada Limfa13

Gambar 2.4.

Hukum Courvoisier13

3.

6

2.7. Pemeriksaan Laboratorium 1. Serum bilirubin Tanpa memperhatikan penyebab cholestasis, nilai serum bilirubin ( biasanya direk) akan meningkat. -

Obstruksi ekstrahepatik : biasanya bilirubin direk dan indirek akan meningkat. Namun, pada tahap awal obstruksi atau obstruksi yang inkomplit, level serum bilirubin hanya meningkat sedikit. Awalnya hanya terjadi peningkatan bilirubin terkonjugasi tanpa memperngaruhi bilirubin tak terkonjugasi karena obstruksi duktus bilier hanya menghambat ekskresi bilirubin yang telah terkonjugasi ke duodenum. Bilirubin terkonjugasi yang berada di usus akan mengalami dekonjugasi oleh bakteri di usus. Bilirubin yang tak terkonjugasi dengan mudah melewati barier epitel usus ke dalam darah dan berakumulasi di darah karena mekanisme uptake dan sel hepar terganggu akibat penumpukan bilirubin yang telah terkonjugasi namun tidak di ekskresi. Oleh karena itu, bilirubin indirek juga dapat meningkat pada obstruktive jaundice.

-

Obstruksi intrahepatik : fraksi bilirubin indirek dan direk dapat meningkat. Fraksi tak terkonjugasi meningkat disebabkan karena ketidakmampuan sel yang rusak untuk mengkonjugasi serum bilirubin. Peningkatan bilirubin konjudasi biasanya karena defisiensi metabolik dalam mekanisme eksresi yang disebabkan proses inflamasi.

2. Alkaline phosphatase (ALP) Nilai ALP meningkat pada obstruktif jaundice. Nilai enzim ALP yang meningkat tidak spesifik terhadap cholestasis. -

Obstruksi ekstrahepatik : ALP meningkat pada 100% pasien, kecuali pada kasus obstruksi intermiten atau inkomplit. Nilai biasanya lebih dari 3 kali upper limit nilai normal dan pada kasus tertentu dapat meningkat sebanyak 5 kali. Peningkatan lebih dari 3kali menyatakan terjadi obstruksi ekstraheaptik

7

-

Obstruksi intrahepatik : ALP biasanya meningkat kurang dari 3kali dari upper limit nilai normal.

3. Serum transaminase. Nilai ini hanya meningkat sedikit pada pasien cholestasis, namun dapat meningkat tajam pada pasien cholangitis. 4. GGT Nilai ini meningkat pada penyakit hati, traktus biliar dan pankreas ketika traktus biliar tersumbat 5. Bilirubin Urin Secara normal, bilirubin urin tidak ada. Ketika hal ini ada, maka hanya bilirubin yang terkonjugasi yang dapat melewati urin. Hal ini tampak dengan warna urin yang gelap. 2.8. Penatalaksanaan 1. Tindakan operatif5 a. Kolesistektomi

Terapi terbanyak pada penderita batu kandung empedu adalah dengan operasi. Kolesistektomi dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis tetap merupakan tindakan pengobatan untuk penderita dengan batu empedu simptomatik. Pembedahan untuk batu empedu tanpa gejala masih diperdebatkan, banyak ahli menganjurkan terapi konservatif. Sebagian ahli lainnya berpendapat lain mengingat “silent stone” akhirnya akan menimbulkan gejala-gejala bahkan komplikasi, maka mereka sepakat bahwa pembedahan adalah pengobatan yang paling tepat yaitu kolesistektomi efektif dan berlaku pada setiap kasus batu kandung empedu kalau keadaan umum penderita baik. Indikasi kolesistektomi sebagai berikut : 1. Adanya keluhan bilier apabila mengganggu atau semakin sering atau berat.

2. Adanya komplikasi atau pernah ada komplikasi batu kandung empedu.

8

3. Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi misalnya Diabetes Mellitus, kandung empedu yang tidak tampak pada foto kontras dan sebagainya

b. Kolesistostomi Beberapa ahli bedah menganjurkan kolesistostomi dan dekompresi cabangcabang saluran empedu sebagai tindakan awal pilihan pada penderita kolesistitis dengan resiko tinggi yang mungkin tidak dapat diatasi dengan kolesistektomi dini. Indikasi dari kolesistostomi adalah : 1. Keadaan umum sangat buruk misalnya karena sepsis

2. Penderita yang berumur lanjut, karena ada penyakit lain yang berat yang menyertai, kesulitan teknik operasi. 3. Tersangka adanya pankreatitis. Kerugian dari kolesistostomi mungkin terselipnya batu sehingga sukar dikeluarkan dan kemungkinan besar terjadinya batu lagi kalau tidak diikuti dengan kolesistektomi. c. Sfingerotomy

endosokopik,

PTBD

(perkutaneus

transhepatik

bilirian

drainage) , Pemasangan “T Tube ” saluran empedu koledoskop dan Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube. 2. Tindakan non operatif5 a. Terapi disolusi Penggunaan garam empedu yaitu asam Chenodeodeoxycholat (CDCA) yang mampu melarutkan batu kolesterol invitro, secara invivo telah dimulai sejak 1973 di klinik Mayo, Amerika Serikat juga dapat berhasil, hanya tidak dijelaskan terjadinya

kekambuhan.

Pengobatan dengan asam empedu ini dengan sukses melarutkan sempurna batu pada sekitar 60 % penderita yang diobati dengan CDCA oral dalam dosis 10 – 15 mg/kg berat badan per hari selama 6 sampai 24 bulan. Penghentian pengobatan 9

CDCA setelah batu larut sering timbul rekurensi kolelitiasis. Pemberian CDCA dibutuhkan syarat tertentu yaitu : 1. Wanita hamil 2. Penyakit hati yang kronis 3. Kolik empedu berat atau berulang-ulang 4. Kandung empedu yang tidak berfungsi. b. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsi (ESWL) ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah disintegrasi batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi partikel yang lebih kecil. Pemecahan batu menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu menjadi meningkat serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi kandung empedu juga menjadi lebih mudah. c. Dietetik Prinsip perawatan dietetic pada penderita batu kandung empedu adalah memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh. Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan. Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan sangat membantu. 2.9. Pemeriksaan Radiologi 2.9.1. Foto Polos

10

Menjadi salah satu alat bantu dalam mendiagnosis terjadinya gangguan pada abdomen. Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi, yaitu: 1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi antero posterior (AP) 2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP 3. Tiduran miring kekiri ( Left Lateral decubitus = LLD ), dengan sinar horizontal proyeksi AP

Choledocholithiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu dan merupakan suatu kondisi

umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi.

Pada umumnya komposisi utama batu

adalah kolesterol.

Pada foto polos abdomen kadang-kadang ditemukan batu yang radioopak. Batu radioopak merupakan batu pigmen hitam yang bisa dideteksi oleh x-ray, sedangkan batu pigmen coklat tampak radiolusen dan tidak bisa dideteksi dengan sinar x-ray. Batu berpigmen hitam

biasanya ditemukan pada kandung empedu

dan batu berpigmen coklat lebih sering terlihat di saluran empedu.

2.9.2. Ultrasonography (USG)

11

Pemeriksaan ultrasonography (USG) sangat membantu dalam pasien yang mengalami

jaundice

dengan

tipe

obstruktif

dimana

didapatkan

bahwa

pemeriksaan USG memiliki sensitivitas 93% dan spesifisitas 95% jika bilirubin > 10 mg/dL untuk 10 hari. Keberadaan akan duktus yang mengalami dilatasi menunjukkan bahwa terjadi proses jaundice pada ekstra hepatik16. Pada USG akan menunjukkan ukuran dari duktus biliaris, tingkat pada obstruksi, dan penyebab dari obstruksi pada seluruh pasien tumor dan 75% dari pasien dengan batu empedu17.

Sesuai dengan etiologi dari jaundice obstruktif maka akan terdapat gambaran hiperekoik pada batu, massa, dan cairan ketika dilakukan pemeriksaan USG. Terdapat juga bayangan akustik yang merupakan akibat dari suara yang dipantulkan ke segala arah sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh alat USG18.

Gambar 2.5.

Kandung Empedu Normal19

12

Gambar 2.6.

Gambar 2.7.

Batu Empedu Multipel Pada Kandung Empedu20

Sumbatan Batu Pada Common Bile Duct (Choledocholithiasis)20

13

Gambar 2.8. Massa Sumbatan Pada Bile Duct20

2.9.3. Computed Tomography (CT) Tujuan dilakukan prosedur radiologi dalam melihat obstruktive jaundice adalah dengan mendeteksi adanya dilatasi biliar, dimana lokasinya dan penyebab pastinya6. CT scan memberikan keakuratan yang tinggi dibandingkan dengan USG dalam membantu menemukan penyebab terjadinya obstruksi. Selain itu, CT scan juga dapat memberikan gambaran struktur hati lebih baik dibandingkan dengan USG. Penggunaan kontras pada CT scan juga membantu membedakan struktur vaskular dan traktus biliaris2. Akurasi penggunaan Ctscan dalam melihat adanya dan tingkat obstruksi adalah 81 – 94% dan 88 – 92%6. Dengan Ctscan maka sebesar 75% dapat mendeteksi choledocholithiasis. Kriteria dilatasi duktus biliar yaitu -

Normal Common Bile duct (CBD) = 4 – 6 mm

-

>8mm = dilatasi

-

>10mm = dilatasi tidak diragukan lagi

-

Jika tampak duktus intrahepatik maka dipastikan terjadi dilatasi duktus biliar

14

Gambar 2.9 Tampak gambaran dilatasi duktur biliar

15

Gambar 2.10 Tampak gambaran dilatasi duktus biliar intrahepatik Beberapa gambaran Ctscan penyebab obstruksi jaundice yaitu : 1. Choledocholitiasis

Gambar 2.11 Tampak kalkulus yang besar pada lumen duktus biliar 2. Kista choledocal Pada Ctscan, kista choledochal memiliki tampilan yang bermacam macam tergantung duktus yang terlibat dan derajat dilatasinya. Komplikasi dari kista choledochal biasanya berupa stasis cairan empedu dan terbentuknya batu9.

Gambar 2.12 Tampak batu yang besar pada kista choledochal

16

3. Neoplasma Neoplasma jinak pada traktus biliar sangat jarang. Yang paling sering adalah adenoma, yang ditemukan secara insidental saat operasi atau pemeriksaan radiologi, dimana dapat menyumbat traktus biliar dengan manifestasi klinis berupa nyeri atau jaundice.

Gambar 2.13 Cholangiocarcinoma. CT axial pada lobus caudatus menunjukkan massa dengan dinding tipis (asterisk) dengan obstuksi dan dilatasi duktus pada lobus kiri. Parenkim hati sekitar menunjukkan atrophi, khususnya bagian anterior, yang berbatasan dengan diafragma.

Gambar 2.14 Carcinoma duodenal dengan obstruksi biliar, pankreas dan usus. Tampak perengangan common duct (CD) dan gallblader (GB)

17

18

Gambar 2.15 Karsinoma hepatoselular intraduktal dengan invasi ke duktus biliar. Tampak gambaran tumor (panah) menyumbat duktus intrahepatik (kepala panah). Adanya tumor tambahan (asterisk) pada lobus kiri dengan metastase nodular multiple.

Gambar 2.16 Tumor pankreas. Tumor kistik pada kepala pankreas dengan pinggir kalsifikasi5 4. Sclerosing cholangitis Sclerosing

chlangitis

dapat

secara

primer

(idiopatik

atau

berhubungan dengan inflammatory bowel disease) atau secara sekunder berasal dari infeksi biliar. Patofisiologi berupa inflamasi yang diikuti dengan fibrosis segmental yang mengakibatkan striktur dan area yang stasis pada biliar. Pada keadaan akut dapat tampak abses, pada keadaan kronik dapat terjadi sirosis dan gagal hati. Sclerosing cholangitis dapat

19

mengakibatkan dilatasi segmental pada duktus biliar, sering hanya pada satu bagian saja11.

Gambar 2.17 Sclerosing Cholangitis. Wanita usis 50 tahun datang dengan sepsis dan nyeri abdoen. CT menunjukkan pembesaran duktus asimetri (panah) dengan dinding yang meninggi, menunjukkan inflamasi. Tidak ada tampak massa. (biliary) 2.9.4. Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) Merupakan teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.

20

Gambar 2.18. Panah kuning menunjukkan adanya nodul ekstrinsik yang menekan saluran empedu, dan panah merah menunjukkan dilatasi pada saluran empedu, dan bagian tengah menunjukan dilatasi pada saluran empedu4

21

2.9.5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Gambar 2.19 Menunjukkan adanya penyempitan pada saluran empedu. Hal ini dapat menjadi penyebab ikterus obstruktif sebagai aliran empedu stagnasi. ERCP bisa menunjukkan striktur di hampir semua kasus dan dapat menentukan apakah penyempitan itu intrinsik atau ekstrinsik ke saluran yang terkena

22

BAB III KESIMPULAN Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan diatas, maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut: 1. ikterus obstruktif merupakan jaundice/ kekuningan yang disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum 2. Kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Penyebab paling sering kolestatik intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun sedangkan penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pancreas 3. Manifestasi klinis yang khas pada ikterus obstruktif adalah ikterus, nyeri perut kanan atas, warna urin gelap dan feces seperti dempul 4. Pada pemeriksaan fisik yang khas dijumpai adalah memeriksa apakah adanya kekuningan pada sklera. Lalu pemeriksaan pada organ abdomen seperti hati, limfa, dan empedu untuk sebagai langkah awal dalam menentukan penyebab jaundice 5. Pada pemeriksaan laboratorium yang khas dijumpai adalah nilai serum bilirubin ( biasanya direk) akan meningkat, nilai ALP meningkat 6.

Terapi terbanyak pada penderita batu kandung empedu adalah dengan operasi. Kolesistektomi dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis tetap merupakan tindakan pengobatan untuk penderita dengan batu empedu simptomatik.

7. Pada foto polos abdomen, Choledocholithiasis kadang-kadang ditemukan batu yang radioopak 8. Pemeriksaan ultrasonography (USG) sangat membantu dalam pasien yang mengalami jaundice dengan tipe obstruktif. Sesuai dengan etiologi dari jaundice obstruktif maka akan terdapat gambaran hiperekoik pada batu, massa, dan cairan ketika dilakukan pemeriksaan USG 9. CT scan memberikan keakuratan yang tinggi dibandingkan dengan USG dalam membantu menemukan penyebab terjadinya obstruksi 23

10.MRCP Merupakan teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.

24

DAFTAR PUSTAKA 1. Lesmana L.A, Batu Empedu. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1996, hal. 380-90 2. Price S.A, Wilson L.M,Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta, 1994, Hal. 453. 3. Podolsky D.K, Issel B.K, Penyakit Kandung Empedu dan Duktus Biliaris, Harrison; Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13, EGC, Jakarta, 2000, Hal. 1688-1693 4. Joseph Boujaoude., Elia Samaha, Khalil Honein., Roger Noun., Bassam Abboud., Claude Ghorra,Raymond Sayegh., A Benign Cause of Obstructive Jaundice with von Hippel-Lindau Disease. A Case Report and Review of the Literature:2007 5. C. Devid, Jr. Sabiston (1994), Sistem Empedu, Sars MG, L Jo hn Cameron,Dalam Buku Ajar Bedah, Edisi 2, hal 121, Penerbit EGC, Jakarta 6. Bhargava K S, et al. Imaging in Obstructive Jaundice: A Review with Our Experience. JIMSA. 2013. Vol 26, Number 1. 7. Bonheur J L. Billiary Obstruction. Medscape. 2012. Available at : http://emedicine.medscape.com/artice/187001-overview 8. Ellner A. Letting the stone roll : Imaging and Intervention of the Billiary tract.Harvard Medical School. 2000 9. Paten N A, et al. A pictorial essay - Imaging in Surgical Jaundice. Ind J Radiol Imag 2006 16:1:75-82 10. Beckingham I J, et al. ABC of The Liver, Pancreas, and GallBladder. BMJ books. 2001. 11. Rubens D J. Ultrasound Imaging of Billiary Tract. Elseveir Saunders. 2007. 391-403. trasound Clin 2 (2007) 391–413 12. Gleadle J. Jaundice.

History and Examination at a Glance. England:

Blackwell; 2003. p. 81.

25

13. Kowdley K.V. Physical Diagnosis of Liver Disease. In: Floch M.H., editor. Netter's Gastroenterology. 2nd ed: Saunder; 2009. p. 542, 578. 14. Epstein O. Examination of the abdomen. Clinical Examination. 4th ed: Elsevier Limited; 2008. p. 204-215. 15. Greenberger N.J., Paumgartner G. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. United States: The McGraw-Hill Companies, Inc. p. 2625. 16. Greenberger N.J. Approach to the Patient with Jaundice & Abnormal Liver Tests. In: Greenberger N.J., editor. Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy. United States: The McGrawHill Companies, Inc; 2009. p. 403-406. 17. Burroughs A.K., Westaby D. Liver, billiary tract, and pancreatic disease. In: Kumar P., Clark M., editors. Kumar & Clark's Clinical Medicine. 8th ed. United Kingdom: Elsevier Ltd; 2012. p. 312-316. 18. Iljas M. Ultrasonograpfi Traktus Biliaris. In: Ekayuda I., editor. Radiologi Diagnostik. 2 ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. p. 458-479. 19. Popescu A., Sporea I. Ultrasound examination of normal gall bladder and biliary system. Medical Ultrasonography. 2010;12(2):150-152. 20. Rubens D.J. Ultrasound Imaging of the Biliary Tract. Ultrasound Clin. 2007;2:391-413. 21. Nicholas Joseph, Jr. B.S. M.S. Radiography of the Biliary System; 2007

26

Related Documents


More Documents from "Mareska Monica"