Hukum Ekstradisi - Asas-asas Hukum Ekstradisi

  • Uploaded by: mariana gultom
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Ekstradisi - Asas-asas Hukum Ekstradisi as PDF for free.

More details

  • Words: 1,536
  • Pages: 30
Loading documents preview...
HUKUM EKSTRADISI dan INTERPOOL

ASAS-ASAS HUKUM EKSTRADISI Oleh MARIANA GULTOM 1309111397

ASAS-ASAS HUKUM EKSTRADISI • Asas Kejahatan Ganda (Principle of Double Criminality) Dalam UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi disebut juga Kejahatan Rangkap, yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan.

asas ini dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir sebagai suatu naskah yang tidak dipisahkan dari undanng-undang ini.

dengan demikian berdasarkan UU No. 1 Tahun 1979 maka tidak semua kejahatan pelakunya dapat diekstradisi, tetapi terbatas pada kejahatan yang daftarnya terlampir dalam undang-undang tersebut.

Menurut asas ini, suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang diminta haruslah merupakan kejahatan atau tindak pidana, baik menurut hukum pidana negara-peminta maupun hukum pidana negara-diminta. (I Wayan Thiana “Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern”)

jika perbuatan itu hanya merupakan tindak pidana menurut hukum pidana negara yang satu sedangkan menurut hukum pidana negara yang lainnya tidak, maka perbuatan ini tidak tergolong ke dalam kategori kejahatan atau tindak pidana ganda.

bukanlah perbuatannya yang ganda sebab perbuatannya tetap satu, hanya saja perbuatan tersebut baik berdasarkan hukum pidana negarapeminta maupun negara-diminta, digolongkan sebagai kejahanata atau tindak pidana.

jadi, ada kesamaan pandangan dari kedua negara, bahwa perbuatan itu sama-sama merupakan kejahatan atau tindak pidana.

Mengapa perbuatan tersebut harus merupakan tindak pidana menurut hukum pidana nasional keduan negara? Apa yang dasar pemikirannya?

?

hal ini didasarkan atas pemikiran, bahwa kedua negara khususnya rakyat kedua negara, memiliki pandangan, kesadaran hukum dan rasa keadilan yang sama dalam menghadapai perbauatan tersebut.

rakyat kedua negara memandang bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak pantas, tidak patut, bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan mereka dan karena itu pelakunya harus diadili dan jika terbukti bersalah haruslah dijatuhi hukuman yang setimpal.

Bagaimana perumusan dari asas kejahatan ganda ini di dalam perjanjian-perjanjian maupun peraturan perundang-undangan nasional negaranegara tentang ekstradisi?

?

Mengingat demikian

• banyaknya jumlah dan jenis kejahatan atau tindak pidana di dalam hukum pidana nasional masing-masing negara mulai dari yang tergolong ringan sampai yang tergolong berat, • demikian pula adanya bermacam-macam sanksi pidananya, dari yang paling berat hingga yang paling berat, tentu saja tidaklah mungkin semuanya untuk dijadikan sebagai dasar untuk pengekstradisian orang yang diminta.

Kedua pihaklah, ketika merumuskan naskah perjanjian ekstradisi, merundingkan untuk mencapai kesepakatan tentang jenis-jenis kejahatan apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar pengekstradisian orang yang diminta yang pada akhirnya di cantumkan di dalam salah satu pasal atau dijadikan sebagai lampiran dari perjanjian ekstradisi tersebut.

Secara garis besar, perumusan kejahatan ganda tersebut dapat dibedakan kedalam 3 sistem, yakni:

1. Sistem Daftar (List System/Enumerative

System) 2. Sistem Tanpa Daftar (Eliminative System) 3. Sistem Campuran (Mixed System)

Next...

1. Sistem Daftar (List System)

menurut sistem ini, jenis-jenis kejahatan atau tindak pidana yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengajukan permintaan untuk pengekstradisian orang diminta secara tegas dan rinci dicantumkan di dalam perjanjian ekstradisi, baik di dalam salah satu pasalnya ataupun secara tersendiri di dalam lampirannya.

Beberapa contoh dari perjanjian ekstradisi yang menganut sistem daftar adalah: • Perjanjian Ekstradisi antara Inggris dan Amerika Serikat 1969, dalam Pasal 3 menentukan 27 jenis kejahatan atau tindak pidana. • Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia 1974 yang di dalam Lampirannya menentukan 27 jenis kejahatan atau tindak pidana. • Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Thailand 1978, di dalam Lampirannya juga menentukan 27 jenis kejahatan atau tindak pidana.

Sedangkan sebagai contoh dari peraturan perundang-undangan nasional negara-negara yang menganut sistem daftar adalah:

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi yang di dalam Lmapirannya menetapkan 32 jenis kejahatan atau tindak pidana.

2. Sistem Tanpa Daftar (Eliminative System)

menurut sistem ini, jenis kejahatan atau tindak pidana yang dijadikan sebagai dasar untuk pengekstradisian orang yang diminta tidak ditentukan secara rinci dan limitatif sebagaimana dalam sistem daftar, melainkan dengan menentukan berdasarkan atas batas dasar minimum sanksi pidananya.

• Mengenai berapa sepatutnya batas minimum sanksi pidana tersebut, tidak ada peraturan hukum internasional yang berlaku umum yang mengaturnya. • Hal ini, sepenuhnya diserahkan pada para pihak untuk menentukan berdasarkan kesepakatan sebagaimana dirumuskan di dalam salah satu pasal perjanjian ekstradisinya. • Contoh perjanjian ekstradisi yang menganut sistem tanpa daftar adalah : Perjanjian Ekstradisi Italia - Panama 1930 menentukan batas minimum 2 tahun, sedangkan Perjanjian Ekstradisi Afrika Selatan – Rhodesia (sekarang Zimbabwe) 1962 menentukan batas minimum 6 bulan.

3. Sistem Kombinasi/Campuran (Mixed System)

menurut sistem ini, kejahatan atau tindak pidana yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengekstradisian orang yang diminta disamping secara tegas ditentukan secara rinci dan limitatif di dalam salah satu pasal atau di dalam lampiran dari perjanjian ekstradisi, juga di syaratkan, bahwa kejahatan atau tindak pidana yang tercantum di dalam daftar tersebut harus juga memenuhi batas minimum sanksi pidananya menurut hukum pidana nasional kedua pihak. Kedunya itu harus dipenuhi untuk dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan ganda.

Sebagai salah satu contoh perjanjian ekstradisi yang menganut sistem kembinasi adalah, Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia – Philipina 1976 dalam Pasal II A.

dapat dikatakan bahwa perjanjian ini di samping menentukan batas minimum sanksi pidananya juga menentukan batas maksimumnya, yakni kejahatan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana mati sebagai sanksi pidana yang terberat.

• Asas Kekhususan (Rule of Specialty)

Bahwa orang yang diminta hanya akan diadili atas kejahatan yang diminta ekstradisinya, kecuali ditentukan lain oleh negara yang diminta. (UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi).

dengan pengekstradisian ini, maka orang diminta kini berada si wilayah negara peminta yang berarti bahwa orang yang diminta itu tunduk pada yurisdiksi teritorial dari negara peminta.

Sebagai negara yang memiliki yurisdiksi,tindakana apa yang harus dilakukan oleh negarapeminta terhadap orang yang bersangkutan??

oleh karena itu, tujuan dari pengekstradisian adalah untuk mengadili orang yang diminta yang berstatus sebagai tersangka, tertuduh, atau terdakwa dan kemudian menghukumnya jika dia terbukti bersalah. Sedangkan, orang yang diminta yang berstatus sebagai terhukum tujuan pengekstradisiannya adalah untuk melaksanakan hukuman atau sisa hukumannya, maka, negara peminta hanya memiliki yurisdiksi terhadap orang yang diminta atau diserahkan itu hanya terbatas pada dua hal itu saja.

Pengesampingan terhadap asas kekhususan dengan syarat : negara-peminta harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada negaradiminta atas keinginannya untuk mengadili orang yang bersangkutan atas kejahatan yang lain itu. permintaan itu harus dikemukakan secara tegas dalam bentuk tertulis kepada negara peminta. Jika negara diminta menyetujuinya, maka barulah negara peminta dapata mengadili orang yang bersangkutan atas atas kejahatan lainnya itu.

• Asas Tidak Mengekstradisi Warganegara Sendiri – Dimuat dalam Pasal 7 ayat (1. diicantumkan asas ini dalam perjanjian dan perundangundangan ekstradisi, disebebkan oleh karena kewarganegaraan seseorang sangat memegang peranan panting yaitu menyangkut status dari orang yang bersangkutan. – Diberikannya kekuasaan kepada suatu negara untuk tidak menyerahkan warganegaranya, berdasarkan atas suatu pertimbangan bahwa negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya.

• Asas tidak Mengekstradisikan Pelaku Kejahatan Politik • Asas ini diregaskan dalam Pasal 5 ayat (1) yang secara singkat menyatakan bahwa : ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. • Apa yang dimaksud dengan kejahatan politik , tidak digerskan sama sekali. • Hanya saja, dalam Pasal 5 ayat (2) ada dinyatakan dalam hal apa suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan politik dan hal apa sebagai kejahatan biasa. • Kemudian dalam ayat (3) diutarakan bahwa terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga di kestradisikan sepanjang diperjanjikan antara negara yang bersangkutan.

Karena pengertian kejahatan politik itu adalah terlalu luas, maka diadakan pembatasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

Pasal 5 ayat (4) tentang klausula attentat juga mmpersempit runag lingkup kejahatan politik. Sebab menurut Pasal 5 ayat (4) pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota keluarganya,

• Asas Ne/Non bis in idem • Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh Pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak (Pasal 10). • Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa sesorang tidak akan diadili untuk kedua kalinya untuk kejahatan yang sama. • Juga, memberikan jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah dijatuhi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti.

• Asas Daluarsa – Dicantumkan dalam Pasal 12, bahwa sesorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah kedaluarsa (lapse of time). – Daluarsa dikenal hampir semua sistem hukum negara-negara di dunia. – Maknanya, memberikan adanya suatu kepastian hukum bagi semua pihak, bahwa suatu peristiwa hukum apabila sudah sedemikian lama terjadinya , dibiarkan saja dan sudah dilupakan oleh orang-orang dan seolah tidak pernah terjadi maka setelah sampai atau melewati jangka waktu, tidak bisa diapaapakan lagi.

Hukum negara manakah yang berlaku mengenai daluarsa ini? • Pertama, daluarsa tersebut berdasarkan hukum pidana nasional negara peminta.

Jika daluarsanya didasarkan pada hukum pada hukum nasional negara peminta, bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta pengekstradisiannya kepada negara diminta sudah daluarsa menurut hukum pidana negara peminta, meskipun belum daluarsa menurut hukum pidana negara diminta, maka dengan mudah dapat dijawab, bahwa negara peminta tidak perlu mengajukan permintaan untuk pengekstradisian orang yang bersangkutan kepada negara diminta.

• Kedua, daluarsa tersebut berdasarkan hukum pidana nasional negara diminta jika daluarsa didasarkan pada hukum pidana negara diminta, permintaan untuk pengekstradisian dari negara pemintapun menjadi sia-sia sebab hak untuk menuntut ataupun menghukum itu sudah daluarsa menurut hukum pidana negara diminta. • Ketiga, daluarsa disasarkan atas hukum pidana nasional kedua negara jika daluarsa didasarkan atas hukum pidana nasional kedua negara, jadi tidak boleh didasarkan hanya pada hukum pidana nasional dari salah satu pihak saja.

Related Documents

Ekstradisi
January 2021 1
Hukum Hukum Stratigrafi
February 2021 2
Hukum Perdata
February 2021 0
Filsafat Hukum
March 2021 0
Sistem Hukum
March 2021 0

More Documents from "Damma Renna"