Hukum Perjanjian Internasional_crop

  • Uploaded by: Tri Aji Aribowo
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Perjanjian Internasional_crop as PDF for free.

More details

  • Words: 58,778
  • Pages: 185
Loading documents preview...
BUKU AJAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta: (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). (6) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). (7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). (8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). (9) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

©

2012 Airlangga University Press AUP 300/37.464/12.12-A2E Dilarang mengutip dan atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari Penerbit sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotoprint, mikrofilm dan sebagainya. Cetakan pertama — 2012

Penerbit: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP) Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo Surabaya 60115 Telp. (031) 5992246, 5992247 Fax. (031) 5992248 E-mail: [email protected].

Dicetak oleh: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP) (RK. 098/10.12/AUP-A2E) Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Akt b

Aktieva Tri Tjitrawati Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional/Aktieva Tri Tjitrawati; Jani Purnawanty — Cet. 1 — Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga, 2012 x, 175 hlm.: ilus.; 15,8 × 23 cm Bibliografi: Ada ISBN 978-602-8967-93-8

1. Hukum Internasional

I Aktieva Tri Tjitrawati II Jani Purnawanti

341 12 13 14 15 16 / 9 8 7 6 5 4 3 2 1 ANGGOTA IKAPI: 001/JTI/95

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt. yang atas perkenan-Nyalah buku ajar ini dapat diselesaikan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Buku ajar ini dimaksudkan sebagai materi dasar bagi mahasiswa sebagai bekal untuk bisa memahami materi-materi yang akan disampaikan oleh Dosen pengajar mata kuliah Perjanjian Internasional. Pada era global seperti saat ini, setiap mahasiswa fakultas hukum dituntut untuk memahami instrumen-instrumen dasar yang digunakan negara-negara dan subjek-subjek hukum internasional lainnya dalam melakukan hubungan dan kerja sama internasional, terutama yang disusun dan diatur dalam bentuk formal dan tertulis sebagaimana perjanjian internasional. Dalam bidang apapun nantinya mahasiswa akan berkarya, teori-teori mengenai perjanjian internasional akan sangat bermanfaat bagi mereka untuk meningkatkan kemampuan menganalisis dan menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi. Kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah mendukung penyelesaian dan penerbitan buku ajar ini, khususnya kepada Ketua dan staf Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) yang dengan sabar mengingatkan penyelesaiannya. Kami berharap agar buku ini dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa demi kelancaran proses belajar mengajar di Fakultas Hukum UNAIR, dan bagi penulis sendiri, dapat menjadi cikal bakal penulisan buku teks mengenai bidang ini di masa yang akan datang.

Penulis

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................

v

Bab 1 PEMAHAMAN DASAR PERJANJIAN INTERNASIONAL ............... Kebutuhan akan Aturan Mengenai Perjanjian Internasional ............. Konvensi Wina 1969 sebagai Perjanjian Internasional tentang Perjanjian Internasional .............................................................................. Sumber Hukum Pengaturan Perjanjian Internasional.......................... Definisi Perjanjian Internasional ............................................................... Fungsi Perjanjian Internasional ................................................................. Penyebutan dan Penamaan Perjanjian Internasional............................ Klasifikasi PI ................................................................................................. Umpan Balik.................................................................................................. Rangkuman ................................................................................................... Latihan Soal...................................................................................................

1 1 3 5 6 9 10 13 14 14 15

Bab 2 HUBUNGAN ANTARA PI DENGAN HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL........................................................................................... Hubungan antara Konvensi Wina 1969 dan Hukum Kebiasaan Internasional ................................................................................................. Konvensi Wina 1969 sebagai Hasil Kodifikasi dan Perkembangan Progresif ......................................................................................................... Umpan Balik.................................................................................................. Latihan Soal................................................................................................... Daftar Bacaan ................................................................................................

vii

17 17 21 30 30 32

Bab 3 PEMBENTUKAN DAN PEMBERLAKUAN PERJANJIAN ................. Pembentukan Perjanjian ............................................................................. Kuasa Penuh (Full Powers)........................................................................... Adopsi dan Otentikasi ................................................................................ Pernyataan Persetujuan untuk Terikat dalam Perjanjian (Consent to be Bound) ......................................................................................................... Kewajiban untuk tidak Merusak Maksud dan Tujuan Perjanjian...... Berlakunya Perjanjian dan Penerapan Perjanjian Sementara .............. Umpan Balik.................................................................................................. Latihan Soal................................................................................................... Daftar Bacaan ................................................................................................

33 33 34 37 39 41 42 44 45 46

Bab 4 RESERVASI (PERSYARATAN) DALAM PI ............................................. Latar Belakang Lahirnya Reservasi .......................................................... Pengertian Reservasi ................................................................................... Alasan Mengajukan Reservasi .................................................................. Larangan dan Pembatasan Reservasi....................................................... Dampak dari Reservasi terhadap Partisipasi dalam Perjanjian .......... Perumusan tentang Pensyaratan dalam PI ............................................. Pensyaratan atas Instrumen Utama suatu Organisasi Internasional Akibat Hukum dari Reservasi dan Penolakan terhadap Reservasi ... Penarikan Kembali Reservasi dan Penarikan Kembali Penolakan terhadap Reservasi ....................................................................................... Penarikan Kembali atas Reservasi ............................................................ Penarikan Kembali atas Penolakan terhadap Reservasi....................... Mulai Berlakunya Penarikan Kembali Reservasi dan Penolakan terhadap Reservasi ....................................................................................... Prosedur Mengenai Pengajuan Reservasi, Penerimaan, dan Penolakan terhadap Reservasi ................................................................... Pengaturan Mengenai Reservasi dalam Hukum Positif Indonesia.... Sejarah Perumusan Ketentuan Mengenai Reservasi dalam Konferensi dan Pembahasan ILC................................................................................... Umpan Balik.................................................................................................. Daftar Bacaan ................................................................................................

viii

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

47 47 48 50 51 53 61 64 65 67 68 69 70 71 74 75 83 84

Bab 5 AKIBAT PI.......................................................................................................... Pengantar ....................................................................................................... Akibat PI bagi Para Pihak ........................................................................... Akibat PI Berkenaan dengan Ruang Lingkup Wilayah ....................... Akibat PI Berkenaan dengan Individu Warga Negara ......................... Akibat PI Berkenaan dengan Perubahan Pemerintah .......................... Akibat Perjanjian Berkenaan dengan Amandemen, Modifikasi, dan Revisi .............................................................................................................. Revisi Perjanjian ........................................................................................... Akibat PI Berkenaan dengan Jaminan Pelaksanaannya ...................... Akibat PI pada Pihak Ketiga ...................................................................... PI dapat Mempunyai Akibat bagi Pihak Ketiga atas Persetujuan Mereka ............................................................................................................ Partisipasi Pihak Ketiga sebagai Pemantau ............................................ Perjanjian yang Memberikan Hak Kepada Negara............................... Perjanjian yang Dibuat Hanya untuk Menimbulkan Hak Bagi Pihak Ketiga .............................................................................................................. PI dapat Mengikat Negara Ketiga sebagai Aturan Hukum Kebiasaan Internasional ................................................................................................. Kewajiban bagi Kelompok Negara Non-Pihak....................................... Partisipasi Pihak Ketiga dalam Perjanjian .............................................. Latihan Soal................................................................................................... Daftar Bacaan ................................................................................................

85 85 86 87 89 90 94 96 98 101 103 104 104 104 105 105 106 107 107

Bab 6 KEABSAHAN DAN KETIDAKABSAHAN PI ........................................ Pengantar ....................................................................................................... Sebab-sebab tidak Sahnya Suatu PI .......................................................... Akibat-akibat Batal/tidak Sah-nya Suatu Perjanjian.............................. Hilangnya Hak untuk Menyatakan tidak Sah ....................................... Prosedur dan Instrumen dalam Menyatakan Ketidakabsahan PI..... Keabsahan PI dalam Peraturan Perundangan Nasional Indonesia ... Latihan Soal................................................................................................... Daftar Bacaan ................................................................................................

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

109 109 112 115 116 117 119 120 121

ix

Bab 7 PEMBATALAN PI ............................................................................................ Pengantar ....................................................................................................... Sebab-sebab Batalnya Perjanjian ............................................................... Sebab-sebab Pembatalan Berlakunya PI .................................................. Prosedur Membatalkan PI.......................................................................... Konsekuensi Batalnya suatu Perjanjian ................................................... Umpan Balik.................................................................................................. Latihan Soal................................................................................................... Daftar Bacaan ................................................................................................

123 124 125 129 135 137 139 139 141

LAMPIRAN .......................................................................................................

143

x

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

PEMAHAMAN DASAR PERJANJIAN INTERNASIONAL

1

DESKRIPSI BAB Materi ini merupakan pengantar bagi mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman dasar tentang lingkup berlakunya Konvensi Wina 1969, arti penting Konvensi Wina 1969 dan kaitannya dengan Hukum Internasional umum. Pengetahuan dasar tentang Hukum Perjanjian Internasional yang meliputi Sumber Hukum Pengaturan Perjanjian Internasional (Regim Hukum Internasional dan Regim Hukum Nasional), Definisi Perjanjian Internasional, Fungsi Perjanjian Internasional, Penyebutan dan Penamaan Perjanjian Internasional, dan Klasifikasi Perjanjian Internasional. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mahasiswa mampu menjelaskan peran dan fungsi PI dalam hubungan internasional; 2. Mahasiswa mampu membedakan PI dengan perjanjian yang berkarakter internasional 3. Mahasiswa mampu memberikan contoh-contoh PI yang dibuat dalam kerangka negara, organisasi internasional, dan konferensi internasional; 4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi PI berdasarkan pengklasifikasian PI; K E B U T U H A N A K A N AT U R A N M E N G E N A I P E R J A N J I A N INTERNASIONAL Keberhasilan penyelenggaraan Konferensi Hukum Perjanjian Internasional di Wina dari 26 Maret sampai 24 Mei 1968 dan dari 9 April sampai 22 Mei 1969 yang menghasilkan Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (the Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) dianggap sebagai keberhasilan luar biasa mengingat luasnya jangkauan dan kompleksitas hukum PI. Konvensi ini merupakan produk dari berbagai kepentingan dan pandangan yang saling bertentangan, oleh karenanya terdapat kecenderungan untuk menyelesaikan 1

perbedaan melalui perumusan aturan-aturan di dalamnya dengan tingkat generalisasi dan abstraksi yang tinggi. Konvensi Wina 1969, di satu sisi merupakan wujud kodifikasi dari hukum kebiasaan yang berlaku pada saat itu (the existing costumary law), namun di sisi lain juga mengadopsi kebutuhan untuk mengantisipasi perkembangan jaman. Keberadaan Konvensi Wina 1969 ini menjadi signifikan dalam perspektif kebutuhan akan adanya suatu aturan berkenaan dengan proses penormaan Hukum Internasional karena, berbeda halnya dengan proses penormaan hukum dalam ranah Hukum Nasional, penormaan dalam Hukum Internasional bergantung pada kehendak dan praktik negara-negara sendiri. Kesepakatan negara, baik yang nampak secara jelas atau tersamar terhadap berlakunya suatu aturan dalam Hukum Internasional menjadi penting. Adanya aturan yang menegaskan bagaimana proses terbentuknya suatu PI menjadi lebih signifikan ketika Statuta Mahkamah Internasional menempatkan PI pada tempat tertinggi dalam hirarki sumber-sumber Hukum Internasional (Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional). Mahkamah Internasional dapat menggunakan sumber-sumber hukum yang ditentukan di dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut sebagai dasar penyelesaian sengketa yang di dalamnya terdapat konflik dari berbagai norma. Dari ketentuan tersebut tersirat alasan mengapa PI menempati tempat utama dalam hirarki sumber Hukum Internasional. Pengutamaan ini bukan tanpa alasan, mengingat lebih jelasnya wujud kesepakatan negara terhadap PI yang diikutinya, dibandingkan dengan penerimaan negara atas berlakunya suatu aturan dalam kebiasaan internasional. Mahkamah Internasional lebih mempercayai validitas aturan yang telah mendapat persetujuan secara khusus atau secara tegas dari para pihak yang bersengketa, sebelum beralih pada peraturan yang validitasnya bergantung pada dugaan persetujuan yang tidak jelas sebagaimana yang ada dalam Hukum Kebiasaan Internasional. Hirarki sumber Hukum Internasional sebagaimana terurai dalam Statuta Mahkamah Internasional tersebut pada dasarnya sesuai dengan prinsip hukum dan karakter Hukum Internasional sebagai kumpulan peraturan yang didasarkan pada kesepakatan negara-negara. Melalui PI, hak dan kewajiban negara secara tegas ditentukan oleh kesepakatan negara itu sendiri. Melalui PI pula, hak individual negara secara khusus ditetapkan dalam kesepakatan yang mengikat. Ketika terjadi kontroversi antara dua atau beberapa negara yang berkaitan dengan masalah yang diatur dalam perjanjian, maka negara-negara itu dapat meminta bantuan kepada lembaga penyelesaian sengketa internasional yang harus memberlakukan ketentuan perjanjian yang diperkarakan. Ketika terjadi kontroversi antara dua atau beberapa negara yang berkaitan dengan masalah yang diatur dalam perjanjian, maka negara-negara itu harus memohon bantuan kepada lembaga yang bertindak sebagai penengah yang harus memberlakukan ketentuan perjanjian yang diperkarakan terlebih dahulu. 2

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Sekalipun terdapat pengutamaan PI sebagai sumber Hukum Internasional yang diakui oleh pihak-pihak yang terkait, namun untuk mampu menghasilkan kesimpulan, formasi, interpretasi dan validitas, PI masih membutuhkan bantuan dari sumber-sumber hukum lainnya. Sebelum ada Konvensi Wina tentang Hukum PI, sumber sebagian besar aturan hukum PI terletak pada kebiasaan internasional yang merepresentasikan bukti adanya sebuah praktik umum yang diterima sebagai hukum. Bahkan prinsip yang paling mendasar dari pelaksanaan PI, yaitu prinsip pacta sunt servanda pun memiliki karakter ekstra legal. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap perjanjian yang berlaku bersifat mengikat pihak-pihak yang ada di dalamnya. Ketentuan ini tidak hanya bersandar pada prinsip kesepakatan tersebut, namun juga berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan daya ikat Hukum Internasional secara umum, pembahasan mengenai hal ini merupakan kajian yang lebih bersifat filosofis. KONVENSI WINA 1969 SEBAGAI PERJANJIAN INTERNASIONAL TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Topik tentang Hukum PI dimasukkan dalam program kerja Komisi Hukum Internasional sejak sesi pertama tahun 1949 dan menjadi prioritas utama sebagai topik yang harus dikodifikasi. Dua pelopor utama pembentukan PI tentang PI, yaitu Profesor Brierly dan Lauterpacht, mempersiapkan rancangan ketentuan-ketentuan yang akhirnya dapat menjadi dasar konvensi internasional. Sir Gerald Fitzmaurice menggantikan Profesor Lauterpacht pada tahun 1965, di mana ia dalam laporannya mengangkat pertanyaan yang mendasar tentang apakah kodifikasi Hukum PI harus dalam bentuk konvensi internasional atau cukup dalam bentuk pedoman (expository code). Fitzmaurice sendiri lebih menyukai bentuk expository code karena dua alasan. Pertama, tidaklah layak sebuah aturan mengenai PI berbentuk sebuah perjanjian, lebih layak bila perjanjian itu memiliki dasar tersendiri. Kedua, banyak aturan yang berkaitan dengan PI yang bersifat khas, sehingga tidak cocok untuk disusun dalam bentuk konvensi. Aturan-aturan mengenai PI yang ada terdiri dari penjabaran prinsip-prinsip dan peraturan abstrak, yang biasanya lebih mudah dituangkan dalam bentuk sebuah code. Bentuk code juga memiliki kelebihan lain, yaitu memungkinkan digunakannya bahan-bahan yang bersifat eksplanatif dan deklaratif yang lebih adaptif terhadap kebutuhankebutuhan pembentukan PI. Hal ini mustahil dilakukan bila aturan-aturan mengenai perjanjian itu dibatasi oleh kewajian-kewajiban yang tegas. Setelah perdebatan singkat selama delapan sesi pada tahun 1956, Komisi menyetujui usulan bahwa kodifikasi Hukum PI harus dalam bentuk expository code. Namun, muncul keraguan pada Komisi ketika komisi dihadapkan dengan lima laporan yang secara rinci diberikan oleh Fitzmaurice pada Bab 1

Pemahaman Dasar Perjanjian Internasional

3

tahun berikutnya. Laporan ini menyajikan sejumlah uraian dalam rancangan ketentuan dalam code, yang didasarkan pada pengalaman panjang penulis dalam hal pembuatan perjanjian. Komisi Hukum Internasional internasional tidak mampu mencurahkan waktunya bagi lima laporan yang diserahkan Fitzmaurice, sebelum akhirnya ia mengundurkan diri dari Komisi itu setelah terpilihnya dia sebagai anggota Mahkamah Internasional tahun 1960 untuk mengisi posisi Hakim Lauterpacht yang meninggal. Namun pada tahun 1961, Komisi Hukum Internasional merasa perlu untuk mempertimbangkan kembali masalah-masalah yang fundamental mengenai hukum PI. Beberapa anggota Komisi mengajukan argumen untuk lebih mendukung aturan PI dalam bentuk Konvensi daripada code, yaitu bahwa: (a) sekalipun Komisi mampu merumuskan code dengan baik, namun kemampuan code untuk mengkonsolidasikan hukum tidak akan seefektif Konvensi; dan (b) kodifikasi Hukum PI melalui berbagai konvensi akan memberikan peluang bagi semua Negara baru untuk berpartisipasi langsung dalam perumusan Hukum PI, yang mana hal ini diperlukan untuk menempatkan Hukum PI pada landasan yang lebih luas dan lebih kokoh. Komisi Hukum Internasional akhirnya sampai pada sebuah keputusan pada 1961 bahwa harus dilakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan yang mengatur PI untuk dapat digunakan sebagai dasar bagi pembentukan sebuah Konvensi mengenai PI. Walaupun sebagian besar pemerintah negara peserta Konferensi pada dasarnya lebih menyukai perumusan Konvensi Hukum PI berdasarkan rancangan Pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional di akhir tahun 1965, namun mereka masih ragu-ragu untuk menentukan bentuk dari aturan yang akan mereka buat. Sebagian Pemerintah mengatakan bahwa code pun mampu mengkonsolidasikan kepentingan-kepentingan masyarakat internasional sebagaimana halnya dengan konvensi, apalagi bentuk konvensi pun tidak selalu menjamin adanya partisipasi negara-negara baru dalam melakukan kodifikasi. Dikemukakan pula kekhawatiran akan adanya ketidakkonsistenan logika tertentu dalam menyusun sebuah PI menurut metode penyusunan sebuah PI. Adanya PI mengenai PI (untuk disebut selanjutnya "PI mengenai PI") akan menciptakan sistem yang dualistik, karena perjanjian itu hanya akan berlaku bagi pihak-pihak yang terikat di dalamnya, sedangkan hukum kebiasaan dapat diberlakukan bagi negara-negara lainnya. Selain keraguan yang berkaitan dengan doktrin tentang nilai dan manfaat PI mengenai PI, selama periode antara 1961 dan 1966 Komisi Hukum Internasional berupaya menyusun kembali pekerjaannya menjadi bentuk rancangan Pasal yang sesuai guna dipadukan menjadi sebuah konvensi internasional. Upaya ini mengharuskan adanya penghapusan terhadap elemen-elemen deskriptif yang ada dalam rancangan sebelumnya untuk menghasilkan serangkaian teks ringkas yang terbatas pada rumusan mengenai prinsip-prinsip hukum 4

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

atau aturan-aturan hukum perjanjian yang digunakan atau dikualifikasikan melalui kesepakatan di antaranegara-negara yang ikut serta dalam penyusunan Konvensi. SUMBER HUKUM PENGATURAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Secara umum, pengertian PI adalah setiap perjanjian tertulis antara dua atau lebih subjek Hukum Internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional. Dalam regim Hukum Internasional, definisi PI dimuat dalam beberapa Konvensi, yaitu: 1. Pasal 2.1.a Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 yang mendefinsikan PI sebagai "an international agreement concluded between states in wri en form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation". 2. Pasal 2.1.a Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties 1978 mendefinisikan PI sebagai "an international agreement concluded between states in wri en form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation". 3. Pasal 2.1.a Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations of between International Organization mendefinisikan PI sebagai "an international agreement governed by International Law and concluded in wri en form (i) between one or more states and one or more international organization and (ii) between international organizations whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation". Sedangkan dalam regim Hukum Indonesia, PI didefinisikan pada: 1. Pasal 1.1 UU No. 24 Th. 2000 tentang PI sebagaimana diumumkan pada LNRI Th. 2000 No. 185, yaitu "perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik". 2. Pasal 1.3 UU No. 37 Th. 1999 tentang Hubungan Luar Negeri sebagaimana diumumkan pada LNRI Th. 1999 No. 156, yaitu "perjanjian dalam bentuk dan sebutan apa pun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional, atau subjek Hukum Internasional lainnya serta menimbulkan hak dan kewajiban oleh Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik".

Bab 1

Pemahaman Dasar Perjanjian Internasional

5

DEFINISI PERJANJIAN INTERNASIONAL Pengertian umum PI dalam pengertian yang sempit adalah "kata sepakat antara dua atau lebih subjek Hukum Internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional". Dalam pengertian umum di atas dapat disimpulkan bahwa: a. Pertama, yang dipandang sebagai subjek Hukum Internasional yang dapat mengadakan perjanjian adalah semua subjek Hukum Internasional. b. Kedua, PI yang dapat dijadikan objek adalah PI tertulis maupun tidak tertulis. Pengertian PI di atas disebut sebagai pengertian yang sempit karena dalam pengertian tersebut tidak ada pembatasan mengenai subjek-subjek hukum apa yang dapat mengadakan PI, dan PI yang berbentuk bagaimana yang dapat dijadikan objek dalam suatu PI. Ruang lingkup PI yang sempit ini hanya dapat dipakai sebagai pedoman awal dalam pembahasan secara mendalam tentang PI dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengklasifikasikan PI. Dari pengertian PI yang sempit di atas dapat kita rumuskan 'PI yang lebih luas', yaitu "kata sepakat antara dua atau lebih subjek Hukum Internasional (yaitu negara, Tahta Suci, Kaum Pemberontak, Organisasi Internasional) mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada Hukum Internasional". Berdasarkan pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa terdapat pembatasan-pembatasan terhadap subjek dan objek yang dapat melakukan PI. Subjek Hukum Internasional yang dapat mengadakan PI dibatasi menjadi hanya subjek Hukum Internasional tertentu, seperti negara, organisasi internasional, tahta suci, dan kaum pemberontak. Sedangkan objek PI juga dibatasi hanya PI yang berbentuk tertulis saja yang dapat dijadikan sebagai objek suatu PI. Pengertian yang luas ini memberi gambaran secara mendalam mengenai klasifikasi PI itu sendiri. Sedangkan Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa yang dapat dikatakan sebagai PI (treaty) adalah "suatu perjanjian yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrument yang berkaitan dan apapun nama instrument tersebut". Dari Pasal 2 Konvensi Wina 1969 tersebut juga dapat kita tarik gambaran bahwa pihak yang dapat mengadakan PI adalah subjek-subjek Hukum Internasional tertentu dan dibuat dalam bentuk tertulis. Pada 2 Konvensi Wina 1969 ini bisa dikatakan merupakan implementasi dari pengertian PI dalam arti luas. "Subjek-subjek Internasional yang memiliki kemampuan untuk mengadakan PI". Berdasarkan pengertian tersebut", maka dapat disimpulkan bahwa suatu PI dapat dikatakan merupakan suatu perjanjian yang sah apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 6

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

1. Kata Sepakat. Kata sepakat merupakan unsur yang sangat penting dari suatu perjanjian. Kata sepakat ini sebagai persetujuan mengenai penentuan hal-hal yang akan dirumuskan dalam naskah perjanjian tersebut; 2. Subjek Hukum. Subjek-subjek Hukum Internasional yang dapat menjadi pihak pada suatu PI adalah: a. Negara. negara adalah subjek Hukum Internasional, per excellence, yang mempunyai kapasitas penuh (full capacity) untuk membuat perjanjian-PI. Dalam PI yang bersifat tertutup, pihak-pihak melakukan perundingan adalah pihak-pihak yang terikat pada perjanjian. Contohnya, perjanjian bilateral atau multilateral terbatas. Sedangkan pada PI yang bersifat terbuka negara-negara yang terlibat secara aktif dalam proses perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian belum tentu akan menjadi pihak atau peserta pada perjanjian yang bersangkutan. b. Negara Bagian. negara bagian dari suatu negara federal dapat juga menjadi subjek yang dapat melakukan PI sepanjang diatur oleh konstitusi negara federal masing-masing. c. Tahta Suci Vatikan. Walaupun tahta suci bukanlah negara dalam arti yang sebenarnya tetapi dalam Hukum Internasional kedudukannya sama seperti negara. Oleh karena itu tahta suci dapat membuka hubungan diplomatik dan mengadakan PI dengan negara, organisasi internasional maupun subjek Hukum Internasional lainnya. d. Wilayah Perwalian. Wilayah perwalian pada mulanya merupakan wilayah jajahan dari negara-negara Kolonial (bekas penjajah) yang karena kalah dalam Perang Dunia Pertama, lalu diubah statusnya menjadi wilayah mandat dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa, seperti wilayah-wilayah bekas jajahan Jerman dan Italia. Pasal 87 Piagam PBB secara khusus mengatur tentang sistem perwalian internasional. Namun, meskipun wilayah perwalian ini belum merdeka penuh, tetapi diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional untuk mengadakan PI. e. Organisasi Internasional. Meskipun anggota-anggotanya adalah negara, tetapi kedudukan organisasi internasional tidaklah di atas negara, melainkan sejajar dengan negara. Oleh karena itu organisasi internasional dapat terlibat dalam suatu PI, baik itu perjanjian yang dilakukan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional maupun antarorganisasi internasional dengan negara. i. Contoh: PI yang dibuat oleh organisasi internasional dengan organisasi internasional adalah konvensi yang ditandatangani pada tanggal 19 April dan 19 Juli 1946 di Jenewa antara Liga BangsaBangsa dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penyerahan inventaris dan gedung dari LBB kepada PBB. Bab 1

Pemahaman Dasar Perjanjian Internasional

7

ii. Contoh: PI yang dibuat oleh organisasi internasional dengan negara adalah Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Sekretariat ASEAN mengenai Hak Istimewa dan Kekebalan Hukum Sekretariat ASEAN di Jakarta pada tanggal 20 Januari 1979. f. Kaum Pemberontak (Belligerensi). Kaum pemberontak atau kaum belligerensi ini pada hakikatnya kedudukannya sederajat dengan pemerintah yang berkuasa, maupun dengan negara-negara lain pada umumnya. Oleh karena itu kaum belligerensi dapat melakukan PI dengan subjek-subjek Hukum Internasional lainnya, seperti negara. Contohnya pada persetujuan antara negara Perancis dengan Front De Liberation Nationale (FLN) Aljazair pada tanggal 19 Maret 1962. g. Bangsa yang Sedang Memperjuangkan Haknya. Bangsa-bangsa masih terjajah yang dapat memperjuangkan hak-haknya untuk merdeka dapat melakukan PI dengan negara yang menjajahnya. Contohnya Palestine Liberation Organization (PLO), yang pernah diproklamasikan menjadi negara Palestine Merdeka pada tanggal 15 November 1988, tetapi hingga kini masalahnya belum selesai. 3. Berbentuk Tertulis. Sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik di antara para pihak yang melakukan perjanjian dan bersifat mengikat para pihak, maka PI tersebut dirumuskan secara tertulis dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Dengan berbentuk tertulis ini akan menjamin ketegasan, kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak maupun bagi pihak ketiga yang mungkin terlibat dalam perjanjian itu. Masyarakat internasional sejak tahun 1949 telah berupaya untuk mengkodifikasi kebiasaan Hukum Internasional yang mengatur masalah PI. Upaya tersebut telah membuahkan hasil dengan telah diterimanya Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969) oleh PBB pada tanggal 22 Mei 1969. Konvensi yang telah berlaku sejak 27 Januari 1980 tersebut saat ini masih menjadi rujukan utama yang mengatur Hukum PI. Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969, Treaty didefinisikan sebagai berikut "an international agreement concluded between states in wri en form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation." Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PI adalah semua perjanjian yang dibuat oleh subjek Hukum Internasional yang diatur oleh Hukum Internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.

8

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

FUNGSI PERJANJIAN INTERNASIONAL Setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajibankewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian itu. Demikian pula dari sejak perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian, pemberlakuan, pelaksanaan dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada Hukum Internasional maupun hukum PI. Hal ini menunjukkan atau mencirikan bahwa perjanjian itu memiliki sifat internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup Hukum Internasional. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam PI adalah mengenai pembuatan PI tersebut. Secara umum dalam pembuatan PI, seorang diplomat atau yang mewakili suatu negara dalam perjanjian tidak hanya memerlukan pemahaman tentang hukum dan praktik negara dalam pembuatan PI, namun juga keterampilan dalam mengaplikasikan hukum dan praktik tersebut dalam treaty dra ing exercises. Kondisi tersebut didorong oleh dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat, sebagai akibat dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa dampak pada percepatan arus globalisasi, mengakibatkan teknik pembuatan PI juga mengalami perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat internasional itu sendiri. Sekalipun literatur Hukum Internasional telah menyediakan banyak teori dan praktik tentang PI yang cenderung ajeg dan konsisten, namun dinamika masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah memperkaya teori dimaksud, da ar berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang kreatif dan inovatif. Perkembangan antarbangsa seperti itu membawa pula dampak peningkatan dan intensitas pembuatan PI yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan negara lain maupun dengan organisasi internasional atau subjek Hukum Internasional lainnya. Dalam hal pembuatan dan pengesahan PI diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diatur dalam Undangundang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dan dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang PI. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang PI sangat penting artinya untuk menciptakan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan PI oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pada dasarnya Undang-undang tersebut memuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1969 1986 tentang Hukum PI antara negara dan Organisasi Internasional atau antara Organisasi-Organisasi Internasional, yang sekalipun tidak/belum diratifikasi oleh Indonesia namun telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional dan telah dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan PI.

Bab 1

Pemahaman Dasar Perjanjian Internasional

9

Mengingat pesatnya dinamika perkembangan hukum dan praktik negara dalam pembuatan PI, maka dalam pelaksanaannya, diperlukan penerapan secara luwes dan kreatif dengan tetap berpegang pada norma dan aturan dasar dari perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini hendaknya diterapkan prinsip kebebasan berkontrak dalam konteks bahwa sepanjang tidak dilarang oleh Perundang-undangan serta hukum PI, maka pada dasarnya para pihak dapat menyepakati semua aspek baik format maupun materi perjanjian. PENYEBUTAN DAN PENAMAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Selama ini praktik pembuatan perjanjian di antara negara telah melahirkan berbagai bentuk terminologi PI yang kadang kala berbeda pemakaiannya namun terminologi yang digunakan tersebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Suatu terminologi PI yang digunakan seringkali berdasarkan pada permasalahan yang diatur dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut serta dampak politisnya. Walaupun terminologi PI dapat beragam, namun menunjukkan adanya kesamaan materi yang diatur, atau materi perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya dengan PI lainnya atau untuk menunjukkan hubungan antara PI tersebut dengan PI lainnya yang telah dibuat sebelumnya. Berbagai bentuk dan nama PI yang sering kali dipraktikkan di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Treaty adalah bentuk PI yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang umumnya bersifat multilateral. Namun demikian kebiasaan negara-negara di masa lampau cenderung menggunakan istilah "Treaty" untuk perjanjian bilateral. Untuk menunjukkan bobot penting, sebagai contoh maka Indonesia dan Australia pernah membuat Timor Gap Treaty Tahun 1989; b. Convention adalah bentuk PI yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat "Law Making Treaty" dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional. Dewasa ini istilah convention lebih banyak digunakan untuk perjanjian multilateral; c. Agreement adalah bentuk PI yang umumnya bersifat bilateral, dengan 'substansi lebih kecil lingkupnya' dibanding materi yang diatur dalam Treaty atau Convention. Bentuk ini secara terbatas juga digunakan dalam perjanjian multilateral; d. Memorandum of Understanding (MoU): 1. Adalah bentuk lain dari PI yang memiliki sifat khas/typical. Pada konteks MoU pada intinya adalah terdapat perbedaan praktik negara mengenai MoU. Ada praktik negara, khususnya pada negara-negara 10

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

common law sistem yang berpandangan bahwa MoU adalah non legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktik negaranegara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap perjanjian yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti treaties; 2. Para ahli berpendapat bahwa istilah MoU digunakan dengan alasan politis, yaitu ingin sedapat mungkin menghindari penggunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat; 3. Pengertian MoU yang non-legally binding dalam praktik beberapa negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai PI yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral; 4. Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding masih belum memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum pengertian ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat meng-enforce isi MoU melalui jalur peradilan internasional atau jalur kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap PI. Dari sisi Hukum Nasional, khususnya negara-negara common law, pengertian non-legally binding memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian serta di-enforce oleh Pengadilan. Dalam praktik diplomasi Indonesia saat ini, sebelumnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa atas suatu PI melalui pengadilan internasional. Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadikan concern yang berarti bagi Indonesia; 5. Istilah MoU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai bentuk yang lebih "informal" dari "kontrak" atau "perjanjian" dalam hubungan perdata nasional. Dalam rangka menarik dan memberikan jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah mulai menggunakan format MoU untuk merefleksikan jaminan Pemerintah Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan investasi di daerah itu. Status MoU semacam ini masih menjadi perdebatan; 6. Perlu pula dicermati bahwa MoU sudah menjadi instrumen dan digunakan dalam hubungan kerja sama antarwilayah dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia. Pengertian MoU oleh otonomi daerah merupakan dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk "Perjanjian Kerja sama" yang bersifat mengikat; e. Arrangement adalah bentuk lain dari perjanjian yang dibuat sebagai pelaksanaan teknis dari suatu perjanjian yang telah ada (sering disebut sebagai specific/implementing arrangement);

Bab 1

Pemahaman Dasar Perjanjian Internasional

11

f.

Exchange of Notes/Le ers: 1. Adalah suatu pertukaran penyampaian atau pemberian resmi posisi pemerintah masing-masing yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu. Instrumen bisa menjadi suatu PI itu sendiri jika para pihak bermaksud untuk itu, yang dikenal dengan istilah Exchange of Notes/Le ers Constitute Treaty/Agreement; 2. Exchange of Notes/Letters dapat digunakan dalam hal-hal sebagai berikut: i. Pemberitahuan telah dipenuhinya prosedur konstitusional/ratifikasi suatu PI ii. Konfirmasi tentang kesepakatan terhadap perbaikan (rectification) dari suatu PI iii. Pengakhiran atau perpanjangan masa berlaku dari suatu PI iv. Penyampaian aspek-aspek teknis sebagai pelaksanaan dari suatu PI v. Bentuk lain dari PI (Exchange of Notes Constitute Treaty); g. Modus Vivendi biasa digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang bersifat sementara dan informal. Pada umumnya para pihak akan menindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan permanen; h. Agreed Minutes/Summary Record/Record of Discussion adalah kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan tentang hasil akhir atau hasil sementara seperti dra suatu perjanjian bilateral dari suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak digunakan untuk merekam pembicaraan pada acara kunjungan resmi atau tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan– kesepakatan sementara sebagai bagian dari suatu rangkaian putaran perundingan mengenai suatu masalah yang sedang dirundingkan. Namun perlu diperhatikan bahwa praktik negara-negara tentang judul suatu perjanjian sangat dinamis dan memunculkan berbagai variasi. Dewasa ini banyak negara yang menggunakan berbagai variasi judul seperti: Joint Statement, Protocol, Charter, Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side Le er, Reciprocal Agreement (dalam format Nota Diplomatik), Le er of Intent, Minutes of Meeting, Aide Memoire, Demarche, Le er of Agreement, Memorandum of Agreement, Le er of Understanding, Memorandum of Cooperation, Record of Understanding, atau nama lain yang disepakati oleh para pihak dalam PI. Walaupun judul suatu perjanjian dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan PI dalam nomenklatur tertentu dimaksudkan dan diupayakan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Selain itu terdapat kecenderungan dalam praktik negara-negara, sekalipun tidak konsisten, bahwa nomenklatur tertentu menunjukkan bahwa materi perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya dengan PI 12

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian tersebut dengan PI lainnya. Praktik di Indonesia sekalipun tidak mengikat secara hukum cenderung menempatkan Agreement lebih tinggi dari MoU yang kemudian diikuti dengan Arrangement Exchange of Notes. Praktik Indonesia pada umumnya tanpa disengaja telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur tertentu untuk ruang lingkup materi tertentu, misalnya lebih cenderung menggunakan "Agreement" sebagai instrument payung dan kemudian MoU serta Arrangements untuk instrumen turunannya. Pendekatan ini dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan secara hukum tidak mengurangi atau melarang Indonesia untuk menentukan bentuk lain berdasarkan asas kebebasan berkontrak sepanjang kedua pihak menyepakati. Selain itu, terdapat pula kecenderungan umum dalam praktik Indonesia bahwa dalam setiap perjanjian yang bersifat teknis antarsektor harus didahului dengan pembuatan perjanjian payung, seperti Perjanjian Kerja sama Ekonomi dan Teknik. Pendekatan ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan convenciences dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dalam hal ini, jika terdapat kebutuhan lain maka suatu Perjanjian dapat saja dibuat untuk masalah yang teknis dan konkrit tanpa adanya perjanjian payung. KLASIFIKASI PI Secara garis besar, bentuk dari PI dibedakan menjadi: 1. PI Tidak Tertulis atau PI Lisan (unwri en agreement or oral agreement). Perjanjian ini merupakan pernyataan secara bersama atau secara timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintah ataupun menteri luar negeri, atas nama Negaranya masing-masing mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak. Disamping itu, suatu PI tidak tertulis dapat berupa pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh pejabat-pejabat atau organ-organ pemerintah negara seperti tersebut di atas, yang kemudian pernyataan tersebut ditanggapi secara positif oleh pejabat-pejabat atau organ pemerintah dari negara lain yang berkepentingan sebagai tanda persetujuannya. Perjanjian dalam bentuk tidak tertulis ini mempunyai bentuk maupun sifat yang kurang formal. Sehingga akan berakibat kurang jelas dan kurang menjamin kepastian hukum bagi para pihak, tetapi dapat mengikat sebagai hukum yang derajatnya sama dengan PI yang berbentuk tertulis. 2. PI yang Berbentuk Tertulis (wri en agreement). Dewasa ini PI yang berbentuk tertulis mendominasi Hukum Internasional maupun hubunganhubungan internasional. Hal ini disebabkan karena memang PI yang berbentuk tertulis ini memiliki beberapa keunggulan, seperti ketegasan, Bab 1

Pemahaman Dasar Perjanjian Internasional

13

kejelasan, dan kepastian hukumnya bagi para pihak. PI yang berbentuk tertulis inipun jika ditinjau dari segi organ negara yang membuatnya, dapat dibedakan lagi dalam beberapa macam. Seperti perjanjian yang diadakan antarnegara, perjanjian antarkepala negara, perjanjian antar pemerintah, perjanjian antarkepala negara dan kepala pemerintah atau dengan organisasi internasional. Akan tetapi jika dilihat dari segi kekuatan mengikatnya masing-masing, sebenarnya tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Semuanya itu mengikat negara yang menjadi pihak di dalamnya. 3. Berdasarkan jumlah para pihaknya, PI diklasifikasikan menjadi: a. PI Bilateral yaitu apabila para pihak dalam PI berjumlah 2 pihak saja, contoh Perjanjian Perbatasan Indonesia-Malaysia, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Thailand, dll. b. PI Multilateral Terbatas/Tertutup [atau ada yang menyebutnya dengan istilah "PI Plurateral"] yaitu apabila para pihak dalam PI berjumlah lebih dari 2 pihak tetapi PI hanya dapat diikuti oleh pihak-pihak tertentu saja yang memiliki pertalian khusus seperti posisi geografis, persamaan ideologi atau politik tertentu, agama, kepentingan ekonomi, dll. Sebagai contoh ASEAN yang hanya dapat diikuti oleh negara-negara yang secara geografis terletak di kawasan Asia Tenggara, Organisasi Konferensi Islam yang hanya diperuntukkan bagi negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam, dll. c. PI Multilateral Terbuka [atau lazim disebut sebagai PI Multilateral sebagai bentuk paralel penggunaan istilah PI Plurateral] adalah PI yang keanggotaannya terbuka bagi semua pihak yang sepakat menggabungkan dan menundukkan diri pada PI dimaksud, contoh the United Nations Charter, the Agreement of Establishment the World Trade Organization, dll. UMPAN BALIK 1. Mengapa kodifikasi Hukum PI menggunakan bentuk konvensi internasional? Apa konsekuensinya? 2. Bagaimana kedudukan PI di antara sumber-sumber hukum lain dalam perspektif Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional? RANGKUMAN Sebelum ada Konvensi Wina tentang Hukum PI, sumber sebagian besar aturan hukum PI terletak pada kebiasaan internasional yang merepresentasikan bukti adanya sebuah praktik umum yang diterima sebagai hukum. Bahkan prinsip

14

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

yang paling mendasar dari pelaksanaan PI, yaitu prinsip pacta sunt servanda pun memiliki karakter ekstra legal. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap perjanjian yang berlaku bersifat mengikat pihak-pihak yang ada di dalamnya. LATIHAN SOAL 1. Sebutkan regim Hukum Internasional dan regim Hukum Nasional Indonesia yang mengatur tentan PI! 2. Bedakan pengertian PI dalam makna sempit dan makna luas! 3. Jelaskan akibat hukum penamaan PI dalam sebutan yang beragam! 4. Jelaskan perkembangan praktik penamaan PI di Indonesia! 5. Jelaskan peran Deplu RI dalam pembuatan PI oleh Pemerintah Indonesia! 6. Jelaskan dasar pengklasifikasian suatu PI!

Bab 1

Pemahaman Dasar Perjanjian Internasional

15

HUBUNGAN ANTARA PI DENGAN HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL

2

DESKRIPSI BAB Materi ini merupakan pengantar bagi mahasiswa untuk memahami hubungan antara perjanjian internasional dengan hukum kebiasaan internasional, serta akan memahami proses penormaan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 melalui proses kodifikasi dan perkembangan progresif. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antara hukum perjanjian internasional, dalam hal ini yang terwujud dalam Konvensi Wina 1969, dengan hukum kebiasaan internasional; 2. Mahasiswa mampu memahami proses penormaan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969, sebagai proses kodifikasi dan perkembangan progresif. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Materi ini memberikan pemahaman tentang hubungan antara Konvensi Wina 1969 dengan hukum kebiasaan internasional serta memahami karakternya sebagai bagian dari sejarah pertumbuhan Hukum Internasional HUBUNGAN ANTARA KONVENSI WINA 1969 DAN HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL Jika dilihat dari pokok-pokok aturan yang tertuang dalam Konvensi Wina 1969 sekilas terlihat bahwa Konvensi telah mencakup semua topik yang seharusnya ada dalam kerangka hukum PI, yaitu mengenai pembentukan, berlakunya, pentaatan, penerapan, amandemen, modifikasi, ketidakabsahan, penundaan dan pengakhiran PI. Konvensi juga mengatur ketentuan-ketentuan prosedural mengenai pendepositan, notifikasi, koreksi dan registrasi. Ringkasnya, isi

17

pokok Konvensi adalah serangkaian prinsip dan peraturan yang komprehensif sehingga menghasilkan ketentuan mengenai Hukum PI paling penting. Sekalipun sangat komprehensif dan penting, namun harus diperhatikan keterbatasan-keterbatasan Konvensi. Pertama, Konvensi ini terbatas hanya mengatur PI antarnegara (Pasal 1). Perjanjian yang ditandatangani antara Negara dan organisasi internasional, atau antar-organisasi internasional itu sendiri, dengan sengaja dikesampingkan dari ruang lingkup Konvensi. Karena Konferensi mengakui pentingnya perjanjian antara Negara dan organisasi internasional, maka disusunlah rekomendasi bagi Majelis Umum untuk mengarahkan Komisi Hukum Internasional (International Law Commission – ILC) agar mempelajari masalah perjanjian yang dilakukan antara Negara dan organisasi internasional atau antara dua atau beberapa organisasi internasional. Kedua, Konvensi ini terbatas pada PI yang ditandatangani antara Negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional, sehingga perjanjian yang tidak dalam bentuk tertulis, walaupun diatur oleh Hukum Internasional, tidak tercakup dalam pengaturan Konvensi. Ketiga, Konvensi secara tegas tidak berupaya mengatur masalah-masalah yang lahir dari penggantian (suksesi) perjanjian, tanggung jawab Negara dan dampak pecahnya peperangan terhadap perjanjian. Keempat, Konvensi ini penerapannya tidak berlaku surut, konvensi ini hanya berlaku pada perjanjian yang diikuti oleh Negara-negara setelah diberlakukannya Konvensi. Terakhir, beberapa ketentuan dalam Konvensi dianggap sebagai peraturan residual yang hanya dapat dilaksanakan apabila ditetapkan dan disepakati oleh pihak-pihak terkait, atau terlihat bahwa para pihak menginginkan sesuatu yang berbeda. Dengan menggunakan Konvensi ini, derajat kebebasan bertindak diserahkan kepada pihak-pihak dalam perjanjian. Konvensi juga mempertahankan dalam jumlah besar prinsip otonomi para pihak yang membuat perjanjian serta memberikan kelonggaran untuk melakukan praktik-praktik pembuatan perjanjian. Oleh karenanya, walaupun ruang lingkupnya komprehensif, penerapan Konvensi ini terbukti menjadi lebih terbatas penerapannya, tidak sebagaimana tergambar dalam rancangan Konvensi. Ini merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk menilai hubungan antara Konvensi dengan hukum kebiasaan internasional. Para penyusun naskah Konvensi dengan cermat mempertahankan ketentuanketentuan dalam hukum kebiasaan internasional mengenai PI yang berasal dari penelitian teks. Di bawah ini beberapa contoh ketentuan dalam Konvensi yang berkaitan erat dengan hukum kebiasaan internasional. 1. Pasal 3 Konvensi Pasal ini mengatur tentang kedudukan PI yang tidak masuk dalam ruang lingkup konvensi, yaitu: (1) PI yang ditandatangani antara Negara-negara dan subjek Hukum Internasional lainnya (misalnya organisasi internasional); (2) antara subjek-subjek Hukum Internasional di luar Negara; dan (3) PI tidak dalam bentuk tertulis. Sub-paragraf (b) dari Pasal 3 tersebut 18

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

menyebutkan bahwa peraturan yang dijabarkan dalam Konvensi di mana perjanjian itu merupakan subjek Hukum Internasional yang tersendiri dari Konvensi tetap tidak terpengaruhi oleh fakta bahwa Konvensi itu tidak dapat diberlakukan pada perjanjian itu. Pada sesi pertama Konferensi Wina, beberapa delegasi menyatakan keraguan atas makna frase "yang mana perjanjian itu tidak termasuk dalam pengaturan konvensi (to which they would subject independently of the Convention)" sebagaimana yang digunakan oleh Komisi. Tujuan penyusunan kalimat ini adalah untuk menggarisbawahi konsep bahwa ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam rancangan Pasal-Pasal Konvensi nantinya bisa diterapkan tidak hanya sebagai ketentuan berbentuk konvensi, namun juga karena mereka adalah ketentuan hukum kebiasaan internasional dan prinisipprinsip hukum umum. Komisi Perancang (dra ing commi ee) melakukan beberapa perubahan kecil terhadap ketentuan ini dengan menambahkan kata "di bawah Hukum Internasional (under international law)" sebelum "independently of the convention". Frase "independently of the Convention" diperlukan untuk menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam Konvensi dapat diberlakukan tidak sebagai bagian dari ketentuan Konvensi, namun sebagai sumber lain, misalnya hukum kebiasaan. 2. Pasal 4 Konvensi Pasal ini memuat prinsip non-retroaktif (tidak berlaku surut). Dalam Konvensi penerapan prinsip non-retroaktif dilakukan dengan catatan bahwa penerapannya di dalam Konvensi harus memperhatikan keadaan bahwa suatu perjanjian bisa saja tunduk pada ketentuan-ketentuan di luar Konvensi (without prejudice to the application to any irules set forth in the present Convention to which treaties would be subject under international law independently of the Convention…). Penerapan prinsip ini secara umum tercermin dalam Pasal 24 dari rancangan Pasal yang diajukan oleh Komisi Hukum Internasional. Perlu dimuatnya prinsip non-retroaktif untuk pertama kali diajukan oleh delegasi Venezuela pada sesi kedua konferensi tahun 1969, ketika konferensi mulai membicarakan ketentuan akhir dari Konvensi. Proposal Venezuela sebenarnya ditarik karena ada lima proposal yang diajukan oleh perwakilan Swedia. Kelima proposal itu mempertahankan berlakunya peraturan hukum kebiasaan internasional yang dikodifikasi oleh Konvensi yang ada saat ini. Dalam mengajukan proposal tersebut, perwakilan Swedia menyampaikan bahwa sebenarnya telah disepakati bahwa sebagian besar isi rancangan Konvensi hanyalah ungkapan peraturan yang telah ada pengaturannya dalam hukum kebiasaan internasional. Kebiasaan itu jelas bisa dijadikan sebagai aturan walaupun tanpa ada referensi dari Konvensi. Namun pada tingkat tertentu, Konvensi memuat ketentuan yang tidak diatur di dalam hukum kebiasaan internasional. Pasal 24 Konvensi sebetulnya sudah jelas memuat ketentuan umum mengenai Bab 2 Hubungan Antara PI dengan Hukum Kebiasaan Internasional

19

prinsip non-retroaktif, namun akan lebih aman jika dimuat suatu ketentuan yang tegas mengenai hal ini. Proposal yang diajukan Swedia terkesan terlalu membatasi lingkup Konvensi hanya pada keinginan untuk tetap mempertahankan hukum kebiasaan internasional yang ada. Seharusnya perlu diperhatikan pula adanya prinsip-prinsip hukum umum sebagai salah satu sumber utama Hukum Internasional, terlebih lagi membatasi berlakunya hukum-hukum kebiasaan internasional hanya pada ketentuan yang termuat di dalam Konvensi tidaklah dapat diterima. Ketentuan dalam hukum kebiasaan internasional di luar Konvensi seharusnya tetap dapat diterapkan. Penyatuan pandangan-pandangan yang berbeda ini akhirnya mewujud menjadi Pasal 3(b) Konvensi. 3. Pasal 38 Konvensi Mengenai kedudukan hukum kebiasaan internasional terhadap Konvensi juga dapat diketemukan dalam Pasal 38, yang menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 34-37 (mengenai hubungan antara PI dengan pihak ketiga) tidak dapat diterapkan pada perjanjian-perjanjian di mana keterikatan pihak ketiga terhadap perjanjian tunduk pada aturan hukum kebiasaan internasional. Pasal 38 bersumber dari serangkaian rancangan Pasal Konvensi yang disusun oleh ILC tahun 1966. Dalam ulasannya tentang Pasal 34, Komisi mencatat peran penting yang dimainkan oleh kebiasaan dalam memperluas penerapan ketentuan yang termuat dalam perjanjian di antara Negara-negara peserta. Setelah mengkutip contoh-contoh dari perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Negara-negara mengenai penetapan wilayah territorial, pengaturan sungai atau perairan yang kemudian diterima dan diikuti oleh Negara-negara lain sebagai hukum kebiasaan, ILC menyampaikan pandangan bahwa Konvensi mengakui keberadaan ketentuan hukum kebiasaan internasional dapat diterima dan diberlakukan bagi Negara-negara bukan pihak dalam Konvensi. Sekalipun demikian ILC tetap pada pendirian bahwa ini bukan permasalahan Konvensi saja yang memiliki dampak hukum bagi Negara ketiga. Keterikatan suatu Negara bukan pihak terhadap suatu ketentuan (kebiasaan) yang dirumuskan dalam perjanjian bukan lahir dari perjanjian itu sendiri melainkan lahir dari ketentuan hukum kebiasaan. Saat konferensi ada sejumlah kritikan terhadap rancangan Pasal ini. Tidak dibantah bahwa memang ada sebuah proses di mana peraturan yang termuat dalam perjanjian bisa menjadi pengikat bagi Negara ketiga melalui proses kebiasaan. Namun dikatakan bahwa proses ini tidak berkaitan dengan aturan-aturan hukum PI. Bagaimana suatu ketentuan dalam perjanjian bisa ditransformasikan menjadi ketentuan hukum kebiasaan merupakan kajian dan lingkup dari prinsip-prinsip pertumbuhan dan pembentukan hukum kebiasaan.

20

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

4. Pasal 43 Konvensi Pasal ini memuat prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yaitu mengenai: ketidak-absahan (invalidity), penghentian (termination) dan keberatan atas pelaksanaan (denunciation) perjanjian; pengunduran diri salah satu pihak dari perjanjian itu; atau penangguhan pelaksanaan perjanjian sebagai akibat penerapan Konvensi atau ketentuan perjanjian. Akibat hukum dari pengambilan sikap Negara terhadap perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 43 tersebut, tidak meniadakan kewajiban-kewajiban Negara yang lahir dari ketentuan-ketentuan Hukum Internasional lain di luar perjanjian yang dibuat oleh Negara-negara. Dalam menanggapi rancangan ketentuan ini, perwakilan AS, Mr. Brigss menyatakan bahwa "Pasal ini memuat ketentuan yang sangat penting dalam Hukum Internasional untuk melengkapi ketentuan Pasal 38 Konvensi sehingga memungkinkan suatu ketentuan dalam suatu PI mengikat pihak ketiga melalui proses hukum kebiasaan. Di atas telah dikaji empat ketentuan Konvensi yang secara langsung berkaitan dengan permasalahan keterkaitan antara Konvensi Wina 1969 dengan hukum kebiasaan internasional. Namun demikian, perlu juga dikaji mengenai kaitan antara Mukadimah Konvensi dengan Hukum PI. Mengikuti Mukadimah yang dirumuskan dalam Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Diplomatik, pada klausul akhir Mukadimah dinyatakan bahwa ketentuan hukum kebiasaan internasional yang ada tetap diberlakukan berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur di dalam Konvensi. Memang ketentuan di dalam Mukadimah tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menghubungkan antara ketentuan-ketentuan dalam Konvensi dengan hukum kebiasaan internasional, namun demikian klausul dalam mukadimah itu dapat menunjukkan adanya ketersediaan ketentuan-ketentuan dalam hukum kebiasaan internasional apabila terdapat permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diketemukan aturannya di dalam Konvensi. Menurut perwakilan Swiss, sekalipun Konferensi telah berhasil mengubah ketentuan-ketentuan yang baru dan substansial dalam hukum kebiasaan menjadi bentuk tertulis; namun masih tetap terjadi kesenjangan sehingga dalam pelaksanaan hubungan internasional kadang-kadang masih harus kembali ke hukum kebiasaan. KONVENSI WINA 1969 SEBAGAI HASIL KODIFIKASI DAN PERKEMBANGAN PROGRESIF Para perancang Konvensi menyadari betapa rumitnya keterkaitan hubungan antara ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi dengan ketentuanketentuan dalam hukum kebiasaan internasional, sehingga mereka tidak berupaya mendefinisikan keterkaitan hubungan ini lebih jauh. Konvensi Bab 2 Hubungan Antara PI dengan Hukum Kebiasaan Internasional

21

hanya menegaskan masih tetap diberlakukannya ketentuan-ketentuan dalam Konvensi sekalipun perjanjian yang dibuat oleh Negara-negara juga diatur oleh ketentuan Hukum Internasional lain di luar Konvensi. Jika demikian halnya, maka akan sulit untuk membedakan antara ketentuan dalam Konvensi yang hanya merupakan kodifikasi dari aturan-aturan hukum kebiasaan atau hukum internasional umum yang sudah ada dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi yang berupa pengembangan atau perluasan dari aturan-aturan yang sudah ada. Perbedaan antara kodifikasi dan perkembangan progresif ini membutuhkan sebuah analisis. Pasal 15 Satuta Komisi Hukum Internasional (the Statute of International Law Commission) menyatakan bahwa apa yang dimaksud Statuta dengan "perkembangan progresif Hukum Internasional" adalah mempersiapkan draf Konvensi mengenai bidang-bidang yang belum diatur di dalam hukum lnternasional atau berkenaan dengan katentuan-ketentuan hukum internasional yang belum secara memadai dipraktikkan oleh Negara-negara. Selaras dengan hal ini maka dapat didefinisikan pula makna "kodifikasi hukum internasional" sebagai formulasi dan sistematisasi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang ada dalam praktik Negara-negara, preseden atau doktrin-doktrin hukum secara lebih tepat. Dalam praktik, ILC mengalami kesulitan untuk membedakan kedua konsep tersebut. Perbedaan itu sangat penting dipahami berkaitan dengan metode dan prosedur yang akan digunakan oleh Komisi. Penggunaan metode kodifikasi secara sempit oleh Komisi telah menimbulkan keragu-raguan akan keberhasilan penyusunan Konvensi. Sejarah telah mencatat bahwa Sekretariat PBB tahun 1947 pernah menyampaikan laporan sulitnya mencapai kesepakatan oleh Negara-negara dalam mengkodifikasi ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum kebiasaan internasional karena alasan-alasan politis. Oleh karenanya perlu dipersiapkan kajian-kajian ilmiah dari para ahli hukum yang netral sebagai langkah pendahuluan untuk mempersiapkan landasan bagi kodifikasi hukum internasional. Sekalipun demikian, pengalaman ILC telah membuktikan bahwa sulit untuk mempertegas garis pembagi yang jelas dan nyata antara kodifikasi atau perkembangan progresif. Pada tahun 1953, ketika menyerahkan rancangan konvensi pada Arbitral Procedur, pihak komisi menyebutkan bahwa rancangan itu terbagi menjadi kategori perkembangan progresif Hukum Internasional dan kodifikasi Hukum Internasional. Di tahun 1956, ILC menyerahkan serangkaian rancangan Pasal akhir tentang hukum laut kepada Majelis Umum. Dalam laporannya, komisi menyatakan bahwa dalam menyiapkan peraturan tentang hukum laut, Komisi meyakini bahwa sulit melakukan pembedaan antara perkembangan progresif dan kodifikasi dalam hukum laut. Hal ini tidak hanya dikarenakan adanya perbedaan pendapat yang besar mengenai apakah permasalahan terkait telah dikembangkan secara memadai dalam 22

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

praktik, namun juga beberapa ketentuan yang digunakan oleh Komisi yang berasal dari prinsip-prinsip Hukum Internasional telah dikategorisasikan sedemikian rupa sebagai perkembangan progresif. Walaupun Komisi berupaya menetapkan suatu Pasal yang masuk dalam kategori satu dan Pasal lain dalam kategori yang kedua, namun beberapa Pasal tidak dapat masuk pada dua kategori tersebut walaupun telah dilakukan berbagai upaya. Fakta di atas menunjukkan bahwa Komisi pada awalnya menghadapi kesulitan dalam membedakan antara perkembangan progresif dan kodifikasi Hukum Internasional. Jelas bahwa ketika merumuskan sebuah ketentuan yang sebenarnya dianggap merefleksikan praktik, preseden dan doktrin hukum hal ini dianggap sebagai transformasi peraturan-peraturan itu menjadi perkembangan progresif. Ketika menyerahkan rancangan akhir Konvensi Hukum PI ILC menolak kategorisasi aturan ke dalam perkembangan progresif atau kodifikasi, hal ini mengikuti praktik-praktik yang dilakukan sebelumnya. Dalam laporannya ILC menyatakan bahwa karya ILC mengenai hukum PI meliputi kodifikasi dan perkembangan progresif Hukum Internasional sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 15 Statuta ILC. Berkaca dari permasalahan yang ada dalam beberapa rancangan sebelumnya, sulit untuk melakukan kategorisasi atas suatu ketentuan dalam Konvensi. Dari berbagai komentar dapat diindikasikan bahwa beberapa ketentuan baru yang diajukan dalam penyusunan Konvensi merupakan buah pemikiran dari Majelis Umum dan Pemerintah Negaranegara anggota PBB. Dari uraian tersebut di atas dapat diindikasikan bahwa pasal-pasal yang diajukan oleh Komisi lebih cenderung merupakan perkembangan progresif dibandingkan sebagai kodifikasi. Namun penelitian yang lebih cermat terhadap masalah ini akan mengubah pemikiran tersebut, karena sulit untuk mengukur apakah ILC mengajukan proposalnya dengan cara melakukan pengembangan progresif bukan dengan cara kodifikasi. Beberapa contoh di bawah ini merupakan wujud dari perkembangan progresif Hukum Internasional dalam Konvensi Wina 1969: 1. Pasal 9 (2) Ketentuan dalam Konvensi yang secara jelas merupakan perkembangan progresif adalah Pasal 9 (2). Pasal ini menyatakan bahwa perumusan naskah perjanjian dalam konferensi internasional dilakukan dengan cara mengambil 2/3 suara terbanyak dari jumlah Negara yang hadir, kecuali mereka memutuskan untuk menerapkan peraturan yang lain. Dalam komentarnya terhadap proposal yang menjadi dasar ketentuan itu, ILC menyatakan bahwa dulu penggunaan teks perjanjian hampir selalu terjadi melalui persetujuan semua Negara yang berpartisipasi dalam perundingan dan hasil suara bulat menjadi peraturan yang umum. Namun sekarang, perkembangan pelaksanaan pembahasan perjanjian pada konferensi Bab 2 Hubungan Antara PI dengan Hukum Kebiasaan Internasional

23

internasional yang besar atau dalam organisasi internasional, penggunaan prosedur suara mayoritas merupakan hal biasa, karenanya tidaklah realistis untuk menganggap kesepakatan seluruh peserta yang hadir dalam konferensi sebagai ketentuan umum dalam proses perumusan naskah (adoption) konferensi atau organisasi. Mr. Yassen, seorang anggota ILC dari Irak, menyatakan dengan tegas bahwa Pasal 9 (2) memuat ketentuan yang merupakan representasi perkembangan progresif Hukum Internasional dan didasarkan pada praktik-praktik internasional. 2. Pasal 18 Teks Pasal 15(a) Rancangan Konvensi karya ILC juga merupakan karya ILC yang merepresentasikan perkembangan progresif yang dihasilkan oleh dari serangkaian rancangan naskah akhir yang dirumuskan oleh Komisi pada tahun 1966. Proposal itu menegaskan bahwa Negara diwajibkan menahan diri dari melakukan tindakan yang dapat menghalangi tercapainya tujuan perjanjian yang akan dibentuk ketika apabila Negara tersebut telah sepakat untuk ikut dalam perundingan-perundingan dalam rangka melakukan penutupan perjanjian. Di sesi awal konferensi, usulan ini banyak dikritik. Menurut pandangan perwakilan Venezuela, subparagraph (a) menggunakan sebuah prinsip Hukum Internasional yang baru. Perwakilan Negara Swiss menegaskan bahwa peraturan itu adalah peraturan baru dan nampak melebihi jangkauan ruang lingkup kodifikasi. Bagi Delegasi Yunani, peraturan pada subparagraph (a) diistilahkan sebagai perluasan pengembangan Hukum Internasional, sedangkan bagi Delegasi India peraturan itu merupakan peraturan baru yang tidak berasal dari doktrin, preseden atau praktik negara. Perwakilan Negara Austria beranggapan bahwa subparagraph (a) jangkauannya melebihi peraturan Hukum Internasional yang ada dan delegasi Negara Jerman menyatakan bahwa peraturan itu tidak dapat diketemukan landasannya dalam Hukum Internasional atau praktik-praktik internasional dan hampir tidak dianjurkan dari sudut pandang perkembangan progresif dari Hukum Internasional. Menanggapi perdebatan itu, Sir Humprey Waldock yang bertindak sebagai Konsultan Ahli dalam Konferensi itu, mengakui bahwa ILC tidak mendasarkan diri pada otoritas atau kasus tertentu, dan tidak ingin menyatakan bahwa prinsip yang tersebut dalam Pasal 15 subparagraph (a) merupakan suatu ketentuan di dalam hukum kebiasaan internasional. Jika kemudian proposal ILC dipandang sebagai perkembangan progresif atau kodifikasi hukum, ini hanya mengenai perbedaan pendapat yang tidak substansial. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap rancangan ini hasilnya adalah rumusan dalam Pasal 18 Konvensi Wina 1969.

24

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

3. Pasal 19–23 Pasal-Pasal tentang reservasi (Konvensi Wina Pasal 19-23) juga menunjukkan sebagai perkembangan progresif dibandingkan kodifikasi. Penjelasan tentang rancangan Pasal yang disiapkan oleh ILC menjabarkan secara rinci riwayat perkembangan yang berkaitan dengan reservasi terhadap Konvensi multilateral. Tidak diragukan bahwa saran yang diberikan oleh Mahkamah Internasional pada 1951 yang berkaitan dengan Reservasi terhadap Konvensi Genosida telah bergerak menjauh dari kaidah lama mengenai kebulatan suara untuk menentukan validitas perjanjian, di mana reservasi harus mendapat persetujuan dari semua Negara yang berkepentingan. Di sisi lain, juga berhadapan dengan pengikut kelompok paham kedaulatan yang ekstrim, di mana setiap Negara dianggap memiliki hak kedaulatan absolut untuk menjadikan reservasi sesuai kemauan sendiri dan memaksa Negara pihak lain yang ikut dalam konvensi internasional untuk tunduk terhadap reservasi itu. Ini menunjukkan bahwa persoalan reservasi terhadap suatu konvensi multilateral adalah tidak pasti dan kontroversial karena dilandasi oleh teori yang berbeda-beda. Sebagian ahli menyatakan bahwa Konvensi Wina menggunakan pendekatan secara fleksibel terhadap masalah ini dengan menggunakan sistem pan-Amerika, namun ahli yang lain menegaskan bahwa aturan mengenai reservasi dalam Konvensi lebih merupakan hasil kodifikasi dibandingkan dengan perkembangan progresif. 4. Pasal 40 Ketentuan mengenai amandemen dan modifikasi perjanjian multilateral sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 dan Konvensi Wina dapat dikategorikan secara tegas sebagai hasil dari perkembangan progresif. McNair menyatakan: "secara prinsip, tidak satupun Negara memiliki hak untuk menuntut adanya revisi perjanjian jika tidak ada ketentuan yang terkandung dalam perjanjian itu atau perjanjian lainnya yang menyebabkan adanya revisi tersebut." Mac Nair juga menegaskan bahwa "revisi perjanjian adalah masalah politik dan diplomasi." Di sisi lain, ILC mengemukakan bahwa selain harus membedakan antara amandemen dan modifikasi inter se, perlu juga menetapkan aturan tambahan berkenaan dengan adanya PI yang tidak mengatur mengenai revisi di dalamnya. Sekalipun dengan catatan bahwa sebagai suatu ketentuan yang merepresentasikan perkembangan progresif dari Hukum Internasional, Pasal 40 tersebut dapat menimbulkan sejumlah kesulitan dalam pelaksanaannya, namun Konferensi tetap menerima substansi proposal yang diajukan oleh Komisi. Dengan mengacu pada paragraph 5 dari Pasal 40, Sir Humprey Waldock mengatakan bahwa Pasal itu akan menyebabkan persoalan di masa yang akan datang (de lege ferenda) bagi negara yang akan menjadi pihak pada perjanjian yang telah diamandemen. Bab 2 Hubungan Antara PI dengan Hukum Kebiasaan Internasional

25

5. Pasal 48–53 Bab Konvensi Wina Bab V yang mengatur tentang ketidakabsahan (invalidity), pengakhiran dan penangguhan pelaksanaan perjanjian lebih menunjukkan sebagai perkembangan progresif, bukan kodifikasi stricto sensu. Ketentuan-ketentuan tersebut secara khusus digunakan sebagai dasar untuk menyatakan ketidakabsahan perjanjian apabila wakil dari Negara peserta pembentukan PI yang bersangkutan melakukan tindakan yang tidak sah, seperti: (a) terjadinya kesalahan (error), kecurangan (fraud), korupsi, ancaman yang dilakukan pejabat Negara; (b) kekerasan oleh Negara dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekuatan dan (c) tindakan yang bertentangan dengan norma dasar dari Hukum Internasional umum (jus cogens) sebagaimana dijelaskan dalam Konvensi Wina Pasal 48–53. Khusus mengenai kesalahan (error), Komisi menyatakan bahwa jarang sekali terjadi kesalahan substansial sehingga memengaruhi kebenaran esensial sebuah perjanjian, dan hampir semua kesalahan tersebut hanya terkait dengan masalah geografis dan kesalahan mengenai lokasi. Dari dua kasus yang dirujuk oleh Komisi, yaitu kasus Eastern Greenland dan kasus The Temple kesalahan yang terjadi hanya sederhana sehingga tidak menyebabkan adanya pelanggaran terhadap persetujuan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Pasal 48 cenderung merupakan perkembangan progresif ataukah kodifikasi. Paragraf 1 Pasal 48 membatasi hak Negara untuk mengajukan klaim atas kesalahan (error) dalam batas yang cukup sempit sebagaimana yang dapat dilihat dictum putusan kasus The Temple. Dalam konferensi juga muncul pertanyaan apakah Pasal itu mencakup semua masalah kesalahan, misalnya kesalahan yang timbul akibat kesalahan interpretasi. Dicatat pula dalam Konferensi bahwa Paragraf 2 Pasal 48 dianggap kurang lengkap karena paragraph itu mengabaikan pembelaan pihak yang melakukan kesalahan apabila kesalahan lahir dari tindakan yang dibenarkan. Dalam kasus Temple, Mahkamah Internasional mengatakan bahwa gugatan atas kesalahan tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk memutuskan persetujuan, apabila pihak penggugat turut ambil bagian atas terjadinya kesalahan, dapat menghindari terjadinya kesalahan, atau adanya kondisi yang menjadikan penggugat tersebut mengetahui kesalahan yang akan terjadi. Dari uraian di atas terlihat bahwa, Pasal 48 hanya merupakah hasil dari perkembangan progresif dan juga kodifikasi. Kasus terjadinya kecurangan sangat jarang dalam PI, karenanya Komisi tidak mampu memberikan contoh faktual dan mengakui bahwa dalam Hukum Internasional ditemukan sedikit panduan baik dalam praktik atau dalam putusan-putusan pengadilan internasional sehingga dapat memperjelas lingkup dari konsep "kecurangan." Hal ini menyebabkan tidak terumuskannya definisi "tindakan kecurangan (fraudulent conduct)" yang dimasukkan Komisi dalam teks proposalnya, namun Komisi 26

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

mengindikasikan bahwa rumusan mengenai "tindakan kecurangan" dimaksudkan untuk mengatur pernyataan-pernyataan salah, kesalahan interpretasi atau tindakan tidak jujur lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara sehingga pihak lain mau melakukan persetujuan, di mana persetujuan ini tidak akan dilakukan oleh pihak lain tanpa adanya informasi yang dibungkus kecurangan tersebut. Komisi juga menyuarakan perlunya upaya menemukan konsep dan konotasi yang jelas mengenai "kecurangan" atau dol dalam Hukum Internasional. 6. Pasal 50 Contoh yang lebih tegas tentang perkembangan progresif adalah Pasal 50, yang memungkinkan Negara menjadikan korupsi yang dilakukan pejabatnya sebagai dasar untuk menghapuskan keabsahan tindakan pejabat tersebut dalam melakukan consent to be bound terhadap suatu perjanjian. Komisi Hukum Internasional tidak menyertakan ketentuan khusus tentang korupsi dalam rancangan Pasal-Pasal yang telah diadopsi tahun 1963. Ketentuan ini dimuat dalam proposal tahun 1966 yang menjadi dasar pembentukan Pasal 50 Konvensi Wina. Mengenai korupsi ini, Komisi juga tidak mampu memberikan contoh dalam praktik, karenanya bagi sejumlah delegasi, korupsi merupakan bentuk lain dari kecurangan dan tidak harus dimasukkan sebagai hal yang terpisah dari ketentuan mengenai kecurangan tersebut. Namun bagi delegasi lain, seperti perwakilan Yunani, Pasal 50 membuka peluang lahirnya institusi baru dalam Hukum Internasional. 7. Pasal 51 Konvensi Wina dalam Pasal 51 menyebutkan bahwa persetujuan untuk terikat dalam sebuah perjanjian yang telah didapatkan melalui pemaksaan yang dilakukan oleh wakil salah satu pihak melalui tindakan atau ancaman yang diarahkan ke pihak lain tidak memiliki akibat hukum. McNair beranggapan bahwa pemaksaan yang ditujukan pada perwakilan Negara dapat menghapus persetujuan. Namun bila sebuah perjanjian memerlukan ratifikasi dan telah diratifikasi oleh lembaga Negara yang berhak, ratifikasi itu dapat menghilangkan semua pengaruh ancaman atau penggunaan pemaksaan bagi orang yang menandatangi perjanjian. Gagasan bahwa kekerasan yang diarahkan kepada perwakilan Negara bisa ditimbulkan oleh Negara yang dianggap sebagai dasar untuk menolak persetujuan yang diikat oleh perjanjian memiliki dasar Hukum Internasional biasa; apa yang baru dalam perumusan Pasal 51 adalah konsep yang absolute bukan bersifat relative, atau tidak ada. Pasal 52 berkenaan dengan penggunaan kekerasan Negara. Setelah mengkaji riwayat permasalahan dan memperhatikan pelarangan yang jelas tentang ancaman atau penggunaan kekuatan dalam Pasal 2(4) Piagam PBB Komisi Hukum Internasional mendukung kesimpulan bahwa ketidakabsahan Bab 2 Hubungan Antara PI dengan Hukum Kebiasaan Internasional

27

perjanjian yang diakibatkan oleh ancaman yang melanggar hukum atau penggunaan kekuatan merupakan prinsip lex lata dalam Hukum Internasional saat ini. Pembahasan konferensi tentang Pasal ini menitikberatkan pada dua masalah: a. apakah interpretasi mengenai bentuk ancaman atau penggunaan kekerasan termasuk di dalamnya ancaman berupa tekanan ekonomi dan politik? b. penerapan aturan secara temporal atas perjanjian yang dibuat di bawah ancaman atau penggunaan kekuatan yang melanggar prinsip-prinsip Hukum Internasional yang diwujudkan dalam Piagam PBB yang berlaku. Peraturan diwujudkan dalam Pasal 52 Konvensi Wina tersebut menunjukkan hasil dari berbagai perdebatan serius, namun tetap saja mengandung ketidakpastian tentang ruang lingkup peraturan dan penerapan sementara. Ketidakpastian ini tidak diatasi dengan perubahan Pasal yang bersangkutan. Akhirnya kita sampai pada jus cogens (norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah) sebagai konsep terpenting dan perwujudan progresif dalam Konvensi Wina secara keseluruhan. Jika pada saat penandatanganan perjanjian ternyata perjanjian tersebut bertentangan dengan Jus Cogens maka perjanjian menjadi tidak berlaku atau batal. Nahlik mengklaim bahwa 'ketentuan dalam Konvensi Wina menegaskan bahwa perjanjian tidak berlaku apabila bertentangan dengan norma Hukum Internasional. Jus cogens bukanlah sebuah penemuan dari Komisi Hukum Internasional atau Konferensi Wina, namun didasarkan pada konsep bahwa kemerdekaan Negara dalam menandatangani perjanjian telah dibatasi oleh perkembangan progresif Hukum Internasional. Namun kontroversi yang mengelilingi keberadaan peraturan jus cogens, jauh dari definisi dan identifikasi masalah ini. Schwarzenberger tegas dan tanpa kompromi menyatakan bahwa Hukum Internasional bagi masyarakat internasional yang masih belum terorganisir dengan baik konsep jus cogens mungkin terlalu dini; terlebih lagi, sekalipun sebagai sebuah konsep ia didukung secara luas dalam doktrin maupun dalam tulisan para ahli hukum, namun penerapannya dalam praktik Negara sangat sedikit. Ini bisa dikatakan bahwa sistem hukum yang dibangun harus mengabaikan peraturan-peraturan tertentu yang memiliki tatanan lebih tinggi dibanding hanya karakter yang tidak positif di mana orang yang tunduk terhadap hukum merupakan orang bebas untuk mengadakan perjanjian. Juga ada pengakuan umum bahwa ada peraturan Hukum Internasional tertentu yang mendasar, seperti peraturan yang melarang penggunaan ancaman atau penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional, di mana Negara tidak dapat mundur dari perjanjian. Namun definisi dan identifikasi peraturan dari hukum yang lebih tinggi dikelilingi oleh hambatan yang besar sekali. Komisi Hukum Internasional sendiri mengakui bahwa "tidak ada kriteria sederhana untuk mengidentifikasi peraturan Hukum 28

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Internasional umum sebagaimana karakter jus cogens. Catatan dalam konferensi mengungkap berbagai pendapat tentang ruang lingkup dan kandungan jus cogens. Tidak adanya kesepakatan tentang jus cogens merupakan bukti yang mencukupi bahwa peraturan yang diwujudkan pada Pasal 53 memuat tanda perkembangan progresif bukan kodifikasi. Bisa dilihat bahwa, dengan mengacu pada serangkaian Pasal tentang kesalahan, kecurangan, korupsi dan sebagainya, pada sesi kedua konferensi, Sir Francis Vallat atas nama delegasi Kerajaan Inggris menyatakan bahwa sering dikatakan bahwa beberapa Pasal yang diubah menjadi bentuk tulisan prinsip yang ada atau peraturan Hukum Internasional, namun delegasinya sangat meragukan apakah semuanya itu benar. Terlepas apakah benar atau tidak, Pasal itu pastilah mengandung elemen-elemen penting dari perkembangan progresif, bila hanya memandang rumusannya dan modalitas dan prosedur penerapan Pasal-Pasal itu. Secara normal, menurut standar perundangundangan, rancangan Pasal itu dalam beberapa hal bersifat luas dan tidak jelas; kata kunci seperti 'kecurangan' dan 'kekerasan', cukup sulit diinterpretasikan dalam hukum pemerintahan dan sebelumnya tidak diterapkan dalam Hukum Internasional, tetap tidak akan pernah mendapat kepastian. Sebelum membuat kesimpulan tentang aspek ini, maka perlu memperhatikan pandangan yang disampaikan oleh komentator lain berkaitan dengan peraturan yang diwujudkan dalam Konvensi Wina merupakan perkembangan progresif atau kodifikasi. Nisot berpendapat bahwa Pasal 18 berkaitan dengan kewajiban untuk tidak membatalkan objek dan tujuan perjanjian sebelum perjanjian itu berlaku merupakan rejim baru yang sama dengan meremehkan Hukum Internasional biasa. O'Connel juga berpandangan bahwa Konvensi Wina Pasal 18 lebih luas dari pada Hukum Internasional biasa. ia mengatakan bahwa ketentuan Pasal itu lebih keras dan lebih relaks daripada prinsip niat baik di mana prinsip itu didasarkan pada-lebih keras dalam arti Pasal itu mengabaikan relevansi keadaan sekeliling dan lebih relaks dalam arti Pasal itu mengkaitkan kewajiban hanya dengan objek dan tujuan perjanjian dan bukan pada kejadiannya. Juga dikatakan bahwa Konvesi Wina Pasal 46 pada hal tertentu bersifat inovatif dalam membatasi hak untuk menjadikan pelanggaran hukum konstitusional sebagai dasar untuk menolak persetujuan sebuah Negara untuk terikat oleh sebuah perjanjian. Masalah ini masih bisa diperdebatkan, karena banyak hal yang bergantung pada apakah sesuatu itu berawal dari posisi di mana batasan konstitusional pada kekuasaan untuk membuat perjanjian dipadukan ke dalam Hukum Internasional sehingga mengubah tidak dapat berlakunya persetujuan bagi sebuah perjanjian yang diberikan menurut tingkatan internasional dalam melanggar batasan konstitusional; atau dari posisi di mana Hukum Internasional memberikan setiap Negara dengan kebulatan tekad terhadap lembaga dan prosedur yang mana keinginannya untuk mengakhiri Bab 2 Hubungan Antara PI dengan Hukum Kebiasaan Internasional

29

perjanjian terjadi, dan hal ini sangat terkait dengan manifestasi eksternal dari keinginan ini pada tingkat internasional sebagaimana kecenderungan yang dimiliki yurisprudensi internasional dan praktik Negara dalam beberapa tahun terakhir yang mengarah pada posisi kedua atau posisi internasionalis. Namun masih diragukan apakah Pasal 46 konvensi Wina mencakup elemen perkembangan progresif material. Analisa singkat tentang tingkatan beberapa ketentuan yang lebih signifikan dari Konvensi Wina dapat dianggap, sebagian kecil, merepresentasikan perkembangan progresif yang tidak dimaksudkan bersifat mendalam. Namun lebih dimaksudkan untuk mengilustrasikan tesis bahwa perbedaan antara perkembangan progresif dan kodifikasi menjadi semakin kabur ketika dilakukan upaya untuk memperjelas dalam bentuk peraturan yang konvensional yang mendasarkan sumber mereka kebiasaan internasional atau dari pinsip hukum umum. UMPAN BALIK 1. Apakah ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 dapat mengikat Negara bukan pihak-pihak yang terlibat konvensi? 2. Apakah Konvensi itu sendiri menghasilkan peraturan yang mungkin dapat diterima dan diakui sebagai peraturan Hukum Internasional umum, walaupun peraturan itu tidak memiliki semua karakteristik sebagai Hukum Internasional pada umumnya? 3. Apakah ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 yang berupa ketentuan progresif (bukan kodifikasi hukum kebiasaan) dapat mengikat negaranegara yang bukan pihak dalam perjanjian tersebut? LATIHAN SOAL Mengingat banyak terjadinya kasus perompakan di Laut Arab, maka di Negara-negara yang berkepentingan atas keselamatan dan pelayaran di wilayah tersebut di bawah koordinasi IMO (International Maritime Organization) menyelenggarakan Konferensi mengenai Keselamatan dan Keamanan Pelayaran di Laut Arab yang diselenggarakan tanggal 25–28 April 2002, di Sinini, ibu kota Negara Baghara. Konferensi ini belum menghasilkan kesepakatan yang berarti sehingga dilanjutkan dengan Konferensi kedua yang dilaksanakan di tempat yang sama 2–6 Mei 2004 di tempat yang sama. Konferensi kedua menghasilkan naskah akhir (final text) yang terbuka untuk ditandatangani para pihak sampai tanggal 6 Agustus 2004. Dalam naskah tersebut disyaratkan adanya ratifikasi sebagai cara melakukan consent to be bound. Naskah juga menyebutkan adanya kewajiban dari Negara-negara pengguna Teluk Arab

30

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

membayar iuran dalam jumlah tertentu dalam rangka menjaga keamanan dan keselamatan pelayaran di wilayah tersebut. Banyaknya kasus perompakan dilakukan oleh pendukung-pendukung yang terlibat dalam perang saudara di Negara Sumulu, Negara yang berbatasan langsung dengan teluk Arab. Saat ini di Negara Sumulu terdapat dua pemerintahan yang sedang berupaya menguasai satu sama lain, yaitu yang di bawah pimpinan Presiden lama, yaitu Presiden Butho dan di bawah Presiden Mundhu yang dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Baghara adalah Negara yang paling stabil di wilayah sekitar teluk Arab, sehingga IMO merasa perlu untuk membuat perjanjian dengan Baghara berkaitan dengan pelatihan dan bantuan teknis dalam keselamatan dan keamanan pelayaran. Pembuatan perjanjian dilakukan pada saat yang bersamaan dengan penyelenggaraan Konferensi kedua. Catatan: Jawablah setiap pertanyaan dengan uraian yang jelas disertai dasar hukumnya atau legal reasonnya. Diasumsikan bahwa setiap Negara dalam kasus hipotetis di bawah ini, termasuk Indonesia, menjadi pihak dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional dan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Pertanyaan: 1. Menurut anda, (a) perjanjian yang dibuat oleh IMO dan Baghara mengenai pelatihan dan bantuan teknis dalam keselamatan dan keamanan pelayaran tersebut merupakan perjanjian bilateral atau multilateral? dan (b) apakah perjanjian tersebut tunduk pada pengaturan dalam Konvensi Wina 1969? 2. Jika dalam Konferensi hadir dua delegasi dari Sumulu yang mewakili dua pemerintahan yang berbeda, (a) bagaimana penyelengara Konferensi menyikapi hal ini? dan (b) apa fungsi full power le er dalam penyelenggaraan konferensi pembentukan perjanjian internasional? 3. Delegasi Indonesia sudah dibekali pedoman delegasi yang di dalamnya tercantum pernyataan bahwa Indonesia tidak akan menyetujui setiap ketentuan dalam perjanjian yang membebani kewajiban membayar iuran karena iuran dalam organisasi IMO sudah terlalu besar dan memberatkan. (a) jika ternyata delegasi Indonesia dalam proses adoption termasuk dalam kelompok yang menyetujui ketentuan mengenai iuran ini, dapatkah Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa tindakan delegasi tersebut tidak sah karena bertentangan dengan pedoman delegasi? (b) Apa fungsi pedoman delegasi bagi Negara (Indonesia) yang turut serta dalam proses pembentukan perjanjian internasional?

Bab 2 Hubungan Antara PI dengan Hukum Kebiasaan Internasional

31

4. (a) Dalam konteks UU PI Tahun 2000, disebut apakah penandatanganan yang dilakukan tanggal 6 Mei – 6 Agustus tersebut? Jelaskan dengan merujuk rumusan aturan dalam UU PI Tahun 2000. (b) Dalam konteks hukum perjanjian internasional, apa makna dari penandatangan tersebut, dan apa penyebutannya? 5. Jika delegasi Indonesia dalam Konferensi Kedua dipimpin oleh Menteri Perhubungan, dapatkah ia melakukan penandatanganan atas final text tersebut? DAFTAR BACAAN Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001. DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Sweeet & Maxwell, London, 1998. Harjono, Politik Hukum PI, Bina Ilmu, Surabaya, 1999. I Wayan Parthiana, Hukum PI, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002. Ian Brownlie, Principle of Public International Law, 5th. Ed., Oxford, New York, 1998. Jennings and Watts, Openheim's International Law, Longham, London, 1996. Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Vol. 13, Martinus Nuhoff, London, 1991. Rebecca Wallace, International Law, 3rd. Ed., Sweet & Maxwell, London, 1997. Sinclair, Ian M, The Vienna Convention on the Law of Treatise, Oceana Pbl., USA, 1973.

32

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

PEMBENTUKAN DAN PEMBERLAKUAN PERJANJIAN

3

DESKRIPSI BAB Materi ini akan memuat proses pembentukan perjanjian internasional yang dimulai dari proses adopsi, otentikasi, consent to be bound sampai pemberlakuan perjanjian (entry into force) TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses pembentukan perjanjian internasional; 2. Mahasiswa mampu membedakan akibat hukum keikutsertaan dalam setiap tahapan pembentukan perjanjian internasional; 3. Mahasiswa mampu menjelaskan pemberlakuan perjanjian terhadap peserta maupun bukan peserta perjanjian TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Materi ini akan memberikan pemahaman aspek-aspek teknis penandatanganan dan pemberlakuan perjanjian sebagai wujud keterikatan Negara terhadap PI PEMBENTUKAN PERJANJIAN Serangkaian Pasal yang berkenaan dengan pembentukan perjanjian menganut pola logika tertentu, sebuah pola yang diatur oleh tatanan waktu di mana berbagai tindakan yang dilakukan dalam proses pembuatan perjanjian dijalankan. Pertama, peraturan tertentu yang dibuat karena hubungannya dengan kewenangan diplomatik atau lembaga Negara yang lain untuk bernegosiasi dan menerima (mengadopsi) atau mengotentikasi naskah perjanjian. Pemberian kewenangan tersebut biasanya membutuhkan adanya surat kuasa (full power le ers). Kedua, adalah tahapan negosiasi itu sendiri yang oleh Konvensi Wina diatur dalam ketentuan-ketentuan mengenai adopsi 33

dan otentikasi naskah perjanjian. Tahap selanjutnya adalah tahapan ketika menyatakan persetujuan mereka untuk terikat dalam sebuah perjanjian (consent to be bound) yang dilakukan melalui penandatanganan, pertukaran instrumen perjanjian, ratifikasi, akseptasi (acceptance), approval atau aksesi. Kadang-kadang, suatu perjanjian menetapkan suatu ketentuan mengenai larangan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengancam pelaksanaan tujuan dan sasaran perjanjian dalam rentang waktu antara penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian (entry into force). KUASA PENUH (FULL POWERS) Tahap pertama dalam proses pembuatan perjanjian adalah menentukan kewenangan wakil Negara untuk melakukan negosiasi, melakukan tindakantindakan formal yang diperlukan yang digunakan untuk penyusunan teks, atau dalam rangka penutupan (conclusion) perjanjian. Kewenangan ini secara prinsip ditentukan melalui diterbitkannya suatu dokumen resmi yang bernama 'kuasa penuh (full power)' yang di dalamnya memuat nama seseorang atau beberapa orang untuk mewakili Negara dengan tujuan melakukan negosiasi dan menandatangani perjanjian. Tujuan awal dari kuasa penuh dapat dilacak sejak masa monarki absolute. Pada masa itu isi dan bentuk perjanjian diadakan atas nama dan sebagai ekspresi kemauan pemberi kuasa. Hal ini untuk menunjukkan bahwa si pemegang kuasa adalah wakil pribadi dari pemilik kekuasaan yang diberi kuasa prinsipal, sepanjang ia bertindak dalam batas kewenangannya. Ini merupakan sesuatu yang bersifat mendasar, di mana kewenangan pihak yang mewakili harus ditetapkan terlebih dulu secara tegas dalam suatu instrumen (dalam hal ini surat kuasa) sebelum melakukan proses negosiasi. Oleh karenanya, pada masa itu, penolakan pemilik kuasa untuk meratifikasi perjanjian yang sudah dibuat oleh pemegang kuasa hanya dimungkinkan apabila si pemegang kuasa membuat perjanjian melebihi kewenangannya. Karena itu tidaklah mengejutkan bahwa sejarah awal tentang kuasa penuh dengan contoh-contoh pembahasan yang panjang dan teliti tentang arti dan signifikansi yang terdapat pada penyusunan kata-kata yang digunakan dalam surat kuasa. Ada dua perkembangan terkait yang menyebabkan penurunan peran lembaga kuasa penuh (full power). Pertama adalah akhir periode monarki absolut menjelang berakhirnya abad delapanbelas. Adanya peningkatan pengawasan pemerintah terhadap kebijakan luar negeri setelah revolusi di Amerika Serikat dan Perancis, menyebabkan munculnya praktik negara-negara berkenaan dengan sifat diskresi dari ratifikasi. Dengan demikian pemberi kuasa dapat menolak melakukan ratifikasi sekalipun pemilik kuasa telah melakukan negosiasi dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya. Kedua, semakin mudahnya komunikasi yang berkulminasi pada perkembangan alat komunikasi telegraf, 34

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

memungkinkan bagi pelaku negosiasi untuk memastikan bahwa mereka tidak melebihi batas kewenangan yang telah diberikan. Di jaman yang lebih modern ada faktor ketiga yang semakin mengurangi peran kuasa penuh sebagai akibat bertambahnya kecenderungan Negara untuk menandatangani perjanjian dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu dengan pertukaran nota kesepakatan atau pertukaran instrumen perjanjian, sehingga tidak diperlukan lagi kuasa penuh. Semakin kompleksnya hubungan internasional yang memerlukan bentuk perjanjian yang lebih luas dan lebih komprehensif mengarahkan pada pembentukan perjanjian yang lebih informal. Kerja sama internasional dalam bidang teknik seperti telekomunikasi, keselamatan di laut, perlindungan kekayaan industri, jasa pengangkutan udara dan peraturan sanitasi telah membentuk suatu susunan jaringan hubungan perjanjian internasional yang tidak mungkin terbayangkan seratus tahun lalu. Pesatnya perkembangan masyarakat internasional dengan lahirnya negara-negara baru di Afrika dan Asia setelah Perang Dunia Kedua telah menunjukkan meningkatnya jangkauan hubungan perjanjian internasional. Semua hubungan ini, membutuhkan kelancaran proses pembuatan perjanjian, melalui penyederhanaan formalitasnya. Pasal 7 Konvensi Wina merefleksikan keinginan langkah penyederhanaan tersebut. Pertama, Pasal itu menetapkan aturan umum bahwa seseorang dianggap sebagai orang yang mewakili sebuah Negara untuk tujuan mengadopsi atau mengotentikasi teks perjanjian atau untuk menyatakan persetujuan Negara untuk terikat dalam perjanjian (consent to be bound) bila: a. ia mendapatkan kuasa penuh, atau b. tanpa adanya kuasa penuh, namun terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan mewakili negaranya untuk tujuan tertentu yang dapat dibuktikan dari adanya praktik yang dilakukan Negara mengenai hal ini. Jadi, subparagraph (b) dimaksudkan untuk mempertahankan praktik Negara modern untuk memberikan kuasa penuh dalam perjanjian dengan bentuk sederhana. Pada sesi pertama konferensi, sebuah proposal yang diajukan untuk menghapus ketentuan ini ditolak. Menurut delegasi yang menyetujui penghapusan ini, adanya ketentuan yang memungkinkan adanya praduga atas kewenangan untuk membentuk perjanjian akan menimbulkan keterikatan negara pada suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh si pemegang kuasa tanpa negara yang bersangkutan menyadarinya. Perlu dipahami bahwa pada dasarnya jika perjanjian tidak dilakukan oleh the big three, maka diperlukan surat kuasa kecuali jika negara-negara yang terlibat dalam negosiasi bisa sepakat untuk meniadakan jika menjadi jelas bahwa hasil negosiasi dapat dipadukan dalam suatu persetujuan. Dalam keadaan demikian maka 'bebannya terletak

Bab 3

Pembentukan dan Pemberlakuan Perjanjian

35

pada pelaku negosiasi untuk menentukan apakah mereka memenuhi syarat untuk melakukan tindakan yang dapat mengikat Negara masing-masing. Dalam ulasan mereka terhadap dra Pasal 7, Komisi Hukum Internasional mengatakan bahwa merupakan suatu aturan umum (general rules) bahwa pemberian kuasa penuh merupakan pengaman utama bagi utusan Negara untuk memahami kualifikasi utusan-utusan lain yang mewakili Negara mereka sesuai dengan tujuan pemberian kuasa. Dengan kata lain, secara implisit Komisi mengakui bahwa tidak adanya kuasa penuh menimbulkan risiko tertentu bagi suatu negara, berkenaan dengan kemungkinan adanya utusan yang melakukan pembentukan perjanjian tanpa memiliki kewenangan untuk itu. Karena berhati-hati terhadap risiko yang timbul dan juga untuk menghargai praktik internasional yang diterima, Pasal 7 Ayat 2 Konvensi Wina menetapkan bahwa 'berkaitan dengan fungsi mereka maka Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri (the big three) dianggap sebagai perwakilan Negara mereka untuk tujuan semua tindakan yang terkait dengan penandatanganan perjanjian sehingga tidak memerlukan kuasa penuh. Misi kepala diplomatik juga dianggap mewakili Negara mereka secara ex officio dan tanpa perlu membuat kuasa penuh, namun hanya untuk tujuan melakukan perjanjian antara Negara pengirim dengan Negara di mana mereka ditugaskan. Hal ini juga berlaku bagi perwakilan tetap di suatu konferensi atau organisasi internasional, atau salah satu lembaganya namun hanya untuk mengadopsi naskah perjanjian dalam konferensi, organisasi atau lembaga tersebut. Masalah menarik yang muncul dalam konferensi adalah hubungan antara peraturan tentang kapasitas yang dimiliki untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan penandatanganan perjanjian dan peraturan yang dijelaskan dalam Pasal 46 Konvensi Wina berkenaan dengan pelanggaran ketentuan hukum internal dengan melihat pada kompetensi menandatangani perjanjian. Pasal 46 menetapkan prinsip bahwa sebuah Negara tidak dapat meminta bahwa persetujuannya untuk terikat dalam perjanjian diekspresikan dengan melanggar ketentuan hukum internalnya yang berkaitan dengan kompetensi menandatangani perjanjian kecuali pelanggaran itu dilakukan dan menyangkut peraturan hukum internal yang memiliki kepentingan mendasar. Pertanyaan yang muncul adalah apakah paragraph 2 Pasal 7 dapat diasumsikan bahwa dalam hukum internasional si penerima kuasa secara exofficio berwenang untuk melakukan suatu tindakan lain yang tidak dikuasakan padanya? Pada sesi pertama konferensi, proposal yang meliputi referensi bagi hukum internal dalam teks Pasal 7 diterima secara aklamasi. Terlebih lagi masalah ini juga telah dimasukkan oleh Komisi Hukum Internasional dalam ulasan mereka mengenai Pasal 46. Dalam membahas doktrin bahwa Hukum nasional yang membatasi kekuasaan lembaga Negara untuk masuk dalam perjanjian dapat menyebabkan dibatalkannya suatu kesepakatan yang telah diberikan dalam level internasional. Dengan mengabaikan permasalahan 36

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

batasan kewenangan oleh Konstitusi, Komisi Hukum Internasional secara spesifik menolak doktrin tersebut, sebab jika pandangan ini diterima, maka Negara-negara tidak akan berhak untuk mendasarkan diri pada kekuasaan yang diasumsikan dimiliki oleh Kepala Negara, Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dll, menurut Pasal 7; mereka harus memenuhi sendiri setiap hal bahwa ketentuan konstitusi Negara tidak melanggar atau mengambil risiko akan adanya perjanjian yang tidak berlaku. Pasal 8 Konvensi Wina merupakan akibat dari Pasal 7. Pasal itu menyebutkan bahwa tindakan yang berkaitan dengan penandatanganan perjanjian dilakukan oleh orang yang menurut Pasal 7 dianggap bukan sebagai orang yang diberi wewenang untuk mewakili Negara untuk tujuan tersebut, maka tidak akan mempunyai efek legal, kecuali apabila selanjutnya negara pengirim memberikan konfirmasi atasnya. Kasus semacam ini jarang terjadi, namun ulasan Komisi Hukum Internasional mengkutip dua atau tiga contoh yang relevan dari sejarah diplomatik di mana perwakilan Negara telah menandatangani perjanjian saat tidak adanya kewenangan melakukannya. Dasar pemikiran aturan yang diwujudkan dalam Pasal 8 adalah bahwa 'jika delegasi tidak memiliki kewenangan untuk masuk dalam perjanjian … Negara harus diberi hak menolak tindakan yang dilakukan perwakilannya tersebut. Salah satu masalah penting di mana Pasal 8 tidak mampu memecahkannya, adalah apakah penegasan itu harus dinyatakan atau dapat dinyatakan secara tidak langsung dari tindakan Negara yang dimaksud. Sejarah perancangan menunjukkan bahwa penegasan ini bisa dinyatakan secara tidak langsung. Pertama, Komisi Hukum Internasional secara eksplisit menyatakan bahwa Negara dianggap menyetujui tindakan tanpa wewenang dari perwakilannya bila hal itu berkaitan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian atau tindakan-tindakan sebaliknya yang menunjukkan bahwa tindakan perwakilannya dapat diterima. Kedua, ditolaknya amandeman yang diajukan oleh Venezuela mengenai perlu adanya konfirmasi secara tegas mengenai hal ini. Penolakan ini didasarkan pada pemikiran bahwa " konfirmasi yang ditunjukkan dengan diamnya Negara telah dikenal dalam praktik hukum internasional", dan "tidak ada negara yang keberatan dengan adanya konfirmasi diam-diam yang ditunjukkan melalui perilaku Negara yang bersangkutan. ADOPSI DAN OTENTIKASI Dalam konvensi sendiri tidak ada definisi atas istilah 'adoption', namun istilah itu bisa diartikan sebagai tindakan formal untuk menetapkan bentuk dan isi perjanjian yang akan ditetapkan. Secara historis, penetapan teks perjanjian biasanya dilakukan melalui kesepakatan bulat semua Negara yang berpartisipasi dalam negosiasi. Suara bulat bisa dikatakan sebagai peraturan klasik-sebuah aturan yang dianggap begitu jelas sehingga tidak memerlukan definisi lagi. Bab 3

Pembentukan dan Pemberlakuan Perjanjian

37

Sesuai dengan sifatnya, tentunya perjanjian bilateral selalu mensyaratkan adanya suara bulat (unanimity). Apabila para pihak dalam perjanjian bilateral tidak mencapai kesepakatan pada rumusan perjanjian, maka tidak ada consensus ad idem dan tidak ada rumusan naskah yang diadopsi (diterima). Karenanya proses negosiasi akan dilanjutkan sampai diselesaikannya perbedaan rumusan yang menyebabkan adanya ketidaksepakatan para pihak dan tercapai rumusan kata-kata yang disepakati oleh mereka. Suara bulat juga diperlukan bagi perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian multilateral terbatas. Perjanjian multilateral terbatas dapat didefinisikan sebagai perjanjian yang objek, tujuannya serta penerapannya mensyaratkan keterikatan keseluruhan pihak terhadap perjanjian. Contoh perjanjian multilateral terbatas adalah perjanjian yang menetapkan kerja sama sangat erat antara sejumlah Negara tertentu, seperti perjanjian integrasi ekonomi, perjanjian antara Negara riparian berkaitan dengan pembangunan lembah sungai atau perjanjian yang berkenaan dengan pembangunan dam hidro-listrik, instalasi ilmiah atau sejenisnya. Perjanjian seperti ini, terutama perjanjian integrasi ekonomi, saat ini semakin bertambah penting, seperti perjanjian yang membentuk Masyarakat Eropa (European Community) Karakteristik penting dari perjanjian itu adalah perjanjian ini memadukan hubungan hak dan kewajiban yang saling berkaitan, karenanya pemenuhan seluruh perjanjian oleh semua Negara yang terlibat merupakan prasyarat bagi pelaksanaan perjanjian ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Kebulatan suara menjadi syarat penting bagi penyusunan naskah dalam proses adopsi sampai pada saat perjanjian tersebut diberlakukan (entry into force). Pada prinsipnya, suara bulat juga diperlukan bagi proses penerimaan negara anggota baru ke dalam suatu organisasi internasional, dalam arti bahwa anggota baru tersebut harus mendapat persetujuan dari semua Negara anggota, termasuk menentukan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk menjadi anggota dalam organisasi tersebut. Paragraf 1 Pasal 9 Konvensi Wina secara umum menentukan bahwa perumusan naskah (adopsi) dilakukan melalui kesepakatan negara-negara yang hadir. Namun ketentuan ini akan sulit diterapkan dalam proses adopsi dalam konferensi internasional. Karenanya, Pasal 9(2) menentukan bahwa 'proses adopsi teks perjanjian pada konferensi internasional dapat dilakukan melalui pengambilan suara oleh dua pertiga Negara yang hadir dan mengambil suara, kecuali jika dua pertiga suara tersebut menentukan penggunaan cara pengambilan suara yang berbeda. Dari uraian di atas diketahui bahwa pengambilan suara dalam proses adopsi tersebut merupakan perkembangan progresif bukan kodifikasi. Sekalipun banyak perbedaan pendapat pada saat pembentukan Konvensi Wina 1969 namun terdapat kesepakatan umum bahwa peraturan yang dipaparkan dalam Pasal 9(2) tidak secara otomatis dapat diberlakukan terhadap perjanjian yang

38

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

dibentuk oleh organisasi internasional bila peraturan organisasi yang berlaku tidak sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut. Ketentuan Pasal 9(2) tampaknya lebih sesuai bagi konferensi internasional yang besar, yaitu konferensi yang dihadiri oleh sejumlah besar Negara. Bila konferensi ini diadakan dalam kerangka kerja organisasi internasional, maka peraturan khusus organisasi tersebutlah yang berlaku. Permasalahannya adalah, apakah peraturan dalam Pasal 9(2) berlaku pula bagi konferensi regional yang diadakan terpisah dari organisasi regional yang menaunginya. Jawabnya seperti yang diutarakan oleh Sir Waldock Humprey dan disepakati oleh Komisi Hukum Internasional bahwa Pasal 9(2) pada prinsipnya juga berlaku pada konferensi regional, namun konferensi organisasi regional biasanya selalu dapat memutuskan untuk memberlakukan ketentuan mengenai kesepakatan bulat melalui penentuan oleh mayoritas dua pertiga suara. Pasal 10 Konvensi Wina yang berkenaan dengan otentikasi teks, butuh sedikit ulasan. Harus diketahui bahwa peraturan ini berkaitan dengan penentuan keaslian dan kepastian teks perjanjian. Merupakan hal yang umum dalam negosiasi-negosiasi internasional, bahwa dalam hal tertentu, teks pada awalnya hanyalah merupakan naskah yang dibuat oleh perwakilan Negara yang merundingkan perjanjian di mana mereka telah mencapai kesepakatan mengenai teks tertentu menurut pertimbangan pemerintah mereka masingmasing, sebagaimana ditunjukkan oleh pemerintah AS tunjukkan dalam ulasan tertulisnya mengenai rancangan yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, Dengan penjelasan ini, maka Komisi melakukan perancangan ulang terhadap peraturan itu. PERNYATAAN PERSETUJUAN UNTUK TERIKAT DALAM PERJANJIAN (CONSENT TO BE BOUND) Pasal 11–17 Konvensi Wina berkenaan dengan pernyataan persetujuan negara untuk terikat dalam perjanjian. Pasal 11 mencantumkan berbagai cara mengikatkan diri terhadap perjanjian seperti tanda tangan, pertukaran instrumen perjanjian, ratifikasi, penerimaan (acceptance), aksesi, approval, atau cara lain yang disepakati. Komisi tidak menganggap penting untuk mengajukan adanya suatu ketentuan umum berkenaan dengan cara menyatakan persetujuan untuk terikat dalam perjanjian, atau mengajukan ketentuan khusus untuk menyatakan persetujuan untuk terikat dalam perjanjian melalui pertukaran instrument perjanjian. Masalah utama yang timbul adalah pertanyaan apakah perjanjian membutuhkan ratifikasi apabila klausula perjanjian tidak menyatakan secara tegas perlunya ratifikasi. Terhadap masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Mc Nair dan Harvard Research menyatakan bahwa, sekalipun tidak dinyatakan secara tegas dalam naskah perjanjian, ratifikasi tetap diperlukan. Sementara Bab 3

Pembentukan dan Pemberlakuan Perjanjian

39

di sisi yang berseberangan, Fitzmaurice menyatakan bahwa kebutuhan akan ratifikasi tidak inheren dengan naskah perjanjian sehingga, perlu tidaknya ratifikasi ditentukan oleh keinginan para pihak. Tanpa adanya kehendak ini maka diasumsikan bahwa ratifikasi tidak diperlukan. Melalui penelitian terhadap praktik-praktik negara, Blix menyimpulkan bahwa jika negara-negara berkehendak untuk memberlakukan perjanjian melalui prosedur di luar penandatanganan, maka keinginan tersebut diwujudkan melalui pernyataan dalam naskah perjanjian mengenai cara memberlakukan perjanjian (entry into force). Ketika menyusun dra Pasal 10 ini, Komisi Hukum Internasional agak bingung untuk mengatasi masalah yang berpotensi menimbulkan perselisihan ini. Pada tahun 1962, Komisi Hukum Internasional telah menyusun rancangan Pasal ini yang agak rumit dengan menyatakan bahwa perjanjian selalu dianggap membutuhkan ratifikasi kecuali jika perjanjian itu termasuk dalam pengecualian tertentu. Pemikiran yang disampakan oleh Komisi tersebut ditentang oleh sejumlah Negara seperti Denmark, Jepang, Swedia dan Inggris, dengan menyatakan bahwa asumsi dasar bahwa perjanjian hanya perlu diratifikasi apabila dinyatakan demikian dalam klausulanya, harus tetap dipertahankan. Negara lain mengkritik pemilihan kata perkecualian, sementara beberapa negara menyatakan bahwa Komisi Hukum Internasional tidak perlu mengambil posisi tentang masalah-masalah doktrinal. Berkaitan dengan perkembangan ini, komisi Hukum Internasional memperbaiki rancangan pasal dengan hanya menguraikan persyaratan-persyaratan bagi negara untuk menyatakan terikat kepada suatu perjanjian internasional melalui ratifikasi. Komisi Hukum Internasional menghindari masalah krusial tentang apakah persetujuan Negara untuk terikat dalam perjanjian dinyatakan melalui tanda tangan atau ratifikasi jika hal ini tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Ratifikasi diperlukan apabila perjanjian secara wajar mengindikasikan perlunya diratifikasi. Perjanjian dianggap tidak memerlukan ratifikasi jika perjanjian tersebut diberlakukan (entry into force) melalui penandatanganan naskah atau diberlakukan pada tanggal atau menurut peristiwa tertentu. Hal ini ditegaskan oleh analisis Blix yang menyatakan bahwa dari 1300 intrumen yang dimuat dalam Seri Perjanjian PBB antara tahun 1946 dan 1951, sedikitnya 1125 yang secara tegas menyatakan cara berlakukanya perjanjian internasional. Namun dalam konferensi, masalah ini tidak mudah diselesaikan. Pada sesi pertama, terjadi perdebatan panjang tentang apakah konvensi harus memasukkan ketentuan tambahan mengenai adanya penandatanganan atau ratifikasi perjanjian jika dalam klausula perjanjian tidak disebutkan secara tegas cara consent to be boundnya. Beberapa negara ingin melakukan amandemen terhadap ketentuan mengenai pemilihan tandatangan sebagai ketentuan residual yang berkaitan dengan consent to be bound. Sementara sembilan Negara Amerika Latin mengajukan amandemen terhadap ketentuan 40

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

mengenai ratifikasi sebagai ketentuan residual tersebut. Bagi para pendukung ratifikasi sebagai ketentuan residual, pemilihan ratifikasi sangat tepat untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum, serta menjamin keselarasan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum nasional. Sementara mereka yang mendukung tandatangan sebagai ketentuan residual, menyatakan bahwa hal ini mencerminkan praktik yang dilakukan Negara-negara saat ini, yang cenderung melakukan penutupan perjanjian dengan cara yang lebih sederhana, yaitu yang tidak memerlukan ratifikasi. Ketika perdebatan menemukan jalan buntu, maka dilakukanlah voting di antara tigapuluh pembicara, di mana sepuluh pembicara menyatakan bahwa mereka lebih menyukai tanda tangan sebagai ketentuan residual; tiga belas lebih menyukai ratifikasi, dan tujuh di antaranya tidak mengambil sikap apapun. Atas kebuntuan pembahasan mengenai hal ini, pada akhirnya, negara-negara yang menyukai ketentuan berupa tanda tangan kemudian menarik proposal mereka, sementara Negara-negara Amerika Latin yang meminta ketentuan residual berupa ratifikasi telah ditolak melalui pemungutan suara dengan perbandingan sebesar duapuluh lima suara melawan tigapuluh tiga suara, dan enam suara abstain. Ketidaksepakatan tersebut menyebabkan ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 tidak dimaksudkan sebagai pemecahan masalah doctrinal mengenai apakah consent to be bound dilakukan melaui penandatanganan atau ratifikasi sebagai jalan menyatakan persetujuan ketika perjanjian itu tidak secara tegas menyatakan caranya. Konvensi hanya memuat kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan untuk mengindikasi bahwa suatu perjanjian harus ditandatangani atau harus diratifikasi. KEWAJIBAN UNTUK TIDAK MERUSAK MAKSUD DAN TUJUAN PERJANJIAN Setelah suatu naskah perjanjian disusun, proses selanjutnya adalah proses pengikatan diri terhadap perjanjian yang terdapat sejumlah tahapan. Tahap pertama adalah periode antara penandatanganan perjanjian (dengan asumsi perjanjian itu objek ratifikasi) sampai pemberlakuan perjanjian (entry into force) atau antara ratifikasi dan pemberlakukan perjanjian. Berkaitan dengan masa tenggang tersebut, Pasal 18 Konvensi Wina menegaskan bahwa 'negara diwajibkan untuk menahan diri dari tindakan yang akan merusak maksud dan tujuan perjanjian' selama masa tenggang sebelum pemberlakuan perjanjian. Ketentuan ini merupakan salah satu bentuk dari perkembangan progresif dalam hukum perjanjian internasional. Negara yang telah menandatangani perjanjian yang mensyaratkan ratifikasi harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku bagi mereka selama proses pemberlakuan perjanjian, terutama bila aktivitas itu akan mengubah pelaksanaan kewajiban salah satu pihak, menjadi tidak memungkinkan atau lebih sulit. Bab 3

Pembentukan dan Pemberlakuan Perjanjian

41

Perlu diperhatikan bahwa dalam dra Pasal terakhir yang diserahkan oleh Komisi Hukum Internasional tahun 1966, disebutkan bahwa sifat kewajiban yang dikenakan bagi negara-negara sebagaimana tersebut di atas adalah kewajiban untuk mencegah dilakukannya tindakan yang akan berpotensi untuk menghalangi tercapainya tujuan dan maksud perjanjian sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam konferensi, frase ini diubah menjadi kewajiban untuk tidak melakukan tindakan yang akan merusak maksud dan tujuan perjanjian. Frase 'cenderung menghalangi' telah dikritik oleh sejumlah delegasi, termasuk Inggris, AS, Ghana dan Uruguay. Sir Humprey Waldock, menjelaskan bahwa frase ini didasarkan pada konsep yang sudah diterima hukum Inggris bahwa "para pihak dalam perjanjian harus menjauhi tindakan yang akan menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak berarti dan menghilangkan tujuan yang telah ditetapkan". Beberapa perjanjian kadang-kadang berupaya memberikan materi muatan terhadap prinsip umum yang termuat dalam di Pasal 18 Konvensi Wina. Misal, ada pengakuan implisit tentang prinsip yang digunakan dalam instrument yang berjudul 'Prosedur Penerimaan Keputusan Tertentu dan Tindakan lain yang harus diambil selama periode sebelum aksesi" yang ditambahkan pada Final Act yang ditandatangani secara simultan dengan perjanjian yang berkenaan dengan aksesi yang dilakukan oleh Denmark, Irlandia, Norwegia dan Inggris ke dalam European Economic Community dan European Atomic Energy Community. Instrument ini bisa disebut sebagai "interim procedure documents" yang di dalamnya menyatakan bahwa selama periode sebelum dilakukannya aksesi terhadap Perjanjian dalam kerangka Masyarakat Ekonomi Eropa tersebut, maka setiap proposal atau komunikasi Komisi Masyarakat Eropa yang memengaruhi keputusan Dewan Eropa, harus disampaikan kepada negara-negara yang mengaksesi tersebut untuk mendapatkan perhatian mereka. Perencanaan detail kemudian dibuat sebagai sarana konsultasi dalam berbagai tingkatan. Sebaliknya, dikatakan bahwa prosedur konsultasi juga harus berlaku pada semua keputusan yang diambil oleh Negara yang menyetujuinya yang memengaruhi komitmen yang berasal dari posisi mereka sebagai calon anggota Masyarakat Eropa. Dalam hal ini, prosedur konsultasi praktis digambarkan untuk memastikan bahwa tidak ada tindakan apapun untuk menolak, atau mempersulit maksud dan tujuan aksesi terhadap Perjanjian yang nantinya mengarah pada pernambahan jumlah anggota Masyarakat Eropa. BERLAKUNYA PERJANJIAN DAN PENERAPAN PERJANJIAN SEMENTARA Pasal 24 memaparkan peraturan yang tidak dapat diperkecualikan bahwa sebuah perjanjian menjadi berlaku menurut cara dan waktu yang telah ditetapkan atau saat Negara yang bernegosiasi menyetujuinya, sehingga menggagalkan 42

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

ketentuan atau perjanjian itu, sebuah perjanjian menjadi berlaku segera saat persetujuan untuk terikat dalam perjanjian telah ditetapkan bagi semua Negara yang melakukan negosiasi. Persetujuan untuk terikat dapat dinyatakan dengan berbagai cara seperti ditetapkan dalam Pasal II Konvensi Wina, bergantung pada syarat perjanjian dimaksud. Paragraph 4 Pasal 24 Konvensi Wina merupakan tambahan pada proposal Komisi Hukum Internasional yang telah disepakati pada konferensi di Wina. Pasal 42(4) dari laporan pertamat Fitzmaurice tentang Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa walaupun, sebelum diberlakukan, sebuah perjanjian memiliki dampak yang bersifat operatif sepanjang memperhatikan ketentuanketentuan yang mengatur proses ratifikasi, penerimaan dan masalah yang sama, dan masa atau cara berlakunya perjanjian itu sendiri. Dalam komentarnya, Fitzmaurice menilai ketentuan itu sebagai berikut: "secara logis, sebuah perjanjian yang belum berlaku, tidak dapat berlaku dengan sendirinya, karena ketentuannya sendiri tidak berlaku." Yang benar adalah bahwa ketentuan perjanjian yang menetapkan ratifikasi, pemberian ijin, pemberlakuan perjanjian dan masalah lain yang memungkinkan, dianggap menjadi berlaku secara terpisah dan pada saat penandatanganan atau diperlakukan seolah perjanjian itu terpisah-walaupun substansi perjanjian itu tidak terpisah. Komisi Hukum Internasional tidak memasukkan ketentuan-ketentuan tentang aspek berlakunya perjanjian ke dalam proposal yang mereka ajukan tahun 1966. pada sesi pertama konferensi Wina, delegasi Inggris mengajukan proposal yang didasarkan pada pendapat Fitzmaurice. Proposal ini mendapat dukungan sebagai tambahan bagi teks Komisi dan secara prinsip diterima dan mengalami perancangan ulang oleh Komisi Perancang Undang-undang. Paragraf 4 Pasal 24 menetapkan bahwa ketentuan sebuah perjanjian yang mengatur pembuktian keaslian teks, penetapan persetujuan Negara untuk terikat dalam perjanjian, cara atau masa berlakunya perjanjian, persyaratan, fungsi tempat penyimpanan, dan masalah lainnya yang timbul sebelum berlakunya perjanjian yang berlaku mulai dari waktu penggunaan teks itu. Pasal 25 Konvensi Wina berkaitan dengan penerapan perjanjian sementara. Tak satupun dari rancangan Harvard ataupun McNair yang mengacu pada penerapan perjanjian sementara. Penambahan klausul dalam perjanjian yang menetapkan penerapan perjanjian sementara pada seluruh atau sebagian perjanjian merupakan perkembangan yang relatif baru dalam praktik internasional. Ini telah terjadi secara prinsip karena ada kesempatan mendesak yang diperlukan untuk merealisasikan kerja sama internasional pada masalah tertentu. Komisi Hukum Internasional telah menahan diri untuk mengajukan peraturan yang berkaitan dengan penghapusan penerapan perjanjian sementara, dengan menyatakan bahwa masalah ini harus tetap diputuskan melalui kesepakatan berbagai pihak dan pelaksanaan peraturan yang berkenaan dengan Bab 3

Pembentukan dan Pemberlakuan Perjanjian

43

penghapusan perjanjian.51 Konferensi berpikir sebaliknya, berdasarkan proposal yang diajukan Belgia, Hungaria dan Polandia, apa yang sekarang disebut paragraph 2 Pasal 25, menyebutkan bahwa penerapan perjanjian sementara yang berkaitan dengan Negara dihapus bila Negara itu memberitahu Negara lain di mana perjanjian itu tujuannya berlaku sementara bukan untuk terlibat dalam perjanjian. Namun teks Pasal 25 tidak mengalami kesulitan. Pertama, ada berbagai unsur dalam praktik internasional di mana sebuah perjanjian dapat terus berlaku sementara di beberapa Negara tertentu walaupun perjanjian itu telah diberlakukan secara definitif antara Negara satu dengan Negara lain. Sebuah pernyataan yang diajukan oleh delegasi Inggris menyatakan pengertian bahwa pencantuman frase 'menangguhkan berlakunya perjanjian' dalam paragraph 1 tidak menghalangi penerapan perjanjian sementara oleh satu atau beberapa Negara setelah perjanjian itu telah berlaku secara definitif antara Negara lain yang tidak mengalami keberatan saat konferensi, dan secara khusus disetujui oleh Negara India. Kedua, ada unsur lain di mana hanya beberapa Negara yang melakukan negosiasi yang setuju memberlakukan perjanjian atau sebagian dari perjanjian yang secara sementara menangguhnya berlakunya perjanjian itu. Pernyataan yang diajukan delegasi Inggris terhadap paragraph 1(b) Pasal 25 akan berlaku sama pada situasi di mana Negara yang melakukan negosiasi telah sepakat untuk memberlakukan perjanjian atau sebagian dari perjanjian itu dengan sementara menangguhkan berlakunya perjanjian itu' tidak mendapat tantangan dalam konferensi dan secara khusus disetujui oleh India dan Inggris. UMPAN BALIK 1. Dalam hukum perjanjian internasional dikenal istilah the big three yang tidak memerlukan full power le er (FPL) untuk melakukan pembuatan atau menyatakan tunduk pada suatu perjanjian internasional. Siapa saja mereka? Mengapa mereka tidak memerlukan FPL? 2. Dalam perspektif Konvensi Wina 1969, pada tahapan mana hasil negosiasinegosiasi yang dilakukan para peserta dirumuskan dan dinyatakan sebagai naskah yang otentik? 3. Sebutkan cara-cara negotiating parties menyatakan persetujuan mereka untuk terikat dalam sebuah perjanjian (consent to be bound). Darimana negotiating parties atau non-parties dapat mengetahui cara melakukan consent to be bound terhadap perjanjian yang akan diikutinya? 4. Apa saja kewajiban dari negotiating parties dalam rentang waktu antara penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian (entry into force)?

44

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

LATIHAN SOAL Sudah lama Pemerintah Indonesia merasa terganggu dengan tindakan illegallogging (pembalakan ilegal) yang dilakukan oleh para cukong kayu dari Negara Malakaca, negara tetangga Indonesia. Para cukong tersebut membabat hutan di wilayah perbatasan Indonesia - Malakaca, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan hutan yang parah dan kerugian ekonomi sekitar 3 Triliun Rupiah per tahun. Tidak hanya itu saja, dengan dukungan aparat militer setempat, para cukong seringkali memindahkan tapal batas perbatasan wilayah RI – Malakaca hingga lebih memperluas wilayah negara tersebut. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 tapal batas tersebut bergeser hingga 3 kilometer ke dalam wilayah Indonesia sepanjang 100 km. Sudarman, Menteri Kehutanan Indonesia berusaha menggagas pertemuan dan berupaya membentuk perjanjian bilateral dengan Menteri Kehutanan Malakaca di sela-sela pertemuan dalam The International Conference on Forest di Rio de Janeiro yang diselenggarakan oleh UNEP (United Nations on Environmental Program). Poin utama yang diinginkan oleh Pemerintah Indonesia adalah adanya kerja sama IndonesiaMalakaca mengenai pemberantasan illegal logging yang lebih kuat termasuk diselenggarakannya mekanisme pemberantasan kejahatan tersebut oleh kedua negara. Pemerintah Indonesia juga menginginkan dikembalikannya tapal batas perbatasan pada posisi semula sebagaimana posisi di Tahun 2007. Pertemuan dan negosiasi dengan delegasi Malakaca dipimpin oleh Badrun, utusan tetap Indonesia di UNEP. Catatan: – – – –

Kasus ini hanyalah kasus hipotetis belaka; Malakaca diasumsikan sebagai pihak dalam Konvensi Wina 1969; Indonesia sampai saat ini bukan pihak dalam Konvensi Wina 1969; Setiap jawaban lengkapi dengan dasar hukum atau legal reasonnya.

Pertanyaan: 1. Untuk melakukan negosiasi-negosiasi dan tahapan-tahapan berikutnya dalam pembuatan perjanjian dengan Malakaca mengenai illegal logging, apakah Badrun memerlukan Full Power Le er/Credential Le er? Jelaskan. 2. Jika dari perundingan-perundingannya dengan delegasi Malakaca ternyata Badrun menyetujui rumusan perjanjian yang tidak mencantumkan perpindahan tapal batas wilayah, apakah Pemerintah Indonesia dapat menyatakan tindakan Badrun ini tidak sah? 3. Apakah perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malacak mengenai illegal logging tersebut dapat dikategorikan dalam perjanjian dalam kerangka konferensi? Jelaskan.

Bab 3

Pembentukan dan Pemberlakuan Perjanjian

45

4. Anda adalah staf Kementerian Luar Negeri yang ditunjuk untuk membantu delegasi Indonesia untuk membentuk perjanjian bilateral antara Indonesia dan Malakaca tersebut di atas. Buatlah pokok-pokok pikiran yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menyusun pedoman delegasi RI. DAFTAR BACAAN Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001. DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Sweeet & Maxwell, London, 1998. Harjono, Politik Hukum PI, Bina Ilmu, Surabaya, 1999. I Wayan Parthiana, Hukum PI, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002. Ian Brownlie, Principle of Public International Law, 5th. Ed., Oxford, New York, 1998. Jennings and Watts, Openheim's International Law, Longham, London, 1996. Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Vol. 13, Martinus Nuhoff, London, 1991. Rebecca Wallace, International Law, 3rd. Ed., Sweet & Maxwell, London, 1997. Sinclair, Ian M, The Vienna Convention on the Law of Treatise, Oceana Pbl., USA, 1973.

46

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

RESERVASI (PERSYARATAN) DALAM PI

4

DESKRIPSI BAB Bab ini menjelaskan suatu mekanisme untuk menyesuaikan kebutuhan negara peserta PI terhadap suatu PI yang akan diikuti melalui baik melalui pengesampingan berlakunya suatu atau beberapa ketentuan dalam perjanjian tersebut (reservasi) atau melalui penyampaian pernyataan sepihak (unilateral) melalui deklarasi oleh suatu negara peserta perjanjian mengenai makna suatu ketentuan dalam perjanjian dalam versinya. Tindakan salah satu pihak untuk melakukan reservasi terhadap suatu ketentuan perjanjian akan mengubah hubungan hukum antara negara pereservasi dengan pihak-pihak lain dalam perjanjian. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Memberikan penjelasan mengapa Konvensi Wina 1969 menyediakan mekanisme reservasi; 2. Menjawab permasalahan apakah PI dapat direservasi meskipun di dalam klausulanya tidak terdapat pengaturan eksplisit tentang dapat tidaknya ia direservasi; 3. Menjelaskan hubungan antara negara pereservasi dengan negara yang menyetujui reservasi dan negara yang menolak adanya reservasi; 4. Menjelaskan prosedur pengajuan reservasi menurut Konvensi Wina 1969; 5. Menjelaskan prosedur pencabutan pengajuan reservasi menurut Konvensi Wina 1969 LATAR BELAKANG LAHIRNYA RESERVASI Dalam berbagai PI, tentu diharapkan agar semua entitas Hukum Internasional yang berperan serta dapat menyetujui seluruh substansi perjanjian, agar perjanjian itu dapat mengikat secara utuh dan menyeluruh para pihak agar tidak ada satupun negara yang dikecualikan dari ketentuan-ketentuan yang 47

disepakati dalam perjanjian. Namun tidak mudah bagi seluruh negara yang mengikuti perjanjian untuk menyetujui seluruh isi Pasal meskipun perjanjian tersebut telah merupakan kesepakatan dari wakil atau utusan yang berpartisipasi dalam perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian tersebut. Meskipun sebagian besar ketentuannya sudah disetujui oleh negara yang bersangkutan, namun ada satu atau beberapa Pasal yang benar-benar tidak dapat disetujui oleh negara tersebut karena kondisi objektif negara yang bersangkutan, sehingga dianggap tidak patut atau tidak tepat apabila dicantumkan dalam perjanjian. Jadi negara tersebut memiliki versi atau pendapat sendiri tentang ketentuan yang sudah disetujui tersebut. Mengingat semua negara memiliki kedaulatan sebagai subjek Hukum Internasional, atas dasar kedaulatan tersebut maka suatu negara berhak untuk menentukan apakah akan menyatakan terikat atau menolak untuk terikat dalam perjanjian tersebut. Pada dasarnya negara tersebut akan menghadapi persoalan karena apabila negara tersebut menolak berarti negara tersebut membuang kesempatan untuk menikmati keuntungan dari isi perjanjian tersebut. Namun apabila negara tersebut menyetujui maka negara tersebut harus menanggung konsekuensi adanya beberapa ketentuan yang mengakibatkan kerugian bagi negara tersebut. Dengan demikian masalah ini akan berdampak pada terhambatnya perkembangan Hukum Internasional positif yang diakui semua entitas Hukum Internasional. Dalam sejarah perkembangan Hukum Internasional dikenal sebuah pranata hukum yang dikenal dengan pensyaratan atau reservation untuk menjembatani kepentingan dan kedaulatan negara-negara untuk terikat dalam PI agar semakin banyak dan cepat lahir dan berkembangnya perjanjian-PI sebagai salah satu kaidah dan sumber Hukum Internasional positif. PENGERTIAN RESERVASI Ketentuan Umum tentang Reservasi (Pensyaratan) diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Definisi reservasi dalam ketentuan tersebut adalah pernyataan sepihak, bagaimanapun diungkapkan, yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, menerima (accepting), menyetujui (approving) atau ikut serta (accending) pada suatu perjanjian, yang mana pihak tersebut mengakui atau meniadakan maupun merubah ketentuanketentuan tertentu suatu perjanjian dalam penerapannya bagi negara yang diwakilinya. Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur reservasi adalah: 1. Pernyataan sepihak yang dinyatakan wakil dari suatu atau beberapa negara. 2. Ketika menyatakan terikat dalam PI. 48

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

3. Untuk menghapuskan, mengesampingkan, ataupun mengurangi ketentuanketentuan dalam PI tersebut yang tidak membawa efek positif bagi negara yang diwakilinya. 4. Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, pensyaratan itu harus diajukan dalam bentuk tertulis jadi tidak boleh diajukan secara lisan oleh pihak tersebut. Pensyaratan tidak dapat diajukan sebelum atau sesudah negara itu menyatakan terikat dalam perjanjian, namun harus diajukan pada waktu bersamaan dengan waktu negara itu menyatakan persetujuannya terikat dalam perjanjian tersebut. Namun dalam praktiknya tidak dilarang dalam perumusan PI apabila negara tersebut mengajukan pensyaratan pada saat perundingan berlangsung, khususnya dalam perjanjian multilateral terbatas. Dengan diajukannya pensyaratan, tidak berarti rumusan atau ketentuan yang dikenakan pensyaratan itu dihapuskan atau dirubah sesuai isi pensyaratan. Rumusan otentiknya tetap berlaku namun akibat hukumnya saja yang dikesampingkan atau dirubah khusus terhadap negara yang mengajukan pensyaratan. Berdasarkan pengertian pensyaratan seperti ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) butir d Konvensi Wina 1969 ini, maka dapatlah dikembangkan lebih lanjut tentang substansi dan ruang lingkup, maksud, dan tujuan dari pensyaratan ini. a. Pertama: pensyaratan adalah merupakan pernyataan sepihak (unilateral statement) tanpa perlu dipersoalkan tentang apa dan bagaimanapun bentuk ataupun namanya. Tentu saja yang pernyataan sepihak itu merupakan manifestasi dari kehendak negara yang bersangkutan yang berlandaskan pada kedaulatannya. Dia tidak perlu memperoleh persetujuan sebelumnya dari negara-negara lain. b. Kedua: berkenaan dengan waktu kapankah pensyaratan itu harus diajukan oleh suatu negara. Dalam hal ini adalah ketika atau pada waktu menandatangani (signing), meratifikasi (ratifying), mengakseptasi (accepting), menyetujui (approving), atau mengaksesi (acceding) suatu PI. Perlu ditegaskan lagi, bahwa tindakan menandatangani, meratifikasi, mengaksesi, menyetujui, maupun mengaksesi, semuanya ini adalah merupakan caracara menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty). Jadi dapat dirumuskan dengan lebih singkat, bahwa pensyaratan itu harus diajukan pada waktu atau bersamaan dengan waktu negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian.

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

49

ALASAN MENGAJUKAN RESERVASI Terdapat beberapa alasan yang melandasi eksistensi dari pranata hukum pensyaratan baik yang prinsip maupun alasan lain yang bersifat praktis dan pragmatis. Alasan yang sangat prinsip dan mendasar tersebut adalah berkenaan dengan kedaulatan negara. Sebagai negara berdaulat, suatu negara tidak dapat dipaksa untuk menerima sesuatu yang sebenarnya tidak disetujuinya negara tersebut berhak untuk menolaknya. Negara itu tidak akan mengorbankan kedaulatan atau kepentingan nasionalnya hanya untuk terikat pada ketentuan perjanjian yang sebenarnya tidak disetujuinya. Bahwa sesuatu yang semula ditolak karena bertentangan dengan kepentingan nasionalnya, tetapi kemudian disetujuinya karena sudah tidak lagi bertentangan dengan kepentingan nasionalnya, hal itu adalah sesuatu yang harus dimaklumi dalam kehidupan suatu negara baik secara internal maupun eksternal yakni sebagai anggota masyarakat internasional. Dalam hubungannya dengan PI, ketentuan yang semula ditolak atau dikenakan pensyaratan karena bertentangan dengan kepentingan nasionalnya, tetapi jika kemudian ketentuan perjanjian yang semula dikenakan pensyaratan itu ternyata sudah tidak lagi bertentangan dengan kepentingan nasionalnya, pensyaratannya itupun dapat ditariknya kembali. Sedangkan alasan praktis dan pragmatis dari diperkenankannya suatu negara mengajukan pensyaratan adalah karena adanya berbagai macam kepentingan negara yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan satu dengan lainnya, sehingga sangat sukar untuk tercapainya persetujuan bulat bagi negara-negara atas semua ketentuan suatu PI. Hal ini akan menghambat negara-negara untuk dapat menjadi peserta dalam suatu PI sehingga dapat mengakibatkan PI itu membutuhkan waktu yang lama untuk dapat mulai berlaku sebagai Hukum Internasional positif. Bahkan boleh jadi tidak berhasil untuk menjadi Hukum Internasional positif karena sangat sedikitnya atau masih belum terpenuhinya batas minimum dari jumlah negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. Keadaan seperti ini tentu saja akan sangat merugikan masyarakat internasional. Oleh karena itu adalah sangat praktis dan pragmatis jika, negara-negara diberikan kemudahan dan kelonggaran untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu PI dengan disertai pengajuan pensyaratan. Jadi masih lebih baik ada PI meskipun keutuhannya berkurang, dibandingkan dengan gagal atau sangat sukar lahirnya perjanjian-PI. Pensyaratan diharapkan mampu menciptakan kondisi ideal yang sekaligus mencerminkan maksud dan tujuan pensyaratan tersebut yaitu terjaminnya keselarasan dan keseimbangan antara kedaulatan dan kepentingan nasional negara-negara maupun masyarakat internasional sehingga pensyaratan memudahkan dan mempercepat lahirnya PI. Karena semakin banyak muncul PI yang mengatur berbagai masalah internasional semakin baik bagi tatanan pergaulan internasional. 50

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

LARANGAN DAN PEMBATASAN RESERVASI Dalam diktat rangkuman pemikiran Oppenheim karya Jenny and Wa s, dinyatakan bahwa reservasi dalam bentuk apapun tidak diizinkan diajukan dalam semua keadaan dan diakui oleh semua ketentuan dari perjanjian. Dalam Advisory Opinion Mahkamah Internasional tahun 1951 tentang Reservation to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, dinyatakan PI boleh menyediakan kesempatan untuk mengajukan pensyaratan bagi perjanjian itu kecuali jika dilarang atau perjanjian itu tidak menyediakan klausula tersebut. Bahkan pensyaratan tidak dapat diajukan apabila bertentangan dengan objek dan tujuan dari pensyaratan. Bagi negara lain yang terikat persetujuan dengan suara bulat, reservasi pada ketentuan suatu perjanjian tidak akan melepaskan pelaksanaan operasi aturannya meskipun reservasi bisa melepaskan kewajiban mereka dari ketentuan hukum dari perjanjian tersebut. Walaupun suatu negara diperkenankan mengajukan pensyaratan ketika menyatakan persetujuannya untuk terikat pada suatu PI, hal ini tidaklah berarti bahwa substansi dari pensyaratan itu dapat diajukan secara bebas. Ada pembatasan atau larangan tertentu yang harus diperhatikan oleh suatu negara dalam mengajukan pensyaratan. Apa dan bagaimana pembatasan tersebut, ditegaskan dalam Pasal 19 Konvensi Wina 1969 tentang Formulation of Reservation, sebagai berikut: A state may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, formulatea reservation unless: a. The reservation is prohibited by the treaty; b. The treaty provides that only specified reservations, which do not include the reservation in question, may be made; or c. In cases not falling under sub-paragraphs (a) and (b) the reservation is incompatible with the object and purpose of the treaty. Suatu negara dapat mengajukan pensyaratan, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi suatu PI, kecuali: a. Pensyaratan itu dilarang oleh perjanjian; b. Perjanjian itu menentukan, bahwa hanya pensyaratan yang khusus, yang tidak termasuk di dalam pensyaratan yang, merupakan masalah, yang dapat diajukan; atau c. Dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam subparagraf (a) dan (b) pensyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan objek dan tujuan dari perjanjian.

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

51

Berdasarkan Pasal 19 ini, terdapat tiga butir pembatasan atas pensyaratan, yang untuk lebih jelasnya dibahas satu per satu di bawah ini: 1. Pembatasan pertama adalah seperti ditegaskan dalam butir (a), pensyaratan tidak boleh diajukan jika pensyaratan itu dilarang oleh perjanjian itu sendiri. Ini berarti bahwa perjanjian itu di dalam salah satu Pasal atau ayatnya menentukan adanya larangan bagi setiap negara untuk mengajukan pensyaratan ketika menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian. Larangan untuk mengajukan pensyaratan tersebut, ditentukan secara tegas, sehingga apapun alasannya negara itu tidak boleh mengajukan pensyaratan. Jadi hanya ada dua alternatif baginya, yaitu apakah menyatakan persetujuan untuk terikat pada seluruh isi atau ketentuannya, ataukah sama sekali tidak mau terikat atau dengan kata lain tetap berdiri di luar perjanjian sebagai pihak ketiga. 2. Kemungkinan lain dari pembatasan ini adalah, adanya pembatasan di dalam perjanjian itu sendiri yaitu melarang atas ketentuan tertentu dari perjanjian untuk dikenakan pensyaratan. Jadi ada ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dikenakan pensyaratan. Dengan demikian di dalam salah satu ketentuan dari perjanjian itu sendiri ditegaskan tentang Pasal atau ketentuan-ketentuan mana saja yang boleh dikenakan pensyaratan. Hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian yang lainnya selain dari ketentuan yang secara tegas diperbolehkan untuk dikenakan pensyaratan tidak boleh dikenakan pensyaratan. 3. Antara kedua macam pembatasan tersebut di atas, ada lagi pembatasan lain yang merupakan kombinasinya yaitu di dalam salah satu Pasal dari perjanjian itu secara tegas ditentukan, bahwa pensyaratan dapat diajukan terhadap ketentuan perjanjian ini, kecuali terhadap Pasal-Pasal tertentu. Dengan adanya ketentuan ini maka menjadi sangat jelas dan tegas, ketentuan mana dari perjanjian itu yang dapat dikenakan pensyaratan dan ketentuan mana yang tidak boleh dikenakan pensyaratan. 4. Pembahasan ketiga, adalah seperti ditentukan dalam butir (c) yaitu jika larangan atau pembatasan itu tidak termasuk di dalam ruang lingkup butir (a) dan yang diajukan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu. Pensyaratan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian akan menghambat usaha negara-negara peserta untuk mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri. Jika persyaratan semacam itu dibenarkan, maka negara-negara peserta lainnya tentu saja akan sangat dirugikan yang pada akhirnya akan memperlemah perjanjian itu sendiri. Alasannya terletak pada masing-masing perjanjian itu sendiri karena sudah dapat dipastikan akan berbeda antara perjanjian yang satu dengan yang lainnya. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi alasan atau 52

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

dasar pertimbangannya, hal ini dapat ditelusuri dalam dokumen yang berupa berita acara perundingan yang merupakan kumpulan dokumen yang berkaitan dengan kronologi maupun substansi perundingan-perundingan untuk merumuskan perjanjian itu, yang lebih dikenal dengan sebutan "preparatory work" atau "travaux preparatoires". Pensyaratan juga tidak boleh diajukan terhadap ketentuan perjanjian yang mengandung kaidah hukum yang tergolong jus cogens. Jus cogens sebagai kaidah hukum yang sifat mengikatnya sangat kuat dan imperatif, jelas tidak boleh dikesampingkan oleh kaidah hukum yang sifat mengikatnya lebih lemah, apalagi oleh suatu tindakan, akan sepihak yang sangat subjektif seperti pensyaratan. DAMPAK DARI RESERVASI TERHADAP PARTISIPASI DALAM PERJANJIAN Jika diatur bahwa para pihak dapat mengajukan pensyaratan, maka ada kemungkinan akan terdapat sejumlah negara yang mengajukan pensyaratan dengan isi yang berbeda-beda karena pensyaratan adalah usaha sebuah negara untuk memodifikasi ketentuan dari sebuah peraturan yang bertujuan untuk disetujui semua pihak. Pensyaratan merupakan penawaran segar yang diajukan untuk menganalisa isi perjanjian yang secara implisit adalah penolakan suatu negara terhadap satu atau beberapa ketentuan Pasal. Namun penawaran ini harus mendapat persetujuan dari negara-negara lain agar dapat efektif. Negara-negara lain harus menyesuaikan diri terhadap pensyaratan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan. Hasil dari reservasi tidak boleh hanya menyenangkan salah satu pihak saja atau secara logis diterapkan tanpa kualifikasi tertentu pada konvensi multilateral dari kedaulatan negara yang mengajukan pensyaratan, maka sebagai negara berdaulat suatu negara berhak menerima, keberatan atau menolak, bahkan semua sekali tidak menyatakan sikap apapun atas pensyaratan yang diajukan tersebut. Penerimaan dan penolakan atas pensyaratan sudah diatur di dalam Konvensi Wina 1969 yaitu Pasal 20 yaitu: a. Perjanjian yang secara tegas melarang pengajuan pensyaratan baik atas seluruh atau atas ketentuannya yang tertentu saja. Jika suatu PI secara tegas melarang pengajuan pensyaratan atas seluruh ketentuannya, maka setiap negara yang hendak menyatakan persetujuannya untuk terikat tentu saja tidak boleh mengajukan pensyaratan. Jika ada negara yang mengajukannya, maka pensyaratannya itu dipandang tidak pernah ada dan dengan demikian tidak berlaku sama sekali. Jadi negara-negara peserta yang lainnya tidak perlu lagi menyatakan sikap, baik menyetujui ataupun

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

53

menolak pensyaratan tersebut. Perjanjian itu akan, berlaku secara utuh terhadap semua negara yang telah dan akan menjadi peserta. Jika perjanjian itu hanya melarang pensyaratan atas ketentuan-ketentuannya yang tertentu saja, maka jika ada negara yang mengajukan pensyaratan atas ketentuan tertentu yang secara tegas sudah dilarang untuk dikenakan pensyaratan, maka pensyaratan itupun juga dianggap tidak pernah ada dan tidak akan pernah berlaku. Sedangkan terhadap ketentuan-ketentuan yang lainnya, oleh karena tidak secara tegas dilarang untuk dikenakan pensyaratan, maka berdasarkan penafsiran argumentum a contrario, tentulah bisa saja dikenakan pensyaratan. Terhadap pensyaratan yang diajukan pada ketentuan-ketentuan yang lainnya itu, negara-negara peserta lainnya masih dapat mengajukan penerimaan atau persetujuan ataupun penolakan atau keberatannya, bahkan sama sekali tidak menyatakan sikap tegas. Dilarang atau dibatasinya pengajuan pensyaratan atas ketentuan-ketentuan tertentu dari perjanjian, tentulah didasarkan atas pengkajian yang mendalam yang dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian oleh wakil-wakil para pihak yang terlibat di dalam proses perundingan tersebut. Perundingan itulah yang menghasilkan kesepakatan untuk melarang pengajuan pensyaratan atas ketentuan-ketentuan tertentu sebagaimana dirumuskan di dalam ketentuan yang melarang atau membatasinya untuk dikenakan pensyaratan. Sedangkan atas ketentuan-ketentuan lainnya yang tidak dilarang untuk dikenakan pensyaratan, yang sebelumnya juga sudah dikaji secara mendalam, dapat diartikan bahwa wakil-wakil para pihak yang melakukan perundingan tidak keberatan jika atas ketentuan-ketentuan tersebut dikenakan pensyaratan. Sebaliknya jika di dalam perjanjian itu ditegaskan bahwa hanya atas ketentuan-ketentuan tertentu saja yang boleh dikenakan pensyaratan, maka dalam hal ini tidak dibutuhkan penerimaan atau persetujuan dari negaranegara peserta yang lainnya, kecuali perjanjian itu sendiri menegaskan bahwa persetujuan atas pensyaratan yang diajukan itu tetap dibutuhkan. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 20 ayat 1 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut: A reservation expressly authorized by a treaty does not any subsequent acceptance by the other Contracting States unless the treaty so provides. Suatu pensyaratan yang secara tegas diperbolehkan oleh suatu perjanjian tidak membutuhkan penerimaan dari negara-negara peserta yang lainnya, kecuali perjanjian itu sendiri menentukan demikian. Jadi jika perjanjian itu di dalam salah satu ketentuannya secara tegas memperkenankan negara yang menyatakan persetujuan dapat mengajukan pensyaratan, dapat diartikan bahwa negara-negara yang sudah lebih 54

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

dahulu menjadi peserta perjanjian itu, sudah dengan sendirinya menyetujui pensyaratan tersebut. Dengan demikian adalah wajar, bahwa pensyaratan itu tidak membutuhkan persetujuan lagi dari negara-negara peserta. Pensyaratan itu dengan sendirinya akan mengikat negara yang mengajukan pensyaratan dalam hubungannya dengan semua negara yang sudah terlebih dahulu menjadi peserta pada perjanjian tersebut. Namun demikian, Pasal 20 ayat 1 masih membuka kesempatan pada negaranegara peserta lainnya untuk menyatakan sikap, apakah akan menerima atau menyetujui pensyaratan yang diajukan itu ataukah akan menolaknya, apabila perjanjian itu sendiri menyatakan secara tegas bahwa masih dibutuhkan penerimaan ataupun penolakan dari negara-negara peserta yang lainnya. Konvensi Wina 1969 bermaksud menghormati kedaulatan negara-negara yang sudah lebih dahulu menjadi peserta agar pensyaratan yang diajukan itu sesuai ataupun bertentangan dengan kepentingannya. Pada masa awal dari lahirnya suatu perjanjian, ketentuan yang secara tegas diperbolehkan untuk dikenakan pensyaratan, mungkin saja tidak menjadi masalah bagi semua negara peserta sehingga semua peserta bisa menerimanya. Akan tetapi karena berjalannya waktu dan perubahan serta perkembangan masyarakat internasional, kepentingan negara-negara itupun juga ikut berubah. Jadi kepentingan mereka yang dulunya sama tetapi kemudian bisa berbeda-beda atau mungkin juga bertentangan satu dengan lainnya. Oleh karena itulah maka dalam rangka mengantisipasi perubahan dan perkembangan pada masa yang akan datang itulah, ketentuan tentang dibutuhkannya persetujuan atas pensyaratan terhadap ketentuan perjanjian yang secara tegas diperkenankan untuk dikenakan pensyaratan, masih perlu mendapat penerimaan atau persetujuan dari negara-negara peserta lainnya. Pensyaratan menjadi sangat relevan sebagai sarana untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan pada masa yang akan datang. b. Pensyaratan yang membutuhkan penerimaan atau persetujuan dari seluruh negara peserta. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat 2 diatur tentang pensyaratan atas ketentuan suatu PI yang membutuhkan persetujuan dari semua negara peserta. Tegasnya, Pasal 20 ayat 2 Konvensi Wina 1969 menyatakan sebagai berikut: When it appears from the limited number of the negotiating States and the object and purpose of a treaty that the application of the treaty in its entirety between all the parties is an essential condition of the consent of each one to be bound by the treaty, a reservations requires acceptance by all the parties.

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

55

Apabila tampak dari sejumlah tertentu dari negara-negara yang melakukan perundingan maupun dari maksud serta tujuan dari suatu perjanjian, bahwa penerapan perjanjian itu dalam keseluruhannya antara semua pihak (semua negara peserta) adalah merupakan suatu syarat yang penting atas persetujuan dari masing-masing untuk terikat pada perjanjian, maka pensyaratan yang diajukan membutuhkan penerimaan atau persetujuan dari semua negara peserta. Memang ada kemungkinannya suatu PI akan terganggu penerapannya ataupun sulit memperoleh persetujuan bulat dari semua negara peserta. Dalam hal ini perjanjian hanya bisa diterapkan jika pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara mendapat persetujuan dari semua negara peserta yang lainnya. Dalam hal perjanjian yang seperti ini, penerapan perjanjian itu haruslah secara utuh terhadap semua negara peserta. Keharusan dalam penerapan secara utuh menyeluruh ini dapat disimpulkan dari maksud dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh perjanjian itu. Bahwa perlunya suatu perjanjian diterapkan secara utuh, tentu saja berdasarkan pengkajian yang secara mendalam yang telah dilakukan sebelumnya oleh para perancang naskah perjanjian dan dilanjutkan di dalam perundingan untuk membahas naskah perjanjian itu oleh wakil-wakil negara-negara yang terlibat dalam perundingan tersebut, yang akhirnya disepakati menjadi naskah final dari perjanjian. Jika ada satu negara yang mengajukan pensyaratan, dan ternyata disetujui oleh semua negara peserta yang lainnya, hal ini tidak akan mengganggu usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian. Sebaliknya jika pensyaratan yang diajukan hanya disetujui oleh sejumlah negara tetapi ditolak sebagian atau beberapa negara peserta yang lainnya, maka hal ini akan mengakibatkan penerapan perjanjian menjadi tidak utuh dan mengganggu usaha mewujudkan maksud dan tujuan perjanjian. Dalam hal ini pensyaratan yang diajukan oleh negara yang bersangkutan harus dinyatakan tidak berlaku. Apakah pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara membutuhkan penerimaan atau persetujuan bulat dari seluruh negara peserta yang lainnya, kriterianya adalah terletak pada adanya kehendak dari sejumlah terbatas negara-negara yang terlibat dalam perundingan (negotiating states), dan maksud serta tujuan dari perjanjian itu sendiri. Pasal 20 ayat (2) mencerminkan sistem pensyaratan berdasarkan suara bulat (unanimity) yang tumbuh dan dianut secara luas pada masa sebelum Perang Dunia I dan II. Menurut sistem ini, suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara akan berlaku apabila mendapat persetujuan dari seluruh negara peserta yang lainnya. Jika ada satu atau lebih negara yang tidak menyetujuinya, meskipun mungkin sebagian besar negara peserta yang lain menyetujuinya, maka pensyaratan itu tidak berlaku. Liga Bangsa-Bangsa masih menganut sistem suara bulat ini, sebagaimana ditegaskannya pada tahun 1927, sebagai berikut: 56

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

In order that any reservation whatever may be validly made in regard to a clause of the treaty, it is essential that this reservation should be accepted by all the contracting parties, as would have been the case if it had been put forward in the course of the negotiations. If not, the reservation, like the signature to which it is a ached, is null and void. Bahwa bagaimanapun juga keabsahan suatu pensyaratan atas ketentuan suatu perjanjian, adalah suatu hal yang penting bahwa pensyaratan itu harus diterima atau disetujui oleh semua negara peserta yang ikut dalam perundingan, jika hal itu dikemukakan pada waktu proses perundingan. Jika tidak, maka seperti juga pensyaratan yang diajukan pada waktu yang bersamaan dengan penandatanganan, maka pensyaratan itu adalah batal dan tidak berlaku. c.

Pensyaratan yang diterima dan ditolak oleh negara-negara peserta lainnya.

Selanjutnya di dalam Pasal 20 ayat 4 diatur tentang hubungan hukum antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan negara yang menerima maupun dengan negara yang menolak pensyaratan. Tentu saja hubungan hukumnya di sini adalah hubungan hukum yang tidak tercakup di dalam apa yang sudah diatur di dalam Pasal 20 ayat (1), (2), dan (3) maupun hubungan hukum yang tidak diatur secara khusus di dalam perjanjian itu sendiri. Selengkapnya Pasal 20 ayat (4) berbunyi: In cases not falling under the preceding paragraphs and unless the treaty otherwise provides: a. Acceptance by another contracting State of a reservation constitutes the reserving State a party to the treaty in relation to that other State if or when the treaty is in force for those States; b. An objection by another contracting State to a reservation does not preclude the entry into force of the treaty as between the objecting and the reserving States unless the contrary intention is definitely expressed by the objecting State; c. An act expressing a State's consent to be bound by the treaty and containing a reservation is effective as soon as at least one other contacting State has accepted the reservation. Dalam hal-hal yang tidak termasuk ke dalam paragraf sebelumnya dan kecuali perjanjian menentukan sebaliknya: a. Penerimaan oleh negara peserta yang lain atas suatu pensyaratan menjadikan negara yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak atau sebagai peserta dalam perjanjian dalam hubungannya dengan negara peserta yang lain itu jika perjanjian itu telah mengikat atau berlaku terhadap negara-negara itu; Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

57

b. Penolakan atau keberatan oleh negara peserta yang lainnya terhadap suatu pensyaratan tidak menghalang-halangi berlakunya perjanjian antara negara yang menolak atau keberatan dan negara yang mengajukan pensyaratan kecuali negara yang menolak tersebut menyatakan secara tegas maksudnya yang sebaliknya. c. Tindakan yang menyatakan persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian dan yang berisi pensyaratan, berlaku secara efektif segera setelah satu negara peserta telah menyatakan menerima pensyaratan tersebut. Pasal 20 ayat (4) butir a mengatur hubungan hukum antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan negara yang menerima atau menyetujui pensyaratan itu. Ditegaskan, bahwa negara yang mengajukan pensyaratan terikat pada perjanjian dengan negara yang menerima pensyaratan jika perjanjian itu sendiri telah mengikat negara-negara peserta lain tersebut. Ketentuan ini menunjukkan adanya suatu perjanjian yang sebenarnya telah berlaku sebagai Hukum Internasional positif atau mengikat semua negara pesertanya. Negara yang mengajukan pensyaratan sebagai pendatang baru, dinyatakan terikat pada perjanjian dengan negara-negara peserta perjanjian yang menerima atau menyetujui perjanjian tersebut. Keterikatan negara pendatang baru pada perjanjian mulai berlaku atau mengikat terhitung mulai saat seperti diatur di dalam ketentuan perjanjian. Persoalannya adalah dengan disetujuinya pensyaratan tersebut, sejauh manakah keterikatan para pihak pada perjanjian itu? Hal ini tentu saja sesuai dengan isi pensyaratan itu sendiri. Jika pensyaratan itu berupa penolakan untuk terikat atau pengesampingan atas akibat hukum dari ketentuan yang dikenakan pensyaratan, maka para pihak tersebut hanya terikat pada ketentuan-ketentuan perjanjian yang tidak dikenakan pensyaratan. Sedangkan atas ketentuan yang dikenakan pensyaratan, maka ketentuan itu atau akibat hukum dari ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap para pihak (pihak yang mengajukan pensyaratan dan pihak yang menerimanya). Sebagai contoh fiktif, misalnya negara A ketika menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu PI multilateral, mengajukan pensyaratan atas Pasal 25 yang menyatakan bahwa negara A menolak untuk terikat atas atau tidak mau tunduk pada akibat hukum dari Pasal 25 dari perjanjian tersebut, kemudian, negara B ternyata menerima atau menyetujui pensyaratan negara A. Oleh karena negara B menerima atau menyetujui pensyaratan negara A atas Pasal 25, berarti bahwa kedua pihak terikat pada pensyaratan tersebut. Dengan demikian, maka Pasal 25 atau akibat hukum dari Pasal 25 tidak berlaku dalam hubungan antara negara A pada satu pihak dan negara B pada lain pihak.

58

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Apabila pada suatu waktu kemudian terjadi sengketa antara negara A melawan negara B dan dalam sengketa itu ternyata Pasal 25 dari perjanjian itu menjadi salah satu ketentuan hukum yang dipermasalahkan, dalam arti salah satu pihak, misalnya negara B mendalilkan bahwa Pasal 25 harus diterapkan atas sengketa itu, maka dalam hubungan ini negara A dapat menolaknya dengan alasan negara A telah mengajukan pensyaratan atas Pasal 25 dan negara B adalah salah satu negara peserta yang telah menyetujui pensyaratan yang diajukan oleh negara A. Sedangkan jika isi pensyaratan yang diajukan suatu negara tersebut berupa mengubah akibat hukum dari ketentuan perjanjian yang dikenakan pensyaratan dan ternyata disetujui oleh negara peserta yang lainnya, maka para pihak yaitu negara yang mengajukan pensyaratan dan yang menyetujui pensyaratan tersebut, akan terikat pada pensyaratan itu. Tegasnya, keterikatan para pihak sudah tentu sesuai dengan bunyi atau isi pensyaratan itu. Apabila misalnya di kemudian hari terjadi sengketa antara kedua pihak mengenai suatu masalah yang berkaitan dengan Pasal yang dikenakan pensyaratan, maka penerapan Pasal yang dikenakan pensyaratan itu haruslah berdasarkan isi pensyaratan itu sendiri, bukan ketentuan yang secara tersurat ada di dalam Pasal perjanjian itu. Selanjutnya Pasal 20 ayat 4 butir b mengatur hubungan hukum antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan negara yang menolak atau keberatan atas pensyaratan yang diajukan itu. Menurut ketentuan ini, keberatan atau penolakan dari negara peserta lainnya terhadap pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara tidaklah menghalangi berlaku atau mengikatnya perjanjian itu antara negara yang mengajukan pensyaratan dalam hubungannya dengan negara yang keberatan atau menolak. Jadi menurut ketentuan ini, perjanjian itu tetap berlaku sepenuhnya antara negara yang mengajukan pensyaratan dalam hubungannya dengan negara yang menolak atau keberatan atas pensyaratan tersebut. Kedua pihak terikat pada seluruh ketentuan perjanjian, termasuk ketentuan yang dikenakan pensyaratan. Tetapi seluruh ketentuan perjanjian hanya berlaku, apabila negara yang menolak atau keberatan itu tidak mengemukakan pernyataan yang sebaliknya. Misalnya, negara tersebut pada waktu mengajukan keberatan atau penolakan atas pensyaratan itu juga sekaligus menolak berlakunya seluruh ketentuan perjanjian itu dalam hubungan antara mereka. Kalau negara yang, menolak pensyaratan itu mengeluarkan pernyataan yang berupa penolakan berlakunya seluruh ketentuan perjanjian dalam hubungan antara kedua pihak yang bersangkutan, maka perjanjian itu sama sekali tidak mengikat terhadap kedua pihak tersebut. Ketentuan di atas ini merupakan modifikasi dari pendapat hukum (Advisory Opinion) Mahkamah Internasional atas Pertanyaan Nomor II (a) dari Majelis Umum PBB yang menyatakan, bahwa jika salah satu pihak atau negara Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

59

peserta pada Konvensi (Konvensi tentang Genocide) mengajukan penolakan atau keberatan terhadap pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Konvensi, negara yang keberatan itu dapat menganggap bahwa negara yang mengajukan pensyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada Konvensi. Jadi, negara yang keberatan itulah yang pertama-tama diberikan hak apakah dia akan menganggap negara yang pensyaratannya ditolaknya itu sebagai pihak pada Konvensi ataukah sebaliknya. Hak ini hanya berlaku dalam hubungan antara negara itu sendiri dengan negara yang pensyaratannya ditolak tersebut. Kalau Advisory Opinion Mahkamah Internasional lebih menekankan pada pemberian hak kepada negara yang menolak pensyaratan, Pasal 20 ayat 4 butir b Konvensi Wina 1969, lebih menekankan pada kedudukan dari negara yang mengajukan pensyaratan yaitu dipandang tetap sebagai pihak atau peserta pada perjanjian dalam hubungannya dengan negara yang menolak pensyaratannya. Sedangkan keinginan dari negara yang menolak pensyaratan itu untuk menganggap negara yang pensyaratannya ditolak tersebut bukan sebagai pihak pada perjanjian, digolongkan sebagai suatu pengecualian (unless a contrary intention is definitely by the objecting State). d. Mulai berlakunya pensyaratan terhadap negara peserta yang tidak, menyatakan sikap tegas. Pasal 20 ayat 5 mengatur tentang negara yang tidak menyatakan sikap tegas terhadap pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara. Tegasnya, Pasal 20 ayat 5 tersebut berbunyi sebagai berikut: For the purpose of paragraph 2 and 4 and unless the treaty otherwise provides, a reservation is considered to have been accepted by a State if it shall have raised no objection to the reservation by the end of a period of twelve months a er it was notified of the reservation or by the date on which it expressed its consent to be bound by the treaty, whichever is later. Untuk maksud seperti yang ditentukan di dalam ayat 2 dan 4 dan kecuali perjanjian itu menentukan sebaliknya, suatu pensyaratan dianggap telah diterima oleh negara yang jika tidak menyatakan keberatannya terhadap pensyaratan tersebut sampai dengan berakhirnya periode dua belas bulan sesudah dia diberitahukan tentang adanya pensyaratan itu atau berdasarkan tanggal di mana dia menyatakan persetujuannya secara tegas untuk terikat pada perjanjian, atau yang manapun yang belakangan dari keduanya itu. Jika suatu negara peserta telah menerima pemberitahuan tentang adanya pensyaratan, ternyata tidak menyatakan sikap tegas maka menurut ketentuan di atas, negara tersebut dianggap telah menerima atau menyetujui pensyaratan itu setelah lewatnya waktu dua belas bulan terhitung mulai tanggal diterimanya 60

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

pemberitahuan tentang adanya pensyaratan itu. Batas waktu dua belas bulan ini dinilai cukup layak bagi suatu negara untuk mengkaji secara mendalam atas pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara, untuk selanjutnya mengambil keputusan apakah akan menerima ataukah akan menolak pensyaratan tersebut. Akan tetapi setelah batas waktu dua belas bulan itu lampau, menurut ketentuan ini, maka negara itu dianggap menerima pensyaratan itu sehingga pensyaratan itu akan berlaku antara kedua negara tersebut. PERUMUSAN TENTANG PENSYARATAN DALAM PI Berdasarkan uraian tentang pembatasan atas pensyaratan seperti tersebut di atas, sebenarnya sudah tersimpul formulasi atau perumusan tentang pensyaratan ini di dalam suatu PI. Berdasarkan formulasinya itulah segera dapat diketahui, sejauh manakah pensyaratan itu diperkenankan untuk ketentuan yang lainnya, ataukah sama sekali tidak ditegaskan di dalam salah satu ketentuan perjanjian. Apabila tidak ditegaskan, diperbolehkan ataupun dilarang untuk mengajukan pensyaratan maka akan timbul masalah. Ada beberapa PI yang secara tegas melarang negara-negara mengajukan pensyaratan (atas seluruh ketentuannya) adalah: 1. Convention against Discrimination in Education yang disepakati pada tanggal 14 Desember 1960 dalam sidang umum UNESCO dan mulai berlaku pada tanggal 22 Mei 1962, Pasal 9 menyatakan: Reservations to this Convention shall not be permi ed. 2. The United Nations Convention on the Law of the Sea, 11 Desember 1982, yang mulai berlaku pada tanggal 14 November 1994 yang di dalam Pasal 309 dengan judul Reservations and Exception, ditegaskan: No reservations or exceptions may be made to this Convention unless expressly permi ed by other Pasals of this Convention. Beberapa contoh PI yang secara tegas memperbolehkan pengajuan pensyaratan atas ketentuan tertentu dari perjanjian tetapi melarang pengajuan pensyaratan atas ketentuan-ketentuan lainnya, adalah: 1. Convention on Fishing and Conversation of the Living Resources of the High Seas 29 April 1958 dan mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966, Pasal 19 ayat 1 dan 2 menyatakan: At the time of signature, ratification or accession, any State may make reservations to Pasals of the Convention other than to Pasals 6, 7, 9, 10, 11, and 12. 2. Convention on the Continental Shelf 29 April 1958 dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juni 1964, dalam Pasal 12 ayat 1 dan 2 ditegaskan: At the time of signature, ratification or accession, any State may make reservations to Pasals of the Convention other than to Pasals 1 to inclusive. Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

61

3. Convention on the Reduction of Statelessness yang ditandatangani di New York pada tanggal 30 Agustus 1961 dan mulai berlaku pada tanggal 13 Desember 1975, dalam Pasal 12 ayat 1 dan 2 ditegaskan: 1) At the time of signature, ratification or accession, any State may make reservations to Pasals 11, 14 and 15. 2) No other reservations to this Convention shall be admissible. Beberapa PI yang memperkenankan kepada negara-negara mengajukan pensyaratan tetapi tanpa disertai penegasan tentang Pasal mana yang boleh dan yang tidak boleh dikenakan pensyaratan, jadi penegasannya hanya bersifat umum saja, adalah: a. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 1969, Pasal 20 ayat 1, 2 dan 3 menegaskan sebagai berikut: The Secretary General of the United Nations shall receive and circulate to the States which are may become Parties to this Convention, reservations made by States at the time of ratification or accession. Any State which objects to the reservation shall, within a period of ninety days from the date of the said communication, notify the Secretary General that it does not accept it. A reservation incompatible with the object and purpose of this Convention shall not be permi ed, nor shall a reservation the effect of which would inhibit the operation of any of the, bodies established by this Convention be allowed. A reservation shall be considered incompatible or inhibitive if at least two thirds of the States Parties to this Convention object to it. Reservations may be withdrawn at any by notification to this effect addressed to the Secretary General. Such notification shall take effect on the date on which it is received. Sekretaris Jenderal PBB akan menerima dan mengedarkan kepada negaranegara yang dapat menjadi peserta atau pihak pada Konvensi, pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara pada waktu peratifikasian atau pengaksesian. Suatu negara yang menolak atau keberatan terhadap pensyaratan tersebut, dalam tempo sembilan puluh hari terhitung dari tanggal penyampaian itu, harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal bahwa dia tidak menerima atau tidak menyetujui pensyaratan itu. Suatu pensyaratan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan Konvensi tidak diperbolehkan, demikian juga pensyaratan yang menghambat atau menghalang-halangi pelaksanaan tugas dari badan-badan yang ditetapkan oleh Konvensi ini. Suatu pensyaratan akan dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan atau menghalang-halangi, apabila sejumlah dua per tiga dari negara-negara yang menjadi pihak atau peserta pada Konvensi menolaknya. Pensyaratan ini dapat ditarik kembali pada setiap waktu dengan memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal

62

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

PBB dan penarikan kembali itu berlaku mulai pada tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut. b. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women yang disepakati dalam Sidang Umum PBB sesuai dengan Resolusi Nomor 34/180 tanggal 18 Desember 1979, dan mulai berlaku pada tanggal 3 September 1981, Pasal 28 ayat 1, 2, dan 3 menyatakan sebagai berikut: 1. The Secretary General of the United Nations shall receive and circulate to all States the text of reservations made by States at the time of ratification's or accession. 2. A reservation incompatible with the object and purpose of the present Convention shall not be permi ed. 3. Reservations may be withdrawn at any time by notification to this effect addressed to the Secretary General of the United Nations, who shall then inform all States thereof. Such notification shall take effect on the date on which it is received. Sekretaris Jenderal PBB akan menerima dan mengedarkan kepada semua negara, naskah pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara pada waktu peratifikasian atau pengaksesian. Suatu pensyaratan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari Konvensi yang sekarang ini tidak diperkenankan. Pensyaratan dapat ditarik kembali pada setiap waktu dengan pemberitahuan penarikan kembali tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB yang kemudian memberitahukan semua negara yang bersangkutan. Pemberitahuan tentang penarikan kembali pensyaratan akan mulai berlaku pada tanggal diterimanya pemberitahuan itu oleh negara-negara tersebut. Beberapa contoh PI yang sama sekali tidak menegaskan tentang pensyaratan, yakni mengenai boleh atau tidaknya suatu negara mengajukan pensyaratan adalah: a. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 9 Desember 1948 yang mulai berlaku pada tanggal 15 Januari 1951. b. International Convenient on Economic, Social and Cultural Rights, 1966 yang mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976. c. International Convenient on Civil and Political Rights, 1966 yang mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976.

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

63

PENSYARATAN ATAS INSTRUMEN UTAMA SUATU ORGANISASI INTERNASIONAL Sebuah organisasi internasional memiliki piagam, statuta, konvenan atau yang sejenis sebagai landasan berdirinya dan berisi struktur organisasi itu sendiri, mekanisme bekerjanya serta maksud dan tujuan yang hendak dicapainya. Seperti telah dikemukakan di atas, instrumen utama (constituent instrument) ini merupakan salah satu macam dari PI. Sebagai sebuah PI, tentu saja tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum PI, yang salah satunya adalah yang berhubungan dengan pensyaratan. Bagi suatu negara yang hendak menjadi anggota dari suatu organisasi internasional dengan cara menyatakan persetujuan untuk terikat pada instrumen utamanya boleh atau tidak mengajukan pensyaratan atas ketentuan tertentu dari instrumen utamanya tergantung pada pengaturannya yang terdapat di dalam instrumen utamanya. Jika instrumen utamanya memang memperbolehkan, tentu saja pengajuan pensyaratan itu dapat dibenarkan, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, Pasal 20 ayat 3 Konvensi Wina 1969 mengatur secara umum saja tentang hal ini, dengan rumusan sebagai berikut: When a treaty is a constituent instrument of an international organization and unless it otherwise provides, a reservation requires the acceptance of the competent organ of that organization. Apabila suatu perjanjian itu adalah merupakan sebuah instrumen utama dari suatu organisasi internasional dan kecuali ditentukan sebaliknya, pensyaratan yang diajukan itu membutuhkan persetujuan dari organ yang berkompeten dari organisasi internasional yang bersangkutan. Menurut ketentuan ini, pertama, pengaturan tentang pensyaratan tentu saja terserah pada pihak yang merumuskan naskah perjanjian yang merupakan instrumen utama dari organisasi internasional itu sebagaimana yang tercantum secara tegas di dalamnya. Demikian juga penerimaan maupun penolakan terhadap pensyaratan itu, apakah harus disampaikan secara langsung oleh negara-negara tersebut kepada negara yang mengajukan pensyaratan. Jika instrumen utama tersebut tidak mengaturnya tetapi jika negara-negara yang merumuskan naskah perjanjian yang merupakan instrumen utama itu mencapai kesepakatan di luar perjanjian yang mengatur secara khusus tentang hal yang berkaitan dengan pensyaratan ini, maka pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara baik penerimaan ataupun penolakan atas pensyaratan dari negaranegara peserta lainnya tunduk pada ketentuan yang telah disepakati itu. Kedua, jika instrumen utamanya itu sama sekali tidak mengaturnya, maka jika ada suatu negara yang mengajukan pensyaratan, pensyaratan itu membutuhkan penerimaan atau persetujuan dari organ yang berwenang atau 64

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

berkompeten dari organisasi internasional tersebut. Jika organ yang berwenang ini menyetujuinya, maka pensyaratan itu akan berlaku dan mengikat semua negara anggota maupun negara yang pada suatu waktu akan menjadi anggota dari organisasi internasional itu. Demikian pula sebaliknya, jika pensyaratan itu ditolak oleh organ yang berwenang dari organisasi internasional itu, maka pensyaratan itu tidak berlaku dan dengan demikian negara yang pensyaratannya ditolak itu terikat pada seluruh ketentuan dari instrumen utama tersebut. Negara-negara anggota dari organisasi internasional itu tidak perlu lagi menyatakan sikap terhadap pensyaratan itu, baik berupa penerimaan ataupun penolakan. Keputusan dari organ yang berwenang tersebut baik yang berupa penerimaan ataupun penolakan, mengikat seluruh negara anggota maupun negara yang pada suatu waktu akan menjadi anggota dari organisasi internasional yang bersangkutan. Jadi dapat disimpulkan, bahwa organ yang berwenang tersebut memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat negara-negara anggotanya. Prosedur penarikan kembali pensyaratan yang pernah diajukan dan sebelumnya sudah disetujui atau diterima oleh organ yang berwenang tersebut tidak diatur dalam Pasal 20 ayat 3. Dengan diterimanya penarikan kembali atas pensyaratan dan disampaikannya kepada negara-negara anggota dari organisasi internasional tersebut, maka pensyaratan itu menjadi tidak berlaku lagi. negara yang bersangkutan sejak saat itu mulai terikat pada ketentuan dari instrumen utama yang semula dikenakannya pensyaratan. Organ yang berwenang harus dilihat dari struktur dari organisasi internasional itu serta tugas dan kewenangan dari masing-masing organnya itu sendiri. Jadi tergantung pada pengaturannya di dalam organisasi internasional tersebut. AKIBAT HUKUM DARI RESERVASI DAN PENOLAKAN TERHADAP RESERVASI Dengan adanya pensyaratan, penerimaan, maupun penolakan atas pensyaratan, maka tentu saja akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda-beda antara para pihak yang bersangkutan. Pasal 22 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum dari pensyaratan dan penolakan terhadap pensyaratan menyatakan sebagai berikut: 1. A reservation established with regard to another party accordance with Pasals 19, 20, and 23. a. Modifies for the reserving State in its relations with that other party the provisions of the treaty to which the reservation relates to the extent of the reservation; and b. Modifies those provisions to the same extent for that other party in its relations with the reserving State.

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

65

2. The reservation does not modify the provisions of the treaty for the other parties to the treaty intense. 3. When a State objecting to a reservation has not opposed the entry into force of the treaty between itself and the reserving State, the provisions to which the reservation relates do not apply as between the two States to the extent of the reservation. 1. Suatu pensyaratan yang dilakukan berkenaan dengan pihak lain sesuai dengan Pasal 19, 20, dan 23: a. Memodifikasi ketentuan dari perjanjian yang dikenakan pensyaratan dalam ruang lingkup sesuai dengan isi pensyaratan itu sendiri bagi negara yang mengajukan pensyaratan; dan b. Memodifikasi ketentuan tersebut dalam ruang lingkup isi yang sama bagi negara peserta yang lain dalam hubungannya dengan negara yang mengajukan pensyaratan. 2. Pensyaratan itu tidak memodifikasi ketentuan perjanjian yang dikenakan pensyaratan terhadap negara-negara peserta yang lainnya, dalam hubungan antara mereka satu dengan lainnya. 3. Jika suatu negara yang menolak terhadap suatu pensyaratan namun tidak menyatakan menolak berlakunya perjanjian antara negara itu sendiri dan negara yang mengajukan pensyaratan, ketentuan yang dikenakan pensyaratan itu tidak berlaku antara kedua negara tersebut. Menurut Pasal 21 ayat 1 butir (a) dan (b), pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima atau disetujui oleh negara peserta lainnya, akan memodifikasi atau mengubah ketentuan perjanjian yang dikenakan pensyaratan tersebut seluas isi pensyaratan itu sendiri. Misalnya apakah pensyaratan itu berupa penolakan untuk terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari, ataukah memodifikasi atau mengubah akibat hukum dari ketentuan perjanjian yang dikenakan pensyaratan. Jika pensyaratan itu berupa penolakan atau tidak mau terikat pada akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian, maka ketentuan itu tidak berlaku antara negara yang mengajukan pensyaratan dalam hubungannya dengan negara yang menyetujuinya. Apabila misalnya terjadi sengketa antara kedua pihak yang ternyata berkaitan dengan ketentuan perjanjian tersebut, maka ketentuan itu tidak bisa diterapkan atau tidak berlaku terhadap sengketa itu. Sebaliknya jika pensyaratan itu berupa pemodifikasian akibat hukum atas ketentuan tertentu dari perjanjian, maka para pihak terikat pada ketentuan yang telah termodifikasikan tersebut sesuai dengan isi pensyaratan itu. Jika terjadi suatu sengketa antara kedua pihak yang berkenaan dengan ketentuan tersebut, maka yang berlaku dan diterapkan terhadap sengketa tersebut adalah ketentuan perjanjian yang telah termodifikasikan sesuai dengan isi pensyaratan itu. 66

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Selanjutnya dalam hubungan antara negara-negara peserta yang lainnya, seperti ditegaskan dalam Pasal 22 ayat 2, ketentuan perjanjian sebagaimana yang tersurat, tetap berlaku antara negara-negara peserta yang lainnya. Sedangkan Pasal 21 ayat 3 menegaskan tentang hubungan hukum antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan negara yang menolak pensyaratan, sepanjang negara yang menolak ini tidak menentang berlakunya perjanjian itu antara negara itu sendiri dengan negara yang mengajukan pensyaratan. Jika negara yang menolak itu tidak menentang berlakunya perjanjian antara negara itu sendiri dengan negara yang mengajukan pensyaratan, maka ketentuan yang dikenakan pensyaratan itu tidak berlaku. Dengan demikian maka ketentuan tersebut berlaku sepenuhnya terhadap kedua pihak. Dalam Anglo-French Continental Shelf Arbitration, 1977, yaitu sebuah kasus antara Inggris dan Perancis tentang garis batas landas kontinen di Selat Dover yang diselesaikan melalui jalur arbiterase, Mahkamah Arbiterase menolak argumentasi yang diajukan oleh Perancis yang mengatakan, bahwa Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 tentang landas kontinen tidak berlaku terhadap sengketa antara kedua pihak. Perancis mengajukan alasan bahwa Pasal 6 tersebut tidak dapat diterapkan dalam sengketa garis batas landas kontinen antara Perancis dan Inggris ini, karena mengajukan pensyaratan yang isinya menolak untuk terikat atau untuk tunduk pada akibat hukum dari Pasal 6 Konvensi tentang Landas Kontinen. Mahkamah mengatakan, bahwa Perancis tetap terikat pada Pasal 6 karena pensyaratan Perancis atas Pasal tersebut ditolak oleh Inggris. PENARIKAN KEMBALI RESERVASI DAN PENARIKAN KEMBALI PENOLAKAN TERHADAP RESERVASI Pasal 22 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menyatakan: Unless the treaty otherwise provides, a reservation may be withdrawn at any time and the consent of slate which has accepted the reservation is not required for its withdrawal. Kecuali jika perjanjian itu menentukan sebaliknya, suatu persyaratan dapat ditarik kembali setiap waktu, dan penarikan kembali itu tidak membutuhkan persetujuan dari negara yang sebelumnya telah menerimanya. Sedangkan berkenaan dengan penarikan kembali penolakan ataupun keberatan terhadap pensyaratan, diatur di dalam Pasal 22 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: Unless the treaty otherwise provides, an objection to a reservation may be withdrawn at any time. Kecuali perjanjian menentukan sebaliknya, suatu penolakan atau keberatan terhadap suatu pensyaratan dapat ditarik kembali pada setiap waktu. Pasal 22 ayat 3 butir (a) dan (b) masing-masing mengatur tentang mulai berlakunya penarikan kembali atas pensyaratan dan penarikan kembali atas penolakan terhadap pensyaratan. Adapun bunyi selengkapnya adalah:

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

67

Unless the treaty otherwise provides, or it is otherwise agreed: a. The withdrawal of reservation becomes operative in relation b. To another contracting State only when notice of it has been received by that State; the withdrawal of an objection to a reservation becomes operative only when notice on it has been received by the State which formulated the reservation. Kecuali jika perjanjian menentukan sebaliknya, atau jika disetujui sebaliknya: a. Penarikan kembali atas pensyaratan akan mulai berlaku dalam hubungannya dengan negara peserta lainnya hanya jika pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang mengajukan pensyaratan tersebut. b. Penarikan kembali atas penolakan atau keberatan terhadap pensyaratan akan mulai berlaku hanya jika pemberitahuan tentang itu telah diterima oleh negara yang mengajukan pensyaratan tersebut. Di dalam ketiga ayat dari Pasal 22 ini sekali lagi tampak bahwa para pihak yang melakukan perundingan diberikan kebebasan dalam menentukan dan merumuskannya di dalam perjanjian untuk mengatur secara limitatif tentang pranata hukum yang bernama "pensyaratan" ini. Hal ini dapat dilihat dari kalimat "unless the treaty otherwise provides" (kecuali jika perjanjian menentukan sebaliknya), atau kata-kata "or otherwise agreed" (atau jika disetujui sebaliknya). Jadi pada awalnya perjanjian itu sendirilah yang menentukannya, dan harus diikuti oleh para pihak yaitu ketentuan dalam perjanjian itu sendiri. Misalnya, di dalam perjanjian itu bisa saja ditetapkan, bahwa penarikan kembali pensyaratan maupun penolakan terhadap pensyaratan tidak bisa dilakukan; atau penarikan kembali baru boleh dilakukan setelah perjanjian itu berlaku dan diterapkan selama sekian tahun, dan lain-lain pembatasan yang disepakati. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang penarikan kembali pensyaratan maupun penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan ini, maka berlakulah Pasal 22 ayat 1, 2, dan 3. Selanjutnya baiklah ditinjau mulai dari penarikan kembali atas pensyaratan, penarikan kembali atas penolakan atas keberatan terhadap pensyaratan, dan mulai berlakunya penarikan kembali atas pensyaratan maupun penolakan terhadap pensyaratan. PENARIKAN KEMBALI ATAS RESERVASI Sebagaimana bunyi Pasal 22 ayat 1 yang telah dikutip di atas, kecuali jika perjanjian menentukan sebaliknya, pensyaratan dapat ditarik kembali setiap waktu tanpa membutuhkan persetujuan lagi dari negara yang semula telah menerima pensyaratan tersebut. Jadi jika tidak ada pengaturan lain di dalam perjanjian, maka pihak yang mengajukan pensyaratan dapat menarik kembali 68

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

pensyaratan yang telah diajukannya. Penarikan kembali atas pensyaratan itu dapat dilakukan setiap waktu (at any time). Dengan kata lain, tidak tergantung pada suatu jangka waktu tertentu, sepanjang perjanjian itu sendiri tidak menentukan demikian. Penarikan kembali tersebut tidak membutuhkan persetujuan dari negara yang sebelumnya sudah menyatakan menerima atau menyetujui pensyaratan itu. Sebagaimana halnya pengajuan pensyaratan adalah merupakan manifestasi dari kedaulatan suatu negara, demikian pula halnya penarikan kembali atas pensyaratan inipun juga merupakan manifestasi dari kedaulatan negara yang bersangkutan. Penarikan kembali atas pensyaratan ini tentu saja bisa didasarkan atas pertimbangan bahwa ketentuan yang semula dikenakan pensyaratan karena dianggap tidak sesuai dengan kedaulatan maupun kepentingan nasional negara itu sendiri, kemudian ternyata dipandang sudah tidak lagi bertentangan dengan kedaulatan maupun kepentingannya. Jadi, ada semacam perubahan pandangan dari negara yang bersangkutan atas ketentuan perjanjian itu. Dengan adanya penarikan kembali atas pensyaratan tersebut, secara tersimpul dapat pula dipandang bahwa negara yang bersangkutan bersedia untuk menerima dan tunduk pada ketentuan perjanjian yang semula dikenakannya pensyaratan. Negara yang semula menerima atau menyetujui pensyaratan, tidak perlu menyatakan persetujuan ataupun penolakannya atas penarikan kembali pensyaratan tersebut. Hal ini menandakan, bahwa seperti halnya pengajuan pensyaratan itu sendiri, penarikan kembali pensyaratan adalah juga merupakan pensyaratan sepihak dari negara itu. Jadi, bagi negara yang semula menerima pensyaratan tersebut, tidak ada jalan lain selain daripada menyetujui penarikan kembali atas pensyaratan itu. Dengan penarikan kembali pensyaratan berarti adanya kesediaan negara itu untuk tunduk pada ketentuan yang semula dikenakannya pensyaratan. Dengan demikian, ketentuan perjanjian yang semula dikenakan pensyaratan itu berlaku sepenuhnya antara negara yang menarik kembali pensyaratannya dalam hubungannya dengan negara yang semula menyetujui pensyaratan tersebut. Dengan berlakunya seluruh ketentuan perjanjian terhadap kedua pihak, tentu saja akan lebih positif bagi perjanjian itu sendiri, jika dibandingkan dengan berlakunya perjanjian yang masih disertai dengan pensyaratan antara kedua pihak. PENARIKAN KEMBALI ATAS PENOLAKAN TERHADAP RESERVASI Jika negara yang semula mengajukan pensyaratan diperkenankan menarik kembali pensyaratannya, maka pada lain pihak, negara yang semula mengajukan penolakan atau keberatan terhadap pensyaratan, juga diperkenankan menarik kembali penolakan atau keberatannya. Seperti halnya penarikan kembali atas pensyaratan, demikian pula penarikan kembali atas penolakan atau keberatan Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

69

terhadap pensyaratan dapat dilakukan pada setiap waktu (at any time). Dengan penarikan kembali atas penolakan atau keberatannya, berarti terjadi perubahan pandangan, yakni dari pandangan semula yang berupa penolakan berubah menjadi menerima atau menyetujui pensyaratan tersebut. Hal inipun juga merupakan manifestasi dari kedaulatan negara yang bersangkutan. Tentu saja penarikan kembali ini dapat dibenarkan, apabila perjanjian itu sendiri tidak mengatur sebaliknya. Jika perjanjian itu sendiri sudah mengaturnya secara khusus, maka penarikan itu harus dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian itu sendiri. Demikianlah makna yang terkandung di dalam Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1969. Dengan penarikan kembali atas penolakannya terhadap pensyaratan, berarti negara itu bersedia menerima atau menyetujui pensyaratan yang semula ditolaknya. Hal ini tentu saja akan mengubah hubungan hukum antara kedua pihak, dari semula terikat pada ketentuan yang bersangkutan, menjadi terikat pada isi dari pensyaratan itu sendiri. Jika isi pensyaratannya berupa ketidakbersediaan untuk terikat pada atau peniadaan akibat hukum dari ketentuan yang bersangkutan, maka ketentuan itu tidak dapat diterapkan dalam hubungannya antara kedua pihak. Tetapi jika isi pensyaratannya berubah mengubah formulasi ketentuannya atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tersebut, maka kedua pihak terikat sesuai dengan pengubahan tersebut. Akan tetapi dalam Pasal 22 ayat 2 tersebut tidak terdapat penegasan seperti dalam ayat 1, yaitu tidak ditegaskan tentang tidak dibutuhkannya persetujuan dari negara yang mengajukan pensyaratan. Dengan demikian, negara yang mengajukan pensyaratan tidak perlu lagi menyatakan setuju, apalagi menolak untuk menerima penarikan kembali atas pensyaratan tersebut, sebab tidak ada manfaatnya. MULAI BERLAKUNYA PENARIKAN KEMBALI RESERVASI DAN PENOLAKAN TERHADAP RESERVASI Pasal 22 ayat 3 butir a Konvensi Wina 1969 menentukan, bahwa penarikan kembali pensyaratan mulai berlaku dalam hubungannya antara negara yang menarik kembali pensyaratannya dengan negara peserta lainnya, khususnya negara peserta yang menyetujuinya, hanya jika pemberitahuan atas penarikan kembali pensyaratan itu telah diterima oleh negara yang bersangkutan. Dengan diterimanya pemberitahuan, maka sejak saat itu negara yang menerima dipandang sudah mengetahui terjadinya penarikan kembali pensyaratan. Dalam hal ini kemungkinan bisa saja terjadi, bahwa negara peserta tersebut menerima pemberitahuan itu dalam kurun waktu yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya, yang berarti pula saat mulai berlakunya penarikan kembali pensyaratan itupun juga berbeda-beda. Pada jaman dahulu, hal ini memang merupakan masalah yang besar mengingat sarana transportasi dan 70

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

telekomunikasi belum begitu canggih. Akan tetapi dewasa ini hal ini bukanlah merupakan masalah yang sulit, mengingat sangat majunya, sarana transportasi dan telekomunikasi, pemberitahuan itu dapat dilakukan secara serentak dalam waktu yang bersamaan, sehingga, setiap negara peserta akan menerimanya dalam waktu yang juga bersamaan. Sedangkan mulai berlakunya penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan, Pasal 22 ayat 3 butir b menyatakan, bahwa penarikan kembali tersebut berlaku mulai pada saat pemberitahuan tentang itu telah diterima oleh negara yang mengajukan pensyaratan. Kecuali jika ada pengaturan sebaliknya di dalam perjanjian. Mulai pada saat, itu pensyaratan mulai berlaku terhadap dan mengikat kedua negara itu. Dalam hal penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan, masalahnya hanyalah antara dua pihak yang bersangkutan saja. Jadi dapat dikatakan lebih sederhana jika dibandingkan dengan penarikan kembali atas pensyaratan, karena negara yang menarik kembali pensyaratannya kemungkinan berhadapan dengan lebih dari satu negara peserta yang menerima pensyaratan tersebut. PROSEDUR MENGENAI PENGAJUAN RESERVASI, PENERIMAAN, DAN PENOLAKAN TERHADAP RESERVASI Mengenai hal ini diatur di dalam Pasal 23 ayat 1, 2, 3, dan 4 Konvensi Wina 1969. Sebenarnya Pasal 23 tidak sepenuhnya berkenaan dengan prosedur atau tata cara, sebab beberapa butir yang terkandung di dalamnya juga memuat kaidah hukum materiil. Kaidah hukum materiil tersebut antara lain adalah tentang bentuk hukum dari pensyaratan, penerimaannya, maupun penolakannya. Demikian pula penarikan kembali pensyaratan maupun penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan harus dirumuskan dalam bentuk tertulis. Pasal 23 ayat 1 menyatakan sebagai berikut: A reservation, an express acceptance of a reservation and an objection to a reservation must be formulated in writing and communicated to the contracting States and other States entitled to become parties to the treaty. Suatu pensyaratan, penerimaan secara tegas atas pensyaratan, dan penolakan atau keberatan terhadap pensyaratan harus dirumuskan dalam bentuk tertulis dan dikomunikasikan kepada negara-negara peserta dan negara-negara lain yang berhak untuk menjadi peserta pada perjanjian. Di sini ditegaskan bentuk hukum dari pensyaratan itu sendiri, penerimaan maupun penolakan terhadap pensyaratan, yaitu dalam bentuk tertulis. Tentu saja perumusan dalam bentuk tertulis ini dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait. Sudah umum diketahui, bahwa hukum tertulis lebih menjamin adanya kepastian hukum dibandingkan

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

71

dengan hukum yang tidak tertulis. Bentuk tertulis ini haruslah dipandang imperatif, jadi jika tidak dirumuskan dalam bentuk tertulis, berarti tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Selanjutnya semuanya itu harus dikomunikasikan atau disampaikan kepada negara-negara peserta (Contracting States) yaitu negara-negara yang sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian. Selain daripada itu, juga harus disampaikan kepada negara-negara yang berhak untuk-tetapi belum- menjadi peserta pada perjanjian yang bersangkutan. Sudah pasti di antaranya adalah negara-negara yang terlibat dalam proses perundingan dalam rangka merumuskan naskah perjanjian, terlepas dari persoalan, apakah negara itu pada suatu waktu nantinya akan menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian itu ataukah sama sekali tidak. Atau untuk suatu perjanjian multilateral terbuka dalam ruang lingkup regional, negara-negara yang berhak untuk menjadi pesertanya adalah negara-negara yang berada pada kawasan yang bersangkutan. Negara-negara sekawasan tersebut, sebagian mungkin terlibat dalam proses perundingan dan sebagian mungkin tidak terlibat, namun negara itu dapat menjadi peserta. Akan tetapi jika perjanjian itu merupakan perjanjian multilateral terbuka dengan ruang lingkup yang global, yang terbuka bagi semua atau sebagian besar negara-negara di dunia untuk menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian atau untuk menjadi peserta pada perjanjian tersebut. Bagi negara-negara yang bersangkutan, meskipun masih berada di luar atau masih berkedudukan sebagai pihak ketiga dalam hubungannya dengan perjanjian yang bersangkutan, pemberitahuan itu mempunyai arti penting, khususnya pemberitahuan tentang pengajuan pensyaratan. Apabila nanti pada suatu waktu, jika akan menyatakan persetujuan terikat pada perjanjian itu, atau setelah menjadi peserta pada perjanjian, negara itu akan dapat menentukan sikap dengan lebih tegas, apakah akan menerima ataukah akan menolak pensyaratan tersebut. Sedangkan tentang pemberitahuan mengenai penarikan kembali pensyaratan maupun penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan, juga memiliki arti penting baginya, yaitu dia akan "tahu" bagaimana hubungan hukum antara pihak-pihak yang terkait tersebut. Jadi, arti pentingnya itu hanya pada sekadar "mengetahui" saja. Khusus PI multilateral terbuka yang bersifat global, ditunjuk salah satu atau beberapa negara, ataupun organisasi internasional sebagai pihak yang ditugasi untuk melakukan penyimpanan (depository state) atas semua dokumen yang berkaitan dengan perjanjian itu, termasuk menyimpan dokumen pensyaratan, dokumen penolakan terhadap pensyaratan, dokumen penarikan kembali pensyaratan maupun dokumen penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan. Berkenaan dengan masalah pensyaratan tersebut, negara penyimpan inilah yang menerima pensyaratan untuk kemudian disampaikan kepada negara-negara peserta ataupun negara-negara yang berhak menjadi 72

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

peserta pada perjanjian. Demikian pula negara penyimpan ini pulalah yang berkewajiban menerima dan menyampaikan dokumen penarikan kembali maupun dokumen penolakan terhadap pensyaratan. Sedangkan untuk PI multilateral terbuka yang di bawah naungan suatu organisasi internasional, seperti konvensi-konvensi internasional dalam bidang perburuhan atau ketenagakerjaan yang dinaungi Organisasi Perburuhan Internasional (Internasional Labor Organization), konvensi-konvensi yang dinaungi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan lain-lainnya, yang sebagai pihak penyimpanannya adalah organ dari organisasi internasional tersebut, maka pengajuan pensyaratan, pengajuan penerimaan maupun penolakan terhadap pensyaratan, harus disampaikan kepada organ dari organisasi internasional itu dan yang selanjutnya akan menyampaikannya kepada negara-negara peserta atau yang berhak menjadi peserta. Selanjutnya Pasal 23 ayat 2 mengatur tentang kapan pensyaratan itu dirumuskan dan saat pengajuannya, yang berbunyi sebagai berikut: If formulated when signing the treaty subject to ratification, ~acceptance or approval, a reservation must be formally confirmed by the reserving State when expressing its consent to be round by the treaty. In such a case the reservation shall be considered as having been made on the date of its confirmation. Jika pensyaratan itu dirumuskan atau dikemukakan ketika suatu negara menandatangani suatu perjanjian yang tunduk pada ratifikasi, penerimaan maupun suatu persetujuan, pensyaratan itu harus diberitahukan secara resmi oleh negara yang mengajukan pensyaratan ketika negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dalam hal yang demikian, pensyaratan itu dianggap telah dibuat pada tanggal pemberitahuan tersebut. Ketentuan ini ditujukan pada perjanjian-PI yang oleh Mochtar Kusumaatmadja digolongkan sebagai perjanjian yang melalui tiga tahap pembentukan, yaitu tahap perundingan, tahap penandatanganan dan tahap ratifikasi atas persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian semacam ini, penandatanganan (signature) yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negaranegara yang melakukan perundingan barulah merupakan tahap pernyataan wakil-wakil tersebut bahwa mereka sudah berhasil menyepakati naskah perjanjian. Jadi perjanjian itu sendiri belum berlaku atau mengikat sebagai hukum positif. Akan tetapi, jika pada waktu tersebut ada di antara wakil dari salah satu atau lebih negara pada waktu menandatangani perjanjian sudah menyatakan mengajukan pensyaratan (reservation), pensyaratan itu belum berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun juga. Negara itu barulah dipandang menyatakan keinginannya saja. Jika negara itu setelah menandatangani perjanjian, kemudian menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut, baik dengan melalui Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

73

cara ratifikasi (ratification), penerimaan atau akseptasi (acceptance), persetujuan (approval), pensyaratan yang telah pernah dikemukakannya pada waktu penandatanganan perjanjian haruslah disampaikan secara resmi oleh negara itu kepada negara yang telah lebih dahulu menyatakan persetujuannya untuk terikat maupun kepada negara-negara yang berhak untuk menjadi peserta pada perjanjian itu. Dalam hal ini, maka pensyaratan itu dianggap telah dibuat pada waktu pemberitahuan tersebut. Apabila ada negara lain yang menyatakan penerimaan maupun penolakan secara tegas terhadap pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara ketika menandatangani perjanjian itu seperti dikemukakan di atas diatur dalam hal ini Pasal 23 ayat 3 menegaskan sebagai berikut: An express acceptance of, or an objection to, a reservation made previously to confirmation of the reservation does not itself require confirmation. Penerimaan, atau pun penolakan yang dinyatakan secara tegas terhadap suatu pensyaratan sebelum adanya pemberitahuan secara resmi atas pensyaratan, tidak lagi membutuhkan pemberitahuan. Tidak lagi dibutuhkan konfirmasi atau pemberitahuan, disebabkan karena para pihak sudah mengetahui posisinya masing-masing dalam hubungannya dengan negara yang mengajukan pensyaratan. Tidak ada gunanya lagi memberitahukan sesuatu yang jauh sebelumnya sudah diketahui oleh para pihak yang terkait. Jadi ketentuan ini mengandung nilai praktis dan pragmatis. Akan tetapi mengenai kapan mulai berlakunya pensyaratan maupun penolakan terhadap pensyaratan adalah setelah pihak yang mengajukan pensyaratan menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian atau pada waktu negara itu mulai terikat pada perjanjian tersebut. Masalah penarikan kembali pensyaratan, demikian juga penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan, ditegaskan dalam Pasal 23 ayat 4, bahwa semuanya itu harus dirumuskan dalam bentuk tertulis. The withdrawal of a reservation or of an objection to a reservation must be formulated in writing. Keharusan untuk merumuskannya secara tertulis tentulah dimaksudkan supaya terjaminnya kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, penarikan kembali pensyaratan maupun penarikan kembali penolakan terhadap pensyaratan yang dilakukan dalam bentuk tidak tertulis, misalnya hanya secara lisan saja, haruslah dianggap tidak pernah ada sehingga tidak memiliki kekuatan hukum apapun. PENGATURAN MENGENAI RESERVASI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA Ketentuan umum mengenai pensyaratan dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang PI. Rumusan Pasal tersebut memiliki kemiripan dengan ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 karena dinyatakan bahwa pensyaratan (reservation) adalah 74

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

pernyataan sepihak negara untuk menerima berlakunya ketentuan tertentu pada PI, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu PI yang bersifat multilateral. Dalam Pasal 8 UU PI ayat (1) ditegaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan pensyaratan dan atau pernyataan kecuali ditentukan lain dalam PI tersebut. Dalam Pasal 8 ayat (2) UU PI, dinyatakan pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan PI harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut. Dalam Pasal 8 ayat (3) UU PI pensyaratan atau pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia dapat ditarik kembali pada saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang ditetapkan dalam PI. Karena itu dalam Pasal 16 ayat (1) UU PI, dinyatakan pemerintah Indonesia melakukan perubahan atas ketentuan suatu PI berdasarkan kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa perubahan PI mengikat para pihak melalui tata cara sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Dalam ayat (3) dinyatakan bahwa perubahan atas suatu PI yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat. Pada ayat (4) dinyatakan bahwa dalam hal perubahan PI yang hanya bersifat teknis-administratif, pengesahan atas perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur sederhana. SEJARAH PERUMUSAN KETENTUAN MENGENAI RESERVASI DALAM KONFERENSI DAN PEMBAHASAN ILC Dari definisi mengenai reservasi sebagaimana termuat dalam pasal 2 (1d) KW 1969 dapat disimpulkan bawa reservasi dilakukan untuk melakukan perubahan berlakunya suatu ketentuan yang ada di dalam perjanjian bagi negara yang melakukan reservasi. Negara-negara pereservasi melakukan tindakan ini dengan maksud untuk menyesuaikan ketentuan dalam perjanjian yang perumusannya telah melalui proses penerimaan oleh negara-negara yang lain yang mungkin saja kepentingannya berbeda dengan negara pereservasi. Tindakan penyesuaian ini antara lain dilakukan dengan melakukan deklarasi (baik political declaration maupun interpretative declaration) pada saat melakukan penandatanganan, ratifikasi atau cara-cara consent to be bound lainnya. Latar belakang historis ketentuan ini dapat ditinjau dari pembahasanpembahasan pembentukan draf pasal tentang reservasi terakhir yang diajukan oleh Komisi Hukum Internasional pada tahun 1966. Keharusan akan adanya suara bulat oleh seluruh negara peserta ketika suatu negara ingin mengajukan reservasi pada saat melakukan akseptasi (acceptance), sedikit demi sedikit terkikis setelah adanya advisory opinion yang dinyatakan oleh ICJ dalam kasus Genocide Convention. Ini menyebabkan tersingkirnya pendapat-pendapat yang terlalu ekstrim yang menyatakan bahwa setiap negara berhak untuk mengajukan Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

75

reservasi terhadap perjanjian yang akan diikutinya sekalipun ada keberatan terhadap reservasi tersebut. Sekretaris Jenderal PBB mengembangkan praktik sederhana menyangkut tata cara reservasi dan penerimaan atau keberatan atas reservasi. Penyederhanaan tersebut didasarkan pada Resolusi 598 (vi) Majelis Umum yang meminta Sekretaris Jenderal sebagai lembaga depositori dari berbagai konvensi multilateral yang ditandatangani di bawah perlindungan PBB untuk: a. tetap bertindak sebagai tempat penyimpanan dokumen-dokumen yang berisi tentang reservasi atau keberatan, tanpa mengabaikan akibat hukum dari dokumen-dokumen itu; dan b. mengumumkan teks dokumen-dokumen berkaitan dengan reservasi atau keberatan atas reservasi kepada semua negara terkait, namun tetap menyerahkan kepada masing-masing Negara untuk menanggung konsekuensi hukum dari deklarasi tersebut. Konsep yang diajukan oleh Komisi Hukum Internasional ini didasarkan pada suatu doktrin pan-Amerika dan mendapatkan dukungan besar dan diterima sebagai ketentuan dalam Konvensi Wina ini, yang bunyinya: SECTION 2. RESERVATIONS Article 19 Formulation of reservations A State may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, formulate a reservation unless: a. the reservation is prohibited by the treaty; b. the treaty provides that only specified reservations, which do not include the reservation in question, may be made; or c. in cases not failing under subparagraphs (a) and (b), the reservation is incompatible with the object and purpose of the treaty. Article 20 Acceptance of and objection to reservations 1. A reservation expressly authorized by a treaty does not require any subsequent acceptance by the other contracting States unless the treaty so provides. 2. When it appears from the limited number of the negotiating States and the object and purpose of a treaty that the application of the treaty in its entirety between all the parties is an essential condition of the consent of each one to be bound by the treaty, a reservation requires acceptance by all the parties. 3. When a treaty is a constituent instrument of an international organization and unless it otherwise provides, a reservation requires the acceptance of the competent organ of that organization. 76

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

4. In cases not falling under the preceding paragraphs and unless the treaty otherwise provides: a. acceptance by another contracting State of a reservation constitutes the reserving State a party to the treaty in relation to that other State if or when the treaty is in force for those States; b. an objection by another contracting State to a reservation does not preclude the entry into force of the treaty as between the objecting and reserving States unless a contrary intention is definitely expressed by the objecting State; c. an act expressing a State's consent to be bound by the treaty and containing a reservation is effective as soon as at least one other contracting State has accepted the reservation. 5. For the purposes of paragraphs 2 and 4 and unless the treaty otherwise provides, a reservation is considered to have been accepted by a State if it shall have raised no objection to the reservation by the end of a period of twelve months a er it was notified of the reservation or by the date on which it expressed its consent to be bound by the treaty, whichever is later. Article 21 Legal effects of reservations and of objections to reservations 1. A reservation established with regard to another party in accordance with articles 19, 20 and 23: a. modifies for the reserving State in its relations with that other party the provisions of the treaty to which the reservation relates to the extent of the reservation; and b. modifies those provisions to the same extent for that other party in its relations with the reserving State. 2. The reservation does not modify the provisions of the treaty for the other parties to the treaty inter se. 3. When a State objecting to a reservation has not opposed the entry into force of the treaty between itself and the reserving State, the provisions to which the reservation relates do not apply as between the two States to the extent of the reservation. Article 22 Withdrawal of reservations and of objections to reservations 1. Unless the treaty otherwise provides, a reservation may be withdrawn at any time and the consent of a State which has accepted the reservation is not required for its withdrawal. 2. Unless the treaty otherwise provides, an objection to a reservation may be withdrawn at any time. 3. Unless the treaty otherwise provides, or it is otherwise agreed:

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

77

a.

the withdrawal of a reservation becomes operative in relation to another contracting State only when notice of it has been received by that State; b. the withdrawal of an objection to a reservation becomes operative only when notice of it has been received by the State which formulated the reservation. Article 23 Procedure regarding reservations 1. A reservation, an express acceptance of a reservation and an objection to a reservation must be formulated in writing and communicated to the contracting States and other States entitled to become parties to the treaty. 2. If formulated when signing the treaty subject to ratification, acceptance or approval, a reservation must be formally confirmed by the reserving State when expressing its consent to be bound by the treaty. In such a case the reservation shall be considered as having been made on the date of its confirmation. 3. An express acceptance of, or an objection to, a reservation made previously to confirmation of the reservation does not itself require confirmation. 4. The withdrawal of a reservation or of an objection to a reservation must be formulated in writing. Banyaknya pasal yang mengatur reservasi ini menunjukkan betapa besar efek dari masalah ini. Pasal 19 dan 20 Konvensi Wina sebagian besar merupakan hasil pemikiran dari Komisi, di mana pemikiran terpenting adalah mengenai akibat hukum atas keberatan terhadap persyaratan yang diajukan salah satu pihak. Komisi semula mengatur bahwa keberatan terhadap persyaratan menghalangi berlakunya perjanjian antara Negara yang keberatan dengan Negara yang membuat persyaratan kecuali terlihat adanya kehendak bertentangan yang dinyatakan oleh Negara yang keberatan itu. Pemikiran ini didasarkan pada proposal yang diajukan Uni Soviet yang menginginkan agar Konvensi Wina meletakkan kewajiban bagi Negara yang keberatan untuk menyatakan secara tegas bahwa keberatannya mengubah berlakunya perjanjian. Mengenai hal ini Sir Humprey Waldock mengatakan: "…permasalahannya hanya pada bagaimana cara suatu aturan dirumuskan. Tujuan utama perumusan ini adalah bagaimana merumuskan suatu aturan yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi negara-negara untuk bertindak". Aspek paling penting dari reservasi adalah menyangkut persetujuan yang dilakukan secara diam-diam (tacit consent). Persetujuan diam-diam biasanya dilakukan jika negara tidak berhasil mengajukan keberatan atas adanya suatu reservasi, sementara isi perjanjian telah mengatur ketentuan mengenai hal ini. Peran dari tacit consent semakin besar berkenaan dengan adanya kemungkinan untuk membalikkan bunyi suatu aturan di masa yang akan datang bagi mereka yang berkaitan dengan reservasi ini. Keberatan terhadap sebuah persyaratan

78

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

tidak akan menimbulkan hilangnya hubungan perjanjian antara Negara yang keberatan dan Negara yang mengajukan syarat, kecuali Negara yang keberatan itu mengumumkan secara spesifik bahwa ketidakberlakuan perjanjian tersebut merupakan dampak dari keberatan itu. Pada masa lalu keberatan terhadap persyaratan sering dilakukan dalam upaya untuk mendorong Negara yang melakukan reservasi untuk menarik kembali reservasinya. Tekanan untuk menarik persyaratan tidak akan terlalu keras apabila perjanjian telah diberlakukan bagi Negara pereservasi dan negara yang mengajukan keberatan atas reservasi tersebut. Ketentuan demikian ini akan meletakkan beban pada pihak yang keberatan terhadap reservasi untuk mendeklarasikan kepada umum bahwa dirinya tidak berniat untuk mengadakan hubungan perjanjian mengenai pasal tertentu dengan Negara pereservasi. Beban ini akan semakin berat jika negara yang menolak reservasi adalah negara yang mempunyai kekuatan lebih lemah dibandingkan dengan negara pereservasi. Secara teoretis bisa dikatakan bahwa rejim reservasi dapat mengebiri konvensinya sendiri. Misalnya, Konferensi Wina 1969 menegaskan tidak akan memisahkan ketentuan mengenai reservasi ini dengan membuat ketentuan tersendiri mengenai hal ini, oleh karenanya ketentuan Pasal 19–23 juga berlaku terhadap Konvensi Wina 1969 itu sendiri. Pada saat penandatanganan Konvensi Wina 1969, beberapa negara membuat deklarasi dan reservasi berkenaan dengan pemberlakuan Konvensi ini. Beberapa yang lain melakukan hal ini pada saat melakukan ratifikasi dan aksesi. Sejumlah deklarasi dan persyaratan telah dibuat oleh berbagai Negara tentang penandatanganan konvensi, dan masih banyak lagi yang dibuat tentang ratifikasi atau pemberian ijin. Afghanistan, Bolivia, Costa Rica, Ekuador, Jerman, Guatemala, Marocco dan Inggris, misalnya menambahkan deklarasi dan persyaratan pada saat penandatanganan. Kanada dan Selandia Baru menambahkan deklarasi serta Syria dan Tunisia telah menambahkan reservasi pada saat menyampaikan instrumen ratifikasi. Dalam menganalisa akibat hukum deklarasi dan reservasi sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Wina 1969, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan reservasi. Menurut Pasal 2(1)(d) Konvensi Wina, persyaratan adalah "pernyataan sepihak (unilateral), dengan nama apapun, yang dibuat oleh Negara ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi sebuah perjanjian, di mana hal ini dimaksudkan untuk mengecualikan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dalam perjanjian berkenaan dengan penerapan perjanjian tersebut bagi Negara yang bersangkutan. Karena beberapa deklarasi ditambahkan pada saat penandatanganan, dan beberapa pada saat ratifikasi atau aksesi, maka deklarasi tidak selalu dapat dimaknai sebagai reservasi. Seringkali deklarasi ini lebih bersifat sebagai pernyataan politik yang memuat pandangan-pandangan dari Pemerintah negara Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

79

peserta mengenai suatu isu tertentu, atau berupa interpretative declaration yang berupa pendapat-pendapat dari Pemerintah negara peserta berkenaan dengan penerapan ketentuan tertentu dalam perjanjian. Sebagai contoh deklarasi yang ditambahkan pada penandatangan yang dalam kenyataannya dalam wilayah pernyataan politik, maka dikutiplah deklarasi yang dibuat oleh Bolivia tentang kekurangan Konvensi Wina adalah menunda realisasi aspirasi umat manusia namun peraturan yang disetujui oleh Konvensi merepresentasikan kemajuan penting, didasarkan pada prinsip Hukum Internasional yang didukung Negara Bolivia sejak lama. Banyak sekali contoh deklarasi yang ditambahkan saat penandatangan atau ratifikasi yang bersifat interpretative declaration. Pertama adalah deklarasi yang dibuat oleh Afghanistan yang menyatakan pemahamannya bahwa subparagraph 2(a) dari Pasal 62 mengenai frasa fundamental changes of circumstances (perubahan lingkungan yang fundamental), tidak mencakup perjanjian yang tidak seimbang atau ilegal atau segala perjanjian yang bertentangan dengan prinsip menentukan nasib sendiri (the principles of self-determination). Kedua adalah deklarasi yang dibuat oleh Ekuador tentang penandatanganan, yang menggabungkan pemahaman pemerintah Negara itu tentang pengaruh Pasal 4 dari Konvensi Wina. Ketiga, adalah deklarasi yang dibuat oleh Inggris pada saat menandatangani dan meratifikasi Konvensi Wina 1969 mengenai hubungan antara Pasal 66 Konvensi Wina dan penerimaan Negara Inggris atas yuridiksi wajib Mahkamah Internasional (ICJ). Mengenai deklarasi Inggris tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pasal 66 Konvensi Wina menyediakan referensi bagi Mahkamah Internasional ketika menghadapi perkara apapun yang diajukan oleh para pihak menyangkut sengketa di antara mereka berkaitan dengan interpretasi atau penerapan Pasal yang memuat masalah jus cogen serta Pasal-Pasal lain pada Bab V Konvensi Wina. Deklarasi yang dibuat pemerintah Inggris pada 1 Januari 1969 menyebabkan Inggris menerima yuridiksi wajib untuk menyelesaikan sengketa di Mahkamah Internasional kecuali jika Inggris telah sepakat dengan pihak lain atau pihakpihak terkait untuk menyelesaikan sengketa dengan cara lainnya. Sikap yang berbeda dilakukan Inggris jika penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi. Secara prinsip, konsiliasi dipandang sebagai cara penyelesaian yang baik, namun kesulitannya adalah prosedur perdamaian yang dimuat di dalam Lampiran Konvensi Wina 1969 (lihat dalam Annex Konvensi Wina 1969 dalam lampiran) tidak mengarah pada penyelesaian sengketa, mengingat laporan yang dibuat oleh komisi konsiliasi tidak mengikat para pihak dan tidak ada ketentuan yang pasti mengenai tindakan lanjutan setelah upaya perdamaian tidak berhasil. Dengan latar belakang ini, pemerintah Inggris merasa ragu untuk memastikan bahwa pihak Negara vis-à-vis pada Konvensi Wina yang menerima yuridiksi wajib Mahkamah Internasional. Dampak gabungan dari

80

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Pasal 66 dari Konvensi Wina dan deklarasi yang disampaikan oleh Pemerintah Inggris seharusnya tidak mengabaikan yurisdiksi Mahkamah Internasional. Perlu dipahami apa maksud reservasi dalam arti yang tepat. Suatu saat kita bisa mengabaikan adanya reservasi yang dibuat saat penandatanganan, dan tidak ditegaskan lagi pada saat melakukan ratifikasi, karena Pasal 23(2) Konvensi Wina menghendaki reservasi dirumuskan saat penandatanganan maka harus secara formal ditegaskan oleh Negara yang mengajukan syarat ketika menyatakan persetujuannya untuk terikat oleh perjanjian (consent to be bound), dan reservasi itu harus dianggap dibuat pada saat melakukan persetujuan tersebut. Reservasi dalam arti yang tepat dibuat Negara Kosta Rika dan Guatemala saat menandatangani Konvensi Wina 1969, yang berupaya mempertahankan ketentuan dalam Konstitusi mereka yang bertentangan dengan ketentuan dalam Konvensi. Namun kedua negara tersebut ternyata tidak juga melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Wina 1969 sehingga negara lain tidak perlu mengambil sikap terhadap reservasi yang dilakukan oleh Kosta Rika dan Guatemala tersebut. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah bagaimana reaksi negara lain atas reservasi yang dilakukan oleh suatu negara pada saat melakukan ratifikasi atau aksesi. Sebagai contoh adalah reservasi yang dilakukan oleh Syiria pada saat melakukan aksesi terhadap Konvensi Wina 1969 pada tanggal 2 Oktober 1970. Reservasi tersebut memuat lima poin yang memerlukan analisis secara cermat. Pertama, adalah deklarasi yang menyatakan bahwa penerimaan Syiria terhadap Konvensi Wina 1969 tidak dapat dianggap sebagai pengakuan terhadap keberadaan negara Israel. Kedua, adanya pernyataan politik bahwa Pasal 81 tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Konvensi Wina 1969 karena Konvensi tidak menyatakan semua negara boleh menjadi pihak dalam Konvensi tanpa perbedaan atau diskriminasi. Ketiga, ada interpretative declaration yang menyatakan bahwa pemerintah Syria menginterpretasikan pernyataan "ancaman atau penggunaan kekuatan…" sebagaimana termuat di dalam Pasal 52 Konvensi Wina1969 secara meluas termasuk bidang ekonomi, politik, ancaman psikologis atau militer dan pada semua jenis kekerasan yang menghalangi Negara untuk menandatangani perjanjian sesuai harapan atau kepentingannya. Keempat, ada reservasi yang dinyatakan secara tegas bahwa pemerintah Syria menolak tidak diberlakukannya ketentuan mengenai fundamental change of circumstances terhadap perjanjian-perjanjian mengenai perbatasan negara (lihat lampiran) kecuali yang telah ditentukan oleh Pasal 62 Ayat 2a Konvensi Wina 1969. Kelima, adanya reservasi umum (general reservation) yang menyatakan bahwa aksesi Syria terhadap Konvensi Wina 1969 tidak termasuk Annex dari Konvensi yang mengatur tentang kewajiban untuk melakukan konsiliasi. Jika kita hendak memahami reaksi negara lain terhadap reservasi yang telah dilakukan oleh Syiria sebagaimana dalam contoh di atas, maka terlebih dahulu Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

81

harus dipahami konsep tacit consent (persetujuan diam-diam) sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Wina 1969. Konvensi tersebut menentukan bahwa suatu negara dianggap menerima reservasi yang dilakukan oleh negara pereservasi jika dalam jangka waktu duabelas bulan setelah penyampaian notifikasi reservasi atau pada saat melakukan consent to be bound, negara yang bersangkutan tidak menyatakan keberatan atas reservasi yang dilakukan oleh negara pereservasi tersebut. Sebagian besar Negara peserta konferensi tidak diwajibkan untuk menentukan sikap terhadap reservasi yang dilakukan Syria sebelum mereka melakukan ratifikasi atau aksesi terhadap Konvensi itu. Ada dua Negara yang menentukan sikap terhadap reservasi yang dilakukan Syiria, yaitu Inggris dan AS. Keberatan Inggris atas reservasi yang dilakukan Syiria sebenarnya tidak terlalu berarti karena keberatan tersebut disampaikan oleh Inggris melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan, sehingga dapat dikatakan bahwa Inggris menerima reservasi yang dilakukan oleh Syiria tersebut. Pandangan Inggris atas reservasi yang dilakukan oleh Syiria tersebut termuat di dalam instrument ratifikasinya yang disampaikan kepada lembaga depository. Dalam instrumen ratifikasi tersebut memuat dua pandangan berkenaan dengan reservasi yang dilakukan oleh Syiria. Pertama, Inggris tidak dapat menerima interpretative declaration Syria terhadap Pasal 52 mengenai lingkup "kekerasan", mengingat konferensi telah menerima konsep mengenai "kekerasan" dalam proses penyusunan final act. Kedua, Inggris secara formal mengajukan keberatan atas reservasi yang diajukan pemerintah Syria yang berkaitan dengan lampiran Konvensi dan mengumumkan bahwa Inggris tidak menerima berlakunya Konvensi Wina 1969 untuk mengatur hubungan antara Inggris dan Syria. Dalam melihat keberatan yang diajukan Inggris terhadap persyaratan Negara Syria pada Lampiran Konvensi dan dampak hukum keberatan itu, maka tidaklah perlu bagi Inggris untuk menyatakan pandangannya tentang persyaratan Negara Syria pada Pasal 62(2)(a). Pemerintah AS tidak berada di bawah tekanan seperti Inggris yang mendeklarasikan posisi mereka tentang persyaratan Syria, kadan AS belum meratifikasi Konvensi Wina. Namun mereka telah mengambil sikap yang berbeda dari Inggris. Pemerintah AS telah menyatakan pandangan mereka bahwa persyaratan Negara Syria yang dilampirkan pada Konvensi adalah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan penyelesaian sengketa yang netral. Pemerintah AS berniat menegaskan keberatannya terhadap persyaratan sebelumnya dan menolak hubungan perjanjian dengan Republik Arab Syria berdasarkan semua ketentuan dalam Bab V Konvensi Wina di mana Republik Arab Syria telah menolak prosedur perdamaian wajib yang diuraikan pada lampiran Konvesi Wina.

82

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Dampak dari keberatan antara AS dan Syria yang terdapat pada Bab I–IV dan Bab VI–VIII Konvensi Wina dapat berlaku bila atau ketika AS menjadi anggota Konvensi, namun Bab V tidak berlaku, dengan perkecualian pada Pasal 53, 64 dan 66 (a) perlu diketahui bahwa sampai saat ini Amerika Serikat tidak menjadi pihak dalam Konvensi Wina 1969 karena Senat menolak untuk meratifikasi Konvensi ini, walaupun Amerika Serikat telah menandatangani Konvensi Wina 1969 ini pada Tahun 1970. Keberatan AS menimbulkan satu masalah yang menarik. Pasal 20(4) memberikan pilihan bagi Negara yang keberatan untuk mengumumkan bahwa dampak keberatannya adalah untuk menghalangi berlakunya perjanjian antara Negara yang keberatan dan Negara yang mengajukan persyaratan. Dapatkah Pasal ini digunakan oleh Negara yang keberatan untuk menghalangi hubungan perjanjian sebagai bagian dari perjanjian? Masalah ini belum diuji, namun pada prinsipnya tidak ada alasan mengapa keberatan terhadap sebuah persyaratan tidak menimbulkan dampak ini. Dari sifat keberatan AS dapat disimpulkan bahwa Syria diberi hak untuk menolak hubungan perjanjian dengan AS didasarkan pada nota yang disampaikan oleh Pemerintah Amerika Serikat, mengingat bahwa keberatan tersebut sebenarnya berisi tawaran hubungan perjanjian pada skala tertentu. Penerapan rejim konvensi tentang reservasi selama ini tidak memberikan kesimpulan yang jelas. Kebebasan yang diberikan oleh Konvensi bagi negara-negara untuk merumuskan persyaratan dalam reservasi potensial untuk disalahgunakan, akibat terlalu longgarnya aturan bagi negara-negara dalam merumuskan reservasi atau penolakan terhadap reservasi. Akibatnya selanjutnya adalah terpecahnya rejim perjanjian yang sebelumnya dalam proses perumusannya disepakati dengan sangat sulit. Memang, terdapat asumsi bahwa adanya rejim reservasi meningkatkan fleksibilitas perjanjian sehingga mendorong sejumlah besar negara-negara mau mengikuti suatu perjanjian yang bersifat multilateral, namun kelebihan ini bisa menjadi bumerang bila kebebasan yang lebih besar tersebut malah menghancurkan atau meruntuhkan dasar-dasar fundamental dari perjanjian itu sendiri. UMPAN BALIK a. Apa akibat hukum dilakukannya reservasi suatu perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian terhadap pihak yang menyetujui dan yang tidak menyetujui reservasi tersebut? b. Apa pengaruh dilakukannya interpretative declaration oleh salah satu pihak dalam perjanjian jika dalam suatu penyelesaian sengketa yang lahir dari penerapan perjanjian tersebut?

Bab 4 Reservasi (Persyaratan) dalam PI

83

DAFTAR BACAAN Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001. DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Sweeet & Maxwell, London, 1998. Harjono, Politik Hukum PI, Bina Ilmu, Surabaya, 1999. I Wayan Parthiana, Hukum PI, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002. Ian Brownlie, Principle of Public International Law, 5th. Ed., Oxford, New York, 1998. Jennings and Watts, Openheim's International Law, Longham, London, 1996. Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Vol. 13, Martinus Nuhoff, London, 1991. Rebecca Wallace, International Law, 3rd. Ed., Sweet & Maxwell, London, 1997.

84

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

AKIBAT PI

5 DESKRIPSI BAB Sesuai dengan prinsip dasar PI yaitu prinsip pacta sund servanda, maka diberlakukannya suatu perjanjian oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak-pihak terkait. Bab ini akan menguraikan bagaimana akibat hukum PI berkaitan dengan aspek-aspek yang melingkupinya, di antaranya adalah akibatnya terhadap para pihak, lingkup kewilayahan berlakunya PI, dan akibatnya apabila dilakukan perubahan-perubahan terhadap PI. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang akibat PI bagi para pihak, lingkup wilayah, perubahan pemerintahan, terjadinya amandemen, modifikasi, revisi, jaminan pelaksanaan PI, dan bagi pihak ketiga; 2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang bilamana dan bagaimana PI dapat berakibat bagi pihak ketiga; 3. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang mekanisme partisipasi pihak ketiga dalam suatu PI. PENGANTAR Oliver J. Lissitzyn mengatakan bahwa norma-norma PI berasal dari kebiasaan yang berlaku di sebagian besar negara. Jadi dapat dikatakan bahwa PI itu adalah "lokalisasi" (penempatan khusus) atas norma hukum kebiasaan Internasional. Bila ada persetujuan atas aturan hukum kebiasaan yang berlaku, maka dikodifikasikan dalam PI. Dalam Islam, perjanjian (sebagai sebuah bentuk dari 'aqod) terjadi karena adanya penawaran dan persetujuan. Al Qur'an memerintahkan agar tidak melanggar perjanjian setelah menyepakatinya dan apabila pihak non-Islam mematuhinya, maka penuhilah perjanjian itu. Prinsip Pacta Sunt Servanda pada dasarnya sejalan dengan konsep 'aqod dan prinsip ini diakui oleh seluruh ahli hukum dan ahli agama Islam. Di mana 85

ada masyarakat, di situ ada hukum (ubi societas, ubi ius) dan manusia itu mempunyai hasrat untuk bergaul (appetites societatis). Begitu juga negara tak dapat berdiri tanpa adanya negara lain, harus saling bekerja sama. Bahwa kebiasaan internasional adalah lex ferenda (hukum yang harus dibentuk) dan PI adalah lex lata (hukum yang terbentuk). AKIBAT PI BAGI PARA PIHAK Akibat PI pada pihak-pihak yang mengadakan kontrak (contracting parties) adalah bahwa mereka hanya terikat oleh ketentuan-ketentuan hukumnya dan harus melaksanakannya dengan itikad baik (good faith). Beberapa hukum kebiasaan Internasional yang berubah-ubah (inconsistent rule of customary law) kecuali jika itu mengatur ketentuan dari Ius Cogens. Salah satu pihak tidak boleh memohon ketentuan-ketentuan Hukum Nasionalnya (internal law) sebagai pembenar untuk sebuah kesalahan pada pelaksanaan PI. Terutama sekali pada kesalahannya untuk mengundangkan hukum yang cocok untuk memberi akibat pada kewajiban-kewajiban PI. Hukum umum adalah PI yang tidak mengikat setiap pihak secara surut. Contohnya, hubungan kegiatan yang terjadi pemberhentian/pembatalan berlakunya sebelum tanggal berlakunya PI untuk para pihak. Kewajiban untuk mematuhi kewajiban-kewajiban yang tertuang pada PI mempunyai arti bahwa salah satu pihak tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban PI tersebut. Sebaliknya pada keadaan normal itu seperti pembebasan, memerlukan pernyataan dari pihak lain. Negara-negara pada kurun waktu kemudian ada kalanya tak mau mengakui PI mereka, tapi tak diragukan lagi bahwa penyangkalan adalah pelanggaran terhadap Hukum Internasional, kecuali itu dapat dibenarkan pada suatu atau dasar lain yang sudah lazim untuk menjaga pengunduran dari kewajiban-kewajiban untuk mematuhi ketentuan PI. Negara-negara menerima ini dengan percobaan tanpa terkecuali untuk membenarkan penyangkalannya dengan memacu pada satu atau lebih dasar-dasar yang diterima tersebut. Hal yang menjadi masalah adalah apabila suatu perjanjian yang telah diratifikasi menjadi Hukum Nasional suatu negara, akan tetapi ternyata rakyat menolak keberlakuan isi perjanjian yang telah menjadi Hukum Nasional tersebut. Sebenarnya hal seperti itu tidak perlu terjadi karena sebelum meratifikasi suatu PI, pemerintah atau legislatif terlebih dahulu harus mendengar aspirasi rakyat, kebiasaan rakyat, serta kepentingan nasional. Pada hakikatnya penandatanganan suatu perjanjian berlaku sekali untuk selamanya, dan pengakhiran perjanjian hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam Konvensi Wina 1969 yaitu: a. Kekeliruan dalam perjanjian (Pasal 48) b. Penipuan oleh negara perunding lain (Pasal 49) 86

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

c. Kecurangan seorang wakil dari suatu negara (Pasal 50) d. Paksaan dari seorang wakil suatu negara (Pasal 51) e. Paksaan dari suatu negara dengan ancaman atau penggunaan kekuatan (Pasal 52) f. Perjanjian-perjanjian yang bertentangan dengan norma dasar Hukum Internasional umum (ius cogens) Dalam Pasal 54 telah dinyatakan pula bahwa "pengakhiran suatu perjanjian atau penarikan diri sebagai suatu pihak dapat terjadi: a. Sesuai dengan ketentuan di dalam perjanjian; atau b. Setiap saat dengan persetujuan semua pihak sesudah konsultasi dengan negara-negara pembuat perjanjian lainnya. Jadi jelas bahwa untuk menarik diri dari suatu PI karena adanya gejolak dalam masyarakat salah satu negara pihak, harus sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian tersebut dan mendapat persetujuan dari seluruh peserta perjanjian. AKIBAT PI BERKENAAN DENGAN RUANG LINGKUP WILAYAH Beberapa PI berhubungan dengan lokasi geografis tertentu. Pada pengertian ini dapat dikatakan bahwa lingkup berlakunya hanya pada lokasi tertentu tersebut saja. Seperti kasus PI yang berhubungan dengan pulau tertentu atau daerah geografis lain atau berbatas dengan sungai. Pada banyak kasus terjadi pihak-pihak dalam PI seharusnya wilayah penerapan yang terbatas dapat ditetapkan dengan PI itu sendiri, baik secara diam-diam ataupun secara terang-terangan. Bagaimanapun ide pemberlakuan secara teritorial adalah sudah sesuai, meski sering tidak berisi petunjuk, salah satunya pada PI atau sebaliknya dari pihak-pihak mengenai ruang lingkup teritorial itu. Pada beberapa kasus, hukum umum yang merupakan penerapan dari PI meluas pada seluruh wilayah dari tiap pihak bahkan mungkin termasuk wilayah luar negeri (overseas territories), seperti koloni yang berada di bawah kedaulatan negara tersebut. Ini menentukan keraguan apakah yang termasuk wilayah lain (negara Protektorat) untuk hubungan internasional yang mana negara bertanggung jawab tanpa mempunyai kedaulatan di atasnya. Jadi di sini maksudnya adalah bahwa suatu PI yang dibuat oleh sebuah negara kolonial atau negara induk/protektor, maka juga sekaligus mengikat negara koloni ataupun negara protektorat. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk negara commonwealth atau negara persemakmuran yang merupakan negara bekas jajahan United Kingdom. Untuk kasus ini, PI yang dibuat oleh United Kingdom, tidak akan mengikat secara otomatis negara-negara commonwealth. Sebab-sebab negara Persemakmuran Bab 5 Akibat PI

87

tersebut pada hakikatnya mempunyai kedaulatan penuh, sehingga bebas mengurus nasibnya sendiri. Hanya saja negara-negara tersebut mengakui keberadaan Ratu Inggris, serta menganut sistem hukum yang sama dengan Inggris yaitu Commonwealth. Begitu aturan menimbulkan kesulitan untuk negara-negara yang terdiri dari beberapa unit wilayah yang mempunyai beberapa tingkatan otonomi, contohnya pada proses legislasi untuk memungkinkan akibat yang diberikan pada PI. Pada beberapa kasus, negara tidak dapat menjadi pihak hingga perbuatan legislatif pada beberapa kewenangan sudah dilengkapi. Jika pada suatu kewenangan legislatif ditolak, negara tidak dapat menjadi pihak sama sekali. Untuk mencegah akibat ini, praktik sudah dikembangkan dari sisipan pada banyak PI Pasal khusus, yang sering disebut klausal penerapan teritorial (a territorial application clause). Ada Pasal-Pasal yang mempunyai bermacam-macam bentuk, tapi itu semua berakibat negara untuk membatasi ruang lingkup teritorial PI yang nyata. Pasal tersebut memungkinkan adanya daerah pusat yang menjadi pihak pada PI tanpa melibatkan banyak wilayahnya untuk bertanggung jawab terhadap suatu hubungan internasional wilayah mungkin dapat diajukan agar termasuk dalam ruang lingkup PI dengan cara deklarasi yang dibuat pada saat penandatanganan atau pengesahan, atau kemudian sesudah itu dan selanjutnya dapat menarik diri dari ruang lingkup itu sesuai dengan ketentuan dalam PI, atau ada Pasal yang menetapkan bahwa ketentuan PI seharusnya berlaku untuk semua unit wilayah negara kecuali jika negara membuat deklarasi mengeluarkan beberapa atau keseluruhan dari mereka atau mungkin mempunyai akibat membebaskan negara anggota dalam PI dari kewajiban PI berkenaan dengan kewenangan wilayah otonomi. Akibat dari beberapa Pasal, memungkinkan negara dapat membatasi atau mungkin memperluas wilayah teritorial PI adapun sebaliknya dengan cara deklarasi yang dibuat saat penandatanganan terhadap syarat-syarat yang diterima sesuai hukum yang diisyaratkan. Sama dengan perjanjian yang mana ide besarnya dari aplikasi wilayah secara tidak langsung atau sepenuhnya sesuai, contoh: a. Perjanjian tentang batas wilayah. b. Perjanjian terhadap persoalan seperti persatuan politik. c. Perjanjian terhadap wilayah yang keluar dari batas daerahnya, seperti perjanjian hubungan suatu ke dalaman lautan atau wilayah udara. d. Perjanjian pantai yang mungkin masih diperlukan. Di beberapa kasus perjanjian mungkin menentukan terhadap kewajiban suatu pihak untuk memakai perjanjian nasional itu. Ketika mereka keluar dari keadaan wilayahnya. Ini mungkin terjadi seperti contoh pada suatu hal yang menentukan kewajiban perjanjian di dalam menghormati batas kekuasaan 88

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

seseorang, yang mana dapat memakai hubungan melalui kepala perwakilan nasional tersebut. Masalah selanjutnya adalah bidang apa saja yang merupakan lahan eksekutif dan lahan legislatif dalam hal pengesahan suatu PI menjadi Hukum Nasional. Untuk kasus tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No. 24 Th. 2000 tentang PI, yaitu Pasal 10 dan 11: Pasal 10 Pengesahan PI dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan: a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru; f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Dalam penjelasan Pasal 11 ayat 1 ini, disebutkan bidang-bidang yang termasuk kewenangan eksekutif, yaitu menganut Teori Residu: jenis perjanjian yang termasuk kategori ini di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, Penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian yang bersifat teknis. AKIBAT PI BERKENAAN DENGAN INDIVIDU WARGA NEGARA Kekuatan mengikat suatu perjanjian pada prinsipnya hanya berakibat pada negara yang mengadakan perjanjian (contracting states), bukan pada warga Negaranya. Aturan ini pernah diberikan oleh Permanent Court of Justice. Dapat berubah dengan jelas (express) maupun sembunyi-sembunyi (implied) sesuai kesepakatan (sama, sebagai penghormatan atas orang yang tidak berkebangsaan atas negara-negara peserta perjanjian). Sebaliknya jika kebijakan-kebijakan berisi kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban warga negara di wilayah hukum negara peserta perjanjian, maka para pihak wajib mengambil beberapa langkah seperlunya menurut Hukum Nasionalnya sendiri (internal law) dan kewajibannya itu harus sesuai dengan syarat-syarat kebijakan dalam perjanjian. Pada Hukum Nasional beberapa negara, pejabat yang mengeluarkan kebijakan (official publication) cukup berhak untuk melakukannya, tetapi di negara lain memerlukan langkah-langkah seperti pengesahan statute itu oleh parlemen (a statue by parliament). Bab 5 Akibat PI

89

AKIBAT PI BERKENAAN DENGAN PERUBAHAN PEMERINTAH PI mengikat negara-negara peserta perjanjian (contracting states). Perubahan pemerintahan atau bahkan perubahan bentuk pemerintahan dari salah satu pihak peserta perjanjian, maka hal tersebut akan memengaruhi kekuatan mengikatnya (binding force) suatu PI. Jadi misalnya PI multilateral yang telah ditandatangani oleh negara, akan tetap sah, bahkan bila kementerian dalam negara tersebut telah berubah. Tak satu negarapun dapat menghindari dari kewajiban PI semata-mata, karena perjanjian tersebut sudah ditandatangani di bawah kekuasaan pemerintah yang sebelumnya. Bilamana sebuah kerajaan (monarchy) berubah menjadi republik, atau sebaliknya (vice verca), maka kewajiban atas perjanjian itu tetap sama seperti sedia kala, seperti biasanya. Penting sebagaimana mungkin mereka berubah, hal itu tidak mengubah seseorang atas nama negara yang menandatanganinya. Bagaimanapun juga, jika ketentuan PI itu mensyaratkan bentuk tertentu dari pemerintahan, kemudian sebuah perubahan dari yang ditentukan demikian itu, maka membuat ketentuan bentuk yang demikian itu batal, karena penegakannya sudah menjadi tidak mungkin. Not to be confounded with the effect of changes in government is the effect of a changes in International status upon treaties, as, for instance, if a hither to full sovereign state becomes half or part sovereign, or vice verca, or if a state merges entirely into another and the like. Bukankah luar biasa akibat dari perubahan pemerintahan adalah akibat dari perubahan pada kedudukan/status atas PI, sebagaimana contohnya adalah negara dengan kedaulatan penuh (full sovereign state) menjadi negara dengan kedaulatan separuh/sebagian, atau sebaliknya, atau jika sebuah negara bergabung sepenuhnya (merges entirely) dengan negara yang lain. Dalam bahasan pergantian pemerintah ini, Boer Mauna menggunakan istilah suksesi untuk menyebut suatu pergantian. Suksesi negara harus dibedakan dengan suksesi pemerintah. Suksesi negara bersifat eksternal sedangkan suksesi pemerintah bersifat internal. Terhadap suksesi pemerintah berlaku prinsip kontinuitas, yaitu sekalipun terjadi perubahan pemerintah atau ketatanegaraan, negara tersebut tetap terikat pada hak-hak dan kewajiban internasionalnya. Pemerintah yang baru tetap terikat terhadap hak dan kewajiban pemerintah lama. Kalau dalam Suksesi negara terdapat istilah predecessor state (negara yang diganti) dan successor state (negara pengganti), maka dalam suksesi pemerintah akan dapat juga dimunculkan istilah predecessor government (pemerintah yang diganti) dan successor government (pemerintah pengganti). Sehingga suksesi pemerintah itu dapat diartikan adanya perubahan kedaulatan dari suatu pemerintah yang diganti (predecessor government) kepada pemerintah yang menggantikan (successor government). 90

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Mengenai pengertian suksesi pemerintahan ini dapat kita ikuti pendapat yang dikemukakan oleh Hackworth dalam bukunya, Digest of International Law: A government, the instrumentality through which a state function, may change from time both as to form-as from a monarchy to a republic-and as to the head of the government without affecting the continuity or identity of the state as an International person. Maksudnya adalah, bahwa pemerintahan suatu negara dapat berubah, baik pada bentuknya seperti misalnya, dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, maupun pada orang-orang atau personalia yang menjadi kepala pemerintahan, yaitu misalnya kabinet yang satu diganti dengan kabinet yang lain, atau juga kepala negara yang satu diganti dengan kepala negara yang lain, misalnya melalui suatu pemilihan umum. Perubahan pemerintahan dimaksud tidak memengaruhi kontinuitas atau identitas negara yang bersangkutan sebagai subjek Hukum Internasional. Selain pendapat di atas, J.G. Starke membedakan kedua bentuk suksesi tersebut dengan istilah perubahan "ekstern" dan perubahan "intern" kedaulatan atas wilayah. Terhadap yang kedua (perubahan intern) dari kedaulatan atas wilayah dikatakan bahwa dalam hal ini asas "kontinuitas" (continuity principle) yang berarti bahwa pemerintah pengganti tetap terikat oleh perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yang digantikannya termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban traktatnya. Perubahan tersebut tidak memengaruhi kelangsungan hidup atau identitas negara itu sebagai pembawa hak dan kewajibannya menurut Hukum Internasional. Identitas internasional negara itulah yang membedakan antara suksesi negara dan suksesi pemerintahan negara, yaitu pada suksesi negara (yang universal atau keseluruhan) terjadi perubahan identitas internasional negara tersebut, sedangkan pada suksesi pemerintahan negara tidak terjadi perubahan identitas internasional negara yang bersangkutan. Selanjutnya mengenai akibat hukum dari suksesi pemerintahan negara ini, sebagaimana telah dikemukakan di atas, berlaku asas kontinuitas. Ini berarti bahwa setiap pemerintah baru bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah lama yang digantikannya. Sebagai ilustrasi, di sini akan dikemukakan suatu kasus yang telah diputuskan oleh Mahkamah Arbitrase dalam sengketa antar Kerajaan Inggris oleh Costa Rica, atau lebih dikenal dengan sebutan "The Tinnoco Case 1923". Dalam keputusannya Mahkamah Arbitrase menyatakan bahwa negara terikat di bidang Hukum Internasional oleh tindakan-tindakan seseorang atau orang-orang yang pada hakikatnya merupakan wakil pemerintahnya. Keterikatan itu tetap ada meskipun pemerintahnya diganti. Sehingga hal ini berarti bahwa pemerintah baru "mewarisi" hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemerintah sebelumnya. Bab 5 Akibat PI

91

Keputusan di dalam kasus itu jelas mencerminkan berlakunya asas kontinuitas. Akan tetapi berlakunya asas kontinuitas tersebut dalam hubungannya dengan suksesi pemerintahan negara tidak mutlak, sebab masih terdapat beberapa pengecualian antara lain sebagai berikut: a. Pertama, berdasarkan ketentuan di dalam traktat tersebut tidak dapat dilaksanakan lagi. b. Kedua, apabila suksesi itu menimbulkan suatu perubahan fundamental di dalam sistem politik, sebagaimana yang pernah dialami oleh Rusia melalui Revolusi Bolshevik tahun 1917, maka pemerintah baru tidak terikat oleh kewajiban-kewajiban pemerintah lama. Mengenai hal ini sarjana-sarjana Uni Soviet berpendapat bahwa, perubahan fundamental pada tata masyarakat merupakan peristiwa pembentukan sebuah negara baru. Oleh karena itu terjadi perubahan kepribadian negara, sehingga dengan demikian pengecualian ini sebenarnya lebih merupakan suksesi negara. Dengan demikian maka asas kontinuitas dapat diberlakukan. c. Ketiga, dalam hal terdapat pemerintahan tandingan (rival government) yang secara de facto berkuasa dalam wilayah suatu negara, jika kemudian pemerintah de jure berkuasa kembali, maka pada umumnya tidak dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pemerintah tandingan tersebut. Akan tetapi dalam hal seperti itu, pemerintah yang kemudian berhasil memerintah kembali secara de facto maupun de jure dianggap bertanggung jawab terbatas hanya terdapat tindakan-tindakan yang bersifat administratif dan impersonal dari pemerintah tandingannya. Hal yang tersebut belakangan ini terdapat dalam "Hopkins Claim Case 1927" mengenai pembelian "Postal Money Orders", di mana diputuskan bahwa hal ini termasuk ke dalam kategori transaksi impersonal, dan harus diterima tanggung jawabnya oleh pemerintah yang kemudian berkuasa lagi. Contoh lain adalah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tanggal 23 Agustus s/d 2 November 1949. Dengan diselenggarakannya KMB tersebut, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas seluruh wilayah bekas Hindia, Belanda dengan penangguhan penyelesaian wilayah Irian Barat. Sebagai pelengkap atas KMB, juga dibuat perjanjian peralihan. Dalam Pasal 5 Perjanjian KMB tersebut, diatur kedudukan perjanjian-PI yang dibuat oleh pemerintah Belanda dan juga mengikat bekas wilayah jajahan Hindia, Belanda. Ketentuan dalam Pasal 5 Perjanjian KMB hendak menunjukkan bahwa perjanjian-PI tidak secara langsung mengikat bekas wilayah-wilayah jajahan yang baru mendapat kemerdekaannya. Untuk mengikatnya, PI pada negara-negara tersebut diperlukan pengakuan lebih lanjut oleh pemerintahnya masing-masing. Atas dasar asas Rebus Sic Stantibus Pemerintah Indonesia tidak mempunyai pilihan lain kecuali membatalkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar tersebut. 92

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Th. 1956 (Lembaran negara No. 27/1956) Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak lagi terikat dengan Uni Indonesia-Belanda, dan secara sepihak memutuskan secara keseluruhan Perjanjian Konferensi Meja Bundar. Alasan pemerintah Indonesia untuk membatalkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar adalah sebagai berikut: … maka di dalam keadaan yang sudah begitu berubah dan mendesak sekali untuk membatalkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar demi kepentingan nasional, pemerintah tidak mempunyai pilihan lain dari pada membatalkan perjanjian tersebut atas dasar "Rebus Sic Stantibus" yang berlaku di dalam Hukum Internasional. Menurut asas rebus sic stantibus yang berarti asas dasar kenyataan adanya perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri dari pada suatu pihak yang menandatangani perjanjian, maka pihak tersebut berhak untuk menarik diri dari ikatan perjanjian itu. Dengan lain perkataan di dalam keadaan demikian, maka prinsip rebus sic stantibus dapat dibuat sebagai dasar untuk meniadakan asas "Pacta Sunt Servanda" itu. Kasus menarik lainnya kasus ekstradisi Kapten Westerling, yang di mata bangsa Indonesia adalah seorang penjahat yang melarikan diri ke Singapura yang pada waktu itu masih merupakan bagian dari Koloni Kerajaan Inggris. Dalam bulan Februari 1950 Pemerintah Indonesia mohon kepada Pemerintah Inggris agar Kapten Westerling diekstradisi ke Indonesia berdasarkan perjanjian ekstradisi antara kerajaan-kerajaan Inggris dengan kerajaan Belanda tertanggal 26 September 1898. Permohonan pemerintah Indonesia agar Kapten Westerling diekstradisikan rupanya tidak dikabulkan, dan masalah ini kemudian diajukan kepada Pengadilan Singapura, kasus ini diakhiri dengan Putusan Hakim Evans dari High Court of Singapore tertanggal 15 Agustus 1950, dengan pengakuan tidak dikabulkannya ekstradisi Westerling ke Indonesia. Penolakan ini ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Singapura meskipun ada keterangan resmi dari Kementerian Luar Negeri Inggris yang secara yang tegas menyatakan bahwa perjanjian ekstradisi tetap berlaku dengan Republik Indonesia Serikat. Pemisahan Timor-Timur dari wilayah RI juga berkaitan dengan masalah suksesi negara. Namun dalam melihat masalah Timor-Timur ini, masih dapat diperdebatkan apakah terjadi perubahan kedaulatan atas wilayah tersebut atau hanya sekadar pengembalian kedaulatan. Hal ini disebabkan karena adanya dua dikotomi pendekatan terhadap masalah Timor-Timur. Disatu pihak, menurut ketatanegaraan RI. Timor-Timur sejak tahun 1976 merupakan bagian integral dari wilayah RI dan kemudian pada tahun 1999 memisahkan diri. Di lain pihak, masyarakat internasional tetap menganggap bahwa TimorTimur merupakan wilayah yang diduduki oleh Indonesia yang kemudian dikembalikan statusnya menjadi Non-Self Governing Territory.

Bab 5 Akibat PI

93

Adanya dikotomi pendekatan ini, berakibat sulitnya untuk menentukan secara tegas apakah negara Timor-Timur merupakan negara baru yang berhak atau wajib melanjutkan hak-hak dan kewajiban internasional yang lahir pada waktu wilayah tersebut bersama Indonesia. Misalnya, apakah Timor-Timur berhak atau wajib melanjutkan Timor Gap Treaty yang dibuat oleh RI dan Australia pada tahun 1989. AKIBAT PERJANJIAN BERKENAAN DENGAN AMANDEMEN, MODIFIKASI, DAN REVISI Sebuah PI mungkin diamandemen dengan PI yang baru atau perjanjian yang lebih lanjut di antara para pihak. PI yang diubah biasanya adalah ketentuan pokok sebuah aturan mengenai penutupan dan berlakunya perjanjian (conclusion and entry into force), pensyaratan-pensyaratan (reservations), dan penerapan sementara (provisional application), selama tidak ditentukan lain oleh perjanjian itu sendiri. Perjanjian juga dapat diamandemen dengan persetujuan tidak tertulis (oral agreement) atau dengan cara diam-diam (tacit agreement) yang terbukti dengan kebiasaan/praktik yang berkembang (subsequent practice) dari para pihak. Pada situasi normal, tidak ada masalah dalam pengamandemen perjanjian bilateral. Kapanpun para pihak dapat menyetujui pengamademen, bahkan tanpa ketentuan yang berakibat pada perjanjian yang sedang dibuat, sekalipun dengan jelas perjanjian itu melanggarnya, para pihak tetap dapat mengamandemen ketentuannya sendiri. Pada perjanjian multilateral, secara prinsip mengajarkan bahwa usulan amandemen itu memerlukan pernyataan dari semua pihak dalam perjanjian (selalu pada ketentuan pokok yang berbeda dari perjanjian itu sendiri). Bagaimanapun, pada PI dengan jumlah peserta yang begitu, maka dengan jelas sekali merupakan kesulitan yang sangat besar dalam praktiknya untuk menghasilkan pernyataan dari semua peserta. Bagaimanapun alternatifnya adalah dengan mengatasi kesulitan tersebut. Jadi untuk mendapat persetujuan sebagian besar pihak untuk mengamandemen perjanjian akan diizinkan untuk mengubah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam perjanjian sesuai dengan keinginan kecil pihak atau memaksanya untuk berhenti/keluar dari pihak perjanjian sebagai pilihan atas begitu beragamnya hak dan kewajibannya yang tidak dapat diterima oleh sebagian besar pihak. Sekali lagi, untuk mengizinkan amandemen yang diinginkan oleh sebagian besar pihak maka menjadi efektif antara sebagian besar antara bagian besar negara/pihak lagi, sehingga ada dua perangkat/aturan perjanjian (a double set of treaty) yang masih berhubungan dan masih dalam ruang gerak bidang yang sama. Disebut juga seolah-olah perjanjian yang sama (ostensibly the same treaty). 94

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Kesulitan-kesulitan yang tampak nyata yang melekat pada berbagai macam solusi ini berubah-ubah dari perjanjian dalam perjanjian kebiasaan negara pada perumusan ketentuan tentang amandemen dalam perjanjian multilateral menampakkan sebuah variasi/solusi, tapi tak satupun pilihan dari keduanya (yaitu variasi/solusi) pada syarat dari pernyataan semua pihak dapat dikatakan dapat merefleksikan aturan yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional (customary internasional law). Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa sepanjang perjanjian itu tidak menentukan lain, maka amandemen itu hanya berlaku efektif di antara para pihak yang mengamandemen melalui sebuah persetujuan (the amending agreement) itu. Persetujuan aturan-aturan baru seperti aturan yang dihasilkan (residual rule). Sebagian besar ditentukan dengan mengesampingkan kepentingan, karena tidaknya badan pembuat peraturan internasional (internasional legislature) untuk membuat peraturan yang cukup fleksibel (a rule of sufficient flexibility) untuk menyetujui aturan-aturan baru/mengadopsi perjanjian untuk mengamati perkembangan yang memengaruhi ketentuan pokoknya, di waktu yang bersama tidaklah melanggar kedaulatan pada pihak yang untuk alasan apapun tidak menjadi pihak-pihak persetujuan amandemen. Hasil aturan-aturan yang tersurat dalam Konvensi Wina 1969 mensyaratkan bahwa usulan-usulan untuk mengamandemen perjanjian multilateral yang berlaku di antara semua pihak, harus diberitahukan kepada semua negara peserta (contracting states), yang setiap negara tersebut mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam penentuan keputusan mengenai tindakan yang diambil atas usulan-usulan amandemen dan dalam negosiasi serta penutupan dari macam-macam persetujuan amandemen. Persetujuan amandemen itu tidak akan mengikat negara-negara yang sebelumnya sudah menjadi pihak dari perjanjian asal (original treaty) dan persetujuan amandemen, hak dan kewajiban kedua belah pihak itu diatur oleh perjanjian asal. Saat persetujuan amandemen diberlakukan, negara yang kemudian menjadi pihak dalam perjanjian akan mematuhinya, sepanjang tidak terdapat tujuan yang berbeda, dipertimbangkan sebagai pihak perjanjian yang diamandemen (the treaty as amended), dan hubungannya dengan pihak-pihak perjanjian yang tidak terikat oleh persetujuan amandemen, pihak atas perjanjian yang tidak diamandemen (the una ended treaty). Boleh jadi dua pihak atau lebih dalam perjanjian berkehendak untuk memodifikasi ketentuan yang berlaku di antara mereka. PI itu sendiri mungkin membolehkannya. Pembahasan atas amandemen PI banyak disinggung setelah lahirnya Konvensi Wina 1969, untuk tahun sebelum ini, hingga detik ini kami belum menemukan buku-buku kuno yang membahasnya. Mungkin karena sulitnya sumber-sumber itu untuk ditelusuri. Dalam Konvensi Wina 1969 bagian IV menjelaskan tentang amandemen dan modifikasi, yaitu antara lain Pasal 39, 40 dan 41. Bab 5 Akibat PI

95

Amandemen dan modifikasi, keduanya berkaitan dengan revisi dari suatu perjanjian oleh para pihak. Amandemen adalah proses lebih resmi atau prima vacie, dari seluruh pihak untuk perjanjian, sedangkan modifikasi adalah "persetujuan pribadi" antara pihak-pihak tertentu untuk menghormati peraturan tersebut. Beberapa pendapat Ahli Hukum Internasional mengenai hal ini adalah: 1. Dalam hal ini Ian Brownline menyatakan: The amendment of treaties depends on the consent of the parties, and the issue is primarily one of politics.Modification may also result from the conclusion of a subsequent treaty or the emergence of a new peremptory norm of general norm of general international law. Amandemen perjanjian berdasarkan pernyataan dari para pihak dan salah satu isi utamanya adalah faktor politik. Modifikasi bisa juga merupakan hasil kesimpulan dari perjanjian yang berikutnya atau hasil dari keadaan darurat atas normal Hukum Internasional umum yang tidak bisa diubah. 2. Pandangan International Law Commission of the United Nations: The ILC explained that amendment is a formal ma er introducing changes into the treaty text whereas modification is a less formal procedure which affects only certain parties to create. Komisi Hukum Internasional menjelaskan bahwa amandemen adalah ketentuan formal atau resmi dalam memperkenalkan perubahan suatu teks/kalimat dalam perjanjian, sedangkan modifikasi adalah prosedur yang tidak begitu formal yang berdampak hanya pada pihakpihak tertentu dalam perjanjian. ILC juga menyebut amandemen sebagai "Formal Amandemen" dan modifikasi sebagai "Inter Se Agreement". 3. Pandangan Malgosia Fitzmaurice: Amendments to treaties should be distinguished from the revision of a treaty; revision is a more comprehensive process resulting in changes to a treaty. Amandemen perjanjian harus dibedakan dari revisi perjanjian. Revisi adalah proses yang lebih rumit dalam menghasilkan perubahan perjanjian. 4. Pandangan DJ Harris: International agreement may always be terminated by the subsequent agreement of all the parities to them, even though the original agreement may declare that is permanent. Persetujuan internasional selalu dapat diakhiri dengan persetujuan yang lebih lanjut dari semua pihak yang terlibat, meskipun persetujuan asal mungkin menyatakan bahwa itu bersifat permanen. REVISI PERJANJIAN Revisi perjanjian dapat dilakukan atas perjanjian-perjanjian bilateral sebagaimana juga pada perjanjian multilateral. Revisi perjanjian bilateral membutuhkan kesepakatan baru di antara pihak-pihak yang mengikat perjanjian, setelah berlangsungnya proses perundingan untuk revisi di antara keduanya. Di dalam revisi itu harus ada syarat-syarat perjanjian secara keseluruhan. Harus 96

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

ada persetujuan khalifah terhadap perubahan yang dibuat. Di samping harus ada maslahat (kebaikan) bagi Islam dan kaum muslim atau bagi negara Islam, dan lain-lain yang telah dibahas. Hal ini kami anggap penting dalam setiap perjanjian. Hampir-hampir tidak ada kesulitan yang ditemui di dalam revisi perjanjian bilateral, karena kesepakatan antara kedua belah pihak dalam hal ini dapat dicapai dengan mudah. Dalam kondisi tidak adanya kesepakatan untuk merevisi perjanjian, maka kedua belah pihak sepakat untuk melaksanakan perjanjian sebagaimana apa adanya, atau (jika tidak setuju penuh) untuk menghentikan perjanjian, menghapuskannya dan tidak terikat dari konsekuensi-konsekuensi yang mengikat perjanjian. Sedangkan revisi perjanjian multilateral biasanya dibayangi beberapa kesulitan yang biasa dihadapi. Kesulitan itu muncul karena banyak pihak yang menandatangani perjanjian. Apabila semua negara sepakat untuk merevisi perjanjian maka permasalahannya jadi mudah, seperti yang terjadi pada perjanjian bilateral. Jika sebagian negara sepakat untuk merevisi perjanjian, sedangkan sebagian lainnya tidak setuju, maka akan muncul kesulitan dan masalah. Kami menyarankan dua hal berikut ini: 1. Setiap negara yang menandatangani perjanjian berhak untuk menjadi salah satu pihak yang menandatangani revisi yang dibuat. Apabila seluruh negara menolak menerima keikutsertaan pihak ini, maka seluruh negara dianggap telah membatalkan perjanjian dengan negara yang tidak diterima dalam perjanjian revisi. 2. Negara Islam berhak menolak revisi yang dibuat karena tidak akan diterima revisi tanpa persetujuan semua pihak yang ada. Dalam kondisi ini, negara Islam masih berpegang kepada perjanjian yang asli dan tidak dianggap sebagai pihak yang membatalkan perjanjian. Bahkan yang dianggap membatalkan perjanjian adalah seluruh negara tadi, karena Islam mengharuskan dan mewajibkan kita untuk menempati apa yang telah disepakati. Kita tidak diperintahkan oleh syarat-syarat untuk menyetujui revisi, karena revisi memerlukan kesepakatan lain. 3. Setelah revisi perjanjian dilakukan dan disepakati, maka bentuk baru dari perjanjian itu memiliki kekuatan yang sama dengan perjanjian yang asli. Hilanglah efektivitas dari teks-teks yang dibatalkan, diganti dengan teks-teks yang baru.

Bab 5 Akibat PI

97

Perbedaan amandemen, modifikasi dan revisi dengan reservasi: MAKNA (BLACK'S LAW DICT.)

PENGATURAN LATAR BELAKANG WAKTU

SIFAT PROSES

Amandemen To change or modify for the be er. To alter by modification, deletion, or addition

Modifikasi A change; a alteration or amendment which introduces new elements into the details, or cancels some of them, but leaves the general purpose and effect of the subject ma er intact Konvensi Wina Konvensi Wina 1969 Ps. 39-40 1969 Ps. 41 Isu politik Lahirnya (Brownlie) ius cogens (Brownlie) Sesudah Sesudah perjanjian perjanjian dibuat Lebih resmi Persetujuan "prima facie" pribadi "interse (Rebecca) agreement" (ILC)

Revisi Re-examination or carefully reading over for correction or improvement

Reservasi A right created and retained by grantor. The reservation may be temporary (such as a life estate) or permanent (such as an easement running with the land.

Konvensi Wina 1969 Ps. 49 Ada kesalahan [KW 1969 ps. 79 (1)] Sesudah perjanjian

Konvensi Wina 1969 Ps. 19-23 Ada kekurangcocokkan ketentuan Saat proses pembuatan

Lebih menyeluruh "Comprehensive process" (Malgosia)

Harus tertulis "in writing" (Konvensi Wina 1969 ps. 23 (1))

AKIBAT PI BERKENAAN DENGAN JAMINAN PELAKSANAANNYA Untuk mengamankan dan perlindungan atas pelaksanaan PI, negara harus berusaha melalui berbagai macam kebiasaan dan prosedur yang berlaku, khususnya dalam hal berikut ini: 1. Denda: kebiasaan membuat tuntutan atau denda atas beberapa atau semua aset dari negara peserta perjanjian (contracting state) dan khususnya atas pungutannya, untuk mengamankan pembayaran perlindungan di bawah perjanjian yang sudah diadopsi, contohnya pada Pasal 248 Perjanjian Perdamaian (treaty of peace) dengan Jerman tahun 1919 dan Persetujuan Dawes (Dawes Agreement) pada Agustus tahun 1924, antara Komisi Ganti Rugi (Reparation Commission) dengan pemerintah Jerman, sehubungan dengan keamanan untuk pembayaran Jerman atas ganti rugi. 98

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

2. Pendudukan Wilayah: maksud dari dijaminnya pelaksanaan perjanjian ini sudah pernah digunakan; khususnya yang berhubungan dengan perjanjian perdamaian sebagai pelengkap pembayaran ganti rugi perang, dan juga untuk alasan yang lain. Jadi pada Perjanjian Versailles 1919 dihasilkan bahwa sebagai jaminan pelaksanaan perjanjian saat itu oleh Jerman, maka wilayah Jerman terletak di sebelah barat Sungai Rhine bersama juga dengan jembatannya akan diduduki oleh sekutu dan pasukan gabungan selama 15 tahun sejak diberlakukannya perjanjian. 3. Garansi atau Jaminan: PI biasanya dijaminkan dengan garansi dari negara lain yang secara tidak langsung memengaruhinya. Garansi boleh meliputi penambahan untuk garansi yang ada di perjanjian, dan mungkin perjanjian itu sendiri, sesuai namanya yaitu janji dari penjamin. Andaikan hal itu terjadi maka atas kekuasaannya untuk memaksa satu atau lebih pihak peserta untuk melaksanakan perjanjian. 4. Prosedur Pengawasan: Perkembangan atas jumlah perjanjian menetapkan prosedur-prosedur dengan jalan pengecekan ditetapkan caranya, di mana negara-negara memberikan pengaruhnya atas kewajibannya di bawah perjanjian yang dibicarakannya. Prosedur-prosedur itu termasuk: a. Syarat untuk mengajukan kepada lembaga internasional secara periodik atas laporan pelaksanaan perjanjian oleh negara yang membuat laporan. b. Kewajiban mengajukan untuk mengadakan inspeksi atas fasilitas yang sesuai untuk wilayahnya, untuk melihat apakah kewajiban Perjanjian masih dilaksanakan. c. Secara berkala diadakan pertemuan untuk meninjau pelaksanaan perjanjian. d. Pendirian sebuah lembaga internasional yang fungsinya di antaranya mengawasi pelaksanaan perjanjian. e. Kebiasaan negara-negara pada wilayahnya pada pokoknya ditentukan oleh perjanjian itu sedemikian rupa sehingga bentuk dari pengawasan eksternal, penataan oleh negara atas kewajiban dalam perjanjian sangat diharapkan. 5. Tindakan Ganti Rugi Sesuai Ketentuan dalam PI: Beberapa PI mencantumkan prosedurnya sendiri untuk mengambil tindakan dalam memastikan apakah pihak peserta menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian. Demikian Pasal 19 Piagam PBB menetapkan untuk anggota yang menunggak pembayaran dari sumbangan keuangannya pada organisasi, maka tidak mempunyai hak suara di Majelis Umum. Jika jumlah tunggakan itu sama atau melebihi jumlah iuran selama 2 tahun penuh. Komisi Untuk Komunitas Eropa (Commission of the European Communities) mempunyai kekuasaan menurut perjanjian pendirian European Coal and Steel Community yaitu dalam hubungannya dengan anggota yang melanggar kewajiban Bab 5 Akibat PI

99

6.

7.

8.

9.

perjanjian maka mencabutnya dari keuntungan-keuntungan tertentu yang akan dihasilkan dari perjanjian dan memberi kekuasaan negaranegara anggota yang lain untuk menentang bahwa tindakan tertentu dari negara yang sebaliknya dilarang. Pada Pasal 14 Convention of 1931 for Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs ada ketentuan untuk mengembargo import sehubungan dengan suatu negeri yang sudah melampaui penilaian terhadap obat terlarang untuk diekspor padanya. Dengan cara yang sama, konstitusi dari bermacam-macam organisasi internasional memperhitungkan pengusiran dari penundaan keanggotaan negara anggota pada keadaan tertentu, ukurannya sering meliputi pencabutan hak (Deprivation of Right) dalam perjanjian yang dibicarakan. Tindakan Penegakan Internasional: meskipun dengan jelas telah ditentukan pada perjanjian yang dibicarakan, pada beberapa kategori yang terpisah adalah tindakan-tindakan itu yang mengundang beberapa penghormatan tindakan atas nama masyarakat internasional. Contohnya adalah ketentuan untuk berbagai macam ukuran menyeluruh atas penegakannya dalam Bab VIII Piagam PBB. Tuntutan Hukum: kegagalan pelaksanaan PI biasanya menimbulkan pertanggungjawaban internasional oleh negara (a states international responsibility) yang mungkin merupakan pokok dari acara di hadapan Pengadilan Internasional, yang dibentuk oleh negara yang dirugikan (aggrieved state). Jika suatu negara yang mempunyai kewajiban di bawah PI didapati melanggarnya, pengadilan dapat menyatakan bahwa atas suatu pelanggaran, memberikan hak pada pihak lain untuk mengadukan PI atau boleh mengarahkan pihak yang melanggar itu (the party in breach) membuat perbaikan, atau mengambil tindakan untuk memperbaiki pelanggaran, atau menawarkan pengambilan ukuran tertentu sementara untuk mempertahankan hak-hak para pihak. Untuk masalah tertentu (misalnya pelanggaran HAM) cara lainnya adalah melalui pengadilan internasional atas nama individu yang dilaporkan, yang melanggar kewajibannya dalam perjanjian di mana ia sebagai pihaknya. Tindakan Pembalasan: pelanggaran kewajiban dalam perjanjian dapat dianggap sebagai alasan penuntutan ataupun penangguhan perjanjian. Sebuah pelanggaran adalah sebuah ketidakadilan internasional (internasional wrong) yang dapat memberikan reaksi pada pihak yang lain untuk menuntut batasan setimpal (proportionate reprisal) dalam ambang batas yang ditentukan oleh Hukum Internasional dalam hal penggunaan ancaman dan kekuatan. Sumpah: contohnya sumpah antara Perancis dan Swiss tahun 1777 di Cathedral Solothurn.

100

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

10. Sandera: contoh pada Perjanjian Perdamaian Aux. IA Chapels tahun 1748, Lord Sussex dan Lord Cadhard di Paris disandra Inggris untuk jaminan keamanan Teluk Breton. 11. Janji: contoh Polandia berjanji untuk menyerahkan mahkota permata pada Prusia. Sumpah, sandera, dan janji adalah jaminan yang paling kuno. Selain itu juga telah kita dapatkan jawaban-jawaban atas permasalahan yang terkemuka di bagian depan makalah ini, di antaranya adalah: 1. Bahwa berlakunya PI yang dibuat oleh negara induk, tidak sekaligus mengikat negara persemakmuran/commonwealth, sebab pada hakikatnya negara-negara persemakmuran tersebut mempunyai kedaulatan penuh, sehingga tidak perlu mengikuti mother state. 2. Pada prinsipnya suatu perjanjian yang telah disepakati, tidak dapat dibatalkan keberlakuannya, karena ketidaksetujuan warga negaranya. Kecuali hal-hal yang telah diatur dalam Konvensi Wina 1969 serta keadaan yang tidak terduga (rebus sic stantibus). 3. Dalam Undang-Undang No. 24 Th. 2000 tentang PI, telah diatur mengenai kewenangan eksekutif maupun legislatif dalam hal pengesahan suatu hasil perjanjian secara residual, yaitu pada Pasal 10 dan 11. 4. Perbedaan antara amandemen, modifikasi, revisi dan reservasi sebenarnya telah diatur dalam Pasal-Pasal Konvensi Wina 1969. Namun pada intinya, amandemen adalah sebuah proses "prima facie" (lebih resmi) dari yang lainnya dan mengikat seluruh pihak dalam perjanjian. Bahwa peraturan perundang-undangan nasional harus mengatur tata cara menyampaikan keberatan warga negara atas suatu hasil perjanjian yang telah diratifikasi. Sebab peraturan perundangan yang ada, hingga detik ini belum ada yang mengatur tentang ketentuan tersebut. AKIBAT PI PADA PIHAK KETIGA PI adalah perjanjian antara subjek-subjek Hukum Internasional yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut Hukum Internasional. Terdapat dua bentuk PI menurut jumlah pesertanya, perjanjian bilateral yang jumlah pesertanya terdiri dari dua negara, perjanjian multilateral yang jumlah pesertanya atau pihak-pihak yang terikat lebih dari dua negara. Menurut sifatnya PI terbagi menjadi dua, yaitu PI terbuka yang memungkinkan pihak-pihak yang bukan menjadi pihak pembuat perjanjian tersebut dapat menjadi anggota, contoh negara Ghana, Guinea, Tanzania dapat turut serta dalam Konvensi Jenewa pada tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, walaupun negara-negara itu tidak turut serta dalam Konvensi Jenewa, bahkan negara-

Bab 5 Akibat PI

101

negara tadi pada waktu itu belum ada. PI tertutup yaitu: yaitu perjanjian yang hanya dapat diikuti oleh pihak-pihak yang membuat, contoh: NATO Suatu PI diadakan dengan maksud untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, dan akibat-akibat hukum tersebut hanya mengikat bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut (contracting parties), bagi pihak-pihak di luar tersebut tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa negara yang telah menyatakan dirinya terikat oleh suatu PI yang telah berlaku wajib melaksanakan ketentuan perjanjian tersebut dengan itikad baik (in good faith). Pentaatan terhadap suatu PI yang telah dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik merupakan prinsip yang fundamental dalam hukum perjanjian dan merupakan bagian integral dari asas Pacta Sunt Servanda. Asas tersebut mengandung arti bahwa setiap perjanjian adalah mengikat bagi para peserta perjanjian dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas pacta sunt servanda ini bertalian erat dengan asas lain yang dikenal dalam PI yaitu The Sanctity of Treaties (Keagungan Perjanjian). Kewajiban negara peserta untuk melaksanakan ketentuan PI merupakan konsekuensi logis dari keinginan negara tersebut untuk menjadi peserta PI (consent to be bound by the treaty). Tolak ukur dari itikad baik dapat dilihat pada saat: 1. Consent to be bound: setelah consent to be bound apabila salah satu pihak tidak beritikad baik terhadap PI yang telah dibuat dapat berakibat batalnya PI tersebut. 2. Pada saat pelaksanaan perjanjian (sudah melalui tahap consent to be bound dan sudah mengikat) setelah perjanjian tersebut berlangsung apabila salah satu pihak tidak melaksanakan dengan itikad baik apa yang telah disepakati dalam PI maka salah satu pihak tersebut dinyatakan wanprestasi. 3. Menurut asas "pacta tertiis nex nocent nec prosund" yang berarti suatu PI hanya mengikat para pihak pembuatnya saja dan tidak menimbulkan kewajibankewajiban dan juga tidak memberikan hak bagi negara ketiga. Asas ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan prinsip kedaulatan negara dan persamaan negara. Contoh: Peristiwa Clipperton, yaitu pertikaian antara Perancis dan Mexico mengenai kedaulatan di pulau Clipperton. Dalam kasus tersebut Mexico mempergunakan beberapa ketentuan Akte Berlin 1885 di mana Perancis adalah negara pihak. Tetapi karena Mexico tidak ikut dalam akte tersebut, maka Hakim menolak dengan tegas tuntutan Mexico.

102

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

PI DAPAT MEMPUNYAI AKIBAT BAGI PIHAK KETIGA ATAS PERSETUJUAN MEREKA Pasal 34 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa suatu PI tidak melahirkan hak maupun kewajiban bagi negara Ketiga tanpa persetujuan dari negara yang bersangkutan. J.G Starke juga berpendapat bahwa negara-negara yang terikat perjanjian hanya dapat terikat oleh perjanjian dengan dasar negara tersebut menghendaki demikian. Hal tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 35 Konvensi Wina 1969, yang menegaskan tentang perjanjian yang membebani kewajiban kepada negara Ketiga, di mana pihak ketiga yang dibebani kewajiban harus menyetujui secara tertulis. Persetujuan tertulis dari negara Ketiga diperlukan dalam bentuk PI tersendiri (perjanjian accesoir) persetujuan tertulis tersebut dilakukan dengan membuat perjanjian baru dengan negara ketiga yang bersangkutan. Contoh: Perjanjian Sejori (antara Malaysia dan Singapura) di mana wilayah ketiga negara tersebut berdekatan antara Selangor, Johor dan Riau. Contoh riil dari Pasal ini adalah: Pasal 63 Konvensi Yuridiksi yang penerapan penilaian dalam persoalan Sipil dan Komersil 1968, di mana negara-negara yang terlibat kontrak yang kemudian menjadi anggota EEC menyadari bahwa negara baru yang menjadi anggota EEC akan berkewajiban untuk menerima konvensi ini sebagai dasar negosiasi. PI mempunyai akibat pada negara Ketiga baik secara langsung (direct connection) maupun secara tidak langsung (indirect connection). Contoh PI yang melahirkan akibat langsung (direct connection): Perjanjian Bilateral mengenai lintas batas negara antara Indonesia dengan Australia tentang garis-garis batas tertentu antara Indonesia dengan Papua Nugini pada tahun 1973 dalam hal ini negara Papua Nugini berkedudukan sebagai negara Ketiga yang mempunyai akibat secara langsung karena wilayah geografisnya yang berdekatan dan bersinggungan. Akibat Tidak Langsung (Indirect Connection): negara Ketiga mempunyai kepentingan terhadap isi PI, bukan karena posisi geografis wilayahnya tapi hal itu dikarenakan kepentingan negara ketiga tersebut untuk melewati wilayah yang menjadi objek PI. Mengenai PI yang mempunyai akibat (dapat memberikan hak dan kewajiban) kepada negara ketiga atas persetujuan mereka, terdapat beberapa contoh di antaranya: Kesepakatan negara ASEAN untuk menetapkan tarif bea masuk dalam hal ekspor impor antara negara ASEAN. Dalam hal ASEAN melakukan perjanjian dengan Cina (ASEAN + Cina) tentang penetapan tarif yang berlaku sama pada negara anggota ASEAN. Apabila Cina ingin melakukan perdagangan dengan salah satu negara ASEAN Cina harus membuat perjanjian tertulis dengan salah satu negara ASEAN tersebut.

Bab 5 Akibat PI

103

PARTISIPASI PIHAK KETIGA SEBAGAI PEMANTAU Pihak ketiga yang bukan merupakan negara pembuat perjanjian dapat pula berpartisipasi di dalam perjanjian dengan kapasitas sebagai pemantau, tentu saja hal tersebut harus atas undangan dari para pihak pembuat perjanjian. PERJANJIAN YANG MEMBERIKAN HAK KEPADA NEGARA Pasal 36 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang PI yang memberikan hak kepada negara Ketiga dan negara Ketiga tersebut menyetujuinya. Namun hak yang timbul tersebut tidak bertentangan dengan peraturan lain di dalam perjanjian. Contoh: Prinsip-prinsip WTO seperti MFN (Most Favoured Nation). Prinsip ini mengandung arti bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara (negara A) dalam kaitannya dengan suatu perjanjian di bidang tertentu dengan negara lain (negara B), akan dinikmati pula oleh negara Ketiga (negara C) atau negara lain yang merupakan anggota negara WTO. Jadi suatu perlakuan khusus yang diberikan pada suatu negara (negara B) harus pula diberikan pada negara Ketiga (negara C). Negara ketiga yang bukan anggota WTO dapat menikmati perlakuan yang disebutkan dalam prinsip MFN. Namun hal tersebut harus diperjanjikan terlebih dahulu. Contoh lain yang dapat membuktikan bahwa negara ketiga dapat memperoleh hak-hak dari suatu PI adalah kebebasan untuk melewati Terusan Suez dan Terusan Kiel, selama hal tersebut merupakan maksud baik para pihak dan persetujuan dari negara ketiga telah terjamin. PERJANJIAN YANG DIBUAT HANYA UNTUK MENIMBULKAN HAK BAGI PIHAK KETIGA Negara-negara dapat pula memasukkan perjanjian yang mengandung ketetapan dan semuanya bertujuan untuk memberikan hak kepada negara Ketiga, baik secara spesifik maupun melalui suatu referensi dari sekelompok negara yang memiliki peraturan tersebut. Pasal 35 PBB, yang secara garis besar menyatakan bahwa baik negara anggota maupun bukan anggota PBB, dapat meminta bantuan Dewan Keamanan maupun Majelis Umum PBB dalam hal membantu menyelesaikan pertikaian di negara yang bersangkutan. Dalam kasus Pemulihan Perdamaian Paska Jajak Pendapat Timor-Timur, pasukan PBB (UNAMET) itu membantu pemulihan keamanan di sana, padahal negara Timor-Timur belum menjadi anggota PBB (syarat untuk menjadi anggota PBB adalah negara merdeka, pada saat itu negara Timor-Timur sedang terbentuk). Permasalahan Timor-Timur dan Aceh berbeda ruang lingkup. Pada kasus Aceh adalah murni konflik separatisme.

104

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

PI DAPAT MENGIKAT NEGARA KETIGA SEBAGAI ATURAN HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 38 Konvensi Wina 1969, Pasal 38 Konvensi Wina 1969 menegaskan tentang adanya kemungkinan pihak-pihak ketiga yang tidak turut serta dalam konvensi, tetap terikat pada masalah seperti yang dirumuskan konvensi berdasarkan pada general rule. Yang dimaksud general rule di sisi adalah Hukum Kebiasaan Internasional itu sendiri. Jadi mengikatnya PI tersebut pada pihak ketiga adalah melalui Hukum Kebiasaan Internasional yang diterima secara umum oleh masyarakat Internasional. Dalam Pasal 37 Konvensi Wina 1969 dinyatakan bahwa suatu kewajiban yang telah timbul untuk negara ketiga, kewajiban itu dapat dicabut kembali atau dirubah hanya dengan persetujuan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut dan negara ketiga, (kecuali telah dilakukan perjanjian khusus sebelumnya mengenai hal itu). Sementara hak yang telah timbul bagi negara ketiga tidak boleh dicabut kembali atau dirubah, kecuali jika tersebut ditujukan untuk tidak dapat dibatalkan atau dimodifikasi tanpa sepengetahuan dan persetujuan negara ketiga. Pada perjanjian bilateral dan multilateral yang bersifat umum, tidak dapat dipaksakan kewajiban apapun terhadap pihak ketiga, kecuali atas kehendak negara-negara tersebut, dalam hal perjanjian multilateral yang bersifat umum dan membentuk hukum, maka kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut bukanlah semata-mata bersumber pada perjanjian itu sebagai "general accepted principles of international law". Perjanjian dengan pihak ketiga harus diberikan secara tegas dan tertulis untuk mencegah mengikatnya suatu perjanjian bagi negara lain di luar kehendaknya. KEWAJIBAN BAGI KELOMPOK NEGARA NON-PIHAK PI dapat mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negaranegara ketiga. Contoh mengenai hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa Organisasi ini harus memastikan bahwa negara-negara yang bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan Internasional harus bertindak sesuai dengan asas dari Piagam PBB. Negaranegara anggota PBB juga harus bertindak sesuai dengan asas dari Piagam PBB. Negara-negara anggota PBB juga harus melindungi negara lain yang bukan merupakan anggota PBB, sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi dalam rangka mengupayakan perdamaian dunia. 1. Contoh dari hal ini misalnya adalah ketika PBB harus menyelesaikan masalah Iraq, Afrika Selatan dan Rodensia, dalam hal ini PBB melibatkan negara-negara yang bukan anggota dalam membuat resolusi, walaupun

Bab 5 Akibat PI

105

semua hal itu tetap dengan mengikuti batasan dalam Pasal 2 (6) dari Piagam PBB. 2. Contoh lain adalah isi dari Konvensi Opium 1931 yang menyatakan kewajiban negara-negara yang tidak menjadi bagian dari konvensi tersebut untuk bersama-sama dengan anggota dalam menghentikan batas kualitas pengiriman narkoba. 3. Contoh: Resolusi Aset Jerman di negara-negara netral yang dimuat dalam Final Act the Paris Conference, 21 Oktober 1945. Konferensi ini menyatakan bahwa negara itu akan tetap netral terhadap perang melawan Jerman demi tegaknya keadilan dan kebijakan keamanan internasional yang memotivasi berbagai kekuatan dalam upaya mereka untuk membuat Jerman menjadi negara netral. PARTISIPASI PIHAK KETIGA DALAM PERJANJIAN Selain penentuan maupun perubahan hak dan kewajiban pihak ketiga yang ditentukan oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian, pada situasi tertentu yang khusus di mana pihak ketiga memiliki kepentingan tertentu, maka pihak ketiga dapat berpartisipasi dalam perjanjian dalam keadaan tertentu. Pihak ketiga tanpa harus ambil bagian dalam perjanjian, tanpa hanya untuk kepentingan membantu atau menengahi pihak yang melakukan atau membuat perjanjian, pihak ketiga tersebut dapat melakukan mediasi. Contoh dalam hal ini adalah: ketika Republik Jerman diminta untuk melakukan tindakan atas nama Berlin (yang mana bukan merupakan bagian dari republik Federal), dalam menyelesaikan masalah hubungan internasional, termasuk juga di antaranya adalah dalam hal perjanjian. Namun kesimpulan dari persetujuan yang kemudian membiarkan pihak Jerman menggunakan kewenangan militer setelah PD II merupakan masalah yang berbeda ketika Republik Jerman berdiri, persetujuan ini tetap sah sebagai perjanjian Republik Federal. Negara Ketiga tersebut berpartisipasi atas undangan pihak yang melakukan perjanjian dan kapasitas kehadirannya di dalam perundingan adalah sebatas job description seperti yang tercantum di dalam undangan. Negara Ketiga tersebut datang kapasitasnya sebagai penengah yang dalam forum perjanjian tersebut mempunyai hak bicara dalam hal menengahi pihak yang melakukan perjanjian. Namun negara Ketiga tersebut tidak ikut ambil bagian dalam perjanjian, tidak mempunyai hak suara yang menentukan isi perjanjian dan ikut menandatangani hasil-hasil perjanjian karena memang dia bukan merupakan pihak yang terlibat dalam perjanjian. Biasanya Negara Ketiga yang diundang itu adalah Negara Netral dan sudah sering membuat PI, dan mereka juga sama sekali tidak berkepentingan dalam perjanjian, jadi konflik kepentingan tidak terjadi di sana. Setelah PI selesai

106

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

dibuat negara Ketiga tetap ikut memantau jalannya perjanjian tersebut. PI dapat mengikat negara Ketiga sebagai aturan hukum kebiasaan internasional. PI yang berulang kali diadakan mengenai hal yang sama dapat menimbulkan suatu kebiasaan internasional, artinya PI yang memperlihatkan praktik yang sama mengenai suatu masalah tertentu dapat menimbulkan kebiasaan internasional. Pihak ketiga yang tidak ikut dalam PI hanya tunduk pada kaidahkaidah hukum yang sudah menjadi kebiasaan internasional saja. Contoh: Asas-asas ekstradisi seperti asas kewarganegaraan, asas kejahatan ganda biasa dicantumkan dalam setiap perjanjian ekstradisi yang berlaku sebagai dasar hukum bagi pihak untuk mengekstradisi kejahatan. LATIHAN SOAL 1. Jelaskan bagaimana keberlakuan PI terhadap wilayah ekstrateritorial! 2. Jelaskan bagaimana status keterikatan negara-negara persemakmuran terhadap PI yang dibuat oleh UK? 3. Jelaskan dalam keadaan bagaimana PI dapat bersangkut paut terhadap pihak ketiga yang bukan menjadi para pihak dalam PI! 4. Jelaskan dalam posisi dan peran apa sajakah pihak ketiga dapat berpartisipasi dalam PI di mana ia bukan menjadi para pihaknya! 5. Jelaskan Hukum Kebiasaan Internasional yang mana sajakah yang dapat dipergunakan sebagai dasar pemberian hak bagi pihak ketiga atas suatu PI! 6. Jelaskan apakah akibat hukum yang ditimbulkan atas peristiwa amandemen? 7. Jelaskan apakah akibat hukum yang timbul atas peristiwa hukum modifikasi? 8. Jelaskan apakah akibat hukum yang timbul atas peristiwa hukum revisi? 9. Jelaskan hal-hal mendasar apa sajakah yang membedakan antara amandemen dengan revisi? 10. Jelaskan apakah terdapat kewajiban yang ditanggung oleh negara nonpihak? DAFTAR BACAAN Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001. DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Sweeet & Maxwell, London, 1998. Harjono, Politik Hukum PI, Bina Ilmu, Surabaya, 1999.

Bab 5 Akibat PI

107

I Wayan Parthiana, Hukum PI, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002. Ian Brownlie, Principle of Public International Law, 5th. Ed., Oxford, New York, 1998. Jennings and Watts, Openheim's International Law, Longham, London, 1996. Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Vol. 13, Martinus Nuhoff, London, 1991. Rebecca Wallace, International Law, 3rd. Ed., Sweet & Maxwell, London, 1997.

108

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

KEABSAHAN DAN KETIDAKABSAHAN PI

6

DESKRIPSI BAB Bab ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai faktorfaktor penyebab suatu perjanjian dinyatakan tidak sah (invalid) sekaligus menyampaikan apa akibat hukum ketidakabsahan tersebut, baik bagi para pihak maupun pihak ketiga yang terkait. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang sebab-sebab tidak sahnya suatu PI; 2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang akibat hukum yang timbul setelah PI dinyatakan batal dan tidak sah; 3. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang tenggat waktu untuk menyatakan ketidakabsahan suatu PI; 4. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang prosedur dan instrument dalam menyatakan ketidakabsahan suatu PI. PENGANTAR Dalam pengambilan keputusan tentang pernyataan suatu negara terikat pada PI, maka di dalamnya terkandung suatu proses yang dari awal sampai dengan akhir mencerminkan suatu sistem demokrasi, hukum, politik dan konstitusi dari negara yang bersangkutan. Terikatnya suatu negara itu sendiri. Walaupun Negaralah yang terikat namun secara faktual warga negara dari negara itu sendirilah yang sebenarnya menikmati hak-hak dan memikul kewajiban yang timbul dari PI. Begitu luasnya dampak yang di bawah PI maka pengaturan suatu keabsahan terhadap PI pun patut dipertanyakan sejelas-jelasnya. Beberapa hal yang juga melatarbelakangi mengapa keabsahan PI menjadi hal yang penting adalah: Adanya kaidah Hukum Internasional dan kaidah nasional dalam suatu negara yang berbeda. Sehingga nantinya dapat menjadi kendala dalam 109

penerapan suatu PI. Perbedaan kaidah hukum ini nantinya dipertanyakan apakah akan bisa menghapus suatu keabsahan PI yang telah disetujui oleh negara tersebut atau tidak. Adanya beberapa macam kekuasaan untuk membuat PI dalam rangka mewakili suatu subjek Hukum Internasional (dalam hal ini khususnya negara), contoh: a. Kewenangan mutlak legislatif. b. Kewenangan mutlak eksekutif. c. Pembagian kewenangan antara eksekutif dan legislatif. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan utusan manakah dari negara tersebut yang berangkat diberi kepercayaan dan hak untuk membuat PI. Apakah harus Presiden, apakah harus Menteri yang terkait atau cukup dengan menunjuk wakil suatu negara dengan dimilikinya Full Powers atau Credential Le ers. Bermacam-macam kekuasaan dan juga utusan ini nantinya akan menimbulkan pertanyaan, manakah di antara semua yang akan diterapkan oleh suatu negara dalam proses pembuatan PI? Hal ini mencegah agar di kemudian hari tidak terjadi pertikaian sehingga nantinya juga berdampak dalam pemberlakuan PI. Pengalaman di masa lalu, saat satu negara dalam pembuatan PI merasa di bawah tekanan, paksaan, penipuan dan kekeliruan yang akhirnya akan membawa akibat PI tersebut menyimpang dari tujuannya dan dapat merugikan Negaranya. Jadi apakah PI tersebut masih dianggap berlaku? Mengingat cakupan maupun internasional dari negara tersebut. Dunia internasional rupanya telah memiliki Hukum Kebiasaan Internasional yang sudah ada dari dulu (jus cogent) yang bersifat mengikat dan imperative dan disebut sebagai Hukum Konstitusional Internasional. Hukum Kebiasaan yang hidup dan berlaku dengan kuat ini tidak mungkin di samping oleh PI. Adanya perbedaan cara untuk menyatakan penyetujuan dan penundukan diri daripada PI tersebut dan juga perbedaan cara-cara untuk menetapkan kapan PI berlaku. Cara penyetujuan dan waktu pemberlakuan akan menjadi penting saat kita membicarakan kapan akibat hukum dari PI tersebut berlaku. Suatu keabsahan menjadi menarik untuk dibicarakan karena ada banyak sekali kepentingan yang tercakup di dalamnya. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain adalah milik dari negara perunding, negara yang terikat dalam PI itu sendiri maupun negara ketiga yang nantinya kena dampak oleh pemberlakuan PI tersebut. Keabsahan PI perlu dibahas untuk melindungi kepentingan tersebut di atas dalam hal: 1. Untuk mengetahui mulai kapan suatu akibat hukum dari suatu PI berlaku. Hal ini kembali lagi kapan waktu mulai disahkannya PI yang otomatis juga membawa akibat hukum bagi para pihak yang melaksanakan. Jadi ada

110

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

alasan/landasan/dasar hukum bagi para pihak untuk melakukan apa-apa yang telah ditentukan oleh PI tersebut. 2. Menghindari kesia-siaan dan atau kerugian dalam pembuatan dan pemberlakuan PI yang nantinya juga dampaknya (yang merugikan) dapat mengenal salah satu atau semua pihak dari PI. 3. Menjamin rasa aman dan ketenangan dari negara-negara yang terlibat di dalam PI tersebut saat mereka membuat, menyetujui dan memberlakukan PI yang mereka setujui ini memang benar-benar membawa dampak yang baik dan menguntungkan. 4. Sebagai dasar untuk menindaklanjuti pemberlakuan PI tersebut di kemudian hari jika terbukti dengan adanya PI tersebut saling menguntungkan satu sama lain. PI adalah salah satu sumber Hukum Internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber Hukum Internasional adalah: a. PI (international convention), baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus; b. Kebiasaan internasional (international custom); c. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab; d. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui keahliannya (teachings of the most highly qualified publicist), sebagai sumber Hukum Internasional tambahan. Untuk dapat membahas mengenai absahnya PI, kita harus mengetahui makna dari PI itu sendiri. Pengertian umum PI dalam pengertian yang sempit adalah "kata sepakat antara dua atau lebih subjek Hukum Internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional". Dalam pengertian umum di atas dapat disimpulkan bahwa: a. Pertama, yang dipandang sebagai subjek Hukum Internasional yang dapat mengadakan perjanjian adalah semua subjek Hukum Internasional. b. Kedua, PI yang dapat dijadikan objek adalah PI tertulis maupun tidak tertulis. Pengertian PI di atas disebut sebagai pengertian yang sempit karena dalam pengertian tersebut tidak ada pembatasan mengenai subjek-subjek hukum apa yang dapat mengadakan PI, dan PI yang berbentuk bagaimana yang dapat dijadikan objek dalam suatu PI. Ruang lingkup PI yang sempit ini hanya dapat dipakai sebagai pedoman awal dalam pembahasan secara mendalam tentang PI dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengklasifikasikan PI. Bab 6 Keabsahan dan Ketidakabsahan PI

111

Berdasarkan pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa terdapat pembatasan-pembatasan terhadap subjek dan objek yang dapat melakukan PI. Subjek Hukum Internasional yang dapat mengadakan PI dibatasi menjadi hanya subjek Hukum Internasional tertentu, seperti negara, organisasi internasional, tahta suci, dan kelompok pembebasan. Sedangkan objek PI juga dibatasi hanya PI yang berbentuk tertulis saja yang dapat dijadikan sebagai objek suatu PI. Pengertian yang luas ini memberi gambaran secara mendalam mengenai klasifikasi PI itu sendiri. Sedangkan Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa yang dapat dikatakan sebagai PI (treaty) adalah "suatu perjanjian yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrument yang berkaitan dan apapun nama instrument tersebut". Dari Pasal 2 Konvensi Wina 1969 tersebut juga dapat kita tarik gambaran bahwa pihak yang dapat mengadakan PI adalah subjek-subjek Hukum Internasional tertentu dan dibuat dalam bentuk tertulis. Pada 2 Konvensi Wina 1969 ini bisa dikatakan merupakan implementasi dari pengertian PI dalam arti luas. SEBAB-SEBAB TIDAK SAHNYA SUATU PI Sebab-sebab tidak sahnya suatu perjanjian diklasifikasikan menjadi dua: 1. Irregularities Formal, yaitu, tidak sahnya suatu perjanjian disebabkan oleh bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan (melanggar) ketentuan Hukum Nasional. Hal yang dimaksud dengan bertentangan dengan ketentuan Hukum Nasional dalam bahasan ini, dibatasi hanya jika pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Nasional tersebut dilakukan secara sengaja, dengan itikad buruk, terang-terangan, dan melanggar ketentuan Hukum Nasional yang penting dan mendasar. Dengan kata lain negara tersebut dapat mengatakan bahwa setujunya suatu negara terikat dalam PI tersebut tidak sah, hanya bila keempat unsur tersebut di atas terpenuhi (Pasal 46 Konvensi Wina 1969 menjelaskan bahwa: Kenyataan bahwa persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian berlawanan dengan ketentuan hukum, tidak boleh dijadikan alasan untuk membebaskan diri dari perjanjian tersebut. Kecuali pelanggaran itu dilakukan dengan terangterangan dan mengenai ketentuan pokok dari Hukum Nasionalnya. Sebaliknya, bila keempat unsur di atas tidak terpenuhi, maka negara tersebut tidak boleh menyatakan bahwa setujunya suatu negara terikat dalam PI tidak sah/batal dengan alasan tidak sesuai (melanggar) ketentuan Hukum Nasionalnya (Pasal 46 ayat 1 Konvensi Wina 1969). Sebagai contoh apabila Kepala Negara yang meratifikasi suatu perjanjian tanpa meminta otoritas parlemen terlebih dahulu, sedangkan menurut Hukum 112

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Nasionalnya otoritas tersebut diharuskan (ratifikasinya disebut ratifikasi tidak sempurna). Maka setujunya suatu negara terikat dalam PI tersebut tetap sah walaupun melanggar ketentuan Hukum Nasional Negaranya, karena tidak memenuhi keempat unsur di atas. Pada dasarnya, asas keabsahan PI bergantung pada prinsip dan aturan pada Hukum Internasional, bukan pada Hukum Nasional masing-masing negara tertentu. 2. Irregularities Substansial, yaitu, atau tidak sahnya suatu perjanjian disebabkan oleh hal-hal yang terkait dengan unsur pokok atau dasar perjanjian, seperti: a. Kekeliruan: kekeliruan yang dimaksud di sini adalah kekeliruan mengenai unsur pokok atau dasar dari perjanjian itu sendiri. Jadi, suatu negara dapat menyatakan bahwa setujunya suatu negara terikat dalam PI tidak sah bila kekeliruan tersebut diketahui pada saat perjanjian tersebut ditutup dan kekeliruan tersebut merupakan dasar yang esensial bagi setujunya suatu negara terikat dalam PI, (Pasal 48 ayat 1 Konvensi Wina 1969). Contoh: dalam Perjanjian Paris antara Amerika Serikat dan Inggris tertanggal 3 September 1783 mengenai penetapan tapal batas Timur Laut antara kedua negara di Kanada. Dalam kasus ini terdapat kesalahan penafsiran yang fatal: i. Mengenai identifikasi sebuah sungai, yaitu sungai Sainte-Croix yang dijadikan unsur dasar perjanjian. Bagi Amerika Serikat, sungai tersebut terletak di sebelah timur, sedangkan yang dimaksud oleh Inggris ialah sungai lain yang terletak di sebelah barat. ii. Garis demarkasi yang disebut Highlands sebenarnya tidak ada dan yang ada ialah dataran luas. Dalam kasus ini kekeliruan terjadi pada unsur dasar perjanjian, akibatnya perjanjian tersebut tidak sah/tidak berlaku sehingga kedua negara terpaksa membuat perjanjian baru. Suatu negara tidak boleh menyatakan bahwa setujunya suatu negara terikat dalam PI tidak sah bila: i. Kekeliruan tersebut disebabkan karena dari perbuatan negara itu sendiri. Contoh: Pada perjanjian Paris, apabila Amerika Serikat mengetahui bahwa yang dianggap sungai Sainte-Croix oleh Inggris adalah sungai lain yang terletak di barat, tapi AS hanya diam saja dan tidak mencegah kekeliruan itu, maka AS tidak bisa menindaksahkan perjanjian itu karena kekeliruan ini disebabkan perbuatan AS sendiri. ii. Kekeliruan tersebut disebabkan oleh redaksi naskah perjanjian, maka perjanjian itu tetap sah. Contoh: Negara Indonesia melakukan perjanjian jual beli dengan negara Timor-Timur dan menyepakati perjanjian tersebut dilakukan di kota Dili. Tapi pada naskah Bab 6 Keabsahan dan Ketidakabsahan PI

113

perjanjian tertulis kota Deli (suatu tempat di Pulau Sumatera). Perjanjian tersebut tetap sah walaupun naskah perjanjian tersebut salah. Apabila kedua negara tidak ada yang keberatan dan samasama menyadari bahwa yang dimaksud adalah "Dili". Masalah pembentukan kesalahan dalam teks perjanjian bisa mengacu Pasal 79 Konvensi Wina 1969. Jadi bila kekeliruan disebabkan karena kedua unsur di atas maka setujunya suatu negara terikat dalam PI. a. Penipuan: Termuat dalam Pasal 49 Konvensi Wina 1969, bahwa suatu negara dapat menyatakan tidak sahnya suatu PI apabila persetujuan terhadap PI tersebut didapat adanya penipuan oleh negara lain sebagai pihak PI. Contoh Perjanjian Munich 29–30 September 1938 dibuat atas dasar penipuan Hitler, ini terbukti dari dokumen-dokumen yang ditemukan kemudian bahwa Hitler tidak bermaksud sama sekali untuk melaksanakannya. b. Penyalahgunaan Wakil Negara: Suatu negara dapat menyatakan tidak sahnya persetujuan terhadap PI jika persetujuan itu diperoleh melalui penyalahgunaan. Sesuai dengan Pasal 50 Konvensi Wina 1969. c. Kekerasan: Pernyataan persetujuan negara untuk terikat pada PI tidaklah sah apabila persetujuan itu diperoleh melalui paksaan/kekerasan (coercion) baik terhadap wakil suatu negara yang dilakukan oleh wakil negara lain maupun paksaan/kekerasan suatu negara terhadap negara lain. Dalam Konvensi Wina 1969, kekerasan ada 2 macam, yaitu kekerasan terhadap wakil-wakil suatu negara dan kekerasan terhadap negara sebagai person moral. Kekerasan terhadap wakil-wakil suatu negara: dalam hal ini, wakil suatu negara menggunakan paksaan bahkan ancaman terhadap wakil negara lain agar wakil negara tersebut setuju untuk terikat pada PI. Maka, negara yang wakilnya mendapat ancaman/paksaan dapat menyatakan bahwa persetujuan yang dilakukannya tersebut tidak sah bahkan tidak mempunyai akibat hukum. Konsekuensinya adalah negara tersebut menjadi tidak terikat dalam PI. Hal ini diatur dalam Pasal 51 Konvensi Wina 1969. Kekerasan terhadap negara sebagai person moral: persetujuan untuk terikat terhadap PI juga tidak sah apabila persetujuan itu diperoleh karena paksaan dari suatu negara dengan ancaman/penggunaan kekuatan terhadap negara lain, yang melanggar prinsip-prinsip Hukum Internasional yang tertuang dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 52 Konvensi Wina 1969. d. Pertentangan dengan Ius Cogent: Suatu PI dinyatakan tidak sah, apabila penutupan perjanjian tersebut bertentangan dengan Ius 114

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Cogent. Ius Cogent adalah normal-normal yang tidak dapat diubah dari Hukum Internasional, yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional menjadi hukum kebiasaan. Contoh: 1. Asas Pacta Sunt Servanda, yaitu bahwa suatu perjanjian yang telah disepakati mengikat para pihak dalam perjanjian itu seperti undang-undang. 2. Asas Privity of Contract, artinya perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak yang turut berbuat perjanjian tersebut. 3. Asas Pacta Tertiis Nex Nocen Nec Prosunt, yaitu bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara-negara pihak ke-3. Keberadaan norma-norma/asas-asas di atas tidak menutup kemungkinan untuk lahirnya sebuah norma baru dalam Hukum Internasional selama norma baru tersebut mempunyai karakter yang sama dengan norma Hukum Internasional umum sebelumnya. Dengan lahirnya norma baru dalam Hukum Internasional umum maka setiap perjanjian yang penutupannya bertentangan dengan norma baru tersebut menjadi batal dan terakhir. Diatur dalam Pasal 64 Konvensi Wina 1969. Dengan demikian, penutupan PI yang bertentangan dengan normanorma internasional umum yang telah ada maupun norma-norma Hukum Internasional umum baru yang lahir akan menjadi tidak sah dan perjanjian tersebut menjadi batal dan tidak mempunyai akibat hukum. 3. Pembatasan-pembatasan Khusus Terdapat suatu perbatasan-perbatasan khusus atas kewenangan seorang wakil untuk memberikan persetujuan negara terhadap PI. Oleh karenanya wakil dari suatu negara tersebut tidak boleh melakukan hal-hal di luar kewenangan yang diberikan negara pada-Nya. Jika ia melakukan hal tersebut maka penghilangan pembatasan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menyatakan tidak sahnya setujunya suatu negara terikat dalam PI, kecuali diberikan terlebih dahulu kepada pihak-pihak negara perunding lainnya (Pasal 47 Konvensi Wina 1969). AKIBAT-AKIBAT BATAL/TIDAK SAH-NYA SUATU PERJANJIAN Pasal 69 Konvensi Wina 1969: Setiap PI yang memenuhi syarat-syarat ketidaksahan yang sesuai dengan syarat-syarat yang ada menurut Konvensi ini, tidak mempunyai akibat hukum, dengan kata lain Perjanjian tersebut adalah batal seperti yang tersebut dalam (Pasal 69 ayat 1 Konvensi Wina 1969). Terhadap PI yang tidak sah tersebut, selain dianggap batal karena tidak

Bab 6 Keabsahan dan Ketidakabsahan PI

115

mempunyai kekuatan hukum, jika para pihak telah melakukan setiap hal yang seharusnya dilakukan dalam perjanjian maka persamaan dengan pembatalan tersebut maka para pihak dapat: 1. Meminta pihak lainnya agar keadaan kembali seperti sebelum terjadi PI tersebut. Hal ini berarti bahwa dengan adanya pembatalan ini maka dianggap tidak pernah timbul adanya perjanjian. 2. Meminta pihak lainnya untuk menganggap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pihak sebelum PI dinyatakan tidak sah, dapat dinyatakan sah seperti yang seharusnya jika PI tersebut dinyatakan sah. Namun, permintaan tersebut tidak dapat berlaku terhadap alasan-alasan ketidaksahan sebagai berikut: penipuan, penyalahgunaan seorang wakil suatu negara, pelaksanaan dari seorang wakil suatu negara, pelaksanaan dari suatu negara dengan ancaman atau penggunaan kekuatan. Sehingga, dalam hal ini sekalipun terdapat itikad baik dalam perbuatan PI oleh negara pihak, perjanjian tersebut tetap dianggap tidak sah. Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal 69 Konvensi Wina 1969 ini, hanya berlaku dalam hubungan antara negara pihak lain dalam perjanjian tidak terpengaruh masih berjalan normal seperti yang seharusnya. Pasal 71 Konvensi Wina 1969: Ketidakabsahan suatu PI yang timbul diakibatkan oleh adanya pelanggaran terhadap normal imperatif seperti yang termuat dalam Pasal 53 konvensi ini (pelanggaran yang timbul karena perjanjian tersebut bertentangan dengan jus cogent), mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut. Terhadap pembatalan ini, setiap negara pihak harus dapat menyelesaikan diri dengan norma tersebut, dan menyelaraskan perjanjian tersebut dengan norma yang berlaku dalam Hukum Internasional. Dalam hal pembatalan yang timbul karena perjanjian tersebut bertentangan dengan norma-norma Hukum Internasional (Jus Cogent) yang baru, maka para pihak dibebaskan dari kewajiban melaksanakan perjanjian tersebut. Selain pembebasan terhadap kewajiban pelaksanaan perjanjian, hak, kewajiban, dan akibat hukum yang timbul sebelum, saat, dan sampai berakhirnya perjanjian tidak akan terpengaruh oleh norma-norma baru tersebut, sejauh hal-hal dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma yang baru tersebut. HILANGNYA HAK UNTUK MENYATAKAN TIDAK SAH Setelah mengetahui syarat-syarat tentang tidak sahnya suatu perjanjian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, yang termuat dalam Pasal 46 sampai 53 Konvensi Wina 1969. Jelasnya terdapat kriteria untuk sebuah PI dapat dinyatakan tidak sah. Pada dasarnya setiap dapat untuk menyatakan sah atau tidak suatu PI yang telah dibuat. Namun terdapat hal-hal tertentu yang membuat suatu negara kehilangan haknya untuk menyatakan bahwa 116

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

suatu PI tidak sah. Hal ini diatur dalam Pasal 45 Konvensi Wina 1969 tentang hilangnya hak untuk mengemukakan dasar untuk menyatakan tak sahnya, pengakhiran, penarikan diri atau penundaan bekerjanya perjanjian, sebagai berikut: "suatu negara tidak lagi dapat mengemukakan dasar alasan untuk menyatakan tidak sahnya, pengakhiran, penarikan diri dari atau penundaan bekerjanya suatu perjanjian di bawah Pasal 46 sampai 50 atau Pasal 60 dan 62 jika, sesudah sadar akan kenyataan-kenyataan yang ada: a. Ia tentu dengan tegas setuju bahwa perjanjian itu sah atau tetap berlaku atau terus bekerja, sebagaimana ini terjadi kelak; atau b. Dengan alasan tingkah lakunya harus dianggap sebagai telah menyetujui absahnya perjanjian itu atau pemeliharaan berlakunya atau bekerjanya, sebagaimana hal ini terjadi kelak. Dari Pasal di atas dapat dipahami bahwa suatu negara dapat kehilangan haknya untuk menyatakan sah atau tidaknya sebuah PI, jika: 1. Secara Tegas Menyetujui Sebuah PI: jika suatu negara secara terang-terangan atau tertulis bahwa ia menyetujui suatu PI maka ia tidak boleh lagi untuk menyatakan/memberi pernyataan tidak sah PI tersebut, karena ia sudah menyetujui secara tegas dan dianggap telah mengetahui dan memahami isi/substansi PI tersebut. 2. Persetujuan dilakukan berdasarkan penilaian tingkah laku dan pernyataan secara implisit suatu negara bahwa ia setuju terhadap sebuah PI. Dengan begitu negara tersebut tidak dapat menyatakan tidak sahnya suatu PI. PROSEDUR DAN INSTRUMEN KETIDAKABSAHAN PI

DALAM

M E N YATA K A N

Walaupun Konvensi telah menetapkan sekian banyak alasan yang dapat digunakan oleh suatu negara peserta untuk menuntut pembatalan (akibat ketidakabsahan perjanjian) namun konvensi ini tidak menetapkan suatu cara penyelesaian persengketaan yang wajib atau dengan kata lain mewajibkan para pihak untuk mengikutinya melainkan hanya menetapkan prosedurnya saja. Dalam Konvensi Wina 1969 Pasal 65 ditetapkan kewajiban prosedural bagi suatu negara peserta yang dimaksud untuk mengadakan tuntutan pembatalan perjanjian yakni: 1. Negara yang ingin menyatakan ketidakabsahan terhadap persetujuan PI harus lebih dulu memberikan maksudnya secara tertulis disertai alasan kepada pihak-pihak dalam PI.

Bab 6 Keabsahan dan Ketidakabsahan PI

117

2. Jika setelah tiga bulan sejak penerimaan pemberitahuan itu tidak ada keberatan dari para pihak peserta lain, negara tersebut dapat menyatakan bahwa PI tidak berlaku untuknya. Pernyataan tersebut menurut Pasal 67 harus ditulis dalam suatu instrumen yang ditandatangani oleh Kepala negara atau Kepala Pemerintahan atau Menlu ataupun oleh wakil yang ditunjuk untuk itu dengan surat kuasa (Full Power). 3. Jika ada pernyataan keberatan dari negara-negara pihak pada perjanjian tersebut maka para pihak harus menyelesaikan perselisihan mereka secara damai sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB yaitu dengan cara perundingan, penyelidikan, dengan peraturan, pemufakatan, perwasitan. Penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau persetujuan-persetujuan setempat, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih sendiri atau apabila dianggap perlu Dewan Keamanan akan meminta pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara demikian. Namun bila dalam waktu 12 bulan terhitung dari waktu diajukannya pernyataan keberatan tidak juga tercapai pernyataan secara damai, sesuai dengan Pasal 66 (1) KW maka penyelesaian sengketa harus dilanjutkan dengan mengajukan persoalannya ke Mahkamah Internasional atau pada suatu arbitrate Internasional bila perselisihan terkait dengan penerapan atau penafsiran mengenai Jus Cogent/pembentukan Jus Cogent yang baru. Sedangkan Pasal 66 (2) Piagam PBB bila terkait dengan penerapan atau penafsiran dalam bagian lima dari Konvensi maka setiap pihak boleh melaksanakan prosedur yang dituangkan dalam Annex Konvensi dengan mengajukan permohonan akan hal-hal itu kepada Sekjend PBB. 4. Ketiga ayat di atas tidak memengaruhi hak dan kewajiban para pihak mengenai penyelesaian sengketa. Negara yang membuat pernyataan secara tertulis seperti ayat 1 tidak mencegah pihak lain untuk menuntut pelaksanaan perjanjian atau mengemukakan pelanggaran-pelanggaran atas PI. Dibentuknya suatu Komisi Konsiliation yang terdiri dari ahli-ahli yang berwibawa sebagai Konsiliation yang dipilih dari suatu da ar nama atau yang diusulkan oleh negara-negara Konvensi dan anggota-anggota PBB. Setiap pihak yang bersengketa dapat memilih dua orang Konsiliator satu dari warga Negaranya sendiri dan yang satu lagi dari nama-nama yang terda ar tersebut. Tugas Komisi Konsiliasi adalah mendengar pihak-pihak yang bersengketa, mempelajari tuntutan-tuntutan, surat keberatan mereka dan membuat usulanusulan untuk mencapai suatu penyelesaian persengketaan secara damai. Laporan diserahkan kepada Sekjend PBB dan para pihak, sifat laporan tidak mengikat, hanya bersifat rekomendasi untuk suatu penyelesaian secara damai.

118

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

KEABSAHAN PI DALAM PERATURAN PERUNDANGAN NASIONAL INDONESIA Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak bisa terlepas dari interaksi dengan negara-negara lain. Salah satu wujud dari hubungan tersebut tampak dari PI yang diikuti Indonesia. PI tersebut dapat berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat bagi negara-negara para pihak maupun negara-negara di luar PI yang telah meratifikasinya apabila keabsahan dari PI yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan. Ukuran keabsahan itu sendiri umumnya relatif karena suatu perjanjian adalah atas dasar kesepakatan para pihak. Termasuk untuk menentukan sejauh mana batas keabsahan dari PI yang bersangkutan. Dalam skala domestik, Indonesia tidak memiliki aturan yang secara khusus memberi koridor akan keabsahan suatu PI. Hingga, tidak ada dasar yang dapat digunakan oleh Indonesia untuk dapat digunakan mengukur sah atau tidaknya suatu PI. Bahwa penerapan Konvensi Wina 1969 dalam menentukan absahnya suatu PI atau absahnya setujunya suatu negara untuk terikat pada suatu PI (consent to be bound) merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh pihak-pihak dalam suatu perjanjian di samping juga pengaturan dalam Undang-Undang ataupun Keppres (Praktik di Indonesia). Faktor-faktor yang tidak menyebabkan suatu perjanjian secara otomatis tidak sah antara lain: 1. Apabila suatu PI dinyatakan melanggar ketentuan Hukum Nasional suatu negara (berlakunya disebut Irregularities Formal). Pengecualian jika hal tersebut dilakukan secara sengaja, terang-terangan dan dengan itikad buruk. 2. Penghilangan atas pembatasan kewenangan wakil dari suatu negara jika tidak diberitahukan terlebih dahulu sebelum pemberitahuan atas persetujuan terhadap suatu PI. Faktor-faktor yang menyebabkan suatu PI tidak sah antara lain (Irregularities Substansial): 1. Kekeliruan, contoh: Perjanjian Paris antara Amerika Serikat dan Inggris tanggal 3 September 1783 mengenai tapal batas. 2. Penipuan, contoh: Perjanjian Munich 29–30 September 1938 dibuat atas penipuan Hitler sendiri. 3. Korupsi Wakil Negara 4. Kekerasan dapat dibagi 2: kekerasan yang dilakukan terhadap wakil dari suatu negara. Contoh: Kekerasan dan ancaman yang dilakukan oleh Hitler kepada Presiden Hacha dan Menlunya Chvalkovsky di Berlin 15 Maret 1939 dan kekerasan yang dilakukan kepada negara sebagai person moral.

Bab 6 Keabsahan dan Ketidakabsahan PI

119

Suatu negara dapat kehilangan hak untuk mengatakan tidak sahnya suatu PI. Jika ada PI yang bertentangan dengan perjanjian sebelumnya maka akan menimbulkan persoalan pada prioritas pelaksanaannya. Konvensi Wina 1969 sangat memberikan prioritas atau primat pada Ius Cogent. Dalam Konvensi Wina 1969 diatur bahwa suatu negara yang merupakan pihak dalam perjanjian dapat membatalkan PI yang telah diikutinya. Batalnya suatu PI berakibat antara lain: a. Negara pihak dalam harus mengembalikan pada keadaan semula, seolaholah tidak ada perjanjian sama sekali. b. Jika batal karena melanggar norma Imperatif, maka negara pihak harus menyelesaikan diri dengan norma tersebut. Jika dalam suatu proses Consent to be bound dari suatu negara tidak sah, maka hal tersebut hanya mengikat negara yang bersangkutan, sedangkan hubungan yang menyangkut perjanjian tetap normal antara negara pihak lainnya. UU PI mengatur mengenai pengesahan antara lain: a. Dalam melakukan pengesahan mengacu pada asas kebebasan berkontrak b. Prosedur, apakah disahkan dengan Undang-Undang atau Keppres (Pemerintah membuat salinan kepada DPR untuk dievaluasi jika merugikan kepentingan nasional dapat dibatalkan), atau PI yang langsung dapat diterapkan tanpa pengesahan, misalnya: di bidang pendidikan, pariwisata, kesehatan, keluarga berencana dan lain-lain. c. Pengesahan melalui Undang-Undang berdasarkan materi perjanjian bukan berdasarkan bentuk dan nama perjanjian. d. Pihak yang berhak menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan pemerintah RI pada suatu PI. LATIHAN SOAL 1. Jelaskan hal-hal apa sajakah yang dapat menjadi sebab ketidakabsahan suatu PI! 2. Jelaskan akibat hukum yang timbul dari batal atau tidak sahnya suatu PI 3. Jelaskan bagaimana prosedur dan instrument dalam menyatakan ketidakabsahan suatu PI 4. Jelaskan bilamana hak untuk menyatakan ketidakabsahan dapat hilang! 5. Jelaskan bagaimana pengaturan tentang ketidakabsahan berdasarkan UU PI.

120

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

DAFTAR BACAAN Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001. DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Sweeet & Maxwell, London, 1998. Harjono, Politik Hukum PI, Bina Ilmu, Surabaya, 1999. I Wayan Parthiana, Hukum PI, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002. Ian Brownlie, Principle of Public International Law, 5th. Ed., Oxford, New York, 1998. Jennings and Watts, Openheim's International Law, Longham, London, 1996. Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Vol. 13, Martinus Nuhoff, London, 1991. Rebecca Wallace, International Law, 3rd. Ed., Sweet & Maxwell, London, 1997.

Bab 6 Keabsahan dan Ketidakabsahan PI

121

PEMBATALAN PI

7 DESKRIPSI BAB Materi ini merupakan pengantar bagi mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman dasar tentang lingkup berlakunya Konvensi Wina 1969, arti penting Konvensi Wina 1969 dan kaitannya dengan Hukum Internasional umum. Pengetahuan dasar tentang Hukum PI yang meliputi Sumber Hukum Pengaturan PI (Regim Hukum Internasional dan Regim Hukum Nasional), Definisi PI, Fungsi PI, Penyebutan dan Penamaan PI, dan Klasifikasi PI. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mahasiswa mampu menjelaskan peran dan fungsi PI dalam hubungan internasional; 2. Mahasiswa mampu membedakan PI dengan perjanjian yang berkarakter internasional 3. Mahasiswa mampu memberikan contoh-contoh PI yang dibuat dalam kerangka negara, organisasi internasional, dan konferensi internasional; 4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi PI berdasarkan pengklasifikasian PI; TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang hal-hal yang dapat menyebabkan suatu PI menjadi batal; 2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang hal-hal yang dapat menyebabkan pembatalan pemberlakuan suatu PI; 3. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang prosedur pembatalan PI; 4. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang akibat hukum yang timbul atas batalnya suatu PI.

123

PENGANTAR Dalam masa dewasa ini kepentingan negara-negara di dunia sangatlah beragam, negara-negara tersebut tidak hanya menginginkan keuntungan di bidang ekonomi saja tetapi mereka juga ingin keuntungan di bidang lain seperti politik serta pertahanan dan keamanan, negara-negara tersebut juga menginginkan adanya pengaruh yang kuat terhadap negara-negara lain oleh karena itu mereka selalu berusaha untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan mereka salah satu dari cara untuk mewujudkan harapan tersebut adalah dengan mengadakan PI, peranan PI dalam kehidupan negara tersebut untuk membentuk suatu hubungan timbal balik antara negara yang satu dengan negara yang lain atau antara negara dengan organisasi internasional yang lain. Dengan adanya PI maka negara yang satu dapat saling berhubungan dengan negara lain atau dengan suatu organisasi internasional. PI tersebut akan membuka komunikasi antarnegara yang mengikutinya, sehingga nantinya akan terwujud tujuan dari perjanjian tersebut yang tidak lain merupakan tujuan dari negara pengikutnya. Tetapi ada juga peserta dari perjanjian tersebut yang mengikuti suatu PI karena paksaan dari pihak lain yang lebih berkuasa sehingga negara tersebut harus menjadi pesertanya, latar belakang terjadinya hal tersebut adalah adanya faktor kepentingan pihak (negara) yang lemah terhadap negara yang kuat, sehingga mereka (negara kuat) dapat memaksakan kepentingan mereka terhadap negara tersebut. Pada saat ini PI tidak hanya mengatur tentang kerja sama ekonomi saja, tetapi juga ada yang mengatur tentang masalah-masalah lain seperti masalah teknik, kebudayaan, pertahanan, keamanan, batas wilayah dan lain-lain, untuk itu maka pengaturan-pengaturan mengenai PI tersebut haruslah diatur sedemikian rupa, karena perjanjian tersebut tidak hanya menyangkut negara-negara saja, tetapi masyarakat (rakyat banyak) dalam negara itu. Pengertian dari PI itu sendiri menurut Konvensi Wina 1969 Tentang Hukum Perjanjian adalah suatu persetujuan yang dibuat antarnegara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya. Pada peraturan tersebut mengatur tentang peraturan mulai dari pembuatan PI sampai dengan pembatalannya, banyak sekali proses-proses yang diatur dalam peraturan tersebut, di dalam sebuah PI yang telah di consent to be bound oleh suatu negara dan telah sah sebagai sebuah PI, maka berlaku asas pacta sunt servanda (perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatnya). Keberadaan asas ini dalam sebuah perjanjian tidaklah sepenuhnya bersifat mutlak, karena terdapat beberapa alasan-alasan tertentu bagi para pihak dalam perjanjian itu untuk: a. Membatalkan sebuah perjanjian karena tidak sahnya sebuah perjanjian (invalidity) b. Menuntut pemberhentian berlakunya sebuah PI (termination) 124

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

c. Penarikan diri dari sebuah PI (withdrawal) d. Penangguhan berlakunya sebuah PI (suspension) Karena adanya keempat alasan di atas, maka secara otomatis dapat digunakan oleh para pihak untuk menyimpangi asas pacta sunt servanda ini, maka untuk menciptakan sebuah kepastian hukum terhadap pelaksanaan sebuah PI yang telah di Consent to be Bound dan berlaku secara sah sebagai sebuah PI, maka Konvensi Wina melakukan pembatasan-pembatasan terhadap alasan-alasan yang dapat diajukan untuk melakukan invalidation, termination, withdrawal, dan suspension. Pembatasan-pembatasan ini diatur dalam Pasal 42 Konvensi Wina 1969 yang secara tegas menyatakan bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan untuk melakukan invalidation, termination, withdrawal, dan suspension hanyalah sebatas alasan-alasan yang telah termuat dalam ketentuan Konvensi Wina 1969. Pengertian "Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Konvensi Wina ini" sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Konvensi Wina 1969 hendaknya diartikan bukan hanya berdasarkan Pasal-Pasal yang mengatur mengenai permasalahan ini saja, tetapi juga didasarkan pada Pasal-Pasal yang mengatur prosedur sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 65 sampai dengan 68 Konvensi Win 1969, sehingga segala ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 53 juga haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 Konvensi Wina 1969 dalam ketentuan umum Konvensi Wina lainnya menyatakan bahwa negara peserta berhak menuntut pembatalan, pengunduran diri dan penangguhan berlakunya beberapa Pasal atau bagian dari suatu perjanjian, jika perjanjian tersebut secara tegas memperbolehkannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Konvensi Wina 1969. Ketentuan munculnya Pasal 44 ini dilatarbelakangi karena suatu PI yang dibuat antarnegara-negara berdaulat, sehingga kurang tepat apabila suatu perjanjian itu batal atau berhenti berlaku disebabkan karena beberapa bagiannya tidak disetujui lagi oleh satu atau beberapa negara pesertanya. Jadi syarat-syarat yang utama adalah bahwa pembatalan/berhenti berlakunya/penangguhan tersebut tidak boleh mengakibatkan terganggunya keseimbangan dari kepentingan-kepentingan negara-negara peserta lainnya dan kewajiban-kewajiban utama yang ditimbulkan oleh perjanjian itu. SEBAB-SEBAB BATALNYA PERJANJIAN Dalam suatu PI yang telah di Consent to be Bound oleh suatu negara dan telah sah sebagai sebuah PI maka berlakulah asa Pacta Sunt Servanda (perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang menjadi pihak). Namun asas ini tidak berlaku mutlak karena terdapat beberapa alasan bagi salah satu pihak untuk: Bab 7

Pembatalan PI

125

a. Membatalkan sebuah perjanjian karena tidak sahnya sebuah perjanjian (invalidity) b. Menuntut pemberhentian berlakunya sebuah PI (termination) c. Penarikan diri dari sebuah PI (withdrawal) d. Penangguhan berlakunya sebuah PI (suspension) Sebagai bentuk-bentuk penyimpangan terhadap asas pacta sunt servanda di atas. Untuk itulah maka kemudian dalam Konvensi Wina 1969 diberikan suatu pembatasan-pembatasan secara tegas terhadap alasan-alasan yang dapat digunakan untuk invalidation, termination, withdrawal, dan suspension guna menciptakan sebuah kepastian hukum terhadap pelaksanaan PI yang telah di Consent to be Bound dan berlaku sah sebagai suatu perjanjian. Hanya penerapan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina ini saja yang dapat menjadi dasar untuk pengakhiran, pemutusan atau penarikan diri sebagai pihak dalam suatu perjanjian (Pasal 42 ayat 2 Konvensi Wina 1969). Ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 46 sampai Pasal 53 Konvensi Wina 1969: Iregularitas Formal (Pasal 46 dan Pasal 47 Konvensi Wina 1969), bahwa suatu negara dapat membatalkan persetujuannya terikat suatu perjanjian karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi nasionalnya terkait dengan kompetensi kuasa penuhnya. Pelanggaran yang dilakukan kuasa penuh tersebut harus menyangkut ketentuan hukum yang fundamental dan pelanggaran itu mudah diketahui (manifest violation). Dalam konvensi tidak ditegaskan tentang pelanggaran yang mana yang merupakan manifest violation sehingga untuk pembatalan perjanjian dengan alasan iregularitas formal akan disesuaikan dengan kaidah-kaidah tertentu per kasus dan ditinjau lagi menurut itikad baik dari negara-negara peserta. Namun untuk kasus di mana seorang delegasi diberi wewenang yang dibatasi oleh syarat-syarat tertentu dalam membuat suatu perjanjian maka pelanggaran yang dilakukan oleh delegasi dapat diajukan sebagai alasan pembatalan bila negara-negara peserta lainnya telah memberitahukan hal itu sebelum negara yang bersangkutan itu melakukan consent to be bound. Iregularitas Substansial a. Kekeliruan (Pasal 48 Kovensi Wina 1969), hanya dapat membatalkan sahnya perjanjian apabila menyangkut unsur pokok atau dasar dari perjanjian itu sendiri. "Error in Treaty" menurut Pasal 48 (2) Konvensi Wina 1969 dapat diartikan sebagai setiap kesalahan dari fakta atau keadaan yang ada hubungannya dengan perjanjian. Contoh Perjanjian Paris antara USA dan Inggris tanggal 3 September 1783 tentang penetapan tapal batas Timur Laut antara kedua negara di Kanada, di mana terdapat kesalahan 126

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

rangkap tentang identifikasi sungai Salnte-Crolx yang dijadikan unsur dasar perbatasan. Bagi Amerika Serikat sungai tersebut terletak di Timur, sedangkan yang dimaksud Inggris ialah sungai lain yang terletak di bagian barat dan garis demarkasi yang disebut highlands sebenarnya tidak ada dan yang ada adalah daratan luas. Perjanjian kerja sama di bidang hydro electric power di mana delegasi USA menyatakan adanya kesalahan jumlah kapasitas "turbines" yang menjadi dasar perjanjian. Sedangkan terhadap kekeliruan tentang redaksi naskah perjanjian tidak membatalkan keberlakuan perjanjian tersebut (Pasal 48 (3) Konvensi Wina 1969). Untuk pembetulan terhadap kesalahan menyangkut teknologi yang digunakan dalam suatu perjanjian maka berdasarkan Pasal 79 (1) Konvensi Wina 1969 maka kesalahan harus dibetulkan. Jika mereka tidak memutuskan cara pembetulan yang lain, maka pembetulan dilakukan dengan: 1. Membuatkan pembetulan yang cukup dalam teks dan pembetulan itu di paraf oleh wakil yang telah diberi wewenang secara sah. 2. Dengan membuat atau mempertukarkan instrumen/instrumeninstrumen yang memuat pembetulan yang telah disetujui untuk diadakan pembetulan. 3. Dengan membuat teks yang telah dibetulkan dari keseluruhan perjanjian dengan prosedur seperti pada teks asli. 4. Apabila perjanjian memiliki suatu tempat penyimpanan, maka negara penyimpanan harus memberitahu negara penandatangan dan negara berjanji mengenai kesalahan, usul pembetulan serta batas waktu untuk pengajuan keberatan terhadap pembetulan yang diusulkan. Apabila dalam batas waktu itu: tidak ada keberatan dari negara peserta lainnya maka negara penyimpan membuat, memaraf pembetulan dalam teks dan lalu mengadakan suatu proses verbal dari pembetulan teks tersebut dan menyampaikan salinannya kepada negara peserta lainnya. Ada keberatan yang diajukan, penyimpanan harus memberitahukan keberatan kepada negara peserta lainnya. Teks pembetulan itu secara abinito menggantikan teks yang cacat apabila para pihak tidak menentukan lain. b. Penipuan (Pasal 49 Konvensi Wina 1969), lebih dikenal dengan "fraud" merupakan salah satu alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan. Namun dalam praktik Hukum Internasional, pendefinisian unsur "fraud" dan contoh kasusnya jarang ditemui. Sehingga nantinya jika ada kasus di muka Mahkamah Internasional maka untuk pendefinisiannya ditentukan dalam praktik dan oleh lembaga peradilan-peradilan internasional. Contoh: Perjanjian Munich 20–30 September 1938 dibuat Hitler atas dasar penipuan. Ini terbukti dari dokumen-dokumen yang ditemukan kemudian bahwa Hitler tidak bermaksud sama sekali untuk melaksanakannya. Terhadap

Bab 7

Pembatalan PI

127

masuknya alasan penipuan dalam ketentuan Konvensi ini memunculkan berbagai pertentangan, namun pada akhirnya alasan ini tetap dicantumkan dalam konvensi. c.

Kelicikan/akal busuk (Pasal 50 Konvensi Wina 1969), lebih dikenal dengan "corruption" yang berarti kelicikan baik berupa akal busuk atau penyuapan terhadap kuasa penuh suatu negara peserta pada waktu pembentukan perjanjian. Alasan corruption ini tidak terdapat dalam Hukum Internasional, sehingga banyak negara peserta menentang dimuatnya alasan ini dalam konvensi, sebab sulit untuk membedakan antara unsur corruption di satu pihak dan penipuan di lain pihak.

d. Kekerasan, adalah apabila terjadi ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional yang terdapat dalam piagam PBB (Pasal 52 Konvensi Wina 1969), dan kekerasan ini dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu kekerasan yang dilakukan terhadap wakil suatu negara dan kekerasan yang dilakukan kepada negara sebagai pesan moral. Maka apabila terjadi kekerasan dalam hal ini, PI tersebut tidak berlaku (Pasal 51 Konvensi Wina 1969). Contoh: kekerasan dan ancaman yang dilakukan Hitler kepada presiden Hacha dan Menteri luar negerinya Chvalkovsky di Berlin 15 Maret 1939 untuk menandatangani perjanjian protektorat Jerman di Propnsi Bohemia, Moravia, Cekoslovakia. e. Perjanjian yang bertentangan dengan perjanjian sebelumnya. i. Antara Perjanjian dengan perjanjian, maka tidak ada persoalan tentang keberlakuannya, yang menjadi masalah hanyalah masalah prioritas pelaksanaannya. Pasal 103 Piagam PBB memberi pemecahan bahasa apabila terjadi pertentangan antara kewajiban anggota PBB berdasarkan piagam dengan kewajiban mereka terhadap suatu perjanjian, maka kewajiban terhadap PBB harus diutamakan. ii. Antara Perjanjian dengan hukum kebiasaan (Jus cogen dan Jus dispositum) a. Apabila bertentangan dengan Jus Cogen, maka perjanjian tersebut menjadi tidak berlaku. Sebab Jus Cogen adalah norma imperatif Hukum Internasional yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional (Pasal 53 Konvensi Wina 1969). Sedangkan apabila bertentangan dengan Jus dispositum tidaklah menjadi masalah, karena Jus dispositum bersifat mengikat namun tidak imperatif dan dapat diubah oleh suatu konvensi. b. Apabila timbul norma Hukum Internasional baru, maka terhadap perjanjian yang berlawanan dengannya akan menjadi tidak sah dan berakhir (Pasal 64 Konvensi Wina 1969).

128

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Tentang ketentuan prosedur pembatalan perjanjian diatur lebih lanjut dalam Pasal 65 sampai 68 Konvensi Wina 1969. Harus diingat bahwa pada dasarnya hak salah satu pihak untuk memutuskan perjanjian, menarik diri atau menunda berlakunya perjanjian hanya dapat dilakukan berkenaan dengan keseluruhan perjanjian, tetapi diperkenankan juga berlaku untuk beberapa Pasal atau bagian perjanjian jika perjanjian tersebut secara tegas memperbolehkannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Konvensi Wina 1969. Munculnya ketentuan ini dilatarbelakangi alasan di mana PI dibuat antarnegara-negara yang berdaulat, sehingga kurang tepat apabila perjanjian itu batal/berhenti berlaku disebabkan karena beberapa bagiannya tidak disetujui oleh satu/beberapa negara peserta. Jadi syarat utama pembatalan atau berhenti berlakunya atau penangguhan perjanjian adalah tidak boleh mengakibatkan tertangguhnya keseimbangan kepentingan-kepentingan negara peserta lainnya dan kewajiban utama yang timbul dari perjanjian itu. SEBAB-SEBAB PEMBATALAN BERLAKUNYA PI Dalam banyak hal berakhirnya sebuah PI itu lebih sering dikarenakan oleh terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai berakhirnya sebuah perjanjian yang tertuang di dalam perjanjian itu, di mana ketentuanketentuan tersebut merupakan hasil dari kesepakatan para pihak dalam perjanjian itu sendiri, contoh-contoh hal ini dapat kita lihat dari berakhirnya sebuah perjanjian sebagai akibat berakhirnya jangka waktu berlakunya perjanjian tersebut dan berakhirnya sebuah perjanjian karena persetujuan para pihak dalam perjanjian itu. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa sebab-sebab berakhirnya sebuah perjanjian dapat lebih mudah terlaksana apabila sebab-sebab tersebut telah diatur dalam perjanjian itu sendiri. Persoalan akan timbul apabila pelaksanaan atau kelangsungan suatu perjanjian tersebut sehingga di samping sebab-sebab berakhirnya sebuah perjanjian yang telah diatur dalam perjanjian itu sendiri, juga terdapat sebab khusus yang dapat mengakibatkan berakhirnya sebuah perjanjian. Sebab khusus tersebut adalah peristiwa-peristiwa tertentu yang dapat menyebabkan berakhirnya sebuah perjanjian tetapi sebab tersebut tidak diatur dalam perjanjian tersebut adanya sebab-sebab khusus ini menyebabkan munculnya beberapa alasan yang dapat dijadikan sebagai sebab pembatalan berlakunya sebuah perjanjian yang pada akhirnya nanti akan menyebabkan berakhirnya sebuah perjanjian, sebab-sebab pembatalan berlakunya perjanjian itu adalah: a. Tidak dilaksanakan perjanjian: Keadaan ini terutama muncul sebagai akibat dari pelanggaran ketentuan dalam perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak ini dapat dijadikan alasan bagi peserta lain untuk mengakhiri atau Bab 7

Pembatalan PI

129

menangguhkan sebuah perjanjian untuk sebagian atau keseluruhan. Dilihat dari sudut hukum, pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak peserta perjanjian memiliki sifat yang sama dengan pembatalan perjanjian, dengan perbedaan bahwa untuk sebuah pembatalan atau penangguhan perjanjian sebagai akibat pelanggaran perjanjian oleh peserta lain dapat dilakukan untuk sebagian perjanjian. Pelanggaran yang dapat dijadikan sebagai dasar pembatalan atau penangguhan perjanjian ini haruslah pelanggaran dari ketentuan yang mutlak diperlukan bagi terciptanya tujuan dari perjanjian tersebut (hal-hal yang substansial/material breach). Hal-hal ini perlu ditegaskan karena sering terjadi negara-negara menjadikan sebuah pelanggaran kecil sebagai alasan untuk membatalkan tanggung jawab dan kewajibannya dalam perjanjian, contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat pada penyelesaian sengketa antara Peru dan Chili, di mana Presiden Coolidge selaku juri dalam penyelesaian permasalahan tersebut menolak tuduhan Peru terhadap Chili yang dianggap telah melanggar disposisidisposisi perjanjian, juri mengatakan bahwa: Memang penyalahgunaan administratif dapat mengakhiri berlakunya suatu perjanjian, tetapi harus dibuktikan, bahwa penyalahgunaan tersebut betul-betul telah menimbulkan suatu keadaan yang begitu buruk, sehingga menghalangi pelaksanaan perjanjian dan menurut pendapat kami keadaan yang demikian tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pasal 60 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa: 1. Dalam suatu perjanjian bilateral, suatu negara dapat menjadikan suatu pelanggaran substansial yang dilakukan negara lain sebagai motif untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian baik secara definitif maupun secara sementara. Pelanggaran ini tidak ipso fakto mengakhiri suatu perjanjian-perjanjian tapi hanya baru membuka kesempatan untuk memakai prosedur mengakhiri suatu perjanjian yang diatur oleh Pasal 65 Konvensi Wina 1969. 2. Suatu pelanggaran substansial pada sebuah perjanjian multilateral oleh satu pihak akan memberikan hak: a. Kepada pihak lainnya dengan persetujuan unanim untuk menunda bekerjanya perjanjian secara keseluruhan atau sebagian atau untuk mengakhirinya baik: i. Dalam hubungan antar mereka sendiri dan Negara yang melanggar, atau ii. Di antara semua pihak. b. Kepada suatu pihak yang secara khusus terpengaruh oleh pelanggaran itu dapat mengemukakan pelanggaran ini sebagai dasar untuk menunda

130

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

c.

bekerjanya perjanjian secara keseluruhan atau sebagian dalam hubungan antara ia sendiri dengan Negara pelanggar. Kepada setiap pihak dari negara pelanggar untuk mengemukakan pelanggaran itu sebagai dasar untuk menunda bekerjanya perjanjian baik seluruhnya atau sebagian terhadap dirinya jika pelanggaran itu mempunyai karakter sedemikian rupa, di mana bila ada pelanggaran substansial atas ketentuan-ketentuannya oleh salah satu pihak secara radikal merubah kedudukan setiap pihak terhadap pelaksanaan lebih lanjut kewajiban-kewajibannya di bawah perjanjian.

Di samping Pasal 60 Konvensi Wina 1969, dalam praktik terdapat juga alasan "force majeur" sebagai alasan untuk tidak dipenuhinya kewajiban oleh salah satu peserta dalam perjanjian. Sangat mirip dengan alasan force majeur yaitu ketidakmungkinan pelaksanaan suatu perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian (impossibility of performance), sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Konvensi Wina 1969, di mana dalam ketentuan Pasal ini menyatakan bahwa: a. Suatu pihak boleh mengemukakan ketidakmungkinan pelaksanaan suatu perjanjian sebagai dasar untuk mengakhiri atau untuk menarik diri dari perjanjian tersebut jika ketidakmungkinan itu adalah hasil dari musnahnya secara permanen atau hancurnya suatu objek yang sangat diperlukan bagi keringnya sebuah sungai, atau hancurnya suatu objek yang sangat diperlukan bagi pelaksanaan perjanjian tersebut, seperti lenyapnya suatu pulau, keringnya sebuah sungai, atau hancurnya suatu bendungan hydro-elektrik yang mutlak untuk pelaksanaan perjanjian itu. Jika ketidakmungkinan itu bersifat sementara maka ketidakmungkinan ini hanya dapat dikemukakan sebagai dasar untuk menunda pelaksanaan perjanjian. b. Ketidakmungkinan pelaksanaan tidak boleh dikemukakan oleh suatu pihak sebagai dasar untuk pengakhiran, penarikan diri atau menunda bekerjanya perjanjian jika ketidakmungkinan itu adalah hasil dari suatu pelanggaran oleh pihak tersebut terhadap pihak lain pada perjanjian itu, baik itu berupa pelanggaran atas suatu kewajiban di bawah perjanjian atau sesuatu kewajiban Internasional lainnya. 3. Perubahan Keadaan Secara Mendasar: dalam doktrin dan praktik telah menerima bahwa suatu perubahan keadaan yang mendasar (fundamental) dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian dan Konvensi Wina telah mengakui alasan untuk mengakhiri atau menangguhkan suatu perjanjian yang terkenal dengan asas "rebus sic stantibus", asas ini merupakan suatu klausula diam-diam yang terdapat dalam perjanjian yang dapat diartikan bahwa perjanjian hanya akan tetap mengikat apabila keadaan tetap seperti biasa. Di dalam Konvensi Wina Bab 7

Pembatalan PI

131

1969 penerapan asas ini dituangkan dalam Pasal 62, yang pada intinya menyatakan bahwa: Suatu negara boleh mempergunakan perubahan keadaan sebagai alasan untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian bila dapat dibuktikan bahwa keadaan benar-benar sudah berubah dan para pihak pada perjanjian sama-sama setuju serta perubahan tersebut betul-betul akan merubah secara radikal kewajibankewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian tersebut. Ketentuan Pasal 62 Konvensi ini menunjukkan suatu gabungan dari dua sistem pengujian, yaitu: a. Pengujian subjektif, di mana menurut sistem pengujian ini para peserta perjanjian harus telah mempertimbangkan kelanjutan keadaan-keadaan sekitar penutupan perjanjian sebagai suatu faktor penunjang yang menentukan masuknya mereka pada perjanjian tersebut. b. Pengujian Objektif di mana menurut sistem pengujian ini perubahanperubahan itu harus sedemikian fundamentalnya sehingga secara radikal mengubah kewajiban para peserta. Untuk menggunakan asas rebus sic stantibus (perubahan fundamental) Konvensi Wina 1969 memberikan syarat khusus yaitu: a. Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan perjanjian; b. Perubahan tersebut adalah sesuatu keadaan fundamental bagi perjanjian tersebut; c. Keadaan tersebut tidak dapat diramalkan akan terjadi; d. Keadaan tersebut merupakan dasar yang esensial bagi setujunya pihak-pihak untuk terikat pada perjanjian; e. Akibat dari adanya perubahan tersebut adalah sedemikian radikalnya sehingga memengaruhi luas lingkup dari kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan perjanjian tersebut. Terhadap ketentuan di atas Konvensi Wina 1969 memberikan dua pengecualian yaitu: a. Bahwa asas rebus sic stantibus tidak dapat digunakan bagi suatu tuntutan pembatalan perjanjian atau pengunduran diri dari suatu perjanjian bila perjanjian tersebut merupakan perjanjian mengenai penetapan perbatasan wilayah; dan b. Jika perubahan keadaan tersebut diakibatkan karena suatu pelanggaran terhadap perjanjian oleh negara yang menuntut batalnya perjanjian tersebut. Meskipun Mahkamah Internasional belum menentukan sifat mengenai asas ini, akan tetapi terdapat cukup banyak bukti tentang berlakunya asas 132

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

ini dalam hukum kebiasaan internasional, beberapa contoh tersebut antara lain adalah: a. Perkara Free of Upper Savon and the Distric of Gex, di mana dalam perkara ini Perancis telah dianggap menyerahkan kepada pihak Sardinia dalam hal suatu kewajiban yang berkenaan dengan persetujuan kewilayahan antara Sardinia dan Switzerland. b. Keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus "The Fisheries Jurisdiction (1973)" antara Inggris dengan Iceland. Di mana Mahkamah Internasional telah mengakui keberadaan asas rebus sic stantibus dengan menerapkan Pasal 60 jo. Pasal 62 Konvensi Wina 1969. Mahkamah Internasional telah menguraikan pendapatnya mengenai hal ini sebagai berikut: Hukum Internasional mengakui perubahan pokok pada keadaan-keadaan tertentu yang menentukan para pihak untuk menerima perjanjian. Jika perubahan tersebut dihasilkan dari sebuah perubahan radikal yang di mana hal tersebut menimbulkan kewajiban-kewajiban pada keadaan tertentu terhadap perubahan yang memengaruhi tersebut, para pihak dapat meminta perjanjian tersebut untuk diakhiri ataupun dibatalkan. Prinsip dan keadaan tersebut di atas juga telah diatur dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969, yang menjadi pertimbangan sebagai modifikasi dari adanya hukum kebiasaan para pihak untuk mengakhiri pengikatan dirinya dalam perjanjian itu, yang harus dituangkan dalam sebuah laporan perubahan. Berdasarkan uraian dari pendapat Mahkamah Internasional dalam Kasus "The Fisheries Juridiction (1973)" memperjelas bahwa suatu peserta yang akan menggunakan alasan perubahan-perubahan keadaan yang mendasar atau fundamental untuk mengakhiri/membatalkan sebuah perjanjian haruslah memberitahukan alasan-alasan tersebut kepada peserta lain, hal ini sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam Pasal 65–57 Konvensi Wina 1969, dengan kata lain tidak ada sebuah perjanjian yang berakhir sebagai akibat penerapan asas rebus sic stantibus tanpa melalui prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 65–67 Konvensi Wina 1969. 4. Timbulnya Norma Imperatif Hukum Intrenasional: Dengan kemunculan atau lahirnya sebuah norma imperatif dalam Hukum Internasional umum (Jus Corgens) akan memiliki dampak yang sangat besar terhadap eksistensi sebuah PI, terutama terhadap perjanjian-PI yang bertentangan dengan norma baru imperatif Hukum Internasional umum (bertentangan dengan aturan baru Jus Corgens) tersebut. untuk menjawab permasalahan ini, Pasal 64 Konvensi Wina 1969 telah menegaskan bahwa "Apabila lahir norma baru imperatif Hukum Internasional umum, maka setiap perjanjian-perjanjian yang ada dan bertentangan dengan norma-norma tersebut menjadi batal

Bab 7

Pembatalan PI

133

dan berakhir". Sehingga menurut ketentuan Pasal ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dengan lahirnya sebuah norma baru imperatif Hukum Internasional umum, maka seluruh PI yang bertentangan dengan norma baru imperatif Hukum Internasional umum atau bertentangan dengan aturan baru Jus Corgens menjadi batal dan berakhir. 5. Perang: Akibat pecahnya sebuah perang yang terjadi di antara para peserta suatu PI secara spesifik tidak diatur dalam Konvensi Wina 1969, akan tetapi dalam menghadapi permasalahan ini kalangan sarjana Hukum Internasional berusaha mengembangkan tiga pendapatnya mengenai permasalahan ini yaitu: 1. Sebuah PI yang karena sifatnya dapat dianggap punah sebagai akibat adanya perang antarpara pihak dalam perjanjian tersebut. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan, dan perjanjian lainnya yang bersifat politik. 2. Sebuah PI yang justru apabila terjadi perang antarpara pihak dalam perjanjian tersebut. Termasuk ke dalam golongan ini antara lain Konvensi Wina 1969 tentang Perlindungan Korban Perang. 3. Sebuah PI yang tidak berubah dengan adanya perang. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah perjanjian perbatasan, perjanjian penyerahan wilayah (cessie) dan perjanjian mengenai "completed acts". Menurut hukum kebiasaan menguraikan tiga akibat yang dapat timbul karena pecahnya perang pada sebuah perjanjian bilateral dan/atau multilateral, akibat-akibat tersebut adalah: 1. Pada Perjanjian Bilateral: perjanjian bilateral akan berakhir apabila kedua negara berperang. 2. Pada Perjanjian Multilateral: dalam perjanjian multilateral pelaksanaan perjanjian hanya dihentikan antarnegara-negara yang berperang saja. 3. Pada perjanjian bilateral dan multilateral yang khusus dibuat untuk dilaksanakan pada waktu perang: perjanjian bilateral dan multilateral yang khusus dibuat untuk dilaksanakan pada waktu perang yang akan tetap berlaku apabila terjadi perang antarpara pihak dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pendapat mengenai pecahnya perang yang dengan sendirinya akan membatalkan perjanjian adalah sebuah pendapat yang kurang tepat, karena akibat perang terhadap sebuah perjanjian pada dasarnya bukanlah menyebabkan perjanjian itu batal dengan sendirinya, melainkan perang tersebut hanyalah berakibat ditangguhkannya ketentuan perjanjian-perjanjian tersebut bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian, dengan catatan untuk setiap

134

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

persoalan yang konkrit sebaiknya melihat terlebih dahulu ketentuanketentuan perjanjian itu sendiri. 6. Pemutusan Hubungan Diplomatik: dalam Konvensi Wina 1969 Pasal 63 telah dinyatakan secara tegas bahwa pemutusan hubungan diplomatik tidak akan memengaruhi hubungan hukum antarpeserta perjanjian, kecuali hubungan diplomatik atau hubungan konsulat tersebut merupakan syarat mutlak bagi pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan Pasal 63 Konvensi Wina 1969 ini jelaslah bahwa berkurangnya/putusnya sebuah hubungan diplomatik atau hubungan konsulat di antara pihak-pihak dalam perjanjian tersebut tidak akan menghalangi pelaksanaan perjanjian di antara mereka, sepanjang hubungan diplomatik atau hubungan konsulat tersebut bukan merupakan syarat mutlak bagi pelaksanaan perjanjian. PROSEDUR MEMBATALKAN PI Dari berbagai ketentuan umum mengenai pembatalan PI, dalam banyak hal dapat diatur oleh para peserta perjanjian itu sendiri berupa ketentuan yang telah disepakati para pihak dan mengikat mereka, jadi ketentuan dalam perjanjian itu sendirilah yang merupakan ketentuan yang menentukan. Prosedur dalam membatalkan keikutsertaan di dalam suatu perjanjian, menurut Pasal 65 Konvensi Wina 1969: a. Negara yang mengajukan alasan keberatan atas suatu persetujuan atau alasan lain yang diterima oleh konvensi harus terlebih dahulu memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada negara-negara pihak lainnya. b. Jika sesudah tiga bulan notifikasi tersebut tidak ada pernyataan keberatan dari negara-negara lain, negara pertama tadi dapat menyatakan perjanjian tidak berlaku lagi. Pernyataan tersebut menurut Pasal 67 Konvensi Wina 1969, harus ditulis dalam suatu instrumen yang disampaikan kepada pihak yang lainnya dan untuk itu instrumen tersebut harus ditandatangani oleh Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan atau Menteri Luar Negeri, ataupun oleh wakil yang ditunjuk untuk itu dengan surat kuasa (full powers). c. Bila ada pernyataan keberatan, negara-negara pihak pada perjanjian harus menyelesaikan perselisihan mereka secara damai sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB. d. Bila dalam masa 12 bulan sudah lewat terhitung dari waktu diajukannya pernyataan keberatan tidak juga tercapai penyelesaian secara damai, sesuai dengan Pasal 66 Konvensi Wina 1969 tersebut penyelesaian sengketa harus dilanjutkan dengan mengajukan persoalannya ke Mahkamah Internasional atau pada suatu arbitrasi internasional. e. Sedangkan untuk perselisihan mengenai penerapan atau penafsiran sesuatu Pasal lainnya di dalam bagian Bab V Konvensi Wina 1969 ini boleh melaksanakan prosedur yang dituangkan di dalam anneks konvensi ini Bab 7

Pembatalan PI

135

f.

dengan mengajukan permohonan akan hal-hal kepada Sekretaris Jendral PBB. Selanjutnya, Pasal 45 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengemukakan tidak sahnya suatu perjanjian bila negara itu sendiri setelah mengetahui semua fakta dan menerima secara terang-terangan bahwa perjanjian itu tetap berlaku. Tanpa merugikan Pasal 45 Konvensi Wina 1969 di atas, kenyataan bahwa suatu negara yang sebelumnya telah membuat pemberitahuan tentang pengajuan alasan keberatan atas suatu persetujuan, tidak akan mencegah dari membuat pemberitahuan demikian ini di dalam menjawab pihak lainnya yang menuntut pelaksanaan perjanjian atau mengemukakan pelanggaran atas perjanjian.

Bagaimanapun pembatalan perjanjian akan menimbulkan kesulitan apabila tidak diatur dalam perjanjian. Hal ini terjadi pada pembatalan sepihak (denunciation) oleh salah satu peserta dari suatu perjanjian. Seperti misalnya Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perbaikan keadaan yang luka dan sakit di medan pertempuran darat, dalam Pasal 63-nya menetapkan bahwa pembatalan atau pernyataan tidak terikat lagi mulai berlaku 1 tahun sesudah pemberitahuannya dilakukan kepada Dewan Federasi Swiss. Berlainan halnya dengan pembatalan atau pengunduran dari suatu perjanjian yang diatur dalam perjanjian itu sendiri, adalah hal di mana pembatalan atau pengunduran demikian tidak diatur. Sebagaimana pernah terjadi yaitu pengunduran diri Indonesia dari PBB dalam bulan Desember 1964. Piagam PBB tidak mengatur hal ini dengan pertimbangan untuk menghindari pembatalan atau pengunduran diri anggotanya yang dapat melemahkan kekuatan PBB. Walaupun dalam menentukan apa yang harus terjadi menurut hukum apabila terjadi pembatalan suatu pihak dari perjanjian yang tidak memuat ketentuan mengenai pembatalan sangat sukar, namun Konvensi Vienna mengenai Hukum Traktat telah mengatur dalam Pasal 65 sampai Pasal 68 yang menentukan bahwa pembatalan atau pengunduran demikian walaupun tidak tertulis dalam perjanjian dapat diadakan apabila telah disepakati oleh para peserta atau dianggap tercakup dalam sifat perjanjian itu sendiri. Dalam hal demikian pihak peserta harus memberitahukan maksud membatalkan atau mengundurkan diri dari perjanjian itu sekurang-kurangnya 12 bulan sebelum tanggal pembatalan atau pengunduran itu. Pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak memberikan alasan kepada peserta lain untuk mengakhiri atau menangguhkan berlakunya perjanjian untuk sebagian atau seluruhnya. Sesuai dengan Konvensi Vienna Pasal 60 ayat 2 dan 3, pelanggaran perjanjian tersebut dapat dijadikan dasar mengakhiri atau menangguhkan perjanjian harus merupakan suatu pelanggaran dari ketentuan yang mutlak diperlukan bagi tercapainya tujuan perjanjian itu. Dilihat dari sudut hukum, pelanggaran perjanjian oleh suatu pihak peserta sama sifatnya 136

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

dengan pembatalan perjanjian, dengan perbedaan bahwa pembatalan berlaku untuk seluruh perjanjian sedangkan pembatalan atau penangguhan perjanjian sebagai akibat pelanggaran perjanjian oleh peserta lain dapat dilakukan untuk sebagian perjanjian. Suatu pihak dapat kehilangan haknya untuk memohon pembatalan atau penangguhan perjanjian dengan dasar pelanggaran perjanjian jika setelah mengetahui fakta-fakta, ia terang-terangan menyetujui bahwa perjanjian tersebut tetap berlaku atau tetap terlaksana atau harus dianggap telah menyetujui tetap berlakunya atau terlaksananya perjanjian tersebut. KONSEKUENSI BATALNYA SUATU PERJANJIAN Berdasarkan Pasal-Pasal dalam Konvensi Wina 1969 mengenai akibat-akibat daripada ketidaksalahan, pengakhiran atau penundaan bekerjanya perjanjian, batalnya suatu perjanjian mempunyai konsekuensi antara lain sebagai berikut: Suatu perjanjian dianggap batal pada waktu pemberitahuan pembatalan. Menurut Pasal 69 Konvensi Wina 1969 bahwa ketentuan-ketentuan suatu perjanjian yang telah dibatalkan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Apabila sebelum perjanjian tersebut dibatalkan telah dilaksanakan kegiatan berkaitan dengan ketentuan dalam perjanjian tersebut, maka negara-negara para pihak harus mengembalikannya pada keadaan semula. Dengan demikian dianggap seolah-olah perjanjian itu tidak pernah ada. Pada ayat 2 dari Pasal ini menjelaskan apabila telah dilaksanakan perbuatan-perbuatan dengan itikad baik sebelum ketidaksahan itu dikemukakan, maka tidak dimasukkan dalam golongan tidak sah hanya karena alasan ketidaksahan itu. Namun hal di atas tidak berlaku pada pihak yang berkenaan dengan Pasal 49, 50, 51, 52 Konvensin Wina 1969 yaitu mengenai penipuan, penyalahgunaan seorang wakil salah satu negara, paksaan dari seorang wakil salah satu negara, paksaan dari sesuatu negara dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekuatan. Maksudnya yaitu bagi pihak yang melakukan atau dilimpahi hal-hal penipuan, penyalahgunaan, ataupun paksaan ayat 2 tidak dapat diberlakukan. Sedangkan bila ketidaksahan persetujuan suatu negara pada perjanjian multilateral, aturan-aturan di atas tidak berlaku dalam hubungan antara negara itu dengan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Pada Pasal 71 Konvensi Wina 1969 mengenai akibat berakhirnya perjanjian, bila salah satu pihak atau negara memutuskan perjanjian atau menarik diri dari suatu perjanjian multilateral, para pihak lepas dari kewajiban lebih lanjut untuk melaksanakan perjanjian tersebut dan tidak memengaruhi suatu hak, kewajiban, atau keadaan dari pihak-pihak yang diciptakan melalui pelaksanaan perjanjian sampai saat pengakhirannya. Hal ini berlaku dalam hubungan di

Bab 7

Pembatalan PI

137

antara negara tersebut dan masing-masing pihak lainnya pada perjanjian sejak tanggal pemutusan atau penarikan diri itu menimbulkan akibat. Menurut Pasal 71 Konvensi Wina 1969 ada dua akibat ketidaksahan suatu perjanjian, yaitu suatu perjanjian yang batal menurut Pasal 53 Konvensi Wina 1969 (perjanjian yang bentrok dengan norma yang tidak dapat dirubah dari Hukum Internasional umum), yaitu suatu perjanjian yang batal jika pada saat penutupannya bentrok dengan norma yang tidak dapat dirubah dari Hukum Internasional umum, maka para pihak harus menghilangkan sejauh mungkin konsekuensi-konsekuensi dari tindakan yang bertentangan dengan norma tersebut dan mengembalikan hubungan mereka sesuai dengan peremptory norm of general internasional law. Norma yang tidak dapat dirubah dari Hukum Internasional umum adalah norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak ada penyimpangan darinya diperbolehkan dan yang hanya dapat dirubah oleh norma sesudahnya dari Hukum Internasional umum yang mempunyai karakter yang sama. Sedangkan suatu perjanjian yang batal menurut Pasal 64 Konvensi Wina 1969 (lahirnya norma baru yang tidak dapat dirubah dari Hukum Internasional umum), pengakhiran dari perjanjian itu akan menyebabkan: a. Para pihak lepas dari kewajiban lebih lanjut untuk melaksanakan perjanjian. b. Tidak memengaruhi suatu hak, kewajiban, atau keadaan hukum yang diciptakan melalui pelaksanaan perjanjian sampai saat pengakhirannya; dengan syarat bahwa hak-hak tersebut, kewajiban-kewajiban itu atau keadaan-keadaan itu hanya dapat dipelihara sesudah itu sejauh bahwa pemeliharaannya tidak dengan sendirinya bertentangan dengan norma pemaksa baru Hukum Internasional umum tersebut. c. Setiap perjanjian yang ada yang bentrok dengan norma baru yang memaksa dari Hukum Internasional yang akan menjadi batal dan berakhir. Apabila suatu perjanjian batal akibat pelanggaran terhadap norma imperatif, maka negara-negara hanya diharuskan menyesuaikan diri dengan norma tersebut. Jika persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian multilateral tidak sah, maka pembatalan itu hanya terjadi antara negara itu sendiri dengan negara lain dan hubungan tetap normal dengan negaranegara lainnya. Setelah apa yang telah dijelaskan halaman-halaman sebelumnya maka dengan ini kami menyimpulkan: 1. Pembatalan PI harus disetujui oleh para pihak yang menjadi peserta dari perjanjian tersebut karena pada perjanjian tersebut berlaku asas pacta sun servanda, yaitu PI tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihaknya. 138

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

2. Pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak harus didasari oleh kondisikondisi tertentu yang dapat dimaklumi oleh para pihak peserta perjanjian sehingga nantinya tidak akan menimbulkan masalah di antara para pihak. 3. Pembatalan perjanjian dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain, adanya isi dari perjanjian tersebut yang bertentangan dengan Hukum Internasional, adanya kekeliruan mengenai unsur pokok, adanya peserta dari perjanjian tersebut yang melakukan penipuan, adanya korupsi anggota dilakukan oleh peserta perjanjian (wakil negara), adanya suatu kekerasan yang dilakukan baik kepada wakil negara ataupun kepada negara itu sendiri sebagai person moral. 4. Apabila prosedur dan syarat perjanjian itu tidak diatur dalam perjanjian yang akan dibatalkan maka para pihak harus merujuk pada peraturan yang terdapat pada Konvensi Wina Tahun 1969. 5. Adanya pembatalan tidak boleh mengakibatkan terganggunya keseimbangan dari kepentingan-kepentingan negara-negara peserta lainnya dan kewajibankewajiban utama yang ditimbulkan dari perjanjian itu. UMPAN BALIK 1. 2. 3. 4.

Apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan batalnya suatu PI? Apa saja hal-hal yang dapat membatalkan pemberlakuan suatu PI? Bagaimana prosedur pembatalan suatu PI? Apa saja akibat hukum yang timbul dari pembatalan suatu PI?

LATIHAN SOAL Negara Amarta dan Baruda adalah dua negara bertetangga. Karena pengelolaan ekonomi dan pelaksanaan pembangunan yang baik di Amarta, kini Amarta menjadi negara berkembang yang maju, sementara Baruda masih miskin dan menanggung beban hutang luar negeri yang besar. Di dekat perbatasan wilayah kedua negara terdapat kompleks candi Awangga yang didirikan oleh Raja Kusumadewa pada Tahun 1215 M. Sebagian besar kompleks candi ini terletak di Baruda. Amarta, Baruda dan Caraka pada masa lalu adalah satu kerajaan besar yaitu Kerajan Mheong Chand yang setelah dikuasai oleh pemerintah Kolonial Inggris terpecah menjadi tiga negara tersebut. Pengalihan kekuasaan dari Pemerintah Kolonial Inggris kepada tiga pemerintahan baru tersebut dilakukan melalui Perjanjian Saneti Tahun 1954. Tiga negara tersebut berdiri sesaat setelah Perjanjian Saneti ditandatangani. Dalam Pasal 5 Perjanjian tersebut dinyatakan bahwa ketiga negara baru tersebut akan menjamin hakhak tradisional suku asli Mheong untuk melintas batas di ketiga negara secara bebas. Pada Tahun 1960 s/d 1967 terjadi perang suku Mheong besar-besaran Bab 7

Pembatalan PI

139

yang menyebabkan jumlah suku ini hanya tinggal 20 persen yang sebagian besar menetap di Baruda. Candi Awangga setiap tahun dikunjungi oleh ratusan ribu turis asing dan lokal, dan sekali setahun digunakan sebagai tempat upacara agama asli masyarakat suku Mheong dari ketiga negara. Sekalipun sebagian besar kompleks candi terletak di Baruda, namun negara Amarta yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dari aktivitas turisme dan keagamaan di Candi Awangga karena jauh lebih banyak fasilitas turisme yang disediakan oleh Amarta. Investor asing juga lebih senang berinvestasi di Amarta karena negara ini relatif stabil dan aman. Keuntungan yang didapatkan oleh Amarta dari aktivitas di Candi Awangga menyebabkan Baruda iri hati. Beberapa kali Baruda berusaha menutup kompleks Candi Awangga. Tindakan ini memicu konflik bersenjata antara Amarta dan Baruda. Kesal atas tindakan Baruda, Amarta mengajak Caraka melakukan kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan nama Perjanjian Taruka Tahun 2009. Perjanjian ini memberikan kemudahan bagi eksportir Caraka untuk mengekspor barangnya ke Amarta. Hal ini menyebabkan produk pertanian dari Baruda yang selama ini menjadi penopang utama perekonomian Baruda tidak dapat diekspor ke Amarta, sehingga perekonomian Baruda semakin hancur. Hancurnya perekonomian Baruda menyebabkan eksodus besar-besaran suku Mheong dan suku-suku lain dari Baruda ke Amarta. Catatan: 1. Kasus ini hipotetis belaka; 2. Diasumsikan bahwa ketiga negara di atas menjadi pihak dalam Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum Perjanjian Internasional; Piagam PBB; the Universal Declaration of Human Rights; the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; the International Covenant on Civil and Political Rights dan Persetujuan-persetujuan WTO. 3. Jawab setiap pertanyaan dengan uraian argument yang jelas dan disertai dengan landasan hukum yang tepat. Pertanyaan: 1. Apakah Perjanjian Saneti Tahun 1954 dapat disebut sebagai perjanjian internasional? Uraikan jawaban anda. 2. Jika anda wakil dari Baruda yang ingin menyatakan bahwa Pasal 5 Perjanjian Saneti 1954 tidak berlaku lagi untuk digunakan sebagai salah satu dasar untuk melakukan penutupan Candi Awangga, argument apa yang anda ajukan? 3. Sebaliknya, jika anda adalah wakil dari Amarta, argument apa yang anda ajukan untuk menolak pernyataan Baruda bahwa pasal 5 Perjanjian Saneti tidak berlaku? 140

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

4. Menurut anda, dapatkah Baruda menyatakan Perjanjian Taruka Tahun 2009 tidak sah? 5. Jika anda diminta oleh Pemerintah Amarta untuk mencari dasar melakukan pembatasan jumlah manusia yang eksodus dari Baruda, apa argument dan dasar hukum yang anda ajukan? DAFTAR BACAAN Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001. DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Sweeet & Maxwell, London, 1998. Harjono, Politik Hukum PI, Bina Ilmu, Surabaya, 1999. I Wayan Parthiana, Hukum PI, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002. Ian Brownlie, Principle of Public International Law, 5th. Ed., Oxford, New York, 1998. Jennings and Watts, Openheim's International Law, Longham, London, 1996. Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Vol. 13, Martinus Nuhoff, London, 1991. Rebecca Wallace, International Law, 3rd. Ed., Sweet & Maxwell, London, 1997.

Bab 7

Pembatalan PI

141

LAMPIRAN

1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES ADOPTED IN VIENNA, AUSTRIA ON 23 MAY 1969 PART I. INTRODUCTION .......................................................................... Article 1 Scope of the Present Convention ....................................... Article 2 Use of Terms ......................................................................... Article 3 International Agreements Not within the Scope of the Present Convention ...................................................................... Article 4 Non-Retroactivity of the Present Convention ................. Article 5 Treaties Constituting International organizations and Treaties Adopted within An International organization ......... PART II. CONCLUSION AND ENTRY INTO FORCE OF TREATIES ................................................................................................. Section 1. Conclusion of Treaties .......................................................... Article 6 Capacity of States to Conclude Treaties ........................... Article 7 Full Powers ........................................................................... Article 8 Subsequent Confirmation of An Act Performed without Authorization ................................................................. Article 9 Adoption of the Text ............................................................ Article 10 Authentication of the Text ................................................ Article 11 Means of Expressing Consent to be Bound by A Treaty .......................................................................................... Article 12 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by Signature ........................................................................................ Article 13 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by An Exchange of Instruments Constituting A Treaty ...................... Article 14 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by Ratification, Acceptance or Approval ........................................

143

148 148 148 149 150 150 150 150 150 150 151 151 151 151 151 152 152

Article 15 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by Accession ........................................................................................ Article 16 Exchange or Deposit of Instruments of Ratification, Acceptance, Approval or Accession ........................................... Article 17 Consent to be Bound by Part of A Treaty and Choice of Differing Provisions ................................................................. Article 18 Obligation Not to Defeat the Object and Purpose of A Treaty Prior to Its Entry into Force .........................................

152 152 153 153

Section 2. Reservations ............................................................................ Article 19 Formulation of Reservations ............................................ Article 20 Acceptance of and Objection to Reservations ................ Article 21 Legal Elects of Reservations and of Objections to Reservations ................................................................................... Article 22 Withdrawal of Reservations and of Objections to Reservations ................................................................................... Article 23 Procedure Regarding Reservations ................................. Section 3. Entry into Force and Provisional, Application of Treaties............................................................................................ Article 24 Entry into Force.................................................................. Article 25 Provisional Application ....................................................

155 155 156

PART III. OBSERVANCE, APPLICATION AND INTERPRETATION OF TREATIES .................................................................................................

156

Section 1. Observance of Treaties.......................................................... Article 26 "Pacta Sunt Servanda" ........................................................ Article 27 Internal Law and Observance of Treaties .......................

156 156 156

Section 2. Application of Treaties ......................................................... Article 28 Non-Retroactivity of Treaties ........................................... Article 29 Territorial Scope of Treaties .............................................. Article 30 Application of Successive Treaties Relating to the Same Subject Ma er .....................................................................

156 156 156

Section 3. Interpretation of Treaties...................................................... Article 31 General Rule of Interpretation ......................................... Article 32 Supplementary Means of Interpretation ........................ Article 33 Interpretation of Treaties Authenticated in Two or More Languages ............................................................................

157 157 158

Section 4. Treaties and Third States ...................................................... Article 34 General Rule Regarding Third States ............................. Article 35 Treaties Providing for Obligations for Third States...... Article 36 Treaties Providing for Rights for Third States ...............

158 158 158 158

144

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

153 153 153 154 154 155

156

158

Article 37 Revocation or Modification of Obligations or Rights of Third States ................................................................... Article 38 Rules in A Treaty becoming Binding on Third States through International Custom ....................................................

159 159

PART IV. AMENDMENT AND MODIFICATION OF TREATIES...... Article 39 General Rule Regarding the Amendment of Treaties .. Article 40 Amendment of Multilateral Treaties ............................... Article 41 Agreements to Modify Multilateral Treaties between Certain of the Parties Only ..........................................................

160

PART V. INVALIDITY, TERMINATION AND SUSPENSION OF THE OPERATION OF TREATIES ..............................................................

160

Section 1. General Provisions ................................................................ Article 42 Validity and Continuance in Force of Treaties .............. Article 43 Obligations Imposed by International Law Independently of A Treaty ........................................................... Article 44 Separability of Treaty Provisions..................................... Article 45 Loss of A Right to Invoke A Ground for Invalidating, Terminating, Withdrawing From or Suspending the Operation of A Treaty ................................................................... Section 2. Invalidity of Treaties ............................................................. Article 46 Provisions of Internal Law Regarding Competence to Conclude Treaties ..................................................................... Article 47 Specific Restrictions on Authority to Express the Consent of A State ......................................................................... Article 48 Error ..................................................................................... Article 49 Fraud.................................................................................... Article 50 Corruption of A Representative of A State ..................... Article 51 Coercion of A Representative of A State ......................... Article 52 Coercion of A State by the Threat or Use of Force ........ Article 53 Treaties Conflicting with A Peremptory Norm of General International Law (Jus Cogens) ..................................... Section 3. Termination and Suspension of the Operation of Treaties ..................................................................................................... Article 54 Termination of or Withdrawal from A Treaty under Its Provisions or by Consent of the Parties................................ Article 55 Reduction of the Parties to A Multilateral Treaty below the Number Necessary for Its Entry into Force ............ Article 56 Denunciation of or Withdrawal from A Treaty Containing No Provision Regarding Termination, Denunciation or Withdrawal....................................................... Lampiran

159 159 159

160 160 161 161

161 162 162 162 162 162 163 163 163 163 163 163 163

164 145

Article 57 Suspension of the Operation of A Treaty under Its Provisions or by Consent of the Parties ..................................... Article 58 Suspension of the Operation of A Multilateral Treaty by Agreement between Certain of the Parties Only ................ Article 59 Termination or Suspension of the Operation of A Treaty Implied by Conclusion of A Later Treaty ...................... Article 60 Termination or Suspension of the Operation of A Treaty as A Consequence of Its Breach ...................................... Article 61 Supervening Impossibility of Performance ................... Article 62 Fundamental Change of Circumstances ........................ Article 63 Severance of Diplomatic or Consular Relations ............ Article 64 Emergence of A New Peremptory Norm of General International Law (Jus Cogens) .................................................... Section 4. Procedure ................................................................................. Article 65 Procedure to be Followed with Respect to Invalidity, Termination, Withdrawal from or Suspension of the Operation of A Treaty ................................................................... Article 66 Procedures for Judicial Se lement, Arbitration and Conciliation .................................................................................... Article 67 Instruments for Declaring Invalid, Terminating, Withdrawing from or Suspending the Operation of A Treaty Article 68 Revocation of Notifications and Instruments Provided for in Articles 65 and 67 .............................................. Section 5. Consequences of the Invalidity, Termination or Suspension of the Operation of A Treaty ............................................ Article 69 Consequences of the Invalidity of A Treaty ................... Article 70 Consequences of the Termination of A Treaty ............... Article 71 Consequences of the Invalidity of A Treaty which Conflicts with A Peremptory Norm of General International Law.................................................................................................. Article 72 Consequences of the Suspension of the Operation of A Treaty .......................................................................................... PART VI. MISCELLANEOUS PROVISIONS .......................................... Article 73 Cases of State Succession, State Responsibility and Outbreak of Hostilities ................................................................. Article 74 Diplomatic and Consular Relations and the Conclusion of Treaties .................................................................. Article 75 Case of An Aggressor State ..............................................

146

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

164 164 164 165 165 166 166 166 166

166 167 167 168 168 168 168

169 169 169 169 170 170

PART VII. DEPOSITARIES, NOTIFICATIONS, CORRECTIONS AND REGISTRATION ................................................................................. Article 76 Depositaries of Treaties ..................................................... Article 77 Functions of Depositaries ................................................. Article 78 Notifications and Communications ................................ Article 79 Correction of Errors in Texts or in Certified Copies of Treaties ....................................................................................... Article 80 Registration and Publication of Treaties ........................

171 172

PART VIII. FINAL PROVISIONS .............................................................. Article 81 Signature ............................................................................. Article 82 Ratification .......................................................................... Article 83 Accession ............................................................................. Article 84 Entry into Force.................................................................. Article 85 Authentic Texts................................................................... ANNEX .................................................................................................

172 172 173 173 173 173 173

Lampiran

147

170 170 170 171

THE STATES PARTIES TO THE PRESENT CONVENTION CONSIDERING the fundamental role of treaties in the history of international relations, RECOGNIZING the ever-increasing importance of treaties as a source of international law and as a means of developing peaceful cooperation among nations, whatever their constitutional and social sistems, NOTING that the principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized, AFFIRMING that disputes concerning treaties, like other international disputes, should be se led by peaceful means and in conformity with the principles of justice and international law, RECALLING the determination of the peoples of the United Nations to establish conditions under which justice and respect for the obligations arising from treaties can be maintained, HAVING IN MIND the principles of international law embodied in the Charter of the United Nations, such as the principles of the equal rights and self-determination of peoples, of the sovereign equality and independence of all States, of non-interference in the domestic affairs of States, of the prohibition of the threat or use of force and of universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all, BELIEVING that the codification and progressive development of the law of treaties achieved in the present Convention will promote the purposes of the United Nations set forth in the Charter, namely, the maintenance of international peace and security, the development of friendly relations and the achievement of cooperation among nations, AFFIRMING that the rules of customary international law will continue to govern questions not regulated by the provisions of the present Convention, HAVE AGREED AS FOLLOWS:

A. PART I. INTRODUCTION Article 1 Scope of the Present Convention The present Convention applies to treaties between States. Article 2 Use of Terms 1. For the purposes of the present Convention: (a) "treaty" means an international agreement concluded between States in wri en form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;

148

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

(b) "ratification", "acceptance", "approval" and "accession" mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty; (c) "full powers" means a document emanating from the competent authority of a State designating a person or persons to represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty; (d) "reservation" means a unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of the treaty in their application to that State; (e) "negotiating State" means a State which took part in the drawing up and adoption of the text of the treaty; (f) "contracting State" means a State which has consented to be bound by the treaty, whether or not the treaty has entered into force; (g) "party" means a State which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force; (h) "third State" means a State not a party to the treaty; (i) "international organization" means an intergovernmental organization. 2. The provisions of paragraph 1 regarding the use of terms in the present Convention are without prejudice to the use of those terms or to the meanings which may be given to them in the internal law of any State. Article 3 International Agreements Not within the Scope of the Present Convention The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between States and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international agreements not in wri en form, shall not affect: (a) the legal force of such agreements; (b) the application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would be subject under international law independently of the Convention; (c) the application of the Convention to the relations of States as between themselves under international agreements to which other subjects of international law are also parties.

Lampiran

149

Article 4 Non-Retroactivity of the Present Convention Without prejudice to the application of any rules set forth in the present Convention to which treaties would be subject under international law independently of the Convention, the Convention applies only to treaties which are concluded by States a er the entry into force of the present Convention with regard to such States. Article 5 Treaties Constituting International organizations and Treaties Adopted within An International organization The present Convention applies to any treaty which is the constituent instrument of an international organization and to any treaty adopted within an international organization without prejudice to any relevant rules of the organization.

B. PART II. CONCLUSION AND ENTRY INTO FORCE OF TREATIES I.

SECTION 1. CONCLUSION OF TREATIES

Article 6 Capacity of States to Conclude Treaties Every State possesses capacity to conclude treaties. Article 7 Full Powers 1. A person is considered as representing a State for the purpose of adopting or authenticating the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent of the State to be bound by a treaty if: (a) he produces appropriate full powers; or (b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that their intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to dispense with full powers. 2. In virtue of their functions and without having to produce full powers, the following are considered as representing their State: (a) heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty; (b) heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty between the accrediting State and the State to which they are accredited; (c) representatives accredited by States to an international conference or to an international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ. 150

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Article 8 Subsequent Confirmation of An Act Performed without Authorization An act relating to the conclusion of a treaty performed by a person who cannot be considered under article 7 as authorized to represent a State for that purpose is without legal effect unless a erwards confirmed by that State. Article 9 Adoption of the Text 1. The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in its drawing up except as provided in paragraph 2. 2. The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by the vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply a different rule. Article 10 Authentication of the Text The text of a treaty is established as authentic and definitive: (a) by such procedure as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or (b) failing such procedure, by the signature, signature ad referendum or initialling by the representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference incorporating the text. Article 11 Means of Expressing Consent to be Bound by A Treaty The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed. Article 12 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by Signature 1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when: (a) the treaty provides that signature shall have that effect; (b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature should have that effect; or (c) the intention of the State to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation. 2. For the purposes of paragraph 1: (a) the initialling of a text constitutes a signature of the treaty when it is established that the negotiating States so agreed; (b) the signature ad referendum of a treaty by a representative, if confirmed by his State, constitutes a full signature of the treaty.

Lampiran

151

Article 13 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by An Exchange of Instruments Constituting A Treaty The consent of States to be bound by a treaty constituted by instruments exchanged between them is expressed by that exchange when: (a) the instruments provide that their exchange shall have that effect; or (b) it is otherwise established that those States were agreed that the exchange of instruments should have that effect. Article 14 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by Ratification, Acceptance or Approval 1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by ratification when: (a) the treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification; (b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that ratification should be required; (c) the representative of the State has signed the treaty subject to ratification; or (d) the intention of the State to sign the treaty subject to ratification appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation. 2. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by acceptance or approval under conditions similar to those which apply to ratification. Article 15 Consent to be Bound by A Treaty Expressed by Accession The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by accession when: (a) the treaty provides that such consent may be expressed by that State by means of accession; (b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession; or (c) all the parties have subsequently agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession. Article 16 Exchange or Deposit of Instruments of Ratification, Acceptance, Approval or Accession Unless the treaty otherwise provides, instruments of ratification, acceptance, approval or accession establish the consent of a State to be bound by a treaty upon: (a) their exchange between the contracting States; (b) their deposit with the depositary; or 152

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

(c) their notification to the contracting States or to the depositary, if so agreed. Article 17 Consent to be Bound by Part of A Treaty and Choice of Differing Provisions 1. Without prejudice to articles 19 to 23, the consent of a State to be bound by part of a treaty is effective only if the treaty so permits or the other contracting States so agree. 2. The consent of a State to be bound by a treaty which permits a choice between differing provisions is effective only if it is made clear to which of the provisions the consent relates. Article 18 Obligation Not to Defeat the Object and Purpose of A Treaty Prior to Its Entry into Force A State is obliged to refrain from acts which would defeat the object and purpose of a treaty when: (a) it has signed the treaty or has exchanged instruments constituting the treaty subject to ratification, acceptance or approval, until it shall have made its intention clear not to become a party to the treaty; or (b) it has expressed its consent to be bound by the treaty, pending the entry into force of the treaty and provided that such entry into force is not unduly delayed. II. SECTION 2. RESERVATIONS Article 19 Formulation of Reservations A State may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, formulate a reservation unless: (a) the reservation is prohibited by the treaty; (b) the treaty provides that only specified reservations, which do not include the reservation in question, may be made; or (c) in cases not failing under subparagraphs (a) and (b), the reservation is incompatible with the object and purpose of the treaty. Article 20 Acceptance of and Objection to Reservations 1. A reservation expressly authorized by a treaty does not require any subsequent acceptance by the other contracting States unless the treaty so provides. 2. When it appears from the limited number of the negotiating States and the object and purpose of a treaty that the application of the treaty in its entirety between all the parties is an essential condition of the consent of each one to be bound by the treaty, a reservation requires acceptance by all the parties. Lampiran

153

3. When a treaty is a constituent instrument of an international organization and unless it otherwise provides, a reservation requires the acceptance of the competent organ of that organization. 4. In cases not falling under the preceding paragraphs and unless the treaty otherwise provides: (a) acceptance by another contracting State of a reservation constitutes the reserving State a party to the treaty in relation to that other State if or when the treaty is in force for those States; (b) an objection by another contracting State to a reservation does not preclude the entry into force of the treaty as between the objecting and reserving States unless a contrary intention is definitely expressed by the objecting State; (c) an act expressing a State's consent to be bound by the treaty and containing a reservation is effective as soon as at least one other contracting State has accepted the reservation. 5. For the purposes of paragraphs 2 and 4 and unless the treaty otherwise provides, a reservation is considered to have been accepted by a State if it shall have raised no objection to the reservation by the end of a period of twelve months a er it was notified of the reservation or by the date on which it expressed its consent to be bound by the treaty, whichever is later. Article 21 Legal Elects of Reservations and of Objections to Reservations 1. A reservation established with regard to another party in accordance with articles 19, 20 and 23: (a) modifies for the reserving State in its relations with that other party the provisions of the treaty to which the reservation relates to the extent of the reservation; and (b) modifies those provisions to the same extent for that other party in its relations with the reserving State. 2. The reservation does not modify the provisions of the treaty for the other parties to the treaty inter se. 3. When a State objecting to a reservation has not opposed the entry into force of the treaty between itself and the reserving State, the provisions to which the reservation relates do not apply as between the two States to the extent of the reservation. Article 22 Withdrawal of Reservations and of Objections to Reservations 1. Unless the treaty otherwise provides, a reservation may be withdrawn at any time and the consent of a State which has accepted the reservation is not required for its withdrawal. 2. Unless the treaty otherwise provides, an objection to a reservation may be withdrawn at any time. 154

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

3. Unless the treaty otherwise provides, or it is otherwise agreed: (a) the withdrawal of a reservation becomes operative in relation to another contracting State only when notice of it has been received by that State; (b) the withdrawal of an objection to a reservation becomes operative only when notice of it has been received by the State which formulated the reservation. Article 23 Procedure Regarding Reservations 1. A reservation, an express acceptance of a reservation and an objection to a reservation must be formulated in writing and communicated to the contracting States and other States entitled to become parties to the treaty. 2. If formulated when signing the treaty subject to ratification, acceptance or approval, a reservation must be formally confirmed by the reserving State when expressing its consent to be bound by the treaty. In such a case the reservation shall be considered as having been made on the date of its confirmation. 3. An express acceptance of, or an objection to, a reservation made previously to confirmation of the reservation does not itself require confirmation. 4. The withdrawal of a reservation or of an objection to a reservation must be formulated in writing. III. SECTION 3. ENTRY INTO FORCE AND PROVISIONAL, APPLICATION OF TREATIES Article 24 Entry into Force 1. A treaty enters into force in such manner and upon such date as it may provide or as the negotiating States may agree. 2. Failing any such provision or agreement, a treaty enters into force as soon as consent to be bound by the treaty has been established for all the negotiating States. 3. When the consent of a State to be bound by a treaty is established on a date a er the treaty has come into force, the treaty enters into force for that State on that date, unless the treaty otherwise provides. 4. The provisions of a treaty regulating the authentication of its text, the establishment of the consent of States to be bound by the treaty, the manner or date of its entry into force, reservations, the functions of the depositary and other ma ers arising necessarily before the entry into force of the treaty apply from the time of the adoption of its text.

Lampiran

155

Article 25 Provisional Application 1. A treaty or a part of a treaty is applied provisionally pending its entry into force if: (a) the treaty itself so provides; or (b) the negotiating States have in some other manner so agreed. 2. Unless the treaty otherwise provides or the negotiating States have otherwise agreed, the provisional application of a treaty or a part of a treaty with respect to a State shall be terminated if that State notifies the other States between which the treaty is being applied provisionally of its intention not to become a party to the treaty.

C. PART III. OBSERVANCE, APPLICATION AND INTERPRETATION OF TREATIES IV. SECTION 1. OBSERVANCE OF TREATIES Article 26 "Pacta Sunt Servanda" Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith. Article 27 Internal Law and Observance of Treaties A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46. V. SECTION 2. APPLICATION OF TREATIES Article 28 Non-Retroactivity of Treaties Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its provisions do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with respect to that party. Article 29 Territorial Scope of Treaties Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, a treaty is binding upon each party in respect of its entire territory. Article 30 Application of Successive Treaties Relating to the Same Subject Ma er 1. Subject to Article 103 of the Charter of the United Nations, the rights and obligations of States Parties to successive treaties relating to the same

156

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

2.

3.

4.

5.

subject ma er shall be determined in accordance with the following paragraphs. When a treaty specifies that it is subject to, or that it is not to be considered as incompatible with, an earlier or later treaty, the provisions of that other treaty prevail. When all the parties to the earlier treaty are parties also to the later treaty but the earlier treaty is not terminated or suspended in operation under article 59, the earlier treaty applies only to the extent that its provisions are compatible with those of the later treaty. When the parties to the later treaty do not include all the parties to the earlier one: (a) as between States Parties to both treaties the same rule applies as in paragraph 3; (b) as between a State party to both treaties and a State party to only one of the treaties, the treaty to which both States are parties governs their mutual rights and obligations. Paragraph 4 is without prejudice to article 41, or to any question of the termination or suspension of the operation of a treaty under article 60 or to any question of responsibility which may arise for a State from the conclusion or application of a treaty the provisions of which are incompatible with its obligations towards another State under another treaty.

VI. SECTION 3. INTERPRETATION OF TREATIES Article 31 General Rule of Interpretation 1. A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose. 2. The context for the purpose of the interpretation of a treaty shall comprise, in addition to the text, including its preamble and annexes: (a) any agreement relating to the treaty which was made between all the parties in connection with the conclusion of the treaty; (b) any instrument which was made by one or more parties in connection with the conclusion of the treaty and accepted by the other parties as an instrument related to the treaty. 3. There shall be taken into account, together with the context: (a) any subsequent agreement between the parties regarding the interpretation of the treaty or the application of its provisions; (b) any subsequent practice in the application of the treaty which establishes the agreement of the parties regarding its interpretation; (c) any relevant rules of international law applicable in the relations between the parties. Lampiran

157

4. A special meaning shall be given to a term if it is established that the parties so intended. Article 32 Supplementary Means of Interpretation Recourse may be had to supplementary means of interpretation, including the preparatory work of the treaty and the circumstances of its conclusion, in order to confirm the meaning resulting from the application of article 31, or to determine the meaning when the interpretation according to article 31: (a) leaves the meaning ambiguous or obscure; or (b) leads to a result which is manifestly absurd or unreasonable. Article 33 Interpretation of Treaties Authenticated in Two or More Languages 1. When a treaty has been authenticated in two or more languages, the text is equally authoritative in each language, unless the treaty provides or the parties agree that, in case of divergence, a particular text shall prevail. 2. A version of the treaty in a language other than one of those in which the text was authenticated shall be considered an authentic text only if the treaty so provides or the parties so agree. 3. The terms of the treaty are presumed to have the same meaning in each authentic text. 4. Except where a particular text prevails in accordance with paragraph 1, when a comparison of the authentic texts discloses a difference of meaning which the application of articles 31 and 32 does not remove, the meaning which best reconciles the texts, having regard to the object and purpose of the treaty, shall be adopted. VII. SECTION 4. TREATIES AND THIRD STATES Article 34 General Rule Regarding Third States A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent. Article 35 Treaties Providing for Obligations for Third States An obligation arises for a third State from a provision of a treaty if the parties to the treaty intend the provision to be the means of establishing the obligation and the third State expressly accepts that obligation in writing. Article 36 Treaties Providing for Rights for Third States 1. A right arises for a third State from a provision of a treaty if the parties to the treaty intend the provision to accord that right either to the third State, or to a group of States to which it belongs, or to all States, and the third 158

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

State assents thereto. Its assent shall be presumed so long as the contrary is not indicated, unless the treaty otherwise provides. 2. A State exercising a right in accordance with paragraph 1 shall comply with the conditions for its exercise provided for in the treaty or established in conformity with the treaty. Article 37 Revocation or Modification of Obligations or Rights of Third States 1. When an obligation has arisen for a third State in conformity with article 35, the obligation may be revoked or modified only with the consent of the parties to the treaty and of the third State, unless it is established that they had otherwise agreed. 2. When a right has arisen for a third State in conformity with article 36, the right may not be revoked or modified by the parties if it is established that the right was intended not to be revocable or subject to modification without the consent of the third State. Article 38 Rules in A Treaty becoming Binding on Third States through International Custom Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such.

D. PART IV. AMENDMENT AND MODIFICATION OF TREATIES Article 39 General Rule Regarding the Amendment of Treaties A treaty may be amended by agreement between the parties. The rules laid down in Part II apply to such an agreement except insofar as the treaty may otherwise provide. Article 40 Amendment of Multilateral Treaties 1. Unless the treaty otherwise provides, the amendment of multilateral treaties shall be governed by the following paragraphs. 2. Any proposal to amend a multilateral treaty as between all the parties must be notified to all the contracting States, each one of which shall have the right to take part in: (a) the decision as to the action to be taken in regard to such proposal; (b) the negotiation and conclusion of any agreement for the amendment of the treaty. 3. Every State entitled to become a party to the treaty shall also be entitled to become a party to the treaty as amended. Lampiran

159

4. The amending agreement does not bind any State already a party to the treaty which does not become a party to the amending agreement; article 30, paragraph 4 (b), applies in relation to such State. 5. Any State which becomes a party to the treaty a er the entry into force of the amending agreement shall, failing an expression of a different intention by that State: (a) be considered as a party to the treaty as amended; and (b) be considered as a party to the unamended treaty in relation to any party to the treaty not bound by the amending agreement. Article 41 Agreements to Modify Multilateral Treaties between Certain of the Parties Only 1. Two or more of the parties to a multilateral treaty may conclude an agreement to modify the treaty as between themselves alone if: (a) the possibility of such a modification is provided for by the treaty; or (b) the modification in question is not prohibited by the treaty and: (i) does not affect the enjoyment by the other parties of their rights under the treaty or the performance of their obligations; (ii) does not relate to a provision, derogation from which is incompatible with the effective execution of the object and purpose of the treaty as a whole. 2. Unless in a case falling under paragraph 1 (a) the treaty otherwise provides, the parties in question shall notify the other parties of their intention to conclude the agreement and of the modification to the treaty for which it provides.

E. PART V. INVALIDITY, TERMINATION AND SUSPENSION OF THE OPERATION OF TREATIES VIII. SECTION 1. GENERAL PROVISIONS Article 42 Validity and Continuance in Force of Treaties 1. The validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only through the application of the present Convention. 2. The termination of a treaty, its denunciation or the withdrawal of a party, may take place only as a result of the application of the provisions of the treaty or of the present Convention. The same rule applies to suspension of the operation of a treaty.

160

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Article 43 Obligations Imposed by International Law Independently of A Treaty The invalidity, termination or denunciation of a treaty, the withdrawal of a party from it, or the suspension of its operation, as a result of the application of the present Convention or of the provisions of the treaty, shall not in any way impair the duty of any State to fulfill any obligation embodied in the treaty to which it would be subject under international law independently of the treaty. Article 44 Separability of Treaty Provisions 1. A right of a party, provided for in a treaty or arising under article 56, to denounce, withdraw from or suspend the operation of the treaty may be exercised only with respect to the whole treaty unless the treaty otherwise provides or the parties otherwise agree. 2. A ground for invalidating, terminating, withdrawing from or suspending the operation of a treaty recognized in the present Convention may be invoked only with respect to the whole treaty except as provided in the following paragraphs or in article 60. 3. If the ground relates solely to particular clauses, it may be invoked only with respect to those clauses where: (a) the said clauses are separable from the remainder of the treaty with regard to their application; (b) it appears from the treaty or is otherwise established that acceptance of those clauses was not an essential basis of the consent of the other party or parties to be bound by the treaty as a whole; and (c) continued performance of the remainder of the treaty would not be unjust. 4. In cases falling under articles 49 and 50, the State entitled to invoke the fraud or corruption may do so with respect either to the whole treaty or, subject to paragraph 3, to the particular clauses alone. 5. In cases falling under articles 51, 52 and 53, no separation of the provisions of the treaty is permi ed. Article 45 Loss of A Right to Invoke A Ground for Invalidating, Terminating, Withdrawing from or Suspending the Operation of A Treaty A State may no longer invoke a ground for invalidating, terminating, withdrawing from or suspending the operation of a treaty under articles 46 to 50 or articles 60 and 62 if, a er becoming aware of the facts: (a) it shall have expressly agreed that the treaty is valid or remains in force or continues in operation, as the case may be; or

Lampiran

161

(b) it must by reason of its conduct be considered as having acquiesced in the validity of the treaty or in its maintenance in force or in operation, as the case may be. IX. SECTION 2. INVALIDITY OF TREATIES Article 46 Provisions of Internal Law Regarding Competence to Conclude Treaties 1. A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance. 2. A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the ma er in accordance with normal practice and in good faith. Article 47 Specific Restrictions on Authority to Express the Consent of A State If the authority of a representative to express the consent of a State to be bound by a particular treaty has been made subject to a specific restriction, his omission to observe that restriction may not be invoked as invalidating the consent expressed by him unless the restriction was notified to the other negotiating States prior to his expressing such consent. Article 48 Error 1. A State may invoke an error in a treaty as invalidating its consent to be bound by the treaty if the error relates to a fact or situation which was assumed by that State to exist at the time when the treaty was concluded and formed an essential basis of its consent to be bound by the treaty. 2. Paragraph 1 shall not apply if the State in question contributed by its own conduct to the error or if the circumstances were such as to put that State on notice of a possible error. 3. An error relating only to the wording of the text of a treaty does not affect its validity; article 79 then applies. Article 49 Fraud If a State has been induced to conclude a treaty by the fraudulent conduct of another negotiating State, the State may invoke the fraud as invalidating its consent to be bound by the treaty.

162

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Article 50 Corruption of A Representative of A State If the expression of a State's consent to be bound by a treaty has been procured through the corruption of its representative directly or indirectly by another negotiating State, the State may invoke such corruption as invalidating its consent to be bound by the treaty. Article 51 Coercion of A Representative of A State The expression of a State's consent to be bound by a treaty which has been procured by the coercion of its representative through acts or threats directed against him shall be without any legal effect. Article 52 Coercion of A State by the Threat or Use of Force A treaty is void if its conclusion has been procured by the threat or use of force in violation of the principles of international law embodied in the Charter of the United Nations. Article 53 Treaties Conflicting with A Peremptory Norm of General International Law (Jus Cogens) A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permi ed and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character. X. SECTION 3. TERMINATION AND SUSPENSION OF THE OPERATION OF TREATIES Article 54 Termination of or Withdrawal from A Treaty under Its Provisions or by Consent of the Parties The termination of a treaty or the withdrawal of a party may take place: (a) in conformity with the provisions of the treaty; or (b) at any time by consent of all the parties a er consultation with the other contracting States. Article 55 Reduction of the Parties to A Multilateral Treaty below the Number Necessary for Its Entry into Force Unless the treaty otherwise provides, a multilateral treaty does not terminate by reason only of the fact that the number of the parties falls below the number necessary for its entry into force.

Lampiran

163

Article 56 Denunciation of or Withdrawal from A Treaty Containing No Provision Regarding Termination, Denunciation or Withdrawal 1. A treaty which contains no provision regarding its termination and which does not provide for denunciation or withdrawal is not subject to denunciation or withdrawal unless: (a) it is established that the parties intended to admit the possibility of denunciation or withdrawal; or (b) a right of denunciation or withdrawal may be implied by the nature of the treaty. 2. A party shall give not less than twelve months' notice of its intention to denounce or withdraw from a treaty under paragraph 1. Article 57 Suspension of the Operation of A Treaty under Its Provisions or by Consent of the Parties The operation of a treaty in regard to all the parties or to a particular party may be suspended: (a) in conformity with the provisions of the treaty; or (b) at any time by consent of all the parties a er consultation with the other contracting States. Article 58 Suspension of the Operation of A Multilateral Treaty by Agreement between Certain of the Parties Only 1. Two or more parties to a multilateral treaty may conclude an agreement to suspend the operation of provisions of the treaty, temporarily and as between themselves alone, if: (a) the possibility of such a suspension is provided for by the treaty; or (b) the suspension in question is not prohibited by the treaty and: (i) does not affect the enjoyment by the other parties of their rights under the treaty or the performance of their obligations; (ii) is not incompatible with the object and purpose of the treaty. 2. Unless in a case falling under paragraph 1 (a) the treaty otherwise provides, the parties in question shall notify the other parties of their intention to conclude the agreement and of those provisions of the treaty the operation of which they intend to suspend. Article 59 Termination or Suspension of the Operation of A Treaty Implied by Conclusion of A Later Treaty 1. A treaty shall be considered as terminated if all the parties to it conclude a later treaty relating to the same subject ma er and: (a) it appears from the later treaty or is otherwise established that the parties intended that the ma er should be governed by that treaty; or 164

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

(b) the provisions of the later treaty are so far incompatible with those of the earlier one that the two treaties are not capable of being applied at the same time. 2. The earlier treaty shall be considered as only suspended in operation if it appears from the later treaty or is otherwise established that such was the intention of the parties. Article 60 Termination or Suspension of the Operation of A Treaty as A Consequence of Its Breach 1. A material breach of a bilateral treaty by one of the parties entitles the other to invoke the breach as a ground for terminating the treaty or suspending its operation in whole or in part. 2. A material breach of a multilateral treaty by one of the parties entitles: (a) the other parties by unanimous agreement to suspend the operation of the treaty in whole or in part or to terminate it either: (i) in the relations between themselves and the defaulting State; or (ii) as between all the parties; (b) a party specially affected by the breach to invoke it as a ground for suspending the operation of the treaty in whole or in part in the relations between itself and the defaulting State; (c) any party other than the defaulting State to invoke the breach as a ground for suspending the operation of the treaty in whole or in part with respect to itself if the treaty is of such a character that a material breach of its provisions by one party radically changes the position of every party with respect to the further performance of its obligations under the treaty. 3. A material breach of a treaty, for the purposes of this article, consists in: (a) a repudiation of the treaty not sanctioned by the present Convention; or (b) the violation of a provision essential to the accomplishment of the object or purpose of the treaty. 4. The foregoing paragraphs are without prejudice to any provision in the treaty applicable in the event of a breach. 5. Paragraphs 1 to 3 do not apply to provisions relating to the protection of the human person contained in treaties of a humanitarian character, in particular to provisions prohibiting any form of reprisals against persons protected by such treaties. Article 61 Supervening Impossibility of Performance 1. A party may invoke the impossibility of performing a treaty as a ground for terminating or withdrawing from it if the impossibility results from the permanent disappearance or destruction of an object indispensable

Lampiran

165

for the execution of the treaty. If the impossibility is temporary, it may be invoked only as a ground for suspending the operation of the treaty. 2. Impossibility of performance may not be invoked by a party as a ground for terminating, withdrawing from or suspending the operation of a treaty if the impossibility is the result of a breach by that party either of an obligation under the treaty or of any other international obligation owed to any other party to the treaty. Article 62 Fundamental Change of Circumstances 1. A fundamental change of circumstances which has occurred with regard to those existing at the time of the conclusion of a treaty, and which was not foreseen by the parties, may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from the treaty unless: (a) the existence of those circumstances constituted an essential basis of the consent of the parties to be bound by the treaty; and (b) the effect of the change is radically to transform the extent of obligations still to be performed under the treaty. 2. A fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from a treaty: (a) if the treaty establishes a boundary; or (b) if the fundamental change is the result of a breach by the party invoking it either of an obligation under the treaty or of any other international obligation owed to any other party to the treaty. 3. If, under the foregoing paragraphs, a party may invoke a fundamental change of circumstances as a ground for terminating or withdrawing from a treaty it may also invoke the change as a ground for suspending the operation of the treaty. Article 63 Severance of Diplomatic or Consular Relations The severance of diplomatic or consular relations between parties to a treaty does not affect the legal relations established between them by the treaty except insofar as the existence of diplomatic or consular relations are indispensable for the application of the treaty. Article 64 Emergence of A New Peremptory Norm of General International Law (Jus Cogens) If a new peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates. XI. SECTION 4. PROCEDURE Article 65 Procedure to be Followed with Respect to Invalidity, Termination, Withdrawal from or Suspension of the Operation of A Treaty 166

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

1. A party which, under the provisions of the present Convention, invokes either a defect in its consent to be bound by a treaty or a ground for impeaching the validity of a treaty, terminating it, withdrawing from it or suspending its operation, must notify the other parties of its claim. The notification shall indicate the measure proposed to be taken with respect to the treaty and the reasons therefor. 2. If, a er the expiry of a period which, except in cases of special urgency, shall not be less than three months a er the receipt of the notification, no party has raised any objection, the party making the notification may carry out in the manner provided in article 67 the measure which it has proposed. 3. If, however, objection has been raised by any other party, the parties shall seek a solution through the means indicated in Article 33 of the Charter of the United Nations. 4. Nothing in the foregoing paragraphs shall affect the rights or obligations of the parties under any provisions in force binding the parties with regard to the se lement of disputes. 5. Without prejudice to article 45, the fact that a State has not previously made the notification prescribed in paragraph 1 shall not prevent it from making such notification in answer to another party claiming performance of the treaty or alleging its violation. Article 66 Procedures for Judicial Se lement, Arbitration and Conciliation If, under paragraph 3 of article 65, no solution has been reached within a period of 12 months following the date on which the objection was raised, the following procedures shall be followed: (a) any one of the parties to a dispute concerning the application or the interpretation of article 53 or 64 may, by a wri en application, submit it to the International Court of Justice for a decision unless the parties by common consent agree to submit the dispute to arbitration; (b) any one of the parties to a dispute concerning the application or the interpretation of any of the other articles in part V of the present Convention may set in motion the procedure specified in the Annex to the Convention by submi ing a request to that effect to the Secretary-General of the United Nations. Article 67 Instruments for Declaring Invalid, Terminating, Withdrawing from or Suspending the Operation of A Treaty 1. The notification provided for under article 65, paragraph 1, must be made in writing. 2. Any act of declaring invalid, terminating, withdrawing from or suspending the operation of a treaty pursuant to the provisions of the treaty or of

Lampiran

167

paragraphs 2 or 3 of article 65 shall be carried out through an instrument communicated to the other parties. If the instrument is not signed by the Head of State, Head of Government or Minister for Foreign Affairs, the representative of the State communicating it may be called upon to produce full powers. Article 68 Revocation of Notifications and Instruments Provided for in Articles 65 and 67 A notification or instrument provided for in article 65 or 67 may be revoked at any time before it takes effect. XII. SECTION 5. CONSEQUENCES OF THE INVALIDITY, TERMINATION OR SUSPENSION OF THE OPERATION OF A TREATY Article 69 Consequences of the Invalidity of A Treaty 1. A treaty the invalidity of which is established under the present Convention is void. The provisions of a void treaty have no legal force. 2. If acts have nevertheless been performed in reliance on such a treaty: (a) each party may require any other party to establish as far as possible in their mutual relations the position that would have existed if the acts had not been performed; (b) acts performed in good faith before the invalidity was invoked are not rendered unlawful by reason only of the invalidity of the treaty. 3. In cases falling under article 49, 50, 51 or 52, paragraph 2 does not apply with respect to the party to which the fraud, the act of corruption or the coercion is imputable. 4. In the case of the invalidity of a particular State's consent to be bound by a multilateral treaty, the foregoing rules apply in the relations between that State and the parties to the treaty. Article 70 Consequences of the Termination of A Treaty 1. Unless the treaty otherwise provides or the parties otherwise agree, the termination of a treaty under its provisions or in accordance with the present Convention: (a) releases the parties from any obligation further to perform the treaty; (b) does not affect any right, obligation or legal situation of the parties created through the execution of the treaty prior to its termination. 2. If a State denounces or withdraws from a multilateral treaty, paragraph 1 applies in the relations between that State and each of the other parties to the treaty from the date when such denunciation or withdrawal takes effect. 168

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Article 71 Consequences of the Invalidity of A Treaty which Conflicts with A Peremptory Norm of General International Law 1. In the case of a treaty which is void under article 53 the parties shall: (a) eliminate as far as possible the consequences of any act performed in reliance on any provision which conflicts with the peremptory norm of general international law; and (b) bring their mutual relations into conformity with the peremptory norm of general international law. 2. In the case of a treaty which becomes void and terminates under article 64, the termination of the treaty: (a) releases the parties from any obligation further to perform the treaty; (b) does not affect any right, obligation or legal situation of the parties created through the execution of the treaty prior to its termination, provided that those rights, obligations or situations may therea er be maintained only to the extent that their maintenance is not in itself in conflict with the new peremptory norm of general international law. Article 72 Consequences of the Suspension of the Operation of A Treaty 1. Unless the treaty otherwise provides or the parties otherwise agree, the suspension of the operation of a treaty under its provisions or in accordance with the present Convention: (a) releases the parties between which the operation of the treaty is suspended from the obligation to perform the treaty in their mutual relations during the period of the suspension; (b) does not otherwise affect the legal relations between the parties established by the treaty. 2. During the period of the suspension the parties shall refrain from acts tending to obstruct the resumption of the operation of the treaty.

F.

PART VI. MISCELLANEOUS PROVISIONS

Article 73 Cases of State Succession, State Responsibility and Outbreak of Hostilities The provisions of the present Convention shall not prejudge any question that may arise in regard to a treaty from a succession of States or from the international responsibility of a State or from the outbreak of hostilities between States.

Lampiran

169

Article 74 Diplomatic and Consular Relations and the Conclusion of Treaties The severance or absence of diplomatic or consular relations between two or more States does not prevent the conclusion of treaties between those States. The conclusion of a treaty does not in itself affect the situation in regard to diplomatic or consular relations. Article 75 Case of An Aggressor State The provisions of the present Convention are without prejudice to any obligation in relation to a treaty which may arise for an aggressor State in consequence of measures taken in conformity with the Charter of the United Nations with reference to that State's aggression.

G. PART VII. DEPOSITARIES, NOTIFICATIONS, CORRECTIONS AND REGISTRATION Article 76 Depositaries of Treaties 1. The designation of the depositary of a treaty may be made by the negotiating States, either in the treaty itself or in some other manner. The depositary may be one or more States, an international organization or the chief administrative officer of the organization. 2. The functions of the depositary of a treaty are international in character and the depositary is under an obligation to act impartially in their performance. In particular, the fact that a treaty has not entered into force between certain of the parties or that a difference has appeared between a State and a depositary with regard to the performance of the la er's functions shall not affect that obligation. Article 77 Functions of Depositaries 1. The functions of a depositary, unless otherwise provided in the treaty or agreed by the contracting States, comprise in particular: (a) keeping custody of the original text of the treaty and of any full powers delivered to the depositary; (b) preparing certified copies of the original text and preparing any further text of the treaty in such additional languages as may be required by the treaty and transmi ing them to the parties and to the States entitled to become parties to the treaty; (c) receiving any signatures to the treaty and receiving and keeping custody of any instruments, notifications and communications relating to it;

170

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

(d) examining whether the signature or any instrument, notification or communication relating to the treaty is in due and proper form and, if need be, bringing the ma er to the a ention of the State in question; (e) informing the parties and the States entitled to become parties to the treaty of acts, notifications and communications relating to the treaty; (f) informing the States entitled to become parties to the treaty when the number of signatures or of instruments of ratification, acceptance, approval or accession required for the entry into force of the treaty has been received or deposited; (g) registering the treaty with the Secretariat of the United Nations; (h) performing the functions specified in other provisions of the present Convention. 2. In the event of any difference appearing between a State and the depositary as to the performance of the la er's functions, the depositary shall bring the question to the a ention of the signatory States and the contracting States or, where appropriate, of the competent organ of the international organization concerned. Article 78 Notifications and Communications Except as the treaty or the present Convention otherwise provide, any notification or communication to be made by any State under the present Convention shall: (a) if there is no depositary, be transmi ed direct to the States for which it is intended, or if there is a depositary, to the la er; (b) be considered as having been made by the State in question only upon its receipt by the State to which it was transmi ed or, as the case may be, upon its receipt by the depositary; (c) if transmi ed to a depositary, be considered as received by the State for which it was intended only when the la er State has been informed by the depositary in accordance with article 77, paragraph 1 (e). Article 79 Correction of Errors in Texts or In Certified Copies of Treaties 1. Where, a er the authentication of the text of a treaty, the signatory States and the contracting States are agreed that it contains an error, the error shall, unless they decide upon some other means of correction, be corrected: (a) by having the appropriate correction made in the text and causing the correction to be initialled by duly authorized representatives; (b) by executing or exchanging an instrument or instruments se ing out the correction which it has been agreed to make; or (c) by executing a corrected text of the whole treaty by the same procedure as in the case of the original text.

Lampiran

171

2. Where the treaty is one for which there is a depositary, the la er shall notify the signatory States and the contracting States of the error and of the proposal to correct it and shall specify an appropriate time-limit within which objection to the proposed correction may be raised. If, on the expiry of the time-limit: (a) no objection has been raised, the depositary shall make and initial the correction in the text and shall execute a procès-verbal of the rectification of the text and communicate a copy of it to the parties and to the States entitled to become parties to the treaty; (b) an objection has been raised, the depositary shall communicate the objection to the signatory States and to the contracting States. 3. The rules in paragraphs 1 and 2 apply also where the text has been authenticated in two or more languages and it appears that there is a lack of concordance which the signatory States and the contracting States agree should be corrected. 4. The corrected text replaces the defective text ab initio, unless the signatory States and the contracting States otherwise decide. 5. The correction of the text of a treaty that has been registered shall be notified to the Secretariat of the United Nations. 6. Where an error is discovered in a certified copy of a treaty, the depositary shall execute a procès-verbal specifying the rectification and communicate a copy of it to the signatory States and to the contracting States. Article 80 Registration and Publication of Treaties 1. Treaties shall, a er their entry into force, be transmi ed to the Secretariat of the United Nations for registration or filing and recording, as the case may be, and for publication. 2. The designation of a depositary shall constitute authorization for it to perform the acts specified in the preceding paragraph.

H. PART VIII. FINAL PROVISIONS Article 81 Signature The present Convention shall be open for signature by all States Members of the United Nations or of any of the specialized agencies or of the International Atomic Energy Agency or parties to the Statute of the International Court of Justice, and by any other State invited by the General Assembly of the United Nations to become a party to the Convention, as follows: until 30 November 1969, at the Federal Ministry for Foreign Affairs of the Republic of Austria, and subsequently, until 30 April 1970, at United Nations Headquarters, New York. 172

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

Article 82 Ratification The present Convention is subject to ratification. The instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. Article 83 Accession The present Convention shall remain open for accession by any State belonging to any of the categories mentioned in article 81. The instruments of accession shall be deposited with the Secretary- General of the United Nations. Article 84 Entry into Force 1. The present Convention shall enter into force on the thirtieth day following the date of deposit of the thirty-fi h instrument of ratification or accession. 2. For each State ratifying or acceding to the Convention a er the deposit of the thirty-fi h instrument of ratification or accession, the Convention shall enter into force on the thirtieth day a er deposit by such State of its instrument of ratification or accession. Article 85 Authentic Texts The original of the present Convention, of which the Chinese, English, French, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. IN WITNESS WHEREOF the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized thereto by their respective Governments, have signed the present Convention. DONE at Vienna this twenty-third day of May, one thousand nine hundred and sixty-nine.

I.

ANNEX

1. A list of conciliators consisting of qualified jurists shall be drawn up and maintained by the Secretary-General of the United Nations. to this end, every State which is a Member of the United Nations or a party to the present Convention shall be invited to nominate two conciliators, and the names of the persons so nominated shall constitute the list. The term of a conciliator, including that of any conciliator nominated to fill a casual vacancy, shall be five years and may be renewed. A conciliator whose term expires shall continue to fulfill any function for which he shall have been chosen under the following paragraph.

Lampiran

173

2. When a request has been made to the Secretary-General under article 66, the Secretary-General shall bring the dispute before a conciliation commission constituted as follows: The State or States constituting one of the parties to the dispute shall appoint: (a) one conciliator of the nationality of that State or of one of those States, who may or may not be chosen from the list referred to in paragraph 1; and (b) one conciliator not of the nationality of that State or of any of those States, who shall be chosen from the list. The State or States constituting the other party to the dispute shall appoint two conciliators in the same way. The four conciliators chosen by the parties shall be appointed within sixty days following the date on which the Secretary-General receives the request. The four conciliators shall, within sixty days following the date of the last of their own appointments, appoint a fi h conciliator chosen from the list, who shall be chairman. If the appointment of the chairman or of any of the other conciliators has not been made within the period prescribed above for such appointment, it shall be made by the Secretary-General within sixty days following the expiry of that period. The appointment of the chairman may be made by the Secretary-General either from the list or from the membership of the International Law Commission. Any of the periods within which appointments must be made may be extended by agreement between the parties to the dispute. Any vacancy shall be filled in the manner prescribed for the initial appointment. 3. The Conciliation Commission shall decide its own procedure. The Commission, with the consent of the parties to the dispute, may invite any party to the treaty to submit to it its views orally or in writing. Decisions and recommendations of the Commission shall be made by a majority vote of the five members. 4. The Commission may draw the a ention of the parties to the dispute to any measures which might facilitate an amicable se lement. 5. The Commission shall hear the parties, examine the claims and objections, and make proposals to the parties with a view to reaching an amicable se lement of the dispute. 6. The Commission shall report within twelve months of its constitution. Its report shall be deposited with the Secretary-General and transmi ed to the parties to the dispute. The report of the Commission, including any conclusions stated therein regarding the facts or questions of law, shall not be binding upon the parties and it shall have no other character than 174

Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional

that of recommendations submi ed for the consideration of the parties in order to facilitate an amicable se lement of the dispute. 7. The Secretary-General shall provide the Commission with such assistance and facilities as it may require. The expenses of the Commission shall be borne by the United Nations.

Lampiran

175

Related Documents


More Documents from "Danna Eryanada"