Hukum Udara

  • Uploaded by: NouvindriAdji
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Udara as PDF for free.

More details

  • Words: 5,164
  • Pages: 16
Loading documents preview...
1

BAB 1 Pendahuluan A. Latar Belakang Di era modern saat ini mobilitas semakin yang tinggi diiringi dengan pertumbuhan ekonomi dan aspek lainya, mengharuskan tiap orang untuk melakukan segala sesuatu lebih cepat demi mencapai efektivitas dan efisiensi waktu. Hal ini menyebabkan transportasi udara menjadi pilihan utama untuk mencapai ketepatan dalam mobilitas. Dalam kurun beberapa dekade teknologi penerbangan semakin canggih dan menjadi pilihan utama. Pertumbuhan transportasi tersebut sudah pasti membawa dampak positif bagi kesejahteraan umat manusia, karena dengan pertumbuhan tersebut transportasi udara nasional maupun internasional dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta keselamatan penerbangan. Transportasi udara internasional dapat digunakan untuk memperpendek jarak antara negara, saling mengunjungi antara bangsa dan mempererat persahabatan antaranegara, sebagai salah satu devisa negara1 Meskipun demikian, pertumbuhan transportasi negara tersebut juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melarikan diri ke negara lain yang sesuai dengan ideologi politik mereka , melakukan kejahatan untuk memperkaya diri sendiri, melakukana tindakan teroris, minta suaka politik dari negara lain, melarikan diri dari kejaran ancaman hukuman yang tiba giliranya akan mengancam keselamatan, ketertiban, keteraturan transportasi udara, dan mengancam penumpang, menghancurkan harta benda yang diangkut dengan pesawat udara serta merongrong pertumbuhan transportasi udara nasional maupun unternasional. Perkembangan teknologi penerbangan dapat menimbulkan kejahatan penerbangan lainya yang berakibat dapat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada perhubungan udara. Sebenarnya, masalah pembajakan udara dimulai sejak tahun 1930, dan terus terjadi secara bergelombang yaitu: antara tahun 1947 sampai dengan 1951, tahun 1958 sampai dengan 1961, dan tahun 1967 sampai dengan 1971. Dengan banyaknya kasus kejahatan penerbangan, pada tahun 1959, International Civil Aviation Organization (ICAO) merekomendasikan untuk membuat konvensi internasional mengenai pelanggaran yang dilakukan di dalam pesawat udara. Di dalam perkembanganya terbentiklah suatu organisasi penerbangan internasional dibawah PBB yang khusus menangani masalah penerbangan dan aturan di dalamnya International Civil Aviation Organization (ICAO) membentuk 1

H.K Martono,Ahmad Sudiro, Hukum udara nasional dan internasional Publik, Jakarta: Raja Grafindo, 2012 hlm 127

2

tiga konvensi mengenai kejahatan penerbangan, Khusus mengenai pembahasan tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan baru dimulai tahun 1950 yang kemudian disahkan dalam konferensi diplomatik di Tokyo tahun 1963 di bawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional.2 Konvensi Tokyo 1963 tentang Pelanggaran-Pelanggaran Dan Tindakan-Tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan Di Dalam Pesawat Udara (Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft), Konvensi Den Haag 1970 tentang Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum (The Suppression of Unlawful Seizure of The Aircraft), dan Konvensi Montreal 1971 tentang Pemberantasan TindakanTindakan Melawan Hukum yang Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil (The Suppression of Unlawful Acts Again The Safety of Civil Aviation). Kemudian konvensi- konvensi ini diadopsi oleh Indonesia sebagai dasar pembentukan aturan mengenai penerbangan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1976 (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3076) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 (Lembaran Negara 1976 Nomor 26) tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai, kejahatan penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana dalam penerbangan, serta undang-undang yang pendukung yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 mengenai Ekstradisi. Untuk itu penerbangan profesional harus didedikasikan penuh and berkontribusi untuk investigasi keamanan dari laporan yang terjadi.” Satu dari alat yang terpenting untuk melakukan peningkatan terhadap keamanan adalah mempelajari dari kesalahan.3 Karena biasanya kesalahan akan rentan terhadap terjadinya tindak kejahatan yang terjadi di pesawat udara .

2

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi Chicago 1944 tentang Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944. 3 S Sharif „The Failure of Aviation Safety in New Zealand: An Examination of New Zealand‟s Implementation of Its International Obligations under Annex 13 of the Chicago Convention on International Civil Aviation‟ (2003) 68 Journal of Air Law & Commerce 339, 340. Sebagaimana dikutip dari Sebagaimana dikutip dari Mildred T, Criminalisation of air accidents and the creation of a Just Culture, hlm 2

3

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana teori dan instrumen hukum mengenai kejahatan di udara ? 2. Bagaimana kejahatan yang terjadi di udara dan hukuman terhadap pelaku terorisme di udara ? 3. Bagaimanakah peran Organisasi Penerbangan sipil internasional dalam memberantas kejahatan di udara ? C. Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui mengenai pengaturan yang ada pada hukum internasional mengenai kejahatan yang terjadi di udara, mengetahui keterkaitan konvensi internasional terhadap kejahatan di udara dan fungsi organisasi Internasional yang menangani masalah penerbangan dalam menindak kasus kejahatan yang terjadi di udara.

4

BAB II PEMBAHASAN A. Teori dan Instrumen Hukum Mengenai Kejahatan di atas Udara Perkembangan teknologi yang pesat telah mempengaruhi mobilitas sosial manusia baik dalam lingkup nasional dan internasional, namun selama perkembanganya, kegiatan penerbangan sipil tidak terlepas dari berbagai bentuk penyalahgunaan yang menjadi ancaman terhadap penerbangan sipil, Namun pada abad 21 kejahatan terorisme telah berkembang sebagai masalah politik di dunia yang dapat menyebabkan krisis yang sistematik di level global4 Dilihat dari awal munculnya pengaturan mengenai kejahatan di udara, ada beberapa teori mengenai yurisdiksi yang di berlakukan dalam tindak kejahatan di udara antara lain : 1. Teori teritorial, hukum dari negara yang wilayah udaranya terjadi tindak kejahatan maka ditentukan berdasarkan hukum nasional; 2. Teori nasional, menurut teori ini hukum negara yang dimana pesawat tersebut terdaftar; 3. Teori campuran; 4. Teori hukum dimana pesawat berangkat; 5. Teori hukum dimana pesawat mendarat.5 Instrumen hukum Internasional yang mengatur masalah tindak pidana dan bentuk-bentuk terorisme penerbangan diantaranya tiga Konvensi Internsional. Beberapa resolusi juga telah dibuat oleh PBB dan ICAO. Sementara di Indonesia telah mengambil ketentuan ketentuan dalam ketiga konvensi tersebut sebagai dasar pembuatan Undang Undang (UU) no.2 dan no.4 1976 sehingga pelaku tindak pidana penerbangan atau terorisme udara tidak kebal hukum di negara ini. Prinsip dari akibat hukum dari kejahatan internasional sebagai bagian dari kesalahan moral dan material yang terjadi.6 Hal tersebut kemudian diatur dalam tindak pidana penerbangan telah dibuat tiga konvensi yaitu:

4

Jangir Arasly, “ Terrorism and Civil Aviation Security : Problems and Trends”, Combating Terrorism Working Group of the PIP consortium , hlm 1 5 I.H.Ph. Diederiks-Verschoor, An Introduction to Air Law, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer. Antwerp, 1988, hlm 162 6 Kelsen, Hans. Principles of International Law, 2nd edition, 1966, pg. 199-200, and Briggs H.W. The Law of Nations, Cases, Documents and Notes, 2nd edition, 1952, pg. 601-742. Sebagaimana dikutip dari Tang Ut Fong, Air Law hlm 9

5

1. Konvensi Tokyo Asal mulanya Konvesi Tokyo dipersiapkan untuk menampung status hukum suatu pesawat udara (legal status of aircraft), yurisdikasi peradilan (judical jurisdiction), hukum yang dapat diterapkan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam pesawat udara dalam penerbangan (the applicable substantive law to govern allege offences committed on board aircraft in flight), dan wewenang komandan atau pilot menurut hukum yang berlaku yaitu wewenang hukum terhadap pesawat udara, awak pesawat,dan penumpang selama penerbangan.Khusus mengenai pembahasan tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan baru dimulai tahun 1950 yang kemudian disahkan dalam konferensi diplomatik di Tokyo Th 1963 dibawah naungan organisasi penerbangan sipil internasional.7 Berdasarkan Pasal 11 Konvensi Tokyo 1963, ada kejahatan khusus yang terdapat pada bagian tindakan melawan hukum dalam pesawat sejak fenomena kejahatan meningkat sejak 1940 . 8 Konvensi Tokyo mengatur 3 tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan diatas laut lepas atau terra nullius. Yang dimaksudkan sebagai tindak pidana itu adalah segala bentuk tindak pidana yang termasuk atau diatur didalam UU Pidana masing-masing negara peserta Konvensi Tokyo dan perbuatanperbuatan tertentu adalah perbuatan baik pidana atau bukan yang melanggar ketentuan disiplin dan ketertiban didalam pesawat udara. Kedua tindak pidana dan perbuatan-perbuatan ini berlangsung saat penerbangan diatas laut lepas. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi. Unsur-unsur di dalam Pasal 1 Konvensi yaitu: a. Tindak pidana itu dilakukan didalam pesawat udara. b. Pesawat udara tersebut harus didaftarkan di negara peserta Konvensi. c. Pesawat udara sedang berada dalam penerbangan di atas laut lepas. d. Pesawat udara berada di permukaan laut lepas. Sedangkan pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindakan pidana diatur dalam Pasal 3 Konvensi yaitu negara tempat pesawat udara didaftarkan dan juga ada kemungkinan bagi negara lain yang bukan tempat pesawat udara didaftarkan untuk melaksanakan yurisdikasinya bila negara tempat pesawat udara didaftarkan tidak mau melaksanakannya. Sedangkan pada Pasal 4 Konvensi juga diatur kemungkinan kepada negara-negara untuk melaksanakan yuridikasi bersama artinya negaranegara tersebut punya wewenang yang sama dengan negara tempat pesawat udara terdaftar untuk menyelesaikan tindakan pidana yang tercantum pada Pasal 1 Konvensi. Konvensi Tokyo ini masih memiliki banyak kelemahan seperti : 7

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan pasal 43 Konvensi Chicago 1944 tentang Conention on International Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944 8 Lihat AF Lowenfeld, Anviation Law, Documents Supplement, 1981, pg. 1181 (World-wide Hijacking statistics) Sebagaimana dikutip dari Tang Ut Fong, Air Law hlm 11

6

a. Tindak pidana sabotase yang sebagian besar memasukan bahan peledak secara diam-diam pada pesawat udara saat didarat dan juga terlalu mengkhususkan diri pada tindak pidananya yang kurang jelas terlebih lagi pada masalah pembajakan dan terorisme udara. b. Hanya negara peserta Konvensi saja yang dapat dikenai ketentuan-ketentuan Konvensi. c. Terlalu membatasi kondisi “diatas laut lepas” karena tidak seluruh negara memiliki kekuatan yurisdiksi saat pesawat udara berada dilaut lepas ataupun diatas wilayah diluar kekuasaan negara. Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa pihak saat itu masih mengganggap tindak pidana diatas laut lepas itu tidak terjangkau oleh hukum pidana manapun. Oleh karena masih banyak kekosongan yurisdiksi pada Konvensi Tokyo ini maka negara-negara peserta konvensi ini mengadakan konvensi berikutnya yaitu Konvensi den Haag pada tahun 1970. Dalam konsep yurisdiksi , negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat udara sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (1).9 Di dalam konsep tersebut yurisdiksi yang dianut adalah negara bendera seperti halya dalam hukum laut yang telah diakui oleh hukum internasional. Sebenarnya, prinsip negara bendera demikian telah diusulkan oleh Paul Fauchille pada saat konderensi hukum udara international yang pertama kali di Prancis tahun 1910, demikian pula pada 1937 telah disarankan pula oleh Fide Visscher.10 Tujuan utama konvensi Tokyo 1963 adalah melindungi pesawat udara, orang maupun barang yang diangkut untuk menjamin keselamatan penerbangan. Untuk maksud itu diadakan keseragaman yurisdiksi negara anggota, mengisi kekosongan hukum, menjamin ketertiban di dalam pesawat udara, melindungi orang yang melakukan tindakansebagaimana dimaksudkan dalam konvensi, masalah pembajakan udara.11 2. Konvensi The Hague Dalam rangkan pemberantasan tindak pidana pelanggaran maupun tindak pidana kejahatan penerbangan, khususnya pembajakan udara, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional menyelenggarakan sidang umum di Buenos Aires pada September 1968 serta menyerukan agar negara anggota organisasi 9

Pasal 3 Ayat (1), The State of registration of the aircraft is competent to excercise jurisdiction over offences and acts committed on board aircraft 10 Matte N.M.Ed., Annals of Air and Space Law. Vol XVIII-1993 Part. I (Toronto:The Carswell Company Limited , 1993), Hal 187-191 ,Sebagaimana dikutip dalam H K Martono,Op cit , hlm 131 11 H.K Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta:RajaGrafindo,2012 hlm 49-50

7

penerbangan tersebut segera meratifikasi Konvensi Tokyo 1963, 12Konvensi ini diadakan karena timbulnya kelemahan pada Konvensi Tokyo terlebih lagi perkembangan tindak pidana seperti melebarnya dimensi perbuatan pembajakan terhadap pesawat udara yang dulunya sangat terbatas menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu dan membahayakan penerbangan sipil pada lingkungan Internasional yang berhubungan dengan keamanan masyarakat Internasional dengan ideologi dan politik yang berbeda-beda. Konvensi The Hague 1970 berlaku bila pelanggaran tersebut berlngsung selama penerbangan ( in flight) . Menurut Pasal 3 ayat (1) Konvensi The Hague 1970 yang dimaksudkan dengan “ dalam penerbangan ( in flight) adalah pada saat semua pintu luar dibuka kembali diikuti dengan debarkasi penumpang pesawat udara. Konvensi ini juga terkenal dengan nama konvensi mengenai hijacking pesawat udara (unlawful seizure of aircraft) atau dalam bahasa Indonesia pembajakan pesawat udara. Pada Pasal 1 Konvensi The Hague memberikan batasan mengenai pembajakan pesawat udara, yaitu apabila orang tersebut telah melakukan tindakan pidana dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan sebagai berikut: Ayat a : unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to perform any such act ,or Ayat b : is an accomplice of a person who performs or attempts to perform any such act. Terlihat jelas bahwa Konvensi The Hague hanya mengkhususkan tindak pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum dengan jalan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sedangkan pada bidang yurisdiksinya pada Konvensi The Hague menghendaki negara-negara anggota memiliki yurisdiksi bilamana : a.

Kejahatan dilakukan didalam pesawat udara yang didaftarkan di negara yang bersangkutan. b. Pesawat udara terhadap dari mana dilakukan pembajakan, mendarat diwilayahnya dengan pembajak berada didalam pesawat tersebut. c. Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang disewakan (tanpa awak) kepada seseorang yang mempunyai domisili di negara tersebut. Yuridiksi pada konvensi ini menetapkan yurisdiksi pertama ditentukan oleh negara dimana pesawat udara mendarat dan adanya pembajak didalam pesawat udara. `Konvensi The Hague 1970 di samping mengancam tindakan pembajakan, pemberian bantuan, atau ikut serta dalam pembajakan, juga 12

H.K Martono,Op cit hlm 174

8

mengancam hukuman terhadap percobaan pembajakan udara . Hal ini diatur dalam Pasal 1 paragraf (a) Konvensi The Hague 1970.13 Menurut pasal tersebut setiap orang yang ada di dalam pesawat udara dalam penerbangan yang secara melawan hukum dengan kekerasan atau ancaman atau dalam bnetuk intimidasi, menguasai pesawat secara melawan hukum, mengambil alih kendali pesawat udara atau mencoba melakukan perbuatan tersebut termasuk pelanggaran yang diancam hukuman. Hal ini pernah terjadi terhadap pembajakan pesawat udara Trans World Airlines (TWA) bulan Juni 1970. Pembajak minta tebusan US $ 100,000, namun sebelum pembajak berhasil ditangkap oleh FBI Amerika Serikat, kemudian diturunkan di bandar udara internasional dulles Washington DC. 14 Pada kenyataanya pembajakan di udara sulit untuk diatasi karena sangat rentan, tindakan kriminal yang terjadi juga sulit untuk diprediksi dan bermacammacam, inti dari undang- undang kejahatan yang dapat di jatuhkan oleh IFALP (International Federation of Air Line Pilots Associations) adalah : a. Perlawanan yang terjadi antara kru dan pembajak dapat menyebabkan

kerusakan bagi pesawat b. Kerusakan parah dapat terjadi jika senjata digunakan di kokpit c. Hantaman dapat menyebabkan pesawat tidak mampu untuk mengamati aturan

lalu lintas d. Kekurangan bahan bakar dapat terjadi e. Kru dapat tidak mengenali bandara tertentu dan prosedur yang ada15

3. Konvensi Montreal Konvensi Montreal pada tahun 1971 sengaja ditujukan untuk menakuti mereka yang ingin melakukan tindakan kekerasan didalam pesawat pada umumnya dan juga tindakan sabotase dimana pada Konvensi Den Haag tidak mengatur secara jelas karena lebih memfokuskan pada pembajakan pada pesawat udara. Konvensi ini juga dimaksudkan sebagai suplemen pada pengaturan terhadap pembajakan pada Konvensi Den Haag tersebut. Latar belakang terbentuknya konvensi antara lain disebabkan dua peristiwa sabotase terhadap pesawat sipil SwissAir dan peledakan ruang kargo pesawat Austrian Airlines. Disamping itu kemajuan dan keberhasilan cara-cara pemberantasan pembajakan udara juga memberikan implikasi diadakannya konvensi ini. Pada Pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal mengatur tidak pidana sebagai berikut :

13

Pasal 1 paragraph (a) Konvensi The Hague 1970 Ivan A.E., Air Hijacking : It’s Cause and Cure.Vol. 63 American journal & International Law ((AJIL) 700 (1969) Sebagaimana dikutip dalam H K Martono Op cit, hlm 180 15 IH Ph. Diederiks-Verschoor, An Introduction to Air Law, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer.Antwerp, , hlm 169-170 14

9

a. Dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang didalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan dan tindakannya itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. b. Dengan sengaja dan secara melawan hukum merusakkan pesawat udara dalam dinas (in service) atau menyebabkan pesawat udara tersebut tidak mampu untuk melakukan penerbangan dengan sempurna sehingga membahayakan keselamatannya dalam penerbangannya. c. Menempatkan atau memungkinkan penempatan suatu bahan peledak atau suatu zat dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara bagaimanapun, sehingga dapat memusnahkan atau menyebabkan peswat udara tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangan. d. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan atau turut campur secara melawan hukum dalam pengoperasiannya, sehingga dapat membahayakn keselamatan pesawat udara dalam penerbangan. e. Memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan pesawat udara dalam penerbangan. Konvensi ini mengikuti pola yang ada dalam konvensi terdahulu bahkan dalam aspek yurisdiksi hukum telah dimasukkan sangsi-sangsi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya dan kemungkinan untuk ekstradisi pelakunya (penyerahan) ke negara dimana tindakan tersebut mulamula dilakukan. Pada konvensi ini juga berisi tindakan pembajakan dan terorisme udara sehingga konvensi ini dapat dikatakan sempurna karena memuat kedua tindakan tersebut. 4. Resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB Dalam rangka mengatasi bentuk terorisme udara ini, PBB selaku badan dunia ikut bertanggung jawab atas masalah ini, terlebih lagi terorisme udara telah dianggap menjadi kejahatan Internasional. Beberapa diantaranya Resolusi Majelis Umum (MU) dan Dewan Keamanan (DK) PBB : a. General Assembly Resolution on Forcible Diversion of Civil Aircraft in Flight (Resolution 2551 XXIV), 12 Desember 1969 yang isinya antara lain mengajak negara-negara bekerjasama dalam mengatasi pembajakan dan meratifikasi Konvensi Tokyo 1963. b. Resolusi 286-1970 Dewan Keamanan PBB tanggal 9 September 1970 yang isinya mengenai pembajakan pesawat udara dan bentuk kejahatan lainnya serta pencegahan terhadap pembajakan. c. Resolusi Majelis Umum PBB 2645 (XXV), 30 November 1970, berisi : “…condemns, without exeption whatsoever, all acts of aerial hijacking,…call

10

upon States to take all appropriate measures to deter, prevent or suppress such acts within their jurisdiction.” d. Pernyataan berbentuk konsensus dan diterima secara aklamasi oleh sidang Dewan Keamanan PBB 20 Juni 1972 menyatakan : “…grave concern of the Security Council at the threat to the lives of passengers and crews arising from aerial hijacking,… condemn(ed) and consider(ed) it necessary to put an end to acts of hijacking; and once again(ed) upon States to take all appropriate measures within their jurisdiction to deter and prevent hijackings.” 5. Hukum Nasional Indonesia Indonesia meratifikasi ketiga konvensi tersebut menjadi Undang-Undang (UU) No.2 tahun 1976, yang menjadikan Indonesia secara langsung terikat oleh ketentuan-ketentuan pada ketiga konvensi tersebut. Dengan kata lain Indonesia berhak melaksanakan hal yurisdikasi bila hukum nasional belum mengaturnya. Sedangkan untuk hukum pidana, sebelum tahun 1976 tidak berlaku tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Lalu Indonesia memperluas berlakunya hukum pidana Indonesia sehingga berlaku terhadap pesawat udara yang berada diluar wilayah Indonesia dalam bentuk UU No. 4 tahun 1976 yakni Undang-undang tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Beberapa Pasal dalam KUHP ini ada pada Pasal 479 KUHP. Sangat jelas terlihat pada Pasal 479 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) mengambil ketentuan pada Konvensi Montreal bahkan dapat diambil bandingannya. Pasal 479 yang dimaksud adalah : a. Pasal 479a s/d 479d mengatur tindak pidana yang dilakukan pada fasilitas penerbangan, sedangkan pada Konvensi tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (d). b. Pasal 479e s/d 479h mengatur tindak pidana menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dipakainya pesawat udara, baik sengaja atau kealpaan, menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran, dan sebagainya terhadap pesawat udara dengan maksud mencari keuntungan untuk dirinya sendiri atas kerugian penanggungan asuransi. Dapat dibandingkan dengan jelas Pasal 1 ayat 1 (b) Konvensi Montreal. c. Pasal 479l mengenai tindak pidana sengaja melakukan kekerasan terhadap seseorang dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan. Tercantum pula pada Pasal 1 ayat 1 (a) Konvensi Montreal.

11

d. Pasal 479n mengatur penempatan alat atau bahan peledak yang dapat menghancurkan pesawat udara dalam dinas. Hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (c) Konvensi. e. Pasal 479p yang berisi memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan yang juga sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 (e) Konvensi.

B. Kejahatan yang terjadi di Udara 1.

Pembajakan Udara ( Aircraft Hijaking )16

Pembajakan udara adalah sebuah gejala yang terjadi di bidang transportasi udara yang lahir sejak 1931 saat revolusioner Peru membajak pesawat udara Peruan Airlines untuk melarikan diri ke luar negeri. Pembajakan Udara (Aircraft Hijacking) tersebut merupakan salah satu bentuk tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan penerbangan yang paling tidak disenangi oleh para pejabat yang bertanggung jawab di bidang keamanan dan keselamatan penerbangan,17 para awak pesawat udara maupun penumpangnya, para organisasi internasional yang bergerak di bidang transportasi udara, karena pembajakan udara merupakan kejahatan penerbangan yang akan mengancam jiwa penumpang18 maupun merusak harta benda19mereka. Setiap orang yang ada di dalam pesawat udara dalam penerbangan secara melawan hukum dengan kekerasan atau ancaman atau dalam bentuk intimidasi, menguasai pesawat udara secara melawan hukum, mengambil alih kendali pesawat udara atau mencoba melakukan perbuatan tersebut, termasuk pelanggaran yang diancam berdasarkan Konvensi Den Hag 1970. 20 Dalam hal serangan yang dilakukan di atas udara yang menyebabkan pesawat tersebut sebagai senjata penghancur untuk menabrak sasaran tertentu dilakukan oleh pelaku bukan negara, maka pesawat tersebut tetap sebagai pesawat sipil , dan tidak mengubah setatus pesawat tersebut meskipun telah diambil oleh pembajak atau teroris. 21 Namun , Alasan pembenar dapat dilakukan oleh suatu negara unuk menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil yang telah diambil oleh 16

Aggarawala N., “Political Aspect of Hijacking”. Vol 585 International Conciliation 7-27 (1971) Sebagaimana dikutip dalam HK Martono Op cit hlm 161 17 Rein, B. ,”A Government Perspective” . Vol. 37 Journal of Air Law and Commerce 183 (1971) Sebagaimana dikutip dalam HK Martono Ibid, hlm 215 18 Horvitz, J.F, “Arab Terrorist and International Aviation Deterence the Political Act. Vo. Chitty’s” Law Journal 145 (1976) Sebagaimana dikutip dalam H K Martono Op cit, Hlm 216 19 Samuel,A., “The Legal Problems : An Introduction” Vol 37 Journal of Air Law and Commerce 163 (1971) Sebagaimana dikutip dalam H K Martono Op cit, hlm 216 20 Evan,A.E., “Air Hijacking : Its Cause and Cure”, Vol 63 American Journal & International Law 701 (1969) Sebagaimana dikutip dalam HK Martono Ibid, hlm 180 21 Elizabeth A. Martin, Oxford Dictionary Law, Oxford University, New York, hlm 264

12

teroris atau pembajak untuk melakukan suatu ancaman seperti menghancurkan tempat tertentu dengan menggunakan pasal 28 Konvensi Chicago 1944. 22 Konvensi Tokyo 1963 yang bertujuan mencegah terjadinya pembajakan udara yang saat ini mulai marak terjadi, menurut pasal 11 Konvensi Tokyo setiap tindakan melawan hukum yang menggnggu dalam pesawat udara, penguasaan atau pengambil alihan pesawat udara dengan paksaan disebut pembajakan udara. Pada umumnya pembajkan udara pembajakan udara dilakukan dengan kekerasan misalnya seseorang memukul kapten penerbang dan kemudian mengambil alih atau kadang- kadang mengancam penumpang dengan senjata. Persyaratan pembajakan udara adalah tindakan tersebut oleh orang dalam pesawat udara, dalam arti orang secara alamiah. Berdasarkan pengertian tersebut pembajakan dapat dilakukan oleh penumpang resmi, penumpang gelap maupun awak pesawat udara yang sedang dalam penerbangan ( in flight ). Yang dimaksud dengan in flight menurut Konvensi Tokyo 1963 adalah pada saat pesawat udara dengan tenaga penuh siap untuk tinggal landas sampi saat pesawat udara melakukan pendaratan di ujung landasan pacu.23 Menyadari rawanya pembajakan udara yang akan mengancam keselamatan pesawat udara, jiwa maupun harta benda yang diangkut dalam penerbangan internasional, maka para perancang Konvensi Tokyo 1963 berusaha memberantas pembajakan tersebut, namun tidak berhasil. Hal ini tampak jelas kegagalan konvensi Tokyo untuk menyepakati kewajiban ekstradisi24 atau mengeksekusi pembajak. a. Hukuman Terhadap Pelaku Terorisme Udara Diakui beberapa negara tidak memiliki hukum yang cukup untuk tindak pidana ini sehingga hanya bisa menggunakan hukum pidana negaranya sendiri yang isinya terbatas seperti tindakan perampasan, ancaman kekerasan, dan sebagainya. Hal ini memang menjadi kejadian yang sulit bila dilakukan diatas laut bebas dimana negara yag bersangkutan tidak memiliki dasar hukum angkasa yang kuat. Pada Konvensi Den Haag dan Montreal memberikan batasan apa yang disebut pembajak dan tindak pidana udara. Konvensi tersebut hanya mengatur untuk pesawat komersial dan untuk penerbangan domestic. Oleh karena itu pada tiap-tiap negara harus dibuat hukum nasionalnya masing-masing agar masalah diluar pesawat komersial dan jalur domestik terpecahkan. b. Yurisdikasi dan Ekstradisi

22

Jiefang Huang, Aviation Safety Through The Rule od Law : ICAO’s Mechanisems and Practices, Kluwer Law and Business, Netherland , hlm 94 23 H.K Martono,Ahmad Sudiro,Hukum udara nasional dan internasional Publik, Jakarta : Raja Grafindo , 2012 hlm 156 24 Pasal 16 (2) Konvensi Tokyo 1963

13

Penentuan masalah yurisdiksi saat ini merupakan hal yang sulit. Apalagi bagi beberapa negara yang tidak memiliki instrumen hukum yang mengaturnya serta tidak menjadi anggota Konvensi dan anggota badan penerbangan dunia. Umumnya peristiwa terjadi diluar wilayah negara dimana pesawat itu akan mendarat dan juga kepintaran para pelaku memanfaatkan kelemahan hukum dan prinsip hukum angkasa negara tertentu. Sepanjang menyangkut yurisdiksi, dalam sidang Munich tahun 1959, telah dibahas yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara, yurisdiksi negara pendaratan dan yurisdiksi teritorial. Dalam konsep tersebut diusulkan negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat udara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 atay (1). Dalam konsep tersebut yurisdiksi yang dianut oleh negara bendera seperti halnya dalam hukum laut yang telah diakui oleh hukum internasional. Prinsip-prinsip yang didasarkan pada Hukum Angkasa dan Hukum Internasional adalah prisnsip kebangsaan korban, prinsip kebangsaan pelaku pembajak dan teroris, prinsip efektif dan prinsip dimana pesawat mendarat. Pelaku kejahatan ini merupakan tindak pidana yang sangat berat dan besar harapan dari masyarakat Internasional untuk mendapatkan keadilan lewat ukum dan konvensi yang berlaku terlebih lagi menurut pandangan mereka, kejahatan sepeti ini dikatakan sebagai international crime. Ekstradisi kepada para pelaku sering tidak dimungkinkan karena ada kalanya antara kedua atau beberapa negara tidak memiliki perjanjian mengenai ekstradisi tersebut. Masalah ini terpecahkan pada Konvensi den Haag dengan mengklasifikasikan sebagai extraditible offence sehingga bila tidak ada perjanjian maka keputusan konvensi ini menjadi dasar yang sah untuk menyerahkan para pelaku kepada negara-negara yang meminta penyerahannya untuk diadili. Melihat hal-hal diatas maka bagi para pelaku tidak ada tempat untuk bersembunyi dan cuci tangan atas perbuatannya. Sayangnya hal ini dinodai oleh aspek-aspek politis yang jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya terhadap instrumen hukum angkasa manapun dari beberapa negara di dunia. Apapun alasannya tindakan terorisme udara demi mengatasnamakan agama, perjuangan kemerdekaan, ideologi ataupun murni demi kepentingan pribadi adalah kejahatan yang tidak terampuni. Adalah sangat tidak adil bila penumpang yang tidak tahu apa-apa dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Oleh karena itu Badan Internasional dan Nasional maupun badan penerbanga sipil telah memuat perangkat hukum serta sarana atau prasarana untuk melawan tindakan kejahatan pengecut ini. Tapi hendaknya pula badan ini juga selalu meng-upgrade perangkat hukum karena masih banyak celah yang selalu diambil pihak pelaku kriminal. Kerjasama Internasional perlu segera diambil karena kejahatan ini tetap dianggap sebagai kejahatan yang meresahkan dunia. Karena bisa jadi walaupun terorisme udara dilakukan di negara tertentu atau maskapai negara tertentu,

14

sedangkan para penumpangnya adalah dari negara-negara lain. Kerjasama Internasional dapat meliputi kerjasama dalam fasilitas pengamanan bandara, penyelidikan terhadap kemungkinan terjadinya terorisme udara, pelatihan awak udara terhadap bahaya terorisme dan juga meliputi ekstradisi terhadap si pelaku agar tidak ada tempat bagi pelaku terorisme udara untuk bersembunyi. C. Peran Organisasi Penerbangan Sipil Mamberantas Kejahatan di atas Udara

Internasional

dalam

Pada awalnya ICAO terbentuk berdasarkan konvensi Paris pada tanggal 13 Oktober 1919. Setelah itu perjanjian Iberia Amerika dan kemudian digantikan dengan konvensi Chicago tahun 1944. ICAO sebagai organisasi yang menangani masalah penerbangan sipil mempunyai perhatian dalam menangani berbagai macam kejahatan diatas udara seperti terorisme, kasus peledakan pesawat yang telah menimbulkan banyak sekali korban, untuk itu ICAO sebgai wadah bagi organisasi penerbangan sipil internasional berusaha untuk mengatasi persoalan yang terjadi . Tindak kejahatan yang marak terjadi terhadap pesawat udara terutama pesawat sipil yang mengangkut banyak penumpang sipil biasa di sebut sebagai pembajakan udara , yang gejalanya saat itu sudah terjadi pada tahun 1960. Yang semula perbuatan tersebut bermotif politik misalnya untuk meminta suaka politik di negara yang dituju atau memaksa suatu negara untuk melepaskan kawan seperjuanganya dari tahanan atau hukuman oleh negara.25 Tujuan ICAO adalah untuk mengembangkan asas- asas dan teknik penerbangan internasional dan menunjuk perencanaan dan pengembangan transportasi udara, dengan cara antara lain : a. Menjalin keselamatan dan ketertiban pertumbuhan penerbangan sipil internasional di seluruh dunia; b. Memenuhi kebutuhan rakyat dunia akan penerbangan yang aman, teratur, efisien dan ekonomis; c. Menambah keselamatan dalam penerbangan internasional ( Pasal 44 konvensi Chicago tahun 1944 ). Selain beberapa Konvensi dan Resolusi ternyata juga terdapat beberapa instrumen hukum yang cukup diakui keberadaanya terutama yang berasal dari ICAO. Dalam Penyelenggaraanya kemampuan yang berasal dari organisasi internasional melalui implementasi dari standar yang ditetapkan dalam ICAO.Negara yang berkontrak memiliki kemampuan untuk melakukan untuk menentukan kekuatan yang dipertimbangkan sebagai prediksi.26 Meskipun 25

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni,1981 hlm 4 M Milde „International Air Law and ICAO‟ in M Benkö (ed) Essential Air and Space Law (Eleven International Publishing Utrecht 2008) vol 4, 159. Sebagaimana dikutip dari Mildred T, Criminalisation of air accidents and the creation of a Just Culture, hlm 5 26

15

program ICAO dapat dikatakan sebagai standar keamanan di udara, hal ini juga sangat membutuhkan partisipasi dan kesadaran bagi negara anggota karena ketika konvensi chicago disahkan jumlah negara anggotanya terus meningkat dan dewan telah meluas beberapa kali hingga 36 anggota.27 Beberapa instrumen hukum yang dikenal saat ini adalah : a. Mukadimah Konvensi Chicago 1944 yang mejamin adanya kebebasan ruang udara (freedom of the air) dan kutipan yang menyatakan : “…that International civil aviation should be develop in a safe and orderly manner.” Memang tampaknya cukup luas pengertian “safe” ini, tetapi hal ini juga dimaksudkan sebagai keamanan terhadap gangguan teror dan kejahatan. b. Perjanjian multilateral yaitu “Convention for the Prevention and Punishment of Terorism” di Genewa, Swiss pada tanggal 16 November 1937. Dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak peserta konvensi telah memandang secara jauh pada tahun 1937 mengenai masalah ini. c. Di bawah naungan ICAO terbentuk pada tahun 1973 yaitu Convention on the Pervention and Punishment of Crimes Againts Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, lalu pada tahun 1977 diadakan The European Convention on The Suppression of Terrorism. d. Beberapa deklarasi juga dibuat terutama untuk kerjasama internasional seperti The Bonn Declaration 1978.

27

J Huang „Aviation Safety, ICAO and Obligations Erga Omnes‟ (2009) 8 Chinese Journal of International Law 63, 69 Sebagaimana dikutip dalam Mildred T, Criminalisation of air accidents and the creation of a Just Culture, hlm 6

16

BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Kejahatan yang terjadi di udara merupakan suatu tindak terorisme karena sangat menyangkut nyawa bagi penumpang pesawat terbang. Permasalahan mengenai terorisme ini merupakan suatu masalah aspek keamanan dalam penerbangan. walaupun sistem keamanan dan pemeriksaan oleh petugas yang telah diberlakukan sudah sangat ketat baik sebelum keberangkatan maupun di atas pesawat, namun mengingat begitu canggihnya peralatan yang digunakan oleh para pelaku kejahatan untuk mengelabuhi petugas keamanan. Konvensi dan pengaturan yang sejak lama sudah menjadi dasar dalam menangani tindak kejahatan yang terjadi masih belum cukup karena perkembangan zaman yang menuntut agar pengaturan mengenai kejahatan yang terjadi di udara harus lebih di ditingkatkan. Pada kasus yang terjadi seperti tindak terorisme maupun kejahatan lainya sangat rentan terjadi di pesawat terbang. Kejahatan yang terjadi pada pesawat udara dapat berupa tindakan kekerasan di dalam pesawat udara seperti intimidasi, pencurian dll , pembajakan pesawat udara atau pengambil alihan secara pakasa, ataupun memasukan barangbarang berbahaya ke dalam pesawat udara dengan tujuan membahayakan penerbangan ataupun mengancam penumpang. Oleh karena itu baik negara ataupun organisasi internasional membentuk hukum- hukum yang memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku terorisme yang mengancam keselamatan, serta dengan meningkatkan kerjasama yang lebih erat bagi tiap- tiap negara dalam menangani tindak kejahatan terorisme. B. Saran Setiap kejahatan yang terjadi di atas pesawat terbang disebabkan oleh masih lemahnya pengawasan oleh pihak keamanan , untuk itu diharapkan pengawasan yang dilakukan oleh badan- badan pemeriksa dan keamanan harus lebih ketet. Selain itu kerjasama yang baik antara tiap- tiap negara untuk memberantas kejahatan di atas udara sangatlah dibutuhkan sehingga tidak ada lagi ruang gerak bagi para pelaku kejahatan karena hubungan negara- negara yang baik untuk menangani kejahatan tersebut, ekstradisi dapat dilakukan bagi tiap pelaku yang melakukan kejahatan dan melarikan diri ke negara lain, sehingga diharapkan akan berkurangnya angka kejahatan yang terjadi di atas pesawat terbang.

Related Documents

Hukum Udara
January 2021 1
Hukum Hukum Stratigrafi
February 2021 2
Sistem Pengkondisian Udara
February 2021 0
Sistem Pengkondisian Udara
February 2021 0
Makalah Pengkondisian Udara
February 2021 1

More Documents from "Murti Prananingrat"

Hukum Udara
January 2021 1