Hukum Yurisdiksi Internasional

  • Uploaded by: Dwi Rahayu
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Yurisdiksi Internasional as PDF for free.

More details

  • Words: 4,641
  • Pages: 20
Loading documents preview...
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... II BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................ 1 B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................................................... 3 C. TUJUAN ................................................................................................................................. 3 BAB II KONSEP YURISDIKSI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL ............................................................................................. 4 A. YURISDIKSI HUKUM INTERNASIONAL ........................................................................ 4 B. BEBERAPA ASAS PENENTUAN HUKUM YANG BERLAKU..................................... 8 1.

Prinsip Yurisdiksi Teritorial ................................................................... 9

2.

Prinsip Teritorial Subjektif ................................................................... 10

3.

Prinsip Teritorial Objektif .................................................................... 10

4.

Prinsip Nasionalitas Aktif ..................................................................... 11

5.

Prinsip Nasionalitas Pasif .................................................................... 11

6.

Prinsip Universal .................................................................................. 11

7.

Prinsip Perlindungan............................................................................ 14

C. TEORI-TEORI BERDASARKAN KARAKTERISTIK KHUSUS CYBER ROOM ........... 14 1.

The theory of the uploader and the downloader ................................... 14

2.

The theory of the Law of the Server ...................................................... 15

3.

The theory of International Space ........................................................ 15

D. INSTRUMEN INTERNATIONAL DI BIDANG CYBERCRIME (UNI EROPA) ........ 16 BAB III PENUTUP ........................................................................................... 18 A. KESIMPULAN ..................................................................................................................... 18 B. SARAN ................................................................................................................................. 19 REFERENSI (DAFTAR PUSTAKA) .............................................................. 20

ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi informasi saat ini sudah bersifat global, terutama dengan digunakannya internet. Globalisasi yang timbul sudah menyatu dengan berbagai aspek kehidupan, baik di bidang sosial, iptek, kebudayaan, ekonomi dan nilai – nilai budaya lain. Kemajuan teknologi informasi khususnya media internet, dirasakan banyak memberikan manfaat seperti dari segi keamanan, kenyamanan dan kecepatan. Contoh sederhana, dengan dipergunakan internet sebagai sarana pendukung dalam pemesanan/reservasi tiket (pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik, telah membuat konsumen semakin nyaman dan aman dalam menjalankan aktivitasnya. Kecepatan melakukan transaksi perbankan melalui e-banking, memanfaatkan e-commerce untuk mempermudah melakukan pembelian dan penjualan suatu barang serta menggunakan e-library dan e-learning untuk mencari referensi atau informasi ilmu pengetahuan yang dilakukan secara online karena dijembatani oleh teknologi internet baik melalui komputer atau pun handphone. Pemanfaatan teknologi internet juga tidak dapat dipungkiri membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada. Internet membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman, pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan hingga tindak pidana terorisme kini melalui media internet beberapa jenis tindak pidana tersebut dapat dilakukan secara online oleh individu maupun kelompok dengan resiko tertangkap yang sangat kecil dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun negara. Berbagai jenis kejahatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai alat, termasuk dengan menggunakan kemajuan di bidang teknologi informasi, baik melalui internet maupun pesawat selular (handphone). Internet merupakan suatu dunia maya, dengan kata lain dunia tanpa batas (borderless). Melalui internet dapat menjelajah berbagai situs yang ada, melewati batas suatu negara. Apabila kita berbicara tentang batas suatu negara, hal tersebut langsung 2

berhubungan dengan yurisdiksi negara tersebut, yaitu mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan hukum diwilayahnya. Oleh karena itu dalam penyelesaian kasus kejahatan cyber, ada berbagai kendala yang sering kali ditemui oleh penegak hukum suatu negara untuk menindak pelaku kejahatan yang berada di wilayah yurisdiksi negara lain. Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan ketentuanketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara dalam hukum internasional. Yurisdiksi Negara dalam hukum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan- ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kosep Hukum Yurisdiksi Internasional? 2. Bagaimana prinsip atau asas yang berlaku pada penentuan Hukum Yurisdiksi Internasional? 3. Teori apa saja yang berdasar pada karakteristik khusus cyberroom? 4. Bagaimana Instrumen Internasional di Bidang Cybercrime Uni Eropa? C. Tujuan 1. Menjelaskan tentang konsep Hukum Yurisdiksi Internasional 2. Menjelaskan tentang prinsip atau asas yang berlaku pada penentuan Hukum Yurisdiksi Internasional 3. Menjelaskan tentang teori-teori yang berdasar pada karakteristik khusus cyberroom 4. Menjelaskan tentang instrumen Internasional di Bidang Cybercrime Uni Eropa

3

BAB II KONSEP YURISDIKSI DALAM HUKUM A. Yurisdiksi Hukum Pidana Internasional Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi1, persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)2, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum „par in parem non habet imperium”. Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium”3 ini memiliki beberapa pengertian: Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.4 Kata “yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”.“Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti: a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum. b. Hak menurut hukum. c. Kekuasaan menurut hukum. d. Kewenanagan menurut hukum. Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan 1

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007), hal.56. 2 Ibid, hal.57 3 Huala Adolf, Op Cit, hal.183 4 Ibid, hal.184

4

singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Di dalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”. Yang paling penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan. Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law”mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi Negara dengan menyatakan sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri”5. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah: a. Hak, kekuasaan, dan kewenangan. b. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). c. Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda). d. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern). e. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu6: 1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan; 2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum. Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum)7. Yurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut. 5

Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, (The Hague, 1971), hal.45. 6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.1278 7 Huala Adolf, Op. Cit., hal.183.

5

Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi atau tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan sebagai berikut: a. Yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdicton to prescribe) Yurisdiksi legislatif adalah wewenang negara untuk membuat hukum sesuai dengan masyarakat dan keadaan yang ada. Pada yurisdiksi ini, masalah hukum yang timbul adalah “choice of law”. b. Yurisdiksi untuk penegakan hukum (the Jurisdiction to enforce) Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan sebagai wewenang negara terhadap seseorang untuk melakukan proses pemeriksaan pengadilan, dalam masalah kriminal. Pada yurisdiksi ini, masalah yang muncul adalah “choice of forum”. c. Yurisdiksi untuk menuntut (the Jurisdicton to adjudicate) Yurisdiksi untuk melaksanakan berhubungan dengan wewenang suatu negara untuk melakukan penghukuman terhadap terdakwa sesuai hukum yang berlaku, baik melalui pengadilan atau melalui tindakan non-hukum lainnya (sanksi administratif) Baik Masaki Hamano, Henry H.Perritt tetap mengajukan tiga jenis yurisdiksi tersebut diatas untuk mendasari pemikiran dan pengembangan lebih lanjut dalam menanggulangi kejahatan cyber. Alasan yang mendasari tetap digunakannya ketiga jenis yurisdiksi tersebut, karena dari berbagai kasus kejahatan internet, apabila pelaku dapat ditangkap oleh polisi, akan diterapkan hukum negara di mana si pelaku tertangkap. Artinya, digunakan hukum dari negara di mana ia melakukan tindak pidana tersebut, atau negara tempat ia melakukan penyebarluasan situs pornografi anak.8 Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus tentang penangkapan pelaku tindak pidana pornografi anak di internet, antara lain9:  Tanggal 22 April 2002, polisi di 9 negara di Eropa dan Amerika Serikat menangkap 25 orang sebagai tersangka pelaku tindak pidana pornografi 8 9

Henry H.Perrit, Jr, Jurisdiction and the Internet : Basic Anglo/America Perspective, Yurisdiksi Di Internet / Cyberspace

6

anak. Lima dari sembilan negara tersebut, yaitu: Inggris, Swedia, Switzerland, Jerman dan Denmark, empat negara lain tidak disebutkan. Hal ini berawal dari informasi kepolisian Swiss yang menemukan seorang laki-laki dengan memakai kaos yang bertanda suatu perusahaan di Denmark, tengah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan. Informasi ini diteruskan kepada kepolisian Denmark untuk dilakukan penyelidikan lebih cermat. Penangkapan dilakukan oleh kepolisian Denmark terhadap sepasang suami istridi Ringkoebing, 250 mil sebelah barat Denmark. Polisi menemukan banyak foto anak perempuan , serta alamat dan daftar nama mereka yang juga melakukan hal yang sama dengan pasangan tersebut.Pasangan ini dituntut oleh hukum Denmark karena telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak, dan ancaman pidana selama 8 tahun, apabila memang hal itu terbukti.  Tanggal 14 November 2001, polisi di 14 negara melakukan operasi besarbesaran dalam menghadapi pornografi anak. Di Jerman, 93 peralatan disita dan 2.200 orang dalam pemeriksaan dengan tuduhan memiliki dan menyebarluaskan pornografi anak, dalam penggerebekan ditemukan pula jaringan komputer, video dan berbagai dokumentasi sebagai barang bukti. Penggerebekan untuk hal yang senada dilakukan pula di Switzerland, Austria, Netherlands, Norwegia, Perancis, Belgia, Denmark, Luxemburg, Portugal, Irlandia, dan Amerika Serikat serta Canada.  Tanggal 9 November 2001, ditangkapnya seorang laki-laki oleh Polisi di East Rand, Afrika Selatan. Ia menyimpan banyak foto, buku, video dan segala sesuatu sepanjang tentang pornografi anak, bahkan juga film pornografi anak, yang kesemuanya disita oleh polisi untuk diperiksa lebih lanjut dan sebagai barang bukti. Tersangka masih dalam pemeriksaan dan akan diajukan ke pengadilan.  Pengadilan distrik Jerman menjatuhi pidana selama 2 tahun kepada seorang dokter di Berlin ,dengan tuduhan mendistribusikan situs pornografi anak di internet, sebanyak 9.500 foto yang dilakukan antara bulan April sampai dengan Juni 1997. Dokter tersebut menyatakan bahwa hal tersebut di lakukannya murni

7

dengan tujuan sosiologi (sosiological reasons). Berbagai contoh kasus yang dikemukakan, menunjukkan bahwa dapat digunakannya 3 teori jurisdiksi tradisional, sebagaimana kita kenal selama ini. Dari kasus di atas, dapat dilihat hal-hal tertentu, sebagai berikut10:  Terhadap para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet, ditangkap dengan tuduhan yang hampir sama. Tuduhan yang dikenakan, antara lain: kekerasan seksual terhadap anak (sexually abused to children), memiliki dan penyebaran hal yang berbau pornografi anak.  Kepada mereka dikenakan ancaman pidana menurut negara tempat ia melakukan tindak pidana (locus delicti) dan waktu (tempos delicti).  Penangkapan, pemeriksaan, pengajuan dan penjatuhan pidana kepada para pelaku menggunakan hukum negara tempat ia di tangkap. Berlakunya jurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe), nampak jelas dengan ada dan berlakunya suatu undang-undang (Act) secara efektif. Negara di mana para pelaku tindak pidana ditangkap, sudah memiliki perundang-undangan di bidang Perlindungan Anak (Protection of Children Act 1978), Larangan untuk mempublikasikan hal yang bersifat porno (Obscene Publications Act 1959 and 1964), Criminal Code, Criminal Justice Act . B. Beberapa Asas Penentuan Hukum Yang Berlaku Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan Hukum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan Hukum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsur asing di dalamnya. Hukum Internasional public tidak banyak membuat aturan atau 10

Yurisdiksi Di Internet / Cyberspace

8

pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hukum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip atau asas yurisdiksi yang dikenal dalam Hukum Internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah11: 1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatankejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas – batas territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan: a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu; b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan; c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif; d. Seseorang WNA yang datang ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada Hukum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.12 Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut. Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial

11 12

Huala Adolf, Op Cit, hal.212 Ibid, hal.188.

9

tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Terhadap pejabat diplomatic negara asing b. Terhadap negara dan kepala negara asing c. Terhadap kapal public negara asing d. Terhadap organisasi internasional e. Terhadap pangkalan militer negara asing. 2. Prinsip Teritorial Subjektif Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah IndonesiaMalaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di wilayah Malaysia. 3. Prinsip Teritorial Objektif Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia. 4. Prinsip Nasionalitas Aktif Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang 10

melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya. 5. Prinsip Nasionalitas Pasif Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis. 6. Prinsip Universal Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional. Yurisdiksi universal dalam Hukum internasional bertujuan untuk memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa di bawah Hukum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia

melakukan

serious

international

crime

tanpa

bisa

dimintai

pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi. Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa

11

cirri menonjol sebagai berikut: a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya. b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal biar pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran Hukum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain. c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional crime. Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan Hukum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan Hukum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh Hukum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim

12

Supreme Court Amerika Serikat dalam Hostage Case adalah: “an international crime is such an act universally recognized as criminal, which is considered as agrave matter of international concern and for some valid reason cannot be left within the state that would have control over it under normal circumatances” Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam semua system Hukum pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak. b. Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat manusia sehingga penegakan Hukum internasionalnya harus dilakukan, dengan melalui Hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, dengan menghukum pelakunya. c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya. Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang crime)

(war

dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat

diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of United States menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran Hukum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi

universal.

Yurisdiksi

ICTR

mencakup

genocide,

kejahatan

kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.

13

7. Prinsip Perlindungan Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan

13

kejahatan

yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying, plots to overthrow the government, forging currency, immigration and economic violation. Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat berbahaya karena dapat diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum PIdananya bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi Indonesia. C. Teori-Teori berdasarkan karakteristik khusus cyber room Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka akan dikemukakan beberapa teori sebagai berikut: 1.

The theory of the uploader and the downloader

Berdasarkan teori ini, teori uploader adalah pihak yang memasukkan informasi ke dalam suatu lokasi dalam TIK, sedangkan downloader adalah pihak yang mengakses informasi. Pada umumnya, yurisdiksi mengenai perbuatan-perbuatan perdata dan tindak pidana tidak ada kesulitan. Suatu negara dapat melarang, dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang dapat bertentangan dengan kepentingan

diperkirakan

negaranya. Misalanya suatu

negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian dalam wilayah negaranya dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk

13

Ibid, hal.213

14

downloading kegiatan perjudian tersebut. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah menggunakan teori ini, baik yurisidiksi untuk uploaders maupun downloaders di luar wilayah negara-negara bagian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan yurisdiksi ini. Jaksa agung Minnesota, Hubert Humprey III telah mengeluarkan suatu memorandum yang menyatakan: “Person outside of Minnesota who transmit information via the internet knowing that information will be diseminated in Minnesota are subject to jurisdiction in Minnesota courts for violations of state criminal and civil laws.” 2.

The theory of the Law of the Server

Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah memperlakukan server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu dimana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpage yang berlokasi di server pada Standford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam yurisdiksi asing. 3.

The theory of International Space

Dalam kaitan dengan teori ini, Menthe mengusulkan agar cyberspace menjadi the fourth space dengan dasar analogi tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional yakni sovereignless quality. Dalam hukum internasional dikenal ruang dimensi keempat, yaitu ruang angakasa. Kembali pada pembicaraan mengenai yurisdiksi territorial, suatu negara dapat memperluas berlakunya yurisdiksi territorial berdasarkan subjective territorial principle dan objective territorial principle. Menurut prinsip teritorial yang subyektif, suatu negara dapat menerapkan hukum pidana nasioanalnya bila suatu tindak pidana sudah dimulai dalam wilayah negaranya tetapi menimbulkan akibat diwilayah negara lain. Sebaliknya, suatu negara dapat pula menerapkan hukum nasionalnya terhadap tindak Pidana yang menimbulkan akibat di negaranya padahal tindak pidana tersebut dimulai diwilayah negara lain. Perluasan berlakunya yurisdiksi teritorial secara obyektif seringkali disebut “the effect doctrine” yang melihat pada kenyataan bahwa telah terjadi kerugian di

15

dalam wilayah negaranya. Di dalam prakteknya berkembang prinsip extraterritorial jurisdiction, terutama dalam masalah-masalah ekonomi, misalnya Amerika Serikat seringkali menerakan ketentuan-ketentuan Antitrust and Securities Laws terhadap anak perusahaan Amerika Serikat yang berada di luar negeri sehingga menimbulkan extra-territorial effects. Masalah yang sama juga terjadi dengan diterapkannya regulations of the European Community terhadap warganegara yang berada di luar Masyarakat Eropa. Isu kontroversial sehubungan

dengan

sanksi

ekonomi

dengan

menerapkan

yurisdiksi

ekstrateritorial oleh Amerika Serikat ditandai dengan diberlakukannya Cuban Liberty and Democratic Solidarity (libertad) Act tahun 1996. D. Instrumen International di Bidang cybercrime (UNI Eropa) Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejahatan cyber yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk meiindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut : Pertama, bahwa

16

masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi. Kedua, Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal.

17

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah Hak, kekuasaan, dan kewenangan; Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif); Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda); Tidak semata- mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern); Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya). Dari beberapa kasus Yurisdiksi yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dilihat hal- hal tertentu, sebagai berikut: 1. Terhadap para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet, ditangkap dengan tuduhan yang hampir sama. Tuduhan yang dikenakan, antara lain: kekerasan seksual terhadap anak (sexually abused to children), memiliki dan penyebaran hal yang berbau pornografi anak. 2. Kepada mereka dikenakan ancaman pidana menurut negara tempat ia melakukan tindak pidana (locus delicti) dan waktu (tempos delicti). 3. Penangkapan, pemeriksaan, pengajuan dan penjatuhan pidana kepada para pelaku menggunakan hukum negara tempat ia di tangkap. Berlakunya jurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe), nampak jelas dengan ada dan berlakunya suatu undang-undang (Act) secara efektif. Negara di mana para pelaku tindak pidana ditangkap, sudah memiliki perundang-undangan di bidang Perlindungan Anak (Protection of Children Act 1978), Larangan untuk mempublikasikan hal yang bersifat porno (Obscene Publications Act 1959 and 1964), Criminal Code, Criminal Justice Act . Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Hukum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk

18

mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah: 4.

Prinsip yurisdiksi territorial

5.

Prinsip territorial subjektif

6.

Prinsip territorial objektif

7.

Prinsip nasionalitas aktif

8.

Prinsip nasionalitas pasif

9.

Prinsip universal

B. Saran Dari berbagai upaya yang dilakukan, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah: 1.

Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.

2.

Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.

3.

Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.

4.

Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.

5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.

19

REFERENSI (DAFTAR PUSTAKA) Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Jurnal Ilmu Hukum Wacana Paramarta; Ahmad M Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2004. Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Internasional, UI Press, Jakarta, 2006 http://akbarkurnia.blogspot.com/2011/06/berlakunya-yurisdiksi.html Diunduh pada November 2017-12-10 International Developments Section of Regulation of Child Pornography on the Internet, compiled by Yaman Akdeniz, http://www.cyber- rights.org/reports/child.htm. di unduh November 2017. Henry H.Perrit, Jr, Jurisdiction and the Internet : Basic Anglo/America Perspective, tersedia pada http://www.kentlaw.edu/cyberlaw/ diunduh November 2017. Kedudukan Hukum Pidana Internasional Dalam Hukum Pidana Nasional Ditinjau Dari Asas Teritorial oleh Ayib Rosidin, http://ajhieb.blogspot.com/2012/05/kedudukan-hukumpidanainternasional.html diunduh November 2017. Yurisdiksi Di Internet / Cyberspace, Http://Eprints.Undip.Ac.Id/5878/1 diunduh November 2017 http://fh.unpad.ac.id/repo/?tag=yurisdiksi-ekstrateritorial-dalam-pemanfaatanict diunduh November 2017 John W.Yeargain & Zhu Jing, Jurisdiction in Cyberspace: Whose Law Controls, tersedia pada “jurisdiction in Cyberspace”, Southeastern Lousiana University.

20

Related Documents


More Documents from "Triyadi Apri Ntn"

Bintil Akar
January 2021 1
Panduan Pcra
February 2021 1
Ppt - Turunan (xi Sem 2)
February 2021 3