Infertilitas

  • Uploaded by: Archita Wicesa Wasono
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Infertilitas as PDF for free.

More details

  • Words: 7,340
  • Pages: 40
Loading documents preview...
Laporan Kasus

Infertilitas Primer e.c. Kista Endometriosis

Oleh:

Brillia Brestilova

04054821820129

Archita Wicesa Saraswati

04054821820130

Fikram Ahmad Fauzan

04084821921158

Muhammad Fitrizal

04084821921169

Fajri Irwinsyah Manalu

04084821921170

Pembimbing: dr. R. M. Aerul Cakra Alibasyah, SpOG (K)

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019

HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus

Infertilitas Primer e.c. Kista Endometrium

Oleh:

Brillia Brestilova

04054821820129

Archita Wicesa Saraswati 04054821820130 Fikram Ahmad Fauzan

04084821921158

Muhammad Fitrizal

04084821921169

Fajri Irwinsyah Manalu

04084821921170

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 29 Juli 2019 s.d. 7 Oktober 2019

Palembang,

Agustus 2019

dr. R. M. Aerul Cakra Alibasyah, SpOG (K)

ii

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang infertilitas primer. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. R. M. Aerul Cakra Alibasyah, Sp.OG(K) selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengayaan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang,

Agustus 2019

Penulis

iii

DAFTAR ISI Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 BAB II STATUS PASIEN .................................................................................... 3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 9 3.1

Infertilitas ................................................................................................. 9

3.2

Endometriosis ......................................................................................... 21

BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................ 33 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

iv

BAB I PENDAHULUAN Infertilitas adalah suatu gangguan pada sistem reproduksi yang didefinisikan sebagai kegagalan untuk mengalami kehamilan setelah 12 bulan atau lebih berhubungan seksual teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi.1 Infertilitas merupakan permasalahan global di bidang reproduksi kesehatan yang sangat kompleks. Infertilitas dapat memberikan dampak besar bagi pasangan suami-istri yang mengalaminya, selain menyebabkan masalah medis, infertilitas juga dapat menyebabkan masalah ekonomi maupun psikologis.2 Menurut survei kesehatan global pada 2010, sekitar 10,5% wanita di seluruh dunia mengalami infertilitas sekunder, dan sekitar 2% mengalami infertilitas primer. Secara keseluruhannya diperkirakan 48,5 juta pasangan di seluruh dunia mengalami infertilitas.3 Laki-laki juga turut bertanggung jawab atas 20-30% kasus infertilitas.4 Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 menyebutkan dari total 237 juta penduduk Indonesia, terdapat kurang lebih 39,8 juta wanita usia subur, namun 10–15 persen diantaranya infertil.5 Salah satu faktor penyebab infertilitas pada wanita adalah penyakit endometriosis. Endometriosis adalah gangguan ginekologi jinak umum yang didefinisikan sebagai adanya jaringan kelenjar endometrium dan stroma di luar rahim. Pada wanita subur, prevalensinya mencapai antara 10 sampai 15 persen dan pada mereka yang mengalami nyeri panggul kronis, kejadiannya mencapai 70 persen.6 Manifestasi yang paling sering adalah nyeri haid, nyeri pelvik, nyeri senggama, gangguan berkemih dan defekasi. Nyeri abdomen dan nyeri panggul yang tidak jelas dan terjadi secara siklik atau asiklik juga dapat mengikuti penyakit ini. Diagnosis pasti endometriosis adalah dengan laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis. Berbagai kesulitan dijumpai dalam menerangkan hubungan antara etiologi, patofisiologi dan gejala/dampak klinik.7 Endometriosis paling sering ditemukan di peritoneum panggul, diikuti di ovarium dan septum rektovaginal. Permukaan ovarium yang tidak merata membantu pertumbuhan endometriosis. Endometriosis pada ovarium yang akan membentuk kista endometriosis, disebut endometrioma. Penelitian di Semarang

1

menunjukkan bahwa

kejadian kista

endometriosis

dihubungkan

dengan

peningkatan risiko infertilitas hingga 8,08 kali lipat dibandingkan perempuan yang tidak mengalami kondisi tersebut.8 Terapi untuk endometriosis tergantung pada keluhan spesifik yang dialami pasien, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriotik, tujuan pengobatan, dan keinginan untuk memilik anak. Sangat penting umtuk menentukan apakah keluhan utama yang membawa pasien untuk berobat adalah infertilitas atau rasa nerinya, karena terapi dari keduanya berbeda.9

2

BAB II STATUS PASIEN

I.

IDENTIFIKASI a. Nama

: Ny. EW

b. Umur

: 34 tahun

c. Tanggal lahir

: 5 Juni 1985

d. Alamat

: Jl. Rya Arung Dalam Koba, Bangka Belitung

e. Suku, Bangsa

: Sumatera, Indonesia

f. Agama

: Islam

g. Status/Pendidikan : Menikah/S1

II.

h. Pekerjaan

: PNS

i. No. RM /MRS

: 1117671

ANAMNESIS (Tanggal 2 Agustus 2019) Keluhan Utama Pasien mengeluh terdapat benjolan di perut bawah semakin membesar dan nyeri menstruasi.

Riwayat Perjalanan Penyakit Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien mengeluh benjolan di perut bagian bawah yang semakin lama semakin membesar. Nyeri pada perut bawah disangkal. Pasien juga mengeluh nyeri pada saat menstruasi. Nyeri dirasakan pada hari 1-3 siklus menstruasi dan hilang dengan minum obat pereda nyeri. Riwayat nyeri saat berhubungan/dispareuni (-), riwayat perdarahan post coital (-) riwayat pendarahan di luar siklus menstruasi (-), riwayat keputihan (+), gatal namun tidak berbau yang hilang timbul sejak ± 1 tahun yang lalu. Riwayat berat badan menurun (-), nafsu makan menurun (-), BAB dan BAK biasa.

3

Pasien juga mengeluh saat ini belum juga mengandung. Pasien sudah menikah selama ± 8 tahun dan tidak memakai kontrasepsi jenis apapun. Pasien mengaku rutin berhubungan intim dengan suaminya ± 3 kali dalam seminggu. Pasien dan suami juga tidak mengonsumsi alkohol dan merokok. Sejak ± 4 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri pada saat menstruasi yang dirasakan semakin berat dan mengganggu aktivitas. Saat ini pasien juga mengeluh menstruasi yang tidak teratur. Pasien kemudian berobat ke dokter spesialis kandungan dan dirujuk ke RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat darah tinggi (-) Riwayat sakit jantung (-) Riwayat asma (-) Riwayat kencing manis (-) Riwayat alergi obat (-) Riwayat keganasan (-) Riwayat pemakaian kontrasepsi (-) Riwayat operasi (-)

Status Sosial Ekonomi dan Gizi

: cukup

Status Pernikahan

: menikah 1x, lama 8 tahun

Status Reproduksi

: menarche usia 13 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lamanya 5-7 hari. HPHT pembalut

Status Persalinan

: P0A0

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Riwayat penyakit/keluhan yang sama (-) Riwayat darah tinggi (-) Riwayat kencing manis (-) 4

4-4-2019,

4-5x

ganti

Riwayat keganasan (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 2 Agustus 2019) PEMERIKSAAN FISIK UMUM Keadaan Umum

: tampak sehat

Kesadaran

: compos mentis

BB

: 54 kg

TB

: 154 cm

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 80x/menit

Respirasi

: 20x/menit

Suhu

: 36,6oC

PEMERIKSAAN KHUSUS Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),edema palpebra (-/-), pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+)

Hidung

: sekret (-), perdarahan (-)

Mulut

: Pucat (-), perdarahan di gusi (-), sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-), fisura (-), cheilitis (-)

Lidah

: Atropi papil (-)

Faring/Tonsil

: Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1T1, tonsil tidak hiperemis, detritus (-)

Kulit

: normal

Leher Inspeksi

: JVP 5-2 mmH2O, pembesaran KGB (-)

Palpasi

: Tidak teraba pembesaran KGB

Thorax Paru Inspeksi

: simetris, retraksi intercostal, subkostal, suprasternal (-) 5

Palpasi

: Stem fremitus kanan=kiri

Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung Inspeksi

: iktus cordis tidak terlihat

Palpasi

: iktus cordis tidak teraba, tidak ada thrill

Perkusi

: Jantung dalam batas normal

Auskultasi

: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

: datar, lemas, simetris, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising usus (+) normal, massa (-), nyeri tekan (-), TCB (-)

Ekstremitas

: pucat (-), edema pretibial (-), akral hangat (-)

PEMERIKSAAN GINEKOLOGI Pemeriksaan dalam (inspekulo) : portio licin, tidak livide, OUE tertutup, Fluor (+), Fluksus (-), Erosi (-), Laserasi (-), Polip (-) Vaginal touche : portio kenyal, OUE tertutup, AP kanan lemas dan AP kiri lemas, CUT sulit dinilai. Rectal touché: TSA baik, mukosa licin, ampula recti kosong, CD tidak menonjol

IV.

PEMERIKSAAN TAMBAHAN PEMERIKSAAN USG Hasil Pemeriksaan USG:

6

Kesan didapatkan: 1. Uterus RF, bentuk globular uk 8,72 x 4,35 x 5,91 cm 2. Myometrium non homogen, pada corpus posterior tampak gambaran massa hiperechoic berbatas tidak tegas ukuran 5,74x2,01x3,98 cm – adenomioma uteri 3. Pada adnexa kanan tampak gambaran massa kistik dengan echo interna (+) uk.5,45x8,78x3,83 cm – kista adneksa dextra 4. Pada adnexa kiri, tampak gambaran massa kistik dengan echo interna (+) uk. 4,2x2,7x3,5cm – kista adnexa sinistra 5. Tampak massa kistik tubuler memanjang – endometriosis tuba kanan Kesan: - Adenomyosis uteri - Kista endometriosis adnexa bilateral - Endometriosis tuba kanan PEMERIKSAAN LABORATORIUM Jenis Pemeriksaan

Konvensional

Keterangan

Hasil

Nilai normal

12,6 g/dL

11,4-15,00 g/dL

Normal

Eritrosit (RBC)

4,48 x 106/mm3

4,00-5,70x106/mm3

Normal

Leukosit (WBC)

10,32 x 103/mm3

4,73-10,89x 103/mm3

Normal

Hematokrit (Ht)

37%

35-45%

Normal

404 x 103/L

189-436 x 103/L

Normal

HEMATOLOGI Hemoglobin (Hb)

Trombosit Hitung jenis leukosit

Normal



Basofil

0%

0-1%

Normal



Eosinofil

2%

1-6%

Meningkat



Neutrofil

60%

50-70%

Normal



Limfosit

32%

20-40%

Normal



Monosit

6%

2-8%

Normal

16 U/L

0-32 U/L

Normal

KIMIA KLINIK HATI AST/SGOT

7

ALT/SGPT

10 U/L

0-31 U/L

Normal

Protein Total

6,8 g/dL

6,4-8,3 g/dL

Normal

Albumin

4,2 g/dL

3,5-5,0 g/dL

Normal

15 mg/dL

16,6-48,5 mg/dL

Normal

0,86 mg/dL

0,50-0,90 mg/dL

Normal

Natrium (Na)

143 mEq/L

135-155 mEq/L

Normal

Kalium (K)

4,4 mEq/L

3,5-5,5 mEq/L

Normal

AFP (Alfa Feto Protein)

1,61

0,89 – 8,78 ng/mL

Normal

CEA

1,30

< 5,00 ng/mL

Normal

CA 125

31,1

< 35 U/mL

Normal

GINJAL Ureum Kreatinin ELEKTROLIT

IMUNOSEROLOGI

V.

DIAGNOSIS KERJA Infertilitas primer ec kista endometriosis

VI.

PROGNOSIS Quo ad vitam

: Bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

VII. TATALAKSANA - Laparoskopi miomektomi - Inj. Taproz 3,75 mg/seri i.m.

8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Infertilitas

3.1.1 Definisi Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya. Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan pengobatan dapat dilakukan setelah 6 bulan pernikahan. Infertilitas idiopatik mengacu pada Konsensus Penanganan Infertilitas 6 pasangan infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen dengan hasil normal.10

3.1.2 Epidemiologi Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus infertilitas pada 8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan. Di Amerika sekitar 5 juta orang mengalami permasalahan infertilitas, sedangkan di Eropa angka kejadiannya mencapai 14%. Di Indonesia, angka kejadian infertilitas primer pada perempuan usia 25-49 tahun adalah sekitar 6%, dengan penyumbang tertinggi ada pada kelompok usia 25-29 tahun.11

3.1.3 Klasifikasi Jenis infertilitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu:12 a. Infertilitas primer, yaitu jika belum memiliki anak walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.

9

b. Infertilitas sekunder yaitu jika telah memiliki anak, akan tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.

3.1.4 Etiologi Secara garis besar infertilitas pada wanita disebabkan:12 a. Masalah vagina Infeksi vagina seperti vaginitis, trikomonas vaginalis yang hebat akan menyebabkan infeksi lanjut pada portio, serviks, endometrium bahkan sampai ke tuba yang dapat menyebabkan gangguan pergerakan dan penyumbatan pada tuba sebagai organ reproduksi vital untuk terjadinya konsepsi. Disfungsi seksual yang mencegah penetrasi penis, atau lingkungan vagina yang sangat asam, yang secara nyata dapat mengurangi daya hidup sperma. b. Masalah serviks Gangguan pada setiap perubahan fisiologis yang secara normal terjadi selama periode praovulatori dan ovulatori yang membuat lingkungan serviks kondusif bagi daya hidup sperma misalnya peningkatan alkalinitas dan peningkatan sekresi. c. Masalah uterus Nidasi ovum yang telah dibuahi terjadi di endometrium. Kejadian ini tidak dapat berlangsung apabila ada patologi di uterus. Patologi tersebut antara lain polip endometrium, adenomiosis, mioma uterus atau leiomioma, bekas kuretase dan abortus septik. Kelainan-kelainan tersebut dapat mengganggu implantasi, pertumbuhan, nutrisi serta oksigenisasi janin. d. Masalah Tuba Saluran telur mempunyai fungsi yang sangat vital dalam proses kehamilan. Apabila terjadi masalah dalam saluran reproduksi wanita tersebut, maka dapat menghambat pergerakan ovum ke uterus, mencegah masuknya sperma atau menghambat implantasi ovum yang telah dibuahi. Sumbatan di tuba fallopi merupakan salah satu dari banyak penyebab infertilitas. 10

Sumbatan tersebut dapat terjadi akibat infeksi, pembedahan tuba atau adhesi yang disebabkan oleh endometriosis atau inflamasi. Infertilitas yang berhubungan dengan masalah tuba ini yang paling menonjol adalah adanya peningkatan insiden penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease– PID). PID ini menyebabkan jaringan parut yang memblok kedua tuba fallopi. e. Masalah Ovarium Wanita perlu memiliki siklus ovulasi yang teratur untuk menjadi hamil, ovumnya harus normal dan tidak boleh ada hambatan dalam jalur lintasan sperma atau implantasi ovum yang telah dibuahi. Dalam hal ini masalah ovarium yang dapat mempengaruhi infertilitas yaitu kista atau tumor ovarium, penyakit ovarium polikistik, endometriosis, atau riwayat pembedahan yang mengganggu siklus ovarium. Dari perspektif psikologis, terdapat juga suatu korelasi antara hyperprolaktinemia dan tingginya tingkat stress diantara pasangan yang mempengaruhi fungsi hormone.

3.1.5 Pemeriksaan Pasangan Infertil Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Itu berarti, kalau istri saja yang diperiksa sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka pasangan itu tidak diperiksa. Adapun syarat-syarat pemeriksaan pasangan infertil adalah sebagai berikut:12 a. Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha untuk mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini apabila:  Pernah mengalami keguguran berulang  Diketahui mengidap kelainan endokrin  Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut  Pernah mengalami bedah ginekologik b. Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan pertama pasangan itu datang ke dokter.

11

c. Istri pasangan infertil yang berumur antara 36- 40 tahun hanya dilakukan pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan tersebut. d. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan istri atau anaknya.

Tatalaksana pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan faktor istri: a. Tahap pertama13,14,15  Pemeriksaan riwayat infertilitas (anamnesis) Anamnesis masih merupakan cara terbaik untuk mencari penyebab infertilitas pada wanita. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan infertilitas yang harus ditanyakan pada pasien adalah mengenai usia, riwayat kehamilan, panjang siklus haid, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat operasi, frekuensi koitus, dan waktu koitus. Perlu juga diketahui pola hidup dari pasien mengenai konsumsi alkohol, merokok, dan stress.  Pemeriksaan fisik Disini perlu diperiksa Indeks Massa Tubuh (IMT), pemeriksaan kelenjar tiroid, hirsutisme, akne, sebagai pertanda hiperandrogenisme. Adanya galaktorea merupakan pertanda dari hiperprolaktinemia. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan pelvik untuk mengetahui apakah ada kelainan di vagina, serviks, dan uterus.  Penilaian ovulasi Cara sederhana untuk mengetahui ovulasi adalah dengan mengukur suhu badan basal (SBB). SBB juga dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan hari ovulasi. Cara lain yang dapat digunakan untuk penilaian ovulasi adalah dengan pemeriksaan USG transvaginal dan pemeriksaan hormon progesteron darah. Pada pemeriksaan USG transvaginal dapat dilihat pertumbuhan folikel. Bila diameter mencapai 18-25 mm, berarti menunjukkan folikel matur dan akan terjadi ovulasi.

12

 Uji pasca senggama (UPS) Merupakan cara pemeriksaan yang sederhana tapi dapat memberi informasi tentang interaksi antara sperma dengan getah serviks. UPS dilakukan 2-3 hari sebelum perkiraan ovulasi dimana “ spin barkeit” dari getah serviks mencapai 5 cm atau lebih. Pengambilan getah serviksdari kanalis endo-serviks dilakukan setelah 2-12 jam senggama. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop. UPS dikatakan (+) bila ditemukan paling sedikit 5 sperma per lapang pandang besar (LPB). UPS dapat memberikan gambaran tentang kualitas sperma, fungsi getah serviks,dan keramahan getah serviks terhadap sperma. b. Tahap kedua (Fase II)14 Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan HSG untuk mencari patensi tuba. Uji ini dilakukan pada paruh pertama siklus haid, dimana sebelum tindakan dilakukan, pasien dianjurkan tidak senggama paling sedikit dua hari sebelumnya. HSG dilakukan oleh ahli radiologi dengan menyuntikkan larutan radioopaque melalui kanalis servikalis ke uterus dan tuba fallopi. c. Tahap ketiga (Fase III)13,14 Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk menilai fungsi tuba fallopi. Kedua tuba dapat dilihat secara langsung dan potensinya dapat diuji dengan menyuntikkan larutan metilen blue atau indigokarmir dan dengan melihat pelimpahannya ke dalam rongga peritoneum. Dengan laparoskopi dapat sekaligus melihat kelainan yang mungkin terdapat dalam rongga peritoneal, seperti endometritis, perlengketan pelviks, dan patologi ovarium. Tatalaksana pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan faktor suami:16 a. Anamnesis Hal yang perlu diperhatikan pada pria adalah:  Merokok Kondisi merokok seringkali terkait dengan penurunan kemampuan renang sel spermatozoa. 13

 Riwayat infeksi kelenjar parotis Kondisi ini sering terkait dengan kejadian orchitis yang dapat menyebabkan infertilitas.  Kesulitan ereksi Kondisi ini terkait dengan stres psikis atau kelainan metabolik kronik seperti diabetes melitus atau hipertensi. b. Pemeriksaan fisik  Payudara Payudara pria harus normal, jika terlihat membesar atau ginekomastia, mungkin ada peningkatan kadar hormon estrogen pada pria.  Penis Perlu diperhatikan letak uretra yang dapat terkait dengan abnormalitas seperti hipospadia.  Skrotum Skrotum harus diraba untuk menilai kemungkinan skrotum terisi banyak cairan, terdapat hernia skrotalis atau terdapat varikokel. Jumlah testis, volume testis dan turunnya testis ke dalam skrotum juga perlu diperhatikan. c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan dasar yang wajib dikerjakan pada pasangan suami istri dengan masalah infertilitas adalah pemeriksaan analisis sperma. Sebelum dilakukan analisis sperma, dilakukan tahap pra analisis yang dapat mempengaruhi hasil analisis sperma, yaitu sebagai berikut:17  Sediaan diambil setelah abstinensia sedikitnya 48 jam dan tidak lebih dari 7 hari  Oleh karena variasi yang besar dalam produksi semen dapat terjadi pada seseorang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan dua sediaan. Waktu antara kedua pemeriksaan tersebut tidak boleh kurang dari 7 hari atau kurang dari 3 bulan  Sebaiknya sediaan dikeluarkan dalam kamar yang tenang dekat laboratorium. Jika tidak, maka sediaan harus diantar ke laboratorium 14

dalam waktu satu jam setelah dikeluarkan dan jika motilitas sperma sangat rendah (< 25% bergerak maju terus), sediaan kedua harus diperiksa secepatnya.  Sediaan sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi dan ditampung dalam botol kaca atau plastik bermulut lebar.  Gunakan kondom dengan bahan plastik khusus atau penyimpan cairan khusus. Kondom biasa sebaiknya tidak digunakan untuk menampung semen karena mengandung spermatisid.  Coitus interuptus tidak dapat dipakai untuk mendapatkan siapan karena ada kemungkinan bagian pertama ejakulat yang mengandung sperma paling banyak akan hilang. Selain itu juga akan terjadi kontaminasi seluler dan bakteri pada siapan serta dapat terjadi pula pengaruh kurang baik terhadap motilitas sperma sebagai akibat PH cairan vagina yang asam.  Sediaan yang tidak lengkap sebaiknya tidak diperiksa, terutama jika bagian pertama ejakulat hilang.  Sediaan harus dilindungi terhadap suhu yang ekstrim selama pengangkutan ke laboratorium (suhu antara 20-400 C).  Botol

harus

diberi

label

dengan

nama

penderita,

tanggal

pengumpulan, dan lamanya abstinensia. Analisis sperma meliputi pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis:17 a. Pemeriksaan Makroskopis  Warna Warna normal adalah putih/agak keruh. Kadang-kadang ditemukan juga warna kekuningan atau merah. Warna kekuningan mungkin disebabkan karena radang saluran kencing atau abstinensia terlalu lama. Warna merah biasanya oleh karena tercemar sel eritrosit (hemospermi).  Volume Cairan semen yang ditampung diukur dan diukur dengan gelas ukur, dan dikatakan normospermi bila volumeya normal, yaitu 2-6 ml, dengan 15

harga rata-rata 2-3,5 ml. Aspermi (tidak keluar sperma pada waktu ejakulasi), hiperspermi (volume >6 mL), hipospermi (volume <1 mL), disebabkan: - Tercecer pada waktu memasukkan semen ke dalam botol - Keadaan patologis, antara lain penyumbatan kedua duktus ejakulatorius dan kelainan kongenital misalnya agenesis vesikula seminalis. Hiperspermi biasanya diikuti oleh konsentrasi sperma yang rendah dan hiperspermi dapat disebabkan oleh abstinensia yang lama dan produksi kelenjar asesoris yang berlebihan. 

Bau Spermatozoa mempunyai bau khas yang mungkin disebabkan oleh

proses oksidasi dari spermia yang diproduksi oleh prostat. Semen dapat berbau busuk atau amis bila terjadi infeksi. 

pH Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas pH atau

lakmus, biasanya sifatnya sedikit alkalis. Semen yang terlalu lama akan berubah pHnya. Pada infeksi akut kelenjar prostat, pHnya berubah menjadi di atas 8 atau menjadi 7,2 misalnya pada infeksi kronis organorgan tadi. WHO memakai kriteria yang normal yang lazim, yaitu 7,27,8. 

Viskositas Viskositas semen diukur setelah mengalami likuefaksi betul (15-20

menit setelah ejakulasi). Pengukuran dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: -

Dengan pipet pastur: Semen diisap ke dalam pipet tersebut, pada waktu pipet diangkat maka akan tertinggal semen berbentuk benang pada ujung pipet. Panjang benang diukur, normal panjangnya 3-5 cm.

-

Menggunakan pipet yang sudah mengalami standarisasi (Elliaon). Pipet dalam posisi tegak, lalu diukur waktu yang

16

diperlukan setetes semen untuk lepas dari ujung pipet tadi. Angka normal adalah 1-2 detik. 

Likuefaksi Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami likuefaksi dalam

waktu 60 menit, walau pada umumnya sudah terjadi dalam 15 menit. Pada beberapa kasus, likuefaksi lengkap tidak terjadi dalam 60 menit. Hal ini bisa terjadi bila mengandung granula seperti jelly (badan gelatin yang tidak mencair), tetapi tidak memiliki makna secara klinis. Bila hal ini ditemukan akan sangat mengganggu dalam analisis semen, sehingga perlu dibantu dengan pencampuran enzimatis. b. Pemeriksaan mikroskopis Sebagai patokan nilai normal hasil pengamatan sperma, WHO telah mendapatkan nilai normal hasil pemeriksaan. Tabel 1. Mikroskopis Sperma

Kriteria

Jumlah

Volume

2 ml atau lebih

PH

7,2-7,8

Jumlah sperma

20 juta sperma/ml atau lebih

Jumlah sperma 40 juta sperma/ejakulat atau lebih total Motilitas

50% atau lebih bergerak maju atau 25% lebih bergerak maju dengan cepat dalam waktu 60 menit setelah ditampung

Morfologi

50% atau lebih bermorfologi normal

Viabilitas

50% atau lebih hidup, yaitu tidak terwarna dengan pewarnaan supravital

Sel leukosit

Kurang dari 1 juta/ml

Seng (total)

2,4 mikromol atau lebih setiap ejakulat

Asam

sitrat 52 mikromol (10 mg) atau lebih setiap ejakulat

(total) Fruktosa (total)

13 mikromol atau lebih setiap ejakulat

Uji MAR

Perlekatan pada kurang dari 10% sperma

Uji butir imun

Perlekatan butir imun pada kurang dari 10% sperma

17

Tabel 2. Nomenklatur Variabel Semen

Nomenklatur

Jumlah

Spermatozoa

Morfologi

Spermatozoa

Motil (%)

Spermatozoa Normal (%)

Normozoospermia

=20 juta

=50

=50

Oligozoospermia

< 20 juta

=50

=50

Ekstrim Oligozoospermia

< 5 juta

= 50

= 50

Astenozoozpermia

= 20 juta

< 50

= 50

Teratozoospermia

= 20 juta

= 50

< 50

Oligoastenozoospermia

< 20 juta

< 50

= 50

Oligoastenoteratozoospermia < 20 juta

< 50

= 50

Oligoteratozoospermia

= 20 juta

= 50

< 50

Astenoteratozoospermia

= 20 juta

< 50

< 50

Polizoospermia

>250 juta

= 50

= 50

Azoospermia

-

-

Nekrozoospermia

Tak viabel

Aspermia

Tak ada spermatozoa

3.1.6 Metode Penanganan Pasangan Infertil a.

Terapi pada wanita  Induksi ovulasi Macam obat induksi ovulasi adalah: -

Obat yang dapat meningkatkan FSH endogen. Macamnya yaitu CC (Clomiphen citrate) dan Aromatase inhibitor.

-

Hormon GnRH yang menyebabkan perangsangan sentral untuk sekresi FSH dan LH dari pituitari.

-

Hormon FSH dan LH eksogen yang merangsang ovarium secara langsung

Indikasi lain pemberian obat induksi ovulasi adalah infertilitas yang tak terjelaskan (unexplained infertility). Hal ini merupakan terapi

18

empirik, dan bila tidak berhasil dilanjutkan dengan inseminasi atau invitro fertilization (IVF).18 b. Terapi pada pria16 Terapi infertilitas pada pria dapat didasarkan atas 2 tata cara, yaitu hanya berdasarkan analisis semen rutin dan berdasarkan etiologi kausatif.  Terapi berdasarkan hasil analisis semen rutin Kelainan volume semen - Hipospermia Volume semen disebut hiposperma jika kurang dari 1,5 ml, yang disebabkan antara lain karena Stres, Retrograde ejaculation, dan frekuensi senggama. Untuk stres maka pengobatan diarahkan untuk menghilangkan stres ; retrograde ejaculation diberi terapi obat atau terapi khusus berupa pencucian sperma dari urine. Untuk endokrinopati dapat diberikan testosteron, sedangkan bila koitus terlalu sering, dapat dikurangi frekuensinya. Jika tidak jelas penyebabnya dapat dilakukan AIH. - Hiperspermia Hiperspermia cukup dengan menganjurkan peningkatan frekuensi senggama, tetapi jika disertai dengan spermiogram abnormal dapat dilakukan terapi dengan split ejaculate atau withdrawal coitus atau dengan treated sperm invitro. Kelainan jumlah spermatozoa - Polizoospermia Terapi dengan anjuran meningkatkan frekuensi koitus atau AIH dengan treated spermatozoa dengan jalan pengenceran, swim up, sperm washing atau filtrasi. - Oligozoospermia, terapi medikamentosa yaitu: o Klomifen sitrat dengan dosis 1 x 50 mg selama 90 hari atau 1 x 50 mg 3 x 25 hari dengan interval antara terapi 5 hari.

19

o Tamoxifen, dapat diberikan dengan dosis 2 x 1 tablet selama 60 hari. o Kombinasi HMG dan hCG; HMG (Pergonal®) diberikan dengan dosis 150 IU 3 x/minggu dan hCG (Profasi®) dengan dosis 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu. o Kombinasi FSH (Metrodin®) dan hCG; dosisFSH 75IU 3 x/minggu dan dosis hCG 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu. Selain medikamentosa, terapi dapat dilakukan dengan AIH(IBS) dengan atau tanpa treated sperm. Abnormalitas kualitas spermatozoa Kualitas spermatozoa abnormal jika motilitas baik dan cukup, tetapi morfologi normal kurang dari 50%. Terapi gangguan kualitas ini dapat berupa medikamentosa, yaitu: - ATP - Androgen dosis rendah - Phospholipid esensial - Antibiotika - Vitamin E + Vit B - Pentoksifilin Teknologi Khusus dalam Penanganan Infertilitas a. Inseminasi Buatan Inseminasi buatan adalah peletakan sperma ke vagina wanita. Sperma tersebut diletakkan di follicle ovarian (intrafollicular insemination),

uterus

(intrauterine

insemination-IUI),

cervix

(intracervical insemination-ICI), atau tube fallopian (intratubal) wanita dengan menggunakan cara buatan dan bukan dengan kopulasi alami.19 b. ART (Assisted Reproductive Technologies) ART merupakan teknologi reproduksi yang digunakan untuk mendapatkan kehamilan di luar cara alamiah yang digunakan dalam infertilitas. Macam-macam ART adalah sebagai berikut:19 20

 FIVET (Fertilisasi in vitro embrio transfer) / IVF (In Vitro Fertilization)  GIFT (Gamet intra fallopian transfer)  ZIFT (Zygote intra fallopian transfer)

3.2

Endometriosis

3.2.1 Definisi Endometriosis adalah adanya jaringan ikat endometrium yang masih berfungsi di luar kavum uteri yang bersifat jinak serta dapat menyebar ke organ dan jaringan sekitarnya. Di dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis dan jika diluar disebut endometriosis eksterna atau endometriosis sejati. Endometriosis eksterna ini dapat dijumpai di organ-organ genitalia interna, vesika urinaria, usus, peritoneum, paru, umbilikus, dan bahkan mata, ginjal serta otak.19 Kista endometriosis atau endometrioma adalah suatu tumor dengan permukaan licin yang pada dinding dalamnya terdapat suatu lapisan sel-sel endometrium dan yang berisi cairan coklat yang terdiri dari sel-sel endometriosis, eritrosit, hemosiderin, serta sel-sel makrofag yang berisi hemosiderin sehingga sering juga disebut kista coklat. Endometriosis ovarium adalah akibat adanya endometriosis pada ovarium yang membentuk kista coklat.20

3.2.2 Epidemiologi Endometriosis diperkirakan terjadi pada 3-7% wanita pada populasi umum, namun insidens sebenarnya belum diketahui.21 Data lain mendapati temuan angka kejadian endometriosis pada 60-80% penderita dismenorea, 30-50% penderita nyeri perut, 25-40% penderita dispareunia, 30-40% pasutri infertilitas, dan 10-20% pada penderita dengan siklus menstruasi tidak teratur.22 Endometriosis memiliki puncak kejadian pada usia 30-45 tahun dan hampir tidak ditemukan di luar usia reproduktif.21 Di Indonesia, ditemukan 15-25% wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis, sedang infertilitas idiopatik mencapai 70-80%. Sedangkan angka kejadian kista coklat endometriosis adalah 30-40% dari semua populasi endometriosis.20 21

3.2.3 Etiologi Penyebab endometriosis masih belum diketahui secara pasti, oleh karena belum ada satupun teori yang sempurna dan dapat menerangkan penyebab terjadinya endometriosis. Beberapa teori yang dapat menerangkan proses terjadinya endometriosis tersebut adalah19,22,23 a. Teori implantasi dan regurgitasi19,22,23 Teori Sampson ini menyatakan bahwa darah haid dapat mengalir dari kavum uteri melalui tuba fallopi ke rongga pelvis. Kelemahan teori tersebut adalah belum dapat menerangkan mengenai terdapatnya endometriosis di luar rongga pelvis. b. Teori metaplasia sel-sel coelom19,22,23 Meyer mengemukakan teori metaplasia sel-sel coelom sebagai penjelasan dari histiogenesis endometriosis. Beliau menyimpulkan bahwa mesotelium peritoneal dapat mengalami metaplasia berubah menjadi endometrium sebagai akibat iritasi dan infeksi. Secara embriologis hal ini benar karena epitel germinativum ovarium, endometrium, peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. c. Teori diseminasi hematogen limfatik19,22,23 Teori yang dikemukakan Halban ini dapat menjelaskan adanya endometrium yang ditemukan jauh dari rongga pelvis seperti paru, ginjal dan organ lainnya. d. Teori imunologi17,19,20 Faktor imunologi mulai banyak dibicarakan para ahli sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya endometriosis. Banyak ahli berpendapat bahwa endometriosis termasuk penyakit autoimun, karena banyak memenuhi kriteria sebagai berikut : 

Lebih banyak ditemukan pada wanita



Bersifat familier



Menunjukkan aktivitas B poliklonal



Melibatkan multi organ

22

Berbagai penelitian pendahuluan mengemukakan besarnya peran imunologi dalam kejadian endometriosis. Para peneliti mendapatkan peningkatan respons imunitas humoral dan aktivitas makrofag, penurunan fungsi NK cells dan T-cell serta peningkatan level autoantibodi. Kenaikan kadar beberapa jenis sitokin dijumpai dalam cairan peritoneum penderita endometriosis di antaranya Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed dan Secreted (RANTES), IL1, IL6 dan TNF. Sedangkan faktor pertumbuhan yang meningkat pada penderita endometriosis di antaranya adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). e. Teori genetik19,22,23 Teori ini menjelaskan bahwa kejadian endometriosis bersifat familier dan menunjukkan suatu pola multifaktorial yang diturunkan. Tetapi hingga saat ini belum jelas gen yang mana terkait dengan endometriosis ini. Diduga banyak lokus gen yang terkait dan bersama dengan faktor lingkungan barulah fenotip endometriosis ini muncul. f. Teori faktor lingkungan19 Teori ini menerangkan bahwa dioksin, suatu bahan polusi yang banyak dijumpai pada makanan, mempengaruhi kerja organ reproduksi dan reseptor beberapa hormon reproduksi seperti estrogen, progesteron, epidermal growth factor dan prolaktin. Pengaruh dioksin terhadap reseptor estrogen tergantung pada umur wanita dan jaringan akhir (target organ).

3.2.4 Klasifikasi Endometriosis Klasifikasi endometriosis adalah suatu hal yang penting, terutama untuk menetapkan cara pengobatan yang tepat untuk evaluasi hasil pengobatan. Banyak bentuk klasifikasi endometriosis yang dianjurkan, namun hanya dua jenis klasifikasi yang banyak digunakan dewasa ini, yaitu: a. Dianjurkan oleh American Fertility Society (AFS); terdiri dari AFS IIV.21

23

Tabel 3. Klasifikasi Endometriosis menurut American Fertility Society (AFS)

Peritoneum

ENDOMETRIOSIS

<1 cm 1-3 cm

3 cm

Superfisial

1

2

?

Profunda

2

4

6

Kanan

Ovarium

-

Superficial

1

2

4

-

Profunda

4

16

20

1/3

1/3 – 2/3 2/3

Kiri -

Superficial

-

Profunda

Perlekatan Kanan

Ovarium

-

Tipis

1

2

4

-

Tebal

4

8

16

-

Tipis

1

2

4

-

Tebal

4

8

16

-

Tipis

1

2

4

-

Tebal

4

8

16

-

Tipis

1

2

4

-

Tebal

4

8

16

Kiri

Kanan

Tuba

Kiri

Obliterasi Kavum Douglas Posterior

Sebagian

Seluruhnya

4

40

Berdasarkan hasil laparoskopi diagnostik (LD) didapatkan jumlah skor : 1) Stadium I (minimal) : 1- 5 : 6 – 15

2) Stadium II (mild)

3) Stadium III (moderate) : 16 – 20 4) Stadium IV (severe) : bila berkisar 40

24

b. Dianjurkan oleh Kurt Semm, tahun 1983 berupa Endoscopic Endometriosis Classification (EEC); terdiri dari EEC I – III  Termasuk endometriosis ringan : AFS I – II, EEC I – II  Termasuk endometriosis sedang – berat : AFS III – IV, EEC III  Endometriosis aktif : respons terhadap terapi hormonal  Endometriosis inaktif (non aktif) : tidak respon terhadap terapi hormonal  Jika dijumpai bentuk kombinasi inaktif dan aktif maka pengobatannya dilakukan seperti pengobatan endometriosis aktif.

3.2.5 Gejala Klinis Gejala maupun tanda yang disebabkan oleh endometriosis sangat bervariasi tergantung dari lokasi dimana lesi endometriosis berada. Terdapat pasien tanpa memiliki gejala apapun, meskipun cukup banyak dijumpai menimbulkan keluhan yang hebat.21 Adapun gejala umum endometriosis adalah : a. Nyeri21 Hal ini terjadi pada lebih dari 80% wanita dengan deposit endometriosis. Nyeri cenderung mulai terjadi saat masa pra menstruasi, mencapai puncaknya pada saat menstruasi dan kemudian mereda perlahan. Mekanisme terjadinya nyeri mungkin disebabkan peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan. Sifat nyeri dapat bervariasi dan begitu juga dengan asalnya. Nyeri dapat bersifat menyeluruh (generalisata) di seluruh abdomen dan panggul menyerupai nyeri pada dismenore berat. Atau, nyeri dapat terjadi setempat, yakni pada tempat tertentu di panggul. Dispareunia profunda mempengaruhi sekitar 40% wanita dengan endometriosis. b. Gangguan menstruasi21 Gangguan menstruasi terjadi pada sekitar 20% wanita dengan endometriosis. Dapat berupa bercak pramenstruasi, menoragia atau

25

menstruasi yang tidak teratur. Lesi pada dinding kemih dapat menyebabkan hematuria menstruasi. c. Infertilitas12,24 Sebesar 30-40% wanita dengan endometriosis menderita infertilitas. Menurut Rubin kemungkinan untuk hamil pada wanita endometriosis adalah 50% dari wanita biasa. Bila terjadi endometriosis sedang atau berat yang mengenai ovarium dapat menyebabkan perlekatan dan gangguan motilitas tubo ovarial dan pengambilan ovum yang pada akhirnya menyebabkan infertilitas. Selain itu makrofag yang kadarnya cukup tinggi dalam cairan peritoneum memiliki kemampuan memfagositosis dan zygot. 3.2.6 Penegakan Diagnosis20 Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik dipastikan dengan laparoskopi. a. Anamnesis Adanya riwayat nyeri yang berhubungan dengan siklus haid, nyeri pelvik kronik, nyeri senggama, infertilitas atau perdarahan yang tidak teratur. b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis dan juga menilai nyeri.25 Menurut penelitian histologi pada 98 pasien dengan endometriosis di retrosigmoid dan retro-serviks, pemeriksaan dalam memiiki sensitivitas 72% dan 68% secara berurutan, spesifitas 54% dan 46%, nilai prediktif positif 63% dan 45%, nilai prediktif negatif 64% dan 69%, dan akurasi 63% dan 55%.26

26

c. Ultrasonografi Ultrasonografi vaginal merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama yang mempunyai akurasi cukup baik terutama dalam mendeteksi kista endometriosis. USG tidak memberikan hasil baik untuk pemeriksaan endometriosis peritoneal. Pada endometriosis dalam, angka sensitifitas dan spesifisitasnya bervariasi tergantung lokasi lesi endometriosis. Dengan bantuan USG dapat terlihat adanya massa kistik pada salah satu atau kedua ovarium yang mengarah ke kista coklat. Terlihat gambaran yang khas dari endometrioma berupa jaringan yang homogen hipoechoic. Namun untuk tingkat endometriosis lainnya manfaat USG dan MRI sekalipun sangat terbatas. d. Laparoskopi Laparoskopi tetap merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosa pasti suatu endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen. Disini akan tampak lesi endometriosis yang berwarna merah atau kebiruan dan berkapsul, juga terlihat lesi endometriosis yang minimal. e. Pemeriksaan laboratorium Belum ada uji laboratorium yang dapat menegakkan diagnosa pasti endometriosis. Beberapa pasien mengalami lekositosis dan peningkatan LED. Pada penderita endometriosis yang berat akan ditemukan kadar CA-125 yang tinggi. Namun peningkatan kadar CA-125 saja tidak dapat menegakkan diagnosa endometriosis. Data lain mengaitkan endometriosis dengan proses inflamasi. Sitokin, interleukin, dan TNF-α mempunyai peran dalam pathogenesis endometriosis. Hal ini dilihat dari meningkatnya sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan endometriosis. Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk membedakan wanita dengan atau tanpa endometriosis, dan untuk mengidentifikasi derajat dari endometriosis. f. Uji fungsional GnRH-a Ini merupakan cara pemeriksaan yang sederhana untuk mengetahui adanya endometriosis. Apabila laparoskopi belum ada atau tidak tersedia. 27

Dimana dengan pemberian GnRH-a satu kali saja dan gejala menghilang, maka dikatakan uji (+) dan dapat dianggap bahwa wanita tersebut 70-80% kemungkinan menderita endometriosis. 3.2.7 Penatalaksanaan19 Dalam memberikan pengobatan penderita endometriosis, beberapa faktor objektif dan subjektif harus dipertimbangkan terlebih dahulu, yaitu: a.

Usia penderita

b.

Keinginan pasangan tersebut untuk punya anak

c.

Lamanya fertilitas (singkirkan terlebih dahulu faktor suami dan faktor lainnya penyebab infertilitas pada wanita)

d.

Lokasi dan luas endometriosis

e.

Berat ringannya gejala

f.

Lesi-lesi pelvis yang berkaitan

Apabila semua hal tersebut di atas telah dianalisa, maka selanjutnya dapat dipilih metode penanganan yang paling sesuai untuk setiap penderita endometriosis berupa: a.

Medisinalis Terapi paliatif dengan hormon steroid : estrogen, progestin, androgen,

kehamilan semu, menopause semu dengan Danazol, Gestrinon, GnRH analog dan terapi simptomatik non steroid.  Endometriosis minimal ringan, aktif Eliminasi lesi dengan koagulasi dengan kauter bipolar, atau vaporisasi dengan laser, namun lesi yang terletak di daerah vital atau tidak dapat dilakukan koagulasi secara maksimal, maka perlu dilanjutkan dengan pengobatan hormonal. Bila lesi telah dapat dieliminasi semua, maka apakah perlu dilanjutkan dengan pengobatan hormonal, masih terjadi silang pendapat. Sebagian lagi memberikan progesteron seperti MPA 1 x 30 mg perhari, atau Danazol 3 x 200 mg perhari, selama 6 bulan. Pada wanita yang ingin

28

mempunyai anak dapat dilanjutkan langsung dengan penanganan infertilitas (tanpa perlu pengobatan dengan progesteron).  Endometriosis minimal ringan, non aktif Kauterisasi lesi atau vaporisasi dengan laser, dan bila setelah tindakan wanita mengeluh nyeri kembali, perlu diberikan analgetika/anti prostaglandin. Progesteron juga memiliki anti prostaglandin, namun harus diberikan dengan dosis tinggi (2 x 50 mg).  Endometriosis minimal ringan, kombinasi aktif dan non aktif Pengobatannya diperlukan seperti pengobatan endometriosis aktif.  Endometriosis sedang berat, aktif Pada saat laparoskopi, dilakukan aspirasi kista dan biopsi dinding kista (pada wanita dengan infertilitas). Tindakan dihentikan, diberikan pengobatan hormonal selama 6 bulan. Tujuannya untuk mengurangi proses inflamasi dan proses vaskularisasi pada ovarium, sehingga kista tidak mudah pecah, mudah mengupasnya, perdarahan sedikit, kerusakan pada jaringan ovarium menjadi minimal. Jenis sediaan hormonal yang dipilih adalah GnRH analog atau Danazol. Setelah tindakan pembedahan dilanjutkan lagi dengan terapi hormonal selama 6 bulan. Pada wanita yang tidak menginginkan anak dapat langsung dilakukan tindakan operatif dan setelah itu dilanjutkan dengan terapi hormonal.  Endometriosis sedang berat, non aktif Tindakan operatif segera, kauterisasi atau vaporisasi, kistektomi, dilanjutkan dengan pemberian analgetik atau progesteron.  Endometriosis tersembunyi Kadang-kadang pada laparoskopi tidak terlihat lesi endometriosis, namun wanita mengeluh nyeri haid hebat. Sebenarnya lesi tersebut ada, tetapi tidak terlihat oleh operator, karena lesi tersebut menginfiltrasi ke jaringan melebihi 10 mm. Saat laparoskopi, semprotkan cairan metilen blue ke peritoneum, ligamentum sakrouterina, dinding vesika, kemudian cairan tersebut dihisap lesi endometriosis akan terlihat berupa bintik-

29

bintik biru. Semua lesi dikauter atau vaporisasi. Setelah itu terapi hormonal selama 6 bulan (progesteron, atau GnRH analog). b. Pengobatan operatif  Konservatif Dengan mempertahankan fungsi reproduksi dan fungsi hormonal ovarium.  Radikal Total abdominal histerekltomi, bilateral salpingo-ooferoktomi dan reseksi endometriosis.  Terapi laparotomi Mengangkat endometrioma dapat dilakukan dengan laparotomi. Pada awal dilakukan inspeksi secara teliti dari ovarium untuk mengidentifikasi endometriosis,

kemudian

ovarium

dibebaskan

dari

perlekatan.

Perlekatan yang tipis dieksisi dengan gunting (40-50%) perlekatan subovarium mengandung endometriosis, lesi superfisial dilakukan ablasi elektrokauter, dengan bipolar atau laser. Lesi harus diangkat dari jaringan korteks ovarium sebelum dilakukan ablasi sehingga tidak menimbulkan trauma pada jaringan ovarium yang sehat. Pengangkatan endometrioma serupa dengan laparoskopi dilakukan insisi elips pada endometrioma dengan aksis longitudinal dari elips paralel dengan garis antara fimbria ovarika dan ligamentum ovarium. Digunakan jarum elektromikrosurgikal untuk membuat insisi kira-kira 0,1 – 0,2 mm. Kemudian kapsul dari endometrioma diidentifikasi, dilakukan pembelahan dengan menggunakan gunting blunt curved, kemudian

mengeluarkan

endometrioma.

Idealnya

endometrioma

dikeluarkan tanpa pecahnya kista, perlu diletakkan kasa di sekitar ovarium sehingga jika terjadi ruptur, cairannya tidak menyebar kemanamana dan segera dikeluarkan dari rongga abdomen. Setelah endometrioma dikeluarkan dilakukan hemostasis dengan kauter bipolar dan dilakukan irigasi, kemudian dilakukan rekonstruksi ovarium,. Dilakukan jahitan Matras dengan benang 6,0 non reactive 30

absorbable untuk menutup bagian dalam dari lapisan ovarium mencegah terjadinya dead space. Permukaan ovarium dijahit dengan 6,0 delayed absorbable (polyglycacic acid). Penatalaksanaan kista endometriosis dilakukan dengan tindakan pembedahan lebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pengobatan hormonal selama 6 bulan. Pengobatan hormonal dimaksudkan untuk mengobati endometriosis yang tidak terlihat secara makroskopik. Pengobatan bedah dengan mempertahankan fungsi reproduksi terhadap kelainan ini disebut pengobatan bedah konservatif. Dengan tindakan bedah konservatif, kehamilan yang didapat pada derajat ringan antara 66 – 75% derajat sedang 37 – 74%, sedangkan pada derajat berat 0 – 48%. Prosedur operasinya sendiri memerlukan ketelitian operator, waktu yang lama dan tidak semua jaringan endometriosis dapat diangkat. Kekambuhan penyakit paska bedah konservatif adalah 24%. Komplikasi yang tersering atau hampir selamanya ada pada pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini menyebabkan tingginya perlengketan paska pembedahan, dengan akibat rendahnya kehamilan yang akan dicapai. Untuk mencegah pecahnya

kista,

dianjurkan

untuk

pemberian

terapi

hormonal

(progesterone) preoperatif selama 3 bulan berturut-turut (kista dengan diameter 6 cm). Dewasa ini banyak pakar endometriosis berpendapat, setiap ditemukan endometriosis/kista endometriosis dengan infertilitas dilakukan terlebih dahulu pengobatan hormonal selama 3 – 6 bulan.

31

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Endometriosis20

32

BAB IV ANALISIS KASUS Seorang perempuan, berinisial EW, usia 34 tahun datang keluhan teraba benjolan pada perut bawah yang semakin membesar, disertai keluhan nyeri menstruasi. Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien mengeluh perut bagian bawah membesar. Nyeri pada perut bawah disangkal. Pasien juga mengeluh nyeri pada saat menstruasi. Nyeri dirasakan pada hari 1-3 siklus menstruasi dan hilang dengan minum obat pereda nyeri. Riwayat nyeri saat berhubungan/dispareuni (-), riwayat perdarahan post coital (-) riwayat pendarahan di luar siklus menstruasi (-), riwayat keputihan (+), gatal namun tidak berbau yang hilang timbul sejak ± 1 tahun yang lalu. Riwayat berat badan menurun (-), nafsu makan menurun (-), BAB dan BAK biasa Pasien juga mengeluh saat ini belum juga mengandung. Pasien sudah menikah selama ± 8 tahun dan tidak memakai kontrasepsi jenis apapun. Pasien mengaku rutin berhubungan intim dengan suaminya ± 3 kali dalam seminggu. Pasien dan suami juga tidak mengonsumsi alkohol dan merokok.. Berdasarkan anamnesis tersebut, dapat diketahui bahwa pasien mengalami infertilitas dimana pasien tetap tidak mendapatkan kehamilan meskipun sudah ada upaya dengan melakukan hubungan seksual secara teratur (±3 kali dalam seminggu) sejak 8 tahun yang lalu. Pada pasien tersebut, infertilitas yang dialaminya dikategorikan sebagai infertilitas primer karena pasien belum mampu dan belum pernah memiliki anak setelah delapan tahun. Secara teori, jika tidak ada kelainan 84% perempuan akan mengalami kehamilan dalam kurun waktu satu tahun pertama pernikahan jika mereka melakukan hubungan suami-istri secara teratur tanpa menggunakan metode kontrasepsi. Diagnosis pada pasien dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penyebab dari infertilitas yang dialami oleh pasien ini kemungkinan disebabkan oleh kista endometriosis. Dari anamnesis diperoleh data bahwa teraba benjolan pada perut bawah pasien dan adanya keluhan nyeri saat haid, yang berlangsung terus-menerus dan mengganggu aktivitas pasien. 33

Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa gejala kista endometriosis adalah nyeri perut bawah yang bersifat progresif serta terjadi selama haid (dismenorrhea). Hal tersebut mungkin berhubungan dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Berdasarkan pemeriksaan ginekologi ditemukan AP kanan lemas dan AP kiri lemas. Dalam kasus ini, pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan USG. Hasilnya adalah tampak massa kistik yang memberi kesan kista endometriosis. Pada pasien ini dilakukan laparaskopi diagnostik. Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosa pasti suatu endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen. Setelah dilakukan laparoskopi pasien diberikan terapi hormonal berupa injeksi hormon analog GnRH yaitu leuprolelin acetate selama 6 bulan. Prognosis pada pasien ini ialah bonam (quo ad vitam) dan dubia ad bonam (quo ad functionam et sanationam). Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan dengan histerektomi dan ooforektomi bilateral. Dalam kurun waktu 5 tahun, angka kejadian rekurensi endometriosis setelah dilakukan terapi pembedahan adalah 20%. Endometriosis dapat mengakibatkan infertilitas melalui berbagai mekanisme, seperti gangguan ovulasi, perlengketan jaringan, penyumbatan tuba Falopii, kehamilan ektopik, dan penyebab lainnya. Keberhasilan kehamilan setelah pengobatan dengan pembedahan dan terapi hormon berkisar 4070%, tergantung pada beratnya endometriosis

34

DAFTAR PUSTAKA 1. Zegers-Hochschild F, Adamson G, de Mouzon J, Ishihara O, Mansour R, Nygren K et al. International Committee for Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART) and the World Health Organization (WHO) revised glossary of ART terminology, 2009. Fertility and Sterility. 2009;92(5):1520-1524.

2. Himpunan

Endokrinologi-Reproduksi

dan

Fertilitas

Indonesia.

Konsensus

Penanganan Infertilitas. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia; 2013.

3. Mascarenhas M, Flaxman S, Boerma T, Vanderpoel S, Stevens G. National, Regional, and Global Trends in Infertility Prevalence Since 1990: A Systematic Analysis of 277 Health Surveys. PLoS Medicine. 2012;9(12):e1001356.

4. Vander Borght M, Wyns C. Fertility and infertility: Definition and epidemiology. Clinical Biochemistry. 2018;62:2-10.

5. Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat. Pedoman Pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik;2011

6. Parasar P, Ozcan P, Terry K. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis and Clinical Management. Current Obstetrics and Gynecology Reports. 2017;6(1):34-41.

7. Marchino GL, Gennarelli G, Enria R, Bongioanni F, Lipari G, Massobrio M. Laparoscopic visualization with histologic confirmation represents the best available option to date in the diagnosis of endometriosis. Fertil Steril. 2005;84(1):38.

8. Ratnaningrum K, Handaria D, Octavianny A. Kista endometriosis meningkatkan risiko terhadap terjadinya infertilitas pada wanita usia reproduktif. J Kedokteran Muhammadiyah. 2016;5(2):1–4.

9. Hoffman B, Schorge J, Bradshaw K, Halvorson L, Schaffer J, Corton M. Williams gynecology. New York: McGraw-Hill Education; 2013.

10. ASRM. Definitions of infertility and recurrent pregnancy loss: a committee opinion. Fertil Steril. 2013;99(1):63.

11. World Health Organization. Infecundity, Infertility, and Childlessness in Developing Countries. Geneva: World Health Organization; 2004.

12. Wiknjosastro, Hanifa Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005.

13. Hadibroto BR. Histeroskopi. Medan: Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU 35

RS HAM-RSPM; 2005. 1-16 hal.

14. Adiyono W, Praptohardjo U, Moerjon S. Laparoskopi dan Histeroskopi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2005. 231-234 hal.

15. Bansal K. Practical Approach to Infertility Management. New Delhi: Jaypee Brothers; 2004. 1-37 hal.

16. Hestiantoro A. Tatalaksana Pemeriksaan Dalam Infertilitas. Cermin Dunia Kedokt. 2009;36(41).

17. Kuswondo G. Analisis Semen pada Pasangan Infertil. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi; 2002.

18. Sugono. Perbedaan Pengaruh Pemberian Clomiphene Citrate dan Letrozole terhadap Perkembangan Folikel serta Profil Hormonal pada Wanita dengan Unexplained Infertility. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi; 2008.

19. Speroff L, Glass R. Endometriosis. In: Clinical Gynecology Endocrinology and Infertility. 7 ed. Baltimore: William & Wilkins; 2005. hal. 1103 – 25.

20. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia. Konsensus Tata Laksana Nyeri Haid pada Endometriosis. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia; 2013.

21. Bain CM, Burton K, McGavigan CJ. Gynecology Illustrated. 6 ed. Tharmapalan S, editor. Philadelphia: Elsevier; 2011. 123-125 hal.

22. Muzii L, Marana R, Caruana P, Catalano G, Margutti F, Panici P. Postoperative administration of monophasic combined oral contraceptives after laparoscopic treatment of ovarian endometriomas: a prospective, randomized trial. Am J Obs Gynecol. 2000;183(3):588–92.

23. Bumpers H, Butler K, Best I. Endometrioma of the abdominal wall. Am J Obs Gynecol. 2002;187(6):1709–10.

24. World Health Organization. Infecundity, Infertility, and Childlessness in Developing Countries. Geneva: World Health Organization; 2004. 25. European Society of Human Reproduction and Embryology. Guideline on the management of women with endometriosis. Grimbergen: European Society of Human Reproduction and Embryology; 2013. 26. Nassif J, Mattar S, Abu Musa A, Eid A. Endometriosis and cancer: what do we know? Minerva Ginecol. 2013;65(2):167–79.

36

Related Documents

Infertilitas
February 2021 3
Infertilitas
February 2021 3
Sap Infertilitas
February 2021 1
Makalah Infertilitas
February 2021 1
Askep Infertilitas
February 2021 0
Askep-infertilitas
February 2021 0

More Documents from "edi khoiruman"

Infertilitas
February 2021 3