Integrasi-interkoneksi Amin Abdullah.pdf

  • Uploaded by: Fathur Rosy
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Integrasi-interkoneksi Amin Abdullah.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,719
  • Pages: 15
Loading documents preview...
INTEGRASI-INTERKONEKSI: Arah Baru Metodologi Kajian ke-Islaman

MAKALAH Disusun untuk Memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Metodologi Studi Islam

Oleh: Fathor Rosy F03218031 Dosen Pengampu: Prof. H. Syafiq A. Mughni, MA., Ph.D. PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2018

Pendahuluan Perkembangan ilmu ilmu pengetahuan (science) modern di satu sisi membawa dampak yang besar terhadap perkembangan teknologi yang memberikan kemudahan kepada manusia. Di sisi yang lain, perkembangan ilmu pengetahuan membawa polemik tersendiri ketika ia harus berhadapan langsung dengan realitas keagamaan manusia. Relasi keduanya selalu diletakkan pada wilayah dikotomik. Ilmu-ilmu agama dianggap tidak membutuhkan ilmu-ilmu pengetahuan modern, begitupun sebaliknya. Tidak sedikit ilmuan modern menganggap bahwa kedua entitas ini berbeda dan terpisah. Sedangkan yang lain, mencoba mengkonsepsi bagaimana kedua entitas ilmu ini saling berdialog dan saling mengisi satu dengan yang lain.1 Salah satu tokoh yang berupaya mempertemukan keduanya adalah M. Amin Abdullah yang menawarkan paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan. Selain berupaya menghilangkan dikotomi sains dan agama, proyek keilmuan yang digagasnya tersebut juga berupaya “mendekatkan kembali” berbagai disiplin ilmu, sehingga di antara mereka terjadi dialog, tegur sapa, saling berhubungan, dan saling membutuhkan. Gagasan paradigma ini mendapat sambutan yang luas dikalangan akademisi, misalnya Robby H. Abror. Abror menganggap bahwa Amin Abdullah telah mengubah secara radikal dan sistematis Institut Agama Islam Negeri (IAIN) bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Ia juga berpendapat bahwa Amin Abdullah telah berhasil membawa studi agama-agama yang selama ini dianggap “marjinal” menjadi lebih “berwibawa”. Dengan model integrasi dan interkoneksinya, Amin Abdullah telah mampu menunjukkan bahwa ilmu-ilmu agama dapat saling menyapa

1

Terkait relasi sains dan agama, Ian Barbour, memetakannya dalam empat tipe, yaitu: independensi, konflik, dialog, dan integrasi. Tipe pertama adalah independensi yaitu ketika ilmu dan agama dilihat sebagai bidang yang berbeda dan ditempatkan dalam kotak sendiri-sendiri. Masing-masing memiliki otoritas di bidangnya masing-masing. Tipe kedua adalah konflik yaitu hubungan antara ilmu dan agama di mana keduanya saling melakukan ekspansi keluar dari bidangnya. Namun saat keduanya ini disatukan dalam satu kotak bersama terbukalah peluang untuk konflik. Tipe ketiga adalah dialog yaitu ketika antara ilmu dan agama membuka peluang untuk berkomunikasi, saling mendengar, saling menyapa satu sama lain. Tipe keempat adalah integrasi yang dimaknai Barbour dengan sangat spesifik yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature, yang berbeda dengan natural theology, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasar temuantemuan ilmiah. Ian Barbour, Religion in An Age of Science (New York: Harper Collins Publisher, 1990), 4.

1

dengan ilmu-ilmu umum lainnya, karena pada hakikatnya adalah satu. Bahwa ilmu itu bermanfaat bagi maslahat kemanusiaan.2 Karena pentingnya discourse inilah, penulis merasa bahwa paradigma ini sangat perlu dikaji dan diteliti yang merupakan sebuah terobosan untuk membuka beberapa harapan dan kemungkin baru (new possibility) yang lebih baik dalam memajukan kajian-kajian keislaman (islamic studies). Biografi Amin Abdullah Muhammad Amin Abdullah merupakan salah satu tokoh akademisi yang produktif dan terfokus pada kajian metodologi kajian ke-Islaman. Ia dilahirkan di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Pada 1972 menamatkan pendidikan menengah di Kulliyat al-Mu’allimin al-Isla>mi>yah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo, yang kemudian dilanjutkan dengan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darusslam (IPD) 1977 di pesantren yang sama.3 Amin Abdullah menyelesaikan S1 Jurusan Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1982, kemudian melanjutkan studi S3 (Program Ph.D) pada METTU (Middle East Technical University), Departemen of Philosopy, Fakulty of Art and Sciences, Ankara Turki atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki dari tahun 1983 hingga tahun 1990,4 dengan disertasi, The Idea of Universality

of Ethical Normas in Ghaza>li and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Amin Abdullah mengikuti program Post Doktoral di McGill University, Montreal Kanada selama enam bulan (Oktober 1997 hingga Februari 1998). Ia kemudian dianggat menjadi Guru Besar Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 13 Mei 2000. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2010, ia menjabat Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.5 Amin Abdullah dikenal sebagai salah satu pakar dalam islamic studies. Karyakaryanya yang telah dibukukan menjadi rujukan bagi para akademisi misalnya falsafah

kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Studi Agama: 2

Robby H. Abror, “Reformulasi Studi Agama untuk Harmoni Kemanusiaan”, Kedaulatan Rakyat, (31 Juli 2010), 2 3 M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multi-Religius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), 191. 4 M. Amin Abdullah, dkk., Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu keIslaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), 363. 5 Ibid.

2

Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985) dan Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).6 Selain karya yang telah dibukukan, tulisan-tulisannya juga dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, antara lain Ulumul Qur’an (Jakarta), al-Jami’ah: Journal of

Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa jurnal keislaman yang lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992; tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21 Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; “Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st

Century”, Universitas Leiden, Juni 1998, “Islam and Civil Society : Messages from Southeast Asia”, Tokyo Jepang, 1999; “al-Ta>ri>kh al- Isla>mi> wa Azmah al-H{uwi>yah”, Tripoli, Libia, 2000; “International anti-Corruption Conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Persiapan Seminar “New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in Islam”, Kuala lumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination

of Islamic Religious Authority in Contemporarry Indonesia, Leiden, Belanda, 2003. Dari Normativitas versus Historisitas ke Interkoneksitas Kegelisahan akademik yang dimunculkan dalam Islamic Studies di Perguruan

Tinggi berkisar pada dikotomi kajian ke-Islaman Normatif dengan Historis yang diletakkan saling berhadapan. Diakui oleh Amin, usaha untuk mempertentangkan kedua metode tersebut dalam kajian ke-Islaman terjadi dalam kurun waktu antara 1990-1997. Meskipun pada era selanjutnya, dengan adanya program pascasarjana di Perguruan Tinggi Agama Islam, tension kedua metode tersebut mulai menurun. Akan tetapi, sesuatu hal yang tidak mungkin menurut Amin adalah usaha untuk menghilangkan sama sekali pertentangan antara dua metode tersebut. Oleh sebab itu, 6

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 431.

3

untuk mengurangi ketegangan yang dimunculkan, Amin menawarkan paradigma keilmuan interkonektisitas dalam kajian ke-Islaman kontemporer.7 Pendekatan interkonektisitas merupakan respon dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi oleh kaum Muslimin. Persoalan yang paling mendasar yang dihadapi umat Islam adalah terkait dengan cara yang mereka tempuh dalam merespon dan memahami agama. Beberapa kalangan merespon dan memahami dogma keagamaan secara baku. Masyarakat muslim lebih cenderung memahami agama secara normatif melalui pendekatan doktrinal-teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis.8 Sedangkan di sisi yang lain, beberapa kalangan memahami agama melalui pendekatan historis-empiris dengan menggunakan keilmuan lain seperti sejarah, sosiologi dan antorpologi sehingga menurut kalangan lain, kelompok ini telah mereduksi pemahaman agama dari yang seharusnya. Pendikotomian cara memahami agama tersebut memunculkan problematika tersendiri dalam masyarakat muslim. Menurut Amin Abdullah, pendekatan yang digunakan masing-masing kelompok tidak seharusnya diletakkan pada posisi bertentangan. Bagi Amin, kedua pendekatan ini seharusnya diletakkan pada posisi sirkular, sehingga kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur, dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berpikir sehingga akan muncul truth claim. Dengan adanya pendekatan historis-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik, dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktik-praktik ajaran teologis.9 Meskipun demikian, konsepsi penyatuan kedua pendekatan ini haruslah dikonsep secara benar menurut perspektif filsafat ilmu. Dalam perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu – baik itu ilmu alam, humaniora, sosial, agama atau ilmu-ilmu ke-Islaman – 7

Ibid., vii. M. Amin Abdullah, “Muhammadiyah di Tengah Pluralitas Keberagamaan”, dalam Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah Pada Era Multiperadaban, Edy Suandi Hamid, dkk. (eds.) (Yogyakarta: UII Press, 2000), 59-64. 9 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 18. 8

4

harus diformulasikan dan dikonstruk di atas teori-teori yang didasarkan pada kerangka metodologi yang jelas. Teori-teori yang sudah ada terlebih dahulu, tidak dapat dijadikan garansi kebenaran. Anomali-anomali dan pemikiran-pemikiran tidak tumbuh dalam stagnasi, akan tetapi selalu dipengaruhi dan tidak dapat terlepas dari pengaruh cita rasa sejarah sosial dan politik. Pemikiran ini muncul dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu pengetahuan hanyalah merupakan produk, hasil karya manusia.10 Dalam konteks pertarungan antara normativitas dan historisitas tersebut, Amin Abdullah menawarkan paradigma baru dalam kajian ke-Islaman yang ia sebut dengan interkoneksitas. Paradigma ini berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, maka self

sufficiency (kepuasan diri) cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness (berpikiran sempit). Kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.11 Secara epistemologis, paradigma ini dibangun atas respon terhadap kesulitankesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama berabadabad dalam peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri, tanpa perlu saling bertegur sapa. Kesulitan epistemologis ini bagi Amin, berdampak secara stuktural-politis. Sedangkan secara aksiologis, tawaran paradigmatik yang diajukan hendak menawarkan satu pandangan dunia (world view) baru bagi manusia beragama dan ilmuan baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggung jawabkan secara publik dan berpandangan kedepan. Secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan 10

M. Amin Abdullah, “Membangun Kembali Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Tajdid dalam Perspektif Filsafat Ilmu” dalam Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban , Mifedwil Jandra dan M. Safar Nasir (eds.) (Yogyakarta: MTPPI & UAD Press, 2005), 45. 11 Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, viii.

5

agama yang bersumber pada teks-teks (had}arah al-nas{s}), dan budaya pendukung keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman (had{arah al-ilm) serta budaya pendukung keilmuan etis-filosofis (had}arah al-falsafah) masih tetap ada. Hanya saja, menurut Amin, cara berfikir dan sikap ilmuwan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini yang perlu berubah.12 Konstruksi Epistimologis Paradigma Integratif-Interkonektif Seperti

yang

telah

dijelaskan

sebelumnya,

konsepsi

utama

tawaran

paradigmatik Amin Abdullah merespon dikotomi agama dan pengetahuan yang diletakkan pada ruang konflik. Oleh sebab itu, Amin Abdullah menawarkan gagasan bahwa agama dan ilmu pengetahuan – baik itu sejarah, antropologi, sosiologi ataupun yang lain – berada pada model hubungan yang singular dengan menggunakan pendekatan integratif-interkonektif.13 Secara teoritik, pendekatan ini terinspirasi dari pemikiran Ian G. Barbour dan Holmes Rolston III. Terdapat tiga kata kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak dialogis dan integratif, yaitu semipermeable, intersubjective

testability dan creative imagination. Pertama, semipermeable. Konsep ini berasal dari keilmuan biologi, dimana isu survival for the fittest adalah yang paling menonjol. Hubungan antara ilmu yang berbasis pada kausalitas (causality) dan agama yang berbasis pada makna (meaning) adalah bercorak semipermeable, yakni antara keduanya saling menembus.14 Hubungan antara ilmu dan agama tidaklah dibatasi oleh sekat tebal yang tidak memungkinkan untuk ditembus, tersekat atau terpisah sedemikian ketat dan rigidnya, melainkan saling menembus, saling merembes. Saling menembus secara sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan antar berbagai disiplin tersebut saling membuka diri untuk berkomunikasi dan saling menerima masukan dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan saling menembus ini dapat bercorak klarifikatif, komplementatif, afirmatif, korektif, verifikatif maupun transformatif.

12

Ibid., ix. Ibid., 223-224. 14 Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey (New York: Random House, Inc., 1987), 1. 13

6

Dalam menggambarkan pola hubungan antara ilmu keagamaan dengan ilmuilmu umum, Amin menggambarkan pola hubungan tersebut secara metaforis dengan jaring laba-laba (spider web) dimana antar berbagai disiplin yang berbeda, terdapat rangkaian yang saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. Gambaran tersebut yang diistilahkan oleh Amin Abdullah sebagai integratif-interkonektif.15 Hal yang perlu dicermati dalam penggambaran Amin Abdullah terhadap integrasi-interkoneksi ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu non-keagamaan dengan jaring laba-laba adalah adanya garis putus-putus yang menyerupai pori-pori yang melekat pada dinding pembatas antar berbagai disiplin keilmuan tersebut. Dinding pembatas yang berpori-pori dimaksudkan oleh Amin tidak hanya membatasi disiplin ilmu, tetapi juga merupakan batas-batas ruang dan waktu (space and time), corak berpikir (world view) atau ‘urf.16 Pori-pori tersebut sebagai media saling bertukar pesan antar bidang keilmuan yang berbeda. Masing-masing disiplin ilmu yang memiliki

world view, budaya pikir, tradisi, dapat secara bebas saling berkomunikasi, bedialog, menerima dan mengirim pesan dan masukan temuan-temuan yang baru di bidangnya ke disiplin ilmu lain di luar bidangnya.

Kedua, intersubjective testability (keterujian intersubjektif). Istilah ini diperkenalkan oleh Ian G. Barbour. Barbour berpendapat bahwa objek maupun subjek masing-masing berperan besar dalam kegiatan keilmuan.17 Menurut Babour, data tidak dapat dikatakan terlepas sama sekali dari penglihatan pengamat, karena data akan selalu diintervensi oleh pengamat sebagai experimental agent. Oleh karenanya, konsep tidak hadir dalam ruang kosong, akan tetapi ia dibangun oleh ilmuan sebagai pemikir yang kreatif (creative thinker), sehingga pemahaman tentang apa yang disebut dengan objektif harus disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni ketika semua komunitas keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh peneliti dan ilmuan dari lapangan.18

Ketiga, creative imagination (imaginasi kreatif). Imajinasi kreatif baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam dunia sastra seringkali dikaitkan dengan upaya

15

Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, 107. Lihat Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari>’ah as Philosophy of Islamic Law; A Systems Approach (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), 58. 17 Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion (New York: Harper Torchbooks, 1966), 182-185. 18 Ibid., 183. 16

7

untuk memperjumpakan dua konsep framework yang berbeda. Ia mensintesakan dua hal yang berbeda dan kemudian membentuk keutuhan baru, menyusun kembali unsurunsur yang lama ke dalam adonan konfigurasi yang baru.19 Arah Baru Kajian Ke-Islaman Adanya problematika yang dihadapi dalam kajian keagamaan menuntut adanya pergeseran paradigma (shifting paradigm) terhadap khazanah ilmu-ilmu agama (ulu>m

al-di>n) atau studi ke-Islaman (dira>sat al-islamiyah) yang lebih terbuka terhadap bidang keilmuan lain.20 Dalam khazanah ulu>m al-di>n klasik, teks (al-Qur’an dan hadis) dijadikan subjek, sehingga teks tertutup untuk dimasuki oleh bidang keilmuan lain dilaur ilmu yang berkaitan dengan teks. Beberapa pemikir kontemporer, menurut Amin sudah memikirkan beberapa upaya untuk membuka ruang terhadap keilmuan baru yang muncul pada abad ke 18-19 M. Beberapa tokoh yang disebut Amin Abdullah adalah Richard C. Martin, Mohammed Arkoun, Nas}r Ha>mid Abu> Zayd yang dengan tegas ingin membuka kemmungkinan kontak dan pertemuan langsung antara tradisi berpikir keilmuan dalam

dira>sat al-islamiyah secara konvensional dan tradisi berpikir keilmuan dalam religious studies kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humanities yang berkembang sekitar abad ke-18 dan 19. Konsekuensi logis yang harus dihadapi ketika kedua tradisi pola pikir keilmuan tersebut bertemu dan berdialog, maka kerangka teori, metode dan epistemologi yang digunakanpun perlu berubah.21 Untuk

menghadapi

tantangan

tersebut,

Amin

Abdullah

mencoba

mempertimbangkan ulang epistemologi ‘Abid al-Ja>biri> sebagai satu perangkat filsafat keilmuan dalam mengakaji Islam. Ia menyebutkan bahwa kedua buku al-Ja>biri>, yaitu

Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>: Dira>sah Tahli>liyyah Naqdiyyah li Nuz}um al-Ma‘rifah fi> al-Thaqaf>ah al-‘Arabiyyah, cukup representatif untuk meneropong struktur fundamental kefilsafatan ilmu kajian-kajian keislaman dalam ranah humanities. Sementara buku ketiga al-Ja>biri>, al-‘Aql al-Siya>si al-‘Arabi>, merupakan realisasi dari konsep-konsep dan paradigma humanities dalam pemikiran

19

Ibid., 143. Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, 184. 21 Ibid., 188. 20

8

ke-Islaman dalam ranah kehidupan sosial-politik yang kongkrit dalam masyarakat Muslim.22 Dalam konteks ini, Amin Abdullah menawarkan pendekatan komprehensif terhadap studi agama sebagai wilayah terbuka dan interdisipliner, yang tampak pada Islam sebagai agama yang hidup (living realigion). Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji Islam melalui lensa peradaban dengan menggunakan disiplin ilmu sekuler modern dan juga disiplin ilmu keagamaan tradisional, yang dikombinasikan dengan pendekatan etis-filosofis, yang tidak berpretensi bebas nilai. Dengan beberapa modifikasi, Amin Abdullah ingin memperlihatkan struktur fundamental ulu>m al-di>n dalam perspektif epistimologi baya>ni> sekaligus dalam perbandingannya dengan epistimologi ‘irfa>ni> dan burha>ni. Dengan mengutip pendapat al-Ja>biri>, Amin Abdullah menganggap bahwa baya>ni> sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistimologi ‘irfa>ni> dan

burha>ni>.23 Untuk mendamaikan ketiga epistimologi ini, Amin Abdullah memposisikan ketiganya dalam gerak melingkar yang ia sebut dengan model pola hubungan sirkuler dengan corak humanistik-transformatis-emansipatoris. Carak hubungan semacam ini digunakan karena tidak menunjukkan adanya finalitas, eksklusivitas serta hegemoni lantaran finalitas untuk kasus-kasus tertentu hanya mengantarkan seseorang dan kelompok pada jalan buntu yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan intern antar umat Islam dan lebih-lebih lagi hubungan ekstern umat beragama.24

Baya>ni>

tekstual normatif Kontekstual Historis-Empiris Burha>ni>

Irfa>ni>

22

Ibid., 201. Ibid., 202. 24 Ibid., 224. 23

9

Konsep penting dari paradigma integrasi interkoneksi adalah reintegrasi epistimologi keilmuan melalui model jaring laba-laba keilmuan yang bercorak teantroposentris-integralistik. Gagasan ini menurut Amin Abdullah merupakan kelanjutan konsep yang telah dikembangkan oleh Kuntowijoyo.25 Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut shari‘at. Kitab suci al-Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta

grand theory ilmu.26 Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenara, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Menurut pandangan ini, seumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teaoantroposentris.27 Perpaduan keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik), tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Dengan konsep integralisme dan reintegrasi, Amin Abdullah berharap konflik antar sekularisme ektrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal terselesaikan. Pola integratif-interkonektif keilmua digambarkan oleh Amin Abdullah dengan skema jaring laba-laba keilmuan,

25

Ibid., 101. Ibid., 102. 27 Ibid. Lihat juga Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 56. 26

10

Gambar

diatas

mengilustrasikan

hubungan

jaring

laba-laba

yang

bercorak

teoantroposentris-integralistik. Tergambar di situ bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern karena diakuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Disamping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social

science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Qur’an dan al-Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.28 Untuk melengkapi skema jaring laba-laba keilmuan tersebut, Amin Abdullah memberikan prinsip-prinsip dasar yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan keilmuan yang berbasis integrasi-interkoneksi. Menurut Amin, had}arah al-nas}s} sebagai penyangga budaya teks baya>ni> tidak lagi bisa berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari

had}arah al-ilm, yakni ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, akan tidak memiliki karakter yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh had}arah al-falsafah (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu, had}arah al-nas}s} dalam kombinasinya dengan had}arah al-ilm, tanpa mengenal humanities kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak hatihati akan mudah terbawa arus ke arah gerakan radikalisme-fundamentalisme. Untuk itu, diperlukan had}arah al-falsafah (etik yang bersifat transformatif-liberatif). Begitu juga, had}arah al-falsafah akan terasa kering, jika tidak terkait dengan isu-isu 28

Ibid., 106.

11

keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh had}arah al-ilm (budaya ilmuilmu empiris-teknis).29 Saling mengisinya budaya keilmuan ini, menskemakan pola hubungan ketiga budaya dalam bentuk skema interconnected entities,

Had}arah al-Nas}s}

Had}arah al-Ilm UIN

Had}arah al-Falsafah

Tampak dalam skema di atas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerja sama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan, demi untuk menyongsong realisasi proyek keilmuan baru pada era UIN. Kesimpulan Dikotomi antara ilmu pengetahuan (science) modern dengan ilmu agama merupakan realita yang memprihatinkan yang menjadi kegelisahan akademik bagi Amin Abdullah. Baginya, posisi hubungan antara sakralitas-normatif dengan profanitas-historisitas yang selalu diletakkan pada posisi saling dipertentangkan, membuat ketegangan antara ilmu pengetahuan (science) modern dengan ilmu keagamaan semakin meruncing. Dalam realitas semacam ini, Amin Abdullah menawarkan satu pendekatan yang 29

bercorak

humanistik-transformatis-emansipatoris

Ibid., 403.

12

dengan

pendekatan

integratif-interkoneksitas yang diharapkan mampu menyelesaikan dikotomi dan pertentangan diantara ilmu modern dan agama. Paradigma Interkoneksi-Integrasi Amin Abdullah merupakan salah satu pilihan paling logus untuk mengembangkan kajian ke-Islaman tanpa menghilangkan esensinya yang utama. Pendekatan ini mampu mengkoneksikan entitas yang dianggap tidak bisa bertemu yakni keterkaitan antara had}arah al-nas}s}, had}arah al-ilm, dan had}arah al-falsafah saling berintegrasi dan berinterkoneksi, sehingga satu keilmuan tidak harus mensakralkan teks (taqdis al-nas}s}), mensakralkan sceince (taqdis al-ilm) ataupun mensakralkan akal (taqdis al-afka>r) tetapi ketiganya saling melengkapi dan menjelaskan.

13

Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, dkk. Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu ke-Islaman. Yogyakarta: SUKA Press, 2003. _______. “Membangun Kembali Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Tajdid dalam Perspektif Filsafat Ilmu” dalam Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban, Mifedwil Jandra dan M. Safar Nasir (eds.). Yogyakarta: MTPPI & UAD Press, 2005. _______. “Muhammadiyah di Tengah Pluralitas Keberagamaan”, dalam Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah Pada Era Multiperadaban, Edy Suandi Hamid, dkk. (eds.). Yogyakarta: UII Press, 2000. _______. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. _______. Pendidikan Agama Era Multikultural Multi-Religius. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005. _______. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Abror, Robby H. “Reformulasi Studi Agama untuk Harmoni Kemanusiaan”, Kedaulatan Rakyat, 31 Juli 2010. Auda, Jasser. Maqa>s}id al-Shari>’ah as Philosophy of Islamic Law; A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 2007. Barbour, Ian G. Issues in Science and Religion. New York: Harper Torchbooks, 1966. Barbour, Ian. Religion in An Age of Science. New York: Harper Collins Publisher, 1990. Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007. Rolston, Holmes III. Science and Religion: A Critical Survey. New York: Random House, Inc., 1987.

14

Related Documents


More Documents from "Rizky M Faisal"