Islam Dan Ilmu Pengetahuan

  • Uploaded by: fdfhfdhdgh
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Islam Dan Ilmu Pengetahuan as PDF for free.

More details

  • Words: 6,850
  • Pages: 27
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Perkembangan ilmu pengetahuan di jaman modern seperti saat ini sangatlah penting dan telah dimanfaatkan perkembanganya. Karena semua bidang kehidupan memanfaatkan perkembangan tersebut, mulai dari sektor terkecil hingga ke sektor-sektor besar yang digunakan untuk menunjang perekonomian suatu Negara. Oleh sebab itu, keberadaan dan juga perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah dibutuhkan oleh seluruh umat didunia ini karena bila ilmu pengetahuan hanya berhenti pada suatu titik dan tidak mampu berkembang menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan umat manusia maka akan fatal akibatnya bagi kelangsungan masing-masing individunya.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini terinci sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep umum pengetahuan dalam islam ? 2. Kedudukan akal dan wahyu dalam islam ? 3. klasifikasi dan karakteristik ilmu dalam islam ? 4. kewajiaban menuntut ilmu dalam islam ?

C. TUJUAN PENULISAN 1. Mengetahui Bagaimana konsep umum pengetahuan dalam islam 2. Mengetahui Kedudukan akal dan wahyu dalam islam 3. Mengetahui klasifikasi dan karakteristik ilmu dalam islam 4. Mengetahui kewajiaban menuntut ilmu dalam islam

BAB II PEMBAHASAN ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

A. PENGERTIAN ILMU Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti

tahu

atau

mengetahui.

Dalam

bahasa

Inggris

Ilmu

biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk lebih memahami pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian : “Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode

tertentu

yang

dapat

digunakan

untuk

menerangkan

gejala-gejala

tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

B. KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU Ilmu merupakan sandi terpenting dari hikmah. Sebab itu, Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum berkata atau beramal. Firman Allah: “ Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad :19)Ilmu sebelum berkata dan beramal. Sufyan bin Uyainah berkata: manusia paling bodoh adalah yang membiarkan kebodohannya, manusia paling pandai adalah yang mengandalkan ilmunya, sedangkan manusia paling utama adalah yang takut kepada Allah.

Ibnu Taimiyah membagi ilmu yang bermanfaat menjadi tiga bagian, yaitu: 1.

Ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan lain-lain, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ikhlas.

yang

2.

Ilmu tentang persoalan-persoalan masalalu yang dikabarkan Allah; persoalanpersoalan masa kini, dan persoalan-persoalan masa mendatang, seperti yang dikabarkan dalam Al-Qur’an yaitu ayat tentang kisah-kisah, janji-janji, ancaman, surga, neraka, dan sebagainya.

3.

Ilmu tentang perintah Allah yang berhubungan dengan hati dan anggota badan, seperti iman kepada Allah melalui pengenalan hati serta amaliah anggota badan. Pemahaman ini bersumber pada pengetahuan dasar-dasar iman dan kaidah-kaidah islam. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang “Barang siapa yang Allah

menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama.” (HR Bukhori dan Muslim) Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim) Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu, “Sesungguhnya para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya.” (HR Ahmad dan Ibnu Majjah).

C. ADAB-ADAB DALAM MENUNTUT ILMU Setelah seorang mengetahui dan memahami akan keutamaan menuntut ilmu, maka hendaknya ia memiliki perhatian yang besar terhadap permasalahan adab-adab dalam menuntut ilmu, diantaranya adalah; 1. Ikhlas Seorang penuntut ilmu sebaiknya punya perhatian besar terhadap keihlasan niat dan tujuan dalam menuntut ilmu, yaitu hanya untuk Allah SWT. Karena menuntut ilmu adalah ibadah, yang namanya ibadah tiadk akan diterima kecuali jika ditunjukkan hanya untuk Allah SWT. 2. Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sesungguhnya seorang hamba butuh kepada kesungguhan dan semangat untuk memperoleh ilmu. Dia harus memaksakan dirinya untuk jauh dari sifat lemah dan malas.

Karena malas akan menyebabkan terhalanginya seseorang untuk mendapatkan kebaikan yang banyak. 3. Minta pertolongan kepada Allah SWT. Ini adalah perkara penting yang harus diperhatikan oleh seseorang dalammenuntut ilmu, bahkan perkara ini adalah dasar yang harus ada dalam diri. 4. Mengamalkan ilmu Seseorang dalam menuntut ilmu harus punya perhatian serius terhadap perkara mengamalkan ilmu. Karena tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Oleh sebab itu, seseorang harus benar-benar berusaha mengamalkan ilmunya. Adapun jika yang dilakukan hanya mengumpulkan ilmu namun berpaling dari beramal, maka ilmunya akan mencelakakannya. 5. Berhias dengan akhlaq mulia Seorang berilmu sebaiknya menghiasi diriknya dengan akhlaq mulia seperti lemah lembut, tenang, santun dan sabar. 6. Mendakwahkan ilmu Jika seseorang penuntut ilmu mendapatkan taufiq untuk misa mengambil manfaat dari ilmumya, hendaknya ia juga bersemangat untuk menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain.

D. SYARAT-SYARAT ILMU Ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan Ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. 1. Objetif Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.

2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah. 3. sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga. 4. universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.

E. KEDUDUKAN ILMU MENURUT ISLAM Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat AL qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Didalam Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780 kali , ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari AL qur’an sangat kental dengan nuansa-nuansa yang berkaitan dengan ilmu,

F. KLASIFIKASI ILMU MENURUT ULAMA ISLAM. Dengan melihat uraian sebelumnya ,nampak jelas bagaimana kedudukan ilmu dalam ajaran islam . AL qur’an telah mengajarkan bahwa ilmu dan para ulama menempati kedudukan yang sangat terhormat, sementara hadis nabimenunjukan bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Dari sini timbul permasalahan apakah

segala macam Ilmu yang harus dituntut oleh setiap muslim dengan hukum wajib (fardu), atau hanya Ilmu tertentu saja ?. Hal ini mengemuka mengingat sangat luasnya spesifikasi ilmu dewasa ini . Pertanyaan tersebut di atas nampaknya telah mendorong para ulama untuk melakukan pengelompokan (klasifikasi) ilmu menurut sudut pandang masing-masing, meskipun prinsip dasarnya sama ,bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Syech Zarnuji dalam kitab Ta’liimu AL Muta‘alim (t. t. :4) ketika menjelaskan hadis bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim menyatakan : “Ketahuilah bahwa sesungguhya tidak wajib bagi setiap muslim dan muslimah menuntutsegala sesuatu ilmu ,tetapi yang diwajibkan adalah menuntut ilmu perbuatan (‘ilmu semua hal) sebagaimana diungkapkan ,sebaik-baik ilmu adalah Ilmu perbuaytan dan sebagus -bagus amal adalah menjaga perbuatan”. Kewajiban manusia adalah beribadah kepeda ALLah, maka wajib bagi manusia(Muslim ,Muslimah) untuk menuntut ilmu yang terkaitkan dengan tata cara tersebut ,seprti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji ,mengakibatkan wajibnya menuntut ilmu tentang hal-hal tersebut . Demikianlah nampaknya semangat pernyataan Syech Zarnuji ,akan tetapi sangat di sayangkan bahwa beliau tidak menjelaskan tentang ilmu-ilmu selain “Ilmu Hal” tersebut lebih jauh di dalam kitabnya. Sementara itu Al Ghazali di dalam Kitabnya Ihya Ulumudin mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu 1). Ilmu Fardu a’in, dan 2). Ilmu Fardu Kifayah, kemudian beliau menyatakan pengertian Ilmu-ilmu tersebut sebagai berikut : “Ilmu fardu a’in . Ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib, Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu fardu a’in “ (1979 : 82) “Ilmu fardu kifayah. Ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi “ (1979 : 84) Lebih jauh Al Ghazali menjelaskan bahwa yang termasuk ilmu fardu a’in ialah ilmu agama dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam, sementara itu yang termasuk dalam ilmu (yang menuntutnya) fardhu kifayah antara lain ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada

dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.

Klasifikasi Ilmu yang lain dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :

1. Ilmu

yang

merupakan

suatu

yang

alami

pada

manusia,

yang

ia

bisa

menemukannya karena kegiatan berpikir. 2. Ilmu yang bersifat tradisional (naqli). bila kita lihat pengelompokan di atas , barangkali bisa disederhanakan menjadi dua. 1). Ilmu aqliyah , dan 2). Ilmu naqliyah.

Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan : “Kelompok pertama itu adalah ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaituilmu pengetahuan yang bisa diperdapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan indraindra kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya, persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir. Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara “ (Nurcholis Madjid, 1984 : 310). Dengan demikian bila melihat pengertian ilmu untuk kelompok pertama nampaknya mencakup ilmu-ilmu dalam spektrum luas sepanjang hal itu diperoleh melalui kegiatan berpikir. Adapun untuk kelompok ilmu yang kedua Ibnu Khaldun merujuk pada ilmu yang sumber keseluruhannya ialah ajaran-ajaran syariat dari al qur’an dan sunnah Rasul. Ulama lain yang membuat klasifikasi Ilmu adalah Syah Waliyullah, beliau adalah ulama kelahiran India tahun 1703 M. Menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu : a) Al manqulat b) Al ma’qulat, dan

c) Al maksyufat.

Adapun pengertiannya sebagaimana dikutif oleh A Ghafar Khan dalam tulisannya yang berjudul “Sifat, Sumber, Definisi dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Al Hikmah, No. 11, 1993), adalah sebagai berikut : 1) Al manqulat adalah semua Ilmu-ilmu Agama yang disimpulkan dari atau mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al hadis. 2) Al ma’qulat adalah semua ilmu dimana akal pikiran memegang peranan penting. 3) Al maksyufat adalah ilmu yang diterima langsung dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan indra, maupun pikiran spekulatifSelain itu, Syah Waliyullah juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok yaitu : a) Ilmu al husuli, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual, formatif aposteriori dan Ilmu al huduri, yaitu ilmu pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari esensi jiwa yang rasional akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi .Meskipun demikian dua macam pembagian tersebut tidak bersifat kontradiktif melainkan lebih bersifat melingkupi, sebagaimana dikemukakan A.Ghafar Khanbahwa al manqulat dan al ma’qulat dapat tercakup ke dalam ilmu al husuli.

G. FILSAFAT ILMU Filsat ilmu pada dasarnya merupakan upaya untuk menyoroti dan mengkaji ilmu, dia berkaitan dengan pengkajian tentang obyek ilmu, bagaimana memperolehnya serta bagaimana dampai etisnya bagi kehidupan masyarakat. Secara umum kajian filsafat ilmu mencakup : 1) Aspek ontologis 2) Aspek epistemologis 3) Axiologis Aspek ontologis berkaiatan dengan obyek ilmu, aspek epistemologis berkaiatan dengan metode, dan aspek axiologis berkaitan dengan pemanfatan ilmu. Dari sudut ini folosuf

muslim telah berusaha mengkajinya dalam suatu kesatuan dengan prinsip dasar nilai-nilai keislamanyang bersumebr pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

H. MENUNTUT ILMU SEBAGAI IBADAH. Dilihat dari segi ibadah, sungguh menuntut ilmu itu sangat tinggi nilai dan pahalanya, Nabi muhammad SAW bersabda yang artinya: “ Sungguh sekiranya engkau melangkahkan kakinya di waktu pagi (maupun petang), kemudian mempelajari satu ayat dari kitab Allah (Al-Qur’an), maka pahalanya lebih baik daripada ibadah satu tahun.” Mengapa menuntut ilmu itu sangat tinggi nilainya dilihat dari segi ibadah? Karena amal ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu yang berhubungan dengan itu akan sia-sialah amalahnnya. Syaikh Ibnu Ruslan dalam hal ini menjelaskan dalam hadist yang artinya : “ Siapa saja yang beramal (melaksanaka amal ibadah) tanpa ilmu, maka segala amalnya akan ditolak, yakni tidak diterima.”

I. KEDUDUKAN AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain. Karena Akal dan Wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang Kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari Rasulullah Saw. Tidak hanya itu dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus. Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena ketauhidan sang Kholiq tak akan terukur dalam menemukan titik akhir, begitu pula dengan wahyu sang Kholiq, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani antara wahyu dan akal harus selalu mengingat bahwa semua itu karena Allah semata. Dan

tidak akan terjadi jika Allah tak mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap Allah karena kesombongannya. Untuk lebih jelas tentang kedudukan akal dan wahyu dalam Islam, berikut dipaparkan tentang masing-masing pengertian akal dan wahyu serta fungsi dan kekuatannya.

a. AKAL

2. Pengertian Akal Akal adalah suatu daya yang diciptakan Allah Ta’ala bagi manusia untuk memikir, mengkaji dan memahami sesuatu mengikut syarat-syaratnya yang tertentu. Kata akal memiliki arti: menahan, mengekang, menjaga, dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu yang mengharuskan untuk mengikutinya.

3. Fungsi Akal Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain: a. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan b. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang c. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar

Masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.

4. Kekuatan Akal Kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti contoh:

a. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatNya b. Mengetahui adanya hidup akhirat c. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan danberbuat baik, sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenalTuhan dan pada perbuatan jahat d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat f. Membuat hukum-hukum mengnai kewajiban-kewajiban itu.

5. Kedudukan akal sebagai pengijtihad Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad. Maksudnya para mujtahid menggunakan akal fikiran mereka untuk mencari satu keputusan dalam syariat. Sesuai dengan difinisinya juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at. Jadi bagi para mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam memikirkan sesuatu masalah membutuhkan akal yang cemerlang supaya mendapatkan hasil yang maksimal dalam menentukan hukum. Ijtihad

didalam

islam

telah

melahirkan

mazhab-mazhab

fiqh

yang

menggambarkan kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih membutuhkan pemikiran lebih lanjut tentang hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang para mujitahid akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-ada. Karena itu seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu perkara maka akalnay harus tenang dan tidak semerautan. Karena ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu sendiri. Seorang mujitahid bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu perkara jika akal fikirannya belum tenang. Jika akal fikirannnya sudah tenanga maka para mujitahid akan mampu memecahkan segala perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa sekali fungsi dan peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran para mujitahid bisa memutuskan suatu perkara dengan baik dan maksimal. Jadi akal dapat difungsikan sebagai pengijtihad atau kedudukannya sebagai pengijtihad.

6. Kedudukan akal untuk mengenal diri manusia sendiri. Otak dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri manusia. Buka saja karena akal merupakan komponen tubuh tertinggi dari manusia, karena juga karena akal mencitrakan dan memberikan ciri khas dari manusia. Dalam hadits dinyatakan bahwa:

‫ف َربَّه‬ َ ‫ف نَ ْف‬ َ ‫سهُ فَقَ ْد ع ََر‬ َ ‫َم ْن ع ََر‬ Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah mengenal Tuhannya. Dari hadits ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa jika jika seseorang sudah mengenal dirinya maka dia sudah mengenal tuhannya. Mengenal diri sendiri bagi manusia bukan hanya mengenal dari fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia datang dan kemana ia kembali. Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang menggunakan akalnya untuk memikirkan dirinya darimana mereka datang. Dengan akal mereka akan menerawang jauh sejauh aklanya bisa berfikir darimana dia datang. Setelah mnggunakan akal fikirannya dengan maksimal maka seseorang akan dapat mengenal jati dirinya bahwa kita semua itu datang karena ada yang menciptakan. Seseorang akal mengambil contoh dari benda-benda disekelilingnya yang dapat mereka buat, benda tersebut ada karena ada yang membaut atau ada yang menciptakan. Dari itu seseorang akan berfikir dirinya ada karena ada yang menciptakannya. Tapi siapa yang bisa menciptakan dirinya yang begitu sempurna bagi pengelihatan mereka? Dari penikiran itu seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa menciptakan segala sesuatu denga kekuasaannya. Maka haidits diatas sangatalah benar sekali jika seseorang sudah mengenal dirinya maka sungguh mereka suda mengenal tuhannya. Namun jika seseorng hanya bisa mengenal dirinya sendiri, maka mereka belum bisa mengunkan akal fikiran mereka untuk memikirkan adanya Dzat yang telah menciptakan dia. Atau karena mereka mengelak dari kebenaran itu, mereka tidak mau mengakui tentang adanya sang pencipta yang maha kuasa yang mampu menciptkan segala sesuatu denan hanya mengucapkan “Kunfaakun” maka jadilah.

Akal manusia sangatlah terbatas sekali, karena itu ada batasan-batasan kemampuan untuk berfikir yang dijelaskan oleh Rsulallah SAW. Karena tu Rasulallah SAW. telah memberikan suatu batasan didalam hadits yang berbunyi:

‫ف ذَ ِلك‬ ِ ‫ق هللاِ َو ََل تَفَك َُّر ْوا فِى هللا َو ُك ُّل َما َو َر َد فِى بَا ِلكَ فَا هللُ بِ ِخ ََل‬ ِ ‫تَفَك َُّر ْوا فِ ْي َخ ْل‬ Artinya: Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah. Setiap yang terlintas dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu.

Dari hadits diatas jelas sekali bahwa akal manusia itu sangatlah terbatas. Akal manusia yang diberikan oleh Allah hanya mampu memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Akan tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan tentang Dzat Allah. Karena keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang maha kuasa lagi maha bijaksana. Memikirkan tentang Dzat Allah adalah kegilaan yang tidak sesuai dengan metode yang sehat, sebab bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (mkhluk) memikirkan yang tidak terbatas (kholik), yang fana memikirkan yang maha kekal, yang lemah memikirkan yang maha kuat, yang bakal mati memikirkan yang maha hidup. Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk yang memenuhui alam kosmos ini, baik matahari, bintang-bintang, bulan, pelanet dan semua peristiwa yang terjadi didalamnya. Lalau bagaimana mampu mengenal atau memikirkan Dzat pencipta makhluk-makhluk itu. Sesumggunya dia:

‫ف ا ْل َخ ِب ْي ُر‬ َ ‫ص ُر َو ُه َو يُد ِْركُ ْاَلَ ْب‬ َ ‫االنعام ََلتُد ِْر ُكهُ ْاَلَ ْب‬ ُ ‫ص ُر َو ُه َو اللَّ ِط ْي‬ Artinya: “Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. Al-An’am : 103)

Islam meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar dengan akalnya menggapai iktibar dan pelajaran dari penomena-penomena kosmik ini. Namun apabila

akal melampaui batas-batasnya akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu dan terjatuh. Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam banyak tempat islam menjelaskan berbagai persoalan berdasarkan sebab akibat, premis dan konklusi. Metode ini tidak mudah ditempuh oleh akal tanpa menyelaminya lebih dahulu. Pembinaan ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan Allah SWT tidak terbatas, namun dapat dipahami dengan menguraikan antara premis dan konklusi, dan merajut hubungan antara sebab dan akibat.

7. Kedudukan akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib. Akal diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia menciptakan gerak dan kegiatan hidup didalamnya. Apakah ia dapat menembus semua rashasia kehidupan dan misteri alam raya ini? Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa langit dibangun tanpa tiang, dan sistem tata surya yang teratur ini? Bagaimanakah akal menafsirkan rahasia kehidupan yang timbul dari benda mati? Itulah yang harus dijawab oleh akal. Sangat mudah menebaknya, karena secara intuitif akal adalah mahluk yang terbatas. Bagaimanapun kehebatan dan kesempurnaan temuan-temuan akal, pada puncak tertentu, namun jarak atara yang ada (wujud) dan tiada (‘adam) adalah jarak yang tidak dapat digambarkan oleh akal manusia. Akal akan sulut menjawabnya karena jarak ini berhubungan dengan kehendak pencipta. Kalaulah akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan kehilangan dirinya, atau akan terjatuh sepanjang masa. Abu Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis kelemahan akal manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi meletakkan akal pada bentuka alamiah dan ruang materialnya: “kalau kita lakukan kritik terhadap akal secara logika dan cermat. Terlepas dari dominasi akal atas akal, kita akan melihat kelemahan akal menjalankan tugas alamiahnya, dan bahkan keterpaksaannya mencari bantuan dari sesuatu yang tidak lebih berarga daripadanya. Misalnya untuk mengenal seseuatu yang belum pernah diketahui, akal membutuhkan data-data yang telah dihasilkan sebelumnya. Premis-premis ini tidak lain hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau kita melilhat pada obyek-obyek akal (ma’kulat) dan pengembaraannya yang panjang, nampak bahwa sarana yang dipergunakan oleh akal

untuk mengungkapkan dunia-dunia baru dan menyelam didalam lautan majhul (tidak nampak) adalah obyek inderawi yang muncul secara tidak sempurna. Data-data permulaan yang sangat membantu akal mencapai konklusi, mempunyai nilai yang tinggi karena indera manusia lemah dan manusia sendiri tidak mempunyai simpanan data”. Disitulah akal tidak akan mampu menerobos jalan kedepan untuk sampai kepada sesuatu konklusi didalam masalah metafisik (gaib), sebagaimana tidak seorangpun diantara kita yang lemah dapat mengarungi lautan tanpa perahu, atau hendak terbang tanpa pesawat. Jelas sekarang persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar kemungkinan akal untuk memecahkan misteri langit dan bumi, misteri bermula dan berakhirnya alam, misteri alam ghaib, dan misteri di luar medan akal yang sempit. Akal tidak mungkin akan mampu mencapainya, sebab kalau mungkin tentu unta dapat mampu masuk kedalam lubang jarum. Karena itu, sebaiknya akal berdiam diri mengenai masalah-masalah tersebut. Abu Bakar ibn Al-‘Arabi melepaskan akal dari obyek-obyek tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, karena obyek-obyek ini jauh lebih besar daripada akal sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan akal pada kedudukan dan medan diluar jangklauannya, disamping menyatakan sebagai klaim-klaim mereka tentang akal sebagai suatu ketololan. “ Sulit untuk dipertanggungjawabkan, asumsi bahwa akal berkuasa mutlak untuk atau mencapai semua obyek. Kami tidak mengklailm bahwa akal dapat mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya dan secara bebas. Ia terikat dan terbatas pada persepsinya sendiri, sedangakan medan siluar lintasannya tidak mungkin dicapai. Adapun orang-orang yang dapat mengertuk pintunya dalam menembusnya adalah para nabi yang memang dianugrahi sarana untuk mengetahui hakikatnya dan mengungkapkan aturan-aturannya.

8. Kedudukan akal untuk memikirkan penciptaan Allah SWT Sudah pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang Allah berikan kepada manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Bagaimana langit dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya, bagaimana bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam, semua itu bisa manusia ketahui dengan akal yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

ْ ‫ض َو‬ ٍ َ‫ف اَّلل ْي ِل َوالنَّ َه ِار ََلَي‬ ‫ب‬ ِ ‫س َم َوا‬ ِ َ‫اختِل‬ َّ ‫ق ال‬ ِ ‫ت َو ْاَلَ ْر‬ ِ ‫ت َِلُو ِلى ْاَلَ ْلبَا‬ ِ ‫ا َِّن فِ ْى َخ ْل‬ ‫ت‬ َ ‫َللاَ ِق َي ًما َّوقُعُ ْودًا َّو‬ ِ ‫س َم َوا‬ َّ ‫علَى ُجنُ ُو ِب ِه ْم َو َيتَفَك َُّر ْو َن ِف ْى َخ ال‬ َ ‫اَلَّ ِذ ْي َن َي ْذك ُُر ْو َن‬ 191-190 :‫ال عمران‬...ً‫ض َربَّنا َما َخلَ ْقتَ َهذَا بَاطَل‬ ِ ‫َو ْْل َ ْر‬ Artinya: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. (QS. Ali Imran: 190-191)

Demikianlah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Bahwasanya dari semua apa yang diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Dari itu sebagai manusia hendaknya mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang telah Allah ciptakan, bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang begitu luas dan besar ini, bagaimana sang pencipta bisa merancang sedemikiran rupa apa yang ada didalamnya. Dan bagaimana pula langit yang begitu luas dan panjang yang dibentangkan dari masyrik ila magrib yang tidak ada satupun tiang yang menyanggannya. Inilah kebesara yang Allah perlihatkan kepada kita semua. Inilah kebesaran kekuasaan yang dipertontonkan Allah kepada semua mahluknya, agar supaya mau berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Demikian pula dijelaskan didalam ayat diatas bahwa bagaiman silih bergantinya siang dan malam. Bagaiman pada pagi hari matahari mulai memancarkan sinarnya yang keemasan, dan pasa sore hari matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah kita memungkiri semua kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada setiap mahluknya? Siapakah yang mampu memutar dunia ini sehingga terjadinya pergantian singa dan malam?

Lagi-lagi kita disuruh mempergunakan akal kita untuk memikirkan semua itu. Hanya Allahlah yang mampu mengatur semua itu, hanya Allahlah yang mempunyai kekuasaan mengatur sulih bergantinya siang dan malam. Didalam akhir ayat diatas diterangakan yang artinya.....”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptkan ini dengan sia-sia”. Dari ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun yang Allah ciptakan tidak ada yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk mempergunakan akal mereka untuk memikirkan setiap apa yang terjadi di alam ini. Jikalau manusia telah menggungakan akal mereka, maka semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Karena Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah di antara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendirisendiri antra lain: a. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. b. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut. c. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. d. Sementara itu aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui

dengan wahyu. Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat As-Sajdah, surat Al-Ghosiyah ayat 17 dan surat Al-A’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. Dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil Al-Qur’an surat Hud ayat 24. Sementara itu aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat Al-Qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . Ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat Al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk. Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat Islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. Bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.

a. Wahyu

1. Pengertian Wahyu Kata wahyu berasal dari kata arab ‫الوحي‬, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Ketika AlWahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi. Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun

tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainnya.

2. Fungsi Wahyu Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi di sini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan diterima manusia di akhirat. Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orangorang yang tak menyukai keberadaannya. Selain itu, sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah Swt.

3. Kekuatan Wahyu Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karena itu wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor antara lain: 1)

Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.

2)

Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu al-qur’an dan as-sunnah.

3)

Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.

4)

Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.

5)

Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.

J. KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ILMU DALAM ISLAM

1. Sumber dan Metode Ilmu Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan, memecahkan kebekuan

zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif. al-qur’an menganggap ”anfus” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tandaNya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.

2. Keterbatasan Ilmu Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan alat-alat kognitif yang alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi. ”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (AnNahl:78) Keterbatasan ilmu manusia tidak menghilangkan makna ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar manusia dapat mengenal eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan mengantarkan manusia kepada Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu hingga zaman komputer.

3. Ilmu-Ilmu Semu Banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan tetapi dirinya bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti inilah yang disebut sebagai ilmu yang semu karena tidak membawa manusia kepada tujuan hakiki. Pertama, sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah Swt, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini. Kedua, terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karyakarya pendahulu (nenek moyang) mereka. Ketiga, mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.

4. Klasifikasi Ilmu Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang berkembang, diantaranya klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Al-Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M). Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar, yakni ilmuilmuTanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilainilai yang diturunkan Allah SWT baik dalam kitab-Nya maupun hadits-hadits Rasulullah SAW, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya

dengan

alam.

Bersumber

pada

al-qur’an

dan

hadits,

ilmu-

ilmu Tanziliyah telah berkembang sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, di antaranya Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhulanbiyaa, Sirah Nabawiyah,dan lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalamUlumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, danlainlainnya.Bersumber pada ayat-ayat Allah SWT, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya. Antara ilmu Tanziliyah dan Kauniyah tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling melengkapi bagi kehidupan manusia. Ilmu Tanziliyahberfungsi menuntun jalan kehidupan

manusia,

sedangkan

ilmu Kauniyahmenjadi

sarana

manusia

dalam

memakmurkan alam ini. Kadang kala ayat- ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadits memberikan

rangsangan

ilmu Kauniyah. Sebaliknya,

bagi

manusia

untuk

lebih

ilmu-ilmuKauniyah dapat

menekuni memperkuat

lagi

ilmu-

bukti-bukti

keagungan dan kebesaran ayat-ayat Allah.

K. KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN Manusia diciptakan lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya tersebut adalah dengan

dengan pemberian akal pikiran dalam penciptaannya. Akal inilah yang dapat membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dengan akal itu Allah SWT telah memuliakan manusia, mengangkat derajatnya dengan derajat yang tinggi. Akal adalah alat untuk berpikir, Allah SWT menjadikan akal sebagai sumber tempat bermula dan dasar dari ilmu pengetahuan. Imam Ghazali mengatakan sebagaimana dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, penyebutan kata yang terkait dengan “al‘aqlu” dalam Al-Qur’an sedikitnya ada lima puluh

Allah SWT berfirman dalam S. Al-Jastiyah ayat 3-5: ‫) وفي خلقكم ومايبث من دابة ايات لقوم يوقنون‬3(‫ان في السموات واالرض اليات للمؤمنين‬ ‫) واختالف اليل والنهار وماانزل‬4( )5(‫هللا من السماء من رزق فاحيابه االرض بعد موتها وتصريف الرياح ايات لقوم يعقلون‬

Artinya: Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatangbinatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.

Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa dalam setiap ciptaan Allah terdapat ilmu pengetahuan yang akan menunjukkan tanda-tanda Kebesaran Allah kepada manusia. Untuk menggali dan mendapatkan pengetahuan itu manusia harus menggunakan akal pikiran yang telah dianugerahkan kepadanya. Dalam hal ini wahyu dan akal saling mendukung dan melengkapi untuk mendapatkan tanda-tanda Kekuasaan Allah. Agama Islam datang dengan memuliakan sekaligus mengaktifkan kerja akal serta menuntutnya kearah pemikiran Islam yang rahmatun lil’alamin. Manusia harus dapat menggunakan kecerdasan yang dimilikinya untuk kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Akal sebagai dasar dari ilmu pengetahuan memberikan kemampuan kepada manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk dan dapat memberikan argumen tentang

kepercayaan dan keberagamaannya. Dengan kemampuan akal untuk berpikir ini manusia mampu menentukan pilihan yang terbaik untuk dirinya dan agamanya. Islam juga meluaskan cakrawala manusia mengenai potensi intelektual, psikologis dan unsur - unsur penting penghidupan lainnya. Islam mengajarkan manusia untuk menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan menggunakan akal yang dimilikinya manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Manusia harus terus menimba ilmu karena ilmu terus berkembang mengikuti zaman. Apabila manusia tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, niscaya pandangannya akan sempit yang berakibat lemahnya daya juang menghadapi jalan kehidupan yang cepat ini. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekananya terhadap Ilmu (sains). Al-Qur’an dan al-Sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Allah SWT telah menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.

Allah SWT berfirman: ‫واذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع هللا الذين امنوا منكم والذين اوتواالعلم درجات‬ “Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (al-Mujadalah 11).

Menurut al-Maraghi, tafsir dari ayat ini adalah bahwa Allah meninggikan orang-orang yang mukmin dengan mengikuti perintah-Nya dan perintah Rosul, khususnya orang-orang yang berilmu di antara mereka beberapa derajat yang banyak dalam hal pahala dan tingkat keridlaan.(8) Ayat tersebut menunjukkan betapa Allah SWT sangat memuliakan orang-orang yang berilmu pengetahuan. Ayat tersebut juga memberikan gambaran kepada manusia mengenai kedudukan ilmu pengetahuan, sebagai bekal baik dalam kehidupan di dunia

maupun di akhirat. Ada sebuah ungkapan terkenal mengenai bagaimana orang harus menuntut Ilmu;“Tuntutlah ilmu sekalipun di negeri Cina”.(HR. Ibnu ‘Adiy dan Al-Baihaqi). Maksud dari ungkapan tersebut adalah; bahwa ilmu harus dicari dan dikejar walaupun berada di negeri yang sangat jauh sekalipun. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa penting dan utamanya kegiatan Talab al-‘ilm, hingga harus dilakukan walau dengan perjalanan ke negeri yang sangat jauh sekalipun. Kata “negeri Cina” di atas hanya sebagai perumpamaan negeri yang sangat jauh, karena negeri Cina adalah negeri yang sangat jauh bagi umat Islam yang berada di Timur Tengah pada waktu itu. Jadi seandainya sekarang negeri yang perekembangan ilmu pengetahuannya paling maju, berada di belahan bumi bagian barat maka kesana pula kita harus mengejar ilmu itu.

Rasulullah menegaskan dengan sabda beliau: ‫طلب العلم فريضة على كل مسلم (رواه ابن ماجه‬ “Menuntut ilmu itu adalah suatu kewajiban bagi setiap orang Islam”(10).)HR. IbnuMajjah) Jelaslah dari sabda Rasul tesebut bahwasanya menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan. Begitu pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia, karena orang beribadah kepada Allah juga harus dengan ilmu Penghargaan terhadap Ilmu Agama Islam bersumber dari wahyu Allah Swt, sedangkan ilmu pengetahuan bersumber dari pikiran manusia yang disusun berdasarkan hasil penyelidikan alam, yang bertujuan mencari kebenaran ilmiah. IPTEK dalam Islam dipandang sebagai kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan memberi kemudahan pada peningkatan Ubudiyah kepada Allah.IPTEK dalam Islam juga sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah yang berakal. Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi sekali karena hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi manusia itu sendiri. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:

1. Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Saw (Al Alaq: 1–5) 2. Banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, pikiran, dan pemahaman (Al Baqarah: 44)

3. Allah Swt memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi (Al A’raaf: 179) 4. Allah memandang lebih tinggi derajat orang-orang yang berilmu (Az Zumar : 9 dan Al Mujadilah:11)

5. Allah akan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang melakukan sesuatu tidak berdasarkan ilmu (Al Israa:36)

6. Pemahaman terhadap ajaran agama harus berdasarkan ilmu (Ali Imran:18) 7. Dalam menentukan orang-orang pilihan yang menjadi Khalifah di muka bumi ini Allah melihat sisi keilmuannya (Al Baqarah: 247).

8. Allah menganjurkan kepada seorang yang beriman untuk sentiasa berdo'a bagi pertambahan kekuasaan ilmunya (Thaha: 114).

Menuntut ilmu adalah bagian yan sangat penting dari pengamalan ajaran Islam yang menunjukkan seseorang pada jalan kehidupan yang memberikan keyakinan. Ilmu yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat yang pemanfaatannya dapat meningkatkan kemampuan produksi dalam berbagai sektor kehidupan, sehingga Islam mewajibkan untuk menuntuti ilmu, baik secara pribadi maupun kelompok.

1. Model Kewajiban Menuntut Ilmu Ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang pribadi terkait dengan status dirinya, sebagai seorang muslim dengan kondisi-kondisi yang menyertainya. Seseorang yang telah mencapai usia baligh, maka wajib bagi dirinya untuk mengetahui pokok-pokok ajaran agamanya. Kewajiban-kewajiban lainnya datang menurut kondisinya. Kewajiban menuntut ilmu yang terkait dengan kepentingan tiap individu muslim disebut fardhu 'ain.Yusuf Qardhawi menyebutkan empat macam ilmu yang termasuk dalam fardhu 'ain:Ilmu mengenai Aqidah Yaqiniyah yang benar, selamat dari syirik dan khufarat. a.

Ilmu yang membuat ibadah seseorang terhadap Tuhannya berjalan dengan benar sesuai dengan ketentuan yang disyariatkan.

b.

Ilmu yang dengannya jiwa dibersihkan, hati disucikan, segala keutamaan dikenal untuk kemudian diamalkan.

c.

Ilmu yang bisa mendisiplikan tingkah laku dalam hubungan seseorang dengan dirinya atau dengan keluarganya atau dengan khalayak banyak.

d.

Ilmu-ilmu yang keberadaannya terkait dengan kepentingan masyarakat muslim dan umum termasuk fardhu kifayah. Ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah diantaranya ilmu-ilmu yang terkait dengan pendalaman pemahaman syariat seperti Tafsir, ilmu Mustalah Hadits, ilmu Ushul Fiqh, dan sebagainya. Juga ilmu-ilmu yang terkait dengan kebutuhan hidup di dunia seperti ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

http://sitiimunawaroh.blogspot.co.id/2015/04/ilmu-pengetahuan-dalam-islam.html Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta: CV. Triasco, 2003), h. 109. https://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu Dra. HJ. Nuruhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I, Cv Pustaka Setia, Jakarta. 1966 Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Lintas Pustaka. Jakarta. 2006. Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta: CV. Triasco, 2003), h. 109.

Related Documents


More Documents from "testimelina"