Islam Disiplin Ilmu

  • Uploaded by: galih rizki
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Islam Disiplin Ilmu as PDF for free.

More details

  • Words: 9,804
  • Pages: 31
Loading documents preview...
ISLAM DISIPLIN ILMU ISLAMISASI ILMU dan ILMUISASI ISLAM

MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam Disiplin Ilmu Disusun Oleh : GALIH RIZKI DWI SAPUTRA

( 10090313176)

IQBAL HADID

( 10090313185)

MUHAMMAD HILMAN

( 10090313171)

MANAJEMEN - B

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS 2015

BAB I LATAR BELAKANG 1.1.

Latar Belakang Setelah Abad 15 M umat islam mengalami kemunduran yang sangat parah ditandai

dengan hancurnya dinasti Abbasiyah sebagai simbol kejayaan umat islam. Kemudian diikuiti dengan semangat bangsa Erofa yang dengan Renaisance nya membawa keharuman bangsa tersebut menuju puncak keemasan yang pernah di raih umat islam sebelumnya. Dari titik kesadaran yang diraih bangsa Erofa tersebut mampu menemukan berbagai inovasi dalam teknologi industri konsumtif; mesin, listrik, teknologi pemintalan dan lain lain. Setelah waktu berjalan penemuan inovasi ini tidak diimbangi raw material yang dimiliki bangsa Erofa sehingga memunculkan revolusi industri, yang mengakibatkan krisis kemanusiaan; Misalnya pengangguran, perbudakan, pemberontakan sebagai akibat kaum Borjuist yang sudah tidak memerlukan lagi tenaga manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilainilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spritual, moral dan etika. Oleh karena itu Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam merupakan suatu hal yang mesti dan harus dirumuskan. Problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Tulisan ini mencoba memotret ide-ide penting tentang Islamisasi ilmu yang digagas oleh Wan Mohd Nor Wan Daud dan Syed Mohammad Naquib al-Attas. Membicarakan tema islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari sosok Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sebab seperti dikemukakan oleh Wan Mohd. Nor Wan Daud, al-Attas adalah seorang tokoh pemikir Islam yang pertama kali menggagas ide islamisasi ilmu pengetahuan, tepatnya ilmu pengetahuan kontemporer/modern/masa kini, di samping dua ide lainnya, yakni (1) problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; dan (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang

mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Maka dari itu, dalam membahas tema islamisasi ilmu pengetahuan ini, pemikiran al-Attas dengan dua ide mendasar lainnya tentang ilmu pengetahuan, mesti dijadikan pijakan utama. Ilmu pengetahuan dapat menjadi salah satu media dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Tapi apakah semua ilmu pengetahuan yang dipelajari umat manusia sesuai dengan ajaran islam? Dalam makalah ini akan dibahas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan akan mampu menghilangkan keraguan dalam menekuni suatu ilmu. 1.2. Rumusan Masalah 1. Deskripsi tentang Islamisasi Ilmu 2. Deskripsi tentang Ilmuisasi Islam 3. Analisis Persamaan dan Perbedaan (Islamisasi Ilmu dengan Islamisasi Islam) 4. Analisis kekurangan dan keunggulan (Islamisasi Ilmu dengan Islamisasi Islam)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Islamisasi Ilmu Pengetahuan 2.1.1. Islamisasi Ilmu Pengetehuan Menurut Al-Attas Al-Attas melihat bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).

Ironisnya, ilmu yang ada ini sudah terbaratkan atau tersekulerkan.Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat.Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu. Kehidupan Barat yang bercirikan sekuler telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya pengetahuan yang bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan fenomena semata.Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan pada rasio. Pandangan seperti itu muncul karena sains Barat tidak dibangun di atas wahyu.Ia dibangun di atas budaya yang diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.Inilah yang dikritisi oleh Al-Attas.Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan epistimologi Islam. Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism).Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi.Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran.Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral. Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuanpengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usahausaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan.Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam.Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin

diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan. Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan premispremis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap. Sedang kelahiran ilmu dalam Islam, menurut Al-Attas , didahului oleh tradisi intelektual yang tak lepas dari lahirnya pandangan hidup Islam yang bersumber dari alQur`an dan penjelasannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). Berdasar inilah, sains dalam Islam menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu untuk alat ukur sebuah kebenaran akhir.Wahyu menjadi dasar bagi kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisisme. Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya, sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak. Pandangan hidup Islam mencakup dunia dan akhirat. Aspek dunia itu harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif.Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid).Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi.Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.

Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah).Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler. Kita berharap konsep ini dapat menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. 2.1.2. Pelopor Islamisasi Ilmu Pengetahuan Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah konsep barutetapi konsep lama yang kembali diaktualkan, mungkin hanya beda istilah saja. Namun, ketika umat Islam berada pada posisi kemunduran dan ingin bangun darikemunduran gagasan Islamisasi ilmu dianggap baru, tepat dan membumi. Karenaitu, tidaklah mengherankan gagasan Islamisasi disambut positif oleh kalangan dunia Islam dan para ilmuannya. Ada sejumlah tokoh yang telah berbicara tentangIslamisasi ilmu, yaitu: 1) Al-Farabi, lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam disebut gurukedua, maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi guru kedua. Ia terkenal penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari filsafat emanasiAristoteles. Karyakaryanya yang terkenal di antaranya yaitu Ihsha’ Al –Ulum (klasifikasi ilmu). Seperti yang dijelaskan oleh Osman Bakar, klasifikasi ilmumenurut Al-Farabi yaitu ilmu religious; tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi,ilmu kebahasaan dan logika, ilmu-ilmu filosofis; matematika, ilmu alam,metafisika, ilmu politik, yurispurdensi dan teologi. Klasifikasi ilmu ini padadasarnya merupakan kerangka berpikir untuk Islamisasi ilmu. Karena padawaktu itu terdapat kebuntuan di kalangan ilmuan Islam mengenai dikotomiantara ilmu dan agama (Islam). Sebagai solusinya maka AlFarabimenciptakan klasifikasi ilmu. 2) Al-Ghazali, (1058-1111 M) gelar hujjatul Islam , filosof, fuqaha, teolog dansufi, lahir di

Thus, sekarang

masuk wilayah

Khurasan. Karya-karyanya

yangterkenal

di

antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min ad-dalal (penyelamatdari kesesatan), dan Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat). Para pencariilmu menurutnya dibagi empat. 1). Para teolog. 2). Filosof. 3). Taklimiyah dan 4). Sufi. Sedangkan klasifkasi ilmu menurutnya

dibagi

dua.

Pertama,

ilmu syar’iyah (naqliyah)

dan

kedua

ghairi syar’iyah (aqliyah). Pembagian ini sering juga disebut ilmu teoritis dan praktis. Kelompok ilmu masuk syar’iyah yaitu: 3) Ilmu al-Ushul; ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, eskatologis (akhirat)dan ilmu tentang sumber pengetahuan religious; Al-Quran dan Sunnahsebagai sumber primer sedangkan ilmu sumber skunder yaitu ijmak danatsar sahabat. Ilmu ini dibagi kepada dua hal, yaitu ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu pelengkap; ulum Al-Quran, Ulum alHadis, ushul fikih, dan biografi para tokoh. 4) Ilmu tentang cabang-cabang (furuq);

ilmu

tentang

kewajiban

manusiakepada Allah, ilmu tentang kewajiban kepada masyarakat; transaksi,qisas, dan hukum keluarga serta Ilmu tentang akhlak.Kelompok ilmu ghairi syar’iyah (aqliyah), yaitu : a. Matematika; aritmatika, geometri, musik, astronomi dan astrologi. b. Logika c. Ilmu alam atau fisika; kedokteran, meteorologi mineralogi dan kimia. d. Metafisika; ontologi, pengetahuan tentang esensi, sifat dan perbuatanTuhan, pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana (intelegensia)dan substansisubtansi malaikat. e. Pengetahuan tentang alam ghaib. f. Ilmu tentang kenabian dan ilmu tentang mimpi. g. Ilmu supernatural. Klasifikasi ilmu yang diciptakan oleh Imam Al-Ghazali sebenarnya ingin mendudukkan bahwa tidak terjadi dikotomi antara ilmu syar’iyah (naqliyah) dan ilmu ghairi syar’iyah

(aqliyah),

perbedaannya

ilmu

syar’iyah

(naqliyah)sumber

kebenarannya wahyu Allah dan ghairi syar’iyah (aqliyah) yaitu akal manusia, kekuatan akal manusia adalah terbatas sedangkan kebenaran wahyu Allah bersifatmutlak. Mengutip Amsal Bachtiar yang membedakannya hanya soal pembidangan ilmu saja, ilmu naqliyah dan aqliyah. 1) Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas. Lahir di Bogor pada tahun 1931,ibunya berasal dari Sunda dan ayahnya dari Johor, Malaysia. Ia dikenals eorang militer, pendidik, intelektual muslim, ahli dalam bidang filsafat dan tasawuf. Mengutip Arqom Kuswanjono Al-Attas adalah tokoh Islamisasi ilmu dan ia yang pertama kali memperkenalkan

pentingnya

Islamisasi

ilmu

pada

World

Confrence

on

Islamic Education (Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam), di Mekkah tahun 1977 dan diIslamabad, Pakistan tahun 1980 dan kemudian gagasan ini dikembangkandan dipopulerkan oleh Ismai Rajiq Al-Faruqi.Gagasan inilah yang melambungkan nama Al-Attas dipanggung pemikiran pendidikan Islaminternasional,

seorang keturunan Indonesia yang mendunia. Latar belakang munculnya gagasan ini karena dalam pandangan Al-Attasdunia Islam diselimuti oleh pemikiran sekularisme yang berusaha memisahkanhubungan agama dan dunia, pada hal antara keduanya tidak terpisah, akar sekularisme telah mencabut akar-akar keyakinan manusia kepada Allah. Dunia Kristen telah gagal membendung sekularisme dan terjebak bahkan sekularisme dipandang sebuah keharusan dalam keimanan. Untuk menghambat derasnya arus sekularisme maka konsep yang dilontarkan oleh Al-Attas adalah pentingnya pembersihan westernisasi yang telah menyusup ke dalam pendidikan Islam dan diganti dengan otoritas wahyu dan intuisi (tasawuf). Dunia modern telah mengabaikan kebenaran wahyu dan intuisi dan berpegang kuat kepada kebenaran akal dan empiris serta meninggalkan kaidah-kaidah agama ataumoral. Al-Attas menyebutnya ketiadaan adab. Maksud ketiadaan adab di siniyakni ketiadaan pengenalan ilmu yang terkait dengan pemahaman tentang wahyu(Al-Quran). 2) Ismail Rajiq al-Faruqi. Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921, sebuah negeri yang tidak pernah merdeka dan dijajah oleh Israel hingga kini. Ia terkenal sebagai ilmuan muslim, pendidik, dan pejuang Palestina yang gigih memperjuangkan negerinya untuk merdeka. Karirnya dalam bidang pendidikan melejit setelah ia hijrah ke Amerika pada tahun 1947 dan padatahun 1949 ia memperoleh gelar Magister di bidang filsafat di Universitas Indiana dan gelar Doktor diperoleh dari universitas yang sama. Pemikiran Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Al-Faruqi diilhami oleh pemikiran Naquib Al-Attas, salah satu karya terbesarnya ialah Islamizationof Knowledge; General Principles and Workplan. Buku ini merupakan salah saturujukan tentang

pentingnya

Islamisasi

terutama pada era tahun

ilmu

pengetahuan

1980-an. Karena

itu,

di

tidaklah

dunia

Islam

heran dalam

pandangan M. DawamRahardjo tokoh utama Islamisasi ilmu adalah Ismail Rajiq AlFaruqi, orang Malaysia menyebut ide itu “dicuri “oleh Ismail Rajiq Al-Faruqi laludipopulerkannya.

Latar

belakang

munculnya

gagasan

Islamisasi

Ilmu

pengetahuandisebabkan tedapatnya dualisme sistem pendidikan Islam, yang satu bercorak pendidikan agama dan kedua bercorak pendidikan umum, menurutnya kedua nyaharus

disatukan

ke

dalam

paradigma

Islam

berdasar

tauhid,

tidak

memisahkanantara dalil naqal dan akal. Kedua dalil ini saling terkait tak terpisah, kebenarannaqal bersifat mutlak dan kebenaran akal adalah bersifat nisbi (relatif). 2.1.3. Sejarah Perkembangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kata “islamisasi” dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhajnya oleh Allah melalui wahyu. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara

atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan dalam pembentukan mental. Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan yaitu hubungan antara “Kitab Wahyu” al-Quran dan al-Sunnah dengan “kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, islamisasi ilmu ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia. Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma' (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan. Sesungguhnya, secara substansial proses islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulamaulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti alGhazali, Fakhruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun 70-an. Dalam konteks modern, istilah "islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler

merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salahmemahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral yang diatur oleh rasio manusia terus menerus berubah. Naquib AlAtas bercita-cita ingin menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia. Karena itu, seluruh hidupnya ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini. Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal

dan

bahasa

dari

pengaruh

sekularisme).

Gagasan Al-Atas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of Knowledge", dalam rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah". Dia mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri. Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode

itu dengan menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilainilai Islam. Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi ilmu juga mendapatkan kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, terutama para pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam Soroush, Bassam Tibbi dan sebagainya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Permasalahannya hanya dalam hal penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua fungsi ganda, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab, sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya. Menurutnya, ilmu pengetahuan sangat tergantung kepada cara menggunakannya. Jika orang yang menggunakannya baik, maka ilmu itu akan berguna dan bermanfaat bagi orang banyak, tetapi jika orang yang memakainya tidak baik, maka ilmu itu akan membawa kerusakan. Tampaknya Fazlur Rahman menolak konsep dasar bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Dia juga tidak percaya bahwa konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan dan manusia, alam, agama, sumber ilmu akan menentukan cara pandang seseorang terhadap ilmu pengetahuan. Selain itu, pemikiran sekular juga telah hinggap dalam pemikiran Fazlur Rahman. Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independen dari manusia, budaya atau agama, dan harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam misalnya, menyatakan: “Hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen.” Dilihat dari pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan, bahwa tidak ada istilah sains Islam. Abdus Salam, sebagaimana para pemikir Islam sekular lainnya, tidak sepakat jika pandangan-hidup Islam menjadi dasar metafisis dalam pengembangan sains. Padahal, menurut Prof. Alparslan Açikgenç, pemikiran dan aktifitas ilmiah dibuat di dalam pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya struktur konsep keilmuan tertentu sebagaimana juga panduan etis. Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang dimilikinya. Abdul Karim Sorush juga mengajukan kritik terhadap konsep islamisasi ilmu. Ia menyimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, realitas bukan Islami atau tidak Islami. Kebenaran yang ada di dalamnya juga bukan ditentukan apakah ini Islami atau tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami

atau tidak Islami. Para filosof Muslim terdahulu tidak pernah menggunakan istilah filsafat Islam. Istilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Ringkasnya, dalam mengkritik konsep islamisasi ilmu pengetahuan ini, Abdul Karim Sorush menyatakan; (1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan tidak bisa diislamkan; (3) Pertanyaan dan masalah yang diajukan dalam sains adalah untuk mencari kebenaran, meskipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang digunakan dalam sains juga tidak bisa diislamkan. Dari pandangan Abdussalam di atas, seakan-akan dia memandang bahwa realitas adalah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas adalah tetap dan berubah. Seperti yang dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, "reality is at once both permanence and change, not in the sense that change is permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby change occurs."\ Berbeda dengan Abdussalam Soroush di atas, Bassam Tibi mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan berarti akan melakukan pribumisasi (indigenization) ilmu. Tibi memahami Islamisasi ilmu sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim universalitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) lokal untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi. Namun, sependapat dengan Wan Mohd Nor Wan Daud yang menyatakan bahwa pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain yang berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun

juga mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan islamisasi ilmu suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular. 2.1.4. Sebab-sebab Adanya Islamisasi Ilmu Pertama, bahwa kehidupan moderen yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diakui telah memberikan kemudahan bagi kehidupan manusian dalam segala bidang: transfortrasi, komunikasi, konsumsi, pendidikan dan sebagainya. Namun bersamaan dengan itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah menimbulkan berbagai dampak negatif berupa timbulnya persaingan dan gaya hidup yang menghalalkan segala cara, termasuk di dalamnya penjajahan terhadap kedaulatan negara lain. Masyarakat menganggap bahwa semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan materi, sehingga materimenjadi raja dan orang memujanya. Kehidupa yang demikian itu kini sudah mulai menunjukan kegagalanya. Umat manusia merasakan ada sesuatunyang hilang dalam dirinya, yaitu pegangan hidup yang bersumber dari nilai-nilai universal dan absolut yang berasal dari pencipta-Nya, yaitu Tuhan. Di tengah-tengah kehidupan yang penuh dinamika dan persaingan ini, ia tampak sendirian, tidak punya pegangan hidup, dan rapuh. Akibat dari keadaan yang demikian itu, maka ketika ia menghadapi masalah yang berbeda di luar batas kesangupanya ia mulai gayah, mencari peganggan hidup yang rapuh dan bersifat sesat, seperti hiburan, minum-minuman keras dan sebagainya.mereka telah meningalkan fitrah dirinya sebagai maluk yang memerlukan agama. Dalam keadaan yang demikia itu, maka manusia membutuhkan agama. Inilah alasan kembalinya manusia pada agama. Kedua,bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sudah masuk kedalam seluruh sistem kehidupan denga berbagai variasinya. Bagi masyarakat moderen yang tingal di perkotaankebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian besar. Mulai dari peralata rumah tangga, peralatan masak-memasak, trsasfortrasi, hinga peralatan komunikasi dan peralatan perang yang sudah mengunakan ilmu pengetahua dan teknologi. Demikian masyarakat yang tinggal di pedesaan pun sudah mulai bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejumlah peralatan membajak sawah, mematangkan tanah persawahan, penanaman padi, hinga pengilinganyasudah mulai mengunakn teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi enar-benar telah memberi kemudahan dan kenyamanan bagi manusia. Namun ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Ia memang benar dapat mempercepat manusia sampai pada tujuan. Namun ilmu pengetahua dan teknologi tidak mengetahui tujuan apa yang harus dicapainya. Agamalah yang memberi tahu tujuan apa yang harus dicapai oleh ilmu pengetahuan. Enstain merah mengingatkan melalui pernyataan bahwa ilmu pengetahuan

tampa agama adalah buta. Pernyataan tersebut telah menunjukan bukti-buktinya saan ini. Ilmu pengetahuan saat ini berada dibawah kendali orang-orang yang tidak beragama. Mereka telah mengunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk tujuan apa saja termasuk untuk tujuan-tujuan penjajahan, pencurian, pelangaran hak-hak asasi manusia dan seterusnya. Dalam perkembangan ilmu pengetahuanyang demikian itu telah mendorong para ahli untuk mengembalikan ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam wataknya yang murni sebagaisebuah kumpulan teori, dan manjadikannya tunduk di bawah aturan nilai-nilai agama. Upaya ini dilakukan antara lain melalui program Islamisasi ilmu pengetahuan. Ketiga,Islamisasi ilmu pengetahuan juga terjadi sebagai respon tehadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari barat dengan bersifat dan berkarakter yang sekular, materialistis, dan ateis. Ilmu pengetahuan yang demikian boleh diterima dan dimanfaatkan oleh umat islam setelah ilmu penhetahua dan teknologi tersebut diarahkan oleh nilai-nilai islam yang dijamin akan membawa kepada kehidupan yang sejah tera lahir batin, dunia dan ahirat. Nilai-nilai islam yang dimaksud adalah nilai yang membawa kepatuhan pada tuhan, menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tolong menolong, bantu membantu antara sesama manusia danseterusnya. Keempat, Salah satu aspek kehidupan yang sangat besar pengaruhnya dan paling mudah dimasuki paham lainyang menyesatkan adalah paham ekonimi yang diterapkan. Kehidupan ekonomi berpengaruh terhadap aspek kehidupan sosial,gaya dan pola hidup, lingkungan, pendidikan dan sebagainya. Dengan meningkatnya ekonomi seseorang , maka makin meningkat pula kehidupan pada sektor lainya. Namun fakta menunjukan bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi tidak otomatis membawa kesejahteraan secara merata apabila tidak didasarkam pada nilai-nilai keadilan yang mendasarinya, nilai yang mengendalikam kehidupan ekonomi saat ini adalah nilai kapitalisme yang ditandai oleh praktik monopoli yang mematikan kelompok mayarakat yang ekonominya lemah. Selain itupraktik ekonomi juga diawali nilai-nilai materialisme yang menjadikan benda sebagai tujuan, sekularisme dan ateisme yang memandang boleh melakukan apa saja untuk mencapai tujuan. Dalam keadaan ekonomi yang demikian itu, upaya mengislamkan kehidupan ekonomi menjadi penting.upaya ini dilakukanantara lain dengan memasukan nilai-nilai islam kedalam praktek ekonomi, sebagaimana terlihap pada konsep Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, perbangkan syariah dan sebagainya. Konsep perbangkan yang islam ini diharapkan dapat menggeser konsep perbangkan konvensional yang dianggap telah menimbulkan kesenjangan sosial, korupsi dan lainya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sesunguhnya praktik Islamisasi ilmu pengetahuan hanya salah satu saja. Masyarakat menginginkan agar praktik Islamisasi itu menjangkau seluruh bidang kehidupan umat manusia. Yaitu praktik Islamisasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan seterusnya.dengan demikian praktik Islamisasi itu harus melibatkan seluruh bpakar dalam berbagai disiplin keahlian. 2.1.5. Bagaimana bentuk-bentuk Praktek Islamisasi Ilmu 1) Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan islam sebagai landasan pengunaan ilmu pengetahuan (aksiologi), tampa mempermasalahkan aspek ontologis dan epistimologis ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata laoin ilmu pengetahuan dan teknologinya

tidak

dipermasalahkan.

Yang

dipermasalahkan

orang

yang

mempergunakanya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan hanya sebagai penerapan etika islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain, islam hanya berlaku sebagai kriteria etis diluar struktur ilmu pengetahauan. Islamusasi ilmu pengetahuan seperti itu didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil munculnya ilmu pengetahuan islami. 2) Dengan kata lain Islamisasi ilmu pengetahuan dengan cara yang pertama ini melihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam arti produknya netral. Pengaruh keagamaan seseorang yang mengunakan ilmu pengetahuan dan teknologi jelas amat dibutuhkan jika dipadukan dengan keahlian dan ketelitian masing-masing. Yang baika jika ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut berada ditangan seorang muslim yang mengamalkan agamanya serta dalam kerjanya didukung keahlian dan kecermatan yang tinggi. Seorang dokter muslim yang baik misalnya, ia akan melihat bahwa tugasnya itu adalah sebagai amanah, yakni perintah tuhan untuk membantu mengatasi penderitaan orang lain. Dengan pemikiran yang demikian itu, maka ia tidak akan mempergunakan jabatanya untuk tujuan-tujuan yang membahayakan orang lain atau menguntungkan diri sendiri. Selain itu ia menguasai bidangnya dengan baik dapat mempergunakan peralatan telnologi secara benar dan penuh kehati-hatian dan kecermatan. Dengan pendekatan Islamisasi yang bersifat subtansial itu, maka tugas utama islamisasi ilmu pengetahauan bertumpu pada dua hal, pertama,pada manusia yang akan mengunakan ilmu pengetahuan dan teknologi tesebut, yaitu manusia yang mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengamalkan agamanya dengan teguh dan istiqomah, seta menguasai bidang pekerjaannya didukung dengan keahlian dan pengalamanya. Kedua, pada ilmu pengetahuan dan teknologinya itu sendiri, apakah

dalam keadaan berfungsi dengan baik atau sudah rusak. Jika ilmu pengetahuanya dalam keadaan baik, maka pengaruh kerjanya dapat bdenga mudah diidentifikasi.Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dalam baik itulah yang netral dan tidak dapat disalahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dalam baik itu tidak ada yang salah, yang salah adalah pengunanya. Masalahnya sekarang adalah dunia modern telah maju dan berkembang melalui pengetahuan yang berada ditangan orang-orang yang tidak islam. Manusia yang hidup diera modern ini kebanyakan telah salah dalam mengunakan ilmu pengetahuan.gagasan ilmu pengetahuan dan teknologi yangbseperti ini antara lain dianut oleh Fazrur Rahman dan Harun Nasution. 3) Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan cara memasukan nilai-nilai islam kedalam konsep oilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan tersebut tidak netral, melinka penuh akan muatan nilai-nilai yang dimasukan oleh orang yang merancangnya. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukam pada ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang demikian itu antara lain dianut oleh Nauqib Al-Attas,Ziauddin Sardar,dan Dawam Raharjo. 4) Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid bukan hanya

dipahami secara teo-centris,yaitu

mempercayai dan menyakini adanya tuhan dengan segala sifat kesempurnaanya yang dimiliki-Nya serta jauh dari sifat yang tidak sempurna, melainkan tauhid yang melihat antara manusia manusia lain, manusia dengan alam dan manusia dengan ciptaan tuhan lainya adalah satu kesatuan yang saling membutuhkan dan mempengaruhi, dan semua itu merupakan wujud tanda kekuasaan dan kebesaran tuhan. Orang yang memperhatikan dirinya, alam jagad raya ciptaan lainya akan menemukan kebenaran dan keagungan tuhan. Karna semua berasal dari tuhan, maka ia bergerak dan berjalan atas hokum tuhan yang sudah pasti (sunatullah)yang tidak berubah sepanjang zaman. Oleh karna itu ilmu pengetahuan, baik ilmu agama islam yang dihasilkan melalui ajian terhadap ayat-ayat Al- Quran, ilmu-ilmu alam (sains) yang dihasilkan melalui kajian terhadap jagad raya (penelitian ekspererimen), dan ilmu-ilmu sosial yang dihasilkan melalui kajian terhadap fenomena sosial (penelitian lapangan, observasi, wawancara dan sebagainya) pada hakikatnya berasal dari Allah, karna semua ilmu tersebutsebagai hasil dari pengkajian terhadap ayat-ayat Allah. Model Islamisasi ilmu pengetahuan seperti itu prtnah dipraktekan oleh umat islam di zaman klasik yang membawa

kemajuan

bagi

peradaban

umat

manusia.

Dengan

pendekatan

yang tauhid itu di zaman klasik dapat dijumpai sosok ilmuan yang ensiklopedik dan integrated, yaitu bahwa ilmuan tersebut disamping sebagai seorang ulama ahli ilmu agama (semisal fiqih) juga ahli dibidang filsafat dan kedokteran seperti yang terlihat pada Ibnu Sina, Ibnu Rusyid Al Ruzi. Sebagai contoh ilmu kedokteran yang dikembangkan Ibnu Sina yaitu berdasarkan pada konsep dia tentang jiwa manusia yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang saling berhubungan dan mempengaruhi antara satu dan lainya. Konsep jiwanya itu di[engaruhi oleh pandangan filsafatnya yang dijiwai Al Quran. Dengan demikian ilmu kedokteran yang dikembangkan adalah ilmu kedokteran yang memadukan antara usaha dan doa.ilmu kedoktaran yang tidak mengenal jalan buntu.Karna diatas usaha medis yang dilakukan pendekatan pada tuhan.Ilmu kedokteran yang seperti ini memberi penceraha dan optimism pada manusia. 5) Islamisasi ilmu pengetahuan dapat juga dilakukan melalui inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan. Dalam prakteknya tidak ada ilmu agama dan ilmu umum yang disatukan, atau ilmu umum yang diislamkan lalu diajarkan pada seseoramg. Yang terjadi sejak kecil kedalam diri seorang sudah ditanamkan jiwa agama yang kuat, praktek pengalaman tradisi keagamaan dan sebagainya. Setelah itu kepadanya diajarkan dasar-dasar agama yang kuat, diajarkan Al-Quran baik dari segi membaca maupun memahami isinya. Selain itu jiajarkan pula hubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainya secara umum. Selanjutnya ia mempelajari berbagai bidang ilmu dan keahlian sesuai dengan bidang yang diminatinya. Dengan pendekatan yang demikian itu, akan dilahirkan manusia yang ahli dalam bidang ekonimi, industri, teknik, pertanian, perhutanan, kesehatan, kedokteran, militer dan sebagainya. Namun dalam waktu yang bersamaan ia dengan kemampuanya sendiri mampu pengabungkan jiwa dan dasar-dasar agama yang dimilikinya itu untuk mengarahkan keahlian yang dimilikinya. Ia boleh saja menjadi dokter, tapi dokter yang islmi. Menjadi ekonom, tapi ekonom yang islami dan seterusnya.Pendekatan Islamisasi ilmu pengetahaun yang demikian itu dapat dijumpai pada sejumlah ilmuan seperti pada sosok Munawir Sadzali, Haidar Bagir, dan masih banyak lagi. 6) Islamisasi ilmu pengetahuan juga dapat dilakukan dengan cara melakukan intergrasi antara dua paradigm agama dengan ilmu yang seolah-olahmemperlihatkan perbedaan. Pandagan ini antara lain telihat pada pemikiran Usef Fathudin. Ia misalnya mengatakan bahwa sejauhnyang saya baca bahwa semangatIslamisasi itu didasari

suatu anggapan tentang keilmuan dan islam. Stereotip yang paling sering kita dengar adalah adanya kebenaran di dunia ini. Kebenaran ilmu dan kebenaran agama. Ilmu dikatakan sebagai relatif, spekulatif,dan tidak pasti. Sementara dianggap absolut, transcendental dan pasti. Selain itu budaya ilmu pengetahuan modern misalnya memandang sifat, metode, stuktur sains dan agama juah berbeda, kalau tidak mau dinamakan kontradiktif. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi norma (bagai mana seharusnya) sedang sais menropongnya dari segi objektifnya (bagai mana adanya). Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk tuhan, sedangkan sais melalui eksperimen dan rasio manusia. Selain itu ajaran agama diyakini sebagai petunjuk tuhan kebenaran mutlak, sedangkan kebenaran sais bersifat relatif. Agama banyak bercerita tentang yang gaib, sementara sains hanya berbicara tentang yang empiris.Angapan yang memperbesar jurang pemisah sains dan agama yang dikembangkam masyarakat barat ini hingga sekarang belum tuntas diatasi oleh pakar islam. Bahkan hal yang menyedihkan sekaligus lucu adalah bahwa diantara pakar islam banyak yang terjebak kedalam pemikiran tersebut dan sekaligus menolak dan menganggap bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan isu sesuatu yang tidak mungkin. 2.2. Ilmuisasi Islam 2.2.1. Al-qur’an dan Ilmu Pengetahuan (Sains) Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat alBaqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya. Disamping itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmu>d Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[6Imam al-Ghazali

sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim. Namun Imam Al-Sy>athibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Gazali. Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmuilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam. 2.2.2. Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks Indonesia,

dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah

terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS. Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam.

Ternyata pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut pandang). Oleh karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu pengetahuan mendapatkan gugatan dari masyarakat, termasuk gugatan dari para ilmuan muslim melalui wacana Islamisasi ilmu pengetahuan. Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences (al-ulu>m alkauniyyah) menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman yang pondasi dasarnya adalah “teks” atau nash. Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biru>ni (w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam (w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada sekarang. Selain ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Ha>tim an-Nizari (w-922) seorang ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-Khayyami (w.1123) yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar, Muhammad al-Syarif al-Idrisi (1100-1166) ahli ilmu bumi. Pada periode klasik Islam ini (Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam, telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada beberapa faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu: 1) Agama Islam sebagai motivasi. 2) Kesatuan bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah. 3) Kebijakan pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan. 4) Didirikannya akademi, Laboratorium, dan perpustakaan

sebagai

sarana

pengembangan ilmu. 5) Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen. 6) Pandangan Internasional yang membuka isolasi dengan dunia luar. 7) Penguasaan terhadap bekas wilayah pengembangan filsafat klasik Yunani. Pada periode klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah dikembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Alquran dan hadis dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam satu kerangka yaitu pengetahuan Islam.

Sesudah periode klasik ini, yaitu sejak abad XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami kemunduran, produktivitas ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru terjadi sebaliknya, warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam dikembangkan, sehingga mengantar mereka mencapai dunia baru melalui pintu gerbang renaissance, dan reformasi. Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur ilmu pengetahuan dalam Islam. Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Alquran dan hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam, sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari struktur ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian muncullah dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu Ilmu pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka. Ilmu pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. Dengan rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan secara fungsional (fungsional Corelation) 2.2.3. Integrasi Ilmu Pengetahuan ke Islaman dengan Umum Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut. Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel.

Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral). Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu “memihak”, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya. Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? . Keduaduanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim. Tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma>’il Ra>ji Al-Faru>qi. Upaya yang dilakukan adalah dengan

mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman. Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam. Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip– prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif. Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut: Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai. Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden. Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum. Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maudu>di, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika,

kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal alDin al-Afga>ni menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah. Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah alqur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan. Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme). Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai. Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut. Terdapat keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains: 1) Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri …. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains. 2) Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal). Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami

kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan. Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular. 1) Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendirisendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya. 2) Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah. 3) Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.] Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integrative-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang. Contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mud{a>rabah) dan kerja sama (alMusya>rakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya. Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan

islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan. Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt. Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya. 2.3.

Analisis Islamisasi Ilmu dan Ilmuisasi Islam Syed Omar bin Syed Agil dan Aidit bin Ghazali dalam tulisannya berjudul

"Contemporary Problems in the Islamization of Economics", dalam Reading in the Concept

and Methodology of Islamic Economics (Kuala Lumpur, CERT Publications, 2007), mencatat setidaknya ada empat persoalan yang dihadapi dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi. Pertama, metodologi yang digunakan untuk membangun disiplin ekonomi Islam. Menyangkut persoalan metodologi ini, sarjana atau intelektual Muslim harus mempunyai modal yang sangat diperlukan, yaitu pengetahuan bahasa Al-Quran, dalam hal ini bahasa Arab dan memiliki kemampuan yang baik tentang dasar-dasar hukum Islam. Pengabaian dua hal ini akan menimbulkan risiko miskonsepsi dan menyebabkan proses ijtihad menjadi lemah dan tak berdasar. Pengetahuan bahasa Al-Quran memungkinkan seseorang mendapatkan akses sumbersumber asli Islam, baik pengetahuan yang penting yaitu Al-Quran dan As-Sunnah maupun tulisan-tulisan ulama meliputi sejarah, ekonomi, kesejahteraan, keuangan dan yang paling penting, fiqih. Selain itu, pengetahuan tentang fiqih sangat membantu sarjana atau intelektual Muslim dalam proses ijtihad. Dua modal ini saling berkaitan dan memainkan peranan penting. Untuk menjamin seseorang tidak menyimpang dari wacana ijtihad yang aman, upaya-upaya harus dilakukan guna menutupi kekurangan para ekonom dari dua modal tersebut. Kedua, penerapan doktrin ekonomi konvensional. Para pengkaji ekonomi Islam perlu mempunyai pengetahuan memadai tentang doktrin ekonomi konvensional sebagaimana yang diajarkan di kebanyakan negara Islam saat ini. Syed Omar bin Syed Agil dan Aidit bin Ghazali mencatat setidaknya ada tiga alasan mengapa ekonom Muslim perlu mengetahui doktrin ekonomi konvensional tersebut. (1) Tidak semua doktrin ekonomi konvensional serta alat analisisnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. (2) Banyak doktrin dan alat analisis bermanfaat yang tertuang dalam karya besar membahas berbagai bidang ekonomi konvensional, khususnya karya-karya yang terbit lima puluh tahun terakhir. (3) Ekonomekonom Muslim tidak pelu menutup diri dari mempelajari ekonomi konvensional jika ingin memahami, memberi komentar dan mengkritik berdasarkan aspek-aspek ekonomi Islam, khususnya ekonomi konvensional yang tidak sesuai dengan ekonomi Islam dan membuat komentar berdasarkan pemahaman tentang ekonomi konvensional. Persoalan umum yang melekat di antara ekonom Muslim adalah mengawali penelitian ekonominya cenderung menggunakan referensi ekonomi konvensional. Tidak sedikit kelompok ekonom Muslim malah melupakan dan mengesampingkan tulisan atau karyakarya para ulama klasik. Aspek-aspek ekonomi yakni konsep dan kriteria produksi, konsumsi, mekanisme harga, ciri utama proses pembangunan dan persoalan-persoalan ekonomi lainnya sebenarnya sudah dibahas ulama klasik, di antaranya Al-Ghazali, AsShatibi, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, Shah Waliullah dan intelektual-intelektual Muslim

lainnya. Intinya, kita tidak menyepelekan kegunaan atau manfaat ekonomi konvensional, tetapi para pengkaji ekonomi Islam perlu mengutamakan karya-karya para sarjana Muslim. Ketiga, komunikasi dan implementasi gagasan-gagasan. Dalam hal ini, perkembangan komunikasi dan pengajuan ekonom Muslim terbatas pada literatur-literatur ekonomi Islam, pengajaran eknomi Islam di universitas, lembaga pendidikan tinggi, diskusi, seminar, konferensi, simposium dan workshop. Akses penyebaran ekonomi Islam ke tingkat kekuasaan negara masih terbatas. Kalaupun ada negara Islam yang memberikan perhatian besar terhadap implementasi ekonomi Islam, persoalan-persoalan yang bersangkutan masih belum terselesaikan. Bisalah dikatakan bahwa penghambat kemajuan ekonomi Islam pada tingkat negara ini meliputi: (1) Kurangnya kemauan politik untuk menjalankan nilai-nilai Islam secara ekstensif, (2) Adopsi parsial aspek-aspek ekonomi Islam, dan (3) Komunikasi yang tidak selalu mengasilkan hak yang lebih tinggi. Keempat, kekurangan bukti empiris yang baru. Konfrontasi dan kritik utama lainnya yang dialamatkan kepada ekonom Muslim adalah pernyataan tanpa bukti (allegation) bahwa ekonomi Islam meskipun diproyeksikan akan mencapai hasil yang diinginkan bagi kehidupan manusia, masih kekurangan pengujian empiris solusinya. Kritik semacam ini biasanya berasal dari mereka yang tidak tertarik pada kemajuan Islamisasi ilmu pengetahuan. Kurangnya bukti empiris tidak harus memaksa sarjana dan intelektual Muslim kontemporer kembali pada kejayaan umat Islam masa lalu untuk mempertahankan gagasangagasan mereka. Tindakan semacam ini dibenarkan selama mereka mampu membuktikan keberhasilan nilai-nilai Islam dan dinamika lembaga tertentu serta model fiqih yang sesuai zaman. Dalam upaya membangun ekonomi Islam, memperthankan gagasan harus berdasarkan pada pendekatan langsung Al-Quran, As-Sunnah, ijma" ulama dan qiyas. Intinya, umat Islam tidak perlu kembali ke sejarah awal dalam menghadapi stuasi saat ini, tetapi melakukan dinamika yang komprehensif atas sumber-sumber hukum Islam yang kaya tersebut. Dalam menyikapi persoalan-persolan Islamisasi ilmu ekonomi tersebut, solusi yang bisa diberikan antara lain, kemampuan menguasai bahasa Arab dan fiqih, memahami karyakarya fiqih para ulama dan doktrin ekonomi barat, publikasi literatur-literatur hasil penelitian dan karya-karya ilmiah ekonomi Islam, mendirikan dewan konsultasi ekonomi Islam dan mendirikan pusat penelitian ekonomi Islam.

BAB III KESIMPULAN Pada dasarnya paradigma dalam ilmu pengetahuan dan ilmu Islam adalah menemui kesamaan-kesamaan. Dimana dalam sejarah yang ada bahwa ilmu pengetahuan ini berawal dari sebuah pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim yang menghasilkan suatu peradaban pengetahuan dalam Islam itu sendiri. Namun dengan adanya perkembangan zaman tersebut maka ilmu pengetahuanpun berkembang begitu pesat tanpa adanya kontrol dari agama Islam sendiri yang mengakibatkan adanya ilmu pengetahuan yang tidak beretika. Sehingga seiring dengan berputarnya waktu menimbulkan stigma mengenai adanya ilmu surga dengan ilmu yang berlumuran dosa yakni ilmu pengetahuan yang liberal. Dengan begitu seakan-akan terjadi pembedaan dari kedua ilmu tersebut. Dari fenomena tersebut muncullah sebuah cendekiawan muslim yang mengkritisi mengenai fenomena tersebut dengan memunculkan gagasan Islamisasi pengetahuan. Ilmu pengetahuan lebih memusatkan pada nilai-nilai kebenaran yang sifatnya empiris. Dimana nilai-nilai empiris ini menjadi pondasi awal dalam ilmu pengetahuan menilai kebenaran. Kebenaran empiris inilah yang menjadi patokan dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan ini ironis dengan kebenaran yang ada di agama. Dimana nilai kebenaran yang ada di agama ini selain mengarahkan pada nilai kebenaran empiris tapi juga menilai kebenaran dari nilai dogma atau kepercayaan terhadap sesesuatu yang sifatnya terkadang sangat irasional. Nilai kebenaran inilah yang seakan akan menjadi sebuah pembatas atau pembeda antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam inilah yang menjadikannya sebagai pembeda dalam suatu ruang. Dari pembedaan inilah yang menimbulkan beberapa tokoh Islam mencoba untuk berusaha mengintegrasikan nilai-nilai yang ada di Islam dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Islamisasi pengetahuan ini juga diawali dengan adanya keresahan dan kekecewaan pada kaum muslim dalam melihat fenomena betapa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak didasari sebuah nilai-nilai agama khususnya agama Islam. Dalam hal ini agama Islam. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuanpun bisa menjadikan seseorang menjadi sekuler. Dengan terjadinya sekuler ini kedua tokoh tersebut ingin mengembalikan

ilmu pengetahuan pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama disini diartikan suatu yang fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan apapun. Nilai-nilai agama dijadikan sebagai pondasi dasar dalam ilmu pengetahuan. Diantara pemikiran kedua tokoh tersebut mempunyai tawaran yang berbeda dalam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Syed M.Naquib Al-Attas menawarkan dua opsi dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, dengan melakukan pemisahan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, dengan memasukan konsep kunci Islam ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam hal ini Ismail Raji Al-Faruqi juga menawarkan dua Konsep dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Yakni tauhid, integrasi kebenaran Islam dan ilmu pengetahuan, dan ayatisasi atau pemberian ayat-ayat terhadap ilmu pengetahuan. Dari kedua konsep yang ditawarkan oleh para tokoh tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran yang bebeda pula. Dimana Syed Naquib Al-Attas melihat situasi kondisi umat muslim dengan melihat kondisi external umat muslim itu sendiri yakni proses degradasi dan kemundurun-kemunduran yang dialami oleh kaum muslim yang salah satunya disebabkan oleh orang-orang Barat dan budaya Barat seperti halnya westernisasi atau hidup kebarat-baratan dan sekulerisasi atau pembedaan antara kehidupan didunia dengan agama. Sedangkan Ismail Raji Al-Faruqi Lebih melihat pada faktor internal kaum muslim itu sendiri. Dimana peradaban dan kejayaan umat muslim kini perlu dipertanyakan sehingga bagaimana bisa mencapai peradaban dan kejayaan kaum muslim yakni dengan cara Islamisasi ilmu pengetahuan.

\

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekulerisme, Penerbit Pustaka: Bandung. 1981. Nata, Abuddin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, UIN Jakarta Press, Jakarta. Al-Faruqi isma’il Raji Al-Faruqi, Islamisasi pengetahuan, cet ke-3, Bandung: Penerbit Pustaka, 2003. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekulerisme, Penerbit Pustaka: Bandung. 1981. Mulyanto, Islamisas iIlmu Pengetahuan, dalam Moeflih Hasbullah, Gagasan dan Pedebadan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Cidesindo.hal 17-18 Azra, Azyumardi. Reintegrasi Ilmu-Ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama,Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Cet. II, Jakarta; Penerbit: Teraju, 2005. Said, Nurman. dkk, Sinergi Agama dan Sains, (ed) Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005. Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik,Jakarta: Gramedia, 1986.

Related Documents


More Documents from "Khairul Alonx"

Islam Disiplin Ilmu
February 2021 1
Inspection Report Sgs
February 2021 1
February 2021 2
February 2021 3