Kimia Medisinal

  • Uploaded by: MuhammadJunaidi
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kimia Medisinal as PDF for free.

More details

  • Words: 9,081
  • Pages: 50
Loading documents preview...
KIMIA MEDISINAL GUGUS OBAT YANG SAMA DENGAN VARIASI AKTIVITAS OBAT YANG BERBEDA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kimia Medisinal

Oleh: Kelompok III Amelia Lestari

(NPM. 14046903)

Henny Jayanti

(NPM. 14046906)

Ika Aulia Rahmi

(NPM. 14046907)

Muhammad Junaidi

(NPM. 14046910)

Nita Haryanti

(NPM. 14046912)

Risda Paujiah

(NPM. 14046916)

Suci Lestari

(NPM. 14046919)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH TANGERANG BANTEN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN

Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu kimia dan biologi, digunakan umtuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat pada tingkat molekul. Batasan kimia medisinal menurut Burger (1970) adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang dari ilmu kimia dan biologi, dan digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat. Batasan kimia medisinal menurut IUPAC (1974) adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Batasan kimia medisinal menurut Taylor dan Kennewell (1981) adalah studi kimiawi senyawa atau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan dalam sistem kehidupan dan melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas biologis serta mekanisme cara kerja senyawa pada sistem biologis, dalam usaha mendapatkan efek pengobatan yang maksimal dan memperkecil efek samping yang tidak menguntungkan. Ruang lingkup bidang kimia medisinal menurut Burger (1980) adalah: 1. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah digunakan untuk pengobatan. 2. Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas pengobatan potensial. 3. Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organik, dengan ataupun tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah. 4. Menghubungkan struktur kimia obat dengan cara kerjanya. 5. Mengembangkan rancangan obat. 6. Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat kimia fisika dengan bantuan statistik.

Kimia Medisinal (Medicinal Chemistry) disebut pula Kimia Farmasi (Pharmaceutical

Chemistry),

Farmakokimia

(Farmacochemie,

Pharmacochemistry) dan kimia terapi (Chimie Therapeutique). Hubungan kimia medisinal dengan cabang ilmu lain yaitu:

Kimia Analisis Kimia Organik Kimia Fisik

Farmasetika

Biokimia

Biofarmasi

Kimia Medisinal ------------->farmakologi -----------> Kedokteran Klinik Biologi Mikrobiologi

Toksikologi Patologi

Fisiologi Berdasarkan sumbernya dewasa ini obat digolongkan menjadi 3 diantaranya adalah : 1. Obat alamiah Obat alamiah adalah obat yang terdapat di alam, contohnya pada tanaman, kuinon dan atropin, pada hewan contohnya minyak ikan dan hormon, serta mineral contohnya adalah belerang, Kbr. 2. Obat semisintetik Obat semisintetik adalah obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari obat bahan alam, contoh morfin menjadi kodein dan diosgenin menjadi progesteron. 3. Obat sintetik murni Obat sintetik murni adalah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintesis akan didapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu. Contoh : obat-obatan golongan analgetik-antipiretik, antihistamin dan diuretik. Tiga fase yang menentukan terjadinya aktifitas obat diantaranya sebagai berikut : 1. Fase farmasetis

Fase farmasetis meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis dan proses formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya zat aktif. Fase ini berperan dalam ketersediaan obat untuk diserap oleh tubuh. 2. Fase farmakokinetik Fase farmakokinetik meliputi proses penyerapan obat (absorpsi), distribusi obat, metabolisme obat, dan eksresi obat (ADME). Fase ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai sasaran atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis. 3. Fase farmakodinamik Fase farmakodinamik merupakan fase terjadinya interaksi antara obat dengan reseptor dalam jaringan sasaran. Fase ini berperan dalam timbulnya respon biologis. Sifat-sifat kimia fisika merupakan dasar untuk menjelaskan aktifitas biologis obat karena sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengagngkutan obat untuk mencapai reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul-molekul obat harus melalui bermacam-macam membran, berinteraksi dengan senyawa-senyawa dalam cairan luar dan dalam sel serta biopolimer. Disini sifat kimia dan fisika berperan dalam proses penyerapan dan distribusi obat sehingga kadar obat pada waktu tertentu mencapai reseptor dalam jumlah yang cukup besar. Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan yang tinggi saja yang dapat berinteraksi dengan reseptor biologis, sifat kimia fisika harus menunjang orientasi khas molekul pada permukaan reseptor.

Jenis-jenis kerja obat adalah sebagai berikut: 1. Obat Berstruktur Nonspesifik Obat berstruktur nonspesifik , obat yang bekerja secara langsung tidak tergantung struktur kimia, mempunyai struktur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan struktur kimia spesifik. Aktifitas biologis dipengaruhi oleh

sifat-sifat

termodinamika,

kimia

fisika

tegangan

seperti:

adsorpsi,

permukaan,

potensi

kelarutan,

aktifitas

oksidasi

reduksi,

mempengaruhi permeabilitas, depolarisasi membran, koagulasi protein, dan pembentukan kompleks. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah anastetika umum, hipnotika tertentu, bakterisida tertentu, antiseptik, anti jamur. Ciri-ciri obat yang berstruktur nonspesifik adalah : a. Obat tidak bereaksi dengan reseptor spesifik b. Kerja biologisnya berlangsung dengan aktifitas termodinamika c. Bekerja dengan dosis yang relatif besar d. Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda e. Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi struktur 2. Obat Berstruktur Spesifik Obat berstruktur spesifik aitu obat-obat yang memberikan aktifitas biologis akibat adanya ikatan obat dengan reseptor atau akseptor spesifik. Aktivitas biologisnya dihasilkan dari struktur kimia yang mengadaptasikandirinya ke dalam struktur reseptor dalam bentuk tiga dimensi dalam organisme dan membentuk kompleks. Karakteristik obat berstruktur spesifik a. Efektif pada kadar rendah b. Modifikasi sedikit dalam struktur kimianya akan menghasilkan perubahan dalam aktifitas biologisnya c. Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal d. Pada keadaan kesetimbangan, aktivitas biologisnya maksimal e. Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibandingkan pada senyawa yang berstruktur nonspesifik.

Mekanisme obat yang mungkin terjadi a. Bekerja

terhadap

enzim

antagonis

dengan

cara

pengaktifan,

penghambatan, atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh. b. Penularan fungsi gen yang bekerja pada membran yaitu, dengan mengubah membran sel dan mempengaruhi sistem transport membran. A. HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT FISIKA KIMIA DENGAN PROSES METABOLISME DAN DISRTIBUSI OBAT DALAM TUBUH 1. Hubungan struktur, sifat fisika kimia dengan proses metabolisme Proses metabolisme dapat dipengaruhi aktivitas biologis, masa kerja, dan toksisitas obat, sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain (xenobiotika) sangat penting dalam dunia kimia medisinal. Secara umum, tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat

menjadi metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioinaktifasi atau detoksifikasi), mudah larut dalam air dan kemudian diekresikan dari tubuh. Hasil metabolit beberapa obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk (biotoksifikasi) tapi, ada pula hasil metabolit obat yang mempunyai

efek

farmakologis

berbeda

dengan

senyawa

induk

(Siswandono, 1995). Hati adalah organ tubuh yang merupakan tempat utama metabolisme obat karena mengandung lebih banyak enzim-enzim metabolisme dibanding organ yang lain. Setelah pemberian oral, obat diserap oleh saluran cerna, masuk peredaran darah dan kemudian masuk kedalam hati melalui efek lintas pertama. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melalui sel-sel hati secara perlahan-lahan termetabolisis menjadi senyawa yang mudah larut dalam air kemudian diekresikan melalui urin. Contoh obat yang yang dimetabolisis di dalam hati adalah isoproterenol, lidokain, meperidin, propoksifen, propanolol dan salisilamid. Hati menghsilkan cairan empedu yang membantu pencernaan lemak dan sebagai media untuk ekskresi metabolit beberapa obat melalui tinja. Selain hati tenyata usus juga mempunyai peranan penting dalam proses metabolisme. Adanya flora normaldi usus halus dan memetabolisme obat dengan cara kerja sama dengan enzim-enzim mikrosom hati. Sejumlah konjugat glukorina di ketahui dikeluarkan oleh empedu ke usus. Di usus konjugat tersebut terhirolisis olah enzim glukurinodase menghasilkan obat bebas yang bersifat lipofil. Obat bebas ini diserap secar difusi pasif melalui dinding usus, masuk peredaran darah dan masuk kembali ke hati. Di hati terjadi konjugasi kembali menghasilkan konjugat yang hidrofil, kemudian dikeluarkan kembali melalui empedu. Di usus konjugat terhidrolisis lagi, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus. Proses ini dinamakan siklus entherohepatik. Konjugat obat yang tidak mengalami hidrolisis langsung diekresikan melalui tinja (Siswandono, 1995). Reksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dia tahap yaitu: a. Reaksi fasa I atau reaksi fungsionalisasi

Yang termasuk reaksi fasa I adalah reaksi-reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Tujuannya adalah memasukkan gugus fungsional tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2, dan SH, ke struktur molekul senyawa. Hal ini dapat dicapai dengan: 1) Secara langsung memasukkan gugus

fungsional,

contoh:

hidroksilasi senyawa aromatik dan alifatik. 2) Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul. Contohnya: 1) Reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol 2) Oksidasi alkohol menjadi asam karboksilat 3) Hidrolisis ester dan amida, menghasilkan gugus-gugus COOH, OH dan NH2. 4) Reduksi senyawa azo dan nitro menjadi gugus NH2 5) Dealkilasi oksidatif dari atom N, O dan S menghasilkan gugusgugus NH2, OH dan SH. Meskipun reaksi fasa I kemungkinan tidak menghasilkan senyawa yang cukup hidrofil, tetapi secara dapat meghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau mengalami reaksi fasa II. Yang termasuk reaksi fasa II adalah reaksi konjugasi, metilasi, dan asetilasi. Tujuannya adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fasa I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar, seperti asam glukoronat, sulfat, glisisn, dan glugtamin menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air. Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktifitas dan toksisitas, dan kemudian diekskresikan melalui urine. Reaksi metilasi dan asetilasi bertujuan membuat senyawa menjadi tidak aktif (Siswandono, 1995). b. Reaksi fasa II atau reaksi konjugasi Kloramfenikol adalah obat yang berkhasiat sebagai obat antibiotik. Kloramfenikol termasuk dalam obat yang mengalami metabolisme fase I (reaksi fungsionalisasi). Pada reaksi ini, kloramfenikol termasuk dalam reaksi oksidasi dimana terjadi penambahan gugus OH. Pada metabolisme fase I terjadi penambahan gugus fungsional tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2, dan SH ke struktur molekul

senyawa. Metabolisme fase I mengubah obat yang bersifat lipofil menjadi obat yang bersifat hidrofil dengan menambahkan produk polar. Sedangkan metabolisme fase II mengubah obat yang bersifat hidrofil menjadi obat yang bersifat sangat hidrofil, akibatnya obat akan dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk urin (Siswandono dan Bambang, 2000). Adapun reaksi dari kloramfenikol, yaitu kloramfenikol termasuk ke dalam obat yang mengalami bioaktivasi pada metabolisme fase I dan mengalami bioinaktivasi pada metabolisme fase II. Adapun penjelasannya, yaitu : 1) Bioaktivasi Kloramfenikol mengalami oksidasi dengan penambahan gugus OH menjadi turunan oksamil klorida yang aktif sebagai antibiotik. Kloramfenikol yang bersifat lipofil ini mengalami perubahan menjadi obat yang bersifat hidrofil karena adanya penambahan gugus polar, yaitu gugus OH. Akibatnya, 5-10% kloramfenikol yang dalam bentuk aktif (turunan oksamil klorida) dapat diekskresi oleh ginjal melalui urin. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus (Tim Penyusun, 2008). 2) Bioinaktivasi Kloramfenikol yang telah bersifat hidrofil (turunan oksamil klorida) kembali mengalami konjugasi (metabolisme fase II) dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronit transferase menjadi obat yang sangat hidrofil (turunan asam oksamat). Akibatnya, 80-90% kloramfenikol yang sangat hidrofil (turunan asam oksamat) diekskresi melalui ginjal dalam bentuk urin (Tim Penyusun, 2008). 2. Hubungan struktur, sifat fisika kimia dengan proses ekskresi. a. Ekskresi Obat melalui Paru Obat yang di ekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang digunakan secara inhalasi, seperti siklopropan, etilen nitrogen oksida, halotan, eter, kloroform dan enfluran. Sifat fisik yang menentukan kecepatan obat melalui paru adalah koefisien partisi darah/udara. Obat yang mempunyai koefisien partisi darah/udara kecil, seperti siklopropan

dan nitrogen oksida, diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi darah/udara besar, seperti eter dan halotan, di ekresikan b.

lebih lambat. Ekskresi Obat melalui Ginjal Ekskresi obat yang dikeluarkan dengan jalan filtrasi glomerusi sangat diperlambat, karena hanya obat bebas mengalami filtrasi. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, misalnya benzilpenisilin (PP k.l 50%) hampir diekskresikan seluruhnya dengan pesat (Tjay, 2007). Ekskresi obat melalui ginjal melalui tiga tahap yaitu, penyaringan glomerulus, absorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal dan sekresi aktif pada tubulus ginjal. 1) Penyaringan glomerulus Ginjal menerima ± 20-25% cairan tubuh dari jantung atau 1,2-1,5 lier darah per menit, dan ± 10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus empunyai karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah ± 40% Å, berat molekul lebih kecil dari 5000 dan obat mudah larut dalam cairan plasma atau obat yang bersifat hidrofil (Siswandono, 1995). Selama filtrat ini dipekatkan dalam tubuli zat-zat lipofil berdifusi kembali secara pasif pula melalui membran sel-nya kedalam darah dan demikian menghindari ekskresi. Zat-zat hidrofil hampir tidak didifusi kembali dan langsung dikeluarkan lewat urine. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi agak ringan (Tjay, 2007). Contohnya : Indometacin dengan Litium, dimana pada aliran darah keginjal diatur oleh prostaglandin (PG). Indometcin menghambat sintesis PG sehingga menyebabkan fungsi ginjal menurun dan kadar litium menjadi meningkat. 2) Adsorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal Adsorpsi kembali molekul obat dan koefisien partisi lemak/air. Obat yang bersifat polar, sukar larut dalam lemak, tidak diadsorpsi kembali oleh mebran tubulus. Adsorpsi kembali pada tubular ini

sanagat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat elektrolit lemah pada urine normal, pH = 4,8-7,5. Sebagian besar akan terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi, mudah larut dalam lemak, sehingga mudah diadsorpsi kembali oleh tubular. 3) Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui tubulus ginjal dengan mekanisme pengangkutan aktif. Sebagai contoh, kombinasi obat antara probenesid dengan penisilin meningkatkan masa kerja penisilin karena probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif sehingga ekskesi penisili menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan menunjukkan aktifitas lebih lanjut. c. Ekskresi Obat melalui Empedu Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat telah dimetabolisis menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekresikan dari hati,

melewati

empedu,

menuju

keusus

dengan

mekanisme

pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukoronat, asam sulfat atau glisin. Diusus bentuk konjugat tersebut secara langsung diekresikan melalui tinja ataupun mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang besifat nonpolar, sehingga di absorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati dan dimetabolisme dan di keluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya hingga dinamakan siklus entherohepatik. Dimana siklus ini mempunyai masa kerja obat menjadi lebih panjang. Contohnya adalah ampicilin diekresi

kedalam

empedu,

dan

dimanfaatkan dengan memberika ampicillin untuk infeksi dari saluran empedu. Beberapa obat dikethui mengalami siklus ini adalah dioksin, rifamfisin, stilboestrol, glutethimide, klorampenikol, indometacin dan morfin (Zaman, 2002). Contoh mekanismenya : antara probenesid dengan penisillin. Dimana probenesid adalah obat asam urat yang merebut medium transport dari penisilin, sehingga menyebabkan ekskresi penisliin terhambat. Penisilin

tertahan lama dalam ginjal. Sehingga menyebabkan efek penisilin lebih panjang.

BAB II ISI Struktur kimia obat yang memiliki kesamaan dalam strukur dasarnya adalah epinephrine, methamphetaminine, Norepinephrine, Amphetamine dan efhedrin seperti pada gambar 2.1 dimana memilki aktivitas yang berbeda karena perbedaan gugus fungsi yang berikatan pada struktur utama.

Gambar 2.1. Struktur Kimia Obat A. Epinefrin 1. Defenisi Epinefrin Epinefrin atau adrenalin (bahasa Inggris: adrenaline, epinephrine) adalah sebuah hormon yang memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh. Tidak hanya gerak, hormon ini pun memicu reaksi terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi atau cahaya yang terang. Reaksi yang kita sering rasakan adalah frekuensi detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan.

Gambar 2.1 Struktur Epinefrin/ Adrenalin

Epinefrin mengandung tidak kurang dari 98,5 % dan tidak lebih dari 101,0% C9H13NO3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Memiliki Berat molekul 183,21. Sifat-sifat dari epinefrin adalah sukar larut dalam air, tidak larut dalam etanol (95%) dan dalam eter, mudah larut dalam larutan ammonia dan dalam alkali karbonat. Tidak stabil dalam alkali atau netral, berubah menjadi merah jika terkena udara ( Farmakope Indonesia, 1979). 2. Proses Sintesis Epinefrin Epinefrin disintesis dari norepinefrin dalam sebuah jalur sintesis yang terbagi atas keseluruhan katekolamin, termasuk L-dopa, dopamin, norepinefrin, and epinefrin (Ganong, 2005). Epinefrin atau adrenalin disintesis dengan cara berikut: di dalam hati, asam amino tirosin akan dibentuk dari fenilalanin. Senyawa ini akan diambil dari darah masuk kedalam aksoplasma disini dengan bantuan tirosinhidroksilase akan dihidroksilasi pada cincin aromatisnya menjadi dihidroksifenilalanin (Dopa) dan akhirnya senyawa ini oleh dopadekarboksilase didekarboksilasi menjadi dopamine. Dengan cara transport aktif, dopamine kemudian akan dibawa ke organel sel yang khusus (granula cadangan, vesikel) dan di sini dengan bantuan dopaminβ- hidroksilase akan dihidroksilasi pada rantai sampingnya menjadi noradrenalin (norepinefrin). Sedangkan pengubahan selanjutnya menjadi adrenalin, hanya dapat terjadi didalam otak dan tidak mungkin terjadi pada ujung saraf simpatis, karena enzim N-metiltransfarase yang mengubah noradrenalin menjadi adrenalin tidak ada. Sebaliknya dalam sel kromafin medulla adrenal, tempat N-metiltransfarase ada, maka dari noradrenalin dengan metilasi pada N akan terbentuk adrenalin (Mutschler, 1991). 3. Farmakodinamik Epinefrin a. Kardiovaskular Kerja utama epinefrin adalah pada sistem kardiovaskular. Senyawa ini memperkuat daya kontraksi otot jantung (miokard) (inotropik positif : kerja β1) dan mempercepat kontraksi miokard (kronotropik positif : kerja β1). Oleh karena itu, curah jantung meningkat pula.

Akibat dari efek ini maka kebutuhan oksigen otot jantung jadi meningkat juga. Epinefrin mengkonstriksi arteriol di kulit, membrane mukosa, dan visera (efek α) dan mendilatasi pembuluh darah ke hati dan otot rangka (efek β2). Aliran darah ke ginjal menurun. Oleh karena itu, efek kumulatif epinefrin adalah peningkatan tekanan sistolik bersama dengan sedikit penurunan tekanan diastolik (Mycek et al, 2001). Pada jantung, adrenalin atau epinefrin bekerja meningkatkan kekuatan kontraksi dan frekuensi jantung. Curah jantung akan naik. Selama tekanan darah ratarata (harga rata-rata antara tekanan sistol dan tekanan diastol) tidak naik, tidak terjadi pengaturan lawan reflektrolik dari parasimpatis. Pada penggunaan adrenalin, harus pula dipertimbangkan bahwa senyawa ini akan meninggikan pemakaian oksigen dan oleh karena itu walau terjadi dilatasi arteria koronaria, dapat timvbul serangan angina pektoris ( Mutschler, 1991). b. Respirasi Epinefrin menimbulkan bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung pada otot polos bronkus (kerja β2). Pada kasus syok anafilaksis, obat ini dapat menyelamatkan nyawa (Mycek et al, 2001). 4. Farmakokinetik Epinefrin Epinefrin mempunyai awitan cepat tetapi kerjanya singkat. Pada situasi gawat, obat ini diberikan secara intravena. Untuk memperoleh awitan yang sangat cepat dapat pula diberikan secara subkutan, pipa endotrakeal, inhalasi, atau topikal pada mata. Pemberian peroral tidak efektif, karena epinefrin dapat dirusak oleh enzim dalam usus (Mycek et al, 2001). 5. Pathoendokrinologi Epinefrin Berbagai gejala negatif pada aktivitas atau metabolisme organ tubuh karena pengaruh epinefrin bisa disebabkan karena 2 kemungkinan : sekresi yang berlebihan atau sebaliknya kekurangan sekresi. Masalah tersebut di antaranya : a. Palpitasi Merupakan gejala abnormal pada kesadaran detak jantung, bisa terlalu lambat, terlalu cepat, tidak beraturan, atau berada dalam frekuensi normal. Gejala ini disebabkan akibat sekresi epinefrin yang

berlebihan. Tapi bisa juga karena konsumsi alkohol, kafein, kokain, amfetamin,

atau

obat-obatan

yang

lain,

penyakit

(seperti

hipertiroidisme), atau efek panik. b. Tachychardia Perningkatan kecepatan aktivitas jantung. Kelainan endokrin seperti feokromositoma dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dan tachychardia bebas dari sistem syaraf. c. Arrhythmia Keadaan abnormal pada aktivitas elektrik jantung. Jantung bisa berdetak lebih cepat atau sebaliknya malah lebih lambat. Sama seperti palpitasi, kelainan ini dipicu oleh sekresi epinefrin yang berlebihan. d. Sakit kepala Kondisi sakit pada kepala, pada bagian leher ke atas. Umumnya disebabkan oleh ketegangan, migrain, ketegangan mata, dehidrasi, gula darah rendah dan sinusitis. Beberapa sakit kepala juga karena kondisi ancaman hidup seperti meningitis, ensephalatis, aneuisme cerebral, tekanan darah sangat tinggi, dan tumor otak. e. Tremor Ritme, pergerakan otot melibatkan pergerakan menuju dan dari (osilasi) salah satu bagian tubuh. Kebanyakan tremor terjadi pada tangan. Pada beberapa orang, tremor adalah gejala kelainan saraf yang lain. Umumnya disebabkan karena masalah pada bagian otak atau spinal cord yang mengontrol otot melalui tubuh atau area tertentu, seperti tangan. Penyebabnya adalah stres yang teralu banyak sehingga sekresi epinefrin menjadi tidak terkendali. f. Hipertensi Merupakan suatu kondisi medis dimana tekanan darah naik secara kronis. Hipertensi adalah karakter khas dari berbagai abnormalitas kortikal adrenal. g. Edema paru-paru akut Akumulasi fluida dalam paru-paru, disebabkan kegagalan jantung melepaskan fluida dari sirkulasi paru-paru, akibat disnormalitas sekresi epinefrin. h. Alergi

Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal.Alergi dikaitkan dengan peningkatan hormone epinefrin dan progesterone.

Peningkatan

hormon

epinefrin

menimbulkan

manifestasi klinis perubahan suasana hati, dan kecemasan. 6. Indikasi Epinefrin Epinefrin digunakan sebagai menambah pada anestetika lokal, dan selain itu pada syok anafilaktik dan serangan Adamstokes. Pada jantung berhenti, penyuntikan adrenalin dilakukan setelah penanganan primer yaitu pernapasan buatan dan massage jantung, kedua penanganan ini tetap tidak dihentikan. 7. Kontraindikasi Epinefrin Epinefrin tidak boleh diberikan pada penderita hipertireosis , sklerosis koronar, selebral, hipertensi berat, narkosis dengan hidrokarbon terhalogenasi atau dengan eter serta setelah pemakaian digitalis (Mutschler, 1991). 8. Dosis Pemakaian Epinefrin Tambahkan 4 ml (4 mg) dari ampul epinephrine ke dalam 1.000 ml larutan yang mengandung 4 mcg epinefrin basa. Berikan larutan ini dengan infus intravena. Masukkan kateter plastik intravena melalui jarum yang dimasukkan dengan baik ke dalam vena dan direkatkan dengan plester, jika mungkin, hindari teknik catheter tiein, karena teknik ini mudah menyebabkan stasis. IV drip chamber atau alat ukur lain yang sesuai diperlukan untuk mengukur kecepatan aliran dalam tetes per menit secara akurat. Setelah mengamati responnya pada pemberian dosis awal 2-3 ml (dari 8-12 mcg bentuk basa) per menit, atur kecepatan aliran untuk mencapai dan mempertahankan tekanan darah normal yang rendah (biasanya,

tekanan

sistoliknya

80-100

mmHg)

cukup

untuk

mempertahankan sirkulasi ke organ vital. Pada pasien dengan riwayat hipertensi, dianjurkan menaikkan tekanan darahnya tidak lebih dari 40 mmHg di bawah tekanan sistolik

sebelumnya. Dosis pemeliharaan rata-rata adalah 0,5-1 ml per menit (2 mcg sampai 4 mcg bentuk basa). Tiap-tiap individu membutuhkan dosis yang berbeda-beda untuk mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang cukup. Pada semua kasus, dosis epinefrin harus dititrasi sesuai dengan respon pasien. Adakalanya dosis harian yang jauh lebih besar atau bahkan sangat besar (sebesar 68 mg basa atau 17 ampul) mungkin dibutuhkan jika pasien tetap menderita hipotensi, tetapi adanya kehilangan volume darah yang tersembunyi harus dicurigai dan bila itu terjadi, harus diperbaiki. Monitoring tekanan vena sentral biasanya sangat membantu dalam mendeteksi dan mengobati kondisi ini.

2.Amfetamin 2.2.1. Struktur Kimiawi Amfetamin Amfetamin memiliki struktur molekul kimiawi yang sangat sederhana namun menghasilkan sejumlah efek yang sangat menarik. Ahli kimia dalam bidang obat-obatan telah berusaha mencari tahu cara kerja dari obat ini, dengan mengutamakan efek obat dan mengabaikan yang lain dengan cara modifikasi struktur molekul Amfetamin (Cadwell, 1980). Struktur dasar molekul Amfetamin (gambar 2.1.) memiliki sejumlah ciri-ciri penting pada efek farmakologi antara lain pada cincin aromatik yang tidak dapat diubah, dua rantai karbon, grup α- metal, dan grup amino. Modifikasi dari salah satu ciri-ciri diatas akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada cara kerja molekul tersebut. Perubahan pada cincin aromatik mengubah efek obat yang bekerja pada

sistem saraf pusat; grup β- hidroksil menurunkan efek anoretik dan efek pada sistem saraf pusat; grup α- metil yang kedua menurunkan stumulasi pada sistem saraf pusat; substitusi alkil pada grup amino meningkatkan efek anoretik (Costa, 1970).

2.3. Cara Penggunaan Penggunaan Amfetamin dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain : 1. Oral : administrasi Amfetamin secara oral merupakan satu-satunya cara yang dipakai untuk kepentingan terapeutik, namun metode ini juga banyak digunakan untuk kepentingan rekreasional (Uitermark, 2006). Efek Amfetamin dengan administrasi oral muncul dalam jangka waktu sekitar 15-60 menit, mencapai puncak dalam waktu 2-3 jam, dan mulai menurun setelahnya (Angrist, 1987). 2. Dihirup : administrasi Amfetamin secara intranasal dengan cara menggerus tablet hingga menjadi bubuk halus kemudian dihirup. Cara ini tidak digunakan untuk kepentingan terapeutik. Tetapi, inhalasi Amfetamin menjadi rute kedua terbanyak yang digunakan untuk kepentingan rekreasional. Inhalasi Amfetamin ke dalam rongga hidung, dimana terjadi absorpsi yang cepat melalui selaput lendir. Efek Amfetamin muncul

dalam hitungan menit dan memiliki durasi efek yang singkat (Uitermark, 2006). 3. Injeksi : injeksi Amfetamin juga tidak digunakan untuk kepentingan terapeutik, tetapi untuk kepentingan rekreasional atau dalam keadaan tertentu seperti percobaan pada hewan coba. Injeksi Amfetamin biasanya dilakukan secara intravena atau subkutan, dan disirkulasi secara cepat melalui aliran darah. Injeksi Amfetamin memiliki bioavailability tertinggi dan menghasilkan efek yang cepat dan hebat. Ketika diinjeksi, efek Amfetamin akan muncul dengan segera namun memiliki durasi efek yang singkat (Kramer, 1967). 2.2.4. Farmakologi Amfetamin Amfetamin merupakan campuran dari isomer d-amfetamin dan l-amfetamin (Usdin, 1979). D-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan dopamin ke celah sinaptik sedangkan isomer l-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan norepinefrin. Oleh karena itu, Amfetamin dikatakan sebagai obat simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung dengan menekankan pada pembebasan neurotransmitter simpatetik daripada bekerja secara aktif pada reseptor α- maupun β- adrenergik (Katzung, 2009).

2.2.5. Derivat Amfetamin Berikut ini merupakan derivat dari Amfetamin : 1. Metamfetamin

Amfetamin dan Metamfetamin merupakan dua simpatomimetik amin yang memiliki hubungan yang erat dan keduanya juga banyak disalahgunakan. Metamfetamin yang dikenal sebagai shabu-shabu berbentuk kristal bening seperti butiran gula, tetapi ukurannya sedikit lebih besar sehingga ada yang menyebutnya crystal meth. Metamfetamin lebih banyak dipilih oleh para penyalahguna karena norepinefrin yang dibebaskan

lebih

sedikit

dibandingkan Amfetamin.

Selain

itu,

Metamfetamin lebih mudah dibakar dan dihirup. Efek yang dihasilkan dengan cara menghirup shabu-shabu lebih besar dibandingkan efek yang dihasilkan dengan cara mengonsumsi secara oral. Hal ini mungkin dikarenakan oleh cepatnya peningkatan kadar dopamin di dalam otak (Kelly, 2001).

2.

3,4- methyldioxymethamphetamine (MDMA) MDMA merupakan obat sintetik, psikoaktif yang struktur kimiawinya sama seperti Metamfetamin. MDMA atau yang lebih dikenal dengan nama ekstasi, menghasilkan efek psikostimulan dan psikomimetik dengan cara meningkatkan kadar dopamin dan serotonin di dalam otak.

MDMA dikonsumsi secara oral, biasanya dalam bentuk tablet. MDMA bersifat neurotoksik pada neuron serotonergik, terlihat degenerasi jalur serotonergik dengan jelas pada hewan percobaan. Penggunaan MDMA pada manusia akan menghancurkan neuron serotonergik di dalam otak yang berkontribusi pada beberapa komplikasi psikiatri seperti reaksi panik, psikosis, depresi dan bunuh diri (Ricaurte, 2001)

2.2.6. Penggunaan Klinis Amfetamin dan Derivatnya Amfetamin dan Metamfetamin dilegalkan untuk beberapa kondisi medis antara lain : 1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ADHD adalah suatu kelainan neurobehaviour yang terjadi sekitar 5% pada anak-anak. Tiga bentuk dasar ADHD menurut Diagnostic and Statistical Manual IV (DSM-IV) of the American Psychiatric Association (APA) adalah mereka yang : 1. Tidak memberikan perhatian 2. Hiperaktif atau impulsive 3. Kombinasi dari (1) dan (2), yang dimana paling banyak ditemukan.

Pengobatan yang paling umum untuk mengobati ADHD adalah dengan menggunakan obat stimulan. Meskipun penggunaan obat stimulan untuk mengobati ADHD terlihat tidak biasa, tetapi sebenarnya obat stimulan juga memiliki efek penenang pada anak yang menderita ADHD (Brenner, 2010). Beberapa opsi pengobatan pada ADHD antara lain adalah campuran Amfetamin, Metamfetamin, Dextroamfetamin, Metilfedinat, Lisdexamfetamin, atau Atomoxetin (The MTA Coorperative Group, 1999). 2. Narkolepsi Narkolepsi adalah gangguan pola tidur yang ditandai dengan kebanyakan tidur pada siang hari (excessive daytime sleepiness) bahkan setelah tidur malam yang cukup. Penyebab pasti terjadinya narkolepsi belum sepenuhnya diketahuinya, namun beberapa studi menyatakan bahwa kelainan genetik memegang peranan penting (National Health Service, 2010). Katapleksi, kebanyakan tidur pada siang hari, serangan tidur, halusinasi, paralisis otot sementara dan automatic behavior merupakan gejala dari narkolepsi. Pada saat ini, masih belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan narkolepsi, namun ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengurangi defek dari narkolepsi yaitu dengan melatih kebiasaan tidur, mengubah gaya hidup, dan menggunakan obat stimulan yang bekerja dengan cara merangsang sistem saraf pusat sehingga

menjaga penderita narkolepsi tetap terbangun pada saat melakukan aktivitasnya (National Health Service, 2010). Campuran Amfetamin, Dextroamfetamin, Metilfenidat, Modafinil, dan Armodanifil adalah obat stimulan yang diindikasikan untuk pengobatan narkolepsi (Brenner, 2010). 3. Obesitas Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Dorland, 2002). Obesitas merupakan masalah kesehatan yang penting pada negara yang sedang berkembang dan Amfetamin merupakan obat pertama yang digunakan untuk menurunkan kelebihan berat badan. Metamfetamin hanya diindikasikan pada penggunaan jangka pendek untuk mengatasi obesitas akibat faktor eksogen. Fenteramin dan Sibutramin merupakan derivat dari Amfetamin yang digunakan sebagai penekan nafsu makan. Obat-obat tersebut juga bekerja dengan cara merangsang pusat kenyang di hipotalamus melalui mekanisme

simpatomimetik.

Dibandingkan

dengan

Amfetamin,

Fenteramin dan Sibutramin menghasilkan lebih sedikit rangsangan pada sistem saraf pusat dan potensi terjadinya ketergantungan zat lebih rendah (Brenner, 2010). 2.2.7. Efek Amfetamin Amfetamin merupakan obat simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung, yang menyebabkan pelepasan amin endogen seperti

dopamin dan noradrenalin (Katzung, 2009). Pada susunan saraf pusat, Amfetamin menstimulasi korteks serebri, striatum, sistem limbik, dan batang otak (Klawans, 1981). Pada manusia, dengan dosis kecil atau sedang akan mempengaruhi susunan saraf pusat dengan cara (Sadock, 2007) : -

Meningkatkan kewaspadaan

-

Meningkatkan aktivitas lokomotor

-

Meningkatkan mood

-

Menurunkan nafsu makan

-

Menimbulkan euforia

-

Meningkatkan suhu tubuh (hipertermi) Pada penggunaan dosis tinggi secara tunggal atau pemakaian yang

terus menerus dengan dosis kecil selama beberapa hari, Amfetamin dapat menginduksi gangguan psikis toksik yang ditandai dengan (Sadock, 2007) : -

Pemikiran delusional

-

Halusinasi auditorik

2.2.7.1. Efek Sistemik Efek sistemik yang ditimbulkan oleh Amfetamin yaitu (Japardi, 2012) : a. Gangguan kardiovaskular Amfetamin dapat menyebabkan : -

Hipertensi

-

Sinus takikardi

-

Iskemik miokard

b. Kerusakan ginjal Amfetamin mengakibatkan Myoglobinuric Tubular Necrosis, sedangkan Metamfetamin dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis akibat dari suatu Systemic Necrotizing Vasculitis. Biasanya terjadi bila Amfetamin digunakan secara intravena. Keadaan ini jarang terjadi dan timbul bila terjadi overdosis.

Metamfetamin

merupakan

golongan

yang

paling

sering

menyebabkan kerusakan ginjal. c. Gangguan saluran pencernaan Amfetamin dapat menyebabkan toksisitas pada kolon akibat iskemik. d. Fungsi seksual Amfetamin mempengaruhi fungsi seksual dengan beberapa cara yang berbeda. Pada dosis rendah, Amfetamin meningkatkan performa seksual dengan cara menurunkan ansietas atau meningkatkan mood yang bersifat sementara. Dengan penggunaan Amfetamin yang berkepanjangan, fungsi ereksi, orgasme, dan fungsi ejakulasi menjadi tergangu. Meskipun tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa dorongan seksual meningkat, namun pengguna selalu memiliki perasaan bahwa energinya meningkat dan dapat aktif secara seksual. Pada akhirnya, terjadi disfungsi. Laki-laki biasanya akan menjalani dua tahap yaitu dimulai dengan ereksi lama tanpa ejakulasi, kemudia kehilangan fungsi ereksi secara perlahan-lahan. e. Hipertermia Mekanisme hipertermia yang ditimbulkan Amfetamin biasanya terjadi akibat gangguan termoregulasi. Selain itu, Amfetamin dapat menimbulkan hipertermi

sentral

karena

hiperrefleksi

otonom

(meningkatkan

produksi

panas).

Peningkatan suhu khas, berkisar 39˚-40˚. Biasanya suhu kembali normal dalam 48-72 jam setelah pemakaian obat dihentikan, tetapi dapat menetap beberapa hari sampai minggu bila disertai ruam akibat reaksi obat. Hipertermi biasanya berhubungan dengan intoksikasi. Hipertermi merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan keadaan ini dapat reversible. 2.2.7.2. Efek Psikiatris a. Gangguan mood Menurut DSM IV TR, permulaan dari terjadinya gangguan mood yang diinduksi oleh Amfetamin, dapat muncul pada saat penggunaan maupun penghentian zat. Pada umumnya, penggunaan zat dihubungkan dengan gejala seperti agresif, sedangkan penghentian zat dihuungkan dengan gejala seperti depresi (Sadock, 2007). b. Gangguan ansietas Amfetamin dapat menginduksi gejala yang sama seperti pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan gangguan phobia. Menurut DSM IV TR, gangguan ansietas yang diinduksi oleh Amfetamin juga muncul pada saat penggunaan dan penghentian zat (Sadock, 2007). c. Gangguan tidur Penggunaan Amfetamin dapat menyebabkan terjadinya insomnia dan gangguan tidur, sedangkan penghentian Amfetamin dapat menyebabkan terjadinya hipersomnolen dan mimpi buruk (Sadock, 2007). 2.2.7.3. Efek Neurologis

Amfetamin menimbulkan efek neurologis seperti (Japardi, 2012) : a. Gangguan kesadaran Gangguan kesadaran dapat terjadi pada penggunaan Amfetamin. Koma pada Amfetamin biasanya terjadi setelah kejang. Koma yang terjadi pada pengguna narkotika dapat dihubungkan dengan : 1. Overdosis, murni (jarang), campuran dengan sedative. 2. Hipoksia, edema paru, aspirasi pneumonia, pneumonia 3. Hipoglikemi 4. Postanoksik enselofati 5. Trauma 6. Kejang 7. Sepsis Gejala fisik yang ditimbulkan antara lain : 1. Pireksia 2. Hipertensi 3. Takikardi 4. Aritmia 5. Dilatasi pupil 6. Tremor 7. Kejang b. Gangguan pergerakkan

Chorea merupakan gangguan yang sering ditemukan. Hal ini dianggap sebagai reaksi toksik setelah pemakaian kronis. Pada dosis kecil, Amfetamin dapat menimbulkan chorea pada tungkai dan orofasial yang bersifat reversibel. Pada pengguna kronis, dapat menimbulkan chorea generalisata. c. Gangguan pertumbuhan Pada anak-anak, Amfetamin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Hal ini terjadi pada pemakaian kronis. Anak-anak hanya dapat tumbuh sampai 60-75% dari normal, tetapi bila obat dihentikan makan tampak pertumbuhan anak kembali normal. d. Stroke Vaskulitis sistemik ditemukan setelah pemakaian kronis intravena dan oral dari Amfetamin. Pada usia muda, proses vaskulitis terbatas pada sirkulasi serebri sehingga dapat menimbulkan sindroma stroke akut. Mekanisme terjadinya vaskulitis ini tidak jelas. e. Stroke perdarahan Amfetamin

dapat

menyebabkan

perdarahan

intraserebral

melalui

mekanisme vaskulopati ataupun hipertensi akut. Perdarahan otak dapat terjadi setelah pemakaian Amfetamin secara injeksi. Perdarahan intraserebral ataupu subaraknoid dapat terjadi pada pengguna Amfetamin. f. Kejang Pada pengguna Amfetamin, kejang dapat timbul baik pada pemakaian pertama kali ataupun pada pemakaian kronis, biasanya akibat intoksikasi

akut. Kejang dapat berupa kejang fokal, umum, tonik klonik ataupun status epilepsi. Seluruh kasus kejang pada pemakai Amfetamin terjadi pada pemakai secara intravena. 2.3. Intoksikasi Amfetamin Gejala intoksikasi Amfetamin dan Kokain adalah sama. Kriteria diagnosa keracunan Amfetamin dan Kokain menurut DSM IV TR juga hampir sama. Namun, pada kriteria diagnosa intoksikasi Amfetamin menurut DSM IV TR menspesifikasikan gangguan perseptual sebagai gejala dari intoksikasi Amfetamin (Sadock, 2007). 2.4. Ketergantungan dan Penyalahgunaan Amfetamin (Amphetamine Dependence and Amphetamine Abuse) Ketergantungan Amfetamin dapat menyebabkan penurunan yang drastis pada kemampuan seseorang dalam bekerja, mengabaikan kewajibannya dalam keluarga dan meningkatkan stress. Seseorang yang menyalahgunakan Amfetamin membutuhkan dosis yang semakin tinggi untuk mendapatkan efek lebih dan tanda-tanda fisik pada penyalahgunaan Amfetamin (seperti penurunan berat badan dan paranoid) hampir selalu berkembang dengan penyalahgunaan yang berkelanjutan (Sadock, 2007). 2.5. Efek Putus Obat Amfetamin Gejala seperti ansietas, tremor, disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk, kepala pusing, keringat berlebihan, tegang otot, tegang otot perut, dan rasa lapar yang tidak puas, muncul setelah penghentian obat Amfetamin. Gejala putus obat Amfetamin pada umumnya mencapai puncak dalam dua sampai

empat hari dan sembuh dalam satu minggu. Gejala putus obat yang paling serius adalah depresi, yang dapat menjadi berat setelah penggunaan Amfetamin dengan dosis tinggi yang berkelanjutan dan dapat dihubungkan dengan ide bunuh diri. Kriteria diagnosa putus obat Amfetamin menurut DSM IV TR menekankan bahwa keadaan disforik dan perubahan psikologi penting dalam penegakkan diagnose (Sadock, 2007). 2.6. Overdosis Amfetamin Overdosis akut Amfetamin akan menimbulkan gejala seperti kejang, hipertensi, takikardi, hipertermi, psikosis, halusinasi, stroke dan yang paling fatal adalah kematian (Handley, 2012). A. Norepinefrin Norepinefrin adalah suatu amin simpatik, yang bekerja melalui efek langsung pada reseptor α dan reseptor β di jantung. Itulah yang menyebabkan vasokontriksi perifer (aksi α-adrenergik), dan efek inotropic positif pada jantung serta dilatasi arteri coroner (aksi β-adrenergik). Aksi ini mengakibatkan peningkatan tekanan darah sistemik dan aliran darah arteri coroner. Pada infark miokard yang disertai dengan hipotensi, norepinefrin biasanya meningkatkan tekanan darah aorta, aliran darah arteri coroner, dan oksigenasi miokard, sehingga akan membantu membatasi area iskemia dan infark miokard. Venous return menignkat dan jantung cenderung kembali ke kecepatan dan ritme yang lebih normal dibandingkan saat keadaan hipotensi. Pada hipotensi yang menetap setelah dilakukan koreksi terhadap kekurangan volume darah, norepinefrin membantu meningkatkan tekanan darah ke tingkat optimal dan menghasilkan sirkulasi yang lebih kuat. Namun, efek norepinefrin pada reseptor β1 kurang bila dibandingkan dengan epinefrin atau

isoproterenol. Diyakini bahwa efek

α-adrenergik dihasilkan dari hambatan

terhadap produksi cyclic adenosine-3’,5’-monophosphate (AMP) dengan cara menghambat enzim adenil siklase, di mana efek β-adrenergik dihasilkan dari stimulasi aktivitas adenil siklase. B Lokalisasi Norepinefrin Badan sel neuron di otak yang mengandung norepinefrin terletak di lokus seruleus dan nucleus lain di pons dan medula. Dari lokus seruleus, akson neuron noradrenergic membentuk sistem lokus seruleus. Akson-akson tersebut turun ke medula spinalis, masuk ke dalam sereblum, dan naik untuk mempersarafi nucleus paraventrikel, supraoptik dan periventrikel hipotalamus, thalamus, telensefalon basal, dan seluruh neokorteks. Dari badan sel di nucleus motorik dorsal vagus, nucleus traktus solitaries,dan daerah di tegmentum dorsal dan lateral, akson neuron noradrenergic membentuk sistem tegmentum lateral yang berproyeksi ke medula spinalis, batang otak, seluruh hipotalamus dan telensefalon basal. Serat asendens dari lokus seruleus membentuk berkas noradrenergic dorsal, sementara serat asendens sistem tegmentum lateral membentuk berkas noradrenergic ventral. Obat-obat yang meningkatkan kadar norepinefrin ekstrasel di otak akan meningkatkan suasana hati, dan obat-obat yang menurunkan kadar norepinefrin ekstra sel menimbulkan depresi. Namun, seperti yang ditulis di ats, penekanan telah bergeser dari norepinefrin ke serotonin dalam pathogenesis depresi. Selain itu, pada orang dengan defisiensi DBH congenital masih normal dalam hal suasana hatinya. Akan tetapi, tentunya keadaan yang berkaitan dengan monoamine dan fungsi otot kompleks karena kadar neurotransmitter ekstraselular yang tinggi dapat mempunyai pengaruh sekunder, terutama pada reseptor. Fungsi normal sistem lokus seruleus masih merupakan teka-teki, meskipun kegiatan listriknya akan meningkat oleh rangsang sensorik yang tak diduga dan mungkin berhubungan dengan perilaku berjaga. Sistem noradrenergik tegmentum ventral berperan dalam pengaturan sekresi

vasopressin dan oksitosin, dan

menyesuaikan sekresi hormone-hormon hipofisiotrofik yang mengatur sekresi hormon-hormon hipofisis anterior. Norepinefrin dan serotonin kedua-duanya tampak berperan dalam pengaturan suhu tubuh. Norepinefrin disekresi oleh ujung neuron-neuron yang badan sel somanya terletak dalam batang otak dan hipotalamus. Secara khas, neuron-neuron penyekresi norepinefrin yang terletak di dalam lokus serules di dalam pons akan mengirimkan serabut-serabut saraf ke daerah yang luas di dalam otak dan akan membantu pengaturan seluruh aktivitas dan perasaan, seperti peningkatan kewaspadaan. Pada sebagian besar daerah ini, norepinefrin mungkin mengaktivasi reseptor eksitasi, namun pada daerah yang lalin malahan menaktivasi reseptor inhibisi. Norepinefrin juga disekresikan oleh sebagian besar neuron postganglion system saraf simpatik, yang epinefrin nya merangsang beberapa organ tetapi menghambat organ lain.

C. Biosintesis & pelepasan katekolamin. Berbagai katekolamin utama yang terdapat dalam tubuh ─ norepinefrin, epinefrin dan dopamin ─ terbentuk melalui hidroksilasi asam amino tirosin. (gambar 4-19) NH2 HC

NH2 COOH

CH2

NH2 HC

Fenilalanin hidroksilase te trahidrobiopterin

CH2

COOH

HC

Tirosin hidroksilase CH tet 2 rahidrobiopterin

HO OH fenilalanin

Tirosin

OH Dopa

COOH

(Dihidroksifenilalanin)

Dopadekarboksil ase piridoksalfosfat

HN

CH3

CH2 HC

OH

NH2

NH2

CH2

CH2

HC

OH

FeniletanolaminNmetiltransferase

HO

Sadenosilmethioni n

OH Epinefrin

CH2 Dopamin βhidroksilase a

HO

skorbat

HO

OH

OH

Norepinefrin

Dopamin

Gambar 4-19. Biosentesis katekolamin. Garis putus-putus menandakan inhibisi tirosin hidroksilase oleh Norepinefrin dan Dopamin. Kofaktor-kofaktor esensial dicetak miring.

Sebagian tirosin dibentuk dari fenilalanin, tetapi sebagian besar berasal dari makanan. Fenilalanin hidroksilase ditemukan terutama di hati. Tirosin diangkut ke dalam neuron penghasil katekolamin dan sel-sel medula adrenal melalui mekanisme konsentrasi. Tirosin diubah menjadi dopa dan kemudian menjadi dopamin dalam sitoplasma sel oleh tirosin hidroksilase dan dopa dekarboksilase. Dekarboksilase tersebut, yang juga disebut dekarboksilase L-asam amino aromatik,

serupa

tapi

mungkin

tidak

sama

dengan

5-hidroksitriptofan

dekarboksilase. Dopamine kemudian memasuki vesikel-vesikel bergranula, dan diubah menjadi norepinefrin oleh dopamin β-hidroksi-lase. L- dopa merupakan isomer yang berperan, tetapi norepinefrin yang terbentuk adalah dalam konfigurasi D. Hal ini juga terjadi meskipun sifatnya levorotatory (-). Norepinefrin dekstrorotatori (+) sangat kurang aktif. Reaksi yang lebih terbatas

pada sintesis adalah pengubahan tirosin menjadi dopa. Tirosin hidroksilase, yang mengkatalisis reaksi ini, dipengaruhi inhibisi umpan balik oleh dopamine dan norepinefrin, dan dengan demikian merupakan pengawasan internal proses sintesis tersebut. Kofaktor tirosin hidroksilase adalah tetrahidrobiopterin, yang berubah menjadi dihidrobiopterin saat tirosin diubah menjadi dopa. Beberapa neuron dan sel-sel medula adrenal juga mengandung enzim sitoplasmik feniletanolamin-N-metiltransferase (PNMT), yang mengatalisis pengubahan norepinefrin menjadi epinefrin. Dalam sel-sel tersebut, tampaknya norepinefrin meninggalkan vesikel, diubah menjadi epinefrin dan kemudian memasuki vesikel-vesikel penyimpanan lain. Dalam vesikel bergranula, norepinefrin dan epinefrin berikatan dengan ATP dan berkaitan dengan protein yang dinamakan kromogranin A, yang fungsinya tidak diketahui. Pada beberapa, tetapi tidak semua, neuron adrenergic, vesikel besar bergranula juga mengandung neuropeptida Y. kromogranin A merupakan suatu 49-kDa protein yang juga terdapat pada berbagai sel endokrin dan neuroendokrin lain, dan mungkin berperan secara umum sebagai penyimpan hormon atau penghasil hormon. Suatu protein yang berkaitan, kromoganin B dibentuk dibeberapa jaringan. Kadar kromogranin A dalam plasma meningkat pada penderita dengan berbagai tumor endokrin. D. Katabolisme katekolamin. Norepinefrin, seperti halnya transmitter amina dan asam amino lainnya, dipindahkan dari celah sinaptik dan berikatan dengan reseptor postsinaptik, berikatan dengan reseptor presinaptik, diambil kembali dengan ke dalam neuron presinaptik atau katabolisme. Pengambilan kembali merupakan mekanisme penting dalam hal norepinefrin, dan hipersensitivitas struktur-struktur yang mengalami denervasi simpatis mungkin dapat diterangkan sebagian berdasarkan hal ini. Setelah neuron noradrenergic dipotong, ujung-ujungnya berdegenerasi, akibatnya tidak terjadi pengambilan kembali, dan makin banyak norepinefrin dari sumber-sumber lain mampu merangsang reseptor di efektor autonom.

Norepinefrin mengalami metabolisme menjadi produk yang tidak aktif secara biologic melalui oksidasi dan metilasi. Reaksi pertama yang dikatalisis oleh monoamine oksidase (MAO) dan reaksi yang berikutnya oleh katekol-Ometiltransferse (COMT). MAO ditemukan dipermukaan luar mitokondria. Terdapat dua isoform MAO, MAO-A dan MAO-B, yang berbeda dalam hal spesifitas substrat dan sensifitasnya terhadap obat-obat. Keduanya terdapat dalam neuron. MAO tersebar luas, terutama bnayak di ujung-ujung saraf tempat katekolamin dilepaskan COMT juga tersebar luas, terutama dijaringan hati, ginjal, dan otot polos. Di otak, COMT terdapat di sel-sel glia, dan sejumlah kecil ditemukan di neuron-neuron postsinaptik, tetapi COMT tidak ditemukan di neuron-neuron presinaptik noedrenergik. Dengan demikian terdapat dua pola metabolisme katekolamin yang berbeda. Norepinefrin ekstraseluler sebagian besar berbentuk O-metilasi, dan pengukuran kadar derivat O-metilasi metanefrin dalam kemih merupakan indikator yang baik untuk menunujukan kecepatan sekresi norepinefrin. Derivate O-metilasi yang tidak disekresi sebagian besar mengalami oksidasi, dan asam 3metoksi-4-hidroksi mandelat (asam vanililmandelat, VMA). Merupakan metabolit katekolamin yang paling banyak dalam kemih. Sejumlah kecil derivat O-metilasi juga berkonjugasi dengan sulfat dan glukuronida. Di ujung-ujung saraf noradrenergic, sebaliknya sebagian norepinefrin terus menerus diubah oleh MAO intrasel menjadi derivate deaminasi yang secara fisiologis tidak aktif, yaitu asam 3,4- dihidroksimendelat (DOMA) dan suatu senyawa glikol (DPHG), yang selanjutnya di ubah menjadi derivat-derivat Ometil-nya, VMA dan MHPG. E. Reseptor Alfa dan Beta Epinefrin

dan nor epinefrin

β,dengan nor epinefrin

kedua nya bekeja pada reseptor α dan

mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor

aderenergik α,sedangkan epinefrin terhadap terhadap reseptor aderenergik β.seperti tertera diatas,reseptor-reseptor α dan β merupakan reseptor serpentin

yang khas,berikatan dengan protein G,dan masing-masing mempunyai beragram bentuk.reseptor-reseptor tersebut memiliki keserupaan dengan reseptor-reseptor dopamine dan serotonin serta reseptor asetilkolin serta reseptor asetilkolin muskarinik. F. Efek epinefrin dan nor epinefrin. Selain

menyerupai

efek

pelepasan

muatan

saraf

nor-adrenergik,

norepinefrin dan epinefrin memperlihatkan efek metabolik yang mencakup glikogenolisis di hati dan otot rangka, mobilisasi ALB(asam lemak bebas), peningkatan laktat plasma, dan stimulasi tingkat metabolik. Efek norepinefrin dan epinefrin dilakukan melalui kerja dua kelas reseptor, reseptor adrenergik-α dan –β. Reseptor α dibagi menjadi dua kelompok, reseptor α1 dan α2, dan rseptor β dibagi menjadi reseptor β1, β2, dan β3. Ada 3 tiga subtipe dari reseptor α1, dan tiga subtipe reseptor α2. Norepinefrin dan epinefrin keduanya meningkatkan kekuatan dan kecepatan kontraksi jantung terisolasi. Respon ini di perantarai oleh reseptop β 1. Katekolamin

juga

meningkatkan

eksibilitas

miokardium,

menyebabkan

ekstrasistol dan, kadang-kadang, aritmia jantung yang lebih serius. Norepinefrin menyebabkan vasokontriksi pada sebagian organ melalui reseptor α 1, tetapi epinefrin menyebabkan dilatasi pembuluh darah di otot rangka dan di hati melalui reseptor β2. Hal ini biasanya mengatasi vasokontriksi yang ditimbulkan oleh epinefrin di tempat lain, dan resitensi prifer total menurun. Bila norepinefrin diinfuskan secara lambat pada manusia atau hewan normal, tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat. Hiprtensi merangsang baroreseptor karotis dan aorta, menimbulkan bradikardia refleks yang mengatasi efek kardioakselerasi langsung norepinefrin. Akibatnya, curah jantung permenit turun. Epinefrin menyebabkan melebarnya tekanan denyut/nadi, tetapi karena stimulasi baroreseptor tidak cukup untuk menutupi efek langsung hormon pada jantung, kecepatan denyut dan curah jantung meningkat.

Katekolamin meningkatkan kewaspadaan. Dalam hal ini, epinefrin dan norepinefrin sama kuatnya, walaupun pada manusia epinefrin biasanya lebih menimbulkan kecemasan dan kekuatan. Katekolamin memiliki beberapa efek berbeda yang mempengaruhi glukosa darah. Epinefrin dan norepinefrin keduanya menyebabkan glikogenelisis. Efek ini terjadi melalui reseptor adrenergik β yang meningkatkan AMP siklik, disertai pengaktifan fosforiase, dan melalui reseptor adrenergik-α yang menignkatkan CA2+ intrasel. Selain itu, katekolamin meningkatkan sekresi insulin dan glukagen melalui mekanisme adrenergik-β dan menghambat sekresi hormon-hormon ini melalui mekanisme adrenergik-α. Norepinefrin dan epinefrin juga menyebabkan peningkatan cepat tingkat metabolik yang independen terhadap hati dan peningkatan ringan yang timbul lebih lambat yang hilang dengan hepatektomi serta bersamaan dengan peningkatan konsentrasi laktat darah. Efek kalorigenik ini tidak terjadi bila tidak teradpat tiroid dan korteks adrenal. Penyebab peningkatan awal pada kecepatan metabolik tidak diketahui pasti. Hal ini mungkin disebabkan oleh vasokontriksi kulit, yang menurunkan kehilangan panas dan menyebabkan peningkatan suhu tubuh, atau oleh peningkatan aktivitas otot, atau oleh keduanya. Peningkatan kedua mungkin disebabkan oleh oksidasi laktat di hati. Tikus yang tidak mampu membuat norepinefrin atau epinefrin karenan gen β-hidroksilase dopaminnya dirusak, menjadi tidak toleran terhadap dingin, tetapi taraf metabolisme basalnya meningkat. Peningkatan peningkatan ini tidak diketahu. Bila disuntikan, epinefrin dan norepinefrin mula-mula menyebabkan peningkatan K+ plasma karena pelepaan K+ dari hati, kemudian penurunannya K + plasma berlangsung berkepanjangan karena meningkatnya pemasukan K+ ke dalam otot rangka yang diperantarai oleh reseptor adrenergik -β2. Terdapat beberapa bukti bahwa pengaktifan reseptor α menghambat efek ini. Dengan demikian, katekolamin mungkin berperan penting dalam mengatur rasio antara K+ ekstrasel dan intra sel.

Peningkatan norepinefrin dan epinefrin plasma yang dibutuhkan untuk menimbulkan berbagai efek yang tercantum di atas telah ditetapkan melalui infus katekolamin pada manusia istirahat. Secara umum, ambang untuk efek kardiovaskuler dan metabolik norepinefrin adalah sekitar 1500 pg/mL, yaitu sekitar lima kali nilai istirahat. Epinefrin, di pihak lain menimbulkan takikardia bila kadar plasma sekitar 50 pg/mL, yaitu sekitar dua kali nilai istirahata. Ambang untuk peningkatan tekanan darah sistolik dan lipolisis adalah sekitar 75 pg/mL, ambang untuk hiperglikemia, peningkata laktat plasma dan penurunan tekanan darah diastolik adalah sekitar 150 pg/mL dan ambang untuk penurunan sekresi insulin yang diperantarai oleh reseptor α adalah sekitar 400pg/mL. Epinefrin plasma sering melebihi ambang-ambang tersebut. Di pihak lain, norepinefrin plasma jarang melebihi ambang untuk efek kardiovaskuler dan metaboliknya dan sebagian besar efeknya disebabkan oleh penglepasan lokal dari neuron-neuron simpatis pascaganglion. Sebagian besar tumor medula adrenal (feokromositoma) mensekresikan norepinefrin, dan temuan yang paling mecolok adalah hipertensi episodik atau menetap. Feokromositoma yang mensekresikan epinefrin kurang menimbulkan hipertensi dan sering menyebabkan hiperglikemia episodik, glikosuria, dan efek metabolik lainnya. 4. Efedrin Telah dikatakan bahwa Efedrin merupakan vasopresor yang paling sering digunakan dan merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi seksio sesaria, penggunaannya sudah dilakukan pada tahun 1927 (Morgan, 1994 ; Stoelting, 1997 ; Simon et al., 2001; Morgan, 1995).

Efedrin dapat diberikan secara oral, maka banyak digunakan sebagai obat asma(bebas terbatas,tanpa resep) dalam berbagai sediaan populer, walaupun efek sampingnya dapat membahayakan. Resorpsinya baik dan dalam waktu1/4-1 jam sudah terjadi bronchodilatasi. Di dalam hati, sebagian zat dirombak, eksresinya terutama lewat urin secara utuh. Plasma t½-Nya 3-6 jam. Dosis: 3-6 dd 25-50 mg, anak-anak 2-3 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis, tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang lama ( Tjay, 2001). Efedrin yang diberikan secara intra muskuler dan infus kontinyu terbukti dapat mencegah terjadinya hipotensi yang diakibatkan anestesi spinal pada seksio sesaria. Efedrin intra muslkuler dengan dosis 45 mg pada wanita hamil dengan berat badan 75-80 kg efektif mencegah hipotensi sebesar 48%. Sedangkan pemberian efedrin secara infuse kontinyu, dengan bolus 6 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 mg/menit efektif menurunkan angka kejadian hipotensi sebesar 41% ( Hall, 1994). Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang menstimuli reseptor β1, β2, α 1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan melepaskan nor –

epinefrin endogen (Stoelting, 1997 ; Dinardo, 1996 ; Morgan dan Mikhail, 2002). Efedrin berefek pada reseptor β maupun α dengan pre dominan pada reseptor β (Gilmore, 1999 ; International Anesthesia Research xxi Society, 2003). Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot (Morgan, 1994 ; Stoelting, 1997). Dibandingkan dengan vasopresor lain, efedrin tidak menurunkan Utero Placental Blood Flow (UPB) (Ducros et al, 2002; Bisri, 1998., Tong et al, 1992) Mekanisme efedrin pada reseptor β adrenergic yaitu bahwa reseptor β adrenergic mengandung tempat reseptor untuk sepasang hormone spesifik untuk merangsang protein G yang mengikat guanosine triphospate dan merangsang enzim adenyl cyclase (AC) yang akan mengkatalisator perubahan dari adenosine triphospate menjadi cyclic adenosine monophospate (cAMP) (Stoelting, 1997 ; Dinardo, 1996). Sutherland memberikan identitas cAMP sebagai second messenger. Peningkatan konsentrasi dari cAMP adalah suatu reaksi awal pada sebuah reaksi kaskade dari phosporisasi dalam

sel yang mengantarkan respon sel spesifik menjadi inotropik positif atau kronotropik positif (Dinardo, 1996). Pada otot jantung, phosporisasi dari cAMP tergantung dari protein kinase yang diperlukan untuk membuka pintu masuk kalsium pada miosit. Jadi kalsium adalah medium akhir dari efek yang terjadi dan di sebut sebagai third messenger (Stoelting, 1997 ; Dinardo, 1996 ; Anonim, 2001). Peningkatan penggunaan kalsium akan meningkat intensitas aktin dan interaksi myosin, manifestasinya adalah meningkatkan kontraktilitas otot jantung, frekuensi denyut jantung dan pada akhirnya meningkatkan tekanan darah (Stoelting, 1997 ; Dinardo, 1996) Bukti terakhir mendukung eksitensi dari second messenger untuk kedua reseptor α1 dan α2. Reseptor α1 adalah sepasang regulasi protein G yang mengikat guanosine triphospate dan regulasi interaksi direseptor dengan enzim phospholipase C (PLC). PLC katalis adalah bentuk dari second measengger inositol 1, 4, 5 triphospate dan diacyl glycerol (DAG) (Dinardo, 1996). Keduanya menghasilkan peningkatan kalsium intraseluler (Dinardo, 1996 ; Anonim, 2001). Konsentrasi kalsium intraseluler akan meningkat tekanan darah (Dinardo, 1996).

Efek efedrin pada reseptor α1 juga akan menurunkan aliran darah ke ginjal, efedrin juga meningkatkan glikogenilisis di dalam hati, namun peningkatan glukosa darah tidak sebesar pada penggunaan epinefrin (Dinardo, 1996). Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut (Morgan, 1994) : 1) Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif. 2) Tidak menstimuli system saraf pusat. 3) Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan. 4) Penggunaannya di bidang obstetric tidak menyebabkan vasokontriksi uteri. Dimana pembuluh darah uterus hanya mempunyai reseptor α, sehingga sebaiknya obat-obat vasopresor yang berefek pada reseptor α dominan sebaiknya tidak diberikan karena dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah uterus dan pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan UPBF. Efedrin dapat menimbulkan efek takipilaksis yaitu pemberian dosis kedua efedrin menimbulkan sedikit respon kenaikkan tekanan darah sistemik dari pada pemberian pertama (Stoelting, 1997).

Efek tersebut disebabkan karena efedrin menyebabkan turunnya simpanan nore epinefrin pada ujung akhir saraf simpastis (Stoelting, 1997). Godman dan Gilman, (2000) menyarankan penggunaan efedrin untuk mencegah hipotensi karena anestesi spinal pada operasi seksio sesaria dengan dosis sebesar 5 – 10 mg intravena (IV) atau 1- 30 mg secara intramuscular (IM). International Anesthesia Research Society (2003), merekomendasi dosis efedrin antara 25 – 50 mg yang dapat diberikan melalui IV, subcutan (SC) maupun IM. Gilmore,(1999), menyarankan dosis sebesar 3 – 10 mg bolus IV dengan dosis maksimal 60 mg, Kee et al., (2002) menyatakan dosis efedrin 10 – 30 mg bolus IV. Onset efedrin yang diberikan secara IV sekitar 1 menit dengan lama kerja berkisar 15 – 20 menit (Stoelting, 1997). Kontraindikasi dari pemakaian efedrin adalah pasien yang hipersensitif dengan amin – simpatomimetik, pasien dengan glaucoma sudut sempit. Efedrin sebaiknya juga tidak diberikan pada pasien yang menggunakan anestesi glikosid, quinidine, ergot alkaloid, oxytosine, cyclopropane atau halothane karena interaksi dengan obat-obat tersebut dapat mensensitisasi jantung yang berakibat munculnya aritmia (Gilmore, 1999 ;

International Anesthesia Research Society, 2003 ; Anonim, 2001). Pasien – pasien dengan tirotoksikosis, ibu hamil dengan tekanan darah > 130 / 80 mm Hg, hipertensi, serta penyakit kardiovaskuler lainnya, efedrin sebaiknya juga tidak diberikan. Hat-hati penggunaan efedrin pada pasien dengan penyakit jantung iskemia karena dapat menimbulkan angina pectoris. Efedrin juga dapat menyebabkan aritmia yang fatal pada pasien dengan kelainan jantung organic. Efedrin bila diberikan bersama dengan simpatomimetik yang lain dapat menyebabkan efek adiktif dan meningkatnya efek toksisitas (Gilmore, 1999; International Anesthesia Research Society, 2003 ; Anonim, 2001) Efek samping yang dapat muncul berupa keracunan akut karena penggunaan dosis yang berlebihan. Penelitian yang dilakukan oleh Gilmore (1999), pemakaian dosis efedrin yang besar (2 – 5 mg / kgbb) dapat menyebabkan perdarahan serebral. Efek samping lain meliputi, sakit kepala, kecemasan, restlessness (kegelisahan), tremor, kejang, kelemahan, dizziness (pusing), bingung, halusinasi, mimpi buruk, pucat, susah bernafas, palpitasi, berkeringat, mual dan muntah. Pemberian dosis berulang juga dapat menimbulkan kontraksi

spingter vesika urinaria dan mengganggu keinginan untuk kecing (Gilmore, 1999 ; International Anesthesia Research Society, 2003., Anonim. 2001). Dosis letal efedrin sebesar lebih dari 60 mg / kgbb (Gosselin et al, 1984). Data mengenai efek karsinogenik, teratogenik dan mutagenic dari efedrin sampai sekarang belum ada (International Anesthesia Research Society, 2003). Pemakaian efedrin pada kehamilan termasuk dalam kategori C yang berarti obat tersebut dapat member pengaruh buruk pada janin disertai malformasi anatomic semata-mata karena efek farmakologiknya, umumnya bersifat reversible (International Anesthesia Research Society, 2003 ; Tong et al, 1992).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Autonomic Pharmacology – Adrenergic Pharmacology – Lecture. – http:// www.Pharmacology 2000.com/Autonomik/Adrenergics/Adren 1.htm. (5 Oktober 2008).

Atkinson RS, et al. 1987. Spinal Analgesi Intradural and Extradural. In: Synopsis of Anesthesia. Edisi 10.London: Pb Publishing Pte Ltd, pp: 662 – 721.

Bisri, T. 1998. Anestesi Untuk Seksio Sesaria. Dalam:Obestetri Anestesia.Bandung: SMF Anestesiologi & Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, pp 678-727.

Brown, D.L. 2000. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia. In Miller R.D. (ed). Anesthesia: 5th Ed. Philadelphia: Churchil Livingstone Co, pp: 1491 – 1516

Covino, B.G; Scott, D.B; and Lambert, D.H. 1994. Physiological Consideratios, Complications of Spinal Anaesthesia. In: Handbook of Spinal Anaesthesia and Analgesia.Singapore: King Keong Printing Co. Pte. Lmt, pp: 45 – 67 ; 150 – 153.

Critchley, L.A.H; Stuart, J; Conway, F and Short, T.G. 1995. Hypotension during subarachnoiud anesthesia : haemodynamic effects of ephedrine. Br. J. Anaesth, pp:373 – 378.

Dinardo, J.A. 1996. Vasoactive and Inotropic Agents. In: Vincent J and Collins (eds). Physiologic and Pharmakologic Bases of Anaesthesia. Baltimore : William & Wilkins, pp : 734 – 742.

Ducros, L; Bonnin, P; Cholley, B; Vicaut, E; Benayed, M; Jacob, D; and Payen D. 2002. Increasing maternal blood pressure with ephidrine increases uterine artery blood flow velocity during uterine contraction.Journal of Anesthesiology, pp: 612 – 616.

Gilmore, K. 1999. Pharmacology of Vasopressors and Inotropes. Bristol: Frenchay Hospital, pp:345-347.

Goodman L.S. and Gilman, A. 2000. The Pharmacological : Basic ofTheurapeutics. 5th edition. New York : Macmillan Publhising Co, p: 1884.

Gosselin, E.R; Smith, P.P; and Hodge, D.H. 1984. Clinical Toxicology of Comercial Products. 5th Ed. Baltimore: William & Wilkins, p:135. Greene, N.M. 1981. Hipotension In: Physiology of Spinal Anaesthesia. 3rd edition. Baltimore: William & Wilkins, pp: 112 – 132

Hall, P.A. 1994. Spinal anaesthesia for caesarean section: comparison of infusion of phenylephrine and ephedrine. Br J Anaesth. 73: 471 – 474.

International Anesthesia Research Society. 2003. clinical pharmacology of ephedrine. Anesth Analgesia, pp;:136 – 141. Joint National Committee. 2003. The sevent report of the committe on the prevent spinal – induced hypotension at caesarean section. Br. J. Anaest,. pp: 262-265.

Kee W.D.N; Khaw; Kin, S; Lau T.K; and Tony, 2002. A dose response study of prophylactic intravenous ephedrine for the prevention of hypotension during spinal anesthesia foe caesaria delivery. Anesthesia Analgesia February edition, pp : 1390 – 1395.

Mc Crae and Wildsmith. 1993. Prevenstion and treatment of hypotension during central neural block. British Journal of Anesthesia. 70 : 672 – 800.

Mc Geachie, J. 1994. Regional Anesthesia. In: Techniqius in A Practice of Anesthesia. 6th edition. London: Edward Arnold, pp: 708 – 732.

Morgan. 1994. The role of vasopressorn in management of hipotension induced by spinal end epidural anaesthesia. Canadian Journal of Anaesthesia. February edition, pp: 404 – 413.

---------- 1995. Spinal anesthesia in obstetrics. Canadian Journal of Anaesthesia. February edition, pp:145 – 208.

Morgan, GE and Mikhail, MS. 1996. Adrenergic Agonists and Antagonists. In: Clinical anesthesiology. 2nd Ed. Connecticut:Prentice hall, pp: 180 – 181.

------------------------------------------- 2002. Obstetric. In: Clinical Anesthesiology 3rd Ed. Connecticut:Appleton & Lange Stamford, pp; 705 – 725.

Mulyono, I. 1997. Efek Fisiologis Anesthesia Regional. Dalam: Kursus Penyegaran Anestesi Regional Dr Cipto Mangun Kusumo. Jakarta: Balai Penerbitan FK UI, pp:78-79.

Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sample Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, p:136.

Raj, P.P. 1991. Eficacy in Comparison to General Anesthesia. In: Clinical Practice of Regional Anesthesia.London: Churchill Livingstone Inc, pp: 175 – 176.

Sarwono, P. 1989 . Ilmu Bedah Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, pp: 261- 269.

Scott, D.A and Davies, M.J. 1993. Hypotension. Baillere’s Clinical Anesthesiology 7 : 237 – 257.

Simon, L; Provenchere, S; Blaquat, L; Baulay, G; and Hamza, J. 2001. Dose of prophylatic intravenous ehedrine during spinal anesthesia for cesarian section. Journal of anesthesia, pp: 369 – 375.

Stoelting, R.K. 1991. Pharmacology and Physiology. In: Anesthesia Practice. 2nd edition. Oxford: JB Lippincott Company, pp: 148 – 171;264-284; 661 – 678. Snell, R.S. and Katz, J. 1988. Cadiovascular System,Spinal Cord,Meninges,Nerve Fibres and Spinal Nerves. In: Clinically Anatomical in Anesthesia, Connecticut: Appletion & Lange Stamford, pp: 63 – 118; 153 – 184; 185 – 226.

Tjay, T.H. 2001. Obat-Obat Penting: Khasiat Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: Elex Media komputindo, pp:611612.

Tong, C; Eisenach; and James, C. 1992. The vascular mechanism of epedrine’s beneficial effect on perfusion during pregnancy. Journal of Anesthesiology, pp: 792 – 798.

Siswandono, dan Bambang Soekarjo. 1995. Kimia Medisinal Edisi I. Airlangga University Press. Surabaya. Tim Penyusun. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Universitas Indonesia. Jakarta Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingnya. Elex Media Komputindo. Jakarta. Zaman, Nanizar. 2002. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Edisi ke-3. Airlangga University Press. Surabaya.

Related Documents

Kimia Medisinal
January 2021 1
Kimia
February 2021 3
Makalah Kimia
January 2021 0
Dosimeter Kimia
January 2021 1

More Documents from "Ena Nurfalah R"

Kimia Medisinal
January 2021 1