Kisah Dewa

  • Uploaded by: toko pojok
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kisah Dewa as PDF for free.

More details

  • Words: 37,079
  • Pages: 123
Loading documents preview...
Anwas - Anwar Lahir Kisah ini menceritakan tentang peristiwa pembunuhan pertama di dunia, perkawinan Sis, dan kelahiran anak-anak Sis yang bernama Anwas dan Anwar. Kelak, tokoh bernama Anwar ini akan menjadi dewa pertama yang bergelar Sanghyang Nurcahya. Sumber yang dipakai dalam penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan kisah-kisah tradisi dari Timur Tengah. Kediri, 25 April 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

SITI HAWA MENGIDAM BUAH-BUAHAN SURGA Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam bersama para putra sedang membicarakan sang istri, yaitu Siti Hawa, yang kali ini sedang mengandung untuk ketiga belas kalinya. Yang membuat heran adalah Siti Hawa mengidam ingin memakan buah-buahan dari Taman Surga. Dalam pembicaraan itu Sayidina Kabil sang putra sulung juga menyampaikan keluhan yang selama ini dipendam dalam hati, yaitu tentang peraturan Nabi Adam dalam menikahkan putra-putrinya. Sayidina Kabil lahir bersama Siti Aklimah, sedangkan Sayidina Habil lahir bersama Siti Damimah. Namun, Sayidina Kabil yang berwajah tampan ternyata dinikahkan dengan Siti Damimah yang berwajah jelek, sedangkan Sayidina Habil yang berwajah jelek ternyata dinikahkan dengan Siti Aklimah yang berwajah cantik. Selama ini Sayidina Kabil Page | 1

selalu memendam kekecewaaan dalam hati, namun sekarang ia tidak tahan lagi dan menyampaikan rasa kesalnya itu kepada sang ayah. Nabi Adam menjelaskan bahwa peraturan tersebut ditetapkan dengan pertimbangan bahwa Sayidina Kabil dan Siti Aklimah lahir bersama, maka mereka berasal dari satu benih yang sama, sehingga tidak baik jika dinikahkan. Sayidina Kabil kecewa dengan jawaban sang ayah. Ia lalu pamit undur diri meninggalkan pertemuan. Nabi Adam kembali membicarakan kehamilan Siti Hawa. Dulu mereka berdua telah melanggar larangan Tuhan Yang Mahakuasa, sehingga harus dikeluarkan dari Taman Surga. Kini Siti Hawa sedang mengandung dan merindukan kelezatan buah-buahan dari tempat yang serba indah itu. Putra keenam bernama Sayidina Sis mengajukan diri untuk mewujudkan idaman sang ibu. Nabi Adam sangat yakin pada kemampuan Sayidina Sis dan memberikan restu kepadanya untuk berangkat. SITI HAWA MENCERITAKAN KELAHIRAN SAYIDINA SIS Nabi Adam masuk ke dalam puri dan disambut Siti Hawa. Kepada sang istri, ia menceritakan jalannya pertemuan, di mana Sayidina Sis bersedia mengusahakan terwujudnya buah-buahan dari Taman Surga. Ia juga menceritakan kekecewaan Sayidina Kabil karena beristrikan Siti Damimah yang buruk rupa. Siti Hawa mengungkit cerita masa lalu di mana antara dirinya dan sang suami pernah berselisih paham mengenai tata cara perkawinan putra-putri mereka. Nabi Adam berpendapat, putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri kedua, sedangkan putra kedua dinikahkan dengan putri pertama. Putra ketiga dinikahkan dengan putri keempat, sedangkan putra keempat dinikahkan dengan putri ketiga. Begitulah seterusnya. Di lain pihak, Siti Hawa berpendapat putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri pertama, putra kedua dinikahkan dengan putri kedua, dan seterusnya, dengan alasan mereka sudah berjodoh sejak dalam kandungan. Perbedaan pendapat itu membuat keduanya berselisih tanpa ada yang mau mengalah, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Masing-masing lalu mengeluarkan benih dari dalam tubuh untuk ditempatkan di dalam pusaka Cupumanik Astagina. Benih Nabi Adam ditempatkan pada tutup cupumanik, sedangkan benih Siti Hawa ditempatkan di badan cupumanik. Setelah beberapa hari, atas kehendak Tuhan, benih milik Nabi Adam berubah menjadi calon janin, sedangkan benih Siti Hawa tidak berubah. Karena itulah, Siti Hawa mengaku pasrah dan menyerahkan keputusan tentang tata cara pernikahan putra-putri supaya dijalankan sesuai pendapat Nabi Adam. Setelah Nabi Adam dan Siti Hawa pergi, Malaikat Jibril datang atas perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk menyatukan calon janin tersebut dengan benih Siti Hawa sehingga menjadi bayi hidup, yang kemudian diberi nama Sayidina Sis. Dengan demikian, anak pertama sampai kelima selalu lahir sepasang laki-laki perempuan, sedangkan putra keenam ini hanya seorang laki-laki, yaitu Sayidina Sis tersebut. Tidak lama kemudian muncul angin topan yang menerbangkan Cupumanik Astagina entah ke mana. Siti Hawa mengakhiri ceritanya. Nabi Adam berusaha menenangkan perasaan istrinya, dan menganggap keluhan Sayidina Kabil tadi adalah ujian rumah tangga belaka. Maka ia pun mengajak Siti Hawa untuk lebih menguatkan iman dan senantiasa berserah diri kepada Tuhan Page | 2

Yang Mahakuasa, semoga apa pun yang akan terjadi bisa mendatangkan kebaikan bagi umat manusia. KEBERANGKATAN SAYIDINA SIS MENCARI BUAH-BUAHAN SURGA Sayidina Habil memerintahkan empat orang adiknya, yaitu Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis untuk mengantarkan keberangkatan Sayidina Sis dalam mewujudkan idaman sang ibu. Di tengah perjalanan, Sayidina Sis dan keempat saudaranya itu diganggu oleh kaum setan pengikut Malaikat Ajajil yang dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan. Terjadilah pertempuran di mana para setan tersebut dapat diusir pergi. Sesampainya di tepi hutan, Sayidina Sis berpisah dengan keempat saudaranya untuk melanjutkan perjalanan seorang diri. Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis lalu kembali ke Kusniya Malebari dan mendoakan perjalanan Sayidina Sis supaya berhasil dan selalu mendapatkan perlindungan. SAYIDINA SIS MENDAPATKAN ANUGERAH Seorang diri Sayidina Sis memasuki hutan belantara untuk kemudian bertafakur meminta izin Tuhan Yang Mahakuasa supaya bisa mendapatkan buah-buahan Taman Surga. Setelah empat puluh hari bertafakur mengheningkan cipta, Malaikat Jibril pun datang menyampaikan perintah Tuhan, bahwa Sayidina Sis diizinkan naik ke Taman Surga untuk memetik buahbuahan yang menjadi idaman ibunya. Sayidina Sis sangat gembira, dan ia pun berangkat dengan pertolongan Malaikat Jibril. Di dalam Taman Surga, Malaikat Jibril mengantarkan Sayidina Sis memetik buah-buahan yang diinginkan Siti Hawa. Setelah dirasa cukup, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan keputusan Tuhan yang kedua, yaitu menikahkan Sayidina Sis dengan seorang bidadari bernama Dewi Mulat. Malaikat Jibril menyampaikan kehendak Tuhan bahwa kelak Sayidina Sis akan menurunkan manusia-manusia utama, dan sebagian di antaranya akan menjadi nabi dan raja. Maka itu, yang menjadi istri Sayidina Sis haruslah wanita utama pula. Sayidina Sis sangat bersyukur. Ia kemudian membawa Dewi Mulat turun ke dunia dan membangun rumah tangga di Kusniya Malebari. Buah-buahan dari Taman Surga pun dipersembahkan kepada Siti Hawa yang menerimanya dengan suka cita. Setelah tiba saatnya, Siti Hawa pun melahirkan sepasang putra-putri seperti biasa. Nabi Adam memberi nama putra putrinya itu, masing-masing Sayidina Kayumaras dan Siti Indunmaras. SAYIDINA KABIL MEMBUNUH SAYIDINA HABIL Pada suatu hari, Sayidina Kabil datang menemui Sayidina Habil di rumahnya untuk meminta supaya Siti Aklimah diceraikan dan diserahkan kepadanya. Sayidina Habil sebenarnya sangat menyayangi kakak sulungnya, namun ia juga tidak berani melanggar keputusan sang ayah. Merasa tersinggung, Sayidina Kabil menantang Sayidina Habil untuk mengadakan kurban. Barangsiapa yang diterima sesajinya maka dialah yang berhak memperistri Siti Aklimah. Sayidina Habil bersedia menuruti tantangan itu dengan harapan sang kakak bisa mendapatkan petunjuk Tuhan supaya sadar. Page | 3

Maka, kedua bersaudara itu lantas mempersiapkan sesaji masing-masing. Karena Sayidina Kabil seorang petani, maka kurban yang ia sajikan pun berwujud hasil bumi, seperti buahbuahan dan palawija. Namun karena ia bersifat kikir, maka yang dipilih adalah buah-buahan dan palawija yang buruk, sedangkan yang baik disisihkan untuk dijual dan dipakai sendiri. Sementara itu Sayidina Habil seorang peternak, maka ia pun mengurbankan hewan-hewan peliharaannya. Karena ia bersifat murah hati dan penuh iman, maka yang dipilihnya sebagai sesaji adalah hewan-hewan yang terbaik pula. Tuhan Yang Mahakuasa kemudian mengirim api dari langit untuk membakar sesaji yang dipersembahkan Sayidina Habil, sebagai pertanda bahwa kurbannya telah diterima. Sayidina Kabil sangat kesal dan bertambah iri. Karena kedengkian dan kecemburuannya sudah memuncak, ia pun mengambil sebongkah batu dan memukul kepala Sayidina Habil hingga pecah. Melihat adiknya mati, Sayidina Kabil menjadi kebingungan bercampur sedih. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Tiba-tiba terlihat olehnya dua ekor burung gagak sedang berkelahi. Gagak yang menang kemudian mengubur bangkai gagak yang mati di dalam tanah. Merasa mendapatkan petunjuk, Sayidina Kabil pun menguburkan mayat Sayidina Habil seperti gagak itu. Sayidina Kabil kemudian menemui Siti Aklimah untuk menikahinya. Siti Aklimah menolak karena takut melanggar perintah sang ayah. Sayidina Kabil tidak peduli, dan ia pun memukul Siti Aklimah sampai pingsan, kemudian membawanya lari meninggalkan Negeri Kusniya Malebari sejauh-jauhnya. MALAIKAT AJAJIL MEMPEROLEH ANAK PEREMPUAN Malaikat Ajajil dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk bersujud memberikan penghormatan kepada Nabi Adam. Kini ia mendengar kehendak Tuhan bahwa keturunan Sayidina Sis akan menjadi manusia-manusia utama. Maka, ia pun bertafakur memohon kepada Tuhan supaya diizinkan memiliki seorang putri. Ia berharap melalui putrinya itu bisa lahir keturunan Sayidina Sis yang bisa menjadi raja dan penguasa umat manusia. Tuhan Yang Mahaadil pun mengabulkan permohonan Malaikat Ajajil. Atas kehendak-Nya, dari sebagian tubuh Malaikat Ajajil tercipta seorang perempuan yang berwajah sama persis dengan Dewi Mulat, yang kemudian diberi nama Dewi Dlajah. Malaikat Ajajil lalu membawa putrinya itu ke Negeri Kusniya Malebari supaya bisa mengandung benih Sayidina Sis. Malaikat Ajajil memasuki rumah Sayidina Sis secara diam-diam dan menculik Dewi Mulat untuk ditukar dengan Dewi Dlajah. Beberapa hari kemudian, setelah mengetahui Dewi Dlajah telah disetubuhi Sayidina Sis yang tidak bisa membedakan istrinya, Malaikat Ajajil pun mengembalikan Dewi Mulat dan membawa pulang Dewi Dlajah. LAHIRNYA SAYIDINA ANWAS DAN SAYIDINA ANWAR Sembilan bulan kemudian, Dewi Dlajah melahirkan bersamaan dengan terbenamnya matahari. Namun anehnya, anak yang lahir itu berwujud segumpal darah yang berkilauan. Malaikat Ajajil mengambil darah tersebut lalu membawanya pergi ke Negeri Kusniya Malebari. Page | 4

Sementara itu pada hari yang sama, Dewi Mulat lebih dulu melahirkan bersamaan dengan terbitnya matahari. Yang dilahirkannya adalah dua orang anak. Anak yang satu berwujud bayi normal, sedangkan yang satunya berwujud seberkas cahaya. Malaikat Ajajil datang secara gaib lalu menangkap seberkas cahaya tersebut dan disatukannya dengan darah berkilauan yang ia bawa dari Dewi Dlajah. Atas kehendak Tuhan, persatuan tersebut menciptakan seorang bayi laki-laki, namun tubuhnya tidak bisa diraba dan selalu memancarkan cahaya seperti sinar rembulan. Nabi Adam datang dan memberi nama kedua cucunya tersebut. Yang berwujud bayi normal diberi nama Sayidina Anwas, sedangkan yang berwujud bayi bercahaya diberi nama Sayidina Anwar. Nabi Adam meramalkan bahwa Sayidina Anwas kelak akan menurunkan para nabi, sedangkan Sayidina Anwar kelak tidak mau mengikuti agamanya dan memilih jalan hidup sendiri, namun keturunannya juga banyak yang menjadi raja dan tokoh besar di dunia. Hal ini membuat Sayidina Sis bimbang dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir Tuhan. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 5

Sanghyang Nurcahya Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Sayidina Anwar sampai akhirnya menjadi dewa pertama bergelar Sanghyang Nurcahya. Sumber dari penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga, yang dipadukan dengan Serat Arjunasasrabahu dan Serat Kandha, dengan sedikit pengembangan. Kediri, 28 April 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

NABI ADAM MENINGGAL DUNIA Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam telah berusia 990 tahun dan kini dalam keadaan sakaratulmaut menjelang wafat. Di sekitarnya telah berkumpul semua anggota keluarga, mulai dari istri, para putra-putri, serta cucu dan cicit. Namun ada seorang yang belum datang, yaitu Sayidina Anwar putra Sayidina Sis. Nabi Adam mengetahui kalau Sayidina Anwar saat ini sedang berkelana di Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada Malaikat Ajajil. Tidak lama kemudian Sayidina Anwar datang dan menyampaikan rasa prihatin atas keadaan sang kakek. Sayidina Sis bertanya apakah benar putranya itu telah berguru kepada Malaikat Page | 6

Ajajil di Hutan Ambalah. Jika memang benar, ia melarang keras Sayidina Anwar berhubungan lagi dengan Malaikat Ajajil karena dulu telah dikeluarkan dari Taman Surga oleh Tuhan Yang Mahakuasa atas kesombongannya yang menolak memberikan penghormatan kepada Nabi Adam. Sayidina Anwar mengakui dirinya memang telah berkelana sampai ke Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada seorang pertapa tua. Pertapa tua itu telah mengajarinya berbagai macam ilmu kesaktian, antara lain kemampuan terbang, menghilang, amblas bumi, menyelam di air, serta berubah wujud. Mengenai Malaikat Ajajil, ia mengaku tidak kenal dan tidak tahu-menahu. Nabi Adam menjelaskan bahwa pertapa tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia berwasiat agar Sayidina Anwar tidak lagi berhubungan dengannya dan supaya kembali ke agama yang benar. Tidak lama kemudian muncul dua malaikat yang diutus Tuhan untuk datang ke Kusniya Malebari. Mereka adalah Malaikat Izrail yang bertugas menjemput roh Nabi Adam, dan Malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan keputusan Tuhan untuk menunjuk Sayidina Sis, putra keenam, sebagai nabi menggantikan sang ayah, dan mengangkat Sayidina Kayumaras, putra ketiga belas, sebagai raja Kusniya Malebari yang baru, dengan bergelar Sultan Kayumutu. Demikianlah, Nabi Adam pun meninggal dunia. Para anggota keluarga serentak memanjatkan doa mengantarkan kepergian rohnya. SAYIDINA ANWAR MENINGGALKAN KUSNIYA MALEBARI Empat puluh hari setelah meninggalnya Nabi Adam, terjadi percakapan antara dua orang putra Nabi Sis, yaitu Sayidina Anwas dan Sayidina Anwar mengenai rahasia kehidupan. Menurut Sayidina Anwas, agama Nabi Adam adalah agama yang paling benar dan harus diikuti tanpa penolakan. Semua kitab peninggalan sang kakek bisa dijadikan petunjuk untuk menjalani kehidupan yang benar, karena isi kitab tersebut berasal dari apa yang diajarkan Tuhan Yang Mahakuasa kepada Nabi Adam. Maka, mencari agama lain adalah suatu perbuatan sia-sia belaka. Sayidina Anwar tidak setuju. Menurutnya, ilmu Tuhan itu sangat luas tak terbatas dan tidak bisa ditampung hanya dalam kitab-kitab saja. Untuk mempelajari rahasia kehidupan, maka harus mempelajari pula bagaimana alam bekerja. Alam memiliki hukum sebab-akibat yang berjalan sesuai ketentuan Tuhan. Apalagi melihat Nabi Adam ternyata meninggal dunia dalam usia 990 tahun membuat Sayidina Anwar merasa sangat kecewa. Ia berpendapat, jika memang agama yang diajarkan Nabi Adam itu benar, harusnya dapat menghindarkannya dari kematian seperti kaum malaikat yang hidup abadi. Sayidina Anwas tidak setuju, karena makhluk bernama manusia dan malaikat jelas berbeda secara penciptaan. Manusia berasal dari saripati tanah dan harus kembali menjadi tanah. Namun Sayidina Anwar tetap bersikeras bahwa manusia bisa mencapai kehidupan abadi seperti malaikat jika mau berusaha. Setelah membulatkan tekad, ia pun memutuskan untuk pergi berkelana lagi demi mendapatkan kehidupan abadi tersebut. Sayidina Anwas berusaha menghalangi niat adiknya itu. Terpaksa ia menggunakan kekerasan Page | 7

supaya sang adik menghentikan langkah. Kedua bersaudara itu lalu terlibat pertarungan seru. Karena Sayidina Anwar jauh lebih sakti, maka ia pun dapat meloloskan diri. Sayidina Anwas sangat sedih bercampur malu. Ia bersumpah meskipun ilmu kesaktian adiknya lebih tinggi, namun kelak akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan Sayidina Anwar. SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN TIRTAMARTA KAMANDANU Setelah sampai di perbatasan Kusniya Malebari, Sayidina Anwar bertemu Malaikat Ajajil yang memperkenalkan diri sebagai kakeknya dari pihak ibu. Malaikat Ajajil juga menceritakan bahwa dirinya dulu menyamar sebagai pertapa tua yang telah mengajarkan segala macam ilmu kesaktian sewaktu Sayidina Anwar bertapa di Hutan Ambalah di Tanah Keling. Sayidina Anwar bertanya alasan apa yang membuat Nabi Adam berwasiat agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan Malaikat Ajajil. Malaikat Ajajil pun menceritakan latar belakang permasalahan ini. Dulu di Taman Surga, ia adalah pemuka kaum malaikat, bahkan disebutsebut sebagai makhluk yang paling tekun beribadah kepada Tuhan. Sampai akhirnya Tuhan berkehendak memilih manusia bernama Adam sebagai khalifah di muka bumi. Para malaikat menyampaikan keluhan kepada Tuhan bahwa manusia hanyalah makhluk yang suka berbuat kerusakan. Tuhan lalu mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam sehingga para malaikat pun mengaku kalah. Maka ketika Tuhan memerintahkan kepada para malaikat untuk menyatakan tunduk dan memberikan penghormatan kepada Nabi Adam, mereka pun serentak mematuhi, kecuali Malaikat Ajajil sang pemuka. Malaikat Ajajil tetap pada pendiriannya, bahwa manusia adalah makhluk yang mudah berubah-ubah hatinya, sehingga tidak layak mendapatkan penghormatan. Karena menolak perintah Tuhan itulah, Malaikat Ajajil pun dikeluarkan dari Taman Surga. Sayidina Anwar mendengarkan cerita itu dengan seksama, dan merasa pendapat Malaikat Ajajil ada benarnya, namun menentang perintah Tuhan jelas adalah perbuatan yang keliru. Ia tidak mau terlibat dalam permusuhan antara Nabi Adam dan Malaikat Ajajil karena keduanya adalah sama-sama kakek baginya. Ia hanya ingin bisa hidup abadi seperti kaum malaikat. Malaikat Ajajil berjanji akan membimbing cucunya itu dalam mewujudkan cita-citanya. Sayidina Anwar sangat gembira dan bersedia mematuhi segala nasihatnya. Mereka berdua lalu berangkat menuju ke Kutub Utara untuk mencari sumber keabadian tersebut, yang konon akan memancar dari mustika awan mendung di sana. Malaikat Ajajil dan Sayidina Anwar akirnya sampai di Tanah Lulmat yang terletak di balik Kutub Utara. Di sana Sayidina Anwar kemudian bertapa memohon kemurahan Tuhan. Setelah sekian lama bertapa melawan hawa dingin, datanglah sekumpulan awan mendung yang berasal dari Lautan Rahmat. Dari awan mendung tersebut memancar keluar air keabadian yang disebut Tirtamarta Kamandanu. Atas nasihat Malaikat Ajajil, Sayidina Anwar segera mandi dan meminum air keabadian tersebut. Setelah itu ia pun berniat menampung air yang masih terus memancar agar kelak bisa diminum anak cucunya. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya dan juga tidak memiliki wadah yang tepat. Memahami hal itu, Malaikat Ajajil pun menyerahkan Cupumanik Astagina milik Nabi Adam dan Siti Hawa. Dulu cupumanik tersebut menjadi wadah benih yang mereka keluarkan saat peristiwa lahirnya Nabi Sis. Cupumanik itu kemudian terhempas oleh Page | 8

angin topan dan ditemukan Malaikat Ajajil di dalam lautan. Sayidina Anwar menerima cupumanik itu. Meskipun ukurannya kecil, namun memiliki daya kesaktian mampu menampung semua air keabadian yang dipancarkan awan mendung tersebut sampai habis. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu pergi meninggalkan Tanah Lulmat. SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN LATA MAHOSADI Sesampainya di luar Kutub Utara, Malaikat Ajajil pamit pergi meninggalkan Sayidina Anwar yang kemudian melanjutkan perjalanan pulang sendiri. Di tengah jalan, Sayidina Anwar menemukan Pohon Rewan, yaitu sejenis pohon ajaib yang tidak memiliki daun sama sekali, tapi bisa hidup sehat. Suara hatinya berkata bahwa akar pohon gundul tersebut bernama Oyod Mimang, merupakan pusaka yang sangat ampuh. Sayidina Anwar lalu mengambil Oyod Mimang itu dan menjadikannya sebagai pusaka yang diberi nama Lata Mahosadi. Keampuhan akar pohon ini adalah dapat digunakan untuk menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan bisa menghidupkan orang mati. Akan tetapi, karena menyimpan Lata Mahosadi tanpa persiapan, tiba-tiba pikiran Sayidina Anwar menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana arah jalan pulang menuju Kusniya Malebari. Maka, ia pun berjalan secara serabutan dan akhirnya terlunta-lunta selama ribuan tahun. SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA DUA MALAIKAT Sesampainya di Laut Hitam, Sayidina Anwar menyaksikan pemandangan aneh. Ia melihat dua orang manusia tergantung-gantung di angkasa, di atas laut. Sayidina Anwar bertanya, dan kedua orang itu mengaku bernama Malaikat Harut dan Malaikat Marut. Kedua malaikat tersebut dulu pernah menyampaikan keluhan kepada Tuhan, bahwa keputusan Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi adalah keliru. Banyak sekali keturunan Nabi Adam yang berbuat kerusakan dan menuruti hawa nafsu. Jika yang menjadi khalifah adalah bangsa malaikat, tentu bumi akan lebih makmur. Kedua malaikat juga berkata, jika mereka memiliki hawa nafsu seperti manusia, pasti mereka tetap bisa mengendalikannya dan tidak mungkin terjerumus ke dalam kejahatan. Tuhan Yang Mahakuasa lalu memberikan ujian dengan cara mengisi mereka berdua dengan hawa nafsu dan menurunkannya ke bumi. Ternyata pada akhirnya mereka gagal juga menjalani ujian tersebut karena terlena oleh pujian sehingga mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia dengan sesuka hati. Kini, Malaikat Harut dan Malaikat Marut harus menjalani hukuman dengan tergantung-gantung di atas Laut Hitam. Sayidina Anwar sangat tertarik dan ingin menjadi murid mereka. Kedua malaikat lalu mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu kebijaksanaan, serta ilmu berbicara dengan berbagai jenis makhluk hidup. Sayidina Anwar sangat bersyukur. Ia merasa tidak perlu lagi kembali ke Negeri Kusniya Malebari karena semua anggota keluarga yang dikenalnya pasti sudah meninggal dunia. Maka, ia lantas menanyakan di mana letak Surga dan Neraka karena ingin melihat bagaimana keadaan di dalam sana. Kedua malaikat berbohong dengan mengatakan bahwa Surga dan Page | 9

Neraka terletak di hulu Sungai Nil. SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA SAYIDINA LATA DAN SITI UJWA Sayidina Anwar yang polos segera mengikuti petunjuk kedua malaikat gurunya. Ia pun mendatangi Sungai Nil dan berjalan menyusuri sungai terpanjang di dunia tersebut. Dalam perjalanannya itu ia bertemu paman dan bibinya yang bernama Sayidina Lata dan Siti Ujwa, putra-putri Nabi Adam dan Siti Hawa nomor lima belas. Sayidina Anwar sangat terkejut melihat paman dan bibinya itu masih hidup. Ternyata mereka berdua dulu kabur dari Kusniya Malebari karena tidak bersedia dinikahkan dengan saudara yang lain, sebagaimana yang pernah dikeluhkan Sayidina Kabil. Mereka juga tidak mengikuti agama Nabi Adam dan memilih mencari jalan kehidupan sendiri, sehingga akhirnya menemukan cara agar bisa tetap awet muda. Sayidina Anwar kemudian berguru kepada paman dan bibinya tersebut, dan ia memperoleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara melihat masa depan. Setelah dirasa cukup, Sayidina Anwar lalu melanjutkan perjalanan menuju hulu Sungai Nil. SAYIDINA ANWAR MELIHAT ISI SURGA DAN NERAKA Sayidina Anwar telah sampai di hulu Sungai Nil yang berupa rawa-rawa sangat luas bernama Rawa Jambirijahiri. Ia sangat kecewa dan merasa telah ditipu oleh Malaikat Harut dan Malaikat Marut karena di tempat itu ternyata sama sekali tidak terdapat Surga dan Neraka. Yang ada di sana hanyalah pemandangan Gunung Kapsi yang berkali-kali menyemburkan api mengerikan. Sayidina Anwar melihat air yang mengisi rawa-rawa tersebut ternyata bersumber dari mata air di Gunung Kapsi. Maka ia pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Di puncak gunung, ia bertemu seorang kakek tua yang mengaku sebagai penguasa Surga dan Neraka. Kakek tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia mengatakan bahwa Sayidina Anwar yang berhati tulus dalam mematuhi petunjuk kedua gurunya, berhak menerima anugerah Tuhan berupa Permata Retnadumilah. Melalui permata tersebut, Sayidina Anwar dapat menyaksikan keindahan Surga dan kengerian Neraka. Si kakek tua lalu mengajarkan berbagai macam ilmu baru kepada Sayidina Anwar, antara lain ilmu panitisan atau bersatu dengan makhluk lain, ilmu memasuki alam kematian, dan ilmu memutarbalikkan waktu. Setelah selesai, kakek tua itu memerintahkan kepada Sayidina Anwar untuk bertapa ke Pulau Lakdewa yang terletak di Samudera Hindia. Sayidina Anwar pun mohon pamit dan berangkat. SAYIDINA ANWAR BERTAPA DI PULAU LAKDEWA Sayidina Anwar telah sampai di Pulau Lakdewa dan bertapa di puncak sebuah gunung. Ia bertapa dengan cara menatap jalannya Matahari. Jika pagi hari wajahnya menghadap ke timur, jika siang hari wajahnya menghadap ke atas, dan jika sore hari wajahnya menghadap ke barat, kemudian jika malam hari ia berendam di air.

Page | 10

Setelah tujuh tahun bertapa seperti itu dengan sabar dan tekun, Sayidina Anwar pun menjadi makhluk halus yang berbadan rohani, tinggal di alam Sunyaruri, yaitu alam para jin. Di alam itu tiada barat, tiada timur, tiada utara, tiada selatan, tiada atas, tiada bawah. Terang tanpa siang, gelap tanpa malam. Ruang dan waktu menjadi satu, sudah musnah semua tiada nama, dan segalanya berada dalam rengkuhan Tuhan Yang Mahakuasa. Sayidina Anwar kemudian mendapatkan perintah Tuhan untuk segera berkeluarga, karena keturunan Sayidina Anwas saja saat ini sudah mencapai zaman Nabi Musa. Sayidina Anwar patuh dan segera bertapa di dalam gua untuk mendapatkan jodoh yang tepat. PRABU NURHADI MENCARI MENANTU Tersebutlah raja jin di Pulau Maladewa bernama Prabu Nurhadi, yang masih keturunan Jan Banujan, leluhur para jin di dunia. Ia memerintah didampingi saudaranya yang bernama Patih Amir. Pada suatu hari, putri tunggal Prabu Nurhadi yang bernama Dewi Nurrini bermimpi didatangi seorang kakek tua yang memberi tahu bahwa jodohnya yang bernama Sayidina Anwar sudah dekat, dan saat ini bertapa di sebuah gua. Kakek tua itu mengabarkan bahwa perkawinan Dewi Nurrini dengan Sayidina Anwar kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Hindustan dan Tanah Jawa. Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam mimpinya itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat. Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang lakilaki di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan purnama. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar seperti yang ia cari, Patih Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini. SAYIDINA ANWAR MENIKAH DENGAN DEWI NURRINI Prabu Nurhadi menerima kedatangan Sayidina Anwar dan Patih Amir. Dilihatnya sosok Sayidina Anwar ternyata berwajah tampan dan tubuhnya bercahaya seperti bulan purnama, membuat hatinya sangat berkenan. Dewi Nurrini juga yakin kalau Sayidina Anwar ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan si kakek tua dalam mimpi. Maka pernikahan di antara mereka pun dilangsungkan di Pulau Maladewa, dan Sayidina Anwar berganti nama menjadi Sanghyang Nurcahya. Singkat cerita, Dewi Nurrini telah mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Sanghyang Nurrasa. Prabu Nurhadi merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Maladewa, dan menyerahkannya kepada sang menantu. Maka sejak saat itu, Sanghyang Nurcahya menjadi pemimpin Kerajaan Maladewa, yang namanya kemudian diganti menjadi Kahyangan Pulau Dewa. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 11

Wisuda Sanghyang Wenang Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Sanghyang Nurrasa, putra Sanghyang Nurcahya yang dilanjutkan dengan putranya yang bernama Sanghyang Wenang. Sumber dari penyusunan cerita ini adalah Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 01 Mei 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

SANGHYANG NURRASA MENINGGALKAN PULAU DEWA Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Nurcahya dihadap Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sanghyang Nurcahya untuk mewariskan takhta beserta semua pusaka kepada Sanghyang Nurrasa yang dianggap telah cukup dewasa. Namun Sanghyang Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab berat ini. Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah sehingga memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan. Lagilagi Sanghyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan pengalaman, apalagi dirinya belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup. Sanghyang Nurcahya marah dan mengusir Sanghyang Nurrasa pergi meninggalkan Page | 12

Kahyangan Pulau Dewa. Sepeninggal Sanghyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sanghyang Nurcahya mengampuni Sanghyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sanghyang Nurcahya menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur sampai sejauh mana keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan Patih Amir untuk mengawasi perjalanan Sanghyang Nurrasa dari kejauhan. Sang Patih menurut dan segera berangkat. SANGHYANG NURRASA BERTAPA DI PULAU DARMA Sanghyang Nurrasa berkelana sampai tiba di Pulau Darma dan bertapa di puncak sebuah gunung. Beberapa waktu kemudian datang seorang jin bernama Patih Parwata bersama pasukannya. Patih Parwata marah karena ada orang asing berani bertapa di wilayah Kerajaan Pulau Darma. Mereka pun mengganggu Sanghyang Nurrasa supaya menghentikan tapa brata tersebut. Sanghyang Nurrasa bangun dan menghadapi Patih Parwata. Keduanya lalu mengadu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertempuran adu kesaktian. Meskipun seorang diri, namun Sanghyang Nurrasa mampu menghadapi mereka semua tanpa terdesak sama sekali. Patih Amir yang mengintai dari persembunyian akhirnya muncul dan melerai pertempuran tersebut sebelum jatuh korban di antara mereka. Kepada Patih Parwata, Patih Amir memperkenalkan Sanghyang Nurrasa sebagai cucu dari Prabu Nurhadi. Ternyata Patih Parwata adalah kakak kandung Prabu Nurhadi dan Patih Amir sendiri. Patih Parwata sangat gembira mengetahui bahwa Sanghyang Nurrasa ternyata masih anggota keluarganya. Ia pun mengundang Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir untuk berkunjung ke Kerajaan Pulau Darma. SANGHYANG NURRASA MENIKAH DENGAN DEWI RAWATI Raja jin di Kerajaan Pulau Darma bernama Prabu Rawangin adalah adik dari Patih Parwata, sehingga terhitung masih saudara Prabu Nurhadi dan Patih Amir pula. Prabu Rawangin menyambut baik kedatangan Sanghyang Nurrasa dan langsung merasa suka kepadanya. Maka, Prabu Rawangin pun berniat menjadikan Sanghyang Nurrasa sebagai menantu, yaitu dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Rawati. Prabu Rawangin menceritakan beberapa hari yang lalu Dewi Rawati telah bermimpi mendapat petunjuk bahwa jodohnya sudah dekat, dan merupakan cucu dari Nabi Sis. Tak disangka laki-laki yang dimaksud dalam mimpi tersebut kini sudah hadir dan masih anggota keluarga sendiri dari pihak ibu. Menanggapi hal ini, Sanghyang Nurrasa meminta pertimbangan kepada Patih Amir, dan Patih Amir pun menyarankan supaya menerima perjodohan tersebut. Sanghyang Nurrasa akhirnya bersedia menjadi menantu Prabu Rawangin. Maka, diadakanlah upacara pernikahan antara Sanghyang Nurrasa dengan Dewi Rawati. Tujuh hari kemudian Sanghyang Nurrasa mendapat izin memboyong sang istri untuk menetap di Kahyangan Pulau Dewa. SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWA Page | 13

Sanghyang Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan Dewi Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran dirinya sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua pengalaman hidupnya dalam sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan menyerahkannya kepada Sanghyang Nurrasa bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu Tirtamarta Kamandanu, Cupumanik Astagina, Lata Mahosadi, dan Retna Dumilah. Setelah Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya kemudian menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak saat itu, Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa. KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA Beberapa bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa lalu mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga kedua suara itu dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar dijadikan anak pertama, diberi nama Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka, atau Sanghyang Wening, sedangkan yang bersuara kecil dijadikan anak kedua, diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang. Beberapa tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra Sanghyang Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan yang paling menonjol di antara mereka adalah Sanghyang Wenang. PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA Tersebutlah seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu kesaktian Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama Prabu Sikanda dari Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau Dewa. Sesampainya di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Tak disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para jin tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra. Maka, Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu, namun Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba. Adapun Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih Parwata, dan Patih Amir. Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan Keling sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada sepupunya itu, juga mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. Prabu Hari kemudian menikahi Dewi Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan sebagai patih. Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang Page | 14

Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat dimenangkan oleh Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka, sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya. SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI Sanghyang Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah permusuhan menjadi persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan Prabu Hari untuk menjadi menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima lamaran tersebut dengan senang hati. Maka, diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun Sanghyang Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat Sanghyang Nurrasa. Tidak hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki rencana lain, yaitu mengangkat Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Adapun Kerajaan Keling sebaiknya diserahkan kepada putra Sanghyang Wenang yang kelak lahir dari Dewi Sahoti. Setelah keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka peninggalan Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu jiwa raga dengan putra keduanya itu. Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang Jatiwisesa, sedangkan Sanghyang Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan Selongkandi dengan bergelar Sanghyang Purbawisesa. Sementara adik mereka, yaitu Sanghyang Taya memakai gelar Sanghyang Pramanawisesa.

Page | 15

Sanghyang Wenang KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL Setahun kemudian, Sanghyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang-layang di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu, Dewi Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Sanghyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung berubah dewasa. Sanghyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal, sesuai nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.

Page | 16

Pulau Dewa Lebur Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Sanghyang Wenang melawan Nabi Suleman yang berakhir dengan kehancuran Pulau Dewa, dan disambung dengan berdirinya Kahyangan Tengguru. Sumber dari penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan. Kediri, 07 Mei 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

NAGA ANANTAWASESA MEMINTA PERLINDUNGAN Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan sang mertua, yaitu Prabu Hari, beserta Patih Sangadik. Yang dibicarakan adalah rencana Prabu Hari untuk turun takhta dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada cucunya, yaitu Sanghyang Tunggal. Namun, Sanghyang Wenang menjelaskan bahwa saat ini putra pertamanya itu sedang pergi berkelana. Rupanya Sanghyang Tunggal mewarisi sifat turun-temurun dari para leluhur yang suka mengembara dan melakukan tapa brata. Sanghyang Wenang juga menceritakan bahwa Dewi Sahoti saat ini sedang mengandung untuk yang kedua kalinya dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan. Prabu Hari sangat Page | 17

senang mendengar berita gembira ini dan tidak sabar menunggu kelahiran cucunya. Tiba-tiba datang seorang raja jin berwujud ular besar bernama Naga Anantawasesa dari Kerajaan Saptapratala yang mengaku ingin menjadi pengikut Sanghyang Wenang. Tadinya ia adalah penganut agama Nabi yang diajarkan oleh Nabi Suleman di Kerajaan Bani Israil, namun kemudian tertarik untuk berpindah menjadi penganut agama Dewa. Hal ini didengar oleh pemuka bangsa jin yang mengabdi kepada Nabi Suleman, bernama Jin Sakar. Terjadilah perselisihan di mana Jin Sakar memaksa Naga Anantawasesa supaya kembali memeluk agama Nabi. Naga Anantawasesa menolak dan terjadilah pertempuran. Karena jumlah pasukan Jin Sakar lebih banyak, ia pun terdesak dan melarikan diri menuju Kahyangan Pulau Dewa untuk meminta perlindungan. Tidak lama kemudian, Jin Sakar datang menyusul dan meminta supaya Naga Anantawasesa diserahkan kepadanya. Jin Sakar juga memperingatkan Sanghyang Wenang agar meninggalkan agama Dewa dan kembali kepada agama yang benar, yaitu yang sudah turuntemurun sejak zaman Nabi Adam. Apalagi saat ini yang menjadi pemuka agama adalah Nabi Suleman, yang juga merajai bangsa manusia, jin, dan segala jenis binatang di wilayah Bani Israil. Sanghyang Wenang mengatakan bahwa masalah agama adalah masalah keyakinan yang tidak bisa dipaksakan. Prabu Hari kesal melihat ulah Jin Sakar dan menantangnya keluar. Pertemuan pun dibubarkan. KELAHIRAN SANGHYANG HENING DAN DEWI SUYATI Sanghyang Wenang menemui istrinya, Dewi Sahoti yang hendak melahirkan. Tidak lama kemudian lahirlah sepasang Akyan, laki-laki dan perempuan, yang masing-masing memancarkan cahaya. Sanghyang Wenang memandikan keduanya dengan Tirtamarta Kamandanu, sehingga memiliki wujud bayi dan dalam waktu singkat berubah pula menjadi dewasa. Sanghyang Wenang lalu memberi nama untuk mereka berdua. Yang laki-laki diberi nama Sanghyang Hening, sedangkan yang perempuan diberi nama Dewi Suyati. JIN SAKAR MENJADI PENGIKUT SANGHYANG WENANG Prabu Hari berhadap-hadapan dengan Jin Sakar. Terjadilah pertempuran antara pasukan jin Kahyangan Pulau Dewa melawan pasukan jin Kerajaan Bani Israil. Pada mulanya pihak Pulau Dewa terdesak kewalahan. Namun kemudian Sanghyang Wenang turun ke medan laga dan mengeluarkan Aji Pangabaran, membuat Jin Sakar dan para prajuritnya terkulai lemas tanpa daya dan menyerah kalah. Jin Sakar mohon ampun dan menyatakan diri tunduk kepada Kahyangan Pulau Dewa. Sanghyang Wenang lalu bertanya mengapa Nabi Suleman bisa begitu berkuasa terhadap segala jenis makhluk hidup, mulai dari manusia, jin, serta binatang. Jin Sakar menceritakan bahwa Nabi Suleman memiliki cincin pusaka pemberian Tuhan bernama Cincin Maklukatgaib yang menjadi daya kesaktiannya. Sanghyang Wenang tertarik dan ingin memiliki cincin pusaka tersebut. Prabu Hari menasihati bahwa menginginkan benda milik orang lain adalah perbuatan yang tidak baik. Namun Page | 18

Sanghyang Wenang mengabaikan nasihat mertuanya dan tetap memerintahkan Jin Sakar untuk pergi mencurinya. Jin Sakar menyatakan sanggup dan segera berangkat meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa menuju ke Negeri Bani Israil. Sementara itu, Prabu Hari menjenguk Dewi Sahoti yang baru saja melahirkan dan menemui kedua cucu barunya dengan penuh suka cita. Setelah itu, ia dan Patih Sangadik mohon pamit pulang ke Kerajaan Keling.

Sanghyang Wenang JIN SAKAR MENCURI CINCIN MAKLUKATGAIB Jin Sakar tiba di tempat tujuan dan diam-diam menyusup ke dalam kamar tidur Nabi Suleman. Ketika Sang Nabi sedang mandi, Cincin Maklukatgaib ditinggal di dalam kamar tidurnya. Jin Sakar yang sudah hafal kegiatan sehari-hari Nabi Suleman pun dapat mencuri cincin tersebut dan memakainya di jari. Ketika Nabi Suleman selesai mandi dan hendak mengambil cincin itu, Jin Sakar lebih dulu menyerangnya sampai pingsan dan kemudian melemparkan tubuhnya ke laut. Setelah memakai cincin pusaka tersebut, Jin Sakar menjadi lupa diri. Ia pun menyamar sebagai Nabi Suleman dan duduk di atas takhta memimpin segenap rakyat Bani Israil. Setelah empat puluh hari bersenang-senang, Jin Sakar akhirnya teringat pada Sanghyang Wenang. Ia lalu meninggalkan Kerajaan Bani Israil dan kembali menuju Kahyangan Pulau Dewa. NABI SULEMAN MENDAPATKAN KEMBALI CINCIN MAKLUKATGAIB Rupanya perbuatan Jin Sakar mencuri Cincin Maklukatgaib dan menyamar menjadi Nabi Suleman telah diketahui oleh para jin lainnya. Mereka pun mengejar Jin Sakar dan berhasil Page | 19

menyusulnya. Terjadilah pertempuran di atas laut. Jin Sakar terdesak kewalahan dan Cincin Maklukatgaib pun jatuh ke dalam laut. Ia kemudian melarikan diri kembali ke Kahyangan Pulau Dewa. Sementara itu, nasib Nabi Suleman yang telah dibuang ke laut oleh Jin Sakar ternyata dapat diselamatkan oleh para pencari ikan dalam keadaan sakit parah. Ia pun dirawat di desa nelayan dan setiap hari berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa supaya diberi kesembuhan. Doa tersebut akhirnya dikabulkan. Cincin Maklukatgaib yang jatuh ke laut telah digigit oleh seekor ikan, dan ikan itu kemudian ditangkap para nelayan. Mengetahui ada yang aneh pada mulut ikan tersebut, para nalayan pun mempersembahkannya kepada Nabi Suleman. Nabi Suleman sangat gembira bisa menemukan kembali Cincin Maklukatgaib dan langsung mendapat kesembuhan. Ia pun berterima kasih kepada para nelayan dan segera kembali ke Kerajaan Bani Israil. SANGHYANG TUNGGAL BERKELUARGA Di Kahyangan Selongkandi, Sanghyang Darmajaka telah memiliki lima orang anak, bernama Dewi Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan Sanghyang Pancaresi. Adapun Dewi Darmani telah dinikahkan dengan Sanghyang Tunggal, putra sulung Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu telah lahir tiga orang putra, yaitu Sanghyang Rudra, Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali. Telah cukup lama Sanghyang Tunggal tinggal di Kahyangan Selongkandi. Pada suatu hari ia bermimpi melihat Kahyangan Pulau Dewa hancur lebur karena bencana alam besar-besaran. Seketika ia pun merasa cemas terhadap keselamatan orang tuanya. Maka, ia lantas mohon pamit kepada Sanghyang Darmajaka untuk pulang ke Pulau Dewa. Sanghyang Darmajaka pun memberikan izin, serta berharap Sanghyang Wenang sekeluarga selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan Yang Mahakuasa. NABI SULEMAN MENGHANCURKAN PULAU DEWA Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan Jin Sakar yang baru kembali dari menjalankan tugas di Kerajaan Bani Israil. Jin Sakar memohon ampun karena dirinya telah lupa diri sehingga pada akhirnya gagal mendapatkan Cincin Maklukatgaib. Sanghyang Wenang menerima laporan tersebut dengan perasaan pasrah kepada takdir Tuhan. Ia juga merasa bersalah karena tidak sepantasnya menginginkan benda milik orang lain yang bukan menjadi haknya. Sanghyang Wenang kemudian menyambut kedatangan Sanghyang Tunggal, putra sulungnya. Mereka lalu saling becerita tentang keadaan masing-masing. Sampai akhirnya, Sanghyang Tunggal menceritakan mimpi buruk yang telah dialaminya. Baru saja Sanghyang Tunggal mengakhiri cerita, tiba-tiba terjadi bencana alam besar-besaran melanda Pulau Dewa. Ternyata Nabi Suleman telah datang secara diam-diam untuk menghukum Jin Sakar dan para pengikutnya yang telah berkhianat. Ia memasang pusaka Kasang Tumbal, sehingga menyebabkan Pulau Dewa diguncang gempa bumi dan banjir besar, serta Gunung Tunggal pun meletus hebat. Para jin pengikut Pulau Dewa menjadi kocar-kacir dan berteriak-teriak mohon ampun. Page | 20

Sanghyang Wenang merasa tidak mampu menghadapi tumbal yang dipasang Nabi Suleman dan memutuskan untuk pergi mengungsi. Selain itu ia juga mengetahui cerita zaman dulu, bahwa Sayidina Anwas pernah bersumpah akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan Sayidina Anwar, dan inilah saatnya sumpah itu menjadi kenyataan. Dalam keadaan gawat itu, Naga Anantawasesa mengusulkan supaya Sanghyang Wenang sekeluarga mengungsi saja ke tempat tinggalnya di Kerajaan Saptapratala yang terletak di dalam perut bumi. Sanghyang Wenang akhirnya menerima usulan tersebut dan segera berangkat dengan dipandu raja jin berwujud ular besar itu. SANGHYANG WENANG MEMBANGUN KAHYANGAN TENGGURU Beberapa tahun kemudian Prabu Hari datang menemui Sanghyang Wenang di Kerajaan Saptapratala dan menyampaikan berita bahwa Nabi Suleman telah meninggal dunia karena usia tua. Sanghyang Wenang sekeluarga pun muncul kembali ke permukaan bumi, namun saat itu Pulau Dewa sudah hancur berkeping-keping menjadi pulau-pulau kecil. Sanghyang Wenang kemudian pindah ke Pegunungan Himalaya dan mendirikan kahyangan baru yang tidak kalah indahnya di puncak Gunung Tengguru. Sementara itu, Prabu Hari menyatakan turun takhta dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal lalu memboyong Dewi Darmani dan ketiga putra mereka untuk tinggal di sana. Sementara itu, Naga Anantawasesa yang telah berjasa besar dengan menyediakan Kerajaan Saptapratala sebagai tempat pengungsian Sanghyang Wenang sekeluarga juga mendapatkan anugerah. Ia pun menjadi menantu Sanghyang Wenang, yaitu dinikahkan dengan Dewi Suyati. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 21

Batara Guru Lahir Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Antaga, Batara Ismaya, dan Batara Guru yang berasal dari sebutir telur, serta awal mula Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi buruk rupa, dan berganti nama menjadi Togog dan Semar, yang dilanjutkan dengan kisah pengangkatan Batara Guru menjadi penguasa Kahyangan Tengguru. Kisah ini saya susun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan Serat Purwacarita, dengan sedikit pengembangan. Kediri, 10 Mei 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

SANGHYANG TUNGGAL INGIN BERPUTRA LAGI Di Kahyangan Keling, Sanghyang Tunggal dihadap para putra, yaitu Sanghyang Rudra, Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali. Mereka membicarakan kisah perjalanan Page | 22

hidup sang leluhur, yaitu Sanghyang Nurcahya dalam Kitab Pustaka Darya. Ternyata pada mulanya Sanghyang Nurcahya adalah makhluk berbadan jasmani, dan setelah menjalani tapa brata bertahun-tahun, akhirnya berubah wujud menjadi makhluk berbadan rohani yang tinggal di alam halus. Sanghyang Tunggal ingin sekali memiliki anak yang bisa berbadan jasmani juga rohani, sehingga kelak bisa menjadi pemimpin Triloka, atau tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Dengan demikian, para dewa tidak hanya memimpin bangsa jin saja, tetapi juga mampu memimpin umat manusia seperti Nabi Suleman, tokoh yang telah mengalahkan ayahnya. Maka, ia pun memutuskan untuk pergi bertapa demi mencapai keinginan tersebut. Untuk selanjutnya, takhta Kahyangan Keling diserahkan kepada Sanghyang Rudra yang kemudian bergelar Sanghyang Darmadewa. SANGHYANG TUNGGAL PERGI BERTAPA Sanghyang Tunggal kemudian berpamitan kepada sang istri, yaitu Dewi Darmani untuk pergi bertapa mewujudkan cita-citanya. Dewi Darmani mengizinkan serta merelakan Sanghyang Tunggal jika harus menikah lagi demi mendapatkan anak yang berbadan jasmani dan rohani. Sanghyang Tunggal pun mengajak istrinya untuk berserah diri kepada Tuhan semoga mendapatkan jalan yang terbaik. Setelah dirasa cukup, Sanghyang Tunggal lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Keling dan bertapa di tepi pantai dengan duduk di atas batu karang. PRABU REKATATAMA MENCARI MENANTU Tersebutkah raja jin berwujud kepiting dari Kerajaan Telengsamodra, bernama Prabu Rekatatama. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Dewi Rekatawati yang telah bermimpi menikah dengan seorang dewa bernama Sanghyang Tunggal. Demi untuk mewujudkan mimpi putrinya itu, Prabu Rekatatama pun berangkat mencari keberadaan Sanghyang Tunggal. Prabu Rekatatama berhasil menemukan Sanghyang Tunggal yang bertapa di tepi pantai. Ia berusaha membangunkan calon menantunya itu namun tidak berhasil. Bahkan, daya perbawa Sanghyang Tunggal justru membuat Prabu Rekatatama terlempar dan jatuh pingsan. Setelah sadar dari pingsan, Prabu Rekatatama kemudian mengheningkan cipta, mengerahkan kesaktiannya untuk membawa pergi Sanghyang Tunggal dengan cara gaib. SANGHYANG TUNGGAL MENIKAH DENGAN DEWI REKATAWATI Sanghyang Tunggal terbangun dari tapa dan terkejut karena tahu-tahu dirinya sudah berada di dalam keraton bawah laut. Di hadapannya sudah ada seorang raja jin kepiting dan putri cantik, yang tidak lain adalah Prabu Rekatatama dan Dewi Rekatawati. Prabu Rekatatama menyampaikan maksudnya untuk melamar Sanghyang Tunggal sebagai suami putrinya. Sanghyang Tunggal mendapat firasat bahwa dengan cara inilah ia dapat mencapai cita-cita memiliki putra berbadan jasmani dan rohani. Maka, ia pun menerima lamaran tersebut.

Page | 23

TERCIPTANYA TIGA PUTRA DARI SEBUTIR TELUR Singkat cerita, Dewi Rekatawati telah mengandung anak Sanghyang Tunggal. Ketika tiba waktunya, ternyata yang ia lahirkan adalah sebutir telur. Sanghyang Tunggal sangat marah dan membanting telur tersebut. Namun telur itu melesat terbang ke angkasa meninggalkan Kerajaan Telengsamodra. Sanghyang Tunggal semakin penasaran dan segera terbang pula untuk mengejarnya. Telur ajaib itu melesat sampai ke Kahyangan Tengguru. Sanghyang Wenang terkejut dan berusaha menangkapnya. Namun telur aneh itu begitu gesit, dan baru bisa ditangkap setelah Sanghyang Wenang mengerahkan kesaktiannya. Sanghyang Tunggal datang menghadap dan menceritakan bahwa telur tersebut adalah anaknya yang terlahir dari Dewi Rekatawati. Sanghyang Wenang paham isi hati putranya, maka ia pun mengheningkan cipta memohon izin Tuhan supaya telur di tangannya itu bisa berubah menjadi anak. Selesai bersamadi, Sanghyang Wenang lalu menyiram telur itu dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, cangkang telur pun terbuka dan berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Antaga. Selanjutnya putih telur juga berubah menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur berubah menjadi laki-laki pula dan diberi nama Batara Manikmaya. Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu ternyata lahir sesuai harapan, yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan lahir sepuluh anak, dan dari Batara Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka keturunan bangsa dewa akan berkembang biak di muka bumi.

Page | 24

Sanghyang Tunggal. SANGHYANG TUNGGAL MENJADI SANGHYANG PADAWENANG Sanghyang Wenang kemudian menyampaikan niatnya untuk menyerahkan takhta Kahyangan Tengguru kepada Sanghyang Tunggal beserta seluruh pusaka peninggalan leluhur. Sanghyang Tunggal tunduk dan patuh terhadap keputusan sang ayah. Maka, Sanghyang Wenang pun memberikan tambahan berbagai macam ilmu kesaktian, kemudian ia menitis, bersatu jiwa raga ke dalam diri Sanghyang Tunggal. Sejak hari itu, Sanghyang Tunggal menjadi pemimpin Kahyangan Tengguru. Karena ia merasa ilmu pengetahuan dan wibawa sang ayah jauh lebih besar, maka ia pun mengganti nama menjadi Sanghyang Padawenang. PERSELISIHAN BATARA ANTAGA DAN BATARA ISMAYA Beberapa tahun kemudian terjadilah perselisihan antara Batara Antaga dan Batara Ismaya. Mereka berdua sama-sama merasa berhak menjadi ahli waris Sanghyang Tunggal. Batara Antaga sebagai anak tertua merasa yang paling berhak naik takhta. Namun hal itu dibantah oleh Batara Ismaya yang mengetahui sejarah leluhur, bahwa Sanghyang Nurrasa dulu menunjuk Sanghyang Wenang sebagai ahli waris, padahal Sanghyang Darmajaka lebih tua. Kedua kakak beradik itu lalu bertarung adu kesaktian. Namun keduanya sama-sama kuat sehingga sulit menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Akhirnya, mereka pun memanggil Batara Manikmaya untuk menjadi saksi dan memberikan penilaian yang adil terhadap persaingan tersebut. Batara Manikmaya lalu mengusulkan supaya Batara Antaga dan Batara Ismaya menelan gunung ke dalam perut dan mengeluarkannya melalui dubur. Dengan cara ini dapat diketahui siapa yang lebih sakti dan siapa yang lebih pintar. Keduanya pun setuju. Batara Antaga yang mula-mula memilih salah satu gunung di Pegunungan Himalaya, kemudian berusaha menelannya dalam sekali lahap. Setelah berusaha sekuat tenaga, gunung tersebut pun masuk ke dalam perut Batara Antaga, namun tidak bisa keluar. Karena tadi ia telah memaksakan diri melahap gunung, maka mulutnya kini menjadi robek dan lebar, matanya pun melotot besar, serta tubuhnya menjadi bulat dan gemuk. Batara Ismaya maju dan memilih sebuah gunung yang lebih besar. Dengan sabar dan telaten ia memakan gunung itu perlahan-lahan hingga semua masuk ke dalam perutnya setelah beberapa hari. Namun ia juga tidak mampu mengeluarkannya melalui dubur. Karena tidak tidur selama berhari-hari, kini wujud Batara Ismaya menjadi berubah jelek, dengan mata sembab dan hidung ingusan. Selain itu, karena gunung yang ditelannya lebih besar daripada yang ditelan Batara Antaga, akibatnya tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan lebih bulat daripada sang kakak.

Page | 25

Batara Antaga menjadi Togog.

Batara Ismaya menjadi Semar. BATARA MANIKMAYA MEMENANGKAN PERLOMBAAN Sanghyang Padawenang datang dan sangat murka melihat ulah kedua putranya. Ia pun mengumumkan bahwa Batara Manikmaya adalah yang berhak mewarisi takhta Kahyangan Tengguru, sedangkan mereka berdua diperintah untuk pergi bertapa di alam Sunyaruri. Kelak jika saatnya tiba, Sanghyang Padawenang akan memberikan perintah kepada mereka supaya muncul ke alam nyata dan menjadi pengasuh keturunan Batara Manikmaya. Batara Antaga hendaknya menjadi pengasuh golongan raksasa, sedangkan Batara Ismaya menjadi pengasuh golongan manusia. Batara Antaga dan Batara Ismaya mematuhi keputusan sang ayah, namun mereka tidak bisa menerima begitu saja kalau Batara Manikmaya langsung diangkat menjadi ahli waris Kahyangan Tengguru. Mereka meminta Batara Manikmaya harus bisa membuktikan kalau dirinya juga bisa menelan dan mengeluarkan gunung sesuai perlombaan yang telah ditetapkan tadi. Batara Manikmaya setuju. Ia lalu memilih gunung paling indah di Himalaya, yaitu Gunung Kaelasa untuk dimasukkan ke dalam perut. Berbeda dengan kedua kakaknya, ia lebih dulu mengheningkan cipta dan mengubah gunung itu menjadi sangat kecil sehingga dapat dengan Page | 26

mudah ditelan dan dikeluarkan lagi melalui dubur. Setelah itu, gunung tersebut dikembalikan ke ukuran asli dan diletakkan ke tempat semula. Batara Antaga dan Batara Ismaya mengakui kepandaian dan kesaktian Batara Manikmaya, dan mereka pun merelakan takhta Kahyangan Tengguru menjadi milik si adik bungsu. Namun Batara Ismaya mengeluhkan wujudnya yang telah berubah menjadi buruk rupa, sehingga mustahil ada wanita yang sudi menjadi istrinya. Padahal Sanghyang Padawenang dulu pernah meramalkan bahwa ia kelak akan memiliki sepuluh anak. Sanghyang Padawenang menjawab bahwa urusan jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Jelek atau tampan bukanlah ukuran untuk mendapatkan jodoh. Usai berkata demikian ia lantas mendatangkan seorang wanita yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, yaitu Dewi Senggani putri Sanghyang Hening. Wanita inilah yang ditakdirkan menjadi jodoh Batara Ismaya. BATARA MANIKMAYA MEMPEROLEH KUTUKAN Melihat kedua kakaknya telah berubah menjadi buruk rupa, tiba-tiba timbul sifat sombong dalam diri Batara Manikmaya yang merasa paling tampan dibanding mereka berdua. Sanghyang Padawenang prihatin mendengar kesombongan itu. Ia pun meramalkan bahwa Batara Manikmaya kelak akan menerita empat jenis cacat, yaitu berkaki pincang, berleher belang, bertaring dua, dan berlengan empat. Batara Manikmaya menyesali kesombongannya dan memohon ampun. Namun Sanghyang Padawenang mengatakan bahwa itu semua telah menjadi takdir Tuhan dan semoga menjadi pengingat agar Batara Manikmaya lebih berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan. BATARA MANIKMAYA MENJADI RAJA DEWA Singkat cerita, Batara Ismaya telah menikah dengan Dewi Senggani dan mendapatkan sepuluh anak, yaitu Batara Wungkuam, Batara Kuwera, Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Yamadipati, Batara Temburu, Batara Kamajaya, dan Batari Darmanastiti. Setelah itu ia pun mohon pamit dan berangkat bersama Batara Antaga menuju ke alam Sunyaruri untuk mulai bertapa. Sejak saat itu Batara Antaga memakai nama Kyai Togog, sedangkan Batara Ismaya memakai nama Kyai Semar. Setelah keberangkatan kedua putranya, Sanghyang Padawenang lalu menyerahkan takhta Kahyangan Tengguru dan segala pusaka warisan leluhur kepada Batara Manikmaya, sedangkan ia sendiri hidup menyepi dengan membangun kahyangan baru bernama Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Manikmaya kemudian menjadi raja para dewa dengan bergelar Batara Tengguru, atau disingkat Batara Guru.

Page | 27

Batara Guru Krama Kisah ini menceritakan bagaimana Batara Guru menaklukkan Lembu Andini menjadi kendaraannya, serta perkawinan Batara Guru dengan Dewi Umayi yang kemudian bergelar Batari Uma. Juga dikisahkan bagaimana Batara Guru menyebarkan agama Dewa ke segenap penjuru Daratan Asia. Kisah ini disusun dengan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryosaputro, dengan sedikit pengembangan. Kediri, 14 Mei 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

Page | 28

SINAR TEJA DARI TENGGARA Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan para putra Batara Ismaya, yaitu Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kuwera, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya. Rupanya sebelum berangkat menuju alam Sunyaruri untuk bertapa, Batara Ismaya telah berpesan kepada mereka supaya mengabdi kepada Batara Guru di Kahyangan Tengguru. Batara Guru menerima pengabdian para keponakannya itu dengan senang hati. Batara Guru lalu membicarakan adanya sinar teja, atau semacam pelangi tegak lurus yang berasal dari wilayah Pegunungan Himalaya di sebelah tenggara Kahyangan Tengguru. Batara Guru mengetahui bahwa sinar teja itu berasal dari seekor sapi betina bernama Lembu Andini yang dipertuhankan oleh masyarakat di sekitar sana. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Wungkuam dan adik-adiknya untuk menaklukkan Page | 29

sapi tersebut. Para keponakan pun mohon izin kemudian berangkat segera. LEMBU ANDINI MENGALAHKAN PARA DEWA Lembu Andini adalah sapi betina yang dapat berbicara. Ia dihadap pengikutnya dari Kerajaan Himaka yang bernama Prabu Japaran dan Patih Parasdya. Seluruh rakyat Kerajaan Himaka telah memuja dan menyembah Lembu Andini bagaikan Tuhan. Dalam pertemuan itu Lembu Andini meramalkan akan datang pasukan dewa yang dikirim Batara Guru untuk menaklukkannya. Prabu Japaran pun diperintahkan menghadapi kedatangan mereka itu. Tidak lama kemudian, para putra Batara Ismaya telah tiba dan langsung dihadang pasukan Prabu Japaran. Batara Wungkuam meminta Prabu Japaran supaya meninggalkan penyembahan terhadap Lembu Andini dan menganut agama Dewa. Prabu Japaran menolak dan ganti meminta para dewa supaya menyembah Lembu Andini. Perdebatan itu berlanjut dengan pertempuran. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, para dewa berhasil memukul mundur Prabu Japaran beserta pasukannya. Lembu Andini datang ke pertempuran. Batara Wungkuam dan para adik berusaha menangkapnya namun mereka tidak mampu menandingi kekuatan dan kesaktian sapi betina itu. Bahkan, daya perbawa yang dipancarkan Lembu Andini justru membuat para putra Batara Ismaya itu terlempar kembali ke Kahyangan Tengguru. BATARA GURU MENGALAHKAN LEMBU ANDINI Melihat para keponakan tak kuasa menghadapi kesaktian Lembu Andini, Batara Guru pun berangkat sendiri. Setelah berhadapan dengan Lembu Andini, mereka langsung terlibat adu kepandaian. Ternyata Batara Guru dapat menebak asal-usul Lembu Andini yang merupakan anak seorang jin bernama Jin Rohpatanam. Lembu Andini marah sekaligus malu karena kalah dalam adu kepandaian. Ia pun menyerang Batara Guru dan terjadilah pertarungan. Setelah bertempur cukup lama, akhirnya Lembu Andini menyerah tak berdaya terkena daya kesaktian Batara Guru yang mengerahkan Aji Pengabaran. Batara Guru kemudian menaiki punggung Lembu Andini dan menjadikannya kendaraan. Prabu Japaran dan pasukannya datang ke tempat itu. Mereka terkejut melihat ada seorang laki-laki menaiki punggung sapi betina yang mereka sembah selama ini. Lembu Andini menjelaskan bahwa sejak hari ini ia memeluk agama Dewa, dan Batara Guru yang berdiri di atas punggungnya adalah raja para dewa. Prabu Japaran dan yang lain masih bimbang dan ragu. Namun setelah Batara Guru memancarkan kesaktiannya, mereka pun meringkuk tak berdaya dan menjadi pengikutnya pula. Batara Guru lalu membawa Lembu Andini naik ke Kahyangan Tengguru dan sejak saat itu sang sapi betina menjadi kendaraannya. Batara Guru pun mendapatkan julukan baru sebagai Sanghyang Pasupati, yang berarti “penguasa hewan ternak”. AGAMA DEWA BERKEMBANG DI DARATAN ASIA Sejak zaman Sanghyang Nurcahya sampai Sanghyang Tunggal, agama Dewa hanya dianut oleh makhluk berbadan rohani, yaitu para dewa, jin, dan siluman. Begitu Batara Guru Page | 30

berkuasa, pemeluk agama Dewa menjadi berkembang pesat, yaitu merambah para makhluk berbadan jasmani, antara lain bangsa manusia dan raksasa. Hal ini karena Batara Guru bisa berbadan jasmani sekaligus rohani sehingga bisa menjadi penguasa di alam kasar dan alam halus. Setelah Lembu Andini menyerah kalah dan menjadi kendaraan Batara Guru, para pengikutnya pun ikut takluk pula. Prabu Japaran adalah raja manusia yang mengawali memeluk agama Dewa. Batara Guru kemudian menyebarkan agama Dewa ke Tanah Tiongkok. Setelah rakyat di segenap Tanah Hindustan dan Tanah Tiongkok menganut agama Dewa, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang Jagadnata, yang berarti “pemimpin dunia”.

Batara Guru Manikmaya. ULAM TIRBAH DARI RAWA SIBLISTAN Batara Guru kemudian bermaksud menyebarkan agama Dewa ke arah barat, yaitu Tanah Persi. Namun ia mendengar kabar bahwa orang-orang Persi saat ini menyembah seekor ikan bernama Ulam Tirbah bagaikan Tuhan. Maka, ia pun berangkat menuju Rawa Siblistan, tempat ikan ajaib itu berada. Batara Guru telah sampai di Rawa Siblistan dan bertemu dengan Ulam Tirbah. Ternyata Ulam Tirbah seekor ikan betina berukuran raksasa. Batara Guru memerintahkan supaya Ulam Tirbah bertobat menghentikan penyembahan atas dirinya dan menjadi penganut agama Dewa. Ulam Tirbah marah dan mengadu kesaktian dengan Batara Guru. Sampai akhirnya, Batara Guru mengerahkan kesaktiannya membuat air rawa-rawa berubah menjadi panas sehingga Page | 31

Ulam Tirbah menyerah kalah. Batara Guru kemudian menebak asal-usul Ulam Tirbah pada mulanya seorang wanita cantik bernama Dewi Umayi, putri Saudagar Umaran yang masih keturunan Nabi Saleh. Ia memiliki keinginan menjadi istri penguasa dunia namun melakukan sesat jalan saat bertapa, sehingga berubah wujud menjadi ikan betina. Batara Guru berpesan supaya Ulam Tirbah bersabar karena tidak lama lagi akan tiba waktunya ia berubah kembali menjadi Dewi Umayi. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun meninggalkan Rawa Siblistan kembali ke Kahyangan Tengguru. KERAJAAN PERSI TERKENA WABAH PENYAKIT Setelah Ulam Tirbah mengalami kekalahan, Kerajaan Persi tiba-tiba diserang wabah penyakit. Banyak penduduknya yang tewas menjadi korban. Bahkan, raja negeri ini yang bernama Prabu Dirjasta juga terserang penyakit dan meninggal dunia. Putra mahkota bernama Pangeran Dastandar menggantikan sang ayah menjadi raja. Ia mendapatkan petunjuk dari para ahli nujum, bahwa Ulam Tirbah yang disembah bangsa Persi sekarang telah tunduk kepada raja dewa bernama Batara Guru. Para ahli nujum pun menyarankan supaya Prabu Dastandar pergi memohon kepada Batara Guru untuk membantu melenyapkan wabah penyakit tersebut dari Kerajaan Persi. SAUDAGAR UMARAN MENCARI PUTRINYA Prabu Dastandar pun berangkat dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Namun ia tidak tahu harus pergi ke mana supaya bisa bertemu Batara Guru. Maka ia pun memutuskan untuk bertanya kepada Ulam Tirbah di Rawa Siblistan. Di tengah jalan Prabu Dastandar bertemu seorang saudagar bernama Umaran yang ditemani keponakannya bernama Patih Turkan. Saudagar Umaran adalah raja Kerajaan Merut, yaitu negeri para pedagang. Ia mengaku telah kehilangan putrinya yang bernama Dewi Umayi. Menurut petunjuk di alam mimpi, putrinya itu akan muncul di Rawa Siblistan berkat pertolongan Batara Guru. Prabu Dastandar merasa kebetulan karena ia sendiri juga ingin bertemu Batara Guru. Maka, ia pun menawarkan diri kepada Saudagar Umaran dan Patih Turkan untuk menjadi penunjuk jalan menuju Rawa Siblistan. Ketiga orang itu lantas pergi bersama-sama. ULAM TIRBAH MENJADI DEWI UMAYI Prabu Dastandar, Sudagar Umaran, dan Patih Turkan telah sampai di Rawa Siblistan. Prabu Dastandar mengadakan puja samadi dan kemudian Ulam Tirbah pun muncul ke permukaan. Ulam Tirbah mengatakan bahwa dirinya tidak lagi pantas disembah karena sudah tunduk kepada Batara Guru dan menjadi penganut agama Dewa. Tiba-tiba Batara Guru datang di Rawa Siblistan. Daya perbawanya yang memancar membuat Prabu Dastandar, Sudagar Umaran, dan Patih Turkan jatuh pingsan. Setelah mereka bertiga sadar segera buru-buru menyembah kepada Batara Guru. Batara Guru menjelaskan kepada Saudagar Umaran bahwa putrinya yang selama ini hilang dan dicari-cari tidak lain adalah Page | 32

Ulam Tirbah tersebut. Batara Guru kemudian berkata kepada Ulam Tirbah bahwa sudah saatnya ia sembuh dari kutukan. Dengan kesaktiannya, Batara Guru mengembalikan Ulam Tirbah ke wujud semula, yaitu menjadi Dewi Umayi yang cantik jelita. Saudagar Umaran sangat gembira bisa bertemu kembali dengan putrinya yang telah lama hilang itu. Batara Guru menceritakan kepada Saudagar Umaran awal mula Dewi Umayi berubah wujud menjadi ikan besar adalah karena sesat jalan sewaktu bertapa untuk bisa menjadi istri penguasa dunia. Karena saat ini Batara Guru telah mendapat julukan sebagai Sanghyang Jagadnata, maka Dewi Umayi pun disarankan untuk menjadi istrinya saja jika masih ingin mewujudkan cita-cita tersebut. Saudagar Umaran sangat gembira mendengarnya, dan Dewi Umayi juga menurut dan tunduk terhadap lamaran Batara Guru. BATARA GURU MENIKAHI DEWI UMAYI Batara Guru juga dapat menebak asal-usul Saudagar Umaran, yang merupakan keturunan Nabi Saleh. Di Kerajaan Merut, Saudagar Umaran memiliki istri bernama Dewi Nurweni, yang telah melahirkan tiga orang putri bernama Dewi Umari, Dewi Umayi, dan Dewi Umani. Adapun Dewi Umari yang sulung telah menjadi istri Patih Turkan. Karena Batara Guru menjadikan Dewi Umayi sebagai ratu kahyangan, maka Dewi Umani hendaknya menjadi ratu kerajaan, yaitu dengan menjadi istri Prabu Dastandar, raja Kerajaan Persi. Batara Guru juga dapat menebak bahwa pemuda berpakaian rakyat jelata yang tadi bersamadi memanggil Ulam Tirbah muncul ke permukaan tidak lain adalah Prabu Dastandar sendiri yang sedang menyamar. Saudagar Umaran sangat gembira menerima saran tersebut. Prabu Dastandar pun menurut dan membuka penyamaran. Namun ia memohon kepada Batara Guru supaya membantu melenyapkan wabah penyakit yang melanda Kerajaan Persi. Batara Guru mengabulkan permohonan itu. Dengan ilmu kesaktiannya, ia mengirimkan angin segar yang meniup dan memusnahkan semua bibit penyakit yang selama ini meresahkan rakyat Kerajaan Persi. Prabu Dastandar sangat berterima kasih. Ia kemudian mengikuti Saudagar Umaran menuju Kerajaan Merut untuk menikah dengan Dewi Umani, sedangkan Batara Guru membawa Dewi Umayi ke Kahyangan Tengguru untuk dijadikan ratu di sana. Sejak saat itu, Dewi Umayi resmi menjadi istri Batara Guru, dengan bergelar Batari Uma. Dengan demikian, inilah pertama kalinya keturunan Sayidina Anwar bertemu dengan keturunan Sayidina Anwas menjadi satu keluarga.

Page | 33

Dewi Umayi. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 34

Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata Diposting oleh Cah Samin di 10:55 AM Cingkarabala dan Balaupata adalah putra bungsu Prabu Patanam, raja Dahulagiri, sebuah kerajaan tua yang hanya muncul di era Kedewataan. Pada masa itu diceritakan bahwa udara masih segar, manusia belum banyak dan hubungan antara manusia dan raksasa sangat dekat dengan para dewa di Kahyangan. Cingkarabala dan Balaupata berwujud Raksasa kembar, adik dari Lembu Nandini dan Lembu Nandana. Suatu saat, Cingkarabala-Balaupata bersama Lembu Nandini dan Lembu Nandana merencanakan untuk menyerbu Kahyangan. Namun rencana tersebut didengar oleh Bathara Surya, dewa matahari. Kemudian Bathara Surya melaporkannya kepada Bathara Guru yang saat itu masih belum lama menjabat sebagai raja Tribuana dan belum mengalami kelumpuhan. Bathara Guru lalu meminta petunjuk kepada Sang Hyang Tunggal, pemomong para dewa. Sang Hyang Tunggal menyarankan Bathara Guru untuk mencegah rencana putra-putra Dahulagiri tersebut.

Bathara Guru lalu turun untuk mendatangi Dahulagiri.Pada saat itu Bathara Guru sendirian dari puncak Gunung Mahameru, dan langsung mememui putra-putra raja Dahulagiri tersebut untuk mengingatkan mereka agar membatalkan rencana mereka untuk menyerbu Kahyangan. Namun apa yang dilakukan Bathara Guru itu justru membuat putra-putra raja Dahulagiri marah dan kemudian mereka menantang Bathara Guru untuk berperang. Suasana semakin memanas, kemudian Bathara Antaga dan Bathara Ismaya yang mengetahui hal tersebut akhirnya menyusul Bathara Guru untuk meredakan suasana. Namun suasana justru semakin panas karena putra-putra raja Dahulagiri tersebut bersikeras tidak mau membatalkan rencana mereka untuk menyerbu Kahyangan. Untuk mencegah putra-putra raja Dahulagiri melanjutkan rencana mereka untuk menyerbu Kahyangan, kemudian Bathara Antaga, Bathara Ismaya, dan Bathara Guru menerima tantangan untuk berperang melawan Lembu Nandana, Lembu Nandini, Cingkarabala, dan Balaupata. Dalam peperangan tersebut, Bathara Antaga melawan Lembu Nandana, Bathara Ismaya melawan Cingkarabala dan Balaupata yang mempunyai kesaktian jika salah satunya tewas, maka saudara kembarnya akan melompati jasad saudara kembarnya dan kemudian bisa hidup kembali. Sedangkan Bathara Guru melawan Lembu Nandini. Bathara Antaga, Bathara Ismaya, dan Bathara Guru hanya dengan tangan kosong, sementara Lembu Nandana, Lembu Nandini, Cingkarabala dan Balaupata menggunakan senjata dan tanduk. Namun akhirnya putra-putra raja Dahulagiri berhasil dikalahkan dan menyerah. Karena kagum dengan kemampuan putra-putra raja Dahulagiri tersebut, Bathara Antaga dan Bathara Ismaya menyarankan Bathara Guru untuk mengangkat mereka sebagai dewa di Kahyangan. Bathara Page | 35

Guru menyetujui saran tersebut, kemudian mengangkat Lembu Nandana sebagai ibu/leluhur bagi para sapi di dunia, Lembu Nandini sebagai wahana untuk Bathara Guru, sedangkan Cingkarabala dan Balaupata diangkat sebagai penjaga gapura Kahyangan (Selamatangkep), yaitu gerbang yang menuju ke Kahyangan Suralaya dan sekaligus sebagai dewa perlindungan. Dalam menjalankan tugasnya, Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata membawa senjata berupa Gada yang sekeras intan. Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata bekerja sama dengan Bathara Indra selaku Senapati Kahyangan dan Bathara Wisnu, dewa penjaga manusia. Senjata Gada tersebut pernah digunakan beberapa kali untuk berperang melawan para raksasa yang menyerbu Kahyangan dengan maksud jahat untuk menjarah senjata para dewa dan mengambil para bidadari. Raksasa yang pernah mereka lawan adalah Nilarudraksa, Rahwana, Kala Pracona dan Patih Sekipu, serta Jathasura dan Mahesasura. Oleh masyarakat di era modern, patung Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata selalu ditempatkan di depan gerbang kampung ataupun komplek perumahan, rumah, museum, hotel, atau tempat bisnis lainnya. Selain untuk estetika, digunakan juga sebagai simbol perlindungan dari mara bahaya yang akan menyerang. Patung Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata sering ditemukan di restoran-restoran yang ada di Jawa dan Bali. Dalam versi lain diceritakan bahwa Cingkarabala adalah saudara kembar dari Balaupata. Mereka berdua adalah putra Bathara Bremani. Kakaknya yang sulung bernama Manumayasa. Berbeda dengan kakaknya yang lahir sebagai manusia biasa, Cingkarabala dan Balaupata berwujud raksasa. Oleh Bathara Guru, Cingkara dan Balaupata diangkat menjadi dewa untuk menjaga Selamatangkep, yaitu gerbang yang menuju ke Kahyangan Suralaya. Ada juga versi yang menceritakan bahwa Cingkarabala dan Balaupata bukanlah anak dari Bathara Bremani, melainkan anak dari Maharesi Gopatama, saudara kandung Lembu Andini. Ada juga versi yang menceritakan bahwa Cingkarabala dan Balaupata bukanlah anak dari Bathara Bremani, melainkan anak dari Maharesi Gopatama, saudara kandung Lembu Andini.

Page | 36

Lima Dewa Lahir Kisah ini menceritakan kelahiran lima putra Batara Guru dari hasil pernikahan dengan Batari Uma atau Dewi Umayi. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Kisah dilanjutkan dengan pertempuran pasukan dewata melawan Prabu Kalamercu yang mengakibatkan Batara Guru menderita cacat kaki kirinya, serta dikisahkan pula para dewa menyerang Kerajaan Bani Israil. Sumber yang digunakan untuk menyusun kisah ini adalah Serat Paramayoga yang dipadukan dengan Serat Purwacarita, dengan sedikit pengembangan. Kediri, 29 Mei 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

KELAHIRAN EMPAT PUTRA BATARA GURU Tepat setahun setelah perkawinan Batara Guru dengan Batari Uma lahirlah seorang putra yang diiringi dengan gempa bumi melanda banyak tempat. Putra pertama itu diberi nama Batara Sambu, yang kemudian dimandikan dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung tumbuh menjadi dewasa seketika. Dua tahun kemudian Batari Uma melahirkan lagi seorang putra yang diiringi dengan letusan gunung berapi di banyak tempat. Putra kedua itu diberi nama Batara Brahma, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa. Page | 37

Dua tahun berikutnya Batari Uma melahirkan seorang putra yang diiringi dengan hujan petir dan banjir besar melanda di banyak tempat. Putra ketiga itu diberi nama Batara Indra, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu pula sehingga langsung berubah dewasa seketika. Dua tahun setelah itu, Batari Uma kembali melahirkan seorang putra yang diiringi dengan angin topan dan badai melanda di banyak tempat. Putra keempat itu diberi nama Batara Bayu, yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah menjadi dewasa seketika. KELAHIRAN PUTRA KELIMA YANG ISTIMEWA Pada suatu hari Batara Guru menerima kedatangan Sanghyang Padawenang yang ingin melihat perkembangan Kahyangan Tengguru. Batara Guru menceritakan kepada sang ayah tentang keberhasilannya menyebarluaskan Agama Dewa, sehingga kini tidak hanya dianut oleh makhluk halus saja, tetapi juga diikuti bangsa manusia, raksasa, dan binatang beraneka ragam. Sanghyang Padawenang senang melihat keempat cucunya, namun merasa masih kurang puas. Ia lalu menasihati Batara Guru supaya memiliki seorang anak yang benar-benar sempurna lahir batin, berhati murni, serta memiliki kesaktian luar biasa, sehingga kelak bisa menjadi pemelihara ketertiban dunia. Untuk itu, Batara Guru dan Batari Uma tidak perlu lagi melakukan persetubuhan seperti manusia biasa, tetapi menggunakan tapa brata dan mengheningkan cipta. Mengenai perkembangan Agama Dewa, Sanghyang Padawenang merasa sangat puas dengan usaha yang dilakukan Batara Guru. Namun ia juga berpesan supaya Batara Guru tidak menyebarkan Agama Dewa ke sebelah barat Tanah Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil, karena penduduk di daerah sana tidak ditakdirkan untuk menjadi pengikut para dewa. Setelah dirasa cukup, Sanghyang Padawenang pun kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Guru lalu menyampaikan hal itu kepada sang istri, dan mereka pun masuk ke dalam Sanggar Pemujaan untuk melakukan puja samadi dan mengheningkan cipta, dengan disertai ajian Asmaracipta, Asmaragama, dan Asmaraturida. Setelah berhari-hari melakukan puja samadi, Batari Uma pun mengandung untuk yang kelima kalinya. Bulan demi bulan berlalu, akhirnya lahir seorang putra berkulit gelap yang diiringi dengan gempa bumi, gunung meletus, hujan petir, dan topan badai. Bahkan, kelahiran putra kelima ini sampai membuat Kahyangan Tengguru berguncang hebat, sehingga para dewa yang sedang menghadap Batara Guru jatuh dari tempat duduk masing-masing, termasuk Batara Guru pun ikut jatuh dari takhta Madeprawaka. Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran putra kelima yang istimewa ini, yang kemudian diberi nama Batara Wisnu. Sama seperti keempat kakaknya, ia juga dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa. Setelah kelahiran putra kelima tersebut, Batara Guru tidak lagi menyetubuhi Batari Uma, sehingga Batara Wisnu pun menjadi anak bungsu dalam perkawinan mereka.

Page | 38

KEDATANGAN MUSUH DARI TUNGGULWESI Pada suatu hari Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan Patih Kalamarkata yang menyampaikan surat tantangan dari rajanya, yang bernama Prabu Kalamercu, seorang jin penguasa Kerajaan Tunggulwesi. Surat tantangan itu berisi keinginan Prabu Kalamercu untuk mencoba kesaktian sang raja dewata. Batara Sambu dan para adik meminta Batara Guru untuk tidak menanggapi tantangan tersebut, dan mereka berlima yang akan maju menghadapi musuh. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Tunggulwesi yang dipimpin Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata melawan pasukan dewata yang dipimpin Batara Sambu bersaudara. Tidak salah kiranya jika raja dan patih itu berani menantang Kahyangan Tengguru, karena kesaktian mereka memang luar biasa. Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan Batara Bayu dapat dipukul mundur oleh mereka. Batara Wisnu maju menghadapi musuh. Kesaktiannya memang terlihat melebihi keempat kakaknya, di mana ia berhasil mengalahkan Patih Kalamarkata. Namun, untuk menghadapi kesaktian Prabu Kalamercu ternyata masih belum cukup hebat. Raja jin ini lebih berpengalaman dalam pertempuran dan mampu memukul mundur Batara Wisnu pula. Melihat kelima putranya terdesak, Batara Guru pun maju ke medan pertempuran dengan mengendarai Lembu Andini. Terjadilah perang tanding ramai antara dirinya melawan Prabu Kalamercu. Selama menjadi raja kahyangan, baru kali ini Batara Guru menemukan musuh yang sedemikian kuatnya. Bahkan, tombak Trengganaweni dan tombak Kalaminta yang menjadi pusaka andalannya juga tidak mampu melukai tubuh Prabu Kalamercu. Sebaliknya, Prabu Kalamercu justru berhasil membuatnya terdesak sampai ke Pegunungan Himalaya yang berbatu terjal. Bahkan, raja jin itu akhirnya dapat menghempaskan tubuh Batara Guru hingga terlempar dari punggung Lembu Andini. Batara Guru jatuh ke dalam jurang terjal dan kaki kirinya pun terperosok masuk ke sela-sela batu cadas. Dalam keadaan terjepit ia masih berusaha menghadapi serangan Prabu Kalamercu. Karena kemenangan sesaat itu, Prabu Kalamercu sempat lengah sehingga kesempatan itu digunakan oleh Batara Guru untuk mengerahkan ajian Kemayan, yang membuat raja jin tersebut roboh lunglai dengan tubuh lemas tidak berdaya. BATARA GURU MENDAPATKAN CACAT PERTAMA Batara Sambu dan para adik beramai-ramai menolong sang ayah keluar dari himpitan batu cadas. Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata sudah menyerah kalah dan mohon ampun atas kelancangan mereka yang berani menyerang Kahyangan Tengguru. Sebagai permohonan maaf, Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata membangun dua buah balai penghadapan yang sangat indah di dalam Kahyangan Tengguru dalam waktu sekejap. Melihat keindahan kedua balai tersebut, Batara Guru pun mengampuni kedua musuhnya dan mempersilakan mereka pulang kembali ke Kerajaan Tunggulwesi. Untuk mengenang kejadian tersebut, Batara Guru memberi nama kedua balai itu dengan sebutan Balai Marcukunda dan Balai Marakata. Sepeninggal Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata, Batara Guru mengambil pusaka Lata Mahosadi untuk mengobati kaki kirinya yang terluka parah akibat terjepit batu cadas tadi. Page | 39

Namun anehnya, Lata Mahosadi yang biasanya sangat mujarab ternyata kali ini tidak mampu mengobati kaki kiri tersebut sehingga menjadi cacat untuk selamanya. Seketika Batara Guru teringat ramalan Sanghyang Padawenang bahwa kelak dirinya akan menderita empat jenis cacat karena dulu pernah menyombongkan diri sebagai yang paling tampan, setelah kedua kakaknya, yaitu Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi buruk rupa. Batara Guru pun pasrah atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa jika memang ini sudah menjadi suratan takdir baginya. Karena kaki kirinya lumpuh, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang Lengin. BATARA GURU MENIKAHKAN PARA PUTRA Setelah para putranya dirasa cukup matang, Batara Guru berkenan menikahkan mereka dengan para bidadari cucu Sanghyang Pancaresi. Adapun Sanghyang Pancaresi adalah putra bungsu Sanghyang Darmajaka, kakak sulung Sanghyang Wenang. Putra Sanghyang Pancaresi bernama Maharesi Guruweda memiliki tiga orang putri, bernama Dewi Susti yang dinikahkan dengan Batara Sambu, Dewi Saci yang dinikahkan dengan Batara Brahma, dan Dewi Wiranci yang dinikahkan dengan Batara Indra. Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Pancadewa memiliki putri bernama Dewi Swamnyana yang dinikahkan dengan Batara Sambu, serta Dewi Saraswati dan Dewi Rarasati yang keduanya dinikahkan dengan Batara Brahma. Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Wiksmaka memiliki putri bernama Dewi Srilaksmi dan Dewi Srilaksmita yang keduanya dinikahkan dengan Batara Wisnu. Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Satya memiliki putri bernama Dewi Sri Satyawarna, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu. Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Janaka memiliki putri bernama Dewi Nignyata, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu. Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Soma memiliki putri bernama Dewi Sumi yang dinikahkan dengan Batara Bayu. Dewi Sumi memiliki kakak bernama Dewi Ratih yang telah dinikahkan dengan Batara Kamajaya, putra Batara Ismaya. Konon pasangan ini disebut-sebut sebagai yang paling tampan dan paling cantik di dunia. Demikianlah, silsilah para dewa pun berkembang biak sedemikian rupa. Ada dewa yang menikah dengan bidadari, ada yang menikah dengan manusia biasa, ada pula yang menikah dengan golongan jin ataupun siluman. BATARA GURU BERNIAT MENYERANG BANI ISRAIL Batara Guru telah memiliki kekuasaan besar yang membentang dari Tanah Persi dan Hindustan ke arah utara dan timur jauh. Namun, ia merasa kurang puas jika belum bisa menaklukkan daerah barat Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil. Meskipun Sanghyang Padawenang pernah menasihatinya supaya tidak menyebarkan Agama Dewa ke wilayah Page | 40

Kerajaan Bani Israil, namun Batara Guru tidak menghiraukannya. Selain itu, Batara Guru juga penasaran ingin membalaskan kekalahan Sanghyang Wenang di mana Nabi Suleman dulu pernah menghancurkan Kahyangan Pulau Dewa. Beberapa bulan sebelum rencana penyerangan ini, Batara Guru telah menurunkan wabah penyakit di wilayah Bani Israil, namun masyarakat di sana tetap tegar tidak mau memeluk Agama Dewa. Kesabaran Batara Guru akhirnya habis. Ia pun memerintahkan empu kahyangan, yaitu Batara Ramayadi, untuk membuat senjata-senjata ampuh. Adapun Batara Ramayadi ini adalah putra Sanghyang Ramaprawa, atau cucu Sanghyang Hening, sehingga masih terhitung keponakan Batara Guru. Batara Ramayadi menghadap bersama putranya, yang bernama Batara Anggajali. Mereka berdua telah menyelesaikan perintah Batara Guru dan mempersembahkan berbagai macam senjata ampuh sebagai pusaka Kahyangan Tengguru. Batara Guru menerimanya dengan senang hati, lalu menyerahkan senjata-senjata itu kepada para putra sebagai bekal untuk menyerang Kerajaan Bani Israil. PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN BANI ISRAIL Para dewata dipimpin Batara Sambu telah tiba di wilayah Kerajaan Bani Israil. Dilatarbelakangi dendam kekalahan Sanghyang Wenang di tangan Nabi Sulaiman ratusan tahun silam membuat para dewa semakin bernafsu menghancurkan kerajaan tersebut. Banyak rumah dan bangunan dihancurkan, serta rakyat jelata tewas menjadi korban. Seorang pendeta Kerajaan Bani Israil yang bernama Pendeta Usmanajid dan putranya yang bernama Pendeta Usmanaji berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi pertolongan. Muncullah tiba-tiba angin besar yang meniup dan menghempaskan para dewa kembali ke Kahyangan Tengguru, kecuali Batara Wisnu. Batara Wisnu lalu berhadapan dengan Pendeta Usmanajid. Mereka pun terlibat perdebatan adu kepandaian. Dalam hal kesaktian memang Batara Wisnu lebih unggul, tetapi dalam hal ilmu kesempurnaan, ia harus mengakui kehebatan Pendeta Usmanajid yang lebih berpengalaman. Pertempuran di antara mereka berdua akhirnya berubah menjadi persahabatan. Batara Wisnu kemudian berteman baik dengan Pendeta Usmanaji, putra Pendeta Usmanajid, dan saling bertukar ilmu selama beberapa hari. Setelah berbicara panjang lebar, ternyata hakikat Agama Dewa dan Agama Nabi sama-sama baik dan sama-sama bertujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Hanya saja, perbedaan tata cara ibadah telah membuat para pemeluk kedua agama ini sering terlibat pertengkaran dan perkelahian yang tidak sedikit menelan korban jiwa. Batara Wisnu kemudian mohon pamit kembali ke Kahyangan Tengguru dengan membawa perasaan sukacita.

Page | 41

Batara Wisnu. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 42

Jaka Sengkala Kisah ini menceritakan kelahiran dan kehidupan masa muda Jaka Sengkala, putra Batara Anggajali. Ia kelak bergelar Ajisaka, yaitu orang yang mengisi Pulau Jawa dengan penduduk dari bangsa manusia. Kisah ini disusun berdasarkan sumber dari Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 09 Juni 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

Page | 43

PRABU SAKIL BERTEMU BATARA ANGGAJALI Tersebutlah seorang raja keturunan Nabi Ismail bernama Prabu Sakil yang memerintah Kerajaan Najran. Raja ini suka sekali berdagang ke seberang lautan dengan berdandan sebagai saudagar. Pada suatu hari, kapal yang ditumpangi Prabu Sakil dan para pengikutnya hancur dihantam badai. Seluruh penumpang tewas, kecuali Prabu Sakil yang terapung-apung di lautan dengan berpegangan pada sebilah papan kayu. Batara Anggajali saat itu sedang duduk di atas ombak laut sambil mengerjakan perintah Batara Guru untuk membuat senjata-senjata pusaka kahyangan. Ketika melihat Prabu Sakil terapung-apung, ia pun bergegas menolong dan membawanya naik ke daratan. Setelah sadar dari pingsan, Prabu Sakil berterima kasih atas pertolongan Batara Anggajali. Mereka pun berkenalan dan saling menceritakan asal-usul masing-masing. Sebagai ungkapan terima kasih, Prabu Sakil memohon dengan sangat agar Batara Anggajali sudi singgah di Kerajaan Najran barang beberapa hari. Batara Anggajali tidak tega untuk menolak. Maka dengan kesaktiannya, ia pun menggendong Prabu Sakil dan membawanya terbang di udara, sehingga dalam sekejap saja mereka sudah sampai di ibu kota Kerajaan Najran. BATARA ANGGAJALI MENIKAHI DEWI SAKA Prabu Sakil sangat menyukai pribadi Batara Anggajali dan berterus terang ingin menjadikannya menantu. Saat itu ia telah memiliki seorang putri remaja bernama Dewi Saka yang hendak dijodohkan dengan dewa pembuat senjata tersebut. Batara Anggajali menerima lamaran Prabu Sakil dengan senang hati. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara dirinya dengan Dewi Saka. Namun ia juga tidak bisa lama-lama meninggalkan tugas yang diberikan Batara Guru. Setelah sang istri mengandung, Batara Anggajali pun mohon pamit kembali ke tengah lautan untuk melanjutkan pembuatan senjatasenjata pusaka.

Page | 44

Batara Anggajali. KELAHIRAN JAKA SENGKALA Sudah lebih dari sembilan bulan mengandung, namun Dewi Saka belum juga melahirkan. Segala macam pengobatan sudah diusahakan oleh Prabu Sakil namun belum juga berhasil. Sampai akhirnya, usia kandungan mencapai dua tahun, barulah Dewi Saka melahirkan bayi laki-laki berkulit putih bersih, dengan mata berwarna merah berkilat-kilat. Bayi itu diberi nama Jaka Sengkala, karena kelahirannya tergolong aneh dan tidak seperti bayi-bayi lain pada umumnya. Sejak kecil Jaka Sengkala sudah memiliki keistimewaan. Ia tidak minum air susu ibunya, tetapi menghisap ujung jari sendiri. Ketika berusia delapan tahun ia sudah menamatkan semua ilmu yang diajarkan para ulama. Setelah tumbuh dewasa ia pun memiliki berbagai macam kesaktian, antara lain mampu terbang di angkasa. Pada suatu hari Jaka Sengkala meminta ibunya untuk menceritakan siapa sebenarnya ayah kandungnya. Setelah didesak terus-menerus, Dewi Saka akhirnya bercerita, bahwa Jaka Sengkala sebenarnya adalah cucu seorang dewa pembuat senjata, bernama Batara Anggajali, yang saat ini berada di atas Samudera Hindia. Jaka Sengkala sangat penasaran ingin bertemu ayahnya dan tidak bisa ditahan lagi. Ia pun mohon pamit kepada kakek dan ibunya untuk pergi mencari Batara Anggajali. Dengan berat hati Prabu Sakil dan Dewi Saka pun melepas kepergian Jaka Sengkala yang sangat mereka kasihi itu dan mendoakannya supaya selalu mendapatkan perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa.

Page | 45

JAKA SENGKALA BERTEMU AYAHNYA Jaka Sengkala terbang meninggalkan Kerajaan Najran dan sampai di atas Samudera Hindia. Di tengah lautan ia melihat Batara Anggajali sedang duduk tenang di atas ombak lautan sambil tangannya bekerja membuat senjata-senjata pusaka. Jaka Sengkala yakin orang itu adalah ayah kandungnya dan ia pun segera memperkenalkan diri. Mengetahui pemuda itu adalah anak Dewi Saka, Batara Anggajali sangat gembira dan menerimanya sebagai putra. Jaka Sengkala sangat kagum melihat kesaktian sang ayah dalam membuat senjata yang tidak menggunakan api, namun cukup jarinya memijat-mijat besi saja. Ia pun menyatakan ingin tinggal bersama sang ayah. Namun Batara Anggajali berkata bahwa sebaiknya Jaka Sengkala pulang ke Najran saja supaya bisa hidup mulia di sana sebagai raja yang kelak menggantikan kakeknya. Jaka Sengkala mengaku tidak suka kemewahan dan ingin hidup sebagai murid sang ayah saja. Karena baginya, Batara Anggajali adalah yang paling sakti di dunia. Batara Anggajali menolak anggapan itu. Ia mengatakan bahwa ayahnya, atau kakek dari Jaka Sengkala yang bernama Batara Ramayadi jauh lebih sakti darinya. Jika membuat senjata, Batara Ramayadi tidak perlu menggunakan tangan tapi cukup dengan memandang saja, besi baja akan lunak dengan sendirinya. Jaka Sengkala pun mengurungkan niat untuk berguru kepada ayahnya dan menyatakan ingin berguru kepada sang kakek saja. Batara Anggajali melepaskan kepergian putranya itu dan menunjukkan arah yang harus ditempuh jika ingin bertemu Batara Ramayadi. JAKA SENGKALA BERTEMU KAKEKNYA Jaka Sengkala akhirnya berhasil menemukan Batara Ramayadi yang sedang duduk di atas awan mega sedang sibuk membuat berbagai senjata pusaka. Tanpa perlu Jaka Sengkala memperkenalkan diri, ternyata Batara Ramayadi sudah dapat menebak kalau ia adalah cucunya sendiri, yaitu putra Batara Anggajali. Jaka Sengkala menyampaikan niatnya ingin berguru kepada sang kakek yang dianggapnya paling sakti di dunia. Kini ia melihat dengan mata sendiri bagaimana sang kakek membuat senjata tanpa perlu menggunakan tangan. Cukup dengan dipandang saja, segala macam besi dan baja akan lunak dengan sendirinya. Namun, Batara Ramayadi menolak sebutan paling sakti tersebut, karena ia hanyalah seorang empu pembuat senjata. Para dewa di Kahyangan Tengguru jauh lebih sakti, dan yang paling sakti adalah Batara Guru, sang raja para dewa. Adapun dewa lainnya yang memiliki kesaktian setara dengan Batara Guru adalah putra bungsunya yang bernama Batara Wisnu. Jaka Sengkala terlihat kecewa karena kakeknya ternyata bukan yang paling sakti. Ia kemudian mohon pamit untuk berangkat menemui Batara Wisnu. Batara Ramayadi mengizinkan dan menunjukkan arah yang harus ditempuh menuju tempat tinggal Batara Wisnu tersebut. JAKA SENGKALA BERTEMU BATARA WISNU Berkat petunjuk sang kakek, Jaka Sengkala berhasil menemukan Gunung Tengguru dan tiba di kahyangan tempat tinggal Batara Wisnu. Tanpa harus memperkenalkan diri, Batara Wisnu dapat menebak asal-usul Jaka Sengkala sekaligus mengetahui perasaan kecewa dalam hati Page | 46

pemuda itu terhadap ayah dan kakeknya yang ternyata bukan manusia paling sakti di dunia. Jaka Sengkala sangat senang melihat kepandaian Batara Wisnu dalam menebak asal-usul serta isi hatinya. Ia pun menyatakan ingin berguru kepadanya. Batara Wisnu mengatakan jika Jaka Sengkala ingin menjadi murid maka harus bisa menyesuaikan diri dengan perilaku kehidupannya. Jaka Sengkala menyatakan siap untuk menyesuaikan diri dengan perilaku Batara Wisnu. Batara Wisnu pun menguji Jaka Sengkala. Dalam sekejap tubuh Batara Wisnu sudah menghilang dari pandangan dan kemudian amblas ke dalam perut bumi, setelah itu terbang ke angkasa, dan mendarat di Kutub Utara, kemudian menuju ke Kutub Selatan dalam waktu sekejap. Anehnya, ke mana pun Batara Wisnu pergi, Jaka Sengkala selalu dapat menyertainya. Batara Wisnu mengatakan bahwa Jaka Sengkala tidak perlu lagi belajar kesaktian karena pada dasarnya ia telah sakti sejak lahir. Batara Wisnu juga menjelaskan bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang memiliki kesaktian paling sempurna, karena yang sempurna hanyalah Tuhan Yang Mahasempurna. Maka, ilmu yang paling tinggi derajatnya bukanlah ilmu kesaktian yang membuat manusia tidak terkalahkan, tetapi ilmu pengetahuan yang membuat manusia semakin dekat dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Itulah ilmu kesempurnaan yang seharusnya dipelajari dan diamalkan. Jaka Sengkala pun memohon supaya Batara Wisnu mengajarkan ilmu kesempurnaan tersebut agar ia dapat mendekati Tuhan Yang Mahakuasa. Batara Wisnu menyarankan supaya Jaka Sengala berguru kepada sahabatnya saja yang bernama Pendeta Usmanaji di Kerajaan Bani Israil. Jaka Sengkala menurut dan berangkat menuju arah yang ditunjukkan kepadanya. JAKA SENGKALA MENJADI MURID PENDETA USMANAJI Jaka Sengkala akhirnya bertemu dengan Pendeta Usmanaji dan menceritakan apa yang disampaikan Batara Wisnu kepadanya. Pendeta Usmanaji berkenan menerimanya sebagai murid dan mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran. Setelah mempelajari semua ilmu dari sang guru, Jaka Sengkala berubah menjadi sosok rendah hati dan tidak lagi angkuh seperti sebelumnya. Pendeta Usmanaji meramalkan bahwa kelak Jaka Sengkala akan menjadi manusia yang dipilih Tuhan untuk mengisi Pulau Jawa dengan penduduk manusia. Jaka Sengkala juga diramalkan kelak berhasil memperoleh keabadian berkat meminum Tirtamarta Kamandanu di Tanah Lulmat, namun waktunya masih lama. Pendeta Usmanaji menyarankan agar saat ini Jaka Sengkala pergi ke Kerajaan Surati untuk bertemu ayahnya sambil menunggu takdir Tuhan lebih lanjut. Rupanya Pendeta Usmanaji mendapatkan berita bahwa Batara Guru sangat senang melihat hasil kerja Batara Anggajali dalam menciptakan senjata-senjata kahyangan, sehingga ayah Jaka Sengkala itu pun mendapatkan hadiah berupa Kerajaan Surati. Jaka Sengkala menuruti nasihat sang guru. Dengan berat hati ia pun mohon pamit. Pendeta Usmanaji melepas kepergian muridnya itu dan meramalkan kelak mereka akan bertemu lagi di Pulau Jawa yang terletak di seberang tenggara.

Page | 47

JAKA SENGKALA TIBA DI KERAJAAN SURATI Dari Kerajaan Bani Israil menuju Kerajaan Surati, Jaka Sengkala tidak lagi terbang di angkasa seperti yang sudah-sudah, tetapi lebih memilih berjalan kaki menyusuri jalur darat. Sesampainya di tempat yang dituju, ia disambut dengan hangat oleh sang ayah, yaitu Batara Anggajali. Adapun saat itu Batara Anggajali telah menjadi raja dengan bergelar Prabu Iwasaka. Jaka Sengkala pun diangkat sebagai pangeran mahkota Kerajaan Surati dengan bergelar Raden Ajisaka.

Page | 48

Dara Wisa Kisah ini menceritakan tentang kehancuran Kahyangan Tengguru akibat serangan burung dara berbisa buatan Nabi Isa. Batara Guru terpaksa mengungsi ke sebuah pulau panjang yang kemudian diberi nama Pulau Jawa. Di pulau itu, ia membangun tempat tinggal baru bernama Kahyangan Argadumilah. Kisah ini disusun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan naskah-naskah lainnya, dengan sedikit pengembangan. Kediri, 17 Juni 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

RENCANA BATARA GURU MENYERANG BANI ISRAIL Batara Guru di Kahyangan Tengguru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan rencana menyerang Kerajaan Bani Israil dan menyebarluaskan Agama Dewa di sana. Rupanya Batara Guru masih penasaran karena sampai sekarang belum juga bisa menaklukkan negeri para nabi tersebut. Batara Wisnu memohon supaya sang ayah mengurungkan niat, karena tidak baik memaksakan agama kepada orang lain. Lagipula, Kerajaan Bani Israil saat ini sudah menjadi jajahan Kerajaan Rum, dan bukan lagi sebuah negeri yang merdeka. Batara Guru marah dan menuduh Batara Wisnu telah bersekongkol dengan kaum Bani Israil. Batara Guru tetap pada pendirian untuk memaksakan Agama Dewa kepada penduduk Bani Israil, sebagai balasan atas perbuatan Nabi Sulaiman yang telah menghancurkan Kahyangan Pulau Dewa dahulu kala. Mengenai Kerajaan Rum yang saat ini berkuasa, itu bisa diatur nanti. Bila perlu, setelah menaklukkan Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata akan bergerak menaklukkan Kerajaan Rum sekalian. Batara Wisnu tidak berani membantah lagi. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu untuk mengumpulkan dan memimpin pasukan dewata serta memulai penyerangan.

PASUKAN DEWATA MENYERANG BANI ISRAIL Batara Sambu dan para adik, yaitu Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu, serta beberapa sepupu, yaitu Batara Wrehaspati, Batara Kuwera, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya menyusun rencana penyerangan terhadap Kerajaan Bani Israil sesuai perintah Batara Guru. Sebenarnya Batara Sambu juga kurang setuju terhadap rencana ini. Akan tetapi, ia tidak memiliki keberanian seperti Batara Wisnu dalam menentang perintah sang ayah. Ia hanya bisa berharap semoga peperangan kali ini bisa berjalan dengan baik tanpa menjatuhkan banyak korban. Setelah dirasa cukup, mereka pun menyiapkan pasukan dewata dan berangkat menuju ke arah barat. Page | 49

Sesampainya di wilayah Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata mulai mengadakan pengrusakan. Para penduduk dipaksa untuk meninggalkan Agama Nabi dan beralih memeluk Agama Dewa. Hanya Batara Wisnu yang terlihat diam saja dengan perasaan sangat prihatin. Pasukan Kerajaan Bani Israil dengan dibantu pasukan Kerajaan Rum mengadakan perlawanan, namun mereka semua tidak mampu menghadapi kekuatan para dewa. Pasukan dewata terus-menerus maju menguasai wilayah Bani Israil.

Batara Sambu. NABI ISA MENCIPTAKAN BURUNG DARA BERBISA Pada saat itu hidup seorang keturunan Sayidina Anwas yang bernama Nabi Isa. Ia didatangi para murid yang memohon supaya Nabi Isa turun tangan menyelamatkan Kerajaan Bani Israil dari kehancuran. Nabi Isa lantas mengambil tanah liat dan membentuknya menjadi boneka burung dara. Setelah meniupnya, secara ajaib tiba-tiba boneka tanah liat itu hidup menjadi burung dara sungguhan yang dapat terbang di angkasa, tentu saja atas izin Tuhan Yang Mahakuasa. Burung dara ajaib itu melesat ke angkasa dan menyerang para dewa. Paruhnya mampu menyemburkan bisa panas yang melukai kulit para dewa. Selain itu, burung tersebut juga mampu terbang cepat dan sangat gesit sehingga para dewa tidak mampu menangkapnya. Melihat keadaan telah berbalik, Batara Sambu pun memerintahkan pasukan dewata supaya mundur kembali ke Gunung Tengguru.

Page | 50

BATARA GURU MENGUNGSI KE SEBERANG TIMUR Batara Sambu dan pasukan dewata telah kembali dan menghadap Batara Guru untuk menyampaikan apa yang telah terjadi. Tak disangka, burung dara ajaib tetap mengejar dan merusak bangunan kahyangan. Para dewa dan bidadari pontang-panting berlarian terkena semburan bisa panas dari paruhnya. Batara Guru sendiri juga kesulitan untuk menangkap burung dara ciptaan Nabi Isa tersebut. Dalam keadaan terdesak inilah Batara Guru baru menyadari kesalahannya yang telah melanggar pesan Sanghyang Padawenang untuk tidak mengganggu penduduk Bani Israil. Batara Guru merasa sangat berduka dan segera memerintahkan semua dewa dan bidadari untuk mengungsi meninggalkan Kahyangan Tengguru. Para dewa lalu masuk ke dalam Balai Marcukunda, sedangkan para bidadari masuk ke dalam Balai Marakata. Batara Bayu yang perkasa lalu mengangkat kedua balai tersebut dan membawanya terbang sekencangkencangnya ke arah timur dengan mengerahkan kekuatan angin. Setelah menyeberangi Samudra Hindia, Batara Bayu sampai di sebuah pulau yang membentang panjang dari ujung utara-barat dan berbelok ke timur. Pulau tersebut tidak lain adalah gabungan Sumatra, Jawa, dan Bali di masa sekarang yang saat itu masih satu kesatuan. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Bayu untuk berhenti di Tanah Padang, di bagian Pulau Sumatra sekarang. BATARA WISNU MEMUSNAHKAN DARA BERBISA Setelah Batara Bayu menurunkan kedua balai, tak disangka burung dara ajaib masih mengejar dan kembali menyemburkan bisa panas ke arah para dewa dan bidadari. Batara Guru curiga melihat Batara Wisnu yang tetap segar bugar, sama sekali tidak terluka oleh semburan bisa panas tersebut. Batara Wisnu terpaksa mengaku, bahwa ia diam-diam menjalin persahabatan dengan Pendeta Usmanaji dari Bani Israil, dan pernah bertukar ilmu dengan orang itu sehingga ia mampu menangkal semburan bisa panas burung dara tersebut. Batara Guru sangat marah dan menuduh putra bungsunya itu telah berkhianat. Batara Wisnu berduka mendapat tuduhan demikian. Ia lantas mohon izin untuk maju menghadapi si burung dara. Batara Ramayadi melaporkan bahwa dirinya telah menyelesaikan sebuah senjata ampuh bernama Cakra Sudarsana. Senjata tersebut berwujud piringan bergigi tajam, yang kemudian dipinjamkan kepada Batara Wisnu atas izin Batara Guru. Batara Wisnu maju menerima Cakra Sudarsana, kemudian melemparkannya ke arah burung dara berbisa sambil mengucapkan doa permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa di dalam hati. Kali ini si burung dara tidak bisa lagi menghindar. Begitu terkena senjata Cakra Sudarsana, burung ajaib itu langsung hancur berkeping-keping menjadi bara api yang jatuh di kaki Gunung Marapi. Batara Guru sangat senang melihat keberhasilan Batara Wisnu dan meminta maaf atas tuduhan tadi. Ia juga menetapkan bahwa senjata Cakra Sudarsana mulai saat ini resmi menjadi pusaka pribadi Batara Wisnu. Batara Wisnu sangat berterima kasih dan menerimanya dengan suka cita. Page | 51

PARA DEWA TERKENA RACUN CALAKUTA Tersebutlah seorang raja siluman bernama Danghyang Calakuta yang menguasai segenap hewan berbisa di Kerajaan Wisabawana yang terletak di kaki Gunung Marapi. Ia sangat terkejut karena tiba-tiba saja ada sejumlah kepingan bara api yang jatuh menimpa tempat tinggalnya. Akibatnya, terjadilah kebakaran hebat yang membuat banyak hewan berbisa anak buahnya tewas menjadi korban. Danghyang Calakuta sangat marah dan menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi. Setelah mengetahui kalau bara api tersebut berasal dari bangkai burung dara yang dibunuh dewa, maka ia pun merencanakan pembalasan yang setimpal. Dengan kesaktiannya, Danghyang Calakuta lalu mencampurkan racun ganas ke dalam sebuah telaga jernih di kaki Gunung Marapi. Sementara itu, para dewa dan bidadari merasa sangat kehausan akibat dikejar-kejar burung dara berbisa tadi. Mereka lalu menemukan telaga jernih di kaki Gunung Marapi dan segera minum sepuas-puasnya dengan riang gembira. Sungguh aneh, begitu meminum air telaga itu, mereka semua langsung roboh tak sadarkan diri. Batara Guru yang belum sempat meminum air telaga tersebut segera melakukan penyelidikan. Setelah mengetahui kalau air telaga itu mengandung racun, maka ia pun menghirup habis racun dalam telaga tersebut dan menghentikannya di kerongkongan. Akibatnya, sejak saat itu Batara Guru pun memiliki leher belang biru sebagai cacat nomor dua, sehingga ia mendapatkan julukan baru sebagai Sanghyang Nilakanta. Batara Guru kemudian menyembuhkan para dewa dan bidadari yang keracunan menggunakan Lata Mahosadi. Setelah sembuh dan bangkit dari sekarat, mereka dipersilakan minum kembali karena air telaga saat ini sudah bebas dari racun. BATARA GURU MENGELILINGI PULAU PANJANG Batara Guru kemudian bertemu dengan Danghyang Calakuta yang telah menebarkan racun di telaga tadi. Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kemenangan Batara Guru. Danghyang Calakuta mohon ampun dan menceritakan apa yang telah terjadi pada tempat tinggalnya di Wisabawana, sehingga ia nekat melakukan pembalasan dengan meracuni air telaga yang hendak diminum para dewata. Batara Guru yang saat ini sedang mengalami masa prihatin merasa tidak ada gunanya memperpanjang kesalahpahaman. Ia pun menerima permohonan ampun Danghyang Calakuta, dan memintanya untuk menjadi pemandu jalan. Rupanya Batara Guru tertarik melihat pulau panjang tersebut dan ingin berjalan-jalan mengelilinginya. Danghyang Calakuta dengan senang hati mengantarkan Batara Guru memeriksa keadaan pulau dari ujung utara-barat menuju selatan-timur. Pulau tersebut sangat indah dan subur, dengan gunung-gunung yang berbaris-baris, namun penghuninya hanya terdiri dari kaum bekasakan dan makhluk halus saja. Setelah selesai berkeliling, Batara Guru pun berterima kasih kepada Danghyang Calakuta dan mengangkatnya sebagai anggota dewata dengan bergelar Batara Calakuta. Batara Guru kemudian memberi nama pulau panjang tempatnya tingal kini dengan sebutan Pulau Jawa.

Page | 52

BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN ARGADUMILAH Dalam perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, Batara Guru tertarik pada sebuah gunung indah bernama Gunung Mahendra, yang pada zaman sekarang disebut Gunung Lawu. Ia merasa cocok berada di sana dan ingin membangun kahyangan baru sebagai tempat tinggal sementara. Kelak jika sudah aman, ia tentu akan kembali lagi ke Kahyangan Tengguru di Pegunungan Himalaya. Dengan kesaktiannya, Batara Guru pun membangun sebuah kahyangan di puncak Gunung Mahendra tersebut, yang kemudian ia beri nama Kahyangan Argadumilah. Setelah dirasa cukup, Balai Marcukunda dan Balai Marakata lalu ditempatkan di dalam kahyangan baru tersebut, sehingga pemandangan di Kahyangan Argadumilah kini sama persis seperti pemandangan di Kahyangan Tengguru. JAKA SENGKALA MENJADI RAJA Sementara itu di Kerajaan Surati, Prabu Iwasaka telah mendengar berita mengenai kepindahan Batara Guru ke Pulau Jawa karena dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaaan Nabi Isa. Prabu Iwasaka merasa sangat prihatin dan berniat menyusul ke sana. Ia pun kembali menjadi Batara Anggajali dan menyerahkan takhta Kerajaan Surati kepada putranya, yaitu Jaka Sengkala. Jaka Sengkala menggantikan ayahnya menjadi pemimpin Kerajaan Surati dengan bergelar Prabu Ajisaka. Setelah upacara pelantikan putranya selesai, Batara Anggajali kemudian melesat terbang menyusul Batara Guru ke Pulau Jawa dan bergabung dengan para dewata di Kahyangan Argadumilah. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 53

Batara Kala Lahir Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Batara Kala yang terjadi dari kama salah Batara Guru, dilanjutkan dengan peristiwa Batari Uma berubah wujud menjadi Batari Durga. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 23 Juni 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA GURU MENGAJAK BATARI UMA BERPESIAR Meskipun telah membangun Kahyangan Argadumilah yang tidak kalah indahnya dibanding Kahyangan Tengguru, namun perasaan Batara Guru masih sangat kecewa atas kekalahannya melawan mukjizat Nabi Isa. Ia hanya bisa menyesali perbuatannya yang telah menyerang Kerajaan Bani Israil dan melanggar nasihat Sanghyang Padawenang. Untuk menghibur diri, Batara Guru mengajak Batari Uma pergi berpesiar menikmati keindahan Pulau Jawa. Batari Uma awalnya tidak bersedia karena ia mendapatkan firasat akan terjadi hal yang tidak baik. Namun Batara Guru terus-menerus mendesak sehingga Batari Uma akhirnya menurut juga.

Page | 54

LAHIRNYA KAMA SALAH Batara Guru dan Batari Uma pun berangkat dengan mengendarai Lembu Andini. Mereka terbang di angkasa menikmati keindahan Pulau Jawa dari atas. Ketika melewati Laut Selatan, saat itu hari sudah menjelang senja. Sinar matahari terbenam yang kemerah-merahan menerpa tubuh Batari Uma sehingga membuatnya terlihat semakin cantik. Tiba-tiba saja Batara Guru terbangkit nafsu birahinya. Maklum saja, sejak kelahiran Batara Wisnu yang melalui ajian Asmaragama, Asmaracipta, dan Asmaraturida, ia tidak pernah lagi melakukan persetubuhan dengan sang istri, sehingga kali ini nafsunya bagaikan meledak dan berkobar-kobar. Batara Guru pun mengajak Batari Uma bersetubuh di atas punggung Lembu Andini saat itu juga. Batari Uma menolak karena malu, namun Batara Guru terus memaksa dan mengancam hendak menggunakan kekerasan. Batari Uma mengingatkan Batara Guru selaku raja dewata tidak sepantasnya bersikap seperti raksasa. Ucapan Batari Uma yang sedang terdesak itu berubah menjadi kutukan. Seketika, Batara Guru pun mendapatkan cacat ketiga, yaitu memiliki dua buah taring panjang seperti raksasa. Maka, sejak saat itu Batara Guru mendapatkan julukan baru, yaitu Sanghyang Randuwana, yang bermakna "memiliki taring seperti buah randu hutan". Batara Guru sangat murka atas kutukan yang menimpa dirinya. Keinginannya bersetubuh pun berubah menjadi niat untuk memerkosa istri sendiri. Tubuh Batari Uma kemudian diangkat dan didudukkan di atas pangkuannya. Karena nafsu birahi sudah tak terkendalikan, air mani Batara Guru pun memancar keluar. Namun Batari Uma meronta menghindarinya sehingga air mani tersebut jatuh ke laut. Tiba-tiba saja air laut yang terkena tumpahan air mani sang raja dewata langsung mendidih dan mengepulkan asap. KAMA SALAH BERUBAH WUJUD MENJADI RAKSASA Dengan perasaan kecewa bercampur malu, Batara Guru memutuskan pulang ke Kahyangan Argadumilah. Tiba-tiba datang dewa penjaga lautan yang bernama Batara Baruna menghadap kepadanya. Batara Baruna ini adalah putra Batara Gangga, putra Batara Hermaya, putra Sanghyang Hening, yaitu paman Batara Guru. Batara Baruna melaporkan bahwa di Laut Selatan telah tercipta api berkobar-kobar yang menewaskan banyak ikan dan binatang air. Batara Baruna mengaku kesulitan memadamkan api tersebut, karena semakin dipadamkan justru semakin bertambah besar. Kedatangannya ke Kahyangan Argadumilah ini adalah untuk memohon bantuan kepada Batara Guru supaya turun tangan menyelamatkan segenap binatang laut. Batara Guru paham bahwa api tersebut sesungguhnya berasal dari "kama salah", yaitu luapan nafsu birahi salah tempat yang tadi tumpah dan membuat air laut mendidih. Rupanya gelembung kama salah tersebut kini telah berkembang dan tumbuh menjadi api yang berkobar-kobar. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu supaya memimpin para adik dan para sepupu untuk memadamkan kobaran Kama Salah tersebut. Batara Sambu dan pasukan dewata telah tiba di Laut Selatan dan mengepung api yang berkobar-kobar itu. Mereka lantas mengerahkan segala cara untuk memadamkan api Kama Salah. Namun, bukannya padam, api tersebut justru berkobar semakin besar. Para dewa lantas Page | 55

melemparkan berbagai senjata pusaka ke dalam kobaran api. Namun, secara ajaib api itu justru berubah wujud menjadi raksasa mengerikan. Semakin para dewa menghujaninya dengan senjata, raksasa itu justru semakin bertambah besar dan kuat. Raksasa Kama Salah itu lalu mengamuk melakukan serangan balasan. Para dewa pun kocarkacir dibuatnya. Mereka berhamburan terbang kembali ke Kahyangan Argadumilah. Si Kama Salah terus mengejar sambil menanyakan siapa dirinya, dan siapa orang tuanya.

Kama Salah. KAMA SALAH MENDAPAT NAMA BATARA KALA Kama Salah mengejar para dewa sampai memasuki Kahyangan Argadumilah. Batara Guru dengan tenang menyambut kedatangannya dan menyuruhnya duduk di lantai. Kama Salah heran melihat wujud Batara Guru yang jauh lebih kecil dari dirinya namun berani memberikan perintah begitu saja. Batara Guru pun memperkenalkan diri sebagai raja dewata, penguasa seluruh dunia. Kama Salah merasa kebetulan, karena Batara Guru pasti bisa menceritakan siapa asal-usulnya, dan siapa orang tuanya. Batara Guru bersedia menceritakan asal-usul Kama Salah apabila raksasa tersebut memberikan sembah bakti yang tulus kepadanya. Kama Salah pun membungkuk menghaturkan sembah. Pada saat itulah Batara Guru tiba-tiba memangkas rambut raksasa itu. Kama Salah terkejut dan mendongak. Secepat kilat Batara Guru memotong dua buah taringnya, dan menusuk lidahnya hingga semua bisa di dalam mulut raksasa itu mengalir keluar. Begitu kehilangan dua buah taring dan bisa di lidahnya, tubuh Kama Salah langsung lemas tak berdaya dan terkulai di lantai. Page | 56

Batara Guru kemudian memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari Kama Salah. Sejak hari itu Kama Salah diakuinya sebagai putra, dan diberi nama Batara Kala, karena lahir pada saat senjakala. Putra nomor enam itu lalu diperintahkan untuk tinggal di Pulau Nusakambangan yang terletak di Laut Selatan. Batara Kala berterima kasih dan berangkat menuruti perintah sang ayah. Batara Guru kemudian menyerahkan kedua taring Batara Kala yang dipotongnya tadi kepada Batara Ramayadi dan Batara Anggajali supaya ditempa menjadi senjata. Kedua empu kahyangan itu lalu mengubah taring-taring tersebut menjadi dua bilah keris pusaka, yang diberi nama Keris Kalanadah dan Keris Kaladite. BATARI UMA DIKUTUK MENJADI BATARI DURGA Berita tentang Batara Guru memiliki anak berwujud raksasa besar dan mengerikan telah membuatnya merasa sangat malu. Ia pun menimpakan kesalahan kepada Batari Uma yang seharusnya tidak menolak sewaktu diajak bersetubuh di atas punggung Lembu Andini tadi. Batara Guru pun menemui Batari Uma dan menceritakan segalanya. Ia memarahi Batari Uma sebagai istri tidaklah pantas menolak perintah suami. Batari Uma balas mengatakan bahwa terciptanya Batara Kala tidak lain karena kesalahan Batara Guru sendiri yang tidak dapat mengendalikan nafsu birahi. Jawaban ini membuat Batara Guru tersinggung dan semakin marah. Batara Guru lalu menjambak rambut sang istri dan memukuli badannya. Kedua kaki Batari Uma diangkat sehingga tubuhnya pun tergantung dengan kepala di bawah. Batari Uma menjerit memohon ampun dengan suara yang melengking menyayat hati. Batara Guru tidak peduli dan menyebut jeritan Batari Uma itu seperti suara raksasi. Karena Batara Guru memiliki ajian Kawastrawam, membuat apa yang ia ucapkan menjadi kenyataan. Seketika wujud Batari Uma pun berubah menjadi raksasi buruk rupa. Batara Guru menyesali kutukannya, namun semua sudah terlambat. Sejak saat itu Batari Uma diganti namanya menjadi Batari Durga dan diperintahkan untuk tinggal di Hutan Setragandamayit, memimpin para hantu dan siluman. Kelak ia akan berubah cantik kembali jika diruwat oleh seorang yang paling muda dari lima bersaudara Pandawa. Batari Uma yang telah berganti nama menjadi Batari Durga itu pun menerima keputusan sang suami dengan perasaan sedih. Ia lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Argadumilah dan pergi ke Hutan Setragandamayit untuk membangun kahyangan pribadi di sana. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 57

Cupu Linggamanik Kisah ini menceritakan awal mula Batara Narada diangkat menjadi penasihat kahyangan oleh Batara Guru, serta dilanjutkan dengan pengangkatan Batara Anantaboga sebagai dewa penguasa para ular, serta awal mula Batara Guru memiliki empat lengan dan menikahi Batari Umaranti. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan beberapa sumber lain dalam Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai Pustaka. Kediri, 29 Juni 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA Di Kahyangan Argadumilah, Batara Guru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan berita meninggalnya Nabi Isa yang kemudian dibangkitkan kembali dan diangkat naik ke Surga. Tak terasa sudah lima belas tahun para dewata berkahyangan di Pulau Jawa, dan inilah saatnya untuk kembali lagi ke Pegunungan Himalaya. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun memimpin perjalanan para dewata kembali menuju Gunung Tengguru. Kahyangan Argadumilah di Gunung Mahendra seketika menjadi kosong tak berpenghuni setelah kepergian mereka. Sesampainya di Pegunungan Himalaya, para dewata sangat prihatin melihat keadaan Kahyangan Tengguru yang porak poranda akibat serangan burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa dulu. Batara Guru berpendapat, kahyangan yang sudah rusak sebaiknya tidak ditempati Page | 58

lagi. Ia kemudian terbang ke angkasa untuk melihat ke sekeliling Pegunungan Himalaya. Akhirnya, pilihan pun jatuh kepada sebuah gunung bernama Gunung Kailasa. Batara Guru lalu membangun kahyangan baru di atas Gunung Kailasa tersebut. Balai Marcukunda dan Balai Marakata ditempatkan di dalamnya, serta dibangun pula sepasang pintu gerbang bernama Kori Selamatangkep yang bisa membuka dan menutup sendiri tergantung tamu yang datang berniat baik ataukah buruk. Kahyangan baru tersebut akhirnya selesai dibangun dan diberi nama Kahyangan Jonggringsalaka, karena memancarkan sinar putih keperakan. Para dewa juga membangun kahyangan pribadi sebagai tempat tinggal masing-masing. Batara Sambu tinggal di Kahyangan Suwelagringging, Batara Brahma tinggal di Kahyangan Duksinageni, Batara Indra tinggal di Kahyangan Karang Kaindran, Batara Bayu tinggal di Kahyangan Swargapanglawung, Batara Wisnu tinggal di Kahyangan Utarasegara, Batara Yamadipati tinggal di Kahyangan Yamaniloka, Batara Kamajaya tinggal di Kahyangan Cakrakembang, dan masih banyak lagi yang lainnya. PARA DEWA BERTEMU MAHARESI KANEKAPUTRA Beberapa tahun kemudian Batara Guru melihat adanya sinar teja atau pelangi tegak lurus di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Ia pun memerintahkan para putra untuk menyelidiki asal-usul sinar teja tersebut. Batara Sambu lalu berangkat bersama keempat adiknya. Para dewa itu terbang menuju selatan dan akhirnya sampai di Samudera Hindia. Mereka melihat seorang laki-laki bertapa dengan duduk samadi di atas ombak laut sambil tangannya menggenggam sebuah cupu yang bersinar indah. Batara Sambu dan yang lain pun membangunkan laki-laki itu dan menanyakan apa maksud dan tujuannya bertapa. Laki-laki itu mengaku bernama Maharesi Kanekaputra yang bertapa ingin menjadi penasihat raja dewa. Batara Sambu dan para adik pun menertawakannya, kecuali Batara Wisnu yang memiliki firasat kalau laki-laki ini benar-benar memiliki kesaktian dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. Maharesi Kanekaputra tidak peduli dan kembali bertapa. Batara Sambu merasa diacuhkan, dan ia pun memerintahkan para adik untuk membangunkan petapa itu dengan paksa. Tibatiba saja tubuh Maharesi Kanekaputra mengeluarkan tenaga dahsyat yang mendorong para dewa itu terlempar kembali ke utara, kecuali Batara Wisnu yang sejak awal tidak ikut mengganggunya. Batara Wisnu mohon pamit dengan hormat lalu melesat menyusul kakakkakaknya. BATARA GURU MENGHADAPI MAHARESI KANEKAPUTRA Batara Guru datang menemui Maharesi Kanekaputra setelah mendapat laporan kekalahan putra-putranya. Batara Guru sangat heran mengapa ada seorang maharesi yang bertapa ingin menjadi penasihat kahyangan. Maka, selaku raja dewa ia pun mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji ilmu pengetahuan petapa tersebut. Maharesi Kanekaputra menjawab setiap pertanyaan Batara Guru dengan gaya bercanda, namun setiap jawabannya selalu benar. Batara Guru merasa kagum sekaligus kesal melihat Maharesi Kanekaputra yang tingkah lakunya seperti pelawak itu. Maka, ia pun tak kuasa Page | 59

menahan diri dan menyebut lawan bicaranya itu seperti badut. Ucapan tersebut disertai Aji Kawastrawam sehingga wujud Maharesi Kanekaputra dalam sekejap berubah bentuk menjadi laki-laki bertubuh pendek dan gemuk seperti badut, dengan wajah lucu yang selalu mendongak ke atas. Batara Guru menyesali ucapannya namun semuanya sudah terlambat. Ia kemudian menelusuri asal-usul Maharesi Kanekaputra yang tidak lain adalah kakak sepupunya sendiri, yaitu putra Sanghyang Caturkaneka, atau cucu Sanghyang Darmajaka. Batara Guru pun memohon maaf dan mengabulkan keinginan Maharesi Kanekaputra menjadi penasihat kahyangan, karena selama ini ia sering berbuat khilaf karena terlalu berkuasa tanpa ada yang mengendalikan. Maharesi Kanekaputra menerima permohonan tersebut, dan ia pun memakai nama Batara Narada. Sejak saat itu Batara Narada menjadi penasihat Batara Guru, dan ia mendapatkan Kahyangan Sidiudal-udal sebagai tempat tinggal. Ia juga menyerahkan Cupu Linggamanik yang selalu digenggamnya sewaktu bertapa kepada Batara Guru sebagai pelengkap pusaka Kahyangan Jonggringsalaka. Cupu Linggamanik tersebut adalah pemberian ayahnya, yaitu Sanghyang Caturkaneka yang berisikan air Tirta Mayahadi.

Batara Narada. BATARA ANANTABOGA DAN BATARA BASUKI Pada suatu hari Cupu Linggamanik tiba-tiba terbang sendiri meninggalkan ruang pusaka Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memerintahkan para dewa untuk mencari ke mana hilangnya cupu pusaka tersebut. Cupu Linggamanik ternyata masuk ke Kahyangan Saptapretala di dasar bumi dan ditemukan Page | 60

oleh seekor naga yang sedang bertapa. Naga itu bernama Adisesa yang langsung menangkap cupu pusaka tersebut dengan mulutnya. Para dewa datang dan menuduh Naga Adisesa telah mencuri Cupu Linggamanik. Naga Adisesa tidak terima dan terjadilah pertempuran. Tidak lama kemudian muncul adik Naga Adisesa bernama Naga Basuki yang segera membantu sang kakak. Para dewa terdesak kewalahan dan akhirnya kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melaporkan apa yang terjadi. Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang ke Kahyangan Saptapratala untuk menanyai Naga Adisesa dan Naga Basuki secara baik-baik. Ternyata Batara Guru dapat menebak asalusul kedua naga tersebut yang terhitung masih kerabat sendiri. Ayah Batara Guru yaitu Sanghyang Tunggal memiliki adik perempuan bernama Dewi Suyati yang menikah dengan jin berwujud naga bernama Anantawasesa. Dari perkawinan itu lahir dua ekor naga bernama Anantaswara dan Anantadewa. Anantaswara memiliki anak perempuan bernama Dewi Basu, sedangkan Anantadewa memiliki putra bernama Anantanaga. Anantanaga dan Dewi Basu kemudian dinikahkan, sehingga lahir dua ekor naga bernama Adisesa dan Basuki tersebut. Karena Batara Guru datang secara baik-baik, Naga Adisesa pun menyerahkan Cupu Linggamanik dengan cara yang baik pula. Sebagai rasa terima kasih, Naga Adisesa dan Naga Basuki diangkat menjadi dewa dan masing-masing diberi gelar Batara Anantaboga dan Batara Basuki. Batara Anantaboga ditunjuk sebagai pemimpin para ular yang hidup di darat, sedangkan Batara Basuki menjadi pemimpin para ular yang hidup di air. Setelah dirasa cukup, Batara Guru dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka dengan membawa Cupu Linggamanik. KELAHIRAN BAYI DARI BUAH RANTI Sejak kepergian Batari Uma menjadi Batari Durga yang tinggal di Kahyangan Setragandamayit, Batara Guru merasa kesepian dan kehilangan rekan untuk dimintai pertimbangan. Ia pun meminta kepada mertuanya, yaitu Saudagar Umaran untuk dicarikan istri yang wajahnya mirip dengan Batari Uma. Saudagar Umaran tidak tahu bagaimana caranya, namun ia juga tidak berani menolak permintaan sang raja dewata. Saudagar Umaran kemudian pulang ke Kerajaan Merut dan bersamadi di kebun buah ranti di pekarangan istananya. Setelah beberapa lama, tapa brata Saudagar Umaran tersebut akhirnya dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba saja ada sebutir buah ranti yang membesar ukurannya sedikit demi sedikit. Saudagar Umaran lalu membuka buah ranti berukuran besar tersebut, ternyata di dalamnya berisikan seorang bayi. Akan tetapi, bayi ajaib itu tiba-tiba terbang melesat ke arah timur. Saudagar Umaran pun bergegas mengejar ke mana perginya. Ternyata bayi itu melayang-layang memasuki Kahyangan Jonggringsalaka dan membuat suasana menjadi gempar. Para dewa berusaha menangkapnya namun tidak ada yang mampu. Saudagar Umaran datang melapor kepada Batara Guru bahwa bayi itu adalah bayi ajaib yang tercipta dari dalam buah ranti di pekarangan istananya. Batara Guru pun turun tangan berusaha ikut menangkap si bayi namun selalu gagal. Ia merasa sangat kesal dan berkata andai saja dirinya memiliki empat lengan, tentu bisa Page | 61

menangkap bayi tersebut. Seketika ucapan yang disertai Aji Kawastrawam itu menjadi kenyataan. Tiba-tiba saja lengan Batara Guru berubah menjadi empat. Tanpa pikir lagi, ia pun melesat dan berhasil menangkap kedua tangan dan kedua kaki si bayi menggunakan keempat lengannya itu. BATARA GURU MENIKAHI BATARI UMARANTI Batara Guru mengamati wujud si bayi ajaib yang ternyata memiliki kelamin ganda. Ia lalu meruwat bayi tersebut menggunakan siraman air Tirta Mayahadi dalam Cupu Linggamanik, sehingga kelamin laki-laki pada si bayi musnah dan yang tertinggal hanya kelamin perempuan saja. Batara Guru lalu menyiramkan Tirta Mayahadi untuk yang kedua kalinya. Secara ajaib, bayi itu langsung berubah menjadi perempuan dewasa seketika. Batara Guru dan Saudagar Umaran sangat gembira karena wajah perempuan tersebut sama persis dengan Batari Uma. Batara Guru juga berkenan menjadikannya sebagai istri sebagai pengganti Batari Uma. Perempuan itu lalu diberi nama Batari Umaranti, karena tercipta dari buah ranti. Pernikahan antara Batara Guru dengan Batari Umaranti akhirnya dikaruniai tiga orang putra, yaitu Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara.

Batara Guru berlengan empat. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 62

Batara Gana Lahir Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Ganesa atau Ganapati, yaitu dewa berkepala gajah, serta awal mula Prabu Ajisaka menjadi Empu Sengkala. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja yang dipadukan dengan Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 2 Juli 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU AJISAKA KEHILANGAN TAKHTA Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Sambu untuk sementara memimpin pertemuan, karena saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, dengan tujuan menyerap sisa-sisa daya perbawa yang tertinggal di kahyangan lama untuk dipindahkan ke kahyangan baru.

Page | 63

Tiba-tiba datang Prabu Ajisaka, putra Batara Anggajali, yang melaporkan bahwa Kerajaan Surati telah hancur diserang musuh raksasa bernama Prabu Nilarudraka dari Kerajaan Glugutinatar. Prabu Ajisaka mohon ampun karena tidak mampu mempertahankan negeri anugerah Batara Guru tersebut. Ia juga melaporkan bahwa selama para dewa berkahyangan di Tanah Jawa, Prabu Nilarudraka dan pasukannya telah banyak menaklukkan raja-raja di Tanah Hindustan. Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Nilarudraka yang bernama Patih Senarudraka menghadap Batara Sambu untuk meminta supaya Prabu Ajisaka diserahkan kepadanya. Tidak hanya itu, ia juga meminta agar para dewa mengakui kekuasaan Prabu Nilarudraka. Batara Sambu marah mendengar permintaan tersebut. Ia pun mempersilakan Patih Senarudraka menunggu di luar karena permintaan tersebut akan dihadapi dengan pertempuran. PARA DEWA KALAH PERANG MELAWAN PATIH SENARUDRAKA Patih Senarudraka memimpin pasukan raksasa menghadapi pasukan dewata yang dipimpin langsung oleh Batara Sambu. Perang besar pun terjadi. Para dewa merasa kesulitan tidak mampu mengalahkan kekuatan para raksasa Kerajaan Glugutinatar tersebut. Akhirnya, Batara Sambu pun menarik mundur pasukan dewata dan menutup rapat-rapat gerbang Kori Selamatangkep. Melihat pihak lawan mundur ke dalam kahyangan, Patih Senarudraka pun mendirikan perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, untuk mengepung jalur masuk menuju Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu, Prabu Nilarudraka yang menduduki Kerajaan Surati mengirim kabar bahwa dirinya telah bergerak untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang lain. PARA DEWA MEMINTA PETUNJUK SANGHYANG PADAWENANG Setelah para dewa masuk kembali ke dalam Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Narada menyarankan agar Batara Sambu meminta petunjuk Sanghyang Padawenang di Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Sambu pun menugasi Batara Wisnu dan Batara Kamajaya untuk pergi ke sana. Kedua dewa itu mohon pamit dan berangkat dengan mengerahkan Aji Panglimunan sehingga tidak terlihat oleh pasukan Patih Senarudraka yang berkemah. Sesampainya di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya segera meminta petunjuk Sanghyang Padawenang dalam menghadapi serangan Kerajaan Glugutinatar. Menghadapi Patih Senarudraka saja sudah sulit, apalagi menghadapi Prabu Nilarudraka. Bahkan, Batara Wisnu yang sangat sakti saja tidak mampu mengalahkan mereka. Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa takdir kematian Prabu Nilarudraka bukan di tangan Batara Wisnu, tetapi di tangan adiknya yang kelak lahir dari Dewi Parwati, putri Kerajaan Giriprawata. Namun saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, sehingga perlu dibangunkan dan dipertemukan dengan putri tersebut. Setelah mendapatkan penjelasan, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya pun mohon pamit untuk kemudian berangkat menemui Batara Guru di Gunung Tengguru. Page | 64

BATARA GURU MEMBAKAR BATARA KAMAJAYA Batara Guru sedang tekun bersamadi di puing-puing bekas reruntuhan Kahyangan Tengguru. Batara Wisnu dan Batara Kamajaya datang menghadap. Mereka berusaha membangunkan Batara Guru namun tidak berhasil. Batara Kamajaya akhirnya mohon izin untuk menggunakan Panah Pancawisaya, yang berguna untuk membangkitkan gairah dan rasa cinta di hati Batara Guru. Setelah Batara Wisnu mengizinkan, Batara Kamajaya pun melepaskan Panah Pancawisaya dan mengenai dada Batara Guru. Seketika Batara Guru dalam samadinya pun bermimpi melihat seorang putri cantik bernama Dewi Parwati putri Kerajaan Giriprawata. Namun begitu terbangun, ia sangat marah karena mengetahui ternyata itu semua adalah ulah Batara Kamajaya yang berusaha membangkitkan nafsu birahinya. Tak kuasa menahan murka, Batara Guru pun bertriwikrama menjadi Sanghyang Rudrapati, yang memiliki mata ketiga di dahi. Mata ketiga itu lalu memancarkan sorot api yang langsung membakar Batara Kamajaya menjadi abu. Batara Wisnu memohon supaya Batara Guru meredam kemarahan dan ia pun menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah menyadari duduk permasalahannya, Batara Guru pun kembali ke wujud semula dan merasa berduka. Ia lalu memerintahkan Batara Wisnu mengumpulkan abu jenazah Batara Kamajaya dan membawanya pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka. Ia sendiri kemudian terbang menuju Kerajaan Giriprawata untuk menikahi Dewi Parwati sesuai petunjuk Sanghyang Padawenang. BATARA GURU MENIKAHI DEWI PARWATI Di Kerajaan Giriprawata, Prabu Himawan dan Dewi Minawati menyambut kedatangan Batara Guru dengan penuh hormat. Mereka berdua menerima dengan suka cita saat Batara Guru menyampaikan maksud kedatangannya ingin melamar Dewi Parwati, putri mereka, sebagai istri. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Batara Guru dengan Dewi Parwati. Setelah itu, Batara Guru kemudian mohon pamit memboyong Dewi Parwati untuk tinggal di Kahyangan Jonggringsalaka. BATARA GURU MENGHIDUPKAN BATARA KAMAJAYA DAN BATARI RATIH Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Dewi Parwati melihat para dewa dan bidadari sedang berkabung di hadapan abu jenazah berjumlah dua. Rupanya Batari Ratih sangat berduka mengetahui Batara Kamajaya mati terbakar, dan ia pun melakukan bela pati ikut membakar diri menyusul sang suami. Para dewa memohon kepada Batara Guru supaya menghidupkan kembali pasangan suamiistri tersebut. Batara Guru lalu menyiram kedua abu jenazah itu menggunakan air kehidupan Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, kedua abu jenazah pun berubah wujud menjadi Batara Kamajaya dan Batari Ratih seperti sedia kala.

Page | 65

Batara Kamajaya. KELAHIRAN BATARA GANAPATI Sudah lima bulan lamanya Patih Senarudraka berkemah di kaki Gunung Jamurdipa mengepung Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu Dewi Parwati sudah mengandung pula. Para dewa berharap bayi yang akan dilahirkannya itulah yang kelak bisa mengalahkan musuh dari Kerajaan Glugutinatar. Sementara itu Prabu Nilarudraka telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di segenap penjuru Tanah Hindustan. Kerajaan terakhir yang ia kalahkan adalah Kerajaan Giriprawata, di mana ia berhasil menawan Prabu Himawan dan Dewi Minawati. Maka, tiba saatnya Prabu Nilarudraka bergabung dengan Patih Senarudraka di kaki Gunung Jamurdipa untuk bersamasama menyerbu Kahyangan Jonggringsalaka. Para dewa menjadi panik mendengar Prabu Nilarudraka telah datang di perkemahan Gunung Jamurdipa. Padahal, usia kandungan Dewi Parwati belum mencapai masa kelahiran. Para dewa akhirnya bertekad untuk bertempur mati-matian melawan Prabu Nilarudraka dan Patih Senarudraka dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Batara Guru mengajak Dewi Parwati menyaksikan para dewa mempersiapkan pasukan di halaman Kahyangan Jonggringsalaka yang disebut Repat Kepanasan. Pada saat melihat gajah yang dikendarai Batara Indra, Dewi Parwati menjerit ngeri. Gajah tersebut bernama Gajah Erawata yang berukuran sangat besar, membuat Dewi Parwati ketakutan dan janin yang ada di dalam rahimnya ikut berontak. Melihat keadaan yang tidak baik itu, Batara Guru pun menggunakan kesaktiannya untuk membantu sang istri melahirkan sebelum waktunya. Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki Page | 66

yang anehnya berkepala gajah. Para dewa terheran-heran, namun mereka berharap bayi berwujud aneh inilah yang bisa mengalahkan musuh sesuai ramalan Sanghyang Padawenang. Batara Guru kemudian menyiram putranya yang berkepala gajah itu menggunakan Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, bayi tersebut langsung berubah dewasa dan diberi nama Batara Ganapati atau Batara Ganesa. BATARA GANAPATI MENGALAHKAN PATIH SENARUDRAKA Di perkemahan pasukan Glugutinatar, Prabu Nilarudraka sedang menyusun rencana penyerbuan bersama Patih Senarudraka. Tiba-tiba mereka mendengar pasukan dewata telah membuka gerbang Kori Selamatangkep dan melakukan serangan balasan dengan dipimpin seorang dewa yang baru lahir bernama Batara Ganapati. Patih Senarudraka maju menghadapi Batara Ganapati. Begitu berhadap-hadapan, Patih Senarudraka langsung tertawa geli melihat ada seorang dewa bertubuh gagah tapi berkepala gajah. Sungguh ajaib, gara-gara menertawakan wujud Batara Ganapati, seketika seluruh tubuh Patih Senarudraka pun berubah menjadi seekor gajah. Ia sangat menyesal mengetahui kesaktian Batara Ganapati dan menyatakan tunduk kepadanya. Melihat patihnya berubah menjadi gajah dan menyerah kepada musuh, Prabu Nilarudraka sangat marah dan maju menyerang Batara Ganapati. Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua pihak sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Nilarudraka ternyata benar-benar perkasa sehingga pantas kalau ia berani menaklukkan para raja di Tanah Hindustan dan kemudian menyerbu kahyangan. Tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai kulitnya. Akan tetapi, setelah bertempur sekian lama Batara Ganapati akhirnya berhasil mematahkan kedua taring Prabu Nilarudraka dan menusukkannya ke leher raja raksasa tersebut. Begitu tertusuk taringnya sendiri, Prabu Nilarudraka langsung roboh kehilangan nyawa. BATARA GANAPATI MENDAPAT KAHYANGAN GLUGUTINATAR Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa dalam suasana suka cita karena pihak musuh telah berhasil dihancurkan. Kerajaan Glugutinatar milik Prabu Nilarudraka kini diubah menjadi kahyangan tempat tinggal Batara Ganapati. Para raja yang ditawan dan kerajaannya direbut Prabu Nilarudraka juga dibebaskan dan dikembalikan ke negeri masing-masing. Termasuk di antara mereka adalah Prabu Himawan dan Dewi Minawati dari Kerajaan Giriprawata. Sementara itu, Patih Senarudraka yang kini berwujud gajah telah menyatakan sumpah setia kepada Batara Guru. Ia kemudian mendapatkan nama baru, yaitu Gajah Sena, dan diserahkan kepada Batara Bayu untuk mengabdi kepadanya. PRABU AJISAKA MENJADI EMPU SENGKALA Batara Guru lalu menerima kedatangan Batara Anggajali bersama putranya, yaitu Prabu Ajisaka. Setelah Kerajaan Surati direbut Prabu Nilarudraka, Prabu Ajisaka mengungsi ke Kahyangan Jonggringsalaka dan banyak membantu sang ayah dalam membuat senjatasenjata kahyangan untuk menghadapi pasukan raksasa Glugutinatar. Kini Prabu Ajisaka telah menguasai segala ilmu pembuatan senjata, dan ia telah berganti nama menjadi Empu Page | 67

Sengkala. Batara Guru sangat senang melihat pengabdian Empu Sengkala, namun tidak mengizinkannya kembali ke Kerajaan Surati yang telah hancur itu. Batara Guru meramalkan, kelak Empu Sengkala akan mendapatkan tugas untuk mengisi Pulau Jawa di seberang lautan dengan penduduk manusia. Maka, sebelum saat itu tiba, Empu Sengkala pun diperintahkan untuk bertapa di pulau panjang tersebut. Empu Sengkala mematuhi perintah sang raja dewa dan ia segera mohon pamit berangkat ke Pulau Jawa.

Batara Ganapati ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya

Page | 68

Penumbalan Tanah Jawa Kisah ini menceritakan bagaimana awal mula Pulau Jawa diisi penduduk manusia. Juga dikisahkan bagaimana Empu Sengkala membantu memasang tumbal di Pulau Jawa yang angker sehingga menjadi aman untuk dihuni manusia. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 10 Juli 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

Empu Sengkala. EMPU SENGKALA BERANGKAT KE PULAU JAWA Batara Anggajali di tempat pembuatan senjata kahyangan menerima kedatangan Empu Sengkala yang hendak pergi bertapa di Pulau Jawa atas perintah Batara Guru. Batara Anggajali pun membekali putranya itu dengan mengajarkan beberapa tambahan ilmu kesaktian dan nasihat kehidupan. Setelah dirasa cukup, ia lalu memberikan doa restu agar sang putra selalu mendapatkan keselamatan dalam perjalanannya. Setelah berlayar menyeberangi lautan luas, Empu Sengkala akhirnya tiba di Pulau Jawa yang saat itu masih tersambung dengan Pulau Sumatra dan Pulau Bali. Butuh waktu seratus tiga hari bagi Empu Sengkala untuk berkeliling menjelajahi pulau tersebut dari Tanah Aceh di Page | 69

ujung barat laut sampai ke Bali. Pulau tersebut benar-benar sepi dan hanya dihuni oleh para makhluk halus, siluman, bekasakan, dan binatang buas. Setelah selesai berkeliling, Empu Sengkala lalu membangun tempat tinggal di Gunung Dihyang, dengan diberi nama Padepokan Purwapada. EMPU SENGKALA MENCIPTAKAN PENANGGALAN Empu Sengkala mulai bertapa di Padepokan Purwapada. Karena daya perbawa yang ia pancarkan, tidak ada makhluk halus yang berani mengganggunya. Setelah beberapa hari bertapa ia pun didatangi oleh Batari Srilaksmi yang memancarkan cahaya putih. Batari Srilaksmi mengajarkan kepadanya ilmu Asmaragama, Asmaranala, Asmaratura, Asmaraturida, dan Asmarandana. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan. Pada hari kedua, Empu Sengkala didatangi Batara Kala yang memancarkan cahaya kuning. Batara Kala mengajarkan berbagai macam ilmu sihir, kemayan, dan panggendaman. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan. Pada hari ketiga, Empu Sengkala didatangi Batara Brahma yang memancarkan cahaya merah. Batara Brahma mengajarkan berbagai macam ilmu ramalan dan kemampuan melihat masa depan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan. Pada hari keempat, Empu Sengkala didatangi Batara Wisnu yang memancarkan cahaya hitam. Batara Wisnu mengajarkan berbagai macam ilmu kesaktian dan siasat peperangan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan. Pada hari kelima, Empu Sengkala didatangi Batara Guru yang memancarkan cahaya mancawarna. Batara Guru mengajarkan ilmu kesempurnaan dan ilmu panitisan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, Empu Sengkala kemudian membuat sebuah penanggalan yang dalam satu pekan terdiri atas lima hari, yaitu hari Sri, Kala, Brahma, Wisnu, dan Guru. Pada hari Sri ia bersamadi menghadap ke timur, pada hari Kala bersamadi menghadap ke selatan, pada hari Brahma bersamadi menghadap ke barat, pada hari Wisnu bersamadi menghadap ke utara, dan pada hari Guru bersamadi menunduk ke bumi, serta mendongak ke angkasa. Penanggalan yang diciptakan Empu Sengkala tersebut kemudian diberi nama Tahun Suryasengkala dan Tahun Candrasengkala. Jika Suryasengkala didasarkan pada peredaran bumi terhadap matahari, maka Candrasengkala didasarkan pada peredaran bulan terhadap bumi. PENDUDUK NEGERI RUM MENGISI PULAU JAWA Tersebutlah raja Kerajaan Rum bernama Maharaja Galbah. Pada suatu hari ia memimpin pertemuan dengan dihadap sang putra bernama Pangeran Oto, dan menteri utama bernama Patih Amirulsamsu. Yang dibicarakan adalah perihal mimpi Maharaja Galbah, yaitu ia mendapatkan perintah dari suara gaib agar mengisi Pulau Jawa di seberang lautan timur. Pulau tersebut sangat subur namun hanya dihuni kaum bekasakan dan makhluk halus, tanpa Page | 70

ada manusia sama sekali di dalamnya. Maharaja Galbah bertanya kepada para pendeta kerajaan dan mereka menjelaskan bahwa suara gaib dalam mimpi tersebut adalah perintah Tuhan Yang Mahakuasa agar dilaksanakan. Maka, Maharaja Galbah pun mengutus Patih Amirulsamsu untuk memimpin sebagian penduduk Kerajaan Rum pindah dan bermukim di Pulau Jawa. Patih Amirulsamsu berangkat dengan membawa dua puluh ribu orang penduduk Rum menyeberang lautan luas. Sesampainya di Pulau Jawa, orang-orang Rum tersebut bergotong royong membuka hutan dan mendirikan perkampungan. Setelah dirasa cukup, Patih Amirulsamsu lalu kembali untuk melapor kepada Maharaja Galbah. Sepeninggal Sang Patih, orang-orang Rum di Pulau Jawa banyak yang jatuh sakit dan meninggal karena tidak tahan hawa panas serta diganggu makhluk halus, atau ada pula yang dimangsa binatang buas. Dalam waktu tiga tahun saja yang tersisa hanya tinggal dua puluh orang dan mereka memutuskan untuk pulang ke Negeri Rum. PANDITA USMANAJI BERANGKAT KE PULAU JAWA Maharaja Galbah sangat sedih mendengar laporan bahwa dari dua puluh ribu orang yang menghuni Pulau Jawa hanya tersisa dua puluh orang saja dan mereka memilih pulang kembali ke Negeri Rum. Patih Amirulsamsu berpendapat bahwa Pulau Jawa terlalu angker untuk ditempati manusia, dan untuk itu perlu dipasangi tumbal penakluk makhluk halus. Sang Patih melaporkan bahwa di Negeri Bani Israil hidup seorang pendeta berilmu tinggi bernama Pandita Usmanaji yang kiranya bisa melaksanakan tugas berat ini. Kerajaan Bani Israil sudah lama menjadi negeri jajahan Kerajaan Rum, sehingga Maharaja Galbah dapat leluasa memanggil Pandita Usmanaji untuk menghadap dan menerima perintah darinya. Pandita Usmanaji tiba di kerajaan dan menyatakan siap melaksanakan perintah itu. Ia lalu mohon pamit berlayar ke Pulau Jawa dengan diiringi sejumlah pendeta lainnya. EMPU SENGKALA MEMBANTU PENUMBALAN PULAU JAWA Setelah berlayar beberapa bulan, rombongan Pandita Usmanaji akhirnya tiba dan mendarat di Pulau Jawa. Berkat kesaktiannya, Pandita Usmanaji dapat merasakan bahwa di pulau tersebut ternyata ada seorang manusia sedang bertapa di Gunung Dihyang. Didatanginya gunung tersebut dan ditemuinya sang pertapa, yang ternyata Empu Sengkala, muridnya sendiri. Empu Sengkala sangat terharu dan gembira bisa bertemu sang guru di pulau sunyi ini. Ia pun menceritakan semua pengalaman hidupnya sejak berpisah dulu, antara lain pernah menjadi raja Kerajaan Surati dan akhirnya mendapatkan perintah dari Batara Guru untuk bertapa di Pulau Jawa. Tak terasa sudah enam tahun lamanya Empu Sengkala bertapa dan ia pun sempat mendengar berita adanya orang-orang Rum yang bermukim di Pulau Jawa namun mengalami nasib malang. Pandita Usmanaji lalu mengajak Empu Sengkala untuk membantunya memasang tumbal supaya Pulau Jawa yang angker menjadi lebih aman dan nyaman untuk ditempati manusia. Mereka pun mulai bekerja, dengan memasang lima buah tumbal, yaitu yang empat ditanam di empat penjuru mata angin dan satu lagi dipasang di tengah-tengah pulau. Setelah pemasangan tumbal selesai, Pandita Usmanaji dan rombongan membawa serta Empu Sengkala Page | 71

meninggalkan Pulau Jawa. Hari berikutnya, terjadilah bencana alam di segenap penjuru pulau. Gempa bumi, gunung meletus, badai halilintar, disertai suara bergemuruh terjadi di mana-mana yang kemudian diikuti suara jerit tangis para makhluk jahat. Mereka pun berlarian menuju Laut Selatan untuk mencari perlindungan. EMPU SENGKALA MENDAPAT PERINTAH DARI MAHARAJA GALBAH Pandita Usmanaji tiba di Kerajaan Rum dan melaporkan keberhasilannya kepada Maharaja Galbah. Maharaja Galbah juga sangat berterima kasih atas bantuan Empu Sengkala dan memberikan gelar Pandita Isaka kepadanya. Pandita Usmanaji lalu mohon pamit pulang ke Negeri Bani Israil dengan mengajak Empu Sengkala ikut serta. Di sana Empu Sengkala pun mendapatkan banyak tambahan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian darinya. Pada suatu hari Patih Amirulsamsu datang ke Bani Israil untuk menyampaikan surat perintah Maharaja Galbah kepada Empu Sengkala. Bagaimanapun juga perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk menempatkan penduduk manusia di Pulau Jawa harus tetap dilaksanakan. Hanya saja, perintah tersebut tidak menjelaskan bahwa yang harus ditempatkan di sana adalah penduduk Kerajaan Rum, sehingga Maharaja Galbah kini memerintahkan Empu Sengkala untuk mencari penduduk negeri lain yang cocok dengan keadaan Pulau Jawa sehingga bisa bermukim di sana dengan nyaman. Empu Sengkala menyatakan bersedia dan ia pun mohon restu kepada Pandita Usmanaji, kemudian berangkat menuju ke timur. EMPU SENGKALA MEMIMPIN PENGISIAN PULAU JAWA Empu Sengkala tiba di Kahyangan Jonggringsalaka menghadap Batara Guru untuk meminta petujuk dalam melaksanakan perintah Tuhan Yang Mahakuasa melalui mimpi Maharaja Galbah tersebut. Batara Guru selaku pemimpin tertinggi di Tanah Hindustan dan sekitarnya memberikan izin kepada Empu Sengkala untuk mengumpulkan orang-orang Keling, Benggala, dan Siam karena mereka memiliki tubuh yang cocok dengan keadaan alam di Pulau Jawa. Empu Sengkala kemudian menemui ayahnya, yaitu Batara Anggajali. Sang ayah memberikan restu dan menyertakan putra-putranya yang lain untuk membantu pekerjaan Empu Sengkala tersebut. Mereka adalah Empu Bratandang, Empu Braruni, dan Empu Braradya, yaitu anakanak Batara Anggajali yang lahir dari istri kedua. Empu Sengkala ditemani ketiga adiknya berlayar membawa dua puluh ribu orang yang mereka kumpulkan dari Keling, Benggala, dan Siam, sesuai perintah Batara Guru. Setelah mendarat di Pulau Jawa, orang-orang itu kemudian diajak bergotong royong membuka hutan dan pegunungan untuk dijadikan tempat permukiman. Setelah sepuluh tempat permukiman berdiri, Empu Sengkala lalu memilih sepuluh orang yang paling pandai di antara para penduduk untuk mendapatkan tambahan pelajaran darinya. Mereka bernama Jangga, Wisaka, Kutastaka, Malipata, Wiswandana, Kurmanda, Kusalya, Anuwilipa, Suskadi, dan Sarada.

Page | 72

Setelah mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, kesepuluh orang itu lalu disebar untuk menjadi pemimpin para penduduk. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala pun kembali ke Negeri Rum, sedangkan ketiga adiknya kembali ke Tanah Hindustan. EMPU SENGKALA MENINJAU PULAU JAWA Tujuh belas tahun kemudian Empu Sengkala kembali mendapatkan perintah untuk berlayar ke Pulau Jawa. Kali ini yang memberikan perintah adalah Maharaja Oto, yaitu putra Maharaja Galbah. Maharaja baru itu memerintahkan Empu Sengkala pergi meninjau keadaan Pulau Jawa sebagaimana wasiat terakhir Maharaja Galbah sebelum meninggal. Jika penduduk Pulau Jawa sudah berkembang pesat dan hidup aman tenteram, tentu roh Maharaja Galbah bisa merasa tenang di alam baka. Empu Sengkala lalu berangkat disertai sejumlah orang Rum sebagai pengiring. Setelah tiba di Pulau Jawa, mereka gembira melihat para penduduk semakin berkembang dan jumlah mereka meningkat pesat. Orang-orang Rum yang datang tersebut menjadi tertarik dan sebagian dari mereka memilih untuk ikut menetap di Pulau Jawa. Empu Sengkala lalu menunjuk seorang bernama Tamus untuk menjadi pemimpin orangorang Rum yang menetap di Pulau Jawa. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala kemudian kembali ke Negeri Rum untuk menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto. EMPU SENGKALA MENDAPATKAN AIR KEABADIAN Setelah menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto tentang keadaan penduduk di Pulau Jawa, Empu Sengkala kembali menemui Pandita Usmanaji di Kerajaan Bani Israil. Pada suatu malam ia bermimpi mendengar suara gaib yang menyuruhnya pergi ke Kutub Utara mencari sebuah tempat bernama Tanah Lulmat dan bertapa di sana. Setelah berunding dengan sang guru, ia pun mohon restu dan berangkat melaksanakan mimpi tersebut. Setelah bersusah payah, Empu Sengkala akhirnya sampai juga di Tanah Lulmat. Setelah bertapa beberapa bulan, tiba-tiba muncul mustika awan yang memancarkan air keabadian Tirtamarta Kamandanu seperti yang pernah dialami Sayidina Anwar ribuan tahun silam. Terdengar pula suara gaib yang memerintahkan Empu Sengkala untuk meminum air tersebut. Setelah meminumnya, Empu Sengkala seketika mendapatkan kehidupan kekal dan tetap awet muda selamanya. Setelah itu, suara gaib kembali terdengar yang kali ini mengatakan bahwa kelak Empu Sengkala harus datang lagi ke Pulau Jawa untuk menumpas angkara murka dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penduduk di sana. Namun peristiwa tersebut masih berselang ratusan tahun dari saat ini. Untuk menunggu datangnya saat itu, Empu Sengkala diperintahkan untuk tinggal di Tanah Hindustan sebagai brahmana. Suara gaib tersebut kemudian menghilang tidak terdengar lagi. Empu Sengkala lalu meninggalkan Tanah Lulmat dan pergi menemui Pandita Usmanaji di Negeri Bani israil, untuk kemudian mohon pamit berangkat ke Tanah Hindustan. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 73

Mahadewa Buda Kisah ini menceritakan tentang Batara Guru yang menjelma sebagai seorang pertapa bernama Resi Mahadewa Buda untuk mengajarkan agama dan tata cara kehidupan kepada para penduduk Pulau Jawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Medang Kamulan dan menjadi raja bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 11 Juli 2013 Heri Purwanto ------------------------------ ooo -----------------------------BATARA GURU MENDAPAT TUGAS KE PULAU JAWA Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para putra, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Mereka membicarakan tentang orang-orang Keling, Benggala, dan Siam yang telah berkembang biak di Pulau Jawa selama seratus tahun. Pada mulanya mereka yang datang bersama Empu Sengkala masih tekun beribadah sesuai ajaran Agama Dewa. Namun kini, anak keturunan mereka banyak yang tidak beriman dan hanya sibuk mencari makan atau berkembang biak saja. Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dari Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Guru menghaturkan sembah dan menceritakan keadaan Pulau Jawa yang penduduknya saat ini sudah jauh dari agama dan hidup seperti hewan saja. Sanghyang Padawenang merasa sangat prihatin mendengarnya. Maka, ia pun memerintahkan Batara Guru supaya pergi ke Pulau jawa untuk mengajarkan ilmu agama kepada para penduduk di sana. Batara Guru mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan kepemimpinan Kahyangan Jonggringsalaka untuk sementara waktu kepada Batara Sambu dengan didampingi Batara Narada. BATARA GURU MENJELMA MENJADI RESI MAHADEWA BUDA Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, Batara Guru lebih dulu berpamitan kepada sang istri, yaitu Batari Umaranti. Ia juga meninggalkan Lembu Andini di Kahyangan Jonggringsalaka untuk menemani Batari Umaranti. Setelah dirasa cukup, Batara Guru lalu menjelma menjadi seorang resi dengan menyembunyikan segala bentuk cacat tubuhnya, seperti berlengan empat, bertaring, berkaki pincang, dan berleher belang. Nama gelar yang ia pakai adalah Resi Mahadewa Buda. Resi Mahadewa Buda pun berangkat ke Pulau Jawa dan mulai mengajarkan Agama Dewa. Para penduduk yang berusia tua menyambut gembira kedatangan Sang Resi, karena mereka samar-samar masih teringat tentang agama yang pernah dianut para leluhur yang dulu datang ke Pulau Jawa bersama Empu Sengkala. Sementara itu, para penduduk yang berusia muda pun belajar agama mulai dari awal.

Page | 74

Tidak hanya itu, selain bangsa manusia juga banyak pula jenis makhluk lain yang ikut belajar Agama Dewa kepada Resi Mahadewa Buda. Mereka adalah kaum raksasa, siluman, bahkan segala jenis binatang pun banyak pula yang berguru kepadanya. Setelah berkelana menjelajahi Pulau Jawa untuk mengajarkan agama, Resi Mahadewa Buda lalu membangun sebuah padepokan di Gunung Kamula sebagai tempat tinggalnya. Di padepokan tersebut ia menerima murid dan pengikut yang semakin banyak jumlahnya dan juga beraneka ragam jenisnya. RESI MAHADEWA BUDA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KAMULAN Setelah mengajarkan ilmu agama selama empat puluh tahun, Resi Mahadewa Buda menerima kedatangan Batara Narada dari Tanah Hindustan, yang menyampaikan perintah Sanghyang Padawenang supaya mengajarkan pula tata cara pemerintahan kepada masyarakat Jawa yang sudah semakin berkembang kehidupannya itu. Maka, Batara Guru pun mengubah padepokan di Gunung Kamula menjadi sebuah pusat pemerintahan, yang diberi nama Kerajaan Medang Kamulan. Ia menjadi raja di sana dengan bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda, sedangkan Batara Narada menjadi menteri utama bergelar Patih Narada. KISAH SENA SI TUNANETRA MEMOHON KEADILAN Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima kedatangan seorang penduduk bernama Sena yang menghadap memohon keadilan. Ia mengeluh mengapa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan dirinya tidak sempurna, yaitu menderita tunanetra sejak lahir. Sri Padukaraja Mahadewa Buda menasihati agar Sena tidak mencela ciptaan Tuhan. Namun, Sena terus-menerus memohon supaya diberi mata yang lebar agar bisa melihat pemandangan dunia. Sri Padukaraja Mahadewa Buda pun mengabulkannya. Sena berterima kasih dan meninggalkan pertemuan. Tidak lama kemudian, Sena kembali lagi datang menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda dan mengeluh ternyata memiliki mata lebar tidaklah enak, karena mudah kemasukan debu. Ia memohon agar diberi mata yang sempit saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda mengabulkannya. Sena pun berterima kasih dan mohon pamit keluar ruangan. Namun, baru saja berada di luar istana, Sena terjatuh karena matanya silau melihat halilintar menyambar di angkasa. Ia pun kembali menghadap dan memohon kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda supaya matanya dikembalikan buta saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda mengabulkannya dan memberikan nasihat bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan setiap makhluk hidup dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apa yang sangat diinginkan oleh seseorang belum tentu menjadi sumber kebahagiaannya, dan apa yang tidak disukai seseorang belum tentu menjadi sumber penderitannya. Jika ada bagian tubuh yang memiliki kekurangan, tentu ada bagian tubuh lain yang memiliki kelebihan. Sena merenungkan nasihat tersebut dan ia pun mendapatkan pencerahan. Setelah meninggalkan istana Medang Kamulan, ia banyak belajar ilmu pengobatan dan akhirnya menjadi seorang dukun yang memberikan pengobatan kepada masyarakat luas.

Page | 75

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMINDAHKAN MEDANG KAMULAN Setelah lima tahun bertakhta di Gunung Kamula, Sri Padukaraja Mahadewa Buda teringat dulu ia pernah dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa sehingga pindah ke Pulau Jawa dan membangun sebuah kahyangan baru di Gunung Mahendra. Kahyangan tersebut diberi nama Kahyangan Argadumilah, dan kini menjadi tempat kosong setelah lama ditinggalkan. Teringat pada kenangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ingin sekali memindahkan pusat kerajaan Medang Kamulan dari Gunung Kamula ke Gunung Mahendra tersebut. Demikianlah, Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan dibantu Patih Narada dan para menteri pun membangun kembali bekas Kahyangan Argadumilah di puncak Gunung Mahendra menjadi sebuah istana, yaitu pusat Kerajaan Medang Kamulan yang baru. Istana yang baru ini tentu saja jauh lebih indah dan lebih megah daripada istana lama di Gunung Kamula. MEDANG KAMULAN DISERANG KERAJAAN GUA GOBAJRA Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat cahaya kemilau dari arah Laut Selatan. Patih Narada pun dikirim untuk pergi menyelidiki. Ternyata cahaya itu berasal dari seorang pertapa raksasa bernama Begawan Danu. Ketika ditanya apa tujuannya bertapa, ia menjawab ingin dijadikan maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan. Patih Narada lalu membawanya pergi menemui Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima Patih Narada yang datang membawa Begawan Danu. Setelah memberikan beberapa ujian kecerdasan, Sri Padukaraja tertarik dan menyukai ilmu pengetahuan yang dimiliki Begawan Danu. Maka, pertapa raksasa itu pun dikabulkan keinginannya, yaitu diangkat menjadi maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan. Tidak lama kemudian tiba-tiba datang serangan dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin raja raksasa bernama Prabu Danuka, anak Begawan Danu. Rupanya telah terjadi salah paham, di mana Prabu Danuka mengira ayahnya ditangkap Patih Narada untuk dimasukkan penjara. Ketika pertempuran ramai tersebut berlangsung, Begawan Danu muncul dan langsung melerai. Setelah segala kesalahpahaman dijelaskan, Prabu Danuka sangat malu dan memohon ampun kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda. SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENDAPATKAN SEPASANG RAKSASA KEMBAR Di antara pasukan Prabu Danuka ada dua orang raksasa kembar bernama Ditya Cingkarabala dan Ditya Balaupata yang menarik perhatian Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa kembar itu adalah putra Patih Gopatana, menteri utama pengikut Prabu Danuka. Rupanya Sri Padukaraja Mahadewa Buda sangat terkesan melihat kekuatan dan kesaktian sepasang raksasa kembar tersebut saat bertempur melawan pasukannya tadi. Ia pun meminta mereka supaya tetap tinggal di Gunung Mahendra sebagai penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan. Patih Gopatana sangat senang dan mengizinkan jika kedua putranya diterima menjadi abdi Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa kembar itu pun menurut dan patuh terhadap Page | 76

perintah tersebut. Maka, sejak saat itu mereka pun menjadi sepasang abdi penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Andini - Andana Kisah ini menceritakan Sri Padukaraja Mahadewa Buda atau Batara Guru mengutuk Lembu Andini menjadi pelangi, dan kemudian memperoleh kendaraan baru bernama Lembu Andana yang berkelamin jantan. Kisah dilanjutkan dengan kepergian Batara Guru meninggalkan Pulau Jawa karena berbuat tidak adil kepada para penduduk. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 19 Juli 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

KERAJAAN MEDANG KAMULAN KEMBAR DUA Sri Padukaraja Mahadewa Buda di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Narada serta para resi dan punggawa yang disebut kaum jawata. Mereka membicarakan adanya berita bahwa bekas Kerajaan Medang Kamulan yang lama di Gunung Kamula telah diduduki seorang raja dari Tanah Hindustan bernama Prabu Sri Rajadurga. Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Sri Rajadurga yang bernama Patih Rajasatya menyampaikan surat tantangan dari rajanya. Surat tantangan itu menyebutkan bahwa, apabila Sri Padukaraja Mahadewa Buda kalah perang, maka Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra harus diserahkan untuk menjadi satu dengan Medang Kamulan di Gunung Kamula. Setelah menyampaikan surat tersebut, Patih Rajasatya lalu mundur dan kembali ke perkemahan rajanya. Page | 77

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda segera memerintahkan Patih Narada mempersiapkan pasukan jawata Gunung Mahendra. Setelah dirasa cukup, pertemuan pun dibubarkan. SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENGALAHKAN PRABU SRI RAJADURGA Pertempuran pun terjadi antara pasukan Medang Kamulan Gunung Mahendra melawan pasukan Medang Kamulan Gunung Kamula. Setelah kedua pihak kalah dan menang silih berganti, akhirnya Sri Padukaraja Mahadewa Buda turun sendiri ke medan perang menghadapi Prabu Sri Rajadurga. Terjadilah pertarungan sengit yang cukup lama, di mana akhirnya Prabu Sri Rajadurga dapat ditaklukkan dan menyerah kalah. Ternyata Prabu Sri Rajadurga dan Patih Rajasatya tidak lain adalah penjelmaan kedua istri Batara Guru sendiri, yaitu Batari Umaranti dan Batari Parwati. Sri Padukaraja Mahadewa Buda bertanya mengapa mereka menyamar sebagai laki-laki dan menantang perang seperti ini. Batari Umaranti menjawab bahwa dirinya telah dihasut oleh Lembu Andini supaya memberontak kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda alias Batara Guru yang kini bertakhta di Pulau Jawa. LEMBU ANDINI DIKUTUK MENJADI PELANGI Sri Padukaraja Mahadewa Buda sebenarnya sudah lama curiga bahwa Lembu Andini masih menyimpan dendam atas kekalahannya dulu dan selama ini terpaksa bersedia menjadi kendaraan baginya. Selain itu, Lembu Andini juga memendam perasaan kesal karena Batara Guru telah mengutuk Batari Umayi menjadi raksasi. Itulah sebabnya, dalam penjelmaan sebagai Sri Padukaraja Mahadewa Buda kali ini, Batara Guru sengaja tidak mengajak serta Lembu Andini, tetapi meninggalkannya di Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru ingin melihat apakah Lembu Andini akan terbongkar sifat aslinya atau tidak. Ternyata kecurigaannya itu kini telah terbukti nyata. Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengerahkan Aji Pameling membuat Lembu Andini seketika hadir di hadapannya. Lembu Andini ketakutan dan serbasalah melihat Sri Padukaraja Mahadewa Buda telah mengetahui bahwa dirinya yang menghasut Batari Umaranti dan Batari Parwati untuk melakukan pemberontakan. Namun bagaimanapun juga, ia harus rela menerima hukuman dari sang raja dewa. Meskipun Lembu Andini mengakui kesalahannya, namun Sri Padukaraja Mahadewa Buda tetap tidak lupa atas semua jasa-jasanya. Maka, sebagai hukuman, Lembu Andini pun dipecat sebagai kendaraan dan dikutuk menjadi pelangi supaya tetap bisa bermanfaat bagi kahyangan, yaitu sebagai tangga bagi para bidadari apabila turun ke bumi. Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengampuni kesalahan Batari Umaranti dan Batari Parwati serta menerima mereka sebagai permaisuri di Medang Kamulan Gunung Mahendra. Batari Umaranti lalu diberi nama gelar menjadi Dewi Maheswari, sedangkan Batari Parwati menjadi Dewi Sati.

Page | 78

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENAKLUKKAN LEMBU ANDANA Sri Padukaraja Mahadewa Buda memerintahkan para jawata untuk mencari sapi yang mirip dengan Lembu Andini sebagai kendaraan pengganti. Sepasang raksasa penjaga gerbang, yaitu Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata melaporkan bahwa mereka memiliki saudara tiri berwujud sapi jantan bernama Lembu Andana yang juga sakti seperti Lembu Andini. Lembu Andana tersebut adalah putra Ditya Gopatana yang lahir dari Dewi Sungkawa, sedangkan Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata lahir dari Dewi Amatri. Sri Padukaraja Mahadewa Buda lalu mengirim pasukan Medang Kamulan untuk menjemput Lembu Andana yang saat ini sedang bertapa di Gunung Kampud. Begitu mengetahui dirinya akan dijadikan sebagai kendaraan, Lembu Andana pun bangun dari tapa dan mengamuk menghadapi para prajurit jawata tersebut. Dalam waktu singkat pasukan Medang Kamulan dibuat kocar-kacir dan berlarian kembali ke Gunung Mahendra. Setelah menerima laporan, Sri Padukaraja Mahadewa Buda memutuskan berangkat sendiri ke Gunung Kampud untuk menangkap Lembu Andana. Maka, terjadilah pertarungan sengit antara mereka berdua. Setelah bertempur cukup lama, Lembu Andana akhirnya menyerah kalah dan tunduk menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat wujud Lembu Andana sangat mirip dengan Lembu Andini, hanya berbeda jenis kelamin saja. Jika Lembu Andini berkelamin betina, maka Lembu Andana berkelamin jantan. Oleh karena itu, Lembu Andana pun diganti namanya menjadi Lembu Nandini, dan sejak itu resmi menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa Buda jika kelak kembali ke kahyangan. SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMAKSAKAN MIMPI Pada suatu malam, Sri Padukaraja Mahadewa Buda bermimpi menemukan sebongkah permata di puncak Gunung Mahendra, dan esok harinya ternyata ia benar-benar menemukan permata tersebut. Maka, ia lalu mengumumkan barangsiapa mimpi melakukan sesuatu, maka esok harinya harus mewujudkan mimpi tersebut. Misalnya, jika ada orang yang bermimpi mandi, maka esoknya ia harus mandi seperti pada mimpinya itu. Peraturan baru ini membuat rakyat menjadi gembira sekaligus resah. Mereka yang bermimpi bagus tentu akan merasa senang, sedangkan yang bermimpi buruk pasti akan merasa susah. Misalnya, ada kijang bermimpi dimangsa harimau, maka esok harinya ia harus merelakan diri untuk diterkam harimau. Namun, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ternyata melakukan perbuatan tidak adil. Pada suatu hari ada seorang raksasa bernama Ditya Atmira yang memiliki anak perempuan bernama Ken Waktri. Mereka menghadap ke Medang Kamulan karena Ken Waktri semalam bermimpi menjadi istri Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Sri Padukaraja Mahadewa Buda bersedia melaksanakan mimpi tersebut, namun ia juga mengaku telah bermimpi hanya sebentar saja menjadi suami Ken Waktri karena untuk selanjutnya Ken Waktri menjadi istri Batara Cingkarabala. Mau tidak mau Ditya Atmira dan Ken Waktri pun melaksanakan keputusan tersebut. Maka dilaksakanlah pernikahan antara Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan Ken Waktri, yang kemudian disusul dengan pernikahan Ken Waktri dengan Batara Cingkarabala saat itu juga. Page | 79

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA KEMBALI MENJADI BATARA GURU Tersebutlah seekor bunglon bijaksana yang merasa prihatin mendengar keluh kesah penduduk Medang Kamulan yang terdiri dari berbagai jenis makhluk hidup itu. Para penduduk manusia, raksasa, gandarwa, siluman, dan binatang banyak yang kecewa terhadap kewajiban melaksakan mimpi yang telah ditetapkan Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Si bunglon dapat merasakan bahwa kebijaksanaan Sri Padukaraja Mahadewa Buda jauh menurun setelah kedatangan Dewi Maheswari dan Dewi Sati. Sang raja yang lama tidak berjumpa kedua istrinya itu kini lebih banyak bersenang-senang untuk memuaskan kerinduan sehingga tidak lagi memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan baik. Maka, setelah membulatkan tekad, si bunglon memberanikan diri datang ke Gunung Mahendra menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Ia menyampaikan keluhan para penduduk bahwa kewajiban melaksanakan mimpi adalah keputusan yang sangat memberatkan dan tidak masuk akal. Bagaimanapun juga tidak semua mimpi adalah petunjuk Tuhan, bahkan banyak di antaranya hanyalah bunga tidur belaka. Sri Padukaraja Mahadewa Buda merasa sangat malu melihat ada seekor bunglon telah menegur kebijaksaannya yang dirasa memang tidak masuk akal. Maka, ia pun memutuskan kembali menjadi Batara Guru dan pergi meninggalkan Pulau Jawa. Batara Narada, Batari Umaranti, Batari Parwati, Batara Cingkarabala, Batara Balaupata, dan para jawata lainnya juga ikut serta meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan sehingga Gunung Mahendra menjadi sepi seketika. LIMA DEWA BERSIAP MELANJUTKAN TUGAS BATARA GURU Batara Guru dan rombongannya telah kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka di Tanah Hindustan. Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dan menegur kegagalan Batara Guru dalam memakmurkan Pulau Jawa karena terlena oleh peraturan melaksanakan mimpi yang tidak masuk akal. Batara Guru mohon ampun dan berniat memerintahkan kelima putranya untuk melanjutkan tugas memakmurkan Pulau Jawa tersebut. Setelah Sanghyang Padawenang menerima usulan itu, Batara Guru pun memerintahkan Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu supaya mempersiapkan diri menjadi lima raja yang mengatur Pulau Jawa. Kelima dewa itu menyatakan bersedia dan berjanji melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 80

Pertiwi Cahya Kisah ini menceritakan peperangan antara Sri Maharaja Sakra melawan raja raksasa Prabu Danuka, yang dilanjutkan dengan perkawinan Sri Maharaja Suman dan Batari Pertiwi. Setelah itu terjadilah perselisihan di antara kelima maharaja yang kemudian ditengahi oleh sepuluh brahmana penjelmaan putra-putra Batara Ismaya yang dipimpin Brahmana Balika atau Batara Siwah. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 26 Juli 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo -----------------------------PRABU DANUKA MENYERANG KERAJAAN MEDANG GANA Di Kerajaan Gua Gobajra, raja raksasa Prabu Danuka dihadap Patih Kiswaraja dan para menteri, serta putranya yang bernama Ditya Danupati. Mereka mendengar berita bahwa lima maharaja yang berkuasa di Pulau Jawa baru saja menumpas Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura dan sejak saat itu mereka menjadi sangat benci terhadap kaum raksasa. Bahkan, kelima maharaja itu juga telah memerintahkan pembantaian terhadap kaum raksasa yang dianggap sebagai makhluk tidak berguna. Prabu Danuka sangat murka dan menuduh kelima maharaja telah berbuat tidak adil, karena pada zaman Sri Padukaraja Mahadewa Buda dulu, semua jenis makhluk hidup dilindungi tanpa pilih kasih. Maka, Prabu Danuka pun memerintahkan Patih Kiswaraja dan Ditya Danupati mempersiapkan pasukan Gua Gobajra untuk menyerang kelima maharaja tersebut. Sasaran pertama Prabu Danuka adalah Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Sri Maharaja Sakra menjelaskan bahwa berita pembantaian kaum raksasa yang didengar Prabu Danuka itu tidak benar, bahkan Sri Maharaja Sunda dari Kerajaan Medang Gili telah mengambil Prabu Banjaranjali sebagai menantu. Namun demikian, Prabu Danuka tidak percaya dan tetap menggempur Kerajaan Medang Gana. Perang besar pun terjadi. Karena pihak raksasa lebih kuat dan persiapannya lebih matang, Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila akhirnya melarikan diri setelah bertempur sekuat tenaga melawan musuh. SRI MAHARAJA SAKRA MENDAPAT BANTUAN PASUKAN WANARA Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila dalam pelarian ke arah barat bertemu pasukan wanara, yaitu sebangsa kera yang memiliki kecerdasan seperti manusia dan biasa hidup di hutan pegunungan Tanah Hindustan. Pemimpin pasukan wanara ini bernama Kapi Malawapati, yang ternyata adalah sahabat baik Patih Resi Kapila saat masih menjadi Batara Gangga dulu. Kapi Malawati dan pasukannya sengaja datang dari Tanah Hindustan ke Pulau Jawa adalah untuk menyusul sahabatnya itu dan ingin ikut serta mengabdi kepada Sri Maharaja Sakra. Sri Maharaja Sakra sangat gembira mendapatkan bala bantuan. Ia menceritakan bahwa saat Page | 81

ini Kerajaan Medang Gana telah direbut musuh dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin Prabu Danuka. Kapi Malawapati segera mohon pamit untuk kemudian berangkat menyerang para raksasa tersebut. Sesampainya di Kerajaan Medang Gana, pasukan wanara langsung menggempur pasukan raksasa Gua Gobajra. Pertempuran besar pun terjadi. Melihat banyak prajurit raksasa yang tewas dibunuh para wanara, Prabu Danuka sangat marah dan mengamuk melakukan pembalasan. Kapi Malawapati segera maju menghadapinya. Raja kaum wanara itu mengheningkan cipta mengerahkan Aji Bayurota. Dari tubuhnya keluar angin topan dahsyat yang bergulung-gulung menewaskan Prabu Danuka dan Patih Kiswaraja beserta pasukan mereka. Ditya Danupati sendiri berhasil lolos dari maut dan memilih pulang ke Gua Gobajra beserta para prajurit yang masih hidup. MUNCULNYA CAHAYA PERTIWI Setelah pertempuran besar itu, Sri Maharaja Sakra bersama Patih Resi Kapila dan Kapi Malawapati memperbaiki bangunan istana Medang Gana yang rusak parah. Sri Maharaja Sakra lalu mengundang keempat maharaja lainnya untuk ikut merayakan syukuran atas keberhasilan Negeri Medang Gana lolos dari bahaya. Lima maharaja telah berkumpul di Kerajaan Medang Gana, menikmati pertunjukan musik dan tari yang digelar di sana. Tiba-tiba dari dalam tanah memancar keluar seberkas cahaya teja yang menjulang tegak lurus ke angkasa. Kelima maharaja terkejut dan berusaha menyelidiki asal-usul cahaya tersebut. Sri Maharaja Suman segera menjelma menjadi babi hutan dan menggali tanah tempat cahaya itu keluar menggunakan taringnya, sedangkan Sri Maharaja Sunda menjelma menjadi burung elang untuk kemudian terbang ke angkasa mengejar ujung cahaya. Seampainya di atas, si burung elang mencakar cahaya tersebut hingga pecah berantakan. Tiba-tiba muncul seorang bidadari cantik dari dalam tanah yang digali si babi hutan. Bidadari itu mengaku bernama Batari Pertiwi, putri Batara Nagaraja. Melihat itu, babi hutan segera kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, sedangkan burung elang kembali ke wujud Sri Maharaja Sunda. RAMALAN BATARI PERTIWI Batari Pertiwi kemudian duduk berhadap-hadapan dengan lima maharaja di Kerajaan Medang Gana. Ia menyampaikan nasihat supaya mereka berlima tetap menjaga kerukunan dan persatuan, jangan saling iri di antara sesama saudara karena hanya akan menimbulkan perpecahan. Kelima maharaja itu merasa tidak mungkin akan terjadi perselisihan di antara mereka. Namun demikian, mereka tetap berjanji untuk saling setia satu sama lain dan selalu menjaga kerukunan. Batari Pertiwi kemudian menjelaskan bahwa di antara kelima maharaja tadi ada dua orang yang berusaha keras menemukan asal-usul sumber cahaya teja yang terpancar tadi, yaitu Sri Maharaja Sunda dan Sri Maharaja Suman. Yang satu menjelma menjadi burung elang, dan yang satu lagi menjelma menjadi babi hutan. Atas usaha yang dilakukan keduanya, Batari Pertiwi pun meramalkan kelak keturunan merekalah yang akan berkuasa turun-temurun di Tanah Jawa. Page | 82

Sri Maharaja Suman sangat tertarik melihat kecantikan Batari Pertiwi dan ia pun mengajukan lamaran untuk menikahinya. Batari Pertiwi menerima lamaran tersebut karena ia memang ditakdirkan berjodoh dengan Batara Wisnu yang saat ini telah menjelma sebagai Sri Maharaja Suman tersebut. Batari Pertiwi juga memberikan hadiah kepada Sri Maharaja Sunda alias Batara Brahma atas usahanya mengejar cahaya teja tadi. Hadiah tersebut berupa Permata Mustikabumi, sumber dari cahaya teja yang memancar dari tanah tadi. Sri Maharaja Sunda bersenang hati menerimanya dan menyimpan permata pusaka itu baik-baik. Setelah dirasa cukup, keempat maharaja lalu mohon pamit kepada Sri Maharaja Sakra untuk pulang ke negara masing-masing. LIMA MAHARAJA BERSELISIH Tidak lama setelah peristiwa di Kerajaan Medang Gana tersebut, terjadilah perselisihan di antara para pengikut lima maharaja. Ramalan Batari Pertiwi akhirnya menjadi kenyataan. Awal dari perselisihan itu adalah seorang penduduk Kerajaan Medang Pura bernama Kodeya yang pergi mengunjungi saudaranya di Kerajaan Medang Gili, bernama Puyika. Namun Puyika justru menipu Kodeya sehingga habis seluruh harta dan perhiasan yang dibawanya. Kodeya lalu menghadap Sri Maharaja Sunda dan meminta keadilan, namun Sri Maharaja Sunda justru menyalahkannya dan membela Puyika. Kodeya pulang ke Kerajaan Medang Pura dengan perasaan kecewa lalu mengadukan nasib sialnya kepada Sri Maharaja Suman. Karena Sri Maharaja Suman tidak mempunyai cara untuk mendapatkan kembali harta dan perhiasan Kodeya, maka ia pun berjanji akan melakukan pembalasan dengan cara lain. Apabila ada penduduk Medang Gili yang memasuki Medang Pura, semua orang harus mempermalukannya. Pada suatu hari ada seorang pemburu dari Kerajaan Medang Gili bernama Pastima yang mengejar kijang berkulit ungu sampai masuk ke wilayah Kerajaan Medang Pura. Di sana ia kehilangan jejak dan pandangan matanya kemudian tertuju pada seekor burung derkuku. Pastima berusaha menangkapnya, namun ketahuan Salibana, pemilik burung tersebut. Salibana dan para tetangganya lalu beramai-ramai menangkap Pastima dan menelanjanginya. Mereka melakukan hal itu adalah untuk melaksanakan perintah Sri Maharaja Suman. Demikianlah, sejak kejadian itu banyak terjadi perselisihan antara warga Medang Gili dan Medang Pura, yang akhirnya berkembang menjadi perselisihan dengan warga tiga kerajaan lainnya. Perselisihan itu kadang disertai perkelahian, bahkan pertempuran. Lima maharaja saling menyalahkan dan membela penduduk kerajaan masing-masing. Tidak hanya itu, bahkan Agama Dewa pun terpecah menjadi lima aliran, yaitu Agama Sambu, Agama Brahma, Agama Indra, Agama Bayu, dan Agama Wisnu. KEDATANGAN SEPULUH BRAHMANA Perselisihan di antara kelima maharaja itu akhirnya terdengar oleh Batara Guru di Kahyangan Jongringsalaka. Maka, ia pun mengirim kesepuluh keponakannya, yaitu anak-anak Batara Ismaya untuk mejadi juru damai di antara mereka. Kesepuluh keponakan itu pun mohon pamit berangkat ke Tanah Jawa dengan menjelma sebagai kaum brahmana. Anak-anak Batara Ismaya itu adalah: Page | 83

         

Batara Wungkuam menjadi Brahmana Weda, Batara Siwah menjadi Brahmana Balika, Batara Wrehaspati menjadi Brahmana Trista, Batara Yamadipati menjadi Brahmana Graksa, Batara Surya menjadi Brahmana Grisma, Batara Candra menjadi Brahmana Walanta, Batara Kuwera menjadi Brahmana Hima, Batara Temburu menjadi Brahmana Patuk, Batara Kamajaya menjadi Brahmana Tadi, dan Batari Darmanastiti menjadi Brahmana wanita Yukti.

Di antara kesepuluh brahmana tersebut, yang dipilih menjadi pemimpin rombongan adalah Brahmana Balika, di mana ia mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan agama dari Batara Guru. Kesepuluh brahmana tersebut akhirnya tiba di Pulau Jawa dan bermukim di bekas Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra. Mereka lalu mengirim undangan supaya kelima maharaja datang dan berkumpul di gunung tersebut. PEMBAGIAN TUGAS LIMA MAHARAJA Kelima maharaja telah berkumpul di Gunung Mahendra. Kesepuluh brahmana mengaku diutus Batara Guru untuk menjadi penengah dalam perselisihan mereka. Maka diumumkanlah sebuah sayembara, barangsiapa bisa mengembangkan aksara A, I, U, E, dan O, maka dia berhak menjadi maharaja tertinggi di Tanah Jawa. Ternyata kelima maharaja itu tidak mampu dan menyatakan tunduk terhadap semua keputusan para brahmana. Kesepuluh brahmana lalu menetapkan pembagian rakyat di Tanah Jawa. Mulai saat ini, Sri Maharaja Maldewa di Kerajaan Medang Prawa hanya boleh memimpin binatang terbang, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Kagapati. Sri Maharaja Suman di Kerajaan Medang Pura hanya boleh memimpin binatang air, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Matsyapati. Sri Maharaja Bima di Kerajaan Medang Gora hanya boleh memimpin binatang darat, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Mregapati. Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili hanya boleh memimpin manusia dan raksasa, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Prajapati. Sri Maharaja Sakra di Kerajaan Medang Gana hanya boleh memimpin para resi dan jawata, yaitu orang-orang yang tidak lagi tertarik keinginan duniawi. Ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Surapati. BRAHMANA BALIKA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG SIWANDA Setelah kelima maharaja menerima keputuan tersebut dan pulang ke negara masing-masing, para brahmana pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru, kecuali satu orang saja yang tetap tinggal di Tanah Jawa untuk mengawasi kelima Page | 84

maharaja agar tidak berselisih lagi. Brahmana yang tetap tinggal di Gunung Mahendra tersebut adalah sang pemimpin rombongan, yaitu Brahmana Balika alias Batara Siwah. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan wawasan agama yang didapatkannya dari Batara Guru sebelum berangkat, Brahmana Balika lalu mengajarkan Agama Dewa kepada masyarakat Tanah Jawa yang datang kepadanya. Semakin lama, jumlah murid dan pengikutnya semakin banyak. Akhirnya, Brahmana Balika pun mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Sri Maharaja Balya, serta membangun kembali bekas Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra yang ditempatinya menjadi sebuah negeri baru bernama Kerajaan Medang Siwanda. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 85

Suralaya Binangun Kisah ini menceritakan tentang Batara Siwah yang menjadi raja di Kerajaan Medang Siwanda bergelar Sri Maharaja Balya, di mana kebijakannya telah berhasil membuat keempat maharaja lainnya merasa tersaingi dan kembali menjadi dewa, kecuali Sri Maharaja Surapati yang tetap bertahan, dan kemudian membangun Kahyangan Suralaya sebagai cabang Kahyangan Jonggringsalaka. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 2 Agustus 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

KISAH NADRIKA MEMINTA KEADILAN Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili dihadap kedua patihnya, yaitu Resi Drasta dan Resi Kusamba. Mereka sedang membicarakan permasalahan para penduduk yang terdiri dari bangsa manusia dan raksasa. Tiba-tiba datang seorang manusia bernama Nadrika yang menghadap untuk memohon keadilan. Nadrika menceritakan bahwa istrinya telah tewas dimangsa raksasa. Akan tetapi, karena ia tidak mengetahui siapa nama raksasa itu sehingga Sri Maharaja Prajapati mengaku kesulitan untuk memutuskan perkara. Sri Maharaja Prajapati hanya bisa memberikan saran supaya Nadrika menikah lagi dengan perempuan lain. Nadrika sangat kecewa terhadap keputusan Sri Maharaja Prajapati tersebut. Ia lalu pergi ke Gunung Mahendra untuk memohon keadilan kepada Sri Maharaja Balya, pemimpin Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin mendengar kisah Nadrika. Ia lalu memberikan daun rontal yang sudah ditulisi mantra Rajah Sengkali untuk membunuh kaum raksasa. Nadrika sangat berterima kasih dan segera membawa pulang daun rontal tersebut. Sesampainya di Kerajaan Medang Gili, Nadrika pun menaruh daun rontal itu di jalanan dan Page | 86

mengintainya dari tempat persembunyian. Ada seorang raksasa bernama Ditya Srenggampa sedang mencari mangsa tanpa sadar melangkahi daun rontal tersebut. Seketika raksasa itu menjadi lemas dan kemudian roboh di tanah kehilangan nyawa. Nadrika sangat gembira namun sekaligus ketakutan karena khawatir para raksasa yang lain akan mengejarnya untuk membalas dendam. Berpikir demikian, Nadrika pun meninggalkan Kerajaan Medang Gili untuk kemudian mengabdi kepada Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda. KISAH INDUK BANTENG MEMINTA KEADILAN Pada suatu hari ada seekor induk banteng yang kehilangan anak karena dimangsa harimau. Ia datang ke Kerajaan Medang Gora, menghadap Sri Maharaja Mregapati untuk meminta keadilan. Namun Sri Maharaja Mregapati justru memutuskan supaya si induk banteng membalas dengan cara memangsa anak harimau. Si induk banteng merasa kecewa, kemudian pergi menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin dan memberikan kekuatan pada tanduk banteng sehingga bisa lebih keras dan runcing untuk bisa digunakan sebagai senjata melawan harimau. Si induk banteng sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Medang Gora. Maka, sejak itu banteng memiliki kemampuan untuk menghadapi serangan harimau dengan menggunakan kedua tanduknya. SRI MAHARAJA MATSYAPATI KEMBALI MENJADI BATARA WISNU Pada suatu hari Sri Maharaja Matsyapati di Kerajaan Medang Pura dihadap pemimpin ikan karena banyak rakyatnya yang mati dimangsa bangau. Sri Maharaja Matsyapati mengaku tidak bisa memberikan pengadilan, karena bangau termasuk binatang terbang yang tunduk kepada Sri Maharaja Kagapati di Kerajaan Medang Prawa. Si pemimpin ikan merasa kecewa dan pergi menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda untuk memohon keadilan. Sri Maharaja Balya merasa prihatin dan memberikan minyak sakti kepada si pemimpin ikan yang bisa digunakan untuk menghindari serangan bangau. Si pemimpin ikan berterima kasih dan membagikan minyak itu kepada rakyatnya. Namun karena jumlahnya terbatas, maka ada ikan yang mendapatkan minyak, ada pula yang tidak kebagian. Ikan yang mendapatkan minyak menjadi licin tubuhnya sehingga bisa berenang lebih gesit dan sulit ditangkap bangau. Sri Maharaja Matsyapati sangat malu mendengar Sri Maharaja Balya ternyata memiliki kebijaksanaan melebihi dirinya. Ia pun meninggalkan Kerajaan Medang Pura dan kembali ke Tanah Hindustan sebagai Batara Wisnu. Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili yang mendengar berita ini segera menjadikan Kerajaan Medang Pura sebagai negara bawahan, dengan menempatkan Resi Drasta sebagai wakil di sana. Namun Resi Drasta merasa tidak mampu mengemban kewajiban, sehingga ia kembali menjadi Batara Langsur dan pulang ke Tanah Hindustan. Mendengar itu, Sri Maharaja Prajapati lalu mengirim Resi Kusamba untuk mewakilinya Page | 87

sebagai raja bawahan di Kerajaan Medang Pura. TIGA MAHARAJA KEMBALI KE TANAH HINDUSTAN Sri Maharaja Kagapati, Sri Maharaja Prajapati, dan Sri Maharaja Mregapati semakin hari semakin kehilangan wibawa karena rakyatnya banyak yang meminta perlindungan kepada Sri Maharaja Balya, kemudian menjadi penduduk Kerajaan Medang Siwanda pula. Para penduduk itu juga melepaskan agama mereka masing-masing, untuk kemudian memeluk agama yang diajarkan Sri Maharaja Balya, yang disebut Agama Siwah. Semakin hari, jumlah pemeluk Agama Siwah semakin bertambah banyak dan mengalahkan jumlah pemeluk agama lainnya. Akhirnya, ketiga maharaja tersebut tidak kuat lagi menahan rasa malu. Mereka pun memutuskan kembali ke Tanah Hindustan, yaitu Sri Maharaja Kagapati kembali menjadi Batara Sambu, Sri Maharaja Prajapati kembali menjadi Batara Brahma, dan Sri Maharaja Mregapati kembali menjadi Batara Bayu. Sementara itu, Sri Maharaja Surapati menjadi satu-satunya raja yang hidup tenang tanpa merasa tersaingi oleh wibawa Sri Maharaja Balya. Hal itu karena rakyat Kerajaan Medang Gana adalah kaum resi dan jawata yang sudah tidak tertarik keinginan duniawi, sehingga jarang terjadi perselisihan di antara mereka. Dengan demikian, di Tanah Jawa kini hanya tertinggal dua orang maharaja saja, yaitu Sri Maharaja Balya yang memimpin Kerajaan Medang Siwanda di Gunung Mahendra, serta Sri Maharaja Surapati yang memimpin Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Selain mereka, juga ada Resi Kusamba yang menjadi raja bawahan di Kerajaan Medang Pura di Gunung Gora. BATARA INDRA MEMBANGUN KAHYANGAN SURALAYA Pada suatu hari Sri Maharaja Surapati di Kerajaan Medang Gana menerima kedatangan Batara Narada dan Batara Wrehaspati. Kedua dewa itu datang untuk menyampaikan perintah Batara Guru supaya Sri Maharaja Surapati mendirikan kahyangan di Gunung Mahameru sebagai perwakilan Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Hal ini dikarenakan banyak penduduk Tanah Jawa yang tekun beribadah memeluk Agama Dewa dan mengurangi keterikatan duniawi, sehingga mereka pantas diangkat menjadi dewa dan tinggal di kahyangan. Sri Maharaja Surapati berterima kasih telah mendapatkan kepercayaan dari Batara Guru. Ia pun kembali memakai nama Batara Indra yang juga bergelar Batara Surapati. Dengan dibantu Batara Narada dan Batara Wrehaspati, ia lalu membangun Kerajaan Medang Gana menjadi sama persis dengan Kahyangan Jonggringsalaka, dan diberi nama Kahyangan Suralaya. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya, sedangkan Batara Wrehaspati tetap tinggal di sana. Jika Batara Indra menjadi wakil Batara Guru, maka Batara Wrehaspati menjadi wakil Batara Narada di Tanah Jawa. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 88

Murwakala Kisah ini menceritakan Batara Kala mencari mangsa berupa para manusia yang tergolong Sukerta dan Sengkala. Namun usahanya digagalkan oleh Batara Wisnu yang menyamar sebagai Ki Dalang Kandabuwana. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan buku Murwakala Cerita Religius karya Wijanarko dengan sedikit pengembangan. Kediri, 05 Agustus 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

Page | 89

Batara Kala. BATARA GURU MENETAPKAN JENIS MANGSA BATARA KALA Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya. Mereka membicarakan perkembangan Pulau Jawa yang saat ini hanya memiliki dua orang penguasa saja, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya dan Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda. Tidak lama kemudian datanglah Batara Baruna, dewa penguasa lautan yang datang bersama Batara Kala, penguasa Pulau Nusakambangan. Batara Baruna melaporkan perbuatan Batara Kala yang terus-menerus memangsa ikan di laut, sehingga banyak binatang air menjadi korban. Batara Baruna meminta Batara Kala berhenti memangsa ikan karena jika hal itu terus dilakukan, maka jumlah ikan di lautan akan habis. Lagipula Batara Kala terlahir dari buih samudera, sehingga tidak sepantasnya memangsa sesama penghuni laut. Page | 90

Atas laporan itu, Batara Kala pun memohon keadilan kepada Batara Guru untuk diberikan jenis makanan lain, karena jika ia tidak boleh memangsa ikan lantas bagaimana caranya untuk mengisi perut dan menambah tenaga? Batara Guru pun memutuskan supaya Batara Kala memangsa manusia saja, yaitu mereka yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Sukerta adalah manusia yang boleh dimangsa karena kelahirannya, sedangkan Sengkala adalah manusia yang boleh dimangsa karena salah perbuatan. Adapun yang termasuk golongan Sukerta antara lain: - Ontang-anting, yaitu anak tunggal tanpa saudara - Kedana-kedini, yaitu dua bersaudara laki-laki perempuan - Uger-uger lawang, yaitu dua bersaudara laki-laki - Kembang sepasang, yaitu dua bersaudara perempuan - Gotong mayit, yaitu tiga bersaudara jenis kelamin sama - Sendang kapit pancuran, yaitu tiga bersaudara yang perempuan di tengah - Pancuran kapit sendang, yaitu tiga bersaudara yang laki-laki di tengah - Saramba, yaitu empat bersaudara laki-laki semua - Serimpi, yaitu empat bersaudara perempuan semua - Pandawa, yaitu lima bersaudara laki-laki semua - Pandawi, yaitu lima bersaudara perempuan semua - Pipilan, yaitu lima bersaudara dengan satu laki-laki - Padangan, yaitu lima bersaudara dengan satu perempuan - Wungkus, yaitu anak yang lahir dalam bungkus - Wungkul, yaitu anak yang lahir tanpa ari-ari - Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung tali pusar - Tiba ungker, yaitu anak yang lahir tercekik tali pusar - Jempina, yaitu anak yang lahir sebelum waktunya - Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan - Wahana, yaitu anak yang lahir dalam keramaian - Julungwangi, yaitu anak yang lahir saat matahari terbit - Julungsungsang, yaitu anak yang lahir tengah hari - Julungsarab, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam - Julungpujud, yaitu anak yang lahir petang hari - Siwah, yaitu anak dengan keterbelakangan mental - Kresna, yaitu anak yang lahir berkulit hitam gelap - Wungle, yaitu anak yang lahir berkulit putih bule - Walika, yaitu anak yang memiliki taring - Wungkuk, yaitu anak yang punggungnya bungkuk - Dengkak, yaitu anak yang mendongak ke depan - Butun, yaitu anak yang mendongak ke belakang - Wujil, yaitu anak yang terlahir kerdil - Kembar, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin sama - Dampit, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin beda - Gondang kasih, yaitu dua anak lahir sehari berkulit putih dan hitam - Tawang gantungan, yaitu dua anak yang lahir beda hari - Sukrenda, yaitu dua anak yang lahir terbungkus Sementara itu yang dimaksud golongan Sengkala, antara lain: - Orang yang tidak menutup pintu dan jendela pada saat senja Page | 91

- Orang yang tidur di dipan tanpa tikar - Orang yang tidur di kasur tanpa seprei - Orang yang punya sumur tepat di depan rumah - Orang yang punya sumur tepat di belakang rumah - Orang yang punya tanah pekarangan miring - Orang yang menggulingkan dandang saat menanak nasi - Orang yang menaruh dandang di tungku padahal belum mencuci beras - Orang yang mematahkan cobek - Orang yang tidak menyisakan beras di lumbung - Orang yang menyapu di malam hari - Orang yang mengelap kotoran dengan kain yang dipakai - Orang yang membuang sampah di kolong - Orang yang sering telanjang - Orang yang berdiri di depan pintu - Orang yang bergelantungan di pintu - Orang yang sering bertopang dagu - Orang yang sering berdiri dengan satu kaki - Orang yang suka bersiul - Orang yang suka menggigit kuku - Orang yang memotong kuku malam hari - Orang yang makan sambil berjalan - Orang yang makan sambil tiduran - Orang yang duduk di atas bantal - Orang yang berjalan bertiga pada saat tengah hari tanpa bercakap-cakap Dan banyak lagi yang lainnya. Batara Kala sangat senang mendengar betapa banyak jenis manusia yang bisa dimangsanya itu. Batara Guru lalu menyerahkan sebuah pusaka berwujud golok, bernama Bedama yang harus digunakan Batara Kala untuk membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum dimakan. Batara Kala menerima senjata itu, kemudian mohon pamit kembali ke Pulau Jawa untuk mencari mangsa. BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS MENJADI JURU RUWAT Setelah Batara Kala meninggalkan kahyangan, Batara Narada pun mengajukan keberatan atas apa yang menjadi keputusan Batara Guru tadi. Jika semua orang dengan ketentuan Sukerta dan Sengkala tersebut dimangsa oleh Batara Kala, maka penduduk Pulau Jawa akan berkurang banyak, bahkan seluruh manusia di dunia juga akan ikut habis. Batara Guru menyadari kekeliruannya. Ia pun memanggil Batara Wisnu dan Batara Brahma untuk bersama-sama Batara Narada meruwat para manusia di Pulau Jawa yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala supaya terhindar dari ancaman Batara Kala. Batara Wisnu segera mengubah wujudnya menjadi seorang dalang bernama Ki Dalang Kandabuwana, sedangkan Batara Brahma menjadi penabuh gender wanita bernama Nyai Seruni, dan Batara Narada menjadi penabuh kendang bernama Panjak Kalunglungan. Batara Wisnu juga mengajak serta adik-adiknya yang lahir dari Batari Umaranti, yaitu Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara untuk menyamar sebagai para penabuh gamelan. Bersama-sama mereka lalu berangkat ke Pulau Jawa.

Page | 92

BATARA KALA MEMBERI NAMA KALABANG DAN KALAJENGKING Sesampainya di Pulau Jawa, Batara Kala merasa letih dan beristirahat di bawah pohon asam. Ketika sedang tidur, tiba-tiba kakinya digigit seekor lipan. Seketika ia pun terbangun namun tidak marah melihat binatang itu, bahkan menjadikannya sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru untuk lipan, yaitu Kalabang, artinya “kala yang berwarna merah”. Batara Kala melanjutkan tidur. Tiba-tiba kakinya dicapit seekor ketunggeng yang kemudian menyuntikkan ekornya yang tajam. Batara Kala terbangun namun tidak marah, dan menjadikan ketunggeng sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru untuk ketunggeng, yaitu Kalajengking, artinya “kala yang menungging.” BATARA KALA HENDAK MEMANGSA BATARA GURU Batara Kala memandang ke atas dan tiba-tiba melihat Batara Guru dan Batari Umaranti mengendarai Lembu Nandini sedang terbang di angkasa untuk meninjau keadaan Pulau Jawa. Kebetulan saat itu sedang tengah hari, dan mereka bertiga juga tidak bercakap-cakap, sehingga termasuk golongan Sengkala. Maka, Batara Kala pun segera terbang menghadang mereka bertiga. Batara Guru heran mengapa Batara Kala ingin memakan dirinya. Batara Kala mengaku tidak peduli meskipun Batara Guru adalah ayahnya, yang jelas saat ini sudah masuk ke dalam golongan Sengkala sehingga boleh dimangsa. Batara Guru pasrah jika memang dirinya harus dimangsa oleh anak sendiri. Namun sebelumnya, ia ingin bermain tebak-tebakan lebih dulu dengan Batara Kala. Yang ia tanyakan adalah makna kalimat “Hong, eka egul, eka wancah, dwi srogi, tri nabi, sapta trisu cahya, astha pada.” Batara Kala tidak bisa menjawabnya. Batara Guru pun menjelaskan makna kalimat tersebut secara panjang lebar, yaitu “satu ekor, satu tali hidung, dua tanduk, tiga pusar, tujuh mata, dan delapan kaki” yang tidak lain dalah penggambaran Batara Guru, Batari Umaranti, dan Lembu Nandini. Setelah menerima penjelasan tersebut, Batara Kala bersiap memangsa mereka bertiga, akan tetapi saat itu matahari sudah agak condong ke barat sehingga Batara Guru berkata bahwa dirinya bertiga sudah bukan lagi golongan Sengkala sehingga tidak boleh dimangsa. Batara Kala merasa kalah cerdik dan tertunduk malu. Pada saat itulah Batara Guru secara cepat menuliskan rajah pada dahi, rongga mulut, dada, dan punggung Batara Kala. Ia kemudian berpesan bahwa barangsiapa bisa membaca tulisan rajah tersebut maka Batara Kala harus menghormatinya sebagai perwakilan Batara Guru. Batara Kala mematuhi pesan tersebut dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan. BATARA KALA MENGEJAR JAKA JATUSMATI Tersebutlah seorang pemuda bernama Jaka Jatusmati, yang merupakan anak tunggal Nyai Prihatin dari Desa Medangkawit. Pada suatu hari ia mandi di Telaga Nirmala untuk menghilangkan nasib buruknya. Tiba-tiba muncul Batara Kala hendak memangsanya karena tahu kalau ia anak tunggal. Jaka Jatusmati pun berlari sekencang-kencangnya, dan Batara Kala selalu mengejar ke mana pun ia pergi.

Page | 93

Dalam pelariannya, Jaka Jatusmati banyak melewati orang-orang Sengkala, antara lain ada orang yang memasang atap rumah tapi tiangnya belum dikuatkan, ada orang yang merobohkan dandang saat menanak nasi, ada pula orang yang mematahkan cobek saat menggiling bumbu. Batara Kala yang tetap mengejar Jaka Jatusmati tidak memangsa orangorang itu, tetapi mengutuk mereka akan kehilangan harta benda. Dengan demikian, menjadi mangsa Batara Kala tidak berarti harus mati badan, tetapi juga bisa mati sandang pangan. Sampai akhirnya, ia pun melihat ada sebuah pertunjukan wayang di Desa Medangwantu, yang dimainkan oleh Ki Dalang Kandabuwana. Orang yang mengadakan hajatan menanggap wayang tersebut bernama Buyut Wangkeng yang ingin mendamaikan anak dan menantunya, yaitu Rara Primpen dan Buyut Geduwal. Awalnya, Rara Primpen sejak menjadi pengantin tidak pernah mau melayani suaminya, bahkan sampai minta bercerai. Buyut Wangkeng pun menasihatinya dengan sabar, sehingga Rara Primpen akhirnya bersedia melanjutkan rumah tangga dengan Buyut Geduwal, asalkan sang ayah menanggap wayang untuknya. Maka, Buyut Wangkeng pun mengundang Ki Dalang Kandabuwana untuk mendalang di rumahnya. BATARA KALA TUNDUK KEPADA KI DALANG KANDABUWANA Jaka Jatusmati yang tiba di rumah Buyut Wangkeng segera menyusup ke atas panggung wayang dan berbaur dengan para penabuh gamelan. Batara Kala yang datang menyusul menjadi bengong karena tertarik melihat pertunjukan wayang, sehingga lupa kepada buruannya. Sebaliknya, para penonton langsung ketakutan dan berlarian ke segala arah begitu melihat ada raksasa tinggi besar tiba-tiba muncul di antara mereka. Ki Dalang Kandabuwana pun menghentikan pentas dan menemui Batara Kala. Batara Kala meminta supaya pentas dilanjutkan karena ia sudah terlanjur suka. Ki Dalang Kandabuwana bersedia melanjutkannya asalkan Batara Kala membayar tebusan dengan cara menyerahkan senjata Bedama. Batara Kala pun menyerahkan senjata itu kepada Ki Dalang Kandabuwana. Tiba-tiba Batara Kala melihat Jaka Jatusmati ikut menabuh gamelan dan ia pun menangkap pemuda itu untuk dimangsa. Akan tetapi, begitu teringat pada pesan Batara Guru, ia segera meminta kembali senjata Bedama dari tangan Ki Dalang Kandabuwana untuk menyembelih Jaka Jatusmati. Ki Dalang Kandabuwana bersedia menyerahkan Bedama, asalkan ditukar dengan Jaka Jatusmati. Batara Kala setuju, dan ia pun menyerahkan Jaka Jatusmati dan menerima Bedama. Begitu menerima Bedama, Batara Kala baru ingat kalau Jaka Jatusmati sudah lepas dari tangannya. Ia pun meminta supaya pemuda itu diserahkan kepadanya. Ki Dalang Kandabuwana bersedia menyerahkannya asalkan ditukar dengan Bedama. Batara Kala lalu menyerahkan Bedama tersebut, dan ia pun menerima Jaka Jatusmati, begitu seterusnya. Batara Kala semakin bingung. Ketika ia lengah dan mulutnya ternganga, tiba-tiba saja Ki Dalang Kandabuwana membaca tulisan rajah di rongga mulutnya, juga rajah-rajah lainnya di dahi, punggung, dan dada. Batara Kala heran ternyata orang yang dihadapinya ini bisa membaca tulisan-tulisan tersebut. Ki Dalang Kandabuwana juga menjelaskan nama-nama rajah tersebut, yaitu pada dahi disebut Sastra Carakabalik, pada rongga mulut disebut Sastra ing Telak, pada dada disebut Sastra Bedati, dan pada punggung disebut Sastra Trusing Gigir.

Page | 94

Seketika Batara Kala teringat bahwa jika ada orang yang bisa membaca tulisan rajah pada tubuhnya, maka ia harus dihormati sebagai wakil Batara Guru. Oleh sebab itu, Batara Kala lalu duduk bersimpuh di hadapan Ki Dalang Kandabuwana dengan sikap pasrah dan lemas tak bertenaga. Ki Dalang Kandabuwana menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat tugas untuk meruwat orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Mereka yang sudah diruwat tidak boleh dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala menyatakan patuh terhadap ketentuan tersebut. Ia lalu mohon pamit kembali ke Pulau Nusakambangan. KI DALANG KANDABUWANA MENGADAKAN RUWATAN MASSAL Setelah Batara Kala pergi, Ki Dalang Kandabuwana dan para pengikutnya lalu mengadakan upacara Ruwatan terhadap orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Setelah meruwat mereka, ia juga mengajarkan mantra penolak gangguan jahat Batara Kala yang berbentuk Tembang Prawiralalita, berbunyi: Yamaraja – Jaramaya, Yamarani – Niramaya, Yasilapa – Palasiya, Yamidora – Radomiya, Yamidosa – Sadomiya, Yadayuda – Dayudaya, Yasiyaca – Cayasiya, Yasihama – Mahasiya. Selain itu ia juga mengajarkan laku brata sebanyak lima perkara kepada masyarakat Jawa untuk menghindari ancaman Batara Kala, yaitu: - Puasa, menahan makan dan minum - Berjaga, tidak tidur sampai orang lain tidur - Membisu, mengurangi banyak bicara - Wahdat, mengurangi persetubuhan dengan jarak seratus hari, atau paling tidak empat puluh hari - Bersabar, mengurangi marah. Setelah mengajarkan itu semua, Ki Dalang Kandabuwana kembali ke wujud Batara Wisnu dan kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka bersama para dewa lainnya untuk melaporkan bahwa tugas telah selesai dilaksanakan. Batara Guru menerima laporan tersebut dengan senang hati dan berpesan agar Batara Wisnu tetap waspada karena setiap saat Batara Kala bisa datang kembali untuk membuat kekacauan di Pulau Jawa. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 95

Resi Siwandakara Kisah ini menceritakan persekutuan antara Batara Siwah dalam wujud Sri Maharaja Balya dengan Batara Kala dalam wujud Resi Siwandakara. Mereka berniat menaklukkan Kahyangan Suralaya, namun dikalahkan oleh seorang cebol dan seekor banteng sakti, penjelmaan Batara Wisnu dan Batara Brahma. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan. Kediri, 10 Agustus 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

Resi Siwandakara. BATARA KALA MENJADI RESI SIWANDAKARA Di Pulau Nusakambangan, Batara Kala merenungi nasibnya yang gagal mencari mangsa golongan Sukerta dan Sengkala akibat campur tangan Ki Dalang Kandabuwana penjelmaan Batara Wisnu. Ia merasa iri pada kehebatan kakaknya itu, dan memutuskan untuk pergi bertapa agar bertambah ilmu kesaktiannya. Batara Kala pun memilih Hutan Tulyan sebagai tempatnya bertapa. Berbulan-bulan lamanya ia bersamadi mengendalikan hawa nafsu, membuat kesaktian dan kecerdasannya berkembang pesat. Tidak hanya itu, ia juga menyusun jenis agama baru sebagai pecahan Agama Dewa, Page | 96

yang disebut dengan nama Agama Kala. Semakin hari jumlah murid dan pengikutnya semakin bertambah banyak. Ia lalu mendirikan padepokan sebagai tempat mengajar dan berganti nama menjadi Resi Siwandakara. SRI MAHARAJA BALYA MENGIRIM SERANGAN KE HUTAN TULYAN Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda dihadap Resi Kuramba selaku raja bawahan di Kerajaan Medang Pura. Mereka membicarakan adanya agama baru bernama Agama Kala yang diajarkan oleh seorang brahmana berwujud raksasa, bernama Resi Siwandakara. Sri Maharaja Balya merasa resah karena banyak pengikut Agama Siwah yang beralih memeluk Agama Kala. Maka, Resi Kuramba pun dikirim untuk memanggil Resi Siwandakara datang ke Medang Siwanda. Resi Kuramba membawa pasukan gabungan Medang Siwanda dan Medang Pura mendatangi Resi Siwandakara di padepokan Hutan Tulyan. Terjadilah percakapan antara dirinya dengan resi berwujud raksasa itu yang berlanjut dengan perdebatan adu kepandaian. Resi Kuramba kalah perbawa dan memaksa Resi Siwandakara ikut dengannya ke Medang Siwanda dengan menggunakan kekerasan. Resi Siwandakara melawan sehingga terjadilah pertempuran. Resi Kuramba dan pasukannya merasa terdesak kewalahan. Mereka tidak mampu menghadapi kesaktian Resi Siwandakara, sehingga terpaksa mundur kembali ke Kerajaan Medang Siwanda. SRI MAHARAJA BALYA MEMELUK AGAMA KALA Sri Maharaja Balya menerima laporan Resi Kuramba yang gagal menjalankan tugasnya. Hatinya tersinggung mendengar Resi Kuramba memuji-muji kepandaian dan kesaktian Resi Siwandakara. Sri Maharaja Balya sangat murka dan mengusir pergi Resi Kuramba dari Kerajaan Medang Siwanda. Resi Kuramba lalu kembali ke wujud semula, yaitu Batara Singajalma, dan ia melesat pergi menuju kahyangan. Sri Maharaja Balya kemudian berangkat sendiri ke Hutan Tulyan menemui Resi Siwandakara. Keduanya terlibat perdebatan adu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertarungan adu kesaktian. Akhirnya, Sri Maharaja Balya harus mengakui bahwa lawannya lebih unggul, dan ia pun menyatakan tunduk kepada Agama Kala. Sri Maharaja Balya lalu membawa Resi Siwandakara bergabung di Kerajaan Medang Siwanda sebagai patih. Bersama-sama mereka menyebarkan Agama Kala sehingga berkembang semakin luas dengan jumlah pengikut yang semakin banyak. Di antara para raja yang bergabung dengan mereka adalah seorang raja gandarwa bernama Prabu Waka dan seorang raja raksasa bernama Prabu Citraksa. SRI MAHARAJA BALYA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA Agama Dewa di Pulau Jawa kini hanya tinggal dua aliran saja yang berkembang pesat, yaitu Agama Kala dan Agama Indra. Para pengikut kedua aliran ini banyak yang terlibat perselisihan dan perkelahian, karena sama-sama merasa paling benar. Batara Indra sendiri akhirnya turun tangan dan mengirim surat ke Kerajaan Medang Siwanda supaya Sri Maharaja Balya beralih memeluk Agama Indra. Tentu saja hal ini membuat Sri Maharaja Balya sangat marah dan segera mengirim pasukan untuk menyerang Kahyangan Suralaya. Page | 97

Pasukan Kerajaan Medang Siwanda yang dipimpin Patih Siwandakara, Prabu Waka, dan Prabu Citraksa berangkat menyerbu Gunung Mahameru. Sesampainya di sana mereka berhadapan dengan pasukan Kahyangan Suralaya yang dipimpin Kapi Malawapati. Pertempuran besar pun terjadi. Pihak kahyangan mengalami kekalahan di mana Kapi Malawapati tewas di tangan Patih Siwandakara. Melihat panglimanya mati, pasukan jawata pun kocar-kacir dan mundur ke dalam Kahyangan Suralaya, kemudian menutup pintu gerbang rapat-rapat. KEDUA PIHAK MEMBUAT SENJATA PUSAKA Di dalam Kahyangan Suralaya, Batara Indra memerintahkan para jawata untuk membuat berbagai senjata pusaka demi menghadapi kekuatan Sri Maharaja Balya. Para jawata tersebut adalah anggota keluarga Batara Ramayadi dan Batara Anggajali yang berjumlah lima belas orang. Kelima belas jawata pembuat senjata itu adalah Batara Ramayana, Batara Ramakandi, Batara Ramakandeya, Batara Isakandi, Batara Ramadewa, Batara Dewayana, Batara Widayana, Batara Kanditan, Batara Kandihawa, Batara Ramabada, Batara Janabada, Batara Indrabada, Batara Hirabada, Batara Amidabada, dan Batara Sekandrabada. Mendengar hal itu, Patih Siwandakara segera menyusup ke Gunung Mahameru dan memasang tumbal penolak balak untuk menarik kekuatan gaib senjata-senjata pusaka buatan kelima belas jawata tersebut. Hal ini diketahui Batara Bayu yang datang ke Kahyangan Suralaya untuk membantu Batara Indra. Ia pun mengirimkan angin topan yang menghempaskan Patih Siwandakara beserta para pengikutnya hingga kembali ke Kerajaan Medang Siwanda. Patih Siwandakara segera melapor kepada Sri Maharaja Balya mengenai usaha Batara Indra yang memerintahkan para empu jawata membuat senjata pusaka. Untuk mengimbangi hal itu, Sri Maharaja Balya pun memerintahkan menantunya yang bernama Batara Wiswakadi untuk membuat senjata pusaka pula. Batara Wiswakadi segera melaksanakan perintah tersebut bersama sepupunya yang bernama Batara Wiswakarma. UNDANGAN DUA JIN WANITA DARI LAUTAN Pada suatu hari datang dua orang jin wanita bersaudara dari Kerajaan Madyasamodra, bernama Ratu Adiyana dan Patih Adiyati. Mereka menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda untuk mendapatkan pelajaran Agama Kala. Sri Maharaja Balya menerima kedatangan mereka dengan senang hati dan memenuhi apa yang mereka inginkan. Setelah menamatkan pelajaran dan memperoleh segala ilmu pengetahuan, Ratu Adiyana dan Patih Adiyati pun mengundang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara untuk mengajarkan Agama Kala kepada rakyat di negeri mereka. Permintaan itu disetujui. Mereka lalu berangkat bersama-sama pergi ke Kerajaan Madyasamodra yang terletak di tengah lautan. Para penduduk jin di Kerajaan Madyasamodra menyambut baik pelajaran Agama Kala yang disampaikan Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Kemudian Sri Maharaja Balya Page | 98

menikahi Ratu Adiyana, sedangkan Patih Siwandakara menikahi Patih Adiyati. Mereka pun hidup bersenang-senang di Kerajaan Madyasamodra sampai waktu yang cukup lama. Setelah enam tahun berlalu, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara baru sadar kalau mereka sudah begitu lama tinggal di Kerajaan Madyasamodra, sehingga lupa pada kewajiban di Kerajaan Medang Siwanda. Keduanya pun memutuskan untuk kembali ke Kerajaan Medang Siwanda, demi melanjutkan rencana menyerang Kahyangan Suralaya yang sudah tertunda sekian lama. Ratu Adiyana dan Patih Adiyati menyatakan siap membantu, dan mereka pun membawa serta pasukan jin Madyasamodra untuk menambah kekuatan pihak Medang Siwanda. SRI MAHARAJA BALYA KALAH PERANG Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu untuk membantu Batara Indra menghadapi angkara murka Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang cebol bernama Jaka Wamana, sedangkan Batara Brahma mengubah wujudnya menjadi seekor banteng sakti bertubuh besar. Jaka Wamana menggiring si banteng besar menghadang rombongan Sri Maharaja Balya yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya terkejut dan menanyakan asal-usul serta tujuan orang cebol itu yang berani menghadang perjalanannya. Jaka Wamana menjawab bahwa ia telah turun dari langit untuk menghukum keserakahan Sri Maharaja Balya. Sri Maharaja Balya mengejek Jaka Wamana yang bertubuh cebol, tidak mungkin memiliki cukup kesaktian untuk melawan seorang maharaja. Jaka Wamana menjawab bahwa kesaktian itu hanyalah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Sri Maharaja Balya tersinggung dan memperkenalkan bahwa dirinya adalah orang yang hendak dihukum Jaka Wamana itu. Jaka Wamana dan si banteng besar segera menantang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara berkelahi. Tantangan itu diterima, dan terjadilah pertempuran di antara mereka. Sri Maharaja Balya mengerahkan segenap kekuatan, namun tidak mampu menandingi kesaktian Jaka Wamana. Begitu pula dengan Patih Siwandakara juga tidak mampu mengalahkan banteng besar yang dihadapinya. Akhirnya, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara pun mengubah wujud masing-masing menjadi raksasa sebesar gunung. Anehnya, Jaka Wamana juga mampu mengubah wujudnya menjadi raksasa yang jauh lebih besar lagi. Kakinya amblas ke dasar bumi, sedangkan kepalanya melebihi tingginya tujuh lapis angkasa. Bahkan, tangannya mampu meraih bebatuan meteor yang melayang-layang di luar angkasa. Sementara itu, si banteng besar juga telah mengubah wujudnya menjadi gunung api yang berkobar-kobar membakar segalanya. Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara tidak kuat menghadapi hawa panas yang membara, ditambah dengan hujan batu meteor yang dilemparkan raksasa penjelmaan Jaka Wamana. Akhirnya, mereka tidak kuat menahan sakit dan menyerah kalah. Sri Maharja Balya bertobat menyadari kesalahan dan keserakahannya. Ia lalu kembali ke wujud Batara Siwah dan pulang ke Tanah Hindustan menghadap Batara Guru. Sementara itu, Patih Siwandakara kembali ke wujud Batara Kala dengan perasaan sangat kecewa dan Page | 99

dendam kesumat. Ia memilih pulang ke tempat tinggalnya di Pulau Nusakambangan untuk kembali bertapa demi menambah kesaktian. BATARA BRAHMA MENJADI RAJA MEDANG SIWANDA Ratu Adiyana dan Patih Adiyati berlutut memohon ampun di hadapan Jaka Wamana dan si banteng api, begitu pula dengan para pengikut Sri Maharaja Balya yang lain. Jaka Wamana lalu kembali ke wujud Batara Wisnu, sedangkan si banteng api kembali ke wujud Batara Brahma. Mereka memberikan pengampunan kepada kedua jin wanita itu, serta menerima pengabdian para pengikut Sri Maharaja Balya yang terdiri dari berbagai golongan. Batara Brahma dan Batara Wisnu kemudian berbagi tugas menangani para pengikut Sri Maharaja Balya tersebut. Batara Brahma bertugas memimpin para pengikut yang berwujud makhluk kasar, yaitu bangsa manusia, raksasa, dan binatang; sedangkan Batara Wisnu memimpin pengikut yang berwujud makhluk halus, yaitu bangsa jin, siluman, peri, dan gandarwa. Batara Brahma kemudian menduduki takhta Kerajaan Medang Siwanda dengan bergelar Sri Maharaja Budawaka, serta menikahi Dewi Adiyana sebagai permaisuri. Sementara itu, Batara Wisnu menikahi Dewi Adiyati dan masuk ke alam sunyaruri untuk menjadi pemimpin di sana. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 100

Maharaja Birawa Kisah ini menceritakan Batara Kala yang menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa untuk membalas dendam kepada Batara Brahma dan Batara Wisnu. Ia juga memerangi Batara Indra di Kahyangan Suralaya, namun pada akhirnya dapat dikalahkan oleh Batara Wisnu dalam wujud Brahmana Kestu. Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 15 Agustus 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA KALA MENJADI SRI MAHARAJA BIRAWA Batara Kala yang sangat kecewa atas kekalahannya berusaha menghimpun kekuatan untuk membalas dendam. Ia bertapa siang malam selama beberapa bulan sehingga kesaktiannya meningkat pesat. Setelah para pengikutnya bertambah banyak pula, ia pun meninggalkan Pulau Nusakambangan dan membangun sebuah kerajaan baru di Hutan Tulyan, yang diberi nama Kerajaan Medang Kamulan, meniru nama kerajaan yang dulu didirikan oleh Batara Guru di Gunung Mahendra. Sebagai raja di sana, ia memakai gelar Sri Maharaja Birawa. Pada suatu hari Sri Maharaja Birawa menerima kedatangan tiga orang empu kahyangan, yaitu putra Batara Isakandi yang bernama Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi. Ketiga bersaudara itu memohon perlindungan kepada Sri Maharaja Birawa karena dikejarkejar hendak dibunuh seorang raksasa sakti bernama Ditya Danupaya, putra Ditya Danupati, atau cucu Prabu Danuka yang mendendam kepada para dewa. Sri Maharaja Birawa bersedia memberikan perlindungan kepada mereka bertiga. Ditya Danupaya akhirnya datang dan menantang perang Sri Maharaja Birawa apabila tidak mau Page | 101

menyerahkan ketiga buruannya itu. Maka, terjadilah pertempuran seru di antara mereka yang akhirnya dimenangkan oleh Sri Maharaja Birawa. Ditya Danupaya menyerah kalah dan pasrah hidup mati. Melihat ketulusan raksasa itu, Sri Maharaja Birawa pun menerimanya sebagai kawan. Bahkan, Ditya Danupaya juga diangkat sebagai menteri utama Kerajaan Medang Kamulan, bergelar Patih Danupaya. Sri Maharaja Birawa juga menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, serta Batara Rasikadi, dan menjadikan mereka sebagai pembuat pusaka kerajaan. Selain itu, ia juga menikahi adik perempuan Patih Danupaya yang bernama Dewi Danupadi. SRI MAHARAJA BIRAWA MENGHANCURKAN KERAJAAN MEDANG SIWANDA Sri Maharaja Birawa lalu menyusun rencana untuk membalas dendam kepada Batara Brahma dan Batara Wisnu. Ia pun memerintahkan Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi untuk membuat senjata-senjata ampuh. Setelah tugas selesai dilaksanakan, Sri Maharaja Birawa dan Patih Danupaya berangkat memimpin pasukan menyerang Kerajaan Medang Siwanda. Di Kerajaan Medang Siwanda, Sri Maharaja Budawaka yang merupakan penjelmaan Batara Brahma tidak menduga akan datangnya serangan mendadak dari Kerajaan Medang Kamulan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi. Kerajaan Medang Siwanda mengalami kehancuran, sedangkan Sri Maharaja Budawaka melarikan diri ke arah barat. SRI MAHARAJA BUDAWAKA MEMBANGUN KERAJAAN GILINGAYA Perjalanan Sri Maharaja Budawaka akhirnya sampai di wilayah Kerajaan Medang Gili, yaitu negeri yang dulu pernah dipimpinnya saat menjadi Sri Maharaja Sunda. Namun, Kerajaan Medang Gili tersebut sekarang sudah terbengkalai dan tidak terawat, karena kosong tidak memiliki raja. Di negeri itu, Sri Maharaja Budawaka ditolong dan diberi makan oleh seorang tua bernama Kyai Sudana. Sri Maharaja Budawaka sangat berterima kasih dan mengajak Kyai Sudana beserta keluarganya membangun kembali Kerajaan Medang Gili. Ia kemudian mengangkat anak Kyai Sudana yang bernama Jaka Suweda menjadi menteri utama, bergelar Patih Suweda. Adapun nama Kerajaan Medang Gili untuk selanjutnya diganti menjadi Kerajaan Gilingaya. SRI MAHARAJA BIRAWA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA Setelah puas mengalahkan Sri Maharaja Budawaka dan mengusirnya pergi, Sri Maharaja Birawa lalu berniat menyerang Kahyangan Suralaya yang dipimpin Batara Indra. Rancana ini tidak disetujui Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi. Karena mereka bertiga berani terang-terangan menentang rencana ini, Sri Maharaja Birawa pun marah besar. Ketiga putra Batara Isakandi itu memilih melarikan diri meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan karena takut menghadapi amukan raja raksasa tersebut. Sri Maharaja Birawa dan Patih Danupaya kemudian berangkat memimpin pasukan Medang Kamulan menyerang Kahyangan Suralaya. Perang besar pun terjadi di kaki Gunung Mahameru. Batara Indra dan pasukan Dorandara terdesak kalah. Pada saat itulah Batara Bayu Page | 102

datang membantu dan berhasil membunuh Patih Danupaya, kemudian ia bertempur melawan Sri Maharaja Birawa. Batara Bayu dan Sri Maharaja Birawa sama-sama mengadu kesaktian sampai waktu yang cukup lama. Batara Bayu merasa kesulitan mengalahkan lawannya itu. Ia akhirnya mengerahkan angin topan yang menerbangkan tubuh Sri Maharaja Birawa beserta para prajuritnya yang masih hidup kembali ke Kerajaan Medang Kamulan. BRAHMANA KESTU MENGALAHKAN SRI MAHARAJA BIRAWA Batara Indra takut kalau Sri Maharaja Birawa datang kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Ia lalu mengheningkan cipta mengerahkan Aji Pameling memanggil adiknya, yaitu Batara Wisnu yang memiliki kesaktian paling tinggi di antara sesama saudara. Batara Wisnu pun datang dari Alam Sunyaruri dan menyatakan sanggup menghadapi Sri Maharaja Birawa. Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang brahmana, bergelar Brahmana Kestu. Ia mendatangi Kerajaan Medang Kamulan dan menantang Sri Maharaja Birawa adu kesaktian. Tantangan itu diterima dan mereka pun bertarung seru. Karena sampai sekian lama tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, Sri Maharaja Birawa lalu menantang Brahmana Kestu adu kepandaian wawasan. Sri Maharaja Birawa mengajukan teka-teki yang berbunyi: Tuwuh doning mudratirta, Seta ti kang purwandaya, Mapatra pita laksmita, Sirang puspa maharakta, Mang bapte kang pala kresna, Mesi nanda mancawarna, Ma sadrasa marta wisa, Taman kena pisahahna. Yang artinya: Tumbuhnya di tengah air, putih batang pohonnya, daun kuning bersinar, bunganya merah menyala, buahnya berwarna hitam, berisi emas permata aneka warna, rasanya enam jenis bisa menjadi obat atau racun, tidak dapat terpisahkan. Brahmana Kestu menjawab teka-teki tersebut: Tumbuhnya pramana di dalam budi, pohon pramana suci, daunnya birahi, bunganya amarah, buahnya kesentosaan, isinya pancaindera dan akal yang berjumlah enam, jika keluarnya baik bisa menjadi obat, jika keluarnya buruk bisa menjadi racun, tidak dapat dipisahkan karena jika dipisah tentu menimbulkan kematian. Sri Maharaja Birawa sangat malu karena teka-tekinya dapat ditebak oleh Brahmana Kestu. Ia pun menyerah kalah dan menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Brahmana Kestu. Maka, Brahmana Kestu lalu menjatuhkan hukuman buang kepada Sri Maharaja Birawa supaya tinggal di Hutan Krendawana. Sri Maharaja Birawa sanggup menjalani hukuman tersebut. Ia lalu kembali ke wujud Batara Kala dan berangkat menuju Hutan Krendawana bersama istrinya, yaitu Dewi Danupadi yang Page | 103

telah diganti namanya menjadi Dewi Kali. BRAHMANA KESTU MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN Setelah Sri Maharaja Birawa kalah dan berangkat menjalani pembuangan, para pengikutnya pun menyatakan tunduk kepada Brahmana Kestu serta menyerahkan takhta kerajaan kepada brahmana penjelmaan Batara Wisnu tersebut. Brahmana Kestu menerima takhta Kerajaan Medang Kamulan itu dan ia pun menjadi raja dengan bergelar Sri Maharaja Budakresna.

Sri Maharaja Birawa ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 104

Prabu Hiranyakasipu Kisah ini menceritakan tentang kelima putra Batara Guru yang menjadi raja di Pulau Jawa dan bertakhta di lima pegunungan. Kisah dilanjutkan dengan serangan Prabu Hiranyakasipu raja Lengkapura, leluhur Prabu Rahwana yang akhirnya tewas di tangan Batara Wisnu dalam wujud Narasinga. Juga dikisahkan perkawinan anak-anak Prabu Hiranyakasipu dengan anak-anak Batara Brahma. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 22 Juli 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

LIMA DEWA BERANGKAT KE TANAH JAWA Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya. Yang dibicarakan adalah rencana untuk melanjutkan penyebaran Agama Dewa dan pembangunan di Pulau Jawa, yaitu dengan mengirim kelima putra yang lahir dari Batari Umayi untuk menjadi raja di sana. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Kelima dewa pun meminta restu kepada Batara Guru dan Batara Narada, kemudian mereka mohon pamit berangkat menuju ke Pulau Jawa. LIMA DEWA MEMBANGUN KERAJAAN DI PUNCAK GUNUNG Sesampainya di Pulau Jawa, kelima dewa putra Batara Guru pun mencari tempat yang cocok Page | 105

untuk mendirikan kerajaan masing-masing. Mereka menelusuri Pulau Jawa yang membentang panjang dari Tanah Aceh sampai Tanah Bali, dan masing-masing akhirnya memilih pegunungan sebagai ibu kota kerajaan mereka. Batara Sambu turun di Gunung Rajabasa, di daerah Sumatra sebelah selatan, lalu mendirikan Kerajaan Medang Prawa di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Maldewa. Batara Brahma turun di Gunung Mahera, di daerah Banten, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gili di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sunda. Batara Wisnu turun di Gunung Gora, di daerah Tegal, lalu mendirikan Kerajaan Medang Pura di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Suman. Batara Indra turun di Gunung Mahameru, di daerah Jawa sebelah timur, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gana di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sakra. Batara Bayu turun di Gunung Karang, di daerah Bali, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gora di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Bima. Kelima maharaja tersebut memerintah di wilayah masing-masing dengan derajat yang setara, tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang lebih rendah di antara mereka. TUJUH DEWA MENJADI RESI Setahun kemudian, datanglah tiga orang resi penjelmaan dewa ke Pulau Jawa untuk membantu penyebaran agama. Mereka adalah Resi Atrakelasa, Resi Drasta, dan Resi Kusamba. Adapun Resi Atrakelasa adalah penjelmaan Batara Wanda, putra Batara Brahmastya, putra Sanghyang Pancaresi; sedangkan Resi Drasta adalah penjelmaan Batara Langsur, putra Sanghyang Citragotra, putra Sanghyang Pancaresi; dan Resi Kusamba adalah penjelmaan Batara Singajalma, juga putra Sanghyang Citragotra. Dua tahun kemudian datang lagi empat orang resi ke Pulau Jawa. Mereka adalah Resi Prawa, Resi Boma, Resi Bana, dan Resi Kosara. Adapun Resi Prawa adalah penjelmaan Batara Kulika, putra Batara Sanggana, atau cucu Sanghyang Hening. Kemudian Resi Boma adalah penjelmaan Batara Suksena, dan Resi Bana adalah penjelmaan Batara Suksrana, keduanya adalah kakak beradik putra Batara Nihoya, adik dari Batara Sanggana. Terakhir adalah Resi Kosara merupakan penjelmaan Batara Gangga, putra Batara Hermaya, adik dari Batara Nihoya. PARA RESI MENJADI PATIH DI LIMA KERAJAAN Tahun demi tahun berlalu, ketujuh resi itu memiliki pengikut yang semakin banyak. Mereka kemudian berpencar untuk mengunjungi kelima kerajaan yang dipimpin oleh lima dewa dengan membawa pengikut masing-masing. Resi Atrakelasa mengunjungi Kerajaan Medang Prawa. Ia disambut dengan baik oleh Sri Maharaja Maldewa dan diangkat sebagai patih di sana. Resi Drasta dan Resi Kusamba mengunjungi Kerajaan Medang Gili. Mereka disambut dengan baik oleh Sri Maharaja Sunda, dan keduanya diangkat sebagai patih di sana. Page | 106

Resi Prawa mengunjungi Kerajaan Medang Gana. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Sakra dan diangkat sebagai patih di sana, dengan nama baru Patih Resi Kapila. Resi Boma dan Resi Bana mengunjungi Kerajaan Medang Gora. Mereka disambut baik oleh Sri Maharaja Bima dan diangkat sebagai patih di sana. Yang terakhir adalah Resi Kosara mengunjungi Kerajaan Medang Pura. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Suman dan diangkat sebagai patih di sana. PRABU HIRANYAKASIPU MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA GURU Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura. Kerajaan Lengkapura ini terletak di Pulau Srilangka, yaitu bekas Kahyangan Selongkandi yang dulu ditempati Sanghyang Darmajaka, kakak Sanghyang Wenang. Pada suatu hari Sanghyang Darmajaka memutuskan untuk membangun tempat tinggal baru bernama Kahyangan Imamaya, sehingga Kahyangan Selongkandi menjadi kosong tak berpenghuni. Akhirnya, bekas kahyangan itu diambil alih oleh bangsa raksasa yang dipimpin Ditya Hiranyakasipu, dan dibangun menjadi kerajaan bernama Lengkapura. Itulah sebabnya, Kerajaan Lengkapura memiliki keindahan luar biasa bagaikan kahyangan para dewa. Prabu Hiranyakasipu ini merupakan pemuja Batara Guru yang setia dan pernah menjalankan tapa brata sangat berat selama belasan tahun. Batara Guru berkenan menerima tapa brata tersebut dan bersedia mengabulkan apa saja permintaan Prabu Hiranyakasipu, kecuali jika ia meminta kehidupan abadi. Ternyata yang diminta Prabu Hiranyakasipu adalah ilmu kesaktian, yaitu tidak bisa dikalahkan oleh dewa, manusia, raksasa, binatang, jin, juga tubuhnya tidak bisa terkena penyakit dan tidak bisa terluka oleh senjata jenis apa pun. Batara Guru mengabulkan permintaan tersebut. Setelah mendapatkan kesaktian yang diinginkannya, Prabu Hiranyakasipu sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Lengkapura. Namun, setelah mendapatkan kesaktian justru sifat Prabu Hiranyakasipu berubah menjadi angkara murka. Ia banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Tanah Hindustan, dengan dibantu adiknya yang bernama Prabu Hiranyawreka raja Kerajaan Kasipura. Sampai akhirnya mereka mendengar di seberang timur terdapat sebuah pulau yang sangat indah dan subur bernama Pulau Jawa yang dipimpin oleh lima raja bersaudara. Maka, berangkatlah kedua raja raksasa itu menuju ke sana untuk menjadikan pulau tersebut sebagai daerah jajahan. PRABU HIRANYAKASIPU MENYERANG PULAU JAWA Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka mendarat di Pulau Jawa. Yang menjadi sasaran pertama adalah Kerajaan Medang Prawa yang terletak paling barat. Perang besar pun terjadi. Sri Maharaja Maldewa terdesak kalah dan melarikan diri ke tenggara untuk berlindung di Kerajaan Medang Gili. Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili menerima kedatangan Sri Maharaja Maldewa, dan ia merasa sangat khawatir mendengar apa yang telah dialami kakaknya itu. Ia lalu mengundang ketiga saudara yang lain supaya datang dengan membawa bala tentara masingmasing. Ia sangat yakin negerinya akan menjadi sasaran Prabu Hiranyakasipu yang Page | 107

berikutnya. Maka, ia pun berniat menggabungkan kekuatan lima kerajaan dengan berkumpul di Medang Gili. Ketiga maharaja telah datang di Kerajaan Medang Gili dengan membawa pasukan lengkap, serta menunggang kendaraan masing-masing. Sri Maharaja Sakra datang dengan mengendarai Gajah Erawata, Sri Maharaja Bima mengendarai Gajah Sena, sedangkan Sri Maharaja Suman mengendarai Garuda Brihawan. PRABU HIRANYAKASIPU TEWAS MELAWAN BATARA NARASINGA Sesuai dugaan, Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka pun datang menyerbu Kerajaan Medang Gili. Pertempuran kembali berlangsung di mana pasukan raksasa Kerajaan Lengkapura dan Kasipura menghadapi gabungan pasukan jawata dari lima kerajaan. Kendaraan Sri Maharaja Suman yang bernama Garuda Brihawan ikut maju menerjang dan berhasil menewaskan Prabu Hiranyawreka. Prabu Hiranyakasipu sangat marah melihat adiknya tewas. Ia pun mengamuk memukul mundur pasukan jawata. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya, juga tidak ada satu senjata pun yang dapat melukai kulitnya. Dalam keadaan gawat tersebut, Batara Narada datang dari Kahyangan Jonggringsalaka menemui lima maharaja untuk menceritakan riwayat Prabu Hiranyakasipu. Begitu mengetahui kesaktian macam apa yang dimiliki Prabu Hiranyakasipu, Sri Maharaja Suman pun mendapat akal untuk mengalahkan raja raksasa tersebut. Ia lalu mengubah wujudnya menjadi manusia berkepala singa dengan memakai nama Batara Narasinga. Maka terjadilah perang tanding seru antara Prabu Hiranyakasipu melawan Batara Narasinga. Setelah bertarung cukup lama, Prabu Hiranyakasipu akhirnya terluka parah dengan perut robek terkena kuku-kuku tajam di kedua tangan Batara Narasinga. Prabu Hiranyakasipu yang sekarat merasa heran mengapa anugerah Batara Guru tidak bisa melindungi dirinya dari serangan lawan yang satu ini. Batara Narasinga menjelaskan bahwa dirinya adalah manusia berkepala hewan, sehingga tidak bisa disebut manusia, juga tidak bisa disebut binatang. Ia juga tidak menggunakan senjata untuk mengalahkan Prabu Hiranyakasipu, tetapi menggunakan cakar untuk merobek perutnya. Prabu Hiranyakasipu akhirnya meninggal karena luka-lukanya. Namun, ia sempat bersumpah bahwa kelak ia akan menitis bersatu jiwa raga dengan seorang keturunannya yang bernama Prabu Rahwana untuk menyebarkan kejahatan dan angkara murka. RADEN BANJARANJALI MENYERAHKAN DIRI Prabu Hiranyakasipu memiliki putra berwujud raksasa muda bernama Ditya Banjaranjali. Berbeda dengan sang ayah yang kejam dan angkara murka, Ditya Banjaranjali bersifat lembut dan berbudi luhur. Dengan sikap tulus ia menyerahkan diri kepada lima maharaja dan siap menerima hukuman. Sri Maharaja Sunda selaku tuan rumah menyerahkan keputusan kepada Batara Narasinga, karena dialah yang berhasil mengalahkan Prabu Hiranyakasipu. Batara Narasinga kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, kemudian mengamati putra Prabu Hiranyakasipu tersebut. Ia dapat melihat bahwa Ditya Banjaranjali benar-benar tulus dan tidak menyembunyikan maksud jahat. Maka, ia pun membebaskan raksasa muda itu dari Page | 108

segala hukuman dan mengizinkannya pulang ke Kerajaan Lengkapura untuk menjadi raja di sana. ANAK-ANAK SRI MAHARAJA SUNDA DATANG KE PULAU JAWA Berita bahwa Kerajaan Medang Gili mengalami kerusakan parah setelah perang besar melawan Prabu Hiranyakasipu terdengar sampai ke Tanah Hindustan. Para putra Batara Brahma pun berangkat menuju ke Pulau Jawa untuk membantu sang ayah membangun kembali Kerajaan Medang Gili. Karena Batara Brahma telah menjelma menjadi manusia bergelar Sri Maharaja Sunda, maka putra-putranya pun ikut menjelma sebagai manusia dengan bergelar Raden untuk yang lakilaki, dan Dewi untuk yang perempuan. Inilah awal mula adanya pangeran bergelar Raden. Sementara itu, gelar Dewi sudah lazim dipakai sejak zaman sebelumnya. Para putra Sri Maharaja Sunda tersebut adalah Raden Maricibrahma dan Raden Naradabrahma yang lahir dari Batari Sacika; kemudian Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanakanda, dan Raden Brahmanaresi yang lahir dari Batari Saraswati; dan selanjutnya adalah Raden Brahmaniskala, Raden Brahmanityasa, Raden Brahmaniyara, Raden Brahmaniyari, Raden Brahmaniyodi, Raden Brahmaniyasa, Raden Brahmaniyasa, Dewi Brahmaniwati, Dewi Brahmanisri, Dewi Brahmaniyati, Dewi Brahmaniyuta, Dewi Dresanala, dan Dewi Dresawati yang kesemuanya lahir dari Batari Rarasati. PRABU BANJARANJALI MEMPERSEMBAHKAN KEDUA ADIKNYA Pada suatu hari Prabu Banjaranjali yang telah menjadi raja Kerajaan Lengkapura datang kembali ke Pulau Jawa dengan sikap persahabatan. Kali ini ia datang untuk mempersembahkan kedua adiknya yang cantik kepada Sri Maharaja Sunda sebagai permintaan maaf karena dulu ayahnya telah banyak berbuat kerusakan di Kerajaan Medang Gili. Kedua putri itu bernama Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi. Sri Maharaja Sunda heran mengapa Prabu Banjaranjali memiliki dua orang adik berwujud manusia cantik, sedangkan dia berwujud raksasa. Prabu Banjaranjali menjelaskan bahwa ibu mereka bukan berasal dari bangsa raksasa, melainkan seorang manusia bernama Dewi Nariti, putri Prabu Nasa dari Kerajaan Banapura. Jika Prabu Banjaranjali berwujud raksasa seperti sang ayah, maka kedua adiknya berparas cantik seperti sang ibu. Sri Maharaja Sunda sangat berkenan menerima kedua putri itu dan berniat menjadikan mereka sebagai menantu. Akan tetapi, terjadilah perselisihan di antara para putranya yang memperebutkan kedua putri tersebut. Mereka yang berebut adalah Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, Raden Brahamaniskala, dan Raden Brahmanityasa. Sri Maharaja Sunda bingung menentukan pilihan dan khawatir akan terjadi perkelahian di antara para putranya itu. Pada saat itulah Sri Maharaja Suman datang di Kerajaan Medang Gili dengan mengendarai Garuda Brihawan. Ia mengusulkan supaya diadakan sayembara saja di antara para putra yang berselisih tersebut. Sri Maharaja Sunda setuju dan segera bersamadi memohon petunjuk Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba dari langit turun sebuah kitab gaib yang jatuh ke tangan Sri Maharaja Sunda. Page | 109

Sri Maharaja Sunda pun mengumumkan barangsiapa bisa membaca dan menafsirkan isi kitab gaib tersebut, berhak menikahi Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi. Ternyata yang mampu membacanya hanyalah Raden Brahmanityasa namun ia tidak mampu menafsirkannya. Isi kitab tersebut berbunyi “Diya heng diyan darya.” Raden Brahmaniyasa yang tidak ikut memperebutkan kedua putri mengajukan diri untuk mencoba menerjemahkan kalimat gaib tersebut. Menurut penafsirannya, kalimat itu mengandung makna: “kedua putri dimiliki oleh kelapangan hati.” Sri Maharaja Sunda sangat berkenan terhadap penafsiran itu. Ia lantas mengumumkan bahwa Dewi Kasipi akan dinikahkan dengan Raden Brahmanityasa, sedangkan Dewi Kistapi dengan Raden Brahmaniyasa. Keputusan ini membuat para putra yang lain merasa kesal bercampur malu. Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, dan Raden Brahamaniskala memilih pergi meninggalkan Pulau Jawa dan kembali ke Tanah Hindustan. PRABU BANJARANJALI DAN GARUDA BRIHAWAN MENJADI MENANTU MEDANG GILI Sri Maharaja Suman kemudian menjelaskan maksud kedatangannya di Kerajaan Medang Gili adalah untuk menagih hadiah atas bantuannya membunuh Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka. Adapun hadiah yang diminta Sri Maharaja Suman adalah supaya Sri Maharaja Sunda menikahkan seorang putrinya dengan Garuda Brihawan. Sri Maharaja Sunda agak bimbang jika putrinya harus menikah dengan seekor burung. Hal ini sudah dipertimbangkan oleh Sri Maharaja Suman. Maka sebelum berangkat ke Medang Gili tadi, Sri Maharaja Suman sempat mengajarkan ilmu kesaktian kepada Garuda Brihawan supaya bisa mengubah wujud menjadi manusia. Setelah melihat Garuda Brihawan berubah wujud menjadi laki-laki tampan, Sri Maharaja Sunda sangat berkenan dan setuju menyerahkan Dewi Brahmanisri kepadanya. Selain itu, Sri Maharaja Sunda juga senang melihat ketulusan Prabu Banjaranjali menyerahkan kedua adiknya. Sebagai tali asih, Sri Maharaja Sunda pun menyerahkan Dewi Brahmaniwati sebagai istri Prabu Banjaranjali. Maka, diadakanlah pernikahan antara empat pasang pengantin di Kerajaan Medang Gili tersebut. Mereka adalah Prabu Banjaranjali dengan Dewi Brahmaniwati; Garuda Brihawan dengan Dewi Brahmanisri; Raden Brahmanityasa dengan Dewi Kasipi; serta Raden Brahmaniyasa dengan Dewi Kistapi. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 110

Budawaka - Budakresna Kisah ini menceritakan tentang hilangnya putri Sri Maharaja Budawaka yang berhasil ditemukan oleh Batara Rasikadi. Setelah itu dilanjutkan dengan kisah peperangan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna, yang akhirnya dilerai oleh Sanghyang Rudra. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 17 Agustus 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

Budawaka - Budakresna PUTRI SRI MAHARAJA BUDAWAKA HILANG DICULIK ORANG Sri Maharaja Budawaka di Kerajaan Gilingaya sedang bersedih karena putrinya yang lahir dari permaisuri Dewi Rarasati, yang bernama Dewi Brahmaniyari telah hilang entah ke mana. Patih Suweda dan para punggawa juga berusaha mencari ke segala penjuru namun tidak mendapatkan hasil. Tiba-tiba datanglah tiga orang dewa empu putra Batara Isakandi, yaitu Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi yang memohon supaya diterima mengabdi di Kerajaan Gilingaya. Mereka bertiga mengaku telah diusir oleh Sri Maharaja Birawa karena berani menentang niatnya yang ingin menyerang Kahyangan Suralaya. Page | 111

Sri Maharaja Budawaka bersedia menerima pengabdian ketiga dewa empu tersebut asalkan dibantu mencari ke mana hilangnya Dewi Brahmaniyari. Batara Sukadi segera mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk bahwa sang dewi saat ini berada di Kahyangan Saptapratala yang terletak di dalam perut bumi. Namun, ia mengaku tidak mengetahui caranya untuk bisa sampai ke sana. Batara Reksakadi mengaku mengetahui jalan menuju Kahyangan Saptapratala, tetapi ia tidak berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Batara Rasikadi kemudian mengajukan diri untuk mencari Dewi Brahmaniyari dan ia mengaku berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Maka, Batara Reksakadi pun menggambarkan peta jalan menuju Kahyangan Saptapratala untuk dipelajari Batara Rasikadi. BATARA RASIKADI MEREBUT DEWI BRAHMANIYARI Dengan berbekal peta buatan kakaknya, Batara Rasikadi berhasil memasuki Kahyangan Saptapratala. Ternyata Dewi Brahamaniyari memang benar-benar berada di sana karena telah diculik oleh Batara Basuki, adik Batara Anantaboga. Kedatangan Batara Rasikadi disambut dengan baik oleh Batara Anantaboga. Batara Rasikadi berterus terang menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput pulang Dewi Brahmaniyari. Batara Anantaboga mempersilakan Batara Rasikadi melaksanakan niatnya, asalkan ia bersedia mengajari Batara Basuki ilmu pertempuran. Permintaan ini sebenarnya adalah sindiran, bahwa Batara Rasikadi harus merebut Dewi Brahmaniyari melalui perkelahian. Batara Rasikadi yang tidak memahami sindiran tersebut segera mengajari Batara Basuki jurus-jurus perkelahian. Awalnya mereka hanya berlatih bersama namun lama-lama menjadi pertarungan sungguhan. Setelah sekian lama, Batara Rasikadi terlihat lebih unggul dan pertarungan itu akhirnya dihentikan oleh Batara Anantaboga. Ia mempersilakan Batara Rasikadi membawa pulang Dewi Brahmaniyari karena putri Kerajaan Gilingaya itu memang bukan jodoh Batara Basuki. SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENGAMBIL MENANTU Batara Rasikadi membawa Dewi Brahmaniyari kembali ke Kerajaan Gilingaya dan menghadapkannya kepada Sri Maharaja Budawaka. Sungguh gembira hati Sri Maharaja Budawaka dan ia pun berkenan menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi. Akan tetapi, ketiga dewa empu bersaudara itu kemudian mengajukan permohonan untuk bisa menikahi Dewi Brahmaniyari. Ternyata mereka telah jatuh hati kepada sang dewi dan masing-masing menganggap diri paling berjasa dan merasa paling berhak menjadi suaminya. Batara Rasikadi mengatakan bahwa dirinya telah berjasa membawa pulang Dewi Brahmaniyari. Batara Reksakadi mengatakan bahwa perbuatan itu bisa terjadi berkat peta yang digambarkannya. Sementara itu, Batara Sukadi berpendapat, bahwa peta tersebut bisa digambar adalah karena ia yang pertama kali mendapatkan petunjuk tentang keberadaan sang dewi yang disembunyikan di Kahyangan Saptapratala. Sri Maharaja Budawaka bingung menentukan pilihan, apalagi persaingan ketiga bersaudara Page | 112

itu semakin memanas dan berubah menjadi pertengkaran. Tiba-tiba datang pula seorang raja raksasa bernama Prabu Jambuwana dari Kerajaan Prajantaka yang mengaku telah mendapat perintah dewata melalui mimpi supaya mempersunting salah satu putri Sri Maharaja Budawaka demi kemakmuran negerinya. Hal ini tentu saja membuat Sri Maharaja Budawaka bertambah bingung. Maka, ia pun berjanji akan menerima lamaran Prabu Jambuwana tersebut, asalkan dibantu memberikan keadilan kepada ketiga dewa bersaudara yang sedang bertengkar itu. Prabu Jambuwana segera mempelajari apa yang sebenarnya telah terjadi, kemudian ia menyampaikan pendapat bahwa Dewi Brahmaniyari hanya pantas diserahkan kepada laki-laki yang berani bertaruh nyawa demi melindunginya. Sri Maharaja Budawaka sangat senang mendengar pendapat itu dan segera mengumumkan bahwa Dewi Brahmaniyari akan dinikahkan dengan Batara Rasikadi. Di lain pihak, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi juga mendapatkan hadiah pengganti atas jasa-jasa mereka, yaitu masing-masing diangkat sebagai raja bawahan di negeri Citrahoya dan Wameswara. Sesuai janjinya di awal tadi, lamaran Prabu Jambuwana pun diterima pula. Raja raksasa itu diizinkan menikahi adik Dewi Brahmaniyari yang bernama Dewi Brahmaniyoni. Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan di Kerajaan Gilingaya terhadap kedua pasangan tersebut, yaitu Batara Rasikadi dengan Dewi Brahmaniyari, serta Prabu Jambuwana dengan Dewi Brahmaniyoni. PRABU JAMBUWANA MENYERANG KERAJAAN MEDANG KAMULAN Prabu Jambuwana kemudian memboyong Dewi Brahamaniyoni untuk tinggal di Kerajaan Prajantaka. Pada suatu hari Dewi Brahmaniyoni bercerita tentang riwayat ayahnya, bahwa Sri Maharaja Budawaka adalah penjelmaan Batara Brahma yang pada mulanya menjadi penguasa di Kerajaan Medang Siwanda menggantikan Sri Maharaja Balya. Kemudian pada suatu hari Sri Maharaja Budawaka dikalahkan oleh raja Kerajaan Medang Kamulan sehingga terusir meninggalkan Medang Siwanda. Sri Maharaja Budawaka kemudian membangun Kerajaan Gilingaya dan menjadi raja di sana sampai saat ini. Prabu Jambuwana selaku menantu merasa berkewajiban untuk membalaskan kekalahan Sri Maharaja Budawaka. Ia pun memimpin pasukan raksasa Kerajaan Prajantaka berangkat menyerang Kerajaan Medang Kamulan. Sesampainya di sana terjadilah pertempuran besar. Melihat pasukan Medang Kamulan terdesak, Sri Maharaja Budakresna akhirnya turun sendiri ke medan perang dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana ke arah Prabu Jambuwana. Begitu terkena senjata berbentuk cakram bergigi tajam tersebut, Prabu Jambuwana pun tewas dengan tubuh terpotong menjadi dua. SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENYERANG SRI MAHARAJA BUDAKRESNA Setelah suaminya tewas, Dewi Brahmaniyoni kembali ke Kerajaan Gilingaya untuk mengadu kepada sang ayah. Sri Maharaja Budawaka sangat terkejut bercampur marah. Ia pun memutuskan untuk menyerang Kerajaan Medang Kamulan demi membalaskan kematian menantunya, sekaligus membalaskan dendamnya atas kekalahan yang telah lalu. Begitu tiba di Kerajaan Medang Kamulan, Sri Maharaja Budawaka langsung berhadapan dengan Sri Maharaja Budakresna. Ia teringat bahwa raja Medang Kamulan yang dulu Page | 113

mengalahkannya berwujud raksasa, bernama Sri Maharaja Birawa, namun kini yang menghadapinya ternyata berwujud manusia bernama Sri Maharaja Budakresna. Rupanya telah terjadi pergantian raja di Medang Kamulan, namun hal ini tidak dipedulikan Sri Maharaja Budawaka. Ia yakin bahwa Sri Maharaja Budakresna adalah anggota keluarga Sri Maharaja Birawa dan bisa menjadi sasaran pelampiasan balas dendamnya. Maka, terjadilah pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna. Pertarungan itu memakan waktu selama beberapa hari, sedangkan mereka kalah dan menang silih berganti. Tidak jelas siapa yang lebih unggul di antara mereka berdua. Sampai akhirnya datang seorang dewa turun dari kahyangan yang melerai perkelahian itu. Dewa yang datang tersebut adalah Sanghyang Rudra, kakak Batara Guru lain ibu. Kehadirannya adalah untuk menjelaskan bahwa pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna sebaiknya tidak perlu dilanjutkan, karena masing-masing adalah penjelmaan Batara Brahma dan Batara Wisnu. Mereka berdua adalah saudara kandung sesama putra Batara Guru yang sejak dulu saling akrab namun kini tidak saling mengenali. Sri Maharaja Budawaka sangat malu begitu mengetahui bahwa Sri Maharaja Budakresna ternyata adiknya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Sri Maharaja Budakresna atas segala kesalahannya. Di lain pihak, Sri Maharaja Budakresna juga merasa sangat malu tidak bisa mengenali penjelmaan kakaknya. Maka, untuk membuang sial dan menghapuskan kenangan buruk itu, Sri Maharaja Budakresna mengganti nama Kerajaan Medang Kamulan menjadi Kerajaan Purwacarita. Setelah dirasa cukup, Sanghyang Rudra pun pamit kembali ke Kahyangan Keling, sedangkan Sri Maharaja Budawaka kembali ke Kerajaan Gilingaya. BATARA RASIKADI MENJADI RAJA NEGERI GILINGAYA Sri Maharaja Budawaka telah kembali ke Kerajaan Gilingaya, namun ia masih sangat malu dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa mengenali penjelmaan Batara Wisnu dalam wujud Sri Maharaja Budakresna. Karena perasaan malunya yang teramat sangat itu, ia pun tidak bersemangat lagi menjadi raja Gilingaya, dan memilih kembali ke wujud Batara Brahma. Maka, setelah mewariskan takhta Kerajaan Gilingaya kepada sang menantu, yaitu Batara Rasikadi, ia pun kembali ke tempat tinggalnya di Kahyangan Daksinageni. Sepeninggal sang mertua, Batara Rasikadi dilantik menjadi raja Kerajaan Gilingaya yang baru, dengan bergelar Prabu Brahmakadali. Adapun kedudukan sebagai menteri utama tetap dijabat oleh Patih Suweda. Sementara itu, melihat sang adik menjadi raja, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi merasa sakit hati. Mereka sangat malu dan keberatan hidup di bawah perintah Prabu Brahmakadali. Keduanya lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Gilingaya. Batara Sukadi memilih pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Sri Maharaja Budakresna, sedangkan Batara Reksakadi pergi berkelana ke Tanah Hindustan di mana ia berhasil menaklukkan Kerajaan Kasipura dan menjadi raja di sana. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 114

Geger Sejatining Sri Kisah ini menceritakan terciptanya tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari Supraba dan adik-adiknya, serta mengisahkan pertempuran antara Prabu Brahmakadali melawan Sri Maharaja Budakresna yang disebabkan oleh kesalahpahaman. Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan. Kediri, 05 September 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

TERCIPTANYA TUJUH BIDADARI UNGGULAN Di Kahyangan Suralaya, Batara Indra dihadap Batara Wrehaspati dan para jawata, sedang membicarakan tentang sebuah permata indah bernama Mustika Mulat yang jatuh dari langit. Atas petunjuk yang diterima dari Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka, permata tersebut hendaknya dicipta menjadi tujuh bidadari unggulan, dengan melibatkan bantuan keempat saudara lainnya. Untuk itu, Batara Indra pun mengirimkan undangan kepada Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, dan Sri Maharaja Budakresna (Batara Wisnu) di tempat tinggal masing-masing. Kini, keempatnya telah hadir di Kahyangan Suralaya. Batara Indra segera mengajak mereka Page | 115

untuk mengheningkan cipta mengelilingi Mustika Mulat tersebut, sesuai petunjuk Batara Guru. Berkat puja samadi yang dilakukan kelima dewa, Mustika Mulat pun berubah wujud menjadi tujuh orang bidadari yang sangat cantik jelita. Batara Indra kemudian memberi mereka nama Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irimirim, dan Batari Tunjungbiru. Batara Indra sangat senang dan mengangkat ketujuh bidadari itu sebagai anak. Mereka bertujuh lalu diperintahkan mengelilingi taman Kahyangan Suralaya, dan setelah itu melakukan tarian Bedaya di hadapan para jawata. Inilah awal mula Pulau Jawa mengenal tarian Bedaya yang kelak akan banyak dimainkan di keraton-keraton. BATARA SUKADI MENJADI PATIH SIPTAGATI Setelah pertemuan di Kahyangan Suralaya usai, para dewa pun kembali ke tempat tinggal masing-masing. Dalam perjalanan pulang tersebut, Sri Maharaja Budakresna melihat ada sebongkah batu meteor meluncur jatuh dari luar angkasa. Batu meteor itu segera ditangkapnya menggunakan kesaktian. Setelah diperiksa dengan seksama, ternyata batu meteor itu mengandung logam yang bermutu tinggi. Dikarenakan bentuknya seperti bunga padma, maka Sri Maharaja Budakresna pun memberinya nama Tosan Padma. Sri Maharaja Budakresna lalu membawa pulang Tosan Padma ke Kerajaan Purwacarita dan menyerahkannya kepada Batara Sukadi supaya ditempa menjadi senjata pusaka. Batara Sukadi segera melaksanakan perintah tersebut dengan baik, dan akhirnya berhasil mengubah Tosan Padma menjadi empat bilah keris pusaka. Sri Maharaja Budakresna sangat berkenan melihat keempat keris pusaka tersebut. Ia lalu memberikan anugerah kepada Batara Sukadi dengan mengangkatnya sebagai menteri utama Kerajaan Purwacarita, bergelar Patih Siptagati. PRABU BRAHMAKADALI MEMINTA SEJATINING SRI Pada suatu hari Sri Maharaja Budakresna di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan Patih Suweda dari Kerajaan Gilingaya. Patih Suweda datang untuk menyampaikan surat Prabu Brahmakadali yang ingin meminta Sejatining Sri. Apabila Sri Maharaja Budakresna mengizinkan, maka Prabu Brahmakadali akan datang secara pribadi ke Kerajaan Purwacarita. Sri Maharaja Budakresna sangat murka membaca surat tersebut, karena dianggap sebagai penghinaan baginya. Ia menuduh Prabu Brahmakadali berniat kurang ajar, karena meminta Sejatining Sri berarti meminta permaisurinya. Hal ini dikarenakan para istri Batara Wisnu (Sri Maharaja Budakresna) banyak yang memiliki nama depan “Sri”, antara lain Dewi Srilaksmi, Dewi Srilaksmita, Dewi Sriyani, dan Dewi Sri Satyawarna. Sri Maharaja Budakresna pun mengusir Patih Suweda agar kembali kepada rajanya dan melapor bahwa permintaannya ditolak. Tidak hanya itu, ia juga memerintahkan Patih Siptagati untuk memimpin pasukan menggempur Kerajaan Gilingaya.

Page | 116

PRABU BRAHMAKADALI GUGUR Patih Suweda tiba di Kerajaan Gilingaya dan melaporkan kegagalannya kepada Prabu Brahmakadali. Tidak lama kemudian, pasukan Purwacarita yang dipimpin Patih Siptagati datang menyerbu. Patih Suweda segera keluar memimpin pasukan Gilingaya menghadapi serangan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi, di mana Patih Suweda akhirnya tewas di tangan Patih Siptagati. Prabu Brahmakadali maju memimpin langsung pasukan Gilingaya. Kali ini ganti pihak Purwacarita yang terpukul mundur. Bahkan, Patih Siptagati gugur pula di tangan Prabu Brahmakadali yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri itu. Sri Maharaja Budakresna yang mendengar pasukannya terdesak mundur segera melesat terbang dan mendarat di medan pertempuran. Ia lalu bertarung menghadapi Prabu Brahmakadali dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana. Begitu terkena pusaka berbentuk cakram tersebut, Prabu Brahmakadali pun gugur seketika. BRAHMANA DEWAHESA MENYADARKAN SRI MAHARAJA BUDAKRESNA Batara Rudra (kakak tiri Batara Guru) di Kahyangan Keling merasa prihatin mendengar berita pertempuran antara Kerajaan Purwacarita melawan Kerajaan Gilingaya. Jika dulu ia pernah melerai pertempuran antara Sri Maharaja Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna, maka kini ia merasa perlu untuk datang kembali ke Pulau Jawa. Batara Rudra mengubah wujud menjadi seorang brahmana, bergelar Brahmana Dewahesa menuju Kerajaan Purwacarita. Ia menemui Sri Maharaja Budakresna dan mengatakan bahwa pertempuran yang telah terjadi hanyalah karena kesalahpahaman belaka. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sejatining Sri bukanlah meminta permaisuri, tetapi Prabu Brahmakadali ingin meminta kepada Sri Maharaja Budakresna supaya mengajarkan Sejatining Ilmu Keraton. Brahmana Dewahesa menyebut kedua pihak sama-sama keliru. Sri Maharaja Budakresna dinyatakan bersalah karena terlalu menuruti amarah, sedangkan Prabu Brahmakadali juga bersalah karena sebagai pihak yang lebih muda ia seharusnya berterus terang dan bukannya main tebak-tebakan seperti itu. Sri Maharaja Budakresna sangat malu dan menyesali kesalahannya yang terburu nafsu. Ia lalu kembali ke wujud Batara Wisnu dan mohon pamit untuk pulang ke Kahyangan Utarasegara, meninggalkan Kerajaan Purwacarita. BRAHMANA DEWAHESA MENJADI RAJA GILINGAYA Sepeninggal Batara Wisnu, Brahmana Dewahesa lalu pergi ke Kerajaan Gilingaya dan memperbaiki negeri tersebut dari kerusakan. Bala tentara yang masih tersisa dan segenap penduduk merasa sangat gembira seolah mendapatkan pemimpin baru. Mereka pun sepakat meminta Brahmana Dewahesa untuk menjadi raja Gilingaya yang baru, bergelar Sri Maharaja Dewahesa. Sementara itu, Kerajaan Purwacarita yang ditinggal pergi oleh Batara Wisnu kini menjadi kosong seperti kota mati. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi raja yang bertakhta di sana. Page | 117

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Rembuculung Tigas Kisah ini menceritakan Batara Indra mendapatkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba sebagai pusaka Kahyangan Suralaya, serta bagaimana Batara Wisnu memenggal kepala Ditya Kalarahu yang juga bernama Ditya Rembuculung. Kisah ini merupakan mitos asal-usul terjadinya gerhana matahari dan rembulan yang disusun dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan beberapa pengembangan seperlunya. Kediri, 08 September 2014 Heri Purwanto ------------------------------ ooo ------------------------------

Batara Indra BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA Pada suatu hari Batara Guru dan Batara Narada berkunjung ke Kahyangan Suralaya. Batara Indra dan Batara Wrehaspati menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Batara Guru duduk di takhta Balai Marcukunda. Batara Guru sangat berkenan melihat hasil kerja Batara Indra yang telah membangun Kahyangan Suralaya di Gunung Mahameru sebagai Page | 118

cabang Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Mulai dari Balai Marcukunda, Balai Marakata, Taman Nadisara, Repat Kepanasan, Kori Selamatangkep, Balai Paparyawarna, Sumur Golang Galing, Wot Ogal Agil, sampai Gunung Jamurdipa dan Kawah Candradimuka, semua dibuat sama persis dengan aslinya. Demikianlah, jika di Kahyangan Jonggringsalaka Batara Guru berwenang mengangkat manusia yang berbudi luhur menjadi dewa, maka di Kahyangan Suralaya pun Batara Indra memiliki wewenang yang sama. Akan tetapi, Batara Indra mengaku tidak bisa memberikan umur panjang kepada dewa yang telah ia angkat karena di Kahyangan Suralaya tidak terdapat air kehidupan Tirtamarta Kamandanu. Batara Guru menasihati Batara Indra supaya tidak berkecil hati, karena kedatangannya ini justru untuk memberikan petunjuk bahwa Tirtamarta Kamandanu memiliki kembaran bernama Tirtamarta Siwamba, yang bisa menjadi milik Kahyangan Suralaya. Jika dulu Tirtamarta Kamandanu diperoleh sang leluhur Sanghyang Nurcahya melalui tapa brata di Kutub Utara, maka Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan. BATARA INDRA MENGUNDANG PARA DEWA DAN NAGA Setelah menerima petunjuk tersebut, Batara Indra segera mengutus Batara Wrehaspati untuk berkeliling mengundang para dewa dan para naga di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian, para dewa itu pun berdatangan di Kahyangan Suralaya. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Kuwera, Batara Surya, Batara Candra, Batara Temburu, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Mahadewa, Batara Cakra, Batara Asmara, Batara Ganapati, dan Batara Penyarikan. Sementara itu, kaum naga yang hadir adalah Batara Anantaboga dan Batara Basuki. Kini tinggal urusan mengundang para rakasasa yang membuat Batara Indra merasa enggan. Bagaimanapun juga para raksasa ada di bawah perintah Batara Kala, sedangkan Batara Kala pernah berselisih dengan Kahyangan Suralaya pada saat menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa dulu. Batara Guru selaku orang tua berusaha adil tidak memihak Batara Indra maupun Batara Kala. Ia hanya mengingatkan bahwa Gunung Mandaragiri hanya bisa diangkat jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga. Dengan demikian, Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh dan nantinya akan sangat berguna pada saat Batara Indra mengangkat dewa baru. Barangsiapa meminum Tirtamarta Siwamba, maka khasiatnya sama dengan meminum Tirtamarta Kamandanu, yaitu memperoleh umur panjang dan awet muda sampai kelak hari kiamat atau mahapralaya tiba. Setelah memantapkan hati, Batara Indra akhirnya berangkat menuju Hutan Krendawana untuk mengundang Batara Kala dan para raksasa. Batara Wrehaspati dan beberapa dewa lainnya ikut pergi mengawalnya. BATARA INDRA DISERANG MURID-MURID BATARA KALA Batara Kala masih menjalani masa pembuangan di Hutan Krendawana sebagai hukuman atas kekalahannya saat menjadi Sri Maharaja Birawa dulu. Di situ ia dihadap para murid yang Page | 119

terdiri dari kaum raksasa. Adapun pemimpin para raksasa itu bernama Ditya Kalarahu bersama anaknya, yang bernama Ditya Jantaka. Dalam pertemuan itu Batara Kala mengumumkan bahwa Ditya Kalarahu telah menamatkan semua pelajaran darinya, dan berhak menerima murid sendiri untuk ikut menyebarkan Agama Kala. Maka, Batara Kala pun mengangkat Ditya Kalarahu sebagai pendeta bergelar Resi Rembuculung, sedangkan Ditya Jantaka ditunjuk sebagai pembantunya, bergelar Putut Jantaka. Tidak lama kemudian ada seorang murid datang melapor bahwa Batara Indra sedang dalam perjalanan menuju Hutan Krendawana dengan dikawal para dewa. Batara Kala marah mengira kakaknya itu berniat menyerangnya untuk melanjutkan permusuhan dulu. Maka, ia pun memerintahkan Resi Rembuculung dan Putut Jantaka untuk menghadang serangan tersebut. Resi Rembuculung dan Putut Jantaka segera memimpin para raksasa untuk bersama-sama menyerang rombongan Batara Indra. Menghadapi serangan mendadak itu, Batara Indra dan rombongan terpaksa membela diri. Maka, terjadilah pertempuran ramai di tepi Hutan Krendawana tersebut. PARA RAKSASA MENERIMA UNDANGAN KE KAHYANGAN SURALAYA Setelah bertempur cukup lama, Resi Rembuculung dan pasukannya mulai terdesak mundur. Mengetahui hal ini, Batara Kala segera terjun langsung menghadapi Batara Indra. Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka, karena masing-masing masih menyimpan dendam lama. Batara Indra sampai lupa bahwa tujuan kedatangannya adalah untuk mengundang para raksasa, bukan untuk berperang. Tiba-tiba Batara Wisnu datang menyusul dan segera melerai kedua saudaranya yang sedang bertarung itu. Melihat kedatangannya, Batara Kala justru semakin marah karena teringat beberapa kali Batara Wisnu pernah mengalahkan dirinya, antara lain sebagai Ki Dalang Kandabuwana, Jaka Wamana, dan Brahmana Kestu. Namun, Batara Wisnu berusaha menyabarkannya dan mengatakan bahwa itu semua ia lakukan sama sekali bukan demi kepentingan pribadi, tetapi demi memelihara ketertiban Pulau Jawa. Setelah suasana lebih tenang, Batara Wisnu pun menjelaskan bahwa kedatangan Batara Indra ke Hutan Krendawana bukan untuk menantang perang, tetapi untuk mengundang Batara Kala dan para raksasa supaya membantu para dewa mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan dan mengeluarkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba dari dalamnya. Batara Kala bersedia memenuhi undangan tersebut asalkan dua syaratnya dikabulkan, yaitu ia dibebaskan dari hukuman pembuangan, serta murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya menyatakan setuju mengabulkan kedua syarat tersebut. Ia berjanji akan meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada siapa saja yang berhasil mencapai kesempurnaan dan berbudi luhur, tak peduli apakah mereka penganut Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, ataupun Kala, semua mendapatkan hak yang sama. Mendengar janji tersebut, Batara Kala merasa lega. Ia pun mengajak Resi Rembuculung dan para raksasa lainnya untuk menyertai Batara Indra dan Batara Wisnu menuju ke Kahyangan Suralaya.

Page | 120

PARA DEWA MENDAPATKAN TIRTAMARTA SIWAMBA Setelah para dewa dan raksasa berkumpul di Kahyangan Suralaya, maka pekerjaan mencari Tirtamarta Siwamba pun dimulai. Bersama-sama mereka berangkat menuju ke Laut Selatan, sampai akhirnya menemukan sebuah pulau di mana Gunung Mandaragiri berada. Batara Guru memberikan petunjuk, bahwa Tirtamarta Siwamba hanya bisa diperoleh dengan cara mengangkat Gunung Mandaragiri, tetapi harus dengan cara memutarnya perlahan-lahan. Apabila gunung tersebut diangkat secara langsung justru air kehidupan akan musnah dan gagal diperoleh. Untuk itu, Batara Anantaboga dan Batara Basuki pun mengubah wujud mereka menjadi naga. Karena Gunung Mandaragiri sangat besar, maka kedua naga itu harus menyambung tubuh mereka supaya bisa membelit dan mengelilingi gunung tersebut secara sempurna. Selanjutnya, para dewa dan para raksasa berjajar-jajar menjadikan tubuh kedua naga itu sebagai pegangan, lalu mereka bersama-sama bergerak memutar Gunung Mandaragiri secara perlahan-lahan (pada zaman sekarang seperti membuka baut, di mana kedua naga yang membelit gunung berfungsi sebagai kunci ring). Sedikit demi sedikit, Gunung Mandaragiri pun terangkat dan di bawahnya terlihat sebuah lubang yang bersinar terang. Batara Guru dan Batara Narada mendatangi lubang tersebut dan ternyata sebuah sumur alami berisi air jernih, yaitu Tirtamarta Siwamba yang dicari-cari. Batara Guru segera mengeluarkan cupu pusaka buatan Batara Ramayadi yang meniru khasiat Cupumanik Astagina warisan Sanghyang Nurcahya. Dengan menggunakan cupu pusaka tersebut sebagai wadah, maka Tirtamarta Siwamba dalam sumur alami itu dapat ditampung semuanya. Setelah Batara Guru memberi aba-aba, para dewa dan raksasa kembali memutar Gunung Mandaragiri untuk meletakkannya di tempat semula. Batara Guru menyerahkan cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba itu kepada Batara Indra supaya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, ia dan Batara Narada pun berpamitan untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka. RESI REMBUCULUNG MENCURI TIRTAMARTA SIWAMBA Batara Kala kemudian menagih janji Batara Indra bahwa dirinya dibebaskan dari hukuman buang dan murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra mengabulkan permintaan pertama, bahwa mulai saat ini Batara Kala boleh meninggalkan Hutan Krendawana dan kembali hidup di Pulau Nusakambangan. Mengenai permintaan kedua akan dikabulkan jika ada raksasa berbudi luhur yang mencapai kesempurnaan hidup, tentu dapat diangkat menjadi dewa dan boleh meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Kala memegang janji tersebut dan ia pun pamit untuk pulang ke Pulau Nusakambangan. Ia berencana membangun tempat tinggal di sana yang diberi nama Kahyangan Selamangumpeng. Mengenai Hutan Krendawana untuk selanjutnya diserahkan kepada Resi Rembuculung dan Putut Jantaka supaya menjadi tempat mereka mengajarkan Agama Kala.

Page | 121

Batara Indra dan para dewa lalu kembali ke Kahyangan Suralaya, sedangkan Resi Rembuculung dan para raksasa kembali ke Hutan Krendawana. Di tengah jalan Resi Rembuculung tiba-tiba ingin mencuri Tirtamarta Siwamba karena ia berpikir jangan-jangan Batara Indra kelak akan mengingkari janji. Maka, berangkatlah ia seorang diri menuju Kahyangan Suralaya untuk melaksanakan niat tersebut. Sementara itu, Batara Indra dan para dewa sedang mengadakan pesta syukuran atas keberhasilan mereka mendapatkan Tirtamarta Siwamba. Memanfaatkan keadaan itu, Resi Rembuculung dapat menyelinap masuk ke dalam ruang penyimpan pusaka dan berhasil mencuri cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba. BATARA WISNU MEREBUT KEMBALI TIRTAMARTA SIWAMBA Batara Wisnu yang waspada dapat mengetahui kalau Resi Rembuculung telah mencuri Tirtamarta Siwamba. Diam-diam ia pun mengikuti raksasa itu kembali ke rombongannya. Resi Rembuculung disambut Putut Jantaka dan para raksasa lainnya. Ketika Tirtamarta Siwamba hendak dibagi-bagikan, tiba-tiba Batara Wisnu muncul dalam wujud seorang wanita cantik bernama Dewi Malini. Kecantikannya membuat para raksasa itu mabuk kepayang dan masing-masing ingin memilikinya. Mereka pun saling bertengkar dan berkelahi sendiri. Pada saat itulah Dewi Malini merebut Tirtamarta Siwamba dan membawanya kembali ke Kahyangan Suralaya dalam wujud Batara Wisnu. Begitu Tirtamarta Siwamba telah lenyap, para raksasa baru menyadari kesalahan mereka. Resi Rembuculung berniat mengejar Batara Wisnu, namun Putut Jantaka mencegahnya. Putut Jantaka mengingatkan supaya sang ayah percaya kepada janji Batara Indra saja. Namun, Resi Rembuculung tidak menghiraukan saran anaknya itu. Ia merasa ilmunya sudah sempurna dan pantas mendapatkan Tirtamarta Siwamba saat ini juga. Setelah membulatkan tekad, ia pun berangkat sendiri mengejar ke Kahyangan Suralaya. BATARA WISNU MEMENGGAL KEPALA RESI REMBUCULUNG Resi Rembuculung menyelinap ke dalam Kahyangan Suralaya dan melihat Batara Wisnu menyerahkan Tirtamarta Siwamba kepada Batara Indra. Kebetulan hari itu Batara Indra berniat meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada para dewa baru yang belum pernah meneguk Tirtamarta Kamandanu. Resi Rembuculung melihat para dewa baru itu sedang berbaris di hadapan Batara Indra. Memanfaatkan acara tersebut, ia segera mengubah wujudnya menjadi seorang dewa pula dan menyelinap masuk ke dalam barisan. Batara Surya dan Batara Candra kebetulan memergoki Resi Rembuculung saat berubah wujud dan menyusup ke dalam barisan. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Batara Wisnu. Maka, pada saat-saat genting di mana dewa jelmaan Resi Rembuculung sedang mendapatkan giliran meneguk Tirtamarta Siwamba, pada saat itulah Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra Sudarsana yang secara tepat memenggal kepala raksasa itu. Tirtamarta Siwamba yang sudah terlanjur diteguk oleh Resi Rembuculung membuat kepala yang terpenggal itu tetap hidup dan melayang-layang di udara. Ia pun membuka mulutnya lebar-lebar lalu menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra demi melampiaskan sakit hatinya.

Page | 122

Batara Wisnu segera mengubah tubuh Resi Rembuculung yang tanpa kepala menjadi lesung dan memerintahkan para bidadari untuk menabuhnya menggunakan alu. Begitu lesung tersebut ditabuh, Resi Rembuculung merasa mual dan ia pun memuntahkan kembali Batara Surya dan Batara Candra. Kepala tanpa badan itu kemudian melayang pergi dan mengancam kelak akan datang lagi untuk membalas dendam dengan cara menciptakan gerhana matahari ataupun bulan. Batara Wisnu pun memberikan saran kepada Batara Indra untuk menyebarkan perintah kepada masyarakat Pulau Jawa supaya menabuh lesung jika terjadi gerhana. Dengan cara demikian, kepala Resi Rembuculung akan mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan yang ditutupinya. Batara Indra menerima saran tersebut dan segera menyampaikannya kepada Sri Maharaja Dewahesa, yaitu satu-satunya raja yang saat itu bertakhta di Tanah Jawa.

Batara Surya dan Batara Candra. ------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya

Page | 123

Related Documents

Kisah Dewa
January 2021 1
Kisah-kisah Shahih.pdf
January 2021 1
Kisah-kisah 1001 Malam
March 2021 0
1001 Kisah
January 2021 0
Kisah Kisah Dari Al Quran
February 2021 1

More Documents from "nurzam"