Kita Dua Kurva Saling Terbuka_rakbukudigital.pdf

  • Uploaded by: Nana
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kita Dua Kurva Saling Terbuka_rakbukudigital.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 10,222
  • Pages: 188
Loading documents preview...
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi se­ bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 [satu] tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rpl00.000.000 [seratus juta rupiah]. 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme­ gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana di­ maksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 [tiga] tahun dan/atau pidana denda paling banyak RpS00.000.000,00 Oima ratus juta rupiah). 3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme­ gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana di­ maksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 [empat] tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 [satu miliar rupiah]. 4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana pen­ jara paling lama 10 [sepuluh] tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 [empat miliar rupiah].

'l(lta 'Dua 'l(un,a Saling 'ferbul{_a Nugroho Putu

Penerbit PT Elex Media Komputindo � KOMPAS GRAMEDIA

'l(lta 'Dua 'l(un,a Saling i"erbulta Copyright ©2019 Nugroho Putu Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Diterbitkan pertama kali tahun 2019 oleh PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta Penulis Penata Letak

: Nugroho Putra : Debora Melina

719031108 ISBN: 978-623-00-0420-9 978-623-00-0421-6 (digital)

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemah­ kan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta lsi di luar tanggung jawab Percetakan

gema rinclu jadi hara jarak jadi tatap ja�i jadi bukti bayang terlahap dekap napas empas terempas helaan udara yang terampas hasrat yang terkupas jengah meranggas rinclu dalam detak jeda musnah dalam jarak kata-kata beranak pinak bayang-bayang menggelegak jelang kehangatan hilang kau bersandar pada tiang nalar tersadar kita sama-sama jalang napas ikan di trotoar menggelepar lalu aku beri tanda bubuhkan jelaga di dada semakin Iuka semakin ban yak bekal untuk jeda jika pun ini terakhir, kenang ini kan menggema, lama.

1

jarak rinclu itu racun temu yang tabu sapa yang hampa peluk yang terkutuk cinta menggulita sekat norma pekat hasrat tersedak waktu menggerutu pada akhirnya berlabuh tatap berhadapan utuh namun saat sentuh sekujur tubuh lumpuh kau di dermaga aku di seberang tel aga kau tak menunggu aku terpaku dalam pukau

2

penc.arian ruang-ruang gelap aroma arak asap yang mengerak rasa mencari-cari yang memperjalankan kaki mata sembap lantai lembap aroma air tertahan lama bercak-bercak sisa usia teriajak sol sepatu pencarian adalah rangkaian penasaran yang terikat duga dan hipotesis setiap teguk hanya tambahan dahaga aku mencinta namun mana aku mendamba namun untuk apa aku menunggu namun reguk rindu tertawan di cawan masa aku tertawa kubiar hasrat terlempar di rawa-rawa

3

bagaimana rindu beket;ja aku tak mengerti bagaimana rindu bekerja seolah selalu menunggu di depan pintu saja tiba-tiba sudah melompat ke ruang ingatan seenaknya berlompatan bermain main dengan kenangan dan harapan mungkin memang tak harus mengerti bagaimana rindu beraksi biarkan saja ia menginterupsi atas lintasan-lintasan bisik hati lalu kuasai ruang sidang nurani

4

dan aku tetap saja tak mengerti bagaimana kau bisa ada di sini berkemah di tanah lapangjiwa di samping telaga kenangan katanya rindu yang menerbangkanmu hinggajarak tak berdaya hingga waktu tak mampu menghalangimu

5

pawai kawuta langkah terhenti lilin hampir padam degup jantung berdentuman antara pembuktian keimanan atau kejelian memaknai keberanian seperti barisan yang betapa rapinya terikat erat oleh cinta ketaatan yang sempurna melampaui batas-batas pemahaman yang sederhana sesaat terhenti pastikan tetap ada cahaya langkah perlahan hati-hati membaca bahaya namun tetap waspada dari jeratan syak wasangka sesekali pejamkan mata biarkan nurani berkata

6

bebat dan sengak malas tanpa semangat kata-kata menyengat benak menggeliat mimpi penat rinclu ini bebal dii�ak malah menebal diacluk justru menggumpal diabaikan pun tetap mengental cinta yang sengak berdiri congkak rasa memiliki yang koyak rasa cemburu yang teri$k-i�ak hadapi badai rasa porak poranda tak bersisa tunduk dalam putus asa harga diri pun moksa

7

kisah se.karat seperti aajing lap ar waktu menguntit kita tak kenal munclur ataupun gentar hingga tiba saat sukma kita dicabiknya membaca sejarah kita berbenah pelan-pelan mitos diri tertatah pada dinding masa pada kerjap rasa akankah saat maut datang aku justru meringkuk takut bergetaran gelisah resah taut bertaut meajadi pengembara tanpa bekal kumal dan kusut perlahan wajah dikunyah waktu mengisut penuh kerut

8

jika tiba maka berkelojotanlah raga susah payah berkelindan dengan dunia meregang raih sekenanya nikmatnya raib bibir mencercau rapalkan kata entah doa entah nestapa mata terbelalak napas tersekat nyawa mengepak tubuh mer egang cepat titik.

9

penat siang terik menggunting kesadaran percakapan dalam diri yang merahasia semacam dusta yang santun tersimpan saja di kantong waktu secangkir kopi dengan kegelisahan yang basah serupa jalanan yang tersiram hujan di balik pepohonan malaikat maut mengintip tak peduli kesiapan kita, kapan saja ia bisa jalankan tugasnya

10

udara terempas dari pori-pori bumi terdorong air hujan menguarlah aroma tanah basah yang memeluk hangat kenangan lalu kita enggan bercakapan membiarkan saja sepi terseduh di sisa kopi kita menarik napas pa�ang berharap kelegaan berharap kerelaan

11

kompetisi ruang ketklakmengertian raung harap kemustahilan bertarung takdir dan harapan gaung dan gema pilihan-pilihan mungkin ini cinta yang terpilihkan atau hanya gulita yang membinasakan gelap yang teramat gelap meniadalah kita dalam dunia tanpa cahaya

12

clua lentera kecil datang berlomba menimba pesona clua pelita bersaing benderang berharap menang dapatkan hati waktu adalah juri menunggu yang sejati tersisa di garis akhir tercecer yang lainnya menepi pinggir

13

cinta tanpa peta angin seaja meajambak kesadaran berputaran di bunderan tempat biasa rindu menunggu lupa hitungan telah berapa lama berulang-ulang gaun berkibaran gaung namamu berkejaran raung magrib menelan se�a perlahan rindu masih menunggu waktu gagu mengajak berseteru aku rebus saja ketakutan hingga tanggal segala resah hingga berguguran semua gelisah

tapi terlambat

14

rindu tetap menunggu sedang cinta tanpa peta kehilangan arah tersesat entah berlipat-lipat jarak waktu utuh menyembelih kita pelan dan pasti harapan pun mati

15

memetuk butan seperti malam itu kau terlelap saat bincang tersisa aku yang menatap ruam-ruam lelahmu setiap senti aku kunyah dalam retina mata, perlahan lahan aku baca sebagai tanda aku baca sebagai nada memeluk sepiku sendiri membiarkan rinduku melepuh terbakar panasnya gelisah tersulut letupnya resah

16

masih dalam lelapmu aku eja per kata terbata-bata dan yakin ini tentang cinta angin malam bergumam purnama memberiku nama pejuang kerinduan yang berharap memeluk bulan

17

bacaan pagi: surat te.ntang ne.ge.ri terulang lantunan kata dan nada tancla-tanda kebesaran tancla-tanda keagungan tentang kemerdekaan yang melekat pada mula penciptaan terikat kita pada darah pendahulu mengeja kerinduan sebagai bangsa atas tanah airnya dua bola mata membelalak atas data dan kata satu lidah dan dua bibir merapalkan kesan dan pesan mengalir-alir tersediakan dua jalan pilih yang sukar dan terjal jalan perj uangan kemerdekaan atas perbudakan jalan kepedulian saat lapar menggelepar

18

bergandenganlah dalam sabar bergenggamanlah dalam kasih bersamalah mereka di sisi kanan yang aman nyaman bukan mereka di sisi kiri yang iri dengki

19

hari baru ah, biasa galau saat mulai perantauan kacau saat tinggalkan kehangatan beraajak dari kenyamanan terjebak dalam rasa kehilangan tapi tak boleh lama ada banyak wajah baru yang harus kausapa banyak udara segar yang harus kaurasa banyak tempat baru yang harus kaupijak di balik sepi ini kita merdeka kumpulkan mimpi lalu jalani yang dulu tak sempat kini lakukan cepat-cepat batu mengimpit telah terangkat saatnya kita berangkat

20

ada yang mengajak kembali bernostalgia membawa seikat Iuka berbungkus kenangan menyanyikan kidung rindu

tapi buat apa?

usia kita tak lama sebelum usai nanti lalu sesal berjejalan bersegeralah sambut hari baru bersegeralah mulai perjalanan

21

mengunyah siang hari pahlawan dan langit pun berawan dan di surabaya pun jatuh korban walau tanpa lawan gempita rayakan berjatuhan tak terelakkan dan di siang menatap awan teramat benderang merangkul angan dan mencoba janjian namun waktu masih tak relakan

22

merayakan terkadang hanya menambah kegacluhan makna justru tercecer di pelabuhan dan kapal pemahaman berlayar tinggalkan kita mana arti manakah kita berarti mana cinta lengkapkah kita bergulita dan kita di tengah terik kota bersama mengunyah siang dengan kata menyusun arti kata korban dan pengorbanan menuntun arti kata lawan dan kepahlawanan

23

kopi matam di 'Bantarge.bang kau lihatlah dari sini, dari sisi langit agar luas bumi tersekap utuh di retina mata dan tak lagi ada masalah sulit hanya tersisa remah-remah kata dunia itu remeh temeh saja ada tak adanya bisa saja dengan mudah ditiadakan hanya hasrat diri yang maaja yang meronta-ronta mengharap dipuaskan

24

maka clucluklah kami malam ini bergelas-gelas kopi tanpa gula kemerdekaan rasa ini bebas dari harap dan citra di sela-sela kita tak ingin terjebak dari goda personal karena ada mimpi negara kita melampaui batas-batas jengah kita sesal terlepasnya jumpa, bergumpal-gumpal

25

asmara merana senja menjamu malam lalu lalang kisah jalang datang hinggap di atap jiwa ada cinta yang tak bertemu seperti sesat sasar ia mencari-cari saja pada langit mereka bertanya-tanya dan angin meajawabnya dengan gelengan kepala tak semua berjawab tak semua layak terjawab bahkan dengan air mata pun tidak hanya kengerian tak terbayang itu datang mendadak

26

apakah itu cinta jika hanya panggil gulita apakah itu rindu jika hanya sisakan sendu apakah itu asmara jika hanya memicu amarah apakah itu rela jika hanya bibit atas kecewa senja menjamu malam, lalu lalang kisah jalang datang hinggap di atap jiwak.u

27

dia dan segetas teh dia duduk di seberang meja, menikmati sendiri segelas teh tawar tanpa gula, sedang kami duduk mengerumuni, melaporkan hal ihwal hari sedari pagi kami ja.lani dia berbicara banyak, tentang usaha tak boleh berjeda walau halangan menampar-nampar. jika ja.tuh maka segera bangun dia sadar ada ilmu harus dibaca berulang-ulang, detail dan jelas bahkan atas rencana kebaikan yang akan kita jalani dia mendongengkan kepada kami tentang orang­ orang rendah semangat, mudah mengiba padahal tak layak meminta, dan mereka bisa saja. lupakan Iuka kita yang telah kita pikul 10 bulan lalu

terlupa seperti mudah saja

28

dia bercerita banyak hal, dan ceritanya seperti memberi energi untuk lalu lebih yakin dan angka-angka merencana pada papan tulis terukir dalam dinding

sebelum seaja melumat kami gelas teh itu dihabiskannya sendiri.

29

catatan siang. di pesantren tuna netra dunia tanpa cahaya namun tetap bersinar ada lentera di dalam benak tergerai pemahaman yang benar memadu dalam gerak dalam remang itu bersama tinggalkan gamang berpegangan dalam nalar benderang untaian cinta erat saling pegang jalani segala k.urang ini dengan dada tetap lapang narasi illahi adalah teramat cahaya mengulang-ulang dalam bilik ingatan me$,di tenaga menyimpannya dalam benak yang terjaga kami bahagia, kami bahagia

30

hari-hari serupa temali teruntai erat sekali detik detik serupa senandung terkepung dalam gelap menggantung mata ini k.uisi cinta penglihatan yang hilang ini terganti oleh netra kamaja.ya me�amah semesta tanpa dusta usir enyah kelam nan gulita

31

kajian dhuha membaca naskah-naskah lama dan warna pudar itu menyemesta semua me�adi kecokelat-cokelatan dan begitu pun kau menyatu dalam kata kerinduan mengisap energi dari para pujangga dan para peletak pilar negara menikmati narasi-narasi yang kini terbukti mimpi itu energi serupa api membakar diri menyiasati sejarah masa depan kita sendiri dan begitu pun kau melarut dalam kata kemerdekaan

32

membicarakan langkah-langkah sepi pamrih di setiap tanda:-tanda masa membisikkan arti diri walau lirih di setiap bukti-bukti bangkitnya bangsa

dan begitupun kau melebur dalam kata keja.yaan aku dan kau bertatapan lama persis sebelum matahari benar-benar terik dan terang lalu air mata kita berkilat benderang merayap di pipi kita relakan saja berdua dikunyah sepi

33

ngangi sungi seberapa sanggup kau menahan badai kesunyian tiba-tiba ketiadaan mengurungmu nihil yang sempurna seberapa mampu kau menangkis serangan tangis tiba-tiba kedukaan menyerbumu tragis yang sempurna seberapa bisa kau memaknai bisu dan bungkam tiba-tiba kebenaran enggan lagi disuarakan kepengecutan yang paripurna satu-satu jadi bukti yang berani lalu mati yang gigih lalu tertindih yang kokoh pun lalu rontok seberapa indah kematian yang kaupilih akhir napas tanpa gamang dan ragu atau sekarat lama dan perlahan karena kepura­ puraan yang mengekal?

34

memaknai pag.i menuncluk dalam pagi pejam berpetualang dalam sepi makna mengiris mimpi tajam pilah mana kenangan yang layak dengan harapan mana persepsi orang atas diri kita yang relevan dengan tujuan tak semua pantas kita korbankan usia terlampau pendek untuk sekadar risaukan kemungkinan menuncluk semakin dalam hingga menyentuh dasar terdalam mata air terpancar pencerahan segar menampar kita manusia-manusia kuat penuh semangat hari-hari adalah pembuktian atas kata-kata narasi ini adalah batu bata dalam bangunan peradaban nyata

35

drama masalah serupa anyaman berimpitan dan berkelindan tapi tak harus ada keluhan karena selalu ada irama di sela-sela Iuka seperti kita pada siang yang terang berdua mencari-cari makna di parkiran samping taman dan banyak wartawan lalu lalang kita petualang jalang namun siapa sangka? dosa yang kutawarkan tak kauterima namun mata kita hubungkan sinyal dusta yang sama ini rasa purba sejak qabil dan habil dulu dan siang k.urelakan saja menarik keras kerah haj uk.u, terentak empaskan ak.u ke trotoar tatap mata orang lalu lalang tak k.uabaikan

36

dan kita lalu lebur dalam kata bahwa ada se�a yang akan kita libatkan dalam cerita dan meleburlah kita serupa riak air di pantai bermain-main saja. basahi telapak kaki hingga habislah kita menyublim dalam nada yang sama iramanya Iuka nadanya hangat darah dalam benak mengalir berdenyutan

37

adakah adakah kata yang d apat mewakili air mata gacluh lalu sepi adakah kata yang bisa menawarkan Iuka sedu sedan lalu basah di pipi adakah nada yang mampu sampaikan war ta sedang tawa kece wa kaburkan nurani adakah makna yang akan antarkan kita pada rela sedang waktu terburu detik pun meringkik

38

adakah kau sudi sekali lagi bertatap mata lalu terdiam telah usai

39

kitajug.a kata, sama kita juga kata sama, terlahir merdeka kata merdeka dalam benak kita kata merdeka dalam lisan kita kata merdeka dalam tulisan kita dan kebenaran telah lama bersemayam dalam relung nurani hanya hasrat syahwat yang menutupi hasrat berlama-lama dalam kuasa hasrat berlomba-lomba dalam dosa lalu dengan ringan peajarakan isi kepala orang-orang seperti selalu punya ke wenangan atas gerak hati semena-mena mengatur-atur mimpi terkadang bahkan menutup pintu saat kebenaran datang bertamu hanya karena kebenaran tak datang dari sisi kita

40

dan kata dalam tulisan bisa saja dicore t atau disobek dan kata dalam lisan bisa pula dibungkam dan dibekap namun kata dalam pikiran tak dapat disobek ataupun dibungkam ia mengendap dalam benak kata juga kita sama-sama meronta berharap merdeka

41

aroma hujan awat musim dan hujan di awal musim deras menghaja.r malam mengguyurkan mimpi di benak mereka bermukim tumpang tindih selam-men yelam mimpi saat lelah selalu berulang tentang mencari ja.lan pulang sasar arah dan kaki berat melangkah timbunan pekat mulai meresah

42

bagaimana pagimu nanti adalah sisa-sisa mimpi ini bercampur aroma hujan dan secluh kopi harapan tanah basah aroma sisa hujan k.uhisap sesap k.usingkap harap

43

distansi saat kopi terhidang ak.u hanya duduk memandang kau justru merayap di dinding restoran menuliskan kata-kata bahwa kita tak lagi sama tak lagi bersama dan saat roti bakar itu terhidang ak.u masih duduk saja memandang kau mulai menyanderaku dengan jilatan mata terpanggang harga diri oleh hara kata-kata padahal kita ada dalam satu peta kota ada dalam rencana yang tak beda jalan pintas mimpi yang itu-itu juga semua paham pada akhirnya kita jumpa pada tawa yang sama saat dunia puma serupa terjaga dari mimpi lama

44

tertawa bersama karena betapa lucu kita berdrama di sepanjang usia hingga masa usai kita tawa dan air mata kecewa

45

sajian senja pada meja se$ kita disajikan fragmen orang Iaiu Iaiang kerut dahi resklu beban hari hiasannya cinta girang dan jaiang kisut hati sisa-sisa Iuka dan nyeri semangkuk sop wasangka dengan sambeI pedas caci maki kenikmatannya pada rasa perihnya Iuka Iaiap canda nan segar seteguk rindu menggelepar

46

adakah sama sebuah pertemuan di masa yang berbeda? adakah sama sebuah j umpa atas nada yang tak lagi bertanda? kita hanya sek.umpulan ilalang yang terantuk-antuk angin menunduk di tengah impitan kepentingan dan ja�i ja�i kita hanya sekawanan serigala kelaparan dengan lidah terjulur tertampar-tampar badai kesepian yang mengunyah perlahan kesadaran remang perlahan runyam dalam kelam

47

sang. pejatan sang pejalan berlari memunguti resah dari keranjang-keranjang ragu di sepa$ng hari diikat-ikat dalam temali duga direndam dalam diam di akhir malam hingga menggumpallah makna me�adi yakin me�adi nyala keputusan yang benderang sang pejalan melangkah entah sampai kapan berbekal harapan temukan sebongkah pemahanan yang utuh agar menelan segenap makna penuh variabel hidup tumpah seluruh walau benak bersimbah peluh

48

sang pejalan masih berlari hinggap dari rumah ke rumah dari rumah pemikiran hingga rumah perenungan sigap menangkap ilmu dari remah gelisah hingga cercah hidayah ini mozaik yang terserak perlahan tersusun utuh sang pejalan masih terus melangkah hingga kelak maut datang menahan

49

ubah arah seberapa jauh kau memandang menentukan seberapa tepat kau pilih cara untuk melangkah terlalu pendek jangkauan mata membuat cara langkah kita goyah dan tak tertata hanya rangkaian reaksi semata-mata tak berpola tak berpeta seberapa jauh kau memandang menentukan seberapa yakin kaupyakkan langkah pasti karena telah direnungkan secara teliti mantap karena dasar dan alasan telah diletakkan bertahap­ tahap

50

sebelum terlalu jauh bentang antara jarak usaha dari hasil kenapa tak kauubah arah?

51

me,y.arah g.empa tiba tiba semua meaja.di kelam bagaimana ombak itu bergegas empaskan mimpi serpihan harapan terserak gelap tiba tiba nalar dan rasa mengangkasa niat baik tak bersambut peajarahan menjadi kegacluhan baru sebelum sembuh benar sayatan bencana ini meajaga nilai manusia memang takkan usai pyar kecil terempas gigil hanya akal sehat yang sanggup jaga bersama embus rapal doa lamat-lamat alam pun mengaminkan sisa-sisa malam pun mengaminkan

52

aroma taut pada dermaga, suatu siang, perahu nelayan bergerak diguncang ombak lembut perlahan aroma laut menusuk hingga dasar benak sebusuk perilaku pemodal memberangus kehidupan anak-anak meliar, tak terdidik hasrat jahat mengupas napas tersaruk-saruk lambung kapal di dangkal dermaga tersaruk-saruk lambung manusia di pangkal lapar rumah kerang dikupas, rumah kerang dilepas asap mengepul paru-paru penuh tersenggal-senggal satu tong clua puluh lima ribu saja masa bermain lenyap masa riang senyap aroma laut terenclus menusuk hiclung aroma busuk kedengkian menguar lebar hingga ke mal di seberang sana menahan dalam derap berirama tak mudah hutuh senyum lebar desah napas sabar esok masih ada hari depan terhampar

53

permata makna selalu ada selisih antara cluga harapan dan hikmah selalu ada jeda antara anggapan dan kenyataan selalu ada ketidakpersisan tapi kecewa tak harus selalu kita bawa tapi sesal tak lalu selalu kita rapal kecerdasan memaknai kenyataan itu seajata utama

54

jika berhasil terlalui maka yang ada hanya senyuman apa pun yang terjadi itu hanya tentang bagaimana cara me�alani bersegera mengubah arah langkah selamatkan kita dari jerat lemah dan kalah jika belum berhasil maka menuncluklah dalam-dalam permata makna itu ada di ceruk terdalam dasar bumi menunduklah dalam-dalam

55

patu pitu bencana datang di luar batas duga sekejap memorandakan rencana pesan langit agar selalu bersiaga keputusan itu pasti dan bisa kapan saja saat empas kitalah bongkah cinta ini tertampar gelombang kitalah serpih kasih rengkuhan tangan sebisanya bernapas semampunya di sisa-sisa gelapnya buih hitam tersedak di penuh dada pekatnya ombak tersekatnya napas berbiak sakit mengunyah kesadaran kerinduanNya yang memeluk hangat jiwa-jiwa terpilih terseraklah makna tercecerlah kesadaran pasti ada titik di akhir kalimat pasti ada henti di derap langkah

56

tawan saja hantu itu berdiam di gelap malam berbisik-bisik di ruang ketidaktahuan menebar getar-getar permusuhan me�erat dengan jebakan saling curiga hantu itu tak berbentuk namun jejaknya terasa nalar terseret dan terantuk bentur aromanya jelas terasa jika tak ada lentera, pejamkan saja mata biarkan akal sehat tabik selamat kejar pemahaman utuh itu agar jelas agar terang benderang saat bulu kucluk terbangun arahkan mata dalam gelap jangan berkedip paksa mata hantu itu bertatapan nyalakan nyali bakar kobar jiwa

lawanl

57

perempatanjatan mengapa hanya berhadapan tanpa sentuh tanpa rengkuh serupa dua sisi yang bersebeiahan pada bidang segi empat berjarak kaku rasa memiliki ini muia semua Iuka Iuka kehilangan Iuka ditinggaikan Iuka berjaian sendiri di bawah hujan dan di perempatan jaian tak ada kau tak Iagi ada tatapan

58

rasa yang naif rasa kehilangan atas yang tak termiliki dan air mata j uga hujan bersama basahi kertas unclangan di tangan ada nama kau ada nama lelaki itu cintaku terserak di perempatan jalan kataku tersedak di isak sedu sedan

59

te.sergap pengap ruang ini lembap cahaya tertahan ruang ini pengap udara terdiam bukalah jendela biarkan mentari mendekap bukalah jendela biarkan angin lalu lalang di sela-sela merdeka me�adi kata rindu merdeka me�adi tanda tanya berpikir itu bulir-bulir sisa embun tersiksa sisa dalam patuh yang tak masuk akal kita bahkan mengiris perlahan keyakinan menaburkan padanya debu-debu keraguan dan jendela masih saja tertutup meringk.uk dalam kejumudan pa�ang

60

hitang di keramaian rimbunnya rimba beda ada yang hilang di keriuhan derasnya kedunguan ada yang raib: kemanusiaan nyawa menjadi cuma-cuma dibiarkan meregang sia-sia dalam kerumunan tawa dan pekik caci maki

61

mengapa dipaksa memitih? gerak hati itu roh atas amal bersit jahat kuasai jiwa bisa dahsyat porandakan kapal menelusup dalam saling percaya berbisik-bisik dalam embus ketaatan tanpa daya sikap kritis itu sengat atas lelap tapi rasa hormat kalap justru lahap mengunyah rapinya barisan belati dia cungkan pilihan yang sama mematikan padahal tanpa disegerakan dan dipaksakan justru tak ada riak namun tetap saja berdalih penyelamatan padahal pembantaian mengapa tak kaup ejamkan mata lalu gumamkan doa agar terbukalah petuajuk biarkan nalar berikan isyarat mana penghancur mana penabur kasih sayang?

62

sejarah takutku dari mana ketakutanku? dari betapa pekatnya larutan mungkin ini penuhi kerat-kerat masa sepekat asam laktat di sekujur tubuh di ujung senja dan kemungkinan ialah rangkaian keticlakmengertian saat tahu itu hanya duga saat hitung sebab dan akibat itu hanya merapal ramal bagaimana aku lalu tak takut? lentera di perjalanan gelap ini adalah percaya bimbing langkah meaja.di tak bergamang namun saat api percaya itu padam maka gelaplah langkah maka mata luluh dalam tangisan ketakutan itu menggumpal menjadi kekecewaan bertubi-tubi, berjilid-jilid

63

puncak bung.i: sung.i pada akhirnya kau menyelam dalam kelam kau lenyap dalam senyap kau lebur dalam sulur-sulur kata pada akhirnya puncak dari bunyi memang sunyi masa pencitraan akan usai orang-orang lelah berebut untuk terlihat orang-orang rindu duduk meringkuk di ceruk dan pada akhirnya puncak dari bunyi memang sunyi kau riuh dalam gemuruh rinduku pun akhirnya meredup kau riang dalam gempita asmaraku pun akhirnya mereda

64

gelora mempunya perlahan platonik mendewasa mendewa sang rasa tak lagi sekadar terasa melainkan ternikmati jadi lantunan anggun pada akhirnya puncak dari bunyi memanglah sunyi

65

toka hati hitamnya malam kuberteduh hitamnya kopi terseduh kelamnya hidup teramat gaduh manusia tersuruk aduh-mengaduh kuda liar itu meringkik hasrat liar itu bangkit mana kendali mana tali kekang terlepas saja dan debu beterbangan keluhkan kebebasan yang terlampaui rindu jeratmu rindu tertambat olehmu peluk aku dalam jerujimu

66

tejar asam laktat menempel erat penuhi sekat-sekat di sela otot dan urat saraf mengirim pesan ke pusat benak terpejamlah kelopak mata redupk.anlah kesadaran turunkan fungsi otak kecil hingga goyang dan limbung berdiriku lelah serupa larutan kental dan aku terjehak di dalamnya gerakku meajadi lamban menyempitlah ruang pandang perlahan pejam perlahan memudar perlahan lenyaplah sadar perlahan lepaslah genggam

67

kaku be.ku bersabar itu menahan membuat ruang antara mencipta jeda tak berkabar ini ujian membuat ruang tanpa kata mencipta rangkaian nada iramanya detak jantung kita ada namun tanpa jumpa hanya deru napas di kejauhan terlepas saja terbang jadi bongkah air di awan sana ketukannya denyut nadi kita rindu tapi tak terikrar hanya resah yang membelukar tertahan dalam kabut gulita akudan kau tersekat kaku terikat beku

68

se.mpurna lelaki itu ingin semua sempurna seperti saat sepulang kerja ia melihat rak buku miring beberapa incL ia lalu sibuk memperbaikinya tak peduli menunda makan menunda mandi saat warna cat tembok berbeda sedikit saja itu membuat ia mengganti cat hampir seluruh ruang kadang lelah mendampinginya namun ada bangga, jika ia selalu ingin sempurna maka itu berarti ia anggap aku sempurna karena ia memilihku

69

mati itu pas ti sepandai apa kau hadapi kecewa? sepandai itukah kau pelihara tawa hidup demikian menak.utkan adalah serangkaian kemungkinan yang tak termengerti tiba-tiba tak tercluga meajadi irama apakah masih pantas terkejut jika kejutan itu meajadi pengulangan? kita dan maul serupa clua titik berlarian petak umpet maut terus mencari kita terus berlari dan sembunyi

70

pada masanya akan salingjumpa semoga tak kecewa semoga meajadi saat penuh bahagia saling merinclukan karena telah lelah dan bosan bermain cari mencari ingin rehat saling genggam erat saling rengk.uh hangat mati itu pasti jika tak.ut maka tak.utlah di sepaajang hayat

71

ruang sunyi mana tagi pasar terlalu gacluh lalu lalang kepentingan keberpihakan melarut jenuh berpetualang para makelar jabatan di ruang mana lagi bisa simpan rapat kesunyian selalu ada celah balok rahasia terbelah di ruang mana lagi bisa simpan rapat kedengkian selalu ada sela tempat aroma busuk menguar dada ini terlalu gacluh bertubrukan keinginan hasrat hati melarut jenuh berkelakar ketulusan tertawakan ambisi yang kekanak-kanakan di ruang mana lagi bisa simpan rapat kesunyian?

72

aku rindukan puisimu kurinclukan larik-larik puisimu pada secarik pagi agar dapat kueja perlahan serupa gumaman tertahan dada ini butuh siraman narasi basahi jiwa yang kering oleh dengki lembapkan hati yang gersang oleh prasangka agar diri berhenti meronta terbakar hasrat berkobaran kurinclukan bait-bait puisimu pada secangkir sunyi agar dapat kusesap senyap perlahan sebagai kuliner rasa nikmat masa diam menggemaskan bisu ini tetap butuh kata me�adi benih ide rimbunkan oase jiwa agar tumbuh subur harapan agar bermekaran bunga-bunga mimpi aku rinclukan puisimu

73

pahata bahwa untuk mereka adalah surga mereka menja.ga iman juga beramal baik keimanan itu jadi pelita energi tak kenal letih karena kerja. adalah urusan mereka dengan luhan mereka saja dalam sunyi kerja dalam riuh pun kerja bahwa untuk mereka pada akhirnya adalah semua balasan terbaik atas amal terbaik membalas baik dengan terbaik membalas keculasan pun dengan kebaikan tuntas dan sempurna dan aroma harum itu menyebar dalam serbuk bunga di musim semi dalam tetes embun kesejukan pagi dalam kata-kata pada lembar sejarah mengabadi

74

kabar mata apa kabar mata? berapa kali kedip hari ini pasti banyak cerita terisap kornea hingga retina dan jadi data tapi malu-malu sesiang tadi tatap sekilas saja apa kabar mata? berapa kata kausesap maknanya betapa lelah hari-hari rupiah pasrah terkulai sekarat lalu lalang kebutuhan saling sikut keinginan bertabrakan berdenyut di dasar perut apa kabar mata? kutahu kau rinclu gulita kelopakmu ingin istirahat tubuh renta rubuh rindu rebah

75

jang.an malam teramat maaja bersandar pada tiang listrik di taman terasa tertekan; dahsyat rinclu ini menguliti diri mananorma hilang arah ia-hilang kendali ia malam teramat janggal berdiri tak tegak di tepian jalan terasa asing dan sepi sangat; demam cinta ini meluluh lantak sunyi mana kesopanan hilang hitungan-hilang kehati-hatian

76

seperti gila saat muda dan mula-mula jatuh cinta dulu meledak ledak dalam dada udara pekat angin perih Iuka hasrat tersayat-sayat jangan lihat ke belakang jangan lihat aku jangan dengarkan rintih lirih jangan pedulikan tetes darah dan air mata yang berkecipakan dan menggenang di sepanjang usia jangan

77

pandir totot aku pandir aku tolol bocah ingusan berdiri mengiba cinta di depan putri anggun dengan gaun mewah warna merah darah aku sibuk permalukan diri menumpu-numpuk puja-puji padahal tak ada arti aku pandir aku tolol bocah telaajang dada tanpa kesopanan sibuk berteriak-teriak meminta mengemis perhatian dan sang putri semakin jijik saja berbisik ia kepada sang menteri agar ajari si bocah kitab tahu diri

78

aku pandir aku tolol berjongkok di tepi pagar istana gigit ibu jari sambil mengeja pelan pelan tahu diri; tahu diri; tahu diri; pandirnya memuakkan tololnya menggelikan tak tertolong sang putri berpaling sang menteri kirimkan perintah algojo pancungsajasi bocah dan malam aku bocah tanpa kepala tetap pandir tetap tolol menunggu fajar yang tak akan ternikmati

79

proktamasi di ruang itu berhadapan mata-mata berkata-kata tentang kegetiran air mata dan cerita kerincluan itu berbuah kerancuan pantaslah tak mudah menuntaskan kerincluan bangsa untuk merdeka ada keresahan ada kegelisahan berserakan, remah remahnya harus disusun ulang pelan-pelan berhadapan dekat bertatapan lekat bercakapan hangat tanpa sekat

80

bahwa telah ada pengingat lewat mimpi buruk berjingkat jingkat juga teguran singkat harus beranjak sebelum terlambat sebelum kelak diabaikan dalam dosa yang berkarat lalu kemerdekaan pun diproklamasikan juga kemerdekaanmu atas segala belenggu rindu tersisa, hanya aku peajajah murung menunduk di sudut bilik ratap mengulang-ulang kalimat sesal mengulang-ulang kalimat sesal

81

pengetamatan pertemuan itu menclekap makna yang terserak lalu terkumpul dalam genggam di tepian telaga jenclela jiwa kuraup airnya bertebaran dari sela genggam kau tak menangis tapi berair mata dosa di mana kan bermuara jika kesadaran yang dirinclui itu tak kubaca pula isyarat-isyaratnya entah di mana dosa ini kan bermuara selamatnya kita memang pada kemampuan membaca jejak jelaga tercecer dapat kauraba ke jurang mana henclak kuterguling dan mata itu mata penyelamat tanpa kata namun terbaca sebagai ajakan berhenti di akhir birama

82

sulut hara pengingat bahwa kekanak-kanakanku bahayakanku nanti suatu hari kan membakar hangus diri tak bersisa selain arang sesal

83

eda duga aku tak ingin beraajak pergi lalu rugi tak ingin keluar dari lingkar ingin tetap bersama dalam lantunan irama iman siapa yang kan enggan ini barisan hangat dan nyaman aku tak ingin tapi angin badai keras menampar fragmen-fragmen berdatangan menyatakan bukti atas duga yang sempat terjeda gamang meajadi rima terulang-ulang setiap hari hingga seaja, saat indah menatap langit mencari jawab mengais-ais kemantapan hati

84

petukan siang. kuperlukan pelukan untuk satukan setiap lekukan kedekatan detak dua jantung menyeirama kubutuh sentuh utuh rengkuh segenap tubuh bahasa rasa kalahkan aksara dan kata tanggalkan segala janggal jengah dan rikuh ini peleburan ini kemelekatan seperti siang tanpa gamang menyatu dalam terang kerontang silang kilaunya sayat kedip mata mula perih lama-lama membiasa

85

meriang jadi aku bercakap -cakap saja sendiri sore ini gumamkan kidung seaja sambil berjalan menunduk menghitung setiap langkah sebagai setiap peruntungan pilihan-pilihan beranak-pinak mengunyah energi menebak-nebak terjal menanjak me�ebak kesadaran dengan membuka lebar benak

86

mengapa kesalahan seperti curah hujan? mengapa kekeliruan seolah benih tertebar? apakah usia akan bisa selamatkan? apakah waktu akan bisa membantu? di bawah matahari tua kering keringat sisa-sisa ingat kesepian yang sangat

87

netra kamajaga bagaimana cinta menyihir semua? lalu angin menjadi merdu kegaduhan itu meJ!iadi simponi kelelahan itu meJ!iadi pemicu rindu mabuk tanpa arak sibuk tanpa sorak sorai jika ini tak lagi seru, kenapa tak kauulangi saja? carilah tombol pemutar ulang dan biarkan batara kamajaya bekerja detik menjadi ketukan deru napas me�adi nada keindahan itu lahir dari titik terdalam pada benak memercik percik api kecil perlahan membesar kehangatan itu mungkin terserak mengapa tak coba kembali kumpulkan jika tak mudah cobalah pindahkan netra kita agar tawa terus dalam rima agar gelora tetap dalam birama

88

89

metamorfosa rasa dan sayang itu ternyata rahasia sebab cuaca mana bisa kutebak seperti ruam pada sisi langit yang dulu sempat kita singgahi seperti mengerti yang tiba-tiba tersesat di bilik mimpi masih perlu kaucandai duka ini dengan air mata? dan sayang itu ternyata dalam diam sepi yang meaja.di api dalam gelap debat tanpa arah bukankah indah itu jika mata mengerjap karena terlalu silau oleh cinta dan sebelum buta aku nyanyikan saja dendang semenjana

90

menatap setiap aksara dengan demikian saksama hingga tak ada lek.ukan huruf pun yang tak k.umengerti, semua benderang dalam benak kebahagiaan yang sempurna karena renta raga ini seolah moksa lebur dalam larutan kerinduan yang meraksasa sempurna sayang sempurna Iuka ini me�adi cinta yang benar-benar

91

kersik masa pasir adalah catatan jejak yang terinjak bersama pecahan batu karang itu sempat aku pungut namun kau bilang tak perlu ingatan bagimu tak butuh itu di pantai aku tenggelamkan kakiku dan malam pekat teraduk rinclu debur air itu aku kirimkan kepadanya sementara kau dan air mata mencatatkan Iuka bercengkerama dengan riaknya berbagi cerita tentang Iuka yang diulang tentang genggam yang terlepas oleh culas

92

senyap dan hangat pasir dan butiran pecahan rumah kerang memeluk telapak kaki mengirimkan isyarat purba tentang cinta dan ketakutan ditinggalkan debur menclebar riak menyeruak gelisahku bergetar hebat aku memelukmu saja dan ia masih saja di isi kepala angin pantai meajadi dengung terjehak aku pada rumah siput Ngung

93

sauh diri aku mengeja malam lagi saat kembali risau oleh benar dan salah hanya menyangkut pada tautan anggapan seperti kepingan kayu terpapar ombak di tengah lautan tertampar, terlempar ke sana sini

"aku butuh jangkar _ aku butuh jangkar_" tanpa jangkar sesat arahku betapa sekitar berputar-putar serabutkan harapan buramkan kebenaran buyarkan keyakinan

94

ada yang sibuk mainkan irama kedengkian ada yang sibuk gubah lagu sedih ada yang sibuk goreskan lukisan ketakutan ada yang asyik mainkan tarian kegelisahan

" mana )mgkar _ mana )mgkar.... "

95

meringkuk datam diri maka ak.u gali saja karena di kedalaman itu goncangan lebih tak terasa maka ak.u mulai menggali l agi pelan namun gegas k.ulit jemari terkelupas asin keringat menetes lewati bibir maka ak.u terus saja menggali karena kedalaman adalah kenyamanan ceruk tenang untuk meringkuk jauh dari desau angin gu�ing sunyi dari debur cela

96

demikianlah

aku masih terus menggali

97

te.ntang pe.mbuktian ini tentang pembuktian semacam lahan pembuahan mimpi menjadi kata dan kata tumbuh meJ!iadi nyata ini tentang pembuktian sedang nama dipertaruhkan mau tetap tinggal atau musnah pilih sendiri nasibmu ini memang tentang pencapaian walau menggapai itu tak lalu mena�ak lebih tinggi sesekali ada pengulangan dan pengulangan itu kadang sekali lalu sekali lagi

98

dan mata nanap mencari tatap mana keteguhan mengapa terjebak oleh demikian banyak keraguan dan mata tertambat juga akhirnya pada ceruk pangkal retina agar lalu perlahan merayap ke relung o tak untuk mengoyak kenangan untuk mengaduk-aduk ingatan masihkah? lalu tanya aku jebak saja pada simpul senyum itu

biarkan saja biarkan saja

99

tabirin takdir seperti angin yang datang bergegas tanpa sempat ditangkap oleh cluga bagaimana rinclu seperti kehilangan energi terbentur karang lalu gemuruhnya tinggal sisa-sisa menyentuhi kaki hati betapa cepat ia terlepas dari jemari lalu awan aku tatap saja karena meraihnya itu tak mungkin apakah

memang demikian fragmen ini biasa dimainkan? alur cerita yang cepat bergelora lalu tiba-tiba saja berhenti berdendang tanpa simbol birama yang tertangkap

100

mestinya memang semua terbaca dari mula namun memang tak mudah perut meaja.di mual tatap mata penuh kunang-kunang apakah ada terkejut yang dibiasakan apakah biasa terkejut itu masih layak disebut kejutan? rencana dan kejadian memang misteri labirin takdir yang tak satu pun makhluk layak menggambarkan petanya

101

tetaki senJa lni tentang seorang yang clucluk di pinggir ja.lan layang, saat orang-orang lalu lalang pulang kerja. Entah apa yang ia pikirkan. Mukanya datar, tak terbaca sedang marah atau bahagia Yang tampak dari garis wajahnya adalah ia sedang berpikir entah apa Senja ia nikmati. Bersama aroma jalanan ia hayati. Tatap matanya tak fokus, seolah tak peduli ada apa di depannya Bisa jadi ia korban PHK. bisa pula ia lelaki yang enggan pulang karena kehilangan makna surga di rumahnya Bisa pula lebih parah, ia kehilangan kewarasan karena masalah yang ia pikul. Memang pasti bukan masalahnya yang terlalu berat untuk dirinya, melainkan cara pandang atas masalah yang memberatkannya sendiri. Ta.pi tanpa kesadaran tentu ia tetap akan tersesat, dalam belukar masalah yang ia pelihara sendiri. Lelaki yang malang.

102

Lelaki itu masih di sana. Tatapannya kosong. Wajahnya entah bahagia entah sedih. Menikmati se�a dengan caranya sendiri. Sementara aku di bis ini, memandangnya saja. Sambil membuat cerita dari duga-duga dalam kepalak.u yang sengaja ak.u pelihara. Tak seluruhnya bena� bahkan bisa jadi seluruhnya salah. T api aku menikmatinya, ak.u biarkan cerita tentang lelaki itu tumbuh kembang di kepalak.u.

103

gerimis mengungahku Di luar hujan. Gerimis. Suasana yang ak.u suka sejak clulu. Sedang di sini, saat gerimis di luar sana itu, aku berdiri resmi di depanmu. Aku mencoba senyum dan berucap dengan kalimat sesopan mungkin. Ak.u sampaikan terima kasih yang menclalam, untukmu, atas perhatian dan kebaikanmu. Bagik.u luar biasa. Kau memang serius ekspresikan rasa itu. Dan di luar memang hujan. Gerimis. Seperti pestanya rintik hujan yang menyerbu bumi. Mereka bernyanyi sambil meluncur deras. Beberapa saat setelah itu aku berlari menikmati iramanya. Kuanggap nadanya iringi detak jantungku. Betapa banyak yang kita mengerti sulit terjadi itu j ustru kita pilih menjadi keinginan. Betapa banyak waktu yang kita taburkan untuk keinginan-keinginan yang rumit itu. MeJ!iadi iri, atas senyum mereka yang putuskan hid.up dengan demikian sederhana. Hklup yang nyaris tanpa keinginan, karena langkah kaki hanyalah "sak dermo ngelakoni".

104

Memang tak mud.ah. lerlebih untuk jasad yang seolah hanya nampan yang penuh oleh hasrat dan luapan keinginan saja. Saat diingatkan, kita spontan berdalih ini manusiawi. Entahlah, mana yang sehar usnya mana yang tak sehar usnya. Mungkin hidup adalah rangkaian pertanyaan yang berjawab namun melahirkan pertanyaan bar u. Di luar, aku menatap langit, membiarkan gerimis mengunyahk.u. Aku biarkan. Aku biarkan saja.

105

percakapan Aku mulai dari.... "kata yang menggumpal di atap benak, kaupanaskan agar mencah:..." "keheningan dalam riuh lalu lintas ini me�adi bongkah batu baranya._" "cukuplah aku pejamkan, mendklih rongga otak dan gumpal kata itu menetes...." "mungkin hasilnya tak seperti yang kauminta, karena ini tetesan kata serupa embun_" "namun kau boleh nikmatinya, kecaplah, akan kaurasai maknanya. Pastilah itu tentang sebuah prosa yang bernas makna. Tentang ilmu yang serupa suluh, menerangi, membahagiakan...." "Iayaknya suluh maka dunia kita meluas karena gelap terusir ke pinggir. ketklaktahuan yang banyak tak terkira itu perlahan dilumat oleh terang " cahaya.... ')a.di duduklah sini bersamaku, nikmati sajian ini secara sabar. Di sini tak ada pribadi yang telah mati terikat oleh stempel diri aku itu emang beginf. karena di sini memang rumah para pembelajar. yang mengenal ketakbersudahan cinta juga proses itu...."

106

"tak ada saling menyalahkan, tak ada saling ungkap kekurangan karena saling menjadi guru itu tak lalu boleh menggurui'' ')a.Iani saja ... kita sama-sama buta peta Hanya suluh kecil ini, yang kita pegang bersama yang menuntun kita...." ')ika kau masih ragu maka berhentilah. Lalu pejamkan matamu. lni semua memang tentang diri kita Kita bersama toh memang hanya di sini ... di logos kecil bernama dunia ini. Kelak saat kembali ke logos besar itu kita memang sendiri. Jadi tak mengapa berma�a-ma$ pada sepi saat sendiri. Dan itu pun yang ak.u nikmati belakangan ini." "Kuncinya walau sendiri kau harus yakin bahwa kau bahagia Karena bahagia itu memerdekakan. Saat sepi usir gerak benak yang mengatakan riuh dan hangat itu indah ... tapi sebaliknya bahwa sunyi itulah kenikmatan_" "Sebaliknya saat dalam kehangatan dan kebersamaan yakinkan bahwa kita bahagia dalam kondisi ini. Kurasa demikianlah ak.u pahami makna syukur itu." "Angin malam menampa� aroma belukar terbongkar ... menyeruak ... aku bersegera berdiri. Menghardik sepi. Ayo temani aku menikmati kopi, mungkin itu terapi hati yang saat ini aku butuhkan."

107

katimat tanga gang mengiba jaw aban merajut senja bermula pada kata yang bertautan jawab berjawab dan senyum dalam debar harap yang pemalu seperti sisi gelap rembulan yang tak terbaca oleh matahari jalanan apa ini, semua serupa baru untukku bahkan wajah cerah yang kaubawa terasa baru dan nyaman untuk kusimpan jaga dalam ceruk ingatan terdalam bagaimana memainkan kebetulan yang ternyata terencana lalu buku yang kita sandingkan dengan bergelas kopi

108

seperti nukilan itu "bahwa terkadang kita harus perankan orang lain sebelum _ akhirnya kita kenakanjat.i diri kitayang sebenarnya." demikianlah, lalu hujan deras menghajar. deras teramat deras ... hingga jejak kaki terhapus dan seaja memisahkan.... "mengapa kedua insan yang teramat saling mencintai justru tak dipertemukan dengan mudah. sebaliknya pasangan yang tak terlalu mencinta justru dengan mudah dipertemukan?"

109

kita datam birama kita me�adi bagian dari nada yang berlarian dalam birama waktu adalah berahi atas gema untaian dengung yang menggumpal dalam bilik telinga kita berkejaran bertautan namun tak saling mengalahkan abai atas urutan mana dahulu mana belakangan cepat dan liar pun ternikmati terlebih lembut dan pelan

110

dan rasa menjadi melodi juga hasrat menjadi dentam perkusi

mana chorus? kutunggu di penghujung birama

111

senandung Ci

ak.u dan sesuatu di kepalaku tak bersinergi menyimpan nyeri di pangkal o tak lalu terlelap pun berselimut mimpi buruk )mgan lari dari masalah rambut gondrongmu dengan memotongnya.... " ak.u dan bisikan dalam hatik.u berselisih menciptakan percikan dalam rongga jiwa lalu dalam diam pun hati gacluh oleh perbincangan

112

"setan sudah terlalu banyak di muka bumi ini, aku tidak mau jadi bagian dari setan. Karena jadi manusia yang menakutkan pun sudah mengerikan.... " dan hujan pun menghaja.r bumL keengganan atas metafora itu terabaikan karena hklup memang lantunan puisi pa$ng sepa�angja.lanan basah dan genangan air betapa cinta mungkin saja terbebas dari belenggu rinclu

113

nun Ketika ketulusanlah yang kaubilang bisa me�adi dasar ketakbersudahan, aku spontan bertanya, "KaJau aku_? Jiiluskah menurutmu?" Tak kuduga, wajahmu terperenyak seperti kaget "Jiilus itu seperti ikhlas dan juga sabar, saat dinyatakan justru perJu dipertanyakan pembuktiannya." Lalu aku tak lagi berharap pertanyaanku akan berjawab. Kubiarkan saja langit mendung di atas sana seolah mentertawai kami. Aku penuh. Seperti bahagia yang tak lagi bersyarat Bersamamu aku demikian merdeka. Karena bahkan untuk rinclu yang sering dibilang indah namun membelenggu itu pun tak lagi kurasa. Aku nyaris tak lagi peduli bagaimana jarak dan waktu itu menceraikan kita.

114

Kau tahu, saat bersama dengan orang lain terkadang ada basa-basi yang kita pakai sebagai kedok untuk menutupi ketidakcocokan itu. Namun berbeda denganmu, aku bugil tanpa tabir, berbeda minat pun biasa saja. Bahkan saat dalam bincang itu aku bertanya, kau dengan ringan berkata, "Aku tak mau jawab" dan aku merasa cukup. Kita berdua berpandangan, lalu lepas tertawa Mungkin demikianlah Dia mempertemukan. Berharap selalu tumbuh bersama Memahami dan memaklumi tanpa henti.

115

atien

ak.u rela meajadi makhluk asing untukmu kerelaan agar tak harus tampak jika bertemu pun bila perlu berpura tak saling kenal. untuk apa? mungkin ini perkara pembuk.tian apakah ada pengorbanan yang lebih dramatis dari peniadaan atas diri? Rela dianggap tak ada adalah pengganti sekuntum bunga itu alien. makhluk asing. terbayang kan betapa peniadaan itu bisa saja tak berujung bahkan saat akhirnya terjemput maut terlebih dahulu, mungkin ia tetap saja berpura-pura tak kehilangan. tak ada air mata, hanya lirikan sekilas atas nisan dan gundukan tanah basah itu

116

ketakberkesudahan itu, berlaajut esok

entah kapan

117

summa harapan menemukan mentari di telaga itu tinggallah sekadar isapan karena malam bergegas menenggelamkan yang tersisa lampu, dan senyum itu banyak ketakterdugaan terlalu banyak sehingga makna berhamburan tercecer di lantai halaman parkir pada kesepian pada pengulangan yang tak berkesudahan

118

masih teringat percakapan pada suatu siang bahwa pengulangan ini pertanda telah jadi kerak karakter lintasan, ide, gagasan, tekad lalu tindakan, terulang jadi kebiasaan, mengerak meaja.di karakter tak akan mudah mengubah yang mengerak, selalu saja tak mudah usaha keras, lalu bisa saja jadi Iuka dan padamu yang rehab maaja. di suatu seaja. tak kusesali bagaimana nada ini tercipta walau sumbangnya mungkin mengganggu esokmu mengganggu ingatan kita, memburamkan benak dengan kusam kenangan yang mungkin tak terlupa

119

tonilku di atas panggung, sendiri berdiri dingin ruang mengapit hati debar hangat napas ak.u seret lampu menghajar wajahk.u silaunya menggelapkan hamparan penonton tangan kanan kuangkat mata jalang kupelototkan suara beratk.u menggaumkan gelisahku sesekali kata:-kata meajadi pekikan dan dalam gelora kata-kata itu yang menari-nari di seisi geclung hatiku sepi sangat sepi ak.u kerdil bahkan menyublim dan air mata mengalirlah padahal mata masih seolah marah

120

buka topeng jika kau mau memakik.u lakukanlah itu bagus untukku dunia terlalu pintar berbasa:-basi menghiasik.u menopengiku hingga wajah asliku tak lagi k.uingat karenanya jika kau mau memakik.u lakukanlah itu bagus untukku dunia terlalu pintar berbasa basi

121

pantaskah atau dapat apakah? Saat melangkah ke tempat ibadah, terkadang ada bisikan, pantaskah? Namun ada pula yang enggan karena berhitung, dapat apakah? Lalu pejuang kebaikan itu bergerilya cari cara, bagaimana mereka bisa nyaman tetap dekat dengan rumah Tuhan. Bagaimana menyadarkan bahwa memang pantas, dan juga pasti ada manfaat jika kita rajin menghadapNya.

122

Namun kesombongan para pejuang itu bisa menghancurkan semuanya. Mereka justru semakin jauh, semakin tak percaya diri untuk memantaskan diri berdekatan dengan luhannya, juga membuat mereka semakin tak yakin mereka akan mendapatkan apa yang mereka cari di dalam ibadah mereka. Kita memang butuh cara yang tepat, membuat kebenaran itu indah di etalase kehidupan.

123

kurva gang. sating. te.rbuka bercakap itu seperti bersantap pemenuhan atas nutrisi hati dan diri karena kita tak bisa sendiri jika pun sendiri, kita tetap butuh bercakap meski bercakap pada diri percakapan intim tentang apa pun tentang ketakutan yang tak terdefinisi tentang nada jiwa yang terlewat hingga iramanya tersendat interlude yang belum waktunya atau kau ingin bercakap dengan kalimat bersayap sehingga makna kita biarkan muram di sudut buram dan kita tenggelam dalam metafora

124

antara kita hanya persepsi yang mungkin tak sama kita mengerti duduk saja kita berdua dalam remang tak berkesudahan jika letih, tatap saja mataku jendela jiwa ini tak pernah berdusta meleburlah kita sebagai kurva yang saling terbuka

125

komposisi keterasingan terasing itu tak saling kenal berjarak dan mungkinkah berjarak itu bisa bersama gubah satu komposisi? bermainlah kau dengan iramamu, nada yang meliuk tajam senyum namun j uga air mata nyanyian namun sebenarnya tangisan Iuka yang kaupaksa enyahkan. dan aku tetap di sudut dalam nada rendah, meajaga irama sesekali salah, dan kau bergegas menoleh melototiku Waiau pernah terjerembap dalam kubangan yang sama, kita tetap saling jaga demi komposisi lag u paf1jang kehidupan yang kelak terhenti oleh mati

126

peta kata

suatu hari kata bahkan bisa terjebak tersesat di belukar hasrat mana cahaya mana jelaga menabrak kanan menabrak kiri

aku terimpit saja dalam rongga gelisah berharap menemukan jalan keluar namun berputar saja di labirin kerinduan boleh terus kutatap kamu? agar tak hilang arah garis wajahmu adalah peta senyum itu adalah pelita namun harus segera aku sudahi mantra sihir ini mungkin akan melukai walau kau bilang punya penawar tapi siapa tahu kali ini kau tertusuk tepat di ulu hati dan lalu mengakar

127

doa datam jeda mungkinj ustru di sini kita bertemu padajeda pada interlude saat semua nada beristirahat saat hanya dengung yang memenuhi rongga karena dalam sepi, banyak yang terlewat kembali tampak yang tak terbaca kembali tereja yang terabaikan kembali terperhatikan dan masa jeda ini bahkan bukan saat terlelap dalam tidur karena mimpiku pun terlalu gaduh terlalu riuh oleh cerita-cerita aneh

128

jeda ini hanya saat cluduk diam selepas tengah malam mengunyah sunyiperlahan menikmati gurihnya detik yang menitik dalam rapal doa terbata-bata ada aku, kamu, dia, mereka, kita demikianlah kueja jeda ini bait demi bait

129

bincang di bak mandi Aku sedikit menuncluk, meratakan pandangan pada permukaan air di bak mandi, saat keran masih menyala. Perlahan permukaan air mulai rata dengan bibir bak. Jadi terpikir banyak hal, tentang hidup yang penuh dengan tarikan-tarikan. Serupa titik pada bidang koordinat, yang terbangun dari tarikan sumbu x dan juga sumbu y. Dan hidup itu terbangun dari banyak sumbu dan kutub. Me�adi stabil saat kita sudah menemukan titik terbaik. Adalah kearifan yang terlahir dari pengetahuan dan ketidaktahuan, antara percaya diri dan tahu diri, antara tegas dan kasih sayang, antara tega dan kerinduan, antara iya dan tidak.

130

Kapan permukaan air di bak mandi itu mencapai batas yang pas dengan bibir bak mandi? Tanpa ada yang meluber tumpah? Kapan kita harus mematikan keran? Kapan kita mencukupkan pengetahuan kita? Kapan kita menghentikan ambisi untuk menang? Kapan kita berani mengibarkan handuk tanda menyerah? Kapan kita tersadar bahwa kita hanya bejana ketidaktahuan dari sesendok pengetahuan kita? Kapan ada waktu aku akan kembali menuliskan daftar pertanyaan ini, sebelum pada akhirnya nanti pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab?

131

kopi pahit hujan siang, dan secangkir kopi pahit adalah kalimat permisiku pada alam bahwa aku lelah hari ini tiba-tiba saja kopi dengan gula itu terlalu manis aku seperti menclengar gerutu bulir kopi yang mengeluh cemburu pada gula yang seenaknya mendominasi rasa pada gelas kopi itu aku putuskan siang ini lebih baik mereka berpisah. dan hujan adalah kelakar awan, yang menyengaja mengiaja.k-iajak bumi dengan derasnya aku dan sebagian ingatan tentangmu mengurung murung di sudut ruang

132

te.knik pe.masaran dunia Teknik pemasaran mungkin memang berguna mengaburkan objektivitas pembeli. Oiskon, beli 2 gratis 1, ataupun harga khusus di wak.tu tertentu, hanya membuat pembeli melupakan antara kebutuhan dan keinginan, bahkan kualitas terabaikan. Mungkin memang seperti itu pula cara dunia bekerja. Mengaburkan, melenakan, menyesatkan perlahan dalam kesenangan dan kenikmatan. Terkadang saat tersadar itu justru lelah, sakit, dan pedih.

133

drama sung.i

kita tak menyangka, bahwa kita sudah sampai pada tepi tiang saat sunyi kuasai diri, menghentikan rangkaian nada yang riuh sedari kemarin

kita tak menduga, bahwa buritan kapal telah menyentuh tepian dermaga, namun bukan di pelabuhan yang kita inginkan lalu seorang penyair memaajat tiang layar dan berseru, "Tak semua harapan itu dapat kita temukan di buku " k enyataan.... tak ada tepukan tangan, tak ada sorak sorai sepi saja dan kita hanya memandang saja, tatapan mata yang tak memandang apa-apa sebenarnya, hanya mematut pada diri saja mungkin memang bukan saatnya saling menuaj uk

134

dan

"Cut.'" ,,

Sang Sutradara hentikan fragmen ini secara paksa

135

g.ung. jika kanvas ini telaajur tersiram cat lalu mau apa? padahal belum seberapa handuk basah sisa tanah di lantai dosa yang dirindu lalu mau apa? padahal mungkin esok terhenti basuh kening nada yang hening aku sendiri kamu pun sendiri kelak di hari setelah bumi beradu dengan langit tak lagi ada kita tak ada lagi jemawa air mata saja

136

tuntaskan rindu baiklah, aku catat saja bahwa hari ini matahari membunuh rembulan namun ia tak mati bahkan membalas hingga malam matahari tak berdaya baiklah, aku berdeham saja saat cinta meronta dan rantai waktu itu terurai sengatan lebah waktu membengkakkan harga diri ia teperdaya palu terayun tangan terborgol jeruji terkunci hati terdiam mati pun tak terasa ayolah ... sini aku basuh kamu dengan pengakuanku aku lemah aku salah maaf

137

menung.g.u sesal itu datang bertamu ragu yang mengantarkan gelisah yang menyilakan jika tak benar mengapa gusar? otak pongah menerjemahkan hari padahal tak senaif itu karena ada rasa ada ruang antara curiga juga duga marah juga sayang sebal juga rindu adakah se�a ini yang kautunggu?

138

persebukuanku buku menghina kita dengan menyajikan kesadaran bahwa kita memang tidak mengerti namun dengan gagah aku berdiri menantang aku sudahcukup gelas yang kubawa memang sudah penuh maaf clunia terlalu bising dan aku sudah pekat dan padat jangan ganggu citra yang memberhalaku seolah pupuk yang telah suburkan tanaman angkuhku aku tak pantas diberhinakan lalu buku aku tutup jika ada wak.tu akan kubuang saja akucukup saat malam tersadar katup otak dan kesadaranku megap-megap

139

hujan di tepian hujan memaksa menepi seperti lelah yang memaksa berhenti tetapi tak lalu selesai karena ini satu cara membuat ruang kosong agar muat untuk diisi dengan galau juga detak harap yang megap-megap menggelepar didera interval paajang hujan memaksa menepi menunggu derasnya berkurang juga redanya ombak anggapan orang juga norma kita nada yang memang tak boleh sekehendak hati meajadi sumbang atau menghuni irama tanpa permisi

140

nah iya, memang harus begitu lalu mereka mulai memaajat langit merobeknya mencari air mata dan titik itu memang selalu punya kemungkinan aku lumat saja angin remahkan ingin kita butuh cermin bukan bedak dan gincu saja seolah sama tapi beda satu membantu melihat diri yang satu menutup diri demikianlah saat langit bernanah awan pun datang bulan

141

dua kurva sating mengisi ruang kita kurva saling mengisi ruang clua himpunan beririsan berhentilah berharap selalu cantik kau telah melampaui itu saat tak ada jarak bukankah lalu lebur dan ukuran sederhana tentang kekaguman itu tak lagi berguna kau telah lama melampaui itu jadi mengapa pula risau oleh tata nilai juga among kosong nomor urut itu bukankah kau telah menembus batas itu?

142

kuharap kau sadar, tak lagi perlu gelisah itu karena kita mungkin telah moksa bersama menyublim bersama angin tersangkut di awan itu sejak disatukan oleh mimpi di tepian kali itu jangkar tersangkut melukai makna waktu tak berdulu tak bernanti lagi

143

bercakap deng.an awan Entah mulai kapan, aku jadi suka membaca awan. Mendongak ke atas, lalu mengeja setiap lekuk awan. Awalnya aku pikir aku butuh belajar bahasa awan, ternyata tidak. Cukup menatap lama saja. maka otak kita akan memproduksi banyak kata dan cerita. Awan bertutur dengan caranya sendiri. Seperti sore ini, aku berbincang dengannya tentang kepentingan yang mengunyah kebaikan hati. Caranya lembut, tapi tanpa terasa kita dibutakan oleh kepentingan itu hingga orang-orang meajadi tampak buruk. Kebaikan mereka hilang makna. Kita penuh dengan prasangka. A ku masih menatap langit. Lama. Hingga awan putih itu melogam, lalu memerah, perlahan menggelap. Mengajariku tentang memelihara ketulusan dan memandang semua dengan kejernihan hati. Tak ingin ada benci tak ingin ada dendam. Bersih saja.

144

monster di pinggir waktu tempat yang tak terlalu kukenal menenggak kopi serupa air putih dan matahari menunduk malu di balik awan aku bercerita tentang hal yang mengejutkanmu ternyata aku bisa punya rahasia juga kupikir aku sudah telanjang jadi beginilah aku monster yang tertanam dalam tubuh bocah. dulu sekarang tentu tak lagi bocah namun monster mungkin saja masih

145

ingkari ke.tiadaanmu mungkin ini saatnya aku memberi harga lebih atas kata; kata yang berupa tulisan yang tak terbaca kata yang berupa suara yang tak terdengar kata pada wajah yang tak terlihat kau mengingkari adaku namun aku tetap coba ingkari ketiadaanmu bukankah bunga yang tergeletak di depan pintu hingga layu itu pun tetap punya makna?

146

kutaburi saja nampan kenangan itu dengan detik detik kebersamaan kita dulu manis sangatlah manis

147

sisa senyum jeja.kmu adalah senyum terlukis di dinding kenang saja.kmu adalah kuntum kembang bertulis di hening dendang kau menggumpal kekal di setiap fragmen mimpi bahkan di saat mula peja.m pun wajahmu hadir menggenapi kau racuniku, hingga lenyap angkuhku mengibaku pada sepi tanpa malu sampan kecil ini terempas karam nampan egoku tumpah di lepas malam karang dan bebatuan merobek tajam keakuanku terisap lenyap dikunyah kelam jika tak segera kau selamatkan habis sudah

148

sisa senyummu adalah lentera alit di tengah semesta gulita di palung terdalam meraih rengkuh sulit bu.ta nyaris tanpa sisa cinta

jika tak segera kau selamatkanku habis sudah

149

se.rig.atamu ak.u ketuk pintu dan masih saja tertutup malam seperti hantu kelam dan ak.u satu kau di balik pintu napasmu menyelinap dari lubang kunci bebisik-bisik, lupakan-lupakan betapa sulit hingga wak.tu terjejali kerja penat kenangan tetap serupa jelaga melogam padat ak.u di bukit me�adi serigala untukmu meraung-raung memanggil rembulan jika terbang pun tak mampu bagaimana kan memelukmu keinginan melukai kepura-puraan bisa membunuhmu topeng melengket erat di seluruh wajah

150

dan wak.tu menyatu kita dalam waktu saling seteru berebut hak untuk sekadar kata rindu

151

be.tati se.pi terkurung kabut masa lalu itu benalu hid.up di ketiak benak melingkup di sudut beranak pinak bayang-bayang semua membayang wajah-wajah tak jelas napas sengal demi sengal bosan oleh pesan jenuh atas bunyi rindu sunyi rindu sepi dalam ketiadapastian kuharap senyap dan tikaman belati tepat di ulu hati agar nyeri ratapi musim semi agar perih tangisi masa pengganti ini

152

dan belati itu bergerak mencukil puncak sakit ini gigit-menggigit Iuka yang semakin terbuka selebar sen yum pura-pura maka matilah nurani di bilik sempit di siang ini matahari pun malu sayup sayup mengalun nada-nada lelayu biarlah l apar biarlah kata-kata berkarat biarlah kenang-kenang berdendang biarlah diri kembali sendiri

153

maki diri ketklakmengertian ini rimba menyasarkan gelisahku dalam belukar salah paham ketklakpahaman ini kabut tebal menelan sekeranjang ular nalar menelaajangi nurani, tersibak kayak pagar akhirnya terdobrak berjalanlah kita dalam jalang ikatan itu persetan basa-basi hanya jadi infeksi polesan wajah mendarah lalu bernanah dusta diperhamba citra ter ulang-ulang jadi mantra

154

jijik jika tak j uga terjaga tak j uga tersadar maka panggilah badai tenggelamkan saja lumpur aib kental hitam legam menelan perlahan utuh tubuh diri melenyap senyap ringkik kuda binal meronta tancla liar di tengah dahi noktah mengejang-ngejang meregang engah ah

155

marah angin bernyanyi senandungkan kerinduan siang muram kopi tersecluh bergumam betapa muak menatap wajahku bosan terbiasa dalam nada-nada Iuka lantunan tangis yang undang gerimis terbias dalam warna-warna menclung lukisan gelisah teriris-iris angin bernyanyi senandungkan kesepian siang geram kopi tumpah meja terbalik dan pekik amarah mengentak gertak darah tergenang air mata terbuang

156

bukti seduh rinclu agar sudah sedih agar redalah sendu agar enyahlah pedih nyalakan cinta jadi pelita atas gulita terang dan nyata tak terbimbang tak terbantah seperti sampan merapatlah di tepi telaga bersandar nyaman peluklah erat tebuslah hasrat dahaga di beranda media saling berjaga saling melepas tanda atas cerita tak terduga tanpa senyum curiga

157

betakang. rumah sungai kecil di belakang rumah mengalir sangat pelan aroma wingit kesepian lumut atas cahaya yang terhalang rimbun dedaunan gemerincik yang bernyanyi ikan-ikan kecil menari jika malam udara menggigil angin gelisah konon kuntilanak mampir membasuh kaki menyibakkan rambut paajangnya kesedihan yang mengikik

158

apakah waktu masih sanggup meniupkan harapan apakah mimpi mampu terjaga dalam terpaan hujan kecewa

jika lalu bera�ak pagi langit mengintip konon kuntilanak pun bergegas pulang meringkuk di palung ketakutan masing-masing harapan terkapar mimpi ter tawa dalam kecewa

159

kurcaci langit merah perlahan menggelap setan-setan beterbangan aroma Iuka menyebar menebar takut mengumbar cekam angin kering tertahan tersekap setan-setan kalap bertindihan irama dosa mendebar meniupkan sesal membara sekam sepa�ang hari pekat bising oleh ingin hasrat keparat manja ganas buas mengunyah harga diri nama terkapar meregang nyawa

160

sepa�ang ingatan pusing oleh mimpi singkap jiwa penuh jelag a clusta meranggas mengi$k-injak wajah nama tiada lagi pantas berparas dosa ma$di jubah jemawa tanpa wibawa di dalamnya kurcaci kecil kur us kecil layak tercaci maki

161

daun kering. menyanyi di atas jalan layang senandung mendung manusia jalang melepas kebas perlahan hingga puma makna atas nama jubah besar itu terlepas beban citra empas kelegaan mianiy kebebasan sejati tiup saja embuskan napas ikhtiar bibir berge tar tiup saja dan menyanyilah di titian masa gelisah basah berbalut pasrah kita pernah di irama yang sama pada sengal muak dan marah

162

tiup saja beterbanganlah di langit usia yang hijau pun mengering lalu menghitam jua tiup saja

163

bait rasa hati ini kutata terserak oleh cinta membangun jeda di ruang tunggu remuk oleh rindu

164

pantutan nas ib yang terlintas dan tertangkap dalam hati akan berhenti dan mengendap lalu kau cakap-cakap dalam gu�ing perlahan meruncing me$di amarah yang genting membara menyala-nyala, malu-malu tertiup bisik­ bisik iri dan curiga menunggumu; pada masanya berharap akan menebus setiap katanya me$di cermin yang kembali pada diri kesombongan duduk manis di bilik jiwa pasti akan kecewa jika tak bersegera rela pasti akan kecewa menghukummu

165

sosiat media me�adi berbeda berbantahan dengan mudahnya caci maki serupa basa-basi literasi diabaikan tak lagi jadi nutrisi kata-kata banyak diperanakan berdesakkan bilik-bilik pribadi runtuh yang tersisa hanya halaman gaduh hanya laman tempat beradu

melawan me�adi kalimat sapa berbeda menjadi keseragaman jika bisa berbantah mengapa harus mengalah jika bisa lebih ramai mengapa harus berdamai

166

manusia makhluk sosial tinggal di media sosial tak perlu langsung saling kenal cukup ketikkan kata-kata binal kitajalang dalam dunia petualang lalu lalang terbit lalu hilang

167

petuk aku benci adalah api meajilati hati marah adalah hara membakar jiwa dan mengerti mengobati nyeri hati dan paham padamkan nyala jiwa kau adalah perigi pengertian dan telaga pemahaman betah ak.u meringkuk sejuk di pelukmu

168

sumur tua di samping surau sumur tua di samping surau lantainya kehijauan licin oleh lumut aroma lama airnya jernih meredam hati didih mengguyur waja.h saat marah melebur diri dalam lumpur sepi lalu meringk.uk lari dari hiruk pik.uk caci maki dan nyanyi penuh bunyi canda saling rendah menghinakan terlalu penuh asap kebencian hanya seorang anak terus mencari arti caci maki mengapa masih diminati

169

batiho 2019 la melepaskan warna masa lalu, dalam senyum di baliho sepanjangjalan ingatan. la lalu duduk di hadapan, dengan senampan angan dan impian. Membagi-bagi, ini untuk mereka, ini untuk kita Rata la memberi nama pada setiap pesona Menawarkan biru langit,j uga merah hati, darah,j uga nurani. Pesta ini gempita Suara rakyat dan kata-kata, ia ikat dalam setangkai cinta la meronta sesekali, bersama segelas teh manis yang diaduk tergesa Melepaskan rantai diri, hingga lengan kenangan terluka la memang terlihat sangat ingin merdeka la masih menunggu, di baliho sepanjangjalan ingatan. lersenyum.

170

Mungkin sampai angin mengempaskannya,jatuh di parit dan ja�i janji itu berderai menertawai.

171

badai dahsg,at hanya tanya yang sudah kulayangkan senja keemasan di ujung perjalanan cangkang benak tak lelah berdetak hanya kedip mata berj umpa saat tatap biru teduh memeluk hari kata-kata tak pernah benar-benar melukai hanya senyum melengkung di langit enyahkan mendung merah marah pun rebah kalah cinta tak pernah letih memilih; setiap kerjap adalah pilihan hebat, setiap saat adalah pilihan cermat hanya rindu bergulung-gulung hitam pekat selekat dekapan energi potensial bergemuruh menunggu picu sekali hentak meledak ini akan jadi badai cinta paling dahsyat

172

akad menemukan adalah kekaguman rasa yang tak terjelaskan kapan, bagaimana, dan dari mana mengaja.k bertemu adalah kemudian kata-kata menggenapi ruang dan masa semua tanya seperti terjawab tuntas meminta untuk saling terikat adalah bukti bukan sekadar lintasan hati, namun sepenuh hati me�adi ikat senapas semati

173

manusia ia berjalan menguliti se�a, warna muram yang menyebalkan ia me�ambak sendiri rambutnya kebencian cepat mewabah ia bertanya pada banyak orang, tentang waktu, tentangjarak, tentang keberadaan cinta, tentang rindu, tentang sepi, tentang pura-pura ia terus belajar untuk mengerti ia pun bertanya untuk apa jika pada akhirnya ada Iuka, ada isak tangis apakah hklup tak sesempurna itu? ia malu telah kehilangan keberanian hadapi pedih itu padahal belum pula ia mulai

174

ia berteriak pada senja peluk aku renggut aku cabik-cabik aku tanah di bebukitan itu terjejak merah darah, kunang-kunang beterbangan menerbangkan kenangan, dan malam adalah sisa masa yang hanya sunyi bernyanyi sedih

175

kidung. sore kerumunan kegelisahaan keresahan yang cluduk-cluduk di samping halte cakap-cakap tak penting sesekali tebar tatap nanap liar ayo sini mampir biarkan lelah minggir juga kesedihan itu menyingkir terbahak-bahak syahwat k.umat melumat santun tanpa daya ayo sini mampir selalu ada kopi murahan ini menunggu bibir seruput lembut sambil tukar pikir

ayo sini mampir

176

jang.an mati Aku memegang tanganmu, hangat Sehangat mata­ hari siang tadi, dan demam tubuhmu meajadi hangat tubuhku. Napasmu berembus, melewati wajahku dan gemetar sakitmu meajadi raup usap seluruh kepalaku. Apakah kematian sedang mendekati kita? Bagai­ mana bisa aku rasa denyut darahmu di dalam bilik jantungku? Terpompa pelan, seperti hanya menunggu waktu untuk henti. Aku remas kuat kuat tanganmu. Kukirimkan kesadaran dalam hangat genggam. Jangan mati dulu, jangan mati dulu. Dan seaja menyelimuti kita. '\ing mula hangat meajadi pengap. Mengerjap-ngerjap. Aku henti. Menatap wajahmu pias. Jangan mati di sini.

177

debu berang.in debu berangin melawan takdir terasa pekat udara terik menggunting masa, sadar terlambat hadir dipikul mimpi yang kembara aku bisu terbangun dalam beda beterbangan tinggal jejak silam jadi tanda genggam terlepas mula atas jeda rasa rinclu jadi aib jadi noda hidup hanya tentang canda ingin yang seolah angin hasrat meajadi jerat hanya rela yang sembuhkan segala

178

menung.g.u tamu detik merayap dalam senyap detakjantung berderap perlahan mengisi penuh dada celakalah masa silam, mengapa takj uga terlupakan? mengiris-iris kenang terkenang meraciknya dengan bumbu mimpi aroma yang sedap manakah rembulan mengapa tak pula kutemukan wajah itu? angin empaskan gerai rambut malam selimuti segenap ruang praduga beterbangan napas tersengal apakah maut yang berkuajung malam ini?

179

Related Documents


More Documents from "Anisa Doank"