Kitab Sang Hyang Kamahayanikan

  • Uploaded by: Jiwen Salim
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kitab Sang Hyang Kamahayanikan as PDF for free.

More details

  • Words: 9,701
  • Pages: 28
Loading documents preview...
Sang Hyang Kamahayanikan Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi. Kitab ini seluruhnya berisi 129 ayat. Dalam disertasi Dr. Noehardi Magetsari (2000) disebutkan bahwa Borobudur sesungguhnya adalah sebuah candi yang strukturnya menampilkan tahap-tahap perkembangan pengalaman seorang yogi untuk mencapai titik Kebudhaan di mana perasaan dan pikiran berhenti. Sebutan Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu yang populer di Borobudur juga terdapat dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan.[1] Daftar isi [sembunyikan]      

1Sejarah 2Isi 3Kultur populer 4Lihat pula 5Referensi 6Pranala luar

Sejarah[sunting | sunting sumber] Menurut penelitian yang pernah dilakukan, kitab Sanghyang Kamahayanikan disusun antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Jawa Timur, yaitu penerus Kerajaan Mataram yang bergeser ke Jawa Timur. Naskah tertua Sanghyang Kamahayanikan ditemukan di pulau Lombok pada tahun 1900 Masehi yang kemudian dibahas oleh Profesor Yunboll pada tahun 1908 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh J.deKatt pada tahun 1940. Setelah itu, naskah tersebut diteliti lagi oleh Profesor Wuff dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa. Proses penerjemahan terakhir dilakukan oleh "Tim Penerjemah Kitab Suci Agama Buddha Ditura Buddha, Ditjen BimasHindu dan Buddha, Departemen Agama RI."[2]

Isi[sunting | sunting sumber] Kitab ini isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana (khususnya Tantrayana). Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi. Menurut dr. DK. Widya, isi kitab Sanghyang Kamahayanikan mengajarkan bagaimana seseorang mencapai Kebuddhaan, yaitu seorang siswa pertama-tama harus melaksanakan Catur Paramita (Empat Paramita), kemudian dijelaskan Paramaguhya dan Mahaguhya. Selain itu, dijelaskan juga falsafah Adwaya yang mengatasi dualisme "ada" dan "tidak ada".[2] Dalam kitab itu terdapat uraian yang sangat rinci bagaimana seorang yogi penganut Tantrayana menyiapkan diri di jalan spiritual, mulai fase pembaiatan hingga pelaksanaan peribadatan yang bertingkat-tingkat. Di situ disebutkan bahwa ajaran Tantrayana adalah laku meditasi terhadap Panca Tathagata. Dengan memuja mereka, seorang yogi dapat mencapai kesucian pikiran.[1] Namun, sebagian besar penganut Buddha masih belum mengenal dan memperlajari kitab ini karena Sanghyang Kamahayanikan ditulis dalam bahasa sastra (penuh metafora) sehingga

diperlukan kemampuan lebih serta bimbingan guru supaya tidak salah dalam mempelajarinya. Sebagai kitab beraliran Mahayana-Tantrayana, Sang Hyang Kamahayanikan menempatkan mantra-mantra dan diagram serta mudra dalam posisi sentral sebagai bentuk formula rahasia yang bersifat mistis.[1] Kitab Sanghyang Kamahayanikan juga menjelaskan waktu dalam tiga jenis, yaitu waktu lampau (atīta), waktu kini (wartamana), dan waktu yang akan datang (anagata). Masing-masing waktu selalu terdapat Buddha: masa lalu terdapat Bhatara Wipaçye, Wiçwabhu, Krakucchanda, Kanakamuni, dan Kāçyapa; masa sekarang adalah Sakyamuni; sedangkan Buddha yang akan lahir pada masa datang adalah Maitreya atau Samantabhadra. Sang Hyang Kamahayanikan juga menyebutkan bahwa pokok ajaran Buddha adalah kebenaran yang digambarkan seperti lingkaran atau roda, yaitu dharmacakra: roda kebenaran dari sebab akibat, sebab yang satu akan muncul dari akibat yang lain. Gambaran tersebut sangat erat dengan wujud dasar candi Borobudur.[1]

Kultur populer[sunting | sunting sumber] 

Sanghyang Kamahayanikan Award adalah nama penghargaan yang akan menjadi ciri khas penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival. Penghargaan tersebut diberikan kepada tokoh perorangan atau kelompok yang telah berjasa dan memiliki kontribusi besar dalam pengkajian budaya dan sejarah Nusantara baik sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, penulis buku berlatar sejarah, dramawan, dalang, rohaniawan, filolog dan sebagainya.[1]

Lihat pula[sunting | sunting sumber] 

Sastra Jawa Kuna

Referensi[sunting | sunting sumber] 1. 2.

^ a b c d e Borobudur Writers Festival. Sang Hyang Kamahayanikan Award. ^ a b Evan Setio. Kitab Sanghyang Kamahayanikan.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]  

Sanghyang-kamahayanikan J. Kats, Sang Hyang Kamahayanikan, 1910.

Kitab Sanghyang KamahayanikanSanghyang Kamahayanikan adalah merupakansebuah literature agama Buddha yangsangat erat hubungannya dengan agamaBuddha mazhab Tantrayana di Indonesia.Kitab Sanghyang Kamahayanikan iniseluruhnya berisi 129

ayat. Bagisebagian besar umat Buddha. Isi darikitab tersebut masih merupakan suatukendala untuk dimengerti dan berada diluar kemampuan pikiran mereka.Menurut penelitian yang pernahdilakukan, kitab Sanghyang Kamahayanikantersusun antara tahun 929-947 Masehioleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama dariJawa Timur, sebagai penerus darikerajaan Mataram yang bergeser ke JawaTimur. Naskah tertua dari kitabSanghyang Kamahayanikan ini diketemukandi pulau Lombok pada tahun 1900 Masehi.Naskah ini oleh prof.Yunboll kemudiandibahas pada tahun 1908.danditerjemahkan kedalam bahasa Belandaoleh, J.deKatt pada tahun 1940. setelahitu,naskah tersebut diteliti lagi olehProf.Wuff. Selanjutnya, naskah tersebutditerjemahkan ke dalam bahasa Indonesiaoleh I Gusti Bagus Sugriwa.Kemudian oleh Tim Penerjemah Kitab SuciAgama Buddha Ditura Buddha ~Ditjen BimasHindu dan Buddha, Departemen Agama RI.Kitab Sanghyang Kamahayanikan iniditerjemahkan ke dalam bahasa Indonesiadan merupakan hasil yang lebih baik dariterjemahanterjemahan sebelumnya.Menurut dr.DK.Widya, isi kitab

SanghyangKamahayanikan ini mengajarkan bagaimanaseseorang mencapai Kebuddhaan, di manaseorang siswa pertama -tama melaksanakanParamita-paramita, kemudian dijelaskanParamaguhya dan Mahaguhya. Selain itudijelaskan juga falsafah Adwaya yangmengatasi dualisme"ada" dan "tidak ada".Disamping itu, dapat diperoleh tambahaninformasi berupa hasil wawancara dengandua orang tokoh Tantrayana, yakni YA.Rinpoche Zurmang Garwang dari Sikkim,India dan YA.Rinpoche Losang Ngudup dariMysore,India. YA.Rinpoche ZurmangGarwang adalah seorang pemimpin dariDharma Chakra Centre yang terletak diRumtek. East Sikkim, India. Menurutketerangan, beliau diyakini telahtumimbal lahir sebanyak tiga belas kalidan penganut Tantra, baik di Sikkim dan

di Tibet mengkonsumsi jenis makanannabati (vegetarian) dan hewani. Vinayayang berpantang makan dari bahan makananhewani atau yang dikenal dengan'vegetarian' hanya pada kelompok Sanghaaliran Mahayana di daratan China

saja.Menurut YA. Rinpoche Zurmanggarwanglebih lanjut, setiap rohaniwanTantra (sering disebut sebagai 'Lhama'),mereka harus mendalami dahuludasar-dasar Buddha Dharma yang ada padamazhab Theravada dan Mahayana, sebelummereka mendalami Tantrayana. Karenasemua pada Buddha Dharma baik padaTheravada, Mahayana dan Tantrayanaadalah sama. Mereka hanya berbeda padacara pengalamannya saja.YA. Rinpoche Losang Ngudup berasal darikelompok Ge-lugpa (Yellow Hat Sect/sekte jubah kuning) adalah Ex Abbot(mantan Rektor) pada sera MahayanaSermey Monastic University, yangterletak di Mysore, DistrikKarnanataSouthern India. Sera MahayanaSermey Monastic University adalahlembaga pendidikan tinggi yangdikhususkan bagi para rohaniwanTantrayana sebelum mereka di wisuda(inisiasi) sebagai "Lhama".Menurut YA. Rinpoche Losang Ngudup,setiap calon "Rinpoche" harus terlebihdahulu menjadi anggota Sangha, yangdalam Tantrayana disebut sebagai Lhamadan harus mendalami terlebih dahuluDharma yang ada pada mazhab Tantrayana.Ini adalah informasi yang sama denganYA. Rinpoche Zurmang

Garwang. Menurutbeliau lebih lanjut, kunjungan beliaudan rombongan ke Indonesia adalah dalamrangka mencari 'benang merah' denganTantrayana di Indonesia. Merekaberkeyakinan bahwa Tantrayana pada masakerajaan-kerajaan dahulu adalah memiliki'garis silsilah'(lineage) yang samadengan mereka, yakni melalui YA. AtissaSrinyana Dipankara. YA. Atissa adalahseorang Rinpoche yang pernah menetap diSriwijaya (P.Sumatera) dan berguru padaYA. Dharmakirti atau Dharmaphala.YA.Atissa tiba di Sriwijaya pada usia 31tahun dan beliau menetap di sana sekitarduabelas tahun lamanya. Menurut YA.Rinpoche Losang Ngudup, YA. RinpocheAtissa telah menanamkan semangat bagikekuatan spiritual Tantrayana di Tibet.

SANG HYANG KAMAHAYANIKAN Posted by bhumisambhara pada 30 Maret 2009

(Slokha 1-10 Ratna-sagara Hal 139) Minggu, 24 September 2006 Oleh: Upashaka Pandita Surya Mahendra

Buka halaman 139 Ratna-sagara, kita menyambung pelajaran minggu yang lalu. Berkaitan dengan Tantra, ada subjek yang tidak kalah penting dalam praktik spiritual yaitu bagaimana kita memahami serta menjalani aspirasi spiritual kita. Minggu yang lalu sudah dijelaskan mengenai tiga dari enam bagian meditasi atau praktik Kriyatantra; yang pertama kalau Anda masih ingat adalah Tattvadevata, bagian yang kedua adalah Sabdadevata, lalu yang ketiga adalah Aksaradevata. Ketiga aspek dari enam aspek

tersebut adalah urut-urutan serta metode yang terdapat dalam Kriyatantra untuk mencapai siddhi. Bagian-bagian yang mendapat penekanan serta perhatian yang mendalam dari seorang praktisi Kriyatantra merupakan bagian yang memang menjadi metode atau teknik realisasi di dalam Kriyatantra. Saya tidak ingin mengulang tiga penjelasan itu dan kita menunda tiga aspek berikutnya. Kita memberi suplemen atau sisipan yang akan kita pelajari dari Sang Hyang Kamahanyanikan atau Mahayana suci di halaman 139. Kita akan menggunakan teks Sang Hyang Kamahayanikan dari slokha 1 sampai 10. Slokha yang pertama: Inilah

Sang

Hyang

Kamahayanikan

yang

kuajarkan

kepadamu

keluarga

Tathagata, Putra Jina, keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu. (1) Sang Guru penulis teks ini mengatakan bahwa sesungguhnya yang hendak diajarkan adalah Mahayana. Ada tiga tema di dalam satu slokha ini: yang pertama motivasi mengajar, yang kedua kualifikasi pendengar ajaran, dan yang ketiga tema ajaran. Sang Hyang Kamahayanikan dalam bahasa Kawi, dalam bahasa Indonesia adalah Mahayana Suci. Teks ini dibuka dengan singkat mengacu pada tiga pengertian: yang pertama adalah motivasi sang Guru mengajarkan Mahayana. Apakah Mahayana? Mahayana adalah jalan besar atau yana besar (maha adalah agung, yana adalah jalan) artinya yang akan diajarkan ini adalah tema Dharma yang memungkinkan untuk membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri juga membawa kebahagiaan bagi orang lain. Ajaran yang memiliki karakteristik seperti itu disebut ajaran Mahayana. Bukan hanya dalam ungkapan kalimatnya saja, tetapi pemahaman yang mengikuti ungkapan kalimat itu. Setelah seseorang mendengarkan ajaran

Mahayana akan

membawa pengertian-

pengertian berupa keinginan untuk membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan keinginan-keinginan secara langsung atau tidak langsung membawa kebahagiaan bagi makhluk lain. Ajaran yang karakteristiknya demikian adalah Mahayana, yang menjadi motivasi dari sang Guru untuk mengajarkan kepada siswanya. Yang kedua mengenai siswa. Siswa di sini disebut Tathagata Kula dalam bahasa Sanskerta

atau

keluarga

Tathagata

dalam

bahasaIndonesia.

Siapakah

keluarga

Tathagata? Dalam sutra Mahayana dikatakan bahwa setiap Buddha memiliki Kula, bahasa Sanskerta ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia seperti yang sering kita dengar “Kula Warga”, kula artinya keluarga, warga artinya anggota. Jadi kata Kula Warga dalam bahasa Indonesia sebetulnya bersumber dari bahasa Sanskerta. Tathagata

Kula adalah keluarga Tathagata. Oleh karena Tathagata memiliki kualifikasi tertentu yaitu makhluk samsara yang telah bangun, yang disebut sebagai Buddha, yang mencapai pencerahan atas daya upayanya sendiri, yang mencapai realisasi itu ketika tidak ada Pratyeka dan Sravaka, itulah seorang Tathagata. Tathagata tidak memiliki ayah dan tidak memiliki ibu karena ayah dari para Tathagata dikatakan adalah para Jina; sementara ibu dari para Tathagata adalah Prajnaparamita. Jadi ayah-ibu para Tathagata adalah predikat spiritual yang terdapat di Mahayana yang disebut sebagai Paramita. Walaupun seorang Tathagata seperti itu keadaannya, ada orang yang kemudian akan menjadi Tathagata juga, orang-orang tersebut disebut (dalam kalimat berikutnya yaitu) Putra Jina, dalam bahasa Sanskrit namanya Jinaputra. Mengapa Jinaputra? Karena ia nanti akan menjadi Jina juga. Siswa memiliki kualifikasi telah mengembangkan aspirasi untuk menjadi Buddha, untuk menjadi Jina, untuk menjadi Tathagata. Lalu yang ketiga: Keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu. Ini mengenai kualifikasi ajaran. Jadi motivasinya Mahayana, siswanya beraspirasi Mahayana, lalu yang diajarkan adalah ajaran Mahayana yaitu keunggulan Mahayana dan keluhuran Mahayana. Bilamana melalui proses ini yaitu guru yang bermotivasi Mahayana, siswa yang bermotivasi Mahayana, lalu Dharma yang juga Mahayana; maka akan menghasilkan realisasi Mahayana. Sang Hyang Kamahayanikan adalah semacam transkripsi dari sebuah pengajaran lisan guru di suatu tempat pada zaman dahulu di abad kesembilan, yang kemudian ditulis oleh siswa yang mendengarkannya sehingga pada bagian tertentu ada ungkapan permohonan ajaran dan ada ajaran-ajaran yang menjelaskannya. Slokha yang kedua: Jika berdiam di gunung, di gua, di pantai, di sebuah kuti, vihara, di pondok pertapaan, atau engkau tinggal di kuburan angker dan sebagainya, lengkapilah dengan

tempat

melakukan

homa,

rumah

sunyata

namanya,

tempat

persembahan, tempat arca, buatlah balai-balai, tirai, tempat duduk dan alas tidur, segala yang menyenangkan hatimu. (2) Slokha kedua ini mendeskripsikan atau merincikan tempat berdiam orang yang hendak mempraktikkan Mahayana. Uraian mengenai tempat berdiam beragam sekali, ini tentu mengacu pada kenyataan yang terjadi pada abad kesembilan, khususnya di wilayah Borobudur;

bahwa

para

praktisi

Mahayana

menjalankan

praktik

atau

ibadah

Mahayananya di gunung, di gua, di tepi laut, atau di kuti yaitu bangunan kecil di tepi

hutan atau tepi desa, kemudian di vihara, atau di pertapaan, atau di kuburan yaitu tempat pembuangan mayat pada zaman itu, dan sebagainya. Adapun tempat berdiam itu di sini dianjurkan oleh sang Guru agar dilengkapi dengan tempat melakukan homa atau persembahan api. Ini adalah suatu anjuran bahwa tempat yang ideal bagi seorang praktisi bukan hanya di mana ia dapat duduk atau berdiam atau tidur tetapi juga harus memenuhi

beberapa

ketentuan.

Yang

pertama

harus

disediakan

tempat

untuk

melakukan ritual, rumah sunyata namanya (rumah homa disebut rumah sunyata) ini penjelasannya di dalam tema Tantra jadi tidak akan dijelaskan. Tempat persembahan, lalu juga ada altar untuk melakukan persembahan; tempat arca, artinya altar juga; lalu untuk yang bersangkutan agar dibuatkan balai-balai, tirai (maksudnya adalah untuk mencegah serangga dan nyamuk), lalu tempat duduk dan alas tidur; segala yang menyenangkan hatimu. Ini perbedaan pertapaan menurut cara Buddhis dengan nonBuddhis. Kalau pada zaman dahulu para pertapa dengan latar belakang non-Buddhis yaitu para brahmana, para resi, juga para yogi Hindu; pertapaan mereka melewati dua jenjang, yang pertama adalah Wanaprasta dan yang kedua Bhiksuka. Masa Wanaprasta diawali setelah seseorang memensiunkan dirinya dari kehidupan rumah tangga lalu berkelana ke hutan, namun demikian masih memiliki tempat kediaman. Para pertapa dengan karakter atau model ini, setelah mereka merasa dirinya sudah siap kemudian pergi ke hutan………. …………bertahun-tahun sebagai pengelana di hutan, melanjutkan pada tahap berikutnya yang disebut Bhiksuka yaitu tahap hanya menunggu kematian. Pertapaan praktisi semacam ini adalah pertapaan untuk mengantarkan kematian. Jadi bertapa sampai mati, sehingga mereka tidak makan, tidak berpakaian, atau tidak menggunakan segala yang dibutuhkan untuk keselamatan fisiknya, tidak memberikan nutrisi pada fisiknya, juga tidak menghiraukan kondisi tubuh fisiknya. Ini berbeda dengan pertapaan seorang Mahayanis, karena seorang Mahayanis semua latihan dan pencapaiannya adalah untuk menolong makhluk yang lain, maka pertapaan Mahayana selalu memiliki karakter bahwa latihan yang dilakukan sedemikian rupa, setelah latihan tersebut mencapai hasil, ia dapat kembali lagi ke dunia ramai, ke tengah masyarakat, dan menggunakan pencapaiannya tersebut untuk menolong makhluk yang lain. Pertapa Buddhis adalah pertapa yang masih harus memikirkan kebaikan tubuh fisik serta mentalnya, oleh karena itu

instruksi

slokha

kedua

ini

digarisbawahi

pada

bagian

terakhir: segala

yang

menyenangkan hatimu. Menyenangkan hati yaitu tidak menyakiti fisik, tidak menyakiti mental, diri sendiri, tidak menyiksa batin diri sendiri, karena apa? Penjelasannya ada pada slokha yang ketiga. Sekarang slokha yang ketiga:

Demikian

pula

tubuhmu

memperbolehkannya

juga

makan

jangan

segala

dipaksa-paksa,

makanan

yang

dengan

dapat

tidak

menyenangkan

hatimu; apa yang enak di mulut hendaknya engkau makan, agar dekat bagimu untuk makan. Jangan lupa tata cara seorang bhakta (seorang praktisi). (3) Slokha yang keempat: Demikian pula jika tubuh sakit, tidak salah bila engkau mengobatinya; sama artinya bagimu, jangan tergesa menjadi suci, sangat sulit untuk benar-benar suci. Jelasnya: rawatlah juga tubuhmu, karena kesehatan tubuhmu menjadi sebab bagi tercapainya kebahagiaan, kebahagiaan menjadi sebab terjadinya keteguhan hati, keteguhan hati menjadi sebab terlaksananya samadhi, samadhi menjadi sebab tercapainya moksha (atau pembebasan). (4) Slokha yang kelima: Rawatlah tubuhmu dengan memakai niwasana (jubah bagian bawah), memakai katiwandha (jubah bagian atas), siwara(jubah selimut) selengkapnya, membawa waluh (yaitu patra, pada zaman dahulu para bhiksu di sekitar Borobudur menggunakan patra yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan), memegang kakakara (ini adalah tongkat bhiksu yang terbuat dari kombinasi kayu dan logam di mana bagian atasnya terdiri dari banyak cincin logam dan bila digunakan sebagai tongkat berjalan ia akan

bergemerincing dan

mendengarnya

bahwa

ada

memberi bhiksu

tanda bagi yang

sedang

orang

atau

melintas).

makhluk lain

yang

Jika

Resi

engkau

Buddha (bila instruksi ini didengar oleh resi Buddha yaitu seorang pertapa atau praktisi Buddhis tetapi bukan bhiksu), pakailah kulit kayu (pada zaman itu tidak banyak tersedia kain tetapi jenis kayu tertentu bisa digunakan sebagai penutup tubuh), memakai

sampet (ikat

kepala

atau

kain

penutup

kepala),

memakai

basma

cendana (minyak cendana yang dioleskan pada tubuh untuk mengusir serangga dan memberi

rasa

hangat

pada

tubuh

yang

terbuka),

memakai

ganitri (mala) selengkapnya. (5) Slokha yang keenam: Bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tata cara, berdiamlah dengan memandang ujung hidung. (6)

Dari slokha ketiga sampai keenam adalah instruksi mengenai bagaimana seorang praktisi mengatur tubuhnya. Pertapaan seorang Mahayanis berbeda dengan pertapaan yang tadi saya ceritakan. Di sini bahkan dengan jelas diinstruksikan bahwa apa pun yang menyenangkan untuk dimakan agar dimakan, tidak ada pantangan-pantangan, jangan membuat pantangan-pantangan, jangan memaksa-maksa tubuh kita. Gambarannya demikian: dalam metode pertapa Hindu sebagai realitas yang juga terjadi di masyarakat pada zaman itu, ada beberapa jenis pertapaan; yang pertama adalah bertapa berkelana yaitu mereka tidak punya tempat tinggal, tidak boleh punya tempat tinggal, lalu tidak membawa alat apa pun untuk menolong kebutuhan hidupnya; hanya berkelana sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun dan seterusnya. Lalu bertapa pantang makanan dari biji-bijian, dan yang dikonsumsi adalah daun-daunan. Bentuk pantangan seperti ini juga dijalankan sebagai bentuk pertapaan. Lalu pantang makanan yang tersulut api atau yang dimasak (ini mengenai makanan) dengan mengira bahwa metode itu berguna bagi perkembangan spiritual. Pantang terhadap makanan asam, manis, asin dan sebagainya; hal itu dijalankan dari zaman dulu sampai sekarang. Beberapa komunitas Hindu di India pada waktu-waktu tertentu mereka tidak makan garam, tidak makan gula, tidak makan makanan yang berasa. Mereka berpikir bahwa bila kita mengonsumsi makanan yang tidak berasa dalam kurun waktu yang lama, pikiran kita tidak akan banyak gejolaknya. Apakah benar demikian? Kelihatannya Sang Buddha tidak memiliki anjuran seperti itu. Jadi di dalam Buddhis tidak ada pantangan-pantangan terhadap makanan. Lalu tubuh juga tidak boleh dipaksa-paksa. Contohnya, bagaimana seseorang mengembangkan meditasi, tidak boleh memaksa tubuh misalnya harus duduk dengan sebuah keharusan dari pagi sampai sore atau dengan cara yang lain. Ini terjadi di dalam paham Hindu khususnya, ketika menjalankan tapa mereka, katakanlah pantang untuk berbaring, pantang untuk mandi, pantang untuk berpakaian, pantang untuk mengambil tempat duduk dan sebagainya. Lalu pada saat menjalankan tapa ada yang mengikatkan kakinya pada pohon (tidur dalam keadaan terjungkir, kaki di atas, badannya di bawah), atau membenamkan tubuh di dalam tanah (kepala di atas permukaan tanah), atau menenggelamkan dirinya di dalam air sepanjang waktu; dan berpikir bahwa metode seperti itu dapat membawa perkembangan batin. Ajaran Mahayana dengan jelas menyatakan bahwa untuk mengembangkan batin bahkan setiap Bodhisattva tidak perlu melakukan hal seperti itu. Tubuh jangan dipaksa-paksa dengan tidak boleh makan ini dan itu. Semua yang cocok untuk dimakan, semua yang enak dimulut hendaknya tidak dipantangkan. Namun demikian, jangan lupa tata cara seorang bhakta. Jadi walaupun dalam hal makanan tidak ada pantangan, walaupun dalam hal penggunaan tubuh tidak ada pemaksaan, tetapi tata cara hidup seorang praktisi ada kode etiknya. Makan misalnya: makan secukupnya, secukupnya dalam arti

kata jelas diuraikan dalam banyak sila-sila. Dalam aspek apa yang harus dimakan tidak ada pantangan tetapi seperti apa seorang praktisi makan tentu ada ketentuannya. Dalam memaksa tubuh tidak diijinkan atau dibenarkan tetapi dalam mengelola tubuh ada ajarannya. Ketika seorang praktisi sakit dalam paham lain (Hindu dan Jhaina di India) tidak dibenarkan mengobatinya dan menganggapnya sebagai sarana untuk melebur karma buruk atau melebur dosa; tetapi dalam Buddhasasana, Sang Buddha menganjurkan agar sakit diobati, bahkan Sang Buddha sendiri pernah mengobati atau menolong bhiksu yang sedang menderita sakit parah. Memang benar karma buruk bermanifestasi dalam bentuk munculnya penyakit, tetapi penyakit atau sakit tidak salah bila diobati, menurut paham Mahayana. Sesuai dengan zamannya, pada waktu itu di masyarakat ada orang atau paham yang pantang mengobati sakit. Jangan tergesa menjadi suci, seolah-olah kalau kuat menghadapi atau menerima sakit menganggap dirinya suci. Di sini diberi penekanan sangat sulit untuk menjadi benarbenar suci, karena suci dalam paham Buddhis bukan berarti kuat menahan rasa sakit tetapi ketika seseorang dapat menyucikan pikirannya, membersihkan pikirannya dari delapan dharma duniawi atau Asthaloka-dharma; itu adalah sumber kesucian yang sesungguhnya, bukan karena kuat menahan sakit atau karena pantangan-pantangan tertentu. Jadi jelas bahwa tubuh menurut paham Mahayana harus dirawat dengan semestinya, karena kalau tubuh sehat, pikiran menjadi cerah, menjadi jernih, lalu tidak ada masalah dengan kesehatan, dan kebahagiaan yang muncul menjadi sebab keteguhan hati. Keleluasaan, kenyamanan pikiran, menjadi sebab mudah bermeditasi, dan meditasi adalah satu-satunya jalan mencapai moksha. Memakai busana dan membawa berbagai atribut spiritual adalah bagian dari para praktisi juga. Sebagai praktisi Mahayana kita minimal harus memiliki alat yang kita gunakan untuk beribadah Mahayana, apa itu? Yang mendasar adalah mala, buku untuk membaca liturgi atau doa-doa dan sebagainya karena tidak mungkin menghafal begitu banyak hal. Bila mengacu kepada bhiksu, itu sudah ada ketentuannya sendiri. Tentang upashaka: bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tata cara; seseorang menjadi upashaka karena mengangkat sila Pancasila. Tata cara seorang upashaka, kalau ia adalah seorang upashaka biasa (perumah tangga) maka ia hanya berkomitmen terhadap Pancasila, tidak perlu meninggalkan rumahnya atau kehidupan duniawi dan kehidupan berkeluarga; tetapi kalau ia upashaka gomi yaitu upashaka yang selibat atau brahmacari silanya. Berdiamlah

maka ia memiliki pantangan sesuai dengan komitmen

dengan

memandang

ujung

hidung,

artinya

pada

waktu

mempraktikkan di rumah (yang sudah dideskripsikan tadi) apakah di gunung, di gua, di

pantai atau di mana saja; tempatnya sudah didesain dan dipersiapkan sedemikian rupa; lalu tentang makanan, sakit tubuh, busana dan sebagainya; lanjutannya adalah kalau sang Bodhisattva adalah seorang upashaka maka ia berbuat sesuai dengan tata cara dan berdiam dengan memandang ujung hidung, yaitu pada saat bermeditasi. Slokha ketujuh: Jangan sampai hatimu terikat pada isi kitab tarkka (kitab sastra mengenai keagamaan),

wyakarana (kitab-kitab

yang

berupa

prediksi) serta

agama

purana (agama adalah semua teks tentang dharma; purana adalah mitologi kuno, cerita tentang penciptaan dunia, tentang dewa-dewa, tentang sebab matahari, gunung dan sebagainya), dharma-dharma samaya kosa (segala macam instruksi tentang komitmen-komitmen, kriya tantra (tantra kriya seperti yang Anda ketahui), juga jangan terikat pada kisah-kisah cerita, baca-bacaan, nyanyi-nyanyian, taritarian dan sebagainya. Dosa akibat terikat adalah besar kleshanya(kalau menggemari semua hal yang disebut tadi akan membuat kleshanya sangat tebal), kuwalahan engkau menghapus pengaruhnya; nafsu, kebencian, kebodohan, hingga akibatnya bagimu bila ternoda semua itu, seperti orang yang memanjat pohon, sudah sampai di puncak, akhirnya turun dengan susah payah, bahkan juga makin jauh menemukan moksha. (7) Ini adalah perumpamaan mengenai hidup manusia, semua hal tadi tentunya mengacu pada atmosfer hidup pada zaman itu yaitu abad kesembilan di mana belum ada teknologi, belum ada rekayasa berbagai macam hal dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bentuk-bentuk keterikatan hanya pada hal-hal yang terbatas, tidak seperti sekarang kita bisa terikat dengan berbagai macam hal. Pada waktu itu keterikatan hanya mengacu pada hal yang sederhana menurut zaman kita, yaitu buku-buku agama, bukubuku cerita, dongeng-dongeng, ritual-ritual, nyanyian, tarian, dan segala hiburan. Yang perlu kita perhatikan adalah akibat dari keterikatan, bukan hanya pada para siswa dari sang Guru ini tetapi juga kita. Bila keterikatan itu sedemikian besar pada kita, di sini dikatakan bahwa seperti orang yang memanjat pohon, sudah susah payah sampai di atas akhirnya harus turun juga, dan semakin jauh dari moksha. Dalam berbagai sastra Tibetan dikatakan (juga dalam Abhidharmakosa yang ditulis oleh Guru Vasubhandu) bahwa untuk menjadi seorang manusia kita telah melakukan berbagai macam usaha dan daya upaya di masa lalu. Sastra Lamrim juga mengatakan bahwa salah satu sebab menjadi manusia adalah dulu kita dengan ketat menjalankan sepuluh kebajikan. Tidak mudah menjalankan sepuluh kebajikan itu, mengapa tidak mudah? Karena sekarang sudah tidak gampang untuk menjalankannya. Oleh karena itu dikatakan bahwa hidup

kita yang sekarang ini didapatkan dengan susah payah, dulu kita susah payah menjalankan sepuluh kebajikan, dan sekarang untuk menjalankannya sudah tidak mudah lagi karena waktu, perasaan dan pikiran kita tersita oleh berbagai keterikatan. Yang umum adalah keterikatan pada harta benda, pada cinta, pada ambisi tertentu, pada pandangan salah, dan seterusnya. Apa akibat dari keterikatan seperti itu? Akibatnya adalah keterikatan sulit untuk dielakkan, bahkan dalam keadaan praktik spiritual sekalipun ketika duduk bermeditasi, pikiran kita tidak dapat dijauhkan sekejap pun dari subjek keterikatan diri kita: ego, praduga, harta, keluarga, ambisi, obsesi dan sebagainya; sehingga sepanjang hidup kita, kita tidak pernah berhasil mengelakkan diri dari keterikatan, dan kita menjadi objek dari keterikatan itu. Dalam bahasa yang lebih lugas adalah kita dipermainkan oleh objek keterikatan. Konsekuensi spiritualnya adalah kita lalu mengalami kemerosotan. Karena dulunya banyak beramal kita sekarang leluasa dalam harta benda; ketika sudah leluasa dalam harta benda kita berpikir begitu banyak yang harus dibiayai, ada proyek-proyek, ada bisnis, ada segala macam hal; lalu kita memberi porsi yang begitu kecil untuk menanam kebaikan atau beramal dana. Dari pohon besar yang berupa kebajikan masa lalu berbuah megah dalam kehidupan yang sekarang, lalu menjadi seperti tidak berbuah karena dalam keleluasaan hidup ini kita tidak melakukan penyemaian kembali terhadap kebajikan. Ini adalah salah satu contoh. Ketika

hidup

sebagai

yang complicated dari

manusia

didapatkan

dari

berbagai

aspek-aspek spiritual: dana, sila, dan

macam

kombinasi

sebagainya;

karena

terhambat oleh keterikatan akhirnya merosot ke dalam proses yang semakin jauh dari moksha. Jey Tsongkhapa khususnya mengatakan bahwa tubuh manusia lebih berharga daripada permata cintamani pengabul harapan. Guru Shantideva mengatakan bahwa tubuh manusia bagaikan perahu yang sangat fleksible ke mana pun akan digunakan, apakah ke alam dewa, apakah ke alam Tushita tempat Sang Buddha Maitreya, apakah ke Akanistha tempat Sang Buddha Vairochana; semuanya bisa dijangkau dengan tubuh manusia. Akan tetapi, sama dengan slokha yang dikutip oleh sang Guru ini, dari puncak samsara segala bentuk kehidupan (yaitu manusia), kita bahkan bisa tergelincir lebih jauh ke dalam dan harus mengalami evolusi ulang dari proses awalnya. Suami kita tempat kita terikat dan tidak bisa berbuat apa pun, istri kita, anak kita, benda-benda duniawi, obsesi kita, pikiran kita; yang semula begitu erat mencengkram kita dalam kepentingan hidup; ternyata mereka melanjutkan urusannya dan proses samsaranya sendiri-sendiri, dan kita kecele artinya menduga ada sesuatu di situ tapi ternyata tidak ada sesuatu apa pun di dalamnya. Suami kita adalah makhluk samsara yang lain, ia berjumpa dengan kita karena keterikatan karma masa lalu; anak kita juga begitu; harta benda kita adalah buah dari kebajikan kita di masa lalu; teman-teman, saudara, kerabat, semuanya adalah bahasa lain dari karma-karma kita di masa lalu. Ini adalah ajaran kebijaksanaan Dharma untuk melepaskan diri sedikit demi sedikit dari keterikatan

membabi buta. Kalau kita memiliki sudut pandang yang demikian, itu artinya kita telah menggunakan kebijaksanaan Dharma. Memiliki kebijaksanaan Dharma menyebabkan seseorang tidak rugi dalam perjalanan samsaranya tanpa mengurangi kebahagiaan sekecil apa pun dari kehidupan samsaranya. Tetapi bila kebijaksanaan Dharma tidak digunakan, orang hanya akan menyesal dalam tangisnya di berbagai sudut samsara. Kalau kita melihat orang-orang di daerah yang penuh penderitaan, sebutlah Afrika yang penuh dengan penderitaan duniawi, atau Timur Tengah yang penuh dengan konflik, atau binatang yang diikat di bawah pohon jambu, atau segala bentuk penderitaan yang lain; dari mana asal semua itu? Asalnya adalah dari keterikatan yang membabi buta. Asalnya adalah dari salah me-manage kesempatan hidup yang dimiliki dan membiarkan lobha, dosa dan moha mencengkram dirinya. Pada akhirnya tidak ada yang bisa menolong kekeliruan seperti itu kecuali menjalaninya dalam jerit tangis samsara. Tidak enak menjadi anjing yang diikat, tidak enak lahir dalam keadaan miskin dan terlantar di pinggir jalan, tidak enak hidup di daerah yang penuh konflik, tidak enak muncul di tempat yang tidak ada apa pun untuk menemukan kebahagiaan hidup; tapi kita mungkin lupa bahwa semua itu ada sebab musababnya. Sang Buddha memberitahukan adanya sebab dan akibat, adanya akibat yang diketahui sebabnya; oleh karena itu kita harus terus menggunakan kebijaksanaan Dharma untuk menilai diri kita dan memandang kehidupan kita. Akhir dari slokha ketujuh ini baik sekali untuk dijadikan renungan agar kita tidak semakin jauh dari prospek untuk lebih tinggi memanjat alam samsara. Dari peta samsara yang paling rendah kita merangkak sedikit demi sedikit menuju ke level yang lebih tinggi, dan sekarang kita mencapai puncak ciptaan samsara di mana dalam agama

lain

dikatakan

bahwa

manusia

dibentuk

dengan

rupa

seperti

yang

membentuknya sendiri. Dalam paham Dharma, Sang Buddha memuji tubuh manusia sedemikian rupa; dan untuk menuju ke bentuk kehidupan yang lebih tinggi dalam samsara yaitu enam alam dewa, enam alam brahma, tempat melompat yang paling dekat adalah tubuh manusia, bukan tubuh yang lain. Jadi jelas sekali Guru ini sangat baik menasihati siswanya, jangan sampai keadaan yang didapatkan dengan susah payah ini berlalu begitu saja dan seseorang harus menangis dari dasar samsara kembali. Slokha yang kedelapan: Bukan karena merasa mulia aku mengajarkan hal ini, ketahuilah apa yang akan menyebabkan

kesulitan

pada

akhirnya,

juga

apa

yang

menyebabkan

kebahagiaan tercapainya moksha. (8) Sang Guru dengan rendah hati mengatakan (mungkin muridnya terdiri dari banyak orang, ada raja, ada para bangsawan, ada para inkarnasi Bodhisattva); kepada raja

yang sangat mulia, memiliki banyak keluarga dan banyak harta benda, tentu menasihati seperti ini bukan hal yang mudah karena dengan gampang orang akan berargumen terhadap Dharma seperti ini. Lalu sang Guru mengatakan, “Bukan karena saya merasa mulia mengajarkan hal ini, tetapi ketahuilah apa yang menyebabkan kesulitan pada akhirnya.” Kalau kerajaan membuatmu menjadi malas melakukan kebaikan, istri yang cantik membuatmu malas melakukan pelepasan duniawi, artinya kadang-kadang menjalankan sila, meninggalkannya dan memandang kecantikannya adalah karma, kemudian segala hal dipersepsikan dengan demikian; bila tidak berhasil, artinya buah karma

baik

menyebabkan

karma

buruk

di

kemudian

hari.

Jadi

sang

Guru

mengatakan ketahuilah apa yang menyebabkan kesulitan pada akhirnya. Bisa beli home theatre adalah karma baik di masa lalu tapi ketika home theatre itu membuat seseorang keracunan, ia tidak pernah lagi melakukan kebaikan yang serupa untuk dapat membeli home theatre dalam kehidupan yang akan datang; bahkan lobha, dosa dan moha membuatnya menjadi seperti akhir slokha ketujuh tadi. Mendapat kesempatan berbisnis, mendapat posisi karir yang bagus, menjadi entrepreneur yang bagus; itu semuanya adalah karena jerih payah Anda di masa lalu; tetapi kalau kemudian kita lupa dan menganggap masa lalu akan berakhir di sini, itu yang disebut oleh Guru ini dalam akhir slokha yang kedelapan yaitu tidak tahu apa yang pada akhirnya akan menyebabkan kesulitan. Lalu juga apa yang menyebabkan kebahagiaan tercapainya moksha. Sekarang slokha kesembilan: Demikianlah ajaranku kepadamu, akhirnya tergantung padamu, percaya tidak engkau padaku, aku tidak memaksa agar engkau mempercayaiku, apalagi agar engkau tetap mempercayaiku. Jangan begitu. Selidikilah lebih dahulu yang kuajarkan kepadamu, pakailah cermin untuk melihat benar salahnya, pada awal, pertengahan serta akhirnya, sehingga terhapuslah keraguanmu. Jangan dilihat-lihat,

jangan

setengah-setengah

kepercayaanmu

pada

apa

yang

kuajarkan, seperti tukang emas. (9) Pada slokha kesembilan, Guru ini memberi dasar atau landasan berpikir: “Demikianlah ajaranku, tetapi apa yang kuajarkan itu tergantung padamu, percaya-tidak percaya engkau kepadaku, aku tidak memaksa karena para guru bahkan Sang Buddha sendiri ketika datang ke dunia sama sekali tidak memaksa. Salah satu siswa Sang Buddha yaitu Raja

Bimbisara

mempunyai

seorang

anak

yaitu

Pangeran

Ajatasatru.

Pangeran

Ajatasatru juga pernah bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar langsung Dharma suci

dari

Sang

mencerminkan

Buddha, sifat

tetapi

manusiawi

apa yaitu

yang

dilakukan

karena

ambisi

oleh

Pangeran

dan

hasutan

Ajatasatru tertentu

ia

memenjarakan ayahnya sendiri dan menyebabkan kematian Raja Bimbisara yang merupakan murid Sang Buddha. Anda jangan pernah berpikir kalau kita lahir di hadapan seorang Buddha, mendapat Dharma langsung dari seorang Buddha itu banyak kemudahan, karena tetap saja hal itu bergantung pada kita. Kalau kita tidak memiliki cukup kebajikan dan bakat spiritual tentu kita tidak akan bisa memanfaatkan nasib baik kita. Sang Guru mengajarkan agar si murid berpikir-pikir, mengkaji-kaji, merenungrenung, menimbang-nimbang seperti tukang emas. Kalau kita bawakan emas ke tukang emas, pertama ia akan memotongnya kemudian melelehkannya, lalu bila sudah sedemikian rupa masih tetap emas, berarti emas itu asli. Demikian pula dengan ajaran Guru ini yaitu setelah dikaji-kaji, direnung-renungkan, dipikir-pikir dengan menggunakan semua kaidah Dharma; pada akhirnya bila tetap merupakan kebenaran, itu berarti si murid bukan karena percaya membabi buta, bahkan dalam kondisi seperti itu sang murid telah memiliki kebijaksanaan Dharma. Sakarang slokha yang kesepuluh: Terima kasih atas ajaran MahaMpu, Tentang tujuan kitab tarkka, wyakarana, tantra, apakah disebut kitab baik namanya, baik untuk kami ikuti, mohon anugerah Sri MahaMpu kami berlindung pada kedua telapak kaki Sri MahaMpu. (10) Ini mengacu pada tema berikutnya yaitu Enam Paramita, jadi sesuai dengan motivasi kita mempelajari teks ini di awal tadi yaitu sebagai suplemen atau sisipan dari ajaran Tantra. Ajaran Tantra berdiri di atas penopang Mahayana, penopang Mahayana sesuai dengan paham Guru Jey Tsongkhapa berdiri di atas paham Hinayana. Apakah ajaran Hinayana? Yaitu kejenuhan atau Nekrama terhadap samsara. Hinayana, Mahayana dan Tantra; atau Pratimoksha Sila, Bodhisattva Sila dan Tantra; ketiga-tiganya saling berkaitan. Kita perlu memahami dengan baik semua tema dalam Sravakayana, dalam Mahayana, kemudian dalam Tantrayana; untuk mencapai keberhasilan dalam praktik spiritual kita. Walaupun harus diulang berkali-kali membaca, mempelajari, mendengar, merenung; adalah lebih baik daripada kita sama sekali tidak memiliki pengertiannya. Akhirnya terima kasih, kita sambung lagi minggu yang akan datang.

BERHARGANYA KEHIDUPAN SEBAGAI MANUSIA Posted by bhumisambhara pada 31 Maret 2009

Rabu, 1 Maret 2000

Upashaka Pandita Sumatijnana Selamat Malam, Namo Sanghyang Adi Buddhaya, Namo Buddhaya! Kita bertemu lagi dalam rangka melakukan ibadah Mahayana dan Tantra. Setelah tadi melewatkan satu session, sekarang kita masuk pada session selanjutnya yaitu mempelajari Dharma. Kita semuanya berada di tempat ini, menjadi seorang manusia, kita memiliki faktor eksternal dan internal yang baik, itu semuanya merupakan karunia yang tidak dapat dilukiskan, merupakan keberuntungan yang tidak ada bandingnya. Kelahiran menjadi seorang manusia merupakan berkah terbesar yang dapat dimiliki oleh makhluk samsara yang mengembara dari kehidupan yang satu ke dalam kehidupan yang lain berdasarkan kekuatan karma masing-masing. Di antara makhluk-makhluk samsara, mereka mengembara dari satu kelahiran ke kelahiran yang lain, bila tidak menemukan tubuh sebagai seorang manusia, betapa pun mereka berada di alam-alam yang luhur dan mulia seperti alam para dewa, alam surga-surga, alam brahma dan sebagainya, keadaan-keadaan di sana juga dianggap jauh dari menguntungkan bila dibandingkan dengan kehidupan menjadi seorang manusia. Bila kehidupan yang luhur saja dianggap tidak menguntungkan, tentu kehidupan di alam yang rendah lebih jauh dari keberuntungan. Jadi kehidupan manusia seperti diri kita, menjadi seorang pria atau seorang wanita, merupakan berkah yang sangat luar biasa. Jey Tsongkhapa menganggap tubuh kita ini laksana batu cintamani, ia dapat memberikan apa pun yang dikehendaki. Para mahaguru yang lain baik dari India maupun Tibet juga mengemukakan hal yang sama bahwa tubuh sebagai manusia bagaimanapun keadaan nasib hidupnya, apakah ia manusia yang sejahtera atau kurang sejahtera secara lahiriah, orang yang bodoh atau cerdas secara intelektual, bila yang ia kenakan adalah tubuh sebagai seorang manusia maka ia manyandang tubuh yang disebut oleh Jey Tsongkhapa sebagai batu cintamani atau permata pengabul harapan. Oleh karenanya di dalam Tripitaka, kepada siswanya Sang Buddha selalu berpesan dalam bentuk dialog yang berulang-ulang agar para siswanya pertama-tama mengarahkan diri untuk melatih ajaran-ajaran yang dapat mencegahnya jatuh ke dalam bentuk kelahiran yang lain. Sang Buddha menjelaskan kepada para siswanya pada saat itu bahwa usaha pertama yang harus dicurahkan oleh para siswanya adalah mencegah dirinya kehilangan kehidupan sebagai seorang manusia. Jey Tsongkhapa dalam Lamrim Chenmo mengatakan bahwa kehidupan manusia penuh keleluasaan, sulit sekali diperoleh dan mudah sekali hilang. Ini adalah kata-kata dari Mahaguru Jey Tsongkhapa berdasarkan penglihatan spiritualnya, bukan merupakan kutipan dari kitab suci. Kemudian Sang Buddha menyatakan mengapa kehidupan sebagai manusia menjadi prioritas utama untuk dipertahankan, Sang Buddha memberikan perumpamaan di dalam sutra Mahayana bahwa suatu makhluk samsara apa pun bentuknya untuk mendapatkan kelahiran sebagai manusia adalah sama seperti sebongkah batu yang besar setinggi 12 yojana, selebar 12 yojana dan sepanjang 12 yojana, itu suatu ukuran yang sangat besar sekali, dan batu ini dapat hancur karena pukulan dari sehelai selendang sutra. Jadi Sang Buddha mengumpamakan kesulitan seorang makhluk yang kehilangan kesempatan menjadi manusia, untuk mendapatkan kembali tubuh sebagai manusia apakah

pria atau wanita, bodoh atau cerdas, sejahtera atau kurang sejahtera, semuanya sama akan mengalami kesulitan seperti sulitnya bagaimana selendang sutra dapat meremukkan batu yang 12 yojaya tingginya, 12 yojana lebarnya dan 12 yojana panjangnya. Pada sutra Hinayana atau Theravada Sang Buddha juga mengumpamakan bahwa kesempatan untuk mengambil kelahiran sebagai seorang manusia bagi makhluk yang kurang beruntung untuk mendapatkannya adalah seperti kura-kura buta yang ada di dalam lautan dan diberi kesempatan 100 tahun sekali untuk muncul di permukaan laut dan pada saat itu harus berhasil memasukkan kepalanya ke dalam gelang besi yang ada di permukaan laut. Ini adalah gambaran-gambaran mengapa para mahaguru baik di India maupun di Tibet juga di tempat-tempat yang lain mengajarkan bahwa usaha yang harus dicurahkan atau dilakukan oleh para siswa penganut Dharma Sang Buddha adalah bagaimana mencegah agar kehidupan sebagai manusia tidak hilang dan bila telah didapatkan maka harus dimanfaatkan semaksimal mungkin terutama sekali dipertahankan dari kemungkinan kehilangan tadi. Itulah sebabnya mudah bagi kita untuk mengerti bahwa Jey Tsongkhapa menyatakan tubuh manusia adalah batu cintamani. Kemudian Mahaguru Shantideva menyatakan bahwa tubuh kita adalah perahu yang dapat menyeberangkan ke mana pun kita inginkan. Guru Atisha menyatakan bahwa tubuh manusia merupakan tubuh pintu bagi narapidana samsara untuk segera melarikan diri dari berbagai penderitaan terpenjara di sini. Bila para mahaguru telah menghargai sedemikian tinggi tubuh sebagai seorang manusia, maka sebagai manusia kita harus mendengarkan apa kata beliau-beliau tersebut dan merenungkan makna yang tersurat di dalamnya. Sang Buddha menyatakan berkali-kali di dalam Tripitaka bahwa tujuan utama praktik ajarannya adalah mempertahankan agar kita tidak kehilangan butuh sebagai seorang manusia. Pertanyaan bagi kita semua (bagi diri kita masingmasing) adalah sejauh mana kita dapat memastikan bahwa kita tidak akan kehilangan tubuh ini pada saat kematian terjadi pada diri kita nanti. Oleh karena berbagai aspek kehidupan kita telah terbiasa dalam bentuk hal-hal yang tidak terlatih, kita tidak melatih diri kita dengan baik berkaitan dengan kegiatan tubuh kita, ucapan kita, dengan pikiran kita; sudah tentu dapat dipastikan bahwa banyak hal yang memungkinkan kita untuk kehilangan kehidupan sebagai seorang manusia bila kita tidak segera memperbaiki dan memodifikasi jalan dan cara hidup kita. Oleh karenanya kita perlu mendengarkan ajaran para Guru, kita perlu membaca berbagai tulisan para Guru, tujuannya untuk memberi kepastian sejauh mana usaha-usaha yang telah kita lakukan saat ini agar diri kita tetap memiliki kehidupan sebagai seorang manusia. Telah sering kita dengar bahwa setiap orang dalam melakukan kebaikan kurang sekali intensitasnya. Setiap manusia dalam melakukan kebajikan sudah pasti kurang sekali semangat maupun intensitas dalam jumlah kebajikan yang dilakukan. Bahkan Pabongka Rinpoche menyatakan bahwa kalaupun seseorang melakukan kebajikan maka kebajikan yang dilakukannya itu jarang sekali sepenuh hati; kebajikan yang dilakukannya kadang-kadang setengah hati atau bahkan seperempat hati atau seperberapa hati. Ini berbeda sekali dengan perbuatan yang bukan merupakan kebajikan, misalnya menonton TV, bila kita menonton film yang bagus dan orang lain membuat suara-suara maka kita akan segera mengambil remote untuk memaksimalkan volume TV supaya kita dapat

berkonsentrasi 100% terhadap jalan cerita yang sedang kita tonton. Ini adalah contoh bentuk fokus luar biasa yang biasa dilakukan oleh manusia pada kegiatan di luar kebajikan. Bila kita melakukan hal yang lain, kita sedang bersantai misalnya atau membaca majalah, mendengarkan musik, kita juga mencurahkan seluruh perhatian kita sampai tidak mendengar suara yang lain, sampai kita tidak memperhatikan hal-hal yang lain. Bahkan ibu-ibu kalau menonton sinetron kadang-kadang masakannya menjadi hangus, dan banyak hal yang terbengkalai. Ini adalah cermin bahwa konsentrasi begitu luar biasa pada kegiatan di luar kebajikan. Bila dilihat dari unsur karma, karma apakah yang dapat dikumpulkan oleh seorang penonton telenovela misalnya, atau seorang pendengar musik, atau seorang yang membaca majalah atau koran dengan sepenuh hati? Tentunya ini menjadi pertimbangan bagaimana kita harus bijaksana menggunakan waktu kita. Tidak perlu saya ulangi lagi bahwa kebajikan yang kita lakukan intensitasnya sangat kurang sekali, konsentrasinya juga sangat kurang, yaitu bila melafal mantra sering menyingkatnya, bila meditasi maka kita bermeditasi sepersekian dari waktu yang kita gunakan untuk menonton film di mana kalau film durasinya 2 atau 2,5 jam dari mulai kelihatan judul filmnya kita sudah membetulkan tempat duduk, mengambil minum, mengambil makanan kecil, membuat duduk kita nyaman, semua orang bahkan kalau ada dering telepon kita bilang tidak ada; tetapi ketika bermeditasi, kalau telepon berdering maka kita segera menjadi resah dan kehilangan konsentrasi, jarang kita menunda mengangkat telepon yang berdering manakala sedang berdoa atau sedang bermeditasi tetapi biasanya sebagian besar dari Anda begitu mendengar telepon berdering langsung loncat dan tidak kembali duduk bermeditasi lagi. Ini berbeda dengan konsentrasi kita ketika sedang menonton film atau memperhatikan suatu siaran tertentu. Jadi mudah untuk dianalisa bahwa dengan demikian bila sekarang hidup kita sekarang telah berlari sejak dilahirkan sampai 30 atau 50 tahun, akumulasi kebajikan kita sangat minim sedangkan akumulasi kesia-siaan luar biasa mendominasi sebagian besar dari waktu hidup kita. Itulah sebabnya Pabongka Rinpoche menyatakan bahwa sebagian besar orang walaupun mereka gemar melakukan ibadah, mereka tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Misalnya Anda di sini duduk melakukan puja, walaupun session ini hanya berlangsung 2 jam, dari awal kaki sudah tidak betah, kemudian meninggalkan konsentrasi melafal karena mendengar suara orang-orang bergantian, melihat siapa yang datang dan berpikir apakah perlu ditolong atau tidak, kemudian juga berpikir tentang hal-hal yang lain, dan masih lagi diganggu dengan perasaan ingin ke toilet, balik lagi, kemudian kita melafal lagi sambil memikirkan hal-hal yang lain, dan sebagainya. Ini adalah kenyataan-kenyataan yang ada pada diri setiap penganut ajaran Sang Buddha, bukan hanya kita yang di sini, tetapi Pabongka Rinpoche menyatakan ini karena beliau yang hidup pada abad ke-18 melihat bahkan di Tibet pada masa itu juga sama keadaannya seperti kita di mana orang berdoa kadang-kadang sambil melihat satu sama lain, kalau ibu-ibu bertanya “Kamu tadi masak apa?” “Oh saya tadi masak ini,” dan seterusnya; lama-lama doanya terbengkalai malah berbicara soal masak-memasak dan sebagainya. Kemudian kalau ada teman yang sudah lama tidak ketemu, konsentrasi kita berpindah ke hal yang lain. Guru Atisha juga secara ringkas menyatakan bahwa bila kita menghadapi situasi yang demikian, “Bila sendirian kendalikan pikiranmu, bila bersama dengan orang lain kendalikan ucapanmu.” Jadi bila sendirian kita harus memastikan bahwa pikiran kita tidak berkeliaran atau

melakukan aktivitas yang keliru, tetapi bila bersama dengan orang lain yang kita perhatikan bukan pikiran tetapi mulut kita yaitu kata-kata atau ucapan kita. Kehidupan sebagai seorang manusia akan sangat berharga bila diukur dari ukuran spiritual yaitu ukuran Dharma. Bila ukurannya bukan Dharma maka mudah sekali bagi kita untuk menghina atau menilai-nilai berdasarkan keadaan lahiriahnya. Di dalam delapan dharma duniawi di mana setiap orang senang memperoleh tidak senang kehilangan, senang dipuji tidak senang dicela, dan seterusnya; berkembang di dalam dunia ini bahwa setiap orang dinilai berdasarkan keadaan lahiriahnya. Kita akan segera mengekspresikan raut wajah yang gembira manakala kita bertemu dengan orang yang secara lahiriah menyenangkan kita tetapi kita akan berekspresi kurang gembira manakala bertemu dengan orang yang kurang menggembirakan secara lahiriah. Ini adalah faktor mental yang disebabkan oleh kebiasaan hidup di dunia kita yang sudah berjalan selama bermilyar-milyar tahun. Oleh karenanya penilaian yang dilakukan oleh guru Atisha, oleh Jey Tsongkhapa, oleh Mahaguru Shantideva, terhadap tubuh manusia yang sangat luar biasa ini bukanlah penilaian lahiriah yang dikaitkan dengan status seseorang, harta benda seseorang, ketampanan, kecerdasan, dan sebagainya; tetapi didasarkan pada kemanusiaan atau eksistensi sebagai manusia itu sendiri. Jadi tidak didasarkan pada berbagai hiasan lahiriah, apakah yang disebut sebagai hiasan lahiriah manusia? Yaitu ekspresi keadaan hidupnya yang disebabkan karena pengaruh karma masingmasing dari setiap orang. Penilaian spiritual yang dimaksud itulah yang dapat membawa pada kesimpulan tubuh ini sangat bermanfaat dan sangat mahal harganya. Para Guru dan para Arya di India, mulai dari Sang Buddha dan para penerusnya sampai dengan para Guru di Tibet juga di Tiongkok dan di mana saja ajaran Sang Buddha dianut, telah mendapatkan bahwa Dharma disebarluaskan melampaui keadaan lahiriah dan melewati penilaian-penilaian lahiriah. Dharma disebarkan tidak dalam kaitannya dengan suatu pertimbangan atau penilaian lahiriah tetapi berdasarkan penilaian Dharma dan kemanusiaan itu sendiri. Maksudnya adalah pada zaman Sang Buddha, Sang Buddha menerima siswanya dari bermacam-macam orang, bermacam-macam manusia dari berbagai macam latar belakang. Di antara siswa Sang Buddha tersebut seperti yang dapat kita baca dari Tripitaka, ada yang namanya Raja Ajatasatru, ada Raja Bimbisara, kemudian ada di antara pengusahanya yang benama Anatapindika, ada Pangeran Jeta dan sebagainya; itu adalah golongan tersendiri dari para siswa Sang Buddha. Kemudian di antara siswa beliau juga ada para pertapa atau pengelana yaitu orang-orang yang secara sosial sama sekali berbeda dengan kelompok yang pertama tadi, karena para pertapa pada zaman itu dalam hidupnya mereka hanya memiliki satu mangkok dan selembar kain untuk menutup tubuhnya. Jadi para pertapa tersebut secara lahiriah memang sangat menggambarkan bagaimana samsara ini memang menyedihkan. Kemudian dalam Tripitaka juga diungkapkan bahwa siswa Sang Buddha tidak seluruhnya adalah orang-orang yang bahagia dalam pengalaman kehidupannya. Ada siswa Sang Buddha yang sebelumnya adalah seorang pelacur, ada yang sebelumnya orang yang sial melulu seperti yang saya ceritakan beberapa waktu yang lalu, ada siswa Sang Buddha yang merupakan orang yang sangat berpengaruh dan sebagainya. Semuanya diterima oleh Sang Buddha dalam rangka memanfaatkan kelahiran sebagai manusia yang sangat berharga ini. Sekarang kita telah mengerti bahwa tubuh kita sangat berharga berdasarkan penilaian spiritual. Di manakah letak berharganya tubuh kita? Di manakah letak

berharganya kehidupan sebagai seorang manusia? Kita semuanya mengerti bahwa meskipun kehidupan sebagai manusia diwarnai oleh berbagai kekacauan, berbagai ketidakpuasan, berbagai kesedihan yang mengerikan, penyakit yang mengerikan, tetapi di balik gelora berbagai kekurangan samsara tersebut, di dalam diri kita, di dalam tubuh kita ini, bila diaduk-aduk maka kita akan menemukan apa yang disebut sebagai Arya Maitreya sebagai Tathagatagarbha atau benih-benih Kebuddhaan. Apakah di dalam tubuh seorang penyamun, apakah di dalam tubuh seorang tukang sapu, apakah di dalam tubuh seorang raja, atau di dalam tubuh inkarnasi seorang makhluk suci, semuanya di dalam diri masing-masing ada yang disebut sebagai Tathagatagarbha atau benih Kebuddhaan. Orang-orang yang diliputi karma masa lalu yang sangat buruk, menjauhkan dirinya untuk menyadari apa yang dimiliki dalam dirinya sendiri sehingga mereka mencari sumber kebahagiaan dan sumber kegembiraan ke sana kemari, melihat keluar, menganggap kebahagiaannya ada di dalam bendabenda, ada di dalam perasaan-perasaan, ada di dalam sentuhan-sentuhan, atau ada di dalam rupa tertentu. Tetapi bagi mereka yang sudah mulai mengerti secercah kebijaksanaan maka orang ini akan mulai melakukan pencarian sumber kebahagiaan itu di dalam dirinya sendiri; bukan di dalam makanan yang pedas, bukan di dalam makanan yang lezat, bukan di dalam kenyamanan lahiriah, tetapi di dalam dirinya sendiri. Bila ternyata kita termasuk di dalam mereka yang bijaksana karena secara lahiriah kita memiliki 8 kondisi yang menunjang, kita juga memiliki kondisi dalam yang menunjang, kita harus mencurahkan perhatian kita untuk memanfaatkan kesempatan yang sangat langka ini. Di dunia kita, setiap hari manusia yang baru datang. Di rumah-rumah sakit bersalin setiap malam, setiap pagi, setiap siang, terdengar tangisan bayi yang baru dilahirkan. Di tempat-tempat praktik dokter, pasangan suami-istri yang baru atau yang lama, mereka bergembira mendapat kabar memiliki anak yang mulai berkembang di dalam kandungan istri mereka. Ini artinya bahwa makhluk yang datang ke dunia ini terus dan akan semakin banyak sepanjang tahun, sepanjang masa, begitu seterusnya. Apakah tujuan mereka datang ke dunia ini? Untuk apakah bayi-bayi dilahirkan? Apakah mereka datang ke sini untuk mengalami suka dan duka? Apakah untuk merubah dunia ini, agar semuanya menjadi ilmuwan dan membuat perangkat-perangkat kehidupan yang baru? Membuat penyakit yang lama menjadi tidak ada dan membuat penyakit yang baru bisa dihadapi? Itu semua adalah tujuan samsara biasa yang diciptakan oleh manusia sendiri, tetapi Dharma menyatakan bahwa setiap tangisan bayi di rumah bersalin, sebab adanya janin yang tumbuh dalam kandungan seorang wanita, adalah karena makhluk-makhluk samsara ini belum membebaskan dirinya dari belenggu karmanya masing-masing. Bila bayi telah dilahirkan maka ia akan tumbuh menjadi remaja, menjadi dewasa, dan akhirnya tua dan meninggal, begitu seterusnya. Terlepas dari pengalaman apa pun yang dialami oleh manusia itu, apakah ia akan menjadi seorang presiden, apakah ia akan menjadi seorang pengemis, apakah ia akan menjadi seorang pembunuh, apakah ia akan menjadi seorang penolong; setiap bayi yang dilahirkan akan mengalami kematian tanpa terkecuali, termasuk kita semuanya. Dan yang didapatkan pada saat kematian, menurut Jey Tsongkhapa adalah terkumpulnya dua macam akumulasi karma yaitu karma yang baik yang akan menyebabkan kegembiraan dan karma yang buruk yang akan menyebabkan kesedihan dan penderitaan. Jey Tsongkhapa menyatakan bahwa tubuh jasmani bisa saja dikremasi atau ditanam dan tertinggal di alam materi ini; tetapi karma, yang telah diucapkan, yang telah dikerjakan, yang telah dipikirkan, akan menyertai kita seperti tubuh yang

disertai oleh bayangannya, seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun tubuh ini pergi. Mahaguru Dagpo Lama Rinpoche selalu menyatakan bahwa kita harus berusaha yang pertama melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya. Bila itu tidak mungkin, setidak-tidaknya kita jangan melakukan ketidakbajikan. Apa artinya? Artinya adalah bahwa bila kita memiliki kesempatan melakukan kebajikan maka kita seharusnya memanfaatkan kesempatan tersebut, bukan sebaliknya yaitu melewatkan kesempatan yang ada di hadapan kita. Jey Tsongkhapa dalam Lamrim menyatakan bahwa seorang siswa yang menyadari pentingnya karma, ia akan melihat setiap kebajikan sebagai sumber dari karma baiknya, sumber dari kebahagiaannya. Bila kita bisa berbuat dengan tubuh kita, dengan ucapan kita dan bisa melakukan pemikiran-pemikiran, itu berarti kita memiliki kesempatan untuk melakukan pengumpulan kebajikan. Perbedaan antara seorang penganut spiritual dan bukan penganut spiritual bukanlah pada ke mana mereka pergi: kalau penganut spiritual pergi ke vihara, penganut bukan spiritual pergi ke diskotik, tempat perjudian atau tempat pelacuran, perbedaannya bukan ada di sana tetapi perbedaannya ada pada apa yang mereka lakukan. Penganut spiritual melakukan pengumpulan kebajikan melalui berbagai cara. Jey Tsongkhapa telah menyusun suatu tradisi yang luar biasa agar setiap orang yang berkarma dengan ajarannya, bertemu dengan ajarannya, dapat memanfaatkan waktu hidupnya secara maksimal dalam rangka mengumpulkan kebajikan. Bila kita berpikir tentang kebajikan atau mendengar kata kebajikan, sebagian besar orang berpikir bahwa itu adalah danaparamita, itu berarti fangsen, menolong orang, aksi sosial, donor darah dan sebagainya. Apa yang dipikirkan oleh banyak orang itu adalah benar sekali, tetapi itu hanyalah sebagian kecil dari kebajikan yang bisa dilakukan oleh penganut ajaran Jey Tsongkhapa dan ajaran Sang Buddha. Bila hanya itu yang bisa dilakukan maka tidak ada Buddha yang dapat mencapai Kebuddhaannya, bila hanya itu yang dilakukan maka tidak akan ada Bodhisattva yang mencapai tingkat Kebodhisattvaannya karena intensitas kebajikan seperti itu sungguh sangat kecil sekali bila dibandingkan dengan kebajikan yang tidak dimengerti oleh banyak orang tetapi bisa dilakukan oleh para penganut ajaran Jey Tsongkhapa dan Sang Buddha. Kebajikan bisa dilakukan berdasarkan motivasinya. Di dunia ini di mana pun tempatnya apakah di timur, barat, utara, selatan, di Afrika, Eropa, Amerika, ataupun di Asia, kebajikan merupakan hal yang menyenangkan dan kebajikan dihargai sebagai kebajikan. Tetapi kebajikan seperti itu hanya akan menyebabkan pengumpulan karma biasa yang kecil sekali dan tidak banyak mempengaruhi bentuk kehidupan kita di kemudian hari. Mungkin Anda bertanya kebajikan apakah yang kuat pengaruhnya bagi kehidupan yang akan datang? Yaitu kebajikan yang dilakukan oleh para Guru, oleh para Arya baik di India maupun di Tibet, dalam bentuk mengikuti ajaran dari para Guru pendahulunya. Bila kita hanya mengandalkan kegiatan lahiriah kita untuk memastikan kehidupan kita sebagai manusia, maka sudah pasti kita tidak akan mendapatkan kehidupan sebagai manusia lagi. Oleh karena itu dalam hal ini, keinginan untuk tetap menjadi manusia harus diwarnai dengan suatu tidakan atau kegiatan kebajikan yang melampaui kebiasaan orang di dunia ini yaitu dengan mempraktikkan sila-sila atau disiplin pengendalian diri. Sila yang pertama tentang membunuh. Di dunia ini membunuh diterima secara luas karena membunuh dengan catatan tertentu merupakan bagian dari

kegiatan kehidupan manusia. Tetapi barang siapa yang menjalankan sila akan menjauhi pembunuhan seperti menjauhi terbunuhnya diri sendiri oleh makhluk lain. Sila yang kedua, ketiga dan seterusnya juga sama demikian. Jadi kebajikan yang kita lakukan karena mengikuti ajaran Jey Tsongkhapa haruslah kebajikan yang berbeda dengan orang lain. Orang lain cukup puas hanya dengan berdana beberapa puluh ribu rupiah, orang lain cukup puas hanya ikut kegiatan donor darah dan sebagainya; maka para pengikut ajaran Guru spiritual, mereka akan memimpikan kebajikan yang lebih besar lagi karena kebajikan itulah sumber dari segala kebahagiaan bagi dirinya sendiri maupun bagi makhluk yang lain. Jey Tsongkhapa merangkai berbagai puja yang tujuannya adalah untuk mengumpulkan kebajikan, oleh karenanya bila kita mengabaikan ajaran Jey Tsongkhapa dan mengabaikan puja-puja itu atau meringkas-ringkasnya, dan kita selalu berpikir bahwa tabungan kebajikan kita berasal dari danaparamita atau dari berbagai sumbangan kita, itu adalah pemikiran yang sangat keliru dan bukan pemikiran yang berasal dari ajaran para Arya. Para Arya mengajarkan kepada kita: nyatakan berlindung kepada Sang Buddha. Bila kita menyatakan berlindung kepada Sang Buddha dengan sepenuh hati, dari lubuk hati kita dan bukan hanya dari mulut saja, maka para Buddha akan mencegah kita terjatuh ke alam yang rendah dan memberikan perlindungan kepada kita selama 24 jam, sepanjang hidup kita, selama kita berada di dalam samsara, sehingga tidak ada makhluk lain mana pun juga dan tidak ada kemalangan apa pun juga yang dapat mengganggu dan menyebabkan kita mengalami kesedihan. Oleh karenanya kita harus mengkaji secara berulang-ulang bagaimana sesungguhnya berlindung kepada Sang Buddha dari lubuk hati. Bagaimana caranya menyatakan berlindung kepada Sang Buddha dari lubuk hati bukan pekerjaan yang mudah, bukan kegiatan yang mudah untuk dilakukan; oleh karena itu kita harus mengikuti tradisi para Guru Kadampa yaitu dengan merenung, belajar, merenung, belajar, dan seterusnya, sehingga akan sampai pada pengertian dan keadaan yang demikian. Setidak-tidaknya pada saat kita menyatakan berlindung kepada Sang Buddha, seyogianya kita membuang segala pikiran lain yang tidak ada hubungannya dengan perlindungan, kemudian meredakan pikiran kita, lalu memvisualisasikan (bila tidak di depan altar) bahwa Sang Buddha mendengar ucapan kita, kemudian kita menyatakan berlindung (bila memungkinkan dengan tangan beranjali) dengan cara yang khidmat. Ini adalah cara berlindung dari lubuk hati. Bila perlindungan kita disertai dengan sikap hormat yang tulus dengan cara bernamaskara, Karmavibhangga menyatakan bahwa setiap partikel yang tertutup oleh tubuh kita ketika bernamaskara dengan tulus, akan menjadi akumulasi kebajikan yang memungkinkan kita untuk menjadi seorang Cakravarti. Jadi bila seorang penganut ajaran yang tulus berlindung kepada Sang Buddha kemudian bernamaskara dengan tulus, maka semua partikel yang tertutup oleh tubuhnya akan menjadi ladang tanaman kebajikan yang akan menyebabkannya menjadi seorang Carkravarti. Bila ia melakukan penghormatan yang tulus dan kuat kepada Sang Buddha dengan berpikir bahwa Sang Buddha adalah seorang Arhat, Samyaksambuddha, Bhagavan; tentu karmanya akan sangat besar bila saya membawa segelas air putih, sepotong buah, sebungkus makanan dan mempersembahkan kepadanya, bila ini yang memenuhi pikirannya kemudian ia melakukan persembahan makanan atau persembahan yang lain dan meletakkannya di altar dengan hormat, kemudian menyatakan kalimat-kalimat

persembahan, maka ini akan menjadi kebajikan yang luar biasa dan tak terlukiskan bahkan oleh para Arya. Bila kita melihat Sang Buddha Sakyamuni menjadi seorang Buddha, itu juga karena persembahan yang dilakukannya, karena pranidhana yang diucapkannya. Ketika Sang Buddha Sakyamuni belum menjadi seorang Buddha dan hidup sebagai seorang penduduk desa di mana pada waktu itu Sang Buddha Dipamkara melewati desanya dan jalan di desanya becek karena sedang musim hujan, Sang Buddha Sakyamuni yang ketika itu masih sebagai orang biasa merebahkan tubuhnya dengan berpikir bahwa Sang Buddha Dipamkara kakinya akan kotor oleh lumpur yang ada di jalanan itu. Karena Ia seorang Bhagavan, seorang Arhat, seorang Samyaksambuddha, karmanya bila saya menolongnya akan sangat luar biasa sebagaimana yang diceritakan di dalam ajaran para Buddha. Sang Buddha Sakyamuni yang ketika itu sebagai orang desa membaringkan dirinya di atas lumpur dan memohon kepada Sang Buddha Dipamkara untuk menginjaknya supaya kakinya tidak terkena lumpur. Setelah kejadian itu Buddha Dipamkara bertanya kepadanya, “Apakah yang Engkau inginkan dengan apa yang telah kaulakukan?” “Sang Buddha, tidak ada yang saya inginkan kecuali pada saatnya nanti saya ingin menjadi seorang Buddha seperti Anda.” Buddha Dipamkara berkata, “Keinginanmu akan terpenuhi pada saatnya nanti.” Jadi bila sekarang kita menghormati Sang Buddha Sakyamuni, itu adalah berkat persembahannya kepada Buddha Dipamkara berupa kenyamanan agar kakinya tidak menyentuh lumpur. Ini adalah contoh bahwa kebajikan yang besar tidak didapatkan melalui berbagai pemberian lahiriah kepada orang yang sesama penghuni samsara. Para Guru menyatakan bahwa orang bodoh tidak bisa menolong orang yang bodoh, orang buta tidak bisa menuntun orang yang buta, orang yang tidak pandai berenang tidak bisa menolong orang yang akan tenggelam. Jangan mengikatkan dirimu pada sesuatu yang akan menyebabkanmu tenggelam di dalam lautan samsara; tetapi ikatlah dirimu, tubuh, ucapan dan pikiranmu pada sesuatu yang akan menyebabkanmu keluar dari penderitaan samsara; yaitu mengikatkan diri kepada para Arya yaitu para Buddha, para Bodhisattva dan segala bentuk manifestasinya. Oleh karena ajaran inilah maka di India, para raja duduk dengan di takhtanya dan memegang mala di tangannya mengucapkan berbagai doa-doa serta mantra. Apakah tujuannya? Tujuannya adalah untuk mengikatkan diri kepada para Arya, yaitu para Buddha-Bodhisattva tertentu yang menjadi tujuan dari kehidupan samsaranya kemudian. Mereka tidak mengucapkan nama-nama dewa, mereka tidak mengucapkan nama orang-orang tertentu; mereka tidak berbaik hati kepada orang biasa saja atau orang-orang di sekelilingnya, tetapi mereka lebih mencurahkan seluruh intensitas kehidupannya juga seluruh energinya untuk mengikatkan dirinya kepada seorang Istadevata, yaitu seorang Arya apakah Buddha atau Bodhisattva. Para penganut Gelugpa, para penganut ajaran Jey Tsongkhapa, mengikatkan dirinya dengan seutas benang yang berasal dari jantung Arya Maitreya dalam visualisasinya. Bila siang hari mereka baik kepada anak-istrinya, kepada suami dan keluarganya, bila di siang hari mereka bergaul dengan orang di sekeliling kehidupannya; tetapi pada saat-saat senggang mereka akan duduk di kamarnya apakah di siang hari atau di malam hari, dan mereka akan berpikir tentang Jey Tsongkhapa yang ada di Surga Tushita yang berada di hadapan Arya Maitreya dan melafalkan doa-doa kepadanya agar kelak bila daya hidup telah habis, bila pelita yang menyalakan

kehidupannya sebagai seorang manusia telah padam, kesadarannya akan dapat muncul di sana karena kuatnya ikatan yang telah dijalin sepanjang hidupnya. Ini juga dilakukan oleh para Arya di India kepada berbagai istadevata. Para pemuja Arya Avalokiteshvara seperti Pabongka Rinpoche, mereka akan mengucapkan nama Arya Avalokiteshvara yaitu mantra enam suku kata sebanyak 50 ribu kali setiap malam. Bila orang lain telah tidur dan terlelap, maka para Arya ini mencurahkan perhatian pada tujuan utamanya dari segala praktik spiritualnya. Sama seperti seseorang yang sepanjang hari di siang hari atau malam hari ingat pada kekasihnya, ketika makan ia ingat kekasihnya, ketika tidur ia ingat kekasihnya, dan perpisahan sama sekali membuatnya tidak nyaman; para Arya ini telah mengembangkan suatu kesadaran di mana mereka selalu merasa tidak nyaman bila belum bertatapan muka dengan istadevata atau yidam atau Arya yang menjadi objek ibadahnya. Kita harus mencontoh mereka semuanya untuk meningkatkan manfaat yang besar dari kehidupan sebagai seorang manusia. Jangan sampai terjadi kita menganggap diri kita penganut ajaran Jey Tsongkhapa tetapi tidak mengerti bagaimana mendekati Jey Tsongkhapa, kita menganggap diri kita penyembah Arya Tara tetapi kita hanya menyebut nama Arya Tara 3 kali di malam hari dan 3 kali di siang hari. Kita meminta perlidungan Sang Triratna tetapi kita sama sekali melewatkan pagi dan malam tanpa mengucapkan perlindungan tersebut. Sikap kerinduan seperti itu, di India digambarkan seperti seekor burung Papiha yang hanya meminum air yang berasal dari tetesan hujan. Walaupun ia ada di dekat danau atau aliran air, bila air hujan tidak turun ia tidak akan minum sama sekali, dan sepanjang siang dan malam ia akan memekikkan panggilan-panggilan bagi turunnya air hujan. Burung Papiha ini digambarkan oleh para Arya sebagai cerminan dari jiwa yang sudah maju, dari seorang sadhaka yang sudah maju, di mana jiwanya akan merasa hampa jika berlum berada di hadapan istadevatanya atau belum melihat raut wajah dari istadevatanya, sehingga mereka siang dan malam terus berkonsentrasi dan melakukan pelafalan. Akhirnya kita mengerti bahwa tubuh kita sangat berharga, jangan disiasiakan hanya sekadar untuk menumpuk harta benda saja, atau mengejar kedudukan, atau mencari ketenaran, atau menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang tidak berguna seperti minuman keras, perjudian, dan segala kemaksiatan; tetapi kita harus memeliharanya seperti seorang pemilik tumbuhan yang berharga, bila dipelihara dengan baik maka ia akan mendatangkan buah yang menyenangkan di kemudian hari. Tubuh kita harus diperlakukan dengan baik karena seperti yang disebutkan oleh Guru Atisha, tubuh kita adalah pintu untuk melarikan diri dari penderitaan samsara. Kalaupun mungkin sekarang kita mengalami penderitaan karena ekonomi, karena penyakit, karena pertentangan keluarga, karena pertentangan lingkungan atau masyarakat, itu adalah karma masa lalu kita. Bila kita menahan diri untuk menghindari penyebabpenyebabnya yang baru maka di masa yang akan datang kita tidak akan mengalaminya lagi, tetapi bila kita terbawa atau terpancing untuk melakukannya lagi maka tidak akan menyebabkan penderitaan kita berhenti di mana setiap api yang berkobar seharusnya didiamkan saja hingga akhirnya padam tetapi sebaliknya orang-orang yang bodoh menuangkan mentega ke atasnya sehingga ia tidak akan pernah padam. Penderitaan tidak akan pernah padam bila kita tidak melihat ke dalam diri kita, tidak menemukan esensi kebahagiaan di dalam diri kita. Dengan mengerti makna dari ungkapan Guru yang demikian, maka siapa pun diri kita, kaya atau miskin, banyak mengalami kesulitan hidup atau tidak, disulitkan oleh karma masa lalu atau tidak; kita pantas mensyukuri

kehidupan saat ini, lupakan segala belenggu dan kesedihan duniawi, anggaplah sebagai akibat dari karma masa lalu, itu adalah ungkapan dari Guru Atisha. Bila kita berada dalam keadaan pikiran yang benar seperti ini maka kehidupan kita menjadi ladang yang subur bagi kebahagiaan. Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa tujuan utama praktik ibadah kita dari segala bentuk persembahan, mempelajari Dharma, berbagai bentuk pelafalan; pertama-tama adalah agar kita tidak jatuh ke alam yang rendah, dan utamanya kita tetap menyandang tubuh sebagai seorang manusia hingga kita mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha di kemudian hari. Ini yang dapat saya sampaikan pada malam hari ini, mudah-mudahan bermanfaat dan membuat kita menghargai kehidupan kita sendiri terlepas dari bagaimanapun nasib hidup kita. Terima kasih.

Related Documents

Kitab
February 2021 3
Sang Pencipta
January 2021 1
Kitab Sulaim
January 2021 1

More Documents from "Ferdian Zaman"

Substitute Star
March 2021 0
Mahluk Halus Kejawen 13
January 2021 0
24 Mountains
March 2021 0
Da Liu Ren.pdf
March 2021 0
Gs
February 2021 3