Klaster Ketenagakerjaan(kel.3).pptx

  • Uploaded by: MUHAMMAD ZIDANM
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Klaster Ketenagakerjaan(kel.3).pptx as PDF for free.

More details

  • Words: 947
  • Pages: 15
Loading documents preview...
UU Omnibuslaw Klaster Ketenagakerjaan Insert Your Image

Kelompok 3 Jerry Octavian (10) Muhammad Zidan M (17) Yusuf Saputra (35) Zahran Pandu Z(36)

Latar Belakang Pembahasan RUU Ciptaker klaster ketenagakerjaan pertama kali dibahas, Jumat (25/9/2020), dan rapat berjalan cukup alot. Rapat dimulai pada 19.23 sampai pukul 22.00 WIB. Rapat diawali penyampaiann latar belakang mengapa klaster ketenagakerjaan harus dimasukkan di dalam RUU Omnibus Law Ciptaker oleh pemerintah. Sekretaris Jenderal Menteri Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi mejelaskan, hal-hal yang berkaitan dengan pekerja atauu buruh, para pencari kerja, serta mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) diklaim sebagai persoalan utama yang pemerintah perhatikan. "Dari 3 objek tersebut, para pencari kerja, buruh dan mereka yang ter-PHK dapat perlinudngan buruh. Dan investasi tetap kita yakinkan dengan tumbuh dan berkembang dengan rancangan RUU revisi UU 13/2003 [tentang Ketenagakerjaan] yang masuk ke dalam Omnibus Law RUU Ciptaker klaster ketenagakerjaan," jelas Anwar, Jumat (26/9/2020) malam.

Pasal-pasal Kontroversial Pasal 59 Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 79 • • • •

Pasal 79 ayat (2) Pasal 79 ayat (3) Pasal 79 Ayat (4) Pasal 79 ayat (5)

Pasal 88

• Pasal 88 ayat (3) • Pasal 88 ayat (4)

Dampak Positif UU Cipta kerja Klaster Ketenagakerjaan

1. Pesangon Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan soal pesangon PHK yang sebanyak 32 kali upah dinilai sangat memberatkan pelaku usaha sehingga mengurangi minat investor untuk berinvestsi. Dalam RUU Cipta Kerja, ada penyesuaian perhitungan besaran pesangon. Di dalamnya, pemerintah menambah program baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK). Dalam perkembangan terakhir, panitia kerja sepakat bahwa pesangon 32 kali ini dihapus. Sebagai gantinya akan ada sistem campuran yakni 23 akan ditanggung perusahaan dan 9 ditanggung pemerintah

2. Upah Minimum Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum dapat ditangguhkan sehingga, banyak pekerja atau buruh yang dapat menerima upah di bawah upah minimum. Peraturan upah minimum juga tidak dapat diterapkan pada usaha kecil dan mikro. Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum tidak dapat ditangguhkan. Perhitungan kenaikan upah minimum diganti dengan acuan pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas.

3. Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Dalam UU Ketenagakerjaan, tidak ada program ini sama sekali. Padahal, jaminan ini dinilai perlu pada saat pandemi Covid-19 ini. Dalam RUU Cipta Kerja, ada perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Ada tiga manfaat yaitu cash benefit, vocational training, dan job placement access. Pekerja yang mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini akan tetap mendapatkan lima jaminan sosial lainnya di BP Jamsostek maupun BPJS Kesehatan.

4. Pekerja Kontrak dalam pasal 59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, status PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Adapun di RUU Cipta Kerja, pasal 59 ini dihapus. Sebagai gantinya, dalam RUU Cipta Kerja,kontrk akan diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap antara lain dalam hal upah hingga jaminan sosial. Pengaturan ini terjadi karena revolusi industri 4.0 membuat lahirnya pekerja baru yang bersifat kontrak.

5. Waktu Kerja

Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ditetapkan secara rigid yaitu 7 jam per hari dan 40 jam per minggu (untuk 6 hari kerja). Lalu, 8 jam per hari dan 40 jam per minggu (untuk 5 hari kerja). Dalam RUU Cipta Kerja, aturan 5 dan 6 jam ini dihapus. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Ini terjadi karena ada pekerjaan khusus yang waktunya dapat kurang dari 8 jam, seperti pekerja paruh waktu dan pekerja digital. Hal ini juga terjadi pada pekerjaan di atas 8 jam seperti minyak dan gas, pertambangan, perkebunan, p ertanian, dan perikanan.

6. Tenaga Kerja Asing Dalam UU Ketenagakerjaan, Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing(RPTKA) wajib bagi semua TKA. Kondisi ini dinilai menghambat masuknya TKA ahli yang diperlukan dalam keadaan mendesak (darurat). Sehingga, ini menghambat masuknya calon investor. Dalam RUU Cipta Kerja, ada kemudahan RPTKA untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu. Contohnya untuk maintenance(darurat), vokasi, peneliti, hingga investor.

7. Outsurching Dalam UU Ketenagakerjaan, tenaga outsourcing hanya dibatasi untuk jenis kegiatan tertentu. Selain itu, belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja di kelompok ini. Dalam RUU Cipta Kerja, tenaga alih daya sebenarnya merupakan bentuk hubungan Business to Business (B2B). Tapi dalam RUU ini, perusahaan penyedia jasa outsourcing wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya. Perlindungan yang dimaksud antara lain soal upah, jaminan sosial, hingga perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Dampak Negatif UU Cipta kerja Klaster Ketenagakerjaan

1. Masuknya Pasal 88B Masuknya Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Tidak ada Jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.

2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan

Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tida k ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.

3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT. Meski demikian, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, namun disebutkan akan diatur dalam PP.

4. Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP). Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.

Thank you

Related Documents

Klaster Prodi
February 2021 1

More Documents from "MUHAMMAD ZIDANM"