Kronik Betawi.pdf

  • Uploaded by: Aulia Nisa AGumbrie Noor
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kronik Betawi.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 56,309
  • Pages: 266
Loading documents preview...
http://facebook.com/indonesiapustaka

http://facebook.com/indonesiapustaka

http://facebook.com/indonesiapustaka

Kronik Betawi

http://facebook.com/indonesiapustaka

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Kronik Betawi sebuah novel

Ratih Kumala

http://facebook.com/indonesiapustaka

ide cerita Nugroho Suksmanto

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta

Kronik Betawi novel Ratih Kumala ide cerita Nugroho Suksmanto pernah dimuat di harian Republika sebagai cerita bersambung Agustus–Desember 2008 GM 201 01 09 0011 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 4-5 Jl. Palmerah Barat No 29-37 Jakarta 10270 Anggota IKAPI Desain sampul oleh M Roniyadi Setting oleh Sukoco Cetakan pertama: Juni 2009

http://facebook.com/indonesiapustaka

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

ISBN: 978-979-22-4678-0

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

http://facebook.com/indonesiapustaka

Untuk almarhum papahku, Haris Fadillah, dan Jakarta, kota kelahiranku. Dua nama yang sudah membesarkanku.

sampai saat tanah moyangku tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota terlihat murung wajah pribumi terdengar langkah hewan bernyanyi

http://facebook.com/indonesiapustaka

—Ujung Aspal Pondok Gede, Iwan Fals

vi

1

anjir itu datang tiba-tiba. Ibarat kentut. Tak bisa ditahan, tapi perginya lama. Meninggalkan jejak. Kalau kentut meninggalkan jejak bau tak sedap, maka banjir meninggalkan jejak air yang makan waktu berhari-hari untuk surut. Tetapi ada beda banjir dengan kentut; kentut—sebau apa pun—berefek baik untuk tubuh. Orang kentut tanda sehat, lihat saja orang yang baru selesai dioperasi. Dokter umumnya akan menyuruh pasien pasca operasi untuk menunggu kentut terlebih dahulu untuk memulai makan dan minum. Sedang banjir sebaliknya, membawa wabah semacam sakit kulit dan muntaber pada warga yang terkena banjir. Ketika Haji Jaelani bangun pagi itu untuk salat subuh, hujan masih menyisakan rintiknya setelah semalaman mengguyur deras kota. Ada alarm di dalam diri Haji Jaelani yang bergetar di waktu-waktu tertentu, mengingatkannya untuk salat tujuh kali sehari. Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan tengah malam untuk salat Tahajud dua rakaat dan witir satu rakaat. Dua salat yang terakhir ini kadang dilakukannya kadang tidak dan lebih memilih melanjutkan tidur. Tak peduli azan subuh memanggil atau tidak, setiap jam 4:10 pagi ia pasti sudah terbangun. Malam sebelum alarm di tubuh Haji Jaelani menyala pukul 4:10,

http://facebook.com/indonesiapustaka

B

1

http://facebook.com/indonesiapustaka

sebetulnya alarm pukul 2:30 juga menyala, tetapi Haji Jaelani menolak beranjak dari tempat tidurnya sebab guyur hujan, kelebat kilat dan gelegar guntur memaksanya untuk menarik selimutnya hingga ke leher. Memanjakan tubuhnya dengan hangat selimut. 4:10. Alarm itu menyala. Tak berbunyi di telinga, tetapi bergetar di tubuh Haji Jaelani. Pagi buta itu, seperti pagi-pagi di bulan-bulan tertentu dalam satu tahun, entah untuk ke sekian kalinya ia tak menemukan sandal jepitnya. Sandal yang sudah reyot itu mengapung entah ke sudut rumah sebelah mana. Sementara air sudah meninggi hingga kaki-kaki meja terendam. Banjir datang saat semua terlelap. Padahal seharusnya Haji Jaelani sudah bisa mengira bahwa banjir pasti datang apalagi dengan hujan selebat semalam. Tetapi toh ia sebelumnya tak mengantisipasi apa-apa. Semua barang; sofa, kaki-kaki meja, lemari, kaki-kaki kasur terendam setinggi betis. Mata ngantuk Haji Jaelani langsung terbuka akibat dingin yang menjalar di kakinya dan usahanya mencari sadal jepit mengapung belum berhasil. ”Banjir! Salomah… Noh… Enoh… banjir! Jan…, bangun! Banjir!” teriaknya tidak dengan suara tidak panik membangunkan istri dan anaknya, Enoh dan Fauzan. Teriakan yang agak beda dari biasanya, yang selalu membangunkan dengan mengingatkan agar salat subuh segera didirikan sebelum matahari muncul di Timur. Sudah terlalu sering banjir menyapa rumahnya, ia tak lagi kaget. Ia hanya menyesali kenapa tidak segera mengganti sofanya dengan kursi berkaki kayu biasa, sebab sofa itu pasti akan basah berhari-hari dan sulit kering walau air sudah surut. Belum lagi baunya yang tidak sedap akan keluar dari bagian bawah sofa yang terendam air. 2

http://facebook.com/indonesiapustaka

Sofa yang terendam itu sebetulnya pemberian Salempang beberapa bulan yang lalu, jauh sebelum Salempang tahu bahwa kawasan yang dihuni kekasihnya langganan disambani banjir. Haji Jaelani yang dihadiahi sofa waktu itu senang-senang saja, toh dia sebetulnya juga ingin tidur-tiduran di kursi empuk itu. Lagipula kursi tamunya yang terbuat dari anyaman bambu memang jauh lebih keras dan tak nyaman diduduki. Nilai plus pun langsung diberikan untuk Salempang yang terang-terangan menunjukkan keseriusan hubungannya dengan anaknya. Tapi diam-diam Haji Jaelani sebetulnya agak ragu menerima seperangkat sofa itu. Bukan karena meragukan Salempang, tetapi karena alam yang tidak mengijinkan. Haji Jaelani berencana untuk berbicara pada Salempang, apakah boleh ia mengganti perangkat sofa itu dengan perangkat kursi tamu biasa, agar jika banjir datang sofa yang tak memiliki kaki jenjang itu tak jadi korban. Tetapi karena takut menyinggung perasaan Salempang, dan terutama, perasaan Enoh putri kesayangannya, ia membiarkan sofa itu berada di tempatnya selama beberapa bulan sambil jika siang datang Haji Jaelani merebahkan tubuhnya di situ. Menikmati empuk sofa yang jauh lebih membal dari pada kasur kapuknya sendiri yang sudah menjadi terlalu padat untuk dibilang nyaman. Belum kesampaian niat Haji Jaelani, banjir sudah terlebih dulu datang tanpa permisi. Salempang yang melihat sofa pemberiannya basah separuh, ikut gotong royong menjemur sofa tersebut ke luar rumah bersama dengan Fauzan yang hari itu, tentu saja, harus absen sekolah akibat banjir. Dijejerkan bersama sofa-sofa dan kasur-kasur milik para tetangga yang juga terendam. ”Pang, maap ye…, Babeh kagak bisa nyelametin sofa lu. 3

http://facebook.com/indonesiapustaka

Kerendem tuh,” ujar Haji Jaelani sambil miris melihat sofanya yang sedang dijemur. ”Ah, enggak apa-apa Beh, entar Lempang cariin kursi tamu biasa aja ya Beh.” Haji Jaelani senyam-senyum mendengar jawaban Salempang. Padahal tadinya ia berniat membeli seperangkat kursi tamu biasa sebagai pengganti sofa yang rencananya akan ditukar tambah. Tetapi karena Salempang sudah bilang begitu, Haji Jaelani senang-senang saja. Dalam hati ia girang dan semakin mantap dengan pilihan Enoh, putrinya. Sambil bertanya-tanya kirakira kapan akan ada roti buaya tersedia di rumahnya, pertanda Salempang resmi meminang Enoh. Banjir kali itu masih untung, sebab pada hari ketiga sudah surut. Enoh yang geli melihat cacing, kerap kali berteriak melengking sambil tiba-tiba loncat ke sofa atau meja ketika mendapati cacing-cacing kecil menggeliat-geliat di lantai yang banjirnya mulai surut. Enoh histeris memanggil-manggil Haji Jaelani atau Fauzan untuk menyingkirkan cacing-cacing itu. Fauzan biasanya hanya nyengir melihat mpoknya takut cacing. Anak itu menganggap ketakutan Enoh sebagai hiburan ketimbang terror. Sementara jika Salempang, calon menantu kesayangan Haji Jaelani sekaligus calon suami Enoh, datang untuk membawa ransum makanan instan dan ikut menyelamatkan barang-barang lain yang terendam. Maka dengan sikap heroik ia akan memungut makhluk kecil bertubuh licin itu dan segera membuangnya jauhjauh. Lalu membantu Enoh turun dari kursi atau meja yang tak seberapa tingginya layaknya pria sejati. Membuat gadis itu berwajah merah semu.

4

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Beh… Lempang minta ijin bawa Enoh cari makan di luar ya. Babeh mau makan apa? Entar Lempang bawain,” kata Salempang sedikit merayu Haji Jaelani. ”Udah, kasi aja!” bisik Salomah, istrinya. Sebetulnya Haji Jaelani sedang tidak ingin ditinggal pergi, tapi memang banjir bikin susah semua orang. Mati lampu entah untuk berapa lama, selain itu gas di rumah sudah habis, jadi Enoh tidak bisa memasak. Lagipula bumbu-bumbu di dapur semua terendam air, kulkas juga mati sehingga yang disimpan di dalamnya jadi busuk. Enoh yang dimintakan ijin untuk keluar diam saja di samping Salempang sambil menunduk dan sesekali matanya melirik bergantian antara ayahnya dan kekasihnya. ”Ya udah sana. Beliin gue martabak ya!” Senyum Salempang langsung melebar, dan dengan cepat mengiyakan. Enoh langsung menuju kamarnya, ganti baju dan sedikit bersolek agar terlihat lebih cantik. Ketika Enoh dan Salempang mencium punggung tangan Haji Jaelani, lelaki yang tak bisa dibilang muda itu berkata tegas, ”anak gue pulang utuh, ye!” ”Siap, Beh!” ”Jangan malem-malem! Listrik mati,” tambahnya galak. ”Iya, Beh.” ”Ati-ati di jalan, ye!” tambah Salomah. Keduanya bergegas pergi, mumpung Haji Jaelani belum berubah pikiran. Salempang tentu saja girang bisa mengajak Enoh keluar, ayah gadis itu adalah lelaki yang susah dimintai ijin untuk membawa anak gadisnya keluar. Awalnya, mereka pacaran hanya malam minggu di depan rumah sambil duduk-duduk di teras, itu pun dibatasi. Biasanya 5

http://facebook.com/indonesiapustaka

Haji Jaelani sengaja menonton televisi di ruang tengah, mengecilkan volumenya sambil membuka lebar-lebar telinganya. Mencoba menangkap apa yang Enoh dan Salempang bicarakan. Begitu jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Haji Jaelani dengan suara sengaja dikeraskan berkata, ”Noh… udah jam sembilan, lu udah sembayang isya belom?” Ini semacam kode bahwa waktu pacaran usai. Salempang pun harus tahu diri, dan harus memiliki kemampuan membaca kode-kode semacam ini. Awalnya, ia segera meminta diri untuk beranjak pulang. Tetapi pada malam minggu keempat, Salempang malah memanfaatkan kode ini. Ujarnya, ”Beh… maaf, apa saya bisa numpang salat Isya di sini? Saya juga belum salat, biar nanti di jalan pulang tenang Beh…,” tentu saja Haji Jaelani tak bisa menolak ditumpangi salat, secara dia orang taat beragama. Dengan ragu ia memperbolehkan Salempang, bahkan dengan sengaja menyuruhnya mengimami ritual itu. Dalam hati, Haji Jaelani menantang Salempang, ingin menjajal kemampuan beragamnya. Dalam hati, Salempang menerima tantangan Haji Jaelani, ia ingin unjuk gigi demi mengambil hati calon mertuanya. Ente jual, aye beli! Ia sadar betul Haji Jaelani tak mungkin mau menerimanya apabila ia tak beragama baik. Dalam hati, Enoh deg-degan, berdoa berulang-ulang semoga Salempang fasih baca Al-Fatihah dan tidak terpeleset lidahnya di tengah salat, agar babehnya merasa mantap dengan lelaki pilihannya. Sedikit demi sedikit, semenjak Salempang lulus uji jadi imam salat Isya, status Salempang naik. Hal ini bisa dilihat dari penyebutan kata ganti yang merujuk pada Salempang ketika Haji Jaelani berbicara kepada anak perempuannya. Awalnya, Haji Jaelani menyebut Salempang dengan tuh anak, walaupun sudah beberapa malam Minggu pemuda itu jelas-jelas datang untuk 6

http://facebook.com/indonesiapustaka

wakuncar; waktu kunjung pacar. Selanjutnya naik menjadi temen lu, lalu meningkat lagi menjadi demenan lu. Sekarang, Salempang sudah seperti anak Haji Jaelani sendiri. Apalagi sejak seperangkat sofa dihadiahkan untuk calon mertuanya itu. Tak mungkin Haji Jaelani menyuruh Salempang duduk di teras lagi ketika wakuncar (waktu kunjung pacar). Masakah orang yang membelikan sofa disuruh duduk di kursi keras di teras? Haji Jaelani cukup tahu diri dengan mempersilakan pemuda itu duduk di sofa pembeliannya sendiri. Dua lelaki beda usia itu pun semakin banyak terlibat pembicaraan yang kira-kira penting, yang ramai diberitakan di televisi sambil menikmati martabak yang dibawa Salempang untuk oleh-oleh dan dua gelas kopi buatan Enoh. Martabak itu sekarang termasuk dalam sesaji wajib ritual wakuncar Salempang. Pembicaraan penting macam sosial, politik dan ekonomi tak mungkin bisa dilakukan dengan Juned atau Japri, dua anak laki-laki kakak Enoh, mengingat mereka tak bersekolah setinggi Salempang dan tak suka baca koran atau nonton acara berita. Pernah juga, Salempang ditantang main catur oleh Haji Jaelani. Jadilah itu sebagai pembuka jalan untuknya datang ke rumah Enoh selain malam Minggu, dan sejak itu sebutan untuk Salempang naik menjadi calon mantu gue yang tak lagi merujuk kepada Enoh melainkan kepada dirinya sendiri. Enoh yang melihat ayah dan pacarnya tiba-tiba jadi akrab diam-diam senang bukan kepalang. Siang itu seisi kampung masih lemas akibat direpotkan banjir. Haji Jaelani yang selama beberapa bulan terakhir sudah terbiasa merebahkan tubuhnya di sofa, kali itu kembali merebahkan tubuhnya di kasur kapuknya yang padat. Istrinya sudah terlebih dahulu rebahan di kasur kapuk, kecapekan akibat angka7

http://facebook.com/indonesiapustaka

angkat. Lelaki itu melepas peci dan mengibas-ngibaskannya ke tubuhnya. Ia menghela napas panjang, untuk kesekian kalinya meratapi nasib. Haji Jaelani mencoba mengingat-ingat, kirakira kapan wilayah Karet mulai banjir? Sejak menikah dengan Rimah, istrinya yang pertama, ia menempati rumah itu, awalnya semua baik-baik saja. Tak ada banjir yang menyambangi rumah mereka, tiba-tiba sekarang wilayah itu jadi langganan banjir. Ia miris melihat tembok rumahnya yang berbercak tanah dan air kotor, batas banjir menggenangi walaupun kini sudah surut. Empat anak sudah dibesarkan di rumah itu dengan keringatnya. Setelah istri pertamanya meninggal, Jaelani muda sebetulnya tak berniat kawin lagi. Ia mencintai perempuan itu sepenuh hati, sulit baginya untuk menggantikan Rimah. Rimah sudah memberinya tiga anak yang lucu-lucu; Juned, Japri dan Enoh. Tapi kerabat dan sahabat lalu berdatangan, membawa foto perempuan. Ada yang masih gadis, ada pula yang sudah janda. Ada janda kembang, ada pula janda beranak satu atau dua yang memang membutuhkan suami baru untuk membantunya menyokong kebutuhan keluarganya, oleh sebab itu bersedia dijodohi. Berkali-kali Jaelani menolak. Berkali-kali pula kerabat dan sahabat datang menawarkan perempuan lain untuk dinikahi. ”Selera elu gimana sih, Bang? Bilang, entar gue cariin,” tanya Jarkasi, adik Jaelani ketika ia datang membawa foto perempuan yang keempat untuk ditawarkan kepada kakaknya untuk dinikahi. ”Selera… selera… emang milih duren?!” Jaelani berkata ketus sambil mengisap kreteknya. Kali itu perempuan yang ditawarkan memiliki tahi lalat di bawah bibir. Jaelani mengamati foto itu dengan lekat. Bu8

http://facebook.com/indonesiapustaka

kan karena merasa perempuan di foto itu manis, tetapi ia mencoba mengamat-amati apakah benar titik hitam di bawah bibir perempuan itu adalah tahi lalat atau malah kutil. Atau malah, kebetulan foto itu kejatuhan tahi cicak yang kemudian mengeras, jadi sebetulnya tak ada tahi lalat atau kutil sekali pun di wajah perempuan itu. ”Cakep ye? Tuh cewek ada tahi lalat di dagunya,” ujar Jarkasi melihat kakaknya mengamati wajah di foto. ”Oh, tahi lalat. Kirain kutil,” sahut Jaelani kalem. ”Ngaco lu!” Lama mereka berdiam di ruang tamu yang kursinya dari bambu. Jarkasi menyeruput kopi bikinan Jaelani yang rasanya mirip kencing kuda. Maklum, tak ada istri tak ada yang bisa membuat kopi. ”Ketemuan dulu, mau?” Jarkasi menawarkan. ”Kagak, ah! Kenal aja enggak, mau ketemu.” ”Ya, mangkanya ketemuan dulu. Kenalan. Siapa tahu lu demen. Ye?” Jaelani menghela napas panjang, ia teringat omongan orangorang yang berusaha menjodohkannya selalu bilang; tak baik lama-lama menduda, bisa-bisa bikin zinah. Lalu katanya, ”terserah elu deh.” ”Nah, gitu dong! Besok gue ke sini lagi.” Jarkasi dengan semangat meminta diri, sudah bisa dipastikan ia sehabis itu menuju ke rumah perempuan bertahi lalat di bawah bibir yang notabene adalah tetangganya, mengabarkan berita bahagia itu. Itu adalah kali pertama Jaelani bersedia bertemu perempuan yang ditawarkan kerabat sahabatnya. Esoknya, perempuan bertahi lalat di bawah bibir itu datang 9

http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan Jarkasi sebagai pengantarnya. Ia mengenakan blouse warna biru dan rok kembang-kembang. Selembar kerudung putih tersampir di kepalanya. Rambutnya sepanjang pantat dan lebat, dikepang. Mirip ekor kuda jika dilihat dari belakang. Tapi jika dilepas, dan malam-malam ia jalan sendirian, ia pasti disangka Si Manis Jembatan Ancol, demikian pikir Jaelani muda. Perempuan itu bernama Bati’ah. Perawan berusia 28, yang pada masa itu usia tersebut sudah dianggap terlalu banyak untuk perempuan yang belum menikah. Tidak dengan malu-malu, Bati’ah menawarkan diri untuk membuatkan kopi untuk Jaelani dan Jarkasi. Jaelani dengan jengah akhirnya menunjukkan dapurnya yang berantakan, terasa sekali telah lama tak ada tangan perempuan yang menyentuhnya. Di dekat pompa air setumpuk piring dan gelas kotor teronggok tak tersentuh. Berhari-hari peralatan makan itu tak dicuci, dan entah sampai kapan dan siapa yang akan mencucinya. Hanya ada tiga laki-laki dan seorang perempuan kecil di rumah itu yang jelas-jelas tak fasih menyentuh pekerjaan rumah. ”Nah, bener kan pilihan gue,” bisik Jarkasi sambil mengacungkan jempol ke arah kakaknya. Kedua lelaki itu mengamati Bati’ah yang berjalan megol-megol dengan kepangnya bergerak kanan-kiri ke balik dinding menuju dapur. Jaelani memang menyukai perempuan berambut panjang, tetapi tidak sepanjang itu. Jaelani hanya menghela napas, sejujurnya ia tak merasakan apa pun kepada perempuan yang dibawa adiknya itu. Tak ada ketertarikan secuil pun. Tak lama Bati’ah keluar dengan membawa dua gelas kopi di atas nampan lengkap dengan piring kecil sebagai tatakan dan tutupan gelas di atas keduanya. Ia beringsut, meletakkan kedua gelas itu di meja dengan pelan. Kepangnya menyapu lantai. 10

http://facebook.com/indonesiapustaka

Jaelani dan Jarkasi terdiam sambil serius mengamati Bati’ah yang dengan sopan mempersilakan keduanya untuk minum. Gadis itu terlihat sangat fasih dengan pekerjaan-pekerjaan perempuan. ”Diminum, Bang.” Ia berkata sambil melihat ke arah Jaelani, bukan ke arah Jarkasi yang telah susah-susah mengantarnya. Terlihat jelas ia mengulum senyum sambil cepat-cepat menunduk sebab Jaelani serius mengamati wajah perempuan itu. Bati’ah duduk di salah satu kursi. Jaelani dan Jarkasi menyeruput kopi buatan Bati’ah yang sebenarnya menurut Jaelani terlalu manis dan kepanasan. Sementara Jarkasi menyeruput berkali-kali, ”enak kupi bikinan lu,” katanya. Bati’ah yang dipuji senyum dikulum sambil membetulkan letak kerudungnya yang telah jatuh ke pundaknya tanpa berkata apa-apa. Jaelani kembali mengamati wajah Bati’ah. Sementara Jarkasi dengan gaya hampir mirip tukang obat menjelaskan panjang lebar daftar riwayat hidup Bati’ah yang sebetulnya tidak benarbenar didengarkan Jaelani. Jaelani kembali sibuk mengamati wajah Bati’ah, atau lebih tepatnya lagi mengamati tahi lalat Bati’ah. Dia menemukan tiga lembar rambut tumbuh di tahi lalat itu. Ia pernah melihat tahi lalat di pipi Haji Mughni, guru agama yang mengajar anak-anaknya mengaji di langgar dekat rumah. Lelaki itu memiliki tahi lalat yang besarnya nyaris sama dengan tahi lalat Bati’ah, ada pula beberapa lembar rambut yang tumbuh di atasnya. Bedanya, tahi lalat Bati’ah memiliki rambut berwarna hitam sedang rambut yang tumbuh di tahi lalat Haji Mughni ada yang sudah memutih. Tiba-tiba Jaelani tersadar; ini gawat! pikirnya, kenapa setiap melihat tahi lalat Bati’ah ia selalu terbayang wajah Haji Mughni?! ”…eh, Ni! Jaelani! Lu ngelamun ya?” tangan Jarkasi ber11

http://facebook.com/indonesiapustaka

tepuk-tepuk di depan wajah Jaelani, membuatnya tersadar dari lamunan. ”Lu dengerin yang gue ngomong kagak?” ”Eh…,” Jaelani tergagap, tak satu pun yang diomongkan adiknya masuk kuping, ”iya denger, denger!” ujarnya berbohong. Bati’ah tetap merunduk malu-malu sambil menyembunyikan senyumnya. Gadis itu merasa dirinya dilihat terus oleh Jaelani dengan tatapan melekat. Tak berapa lama Jarkasi pulang, mengantarkan Bati’ah setelah kira-kira satu jam pertemuan yang tak banyak percakapan itu, kecuali Jarkasi yang dengan semangat empat-lima mempromosikan Bati’ah kepada kakaknya. Hari itu juga setelah mengantarkan Bati’ah dengan utuh ke orang tuanya, Jarkasi kembali ke rumah kakaknya. Memastikan tanggapannya mengenai perempuan pilihannya. ”Kagak!” dengan tegas Jaelani menolak. ”Yah…, pegimana sih elu? Gue pikir lu demen, elu melototin dia mulu.” ”Gue kagak melototin dia, gue melototin tahi lalatnya. Kagak!” Jaelani kembali menolak dengan tegas. Dia mengangkat dua gelas yang tadinya berisi kopi ke dapur, menumpuknya bersama peralatan makan lainnya yang bertumpuk kotor di dekat pompa air. Jarkasi membuntutinya dari belakang. Jaelani yang mulai risih melihat tumpukan piring kotor, lalu mulai memompa air di dalam ember untuk mencuci piring. Tak ada yang bisa mengerjakan ini semua kecuali dirinya sendiri, tiga anaknya yang masih kecil-kecil jelas tak bisa diandalkan untuk mengerjakan pekerjaan macam ini. ”Bang… lu ngomong dong, pengennya perempuan yang pegimane? Entar gue cariin. Kan kalo ada bini, elu gak perlu nyuci piring, ada yang bikinin kopi, ada yang nemenin tidur, ada yang nyuciin baju.” 12

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Gue gak pengen punya bini lagi!” Jaelani makin semangat memompa air. ”Lu jangan ngomong gitu, Bang! Gak baek duda lama-lama. Entar bisa-bisa lu zinah…. Dosa, tauk!” Lagi-lagi nasehat yang sama; zinah. ”Iya, gue tauk!” Air di ember membludak, Jaelani berhenti memompa sementara sisa air dari pompa cap Dragon itu masih tersisa keluar. Sambil mendengarkan adiknya nyerocos Jaelani lalu duduk di kursi kecil dan mulai mencolek sabun dengan sabut kelapa untuk mencuci tumpukan piring kotor. ”Bang, aye cuman pengen bantu biar Abang bahagia. Coba lihat anak-anak Abang masih kecil-kecil, apa nggak kasihan lihat mereka? Lihat tuh si Enoh, sekarang dia kan lagi butuhbutuhnya ibu. Dia ama bini aye udah deket, udah aye anggap anak sendiri, Bang. Tapi dia kan tetep butuh ibu. Aye tau tuh anak suka iri kalo lihat Edah dimanjain ama emaknya. Walaupun dia dekat tapi kan gak bisa sedekat kalo ama ibunya sendiri.” Panjang lebar Jarkasi menasehati kakaknya. Ia tahu kelemahan Jaelani, jika sudah menyangkut anak mau tak mau dia peduli. Jaelani menghela napas, menghentikan mencuci piring. Tangannya penuh busa sabun. ”Ya udah, entar gue pikir lagi,” katanya singkat. Jarkasi minta diri, pulang sambil berharap kakaknya betulbetul mempertimbangkan menikah lagi. Rimah, istri pertama Jaelani yang sudah almarhumah, adalah seorang penari Topeng Betawi yang pada masanya adalah seorang primadona. Semasa muda, Jaelani kerap berkunjung ke Kampung Dukuh di bilangan Kramat Djati, waktu itu Jakarta belum padat. Perkenalannya dengan penari yang kemudian 13

http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi istrinya itu, dimulai dari kesukaannya bersepeda di kala muda. Waktu itu Jaelani dapat beli sepeda bekas merek Raleight. Betapa ia bangga bisa beli sepeda itu. Ia dan Jarkasi kerap bersepeda hingga sudut-sudut Jakarta. Suatu hari tanggal 17 Agustus, setelah pagi harinya mereka sengaja menggoes pedal sepedanya ke Istana Merdeka; berjubel, berpanas-panas dan berdesak-desakkan dengan orang-orang melihat upacara bendera sekaligus melihat Bung Karno pidato. Mereka melaju sepedanya ke Lapangan Banteng. Di tempat itu sekerumunan orang berdesak-desakkan memperhatikan keriuhan. Segala macam tukang jajanan ada, dari kacang rebus, somay, mi ayam, asongan, hingga tukang cendol yang dikerumuni orang-orang yang kepanasan karena cuaca siang itu. ”Ayo! Terus! Terus!” ”Jangan mau kalah! Maju!” Sorak-sorai menyemangati terdengar lamat-lamat dari kejauhan. Jaelani dan Jarkasi memutuskan untuk mendekat. Sekelompok anak-anak sedang balapan dengan karung. Mereka melompat-lompat persis pocong, seru sekali. Adu cepat menuju garis inish, ada yang terjatuh, dan banyak yang kepayahan harus melompat di dalam karung goni. Sekelompok tanjidor ngamen, meramaikan suasana tujuhbelasan. Lagu Surilang sedang diperdengarkan dengan alat-alat musik tiup dan tambur berwarna kekuningan dan tak mulus. Jarkasi mendekati kelompok tanjidor itu. ”Eh, lu mau ke mana?” cegah Jaelani, ia menarik ujung baju adiknya. ”Nonton tanjidor. Yuk!” Jarkasi menunjuk ke arah musik berasal. ”Gue di sini aja, lihat balap karung. Lagi seru!” Jadilah keduanya terpisah, saat tiba-tiba… priiiiiiiit! Bunyi 14

http://facebook.com/indonesiapustaka

peluit ditiup kencang-kencang dan panjang. Sekelompok CPM bergerak cepat menuju para pengamen tanjidor. Orang-orang yang sedang berkerumun menonton tanjidor kebingungan dan mulai bertebaran. Para pemain tanjidor lebih bingung lagi. Semua bubar sementara orang-orang berseragam yang hanya berjumlah empat orang itu dengan semangat berusaha menangkapi para pemain tanjidor. ”Waduh, si Kasi di sono tadi!” ujar Jaelani pada dirinya sendiri. Ia memicingkan mata, berusaha mencari batang hidung adiknya. Ia mendekati keributan itu. Seorang CPM yang tadi sibuk berlarian menangkapi pengamen tiba-tiba tepat di depan matanya. ”Heh, kamu kenapa celingak-celinguk? Kamu orang ngamen juga ya?” tanya CPM itu dengan galak. ”Eh, bukan Pak… saye lagi cari adek saye. Dia tadi belarian.” ”Adek kamu pengamen tanjidor tadi ya?” ”Bukan Pak, sumpah….” ”Bukan tukang ngamen kok lari juga?” ”Lah…, semua orang yang pada lihat tanjidor belarian, jadi adek saya juga lari.” ”Jadi, adeknya situ lihat tanjidor ya? Situ tahu, ngamen dilarang?” ”Mana saya tahu Pak.” ”Nah, sekarang situ tahu. Kalau adeknya sudah ketemu, kamu kasih tahu dia ya! Bilangin, nonton ngamen tanjidor sama saja dengan mendukung pengamen. Nah, ngamen itu dilarang, ngerti kamu?” perintah CPM itu. ”Saye, Pak.” ”Ya udah, cari lagi deh tu si adek.” ”Iye, Pak. Makasih.” Jaelani berlalu, sambil celingukan men15

http://facebook.com/indonesiapustaka

cari Jarkasi. Kelompok CPM itu berhasil menangkap tiga orang pengamen tanjidor yang mengaduh-aduh minta ampun. Ketiga pemain tanjidor itu diamankan. Jaelani mencari-cari di mana adiknya berada di antara orang-orang di Lapangan Banteng itu. Tak berhasil, tapi dia tak terlalu panik karena dia melihat bukan Jarkasi yang tadi dibawa petugas CPM. Ketika suasana sudah tenang, dan semua kembali sibuk dengan lomba tujuhbelasan, minus suara musik tanjidor, Jaelani yang masih celingukan tibatiba dikagetkan dengan seseorang menoelnya dari belakang ”Nongol juga lu akhirnye!” ”Lu nyariin gue ye?” Jarkasi nyengir. ”Tadi. Untung lu kagak ditangkep Se-Pe-Em.” ”Yuk!” ajak Jarkasi, dia menarik tangan kakaknya. ”Bentar ah, gue masih mau lihat ini.” Kali ini sekelompok anak bersiap-siap akan main coko. Sebatang pohon pinang dan sekelompok orang di sekitarnya sedang menyirami air pada batang pinang itu. Bagian atas pohon itu digantungi bungkusanbungkusan hadiah. Orang-orang mulai bersorak-sorak menyemangati. ”Ayuk, ah!” Jarkasi memaksa Jaelani. ”Apaan si lu, masih gini hari. Ngapain balik! Lagi seru, gue tadi juga mau ikutan.” Jaelani kesal. ”Sini bentaran!” Jarkasi menarik Jaelani ke arah seorang anak laki-laki seumuran Jarkasi sedang terduduk lemas. ”Ini Pei.” ”Terus?” ”Terus dia tadi yang maen tanjidor.” ”Masyaallah! Berarti dia buronan! Kita harus serahin dia ke Se-Pe-Em!” Jaelani berapi-api. Pei yang ditunjuk-tunjuk semakin mengkerut, ”jangan, Bang! Jangan! Ampun…” pinta Pei. 16

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jangan, Bang! Kesian. Kita anterin dia pulang,” ujar Jarkasi. Jaelani memandangi Pei yang wajahnya kelihatan takut dan sedih lalu menghela napas panjang, ”ya udah… rumah lu di mane?” Jaelani melunak. Kampung Dukuh di Kramat Djati, di situlah Pei tinggal. Jarkarsi memboncengkan Pei yang membawa tambur. Dung! Dung! Dung! Pei yang kesenangan dibonceng Jarkasi, menabuh-nabuh tamburnya. ”Heh, op… op! Kalo lu masih ribut mukul-mukul drem, gue kagak sudi nganter lu balik. Entar gue lagi yang dikira ngamen tanjidor, ditangkep ama Se-Pe-Em!” omel Jaelani. Pei menghentikan pukulannya. Mereka terus melaju hingga depan rumah Pei. Pei menghambur ke dalam rumahnya, meletakkan tambur sembarangan di depan rumah pintu. Teriak memanggil-manggal ayahnya, dan tak lama kemudian seorang perempuan muda keluar bersama Pei. Perempuan yang di kemudian hari akan menjadi ibu dari anak-anak Jaelani. ”Makasih ye…, udah nganterin adek saya,” ujarnya sopan, ”untung gak ketangkep CPM. Babeh ama Enyak pergi, ada kondangan di Kampung Rambutan. Ayuk masuk, minum dulu di dalem,” ujar gadis itu. Jelani memandangi gadis itu. Cantik. Jarkasi yang kehausan setelah mengayuh sepedanya melangkah masuk ke dalam rumah, sedang Jaelani masih belum terpaku di depan pintu. ”Sstt… sst…! Bang, ayuk masuk! Aus nih gue!” Jaelani ikut masuk ke rumah. ”Duduk dulu deh!” ujar Pei yang kemudian menemani Jaelani dan jarkasi duduk di kursi tamu yang terbuat dari bambu. Tiga gelas air putih keluar, dibawa oleh gadis itu. Mata Jaelani tak lepas memandang perempuan itu. 17

”Ini Mpok saye, Rimah,” ujar Pei. Mereka berkenalan.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Masyarakat Kampung Dukuh membedakan antara Dukuh Depan dengan Dukuh Belakang, sebab kampung Dukuh Depan dihuni oleh seluruh keluarga besar Haji Bokir bin Dji’un. Sanggar seni Bokir adalah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya. Di sanggar itu ada sepasang ondel-ondel yang dipajang di tengah-tengah ruangan layaknya sepasang raja dan ratu. Dua istrinya pun tinggal bertetangga, walau kadang terdengar cek cok. Nasir, adik Bokir ikut membantu gambang kromong yang melengkapi lenong kakaknya. Setia Warga, demikian mereka menamai kelompok seni Betawi itu. Biasanya mereka ditanggap di acara-acara pernikahan, Lebaran, Lebaran Haji hingga Imlek. Jika malam Minggu tiba, anak-anak dari Kampung Dukuh Belakang berkumpul menggerombol di sanggar seni itu, menonton latihan lenong dan latihan tari. Kelak, beberapa tahun ke depan, sanggar itu dibuat lebih besar dan lebih megah hingga yang memasukinya merasa kecil dengan sepasang ondel-ondel yang sengaja diletakkan di pojok tengah bagai sepasang raja dan ratu. Kelak pula, cucu-cucu Bokir yang berprofesi sebagai penari dikirim ke luar negeri untuk menjadi duta budaya mewakili Indonesia yang pada tahun ’90-an. Indonesia tengah semangat-semangatnya mempromosikan pariwisata. Di tempattempat umum ada lampu neon besar-besar bertuliskan Visit Indonesia Year 1991. Seiring tahun berganti maka angka tahun pun diubah dengan slogan sama. Jaelani muda lalu bergabung dengan grup tanjidor. Ia berlatih membawa alat-alat musik yang besar-besar sambil berjalan me18

http://facebook.com/indonesiapustaka

mainkannya. Ia bisa memegang semua alat musik, mulai dari klarinet, piston, trombon, saksofon, tenor, drum, simbal hingga tambur. Hal ini dikarenakan agar jika ada pemain utama yang berhalangan pemain lain pun bisa menggantikan agar rejeki terus mengalir. Ia juga jadi kerap dikejar-kejar CPM jika mereka sedang mengamen. Sedang Jarkasi lebih tertarik ikut gambang kromong. Rimah penari didikan Mpok Nori, istri Bokir. Mpok Nori piawai dalam menari. Dari perempuan itulah Rimah berguru. Keluarga Pei tinggal di Kampung Dukuh Belakang. Rimah yang tadinya hanya menonton tiba-tiba tertarik untuk ikut menari. Jaelani tahu, banyak pemuda yang menyukai Rimah. Awalnya, Jaelani mengakui bahwa dia sering mendengar selentingan penari-penari yang kabar-kabarnya bisa dicolek-colek dan diajak bermalam. Rimah adalah penari yang paling banyak dicolek laki-laki ketika menari. Berbaris laki-laki yang ingin menari dengannya. Meski mereka kerap ditanggap bareng-bareng, Jaelani jarang berbicara pada Rimah. Sejak pertama kenalan, Jaelani mengakui diam-diam bahwa Rimah adalah gadis yang manis, tapi ia masih meragukan keperawanannya. Mereka nyaris tak pernah bertegur sapa. Hingga suatu hari, ketika bersamaan para penari, kelompok lenong dan gambang kromong ditanggap untuk pentas perayaan perkawinan di perkampungan nelayan kapal antar pulau angkutan kayu di Cilincing, Jaelani mendapati Rimah menangis di belakang dekat kotak-kotak penampung ikan yang baunya amis. Pantas saja gadis itu tiba-tiba hilang ketika sedang menari. Jaelani tahu, Mpok Nori mencari Rimah ke mana-mana, tapi belum ketemu. Tepat ketika ia ingin buang air kecil, dan karena tak menemukan toliet umum yang katanya ada, ia menuju 19

http://facebook.com/indonesiapustaka

belakang guna mencari pohon untuk dipipisi. Saat itulah ia melihat Rimah sedang tersedu-sedu, celak di bawah matanya luntur berwarna kehitaman akibat air mata yang mengalir. Jaelani mendekati Rimah dan bertanya kenapa ia menangis. Rimah yang saat itu sesunggukan dan tak bisa menjawab malah menangis makin keras. Dengan selendangnya, ia seka air mata yang jatuh. Jaelani jadi kebingungan, ”ssstttt…!” Jaelani meletakkan jari telunjuknya ke bibir, ”nangisnya jangan keras-keras! Sstttt…!” Tapi Rimah malah menangis makin keras. Ia tak mau dituduh memerkosa anak orang gara-gara Rimah ribut menangis. ”Lu dicari Mpok Nori, eh… gue tinggal sendirian ya. Di sini banyak demit, tauk!” Sudah diancam begitu, tetapi kelihatannya Rimah tidak takut, malah terus menangis. Karena usahanya tak berhasil, maka akhirnya Jaelani bernyanyi, ”�Kicir kicir, ini lagunye…, lagu lama ya nona dari Betawi. Saye menyanyi ya nona memang sengaja, untuk menghibur ya nona hati yang duka. Puun pinang, di pinggir kali…, dipanjat bocah ya nona tinggi sekali. Jangan menangis ya nona keras sekali, nanti didenger ya nona demit di kali….�” ”Ha ha ha ha…!” Tiba-tiba meledaklah tawa Rimah, mendengar lagu Kicir-Kicir yang dikarang asal-asalan oleh Jaelani. Matanya masih bersemu kehitaman akibat celak yang meleleh. ”Masyaallah! Lu bisa juge ketawa kayak demit!” Jaelani tersentak memegangi pecinya yang miring hampir jatuh, terkejut melihat Rimah tertawa hingga ia menghentikan nyanyiannya yang belum habis. Sejak itu mereka jadi dekat. Dengan gaya yang lucu, Jaelani betul-betul jatuh cinta pada Rimah. Mereka biasa janjian bertemu di kebun kecapi milik 20

http://facebook.com/indonesiapustaka

orang tua yang kerap dipanggil Baba’ oleh masyarakat sekitar. Lelaki itu ke mana-mana membawa golok yang diselipkan di ikat pinggang yang membebat sarungnya agar tak merosot. Jika selesai latihan tanjidor atau menari, mereka sendiri-sendiri jalan ke luar sanggar, diam-diam menuju kebun kecapi yang dipenuhi nyamuk itu. Waktu itu belum musim anti nyamuk yang disemprot atau anti nyamuk oles berbau wangi. Jadi, satusatunya senjata ampuh untuk mengusir nyamuk yang kadang bernyanyi di telinga adalah dengan telapak tangan berkecepatan tinggi membuat nyamuk-nyamunk jadi gepeng. Selain nyamuk, waktu pacaran mereka kerap diganggu pula oleh anak-anak yang mencuri kecapi, semut rang-rang, hingga Baba’ sendiri yang kelihatannya setiap beberapa menit mengecek kebunnya agar tak kecolongan dicuri anak-anak kampung. Jaelani dan Rimah sempat berlari-lari bak dikejar setan, bagaimana tidak, ’setan’ itu adalah Baba’ dengan golok yang diacung-acungkan. Waktu itu, ketika Jaelani sedang berusaha merayu agar bisa memegang tangan Rimah, sekelompok anak pencuri kecapi mengganggu mereka, melempari mereka dengan buah kecapi lantas cekikikan. Daripada diganggu terus-menerus, maka keduanya sepakat untuk membantu pencuri-pencuri kecil itu untuk memungut buah kecapi yang berjatuhan, jelas saja Baba’ menyangka kedua sejoli itu sebagai oknum bahkan mungkin otak dari pencurian buah kecapi. Sejak saat itu, karena keduanya tidak bisa dengan leluasa lagi ke kebun kecapi, mereka lebih terbuka terhadap yang lain. Semua tahu, Jaelani dan Rimah adalah Romeo dan Julietnya sanggar seni Setia Warga. Tak sampai satu tahun mereka pacaran, Jaelani melamar Rimah. Lengkap dengan kelompok tanjidor plus pasukan rebana yang mengaraknya ke rumah Rimah di Kampung Dukuh Bela21

http://facebook.com/indonesiapustaka

kang. Pesta pernikahan mereka yang sebetulnya berdana paspasan bisa jadi begitu meriah, sebab teman-teman sanggar seni menghadiahi mereka dengan hiburan lenong dan tari gratis semalam suntuk. Roti buaya, sebagai lambang kesetiaan, pun sengaja dibuat besar-besar. Konon, buaya adalah binatang setia, tak seperti merpati. Buaya hanya hidup dengan satu pasangan seumur hidupnya, sedang merpati jika pasangannya pergi, bisa mencari pasangan lain. Entah kenapa dua jenis binatang ini diartikan terbalik. Sebutan buaya darat untuk laki-laki berhidung belang yang doyan cari perempuan. Sedang merpati selalu dilambangkan kesetiaan dengan ungkapan ’merpati tak pernah ingkar janji’. Jaelani memboyong Rimah ke daerah Karet, awalnya mereka numpang hidup bersama mertuanya. Lantas ayahanda Jaelani membagi tanahnya yang memang luas untuk dipakai Jaelani dan Rimah. Mereka mendirikan sebuah rumah dan sebuah kandang sapi di dekatnya. Sapi-sapi perah yang ada termasuk pemberian orang tua Jelani, yang sudah menjalani usaha ini sejak jaman Belanda masih banyak di Betawi. Tak jarang pula Jaelani usaha dagang sapi potong. Tentu saja, paling laris saat Lebaran Haji atau Idul Kurban. Ia mengembangkan sapi perah warisan ayahnya ini dan di kemudian hari memutuskan untuk membeli sebidang tanah yang masih terletak di daerah Karet khusus untuk kandang sapi. Dengan berlangsungnya dunia perkawinan, Jaelani dan Rimah tak lagi aktif di kesenian. Mereka lebih sibuk dengan urusan mengurus sapi, apalagi setahun kemudian mereka dikaruniai Zulkili kecil, yang kemudian sehari-hari dipanggil Japri. Kemudian berturut-turut disusul kelahiran Junaedi, yang lebih familiar dipanggil Juned, putra kedua mereka. Sedang Rohani, 22

http://facebook.com/indonesiapustaka

—panggilan sehari-harinya Enoh—lahir tiga tahun setelah Juned lahir. Walaupun orang Betawi pada masa itu masih beranggapan banyak anak banyak rejeki, dan hal ini juga dipercaya Jaelani sebagai sang kepala keluarga, tetapi Rimah bilang tak sanggup lagi kalau harus menambah anak lagi karena ia mengurus mereka sendirian. Maka, ketika program Lingkaran Biru KB marak dicanangkan, setiap pasutri diundang kumpul ke rumah ketua RW untuk diberi penyuluhan mengenai Keluarga Berencana, Rimah adalah salah satu ibu rumah tangga yang langsung tertarik untuk ikut kontrasepsi. Berbeda dengan ibuibu lain, yang kabarnya sampai harus diancam petugas untuk memakai kontrasepsi. Jaelani, walaupun sebenarnya ia masih ingin menambah anak lagi, tak bisa menolak permintaan istrinya yang begitu ia cintai. Ia memperbolehkan ratu rumah tangganya ikut kontrasepsi suntik, yang kemudian membuat tubuh Rimah jadi subur. Dalam dua bulan berat badannya tambah sepuluh kilo, pipinya menjadi gembil, dan tak lagi menunjukkan tandatanda dirinya sebelumnya adalah seorang penari bertubuh langsing. Toh Jaelani tak keberatan akan bertambahnya berat badan Rimah, tak sekali pun ia mempersoalkan hal ini. Ia malah memberi Rimah uang untuk membeli kain di Pasar Baru atau di Koh Tong Hiem, juragan kain yang memiliki pabrik batik di Kuningan Timur, untuk dijahitkan sebagai baju baru yang lebih pas untuk tubuhnya yang subur. Rimah meninggal ketika Enoh berusia 10 tahun. Waktu itu wabah demam berdarah menyerang dirinya. Hujan yang terus menerus membuat air menggenang dan menyebabkan jentikjentik nyamuk tumbuh subur bak jamur. Rimah hanyalah satu dari sekian banyak korban demam berdarah. Setelah sepuluh hari dirawat tanpa ada perkembangan yang berarti, ia meninggal 23

http://facebook.com/indonesiapustaka

di tempat tidur rumah sakit. Setelah wabah ini, petugas-petugas kesehatan datang memberi penyuluhan ke kampung-kampung, meminta warga untuk bergotong royong memendam segala sampah yang bisa membuat kubangan air jika hujan datang. Mereka juga meminta warga untuk menutup jamban, tempat minum dan air di tampungan kamar mandi, selain membagikan serbuk kecokelatan kasar yang kemudian kita kenal sebagai abate. Haji Jaelani berhasil mengingat, kapan kira-kira kemudian di Jakarta jenis ’musim’ bertambah lagi. Selain musim dukuh, musim durian, musim rambutan, kemudian ada musim banjir yang disusul oleh musim diare dan musim demam berdarah. Dalam hati, ia merindukan Rimah. Enoh dan Salempang kembali sebelum magrib berkumandang. Tak hanya martabak yang dibawakan. Tetapi juga makanan instan lain yang kira-kira awet beserta bumbu-bumbu yang mereka beli di supermarket. Enoh juga membeli minyak tanah, mengingat kompor gas sedang kehabisan gas, dan bisa dipastikan untuk beberapa hari ke depan tukang gas elpiji tak akan datang akibat banjir. Maka ia terpaksa mengeluarkan kompar minyak yang sudah lama dimuseumkan di gudang. Hari mulai gelap. Listrik belum hidup, ini adalah hal yang sangat umum terjadi setelah banjir datang. Enoh juga membeli satu kotak lilin untuk persiapan, lilin-lilin yang kemarin sudah habis karena harus dinyalakan semalaman selama listrik belum hidup. ”Pang, lu sembahyang magrib dulu sana sebelum pulang,” ujar Haji Jaelani. Sebetulnya Salempang belum mau pulang, tetapi ia harus tahu diri. Haji Jaelani sangat protektif terhadap putrinya. Jika 24

http://facebook.com/indonesiapustaka

saja listrik hidup, tentu Salempang masih boleh berdiam lebih lama di situ. Setidaknya jika ia bisa main catur dengan Haji Jelani, tentu berarti ia bisa terus memandangi Enoh. Tetapi karena lampu mati, Haji Jaelani tak ingin Salempang diam-diam mengambil kesempatan pegang-pegang anak gadisnya. ”Iya, Beh,” sahut Salempang mengerti. Ia segera mengambil air wudhu. Adzan tak berkumandang, tetapi jam di dinding menunjukkan waktu Magrib sudah tiba. Listrik mati membuat loud-speaker masjid tak berfungsi. Haji Jaelani, Salomah, Fauzan dan Enoh juga ikut mengambil air wudhu bergantian, mengikuti Salempang yang menjadi imam. Matahari rendah.

25

http://facebook.com/indonesiapustaka

26

2

alau dirunut dari atas, tak ada darah seniman di tubuh Jarkasi, itu sejauh yang ia tahu. Ketertarikannya pada seni dan kepiawaiannya memainkan musik ibarat jambu yang jatuh dari pohonnya dan menggelinding jauh mendekati pohon mangga. Bagaimana tidak, ayahnya, tak lebih dari pengusaha kecil susu sapi perah. Jaman Belanda dulu, Junaedi, atau yang kerap dipanggil Juned (nama ini kemudian diambil sebagai nama kedua anak Jaelani, kakak kandung Jarkasi), ikut orang Belanda yang punya peternakan sapi perah di Kebayoran. Bung Juned, demikian orang-orang dulu memanggilnya. Panggilan ’bung’ tidak tiba-tiba muncul. Awalnya dia dipanggil ’bang’ seperti umumnya masyarakat betawi memanggil untuk tiap laki-laki dewasa. Bagaimana sebutan ’bung’ kemudian bisa menempel pada Juned? Ceritanya dimulai sebelum jaman kemerdekaan. Kejadiannya setelah sumpah pemuda dan sebelum Jepang datang. Juned, anak yatim piatu, bekerja untuk seorang Belanda yang memiliki peternakan sapi perah di Kebayoran, tak jauh dari tempat tinggalnya. Tuan Henk bagi Juned adalah orang baik. Tuan berambut jagung itu memberinya upah yang layak untuk mengantar susu kepada pelanggannya. Hal yang paling disukai Juned dari pekerjaannya adalah, ia boleh membawa pulang se-

http://facebook.com/indonesiapustaka

K

27

http://facebook.com/indonesiapustaka

peda kumbang yang kerap digunakannya untuk mengantar susu tiap pagi dan sore. Juned memulai hari-harinya dengan datang ke peternakan tempat ia mengambil susu. Lalu ia mengantarkan botol-botol susu itu kepada para pelanggannya yang kebanyakan adalah orang Belanda, sekaligus mengambil botol kosong. Para pelanggan tersebut juga membayar uang susu kepada Juned. Untuk yang satu ini, Juned memilki sebuah buku catatan yang ia selipkan di sepedanya. Tuan Henk menerimanya bekerja karena ia segelintir dari sedikit orang yang waktu itu bisa baca-tulis. Setelah ia kembali ke peternakan dan mengembalikan botolbotol kosong sekaligus setor uang bayaran pelanggan pada bagian keuangan, ia bisa pulang. Dengan sepeda kumbang itu, tentu saja. Juned biasa keliling-keliling kota. Sekitar jam tiga sore, ia mengayuh kembali sepedanya ke peternakan, mengambil botolbotol susu yang baru dan mengantarnya kepada pelanggan sore hari. Begitu setiap hari. Suatu pagi Juned diberitahu bahwa ada satu pelanggan baru di daerah Bendungan Jago. Ia mengayuh sepedanya, mengantarkan botol-botol susu kepada pelanggan yang dekat terlebih dahulu. Tak ada uang bayaran dari pelanggannya pagi itu. Memang pembayaran susu dilakukan per dua minggu sekali, jadi tidak setiap hari Juned menerima uang. Setelah itu ia menuju ke Bendungan Jago di Kemayoran. Ketika ia hampir melewati Jembatan Jiung, dua orang berpakaian hitam-hitam dengan tampang dekil menyetopnya. Mereka tiba-tiba saja melompat dari balik pepohonan di sekitar jalan tanah. Juned hampir tak bisa mengendalikan sepedanya, untung dia cekatan. Sebelah kakinya langsung turun ke tanah, menahan sepeda yang penuh berisi botolan susu agar tak jatuh. 28

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Mana duit lu?” salah satu orang itu mengeluarkan golok. Tentu ini membuat nyali Juned ciut. Dia langsung mengangkat tangannya sambil kedua kakinya tetap menjepit sepeda menahan dari jatuh. ”Ampun Bang, ampun… jangan bunuh, aye belon kawin,” katanya ketakutan. ”Serahin duit lu!” pencoleng itu mengulangi perintahnya. ”Aye kagak punya duit, Bang. Cuma punya susu….” ”Boong lu!” ia mendekatkan golok ke leher Juned, mengingatkannya pada Idul Kurban. Dalam hati Juned sudah pasrah nasibnya akan mirip kambing kurban digorok. ”Betul Bang, aye kagak punya duit,” nyali Juned semakin ciut. ”Banyak bacot lu! Lu kerja buat kumpeni, boong kalo kagak punya duit. Keluarin isi kantong lu!” Sejatinya Juned memang tak punya uang. Namun begitu Juned tetap mengaluarkan isi kantongnya yang kosong melompong. Kantong baju saku celana kanan kiri dan dua kantong belakang pantatnya. ”Aaaagh!” dengan kesal pencoleng yang satu lagi mengobrakabrik kantong susu. ”Bang, jangan Bang. Itu bukan punya aye. Aye cuman tukang anter doang,” Juned memohon. Orang itu mengambil sebotol susu, ”lumayan… susu.” Ia lalu menenggak susu di botol itu. Dan lagi, jadilah dua botol yang sudah ia minum. Botol-botol yang kosong ia buang begitu saja ke tanah. ”Ha ha ha… begini ya rasanya jadi orang kuasa. Minum susu,” sambungnya. ”Bang… bagi dong!” ujar pencoleng yang sejak tadi menekan golok ke leher Juned. Pencoleng yang telah meminum susu mengambil satu botol dan memberikan ke temannya. 29

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Nih!” Pencoleng bergolok menenggaknya. Gluk… gluk… gluk…. Juned bisa mendengar ia menelan susu itu, kelihatannya ia kehausan sekali. ”Lagi!” katanya. Sebotol susu kembali diserahkan dan ia kembali menenggaknya penuh nafsu. Juned hanya memandangi sambil tak lagi merasa terlalu takut. Setidaknya selama pencoleng-pencoleng itu minum susu, mereka sedikit teralihkan perhatiannya, pikir Juned. Tiba-tiba seorang lelaki tua bercelana pangsi hitam dengan peci dan sarung dibebat di pinggang melompat ke arah mereka. ”Ciaaaaat…!” teriaknya. Juned memejamkan mata. Sekejap kemudian dia mendengar dua suara menjerit mengaduh-aduh. ”Ampun Bang… ampun…!” tangis dua suara itu sahut-menyahut. Juned membuka mata, dilihatnya dua pencoleng tadi sudah terkapar di tanah dengan tangan terpelintir ke belakang. Dengan sebelah tangan, lelaki tua tadi menahan tangan dua pencoleng. Mulut keduanya penuh cairan putih yang muncrat ke mana-mana. Agaknya mereka sangat lengah ketika tengah asyik minum susu. ”Gue kepret, cantengan lu!” kata si lelaki tua. Sementara kedua pencoleng yang sudah ambruk tak berhenti mengaduh dan minta ampun, ”di sini yang boleh narik cuman gue, tauk!” ”Ampun Bang, ampun… aye kagak tau.” ”Aaaa… sakit, tulung lepasin Bang, nyerah.” ”Emang lu pikir ni jembatan punya moyang lu? Berani-beraninya narik di sini. Ini kadang gue, lu ngarti?!” semprot orang tua itu. ”Ampun Bang, ampun… kita cuma kelaparan. Udah tiga ari gak makan ape-ape di utan.” 30

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Di utan kan banyak puun, Lu makan aja tu puun, lu kan monyet!” sekali lagi orang tua itu nyap-nyap. Juned bergeming, ia memerhatikan pemandangan di depannya dengan takjub. ”Ampun Bang…, kite orang gerilya. Keabisan makanan.” ”O, lu keabisan makan terus ngerampok orang kite, gitu? Kagak tau yang bener yang sale lu!” ”Maap Bang, die kan tukang susunya kumpeni, mangkenye kite rampok die. Kita gak ngerampok tukang kayu kok Bang, Ampun….” Lelaki tua itu lalu melepas pelintirannya. Dua pencoleng yang mengaku gerilyawan itu berusaha bangkit sambil mengeluelus tangannya yang sakit. ”Lu tau ngerampok itu sale?” tanya lelaki tua itu dengan galak. ”Tau Bang,” jawab keduanya berbarengan sambil mengangguk, memandangi tanah. ”Lu ngarti ini kandang gue?” ”Ngarti Bang,” kembali keduanya menjawab berbarengan sambil mengangguk. ”Lu tau ni orang…,” ia menunjuk pada Juned, ”biarpun kerja buat kumpeni tapi kerjanya halal, bukan tentara Belanda?” ”Tau Bang,” lagi, keduanya menjawab berbarengan sambil mengangguk. ”Nah terus, ngapa lu rampok die? Lu mau jadi Pitung?” ”Kagak Bang…” ”Iya Bang…” Kali ini jawaban mereka berbeda. Yang satu menggeleng dan yang lain mengangguk. ”Mana yang bener…, mau jadi Pitung apa kagak?” lelaki tua itu mengulang pertanyaannya dengan galak. ”Mau Bang.” 31

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kagak Bang…” masing-masing menukar jawabannya. Yang tadi bilang iya kini menjawab tidak, dan sebaliknya. ”Eh, gue kasih tau ye… bukan gini carenye jadi pahlawan. Elu pahlawan kesiangan aje kagak, apalagi mau jadi si Pitung!” ”Iye Bang, maap…,” ujar pencoleng yang satu, sedang yang lain menunduk menatap tanah. Lelaki tua itu menyuruh kedua pencoleng itu meminta maaf pada Juned. Ketika itu juga tahulah mereka, bahwa lelaki tua yang punya kemampuan silat itu adalah Haji Ung, atau kerap dipanggil Jiung. Ia pemilik jembatan yang tadi belum sempat dilewati Juned. Jiung memungut bayaran untuk mereka yang lewat jembatan itu, siapa pun itu. Merasa wilayah kekuasaannya diusik, maka ia tak tinggal diam. Jika orang-orang tahu ada perampok yang menunggu tepat di jalan menuju jembatan, ini berarti orang orang-orang akan takut lewat situ. Dan jika orang takut lewat jalan itu, maka tentu tak ada pemasukan dari orang yang lewat. Ini mengganggu stabilitas keuangan keluarga Haji Ung. Sejak hari itu, karena rasa terima kasihnya yang tak sudahsudah, Juned membawakan sebotol susu segar untuk Jiung setiap kali lewat. Susu adalah barang mewah saat itu, tentu ini harga yang mahal jika bisa diuangkan. Lebih dari satu-dua sen uang yang biasa diberi oleh mereka yang lewat Jembatan Jiung. ”Eh, lu laki-laki kagak bisa bela diri apa?” tanya Jiung suatu pagi ketika Juned lewat dan menunggu Jiung meminum susu pemberiannya. ”Kagak bisa, Beh,” jawab Juned. Semenjak ia mengenal lelaki itu kini ia memanggilnya Babeh, demi menghormati usia yang jauh di atasnya. ”Lu gue ajarin. Mula ini ari gue jadi guru lu. Rampung lu nganter susu, ke sini dah! Ngarti?” 32

http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka sejak hari itu, Juned berlatih pencak silat. Jiung menjelaskan panjang lebar tentang pencak silat. ’Pencak’ berarti jurus sedang ’silat’ berarti salat atau sembahyang. Jadi pencak silat bukan untuk mencari musuh atau berkelahi. Selain itu, ’silat’ juga kependekan dari ’silaturahmi’. Juned ternyata tidak sendiri, Haji Ung juga mengangkat dua gerilyawan yang sempat merampok Juned tempo hari. Keduanya kelihatan beda setelah bebersih. Juned sempat tak mengenali, kalau mereka tidak langsung menyalami tangan Juned saat bertemu kembali. Suatu pagi, ketika Juned menggenjot sepedanya untuk mengambil susu dari peternakan. Tapi tak satu pekerja pun yang menunggu peternakan. Sapi-sapi melenguh kencang-kencang. Botol-botol kosong tak terisi. Padahal kemarin sore setelah mengantar susu, Juned masih bertemu para pekerja peternakan. Juned memanggil-manggil nama para pekerja yang ia kenal, tapi tak satu pun menyahut. Kiranya peternakan kosong. Maka Juned bergegas ke rumah Tuan Henk, ia mengetuk-ngetuk pintunya, tak ada jawaban sedikit pun. Juned mendorong pintu, yang ternyata tak dikunci. ”Tuan… Tuan Henk…” panggilnya. Juned terkejut melihat rumah berantakan. Ia masuk, melihat-lihat keadaan sekitar. Sebuah suara tangis terdengar tersendat-sendat dan tertahan dari ruang dapur. Juned menghampirinya. Seorang anak perempuan meringkuk di balik meja makan yang tak lagi pada tempatnya. ”Masyaallah… kirain kuntilanak nangis,” ujarnya kaget. Anak perempuan itu diam saja. ”Tuan Henk ke mana?” dia masih diam, gemetar. Maka dengan lembut Juned membantunya berdiri dan menyeka air matanya dengan kemejanya. Perempuan itu bercerita tersendat-sendat, bahwa Jepang datang mengambil perhias33

http://facebook.com/indonesiapustaka

an milik Nyonya Henk dan mengacak-acak rumah mengambil barang-barang dari perak. Seorang pembantu perempuan yang juga bekerja di situ dibawa pergi, Ipah, nama perempuan kecil itu beruntung bisa sembunyi dan tak ketahuan Jepang. Sekarang keluarga Henk pergi ke Karet, mereka bersembunyi di sana. Juned mengantar Ipah pulang. Orang-orang akhir-akhir ini tak banyak yang berani keluar. Apalagi begitu orang-orang pribumi tahu bahwa orang Belanda saja berani dijarah oleh Jepang, apalagi orang-orang pribumi. Perempuan-perempuan banyak yang dikumpulkan, katanya dijadikan pelacur tentara-tentara Jepang. Ada yang tiba-tiba diculik saat pulang dari sawah, tidak jarang pula yang diambil paksa langsung dari rumahnya, meskipun ada suaminya. Orang-orang Jepang membuat orangorang Indonesia merasa, penjajahan yang dilakukan Belanda tahun-tahun sebelumnya tak ada apa-apanya. Dulu, masih ada koran, masih bisa bikin ritual sedekah bumi, sekarang semua tempat serasa kota mati. Hawa ketakutan terasa di sekitar kita. Bahkan angin pun rasanya menghantar warta buruk. Ipah waktu itu berusia lima belas tahun. Sedang Juned berusia sembilanbelas tahun. Semenjak diselamatkan Juned— diantarkan Juned pulang dengan selamat, utuh, tak kurang suatu apa pun—, Juned tak pernah menengok Ipah lagi. Sejujurnya ia sendiri pun tak lagi memikirkan apa-apa tentang Ipah. Juned mengusahakan kesehariannya masih berusaha menengok sapisapi perah milik Tuan Henk. Sapi-sapi bunting itu mengemo ibarat orang kesakitan. Bagaimana tidak, susu-susunya tidak dikeluarkan berhari-hari. Tak pula diberi makan atau dibersihkan kandangnya. Sapi Tuan Henk dihitungnya, pun sudah berkurang sepertiganya. Entah itu sapi kabur sendiri cari makan, atau dimaling orang, atau dijarah Jepang; Juned tak tahu. 34

http://facebook.com/indonesiapustaka

Melihat sapi-sapi itu melenguh, Juned mengambil bak susu. Ia mulai memerah susu-susu sapi. Sialnya, ia tak tahu prosedur yang benar, harus bagaimana dan harus diapakan setelahnya. Selama ini ia hanya menjadi pengantar. Juned mencari rumput sebisanya, memberi makan sapi-sapi sisa yang masih ada di kandang. Susu-susu itu mau diapakan? Juned tak tahu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengisi botol-botol yang kosong dengan susu hasil perahannya. Kini, setelah botol-botol diisi, harus diapakan? Ia tak lagi mengantar susu-susu itu kepada para pelanggannya. Juned memutuskan untuk membagikan susu-susu itu kepada penduduk, ia bertekad siapa pun yang ditemuinya di jalan, ia akan memberikan susu botolan itu. Dan itulah yang benar-benar ia lakukan. Entah mengapa, kakinya mengayuh hingga kediaman Ipah dan orang tuanya. Mereka menyambut dengan takut-takut, berkali-kali Juned mengetuk pintu dan mengucap salam, tak juga dibuka. Hingga ayah Ipahlah yang akhirnya membuka pintu. Ia mempersilakan Juned masuk dengan senang hati. Bahkan sepedanya pun disuruhnya ditaruh di dalam. ”Pak, aye dateng cuman mau nganter susu ini doang. Ini susu dari peternakan Tuan Henk, gak ada yang ngurus, jadi saye urus.” ”Bukannya ini susu dibeli ama orang-orang Belanda?” ”Emang Pak, tapi orang-orang Belandanya juga udah kagak tau pada ke mane. Jadi aye bagi-bagiin aje deh Pak.” ”Jadi betulan ni susu buat saye?” ”Iye Pak. Ambil deh… buat keluarga sini. Lagian kan sekarang suse cari makan. Tu orang Jepang ngider aje. Sapi di kandang Tuan Henk aje ada yang ilang, tebakan saye sih itu diambil orang Jepang,” jawab Juned. 35

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Alhamdulilee…,” kata ayahanda Ipah. Ipah, lima saudara kandungnya dan ibunya mengucapkan terimakasih pada Juned. Ipah adalah anak tertua di keluarga itu. Ketika Juned akan minta diri, ayahanda Ipah menahannya dan tiba-tiba berkata, ”Ned, lu anak baek. Gue mau minta tulung lagi, apa lu mau?” ”Ngomong deh Pak. Sapa tau saye bisa bantu.” ”Lu kawinin anak gue.” Ucapan ayahanda Ipah menggema di telinga Juned; kawin. Kawin? Hari kayak gini; kawin? Jepang nyerang; kawin? Yang bener aja, batin Juned. ”Maap Pak, apa saye gak sale denger? Kawinin anak Bapak?” ”Iye, lu kawinin deh tu si Ipah. Gue rela kalo anak gue buat lu. Elu yang nyelametin die tempo ari. Lu juga sekarang yang perhatiin keluarga gue, bawain susu. Gue takut anak gue diambil Jepang, gue kagak bisa ape-ape. Kalo lu jadiin dia bini lu, gue bisa tenang dikit, sebab gue tau Ipah ada yang jaga.” Ayahanda Ipah menjelaskan panjang lebar. Ipah yang diomongi diam saja. Ibundanya juga diam saja. Sementara adik-adiknya asik dengan sebotol susu yang diminum bergiliran. Juned selama ini tak pernah benar-benar berpikir dirinya akan kawin. Dekat dengan perempuan pun tidak. Mungkin memang harus seperti ini jodohnya, pikirnya. ”Pak, saya idup sendiri. Kagak punya ibu-bapak. Kagak punya sodare. Apalagi banda. Kagak punye. Apa Bapak masih mau saye kawin ama anak Bapak?” ”Kagak ape-ape. Kalo lu udah kawin ama Ipah, lu punya sodare lime biji. Lu punya gue ama bini gue jadi orang tua lu. Nah banda, entar ada Ipah yang bisa bantuin elu buat nyari.” Siang itu juga, Juned menggenjot sepedanya ke daerah Kemayoran. Dia menuju rumah Haji Ung. Meminta nasihat darinya, perihal perkawinan. Jawabannya sungguh mengejutkan; Haji Ung bersedia menikahkan Juned dan Ipah. 36

http://facebook.com/indonesiapustaka

Begitulah, alkisah cinta Juned yang tak dimulai dengan cinta secuil pun. Hanya rasa kasihan dan tanggungjawab yang mewakili kebersediaan Juned menikahi Ipah. Kelak, dari Juned Ipah melahirkan tiga anak; Jaelani, Jarkasi dan Juleha. Dua laki-laki, satu bontot perempuan. Siaran Radio Republik Indonesia bilang; bahwa Perang Dunia II pecah. Kata berita itu, tahun lalu Jepang mengebom suatu tempat di Amerika bernama ’Pelharbol’, nama yang asing di telinga Juned. Sejak itu Jepang berkuasa hampir seluruh Asia Pasiik. Itu yang menyebabkan sapi-sapi milik Tuan Henk tak terurus. Pesawat Jepang berputar-putar di angkasa ketika Haji Ung menikahi Juned dengan Ipah. Boro-boro malam pertama, orang yang datang memberi doa pun tak ada, yang ada penduduk berbondong-bondong mengungsi cari selamat. Jiung menyuruh Juned dan Ipah ikut dengannya, bersama sekelompok orang lainnya yang menolak evakuasi ke Yogyakarta. Daerah Kemayoran waktu itu adalah pangkalan udara Belanda, maka tak heran Jepang menjadikannya target utama. Sapi-sapi yang ada di peternakan Tuan Henk semakin hari semakin berkurang. Kebanyakan dicuri, ada pula yang mati. Dengan semakin gentingnya situasi, Juned jadi jarang berkunjung ke peternakan. Praktis tak ada siapa pun yang mengurus. Suatu siang bolong yang tak pernah bisa dilupakan Juned terjadi. Kelak, mulai dari sinilah ia akan menuturkan jaman perang kepada anak-anaknya. Kisah yang kemudian membuatnya dipanggil ’bung’ oleh orang-orang. Ia dan sekelompok orang bersembunyi di bentengan yang mirip bungker, tempat ini sengaja dibuat Jiung untuk persembunyian jika dibutuhkan, dan siang 37

http://facebook.com/indonesiapustaka

itu memang waktu yang sangat tepat untuk bersembunyi di bentengan itu. Jiung memerintahkan kerabatnya bersembunyi di bentengan, sementara dia sendiri berada di luar. Tentu, walaupun semua mengenal Jiung sebagai lelaki yang punya ilmu, semua khawatir akan keselamatannya. ”Kagak usah khawatir, udah… lu pade ngumpet aje. Gue keliling rumah biar kagak kena bom,” ujarnya dengan percaya diri. Maka semua bersembunyilah di bentengan. Semua tahu, yang dimaksud Jiung keliling rumah adalah berjaga-jaga dengan cara membuat pagar gaib yang tak bisa tembus bom apalagi peluru. Jaman itu, mencari ilmu bukan berarti baca-tulis, melainkan mencari ilmu agar tak kalah dari musuh. Penghuni bentengan desak-desakkan. Ibu memeluk anak, anak tak mau lepas dari pelukan ibunya. Kebanyakan komat-kamit berdoa sebisanya, seingat mereka bisa ucapkan surat-surat dalam Quran. Tak sedikit yang bengong, takut kedapatan bom nyasar. Ada juga anak yang menangis tertahan-tahan, sementara ibunya berusaha membujuk agar tak ribut. Dari dalam bentengan, suara berdebum terdengar jelas, bangunan-bangunan yang hancur kena hantam bom terdengar seperti berton-ton pasir jatuh dari awan. Pesawat-pesawat Jepang seliweran di udara bunyinya seperti lebah lewat. Lamat-lamat di antara itu semua, terdengar suara seorang lakilaki nembang. Tak jelas apa yang diucapkan, yang pasti bernada berulang-ulang. Tiba-tiba…, bruuuut…! Suara nyaring angin kejepit terdengar, disusul bau tajam campuran antara jengkol dan duren busuk. Kontan orang-orang yang ada di dalam bentengan marah-marah dan menyumpah-nyumpah. ”Kepret! Lu kentut ya?” ”Dikit…,” si empunya kentut membela diri. ”Gila!” 38

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kentut lu kagak beda dari bomnya Jepang! Geblek!” Omel mereka sambil menutup hidungnya. Juned mengipas-ipas udara di sekitarnya, berusaha membuat bau kentut itu raib. Tapi tentu saja tak semudah itu. Bentengan sempit, kecil dan tertutup pula, udara berputar di situ-situ saja. Juned tiba-tiba merasa mual, ia menahan mulutnya. ”Aye mau keluar. Kagak tahan mau muntah!” kata Juned sambil menutup hidungnya. Sedang yang lain lebih suka menahan bau kentut daripada mati dibom Jepang. Tak enak pula menghirup udara tak merdeka, meskipun tak bau kentut. Baru satu kali menghirup udara bersih, suara bom jatuh terdengar keras minta ampun. Juned langsung merunduk, dia berusaha mencari Jiung. Lelaki itu sedang keliling sambil komat-kamit menyanyikan tembang, yang sebagian berbahasa Sunda dan sebagian lagi ada doa-doa bahasa Arab dari Quran. Dengan peluru yang masih muntah dari pesawat-pesawat Jepang, Juned tak punya pilihan lain kecuali bersembunyi di tempat yang dia anggap aman di sekitar bentengan. Sementara ia terus melihat Jiung keliling sambil nembang. Nah, inilah poin penting dalam kehidupan Juned. Konon, hanya Juned yang tahu dengan jelas apa yang Jiung lakukan ketika keliling membuat pagar gaib. Konon pula, hanya Juned yang tahu secara lengkap keseluruhan tembang yang dilagukan Jiung berulang-ulang. Jiung tak menurunkan ilmu ini kepada anak maupun muridnya yang lumayan banyak. Ya, hanya Juned yang tahu. Beberapa minggu setelah kejadian kentut di bentengan itu, baru situasi kembali sepi. Tetapi bukan berarti aman. Juned memutuskan untuk pergi ke peternakan sapi. Sekali lagi, kali ini 39

http://facebook.com/indonesiapustaka

sapi yang tinggal tujuhbelas ekor ia bersihkan, ia beri makan dan ia perah susunya. Kali ini sapi-sapi itu tidak banyak menghasilkan susu. Tentu saja, Juned bisa mengerti itu. Manusia saja depresi dengan keadaan yang tak tenang akhir-akhir ini, apalagi binatang pasti bisa merasakannya. Juned memutuskan untuk mencari rumah Tuan Henk yang katanya bersembunyi di daerah Karet. Dia bertanya ke sana-sini dengan tentara Jepang seliweran. Entah kenapa, yang terpikir saat itu adalah suara Jiung melagukan tembang yang dia dengar beberapa tempo lalu. Tak sadar, itulah yang Juned lagukan selama di perjalanan menuju Karet mencari tempat tinggal Tuan Henk. Aneh, karena tentara-tentara Jepang itu seperti tak melihatnya lewat. Ia bisa berkeliling dengan bebas, padahal orang-orang yang lewat dihentikan jika ketahuan tentara Jepang yang kebetulan ada di sekitar. Dengan gemetar ia melewati tentara-tentara Jepang sambil terus melagukan tembang Jiung. Memang dasar, orang niat baik selalu ditolong Yang Kuasa. Ini betul-betul dipercaya Juned. Entah bagaimana, ia akhirnya bisa menemukan tempat tinggal Tuan Henk. Lelaki berambut jagung itu menyambutnya dengan gembira, apalagi Juned membawa berbotol-botol susu perah. Ada sekitar tujuh orang aseli Indonesia ikut sembunyi di situ, mereka adalah para pembantu yang bekerja di rumah Tuan Henk yang lama. Semua ikut sembunyi di situ, mengungsi demi keamanan. Tidak seperti tempo lalu, orang Belanda bisa berjemur sore-sore sambil ngeteh di beranda depan. Sekarang lain keadaannya. Semua lebih suka berada di dalam rumah. ”Tuan… sapi Tuan tinggal tujubelas biji. Diambil orang Jepang,” lapor Juned. Ia juga melapor tak ada pegawai yang berani ke peternakan untuk mengurus sapi. Tuan Henk mena40

http://facebook.com/indonesiapustaka

rik napas panjang, ia lalu menepuk punggung Juned. Katanya, sudah untung ia dan keluarganya bisa bebas dari cengkraman orang-orang Jepang yang waktu itu datang ke rumahnya dan merampok. Tuan Henk dan keluarganya akan kembali ke Belanda, mengikuti kerabat yang sudah terlebih dahulu memutuskan pergi. Tinggal tunggu saja waktu yang aman, jika situasi memungkinkan, ia akan segera angkat kaki dari Indonesia. Sedang asyik-asyik Tuan Henk mendengar laporan situasi di luar, tiba-tiba terdengar suara berondongan peluru. Suara pesawat, mobil-mobil meraung-raung, sekelompok tentara Jepang keluar dari mobil itu. Semua yang tadinya mengerumun mendengarkan Juned, tiba-tiba langsung merunduk ketakutan. ”Mereka akan ambil barang-barang, dan perempuan-perempuan,” kata Tuan Henk ketakutan. ”Udah, Tuan di sini aje. Aye bilangin, di sini kagak ada orang,” ujar Juned. Ia keluar rumah. Tuan Henk hendak menahannya, tetapi telat. Juned langsung ngeloyor ke luar rumah. Di antara derap suara sepatu-sepatu tentara Jepang dan bahasa Jepang yang tegas dan kasar, suara tembakan-tembakan yang muncul sekalisekali, juga suara teriakan para perempuan, tiba-tiba terdengar suara Juned menembang. Bernyanyi berulang-ulang di depan rumah sambil keliling. Seorang jongos mengintip dari balik Jendela. Ia meihat Juned sedang keliling sambil nembang bahasa Sunda bercampur Arab dari sebuah surat di Quran. Di depan Juned, tentara-tentara Jepang bersliweran. Jongos itu cepatcepat menunduk lagi, ketakutan demi melihat tentara Jepang. Sekaligus ia heran, kenapa tentara-tentara itu tak melihat Juned yang seliweran dengan tenang di depan rumah. Keadaan itu berlanjut selama tiga jam ke depan, hingga hari menjelang magrib dan tentara-tentara Jepang itu pergi menyisakan sesak 41

http://facebook.com/indonesiapustaka

dan ketakutan. Juned masuk ke rumah lagi begitu yakin tak ada seorang tentara Jepang pun di sekitar situ. Seisi rumah langsung mendekati Juned dan merunduk-runduk berterimakasih pada Juned. Tak terkecuali Tuan Henk, lalu katanya, ”kowe di sini saja.” ”Kagak bisa Tuan, saye harus balik ke Kebayoran, bini aye di sana.” ”Kowe sekarang punya bini?” ”Iya Tuan, saya kawin ama Ipah, babu Tuan. Sekarang dia lagi bunting muda.” ”Ya ya… saya ingat Ipah,” tuan rambut jagung menganggukangguk, ”ajak Ipah tinggal di sini,” sambungnya. Malam itu Juned pulang. Sepanjang jalan masih penuh dengan pepohonan, termasuk pohon asem yang tinggi-tinggi, yang katanya jadi tempat tinggal kuntilanak. Ini menambah cekam keadaan saat itu. Besoknya Juned mengajak Ipah tinggal di rumah Tuan Henk. Ia punya pekerjaan baru; tukang bikin pagar gaib. Ini semua berkat ’tembang Jiung’, demikian Juned menyebutnya sebab ia tak tahu apa judul tembang itu sebetulnya. Di sinilah kemudian Juned dipanggil ’Bung Juned’. Mula-mula oleh para babu dan jongos, lalu oleh masyarakan setempat, dan akhirnya Tuan Henk dan keluarganya sendiri memanggil Juned sebagai ’Bung Juned’. Sebutan ’bung’ diperuntukkan bagi Juned atas keberaniannya maju ke depan memimpin mereka yang tertindas, seperti Bung Karno. Siaran Radio Republik Indonesia bilang; ada tempat di Jepang bernama Hiroshima dan Nagasaki dibom Amerika. Ini berita yang menggembirakan, dan ada berita yang lebih menggembirakan lagi, tentara Jepang ditarik mundur dari Indonesia. Bung Juned 42

http://facebook.com/indonesiapustaka

dan penghuni rumah keluarga Henk di Karet jingkrak-jingkrak. Termasuk Tuan Henk yang akhirnya bisa mewujudkan citacitanya; pulang ke Belanda. Ketika Tuan Henk balik ke Belanda, semua rumah dan tanahnya di Karet dan benda-benda milik keluarga Tuan Henk, termasuk sapi-sapinya yang tinggal enam ekor diberikan pada Juned. Sementara rumah dan peternakan milik Tuan Henk di Kebayoran dijual murah kepada seorang Belanda yang masih bertahan di Indonesia. Uang hasil jualannya akan ia gunakan sebagai modal usaha di Belanda. ”Kalau kowe tidak ada, ik sudah mati, berarti ik tidak bisa lihat tanah air ik lagi,” ujar Tuan Henk ketika menyerahkan tanahnya kepada Juned. Semua pemberian Tuan Henk sebagai tanda terimakasihnya pada Juned. ”Pegimana kalo Tuan balik ke mari? Mau tinggal di mane?” ”Ik tidak akan balik ke Indonesia, Bung Juned.” Secara literal Tuan Henk sudah menyatakan diri meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Ada satu berita lagi yang menggembirakan; tepat ketika Jaelani, putra pertama Juned berusia dua tahun, Bung Karno mengumandangkan proklamasi. Indonesia merdeka. Di rumah itulah Juned memulai hidup baru, hidup yang layak bersama Ipah. Mereka membangun keluarga baru dengan tiga anak yang lahir dari Ipah. Di rumah itu pula beberapa tahun kemudian Bung Juned mengaku merasakan jatuh cinta dan akhirnya kawin lagi. Ipah, perempuan yang pada dasarnya bodoh dan penurut, memberi ijin. Perempuan kedua Bung Juned adalah gadis dari Serang bernama Riyah. Sejak itu, Bung Juned kerap bolak-balik Jakarta-Serang untuk membagi cintanya kepada kedua istrinya. Hingga Bung Juned meninggal, hanya satu keinginannya 43

yang belum terpenuhi; naik haji seperti Haji Ung, gurunya. Ia kerap berkata pada anaknya, kalau ia tak bisa naik haji, maka anak harus ada yang naik haji. Hingga ia meninggal pula, tembang Jiung yang menyelamatkan nyawanya dari Jepang tak pernah betul-betul diajarkan pada murid maupun anak-anaknya. Tembang itu ikut terkubur bersama matinya Bung Juned. Nah, sekarang tolong jelaskan; di sepanjang cerita tempo dulu itu, bagian manakah yang menceritakan ada darah seni pada asal hidup Jarkasi? Tak ada sama sekali. Tidak seperti Jaelani, Jakarsi tidak suka berlatih pencak silat. Padahal, semasa mereka kecil, Bung Juned sempat juga melatih silat untuk anak-anak di daerah Karet. Meskipun Jarkasi sempat ikut perguruan itu, toh dia mengikutinya bukan karena memang suka. Ia ikut karena ayahnya adalah gurunya. Ketika Juned sudah cukup besar untuk bisa mungkir, maka itulah yang ia lakukan. Semakin hari ia semakin pintar bikin alasan untuk tidak ikut latihan pencak silat. Hingga lama kelamaan ia sama sekali tak ikut pencak silat. Jadi tak berlebihan sekiranya Jarkasi diibaratkan jambu yang jatuh dari pohonnya dan menggelinding jauh mendekati pohon mangga.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Beda kisah Bung Juned dengan anaknya Jarkasi, maka beda pula kisah Jarkasi dan anaknya, Edah. Edah justru seperti jambu yang jatuh dari pohonnya, berdiam di bawah pohon jambu induknya lalu seiring waktu ia melesak ke dalam tanah dan dengan bijinya tumbuh sebagai pohon jambu, persis asalnya. Meskipun suaminya seorang seniman gambang kromong, 44

http://facebook.com/indonesiapustaka

Enden tidak suka jika anaknya juga menjadi seniman. Enden tak keberatan hidup dari musik gambang kromong, tetapi bukan berarti pula ia menginginkan hal yang sama untuk anaknya. Enden pun sudah mengutarakan hal ini pada suaminya, Jarkasi. Tapi jika si anak maunya begitu, mau bagaimana lagi? Baru saja Jarkasi menaruh pantatnya di kursi, belum juga diteguk air teh yang disuguhkan istrinya, Enden sudah mengomel soal anak perempuan mereka yang sebiji mete jambu bol suka menari. Jarkasi hanya berdehem. ”Abang ngomong kek ama si Edah… kagak usah ikut-ikutan nari.” Jarkasi kembali berdehem, sudah setengah jam Enden laporan padanya soal Edah yang diam-diam ikut ekstrakurikuler menari di sekolahnya. ”Emang ngapa sih, namanya anak prawan… demen nari kan gak sirik,” ujarnya dengan suara tenang. ”Abang gak ngerti perasaan aye. Tau gak sih Bang, orangorang yang nari itu sering ditoel-toel orang. Aye gak rela anak aye atu-atunye dicolak-colek orang, dikira perempuan begituan.” ”Begituan apaan?” ”Aaah… Abang pura-pura bego! Begituan ya begituan!” Enden menekuk wajahnya dua puluh tujuh kali. ”Elu, laki balik bukannya dipijit, malah nyap-nyapan,” akhirnya Jarkasi berkomentar. Enden mendelik sebal. Jarkasi sendiri sampai saat ini, selain mengurus lima buah rumah petak yang dikontrakan, juga tak pernah absen mengurus kelompok gambang kromong meskipun nyaris tak ada lagi orang yang menanggap kesenian tradisional itu. Sejak belum punya punya anak, bahkan sebelum ia punya pacaran dengan Enden, bakal istrinya, Jarkasi sudah lebih dahulu bergabung 45

http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan kelompok gambang kromong Setia Warga pimpinan haji Bokir di Kampung Dukuh, Pondok Gede. Di situlah ia berguru pertama kali. Ia sebetulnya tak heran jika Sarida, anaknya yang lebih sering dipanggil Edah punya kesukaan menari. Anak itu sejak kecil sering mengikuti ayahnya saat latihan gambang kromong di Kampung Dukuh. Otomatis ia kerap memperhatikan sekelompok perempuan latihan menari jaipong, topeng. Jarkasi bergabung dengan kelompok gambang kromong ketika ia berusia 15 tahun. Waktu itu, setelah melihat upacara dan mendengarkan Bung Karno pidato, ia dan kakaknya mengayuh sepeda hingga Lapangan banteng dan menonton sekelompok pemusik tanjidor ngamen di sana. Petugas CMP tiba-tiba datang dan mengejar para pengamen itu. Itulah pertama kali perkenalannya dengan Pei, seorang pemain tambur tanjidor yang paling muda. Ia bersembunyi, ketiga tiga orang teman-temannya tertangkap. Jarkasi menemukan Pei kebingungan, dan akhirnya mengantarnya kembali ke Kampung Dukuh, tempat tinggal Pei. Pei yang mengajaknya keliling kampung Dukuh, mengenalkanya pada Haji Bokir. Ketika kelopok gambang kromong itu latihan, Jarkasi jatuh cinta pada orkes yang merupakan paduan antara gamelan, musik barat dengan corak Cina ini. Di situlah ia akhirnya bergabung dengan kelompok gambang kromong Setia Warga pimpinan Haji Bokir. Jarkasi berlatih memainkan semua alat musik. Mulai dari gambang kayu, kromong, rebab Cina yang berjumlah empat buah dengan ukuran yang berbeda-beda, alat musik petik Sam Hian, bangsing bambu, cengceng dan ningnong. Suatu hari ketika mereka sedang berlatih lenong, dan Jarkasi mengajak Edah, tiba-tiba muncul satu ide; menambahkan satu tokoh tambahan dalam lenong. Tokoh anak kecil perempuan. Edah mau saja di46

http://facebook.com/indonesiapustaka

suruh jadi pemain lenong. Ia menikmati perannya sebagai anak bawang. Ketika pulang, Jarkasi bercerita pada istrinya sambil tertawa-tawa, bahwa Edah tadi ikut latihan lenong sementara ia dan kelompoknya mengiringi dengan gambang kromong. Respon Enden sangat bertolak belakang dengan yang awalnya diduga Jarkasi. Enden langsung marah, dan memaksa Jarkasi bersumpah untuk tidak membiarkan Edah jadi pemain lenong. Maka peran buat Edah pun akhirnya dicoret. Edah memang tak main lenong, tapi diam-diam ia latihan menari. Mirip kelakuan ayahnya sewaktu kecil mangkir dari ikut latihan pencak silat, maka Edah pun punya segudang alasan untuk pulang sekolah terlambat karena ikut ekstrakurikuler menari. Jarkasi menyeruput tehnya. ”Eh Bang, terus pegimane hasilnye? Bang Jaelani mau kagak?” tanya istrinya yang baru tersadar sejak tadi belum menanyakan hasil usaha perjodohan abang iparnya dengan tetangga mereka, perawan bernama Bati’ah. ”Apanya?” ”Ya jodohannya, emang apa lagi?” ”Udah… gue udah anterin Bati’ah ke tempatnya Jelani,” jawab Jarkasi. ”Terus?” ”Udah kenalan,” jawab Jarkasi lagi, sambil kipas-kipas dengan pecinya. ”Terus?” Enden masih penasaran. ”Terus-terus…, emang kang parkir!” ”Aaah, abang…. Aye kan pengen tau. Bang Jaelani demen kagak?” Enden mendesak suaminya dengan gaya khas ibu-ibu yang doyan gosip. 47

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kagak tau deh. Susah banget! Yang itu gak demen, yang ini gak demen. Gue gak ngarti deh selera abang gue itu!” Jarkasi lalu menarik napas panjang. ”Bang Lani lagian melototin Bati’ah aje,” sambung Jarkasi, suaranya datar. ”Wah!” Enden tiba-tiba girang, ”melototin berarti demen dong Bang?” sambungnya. ”Ya belom tentu, orang dienya diem aja. Gue yang nyerocos nerangin. Padahal si Bati’ah udah bikinin kupi segale. Kurang apa sih Bati’ah? Perawan iye, keibuan iye. Rambutnye panjang, mane ade tai laletnye lagi! Ck ck ck….” Jarkasi geleng-geleng kepala berkomentar sendiri sambil mengingat-ingat Bati’ah, lalu mengangkat cangkirnya. ”Auk!” tiba-tiba kata Enden dengan kesal. Wajahnya ditekuk dan ia segera membuang muka. Jarkasi menyeruput minumannya sambil melirik pada istrinya. ”Eh, ngape lagi lu?” tanya Jakrasi bego. Enden memilin-milin kain bajunya dengan sebal, seolaholah ia bisa melihat wajah Bati’ah terbayang-bayang di kepala di suaminya. ”Ah, Abang! Pake tanya segala!” mulutnya monyongmonyong. Jarkasi mengamati gelagat istrinya, akhirnya dia bisa menangkap sinyal-sinyal yang dikeluarkan istrinya. ”Yaelaaaaah… lu cemburu?!” Jarkasi tertawa, hampir-hampir air tehnya muncrat. ”Lu cemburu ama Bati’ah?” tanyanya lagi. Enden tak menjawab, bibirnya masih monyong. Dia menghentakan kakinya, lantas berlalu dari ruangan itu dengan kesal. Jarkasi masih tertawa melihat kelakuan istrinya. Dia tahu, kalau sudah begini dia harus menghampiri istrinya untuk merayu. Perempuan kalau berlalu, justru inginnya dikejar. Ya, mirip-mirip ayam mau kawinlah; yang jantan harus mengejar-ngejar betinanya dulu. ”Den…, jangan ngambek aje ngapa!” Jarkasi menahan le48

http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan istrinya yang belum jauh berjalan. Enden melengos, melepaskan tangan suaminya yang menahan lengannya. Ia berlagak tak ingin disentuh. ”Lagian Abang apaan sih… bayang-bayangin si Bati’ah kayak gitu. Rambut panjang lah! Tai lalet lah! Aye juga punya tai lalet, nih!” Enden menarik lengan panjang bajunya, ada kulit berwarna kehitaman selebar koin lima perakan di dekat siku kanannya. Bulu-bulu halus tumbuh di situ. ”Yah… itu mah tompel namanya!” Jarkasi berkomentar. ”Tuh… kan, Abang emang suka ama Bati’ah ye? Apa Abang aje yang kawin ame die? Mentang-mentang aye kagak punye tai lalet. Sono! Sono! Terus-terusin aje! Pulangin aye ke rumah orang tua aye! Pulangin!” Enden makin merajuk. Jarkasi malah tertawa, lalu dicubitnya pipi istrinya dengan gemas. Enden menampik tangan Jarkasi dari pipinya, dia masih kesal. ”Kagak! Sumpah… gue kagak pengen kawin lagi.” Jari telunjuk dan jari tengah Jarkasi diangkatnya, agar sumpahnya meyakinkan. ”Sumpah, sumpah… demi apaan?” tanya Enden dengan galak. ”Sumpah pocong dah!” ”Iiih… entah lu didatengin pocong, sukurin!” ”Ah, elu… bikin gue gemes aje! Hiiiiih!” Jaelani kembali mencubit pipi Enden. ”Jadi laki tuh kayak Bang Lani! Udah ditinggal mati bininya juga masih aje setia. Disodorin perempuan kanan kiri juga tetep aje kagak ngelirik. Itu baru namenye cinta betulan!” komentar Enden, ngambeknya sudah mereda. ”Eh, elu demen ame abang gue ye?!” kini gantian Jarkasi yang jatuh curiga. 49

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Masyaallah Bang, Bang… enak aje lu ngomong! Mau lu terus-terusin, biar kite kelahi aje?!” Enden nyemprot, dia berkacak pinggang memasang tampang galak. Jarkasi tersenyum, mengelus lengan istrinya. ”Kagak… kagak… iye gue tau lu setia. Udah ah, capek gue cekcok mulu!” Jakasi mencoba meredakan istrinya. Akhirnya Enden menarik napas panjang, amarahnya sudah reda. Jarkasi celingukan, ”Edah mane?” ”Nah… entu yang dari tadi aye bilang, Edah pergi. Gue udah tau deh, tuh anak pergi ke sekolahannya, pasti nari lagi! Pasti! Biar kate dia kagak ngaku, aye tau. Aye berasa, aye kan emaknye. Mana si Enoh sekarang ikut-ikutan juga.” Sebegitu mudahnya pikiran Enden teralihkan, dia sama sekali tak ngambek ataupun marah lagi pada suaminya. Kini dia khawatir pada anak mereka. ”Enoh tadi di sini?” ”Iye, entu seragam sekolahnya masih di sini. Tadi die pake bajunya Edah.” Sepasang seragam sekolah putih merah sudah terlipat rapi. Enden menyempatkan diri untuk menyeterikanya tadi sesaat setelah anak dan keponakannya pergi. ”Ck…,” Jarkasi berdecak, ”kesianan tuh anak. Kagak punya ibu.” Jarkasi menerawang lalu menarik napas panjang. ”… iye,” Enden berkata lemas, lalu sambungnya, ”Bang…, cepet-cepet deh ngomong ama Bang Lani biar punya bini lagi, kesian anaknye!” ”Iye, itu juga rencana gue. Abis ini gue mau ke rumah Bang Jaelani lagi.” Jarkasi mengaso sejenak.

50

3

ulan malam ini warnanya biru. Mirip warna laut yang paling dalam. Biru gelap. Juleha memandang bulan itu dari balik jendela kamarnya. Ada tempat tidur yang kosong dan rapi. Malam ini Jiih tidak tidur dengannya, mulai hari ini juga kewajibannya bertambah satu lagi; membagi suaminya. Juleha tidak tahu harus menangis atau teriak, atau malah tertawa. Yang pasti, ia punya alasan untuk itu semua. Juleha sebetulnya memilih ingin tertawa, untuk menertawakan hidup. Tapi bibirnya tak mau menyungging sedikit pun, apalagi memperlihatkan gigi-geliginya. Kalau teriak, ia tak mau didengar tetangga. Pasti besok pagi ibu-ibu tetangga akan menggunjinginya di belakang; istri pertama depresi. Ia juga tak mau menangis. Air mata ditahannya sekuat tenaga, ia bahkan menengadahkan kepalanya. Menahan agar air matanya tak jatuh. Berhasil. Ia tak menangis. Kalau ia sampai menangis, dia tahu dirinya rapuh. Dan ia tak ingin jadi rapuh. Juleha memutuskan untuk duduk di pinggir jendela dan memandang bulan yang malam ini warna biru. Ia tak ingin merusak kasur yang rapi. Tidak tanpa suaminya, sebab kemarin-kemarin dengan suaminyalah ia biasa memberantakkan kasur itu. Pernah pula hingga spreinya membulat di tengah kasur, dan selimut

http://facebook.com/indonesiapustaka

B

51

http://facebook.com/indonesiapustaka

terpental ke lantai sementara ia dan suaminya telanjang bulat. Waktu itu, yang ada hanya malam-malam panas yang tiga tahun terakhir ini tak pernah dirasakannya lagi. Juleha bisa melihat dengan jelas pagi ini, wajah suaminya dan perempuan keduanya yang berbinar-binar ketika mengucap ijab kabul. Sementara dia diam di belakang. Juleha meremas kain kebayanya. Ketika ia menikahi Jiih, suaminya, ia tak pernah menyangka hidupnya akan mirip dengan kehidupan ibunya dulu. Hanya saja, ibunya punya nasib yang lebih baik. Ada tiga anak yang tak segan-segan merepotkannya, memberinya pekerjaan untuk membunuh waktu saat menunggu suaminya tak pulangpulang dari berkunjung ke rumah istri keduanya. Bahkan tak jarang anak-anaknya membuat ia tersenyum. Ini adalah alasan yang cukup untuk membuatnya bertahan. Tapi dirinya? Juleha tak punya alasan yang cukup untuk terus bertahan, sementara satu-satunya orang yang ia pikir akan menghabiskan sisa hidup dengan dirinya seorang, kini harus ia bagi pula. Ini tak seperti membagi bolu, yang bisa dipotong-potong dan dinikmati bersama. Juleha ingat betul, perubahan demi perubahan yang ada pada suaminya, Jiih. Waktu itu Jiih akan naik haji. Masa’ kah Juleha akan tak setuju jika suaminya hendak naik Haji, pergi ke tanah suci. Bukanlah itu impian setiap umat Islam? Bukankah itu Rukun Islam yang kelima? Yang mengikuti syahadat, salat, puasa dan zakat, hingga puncaknya untuk berhaji jika mampu. Suaminya, Jiih, jelas sudah mampu secara inansial. Juleha mengingat-ingat kembali prasyarat melakukan haji lainnya yang didapatnya dari guru mengaji dulu; jelas-jelas orang yang ditinggal berhaji tetap bisa makan, tak ada kesulitan inansial atau kesulitan suatu apa pun. Orang yang berangkat haji pun 52

http://facebook.com/indonesiapustaka

sehat wal aiat. Tak ada pula perang baik di negara yang ditinggal, negara yang dituju, maupun di perjalanan. Semuanya baik-baik saja. Tetapi kenapa, batin kecilnya tak menginginkan suaminya pergi menunaikan haji. Apa karena Juleha tak diajak? Perempuan yang belum juga dikaruniai anak itu bertanya-tanya pada dirinya, apa yang salah sehingga ia tak menginginkan suaminya pergi haji kendati ia tak berani melarangnya. Bukan, bukan karena ia tak diajak. Itu kan karena memang mereka baru mampu untuk memberangkatkan haji satu orang. Dan orang itu, tentu saja, suaminya yang patut untuk berangkat. Lelaki itu telah mencari uang dengan keras dan menafkahi keluarga mereka. Lagipula, Juleha sejujurnya tak terlalu ingin pergi naik haji dan menjadi Hajjah. Entah kenapa. Suaminya yang sudah menabung ONH, ongkos naik haji, dengan girang pulang dan bilang pada Juleha, bahwa ia bisa naik haji tahun ini. Lelaki itu lekas-lekas sujud syukur berulangulang. Lalu tiba-tiba, ”duh… gue pengen beol!” dan melesat ke kamar mandi. Juleha tersenyum kulum, membiarkan lelakinya pergi ke kamar kecil untuk buang hajat. Ini adalah kebiasaan suaminya jika ia merasa euforia terhadap sesuatu. Kebiasaan ini pertama Juleha ketahui saat malam pertama mereka sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, ketika mereka halal satu sama lain untuk pertama kalinya, Jiih mendadak mules dan ingin ke belakang. Rumah yang masih penuh tamu pun heboh karena Jiih, si pengantin, keluar kamar dan bergegas ke pembuangan hajat yang letaknya di belakang. Juleha yang belum diapa-apakan tetapi sudah separuh baju pengantinnya terbuka, mendadak dikerumuni ibu-ibu tetangga yang masih kumpul di rumah pengantin. Mereka segera menghujamnya dengan pertanyaan-pertanyaan; 53

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Gimana… enak kagak?” ”Udah diapain aja?” ”Kok cepet banget?” tanya salah seorang dari mereka dengan curiga. ”Eh, justru bagus… kalo cepet itu memang buktinya dia masih perjaka! Kalo tahan lama sih, berarti sering latihan. Baru musti curiga!” sangkal seorang ibu lainnya. Juleha, yang wajahnya semerah kulit rambutan karena malu, berkata sambil menunduk, ”ehm… belom. Itu, Bang Jiih mau ke belakang dulu. Kebelet.” Spontan ibu-ibu yang mengelilingi tertawa. Mereka sepakat menyimpulkan bahwa Jiih masih perjaka yang gugup menghadapi malam pertama. Para perempuan yang sudah berpengalaman di tempat tidur itu pun cekikikan. Lalu mereka mulai menjadi konsultan seks dadakan yang saling bersahut-sahutan; ”Elo jangan kampungan, coba gaya macem-macem, ya!” ”Iya, pasang kuda-kuda, samping, belakang, depan…, sikat semua!” ”Emang silat?!” sahut seorang ibu bertubuh tambun. ”Eh…, emang hampir sama ama silat! Emang lakinya situ kagak kayak gitu?!” yang dicolot seperti itu membuang muka dengan sebal. Lakinya memang lebih suka gaya konvensional. ”Gaya 69!” sahut si ibu yang tadi menyuruh Juleha untuk pasang kuda-kuda. ”… enam sembilan?” Juleha melongo bego. ”Iya, kalo perlu jangan cuma gaya 69 doang. Gaya 152, gaya 48, gaya 321 juga!” sahut ibu konvensional dengan sok tahu. ”Gaya apaan, tuh?!” si ibu kuda-kuda protes. ”Nah, lo kagak tahu kan!” sahut ibu konvensional bangga. Tiba-tiba Jiih sudah di depan pintu, mendapati istrinya 54

http://facebook.com/indonesiapustaka

dikerubuti ibu-ibu tetangga. Dia berdehem, ”rame nih, mau arisan ya?” Ibu-ibu yang melihat Jiih langsung permisi sambil cekikikan keluar kamar. Sementara Jiih yang tadinya perutnya masih sedikit mules tiba-tiba lupa akan rasa itu. Ketika Jiih menutup pintu, dari luar terdengar cekikikan ibu-ibu lebih keras lagi. Juleha dan Jiih memasang telinga mereka, hingga tawa itu habis dan yang terdengar gambang kromong yang akan dimainkan semalaman. Malam itu masih ramai, kendati acara inti sudah selesai pagi hari. Tapi maklum, namanya saja perkawinan. Orang tua Juleha, dengan alasan mumpung ada uang, ingin mengadakan pernikahan yang meriah di rumah. Juleha anak terakhir, perempuan pula, kedua orang tuanya, Bung Juned dan Ipah yang sadar tidak bisa mengadakan tiga hari tiga malam, sudah berniat ingin merayakan sehari semalam. Juleha, seperti perawan-perawan Betawi lainnya, menginginkan lelaki yang saleh. Pintar mengaji, rajin sembahyang. Itu saja prasyaratnya. Jaman ia cari suami, ia tak berpikir harus setinggi apa pendidikan calon suaminya dan harus seberapa banyak penghasilan suaminya per bulan. Baginya, jika agama sudah dipegang, maka semua akan berjalan dengan mudah. Seperti itu yang dicari, seperti itu pula yang didapat. Hatinya tertambat pada Jiih, pemuda yang biasa mengumandangkan adzan di masjid dengan suaranya yang lantang dan merdu mengundang tiap umat untuk datang ke masjid. Juleha ke masjid tak hanya untuk bertandang dengan Allah, lebih dari itu untuk melihat si empunya suara merdu yang mengumandangkan adzan. Cinta Juleha tak lama-lama. Gayungnya cepat sambut. Jiih jatuh cinta pada perempuan saleh yang tak absen magriban di masjid. Suatu sore setelah selesai magriban, Juleha sengaja 55

http://facebook.com/indonesiapustaka

berlama-lama berdoa dan melipat mukenanya. Diam-diam dia curi pandang pada pemuda yang sedang membenahi alat sembahyang yang selesai dipakai ummat. Pemuda itu juga diamdiam curi-curi pandang. Ketika Juleha selesai melipat mukena, ketika itu pula ia melirik, bersamaan dengan pandangan pemuda masjid itu melirik. Mereka bertemu pandang. Juleha deg-degan dan malu-malu merpati. Ia langsung menundukkan kepalanya dan berlalu dari masjid itu cepat-cepat. Juleha cepat-cepat mengenakan sandal jepitnya dan berjalan keluar pagar masjid. Juleha mempercepat langkahnya, ketika ia sadar ada seseorang yang mengikutinya di belakang. ”Neng…! Neng…!” panggil suara itu. Mengetahui yang memanggil-manggil adalah suara laki-laki, sementara dia perempuan sendiri di malam hari, tentu saja membuat Juleha ketakutan. Ia mengekap mukenanya rapat-rapat ke dada, dan mempercepat langkahnya. ”Neng! Tunggu…, sendal!” Juleha semakin mempercepat langkahnya, dan bruk! Ia terjerembab, mengaduh kecil sambil berusaha berdiri tetapi suaranya keseleo. ”Neng….” ujar suara yang kini betul-betul di belakang Juleha. ”Jangan!” teriak Juleha. ”Eh, maaf… maaf…., sendal, Neng!” kata suara itu lagi, masih di belakang Juleha yang belum berhasil berdiri karena dirasakannya kakinya sakit. ”Apa lo, aye bukan sundel!” teriak Juleha sambil berbalik dan melempar mukenanya. Mukena itu jatuh ke tanah. Sementara yang dilempar mukena berhasil menampik. ”Astagirullah…!” ujar pemuda itu ketika tahu yang ditam56

http://facebook.com/indonesiapustaka

piknya adalah mukena, jatuh ke tanah. Kain putih itu jadi kotor. Betapa terkejutnya Juleha ketika ia melihat si empunya suara itu adalah orang yang kerap menyuarakan adzan dan tadi liriklirikan dengannya. Sedetik kemudian ia melupakan pikiran itu, sebab ia merasa lega yang memanggil-manggilnya bukan orang jahat. ”Neng, mukena jangan dilempar.” Juleha masih terdiam, takjub tak tahu harus berbuat apa. ”Neng… sendal,” sambung pemuda itu lagi. ”Gue bukan sundel!” teriak Juleha panik. ”Yee…, sendal! Bukan sundel! Sendal! Tuh, sendal yang Eneng pakai kiri semua.” Juleha melihat sandalnya, yang dipakai kiri semua. Tak heran dia tersandung. Kini dirasakan wajahnya sehangat kue cucur baru keluar penggorengan. Ia malu bukan kepalang. Untung gelap, kalau tidak lelaki pujaan hatinya itu pasti bisa melihat wajahnya berubah warna serupa gula merah yang bercampur dalam kue cucur. Ia pasti tadi sangat gugup sebab tak sengaja bertemu pandang dengan pemuda itu, hingga ia terburu-buru pakai sandal kiri semua. ”Itu sandal saya,” sambung pemuda itu lagi, ”yang kiri…. Ini punya Eneng yang kanan saya bawain.” Ia melepas sandalnya, dan menukar dengan sandal kiri yang dipakai Juleha. Sandal jepit karet warna putih dengan karet jepit warna hijau. Sandal dengan model sama dengan milih Juleha, tak heran Juleha tertukar saat memakainya. Hanya berbeda satu nomor lebih besar. Tak lama setelah tukaran sandal, keduanya saling memperkenalkan diri. Dengan malu-malu, tentu saja. Dan karena Juleha masih berjalan terseok-seok, Jiih membantu menuntunnya sam57

http://facebook.com/indonesiapustaka

pai rumah. Ketika di ujung pagar, Juleha berterimakasih dan meminta agar Jiih tidak mengantarnya sampai pintu rumah, sebab ayahnya pasti marah jika tahu ia jalan bersama laki-laki bukan muhrim. Namun begitu, tak lupa Juleha memberikan senyum manis yang mengingatkan Jiih akan manisnya kue cucur. Dua hari Juleha tak datang magriban di masjid karena masih keseleo. Tiba-tiba hari ketiga, selesai waktu magrib, seorang tamu mengetuk pintu rumah Juleha. Ibunya membukakan pintu, seorang pemuda tepat di depan pintu berkata sopan, ”Salam mualaikum.” ”Alaikum salam, cari siape ye?” ”Ehm… Julehanya ada Bu?” ”Situ siapa?” ”Jiih, Bu. Saya mau tahu, apa Juleha sudah sehat?” ”Sehat? Juleha baik-baik aja, kagak impluenza.” ”Bukan, Bu… maksud saya, apa kakinya masih keseleo? Sebabnya, waktu dia keseleo kemarin saya yang bantu,” Jiih menjelaskan. ”Oooo…, elu yang bantuin Leha. Masuk deh!” ibunda Juleha spontan jadi ramah, ”Leha….! Nih, ada yang cari!” teriak ibunya. ”Siapa Mak?” tanya suara dari dalam. ”Siapa nama lu tadi?” tanya ibunya Juleha kepada Jiih, tanpa menunggu jawaban si ibu berteriak lagi kepada Juleha yang masih di dalam rumah, ”ini, katanya yang bantuin elo waktu keseleo kemaren!” Juleha langsung kaget bukan kepalang. Ia panik sendirian, ibarat lupa meninggalkan nasi di dandang hingga gosong. Ia lalu menarik napas. Didengarnya ibunya teriak lagi memanggil namanya. 58

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Iya Mak…, sebentar,” jawab Juleha dengan suara keras. Ia mengambil sisir dan menyisir rambutnya, berkaca sejenak. Lalu dengan cepat agak membuat rambutnya sedikit acak-acakan, karena tadi ia bersisir terlalu rapi. Ia tak ingin orangtua maupun si tamu laki-laki tahu kalau ia sengaja bersolek. Lalu ia mengambil selembar selampe, dan mengusap wajahnya agar tidak terlalu mengilap. Mencubit-cubit pipinya agar kelihatan sedikit merona. Ia menarik napas satu kali lagi, lalu keluar kamar. Dilihatnya pemuda itu berdiri dari dudukannya ketika melihat Juleha keluar. ”Udah sehat, Neng?” ”Udah rada baikan…,” jawab Juleha. Suaranya sengaja ditahan agar tak terdengar melengking. Sejak itu, orang tuanya tahu kalau setiap selesai magriban di masjid, pasti Jiih mengantarkan Juleha pulang. Dan seperti layaknya laki-laki yang bertanggungjawab, Jiih mengantarkan Juleha tepat di depan pintu rumah, sampai ke tangan orang tuanya utuh bulat-bulat tak kurang dan tak lebih suatu apa pun. Jiih tak ingin zinah, sementara keinginan syahwatnya sudah naik, ibarat lelacur ngudak-ngudak ayam biang. Maka ia cepat-cepat minta bapaknya melamarkan anak perempuan Bung Juned itu. Takut keduluan jejaka lain. Bagaimana kalau tiba-tiba orangtua Juleha menyetujui lamaran lelaki dari negeri antah berantah. Tentu akan hancur hati Jiih, dan pasti susah buatnya untuk jatuh cinta lagi. Meskipun ia anak yang patuh, tetapi ia bukan lelaki yang mau dijodohkan oleh orang tuanya. Keberuntungan menyertai Jiih, Bung Juned menerima lamarannya tanpa syarat yang aneh-aneh pula. Bapak Juleha sudah terkesan lebih dahulu dengan predikat Jiih yang terkenal alim. Ia sangat mementingkan agama. 59

http://facebook.com/indonesiapustaka

Ketika mereka menikah, hujan monyet mengguyur. Hari terang tetapi rintik-rintik. Tak ada tanda-tanda mendung sedikit pun, tak pula ada pengumuman prakiraan cuaca di radio bahwa hari akan hujan. Orang-orang bilang, pernikahan seperti itu diberkahi Yang Kuasa. Seperti juga kematian yang dibarengi hujan monyet, yang konon merupakan kematian yang diterima langit dan bumi. Setelah tiga tahun mereka menikah, tak juga Juleha dikaruniai anak. ”Elu mandul ye Ha?” tanya Jiih suatu hari. Pertanyaan ini membuah Juleha kecil hati sekaligus marah. Itu kali pertama Jiih mengucap perkataan yang membuatnya betul-betul sakit hati. ”Bang, semua orang juga tau kalo soal hamil enggak hamil itu ada dua faktornya; laki ama perempuan. Mending kita ke dokter kandungan aje, lihat ada masalah ape.” Saran Juleha sambil meredam kekesalannya. Senyatanya Jiih memang orang yang kolot, sudah bukan jaman mesin ketik masih saja mengira yang bisa mandul hanya perempuan. Mereka mengunjungi dokter kandungan, tak ada masalah di tubuh keduanya. Kata dokter, ”memang belum diberi oleh Yang Kuasa,” itu saja masalahnya. Diam-diam Juleha meminta dokter itu untuk memberi pengertian kepada suaminya bahwa mandul juga bisa diderita laki-laki. Setelah itu, mereka pun menunggu. Mereka juga mengikuti saran-saran dokter untuk melakukan hubungan seksual ketika masa-masa ovulasi. Hingga suatu hari Jiih bisa menabung untuk ongkos naik haji. Dalam hati, Jiih membatin, mungkin Allah belum memberinya anak karena Dia ingin memberinya kesempatan bertandang ke Tanah Suci terlebih dahulu. Coba, seandainya ia punya anak, maka belum 60

http://facebook.com/indonesiapustaka

tentu ia bisa pergi ke Tanah Suci karena kebutuhan anak pasti harus didahulukan. Untuk inilah Jiih bersujud syukur. Satu hari sebelum Jiih berangkat ke Tanah Suci, rumah mereka ramai didatang para kerabat handai taulan yang mengantar dengan doa, juga beberapa orang yang menitip doa agar dipanjatkan di Masjid Nabawi. Tak sedikit pula yang menitip air zamzam untuk dibawakan bagi mereka yang anggota keluarganya sakit. Jiih, yang betul-betul menyadari pesanan orang lain adalah amanah, dan amanah berarti hutang, bahkan mencatat semua doa yang orang-orang pesankan untuk ia panjatkan di Masjid Nabawi. Mulai dari Bang Betot yang minta didoakan anaknya segera dapat jodoh, Mpok Neni yang ingin usaha suaminya lancar, Bang Opik ingin juga bisa naik haji, hingga Bang Duloh yang ingin perkutut kesayangannya dapat jodoh super biar keturunannya bisa menang kejuaraan suara indah perkutut. Hingga hari kepulangan Jiih dari tanah suci, tak pernah terucapkan dari mulut Juleha rasa keberatannya suaminya naik haji. Toh, sudah terjadi. Juleha, sebagai istri yang baik, sebagaimana doa orang-orang lainnya, meminta agar suaminya dijadikan haji yang mabrur, bisa kembali pulang ke tanah air dalam keadaan sehat wal ’aiat tanpa kurang suatu apa pun. Selembar selendang sutra putih dengan ronce manik-manik putih di pinggirannya dioleh-olehkan Jiih untuk istrinya. ”Ma-de in In-do-ne-si-a,” baca Juleha pada label kerudung itu ketika ia berpatut-patut di cermin. ”Bang, kok made in Indonesia? Abang gimana sih, beli kerudung jauh-jauh di Arab bikinan orang kita juga.” ”Masa’?” Jiih melihat label bertuliskan made in Indonesia yang Juleha baca dengan logat Indonesia. ”Gue kagak tau, gue lihat 61

bagus buat lu, ya gue beli aja. Udah, ga pa-pa… pake aja. Belinya jauh tu!” Selain selendang, sebuah tas anyaman dengan tulisan ’MAKKAH’ besar-besar di dua sisinya juga dioleh-olehi untuk Juleha. ”Buat belanja di pasar,” ujar Jiih. Selain itu ada pula parfum dengan bau menyengat yang tak pernah digunakan Juleha, juga celak mata di dalam sebuah wadah kuningan dengan gagang berukir. Celak ini kerap dipakainya untuk membentuk alis seperti bulan muda dan mempertegas garis mata. Sedang air zamzam yang Jiih bawa lumayan banyak, dengan adil ia masukkan ke dalam botol-botol kecil lalu dibagi-bagikan kepada handaitaulan.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Sejak Jiih pulang berhaji, orang-orang memanggilnya Pak Haji, tentu saja. Sedang Juleha, karena sudah jadi istri pak haji, maka orang-orang memanggilnya bu haji, walaupun secara teknis ia belum berhaji. Demi mempersopan status suaminya yang sudah jadi pak haji, Juleha mulai lebih rajin pergi ke mana-mana dengan kerudung menutupi sebagian rambutnya. Walau begitu, ia belum merasa los untuk berjilbab meskipun pakaian yang dipakainya tak pernah sama sekali berlengan pendek ataupun ketat. Jiih yang pada dasarnya memang anak masjid, kini mulai kerap diundang sebagai pembicara di mana-mana. Ia memberikan kultum jumatan, diundang memberi ceramah agama saat arisan ibu-ibu RT, hingga pengisi kutbah saat selesai salat Id di hari Lebaran. 62

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ha…, lu pake jilbab ngapa?” tegur Jiih suatu hari, ketika mereka berdua akan keluar untuk kondangan. Jiih melihat istrinya berpatut-patut di cermin dengan kerudung putih made in Indonesia yang dibelinya di Arab. ”Masa lu kagak malu dilihat orang-orang, gue tukang ceramah agama istrinya buka-bukaan?” ”Buka-bukaan gimana maksud Abang? Pakaian saya enggak sopan, gitu?” Juleha balik bertanya. ”Bukan…, sopan sih sopan. Tapi gue kan malu, Ha. Orangorang panggil elu bu haji tapi kagak jibaban.” ”Aye bukan bu haji. Yang haji kan Abang,” sahut Juleha. ”Ha…, dosa tau. Itu rambut kan aurat. Wajib ditutupin! Nanti di neraka rambut lu ditarik-tarik lho!” Jiih menakut-nakuti. Juleha urung mengenakan kerudung. Dia duduk di tempat tidur, katanya, ”kalau Abang malu pergi sama saya, berangkat aja kondangan sendiri.” ”Yaah, jangan gitu dong Ha. Nanti orang kata kita berantem lagi.” ”Abis, daripada Abang malu jalan sama saya?!” ”Yaah…, ya udah deh, gue juga kagak berangkat. Gak mau gue diomongin jelek ama orang-orang.” Jiih melepas baju kondangannya, lalu merebahkan dirinya di sebelah istrinya yang tidur memunggunginya. Ia tak berkata apa-apa lagi hingga tertidur. Besoknya seorang ibu tetangga menanyainya, ”Pak Haji, kok semalem gak dateng kondangan di tempatnya Bu Rogaye?” Jiih gelagapan, tak siap akan ditanya pertanyaan macam ini. ”Ehm… iya, istri saya kurang enak badan.” Dosa berbohong! Batin Jiih mendengar jawabannya sendiri. ”Ooo… sakit apa?” Tambah bingung Jiih ditanya pertanyaan ini, ”Eem…, mun63

http://facebook.com/indonesiapustaka

tah-muntah. Masuk angin kali.” Bohong lagi, dosa lagi! Kembali Jiih membatin. Ia seperti bisa merasakan goresan pena malaikat Nankir di pundak kirinya sedang mencatat perbuatan dosanya dalam perkamen yang panjang. ”Ah! Hamil jangan-jangan! Aih… periksain ke dokter, Pak Haji!” tiba-tiba ibu tetangga itu berkata dengan girang. ”Eh… he he…,” Jiih memaksa dirinya tersenyum, ”iya,” jawabnya singkat lalu masuk ke rumah agar tak ditanya macammacam lagi. Hamil Ha mil Hamil.... Kata itu terngiang-ngiang di telinganya. Sudah tujuh tahun, dan tak ada tanda-tanda kehamilan pada tubuh istrinya. Ia ingat, dokter kandungan bilang tak ada yang salah pada tubuh istrinya, juga pada tubuhnya. Hanya saja belum diberi oleh Yang Kuasa, itu saja alasannya. Ia ingat, berdoa dengan keras di hadapan ka’bah, meminta diberi keturunan. Tapi Tuhan punya rencana lain, rupanya. Sudah lewat empat tahun sejak Jiih pulang dari naik haji, tak sedikitpun tanda-tanda kehamilan itu muncul. ”… Bang…!” ”… Bang, makan dulu….” Teguran istrinya membuyarkan lamunannya. ”Eh, iya…,” mereka beranjak ke meja makan. Hanya ada suara sendok bergeser-geser dengan piring dan garpu. Jiih sesekali memperhatikan istrinya yang sedang makan. Keduanya makan dengan tenang. Terlalu tenang…. Tak ada suara anak-anak. Ã 64

http://facebook.com/indonesiapustaka

Bertahun-tahun lalu, Juleha ingat memergoki ibunya menangis di dapur sambil masak. Awalnya, ia pikir ibu menangis karena memotong bawang merah, tetapi Juleha salah. Sebab yang dipotong ibunya adalah timun. Maka ia meletakkan buku yang sedang dibacanya, Nyai Dasima. Lalu kenapa ibunya menangis? Ia bertanya. Ibunya bilang, ”sebentar lagi lu punya ibu baru.” ”Emang Enyak mau ke mana?” ”Enggak ke mana-mana. Cuman, sebentar lagi lu ama kakakkakaklu punya ibu dua orang.” Perempuan yang melahirkannya itu menyunggingkan senyum di antara tangisnya. Membuat Juleha bingung, apa ia harus senang atau tidak. Tapi yang pasti, ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk di hatinya. Membuatnya susah tersenyum. Waktu ia sudah duduk di kelas empat SD. Sejak ibunya bilang ia punya ibu baru, sejak itu pula bapaknya kerap tak di rumah, meskipun ia masih terus melatih pencak silat pada murid-muridnya di Karet. Katanya, bapak pergi ke Serang. Katanya lagi, di Serang tempat ibu baru tinggal. Juleha tidak mengerti, kenapa ibu baru tidak tinggal di rumah bersama-sama keluarga mereka. Bukankah keluarga seharusnya tinggal dalam satu rumah? Namun, setiap bapak pergi ke Serang, ibu menangis sendirian di rumah. Ini membuat Juleha mulai benci ibu barunya yang tak pernah ia lihat. ”Eha benci ama ibu baru,” ucapnya suatu hari ketika mendapati ibunya menangis lagi. ”Eha…, gak boleh. Kagak baek benci ama orang. Lu bisa dibenci Alloh. Lu bisa masuk neraka,” nasehat Ipah sambil mengelap air matanya. Ia tersadar, tangisnya telah memperkenalkan kebencian kepada putrinya. Ia tak ingin itu. Bagaimana pun, Juleha sudah memutuskan untuk membenci ibu barunya, mes65

http://facebook.com/indonesiapustaka

kipun ia tak pernah kenal. Demi tidak membuat ibu kandungnya menangis, Juleha bermuka dua. Berkata ia tak membenci orang, agar tidak dibenci Tuhan. Dan lagi, ia selalu menunjukkan sikap sebagai anak manis yang tak pernah lupa mencium tangan bapak-ibunya ketika pergi dan pulang sekolah. Ia juga tak pernah membuat masalah di sekolah, malah bisa dibilang ia seorang anak yang rajin. Tak pernah membolos, bahkan suatu hari ketika lu pun ia lebih suka mengenakan seragamnya dan bergegas ke sekolah sebelum bel masuk berbunyi. Ia ingat, pagi itu ia hanya mencium tangan ibunya, sebab sejak kemarin bapak pergi ke Serang dan belum kembali. Sebelum waktu pulang tiba, ia sudah dikirim pulang ke rumah oleh pihak sekolah karena lunya tambah parah dan ia terus berbaring di ruang klinik sekolah. Juleha dikejutkan oleh seorang anak kecil yang berdiri di depan pintu rumahnya. Belum sampai teras, Juleha menghentikan langkahnya. Anak tetangga mana ini? pikirnya. Ia mendekati anak itu, dan memegangmegang tangannya. Ia mencubit pipinya dengan gemas. Anak kecil itu langsung menghambur ke dalam rumah sambil teriak. Bapaknya keluar dari kamar. Anak itu menabrak kaki bapak, memeluknya erat-erat. ”Eh, lu udah pulang Ha?” sapa Bung Juned, bapaknya. Juleha tak berkata apa-apa, ia bergeming melihat anak kecil itu menggelendot di kaki bapaknya. Tiba-tiba ibunya keluar menyusul muncul dari kamar. ”Eha? Lu ngape ari gini udah pulang?” perempuan itu terlihat cerah dengan kebaya encim merah. Tak ada tanda sembab di matanya, memang selalu seperti itu ibunya. Selalu cerah ketika suaminya pulang ke rumah. Juleha masih bergeming, ”Ha… lu gak ape-ape?” ibunya mendekati Juleha, dipegangnya dahi dan 66

http://facebook.com/indonesiapustaka

leher Juleha, ”ya ampun… panas. Lu demam?” tanya ibunya panik. Juleha melihat ke arah ibunya dan mengangguk pelan, ”udah salin dulu gih deh… terus tidur, jangan ngelayap. Enyak bawain makan ke kamar lu.” Ibu lalu beranjak menuju dapur, sementara Juleha menuju ke kamarnya. ”Ha?” tegur bapaknya. Juleha menghentikan langkahnya, ia melihat ke arah bapaknya, ”ini adek lu. Kenalan dulu dong,” Bung Juned menyuruh anak kecil itu memberikan salam, tangannya dijulurkan oleh Bung Juned. ”Aaaa…!” anak kecil itu malah menarik tangannya dengan malu-malu dan kembali menggelendot di kaki Bung Juned, bapaknya. ”Eh… ck, jangan alem gitu. Kenalin dulu, ini Mpok lu, ayo mamet dulu. Pake tangan manis!” kembali Bung Juned menjulurkan tangan anak kecil itu, ”siape nama lu…?” momong Bung Juned pada putranya, ”ayo, bilang siape nama lu…, Fajar…” Bung Juned berbicara dengan suara dibuat-buat seperti suara anak kecil. ”Pajal…,” kata anak itu malu-malu dengan cadelnya. Ia cepat-cepat menarik tangannya lagi. Juleha tak menyebutkan namanya. Ia cepat-cepat ke kamarnya. Berbaring, wajahnya terasa panas. Adik? Adik? Suara ayahnya yang bilang bahwa anak itu adalah adiknya terngiang-iang di telinganya. Kapan ia melihat ibunya hamil lagi?! Junaedi anjing! Sumpahnya dalam hati. Bahkan laki-laki itu tak pernah berbicara dengan suara dibuat seperti anak-anak ketika Juleha masih kecil dulu. Tak pernah sekali pun. Seingat Juleha, tak pernah pula ia menggelendot dengan kencang di kaki bapaknya. Ia hanya menggelendot pada ibunya, sebab bapaknya adalah seorang yang tegas dan 67

http://facebook.com/indonesiapustaka

galak. Seorang guru silat yang disegani di Karet, seseorang yang karena keberaniannya dipanggil ’Bung Juned’ seperti Bung Karno. Di manakah seorang yang hangat itu ia sembunyikan? Dan kenapa tak seorang dari ketiga anak dari istri pertamanya yang bisa mengungkap sisi hangatnya seorang bapak dalam diri Bung Juned? Ibunya masuk, membawakan sepiring nasi dan segelas teh. ”Kok belum salin?” tegurnya, ia meletakkan nasi dan air minumnya di meja belajar. Lalu menuju lemari, mengambil baju daster yang kerap dipakai Juleha tidur, ”ayo, salin dulu.” Juleha melepas seragam merah putihnya, dan mengganti dengan baju yang diberikan ibunya. Seragam itu ibu cantelkan di gantungan baju di balik pintu. Perempuan itu duduk di pinggir kasur sambil mulai menyendokkan nasi untuk Juleha. ”Nyak…, itu tadi anak Babeh?” tanya Juleha ragu. Sendok nasi yang tadi sudah disodorkan di depan mulut Juleha urung masuk. Ipah, ibunya menurunkan sendok berisi nasi itu ke piring dan menarik napas panjang. ”Iya…,” katanya lemah. Lalu kembali mengangkat sendok berisi nasi tadi, menyuapkan ke mulut putri tercintanya. Keduanya diam, terdengar kunyahan nasi yang tak terasa enak turun di tenggorokan Juleha. Tiba-tiba air mata Ipah meleleh, meluncur cepat di pipinya yang licin. Ia tak dapat mencegahnya. Ipah mengangkat sesuap lagi sendok berisi nasi, mendekatkan ke mulut Juleha yang sebetulnya belum selesai memamah nasi sebelumnya. Ia menatap wajah ibunya yang basah, sambil memakan sesendok nasi lagi. Juleha mulai mengunyah, dan air matanya tiba-tiba meleleh, menyusul air mata ibunya yang sudah turun dari tadi. Ibu dan anak perempuannya; dalam kebisuan. 68

à Cita-Citaku. Jika aku sudah besar aku ingin menjadi seperti Hayati, istrinya Samiun. Aku akan menyuruh Samiun membunuh Nyai Dasima. Kalau tidak, aku akan mengusir Nyai Dasima dan menyuruh dia jadi gundik Tuan Edward lagi.

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Juleha!” suara ibu guru Soetari memanggilnya keras-keras, Juleha maju ke depan kelasnya, ”kamu mengarang apa ini?” ibu guru Soetari menunjuk-nunjuk selembar kertas berisi karangannya. Juleha diam saja. Ia dapat surat panggilan dari kepala sekolah, besok ibunya harus datang ke sekolah. ”Masyaallaaaah….” ucap Ipah, ketika membaca karangan putrinya. Ia tak percaya anak itu bisa menulis macam begitu. ”Iya, itu ditulis Juleha saat mengarang, pelajaran bahasa Indonesia yang diampu Ibu Soetari,” Pak Kepsek menjelaskan. Ipah membaca ulang karangan yang hanya satu paragraf itu sekali lagi. Ia tak tahu harus berkata apa akan karangan Juleha. ”Bu, saya tidak tahu bagaimana putri Ibu bisa dapat kata ’gundik’. Apa di rumah Ibu atau siapa saja keluarga Ibu pernah menyebutnyebut ’gundik’? Ini adalah kata yang tidak pantas diucapkan, sangat kasar.” ”Saya enggak pernah menyebut-nyebut ’gundik’ Pak, saya juga heran kok Eha bisa ngarang kayak gini.” ”Saya minta kesediaan Ibu untuk mengawasi pergaulan Juleha. Mungkin dia salah berteman. Karena dia anak yang tidak pernah bikin masalah di sekolah, rajin, dan nilainya bagus, maka saya tidak akan menyetrap Juleha. Saya hanya memberi teguran keras.” 69

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Iya Pak…, terimaksih ya Pak, tulung kalo ada apa-apa saya dikasih tau lagi,” pinta Ipah. ”Baik, Bu,” lalu Pak Kepsek mempersilakan Ipah keluar. Juleha cepat-cepat duduk lagi di bangku panjang depan ruang kepala sekolah. Dia telah menguping pembicaraan ibunya dengan kepala sekolah, perihal karangan yang ia buat kemarin. Ipah menutup pintu ruang kepsek, ia melihat ke arah Juleha yang berlagak duduk tenang di bangku depan walau sebetulnya ia sudah deg-degan. Kertas karangan Juleha masih dipegang Ipah. Juleha sudah ngeri ibunya bakal ngamuk, namun perkiraannya salah sebab tiba-tiba sedikit demi sedikit senyum Ipah mengembang. ”Ayuk, lu pulang aja ini ari. Kagak usah sekola!” Ipah menggandeng tangan putrinya erat-erat. Tak pernah hubungan ibu dan anak seindah itu. Juleha ingat, mereka berjalan dengan ceria dengan langkah cepat-cepat. Bahkan saking cepatnya, Juleha merasa langkahnya melayang, mengikuti ibunya yang tak lepas menggenggam tangannya. ”Kita mau ke mana Mak?” tanya Juleha kecil. ”Plesir!” jawab Ipah dengan semangat. Neng… neng… neng…, bel berbunyi. Dari kejauhan muncul satu angkutan yang berisik, ”kita naek bletak bleneng!” sambung Ipah lagi. Itu adalah kali pertama Ipah naik trem. Saat Juleha dan ibunya naik, mereka harus berebut dan berdesak-desakkan dengan para penjual yang memenuhi ruang trem dengan dagangannya. Ada sekeranjang sawi, ada pula yang bawa buah-buahan. Yang paling mengganggu adalah tukang dagang ikan yang baunya amis. Tetapi tetap, Juleha girang bukan kepalang. Ipah membayar dua puluh sen, masing-masing sepuluh sen untuk ia dan putrinya. Ceessss…, bunyi trem ketika angkutan itu mulai jalan. 70

Mulanya pelan, kemudian makin cepat. Heeeee, tremku lari gagah berani jreng-jreng-jreng-jreng! Nyanyi Juleha dalam hati. ”Sudare-sudare, rada masuk! Rada masuk!” ujar kondektur, mengkomando penumpang yang sejak tadi berdiri di tangga, agar tidak terjatuh. Di Pasar Baru mereka turun. Berjajar toko dengan penjualpenjual yang kebanyakan orang Arab dan Cina. Namun begitu, pengemislah yang pertama meyambut mereka. Mengangkat tangan, memohon-mohon diberi uang untuk makan dan mengaku sudah tiga hari tidak makan apa pun. Para pengemis itu tak lupa pula mengucapkan doa yang muluk-muluk kepada orangorang yang memberinya uang. Siang itu Ipah membelikan putrinya selembar kain bakal rok.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Diam-diam, setelah bertahun-tahun, Juleha masih menyimpan rok yang kainnya ibunya belikan di Pasar Baru waktu itu. Sudah tak muat lagi, tentu saja. Mana cukup dipakai lagi… badan Juleha sudah berkembang banyak melampaui tubuhnya ketika ia kelas tiga SD dulu. Tapi ia juga tak tega menjadikan rok itu sebagai kain pel atau lap dapur. Meski begitu ia tak pernah membuangnya, bahkan ketika ia menikah dengan Jiih, rok itu turut serta pindah ke rumah mereka yang baru. Jika saja dia dikaruniai anak, pasti ada yang membela dan menghiburnya. Pasti pula, saat suaminya menikah lagi dengan perempuan lain, saat ini anaknya akan mengijinkan ia menangis di bahunya.

71

http://facebook.com/indonesiapustaka

72

http://facebook.com/indonesiapustaka

4

[Haji Jaelani:] Orang pada kurang paham, kalau Menteng itu nama buah, Bintaro itu nama pohon dan Kebon Jeruk, memang dulu di sana ada hamparan tanaman yang benar-benar jeruk buahnya. Sekarang, pendatang hanya kenal nama-nama itu sebagai kawasan gedongan. Tidak tahu di mana buahnya, tidak kenal mana pohonnya, karena ditebang habis tanaman-tanamannya. Banyak yang hilang dimakan waktu, atau mungkin lebih tepatnya, dimakan peradaban. Walaupun saya tidak setuju menyebut musabab kehilangan itu adalah ’peradaban’ sebab menurut saya sebutan itu hanya tameng bagi orang-orang yang serakah. Berkali-kali saya bertanya, tanpa tahu jawaban sebenarnya; apakah yang namanya peradaban itu berarti membangun banyak gedung? Yang hilang tidak cuma tanaman-tanaman saja, yang menyisakan nama, tetapi sejarahnya juga ikut terkubur. Siapa yang tahu kampung Jaga Monyet sekarang ini? Bagi generasi baru dan pendatang-pendatang yang coba cari untung di Jakarta, nama ini tidak familiar. Dulu, waktu masih jaman VOC, Jakarta yang namanya masih Batavia sering diserang gerilyawan Grogol dan Tangerang. Untuk melawan gerilyawan Islam Banten ini, Belanda membangun benteng. Konon, orang-orang 73

http://facebook.com/indonesiapustaka

kumpeni lebih sering direpotkan monyet-monyet ketimbang musuh. Makanya, tempat itu dinamai Jaga Monyet, letaknya di kawasan antara Harmoni dan Petojo. Dulu, waktu empang di dekat kebun kecapi itu belum diurug, banyak anak-anak yang main di situ sambil sambil bawa serokan. Cari kodok atau cari icuk, anak nyamuk yang bentuknya mirip tanda koma, padahal tak cuma kodok dan icuk penghuni empang itu. Jamban umum ada di situ, dibuat berbentuk kubus dari anyaman gedek tanpa atap dan ada lubang di bagian bawahnya selain sanggaan untuk berjongkok langsung menuju empang. Dari lubang itulah pisang goreng yang keluar dari perut jatuh. Entah siapa yang menaruh sekumpulan ikan lele di empang, yang pasti, seingat saya, sejak pertama saya suka setor pisang goreng di empang situ, sejak itu pula ikan lele-ikan lele itu suka menunggu tepat di bawah jamban. Semakin hari ikanikan itu semakin besar, dan kelihatannya beranak-pinak pula. Saya sempat melihat ikan lele sebesar lengan lelaki dewasa, menunggu dengan mulut terbuka pisang goreng yang jatuh dari dubur saya ketika kebelet. Biasanya, tiap anak laki-laki jaman segitu selalu punya peliharaan ikan cupang buat diadu. Icuk itulah santapan sang ikan. Padahal anak-anak sudah dikasih tahu; tidak baik ngadu ikan. Dosa, Itu sama dengan judi, dilarang agama. Tapi yang namanya anak-anak, nasihat masuk kuping kanan-kiri, keluar jadi kentut. Termasuk saya. Malah, saya bisa dibilang yang memimpin kelompok anak-anak kampung di daerah Karet. Pernah suatu hari waktu bulan puasa, bilang ke orang tua mau Teraweh, tapi kami malah main; ngadu gundu dan biji para. Demi menghormati bulan suci, maka kami tidak mengadu ikan cupang. Lagipula, kan ketahuan kalau niat mengadu ikan. 74

http://facebook.com/indonesiapustaka

Sebab ikan cupang aduan harus dibawa di dalam plastik berisi air. Tidak mungkin Teraweh bawa-bawa ikan. Entah kenapa, waktu itu saya merasa hanya adu ikanlah yang disebut judi. Sedang, adu biji para dan gundu hanya sekedar permainan. Sekarang, kalau dipikir-pikir lagi; baik adu cupang, main biji para ataupun gundu, kesemuanya adalah judi. Waktu itu, saya juga merasa, bahwa mengadu ikan cupang hanya dosa kalau dilakukan pada bulan puasa. Prinsipnya, selama sebelas bulan hidup asal-asalan bisa dibayar dengan satu bulan puasa. Lagipula, kalau hanya biji para dan gundu, bisa dibawa di saku, tak akan ketahuan orang tua dan guru ngaji. Teman mengadu biji para yang paling saya segani adalah Somad. Entah dia dapat biji para dari mana, tetapi yang pasti di antara teman-teman yang lain, biji para miliknyalah yang paling keras. Ketika ditumpuk untuk kemudian dipukul, biji paranya jarang betul-betul pecah. Paling-paling retak. Somad tak pernah mau bilang pada kami, dari mana ia mendapatkan biji paranya. Sedang main gundu, Dilah jagonya. Sewaktu kecil, kalau Dilah sudah datang bergabung untuk bermain, saya kerap berhenti adu gundu karena tahu gundu-gundu yang sudah saya menangkan sebelumnya bisa habis jatuh ke tangannya. Saya paling mahir main layangan, senang pula mengejar layangan yang putus. Saya punya teknik canggih untuk membelit senar dan memutuskan layangan lawan. Biasanya, saya main layangan di lapangan Karet yang ternyata lama-kelamaan penuh untuk tanah pekuburan. Di sana anginnya lumayan kencang, jadi layangan cepat naik tanpa kesulitan. Jika sebuah layangan sudah saya kalahkan, saya tidak ikut mengejar layangan putus itu. Saya sudah cukup senang dengan kemenangan di tangan. Saya lebih suka melihat ekspresi teman yang layangannya putus. Anak75

http://facebook.com/indonesiapustaka

anak lainlah yang kemudian mengejar layangan itu. Lain cerita, kalau saya tidak sedang main layangan, tetapi tiba-tiba melihat layangan putus, pasti saya kejar. Ada kesenangan tersendiri saat mengejar layangan, bahkan jika tidak dapat layangannya sekali pun. Hingga remaja, kalau ada layangan putus, saya masih suka mengejarnya. Kalau dapat, biasanya saya kasihkan kepada anakanak kecil yang juga mengejar layangan tersebut. Ampek rasanya dada ini, melihat anak-anak sekarang tidak punya tanah lapang lagi untuk bermain. Lihat anak-anak sekarang, butuh perempatan jalan untuk main bola. Terus, kalau ada mobil lewat harus berhenti dulu kasih jalan buat mobil. Padahal sekarang nyaris tiap rumah punya mobil atau setidaknya motor. Kalau semua kendaraan bermotor itu lewat di jalan yang sama yang sedang dipakai anak-anak buat main bola, sama saja permainan bola tidak segera dimulai. Padahal, dulu tanah lapang ada di mana-mana. Sekarang, semua diganti jadi gedung. Sekarang tak lagi bisa main layangan pula. Jalan raya bukanlah tempat yang cukup luas untuk mengambil ancang-ancang menaikan layangan. Lagi pula bahaya. Beberapa kali saya dengar, anak tetangga ada yang tertabrak waktu mengejar layangan, masih untung kalau cuma patah tulang. Ada juga yang sampai meninggal dunia. Lain itu, ada juga yang kesetrum, karena layangan jatuh di atas kabel listrik, dan nekad mengambilnya. Untung anak itu tidak mati, hanya saja badannya gosong. Luka bakarnya lama sembuh dan dia tidak bisa bermain dengan teman-temannya untuk waktu yang lama. Dulu, waktu saya masih kecil, paling-paling masalah yang paling berat dalam hal layangan adalah kesurupan, karena bermain layangan sampai magrib tiba di pekuburan Karet. Itu pun bisa sembuh setelah didoakan dan disembur beberapa kali oleh guru Mughni, guru ngaji kami. 76

http://facebook.com/indonesiapustaka

Sampai bangkot begini, Somad dan Dilah masih berteman dengan saya. Kami tetanggaan. Mereka, dan masing-masing keluarganya, tinggal juga di daerah Karet sini. Si Somad jadi juragan kontrakan. Dia dapat warisan banyak tanah dari orang tuanya, lalu dia dirikan banyak rumah petak untuk disewakan. Kebanyakan penyewa rumah petaknya adalah pendatang, orang-orang dari Jawa atau Sumatera yang ngadu nasib di Jakarta. Mereka belum sukses, mangkanya nyewa rumah petak. Kalau sudah sukses kan tidak mungkin tinggal di rumah sangat sederhana dan sempit sekali. Kalau tidak mereka masih jejaka atau perawan, biasanya mereka berkeluarga belum punya anak, kalaupun ada anak paling-paling baru seorang, itu pun masih kecil. Maklum, sekali lagi, rumah petak. Kamar tidurnya cuma satu biji. Ada juga sih yang kamar tidurnya dua, tapi tetap saja sempit. Heran, orang-orang itu bela-belain datang jauh-jauh ke Jakarta cuma buat hidup berhimpit-himpitan. Apa betul hijrah ke Jakarta itu sama dengan memperbaiki nasib? Apa tidak sama saja susahnya dengan tinggal di kampung asal atau malah lebih susah? Saya tidak mengerti. Tapi, buktinya Jakarta tetap saja makin banyak penduduknya, makin padat penduduknya. Apalagi setelah usai Lebaran, pembantu-pembantu yang biasanya pulang kampung datang kembali ke Jakarta membawa temannya, untuk kerja di Jakarta menjadi pembantu pula. Semua numpuk jadi satu. Saya yakin, kalau semua penduduk Jakarta pendatang dijejer di Jalan Sudirman, pasti mirip ikan sardin. Mepet-mepet. Somad, sekarang kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki dan terima uang setoran tiap bulan dari para penyewanya. Mereka biasanya bekerja di pabrik jadi buruh atau bahasa kerennya; operator mesin, atau bekerja di toko, di mall-mall. Ada juga yang 77

jaga konter kecantikan. Ada juga yang bekerja jadi pelayan di restauran asal Amerika yang jualan ayam goreng tepung atau donat di Jalan Hayam Wuruk. Jabatan yang paling keren adalah cleaning service, saya tidak terlalu yakin artinya apa, pakai bahasa Inggris. Kalau pendatang dari Padang, biasanya bekerja di Tanah Abang, jualan kain atau baju jadi. Kadang pula mereka berkeliling kampung dan menawarkan baju jualannya secara langsung. Nah, orang-orang seperti inilah penghuni rumah sewa milik Somad. Pokoknya, dia hidup sejahtera tanpa harus mikir. Paling-paling harus berani menagih uang sewa kepada penyewa yang nunggak. Itupun bisa dilakukan oleh anak-anaknya. Beda dengan saya, masih mikir kasih makan sapi, kasih upah pegawai, waktu-waktu tertentu untuk memerah sapi, susu harus cepatcepat disetor biar tidak basi, bagaimana bikin sapi sehat terus. Macam-macam. Saya sebetulnya ingin juga punya kehidupan seperti Somad, apalagi karena sudah tua begini, ingin rasanya hanya menikmati hari tua. Tak perlu pergi ke mana-mana, tempat yang dituju hanya rumah dan masjid saja. Menabung pahala untuk persiapan sebelum betul-betul dipanggil Allah. Kenapa pula, dulu saya tidak mendirikan bangunan saja, ya? Jadi bisa seperti si Somad, jadi juragan kontrakan.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Ada dua belas ekor sapi yang saya punya. Tadinya saya urus sendiri, dibantu Iman, seorang anak kampung yang biasa bantubantu saya bebersih kandang, buang tahi hingga memandikan sapi. Iman seumuran Japri. Sedari kecil Japri dan Juned juga sudah sering saya ajak ke kandang, ikut bantu memerah sapi. 78

http://facebook.com/indonesiapustaka

Mereka sebetulnya sudah pintar, tapi seiring mereka besar, mereka semakin jarang mau saya ajak ke kandang. Bau, katanya. Memang, sih. Mereka tidak salah. Ya sudah, saya tidak mau memaksa anak. Katanya, orang tua moderen itu tidak memaksa keinginannya kepada anaknya. Saya tidak mau dibilang mengekang keinginan anak, maka saya turuti saja. Termasuk ketika mereka bilang tak ingin melanjutkan sekolah dan nyaris betul-betul menganggur. Kerjanya hanya luntanglantung. Paling-paling mereka mengantar susu ke koperasi susu untuk dijual. Itu pun lama kelamaan jarang. Imanlah yang mengerjakan semuanya, ditemani Enoh dan Fauzan yang masih semangat mengantar susu ke koperasi susu. Saya juga menuruti ketika Juned minta kawin, lalu disusul Japri minta kawin pula. Japri dan Juned lumayan lengket. Kelakuan Juned, abangnya, biasanya ditiru Japri, adiknya. Toh, saya bisa membiayai mereka, maka saya turuti keinginan mereka untuk menikah. Biarlah, daripada jadi zinah. Daripada melendung di tengah jalan, lebih baik saya kawinkan. Lagipula istri mereka juga anak baik-baik. Untunglah, untuk yang satu ini Japri dan Juned tidak salah pilih. Tapi kemudian Iman menikah. Dia pindah ke Kebumen, tempat asal istrinya. Katanya, bapak mertuanya memberinya modal buat beli dua ekor sapi, walaupun bukan sapi perah, melainkan sapi potong yang ia harap harganya akan melambung saat Lebaran Haji. Meskipun demikian Iman dan calon istrinya senang sekali memulai hidup barunya. Saya ikut senang karena anak itu juga bahagia, meskipun akhirnya kandang jadi agak terbengkalai. Saya menjadi orang yang mengkomando dan sekaligus turun tangan sendiri untuk mengurus sapi-sapi perah yang saya miliki, dengan Japri dan Juned yang kemudian terpaksa 79

http://facebook.com/indonesiapustaka

membantu saya. Tapi lebih sering mereka absen pura-pura kena sakit atau apalah sehingga tak datang ke kandang. Yang menyebalkan, kalau yang satu tak datang, yang lain juga tak akan datang. Cari alasan yang dibuat-buat, dan saya yang mengurus sapi-sapi yang ada. Sendirian. Japri dan Juned pun sudah memberi saya cucu, sementara saya tetap memberi mereka makan. Saya mulai capek. Kena asam urat. Salomah, istri saya, bilang, ”aye nggak mau Abang kena stroke, kebanyakan ngurus sapi.” Saya menurut, lagi pula… lama kelamaan saya mulai tidak tahan melihat Japri dan Juned yang enak-enakan menadah dari saya. Walaupun Salomah kadang-kadang mengomel soal anak-anak saya, tapi saya tahu bahwa dia mengomel bukan dalam rangka benci, melainkan sayang. Juga dalam rangka mengingatkan saya bahwa saya tak selamanya bisa diandalkan, saya sudah tua dan perlu istirahat. Japri dan Juned perlu mendiri untuk punya penghasilan sendiri. Maka saya memercayakan kandang sapi saya kepada kedua anak itu. Toh sapinya hanya dua belas ekor. Diurus dua orang, cukuplah. Salomah perempuan yang sering mencereweti saya, adalah istri yang sebetulnya sayang pada saya dan anak-anak. Dia keras, terutama kepada Fauzan, anak kandungnya. Kepada Japri dan Juned, sewaktu mereka meminta ijin saya untuk tidak meneruskan sekolah, Salomah sempat menegur keduanya. Sempat pula berbicara pada saya, meminta saya kembali mempertimbangkan kembali keputusan saya mengijinkan dua anak laki-laki saya untuk putus sekolah. Waktu itu dia bilang, ”Bang, sekola tu penting. Kesian anak-anak kalo kagak punya ijazah.” Perkataannya memang terdengar klise. Saya ragu mau menjawab apa. Sejujurnya saya juga inginnya 80

http://facebook.com/indonesiapustaka

Japri dan Juned tetap sekolah, karena saya bisa membiayai. Tapi saya lebih tak ingin dimusuhi anak sendiri, dibilang kolot, dan anak jadi berontak karena keinginannya tak dituruti, maka saya turuti mereka walaupun ragu. Salomah tak bisa berbuat apa-apa lagi karena saya sudah menyetujui. Beda Japri-Juned, beda pula dengan Fauzan. Salomah seperti merasa tak punya hak untuk ikut cawe-cawe akan kemauan Japri dan Juned, terutama karena dia bukan ibu kandung mereka. Terlebih lagi setelah Salomah menegur Japri dan Juned, kedua anak itu lantas mencemberutinya. Maka, apa-apa yang diminta Japri dan Juned yang sebetulnya tidak disetujui Salomah, perempuan itu hanya akan mengutarakannya pada saya. Sebaliknya, dengan Fauzan ia sangat keras. Pernah suatu hari kami dapat surat panggilan dari sekolah karena Fauzan bolos tiga hari berturut-turut, padahal setiap pagi Fauzan selalu berangkat lengkap dengan seragam merah-putihnya dan selalu pulang ke rumah tepat waktu. ”Elu mau jadi tukang becak ya! Sana! Terus-terusin bolos, biar jadi bodo, jadi tukang pulung aja sekalian. Cari makan di comberan ama tempat sampah!” seprot Salomah. Anak itu menangis sesunggukan, ”Bang Juned gak sekola kagak apa-apa!” Fauzan membela diri. ”Lu tinggal di bawah jembatan kalo gue udah mati!” sekali lagi Salomah nyemprot. Tangis Fauzan makin keras. Salomah mengamuk habis-habisan, dan malamnya ia tak diberi makan. Japri dan Juned yang saat itu sudah putus sekolah dan nganggur tenang-tenang di rumah, tentu saja mendengar Salomah nyapnyap. Tapi mereka berlagak kopok. Fauzan tak berani masuk sekolah karena dipalak anakanak yang badannya lebih besar. Salah satu orang tua anak itu 81

http://facebook.com/indonesiapustaka

adalah polisi, ia kerap mengancamnya dengan berkata, ”Bapak gue pulisi, berani? Dikerangkeng baru tahu rasa lu!” Tentu saja Fauzan keder, tanpa tahu betul salah ancaman itu. Besoknya Salomah mengantar Fauzan sampai pintu sekolah, tak peduli anak itu malu dilihat teman-temannya karena sudah kelas lima SD masih diantar ibunya. Bahkan ditunggu sampai bel berbunyi tanda masuk kelas. Ketika pulang Fauzan lapor pada ibunya, bahwa ia masih dipalaki, Salomah malah menyuruh saya mengajarinya silat. Memang, dulu sewaktu saya masih kecil, babeh saya adalah pelatih pencak silat di Karet. Dia belajar dari Haji Ung, jagoan Betawi yang namanya sekarang diabadikan jadi nama jalan di daerah Kemayoran. Disuruhnya Fauzan belajar silat, untuk melawan anak-anak nakal yang badannya lebih besar. Saya, dari dulu sebetulnya pengen anakanak saya belajar silat. Tapi sekali lagi, Japri dan Juned tidak mau, dan saya tidak pernah memaksanya. Selalu yang menjadi penghalang di pikiran saya adalah, mereka sudah cukup menderita ditinggal ibu kandungnya. Dalam hati, sebetulnya saya senang, akhirnya kesampaian juga cita-cita saya punya anak yang bisa silat. Terlebih lagi, saya yang mengajarkan. Biarpun sudah lama tidak dipergunakan, tapi sedikit-sedikit saya masih ingat. Fauzan, anak saya yang paling bontot, mau tidak mau patuh pada ibunya. ”Kalo lu udah belajar silat masih kalah kelahi, jangan pulang! Empet gue lihat lu nangis-nangis kayak perempuan.” Salomah mewanti-wanti, suatu pagi ketika Fauzan tak mau sekolah karena masih takut dipalak. Hari itu Fauzan berangkat sekolah dengan segan. Saya berbisik pada Salomah, ”Mah, lo galak amat ama anak sendiri,” sindir saya. 82

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Biarin. Biar dia berani,” jawabnya cuek sekaligus tegas. Kalau dia sudah begini saya lebih baik tak berkata apa-apa lagi. Tapi ketika sampai pukul empat sore Fauzan belum juga pulang dari sekolah, Salomah kelimpungan sendiri. Biasanya anak itu sudah sampai rumah pukul satu siang. Ketika saya datang dari mengurus sapi, dia langsung berhambur menyeruduk saya mirip orang kebelet. ”Bang! Bang! Gimana ini, si Paujan belum balik. Gimana ini?!” sosornya. ”Lah, kapan elu tadi yang nyuruh dia jangan balik kalo kelahi kagak menang.” ”Iya, tapi kalo die ngapa-ngapa, pegimane Bang?” ”Ck… aaaah, elu sih! Ada-ada aja nyuruh anak yang kagak bener!” ”Maap Bang, maap… aye salah…,” katanya mulai berurai air mata. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara yang kami kenal. ”Nyak… Beh…?” ”Paujan!” kami terkejut berbarengan, saya dan Salomah mengerubunginya. Seragam putihnya sudah berganti warna, dekil penuh tanah dan ada bercak darah. ”Masyaallah…, lu kenapa? Luka? Betulan berantem ya? Mana yang sakit? Kasih unjuk Emak! Siapa yang jahat ama lu?” Salomah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan panik sambil memeriksa tubuh kecil Fauzan yang tak keruan. Anak itu malah tersenyum, ”menang, Nyak!” ia mengacungkan jempol, lantas menuju ke kamar mandi di belakang. Kami melihatnya dari kejauhan sambil keheranan. Saya dan Salomah saling pandang, kemudian melihat punggung anak kami yang dengan terpincang-pincang memaksa berjalan menuju kamar mandi. Pintu seng kamar mandi kelontangan ketika dibuka83

http://facebook.com/indonesiapustaka

tutup, setelah itu terdengar suara air digebyur. Kami tahu Fauzan sendang bebersih. Ia meletakkan seragam sekolahnya yang kotor ke ember cucian. Salomah merawat luka-luka Fauzan dengan obat merah. Tak ada yang serius, hanya luka-luka gores. Setelah membawa makanan untuk anak itu, Salomah mencuci seragam sekolahnya. Besoknya, ia tak masuk sekolah, dan Salomah mengijinkannya. Badannya pegal-pegal, dan kaki kirinya keseleo. Salomah memanggil tukang pijat buta langganan kami. Fauzan menjerit tulung-tulung ketika tukang pijat meluruskan urat-uratnya yang salah tempat. Tapi itu bukan yang terparah…, sebab siangnya seorang ibu datang ke rumah kami dengan seorang anak ingusan berbadan besar dan kepala dibalut perban. Salomah harus merelakan kalung emasnya untuk anak ibu itu yang kepalanya benjut akibat kalah berkelahi dengan Fauzan. Salomah tidak terlalu cocok dengan Japri, meskipun dengan Enoh mereka dekat. Salomah pernah bertengkar mulut dengan Japri ketika anak itu minta kawin. ”Aye kagak setuju, Bang!” tegasnya ketika Japri mengutarakan maksudnya. Saat itu sebetulnya saya berpikiran sama dengan Salomah. ”Pri…, elo kan belom punya kerjaan. Terus bini lu mau dikasi makan apa?” ”Bisa! Entar aye cari kerja, Mak!” dengan nada tak terima merasa dilecehkan oleh ibu tirinya. ”Kerja apa? Elo dari dulu kerjanya ongkang-ongkang kaki doang! Kagak lihat nih Babeh lu ngempanin lu sampe bongkok?!” ujar Salomah dengan nada mulai tinggi. ”Heh, kagak usah bawa-bawa nama Babeh. Elo tu cuma istri sambungan. Bukan emak gue! Udah untung lu dikawinin Babeh 84

http://facebook.com/indonesiapustaka

gue!” Japri menunjuk-nujuk Salomah tepat di depan mukanya. Kontan saja Salomah panas. Ia berdiri dan gantian menunjuknunjuk tepat di depan hidung pesek Japri. ”Eh, eh, eh…, anak kurang ajar, kagak tahu diuntung. Biarpun gue cuma istri sambungan tapi gue juga emak lu, tauk! Gue sumpain lu jadi batu! Durhaka ama orang tua!” Salomah betulbetul naik pitam, menyumpah-nyumpah ibarat kisah Malin Kundang. ”Emak gue udah mati! Elo kalo Babeh gue kagak ngawinin elo juga lo udah jadi perawan kagak laku!” Japri menyolot. ”JAPRI!” saya membentak, betul-betul perkataan yang tak pantas. ”Kurangajar lu ye! Anak songong! Kagak tau diuntung! Emang gue cuma ibu tiri lu, tapi lu lihat ya… ibu kota lebih kejam dari gue! Lu mati dipites orang-orang Jakarta kalo Babeh lu kagak ada! Gue kagak bakalan mau bantu lu! Sini lu kalo berani!” Salomah menarik lengan panjangnya hingga siku dan hendak menyerang Japri yang sudah keburu keluar rumah dengan bersungut-sungut. Juned, Enoh dan Fauzan yang ada di situ kebingungan melihat ganti-gantian antara Salomah dan Japri. Juned bergegas ikut menyusul abangnya berlalu dari rumah. Dua anak itu memang seperti pantat dan taik, ke manamana selalu nempel. Sementara Enoh membantu saya menahan Salomah untuk mengejar Japri. Perempuan itu berteriak-teriak menyumpah-nyumpah, semua penghuni kebun binatang di Ragunan sudah disebutkannya satu-satu ”Gedeg, Bang ati ini rasanya. Gedeg!” Lalu Salomah menangis sejadi-jadinya, menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil berurai air mata. Saya dan Enoh membimbingnya ke kamar tidur. Enoh 85

http://facebook.com/indonesiapustaka

mengambil segelas air, memberikannya kepada Salomah yang masih sesunggukan, ”aye memang cuma istri sambungan, Bang. Tapi aye begitu ke Japri karena aye peduli ama Abang, ama anakanak.” ”Iye… iye… gue ngerti,” jawab saya berusaha menenangkannya. Enoh mengelus-elus lengan ibu tirinya. Seharian itu Enoh berusaha momong ibu tirinya, hari berikutnya juga. Ia sengaja menemani ibunya memasak dan bersih-bersih walaupun itu bukan hal baru yang kerap dilakukan Enoh. Salomah juga kelihatan senang menerima perhatian dari Enoh. Walaupun dari perkawinan yang kedua ini saya telah diberi seorang anak dari rahim Salomah; Fauzan, tetapi tak ada anak perempuan yang sebetulnya itulah yang diinginkan Salomah. Sejak itu keduanya saya perhatikan jadi semakin lengket. Enoh memberi perhatian lebih kepada Salomah, begitu pula sebaliknya. Keduanya jadi lebih mirip teman baik ketimbang ibu tiri dan anak tiri. Saya lega akan hal ini. Enoh pulalah yang duduk di sebelah Salomah ketika Juned akhirnya ikut-ikutan meminta ijin untuk kawin. Anak itu tidak seberani Japri, ia berkata takut-takut kepada seluruh keluarga. Salomah kali itu diam saja seribu bahasa meski tahu Juned juga betul-betul belum bekerja, ia memalingkan muka dengan Enoh memegang lengannya. Permintaan Juned untuk dilamarkan berjalan mulus tanpa geronjalan, sebab saya juga langsung meluluskannya. Saya tak ingin anak-anak saya menghamili perempuan di luar nikah. Sebab itu saya nikahkan mereka. Ã Suatu hari, ketika Jumatan, saya tak sengaja bersebelahan 86

http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan Dilah, teman main saya ketika kecil. Ketika kutbah Jumat dimulai, dia malah berbisik-bisik, bercerita bahwa dia akan melepas sebidang tanahnya untuk seorang pengembang. Katanya, akan ada proyek pembangunan di kawasan Kuningan, dan kemungkinan akan banyak warga yang tanahnya kena proyek. ”Jadi Ni, kite kudu pinter-pinter pasang harga.” ”Kok, elu mau ngelepas tanah lu?” ”Iya…, buat modal anak gue. Kesianan kalo ngurus sapi mulu kayak bapaknya. Gue kasi duit buat usaha lain, terserah dia.” Sepulang dari Jumatan saya berjalan sambil berpikir keras. Memang saya dengar sudah beberapa orang di sekitar kami yang akan melepas tanahnya. Saya sebetulnya tahu, tanah yang saya tempati memang sedang diburu para pembeli. Diam-diam saya sebetulnya sudah pernah menghadapi ular-ular yang sedang sigap akan membuat sarang di tanah saya. Rongrongan pertama datang dari pokrol yang mengatasnamakan keluarga Sultan Agung. Suatu siang dua orang perlente datang mengendarai mobil sejenis sedan warna hitam. Bukannya ’assalamu’alaikum’, mereka malah teriak-teriak ’spada’ sambil mengetok-ngetok pintu rumah. Salomah yang sedang tidur siang jadi terbangun dan segera mengenakan jilbabnya menyambut tamu yang tak diundang tersebut. Salomah lekas-lekas mendatangi saya di belakang rumah yang sedang memotong jantung pisang dari pohonnya untuk disayur, setelah sebelumnya dua orang perlente bilang pada Salomah hendak membeli tanah. Dengan wajah panik dan ketakutan Salomah tergopoh-gopoh menyuruh saya cepat-cepat menemui dua orang perlente yang songong itu, ”Bang, Abang mau jual tanah kite?” 87

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tanah yang mana?” ”Ya yang ini, yang kite tempatin ini!” ujar Salomah terburuburu sambil menunjuk-nunjuk ke tanah. ”Kagak! Emang kita mau tinggal di mana kalau tanah ini dijual?” ”Lah… entu… kok pada mau beli?” ”Ah, ngaco tuh orang-orang!” saya mulai merasa naik darah. Lekas-lekas saya berikan jantung pisang yang sudah terpotong pada Salomah, dan menyelipkan golok yang sedang saya gunakan di ikat pinggang. Saya berjalan menuju depan rumah, Salomah mengintil di belakang. Dua perlente itu mengenakan jas dan dasi, lengkap dengan tas jinjing yang kelihatannya penuh dengan kertas. Saya amati mereka dari atas sampai bawah dan dari bawah kembali ke atas lagi. Makhluk dari mana dua orang ini? Astaghirullah, kaget saya melihat salah satu dari mereka pakai dasi bergambar Marilyn Monroe, setengah telanjang dengan pandangan mesum. Porno kok dipamer-pameri gitu, digantung di leher pula. Di neraka itu dasi buat cekek leher dia! ”Ya? Ada apa?” tanya saya dengan muka ditekuk. Tak saya persilakan mereka duduk. ”Apa anda Bapak Jaelani?” ”Saya.” Lalu mereka, dengan penuh percaya diri, mulai menjelaskan dengan bahasa planet lain soal urut-urutan kepemilikan tanah. ”Begini pak, kami datang membawa arsip-arsip ini,” lelaki dengan dasi Marylin Monroe menyerahkan segepok berkas yang agak lecek kepada lelaki yang berbicara pada saya. Berkas dari dalam tas yang kelihatannya kekecilan dengan bawaannya yang penuh. Mereka menunjukkan copy arsip jaman kuda gigit besi dari Balai Harta Peninggalan. ”Ini adalah surat-surat resmi, 88

http://facebook.com/indonesiapustaka

bukti-bukti dari Balai Harta Peninggalan yang dimiliki Sultan Agung. Tanah yang Bapak dan…,” ia melirik Salomah yang bersembunyi di balik punggung saya, ”…istri Bapak tempati saat ini sebetulnya properti Sultan Agung, dari kerajaan Mataram. Karena waktu itu Belanda menjajah, tanah ini kemudian dijarah.” ”Terus?” tanya saya sinis. Ngomong kok muter begitu, dalam hati saya membatin. ”Nah…, keturunan keluarga besar Sultan Agung, yaitu para ahli warisnya, menginginkan tanah ini kembali. Tanah ini bersejarah, Pak. Demi kelangsungan pelestarian sejarah negara kita yang mulai mengikis, para pewaris kerajaan Mataram, khususnya keturunan langsung Sultan Agung, menginginkan tanah ini kembali. Nah, bukti-bukti tertulisnya bisa Bapak dapatkan dalam arsip-arsip ini, silakan Bapak pelajari,” kata laki-laki perlente tersebut dengan penuh percaya diri sambil menyerahkan suratsurat lecek itu. Mereka pikir, mungkin dengan istilah-istilah yang sulit saya tidak mengerti, mentang-mentang saya tidak makan sekolahan. Kali ini, sambung perlente yang menggunakan dasi Marylin Monroe, ”Jadi Pak, berdasarkan arsip-arsip yang kami bawa ini, jelaslah bawa tanah ini milik Sultan Agung dari kerajaan Mataram, sebelum Belanda datang menjarah.” ”Dengan kemurahan hati dari para keturunan Sultan Agung, tanah yang sudah terlanjur Bapak tempati, yang merupakan milik kerajaan Mataram,” di kalimat terakhir ia memberi tekanan pada nada suaranya, ”akan kami beli kembali,” sambung perlente yang sejak tadi berkicau dengan penuh percaya diri, diikuti sunggingan seutas senyum ala penjilat. Saya benar-benar naik pitam mendengar itu. Tak ada angin 89

http://facebook.com/indonesiapustaka

tak ada hujan, tiba-tiba tanah keluarga turun temurun dibilang bukan milik?! Saya sudah tahu apa mau mereka. Paling-paling mereka orang proyek yang mau membangun properti di sini dan cari cara untuk dapat tanah dengan harga murah. Dengan emosi, saya tarik golok yang di pinggang, saya damprat si pokrol dengan gaya preman! ”Heh! Duluan mana orang asli Betawi sama ente punya Sultan datang kemari?! Sembarangan aja ente ngomong!” Gebrakan saya kiranya telah membuyarkan mimpi orang yang mengaku pengacara itu, untuk membeli tanah dengan harga murah. Dua perlente itu seraya kaget dan mundur. Saya maju. ”… eeh…, Bapak… sebaiknya Bapak dengar dulu penawaran dari kami,” si dasi Marilyn Monroe berusaha membujuk sambil ketakutan. ”Penawaran-penawaran…! Siapa yang mau jual tanah?!” Golok masih teracung-acung di udara. Salomah yang melihat saya seperti itu teriak-teriak, ”Bang! Jangan, Bang! Bang!” tapi tak berani mendekati saya. Perlente yang cerewet mirip burung kacer tadi jatuh terjerambab ke tanah dan arsip-arsip yang tadi ditunjukkan tercecer. Keduanya lari tunggang langgang, masuk ke dalam mobil dan tancap gas pergi dari tanah milik saya. Saya pungut kertas-kertas yang jatuh tadi dan saya sobek-sobek jadi kecil. ”Sapu!” perintah saya pada Salomah yang masih takjub melihat saya murka. Kertas yang sudah jadi kecil-kecil itu tersebar di lantai. ”Iya Bang,” ujarnya lekas-lekas ke belakang mengambil sapu ijuk. Sultan Agung-Sultan Agung…! Apa orang-orang itu tidak tahu sejarah? Saya saja yang tidak pernah makan sekolahan tahu 90

http://facebook.com/indonesiapustaka

sejarah. Bukan cuma Belanda yang datang ke Sunda Kelapa, semua orang dari suku yang beda-beda dulu datang ke tanah ini walaupun sempat dijadikan budak para kumpeni. Orangorang pribumi itu hidup di tanah yang sama, di sini, di Batavia. Awalnya mereka berkelompok-kelompok, tapi lama kelamaan mereka mereka tidak lagi beragam. Nah, orang-orang pribumi yang ada di Batavia ini memanggil dirinya orang Betawi, yang kemudian dianggap sebagai etnis asli Batavia. Orang Betawi berbicara dengan bahasa sendiri, punya adat istiadat sendiri, yang adatnya merupakan percampuran dari beberapa suku yang awalnya berimigrasi ke Batavia. Misalnya, rumah tradisional Betawi sebenarnya merupakan kombinasi antara arsitektur Bugis, Makasar, Cina dan Belanda. Selain itu, busana pernikahan untuk pengantin gabungan antara Bali dan Cina. Orang pribumi memang awalnya selalu di posisi sosial terendah. Jadi, dulu untuk meningkatkan keberanian melawan, banyak beredar cerita-cerita kepahlawanan jago Betawi, yang ceritanya berani melawan para tuan tanah. Mungkin karena itu sampai sekarang orang Betawi tidak suka main di belakang. Kalau tidak suka, maju ke depan bawa golok. Setelah rongongan pertama terjadi, mata saya mulai terbuka, bahwa tanah yang saya tempati pasti memiliki harga tinggi. Saya harus bersiap-siap jika ada orang menawar tanah ini untuk saya lepas. Jika pun saya betul-betul akan melepasnya, maka saya harus mendapat harga yang pantas. Betul saja, tak lama dari kejadian dua perlente kiriman Sultan Agung dari Mataram itu, datanglah rongrongan berikutnya. Kali ini dari Badan Otorita, yang ditugasi Pemerintah membenahi wilayah Kuningan, untuk dibangun kawasan diplomatik. Tetangga-tetangga sudah pada didatangi petugas Badan Otorita, giliran 91

http://facebook.com/indonesiapustaka

saya belum, dan saya sejujurnya sudah menanti-nantikannya. Saya pikir, karena kali ini alasannya masuk akal, bukan mengada-ada segala warisan tetek bengek Sultan Agung, maka saya akan menerimanya baik-baik. Setelah mengeluarkan arsip-arsip dan berkicau panjang lebar, petugas itu akhirnya berkata, ”jadi… Pak Haji dan para penduduk di sini sebetulnya hanya berstatus sebagai penggarap tanah negara. Dan saya pikir, seharusnya Pak Haji… dan penduduk di sini, merasa berterimakasih memperoleh kompensasi tempat tinggal dan tempat usaha yang layak.” Saya, yang tadinya mau menerima baik-baik, kontan jadi berang, ”Heh! Ente tau… engkong aye sudah di sini sejak engkong lu belum lahir!” Salempang menenangkan saya, lalu dia angkat bicara, ”Pak, saya Salempang… menantu Pak Haji Jaelani. Saya sudah periksa, bahwa kami menduduki tanah bersertiikat jaman Belanda dan menurut peraturan, bapak saya punya hak untuk mengajukan sertiikat yang dikeluarkan Negara Republik. Benar tidak?” ”Benar, menurut catatan agraria, Pak Haji menduduki tanah seluas 2.000 meter persegi di atas sertiikat Eigendom Verponding, yang terkena program Land Reform. Tetapi karena sampai batas waktu yang ditentukan Pak Haji tidak memohonkan hak, maka tanah yang Pak Haji duduki, menurut ketentuan kembali ke Negara. Jangan khawatir, Pak Haji tetap terdaftar sebagai penggarap!” Sambil keheranan, saya letupkan kekesalan, ”Lucu amat yak? Tanah milik aye, hanya gara-gara terlambat mengajukan permohonan, jadi milik Negara?! Sedang orang-orang pendatang dikasih sertipikat Prona. Mana adilnya?!” Petugas Badan Otorita yang kelihatannya lebih pintar dari92

http://facebook.com/indonesiapustaka

pada dua perlente yang datang lebih dulu berlalu, meninggalkan sejumlah copy berkas-berkas dari lembaganya denga penjelasan program pembangunan kawasan diplomatik. Sebelum pergi, tak lupa ia mengingatkan agar saya menengok sebuah rumah susun percontohan yang tak terlalu jauh dari tempat saya tinggal. Juned mengantar saya menengok rumah susun yang menurut saya mirip kandang beruk itu dengan mengendarai sepeda motor. Saya menggeleng-gelengkan kepala. Bangunan berpetak petak itu rencananya dimaksudkan sebagai kompensasi yang dianggap lebih ’manusiawi’ untuk tinggal, bagi warga yang lahannya terkena proyek. Daripada, mereka menempati rumah reot berbaur dengan ternak yang berbau anyir. Sedang untuk kandang ternak, katanya akan mendapat pengganti di kawasan yang khusus disediakan. Suatu siang yang sejuk, Salempang datang. Tadinya saya sudah akan emosi kalau-kalau orang Badan Otorita atau perlente utusan Sultan Agung Mataram kemarin datang lagi. Tumbentumbennya anak ini datang saat Enoh tak ada di tempat. Ia mengucap salam tepat ketika Salomah mengambilkan nasi untuk saya makan. ”Alaikum salam…,” saya dan Salomah menjawab berbarengan. ”Eh, elu Pang. Si Enoh pan masih ngantor,” ujar saya. Mengira Salempang datang untuk mencari Enoh. Salempang tersenyum, ia hendak berkata sesuatu tetapi kelihatannya ragu-ragu. Saya bisa membaca gelagatnya, lalu saya bilang, ”lu udah makan siang belom?” ”Belom, Beh,” jawabnya malu-malu. ”Nah, lu masuk sini deh… ini Enyak bikin sop cakar demenan Babeh.” Salomah langsung mengundang Salempang. 93

http://facebook.com/indonesiapustaka

Anak itu melepas sepatunya dan bergabung di meja makan. Salomah mengambil satu piring lagi dan sebuah gelas kosong diletakkan di samping Salempang. Ia menyendok nasi, sedikit. ”Kok dikit amat? Masa anak lelaki diet?” Salempang kembali tersenyum ragu-ragu. Ia makan berbarengan dengan saya dan Salomah. Saya menceritakan kedatangan dua orang perlente yang mengaku utusan Sultan Agung dari Mataram yang hendak mengambil alih tanah ini. Salempang mendengarkannya dengan seksama dan tak terlalu banyak berkomentar. Seperti pikiran saya, ia bilang kelihatannya tanah yang saya tempati adalah lokasi yang bagus. ”Mungkin juga Beh, wilayah sini sudah diramalin bakal bagus untuk pusat bisnis Jakarta. Makanya mulai jadi target orang-orang yang pada punya duit,” ujar Salempang. Perkataannya masuk akal, itu membuat saya berpikir. Salempang selesai makan. Ia menenggak air putihnya, bersamaan dengan saya. Saya gelegekan, lalu melanjutkan menyuap sisa nasi yang masih menumpuk di piring. Tumben-tumbenan anak ini, biasanya kalau makan bersama keluarga kami pun dia tak malu-malu dan porsinya jauh lebih banyak dari yang baru saja dia habiskan. ”Lu kagak nambah?” tanya Salomah pada Salempang. Anak itu menggeleng dan mengucap terimakasih, lalu sambungnya, ”eeehh… Beh, Nyak… sebetulnya saye datang ke sini mau ngomong.” Saya dan Salomah pandang-pandangan. Tiba-tiba saja saya tidak bernapsu lagi menghabiskan nasi yang tersisa di piring, ”ada ape? Keliatannya lu serius banget.” ”Gini Nyak, Beh… saya kan sudah lama kenal deket 94

http://facebook.com/indonesiapustaka

sama Enoh. Saya juga sebetulnya udah nganggep Enyak sama Babeh kayak orangtua saya sendiri. Saya sayang ama Enoh…,” Salempang tersenyum malu-malu sendiri sambil memberi jeda pada kalimatnya yang belum titik, lalu melanjutkan kembali kata-katanya, ”saya sengaja datang ke sini, mau minta ijin.” ”Ijin apaan?” tanya saya, apakah seperti yang saya duga? ”Ijin… mau ngajak Enoh nikah, Beh. Apa boleh?” ”Alhamdulillah…,” tiba-tiba Salomah spontan berkata. Saya bisa merasakan wajah saya tersenyum. Lebar dan cerah. Dan saya juga merasa sangat kenyang. ”Kalau boleh sih, pengen cepet-cepet aja gitu. Entar saye ngomong ama orang tua saye. Biar ke sini, ngelamar resmi. Ya, ngasi Enoh cincin gitu.” ”Kalo dari gue sih, boleh aje, gue seneng malah. Tapi Enohnya, pegimane?” Salempang minum setenggak air putih, menata diri, lalu berkata, ”saye ama Enoh udah ngomongin ini. Ya, kite berdua sih udah pengan punya keluarga sendiri, gitu Beh.” ”Alhamdulillah…, ya udah silakan aje orang tua lu mau dateng kapan. Tapi tolong kasih tahu dulu ye. Biar entar Salomah yang siap-siapin.” ”Siapin apaan Beh?” ”Ya, bebersih kek. Siapin minuman buat, siapin kue.” ”Iya Beh.” Rumah tiba-tiba jadi tenang dan tentram. Kami bertiga diam di meja makan, tak tahu harus berkata apa satu sama lain. Yang pasti saya girang sendiri, anak perawan saya akhirnya akan dipinang. Sampai suara salam terdengar memecah kebisuan. Kami menjawab berbarengan, ”alaikum salam….” Fauzan pulang sekolah. 95

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Eh, ada Bang Lempang. Tumben Bang siang-siang dateng. Mpok Enoh mane?” Fauzan celingukan sambil melepas sepatunya di depan pintu masuk. ”Mpok lu masih kerja.” ”Lah, terus Abang ngapain di sini?” ”Salempang mau ngelamar Mpok lu!” jawab saya tanpa menyembunyikan kegirangan. Fauzan terdiam, memandang Salempang. ”Betulan?” tanyanya meyakinkan. ”Iye…, insyaallah…” jawab Salempang sambil tersenyum. ”Waaaah…, kawin nih yeee…!” Fauzan girang, cekikikan sambil menggoda Salempang yang tak bisa berhenti tersenyum. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu semakin dekat, dua hari lagi ijab-kabul dilaksanakan. Salomah sempat puasa pula, berdoa meminta agar acara pernikahan Enoh berjalan lancar tanpa kurang suatu apa pun. Enoh tidak boleh keluar rumah, sengaja dipingit. Biarpun dia kesal sebab menurutnya ini tradisi kuno, tapi saya keras kepala menyuruhnya tetap berada di dalam rumah. Tak boleh pula bertemu dengan Salempang. Teman-teman perempuannya datang memberi selamat. Edah, keponakan saya, banyak menemani Enoh, biar dia tidak bosan. Lagipula dua anak itu dari kecil memang sangat dekat. Edah sudah bilang pada saya, ia ingin menari di acara pernikahan Enoh. ”Gratis deh! Anggep aje hadiah,” ujar Edah. Ya sudah, saya senang saja, mendapat hiburan untuk memeriahkan pernikahan anak saya. Orang-orang berdatangan, rumah kami jadi ramai. Mereka 96

http://facebook.com/indonesiapustaka

membantu dekorasi, urus ini-itu, segala hal yang menyangkut urusannya perempuan. Salomah kelihatan senang mengurus pernikahan Enoh, meskipun ia anak tirinya. Ia bahkan mengingatkan Enoh untuk nyekar ke kuburan Rimah, ibu kandung Enoh sebelum pernikahan berlangsung. Saya sih lebih suka terima jadi, dan tidak cawe-cawe urusan perempuan. ”Mah, lu udah beli mercon belom?” Salomah yang sedang sibuk memandori penataan kamar penganten menatap saya. ”Emang mau pake mercon?” tanyanya heran. ”La iye lah…, biar rame.” ”Entar aye jantungan Bang, kaget meledak-meledak!” protesnya. ”Alah, elu…. Udah biar gue yang beliin merconnya,” ujar saya. ”Ganti kembang api saja, ngapa?! Lagian pan lebih bagus kalo dilihat, timbang mercon!” ”Iye, entar gue beliin kembang api.” Saya menyahut singkat. Siang setelah Fauzan pulang dari kuliahnya, ia mengantar saya membeli mercon. Tak tanggung-tanggung saya beli sepuluh renteng mercon. Tiap mercon sebesar suntikan sapi. Gemuk-gemuk dan merah. Pasti meledaknya mantap! ”Abang! Kok mercon?!” Salomah protes melihat barang belanjaan saya dalam kantong plastik. Saya sedang semangat hendak langsung memasang mercon-mercon itu di depan rumah. ”Itu… elu gue beliin kenbang api juga. Noh!” tunjuk saya pada satu kantong plastik terpisah. Dan saya tidak bohong, memang saya juga membelikannya kembang api. ”Ah, Abang… pan ribut pake mercon-mercon segala!” Salomah ngambek, lalu masuk rumah. ”Iye, entar malemnya kite gangguin si Enoh ama Salempang 97

http://facebook.com/indonesiapustaka

pake kembang api!” ujar saya cuek, tetap memasang merconmercon itu. Salomah itu aneh sekali, ini kan pesta pernikahan Betawi, jelas mercon wajib! Tapi memang dasarnya dia tidak suka ribut-ribut, ya begitulah jadinya. Entah kenapa, pernikahan anak yang kali ini betul-betul bikin saya semangat. Apa karena Enoh anak perempuan satusatunya? Atau karena saya betul-betul mengenal calonnya dibanding calon pasangan dua anak saya sebelumnya? Atau saya memang sebetulnya orangtua yang pilih kasih? Entahlah, saya tidak terlalu ambil pusing. Dengan lakban saya menjejerkan mercon-mercon itu satu per satu di kanan-kiri. Ketika saya selesai memasang mercon yang keenam, tiba-tiba tamu tak diundang dantang. Dua orang petugas Badan Otorita itu nongol lagi. Mau tak mau saya harus menerimanya meski dengan dongkol. Bisa-bisanya mereka tak melihat keadaan rumah kami yang sedang ramai menjelang acara penting. Saya menerima petugas itu bersamaan dengan Jarkasi, adik saya yang kebetulan sedang ada di rumah. ”Bagaimana, Pak? Bapak sudah lihat, bukan… keseriusan kami. Bahkan kami telah membangun rumah susun percontohan yang kelak bisa Anda dan keluarga tempati.” Saya menekuk wajah saya dua belas kali, demi ia menyebut-nyebut kandang beruk yang katanya untuk kami tempati. Betul-betul tak punya rasa kemanusiaan. ”Pokoknya aye kagak mau!” saya tegaskan ketika petugas Badan Otorita itu muncul lagi. ”Lu kagak lihat rumah gue lagi punya gawe? Kagak bisa lu tunggu abis ini selese?!” Saya naik pitam, dan saya sudah berkacak pinggang. Orang-orang di rumah mulai memperhatikan kami, sejenak teralihkan perhatiannya pada tamu tak diundang. 98

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tapi Pak, kami sudah….,” BYAR!!! TAR!!! PLETAK!!! PLETOK!!! Tiba-tiba suara mercon meledak membuat kaget, petugas Badan Otorita itu tibatiba meloncat, dan yang satu lagi jatuh terjelungup ke tanah. Orang-orang juga kaget dengan petasan yang meledak, tetapi karena semua perhatian sejak tadi tersedot kepada dua tamu tak diundang itu, mereka jadi terpingkal-pingkal melihat dua petugas itu terkejut. Saya tertawa-tawa dan maju beberapa langkah, petugas Badan Otorita masih belum bisa mengendalikan keterkejutannya. ”Apa?! Elu mau gua tinggal di kandang lutung yang lu bikin itu?! Sembarangan aja lu tanah orang mau diambil jadi milik negara! Negara siapa?! Heh? Negara moyang lu?! Langkahin dulu mayat gue kalo lu berani! Maju lu! Maju! Gue suwek lu pade!” Saya mengaksikan kuda-kuda. Petugas Otorita itu mundur. Orangorang terbahak-bahak melihat tingkah culun mereka. ”Lu tinggal pilih deh…, mau ngerasain jurus kelabang nyebrang…,” saya terus maju mengejar petugas itu sambil menggerak-gerakkan kaki dan tangan saya dengan cepat seperti kelabang ngejar entok, ”…apa lu mau ngerasain sabetan cukin gue lu?! Ayo! Lu pilih deh! Jelek-jelek gini gue pernah berguru juga, lu tauk!” lalu saya memutar-mutarkan kain yang tadi terikat di pinggang. Dua petugas itu mereka cepat-cepat berlalu sambil tersandungsandung. Salomah keluar sambil menutup kuping, wajahnya yang tadinya hendak marah karena suara ribut mercon tiba-tiba mengendur, keheranan melihat pemandangan di depannya. Ia ketinggalan berita. Sementara Fauzan berdiri di sebelah rentetan mercon pertama yang sudah saya gantungkan. Di tangannya tergenggam korek api. Anak saya yang paling buncit itu tertawatawa penuh kemenangan. Laki-laki itu berlalu, saya mengelus99

elus kumis tipis yang nongol malu-malu di wajah saya dengan penuh kemenangan. ”Masyaallah, Bang… tuh orang lari lagian kayak dikejar demit.” ”Emang! Gue setannya!” Tiba-tiba mulut Salomah kemak-kemik, lalu cepat-cepat ia menenggak air teh di meja yang disediakan untuk orang-orang yang membantu, dan pruuut….! Wajah saya disembur. ”Apa-apaan sih lu!?” omel saya sambil merem-melek mengusap air teh dari muka saya. Orang-orang tertawa lagi, dan sebagian kembali memilih menyibukkan diri dengan kegiatan yang tadi dilakukannya. ”Kapan Abang tadi bilang, kemasukan setan!” ujar Salomah dengan tak merasa bersalah. ”Dasar perempuan!” saya menuju belakang untuk cuci muka dan ambil air wudhu, mau salat Dzuhur sekaligus sujud sukur sudah bisa mengusir petugas Badan Otorita itu.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Dung plak… plak dung-dung plak… ”�Ya habib salam alaika, ya Rosul salam alaika…�” Rebana ditabuh keras-keras, mengiringi lagu puji-pujian berulang-ulang yang diteriakan serempak. Dari ujung sampai ujung, semua tahu kalau di suatu tempat ada perayaan perkawinan. Penganten diarak, bajunya merah seperti warna mercon yang meledak-ledak. Suara rebana, para penyanyi, ledakan mercon, sorak-sorai anak-anak yang kegirangan, semua berbaur. Berlomba-lomba menjadi yang paling keras di atmosir udara bersama dengan iring-iringan yang tak henti dipanjatkan demi kelanggengan rumah tangga baru. 100

http://facebook.com/indonesiapustaka

Hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Ada roti buaya! Betapa girangnya hati saya. Dan yang paling penting; ada Enoh, anak prawan saya satu-satunya yang sekarang sudah jadi milik Salempang. Salempang mengucap ijab-kabul satu kali, tidak pakai acara kepeleset apalagi diulang. Salomah menangis sesunggukan ketika Enoh dan Salempang bergantian sungkem kepada kami dan besan. Kalau orang tidak tahu, pasti mengira Salomah menangis karena ada kematian. Saya berbisik menyuruhnya jangan nangis terus-terusan, malu sama tetamu. ”Abang, apaan sih? Orang terharu seneng kan kagak apaapa!” dia berusaha mengendalikan diri, tapi air mata tetap meleleh. ”Itu, celak lu meler di pipi. Jadi blepot kayak baru masak pake arang,” ujar saya santai. Salomah terkejut, ia langsung menutup pipinya dengan kerudung. ”Kenapa kagak bilang dari tadi sih?!” protesnya. Air matanya otomatis berhenti. Ia ngibrit menuju kamar untuk memperbaiki dandanannya, meninggalkan saya yang masih bersalaman dengan tetamu yang mulai datang. Saya lega bisa menyerahkan anak saya kepada laki-laki yang baik. Tugas saya jadi bapak selesai, satu tanggungan sudah lepas. Salomah tidak mengomel lagi soal mercon yang meledakledak itu, meski ia tetap menutup keduabelah telinganya. Tapi ia merasa lega, sebab rentengan mercon itu ada gunanya juga; sebagai alat pengusir petugas Badan Otorita. Seperti janji saya, ketika malam tiba dan penganten sudah masuk ke kamarnya, saya menyalakan kembang api. Tapi kelihatannya konsentrasi pasangan penganten tidak terusik, meski anak-anak kampung ribut kesenangan melihat lintasan api yang berkembang dan 101

http://facebook.com/indonesiapustaka

berputar-putar di langit malam. Saya bahagia, hati saya meledakledak, mirip mercon. Setelah perkawinan itu, Enoh diboyong Salempang. Mulamula mereka tinggal di rumah mertuanya Enoh. Tapi itu tidak lama, Salempang menyewa sebuah rumah untuk mereka memulai hidup baru. Tiga tahun setelah saya mengusir petugas badan Otorita menjelang pernikahan anak saya, mereka tak lagi datang. Hidup juga terasa damai tak ada yang mengganggu. Selain itu, Enoh melahirkan anak pertamanya. Laki-laki diberi nama Muhammad Adrian. Memang tidak baik pilih kasih, apalagi sama darah daging sendiri. Tapi sejujurnya saya lebih suka dengan cucu saya yang satu ini daripada cucu-cucu saya dari Juned maupun Japri. Apa mungkin karena proses pernikahan Enoh pun dengan cara yang baik-baik, saya sudah mengenal calonnya dengan baik terlebih dahulu. Bagi saya, diam-diam pernikahan Enoh ibarat koreksi dari dua pernikahan Japri dan Juned dahulu yang terkesan grasa-grusu. Beberapa kali saya lewat di kandang lutung yang disebut petugas Badan Otorita dulu sebagai rumah susun percontohan, bangunan itu mulai hancur. Tak terawat dan tak ditempati, pasti sudah jadi sarang demit kalau tidak sarang sundal. Sampai pembicaraan ketika kutbah Jumat lalu dengan Dilah di masjid. Minggu berikutnya datang seorang pengusaha berdasi. Melihat orang-orang macam begitu muncul saya tak mau nongol, saya suruh Salomah menemui dan bilang saya tak di rumah. Saya nguping dari balik tembok kamar, pembicaraan mereka. Intinya, akan diadakan musyawarah di rumah RW soal tanah. ”Pegimane Bang?” tanya Salomah. 102

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Gue males dateng,” jawab saya ogah-ogahan. ”Yaaaah, Bang… entar kalo semua digusur, tinggal kita doang sendiri di sini. Kagak ada orang lain.” ”Biarin!” ”Lah, kok biarin?! Nah, ntu orang-orang udah pada mulai pindah. Kita?!” ”Eh, ini tanah gue. Kagak sudi gue ngelepas!” tegas saya. Salomah cemberut. Saya merasa sudah muak dengan tawaran-tawaran tak masuk akal. Jadi saya suruh Salempang yang datang di musyawarah RW. Tidak mungkin saya suruh Japri atau Juned, dua anak itu selain belum tentu bisa nangkap yang diomongkan, juga bisabisa ngelaba, belum apa-apa ada pungutan yang dibebankan pada saya. Jam sebelas malam lewat Salempang kembali ke rumah, mengetuk pintu yang sudah dikunci rapat-rapat. Saya pun sebetulnya sudah rebah akan tidur, tetapi mata ini belum bisa merem karena masih menunggu Salempang. Sengaja saya suruh dia datang ke rumah untuk kasih tahu hasil musyawarah, jam berapa pun itu. Ada macam-macam usulan dari perusahaan pengembang. Yang dia tahu hanya ganti rugi, lainnya, yang dibilang program relokasi, konsolidasi dan partisipasi, hanya membuat kepalanya pening. ”Yang penting Beh, mereka sekarang sudah mengakui hakhak warga dan tidak mempersoalkan kepemilikan surat-surat, asal ada keterangan dari Lurah dan Camat. Tetapi buat membayar sebesar yang diterima Haji Dilah, mereka keberatan karena tanah Babeh letaknya di belakang,” jelas Salempang ”Gue kagak peduli, ada uang ada barang. Kalau nggak mau, 103

http://facebook.com/indonesiapustaka

jangan sentuh tanah gue!” saya bersikeras. Salomah ngantukngantuk ikut mendengarkan pembicaraan laki-laki setelah membuat dua cangkir kopi. ”Tetapi ada cara, kita bisa dapat lebih besar dari yang Babeh minta,” sambung Salempang. Tentu saja saya tidak langsung percaya, mengingat orang-orang sudah datang ke sini dan berani mengaku-aku tanah yang saya tempati tujuh turunan bukan milik saya. ”Mimpi kali lu. Jangan banyak teori dah!” ujar saya sangsi. ”Begini Beh… sementara, kita sudah mupakat sama pengembang menjalankan ’program partisipasi’. Pengembang akan menyertiikatkan tanah atas nama warga dan membuat perencanaan serta kemudian menjualnya. Atas seluas tanah yang dimiliki, dari hasil penjualan, warga akan medapat 50%, karena 40% luas tanah diperuntukkan buat sarana prasarana dan warga berkewajiban membayar biaya pengembangan lahan dengan 10% tanahnya. Kalau sudah ada kesepakatan, nantinya akan dibuat perjanjian, yang disaksikan wakil-wakil rakyat.” Saya mulai tertarik, dan jadi melek bukan karena kopi bikinan Salomah. Salempang menambahkan, ”Mereka akan menjualnya dalam dolar Beh. Harganya dua ribu per meternya. Kalau itu jadi, Babeh bakal terima hampir dua setengah kali yang diterima Haji Dilah!” di kepala saya langsung muncul pundi-pundi uang yang bunyinya krincing-krincing. ”Kagak usah repot-repot, dah! Aye jamin semua warga di sini dalam tiga bulan angkat kaki, kalau mereka bayar seperti yang aye minta!” demikian Salempang mengakhiri laporannya membuat saya sadar, mata saya berubah warna hijau. Warna duit. Tiga bulan kemudian, saya bersama kawan-kawan menerima 104

http://facebook.com/indonesiapustaka

pembayaran seperti yang kami minta, setelah mengikuti ’program partisipasi’. Dari uang itu, kami mulai pindahan. Sejak mendengar ’program partisipasi’ itu, Salempang sudah rajin mengajak saya untuk melihat-lihat tanah untuk saya tempati kalau-kalau jadi digusur. Sebidang tanah yang saya taksir saya dapat di daerah Ciganjur, dengan sebuah bangunan yang didirikan tahun tujuhpuluhan awal di atasnya. Saya beruntung mendapat pekarangan luas. Sedang untuk lahan ternak, pengembang berbaik hati menyediakan lahan relokasi untuk peternakan sapi perah di daerah Pondok Rangon. Saya tunggu dua tiga bulan, belum juga selesai ’program partisipasi’. Sejujurnya, saya ingin cepat-cepat dapat duit yang dijanjikan dulu. Saya mulai curiga, jangan-jangan saya dibohongi lagi. Saya sudah tidak percaya dengan orang-orang pendatang yang kerjanya mengambil tanah penduduk aseli seperti saya. Berkali-kali saya tanya pada Salempang perkembangannya. Salempang bilang, saya harus sabar, sebab menjual tanah kan tidak seperti jualan cendol. Betul juga sih. Namanya hidup, mirip roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah. Ada senang, ada juga sedihnya. Nah, sekarang ini nih… roda pedati saya lagi di bawah. Lagi susah, keinjek-injek yang kuasa sampai terhimpit di tanah. ”Kenape Beh? Bengong aje?” tegur Fauzan. Kami sedang bersih-bersih rumah baru kami di Ciganjur, saya ngaso sebentar. ”Iye… gue lagi bingung Jan.” ”Soal program partisipasi ya?” ”Iye… apa gue udahan aje ya? Lagian lama banget, ini udah mau jalan bulan ketiga, belum ketahuan tuh idungnya pengembang.” Saya menghela napas, menerawang. ”Sabar deh Beh… soal gituan kan kagak gampang, mana 105

http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dijual tanah. Ini bukan kayak jualan kacang goreng.” Nih anak tidak ada bedanya dengan Salempang, yang satu bilang jualan tanah tidak seperti cendol, yang satu lagi bilang tidak seperti jualan kacang goreng. Saya menimbang-nimbang nasehat Fauzan, iya juga sih… ada benarnya. Tapi bagaimana kalau saya dikibuli? Udah kecebur kali, diempan lintah…. Udah tanah raib, dapat uangnya sejumput doang! Saya mulai menyesali mengiyakan menjual tanah. Terutama karena yang saya dapat tidak sebesar Dilah, kawan main saya waktu kecil. ”Babeh belum punya cukup duit buat bikin kandang yang bener di Pondok Rangon. Gimana kalo kite ditipu? Duit tuh, duit!” saya bersikeras. ”Nah… Beh, udah untung kita dapat lahan relokasi kandang sapi. Itu kan udah nunjukin ada niat baik dari pengembang.” Saya diam lagi, betul juga kata anak saya sih…. Tapi tetap, saya memikirkan sapi-sapi saya yang dua belas ekor itu. Itu adalah penyambung usus keluarga ini. Mana Pak Harto mengeluarkan kebijakan untuk menggenjot produksi susu nasional dan mewajibkan industri pengolahan susu mengutamakan pada penyerapan susu lokal. Itu kan berarti kita bisa dapat untung lumayan kalau sapi-sapi perahnya sering dikasih makan dan digenjor susunya. Sejak sebelum kemerdekaan, babeh saya sudah menggeluti bidang susu perah yang dimulai dari enam ekor sapi. Setelah babeh meninggal, Jarkasi dan saya masih melanjutkan usaha ini bersama-sama, pada awalnya. Tapi setelah itu, Jarkasi lebih tertarik dengan gambang kromongnya. Untuk yang satu itu dia memang betul-betul kagak ade matinye! Ditinggallah saya dengan sapi-sapi ini. Setelah babeh meninggal, saya, Jarkasi dan Juleha masing-masing dapat warisan. Jarkasi bikin rumah petak 106

http://facebook.com/indonesiapustaka

lima biji, memang tidak sebanyak yang dimiliki Dilah. Teman saya yang satu itu betul-betul juragan rumah petak. Sementara saya tetap mengurus sapi-sapi warisan babeh. Saya bersyukur, usaha sapi ini bisa menghidupi keluarga kami. Meskipun ada pasang surutnya usaha susu sapi perah. Susu hasil perahan peternakan kami, kami setorkan ke koperasi susu. Ada juga yang dijual segar-segar, diantar ke rumahrumah yang langganan. Sementara susu yang disetorkan ke koperasi susu dikristalisasi. Masuk pabrik jadi susu bubuk atau dijadikan susu kental lantas diberi merek yang banyak dijual di supermarket. Niat saya, kalau peternakan sudah betul-betul pindah di kawasan relokasi Pondok Rangon, saya suruh Juned dan Japri menjalani usaha sapi perah itu. Saya minta mereka untuk merawat sapi-sapi itu. Walau masih agak gedeg dengan urusan duit dollar itu, saya tahu tidak ada gunanya saya ngamuk-ngamuk kayak cacing kepanasan. Hidup masih berlanjut, saya bercitacita menjadikan Japri dan Juned juragan susu. Saya mau memperbaiki kekeliruan saya dalam mendidik mereka di waktu-waktu lalu. Saya mulai memugar bangunan yang ada di Ciganjur, membetulkan sana-sini seperti yang Salomah ingin. Sambil berjalan pembangunan kandang peternakan sapi di Pondok Rangon. Uang jaman sekarang memang tidak ada harganya; dapat cepat, hilang juga cepat. Beli lahan, rumah, barang, bayar tagihan ini-itu…, terus raib begitu saja tidak ada bekasnya. Saya mulai tidak sabar menunggu ’program partisipasi’ selesai dan katanya bisa dapat dollar. Saya menghela napas, mengumpulkan kesabaran. Sampai kapan? Saya tidak tahu. Lagipula saya butuh tambahan uang untuk pembangunan kandang sapi di Pondok 107

http://facebook.com/indonesiapustaka

Rangon. Saya pikir malam-malam sebelum tidur. Akhirnya saya putuskan, tekad saya walaupun belum bulat betul seperti bulan tanggal lima belas; saya hentikan keikutsertaan saya dalam program ini. ”Babeh yakin, mau berhenti ikut program partisipasi?” tanya Salempang memastikan ketika saya mengemukakan niat saya. ”Gue butuh duit, biarin deh ah…. Lagian dollar kan kagak laku di negare kite,” jawab saya asal. ”Babeh salah! Dollar tuh laku di mana-mana!” sahut Fauzan. ”Sabar dulu kenapa sih Beh… yang lain juga sabar kok,” ujar Enoh. ”Usus gue kagak sepanjang Kali Ciliwung!” saya berkeras. ”Lagian orang-orang pengembang itu, apa betul bisa dipercaya? Semua janji-janji tukang obat doang. Buktinya? Sampai hari gini belum kelihatan dollar kayak apa bentuknya.” Salempang dan Enoh hanya bisa pandang-pandangan mendengar perkataan saya. Malamnya, Salomah yang biasanya tidak pernah urun rembuk tiba-tiba ikut berkomentar, ”Abang yakin mau berhenti dari ’program partisipasi’?” ”Eh…, elu pasti disuruh Enoh ya ngomong ama gue?” kata saya dengan pandangan menuduh. Salomah menghela napas panjang, matanya melirik dengan kesal, ”ya, terserah Abang deh! Tapi kalo aye sih Bang, sembahyang istikaroh dulu…!” akhirnya dia berkata sambil merebahkan tubuhnya di kasur, melungker seperti keluwing dan tidur memungguni saya. Yah, kalau betul-betul dijual lagi dalam dollar, kalau enggak? Saya sudah terlalu sering dengar orang-orang umbar janji. Bukan dipenuhi malah lari. Tapi…, saya pikir lagi, pengembang buktinya juga perhatian kepada para peternak sapi perah. Ini 108

http://facebook.com/indonesiapustaka

terbukti dengan diberikanya kawasan relokasi sapi perah di Pondok Rangon. Tapi…, jangan-jangan orang-orang itu berpikir kalau sudah diberi kawasan relokasi sama dengan lunas hutang ’program partisipasi’. Saya sanksi. Akhirnya saya ambil keputusan; saya keluar dari ’program partisipasi’. Saya praktis hanya menerima ganti rugi, yang sebagian diperhitungkan dengan kompensasi lahan peternakan. Uang ganti rugi itu, tentu saja saya pergunakan membangun kandang sapi yang baik. Sialan! Tidak lama, ternyata program partisipasi betul-betul selesai. Kawan-kawan yang masih ikut serta ’program partisipasi’ pada kegirangan dapat duit dollar yang ternyata—betul kata Fauzan—laku juga di Indonesia. Mereka menukarnya di money changer. Dengan kurs Rp.2500 per US $.1,00 dari hasil penjualan, kalau dirupiahkan pengembang menerima 5 juta rupiah permeter persegi. Saya menyesali keputusan saya. ”Tuh kan… betul…!” komentar Salomah, sekali lagi melirik kesal pada saya, ”aye bilang juga apa, sembahyang istikaroh!” Saya berusaha mengadem-adem hati saya sendiri, walaupun Salomah sendiri bisa melihat saya masih dongkol soal duit dollar itu. Hilang sudah bayangan pundi-pundi. Tak ada lagi bunyi kincring-kincring di kuping saya. Saya ingat betul, pacaran dengan Rimah, istri pertama saya, di Pondok Gede, tepatnya di Kampung Dukuh. Dulu, orang Belanda ada yang bangun langoed bagus banget. Ada ukir-ukiran Jawa, ada lukisan-lukisan gaya Eropah juga. Hooyman, yang bikin itu langoed menyebutnya ’pondog’. Tetapi karena besar sekali, sedang rumah orang-orang kecil, maka orang-orang menyebutnya ’pondog gede’. Ada tanah pekuburan di situ, berseberangan dengan Rumah Sakit Husni Thamrin. Masuk saja gang di sebelah pekuburan itu, di situlah saya dulu bertemu Rimah. 109

http://facebook.com/indonesiapustaka

Ketika saya pindahan dari Karet, ke daerah Ciganjur, saya kembali mengenang-ngenang hidup saya di rumah lama bersama Rimah, istri pertama saya. Rumah itu sudah berkali-kali dipugar oleh babeh dan Engkong saya yang sebelumnya menempati tempat yang sama. Di rumah itu ada kenangan terdalam sejarah hidup saya. Saat itu juga, saya meyadari bahwa saya masih cinta pada almarhumah istri pertama saya. Untung kawasan pekuburan Karet tidak ikut digusur. Kalau iya, betulbetul lenyap jejak Rimah. Di rumah yang baru, di Ciganjur, saya bisa mencium baru cat baru nempel di tembok. Orang-orang di sekitar sini suka sekali bikin rumah dengan tembok tinggi-tinggi. Mirip benteng jaman Belanda. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa betah mereka seharian ngendon di rumah ngejogrok kagak kumpul tetangga? [Haji Jarkasi:] Suara ribut yang saye kagak yakin bisa dibilang musik daris tadi gak berenti-berenti koar-koar. Sumbernye dari rumah sebelah. Udah dua jem saye itung orang sebelah teriak-teriak. ”Aduh…, pecah gendang telinga gue!” ”Iye tuh anak sebelah rame banget sih… Emaknya kagak nyuruh dia diem ape? Kagak ngarti tetanggenye keganggu gini.” Saye udah kagak tahan! Ampe-ampe suara azan Lohor kagak kedengeran. ”Eh, Bang… Bang…, mau ke mane?” ujung baju saye dipegang Enden. ”Mau gue paranin tuh anak!” ”Malu Bang, rame-rame…! Entar dikira kelahi lagi.” Muka Enden dilipet tujuh kali. 110

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Udah lu tenang aje!” Ibarat telor anget-anget bulet keluar dari pantat ayam, udah bulet nih tekad buat kasi pelajaran anak tetangge. Kupingnya kopok kali ye! Saye udah siap-siap mau maranin. Belon tiga langkah keluar pager. Eh, tetangga seberang udah gedor-gedor duluan. Wak Markum cincing-cincing lengen sambil tolak pinggang, tangan yang satu lagi dikepel pake buat ketok pintu. Untung die kagak bawa golok. Pintu dibuka, Ibu Panjaitan yang keluar. Suara musik makin santer gambreng-gambreng mirip mesin bubut waktu pintu kebuka. ”Kecilin tu radio!” semprot Wak Markum. Mukanya merah, ”kagak ngarti orang laen keganggu. Ini waktu tidur siang, tau!” ”Bah! Kau itu datang-datang bikin berisik. Tak ada angin tak ada topan, berteriak pula di mukaku.” Bu Panjaitan kagak mau kalah, die adepin Wak Markum dengan muka dilipet. Suarenye gede mirip suara lelaki. Makenye, kalo die ngomong kagak keliatan mukenye, bisa-bisa saye kira die lakinye. Dasar Batak, pasti kagak nyerah lah! Saye ngeliatin aja dari depan pager. Muka-muka tetangga yang lain nonggol atu-atu dari pintu rumahnya kendiri-kendiri. Mau ada perang, semua mau nonton. ”Eh, lu denger ye! Topan badai daris tadi udah ada, dari rumah lu datengnye! Lu kagak denger suara sember mirip kaleng dibanting bunyi kagak keruan?!” ”Bah! Kau bilang anakku tidak punya selera musik bagus, begitu?” tangan Ibu Panjaitan tolak pinggang. Tau-tau Enden sudah berdiri di belakang saye, bikin kaget aja! Dia ikut-ikutan nonton bakal perang di rumah sebelah. ”Masyaallah… lu ngapain di sini? Masup sono!” suruh saye ke Enden. 111

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Aye pikir tadi yang rame-rame Abang!” kepala Enden nongol-nongol pengen cari jelas yang ribut-ribut dari rumah tetangga. ”Belon, gue belon keluar eh… Wak Markum udah maranin duluan.” ”Jelas aje orang mare… orang ributnya kayak kompor mleduk!” komentar Enden, bibirnya miring-miring, ”sukur! Wak Markum kan galak! Anak yang ketauan nyolong jambu aer di rumahnye aje dibawa ke pos siskamling! Hi hi hi….” Enden cekikikan merasa menang. Saye sama Enden jadi nonton bareng perang dunia ketiga. Hiburan gratis. Wak Markum ngomel lagi, kagak mau kalah sama Ibu Panjaitan, ”Eh, lu bilang kayak gitu musik?! Tau diri dong lu, timbang radio doang gue juga punya. Tapi gue kagak norak kayak elu, semua orang disuruh denger! Lu taruh anak lu ke sekola musik nyang bener, kasi liat conto musik nyang bisa didengerin. Jangan ember dibanting lu bilang musik!” ”Iya! Makan tuh omelan Wak Markum!” sahut Enden bersemangat tapi suaranya dikecilin biar kagak kedengeran orangorang, masih bediri di belakang saye. ”TOGAAAAAAR!” Bu Panjaitan teriak manggil-manggil anaknya. Anak bujang, rambutnya berdiri-berdiri…, pake apa ya tuh rambut bisa berdiri gitu? Dilem kali ya? Anak bujang seumuran Edah nongol sambil garuk-garuk, matanya separo ngantuk. ”Apaan Mah?” ”Kau kecilkan lah itu radio kau punya!” Bu Panjaitan ngalah, nyuruh si Togar, anaknya, ngelicin radio. ”Radio apaan? Orang Togar enggak pasang radio.” ”Lah… ntu rame banget apaan namanya kalo bukan radio?!” Wak Markum nyelak gak sabaran. 112

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Oo… itu tape Wak! Rock ’n roll Wak! Keren ya?!” dasar anak songong! Jari tengah sama jari manisnya belipet, bikin tanda ’metal’ di depan muka Wak Markum. ”Keren, keren…. Masih untung jantung gue belon copot dengerin kaen rombengan lu! Lu betul-betul kagak mikir ye, tetangge pade keganggu, lu tau! Gue laporin satpam lu baru tau!” Wak Markum nyemprot lagi. ”Iya, iya… entar dikecilin.” si Togar jawab males-malesan. ”Kau kecilkan lah sekarang, sana! Mamah mau nonton telenovela pun tadi tak terdengar, kau tau!” Bu Panjaitan ngedorong kepala Togar. ”Bah! Kalau tidak keras, mana asik didengar?!” Togar bikin alasan. ”Orang-orang terganggu, kau ini keras kepala pula!” Bu Panjaitan dan Togar malah ribut sendiri. Wak Markum masih tolak pinggang belum pergi dari depan pintu rumah keluarga Panjaitan. Belum puas selama itu tape belum dikecilin. ”Kalau begitu Mamah belikanlah Togar walkman, yang bisa Togar dengar sendiri dan bisa dibawa ke mana Togar suka.” ”Ck…, ya sudah nanti Mamah bilang ke Papahmu minta dia belikan walkman untukmu. Daripada Mamah dikeroyok orang sekampung akibat ulah kau!” janji Ibu Panjaitan ke anaknya. ”Aseeeek!” Togar langsung lari ke dalam rumah, dari ngantuk jadi seger. Suara musik jadi kecil. Wak Markum undur diri, tugasnya selesai. Jantungnya gak jadi copot, kepalanya gak jadi pecah. Semua tetangga yang tadi nongol lihat perang dunia ketiga yang kagak jadi pecah, masup lagi ke peraduannya masingmasing. Saye sama Enden juga masup rumah. ”Heran deh, suara kayak gitu dikata musik?!” Enden masih menyambung omelannya. 113

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Udah…, yang penting udah kagak ribut lagi. Lohor dulu sono!” ”Iye, iye!” Ya, betul, saye kendiri sebetulnya juga heran. Suara kaleng rombeng gitu dibilang musik. Dari mane datengnye ye? Musik dari luar negeri apa ye? Padahal gambang kromong yang biase saye mainin kan juga kagak murni dari Betawi. Ada unsur musik orang bule dari jaman belanda dulu, ada juga campuran Cina. Lihat aja alat musiknya, kalo gak percaya. Tapi bisa didenger. Kok musik anak tetangga tadi beda ya? Emang, jaman sudah berubah. Orang punya selera kendiri-kendiri, biar kata seleranye aneh bin ajaib. Lah, ntu buktinye, anak tetangga. Untung si Edah kagak gembrang-gembreng begitu. Tentrem juga nih ati, tau anak kendiri suka ama musik warisan. Nari juga pake gerak yang betul, kagak loncat-loncak gak keruan kayak cacing disiram minyak tanah, kayak yang saye liat di tipi. Udah jarang anak yang kayak Edah. Biar kate semua anak seumuran dia sukanya pergi disko, tapi si Edah mah kagak begitu. Beda banget tuh anak. Daris masih seemprit suka saye ajak lihat latihan gambang kromong di Kampung Dukuh. Dulu sih, sempet kita sering diundang ke mana-mana. Ke acara nujuhbulanin, sunatan, kondangan, macem-macem… sekarang boro-boro. Inget ada lenong aja kagak kali, orang lebih inget musik gembrang-gembreng anak tetangga tadi. Dulu, biar kata dapet duit cuma seribu-dua ribu, tapi masih ada yang naggap… sekarang boro-boro. Dulu, biarpun sampe tengah malem juga saye masih ditunggu ama orang yang mau nonton lenong. Biasanya lenong dimulai kitaran jam sembilan malem kalau di acara pengantenan. Dulu ada orang yang sering nanggep 114

http://facebook.com/indonesiapustaka

kelompok kite, siape ye namenye? Ehm… o iya, Bang Juki! Dia suka panggil kita, temennya banyak. Cukong-cukong yang jualan kaen di pasar, juragan besar, sampe lurah juga temannya Bang Juki. Kalau temen-temennya ngadain acara rame-rame, Bang Juki yang biasa datang untuk mengundang kami. Berkalikali kami dapat gawe dari Bang Juki. Biasa, namanya juga punya gawe. Makin laem makin rame. Terakhir Bang Juki nanggep lenong waktu anak perempuan atu-atunya kawinan (udah itu saye pikir kite bakal ditanggep lagi kalo anaknye nujuhbulanin, tapi ditunggu-tunggu kabarnya kagak ade). Tetamu yang datang makin dempet-dempetan, sementara pasangan penganten-anak dan mantu Bang Juki-mulai kegerahan, mulai usreg kagak nyaman. Tapi tetep aje mereka salaman sama tamu yang dateng. Panas bener rumah Bang Juki waktu itu. Rumah kagak seberape gedenye, buat kawinan gede-gedean. Rumah tetangga dua biji kanan kiri, sama tetangga seberang ikut dipake halamannya. Pojok jalan distop, ada pager taneman sengaja ditaro di ujung jalanan, komplit ama pot-pot kembangnya sekalian. Biar orang yang mau lewat situ tahu, jalan lagi dipake ama orang yang punya gawe. Yang jaga orang-orang siskamling. Pemain lenong grup yang saye bawa kipas-kipas, apalagi yang perempuan, pake make-up tebal dan kostum tari lengkap. Kebayang panasnya. Tahu-tahu orang-orang bersorak-sorak riuh. ”Oi! Kapan mulai? Ngelenongnya jadi kagak?” ”Iya cepetan! Udah kebelet nih gue!” ”Ayo mulai!” teriak tamu yang lain. ”Hoaaaaaah…!” ada tamu yang berlagak ngantuk nungguin lenong gak mulai-mulai Saye masih harus nunggu aba-aba Bang Juki dulu, si empunya rumah. Salah-salah dia belum kasih ijin, kami main. Salah-salah 115

http://facebook.com/indonesiapustaka

juga kalau kami kagak mulai main tetamu bisa-bisa ngamuk nungguin lenong kelamaan. Akibatnye pesta kawinan yang harusnye meriah jadi ancur, kan kesian Bang Juki juga. Akhirnya saye dekatin Bang Juki yang masih nyalamin tetamunya. ”Gile… banyak bener yang datang! Bisa-bisa nih rumah roboh.” Bisa saye dengar bininya Bang Juki bisik-bisik, ”Bang… makanannye cukup kagak ye?” muka bininya Bang Juki kelihatan cemas. ”Yeee… elu sih, udangan lu sebar dua rebu biji. Udah gue bilang kan kebanyakan!” ”Laaah… ini yang dateng lebih Bang!” si istri gak mau kalah. ”Lu bego sih, di mane-mane juga satu undangan diitung dua orang. Jadinye lu musti sediain empan buat empat ribu orang! Bisa kali-kalian kagak?!” ”Aduh, gimana nih Bang?” bininya tambah panik ”Udah! Udah! Diem lu, jangan ngambek aje. Tamu banyak gini.” Bang Juki kelihatan kesal sama bininya. Sebetulnya saye gak enak mau nyelak, tapi apa mau dikate…, daripada pada ngamuk mending saye berani-beraniin ngomong sama Bang Juki. ”Maap Bang, lenongnya bisa dimulai sekarang kagak ye? Yang nonton udah pada nagih tuh Bang,” saye nyelak. Bang Juki gak jawab. Dia ngelirik ke arah penonton yang rame nyuruh lenong cepat-cepat mulai, ”mending dimulai aja Bang, biar pada diem,” sambung saye lagi. Istri Bang Juki nyelak, ”eh… iye Bang! Bener… mulain aja… biar pada nonton, biar pada kagak makan mulu!” katanya dengan bisik-bisik. Bisikannya keras dan panik, saye dengar jelas banget. Make-up bininya Bang Juki kelihatan mulain luntur. ”Iye deh, mulain aja.” Bang Juki kasih komando. Saye lega, segera kasih aba-aba pada para pemain buat siap-siap. 116

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Untung ade lenong Bang…,” istri Bang Juki jadi ikutan lega. Daris tadi dia takut makanan prasmanan habis. Ia tahu kalau lenong mulai, perhatian tamu kesedot bukan ke bagian makanan prasmanan yang tinggal kuah aja. Mong… duk-duk mong… suara alunan gambang kromong yang santer memulai lenong. ”Horeeeee!” Orang-orang bersorak senang, pasangan penganten yang tadinya ngantuk jadi melek lagi. Sementara istri Bang Juki melirik ke bagian makanan prasmanan, lega sebab tetamu yang nyerbu ke bagian itu tinggal berapa gelintir. Semua mencari tepat buat bisa nonton lenong yang enak. Malam ini judul lakonnya adalah ’Empang Warisan’, tentang kakak-beradik yang kelahi sampe-sampe kagak nganggep saudara lagi. Terus, waktu orang tuanya meninggal sebuah empang milik orang tuanya dulu jadi rebutan kakak-beradik tadi. ”Empang…, aku di sini engkau di sana. Tapi hatiku selalu memikirkanmu oh empang…!” seorang lakon keluar dengan berpuisi tentang empang. Penonton riuh. ”Cieeee….,” respons penonton sambil cekikikan karena dengar puisi empang tadi. ”Lu tau ape artinya empang buat gue?” tanya lakon itu ke penonton. ”Ape?” tanya seorang penonton. ”Buat be’ol!” sahut penonton yang lain disambut derai tawa orang-orang. ”Ye, itu sih elu! Sukanya be’ol di empang,” sahut lakon lenong, ”tapi… empang ini beda…!” sambungnya dengan serius, pakai gaya megang dagu segala, terus tangan satunya dilipet ke belakang. ”Cieeee…,” respon penonton. 117

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ini empang wasiat dari engkong aye!” ”Cieeee…,” respon penonton lagi. Lalu keluar seorang lakon perempuan sambil bawa kemoceng. Musik gambang kromong mengalun, mengiringi lakon perempuan yang bebersih sambil nyanyi ’Keroncong Kemayoran’ tapi kagak selesai gara-gara lihat lakinya murem. Musik gambang kromong pun ikut redup seraya lakon perempuan berhenti nyanyi lantas negor lakon lakinya, ”Bang, apaan sih dari tadi bengong aje kayak ayam kesambet!” sahutnya. Penonton riuh tertawa. ”Gue lagi mikir empang.” ”Timbang empang aje dipikirin, emang ade emasnye? Ade juga pisang goreng aye ngambang di situ kali!” sahut lakon perempuan itu. Penonton kembali tertawa, mereka pasti keingetan diri kendiri yang sering buang hajat di empang terdekat. Kotorannya pasti mengapung-apung seperti pisang goreng berlayar. Penonton kesenangan sewaktu adegan tokoh Mada dan Markonah pacaran di dekat empang dan kedua orang tuanya yang sebetulnya masih saudara kandung tapi saling mengkelahi nangkep basah muda-mudi kasmaran itu. Penonton juga ikut sedih ketika Mada dan Markonah kagak bisa nikah sebab akhirnya mereka tahu bahwa orang tua keduanya masih kakak beradik. Lakon ini berakhir dengan Markonah yang akhirnya bunuh diri kelelep di empang itu sebab kagak bisa berenang. Lantas kakak beradik yang tadi mengkelahi jadi baikan lagi. Lenong berjalan sukses dan lancar sekitar dua jam. Setiap ada lakon lucu atau respon spontan yang membuat makin semarak pertunjukan lenong, perangkat gambang kromong pun disentak sebagai musik latar. 118

http://facebook.com/indonesiapustaka

Menjelang pukul dua belas malam pertunjukan lenong selesai. Bang Juki dan istrinya menyediakan nasi untuk para pemain lenong makan, tak lupa memberikan uang ala kadarnya sebagai upah pertunjukan. Kami pulang sambil gotong-gotong peralatan ngelenong dan gambang kromong. Sampai di rumah hampir pukul dua malam. Enden, istri saye, nyambut sambil mengucek-ucek matanya, dia sudah tidur duluan. ”Baru balik Bang, mau ngupi?” tanya Enden. ”Kagak. Ambilin air puti aje,” pinta saye. ”Edah mana?” ”Hoaaaaah….,” Enden menguap besar, ”ya udah tidur lah Bang. Udah gini ari,” jawabnya. Ia memberikan segelas air putih buat saye. Saye melepaskan kancing baju dan mulai mengipasngipas dengan peci. ”Udah berapa hari Abang pulang gini hari melulu.” ”Ya lu kudu maklum, namenye kerjaan kayak gini.” Saye mengambil beberapa lembar uang ribuan di yang tadi saye selipkan di peci, uang hasil ngelenong, pembagian jatah yang rata dengan pemain lainnya, ”nih!” saye kasih uang itu ke Enden. Dia ngitung uang yang melipat-lipat itu. Ada tiga ribu rupiah, diselipin di kutangnya. ”Kalo lagi rame, hampir tiap hari deh Abang bisa pulang pagi melulu. Kalo sepi, betul-betul kagak ade yang nanggep,” komentar Enden. ”Namanya aja kerja di hiburan. Lakunya di kondangan. Kalo kagak ada yang punya gawe, kagak ada yang kawin, ya kagak ada yang nanggep!” Sudah lama Enden pengennya saye konsentrasi ngurus kontrakan rumah saja. Atau mengurus sapi kayak Bang Jaelani. Sebetulnya dulu saye juga sempat punya pekerjaan lain, saye 119

http://facebook.com/indonesiapustaka

sempat menjadi tukang jaga rel kereta api. Tugasnya nurunin palang kalau kereta akan lewat. Waktu itu, tentu saja saye harus tahu jadwal kereta api selain pasang telinga lebar-lebar buat dengerin pluit kereta yang bakal lewat; apa datang dari arah kanan atau dari arah kiri. Beruntunglah saye, yang sudah sejak muda akrab dengan musik, kuping saye jadi awas mendengar suara kereta yang akan lewat. Tapi saye tak betah. Gimanapun juga suara musik sama suara kereta kan beda jauh bunyinya. Kalau dengerin musik perasaan jadi senang, lain lagi kalau dengerin bunyi kereta, perasaan jadi was-was. Saye takut ada orang bandel yang lolos, tiba-tiba meleng, keras kepala tetap lewat nerobos palang kereta. Dengerin suara kereta buat saye sama aja nanggung tanggung jawab yang sangat besar; nyawa taruhannya. Saye gak kuat nerusin kerja di PT. KAI. Akhirnya saye keluar, lagipula saye dapet sepetak tanah warisan orang tua di Karet. Saye bangun lima rumah petak yang lantas saye kontrakin. Kebanyakan yang ngontrak orang-orang pendatang. Kagak ada orang Jakarta aseli yang nyewa rumah kontakan saye. Dari sini saya mulain tahu, Jakarta bukan milik saye lagi. Ujung-ujungnye sampe sekarang, kontrakan itu yang lebih banyak ngasih makan keluarga kami. Meski saye gak berhenti main musik, ngiringin lenong, yang kadang-kadang pulang membawa uang. Tapi jujur, lebih banyak nomboknya daripada untungnya. Orang saye kate, tukang topeng monyet lewat saja sudah jarang yang nanggap, apalagi lenong…. Satu yang saye pengen dari dulu; peralatan gambang kromong kendiri. Kira-kira kapan ya, bisa kuat beli? Pernah waktu itu kekumpul duit, tapi saye pakai buat naik haji dulu. Biar gimana juga, igame kan yang utama. Kalo rukun Iman sama rukun Islam udah dipenuhi kan nih ati jadi tengang. Rejeki juga bisa lancar. 120

http://facebook.com/indonesiapustaka

Jadi deh, perangkat gambang kromong ditunda dulu. Terus belum lama duit mulai kekumpul lagi, dipake buat Edah yang waktu itu dikate bakal dikirim ke Jepang buat jadi penari. Tapi dasar nasib sial, ketipu! Ya udah, lewat lagi deh itu peralatan gambang kromong. Tapi tetep, satu keinginan itu gak mati-mati dalam nih ati. Biar kata jarang orang yang nanggap juga, harganya bukan harga kacang rebus. Saye pengen ngedidik anakanak yang muda-muda, biar tertarik sama gambang kromong, lenong, tari-tari Betawi. Saye pengen warisan budaye ini gak jadi kenangan doang. [Juleha:] Perempuan itu hamil. Minggu depan mereka akan nujubulanin. Padahal ijab kabulnya baru enam bulan lalu. Ah, tapi aku bisa apa? Aku tahu apa? Pagi ini Bang Jiih balik dari rumah keduanya (aku lebih suka menyebut perempuan itu ’rumah kedua’ daripada ’istri kedua’), dan mewartakan berita yang dia anggap gembira itu. Secangkir kopi kuletakkan di meja, dengan gelas kesayangannya; mug besar berwarna krem dengan gagang dan tutupnya. Tak peduli, mungkin Bang Jiih sudah ngopi pagi ini sebelum kembali ke rumah ini. Mungkin rumah keduanya sudah menyuguhkan kopi. Tapi buatku, kalau dia pulang, maka aku harus melayaninya dengan baik. Seperti hari yang biasa-biasa saja, seperti pagi-pagi sebelum-sebelumnya. ”Lu dateng aja, kalo mau,” katanya. Aku bisa merasakan keraguan dalam kalimat itu. Aku tak yakin itu undangan karena dia menambahkan ’kalo mau’. ”Bukannya…,” aku memotong kalimatku, mencoba mencari kata yang tepat, tapi tak kutemukan ”Abang baru nikah enam 121

http://facebook.com/indonesiapustaka

bulan? Kok udah nujubulanin?” kubuat suaraku sedatar mungkin, juga wajahku; setidak ekspresif mungkin. Dia langsung melihat ke arahku, gugup. ”Aye udah nikahin dia sebelumnye…, ijab yang pertama di tempat die, ame keluargenye.” ”Kok Abang kagak bilang aye?” suaraku meninggi, aku coba mengendalikannya. Oo…, begitu ya kejadian sebenarnya, nikah curi-curi di belakangku. ”Abang pengen… nikah di depan lu, makenye ijab lagi baek-baek ada lu.” Katanya beralasan. ”Nikah ama die yang pertama belum dapat ijin dari aye kan? Bukannya itu sama aja zinah?” aku membuang muka. Kena dia! Satu smash dariku. ”Ehm…,” dia gugup. Lanjutnya, ”kan yang penting lu udah kasih ijin. Lagian lu kagak bisa punya anak.” Kali ini gantian aku yang kena smash. Dia tahu itu kelemahanku, dan aku dipersalahkan. Dia tahu dengan begitu akan mengunciku. Padahal dia tahu sendiri dokter bilang bahwa aku subur dan tak ada masalah, hanya belum diberi saja oleh Yang Kuasa. Lebih lagi, perempuan itu sekarang isi. Aku memalingkan muka, melihat ke arah pintu kamar. Bang Jiih juga diam saja. Tak berani lagi bicara apa-apa. Kami tahu ini akan jadi cekcok kalau diteruskan. Sekali-kali, sebetulnya ingin juga aku cekcok besar dengan laki-laki ini. Aku ingin tetanggatetangga dengar keributan kami, aku ingin semua orang tahu bahwa ada masalah besar di rumah ini. Dan yang paling penting aku ingin semua tahu bahwa aku memberi ijin kepada Bang Jiih menikah lagi karena terpaksa, tidak dengan tulus. Mana ada orang yang mau dikawin madu? Mereka menikah, di rumah ini. Rumah kami. Tapi aku tak 122

mengijinkan mereka bermalam di sini. Setelah ijab kabul itu dilakukan, mungkin mereka sudah pesan kamar honeymoon suite di sebuah hotel berbintang. Mungkin juga orang tua perempuan itu sudah menyiapkan sebuah ruang, dengan kasur empuk yang dibalut sprei berwarna senada dengan kain penghias dinding, juga kelopak bunga-bunga di kasur. Aku tak tahu, dan tak mau tahu. Yang pasti, malam ketika Bang Jiih menikah lagi adalah malam yang dingin.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Waktu itu Bang Jiih bertahap bahasa tubuhnya gelisah. Ia kerap bolak-balik kamar mandi, tanpa alasan yang jelas. Tadinya kupikir diare, tetapi dia bilang dia baik-baik saja dan menolak minum obat mencret. Aku tahu, dia gelisah. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Meskipun aku ingin tahu apa itu, dan menerka-nerka sendiri, toh aku tak pernah bertanya apa masalah sebenarnya. Tiba-tiba saja Bang Jiih jadi kerap mengangkat topik pembicaraan soal anak. Yang bisa kukatakan, tentu saja, hanya memintanya bersabar. Mengingatkan nabi Ibrahim yang harus menunggu lama untuk bisa punya anak dari istrinya, Hajar. Semakin kerap ia berbicara soal anak, semakin besar rasa bersalahku, hingga suatu sore bakda Magrib kami mengobrol. ”Kira-kira kapan ya, Allah ngasih gue anak?” Deg! Aku membisu, mendengar omongannya. Dia bilang apa tadi; ’kapan Allah ngasih gue anak?’ Dia bilang; gue. Bukan; kami. Seolah-olah dia menutup mata bahwa aku pun merindukan anak yang benar-benar lahir dari rahimku sendiri. Sejak itu aku tahu, ada perempuan lagi yang disimpannya. Aku 123

http://facebook.com/indonesiapustaka

beranjak dari kursi, tak menjawab pertanyaan retorik itu. Sudah capek aku mengingatkannya untuk bersabar. Sudah usang pula jika harus mengulang kisah Nabi Ibrahim dan Hajar. ”Aye nyuci piring dulu.” Kuambil piring kosong pisang goreng di meja, menuju ke dapur. Sejak dulu, Bang Jiih laki-laki yang taat. Jika ada anugerah pemuda teladan, maka Bang Jiih pasti dapat. Dia punya usaha percetakan yang diurusnya sendiri, modalnya dikumpulkan dengan dua orang teman lainnya. Sejak muda ia sudah jadi remaja masjid, bersuara indah pembaca adzan, yang membuat orang datang ke masjid. Itu pula yang dulu membuatku tertarik untuk datang ke masjid ketika magrib. Ibuku dulu pernah bilang, tiap istri bawa hoki sendiri-sendiri buat suaminya. Kalau benar begitu, maka aku bisa bilang bahwa aku membawa hoki yang cukup besar untuk Bang Jiih. Semenjak kami menikah, usaha percetakannya maju. Ketika itu pula, ia diangkat menjadi pembina remaja masjid. Dia dianggap seorang muda yang mampu memomong adik-adiknya. Sejak itulah ia kerap diminta untuk ceramah di masjid-masjid, dan karena kami sudah berstatus suami istri, suatu hari kelompok arisan pengajian ibu-ibu yang saya ikuti memutuskan untuk mengudang suamiku, Bang Jiih untuk memberi ceramah. Setelah itu, sedikit demi sedikit kami bisa menabung; tak pernah saya lupakan hari ketika Bang Jiih girang bukan kepalang sebab akhirnya uangnya cukup untuk naik haji. Dia berangkat sendiri, saya menunggu di tanah air karena ongkosnya baru cukup untuk satu orang. Sepulang dari Tanah Suci, rejeki kami semakin deras. Seolah-olah keran ngocor, seperti itulah rejeki kami. Mengalir. Dimulai dari radio kampung amatir Orari yang biasa buat ngebrik, 124

http://facebook.com/indonesiapustaka

mengundang Bang Jiih untuk memberi ceramah agama untuk remaja. Ini karena kebanyakan anak-anak menggunakan radio Orari untuk pacaran di udara. Maka Pak Haris, pengurus radio itu memintanya unuk mengudara. ”Brik, brik…. Selamat sore mengjelang malam para pendengar radio amatir Orari di mana pun anda berada. Assalamualaikum warahmatulahi wabarakatu….!” Demikian Pak Haris memulai sapaannya. ”Waalaikum salam…!” begitulah Bang Jiih menyahut ucapan salam Pak Haris. ”Apa kabar Bang Jiih?” ’Baek Bang Haris, baek.” Di radio Pak Haris meminta Bang Jiih untuk memanggilnya dengan ’bang’ pula, agar setara. Jadi, di udara para pendengar juga memanggil Pak Haris dengan ’Bang Haris’. ”Yak, semoga para pendengar Masjid di udara khususnya para remaja juga baik, tidak kurang suatu apapun. Selalu dalam lindungan Allah SWT…,” ujar Pak Haris, lalu ia dan Bang Jiih akan berkata bersama-sama, ”…insya’ alla…h!” Lalu diselingi dengan bercanda-canda dan mengingatkan apakah para pendengar sudah salat Azar. Setelah itu acara inti yang dikemas ringan, belum tentu pula setiap mengudara ada tema. Mereka berdua ngobrol saja ngalor ngidul tentang macam-macam, diselang-seling dengan Bang Jiih yang memberi nasehat agama iniitu di setiap kesempatan. Dengan gayanya yang lucu dan tidak menggurui, orang-orang mendengar Bang Jiih untuk ceramah. Selain itu, karena ini radio ngebrik, otomatis pendengar banyak yang bisa masuk bergabung di acara ini. Jadi, banyak remaja yang bertanya soal macam-macam masalahnya. Curhat segala hal yang tak bisa diomongkan dengan orang tuanya. 125

”Brik, brik… lamlikum…Bang… aye mau tanya nih. Gan-

http://facebook.com/indonesiapustaka

ti.” ”Alekum salam. Silakan! Silakan! Langsung aje diomongin. Ganti.” Pak Haris yang menyambut. ”Gini Bang… hehe, jadi malu mau tanyanya…” ”…eh, tunggu dulu; ini siapa? Nama? Nama? Ganti,” sahut Pak Haris. ”Ipin, Bang! Ganti.” ”Nama sebenarnya ape nama samaran? Ganti,” tanya Pak Haris. Sementara Bang Jiih diam saja menunggu gilirannya bicara. ”Nama sebenarnya dong… Boong kan dosa, entar aye masup neraka lagi! Gitu, ganti,” jawab Ipin di seberang sana dengan pe-de. ”Sip deh, Ipin Nama Sebenarnya, pergi ke pasar membeli pale, silakan langsung ngomong aje! Ganti.” Pak Haris di sanasini tak lupa menyelipkan pantun sekenanya. ”Oke dikopi. Makasih Bang Haris. Gini Bang Jiih, misalnye nih… misalnye… aye punya demenan. Baeknye, pacaran dulu ape langsung dikawinin aje? Pan katenye pacaran haram hukumnya. Gitu aje deh. Ganti.” Nah, pertanyaan-pertanyaan macam itulah yang muncul. Hal-hal menyangkut agama yang kadang membuat bingung para remaja. Kadang pula ada pertanyaan konyol, misalnya; apa Bang Jiih hapal dua puluh lima nabi? Dan bisakah Bang Jiih menyebutkannya satu per satu beserta fungsi tiap-tiap nabi? Tentu saja Bang Jiih bisa menjawab ini, dia hapal luar kepala. Pernah pula ada yang bertanya demikian; betulkan misalnya kita hapal sembilan puluh sembilan nama Allah atau asma ul husnah, dan kita sedang bepergian naik pesawat lantas tiba-tiba pesawatnya meledak di udara, maka 126

http://facebook.com/indonesiapustaka

orang yang hapal asma ul husnah bisa selamat dari kecelakaan itu? Perbincangan di radio amatir Orari praktis berlangsung sampai sebosan mereka. Tak jarang diputus salat Magrib terlebih dahulu, lalu disambung kembali hingga jam delapan malam. Dan selalu, selalu, Pak Haris menutupnya dengan pantun, ”Wak Markum nyawah naek kebo, asalamlekum si yu tumoro!” Aku selalu mengikuti acara radio itu sambil menunggunya pulang ke rumah. Tiba-tiba saja, Bang Jiih jadi tenar. Ia diundang di radio sungguhan untuk ceramah on-air selain makin sering diundang untuk pengajian, ceramah setelah salat id, ceramah jumatan, ceramah kelompok-kelompok pengajian. Surat-surat pertanyaan dari para pendengar remajanya menumpuk di radio. Memang tidak seterkenal KH Zainudin MZ, yang punya sejuta ummat dan sudah masuk televisi. Namun aku pribadi cukup gembira dengan kemapanan Bang Jiih. Orang-orang juga tidak lantas memanggilnya dengan ustad, kyai haji, atau da’i. Ia tetap dipanggil Bang Jiih, nama populer yang berkesan akrab dan tak berjarak di telinga para pendengarnya. Yang memanggilnya Pak Haji atau Pak Jiih hanya tetangga-tetangga sekitar saja, orangorang yang tinggal di lingkungan kami. Ia menjadi igur kakak/ abang yang menjadi panutan remaja. Percetakan kami kemudian mulai mencetak buku-buku agama, tidak sekedar menerima pesanan dari penerbit saja. Bang Jiih menulis sebisanya, buku bermacam-macam kultum, buku panduan salat untuk pemula, buku tentang zakat, buku tentang puasa, dan beberapa buku lainnya. Biasanya, buku itu dijual di kalangan sendiri. Ketika Bang Jiih diundang ceramah, dia bawa barang sepuluh buku. Selalu laku. Sampai-sampai ada yang 127

http://facebook.com/indonesiapustaka

pesan berkardus-kardus. Meskipun kehidupan ekonomi kami terus membaik, kami belum kunjung dikaruniai anak. Kami pernah memelihara seorang anak asuh usianya kira-kira enam tahun. Anak itu kami angkat dari anak jalanan yang suatu hari minta-minta di rumah kami. Tetapi anak itu kabur. Ternyata anak itu masih punya ibu yang juga hidup di jalanan memintaminta. Ia malah minta uang pada kami, menuduh kami menculik anaknya. Akhirnya kami berpikir, mungkin Allah memang belum mengijinkan kami untuk punya anak. Tak berapa lama setelah kejadian anak yang tak jadi kami asuh itulah, aku mulai melihat perubahan di bahasa tubuh Bang Jiih. Ia berubah sedikit demi sedikit. Sepertinya ada jarak yang sengaja ia ciptakan denganku. Ini juga terlihat ketika ia menyetubuhiku, meskipun aku tak pantas membicarakannya, tapi sungguh… aku merasakan perubahan itu, meski aku terus berusaha mengelak rasa itu. Hingga suatu hari, di Radio Kayu Manis ketika Bang Jiih menjadi nara sumber untuk ceramah agama. Aku mendengarnya berbicara demikian, ”… jadi, sebagai orang beriman, kita harus menjaga hati. Jangan kita nodai dengan hal-hal yang merusak iman dan taqwa kita. Nah…, ini nih, ibu-ibu… sukanya iri-irian aja. Iri itu termasuk hal yang menodai hati kita. Misalnya, ada tetangga yang keliatan baru beli kulkas, terus deh bisik-bisik ama suaminya ’eh, bang-bang, liat itu Mpok Cicih baru beli kulkas. Beh… suaminya pasti baru ngutang di koperasi! Padahal itu mah kredit! Belum tentu sepuluh tahun lunas’. Aduh… jangan gitu ya ibu-ibu, jaga hati kita. Jadi diri kita. Jaga mulut kita.” Sejenak aku teringat seorang tetangga yang pernah menggunjingkan kulkas tetangga lain yang kemarin baru dibelinya. Itu membuatku sedikit tersenyum. Aku terus mendengarkan siaran itu. 128

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Daripada kita iri ama tetangga gara-gara kulkas baru yang gak kebeli ama kita. Mendingan kita mah ikut seneng aja: ’alhamdulillah…. Mpok Cicih bisa beli kulkas baru. Saya bisa numpang nitip aer di dalam plastik buat es batu.’ Nah, kita kan bisa ikut seneng. Ada tetangga yang baru beli tipi 29 inchi, ya ikut seneng. ’Alhamdulillah Mpok Heni bisa beli tipi yang gede, punya aye cuman 14 inchi. Aye bisa ikutan nonton tipi di tempatnya Mpok Heni, biar matanya gak sakit kalo nonton di tipi yang kecil mulu’. Nah… gitu kan enak. Jangan suka iri kalo ada tetangga yang bisa beli mesin cuci, kita ucapkan aja ’alhamdulillah… Bu Jono bisa beli mesin cuci. Nanti kalau harus nyuci sprei, siapa tau bisa minjem mesin cucinya Bu Jono’. Jangan iri kalau ada perempuan yang suka ama suaminya, ucapkan aja ’alhamdulillah… suami saya udah mulai tua tapi juga masih ada yang suka.’ Ha ha ha….” Lalu Bang Jiih tertawa. Disambung dengan tawa penyiar yang mendampinginya. Ketika itu, aku tak ikut tertawa. Aku diam. Dan aku tak lagi menyangkal perasaanku, Bang Jiih sudah benar-benar berubah. Lebih dari itu, di rumah ia makin kerap mengungkit-ungkit soal anak. Hingga kalimat yang keluar dari mulutnya itu, ’kapan Allah kasih gue anak?’. Gue, yang merujuk pada dirinya sendiri. Bukan kita, yang merujuk pada kami berdua seolah-olah aku tak menginginkan anak. Seolah-olah anak bisa dia dapatkan dari perempuan, dan itu berarti tidak harus aku. Ini adalah titik penting yang membuatku tahu bahwa Bang Jiih ada perempuan lain. Dan, datanglah hari yang kutunggu-tunggu. Ketika itu selepas magrib, waktu kami biasa berkumpul duduk-duduk di depan televisi dalam suasana santai. 129

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ha…, Abang betul-betul pengen punya anak.” Ya, dari topik itulah dia memulai. Dan dia tahu betul, aku sudah bosan bilang agar sabar. Percuma kalau aku menangis-nangis di depannya soal keinginanku yang mungkin lebih besar dari dia untuk punya anak. Dia tak tahu bahwa aku berdoa berulang-ulang, doa yang sama yang diucapkan Hajar kepada Allah memohon untuk dikaruniai anak. ”Kagak cuma Abang aje, aye juga.” ”Ha…, Abang mau bicara sesuatu.” Nah, inilah saatnya. Pikirku saat itu. Mana pakai kata ’bicara’ pula, kalau tidak serius tentu dia akan pilih kata ’ngomong’. ”Apa?” ”Abang merasa kasihan sama seseorang. Belum lama Abang ketemu.” ”Siapa?” ”Die jande….” Nah! Betul kan…. Ini dia saatnya, dia pasti mau mengaku. ”Terus?” aku mulai gugup, sambil memperbaiki posisi duduk di sofa. Bang Jiih memegang tanganku. ”Kagak ade yang ngurus die…” lanjutnya. ”Kapan Abang ketemu dia?” aku mencoba tegar dengan pertanyaan itu. ”Waktu diundang ke pengajian ibu-ibu di kampung sebelah.” ”Kapan itu? Minggu lalu?” tanyaku memastikan. ”Eee… kira-kira empat bulan lalu.” Deg! Empat bulan lalu! Empat bulan lalu! Dia kasihan pada janda itu empat bulan lalu, dan baru ngomong padaku sekarang?! ”Emang Abang mau nyumbang apa buat dia?” ”Uang, mungkin. Selain dengerin masalah-masalahnya dia.” 130

http://facebook.com/indonesiapustaka

Yak, mendengarkan masalah-masalah dia. Apa masalahnya? Aku tak tanya, dan kelihatannya Bang Jiih juga tak niat cerita kalau aku tak tanya. Padahal, biasanya Bang Jiih selalu terbuka padaku. Apa pun itu. Bahkan surat-surat cinta dari perempuanperempuan masjid yang bersedia dijadikan istri kedua, ketiga, keempat; perempuan-perempuan yang mendengarkan ceramahnya di radio. Juga surat-surat permintaan ibu-ibu yang menawarkan anak gadisnya untuk dijadikan istri kedua, ketiga, atau keempat; ibu-ibu yang menjadi umatnya di pengajian-pengajian arisan. Demikian Bang Jiih pertama kali mengenalkan aku dengan janda itu. Aku tak pernah bertanya-tanya lagi. Hingga dua bulan kemudian dia minta ijin menikah lagi, sebab ingin punya keturunan, dan sudah lama ia menunggu dariku namun tak juga berisi. Dan ia menggunakan kisah Nabi Ibrahim yang kemudian menikah lagi dengan Sarah, lantas memberinya keturunan. Janda itu datang, Bang Jiih memperkenalkannya baik-baik padaku. Usianya jauh di bawahku. Sebutlah aku pencemburu, atau pendendam, tapi aku tak akan menyebutkan namanya sekali pun. Tidak juga padamu! Tidak sekarang, tidak nanti. ”Putranya kok enggak diajak?” tanyaku waktu itu. Dia dan Bang Jiih saling pandang. Mereka duduk bersebelahan, dan aku di depan mereka. Begini rasanya, melihat suami duduk bersanding dengan perempuan lain. Sak… kit…. ”Eeemm…, saya belum punya anak, Kak.” Jawabnya sopan, lalu menunduk. Aku menaikkan alis. Memandanginya. ”O, janda kembang ya?!” ucapku menyodok sambil manggutmanggut. Duh, kelepasan! Sumpah, aku ingin nangis. Dia menunduk. Lirih, kudengar Bang Jiih memanggil namanya, hendak memegang tangannya tetapi urung. 131

http://facebook.com/indonesiapustaka

Bang Jiih mengantarnya pulang, dan kembali lagi ke rumah saat Isya. Dia mengimamiku salat Isya. Padahal aku sedang tak ingin dia memimpinku, padahal aku ingin salat sendiri. Aku ingin lebih berserah pada Allah dan menangis di pangkuan Allah, aku tak ingin menangis di pangkuan laki-lakiku. Selesai salat, aku tak beranjak untuk berdoa, tiba-tiba kataku, ”Nabi Muhammad menikahi janda dengan banyak anak, Bang…, bukan janda kembang.” Aku bisa mendengar suaraku gemetar, air mata sudah meleleh dari kedua mataku. ”Ha…,” Bang Jiih hendak menyentuhku, mungkin dia pikir dengan memelukku aku akan merasa lebih nyaman, dia salah! Aku menghindar. ”Dia belum tentu bisa hamil, belum terbukti, Bang! Dia bisa saja mandul!” aku meninggi, suara setengah berteriak tercekik di tenggorokanku. ”Eha!” Bang Jiih mengangkat tangannya hendak memukulku. Aku tercengang melihat tangannya di atas kepalaku. Dia kelihatan besar dan berkuasa dengan posisi tubuh seperti itu. Tibatiba sebuah kekuatan muncul entah dari mana sebelum tangan itu mendarat di pipiku. ”PUKUL! PUKUL AKU!” teriakku. ”PUKUL! BIAR SEMUA UMMATMU TAU…, DI SINILAH CACATMU!” Dia menurunkan tangannya, lalu katanya buru-buru dengan suara setengah berbisik sekaligus berteriak, ”Ha… sssttt…, jangan teriak-teriak! Malu didengar tetangga! Apa kata orang kalau kita berantem aja kerjanya?” ”Abang khawatir orang-orang jadi dosa karena bergunjing? Apa khawatir reputasi Abang tercoreng? Apa khawatir orang kira aye enggak kasih ijin Abang kawin lagi?” tanyaku dingin. ”….” Ada jeda, tiga detik terlalu lama dia diam. 132

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jangan bingung, aye ngijinin kok!” Aku melepas mukenah, melipatnya dan menaruhnya di sajadah. Lalu melipat sajadah itu dan beranjak dari ruangan, meninggalkan Si Bakal Manten di ruang itu. Malam itu menjadi malam yang dingin. Tadinya kupikir itu adalah malam paling dingin dalam kehidupan perkawinanku, ternyata aku salah. Sebab ada malam-malam dingin lain yang menungguku di kemudian hari. Jauh lebih dingin.

133

http://facebook.com/indonesiapustaka

134

5

dah nempel-nempel dekat-dekat ibunya, tiba-tiba saja dia jadi rajin bantu-bantu. Anak sebiji mete Haji Jarkasi itu mengambil piring kotor dan mulai mengurapi dengan sabun yang muntuk di sabut kelapa. Jelas ini membuat Enden, ibunya, yang sudah lebih dahulu menyentuh pekerjaan cuci piring terheran-heran. Padahal anak itu sering susah disuruh-suruh. Dari kecil Edah memang bukan tipe anak yang penurut. Edah nyengir ketika ibunya heran melihatnya. ”Ngapa lu? Tumben-tumbenan bantuin gue.” Enden berkata dengan curiga, matanya dipicingkan, mencari yang ganjil dalam senyum Edah yang jelas-jelas tidak tulus. ”Emang ngapa sih? Bantuin enggak boleh?” Edah membela diri. Ia lalu mencuci piring bareng ibunya dengan diam. Namun di dalam pikiran masing-masing tidaklah sesenyap susana dapur itu. Pertanyaan Enden terjawab ketika Edah setelah cuci piring mulai memijit-mijit pundak ibunya. ”Ngapa sih lu? Pake pijit-pijit segala?! Lu mau jadi tukang pijit apa?” tanyanya galak. ”Ah, Enyak! Masa Edah disuruh jadi tukang pijit.” Edah membela diri, dia mengalihkan tangannya dari punggung ibunya. Mukanya ditekuk.

http://facebook.com/indonesiapustaka

E

135

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Lagian elu, aneh-aneh. Kagak biasanya megang kerjaan kalo kagak gue suruh, terus pake mijitin segala!” Edah masih menekuk mukanya. Tiba-tiba ibunya berkata, ”apaan?” Pertanyaan ini mengejutkan Edah. Seharusnya ia sudah bisa menduga kalau ibunya bisa membaca ada hal yang sangat jelas terlihat, hal yang sengaja disembunyikannya. ”Nyak…?” Suara Edah terdengar manja. ”Apa?” Ibunya menyahut galak, membuat nyali Edah semakin ciut. ”Aaaah, Enyak!” kali ini ia berlagak ngambek. ”Ck… ah! Iya, apaan? Enyak-enyak mulu!” Ibunya masih galak. ”Edah mau…, Edah mau….” Ia tak meneruskan kata-katanya. ”Mau kawin?” tanya Enden, menerka-nerka kalimat anaknya yang tak selesai. ”Bukan!” Edah menjawab cepat-cepat. ”Terus?” ”Edah mau ke Jepang!” Ibunya tak berkata apa-apa, dia melihat wajah anaknya yang merunduk. ”Apa? Lu mau ke mana?” tanyanya mencari jelas. ”Ke Jepang, Nyak! Edah mau ke Jepang!” ulangnya. ”Duit dari mana? Emang ke Jepang kayak ke Bogor? Naek bis nyampe?” omel Enden. ”Bukan, Edah mau ke Jepang… mau nari di Jepang.” ”Masyaallah…. Edaaah-Edah! Nari lagi, nari lagi. Itu mulu yang lu pikirin! Sekarang pake mau ke Jepang segale. Siapa yang mau bayarin elu ke Jepang?” ”Ada yang bayarin kok Nyak! Ini, namanya Bramantyo, Edah dikasi kartunya.” Ia menunjukkan selembar kartu nama kepada ibunya. ”Dia lihat Edah nari waktu ditanggep di Pecenongan, 136

http://facebook.com/indonesiapustaka

terus abis nari dia kasih kartu itu. Katanya dia mau cari penari, buat diajak ke Jepang, nari di Jepang.” Enden mengamat-amati kartu nama itu, ia membacanya dengan seksama. Ya, ketika itu seorang Cina Betawi yang merayakan pernikahan anaknya mengundang penari-penari untuk menyemarakkan pesta yang ia gelar. Edan dan empat orang temannya menari Topeng, mereka datang ke pesta perkawinan itu atas rekomendasi Koh Tong Hiem. Lelaki Cina itu adalah pedagang kain di Pasar Baru yang kenal baik dengan Haji Jarkasi sejak muda, ini karena kesukaannya dengan seni budaya Betawi. Setelah selesai, lelaki yang bernama Bramantyo itu menyusul mereka ke belakang. Bahkan kelimanya belum sempat berganti pakaian. Bramantyo memberikan kartunya, diiringi dengan perkenalan yang singkat. Edah ingat, lelaki yang kira-kira berusia empat puluhan tahun itu kalau berbicara cepat sekali, mirip tukang obat. Demikian Edah mengingatnya, selain pakaiannya yang rapi; celana pantalon yang terlihat licin diseterika dan kemeja garis-garis. Ia ingat lelaki itu mengenakan sabuk hitam, dan ada gambar buaya kecil di bagian pengaitnya. Rambutnya juga senantiasa terlihat basah, kiranya ia menggunakan minyak rambut banyak-banyak hingga kelima gadis itu bisa mencium bau Brisk, pasta rambut kebiruan dengan aroma khas laki-laki. Enden dan Edah tidak membicarakan itu lagi, hingga selesai sembahyang Isya dan keluarga itu bersantai. Dipikir Enden, suaminya, Haji Jarkasi, tidak tahu mengenai ini. Ia mengadu pada lelakinya, ”Bang, masa si Edah mau ke Jepang!” ”Iye, gue udah tau….” Jawab Haji Jarkasi dengan santai. ”Hah? Abang udah tau?” Enden merasa dikhianati, ia beralih pada Edah yang sejak tadi diam saja, ”elu bilang ama babehlu dulu Dah? Lu cari dekingan ya?” 137

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Enggak…, siapa yang cari dekingan!” Edah membela diri, senyatanya memang itulah yang dilakukannya. ”Terus, pegimane Bang?” Enden meminta pendapat suaminya. Haji Jaelani menyedot rokoknya, berdehem sejenak, lantas berkata, ”kalo gue sih, demi kemajuan anak ngedukung aje.” Edah baru akan mengembangkan senyum mendengar omongan ayahnya, tetapi belum sampat dilakukannya, ibunya membentak lebih dahulu, ”Abang! Apa-apaan sih? Yang kagak bener diabela-belain!” Enden protes. ”Kagak bener apaan? Pan elu aje yang dari dulu kagak demen lihat Edah nari. Nah, sekarang ada yang mau ngajak dia biar bisa nari di luar negeri, elu juga kagak seneng. Elu sirik ape? Lah elu lihat Edah nari aje kagak pernah, mana lu tau dia narinya bagus apa kagak. Lu lihat dulu, baru lu tau Edah emang pantes pergi ke Jepang,” cibir Haji Jaelani pada istrinya. ”Pokoknye, aye kagak ridho!” Enden berlalu dari ruang tengah, menuju ke kamarnya. Ngambek dan kesal. Edah nyengir sambil melirik ayahnya yang masih asik mengembus rokok. Ia girang karena jika ayahnya sudah berkata A, maka ia tahu ibunya pun akan menuruti A. Meskipun cerewet, tetapi perempuan itu tak pernah bisa melanggar kata-kata suaminya. Ia sangat percaya perintah agama yang mengharuskan perempuan menuruti kata suaminya. Meski kerap berbeda pendapat, dan Enden kerap membujuk suaminya untuk menuruti keinginan dirinya, toh jika keputusan suaminya berseberangan dengan keinginan dirinya, ibu satu anak itu akan menuruti suaminya. Enden sejatinya memang tidak suka melihat anaknya menari. Sejak Edah kecil, Enden sudah menunjukkan sikap musuhan pada tarian anaknya. Ia tak keberatan melihat orang lain menari, 138

http://facebook.com/indonesiapustaka

tetapi tidak untuk anak sendiri. Ia tak mau mendengar orang bergunjing yang aneh-aneh soal anaknya yang penari. Itu adalah kesan yang ia tangkap semenjak ia masih muda; semua penari itu bisa dicolak-colek dan ’dipake’. Penari itu tidak beda dengan pelacur. Dan yang paling penting, menggerak-gerakkan badan dengan seronok yang bisa membangunkan syahwat laki-laki. Itu haram hukumnya. Membayangkan ia tak bisa menyangking seluruh keluarga ke surga diam-diam membuatnya miris dan sedih sendiri. Ia merasa gagal sebagai seorang ibu. Berhari-hari Enden mendiamkan Edah. Edah sendiri menyerah membujuknya setelah hari ke tiga. Toh dia akan tetap ke Jepang, itu sudah keputusan ayahnya. Sebuah siang, ketika Enden tengah menjemur pakaian di latar, seorang laki-laki datang dengan motor bebek. ”Spada….” Sapa laki-laki itu, ia membuka kacamata hitamnya, ”permisi Mbak…,” yang disapa tetap asik dengan jemurannya, ”Mbak…?” Sapa laki-laki itu lagi. Enden menghentikan aktivitasnya. Dia celingukan kanan-kiri, lalu memandang lakilaki itu. ”Situ ngomong sama saye?” tanya Enden, menunjuk dirinya sendiri. ”Iya Mbak.” Enden nyengir, ”masa situ panggil saye ’mbak’?” ”Oh, maaf… Nona.” Laki-laki itu mengoreksi ucapannya. Tentu saja Enden jadi semakin ge-er. ”Eh, bukan…” Enden salah tingkah sendiri, ”saye mah udah emak-emak.” ”Masa?” laki-laki itu memberi tatapan tak percaya. ”Iye, saye udah punya buntut, biarpun cuman satu!” Enden kembali nyengar-nyengir. ”Oya?” 139

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Iye, beneran. Anak saye, Edah udah perawan!” Enden masih nyengir. ”Oh, berarti saya tidak salah. Ini rumahnya Mbak Edah ya? Saya Bramantyo.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya. ”Oo… situ yang namanya Beramantiyo!” Enden menyambut salamannya setelah ia mengelap tangannya yang basah ke kain bajunya. ”Panggil saja saya Bram, Mbak.” ”Iye deh, mau cari Edah ye?” ”Iya, Edahnya ada?” ”Lagi saya suruh ke warung bentaran. Masup deh, duduk dulu, saye bikinin kupi.” Enden meninggalkan jemurannya yang belum selesai. Ia masuk dapur, membuatkan secangkir kopi lalu sebelum keluar, dia menyempatkan becermin sejenak. Menata rambutnya yang berantakan, mencubit-cubit pipinya agar kemerahan, lalu keluar membawa nampan dan secangkir kopi yang manis rasanya. ”Minum deh.” ”Terimakasih, Mbak.” Enden nyengir lagi dipanggil ’mbak’. Sudah lebih dari sepuluh tahun tak ada yang memanggilnya ’mbak’, tidak bahkan di pasar. Semuanya memanggilnya ’bu’, tentu saja karena di wajahnya sudah tergurat usia kepala empat yang jelas terlihat. Bram langsung menjelaskan maksud kedatangannya dengan panjang lebar. Ia menceritakan pertemuannya dengan Edah dan empat penari lainnya. Ia begitu antusias menceritakan betapa gadis-gadis itu sangat cakap menari, dan pasti orang Jepang akan menyukainya. Dia juga menceritakan secara gamblang bahwa dirinya adalah pencari bakat dan akan membawa gadis-gadis itu ke Jepang. Ia akan dengan profesional melakukan tugasnya 140

http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai pencari bakat, dengan cara misalnya, sebelumnya gadisgadis itu akan dilatih menarikan tari-tarian lainnya, juga dilatih berbahasa Jepang selama tiga bulan di wisma pelatihannya. Enden manggut-manggut. Tak lama, Edah datang menjinjing kantong plastik kecil berisi pesanan ibunya. ”Assalammua…. Eh, ada tamu….” Edah terkejut. ”Iye ini…,” ibunya hendak memperkenalkan. Perempuan itu kelihatan kikuk di depan anaknya, seperti kedapatan sedang berduaan dengan pacar dan tertangkap basah orangtuanya. Ini tak biasa. Belum selesai Enden berkata, Edah langsung menyalami Bram dengan wajah yang tak kalah malu-malu pula. ”Mas Bram, apa kabar?” ”Baik, baik. Dik Edah bagaimana kabarnya? Baik dan sehat kan?” Edah tersipu-sipu, ia mengangguk pelan. Edah langusng bergabung berbicara dengan Bram dan ibunya. Bram melanjutkan penjelasannya yang panjang lebar itu tadi. Intinya, Edah lulus ujian untuk berangkat ke Jepang (meskipun sebenarnya tidak pernah benar-benar ada yang dinamakan ’ujian’). Pelatihan di wisma bisa dimulai Senin depan. Untuk ini, Edah diminta membayar sejumlah uang, untuk konsumsi dan membayar guru. Uang ini akan diganti jika ia sudah sampai di Jepang, ditotal dengan pendapatannya yang berupa Yen Jepang. Ia juga diminta untuk membuat passport segera. Bram minta diri, ia akan ke rumah empat gadis lainnya membicarakan hal yang sama. Edah dan Enden mengantar laki-laki itu pergi. Sepergi Bramantyo, Enden memandangi sisa kopi yang masih di meja. Ia tak segera menyelesaikan jemurannya. ”Gimana Nyak?” tanya Edah, meminta pendapat soal tawaran Bram ke Jepang, yang ditanya malah bengong. ”Nyak?” tanya Edah lagi, menyadarkan lamunan Enden. 141

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Eh, iye…. Ya udah, elu ikut aje ke Jepang,” jawab Enden. Edah bersorak kegirangan, langsung masuk kamar. Enden masih memandangi sisa kopi, ia tak bisa mengalihkan perhatiannya dari cairan hitam itu. ”Salam alaikun!” sapa sebuah suara. Tak ada yang menjawab, ”salam alaikum!” sapa suara itu lagi, ”heh! Sadar!” suara itu berkata lagi. Enden mendapati wajahnya diusap suaminya. Ia memandang suaminya, ”lu ngape bengong kayak ayam ngerem?” tanya Haji Jarkasi. Enden berpikir sejenak, belum berkata apaapa, ”itu jemuran kok ngejogrok di depan?” tanya Haji Jarkasi keheranan. ”Astaghirullah!” ia kaget sendiri, lalu katanya, ”aye mau ngejemur baju!” Enden bergegas mengangkat ember pakaiannya dan melanjutkan kegiatan menjemurnya di latar. Sementara suaminya terheran melihat cangkir kopi di meja, ”Den, tadi ada tamu?” tanyanya. Enden tak menjawab, ia terlalu sibuk menjemur cuciannya sehingga tak memperhatikan apa-apa lagi. Edah girang, malam itu ibunya bahkan mengeluarkan uang delapan juta rupiah untuk biaya pelatihan di wisma pra keberangkatan ke Jepang. Meskipun diberikan dengan cara ragu-ragu kepada Edah. ”Enyak lu jadi baek gitu?” bisik Haji Jarkasi. ”Iye, kan tadi Mas Bram udah dateng sendiri, ngejelasin semua ke Enyak.” ”Bram dateng?” Haji Jarkasi memastikan. ”Iye.” Edah mengangguk. ”Kok enyaklu kagak cerita ya?” ”Lupa kali,” jawab Edah asal-asalan. Dia terlalu girang 142

http://facebook.com/indonesiapustaka

menghitung uang pecahan sepuluhribuan yang dibundel karet gelang itu. Haji Jarkasi menegur isrtrinya, bertanya apa tadi Bramantyo datang, ”iya,” istrinya menjawab singkat sambil terus mengeduk nasi yang baru tanak. ”Kok elu kagak cerita ke gue?” ”Masa?” tanya Enden, dia keheranan sendiri. ”Iye, elu belom cerita ke gue.” Haji Jarkasi mengulang kalimatnya. Enden tak tahu harus berkata apa. ”Ehm…, iya tadi dia dateng,” Enden akhirnya hanya bisa berkata itu dan melanjutkan kegiatannya. Haji Jarkasi kembali ke ruang tengah, menemui putrinya. Dahinya berkerut-kerut keheranan melihat tingkat istrinya. Ia tak habis pikir, seharian ini pula perempuan itu jadi tidak terlalu cerewet. ”Beh, besok Edah minta tambahan buat bikin passport ya?” pinta Edah. ”Passport?” ”Iya, di mana-mana juga kalo mau ke luar negeri harus pake passport!” ”Siapa yang nyuruh elu bikin passport?” ”Mas Bramantyo,” jawab Edah singkat. ”Nah itu, duit dari Enyak lu buat apa?” Haji Jaelani melirik segepok uang yang masih di tangan Edah. ”Kan yang ini buat biaya latihannya. Latihan nari sama bahasa Jepang!” Edah menjelaskan. ”Pan elu udah bisa nari!” ”Beda Beh, kata Mas Bram kita entar dilatih tarian lainnya. Edah pikir-pikir mungkin nanti kita bakalan latihan tari Jawa, atau tari dari Sumatera gitu. Pasti orang Jepang suka tuh.” ”Gitu ya….” 143

http://facebook.com/indonesiapustaka

Haji Jarkasi mencoba menimbang-nimbang sendiri. Paginya, Haji Jarkasi memberi Edah sejumlah uang untuk membuat passport. Gadis itu langsung menuju Kantor Imigrasi dengan maksud membuat passport. Namun siang itu juga dia pulang kembali karena ternyata membuat passport harus membawa berkas-berkas tertentu, Edah mencatat syarat-syarat kelengkapannya dan meminta sejumlah uang tambahan kepada ayahnya sebab uang yang diberikan ayahnya tidak cukup. Ia memutuskan untuk kembali ke Kantor Imigrasi esok hari, sedang siang itu ia memutuskan untuk pergi ke rumah Sari, salah satu teman penarinya yang rencananya juga akan pergi ke Jepang. Selain itu ia juga hendak memberitahu syarat-syarat membuat passport yang harus disiapkan. Ketika tiba di rumah Sari, Edah mendapati gadis itu sedang menangis di kamarnya sendirian. Siang itu, Sari sesunggukan di pundak Edah dan berkata ia baru saja adu mulut dengan orangtuanya; mereka tidak bisa memberangkatkan Sari ke Jepang karena tak punya biaya. Bagaimanapun Sari memaksa atau menangis keras-keras, tak mengubah keadaan keluarga yang pas-pasan. Awalnya Sari dan orangtuanya belum benar-benar cek-cok, sampai ketika Sari meminta orangtuanya meminjam uang kepada Bu Denok, rentenir yang tinggal di ujung jalan. Satu-satunya orang di wilayah itu yang selalu mengenakan emas berenteng-renteng di pergelangan tangan, leher dan jarijemarinya. Sari beralasan, toh uangnya tetap akan dikembalikan setelah mereka di Jepang. Tentu saja orangtua Sari marah bukan kepalang. Mereka bilang, bukan… tepatnya membentak; lebih baik mati kelaparan daripada mati tercekik utang yang tak bakalan habis. Lalu kedua orangtuanya ke pasar untuk 144

http://facebook.com/indonesiapustaka

jualan, dan Sari menangis sendirian tak selesai-selesai. Matanya sampai bengkak, pipinya merah dan ingusnya meler tak hentihenti. Dia meratapi nasibnya, ”padahal…,” ujar Sari di antara tangisnya, ”kalo aye bisa ke Jepang, bisa bantuin Babeh ama Enyak. Emang, nasib keset selalu di bawah.” Sari meletakkan kepalanya di pundak Edah sambil terus menangis, selampenya sudah lecek dan lembab masih terus digenggamnya. Edah kemudian mengelus-elus punggungnya. Edah pulang dengan lemas. Setelah Magriban, Edah sengaja keluar rumah lagi, ke rumah ketiga penari lainnya untuk menceritakan masalah Sari. Ujung-ujungnya, mereka sepakat untuk meminta tambahan sejumlah uang pada orangtua masing-masing untuk menutupi biaya teman yang tak punya uang ini. Toh di Jepang nanti akan diganti, jadi menurut mereka tidak masalah. Jadilah Edah keesokan harinya dekat-dekat ibunya lagi, membujuk untuk memberikan uang lebih. Delapan juta rupiah dibagi empat orang, sama dengan dua juta rupiah. ”Kagak!” tegas ibunya. Edah cemberut, ”tapi Nyak… kasian kan kalo yang laen berangkat, terus si Sari sendiri yang enggak.” ”Lu pikir duit segitu gampang dicari?! Kagak! Gue kasih lu duit kemaren aja pake megap-megap, sekarang lu minta buat orang laen.” ”Tapi kan Nyak, entar digantiin kalo udah sampe di Jepang.” ”Lu gak denger gue ngomong? Ka-gak!” Edah langsung merengut mendengar jawaban ibunya, ia menghentak-hentak kakinya. Mulutnya dimonyong-monyongkan, menggerundel sendiri soal ibunya yang pelit dan cerewet. Dia pergi dari rumah membawa kegagalannya dapat uang untuk 145

http://facebook.com/indonesiapustaka

pelatihan Sari, temannya. Edah tahu, soal duit ayahnya akan menurut ibunya, mengingat ayahnya tak kalah pelit. Edah memutar otak, berpikir caranya dapat uang tambahan, kakinya mengantarkannya pada encingnya, Juleha. ”Tumben-tumbenan lu dateng. Gimana kabar Enyak-Babehlu?” Juleha mencium tangan encingnya. ”Alhamdulillah baek, Cing.” Jawab Edah, dia sedang berpikir harus berkata apa dulu kepada encingnya, apa ia harus berbasa-basi dulu? Ini agak aneh, pikirnya, sebab ia tak terlalu akrab dengan encingnya. Kalau sekedar ngobrol, itu kerap dilakukannya kalau bertemu. Tetapi betul-betul berkunjung, apalagi sendirian, selama ini dia lakukan saat Lebaran saja. ”Ngapa? Lu butuh apa? Apa Encing bisa bantu?” tanya Juleha to the point, ia telah melihat gelagat keponakannya. Edah tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, meski ia langsung berusaha menyembunyikannya dengan memaksa dirinya tersenyum. Jadinya malah nyengir. ”Eeeh…, gini Cing….” Juleha menunggu. ”Gini…, eh jadi enggak enak….” Juleha masih menunggu, Edah terlihat kikuk. ”Apa? Bilang aja. Kagak apa-apa, kita kan keluarga. Siapa tau Encing bisa bantu lu.” Edah nyengir lagi, semakin tidak enak hati. Juleha lalu mengerutkan dahinya dan bertanya dengan nada curiga, ”elu… hamil?” ”Hah?!” Edah kaget dituduh bunting, cepat-cepat dia menyangkal, ”enggak Cing, enggak… sumpah demi Allah. Aye mah masih perawan.” Edah menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. Juleha tersenyum. ”Kirain lu hamil, terus mau minta tolong gue ngomong 146

http://facebook.com/indonesiapustaka

ke Enyak-Babehlu buat dikawinin! Ya udah, ngomong aja ngapa?” ”Eee… tapi sebelumnya maap ya Cing, mungkin rada ngerepotin nih.” ”Iya, kenape? Ngomong aje!” ”Aye… mau pinjem duit….” Suara Edah semakin mengecil. Juleha tersenyum, ”oo… timbang gitu aja ngomongnya kayak orang sembelit. Boleh, tapi berapa dulu nih? Encing kan bukan bank, jadi duitnya enggak banyak. Terus, kalo boleh tau, buat apa elu pinjem?” Edah menceritakan tentang rencananya menari ke Jepang dengan bangga. Wajahnya kelihatan sumringah kerika menceritakan cita-citanya di Jepang mau mengumpulkan uang dari menari. Ujung-ujungnya, tentu saja ia menceritakan tentang Sari dan menyebutkan jumlah uang yang ia butuhkankan. ”Encing ada duit segitu.” Jawab Juleha. Cess… rasanya hati Edah seperti disiram air es, dia langsung tersenyum tulus (bukan nyengir). ”Tapi Dah…,” sambung Juleha. Edah langsung menaikkan radar ketika encingnya berkata ’tapi’. Kok ada ’tapi’-nya? ”apa elu udah yakin, itu orang yang namanya Bram baik-baik? Orang jujur gitu? Bukan ape-ape nih ye…, Encing khawatir aja. Namanya juga orangtua, khawatir kan boleh.” Juleha cepat-cepat menambahkan. ”Oh, baik kok Cing. Dia dateng sendiri ke rumah, ketemu ama Enyak. Tapi Babeh waktu itu lagi pergi. Dia yang mintain ijin, terus Enyak kasih ijin.” Edah meyakinkan encingnya. ”Ya udah, Encing cuma pesen hati-hati aje, ye? Bentar….” Juleha masuk ke kamar, Edah kesenangan. Dia tahu encingnya akan mengambilkan uang yang akan dia pinjam. Tak lama, 147

http://facebook.com/indonesiapustaka

Juleha kembali dengan sejumlah uang yang dipinjam Edah. ”Nih.” Juleha menyedorkan gepokan uang itu, Edah menghitungnya. Bau khas uang kertas yang sudah berkali-kali pindah tangan dan bahkan masuk kutang meruap ke hidungnya. Edah kesenangan. ”Makasih ya Cing. Entar sampe di Jepang Edah ganti. Edah kirimin deh lewat rekening bank, kalo perlu Edah kirim pake wesel!” Edah menyelipkan uangnya ke dalam dompet. ”Iye!” Juleha tertawa kecil, dia bisa melihat jelas wajah girang keponakannya dan itu juga membuatnya bahagia. Bagaimana pun, keponakan posisinya sama seperti anak sendiri. Edah segera minta diri, ia ingin segera ke rumah Sari menyerahkan uang tersebut. ”Pokoknya Encing pesen, lu ati-ati ye! Pinter-pinter bawa diri!” Juleha pesan sekali lagi. ”Iye Cing, entar Edah bawain oleh-oleh Kaisar Jepang!” Sumringah sekali Edah berjalan menuju rumah Sari. Dari keempat temannya, Edahlah orang pertama yang ternyata menyerahkan pinjaman uang untuk Sari. Tiga orang temannya menyusul beberapa hari kemudian, entar dari mana mereka dapat tambahan uang. Mungkin dari orangtuanya masing-masing, mungkin pula meminjam dari orang lain. Untuk biaya pembuatan passport, Sari membobol celengan ayamnya. Selain itu, karena ia sudah dipinjamkan uang oleh keempat temannya, orangtuanya kali ini mau menambahkan uang pembuatan passport yang masih kurang beberapa puluh ribu rupiah. Adegan tangis-tangisan terjadi lagi antara ibu dan anak, karena sang ibu memberi restunya dengan berpesan Sari bisa berbakti kepada orangtua dan menaruh harapan besar untuk membantu ekonomi keluarga. 148

http://facebook.com/indonesiapustaka

Senin berikutnya, kelima gadis penari itu menuju wisma pelatihan dengan bekal bawaannya. Enden melepas Edah dengan ragu-ragu, malam ketika Edah mengepak barangnya, ia bertanya berkali-kali yakinkah keputusan Edah untuk pergi ke Jepang. Sebab dirinya belum bisa melepas putri satu-satunya. Edah meyakinkan ibunya, toh, katanya, selama pelatihan ia masih bisa bolak-balik ke rumah. Bramantyo sendiri yang menjemput. Keempat gadis lainnya kumpul di rumah Edah. Bramantyo mencarter dua buah taksi. Ketika itu para tetangga keluar rumah, menyalami Edah yang akan pergi ke Jepang. Mereka berpesan jangan lupa oleh-olehnya. Mirip orang pindahan, masing-masing membawa koper yang cukup besar mengingat pelatihannya tiga bulan, waktu yang cukup lama. Selain itu, Bramantyo bilang jadwal dan disiplin selama latihan lumayan ketat. Ini juga untuk membiasakan diri dengan ritme kerja orang Jepang yang terkenal keras dan disiplin. Jadi mereka tidak bisa setiap saat pulang ke rumah meski masih satu kota. Wisma itu agak berbeda dengan yang ketiga gadis itu bayangkan. Letaknya di sebuah gang. Mirip rumah biasa, dari luar terlihat kecil tetapi jika sudah masuk ternyata lumayan luas. Ada satu ruangan besar dengan kaca-kaca di dindingnya. Itu adalah ruangan latihan tari. Dan ada satu ruangan lainnya dengan kursi meja, kelas belajar bahasa Jepang. Sedang mereka tidur di satu ruangan yang tidak begitu lebar, ada beberapa kasur di situ. Tak ada papan nama perusahaan di depan wisma itu. Betul-betul seperti rumah biasa. Dua orang gadis dengan badan tinggi semampai dan dandanan yang lumayan seronok memperkenalkan diri mereka. Mereka bilang, tiga hari lagi mereka akan berangkat ke Jepang. Sudah 149

http://facebook.com/indonesiapustaka

hampir tiga bulan mereka di situ. Masing-masing berusaha mengakrabkan diri dengan dua gadis yang terlebih dahulu di situ, menganggap mereka sebagai senior. Dan membayangkan betapa senangnya kalau pelatihan sudah selesai, bisa ke Jepang. Dua gadis itu sudah punya cita-cita sendiri akan diapakan uang yang kelak mereka dapatkan dari Jepang. Yang mengherankan Edah dan teman-temannya adalah, kedua gadis itu bukanlah penari. Masing-masing berkata mereka kerja serabutan biasa, dan tidak betul-betul punya kerja tetap. Bramantyo mengajak mereka ke Jepang karena tinggi badan mereka yang semampai, itu memenuhi persyaratannya, aku mereka. ”Eh… tapi di sini nanti memang diajarkan menari kok.” Gadis itu menambahkan. ”Kalau kamu sudah bisa nari, itu bagus, jadi enggak repot-repot lagi harus mulai belajar dari awal. Sudah luwes.” Edah senang mendengarnya, ”oya? Diajarin nari apa saja di sini? Tari Jawa diajarin enggak? Saya dari dulu pengin belajar nari Jawa, tapi enggak ada yang bisa ngajarin. Mungkin harus pergi ke Jawa dulu kali ya?” Gadis yang ditanya tadi tergagap, ”eh, bukan tari Jawa sih….” ”Wah, sayang ya, padahal saya pikir tari Jawa pasti bikin orang Jepang senang. Orang mereka saja suka dengan musik keroncong, buktinya lagu Bengawan Solo terkenal di Jepang.” ”Ya, nanti kamu kan lihat sendiri tari-tarian yang baru.” Dua gadis itu berangkat ke Jepang. Bramantyo sendiri yang mengantarkan mereka ke bandara. Jadwal sudah disiapkan bagi kelima gadis penghuni baru wisma pelatihan. Mereka harus mematuhi jadwal yang ada. Satu minggu pertama, kelima penari 150

http://facebook.com/indonesiapustaka

diminta latihan menari sendiri dahulu, sebab, kata Bramantyo pelatih tarinya baru bisa mulai mengajar minggu depan. Di sela itu mereka belajar bahasa Jepang. Seorang sensei bahasa Jepang didatangkan. Laki-laki dengan tinggi kira-kira 150 cm yang pernah menetap di Jepang selama dua tahun untuk belajar tehnik mesin, ia mendapat beasiswa dari pemerintah. Minggu kedua, seorang laki-laki dengan tubuh berotot dan galak mulai rutin mendatangi mereka. Itulah pelatih tari mereka. Agak berbeda dengan yang dibayangkan kelima gadis penari. Ia selalu menggunakan celana pendek dengan kaus spandex tak berlengan. Awalnya ia meminta kelima gadis penari untuk berolahraga, katanya ini untuk menjaga stamina. Pelatih tari tidak mau para gadis jatuh sakit. Selanjutnya, pada minggu ketiga, baru mereka betul-betul belajar tari. Tentu saja para gadis lantas membawa perlengkapan menarinya, namun pelatih bilang semua itu tak diperlukan. Segala macam kain sampur yang tadinya sudah disiapkan untuk dipergunakan latihan, jadi tidak dipakai. Pelatih tari bilang, dia percaya betul kalau untuk tari tradisional kelima gadis itu pasti sudah fasih. Yang belum adalah tarian moderen. Kelima gadis itu awalnya kagok, ternyata mereka diajari dansa moderen, jenis tarian variasi baru dengan musik disko. Selain itu mereka belajar dansa yang biasa dilakukan bulebule. Berpasang-pasangan. Awalnya dansa yang diajarkan ritme slow, semakin hari pelatih mengajari mereka tarian yang lebih semangat. Bahkan wisma sudah menyediakan beberapa kostum, mulai dari rok-rok yang lebar, sepatu-sepatu hak tinggi hingga berupa pakaian jas hitam berbuntut dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu yang disebut tuxedo. Untuk mereka, bukannya celana panjang seperti selayaknya tuxedo yang seharusnya, 151

http://facebook.com/indonesiapustaka

melainkan celana super pendek dengan pita di samping kirikanan bagian lipatan bawah celana itu. Mereka berlatih dengan pakaian itu, plus topi panjang dan tongkat. Mereka juga berlatih menari di atas meja, berjajar dengan gerakan yang kebanyakan mengangkat kaki dan berputar-putar. Pada satu akhir pekan, ketika kelima gadis itu telah dua bulan menempati wisma, Edah menemui Bramantyo, meminta ijin untuk pulang sebentar menemui orangtuanya. Ia tak mempersiapkan diri sama sekali kalau Bram yang ia kenal selalu bersikap manis tiba-tiba menolak mentah-mentah permintaannya dengan alasan di Jepang disiplin sangat dibutuhkan. Jika ada yang pergi-pergi maka itu berarti mereka tidak disiplin. Malam itu Edah menangis, menahan kangen pada orangtuanya. Keempat temannya mendekatinya, menanyakan kenapa ia menangis dan mereka berusaha menenangkannya. Mengingatkan dia dengan bayangan-bayangan indah jika mereka sudah tiba di Jepang. Tiba-tiba Sari ikut menangis. ”Ya ampun Sar, lu kok jadi ikutan mewek?” ”Aye sebetulnya udah pernah minta ijin juga ama Mas Bram mau balik nengok Enyak, tapi enggak dibolehin…,” isak Sari di tengah-tengah penjelasannya. ”Kok, elu enggak ngomong Sar?” tanya temannya. ”Takut….” ”Takut?” ”Abis, semua pada enggak mau pulang. Terus, aye udah nyusahin semuanya. Kan aye ke mari pake duit elu-elu pade. Aye enggak mau nyusahin lagi. Aye sebenernya….” Sari tidak bisa meneruskan kata-katanya. ”…sebenernya kenapa?” Sari menggeleng, mengelap air matanya. 152

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ngomong aja!” paksa temannya. ”Sebenernya mulai berasa enggak enak,” jawab Sari. ”Maksudlu enggak enak?” ”Soalnya narinya gitu….” ujar Sari lagi. Kali ini semua diam. Semua mengerti apa yang dimaksud Sari. Hari ketika mereka datang dan melihat-lihat ruangan wisma, mereka mendapati tiang-tiang berdiri di tengah-tengah ruang tari. Awalnya, Edah bertanya-tanya sendiri sebetulnya buat apa tiang itu. Pertanyaan itu terjawab ketika mereka mulai diajarkan menari dengan kostum tuxedo bercelana pendek. Mereka diajarkan untuk bergerak seirama musik sambil sedikit demi sedikit membuka pakaiannya. Mereka belajar tari eksotik. Tak ada sedikitpun tarian tradisional yang mereka latih. Semua jadi lebih mencurigakan lagi ketika mereka mengingat bahwa dua gadis yang sebelumnya di situ tidak memiliki latar belakang penari. Padahal ketika Bramantyo menawarkan ke Jepang pertama kali, ia bilang yang dicari adalah penari. Selain itu, Bramantyo bilang bahwa ia adalah pemilik perusahaan pencari bakat, jika betul perusahaan, kenapa tidak ada tanda-tanda bahwa wisma ini adalah milik perusahaan? Wisma itu nyaris betul-betul kosong, tak ada orang-orang yang beraktiitas kerja. Bahkan resepsionis pun tak ada. Dan kini, mereka benar-benar tidak diperbolehkan pergi. Kelima gadis itu mulai membuka pikirannya, ada yang tak beres, sesuatu yang disembunyikan oleh Bramantyo. Mereka mulai berpikir banyak ’jangan-jangan’. Jangan-jangan Bramantyo itu bukan seorang pencari bakat. Jangan-jangan orang Jepang tidak betul-betul suka kebudayaan Indonesia. Jangan-jangan mereka sebetulnya tidak dikirim ke Jepang untuk menari. Jangan-Jangan begini, jangan-jangan begitu. Dan ’jangan-jangan’ yang paling parah adalah; jangan-jangan mereka dikirim ke Jepang untuk 153

http://facebook.com/indonesiapustaka

dijadikan pelacur! Semua bukti-bukti sudah mengarah ke sana. Mereka diam-diam merencanakan kabur bersama-sama. Meski awalnya ada yang ragu-ragu; bagaimana mereka akan pergi? Dengan bawaan yang begitu banyak. Mereka pun tak pernah betul-betul sendiri, selalu ada Bramantyo. Jika pun laki-laki itu sedang tak ada di rumah, selalu ada pelatih bahasa Jepang dan pelatih tari mereka yang galak. Dan faktor yang paling penting adalah malu karena sudah pamit tetangga-tetangga kampung akan pergi ke Jepang. Ketika mereka dijemput Bramantyo, tetangga-tetangga mengantar mereka dengan berdiri di depan pagar rumah dan melambai-lambaikan tangan ibarat kepergian pahlawan yang akan merantau ke medan perang. Semua mata kelihatan bangga melihat para gadis itu akan pergi ke Jepang. Bingung pula mereka dengan uang yang sudah diserahkan ke Bramantyo, pasti orangtua akan marah karena ini, untuk hal yang satu ini Sarilah yang paling bingung. Akhirnya, mereka membulatkan tekad; mereka akan kabur dari tempat itu. Siang, ketika mereka selesai belajar bahasa Jepang, dan menjelang istirahat siang, mereka mendengar Bramantyo berbicara dengan bahasa Jepang di telepon. Ia tertawa-tawa, para gadis menguping tanpa tahu apa yang diperbincangkan. Semalam mereka telah mengepak pakaiannya. Kelimanya tak memiliki rencana yang jelas. Mereka hanya berpikir, diam-diam keluar gang dan mencari taksi untuk pulang. Didorongnya koperkoper yang penuh berisi pakaian itu. Bramantyo masing ngobrol di telepon. Ketika sampai di pintu keluar yang tanpa gerbang itu, para tetangga kampung memandang mereka semua dengan padangan heran. Kelimanya agak malu dilihat dengan tatapan penuh curiga begitu. Dengan kepayahan mereka mengangkat masing-masing koper. Mengerahkan tenaga untuk menjinjing154

http://facebook.com/indonesiapustaka

nya dan berjalan hingga mulut gang. Beberapa pemuda tetangga yang tak pernah mereka kenal menggoda mereka, tapi kelimanya cuek saja. Hingga ketika hampir sampai mulut gang didengar suara teriakan, ”Hei! Mau ke mana kalian?!” Kelimanya melihat Bramantyo yang dari kejauhan melambai-lambaikan tangan dan mulai berlari mengajar kelima gadis itu. Mereka langsung mempercepat langkahnya, terseok-seok dengan koper yang dibawa. Sampai di luar gang, bis kota pertama yang mereka lihat langsung mereka hentikan. Bramantyo berlari semakin mendekat, karena kepayahan, mereka akhirnya melepas koper mereka. Kernet bis yang tadinya akan mengangkatkan koper-koper itu keheranan, ”tancap gas, Bang!” seru salah satu gadis itu kepada sopir. Bis langsung melaju. Sementara Bramantyo terengah-engah di mulut gang, ketinggalan bis bersama koper-koper yang tergeletak di pinggir jalan. Orang-orang di bis memandang mereka keheranan. Sementara kelimanya merasa lega bisa terlepas dari Bramantyo, sambil menata napas kernet meminta ongkos. Tiga di antara mereka— termasuk Edah—baru tersadar bahwa semua barang miliknya tertinggal di jalan. Bahkan tas kecil jinjingan yang berisi dompet pun juga ketinggalan di sana. Satu gadis yang dompetnya selamat, mengeluarkan ongkos, meski tak tahu mereka menuju ke mana. ”Bang, apa bis ini mau ke Blok M?” Mereka tahu, sesampai di terminal Blok M mereka bisa memilih bis ke jurusan mana pun di seluruh Jakarta. Kota ini terlalu besar, dan belum tentu ada satu penduduk tetapnya yang mengenal jalan-jalan di Jakarta seseluk-beluknya. ”Kagak Neng, salah jurusan tuh!” jawab kernet, ”entar Eneng ganti bis aja.” 155

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Di mana?” ”Entar saya kasi unjuk.” Kelima gadis itu diturunkan pada sebuah jalan, mereka tinggal melihat kaca depan bis dan mencari tulisan ’Blok M’ tertera di situ. Sebuah bis jenis kopaja berhenti di depan mereka, kelimanya naik dan bis itu mengantarkan mereka ke terminal Blok M. Sesampai di Blok M, kini mereka kebingungan lagi; apa yang akan terjadi jika mereka pulang ke rumah masingmasing? Apakah orangtua mereka akan menerima? Untuk yang satu ini, kelimanya lumayan kompak; mereka tak berani pulang ke rumah. Mereka memutar otak, sementara itu Sari mulai menangis, takut kualat pada orangtuanya. Ia bingung dengan hutang-hutangnya pada teman-temannya, ia menyalah-nyalahkan diri sendiri yang seharusnya mendengar nasehat orangtuanya. Ia teringat kata-kata ayahnya ketika malam mereka cekcok akibat keinginan Sari pergi ke Jepang; jadi orang jangan mimpi tinggi-tinggi, nanti kalau tidak kesampaian jatuhnya sakit. Dan kini, nyata betul nasehat itu, semua harapan pergi ke Jepang untuk dapat uang telah pupus. ”Kite ke rumah Encing gue aje deh. Mau gak?” usul Edah. ”Entar ama Encinglu diaduin ke Enyak-Babeh!” sanggah temannya. ”Terus kita ke mane lagi? Duit kagak ade, tempat tidur apa lagi. Mau ngemis?!” ucapan Edah membuat semua temannya kecil hati. Akhirnya mereka setuju ke rumah encingnya, Edah. Satu kali naik bis lagi, dan masuk ke gang menuju ke rumah yang dituju dengan naik ojek atau berjalan kaki. Kelimanya memilih berjalan kaki, mengingat uang yang tersisa sangat terbatas. Bahkan untuk beli makan pun mereka tak sanggup. Begitu Juleha mengenali wajah Edah dan melihat kelimanya 156

http://facebook.com/indonesiapustaka

berjalan tertatih-tatih dan ketakutan, ia langsung menyuruhnya untuk masuk. Mereka langsung memeluk tubuh Juleha, dan menangis sesenggukan. Menceritakan pengalaman mereka hampir dua bulan di wisma pelatihan dengan histeris dan tidak urut, membuat Juleha kebingungan. Ia langsung menyuruh kelima gadis itu untuk mandi dan ganti baju. Ketika itu pula mereka bilang bahwa semua baju-baju mereka tertinggal di pinggir jalan. Juleha meminjamkan masing-masing pakaiannya. Sementara gadis-gadis itu membersihkan dirinya, Juleha menyiapkan mereka makan malam. Ketika itu sudah jam sembilan malam mereka baru sampai di rumah Juleha. Setelah tenang, para gadis menceritakan kejadian yang telah menimpa mereka dengan lebih teratur. ”Orangtualu pasti pada bingung nyariin,” ucap Juleha. ”Jangan dikasih tau Enyak-Babeh, Cing. Aye takut pulang.” Edah merengek. Keempat temannya ikut merengek pula. ”Lagian Cing, mereka kan taunya kite masih di wisma pelatihan,” tambah teman Edah. ”Tapi elu kan gak bisa di sini terus-terusan…,” kata Juleha, para gadis jadi makin sedih mendengar ucapannya, ”bukannya gue kagak seneng lu di sini, tapi kalo kagak ngasih tau EnyakBabehlu juga kagak baek. Lu bikin orangtualu panik, bingung kok pade kagak ade kabar, kadak ade surat juga dari Jepang!” Mereka terdiam dengan ucapan Juleha yang ada benarnya. Mau tak mau, mereka harus menghadapi orangtua masing-masing. Dari luar pintu diketuk, terdengar suara seorang laki-laki mengucap salam yang dijawab oleh Juleha. Jiih muncul di pintu, ia baru pulang dari memberikan ceramah di sebuah masjid di kampung tetangga. Ketika ia datang, tentu saja ia kaget dengan keberadaan gadis-gadis itu di rumahnya. Juleha menceritakan 157

http://facebook.com/indonesiapustaka

kejadian yang menimpa gadis-gadis itu, dan meminta ijin pada suaminya untuk mengijinkan gadis-gadis itu untuk tinggal di rumah mereka barang beberapa hari. ”Mangkenye…, lu sembayang Istikaroh dulu kalo ade apeape. Biar dikasih unjuk sama Yang Diatas, mana pilihan yang paling baek, mana yang enggak baek. Ada enggak yang sembayang Istikaroh? Ada enggak?” tanya Jiih. Kelima gadis itu menggeleng dengan lemas. ”Nah kan, gue udah tau deh!” ”Tapi kan Cang, waktu Edah nerima tawaran itu kan niatnya juga baik. Pengen bantu Enyak ama Babeh, temen-temen aye juga gitu. Iya kan?” Edah membela diri dengan halus. Keempat gadis lainnya mengangguk setuju. ”Yang elu lakuin itu cuma ngikutin napsu doang. Setan itu yang ngomong. Setan!” Jiih berapi-api, membuah kelima gadis itu menunduk semakin runduk. ”Pokoknya, besok lu musti balik ke rumah orangtualu, minta maap. Cium kakinye! Inget, sorga ada di bawah telapak kaki ibu! Kualat lu kalo enggak minta maap. Bukannya pada pulang, malah masih aje ngelayap.” ”Bang, udah Bang. Biarin dulu ngape? Orang mereka ini masih ketakutan! Lagian mereka juga mana tau kalo bakalan ditipu,” bela Juleha. ”Eh Ha, ngajarin anak kecil itu yang baek. Kasih tahu yang lurus, jangan lu turutin kalo kemauannya udah ketauan kagak bener!” ujar Bang Jiih. ”Maksud Abang, saye tadi seharusnya ngusir mereka, gitu? Ya kalo pada bener-bener pulang ke rumah, kalo pada keteteran di jalan terus ditauin sama si itu lelaki yang namanya Bram, pegimane? Terus mereka dibawa lagi ke wisma, dikirim ke Jepang, dijual dijadiin pelacur, pegimane?” Juleha tiba-tiba kesal. ”Masyaallah Eha, Eha… jangan berdoa yang jelek-jelek! 158

http://facebook.com/indonesiapustaka

Enggak baek, bisa kena bala lu! Inget, ucapan itu doa!” nasehat Bang Jiih lagi. ”Nah, makenye aye tampung mereka di sini. Urusan mereka harus balik ke orangtuanya, itu dipikir besok. Yang penting sekarang semua ada tempat tidur.” Juleha tidak mau kalah, ia berhasil mengunci suaminya. Sementara kelima gadis bergantian melihat antara Juleha dan Bang Jiih. Akhirnya Bang Jiih berkata, ”ya udah, gue mau ngadem dulu di kamar. Capek nih. Ambilin gue air.” Juleha beranjak ke dapur, mengambilkan teh panas untuk suaminya. Tak lama, semuanya berangkat tidur. Kelima gadis itu memilih mengumpul jadi satu di kamar tamu. Padahal di rumah itu ada dua kamar kosong lainnya, kamar yang sengaja disiapkan Jiih dan Juleha untuk kelahiran bayi-bayi mereka yang dinantinantikan namun tak kunjung datang. Malam itu tak ada yang benar-benar bisa menutup matanya. Para gadis menerawang dengan pikirannya masing-masing. Memikirkan betapa bodoh dan naasnya nasib mereka. ”Besok, pokoknye, lu kudu nganter itu anak-anak ke rumah orangtuanye!” ujar Jiih di sela matanya yang mulai ngantuk. ”Bang, mereka itu masih pade ketakutan. Biarin aye bujuk dulu ngape, biar pada tenang di sini. Nanti aye kasih tau ke Bang Kasi ama Mpok Enden kalo Edah di sini. Tapi kalo dia masih takut pulang, biarin di sini dulu barang dua tiga hari. Aye enggak mau ade ape-ape.” Juleha bersikeras. ”Anak-anak seumuran mereka itu kudu diarahin. Mana yang bener, mana yang kagak. Pake nari-nari segale… mana mau narinye ke Jepang lagi!” ”Abang! Biarin aje anak sukaannya gitu, orang mereka juga anak baek-baek.” 159

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Anak baek-baek itu ngarti mana yang bener, mana yang salah. Nah ini… pada kagak ngarti, makenye pada ditipu, disuruh jadi pecun di Jepang!” ”Emang kalo kita punya anak yang suka nari, itu berarti anak kita bukan anak baek-baek, gitu?” ”Nah…, elu denger omonganlu tuh. Makenya elu kagak dikasih anak ama Allah, elu yang bakal emaknya aja belum tau mana yang bener mana yang salah.” Deg! Rasanya jantung Juleha berhenti mendengar omongan suaminya. Ia tak menyangka laki-laki yang dinikahinya bisa berkata begitu. Juleha bangun dari rebah. Jiih juga duduk begitu ia menyadari omongannya yang telah menyakiti istrinya, ”Ha… maap maksud gue….” Juleha menyelak, ”Maksud Abang, saye bukan ibu yang baek, gitu kan?” ia memandang tajam ke arah laki-lakinya. Jiih menghela napas panjang…, ”bukan Ha….” ”Inget Bang, omongan itu doa! Itu kan yang Abang bilang terus ke saye? Kalo Abang bilang saye bukan ibu yang bener, makenye saye enggak dikasih anak, mungkin itu yang bener.” Juleha menyolot, omongannya seperti menampar suaminya. ”Masyaallah… maap Ha, maap….” Jiih menyentuh tangan istrinya, hendak ia genggam. Tetapi perempuan itu menarik tangannya kembali. Ia lalu kembali meringkuk di kasur, memunggungi suaminya. Jiih memandangi punggung istrinya, ia bisa mendengar suara isak yang yang samar di antara ketenangan malam. Ia tahu, ucapannya telah menyakiti hati istrinya. Jiih merebahkan tubuhnya, memunggungi Juleha. ”Kalau emang elu khawatir anak-anak itu entar kenapekenape… ya udah kagak ape-ape mereka di sini dulu sementara,” ucap Jiih. Ia mengharapkan jawaban istrinya, tetapi perempuan 160

http://facebook.com/indonesiapustaka

itu tetap bisu. Dalam hati Juleha, baik diijinkan atau tidak, ia akan tetap menyuruh anak-anak itu untuk tinggal di rumahnya barang beberapa hari. Semua semata-mata karena kekhawatirannya yang amat sangat pada kelima gadis itu. Keesokannya, semua berjalan seperti biasa. Kecuali Jiih tidak menyinggung-nyinggung bahwa harus hari itu juga para gadis harus keluar dari rumahnya. Jiih dan Juleha tidak menunjukkan pertengkarannya di depan para gadis. Jiih pergi dan pulang seperti biasa jika ada hal yang harus ia kerjakan baik di percetakan maupun ketika diundang untuk memberikan ceramah agama. Juleha membujuk anak-anak perempuan itu untuk pulang ke rumahnya, dan berjanji ia sendiri yang akan mengantar anakanak itu dan menjelaskan ke orangtua masing-masing tetang apa yang sebenarnya terjadi. Pada hari ketiga, baru mereka setuju. Selain itu juga karena mereka mulai merasa jengah menumpang terurs-terusan dan tidak mengerjakan apa-apa. Juleha mengantarkan sendiri kelima gadis itu. Ia menuju ke rumah abangnya, Jarkasi. Belum sampai di pintu, ketika Enden dari kejauhan melihat anaknya datang, ia langsung menghambur dan memeluk Edah erah-erat. Ibu dan anak itu menangis sesenggukan. Enden terus mengulang-ulang ketakutannya kehilangan anak satu-satunya. Sekitar seperempat jam mereka di depan rumah, tetangga-tetangga keluar dari rumahnya dan memandang mereka lewat pagar. Mencari tahu apa yang terjadi, lebih banyak yang bertanya seperti apa di Jepang dan mana oleh-oleh untuk mereka. Setelah Juleha menenangkan keduanya, ia mengajak mereka semua masuk ke rumah dan berbicara baik-baik. ”Ya ampun Dah, Edah…. Lu kagak tau gue ama babehlu kebingungan. Udah, gue pasrah aje kayak ayem mau dibelek! Lu tau, gue bingung kok elu kagak dateng-dateng, padahal lu bilang 161

http://facebook.com/indonesiapustaka

kan kalo masih pelatihan masih bisa pulang ke rumah. Telepon itu nomor yang di kartu elu kasih, tiap diangkat ngakunye bukan perusahaan yang mau ngirim ke Jepang. Terus gue datengin alamat yang ada di kartu, kagak ade! Palsu!” Enden bercerita dengan histeris. Betapa senangnya hati Edah yang mengetahu bahwa orangtuanya masih peduli dan berusaha mencari dirinya. Gadis itu langung mencium tangan ibunya dan tak hendak melepaskannya, berkali-kali mengucap maaf. Keempat gadis dan Juleha yang melihat pemandangan itu tak tahan pula menangan tangis haru. ”Babeh mana, Nyak?” tanya Edah di sela harunya yang mulai mereda. ”Babehlu ke kantor pulisi.” ”Ngapain?” ”Ya itu… ngelaporin si Bramantyo itu! Ngelaporin elu ilang. Gue ama babehlu kelimpungan! Duh… alhamdulillah, anak gue balik!” Enden memeluk Edah. Tak pernah ibu itu memeluk anaknya sedemikian mesra, Edah baru merasakaan kalau selama ini ibunya cerewet karena sayang pada dirinya. Ketika Jarkasi pulang, ia pun tak bisa menahan haru melihat putri satu-satunya di rumah lagi. Ia segera menyuruh seorang anak kampung untuk ke rumah keempat gadis lainnya, dan meminta orangtuanya untuk datang ke rumahnya. Keharuan semakin tak terbendung setelah kedatangan orangtua keempat gadis lainnya. Rumah keluarga Jarkasi jadi tontonan para tetangga yang telah sadar bahwa kelima gadis itu belum jadi menjejakkan kaki ke Negeri Sakura. Jarkasi, hari itu juga mengajak kelima gadis itu untuk ke kantor polisi melaporkan tindak penipuan yang telah dilakukan Bramantyo. Polisi meminta gadis-gadis itu menunjukkan wisma pelatih162

an. Para polisi yang menyerbu wisma itu mendapati tiga orang gadis lagi yang masih belum sadar bahwa dirinya telah ditipu. Bramantyo dan guru tari yang kebetulan sedang mengajar segera diamankan. Esoknya, koran Pos Kota memampang wajah Bramantyo di halaman depan dengan judul berita dicetak dengan huruf besar:

PERDAGANGAN ABG KE JEPANG DIGAGALKAN Tujuh Gadis yang Akan Dijadikan Pelacur Diselamatkan (Jakarta, 12/7) Jaringan Internasional perdagangan perempuan, terutama cewek-cewek ABG berhasil digagalkan kemarin di Jakarta. Tersangka Bramantyo alias Ali Muchtar alias Imron Sabali merupakan ujung tombak jaringan ini di Indonesia. Ia telah lama diincar kepolisian atas aksinya, namun tersangka telah beberapa kali mengganti identitas. Diduga sudah ratusan ABG yang dijual ke Jepang dengan dalih dikirim sebagai perwakilan misi kesenian budaya daerah.

http://facebook.com/indonesiapustaka

Sasaran utamanya adalah para gadis ABG berusia kira-kira 15 hingga 22 tahun. Mereka dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) di tempat-tempat hiburan malam seperti night-club, diskotek, bar dan pusat-pusat prostitusi lainnya.

Berita itu panjang, bersambung ke halaman tengah. Enden menggunting berita itu dan menempelnya dengan magnet di kulkas. Edah awalnya protes, sebab ia tak ingin mengingat-ingat yang buruk-buruk. Tetapi ibunya malah berkata, ”ini biar elu lebih hati-hati. Sekarang lu lihat kan, akibatnya kalo nari.” ”Ah, Enyak… nari mah kagak ada hubungannya. Lah itu, cewek-cewek yang ada di sana juga pada kagak bisa apa-apa! 163

http://facebook.com/indonesiapustaka

Kalo orang niat jahat mah, jahat aja. Kagak ada hubungannya ama nari.” Ketika berita itu diliput, Edah sempat diwawancarai oleh reporter koran. Di dalam berita kesaksiannya ditulis, ia tak bersedia disebut namanya. Maka koran itu menulisnya sebagai ’Bunga, Bukan Nama Sebenarnya’. ”Ya jelas ada, kalo elu kagak nari kan elu kagak bakalan ketipu.” ”Alaah…, waktu si Bram itu dateng minta ijin ke Enyak juga Enyak iya-iya aja. Malah keliatan seneng didatengin dia!” Edah protes. Enden terkejut dengan ucapan anaknya, ia tak menyangka putrinya memperhatikannya begitu detil. Enden sendiri waktu itu heran kenapa ia bisa senang dengan kedatangan Bramantyo yang jelas-jelas akan meminta uang. ”Nah, itu tuh… gue sendiri juga bingung. Soalnya gue kan pelit, kok tau-tau waktu itu gue mau ngeluarin duit buat elu?! Gue yakin tuh, pasti gue diguna-guna!” Enden membela diri. ”Alah… kalo ketipu sih ketipu aje, enggak usah pake gunaguna segala!” bantah Edah, ia langsung berlalu dari dapur merasa menang. Ibunya mencibir sendiri. Diam-diam keduanya merasa senang sebab hubungan ibu dan anak kini kembali seperti semula: saling mengomel dan saling membantah. Edah dan Enden tahu, semua akan baik-baik saja. Seminggu setelah kehebohan yang terjadi, ketika semuanya sudah tenang, Edah ke rumah encingnya, Juleha. Ia ingin membicarakan uang dua juta rupiah yang dulu dipinjamnya untuk Sari. Bahkan kedua orangtuanya pun sampai kini belum tahu perihal uang itu. ”Assalamualaikum…,” Edah menyapa ketika sampai di depan rumah encingnya. Pintu terbuka, Edah masuk begitu saja, ”Cing? Cing Eha?” Edah celingak-celinguk. Rumah kelihatan sepi. 164

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ya….” dari kejauhan sebuah suara perempuan terdengar. ”Cing Eha? Ini Edah.” Agak lama tak ada suara apa pun, lalu muncul Juleha dari kamarnya. ”Eh, elu Dah…, masup,” ajaknya. ”Cing…” Edah mendekat ke encingnya, hendak mencium tangan perempuan itu ketika dilihatnya mata encingnya yang sembab, ”Cing, baru nangis?” tanyanya ragu. Juleha menggeleng pelan ia menunduk dan mengelap matanya, ”enggak kok.” Juleha berbohong. Sembab matanya terlihat masih segar. ”Duduk deh, Encing bikinin minum bentar ya.” Juleha langung ke belakang. ”Eh, enggak usah repot-repot Cing,” cegah Edah, tetapi perempuan itu seperti tidak mendengar Edah dan tetap beranjak ke dapur. Edah jadi merasa tidak enak, ia yakin waktu kedatangannya kurang tepat. Edah memutuskan untuk membantu encingnya di dapur. Didapatinya perempuan itu sedang mengaduk air teh sambil menangis. ”Cing?” sapa Edah lembut. ”Eh, elu Dah. Udah biarin gue aje, enggak usah dibantuin. Timbang air doang.” ”Encing nangis ye?” Juleha tak menjawab. Edah menuntun encingnya untuk duduk ke kursi meja makan yang letaknya tak jauh dari pintu dapur. ”Cing? Kenape?” Juleha tetap tak menjawab, Edah diam. Ia sengaja memberi kesempatan pada encingnya untuk menangis. ”Minum dulu, Cing. Biar tenang.” Edah menyodorkan air teh bikinan Juleha sendiri. Juleha meminumnya. ”Jangan bilang ke babeh ama enyaklu kalo gue nangis, ye,” pinta Juleha. Edah tak menjawab, ada jeda di antara mereka. 165

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Encing kenape?” tanya Edah. ”Kagak ape-ape. Cuman namanya orang rumahtangga, ribut dikit mah biasa.” Juleha berusaha menjelaskan. ”Ribut dikit kok Encing sampe nangis kagak gitu?” tanya Edah lagi. ”Enyak ama Babeh juga sering ribut tapi kagak pake nangis-nangisan,” sambung Edah. ”Encing kenape? Encing cerita ke Edah boleh kok, kalo Edah bisa bantu, pasti Edah bantuin.” Juleha hanya menggeleng. ”Elu apa ape ke mari?” Juleha berusaha mengalihkan topik pembicaraan, Edah langsung teringat niatan awalnya ia datang. ”Eh, eee… Edah mau bilang makasih, kemaren udah dibantuin sama Encing. Kalo enggak, kagak tau deh Edah udah jadi gembel di jalan mungkin.” Juleha tersenyum, air matanya berhenti mengalir. Ia merasa sedikit senang ada orang yang menghargainya. ”Terus… eeeeh,” Edah diam, berusaha menata kata-kata. ”Apa?” tanya Juleha. ”Itu, soal duit yang dulu Edah pinjem,” ujar Edah malumalu. ”Ooo…, kenapa?” ”Nanti, pasti Edah ganti Cing. Pasti, tapi enggak bisa cepetcepet.” ”Enggak apa-apa. Diganti kapan-kapan aja, kalo elu udah sukses.” ”Ah, Encing… Edah jadi enggak enak. Cing, ada satu lagi….” ”Apa?” ”Itu… Enyak ama Babeh kagak tau soal Edah pinjem uang dari Encing. Tolong jangan kasih tau Enyak Babeh ya. Entar 166

http://facebook.com/indonesiapustaka

Edah kena omel lagi. Gara-gara yang kemaren aja Enyak ngomelnye belum selese-selese, ya Cing?” Edah memohon. ”Iya….” ”Janji ya Cing?” Juleha tersenyum melihat sikap manja Edah. ”Iya, janji.” Lalu keduanya diam. Sibuk menikmati tehnya masing-masing, ”lu udah makan?” tanya Juleha. ”Makan pagi udah tadi.” ”Makan siang?” ”Belum, kan Edah jalan ke mari.” ”Encing masak pepes, mau?” Juleha menawarkan ”Mau deh, mau!” jawab Edah bersemangat. Juleha membuka tudung saji meja makan. Dilihatnya mata Edah yang berbinar-binar melihat makanan ala kadarnya yang terhidang. Ia teringat saat Edah masih kecil dan dirinya belum menikah. Satu hari Edah sempat dititipkan padanya dan ketika tidur siang anak itu mengompol di kasurnya. Ini membuat Edah malu, meski Juleha tidak marah. Sore sebelum Edah diambil orangtuanya, Juleha menangkap capung dan meletakkan capung itu ke pusar Edah. Membuat gadis kecil itu histeris antara geli dan ngeri, dan ini membuat Juleha tertawa. Konon, itulah obat agar anak tidak ngompol lagi. Renung Juleha, begini mungkin rasanya melayani anak, girang melihat kegembiraan yang sederhana. ”Dah?” ”Iya, Cing?” ”Kalo lu sempat, sering-sering maen sini ye?” pinta Juleha. Edah tersenyum, ”iye Cing, pasti!”

167

http://facebook.com/indonesiapustaka

168

http://facebook.com/indonesiapustaka

6

[Haji Jaelani:] � Anak Betawi… ketinggalan jaman… katenye….� Lagu pembuka sinetron Si Doel Anak Sekolahan di televisi terdengar sampai kamar. Sinetron itu mulai lagi. Salomah tidak pernah ketinggalan nonton satu episode pun. Biarpun saya panggil-panggil, Salomah tidak bakalan mau. Selama satu jam ke depan dia tak boleh diganggu. Dulu ilm Si Doel Anak Betawi pernah main di bioskop-bioskop. Bintangnya Benyamin Suaeb, cucunya Haji Ung, guru silat babeh saya jaman Belanda. Sekarang di sinetron dia main lagi jadi babehnya si Doel. Sementara si Doel sendiri diperankan Rano Karno, aktor yang kata perempuan-perempuan ganteng karena ada tahi lalatnya. Kalau dipikir-pikir, memang betul kata lagu di sinetron itu: anak Betawi ketinggalan jaman. Udah tahun gini juga orang kita begini-begini saja, tidak ada perkembangan yang berarti, malah yang ada digusur melulu. Sementara orang-orang sudah bikin gedung tinggi-tinggi, orang kita juga masih gini-gini aja. Lihat saja saya, dari segede burung emprit sampai setua ini kerjanya ngurus sapi. ”Bang, pokoknya… Paujan harus bisa masuk Universitas!” kata Salomah suatu hari dengan berapi-api. Ini salah satu efek nonton sinetron itu. Rano Karno… eh, maksud saya si Doel 169

http://facebook.com/indonesiapustaka

susah dapet kerjaan meskipun sudah lulus kuliah. ”Bayangin Bang, kalo anak kite kagak sekola. Apa gak lebih susah tu!” sambung Salomah. Untuk yang satu ini saya setuju, saya sudah lihat sendiri dengan mata kepala saya apa yang terjadi pada Japri dan Juned yang berhenti sekolah. NOL besar. Saya kini menyesal menyetujui Japri dan Juned meninggalkan sekolah. Terngiang-ngiang di telinga perkataan Salomah, bahwa sekolah itu penting. Saya niat mau menjadikan dua anak saya juragan sapi perah. Biar kata tidak makan sekolahan, masa sih kalau sungguh-sungguh niat kerja tidak bisa jadi juragan?! Buktinya saya bisa. Saya sengaja tugasi Japri dan Juned mengurus sapi di Pondok Rangon. Di kawasan relokasi inilah semua kandang dibangun serba baru. Dan saya ingin lihat keseriusan dua anak itu mengurus sapi. Kalau sudah waktunya, saya akan kasih mereka sapi sekandang-kandangnya buat warisan. Dengan uang yang sudah saya terima, serta usaha ternak sapi perah yang masih dipertahankan, saya mampu mencukupi kebutuhan diri saya dan kebutuhan anak. Dalam hal ini berarti Japri, Juned dan keluar mereka, berserta Fauzan yang baru luluslulusan SMA. Kalau Enoh sih, tugas saya sudah selesai semenjak menikahkannya dengan Salempang. Eh, tahu-tahu waktu saya sambani kandang sapi, tak satu pun batang hidung Juned dan Japri nongol. Yang ada laki-laki masih muda, kira-kira seumuran Fauzan. ”Cari siapa, Pak?” tanyanya waktu saya celingak-celinguk cari-cari Juned dan Japri. ”Elo siapa?” sejujurnya saya waktu itu menatapnya dengan penuh curiga. Mengingat saya tidak kenal dan tidak merasa pernah bertemu dia sebelumnya. Dia pakai sepatu bot karet, bajunya separuh basah dan bau tahi sapi. 170

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Saya Paimin, Pak. Yang kerja di sini.” ”Sejak kapan lo kerja di sini?” ”Sudah satu hampir bulan ini, Pak. Lha, Bapak siapa?” ”Ane yang punya peternakan ini!” saya pasang tampang galak. ”Lah… Bapak keleru ya? Yang punya peternakan ini Mas Japri dan Mas Juned.” ”Heh! Japri ama juned itu anak gue, tauk!” saya semprot laki-laki bernama Paimin itu dengan galak. Tiba-tiba ia malah mulai senyum lebar. ”Oh… Bapak bapaknya Mas Juned dan Mas Japri ya? Wah…, senangnya bisa ketemu bos besar!” Paimin berkata sambil bungkuk-bungkuk, ”Mas Japri dan Mas Juned ndak datang, Pak,” sambungnya dengan logat Jawa yang kental. ”Kan saya pegawai, jadi saya yang jaga kandang dan sapi-sapi di sini.” ”Lah, terus Japri sama Juned di mana?” ”Ehm…,” Paimin berpikir sejenak, ”mungkin di pangkalan ojek, Pak. Kan Mas Japri dan Mas Juned suka ngojek juga.” Sialan, Japri dan Juned diam-diam alih profesi?! Kurang ngajar dua anak itu betul-betul kagak tahu diuntung. Bapaknya mikir susah-susah buat mereka bisa hidup layak, dikasih kesempatan biar dapat ilmu pelihara sapi perah, eh… malah jadi tukang ojek! Pantas, belum lama mereka minta dibeliin motor. Bela-belain saya kredit dua biji motor. Katanya buat pulangpergi dari rumah ke kandang. Saya pikir motor itu bakal jadi semacam inventaris perusahaan susu perah. Malah dibuat ojek! Kagak tahu diri! Sontoloyo! Mana kagak permisi pamit keluar kandang. Apa mereka itu tidak ingat punya anak-bini yang harus dipelihara? Ngojek…, kelihatannya memang lebih keren daripada pelihara sapi, tapi dia kan berarti cuma jadi tukang. 171

http://facebook.com/indonesiapustaka

Mendingan pelihara sapi, biarpun bau tahi tetapi jadi bos. Masa mau nadah orangtua melulu, kalau saya mati siapa yang mau peduli? Hhh… akhirnya saya cuma bisa menghela napas dan mengelus dada. Nyebut. Nyebut. Tak mungkin saya marah-marah pada Paimin, sebab kelihatannya dia tak tahu apa-apa soal kelakuan dua anak saya sebetulnya. Saya keliling kandang, melihat hasil kerja Paimin. Rapi. ”Kamu bisa memerah susu sapi?” ”Bisa, Pak. Saya kan dari mBoyolali. Di sana juga banyak susu segar lho, Pak. Wong, sapi-sapinya juga sama seperti yang di sini. Malah saya juga pernah kerja di Solo, di warung sumur.” ”Warung sumur? Apaan tuh? Susu berjemur?” tanya saya sambil mengingat-ingat istilah ’sumur’ dari Enoh yang waktu SMP pernah studi tur ke Bali dan melihat banyak bule berjemur di pantai Kuta tanpa pakai baju, menggelar teteknya agar terbakar matahari. ”Susu murni, Pak! He he he…. Itu lho, Pak yang susu segar aseli mBoyolali. Kiosnya itu punya Paklik saya. Tapi yang dijual ndak cuma susu murni, ada susu jahe, susu setroberi, susu coklat, susu telor, soda gembira. Terus….” Paimin berkicau panjanglebar, betul-betul omongan yang tidak menarik. ”…yah, kalau bisa sih saya juga kepengen seperti Paklik saya, atau jadi kayak Mas Japri dan Mas Juned gitu, Pak. Jadi bos sapi perah, terus bisa mengerjakan sesuatu yang disukai, peternakan sapi tinggal diurus pegawai,” sambungnya lugu. Belum pernah sekalipun saya nyebut mau mewariskan kandang sapi ini untuk dua anak itu. Tadinya saya memang berniat begitu, maka itu saya minta Japri dan Juned mengurusnya. Tapi sekarang…. Dalam hati saya kesal tak ketulungan pada dua anak itu. Kecewa sekali rasanya. Sudah tua masih juga kelakuannya kayak 172

http://facebook.com/indonesiapustaka

anak kecil. Juned sekolah cuma sampai kelas satu SMP, tidak mau melanjutkan lagi. Sedang Japri masih agak untung, lulus SMP. Saya juga orang yang bukan makan sekolahan, saya pikir tadinya tidak apa-apa mereka putus sekolah. Toh tak sekolah masih bisa hidup, buktinya: saya. Tapi kok tiba-tiba keadaan berubah, semua orang sekarang sekolah sampai tinggi-tinggi. Malah dengar-dengar sekarang pendidikan wajib akan naik bukan lagi sembilan tahun, tetapi jadi dua belas tahun. Dan orang-orang sengaja belajar sampai ke luar negeri. Walaupun tidak musti ke negeri Cina seperti kata Al-Quran; tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Banyak dari mereka yang ke Amerika, ke Australia. Kira-kira bisa tidak ya? Anak saya, satu saja… bisa sekolah ke luar negeri. Pasti kalau sudah sampai sekolah di luar negeri, mau jadi apa saja bisa. ”Kamu sekolah sampai kelas berapa, Min?” tanya saya. Paimin mengelus-elus lengan tangannya, kelihatan agak kaget ditanya begitu, lalu jawabnya sambil senyum malu, ”saya cuma lulusan SMA, Pak. Kalau punya duit sih, pasti kuliah. Pasti ndak jadi tukang urus sapi kayak sekarang. Wong sekolah SMA saja empot-empotan. Orang tua saya ndak bisa mbiayai. Jadi, paklik saya yang jadi juragan warung sumur itu yang mbiayai saya. Terus sehabis lulus, saya ikut paklik di Solo jadi pegawainya. Yah… itung-itung balas budi sambil cari pengalaman kerja.” Saya tersenyum, padahal dalam hati saya mengelus dada. Bahkan pegawai anak saya pun lulusan SMA. Malu saya untuk bilang anak saya hanya sampai SMP. ”Sudah punya anak, Min?” tanya saya lagi. ”Ah… Bapak ini lho, bisa saja. Wong saya ndak punya apaapa. Mana laku. Pacar saja ndak ada, kok mau punya anak. Caranya gimana, Pak?” Paimin senyum malu-malu. 173

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ya sudah. Lu kerja yang bener ya. Kalau Juned sama Japri ke sini, bilangin suruh ke rumah babehnya.” ”O… ya, Pak. Ya, nanti saya sampaikan ke Mas Juned dan Mas Japri.” Saya pergi dari kandang sapi. Walaupun kesal, tetapi saya lega, karena yang mengurus sekarang kelihatannya orang yang mengerti sapi dan lumayan jujur. Suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Baru dipikir, Juned dan Japri nongol juga. Sialan! Panjang umur dua anak ini. Mau sampai kapan saya mengurusnya kalau begitu? Ya, saya tahu… menyumpahi anak sendiri tidak baik, tapi saya…. Nyebut. Nyebut. Saya melongo sedikit ke luar, tanpa beranjak dari sofa panjang yang empuk. Suara cempreng dua anak itu terdengar memberi salam sambil cengar-cengir tanpa dosa. ”Alaikum salam,” jawab saya. Juned dan Japri masuk, saya tak beranjak dari kursi, sambil kipas-kipas dengan kipas tukang sate. ”Wah… sofa baru nih, Beh!” sahut Juned dengan ceria. ”Kursi yang lama mana, Beh? Kagak dipake’ lagi ya? Kasiin aye aja, ngapa?” Japri menyahut. ”Eh, curang lu!” Juned tiba-tiba menyelak, ”gue juga mau kalo dikasi kursi!” ujarnya tak mau kalah. Lalu mereka berdua ribut kecil soal kursi tamu. Mengingat sudah tidak tinggal di Karet lagi, saya bisa menukar-tambah kursi pembelian Salempang sewaktu dia masih jejaka dulu dengan sofa ini. Dulu Salempang memang pernah menghadiahi saya sofa, saya tahu dia coba-coba ambil hati saya. Sejujurnya saya senang punya sofa. Ketika saya kebanjiran, seperangkat sofa itu terendam separuh. Salempang 174

http://facebook.com/indonesiapustaka

menjual murah sofa-sofa itu dan membelikan seperangkat kursi tamu baru dari kayu, yang lebih aman jika terendam air banjir. Sekarang, karena sudah pindah ke Ciganjur, dan kelihatannya wilayah ini bebas banjir, saya minta ijin Salempang untuk menukar perangkat kursi tamu pemberiannya dulu dengan seperangkat sofa. Saya lihat saja Japri dan Juned sambil kipas-kipas. Lama-lama keduanya diam, dan saling colak-colek sebab melihat gelagat saya yang sok tak peduli. Mereka tahu, ini adalah awalan saya marah. Songong benar nih anak, bukannya tanya kabar malah tanya sofa. Saya tak menyahut, tetap mengipas-ngipas. ”Panas ya Beh,” sahut Juned lagi sambil tangannya mengipasngipas lehernya yang keringatan. Saya terlalu kesal pada mereka, ”iya, kapan kira-kira elo bisa beliin gue a-sé?” Mereka hanya nyengir mendengar katakata saya, dan tak berani berkata-kata lagi, bahkan berhenti mengipas-ngipas dengan tangan. Daripada yang saya omongkan jadi bala, lebih baik saya diam sebentar saja menahan marah. Jangan sampai omongan saya jelek, takut tidak sadar anak sendiri bisa jadi durhaka. Saya menghela napas panjang, ”gimana kandangnya?” akhirnya saya bertanya. Mereka saling pandang. ”Babeh… ke kandang ya?” tanya Japri hati-hati. ”Iya, gue udah ketemu Paimin….” Saya semakin kencang mengipas-ipas. Panas betul hati ini rasanya. Japri cengengesan jelek. Nyengir rasa bersalah, melirik ke Juned yang juga bersamaan melirik ke Japri. Saya sudah tahu lagak kedua anak itu kalau merasa bersalah. Ya, seperti ini. ”He he he…,” Japri nyengir kuda, lanjutnya, ”iya… Paimin juga udah cerita, Babeh ke kandang.” 175

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Terus… elo enak dong ya, kagak usah buang-buang tahi sapi,” saya menyolot. Japri cengengesan lagi, lalu kembali melirik ke arah Juned kali ini sambil colak-colek saudaranya minta dibantu. Yang dicolek menggeleng-gelengkan kepalanya kencang-kencang sambil rapat-rapat mengunci mulutnya. ”Lo kagak usah ngurus sapi lagi dong, Ned?” Juned menunduk, tambah dalam, sambil menghindar dicolak-colek Japri. ”Si Enoh saja masih mau ke koperasi susu sapi, padahal dia ada kerjaan. Si Paujan juga tetep mau nganter susu perah sepulang sekolah. Kok elo kagak? Ngapain aja?” ”…, ehm…” baru saja mereka saling pandang, berpikir jawabannya. ”JAWAB!” bentak saya tiba-tiba. Sambil membanting kipas sate ke meja tamu yang masih satu perangkat dengan sofa yang baru. Keduanya anak tak tahu diuntung itu tersentak kaget, hampir berbarengan berpelukan dan mengelus-elus dada, sambil mengucap istighfar berkali-kali. ”Ehm…, begini Beh…,” ”Kalian pada ngojek ya?” sahut saya, tak tahan lama-lama. ”Iya…,” mereka menjawab berbarengan sambil kepalanya mengangguk-angguk persis dakocan. Saya menghela napas panjang. Sabaaaar… sabaaaar…. ”Bukannya tuh motor gue beliin buat elu bolak balik kandang? Itu kan yang lu bilang dulu, waktu minta motor?” Dua anak itu menunduk mendengar perkataan saya. ”Emang enakan ngojek ya daripada ngurus sapi?!” sindir saya sinis. Eeh, malah si Japri dengan rasa tak bersalah tersenyum lebar, lalu jawabnya, ”he he…, iya Beh. Kalau sapi kan bau. Kalau motor kan beda, Beh.” ”Iya…,” Juned takut-takut menyahut, ikut berusaha me176

http://facebook.com/indonesiapustaka

nyunggingkan senyum mendukung saudaranya. Tobat. Tobat. Saya tobat. Terserahlah mereka mau apa, toh akhirnya saya hanya bisa menarik napas panjang dan kembali mengambil kipas sate lalu mengipas-ngipas lagi. Panas. Entah bagaimana caranya saya bisa masuk ke pikiran dua anak ini. Atau bagaimana caranya saya bisa membuat mereka berpikir seperti jalan pikiran saya. Saya tidak bisa mengerti, bukankah mengurus peternakan sapi itu lebih terhormat dari pada jadi tukang ojek? Bahkan Pak Harto pun juga pernah bilang, kalau tahi sapi itu ”harum” baunya. Dia saja yang sekarang sudah jadi Presiden, awalnya juga tani dan ngangon sapi. Meskipun sapi, tapi itu kan sapi milik sendiri. Lagipula harga seekor sapi lebih tinggi daripada harga sebuah motor bebek. Apa saya yang sudah terlalu tua untuk mengerti jalan pikiran anakanak muda jaman sekarang ya? Mungkin memang menunggang motor jauh lebih terhormat daripada mengurus sapi, sekalipun sapi itu milik sendiri. Mungkin saya yang kolot. Mungkin saya yang kuno. Mungkin. Bukan saya tidak suka, atau tidak beryukur, bukan… hanya saja setelah kedapatan tanah yang saya tempati digusur, saya tiba-tiba mulai berpikir ulang. Karena ternyata saya sudah terlalu tua untuk mengubah nasib. Apa kira-kira ada yang bisa mengubah nasib orang Betawi? Pagi itu Fauzan sudah keluar rumah. Tumben-tumbenan tuh anak, biasanya dia tidak suka ngelayap pagi. Belum selesai saya ngopi, masih ngumpulin nyawa, tiba-tiba Fauzan teriak-teriak sambil lari masuk rumah. ”Beh! Beh! Berhasil! Berhasil! Paujan berhasil!” ia jingkrakjingkak sambil menunjuk-nunjuk ke koran. 177

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Apaan? Apenye yang berhasil? Lu dapet lotere?” tanya saya ikut-ikutan semangat. Fauzan yang tadinya semangat langsung menekuk wajahnya, melihat ke arah saya, ”Lotere… lotere… haram!” ujarnya galak. Saya mencibir, iya… sudah tau. Haram. ”Nah, terus apaan?” ”UMPTN, Beh!” Fauzan kembali menunjuk-nunjuk ke koran. ”Apa? Umpetan? Lu badan udah segede gini masih maen umpetan. Kagak malu ama jambul lu!” ”Aah… Babeh, bukan umpetan. U-Em-Pe-Te-En!” Fauzan memberi tekanan pada kata terakhir yang saya tidak mengerti maksudnya apa. ”Apaan tuh?” ”Singkatan Beh, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri.” Saya masih belum mengerti dia ngomong apa, ”terus?” tanya saya. Fauzan memutar matanya ”ini ujian masuk kuliah, aye lolos!” dengan tak sabar dia menyodorkan korannya pada saya, dan menunjuk satu nama; namanya. Saya kaget, berulang-ulang saya baca namanya di koran, memastikan itu betul-betul nama anak saya. ”Lolos! Lu lolos! Lu masuk kulia…!” Saya tertawa-tawa. Fauzan juga tertawa-tawa, bahkan lebih keras. Lalu sesuatu muncul di pikiran saya. Saya berhenti tertawa, ”nah… kalo lu udah selesai kulia, lu jadi apa?” ”Jadi tukang insiyur Beh! Kayak si Doel! Aye diterima di arsitektur!” ”Horeeeee… anak gue bakal jadi tukang insiyur kayak si Doel! Mah… Salomah! Salomah!” saya memanggil-manggil istri saya 178

yang kemudian datang dengan tangan penuh busa. Dia belum selesai mencuci baju. ”Apaan? Pada teriak-teriak kayak kesambet.” Ia mengelap tangannya ke baju dasternya. ”Lihat nih… anak lu, eh… anak gue… bakalan jadi tukang insiyur!” saya mewartakan dengan girang sambil menunjuknunjuk koran. ”Apa? Anak gue mau jadi tukang sayur?” ”Heeh…,” saya menghela napas memandang Salomah yang masih enggak nyambung dengan sinis. Lalu saya bilang, ”Tu-kang in-si-nyur, kopok! Paujan bakalan jadi tukang insinyur kayak si Doel di tipi.” Saya menekankan pada kata ’tukang insiyur’, ”Paujan lulus ’umpetan’, keterima kuliah!” sambung saya. ”Hah?! Bener Jan?” Salomah memastikan, matanya membelok senang. ”Iye, nih… lihat!” Fauzan menunjukkan namanya di koran, ”lolos Nyak! Aye lolos masuk kuliah di UI.” ”Waaaah! Anak gue bakalan jadi tukang insinyur kayak si Doel!” teriak Salomah girang dengan tangan masih penuh sabun.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Rumah Haji Jaelani ramai. Mereka mengadakan selametan, selain buat rumah baru juga untuk selametan Fauzan yang keterima kuliah. Tadinya Haji Jaelani tak berniat mengadakan acara apa pun, tapi semenjak pengumuman penerimaan mahasiswa baru di koran, dia merasa punya alasan untuk merayakan sesuatu. ”Babeh…, apa-apaan sih, timbang keterima kuliah doang pake selametan segala!” Fauzan protes ketika ayahnya pertama 179

http://facebook.com/indonesiapustaka

kali mengutarakan ide selametan. Meskipun dia merasa senang, tetapi ada sedikit rasa malu; masakah jaman modern masih pakai selametan segala? batinnya. ”Eh Jan, lu jangan gitu… ini gue orang tua lu seneng, bangga lihat lu keterima kuliah. Biaring ngapa!” jawab Haji Jaelani. Fauzan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Apalagi, ibunya lalu ikutikutan membujuk Fauzan dengan berkata; hitung-hitung menyenangkan babehnya, bikin orangtua senang berpahala. Terakhir keluarga itu ramai-ramai mengundang banyak orang ketika Enoh menikah dengan Salempang, sekitar tiga tahun lalu. Ketika itu mereka masih tinggal di Karet. Fauzan ingat, betapa ayahnya bahagia akhirnya bisa melepas Enoh untuk laki-laki yang ia anggap tepat menyandingi putrinya. Kini Enoh sudah memberi Haji Jaelani dan Salomah seorang cucu laki-laki. Ia dan suaminya tinggal di daerah Mangga Besar. Haji Jaelani mengundang banyak orang yang ia kenal sejak dulu. Beberapa teman dekatnya semasa tinggal di Karet, beberapa tetangga kanan-kiri yang baru mereka kenal, orang-orang tua yang wajahnya tak dikenal Fauzan, bahkan ada seorang Cina pula yang datang. Serta tak lupa dua adik kandung Haji Jaelani sendiri; Haji Jarkasi dan Juleha. Japri, Juned, Juleha dan keluarganya masing-masing, lengkap dengan anak-anak mereka juga ikut hadir. Ini adalah kumpul-kumpul setelah Lebaran lalu di rumah orangtua Haji Jaelani. Perempuan tua itu juga datang bersama pembantunya yang setia, Yu Rebi. Sampai sekarang Ipah, ibunda Haji Jaelani, belum bersedia diurus anakanaknya. Haji Jarkasi seperti biasa datang bersama istrinya, Mpok Enden, dan anaknya, Edah. Enoh kesenangan atas kehadiran Edah. Dua anak itu memang sejak dulu lengket, semasa kecil 180

http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka sering latihan menari bersama meskipun dengan cara mencuri-curi. Tetapi ketika keduanya mulai besar, masingmasing punya kegiatan sendiri-sendiri. Enoh, yang waktu itu senang mendapat ibu baru yang memperhatikannya, jadi mulai jarang main dengan Edah. Meskipun Enoh sempat pernah beberapa kali tampil di acara-acara kampung, semacam tujuhbelasan atau perayaan ulang tahun temannya. Ia dan Edah menari Topeng bersama-sama. Salomah, ibu baru Enoh, selalu menekankan pentingnya sekolah buat Enoh. Tak heran jika kemudian setelah lulus SMA Enoh melanjutkan ke jurusan pengajar taman kanak-kanak. Sedang Edah tak putus terus berlatih menari. Ia menyelesaikan sekolah kejuruannya dan tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Edah bercita-cita menari di luar negeri. ”Duh… seneng banget ye, lu udah punya buntut!” komentar Mpok Enden melihat anak Enoh yang sedang lucu-lucunya, ”lu kasih tau dong resepnye, biar si Edah juga cepet dapet jodo!” Mpok Enden melirik pada anaknya. ”Enyak, apaan sih!” Edah protes. Dia paling sebal jika ibunya sudah mendesaknya untuk cepat-cepat dilamar orang, ”emang orang kawin kayak ayam, apa?!” ”Hus!” Mpok Enden tak suka ucapan putri sebiji matenya. Enoh tertawa kecil melihat encing dan sepupunya ribut kecil. ”Kan udah Cing, kemaren waktu aye nikah… kan Edah udah nyolong kembang hiasan rambut aye!” selak Enoh berkelakar, mengingat ia tahu bahwa encingnya menyuruh Edah nyolong hiasan kembang di rambut penganten. Konon biar ketularan dapat jodoh. Waktu itu Edah dengan sebal mengadu pada Enoh yang sudah lengkap dandanannya. Enoh tertawa-tawa dengan kekesalan Edah dan akhirnya mengijinkan sepupunya untuk 181

http://facebook.com/indonesiapustaka

mencuri kembang hiasan rambut, demi untuk membuat ibunya senang. Juleha, datang sendiri. Mereka semua mulai terbiasa melihat kesendirian Juleha. Ia lebih suka menarik diri, menuju dapur. Beralasan ingin ikut membantu menyiapkan makanan dan minuman. ”Makan dulu deh nyok! Lu keliatan kurus sekarang, emang lu diet ya?” tanya Salomah beramah-tamah, menarik adik iparnya untuk mengambil makan. Juleha nurut saja. ”Gue aje yang udah melar kagak diet-dietan! Kata anak sekarang, cuek aje!” sambung Salomah berkelakar. Padahal Salomah tahu betul penyebab adik iparnya tak doyan makan. Suasana rumah selametan itu jadi mirip saat Lebaran. Setelah acara doa, dan Haji Jaelani memberi sambutan, praktis acara selanjutnya hanya saling bersilaturahmi. Semua salam-salaman dan saling tanya kabar masing-masing. Yang membedakan; tak ada ketupat meskipun ada opor ayam. Terlebih lagi yang diundang adalah orang-orang terdekat saja, suasana akrab memenuhi atmosir rumah Haji Jaelani yang baru. Hingga menjelang Isya, baru para tamu baru pulang. Tinggal Haji Jarkasi dan Juleha saja selain anak-mantu Haji Jaelani. ”Gimane lakilu sekarang Ha?” tanya Haji Jarkasi. Keluarga yang ada di situ mengalihkan pandangannya kepada Juleha. Acara selametan menyisakan gelas-gelas dan piring-piring kotor yang belum dibersihkan. Enoh dan Edah mengumpulkan piring dan gelas yang kotor tersebut, menumpuknya jadi satu. ”Ya masih gitu deh. Die lagi seneng, punya orok,” jawab Juleha singkat, ia berusaha tersenyum. Ini membuat kaget keluarganya, sebab kemarin-kemarin Juleha tak pernah cerita bahwa istri kedua Jiih hamil. 182

”Tuh perempuan bunting?!” Salomah bertanya, menuntut penegasan. Juleha menarik napas, mengiyakan. Ia merasa sudah saatnya menceritakan apa yang terjadi di keluarganya. ”Maap aye kagak cerita dari kemaren-kemaren….” Juleha menahan ucapannya, ia berusaha menata dirinya sendiri yang tiba-tiba merasa jadi pecah berkeping-keping seiring dengan ia membeberkan kisah perkawinan kedua suaminya. Malam itu Juleha pulang diantar abangnya, Jarkasi, dan istri serta Edah, anaknya. Rumah Juleha sepi, padahal di antara ketiga bersaudara itu, rumah Juleha lah yang paling bagus meskipun tidak mewah. Jiih telah sukses dengan usaha percetakannya, dan terkenal dengan ceramah-ceramah agamanya. ”Ha, kalo lu butuh ape-ape, lu jangan malu ngomong ke gue ye!” pesan Enden. Juleha mengangguk pelan lalu masuk ke rumahnya yang sepi.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Haji Jaelani mengantarkan istrinya ke rumah Juleha. Salomah membawakan satu porsi nasi kebuli sebagai oleh-oleh. Dia sengaja pagi-pagi benar ke pasar dan membeli satu kilo daging kambing untuk masak nasi kebuli. Pintu rumah terbuka. ”Salam alekum…!” sapa Salomah. ”Alaikum salam….” Suara Juleha menyambut kedatangan Abang dan kakak iparnya dengan gembira. ”Eh, Bang…, Mpok…? Masup deh!” ”Nih, lu gue bawain nasi kebuli!” ”Nasi kebuli? Emang ada sukuran lagi ye?” tanya Juleha heran. ”Kagak…, gue kebetulan aje lagi masak ini, terus keingetan 183

http://facebook.com/indonesiapustaka

elu. Terus Bang Lani mau jalan, jadi gue pikir mending gue ikut Bang Lani aje, numpang minta dianterin ke sini!” Salomah beralasan. ”Ooo…,” Juleha melihat ke arah luar. Tin… tin… Suara klakson bel terdengar. Di mobil ada Fauzan duduk di kursi setir, dia melambaikan tangan pada ncingnya sambil tersenyum. Juleha ikut dadah-dadah, ”Fauzan kok kagak turun Bang?” tanyanya pada Haji Jaelani. ”Gue cepet-cepet. Mau nganter si Paujan bayar uang masup kuliah dulu. Entar kesiangan, loketnya tutup. Lu di sini aje ya Mah! Entar pulang gue jemput.” Haji Jelani segera beranjak, naik ke mobil kijang kotak. Mereka tancap gas. Salomah masuk menuju dapur, diambilnya piring besar untuk wadah oleh-oleh yang tadi dibawanya. ”Udah Mpok… biarin aye aje.” Juleha berusaha mencegah. ”Alah…, elu di tempat gue juga sradak sruduk sendiri! Gak ape-ape, timbang mindahin nasi doang. Lu udah masak belom ini hari?” tanya Salomah. ”Belom. Tadinya sih mau masak rada nantian aja, buat makan siang.” ”Lu jarang sarapan ye?” Juleha menggeleng pelan, ”tadinya sih rajin sarapan. Sekarang karena Bang Jiih lebih sering di rumah kedua, aye pikir percuma juga masak. Jadi kalo masak mending buat makan siang ama malem sekalian.” ”Heeeem, pantesan lu kurus! Ayo, sekarang lu sarapan dulu!” Salomah mengambil piring, memindahkan seserok nasi kebuli ke piring itu. ”Mpok makan gak?” Salomah berpikir sejenak, ”ya udah, gue ikutan makan lagi 184

http://facebook.com/indonesiapustaka

deh! Biar lu makannya banyak!” Dua perempuan itu makan pelan-pelan. ”Enak Mpok.” Juleha memuji masakan kakak iparnya. ”Resep umi gue tuh!” ”Mpok…,” Juleha mengunyah nasinya, ”aye boleh tanya sesuatu?” ”Tanya deh, terserah lu!” ”Tapi Mpok jangan marah, ye.” ”Apaan sih, emang lu mau ngutang ye?!” Salomah berusaha memecah ketegangan. Ia dan Juleha tertawa kecil, tiba-tiba baru disadarinya, semenjak ia menikah dengan Jaelani tak pernah dirinya merasa seakrab ini dengan adik iparnya. ”Gimana rasanya jadi istri kedua?” tanya Juleha. Salomah tak langsung menjawab, ia tak terkejut dengan pertanyaan itu, ia bahkan sudah bisa menduganya. Ditelannya dahulu nasi kebuli yang masih ada di mulutnya. ”Ha…, gue dari dulu kagak punya cita-cita jadi istri kedua, apalagi jadi perempuan yang ngerusak rumah tangga orang. Kalo abang lu masih ada bini, gue kagak bakalan mau kawin ama die.” ”Iye, aye tau kok Mpok.” Juleha berkata cepat-cepat. ”Tapi gue ngarti maksud lu. Kalau gue sih, selama ini merasa bukan bini muda. Gue merasa ya… bini, itu aja. Mungkin karena selama gue nyampur ama Bang Lani, kagak ada perempuan lain yang hidupnya gue rusak. Gue kagak pernah kenal ama Mpok Rimah, tapi gue sayang ama anak-anaknya. Kalo gue kagak merasa sayang, kasihan ama anak-anaknya juga gue belum tentu mau dikawinin ama Bang Lani!” Salomah menjelaskan panjang lebar. ”Sekarang lu bayangin aje, lu tahu sendiri gue kan dari keluarga Arab. Orang Arab, lu tau kolot. Kawinnye ama orang 185

http://facebook.com/indonesiapustaka

serumpun aje. Gue termasuk orang yang keluar jalur. Abahumi gue dulu awalnye kagak setuju gue kawin ama Bang Lani. Mana duda beranak lagi! Tapi akhirnya dibolehin juga, abis gue udah berumur!” Salomah lalu tertawa sendiri. Juleha berusaha tersenyum. ”Kenapa Mpok mau ama Bang Lani?” ”Itu sebabnya gara-gara dulu orang-orang suka ngejek gue, manggil gue Salome. Nah, abang lu tuh satu-satunya orang yang manggil gue Salomah, nama gue yang bener. Lu tau sendiri kan, orang Betawi… semua-mua belakangnya diganti e. Yah, salah Babeh gue juga sih… orang Arab tinggalnye di kawasan orang Betawi.” ”Tapi Bang Lani kan memang manggil Mpok ’Salomah’, bukan ’Salome’.” Kata Juleha, sambil mengingat-ingat kira-kira kapan Bang Jaelani pernah memanggil istrinya dengan Salome. ”Justru itu, gue jadi mau ama abanglu. Lu tahu gak, orangorang kalo ngejek gue apa?” ”Apa?” Juleha penasaran. ”Salome…, satu lobang rame-rame!” Juleha tertawa, tapi melihat Salomah yang merengut dia jadi berusaha menghentikan tawanya. Kadang orang suka membuat singkatan dari nama-nama. Juleha tahu, kalau singkatan itu bersifat mengejek tentu menyebalkan orang yang punya nama. ”Maap…,” ujar Juleha pelan, masih menahan tawa. Salomah lalu tersenyum ditahan, dia mengelus punggung adik iparnya, ”kagak apa-apa. Lu ketawa, gue seneng.” Juleha tersenyum, tak menyadari tadi dirinya bisa tertawa. Memang akhir-akhir ini agak susah baginya untuk sekedar menyunggingkan senyum semenjak ditinggal suaminya menikah lagi. ”Nah…, tadinye sih gue kagak ape-ape dipanggil Salome. Terus yang ka186

http://facebook.com/indonesiapustaka

sih singkatan panggilan gue gitu pertama kali waktu jaman gue masih SMA, cowok yang dulu naksir gue, terus gue kagak mau. Eh… die ngejelek-jelekin gue. Tereak-tereak di jalan, ’salome… satu lobang rame-rame!’ gitu!” Juleha tersenyum mendengar cerita itu. ”Abah ama Umi gue sampe nyidang gue, dikira gue udah kagak perawan lagi! Gila apa?! Abis itu, anak-anak kampung suka lewat rumah gue, tereak-tereak gitu juga. Gue kan kesel! Sampe-sampe kalo ada yang panggil gue Salome, gak bakalan gue nengok.” Keduanya diam…, terbenam pikirannya masing-masing. Mungkin ingatan ketika masing-masing bertemu pasangan hidupnya. ”Bang Lani itu…, udah lama ditinggal mati ama Mpok Rimah juga, susah mau kawin lagi.” Juleha berkata pelan, tiba-tiba ia menyadari omongannya, khawatir membuat marah Salomah, ”eh… maksud aye….,” ”Enggak apa-apa kok, aye tau.” Salomah cepat-cepat berujar. ”Mungkin Bang Lani tau kali ye…, orang-orang panggil Mpok jelek gitu. Jadi die kagak panggil ’Salome’,” Juleha mengalihkan pembicaraannya ke jalur semula. ”Mungkin,” Salomah berkata pendek, ”…Bang Lani dulu pernah bilang, masih cinte ama almarhumah Mpok Rimah, tapi cinta ama aye juga. Justru gara-gara itu gue jadi mau ama die. Bang Lani bilang, kalo die kagak cinta kagak mungkin die mau ngawinin gue. Padahal katanya banyak orang yang nawarin dia perempuan buat jadi bini sambungan die ye?” Salomah memastikan. ”Iye…, aye tahu sendiri. Bang Kasi sama Mpok Enden juga pernah berapa kali ngenalin Bang Lani ama tetangganya yang 187

http://facebook.com/indonesiapustaka

masih perawan. Apalagi yang nawarin jande, lebih banyak lagi….” Juleha mengenang. ”Udah ditinggal mati aja, Bang Lani masih cinta ama Mpok Rimah. Makanya, gue yakin die bakalan setia ama gue.” Salomah menghela napas panjang. ”Laki gue…, kok kagak bisa kayak Bang Lani ye? Apa memang betul ini salah aye, kagak bisa kasih anak?” Juleha mulai menangis tertahan. Salomah mengelus punggung Juleha, membiarkan Juleha menangis. ”Kalo laki lu gak bisa nerima lu seadanya, berarti emang dia gak betul-betul cinta ama lu. Bukan masalah lu kasih die anak apa kagak. Orang nikah kan pada hakekatnya buat memenuhi kebutuhan biologis, bukan buat cari keturunan.” Juleha menghapus air matanya, memandang Salomah. ”Masa? Mpok tau dari mana?” ”Ya tau aja, biar kata gue jelek, galak, tapi soal yang pentingpenting gue ngarti. Apalagi kite perempuan, bukan cuma bawa diri aje yang penting. Kayak yang dibilang orang-orang, kite musti gini-gitu, musti dukung suami kite, musti pake baju yang sopan, musti jaga nama keluarge, banyak lagi deh…. Padahal menurut gue yang paling penting kite musti bisa jaga diri sendiri. Justru ini yang kagak banyak diajarin sama orang tua kite dulu…,” nada suara Salomah semakin lama semakin terdengar tegas, Juleha memperhatikannya dengan seksama, ”eh, gue cerewet ye? He he he…, maap ye… keterusan.” Salomah senyum dikulum. ”Eh, enggak ape-ape kok. Aye diajarin kayak gini banyakbanyak juga mau. Biar aye ngarti,” pinta Juleha. Di luar terdengar suara mobil berhenti. Lalu tak lama suara laki-laki mengucap salam terdengar, itu Haji Jaelani dan 188

http://facebook.com/indonesiapustaka

anaknya, Fauzan. Juleha dan Salomah membalas salam mereka bersamaan. ”Eh, laki gue udah dateng.” Salomah dan Juleha beranjak dari duduknya, ”udah balik Bang?” Salomah mencium punggung tangan kanan suaminya. ”Iye, orang kate tadi cuma ambil pormulir. Kagak taunye bayarnye masih seminggu lagi, ade jadwalnye. Antri bentaran doang. Tuh, pormulirnya boleh dibawa pulang, diisi di rumah ama Paujan.” Haji Jaelani melihat ke arah Fauzan. ”Lu udah rampung ngegosipnye?” Haji Jaelani menggoda Salomah dan Juleha. Keduanya pandang-pandangan dan tertawa kecil. ”Udah!” ujar mereka berbarengan. Salomah pamit, ia dan Juleha saling mencium pipi. Diantarnya Salomah, Haji Jaelani dan Fauzan hingga depan pagar rumah. ”Mpok, kalo mau dateng lagi, silakan aje. Aye seneng,” ujar Juleha. ”Iye, insyaallah gue maen ke sini lagi. Lu juga ye, seringsering ke rumah gue yang baru. Sekalian bantuin bebersih!” Salomah berkelakar. Juleha tertawa kecil. ”Iye, entar aye bantuin ngecet!” tanggap Juleha. Haji Jaelani tak bisa mengalihkan pikirannya dari pemandangan yang dilihatnya siang tadi ketika ia mengantar Fauzan. Sederet bangunan baru nan mulus dan bertingkat yang sedang dibangun. Ia tak akan memikirkan bangunan-bangunan baru itu jika saja bangunan itu tak didirikan di bekas tanahnya dahulu di Karet. Ya, Haji Jaelani sampai melongo melihat perubahan yang sangat pesat sehingga ia merasa dirinya betulbetul sudah tua dan masih banyak pe-er yang belum selesai 189

http://facebook.com/indonesiapustaka

digarapnya. Setelah keluarga Jaelani mendirikan Isya, Fauzan sibuk dengan sejumlah formulir yang tadi diambilnya. Haji Jaelani memperhatikan Fauzan dengan riang. Ia telah berjanji pada anak bontotnya itu untuk mengantarnya lagi ke UI jika dibutuhkan. Salomah datang dengan gelas berisi cairan putih, meletakkannya tepat di depan Haji Jaelani. Lelaki itu memperhatikannya ”Susu!” Salomah menegaskan. ”Terus?” ”Terus, Abang harus minum.” ”Kagak lucu ah, gue jualan susu disuruh minum susu!” ”Justru Abang yang kagak lucu, seumur-umur jualan susu, punya sapinya segala, kagak doyan susu. Penting, Bang. Biar tulangnya kuat.” Salomah menjelaskan. Belum lama ia membaca artikel tentang osteoporosis di sebuah majalah wanita. ”Kayak anak bayi aje! Bikini gue kopi!” Haji Jaelani menitah. ”Abang minum dulu susunya, baru aye bikinin kopi. Biar tulang Abang kagak keropos! Entar jadi bongkok lho!” ujar Salomah tegas. Haji Jaelani tahu, kalau istrinya sudah bersikeras begini obatnya hanya satu; dituruti. Laki-laki yang tak bisa dibilang muda itu mengangkat gelas susu. Memperhatikan cairan putih itu, mengendusnya dan menutup hidungnya dengan tampang eneg. Sejak dulu, karena sudah terbiasa mengurus sapi perah, dia jadi tak pernah benarbenar doyan susu. Haji Jaelani akhirnya menenggak susu sapi itu sambil menutup hidungnya. Ditelannya cepat-cepat. Ketika sudah berhasil menghabiskannya, Haji Jaelani berpikir sejenak, ”kok rada cair ya susunya? Ini dari sapi kita bukan?” 190

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Iya, si Enoh yang nganter. Emang aye yang pesen, sebelum dia nganter ke koperasi susu,” ujar Salomah menjelaskan. ”Kok encer ya? Dibandingin dulu.” ”Dulu kapan? Kapan Abang minum susu?” tanya Salomah memastikan. ”Udah dulu banget sih…, waktu Enoh masih kecil,” jawab Haji Jaelani. ”Ck… Abang…,” Salomah berdesak sambil mendelik, ”itu mah tahun topeng monyet masih laku. Sekarang udah tahun berapa Bang! Abang lupa kali rasanya susu?!” Haji Jaelani berpikir sejenak, ”iye kali ye… gue lupa rasa susu.” Haji Jaelani dan Salomah diam sejenak, mereka melihat ke arah Fauzan yang sedang mengisi formulir. ”Lega gue, anak gue bakal jadi orang,” tiba-tiba Haji Jaelani berkata sendiri. ”Iya Bang, aye juga,” sambung Salomah. ”Tadi waktu gue nganter Paujan, baliknye gue sengaja lewat tempat kite dulu di Kuningan. Lu tau… sekarang udah ade bangunan bagus. Udah berubah bener. Itu katanya ruko; rumah toko. Cepet banget sih bangunnye gedung segede-gede gitu. Duitnye orang pengembang banyak banget pasti ye!” Haji Jaelani menghela napas, mengingat sebuah papan yang sengaja diletakkan di depan bangunan setengah jadi itu. Bertuliskan; ’Di sini akan dibangun ruko’, diikuti sederet angka, nomor telepon pengembang. Kalau-kalau ada orang yang tertarik membeli satu unit ruko tersebut, tentu saja. ”Udah Bang, kagak usah dipikirin lagi. Kalo dikenang-kenang terus, entar Abang jadi enggak rela nerima kita kudu pindah sini.” Salomah mengingatkan. 191

”Ya, sejujurnya gue emang rada nyesel sih….” aku Haji Jaelani. ”Tuh, kan!” ”Coba dulu gue sewain aje tanahnye. Apa kongsi deh ama pengembang, pasti duitnya lebih banyak. Bisa cukup buat ngidupin Japri ama Juned juga. Kagak usah mikir sapi lagi. Mana gue kagak jadi dapet dollar, lagi! ” Haji Jaelani menerawang. ”Abang… istighfar Bang. Jangan mikir andai-andai melulu. Gak baek. Lihat kenyataan, bersyukur aje deh ama keadaan kite sekarang!” Salomah menasehati. Haji Jaelani tersadar, ”Astagirullah… iye lu bener Mah. Gue tadi cuma mikir, kalo gue mati mau kasih warisan ape ye buat anak-anak gue?” ”Yah… Abang, gituan lagi dipikir. Kalo mati ya udah, mati aja. Makenye, aye pengen anak-anak belajar yang bener, sekola yang tinggi. Kalo kita kagak bisa kasih mereka harta, cuma ilmu yang bikin anak-anak tetap bisa mapan.” Salomah berilsafat panjang lebar. ”Seenggak-enggaknya sekarang gue kagak perlu mikir Enoh….” Haji Jaelani merebahkan kepalanya di sandaran tempat duduk. Ia dan istrinya kembali memperhatikan Fauzan yang masih asyik mengisi formulir.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Tahun ajaran baru dimulai, Fauzan kebagian ospek selama satu minggu. Sudah empat hari dia kelimpungan mencari barangbarang yang dibutuhkan untuk mengikuti ospek. Kurang tidur, dan perlengkapan yang dibawanya tidak tanggung-tanggung. Haji Jaelani dan Salomah membantu anaknya sebisa 192

http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka. Untuk Haji Jaelani, tentu saja selama satu minggu ini mengantarkan Fauzan ke kampus agar tak telat. Ayam belum lagi berkokok, apalagi matahari; belum saatnya bersinar. Bahkan pengurus masjid pun kelihatannya masih ngorok sebab waktu mengumandangkan adzan Subuh belum jadwalnya. Tetapi Salomah dan Fauzan sudah ribut; sang ibu memasak telur mata sapi dengan kuning di luar- putih di tengah, tempe goreng lima biji berbentuk kubus dengan diameter 1 cm tiap sisinya, serta nasi putih berbentuk bulat sempuna sebesar bola kasti. Semua dimasukkan ke dalam besek yang diberi warna hijau ulat keket, persis seperti catatan harian semasa ospek yang didiktekan kakak kelas Fauzan setiap hari selama ospek. Bekal hari ini masih agak gampang dibuat, daripada bekal kemarin yang mengharuskan Fauzan pergi ke kelurahan minta cap untuk telur asinnya. Fauzan sendiri sudah hampir satu minggu ini tidak berambut alias gundul. Dia mengenakan seragam putih-putih dengan sepatu putih pula. Betul-betul putih. Ia terpaksa mengecat bagian berwarna biru di sepatu Kasoginya dengan piloks. Sebetulnya itu sepatu kesayangannya, yang hanya dipakainya ketika olahraga waktu jaman SMA. Tapi ia tak punya sepatu putih lainnya, Haji Jaelani menjanjikan membelikannya sepasang sepatu baru untuk kuliah. Kaos kaki biru di sebelah kanan dan merah di sebelah kiri menghangatkan kakinya, jangan lupa… kaos kaki itu dikeluarkan, menutupi panjang celananya. Kaos kaki kanan sebatas bawah dengkul, sedang kaos kaki kiri sepanjang pertengahan betis. Ia mengalungkan sebuah kardus lengkap dengan foto masa kecil yang ditempel di situ. ’Celepuk’ adalah namanya semasa ospek, tertera besar-besar di kardus itu. Sebuah penutup kepala yang diberi nama ’topi’ menghiasi kepala 193

http://facebook.com/indonesiapustaka

plontosnya. Topi itu terbuat dari bola sepak plastik yang dibagi dua lalu dicat dengan piloks berwarna hijau ulat keket. Sisi kanan-kirinya dilengkapi dengan tali karet celana dalam sebagai pengait di dagu sang pemakai. Gunanya agar jika sang pemakai harus berlari-laki, topi bola sepak itu tak jatuh. Itu hanya sebagian dari sekian atribut dan ’peralatan perang’ yang dititahkan senior kepada junior-junior baru macam Fauzan. Saat semua sudah siap, Fauzan memastikan sekali lagi tak ada atribut yang ketinggalan. Anak itu tak ingin dirinya harus dihukum menghitung jumlah genteng perpustakaan, atau memastikan jarak antara WC dengan ruang tata usaha dengan cara dikilan. Dia membangunkan Haji Jaelani, dan adzan Subuh masih belum dikumandangkan. ”Bangunin gih Babeh lu!” titah Salomah setelah memasukan besek berisi nasi bekal ke tas karung goni milik Fauzan. Anaknya segera menuju kamar, bertugas menggantikan adzan Subuh. Dengan bersemangat Fauzan mulai mencolek-colek tubuh ayahnya, seolah-olah ia adalah adzan: wahai orang-orang yang berselimut, mengantarkan anak ke kampus agar tak telat ospek lebih baik dari pada tidur! ”Beh…, Beh… ayo anterin!” Kali ini Fauzan mengguncangguncang tubuh ayahnya. Haji Jaelani mengulet, ogah-ogahan membuka mata. Terdengar suara ’heh’ yang keluar dari Haji Jaelani di antara dengkurnya yang masih kental. Setelah itu, dengkurnya malah makin keras. ”Beh… anterin, entar Paujan telat lagi. Beh!” Fauzan mengguncang tubuh ayahnya lebih keras. Berhasil, kali ini mata Haji Jaelani terbuka, dan ia teriak kaget melihat pemandangan di depannya. ”Setan alas, iblis, demit, pocong jauh!” ujar Haji Jaelani bertubi-tubi, membuat kaget Fauzan pula. Kini ia sama sekali tak 194

http://facebook.com/indonesiapustaka

mengantuk. ”Ya Allah…, elu Jan. Tampang lu udeh kayak tuyul aje!” Bagaimana tidak, di bawah lampu kamar yang temaram, dilihatnya anaknya dengan pakaian putih dan plontos tanpa rambut. ”Aaaa…, Babeh apaan sih. Tiga hari ngeliat aye gini masih aje kaget. Ayo cepetan, bangun! Anterin, entar aye telat lagi.” Fauzan menggesa-gesa ayahnya. Haji Jaelani menurunkan kakinya dari dipan. Dia menguap sejenak dan dengan langkah gontai menuju ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Terlalu pagi untuk mandi, dan istrinya belum sempat membuatkan air panas sebab sepagian menyiapkan kebutuhan Fauzan. Tak lama sang ayah siap mengantar anaknya ke kampus. Sejenak dipanasinya mobil kesayangannya, satu-satunya. Setelah Fauzan mencium punggung tangan ibunya, Haji Jaelani tancap gas. Menempus udara pagi Jakarta yang belum macet. Meski demikian, ada saja kehidupan. Entah itu orang-orang yang memenuhi hobi diskonya malam hingga pagi, ataupun para kuli bangunan yang dibayar mahal untuk lembur. Haji Jelani melirik anaknya yang duduk di sebelah dengan tegang, sekali lagi Fauzan mengecek atribut ospeknya, jangan sampai ada yang ketinggalan, ia tak mau dihukum. Untuk hal macam begini, Fauzan termasuk anak yang menurut dan disiplin. Jakarta sepi…. Haji Jaelani terus menyetir mobilnya tanpa halangan macet secuil pun. Sudah puluhan tahun ia tak merasakan Jakarta sesepi itu. Kalau saja di saat siang keadaannya terus seperti itu. Tentu menyenangkan ke mana-mana keliling Jakarta, batin lelaki tua itu. Macet adalah hal utama yang membuat Haji Jaelani malas bukan kepalang keluar rumah di siang hari. Baru sampai di muka gerbang Universitas Indonesia, dan 195

http://facebook.com/indonesiapustaka

jalan masih jauh menuju Fakultas Tehnik, Haji Jaelani menghentikan mobilnya. Fauzan keluar mobil agak sedikit kerepotan. Seorang laki-laki muda berjaket almamater warna kuning mendekati Fauzan. Itu seniornya, ia tahu itu. Meski belum telat, ia harus cepat-cepat. Beberapa mahasiswa baru dengan dandanan aneh-aneh mirip Fauzan juga baru datang. Mereka langsung didekati senior-seniornya yang menyuruhnya memberi salam hormat dan memastikan tak ada atribut yang ketinggalan. Fauzan cepat-cepat mencium tangan ayahnya yang segera memutar mobilnya dan berlalu dari situ. Matahari baru muncul separuh, hari belum sepenuhnya terang. Haji Jaelani sebetulnya senang melihat anaknya diospek, bukan apa-apa, ia hanya girang sebab ada putranya yang mengalami sekolah tingkat tinggi. Lelaki tua itu tancap gas sambil matanya mencari masjid untuk mendirikan salat Subuh yang memanggilnya. Malam sudah turun sempurna ketika salat Isya sudah didirikan Haji Jaelani dan keluarganya. Salomah sibuk mencuci piring di dapur, sisa makan malam mereka berdua. Ia sengaja menyisakan sepotong lauk, semangkuk sayur asem dan sepiring nasi untuk Fauzan yang hingga malam begitu belum juga pulang. Haji Jaelani rebahan di sofa sambil kipas-kipas dengan kipas tukang sate yang sudah butut. Meski nyamuk menyerbu masuk, pintu depan sengaja dibuka, kalau-kalau Fauzan pulang tak perlu ketok-ketok. Selingkar obat nyamuk bakar sengaja dinyalakan dan diletakkan di samping pintu depan. Ketika matanya mulai meredup bohlam lima watt, suara motor berhenti tepat di depan rumahnya. Suara sember dua laki-laki mengucap salam berbarengan. ”Salam likuuuum….!” 196

http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentu saja Haji Jaelani urung tertidur, tanpa mengangkat badannya dan malas-malasan membuka mata ia menjawab, ”alaikum salam.” Dilihatnya dua putranya; Japri dan Juned masuk rumah sambil cengengesan. Mereka mencium tangan ayahnya lalu duduk si sofa. ”Pada dari mana?” tanya Haji Jaelani sambil memutar-mutarkan gagang kipasnya. ”Dari kandang Beh,” jawab Japri. ”Tumben,” komentar ayahnya. Japri cengengesan. ”Ade ape di kandang?” ”Ade sapi Beh,” jawab Japri, lalu cengengesan lagi. Haji Jaelani sudah bisa menyangka jawaban anaknya. Ia mendenguskan napas, malas komentar jawaban bodoh itu. ”Ngapa lu ke kandang? Ambil jatah bulanan duit susu?” tanya Haji Jaelani masih malas-malasan. Japri dan Juned pandang-pandangan, tak langsung menjawab pertanyaan ini. Membuat Haji Jaelani curiga melihat gelagat keduanya. ”Heh, ngapa? Pasti ade ape-ape. Ngapa? Ngomong aje!” Juned mengelus-elus lengannya, Haji Jaelani tahu gelagat macam ini. ”Gini Beh…, Babeh bisa kagak minjemin duit dulu?” Nah, betul kan dugaan Haji Jaelani! Jika berurusan dengan Japri dan Juned, meskipun mereka bilang ’pinjam’ itu berarti ’minta tanpa dikembalikan’. Lelaki tua itu bangun dari rebahannya. Dia memperbaiki sikap duduknya. Salomah masuk dari ruang belakang, melihat Japri dan Juned sudah ada di rumah tamu. Haji Jaelani yang mendengar suara langkah istrinya meminta Salomah membuatkan tiga cangkir teh. ”Emang buat apaan? Gue kan baru ngasih elu dari duit gusuran kemaren. Lu juga udah punya motor atu-atu. Kurang ape lagi?” ”Eh, iye sih Beh… makasih,” ujar Juned. Dalam hati Haji 197

http://facebook.com/indonesiapustaka

Jaelani membatin, tumben nih anak waras bilang terimakasih. Tiga cangkir berisi air teh datang dalam nampan yang dibawa Salomah. Perempuan itu membagikan tiap cangkir kepada dua anak tiri dan suaminya lalu duduk di samping Haji Jaelani. Haji Jaelani melirik motor yang diparkir di depan rumah, hanya ada satu motor bebek, ”tumben lu ke sini pake motor atu. Biasenye kendiri-kendiri,” komentar lelaki tua itu. Ia mengangkat gelasnya dan meminum seteguk. ”Eh… nah, itu yang mau kite omongin Beh. Gini…,” Juned memberi jeda pada kalimatnya, ”kemaren lusa motor aye diambil.” Pruuuut…! Air teh yang belum sempat ditelan tersembur keluar, membasahi Juned tepat di mukanya. Untung Japri sempat mengelak. Haji Jaelani tak percaya dengan yang baru didengarnya. ”Diambil?! Diambil ama siape?!” Lelaki tua itu jadi emosi. Salomah berusaha menenangkan lakinya. Juned mengelap air di wajahnya dengan lengan bajunya. ”Diambil sama orang Beh,” kata Japri, melanjutnya omongan abangnya yang belum sempat selesai. ”Kok bisa? Gue kan kagak pernah telat bayar cicilan ke dealer!” Haji Jaelani merem-melek, kerutan di dahinya bertambah dua kali lipat. ”Iye Beh… waktu itu gara-gara ama Juned dibuat trek-trekan,” suara Japri jadi tersamar. Meski begitu Haji Jaelani tetap bisa mendengarnya dengan jelas. ”Masyaallah…. Ned, lu udah setua gini ikutan trek-trekan? Kagak takut mati lu?! Lu kagak inget anak-bini lu di rumah?!” Salomah akhirnya angkat bicara, ia mengelus-elus dadanya. Tobat, tobat… tiap dua anak ini datang dengan wajah dimanismaniskan, pasti ada saja sesuatu yang tak beres. 198

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Nah, kok bisa itu motor bebek diambil?” cecar Haji Jaelani yang kini benar-benar melek. ”Iye Beh, trek-trekannya kalo kalah motornya diambil.” Japri menjelaskan dengan lugu. Juned semakin menundukan kepalanya, mirip kura-kura merasa dalam bahaya. ”Ya Allah Juned, Juned…” Haji Jaelani menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Sementara Salomah mulai menangis dengan kesal. ”Terus tujuan lu ke mari mau ape?” Ayah empat anak itu berusaha menata dirinya, sambil mencari celah di mana ia bisa memaklumi kejadian itu. Tapi ia tak menemukannya sedikit pun. ”Ya, motornya kudu ditebus kalo mau balik.” ”Berape?” tanya lelaki tua itu tak sabaran. Juned berkata tertahan; ”empat… juta….” Empat juta… empat juta… seolah-olah suara Juned terngiangngiang tak hendak pergi dari telinga Haji Jaelani. Belum pula lunas motor itu dibayar, kini ia harus menebusnya atas kebodohan anaknya. ”Kagak!” tegas Haji Jaelani. Wajah Juned dan Japri kelihatan kaget. Mereka tak menyangka ayahnya kali ini tak mau membantunya keluar dari masalah yang mereka buat sendiri. ”Lu sendiri yang bikin tuh motor raib, kalo lu mau motornya balik, lu kudu nebus sendiri!” ”Tapi Beh…, motornya kan …” ”Gue masih harus ngelunasin tuh motor di dealer, sekarang lu nyuruh gue nebus lu kalah judi. Emang lu pikir gue celengan ayam apa? Punya duit segunung? Lu bener-bener kagak mikir!” suara Haji Jaelani dingin, memotong kalimat Juned yang belum selesai. ”Sekarang lu keluar dari rumah gue!” Haji Jaelani berdiri sambil menunjuk pintu keluar yang terbuka lebar-lebar. 199

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Bang!” Salomah mencegah Haji Jaelani. Segalak-galaknya suaminya, baru kali ini ia menyaksikan laki-laki itu mengusir anaknya sendiri. ”Udah, lu kagak usah ikut-ikutan Mah. Ini urusan gue, sekarang lu pade mending keluar aje sebelum gue murka!” baik Japri, Juned maupun Salomah belum pernah melihat Haji Jaelani marah sedemikian rupa. Ia sampai diam, tak menggebrak meja, tak pula banyak mengeluarkan kata-kata kasar seperti biasanya. Kiranya amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun. Japri dan Juned cepat-cepat keluar tanpa banyak cing-cong. Salomah memandangi dua anak itu bergantian dengan Haji Jaelani yang masih berdiri di depan pintu. Japri dan Juned menaiki motor bebek yang mereka parkir di depan rumah dan berusaha menstarternya tepat ketika Fauzan sampai di rumah. Dengan tampang kucel dan dandanan aneh. ”Salam likuuumm!” Fauzan mengucap salam dengan ceria, senang sampai di rumah. ”Eh, Bang…!” sapa Fauzan pada kedua kakaknya. Ia benar-benar tak tahu apa yang barusan terjadi. Japri dan Juned diam saja, ”udah pada mau balik?” Fauzan heran, kedua kakak beradik tadi masih tetap diam. Haji Jaelani terlihat berdiri di depan pintu dengan kacak pinggang. Motor bebek nyala, Juned dan Japri langsung tancap gas. Fauzan celingukan sendiri, menyadari tak ada orang yang membalas salamnya. ”Beh, kenape?” tanya Fauzan. Ayahnya diam saja. ”Nyak?” ia berpaling pada ibunya, meminta jawaban. Tapi perempuan itu pun tak memberi jawaban. Haji Jaelani masuk kamar. ”Lu mandi dulu, terus makan gih sono.” Akhirnya Salomah berkata. Fauzan bahkan belum sempat mencium tangan kedua orang tuanya, Salomah sudah mengikuti Haji Jaelani ke kamar. 200

http://facebook.com/indonesiapustaka

Baik Haji Jaelani maupun Salomah tak langsung membicarakan perkara motor kepada Fauzan maupun Enoh hingga masa ospek Fauzan selesai dan perkuliahan dimulai. Haji Jaelani meminta Enoh dan Salempang datang ke rumahnya. Ia bicara baik-baik, namun begitu dalam suaranya tersimpan rasa kesal yang jelas terlihat. Juned dan Japri jelas tak berani menunjukan batang hidungnya setelah kejadian malam itu. ”Beh, apa enggak sebaiknya kita tebus aja itu motor? Enoh sama Salempang nyumbang separo deh.” Enoh berusaha membujuk ayahnya yang berkeras hati. ”Motornya kan dipake Bang Juned buat ngojek, nah dia kasih makan anak istrinya gimana kalo enggak ada motor?” ”Kalo dia mikir anak-bini, kagak bakalan dia ikut trek-trekan gitu. Lagian gue kan kagak mau anak gue jadi tukang ojek. Gue udah pasrahin itu kandang buat die. Cita-cita gue juga pengennye itu kandang sesapi-sapinye, sesusu-susunye, sekaleng-kaleng susunye buat die semua! Tapi dienye milih ngojek ketimbang ngurus sapi. Ya udah! Bukan salah gue. Gue juga masih bisa ngurus kandang sendiri!” mendengar Babeh berpanjang lebar dengan tegas, Enoh tahu tak ada yang bisa dilakukannya. Memang sebetulnya dua abangnya keterlaluan, pikir Enoh. Tapi bagaimana pun mereka adalah kakak kandungnya. Setelah keputusan bulat dan keras itu Haji Jaelani praktis berlaku seolah-olah tidak peduli kepada kedua putranya. Ya, memang dirinya tetap membayar cicilan per bulan dua buah motor bebek, meski yang satu sudah raib. Ia juga tidak menanyakan kabar atau apapun mengenai Juned. Japri pernah sekali datang ke rumah, disuruh abangnya untuk menanyakan apakah Haji Jaelani sudah berubah pikiran. Dalam pikiran Juned, Haji Jaelani hanya marah sejenak seperti kemarin-kemarin, dan 201

http://facebook.com/indonesiapustaka

sejenak akan baik. Tetapi menemui pun Haji Jaelani tak sudi. Salomah yang menemui Japri untuk bicara baik-baik. Sementara Haji Jaelani dari dalam kamar teriak-teriak seperti anak kecil, ”Mah… tamunya udah pergi belon? Gua lapar nih… lu siapin nasi gua ngapa!” Siapa pun yang bertamu tentu menjadi sungkan jika si empunya rumah berteriak semacam ini. Japri meminta diri, sambil matanya betul-betul terbuka bahwa ayahnya tak akan mau menebus motor milik abangnya. Kiranya Haji Jaelani betul-betul ingin memberi pelajaran pada anaknya.

202

7

http://facebook.com/indonesiapustaka

”S

auuuuur…. Sauuuur…. Bu, bangun Bu! Saur! Saur! Jangan sampe kesiangan. Siapin nasinya, panasin sayurnya. Bangun Bu!” demikian setiap jam setengah tiga pagi petugas masjid berkoar-koar di bulan Ramadhan membangunkan untuk sahur. Juleha tidak pernah tak bangun. Mesjid itu jaraknya dekat dengan rumahnya, membuat suara di loud speaker itu mencorong langsung ke telinganya. Ia segera mencuci muka, lalu melakukan seperti yang petugas masjid suruh; menyiapkan nasi dan memanaskan sayur serta lauk-pauknya. Ketika selesai, dan ia pun telah bersisir rapi, baru Juleha membangunkan suaminya, Jiih. Mereka makan dengan tenang. Layaknya keluarga soleh, di hari pertama puasa ketika sahur Jiih selalu memimpin doa berpuasa di bulan Ramadhan. Dan yang dipimpin hanya satu orang, Juleha. Di kesempatan itu pula, Jiih mengingatkan bahwa bulan Ramadhan adalah waktu-waktu istijabah, yaitu waktu ketika orang berdoa banyak dikabulkan Yang Kuasa. Selain itu, Jiih selalu menekankan untuk banyak tadarus, membaca Quran terutama di malam-malam ganjil agar berkah laialutl qadar tidak terlewatkan. Ia mengingatkan banyaknya pahala yang bisa dicapai seseorang ketika bulan Ramadhan tiba, dan itu semua adalah bekal untuk akhirat. 203

http://facebook.com/indonesiapustaka

Juleha tahu, Jiih berdoa untuk diberi momongan. Itu pula doa yang sama dipanjatkan Juleha di tahun-tahun sebelumnya. Ada yang bergeser pada Ramadhan kali itu; Juleha minta yang terbaik. Hanya itu. Ia tak menyebutkan secara spesiik; apakah minta harta yang banyak, atau anak, atau masuk surga. Tidak. Ia hanya ingin yang terbaik menurut Allah untuk dirinya. Jika pun itu berarti ia tak bisa punya anak. Yang Juleha tahu, suaminya tetap berdoa untuk diberi anak. Malam ketika takbiran, keluarga-keluarga di kampung-kampung masyarakat Betawi biasa memasak untuk keesokan hari; Lebaran. Sesiangan semua sudah mulai belanja, menghabiskan stok daging, ayam, bumbu-bumbu serta bahan kue di pasar. Sekitar sehabis Isya’ masakan mulai jadi. Semua keluarga selalu memasak sedikit lebih banyak untuk dibagi-bagikan ke tetangga kanan-kiri ala kadarnya. Semua saling hantar makanan, piring yang dihantar tak pernah pula pulang dengan kosong. Selalu ada sedikit makanan balasan. Entah itu sekadar tiga butir ketupat, semangkuk kecil sayur labu, beberapa potong kue pancong, atau kalau beruntung sepiring kecil rendang sapi atau opor ayam. Ketika hari yang dinanti-nanti tiba, semua orang bangun pagi dan merasa euforia. Ada kegembiraan tersendiri disunatkan makan sebelum pergi sembayang Id di lapangan. Hari itu pula, anak-anak ibarat balas dendam setelah satu bulan menahan lapar. Makanan berlimpah, dan semua menyantap dengan porsi besar. Kegembiraan tak sampai di situ, bagi anak-anak Lebaran berarti baju baru dan uang saweran yang banyak. Orang-orang dewasa yang sudah bisa mencari uang akan memberi sejumlah uang kepada anak-anak. Ini sepertinya kewajiban yang tak tertulis, sebab bagaimana pun anak-anak itu akan minta tak segansegan. 204

http://facebook.com/indonesiapustaka

Hari pertama Lebaran, Juleha biasa pergi ke rumah mertuanya, lalu mengunjungi ibunya sendiri yang tinggal hanya bersama pembantu. Bapaknya, Bung Juned, meninggal dua tahun setelah pernikahan Juleha dengan Jiih. Di rumah itu pula ia dan kakak-kakaknya –Jelani dan Jarkasi- beserta seluruh keluarganya akan bertemu. Berkali-kali ia mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya, tetapi ibunya tak mau dengan alasan tak ingin mengganggu rumah tangga anaknya. Setelah Ramadhan lalu, tahun ini bukanlah tahun yang menyenangkan untuk Juleha. Ia mendapati suaminya mengajak perempuan lain untuk dinikahi sebagai istri kedua, setelah itu ia baru mengetahui bahwa perempuan itu telah hamil dan Jiih baru mengaku sebetulnya sudah menikahi perempuan itu beberapa bulan sebelum meminta ijin Juleha. Juleha mendapat telepon dari pembantu ibunya, bahwa perempuan tua itu sudah seminggu terbaring lemah. Juleha bergegas mengunjungi ibunya, dan mendapatinya sedang duduk di belakang rumah. Memandangi empang dari kejauhan sambil mengelus-elus seekor kucingnya, kucing kesayangan yang diberi nama Nyasar. Sementara tiga ekor kucing lainnya melungker di sekitar kakinya sambil sesekali mengibas-ibaskan ekornya. ”Mak?” sapa Juleha. ”Eh, elu Ha.” Juleha mencium tangan ibunya, juga pipi kempot perempuan tua itu. ”Ngapain lu ke mari? Lakilu mane?” ”Enggak ikut, Mak. Emak sakit?” ”Siape yang ngomong?” 205

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Itu, Yu Rebi,” Juleha melirik ke arah pembantu ibunya yang sedang menyapu. ”Yu Rebi lu dengerin. Emak sehat-sehat aje. Nih lu liat kendiri!” Juleha tersenyum. Hari itu ia menunggui ibunya, membuatkannya makan siang dan menyuapinya. Dan ibunya mengingatkan pada Juleha untuk sekalian membuatkan makanan untuk kucing-kucingnya. Perempuan itu tak tahu pasti ada berapa ekor kucing yang dipeliharanya. Mereka terus saja berdatangan, semakin banyak, pergi dan datang sesukanya. Namun ada satu kucing yang berwajah jelek yang setia menemani ibunya, itu adalah kucing pertama yang datang ke rumah itu. Kucing itu diberi nama Nyasar, karena perempuan tua itu menduga kucing itu datang pertama kali ke rumahnya akibat nyasar. Untuk kesekian kalinya Juleha mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya. Tetapi perempuan yang bernama Ipah itu tak mau, ia tak ingin meninggalkan rumah tak terurus. ”Kan ada Yu Rebi yang bersih-bersih.” Juleha mengingatkan. ”Yu Rebi itu harus dikomando dulu, baru ngerjain macemmacem. Kalo Enyak kagak ade, siape yang kasih komando? Lagian, entar siape yang ngurus kucing-kucing aye?” Kalau persoalannya kucing, Juleha tak bisa lagi membantah. Toh telah bertahun-tahun ia memaksa ibunya untuk tinggal bersamanya dan tak pernah berhasil. Dan sejujurnya, ia tak terlalu suka kucing. Ia mau mengurus ibunya, tapi tak mau mengurus kucing-kucingnya. Tidak sejak Juleha kecil ibunya hobi memelihara kucing. Kesenangan itu mulai muncul ketika ia selesai menikahkan anaknya yang paling kecil, Juleha, dengan Jiih. Suaminya, 206

http://facebook.com/indonesiapustaka

Bung Juned, semakin lama semakin lebih betah tinggal di Serang, di rumah bini ke duanya. Apalagi setelah anak terakhir mereka menikah. Seakan-akan Bung Juned sudah tidak punya tanggungan lagi di rumah bini pertamanya. Tak sampai satu tahun Juleha menikah, seekor kucing kampung datang mendekati Ipah. Ketika itu ia tengah menunggu suaminya pulang, seperti kemarin-kemarin. Tetapi laki-laki itu tak kunjung datang; ia tak pernah memberitahu Ipah kapan bakal kembali, dan berapa lama ia akan di Serang. Toh setiap hari, selayaknya bakti setia seorang istri, Ipah menyiapkan makanan untuk dua orang. Ketika itu sudah menjelang Magrib, dan ia tahu betul… hari itu suaminya tak akan datang. Hanya satu yang di pikirannya; betapa sia-sianya masakan yang telah ia buat. Ia selalu membuang makanan-makanan itu, kalau tidak pusing-pusing mencari pengemis lewat untuk diberikan. Ya, hanya itu. Ia tak punya lagi rasa amarah atau sedih pada suaminya. Perasaan macam itu sudah habis bertahun-tahun lalu, ketika laki-lakinya membawa pulang seorang anak kecil yang merupakan anak dari bini kedua suaminya. Ketika ia memandangi jalan depan rumahnya, berharap laki-lakinya muncul untuk menghabiskan makanan yang telah ia siapkan, suara meong-meong mengganggunya. Seekor kucing kurus dengan bulu abu-abu belang yang entah datang dari mana sudah ada di kakinya, memandangi wajah Ipah sambil mengeong tak henti-henti. Ipah sebetulnya tak terlalu menyukai kucing, ia merasa jika menyentuh tubuh kucing rasanya lembek. Lagipula, kucing itu binatang yang licik, ia mencuri makanan di meja, atau ikan di akuarium, atau burung di dalam sangkar, atau hamster peliharaan musiman, jika si empunya rumah sedang lengah. Tapi entah kenapa sore itu ia merasa ingin beramah-tamah pada kucing nyasar itu. 207

http://facebook.com/indonesiapustaka

”He… kamu nyasar ya?” sapa Ipah waktu itu, disambung dengan meong-meong lagi. Ipah langsung masuk ke rumahnya, mengambil makanan jatah untuk suaminya dan diberikannya pada kucing itu. Hantinya lega, masakannya tak sia-sia. Keesokannya, siang setelah Ipah selesai memasak (sekali lagi masak untuk dua orang), ia kembali mendengar suara yang mengeong-ngeong. Ipah menuju ke pintu depan, didapati kucing itu lagi. ”Kamu nyasar lagi?” sapa Ipah. Toh ia tahu, laki-lakinya tak akan datang lagi hari itu. Dan aroma ikan kuek yang baru selesai digorengnya memang harum membanjiri ruangan, membuat siapa pun yang mencium pasti akan lapar. Tak terkecuali kucing nyasar itu. Ipah cepat-cepat mengambil piring plastik, mengisinya dengan ikan kuek yang dihancurkan bersama nasi hangat. Si kucing nyasar makan dengan lahapnya. Setelah kenyang, kucing itu pergi, dan menjelang magrib kembali ia datang sambil mengeong untuk minta makan. Kucing itu adalah kucing paling santun yang pernah dikenal Ipah, ia tak pernah masuk ke rumah. Apalagi mencuri, sama sekali tak pernah dilakukannya. Selalu di depan pintu masuk, ia juga menghabiskan makanannya di depan pintu masuk. Suatu hari, Bung Juned datang. Ini berarti ia memakan makanan buatan Ipah yang memang sudah disediakan. Toh, Ipah masih ingat dengan kucing nyasar itu. Ia menyisihkan sedikit makanan untuk binatang tersebut. Ditunggunya hingga selesai Isya, kucing itu tak juga datang. Ipah meninggalkan jatah makanan kucing itu di depan rumahnya. Hingga pagi, didapatinya makanan itu masih utuh. Menjelang siang, Ipah mengganti makanan jatah kucing yang sudah basi dengan yang 208

http://facebook.com/indonesiapustaka

baru, kembali ia letakkan di depan pintu. Kucing nyasar itu tak juga datang. Ketika Ipah mendengar suara mengeong-ngeong, ia segera ke depan. Dilihanya dua ekor kucing menyerbu jatah si kucing nyasar. Mereka hendak berkelahi memperebutkan makanan itu. Ipah, dengan kesal mengambil segayung air dari kamar mandi, dan menyiram ke arah kucing-kucing yang bulubulunya mulai berdiri karena bersitegang. Membuat dua ekor kucing itu lari tunggang-langgang dengan ngeongan ketakutan yang tercekik dan menghilang di udara. Kucing-kucing itu bukanlah si kucing nyasar yang ditunggunya. ”Pah, ngapain lu naro-naro makanan di situ? Entar kalo kucing-kucingnya pada masup rumah, pegimane?” komentar Bung Juned, Ipah diam saja. Lalu mengambil piring si kucing nyasar yang makanannya tinggal separo dan berantakan. Dua hari Bung Juned tinggal di rumah, dua hari pula si kucing nyasar tidak datang. Hari ketiga, Bung Juned pergi ke rumah bini kedua. Sorenya, kucing nyasar datang mengambil jatah makanannya. ”Kok kemaren gak dateng?” tanya Ipah, sembari jongkok melihat kucing itu makan dari piring plastik. Tentu saja kucing itu cuma bisa mengeong. ”Lu kucing nyasar dari mane?” tanya Ipah lagi, kali ini ia mencoba mengelus-elus leher kucing. Lembek, pikirnya. Ia merasa sedikit merinding menyentuhnya, namun ia kembali mengelus-elus kucing itu. Tak terlalu buruk, makhluk itu tak menggigit atau mencakarnya, pikir Ipah. Dan kucing itu kembali mengeong kecil sambil terus menghabiskan jatah makanannya. Lama-kelamaan, Ipah memanggilnya ’Nyasar’, karena sampai ia tak pernah tahu dari mana kucing itu datang. Atau mungkin karena ia terlalu malas mencari nama yang pantas untuk seekor 209

http://facebook.com/indonesiapustaka

kucing kampung yang jelek. Dan Ipah semakin memperhatikan, bahwa setiap kali Bung Juned ada di rumah, Nyasar tak pernah datang. Ipah memperbolehkan Nyasar masuk ke rumah. Ditemaninya perempuan itu ketika nonton televisi, atau dudukduduk di belakang sembari melihat empang. Bahkan ketika ia masak, dan Nyasar –seperti seorang yang gentleman- tak pernah mencuri masakan Ipah. Kucing-kucing lain, yang tahu ada seorang ibu-ibu baik hati mau memberi makan kucing, tentu saja mulai berdatangan. Ipah tak keberatan memberi kucing-kucing itu makanan. Ia tak memberi nama bagi kucing-kucing itu, dan ia tak memperbolehkan kucing-kucing lain masuk ke rumahnya selain Nyasar. Ketika Bung Juned sakit, dan cukup lama lelaki itu tinggal di rumah yang ditempati Ipah, Nyasar sama sekali tak pernah datang. Jika lelaki itu pindah ke rumah istri ke duanya, kembali Nyasar datang lagi. Ketika Bung Juned sakit cukup parah, dan telah hampir satu bulan Ipah menjaga suaminya setelah lakilaki itu memaksa pulang dari rumah sakit, tiba-tiba seorang perempuan dengan dua orang anak laki-laki dan perempuan yang masih remaja, muncul di depan pintu rumah Ipah. Ketika itu, anak-anak Ipah dan Bung Juned; Jaelani, Jarkasi, Juleha dan masing-masing dengan istri serta suaminya, juga telah datang berkumpul. Tetangga-tetangga pun ada yang berkumpul di situ, menengok Bung Juned. Semua mata memandangi perempuan dan dua anaknya itu, yang langsung mendekati Bung Juned. Perempuan itu memandang sinis pada Ipah, lalu ia berbisik pada Bung Juned, ”Bang, Abang pulang aje yuk…. Biar aye bisa urus Abang di rumah.” ”Ini juga rumah die!” sahut Ipah dengan tegas, malah bisa dibilang setengah berteriak. Membuat semua yang ada di situ 210

http://facebook.com/indonesiapustaka

tersedot perhatiannya pada dua perempuan yang tak bisa dibilang muda itu. ”Saye bininya, punya hak ngurus Bang Juned!” sahut perempuan itu. ”Gue lebih-lebih lagi, punya hak ngurus die. Elu itu cuma dateng belakangan!” sahut Ipah. Perempuan itu seumur-umur tak pernah marah, baru kali itulah ia membentak-bentak. Bahkan anak-anaknya pun terkejut dibuatnya. Sementara Bung Juned membuka mulut, tanpa ada kata-kata jelas yang keluar dari mulutnya. Tapi semua orang yang hadir tahu, Bung Juned meminta keduanya untuk tidak berkelahi. Kelima anak-anak Bung Juned; tiga orang dari Ipah dan dua orang dari bini ke duanya, mendekati Bung Juned. Jarkasi mendekatkan telinganya ke mulut bapaknya. ”Katenye… Serang,” ujar Jarkasi dengan kecewa. Perempuan itu tersenyum menang. Ia menyuruh dua anaknya untuk membantu mengangkat Bung Juned. Jiih, Jarkasi dan Jaelani juga membantu mengangkat Bung Juneh ke dalam mobil. Tiba-tiba Bung Juned berkata bersuara kembali, jelas dan parau, ”Pah… Pah…!” sahutnya. Ia memanggil Ipah yang mulai terpuruk sedih. Istri keduanya berusaha menenangkan, menyuruh Bung Juned diam. Tetapi Bung Juned tetap berkata, ”Pah… Pah…!” Ipah cepat-cepat menghampiri suaminya. Mendekatkan telinganya ke mulut suaminya. Tangan lelaki itu menarik wajah Ipah, dan mencium pipinya, membuat istri keduanya menahan napas di dada dengan tatapan kesal. Lalu cepat-cepat menyuruh semua yang membantu Bung Juned memasukkan lelaki itu ke dalam mobil. Perempuan itu menyuruh anaknya cepat-cepat tancap gas. Bahkan pamitan pun tidak. 211

http://facebook.com/indonesiapustaka

Ipah, yang ditinggal, mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali suaminya mencium pipinya. Tapi tak berhasil diingatnya, sementara hangat bekas bibir dan aroma sakit laki-lakinya masih tersisa di wajahnya. Ia menangis tertahan, suaranya tak keluar dan tubuhnya seraya lemas. Perempuan itu jatuh terduduk di depan rumahnya. Para tetangga melihatnya, beberapa ibu-ibu tetangga ada yang tak sadar ikut menangis melihat pemandangan barusan. Anak-anaknya lantas mencoba membantu ibunya duduk di kursi depan. ”Istighfar Nyak, istighfar…” hanya itu kata-kata yang berulang-ulang diucapkan anak-anaknya. Tiba-tiba kakinya merasakan benda lembek, Ipah terkaget, ia menengok ke bawah. Nyasar, si kucing, berputar-putar di kaki tua perempuan itu. Kucing itu datang, tepat ketika lelakinya pergi. Entah bagaimana, saat itu juga Ipah tiba-tiba merasa lega. Tak lama setelah itu, Bung Juned minta dibawa ke rumah Ipah. Ketika dalam perawatannya, Bung Juned meninggal. Tak bisa dibayangkan betapa leganya hati Ipah, suaminya meninggal ketika dalam perawatannya, dan bukan bini ke duanya. Ini adalah cita-cita luhurnya setelah menikahkan ketiga anaknya sudah terlaksana. Segera setelah Bung Juned selesai meregang nyawa, Ipah menyuruh anaknya untuk menelepon bini kedua Bung Juned. ”Enyak, apa-apaan sih, ngapain pake telepon tuh perempuan?!” protes Juleha waktu itu. ”Mau gimana-gimana juga mereka punya hak, Ha. Di sana kan ada anak-anaknya juga,” ucap Ipah. Perempuan ke dua Bung Juned awalnya merengek meminta suaminya dikubur di Serang, ia menangis histeris di telepon. Minta segera lelakinya dikirim dengan ambulance. Jaelani yang 212

http://facebook.com/indonesiapustaka

awalnya berbicara di telepon bingung harus bicara apa. Ia lalu mendiskusikannya dengan Jarkasi dan Juleha yang ada di sebelahnya. Juleha langsung menyambar teleponnya dan mempertegas, ”heh, orang mati hukumnya wajib cepet-cepet diurus. Kalau mau dateng syukur, enggak juga syukur!” lalu telepon ia putus dengan kesal. Juleha berlalu sambil bersungut-sungut, membuat kedua kakaknya terkagum-kagum dengan Juleha yang ternyata juga bisa galak. Akhirnya perempuan itu datang ketika hari sudah turun gelap sempurna. Matanya bengkak, hidungnya kemerahan. Wajahnya suram tanpa make-up, dan ia berusaha menutupi dengan kerudung hitam yang menyampir menutupi hampir seluruh jidatnya. Betapa ia menyesali tak tiba sejak awal sehingga tak bisa memandikan suaminya untuk yang terakhir kali. Nyasar datang ketika Bung Juned selesai dimandikan, kucing itu langsung masuk mendekati Ipah. Ipah menyuruhnya menunggu di luar, sebab rumahnya akan dipakai untuk salat mayat. Keesokan harinya, pagi-pagi, ketika embun masih basah di ranting-ranting, Bung Juned dikuburkan. Sejak itu pula Nyasar punya rumah tetap. Ia tak pergi-pergi lagi. Itulah kisah Ipah dan kucing-kucingnya. Juleha datang ke rumah ibunya, membujuk perempuan tua itu untuk ikut tinggal di rumahnya, jauh setelah kematian ayahnya. ”Nyak… Eha punya cita-cita, ngurus Enyak. Kayak Enyak dulu punya cita-cita ngurus Babeh,” bujuk Juleha. ”Elu masih punya laki yang wajib lu urus. Masa lu kagak tau, kalo perempuan udah rumah tangge, yang nomor satu itu lakinye. Bukan orangtuanye! Itu kata igame, Ha.” Juleha menghela napas. Ia tak bisa memaksa ibunya. 213

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Nah, sekarang lu pulang gih deh. Kalo laki lu mau makan pegimane, kagak ade yang ngelayanin,” suruh Ipah pada putrinya. Sudah di ujung lidah, keinginannya memberitahu bahwa jika pun Jiih tak pulang, di luar sana ada perempuan lain yang bisa melayaninya untuk makan. Ia menahan keinginan itu dan menuruti perintah ibunya; pulang, meski tak ada laki-laki untuk ia layani. Lalu Ramadhan datang. Ramadhan pertama yang ia lewati dengan tanpa sepenuhnya berbuka atau sahur dengan suaminya. Laki-laki itu berusaha untuk ’adil’. Ia datang dan pergi dari satu rumah ke rumah lainnya. Membagi-bagi ’keadilan’ pada istri-istrinya. Jika perempuan lain, mungkin di waktu-waktu istijabah ini akan berdoa agar suaminya dikembalikan ke pangkuannya. Berbeda dengan Juleha. Seperti tahun lalu, ia tetap berdoa diberikan yang terbaik untuk dirinya. Meski itu berarti perceraian sekali pun. Selama bulan Ramadhan ini, Bang Jiih senantiasa berusaha berselang-seling tiap hari menunggui istri-istrinya. Dan ini membuat Juleha terganggu. Sejujurnya, ia merasa lebih suka laki-laki itu seminggu di rumahnya, dan seminggu di rumah keduanya. Dengan sistem pembagian hari seperti sekarang ini, Juleha merasa laki-laki itu selalu diburu-buru untuk cepat-cepat menemui bininya yang bunting itu. Selain itu, Juleha tak punya waktu yang cukup untuk melayani ketika lelakinya di rumah, maupun waktu untuk bersantai ketika lelakinya pergi. Ini betulbetul mengganggu Juleha. Belum lagi pandangan tetangga melihat laki-laki itu pergi dan datang sesuka kentutnya. Seminggu menjelang Lebaran, Juleha mulai merasa gelisah. Apakah Lebaran ini laki-laki itu akan di rumahnya, atau di rumah istri keduanya? Sejujurnya, untuk yang satu ini Juleha merasa berhak 214

http://facebook.com/indonesiapustaka

mendapatkan Bang Jiih sepenuhnya, dua hari berturut-turut pada hari Lebaran, sebab ia adalah istri pertama. Lebih dari itu, apa kata kakak-kakak dan ibunya jika ia datang silaturahmi sendirian pada hari Lebaran? Juleha belum sanggup menahan malu pada keluarganya. Ia memutuskan untuk membicarakan ini pada suaminya. Ketika itu waktu buka puasa, dan Bang Jiih ada di rumah. Mereka makan dengan dingin meskipun nasi yang ada di meja makan hangat mengepul-ngepul. Tepat saat Juleha bersiap-siap akan membicarakan hal ini, Bang Jiih berbicara, ”Ha….” bersamaan dengan Juleha yang berkata, ”Bang….” lalu mereka pandang-pandangan. Suasana kembali dingin. ”Lu duluan,” ujar Jiih. ”Enggak, Abang duluan aje. Kenape?” tanya Juleha. ”Ehm…,” Jiih ragu, lalu melanjutkan, ”entar Lebaran gue di rumah sono ye. Kesian, dia lagi hamil.” Saat itu juga Juleha tak lapar lagi. Ia merasa disambar petir, kemarahannya tiba-tiba memuncak. ”Bang! Terus saye musti ngomong ape sama Enyak? Same Bang Lani, Bang Kasi? Entar kalo pada nanyain Abang, saye musti bilang ape?” nada suaranya meninggi. ”Ye…, bilang… ape kek. Bilang Abang lagi ceramah di mana gitu,” Jiih menjawab ragu, ia sendiri bingung. ”Ape? Abang lagi pergi ceramah ke Ujung Kulon?! Gitu? Bohong dosa, Bang. Orang yang nyuruh bohong, lebih dosa lagi!” sahut Juleha kesal, mengulang salah satu kalimat ceramah suaminya. ”Aye malu, Bang! Suruh ditaroh di mane ni muka?! Gini deh, Abang hari kedua di sini deh. Terserah hari pertama mau ngapain juga. Cari bini lagi yang ketiga juga boleh!” bentak Juleha. 215

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Leha! Lu kok ngomong kasar banget?!” Jiih tak kalah membentak, mengingatkan istrinya bahwa ia masih laki-laki pemimpin rumah itu, namun kelihatannya Juleha sudah kalap. ”Bodo!” Juleha beranjak. Jiih menahan tangannya, dirasakan genggaman lelaki itu keras di pergelangannya, membuat Juleha sedikit kesakitan. Kedua mata Jiih membelok, memandang tajam wajah Juleha, menunjukkan kekuasaannya. Juleha melawan pandangan itu dengan tatapan kebencian dan marah yang meluapluap. Sekitar lima detik mereka saling menatap dengan geram. Lalu Jiih berkedip, ia melonggarkan genggamannya. Melepas perempuan itu. Tak pernah…, tak pernah seumur-umur ia mengenal perempuan itu melihat mata itu. Ternyata Juleha menyimpan tatapan kebencian yang amat sangat, dan Jiih yang telah menggalinya. Ia sadar betul itu. Hari pertama Lebaran, Juleha mengunjungi mertuanya. Ia sendirian. Di sana, bapak-ibu mertuanya menyuruhnya sabar menghadapi Jiih. Mereka sudah tahu Jiih menikah lagi, kendati mereka tak setuju. Tak seperti Lebaran tahun-tahun sebelumnya, kali itu Juleha hanya di situ selama lima belas menit. Ia pamit dengan alasan ia harus menunggu rumah, kalau-kalau ada tamu. Dan mertuanya tahu itu alasan yang ia buat-buat. Bahkan pada Lebaran hari pertama pun Bang Jiih tak datang ke rumah orangtuanya. Ia pasti di rumah orangtua bini keduanya. Juleha pulang, ia mencarter taksi dan menyuruhnya kelilingkeliling Jakarta sejenak. Ini adalah saat yang tepat untuk keliling kota sebab tak banyak mobil ketika Lebaran. Warga Jakarta yang sejatinya adalah pendatang, pulang ke kampungnya sen216

http://facebook.com/indonesiapustaka

diri-sendiri yang jauh dari Jakarta. Entah berapa lama ia telah melewatkan perkembangan kota itu. Agak aneh rasanya, menjadi orang aseli Jakarta tapi tak pernah benar-benar tahu perkembangan kota ini. Gedung-gedung baru berdiri di sanasini, ia tak heran. Ia hanya merasa nihil di antara bangunanbangunan yang menjulang. Betapa kecil dirinya, pikir Juleha. Monas tidak lagi jadi yang paling tinggi di Jakarta. Ia teringat pernah ke Monas ketika masa SMP, waktu itu ada study-tour. Ia dan teman-teman sekelasnya ke Monas, lewat lorong bawah gadis-gadis berseragam putih-biru itu dengan semangat berjalan iring-iringan sementara guru yang mengawasi sesekali berteriak agar anak-anak tidak terpencar. Lebaran adalah harinya warga Betawi. Ini adalah saat orangorang aseli Betawi keluar dari sarangnya. Di sana-sini ia bisa melihat mobil carteran yang lewat membawa penuh sebuah keluarga, mengharuskan mereka duduk berhimpit-himpitan. Ini adalah momen yang tepat untuk bersilaturahmi, dan momen yang buruk untuk menyendiri. Namun kenyataannya, itulah yang Juleha lakukan. Sopir taksi bertanya, akan ke mana lagi mereka. Juleha tak punya tujuan lain, jadi ia menyuruh pak supir mengantarkannya pulang. Hari kedua Lebaran, pagi-pagi benar Juleha bangun. Ada opor ayam yang nyaris tak tersentuh di meja makan. Beberapa anak kecil lewat dan menyalaminya sambil mengucap ’minal aidin wal faidzin’ padanya, lalu meminta uang jatah. Juleha memberinya tanpa keberatan. Perempuan itu dengan semangat menunggu lelakinya. Ia yakin Bang Jiih akan datang. Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas, tapi lelaki yang ditunggunya tak juga datang. Juleha tetap menunggu. Tiba-tiba telepon 217

http://facebook.com/indonesiapustaka

rumahnya berdering, ia bergegas mengangkat. Ia yakin betul itu Bang Jiih. ”Bang, jam berapa datengnya? Cepetan, entar kesorean! Ditunggu di rumah Enyak!” cerocosnya, bahkan tanpa mengucap salam. ”Ha? Lu ngomong ame siape?” sahut orang di telepon seberang. ”Bang Jiih?” tanya Juhela memastikan. ”Jiih? Ini gue, Bang Lani! Lu di mane? Ini udah pade ngumpul di rumah Enyak. Lu mau dateng kagak?” tanya Bang Lani. ”Eh… Bang Lani. Kirain…” ”Kirain siape? Jiih? Emang laki lu ke mane?” tanya Jaelani tanpa curiga. Juleha diam, ia tak bisa menjawab. Diam tiga detik terlalu lama. ”Ha?” tanya Jaelani lagi, ”laki lu ke mane?” Lalu samar-samar Jaelani bisa mendengar suara tangis yang tertahan. ”Masyaallah Ha… lu nangis?” Juleha tetap tak menjawab. Telepon dioper ke Salomah, perempuan itu mencoba menenangkan Juleha. Sekali lagi Salomah bertanya, apakah Juleha akan datang? Atau ia saja yang datang ke rumah Juleha. Setelah berpikir sejenak, Juleha memutuskan untuk datang ke rumah ibunya, seperti Lebaran yang sudah-sudah. Ia tak akan membiarkan suasana Lebaran yang disukainya rusak hanya karena suaminya tak pulang. Itu adalah kali pertama Juleha membuka rahasia keluarganya; suaminya punya istri lagi. Ketika Juleha tiba di rumah, lelakinya belum ada. Atau mungkin tadi datang, tapi ia tak di rumah maka Jiih pergi lagi? Ia tak tahu, dan tak terlalu ingin ambil pusing. 218

http://facebook.com/indonesiapustaka

Ketika ia sudah sembahyang Isya, didengarnya suara salam dari luar. Ia kenal itu suara suaminya. Juleha membuka pintu, mencium tangan laki-laki itu. ”Minal aidin wal faidzin, maap lahir batin,” ucapnya singkat. Bahkan Jiih pun lupa, bahwa mereka belum bersilaturahmi. Ia langsung membalas dengan ucapan yang sama pada istrinya, tanpa benar-benar ada harapan untuk Juleha untuk memaafkannya. ”Kok, dateng?” ”Kan gue udah iyain, bakalan dateng hari kedua.” ”Bang, kalo udah tinggal merem mending enggak usah dateng sekalian aje. Aye butuhnya tadi siang-siang waktu pada kumpul di rumah Enyak,” sahut Juleha dengan cuek. Jiih diam, ia sadar kesalahannya, ”Abang udah minta maap sama EnyakBabeh belum?” tanya Juleha lagi, mengingatkan lelakinya akan silaturahmi pada orangtua kandungnya. ”Belum sempet,” ucapnya singkat. Ada nada penyesalan di suaranya. Sudah kuduga, ujar Juleha dalam hati. Hanya dalam hati. ”Aye siapin makan, mau? Atau Abang udah kenyang?” tanya Juleha sinis, pertanyaan sindiran. Sejatinya ia sudah kenyang, tetapi ia tahu jika ia menjawab tidak maka akan terlalu kentara bahwa akhir-akhir ini ia lebih banyak dengan istri barunya, bahkan makan sekalipun saat sebetulnya hari itu adalah giliran istri pertamanya. ”Iya, makan,” jawab Jiih. Mereka menuju ke meja makan. Menu Lebaran tersedia di situ. Lengkap dengan potongan ketupat yang sudah disiapkan Juleha. ”Lu enggak makan Ha?” tanya Jiih melihat istrinya hanya menemani. 219

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Udah kenyang, tadi makan di rumah Enyak. Makan emang lebih enak kalo lagi rame-rame,” sekali lagi Juleha menyindir. ”Lu… ke rumah Enyak?” ”Iye.” ”Terus?” ”Terus…, ya kumpul-kumpul. Ngasih saweran buat ponakan,” lapor Juleha acuh tak acuh. ”Maksud gue, lu bilang gue lagi ngasih ceramah?” ”Enggak.” ”Terus?” ”Aye bilang Abang di rumah bini baru.” Deg! Jiih merasa disengat listrik. Yang dipikirannya cuma satu, kini ia tak terlihat sempurna lagi di antara keluarga besar istrinya. Juleha tahu betul hal ini, dan semua itu membuatnya muak. Anehnya, hal ini baru betul-betul disadarinya setelah suaminya menikah lagi. Maka Juleha sengaja berbuat begitu. Jiih hanya bisa menahan napas, sesekali dipandanginya Juleha sambil mengaduk-aduk ketupat sayur di piringnya. Ia tahu, jika pun dirinya sekarang murka pada Juleha karena tak melakukan hal yang dipintanya, Juleha tak akan pantang mundur. Perempuan di hadapannya memandanginya dengan tajam dan teduh. Pandangan siap perang.

220

http://facebook.com/indonesiapustaka

8

[Haji Jaelani:] Saya sudah capek ngurus dua anak songong dan tidak tahu diuntung itu. Sekarang, terserah Japri sama Juned maunya gimana. Saya sudah pasrah saja. ”Bang, Japri ama Juned ngirim ini nih.” Istri saya, Salomah, mengangkat berenteng-renteng petai kesukaan saya. Dua anak kurangajar itu tahu, saya hobi makan petai disemur. ”Nyogok! Haram! Balikin!” semprot saya, membuat Salomah melirik sinis pada saya. ”Abang…, pegimane balikinnye?! Masa Abang tega, ngeliat saye jauh-jauh pergi ke rumahnya Japri naek mikrolet bawa pete, cuma mau balikin doang! Orang bisa kebauan, tauk! Bisa-bisa aye yang digebugin orang semikrolet!” Salomah protes. Saya tak menyalahkannya, yang diomongkan betul juga. Jadi saya lebih memilih diam. ”Mau aye semur aje!” sambung Salomah acuh tak acuh. Dia segera membawa rentengan petai itu ke dapur. Huh, tak akan saya sentuh! Sumpah! Saya tak akan memakan petai itu! Cibir saya dalam hati. Fauzan keluar dari kamarnya, membawa gulungan kertas karton dan cat hitam. Dia membawanya ke teras depan, menarik perhatian saya. Saya intip sejenak. Perasaan kemarin 221

http://facebook.com/indonesiapustaka

ploncoannya sudah selesai, kok masih sibuk bawa-bawa kertaskertas gitu segala? Apa ada tugas kuliah? ”Ngapain Jan?” Dia sedang menuliskan sesuatu di kartonnya, serius sekali dengan pekerjaannya. ”Ini Beh, mau demo.” ”Demo?” ”Iya, demo ama temen-temen kampus. Liat nih, bagus enggak Beh?” Fauzan menunjukkan hasi goresan catnya. Terbaca tulisan besar-besar; ’PORKAS MENYENGSARAKAN RAKYAT’, dan di kertas lain tertulis, ’BUBARKAN PORKAS’. ”Ngapain lu ikut-ikutan demo segala? Entar kalo ade apeape pegimane?” saya khawatir. ”Tenang Beh, ini demo damai kok. Lagipula, sebagai rakyat kita berhak mengutarakan suara kita Beh!” jawab Fauzan. Nih anak, belum ada setahun jadi mahasiswa ngomongnya udah pakai kata-kata yang susah. Biarin deh, berarti kan tambah pinter. Tidak percumah saya menyekolahkan tinggi-tinggi. Fauzan menjemur kertas-kertas itu di pekarangan. Membiarkan sinar matahari mengeringkan catnya. Hari belum lagi beranjak Magrib. Waktu Azhar baru masuk, dan perut saya sudah kenyang makan siang setelah selesai salat Dzuhur tadi. Saya mulai ngantuk-ngantuk, sambil tiduran di sofa tamu sambil kipas-kipas dengan kipas sate kesayangan saya, saat tiba-tiba ada aroma melayang-layang di udara dan memaksa saya untuk buka mata. Ini… ini… bau semur petai! Kkkkrrrrk…. Tiba-tiba perut saya bunyi, cacing-cacing yang tinggal di dalamnya kelihatannya protes minta makan. Ya ampun, ini pasti petai dari Japri dan Juned tadi! Salomah, dasar iseng… sengaja masak sore-sore begini cuma buat menggoda saya. Saya jadi tak ngantuk, dan memutuskan untuk beranjak 222

http://facebook.com/indonesiapustaka

ke meja makan. Alamak! Ada nasi panas pula, baru matang diangkat dari dandang. Asap mengepul-ngepul di atas meja makan, menghiasi nasi pulen dan semur petai yang baru jadi. Tak lama, Salomah muncul dari dapur, membawa semangkok sayur bayam, yang juga masih panas dan sepiring kecil ikan asin yang digoreng garing. Sialan! Ini semua makanan kesukaan saya. Saya memandangi Salomah dengan sebal, dia senyamsenyum penuh kemenangan. ”Sambel terasinya bentar lagi, masih baru mau saya ulek,” ujarnya menginformasikan tanpa saya tanya. Lengkap sudah… semua masakan yang ada di sini memang cocok satu sama lain. Dari kamarnya Fauzan muncul. ”Waah… baunya enak banget!” komentarnya dengan semangat, langsung menuju meja makan. ”Jadi laper,” sambung Fauzan. ”Makan gih deh. Entar malem kalo pada mau makan, ya makan aje lagi. Entar Enyak masakin lagi,” ujar Salomah pada Fauzan, tapi ujung matanya melirik kepada saya. Ia memang tak biasa masak sekitar jam tiga sore. Terlalu awal untuk makan malam, dan terlalu sore untuk makan siang. Sial, dia benarbenar masak lengkap hanya untuk menggoda saya. Salomah menuju dapur lagi. Saya bengong melihat Fauzan yang langsung menyendok nasi dengan semangat. ”Makan Beh!” Tak lama, Salomah kembali ke meja makan dengan sambal terasi telah halus diulek. Dia bawa bersama cobek-cobeknya. Ah…, saya paling suka makan sambal langsung colek dari cobeknya. Air liur saya tiba-tiba menggenang, dan tak kuasa saya menelannya. Melihat Fauzan yang makan sangat lahap. Salomah lalu duduk di kursi sebelah Fauzan, dia juga langsung 223

http://facebook.com/indonesiapustaka

menyendok nasinya dengan semangat. Dua manusia ini makan dengan rakusnya. ”Abang enggak makan?” tanya Salomah dengan mulut penuh. Aroma semur petai harum tajam di udara. ”Enak lho Beh,” sambung Fauzan. Combro! Udah tahu kalo itu enak, enggak usah ngomong, batin saya. Saya menyerah, lalu duduk di kursi makan dan langsung menyendok nasi dan semur petai banyak-banyak, juga bayam dan sedikit kuahnya hanya untuk membasahi nasi, juga beberapa potong ikan asin, dan satu sendok sambal terasi. Surga…. Tak sampai sepuluh menit kemudian: ”Ghooooik!” suara itu keluar dari kerongkongan saya. Puas…, saya kekenyangan. Fauzan mengeluarkan bunyi yang sama, lalu mengelus-elus perutnya yang membuncit. Salomah mencongkel-congkel sela-sela giginya dengan tusuk gigi. Mencari apa yang masih tersisa, lalu melepihkan kalau tidak menggigit-gigit kembali makanan yang menyelip itu. Kami tak bicara. Salomah senyum-senyum pada saya dan Fauzan. Ia merasa menang. Ya, saya tahu itu. Saya sudah tergoda dan melanggar sumpah anti-petai saya sendiri. Saya tahu, tidur menjelang senja itu tidak baik. Tapi setelah kenyang yang paling enak dilakukan adalah tidur. Apa lagi selain itu? Mengingat saya sudah lama berhenti merokok. Saya menuju kamar, menyalakan kipas angin dan membuka baju saya lalu berebah. Enak benar tidur kalau perut penuh. Dunia terasa damai…. Masalah menjauh…. Masalah apa pun itu…. Termasuk masalah dengan Japri dan Juned…. Japri, Juned…. Apa memang saya sudah kelamaan marah pada dua anak itu…? Japri, Juned…, anak-anak saya… Saya… zz-zz-zz….

224

http://facebook.com/indonesiapustaka

Petai itu memang betul-betul dahsyat. Membuat saya memaafkan dua anak sontoloyo itu. Kami makan malam dengan menu yang sama tadi sore. Dan yang luarbiasa, kami makan dengan napsu sama dengan tadi sore. Besok, Juned dan Japri pasti bakalan datang, untuk minta maaf yang kesekian kali. Hhhm…. Pagi-pagi benar Fauzan sudah pamit pergi. Dia bawa jaket almamater kuningnya di dalam tas gemblok, lengkap dengan atribut demonstrasi yang kemarin dibuatnya. Dia mencium tangan saya dan Salomah. ”Jan, jangan lupa bawa topi! Entar demo-demo kepanasan lagi,” saya mengingatkan. ”Eh, iya….” Fauzan menuju kamar sebentar dan lekas keluar dengan topi di kepalanya. Anak itu berangkat dengan semangat. Semoga jadi anak yang berguna, doa saya dalam hati. Dugaan saya terbukti. Siang terang-terang, Japri dan Juned datang. Mirip babi ngepet ketangkep, mereka takut-takut minta maaf. Saya sudah memikirkan masak-masak soal mereka berdua. Bagaimana pun saya ini bapaknya. Kalau saya terlalu lama marah pada mereka, tidak baik efeknya. Mereka tidak akan terberkati. Hidupnya yang susah bisa lebih susah lagi. Salomah saja yang biasanya keras pada dua anak itu sampai ikut-ikutan mendukung mereka dengan cara masak semur petai itu. ”Tapi gue kagak mau ngasih duit buat nebus tuh motor,” kilah saya. Japri dan Juned yang tadinya sudah cengar-cengir karena dimaafkan jadi gelisah lagi. ”Tapi Beh…, entar gimane saye bisa pergi-pergi ngecek kandang sapi?” tanya Japri, memaksakan keberuntungannya. 225

”Maksudlu gimane lu bisa ngojek, gitu?! Kagak! Selame gue tahu tuh motor buat ngojek, kagak bakalan gue tebus. Elu mau diwarisin usaha sapi kagak serius ngurusnye. Gue yang empet, tau! Lagian, mana pernah lu ke kandang. Selame ini juga gue yang masih aje bolak-balik,” semprot saya. Mereka mengkeret lagi, tahu omelan saya ada benarnya. Pokoknya, selama mereka tidak serius mengurus sapi, saya tidak akan mau menebus motor itu. Enak saja!

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Nah, dugaan saya benar kan. Japri dan Juned juga masih saja mangkir tidak ke kandang. Padahal apa susahnya sih, ngecek kandang? Mereka datang kalau saatnya dapat jatah bayaran. Saya lebih sering ke kandang sapi daripada mereka, saya yang urus ini-itu kalau ada masalah di kandang. Semua urusan kandang otomatis Paimin yang memimpin. Anak itu semakin hari semakin cakap soal urusan sapi perah. Saya menimbang-nimbang lagi, apa yang harus saya lakukan pada dua anak saya itu. Saya sebetulnya juga tidak tega membiarkan mereka jadi tukang ojek. Saya tidak pernah punya cita-cita membesarkan anak-anak saya jadi seperti itu, meskipun mereka dengan bodohnya menganggap jadi tukang ojek jauh lebih terhormat daripada mengurus kandang sapi. Hanya karena yang satu menghasilkan tahi dan yang lain tidak. Dua hari kemudian menjelang Magrib, Salempang, Enoh dan anak-anaknya datang. Rumah saya jadi semarak. Segala macam barang diberantak oleh dua cucu saya itu. Sementara ibunya sibuk memarahi agar jangan berbuat demikian, saya dan Salomah dengan senang hati membiarkan mereka berulah 226

http://facebook.com/indonesiapustaka

sesukanya. Menjadi Engkong dan Mak Tua (Kakek-Nenek) memang posisi yang menyenangkan. Saya mengajak Salempang tukar pikiran soal Japri dan Juned. ”Beh, kite keluar yuk,” ajak Salempang. ”Males ah, ngapain keluar-keluar? Lu kagak tahu, Jakarta macetnya kayak setan antri di neraka?!” ”Ya, biar pikiran rada lepas aje. Sambil beli martabak. Lempang tahu tempat yang jual martabak yang enak.” Mendengar kata martabak, saya jadi menuruti Salempang. Saya selalu dapat martabak yang enak yang dibawa Salempang sejak jaman dia ngapel Enoh di rumah saya yang lama di Karet. Saya ingin tahu di mana dia membelinya. Sebagai warga aseli Jakarta saya memang sejatinya tidak pernah keluar-keluar rumah. Fauzan baru datang ketika kami hendak keluar. Dia kelihatan kusut dengan jaket kuningnya. Anak ini pasti demonstrasi lagi, tak mungkin dia demo kalau tidak bawa-bawa jaket kuning itu. Fauzan langsung menahan kami, ia ingin ikut. ”Ya udah, cepet lu salin kaos sana! Lu bau.” Suruh saya. Fauzan langsung melesat. ”Kagak usah pake mandi. Lama!” teriak saya. Tak sampai lima menit, Fauzan keluar lagi. Ia langsung menumpang di bagian belakang mobil. Anak kalau seumuran dia memang enggak ada matinya. Sepertinya dia punya AKI disetrum terus. Coba saya, tidak mungkin kuat pergi lagi setelah seharian demonstrasi panas-panasan. ”Gimana demonya Jan?” tanya Salempang beramah-tamah. ”Porkas itu memang bikin sengsara orang aja. Orang-orang kita itu dibodohi Pemerintah! Ini kan judi, dengan adanya porkas kita sepertinya dipaksa untuk mengalihkan perhatian dari 227

http://facebook.com/indonesiapustaka

masalah negara yang lebih penting. Ini sebetulnya pembodohan!” sahut Fauzan berapi-api. ”Tenang… tenang Jan, lu ngomong ame gue. Bukan lagi demo!” Saya dan Salempang tertawa. Fauzan juga baru menyadari dirinya masih merasa sedang demonstrasi, dia ikut-ikutan tertawa. Kami keliling-keliling kota. Semua serasa dekat, sekarang. Ujung kota bergeser lebih jauh. Orang-orang sepertinya tidak bisa melihat lahan nganggur. Langsung saja dibangun gedunggedung. Lahan nganggur itu bagi mereka sama dengan duit. Orang-orang macam saya ini yang kemudian tergusur. Saya merasa ada yang salah di kota ini. Orang-orang yang menggusur kami adalah warga pendatang. Kenapa kami sampai bisa dikalahkan oleh warga pendatang? Saya merenung-renung sambil memandang ke atas, ke julang gedung-gedung yang berdiri sombong. Generasi beton yang melantahkan pepohonan. Kota ini panggung, dan kami ada di atasnya. Kota-kota lain adalah penontonnya, dan kami tidak sadar bahwa kami sudah berada di panggung sejak awal. Sedang orang-orang berlombalomba untuk naik ke panggung, menyingkirkan kami. Saya hanya bisa terpekur tak habis pikir. Mengapa pendatang yang mendirikan lapak memenuhi trotoar didiamkan saja. Penghuni gubuk di bantaran kali dan sepanjang jalur kereta bisa seenaknya. Belum lagi yang menempati taman taman kota. Padahal jelas-jelas mereka pendatang yang menyerobot tanah Negara. Sedang saya dan kawan-kawan, penduduk aseli yang mengolah tanahnya sendiri, malah seperti dikebiri. Salempang dan Fauzan asyik terbenam pembicaraan sendiri. Mereka ngomong hal yang penting-penting. Soal Pemerintah, 228

http://facebook.com/indonesiapustaka

soal harga semen yang naik, soal kepresidenan Soeharto, dan lain-lain. Cocok sekali dua anak ini kalau bertemu. ”Bang, lewat rumah kita yang dulu yuk!” pinta Fauzan. ”Oke!” Salempang bersemangat. ”Mau, Beh?” Sejujurnya sebetulnya saya juga penasaran, jadi apa wilayah tempat tinggal saya dulu.”Ayok deh.” Kami masuk wilayah Kuningan. Tempat ini benar-benar berubah. Mobil dipelankan. ”Wah, udah kagak ada bau-baunya jaman kita tinggal di sini dulu ya!” komentar Fauzan. Kami melewati wilayah jejeran rumah toko yang sudah berdiri. ”Beh, Beh! Rumah kita jadi ruko!” Fauzan semangat memberitakan. Hah?! Ruko-ruko ini dulu berdiri rumah saya? Rumah warisan milik saya? Ah, sesal kembali mendatangi saya. Seandainya saja dulu saya lebih menahan diri untuk tidak menjual tanah itu, seandainya saja saya tahu rencana pembangunan di tanah ini, tentu saya akan lebih memilih untuk membangun ruko sendiri atau berkongsi dengan pengembang. Sebagian bisa saya sewakan untuk menghidupi seluruh keluarga. Ah…. Kami keluar rumah hingga menjelang tengah malam. Anakanak Enoh sudah pada tidur, bergeletakkan di depan televisi. Enoh dan Salomah mengobrol dengan suara pelan agar tidak membangunkan mereka. ”Pang, kapan lu bakalan kemari lagi? Babeh mau ngomong sesuatu, butuh pendapatlu.” ”Besok saya kemari lagi Beh, sore ya. Pulang kerja.” Anak-mantu saya lalu pulang ke rumahnya. Salomah langsung ke kamar, matanya sudah lengket, tidak 229

http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa dibuka lagi. Fauzan juga langsung ngorok, dia butuh istirahat. Mungkin besok mau demo lagi. Saya menyusul Salomah, merebah tubuh tua saya di tempat tidur. Memandang langitlangit kamar. Ya, ya… saya sudah berpikir-pikir sesuatu untuk mengubah nasib Japri dan Juned. Esok sorenya, ketika Salempang dan Enoh datang, saya utarakan keinginan saya, ”Babeh pengen bikinin Japri sama Juned rumah petak buat dikontrakin.” Salempang, Enoh dan Salomah mendengarkan saya dengan seksama. Ini adalah kali pertama saya betul-betul mengeluarkan uneg-uneg dalam hati saya mengenai dua anak itu tanpa marah-marah. Kelihatannya murka saya sudah pada puncaknya. Jadi, sekarang saya memutuskan untuk menyerah pada dua anak itu. Kalau kehidupan yang saya tawarkan ini juga tidak bisa membuat mereka membuka mata lebar-lebar atas rasa sayang saya, maka saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Di Cipete saya masih ada tanah yang lumayan luas, di situlah saya akan buatkan mereka rumah petak. ”Gimana menurut lu?” ”Babeh yakin?” tanya Enoh. Saya menangguk. ”Angep aja ini warisan saya buat Japri ama Juned. Mereka gue kasih sapi sekandang-kandangnye juga kagak diurus. Gue minta maap ke elo Noh, belom bisa kasih warisan yang pantes. Ke Paujan juga Babeh belum bisa.” ”Babeh enggak usah mikir Enoh, kan Enoh udah bukan tanggungan babeh lagi. Pokoknya apa pun yang bikin Babeh bisa mikir enteng, Enoh setuju aje.” Jawaban Enoh membuat saya terharu. Ã 230

http://facebook.com/indonesiapustaka

Kriiiiing. Telepon berdering, Salomah yang mengangkatnya, terdengar dia mengucap ’halo’, lalu, ”Bang, ada telpon.” ”Dari siapa?” ”Paimin.” ”Paimin?” Saya segera menerima gagang telepon. Paimin tak pernah menelepon saya, jangan-jangan ada apa-apa di kandang. Saya tiba-tiba jadi khawatir dan langsung mencerocosnya dengan pertanyaan. Tak ada kejadian apa-apa di kandang, katanya. Dia hanya ingin berbicara dengan saya. Itu saja. Saya bilang, kalau ada masalah ngomong sama Japri dan Juned saja, sambil dalam hati saya berharap dua anak itu bisa lebih diberi tanggungjawab. Dia bilang, kelihatannya lebih baik berbicara dengan saya daripada dengan Japri dan Juned. Ujungnya, kami berjanji akan bertemu di kandang besok pagi. Saya menemui Paimin yang masih asyik bersih-bersih kandang. ”Maaf Pak, ngerepoti… saya kepingin ngomong sesuatu,” ujarnyanya malu-malu. ”Apa? Ngomong aje!” ”Saya… mau keluar dari kerjaan di sini.” Saya langsung melongo, tak percaya dengan yang saya dengar. ”Keluar, Min?” ”Iya Pak,” dia mengelus-elus lengannya sendiri, berbicara santun dan takut-takut, ”saya… dapat modal dari Pakde saya yang di mBoyolali itu, yang dulu pernah saya ceritakan ke Bapak itu lho, inget ndak Pak?” Saya mengangguk, ”yang punya usaha sapi perah juga kan?” ”Iya. Saya dikasih modal sapi. Terus saya juga sudah mengajukan kredit ke bank, buat sewa kandang. Saya dapat kredit, Pak.” 231

Dan begitulah ceritanya. Paimin keluar. Meski saya tahantahan juga, tidak mungkin dia mau. Ini adalah kesempatannya berkembang. Saya salut melihat semangatnya. Dia percaya bisa hidup dari sapi. Sayang, anak-anak saya tidak. Paimin saya perbolehkan keluar, dengan satu syarat, dia harus membawa pengganti dan harus melatihnya lebih dahulu. Baru setelah itu dia boleh pergi. Paimin menurut. Dia membawa satu adik kelasnya dari Boyolali untuk dilatih sebagai penggantinya. Ã

http://facebook.com/indonesiapustaka

Rencana pembangunan rumah petak mulai dijalankan. Saya masih punya sedikit uang, kira-kira cukup untuk membangun rumah petak beberapa biji di daerah Cipete. Kalau sudah dikasih ini pun dua anak itu masih menuntut ini-itu, saya cuma bisa pasrah saja dan berdoa yang terbaik buat mereka. Japri dan Juned girang bukan kepalang, dapat warisan sebelum orangtuanya mati. Dasar anak songong! Saya bilang, mereka harus sering-sering datang mengawasi orang-orang yang sedang membangun. Itu milik mereka, mereka harus belajar tanggungjawab atas milik mereka sendiri. Saya juga bilang, bahwa saya tidak mau melihat mereka ngojek lagi, saya ingin melihat mereka jadi juragan rumah kontrakan. Kelihatannya, mungkin inilah profesi yang tepat untuk penduduk aseli di Jakarta.

232

http://facebook.com/indonesiapustaka

9

[Haji Jarkasi:] Saye sebetulnya gak mau nyuruh anak saye nari di Setu Babakan. Tapi cuma di situ kesenian Betawi masih dipandang. Biar kata, Enden koar-koar, soal banyak perempuan nakal di wilayah itu. Makanya, saye tungguin Edah tiap kali dia mentas. Lagipula, saye juga sering ngiringin anak saye ngibing. Habis kejadian dia ditipu berapa tahun lewat, semangat narinya juga saye lihat enggak kendor-kendor. Malah makin kenceng. Emaknye mau ngomong apa aje, udah lewat di kuping. Kagak peduli. Kalo itu sih, udah saye pasrah aje. Biarin deh mau-maunya gimana. Tapi satu yang bikin saye ama bini bingung, nih anak enggak ada tanda-tanda naksir ama laki. Padahal, die kan penari. Kalo yang nekad dateng, ngasih kembang, minta ijin saye buat macarin, sih banyak. Yang serius mau ngawinin juga ada beberapa, enggak cuma satu dua orang. Nah, masalahnya ada di Edah. Anak sebiji mete saya itu enggak respon. Yang ini enggak demen, yang itu enggak cocok, si anu terlalu begitu, ah… pokoknya macem-macem deh alesannye. Enden saye minta ajak ngomong Edah. Saye pikir, kalo ngomong antara perempuan bisa lebih kebuka. Siapa tahu Edah mau kalau saye jodohin. Habis itu, Enden laporan ame 233

http://facebook.com/indonesiapustaka

saye, ternyata, ”Edah bilang, dia masih punya cita-cita. Belom mau pacaran kalau cita-citanya belom kesampean.” Duh, saye jadi tambah pusing. Waktu ditanya cita-citanye ape, die juga ogah bilang. Sepupu Edah, Enoh, yang sepantaran ame die aje sekarang udah punya buntut dua orang. Nah ini… pacar aje kagak ada. Saye khawatir, orang-orang sekitar mandang Edah enggak laku karena dituduh jualan badan sambil ngibing. Nauzdubilah…. Saye muter otak. Cari cara lagi buat ngebujuk Edah cepetcepet kawin. Saye suruh Enden ngomong ke Salomah, biar Salomah ngomong ke Enoh, biar Enoh yang ngebujukin Edah. Kalo umurnye sepantaran kan lebih gampang ngomong. Apalagi Edah sama Enoh dari kecil lengket kayak bajigur ame pisang goreng. ”Abang, panjang banget sih ular-ularannya!” protes Enden. ”Nah, lu mau anak kite cepet-cepet kawin kagak?” ”Ya mau lah!” ”Ya udah, kalo gitu nurut aje. Kan kagak enak kalo gue yang ngomong ame Salomah. Mending lu aje, same-same perempuan.” Enden melaksanakan perintah saye. Ia berbicara pada Salomah, lalu Salomah berbicara pada Enoh, dan akhirnya Enoh sengaja datang ke rumah kami basa-basi pake bawa makanan segala. Tentu saja Edah girang, sudah lama mereka tidak kumpul bareng, seperti masa kecil mereka. Saye enggak tau pegimane pastinye pembicaraan Enoh same Edah. Yang pasti, besokkannye Enden ke rumah Salomah. Setelah itu, sorenye saye dapet laporan dari Enden perkara Edah. Masih tetep sama aje, dia kagak niat nikah kalau cita-citanya belum kesampean. Tapi saye dapet info tambahan, cita-cita 234

macam apa yang dipengenin Edah. Dia masih pengen pergi nari ke luar negeri. ”Kagak!” saye ngomong tegas-tegas. Edah saye sidang. ”Ah, Babeh ama Enyak pasti ngomong ame Enoh, iye kan?! Edah udah tau deh, kalo ngomong ame Babeh-Enyak pasti kagak dibolehin.” Bini saye nangis-nangis, ”Ya ampun Dah… lu kagak ngarti perasaan Enyak. Pegimane kalo lu dijual jadi pelacur? Orang kemaren aje lu udah ditipu kayak begitu. Duit udah melayang, untung elu selamet.” Air mata bini saye meleleh di pipi, banjir mukanya. Edah mengkeret. Nunduk terus kayak kura-kura ngumpet. Tapi tetep aje die enggak mau mundur dari cita-citanye. Ampun deh, punya anak sebiji aje kerasnye minta ampun.

http://facebook.com/indonesiapustaka

Besokannye, Edah minta ijin keluar rumah. Die bilang mau ke rumah encingnya, Juleha. Sehabis dulu dia kabur ngumpet ke rumah encingnya gara-gara ditipu ama Bramantyo, tuh anak jadi deket ame adek saye. Biarin deh, lagipula Juleha kagak punya anak. Ada Edah di sono buat nemenin die juga, yang penting saye tahu ke mana perginya si Edah. Bukan ke tempat yang aneh-aneh.

[Juleha:] Aku tidak pernah lupa nasehat Enyak, sebelum meninggal. Dia bilang, perempuan berkeluarga itu tugas utamanya menjaga suaminya. Mungkin itu sebabnya walau Enyak marah pada Babeh, dia tetap menunggui suaminya hingga laki-laki itu meninggal. Sudah empat tahun aku menjalani menggilir suami. 235

http://facebook.com/indonesiapustaka

Bang Jiih juga pernah membawa anaknya ke rumah ini. Ketika itu dua tahun setelah perempuan itu melahirkan anaknya. Melihat anak itu muncul dari mobil yang ditunggangi Bang Jiih, aku seperti tak percaya dengan mataku sendiri. Apakah aku melihat tuyul atau anak manusia? Bang Jiih tak memberitahuku sama sekali akan membawa anak itu. Lalu ia malu melihatku, maka lari bersembunyi di balik celana bapaknya. Aku berdiri mematung melihat anak itu, ia membawaku kembali ke masa kecilku. Ketika aku pulang sekolah dan mendapati seorang anak ada di rumah. Anak Babeh dari perempuan keduanya. ”…Cing?” Suara itu membuyarkan lamunanku, bersamaan dengan suara ngeong si Nyasar, kucing warisan Enyak setelah meninggal. ”Eh, Edah. Masuk, masuk!” ”Bengong?” Saya tertawa kecil. ”Lagi ngapain Cing?” ”Lagi ngerjain pembukuan percetakan.” ”Cieee…, bendahara nih ye!” goda Edah. ”Kalo enggak dikerjain sama Encing, siapa lagi?” Edah tersenyum kecil, dia mengerti kalimat saya. Maksudnya, Bang Jiih, encingnya yang lain, sudah tidak terlalu peduli lagi pada perusahaan yang dibangunnya. Yang dia tahu, percetakan kami masih jalan bisa menghidupi dua istri dan satu anaknya. Bang Jiih sudah tidak terlalu memikirkan perusahaan kami lagi sejak perempuan itu melahirkan. Dia mulai menyuruhku untuk mengerjakan pembukuan. Setelah itu sedikit demi sedikit menyuruhku ini-itu yang pada dasarnya mengurus jalannya percetakan kami. Awalnya, aku tersinggung, namun tetap menurutinya sebab adalah kewajiban istri menurut perintah suami. 236

http://facebook.com/indonesiapustaka

Lama-kelamaan aktiitas ini justru mampu menyelamatkanku dari kesepian, meski tidak sepenuhnya kesepian itu terpenuhi. Setidaknya ada hal positif dan berguna yang bisa saya pikirkan ketimbang memikirkan kesedihan yang tak berkesudahan. Edah langsung cerita tentang ibu-bapaknya yang menyuruhnya menikah. Dia melimpahkan kekesalannya karena tak disetujui dengan cita-citanya menari ke luar negeri. ”Ya, Encing sih enggak herah Dah. Namanya juga orangtua, jelas aje khawatir. Takut lu kenape-kenape.” Edah menekuk wajahnya. Lalu dia cerita lebih banyak lagi tentang kekesalannya dan aku kembali mendengarkan sambil senyam-senyum. Aku tidak pernah bertanya soal siapa pacarnya, kalaupun dia punya, pasti sudah diperkenalkan padaku. Aku juga tidak pernah memburu-burunya menikah, mungkin itu sebabnya Edah lebih cocok curhat padaku daripada orangtuanya sendiri. Aku tak ingin dia salah memilih laki-laki, apalagi dimadu seperti nasibku. Yang penting bagiku, dia percaya pada keinginannya, itu saja. Telepon berdering, aku beranjak mengangkatnya. Suara tangis terdengar, membuat aku bingung sambil bertanya siapa yang menelepon. Tersendat-sendat yang di seberang memberi tahuku: itu tetanggaku, suaminya baru ketahuan selingkuh dan punya anak lagi.

237

http://facebook.com/indonesiapustaka

238

10

aji Jaelani merencanakan, akan fokus dengan kehidupan akhirat. Dia sudah merasa sangat tua dan ingin membawa bekal yang banyak ketika mati kelak. Ketika ia menuju ke masjid seperti Isya-Isya sebelumnya, seorang lakilaki menegurnya. Haji Jaelani memicingkan mata, mengingatingat. ”Ini saya Pak, Paimin! Yang dulu kerja di kandangnya Pak Jaelani.” ”Masyaallah…. Paimin!” Haji Jaelani menyalaminya, seperti seorang teman lama. Paimin kelihatan lebih gemuk sekarang. Ia lalu menepuk punggung Paimin, ”gimana kabarnya?” Paimin duduk di sebelah Haji Jaelani. ”Alhamdulillah baik, Pak.” ”Masih ngurus sapi?” ”Ya masih tho, Pak. Lha wong cuma itu yang saya bisa.” Haji Jaelani memperhatikan, bahasa tubuh Paimin kini jauh lebih percaya diri daripada ketika ia bekerja untuknya dulu. ”Bagus, bagus…” ”Nah, Pak Jaelani sendiri bagaimana? Apa masih ngurus sapi?” Haji Jaelani menghela napas, ”masih, ya… kayak dulu aje.

http://facebook.com/indonesiapustaka

H

239

http://facebook.com/indonesiapustaka

Sapinya juga masih segitu-segitu aje. Sekarang saye yang ngurus,” lalu ia tergelak sendiri, meski tak merasa lucu. ”Lha, Mas Japri dan Mas Juned sudah ndak ngurus lagi tho Pak?” ”Japri ama Juned sekarang ngurus kontrakan.” ”Oalah… punya kontrakan tho, hebat ya…. Mesti banyak ya Pak,” komentar Paimin, Haji Jaelani tidak menjawab. ”Kamu sendiri sekarang punya sapi berapa ekor, Min?” ”Ya… alhamdulillah Pak, ada sekitar 200 bibit sapi perah.” Haji Jaelani membelalakkan mata, tak percaya pendengarannya, ”berapa?” ”Dua ratus, Pak.” Paimin mengulang. ”Ini kan juga karena dulu saya pernah kerja di tempat Pak Jaelani, jadi bisa belajar tentang sapi lebih banyak lagi.” Haji Jaelani memandangi Paimin, wajah lugu laki-laki itu masih terlihat jelas. Ia terharu sekali mendengar ucapan Paimin. Ia membatin, nah… betul kan dugaannya, orang pasti bisa hidup makmur dari sapi perah! Ia sekali lagi teringat Japri dan Juned, dan menyesali mereka yang tak pernah mau belajar. Kini Paimin pasti hidupnya jauh lebih sejahtera. ”Eh Pak, saya juga sudah menikah lho… Sudah punya anak satu,” ujar Paimin malu-malu. ”Wah, selamet deh, selamet!” ”Pak, main-main ke kandang saya. Rumah saya itu ya kandang saya.” ”Di mana?” Paimin lalu mengeluarkan kartu nama, dan menyerahkannya pada saya. ”Ini alamatnya Pak, ini nomor teleponnya,” katanya sambil menunjuk sederetan angka di kartu itu. ”Jangan sungkansungkan ya Pak. Datang saja, kapan pun!” 240

Paimin lalu pamit, dia harus cepat-cepat pergi. Haji Jaelani memperhatikan dari dalam masjid, Paimin menunggangi sebuah motor laki-laki terbaru. Ia lalu memandangi kartu nama yang diberikan Paimin. Hebat, pikirnya. Tak pernah terpikirkan seorang seperti dirinya atau seperti Paimin akan punya kartu nama. Ia pulang dan memandangi Fauzan yang sedang nonton televisi. Berita demonstrasi kenaikan harga bahan bakar. Dia tak menonton sinetron. Terlihat sekelompok mahasiswa di televisi bernyanyi ”Surat Buat Wakil Rakyat”-nya Iwan Fals, di depan Gedung DPR. Untuk kesekian kalinya Haji Jaelani diam-diam membatin, ada harapan besar yang diletakkannya ke punggung anak itu.

http://facebook.com/indonesiapustaka

à Edah cepat-cepat menuju ke rumah encingnya. Ia membawa potongan koran yang dilipat rapi-rapi dan diselipkan ke sebuah buku tulis agar tak lecek. Begitu sampai di depan rumah encingnya, dilihatnya rumah itu sedang ramai. Sandal dan selop bertebaran di pintu masuk. Ada pengajiankah? Paling-paling Cing Jiih yang kasih ceramah, itu kan memang kerjaannya, batin Edah. Edah nekad, ia tetap mengucap salam yang disambut dengan salam pula berbarengan. Ibu-ibu berbusana Muslim rapi berkumpul di situ. ”Cing Julehanya ada?” ”O, ponakannya Mpok Eha ya? masup. Saye panggilin dulu ye encingnye,” sapa seorang ibu. Edah tersenyum. Tak lama Juleha muncul, membawa baki berisi air teh di gelas-gelas kecil. Dia mengajak Edah masuk. 241

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kenape?” ”Ada berita bagus, Cing!” ujar Edah girang, sambil berbisik. ”Eh, kamu masih lama kan di sini? Encing harus kasih ceramah dulu.” ”Ceramah?” tanya Edah heran. ”Bukan Cing Jiih?” ”Bukan, aye. Lu duduk deh,” jawab Juleha buru-buru. Edah akhirnya gabung di acara ibu-ibu itu. Ia duduk di pojok. Cuma dia yang tidak pakai baju Muslim. Dilihatnya Juleha memimpin doa, lalu mulai memberi ceramah mengenai masalah rumahtangga. Ia bercerita pengalamannya sebagai istri pertama, dan bagaimana ia menghadapi suaminya, bagaimana ia bersikap. Beberapa ibu yang hadir di situ menangis dan bercerita masalah keluarganya yang serupa. Juleha sekali lagi menasehatinya dengan santun, menyuruhnya salat malam dan minta kepada Allah jalan yang terbaik. Kenapa dia tak pernah tahu encingnya juga penceramah? Dari mana Juleha belajar, ia juga tak pernah tahu. Mungkin karena sering melihat suaminya berceramah, duga Edah. Tapi…, akhir-akhir ini kok tak pernah terdengar lagi Bang Jiih memberi ceramah? Tidak di radio, tidak di acara pengajian mana-mana. Apa dia tak lagi memberi ceramah? Tanya Edah pada dirinya sendiri. Bagaimana pun, melihat encingnya di hadapannya dengan mikrofon dan penuh percaya diri memberi wejangan yang santun, membuat Edah merasa bahagia. Menjelang Magrib, ceramah itu selesai. Edah menciumi pipi encingnya. Juleha heran, tumben anak ini cium-cium pipinya segala. ”Kenapa? Kamu lagi senang ya?” tanya Juleha. Sejujurnya dia sendiri senang dicium Edah, rasanya seperti dicium anak sendiri. 242

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Iya, senang lihat Encing kasih ceramah gitu. Hebat deh!” ”Ah, kamu bisa aja! Pasti ada maunya, hayo bilang… kamu kenapa ke mari? Ada berita apa? Berantem lagi ama EnyakBabeh?” ”Enggak!” protes Edah, ”ya… belom sih.” ”Lha, kok?” Edah mengeluarkan secarik kertas yang disimpannya tadi. Memperlihatkannya pada Juleha. Sebuah formulir Misi Seni Budaya Indonesia ke Belanda, lengkap dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan tanggal seleksi, diadakan oleh Depdikbud. Di bagian bawah tertulis, ’tidak dipungut biaya sama sekali’. ”Gimana?” tanya Edah. ”Lu mau ikut?” Edah mengangguk kencang, mirip boneka Dakocan. ”Udah bilang sama enyak-babehlu belum?” ”Nah, itu yang lagi Edah pikir!” ujar Edah serius, ”pegimane cara ngomongnye ye?” Juleha diam sejenak, memandangi formulir itu. Ini jelas-jelas formulir aseli, diumumkan pula di koran nasional. Lalu katanya, ”udah, biarin Encing yang ngomong ke enyak-babehlu.” Edah terkejut, lalu memeluk encingnya sambil mengucap terimakasih berulang-ulang. Juleha tak butuh waktu lama untuk menunggu. Dia berbicara pada abangnya, Jarkasi mengenai keinginan Edah untuk ikut proses seleksi itu. Enden mulai menangis mendengar keinginan Edah ke luar negeri. ”Nyak, kan belum pasti juga. Orang yang ikutan tes pasti banyak! Iya kan Cing?” Edah mencari dukungan dari Juleha. ”Iya. Kalau pengumumannya terbuka lebar begini, dan tesnya 243

http://facebook.com/indonesiapustaka

juga di Gelora Bung Karno, pasti banyak yang ikut. Mungkin ratusan. Yang diambil paling cuma berapa gelintir. Lagian ini bukan yang kayak dulu, orang kagak dipungut bayaran,” ujar Juleha meyakinkan. Jarkasi memperhatikan benar-benar penjelasan Juleha. Pada dasarnya ia ingin anaknya mendapatkan apa yang diinginkannya. Sedang Enden masih belum mau terima. ”Gini deh Mpok, aye aje yang bakal nemenin Edah ke manemane. Biar aye pastiin semua baek-baek. Kalau ade ape-ape, yang kira-kira enggak beres di proses seleksinya, aye yang nanggung.” Enden dan Jarkasi saling pandang, lalu gantian memandang Edah dan Juleha. ”Boleh ya Nyak…?” pinta Edah sekali lagi. ”Yah…,” Enden berkata ragu, ”tapi bener ye, lu jage baekbaek anak gue!” ”Horeeeee!” Edah langsung bersorak. Betul saja yang diduga Juleha, peserta yang ikut banyak sekali, entah itu perorangan maupun kelompok. Edah menggigit-gigit bibirnya, gentar melihat begitu banyak penari yang cantik-cantik ikut seleksi. Dia jadi kecil hati. ”Cing, keliatannya Edah bakalan kalah deh. Pulang aje yuk. Lagian, nunggu seleksi orang segini banyak pasti lama banget.” ”Enak aje! Udah susah-susah Encing mintain ijin, sampe Encing anterin segala ke sini. Lu tetep ikut seleksi, biarpun enggak kepilih, yang penting kan elu udah nyoba jadi enggak penasaran. Entar kebawa-bawa mimpi lho!” kata Juleha. Edah berpikir omongan encingnya ada benarnya juga. Ia tak mau pulang menyesal karena tak jadi ikut seleksi, jikapun ia menyesal ia ingin itu karena ia tak lolos. 244

http://facebook.com/indonesiapustaka

Proses seleksi yang dijalani lumayan panjang. Setelah lolos seleksi kecakapan bakat seni, Edah mengikuti seleksi wawancara, setelah itu ia menunggu hampir satu bulan pengumumannya yang dimuat di koran nasional. Edah bahkan melingkari tanggal di kalender hari koran mengumumkan siapa yang keterima untuk pergi ke Belanda. Pagi-pagi benar Edah keluar rumah, mencari tukang koran. Begitu ketemu, ia cepat-cepat membeli koran yang dimaksud dan memberi uang tanpa menunggu kembaliannya. Dia pulang dan meletakkan koran itu di meja. Ibunya melihat kelakuan anaknya yang hanya memandangi koran tersebut. ”Heh, lu ngape bengong kayak ayam?” ”Ini, pengumumannya di sini.” Edah menunjuk korannya. ”Hah? Pengumuman lu ikut seleksi kemaren?” ”Iye,” jawab Edah. Tiba-tiba ibunya langsung menyambar koran itu, ”eh, Mak… jangan!” tapi Enden tak peduli dengan teriakan anaknya. ”Mane? Mane?” Enden langsung membuka lembaran koran itu. Ia berhenti di salah satu halaman. Dan membaca salah satu halaman dengan serius. ”Gimane Nyak? Ade nama Edah enggak?” tanyanya. ”Enggak,” jawab Enden. ”Hah?!” Edah lalu merebut koran itu. Diamatinya bagian yang sedang dibaca ibunya: biro jodoh. ”Ah, Enyak! Jelas aje kagak ada nama Edah!” ”Abis, itu ada foto jejaka tua lumayan ganteng.” Enden nyengir, membuat Edah mencibir sebal. Enden lalu merebut koran itu lagi dan mencari bagian pengumuman hasil seleksi yang dimaksud. Ia berhenti di salah satu halaman, ”kok kagak ade nama Edah?” 245

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Masa?” Edah buru-buru merebut koran itu lagi dari tangan ibunya. ”Ada! Ini! Ini!” Edah menunjuk-nunjuk sebuah nama. ”Mana? Mana? Gue baca kagak ade nama Edah!” ”Ya jelas aje kagak ade, orang yang ditulis Zubaidah. Nama panjang anaknye lupa sendiri!” protes Edah. Tapi ia buru-buru melupakan kekesalannya pada ibunya dan bersorak-sorak langsung menelepon encingnya untuk mengabarkan berita gembira. Edah berangkat dua bulan kemudian setelah latihan koreograi yang dilatih oleh Guruh Soekarno Putra. Jarkasi, Enden, Juleha, dan Enoh mengantarnya hingga ke bandara udara. Enden menangis terharu tak henti-hentinya. Rumah jadi begitu sepi setelah Edah pergi. Selama tiga bulan ia akan di Belanda. Suatu siang yang tenang, seorang tamu datang. ”Misi….” Sapa suara itu tanpa asalamualaikum. ”Ya?” Enden yang menyambut keheranan, ada orang Cina datang ke rumahnya. ”Wang Jalkasi ada?” ”Ade. Bentar ye. Masup deh.” Jarkasi menemui tamu itu. ”Koh Tong Hiem? Tumben, duduk deh duduk. Den, bikinin aer ye.” Enden menuju ke dapur. ”Ada ape? Tumben banget ke rumah. Udah lame ye, kagak ketemu. Terakhir kapan ye?” Jarkasi berramah-tamah. ”Telakhir waktu anaknya Jaelani kawin, inget kagak?” lalu disambung derai tawanya. Tawa khasnya pun menunjukkan cadelnya. ”O… iye ye. Wah, itu mah udah berapa tahun kemaren.” ”Wegini, maksub kedatangan owe kemali. Owe tau lu wunya anak yang ngibing welgi ke Welanda, wenal?” 246

http://facebook.com/indonesiapustaka

”Bener, Koh! Tau dari mane?” Jarkasi bangga mendengarnya. ”Ada di tipi, owe nonton. Di kolan yuga ada welitanya.” ”Iye, iye…,” Jarkasi tertawa lagi, sejatinya ia menyimpan koran potongan berita keberangkatan anaknya dan kelompok tari yang dipimpin Guruh Soekarno Putra itu. Enden datang dengan dua cangkir teh hangat. Dia duduk di sebelah Jarkasi. ”Owe liat, lu selius ngulus seni.” ”Iye, bener Koh. Apa Koh mau nanggep? Aye bise kumpulin orang-orangnye.” ”Wukan, wukan… Owe mau kasih lu sesuatu.” Jarkasi heran, ”apaan tuh Koh?” ”Wegini, owe ini wunya koleksi. Ada yang walisan, ada yang owe weli sendili. Tapi owe kagak wisa make itu alat-alat.” ”Alat apaan?” ”Macem-macem. Owe wunya gamwang kolomong, kumwlit! Nah, lu mau kagak?” ”Maksud Koh?” ”Mau owe kasih wuwat lu! Lu ulus deh! Itu walang walisan, wagus wunya suala. Keadaan masih wagus, owe welihala waikwaik.” Koh Tong Hiem mengangkat kedua jempolnya, meyakinkan. ”Koh mau jual itu gambang kromong?” ”Wukan! Mau owe kasihin elu!” Jarkasi tak percaya dengan yang didengarnya, dikasih seperangkat gambang kromong? Yang benar saja! Hari itu juga, ia pergi ke rumah Koh Tong Hiem. Lelaki itu menjelaskan bahwa dia merasa sayang dengan segala alat seni yang dimilikinya, karena tak ada yang memanfaatkannya meski dijaganya baik-baik. Kakeknya dulu juga orang seni, tapi keturunannya tak ada yang meneruskan kesenangan kakeknya 247

http://facebook.com/indonesiapustaka

karena mereka semua lebih senang meneruskan usaha keluarga berjualan kain di Pasar Baroe. Seperangkat potehi juga tersimpan rapi di lemari besar di rumah Koh Tong Hiem. Boneka-boneka potehi itu tersusun berbaris dengan wajah khas Cina, bermata sipit-sipit. Bonekaboneka potehi itu mengingatkan Jarkasi pada boneka si Unyil. ”Kenawa? Lu suka ama woheti?” tanya Koh Tong Hiem melihat Jarkasi mengamati boneka-boneka itu. ”Ini telmasuk walang walu. Owe weli di Sulawaya. Ini wikin owe inget masa kecil owe. Weltunjukannya seling owe liat waktu taun walu Cina. Tawi seyak taun enam tuyuh, wemelintah welalang semua weltunjukan seni Tiong Hoa. Lu woleh cowacowa mainin itu wotehi. Nanti kalo wemelintah sudah bolehin kesenian Tiong Hoa, owe kasih itu wotehi wuwat lu. Tapi owe enggak yakin kawan olang Tiong Hoa woleh main seni lagi.” Ujar Koh Tong Hiem panjang lebar. Koh Tong Hiem itu bilang, ia mulai menurunkan usaha dagangnya kepada anak-anaknya, dan ingin menghabiskan masa tuanya dengan mendekatkan diri pada seni, seperti kakeknya dahulu. Semua alat gambang kromong diperuntukan Jarkasi, tapi dengan syarat ia harus membentuk grup kesenian Betawi sendiri. Jarkasi setuju, lagipula ia tidak memiliki tempat yang cukup besar untuk meletakkan semua alat itu. Rumah Koh Tong Hiem yang kuno dan lebar adalah tempat yang cocok. Ã Fauzan pernah membaca selebaran itu. Entah siapa yang menyebarkan, selalu seperti ini kejadiannya. Ada selebaran tanpa nama. Mahasiswa di sejumlah kota berdemonstrasi tidak setuju 248

http://facebook.com/indonesiapustaka

Soeharto dipilih lagi pada PEMILU 1997 ini. Di Jogjakarta, mahasiswa ditangkapi karena berdemonstrasi. Di Jakarta belum ada ribut-ribut begini, memang. Tapi Fauzan yakin, di satu titik pasti akan muncul demonstrasi-demonstrasi macam ini. Dan ia pasti akan jadi bagian dari itu. ”Jan, lu jangan macem-macem demonstrasi ya! Tuh lihat di tipi, ribut-ribut!” nasehat Salomah. Fauzan melirik ibunya dengan sebal, sepertinya perempuan itu bisa membaca pikiran anaknya, ”Iye!” jawabnya singkat. ”Mending lu ngurus sekripsi aja, belum selesai-selesai kan?!” Salomah mengingatkan lagi. ”Iye, iye!” Fauzan tambah sebal. Tapi semua anak melakukan hal yang sama terhadap nasehat orangtua, masuk kuping dan keluar dari pantat. Fauzan nyaris tak pernah absen demonstrasi, apalagi demonstrasi menurunkan Soeharto dan menuntut reformasi sudah ramai nyaris di semua kota besar di Indonesia. Ketika itu 11 November 1998. Pemerintah mengadakan Sidang Istimewa MPR yang diadakan katanya bertujuan untuk menetapkan berbagai perubahan dalam rangka reformasi. Tapi semua juga tahu, bahwa itu hanyalah upaya pemerintah mempertahankan status quo. Dua hari sebelum 11 November, Fauzan minta ijin pada ibunya untuk ikut demo besar di depan Gedung DPR/MPR RI. ”Kagak!” tegas Salomah. Haji Jaelani juga tidak mengijinkan. ”Tapi ini penting, Nyak! Ini puncaknya.” ”Puncak, puncak! Kalo Enyak bilang kagak ya kagak!” ”Ah, Enyak… masa Paujan mau dikurungin?!” ”Iye, lu mau gue kerangkeng!” ujar Salomah galak. 249

http://facebook.com/indonesiapustaka

Fauzan ngambek, ia tak percaya pada kelakuan orangtuanya. Dia sudah besar kenapa harus minta ijin pula pada mereka untuk demonstrasi?! Melihat itu semua, Haji Jaelani berkata, ”Ya udah, lu berangkat tapi enggak dari kampus.” ”Yaaaaa….” Fauzan protes. ”Lu pergi ke rumah encing lu sono, die kan di daerah Semanggi tuh. Nah, lu tunggu deh temen-temen lu di sane.” Fauzan setuju, ia berangkat ke rumah Juleha, encingnya. Diam-diam Haji Jaelani sudah menelepon Juleha ketika Fauzan masih di jalan, memintanya menahan anak itu agar tidak pergi tanggal 11 November besok. Juleha berjanji akan berusaha sekuat tenaga. Mahasiswa UI sudah bersiap-siap untuk bergerak demonstrasi. Fauzan bilang, ia akan menunggu di sekitar Semanggi, sebab encingnya tinggal di situ. Ia akan siap dengan jaket kuningnya. Seperti perjanjian awal dengan Jaelani, Juleha berusaha membujuk Fauzan agar tidak pergi. Toh anak itu memaksa pergi. Juleha bilang, ”janji, kalo mulai rusuh, lu langsung lari ke rumah Encing sini ye! Encing tunggu bener-bener di ruang tamu.” ”Iye Cing, janji.” Fauzan mencium tangan encingnya. Juleha menunggu dengan was-was. Sementara Fauzan tidak mendapati teman-temannya. Hanya beberapa gelintir anak UI yang berhasil datang. Katanya, aparat memblokir jalan. Tibatiba segerombolan masa datang dari semua arah, sekumpulan mahasiswa Trisakti juga datang bagai gelombang besar. Dorongdorongan dengan aparat pun terjadi, setelah itu mulai saling lempar kata-kata kasar, yang dilanjutkan dengan dilemparnya gas air mata. Keadaan menggila. Aparat melemparkan tembakan ke udara. Tiba-tiba ada orang yang jatuh, tepat di depan mata 250

http://facebook.com/indonesiapustaka

Fauzan. Ya Tuhan, itu tadi berarti bukan tembakan ke udara, melainkan ke massa, batin Fauzan. Masa mulai berpencar, lari tunggang langgang sementara suara tembakan menggema di udara. Fauzan sempat mengambil batu dan melemparkan ka arah petugas. Paving block di pinggir jalan juga bisa jadi senjata. Fauzan lari cepat-cepat ketika seorang petugas mengejarnya. Ia sengaja lari di antara kerumunan dan berusaha menerobosnya. Lantas lari menuju ke rumah encingnya. Pintu depan segera dibuka begitu Juleha melihat kelebatan sosok Fauzan. Ia telah menunggu dengan sangat cemas. Fauzan datang dengan tampang berantakan dan ketakutan. Dia mencari tempat untuk sembunyi. Wilayah kampung tempat tinggal Juleha juga sepi, yang terdengar suara tembakan menggema dari kejauhan. Fauzan meminta Juleha untuk mematikan semua lampu dan menutup pintu serta jendela. Fauzan bersembunyi di kolong kasur dan diam di bawahnya. Beberapa petugas terlihat lewat berseliweran, sementara Juleha mengintip dari tirai jendela. Aparat itu lewat-lewat, setelah itu memutuskan untuk kembali mengatasi pendemo yang lainnya. Dua hari Fauzan sengaja berdiam di rumah encingnya. Juleha merawat Fauzan seperti merawat anak sendiri. Luka-lukanya dibersihkan dan meminjamkan baju Bang Jiih untuknya. Bahkan ketika tahu ribut-ribut seperti ini terjadi, Bang Jiih tidak ada di rumah. Alasannya, ingin pulang hari H Sidang Istimewa, tetapi ketika tahu berita di televisi ribut-ribut, maka ia memutuskan untuk tetap di rumah keduanya. Juleha hanya diam, dan berusaha memahami itu. Setelah kejadian itu, Haji Jelani melarang keras anaknya 251

http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk ikut pada acara demonstrasi apa pun. Haji Jaelani marah besar, dan menyuruh Fauzan untuk fokus pada skripsinya. Bahkan mengancam, jika harus menambah semester, ia tak akan membayarkannya. Fauzan menimbang-nimbang, ia menuruti ayahnya. Ia sadar betul, semarah-marahnya dirinya pada pemerintah, semua akan sia-sia jika dirinya mandek di tengah jalan, atau bahkan lebih buruk, kena peluru nyasar. Ia tak inginkan itu. Fauzan tahu, ia harus jadi ’sesuatu’ dulu baru bisa mengubah sistem. Ia lelah melihat Indonesia yang sekarang. Ia ingin negerinya berubah. Sekitar tiga bulan kemudian, Fauzan berhasil menyelesaikan skripsinya. Setelah itu ia mendapat pekerjaan di perusahaan pengembang yang membutuhkan keahliannya. Namun Fauzan tidak berhenti di situ, di sela-sela pekerjaannya di kantor, ia iseng-iseng mencari informasi beasiswa S2 ke luar negeri. Hingga suatu hari: ”Lu dapat surat. Pake bahasa Inggris, gue kagak ngarti.” Haji Jaelani menunjukan surat itu yang sudah terbuka itu. ”Mana? Mana?” Fauzan semangat, meski agak sebal sebab surat untuknya dibongkar babehnya. ”Nih.” Fauzan membaca, lalu katanya, ”Beh…. Paujan mau pergi ke Amerika.” ”Ke mane? Amerika? Duit dari mane? Emang lu pikir Babehlu….” ”Beh!” Fauzan memutus kalimat ayahnya, ”Paujan ke Amerika mau kuliah S2. Ini, lolos.” Fauzan menunjuk surat di tangannya, ”Paujan sekolah gratis di Amerika!” ”Hah?! Serius lu?!” 252

”Iye. Ini….” Haji Jaelani berusaha membaca tapi tak bisa, sebab surat itu berbahasa Inggris. Haji Jaelani langsung sujud syukur di tempat. Kira-kira enam bulan setelah itu, Fauzan berangkat ke Amerika. Kedua orangtua, Japri, Juned, Enoh dan Salempang mengantarnya serta ke bandara. Haji Jaelani menitikkan air mata haru melihat anaknya jadi orang. Sedang Salomah tak bisa berhenti menangisi kepergian Fauzan. ”Jan, lu boleh pergi jauh-jauh. Cuma gue pesen, lu balik lagi ke Indonesia, dan jadi pemimpin kite ye!” ”Iye Beh.” Fauzan lalu mencium tangan ayahnya. Di bandara cuaca cerah.

http://facebook.com/indonesiapustaka

Ã

253

http://facebook.com/indonesiapustaka

254

Tentang Penulis

Ratih Kumala lahir di Jakarta, 4 Juni 1980. Ia lahir dan besar di keluarga Betawi-Jawa, baginya kerak telor mengingatkannya pada masa kecil. Ia sempat pindah ke kota daerah mengikuti orangtuanya, dan baru kembali ke Jakarta pada tahun 2006, setelah menikah dengan Eka Kurniawan. Kronik Betawi adalah bukunya yang keempat setelah sebelumnya menerbitkan Tabula Rasa (2004), Genesis (2005) dan Larutan Senja (2006). Kronik Betawi sebelumnya diterbitkan sebagai cerita bersambung di harian Republika pada Agustus-Desember 2008. Kini, Ratih hidup untuk menulis, baik itu sastra, esai ringan, blog, maupun skenario.

http://facebook.com/indonesiapustaka

Kunjungi ia di http://ratihkumala.com

255

http://facebook.com/indonesiapustaka

karya Ratih Kumala yang lain

http://facebook.com/indonesiapustaka

TAWI KRONIK BE rian cerbung ha Republika Agustus–De

08 sember 20

http://facebook.com/indonesiapustaka

KATENYE NIH, ANAK BETAWI KETINGGALAN JAMAN KATENYE LAGI NIH, ANAK BETAWI GA BERBUDAYE AH... KATE SIAPE SIH??? Kebanyakan orang Jakarta sekarang pada kurang paham, kalau Menteng itu nama buah, Bintaro itu nama pohon dan Kebon Jeruk, memang dulu di sana ada hamparan tanaman yang benar-benar jeruk buahnya. Para pendatang agaknya hanya kenal nama-nama itu sebagai kawasan gedongan. Lalu, benarkah yang namanya peradaban itu berarti membangun banyak gedung? Dalam Kronik Betawi, Ratih Kumala bercerita tentang perjalanan Betawi dan anak daerahnya menghadapi modernisasi ibukota tercinta ini. Ternyata, yang hilang tidak cuma tanamantanaman itu—yang menyisakan nama—tetapi sejarahnya pun juga ikut terkubur. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 4–5 Jl. Palmerah Barat 29–37 Jakarta10270 www.gramedia.com www.ratihkumala.com

FIKSI/NOVEL

Related Documents


More Documents from "Ric Lee"