Ku Bunuh Di Sini Ocred.pdf

  • Uploaded by: Aulia Nisa AGumbrie Noor
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ku Bunuh Di Sini Ocred.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 52,024
  • Pages: 265
Loading documents preview...
Kuhuviuh DI SINI

Undan(l-Undang R•publlk Indonesia Nomor 19 T ahu n 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta

Pasal 2: Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk 1. mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dliahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pldana

Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara ma­ sing-maslng paling slngkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sediklt Rpl.000.000,00(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak RpS.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangslapa dengan senga)a menylarkan, memamerkan, mengedarkan, atau men)ual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Kuburtuh DI SINI

Soe Tjen Marching

Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

KUBUNUH DI SINI OSoeTjen Marching KPG901130717 Cetakan Pertama, September 2013 Penyunting Ch ristina M. Udiani llustrasi Sampul dan Isl Aldy Akbar Tata Letak Aldy Akbar

MARCHING, Soe Tjen KUBUNUH DI SINI Jakarta; KPG (Kepustakaan PopulerGramedia),2013 xii + 250; 13,5 x 20 cm ISBN: 978-97C}-91-0622·3

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta. lsi di luar tanggung jawab percetakan.

Untuk Mama

Mungkin tulisan ini lahir dari dendam, pada makhluk yang telah menjajah tubuhku, yang telah menyiksa dan menyakiti bertahun-tahun lamanya.

Daftar Isi

Valentine's Day dan Kabar Kematian

ix

Tentang Kamu

1

Melacakmu

12

Memusnahkanmu

28

Diusir

49

London

95

Arwah

127

Pulang

142

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

161

Yang Tak Jadi

185

Operasi

207

Valentine's Day dan Kabar Kematian

London, 14 Febuari 201 1

Lampu jalan mulai dipadamkan tapi malam belum usai. Rasa sakit mengaburkan pandanganku. Ditambah dengan kabut, hampir semua tampak seperti bayang-bayangtanpa wujud pasti. Terkadang sosok-sosok itu melebur menjadi satu. Pesawatku mendarat di London pada hari Valentin, awal musim semi. Awai berita kematianku. Tak lama setelah mendarat, aku dijeblosi
sa­

kit karena kepedihan yang luar biasa. Angus menjelma dari

se­

orang suami menjadi induk yang merawat anak satu-satunya: aku. Yang sudah begitu lemah, yang sudah sukar berdiri ataupun bergerak, yang menjadi bayi lagi. Bayi raksasa yang cukup berat, dan selalu mengejang kesakitan. Bayi yang lebih menyusahkan. Hari itu, aku terbaring di Royal Marsden Hospital. rumah sakit khusus penderita kanker.

Inilah impianku waktu kecil yang sekarang menjadi nyata. Didorong ke mana-mana di tempat tidur beroda. Sayang, impian itu terlambat dikabulkan dan pada saat yang tak tepat sehingga aku tak lagi menikmati. Dari ruang periksa aku digiring di atastempat tidur menuju kamar opname. Lalu, tawaran menu makan malam:

pasta with

dlicken and sundried tomato, plus blackforest cake. Disusul menu kedua: pil berwarna-warni dengan bentuk beragam, yang aku tak tahu namanya tapi kutelan semua. Menu berikut: dua orang dokter muda, yang ramah. Dokter Zafir dan dokter Khan. Mungkin mereka dari Pakistan dan India. Banyak sekali dokter muda dari keluarga migran. Dokter Zafir, yang selalu tersenyum, menyodorkan menu penutup malam ini: kematian.

*

Berapa kali kamu harus bangkit dari kubur? Setelah mereka membasmimu dengan cara yang brutal? Kamu hidup lagi. Untuk yang keempat kali. Dan pada setiap kebangkitan, kekuatanmu bertambah. Setelah tiga kali bersembunyi dalam rongga leherku, sekarang kamu memu­ tuskan untuk berpindah. Usaha yang luar biasa, dan fatal bagiku. Mereka yang berdiri di sisi tempat tidur, yang bertugas membasmimu, kini menyerah. Tidak ada jalan lain untuk me­ musnahkanmu. Hidupku hanya bisa dipertahankan. Dengan segala cara yang paling agresif sekalipun, mereka akan memperlambat

penjarahanmu di dalam rongga-rongga tubuhku, dalam kerangka tulang belakang. Kemudian, kamu akan tetap menyebar, melahap sel-sel di seputar perut dan dadaku, sampai akhirnya merenggut semua sel itu sehingga kerja organ­ organku terhenti dan persediaan oksigen ke otak lenyap. Saat itulah, manusia dinyatakan mati. Apa yang dirasakan seseorang mendengar kabar kematiannya?

Antara

ketidakpercayaan,

penerimaan,

keterkejutan, dan kesedihan?

*

Sudah tiga tahun ini kamu membuatku menderita luar biasa, dengan nyeri di seputar punggung. Terutama bi/a cuaca dingin. Sudah tiga tahun ini juga kamu mengusik tidurku. Aku sering terbangun di tengah ma/am karena kesakitan. Kamu yang membangunkan aku, dengan menusuk pinggangku. Setiap kali aku ke dokter di London, mereka hanya biJang bahwa ini sakit punggung biasa dan menasihatiku untuk bere­ nang. Segampang itu! Dokter yang menanganiku waktu itu, dr Zafir, meminta semua hasil Joto tubuhku. Ada x-ray dan berlapis-lapis film dari MRI. MRI-Magnetic Resonance Imaging. Dengan kekuatan magnetnya, MRI bisa memfotokopi bagian dalam tubuh. Foto ini memberi hasiljauh lebih detail dan jelasdaripada foto x-ray atau CT-scan), dan satu-satunya a/at yang berhasil memberi informasi tentang kehadiranmu di dalam tubuhku selama ini.

I Tentang Kamu

Surabaya, Rabu, 9 Febuari 201 1

Tiga hari sebelumnya, di sebuah rumah sakit di Surabaya, dokter memampangkan film bitam di balik lampu neon. Fotoku. Dengan hamparan plastik seperti gelapnya latar pertunjukan wayang. Lalu sosok putih di tengah berupa sam­ bungan-sambungan. Tulang belakangku. Seperti kapal yang ber­ layar dalam kegelapan. Tapi di tengahnya ada lagi bayangan hitam: dua bola. Yang di sebelah kanan cukup besar dan yang di sebelah kiri kecil. Inilah penyebab kesakitan di pinggangku selama tiga tahun terakhir. Kesakitan yang menjadi semakin luar biasa dan membuat konsentrasiku amat terganggu satu tahun belakangan ini. Dua kali x-ray sebelumnya tidak menunjukkan apa-apa. Hanya dengan MRI tumor ini tampak. Ia begitu pintar bersembunyi! Sebelumnya kanker tiroid sudah sempat bersarang di ke­ rongkonganku hingga tiga kali. Sekarang, ada lagi benjolan yang muncul di dalam tubuhku.

KvbVlluh Pl SINI

Dokter mengusulkan penambahan kontras. Artinya: cairan tambahan akan disuntikkan ke dalam tubuhku supaya foto lebih jelas. Arti lain: penambahan duit sebesar Rp1 juta. Di negeri ini semua harus dengan duit. Orang sakit yang tidak berduit dijamin cepat koit! Begitulah negara yang katanya beradab yang menjunjung agama dan moralitas. Tubuhku dibaringkan lagi di tempat tidur yang keras dan sempit. Seorang lelaki yang cukup lembut menyuntikkan cairan agen kontras di lengan. Waktu masuk, cairan itu seakan berbicara: "Hargaku satu juta!" Orang yang sakit seringkali kembali menjadi anak kecil. Begitu tak berdaya. Begitu penuh kebimbangan dan ketidak­ tahuan. Mereka bergantung pada alat-alat yang akan mene­ ropong tubuhnya. Seperti aku. Yang menyerahkan diri kepada alat-alat itu, kepada diagnosa mereka yang dianggap ahli. Kubiarkan diriku ditelan oleh tabung raksasa yang berisik. Yang dengan bermacam magnetnya memberi informasi tentang apa yang ada di dalam badanku. Karena aku, sang pemilik tubuh ini, tidak tahu. Karena sang tuan rumah, telah begitu asing dengan rumahnya sendiri. Karena ada maling yang masuk. Penyelinap yang tak dikehendaki. Setelah selesai, aku menuju ke ruang dokter lagi. "Penye­ linap" di tubuhku harus dienyahkan. Dengan harga tinggi. "Berapa kira-kira biayayang dibutuhkan untuk ini? Apakah bisa mencapai

100 juta?"

Dokter itu mengangguk: "Mungkin. Bisa lebih, tergantung kamar yang dipilih, dokter bedah, dan lama rawat jalan." Masalahnya, aku sering tidak percaya dengan sistem kese­ hatan di Indonesia. Dokter yang melakukan kesalahan seringkali

2

Tentang Kamu

lolos. Oulu, aku pernah hampir mati hanya karena operasi gigi bungsu. Gusiku sudah dibelah dengan pisau. Lampu tiba-tiba padam ketika aku tengah dioperasi dan mesin dieselnya rusak. Darahku sudah berceceran ke mana-mana. Dokter kebi­ ngungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selain me­ nyuntikkan anti nyeri tambahan. Aku sudah lemasmelihat cairan merah terus menetes dari mulutku. U ntungnya sekitar 15 menit kemudian listrik menyala. Masih banyak kisah seram dari operasi di sini akibat fasilitasataupun tenaga yang kacau. Teman baikku juga bercerita tentang ibunya yang dioperasi di Jakarta. Kebetulan bapaknya

juga dokter, jadi diperbolehkan melihat proses operasi itu dari awal sampai akhir. lnilah yang disaksikan sang bapak: ketika istrinya sudah dibelah dan para dokter sedang sibuk mengaduk-aduk bagian dalam perutnya, sang istri mulai bergerak-gerak. Dia bangun di tengah-tengah operasi karena obat biusnya tidak cukup! Sang suami langsung memberitahu dokter, dan dokter anestesi menyuntikkan obat bi us istrinya supaya tidur kembali. Sayangnya, kalau yang pertama kekurangan obat bius, yang kedua kali kelebihan. Sang istri tidur terus sesudah operasi selesai. Setelah dua minggu, dia bangun dengan menderita ber­ bagai gangguan ingatan dan kelumpuhan kaki. Untung saja mereka mampu mengirim sang ibu untuk perawatan khusus di Singapura.

*

3

Kvburiuh DI SINI

Malamnya, aku berkonsultasi dengan dokter Hermanto Swatan yang merawatku dari awal Januari. Yang selalu simpatik dan mau mendengar pasiennya. Bagiku, ia adalah dokter yang sangat langka. Dia menganggap pasien seperti teman, dan ketika kami berbincang, ia memanggil dirinya dengan sebutan "aku". Ia melihat foto MRI yang kubawa. "Kalau dilihat dari ben­ tuknya, mungkin ini hanya tumor. Karena bulat, seperti bola pingpong, jadi biasanya tidak ganas. Kalau kanker, bentuknya

lebih tidak teratur. Jari-jarinya banyak, mirip kepiting. Makin tidak teratur, makin ganas biasanya. Masalahnya, karena kamu sudah pernah terkena kanker sebelumnya, bisajadi diagnosanya lain. Juga, ada beberapa bayangan di tulang ini . . . yang aku tidak tahu apa. Ini mencurigakan." Kentara sekali dia cukup khawatir.

I nilah dokter yang amat bersimpati pada pasiennya, dan yang membuat pasien lebih nyaman berbicara. Dokter yang mengerti tentang kemanusiaan. Malam itu diatidak memperbolehkan aku membayar. Aku N

belum menyembuhkan kamu. Ditinggal saja," katanya. Aku jadi ingat cerita pamanku yang diduga akan mening­ gal. Detak jantungnya sempat hilang. Dia d imasukkan ke ruang ICU

bersama dengan manusia-manusia yang hampir mendekati

ajal juga. Ketika hampir sadar pamanku mendengar suara­ ,

suara d i sekitarnya dengan cukup jelas. Salah satu suara yang didengar: #ltu pasien di sana tuh, kalau jarinya bisa gerak sudah mukjizat. Dah, habiskan saja duitnya sampai dia mati." Setelah pamanku sadar, dia mencari tahu siapa yang mengucapkan kata­ kata demikian. Ternyata profesor di rumah sakit itu! Tentu tidak semua dokter bisa disamakan. Masih ada dokter-dokter yang idealis di negeri ini. Tapi temanku sempat

4

Tentang Kamu

bercerita tentang banyaknya dokter yang memperlakukan pa­ sien sebagai sumber uang. Tanpa mau tahu apakah obat yang diberikan akan berdampak pada jangka panjang, atau apakah si pasien sudah benar-benar sembuh. Yang brengsek begin i tidak saja ditemukan di Indonesia. Di lnggris dan Australia pun ada. Dan kalau mau tahu brengseknya bagaimana, lanjutkan saja membaca tulisan ini. Kamis, 1 O Febuari 201 1

Aku mengabarkan ke beberapa teman tentang kondisiku. Terutama mereka yang terlibat di lembaga Bhinneka. Aku tahu apa risikonya bila benjolan ini kanker: sebentar lagi tubuhku akan makin lemah. Sebentar lagi rambutku akan rontok. Sebentar lagi apa saja yang mampir ke perutku akan segeratermuntahkan dengan bau basi memualkan. Sebentar lagi aku akan begitu tergantung pada orang-orang di sekitarku, untuk makan, untuk berdiri, untuk buang air, bahkan untuk bergerak. Sampai akhirnya aku dinyatakan sebagai mayat. Tapi, lembaga Bhinneka yang baru kurintis dengan bebe­ rapa ternan, kalau bisa jangan jadi mayat j uga bersamaku. Jumat, 1 1 Febuari 2011

Teman-teman darilembaga Bhinnekaberkumpul. Kathleen Azali, Phebe Anggreani, Dian Puspita Sari. Kami membagi tugas.

Lembaga yang baru saja lahir harus kutinggalkan. Mungkin, ini adalah terakhir kita bertemu. Tentu saja mereka cukup ke­ bingungan, apalagi Kathleen dan Phebe sudah

cukup sibuk

dengan pekerjaan masing-masing. Pertemuan terakhir membuat rasa sayangku bertambah

5

KvbtMuh DI SINI

kepada orang-orang di sekitarku. Aku tidak ingin menyusahkan mereka. Aku ingin mereka tidak panik melihat keadaanku. Aku tidak ingin membuat mereka terbeban. Sabtu, 1 2 Febuari 201 1

Aku bersiap. Bagaimanapun, keadaanku ini sudah mem­ untuk dilayani. Mama harus memasukkan beberapa baj u dan makanan buat orang lain susah. Kata 'bersiap' berarti bersiap

kesukaanku ke dalam koper. Mamaku, yang sudah sejak semula begitu khawatir, sekarang harus membiarkan aku terbang sendiri karena tidak mungkin mendapat visa secepat kilat ke I nggris. Manusia-manusia dari negara yang dicurigai amat dipersulit masuk ke Britania. Beberapa teman SMA-ku datang malam itu. Dengan membawa oleh-oleh. Mereka, yang begitu disibukkan oleh pekerjaan, yangjarang sekali bertemu denganku karena kegiatan kami yang berbeda, masih saja menyempatkan waktu. Minggu, 13 Febuari 2011

Tahukah kamu, kenapa malam ini tak berbintang? Bukan karena bintang merasakan sakitku, tapi karenaaku terusmenutup mata dan tidak bisa lagi mendongak ke atas karena kepedihan. Hari sudah gelap ketika aku memasuki pesawat, dengan kursi roda. Seorang pramugari membantuku untuk pindah ke tempat duduk. Selama di perjalanan, beberapa pramugari bergantian menolongku bangun untuk pergi ketoilet. Kesakitan yang luar biasa membuat aku sukar berdiri. Karena

itu aku harus memanggil pramugara atau pramugari

di pesawat ini. l n i pertama kalinya aku naik Business Class.

6

Tentang Kamu

Kakakku, Ice Martha, yang melihat keadaanku cukup parah

mendesakku untuk membatalkan tiket ekonomi dan membelikan tiket bisnis. Mama dan kakakku bersama-sama mengumpulkan uang untuk mendapat tiket ini. Dari Surabaya menuju London. Hanya menentengtaskecil dengan 3 pasang baju, 2 bungkus bumbu pecel, dan kue-kue kesukaanku. Tanpa bagasi. Sendiri.

*

Baru pertama kali ini aku naik Business Class. Sambil berkeringat dingin, karena kesakitan. Dari Surabaya pesawat transit di Kuala Lumpur. Di lobi tempat tunggu sudah tersedia

buah-buahan dan kue-kue yang cantik. Tapi aku terlalu capek untuk mengambil makanan yang kelihatan merangsang itu. Business Class memang menyediakan fasilitas yang jauh lebih mewah daripada kelasekonomi. Bangkunya lebih luasdan nyaman, juga makanannya jauh lebih nikmat. Kalau di kelas

ekonomi, dagingnya tidak kelihatan, sayurnya juga agak layu dan kehilangan warna. Dengan kata lain, antara ayam, ikan, nasi, pasta, dan bayam seringkali tidak banyak bedanya. Dan semua itu disajikan dengan sendok, garpu, dan pisau plastik yang lebih gampang dipotong daripada buah melon. Kalau

kamu ceroboh, ujung garpu dan sendok itu bisa putus saat kamu makan dan tercampur dengan hidangan yang disajikan. Jadilah nanti menunya "Nasi goreng campur plastik" atau "Pasta dengan garpu" atau "Potongan ujung pisau ala pesawat". D i BusinessClassmakanan disajikan dengan piring betulan (dari gelas) dan sendok garpu dari stainless steel. Semuanya

7

KvbtMuh DI SINI

mengkilat. Dijamin tidak akan ada makanan rasa plastik. Tapi aku masih menderita. Yang membuatku menderita bukanlah kesakitan di pinggang. Tapi karena sekarang semua fasilitas itu berlalu lalang di depanku, dan aku tidak bisa menikmatinya. Aku hanya bisa memandang sate ayam dengan bumbu kacang yang kental, es krim dengan beberapa rasa dan serpihan ooklat serta kacang di atasnya, yang pasti sangat sedap bila aku sehat dan bisa makan banyak. Dalam kondisi ini, nafsu makanku seakan terpecah. Mataku tetap lapar dan ingin menelan semua yang berlalu lalang. Tapi perutku tidak akan mengizinkan. Bila aku makan agak banyak, otot-otot di sekitar perutku akan memberontak. Padahal, aku sebenarnya suka sekali makan dan salah satu kebahagiaan hidup kutemukan dalam makanan. Akujadi persisseperti anjingyangdipameri dagingdan tu­ lang berbau merangsang. Tapi kalau berani mencaplok, aku akan digebuk tanpa ampun. Beginilah nasibku di Business Class! Aku hanya bisa memandang beberapa udang raksasa menjengking di atas nasi. Sebenarnya kasihanjuga udang ini! Kematiannya telah

sia-sia. Bahkan sekarang pun aku tidak menjamah bangkainya. Salah satu penyebab penderitaan yang luar biasa ini, yang tidak terdeteksi dini, adalah kecerobohan beberapa dokterku di London. Kecerobohan Dokter di London Sudah tiga kali kamu menyelinap dan tumbuh di dalam tubuhku. Tahun 2005

2002, 2003

(di Melbourne-Australia), dan

(di London). Semua dibabat habis dengan pisau bedah.

Namun, sejak awal tahun 2008, aku mulai mengeluhkan sakit 8

Tentang Kamu

punggung. Mengapa para dokter ini tidak menanggapi dengan serius dan tiba-tiba datang dengan kabar kematian? Jawaban yang disediakan para dokter itu adalah statistik. Kemungkinan kanker tiroidku menyebar ke tempat lain kecil sekali. Karena itu, mereka tidak curiga sebelumnya.

Mengapa semua tes darah selama ini yang harus kujalani 6 bulan sekali tidak menunjukkan adanya kanker? Tes itu hanya untuk mengecek kanker tiroid, kata dokter Zafir. Bukan kanker yang lain. Dan kalau sudah menyebar ke

tempat lain, kanker tiroid sudah berubah karakter menjadi jauh lebih ganas. Benar-benar jawaban yang membingungkan. Aku dan Angus masih tidak puas dengan semua keterangan mereka.

*

Kanker.

Sebelum nama ini ada, banyak orang binasa oleh makhluk yang tumbuh di dalam tubuh mereka; diri sendiri yang tiba-tiba makin membesar dan menjadi asing. Bahkan ribuan tahun yang lalu sudah ada tanda-tanda bahwa manusia terserang kanker. Penggal ian mumi di Mesir menunjukkan beberapamayat dengan benjolan dalam tubuh mereka. Seorang perempuan Mesir dari masa 400 Sebelum Masehi terserang kanker perut-salah satu mumi tertua yang diidentifikasi dengan penyakit ini.

Namun, apa pun yang belum diberi nama seolah belum benar-benar ada. Mungkin saat itu orang menghubungkan kanker dengan hal-hal yang lain: sihir, tenung, laknat iblis. hukuman Tuhan. Berapa banyak lelaki yang tiba-tiba "hamil", kesakitan,

9

KvbU11uh DI SINI

lalu mati? Juga manusia yang leher, kepala, atau bagian-bagian tubuh lainnya semakin membengkak, seolah ada makhluk lain yang hidup di dalamnya dan yang membunuh mereka dengan kesakitan yang luar biasa? Barulah pada 400 SMasehi, di masa H ippocrates. nama "karkinos· yang berarti kepiting dalam bahasa Yunani, muncul dalam dunia kedokteran. Karkinos-Cancer- Kanker.

Hippocrates sempat mencetuskan bahwa penyakit ini sebaiknya tak diusik. Begitu menakutkannya ia sehingga tak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain menghormatinya. Seperti prajurit yang telah kalah perang, manusia dengan kanker tak punya pilihan, selain tunduk pada kemauan "musuhnya". Lima abad kemudian, Galen mengulang perkataan Hippo­ crates. Mereka yang melakukan operasi pada kanker hanya akan mempercepat kematian pasien. Galen melihat cairan hitam yang menjelajah ke mana-mana meracuni organ-organ tubuh pa­ siennya setelah gumpalan kanker diangkat, seolah ada nyawa tersembunyi pada makhluk ini. Kanker begitu mencekam. Bah­

kan hingga sekarang masih saja beberapa dokter menyatakan, bi la juru bedah tidak mampu mengenyahkan akar-akar kanker dengan saksama, operasi hanya akan merangsang keganasan gurita ini. Beberapa abad kemudian ditemukan pengobatan lain yang lebih agresif dan lebih mengerikan: nuklir! Nuklir yang telah menghancurkan H iroshima dan Nagasaki. Dan radiasinya masih berdampak bertahun-tahun setelahnya. Penderita leukimia dan kanker yang ganas merajalela di daerah itu. Bahan nuklir ini menjadi terapi bagi penderita kanker dan berganti nama: kemoterapi dan radioterapi. Segala racun berpotensi menjadi obat. Semua obat juga 10

Tentang Kamu

berpotensi menjadi racun. Dengan ganasnya, bahan nuklir ini akan menghancurkan kemampuan sel-sel kanker bereproduksi. Bersamaan dengan itu, sel-sel lain dalam tubuh manusia juga rusak. Sel-sel yang rusak ini diharapkan bisa pulih. Tapi dengan penghancuran yang agresif, seringkali sel-sel tidak akan pulih seperti semula, dan bahkan menimbulkan kanker yang baru setelahnya. Sebuah l ingkaran setan. Meski demikian, penyerangan agresif ini pun tidak mampu mengalahkan keahlianmu yang lain: metastasis atau metastatis. *

Metastatis. Keahlianmu untuk bangkit kembali di tempat lain seperti drakula yang berlipat-lipat kekuatannya. Dan kamu bisa menyamar dengan cerdiknya sehingga tidak lagi dikenali oleh mereka yang mencarimu, yang melacakmu. Di luar sana ada bom nuklir, peperangan kimia, dengan bahan-bahan yang mengerikan reaksinya. Di dalam tubuhku, terjadi peperangan yang tidak kalah dahsyatnya. Berbagai sayatan operasi, radioterapi, kemoterapi sering­ kali tidak akan mampu memberantasmu bi/a kamu telah m� nyelusup melalui pembu/uh darah, menye/am di dalam cairan merah itu, berke/ana jauh dari tempat asalmu bersarang, hingga mencapai tujuan yang kaucari: tu/ang, liver, paru­ paru. Organ-organ kegemaranmu untuk membangun istana baru sete/ah yang terdahu/u rebah. Meta-statis. Meta: melawan. Statis: diam. Kemampuanmu untuk tak tinggal diam. Sebuah keteguhan yang /uar biasa!

11

II Melacakmu

Melbourne-Australia, Juni 2002 Kanker.

Kata itu seperti lonceng kematian. Sebuah telepon dari

Singapura. Kakakk uyang tinggal di sana terkena kanker. Dengan anak satu-satunyayang masih sangat belia, dia harusmenghadapi penyakit ini. Aku yang sedang menyelesaikan disertasiku hanya bisa meratapi nasibnya. Tapi aku tidak bisa terlalu lama meratap. I a memintaku untuk bersiaga. Kanker ini kemungkinan menurun.

Begini/ah kamu hidup dalam tubuh makhluk lain, tanpa permisi, tanpa peringatan. Aku tidak pernah mengundangmu, baik langsung ataupun tidak /angsung (rasanya, bagaimana mengundang kanker secara langsung be/um ada, karena masih be/um ditemukan komunikasi yang sesuai antara benjolan ini dan manusia). Tapi aku jarang menyantap daging, tidak minum alkohol, dan tidak pernah merokok. Memang, sakit bisa datang tanpa sebab, tapi biasanya adalah akibat tidak menjaga kesehatan. Aku bahkan sempat

Melacakmu

merasa heran melihat orang yang sakit-sakitan dan mengeluh karena sakitnya tapi tetap melanjutkan gaya hidup yang tidak sehat dan tertatih-tatih mempertahankan hidupnya. Setelah telepon kakakku itu aku yakin kamu be/um me­ nyerangku. Paling tidak, kamu tidak akan datang pada usiaku yang baru tiga puluh satu! Dokter umumku, dr Patricia Robins, berkatabahwahasil scandan periksadarahkutidakmenunjukkan apa-apa. Tapi dia menyarankan aku untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis, dokter Rogers, untuk memastikan. D i tempat praktiknya, dr Rogers memasukkan teropong panjang dan kecil dari hidungku, yang kemudian menembus kerongkongan dan mulutku. Tubuh adalah pipa bolong-apa saja dapat masuk dan keluar lagi tanpa permisi, seperti teropong yang berbentuk cacing raksasa. I a memberi informasi tidak ada sesuatu yang seram di dalamnya. Aku sungguh tidak tahu bagaimana caramu bersembunyi sehingga berbagai tes itu tidak dapat menemukanmu. Bahkan dr Rogers cukup yakin bahwa aku tidak menderita kanker saat itu. Tapi ia tetap mengirimku untuk biopsi karena benjolan di leher yang cukup besar. "Saya kira ini bukan kanker, tapi biopsi akan memastikan." Dua hari kemudian aku menelepon si dokter, menanyakan hasil biopsi. "l ya, kamu kena kanker," katanya enteng, mirip orang membaca ramalan cuaca, atau seperti memberi pernya­ taan: "Iya, kamu kena flu" atau "Iya, kamu kena sariawan."

Tentunya kankerku ini masih sangat dini karena belum terdeteksi berbagai alat. Aku sendiri tidak merasa ada tanda­ tanda sama sekali. Kamu mungkin seperti bayi yang baru /ahir. Be/um sempat dewasa, be/um sempat menstruasi apalagi hami/

13

KvbU11uh DI SINI

di luar nikah. Tapi, ternyata, kamu telah berada di dalamku bertahun-tahun lamanya, beranak pinak dalam kelenjar tiroidku. Kurang ajar sekali! Padahal aku sendiri baru saja kawin dan be/um sempat berkembang biak.

*

Memberitahu mamaku bukan hal yang mudah. Dua orang anaknya, yang tinggal bermil-mil jauhnya darinya, terkena kanker pada waktu yang hampir bersamaan. Padahal tak lama sebelumnya ia kehilangan suami akibat kanker. Bagaimana pera­ saan seorang ibu menerima hal itu? Dan bagaimana perasaan Angus? Angus sering melihat foto-foto perkawinan kami dan berkata: "Kamu sudah kena kan­

ker saat itu dan kita tidak tahu." Aku selalu berpikir, orang sakit kebanyakan karena pola hidup mereka. Karenanya

seringkali aku berkomentar mencari

penyebab sakit tersebut. Kanker paru-paru karena kebiasaan

merokok, kanker usus karena kebiasaan makan daging merah, dan ada banyak lagi kesalahan orang sakit. Sekarang, aku sendiri yang tertimpa, walaupun aku yakin sudah menjalankan pola hidup yang cukup sehat. Hal ini mem­ buatku lebih bersimpati kepada mereka yang sakit daripada menyalahkan. Melbourne Surat itu baru sampai di tanganku ketika hari telah gelap. Dari Monash U niversity, di Melbourne-Australia. Mengabarkan

14

Melacakmu

bahwa aku mendapat beasiswa di sana. Kalau bukan karena beasiswa, mungkin

aku

tidak akan

pernah mendarat ke kota ini, pada awal 1998. Beberapa teman sekolahku di Indonesia yang mendengar bahwa aku akan menggarap PhD sempat terkejut. Aku bukanlah murid yang baik, terutama waktu SMA. D i SMA St Louis Surabaya, aku sempat meraih ranking 3 dari belakang, dan juga terkenal suka kabur dari sekolah, tukang contek, dan berbagai gelar lain yangtidak terlalu sedap didengar. Gelar-gelar ini terkadang kuterima dengan senang hati (paling tidak, sekarang), karena memang kenyataannya aku tidak suka pelajaran di SMA. Apalagi beberapa gurunya hobi memberi les kepada murid-murid yang kaya. Lalu, nilai para murid yang les ini bak sulapan. Betapa pun tumpulnya otak mereka, tiba-tiba mereka menjadi murid yang tinggi ni lainya. Sedangkan aku lebih suka tetap menjadi murid tolol daripada buang banyak duit. Sebenarnya ada alasan lain: aku terlalu pelit! Aku tidak rela menyetor uang sebanyak itu hanya demi mendapat rapor bagus. Aku yang sebelumnya terbiasa menjadi murid cukup cerdas dan mempunyai nilai cukup tinggi tiba-tiba harus puas dengan nilai yang begitu kacau. Tapi, kalau aku hanya menjadi murid baik-baik saja di sekolah seperti itu, manusia macam apa aku? Manusia penjilat yang tidak ada bedanya dengan mereka yang bersedia mengandalkan duit orangtua demi meraih nilai tinggi? Tidak semua kenangan di SMA itu pahit. Di SMA itu, aku bertemu beberapa teman yang luar biasa setia dan sayang kepadaku hingga kini: Anne Lense, Fonny Listianto, dan Leny.

15

KvbtMUI, DI SINI

*

Dari semua gelar miring yang kudapat dari beberapa orang ketika aku remaja, hanya satu yang paling tidak kusukai sampai sekarang: perempuan kok gitu! Ejekan ini berlanjut. Bahkan ada yang sempat berkata bahwa perempuan seperti diriku ini tidak akan laku. Gelar yang hanya karena aku perempuan, yang membuatku paling sakit hati. Terkadang, manusia merasa lebih lega, lebih baik, dan lebih bahagia bila mereka dapat menyudutkan yang lain. Perempuan memang bisa menjadi mangsa yang empuk. Karena keharusan untuk menjadi feminin atau paling tidak lebih sopan, lembut, dan rapi daripada lelaki. Aku sama sekali bukan makhluk yang rapi. Lemari buku dan bajuku harus dibuka dengan hati-hati. Kalau tidak, isinya bisa tumpah. Begitu juga barang-barang di kamarku, semua ter­ cecer di mana-mana. Namun justru segala pengalaman buruk di sana yang membuatku berbeda. Justru segala ejekan yang sempat dilon­ tarkan segelintir teman membuatku mencari. Kegelisahan dan kesakitan terkadang membuat manusia berpikir di luar kotak. Kalau di saat remaja aku nyaman dengan sekelilingku, kalau saat itu aku diterima sebagai murid yang baik, mungkin aku tidak akan mencari jauh. Anjing yang puas dengan kandangnya tidak akan memperjuangkan kebebasan! Mungkin aku akan puasdengan diriku, mungkin aku hanya akan menjadi seperti yang lain. Menikah, punya anak. Dan tidak lagi membaca lebih banyak. Dan mungkin, aku tidak akan bertemu dengan penulisyang

16

Melacakmu

suaranya masih menghantuiku hingga kini. Yang kedahsyatan kata-katanya begitu luar biasa. Yang masih sering kuhadirkan sebelum tidurku: Virginia Woolf! Dan mungkin, bila bukan karena semua kesukaran yang kualami ketika aku SMA, aku tidak akan melanjutkan studiku di bidang sosial. Karena sewaktu SMA


yang kupikirkan

adalah bagaimana masuk ke jurusan teknik, jurusan eksakta. Yang dianggap lebih "wah" daripada jurusan sosial. Bila bukan karena semua itu, aku tidak akan pernah menekuni buku-buku yang membuatku lebih mengenal diriku sendiri. Buku-buku yang kemudian juga mengubahku. Yang kemudian menggiringku untuk mendalaminya. Dan bila bukan karena semua itu, aku tidak akan melanjutkan studiku sejauh ini, dan tidak akan pernah bertemu Angus yang saat itu juga sedang menyelesaikan PhD-nya. Studi tingkat doktoral memang bisa menjadi biro jodoh yang baik. Para calon doktor ini dikumpulkan di ruang yang penuh dengan kantor-kantor para mahasiswa ini, dengan berbagai hormon dan libido masing-masing yang tentu saja salingmencari. Parajombloyangmasuk kesini akan lulusdengan menggondol PhD sekaligus pacar, bahkan suami atau istri. Begitu juga kami. Sebulan setelah mendapat gelar PhD, Angus mendapat istri. Aku kebalikannya, dapat suami dulu baru gelar PhD menyusul (karena memang Angus memulai disertasinya lebih awal daripada aku).

*

"Kakek nenekku rasis!" kata Angus. Salah satu perkenalan

17

KvbtMuh Pl SINI

dengan anggota keluarga Angusyang cukup mendebarkan adal ah dengan mereka berdua. Dari generasi itu, menurut Angus, banyak sekali orang Australia yang anti-Asia. Dia sendiri tidak tahu apa reaksi kakek neneknya bila bertemu denganku, tapi ia memintaku untuk "bersiaga·. Aku berangkat ke rumah mereka seolah akan menghadapi lawan. Terkadang hidup adalah medan perang. Mobil kami berhenti di depan rumah tua yang dipenuhi bunga mawar. Yang rumputnya begitu rapi membatasi jalan setapak. Angus mengetuk pintu. Dan inilah "musuh" yang kuhadapi. Seorang lelaki kurus dan tua, sedikit terseok ketika membuka pintu kayu yang berat. Diamempersilakan kami masuk kerumah yanglipatan gordennya begitu rapi. Di pojok berdiri mebel berukir dengan gelas-gelas kristal, seperti pengawal yang berdiri sebagai pajangan. Kami menuju ke satu ruang yang benderang, karena pintu kacanya berlimpah meneruskan sinar matahari. D i pojok, sosok putih lainnya duduk di kursi roda menyapa dengan suara serak. Sudah hampir 10 tahun dia tak lagi bisa berjalan dan sang suami yang juga sudah renta harus menolongnya ke mana pun ia pergi. John, yang dipanggil "grandpa" oleh Angus, sebenarnya bukan kakek kandungnya sendiri. Kakek kandung Angus meninggaljauh sebelum Anguslahir. Padasaat papaAngusmasih bayi. Dalam kecelakaan pesawat. Ia adalah ko-pilot perang dunia 11.

Nenek Angus, Haley, menjadi janda pada usia 21 tahun. Dua puluh tahun kemudian, H aley berlibur ke l nggris.

D i sana i a bertemu John yang kebetulan berasal dari Australia juga. John, yang satu tahun lebih muda dan masih perjaka. Tapi,

18

Melacakmu

siapa yang hendak meributkan keperjakaan atau keperawanan seseorang ketika menikah?

H anya orang yang kurang kerjaan saja

yang akan memusingkan hal tersebut, atau mereka yang banyak pekerjaan tapi masih ingin tambahan pekerjaan yang tak perlu. Kedua pasangan ini tidak memusingkannya sama sekali. menikah secara damai pada

Mereka

14 November 1969 dengan diterangi

ratusan nyala lilin, karena saat upacara diselenggarakan listrik mati. Berpuluh tahun kemudian mereka berdua menjelma sepasang

makhluk

putih-sebuah

kedamaian

tersendiri.

Seolah mereka sudah melepas berbagai riuhnya warna, seolah spektrum-spektrum itu tidak lagi diperlukan untuk membuat hal hal yang berbeda. Keseharian yang begitu sederhana juga. -

Mereka tidak lagi bekerja atau memburu karir seperti kami. Atau membingungkan apa yang harus dilakukan untuk mengisi kehidupan yang serasa masih panjang. Dalam usia ini, mereka tahu, kehidupan akan segera usai. Hal inilah yang membuat ketuaan menjadi kesederhanaan yang luar biasa. Tak lama setelah duduk, semua tidak sesederhana yang

kukira. Kedua makhluk putih ini mengeluhkan menyusutnya persediaan air di Australia. Karena kekeringan yang luar biasa, turunlah peraturan yang sangat ketat terhadap penggunaan air. Mencuci mobil tidak diperbolehkan dengan selang, hanya dengan ciduk air saja. Menyiram bunga hanya diperbolehkan pada jam saja.

6-8 pagi dan 20.00-22.00, dan hanya dua hari sekali

Shower untuk mandi diperkecil arus airnya supaya tidak

ada air yang terbuang. Rumput tidak boleh disiram sama sekali. Akibatnya rumput mereka yang diatur begitu rapi itu tidak lagi hijau tapi kecoklatan.

19

KvbVlluh Pl SINI

"Kalau air terus berkurang,

akan jadi apa negara ini? Jum­

l ah migran juga bertambah banyak. Harusnya migran dibatasi! Negara ini tidak bisa didominasi oleh orang asing!" Mereka melanjutkan keluhan tentang para migran di Australia, tanpa merasa bahwa sebenarnya aku akan menjadi salah satu dari m� reka: migran.Tapi, siapa yang bukan migran sebenarnya di dunia ini? Siapa yang bukan pendatang? Aku mulai merasa tak nyaman. H anya dengan biskuit dari lemari mereka, pembicaraan beralih. Ditambah dengan ayam panggang buatan John. Dengan tangan yanggemetar, disusunnya daging beserta kentangdan sayur di ataspiring berukir, lalu disa­ jikannya untukku. "Kapan-kapan kamu datang lagi ya dan makan siang di sini lagi," kata mereka. Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya aku berhadapan dengan manusia yang bisa dianggap rasis namun yang begitu memperhatikan dan menyayangiku. Tanpa ada kekhawatiran untuk berbagi denganku. Ketakutan mereka akan migran mungkin mirip kengerian akan bayangan alien yang siap menyerbu Bumi, dalam film Independence Day. Seperti inilah virus ketakutan menyebar: buku-buku, acara televisi, dan berita koran pada generasi mereka pen uh dengan gambaran mengenai ancaman penduduk Asia yang berbondongkebenuaini. Seperti hamayangmenyerang. Mungkin benak mereka-mereka. Ketidaktahuan yang memupuk kecurigaan. ltulah orang Asia yang mereka ketahui. itulah yang ada di

Dari dongeng dan khayalan. Ketakutan dengan kadar yang tinggi tanpa disertai kekri­ tisan dapat menjadi propaganda politik yang efisien dan murah.

20

Melacakmu

Ketakutan inilah yang seringkali dipelihara oleh penguasa untuk dijadikan kenikmatan bersama. Sebagai pemicu adrenalin, ia dinikmati bersama-sama. Disantap dalam gosip: li hatlah mereka, yang tidak serupa, yang mencurigakan, yang dapat membahayakan, yang bisa dituding atas semua kesialan yang menimpa kita, yang sepatutnya dihukum. Dengan kambing hitam ini, pemerintah akan lepas dari segala kecerobohan dan kesalahan yang diperbuat, bahkan mereka bisa muncul sebagai penyelamat. Bukankah ini yangterjadi dalam Orde Baru? Dengan keta­ kutan masyarakat akan komunis. Ketakutan yang membabi buta dan mematikan rasa ingin tahu. Akibatnya, rakyat seringkali tidak mengerti apa arti komunis itu, tapi serta merta mengkerut dan menghujat tanpa tahu yang sebenarnya dihujat. Ketakutan yang serupajuga sempat melanda masyarakat Amerika terhadap Rusia, sehingga sebagian besar dari mereka begitu mendukung keputusan pemerintahnya menghabiskan dana selangit untuk membangun persenjataan nuklir. Sebuah pemborosan yang begitu sia-sia. Tanpa sadar, masyarakat telah menjadi kaki ta­ ngan penguasa. Sekarang, akulah bagian dari ancaman yang telah disebut sepasang makhluk putih ini. Tapi mereka menerimaku dengan sepenuh hati. Dengan kasih sayang yang luar biasa. Begitu juga ketika kami mengabarkan rencana pernikahan kami. *

Angus dan aku menikah pada 13 April 2002, dengan pesta kecil di kebun belakang rumah orangtua Angus.

21

KvbU11uh DI SINI

Kisah

perni kahan kami tidak diawali dengan Angus yang

meminangku, beserta cincin yang telah dicarinya berhari-hari atau berminggu-minggu. Aku memang hobi menempel per­ hiasan di pohon Natal, tapi tidak di tubuhku sendiri. Jadi, aku jarang menghias diriku dengan kalung, cincin, mak�up, pita, lilin, atau boneka Santa.

Karena itu, ketika

aku muncul di

tengah pesta beberapa tamu berkomentar: "Hanya begini, Soe Tjen?". Dikiranya aku akan ganti baju lagi, bukan kawin dengan memakai baj u yang lebih mi rip daster, dan tanpa mak�up. Dan tidak ada cerita lamar-lamaran sebelum ini. Kami

duduk sambil merundingkan apa gunanya menikah. Ternyata, pada zaman ini, yang penuh dengan birokrasi, menikah adalah keharusan bagi orang seperti kami. Kami berasal dari negara

yang berbeda dan berkebangsaan berbeda. Bila kami tidak menikah, aku khususnya, akan kesulitan hidup bersama Angus karena satu hal: pasporku masih berstempel Indonesia! Surat pernikahan menjadi keharusan. Surat ini menjadi tiket buatku untuk bisa tinggal di negara tempat Angus tinggal.

*

Setelah menikah, apa yang biasanya dilakukan oleh pengantin baru? Bulan madu? Kami bulan madu hanya sehari­

di rumah saja. Besoknya, aku harus kembali mengerjakan diser­ tasiku dan Angus ribut mencari pekerjaan. Dengan gelar PhD dalam bidang sastra Jerman, jangan dikira Angus bisa mencari pekerjaan dengan mudah. Lowongan untuk posisi akademissangat sukar didapat. Pekerjaan yang lebih mudah adalah pegawai di kantor-kantor perusahaan swasta.

22

Melacakmu

Tapi, bila melamar ke kantor-kantor seperti ini, bergelar PhD ternyata hampir sama dengan kudisan atau korengan. H arus disembunyikan! Bagi kebanyakan kepala perusahaan, mereka yang bergelar PhD berpotensi menjadi pekerja yang terlalu cerdasdan penuntut: mereka biasanya berpikir mandiri dan kri­ tis, tidak mudah disetir dan minta gaji tinggi. Tidak sedikit teman kami harus menanggalkan gelar PhD mereka dari CV demi mendapat pekerjaan di kantor umum. Beberapalagi melamar menjadi guru SM P atau SMA, bahkan guru SD. Untuk menjadi guru, gelar PhD tidak perlu disembunyikan. PhD tidak lagi seperti kudis di kalangan guru, tapi lebih mi rip piano kuno yang rusak. Dengan kata lain, terlihat indah tapi tidak ada gunanya! Dengan gelar PhD atau tidak, untuk menjadi guru, siapa pun harus mendapat ijazah mengajar. Berarti mereka harus kuliah lagi selama 1,Stahun di bawah para dosen yang seringkali memperlakukan

doktor-doktor ini seperti anak TK. Para doktor

yang sudah menulis disertasi panjang diharuskan mernbuat makalah mengenai cara menulis esai ilmiah.

*

Angus melamar pekerjaan ke sana kemari, dan pertama kali harus puas menjadi dosen tamu di dua universitas yang ja­ raknya sangat berjauhan satu dengan lainnya. Akhir tahun 2002 itu beasiswaku juga akan habis. Dua bu/an sesudah kami menikah, keberadaanmu ditemu­ kan di rongga leherku. Kanker tiroid. Dan kedatanganmu membuat kami harus semakin memikirkan angka rekening di

23

KvbtMuh DI SINI

bank. Aku memutuskan untuk bekerja segera setelah operasiku, sambil terus mencoba menyelesaikan disertasi, karena mem­ berantas kamu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Beasiswaku sudah tidak lagi kupakai untuk modal meneliti, tapi untuk mengenyahkanmu!

*

"Kamu bisa bisu atau kehilangan suara selama beberapa bulan, kata dr Rogers, tetap seperti orang membaca ramalan •

cuaca, waktu aku bertanya apakah aku bisa mengajar setelah operasi. La Trobe University sudah menawariku untuk mengajar selama satu semester. Tapi siapa yang dapat mengajar tanpa suara? Siapa yang mau menggaji dosen bisu? Setiap kali periksa darah, ke dokter, scan, atau sinar-x, aku harus mengeluarkan uang. Tapi tidak seperti di Indonesia di mana dokter bisa meminta bayaran hampir seenaknya (sering­ kali tergantung kelarisan), di Australia pemerintah menetapkan standar biaya yang boleh ditarik oleh dokter dari para pasien. Terkadang beberapa dokter menarik lebih tinggi daripada standar ini, tapi tidak boleh terlampau tinggi. Biaya kesehatan juga disubsidi sehingga kami hanya membayar 15-20% dari tagihan, sisanya ditanggung pemerintah. Tapi biaya itu lama­ lama menumpuk, apalagi dengan dokter seperti si Rogers ini, yang memutuskan untuk menarik bayaran di atas standar pemerintah. Kalau satu semester tanpa kerja, dari mana kita akan mendapat uang? Angus memutuskan untuk kembali bekerja di toko bahan bangunan, menggergaji kayu, untuk mendapat tambahan. Oulu

24

Melacakmu

Angus bekerja di toko itu setiap akhir minggu, waktu dia masih mahasiswa. Toko itu dengan senang hati menerima Angus kembali, karena mereka bisa menertawakan dia: "Oh, Dr Angus Nicholls. susah-susah mendapat PhD hanya untuk menggergaj i kayu lagi!" Angustidak saja menelan ejekan ini, tapi juga diskriminasi terhadap orang kulit berwarna yang cukup tinggi di tempat kerjanya. Mereka dengan leluasa menertawakan orang-orang Asia. Berdebat dengan mereka jauh lebih sukar daripada bicara dengan tembok. Dengan tembok, paling tidak dia diam. Dengan manusia-manusia ini yang keluar adalah omongan yang begitu bodoh dan tidak masuk akal. Angus harus bertahan di tempat itu sampai mendapat pekerjaan sebagai dosen paruh waktu di Deakin University di Warrnambool, tiga setengah jam dari Melbourne dengan kereta atau empat jam setengah dari rumah kami. Angus tidak mungkin bolak-balik. Dia menginap di sana dua malam per minggu, di motel yang murah untuk menghemat. Tapi, sebisa mungkin Angus menemaniku ke dokter. Dia mem­ bawa catatan dan menulis semua yang dikatakan dokter, dari minggu ke minggu, hari ke hari. I a juga melakukan investigasi pada dr Rogers yang akan mengirisleherku dengan pisaunya dan memotong dagingku serta sel-sel kanker di dalamnya. Dokter kenalan Angusangkatjempol untuk Rogers. Angus lega, dan aku ikut lega karena Angus lega. Selain Rogers. kita juga menghadap dokter lain, Dennis Engler. Dennis the Menace, begitu dia memperkenalkan diri. Rambutnya putih melambai-lambai ala Einstein. Dia yang akan merawatku setelah operasi. Bicaranya lambat, rasanya waktu

25

Melacakmu

Angus bekerja di toko itu setiap akhir minggu, waktu dia masih mahasiswa. Toko itu dengan senang hati menerima Angus kembali, karena mereka bisa menertawakan dia: "Oh, Dr Angus Nicholls. susah-susah mendapat PhD hanya untuk menggergaj i kayu lagi!" Angustidak saja menelan ejekan ini, tapi juga diskriminasi terhadap orang kulit berwarna yang cukup tinggi di tempat kerjanya. Mereka dengan leluasa menertawakan orang-orang Asia. Berdebat dengan mereka jauh lebih sukar daripada bicara dengan tembok. Dengan tembok, paling tidak dia diam. Dengan manusia-manusia ini yang keluar adalah omongan yang begitu bodoh dan tidak masuk akal. Angus harus bertahan di tempat itu sampai mendapat pekerjaan sebagai dosen paruh waktu di Deakin University di Warrnambool, tiga setengah jam dari Melbourne dengan kereta atau empat jam setengah dari rumah kami. Angus tidak mungkin bolak-balik. Dia menginap di sana dua malam per minggu, di motel yang murah untuk menghemat. Tapi, sebisa mungkin Angus menemaniku ke dokter. Dia mem­ bawa catatan dan menulis semua yang dikatakan dokter, dari minggu ke minggu, hari ke hari. I a juga melakukan investigasi pada dr Rogers yang akan mengirisleherku dengan pisaunya dan memotong dagingku serta sel-sel kanker di dalamnya. Dokter kenalan Angusangkatjempol untuk Rogers. Angus lega, dan aku ikut lega karena Angus lega. Selain Rogers. kita juga menghadap dokter lain, Dennis Engler. Dennis the Menace, begitu dia memperkenalkan diri. Rambutnya putih melambai-lambai ala Einstein. Dia yang akan merawatku setelah operasi. Bicaranya lambat, rasanya waktu

25

KvbU11uh Pl SINI

tidak mengejarnya sama sekali. "Kanker tiroid sebenarnya mudah diobati. Tapi kankermu sudah sangat besar, jadi kita mesti lebih hati-hati." "Kamu tidak merasa apa-apa selama ini?" Aku meng­ geleng. Padahal, biasanya dengan kanker sebesar ini penderita akan mengalami gangguan menelan, pernafasan, dan bahkan berbicara. Suara biasanya akan berubah (menjadi serak) dan seputar leher akan merasa nyeri. Tapi, aku tidak merasa semua itu. Aku hanya sering merasa capek beberapa bulan belakangan ini. Karena itu, aku

ingin tidur waktu Angus mengajakku keluar,

waktu ia membersihkan rumah, waktu dia memasak. Aku lebih suka tidur. Kupikir ini hanya capek biasa karena aku sedang menyelesaikan disertasi. Angus bukan tipe suami yang menuntut istrinya melayani dan mengerjakan tugas rumah tangga. Kami mencoba membagi pekerjaan rumah tangga dengan merata. Tapi, siapa yang tahan bekerja sendirian sedangkan pasangannya ngorok? Akhirnya dia marah juga. I nilah salah satu penyebab perselisihan kami. Begitu pintarnya kamu bersembunyi sehingga tidak dike­ tahui dan menyebabkan berbagai kerumitan dalam hidupku.

*

Melihat beberapa fotoku, dr Engler curiga bahwa kanker ini sudah merambat ke bawah leher. Bila ini terjadi, pengobatan akan semakin sulit, karena kanker ini bisa dengan mudah menja­ rah jantung dan paru-paru. Sekali lagi aku harus menyeret diri ke hadapan mesin yang bisa melongok ke dalam tubuhku, lalu

26

Melacakmu

membawa hasilnya ke Dennis Engler. Engler mengangkat foto dan menghadapkannya pada lam­ pu neon. Aku bahkan merasakan gemetarnya Angus yang duduk di sebelahku. Satu per satu bunyi keluar dari mulut Engler: "Dadamu masih bersih saat ini." Lalu, pertanyaan yang membuat kami waspada: "Siapa yang akan mengoperasi kamu? I ni adalah operasi yang rumit, karena ada banyak sekali saraf-saraf di sekitar leher yang amat lembut. Bila ada kesalahan sedikit saja, akibatnya akan fatal." Aku tahu. Dokter Rogers sudah menyebutkan semua risikonya, seperti bisu, tuli, atau punggung melengkung. Operasi kakakku di Singapura mengalami komplikasi. Beberapa hari sesudah operasi, kakakku kejang dan harus kembal i ke rumah sakit. Kan­ kernyaj uga belum bersih karena dokter bedah yang kurang teliti, dan dia harus dioperasi untuk kedua kali. Masa depanku dalam tangan dokter yang akan mengiris leherku. Kami

menyebut nama Rogers. Dan Engler mengangguk:

"Dia dokter yang berpengalaman." Operasiku dijadwalkan pada hari Jumat, 5 Juli 2002. Angus meminta untuk bertemu dengan Rogers dan Engler lagi sebelum operasi, walaupun aku sendiri tidak tahu apa gunanya, tapi aku menyetujui.

27

III :Niernusnahkanrnu

Detik-detik Menjelang Pembunuhanmu Etymologically, patient means sufferer. It is not suffering as such that it most deeply feared but suffering that degrades. (Asal kata pasien adalah penderita. Bukanlah penderitaan yang paling menakutkan, tapi penderitaan yang semakin meng­ hancurkan). -Illness as Metaphor, Susan Sontag. 3 Juli 2002, sekitar pukul 15.00

Aku adalah penutur. Kisah tentang tubuhku. Dan dari ki­

sahku, dia menyimpulkan. Memberi interpretasi apa yang harus dilakukan. Tubuhku adalah lahan, di mana dia akan membuat berbagai rencana kerja, melalui teropong dan berbagai per­ alatannya. Dan saat aku sudah terlelap di ruang operasi, nasibku akan berada dalam tangannya. Sepenuhnya. Hari ini kami mengunj ungi tempat praktiknya, untuk me­ nanyakan apa saja yang akan dia lakukan. Untuk memusnah­ kanmu.

11e111usnabka11J11u

Angus sudah menulis semua pertanyaan, lengkap dengan nomer. Pasien terkadang adalah objek yang menerima kepu­ tusan. Tapi, kami masih ingin mendapatkan subjektivitas dan mencoba menempatkan diri sebagai partner kerja. lnilah yang mungkin jarang sekali dilakukan oleh pasien di I ndonesia. Bia­ sanya sebagai pasien kami hanya menunggu petuah dokter, jarang sekali pasien bertanya atau menyiapkan pertanyaan dari rumah. Kebanyakan dokter di Indonesia juga tidak sabar kalau

pasiennya banyak bertanya, sedangkan Angus merasa dia harus benar-benar mengerti apa yang akan dikerjakan dokter ini. Karena itu, Anguslah yang selalu menyiapkan berbagai

pertanyaan, sedangkan aku hanya duduk saja sambil mende­ ngarkan. Beberapa pertanyaan Angus yang masih kuingat {dan sebenarnya masih lebih banyak daripada daftar ini): 1. Berapa persen kemungkinan Soe Tjen bisa sembuh dari kanker ini?

2. Berapa persen kemungkinan kanker ini kambuh? 3. Berapa lama operasinya?

4. Apa saja dampak operasi ini? S. Apa persiapan kita sebelum operasi? Apa yang harus kita bawa? 6. Apa saja yang harus dilakukan Soe Tjen sesudah operasi? 7. Apakah ada diet khusus untuk Soe Tjen?

Jawaban dr Rogers: 1 . Kemungkinan sembuh besar, karena Soe Tjen masih muda, kira­ kira 90%.

2. Kemungkinan kambuh ada (tapi dia tidak bisa menjawab berapa persen). 3. Tergantung besar kanker ini. Perkiraan operasi akan memakan waktu 2-3 jam.

29

KvbU11uh DI SINI

4. Ada beberapa dampak. Yang terparah adalah kebisuan, saluran pernafasan yang terganggu, dan pundak yang melengkung. Tapi ini cukup kecil. Kemungkinan yang besar adalah hilangnya suara dan hilangnya paratiroid (kelenjar yang memproduksi kalsium). 5. Bawa celana dalam, sabun mandi dan shampo, sikat dan pasta gigi. Baju dan makanan disediakan oleh rumah sakit. 6. Soe Tjen harus istirahat dan makan makanan sehat sesudah operasi. 7. Tidak ada diet khusus. Tapi banyak makan sayur dan buah akan lebih bagus.

Dokter Rogerstidak pernah kasar seperti beberapa dokter Indonesia yang pernah kutemui, yang membentak pasien bi la pasien banyak bertanya. Tapi, aku memperhatikan, dibandingkan dengan Engler, nada bicara dr Rogers selalu terburu ketika menjawab pertanyaan kami. Seakan dia tidak ingin kami terlalu lama duduk di hadapannya (mungkin mengejar setoran). Setelah mendapat semua jawaban, kami pamit: "OK, I will see you next Friday. Kamu akan datang di rumah sakit hari Jumat ini, kan?" "Tidak." katanya. Lho? "Jumat depan saya akan pergi, liburan." Kami bingung. Ini dokter sinting atau gimana? Bagaimana

dia akan mengoperasi sambil berlibur? Lalu siapa yang akan mengoperasi aku? "Asisten saya, dr Williams." Kenapa kami tidak diberitahu sebelumnya? Angus dan aku

terduduk kembali. "Apa asistenmu bisa dipercaya?" 30

11exnusnahkan.tnu

memberikan lehermu padanya." Masih terburu, tapi berusaha kalem: NSaya "Tentu saja. Kalau tidak, saya tidak akan

bahkan tidak ragu-ragu memberikan leher saya padanya." Kami meninggalkan tempat praktiknya, merasa dikibuli.

Angusmengomel: "Enak saja bilang gitu. Ngomongsih gampang. Kan bukan lehemya yang akan dikerjakan sama asisten itu." Kalau aku tidak bil ang sampai bertemu hari Jumat, mung­

kin dia tidak akan mengaku kalau bukan dia sebenarnya yang akan mengoperasi aku. Aku mungkin jugatidak akan tahu-orang yang sudah dibius tidak mungkin bisa ngoceh dan tanya-tanya! Aku teringat Engler. Engler yang tidak terburu. Yang mau ngobrol tanpa mengenal waktu. Yang selalu berkata: NAda per­ tanyaan lagi? Ada yang kurang jelas?" Yang memperhatikan perasaan kami berdua. 3 Juli 2002, sekltar pukul 17.00

Kami menceritakan apa yang terjadi kepada dokter Engler.

"Bagaimana pendapatmu tentang dr Williams?" "Saya belum pernah mendengar namanya," kata Engler. Ini pertanda buruk. Kankerku jauh lebih besar daripada kanker

kakakku. Bisa-bisa aku juga jauh lebih kejang daripada dia sesudah operasi. "Dokter Engler tahu dokter bedah lain?" tanya Angus. Engler menawarkan dokter yang dia kenal-dr Mike Esenstein, spesialis bedah kanker. Tapi, aku harus segera mendapat surat pengantar dari dokter umumku, Patricia Robins. D i Australia, kita tidak bisa pergi ke dokter spesialis begitu saja tanpa mendapat surat pengantar dari dokter umum. Dan aku harus mendapatkan besok, supaya dapat memastikan bahwa aku

31

KvbU11uh DI SINI

bisa pergi ke Mike Esenstein secepatnya.

Bila tidak, kamu akan

semakin meraja-/ela dalam tubuhku. Sekarang masalah lain: rumah sakit sudah dipesan atas namaku. Berapa yang harus kami bayar untuk pembatalan ini? "Biaya operasi dan rumah sakit gratis di sini. Jadi kamu bi­ sa membatalkan kalau tidak mau. Tanpa membayar sepeser pun. Tentu saja pihak rumah sakit tidak akan suka, tapi itu hakmu." Dokter Engler. Yang meyakinkan bahwa pasien punya hak atas apa yang akan dilakukan pada tubuhnya. Dan siapa yang akan melakukannya. *

Kami harus bertindak cepat, sebelum tanggal 5 Juli-jad­ wal aku akan dioperasi oleh dokter yang belum kami kenal sama sekali . Aku harus segera menelepon dokter umumku dan meminta surat pengantar untuk bisa bertemu dengan dokter Esenstein. Setelah itu, kami harus menelepon rumah sakit untuk membatalkan. Aku begitu ragu melaksanakan semua ini karena merasa tidaktahu diri: sudah digratisi, rewel lagi. Mungkin adamentalitas warga "tertindas· yang tersisa sehingga aku cenderung untuk pasrah. Bagiku, operasi gratis harus diterima sebagai berkah. Sedang Angus berbeda. Dia merasa ditipu. " I ni adalah fasi­ litas dari pemerintah karena kita membayar pajak!" katanya.

32

KvbtMuh DI SINI

4Juli 2002

Nama-nama agen yang terlibat: Agen pertama : dr Rogers, melarikan diri. Agen kedua

: drWilliams, diragukan kemampuannya.

Agen ketiga

: dr Esenstein (masih sedang diburu oleh kami)

Misi

: Membinasakan kamu sampai ke akar-akarnya. Sece

pat mungkin!

Aku berburu dengan waktu. Bila tidak, kamu akan semakin agresif dan tak bisa lagi dilumpuhkan. Kalau ini film detektif, tentu ini

bagian seru-serunya.

Bagian yang paling ingin diin gat setelah film usai. Bagian yang

paling dibicarakan. Yang akan dibahas berkali-kali bersama be­ berapa teman. Apalagi kalau kamu adalah bintang yang memainkan adegan ini dan dibayar mahal, pastilah ini adegan yang paling berkesan dan paling ingin dikenang. Sayang, ini bukanfilm. I n i aku sendiri, yang berlari-lari untuk mendapat surat pengantar dari dr Patricia Robbin, untuk bisa berternu dengan dr Esenstein. Ternyata Patricia tidak praktik hari Kamis, dan aku harus mernohon kepada sekretaris itu untuk memberi nomor telepon rumah dr Patricia Robbin karena ini penting sekali: aku kena kanker dan harusoperasi . D engan berat hati, sangsekretaris memberi nomor rumah dr Patricia. Waktu kutelepon, Patricia cukup marah. Dialah yang merekomendasikan dr Rogers. Berani-beraninya aku menentang rekomendasinya! Dan dia meyakinkan bahwa asisten dr Rogers cukup bisa dipercaya. #Suami saya kenal dengan dia dan bisa menjamin kalau dia dokter bedah yang bagus!" katanya. Aku semakin ragu untuk mernbatalkan, tapi Angusberkeras 34

11ernusnahkanrnu

supaya aku dioperasi dr Esenstein. Kami bertengkar. I nilah yang

telah kau lakukan pada kami: pertengkaran demi pertengkaran karena kamu. Bagaimana harus memberantasmu, yang sudah menyelinap dalam tubuhku? Aku merasa Angus sudah memaksakan kehendaknya. Tapi Angus merasa, kalau kami menyerah pada dokter yang tak dikenal, akibatnya bisa fatal dan dia akan menyesal nantinya bila operasiku tidak sukses.

"I ni operasi yang riskan, bahayanya tidak bisa kamu sepelekan," kata Angus. "Lebih baik bertengkar dengan kamu sekarang daripada melihat operasimu gagal!" Akhirnya, dia berhasil meyakinkan aku bahwa asisten dr Rogers tidak cukup bagus untuk ini. Paling tidak, kami tahu, dr Esenstein sudah melakukan operasi berkali-kali dengan sukses. Aku menelepon dr Patricia lagi dan

berkeras bahwa

aku harus mendapat surat pengantar dari dia. Dia menyerah. Dimintanya aku datang ketempat praktiknya keesokan hari. Sekarang: membatalkan rumah sakit. Bagaimana aku melakukannya? Pasti mereka marah sekali. Rumah sakit di sini semakin lama semakin penuh. Kalan mau operasi, harus antre. Apalagi operasiku cukup berat, biasanya harus ada beberapa dokter yang terlibat. Pasti mereka akan mar ah besar. Kuputar nomor rumah sakit, sambil bersiap untuk dicacimaki. "H alo, saya mau membatalkan operasi saya besok pagi." "Kenapa membatalkan?" Dengan nada yang kaget. "Karena ada perubahan dokter dan kami tidak diberi tahu sebelumnya." "OK." Sudah? Cuma OK? Gampang sekali. Aku lega. Esokpaginya,

35

KvbtMuh DI SINI

telepon berdering. Mungkin dari Patricia Robbins. " H allo. Bisa bi cara dengan Miss Marching?"

"I ya, saya sendiri." " l n i asisten dr Williams.· Mati aku! Mereka pasti marah besar sekarang. "Kenapa kamu membatalkan operasi?" "Karena ada perubahan dokter." "Lalu, kenapa kalau dokternya berubah?" "Ya, kita dulu sudah tahu pasti kalau dr Rogers bisa diper­ caya, tapi kita belum pernah mendengar nama dr Williams.· "Aku bisa menjamin kalau dr Williams berpengalaman. Kamu harus ke rumah sakit sekarang." Sekarang? Tapi aku sudah susah-susah minta surat peng­ antar, dan lari sana-sini, sekarang disuruh kembali ke rumah sakit. Ya, ogah! "Kita bisa mengubahjadwal operasimu, kalau kamu mau." Ya, ampuuun. Dokter satu ini ngotot juga, walaupun diam­ diam aku kagum dengan usahanya. Tapi, dia kalah ngotot dengan aku. "Ya sudah kalau begitu. Sekali lagi saya menganjurkan su­ paya kamu tidak pakai obat tradisional atau ke dukun. Karena saya bisa menjamin, kankermu bisa disembuhkan oleh para dokter di sini." Rupanya karenaaku orang I ndonesia, dokter ini menyangka aku lebih percaya kepada dukun daripada dia. Atau ini untuk menghibur diri. Dia ingin aku meninggalkannya karena dukun. Jadi, dia hanya perlu membandingkan diri dengan dukun, bukan dokter lain.

36

11ernusnahka!lDlu

Kematianmu yang Pertama Kita terus berlomba, demi membunuhmu. Dengan tuntas. Tanggal 24 Juli 2002, jadwal operasiku yang pertama. Seumur hidup, aku tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya. Angus terlihat jauh lebih stres. Mungkin karena stres-ku sudah terserap oleh dia, jadi aku malah merasa cukup tenang. Aku bahkan menganggap ini sebagai pengalaman atau petualangan baru. Yangtidak mengenakkan, tapi tetap bisa menarik. Bukankah hidup yang selalu tenang tanpa tantangan akan membosankan? Karena itu Dufan dibuat. Bukan sekadar untuk menghibur dan memberi ketenangan, tapi membuat adrenalin meningkat, degup jantung bertambah cepat. Ketenangan apa yang bisa diberikan oleh mesin yang meng­ utamakan kecepatan, naik turun dan menikung tajam-meng­ hempas tubuh dari ketinggian dan kecuraman yang luar biasa?

Roller Coaster. Kereta yang berputar dan menghunjam. Kadang hal ini tidak cukup. Masih jauh lebih banyak rekreasi lainnya, dan orangmenyelusuri hal-hal yangjauh lebih berbahayadengan membayar mahal: balap mobil atau

speedboat, terjun payung.

bungy-jumping. Orang mencari gunung. laut, rimba, atau padang pasir untuk dijelajahi. Aku tidak perlu bersusah payah menyusuri gunung untuk ditaklukkan. Tidak perlu membayar mahal. Tidak usah bersusah payah dengan

bungy-jumping. Di sini, sudah

ada tantangan tersendiri, yang mendebarkan dan yang harus kuhadapi: kamu! Pertanyaan lain: apakah ini memang tantangan atau seka­ dar caraku menghibur diri pada situasi seperti ini?

37

KvbVlluh Pl SINI

*

Aku diharuskan puasa semalam (tanpa makan dan minum) sebelum datang ke rumah sakit. D i lobi, kami menandatangani persetujuan kalau aku akan dioperasi dan sudah dijelaskan apa saja risikonya. Setelah semua

tetek-bengek, mereka mengabari kalau

belum tentu aku bisa masuk hari itu. Lalu, aku harus dioperasi kapan? Apa ini semacam balas dendam? Tadinya, aku yang m� nolak mereka tiba-tiba, lalu ganti mereka yang sekarang meno­ lakku. Kami cuma bisa duduk, menunggu. Ini adalah hari yang besar bagiku, aku sudah mempersiapkannya berhari-hari bah­ kan berminggu-minggu sebelumnya. Untuk saat ini. Untuk op� rasiku. Semua pikiran dan energiku sudah kulimpahkan. Jangan sampai gagal lagi! Aku seperti terdakwa yang menunggu vonis hakim. *

Setelah menunggu agak lama, aku mendengar namaku dipanggil. H ari itu aku diopname dan dioperasi sesuai jadwal. Rupa­ n ya, yang dikatakan oleh petugas di depan pintu kepadaku, itu seperti "ritual", kalau-kalau ada emergency atau pasien yang memang harus ditolong saat itu j uga. Jadi bukan balas dendam.

I nilah petualanganku yang pertama di alam kanker. Akan seberapa beraninya aku dalam petualangan ini? Di kamar, aku dibaringkan dan seorang suster menggeng­ gam tanganku untuk menenangkan. Aku tidak melihat dr Esenstein. Tiba-tiba aku khawatir 38

11e111usnahkanrnu

kalau dia juga kabur, seperti yang dilakukan dr Rogers sebe­ lumnya. " D i mana dr Esenstein?" "Dia akan segera datang." Mereka menyuntik lenganku. Apa yang bisa menghiburku saat ini kecuali berkata dalam hati: "Paling tidak ini memberiku pengalaman baru dan kesempatan untuk menguji keberanian." Lalu semua lenyap. *

Ketika aku sadar lagi, tenggorokanku begitu sakit. Apakah aku bisu? Kudengar suara Angus: "Halo 'I)en. Kamu berani 'I)en, berani sekali." Dan suara-suara lain, yang aku tidak tahu siapa. "Operasinya rumit. Makan waktu enam jam."

"I ya, Soe Tjen sudah di ruang operasi 9 jam lebih." "Kankernya sudah membelit pita suara. Lebih besar dari yang kami duga! Jadi kami harus berhati-hati memotongnya, karena kalau pita suara terluka, dia bisa bisu." "Mungkin kita harus mencoba suaranya sekarang." Mereka menyuruh aku bilang: "halo". Tapi, tenggorokanku sakit. Tidak ada sedikit pun suara yang keluar. Mereka memin­ taku untuk mencoba lagi. Setelah kupaksa, ada suara yang keluar. Suara yang serak, asing. seperti meringik. Aku tidak bisu! *

Aku tidak bisu. Tapi meringkik seperti keledai setiap kali mengeluarkan suara. Apakah bersuara keledai lebih baik daripada bisu? 39

11ernusnahkallllu l

Drakula Karena operasi yang panjang, dokter meminta perawat mernindahku ke I CU untuk pernulihan. Tapi, ruang I CU penuh, jadi aku ditempatkan di kamar biasa bersama 5 pasien lainnya. Satu lelaki dan hampir

4 perempuan. Tidak seperti di Indonesia yang

100% juru rawatnya adalah perernpuan, di sini banyak

juru rawat lelaki juga. Aku berbaring dengan berbagai selang-infus, morfin, dan tiga buah selang untuk darah. Ada hidangan se/f-servicedan

all

you can eat buatku. Ambillah sepuasmu: Morfin. Tinggal tekan

tombol saja dan morfin itu akan mengalir ke dalam darah, untuk mengurangi rasa sakit. Yang menyiksa sebenarnya bukan rasa sakit dari operasi ini, tapi para drakula yang mengisap darahku setiap 5-6 jam sekali. I ni karena mereka harus mernonitor kadar kalsium dalam darahku supaya aku tidak kejang. Satu-satunya cara adalah dengan mengambil darahku dan mengujinya. Lengan kanan dan kiriku bergantian dicocok jarum oleh suster. Tengah malam pun aku dibangunkan untuk diisap darahku. Sampai pada malam selanjutnya kedua lenganku ngambek. Perawat sudah menggenjot jarum beberapa kali, tapi lenganku tetap menolak mengeluarkan darah. Akhirnya kakiku yang harus ditusuk. Sakitnya luar biasa! Apalagi sesudah operasi, tubuhku sangat lemah dan sensitif, jadi tidak begitu bisa menahan rasa sakit. Sore itu perawat bernama Sally mencoblos kakiku dengan sedikit tergesa, mernbuat amit-amit sakitnya! Lalu dia pergi dengan mernbawa dua tabung darahku. Tidak lama, dia kembal i: "Darahmu harusdiambil lagi."

41

KvbVlluh Pl SINI

Kenapa? Suster lain banya satu kali, tapi kamu minta tambah. M i rip Drakula saja! Ternyata dia memasukkan darahku ke dalam tabung yang salab. "Untung kepala perawat memeriksa," kata Angus. Kalau tidak, mungkin aku bisa didiagnosa bunting atau kena herpes gara-gara darah orang lain yang dibawa. Level kalsiumku tetap tidak naik-naik. Dokter Esenstein bilang kalau tidak naik dalam enam jam lagi, aku harus dioperasi untuk yang kedua kali. Mereka akan menanam pipa yang bisa mengalirkan kalsium dalam tubuhku. Saat itu juga kudengar aku memohon-mohon entah pada siapa.

Tolong . . . aku jangan

dioperasi lagi. Aku le/ah . . .. Para juru rawat sendiri sudah kebingungan bagaimana

cara

mengambil darahku. Kaki dan

tanganku sudah berlubang- lubang dengan coblosan jarum. Juru rawat mencoba mencari bagian badanku yang ada pembuluh darahnya dan yang masih mau mengeluarkan darah. Beberapa kali dia menusuknya dan tidak berhasil. Aku sendiri sudah lemas karena kesakitan. Akhirnya karena putus asa, juru rawat ini memanggil juru rawat lainnya. Tapi, setelah mencoblos sana-sini, darahku tidak juga keluar. Akhirnya dia memanggil dokter. Sang dokter meneliti seluruh tubuhku dan mencoblos kakiku dengan alat pengisap darah khusus yang mempunyai sayap seperti kupu­ kupu, yang sama sekali tidak indah dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Aku sudah meringis dan tidak tahan dengan penderitaan ini. Enam jam kemudian level kalsiumku naik.

*

42

11ernusnahkan.tnu

Angus masih saja di rumah sakit. Sudah dua hari dia tidak pulang, tidak mandi, dan tidak ganti baju. Dia tidur di

sofa di

ruang tunggu. Sofa yang kekecilan untuk badannya yang cukup kekar. Dia tidak ingin meninggalkan aku. Sampai akhirnya kepala perawat mendekat. "Kamu harus pulang sekarang. Kalau tidak, kamu bakal sakit juga. I strimu sudah mulai stabil. Dia tidak akan apa-apa malam ini." Aku juga meminta Angus untuk pulang. Kalau tidak, dia akan menginap di sini selamanya. Baru setelah itu dia pulang.

Bising Satu hal yang cukup menjengkelkan di rumah sakit ini. Bisingnya luar biasa. Bel yang memanggil suster selalu bersahut­ sahutan bunyinya. Volume bicara para suster juga tidak diatur. Mereka bicara cukup keras. dan tentu sangat mengganggu kalau kita mau tidur. Terkadang untuk memanggil rekan, mereka menggunakan pengeras suara (mungkin karena malas mencari orangnya). I n i masih ditambah bumbu: tetanggaku yang juga tidak bisa diam. Rupanya dia bercita-cita menjadi pengebut. Tapi pengebut yang satu ini sama sekali tidak profesional. Karena itu belum apa-apa, sudah tabrakan sehingga mobilnya remuk. Dan dia bangga dengan pengalaman itu. Tiap hari, dia selalu menyebut-nyebut tentang kecelakaan itu seakan dia lakon film eksyen Hollywood. Beberapa temannya merasa ceritanya lucu dan sering ter­ tawa mendengarnya. Tapi bagiku sangatlah goblok. Bayangkan, karena kecerobohannya, semua menjadi repot. Berapa banyak

43

KvbtMuh DI SINI

pajak rakyat yang harus dikeluarkan untuk membiayai peng­ obatannya? Tapi dia sendiri tidak menyesali perbuatan itu! Malam hari, dia selalu menyalakan radio atau televisi, sehingga menambah keributan di rumah sakit ini. Karena aku terlalu lemah dan dalam kesakitan, aku tidak protes. Apalagi dengan suara yang seperti keledai. Saat itu juga, aku merasa betapa lebih pekanya orang yang sakit terhadap suara-suara keras. betapa lebih menderitanya mereka akan gangguan ini.

Makanan di Rumah Sakit Melbourne-Australia Apa yang bisa menjadi hiburan di rumah sakit? Tidak banyak. Ruang-ruang yang cat temboknya kusam, pi I-pi I yang berasa racun, kebisingan yang luar biasa. I nil ah satu-satunya yang menghibur diriku: makanan. Pagi, biasanya ada dua pilihan: roti dengan selai atau sereal dengan susu. Siang dan malam, ada

3 pilihan menu utama: pasta, roti

atau kentang dengan daging atau ikan. Lalu, kita mendapat dessertatau makanan penutup seperti jelly, buah segar, kue, atau es krim. Juga ada menu vegetarian. Kita bisa memilih makanan yang kita mau. Rumah

sakit

ini

mempunyai

dapur raksasa dengan

beberapa tukang masak (karena harus memberi makan ratusan orang sekaligus). Pasien bisa meminta porsi kecil atau besar. Untuk orang semini aku, juru rawat langsung memberi porsi kecil. Tapi mereka salah duga. Makananku jauh lebih banyak daripada yang mereka kira. Jadi, aku seringkali minta tambah. Akhirnya mereka tahu kalau makhluk mini ini makanannya berukuran

44

XL.

11ernusnahka11Dlu

Ukuranku di banding dengan Angus memang beda banyak. Tapi, ukuran makanan kami tidak. Ke mana hilangnya makanan itu, aku sendiri tidak tahu. Kalau aku babi, sapi, atau hewan potong lainnya, pasti peternaknya merasa rugi, karena makan banyak tapi tidak gemuk-gemuk.

*

Pemandangan yang umum di rumah sakit Indonesia: para keluarga yang sudah bersusah payah mencari duit untuk pengobatan, harus pulang dari rumah sakit dengan membawa oleh-oleh: baju kotor si sakit. Terkadang bau baju-baju itu sudah tidak layak didekatkan ke hidung siapa pun, apalagi dengan iklim I ndonesia yang lembab. D i Australia, rumah sakit menyediakan baju dan handuk. Jadi

keluarga tidak perlu

repot-repot membawakan

mencucikan baju. Apalagi kalau

si

dan

pasien baru saja dioperasi,

biasanya baju berlepotan darah dan pasti sukar mencucinya kalau darah sudah mengering. Baju rumah sakit ini berbelah cukup tinggi di belakang untuk memberi kemudahan bila pasien ada jahitan atau harus dipasang selang, selain memudahkan juru rawat atau dokter untuk memeriksa tubuh mereka. Sebagai penutup anggota tubuh yang dianggap tabu, tentu baju ini tidak efisien. Apalagi dengan ukuranku yang mini, baju yang diberikan kepadaku sering kedodoran. Ditambah dengan berbagai selang, kalau aku berjalan pasti belahan pahaku terlihat dengan mudah. Tapi apakah ketabuan itu? Mengapa ada bagian tubuh yang tidak diperbolehkan

45

KvbtMuh DI SINI

dipandang orang lain? Apa yang membuatnya demikian? Di rumah sakit ini, ketabuan tubuh sudah tidak ada. Kita harus siap menunjukkan bagian tubuh kita kepada para perawat atau dokter yang hendak memeriksa. Berapa kali aku telah telanjang di hadapan beberapa manusia lain di tempat ini? Adakah ketabuan itu? Bukankah ketabuan hanyalah hasil interpretasi? Bila tubuhmu dijamah tanpa izin, bukankah ini yang seharusnya lebih tabu daripada sekadar tubuh telanjang yang terlihat? Apa salahnya tubuh? Apalagi tubuh perempuan, yang selalu dijadikan tudingan? Bila pemerkosaan terjadi seringkali perempuan juga disa­ lahkan. Cara berpakaian mereka seringkali dijadikan masalah. Padahal, dengan baju tertutup pun perempuan masih diperkosa. Berapa banyak TKI perempuan diperkosa di Saudi Arabia padahal mereka memakai baju tertutup?

Pengkhianat Sang keledai dalam tenggorokanku berangsur hilang. l a hanya muncul ketika aku kelelahan.

Dan kelelahan ini makin

menjadi ketika aku harus menjalani strategi berikut untuk membinasakan kamu: Radioterapi. Butir pil berisi nuklir. Yang harus kutelan. "Born" ini akan meledak di dalam tubuh dan mengganyang kankerku, berikut berbagai sel-sel di tubuhku. Diharapkan, sel-sel lain akan jauh lebih mudah pulih daripada sel kanker. Pemusnahan penyakit yangjuga merusak tubuh, yang akan diselamatkan. Seperti binatang yang kena rabies, aku harus dikurung sendiri di sebuah ruang karena badanku akan dibombardir dengan bahan kimia ini. Tubuhku akan terkontaminasi sehingga

46

11ernusnahkanrnu

membahayakan orang lain, terutama bayi dan anak-anak. Radioterapi ini palu godam yang menghantam semua sendi-sendiku. Aku seperti napi yang baru digebuki tentara. Apa saja yang kucoba masukkan ke mulutku keluar lagi. Perutku kosong selama beberapa hari. D i dalam ruang itu sudah tidak ada lagi niat untuk menjadi berani. Ataupun sok berani. Yang ada hanyalah kesakitan dan kelelahan yang luar biasa. Kesakitan yang tidak mengizinkanku tidur, untuk melupakannya. I a ingin terus ada dan begitu keras kepala keinginannya untuk menyiksaku. Tubuhku terasa terbakar.

lnilah dampak dari semua ulahmu, untuk tetap hidup di dalam tubuhku! Aku menyumpahikamu atassegala penderitaan yang kurasakan yang membuatku menjadi binatang yang dikarantina dan yang disiksa habis-habisan. Juru rawat hanya datang sesekali mengantar makanan di pintu. Tidak ada yang mendekatiku. Pada hari kelima, mereka mengukur kadar kontaminasi dalam tubuhku untuk memastikan apakah aku sudah bisa dilepas dari kandang ini atau tidak. Tapi, rupanya aku masih terlalu berbahaya untuk bisa bebas. Radiasi di tubuhku masih tinggi. Aku harusdikurung 1-2 hari lagi. Genap seminggu. Dalam masa itu, hanya seorang manusia, dokter muda berambut coklat panjang, yang masuk ke kamar dan mendekatiku. Menanyakan keadaanku. I a tel ah membahayakan kesehatannya sendiri! Aku merasa bukan lagi manusia. Beginikah engkau meren­

dahkan seseorang? Manusia takut pada pencuri, pada perampok, pada orang asing atau pun penyelinap yang akan menyerang mereka. Mereka

47

KvbtMuh DI SINI

akan khawatir bila mempunyai pegawai atau pembantu baru dan mengamati kalau-kalau orang "lain" ini mencuri barang mereka. Mereka akan takut keluar sendiri bila malam tiba. Atau kalaupun harus melakukannya, mereka sering menengok ke belakang, bila ada orang lain yang membuntuti. Dari kecil, aku sudah belajar tentang kewaspadaan ini. "Kakek-nenekmu pernah bangkrut karena dirampok," kata mereka. Orangtuaku sempat marah ketika dulu aku mernpersilakan orang asing masuk ke dalam rumah begitu saja. Setiap hari, aku tidak lupa mengunci pintu dan menggembok pagar untuk melindungi diri. Namun sekarang, penjahat terbesar itu ada di dalam tubuhku sendiri. Bagian dari diriku. Bahkan sistem imunitasku, para penjaga tubuhku tidak mengenalnya lagi sebagai "musuh" yang harus di berantas. Aku tel ah begitu dikhianati.

*

48

IV Diusir

Apa yang begitu kuharapkan setelah adanya musibah? Tentunya keberuntungan. Mirip seperti Cinderella atau Putri Salj u yangdidera ketika kecil, lalu tumbuh sebagai makhluk yang cantik dan hidup bahagia selamanya. Kita semua akan bilang bahwa kita yang sudah dewasa

tentunya tidak lagi terpengaruh dongeng anak-anak. Apalagi dengan iming-iming pernikahan yang "berbahagia selama­ lamanya·. D i zaman sekarang, sudah banyak perempuan yang sadar bahwa pernikahan itu bukan simbol kesuksesan atau penyelesaian tapi bisa jadi awal masalah-apalagi bi la pacarmu yang begitu baik hati itu ternyata bukan bangsawan yang bijak tapi bunglon yang brengsek! Bukan iming-iming "kawin" yang masih mempengaruhiku, tapi perbaikan nasib ala dongeng-dongeng itu. Sesudah kesakitan yang panjang, aku mengharap perubahan datang secepatnya. Membuatku tidak sabar. Ternyata, aku yang sudah berumur lebih dari seperempat abad ini {lebihnya cukup banyak malah), masih juga terhipnotis

KvblMvh DI SINI

oleh idealisme dongeng. Namun sebenarnya siapa yang tidak punya harapan seperti itu setelah mengalami kesulitan yang luar biasa? Dan inilah kisahku setelah vonisterkena kanker kuterima: Sehari sebelum aku dioperasi, M r Sam Baker, petugas imigrasi Australia menelepon untuk mengabarkan bahwa aku harus meninggalkan Australia dalam waktu 90 hari karena kankerku. Australia tidak mau menghabiskan uang untuk orang sakit seperti aku. "Tapi istri saya akan operasi besok." kata Angus. I nformasi ini tidak ada artinya bagi imigrasi . Mr Baker masih harus menyampaikan pesan itu, tanpa simpati. Ada begitu banyak hal yang harus kami pikirkan saat itu: mencari pekerjaan, membayar semua rekening rumah sakit dan laboratorium. Masih juga ditambah satu hal lagi: membereskan urusan imigrasi. Tapi sekarang, semua itu harus disingkirkan dulu, karena satu hal: operasiku besok pagi. Setelah operasi dan radioterapi, dengan badan yang masih sangat lemah aku harus menghadapi "musuh" lain: I migrasi Australia.

*

Awai Febuari 2002, aku sudah mengirim lamaranku bersama segala berkas yang diminta untuk menjadi Permanent Resident (PR) di negara ini. Semua persyaratan sudah kupenuhi, hanya satu: Surat Keterangan Kelakuan Baik dari Kepolisian

Indonesia. Mereka memberitahu bila surat ini sudah diterima, aku akan mendapat PR hanya sekitar 1-2 minggu sesudahnya.

50

Diusir

Namaku ternyata menjadi masalah. Dal am akte kelahiran, ijazah dan lain-lain, namaku tercatat sebagai Soe Tjen Marching. Tapi karena pemerintah I ndonesia seenak udelnya mengganti peraturan, tiba-tiba aku diharuskan mencantumkan nama bapak. Jadilah namaku Soe Tjen Marching Go, sejak tahun 1993! Tanggung sebenarnya penggantian ini. Kenapa tidak di­

ganti sekalian namaku menjadi Luna Maya, Angel ina Jolie, Mr. Bean, atau kalau sedang kangen suasana desa dan alam bisa juga namaku diganti dengan Pedet, Monyet,

atau Kampret. Toh

sama saja kesulitan yang kualami dengan dua hurufyang dengan seenaknya ditempelkan di belakang itu. Nama ini yang kemudian memberi berbagai kesukaran, karena tidak sesuai dengan akte kelahiran, akte pernikahan, dan juga surat-surat keterangan lainnya. Birokrasi pemerintah memang sangat pintar membuat hidup rakyatnya bertambah susah! Surat Keterangan Kelakuan Baik dari kepolisian ditulis berdasarkan nama pada Kartu Keluarga (nama kelahiranku,

tanpa nama ayah). Tapi I migrasi Australia meminta semua surat harus persis dengan paspor. Beda 1 huruf atau 100 huruf tidak ada bedanya-pokoknya harus per sis p/ek! Jadilah semua begitu rumit karena aku tidak mungkin terbang ke I ndonesia lagi hanya demi hal yang satu ini. Akhirnya kulakukan semua lewat surat dan telepon. Dan tentu saja, dengan sogokan. Rupanya, salah satu pekerjaan pemerintah adalah mempersulit warga, supaya mereka bisa mendapat lebih banyak "masukan· nantinya! Surat Keterangan Kelakuan Baik dengan nama sesuai

paspor akhirnya tiba pada awal buIan April dan kukirim dengan pos kilat tercatat ke l migrasi Australia. Tapi imigrasi selalu

51

KvbU11uh DI SINI

mengatakan, mereka belum menerima. Kantor Pos yakin mereka sudah mengirim dan kiriman telah diterima oleh Imigrasi. Kantor

Pos berjanji akan memberiku keterangan mengenai penerima surat itu. Bersamaan dengan ketika aku mengurus keberadaan dokumen ini, aku mendapat kabar tentang kankerku. Beberapa pelamar yang duduk mengantre bersamaku di kantor imigrasi sempat memberitahu betapa kacaunya imigrasi Australia ini. Banyak dokumen yang mereka hilangkan atau nyangkut di tempat yang salah berminggu-minggu lamanya. Rupanya ini yang terjadi pada dokumenku. Kalau imigrasi tidak

ceroboh, aku sudah mendapat status permanent resident (PR) sejak akhir bulan April. Kecerobohan mereka membuatku belum

mempunyai kartu PR sampai aku mendapat kabar tentang kankerku pada buIan Juni. I migrasi Australia tidak menyia-nyiakan kabar buruk ini. Sehari setelah mereka menemukan dokumenku (entah di bawah kolong. di celana dalam, atau di balik kakus-aku tidak tahu), mereka langsung meminta aku meninggalkan negeri ini. H anya karena mereka tahu

aku sakit kanker. Tan pa minta maaf

kalau mereka sudah sempat "melenyapkan" dokumenku selama hampir 2 bulan lamanya.

*

52

KtJbU11uh DI SINI

Sapi Perah Beginilah cara negeri ini mernilih penduduknya. Mirip dengan menyortir ternak di pasar. Binatang mana yang bisa menghasilkan paling banyak, yang paling menguntungkan si petani yang tamak? Kalau temak ini terbeli dan temyata sakit, apa boleh buat,

negeri ini akan merawatmu, karena makhluk yang sakit sukar sekali menghasilkan apa-apa. Jadi mereka harus sembuh. Tapi kalau ternak ini ketahuan mempunyai cacat atau sakit sebelum terbeli, negeri ini akan menolakmu, karena ternak seperti ini sudah afkiran. Tidak lagi bisa dihargai. Begitu pula aku. Sebagai penderita kanker, aku adalah ternak afkiran-hasil yang didapat dariku dianggap tidak lagi bisa maksimal. Angus dan aku mencoba mendebat keputusan ini-kesa­ lahan merekalah yang mernbuat PR-ku terlambat. Bila tidak karenakecerobohan mereka, tentu aku sudah menjadi permanent resident sebelum terkena kanker. Tapi mereka tidak mau tahu. I migrasi Australia adalah departernen yang begitu dingin dan kejam, dan para petugas yang kujumpai kebanyakan tidak pernah diajari cara tersenyum dan berbicara yang ramah. Seakan mereka ingin menunjukkan kalau aku yang sedang melamar PR ini mernang benar-benar ternak. Tapi tentu saja kesalahan terbesar bukan pada mereka yang kuhadapi. Mereka-mereka ini bergaji kecil seperti upil dibandingkan dengan para penguasa dan bankir yang hanya berjumlah sekitar 1% dari penduduk dunia, tapi menguasai lebih dari 50% kekayaan. Dan para penguasa dan bankir inilah yang seringkali menentukan kebijakan. Mereka yang dengan aman

54

Diusir

bersembunyi di balik mobil-mobil mewah dan pintu kokoh istana mereka. Para petugas yang mirip buldog inilah yang menjadi anjing pekerja. *

Seperti sapi perah, setelah keluar dari rumah sakit, aku tidak bisa istirahat. H anya tersedia waktu kurang dari 2 bu Ian untuk mengurus masalah imigrasi (sebelum aku diusir dari negara ini). Aku menetepon kanan kiri, meminta nasihat. Ternyata, aku harus menghubungi pengacara, yang tentu saja bayarannya setangit. Aku mendapat beberapa nama pengacara dan me­ nanyakan tarifkonsultasi mereka: dari $140 per jam sampai yang termurah $80 per jam. Kami sudah terbeban dengan bon-bon

dari rumah sakit, sekarang harus juga dengan biaya pengacara. Aku mendapat info dari teman yang mengenal salah satu pengacara yang kami telepon, bahwa walau cukup murah pengacara ini juga bagus, hanya saja ia tidak begitu komersial seperti yang lain. Mengurusstatus imigrasiku hampir sama beratnya dengan bergulat melawan kanker. Kami harus bolak-balik ke kantor

pengacara dan imigrasi, mengisi formulir, surat-surat dan dokumen yang diminta. Aku sudah tidak bisa konsentrasi ke hal lainnya. Disertasiku terbengkalai dengan adanya semua masalah ini. Aku tidak mampu menulisselama berbulan-bulan. Pekerjaan fu/1-time-ku saat itu: bertarung melawan kanker dan imigrasi. Setelah mendengar nasihat pengacara, argumen yang kami ajukan adalah: Kankerku termasuk yang bisa disembuhkan. Setelah sem-

55

KvbU11uh DI SINI

buh, aku akan bisa bekerja dan menyetor pajak pada negara ini. Aku akan segera meraih gelar PhD (kalau saja tidak diganggu oleh kanker dan imigrasi, maka PhD akan kudapat lebih cepat lagi!). I ni akan menjamin bahwa aku akan mendapat pekerjaan yang cukup baik. Umurku masih cukup muda, jadi aku masih bisa bekerja paling tidak 20-30 tahun lagi, dan akan bisa menyumbang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk penyakitku. Aku menikah dengan Angus, yang baru saja merampungkan PhD dengan hasilyangamatmemuaskan, dan baru sajamendapat pekerjaan menjadi dosen di universitasdi Australia. Dengan kata lain: Sebagai sapi perah, apakah aku cukup menguntungkan si empunya? Apakah aku akan cukup memberi susu bagi mereka? Apakah mereka tidak akan rugi memelihara aku? Seperti ujian skripsi, semua argumen di atas perlu bukti. Tapi bukti ini bukan untukmenemukan hal baru atau mempelajari sesuatu, melainkan untuk memuaskan ego administrasi. Aku mengejar berbagai surat keterangan dari dokter, lembaga

akademik,

dosen,

dan

beberapa teman

untuk

membuktikan semua argumen di atas. Aku harus mendapat berbagai keterangan dari dokter tentang keadaanku. Bahkan, orangtua Angus juga harus menandatangani per­ janjian bahwa mereka mampu dan bersedia ikut bertanggung­ jawab dan menanggung kalau terjadi apa-apa denganku. Untuk ini, mereka harus menunjukkan berapa harta yang mereka miliki termasuk simpanan di bank, investasi (rumah, mobil, saham, dan lain-lain). Tentu saja, mereka harus membayar cukup mahal untuk agen yang mengevaluasi harga investasi mereka satu per

56

Diusir

satu dan mendapat surat resmi mengenai perkiraan harta mer� ka. I ni

demi aku, supaya aku bisa tetap tinggal di negara ini

bersama Angus. Tapi, tidak semua orang bersimpati kepadaku. Dokter Patricia yang biasanya ramah, membela keputusan pemerintah dan enggan memberiku surat keterangan yang positif. Dalam pemerintahan John Howard, migrasi memang semakin dibatasi. Persyaratannya semakin ketat dan kecurigaan terhadap migran makin meninggi. Kebanyakan orang suka dengan ketegasan Howard

me­

nendangi para pendatang, dengan berbagai alasan: Sebagai pendatang yang tak diundang, budaya mereka amat berbeda dan akan mencemari Australia. Belum lagi kalau mereka jadi pengangguran atau sakit di negara ini, berapa biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah? Segala fasilitas akan berkurang karena masuknya orang-orang asing ini! Beberapa saat yang lalu, bulan Oktober 2001, aku menyaksikan di televisi kapal pengungsi dari I rak yang sedang berlayar. Ketika kapal hampir tiba di Australia, orang-orang I rak

ini melempar anak-anak mereka ke dalam laut. I ni adalah

cara para pengungsi mendapatkan perhatian, supaya anak­ anak mereka diselamatkan oleh tim Australia, dan akhirnya orangtuanya pun bisa masuk ke Australiajuga. Dengan kata lain, mereka menggadaikan anak-anak mereka sendiri sebagai alat agar mendapat suaka dari negeri ini. "Para pengungsi sudah menginjak-injak kebaikan hati kita! Sudah saatnya kita memberi pelajaran kepada mereka!" "H anya

karena kami punya rasa kemanusiaan, lalu setan-

57

KvbVllvh Pl SINI

setan ini mempergunakannya dengan melempar anak mereka sendiri ke laut,untuk kita selamatkan! " "Mereka kan memang calon teroris, jadi begitulah tingkah­ nya!" Pemerintah, yangdiwakili oleh John Howard, pada Oktober 2001 menyatakan dengan gagahnya: "I express my anger at the behaviour of those people and I repeat it. I can't comprehend how genuine refugees would throw their children overboard.· Terjemahanku: "Saya menyatakan kemarahan atas kelakuan orang-orang itu dan saya ulang. Saya tidak dapat mengerti bagaimana pengungsi yang sesungguhnya (artinya tidak gelap) akan melempar anak-anak mereka sendiri ke dalam laut." Media massa pun geger. Foto-foto para pengungsi melem­ par anak mereka ke dalam laut bertebaran di mana-mana. Sudah migrasinya gelap, ternyata orang-orangnya licik dan keji lagi. U ntung ada John Howard yang bersikap tegas terhadap orang­ orang yang tidak berperikemanusiaan ini! "Karena ulah mereka," kata seorang teman, "kamu juga

kena getahnya." White Australian Policy

Angus sudah curiga. Yang namanya udang di balik batu tidak saja ditemukan di Indonesia, di Australia juga ada! U dangnya saja beda. Memang dari foto dan televisi diperlihatkan para orangtua itu melempar anak-anak mereka ke dalam laut. Tapi apa alasan mereka sebenarnya? Apakah pernyataan pemerintah benar? Apakah ini bukan akal buI us mereka saja untuk memenangkan pemilu? Hanya sekelumit koran di Australia, seperti The Age,

58

Diusir

dan beberapa majalah yang meragukan kisah anak-anak yang dibuang ke laut ini. Tahun 2001, John Howard menang telak. Namanya sema­ kin disanjung sebagai pembela bangsa dan negara Australia. Kami semakin ingin muntah melihat wajahnya di TV. Hampir

setahun setelah kemenangannya berita bahwa pemerintah berbohong tentang kisah pengungsi, mulai menyebar. Ternyata memang para pengungsi itu melempar anak­ anak mereka ke dalam laut. Tapi bukan untuk mempergunakan "kebaikan hati" dan "kemanusiaan· imigrasi Australia, melainkan karena kapal mereka hampir tenggelam. Kepala Departemen Pertahanan di Australia juga menge1uarkan

pernyataan bahwa berita yang diedarkan oleh peme­

rintahnya sangat menipu. Bahkan sejak semula Departemen Pertahanan sudah mendapat data bahwa kapal pengungsi itu benar-benar hampir tenggelam, dan segera memberitahu hal ini kepada pemerintah pusat, tapi tidak digubris. Pemerintah John Howard sudah ngebet ingin menjelek-jelekkan para pengungsi ini. Karena dia sudah kebelet ngibul, supaya "kekejaman"

dan

diskriminasinya terhadap pengungsi mendapat sambutan, dan dia bisa memenangkan pemilu! I nilah hasil kreativitaspemimpin macam Howard:

semangatnya untuk mencari kesalahan

para pengungsi, menyebabkan fantasinya berkembang untuk mengarang kisah yang tidak-tidak. Tidak semua media massa bersemangat memberitakan "ngibulnya• pemerintah ini. Yang ribut mengadakan protes ke­ banyakan adalah para akademisi dan aktivis. Sebagian besar masyarakat Australia tidak begitu peduli. Bahkan ada saja yang berpendapat kalau pemerintah terpaksa berbohong untuk me­ lindungi rakyat. 59

KvbtMuh DI SINI

Australia memang negara yang cukup terpecah. Stereotip Australia negara rasis sudah berkembang di I ndonesia. Bahkan sebelum aku berangkat ke negara ini pun, beberapa orang sudah memperingatkanku. Memang, kebijakan pemerintah di negara ini bisa amat diskriminatif terhadap orang kulit berwarna. Begitu juga orang­ orang di pelosok. Beberapa daerah terkenal amatlah rasis terhadap kulit kuning dan hitam. Seorang teman sempat bercerita bagaimana ibunya yang tinggal di sebuah kota kecil di Australia harus meninggalkan tempat asalnya karena masyarakat menolak pernikahannya dengan lelaki Srilanka. H ingga sekarang sang ibu masih me­ nyimpan dendam terhadap diskriminasi di Australia. 8aat aku bertemu dengannya, ia masih terlihat getir, dan bertanya: "Kamu

mengalami rasisme di sini? Aku sudah, berkali-kali!" Begitu juga mantan pacarku, yang pada pertengahan tahun 70an pernah "dibantai" oleh 4 orang teman sekolahnya karena dia berasal dari keluarga Yunani. Dia dipukuli selama dalam perjalanan pulang. Tentu sekarang Australia sudah banyak berubah. Namun, beberapa masyarakat di desa atau kota kecil negara ini masih cenderung lebih diskriminatif daripada di kota besarnya. D i Melbourne, aku merasa keramahan dan keterbukaan yangjauh lebih besar daripadawaktu aku tinggal di Christchurch­ Selandia Baru. Mereka menyapa, tanpa ada tatapan seolah aku spesiesyang berbeda. Sedangkan waktu aku mengambil studi tingkat master di Selandia Baru, seringkali aku hanya duduk di kelas tanpa ada yang mengajak bicara. Mereka hanya memandangku seolah aku spesies baru dalam kebun binatang. Bahkan, ketika mereka 60

Diusir

mengadakan pesta akhir tahun, dan semua diundang dengan: "Kamu datang, ya. Jangan sampai lupa!", untukku mereka mengatakan: "Apakamu mau datangjuga?" dengan ogah-ogahan. Sepertinya spesies seperti diriku ini tidak punya perasaan yang sama dan tidak perlu diperlakukan sama oleh mereka. Jarang sekali teman sekelas yang mau ngobrol denganku. Ketika aku baru masuk ke universitas ini, nilaiku sangat amburadul. Bahasa I nggrisku yang kurang bagus membuatku kesulitan menerima pelajaran. Tapi setelah beberapa lama aku berhasil mengejar ketinggalanku dan lulus dengan nilai kedua terbaik. H anya tiga orang yang memberi selamat kepadaku. Yang lain memandang dengan aneh. Seolah berkata: spesies aneh ini kok bisa mendapat nilai bagus di universitas mereka? Tahun sebelumnya, dua orang yang mendapat nilai tertinggi mendapat surat penghargaan dari Kepala Jurusan. Tahun ini aku tidak mendapat penghargaan itu. Tanpa alasan. Dan aku tidak berniat memohon kepadanya.

*

D i Melbourne, di mana aku mendapat keramahan dari manusia di sekelilingku, di mana aku bertemu dengan lelaki yang menjadi suamiku sekarang, di sini juga aku harus berjuang mati-matian untuk bisa tetap bersatu dengan Angus. Tidak lama sesudah itu aku mendapat surat dari I migrasi Australia. Merekamemutuskan bahwaargumen yangkami aj ukan tidak cukup meyakinkan, tanpa penjelasan lain. Pernyataan mereka persis seperti argumen anak kecil. Kalau kami diminta

61

KvbtMuh DI SINI

berpanjang lebar untuk menerangkan situtasi kami dan mengapa kami harus diterima tinggal di tempat ini, mereka hanya menulis satu atau dua kalimat untuk menolaknya. Dengan kata lain, kalau merekatidak suka dengan argumen kami, mereka rukup bilang "alasan tidak bisa diterima·. ltu saja. Tanah siapa ini sebenarnya? Tempat siapa? Sejak kapan manusia mengklaim suatu tempat sebagai mili knya? Sejak kapan mereka membuat surat-surat yang menyatakan bahwa tanah ini adalah milik, dan yang lain tidak boleh atau diizinkan menginjakkan kaki di sana keruali atas izinnya. Atas dasar apa? Apakah hanya atasdasar pemaksaan kekuasaan? Bukankah nenek moyang para penduduk kulit putih yang sekarang memegang tampuk pemerintah ini dulunya juga manusia­ manusia kapal yang mengungsi

di tanah ini? Kebanyakan dari

mereka adalah kriminal atau pengungsi dari Britania. Dan mereka berhasil mempunyai tanah-tanah dengan menyingkirkan suku-suku Aborigin yang telah menetap di benua ini sebelumnya, yang hidup nomaden-mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pendatang kulit putih inilah yang kemudian mengklaim hak atas tanah-tanah di sini, membuat surat-surat yang mengesahkan tanah rampasan mereka supaya mereka bisa mempertahankan pemaksaan kehendak itu dan mewariskannya kepada anak cucu mereka. Kepemilikan

ingkali tidak lain dan tidak bukan adalah

ser

keteguhan niat untuk mempertahankan keserakahan dan keku­ asaan. Dan ini nantinya akan berubah menjadi prestise-berapa besar rumahmu, berapabesartanahmu? Bukankah pertanyaan ini bisa hampir sama dengan "berapa besar hasil rampokanmu?". Berapa orang yang telah diuntungkan dari keserakahan

62

Diusir

ini? Bukankah banyak pejabat dan pebisnisdi Australia sekarang ini mengenyam kesuksesan karena harta rampasan dari nenek moyang mereka? Pemerintah I nggris memutuskan untuk mem­ buat koloni baru di tanah ini dengan memperlakukan Aborigin seperti binatang buruan-mereka disekap, dipekerjakan, dan diperlakukan dengan keji. Mereka juga diracun dengan arsenik, bahkan tidak jarang diburu seperti kangguru, untuk taruhan atau sekadar iseng, sehingga populasi mereka menurun drastis. Semua demi sebidang koloni baru. Tambang-tambang emasyang ditemukan seringkali malah meningkatkan kerakusan. Tahun 1901, para pejabat kulit putih memperkokoh keku­ atan mereka dengan membentuk Federasi, yaitu persatuan be­ berapa daerah koloni dan menamakannya Australia. Beginilah negara dibentuk. Seringkali dengan kekuasaan beberapa orang, lalu mereka menanamkan kepercayaan seolah negara itu adalah abadi, hak mereka, tidak bisa diusik dan diubah oleh siapa pun juga. *

Kekejaman yang luar biasa seringkali

menimbulkan

ketakutan, paranoia bahwa yang lain akan berbuat serupa terhadap mereka. Padatahun yangsama, para migran yangsudah "menggagahi" tanah baru ini membatasi migrasi ke tempat itu; migran yang membatasi migran-maling yang ketakutan akan dimalingi. Karena itu, dengan dibentuknya negara baru, Australia,

oleh para pendatang, dibatasilah juga pendatang lain yang ingin masuk. Peraturan I migrasi 1901 mengharuskan mereka yang ingin masuk ke negara baru ini menjalani berbagai macam ujian.

63

KvbU11uh DI SINI

Salah satunya adalah ujian dikte dalam bahasa Eropa apa saja (seenak udel sang pejabat), dengan tujuan membatasi mereka yang bukan Eropa untuk masuk. Jadi, mereka bisa menyodorkan tes dalam bahasa Prancis, Jerman, Belanda, Yunani, Swedia, atau Italia. Sesuka yang memberi tes, pokoknya. Tiba-tiba saja perampasan tanah ini menjadi suatu yang legal, yang sah, yang bisa memberi mereka kekuatan baru untuk mengenyahkan calon-calon pendatang lainnya. Sejarah pun ditulisoleh pihak perampas yang menang. Dan bersabdalah mereka: "James Cook menemukan Australia pada 1770!". "Padahal, sudah ada orang-orangAborigin yangmendarat di benua itu beribu-ribu tahun sebelumnya. Begitu pula kapal-kapal dari Bugis dan Makassar yang telah melintasi berbagai samudra dengan kapal cadiknya. Mereka diduga juga telah sampai di benua ini sebelum abad ke-18. Ditambah lagi

dengan

penjelajah

Belanda,

Willem

Janszoon, yang tiba di Gulf of Carpentaria, Cape York Peninsula (Queensland) pada 1606. Pelaut Belanda lainnya, Dirk H artog di Western Australia pada tahun 1616. Lalu, bagaimana pernyataan "James Cook menemukan Australia pada 1770" bisa ada dalam buku-buku sejarah? Bahkan waktu SD pun aku harus menghafalkannya. Apa memang dia menemukan benua ini beserta orang­ orang Aborigin dan para penduduk lainnya, seperti menemukan peti lalu mengklaim bahwa kotak ini beserta isinya adalah milik mereka (satu paket gitu!)? Jadi, apa pun yang ada di Australia bisa di kl aim seenak udelnya oleh si penulissejarah. M i rip dengan Udin menemukan layangan di pinggir jalan, lalu menggotongnya pulang, tanpa perlu tahu siapa yang mempunyai layangan

64

Diusir

tersebut. Tentunya, manusia-manusia Aborigin penghuni benua ini bukan hanya sekadar layangan. Tapi, dengan moncong bedil, mereka bisa dijadikan apa saja. Ketakutan manusia akan kematian rasanya lebih besar

daripada ketakutan akankehidupan yang mengerikan. Atau mungkin mereka tidak tahu hidup seperti apa yang menanti: Di pekerjakan dengan paksa, sebagian bahkan dirantai dan disiksa seumur hidup. Saat orang-orang kulit putih baru saja menyerbu benua ini, beberapa orang Aborigin mendapat perlakuan lebih buruk daripada anjing.Bila mereka tahu akan nasib seperti ini, apakah mereka akan tetap melanjutkan hidup atau lebih baik mati di moncong bedil? *

Setelah mengklaim kepemilikan, para perampok ini mempertahankannya mati-matian (sebagai perampok, rupanya mereka juga memandang yang lain sebagai calon perampok). Etnis yang paling dicurigai adalah Asia, terutama dari Tiongkok karena jumlah dan luasnya negara tersebut, juga karena pada 1850-1870an banjirlah penduduk Tiongkok yang mendarat di benua ini untuk bekerja di pertambangan emas. Pendatang dari Tiongkok cukup disukai oleh tuan-tuan tanah dan pengusaha karena mereka bisa dipekerjakan dengan gaji lebih kecil daripada orang kulit putih. Tapi, hal ini jugalah yang menimbulkan pertikaian, karena pendatang Tiongkok kemudian dituduh merampas pekerjaan orang-orang yang berasal dari Eropa. Tentu saja politikus tidak akan sungkan-sungkan meng­ ambil kesempatan untuk mencari popularitas. Secara terang-

65

KvbVllvh DI SINI

terangan beberapa politikus kulit putih menyatakan bahwa mereka tidak mau tanah mereka dikotori oleh hama berwujud manusia dari China, I ndia, dan Jepang, atau beberapa orang Eropa yang tidak mampu membangkitkan selera, seperti Egon Erwin Kisch. Penulis berideologi kiri yang menentang Hitler, Kisch lahir di Chekoslowakia dan datang ke Australia lalu disodori tesdiktebermacam bahasa Eropa, tapi dialulus. Petugas rupanya masih tidak puas dan meminta dia untuk mengerjakan tes dalam bahasa Gaelik Skotlandia. Tapi ternyata petugas imigrasi sendiri tidak becus bahasa ini, sehingga Kisch akhirnya harus diterima di Australia. Maling yang kemudian merasa lebih tinggi dan bermoral kedudukannya, dan menjadi penentu hukum. Merekalah yang kemudian merasa berhak menentukan siapa yang maling dan bukan, siapa yang layak dan tidak. 1 869 Aboriginal Protection Act -

Saat negara-negara koloni Britania melebarkan sayap dan mengembangkan kesejahteraannya dengan menyediakan pendidikan murah dan bahkan gratis, pemerintah Australia mengeluarkan hukum Perlindungan Aborigin. Tapi justru dengan hukum ini pemerintah bisa mengontrol gerak-gerik mereka: di mana mereka tinggal, menikah, dan bekerja. Kesejahteraan ternyata hanya berlaku untuk rakyat berkulit putih! Para Aborigin masih diperbudak bahkan ditembak sesuka hati oleh beberapa orang kulit putih. Dan jangan harap mereka bisa dapat sekolah gratis! Pada 1886 peraturan yang cukup mengerikan disahkan, yaitu menculik anak-anak berdarah campuran dari masyarakat Aborigin. Pada saat itu, terkadang terjadi hubungan campuran

66

Diusir

(entah karena sukarela atau paksaan) dengan orang kulit putih. Anak-anak yang dihasilkan dari hubungan ini akan diambil oleh pemerintah dan dibesarkan di kalangan kulit putih. Alasannya? Mereka yang hitam-hitam dianggap kotoran. Karenanya, bila ada

kelebihan putih sedikit pun, makhluk ini harus diselamatkan! Terjadilah perampasan anak dari kelompok ini. Siapa saja yang didata telah "keputihan" di masyarakat hitam, segera digondol untuk dididik dengan cara "I nggris". Bagi pendatang kulit putih itu budaya I nggrislah yang harus diutamakan dan dilestarikan di benua ini. Bukan budaya lokal, bukan dari mereka-mereka yang telah dirampas hak dan tanahnya. Karena

perampasan dan penindasan memerlukan pembenaran. I nilah yang membuat mereka semakin merendahkan Aborigin-untuk membenarkan tindakan yang dilakukan. Untuk membenarkan bahwa mereka, yang jauh lebih unggul dan berbudaya, mempu­ nyai hak untuk berkuasa di tanah itu. Pagar Kelinci Rabbit Proof-fence. pagar anti-kelinci. Pagar yang meng­ hadang kelinci masuk dan merusak tanaman. Namun, pagar ini­ lah yang sempat menjadi petunjuk jalan bagi tiga anak Aborigin dari dua ibu yang sudah "keputihan": Molly, Gracie, dan Daisy. Juni 1930, ketiga gadisini direnggut begitu saja dan dibawa ke Moore River di Perth {Selatan Australia), beribu mil jauhnya dari keluarga mereka di Jigalong {Australia Bar at). Bahkan ayah mereka yang berkulit putih tidak kuasa menghalangi kepergian anaknya yang menjerit-jerit histeris di dalam mobil polisi. lnilah dosa ketiga gadis itu: mempunyai ibu Aborigin. Karena itu, mereka bisa dipisahkan begitu saja, seperti me-

67

KvbU11uh DI SINI

misahkan kucing atau anjing dari induknya. Dan mereka akan menjalani proses"pembersihan"-supayadarah Aborigin mereka pudar, supaya mereka bisa menjadi lebih mi rip orang kulit putih. Mi rip mengawinkan anjing supaya dapat rastertentu. Mereka harusdisekap dalam kantor polisi sebelum diangkut oleh kereta api. Dal am asrama khususdi Moore River ketiga gad is ini tidur berpelukan di ranjang karena kedinginan. Kota yang

bising dengan ruang-ruang berdindingtinggi dan tebal mernbuat mereka seolah berada di penjara. Dan memang, kebebasan mereka telah hilang saat itu. Ketika ketiganya mencoba kembali

ke rumah mereka di Jigalong, dihajarlah mereka tanpa ampun oleh para petugas asrama itu, dengan pukulan dan berbagai macam siksaan lainnya. Dana yang tersedia untuk penjara anak-anak ini hanya 1/7 dana untuk penjara-penjara di Australia Barat. Karena

itu, makanan yang diberikan kepada mereka tidak lebih baik daripada makanan untuk anjing. Pada 1931, Molly berusia 14 tahun, Gracie 10 tahun, dan Daisy 8 tahun. Mereka harus pergi ke sekolah untuk belajar menjadi orang kulit putih. Namun, bukannya berangkat ke sekolah, mereka melarikan diri. Ke rumah mereka. Ke

ibu

dan saudara-saudara mereka, ke nenek mereka, ke ternan dan masyarakat mereka dibesarkan. Tapi tempat mereka disekap beribu mil jauhnya dari Jigalong. Bagaimana mereka harus pulang? Berjalan kaki? Tidak ada cara lain. ltulah yang

mereka tempuh. Berjalan

kaki dari Moore River menuju Jigalong. Dengan kernampuan Molly melacak, ketiga gadis itu mencoba menernukan Pagar Anti Kelinci. Karena Molly pernah mendengar ayahnya berkata

68

Diusir

bahwa pagar ini akan membawa mereka dari Selatan Australi a menuju Jigalong. Dipimpin oleh Molly, mereka mulai merambah semak belukar dan menyeberangi sungai. Sebuah ketakutan tersendiri karena mereka percaya bahwa di seberang sungai itu ada hantu pemakan daging, bernama Mar bu. Tapi keinginan mereka untuk pulang mengalahkan ketakutan ini dan merekatetap melanjutkan perjalanan. Mereka tidur di bawah pohon, di atas semak, atau di liang kelinci. H anyadengan roti dan air. Ditambah dengan kemampuan mereka berburu dan menggal i sumber makanan di padang pasir -kemampuan yangbiasanyatidak dimiliki oleh orangkulit putih yang tinggal di kota. Ketiga gadis cilik ini bisa bertahan selama

beberapa hari di alam Australia yang cukup kering dan ganas dengan berburu kelinci dan ulat, atau mencukit sari pohon. Tapi, sumber makanan tidak bisa selalu didapat. Gracie berkali-kali berniat menyerahkan diri. Dia kelaparan dan tidak ingin mati. Namun Molly bersikeras dan akhirnya berhasil meyakinkan Gracie: mereka melanjutkan perjalanan. I nilah kesukaran lain yang harus mereka hadapi selain perjalanan yang panjang dan keras: pengejaran polisi. Dari tempat persembunyian, mereka bisa melihat helikopter yang dikirim untuk melacak ketiga gadis ini. Wajah mereka disebar di televisi: buron yang paling dicari di Australia. Sudah lebih dari dua minggu mereka berjalan, dengan kaki yang berdarah-darah. Bertiga, mereka terus menapakkan kaki dan mulai mengemis makanan dari rumah satu ke rumah lain. Tapi tidak semua orang kulit putih brengsek dan berlaku semena-mena terhadap mereka.

69

KvbU11uh DI SINI

Seorang perempuan mempersilakan mereka masuk dan menjamu mereka. Tapi setelah mereka pergi, perempuan itu segera memanggil polisi, karena menyangka ketiga bocah ini tidak akan mampu bertahan di padang pasir Kebaikan dan niat .

mulia yang membawa celaka. Ketiga gadis cilik ini benar-benar

ingin pulang, apa pun risikonya. Pengejaran oleh polisi hanya menambah penderitaan bagi ketiga musafirkecil ini. Merekatidak saja harus mempertahankan

diri, tapi juga bersembunyi dan melindungi diri dari kejaran polisi, membuat bertambah sukar mendapat makanan dan bertahan hidup. Akhirnya mereka sampai di pagar anti kelinci. Jajaran besi panjang inilah yang membawa mereka pulang, kembali ke Jigalong. "Kita sudah menemukan pagar ini, sekarang segalanya

akan jadi lebih mudah". Tapi mereka salah. Luka-Iuka di kaki mereka mulai bernanah. I nfeksi yang semakin menjadi, membuat badan mereka lemah. Pengejaran polisi terhadap mereka makin gencar. Mereka melanjutkan perjalanan dengan saling menggen­ dong bergantian. Saat itu mereka telah berjalan

5 minggu

lama­

nya, dan masih begitu jauh dari rumah. Dengan keadaan de­ mikian, amat jarang anak-anak lain mampu bertahan. Namun ketiga gadis Aborigin mempunyai kekuatan dan kemampuan tersendiri di alam Australia yang tandus. Yang hamparan pasir merahnya siap membakar kulit dan menyengat Iuka-Iuka mereka. Di tengah jalan, Gracie mendengar bahwa ibunya telah pindah dari Jigalong ke Wiluna. Dia memutuskan berpisah dari

70

Diusir

Molly dan Daisy, yang tidak begitu percaya akan keputusan Gracie ini. Sudah delapan minggu mereka berjalan. Jigalong tidak lagi jauh. Namun, saat Daisy baru saja bangun tidur, di depan­ nya telah ada seorang lelaki yang mengenal buron ini dan akan menghubungi polisi. Daisy, gadis cilik yang sudah tertempa dengan perjalananjauh itu, mengambil batu dan melemparkannya ke pria itu. Mereka kembali berjalan sampai Jigalong. Setelah 9 minggu dan menempuh 2.400 km. Tiga kali jarak Jakarta­ Surabaya, bersatulah Molly dan Daisy dengan keluarga mereka kembali. Gracie akhirnya juga bertemu dengan keluarganya di Wiluna. Perjalanan yang lebih panjang dan luar biasa daripada kebanyakan penjelajah di Australia, yang dilengkapi dengan berbagai peralatan dan alas kaki. Ketiga gadis cilik ini

melakukannya hampir tanpa bekal. Charles Darwin sempat berpendapat bahwa kecerdasan Aborigin tidaklah melebihi anjing. bahwa Aborigin mengalami evolusi yang tidak secepat dan semaju manusia lainnya. Tapi mereka ternyata mempunyai kelebihan-kelebihan yang luar biasa. Dan masih saja mereka direndahkan. Masih saja mereka diperlakukan seperti binatang tanpa akal.

*

Setelah semua itu, Gracietertangkap di Wiluna dan dikirim kembali ke Moore River, dengan penjagaan yang lebih ketat. Gracie menyelesaikan pelatihannya sebagai pembantu rumah

71

KvbtMuh DI SINI

tangga. Molly menikah dengan lelaki Aborigin, Tobby Kelly dan

mempunyai dua anak perempuan, Doris dan Anna. Pada 1940, Molly beserta kedua anaknya ditangkap dan digiring ke Moore River. Setahun setelah anaknya dirampas. Molly kembali menyu­ suri jalan panjang yangditempuhnya sepuluh tahun sebelumnya. Kali ini, ia kembali dengan menggendong Anna yang berusia 18

buIan, sepanjang jalan. Molly harus memilih di antara kedua anaknya. Karena ia

tidak bisamenempuh perjalanan sejauh itu dengan menggendong keduanya. l a memutuskan untuk meninggalkan Doris yang ber­ umur 4 tahun saat itu. Doris dilatih untuk melupakan jejak Aboriginnya dan menjadi orang kulit putih, atau yang lebih tepat, menghamba pada budaya kulit putih. I a diharuskan makan dan berbicara seperti orang kulit putih, juga ke gereja dan menyanyi lagu­ lagu rohani mereka. Bila i a berani berbicara bahasa lokalnya, ia akan dipukul dan dihukum keras. Tapi jangan bermimpi Doris akan punya hak yang sama dengan orang-orang kulit putih itu. Karir bagi para makhluk berkulit hitam n i i paling-paling adalah

pembantu rumah tangga bagi orang kulit putih. Tapi Doris berhasil melampaui rata-rata Aborigin. l a menjadi asisten juru rawat pada 1955, perempuan berdarah Aborigin pertama dari asrama Moore River yang tidak menjadi pekerja rumah-tangga. I a menikah, mempunyai empat anak. Jigalong hampir pudar dari ingatan Doris. Dia sendiri begitu membenci Molly, ibunya, yang meninggalkan dirinya sendirian di sana, dengan memilih Anna.

72

Diusir

Namun, ternyata kenangan tentang masa kecil yang singkat di padang pasir Australia tidak terhapus sama sekali. Doris akhirnya melacak masa lalu itu, dan pada hari Natal 1962, ia bertemu kembali dengan orangtuanya. "Aku

begitu

kagum

dengan

perempuan-perempuan

padang pasir Barat Australia,· tulis Doris. "Bagaimana mereka mempunyai wajah yang damai sekaligus tangguh? Kamu belajar berbagai hal dari mereka. Dan aku, yang merasa tahu begitu banyak, harusdudukdengan ibuku, nenekku, dan saudara-sauda­ raku, untuk belajar kembali dari mereka. I buku membawaku ke pohon Wintamarra di mana aku dilahirkan. Tempat yang hampir kulupakan." Doris mempelajari kembali bahasa ibunya. Akhirnya ia menulis kisah perjalanan panjang sang ibu dalam novel berjudul Follow theRabbit Proof-fence. Buku ini kemudian difilmkan oleh sutradara Phillip Noyce dengan judul The Rabbit Proof-fence. Molly yang hanya ingin tinggal di Jigalong tanpa kejaran apa pun selama bertahun-tahun lamanya, yang harus bersem­ bunyi seperti buron, sekarang kisahnya muncul dalam film yang luas beredar di beberapa negara. Film yang membuat Molly menjadi selebritas pada saat ia hanya ingin hidup tenang bersama keluarganya. Anak Molly, Doris, menerbitkan beberapa buku tentang kehidupan Aborigin dengan nama Doris Pilkington. Sedangkan adiknya, Anna, akhirnya direnggut kembali dari Molly beberapa bulan setelah mereka melarikan diri dari Moore River. Anna, yang dulu berumur dua tahun dan digendongnya saat menempuh perjalanan kedua menuju Jigalong, sekarang mengaku tak mempunyai ingatan apa pun tentang Molly dan tak ingin

73

KvbU11uh DI SINI

kembali keJigalong. Anna adalah salah satu produk keberhasilan pemutihan ini, sehingga ia mengingkari orangtua dan tanah asalnya sendiri. Penindasan yang sempurna, yang membuat sang tertindas tidak lagi mengenali ketidakadilan terhadap dirinya. Molly masih berharap bahwa suatu saat putrinya, Anna, akan kembali, walau hanya sekali.

*

Baru pada 1973, saat Gough Whitlam menjadi Perdana Menteri Australia, kebijakan "White Australian Policy" dihapus secara resmi. Pemerintahan Whitlam meniadakan diskriminasi ras dan etnis dalam penentuan siapa saja yang bisa masuk ke negara ini, dan hak-hak Aborigin diangkat. Tidak ada lagi hukuman bagi para Aborigin yang berbicara bahasa lokal mereka. Bahkan radio dalam bahasa-bahasa Aborigin diperkenalkan. Namun dalam pemerintahan John Howard diskriminasi seolah marak lagi. Tentunya pada zaman yang lebih modern ini politikusnya sudah lebih sungkan melontarkan kata-kata berbau diskriminasi. Mereka melakukannya dengan kebijakan, peraturan, pemotongan dana, dan tentunya informasi yang dibengkokkan. Kedatangan pengungsi dari TimurTengah menjadi sasaran.

Pemerintahan Howard mencoba mengusir manusia-manusia kapal lainnya. Menyudutkan mereka, bahkan memisahkan anak­ anak dari orangtuanya, dengan membangun asrama tersendiri bagi mereka. Migrasi lebih ditujukan untuk pencarian ternak terbaik, yang menguntungkan penguasa. Bata&-batas di mana manusia tinggal, dan dengan siapa,

74

Diusir

seringkali sangat ditentukan oleh para penguasa, baik kita sadari maupun tidak. Apa yang terjadi pada Molly dan Doris, sudah dikritik habis-habisan oleh kebanyakan orang. Tapi, apakah mereka menyadari bahwa hal ini masih saja terjadi dalam bentuk lain? Keluarga dan kekasih yang dipisahkan secara paksa, masih berlanjut. Sebagian dari penduduk ini merasa bahwa apa yang kualami bersama Angus adalah hal yang biasa. Hal yang harus dilakukan oleh pemerintahnya untuk melindungi warga. Warga yang mana?

Mengapa mereka tiba-tiba merasa lebih berhak

dari pada kami? H anya karena nenek moyang mereka berhasil merampas tanah ini dengan kekerasan dan diskriminasi yang luar biasa? Permohonanku untuk tetap tinggal di negeri ini ditolak. Aku diusir dari Australia untuk kedua kalinya.

Negeri Lain Aku seolah diserang dari berbagai penjuru. Tidak saja tubuhku yang menyerang diriku sendiri dan berusaha meng­ hancurkan hidupku, namun juga beberapa manusia di negeri ini yang menggunakan kesempatan untuk lebih merendahkanku. Mungkin, sudah saatnya kami keluar dari negeri ini. Tapi, di mana kami akan tinggal? D i negeri apa? D i I ndonesia, Angus akan kesulitan mencari pekerjaan di bidangnya. Sebagai dosen dan peneliti sastra dan filsafat Jerman, buku dan fasilitas akan terbatas untuk dia. Aku tahu, hal ini akan membuatnya frustrasi. Dan kami juga mendengar betapa rumitnya birokrasi Indonesia bagi penduduk asing yang datang begitu saja, tanpa ada sponsor dari perusahaan atau lembaga

75

KvbU11uh DI SINI

yang mempekerjakan. Mengurus kartu penduduk bagi warga negara asing, kudengar, juga sangat berbelit di Indonesia. Lalu, apa Angus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di Indonesia? Angus amat tidak tahan dengan udara pan as, dan polusi di Indonesia bisa membuat asmanya sering kumat. Ditambah lagi dengan perawatan kankerku yang pasti sangat mahal karena tidak ada tunjangan dari pemerintah. Apakah gaji kami akan mencukupi? Sedangkan di sini, Angus baru saja mendapat tawaran sebagai dosen di Ballarat University (sekitar dua jam dari Melbourne). Apakah kami harus berpisah hanya karena pemerintah yang tidak menghendaki aku tinggal di sini? Haruskah kami berpisah? Sebelum berhasil menemukan jalan keluar, kankerku tumbuh lagi. U ntuk yang kedua kali. Kami kembali mondar-mandir ke rumah sakit, laborato­

ri um, dokter. Dan juga pengacara, yang menyarankan kami un­ tuk melakukan "naik banding" atas keputusan m i igrasi. Kami

punya waktu 90 hari sebe!um aku harus benar-benar mening­ galkan negara ini dan berpisah dari Angus. Kami harus mencari

berbagai dukungan dalam waktu sependek itu. Sebanyak­ banyaknya dan secepatnya. Gundul Radioterapi untuk kankerku yang kedua, dengan kadar yang lebih besar. Bukan saja tubuhku yang menolak makanan yang dimasukkan ke perut, tapi juga rambut di kepala. Setiap pagi, kulihat helai-helai rambutku tersebar di bantal, di tempat tidur, dan karpet. Setiap kali dibersihkan, akan muncul lagi. Bertambah lama bertambah tebal, seakan aku 76

Diusir

memindahkan bibitnya dari kepala ke tanah. Rambutku yang sebahu sekarang berserakan di bawah. Mesin pengisap debu kami jadi sering macet karena rambut ini. Dan kami juga capek membersihkan rumah terus. Akhirnya kuputuskan untuk mencukurnya. Pagi-pagi sekali ketika Angus masih tidur aku memotong rambutku yang sebahu dengan gunting. Ketika sudah sangat pendek, kutunjukkan ke Angus, yang hampir saja pingsan melihat rupaku yang tidak keruan. Rambutku yang kaku berjerawut seperti ijuk rusak. Lalu, kuminta dia membabat habis rambutku dengan pencukur jenggotnya. Dia melakukannya sambil geleng-geleng kepala. Antara sedih, geli, dan kaget. Antara air mata dan tawa. Tapi aku lega. Beres sudah! Dengan kepala gundul, aku tidak akan mengotori rumah. Rambut gundulku rupanya menarik perhatian banyak orang.

Kebanyakan sangat bersimpati kepadaku karena me­

nyangka kamu/ah penyebabnya. Tapi, beberapa orang yangtidak tahu kalau aku kena kanker menyangkainimodelbaru. Bahkan adayangberkomentar: "Kamu keren sekali ternyata dengan rambut gundul!" Dan komentar Angus akhirnya? " You do look sexy with thishair "(Kamu terlihat seksi dengan rambut seperti ini).

Rektor Plagiator Pemerintah Australia saat ini sibuk menghadang orang­ orang yang dianggap menc:emari atau merugikan negaranya. Mereka sibuk dengan usahanya mengusir penduduk yang ber­ penyakit sepertiku atau para pengungsi dari Afganistan dan

I rak, yang dianggap akan membebani negaranya. Dengan 77

KvbU11uh DI SINI

senang hati pemerintah menerima orang-orang yang dianggap menguntungkan, yang bisa mengalirkan dolar secepat mungkin, dan dari budaya serupa, bila perlu bahkan menawarkan gaj i tinggi. Salah satu yang masuk dalam kriteria itu adalah Rektor Monash, David Robinson, yang diimpor dari Britania untuk melancarkan keuangan di berbagai universitas di Australia, termasuk Universitas Monash. Dengan adanya makhluk ini, Monash University menge­ pakkan sayap ke negara-negara lain. Tapi, mereka seolah lupa memupuk diri ke dalam, dan lebih suka merajalela ke luar: ke Malaysia dan Afrika Selatan. Membuka cabang di dua negara ini untuk meraup dolar.

I nilah McMonash, mi rip McDonald yang

menjual nama di mana-mana. Sedangkan kondisi Monash di Australia sendiri semakin parah. Tahun

1999, tiba-tiba dana

untuk kerja lapangan bagi mahasiswa PhD dipotong, karena Monash harus menanam investasi di cabang barunya di Afrika Selatan. Ayah Angus, yang saat itu kebetulan menjadi profesor dan dekan dalam bidang geologi di Monash, sempat berbisik bahwa banyak pengajar tidak suka dengan Rektor, yang diktator ini. Apalagi dia juga hobi memecat dosen. Tapi, mereka juga ketakutan-takut dipecat. Dosen di sini juga masih memikirkan perut mereka! Bisik-bisik berlanjut. Sekelompok dosen sudah ingin me­ nendang rektor ini. Tapi, seperti sebagian rakyat yang begitu ingin Soeharto segera hengkang, mereka tidak tahu bagaimana cara yang efektif. Tidak satu pun dari mereka adalah Widji Thukul yang nekat, walaupun beberapa mulai melaksanakan stra­ tegi. Dan, pucuk dicinta, ulam tiba: rektor yang dianggap andal mendatangkan dolar, ternyataadalah plagiator. Padapertengahan

78

Diusir

tahun 1970an, karya David Robinson ternyata mengandung hasil jiplakan. Tidak saja satu, tapi dua! Pertama, dalam buku sang profesor berjudul From Drinking to Alcoholism: a Sodological Commentary. Kedua dalam bukunya Drug Use and Misuse: ,

Cultural Perspectives, terdapat 20 kalimat yang dicomot dari karya orang lain dan diakui sebagai hasil pemikirannya sendiri. 1 Mahasiswa plagiator sangsinya tidak lulus. Kalau diulang,

maka akan dikeluarkan. I ni rektornya sudah melakukan dua kali. Apa lagi yang ditunggu? Para dosen yang sudah bekerja keras mengumpulkan data kecurangan rektor, mereka pun bersorak. I nilah kabar dari segenap dewan administrasi Monash U niversity yang berhak memecat sang rektor: Profesor David Robinson sudah mengakui kesalahan ini sebelum dia dikontrak oleh Monash. Beliau sudah meminta maaf sedalam-dalamnya dan menyatakan bahwa memang dia telah teledor. Ada unsur ketidaksengajaan, dan ini telah dimaklumi oleh penerbit bu­ kunya. Jadi harap tidak diungkit-ungkit lagi. Titik! Lalu, kabar itu hanya menjadi bisikan semata. Yang tidak ada artinya. Seolah cukup untuk menjadi bahan masturbasi para dosen yang sudah begitu marah dengan rektor satu ini. Mirip para politikus yang mengharuskan rakyatnya untuk mematuhi berjuta peraturan dan tuntutan. Tapi, kalau mereka sendiri yang melakukan berbagai kebatilan dan kebejatan, sangsinya TIDAK

ADA. I n i pun tidak cukup. Ternyata, setelah dua kali kasus plagi­ arisme itu, ada lagi ekornya. Salah seorang dosen di Monash menemukan karya ketiga sang profesor yang berhiaskan jiplak1. Phil Baty. "Whistleblowers: Plagiarism Scandal Returns to Haunt V-C". http://www. csse.monash.edu.au/-jwb/plagiarism.html (diakses pada 20 Januari 2013).

79

KvbtMuh DI SINI

an.2 Dan yang ini rupanya temuan baru. Sang profesor tidak bisa lagi berkelit kali ini. Rupanya dia punya kebiasaan yang bah­ kan mungkin sudah menjadi hobi: menjiplak karya orang. Para dosen menuntut David Robinson untuk mundur. Beberapa ma­ hasiswa tidak ketinggalan. Aku dan beberapa teman membuat petisi agar David Robinson dikeluarkan dari Universitas. Tapi betapa kecewanya kami, ternyata banyak yang masih ketakutan dan tidak mau menandatangani petisi ini. Ditambah dewan administrasi Monash yang terhormat masih tetap tidak sudi menyingkirkan sang profesor plagiator. Alasannya? Profesor ini baru saja menandatangani kontrak barn. Kalau dia dipecat sekarang, universitas harus membayar

kompensasi sebesar AUS$2juta kepada si plagiator. Beberapa dosen masih tetap melobi supaya si profesor plagiator mengundurkan diri. Akhirnya pada bulan Juli 2002, Profesor David Robinson keluar dari Monash U niversity. Sebuah kemenangan bagi dunia akademia, menurut beberapa orang. Mungkin saja. Tapi, David Robinson tidak pergi dengan tangan hampa. Dia ternyata mendapat pesangon yang cukup tebal. Walaupun dewan administrasi tidak mau mengungkap jumlahnya, kami yakin pasti cukup bagi dia untuk menikmati sisa hidupnya dalam kemewahan. Salah seorang tetangga kami kebetulan juga pernah mengajar di Monash U niversity dan sudah cukup dikenal sebagai penerjemah novel-novel Indonesia ke dalam bahasa I nggris. Harry Aveling. I stri Harry Aveling, Marian Quartly, juga dosen di Monash University. Mereka berdua sering bertandang ke rumah kami, dan juga memberi berbagai info tentang rektor plagiator 2. Misha Ketchell. "Plagiarism Accusation Grows" http://www.plagiarism.com.au/ plagiarism-articles/2002/7/25/plagiarism-accusations-grow/ (diakses pada 11 Januari 2013). 80

Diusir

ini. "Pemerintah Australia mencoba mengusir kamu karena dianggap memboroskan uang di negeri ini. Tapi pemborosan yang disebabkan oleh rektor ini mungkin berpuluh kali lipat daripada dana yang diperlukan untuk kesehatanmu, • kata H arry Aveling dan Marian Quartly. "Kamu lebih layak menjadi warga

negara di sini daripada rektor plagiator itu." Kalau saja ini fiksi, mungkin aku bisa mengubah keadaan.

Mungkin aku bisa membuat sang rektor ditendang dari Australia. Tapi sayang, aku tidak mempunyai kekuatan itu sekarang. Aku masih harus tertatih-tatih hanya untuk bisa tinggal di sini. Beberapa akademisi di Australia memberi dukungan yang luar biasa supaya aku bisatetap tinggal di Australia. Susan Blackburn, Joost Cote, Stuart Robson, Harry Aveling, Marian Quartly, dan lain-lain ikut menulis surat memprotes pengusiranku dari Australia. Tapi, aku masih harus menunggu. Masih tidak adajawaban yang pasti, dan saat itu, kami harus segera pindah ke Ballarat. Angus mendapat tawaran kerja sebagai dosen di universitas di kota kecil itu. Ballarat D i kota ini, rumah kami berada di atas bukit. D i belakang rumah ada pohon plum yang baru saja berbuah. D i sepanjang jalan berjajar rumah-rumah tua terbuat dari balok kayu dengan atap yang berukir dan jendela berbentuk kubah. Bunga lavender, mawar, dan geranium memenuhi tanah. Mirip dengan rumah boneka atau rumah kue yang dibuat anak-anak pada hari Natal. Membawaku mengarungi perjalanan waktu, 150 tahun yang lalu, ketika pertambangan dimulai.

Ketika para pendatang 81

KvbtMuh Pl SINI

dari berbagai negeri berdatangan ke kota ini, sebagian dengan berjalan kaki bermil-mil jauhnya untuk satu hal: emas. Pada sebuab bukit, Souvereign Hill, film Little House on the Prairie menjadi nyata. Perempuan dengan gaun lebar menyentuh tanah dan topi bulat. Lelakinya memakai sepatu lars setinggi betis dengan topi dari kulit. Mereka mengendarai kereta kuda meli ntasi jalan tak beraspal yang membelah kota. D i sini ada sekolah. Juga toko, praktik dokter, tempat rukur yang semua terbuat dari kayu, dan hotel para koboi yang mengelana. D i sini, beberapa penduduk sudah mengenal Angussebagai dosen baru mereka. saat itu aku masih harus mondar-mandir Ballarat-Melbourne untuk perawatan dan check-up dokter, dan juga untuk urusan imigrasiku yangtidak kunjung kelar. Beberapa bulan setelah pindah ke kota ini, imigrasi akhirnya menyatakan bahwa pengajuan PR-ku akan segera dikabulkan dengan syarat: aku harus tinggal selama 6 bulan dan tidak bertingkah macam­ macam. Baru setelahnya, akan resmi menjadi penduduk di sini. Kami bisa bernafas lega.

I nilah universitas di mana Angus mulai bekerja. Dengan beberapa profesor yang ramab. Kami mempunyai barapan besar

di tempat ini. Aku akhirnya bisa tinggal di sini bersama orang yang sangat kukasihi, Angus. Apalagi setelah keadaanku mulai membaik, aku juga men­ dapat tawaran mengajar paruh waktu di U niversitas Ballarat. Mungkin, kami bisa membeli rumah bila tabungan kami rukup. Sebuah rumah tua dari kayu dengan taman yang luas. Begitu banyak rencana kami. Begitu juga barapan. Karena aku yakin,

setelah operasi dan pengobatan kankerku yang rukup brutal itu, tentunya akan ada sesuatu yang lebih baik, yang lebih mernbahagiakan. 82

Diusir

*

Ketika aku mendapat beasiswa dan bisa kuliab di univer­

sitas Australia, seakan semua itu hanyalah mimpi. Aku masih ingat ketika menerima kabar itu pertama kali. Pada hari yang gelap dan gerimis. Saat aku sedang menunggu papaku yang sedang terkapar di rumah sakit, sepupuku membawa sebuah surat. Sebuah kebahagiaan yang tak terlupakan. Sekarang, aku tidak hanya menjadi mahasiswa, tetapi salah satu pengajar di universitas di negara ini. Bagaimana bayanganmu tentang kehidupan para dosen dan profesor di Australia? Apa yang mereka sibukkan? Orang seperti apa mereka? M anusia-manusia bijak yang selalu berkutat dengan ilmu? Yang tidak lagi berteriak dan memaki dengan kasar? Yang mencoba berbuat seadil mungkin dan memikirkan pengetahuan? *

D i ruang makan universitas ini, para dosen seringkali ber­ temu untuk makan siang bersama. Kami semakin sering mem­

perhati kan bagaimana beberapa dosen muda membuka koran untuk melihat lowongan pekerjaan. Beberapa melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, tapi ada juga yang sudah tidak sungkan lagi menunjukkan keinginan mereka untuk lolos dari universitas ini. Peter, dosen yang ikut mewawancarai Angus pada waktu dia melamar kerja, mendekati kami sambil nyengir: "Gimana rasanya setelah diterima di sini?"

83

KvbU11uh DI SINI

Sebelum kami sempat menjawab, di a melanjutkan: "Kamu

tahu, tempat ini hanyalah batu loncatan bagi banyak orang." Dengan berbisik: "Mereka yang sudah senior dan tua, tidak ada pilihan selain menetap. Karena mereka tidak lagi punya kesem­

patan pindah atau mendapat pekerjaan di universitas lain." "I ni universitas kacau," katanya lagi. "Perhatikan profe­ sornya. Beberapa menjadi profesor bukan karena kemampuan akademik tapi karena keberuntungan dan kemampuan menjilat atasan dan sistem." Bulan itu ada peluncuran buku setebal bantal. Oleh Profesor Morris. Angus membaca sekilas: "Mungkin benar kata Peter!" Buku itu tidak layak menjadi buku akademik. Bibliografi,

penelitian, dan teorinya tidak cukup memadai. I nil ah kota yang indah dalam sehari, tapi bi la kamu terlalu lama di sini, keindahan itu berubah menjadi mengerikan. l a seakan mengejek karena telah berhasil memperdaya kami, un­ tuk mempercayai rayuannya, untuk merasa nyaman dan me­ nyerahkan segala padanya. Untuk mempunyai harapan setelah semua masalah yang kita hadapi. Dan setelah itu, menghem­ paskan semua itu. Para profesor dan dosen senior yang terjebak di kota ini, dan ramah kepada kami, apakah hanya karena ketakutan mereka bi la kami melarikan diri? Kami baru saja tiba, baru saja beristirahat setelah pengem­

baraan yang jauh dan melelahkan. Sel<arang haruskah kami pergi lagi? Angus diberi beban kerja yang sangat berat sehingga dia hampir tidak punya waktu untuk beristirahat, apalagi untuk mencari kerja di tempat lain. Sedangkan kondisiku masih belum

84

Diusir

pulih total. Mengajar yang hanya seminggu sekali pun sudah cukup berat untukku. Keadaan

enjadi bertambab tegang ketika pemerintah

m

mengurangi dana untuk pendidikan. Para dosen muda di universitas tentu

merasa terancam kedudukannya karena

sewaktu-waktu mereka bisa ditendang. Pesta Natal mengumpulkan kami bersama di kapal meng­ arungi Danau Wendouree. Dari tenaga administrasi, dosen junior dan senior, profesor, sampai dekan. Kue-kue dan kembang gula yang meriah tidak bisa memungkiri wajah-wajah tegang di sekitarnya. Setelah makan siang, ada undian berhadiah sebotol anggur. Mungkin tahun depan undiannya akan berbeda: bukan siapa yang akan dapat anggur tapi siapa yang akan dipecat!

*

I nil ah tempat di mana kami baru bertambat. D i mana

kami baru mendapat rumah untuk tinggal. D i mana kami baru beristirahat sejenak. D i mana kami baru menaruh harapan.

H arapan itu per I ahan lenyap. Beberapa dosen senior dengan menggebu menyatakan betapa indahnya kota ini dan begitu cintanya mereka pada tempat ini. Mungkin ini adalah bagian dari rasa tertekan. Bila kamu tidak punya pilihan lain, kamu harus menyukainya dan mungkin in ii ah yang terjadi.

Stockholm Syndrome. Mereka telah tersekap tanpa bisa lepas,

lalu berbalik mencintainya dengan menggebu. Dan

untuk menutupi rasa rendah diri karena harus menjadi bagian dari kota kecil yang jarang bisa dibanggakan, mereka seolah

85

KvbU11uh DI SINI

mengupayakan sekuat tenaga untuk membuat kota ini lebih in­ dah, lebih luar biasa, dan lebih berhargadengan segala sanjungan mereka. Kata-kata yang diucapkan hanya demi meyakinkan

diri sendiri. Kebanggaan yang mirp nasionalisme sempit. Saat i

mereka berbisik "Ballarat, Ballarat"-seolah kekasih yang perlu diperjuangkan harga dirinya. Pada akhir minggu, di kota ini, kami menyusuri Danau Wendouree, dengan angsa hitam berparuh merah. Sebuah kafe tua di pojoknya dengan perapian kayu, dan beberapa pemancing yang ditunggui oleh anjing mereka dengan setia. Akhir minggu berikut, kami menyusuri Danau Wendouree lagi, dan melihat angsa berparuh hitam yang sama dan orang­ orang yang sama. Minggu berikutnya, kami kembali ke Danau Wendouree lagi. Begitu pula minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya. Karena tidak ada tempat lain yang bisa kami kunjungi. Dan

akhi rnya, kami mengenali tidak saja orang-orang yang sama tapi juga anjing-anjing yang sama. Di Universitas, keadaannya tidak berbeda. Kami seolah menonton film yang dilambatkan,

slow-motion. Begitu lambat­

nya sehingga kami tidak tahu lagi adanya perubahan. Mogok Kerja Para Dosen Yang bisa mogok tidak hanya mobil. Banyak orang tahu itu. D i I ndonesia, selain mobil, mogok-mogokan biasanya dihu­ bungkan dengan buruh. Sekarang, giliran para dosen di Australia yang mogok. Ngambek tidak mau mengajar. Dan apa penyakit yang menyebabkan mogoknya para dosen ini? Siapa lagi kalau bukan hama yang bernama John Howard! 86

Diusir

Sesudah berulah dengan kisah bohong tentang para pengungsi, si Howard masih tidak puas. Dia mulai menuduh para akademisi terlalu manja dan kerjanya berdiam di menara gading, hanya sibuk dengan penelitiannya. Menara gading akademik? Menara gadingyang seperti apa? Kalau dibandingkan dengan menara gading si Howard sendiri, apa flat yang kami tinggali sekaran glebih megah? Apakah kantor

Angus yang rak bukunya sudah kusam dan mejanya sudah mengelupas ini lebih indah daripada kantor Howard? Seenak udelnya saja menuduh akademisi terlalu manja dan berdiam di menara gading. I ni belum cukup: Howard memangkas dana pendidikan dan mencoba melemahkan perserikatan dosen. Karena itu, perserikatan dosen akhirnya menggigit balik!

Pada 16 Oktober 2003, berpuluh ribu dosen di seluruh Australia mogok kerja untuk berdemonstrasi di jalan, dan hal ini sempat melumpuhkan sistem kerja universitas di seluruh negara. Dari 38 universitas di Australia, hanya 2 yang tidak berpartisipasi dalam mogok kerja ini, yaitu: ANU {Australia National University) dan UNSW {University of New South Wales). Para petinggi di UNSW, universitas yang berada di Sydney ini, berhasil memenangkan keputusan pengadilan yang melarang para dosen untuk mogok. Tapi beberapa dosen U NSW nekat turun kejalan untuk berpartisipasi dalam demonstrasi ini. Sedangkan universitas lain di Sydney yaitu Sydney U niversity, mempunyai kisah berbeda. Sekitar 90% dosen dan akademisi di sana mendukung protes besar-besaran i ni. H ari itu lebih dari 40.000 dosen dan stat universitas di se­ luruh Australia turun ke jalan! Koran-koran p un penuh dengan

berita ini.

87

KubVflVh DI SINI

*

D i Ballarat, reaksinya tidak seperti yang diharapkan oleh ketua serikat. Hanya sekitar 40% yang langsung mendukung. Yang lain, antara menolak, tidak mau tahu, atau pura-pura tidak tahu. Sedangkan dekan kami yang "tercinta", yang kemampuan administratifnya luar biasa dan penelitiannya biasa saja, me­ muji keberanian kami. I ni yang d ilakukan d i depan kami. Tapi dia sendiri tidak ikutan ketika pagi-pagi sekali kami sudah menggelandang d i tengah kota. Dengan termos berisi teh panas, roti, dan camilan secukupnya. Kami menggotong spanduk dan

membagikan selebaran kepada penumpang mobil-mobil yang lewat. Selebaran yang menjelaskan mengapa kami mogok kerja hari itu. Tidak semua orang bersimpati. Beberapa mobil lewat tanpa mau menerima selebaran kami. Bahkan salah satu sopir mobil pick-up yang cukup mengkilat men ancap gas sambil memaki. Dua dosen senior langsung naik darah. Mereka tahu mobil ini pasti kembali lewat jalan di seberang (karena tidak ada pilihan lain). Lalu dicegatnya mobil itu di sana. Betul juga, dari jauh kelihatan pick-up yang sama menderu-deru. Kedua dosen itu langsung berdiri di tengah jalan,

menghadang pick-up yang akan lewat. Menabrak lari satu orang, risikonya cukup besar. Kalau ada dua orang yang nekat

di depan mata, tentu tambah cilaka! Apalagi kalau disaksikan oleh beberapa dosen lainnya. Karena itu, mau tidak mau mobil

itu berhenti. Tapi jangan khawatir, kami tidak akan menganiaya dia. Kami menanyakan baik-baik kenapa dia memaki kami.

88

Diusir

Dia membentak: "Kenapa kalian mogok kerja? Anakku

kuliah d i universitas ini juga dan membayar uang kuliah. Tapi malah dapat dosen malas seperti kalian!" Rupanya dia tidak tahu bahwa kebijakan naiknya uang kuliah itu bukan dari kami, tapi dari pemerintah. Dan kenaikan uang kuliah ini adalah salah satu alasan kami mogok kerja. Selain itu, kami juga menuntut universitas agar pemotongan gaji kami hari ini dipakai untuk beasiswa. I nilah

politik memecah belah pemerintah! Antara rakyat

akhirnya saling menyalahkan. Setelah dijelaskan panjang lebar, akhirnya lelaki di dalam mobil pick-up mengkilat ini menunjukkan muka mengerti. Dia lalu menerima selebaran kami tanpa memaki lagi.

*

Salah seorang dosen memang kena tabrak mobil yang ngebut. Ashley, kakinya kena bemper depan! Tidak parah. Dia masih bisa berjalan walau sedikit terpincang-pincang. Tapi sang sopir rupanya memilih "korban· yang salah. Hampir saja dia melarikan diri, tapi beberapa dosen langsung mencatat plat nomernya, dan dia pun berhenti untuk menanyakan keadaan Ashley. Ashley memang perawakannya kecil tapi nyalinya sangat besar. Dia pernah memprotes salah satu rektor di U niversitas Ballarat karena diskriminasi gender, dan sangat bersemangat dalam demonstrasi ini. Tentu si Ashley tidak tinggal diam. Kasus

penabrakan ringan itu berakhir di pengadilan. Setelah demonstrasi usai, kami berkumpul di rumah

89

KvbVlluh DI SINI

salah seorang profesor yang sudah menyediakan kue. Ballarat yang masih sedikit dingin di bulan Oktober itu menjadi begitu berbeda. Salah satu hari yang paling kukenang di sana. Disusul oleh kejadian yang juga cukup membuat gempar departemen kami. *

Adu argumen antara Profesor Morris dan Dr Ashley akhir­ nya meledak karena Ashley menuduh Morris melempar tugas­ tugas kepadanya. Sedangkan Morris merasa Ashley sudah menjelek-jelekkan namanya di depan para mahasiswa. Ashley adalah dosen muda yang cerdas dan tajam, tapi begitu juga sengatan yang keluar dari mulutnya. "Pertarungan" keduanya bahkan membuat Ashley memaki dan membentak Profesor Morris tan pa ingat menutup pintu kan­ tor, sehingga membahanalah makian ini: "Kamu mendapat pro­

fesor dari buku yangtidak bermutu! Profesor macam apa itu?" Waktu aku di dalam toilet, kudengar dua mahasiswa ceki­ kikan, menggosipkan apa yang baru terjadi antara kedua dosen itu. Rupanya, di tempat ini, karena tidak banyak kejadian, per­ tengkaran dosen bisa menjadi hiburan yang luar biasa bagi mahasiswa! Yang lebih tidak nyaman adalah kedua dosen ini seakan mencoba membuat kubu - blok Ashley dan blok Morris. Beberapa dosen terang-terangan membela Morris sedangkan sebagian yang lain membela Ashley. Sebagian pura-pura tidak tahu dan tidak membicarakannya. Aku dan Angus semakin tidak tahan. Dan Angus berusaha keras mencari pekerjaan lain, dengan mengurangi jam tidurnya.

90

Diusir

Saat itu, dia melihat University of London membuka lowongan: dosen dalam bidang sastra dan filsafat Jerman.

U niversity of London adalah salah satu universitasterbagus di dunia untuk sastra Jerman, kata Angus. Pasti mereka hanya ingin orang-orang dari Cambridgeatau Oxford, atau dari Jerman. Tidak saja orang Jerman akan lebih handal dalam sastra mereka, tapi persyaratan untuk menjadi dosen di sana juga lebih seram: biasanya, dalam bidang-bidang sosial seperti ini, mereka harus menyelesaikan dua disertasi sebelum bisa menjadi dosen tetap (dengan kata lain, seolah mereka punya 2 gelar PhD). Angus hanya menyelesaikan satu disertasi saat ini. Angus tetap mengirimkan lamaran dan berhasil masuk short-list. Wawancaradengan universitasdi London berlangsung ketika aku sedang berkonsultasi dengan dokter d i Melbourne. Sesudah wawancara, Angus memberi laporan:"Pertanyaannya sangat sulit, terutama melihat analisa dan pengetahuanku tentang pujangga Jerman, Goethe. Aku pasti ditolak!". Esok harinya Angus menelepon aku lagi di Melbourne: "Tjen, merekamenawarkan pekerjaan keaku. Merekasukasekali dengan buku dan argumenku. Apa yang mesti kulakukan?" Lho, gimana ini orang? Tadinya kebelet sekali dengan pekerjaan ini dan merasatidak yakin akan dapat. Sekarang sudah mendapat tawaran malah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku jadi bingung. Antara Ballarat dan London Masalah lain: apakah Britania mau menerimaku setelah dua kali kena kanker? Aku merasa menjadi pesakitan yang tidak

91

KvbU11uh DI SINI

layak hidup di sembarang tempat. Bahkan dengan suamiku sendiri. Kalau ada tanda "Dilarang kencing sembarangan", sekarang

mereka seolah menempel tanda padaku: "Dilarang hinggap sembarangan". Dunia sudah menjadi monopoli segelintir orang. Yang bisa menentukan siapa saja yang layak hidup di belahan dunia mana. Selalu ada sekat-sekat bagi manusia tertentu yang dianggap berbeda. Di I ndonesia, teman-teman dari suku dan kepercayaan minoritas, atau yang orientasi seksualnya dianggap berbeda sering merasa terancam. Sekarang, aku dengan kankerku harus tersisih-bukan lagi dianggap manusia normal. Angus memutuskan untuk tidak menyetuj ui tawaran dari U niversity of London sebelum tahu pasti bahwa aku juga bisa tinggal d i Britaniatanpa ada masalah dan bisa mendapat fasilitas kesehatan. Kami mengurus surat-surat PRdari imigrasiAustralia

secepat mungkin. Paling tidak, bila kami tidak bisa tinggal di Britania, kami masih bisa tinggal di Australia dan Angus masih mempunyai pekerjaan di sini. Tapi petugas imigrasi Australia mengharuskan aku untuk eek kesehatan lagi dan membuktikan bahwa aku benar­ benar sehat, juga membayar surat keterangan dari polisi. Kami langsung protes: "Kami kan sudah banding dan dikabulkan? Apa

kami harus mulai lagi dari awal?" Petugas itu hanya menjawab singkat "ya", lalu menutup telepon. Aku membayar kepolisian untuk surat keterangan yang kedua lalu menghadap ke pengacaraku lagi, dan tentu saja mengeluarkan duit yang tidak sedikit untuk hal ini. Pengacaraku bilang kalau petugas imigrasi salah.

92

Diusir

Aku menelepon petugas imigrasi yang akhirnya mengakui kesalahannya, tanpa meminta maaf. Aku tidak lagi perlu surat dari kepolisian atau kesehatan. Lalu bagai mana dengan uang yang sudah telanjur kubayar? Ya, dianggap apes saja. Beginilah kacaunya imigrasi Australia! Sementara itu, kami menanyakan persyaratan untuk bisa tinggal di Britania dan juga jaminan kesehatan yang kami dapatkan. Setelah menanyakan kepada beberapa petugas, akhirnya kami mendapat jawaban: "Tidak ada diskriminasi apa pun bagi yang sakit untuk tinggal di Britania!" Angus seakan tidak percaya. Kami menelepon kedutaan

Britania di Australia untuk menanyakan hal yang sama, dan masih juga menelepon ke sana-sini menanyakan hal ini kepada petuga&-petugas imigrasi lainnya di London. Jawaban yang kami terima sama: "Tidak ada diskriminasi bagi yang sakit!" Kami

masih belum percaya, kami telepon lagi beberapa petugas lain. Jawabannya ternyata masih sama. Rupanya hukum imigrasi di Britaniajauh lebih manusiawi daripada di Australia. "Negaraku ini memang brengsek!" kata Angus yang sudah semakin "anti" dengan pemerintah negerinya sendiri. Angussegeramenyetujui tawaran dari U niversityof London untuk menjadi dosen di sana dan mengajukan pengunduran diri dari University of Ballarat. Beberapa minggu setelah aku menerima dokumen resmi dari imigrasi sebagai PR Australia, kami meninggalkan Australia. Menuju London. Akhirnya, kami pergi ke negeri lain, pada saat aku sudah diterima di sini. Dari pesawat, Angus memandang ke bawah. Ke tanah tempat a i dilahirkan dan dibesarkan.

"Bye,

93

KubVflvh Pl SINI

bloody racist country!" katanya sambil mengacungkan jari tengah. Setelah perlakuan imigrasi Australia terhadapku, Angus juga tidak bisa menghindari makian yang menggeneralisir



perti itu. Tidak lama setelah kami meningggalkan Australia, sang dosen muda Ashley juga mengundurkan diri. Mungkin sekali pertengkaran dengan Profesor Morris menyebabkan posisinya di Universitas Ballarat semakin terdesak. Dia pindah ke Seland i a Baru. Malangnya, tidak satu universitas pun yang menawarkan pekerjaan untuknya di sana. Kabar terakhir tentang Ashley: dia

akhirnya harusmenjadi satpam di sebuah kelab malam. Sungguh kisah yang tragis dari seorang dosen dan peneliti secemerlang dia.

*

94

v London

Churchill Gardens London, September 2004

Kami menapakkan kaki di London pertama kali pada mu­

si m gugur 2004. Dari bandara Heathrow kami mengambil taksi. Flat kami rupanya a.ikup jauh dan sopir taksi dengan tidak segan meminta tip cukup banyak: 10 pound! Karena baru saja datang di London, kami tidak tahu

sebenarnya si sopir sudah "merampok" kami. Baru setelahnya beberapa teman memberitahu bahwa memberi tip di negeri ini bukan keharusan dan biasanya pun tidak sebanyak itu. I nilah negeri keempat di mana aku akan tinggal. Setelah I ndonesia, Selandia Baru, dan Australia, aku akan menjadi penghuni Britania. Di sebuah apartemen bernama Churchill Gardens. Di Pimlico. Tempat Lady Diana dulu pernah mengajar sebagai guru TK sebelum menikah dengan Pangeran Charles.

D i pojok jalan, sebuah restoran India menggelar foto raksasa Lady Diana saat ia lewat di depan restoran itu.

KvbU11uh DI SINI

Pimlico.

Menyebutnya sebagai tempat tinggal

akan

membuat orang menoleh. I nilah daerah di mana orang-orang terhormat seperti Winston Churchill pernah bermukim; di mana para manusia tidak usah bersusah payah berangkat kuliah untuk mendapat gelar. Lady, Sir, Count, dan Countess bertebaran di sini. Jendela-jendela apartemen kami menyaj ikan peman­ dangan yang amat menarik. Dari jendela dapur kami bisa me­ lihat Thames River. Dari jendela kamar kami bisa melihat Westminster Abbey dan lonceng tua London yang sering muncul dalam dongeng-dongeng: Big Ben. Saat gelap, keempat jam Big Ben seperti mata raksasa yang menyala. I a tampak seperti mer­ cusuar yang tak berputar. Menara yang berdentang-dentang sendiri. Bila malam tiba dan sepi mulai datang, suara itu men­ capai kami. Dari jendela apartemen di sisi lain, kami melihat jajaran gedung-gedung Coundl Flat. Kami memangtidaktinggal disalah satu gedung yang mengkilat di Pimlico, tapi di rumah susun yang sedikit terpisah dari harum mobil-mobil mewah. Pimlico. Bila i a adalah binatang, tentunya bukan seperti merak yang mempunyai ekor menakjubkan. I a seperti menjangan yang ekornya sama sekali tidak menarik. Pendek, mengatup, dan cukup digunakan untuk menutup dubur si empunya supaya tidak terbuka dan masuk angin. Dengan penampilan seperti itu sang ekor lebih pantasdisembunyikan, bukan dipamerkan, dan kalau bisa, tidak perlu ditegakkan seperti ekor tupai yang menjurai. Coundl Flat inilah ekor Pimlico. Dengan ketinggiannya, ia membuat gedung-gedung lain lebih hangat dari terpaan angin sungai. Tapi, manusia-manusia di Pimlico lebih suka melupakan

96

London

atau tidak mau memandang apartemen yang bangunannya mi rip kardus berjajar.

Council Flat

adalah apartemen murah yang disediakan

oleh pemerintah bagi yang kurang mampu. Oulu, banyak sekali

Council Flat di London, di mana orang bisa tinggal dengan sangat murah dan bahkan gratis. Gedung ini dibangun menjulang dan berderet-deret di seluruh penjuru kota. Mungkin arsitekturnya senang sekali dengan buku kotak-kotak, sehingga dari kejauhan bangunan ini seperti ruang-ruang di kapal angkut yang besar. Dengan warna mentah. Tapi, Margaret Thatcher yang dari partai konservatif, semakin malas mengurusi penghuni

Council Flat.

Menurutnya,

itu membuang uang negara, dan memutuskan untuk menjual

Council Flat dengan

harga rendah kepada para penyewa. Pada

awal tahun 1980an, terjadilah obral

Council Flat.

Tentu saja

para penyewa yang punya duit cukup senang. Sedangkan yang tidak punya duit untuk beli, harus memb/e(harga rumah obralan tentu tidak seperti sepatu obralan). Namun para investor rupanya sudah memperhatikan si memble-memble ini. Mereka segera mengadakan perjanjian terselubung-para manusia berduit ini membeli apartemen atas nama para memble dengan memberi mereka komisi. Bayangkan,

mereka bisa meraup beberapa flat dengan diskon 60-70%!!! Si memble bisa dapat duit, lalu pindah ke Council Flat lain. Si investor dapat apartemen obralan, yang bisa dijual lagi dengan harga mahal. Setelah dipotong komisi kiri-kanan pun, mereka masih meraup untung sekitar 40-50%! Begitulah sistem Thatcher memperkaya mereka yang sudah

berkantong tebal. Keberadaan Council Flat makin jarang setelah

97

KvbU11uh DI SINI

itu. D i Churchill Gardens. lebih dari setengahnya sudah menjadi milik pribadi. Dan sisanya masih murni Council Flat. Perumahan untuk orang yang kurang mampu semakin menyusut! Sekarang, harga bekas Council Flat di daerah yang dianggap "wah" seperti Pimlico ini sudah selangit. Harga sewa pun tidak murah. Si Thatcher memang pintar membuat yang kaya bertambah kaya. Mike Tyson dan Polisi Geb/eg D i bekasCouncil Flat ini kami tinggal. Tempat yangterbagi dalam blok-blok yang terdiri dari

5 sampai 9 lantai

dengan nama

yang keren seperti Dickens House, Campbell House, Austen House, atau Gifford House. Flat kami bernama Blackstone House. Empat puluh blok dengan

1783

apartemen, seperti pabrik

beton berbaris rapi. Tapi tetap beton. Dan serapi-rapinya barisan mereka, di situ selalu ada kaleng bir kosong, botol pecah, kotak karton yang berlepotan saustomat, dan tong sampah yang ham­ pir selalu membludak. Terkadang, kami bisa menebak mana penghuni Council Flat yang memiliki flat sendiri. Dari baju me­ reka yang lusuh, suara mereka yang keras. kata-kata yang kotor. Suatu saat, ada bunyi "bum" membangunkan kami yang enak-enak tidur di tengah malam: beberapa remaja meledakkan sepeda motor. Tentunya bukan sepeda motor mereka sendiri yang berubah jadi api unggun raksasa di tengah halaman. Tapi, tidak tahu colongan dari mana. Sesaat, jendela kami berwarna merah. Aku agak khawatir, kalau-kalau api menjalar ke pohon atau ke flat. Kami bisa celaka. Polisi datang terlambat, sesudah

sepeda motor habis terbakar. Kalau mereka tidak menyalakan unggun sepeda motor,

98

London

pada akhir minggu, akan ada anjing kekar berhidung ringsek, mi rip Mike Tyson merangkak. Mereka akan mengadu dua Mike Tyson berkaki empat itu sampai mereka terkaing-kaing dan berdarah-darah. Suara mereka adalah nina bobok kita sebelum tidur, sampai akhirnya Angus benar-benar tidak tahan. Dia memanggil polisi. Polisi di London sudah sering mengurusi pertengkaran, baik orang maupun anjing. Mereka tidak mendiskriminasi. Karena itulah, walaupun anjing yang diurus, mereka juga datang dengan cepat. Kira-kira lima menit setelah gagang telepon dile­

takkan, sudah terdengar "nguing nguing" di luar. Aku sendiri tidak tahu apa gunanya membunyikan sirene di tengah malam begini. Kalau siang, "nguing-nguing" itu un­

tuk mengusir kendaraan lain agar mereka bisa lewat. Tapi ka­ lau malam? Mungkin ini hanya kebiasaan polisi: kalau tidak "nguing", tidak enak. Atau ada kemungkinan lain: polisinya me­ mang gebleg! Tentu saja anak-anak pengadu anjing itu tidak tuli (sa­ yangnya!). Begitu mereka mendengar "nguing", langsungtempat itu bersih seketika. Polisi datang tanpa menemukan apa-apa. Kali kedua kami memanggil polisi, kami harus mengajari mereka: "Kalau datangjangan pakai pengumuman, supaya anak­

anak ini tidak keburu ngibrit." Polisi manut juga dengan kami ternyata. Mereka datang tanpa suara. Tapi anak-anak itu lebih pintar lagi. Rupanya mereka sudah menyebar mata-mata dengan HP. Begitu melihat polisi datang, mereka langsung menelepon teman-teman mereka. Yang sedang nangkring di sepeda motor segera melompat dan membersihkan sidik jarinya. Yang lain juga begitu, mereka sudah siap dengan lap untuk menghapus

99

KvbtMuh DI SINI

jejak jari mereka. Dah, hilang lagi. Polisi tidak menemukan apa­ apa kea.iali sepeda motor curian di tengah lapangan, tanpajejak. Rupanya kami mesti mengajari mereka untuk tidak bawa mobil dan pakai seragam, supaya anak-anak itu tidak tahu kalau ada polisi datang. Kami selalu berusaha mengamati wajah para bajingan itu

sebelum pergi, kalau-kalau kami akan bertemu mereka lagi. Dari lantai ke-8, mengenali wajah orang yang bersembunyi di bawah tudung atau hood mereka dibutuhkan keahlian khusus. Mereka kira-kira berumur antara 13 sampai 20 tahunan. Pada siang hari, aku selalu melihat beberapa remaja yang memakai jaket bertudung. Jangan-jangan mereka inilah yang sudah meledakkan sepeda motor dan mengadu anjing. Beberapa di antara merekajuga sempat melempariku dengan permen karet yang sudah mereka kunyah, dan salah satunya sempat mendarat di rambutku. Kucoba mencuci rambut dengan shampo berlimpah tapi tetap saja permen itu lengket. Akhirnya kugunting rambutku yang tertempel barang lengket itu. Menjengkelkan? lni bukan apa-apa. Masih banyak kisah­ kisah lain yang lebih seram. D i London, remaja yang haus darah berkeliaran di mana-mana, seperti drakula. Mereka membunuh karena hobi, dan merekam penderitaan korban di video, mungkin untuk kenang-kenangan di hari tua. Tidak jauh dari tempat tinggalku seorang lelaki ditusuk hanya karena remaja itu ingin merampas handphone-nya. Mungkin dari bocah-bocah seperti mereka inilah dongeng drakula tumbuh subur. Atau mungkin justru sebaliknya, malah mati karena tersaingi. Waktu aku baru saja kembali dari supermarket, ada remaja yang tiba-tiba berlari ingin masuk lift yang hampir tertutup.

100

London

Aku bisa meraih tombol untuk menahan pintu. Namun tidak kulakukan. Aku tidak mau berada di dalam lift bersama dia. Entah kenapa, aku curiga melihatnya: jangan-jangan aku disate di dalam dan tak bisa ke mana-mana. Banyak sekali kulihat film seperti itu. Jadi kubiarkan lift menutup, sambil memandang wajahnya yang marah menghilang di balik pintu. Aku lega. Tapi anak itu menendang lift sekeras-kerasnya, membuat lift bergoncang dan berhenti tiba-tiba. Aku menekan-nekan angka

8.

Lift naik lagi sambil termehek-mehek. Lalu berhenti.

Jangan-jangan anak itu akan mengejarku! Aku jadi khawatir. Lift tiba-tiba berhenti lagi, lalu pintunya perlahan menganga. Mungkin anak itu sudah menungguku di luar. Ternyata tidak ada siapa-siapa. Aku keluar dari lift, lalu cepat-cepat naik tangga. Di flatku ada dua buah lift. Kalau satu rusak, masih ada

cadangan. Waktu kami baru datang ke sini hanya satu lift yang bekerja. Kedua lift ini sungguh tampak kokoh,

dari besi yang

agak berkilau sekali gu s mangkak. Kalau ingin masuk atau keluar

lift, setelah menekan tombol kamu harus menunggu sampai jengkel dulu baru pintunya terbuka. Dan juga lama sekali untuk menunggunya menutup. Kalau belum jengkel, pintunya

tidak

akan bergerak. Pintar memang! Kalau kamu memerintah lift, pasti ada suara pilu-men­

dengung seperti sapi disembelih. Sepertinya dia malas melayani orang-orang di sini. Lalu suatu saat, mereka mogok bersama. Aku dan Angus harus naik turun tangga delapan tingkat. Yang payah, waktu Angus pergi ke Amerika menenteng kopernya yang super berat. Salah satu lift sudah lama rusak. Kami takut sekali kalau lift satunya ikut mogok. Tapi untungnya tidak. Ketika lift terbuka, ada sesuatu yang menyala.

101

KvbtMuh DI SINI

D i dalam kami sudah disambut dengan air berkilau yang pesing. Angus tidak punya pilihan selain mengambangkan kopornya di atas kencing. Para pemabuk d i London seringkali lupa kalau lift itu bukan kakus. Kadang kalau tidak ada lift, kotak

telepon yang dikucuri "cairan emas" mereka. Lift d i tempat ini selalu berbau khusus. D i pagi hari lift akan berbau bahan kimia pembersih yang menyodok kening, siang sedikit bau keringat, dan terkadang ada bonus rokok yang menyengat. Sesekali ada tahi anjing yang meneplok di tengah. Ketika Angus di Amerika, aku sering jalan-jalan sendiri.

Waktu itu, aku baru saja tiba di Churchill Gardens lagi, kulihat lift telah mendarat di lantai dasar dan pintu menganga. Aku mengejar lift. Dari dalam, seorang bocah sudah menahan pintu­ nya. Baik sekali! Aku masuk dan tiba-tiba menyadari bahwa bocah inilah yang dulu kutinggal dan yang menendang pintu lift ini. Tapi rasanya sudah terlambat bagiku untuk keluar. Mulut lift sudah mengatup lagi. "Mau kelantai berapa?" dia bertanya. "Delapan." Dia memencet tombol nomer 8. Aku sempat menyesal tidak bilang lantai dua atau tiga supaya cepat bisa lolos dari dia. Hanya kami berdua di dalam lift. Aku merepet ke samping kiri, berjaga-jaga kalau-kalau dia mengapa-apakan aku, masih adajarak untuk melihat gerakannya. Kami berdua diam saja.

Aku pura-pura memandang lantai walaupun konsentrasi dan mataku tertuju padanya. Dia pasti tinggal di sini. Apa dia punya orangtua? Orangtua seperti apa? Jangan-jangan mereka pengedar ganja atau pengangguran. Atau jangan-jangan dia tahu

102

London

kalau kami sering mengintip dia dari atas, dan menduga kalau kamilah yang hobi menelepon polisi. Lift sampai di lantai

6.

Dia ngeloyor begitu saja. Tiba-tiba

aku menyesal. Mungkin dia bukan salah satu dari bajingan itu, mungkin aku terlalu curiga. Aku bahkan tidak bilang terima kasih setelah dia menahan pintu lift untukku. Rupanya born dari sepeda motor dan cakar-cakaran anjing berhidung ringsek itu cukup membuat kami paranoid tidak saja dengan anak-anak muda di sini, tapi juga terhadap tetangga lain. Bahkan, kami mulai memperhatikan apa yang dikerjakan oleh tetangga di sebelah: lelaki jangkung yang tinggal dengan anjingnya yang berwarna coklat tua dan terseok-seok jalannya. Baru setelah beberapa minggu, kami tahu bahwa ada penghuni lain di sana: seorang perempuan, mungkin pacarnya. Wajah perempuan itu selalu layu. Kalau aku mencoba menyapa, dia

malah mendelik. Akhirnya, aku tidak menyapa dan selalu pura­ pura dia tidak ada, jika berpapasan. Kami menyebut mereka

"orang-orang yang kalah dengan hidup". Namun hidup ternyata bisa mengalahkan siapa saja. University of London Dari kantor Angus tampak taman yang penuh pohon­ pohon tua. Kampus Angus di Bloombsbury, di mana Virginia Woolf sering mengadakan pertemuan dengan para penulis dan filsuf lain. Begitu berbeda dari Ballarat. Perpustakaan yang jauh

lebih besar, hubungan internasional yang luas, dan tentu saja kesempatan. D uni a seakan terbuka. •London is the centre of the world," kata beberapa orang. lni membuat Angus bahagia. Dia sudah lolos dari Ballar at! 103

KvbVlluh DI SINI

Universitas ini terdiri dari beberapa kampus. D i antaranya adalah SOAS (School of Oriental and African Studies), LSE {London School of Economics), School of Advanced Studies, dan Queen Mary U niversity. Semua kampus ini adalah universitas yang cukup disegani di Britania, bahkan di dunia. Tapi, jangan mengira mereka baik­ baik satu sama lain. Jangan berpikir para profesor dan peneliti di kampus-kampus ini hanya berkutat dengan ilmu dan saling bekerja sama. Mereka juga sangat sibuk dengan perebutan kekuasaan, politik, dan saling menjatuhkan. Angus bekerja di kampus Advanced Studies. Beberapa hari setelah masuk ke kantor, Angus mencium bau tidak me­ nyenangkan. Ralf, profesor yang seharusnya menjadi supervisor Angus di kampus ini, baru saja hengkang ke kampus lain (Queen Mary), karena adanya pemotongan dana di Departemen Studi Jerman. Departemen Jerman tidak lagi berdiri sendiri saat Angus masuk, tapi harus bergabung dengan Departemen Prancis, Italia, dan Spanyol. Diane, sang sekretaris utama di Departemen Jerman beberapa kali mengomel karena sekarang beban kerjanya lebih berat. Dia dan Profesor Ralf masih menjalin hubungan khusus dalam pekerjaan mereka dan dalam kemarahan atas perubahan di kampus ini. Rupanya mereka merencanakan sesuatu bersama. Merampas Angus dari tempat itu! Diane sudah siap mengkhianati kampusnya sendiri. Yang dibuat pusing adalah Angus. Dia baru saja datang, sudah jadi bulan-bulanan. Lepas dari mulut U niversitas Ballarat sekarang terjebak di mulut London. Direktur Angus di kampus Advanced Studies juga bukan

104

London

orang yang menyenangkan. Dia sering berlaku seperti diktator dan sukar diajak berunding. Semakin lama, semakin kentara kalau dia juga ingin mengembangkan bidangnya sendiri, yaitu sastra Perancisdan mengesampingkan yang lain. Beberapa buIan setelah Angus bekerja di kampusAdvanced Studies, datanglah tawaran dari Profesor Ralf: Angus pindah dari kampus itu ke Queen Mary secepatnya, dan kemungkinan besar, jabatannya akan dibuat permanen di kampus baru itu. Angus tentu kebingungan. Kalau

dia keluar dan pindah begitu

saja sebelum kontrak dengan School of Advanced Studiesselesai, tentu itu akan membuat marah banyak orang dan mereka tidak akan tinggal diam. Tapi Angus tahu, perpanjangan kontraknya sangat ter­ gantung pada laporan Profesor Ralf. Tawaran Profesor Ralf ini hampir mirip tawaran mafia: bila kamu setia denganku, aku akan

memberi kamu imbalan; bila tidak, kamu tidak akan mendapat apa-apa. Angus memutuskan untuk menolak. Dia merasa tidak etis meninggalkan kampusnya begitu saja, apalagi dia baru saja tiba. Tapi, kampus ini semakin tidak menyenangkan. Direktur Angus di kampus Advanced Studies juga semakin terlihat dik­ tatornya, bahkan dia tidak mau mendanai beberapa penelitian yang tidak berada di bidangnya. Yang namanya kolusi tidak hanya terjadi di pemerintah. Di sini pun ada! Profesor Ralf mendekati Angus beberapa kali. Akhirnya, Angusmenyerah. Dia memutuskan untuk meninggalkan kontrak kerja sebelum waktunya, dan pindah ke kampus baru, Queen Mary. Ketika ia mengabarkan hal ini kepada direktur Advan-

105

KtJbU11uh Pl SINI

ced Studies, dia marah besar: "I ni akan saya perkarakan di pengadilan!" Malam itu, Angus tidak bisa tidur. Badannya berkeringat dingin. Begitu juga malam-malam berikutnya. Dia beberapa kali menelepon Profesor Ralf, tapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Kalau Angus sampai diseret ke pengadilan, berapa biaya

yang harus kami keluarkan nanti? Apa yang dipakai untuk membayar pengacara? Angus bisa kehilangan segalanya: pekerjaan, harta benda, reputasi. Aku ikut tidak bisa tidur dan mimpi buruk hampir setiap malam. Aku tiba-tiba begitu marah pada Profesor Ralf. Dialah penyebab semua ini! Lalu, seakan dia lepas tangan begitu saja sekarang setelah keadaan makin rumit!

*

Beberapa hari setelah Angus mengundurkan diri dari kampusAdvanced Studies, dia masih belum tahu harus ke mana. Dia tidak bisa mulai mengajar di Queen Mary, karena adanya ancaman pengadilan. Tapi dia juga tidak bisa lagi bekerja di kampusnya sekarang. Mirip seperti kapal yang kehilangan arah, dia tidak lagi ke kantor dan hanya kebingungan di rumah. Profesor Ralf mengontak beberapa kali dan akhirnya meminta dia untuk pindah ke kampus baru. Rupanya, Profesor Ralf tidak seburuk yang kuduga. Dia berjanji akan membantu kasus ini sebisanya. ampus Advanced Studies mengurungkan niat memperka­ rakan hal ini ke pengadilan. Mungkin mereka tahu bahwa ke­ sempatan mereka untuk menang tidak banyak dan hanya akan membuang duit. 106

London

D i hari ketikaAnguspindah, beberapaakademisi di kampus itu menyatakan bahwa keputusan Angus sudah tepat. Mereka juga sudah tidak tahan dengan sang direktur, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Paling tidak Angus mempunyai kesempatan. Rupanya para akademisi ini, para dosen ini, juga terlalu takut untuk bersuara melawan diktator yang mempunyai andil atas jabatan mereka. Tawaran Kerja Sementara itu aku mencari kerja di sana sini. Seperti di Australia, pekerjaan akademik amat sukar didapat di sini. Karena

itu aku mencoba mencari pekerjaan lain. Aku mengunjungi beberapa agen yang menyodorkanjawaban sama: "Kualifikasimu

terlalu tinggi!". Pada saat itu seseorang mengontak aku dan menanyakan apakah aku bisa memberinya pelajaran menulis dan berpikir kritis. Tentu tawaran itu sangat menarik dan segera kuterima saat aku sedang membutuhkan pekerjaan. Aku cukup terkejut karena yang kutemui adalah lelaki muda-umurnya mungkin sekitar 20 tahun-yang mempunyai apartemen mewah di tengah kota London. Rupanya dia tidak tertarik dengan segala pemikiran kritisdan lain-lain. Dia sedang menyelesaikan tesis S2-nya dan ingin aku me­ ngerjakan untuknya dengan tawaran uangyangcukuptinggi. Aku langsung marah. Tapi, dia malah memandang aku dengan heran: "Aku akan membayarmu dengan cukup baik." Dia masih saja tidak mengerti bahwa hal itu adalah kecurangan yang luar biasa. Yang dia lakukan hanyalah menggunakan kekuatan uangnya! Aku merasa benar-benar terhina dengan tawaran seperti 107

KvbU11uh Pl SINI

itu! Tapi Angusyakin, akan ada akademisi yang menerima. Benar juga, beberapa skandal pembuatan skripsi sempat terkuak-ini yang ketahuan. Tidak tahu berapa yang masih tertutup rapi, tanpa seorang pun tahu. Anak Khadafi adalah salah satu bagian dari skandal ini. l a berhasil masuk LSE, sebuah universitas yang bergengsi di Britania, dengan menyumbang uang selangit dan menyelesaikan

PhD

di universitas

ini. Di ambang kejatuhan Khadafi, orang­

orang mulai mempertanyakan keabsahan gelarnya. Bagaimana

kalau Khadafi tidak pernah jatuh? Apakah skandal tentang anaknya juga tidak akan terkuak? Beberapa

bulan

sesudahnya,

aku

mendapat tawaran

mengajar di SOAS (School of Oriental and African Studies)­

U niversity

of London sebagai dosen luar biasa. Aku menjadi

lebih optimistis dengan kehidupan kami di London. Aku akan sehat kembali . Hal-hal yang buruk telah lewat.

Born di London Juli 2005

Pagi itu aku ke bank. Sehari sebelumnya London mera­ yakan kemenangan mereka terpilih sebagai kota penyelenggara Olimpiadetahun 2012. Sepulang dari bank, ada sesuatu yang aneh. Tiba-tiba saja polisi menyebar di mana-mana. Jalan raya kelihatan lengang.

Kendaraan bermotor seakan lenyap. Trotoar b egitu sibuk dengan orang berlalu-lalang. London telah berubah menjadi kota pejalan kaki dalam sekejap! D i pojok, orang-orang berkumpul menonton TV. Bebe-

108

London

rapa wajah cemas. Kata

"born" diulang berkali-kali. Hari itu semua transportasi publik dihentikan. Aku mendekati salah satu kerumunan. "Born. Enam kereta bawah tanah d i born!" "Kenapa?"

Mereka menggelengkan kepala. Beberapa menyebut kata teroris. Yang lain mengatakan mungkin ada yang iri karena London baru saja terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2012. "Juga bis. Ada bis dibom." "Bis yang mana?" "Bis yang menuju Tottenham Court Road." Angus baru saja naik bis ke kantornya, di daerah itu

Ketika aku berjalan menuju rumah, orang-orang di jalan saling menyapa .

dan bertanya ada apa. Belum pernah sebelumnya hal ini terjadi. London terlalu penuh dengan manusia sibuk dan tergesa, yang tak saling sapa. Tidak seperti di film-film Hollywood yang menggambarkan

kepanikan seluruh penduduk kota saat terjadi penyerangan seru­ pa, beberapa orang terlihat cemas namun tidak panik. Bahkan banyak yangterlihat cukup santai, menikmati Ii buran takterduga mereka dengan ngopi di kafe atau pergi ke toko barang bekas. Aku mencoba telepon Angus, tapi tidak berhasil. Berkali­ kali kutelepon, tetap saja tidak bisa. Ternyata pada saat yang sama dia juga mencoba meneleponku. Angus mendengar ledak­ an dari kantornya. Pasti dari bis nomer 30 yang d i born. Empat lelaki yang membawa peledak di tas ransel mereka telah bertekad untuk ikut terbunuh dalam misi yang mereka ang­ gap suci ini. Lima puluh enam tewas dan ratusan Iuka parah.

109

KvbU11uh DI SINI

Polisi Salah Tembak Dua minggu setelah bom meledak di London, salah seorang teroris yang akan meledakkan kereta ditembak polisi di kereta bawah tanah. Malamnya kami menyalakan TV untuk mengetahui teroris mana yang telah ditembak dan bagaimana polisi bisa melacak keberadaannya. Namun, tidak ada suatu kabar pun dari TV. Esoknya, koran-koran juga sepi. Angus mulai curiga. "Jangan-jangan polisi salah tembak," katanya. Bagaimana mungkin polisi London salah tembak? Bukan­ kah mereka dilatih secara profesional? Dan polisi di London juga terkenal tidak suka main tembak. Tidak seperti polisi di I ndonesia atau d i Amerika yang hobi memamerkan bedil, di London polisi hanya membawa pentungan ke mana-mana. Para polisi London dikenal ramah, bahkan aku sempat mengobrol dengan beberapa dari mereka tentang kuda yang mereka tunggangi atau anjing yang membantu mereka bertugas. Dengan senang hati mereka menjawab semua pertanyaanku. Polisi yang membawa bedil adalah pasukan khusus. Yang dikerahkan pada saat tertentu. Karena itulah, rasanya tidak

mungkin polisi di London main tembak begitu saja. Ternyata Angus benar. Keesokannya, polisi menyatakan

bahwa yang ditembak adalah pria Brazil, Jean Charles de Menezes. Dia sama sekali tidak terlibat dalam pengeboman di London. Serita menyatakan bahwa Jean Charles dicurigai karena wajahnya mempunyai kemiripan dengan orang yang diduga teroris. Dia juga seorang imigran gelap. Ketika polisi meminta

Jean Charles berhenti, dia melarikan diri di stasiun bawah tanah dan masuk ke dalam kereta dengan melanggar pintu pembatas.

110

London

I ni

menyebabkan polisi panik karena melihat Jean Charles

membawa tas ransel yang kemungkinan berisi peledak. Keluarga

dan orangtua Jean Charles mencari keterangan

dan investigasi lebih lanjut, karena yakin bahwa dia tidak bersalah. Dan ternyata, Jean Charles tidak melarikan diri. Dia memang masuk ke kereta bawah tanah, tapi tidak melanggar pintu pembatas sama sekali. Jean Charles juga secara legal bisa tinggal di I nggris. Jadi pernyataan bahwa "dia adalah imigran gelap", mungkin adalah cara polisi untuk menyalahkan orang yang sudah mereka bunuh. Tapi tidak kurang dari 7 peluru bersarang di kepala dan dadanya, membunuhnya seketika.

*

Selain penembakan yang salah sasaran, ada lagi dampak pengeboman ini. Visa untuk bepergian ke Eropa, Amerika, dan negara-negara yang paranoid dengan teroris akan bertambah ketat. Sebelumnya pun sudah begitu sukar dan bahkan amat menjengkelkan. Kalau Angus akan pergi ke Eropa, misalnya, dia dengan

leluasa bisa keluar masuk karena membawa paspor Australia. Sedangkan aku, untuk bertemu dengan pamanku di Jerman yang sudah hampir 20 tahun tidak berjumpa, harus mengalami rumitnya mengurus visa. U ntuk dapat masuk ke kedutaan saja aku harus menelepon mesin dan dikenai biaya

1

pound per menit. Sang mesin yang

rupanya sudah dilatih untuk mencetak duit berbicara selambat­ lambatnya sehingga untuk membuatjanji saja tidak cukup bi cara

111

KvbtMuh DI SINI

hanya 10 men it. Palingtidak sekitar 11-12 men it yang dibutuhkan. Artinya, belum-belum 12 pound sudah melayang. Lalu, harus ada surat dari sponsor di Jerman (yaitu, pamanku)-yang menyatakan kalau dia bersedia menjamin kedatanganku dan biaya-biaya lain. Juga bukti bahwa gajinya cukup untuk menanggung aku. Belum lagi asuransi kesehatan yang ternyata tidak segampang yang kukira karena aku baru saja pindah ke I nggris dan beberapa tidak mau memberi setelah tahu aku sudah kena kanker 2 kali! Tiket pulang-pergi juga harus disediakan sebelum visa keluar, plus rekening bank yang menyatakan aku punya cukup duit selama berada di negeri mereka. Sesudah membayar hanya untuk membuat janji, jangan harap kamu disambut dengan hangat dan suguhan nikmat. Tuan rumah yang satu ini benar­ benar tidak tahu aturan! Kita dim.iota datang tepat waktu, tapi setelah tiba d i sana,

harus antre di luar cukup panjang sampai aku kedinginan dan keroncongan. Ketika aku tersenyum, balasannya adalah seringai.

Petugas di sini biasanya ketus-ketus! Mereka tidak puas dengan dokumen yang kubawa, dan apa jadinya? Aku harus kembali dan membuat janji lagi untuk datang kemari (tentu saja, harus membayar uang telepon lagi)! Visa biasanya makan waktu 2-6 minggu (sekali lagi, kita tidak bisa menawar). Di tempat ini juga aku bertemu dengan seorang gadis dari Vietnam yang sahabat karibnya terkapar di rumah sakit di Jerman dalam kondisi kritis. Dia ingin segera bertemu sahabatnya, tapi itu tidak mungkin dengan birokrasi yang rumit dan tidak manusiawi ini. Dunia memang semakin aneh. Barang dan jasa bisa ber-

112

London

pindah negara dengan lebih leluasa. Sekarang, bila aku ada kesulitan dengan internet atau jaringan telepon, teknisi hampir selalu berbicara dengan aksen I ndia. Dan memang, mereka biasanya dari Mumbai, Delhi, atau Bangalore. Bahkan beberapa dari Afrika Selatan. Karena jasa mereka jauh lebih murah. Pasar bebas juga berhasil mengimpor dan mengekspor barang lebih mudah tanpa bea atau birokrasi yang terlalu berkepanjangan. Tapi beberapa manusia seperti aku (hanya karena berasal dari negara ketiga) semakin terpenjara. Bukankah bi la aku ke negara-negara maju itu aku juga akan menyumbang devisa dengan mengeluarkan duit di sana? Tapi yang terjadi adalah seolah aku menjadi pengemis. Mereka mendapat jasa murah dari negeri lain, tapi mempersulit manusia-manusia dari negeri yang sama. *

Manusia yang terdesak dan marah terkadang bisa men­ ciptakan kesempatan dalam kesempitan. Pengalaman yang menjengkelkan ini memberiku inspirasi untuk menulis cerpen "Interview with Terrorist Suspecr. Cerpen ini memenangi sayembara mengarang internasional yang diadakan oleh Pulp Net Fiction. Fi ksi terkadang bisa lebi h nyata daripada yang nyata,

karena cerpen ini hampir menjadi ramalan bagi apa yang akan menimpaku kemudian. Cerpen yang bercerita tentang seorang perempuan Indonesia yang ditahan di London karena dituduh sebagai teroris, padahal dia sebenarnya hanya ingin mendapat visa untuk menjenguk kakaknya yang sedang sekarat d i Eropa. Terorisme memang sering dijadikan alasan oleh pemerin­ tah untuk memperumit birokrasi bagi migran dan membatasi

113

KvbU11uh DI SINI

gerak mereka. Manusia di negara ketiga hanyalah St.Jmber jasa dan barang murah. Jangan harap mereka bisa diperlakukan setara selama masih memegang paspor dari negara seperti Indonesia. Ketimpangan sosial bisa menjadi penyebab amarah yang luar biasa. I nilah salah satu alasan yang membuat beberapawarga negara ketiga bertanya apa salah mereka sehingga hal-hal yang begitu burukselalu menimpa. Danjawabannyaseringkali hampa. Si stem tidak memberi kesempatan bagi manusia tertindas untuk mengutarakan kemarahan. Para pembuat aturan bisa dengan mudah berlindung di antara kekuasaan mereka dan melanjutkan permainan politik dengan mengorbankan kelompok yang tidak mempunyai kekuatan. Dan yang terjadi adalah kemarahan salah sasaran. Bebe­ rapa

kelompok fundamentalis menyalahkan

negara-negara

Barat-menuduhnya sebagai biang kebobrokan moral. Para pengebom

bunuh

diri

bukanlah

manusia yang

membenci hidup. Bukan. Namun mereka dikhianati oleh hidup.

H idup

yang seringkali

menghukum manusia tan pa alasan.

Mereka adalah manusia patah hati yang mencari pelampiasan amarah. Bukankah hal serupa terjadi saat perang salib? Paus Urbanus 11 meyakinkan beribu manusia bahwa berperang

dan

menjanjikan

membunuh

#eternal

adalah

kehendak

Tuhan.

Ia

rewar
papa. l a menjanjikan pengampunan dosa bagi mereka yang berangkat perang dan membunuh muSt.Jh. Tapi, apa jaminan dan bukti bahwa yang dijanjikan si Paus ini akan menjadi nyata? Tentu tidak ada. Orang mati tidak akan pernah bisa memberi kesaksian. menjual janji-janji tentang surga memang sangat

114

London

menj ual dan menguntungkan. Dengan modal kecil, bisa didapat keuntungan yang sebesar-besarnya-bahkan banyak manusia rel a mengorbankan segalanyademi janji ini. Tapi, kenyataannya? Tidak ada orang mati yang kembali dan bersaksi bahwa janji tersebut benar adanya. Sayangsekali, janji seperti itu masih mampu menggerakkan orang untuk membunuh manusia lain, yang kebanyakan adalah mereka yang juga sedang berjuang untuk memperbaiki hidup; yang mungkin tidak mampu membeli mobil mewah dan harus berdesakan dalam bis dan kereta. Salah seorang yang terbunuh di bis adalah Anat Rosenburg, seorang pekerja sosial dari Israel. Sebelum bis yang dia naiki meledak, i a menelepon sang pacar dan menceritakan ketakutannya untuk pulang ke negerinya karena "ada banyak teroris yang meledakkan bis d i sana". I ronis. Anat tentu tak menduga dirinya akan tewas di London karena teroris. Beberapa di antara korban juga penganut agama Islam. Shahara Akther I slam adalah nama korban yang amat sering disebut oleh surat kabar untuk menunjukkan kebodohan pengeboman ini. Born yang memperumit masalah. Yang hanya memberi alasan bagi para pejabat untuk menakuti rakyat. Peraturan visa diperketat dengan alasan terorisme. U ntuk bisa pergi ke Britania semua harus datang ke kantor d i Jakarta untuk sidik jari biometrik. Di mana pun mereka tinggal, tidak ada perkecualian. Kalau mereka tinggal di daerah terpencil

di Nusa

Tenggara, ya apeti Pesawat keJakarta mahal dan susah. Aneh sekali peraturan yang main hantam kromo. Dengan alasan keamanan. Tiba-tiba, kita yang dari negara ketiga atau yang mayoritas penduduknya beragama I slam berpotensi men-

115

KvbVlluh DI SINI

jadi teroris di mata mereka. Padahal, para pelaku born di London adalah warga negara Britania. Mereka dibesarkan dan bersekolah di negeri itu. Bahkan kebanyakan lahir di sana. Tiga di antara keempat pengebom, Mohammad Sidique Khan, Hasib Mir Hussain, dan Shehzad

Tanweer lahir di I nggris. H anya satu, Germaine Lindsay, lahir di Jamaika. Tapi, ia telah menetap di I nggris sejak umur 5 tahun. Tidak banyak yang menyebutkan atau menyadari hal ini. Atau kalaupun disebutkan, orang lebih suka lupa dan menuduh pendatang yang mencari gara-gara. Yang lebih parah adalah kisah-kisah para turis atau pendatang di Amerika Serikat. Temanku bercerita bahwa sau­ daranya sudah sampai di negara itu, tapi hanya sempat melihat bandar udaranya. Dia diundang oleh sebuah organisasi di sana, tapi dipulangkan hanya karena gagal memberi nomor kontak tuan rumah yang mengundangnya ke Amerika. Terbanglah ia kembali ke Indonesia dengan keadaan capek, jengkel, dan segala macam sumpah serapah. Ada yang sama dari born yang diledakkan para teroris itu dengan peraturan pemerintah. Keduanya sama-sama buta.

Perusakan Semena-mena Ketika baru datang dari konferensi di Amerika Serikat,

Angus melihat kopernya rusak. Gemboknya pecah dan koper ini mangap-mangap sendiri mirip buaya. Setelah dibuka, ternyata ada surat di dalamnya: dari imigrasi Amerika. Mereka mencurigai koper Angus dan membukanya secara paksa. Lalu dengan seenaknya mereka menyatakan tidak bertanggung jawab atas

116

London

segala kerusakan koper ini sambil menyebut hukum pencegahan terorisme yang mengizinkannya. Hukum yang digodok setelah kejadian

11

September 2001. Jadi, begitulah hukum di Amerika.

Orang bisa seenaknya merusak barang orang yang dicurigai, lalu tidak mau mengganti rugi. Angus juga bercerita bahwa dia diminta lewat jalur ter­ sendiri dan diperiksa seluruh tubuhnya. Pemeriksaan ketat ini sudah dimulai sejak ia meninggalkan London menuju Amerika, begitu juga di Amerika. Dan diulang kembali sewaktu ia akan meninggalkan Amerika. Jadi ini pemeriksaan pp-pulang pergi kena! Mereka meminta Angus membuka sepatu lalu dia dima­ sukkan ke dalam tabung berputar dan seluruh tubuhnya disorot dengan sinar-x. Hal ini tidak hanya terjadi sekali. Kedua kalinya Angus ke

Amerika kopernya juga dibuka paksa, padahal koper itu baru! Dia juga dimasukkan tabung mi rip komidi putar itu lagi, lengkap dengan lampu kelap-kelipnya. boarding-pass-nya mendapat tanda khusus, sementara orang-orang di sekitarnya Kali ini Angus mengamati bahwa

tidak. Dan dia sempat bertanya kepada petugastentangtanda itu. Tapi petugas hanya menjawab singkat: "Oh, itu tanda khusus!" Waktu Angus pergi ke toko untuk membetulkan kopernya, ternyata toko itu menjual kunci khusus yang bisa dibuka oleh imigrasi Amerika. Beginilah para pencari duit memanfaatkan segala sesuatu! Ketiga kalinya

Angus ke Amerika, paket pemeriksaan pp

ini terjadi lagi. Tentu ini bukan kebetulan. "Namaku pasti sudah masuk dalam daftar mereka. Mengapa?" Kami cuma bisa menebak-nebak. Mungkin karena dia

117

KvbVlluh DI SINI

menikah dengan orang I ndonesia atau karena dia sering pergi ke I ndonesia? Paranoia terorisme ini tidak saja mencakar orang-orang dari dunia ketiga atau negara dengan mayoritas penduduknya beragama I slam, bahkan Angus pun terkena sambitan yang men­ jengkelkan. Bangkit dari Kubur Desember 2005 Angus resmi pindah ke kampus Queen Mary saat musim salju. Beberapa minggu sebelum Natal tiba. Cuaca yang merontokkan daun j uga melunturkan warn a di apartemen beton raksasa ini. Semakin pucat, bahkan tidak pula seperti gambar hitam putih, tapi gambar kusam yang catnya rusak karena air, atau apa saja. Yang ingin berwarna, namun tak bisa. Bangunan yang sudah tidak suka dini kmati, yang begitu membenci penghuninya hingga memancar pada wajah.Yang berdiri hanya karena keharusan, namun tidak ada minat untuk membuat makhluk d i sekitarnya nyaman. Dan organisme yang terkandung di dalam beton ini pun tidak punya pilihan selain menetap di sini. I nilah pasangan yang dikawinkan paksa, yang tak pernah seia-sekata namun harus selalu bersama. Seperti aku. Dan kamu. Apa yang mernbuat bagian dari diriku sendiri seolah begitu membendku sehingga ia ingin mernberontak dari sel-sel lain yang bekerja tanpa le/ah, yang berfungsi tanpa henti. Demi melanjutkan hidupku. Kamu. Yang mungkin sudah bosan untuk menjadi sama

118

KvbVllvh DI SINI

dengan yang lain. Yang tidak lagi ingin melakukan rutinitas seperti jutaan sel-sel lain. Dan begitu pintarnya kamu menyamar sehingga tak dikenal. Sehingga kamu dengan leluasa bisa merambah dan menjarah tubuhku. Yang hidup kembali. Untuk yang ketiga kali. Seperti arwah yang bangkit dari kubur. Setelah beberapa tahun dinyatakan wafat. Kamu ternyata mengikutiku ke mana saja. Bila orang lain akan bisa membebaskan diri dari orang yang mengancam mereka setelah lari keluar negeri, aku tidak bisa. Tidak semudah itu kamu melepaskanku. Berulang-ulang kamu datang. Namun untung aku su­ dah pindah ternpat, pindah negara. Bila tidak, lama-lama memoriku ini bisa mirip kaset lecek, dengan cerita yang sama­ kehadiranmu di dalam tubuhku. The Royal Marsden Hospital Rumah Sakit Royal Marsden. Khusus untuk penderita

kanker di London. Tidak seperti di Australia yang mengharuskan pesakitan membayar untuk tes ini dan itu. Di sini semua gratis, kecual i obat-obatan dari apotel<. Rumah sakit tidak punya loket pembayaran, yang ada hanya loket pendaftaran. Harga per obat juga sama semua karena mendapat subsidi pemerintah. Tahun 2005, harganya sekitar

6,5

poundsterling.

Jadi kalau aku perlu 3 macam obat, yang kubayar

19,5

pound.

Tidak peduli obat apa pun itu, mau obat batuk yang murahan atau antibiotik yang selangit harganya di I ndonesia, biayanya tetap sama. Dokter hanya diizinkan untuk memberi persediaan obat maksimum 4 minggu. I ni mungkin menoegah para pasien 120

London

untuk menj ual obat-obat yang mahal ke negara lain, tidak untuk dipakai sendiri. Setelah operasi tiroid aku memang selalu bergantung pada pil-pil untuk bisa berfungsi. Kelenjar tiroidku sudah tak ada sama sekali. Kelenjar yang beratnya tidak lebih dari pensil atau penghapus. Jelas lebih ringan daripada ponsel, laptop, apalagi lemari bajumu. Tapi tanpa adanya benda satu ini, kita bisa seperti sayur yang layu. Lemas, tak bertenaga. Kelenjar inilah yang berfungsi menyerap zat-zat yodium dari makanan yang kita kunyah, kemudian diubah menjadi hormon tiroid. Hormon ini yang mengatur metabolisme dan sangat menentukan pembakaran lemak, tersedianya energi, bahkan kesehatan mental. Hormon ini juga yang bisa membuat kulit, rambut, dan kuku terlihat cerah atau kusam dan kering. Pagi hari sebelum makan aku harus menelan 2 butir pil tiroid berkadar

100 mikrogram dan 50 mikrogram. Setelah

makan aku harus menelan pil kalsium yang besarnya segajah dan rasanya seperti kapur tga kali sehari. Kalau dulu teman­ -

i

teman SD-ku pernah dihukum dengan mengunyah kapur dan aku merasa bergidik, sekarang aku yang harus memakan benda ini sebagai menu sehari-hari. Masih ditambah satu pil bernama Alfacalcidol, yang kecil dan halus, jadi gampang ditelan. Mungkin, nantinya orang-orang kreatif bisa menciptakan pil yang enak dikunyah. Pil kalsium rasa durian, rasa coklat, atau rasa rawon. Pasti laris! Apalagi sekarang banyak orang yang diharuskan minum kalsium, mulai remaja, ibu hamil, sampai orangtua. Sebelum pil kalsium beraneka rasa itu ada, lidahku harus merelakan diri dizalimi-makanan seenak apa pun yang kutelan

121

KvbU11uh DI SINI

akan diredam rasanya oleh pil kapur ini. Sebagai penutup, biasanya disediakan santapan yang terlezat, yang bisa dikenang lebih lama dalam sudut-sudut perasa di rongga mulut. Tapi, untukku rasa kapur inilah penutup itu. Aku tidak bisa mengelak dengan tidak meminumnya karena kepada piI-pi I ini hidupku bergantung. Tapi bukan berarti semua berjalan mulus. Kadar thyroxine yang diberikan dokter pertama kali adalah 100 mikrogram. Rupanya ini terlalu rendah dan harusdinaikkan menjadi 200 mikrogram. Setelah operasi yang pertama jantungku sering berdebar­ debar, bahkan tanganku juga sering berkeringat dan gemetar. Ternyata ini karena efek thyroxine yang dosisnya kelebihan dan baru terdeteksi setelah aku periksa darah. Dokter akhirnya menurunkan lagi dosisnya menjadi 150 mikrogram. H ormon-hormon di tubuhku selalu dimonitor naik turunnya. Jadi setiap 3 bulan sekali aku harus membiarkan darahku disedot. Lalu, apa saja yang ditunjukkan oleh angka­ angka di tabel itu haruskuturuti. Apakah ada yangterlalu rendah, atau terlalu tinggi. Apa yang harus kutambah: pil thyroxine, kalsium atau alfacalcidol. Kadar kalsiumku ternyata membawa masalah berbulan-bulan lamanya. Aku sudah diharuskan mengunyah

3

butir pil rasa kapur itu (sekali lagi, harus d ikunyah, tidak bisa ditelan saja; jadi rasa tidak enak itu selalu memenuhi mulutku) tapi kalsiumku masih saja rendah. kadar kalsium yang rendah? Kaki dan tanganku sering kesemutan. Tapi ini hanya reaksi kecil. Yang Apa dampak

lebih besar adalah aku akan lebih mudah terkena osteoporosis dan beberapa penyakit karena pengeroposan tulang. I ni yang

122

London

akan amat menyulitkan dan menyakitkan. Yangjarang diketahui oleh kebanyakan orang adalah bahwa penyerapan kalsium biasanya lebi h baik pad a mereka yang berusia di bawah 50 tahun, atau pada perempuan yang belum mengalami menopause. Aku ingat mamaku yang mulai getol minum susu Anlene beberapa tahun yang lalu (saat dia sudah berumur 60an) atau ibu-ibu yang kujumpai d i rumah sakit dan berkata bahwa mereka mulai minum kalsium tapi tetap saja menderita kekeroposan tulang.

I ni

mungkin sekali karena mereka sudah terlambat

mernulai suplernen ini.

*

Hormon-hormonku be/um juga beres. tapi sekarang aku harus masuk lagi ke rumah sakit karena kamu. Kanker ketiga, yang akan bertambah liar daripada sebelumnya. Tidak seperti di rumah sakit di Australia yang menempat­ kan lelaki dan perempuan dalam satu kamar, di Britania lelaki dan perempuan diternpatkan terpisah. Aku tidak begitu pusing ditempatkan dengan siapa saja sebenarnya, asalkan teman sekamarku menghargai orang lain. I ni lebih penting bagiku daripada mengurusi barang apa yang ada di balik celana dalam mereka dan memastikan jenis kelaminnya. Aku bahkan tidak peduli makhluk apa saja yang akan bertengger d i kamarku. Yang penting tidak mengganggu. D i kamar ini kami berenam. Aku ditempatkan di pinggir. Dua wajah di situ. Masih lekat. Bahkan aku masih bisa mengingat bagaimana rambut dan mata mereka. Satu di antara mereka menderita kanker lambung. Menurut

123

Kvbv1n'°"1 Pl SINI

dokter, dia hanya bisa bertahan

1-2

tahun saja. Perempuan di

depanku juga terkena kanker serupa, namun pada posisi yang lebih sukar: dokter tidak bisa menjamin apakah dia akan keluar dari ruang operasi dalam keadaan hidup atau mati. Aku memang dimasukkan pada unit yang khusus untuk penderita kanker akut karena unit lain pen uh. D i sini, kematian begitu dekat. I a berada di man a-mana. I a bisa datang sewaktu­ waktu. lnilah yang begitu ditakutkan kebanyakan orang. Bayangan kematian bisa begitu mengerikan. Setelah menginap satu malam, berpuasa tanpa makan dan minum sehari semalam lamanya, dua orang dokter datang kepadaku. "Operasimu dibatalkan," kata satu dari mereka. Kenapa? Mukjizat? Apa kankerku sudah lenyap begitu saja?

Bukan. I ni bukan karena kankerku tiba-tiba hilang seperti sulap, tapi karena operasi sebelumnya memakan waktu lebih lama daripada yang diduga, dan para dokter bedah sudah capek. Daripada mengoperasi aku dalam keadaan teler, aku diharuskan pulang dan kembali beberapa hari lagi.

*

Operasi ketiga ini tidak selama ataupun serumit yang pertama. Hanya sekitar 2 jam. Tapi dampaknya cukup terasa. Leherku jadi semakin kaku dan sakit untuk digerakkan. Rasanya seperti selalu dicekik. Kulit leherku memang sudah kehilangan

elastisitasnya karena trauma dioperasi dua kali. Sekarang, leher kananku rasanya sudah tidak lagi terdiri dari daging dan kulit, tapi gumpalan getas berlapis tepung yang sudah mengeras.

124

London

Radioterapi yang ketiga kali diberikan dengan dosis lebih tinggi. D i rumah sakit Royal Marsden tapi di cabang lain (di Surrey), yang cukup jauh dari rumahku. Aku harus berganti­ ganti kendaraan umum. Perjalanan panjang menuju kamar penyiksaan. Aku diharuskan menelan pi/ beradiasi yang akan meng­ hancurkanmu, tapi juga sel-sel lain di tubuhku, lalu dikurung beberapa hari. Apa saja yang kumakan akan termuntah. Kerongkonganku akan terasa terbakar, bibirku kering lalu disusul dengan rambut rontok. Tapi perlakuan terhadap pasien di London ternyata lebih manusiawi daripada di Australia. Memang, aku masih dikurung di kamar dan tidak boleh didekati siapa pun selama kadar kontaminasi di tubuhku masih tinggi. Tapi paling tidak, pintu kamarku dibiarkan terbuka dan di pintu diberi meja besar (untuk mencegah orang lain masuk kedalam, kata mereka). I ni mungkin juga untuk mencegahku nyelonong keluar dan mengontaminasi orang lain. Juru rawat datang dua kali sehari untuk menanyakan keadaanku. Waiau hanya dapat berbicara dari jauh, aku masih bisa berhubungan dengan orang lain dan mendapat perhatian. Waktu aku muntah-muntah, juru rawat segera memberi pil anti-nausea sehingga rasa mual tidak berkelanjutan dan ada makanan yang masuk. Meskipun sedikit. Radioterapi selalu membuat nafsu makanku turun drastis. lnilah dampak yang harus kurasakan demi meng­ enyahkanmu. Berapa kali kamu harus bangkit kembali? Mengapa kamu begitu ingin menghancurkan tubuh dan hidupku seperti ini? Aku tidak bisa menghindari rasa mengasihani diri sendiri dan juga kemarahan yang sangat, entah kepada siapa.

125

Namun di tempatitujuga, aku melihat seorang anakyang jalannya masih tertatih, digandeng oleh orangtuanya. Bibirnya kering dan kepalanya gundul, memanggul boneka menuju ruang radiologi. Kamu bahkan tidak memberi kesempatan bagi bocah ini untuk menikmati hidup tanpa rasa sakit. Mengapa?

VI Arwah

Apa yang dapat menentukan suatu makhluk itu hidup atau tidak? Apa kriteria yang membuatnya hidup? Apa yang membuat suatu disebut makhluk dan yang lain benda? Apakah makhluk selalu hidup dan benda selalu mati? Karena itu kita berkata makhluk hidup dan benda mati,

bukan makhluk mati dan benda hidup. Atau mungkin saja ada benda hidup dan makhluk mati. Benda hidup contohnya anjing yang menggonggong pakai batere. Sedang makhluk mati adalah pensiunan makhluk hidup. Apa sebenarnya kriteria hidup? Manusia sendiri begitu bingung dengan kriteria makhluk hidup, dan sudah berbagai definisi diajukan. Salah satunya adalah jiwa. Jiwalah yang

membedakan antara benda dan makhluk. Namun, apa definisi jiwa itu sendiri? Apakah jiwa tak lain

adalah pikiran, hasil dari kerja otak kita, rangsangan-rangsangan kimia dan elektronik yang akan hilang bila kerja otak berhenti? Bagaimana dengan mereka yang kerja otaknya telah hilang tapi organ pernafasan masih berfungsi?

KvbtMuh DI SINI

Oulu, kriteria mati adalah berhentinya fungsi organ pernafasan. Tapi ternyata ini keliru. Karena itu terdengar lah

berbagai kisah manusia yang telah menerima gelar "mayat" tiba-tiba hidup kembali. Mereka menamakan mukjizat. Bangkit dari kubur, seperti Santa Bernadette atau Yesus (bila mereka kebetulan suka dengan sang mayat) atau kalau si mayat tidak dikehendaki masyarakat, ia menjadi roh gentayangan (seperti sundel bolong atau pocong). Mayat favorit yang bangkit dari alam baka akan tampil di beberapa mediamassadanjadi selebritas. menceritakan kegaiban yang dialaminya. Sebaliknya, mayat yang dari kelompok apes akan semakin dicerca. Aku pernah membaca kisah-kisah seperti ini di beberapa koran, tabloid, dan majalah. I nilah

kisah yang pernah kudengar bertahun yang lalu:

perempuan yang bangkit dari mati suri, dan kemudian menjadi iblis, leak, kuntilanak. Karena dia tidak lagi suci. Karena sebelum

mati, ia tel ah "dinodai". Arwah jahatlah yang membangkitkan rohnya. Apa pun yang telah dilakukan perempuan ini tidak penting, karena selaput dara yang pecah bukan pada waktunya sudah cukup untuk menjadikan dia kriminal sebelum wafat, dan setelah sempat menjadi mayat, i a kemudian menjadi roh jahat. Antara santa yang diagungkan dan nenek sihir yang dibakar hidup-hidup mungkin hanya terbentang batasyang ti pis di antara mereka. Keduanya ada karena hal yang tidak terduga atau lain dari biasa, tapi yang satu disebut mukjizat yang lain adalah kutukan, tergantung pada kriteria sang penguasa dan masyarakat. Mukjizat: hal yangtidak bisa dijelaskan dengan akal. Mere­ ka yang terpesona dengan mukj izat seringkal i tidak lagi mencari.

128

Arwab

Mereka terhenti dalam pesona itu dan tidak lagi meneliti dengan saksama, tidak lagi membaca atau mencari tahu "kenapa". Dan mukjizat yang mendapat penjelasan berhenti menjadi mukjizat: jantung manusia yang terhenti memang bisa pulih kembali walaupun memang jarang yang mengalami seperti ini. Tapi, dengan alat pemacujantung, kemungkinan ini ditingkatkan. Sekarang sudah berjuta-juta orang yang nyawanya dikembalikan dengan alat pacu ini, setelah jantung mereka berhenti-bukan karena alat pembangkit Yesus atau Setan. Bukan karena berkat atau laknat. Mukjizat adalah kata untuk menerangkan hukum alam yang belum dapat dimengerti atau mendapat penjelasan. Terka­ dang kata ini membuat kita malas untuk mencari, meneliti, dan berpikir lebih jauh tentang kejadian yang dipandang aneh di sekitar kita. Definisi mati berubah sesudahnya, yaitu dengan

berhentinya rangsangan di otak. Tapi, andai di masa mendatang ditemukan alat pacu otak dan fungsi otak yang rusak bisa dibangkitkan kembali dengan alat pacu ini, definisi kematian tentu akan berubah lagi. Manusia

selalu berlomba dengan alam, yang bisa membingungkan, yang begitu luar biasa. Kriteria kehidupan dan kematian itu sendiri adalah

kerumitan yang tiada habisnya. Salah satu tugas utama ma­ nusia adalah untuk mencari pengertian akan diri mereka sen­ diri, asal mula mereka, penciptaan mereka. Semakin maj u dan berkembang, manusia semakin tahu tentang sejarahnya. Kema­

juan manusia memberi kesempatan bagi mereka untuk semakin melihat ke belakang. Melacak diri sendiri. Semakin jauh mereka melangkah ke masa depan, semakin panjang jangkauan mereka ke masa lalu. 129

KtJbU11uh DI SINI

Apa yang hidup dan apa yang mati? I ni selalu menjadi bahan debat yang tak kunjung usai. Dan kamu? Mereka menyatakan kamu sudah mati, tapi ternyata hidup kembali. Mereka tidak menggolongkan kamu sebagai makhluk hidup ataupun benda mati. Latu apakah kamu? Sebuah set yang menyerupai bentuk kehidupan bermilyar tahun yang lalu?1 Mungkin, kamulah awal mu/a kehidupan. Yang terus berusaha mempertahankan diri dan berkembang biak. Namun tak bisa berevolusi. Kamu tidak akan pernah mengajarkan kepada generasi setanjutnya strategi baru untuk mempertahankan hidup. Karena itu, sel seperti dirimu tak akan berkembang menjadi kami manusia, walau mungkin bermilyar tahun yang lalu kita berasal dari organisme yang begitu dekat dan serupa. Setelah milyaran masa itu, kamu tetap sama-tak mengalami perubahan apa pun. Tapi, kemampuanmu untuk bertahanjuga luar biasa. Bila kami manusia mengalami proses penuaan, kamu tidak. Bagian set penuaan kami yang bernama telomeres akan bertambah kecil setiap kali ia membelah. Semakin kecil ia, sampai akhirnya habisbersama usia kami. Sedangkan kamu mempunyai moleku/ yang memper­ tahankan telomeres untuk tidak mengecil, hingga kamu tidak punah dengan mudah.2 Kamu bisa bereproduksi tanpa henti. Sebuah kekekalan tersendiri. 1. Tim Dean, "Cancer resembles life 1 billion years ago, sayastrobiologists", http://www.lifescientist.eom.au/article/375886/cancer_resembles_life_l_bil­ lion_years_ago_say_astrobiologists/ 2. "Cancer cells 'can live forever'". BBC News, 29 April 2011. http://news.bbc. co.uk/1/hi/health/3670495.stm

130

Arwab

Oktober 1951, seorang perempuan Amerika Henrietta Lacks, yang baru saja 31 tahun tercatat hidupnya di bumi, meninggal karena kanker. Bertahun-tahun setelah kepergian sang manusia,

sel

kankernya masih berdenyut dan berkembang

biak. Para peneliti berhasil mempertahan kehidupan sel itu hingga kini.3 Entah sampai kapan sel ini akan punah. Atau akankah dia bisa binasa? Benalu yang tak hendak mati setelah pohon yang digerogotinya tumbang. Mungkin inilah caramu membalasdendam, kepada kami yang telah berevolusijauh mendahu/ui kamu. NKekekalan"yang mencekam, yang meneror, yang keberadaannya begitu nyata. Sekarang, kamu menghantui kami, menye/usup dalam tubuh kami dan dengan cara ini, membunuh kami satu per satu. Siapa yang telah menjadi korbanmu dalam ke/uargaku? Mama, papa, kedua nenekku, kakekku dari papa, kakakku dan aku. Dan siapa yang telah berhasil kau bunuh? Papaku, nenek, dan kakekku. Dengan perlahan. Se/anjutnya, akan tiba giliranku. lnilah yang kau /akukan di dalam tubuh kami. Dirimu akan bertambah besar, jari-jarimu yang bagai gurita itu akan makin merajalela, mencengkeram dan mengisap; sedangkan tubuh kami akan menyusut, hingga pudar.

*

3. Siddhartha Mukherjee.The Emperor ofAll Maladies. Scribner, 2010.

131

Arwah

Mereka berkata kamu telah mati. Namun arwahmu masih tetap bersamaku. Terkadang, aku dapat mendengar suaraku yang bukan aku. la mengambang. la keluar bukan dari diriku sendiri, tapi dari rohmu. Gemanya kudengar, di luar kepalaku. Ada beberapa macam nama pembunuhan: pengobatan, industri, kebersihan, perawatan, pencegahan, penanggulangan. Tapi dengan tujuan sama: memusnahkan. Kamu be/um musnah sama sekali. Kelelahan yang /uar biasa adalah hantumu. Rasa putus asa, konsentrasiku yang gampang pecah. Aku tidak lagi seperti yang du/u. Kamu sudah mengubahku. Aku yang bukan aku. Yang kuusahakan adalah menjadi seperti aku yang du/u, sebelum ada kamu. Mungkinkah ini?

*

Kamu masih menghantuiku. Bahkan saat aku berada di depan ruang dengan kursi-kursi kayu, papan tulis lebar, dan layar putih. D i SOAS-University of London, sebuah nama yang mungkin membuat beberapa akademis di berbagai belahan dunia berdecak kagum. Sejak 2005, aku mengajar d i universitas ini dan beberapa kali menjadi pembicara pada seminar di Pusat Kajian Asia Tenggara. Heidi

Quinn, dosen d i Canterbury University di Selandia Baru yang juga teman baikku, sempat menyatakan betapa hebatnya aku berhasil menjadi pembicara dan mengajar di sana. Aku manggut-manggut. Kadang decak kagum mampu

membuatku bahagia. Sepertinya hari menjadi sedikit lebih

133

KvbtMuh DI SINI

ringan dengan adanya pujian. Waiau kadang, rasa bangga dapat menyembunyikan sesuatu. Kehampaan. Aku mulai bosan

mengajar di sini. Yang ruangnya hampir selalu berdebu. Yang tidak sekeren sangka banyak orang. Aku ingin mengerjakan sesuatu yang lain. Tapi apa? Sungguh, menjadi pembicara di SOAS tidak semewah dan sesulit yang mereka kira. D alam serial seminar tahunan yangrutin diadakan SOAS, terkadang mencari pembicara yang topiknya tidak bertabrakan dengan pembicara lain dan bisa datang ke SOAS pada hari Selasa jam 5 sore, a.ikup sukar. Ditambah lagi panitia yang agak amburadul. Ini adalah kali kedua aku jadi pembicara. Kali pertama,

aku dimoderatori oleh D r Winston Skin, dosen senior dari universitasngetop ini. Dosen yang keliru mengucapkan namaku, yang menyebut bahwa Ph.D-ku dari SOAS bukan dari Monash, yang kemudian pamer apartemennya d i Pimlico. Sambil minum teh di ruang stat, i a bercerita tentang apartemennya yang berada di salah satu daerah paling mewah di London. Dalam perjalanan pulang, Angus bilang: "Orang itu agak sinting, ya? Tidak ngomong tentang makalahmu tapi malah pamer rumah." Awai Februari 2007, aku menjadi pembicara lagi di SOAS. Mungkin gelap dan dinginnya membuat Dr Winston Skin menghilang dari seminarku. Tanpa bekas, tanpa pamit, tanpa maaf, tanpa bau (untungnya).

Kedudukan Winston Skin sebagai moderator digantikan oleh dosen lain yang sedikit lebih sopan, tapi tentu agak ogah-ogahan, karena ini bukan tugasnya. Dan pasti, pasti Dr Winston Skin bisa menyuruh-nyuruh orang lain

134

Arwab

karena kedudukannya sebagai dosen senior. Dunia akademik seringkali penuh dengan intrik, bahkan kekejaman. Saat itu, kurasakan lagi arwahmu. Gentayangan di tempat kuberada. Seperti kupu-kupu yang tak lucu, hilir mudik mencari tubuh manusia untuk dikunyah. Dan engkau/ah yang ada dalam pikiranku, ketika aku berbicara di depan mahasiswa, akademisi, dan tamu-tamu terhormat lainnya di SOAS. Lelaki tua yang entah darimana asalnya tiba-tiba menyerangku dengan begitu membabi buta. Aku terdiam. Aku le/ah. Karena kamu berada di dalamku, menguasaiku. Aku le/ah. Aku tak bisa lagi bertahan. Aku le/ah berperang terus menerus. La/u,

penyerang

lain

bertanya:

NMengapa

kamu

tidak menyebut tanggal kejadian ini. Bukankah tanggal itu penting?" Tanggal itu sudah tertera di kertasyang kubagikan pada mereka. Tanggal itu ada di sana. Tapi aku le/ah. Aku menyerah. Aku tidak bisa lagi berperang. Karena hidup bagi aku selama ini adalah peperangan. Peperangan melawanmu, melawan segala kesakitan yang kualami, melawan kelelahan. Arwahmu telah membuatku demikian /emah. Protes Para Dosen di SOAS Universitas yang ternama ini ternyata cukup pintar melanggar kontrak dan memeras tenaga pengajarnya. Tahun 2007 para pengajar honorer di universitas ini mulai berkasak­ kusuk. Mereka yang telah mengajar sebagai tenaga honorer selama tiga tahun seharusnya sudah mendapat kenaikan jabatan. 135

KvbU11uh Pl SINI

I nilah beda tenaga honorer dengan yang lain. Tenaga ini tidak mendapat uang pensiun ataupun cuti. Tapi

U niversitas

menolak memberi hak mereka sesuai kontrak. Beberapa stat pengajar mengadakan rapat. Beberapa kali kami berdiskusi dengan Perserikatan Pengajar tentang keadaan ini. Mereka setuju bahwa kami berhak protes. Akhirnya, kami memutuskan untuk menulis surat kepada kepala bagian administrasi yang menentukan gaji pengajar. Hal ini harus dilakukan berulang­ ulang. Mungkin seperti kebanyakan penguasa, mereka sudah terlatih untuk budek. Akhirnya mereka bereaksi: U niversitas berjanji akan meninjau kembali kontrak kami. Tapi, sampai tahun 2009 (terakhir aku mengajar di sana), masih belum ada perubahan kontrak bagi para pengajar honorer. Kami terus menulis surat,

dan mereka terus membudek. Kisah tentang penyalahgunaan dan pelanggaran kontrak

seperti ini terus berlangsung. Tidak saja d i I ndonesia, di negara­ negara lain yang katanya sudah menjamin hak pekerja pun masih banyak ditemukan. Sayang, tidak semua dosen berani melawan. Beberapa di antara mereka diam saja, ketakutan akan kehilangan pekerjaan. Aku sendiri semakin kehabisan tenaga. Sakit punggungku makin terasa, dan aku mulai merasa amat lelah. Begitu lelah. Lahirnya Majalah Bhinneka Selama menjadi dosen d i SOAS, aku juga mengajar orang­ orang dari FCO (Foreign and Commonwealth Office) atau

Departemen Luar Negeri dan Persemakmuran. Mereka adalah para diplomat yang akan dikirim ke I ndonesia, dan sebelum 136

Arwab

berangkat harus mempersiapkan diri dengan bahasa dan penge­ tahuan tentang sejarah, politik, dan budaya I n donesia. Salah seorang yang sempat menjadi muridku adalah Martin Hatfull, yang menjadi duta besar Britania di I ndonesia sejak 2008. Dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja aku selalu melihat koran gratis yang dibagikan tiap pagi di London berserakan di kursi-kursi kereta bawah tanah. Koran ini dibaca

dan dibaca lagi oleh setiap pemakai kereta. Sehari, ada sekitar dua juta orang menggunakan kereta api bawah tanah. Berarti pembaca satu koran itu bisa ratusan, atau paling tidak puluhan. Sebuah daur ulang yang luar biasa dan penyebaran informasi yang sangat efisien juga.

Sayangnya, informasi yang disebarkan koran-koran ini biasanya sedikit lebih bermutu dari gosip, dan condong kepada kepentingan seseorang: Rupert Murdodl. Bagi yang belum tahu siapa makhluk ini, akan kuperkenalkan sekarang. Rupert Murdodl adalah salah satu kebanggaan Australia, tapi kemudian menjadi warga negara Amerika, mungkin karena tambang duitnya lebih dalam di sana. Kalau orang menganggap

presiden adal ah orangterkuat di suatu negara dan presiden Ame­ rika adalah penguasa dunia, Rupert Murdoch lebih canggih lagi. Dia mampu menguasai beberapa presiden d i dunia. Bahkan pre­ siden Amerika. Calon presiden yang tidak mendapat restu sang Firaun media ini akan sulit untuk mendapat kesempatan emas. Perang d i lrak juga tidak lolos dari pengaruh si Murdodl. D i Britania, koran The Guardian melaporkan bahwa Murdodl memberi dukungan penuh terhadap perang ini. Dipujanya ke­ putusan George Bush dan Tony Blair sebagai kebijakan yang "bermoral".4 4. Judd Legum, "Who is Rupert Murdoch". Center for American Progress, 16 Juli 2004, http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122948.html 137

Kvb!Hluh DI SINI

Salah satu perdana menteri yang berhasil didepak karena pengaruh Murdoch adalah Kevin Rudd. Perdana Menteri

Australia yang dipaksa turun sebelum masa pemerintahannya usai, karena ampuhnya kampanye dari media Murdoch. Rudd yang memimpin sejak Desember 2007 harus tumbang pada Juni 2010. Saat baru menjabat perdana menteri, Rudd berusaha menerapkan pajak terhadap perusahaan pertambangan (yang sebagian dikuasai oleh Murdoch). Sejak itu, santerlah berita­ berita negatif tentang Rudd. I n i mungki n sekal i karena Murdoch tidak mau berliannya diperkecil atau es krimnya berkurang dengan adanya pajak yang cukup besar. Murdoch memang tel ah dicurigai sebagai salah satu penggelap pajak terbesar di dunia. Koran-koran gratis yang dibagikan di London, tentu saja,

tidak gratis. Adayangdibayar oleh pembaca: ideologi mereka. Su­ rat kabar seolah menyajikan fakta, dan seringkali dipercayai men­ tah-mentah oleh banyak orang. I klan yang menebar diselipkan dengan terang-terangan, tapi juga gelap-gelapan. Artikel ter­ kadang memuji produk tertentu, dan tan pa sadar, pembaca akan memilih produk ini. Dari sinilah Murdoch meraup keuntungan. Koran seperti ini jugalah yang menurutku secara tidak

langsung"menyumbang" adanya krisisekonomi di Britaniatahun 2007, karena para bankir meminjamkan uang terlalu banyak, terutama untuk pembelian rumah. Beberapa bank bahkan berani meminjamkan 100% dari harga rumah. Akibatnya, banyak orang tidak bisa membayar kreditan mereka dan bank pun ambruk. I klan di koran mengenai kepemilikan rumah, mobil, pinjaman bank yang menggiurkan sedikit banyak sudah menjerumuskan banyak orang. Pemerintah harus menutup kerugian bank supaya ekonomi tidak ambruk. Bagaimana caranya? Dengan

138

Arwab

me11gurangi tenaga kerja dan memotong dana untuk fasilitas publik (seperti perpustakaan umum, sekolah, kesehatan, dan tunjangan untuk orang cacat). Jadi, bank tetap selamat, tapi rakyat yang menanggung beban! Kenapa tidak ada media gratis yang

memberi informasi

kritis? Yang tidak berpihak hanya kepada para pengusaha kelas kakap?Yang membuat rakyat tidak saling bersaingdan me11i ndas, tapi saling bekerja sama? Apa aku bisa membuat majalah seperti itu? De11gan dana dari mana? Aku sempat me11gutarakan minat ini kepada Martin H atfull, kare11 a dia akan segera menjadi duta besar dan te11tunya tahu akan sumber dana. Martin cukup mendukung rencanaku. Yang kulakukan selanjutnya adalah pulang ke Indonesia un­ tuk mencari orang-orang yang bisa me11jadi timku dalam melaksanakan terbitnya majalah ini. Setelah bolak-balik dua kali ke Indonesia selama liburan universitas, aku masih belumme11 emukantimyangtepat. Lalu, aku teringat satu orang: Dede Oetomo, pe11diri GAYa N U SANTARA. Kebetulan akukenal cukup baik dengan dia. Kuhubungi dia untuk

me11anyakan kesediaan GAYa NU SANTARA untuk bekerja sama membuat majalah. Seorang penulis muda, Hendri Yulius, sudah me11yatakan minatnya untuk bergabung. Aku mengiyakan karena cukup Se11 ang de11gan tulisan-tulisannya. Dari sinilah terbit majalah Bhinneka. Hendri Yulius menjadi salah satu editor dan kon­ tributor majalah yang memuat berbagai isu, dan seringkali membahas dua hal: seksualitas dan agama. D i GAYa NUSANTARA juga aku bertemu pe11ulis yang cukup berbakat, Antok Serean. Dia kugandenga sebagai salah

139

KvbVlluh DI SINI

satu editor dan kontributor. Aku mengerjakan majalah Bhinneka di sela-sela kesibukan mengajar di SOAS-University of London. Mengurus majalah dari jauh memang susah. Pekerjaan seringkali tidak terkontrol dan morat-marit. Terutama desain dan percetakan majalah. Kacau sekali. Karena mereka di Indonesia dan aku di London,

susah sekali mengawasinya. Semua komunikasi hanya bisa lewat internet. Lembagadonor jugamenyarankan supayaaku membuat organisasi sendiri yang menjadi wadah majalah Bhinneka, tidak lagi dengan GAYa N U SANTARA. Aku harus pulang! Saat itu punggungku yang sudah mulai bermasalah sejak awal 2008 semakin parah. Setiap kali aku duduk terasa ada yang menusuk di pinggang kanan. Aku sudah ke dokter, yang memberiku anti-nyeri. Tapi kambuh lagi. Akhirnya aku ke fisioterapis yang menganjurkanku untuk berenang. Namun

berenang hanya membantu sesaat, setelah itu bertambah parah lagi. Aku menanyakan hal ini kepada dokter spesialis kankerku, jangan-jangan ada yangtidak beres. Dia memintaku untuk x-ray, tapi menyatakan bahwa tidak apa-apa. I ni hanya sakit punggung biasa, kata mereka. Yang paling menyiksa adalah sakit punggung ini mem­ buatku tidak bisa tidur. Kalau aku rebah sedikit lama, sakit

ini bertambah parah. Aku tidak bisa tidur lebih dari 1-2 jam per hari. Dan aku juga semakin tidak tahan dingin. Bila hawa dingin masuk, aku selalu menggigil dan bahkan sempat muntah­ muntah. Penyakit apakah ini? Pada musim dingin, ketika akan berangkat kerja dan baru

140

Arwab

saja melangkah beberapa meter dari rumah, tangan dan kakiku terasa beku. Aku gemetaran. Sakit yang menusuk pinggang mem­ buat kakiku tidak lagi punya kekuatan. Kondisi tubuhku semakin lemah. Beberapa teman yang

kutanyatentang sakit punggung ini berkata kalau memang dokter seringkali tidak bisa mengobati dan menyarankan pengobatan alternatif. Seorang sahabat yang kukenal dari Facebook dan tinggal di Amerika, Wens Gerdyman dan istrinya Angeline, sem­ pat mengirim buku tentang sakit punggung yang diderita jutaan manusia di dunia. Beberapa bahkan harus berakhir di kursi roda, tanpa bisa disembuhkan oleh dokter. Apakah aku akan berakhir seperti itu? Bertahun-tahun di kursi roda?

141

VII Pulang

Indonesia, Januari 201O

Selama ini, aku bernafas hanya demi mempertahankan hidup. Tidak banyak bedanya dengan cicak, yang tiap hari menangkap nyamuk demi bisa terus bernafas. D i sekeliling mereka, selalu ada binatang jauh lebih besar yang siap menerkam. Mungkin juga bangunan yang begitu saja ambruk menindih tubuh mereka, pintu yang tertutup sehingga tubuh mereka meletus, atau manusia yang menginjak dengan sepatu beratnya. Lalu binasa. Atau para musang, yang bersusah payah mengeduk sampah, demi menyambung nyawa. Sebelum akhirnya tewas dilindasmobil atau ditembak manusia. H idupku harusdipertahankan habis-habisan. Bedanya, aku mempertahankan diri dari amukan sel-sel yang menjadi bagian diriku sendiri. Musuh yang begitu menyatu, sehingga tidak lagi dikenal oleh para pengawal tubuhku. Untuk melakukan hal yang rutin pun, aku sudah mengalami kesukaran. Sakit punggungku terkadang menjalar ke sekujur

VII Pulang

Indonesia, Januari 201O

Selama ini, aku bernafas hanya demi mempertahankan hidup. Tidak banyak bedanya dengan cicak, yang tiap hari menangkap nyamuk demi bisa terus bernafas. D i sekeliling mereka, selalu ada binatang jauh lebih besar yang siap menerkam. Mungkin juga bangunan yang begitu saja ambruk menindih tubuh mereka, pintu yang tertutup sehingga tubuh mereka meletus, atau manusia yang menginjak dengan sepatu beratnya. Lalu binasa. Atau para musang, yang bersusah payah mengeduk sampah, demi menyambung nyawa. Sebelum akhirnya tewas dilindasmobil atau ditembak manusia. H idupku harusdipertahankan habis-habisan. Bedanya, aku mempertahankan diri dari amukan sel-sel yang menjadi bagian diriku sendiri. Musuh yang begitu menyatu, sehingga tidak lagi dikenal oleh para pengawal tubuhku. Untuk melakukan hal yang rutin pun, aku sudah mengalami kesukaran. Sakit punggungku terkadang menjalar ke sekujur

Pulang

tubuh, sehingga segala sesuatu yang kupegang sering tumpah. Dengan kesakitan yang sedemikian, mungkin aku akan mati perlahan. Haruskah aku hidup hanya demi bernafas?

*

Sekarang aku pulang. Ke Indonesia. Tapi apakah hidupku

hanya untuk ini? Bertahan dan bertahan selama mungkin. Dan kemudian, aku akan habis-tak bersisa lagi? Apa yang harus dilakukan

rang yang hidupnya tidak

seseo

akan lama? Apa yang akan kamu lakukan bi la tiba-tiba tidak lagi bisatinggal di tempatmu sekarang, bertemu dengan orang-orang yang kamu sayangi, merasakan makanan yang paling kamu suka? Apayang akan kamu lakukan bila kamu tidak akan menjadi kamu lagi, menghilang begitu saja. Bila sebentar lagi kamu akan tiada. Ada berbagai pilihan. lstirahat adalah salah satunya. Mama, dengan begitu murah hati, selalu bersedia menampung dan merawatku. Tapi hidup sebagai orang dirawat adalah hidup yang begitu sia-sia. Hid up yang hanya menggantungkan diri kepada orang lain. Apa bedanya dengan benalu? Bila hidup sudah tidak lagi berguna untuk apa dilanjutkan? U ntuk apa manusia terus bernafas tapi hanya merepotkan? Dan bila aku sudah tidak lagi bisa tertolong, bila kemungkinan hidupku sudah sangat minim, dan yang kulakukan hanyalah menggeletak di tempat tidur seperti sayur, inilah yang kuinginkan: euthanasia. Pengambilan nyawa dengan cara yang tak menyakitkan. Karena bi/a kamu sudah merajalela, apa lagi yang harus ditunggu?

143

KvbVllvh Pl SINI

Merawatku dalam keadaan seperti itu hanya akan mem­ buang duit. Kalaupun umurku bisa diperpanjang 2-3 bulan,

setelah itu juga koit. Jadi untuk apa memperlama penderitaanku dan penderitaan mereka yang merawatku, hanya karena keharusan untuk mempertahankan hidup? Lebih baik dana untukku dialihkan kepada yang lebih mempunyai harapan, yang hidupnya lebih bisa tertolong. Tapi sekarang, aku masih belum sekarat. Walaupun seringkali harus berjalan tertatih karena kesakitan yang luar biasa. Palingtidak, aku masih bisa melakukan beberapa hal. Karena ini, aku begitu bersemangat dan bahkan memaksa

tubuhku untuk terus bekerja, dengan kondisi yang sudah hampir sekarat. Karena aku merasa hidupku tidak akan lama. Terkadang

inilah yang membuatku selalu terburu. Seolah mencari apa yang harus kulakukan sebelum aku tidak bisa apa-apa lagi. Aku sudah menjelma tukang sapu yang hanya punya waktu lima men it untuk membersihkan seantero rumah megah.

*

I nilah

salah satu kotoran yang membuat tukang sapu ini

gatal: kebisingan. D i negaratempatku dilahirkan, aku disambutoleh pengeras suara dan plaza-plaza yang dengan bahagianya berlomba meninggikan volumenya. Kebisingan di rumah sakit Australia

masih belum kulupakan. Sekarang, tempat ini mengungkit kembali kenangan buruk itu. Bahkan pada tengah malam ketika orang tidur, beberapa pengerassuaradengan seenaknya berkoak-koak. Tapi, mengkritik 144

Pulang

sendirian adalah hal yang konyol. Apalagi bila bermusuhan dengan mayoritas yang merasa hak mereka tidak bisa diusik. Aku tidak sendiri. Slamet A. Sjukur, komponis yang juga sempat menjadi guru musikku, telah lebih lama memikirkannya juga. Sayang, sebagian besar masyarakat masih tidak begitu peduli dengan hal ini. Desibel-Ukuran Suara Kebisingan suara tidak saja berdampak pada pendengaran

dan berkurangnya sensitivitas pada suara, namun juga bisa mempengaruhi mekanismetubuh yang lebih luas. seperti tekan­ an darah, denyut jantung, dan sistem pencernaan. Telinga kita mempunyai rumah siput yang menjaga fungsi keseimbangan. Bila fungsi ini terganggu, maka manusia akan lebih mudah mengalami depresi, insomnia, dan beberapa penyakit lain seperti vertigo. Tidak saja manusia yang terganggu, bahkan binatang (yang semakin terdesak oleh hutan beton), juga bisa mengalami gangguan yang luar biasa. Misalnya: gangguan komunikasi di antara mereka. Binatang yang seringkali diserang oleh polusi suara juga lebih mudah menjadi agresif daripada yang tidak. Bahkan polusi kebisingan terbukti ikut bertanggung jawab atas semakin punahnya ikan paus di dunia. Arthur Popper, ahli kebisingan dalam dunia laut dari University of Maryland, menjelaskan bahwa bunyi-bunyi kerasdari kapal atau kendaraan bermotor lain, sangat mengganggu nyanyian ikan paus. Padahal dengan nyanyian ini mereka berkomunikasi, mencari makan bersama, mencari kelompok mereka dan bahkan mengirim 145

KvbU11uh DI SINI

tanda SOS bila dalam bahaya. Bayi-bayi mereka pun mengalami tingkat kematian yang jauh lebih tinggi karena adanya polusi suara ini. Pengalamanku di rumah sakit Australia yang bising itu membuatku sadar betapa kebanyakan orang tidak peduli akan bahaya kebisingan. H ampir semua orang tahu ukuran jarak (meter, kilometer, dst), waktu {detik, jam, hari, dst) atau berat. Tapi ukuran suara? Ketidaktahuan ini seringkali adalah pertanda

ketidakpedulian masyarakat. Padahal ukuran ini hanya satu kata yang sama sekali tidak seram: desibel. D i tempat-tempat yang sepi, ukuran desibelnya akan rendah. Misalnya: •

Di perpustakaan (yang keheningannya dijaga): 35-40 desibel Di kantor: 60- 65 desibel



Tempat permainan anak di Plaza-plaza Indonesia: 90-95 desibel

Pendengaran manusia akan terganggu bila mendengar suara yang lebih dari 80 desibel. I ni juga tergantung dari lama suaratersebut. Bilatidak lebih dari 15menit, makagangguan yang dialami akan minimal. Tapi bila lebih dari 15 menit, gangguan akan semakin besar, apalagi bila dialami hampir setiap hari. Bayangkan anak-anak yang bermain d i plaza berjam-jam dan dijajah oleh bu nyi yang begitu keras? Kerusakan pendengaran

sebesar apa yang akan mereka alami? Masyarakat Bebas-Bising Slamet A. Sjukur menyebut kebisingan sebagai "bahaya nasional". Ancaman ini sudah tumbuh di mana-mana dan semakin merajalela. Bahkan gaya hidup kita semakin tidak

146

Pulang

bisa dipisahkan dari penjajahan bunyi ini. Suara mesin cuci, pengering rambut (blow-dryer), penghisap debu, alat pemotong rumput-semua menjadi bagian yang diterima oleh masyarakat. Dia sendiri sudah begitu jenuh dengan suara pengeras dari beberapa masjid yang begitu dekat dengan rumahnya. I nilah penjajahan baru itu: suara! 23

Pada

Januari

2010,

atas prakarsa Slamet A. Sj ukur,

kami bersama-sama mendirikan Masyarakat Bebas-Bising. Ren­ cana kerja di rancang di Jakarta, di sebuah hotel yang cukup sederhana. Yang terlibat adalah manusia dengan latar belakang yang sangat beragam, dari tokoh Islam Syafii Maarif

dan Luthfi Assyaukanie, penulisNh. Dini, aktivis Bayu Wardhana, dan Atieq Listyowati, hingga dokter THT Bulantrisna Djelantik, Damayanti Soetjipto, dan Ronny Suwento. Masyarakat Bebas-Bising adalah bentuk kepedulian ter­ hadap masyarakat akan adanya polusi kebisingan, terutama di kota-kota besar. Kita mengupayakan supaya masyarakat lebih

sadar dan pemerintah lebih sigap atas masalah ini. Peraturan Desibel (dB) di beberapa negara:

D i beberapa negara, sudah diberlakukan peraturan batas maksimal desibel yang cukup ketat. I ni adalah contoh batas desibel di Australia.

Kategori A.

Daerah industri

Maksimal dB jam

Maksimal dB jam

7.00-22.00

22.00-7.00

65

55

147

Kvburivh DI SINI

B.

Daerah perdagangan

62

55

c.

Daerah perumahan

52

45

D.

Daerah pedesaan

47

40

Yang aneh adalah, peraturan maksimal kebisingan di Australia sudah cukup bagus. Mereka yang bertugas juga sangat ramah, dan menjawab beberapa pertanyaanku dengan jelas. Tapi, mengapa rumah sakitku di Melbourne begitu bising? D i Malaysia, peraturan suara sedikit berbeda:

Daerah

Maksimal dB jam 6.00-22.00

Maksimal dB jam 22.00-6.00

E.

Daerah industri

75

70

F.

Daerah perdagangan

65

55

G.

Daerah perumahan

55

45

H.

Daerah hening (seper-

50

40

ti rumah sakit, panti jompo, pengadilan)

Di Indonesia,juga ada peraturan batas desibel. SK Menaker

1999 menentukan: 5uara 80 desibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 24 jam. • •

Suara 82 desibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 1 6 jam. Suara 85 desibel, diperbolehkan selama tidak lebih dari 8 jam.

Dibandingkan dengan tabel di atas. tentu saja batas di Indonesia masih jauh di atas batas di negara-negara lain. Artinya, pemerintah kita masih lebih santai dalam menanggapi kerusakan kesehatan rakyatnya (bandingkan batas di atas. yang

148

Pulang

hanya mencantumkan angka 75 desibel, sedangkan pemerintah masih cukup kalem dengan 85 desibel). I ni pun masih dengan mudah dilanggar begitu saja. Karena itu, Masyarakat Bebas-Bising yang kami

dirikan

mencoba memberi informasi seluas-luasnya tentang bahaya kebisingan. lembaga Bhinneka Setelah pertemuan Masyarakat Bebas-Bising, aku kembali ke Surabaya. Melanjutkan kerja sapu-menyapu. Dengan men­ dirikan lembaga Bhinneka. Tapi ada alasan lain lagi: kegelisahan yang perlu disalur­ kan. Apa yang kulakukan sebelum hidupku berakhir? Selain mempertahankannya, apa lagi yang bisa kukerjakan? Aku sudah diperlakukan sebagai ternak di Australia. Ternak yang hanya dihargai hasil nya oleh para penguasa. Berapa banyak lagi manusia yang diperlakukan demikian? Yang mungkin meng­ alami nasib jauh lebih buruk dariku? Mungkin lembaga ini adalah jawaban dari pertanyaan­ pertanyaan ini. Mungkin lembaga Bhinneka, menjadi salah satu alat penyapu ini-penyapu kegelisahanku. Dengan bantuan beberapa teman yang baru saja kukenal, pada pertengahan Maret 2010, lembaga Bhinneka diresmikan di kantor notaris. Kami ingin mengadakan selamatan kecil­

kecilan namun pada saat yang hampir bersamaan, di Surabaya akan diadakan konferensi I LGA {I nternational Lesbian and Gay Association). lni adalah hal yang cukup penting. Para peneliti, akademisi, dan juga aktivis LGBT {Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) akan berdatangan dari berbagai penj uru dunia ke 149

KvbVllvh Pl SINI

kota ini. Selamatan lembaga Bhinneka akhirnya kutunda karena aku tidak bisa melewatkan konferensi yang rencananya diadakan pada 26-28 Maret 2010. Konferensi ILGA-lnternational Lesbian, Gay, Bisexual,

Transgender, dan lntersex Association Konferensi internasional biasanya diadakan di ruang yang

cukup besar dengan meja dan kursi yang nyaman dan peralatan multi-media. Juga, tersedia cemilan untuk peserta yang lapar. Dengan kata lain, kenyamanan adalah hal yang diperhatikan karena mereka yang datang sudah melakukan perjalanan cukup jauh sebelum acara dimulai. Tapi, jangan harap ada kenyamanan seperti itu dalam konferensi yang satu ini. Kami berdesakan di kamar tidur, dan

beberapa duduk d i ranjang. Bahkan karena banyaknya orang di ruang yang sempit, kami harus bertumpuk-tumpukan seperti pindang. Pembicara memaparkan makalah secara tidak formal. AC sudah dibuat sedingin mungkin, tapi tetap saja keringat kami bercucuran. I n i bukan konferensi, tapi mi rip arisan yang kacau. Tidak lama kemudian, panitia meminta kami bubar. Kami akan

dikunjungi kelompok yang menamakan diri FUI (Forum Umat Islam), yang merupakan gabungan dari M U I , HTI, dan FPI. Mereka datang dengan berteriak-teriak mengancam: "Anjing! Celeng! Binatang! Allahuakbar!" Beberapa hari sebelum konferensi diadakan, kelompok itu sudah meminta acara ini dibatalkan dengan alasan tidak sesuai moral bangsa. Moralitas yang mana yang mereka maksud sebenarnya? 150

Pulang

"Pengaruh budaya Barat'' memang biasanya ditempelkan pada aktivitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Tapi, mereka yang melontarkan klaim ini mungkin menderita amnesia akan tradisi nusantara. Masyarakat Bugis mengenal calalai (perempuan maskulin) yang biasanya mempunyai pasangan perempuan lain dan calabai (lelaki feminin) yang biasanya berpasangan dengan lelaki. Bahkan, pendeta dalam agama tradisional mereka, bissu, adalah seorang waria yang mempunyai kombinasi sifat maskulin dan feminin (karena kombinasi inilah yang dianggap lebih sempurna dalam agama mereka dibandingkan satu sifat saja). Dalam reog Ponorogo, hubungan sejenis biasanya terjadi antara gemblak atau gemblakan dengan warok. Jawa Timur juga mengenal ludruk yang mempunyai tandak lelaki yang berdandan perempuan. I a biasanya menjadi primadona, dan bahkan digemari oleh beberapa lelaki lainnya. Praktik hubungan seksual sejenis bahkan telah mempunyai istilah dalam bahasa Jawa tradisional, yaitu jinambu (pasif) dan anjambu (aktif). Begitu juga pada kesenian indang di Sumatra Barat, para penarinya adalah remaja lelaki yang gemulai yang biasanya tidur bersama dengan manajer grup itu. Seringkali hubungan seksual sejenis terjadi antara manajer dan penari atau antarsesama penari. D i Aceh, seni rateb sadati ditarikan oleh 15-20 lelaki dewasa dengan seorang bocah lelaki yang ayu. Lelaki kecil ini didandani mirip perempuan. Dewa-dewi di nusantara (yang kebanyakan berasal dari I ndia) jugatidak mengacu pada dualismegender yang konsisten. Salah satunya adalah Ardhanarishvara, yang merupakan per­ satuan antara Dewi Parwati dan Dewa Syiwa sehingga ia

151

KvbU11uh DI SINI

mempunyai duatubuh (lelaki dan perempuan). Patungnya masih bisa ditemukan antara lain di Bali dan di Museum Trowulan (Mojokerto). Bagaimana dengan Dewa Wisnu yang menjelma Dewi Mohini dan bersetubuh dengan Dewa Syiwa? Keb eragaman gender di nusantara ini sempat membuat

orang Eropa yang menjelajah ke Asia Tenggara tercengang. Mereka, yang pada umumnya menganut atau paling tidak dipengaruhi ajaran Kristen puritan, menganggap praktik sek­

sualitas di Asia Tenggara tidak bermoral. Mereka mengecam praktik seperti ini, dan beberapa bahkan mengatakan sebagai tindakan barbar. Sekarang jadi serba terbalik Kelompok itu menyatakan .

bahwa hal ini adalah pengaruh Barat. Mereka meminta konferensi segera dibubarkan. Padahal, peserta sudah mengalah dengan mengadakan diskusi di kamar tidur saja. Tidak lagi ada konferensi formal. Tapi gerombolan itu masih belum puas.Apa pun yang terkait dengan LGBT harus ditidakan, kata mereka, karena ini adalah penyakit. Aku sendiri tidak setuju bila orientasi seksual tertentu dipandang sebagai penyakit. Tapi kalau memang mereka menganggap LGBT orang sakit, bukankah bila kita mendengar teman kita terkena penyakit, maka kita akan berbaik hati? Kita akan menolong mereka dan bahkan menyumbang. Kita akan

memberi mereka kemudahan dan memaklumi bila mereka lebih gampang naik darah karena kondisi yang kurang baik. Tapi, yang terjadi pada LGBT ini malah sebaliknya: mereka dianggap sakit, tapi yang sehat selalu mengusik mereka, menyakiti mereka, dan bahkan memberi berbagai masalah baru yang tidak perlu.

152

Pulang

Yang lebih lucu lagi, beberapa dari gerombolan itu menyebut bahwa di sini ada pesta seks. I ni konferensi, bukan pesta seks. Mungkin mereka memang tidak tahu bedanya! *

Pihak kepolisian yang seharusnya menghadang para perusuh seperti ini juga tidak berbuat banyak. Mereka bahkan berkata dengan tegas bahwa kami harus segera bu bar dan pulang ke rumah masing-masing. Nursyahbani Katjasungkana,

anggota

DPR sekaligus

pengacara, yang sengaja datang untuk menengahi masalah ini, menjadi agak gusar: "Bagaimana dengan peserta dari luar kota dan luar negeri? Mereka mau tinggal di mana? Kalau tinggal di

hotel lain pera.ima saja, gerombolan itu nanti akan pindah ke hotel itu juga." Lalu polisi menawarkan untuk memulangkan peserta I ndonesia dulu, sedangkan peserta internasional bisa pulang esok harinya. I ya kalau dapat tiket besok, kalau tidak? "OK, saya akan coba bicarakan dengan mereka di bawah,"

kata salah seorang polisi. Tapi, dia mengharuskan panitia untuk segera membuat pernyataan bahwa mereka tidak akan melakukan kegiatan apa pun di hotel ini, dan ditanda-tangani. Pakai materai nggak? "Nggak usah. Buang-buang du it saja. U ntuk apa nga­ sih mereka materai?" kata beberapa panitia. Tapi Pak Polisi itu mengharuskan ada materai, sebelum mereka turun ke bawah. Waktu kembali, pihak kepolisian bilang bahwa mereka setuju hanya peserta dari I ndonesia yang pulang malam ini,

153

KvbU11uh DI SINI

sedangkan peserta internasional pulang besok pagi. Kami semua protes.

Ini tidak masuk akal juga. Kan, peserta Indonesia ada

yang tinggal di luar kota dan nggak bisa langsung dapat tiket? H anya yang dari Surabaya saja yang bisa pulang sekarang." Beberapa di antara kami mulai marah. Bagaimana kami tahu bahwa polisi memang bisa menjamin keselamatan kami? Salah seorang peserta dari luar negeri mengatakan: "Pak, di sini saja Bapak tidak bisa melindungi kami. Apalagi nanti kalau kami sudah keluar dan berpencar-pencar. Akan lebih susah melindu­ ngi kami!" Tapi Pak Polisi malah bilang: "Merekajuga sudah berjanji kalau kalian semua keluar, mereka tidak akan mengganggu keselamatan kalian." Bagaimana kami bisa percaya? "Mereka cukup bisa diajak berunding kok. Tadi cukup enak dengan mereka." Langsung saja banyak orangjengkel dengan jawaban polisi yang seperti itu. "Pak, tadi salah satu panitia turun untuk diskusi tapi malah mau dipukul sama mereka sambil teriak Allahuakbar!" Lalu, Nursyahbani berdiri. "Pak, rasanya mereka bisa diajak bicara oleh Bapak kan? Kalan begitu, mungkin Bapak bisa

meyakinkan mereka bahwa kita tidak mungkin pulang malam ini, kecuali peserta dari Surabaya. Yang dari luar kota, mungkin baru bisa pulang besok Sabtu atau Minggu. Sedangkan peserta internasional, seharusnya diizinkan pulang sesuai tiket mereka. Saya sertai doa ya, Pak!" Pak Polisi turun ke bawah, lalu naik lagi. "Doa I bu berhasil," katanya kepada N ursyahbani. "Mereka setuju peserta interna-

154

Pulang

sional pulang sesuai tiket. Tapi peserta dari I ndonesia harus pergi malam ini." Kami protes lagi

.

Lho, itu bukan yang kami minta tadi!

"Kan demikian persetujuannya," kata Polisi itu. Kami

jadi bertambah gusar. Tapi polisi itu bersikeras tidak bisa lagi memperbaiki persetujuan ini. *

Tengah malam di Hotel Oval, ketika aku sempat tidur, salah seorang peserta konferensi dan juga editor majalah Bhinneka, Hendri Yulius, membangunkanku:

"Soe

Tjen, ada kabar buruk.

Aku tadi keluar sebentar dan dengar kalau mereka akan kembali besok dengan pasukan bersenjata. Mereka akan mulai menyisir kamar satu per satu. Mereka sudah punya daftar nama dan nomor kamar kita." Apa yang mesti kita lakukan? "Tapi kalau mereka bersenjata?" Sebenarnya, kalau lecet atau digebuki sedikit, aku tidak takut. Masalahnya kalau mereka menggebuki kami hingga hidup tidak, mati juga belum. Yang kasihan tidak hanya aku sendiri, orang-orang di sekelilingku nanti harus ikut disusahkan. Kami meringkas semuanya. Kuajak dua peserta konferensi,

Hendri dan l no, untuk menginap di rumahku, karena tidak mungkin mereka pulang ke kota mereka sekarang. Hendri dari Jakarta dan lno dari Makassar. Mereka berdua membel i tiket ekonomi yang sukar sekali diganti jadwal. Sekitar pukul 4 pagi, kami meninggalkan hotel. Di ba­ wah, beberapa orang tertidur di sofa. Rupanya orang-orang dari gerombolan itu yang berjaga. Kami berusaha berjalan setenang

155

KtJbU11uh DI SINI

mungkin, tanpa suara. Sal ah satunya terbangun ketika kami kelu­ ar, tapi dia tidak berbuat apa-apa. Mungkin terlalu mengantuk. Aku, H endri, dan I no memutuskan untuk tidak mengambil taksi dari parkiran hotel, karena mendapat informasi bahwa banyak intel gerombolan itu yang menyamar menjadi sopir taksi. Kami berjalan beberapa saat, baru mencegat taksi. Kami juga

tidak berhenti di rumahku, tapi beberapa meter sebelumnya. D i rumah orang lain. "Kalau mereka begitu bersemangat clan serius mengejar

kita." kata H endri, "jangan-jangan rumah ini yang dihancurkan esok harinya." *

Angus yang mendengar kabar tentang peristiwa itu memintaku kembali ke London: "Kamu mesti kembali, Tjen. Di

I ndonesia tidak aman. Apalagi kamu seringkali tidak bisa tutup mulut." Tapi karena bakatku adalah keras kepala, kejadian dengan gerombolan itu membuat aku justru merasa tertantang. Aku ingin bekerja lebih lama di I ndonesia. Gagalnya Peresmian Lembaga Bhinneka Beberapa minggu setelah kejadian I LGA itu semua terasa aman-aman saja. Peresmian lembaga Bhinneka segera kurancang dengan beberapa teman. Kami akan membuat acara diskusi pada

perayaan ini, dan aku meminta seorang sahabat untuk menjadi pembicara dalam acara ini, yang rencananya diadakan di sebuah studio seni rupa, Galeri D imensi, di Surabaya.

156

Pulang

Lalu, apa yang terjadi? Setelah mendengar keterlibatanku di I LGA, Galeri Dimensi merasa ketakutan dan membatalkan pemakaian ruangnya secara sepihak. Sahabatku yang bersedia menjadi pembicarajuga ikut-ikutan

mungsret. Katanya, namaku

pasti sudah diketahui oleh organisasi massa itu. Kalau acara i ni sampai di telinga mereka, pasti diserbu. D i a memintaku untuk tidak mengumumkan acaranya.

Suatu permintaan yang tidak masuk akal. Kalau tidak diumum­ kan, lalu siapa yang akan datang? Untuk apa membuat acara diskusi bila tidak ada hadirinnya? Lebih baik ngomong saja sendiri d i rumah. Acara tetap kusebarkan, lewat internet. Tapi, sahabatku masih tidak terima. l a mengirim e-mail yang cukup pedas, dan berkata bahwa aku sudah mengkhianati perjanjian untuk tidak memberitakan acara tersebut. Satu hari sebelum acara dimulai, ia menyatakan tidak bersedia menjadi pembicara lagi dan tidak mau datang di acara i n i sama sekali. Hal yang benar-benar aneh! Rupanya seperti konferensi I LGA, peresmian Lembaga Bhinneka akan bernasib sama. Gagal total ! Bagaimana dengan mereka yang berniat hadir? Dengan mereka-mereka yang sudah telanjur mendapatkan undangan? Apa jadinya kalau mereka datang ke galeri itu dan tidak ada apa pun d i sana? H ari itu juga, aku mengumumkan pembatalan ini lewat H P dan internet. *

Sehari

sesudahnya, tiba-tiba aku merasa begitu bodoh

sudah membatalkan. Kenapa aku harus secepat itu menyerah?

157

KvbU11uh DI SINI

Kenapa tidak kuadakan di tempat lain? Tapi, kabar pembatalan

peresmian Bhinneka karena ketakutan terhadap organisasi massa itu sudah telanjur menyebar. Dan terjadilah efek domi­ no. Bahkan orang-orang yang dekat denganku pun sempat keta­ kutan, dan tidak lagi mau membantu peresmian Bhinneka ini. Mamaku sendiri tidak mau membantu sama sekali. I a juga ikut ketakutan. Inilah ketakutan yang memperbesar masalah. Ketakutan

yang mereka punyai tidak dianalisa, namun malah dipompa, dikembangkan, dan diperbesar. Bukankah i n i yang terjadi dalam Orde Baru? Ketakutan atas komunis yang membabi buta dan mematikan rasa ingin tahu. Rakyat pun seringkali tidak tahu menahu apa arti komunis itu sendiri, tapi serta-merta mengkerut dan menghujat tanpa tahu apa yang sebenarnya d ihujat. Tanpa sadar, dengan ketakutan ini, mereka tel ah menjadi kaki tangan penindas, seperti kelompok organisasi massa itu. Ketakutan dengan kadar yang ti nggi tanpa disertai kekritisan dapat menjadi propaganda yang efisien dan murah. Dan

ketakutan inilah yang seringkali dipelihara oleh penguasa untuk dijadikan kenikmatan bersama sehingga tanpa ketakutan itu akan ada kehilangan yang luar biasa. Dan bukan, bukan penyebab masalah itu yang kemudian dianalisa atau dicari, tapi bagaimana memelihara ketakutan tersebut dan memuaskannya dengan mencari mangsa yang empuk. Pada zaman puritan di Eropa, berapa kisah dan dongeng tentang nenek sihir yang dinikmati dan dikunyah oleh beribu orang, dengan korban perempuan-perempuan yang tak bersalah? Namun, hukuman dan penderitaan bagi para perempuan itu adalah kenikmatan, pertunjukan gratis yang selalu dipenuhi oleh rakyat. Lalu, timbal 158

Pulang

balik terjadi tanpa disadari: Takutlah, dan tudinglah mereka­ mereka yang bisa dikambinghitamkan, maka tontonan ini akan selalu tersedia. Tanpa sadar, mereka telah menjadi agen organisasi massa itu sendiri, karena telah ikut menggagalkan dan menyurutkan semangat para manusia yang menooba melawan kelompok peneror ini. Berapa lamanya para calon proklamator Indonesia harus mengadakan pertemuan rahasia, dalam ruang tamu kecil, tidak saja untuk melindungi diri dari penjajah namun juga dari rak­ yat yang ketakutan, dan yang siap mengkhianati mereka? Bah­ kan ketakutan ini menjadi musuh yang lebih besar daripada sang penjajah. Sang penjajah sendiri tidak usah berbuat apa­ apa, rakyatlah yang bergerak untuk membungkam kebebasan berpendapat satu sama lain. Merekalah yang menjadi agen-agen yang menggagalkan perjuangan melawan sumber teror yang sesungguhnya. Kegagalan perjuangan melawan kekerasan seringkali

disebabkan bukan oleh penguasa atau peneror itu sendiri, tapi lebih oleh karena masyarakat atau rakyat yang ketakutan. Rakyat yang tidak bersedia melawan penjajah karena ketakutan itu, dan siap untuk menghambat perjuangan bahkan mengkhianati mereka. Rakyat yang kemudian turut menikmati kemerdekaan. Kegagalan melawan kelompok preman juga seringkali disebabkan oleh ketakutan masyarakat. Ketakutan ini yang akan

lebih menggagalkan dan menghambat perjuangan melawan mereka. Ketakutan masyarakat sudah menjadi antek yang

ampuh. Sedangkan mereka yang berjuang melawan preman harus terjegal ke sana kemari. Yang mereka lawan seringkali bukan para preman itu lagi, namun justru ketakutan masyarakat 159

Kvbllrltih DI SINI

itu sendiri. Sekarang, diskusi yang akan kuadakan harus porak­ poranda karena ketakutan masyarakat! Untungnya, tidak semua orang bisa di manipulasi sedemi­ kian rupa. Phebe, Kathleen, dan beberapa teman lainnya seperti

Antok dan Yovi tetap memberi dukungan hingga kini. Begitu juga teman-temanku di Facebook yang memberi semangat dari jauh. Akhirnya, aku mencari depot atau restoran yang bersedia menampung sekitar 20-30 orang. Secepat mungkin, supaya acara peresmian malam itu tetap bisa dilaksanakan. *

Siang itu, kususuri jalan untuk mencari tempat yang tidak begitu mahal, dan akhirnya aku menemukan Depot Bubur Ayam yang menyatakan kesediaan menampung kami di tempat yang khusus, karena kami perlu diskusi ringan. Tempat itu sangat sederhana. Tapi paling tidak, malam itu peresmian Bhi nneka bisa berlangsung tanpa hambatan sama sekali. Kali ini bukan preman dan kelompoknya yang

menggagalkan diskusi, tapi ketakutan orang-orang di sekitarku. Kemarahanku kepada mereka-mereka yang telah ikut

mengobrak-abrik acara ini sangat luar biasa. Tapi, beberapa minggu setelahnya, aku sadar bahwa beberapa di antara mereka melakukannya bukan karena keegoisan, tapi karena memikirkan keselamatanku. Aku yakin, mamaku tidak akan meninggalkan aku begitu saja, bila ada bahaya. Aku yakin, dia akan selalu berusaha melindungiku. Han ya cara kita yang berbeda. Anehnya, karena masalah ini, sakit punggungku tiba-tiba hilang. Aku bisa lari ke sana kemari tanpa merasa sakit. * 160

VIII Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

H i l angnya sakit punggungku karena huru-hara peresmian Bhi nneka tidak berlangsung lama. H anya satu hari. Setelah peresmian selesai, rasa sakit itu kembali. Mungkin peresmian Bhi nneka harus diadakan dan dibatalkan berkali-kali supaya sakit punggungku sembuh? Aku mencari berbagai pengobatan. Pengobatan alternatif apa saja yang tersedi a di sini? Banyak. Dari tukang pijit dengan bermacam gaya, sinshedengan berbagai jurus dan jarum, terapi dengan batu giok, batu magnet dan berbagai batu-batu lainnya sampai aku sendiri tidak tahu jenisnya. Ada yang mahalnya tidak keruan (melebihi dokter spesialis), ada yang cuma meminta ala kadarnya, ada yang sukarela. Ada yang ketus dan menganggap pasiennya tidak lebih dari sapi, ada yang begitu ramah dan manusiawi. Pokoknya bermacam-macam. Ada juga terapi batu yang gratisan, tapi harus rela menunggu berjam-jam, dicekoki dengan pidato yang membosankan. Gratisan ini untuk meraih massa sebanyak-banyaknya,

KvbtMuh Pl SINI

yang rela memuja alat baru, produk Korea. Setelah sesi tanya jawab tentang kesehatan, diputarlah video tentang orang-orang yang telah sembuh karena khasiat batu ini. Lalu, dimulai kesak­ sian dari para hadirin yang telah merasakan manfaat batu tersebut. Setelah itu, berdengunglah nyanyian pujian untuk produk ini. Mirip kebaktian atau misa penyembuhan, yang lebih banyak menggunakan sugesti. Mereka yang kebanyakan dari menengah ke bawah, yang sudah putus asa dengan penyakit mereka, dengan sukarela duduk berbulan-bulan lamanya di tempat ini. Mereka menemukan teman, yang tentu saja bisa membuat bersemangat daripada duduk sendiri di rumah. Dan harapan. Dari batu yang dipanaskan dan konon bisa menyembuhkan berbagai penyakit dari darah tinggi, kanker, stroke, kencing manis, sampai penyakit punggung. Syaratnya haruskesanatiap hari, entah berapa bu Ian lama­ nya. Ada yang sembuh dalam waktu 1-2 bulan, ada yang 1 tahun, kata mereka. Dengan kata lain, kalau tidak sembuh, duduk saja terus sambil berharap nanti sembuh sendiri. Aku, yang sudah hampir putus asa dengan sakit punggung yang kualami, akhirnya ikut duduk dan mengantre berjam-jam bersama ribuan orang tersebut, yang beberapa sempat dibentak petugas. Aku tidak terlalu menyalahkan petugas itu karena kerja mereka cukup berat tapi digaji rendah. Salah seorang bilang kepadaku kalau mereka harus bekerja lebih dari 8 jam per hari, dan hanya mendapat Rp900 ribu per bulan. Setelah duduk di sana berbulan-bulan lamanya, kisah-kisah ajaib bermunculan. Orang sakit stroke akhirnya sembuh dan bisa berjalan. Orang yang sakit punggung akut dapat beraktivitas lagi.

162

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

Dan bila ingin membeli batu itu beserta tempat tidur panasnya, harganya lumayan: Rp30juta! Aku sebenarnya tidak begitu percaya dengan pengobatan macam ini. Aku sering mempertanyakan ketika orang-orang di sekitarku begitu memuja khasiat sang batu. Tapi, karena aku sudah sedikit putus asa, aku mau mencoba. Setelah beberapa bulan menempelkan pantat di sana, menunggu berjam-jam, dan dicekoki kotbah tentang batu ajaib, aku tetap tidaksembuh. Sayangnya, hanyayangsembuh sajayang memberi kesaksian, yang tidak sembuh biasanya menghilang. Seperti aku. Tidak akan ada orang di sana yang tahu, bahwa lebih banyak yang tidak disembuhkan daripada yang disembuhkan dengan metode ini. Aku pergi ke ternpat lain. Bertanya ke sana kemari tentang pengobatan apa saja yang tersedia. Entah itu sulap, mukjizat, santet, atau apa pun namanya aku akhirnya tidak lagi peduli, yang penting rasa sakitku bisa hilang. Kesa.kitan ini akhirnya menjalarkeperut sehinggaaku sukar buang air besar dan air kecil. Kakiku juga semakin lemah. Dan

aku sudah capek mengunjungi sinshe, tukang pijat, atau tukang sulap. Merekajadi hampir sama di mataku. Beraksi di sana-sini, sambil mengeluarkan alat peraga yang beraneka ragam. Jompa­ jampinya juga berbeda, plus janji-janji gombal supaya aku terus datang. Hasilnya semua sama: Tidak ada!

*

163

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

Lembaga Tambur Aku masih kesakitan, dan semakin kesakitan. Akhirnya kubiarkan saja punggungku seperti ini. Beberapa orang yang memanggilku sebagai pembicara sudah tahu kalau aku tidak bisa duduk lama dan tidak tahan dingin. H ari terakhir aku diundang menjadi pembicara adalah di U niversitas Airlangga Surabaya. Aku harus sesekali berdiri dan berbicara dengan menahan sakit. Beberapa teman komponis SWaratyagitha, Andri

dan

seniman

(Gema

Wirawan, Tribroto Wibisono,

Shri

Widijatmoko) saat itu juga menginginkan agar aku membentuk lembaga untuk mempromosikan musik kontemporer. Aku tidak menolak. Tapi dengan keadaan seperti ini, bagaimana aku bisa membantu banyak? Akhirnya Lembaga Tambur berdiri. Aku yang ambruk! Bahkan naik tangga pun, aku sudah tidak mampu. Sampai suatu saat, aku benar-benar susah berjalan. Jadi yang kulakukan hanya berbaring, dengan kesakitan. Mama yang sudah begitu khawatir akan kondisiku mencarikan dokter yang bisa mengobati sakitku. Mama mendapat nama dan alamat dokter yang menyembuhkan temannya, yang juga sakit punggung seperti aku. Dokter Hermanto SWatan. Dia sangat rendah hati dan mau mendengar pasien. Aku diterapi dengan alat pemanas olehnya. Punggungku menjadi agak nyaman, tapi kakiku semakin sukar untuk berjalan. Tips untuk Para Pasien: Membandingkan Harga MRI: Saat tubuh ditelan tabung raksasa. Dalam kegelapan yang sempit itu, kamu akan diserbu oleh ketertutupan. Tiada 165

Kvburiuh Pl SINI

lagi ruang, tubuhmu dihimpit oleh tembok-tembok mesin yang kemudian menerjang telingamu dengan suara-suara magnetnya yang gemuruh. Jangan bergerak selama setengah jam. Atau hal ini akan diulang dari awal. Dan untuk segala penderitaan ini, kamu harus membayar jutaan rupiah. Untuk memesan tempat di dalam mesin ini, dokter me­ nyarankan untuk melihat Yellow Page, angkat telepon, dan membandingkan harganya, baru membuat janji untuk datang. Persis seperti pemesanan tiket pesawat ke Jakarta. Tapi yang ini jauh lebih mahal. Begitu juga dengan sinar-x, mamo­ gram, dan CT scan. Semua tes-tes ini biasanya dikerjakan pada mesin yang sama, tapi harganya berbeda-beda. Jadi tanya saja mesinnya, lalu harganya. Telepon-menelepon dalam keadaanku yang sudah lemah sungguh menjengkelkan, tapi paling tidak, ini lebih gampang daripada memilih dokter atau dukun! * I nilah yang kulihat pada foto M R I . Benjolan di antara tulang punggungku bagian kanan, yang sudah menyebar ke kiri. Benjolan ini sudah cukup besar. Kenapa para dokter di

London tidak memintaku untuk MRI sebelumnya? Aku sudah melaporkan sakit pinggangku ini kepada 3 dokter, 1 fisioterapis,

dan 2 dokter spesialis kanker. Tidak seorang pun menyarankan aku untuk M R I . l nikah dampak penghematan ekonomi di negara itu hingga aku harus mencari pengobatan alternatif yang sia-sia, dan sekarang aku sudah sukar berjalan? Apakah kamu muncul kembali? Apakah kamu bangkit

166

Dulrun, Sulap, Mukjizat untuk Punggunglru

lagi dari kuburmu? Kali ini, untuk yang keempat kali? Dan rasa sakit apa lagi yang harus kualami kali ini? Tanganku gemetar tiba-tiba. Petugas laboratorium yang menemaniku, dan begitu lembut itu, memegang tanganku. Dia tahu aku begitu khawatir. "Sendirian?" tanyanya. Aku meng­ angguk. Terkadang aku lebih suka sendiri bila menghadapi kabar buruk tentang diriku. Supaya tidak ada orang lain lagi yang harus mengalami dampaknya. "Benjolan ini harus diambil karena sudah menekan saraf­ saraf di sekitarnya, bi la tidak kamu bisa lumpuh." Biayaoperasi tergantungdari kelaskamar dan dampak ope­ rasi. Aku tahu, dengan mudah biaya ini juga bisa membengkak. Orang yang sakit di sini haruspunyaduit. Bilatidak, jangan harap akan mendapat perawatan yang layak. Kalau orang miskin, sakit,

ini yang payah. Mereka tidak boleh sakit karena minim sekali tanggungan negara di tempat ini. Ke mana larinya uang setoran pajak? Berita-berita tentang

studi banding anggota DPR ke luar negeri semakin santer. Biaya untuk gedung sidang, transportasi, serta jatah pulsa sudah bisa dibuat untuk membiayai operasi beberapa orang di sini. Aku memutuskan untuk kembali ke London. Tapi, bagai­ mana aku bisa menempuh perjalanan sejauh itu dengan keadaan begini? Aku sudah sukar berjalan! Setiap 4-5 langkah aku harus berhenti. *

Kabar ini tentu tidak menggembirakan keluargaku. Aku

mencari tiket ke London. Secepat mungkin. Angus kukontak untuk mengatur janji dengan dokter. Semua harus serba cepat

167

KvbU11uh Pl SINI

karena rasa sakitku yang semakin menjadi. Saat itu juga, ada kabar lain dari beberapa teman. Per­ temuan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik-Banten, diserang. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Menurut kabar, pada Sabtu, 5 Febuari 2011, sekelom­ pok warga Ahmadiyah berkumpul di sebuah rumah salah satu anggota mereka di Cikeusik. Mereka mengadakan rapat dan menginap di sana. Beberapa orang menyebarkan berita bahwa Ahmadiyah sudah diperingatkan untuk tidak mengadakan pertemuan itu. Tapi mereka tidak menghiraukan. Karena inilah,

pada Minggu 6 Febuari 2011, beberapa penduduk mendatangi para pengikut Ahmadiyah untuk memperingatkan. Terjadilah perlawanan sengit dari Ahmadiyah dan baku hantam. Pengikut Ahmadiyah ternyata telah bersiap dengan senjata tajam, seperti pisau, celurit, dan parang. Dari baku hantam ini, secara tak sengaja, beberapa orang terbunuh dan Iuka parah. Tapi, ada video penyerangan yang ternyata dibuat diam­ diam oleh seorang wartawan. Dari video ini terlihat bagaimana Jemaah Ahmadiyah dengan agresif diserang oleh gerombolan yang membawa senjata dan terlihat cukup beringas. Jemaah Ahmadiyah sama sekali tidak melawan-mereka lari ketakutan. Tidak ada baku hantam. Kekuatan sungguh tidak berimbang

antara penduduk yang menyerang dan Ahmadiyah yang lari ketakutan. Polisi yang ada cuma satu. Ketika gerombolan itu melem­

pari tubuh anggota Ahmadiyah dengan brutal, si polisi menooba menahan. Tapi menghentikan pengeroyokan begitu kok tidak serius? Polisi itu, yang cuma sebatang kara menghadang gerom­ bolan giras, seperti main gobak sodor, sementara gerombolan itu menyambit, melempar, dan menginjak manusia lain. Bahkan, 168

Dulrun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

kekejian ini dilanjutkan saat sang manusia sudah jadi mayat. Atas nama agama! Teman-teman aktivis di Jakarta segera mengadakan aksi demonstrasi di depan I stana Merdeka. Lalu, Surabaya? Beberapa orang menghubungi aku dan menanyakan apa yang dilakukan di Surabaya. Aku sudah begitu kesakitan dan lebih sering berbaring daripada berdiri. Aku menghubungi 1-2 orang kawan. Akhirnya, kami berkumpul di LBH Surabaya.

Di

sana berkumpullah beberapa

orang. di antaranya perwakilan dari berbagai LSM. Hanya tiga orang dari Ahmadiyah, karena menurut salah satu dari mereka, yang terjadi di Cikeusik telah membuat mereka sedikit gentar untuk melakukan hal-hal yang bersifat publik. Kami merencanakan

aksi penyalaan lilin malam itu. Aksi

dimulai pukul 9.30 malam, dihadiri wartawan dan teman-teman yang lain. Setelah membaca surat pernyataan, aku segera undur diri karena hawa malam yang makin dingin. *

Historically, more people have died ofreligion than cancer. (Dalam sejarah, lebih banyak orang yang mati karena agama daripada karena kanker).

-Dick Francis Lalu, apa yang akan dilakukan pemerintah setelah ini? Mungkin tidak banyak. Beberapa orang mengatakan betapa per­ cumanya yang kulakukan-membuang waktu! Tapi, kesemenaan apa lagi yang akan merajalela kalau hal semacam itu dibiarkan,

169

KtJbtMuh DI SINI

tidak disiarkan, tidak dikritik? Aksi malam itu dilakukan bukan karena aku menyetujui ajaran Ahmadiyah. Tidak ada urusan antara ajaran agama dan kemanusiaan. Kalau ada orang yang diserang, dari kelompok

mana pun, ini adalah masalah kemanusiaan. Agama dan keyakinan orang berbeda-beda. Aturan mereka, kitab suci, versi surga, neraka, dan tuhan mereka berbeda semua. Jadi, kalau munrul agama satu lagi yang berbeda, kenapa mesti ribut? Memang, di I ndonesia-akibat ruci otak OrdeBaru-agama yang dikenal oleh kebanyakan orang hanya lima dan semuanya sebenarnya produk impor. Agama Hindu dan Buddha adalah yang tertua, dibawa masuk oleh para pedagang dari India. Kristen

Protestan masuk setelah para penjelajah dari Belanda mena­ pakkan kaki di nusantara. Katolik pertama kali masuk dengan

kedatangan orang-orang Portugis ke Maluku pada abad ke-16. Yang termuda di nusantara adalah agama I slam, yang baru masuk ke Indonesia sekitar abad ke-17 bersama dengan pedagang-pedagang Arab. D i Jawa, salah satu tokoh kunci pendorong penyebaran I slam adalah seorang puteri muslimah dari dataran Tiongkok. Puteri ini menjadi selir raja Majapahit terakhir, Brawijaya, dan kemudian melahirkan Jin Bun atau Raden Patah. Karena pengaruh ibunya, Jin Bun memeluk agama

Islam dan dialah yang mendirikan kesultanan Islam pertama di Jawa. Raden Patah banyak dibantu oleh Wali Songo, yang beberapa di antaranya mempunyai kekerabatan dengan ibunya (mereka juga keturunan Cina). Percampuran antar-agama seringkali terjadi (dan sebe­ narnya tidak dapat dihindari). D i Jawa, misalnya, ada pendeta Tiongkok bernama Hui Ning yang mengunjungi Kerajaan Ho

170

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

Ling atau Ka ling. Di sana, Hui Ning berguru pada pendeta Buddha Jawa bemama Jiianabhadra tentang ajaran-ajaran

agama. Jadi, ini menariknya: Buddha yang beberapa ajarannya dianggap berasal dari daerah Tiongkok, bisa bersumber di Jawa juga. Memang, Jawa saat itu sempat menjadi salah satu pusat pengajaran agama Buddha. Dan inilah menariknya, budaya yang bercampur cukup diterima oleh beberapa masyarakat saat itu. Bahkan dalam hal agama. Percampuran Hindu, Buddha, dan Kejawen tidaklah

mengherankan, dan hal ini terlihat dalam wayang, relik-relik, dan berbagai upacara pada saat itu. Dan salah seorang yang menyebarkan Islam d i Jawa adalah Cheng Ho, yang berasal dari Tiongkok. Cheng H o adal ah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa

tahun 1403-1424). Cheng Ho, yang juga dikenal dengan nama Ma H e atau Ma Sambao, versi Tionghoa dari Mohammed, mengarungi samudra menuju nusantara pada awal abad ke15. Dia menyebarkan Islam di Palembang dan Jawa. Cheng H o mengunjungi kepulauan nusantara hingga tujuh kali. Pada tahun 1415, Cheng H o berlabuh di Muara Jati (Cirebon) dan menghadiahi sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi kepada Sultan Cirebon. Piring yang bertuliskan ayat Kursi ini masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dia juga mendirikan

beberapa komunitas I slam di Sumatra dan Jawa. Dan memang pada saat itu, banyak sekali orang-orang Tionghoa menjadi penyebar agama Islam di Jawa. Kisah-kisah

ini tercatat dalam babad dan catatan sejarah (yang sayangnya, tidak diajarkan kepada murid-murid sekolah). Dal am bukunya, Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja

171

KvbU11uh DI SINI

Negara-negara Islam di Nusantara, Slamet Muljana juga menulis bahwa orang-orang dari Tiongkok dengan giatnya me­ nyebarkan I slam di Jawa, dan di banyak monumen I slam di dae­ rah pesisir utara Jawa tampak pengaruh Tiongkok amat kuat. Slamet Muljana juga menyebut bahwa beberapa Wali Songo beretnis Tionghoa, misalnya Sunan Bonang atau An Bun Ang, Sunan Ampel atau Bong Swie Ho, dan Sunan Drajat atau Bong Tak Keng. ParaWalisongo sendiri mengembangkan Islam dengan

interpretasi yang berbeda satu dengan lainnya. Dengan kata lain, sebenarnya aliran-aliran agama itu tak dapat dihindari. Tapi buku ini dilarang oleh Soeharto pada 1971 karena dianggap menyeleweng. Memang, pihak penguasa, terutamayang otoriter, selalu menekankan identitas nasional yang permanen dan tidak dapat diubah. Dengan begitu ia bisa mempermainkan ketersinggungan dan rasa takut masyarakat untuk kepentingan dirinya. Soeharto menekankan kesucian Pancasila dan bahkan selalu menggembar-gemborkan hal-hal sensitif bagi yang berani menyinggung ras dan agama, dengan istilah SARA. lnilah cuci otak Orde Baru! Yang terjadi sekarang adalah warisan Orde Baru: murid­ murid harus dipisahkan dalam pelajaran agama. Agama, yang katanya membuat manusia lebih baik, yang mengajarkan kebe­ naran, justru memisah-misahkan manusia. Dan, kebenaran yang diajarkan begitu berbeda-beda. I nilah yang membuat pertikaian sengit. Kebanyakan anak diajar untuk percaya kepada agama

mereka sebagai kebenaran mutlak, tapi kebenaran itu sangat berbeda satu dengan lainnya. Dari kelima agama yang dikenal luas di Indonesia saja, ajarannya sudah cukup berbeda. Belum lagi bi la kita mempelajari agama dan kepercayaan adat di nusan-

172

Dulrun, Sulap, Mukjizat untuk Punggunglru

tara yang sangat beragam. D i Bugis, misalnya, agama Bugis Kuno mempunyai pendeta waria, bernama

Bissu. Kalau kita

mau mempelajari agama-agama formal di dunia yangjumlahnya ribuan, bahkan bisa tak terbatas. akan tampak keragaman yang luar biasa. Sayang, masih banyak orang yang tidak mau dan malas membaca. Tapi yang mala9-malas membaca ini terkadang merasa dirinya paling benar. Aku pernah berhadapan dengan beberapa orang yang ngotot kalau semua agama melarang gay dan lesbian. Padahal, dalam kitab suci agama apa pun tidak ada pelarangan tentang lesbian. Begitu juga dengan agama-agama adat di nusantara, yang lebih menghargai keberagaman orientasi seksual. Jadi kentara sekali kalau orang ini ngotot tapi tidak tahu dan tidak membaca. Lalu mereka menyebut Sodom dan Gomorrah. Sodom di­ hubungkan dengan sodomi: dosa manusia-manusia homosek­ sual. Padahal kata Sodom berasal dari bahasa Hebrew S'dom yang berarti terbakar, sedangkan Gomorrah berasal dari kata Amorah yang berarti tumpukan yang hancur. I ni menyiratkan bahwa kota-kota itu diberi nama setelah keduanya hancur, dan bukannya nama asal kota tersebut. Artinya, interpretasi sodomi itu muncul sesudah kejadian, bukan sebelumnya. Pada milenium ketiga ini pun masih ada yang mengaitkan tsunami di Aceh dengan murka Tuhan, yang menghukum orang­ orang Aceh dengan bencana alam. Padahal, apa dosa mereka? Teknologi sudah begitu maju tetapi bencana masih dilihat dengan kacamata "dosa". Bayangkan beribu tahun yang lalu, ketika kehancuran besar-besaran atas dua kota terjadi. Apa penjelasan yang paling masuk akal untuk orang yang masih

173

KvbU11uh DI SINI

belum mengenal teknologi pendeteksi gejala alam? Yang terjadi pada dua kota tersebut kemungkinan besar adalah bencana alam yang kemudian diinterpretasi kan oleh orang-orang yang menuliskannya. Lalu, bila memang dosa mereka adalah sodomi, mengapa bayi, perempuan, bahkan orang uzur pun ikut dimusnahkan? Tentunya mereka tidak ikut-ikutan dalam perbuatan itu. Apakah ini karena Tuhan mereka sangat kejam sehingga membunuh tanpa pandang bulu, atau tekniknya kurang canggih sehingga membunuh dengan tidak semestinya? Bahkan Abraham mencobamenghentikan murkaTuhannya dengan terusmenerusmempertanyakan keputusan-Nya. Seakan Abraham yang menjadi hati nurani Tuhan. Tapi, Tuhan tidak lagi mau berdiskusi dengan Abraham dan tetap menghancurkan kedua kota itu. Dalam Alkitab Perjanjian Baru, Tuhan seolah berubah. l a menjadi mahapengasih, mahapengampun: "Cintailah musuhmu" adalah ajaran-Nya. Tuhan yang tidak lagi pencemburu, yang tidak mudah tersinggung. I a menjadi Bapa. Dal am Perjanjian Baru, terdapat kisah orang Samaria yang baik. Orang Samaria seringkali disingkirkan oleh orang-orang Yahudi dan dianggap kafir. Tapi dalam perumpamaan Yesus,

seorang Samarialah yang membantu korban perampokan yang Iuka parah. Dialah yang merawat korban itu, sedangkan orang lain lewat begitu saja, membiarkan sang korban tergeletak di tengah jalan. Dalam perumpamaan ini, bukankah kemanusiaan menjadi lebih berharga daripada kepercayaan? Tuhan sudah bukan lagi makhluk yang gila hormat dan ingin disembah-sembah, namun

174

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

lebih sebagai teman dan pendamping. Agama dan tuhan seringkali adalah interpretasi manusia. Tapi, masih banyak orang yang tel ah dicuci otak sehi ngga mereka membenci yangtidak beragama dan tidak bertuhan. Tidakjarang kudengar komentar seperti ini: "Orang yangtidak beragama atau bertuhan itu pantasdisingkirkan!" Bayi yang lahir tidak punya agama dan tidak mengenal Tuhan. Bila kita konsisten dalam berargumen bahwaorang-orang tidak beragama pantas disingkirkan, maka apakah bayi juga layak disingkirkan? Bukankah mereka juga tidak beragama? Anak-anak biasanya baru mengenal agama dan tuhan sete­ lah orang-orang dewasa di sekitar mereka memperkenalkannya. Kalau keluarga si bayi tidak mengenal agama atau tuhan, si bayi

biasanya akan tumbuh tanpa mempunyai agama atau mem­ percayai tuhan. Aku kenal dengan beberapa orang seperti ini. Tapi, apakah ini mengurangi kemanusiaan mereka? Justru teman-temanku yang disebut tak beragama kebanyakan memikirkan kemanu­ siaan tanpa sekat-sekat. Bagi mereka manusia adalah manusia tanpa harus dipandang agama dan kepercayaannya. Kabar Gratis Sekarang,

14

Februari 2011. Aku dijebloskan lagi ke

rumah sakit ini. The Royal Marsden Hospital. Lengkap dengan berita kematianku. Untung kabar kematian ini gratis. Kalau di

I ndonesia, biasanya pasien yang menerima kabar seperti ini masih harus merogoh kocek karena didapat setelah melalui berbagai pemeriksaan dokter, laboratorium, scan, dan tes-tes yang sangat mahal harganya. 175

KvbtMuh DI SINI

"Apa dokter yakin?" Mereka berdua mengangguk, hampir bersamaan. "Tapi istri saya selalu eek secara teratur, dan dari hasil pemeriksaan darah selalu negatif." "Betul, tapi kalau kanker ini sudah pindah dari daerah tiroid ke tempat lain, biasanya sudah tidak bisa ditanggulangi." lnilah kemampuanmu bekerja sama dengan set serupa dan berpindah ke organ lain untuk menjadi lebih ganas, lebih perkasa, dan meraja/ela. Begitu gigihnya kamu! Begitu besar keinginanmu untuk tetap hidup. Untuk menghabisiku!

*

Aku harus dioperasi. Bagaimanapun benjolan ini harus diambil karena sudah menekan saraf-saraf kaki dan perut. Setelah itu akan disusul dengan kemoterapi dan radioterapi dalam dosis besar. ltu yang paling kutakutkan. Aku tidak akan tahan kernoterapi dan radioterapi. Proses pemberantasanmu terkadang bisa jauh lebih mengerikan daripada kamu sendiri. Begitu pintarnya kamu bersembunyi dan menyamar. Kali ini aku akan segera kalah. Hidupku akan berakhir karenamu. Namun, ada satu yang kuingat: kepastian. Akan akhir hidup, akhir diriku sebagai manusia. Bukankah hidup abadi adalah suatu kengerian yang /uar biasa. Kemanakah kamu bi/a tiada akhirnya? Apa yang menjadi tujuanmu bi/a menjadi tak berhingga? Apa saja yang harus kamu /akukan sepanjang ketakberhinggaan itu? Ketidakberhinggaan juga?

176

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

*

Kematian membuat beberapa hal terlihat lebih jelas dan

sederhana. Aku hanya mempunyai sekitar 1-3 tahun lagi. Tidak begitu lama, tapi masih memberiku kesempatan untuk mela­ kukan beberapa hal. Mungkin, mereka yang meninggal mendadak dalam kece­ lakaan mendapat keberuntungan tersendiri. Mereka tidak mera­ sakan kesakitan yang parah sebelum mati. Mereka tidak akan merasakan penderitaan terkunyah o/eh makh/uk seperti kamu. Proses kematian mereka begitu cepat, dalam hitungan menit atau detik. Tidak seperti aku, yang harus menjalaninya dalam hitungan tahun. Tapi, ada satu hal yangtidak akan mereka alami. Perjalanan menuju mati. Yang memberi suatu kelegaan tersendiri. Segala masalah yang belum terselesaikan, semua tugas yang belum rampung-semua itu akan lenyap sebentar lagi. Aku tidak lagi perlu memikirkan masa depan yang panjang. Sekaranglah saatnya aku melontarkan ide-ideku tanpa rasa takut lagi. Karena aku akan mati. Dalam waktu yang tidak

lama lagi. Aku tidak menyangka akan mengalami hal ini setelah kabar kematian. Malam itu aku tidur dengan kebahagiaan yang luar biasa. Sebuah euforia.

*

177

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

ltulah terkadang yang membuatku lega dengan kematian. Aku tidak perlu lagi menghadapi hidup. Tapi, bagaimana dengan orang-orang di sekitarku? Angus pasti akan sedih luar biasa. Begitu pula keluargaku. Terutama mamaku. Kehilangan anak

akan lebih menyakitkan daripada kehilangan orangtua. Sebagai anak, kamu tahu bahwa orangtua akan mendahului kamu. Tapi sebagai ibu? Tidak banyak ibu yang merasa siap bahwa anaknya akan mendahului dia. Tiba-tiba memikirkan kesedihan mereka membuatku lebih sedih daripada memikirkan kesedihanku sendiri. Namun juga munrul sedikit kejengkelan. Mengapa mereka harus membuatku sedih dengan bersedih? Sekarang, tugasterberat bagi Angus: memberitahu keluar­ gaku. *

Tahukah kamu apa yang kuharapkan pada hari kematian­ ku? Aku tidak ingin siapa pun bersedih. Aku ingin mereka melanjutkan hidup seperti biasa. Aku tidak ingin kepergianku membawa duka. Tidak ada gunanya. Dan mayatku tidak perlu dikubur kalau tanah sudah sema­ kin sesak dan mahal, supaya tidak bersaing dengan manusia hidup yang sedang bersusah payah mencari lahan untuk tempat tinggal. Juga tidak perlu upacara yang mahal atau pidato yang bertele-tele. Yang membuat para hadirin ngantuk dan bosan. Buat saja upacara semurah mungkin, tanpa merepotkan orang lain. Toh aku sudah jadi mayat. Tidak ada gunanya bertele­ tele untuk mayat, apalagi hal ini hanya membuat bosan para

179

KvbtMuh Pl SINI

pengunjung, yang tentunya masih hidup dengan otak yang aktif dan bisa merasakan berbagai sensasi. Sedangkan saat itu, aku sudah tidak lagi. Kenapa tidak berkumpul saja

di hari kematianku sambil

nyamil jajanan? Kematian seseorang terkadang bisa menjadi

hal yang luar biasa untuk mengumpulkan orang. Paling tidak, banyak orang yang hadir berusaha melupakan perselisihan di antara mereka untuk bersama sejenak. Tentu saja aku masih ingin dikenang. Tapi keinginan seperti ini mungkin juga menggelikan, karena sesudah mati kamu tidak lagi merasa apa-apa. Dikenang atau tidak, sudah tidak lagi berpengaruh bagiku. I nilah keinginan orang masih hidup kepada mayatnya nanti. Keinginan yang mungkin tidak

ada gunanya lagi. *

Yang benar-benar kutakutkan sekarang: kesedihan orang­ orang di sekitarku. Aku lebih takut menghadapinya daripada menghadapi kematianku sendiri. Ketakutanku yang lain adalah penderitaan sebelum mati. Kematian itu sendiri bukanlah hal

yang paling menghantuiku. Kesedihan, ketidakpercayaan, dan kebahagiaan tiba-tiba

bercampur menjadi satu. Perasaan luar biasa yang belum pernah kualami sebelumnya. I nikah yang dialami semua orang sebelum mati? Dan selagi hidup-sependek apa pun-aku ingin bisa menikmatinya. Butir-butir pil steroid dan anti nyeri adalah makanan sehari-hariku. Kalau aku harus mati, benda-benda ini

bisa membantuku merasa nyaman dan bahagia.

180

Dukun, Sulap, Mukjizat untuk Punggungku

Paling tidak, di rumah sakit ini tidak ditarik biaya apa pun. Menginap gratis, dokter gratis, makan pun gratis. Jadi, aku bisa yakin kalau dalam proses kematian ini tidak ada orang yang akan jadi bangkrut atau terbebani karena aku. D i Britania, sistem kesehatan tentu bukanlah yang sempurna. Apalagi sesudah krisis ekonomi, pemerintah menjadi bertambah konservatif. Dengan alasan menyelamatkan ekonomi, banyak sekali dana-dana publik yang dipotong: perpustakaan umum banyak yang ditutup, dana untuk pendidikan, kesehatan, dan orang tua dipotong. Tenaga kerja di rumah sakit, pusat rehabi litasi, sekolah, universitas, dan pantijomposemuadikurangi jumlah nya. Akibatnya semakin banyak pengangguran. Tapi sistem kesehatan di negeri ini masih jauh lebih baik daripada di Indonesia dan di beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat, Selandia Baru, atau Australia. Dan sistem ini telah ikut menciptakan kemanusiaan yang luar biasa. Semua yang sakit akan dirawat tanpa menanyakan apa keyakinan atau agama mereka. Agama atau kepercayaan bukan urusan publik. I nilah bedanya dengan yang baru terjadi di I n donesia: kelom­ pok minoritas yang mau berkumpul malah diobrak-abrik dan dianiaya. D i rumah sakit ini aku bertemu dengan para suster yang begitu ramah. Hampir semuanya sangat baik. Begitu juga sang pengantar makanan, perempuan dari I rlandia. Juga disediakan makanan vegetarian dan halal, jadi pasien punya pilihan. I nilah penghargaan terhadap orang-orang beragama dari kelompok yang bisa dianggap minoritas di negara ini. Si stem yang berlaku tidak perlu tahu kamu dari kelas apa; yang sakit pasti dirawat. Kalau orang menggelepar di pinggir

181

KvbU11uh DI SINI

jalan pasti ia diangkut ambulans. D i rumah sakit ini, dirawat mereka yang tidak punya pekerjaan, namun juga para bintang film Hollywood. Aku sempat bertemu den gan Maggie Smith (yang ikut berperan dalam beberapa film besar seperti Sister Act

dan Harry Potter), yangterkena kanker payudara. Sebaliknya, sistem kesehatan d i I ndonesia banyak menye­ babkan ketimpangan. Orang-orang yang tak berduit jangan ha­ rap menerima pengobatan yang layak dan kamar yang layak. Bahkan, bisa-bisa dibuat percobaan oleh dokter yang baru lulus dan sama sekali belum berpengalaman. Makanan di Rumah Sakit London Sebagai penggemar makanan, atau lebih tepat pemuja makanan, tentu tidak akan terlewatkan pembahasan tentang pujaan hatiku yang satu ini (tapi jangan khawatir, tidak akan pernah tertukar dengan suami). D i rumah sakit Royal Marsden, pilihan makanan jauh lebih banyak daripada di Australia. Aku, yang merasa telah mendekati kematian, semakin ingin mencatat apa saja yang tersedia saat itu. Bukankah makanan adalah salah satu yang bisa dirasa oleh manusia hidup? Rasa yang akan tiada setelah jaringan otak kita mati. Makan pagi, aku bisa memilih yang berikut: 1.

a. Roti bulat, b. Croissant, c. Roti tawar

2.

a. Sereal jagung, b. Sereal buah kering, c. Sereal kismis, d. Bubur havermot

3.

a. Selai strawberry, b. Selai jeruk, c. Madu

4.

a. Yoghurt, b. Prune kaleng

S.

a. Pisang, b. Apel

182

Dukun, Sulap, Mukjizac untuk Punggungku

Dan bila kita tidak suka kelima pilihan itu, masih ada menu lain: Full English Breakfast dengan sosis, bacon, kentang goreng, jamur, dan telur. I ni mirip dengan mengisi kuistapi jauh lebih menyenangkan. Pagi hari aku biasanya minta bubur havermot dengan madu, prune, dan croissant. Makan siang dan malam pun cukup bervariasi. Contoh menu sebagai berikut: 1 . a. Sup jamur, b. Jagung rebus 2. a. Kentang, b. Roti, c. Nasi 3. a. lkan goreng, b. Ayam keju, c. Pizza vegetarian 4. a. Salad segar, b. Arcis rebus 5. a. Blackforest, b. Kue lemon, c. Es krim coklat 6. a. Pisang, b. Apel, c. Peach

Menerima menu makanan ini adalah hiburan tersendiri bagiku, seperti ada kejutan akan apa yang ditawarkan, karena tidak banyak hiburan lain di tempat ini. Tiba-tiba saja harapan kita menjadi begitu sederhana. Kematian membuat hidup menjadi lebih mudah. Tidak

ada lagi kerumitan tentang karir, keluarga, rumah, dan beraneka ragam persoalan lain. I dentitasku juga begitu sederhana: orang yang akan mati. Aku tidak perlu lagi menunjukkan surat-surat dan segala macam tumpukan kertas untuk membuktikan siapa diriku sebenarnya. Tidak ada yang menodong akte kelahiran, paspor, visa, atau KTP di sini. Tidak ada yang bertanya tentang gelar atau ijazah. Karena sebentar lagi, aku akan menjadi jenazah.

Semua kartu identitas dan berbagai macam visa yang harus

183

Kvbllrltih Pl SINI

kuingat dan kuperpanjang sebelum batas waktunya-sekarang tidak mempunyai kuasa apa pun pada diriku. Aku tidak perlu lagi mempedulikan mereka. Tidak ada lagi yang bisa mengusirku hanya karena petugas salah menulis nama. Semua sertifikat, piagam, dan berbagai penghargaan yang

kuterima akan menjadi tumpukan berkas belaka. Semua akan berakhir bersama sampah. Begitu juga diriku. Akan berakhir dan bersatu dengan tanah. Betapa sederhananya. Karena sebentar lagi aku akan mati. Sebentar lagi aku akan

meninggalkan semuanya. Jadi untuk apa memikirkannya lagi? Aku akan mati. Sisa hari yang ada akan kugunakan sebisanya. Setiap hari menu itu berganti (kecuali makan pagi yang menunya selalu sama). Tapi, berbeda dengan rumah sakit di Australia, di sini kalau kamu masih lapar dan ingin tambah makanan yang sama, bisa berabe. Merekatidak punya dapur sendiri. Makanan dipesan dari katering, jadi porsinya agak pas-pasan. Kalau pasien masih

lapar pada waktu yang tak terduga, biasanya hanya disediakan sandwidl.

184

IX Yang Tak Jadi

Pagi itu, dokter Zafir memberi kabar bahwa aku harus

pindah ke

St.

George, rumah sakit khusus untuk penderita

gangguan saraf, untuk dioperasi. D i Royal Marsden tidak ada yang bisa mengoperasi aku. Operasi harus dilakukan oleh ahli bedah saraf karena posisi saraf yang rumit {di tulang punggung) dan operasinya cukup riskan karena menyangkut saraf-saraf penting. Pada hari yang sama dokter Zafir datang lagi. Tidak bia­

sanya dokter datang dua kali sehari untuk menjenguk pasien, kecuali bila ada hal yang genting. Wajah dokter Zafir memang

terlihat sedikit gugup. I nil ah kabar itu: "Dokter di rumah sakit St. George meng­ analisa bahwa ini tumor biasa, bukan kanker. Jadi, setelah diam­ bil, kamu tidak perlu terapi. Tapi, kami tidak setuju dengan ana­ lisa mereka." "Jadi?" "Benjolan ini harus dioperasi terlebih dulu, baru kita bisa tahu dengan pasti."

KvbVlluh DI SINI

"Tidak ada cara lain untuk mengetahui?" Angus menyela. "Sebenarnya bisa dibiopsi. Tapi kalau ternyata kankernya ganas, biopsi hanya akan memperparah, karena bila diusik, kan­ , ker bisa tambah galak dan menyebar ke mana-mana " dokter Zafir menjelaskan.

Operasi dijadwalkan hari Rabu, sembilan hari lagi. Aku akan dipindahkan ke rumah sakit St. George di Tooting, London Selatan, bila tempat tidur sudah tersedia. Antre memang barang biasa di rumah sakit Britania, dan sementara menunggu, di sini aku bertemu dengan penderita kanker yang jauh lebih ribut daripada yang pernah kutemui sebelumnya. Ada yang mengerangtiap malam. Ada yang muntah-muntah tiap pagi. Ada yang ngoceh sendiri. Aku jadi susah tidur. Untungnya d i sebelah kamarku ada kapel kecil. D i sana ada piano yang beberapa tutsnya sudah tidak lagi rata, ada yang keras ada yang lemah. Tapi paling tidak masih bisa dimainkan. Aku sering duduk di sana. Masih ada sekelumit lagu yang kuingat, bagian pertama dari "Clair de lune" Debussy, "Gymnopedies" Eric Satie, dan "Nocturne" Chopin. H anya sepatah-sepatah. Lalu berhenti. Lagu terputus-putus dari piano tua. Piano yang tidak lagi prima. Rumah Sakit St. George H ari Sabtu sesudah makan siang salah seorang juru rawat memberitahu bahwa sudah ada kamar di rumah sakit St. George dan memintaku bersiap. Mereka akan mengangkutku ke sana dengan ambulans. Aku sudah siap dari pukul 2 siang, tapi baru pukul 16.30 186

Yang Tak Jadi

ambulans datang. I ni pertama kalinya aku berada di dalam ambulans! Dua orang menuntunku keluar dari Royal Marsden di Kensington. Rumah sakit yang dibangun sekitar 1,5 abad yang

lalu. Dengan gaya Victoria-atap yang tinggi, batu bata merah tua, tiang yang melenggok, dan kubah-kubah berukir. Gedung ini tidak berdiri sekadar untuk dipakai, tapi mempunyai kebanggaan tersendiri. Untuk dipandang dan dika­ gumi. Namun ia tidak seperti istana megah yang begitu ingin memamerkan diri, atau menarik perhatian, seperti istana Ratu Elisabeth. Bagiku istana itu hanya membuang lahan-hanyalah peragawan atau peragawati dengan penampilan luar biasa, namun isinya tidak ada. Memang, kebanyakan istana itu kosong. Ratu jarang-jarang di sana. Dia sibuk keliling dari istana satu ke istana lainnya, yang besarnyajuga audzubillah! Sedangkan Royal Marsden mempunyai kesibukan yang tak kunjung henti. I nilah makhluk rupawan pekerja keras, yang ramah dan rela berbagi dengan lainnya: para penderita kanker. George beda lagi. I ni benar-benar rumah sakit! Rumah yang sakit. Bangunan kotak yang pucat, dan lampu-lampu sedikit St.

redup. Aku merasa bertambah sakit di sini. Kamar di St. George

juga lebih sempit daripada di Royal Marsden. Aku tiba di kamarku pukul 18.30. Ternyata makan malam sudah usai dantidakada makanan lagi buatku. D i Royal Marsden, juru rawat sudah menawariku untuk membawa sandwich ikan salmon, tapi kutolak karena aku pikir akan mendapat makan malam di sini. Aku sungguh menyesal! Mereka menyajikan makanan pagi sekali. Jam 6.30-7.30 makan pagi, jam 12.00-13.00 makan siang, dan 17.00-18.00 makan malam. D i Royal Marsden, makan malam sekitar jam

187

KvbtMuh Pl SINI

18.30-19.30. Jadi perutku tidak keroncongan, apalagi kalau sedang tidak bisa tidur. *

Rumah sakit

St.

George mengkhususkan diri merawat

pasien-pasien yang mempunyai masalah dengan saraf. Seperti di Royal Marsden, ada 6 orang dalam satu kamar. Tidak ada kelas­ kelasan. Semua masuk ke ruang yang ditentukan oleh rumah sakit, berapa pun kocekmu, jabatanmu, tidak ada perkecualian. Tapi kalau kamu menteri atau keluarga kerajaan-ini baru lain ceritanya. Di

St.

George, makanan cukup berbeda dari makanan di

Royal Marsden. Makan pagi yang tersedia hanya sereal jagung, rice crispies (sereal beras), havermot, atau roti tawar dengan sefai. Jangan harap ada croissant yang hangat dan renyah, madu, atau prune. Makanan kegemaranku lenyap semua di sini. Dan yang mau Full English Breakfast, raihlah hanya dalam mimpi! Makan siang dan malam biasanya a.ima ada pilihan berikut: Kentang goreng atau rebus I kan, ayam, atau vegetarian Jagung atau arcis rebus Pisang, apel, atau kue lemon Rasa makanannya juga lebih amburadul. Rotinya tidak hangat seperti di Royal Marsden, tapi dingin bahkan terkadang terasa layu (mungkin karena kelamaan kena angin). Salah satu topik percakapan yang paling membuat kami berenam di kamar ini cukup bersemangat adalah makanan. Apa yang enak apa yang tidak. Hampir semua mengomel tentang

188

Yang Tak Jadi

kentang goreng. Kentang ini, yang juga beken dengan sebutan

chips, tidak kering atau renyah, tapi lembek dan basah. Mirip makan kentang dicelup air. Suatu hari, aku memesan Spaghetti marinara (pasta dengan ikan laut). I kan lautnya begitu kecil, mirip bubuk. Dan hambarnya... Kalau aku tidak jadi mampus sebentar lagi,

sungguh, makanan seperti ini bisa membuat umurku bertambah pendek! Tapi, kalau sudah mengeluh aku juga merasa terlalu rewel. Apalagi hal ini akan membuat Angus semakin repot: dia akan berusaha mencarikan makanan untuk aku. Akhirnya aku berhenti mengeluh supaya Angus tidak merasa harus membawakan aku makanan. Dia sudah cukup sibuk. Waktu aku sudah bisa jalan sendiri, aku terkadang ke bawah untuk mencari makanan di supermarket karena sudah tidak betah lagi dengan makanan rumah sakit yang seperti itu. Perbedaan makanan ini terjadi karena dana rumah sakit yang berbeda pula. Rumah sakit Royal Marsden mendapat dana dan sumbangan yang jauh lebih melimpah daripada

St.

George. Beda daerah memang bisa beda pelayanan di London. D i daerah yang dikategorikan mi skin (yaitu dengan orang-orang yang berpendapatan rendah atau bahkan tidak bekerja), fasilitas kesehatan juga payah. Kalaukamu kebetulan dijebloskan di rumah sakit di daerah

miskin, keadaannya akan tidak mengenakkan. Makanan, juru rawat, dokter, bisa tambah kacau. lnilah kesenjangan itu. Yang bertambah parah dengan adanya pemerintah konservatif. Jadinya, rumah sakit bisa mi rip dengan naik pesawat low budget. Makanan beli sendiri dan servistidak dijamin! *

189

Kvbllrltih Pl SINI

Tiap malam hampir selalu ada yang dijajakan: painkiller, obat anti nyeri. Beberapa suster dengan rajin berkeliling sebelum pasien tidur: "Any pain? Any pain?" (Ada yang kesakitan?). Padahal, kami sudah selalu diberi obat anti nyeri setiap empat jam. Tapi, di kantong para suster ini selalu ada panadol dan mereka dengan murah hati akan memberi bi la pasien kesakitan. Hal yang pada awalnya cukup mengejutkanku, karena kukira obat anti nyeri berdampak buruk dan lebih baik menahan sakit sebisa mungkin. Menurut para dokter dan suster di sini, justru rasa sakit harus ditekan sebisa mungkin dengan panadol (yang kadarnya cukup rendah). Kalau tidak, rasa sakit ini akan meningkat, mengganggu tidur pasien dan akan memperparah kondisinya. Aku tidak pernah minta tambahan panadol. Tapi beberapa pasien yangmungkin sudah parah kondisinya seringkali meminta. Salah satu teman sekamarku bahkan memohon-mohon untuk diberi obat nyeri yang lebih kuat. Berbagai Kisah Seram Juru Rawat d i London Kisah suster yang ketus, yang tidak profesional dan

melakukan kesalahan cukup fatal sudah sering beredar di Indonesia. Bagaimana dengan London? Malam pertamaku di

St.

George, suster yang berada di

depanku mengukur tekanan darah dengan wajah cemberut sambil mengunyah permen karet. Aku menooba berkomunikasi dengannya. ·Jam berapa biasanya makan pagi di sini?" "Jam tujuh: jawabnya ogah-ogahan diselingi kecapan permen karetnya. 190

Yang Tak Jadi

Lalu, besoknya ada juru rawat lain yang tak kalah konyol. Kali inilelaki dengan rambut hampir gundul. Diaberdiri di ujung ranjang sambil bertanya kepadaku: "Kamu sudah ke belakang

hari ini?" "I ya." "Semua lancar? Nomer 1 & dua, semua keluar?" Aku tidak begitu tahu maksudnya, tapi menduga yang nomer 1 mungkin buang air kecil, sedang nomer 2 yang besar. "Nomer 1 iya, nomer 2 tidak pasti." "Maksudmu?" "Bagian perut saya agak mati rasa. Jadi, saya kesulitan buang air besar dan kadang tidak begitu merasakan." "Saya tidak tahu mesti mengisi apa." Dia sama sekali tidak tertarik dengan keadaanku, tapi ingin membereskan tugasnya mengisi formulir. Lalu, ada kisah lain dari kamar seberang. Cory, seorang suster senior, membentak pasien tua hanya karena dia minta teh hangat. "Malam-malam minta teh. Tidak ada!" Rupanya, Cory tidak puas hanya membentak satu kali saja. Besoknya dia memaki pasien itu: "Susan, jangan rewel di sini! Ngerti?"yang disusul dengan sumpah serapah yang lain. Susan memang sudah agak pikun dan menderita gangguan otak, tapi diabukan orangyanghanya pasrah diperlakukan seperti itu. Begitu juga beberapa pasien lain yang menyaksikannya. Mereka bersama-sama menuI is surat kepada kepala juru rawat. Cory segera diberi peringatan oleh manajernya. Ada juga "ricuh" antara juru rawat dan pasien lain. Kate,

yang cairan otaknya tidak seimbang, sudah dioperasi sembilan kali dan masih sajatidak membereskan masalahnya. D i kepalanya

191

KvbtMuh Pl SINI

ditancapkan alat pendeteksi tekanan dalam otak-dia jadi mi rip makhluk luar angkasa. Kate seringkali panik dan selalu bertanya tentang mesin yang kerap mengeluarkan suara aneh ini. Terkadang, dia bertanya beberapa kali ke juru rawat, seperti pagi ini: "Kenapa mesin ini berbunyi? Kenapa angkanya begitu? Kenapa tidak

turun-turun?" Salah satu juru rawat tidak sabar menjawab semua perta­ nyaan ini, dan membentak dia. Kate langsung minta dipulangkan. U ntung dokter segera datang dan menjelaskan bahayanya pulang

hari itu j uga. Kisah yang agak seram terjadi pula padaku setelah operasi.

Aku harus memakai kateter selama lebih dari dua minggu sesudah punggungku dibedah. Bagi yang belum tahu kateter: alat ini adalah selangyang dibuat untuk mengeluarkan urin. D i ujung selang itu, ada kotak plastik yang menampungnya, dan biasanya dikosongkan beberapajam sekali. Malam itu, tiba-tiba perutku begitu nyeri. Waktu kulihat, aku heran kotak plastik di bawah masih kosong melompong. Aku segera memanggil suster. Barulah diketahui kalau klep kateterku ditutup oleh suster yang bertugas pagi. Dari pukul 9 sampai pukul 18.30 kencingku dikurung rapat-rapat. Akibatnya? Kencing ini mengamuk! Dua hari kemudian suhu badanku naik.

Aku kena infeksi saluran kencing! *

Tidak semua juru rawat seperti itu (untungnya!). Banyak sekali yang amat perhatian kepada pasiennya. Salah satu yang kuingat adalah suster yang berasal dari Jamaica, Helen. Juga

192

Yang Tak Jadi

Julie, seorang suster dari Filipina yang selalu tersenyum di tengah kesibukannya yang luar biasa. Helen dan Julie sering memandikanku setelah operasi. Dari Julie aku tahu bahwa rumah sakit ini akan mengalami pe­ motongan 3.000 tenaga kerja! Karyawan dan paramedis sudah

mengadakan protes; mereka menempelkan beberapa poster di sekitar rumah sakit yang bunyinya menolak pemotongan ini. Sekarang saja satu juru rawat sudah harus menjaga enam pasien sekaligussekarang. I ni gila-gilaan! Bayangkan, suatu pagi tiga orang pasien menekan bel bersamaan. Si suster tentu saja kebingungan, mau meladeni yang mana dulu. Suster yang baik seperti Helen dan Julie ini jarang sekali beristirahat. Mereka selalu menengok dan merawat pasien. Sepertijuru rawat, pasien pun tidak kalah variasinya. Kare­

na ini rumah sakit khusus saraf, tingkah pasien pun bisa dibilang lebih tak terduga. Ada pasien yang segan sekali meminta tolong pada juru rawat. D i sebelahku ini contohnya. Magda,

84 tahun,

baru saja kena stroke dan seringkali kejang. D i malam hari dia sering menjatuhkan barang, entah itu gelas, telepon, obat, apa saja. Kalau sudah begitu, dia tidak memanggil suster, tapi

ngomel-ngomel sendiri. Akhirnya, akulah yang memencet bel. Hal ini terjadi berulang-ulang sampai aku capek. Dia rasanya berharap dengan mengomel-ngomel akan ada pemencet bel otomatis: aku. Lama-lama, kubiarkan saja dia mengomel sendiri supaya tidak tergantung padaku. Adajuga yang hobi memanggil suster. Permintaannya bisa bermacam-macam: minta kukunya dipotongkan, minta disuapi, mengeluh kesakitan, atau memanggil-manggil suster sekadar untuk hiburan.

193

KvbU11uh DI SINI

Anna, berumur 81 tahun, lahir dan besar di India sebelum bermigrasi ke London. Tangannya gatal kalau tidak memencet bel. Saraf di otaknya sudah mulai rusak dan dokter sudah angkat tangan. Dia sempat koma beberapa saat, tapi sekarang kembali sadar dan cukup jernih berpikirnya. Dia mungkin hanya hidup untuk beberapa bulan lagi. Semua anak-anak juga beberapa cucunya sudah berkumpul untuk memikirkan apa yang terbaik untuknya. Mereka kelihatan rukun dan saling menyayangi. I nilah guna keluarga tradisional. Ada suatu kenyamanan bila kamu dikelilingi oleh orang-orang terdekat. Sayangnya, tidak semua keluarga tradisional bisa seperti ini. Terkadang, mereka lebih suka bertengkar daripada berdiskusi. Bahkan tidakjarang adayang menolak untuk bertemu satu sama lain, atau yang lebih parah, berebut harta warisan saat ada yang mendekati ajal. Tentu saja kita tidak pernah tahu bahwa d i balik kerukunan manusia-manusia ini ada pertikaian yang tak terlihat. Anna adalah contoh matriark dari India. Berbeda dengan gambaran perempuan India yang patuh dan hanya mengiyakan suami, Anna justru kebalikannya. Suaminya yang terlihat lebih pasif dan pendiam. Sal ah seorang anaknya membenarkan hal ini ketika kutanya. "Yes; Mum isa matriarch," katanya. Dia kelihatan bangga, dan bercerita tentang pendidikan ibunya yang cukup tinggi karena kakeknya seorang pilot. "Kami selalu berbicara bahasa Inggris dalam keluarga," katanya. Kentara ia begitu bangga

dengan "kebaratannya". Terkadang, ini memang ironi. Kesetaraan dan kemanu­ si aan seringkali dihubungkan dengan dunia "Barat''. Padahal,

194

Yang Tak Jadi

bisa dibilang, negara-negara yang telah merampas kemerdekaan beberapa negara di Asia dan Afrika adalah dari dunia ini juga. Keluarga besar Anna berkumpul dengan adanya berita kematian. Adik Anna datang dari Kanada untuk bertemu dengan saudarinya. Mereka berfoto bersama. Kalau orang Inggris dan

Amerika suka bilang

"cheese·

ketika difoto supaya terlihat

tersenyum, Annatidak. Sebelum difotodia meminta semua untuk bilang "SEX". Mujarab! Tiada kata lain yang membuat mereka tertawa dan terlihat begitu bahagia selain "SEX"! ! ! Bahkan orang-orang di sekitar mereka ikut tertawa terbahak-bahak. Pasien lain yang juga tidak segan memanggil suster adalah Joanne. Umurnya 16 tahun. Pacarnya seringkali datang tanpa menghiraukan peraturanjam kunjung. Kalau sudah dilayani atau

dipenuhi permintaannya, jangan harap dia bilang terima kasih. Beberapajuru rawat sudah tidak tahan dengan pasien satu ini. Joanne juga sering ribut dengan pacarnya, seringkali karena masalah sepele, seperti uang atau rokok. Untung aku tidak lama berada satu kamar dengan dia. Pemindahan pasien dari kamar satu ke kamar lainnya adalah hal biasa d i rumah sakit ini. Alasan pertama, karena lantai yang berbeda diperuntukkan bagi pasien dengan kebutuhan berbeda. Pasien yang baru operasi dimasukkan di lantai dua (karena ruang operasi ada di lantai itu). Setelah membaik, dia dipindah ke lantai tiga. Pembagian lelaki dan perempuan juga menjadi alasan pa­ sien-pasien sering dipindahkan. Di satu kamar terkadang banyak pasien perempuan yang pulang, lalu pasien sisanya dipindah ke kamar lain. Dan kamar itu diperuntukkan buat pasien lelaki saja. Lalu, bila ada pasien darurat (karena kecelakaan atau apa saja), salah seorang pasien biasanya dipindah ke tempat lain.

195

KvbU11uh DI SINI

Pasien yang Heboh Soreitu teman sekamarku, Tina (sekitar 50tahun), didekati seorang suster: "Maaf, kamu harus dipindah ke kamar bawah karena ada pasien darurat." Tina kontan marah: Aku tidak mau pindah. Aku sudah •

punya teman di sini. H ari ini operasiku sudah dibatalkan. Terus aku harusdipindah kamar lagi? Operasiku bagaimana?" Suster yang memang sedikit kaku itu mencoba mene­ nangkan: "Operasimu tetap dilaksanakan besok. Tapi, ini ada keadaan darurat." Tina tetap saja marah: "Kenapa aku yang dipindah? Kenapa

mesti aku? Aku kan kena diabetes. H arus ada pengawasan khusus sebelum operasi! Terus, di bawah apa ada TV?" Suster itu menggeleng. "Aku tidak mau dipisahkan dari TV dan teman-temanku di sini,• katanya hampir menangis. Suster itu segera pergi. Aku juga pernah dipindah ke ruang bawah sebenarnya. Dan aku cukup suka karena lebih tenang dan lebih sedikit pasiennya-waktu itu hanya ada 3 orang. Lain dengan di sini, 6 orang sekamar. Tina sudah telanjur jengkel karena hari ini operasinya dibatalkan tiba-tiba, setelah dia puasa sehari semalam. Sudah telanjur lapar berjam-jam, eh tidakjadi. Mungkin itu sebenarnya penyebab kedongkolannya. I ni juga pernah terjadi padaku di rumah sakit Royal Marsden, dan memang menjengkelkan. Setelah aku kelaparan sehari semalam, operasi ternyata batal. Yang lebih parah, aku bahkan disuruh pulang waktu itu. Tapi yang namanya ngambek tidak saja dilakukan anak-

196

Yang Tak Jadi

anak. Orang seusia Tinajuga bisa. Ti na tiba-tiba telepon anaknya dan minta dijemput: •Aku mau pulang sekarang!" Aku mencoba menenangkan dia. D i sini operasi harus ngantre. Kalau mau pergi sekarang, kan rugi? Birokrasi kese­

hatan bukan hal yang menyenangkan. "Mungkin aku bisa meng­ gantikanmu untuk pindah ke bawah, Tina." Aku mernang tidak keberatan di sana. "Jangan! Aku tidak mau kamu menggantikan aku. Pokok­ nya aku mau pulang! Pulang!" Dia sudah marah dan langsung mengepak barang-barangnya. Pasien di sebelahnya, Margareth, tampak cukup bersemangat membakar kekalapan Tina: "Ya, pulang saja! Kasih pelajaran rumah sakit ini supaya tidak se­

enaknya!" Pasien-pasien lain ada yang ikut bersemangat, ada yang be­ ngong. Suster yang mendengar ribut-ribut ini sempat heboh dan langsung melapor kepada kepala suster. Kepala suster melapor

kepada dokter. Dokter segera datang, masih dengan baju dan topi ope­ rasinya. Tapi, Tina sudah benar-benar kalap dan mengusir dok­ ter itu. Lalu, dengan menenteng kopernya, Tina nyelonong keluar rumah sakit. Begitu saja. Selain Tina, pasien-pasien lain mempunyai kisah mereka sendiri, kesulitan sendiri, dan meninggalkan kesan tersendiri padaku. Estelle Perempuan tua. Yang kurus, mengecil dimakan waktu. Yang berbicara sendiri. D i tempat tidurnya. l a tak ke mana-

197

KvbU11uh DI SINI

mana. H anya terkurung di sana karena kedua besi penghadang yang dipasang oleh juru rawat. Kamu akan tahu kapan dia bangun dan kapan dia tidur dari

suaranya. Dia selalu menjerit-jerit bila bangun. Tidak seorang pun mengerti apa yang diucapkannya. Satu atau dua juru rawat mencoba berbicara dengannya: "Kamu mau makan apa? Kamu

ingin apa?" Tapi sia-sia. Dia cuma menjerit-jerit sambil memutar-mutar kepalanya. Waktu juru rawat mendekat untuk memberi dia obat, dia memukul juru rawat itu dengan tiba-tiba. Akhirnya, para juru rawat menyarungi tangannya dengan bahan tebal, mirip sarung tinju, agar dia tidak bisa lagi memukul. Tentu saja dia tambah kalap. Jeritannya menjadi. Waktu Erny, salah seorang suster, datang dengan sup dan menooba menyuapi, ia diam. Rupanya ia suka. Mulutnya mengunyah lahap dan matanya terlihat senang. l a lebih mirip hewan yang menyerang bila tidak senang, dan girang dengan makanan yang diberikan padanya. Estelle. Begitu kita memanggilnya. Karena tak seorang pun

tahu namanya saat ditemukan tergelimpang di tepi jalan oleh pekerja sosial. Tidak ada seorang pun yang mengunjunginya kecuali si pekerja sosial yang membawanya ke sini. Ada gangguan pada saraf-saraf otaknya, karena itu dia terus menjerit-jerit. Dan tidak seorang pun tahu apa yang dipi­ kirkannya. Kalan saja ada alat pembaca otak mungkin mereka

bisa tahu lebih banyak apa yang ada di benak perempuan ini. Yang seorang diri. Pasti ada kengerian yangluar biasa sehingga ia selalu seper­ ti itu. Dan i a menjadi bahan tontonan, bahan perbincangan.

198

Yang Tak Jadi

Kami begitu terganggu dengan suaranya. Bagaimana kami

bisa tidur kalau begini? Bagi kami, i a tidak lebih dan tidak bukan seorang tua bangka yang mengganggu. Tentu, dia pernah muda. Lebih muda daripada aku seka­ rang. Mungkin ia dulu gadis yang lincah, yang periang. Yang mempunyai berbagai aktivitas. Yang bercerita tentang anjingnya atau tentang ladang gandumnya. Mungkin ia ingin menjadi pelukis, dan memilih untuk tak pernah menikah. Atau mungkin ia mempunyai keluarga dengan beberapa anak. Entah apayangterjadi sehingga ia berakhir sendiri. Apakah dia pernah melintasi Picadilly Circus ketika lampu-lampu baru dinyalakan? Apakah ia pernah duduk di bangku yang biasa kamu duduki di St. James' Park? Atau ia pernahjuga membantu kamu

saat barangmu yang berhargajatuh tanpa kamu sadari, dan ialah yang memungutnya dan menyerahkan barang itu ke petugas sehingga kamu bisa memperolehnya kembali tanpa tahu siapa yang telah berjasa? Tidak seorang pun tahu bagaimana kehidupannya dulu. Kami begitu ingin dia tidur sehingga tidak lagi menjerit

dan mengganggu. Atau dengan kata lain, kami mengharap dia tiada. Ketika juru rawat menggeretnya keluar kamar dan me­

nyi ngkirkannya dari kami, kudengar helaan nafas lega karena dia tidak lebih dari makhluk yang sudah mengganggu. Anne Anneadalah salah satu manusiateramah yangkutemui. Dia mengalami gangguan otak yangtidak bisa disembuhkan. Dengan

199

KvbU11uh DI SINI

kata lain, dia hanya menunggu kematian. Suaranya lembut dan selalu ingin bercerita. Tentang suaminya yang meninggal enam tahun yang lalu. Suami yang begitu baik dan setia, katanya. Tapi rang yang telah meninggal terkadang menjelma sebuah karakter saja. seseo

Dia juga bercerita tentang anaknya yang beberapa sudah tidak lagi hidup di kota ini. I a hidup seorang diri. Anne masih bisa berjalan cukup tegak walaupun umurnya sudah mendekati

80

tahun. l a selalu menawarkan permennya

kepada yang lain. Kebaikannya, suatu ketika, membuatku muak. Karena

disertai dengan ketakutan. Dia hanya ingin memuji dan menye­ nangkan orang lain, supaya mereka bisa berbaik hati kepadanya juga. Dan itulah yang keluar darinya setiap hari: pujian. Apa pun yang kamu lakukan, ia akan memuji dan mengiyakan. Kebaikan yang menjilat. Suatu pagi, ketika dikiranya tidak ada seorang pun melihat, dia selipkan uang ke tangan pengantar makanan di rumah sakit. Hal yang d ilarang di sini. D ikhawatirkan, itu akan membedakan pelayanan dan perhatian pada pasien, dan terjadi perang du it. Aku melihatnya. Mungkin karena aku memang suka meng­ awasi apa yang terjadi di sekelilingku. Si pengantar makanan berusaha menolak pertama kali, tapi setelah agak dipaksa oleh Anne dia menerima. Simpatiku semakin menyusut karena ini. Tapi, aku masih berusaha sopan setiap kali ia bercerita tentang anaknya, binatang peliharaannya, atau apa saja. "Kamu tahu, aku pernah punya delapan jenis hewan," katanya.

200

Yang Tak Jadi

"Delapan? Apa saja?" •Anjing, ikan, ayam, ular . . . apa lagi ya? Singa juga." Saat itu aku segera tahu, gangguan di otaknya sudah bertambah hebat. Yang lebih parah, Anne sekarang hobi bangun di tengah malam. Sekitar pukul 1-2 pagi dia bangkit dari tempat tidurnya, lalu membuat heboh. Dia mulai membuka semua laci-laci di kamar ini. Tapi yang paling disukai adalah laciku karena per­ sis di sebelahnya. D ibukanya satu per satu, lalu dikeluarkan barang-barang yang ada di dalamnya. Aku sampai kebingungan. Akhirnya kupencet bel untuk memanggi l suster. Anne digiring ke tempat tidurnya lagi oleh suster. Tapi segera setelah suster itu pergi, Anne mendatangi laciku lagi dan kali ini tidak puas dengan hanya mengaduk-aduk; ia juga men­ jungkat-jungkitnya. Aku benar-benar tidak tahan. Kupencet bel

lagi. Suster datang lagi dan melarang Anne bangun. Rupanya Anne mulai capek, dan dia memang tidak pergi ke mana-mana. Malam itu aku hampir tidak tidur sama sekali. Malam selanjutnya, Anne bertingkah lagi. Dia menggon­ dol alat bantu jalanku. Aku tidak akan bisa berjalan tanpa alat itu! Dasar sinting! Bel segera kupencet. Malam itu aku tidak bisa tidur lagi. Esoknya, aku bicara dengan juru rawat tentang hal ini. Mereka berjanji akan melaporkan ke dokter. Tapi, malamnya Anne kembali mengunjungiku. Kali ini, dengan menggoyang­

goyang tempat tidurku dan berkata kalau ini tempat tidurnya. Aku bilang bukan, ini ranjangku. Dia terlihat sangat stres bahkan hampir menangis. Lalu, digondolnya lagi alat bantu jalanku.

201

KtJbU11uh DI SINI

Menurut juru rawat yang bertugas, Anne sudah diberi pil tidur supaya dia bisa lebih tenang malam itu. Benar juga. Tidak lama kemudian dia tertidur. Semakin lama, Anne semakin membuat pusing. Dia tidak lagi minum dari gelas, tapi dari sepatunya. Terkadang, sepatu tidak saja dipakai sebagai gelas, tetapi juga topi. Kadang, kami

yang di kamar tidak bisa menahan tawa melihat tingkahnya. Mungkin karena akulah tetangga yang paling dekat di kamar ini, sasaran utamanyaadalah aku. Diasering memasukkan sesuatu ke dalam minumanku, bisa itu permen, kertas, atau upil. Dengan kaki dan pinggang yang masih lemah serta kepala yang sering berputar karena obat-obatan di rumah sakit, aku bertambah mudah frustrasi. Kalau sudahkecapekanberpolah, Anne duduksambil bicara sendiri sampai tertidur. Ketika bangun, dia berjalan mendekatiku

lagi dengan mengacung-acungkan sesuatu. Ternyata itu sikat rambut, dengan beberapa helai rambut putih yang menjurat. Apa dia mau mencelupkan barang itu ke air minumku? Aku sudah mulai mencari bel untuk memanggil suster. Tapi sebelum bel kutemukan, Anne sudah berdiri di sampingku. D idekatkan wajahnya ke wajahku. Semakin dekat dan dekat, sedangkan kondisi tubuhku masih cukup lemah. Ketika ia sudah

cukup dekat dijulurkan sikat rambut itu padaku: "Rambutmu indah sekali. Kamu harus memakai ini."

Aku kontan menolak. Tapi dia bersikeras: "Sikat ini akan membuat rambutmu lebih bagus lagi nantinya. Aku juga punya sisir biasa di sini. Sikat rambut ini lebih pantas buatmu daripada buatku." Aku tiba-tiba tersentuh. Anne, yang kukira sudah tidak waras, ternyata masih memperhatikan rambutku, bahkan sisirku. 202

Yang Tak Jadi

Sedangkan aku sendiri tidak begitu peduli dengan rambutku, bahkan terkadang lupa sisir. Dia menaruh sikat rambut itu di mejaku, lalu kembali ke tempat tidurnya. Aku hampir tidak dapat menahan keharuan yang luar biasa. Sebenarnya dia tidak pernah bermaksud mencelakakan aku. Dan apa yang terjadi padanya bisa saja terjadi pada siapa saja, bahkan kepadaku. Padasaat aku semakin mengerti di rinya, Annedipulangkan tak lama sesudahnya. Aku sendiri agak heran dengan keputusan rumah sakit, karena Anne rasanya tidak bisa lagi sendiri. Kenapa

dia tidak dikirim ke rumah jompo? Dia mengucapkan selamat tinggal kepada kami semua. Satu per satu. Kupeluk dia agak lama.

Sikat rambut itu masih kusimpan. Dari Anne, perempuan yang sempat kuanggap tidak waras dan menjengkelkan. Perem­ puan yang begitu lembut, dan dalam kesendirian ia harus meng­ hadapi kematian. Di man a sekarang ia? Zoe Cain Makhluk ini begitu mungil, rambutnya pirang bergelom­ bang. Mirip malaikat yang sedang dihukum pada dongeng-do­ ngeng yang kubaca bertahun lalu. Wajahnya polos, namun men­ derita. Ke mana pun ia pergi, ia selalu menggunakan kursi roda.

Tubuh Zoe melengkung, dengan tangan mi rip cakar ayam. Diraihnya segala sesuatu dengan kedua tangan, seperti kepiting yang menjepit. Dia sering mengeluh kesakitan dan sehari-hari hanya ber­ baringdi tempattidur dengan ibunyayangcukup setia menemani. 203

KvbU11uh DI SINI

Sang ibu yang tinggal d i Brighton harus menyempatkan waktu untuk menyetir ke London (3 jam pulang-pergi). Usia Zoe kukira sekitar 14 tahun. Tapi ternyata aku salah. Umurnya dua puluh lima. Yang 14 adalah jumlah operasinya. Sebanyak itu, dan dia masih harus menjalani entah berapa kali lagi sepanjang hidupnya. Cairan di otaknya belum saja "normal" menurut dokter. Apa yang terjadi bi la tidak normal? "Akuakankesakitan, mual, danmerasaaneh. Keseimbangan

dan penglihatanku juga terganggu." Ketika dia berbicara denganku seringkali aku tidak tahu

karena matanya yang memandang ke arah lain. Dia dilahirkan prematur, sebelum 24 minggu. Dokter mengatakan dia tidak akan bertahan lebih dari dua bulan setelah kelahirannya. Tapi ibunya mempertahankan bayi itu. I bu Zoe yang sudah bercerai dari sang suami mengasuh sendiri ketiga anaknya. Dan Zoe, yang selalu bermasalah karena kelahirannya yang terlalu dini, setiap 1-2 tahun sekali harus dikirim ke rumah sakit untuk menjalani operasi. Sejak lahir Zoe menderita Cerebral Palsy, kondisi yang menyebabkan gerakan tubuhnya sukar d ikontrol. Masih ada berbagai masalah lain, di antaranya cairan otak, otot mata, dan bola mata yang tak beraturan. "Aku tidak pernah menganggap diriku cacat atau tidak normal. Karena apakah normal itu? Semua orang berbeda dan

tidak mempunyai kemampuan sama. Mereka juga tidak serba­ bisa. Ada hal yang bisa mereka kerjakan dengan baik, ada yang tidak. Begitu juga dengan aku.

204

Yang Tak Jadi

"Aku tetap bersekolah seperti anak-anak lain, dan dengan merekayangdianggap normal. Mungkin karenaberbedadari yang lain, aku menjadi bahan ejekan, makian, bahkan bulan-bulanan di sekolah. Terkadang, mereka suka merampas barangku dan membawa lari karena tahu kalau aku tidak akan bisa mengejar. Beberapa teman lelaki juga sering saling mendorong untuk menakutiku karena aku tidak bisa bergerak cepat. "Tapi aku ingin membuktikan bahwa aku juga bisa berhasil kalau melakukan dengan sungguh-sungguh. Karena itu, ketika

ada perlombaan lari 1500 meter, aku mencoba dengan sekuat tenaga menyelesaikannya. Dan aku bisa, bahkan mendahului beberapa siswa lain. "Semua bersorak. Ketika lomba itu usai mereka masih

bersorak untukku. Selama beberapa minggu tidak ada lagi yang mengejek atau menyingkirkan aku. Sayangnya, hal ini tidak lama. Mereka seolah lupa akan keberhasilanku, dan olokan dimulai lagi hingga aku menyelesaikan sekolah. "Waktu aku masuk universitas, kukiramerekaakan berhenti menggangguku karena umur yang sudah dewasa. Ternyata tidak. Masih saja ada yang mengejek aku, apalagi karena aku kesukaran membaca catatan kuliah." Zoe menemukan dunianya. Renang. Atas saran dokter, ia mulai berenang sejak umur sepuluh. Dia memenangi beberapa perlombaan di klub-nya hingga diikutkan perlombaan khusus penyandang kesulitan fisik di kotanya.

Pada ulang tahunnya yang ke-17, Zoe mendapat kabar bahwa ia berhasil masuk seleksi turnamen nasional. Pada per­ tandingan nasional yang pertama itu, Zoe meraih dua medali perunggu dan satu medali emas. Ketika pelatihnya menanyakan

205

KvbU11uh DI SINI

hasil pertandingan, jawaban Zoe: "Bagus!" H anya itu. "Maksudmu?" "Aku dapat medali emas." "Zoe, kamu ad al ah j uara nasional. I ni harus diberitakan di media massa!" Zoe hanya terduduk. Masih tidak percaya akan prestasi yang diraihnya. Tapi diatidak bisa duduk berlama-lama. I a harusmengikuti latihan-latihan yangketat dan keras. Perlombaan renangyanglain menyusul. Tapi berbagai turnamen ini harus berlomba dengan jadwal opname dan operasi, sehingga Zoe beberapa kali harus mengundurkan diri dari turnamen atau menelan kekalahan. Awai 2007, ketika ia berlatih gaya punggung, perenang lain menabraknya dari arah yang berlawanan dan mengakibatkan cedera yang fatal. Sampai sekarang punggung Zoe masih ber­ masalah. Zoe tetap berlatih dengan punggung yang sakit. Dia ber­ hasil ikut serta dalam beberapa turnamen walaupun tidak men­ dapatkan medali. Pada perlombaan renang tingkat provinsi Juni 2007 Zoe hanya menggunakan tangan kanan untuk gaya kupu­ kupu. Zoe akhirnya berhasil memenangkan beberapa turnamen lagi, dan bahkan dipersiapkan untuk menjadi peserta paralym­ pic, yaitu olimpiade khusus untuk mereka yang dianggap mempunyai kondisi tubuh tertentu. Tahun 2012, Olimpiade akan diadakan di London. Tidak jauh dari rumahku. Kalau tekanan di otak Zoe bisa lebih stabil dan

tidak mengalami gangguan kesehatan, dia akan ikut bertanding di sana.

206

x

Operasi

Operasiku yang sempat ditunda beberapa kali akhirnya ditentukan hari Rabu pagi, 23 Febuari 2011. Giliran pertama. Ini membuatku lega. Kalau giliran terakhir, ada kemungkinan

ditunda lagi. Dokter yang akan melaksanakan operasi adalah dokter Papadopoulous yang dibantu oleh asistennya, dr Krishna. Ope­

rasi ku mirip dengan bongkar pasang robot, perangkat komputer, atau bangunan. Spinal cord atau sumsum tulang punggungku harus dipotong untuk mengambil tumor yang bersembunyi di baliknya, lalu disambung kembali. Tapi, dalam hal bongkar pasang, tubuh manusia rupanya tidak sekuat dan sekokoh kebanyakan mesin. Bongkar pasang onderdil tubuhku ini akan melibatkan beberapa ahli, cukup rumit, dan berisiko tinggi. Spinal cord adalah penghubung saraf pada seluruh tubuh dengan otak. Jadi, bila ada kesalahan atau kecelakaan sedikit saja, inilah risiko yang harus aku tanggung: peluang lumpuh setengah badan (dari perut ke bawah) 10o/o; peluang paralisis seluruh tubuh So/o.

KvbU11uh Pl SINI

Menurut dr Papadopoulous benjolanku tidak ada hubung­ annya dengan kanker yang
ini tumor baru yang

tidak ganas," katanya, "Tapi memang kita baru tahu pasti setelah diambil." Pagi jam

8,

dokter bius datang, memperkenalkan diri.

Perempuan muda inilah yang akan menidurkanku selama bebe­ rapa jam. Obat bi us tentu penemuan yang luar biasa dalam bi­ dang kedokteran. Oulu, sewaktu tidak ada obat bius, operasi dilakukan dengan mengikat dan mencengkeram orang yang dio­ perasi supaya tidak bergerak terlalu banyak karena kesakitan. Mati karena kesakitan selama operasi sudah biasa dulunya, begitu juga mati karena infeksi, karena pisau bedah yang dipakai terkadang karatan. Apalagi belum ada ruang operasi yang steril. Bahkan beberapa operasi dilakukan di tempat cukur rambut. Jadi apa saja bisa melayang masuk ke tubuh pasien yang sudah terbelah. W aktu pertama kali obat biusditemukan, para dokter masih tidak bisa mengukur obat bius dengan tepat. Jadi, ada pasien yang setelah dibius keenakan tidur dan tidak bangun-bangun untuk selamanya. Atau beberapa bahkan ada yang bangun se­ waktu operasi sedang berlangsung, dan ini bisa membuat si pasien histeris karena tiba-tiba merasakan sakit dan mendapati isi perutnya tengah diobok-obok dokter. Angus minta Papadopoulous untuk selalu memberi infor­ masi dari ruang operasi. "lya, kata si dokter bedah. "Tapi kalau •

aku sudah selesai mengoperasi ya. Kalau tidak, bisa bingung

nanti." Papadopoulous tahu, Angus sangat gelisah dan khawatir. Jangan khawatir," katanya ·1 will be more nervous than you



208

Operasi

because I will be the one with the body." {Saya sebenarnya jauh lebih khawatir daripada kamu karena sayalah yang bertanggung jawab akan tubuhnya.) I nil ah yang mungkin tidak kita sadari. Keluarga dan si pasien selalu kebingungan dan khawatir bila ada

operasi besar seperti ini. Tapi dokter yang bertanggung jawab tidak akan kalah khawatir dan deg-degan, karena bila ada yang salah dari operasi rumit seperti ini dial ah yang harus terbeban. Aku digiring ke ruang operasi diiringi Helen, juru rawat yang sangat kusukai. Setelah obat bius disuntikkan, aku tidak ingat apa-apa, sampai ada suara memanggil: "SoeTjen . . . operasi sudah selesai. Coba gerakkan kakimu!" Kaki kiri. Tidak masalah, walaupun berat.

Sekarang kaki kanan. D i mana kaki kananku? Aku tidak merasa punya kaki kanan! Kaki Kanan Apa kaki kananku akan kembali seperti semula? Atau akan lumpuh selamanya? Beberapa kali kutanyakan hal ini kepada dokter, dan jawaban mereka selalu: "It's too early to say." Terlalu dini untuk tahu. Sungguh, aku begitu takut kalau harus berakhir d i kursi roda. Ini akan merepotkan semua orang. Keadaan seperti inijus­

tru lebih menakutkan daripada kematian. Siksaan panjang. Dan sekarang, aku diharuskan untuk berbaring, tidak boleh menggerakkan tubuh, kecuali tangan, selama satu minggu untuk menghindari kebocoran pada bekas operasi. Kata orang, di surga semua dilayani. Ya, sekarang ini aku

diladeni dalam segala hal. Makan diantar ke depan hidung, minum dituangkan, mau buang air besar tinggal pencet bel, mau 209

KvbU11uh Pl SINI

mandi d imandikan di tempat tidur. Bahkan kencing juga tidak usah susah-susah, sudah ada selang kateter yang menampung. Tapi, aku kok tidak merasa di surga sekarang? Malah, rasanya benar-benar tersiksa. Angusmenyewa komputer dan TV gantung untukku supaya aku bisa membuka e-mail, facebook, dan ada hiburan. Aku persis seperti kepompong. Hanya bisa tolah-toleh dan tanganku bergerak-gerak. Punggungku masih terasa sakit walaupun sudah diberi morfin; mungkin karena sambungan

dan jahitannya. Untung

saja waktu d i potongtidak ada yang doyan dengan sumsum tulang belakangku ini. Kalau tidak, pasti sudah ada yang membuat jadi

campuran sop atau soto. *

Setelah beberapa hari tidak bergerak, kaki kananku mulai mengeriput dan membiru karena otot-ototnya yang lemah. M i rip kaki orang tua. Mirip ikan mati. Namun, mulai bisa digerakkan dengan susah payah. Aku mencoba melatih kaki kananku dengan bantuan kaki kiri yang jauh lebih kuat. Kaki kiriku mengangkat dan menekuk kaki kananku dan ini menimbulkan sensasi luar biasa. Ototku bergerak lagi setelah sekian lama mati. Serasa ada tarikan-tarikan listrik yang menyengat sekujur tubuhku hingga ke puncak kepala. Dokter Papadipoulous cukup kaget dengan kemajuan ka­ kiku. Aku sungguh-sungguh tidak mau berakhir di kursi roda! Masalahnya, telapak kakiku hanya bisa digerakkan ke bawah, tidak bisa ke atas. Seorang fisioterapis dikirim untuk memeriksa

kakiku.

210

Operasi

Saat ia memintaku untuk menggerakkan telapak kaki ke atas, sama sekali tidak ada gerakan. Bahkan tidak ada otot yang bergetar sedikit pun. Padahal, untuk bisa berjalan, gerakan ke atas adalah harus! Beberapa hari latihan ini dicoba, tapi selalu gagal. "Niat , adalah hal yang amat penting " katanya. "Bila kamu melatih de­ ngan niatmu, itu akan sangat membantu." Dan inilah yang kulakukan berhari-hari lamanya sambil berbaring di tempat tidur tanpa boleh bangun sedikit pun: berlatih mengangkat telapak kaki hanya dengan kemauan. Tidak lebih. Karena ia masih saja tidakdapat digerakkan ke atas. Bahkan

ujung jempolku pun tidak berkutik sedikit pun ke atas. Jempol kaki kananku hanya bisa mengangguk, tidak mendongak. Mungkin ini latihan yang sia-sia. Aku kadang tidak mau melatih hanya dengan membayang-bayangkan saja. Seperti me­ raih kekosongan. dan menjadi tambahan siksaan bagi tubuhku. Tapi, keinginanku untuk bisa berjalan lagi mengalahkan kelelahanku untuk berlatih hanya dengan bayangan. Keinginan

untuk berjalan ini memerangi kelelahanku. Sekali lagi, aku harus bertempur melawan diri sendiri. Tiap pagi, siang. dan malam. aku memerintahkan jempolku bergerak ke atas, telapak kakiku untuk mengangkat-hanya de­ ngan pikiran. Hanya dengan konsentrasi. Hanya dengan me­ ngalahkan kelelahan dan kesakitanku. Hanya dengan memba­ yangkan. Belajar Bangun, Duduk, dan Berdiri Daging yang menempel di tulang belakangku dikirim ke tempat lain. Bukan untuk dijual, di kilo, atau dimasak, tapi untuk 211

KvbVllvh Pl SINI

diperiksa di laboratorium di Royal Marsden untuk mendapat kepastian apakah ini kanker atau bukan. Yang namanya antre di sini ternyata bukan cuma orang. Daging juga. Sudah berhari-hari hasil tes tidak juga keluar. Dr Papadopoulous bilang, dia hampir yakin kalau benjolan ini bukan kanker. Dua hari kemudian, aku bertemu asistennya, dr Krishna, dan bertanya mengenai hasil tes. Ternyata pengujian

masih belum juga kelar. Biarpun begitu, dengan santai si dokter menjaawab: "Aku bisa menjamin 99, 9% kalau benjolan ini bukan kanker. Yang 0, 1% diberikan ke dokter-dokter di Royal Marsden saja." Saat itu aku sadar. Rupanya telah terjadi sedikit "perang· argumen antara para dokter di St. George dan Royal Marsden, hanya karena daging yang hinggap di tubuhku! Dan pemenang­ nya adalah dokter di St. George. Benjolan ini bukan kanker! Aku tidak jadi mati, tapi masih tetap harus berbaring hampir seperti orang mati (tak bergerak kecuali bagian pinggang ke atas). *

Setelah beberapa hari berbaring di tempat tidur, aku mulai keenakan. Ada rasa nyaman tersendiri yang membuatku tidak mau bangun lagi. Mungkin inilah resistensi manusia. Mereka yang berada pada keadaan tak disukai dan ditakuti kemudian belajar untuk menerima bahkan menikmatinya. Dan ini jugalah yang mungkin menyebabkan Stockholm Syndrome, seseorang yangjatuh cinta pada penculiknya. Karena tidak ada pilihan lain, tidak ada lagi yang bisa diharapkan, akhirnya sesuatu yang brengsek pun jadi nikmat. Masalahnya sekarang, setelah yang "brengsek" itu jadi nikmat, meninggalkan

212

Operasi

"kebrengsekan" itu ternyata membutuhkan perjuangan. Masa hukumanku untuk tidur selama satu minggu usai sudah. Aku diperbolehkan bangun. Tapi, justru saat itu aku sudah terbiasa dengan keadaan yang tadinya menyiksa. Aku jadi malas bangun. Yang lebih parah, aku harus belajar bangun! Setelah ber­ baring sekian lama, ototku sudah begitu kaku. Bayangkan Putri Tidur yang harus berbaring selama 100 tahun. Dia tidak saja sudah menua, tapi semua otot-ototnya pasti sudah kaku dan akan terjadi pembekuan darah di mana-mana. Suster Helen mengajarku bangun dengan menaikkan ke­ pala ranjang pelan-pelan dengan remotecontro/, lalu memintaku mengangkat kepala. Rasanya berat sekali. Dunia seperti berputar dengan bentuk-bentuk yang aneh. Semua jadi melengkung­ lengkung. Apakah ini salah satu cara tubuhku memberontak untuk dijebloskan dalam keadaan baru karena sudah telanjur menikmati keadaan sebelumnya? Setelah bisa duduk tegak di tempat tidur, tantangan

se­

lanjutnya adalah duduk di kursi. Aku turun dari tempat tidur dengan kaki kanan yang lemas seperti sayur. Setelah aku bisa duduk, mereka memberiku kursi roda: "I ni, supaya kamu bisa keliling sendiri sekarang." Mereka mengajariku cara memakainya. Ternyata memakai kursi roda hampir mirip dengan belajar menyetir. Aku harus tahu cara mengerem, belok kanan, belok kiri, dan atret. Teknik Kencing H ari-hari selanjutnya aku harus belajar layaknya bayi. Belajar berdiri. Dengan bantuan dua orang fisioterapis.

213

KvbtMuh DI SINI

Aku terhuyung karena kakiku belum kuat. Terutama yang kanan yang masih saja belum bisa mendongak dan sebagian besar mati rasa. Aku berdiri, tapi tidak bisa merasakan kaki kananku berada di mana. Tidak sampai lima detik, aku terhuyung lagi. Namun, yang lebih sukar temyata belajar kencing. Karena

otot sekitar perutku masih mati rasa, aku tidak tahu kapan harus kencing, dan beberapa kali harus mengompol di kursi roda atau di tempat tidur. Akhirnya, belajar kencing ini dinyatakan TIDAK

LULUS!!! Aku harus kencing lewat kateter lagi. *

Beberapa juru rawat di sini rupanya ahli dalam satu hal: teknik kencing. Satu di antara mereka mengajari aku cara agar cairan ini bisa kukeluarkan tanpa kesulitan. D imintanya aku duduk sesantai mungkin. Lalu, dia berkata: Jangan tegang. Aku akan pergi dan kamu bisa memanggil aku



kalau sudah selesai. Keran

air akan kunyalakan. Coba rileks

sambil membayangkan air yang mengalir." Lalu, dia membuka keran air, dan meninggalkan aku sendiri di toilet. Benar saja, suara air itu membuatku merasa ingin menga­ lirkan cairan juga. Tidak lama sesudah juru rawat itu pergi aku kencing! *

Selanjutnya adalah belajar melangkah.

Kupikir aku sudah

pintar berjalan. Ternyata sekarang pun disuruh melangkah aku cukup kebingungan. Padahal sudah segede ini!

214

Operasi

Ada sesuatu yang begitu rumit, amatlah rumit dari hal yang sederhana. Yang tidak kita sadari kemudian hanya karena kita terus menerus melakukannya, memberi variasi pada gerakan sederhana itu, menyempurnakannya, memperumitnya. Langkah kita menjadi jalan yang cepat, yang bertambah cepat. Berjalan itu sendiri adalah suatu gerakan yang kompleks yang memerlukan waktu beberapa tahun untuk mempelajarinya. Manusia terus mengembangkannya sehingga bisa berlari. Tanpa kita sadari, saat mengusahakan sesuatu, kita mem­ buatnya kompleks. Desain yang sederhana akan berkembang menjadi rumit. H idup berjalan maju juga tanpa kita sadari. Dan ketika mempelajari diri sendiri kita seringkali terjebak pada jala-jala yang kita ciptakan: kita sedang melacak mekanisme diri sendiri, yang tel ah kita susun begitu lama tanpa kita sadari. Segala hal yang sederhana menjadi rumit karena hukum alam, dan kita adalah bagian dari alam, dan sejarah, yang mena­ paknya dalam tumpukan naskah-naskah. Antropologi mencoba mencari kisah sejarah itu dalam sekelompok manusia. Arkeologi menggalinya. H idup kita berjalan maju namun kita hanya bisa melihatnya ke belakang. Lalu berbagai pengetahuan dikembangkan untuk melacak diri kita yang tidak dimengerti. Bagaimana asal kita dan asal mu la alam semesta? H ukum apa yang membuat kita begitu rumitnya? Hal inilah yang masih harus terus dipelajari dan digali. Sekarang, inilah aku, bersama kedua fisioterapis in i

mempelajari cara berjalan: #Angkat tumit belakang dulu. Lalu seluruh kaki. Jangan lupa, tekuk lututmu. Punggung jangan membungkuk.# Setelah beberapa hari berada di kursi roda, aku

215

KvbU11uh DI SINI

diminta mencoba berjalan dengan rangka. Seminggu kemudian dengan tongkat. Hari-hariku di rumah sakit dipenuhi dengan latihan berjalan atau dengan terdiam lama. Konsentrasiku masih begitu

buruk sehingga aku tidak bisa berbuat banyak.Terkadang Angus datang membawa cerita pendek dan membacakannya untukku, mirip seorang ibu yang membaca dongeng untuk anaknya. ltu pun terkadang aku tidak bisa mencerna semua. Di tengah-tengah cerita, aku meminta Angus untuk berhenti karena kepalaku terasa berat dan telingaku mendengung. Tubuhku yang lemah membuat aku tidak bisa menahan vibrasi suaraAngusyangterus menerus. Bahkan salah satu cerpen R.K. Narayan yang terpendek

pun harus dijadikannya cerita bersambung untukku. *

Facebook adalah salah satu penyelamatku karena posting­ an yang cukup singkat (tidak ada yang sepanjang buku!). I ni membuatku tetap aktif selama di rumah sakit karena bisa saling kontak dengan teman-teman di forum diskusi pluralis Bhinneka. Diskusi pluralis ini kubuat pada awal Januari 2011. U ntuk apa? Aku ingin ada diskusi yang cukup bebas, ulasan politik dan sosial apa pun bisa masuk dan menjadi bahan diskusi. Tapi, tentu saja ini bukan berarti siapa saja bisa berbuat apa saja. Kebebasan

tidak bisa diartikan sebebas-bebasnya lalu digunakan untuk bebas menindas yang lain. Kebebasan yang sudah menginjak­

injak dan merampas kebebasan orang lain harus dicegah. Terkadang. inilah yang membuat rancu ketika kita bicara kebebasan. Banyak orang mengartikan kebebasan dengan per-

216

Operasi

buatan seenak udelnya dan membuka kesempatan bagi para pengacau. Sebaliknya, peraturan yang kolot dianggap bisa mendisiplinkan orang dan membuat semuanya teratur. I nilah kecemasan ala Orde Baru yang masih menyala hingga kini. Dian yang tak kunjung padam. Menyulut kekhawatiran rakyat untuk berpikir mandiri, mencegah mereka untuk mempertanyakan dan mencari. Demi rasa aman, mereka menerima untuk dibatasi dan dicekoki. Dalam diskusi pluralis lembaga Bhinneka, tidak ada yang luput dari kritik, karena sesuatu yang luput atau bahkan kebal kritik akan menjadi sumber penyakit politik. I ngat, betapa kebalnya Soeharto dari kritik. Apa lagi yang saat ini masih kebal kritik di I ndonesia? Apa pun yang menyangkut agama! Gandhi

You can chain me, you can torture me, you can even destroy this body, butyou will never imprison my mind. -Mahatma Gandhi

Kesakitan membuatku mengingat mereka yang pernah menderita. Kepada seseorang: Gandhi. Inilah yang terjadi

padaku. Diriku yang terampas oleh penyakit ini. Diriku yang kadang tak kukenali lagi. Terkadang membuatku ingin menjadi yang lain. Bukan aku, bukan tubuh yangtersiksa. Bukan manusia yang harus selalu terbaring di ranjang. Terkadang, aku ingin keluar dari diriku sendiri- menjadi tubuh lain, manusia lain.

217

KtJbtMUh DI SINI

*

Seorang Gandhi, yang tidak ingin menjadi lainnya. Beberapa kali tubuh yang ringkih itu dipenjara, disiksa, dan tak terisi makanan. Gandhi yangmernpelajari berbagai ajaran agama. Yang tidak mengharamkan kitab agama lain. Yang menyatakan, "mata ganti mata akan membuat seluruh dunia menjadi buta." Namun, setiap orang bisa mendapat inspirasi yang ber­ beda-beda dari kalimat yang sama. Karena telah dinyatakan:

"Mata ganti mata, gigi ganti gigi", bertahun lalu kami empat bersaudara mengimani sabda itu. "Coklat ganti coklat, roti ganti roti, tendang ganti tendang." Pokoknya semua harus ada balasannya. D i antara kami empat bersaudara, kalau ada yang curiga jatah coklatnya dikurangi atau du it celengannya ada yang mencukit, langsung saja dia akan menyantap milik orang yang dicurigai, dengan mencuil barang miliknyajuga. Demi keadilan! Tapi, ajaran ini diubah dalam kitab Perjanjian Baru. *

Alkitab Perjanjian Baru begitu berbeda dari Perjanjian Lama. Tuhan yang galak, pencemburu, gernar meminta persem­ bahan, suka menguji yang tidak-tidak dalam Perjanjian Lama (misalnya Abraham diminta mempersembahkan anaknya sendiri) diubah pamornya oleh Yesus menjadi Bapa pengasih. Tapi, di dalam Perjanjian Baru, selain anjuran untuk me­ ngasihi sesamajuga ada kalimat seperti ini: - Tiap pohon yang tak menghasilkan buah akan ditebang habis dan dicampakkan ke dalam api neraka (Matius 3: 10). - Setiap tempat yang tidak menerima pengikut Yesus akan 218

Operasi

dihancurkan, lebih dari Sodom dan Gomora (Markus 6: 11). - Yesus menggambarkan Bapanya: Maka tuannya akan kembali pada hari dan jam yang tak terduga. Dan pelayan itu akan dihajar habis-habisan oleh tuannya serta dijadikan senasib dengan orang-orang yang tidak taat kepada Allah. Pelayan yang tahu kemauan tuannya, tetapi tidak bersiap dan tidak melakukan kehendak tuan itu, akan dicambuk dengan keras (Lukas 12: 46-47). - Barang siapa tidak tinggal dalam Aku, ia akan dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan dan dicampakkan kedalam api, lalu dibakar (Yohanes 15: 6). Yesus, yang begitu pengasih, yang begitu rendah hati dan mengajarkan kemanusiaan, terkadang bisa mengeluarkan ancaman yang mengerikan. Apakah ini hanya interpretasi para penulis I njil itu? Namun yang parah adalah campur tangan pemerintah dalam interpretasi agama di I ndonesia. Pernikahan beda agama masih dilarang. Dalam pelajaran agama, semua murid dipisah­ pisahkan untuk diajari betapa benarnya dan sucinya agama masing-masing. Bahkan, sekarang beberapa guru agama tidak lupa mengajarkan anak-anak untuk "ngotot" dengan kebenaran agamanya. Nah, setelah dipisah mereka dalam kandang masing­ masing dan dicuci otak dengan kesucian (bila perlu, dengan "kengototan") yang berbeda, apa yang akan terjadi kalau mereka bertemu? Biasanya saling ngotot akan kesucian dan kebenaran masing-masing! Agama bisa menjadi alat pemecah belah yang ampuh di Indonesia.

219

KvbU11uh DI SINI

Tetapi agama di tangan seorang seperti Gandhi men­ jadi hal yang menyatukan manusia, apa pun keyakinan atau orientasi seksual mereka. Gandhi, yang menyatakan tanpa ragu­ ragu bahwa dirinya adalah Kristen, Islam, dan Hindu sekaligus

waktu ada perpecahan agama di negerinya. Gandhi, yang begitu mengutamakan kemanusiaan dalam agamanya. Gandhi tidak mendiskriminasi ateis dan homoseksual, karena dia yakin ateis pun mempunyai nilai kemanusiaan. Tentang hubungan kasih sejenis, inilah pendapat Gandhi: "Siapakah kita yang mempertanyakan pilihan Tuhan?" Kebenaran adalah Tuhan, tulis Gandhi. Tapi, Tuhan

bu­ kanlah kebenaran, karena ada berbagai macam Tuhan yang dipercaya oleh manusia. *

Apakah aku ingin menjadi seperti Gandhi? Lebay, kalau jawabannya iya. Aku masih ingin makan enak, tidur di kasur yang empuk, ditambah lagi karena aku sakit­ sakitan, mana bisa berjalan jauh seperti Gandhi? Malah nanti merepotkan kalau aku terkaing-kaing di tengah jalan. Berapa orang yang mesti kebingungan? Sekarang saja sudah berapa orang yang mesti kalang kabut karena aku? Aku ingin sehat kembali . Tapi, kalau aku ingin hidup bebe­ rapa tahun lagi, untuk apa hidupku ini? Untuk apa beberapa tahun aku bisa bernafas, bergerak, dan berpikir? Semua orang akan mengalami hal yang serupa setelah itu. Jantung yang berhenti, nafastertahan, badan bergetar, telinga mendingin, dan tenggorokan menegang. ltulah yang kusaksikan ketika papaku menempuh kema-

220

Operasi

tian. Seolah bertarung entah dengan siapa. Kakinya menendang, badannya berkelojotan sejenak, sebelum i a mengejang dan mengembuskan nafas dalam dan panjang. Tapi, seolah ia tak rela. Sekian detik kemudian nafas itu kembali. Dengan hempasan yang lebih dalam, ia lalu pergi. Tidak ada lagi manusia yang kupanggil "papa"; ia sudah menjadi mayat. *

Aku pun akan lenyap setelah ini. Tidak akan ada aku lagi. Semua barang-barang yang kukumpulkan akan kutinggal. Begitu juga semua orang yang kusayangi. Mereka tidak akan melihat aku lagi. Dan aku tidak akan tahu siapa mereka. Setelah kerja otak mati, aku tidak akan merasa apa-apa. Dan mengapa aku harus takut akan hal ini? Bukankah sebelum lahir aku juga ketiadaan? Aku tidak tahu di mana aku, siapa aku. Dan aku tidak takut. Lalu, kenapamanusia harusbegitu khawatir bi la nantinya mereka akan kembali pada keadaan itu? Lihatlah bermiliar manusia yang hidup sebelum kita, yang mengalami berbagai macam nasib. Yang tak pernah kita kenal, yang datang dan pergi begitu saja. Beberapa yang meninggalkan jejak, mungkin akan diketahui riwayatnya melalui riwayat yang ditulis sendiri atau yang ditulis orang lain. Lalu, apa yang harus dikerjakan manusia dengan hidup yang singkat ini? Aku tidak ingin berumur panjang, apalagi dengan berbagai macam operasi atau prosedur lainnya yang menyakitkan. Aku hanya ingin menikmati hidup. Tapi, menikmati hidup yang bagaimana?

221

KvbU11uh DI SINI

Menikmati Hidup? Setiap pagi, tak lama sesudah ayam berkokok, seorang ga­ dis berusia lima belas tahun bangun dan membenahi kamarnya. Lalu ia mencuci bajunya, setelah itu bersiap melayani. Tubuh yang mungil dan ringkih itu menyimpan kekuatan yang luar biasa. Pengabdian dan penyerahan diri untuk yang lain. Walaupun karirnya tidak akan pernah menanjak. Kemungkinan ia akan menjadi babu selamanya. Hidup sebagai babu dan mati sebagai babu. U ntuk apa? Mungkin karena dia tak punya pilihan lain, dan akhirnya terpaksa berbahagia dengan pilihan ini. Sebuah kekuatan yang luar biasa. Yang tak lagi mempertanyakan, namun menerima. Tapi bukankah mereka-mereka ini yang kemudian dengan mudah diperalat? Yang seringkali diupah dan diperlakukan tidak sepantasnya? Karena kepasrahan mereka yang luar biasa,

yangtak pernah menanyakan nasib, yang begitu menerima. Yang begitu bahagia dengan sesuatu yang sederhana. Sedangkan manusia lain sering bersikap seperti aku, yang seringkali mempertanyakan segala-gala. tidak pernah puas dengan hidup, yang selalu mencari, dan seringkali tidak bahagia. Aku teringat akan gadis itu. Yang datang sendiri dari desanya menuju tempat asing untuk bekerja tanpa hari libur dan tanpa kenal lelah, yang wajahnya begitu damai, yang sering tersenyum. Yang seolah telah menemukan bahwa hidup adalah pengabdian. Sebuah keteguhan yang luar biasa. Apa yang membuat dia terus menjalani hidupnya tanpa mengenal lelah, yang terkadang masih saja dimaki oleh sang majikan?

222

Operasi

Sedangkan aku seringkali tidak tahan dengan kehidupan. Yang masih saja tidak tahu akan ke mana. Yang membuatku seringkali hilang arah. Darimana kita datang?

Ke mana kita

pergi? Untuk apa kita di sini? Pertanyaan ini semakin menjadi. Mungkin karena sakit yangsudah berkali-kali kualami. Begitu banyak orangmemintaku untuk berdoa, berserah kepada tuhan dan agama. Apakah agama itu? Sebuah jawaban yang pasti? Atau keyakinan yang terus menerus berubah? *

Abad ke-3 Sebelum Masehi orang-orang di Tiongkok percaya bahwa di Iangit ada sepasang matahari yang mempunyai anak 10 matahari-semuanya laki-laki (apa mereka punyajakun dan penis?). Kesepuluh matahari ini nakal-nakal dan suka

bermain bersama memanasi bumi yang menjadi semakin panas. Tidak satu pun bisa tumbuh di permukaan bumi, dan manusia kelaparan. Manusia lalu berdoa kepada bapak sepuluh matahari ini, Dijun, yang berada di surga. Setelah sekian lama, Dijun mendengar doa mereka dan memanggil seorang pemanah tangguh, Hou Yi, untuk memberi pelajaran kepada para dewa yang nakal itu. Hou Yi memanah kesembilan matahari itu hingga hanya ada satu matahari yang hidup menerangi bumi. Beberapa naskah bahkan menyebutkan bahwa kejadian ini berlangsung pada tahun 2160 Sebelum Masehi. D i Tiongkok, dewa-dewanya bukan penguasa mutlak yang mengatur manusia layaknya boneka. Mereka justru minta tolong kepada manusia untuk membereskan urusan semesta,

223

KvbU11uh Pl SINI

dan bahkan dewa bisa menjadi nakal dan harus diberi pelajaran yang tidak tanggung-tanggung oleh manusia. Dan kalau dewa­ dewa ini sudah mengganggu, merekaj uga bisa dienyahkan demi kenyamanan manusia. D i belahan bumi yang lain, Mesir, matahari juga dipercayai sebagai tuhan. Namun, tuhan Mesir lebih serius. tidak cengar­ cengir atau suka petak umpet seperti dewa matahari di Tiongkok. Dewa Ra, yang maha mulia. Dewa dari segala dewa. Tidak bisa dipanah atau ditulup. Sejumlah piramida dibangun untuk menghormati Dewa Ra. Dan memang, matahari adalah sumber hidup dan sumber energi di bumi. Jadi, tidak mengherankan kalau masyarakat Mesir saat itu mempercayai matahari sebagai tuhan mereka. Tapi setelah Kristen menyebar di Kekaisaran

Romawi, masyarakat Mesir juga meninggalkan Dewa Ra dan lebih mempercayai tuhan yang baru, yang diresmikan oleh Kekaisaran. Kalau tuhannya Tiongkok lebih mirip pemain dagelan dan

tuhannya Mesir sangatlah agung dan elegan, dewa matahari Aztec lain lagi. Sadisnya minta ampun! Dia minta persembahan nyawa manusia. Kabarnya ada 20.000 nyawa per tahun yang

dikorbankan. Bahkan beberapa manusia dicukil jantungnya hidup-hidup oleh para pendeta untuk dipersembahkan kepada sang Dewa. Kuilnya penuh dengan jerit kesakitan dan darah. Ia

diberi nama Tonatiuh. Tidak tahu siapa yang memberi nama, dan siapajuga yangtiba-tiba begitu yakin kalau sangdewa begitu doyan jantung manusia (memangnya gurih gitu?). Terus. akan diapakan juga oleh sang Dewa jantung-jantung ini? D isate atau di sop? Jadi, beginilah beda dewa matahari di ketiga negara ini:

224

Operasi

1.

Di Tiongkok: Jangan macam-macam lu Dewa, atau kubantai nanti!

2. Di Mesir: Kalau macam-macam lu manusia, pasti kubantai

nanti! 3. Di Aztec: Dah, bantai saja, walau manusianya tidak macam­ macam. Lumayan, jantung-jantungnya bisa dibuat kalung atau gelang! Mental seperti apakah ini yang menginginkan keselamatan dari dewa dengan mengorbankan manusia lainnya? Mental penjilat? Yang tak segan menyiksa orang lain demi keselamatan pribadi? Demi ilusi, bahwa mereka akan diberkahi oleh sang dewa, bahwa mereka akan memperoleh hidup kekal nantinya? Dan dari mana ide untuk mengorbankan manusia lain sebagai alat penyelamat mereka? Kalau saja para penduduk di

benua ini bisa dengan mudah berkomunikasi dan berpindah ke­ percayaan, mungkin rakyat Aztec sudah ingin menukar dewa matahari mereka dengan yang ada di Tiongkok: tidak makan kor­ ban, malah bisa diberi pelajaran kalau bikin pusing. Sip, kan? Masalahnya, kalaupun rakyat Aztec yang jantungnya ter­ ancam dicerabut ini tahu tentang dewa di Tiongkok dan punya kesempatan pindah ke sana, apakah mereka mau begitu saja memeluk agama baru? Apalagi bila keyakinan mereka sudah begitu mendalam, merasuki mereka. Terkadang, yang dikor­ bankan tidak mau membebaskan diri. Mereka sudah terlalu nya­ man dengan keadaan mereka, dan tidak mau lagi berubah. *

Kita bisa tertawa. Menertawakan kepercayaan abad-abad

itu. Agama zaman dahulu. Dengan kemajuan teknologi, kita 225

KvbU11uh DI SINI

tahu bahwa matahari

adalah bagian dari tata surya. Kita makin

memahami semesta. Kita bisa menyebut kepercayaan zaman lalu

sebagai mitos, dongeng yang tidak bisa lagi dipercayai. Tapi, kepercayaan kita sekarang ini tidakkah akan diter­ tawakan pula orang manusia berabad-abad kemudian? Tidakkah mereka akan menyatakan betapa konyolnya kita, betapa tidak masuk akalnya? Mereka mungkin akan menggelengkan kepala melihat segala ritual, upacara, dan ajaran yang begitu kita imani. Lalu, apa gunanya semua kengototan itu? Apalagi yang mencelakakan manusia lain? Seperti yang dilakukan beberapa pendeta Aztec? Sekarang pun hal ini masih terjadi. Sekelompok manusia mengutuk dan mengorbankan orang lain, dengan harapan mereka bisa memperoleh hidup kekal. Tidakkah mereka per­ nah membayangkan betapa banyaknya agama dan kepercayaan di dunia ini? Yang begitu berbeda tuhan, peraturan, dan kita sucinya? Bahkan pada zaman ini saja, kalau kita kumpulkan tuhan-tuhan di berbagai belahan dunia, maka akan ada penggambaran berbagai makhluk yang luar biasa beragamnya. Ada yang tuhannya zat abstrak dan meminta korban binatang, ada yang tuhannya berkepala tiga, ada yang tuhannya dipanggil bapa dan mempunyai tiga wujud. Ada juga yang berbentuk kera (H anuman) atau gajah (Ganesha). Lalu, ada lagi yang tuhannya bisa berubah jenis kelamin. Salah satu dewa H indu, Vishnu, bisa mengubah diri menjadi perempuan bernama Mohini. Begitu ayunya Mohini ini sehingga Shiva jatuh cinta kepadanya. Persetubuhan antara Shiva dan Vishnu jadi-jadian ini membuahkan anak, bernama Ayyappa.

226

Operasi

Begitu kayanya tuhan dan dewa-dewi di dunia. Karena itulah,

aku begitu tertarik mengetahuinya. Karena kalau kamu

hanya mengetahui dan mempelajari satu agama saja, alangkah sempitnya! Pertemuan Lembaga Bhinneka-Serentak di 14 kota Mungkin keresahan ini yang membuatku ingin cepat kembali bekerja. Tapi, justru saat itu aku mendapat kabar buruk: tidak ada dana lagi untuk lembaga Bhinneka. Lalu, bagaimana kami melaksanakan semua kegiatan? Ternyata, para anggota Bhinneka cukup bersemangat. Terkadang bahkan lebih bersemangat daripada aku yang waktu itu masih tergeletak di ranjang. Jagad Pujiono adalah salah satu pencetus ide tentang pertemuan serentak ini. Aku mulai menyusun rencana dan mengontak beberapa orang yang bersedia menjadi koordinator. Kesehatanku mulai membaik

atau mungkin kesibukan ini yang justru membuat kesehatanku lebih cepat pulih. I nil ah kesibukan baruku selama di rumah sakit: merancang pertemuan Bhinneka sambil mengedit artikel-artikel yang akan diterbitkan untuk pertemuan ini. Yang akan diadakan serentak di 20 kota di Indonesia. Tapi karenaberbagai alasan (koordinatoryangberhalangan, anggota yangtidak bisa hadir, dan lain-lain), akhirnya pertemuan ini berlangsung di 13 kota di I ndonesia. Yang mengejutkan, Agus Budiwan dari Vancouver tiba-tiba menyatakan kesediaan sebagai koordinator juga. Daftar kota yang mengadakan pertemuan Bhinneka:

227

KvbVlluh Pl SINI

1.

Aceh dengan koordinatorTaufik Riswan

2.

Bandung dengan koordinator Febri Qorina

3.

Batam dengan koordinator Jhon Kennedy

4.

Jakarta dengan koordinator Shinta Miranda

5.

Jombang dengan koordinator Aan Anshori

6.

Lamongan dengan koordinator Bahrul Ulum dan Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia

7.

Makassar dengan koordinator lno

8.

Manado dengan koordinator Janno P. Rompas

9.

Surabaya dengan koordinator Soe Tjen Marching dan Dian Puspita Sari

10. Semarang dengan koordinator Mata Kita 1 1 . Solo dengan koordinator Joe 12. Tuban dengan koordinator Lie Kwang Yen 1 3 . Yogya dengan koordinator Vay Haikal 14. Vancouver-Kanada dengan koordinator Agus Budiwan

Beberapa yang datang membawa makanan sendiri-sendiri untuk dibagikan dan diicipi bersama. Beraneka kelompok dan organisasi juga ikut serta dalam pertemuan ini: ada Pergerakan Mahasiswa Islam, organisasi NU, gereja, dan kelompok adat. Pesertanyajugagado-gado: dari paraulama, pastor, penulis, mahasiswa, pemimpin agamaadat, hinggaaktivislesbian. Dengan kata lain, spesies apa pun bisa ikut dalam pertemuan ini, bahkan yang merasa bukan manusia juga bisa hadir. Yang penting tidak mengganggu yang lain. Setelah pertemuan ini, beberapa nama­ nama baru ikut bergabung dan membantu dengan sukarela, di antaranya: Dede Kendro, Asyuner Jabar, Lara Prasetya, Cynthia Myrra, Dianna Firefly, Yanuar, Masita Riany, Fabian Chandra,

228

Operasi

I rianto Darsono. Betapa inginnya saya menyebut nama-nama mereka semua, tapi tentunya tidak mungkin, karena buku ini bisa-bisa hanya akan penuh dengan nama. Dan hal ini bisa berlangsungtanpa dana!

Thank You Biasanya, pasienlah yang menceritakan tentang hal-hal yang pribadi kepada juru rawat. Selain penyakit, pasien biasanya ditanya bagaimana keadaan mereka di rumah. Apakah ada yang menjaga bila keluar dari rumah sakit, apakah pekerjaan yang dilakukan tidak akan mencederainya setelah keluar dari rumah sakit. Begitu juga denganku, mereka menanyakan apa peker­ jaanku-apakah memerlukan fisik? Apakah ada yang merawatku

di rumah, dan bagaimana kondisi rumahku? Di lantai dasar atau satu? Apa ada tangga-tangga curam? Tidak seorang pun dari mereka menanyakan apa agamaku. Karena memang tidak ada hubungannya. Berbeda dengan di ln­

donesia, seringkali yang ditanyakan adalah agama seseorang. Seakan agama dan kepercayaan itu berhubungan dengan apa saja, bahkan dengan penyakitnya. Karena apartemenku banyak tangga-tangga yang cukup curam, dua orang fisioterapis mengajarku cara turun dan naik

tangga dengan tongkat. Ternyata ada teknik tersendiri juga un­ tuk ini. Dia bertanya pegangan tanggaku di rumah ada di sebelah mana. Kanan. Dimintanya tanganku untuk berpegangan pada

gagang tangga. Lalu, dimintanya kaki kananku, kaki yang lemah,

229

KvbU11uh Pl SINI

untuk melangkah turun sambil dibantu tongkat. Badanku ha­ rus tetap tegak dan tanganku tetap pada posisinya. Setelah ta­ pak kananku menginjak tangga bawah sepenuhnya, barulah aku diminta memindah tanganku turun, dan yang terakhir, me­ langkahkan kaki kiri ke bawah. Pertama kali rasanya aku mau terjungkal ke bawah. Fisioterapis yang satu menjagaku dari sam­ ping, sedang yang satunya lagi menjagaku dari bawah. Ternyata, tidak. Aku hanya sedikit limbung, namun bisa turun setapak. Cukup sukar aku melakukannya dan makan waktu lama. Ketika aku sudah di pertengahan tangga mereka memintaku

beristirahat. Mereka tahu kalau aku sudah terlalu bersemangat aku akan lupa rasa lelah, dan kelelahan bisa menghambat kemajuanku. Setelah itu mereka memintaku untuk naik. Seperti biasa, mereka memberi instruksi. Kali ini tongkatku dipindah ke tangan

kanan dan tangan kiriku memegang pinggiran tangga. Waktu turun tangga tanganku tidak boleh dipindah dulu, tapi untuk naik tekniknya lain lagi. Mereka meminta tangan kiri dan kaki kananku digerakkan bersamaan ke atas. Lalu baru kaki kiriku dan tongkat bersamaan naik. Dua fisioterapis ini datang setiap hari Senin-Jumat. Hari

Sabtu dan Minggu mereka libur. Dan pelayanan ini juga gratis. dibayar oleh pemerintah. Bahkan mereka juga memberiku tongkat sebagai alat bantu jalan untuk dibawa pulang-tanpa membayar. *

Waktu yang leluasa untuk aku dan juru rawat bisa bicara lebih dekat adalah ketika aku di kamar mandi. Di saat itu, sang

230

Operasi

juru rawat harus membasuhku, menungguiku, dan begitu dekat denganku, dengan tubuhku, dan perbincangan biasanya juga menjadi lebih akrab. Di kamar mandilah aku mendapat kisah tentang keluarga para juru rawat ini dan hal-hal yang lebih pribadi, seperti pilihan politik mereka. Salah seorang perawat menceritakan tentang sukarnya merawat beberapa pasien. Terkadang pasien menuntut macam­ macam. Ada yang sama sekali tidak pernah mengucapkan kata "thank you". Padahal, kata itu sangat penting di sini, sebagai tanda menghargai pertolongan orang lain. Bahkan, ketika aku pulang ke I ndonesia, karena kebiasaanku mengucapkan "thank you", orang-orang jadi heran dan bertanya: "Kenapa kamu sering mengucapkan kata terima kasih?" Tapi bagiku ini adalah kebiasaan baik, karena ini menunjukkan penghargaan kita atas bantuan orang lain. Bila kuamati, amatlah jarang seseorang yang merasa kedudukannya lebih tinggi berterima kasih kepada mereka yang dianggapnya lebih rendah. Pembantu rumah tangga, misalnya, jarang menerima ucapan terima kasih, walaupun sudah menelan perintah dan menolong maj ikannya berjuta-juta kali. Menerima umpatan malah iya. Dan mereka-mereka ini, para pekerja rumah tangga ini, bi la sakit, biasanya akan pergi ke dukun atau dokter puskesmas yang tidak berpengalaman. Bila mereka kena penyakit seperti aku, tentu akan menderita sekal i . Tumorku ini bernama schwannoma, tumor yang tumbuh dari sel-sel saraf. Sel yang seharusnya membentuk glia dari sistem saraf kita. G/ia berfungsi sebagai penyedia oksigen dan gizi bagi neuron saraf, menyelubungi neuron supaya mereka tetap pada tempatnya, melindungi

231

KvbtMuh Pl SINI

neuron, dan membuang neuron yang sudah mati. Tapi, seperti kankerku yang mungkin sudah bosan dengan kerja rutinnya, sel ini tidak lagi membuat glia tapi berubah menjadi tumor. Yang tumbuh amat perlahan. "M ungkin tumor ini sudah ada di dalam tubuhmu selama berpuluh tahun," kata dokter bedahku. Bayangkan, bila orang zaman dahulu atau mereka di I ndonesia yang tidak berduit terserang tumor ini. Mereka akan mati perlahan, dengan kesakitan yang amat, selama bertahun-tahun lamanya. Tanpa tahu sebabnya. Mungkin mereka akan mengira telah disantet atau diguna-guna. Pemerintah yang korupsi telah menyebabkan rakyatnya menderita, tan pa tunjangan kesehatan yang layak. Hal ini juga yang menyebabkan negara lain menutup diri, karena takut fasilitas umum mereka disalahgunakan oleh masyarakat negara lain yang korup. I nilah bentuk diskriminasi tersendiri dari negara maju. Bagaimanapun, bukankah mereka telah ikut bertanggung jawab atas kemiskinan di negara-negara di Asia dan Afrika, yang telah dijajah sekian lama dan dirampas sumber-sumber alamnya? Sampai sekarang pun beberapa perusahaan asing masih mengeduk kekayaan dengan semena-mena dan pemerintahnya seakan tutup mata akan hal ini. Lihatlah apa yang terjadi di Papua (I rian Jaya). Freeport, BP, Shell, dan beberapa perusahaan asing telah memperoleh keuntungan luar biasa dari sumber daya alam di sana. Papua mempunyai tambang emasterbesar di dunia tapi rakyatnya tetap miskin! Dari beberapa sumber, saya membaca bahwa Freeport mengambil keuntungan lebih dari 90% dari hasil alam itu.

232

Operasi

Rakyat Papua hanya mendapat sekitar 1-2%, sedangkan sisanya masuk kantong para pejabat. Kombinasi antara pemerintah negara-negara di

Asia

Tenggara yang korup dan pemerintah Barat yang diskriminatif, ambisius, dan ingin mempertahankan kemakmuran negaranya, membuat rakyat di negara seperti Indonesia semakin terpojok. Bila globalisasi membuat barang dan modal lebih mudah berpindah tempat dari negara satu ke lainnya, manusia dari beberapa negara yang belum makmur justru makin sulit untuk mengunjungi negara lain. Tujuh belas tahun yang lalu, waktu mamaku pergi ke Selandia Baru, mengurus visa jauh lebih gampang. Mamaku hanya pergi ke agen perjalanan di Surabaya, memberikan paspor, menunjukkan uang jaminan dan tiket, dan bisa berangkat. Aku sama sekali tidak perlu turun tangan. Sekarang, ketika mamaku akan kemari untuk mengunjungi anaknya yang sakit-aku yang masih tergeletak di rumah sakit­ dia harus mengurus segala tetek-bengek yang diperlukan oleh kedutaan. Dari menulis surat undangan dan jaminan, mengisi formulir, dan lain-lain. Angus juga ikut sibuk dengan menulis surat dan mengisi berapa gajinya per bulan, nomor wajib pajaknya, dan menandatangani perjanjian. Kalau ada apa-apa,

dialah yang harus menanggungnya. Pemerintah Britania ingin memastikan kami mampu membiayai mamaku selama dia di sini, karena mereka takut bila terjadi sesuatu, merekalah yang harus bertanggung jawab. Dengan kata lain: mau mati mau hidup, tanggung sendiri! Yang paling menggelikan adalah mamaku diharuskan terbang dari Surabaya ke Jakarta hanya untuk diambil sidik

233

Kvburiuh Pl SINI

jarinya dan diwawancarai. I ni demi mendapatkan izin untuk mengunjungi anaknyayang sakit! Setelah semua itu, merekajuga tidak bisa menjamin dengan pasti apakah visa akan dikeluarkan atau tidak. Mengurus visa ini mirip ujian kenaikan kelas saja, atau lebih tepat ujian skripsi. Harus mempertahankan diri dan diuji "kebenaran"-nya. Untung mamaku lulus! Dia akhirnya bisa tiba di London untuk membantu Angus merawatku setelah keluar dari rumah sakit. Mama, yang sudah berumur 73 tahun, masih mempunyai semangat luar biasa. Dia sekarang harus merawat anaknya yang jauh lebih muda! Demonstrasi Tanggal 16 Maret aku boleh pulang. Angus bertanya, aku ingin dimasakkan apa. Sekali lagi, Angus berfungsi sebagai juru rawat karena Mama dan kakakku tidak bisa segera datang, terhalang urusan visa. Tidak lama setelah aku pulang, demonstrasi besar-besaran segera berlangsung di London. Salah satu sebab utama adalah David Cameron (Perdana Menteri Britania) memangkas banyak sekali dana untuk fasi litas umum. Perpustakaan umum ditutup satu per satu. Dari mana nanti anak-anak mendapat buku dan bermain? Begitu juga dengan yang lain. Mereka tidak bisa lagi membaca buku-buku dengan gratis. Apalagi anak-anak muda yang kerjanya berkeliaran sambil mengusili orang lewat (kadang sekaligus menoopet) bersama teman-teman mereka. Sekarang, akan lebih banyak remaja seperti ini: kurang kerjaan dan tidak ada hiburan. Perpustakaan umum di wilayahku tinggal (East Ham) adalah satu dari sejumput perpustakaan yang tidak ditutup. 234

Operasi

Penyunatan duit ini merambat juga ke pendidikan. Pe­ merintah memotong dengan seenaknya. Bahkan beberapa uni­ versitas harus memberhentikan dosen mereka karena tidak mampu lagi membayar. Mulai tahun 2012, mahasiswa harus membayar sekitar 2-3 kali lipat untuk uang kuliah. Tentu saja, orang mi skin sekarang tambah terbeban. Apayangterjadi dengan kesehatan? Pelayanannya semakin buruk. Antrean bertambah panjang, pasien tidak lagi ditangani dengan cepat. Untuk bisa ke dokter umum saja sekarang aku harus menunggu sekitar 1-2 minggu.

Kalau ada masalah yang penting

dan harus ditangani segera, pasien harus datang pada jam ter­ tentu atau konsultasi lewat telepon saja. Beginilah sistem kapitalisme! Para bos besar yang berspe­ kulasi untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Merekalah yang berbuat kesalahan sehingga terjadi krisis ekonomi yang luar biasa ini. Siapa yang menanggung akibatnya? Rakyat. Para bos itu masih dibayar mahal, ratusan ribu poundsterling pertahun. Mengapa tidak ada sanksi untuk kesalahan mereka? *

Minggu, 26 Maret 201 1

Lebih dari 250.000 manusia membanjiri kota. Terutama mereka yang bekerja di sektor publik, seperti guru, juru rawat, pekerja sosial, dan peneliti. Aku telah dikontak seorang sahabat di London, Suzanne, untuk ikut serta. Tapi, kakiku masih pincang. Apalagi kalau harus berjalan di antara ribuan orang. Kalau aku cedera malah 235

Kvburiuh DI SINI

membuat susah nantinya. Aku memutuskan tinggal di rumah dan mengikuti berita di internet dan televisi. Sayang demonstrasi damai ini dirusak oleh sekelompok orang yang dengan agresif memecah kaca beberapa bank. Seminggu setelah demonstrasi ini, beberapa aktivis mengadakan kemah damai di tengah kota. Mereka mendirikan tenda dan tidur di sana beberapa malam untuk memprotes pemotongan dana publik ini. Kembali ke Indonesia Satu bulan setelah aku keluar dari rumah sakit aku pulang. Tubuhku masih sangat lemah dan kakiku pincang, tapi aku ingin segera mengunjungi lembaga Bhinneka dan membereskan berbagai pekerjaan di sana. Tapi temyata ada manfaatnyajadi pincang. Ketika melihat

tongkatku, para pegawai di bandara sering mendahulukan aku. Tidak perlu mengantre seperti yang lain. Aku juga menerima bantuan lebih banyak di pesawat. Badanku terasa amat lemah. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Seminggu setelah aku sampai di Surabaya, ada bintil­ bintil kekuningan di sekujur badan dan wajahku. Mirip orang kena santet. Cacar air! Penyakit sekali seumur hidup. Mereka yang tel ah terjangkit akan mempunyai resistensi dan tidak terkena lagi. Tapi karena daya tahanku rendah dan karena memang ada wabah, aku kena lagi untuk kedua kalinya. Penyakit yang mengundang penyakit. Padahal, aku masih harus banyak latihan berjalan dengan kakiku yang seperti ini. Dan tujuanku ke I ndonesia bukan untuk beristirahat tapi bekerja. 236

Operasi

U ntuk membereskan semua program di lembaga Bhinneka. Tapi tidak mungkin. Dari tempat tidur di London, aku pindah ke tempat tidur di Surabaya. Aku tidak bisa sakit terlalu lama. Sekali lagi dengan berbaring, kukerjakan semua sebisa mungkin. Dan waktu aku bisa bangun kembali, Angus minta aku secepatnya kembali ke London: ·Ada hal penting yang harus kita diskusikan!" Ke Mana Pun Aku Tiba Aku pulang, ke mana pun aku mendarat. Rumahku tidak lagi di satu tempat. Aku selalu berpindah, dari negara satu ke negara lain, ke benua-benua yang warna langitnya berbeda. D i belahan dunia itu, aku memandang rasi-rasi bintang lain. D i belahan utara, hampir tak pernah lagi kulihat rasi bintang yang begitu kukenal dulu: Bintang Salib Selatan. Rasi yang menjadi petunjuk arah dan waktu bagi para musafir berabad yang lalu.

Ternyata, ada kemungkinan kami harus pindah lagi. Angusmendapat Humboldt Fellowship, sebuah hibah yang membiayai penelitiannya di Jerman. Apakah aku akan ikut? Apakah aku akan pindah ke Jerman bersama dia? Bagaimana dengan Bhinneka? Aku harus memantaunya dari jauh, dan mondar-mandir ke I ndonesia. Persiapan pindah ke Jerman dengan kesehatanku yang masih kacau. Angus harus mengerjakan hampir segalanya. Dari mengangkat barang sampai mengurus visa. Sekali lagi, dengan paspor Indonesia aku mengerjakan lebih banyak tetek­ bengek daripada Angus. Aku harus mengisi surat pernyataan bahwa aku tidak pernah menjadi teroris atau terlibat dalam aktivitas terorisme; menghadapi pertanyaan yang lebih banyak 237

KvbVlluh Pl SINI

dari petugasdan waktu yangjauh lebih lama untuk mendapatkan visa. Kalau visa Angus bisa "goal" dalam

waktu

2-3 hari, aku

harus menunggu 10 hari. Tapi sebelum kami berangkat keJerman, ada kejadian lain yang cukup menggemparkan London. Kerusuhan di London 8 Agustus 201 1 Aku sedang menuju kesebuah toko di dekat apartemenku di London ketika sekelompok pemuda menyerbu dengan girasnya. Salah satunya hampir saja menabrakku. Kontan aku pulang dan

mengunci pintu. Tapi karena rasa ingin tahu, aku mengintip dari balik gorden. Sebagian dari kerusuhan ini tampak dari jendela karena kami tinggal sangat dekat dengan toko-toko dan fasilitas umum lainnya. Dan sungguh mengejutkan: beberapa remaja bahkan anak kecil (sekitar 10 tahun), sedang merayakan "kesempatan· menjarah

barang-barang.

Beberapa

menggeret

perkakas

elektronik di depan rumah kami sambil ketawa-ketiwi. Salah seorang menelepon temannya: "Di Argos. Ayo cepetan ke sana!" Argosadalah namatoko serba ada. Mungkin remaja ini meminta temannya untuk ikutan menjarah juga. Huru-hara dimulai di Tottenham (London Utara) dengan terbunuhnya seorang pemuda berkulit hitam Mark Duggan oleh seorang polisi karena dicurigai terlibat dalam geng kriminal. Keluarga dan teman-teman Duggan menyatakan bahwa polisi telah melakukan kesalahan. Mereka mengadakan demonstrasi damai di depan kantor kepolisian. Tapi demonstrasi ini menjadi

238

Operasi

riuh ketika beberapa lelaki muda terlibat. Ternyata mereka tidak banyak tertarik pada demonstrasi itu tapi pada kegiatan selanjutnya: menjarah toko dan merusak beberapa gedung. London tersulut api terpampang di TV. Gerombolan itu seperti lupa daratan. Mereka merampas dari siapa saja: perem­ puan uzur, orang cacat, bahkan dari mereka yang sudah terluka di kerusuhan itu. Mengingatkanku pada kerusuhan Mei 1998 di I ndonesia. Tapi ada banyak yang berbeda. Bahwa kerusuhan di I ndonesia kemungkinan besar dida­ langi oleh "pejabat tinggi", terbukti dari menghilangnya ar­ mada polisi dan pemadam kebakaran saat kerusuhan ter­ jadi.

Sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang ditahan

ataupun diadili. Martin Luther King, Jr. berkata: "Kerusuhan adalah ungkapan terdalam mereka yang dibungkam." Namun kerusuhan Mei 98 tentunya timbul bukan ungkapan mereka yang dibungkam, tapi rencana tertentu dari penguasa untuk mengintimidasi. Sebaliknya, di London, polisi tersebar di mana-mana tapi hampir semua kewalahan menghadapi kerusuhan sebesar ini. D i daerahku saja, empat mobil polisi lalu lalang di depan rumah, helikopter menderu di atap, dan tiga mobil pemadam kebakaran tiba. Tapi semua hampir terlambat. Perampokan sudah ber­ langsung selama lebih dari satu jam. Paling tidak, aku masih bangga dengan East H am, karena beberapa pemilik toko (yang sudah mendengar tentang kerusuhan ini d i daerah lainnya) memutuskan untuk melawan. Mereka bersiaga dengan apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata: pentungan bola, pisau, atau pacul. Empat hari sesudah kerusuhan ini lebih dari 400 orang ditahan.

Tidak ada

239

KvbU11uh DI SINI

pemerkosaan yang dilaporkan. Lalu, bagaimana dengan tragedi Mei 98? Bertahun-tahun sudah kerusuhan itu terjadi dan tidak seorang pun ditahan, walaupun pembunuhan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual yang brutal tel ah terjadi. D i London, rasa marah, sedih, dan galau bercampur jadi satu saat aku melihat hilangnya kemanusiaan. Gerombolan anak muda seakan sedang berpesta pora karena telah menyebabkan kerusakan, penderitaan, dan penindasan terhadap manusia lainnya. Sangat jelas beberapa dari mereka tel ah merencanakan hal ini sebelumnya. Beberapa membawa ta�tas koper dari rumah untuk mengangkut barang rampokan mereka. Bahkan ada yang sempat menooba beberapa baju sebelum membawanya pulang. Seorang wartawan memberitakan seorang ibu yang merampok bersama beberapa anaknya. Kejadian ini sama sekali tidak

ada hubungannya dengan

etnis atau agama. Apa pun etnis atau agama Anda, Anda akan diserang begitu saja.

I ni

adalah masalah "kesem patan·, kata

seorang dari gerombolan itu. Beberapa tahun yang lalu, ketika krisis ekonomi terjadi karena bank-bank meminjamkan terlalu banyak uang, aku seolah tahu akan ada hal buruk yang akan meledak. Para bankir yang sudah mengambil keputusan rakus dan menyebabkan krisis ini tidak mendapat ganjaran. Mereka masih duduk padajabatan mereka dengan gaji selangit. Namun, rakyat semakin ditekan. Untuk sejumlah anak muda, ada sesuatu yang jelas: masa depan mereka akan suram. Krisis ini tidak akan berlalu begitu

saja, sedangkan mereka yang bertanggung jawab seolah tak ter­ sentuh. Moralitas macam apa yang ditunjukkan oleh yang ber­ wajib, yang bertanggungjawab akan bangsa dan negara Britania,

240

Operasi

bila yang lemah yang harus menanggung akibat? Gerombolan perusuh ini seakan menjadi replika para pejabat. Mereka memangsa siapa saja yang bisa dimangsa. Namun, di sebuah pojok London, seorang perempuan tua mengkritik gerombolan itu dengan kerasnya: "Memalukan. Kalian menghancurkan hidup orang lain. Bukan begini caranya kalau mau protesl " Aku juga marah dengan sistem. Ada begitu banyak orang yangtelah dirugikan oleh sistem sangpenguasa, tapi merekatidak merampok dan merusak. Krisis ekonomi di negara ini memang

menjadi salah satu penyebab. Penyebab. Bukan pembenaran bagi mereka untuk merusak dan membakar. Untuk sementara kami tidur dengan sebuah pacul di bawah ranjang (salah seorang pemilik toko memberi kami "inspirasi" untuk melakukan hal ini, demi melindungi diri). Setelah bangun, kami memandang London yang rusak, dengan serpihan kaca bertebaran dan sampah peninggalan pesta para perusuh. Beberapa hari setelah kerusuhan itu masih berkeliaran anak-anak muda yang agresif. Seakan siap menyantap dan meng­ garong. Apalagi dampak permainan politik dari para penguasa selain ini? Permainan Politik dan Kanker? Apa hubungannya kanker dengan permainan politik? Bukankah kanker adalah daging dalam tubuh yang ingin tumbuh tanpa peduli dan tak mau tahu berapa pun banyak pejabat yang menggarong uang rakyat? *

241

KvbU11uh DI SINI

Tumbuhnya dua jenis kanker di tubuhku ini dianggap hal yang sangat langka oleh para dokter. Rupanya tubuhku cukup subur untuk tumor dan kanker. Tidak tahu pupuk apa yang kupunyai sehingga mereka nyaman berakar dan berkembang biak di dalamnya. Dua jenis kanker adalah berkah, kata mereka,

karena

inilah yang menghindarkan aku dari maut. Bayangkan kalau tubuhku ditumbuhi dua jenis kelamin­ penis dan vagina. Bukankah sudah ada beberapa kelahiran (yang kebanyakan dirahasiakan) dengan kondisi seperti ini? Dan orangtua mereka akan menganggap sebagai bencana. Kelamin

ini biasanya langsung dipermak sedari lahir, tanpa mau tahu apa yang diinginkan oleh si empunya kelamin. Dan bagi pisau bedah yang paling gampang adalah membabat sesuatu yang menonjol. Jadi, bila ada vagina dan penis bersamaan, biasanya penis yang langsung dibabat. Padahal, alat kelamin tidak membahayakan, justru pe­ motongannya yang membawa petaka. Terkadang setelah de­ wasa anak tersebut menginginkan kembali daging yang telanjur dibabat habis itu. Tentu saja, sukar untuk mengembalikannya! Sedangkan kankerku? Yangj uga duajenis itu. Yang disebut mukjizat. Apa penyebabnya? Dan bagaimana mungkin kakakku dan aku punya kanker serupa? Dokterku di Australia, Dennis Engler, menanyakan apakah aku pernah terkena radiasi. Mungkin saja dari percobaan nuklir atau hal-hal serupa. Aku sendiri tidak tahu. Dia merasa bukan hanya kebetulan aku dan kakakku punya kanker yang sama. Tumor tulang belakangku yang baru diambil juga bisa disebabkan oleh radiasi, menurut dokter di London. Jadi,

242

Operasi

kemungkinan bahwa aku pernah terkena radiasi besar sekali. Kecelakaan nuklir seperti Chernobyl pada 1986 sempat

menghebohkan dunia. Bahkan, di beberapa hutan di Jerman, sebagian jamur masih terkontaminasi oleh radiasi Chernobyl sampai sekarang. Babi hutan yang menyantap jamur itu juga ikut terkontaminasi. Akibatnya, daging babi hutan yang sudah ditem­ bak oleh pemburu tidak bisa dijual. Waiau begitu, masih saja ada percobaan-percobaan nuklir dan pembuangan limbah serampangan oleh perusahaan raksasa yang bisa menjadi penyebab kanker. Dan hal ini seringkali tak diketahui. *

Segera setelah Mary & Pierre Curie menemukan radium, sebuah perusahaan bernama U.S. Radium didirikan pada tahun 1914 di New Jersey. Pemiliknya mencampur radium dengan produk mereka untuk menciptakan cat bernama Undark yang berkilau di malam hari. Pemilik perusahaan yang telah mendapat peringatan tentang bahaya radium cukup berhati-hati untuk memasuki kawasan produksi mereka. Tapi, perusahaan ini tetap mempro­ mosikan dan menggunakan radium di mana-mana: di jarum jam, lukisan, dan aksesoris lainnya. Semakin laris mereka, semakin banyak pekerja yang di­ tarik ke dalamnya. Sekitar

4.000

perempuan dipekerjakan de­

ngan murah, tanpa pelindung. Bahkan beberapa pekerja diminta menjilat kuas

cat

untuk menciptakan tulisan yang tajam dan

rapi pada jam tangan produksi mereka. Karena yakin bahwa

bahan yang digunakan tidak berbahaya, beberapa gadis ini

243

KvbU11uh Pl SINI

menggunakan radium untuk mengecat kuku, gigi, dan rambut, lalu memamerkan bagaimana mereka bercahaya dalam kege­ lapan kepada teman-teman dan keluarga mereka. Beberapatahun kemudian, para perempuan ini mengalami kelelahan yang luar biasa. Pada akhir tahun 1920an, para perempuan ini menderita

necrosis

(matinya beberapa sel).

Rahang mereka sukar digerakkan, gigi mereka rontok, lidah mereka kaku-kanker mulai merambat dengan subur dalam darah, tulang leher, dan wajah. Dalam laboratorium kedokteran, tubuh perempuan ini bercahaya-karena radioaktif di dalamnya. Leukimia, kanker tulang, lidah, leher, rahang adalah penyakit yang diderita oleh para perempuan ini. Mereka dikenal dengan "Radium G irls" (Perempuan Radium). Pada 1927, lima dari pekerja ini ini menuntut perusahaan. Setahun kemudian, kasus ini diselesaikan dengan kompensasi $10.000 untuk setiap pekerja ditambah dengan $600 pertahun untuk membiayai ongkos kesehatan mereka. Tapi, sebagian besar uang ini tidak jadi dikeluarkan, karena "Radium G irls" sudah terlalu lemah untuk mengambilnya. Jangankan pergi ke pengadilan untuk mengklai m duit tersebut, beberapa dari mereka sudah tidak mampu menggerakkan jari untuk menandatangani pernyataan kemenangan mereka. Para perempuan ini gugur satu persatu. Kebanyakan karena kanker. Begitu terkontaminasinya

tubuh mereka sehingga sampai sekarang pun kuburan mereka masih terdeteksi radiasinya.1 * 1.

244

Claudia Clark. Radium Girls: Women and Industrial Health Reform, 1910-1935. University of North Carolina, 1997.

Operasi

D i Amerika, di kota kecil bernama Hinkley di gurun pasir Mojave, seorang perempuan menemukan hal aneh: kasus kanker yang cukup tinggi pada beberapa tahun tertentu. Erin Pattee, yang kemudian lebih dikenal dengan Erin Brokovich (apalagi setelah film tentang dirinya diputar dan dibintangi oleh Julia Roberts), berhasil menguak penyebab kanker ini:

zat

kimia dari

perusahaan gas dan listrik. Kalau saja Erin tidak usil membaca berkas-berkas tentang pembelian lahan oleh perusahaan raksasa itu di Hinkley. Kalau saja Erin tidak mencurigai adanya kesamaan keluhan di antara orang-orang yang tinggal di sekitar perusahaan itu. Kalau saja Erin tidak ngotot meninggalkan kantornya berhari-hari untuk menjajagi kecurigaannya. Karena keberanian Erin dan teman-temannya, Pacific Gas & Electric Co. berhasil dituntut dan diharuskan membayar ganti rugi kepada setiap orang yang telah terkena dampaknya. Tapi perusahaan besar seringkali dilindungi oleh para politikus karena kemampuan mereka menyediakan lapangan kerja dan juga "sumbangan" kepada politikus. Demi hasil yang kasat mata, yang bisa mengangkat reputasi para politikus, mereka terkadang bersedia mengorbankan hal lain. Dan terkadang. akibatnya tidak kasat mata. Salah satu sepupuku yang sedang melakukan penelitian tentang lingkungan di Yale U niversity memberitahu bahwa pada 1970an ada percobaan nuklir Amerika yang dilakukan di Asia Tenggara (I ni supaya Amerika sendiri tidak terkena dampak­ nya). Data-data seperti ini biasanya tertutup rapat. Ketika kita sakit, seringkali kita tidak tahu apa penyebabnya. Namun, per-

245

Kvb1J11vh Pl SINI

main an politikus dengan perusahaan raksasa telah menyemikan penyakit yang paling serius, yang membuat kita tersiksa. Sering­ kali tan pa kita sadari. Sayang seka/i, aku mungkin juga tidak pernah akan tahu penyebab kamu tumbuh berkali-kali dan sempat menjajah tu­ buhku.

Kamu dan Kamu Bukan ha/yang mudah untuk melupakanmu. Penderitaan yang panjang. Bertahun-tahun lamanya. Bila banyak dari temanku bisa melimpahkan waktu un­ tuk karir, hobi, ke/uarga, aku tidak. Waktuku habis ditelan olehmu. Inilah yang memisahkan aku dari orang-orang itu. Kamar

rumah sakit. Statusku sebagai pasien. Sebagai orang yang perlu dirawat. Tapi Angusjuga begitu menderita, bahkan mungkin lebih menderita daripada aku sendiri. Dan seringkali ia luput dari per­ hatian, karena dia bukan pasien. Ada waktu di mana aku tidak bisa mengerjakan apa pun karena otakku dipenuhi oleh kamu. Begitu dendamnya aku k� padamu. Tapi siapakah kamu? Pertumbuhanmu di dalam tubuhku mungkin hanyalah insting makh/uk yang ingin bertahan dan melanjutkan hidup. Tanpa kesadaran. Tidak lebih. Dengan pengalaman yang begitu menyakitkan, aku selalu ingin mencari siapa yang bisa disalahkan. Pemerintah dengan percobaan nuklir? Perusahaan dengan limbah yang rakus keun­ tungan? 246

KvbVllvh Pl SINI

2 Oktober 201 1

Sudah bermilenia lamanya manusia bermigrasi, seperti burung yang terbang pada pergantian musim atau ikan mengarungi lautan untuk mencari makan. Kita adalah para

Homo erectus. yang berasal dari makhluk bersel satu, yang kemungkinan muncul di Afrika dan telah menyebar ke seluruh penjuru. Sejak 70.000 tahun yang lalu, Homo erectus telah mengelana di benua Asia, Australia, dan Eropa. Dan kebanyakan nenek moyang orang-orang Jawa datang dari Tiongkok Selatan (Yunan). Mereka yang sekarang dianggap pribumi belum tentu penghuni tertua suatu tempat. Terkadang mereka hanyalah migran yang lebih baru, yang telah menggantikan pendatang yang datang sebelumnya di tempat itu. Aku akan menuju rumah baru. Tapi keberangkatan ini tidak lepas dari kamu. Dokter mengharuskan aku untuk check-up setiap enam bu/an sekali, seumur hidupku, karena ketakutan, kamu akan hidup lagi. Kamu yang tumbuh, kamu yang telah terbunuh dan bangkit lagi. Kamu yang menjadi bagian terdekat dariku, dan mungkin juga kuciptakan dan kuhidupkan dalam pikiranku sendiri. Aku harus membahas panjang lebar dengan dokter di Lon­ don apa sajayangharuskupersiapkan. Aku harusmengumpulkan semua arsip-arsip kesehatanku, begitu juga dengan obat-obatan. Birokrasi London yang rumit mengharuskan aku merahasiakan kepergianku dari rumah sakit. Dokterku sendiri menyatakan untuk tidak melaporkan bahwa aku akan berada di luar negeri selama 1,5 tahun. Karena mereka bisa-bisa mendepakku dari

248

Operasi

daftar pasien dan aku harus registrasi ulang dari awal. Aku menyalahkan kamu lagi. Kamu yang ada, tetapijuga tiada. Tapi, ada saat di mana aku menerima keadaan ini dan melupakan kemarahanku seolah inilah yang memang harus kulakukan demi hidup; salah satu kegiatan manusia untuk mempertahankan hidupnya selain makan dan bekerja. I n i adalah negara kelima di mana aku akan tinggal, setelah Indonesia, Selandia Baru, Australia, dan Britania. Jerman, akan mempunyai sistem dan birokrasi sendiri yang harus kupelajari, apalagi dengan bahasa yang sama sekali tak kumengerti. Aku tidak tahu kerumitan apa yang akan menunggu. Izin tinggal sementara diberikan oleh Kedutaan Jerman di

London. Setelah itu kami harus mengurus perpanjangan visa. Petugas di Kedutaan meyakinkan kalau perpanjangan visa akan

mudah. Aku lega. Mungkin setelah ini aku tidak akan menghadapi kerumitan seperti sebelumnya. Ternyata aku keliru. Stuttgart memberi masalah tersendiri segera setelah aku datang. Para penguasa masih tidak ingin kehilangan boneka-bonekanya. Merekamasih ingin melanjutkan kenikmatan menarik ulur benang stromboli-untuk memuaskan ego sebagai pembuat peraturan yang menoemaskan manusia. Sedangkan aku masih tidak tahu apakah kamu akan pernah meninggalkanku beg/tu saja. Apakah kamu telah benar­ benar mati? Apakah kamu akan bangkit lagi? Dalam wujud yang bagaimana dan dengan mus/ihat apa? Aku tak akan pernah tahu. Perja/ananku bersamamu sangatlah menyakitkan, tapi juga berharga. Karena itu memberiku banyak pengetahuan

249

Kvbtw1vh Pl SINI

baru, yang berbeda dari yang lain. Dunia baru yang be/um pernah kualami sebelumnya. Mungkin aku tidak bisa lagi menjadi seperti aku yang dulu, yang berfungsi tanpa menelan berbagai pi/, yang bisa menggerakkan leher dan kaki tanpa kesulitan. Tubuhku penuh jahitan dari berbagai operasi yang kujalani. Tapi aku mempunyai hal-hal yang luar biasa dari segala kesakitan yang kualami. Yang juga menjadikan aku lebih dari sebelumnya. Dan karena semua ini, aku mampu menghidupkan kamu dalam tu/isanku. Latu, kubunuh kamu di sini. London, akhir Maret 2013.

250

Related Documents

028 Yesus Ku Menyembahmu
January 2021 0
Convertible - Jason Ku
January 2021 1
Lp Resiko Bunuh Diri
January 2021 1
Askep Resiko Bunuh Diri
February 2021 0

More Documents from "sidessy26"