Kuesioner

  • Uploaded by: Fitroh ILhami
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kuesioner as PDF for free.

More details

  • Words: 6,103
  • Pages: 36
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pengetahuan merupakan salah satu domain perilaku kesehatan. Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan sendiri bertujuan untuk mendapatkan kepastian serta menghilangkan prasangka akibat ketidakpastian dan lebih memahami. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan antaranya, pendidikan, media masa atau informasi, sosial budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia (Notoatmodjo 2010). Untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, banyak hal yang perlu diperhatikan. Salah satu diantaranya yang pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab gastritis dan perilaku untuk mencegah terjadinya gastritis. Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap obyek yang berkaitan dengan suatu penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan (Zaqyyah 2017). Pengobatan sendiri, atau yang disebut dengan swamedikasi yang merupakan upaya yang paling banyak dilakukan di masyarakat untuk mengatasi gejala penyakit (Depatemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Swamedikasi adalah salah satu cara pengobatan yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Gastritis adalah radang selaput lendir lambung yang dapat disertai tukak lambung, usus 12 jari, atau tanpa tukak. Nyeri lambung berhubungan erat dengan

1

2

asam lambung, bila produksi asam lambung dan pepsin yang bersifat korosif tidak berimbang dengan sistem pertahanan gastroduodenal maka akan terjadi tukak di esofagus, lambung dan atau duodenum (Ganiswama, 1995; Katim, l997). Sedangkan menurut Rona dkk (2010), gastritis adalah peradangan lokal atau menyebar pada mukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Gastritis yang dikenal dengan penyakit maag ini merupakan suatu peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan, misalnya telat makan, makan terlalu banyak, makan cepat dan pedas. Agar terhindar dari penyakit tersebut, maka diperlukan pencegahan yeng tepat dengan menghindari hal-hal yang memicu terjadinya gastritis. Untuk itu seseorang harus mempunyai pengetahuan yang baik bagaimana caranya agar penyakit tersebut bisa dihindari. Pengetahuan setiap individu yang baik akan berdampak pada sikap positif (Zaqyyah, 2017). Di indonesia prevalensi gastritis sebanyak 0,99% dan insiden gastritis sebesar 115/100.000 penduduk. Ketidakseimbangan faktor agresif dan defensif lambunng dapat menyebabkan gastritis. Faktor ini dipengaruhi antara lain oleh pola makan, kebiasaan merokok, konsumsi NSAID dan kopi. Dari hasil penelitian para pakar, di dapatkan jumlah penderita Gastritis antara pria dan wanita, ternyata gastritis lebih banyak pada wanita dan dapat menyerang sejak usia dewasa muda hingga lanjut usia. Di inggris 6-20% menderita Gastritis pada usia 55 tahun dengan prevalensi 22% insiden total untuk segalaumur pada tahun 1988 adalah

3

kasus/1000 pada kelompok umur 45-64 tahun. Insiden sepanjang usia untuk Gastritis adalah 10% (Riyanto, 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari studi pendahuluan ditemukan 431 orang pasien pada tahun 2009 sehingga dapat diambil rata-rata 36 pasien per bulan dengan gastritis yang datang berobat k UMM Medical Center, jumlah pasien terbanyak ada di Bulan Oktober-Desember 2009 yaitu 61 pasien dalam Bulan Oktober, sebanyak 46 pasien di Bulan November, dan 47 pasien di Bulan Desember totalnya 154 pasien. Dari total 154 pasien, sebanyak 21 pasien datang dengan keluhan mual, sehari belum makan, sebanyak 34 pasien dengan keluhan mual, telat makan, muntah disertai nyeri perut. 15 orang dengan keluhan nyeri perut dan perut kembung, tadi pagi habis makan masakan pedas, sebanyak 11 orang dengan keluhan mual, tadi pagi habis minum kopi. Sedangkan 73 pasien lainnya datang dengan keluhan mual muntah nyeri perut saja. Berarti masih cukup banyak jumlah penderita gastritis dengan pola makan yang kurang benar saat ini. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan pola makan dengan timbulnya gastritis (Rona dkk 2010). Pada umumnya, pengobatan gastritis adalah dengan menggunakan antasida. Antasida tidak mengurangi volume asam klorida (HCI) yang dikeluarkan lambung, tetapi peningkatan pH akan menurunkan aktivitas pepsin yang merupakan suatu enzim proteolitik. Beberapa antasida misalnya aluminium hidroksida, diduga menghambat pepsin secara langsung. Kapasitas menetralkan asam dari berbagai antasida pada dosis terapi bervariasi, tetapi mnumnya pH lambung tidak sampai diatas 4, yaitu keadaan yang dapat menunmkan aktivitas pepsin, kecuali bila pemberiannya sering dan tems menems. Mula kerja antasida

4

sangat bergantung pada kelamtan dan kecepatan netralisasi asam, sedangkan kecepatan pengosongan lambung sangat menentukan masa kerjanya (Ganiswama, 1995). Antasida tersedia dalam berbagai macam bentuk sediaan antara lain tablet, tablet kunyah, suspensi, lozenges, effervesen, dan lain-lain. Di lndonesia, hanya populer dalam bentuk sediaan tablet, tablet kunyah dan suspensi yang telah banyak diproduksi dan beredar di Indonesia. Menurut Gabe Mirkin, M.D., sediaan tablet kunyah antasida lebih baik daripada tablet biasa. Menurut penelitian dari University of Oklahoma, mengunyah antasida lebih efektif untuk mengontrol keasaman esofagus daripada menelan langsung tablet antasida. Penelitian ini meliputi, pemberian makanan yang dapat menyebabkan tukak peptik yaitu cabai, keju, bawang merah mentah dan cola pada beberapa orang sebagian subyek kemudian pada subyek yang berbeda diberi antasida berupa tablet kunyah kalsium karbonal, tablet kalsium karbonal, effervescent bikarbonat dan placebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tablet kunyah jauh lebih efektif daripada tablet antasida biasa. Hal ini menunjukkan bahwa tablet kunyah antasida memiliki banyak keunggulan dibandingkan bentuk sediaan lain, walau dikatakan bahwa sediaan dalam bentuk suspensi lebih baik daripada tablet kunyah (Mirkin, 2002). Keuntungan antasida dalam bentuk tablet kunyah adalah apabila tablet antasida dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan, maka penetralan asamnya menjadi lebih baik, karena aktivitas suatu antasida berhubungan dengan ukuran partikelnya (Laclunan, Lieberman, Kanig, 1986). Tablet kunyah menurut Farmakope Indonesia edisi IV adalah tablet yang dimaksudkan untuk dikunyah,

5

memberikan residu dan rasa enak dalam rongga mulut, mudah ditelan dan tidak meninggalkan rasa pahit atau tidak enak. Menumt Voigt tablet kunyah dikatakan sebagai tablet spesial, yang digigit hingga hancur dan ditelan, memiliki rasa aromatis yang menyenangkan, tidak mengandung bahan penghancur dan lebih disukai oleh pasien yang mempunyai kesulitan menelan (Voigt, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh Zaqyyah (2017), dalam jurnal membuktikan bahwa ada hubungannya antara pengetahuan tentang penyebab gastritis dengan perilaku pencegahan gastritis. Hasil penelitian Rona dkk (2010) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan timbulnya gastritis. Berdasarkan uraian diatas penelitian tertarik mengambil penelitian tentang “Tingkat Pengetahuan Pasien Penggunaan Obat Tablet Kunyah Antasida Di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya Pada Periode Februari-April 2019”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka disusun rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimana tingkat pengetahuan pasien penggunaan obat tablet kunyah antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya pada periode Februari-April 2019? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Bagaimana tingkat pengetahuan pasien penggunaan obat tablet kunyah antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya pada periode Februari-April 2019.

6

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti Peneliti dapat menambah ilmu pengetahuan dari hasil penelitian yang telah di lakukan tentang tingkat pengetahuan pasien penggunaan obat tablet kunyah antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya pada periode Februari-April 2019. 1.4.2 Bagi Pendidikan Sebagai referensi untuk perpustakaan dan bahan acuan bagi peneliti berikutnya di masa yang akan datang khususnya tentang tingkat pengetahuan pasien penggunaan obat tablet kunyah antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya pada periode Februari-April 2019. 1.4.3 Bagi Masyarakat Sebagai tambahan ilmu pengetahuan masyarakat terhadap penggunaan obat tablet kunyah antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya pada periode Februari-April 2019.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gastiris Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di klinik penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut (Hirlan, 2009). Gastritis atau lebih dikenal sebagai maag berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronis, difus dan lokal. Ada dua jenis gastritis yang terjadi yaitu gastritis akut dan kronik (Price dan Wilson, 2005). Inflamasi ini mengakibatkan sel darah putih menuju ke dinding lambung sebagai respon terjadinya kelainan pada bagian tersebut. Berdasarkan pemeriksaan endoskopi ditemukan eritema mukosa, sedangkan hasil foto memperlihatkan iregularitas mukosa (Wibowo, 2007). 2.1.1 Klasifikasi Gastiris Klasifikasi gastiris atau yang lebih dikenal sebagai maag terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Gastiris Akut Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superfisial. Pada gastritis

8

ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil mukosa edema, merah dan terjadi erosi kecil dan perdarahan (Price dan Wilson, 2005). Gastritis akut terdiri dari beberapa tipe yaitu gastritis stres akut, gastritis erosif kronis, dan gastritis eosinofilik. Semua tipe gastritis akut mempunyai gejala yang sama. Episode berulang gastritis akut dapat menyebabkan gastritis kronik (Wibowo, 2007). 2. Gastiris Kronik Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang bersifat menahun sering bersifat multifaktor dengan perjalanan klinik bervariasi (Wibowo, 2007). Gastritis kronik ditandai dengan atropi progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan chief cell di lambung, dinding lambung menjadi tipis dan permukaan mukosa menjadi rata. Gastritis kronik diklasifikasikan dengan tiga perbedaan yaitu gastritis superfisial, gastritis atropi dan gastritis hipertropi (Price dan Wilson, 2005). a. Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan, edema, serta perdarahan dan erosi mukosa; b. Gastritis atropi, dimana peradangan terjadi pada seluruh lapisan mukosa. Pada perkembangannya dihubungkan dengan ulkus dan kanker lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan karakteristik dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief; c. Gastritis hipertropi, suatu kondisi dengan terbentuknya nodulnodul pada mukosa lambung yang bersifat irregular, tipis dan hemoragik.

9

2.1.2 Epidemiologi Gastiris Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap delapan negara dunia dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka kejadian gastritis di dunia, dimulai dari negara yang angka kejadian gastritisnya paling tinggi yaitu Amerika dengan persentase mencapai 47% kemudian diikuti oleh India dengan persentase 43%, lalu beberapa negara lainnya seperti Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, Perancis 29,5% dan Indonesia 40,8%. Penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Depertemen Kesehatan RI angka kejadian gastritis di beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6% yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya 31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang 35,3%, Aceh 31,7% dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan yang kurang sehat (Karwati, 2013). Berdasarkan laporan SP2TP tahun 2012 dengan kelengkapan laporan sebesar 50% atau tujuh kabupaten kota yang melaporkan gastritis berada pada urutan kedua dengan jumlah kasus 134.989 jiwa (20,92% kasus) (Piero, 2014). Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan kota Bandarlampung, gastritis merupakan salah satu dari sepuluh besar penyakit terbanyak pada tahun 2013 maupun tahun 2014 (Dinkes kota Bandarlampung, 2014). Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena dinding mukosa lambung semakin menipis akibat usia tua dan pada usia tua lebih mudah untuk terinfeksi Helicobacter pylori atau penyakit autoimun daripada usia muda. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri (Jackson, 2006).

10

Prevalensi gastritis pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria, hal ini berkaitan dengan tingkat stres. Secara teori psikologis juga disebutkan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan perasaan dan emosi sehingga mudah atau rentan untuk mengalami stres psikologis (Gupta, 2008). 2.1.3 Etiologi Gastiris 1. Gastiris Akut Banyak faktor yang menyebabkan gastritis akut, seperti merokok, jenis obat, alkohol, bakteri, virus, jamur, stres akut, radiasi, alergi atau intoksitasi dari bahan makanan dan minuman, garam empedu, iskemia dan trauma langsung (Muttaqin, 2011). Faktor obat-obatan yang menyebabkan gastritis seperti OAINS (Indomestasin, Ibuprofen, dan Asam Salisilat), Sulfonamide, Steroid, Kokain, agen kemoterapi (Mitomisin, 5-fluoro-2-deoxyuridine), Salisilat dan digitalis bersifat mengiritasi mukosa lambung (Sagal, 2006). Hal tersebut menyebabkan peradangan

pada lambung dengan cara

mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Hal tersebut terjadi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan gastritis dan pepticulcer (Jackson, 2006). Faktor-faktor penyebab gastritis lainnya yaitu minuman beralkohol, seperti whisky, vodka dan gin. Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding

11

lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal sehingga, dapat menyebabkan perdarahan (Wibowo, 2007). Penyebab gastritis paling sering yaitu infeksi oleh bakteri H. Pylori, namun dapat pula diakibatkan oleh bakteri lain seperti H. heilmanii, Streptococci, Staphylococci, Protecus species, Clostridium species, E. coli, Tuberculosis dan Secondary syphilis (Anderson, 2007). Gastritis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti Sitomegalovirus. Infeksi jamur seperti Candidiasis, Histoplasmosis dan Phycomycosis juga termasuk penyebab dari gastritis (Feldman,2001). Gatritis dapat terjadi pada kondisi refluks garam empedu (komponen penting alkali untuk aktivasi enzim-enzim gastrointestinal) dari usus kecil ke mukosa lambung sehingga menimbulkan respons peradangan mukosa (Mukherjee, 2009). Terjadinya iskemia, akibat penurunan aliran darah ke lambung, trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan antara agresi dan mekanisme pertahanan untuk menjaga integritas mukosa, yang dapat menimbulkan respons peradangan pada mukosa lambung (Wehbi, 2008). Penyebab gastritis akut menurut Price (2006) adalah stres fisik dan makanan, minuman. Stres fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal nafas, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat dan refluks usus-lambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah termasuk pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan

12

gangguan pada produksi mukus dan fungsi sel epitel lambung (Price dan Wilson, 2005; Wibowo, 2007). Mekanisme terjadinya ulcer atau luka pada lambung akibat stress adalah melalui penurunan produksi mukus pada dinding lambung. Mukus yang diproduksi di dinding lambung merupakan lapisan pelindung dinding lambung dari faktor yang dapat merusak dinding lambung antara lain asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori, OAINS, alkohol dan radikal bebas (Greenberg, 2002). 2. Gastiris Kronik Penyebab pasti dari penyakit gastritis kronik belum diketahui, tetapi ada dua predisposisi penting yang bisa meningkatkan kejadian gastritis kronik, yaitu infeksi dan non infeksi (Muttaqin, 2011). a. Gastiris Infeksi Beberapa

peneliti

menyebutkan

bakteri

Helicobacter

pylori

merupakan penyebab utama dari gastritis kronik (Anderson, 2007). Infeksi Helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Saat ini Infeksi Helicobacter pylori diketahui sebagai penyebab tersering terjadinya gastritis (Wibowo, 2007; Price dan Wilson, 2005). Infeksi lain yang dapat menyebabkan gastritis kronis yaitu Helycobacter heilmannii, Mycobacteriosis, Syphilis,infeksi parasit dan infeksi virus (Wehbi, 2008).

13

b. Gastiris Non Infeksi 1) Autoimmune atrophic gastritis terjadi ketika system kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat yang berada dalam dinding lambung. Hal ini mengakibatkan peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding lambung, menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan mengganggu produksi faktor intrinsik yaitu sebuah zat yang membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-12. Kekurangan vitamin B-12 akhirnya dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah kondisi serius yang jika tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh. Autoimmue atrophic gastritis terjadi terutama pada orang tua (Jackson, 2006). 2) Gastropati akibat kimia, dihubungkan dengan kondisi refluk garam empedu kronis dan kontak dengan OAINS atau Aspirin (Mukherjee, 2009). 3) Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronis yang menyebabkan ureum terlalu banyak beredar pada mukosa lambung dan gastritis sekunder dari terapi obat-obatan (Wehbi, 2008). 4) Gastritis granuloma non-infeksi kronis yang berhubungan dengan berbagai penyakit, meliputi penyakit Crohn, Sarkoidosis, Wegener

granulomatus,

penggunaan

kokain,

Isolated

granulomatous gastritis, penyakit granulomatous kronik pada

14

masa

anak-anak,

granulomatosis

Eosinophilic

dan

vasculitis,

granuloma,

Plasma

cell

Allergic granulomas,

Rheumatoid nodules, Tumor amyloidosis, dan granulomas yang berhubungan dengan kanker lambung (Wibowo,2007). 5) Gastritis limfositik, sering disebut dengan collagenous gastritis dan injuri radiasi pada lambung (Sepulveda, 2004). 2.1.4 Patofisiologi Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Patofisiologi

terjadinya

gastritis

dan tukak

peptic ialah

bila terdapat

ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan faktor pertahanan (defensif) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan atau penurunan kapasitas defensive mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-negatif, OAINS, alkohol dan radikal bebas. Sedangkan system pertahanan atau faktor defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari tiga lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial (Pangestu, 2003). Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen (Kumar, 2005). Lapis pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel (Kumar, 2005). Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran darah dan lekosit.

15

Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat (Pangestu, 2003). Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein, alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya OAINS (indomestasin, ibuprofen, naproksen), sulfonamid, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum secara terpisah (Price dan Wilson, 2005). 2.1.5 Gejala Klinis Manifestasi klinik gastritis terbagi menjadi yaitu gastritis akut dan gastritis kronik (Mansjoer, 2001): 1. Gastiris Akut Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung, muntah, merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam, terdapat riwayat penggunaan obatobatan atau bahan kimia tertentu.

16

2. Gastiris Kronik Bagi sebagian orang gastritis kronis tidak menyebabkan gejala apapun (Jackson, 2006). Hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia, nausea dan pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan. Gastritis

kronis

yang

berkembang

secara

bertahap

biasanya

menimbulkan gejala seperti sakit yang tumpul atau ringan (dull pain) pada perut bagian atas dan terasa penuh atau kehilangan selera setelah makan beberapa gigitan. 2.1.6 Diagnosis Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Keluhan yang sering dihubungkan dengan gastritis yaitu nyeri panas atau pedih pada ulu hati disertai mual dan muntah. Keluhan tersebut tidak bisa digunakan sebagai indikator dalam evaluasi keberhasilan terapi dari gastritis. Pemeriksaan fisik juga tidak memberikan informasi yang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis gastritis (Hirlan, 2009). Diagnosis ditegakan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan secara sistematis yang mengharuskan menampilkan topografi. Gambaran endoskopi yang ditemukan adalah eritema, eksudatif, flat erosison, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi, sering juga menggambarkan proses yang mendasari misalnya autoimun, atau respon adaptif mukosa lambung. Perubahan yang terjadi yaitu degradasi epitel, hiperplasia foveolar, infiltrasi netrofil, inflamasi sel mononuklear, folikel limfoid, atropi, intestinal metaplasia,

17

hiperplasia sel endokrin, dan kerusakan sel epitel. Pemeriksaan histopatologi juga menyertakan pemeriksaan Helicobacter pylori (Hirlan, 2009). 2.1.7 Komplikasi Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastristis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas berupa hematemesis dan melena. Komplikasi ini dapat berakhir syok hemoragik. Gastritis kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia (Mansjoer, 2001). 2.2 Antasida Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menetralkan asam lambung atau mengikatnya (Depkes RI, 2008). Semua obat antasida mempunyai fungsi untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, tukak lambung, gastritis, tukak usus dua belas jari dengan gejala seperti mual, muntah, nyeri lambung, nyeri ulu hati dan perasaan penuh pada lambung (Depkes RI, 2006). Kebanyakan kerja antasida bersifat lokal karena hanya sebagian kecil dari zat aktifnya yang diabsorbsi. Antasida merupakan asam lemah maka jika berikatan dengan asam yang ada di lambung menyebabkan keasaman lambung berkurang (Priyanto, 2008). Penggunaan antasida bersama-sama dengan obat lain sebaiknya dihindari karena mungkin dapat menggangu absorbsi lain. Selain itu antasida mungkin dapat merusak salut enteric yang dirancang untuk mencegah pelarutan obat dalam lambung (Depkes RI, 2009).

18

Antasida yang mengandung magnesium tidak boleh digunakan pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit karena eksresi magnesium dapat menyebabkan toksisitas. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan fungsi renal normal dengan intake kalsium karbonat lebih dari 20 gram/hari dan pasien gagal ginjal dengan intake lebih dari 4 gram/hari (Depkes RI, 2008). Antasida paling baik diberikan saat muncul atau diperkirakan akan muncul gejala, lazimnya diantara waktu makan dan sebelum tidur, 4 kali sehari atau lebih (Depkes RI, 2008). 2.2.1 Klasifikasi Obat Antasida Sediaan antasida dapat digolongkan menjadi : 1. Antasida dengan kandungan Alumunium dan atau Magnesium Antasida yang mengandung alumunium atau magnesium yang relatif tidak larut dalam air seperti magnesium karbonat, hidroksida, dan trisilikat serta alumunium glisinat dan hidroksida, bekerja lama bila berada dalam lambung sehingga sebagian besar tujuan pemberian antasida tercapai (Depkes RI, 2008). Sediaan yang mengandung magnesium mungkin dapat menyebabkan diare, sedangkan sediaan yang mengandung alumunium mungkin dapat menyebabkan konstipasi (Depkes RI, 2009). Antasida yang mengandung magnesium dan alumunium daoat mengurangi efek samping pada usus besar ini (Depkes RI, 2008).

19

a. Alumunium Hidroksida Zat koloidal ini sebagian terdiri dari alumunium hidroksida dan sebagian lagi sebagai alumunium oksida terikat pada molekul air. Zat ini berkhasiat adstringens yaitu menciutkan selaput lender berdasarkan sifat ion alumunium yang membentuk kompleks dengan protein. Juga dapat menutupi tukak lambung dengan suatu lapisan pelindung (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis yang digunakan adalah 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau diperlukan dan sediaan suspense 1-2 sachet (7-14 mL), 3-4 kali sehari, anak dibawah 8 tahun ½-1 sachet, 3-4 kali sehari. Contoh obat yang mengandung alumunium hidroksida antara lain: Tomaag, Magtral, Corsamaag, Aludonna, Actal, Waisan, Polysilane (Depkes RI, 2011). b. Magnesium Hidroksida Magnesium hidroksida memiliki daya netralisasi kuat, cepat dan banyak digunakan dalam sediaan terhadap gangguan lambung bersama alumunium hidroksida, karbonat, dimetikon, dan alginat (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis yang digunakan 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan dan sediaan suspensi 5 mL, 3-4 kali sehari. Contoh obatnya: Promag, Ticomag, Tomaag, Farmacro, Mylacid (Depkes RI, 2011). c. Kombinasi Mg(OH)2, CaCO2, Famotidin Dalam dosis yang sama (1 g), MgO lebih efektif untuk mengikat asam daripada natrium bokarbonat, tetapi memiliki sifat pencahar

20

sebagai efek sampingnya (lenih ringan dari Mg sulfat). Untuk mengatasi hal ini, maka zat ini diberikan dalam kombinasi dengan alumunium hidroksida atau kalsium karbonat (perbandingan Mg(OH)2, CaCO2 = 1:5) yang memiliki sifat sembelit. Magnesium oksida tidak diserap usus sehingga tidak menyebabkan alkalosis (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis dewasa dan anak diatas 12 tahun yaitu sehari 2 x 1 tablet kunyah, diminum jika timbul gejala atau 1 jam sebelum makan. Maksimum 2 tablet/hari (2 tablet 24 jam). Sebaiknya tidak diminum bersamaan makanan. Tablet dikunyah sebelum ditelan. Untuk anak dibawah 12 tahun digunakan sesuai dengan petunjuk dokter. Contoh obatnya: Neosanmag fast dan Promag double action (Depkes RI, 2008). d. Kompleks Magnesium Hidrotalsit Hidrotalsit adalah magnesium alumunium hidroksikarbonat dengan daya netralisasi tetapi agak lemah. pH tidak meningkat diatas lima. Zat ini juga bekerja sebagai antipepsin yang dapat mengikat dan menginaktivasi empedu yang mengalir naik ke dalam lambung akibat refluks. Setelah kembali di suasana basa dari usus, garamgaram empedu dibebaskan lagi. Dosis untuk dewasa 3-4 kali sehari, 1-2 tablet. Dosis untuk anak-anak 6-12 tahun yaitu 3-4 kali sehari, ½-1 tablet. Dianjurkan untuk minum obat ini segera pada saat timbul gejala dan dilanjutkan 1-2 jam sebelum makan atau sesudah makan dan sebelum tidur malam. Dapat diminum dengan air atau dikunyah

21

langsung (Depkes RI, 2008). Contoh obatnya: Promag, Talcit, Ultacit (Tjay dan Rahardja, 2007). e. Magnesium Karbonat Dosis yang digunakan 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebeluum tidur atau saat diperlukan dengan dosis suspense 5 mL, 3-4 kali sehari. Contoh obat yang beredar antara lain: Alumunium hidroksida dan Magnesium trisilikat, Antasida DOEN, Decamag, Hufamag, Magasida, Mylanta, Promag, Stopmag, Waisan (Depkes RI, 2008). f. Magnesium Trisiklat Magnesium trisilikat bekerja lebih lambat dan lebih lama daripada natrium bikarbonat. Daya netralisasinya cukup baik, juga berkhasiat adsorben (menyerap zat-zat lain pada permukaanya). Obat ini bereaksi dengan asam lambung dan membentuk selesium hidroksida yang menutupi tukak lambung dengan suatu lapisan pelindung yang berbentuk gel. Efek samping pada penggunaan jangka panjang zat ini adalah pembentukan batu ginjal (batu silikat) (Tjay dan Rahardja, 2007). 2. Antasida Dengan Kandungan Asam Karbonat Natrium bikarbonat merupakan antasida yang larut dalam air dan bekerja cepat. Namun dalam dosis berlebih dapat menyebabkan alkolisis. Seperti antasida lainnya yang mengandung karbonat, terlepasnya karbon dioksida dapat menyebabkan bersendawa (Depkes

22

RI, 2008). Natrium bikarbonat merupakan antasida sistemik yang sekarang sudah sangata jarang digunakan. Penggunaan obat ini sebaiknya dihindari pada pasien yang menjalani diet garam (Depkes RI, 2009). Kelebihan natrium menyebabkan retensi cairan yang berakibat udem dan tekanan darah naik (Priyanto, 2008). 3. Antasida Dengan Kandungan Bismuth dan Kalsium Antasida yang mengandung bismuth (kecuali kelat) sebaiknya dihindari karena bismuth yang terabsorbsi bersifat neurotoksik dan cenderung menyebabkan konstipasi. Antasida yang mengandung kalsium dapat menginduksi sekresi asam lambung. Pada dosis rendah manfaat klinisnya diragukan, sedangkan penggunaan dosis berat jangka panjang dapat menyebabkan hiperkalsemia, dan alkalosis (Depkes RI, 2008). 4. Antasida dengan kandungan Simetokin Senyawa antasida lain seringkali ditemukan dalam sediaan tunggal maupun kombinasi. Simetikon diberikan sendiri atau ditambahkan pada antasida sebagai antibuih untuk meringankan kembung (flatulen) (Depkes RI, 2009). Pada perawatan paliatif dapat mengatasi cegukan (Depkes RI, 2008). 2.2.2 Penggunaan Obat Antasida Dalam pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas, cara penggunaan obat dibagi beberapa cara yaitu : 1.

Penggunaan obat tidak untuk pemakaian tidak secara terus menerus.

23

2.

Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.

3.

Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan penggunaan dan tanyakan kepada apoteker di apotek dan dokter.

4.

Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.

5.

Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap, tanyakan kepada apoteker di apotek. (Depkes RI, 2008)

2.2.3

Indikasi Obat Antasida Mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan lambung, gastritis,

tukak lambung, tukak usus dua belas jari, dengan gejala-gejala seperti mual, nyeri lambung, nyeri ulu hati, meredakan kelebihan das di saluran pencernaan dan perasaan penuh pada lambung. (ISO volume 50, 2016). 2.2.4

Kontraindikasi Obat Antasida Jangan diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal yang berat, karena

dapat menimbulkan hipermagnesia (kadar magnesium dalam darah meningkat), penderita ketidakseimbangan elektrolit atau ion tubuh, penderita radang usus buntu, penderita gangguan jantung dan pasien pasca operasi perut (ISO volume 50, 2016).

24

2.2.5 Efek Samping Obat Antasida Efek samping yang umum adalah tekanan darah rendah, penekanan proses bernapas, kram perut, sembelit, diare, mual, muntah, gangguan keseimbangan elektrolit atau ion tubuh dan rasa lemas otot (ISO volume 50, 2016). 2.2.6 Dosis Obat Antasida 1. Dewasa

: 3-4 X 1-2 tablet

2. Anak - anak

: 3-4 X ½ tablet

Diminum/dikunyah 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan menjelang tidur (ISO volume 50, 2016). 2.2.7

Interaksi Obat Antasida Apabila antasida diberikan bersama obat yang asam seperti digaxin,

fenitoin, dan chlorpromazine, antasida akan menyebabkan penurunan absorbsi obat – obat tersebut sehingga menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan menurunkan efek kerja obat (ISO volume 50, 2016). 2.2.8 Mekanisme Obat Antasida 1.

Antasida secara langsung akan menetralisir keasaman, peningkatan pH, atau secara reversibel, mengurangi atau menghalangi sekresi asam lambung oleh sel untuk mengurangi keasaman di perut

2.

Rasa pedih ketika asam klorida lambung mencapai saraf mukosa saluran cerna (ISO volume 50, 2016).

2.3 Pengetahuan Pengetahuan

merupakan

salah

satu

domain

perilaku

kesehatan.

Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orangmelakukan

25

penghindaraan terhadap objek tertentu. Pengetahuan (kognitif) merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dn penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgen daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Wawan dan Dewi 2010). Beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku baru. Pertama adalah kesadaran, dimana orang tersebut menyadari akan menimbngnimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation). Setelah itu, dia akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus. Pada tahap akhir adalah adaptasi, berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya (Notoatmodjo 2010). 2.3.1 Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmojo (2009) pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda – beda. Secara garis besar tingkat pengetahuan dibagi menjadi 6 yaitu: 1. Tahu (know) Diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa

orang yang tahu sesuatu dapat menggunakan

pertanyaan – pertanyaan.

26

2. Memahami (Comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara benar tentan objek yang diketahui tersebut. 3. Aplikasi (Application) Aplikasi ini diartikan apabila orang yang memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui pada situasi yang baik. 4. Analisa (Analisys) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen - komponen yang terdapat pada suatu masalah atau objek yang diketahui. 5. Sintesis (Synthesis) Analisis ini menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk meletakkan satu hubungan yang logis dari komponen – komponen pengetahuan yang dimiliki. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penelitian terhadap suatu objek tertentu (Notoatmojo, 2010). 2.3.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Ada

beberapa

faktor

(Notoatmojo, 2008) yaitu:

yang

mempengaruhi

pengetahuan

seseorang

27

1. Pendidikan Adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan yang ada di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmojo, 2006). 2. Media Masa / Sumber Informasi Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media masa seperti radio, televisi, internet, majalah, surat kabar dan lan – lain yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang (Notoatmojo, 2006). 3. Sosial Budaya Dan Ekonomi Kebiasaan atau tradisi yang dilakukan oleh orang – orang tanpa melalui penalaran apa yang dilakukan baik maupun buruk (Notoatmojo, 2006). 4. Lingkungan Adalah segala suatu yang ada di sekitar individu maupun lingkungan fisik, biologis maupun sosial (Notoatmojo, 2006). 5. Pengalaman Sebagai sumber pengetahuan ini adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran dalam pengetahuan dengan cara mengulang kembali, pengetahuan yang memperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu (Notoatmojo, 2006). 2.3.3 Pengukuran Tingkat Pengetahuan Pengukuran ini dapat dilakukan dengan cara wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi yang diukur dari subjek penelitian atau responden.dalam

28

mengukur pengetahuan harus memperhatikan rumus kalimat pertanyaan menurut tahap pengetahuan (Agus, 2013). Skala ini menggunakan data kuantitatif yeng berbentuk angka – angka yang menggunakan alternatif jawaban serta menggunakan peningkatan yaitu kolom menunjukkan letak ini maka sebagai konsekuensinya setiap centangan pada kolom jawaban menunjukkan nilai tertentu. Dengan demikian analisa data ini dilakukan dan dicermati banyaknya centangan dalam setiap kolom yang berbeda nilainya lalu mengalihkan frekuensi pada masing – masing kolom yang bersangkutan. Disini penelitian hanya menggunakan 2 pilihan yaitu:” Benar (B) dan Salah (S).” Prosedur skala atau (scaling yaitu penentu pemberian angka atau skor yang harus diberikan pada setiap kategori respon perskalaan. Skor yang sering digunakan untuk mempermudah dalam mangategorikan janjang atau peringkat dalam penelitian biasanya dituliskan dalam presentase. Misalnya pengetahuan baik = 76 – 100%; cukup = 56 – 75% ; dan kurang < 56% (Nursalam, 2010). Menurut Skinner (2007) didalam buku Agus (2013) pengukuran tingkat pengetahuan ini dilakukan bisa seseorang mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara lisan maupun tulis, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut dinamankan pengetahuan.

29

2.4 Apotek Menurut Keputusan Menkes RI No.1332/Menkes/SK/X/2003 Apotek merupakan suatu tempat tertentu untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Definisi apotek menurut PP 51 Tahun 2009 apotek merupakan suatu tempat atau terminal distribusi obat pembekalan farmasi yang dikelola oleh apoteker sesuai standar dan etika kefarmasian. 2.4.1 Tugas dan Fungsi Apotek Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2010 tugas dan funsgi apotek adalah: 1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker 2. Sarana farmasi yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian 3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusi sediaan farmasi, antara lain bahan baku, obat, obat tradisional dan kosmetika. 4. Sarana pembuatan dan pengadilan mutu sediaan farmasi, pengadaan, pengamanan, penyimpanan, pendistribusikan atau penyaluran obat, pengelolahan obat, serta pengembangan obat, bahan baku dan obat tradisional.

30

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konsep Pasien datang di Apotek yang membeli obat Antasida Tingkat Pengetahuan Kuisioner

Pengetahuan Obat antasida

Cara pemakaian

Aturan Pakai

Indikasi

Pengumpulan Data Instrumen Tingkat Pengetahuan Pengolahan Data Metode Analisis Analisa data Hasil Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

Cara Penyimpanan

31

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian Desain penelitian adalah strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Notoatmojo, 2008). Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat (Notoatmojo, 2008). 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian yang dilakukan di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya pada periode bulan Februari – April 2019. 4.3 Variabel Penelitian Objek dalam penelitian ini terdiri dari dua varibel, yaitu variabel bebas (independent variabel) dan satu variabel terikat (dependent variabel). Adapun yang menjadi variabel bebas adalah Penggunaan Obat Tablet Kunyah Antasida sedangkan variabel terikat dari penelitian ini adalah Tingkat Pengetahuan Pasien. Indikator yang digunakan meliputi pengetahuan umum tentang obat antasida, cara penggunaan, waktu dan lama penggunaan obat antasida, cara penyimpanan obat antasida, cara memperoleh obat antasida dan efek samping dari penggunaan obat antasida.

32

4.4 Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi ini berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang diamati (diukur)

merupakan

kunci

definisi

operasional,

dapat

diamati

artinya

kemungkinan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang dapat diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam, 2008). Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Skala

Kategori dan Kriteria

Pembeli Obat Antasida

Pengetahuan Masyarakat Penggunaan Obat Antasida

Usia

Kuesioner

Interval

1. 15 - 20 tahun 2. 21 - 30 tahun 3. 31 - 50 tahun

Pendidikan

Ordinal

Masyarakat mengerti dan memahami tentang penggunaan antasida meliputi : 1.Pengertian obat antasida 2.Aturan pakai obat antasida 3.Cara pakai / cara minum obat antasida 4.Efek samping obat antasida 5.Golongan obat dan penyimpanan obat antasida

Ordinal

1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Perguruan Tinggi = Kurang : 1 (Jika nilai < 56 %)

Tabel 4.1 Definisi Operasional Peneliti

- Cukup : 2 (Jika nilai 56 75 %) - Baik : 3 (Jika nilai 76 100 %)

33

4.5 Populasi, Sampel, dan Tehnik Sampling 4.5.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek atau objek penelitian yang akan diteliti (Notoatmojo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang membeli obat antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya pada Bulan Februari-April 2019. 4.5.2 Sampel Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2005). Sebagai sampel dalam penelitian ini adalah pengunjung pembelian obat antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya yang memenuhi kriteria penelitian yaitu: 1. Kriteria Inklusi Merupakan kriteris dimns subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Pada penelitian ini kriteria inklusi sebagai berikut: a. Pembeli yang membeli obat antasida di Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya b. Dapat diajak kerjasama secara komunikatif c. Tidak mengalami gangguan jiwa ataupun pola pikir d. Bersedia menjadi responden e. Berusia sekitar 15 – 50 tahun

34

2. Kriteria Ekslusi Merupakan kriteria dimana subjek peneliti tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian a. Peserta yang tidak komunikatif b. Peserta yang mengalami gangguan jiwa c. Peserta yang tidak bersedia menjadi responden 4.5.3 Teknik Sampling Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah tehnik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri serta sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Tehnik ini sangat cocok untuk mengadakan studi kasus, dimana banyak aspek dari kasus tunggal yang representative untuk diamati dan dianalisis (Notoadmojo, 2010). 4.6 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat - alat yang akan digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen penelitian ini dapat berupa kuesioner, formulir observarsi, formulir - formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). 4.7 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dalam pembuatan proposal ini adalah yang pertama, peneliti meminta surat pengantar perihal penelitian ke institusi pendidikan. Selanjutnya meminta ijin kepada pemilik Apotek Rumah Sakit Islam Surabaya

35

untuk melakukan penelitian dengan cara membagikan kuesioner kepada responden, kemudian dilakukan penyusunan data hasil penelitian. 4.8 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data 4.8.1 Pengolahan Data Pengolahan data suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara - cara atau rumus tertentu (Notoatmodjo, 2010). Pengolahan data menurut (Notoatmodjo, 2010) adalah : 1. Editing (Penyunting) Editing adalah memeriksa kembali data yang telah terkumpul

untuk

mengecek kelengkapan dan kebenaran data jika ada kekeliruan akan diperbaiki. 2. Coding (Pengkodean) Pemberian atau pembuatan kode - kode dan tiap - tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka - angka atau huruf - huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang akan dianalisis. 3. Entry (Memasukkan data) Entry data dilakukan dengan memasukkan data pada jawaban yang telah terkumpul sesuai dengan kategori yang telah ditentukan. 4.8.2 Analisis Data Metode yang digunakan penelitian ini adalah metode data yang di analisis secara observasi purposive sampling.

36

No. 1.

2.

3. 4. No. 1.

2.

3. 4. 5.

6. 7. 8. 9. 10.

11. 12.

Keterangan

Sangat Tidak Setuju Setuju Setuju

Sangat Tidak Setuju

Saya mengetahui penggunaan obat tablet kunyah antasida untuk mengobati gastiris. Saya mengetahui nama obat tablet kunyah yang saya gunakan untuk mengobati gastiris. Saya mengetahui dosis penggunaan obat tablet kunyah antasida. Saya mengetahui waktu yang tepat Keterangan Saya mengetahui penggunaan obat tablet kunyah antasida untuk mengobati gastiris. Saya mengetahui nama obat tablet kunyah yang saya gunakan untuk mengobati gastiris. Saya mengetahui dosis penggunaan obat tablet kunyah antasida. Saya mengetahui waktu yang tepat dalam penggunaan obat tablet kunyah antasida. Saya mengetahui cara penggunaan obat tablet kunyah antasida digunakan dengan cara dikunyah terlebih dahulu. Saya mengetahui cara kerja obat tablet kunyah antasida. Saya mengetahui indikasi obat tablet kunyah antasida. Saya mengetahui kontraindikasi obat tablet kunyah antasida. Saya mengetahui efek samping penggunaan obat tablet kunyah antasida. Saya mengetahui obat tablet kunyah antasida tidak boleh digunakan Bersama dengan obat digoxin, fenitoin dan chlorpromazine. Saya mengetahui cara penyimpanan obat tablet kunyah antasida.

Sangat Tidak Setuju Setuju Setuju

Sangat Tidak Setuju

Related Documents

Kuesioner
January 2021 1
Kuesioner
January 2021 3
Kuesioner Phbs
January 2021 1
Kuesioner Komunitas
February 2021 1
Kuesioner Covid
January 2021 1

More Documents from "Therisya Karmila"

Kuesioner
January 2021 1
Uji Keamanan Kosmetik
January 2021 0
Larutan Buffer
February 2021 1