Kusta

  • Uploaded by: wida pratiwi
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kusta as PDF for free.

More details

  • Words: 6,949
  • Pages: 46
Loading documents preview...
PROPOSAL PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA Di RT 1 RW 3 DESA BETON KECAMATAN SIMAN PONOROGO

Oleh : IMRON AGUS SUYADI NIM _______________

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN 2018

1

2

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit kusta (Morbus Hansen) merupakan penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium Leprae (M.Lepra) yang menyerang hampir semua organ tubuh terutama saraf tepi dan kulit serta organ tubuh lainnya seperti : mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistim retikulo endotelia, mata, otot dan tulang kecuali susunan saraf pusat (Harahap,2000). Seseorang yang terinfeksi kusta dapat menyebabkan kecacatan pada systim saraf motorik, otonom, atau sensorik. (Khafiludin,2010) Kecacatan yang berlanjut dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak baik akan menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi yang normal serta kehilangan status sosial secara progresif,terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya (Munir,2001). Sedangkan secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan. Kecacatannya yanag di alami penderita kusta juga memberikan gambaran yang menakutkan menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan (DepKes RI,2005). Melihat sejarah penyakit kusta merupakan penyakit yang di takuti masyarakat dan keluarga. Disamping itu masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pengertian juga

3

kepercayaan yang kliru terhadap penyakit kusta. Sebenarnya stigma ini timbul karena adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta yang keliru. Di Indonesia penemuan penderita baru kusta antara tahun 2007 hingga tahun 2010 mengalami penurunan. Namun di tahun 2011 terjadi peningkatan penemuan penderita baru menjadi 20.023 kasus (rate : 8,3/100.000 penduduk). Pada tahun 2011 ada beberapa Propinsi di Indonesia yang termasuk indemik kusta tinggi. Indikator angka penemuan penderita baru/Case Detecion Rasio (CDR) lebih dari 10 per 100.000 penduduk, Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua Barat, Maluku Utara, Gorontalo (Buku Profil pengendalian penyakit dan penyehatan Lingkungan,2012). Di Kabupaten Ponorogo, penderita kusta yang ditemukan dan diobati tahun 2016 sebanyak 52 orang dengan angka prevalensi 0,62 per 10 000 penduduk terdiri dari tipe Pausi Baciler (PB) sebanyak 8 orang dan tipe Multi Baciler (MB) sebanyak 44 orang. Penderita selesai pengobatan (RFT) MB ada 47 orang (98%) dan RFT PB ada 3 orang (100%). Penderita dengan cacat tingkat 2 ada 2 orang (4%) dan penderita anak 2 orang (4%) angka cacat tingkat 2 ini cenderung menurun jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai 21% (Profil Kesehatan Kab Ponorogo,2017). Prevalensi penyakit kusta di wilayah kerja UPT Puskesmas Siman 20132017 mengalami penurunan dari 4 kasus penderita kusta (MB) menurun pada tahun 2017 sejumlah 1 kasus dan tidak didapatkan penderita kusta tipe PB.

4

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi masyarakat tentang penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Siman .

1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui persepsi masyarakat tentang penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Siman .

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Menambah pengetahuan peneliti tentang bagaimana persepsi masyarakat tentang penyakit kusta 1.4.2 Praktis 1.4.2.1 Bagi Iptek Dapat meningkatkan usaha keperawatan pada keperawatan komunitas, serta sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam mengembangkan atau meningkatkan asuhan keperawatan kusta pada tatanan individu, keluarga dan masyarakat 1.4.2.2 Bagi Masyarakat Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan informasi bagi masyarakat dengan harapan masyarakat mempunyai pandangan yang tepat mengenai penyakit kusta.

5

1.5 Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan : Penelitian tentang Persepsi Penyakit Kusta ini belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya.

6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cara Penilaian Persepsi 2.1.1 Definisi Persepsi Dalam Pengantar Psikologi Umum, Bimo Walgito (2004), persepsi adalah individu mengamati dunia luarnya dengan menggunakan alat indranya atau proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui reseptornya. Menurut Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi (2004) “persepsi adalah suatu pengalaman tentang objek peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan. 2.1.2 Jenis-Jenis Persepsi Menurut Irwanto, setelah individu melakukan interaksi dengan obyek-obyek yang di persepsikan maka hasil persepsi dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Persepsi positif. Persepsi yang menggambarkan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya) dan tanggapan yang di teruskan dengan upaya pemanfaatannya. Hal itu akan di teruskan dengan keaktifan atau menerima dan mendukung terhadap obyek yang di persepsikan. b. Persepsi negatif. Persepsi yang menggambarkan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya) dan tanggapan yang tidak selaras dengan obyek yang di persepsi. Hal itu akan di teruskan dengan kepasifan atau menolak dan menentang terhadap obyek yang di persepsikan.

7

2.1.3 Prinsip – Prinsip Persepsi Organisasi

dalam

persepsi,

mengikuti

beberapa

prinsip.

Hal

ini

dikemukakan oleh Ahmad Fauzi, sebagai berikut: a. Wujud dan latar Objek-objek yang kita amati disekitar kita selalu muncul sebagai wujud sedangkan hal-hal lainnya sebagai latar. b. Pola pengelompokan Hal-hal tertentu cenderung kita kelompok-kelompokkan dalam persepsi kita, bagaimana cara kita mengelompokkan dapat menentukan bagaimana kita mengamati hal tersebut 2.1.4 Proses Persepsi Menurut Bimo Walgito dalam bukunya “Pengantar Psikologi Umum” mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya persepsi, yaitu: a. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indra atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu. b. Alat indra, syaraf, dan pusat susunan syaraf Alat indra atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor kepusat susunan syaraf, yaitu sebagai pusat kesadaran, sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

8

c. Perhatian Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekelompok objek. 2.1.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Udai Percek, persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Faktor ekstern 1. Intensitas: pada umunya, rangsangan yang intensif mendapat lebih banyak tanggapan daripada rangsangan yang kurang intensif. 2. Ukuran : pada umumnya benda-benda yang lebih besar yang menarik perhatian, barang yang kontras cepat dilihat. 3. Kontras: biasanya kita lihat akan cepatnya menarik hati. 4. Ulangan: biasanya hal-hal yang berulang-ulang, menarik perhatian. 5. Keakraban: yang dikenal lebih menarik perhatian. 6. Sesuatu yang baru, hal-hal yang baru menarik perhatian. b. Faktor Intern 1.

Latar belakang: latar belakang yang mempengaruhi hal-hal yang dipilih dalam persepsi.

2. Pengalaman: pengalaman mempersiapkan seseorang untuk mencari orang, hal-hal dan gejala yang serupa pengalamannya. 3. Kepribadian: kepribadian mempengaruhi juga kepada persepsi seseorang.

9

4. Penerimaan diri: penerimaan diri merupakan sifat penting yang mempengaruhi persepsi

2.2 Konsep Penyakit Kusta 2.2.1 Definisi Kusta Penyakit Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.Leprae) yang pertama menyerang syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan syaraf pusat (Daili E.S.S, dkk, 2007: 12). Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan mukosa traktus respirotarius bagian atas kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Daili E.S.S, dkk, 2007: 73). 2.2.2 Etiologi Kusta M.lepraeatau kuman hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH Armeur Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 µ, lebar 0,20,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadillo (Daili E.S.S, dkk, 2007:12). 2.2.3 Masa Tunas

10

Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2-5 tahun (Widoyono,2008).

2.2.4 Patofisiologi Meskipun cara masuk M.Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa peneitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.

Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada factor

imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis. M. Leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel mikrofag disekitar pembuluh darah suerfisial pada dermis atau sel schwann di jaringan syaraf. Bila kurang M. Leprae masuk ke dalam tubuh maka akan bereaksi mengeluarkan mikrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuclear, histiosit untuk memfagositnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae, disamping itu Sel Schwann berfungsi sebagai demielinasi hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis.

Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam Sel

Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivitasi.Akibat aktivitas regenerasi syaraf berkurang dan terjadi kerusakan syaraf yang progresif (Daili E.S.S, dkk, 2007).

11

2.2.5

Tanda-tanda Kusta

2.2.5.1 Tanda-tanda utama atau Cardinal sign, yaitu : a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan

kulit/lesi

dapat

berbentuk

bercak

keputih-putihan

(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi). b. Penebalan syaraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi syaraf Gangguan fungsi syaraf ini merupakan akibat dari perladangan kronis syaraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi syaraf ini biasa berupa : 1) Gangguan fungsi sensoris : mati rasa 2) Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parase) atau kelumpuhan (Paralise). 3) Gangguan fungi otonom : kulit kering dan retak-retak. c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif) Seseorang yang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama diatas.Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis.Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.

Apabila hanya

ditemukan cardinal sign kedua perlu ditujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspek) (Depkes RI Ditjen PP dan PL,2007).

12

2.2.5.2 Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) a. Tanda-tanda pada kulit : 1) Bercak/kelainan kulit yang merah atau dibagian tubuh 2) Kulit mengkilap 3) Bercak yang tidak gatal 4) Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut 5) Lepuh tidak nyeri b. Tanda-tanda pada syaraf 1) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka 2) Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka 3) Adanya cacat (deformitas) 4) Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta.Jangan digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. (Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007). Jika diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang dapat dilakukan adalah : a. Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, penyakit infeksi kulit (frambusia ) ). b. Jika tidak ditemukan adanya mati rasa yang jelas maupun penebalan syaraf namun ada tanda-tanda mencurigakan seperti nodul,pembengkakan pada wajah atau cuping telinga atau infiltrasi pada kulit, perlu dilakukan pemeriksaan apusan kulit (skin smear). Pengambilan asupan harus dilakukan oleh petugas terlatih.

Pewarnaan dan pemeriksaan dapat dilakukan di

13

puskesmas yang memiliki tenaga serta fasilitas untuk pemeriksaan BTA (PRM). c. Bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana pemeriksaan asupan kulit, tunggu 3-6 bulan dan pemeriksaan kembali adanya cardinal sign. Jika ada cardinal sign berikan MDT. Bila masih meragukan suspek perlu dirujuk (Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007).

2.2.6 Klasifikasi Kusta Menurut Ridley dan Joopling mengelompokkan kusta menjadi 5 yaitu : 1. Tipe Tuberloloid-tuberloid (TT) Lesi mengenai kulit maupun syaraf.

Jumlah lesi bias satu atau beberapa,

berupa macula, dengan batas jejas dan bagian tengah ditemukan regresi atau penyembuhan di tengah. Gejala dapat disertai penebalan syaraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit gatal. 2. Tipe Bordeline Tuberkoloid (BT) Lesi berupa macula anestei atau plak, jumlah lesi satu atau beberapa terletak dekat syaraf perifer yang menebal, hipopigmentasi, kekeringan pada kulit, gangguan syaraf tidak asimetris. 3. Tipe Bordeline-Bordeline (BB) Merupakan tipe yang tidak stabil, lesi berupa macula infiltrar, lesi melingkar, didapatkan lesi punched out yaitu

hipopigmentasi yang oval pada bagian

tengah, batas jelas pada lesi merupakan ciri khas tipe ini.

14

4. Tipe Bordeline Lepramatous (BL) Lesi bentuk macula dengan bentuk yang bervariasi.Mulai terdapat tanda-tanda kerusakan syaraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan gugurnya rambut.Penebalan syaraf yang dapat teraba pada tempat predileksi di kulit. 5. Tipe Lepramatous-Lepramatous (LL) Stadium ini didapatkan jumlah lesi yang banyak, simetris, permukaan halus dan mengkilap.Distribusi lesi yang khas mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, pada tubuh terkena bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.Stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, terdapat facies leonine disertai madorisis, iritis, keratitis.Juga dapat terjadi deformitas hidung, pembesaran kelenjar limfe, orkitis, atrofi testis (Daili E.S.S, dkk, 2003).

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta maka tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. 1. Dasar Klasifikasi Penyakit kusta dapat dikasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu: a) Manifestasi klinis, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah syaraf yang terganggu. b) Hasil pemeriksaan

bakteriologis, yaitu skin smear basil tahan asam

(BTA) positif atau negative. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan bila diagnosis meragukan (Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007).

15

2. Tujuan Klasifikasi/tipe penyakit kusta penting untuk menentukan : a) Jenis dan lamanya pengobatan penyakit. b) Waktu penderita dinyatakan RFT. c) Perencanaan logistic. 3. Jenis klasifikai Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam dua tipe yaitu, tipe Paucibacillary (PB), dan tipe Multibacillary (MB), yang termasuk didalamnya yaitu BB, BL, LL. Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran linis dan hasil pemeriksaan BTA melalui skin smear (Depkes RI Ditjen PP, 2012). Tabel 2.1 Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe

penyakit kusta

menurut WHO adalah sebagai berikut : Tanda Utama

PB

MB

Bercak kusta

Jumlah 1 s/d 4

Jumlah >5

Penebalan syaraf tepi yang disertai dengan Hanya gangguan fungsi (Gangguan fungsi bisa berupa syaraf kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersyarafi oleh syaraf yang bersangkutan) Sediaan apusan

satu Lebih dari satu syaraf

BTA negative

BTA positif

16

Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi penyakit kusta adalah sebagai berikut : Tabel 2.2. Tanda kelainan kulit. Kelainan kulit & hasil pemeriksaan

PB

MB

1.Bercak (macula) mati rasa a. Ukuran

Kecil dan besar

b. Distribusi

Unilateral

Kecil-kecil atau Bilateral simetris

bilateral asimetris c. Konsistensi

Kering dan kasar

Halus, berkilat

d. Batas

Tegas

Kurang tegas

Selalu ada dan jelas

Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut

Tidak ada

Ada, kadang-kadang tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada

e. Kehilangan kemampuan berkeringat, rambut rontok pada bercak 2.Infiltrat a. Kulit

b. Membran mukosa (hidung Tidak pernah ada tersumbat, perdarahan dihidung

4. Nodulus

Central healing 1)Punched out leston (lesi (penyembuhan di bentuk seperti donat) Tengah 2) Madarosis 3) Ginekomasti 4) Hidung pelana 5) Suara sengau Tidak ada Kadang-kadang ada

5. Deformitas

Terjadi dini

3. Ciri-ciri

Biasanya lambat

Sumber : Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007 : 44-45 2.2.7 Pemeriksaan Klinis Untuk memeriksa seseorang yang dicurigai kusta harus dilakukan : 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan fisik yaitu : a) Pemeriksaan kulit b) Pemeriksaan kulit dan fungsinya

simetris,

terjadi

17

Untuk diagnosa secara lengkap selain pemeriksaan kulit juga dilakukan pemeriksaan bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan yaitu: a) Pemeriksaan bakteriologis b) Pemeriksaan hispatologis c) Immunologis (Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007). 2.2.8 Pengobatan 1. Tujuan pengobatan Melalui pengobatan, penderita kusta diberikan obat-obatan yang dapat membunuh kuman kusta dengan demikian pengobatan akan : a) Memutuskan mata rantai penularan b) Menyembuhkan penyakit penderita c) Mencegah terjadi cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang

sudah

ada sebelumnya pengobatan (Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007). 2. Regimen pengobatan MDT MDT atau Multi Drug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta yang salah satunya harus terdiri dari Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bias bersifat bakteriostatik (Depkes RI Ditjen PP dan PL,2007). Regimen pengobatan MDT

di

indonesia

sesuai

dengan

regimen

pengobatan

yang

direkomendasikan oleh WHO menurut Depkes RI Ditjen PP dan PL regimen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Penderita Pauci Baciler (PB) Dewasa

18

Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas) a) 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg) b) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg Pengobatan harian : hari ke 2-28 c) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan 2) Penderita Multi Basiler (MB) Dewasa Pengobatan bulanan hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas) a) 1 tablet Rifampisin @ 300 mg (600 mg) b) 3 tablet Lampren @100 mg (300 mg) c) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg Pengobatan harian : hari ke 2-28 d) 1 tablet Lamprene 50 mg 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-28 3) Dosis MDT menurut umur a) Bagi dewasa dan anak-anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan (1) Rifampisin

: 10-15 mg/kg BB

19

(2) DDS

: 1-2 mg/kg BB

(3) Clofamisin

: 1 mg/kg BB

b) Penderita dengan keadaan khusus : (1) Kehamilan : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya. (2) Tuberkulosis : bila seseorang menderita tuberculosis (TB) dan kusta maka pengobatan anti tuberculosis dan MDT dapat diberikan Rifampisin sesuai dosis untuk tuberculosis. (3) Untuk penderita PB yang alergi terhadap DDS, DDS perlu diganti dengan Lampren dengan dosis dan jangka waktu pengobatan sama. (4) Untuk penderita MB yang alergi terhadap DDS, pegobatan hanya dengan dua macam obat saja, yaitu Rifampisin dan Lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan MB. 2.2.9 Efek samping dan penanganannya Walaupun dari pengalaman lapangan penderita kusta jarang mengalami efek samping dari obat-obat kusta yang diberikan, namun petugas perlu mengetahui efek samping berbagai obat kusta yang digunakan agar dapat memberikan penjelasan yang tepat kepada penderita dan tidak bertindak secara tepat apabila menghadapi keadaan tersebut (Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007)

Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya secara ringkas dapat dilihat pada table berikut :

20

Tabel 2.3 Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya Masalah

Penanganan

Nama Obat

Ringan : 1) Air seni berwarna merah

Rifampisin

Reassurance

2) Perubahan warna kulit

Clofazimin

penderita dengan penjelasan

Semua obat (3 obat

yang benar)

3) Masalah gastrointestinal

dalam MDT)

Konseling

4) Anemia

Dapson

Obat

menjadi cokelat

(menenangkan

diminum

bersama

dengan makanan atau setelah makan Serius : 1) Ruam kulit yang gatal

Dapson

2) Alergi, urtikaria 3) Ikterus (kuning) 4) Shock, purpura, gagal ginjal

Hentikan Dapson, rujuk Hentikan keduanya, rujuk

Dapson atau Rifampisin

Hentikan Rifampisin, rujak Hentikan Rifampisin, rujak

Rifampisin Rifampisin

Sumber : Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2007

2.2.10 Cara Penularan Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta multi tipe Multi Basilar (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa pada penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Daili E.S.S, dkk, 2003). Timbulnya penyakit kusta pada seseorang membutuhkan waktu yang relatif lama, tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1. Faktor penyebab Kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca hanya kuman yang masih utuh atau solid

21

yang dapat menimbulkan penularan, selain itu kuman kusta juga mempunyai waktu pembelahan yang lam yaitu 2-3 minggu. 2. Faktor sumber penularan Penderita kusta tipe MB dianggap sebagai satu-satunya sumber penularan penyakit kusta meskipun kuman kusta dapat hidup di hewan armadillo, simpanse dan telapak kaki tikus putih.Penderita tipe MB ini apabila sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO secara teratur tidak menjadi sumber penularan lagi. 3. Faktor daya tahan tubuh Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Seseorang dalam lingkungan tertentu termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok berikut, yaitu : 1) Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh yang tinggi merupakan kelompok terbesar yang telah atau menjadi resisten terhadap kuman kusta 2) Manusia (host) yang mempuyai kekebalan tubuh rendah terhadap kuman kusta mungkin akan menderita penyakit kusta yang ringan (PB) 3) Manusia (host) yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta merupakan kelompok kecil dan mudah menderita kusta yang stabil dan progresif. Kuman mencapai permukaan kulit melalui volikel rambut, kelenjar keringat, dan di duga melalui air susu ibu. Beberapa hipotesis telah di kemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Penyakit ini sering di percaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan

22

orang yang sehat.Melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. (Depkes RI Ditjen PP dan PL, 2012: 9) 2.2.11 Pencegahan 1. Pencegahan Secara Umum Pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian.Dalam mengambil langkah-langkah untuk pencegahan, haruslah didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis epidemiologi atau hasil pengamatan/peneliti epidemiologis. Ada tiga tingkatan pencegahan penyakit menular secara umum yakni : 1) Pencegahan tingkat pertama Sasaran ditujukan pada factor penyebab, lingkungan serta factor pejamu. a) Sasaran yang ditujukan pada factor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan sumber penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga

dalam

rangka

memutus

rantai

penularan,

serta

mengurangi/menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat. b) Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti meningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya. c) Meningkatkan daya tahan pejamu melalui perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi

23

serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya serta usaha menghindari pengaruh factor keturunan dan peningkatan ketahanan fisik melalui olah raga kesehatan. 2) Pencegahan tingkat kedua Sasaran pencegahan ditujukan pada mereka yang menderita atau yang dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas).

Adapun tujuan tingkat kedua ini meliputi diagnosis dini dan

pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi, antara lain : a) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveillans penyakit tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI, mahasiswa dan lain sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif. b) Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis dan patogenesis penyakit tertentu. 3) Pencegahan tingkat ketiga Sasaran pencegahan adalah penderita yang menderita

penyakit

tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kelainan akibat penyakit penyakit tersebut. Pada tingkat ini

24

juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya komplikasi dari penyembuhan suatu penyakit tertentu.Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan social seoptimal mungkin. 2. Pencegahan Penularan Penyakit Kusta Cara yang paling baik untuk mencegah penyakit kusta yakni dengan diagnose dan pengobatan dini pada orang terinfeksi. Peralatan pribadi seperti piring, sendok, handuk, baju dan lain-lain, yang pernah digunakan oleh orang yang terinfeksi kusta harus dengan segera dihindari dan diperhatikan, dapat juga dengan penyuluhan tentang penyakit kusta serta peningkatan hygiene sanitasi baik sanitasi perorangan maupun sanitasi lingkungan (Zulkifli, 2003, Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya, ¶ http://library.usu.ac.id diperoleh tanggal 12 desember 2015). Sebenarnya cara penularan kusta belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Tapi cara penularan menurut Ditjen PPM dan PLP dan Dinkes RI antara lain : tergantung dari sumber penularannya yaitu kusta tipe multi basiler (MB), kuman kusta yang solid, dan daya tahan tubuh. Kemudian yang mempengaruhi timbulnya penyakit kusta antara lain : 1) Sosial ekonomi (dimana kusta banyak terdapat di Negara berkembang dan golongan social ekonomi lemah). 2) Dan juga dari factor lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan, basil ini dapat ditemukan dimana-mana, misalnya didalam tanah, air, uadara,

25

dan pada manusia terdapat dipermukaan kulit, rongga hidung, dan tenggorokan. Basil ini dapat berkembang biak didalam otot polos/otot bergaris sehingga dapat ditemukan pada otot erector pili, otot dan endotel kapiler, otot di skrotum, dan otot iris mata. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urine. Sputum dapat banyak mengandung M.Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Maka jelaslah dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pencegahan penularan kusta adalah : a) Pengobatan sejak dini dan teratur b) Hindari atau kurangi kontak fisik yang lama c) Meningkatkan personal hygiene atau kebersihan diri dan lingkungan d) Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan olahraga dan peningkatan pemenuhan nutrisi e) Jangan bertukar pakaian dengan penderita, basil dapat ditemukan pada kelenjar keringat f) Sendirikan peralatan mandi dan makan pasien g) Khususnya bagi penderita kusta tipe MB jangan meludah sembarangan, karena basil ini masih bisa hidup beberapa hari dalam droplet. Meskipun hal-hal diatas tidak bisa menjamin tidak akan tertular kuman Mycobacterium Leprae, dikarenakan penyebab pasti dari penularan kusta belum diketahui secara pasti. Akan tetapi dengan cara-cara diatas diharapkan angka penularan kusta dapat diperkecil/dikurangi.

26

BAB 3 METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara memecahkan masalah menurut metode keilmuan. Pada bab ini akan menjabarkan tentang metode penelitian yang dimulai dari (1) desain penelitian, (2) bahan atau materi penelitian (3) variable penelitian (4) instrumen penelitian (5) lokasi dan waktu penelitian (6) prosedur pengambilan atau pengumpulan data dan (7) analisis data

3.1 Desain Penelitian Rancangan atau desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian yang memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa faktor yang bisa mempengaruhi akurasi suatu hasil (Nursalam, 2003). Rancangan juga bisa dipergunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengungkapkan gambaran persepsi masyarakat tentang penyakit kusta

3.2 Kerangka Kerja Kerangka kerja merupakan pentahapan suatu penelitian. Pada kerangka kerja disajikan alur penelitian, terutama variabel yang akan digunakan dalam penelitian (Nursalam, 2003: 212).

27

Populasi: Seluruh masyarakat RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo yang berjumlah 203orang

Sampel: Sebagian masyarakat RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo yang memenuhi kriteria sejumlah 30 responden

Teknik Sampling : Purposive sampling

Pengumpulan data : Kuisioner

Analisa data Editing, Coding, Scoring, Tabulating

Hasil dan Kesimpulan Prosentase Persepsi masyarakat RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo tentang penyakit Kusta

Gambar : Kerangka Kerja Persepsi masyarakat RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo tentang penyakit Kusta

28

3.3 Materi Penelitian 3.3.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian atau obyek yang akan diteliti (Notoatmojo, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo 3.3.2 Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan tertentu untuk bisa memenuhi/mewakili populasi (Nursalam & Pariani, 2015). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian masyarakat RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo dengan kriteria : 1) berusia lebih dari 17 tahun 2) bersedia diteliti dan menanda-tangani Informed Consent. 3) bisa membaca dan menulis 3.3.3. Besar Sampel Besar sampel adalah banyaknya anggota yang akan dijadikan sample. Besar sample yang digunakan pada penelitian ini adalah 15% dari total populasi, yaitu sebanyak 30 orang 3.3.4 Sampling Metode pengambilan sample atau Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sample agar memperoleh sample yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2003).

29

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah Purposive Sampling yaitu menetapkan subjek berdasarkan kapasitas/daya tampung yang diperlukan dalam penelitian. 3.3.5. Variabel Penelitian Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Nursalam & Pariani, 2001). Variabel dalam penelitian ini adalah persepsi masyarakat tentang penyakit kusta 3.3.6

Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang diamati (diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati artinya memungkinkan peneliti untuk dapat observasi atau fenomena yang kemudian dapat diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam, 2003). Tabel 3.1 : Tabel definisi operasional penelitian persepsi masyarakat tentang penyakit kusta. Variabel Persepsi masyarakat

Definisi Operasional Cara individu mengamati tentang suatu objek atau peristiwa berdasarkan informasi yang diperolehnya dan menafsirkan obyek tersebut menjadi sebuah pola pikir

Alat Skala Ukur Pengetahuan Kuesioner Nominal masyarakat tentang penyakit Kusta Parameter

Skor Jawaban Betul = 1 Salah = 0 Persepsi Positif : T>MT  Sangat Setuju : 5  Setuju :4  Ragu :3  Tidak Setuju : 2  Sangat Tidak Setuju :1

30

Negatif : T< MT  SS : 1 S : 2 R : 3  TS : 4  STS : 5 3.3.7

Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti

dalam mengumpulkan data (Arikunto, 2002). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuisioner sebagai instrument dan mengacu pada teori atau konsep yang telah ada sehingga nantinya data akan lebih mudah diolah. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan angket berstruktur terdiri dari data demografi dan persepsi tentang penyakit kusta 3.3.8

Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Beton Siman Ponorogo. 2. Waktu Penelitian

3.3.9

a. Persiapan dan penyusunan proposal

: April - Juni

b. Pengumpulan data

: Juni

c. Analisa dan pengumpulan hasil

: Juli- Agustus

Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini

meliputi: 1. Mengurus perijinan penelitian dari Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadyah Ponorogo.

31

2. Mengurus ijin kepada Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Ponorogo 3. Mengurus ijin kepada Kepala Puskesmas Siman Ponorogo 4. Setelah

mendapatkan

surat

izin,

peneliti

kemudian

melakukan

pengumpulan data dengan mendatangi responden yang sudah ditentukan. Peneliti memberikan penjelasan kepada calon responden dan apabila mereka

bersedia

menandatangani

menjadi informed

responden, consent.

maka

dipersilahkan

Responden

yang

untuk bersedia

menandatangani informed consent akan diberi kuesioner untuk diisi. 3.3.9

Analisa Data Setelah data terkumpul, data diproses dan dianalisa secara sistematis

supaya bisa terdeteksi. Data tersebut ditabulasikan dan dikelompokkan sesuai dengan data yang diinginkan. 1. Data Umum Data demografi yang didapat akan digunakan sebagai pertimbangan penelitian dalam menilai karakteristik responden. Data akan dianalisa dengan menggunakan rumus prosentase sebagai berikut : P

F N

x 100 %

Keterangan : P

: Prosentase

∑ƒ

: Frequensi jawaban

N

: Jumlah prosentasi

32

Adapun hasil pengolahan data yang diinterprestasikan menggunakan skala 100%

: Seluruhnya

76-99%

: Hampir seluruhnya

50-75%

: Sebagian besar

50%

: Setengahnya

25-49%

: Hampir setengahnya

1-24%

: Sebagian kecil

0%

: Tidak satupun

2. Data Khusus Menurut (Hidayat, 2013) mengatakan bahwa kegiatan dalam penelitian dengan melakukan analisis data yang meliputi persiapan, tabulasi, dan aplikasi data. 1) Persiapan Dalam langkah ini peneliti memerikasa kembali semua data yang dikumpulkan untuk mengecak kembali kelengkapan data yang telah diisi. 2) Tabulasi Kegiatan dalam tabulasi meliputi: a) Memberikan kode (coding) dalam penelitian ini kode digunakan dalam kuesioner adalah huruf abjed inisial dari responden. b) Memberikan skor (scoring) dalam tabulasi data peneliti memberikan penelitian pada setiap jawaban responden di kuesioner. Teknik pemberian skor pada kueisoner menggunakan skala Likert. Untuk pertanyaan positif jawaban SS=5, S=4, R= 3 TS=2, STS=1. Untuk pertanyaan negatif jawaban

33

SS=5, S=4, R= 3 TS=2, STS=1. Rumus yang digunakan untuk variabel dependen adalah sebagai berikut : 𝑥 − 𝑥̅ ] 𝑠

𝑇 = 50 + 10[ Keterangan : x : Skor responden 𝑥̅ : Nilai rata-rata kelompok s : Standar deviasi kelompok

Rumus untuk simpangan baku (Sugiyono, 2004) SD=√∑

(𝑥−𝑥̅ ) 𝑛

Keterangan : SD : Simpangan baku x

: Skor responden

𝑥̅

: Nilai rata-rata kelompok

n

: Jumlah sampel

Kesimpulan akan dianalisa dengan menggunakan rumus :

𝑀𝑇 =

∑𝑇 𝑛

Keterangan : MT : Rata-rata n

: jumlah sampel

Untuk mempermudah penilaian maka maka hasil prosentase variabel dependen, peneliti mengiterprestasikan menjadi 2 kategori yaitu : T > MT : Persepsi positif T ≤ MT : Persepsi negatif

34

3.3.10 Etika Penelitian Masalah etika pada penelitian yang menggunakan subyek manusia menjadi issue sentral yang berkembang saat ini, maka peneliti harus memahami prinsip-prinsip

etika

penelitian.

Secara

umum

prinsip

etika

dalam

penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, menghargai hak-hak subyektif dan prinsip keadilan (Nursalam,2013). Kuisioner yang dikirim kepada responden memenuhi pedoman sebagai berikut : 1. Lembar persetujuan menjadi responden Lembar persetujuan diberikan kepada subyek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan riset yang akan dilakukan jika bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan dan tetap menghormati hak-haknya. 2. Anonim (tanpa nama) Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberi nomor kode pada masing-masing lembar tersebut. 3. Confidentiality (kerahasiaan) Kerahasiaan dijamin oleh si peneliti, karena kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

35

Lampiran 1 PENJELASAN PENELITIAN BAGI RESPONDEN WAWANCARA KUESIONER

A. Judul Penelitian Persepsi Masyarakat tentang Penyakit Kusta di Desa Beton Siman Kabupaten Ponorogo. B. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Persepsi masyarakat tentang penyakit kusta yang ada di Desa Beton Siman Kabupaten Ponorogo. C. Perlakuan yang diterapkan pada subyek Penelitian ini merupakan penelitian observasional, sehingga tidak ada perlakuan apapun untuk subyek. Subyek hanya terlibat sebagai responden yang akan mengisi kuesioner yang telah dibagikan oleh peneliti yaitu perihal umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta. Pengisian koesioner akan dilakukan sekitar 30 menit. D. Manfaat Bapak/Ibu yang terlibat dalam penelitian ini akan memperoleh pengetahuan tentang penyakit kusta dan persepsi yang benar tentang penyakit tersebut setelah mengisi kuesioner E. Bahaya potensial Tidak ada bahaya potensial yang diakibatkan oleh keterlibatan subyek dalam penelitian ini, oleh karena dalam penelitian ini tidak dilakukan intervensi apapun melainkan hanya penyuluhan biasa.

36

F. Hak untuk undur diri Keikutsertaan subyek dalam penelitian ini bersifat sukarela dan responden berhak untuk mengundurkan diri kapanpun, tanpa menimbulkan konsekuensi yang merugikan responden.

Kontak person bagi responden Peneliti Nama : Imron Agus Suyadi Telp

: 081234396988

37

Lampiran 2 INFORMED CONSENT (PERNYATAAN PERSETUJUAN IKUT PENELITIAN)

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama

: ………………

Umur

: ………………

Jenis Kelamin : ……………... Pekerjaan

: ………………

Alamat

: ………………

Telah mendapat keterangan secara terinci dan jelas mengenai Penelitian yang berjudul “Persepsi Masyarakat tentang Penyakit Kusta di Desa Beton Siman Kabupaten Ponorogo” dan mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Oleh karena itu saya bersedia/tidak bersedia*) secara sukarela untuk menjadi subjek penelitian dengan penuh kesadaran serta tanpa keterpaksaan. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Ponorogo, …………2018

Peneliti

Imron Agus Suyadi

Persetujuan Peneliti

……………………

38

Lampiran 3 KUESIONER PENELITIAN PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA DI DESA BETON SIMAN PONOROGO

I. Kuesioner Demografi Petunjuk pengisian : a. Untuk pertanyaan isian jawablah sesuai dengan yg anda alami b. Untuk pertanyaan pilihan, berilah tanda centang (√) pd kotak jawaban

1) Nomor

: …………………..

2) Nama

:……………………

3) Jenis kelamin

:

4) Usia

: …..…….tahun

5) Pendidikan

:

laki-laki

Tidaksekolah Tamat SMA

6) Pekerjaan

Perempuan

Tamat SD

Perguruan Tinggi

: …………………

7) Pendapatan keluarga per bulan : Rp. …………….. 8) Alamat

: …………………..

II. Akses ke pelayanan kesehatan Petunjuk : isilah pertanyaan di bawah ini sesuai yang bapak/ibu alami 1. Berapa lama waktu yang ditempuh bapak/ibu untuk sampai ke puskesmas/fasilitas kesehatan?

Tamat SMP

: …………. menit

39

2. Berapa biaya yang biasa dikeluarkan untuk sampai ke puskesmas/fasilitas kesehatan ?

: Rp. ……….

3. Bagaimana cara bapak/ibu untuk ke puskesmas/fasilitas kesehatan

a. b. c. d. e.

Jalan kaki Kendaraan Umum Ojeg Diantar anggota keluarga Lain-lain (sebutkan)….

III. Persepsi responden terhadap penyakit kusta : berilah tanda centang (√) pada kolom “ya” atau “tidak” sesuai dengan yang anda ketahui Keterangan : SS : Sangat setuju (5) R : Ragu (3) STS : Sangat tidak setuju (1) S : Setuju (4) TS : Tidak Setuju (2) Petunjuk

Pernyataan 1. Penyakit kusta disebabkan oleh sihir atau makhluk halus 2. Penyakit kusta diakibat kutukan 3. Penyakit kusta adalah penyakit turunan 4. Penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan 5. Penyakit kusta penyakit kulit biasa dan tidak menular 6. Pengobatan penyakit kusta tidak perlu ke puskesmas namun cukup ke dukun (berobat kampung) 7. Penderita kusta bila tidak teratur minum obat dapat menyebabkan cacat 8. Penderita kusta bila tidak teratur minum obat, sudah dianggap sembuh 9. Bila berobat sampai selesai di puskesmas, dapat mencegah kecacatan 10. Untuk mencegah kecacatan, dapat berobat secara tradisional (obat kampung)

SS

S

R

TS

STS

40

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian 1. Tempat penelitian Penelitian dilakukan di RT 01/ RW 03 Desa Beton Siman Ponorogo. 2. Waktu penelitian a. Persiapan dan Penyusunan proposal

: April – Juni

b. Pengumpulan Data

: Juni

c. Analisa dan Pengumpulan Hasil

: Juli – Agustus

4.2 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan Penelitian untuk mengetahui persesi masyarakat tentang penyakit Kusta yaitu responden berusia lebih dari 17 tahun dengan responden berjumlah 30 orang, responden bersedia diteliti dan menanda-tangani Informed Consent, responden bisa membaca dan menulis. 4.3 Hasil Penelitian Penelitian ini telah mengidentifikasi demografi , akses ke pelayanan kesehatan, tingkat pengetahuan masyarakat tentang kusta, persepsi responden terhadap penyakit kusta dak dukungan keluarga. Hasil lengkap penelitian ini ditunjukkan dengan tabel/diagram berikut :

41

Tabel 4.3. Data Demografi Masyarakat No. Responden 1

Jenis Kelamin L

Usia

Pendidikan

40 Tahun

Perguruan Tinggi

Wiraswasta

Pendapatan Keluarga Rp. 1.000.000

2

P

38 Tahun

Tamat SD

Petani

Rp. 500.000

3

P

40 Tahun

Tamat SMP

Wiraswasta

Rp. 500.000

4

L

38 Tahun

Tamat SMA

Pedagang

Rp. 500.000

5

L

45 Tahun

Tamat SMA

Petani

Rp. 300.000

6

P

35 Tahun

Perguruan Tinggi

PNS

Rp. 2.000.000

7

P

48 Tahun

Tamat SMA

Ibu Rumah Tangga

Rp. 350.000

8

P

21 Tahun

Perguruan Tinggi

Pelajar

Rp. -

9

L

39 Tahun

Tamat SMP

Petani

Rp. 500.000

10

L

48 Tahun

Tamat SMP

Petani

Rp. 600.000

11

P

32 Tahun

Perguruan Tinggi

Guru

Rp. 800.000

12

L

22 Tahun

Perguruan Tinggi

Pelajar

Rp. -

13

P

49 Tahun

Tamat SMP

Wiraswasta

RP. 1.000.000

14

L

22 Tahun

Perguruan Tinggi

Pelajar

RP. –

15

L

32 Tahun

Perguruan Tinggi

PNS

Rp. 1.500.000

16

L

50 Tahun

Tamat SMA

Wiraswasta

Rp. 700.000

17

P

29 Tahun

Tamat SMA

Wiraswasta

Rp. 250.000

18

L

49 Tahun

Tamat SMP

Wiraswasta

Rp. 500.000

19

P

36 Tahun

Perguruan Tinggi

Swasta

Rp. 1.000.000

20

P

40 Tahun

Perguruan Tinggi

Guru

Rp. 1.000.000

21

P

35 Tahun

Tamat SMP

Ibu Rumah Tangga

Rp. 300.000

22

L

38 Tahun

Perguruan Tinggi

PNS

Rp. 1.300.000

23

P

40 Tahun

Tamat SD

Ibu Rumah Tangga

Rp. 400.000

24

L

20 Tahun

Perguruan Tinggi

Pelajar

Rp. -

25

P

41 Tahun

Tamat SMA

Ibu Rumah Tangga

Rp. 500.000

26

L

45 Tahun

Tamat SMA

Pedagang

Rp. 500.000

27

L

32 Tahun

Perguruan Tinggi

Guru

Rp. 1.000.000

28

P

30 Tahun

Tamat SMA

Ibu Rumah Tangga

Rp. 200.000

29

P

31 Tahun

Perguruan Tinggi

PNS

Rp. 2.000.000

30

L

35 Tahun

Tamat SMP

Kuli Bangunan

Rp. 650.000

Pekerjaan

42

Tabel 4.3.2 Tingkat Persepsi Masyarakat tentang Penyakit Kusta Persepsi

Frekuensi

Presentase

Baik (> 32)

10

33,3%

Cukup (16 - 32)

5

16,6%

Kurang (0 - 8)

15

50%

4.4 Pembahasan Tabel diatas menunjukan Tingkat pengetahuan masyarakat tentang kusta umumnya masih rendah. Tabel diatas menggambarkan masih rendahnya tingkat pengetahuan sebagian masyarakat RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo tentang kusta. 50% responden penelitian ini memiliki pengetahuan tentang penyakit kusta yang rendah dan hanya 33,3% dengan jumlah responden 10 orang memiliki pengetahuan yang baik. Pada penelitian ini, keterbatasan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kusta terindikasi pada banyaknya responden yang tidak mengetahui penyebab, cara penularan, dan gejala penyakit kusta. Dengan mengetahui penularan penyakit kusta, gejala penyakit dan penyebab terjadinya penyakit kusta, masyarakat seharusnya tidak lagi takut dengan penyakit kusta yang selama ini dianggap sebagai penyakit yang menyeramkan . Selain itu tingkat pengetahuan masyarakt yang rendah dipengaruhi oleh tiga faktor utama ; yaitu tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya upaya penyebaran informasi tentang kusta, dan kepercayaan masyarakat yang bersifat turun temurun. Tingkat Pendidikan yang rendah mempengaruhi persepsi sesorang tentang Penyakit Kusta. Tabel 4.3.2 dengan 15 orang responden yaitu 50% yang persepsinya kurang.

43

Sebagian besar responden penelitian ini memiliki latar belakang Sekolah Menengan Atas dan Sekolah lanjutan tingkat pertama. Tingkat pendidikan yang rendah umumnya berpengaruh terhadap keterbatasan kemampuan seseorang untuk menerima dan mencerna informasi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya salah pemahaman tentang penyakit kusta yang sampai saat ini masih dipegang oleh masyarakat. Hasil ini sejalan dengan temuan penelitian Sulidah (2007) yang menunjukkan ketidaktahuan masyarakat tentang kusta pada komponen pertanyaan yang sama. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang kusta menyebabkan stigma negatif sulit dihilangkan. Pengetahuan tentang

penyakit kusta ini sangatlah perlu untuk

disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi ini sangatlah perlu apabila melihat kondisi masyarakat yang masih menganggap bahwa penyakit kusta adalah penyakit kutukan Tuhan, penyakit keturunan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan seperti yang ada dalam pemahaman masyarakat dalam studi ini.

44

BAB 5 PENUTUP 5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Derajat pengetahuan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat di RT 1 RW 3 Desa Beton Siman Ponorogo tergolong rendah. Rendahnya derajat pengetahuan tersebut dapat diketahui melalui hasil skoring yang dilakukan terhadap jawaban dari responden. Disamping itu rendahnya derajat pengetahuan diketahui karena sebagian besar masyarakat tidak mengetahui tidak mengetahui penyebab, cara penularan, dan gejala penyakit kusta, selain itu tingkat pengetahuan masyarakt yang rendah dipengaruhi oleh tiga faktor utama ; yaitu tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya upaya penyebaran informasi tentang kusta, dan kepercayaan masyarakat yang bersifat turun temurun. 2. Tingkat pendidikan yang rendah umumnya berpengaruh terhadap keterbatasan kemampuan seseorang untuk menerima dan mencerna informasi. Sehingga terjadi

salah paham tentang penyakit kusta yang

sampai saat ini masih dipegang oleh masyarakat. 3. Tentang persepsi yang ada di masyarakat sebagian besar masyarakat mempunyai Persepsi Ragu terhadap penyandang kusta. Dari hasil penelitian sebagian besar masyarakat 40% memiliki Persepsi Ragu.

45

5.2 SARAN Diharapkan setelah dilakukan penelitian pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta, masyarakat dapat menghindari atau mencegah penularan penyakit kusta serta dapat meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara hidup sehat baik dilingkungan keluarga maupun dilingkungan sekitar.

46

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Fauzi,( 1997) . Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia. Bimo Walgito, (2004). Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi Ofset. Daili, E.S.S., Menaldi, S.L., Ismiarto, S.P dan Nilasari, H. (2003). Kusta. Jakarta, FKUI. Depkes R.I. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dinkes Provinsi Jawa Timur, (2002). Analisa Tahunan P2 Kusta.. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2007. Irwanto, (2002).Psikologi Umum, (Buku PANDUAN mahasiswa), (Jakarta : PT. Prehallindo). Jalaluddin Rahmat,(2004). Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya., Nafsiah. (2013). Penderita Kusta Indonesia Tertinggi Ketiga Dunia, [internet], bersumber dari [diakses tanggal 10 Mei 2018]. Sarlito Wirawan Sarwono,(2000). Pengantar Umum Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang. Subdirektorat Kusta dan Frambusia, (2007).Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK.

Related Documents

Kusta
January 2021 3
Askep Kusta
March 2021 0
Laporan Kasus Kusta
January 2021 1

More Documents from "Fany Devita"