Lapkas Trauma Kapitis

  • Uploaded by: Ester Sibarani
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Trauma Kapitis as PDF for free.

More details

  • Words: 7,278
  • Pages: 46
Loading documents preview...
LAPORAN KASUS TRAUMA KAPITIS

Disusun oleh:

Ester Sibarani

090100091

Grace A M Hutagalung

090100245

Shinly M Ginting

090100251

Handoko

090100327

Christine R T Simanjuntak

090100335

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN 2013

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.Terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang berkontribusi dalam pembuatan laporan ini. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu Penyakit Saraf, Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.Besar harapan kami, melalui laporan kasus ini, pengetahuan dan pemahaman kita tentang penyakit saraf, yaitu trauma kapitis. Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon maaf.Kami juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kasus selanjutnya.Terima kasih.

Medan, Juni 2013

Penulis

2

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak di atas usia 1 tahun di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis, meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang. Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan; sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama. Prediksi insiden per tahunnya di dunia akan menurun secara signifikan dengan adanya undang-undang pemakaian helm dan sabuk pengaman bagi pengendara motor/mobil. Diperkirakan sebanyak kurang lenih 10 juta orang menderita trauma kapitis berat dengan angka kematian sekitar separuhnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat trauma kapitis cukup tinggi.Oleh karena itu, pemahaman mengenai trauma kapitis perlu ditingkatkan sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat trauma kapitis.

1.2. Tujuan Pembuatan laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai trauma kapitis serta sebagai syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Rumah Sakit Umum Pusat Haji

3

Adam Malik, Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai trauma kapitis.

.

4

BAB 2 LAPORAN KASUS

2.1.

Anamnesis

Identitas Pribadi No. Rekam Medis

: 56.05.14

Nama

: Kasmer Sinaga

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 53 tahun

Suku Bangsa

: Batak

Agama

: Kristen

Alamat

: Jl. Barisan Nainggolan Kec.Parbulungan Kab.Dairi

Status

: Kawin

Pekerjaan

: Petani

Tanggal Masuk

: 10 Juni 2013 pukul 11.00

Tanggal Keluar

: 14 Juni 2013

2.2.

Riwayat Perjalanan Penyakit

2.2.1. Keluhan Keluhan Utama

: Kejang

Telaah

: Hal ini dialami os sejak ± 5 hari yang lalu sebanyak 4 kali.Kejang bersifat kaku seluruh tubuh dengan mata terbuka. Mulut berbusa (-). Setelah kejang, os pingsan ± 15 menit. Kejang dialami os selama 2 menit. Riwayat kejang sebelumnya (-). Kejang dialami os setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 7 hari yang lalu. Os mengendarai sepeda motor, menabrak mobil lalu terjatuh ke aspal. Kemudian kepala os membentur aspal. Pada saat kejadian, os tidak memakai helm. Os mengalami lupa ingatan selama 7 jam pasca trauma. Riwayat

5

pingsan (-), muntah (-),Riwayat keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-). Riwayat Penyakit Terdahulu : Riwayat penggunaan obat

:-

2.2.2. Anamnesa Traktus Traktus Sirkulatorius

: Nyeri dada (-), hipertensi (-)

Traktus Respiratorius

: Tidak dijumpai gangguan, sesak (-), batuk (-)

Traktus Digestivus

: Tidak dijumpai kelainan, mual (-), muntah (-) BAB normal.

Traktus Urogenitalis

: Tidak dijumpai kelainan, BAK normal

Penyakit Terdahulu

: Kecelakaan lalu lintas

dan Kecelakaan Intoksikasi dan Obat-obatan : (-)

2.2.3. Anamnesa Keluarga Faktor Herediter

:-

Faktor Familier

:-

Lain-lain

:-

2.2.4. Anamnesa Sosial Kelahiran dan Pertumbuhan : Lahir normal, pertumbuhan baik Imunisasi

: Tidak jelas

Pekerjaan

: Petani

Perkawinan dan Anak

: Sudah menikah, 5 orang anak.

2.3.

Pemeriksaan Jasmani

2.3.1. Pemeriksaan Umum Tekanan Darah

: 120/70mmHg

Nadi

: 72x/menit

6

Frekuensi Nafas

: 16x/menit

Temperatur

: 36,7°C

Kulit dan Selaput Lendir

: Sianosis (-), efloresensi primer dan sekunder (-), dalam batas normal

Kelenjar dan Getah Bening : Tidak teraba Persendian

: Tidak dijumpai pembengkakan

2.3.2.Kepala dan Leher Bentuk dan Posisi

: Normosefalik, bulat, dan medial

Pergerakan

: Bebas, dalam batas normal

Kelainan Panca Indera

: Tidak dijumpai

Rongga Mulut dan Gigi

: Dalam batas normal

Kelenjar Parotis

: Dalam batas normal

Desah

: Tidak dijumpai

Dan Lain-lain

:-

2.3.3. Rongga Dada dan Abdomen Rongga Dada Inspeksi

:

Palpasi

: SF ka=ki, kesan normal

Perkusi

:

Auskultasi

: SP vesikuler, ST (-), SJ dbn

Rongga Abdomen

Simetris Fusiformis

Simetris soepel, H/L/R ttb

sonor

Timpani Peristaltik(+) normal

2.3.4. Genitalia Toucher

2.4.

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Neurologis

2.4.1. Sensorium

: Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)

2.4.2. Kranium Bentuk

: Bulat

Fontanella

: Tertutup

7

Palpasi

: Pulsasi a. temporalis (+), a. carotis (+), normal. Krepitasi kranium (+)

Perkusi

: Cracked pot sign (-)

Auskultasi

: Desah (-)

Transilumnasi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.3. Perangsangan Meningeal Kaku Kuduk

: (-)

Tanda Brudzinski I

: (-)

Tanda Brudzinski II

: (-)

2.4.4. Peningkatan Tekanan Intrakranial Muntah

: (-)

Sakit Kepala

: (+)

Kejang

: (+)

2.4.5. Saraf Otak/Nervus Kranialis Nervus I

Meatus Nasi Dextra

Meatus Nasi Sinistra

Normosmia

:

(+)

(+)

Anosmia

:

(-)

(-)

Parosmia

:

(-)

(-)

Hiposmia

:

(-)

(-)

Nervus II Visus

Oculi Dextra (OD)

Oculi Sinistra (OS)

:

tdp

tdp

Normal

:

(+)

(+)

Menyempit

:

(-)

(-)

Hemianopsia

:

(-)

(-)

Scotoma

:

(-)

(-)

Refleks Ancaman

:

(+)

(+)

Lapangan Pandang

8

Fundus Okuli Warna

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Batas

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekskavasio

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Arteri

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Vena

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus III, IV, VI

Oculi Dextra (OD)

Gerakan Bola Mata

:

(+)

Nistagmus

:

tdp

Oculi Sinistra (OS) (+) tdp

Pupil Lebar

:

Ø 3 mm

Ø 3 mm

Bentuk

:

bulat

bulat

Refleks Cahaya Langsung :

(+)

(+)

Refleks Cahaya tidak Langsung:

(+)

(+)

Rima Palpebra

:

7 mm

7 mm

Deviasi Konjugate

:

(-)

(-)

Fenomena Doll’s Eye :

tdp

tdp

Strabismus

:

(-)

(-)

Ptosis

:

(-)

(-)

Nervus V

Kanan

Kiri

Motorik Membuka dan menutup mulut

: dalam batas normal dalam batas normal

Palpasi otot masseter dan temporalis : dalam batas normal dalam batas normal Kekuatan gigitan

: dalam batas normal dalam batas normal

Sensorik Kulit

: dalam batas normal dalam batas normal

Selaput lendir

: dalam batas normal dalam batas normal

Refleks Kornea Langsung

:

(+)

(+)

9

Tidak Langsung Refleks Masseter

:

(+)

(+)

:

(+)

(+)

(+)

(+)

Refleks bersin

:

Nervus VII

Kanan

Kiri

simetris

simetris

Motorik Mimik

:

Kerut Kening

:

(+)

(+)

Menutup Mata

:

(+)

(+)

Meniup Sekuatnya

:

tidak bocor

tidak bocor

Memperlihatkan Gigi

:

simetris

simetris

Tertawa

:

simetris

simetris

Sensorik Pengecapan 2/3 Depan Lidah :

(+)

(+)

Produksi Kelenjar Ludah

(+)

(+)

(-)

(-)

(+)

(+)

:

Hiperakusis

:

Refleks Stapedial

:

Nervus VIII

Kanan

Kiri

Auditorius Pendengaran

:

(+)

(+)

Test Rinne

:

tdp

tdp

Test Weber

:

tdp

tdp

Test Schwabach

:

tdp

tdp

Vestibularis Nistagmus

: tidak dilakukan pemeriksaan

Reaksi Kalori

: tidak dilakukan pemeriksaan

Vertigo

:

(-)

(-)

Tinnitus

:

(-)

(-)

10

Nervus IX, X Pallatum Mole

: Arcus pharynx terangkat saat bersuara dan simetris

Uvula

: Medial

Disfagia

: (-)

Disartria

: (-)

Disfonia

: (-)

Refleks Muntah

: (+)

Pengecapan 1/3 Belakang Lidah

: (+)

Nervus XI

Kanan

Mengangkat Bahu

Kiri

:

(+)

(+)

Fungsi Otot Sternocleidomastoideus :

(+)

(+)

Nervus XII Lidah Tremor

: (-)

Atrofi

: (-)

Fasikulasi

: (-)

Ujung Lidah Sewaktu Istirahat

: Medial

Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan

: Tidak ada deviasi

2.4.6. Sistem Motorik Trofi

: Eutrofi

Tonus Otot

: Normotoni

Kekuatan Otot

: ESD : 55555/55555

ESS: 55555/55555

EID : 55555/55555

EIS : 55555/55555

Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Baik – baik – baik Gerakan Spontan Abnormal Tremor

: (-)

Khorea

: (-)

11

Ballismus

: (-)

Mioklonus

: (-)

Atetotis

: (-)

Distonia

: (-)

Spasme

: (-)

Tic

: (-)

Dan Lain-lain

: (-)

2.4.7. Tes Sensibilitas Eksteroseptif

: Dalam batas normal

Proprioseptif

: Dalam batas normal

Fungsi Kortikal Untuk Sensibilitas Stereognosis

: (+)

Pengenalan Dua Titik

: (+)

Grafestesia

: (+)

2.4.8.

Refleks

Kanan

Kiri

Refleks Fisiologis Biceps

:

(+)

(+)

Triceps

:

(+)

(+)

Radioperiost

:

(+)

(+)

APR

:

(+)

(+)

KPR

:

(+)

(+)

Strumple

:

(+)

(+)

Babinski

:

(-)

(-)

Oppenheim

:

(-)

(-)

Chaddock

:

(-)

(-)

Gordon

:

(-)

(-)

Schaefer

:

(-)

(-)

Hoffman-Tromner

:

(-)

(-)

Refleks Patologis

12

Klonus Lutut

:

(-)

(-)

Klonus Kaki

:

(-)

(-)

Refleks Primitif

:

(-)

(-)

2.4.9. Koordinasi Lenggang

: Sulit dinilai

Bicara

: Bicara spontan, pemahaman baik

Menulis

: Dalam batas normal

Percobaan Apraksia

: Dalam batas normal

Mimik

: Dalam batas normal

Test Telunjuk-Telunjuk

: (+) dapat dilakukan

Test Telunjuk-Hidung

: (+) dapat dilakukan

Diadokhokinesia

: (+) dapat dilakukan

Test Tumit-Lutut

: (+) dapat dilakukan

Test Romberg

: Dapat mempertahankan posisi

2.4.10. Vegetatif Vasomotorik

: Dalam batas normal

Sudomotorik

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Pilo-Erektor

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Miksi

: Dalam batas normal

Defekasi

: Dalam batas normal

Potens dan Libido

: Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.11. Vertebra Bentuk Normal

: (+)

Scoliosis

: (-)

Hiperlordosis

: (-)

13

Pergerakan Leher

: Dalam batas normal

Pinggang

: Dalam batas normal

2.4.12. Tanda Perangsangan Radikuler Laseque

: (-)

Cross Laseque

: (-)

Test Lhermitte

: (-)

Test Naffziger

: (-)

2.4.13. Gejala-Gejala Serebelar Ataksia

: (-)

Disartria

: (-)

Tremor

: (-)

Nistagmus

: (-)

Fenomena Rebound

: (-)

Vertigo

: (-)

Dan Lain-lain

: (-)

2.4.14. Gejala-Gejala Ekstrapiramidal Tremor

: (-)

Rigiditas

: (-)

Bradikinesia

: (-)

Dan Lain-lain

: (-)

2.4.15. Fungsi Luhur Kesadaran Kualitatif

: Compos mentis

Ingatan Baru

:-

Ingatan Lama

: dbn

Orientasi Diri

: dbn

14

Tempat

: dbn

Waktu

: dbn

Situasi

: dbn

Intelegensia

: dbn

Daya Pertimbangan

: dbn

Reaksi Emosi

: dbn

Afasia Ekspresif

: (-)

Reseptif

: (-)

Apraksia

: (-)

Agnosia Agnosia visual

: (-)

Agnosia Jari-jari

: (-)

Akalkulia

: (-)

Disorientasi Kanan-Kiri : (-)

2.5.

Pemeriksaan Penunjang 

Hasil pemeriksaan laboratorium (10 Juni 2013)

Jenis Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Eritrosit Leukosit Trombosit Kimia Klinik Karbohidrat Glukosa darah (sewaktu)

Ginjal Ureum Kreatinin

Satuan

Hasil

Nilai Normal

g/dl 106/mm3 103/mm3 103/mm3

16,10 4,73 11,62 207

13,2-17,3 4,20-4,87 4,5-11.0 150-450

mg/dL

325,00

<200

mg/dL mg/dL

43 0,95

<50 0,70-1,20

15

Elektrolit Natrium (Na) Kalium(K) Klorida (Cl) 

mEq/l mEq/l mEq/l

135 4,0 106

135-155 3,6-5,5 96-106

Hasil Chest X-Ray(10 Juni 2013) Kesan: Suspek Bronkopneumonia kanan, kalsifikasi aorta.



Hasil Head CT-Scan (10 Juni 2013) Kesimpulan pemeriksaan: Lesi Hipodense di lobus fronto-parietal

16

2.6.

Kesimpulan

Keluhan Utama

: Kejang

Telaah

: Hal ini dialami os sejak ± 5 hari yang lalu sebanyak 4 kali. Kejang bersifat kaku seluruh tubuh dengan mata terbuka. Mulut berbusa (-). Setelah kejang os pingsan ± 15 menit. Kejang dialami os selama 2 menit. Riwayat kejang sebelumnya

(-).

Kejang

dialami

os

setelah

mengalami kecelakaan lalu lintas 7 hari yang lalu. Os mengendarai sepeda motor, menabrak mobil lalu terjatuh ke aspal. Kepala os membentur aspal. Os tidak memakai helm. Os mengalami lupa ingatan selama 7 jam pasca trauma. Riwayat

17

pingsan (-), muntah. Riwayat keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-).

Riwayat penyakit terdahulu : Riwayat penggunaan obat

:-

Status Presens Sens

: Compos mentis

Tekanan Darah

: 120/70mmHg

Nadi

: 72x/menit

Frekuensi Nafas

: 16x/menit

Temperatur

: 36,7°C

Nervus Kranialis N. I

: normosmia

N. II,III

: refleks cahaya +/+, pupil isokor Ø=3mm

N. III,IV,VI

: gerakan bola mata (+)

N. V

: buka tutup mulut (+)

N. VII

: sudut mulut simetris

N. VIII

: pendengaran (+)

N. IX, X

: uvula medial

N. XI

: angkat bahu (+)

N. XII

: lidah medial

STATUS NEUROLOGIS Sensorium

: Compos mentis

Peningkatan TIK

: Sakit kepala (+) Muntah (-) Kejang (+)

Rangsang Meningeal

: (-)

18

Refleks Fisiologis

Kanan

Kiri

B/T

:

+/+

+/+

APR/KPR

:

+/+

+/+

Kanan

Kiri

Refleks Patologis H/T

:

-/-

-/-

Babinski

:

-

-

Kekuatan Motorik

: ESD : 55555/55555

ESS: 55555/55555

EID : 55555/55555

EIS : 55555/55555

Pemeriksaan Penunjang Hasil pemeriksaan laboratorium : Hiperglikemia

2.7.

Diagnosis

DIAGNOSIS FUNGSIONAL : Moderate Head Injury DIAGNOSIS ETIOLOGIK

: Blunt Injury

DIAGNOSIS ANATOMIK

: Lobus fronto-parietal

DIAGNOSIS BANDING

: Secondary Epilepsy

DIAGNOSIS KERJA

: Moderate Head Injury

2.8.

Penatalaksanaan

2.8.1. Penatalaksanaan Awal -

Bed Rest

-

Head elevation 30º

-

IFVD R Sol 20 gtt/i

-

Inj. Diazepam 1 amp (k/p)

-

Phenytoin 2x100 mg

(BAIKNYA DILENGKAPI KAYA YG SAYA BLG. PADA CEDERA KEPALA SEDANG-BERAT, BEBERAPA TATALAKSANA AGAK BEDA (ATAU COBA GOOGLING AJA MENURUT SPM (STANDAR PELAYANAN MEDIK) PERDOSSI GIMANA . KAYA ELEVASI

19

KEPALA BERAPA DERAJAT,OKSIGEN BUTUH GAK?SISTOLIK HARUS

BERAPA

MINIMAL)KALORINYA

HARUS

BERAPA

SIH,PERLU GAK CEK AGD?DIURESIS PERLU DIITUNG GAK (SIADH??). ANALGETIK PERLU GAK? ANTI STRESS ULSER PERLU GAK? ANTIBIOTIK PERLU GAK(TERUTAMA KALAU ADA JEJAS/OPEN WOUND) 2.8.2. Follow-up Pasien Hasil Follow-up Keluhan utama Keluhan tambahan Status presens

Diagnosis

Terapi

Penjajakan

10 Juni 2013

11 Juni 2013

12 Juni 2013

Kejang (+)

Kejang (-)

Kejang (-)

Sakit Kepala

Sakit Kepala

Sakit Kepala

Sens:compos mentis TD : 120/70 mmHg HR : 72 x/i RR : 16 x/i T : 36,7 °C

Sens : compos mentis TD : 120/60 mmHg HR : 88x/i RR : 24 x/i T : 36,2 °C

Sens : compos mentis TD : 120/60 mmHg HR : 80 x/i RR : 20 x/i T : 36,3 °C

Obs konvulsi ec trauma kapitis sedang - Bed rest, elevasi kepala 30o - IVFD R-Sol 20 gtt/i - Inj. Diazepam 1 amp (K/P) - Phenytoin 2x100 mg - Asam mefenamat 3x500 mg - B comp 3x1 tab -EEG -Konsul pembacaan Head CT-Scan, foto thoraks

Epilepsi sekunder ec post trauma kapitis

Trauma kapitis sedang

- Bed rest, elevasi kepala 300 - IVFD R-Sol 20 gtt/i - Inj. Diazepam 1 amp (K/P) - Phenytoin 2x100 mg - Asam mefenamat 3x500 mg - B comp 3x1 tab

- Bed rest, elevasi kepala 30o - IVFD R-Sol 20 gtt/i - Inj. Diazepam 1 amp (K/P) - Phenytoin 2x100 mg - Asam mefenamat 3x500 mg - B comp 3x1 tab

- Susul hasil konsul

- Susul hasil konsul

20

Hasil Follow-up Keluhan utama Keluhan tambahan Status presens

Diagnosis Terapi

13 Juni 2013 Kejang (-) Sakit Kepala Sens:compos mentis TD : 120/80 mmHg HR : 70 x/i RR : 24 x/i T : 36,8 °C Trauma Kapitis Sedang - Inj. Diazepam 1 amp (K/P) - Phenytoin 2x100 mg - Asam mefenamat 3x500 mg - B comp 3x1 tab

21

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Trauma Kapitis Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).

3.2. Anatomi Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain : 1. Kulit Kepala (Scalp) Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : a. a.Skin atau kulit b. Connective Tissue atau jaringan penyambung c. Aponeurosis atau galea aponeurotika d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar e. Perikranium.

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

2. Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior 22

adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.

3. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.

4. Otak Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.

23

Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.

5. Cairan serebrospinal Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.

6. Tentorium Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

3.3. Patofisiologi Trauma Kapitis Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan

24

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasideselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008). Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009). Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

25

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).

3.4. Klasifikasi Trauma Kapitis Berdasarkan ATLS (2004), trauma kapitis diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

3.4.1. Berdasarkan Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

3.4.2. Berdasarkan Beratnya Cedera Kepala Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

26

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu: Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury  Kehilangan kesadaran < 20 menit Ringan

Sedang

Berat



Amnesia post traumatik < 24 jam



GCS = 13 – 15



Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam



Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7 hari



GCS = 9 - 12



Kehilangan kesadaran > 36 jam



Amnesia post traumatik > 7 hari



GCS = 3 – 8

3.4.3. Berdasarkan Morfologi A. Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tandatanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan

pemeriksaan

lebih

rinci.

Fraktur

kranium

terbuka

dapat

mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut: a. Gambaran fraktur, dibedakan atas: 

Linier



Diastase



Comminuted

27



Depressed

b. Lokasi Anatomis, dibedakan atas : 

Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )



Basis cranii ( dasar tengkorak )

c. Keadaan luka, dibedakan atas : 

Terbuka



Tertutup

B. Lesi Intra Kranial 1. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

28

3. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

3.5. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain: 1. Pemeriksaan kesadaran Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:  GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat  GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang  GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai

29

apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Pemeriksaan disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).

Eye Opening Mata terbuka dengan spontan

4

Mata membuka setelah diperintah

3

Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri

2

Tidak membuka mata dengan rangsang apapun

1

Best Motor Response Menurut perintah

6

Dapat melokalisir nyeri

5

Menghindari nyeri

4

Fleksi (decorticate)

3

Ekstensi (decerebrasi)

2

Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun

1

Best Verbal Response Menjawab pertanyaan dengan benar

5

Salah menjawab pertanyaan

4

Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai

3

Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya

2

Tidak ada jawaban

1

Jumlah

15

2. Pemeriksaan Pupil Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan

30

terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

3.6. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis a. X-ray Tengkorak Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.

b. CT-Scan Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk,

31

1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007).

3.7. Pencegahan Trauma Kapitis Upaya pencegahan Trauma kapitis pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan lalu lintas yang berakibat trauma pada kepala. Upaya yang dilakukan yaitu :

32

3.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention) Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya Trauma kapitis seperti : lampu lalu lintas dan kendaraan bermotor, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

3.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder yaitu berupa upaya pencegahan pada saat peristiwa kecelakaan untuk menggurangi atau meminimalkan beratnya Trauma yang dialami. Dilakukan dengan memberikan pertolongan pertama, yaitu : menghentikan pendarahan, usahakan jalan nafas yang lapang, memberikan bantuan nafas buatan bila keadaaan berhenti bernafas. Tindakan Pengobatan Trauma kapitis craniotomy: a. Meningkatkan jalan nafas dan pola nafas yang efektif Pada pasien Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy kesadaran menurun tidak dapat mempertahankan jalan nafas dan pola nafas yang efekif, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik tanda-tanda vital, memberikan posisi

ekstensi

pada kepala,

mengkaji

pola nafas,

memberikan jalan nafas tetap terbuka dan tidak ada sekret (sputum) yang mengganggu pola nafas b. Mempertahankan perfusi otak Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arteri dan tekanan intrakranial. Oleh karena itu pada Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy tekanan darah perlu diperhatikan supaya tidak menurun. Jika terdapat syok dan pendarahan, harus segera diatasi serta menghindari terjadinya infeksi pada otak c. Meningkatkan perfusi jaringan serebral Pada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun perlu diberikan tindakan dengan cara meninggikan posisi kepala 15-30 derajat posisi “midline (setengah terlentang)” untuk menurunkan tekanan vena

33

jugularis, dan menghindarkan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial d. Cairan dan elektrolit Pada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun atau pasien dengan muntahan, pemberian cairan dan elektrolit melalui infus merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada tubuh e. Nutrisi Pada pasien dengan Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun kebutuhan kalori dapat meningkat karena terdapat keadaan katabolik. Perlu diberikan makanan melalui sonde lambung. f. Pasien yang gelisah Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang, misalnya haloperidol. Untuk nyeri kepala dapat diberikan obat analgetik.

3.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) Pencegahan tersier yaitu upaya untuk menggurangi akibat patologis dari Trauma kapitis. Dilakukan dengan membawa penderita Trauma kapitis ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut dengan tindakan segera craniotomy.

3.8. Penatalaksanaan Trauma Kapitis Akut Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.

34

Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:

A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15) Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis: 1. Simple head injury (SHI) Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran. 2. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa

sudah

sadar

kembali.

Pemeriksaan

radiologik

dibuat

dan

penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun 1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.

2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut: a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial

35

e. e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral

3. Cedera kepala berat (CGS=3-8) Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation / ABC) Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah: 

Jalan nafas (Air way) Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.



Pernafasan (Breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.



Sirkulasi (Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah

36

menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah

b. Pemeriksaan fisik Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.

c. Pemeriksaan radiologi Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial

d. Tekanan tinggi intrakranial (TIK) Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT-scan ulang untuk menyingkirkan hematom.

37

2. Drainase Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.

3. Terapi diuretik 

Diuretik osmotik (manitol 20%): Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya: Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm



Loop diuretik (Furosemid): Furosemid

dapat

menurunkan

TIK

melalui

efek

menghambat

pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv. 

Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.



Streroid Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

38



Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.



Keseimbangan cairan elektrolit Pada

saat

awal

pemasukan

cairan

dikurangi

untuk

mencegah

bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena

terjadi

keadaan

hiperglikemia

menambah

edema

serebri.

Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 34 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah. 

Nutrisi Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.



Epilepsi/kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa,

39

kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.

Pengobatan: −

Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari



Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin: bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang



Neuroproteksi Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutamat dan sitikolin.

3.9. Komplikasi (Penyulit) pada Trauma Kapitis 1. Gangguan Faal Paru Pneumonia aspirasi: Suatu infeksi paru karena isi saluran makanan atau sekret trachea masuk ke dalam paru paru, disebabkan gangguan kesadaran pada trauma kapitis, penderita tidak dapat menelan atau mengeluarkan sisa makan dan dahak. 2. Gangguan Faal Hepar dapat mengakibatkan Gagal Hepar (Hepatic Failure)

40

3. Gangguan Faal Ginjal dapat mengakibatkan Gagal Ginjal (Renal Failure) 4. Gangguan Faal Kelenjar Hypophyse (misalnya Diabetes Insipidus) 5. Gangguan Faal Sistim Kardiovaskular 6. Gangguan Hemostasis

3.10. Penilaian Nyeri Visual Analogue Scale (VAS) Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic). Nilai VAS 0-4= nyeri ringan, 4-7= nyeri sedang, dan 7-10= nyeri berat. Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar strategi farmakologi mengikuti “three step analgesic ladder” yaitu: a. Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors. b. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiate secara intermiten.

41

c. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiate yang lebih kuat.

42

BAB 4 DISKUSI KASUS

Pada kasus ini, pasien didiagnosa mengalami trauma kapitis sedang. Hal ini ditegakkan pada pasien ini dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan: 1. Ditemukan defisit neurologis yaitu kejang 2. Ada riwayat kecelakaan lalu lintas dan terbentur benda tumpul 3. Adanya temuan lesi pada bagian frontalis

TEORI

KASUS

PENYEBAB Menurut teori, cedera kepala dapat terjadi Pasien di diagnosis dengan trauma sebagai akibat langsung dari suatu ruda kapitis karena ditemukan riwayat paksa yang disebabkan oleh benturan benturan langsung kepala dengan langsung kepala dengan suatu benda keras benda keras, dalam kasus ini terbentur maupun proses dari akselerasi – deselerasi dengan aspal pada saat kecelakaan. gerakan kepala DIAGNOSIS Berdasarkan teori, untuk mendiagnosa Pada kasus, berdasarkan anamnesa, trauma kapitis diperlukan anamnesa yang ditemukan bahwa pasien mengalami menyeluruh dan pemeriksaan fisik untuk kejang sebanyak 4 kali menentukan apakah ada gangguan pasien,

kepala.

Pada

dan sakit

pemeriksaan

fisik

ditemukan lesi pada bagian frontalis. Pemeriksaan dilakukan

Head

untuk

CT-scan

menegakkan

perlu Pada

kasus,

telah

dilakukan

trauma pemeriksaan CT-scan pada pasien

kapitis secara pasti.

43

PENATALAKSANAAN Berdasarkan teori, pengobatan untuk kejang Dalam kasus pertama setelah trauma adalah phenytoin. Untuk

serangan

kejang

yang

ini pasien telah diberikan

phenytoin dan diazepam.

cenderung

berulang diberikan diazepam. Pada teori, untuk mencegah kemungkinan Pada pasien telah diberikan analgetika yaitu terjadinya peningkatan tekanan intracranial asam mefenamat. diberikan analgetika.

44

BAB 5 KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien mengalami kejang sejak 5 hari yang lalu sebanyak 4 kali. Kejang bersifat kaku seluruh tubuh dengan mata terbuka. Mulut berbusa (-). Setelah kejang os pingsan. Kejang dialami os selama 2 menit. Riwayat kejang sebelumnya (-). Kejang dialami os setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 7 hari yang lalu. Os mengendarai sepeda motor, menabrak mobil lalu terjatuh ke aspal. Kepala os membentur aspal. Os tidak memakai helm. Os mengalami amnesia selama 7 jam pasca trauma. Diagnosa pasien ini berasal dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan hasil head CT-scan sehingga akhirnya di diagnosa sebagai Moderate Head Injury. Pasien diberikan terapi antikonvulsan yaitu fenitoin dan diazepam apabila terjadi serangan kejang dan juga terapi analgetik berupa asam mefenamat.

45

BAB 6 SARAN

Pasien ini disarankan untuk melakukan pemeriksaan Elektro-ensefalografi dan pengobatan sementara untuk pasien tetap dilanjutkan.

46

Related Documents


More Documents from "Melania Testudinaria"

Lapkas Trauma Kapitis
February 2021 1
February 2021 4
February 2021 0
Arte Barroco Italiano
February 2021 0
Cbr Ppbg Costa
February 2021 0