Laporan Kasus 1 - Pneumonia Neonatal (autosaved) (repaired)

  • Uploaded by: Giavanny Eka Rani Puteri
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus 1 - Pneumonia Neonatal (autosaved) (repaired) as PDF for free.

More details

  • Words: 6,504
  • Pages: 33
Loading documents preview...
BAB I LAPORAN KASUS

I.1

I.2

Identitas Pasien Nama

: By. Ny. NY

Umur

: 0 hari

Tanggal Lahir

: 18 Oktober 2014

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Galeh 1/3 Wonokerto Bancak

Agama

: Islam

Status

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Di Bawah Umur

Tanggal masuk RSUD

: 18 Oktober 2014

Bangsal

: Seruni

No.RM

: 067396

Kelompok pasien

: Umum

Anamnesis (Subyektif)

Keluhan utama

: Bayi baru lahir datang dengan ketuban bercampur mekonium

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien merupakan pasien rujukan dari bidan dengan air ketuban bercampur mekonium.

Pasien lahir cukup bulan di bidan 30 menit SMRS.

Menurut bidan berat badan lahir 3200 gram, bayi lahir pukul 14.30, cukup bulan, menangis spontan, tonus otot kuat, gerak aktif dan kemerahan. Apgar score menurut bidan 9-9-9. Keluhan tambahan : Saat datang bayi terlihat kedinginan dan kebiruan. 1

Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada riwayat penyakit dahulu. Riwayat Penyakit Keluarga Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama. Anak pertama Ny. NY lahir normal, persalinan dibantu oleh bidan. Kehamilan cukup bulan, dan tidak ada penyulit saat kehamilan maupun saat proses lahir dan sesudah lahir. Tidak ada riwayat ketuban pecah dini sebelumnya. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Selama kehamilan, Ny. NY rutin memeriksakan kehamilannya dan melakukan ANC ke bidan setiap hari selasa. Selama kehamilan, Ny. NY tidak pernah menderita sakit. Riwayat Persalinan Ny. NY melahirkan anak keduanya ditolong oleh bidan. Bayi lahir tanggal 18 Oktober 2014 pukul 14.30. Bayi lahir langsung menangis, tonus otot kuat, gerak aktif dan kemerahan. Warna cairan ketuban berwarna hijau. Pada bayi kemudian dilakukan suction oleh bidan. Bayi telah diberikan perawatan bayi baru lahir, injeksi vitamin K 0,1 ml, salep mata, O2 1 liter per menit dan kangaroo mother care. Riwayat Imunisasi Menurut keterangan yang diperoleh dari nenek By. Ny. NY, pasien telah dilakukan imunisasi saat kelahiran di Puskesmas tempat By. Ny. NY dilahirkan.

Genogram

2

I.3

Pemeriksaan Fisik (Obyektif)  Keadaan umum

: Lemah

 Kesadaran

: Compos Mentis

 BB : 3200 gram

PB : 51 cm.

 LK : 32cm  Vital sign Nadi

: 140 x/menit

Respiration Rate

: 58 x/menit

Suhu

: 37,5 0C

 Status generalis 

Kulit

: Lanugo (-), kemerahan (-), pucat (+), sianosis (+) Turgor baik (+) normal, ikterus (-)



Kepala

: Mesocephal, UUB (+), CS (-), CH (-)



Mata

: pupil bulat isokor, reflex cahaya +/+, CA -/-, SI -/-



Hidung

: simetris, napas cuping (+), deformitas (-), secret (-)



Telinga

: simetris, deformitas (-)



Mulut

: Bibir kering (-), sianosis (-), labioschisis (-)

palatoschisis (-) 

Leher



Thoraks 

: pembesaran limfonodi (-), leher pendek (-)

Cor  Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat  Palpasi

: ictus cordis teraba ICS V linea midclavicula

sinistra, kuat angkat (-)  Auskultasi: BJ I,II regular, bising (-) 

Pulmo  Inspeksi : gerak simetris (statis dan dinamis), retraksi suprasternal (+) subcostal (-)  Perkusi

: sonor seluruh lapang paru

 Auskultasi: vesikuler +/+, rhonchi(-) wheezing (-)

3





I.4

Abdomen

:

 Inspeksi

: datar, tali pusat menonjol

 Auskultasi

: bising usus (+), normal

 Perkusi

: timpani seluruh lapang abdomen

 Palpasi

: supel, hepar dan lien tidak teraba

Punggung

: spina bifida (-), meningokel (-)

Assesment

1.5



Neonatus aterm



Suspek pneumonia aspirasi

Planning

a. Farmakologi 

O2 1 liter/menit



Injeksi Cefotaxime 2 x 150 mg



Injeksi Gentamisin 2 x 10 mg



D10 260 cc / 24 jam

b. Non-Farmakologi 

Observasi



Bersihkan jalan napas



Pencegahan hipotermi dengan radiant warmer

4

I.6

Follow Up

Tanggal 19 Oktober 2014 Date

O

S

cukup KU : tenang

A

19 Oktober

Menangis

2014

keras (+). Gerakan Kesadaran : CM

Mekonium

cukup aktif (+). K/L : CA -/- SI -/-

perawatan

Menyusui 180cc. Thoraks :

ke 2

BAB dan BAK

 Cor : S1>S2 Reg

(+).

 Pulmo : SDV +/+

P  Kanul O2 1 L /

Aspirasi

menit hari  Lanjutkan terapi

Abdomen : supel, BU (+) Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik. Tanda Vital : HR : 160 x/menit RR : 98 x/menit S : 370C Aspirasi

 O2 1 L/menit

keras (+). Gerakan Kesadaran : CM

mekonium

 D10 300cc/24

cukup aktif (+). K/L : CA -/- SI -/-

perawatan

Menyusui 150cc. Thoraks :

ke 3

20 Oktober

Menangis

2014

cukup KU : tenang

BAK (+) 5x

 Cor : S1>S2 Reg

BAB (+) 4x

 Pulmo : SDV +/+ Abdomen : supel, BU (+) Ekstremitas : akral

hari

jam  Inj Gentamisin 2x10mg  Inj Cefotaxime 2 x 150mg  Foto

rontgen

Thorax

hangat, CRT < 2 detik. Tanda Vital : HR : 152 x/menit RR : 64 x/menit 5

S : 370C SpO2 : 98% BB : 3300 gram  Neonatus

21 Oktober

Menangis

cukup KU : tenang

2014

keras (+). Gerakan Kesadaran : CM

pneumonia

cukup aktif (+), K/L : CA -/- SI -/-

perawatan hari

Kemerahan (+).

ke 4

pada mata terlihat

 Neonates

Menyusui 155 cc. lodokan. BAK (+) 7x

Thoraks :

BAB (+) 4x

 Cor : S1>S2 Reg

aterm

 Pulmo : SDV +/+

 Suspek

 O2 1 L/menit  D10 300cc / 24jam  Inj Cefotaxime 2 x 150 mg  Inj Gentamisin 2 x 10 mg

konjungitvitis  Konsultasi

Abdomen : supel,

SpM  Diit : susu 8 x

BU (+) Ekstremitas : akral

10-15 ml

hangat, CRT < 2 detik. Tanda Vital : HR : 140 x/menit RR : 40 x/menit S : 370C SpO2 : 97% BB : 3250 gram

Hasil foto rontgen : Infiltrat paru kanan, suspek

neonatal

pneumonia

Konsul SpM :

 Tobroson

Blefaro

3x

ODS

konjungtivitis (+) KU : kesan Kramer  Neonatal

22 Oktober

Menangis

2014

cukup kuat, Gerak I-II (+) cukup aktif. Kesadaran : CM Menyusui 240cc

K/L : CA -/- SI -/-

pneumonia  Neonates aterm

 O2 1 L/menit  D10 300cc / 24jam  Inj Cefotaxime 6

BAK (+) 7x

Thoraks :

BAB (+) 4x

 Cor : S1>S2 Reg  Pulmo : SDV +/+ Abdomen : supel,

 Ikterus neonatorum  Blefaro

2 x 150 mg  Inj Gentamisin 2 x 10 mg

konjungtivitis  Urdafak

BU (+)

3x18mg  Diit : susu 8 x

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2

30 ml  Foto terapi 1 x

detik. Tanda Vital :

2 jam

HR : 126 x/menit RR : 84 x/menit S : 36,80C SpO2 : 90% BB : 3100 gram 23 Oktober

Menangis

(+) KU : tenang

2014

cukup kuat, Gerak Kesadaran : CM (+) cukup aktif. K/L : CA -/- SI -/Menyusui 220cc

Thoraks :

BAK (+) 6x

 Cor : S1>S2 Reg

BAB (+) 3x

 Pulmo : SDV +/+

 Neonatal pneumonia  Neonates aterm  Ikterus neonatorum

Abdomen : supel,  Blefaro BU (+)

 O2 1 L/menit  D10 300cc / 24jam  Inj Cefotaxime 2 x 150 mg  Inj Gentamisin 2 x 10 mg

konjungtivitis  Urdafak

Ekstremitas : akral

3x18mg  Diit : susu 8 x

hangat, CRT < 2 detik.

30 ml

Tanda Vital : HR : 136 x/menit RR : 75 x/menit S : 36,60C SpO2 : 86% BB : 3100 gram 24 Oktober

Menangis

(+) KU : tenang

2014

cukup kuat, Gerak Kesadaran : CM (+) cukup aktif. K/L : CA -/- SI -/Menyusui

 Neonatal infeksi  Neonatal

 O2 1 L/menit  D10 300cc / 24jam

ASI Thoraks : 7

80cc

 Cor : S1>S2 Reg

BAK (+) 6x

 Pulmo : SDV +/+

BAB (+) 4x

Abdomen : supel,

pneumonia  Neonates

2 x 150 mg  Inj Gentamisin

aterm  Ikterus

BU (+) Ekstremitas : akral

 Inj Cefotaxime

2 x 10 mg

neonatorum

hangat, CRT < 2  Blefaro

 Urdafak 3x18mg

konjungtivitis  Diit : susu 8 x

detik. Tanda Vital :

30 ml

HR : 130 x/menit RR : 42 x/menit 0

S : 36,5 C

 Pasien

boleh

pulang

BB : 3200 gram

8

BAB II PEMBAHASAN II.1

Pneumonia

II.1.1 Definisi Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk merumuskan suatu definisi

yang universal

(Setyoningrum, 2006). Menurut Pedoman Pelayan Medis (2009), pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstitial.

Pneumonia

didefinsikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan penyakitnya. World

Health

Organization

(WHO)

mendefinisikan

pneumonia

hanya

berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan. Pneumonia sebagian besar disebakan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari Pneumonia (virus atau bakteri).

Pneumonia seringkali dipercaya

diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bacterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis (IDAI, 2012).

I.1.2 Epidemiologi Pneumonia adalah penyakit yang terjadi secara umum di semua bagian dunia. Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada semua kelompok 9

usia. Pada anak-anak, kematian banyak terjadi selama periode neonates. WHO memperkirakan satu dari tiga bayi mengalami kematian akibat pneumonia dan lebih dari 2 juta anak dengan usia dibawah 5 tahun meninggal setiap tahunnya (Medical News, 2011). Nessen (2007), mengemukakan risiko terbesar dari kematian akibat pneumonia di masa anak-anak ialah pada masa neonatal. Setidaknya sepertiga dari 10,8 juta kematian pada anak-anak di seluruh dunia terjadi pada 28 hari kehidupan, dengan proporsi yang besar diakibatkan oleh pneumonia. Diperkirakan bahwa pneumonia memberikan kontribusi antara 750 000 dan 1,2 juta kematian neonatal per tahun, terhitung 10% kematian anak secara global. Dari semua kematian neonatal, 96% terjadi di Negara berkembang. Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia menurut survey kesehatan nasional (2001) 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia (IDAI, 2012). Menurut data yang dikutip dari Pedoman Pelayanan Medis, insiden pneumonia pada anak <5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang.

I.1.3 Etiologi Pada neonatus, agen penyebab infkesi umumnya bakteri daripada virus. Infeksi ini sering diperoleh pada saat proses persalinan, dapat berasal dari cairan ketuban atau jalan lahir, tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi dan ventilasi. Tanda-tanda klinis dan radiografi pneumonia pada neonatal dapat nonspesifik.

Kegagalan

untuk

mengobati

pneumonia

pada

neonatal

dapat

mengakibatkan kematian, karena itu semua neonatus menunjukkan tanda-tanda 10

distress pernapasan baik itu tanpa sebab non-infeksi yang jelas harus dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik secara rutin. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju (IDAI, 2012) :

Usia Lahir - 20 hari

Etiologi yang sering

Etiologi yang jarang

Bakteri

Bakteri

E. colli

Bakteri anaerob

Streptococcus group B

Streptococcus group D

Liseria monocytogenes

Haemophillus influenza Streptococcus pneumonia Virus CMV, HSV

3 minggu - 3 bulan

4 bulan – 5 tahun

Bakteri

Bakteri

Chlamidya trachomatis

Bordetella pertussis

Streptococcus pneumonia

Haemophillus influenza tipe B

Virus

Moraxella catharallis

Adenovirus

Staphylococcus aureus

Virus Influenza

Ureaplasma urealyticum

Virus parainfluenza 1,2,3

Virus

Respiratory Syncytial Virus

CMV

Bakteri

Bakteri

Chlamidya pneumonia

Haemophillus influenza tipe B

Mycoplasma pneumonia

Moraxella catharalis

Streptococcus pneumonia

Neisseria meningitides

Virus

Staphylococcus aureus

Adenovirus

Virus

Virus Parainfluenza

Varisela zoster virus

Rinovirus Respiratory Syncytial virus

5 tahun – remaja

Bakteri

Bakteri

Chlamidya pneumonia

Haemophillus influenza tipe B

Mycoplasma pneumonia

Legionalle sp

Streptococcus pneumonia

Staphylococcus aureus 11

Virus Adenovirus Varisela Zoster virus Respiratory Syncytial virus Epstein-Barr virus

I.1.4 Klasifikasi Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu : 1) Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia), bila infeksinya terjadi di masyarakat, dan 2) pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia), bila infeksinya didapat di RS. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spectrum etiologi, gambaran klinis, penyakit dasar atau penyakit penyerta, dan prognosisnya. Pneumonia yang didapat di RS sering merupakan infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga spectrum etiologinya berbeda dengan infeksi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, gejala klinis, derajat penyakit dan komplikasi yang timbul lebih kompleks. Pneumonia yang didapat di RS memerlukan penanganan khusus sesuai dengan penyakit dasarnya (IDAI, 2012).

I.1.5 Patogenesis dan Patologi Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah.

Selanjutnya deposisi fibrin semakin bertambah,

terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.

Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu.

Selanjutnya, jumlah

makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, 12

kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

I.1.6 Manifestasi Klinis Menurut IDAI (2012), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomic dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering dan faktor pathogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia. Pneumonia pada nonatus merupakan gangguan pernapasan pada bayi baru lahir, dengan gejala seperti

pernafasan yang bising atau sulit, Takipnea >

60x/menit, retraksi dada, batuk dan mendengus. WHO tidak membedakan antara pneumonia neonatal dan bentuk lain dari sepsis berat, seperti bakteremia, karena gejala-gejala yang tampak hamper sama, dan keterlibatan organ dan pengobatan empirik rejimen yang sama. Takipnea merupakan tanda yang paling sering didapatkan dalam 60-89% kasus, termasuk tanda lain seperti retraksi dada (3691% kasus), demam (30-56%), ketidakmampuan untuk makan (43 -49%), sianosis (12-40%), dan batuk (30-84%) (Nessen, 2007). Kriteria takipnea menurut WHO : Laju napas normal

Takipnea (frekuensi per

(frekuensi per menit)

menit)

0-2 bulan

30-50

≥ 60

2-12 bulan

25-40

1-5 Tahun

20-30

≥40

>5 tahun

15-25

≥20

Umur

Dikutip dari Gittens MM. P ediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002.

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut : 13

 Gejala infeksi umum : Demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare  Gejala gangguan respiratori : Batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis. Tanda awal dan gejala pneumonia mungkin tidak spesifik, seperti malas makan, letargi, iritabilitas, sianosis, ketidakstabilan temperatur, dan keseluruhan kesan bahwa bayi tidak baik. Gejala pernapasan seperti grunting (mendengus), tachypnea, retraksi, sianosis, apnea, dan kegagalan pernafasan yang progresif. Pada bayi dengan ventilasi mekanik, kebutuhan untuk dukungan ventilasi meningkat dapat menunjukkan infeksi. Tanda-tanda pneumonia pada pemeriksaan fisik, seperti tumpul pada perkusi, perubahan suara napas, dan adanya ronki, radiografi thorax didapatkan infiltrat baru atau efusi pleura. Tanda akhir pneumonia pada neonates tidak spesifik seperti apnea, takipnea, malas makan, distensi abdomen, jaundice, muntah, respirasi distress, dan kolaps sirkulasi (Stoll, 2011). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah dan ronki. Akan tetapi pada neonates dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan (Pedoman Pelayanan Medik, 2009).

I.1.6.1 Pneumonia pada Neonatus dan Bayi Kecil Pneumonia pada neonates sering terjadi akibat transmisi vertical ibu-anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau serviks ibu. Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS (hospital-acquired pneumonia), misalnya dari perawat, dokter atau pasien lain; atau dari alat kedokteran, misalnya penggunaan ventilator.

Di

samping itu, infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari masyarakat (community-acquired pneumonia). 14

Gambaran klinis pneumonia pada neonates dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis. Sepsis pada pneumonia nenonatus dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama. Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan 20-50%.

Angka kematian di

Indonesia dan negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh kerana itu, setiap kemunkinan adanya pneumonia pada neonates dan bayi kecil berusida dibawah 2 bulan harus segera dirawat di RS.

I.1.7 Pemeriksaan Penunjang I.1.7.1

Darah Perifer Lengkap Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya

ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN.

Leukopenia (<5000/mm3) menunjukkan prognosis

yang buruk. Leukositosis (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakterimi dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

I.1.7.2 Uji Serologis Uji serologic untuk mendeteksi antigen dan antibody pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptokokkus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim atau antiDnase B.

15

Secara umum, uji serologis tidak selau bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV, CMV, campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan Adeno, peningkatan antibody IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.

I.1.7.3 Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, specimen dapat berasal dari usap tenggorok, secret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitive bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonates, kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang positif.

I.1.7.4 Pemeriksaan Rontgen Thoraks Kelainan foto rontgen thoraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak-bercak sudah ditemukan ada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk mennunjang diagnosis pneumonia di IGD hanyalah pemeriksaan rontgen thoraks posisi AP. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :  Infiltrate interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi  Infiltrate alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.  Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial. Gambaran

foto

rontgen

thoraks

dapat

membantu

mengarahkan

kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrate interstitial 16

merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus.

Infiltrate

alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilococcus sering ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran.

I.1.8 Diagnosis Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis merupakan dasr terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai.

Oleh karena itu, pneumonia pada anak umumnya didagnosis

berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara napas melemah. Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam upaya penanggulannya, WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehata Primer, dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Tujuannya adalah menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat langsung dideteksi. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut : Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun : 

Pneumonia berat  Bila ada sesak napas  Harus dirawat dan diberikan antibiotic

17



Pneumonia  Bila tidak ada sesak napas  Ada napas cepat dengan laju napas : 

>50 x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun



>40 x/menit untuk anak > 1-5 tahun

 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotic oral 

Bukan pneumonia  Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas  Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotic, hanya diberikan pengobatan simptomati seperti penurun panas

Bayi berusia dibawah 2 bulan: Pada bayi berusia dibawah usia 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut : 

Pneumonia  Bila ada napas cuping cepat (>60 x/menit) atau sesak napas  Harus dirawat dan diberikan antibiotik



Bukan pneumonia  Tidak ada napas cepat atau sesak napas  Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.

I.1.9 Penatalaksanaan Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distress pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonates dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar penatalaksanaan pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotic yang sesuai, serta tindakan suportif.

Pengobatan suportif

meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam 18

dapat diberikan analgetik/antipiretik.

Penyakit penyerta harus ditanggulangi

dengan adekuat, komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi. Penggunaan antibiotic yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.

Terapi antibiotic harus segera diberikan pada anak dengan

pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. berdasarkan pengalaman empiris.

Oleh karena itu, antibiotic dipilih

Umumnya pemilihan antibiotic empiris

didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis.

I.1.9.1 Pneumonia Rawat Jalan Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotic lini pertama secara oral, misalnya amoksislin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotic tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%.

Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25mg/kgBB

sedangkan

kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP – 20mg/kgBB sulfametoksazol.

I.1.9.2. Pneumonia Rawat Inap Kriteria rawat inap menurut Pedoman Pelayanan Medis 2009 adalah : Bayi : -

Saturasi Oksigen ≤92%, sianosis

-

Frekuensi napas > 60x/menit

-

Distress pernapasan, apnea intermiten, atau grunting

-

Tidak mau minum/menetek

-

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Anak : -

Saturasi oksigen < 92%, sianosis

-

Frekuensi napas > 50x/menit

-

Distress pernapasan

-

Grunting 19

-

Terdapat tanda dehidrasi

-

Keluarga tidak bisa merawat di rumah Pasien dengan saturasi oksigen ≤92% pada saat bernapas dengan udara

kamar harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%. -

Pada pneumonia berat atau usapan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan balans cairan ketat

-

Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan pneumonia

-

Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk mejaga kenyamanan pasien dan mengontrol batuk

-

Nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucociliary clearance

-

Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen Pilihan antibiotic lini pertama dapat menggunakan antibiotic golongan

beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsive terhadap beta laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotic lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotic diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotic optimal. Pada neonates dan bayi kecil, terapi awal antibiotic intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonates dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotic yang direkomendasikan adalah antibiotic spectrum luas seperti kombinasi beta laktam/klauvulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil, antibiotic dapat diganti dengan antibiotic oral selama 10 hari.

20

I.1.10 .Kriteria Pulang 

Gejala dan tanda pneumonia telah menghilang



Asupan peroral adekuat



Pemberian antibiotic dapat diteruskan di rumah (per oral)



Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol



Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.

I.1.11.Komplikasi Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti mengitis purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bacteria. Ilten F, dkk melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninavasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim. I.1.12.Perawatan Suportif dan Pencegahan Perawatan supportif pada neonatus dengan pneumonia akan memberikan hasil akhir yang lebih baik dan menurunkan angka kematian. Hal ini termasuk penggunaan

oksigen,

deteksi

dan

pengobatan

hipoksemia

dan

apnea,

termoregulasi, deteksi dan pengobatan hipoglikemia, dan meningkatkan penggunaan cairan intravena dan suplemen gizi melalui nasogastrik. Pemberian ASI yang sering sangat dianjurkan kecuali bila ada kontraindikasi yang pasti, seperti muntah, intoleransi gastrointestinal atau risiko tinggi aspirasi. Strategi

untuk

mencegah

dan

mengobati

pneumonia

neonatal

membutuhkan intervensi di semua tingkat penyediaan layanan kesehatan seperti masyarakat dan perawatan primer. 21

Langkah-langkah yang telah terbukti efektif dalam pencegahan pneumonia neonatal meliputi: (1) manajemen aktif pada penanganan pecah ketuban (2) Inisiasi menyusi dini dan pemberian ASI eksklusif, dan (3) Menghindari pneumonia nosokomial pada unit perawatan intensif di mana akibat infeksi yang umum ditemukan seperti

enterik basil Gram negatif (E. coli, Klebsiella,

Enterobacter dan Pseudomonas spp), Staphylococcus koagulase negatif dan S. aureus multiresisten.

II.2

IKTERUS NEONATORUM

II.2.1 Definisi Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis (terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan) atau dapat merupakan hal yang patologis misalnya pada inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis, galaktosemia, penyumbatan saluran empedu dan sebagainya. Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi ‘kernicterus’ dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia.

II.2.2 Metabolisme Bilirubin Metabolisme bilirubin, terdiri : 1. Transportasi bilirubin Bilirubin bersifat non polar dan tidak larut dalam air.

Bilirubin

ditransportasikan ke sel hati dalam keadaan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang berikatan dengan albumin umumnya tidak akan memasuki 22

sistem saraf pusat dan disebut bilirubin non toksik. Adanya gangguan ikatan bilirubin dengan albumin oleh obat-obat tertentu seperti sulfonamide atau asam lemak bebas pada rasio molar yang tinggi akan meningkatkan toksisitas bilirubin. 2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati Bilirubin non polar dan larut dalam lemak (setelah berdisosiasi dari albumin) akan melewati membrane plasma hepatosit dan berikatan terutama dengan ligandin sitoplasma (protein Y) untuk kemudian dibawa ke reticulum endoplasma halus.

Fenobarbital dapat meningkatkan

konsentrasi ligandin. 3. Konjugasi Bilirubin tak terkonjugasi (indirek) dikonversikan menjadi bilirubin direk di dalam reticulum endoplasma halus oleh enzim uridin difosfat glukoronil transferase (UDPG-T). enzim ini dapat diinduksi oleh fenobarbital dan mengkatalisa

pembentukan

bilirubin

monoglukoronid.

Bilirubin

monoglukoronid kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronid. Bentuk

mono

maupun

diglukoronid

dari

bilirubin

direk,

dapat

diekskresikan ke dalam kanlikuli empedu. Defisiensi UDPG-T bawaan (sindrom Criggler-Najar) dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonates. 4. Ekskresi Bilirubin direk pada saluran empedu akan memasuki saluran pencernaan dan kemudian dieliminasi dari tubuh melalui feses. Bilirubin direk pada keadaan normal tidak diserap dari usus kecuali jika dikonversi balik menjadi bilirubin indirek oleh enzim beta-glukoronidase dan kemudian ditransportasikan enterohepatik.

kembali

ke

hati,

kejadian

ini

disebut

siklus

Keadaan patologis yang dapat meningkatkan siklus

enterohepatik adalah menurunnya masukan melalui enteral, atresia intestinal, ileus mekonium dan penyakit hirschprung.

23

II.2.3 Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi : 1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang mengikat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup sepsis. 2. Gangguan dalam proses ‘uptake’ dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom CrigglerNajjar). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam ‘uptake’ bilirubin ke sel hepar.

24

3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikata pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

II.2.4 Klasifikasi II.2.4.1

Ikterus Fisiologis

Ikterus yang timbulpada bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin yang meningkat perlahan-lahan dan mencapai nilai puncak antara 6-8mg/dL pada hari ke-3 sampai hari ke-4, sebagian besar pada hari ke-5. Peningkatan bilirubin sampai 12mg/dL masih dalam kisaran fisiologis.

Pada bayi kurang bulan

mempunyai nilai puncak antara 10-12 mg/dL, bahkan sampai 15 mg/dL. Pada bayi cukup bulan maupun kurang bulan akumulasi bilirubin kurang dari 5 mg/dL/24 jam.

II.2.4.2

Ikterus Patologis

1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan. Peningkatan atau akumulasi bilirubin serum > 5 mg/dL/hari. Kadar bilirubin total serum > 17mg/dL pada bayi yang mendapat ASI. Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.

25

II.2.5 Derajat Ikterus

II.2.6 Penatalaksanaan 1. Terapi sinar (fototerapi) Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan resiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah 26

dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flaxy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang berlebihan dari lampu-lampu tersbut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi resiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan. Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara,

proses

pemecahan

bilirubin

justru

akan

meningkatkan

pengeluaran cairan empedu ke organ usus. Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapat terapi sinar :  Peningkatan kehilangan cairan yang tidak teratur (insensible water loss) Energi fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan peningkatan penguapan melalui kulit, terutama bayi premature atau berat lahir sangat rendah. Keadaan ini dapat diantisipasi dengan pemberian cairan tambahan.  Frekuensi defekasi meningkat  Meningkatnya

bilirubin

indirek

pada

usus

akan

meningkatkan

pembentukan enzim laktase yang dapat meningkatkan peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.  Timbul kelainan kulit “flea bite rash” di daerah muka badan dan ekstrimitas  Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi dihentikan. Dilaporkan pada beberapa terjadi “Bronze baby syndrom” hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.  Peningkatan suhu 27

Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan pengaturan suhu tubuh bayi pada bayi premature fungsi termostat atau yang belum matang. Pada keadaan ini fototerapi dapat dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh neontus dengan jangka waktu (unterval) yang lebih singkat.  Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum, lateragi, dan iritabilitas. Keadaan ini bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya.  Gangguan pada mata dan pertumbuhan Kelainan retina dan gangguan pertumbuhan ditemukan pada binatang percoban. Pada neonatus yang mendapat terapi sinar, gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya serta gangguan tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan belum ditemukan, walupun demikian diperlukan kewaspadaan perawat tentang kemungkinan timbulnya keadaan tersebut. 2. Fenobarbital Dapat mengekresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatic glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatic pada pigmen dalam empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untk meningkat bilirubin.

Pada suatu

penelitian

menunjukan

pemberian

fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan

cukup

bulan

atau

kurang

bulan

dapat

mengkontrol

terjadinya hiperbilirubinemia, namun karena efeknya pada metabolisme bilirubin biasanya belum terwujud sampai bebrapa hari setelah pemberian obat dan oleh Karena keefektifannya lebih kecil dibandingkan dengan fototerapi dsn mempunyai efek sedative ysng tidsk diinginkan dan tidak menambah respon terhadap fototerapi,maka fenobarbital tidak dianjurkan untuk pengobatan ikterus pada bayi neonates.

28

3. Transfusi Tukar Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebrel palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain. Tujuan transfusi tukar adalah untuk menurunkan kadar bilirubin indirek, mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis, membuang antibody yang menyebabkan hemolisis, dan mengoreksi anemia. Transfusi tukar akan dilakukan oleh dokter pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek sama dengan atau lebih tinggi dari 20mg% atau sebelum bilirubin mencapai kadar 20 mg%. Darah yang digunakan sebagai darah pengganti (darah donor) ditetapkan berdasarkan penyebab hiperbilirubinemia. Indikasi :  Kadar bilirubin indirect darah ≥ 29 mg%  Kenaikan kadar bilirubin indirect darah yang cepat,sebesar 0,3-1 mg% per jam  Anemia berat disertai tanda payah jantung  Bayi dengan Hb tali pusat < 14 mg% dan tes Coombs positif 4. Menyusui Bayi dengan ASI Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru dapat meningkatkan kadar bilirubin sehingga bayi semakin kuning (breast milk jaundice). 5. Terapi Sinar Matahari Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur 29

selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai 09.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam 07.00, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam 09.00 kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit bayi. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.

30

BAB III PENUTUP

S (Subjektif)

By. Ny. NY, ♀, 0 hari merupakan pasien rujukan bidan. Datang dengan keluhan ketuban bercampur dengan mekonium. Pasien lahir cukup bulan dibantu oleh bidan 30 menit SMRS. Menurut bidan berat badan lahir 3200 gram dan panjang badan 51 cm, bayi lahir pukul 14.30, cukup bulan, menangis spontan, tonus otot kuat, gerak aktif dan kemerahan. Apgar score menurut bidan 9-9-9. Keluhan tambahan lainnya adalah pasien terlihat kebiruan dan kedinginan. Selama kehamilan, Ny. NY rutin memeriksakan kehamilannya dan melakukan ANC ke bidan setiap hari selasa. Selama kehamilan, Ny. NY tidak pernah menderita sakit. Ny. Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama. Anak pertama Ny. NY lahir normal, persalinan dibantu oleh bidan. Kehamilan cukup bulan, dan tidak ada penyulit saat kehamilan maupun saat proses lahir dan sesudah lahir. Tidak ada riwayat ketuban pecah dini sebelumnya. NY melahirkan anak keduanya ditolong oleh bidan. Bayi lahir tanggal 18 Oktober 2014 pukul 14.30. Bayi lahir langsung menangis, tonus otot kuat, gerak aktif dan kemerahan. Warna cairan ketuban berwarna hijau. Pada bayi kemudian dilakukan suction oleh bidan. Bayi telah diberikan perawatan bayi baru lahir, injeksi vitamin K 0,1 ml, salep mata, O2 1 liter per menit dan kangaroo mother care. Berdasarkan keluhan pasien, perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya aspirasi mekonium, hal ini didasarkan pada air ketuban yang telah tercampur dengan mekonium.

31

O (Objektif) Keadaan umum

: Lemah

Kesadaran

: Compos Mentis

Nadi

: 140 x/menit

Respiration Rate

: 58 x/menit

Suhu

: 37 0C

Pemeriksaan kepala

: napas cuping hidung (+)

Pemeriksaan thoraks : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Pemeriksaan abdomen: dalam batas normal Pemeriksaan ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), capilary refill time < 2 detik.

Assesment : Pneumonia Neonatus

Planning a. Farmakologi 

O2 1 liter/menit   membantu perfusi oksigen ke jaringan



Infus D10 300 cc/24 jam  Dextrose adalah monosakarida yang dijadikan sebagai sumber energi bagi tubuh



Inj. Cefotaksim 2 x 150 mg  memiliki aktivitas luas terhadap bakteri gram positif dan gram negative.

Cefotaxime merupakan golongan

sefalosporin generasi ke tiga yang memiliki stabilitas yang sangat tinggi terhadap beta laktamase.

 Inj. Gentamisin 2 x 10 mg  Gentamisin merupakan suatu antibiotika golongan aminoglikosida yang aktif menghambat kuman-kuman grampositif maupun kuman gram-negatif termasuk kuman-kuman yang resisten terhadap antimikroba lain, seperti Staphylococcus penghasil penisilinase.

b. Non-Farmakologi 

Bed rest



Diet susu 8 x 10 cc 32

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, A.H., Hegar, B.,Handryastuti S., Idris, N.S., Gandaputra, E.P., Harmoniati, E.H, [Ed]. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia, halaman 250-254. 2. Asih, Retno,. Landia., MS, Makmuri. 2006. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. FK UNAIR RSU Dr. Soetomo Surabaya. 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 4. Said, M. 2012. Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia, halaman 350364. 5. Khan,

Ali

Nawaz,

dkk.

2014.

Neonatal

Pneumonia

Imaging.

http://emedicine.medscape.com/article/412059-overview#a19 [Diakses pada : 28 Oktober 2014]. 6. Igor, Rudan., dkk. 2008. Epidemiology and Etiology of Childhood Pneumonia. Bulletin of the World Health Organization. Vol 86: 321. [Diakses dari : http://www.who.int/bulletin/volumes/86/5/07-048769/en/] [Diakses pada : 28 Oktober 2014]. 7. Sukadi, A., Usman, Ali,. Effendi, S.H. 2002. Perinatologi. Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS, Bandung. 8. Nissen DM. Congenital and Neonatal Pneumonia. Pediatric Respiratory Reviews. Australia: Elsevier. 2007. p195-203. 9. Stoll JB. Clinical Manifestations of Transplacental Intrauterine Infection. Nelson Texbook of Pediatrics. New York: Elsevier. 2011. 19th ed. P.103.639. 10. Soetikno DR. Pneumonia neonatus. Kegawatdaruratan pada Pediatri. Radiologi Emergency. Bandung; Rafika Aditama. 2011. P260-262

33

Related Documents


More Documents from "Sri Kuspartianingsih"