Laporan Resmi Praktikum Teknologi Sediaan Steril: Pembuatan Sediaan Injeksi Rekonstitusi Natrium Amoksisilin 5%

  • Uploaded by: Nurul Azizah
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Resmi Praktikum Teknologi Sediaan Steril: Pembuatan Sediaan Injeksi Rekonstitusi Natrium Amoksisilin 5% as PDF for free.

More details

  • Words: 8,238
  • Pages: 41
Loading documents preview...
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL Pembuatan Sediaan Injeksi Rekonstitusi Natrium Amoksisilin 5%

Nama

: Nurul Azizah

NPM

: 1118005621

Semester/Kelompok

:4/B

Dosen Pengampu

: 1. Metha Anung Anindhita,M.Sc.,Apt. 2. Rismi Fatoni, M.Sc.,Apt.

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI PRODI STUDI D-III FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PEKALONGAN 2020

PRAKTIKUM 9 PEMBUATAN SEDIAAN INJEKSI REKONSTITUSI NATRIUM AMOKSISILIN 5% I.

TUJUAN

1. Mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan sediaan steril injeksi furosemid 1% 2. Mahasiswa dapat melakukan evaluasi sediaan,yang meliputi :

II.

-

Uji Kebocoran.

-

Uji Volume Terpindahkan.

-

Uji Partikular.

-

Uji Kejernihan

-

Uji Penetapan pH

-

Uji Stabilitas

-

Uji Waktu Rekonstitusi DASAR TEORI

Injeksi rekonstitusi adalah sediaan parenteral berbentuk serbuk yang dilarutkan terlebih dahulu kedalam pelarut yang sesuai ketika akan digunakan. Injeksi rekonstitusi cocok untuk zat aktif mudah terhidrolisis. Injeksi rekonstitusi ada dua jenis yaitu injeksi rekonsrirusi larutan sejati dan injeksi rekonstitusi suspensi. (Voight, R. 1995) 1. Injeksi Rekonstitusi Larutan Sejati  Zat aktif terhidrolisis dan termolabil : (lyophilized) Zak aktif dan semua eksipient dilarutkan dalam air, kemudian difiltrasi membran dan dikering bekukan (lyophilisasi). Hasil lyophilisasi lebih hidrofilik sehingga lebih mudah direkonstitusi dengan pembawa.  Zak aktif terhidrolisis dan termolabil : (dry filled powder) Serbuk disterilisasi dengan cara panas atau radiasi, kemudian diisikan dalam vial secara aseptic 2. Injeksi Rekonstitusi Suspensi  Dry filled powder  Serbuk zat aktif dapat disterilkan dengan cara filtrasi sebelum dilakukan kristalisasi, sterilisasi gas (kontaminan residu gas), radiasi  Jarang ditambahkan suspending agent

 Untuk mendapatkan efek tiksotropik dapat digunakan suspending agent atau bahan pengental yang mengembang dengan cepat dalam air. (Ansel, H.C., 1989) 

Syarat sediaan injeksi suspensi yaitu: a. Mengandung < 5% zak aktif b. Ukuran partikel 5-10 μm harus dapat melewati jarum suntik dengan mudah c. Distribusi ukuran sempit, tidak boleh caking pada penyimpanan d. Steril e. Bebas pirogen f. Stabil secara fisik dan kimia selama penyimpanan (Rajesh M. Patel . 2010)



Keuntungan Sediaan Injeksi Rekonstitusi Untuk zat aktif yang tidak stabil dalam pembawa air, kestabilan zat aktif dapat dipertahankan karena kontak zat padat dengan medium pendispersi dapat dipersingkat dengan mendispersikan zat padat dalam medium pendispersi pada saat akan digunakan.



Kekurangan dari sediaan Injeksi Rekonstitusi antara lain : 1. Stabilisasi suspensi untuk periode antara pembuatan & penggunaan menghadirkan sejumlah masalah, misalnya padatan secara bertahap mengendap dan mungkin terjadi fenomena caking, sehingga sulit untuk terdipersi kembali saat akan digunakan. 2. Pemeliharaan stabilitas secara fisika sangat sulit jika dalam sediaan suspensi injeksi. 3. Ketidakseragaman dosis pada waktu pemberian. 4. Kesulitan dalam pembuatan : Diperlukan fasilitas khusus untuk menjaga keadaan aseptis selama proses pembuatan, seperti kristalisasi, pereduksian ukuran partikel, pembasahan dan sterilisasi. 5. Kesulitan dalam formulasi : memilih komposisi bahan seperti suspending agent, viscosity inducing agent, pembasah, penstabil dan pengawet.(Tungadi, Robert. 2017)



Injeksi dapat digolongkan sebagai berikut : 1. Injeksi intrakutan atau intradermal (i.c) Biasanya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang disuntikan sedikit (0,1-0,2 mL). digunakan untuk tujuan diagnosa. 2. Injeksi subkutan atau hipoderma (s.c)

Umumnya larutan isotonus, jumlah larutan yang disuntikan tidak lebih dari 1 mL. Disuntikan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam “alveola”, kulit mula-mula diusap

dengan

cairan

desinfektan

(etanlo

70%).

Dapat

ditambahkan

vasokonstriktor seperti epinefrina 0,1% untuk melokalisir efek obat. Larutan harus sedapat mungkin isotonus, sedangpH-nya sebaiknya netral, maksudkan untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah kemungkinan terjadi nekrosis (mengendornya kulit). Jika tidak disuntikan secara infus, volume injeksi 3 Lt sampai 4 Lt sehari, masih dapat disuntikkan secara subkutan dengan penambahan hialuronidase ke dalam injeksi atau jika sebelumnya disuntik hialuronidase. 3. Injeksi intramuscular (i.m) Merupakan larutan atau suspense dalam air atau minyak atau emulsi. Disuntikkan masuk otot daging dan volume sedapat mungkin tidak lebih dari 4 mL. Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit, sedapat mungkin tidak lebih dari 4 mL. Ke dalam otot dada dapat disuntikkan sampai 200 mL, sedang otot lain volume yang disuntikkan lebih kecil. 4. Injeksi intravenus (i.v) Merupakan larutan, dapat mengandung cairan yang tidak menimbulkan iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 mL sampai 10 mL. Larutan ini biasanya isotonus atau hipertonus. Bila larutan hipertonus maka disuntikan perlahan-lahan. Jika larutan yang diberikan banyak umumnya lebih dari 10 mL disebut infus, larutan diusahakan supaya isotonus dan diberikan dengan kecepatan 50 tetes tiap menit dan lebih baik pada suhu badan. Emulsi minyak-air dapat diberikan, asal ukuran butiran minyak cukup kecil (emulsi mikro). Bentuk suspensi atau emulsi makro tidak boleh diberikan melalui intravena. 5. Injeksi intraarterium (i.a) Umumnya berupa larutan, dapat mengandung cairan non-iritan yang dapat bercampur dengan air, volume yang disuntikan 1 mL sampai 10 mL dan digunakan bila diperlukan efek obat yang segera dalam daerah perifer. 6. Injeksi intrakor atau intrakardial (i.k.d) Berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat, dan disuntikan ke dalam otot jantung atau ventrikulus.

7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intradural Berupa laturan harus isotonus, sebab sirkulasi cairan cerebropintal adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonus. Larutan harus benar-benar steril, bersih sebab jaringan syaraf daerah anatomi di sini sangat peka. 8. Injeksi intrakulus Berupa larutan atau suspense dalam air yang disunikan ke dalam cairan sendi dalam rongga sendi. 9. Injeksi subkonjungtiva Berupa larutan atau suspensi dalam air yang untuk injeksi selaput lendir mata bawah, umumnya tidak lebih dari 1 mL. 10. Injeksi yang digunakan lain: a. Intraperitoneal (i.p) disuntikkan langusng ke dalam rongga perut, penyerapan cepat, bahaya infeksi besar dan jarang dipakai. b. Peridural (p.d) ekstra dural, disuntikan ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang. c. Intrasisternal (i.s) disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada otak. (Syamsuni, 2006) 

Keuntungan Sediaan Injeksi 1. Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang menjadi pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shok. 2. Terapi parenteral diperlukan untuk obat-obat yang tidak efektif secara oral atau yang dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan antibiotik. 3. Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus diberikan secara injeksi. 4. Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena pasienharus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus, pasien tidak dapat menerima obat secara oral. 5. Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan seperti pada gigi dan anestesi.

6. Terapi parenteral dapat memperbaiki kerusakans erius pada keseimbangan cairan dan elektrolit. 7. Bila makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total diharapkan dapat dipenuhi melalui rute parenteral. 8. Aksi obat biasanya lebih cepat. 9. Seluruh dosis obat digunakan. 10. Jika pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian intravena dapat menyelamatkan hidupnya. 

`Kerugian Sediaan Injeksi. 1. Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lain. Pada pemberian parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari beberapa rasa sakit tidak dapat dihindari 2. Obat yang diberikan secara parenteral menjadi sulit untuk mengembalikan efek fisiologisnya. 3. Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v. 4. Dalam beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan untuk mengatur dosis. 5. Sekali digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika pasien hipersensitivitas terhadap obat atau overdosis setelah penggunaan, efeknya sulit untuk dikembalikan lagi. 6. Pemberian beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian sebab udara atau mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek sampingnya dapat berupa reaksi phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.(Ansel, H.C. 1989)



Jenis Sediaan Suspensi Rekonstitusi Ada 3 jenis sediaan suspensi rekonstitusi, yaitu : 1. Suspensi rekonstitusi yang berupa campuran serbuk Formulasi berupa campuran serbuk merupakan cara yang paling mudah dan sederhana. Proses pencampuran dilakukan secara bertahap apabila ada bahan berkhasiat dalam komponen yang berada dalam jumlah kecil. Penting untuk diperhatikan, alat pencampur untuk mendapatkan campuran yang homogen. -

Keuntungan formulasi bentuk campuran serbuk : a. Alat yang dibutuhkan sederhana, hemat energi dan tidak banyak

b. Jarang menimbulkan masalah stabilitas dan kimia karena tidak digunakannya pelarut dan pemanasan saat pembuatan. c. Dapat dicapai keadaan kelembaban yang sangat rendah -

Kerugian formulasi bentuk campuran serbuk : a. Homogenitas kurang baik. Sulit untuk menjamin distribusi obat yang homogen ke dalam campuran. b. Kemungkinan adanya ketidakseragaman ukuran partikel. c. Aliran serbuk kurang baik. d. Variasi ukuran partikel yang terlalu banyak berbeda dapat menyebabkan pemisahan dalam bentuk lapisan dengan ukuran berbeda. Aliran yang tidak baik dapat menimbulkan pemisahan.

2. Suspensi rekonstitusi yang digranulasi Pembuatan dengan cara digranulasi terutama ditujukan untuk memperbaiki sifat aliran serbuk dan pengisian dan mengurangi volume sediaan yang voluminous dalam wadah. Dengan cara granulasi ini, zat aktif dan bahan-bahan lain dalam keadaan kering dicampur sebelum diinkorporasi atau disuspensikan dalam cairan penggranulasi. Granulasi dilakukan dengan menggunakan air atau larutan pengikat dalam air. Dapat juga digunakan pelarut non-air untuk bahan berkhasiat yang terurai dengan adanya air. -

Keuntungan cara granulasi : a. Memiliki penampilan yang lebih baik daripada campuran serbuk. b. Memiliki sifat aliran yang lebih baik. c. Tidak terjadi pemisahan. d. Tidak terlalu banyak menimbulkan debu selama pengisian.

-

Kerugian cara granulasi : a. Melibatkan proses yang lebih panjang serta dibutuhkan peralatan yang lebih banyak dan butuh energi listrik. b. Adanya panas dan kontak dengan pelarut dapat menyebabkan terjadinya resiko instabilitas zat akif. c. Sulit sekali menghilangkan sesepora cairan penggranul dari bagian dalam granul dimana dengan adanya sisa cairan penggranul kemungkinan dapat menurunkan stabilitas cairan. d. Eksipien yang ditambahkan harus stabil terhadap proses granulasi.

e. Ukuran granul diusahakan sama karena bagian yang halus akan memisah sebagai fines. 3. Suspensi rekonstitusi yang merupakan campuran antara granul dan serbuk Pada cara ini komponen yang peka terhadap panas seperti zat aktif yang tidak stabil terhadap panas atau flavor dapat ditambahkan sesudah pengeringan granul untuk mencegah pengaruh panas. Pada tahap awal dibuat granul dari beberapa komponen, kemudian dicampur dengan serbuk (fines). -

Kerugian dari cara ini : a. Meningkatnya resiko tidak homogen. b. Untuk menjaga keseragaman, ukuran partikel harus dikendalikan. (Stefanus, Lukas. 2006)



Syarat-syarat larutan untuk direkonstitusi baik sediaan steril maupun non steril adalah: a.

Campuran serbuk harus homogen agar dosis tetap pada setiap pemberian obat.

b.

Campuran serbuk harus larut secara sempurna di dlam air.

c.

Larutan harus mudah dituang dan memiliki dosis yang tepat, sesuai dan sama.

d.

Produk akhir haruslah memiliki penampilan yang dapat diterima,bau dan rasanya menarik. ( Parrot, E.L . 1970 )



Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari sediaan suspensi parenteral antara lain 1.

Kelarutan obat dalam cairan sel di tempat penyuntikan.

2.

Kelarutan lemak dan koefisien partisi minyak-air pada obat.

3.

pKa pada obat.

4.

Tingkat laju disolusi dari bentuk sediaannya.

5.

Ukuran partikel obat dalam suspensi parenteral.

6.

Kompatibilitas dengan bahan lainnya. (Ansel, H.C., 1989)



Amoksisilin Natrium

- Alasan pemilihan zat aktif Amoxicillin digunakan sebagai obat antibiotic untuk berbagai macam infeksi. Amoksisilin (amoksisilin) merupakan turunan ampisilin dan memiliki spektrum antibakteri yang sama. lebih baik diserap daripada ampicillin bila diberikan melalui mulut, konsentrasi plasma dan jaringan lebih tinggi. tidak seperti ampisilin, penyerapannya tidak terpengaruh oleh kehadiran makanan dalam perut (Tjay dan Rahardja . 2007) - Farmakologi Amoksisilin resisten terhadap inaktivasi oleh asam lambung. Hal ini lebih cepat dan lebih benar-benar diserap daripada ampisilin bila diberikan secara oral. Konsentrasi plasma puncak amoksisilin sekitar 5 mikrogram / mL telah diamati 1 sampai 2 jam setelah dosis 250 mg, dengan jumlah yang terdeteksi hingga 8 jam. pergandaan dosis dapat melipatgandakan konsentrasi. keberadaan makanan di dalam perut tidak menimbulkan pengurangan jumlah total yang diserap. Sekitar 20% terikat pada protein plasma dan plasma waktu paruh 1 sampai 1,5 jam telah dilaporkan. Waktu paruh mungkin berkepanjangan pada neonatus, lansia, dan pasien dengan gangguan ginjal; dalam gangguan ginjal berat waktu paruh mungkin 7 sampai 20 jam. Sekitar 60% dosis oral amoksisilin diekskresikan dalam bentu tidak berubah dalam urin dalam 6 jam melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Konsentrasi urin di atas 300 mikrogram / mL telah dilaporkan setelah dosis 250 mg.( Sweetman,S.C. 2007) - Indikasi Amoksisilin adalah analog 4-hidroksi ampisilin dan digunakan untuk infeksi. termasuk actinomycosis, anthrax, infeksi saluran empedu, bronkitis, endokarditis (terutama untuk profilaksis), gastro-enteritis (termasuk salmonella enteritis, tapi tidak shigellosis), gonore, penyakit Lyme, infeksi mulut, otitis media, pneumonia, gangguan limpa (profilaksis

infeksi pneumokokus), demam tifoid dan paratifoid, dan infeksi saluran

kencing.

(Sweetman,S.C. 2007) - Dosis Amoksisilin diberikan melalui suntikan intramuskular atau intravena lambat dalam dosis 500 mg setiap 8 jam. Pada infeksi berat, 1 g amoksisilin dapat diberikan tiap 6 jam dengan injeksi intravena lambat selama 3 sampai 4 menit atau dengan infus lebih dari 30 sampai 60 menit. Anak-anak sampai usia 10 tahun dapat diberikan 50 sampai 100 mg / kg sehari dengan suntikan dalam dosis terbagi.( Sweetman,S.C. 2007) - Efek Samping Efek samping utama yang dilaporkan dengan aminopenicillins efek GI, ruam, dan reaksi hipersensitivitas. Dengan pengecualian diare (yang telah dilaporkan paling sering dengan ampisilin), frekuensi dan keparahan efek samping umumnya sama antara ampisilin dan amoksisilin.( Sweetman,S.C. 2007) 

Sterilisasi Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara

tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relative, dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya dapat diduga atas dasar proyeksi kinetis angka kematian mikroba (Lachman., 1994). Alasan melakukan Sterilisasi: -

Untuk mencegah transmisi penyakit

-

Untuk mencegah pembusukan material/mikroorganisme

-

Untuk mencegah kompetisi nutrient dalam media pertuhan sehingga kultur organisme spesifik berbiak untuk keperluan sendiri (seperti produksi ragi) atau untuk metabolitnya (seperti untuk memproduksi minumam dan antibiotika).

Metode-metode sterilisasi menurut Ansel , yakni: a. Sterilisasi uap (lembab panas), yakni sterilisasi yang dilakukan dalam autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan. b. Sterilisasi panas kering, yakni sterilisasi yang biasa dilakukan dengan oven pensteril yang dirancang khusus untuk tujuan sterilisasi.

c. Sterilisasi dengan penyaringan, yakni sterilisasi yang tergantung pada penghilangan mikroba secara fisik dengan adsorpsi pada media penyaring atau dengan mekanispe penyaringan, digunakan untuk sterilisasi larutan yang tidak tahan panas. d. Sterilisasi gas, sterilisasi gas dilakukan pada senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan uap dimana dapat disterilkan dengan cara memaparkan gas etilen oksida atau protilen oksida. Gas-gas ini sangat mudah terbakar bila tercampur dengan udara, tetapi dapat digunakan dengan aman bila diencerkan dengan gas iner seperti karbondioksida, atau hidrokarbon terfluorinasi yang tepat sesuai. e. Sterilisasi dengan radiasi pengionan, yakni teknik-teknik yang disediakan untuk sterilisasi beberapa jenis sediaan-sediaan farmasi dengan sinar gama dan sinar-sinar katoda, tetapi penggunaan teknik-teknik ini terbatas karena memerlukan peralatan yang sangat khusus dan pengaruh-pengaruh radiasi pada produk-produk dan wadahwadah. (Hadieotomo,R.S. 1985) 

Ruang Produksi

Ruangan produksi sediaan steril di industri farmasi merupakan salah satu aspek yang harus dijaga kebersihan dan kesterilan ruangannya. Ruang produksi adalah tempat yang disiapkan secara khusus dari bahan – bahan dan tata bentuk yang harus sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik. Hal ini dimaksudkan agar obat dan bahan obat yang akan diproduksi terhindar dari kontaminasi. Berdasarkan standar industri/ pabrik farmasi area pabrik dibagi menjadi 4 zona dimana masing-masing zona memiliki spesifikasi tertentu. Empat zona tersebut meliputi : a. Unclassified Area Area ini merupakan area yang tidak dikendalikan (Unclassified area) tetapi untuk kepentingan tertentu ada beberapa parameter yang dipantau. Termasuk didalamnya adalah laboratorium kimia (suhu terkontrol), gudang (suhu terkontrol untuk cold storage dan cool room), kantor, kantin, ruang ganti dan ruang teknik. b. Black area Area ini disebut juga area kelas E. Ruangan ataupun area yang termasuk dalam kelas ini adalah koridor yang menghubungkan ruang ganti dengan area produksi, area staging bahan kemas dan ruang kemas sekunder. Setiap karyawan wajib mengenakan sepatu dan pakaian black area (dengan penutup kepala)

c. Grey area Area ini disebut juga area kelas D. Ruangan ataupun area yang masuk dalam kelas ini adalah ruang produksi produk non steril, ruang pengemasan primer, ruang timbang, laboratorium mikrobiologi (ruang preparasi, ruang uji potensi dan inkubasi), ruang sampling di gudang. Setiap karyawan yang masuk ke area ini wajib mengenakan gowning(pakaian dan sepatu grey). Antara black area dan grey area dibatasi ruang ganti pakaian grey dan airlock. d. White area Area ini disebut juga area kelas C, B dan A (dibawah LAF). Ruangan yang masuk dalam area ini adalah ruangan yang digunakan untuk penimbangan bahan baku produksi steril, ruang mixing untuk produksi steril, background ruang filling, laboratorium mikrobiologi (ruang uji sterilitas). Setiap karyawan yang akan memasuki area ini wajib mengenakan pakaian antistatik (pakaian dan sepatu yang tidak melepas partikel). Antara grey area dan white area dipisahkan oleh ruang ganti pakaian white dan airlock. Airlock berfungsi sebagai ruang penyangga antara 2 ruang dengan kelas kebersihan yang berbeda untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari ruangan dengan kelas kebersihan lebih rendah ke ruang dengan kelas kebersihan lebih tinggi. (Hadieotomo,R.S. 1985) Berdasarkan CPOB, ruang diklasifikasikan menjadi kelas A, B, C, D dan E, dimana setiap kelas memiliki persyaratan jumlah partikel, jumlah mikroba, tekanan, kelembaban udara dan air change rate. Dalam pembuatan produk steril terdapat 4 kelas ruang bersih : 1. Kelas A Zona ruangan untuk kegiatan yang beresiko tinggi, missal daerah pengisian, wadah, tutup karet, ampul dan vial terbuka, serta pengembangan (pelarutan) secara aseptic.Umumnya kondisi ini dicapai dengan memasang unit aliran udara laminar (laminar air flow) ditempat kerja. System udara laminar haruslah mengalirkan udara dengan kecepatan teratur dan rata – rata berkisar anatara 0,36 – 0,54 m/detik ( nilai acuan ) pada posisi kerja dalam ruang bersih. 2. Kelas B Untuk pembuatan dan pengisisan seacara aseptic. Kelas ini merupakan lingkungan yang melatarbelakangi zona kelas A.

3. Kelas C dan D Area bersih untuk melakukan tahap pembuatan produk stetil dengan tingkat resiko lebih rendah. (Hadieotomo,R.S. 1985) 

Wadah Injeksi: Wadah untuk injeksi termasuk penutup tidak boleh berinteraksi melalui berbagai cara

baik secara fisik maupun kimiawi dengan sediaan, yang dapat mengubah kekuatan, mutu atau kemurnian di luar persyaratan resmi dalam kondisi biasa pada waktu penanganan, pengangkutan, penyimpanan, penjualan, dan penggunaan. Wadah terbuat dari bahan yang dapat mempermudah pengamatan terhadap isi. Tipe kaca yang dianjurkan untuk tiap sediaan umumnya tertera dalam masing-masing monografi. (Depkes RI, 1995). Wadah dan sumbatnya tidak boleh mempengaruhi bahan yang disimpan di dalamnya baik secara kimia maupun secara fisika, yang dapat mengakibatkan perubahan khasiat, mutu dan kemurniannya.( Depkes RI, 1979). Wadah berhubungan erat dengan produk. Tidak ada wadah yang tersedia sekarang ini yang benar - benar tidak reaktif, terutama dengan larutan air. Sifat fisika dan kimia mempengaruhi kestabilan produk tersebut, tetapi sifat fisika diberikan pertimbangan utama dalam pemilihan wadah pelindung (Lachman, dkk, 1994). Wadah terbuat dari berbagai macam bahan, wadah plastik, wadah gelas, dan wadah dari karet. Wadah plastik, bahan utama dari plastik yang digunakan untuk wadah adalah polimer termoplastik, unit struktural organik dasar untuk masing - masing type yang biasa terdapat dalam bidang medis. Sesuai dengan namanya, polimer termoplastik meleleh pada temperatur yang meningkat. Wadah plastik digunakan terutama karena bobotnya ringan, tidak dapat pecah, serta bila mengandung bahan penambah dalam jumlah kecil, mempunyai toksisitas dan reaktivitas dengan produk yang rendah. Suatu golongan plastik baru, poliolefin, patut disebut secara khusus, yang saat ini mendapat perhatian dalam bidang parenteral adalah polipropilen dan kopolimer polietilen - polietilen (Lachman, dkk. 1994). Wadah Gelas masih tetap merupakan bahan pilihan untuk wadah produk yang dapat disuntikkan. Gelas pada dasarnya tersusun dari silkon dioksida tetrahedron, dimodifikasi secara fisika dan kimia dengan oksida-oksida seperti oksida natrium, kalium, kalsium, magnesium, alumunium, boron, dan besi. Gelas yang paling tahan secara kimia hampir

seluruhnya tersusun dari silikon dioksida, tetapi gelas tersebut relatif rapuh dan hanya dapat dilelehkan dan dicetak pada temperatur tinggi (Lachman, dkk. 1994).

 1.

Uraian Bahan Amoksisilin Natrium ( Rowe,Raymond C. 2009)

Pemerian

: Serbuk putih atau sangat putih, sangat higroskopik

Kelarutan

: Sangat larut dalam air, kurang larut dalam alkohol, sangat larut dalam

aseton. Larutan 10% dalam air mempunyai pH 8.0 sampai 10.0. Penyimpanan : Disimpan dalam tempat kedap udara. Kegunaan 2.

: Zat Aktif ( Antibiotik )

NaH2PO4 (Natrium dihidrogen fosfat , Natrium Asam Fosfat) ( Rowe,Raymond C. 2009) Pemerian

: Tidak berbau, tidak berwarna atau putih, anhidratnya berupa serbuk

kristal atau granul putih. Larutannya asam atau melepaskan CO2 dengan natrium karbonat. Kelarutan

: 1 dalam 1 bagian air, praktis tidak larut dalam alkohol, kloroform dan

eter. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, tempat yang kering dan sejuk. Kegunaan 3.

: Bahan pendapar

Na2HPO4 (Dinatrium Hidrogen Fosfat) ( Rowe,Raymond C. 2009) Pemerian

: Kristal putih, tidak berwarna, larutannya alkali, tidak berbau,

efforesensi, kristal transparan. Kelarutan

: 1 gram dalam 4 ml air. 1 gram dalam 5 ml air, praktis. Tidak larut

dalam alkohol. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, tempat yang kering dan sejuk Kegunaan 4.

: Bahan pendapar

Benzil Alkohol ( Rowe,Raymond C. 2009) Pemerian

: Cairan tidak berwarna, bau aromatik lemah; rasa membakar tajam.

Mendidih pada suhu 2060C tanpa peruraian . netral terhadap lakmus. Kelarutan

: agak sukar larut dengan air, mudah larut dalam etanol 50%

bercampur dengan etanol, dengan eter dan dengan kloroform.

Penyimpanan : wadah tertutup rapat terlindung dari cahaya dan disimpan di tempat sejuk dan kering. Kegunaan 5.

: pengawet

Aqua Pro Injeksi (FI III hal 97) Air untuk injeksi adalah air suling segar yang disuling kembali, disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C. Pembuatan

: Suling air suling segar menggunakan alat kaca netral atau

wadah logamyang cocok yang dilengkapi dengan labu percik. Buang sulingan pertama tampung sulingan berikutnya dalam wadah yang cocok.Sterilkan segera dengan cara sterilisasi A atau C tanpa penambahan bakterisida.Untuk memperoleh air untuk injeksi bebas udara yang disebut juga air untuk injeksi bebas carbon dioksida, didihkan sulingan selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah sesempurna mungkin hubungan dengan udara,dinginkan, masukka dalam wadah tertutup kedap, sterilkan segera dengan sterilisasi A. Pemerian

: Keasaman kebasaan; ammonium; besi; tembaga, timbale;

kalsium;klorida; nitrat sulfat; zat teroksidasi memenuhi syarat yang tetera pada aquadestilata. Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup kedap. Jika disimpan dalam wadah

bertutup kapas berlemak harus digunakan dalam waktu 3 hari setelah pembuatan. Kegunaan

: Pembawa, Pelarut.



Tujuan Evaluasi Sediaan Injeksi

1. Uji Kebocoran Tujuan : Memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga steriitas serta kestabian sediaan. 2. Uji Volume Terpindahkan Tujuan : Untuk mengetahui volume sediaan apakah sudah sesuai dengan volume yang tertera pada etiket. 3. Uji Partikular Tujuan : Untuk menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang ukuran tertentu pada sediaan infus. 4. Uji Kejernihan Tujuan : Untuk memastikan bahwa larutan injeksi bebas dari partikulat yang dapat terlihat secara visual. 5. Uji Penentuan pH Tujuan : Untuk mengetahui pH dari suatu sediaan injeksi dan untuk mengetahui kesesuaiannya dengan persyaratan yang telah ditentukan (Depkes RI, 2014) 6. Uji Waktu Rekonstitusi Tujuan : Untuk mengetahui berapa waktu yang dibutuhkan serbuk untuk dapat melarut dengan pelarutnya. (Voight, R. 1995)

III.

PENDEKATAN FORMULA

No

Bahan

Jumlah

Fungsi/alas an penambahan

(%) 5% (b/v)

bahan

1.

Amoksisilin natrium

2.

NaH2PO4

0,06435(b/v)

3.

Na2HPO4

0,61857(b/v)

4.

Benzil alkohol

0,1% (v/v)

Pengawet Antimikroba

5.

Aqua pi

Ad 100 mL

Pelarut

IV.

Dapar

PENIMBANGAN BAHAN

No. 1. 2. 3. 4. 5. V.

Zat aktif

Nama Bahan Amoksisilin natrium NaH2PO4 Na2HPO4 Benzil alkohol Aqua Pro Injeksi

Jumlah yang ditimbang 3,3 g 0,03861 g 0,37114 g 0,1 ml Ad 100 ml

PERSIAPAN ALAT/WADAH/BAHAN 1. Alat

No.

Nama Alat

Jumlah

1.

Gelas kimia 250 mL

3

2.

Batang pengaduk

1

3.

Spatel

3

4.

Kaca arloji

3

5.

Pipet tetes

1

6.

Corong

1

7.

Pinset

1

Cara Sterilisasi

Oven pada suhu 1700 C selama 1 jam

8.

Gelas ukur 50 mL

1

Autoklaf suhu 1210C selama 15

9.

Karet pipet tetes

1

menit Direndam pada etanol 70%

10.

Buret

1

11.

Jarum buret

1

12.

Penyaring 0,22 µm

2

13.

Tissue/ serbet

qs

selama 24 jam. Untuk penyaring(membran filter) dan tissue disterilisasi dengan menggunakan oven.

2. Wadah No.

Nama Alat

Jumlah

Cara Sterilisasi

1.

Vial

6

Oven 1700C, 1 jam

2.

Ampul

6

Direndam dalam etanol 70%

3.

Tutup vial

6

selama 24 jam.

3. Bahan No 1.

Nama Bahan

Jumlah

Amoksisilin natrium

2

Sterilisasi dengan radiasi (cara dingin) Oven 1700C, 1 jam

2.

NaH2PO4

5

3.

Na2HPO4

3

4.

Benzil alkohol

6

Autoklaf suhu 1210C selama 15

5.

Aqua pi

5

menit

VI.

CARA KERJA

a. PROSEDUR PEMBUATAN INJEKSI

1. Prosedur mencuci tangan 1. Buka bungkus pembesih kuku ↓ 2. Cuci tangan dari ujung jari hingga siku dengan air mengalir ↓ 3. Ambil sabun antiseptik dan oleskan pada tangan dariujung jari hingga ujung siku ↓ 4. Sikat kuku dengan pembersih kuku hingga bersih ↓ 5. Pastikan sela sela jari , punggung, dan telapak tangan hingga bersih ↓ 6. Bersihkan pergelangan tangan hingga siku sampai bersih ↓ 7. Bilas tangan, satu tangan hingga bersih ,baru tangan berikutnya ↓ 8. Biarkan air menetes dari siku ↓ 9. Keringkan tangan dengan handuk atau tissue ↓ 10. Pastikan posisi siku lebih rendah dari pergelangan tangan ↓ 11. Atur kembali lengan baju seperti seharusnya, gunakan tissue untuk melapisi tangan ↓ 12. Pastikan untuk tidak menyentuh permukaan yang terkontaminasi

2. Menggunakan Baju Kerja pada ruang bersih Grey Area dan White Area. a. Penggunaan Baju Steril Grey Area

1. Masuk ke staging area/ locker room ↓ 2. Pasang penutup rambut dan atau penutup jambang ↓ 3. Masukkan asesoris dan barang lain ke locker ↓ 4. Bersihkan make up bila ada ↓ 5. Pilih baju steril dengan ukuran yang sesuai ↓ 6. Tanggalkan baju luar dan sepatu, letakkan di locker

b. Penggunaan Baju Steril White Area

1. Masuk ke ruang ganti white area, buka pintu dengan siku anda ↓ 2. Sebelum memulai,buang pembungkus bila ada pada bench ↓ 3. Desinfeksi sarung tangan dengan cairan desinfektan. ↓ 4. Pilih baju steril dengan ukuran yang sesuai ↓ 5. Atur perlengkapan pada bench, usahakan tidak saling bertumbuk ↓ 6. Desinfeksi sarung tangan dengan cairan desinfektan ↓ 7. Gunakan sarung kepala steril ↓

8. Desinfeksi sarung tangan dengan cairan desinfektan ↓ 9. Gunakan masker ↓ 10. Desinfeksi kembali sarung tangan ↓ 11. Gunakan Baju overall steri ↓ 12. Desinfeksi sarung tangan ↓ 13. Gunakan shoe cover steril ↓ 14. Cangkankan kaki yang telah memakai shoe cover pada area bersih ↓ 15. Gunakan shoe cover satunya pada area bersih. ↓ 16. Desinfeksi kembali sarung tangan ↓ 17. Gunakan kacamata pelindung. ↓ 18. .Pastikan kacamata menutupi penutup kepala steril ↓ 19. Desinfeksi lagi sarung tangan ↓ 20. Gunakan sarung tangan steril sesuai prosedur ↓ 21. Desinfeksi akhir sarung tangan anda 3. Melakukan Sterilisasi dengan Metode Panas Basah

1. Alat- alat yang akan disterilisasi menggunakan metode panas basah yaitu erlenmeyer, dicuci dengan bersih dan dikeringkan ↓ 2. Lubang yang terdapat dalam erlenmeyer ditutup dengan kapas steril dan dibungkus menggunakan kertas perkamen sebanyak 2 lapis ↓ 3. Erlenmeyer yang telah dibungkus dimasukkan dan ditata ke dalam keranjang autoklaf ↓ 4. Tekan tombol ON pada autoklaf, ditunggu sampai alat siap digunakan ↓ 5. Dibuka tutup autoklaf ↓ 6. Air/aqua demineralisata yang ada di dalam chamber autoklaf ditambahkan sampai tanda batas ↓ 7. Dimasukkan keranjang autoklaf yang berisi alat yang akan disterilkan ↓ 8. Autoklaf ditutup ↓ 9. Tekan tombol START pada autoklaf yang sebelumnya telah diset waktu dan temperaturnya yaitu 121ºC selama 20 menit ↓ 10. Setelah 20 menit sterilisasi dihentikan dengan membuka buangan gas sampai bunyi yang ada di dalam autoklaf tidak terdengar lagi dan ditunggu suhu mencapai 70º C ↓ 11. Setelah mencapai suhu 70ºC dibuka kunci autoklaf, keranjang dikeluarkan dari chamber ↓ 12. Alat yang telah disterilkan dimasukkan ke dalam box isolator steril, lalu

masukkan ke dalam lemari penyimpanan steril 4.

Melakukan Sterilisasi dengan Metode Panas Kering. 1. Alat-alat yang akan disterilisasi mnggunakan metode panas kering dibungkus dengan kertas perkamen sebanyak 2 lapis. ↓ 2.Alat yang sudah dibungkus tersebut dimasukkan ke dalam oven. ↓ 3.Ditata posisi alat sehingga udara yang ada di dalam oven mengalir secara merata. ↓ 4.Setelah diatur posisi alat, oven ditutup lau ditekan tombol ON. ↓ 5.Disetting oven pada suhu 1700 C selama 1 jam. 6. Ditunggu sampai proses sterilisasi selesai. ↓ 7.Setelah proses sterilisasi selesai, ditunggu hingga oven dingin dan baru dibuka tutup ovennya. ↓ 8.Setelah oven dingin, dibuka tutup oven dan semua alat dimasukkan ke dalam lemari penyimpanan box steril. ↓ 9.Oven dimatikan.

5. Grey area ( ruang sterilisasi) • Pembuatan aqua pi steril dengan cara akuades sebanyak 150 mL disterilkan dengan autoklaf 1210C selma 15 menit ↓

• Gelas kimia yang akan digunakan ditara terlebih dahulu sesuai dengan volume yang dibutuhkan. ↓ • Semua alat dan wadah yang telah dicuci bersih disterilisasi menurut prosedur yang sesuai. 6. Grey area ( ruang penimbangan) Penimbangan dilakukan di atas kaca arloji steril. Untuk benzyl alkohol sebanyak 0,1 ml diambil dan dimasukkan ke dalam cawan penguap. Akua pi sebanyak 100ml diambil dan dimasukkan kedalam gelas kimia 250 ml steril yang sudah ditara.

7. White area grade A Background B (LAF) • Amoksisilin natrium digerus dalam mortar sampai halus. ↓ • Ke dalam serbuk amoksisilin natrium ditambahkan dapar fosfat lalu diaduk hingga homogen ↓ • Serbuk yang berisi zat aktif dan dapar tersebut ditimbang sebanyak jumlah zat aktif dan dapar per vial, yaitu 0,6 g ke dalam masing-masing vial ↓ • Vial ditutup sementara dengan menggunakan alufoil 8. White area grade A Background B (ruang pencampuran) • Benzyl alkohol dilarutkan dengan air sedikit demi sedikit sampai volume mencapai 100 ml dengan gelas kimia 250 ml (hingga mencapai tanda) ↓ • Larutan diaduk dengan menggunakan membran filter 0,22 µm ke dalam gelas

kimia 250 ml steril sebanyak 2 kali ↓ • Buret steril dibilas dengan aqua pi hingga tidak ada sisa alkohol, kemudian buret dibilas dengan larutan pembawa secukupnya. ↓ • Larutan dimasukkan ke dalam buret steril, bagian atas buret ditutup dengan alufoil. 9. Ruang pengerjaan. •Dua tetes pertama larutan dibuang untuk mengindari masuknya alkohol ke dalam ampul. ↓ • Isi 6 ampul 10 ml dengan 10,5 ml larutan, tutup ujung ampul dengan alufoil. 10. Grey area ( ruang penutupan) Ampul dan vial ditutup 11. Grey area ( ruang sterilisasi) Sterilisasi akhir dilakukan dengan autoklaf 1210C selama 15 menit. Kemudian dilakukan pemeriksaan kebocoran dengan membalik posisi sediaan dalam gelas kimia yang telah dilapisi kapas. 12. Grey area (ruang evaluasi) Sediaan diberi etiket dan dikemas dalam wadah sekunder lalu dilakukan evaluasi pada sediaan yang telah diberi etiket dan kemasan.

b. EVALUASI SEDIAAN 1. Uji Bahan Partikulat 1. Kemasan dari larutan parental harus bebas dari label dan stiker yang melekat ↓ 2. Pegang kemasan pada bagian atas dan secara hati-hati putar bagian

pinggang lemasan dengan gerakan memutar yang perlahan jika terlalu cepat, gerakan memutar dapat menimbulkan gelembung pada bagian permukaan. Gelembung ini dapat menjadi bias antara partikulat pengotor atau gelembung ↓ 3. Pegang kemasan secara horizontal sekitar 4 inci dibawah sumber cahaya yang berlawabab arah dengan background hitam putih. Cahaya harus dijauhkan dari inspertor dan tangan harus berada dibawah sumber lampu agar tidak terlalu silau ↓ 4. Jika tidak ada partikel yang terlihat, balik kemasab perlahan & amati ada/tidaknya partikel berat yang tidak tersuspensi dengan gerakan memutar ↓ 5. Observasi setidaknya dilakukan selama 5 detik untuk setiap bagiam hitam dan 5 detik lagi untuk bagian putih ↓ 6. Tolak setiap kemasan yang memiliki partikel selama proses inspeksi 2. Uji Penetapan pH 1. Disiapkan sediaan injeksi rekonstitusi amoksisilin natrium 5% yang sudah jadi ↓ 2. Dicek dan diamati dengan menggunakan pH universal ↓ 3. Dicatat hasilnya dilembar kerja

3. Uji Kejernihan 1. Diperiksa dengan melihat wadah infuse pada latar belakang hitam dan putih ↓ 2. Disinari dari samping ↓

3. Kotoran berwarna akan nampak pada backgraound putih dan kotoran tidak berwarna akan terlihat pada background hitam.

4. Uji Voluume Terpindahkan 1. Disiapkan alat glass ukur yang bervolume 100 ml yang telah disterilisasi ↓ 2. Dituangkan sediaan pada gelas ukur ↓ 3.

volume sediaan apakah sudah sesuai dengan pada etiketnya ↓

4. Dicatat hasil pengamatannya

5. Uji Kebocoran -

Untuk Cairan Bening Tidak Berwarna 1. Wadah takaran tunggal yang masih panas seltelah selesai disterilkan dimasukkan ke dalam larutan metilen blue 0,1% ↓ 2. Jika ada wadah yang besar maka larutan metilen blue akan masuk ke dalam karena perubahan tekanan diluar dan didalam wadah tersebut sehingga larutan dalam wadah akan berwarna biru

-

Untuk Cairan Berwarna 1. Dilakukan dengan posisi terbalik ↓ 2. Wadah takaran tunggal ditempatkan diatas kertas saring atau kapas ↓ 3. Jika terjadi kebocoran maka kertas saring atau kapas akan basah

4. Uji Waktu Rekosntitusi

1.

Ambil injeksi amoksisilin natrium beberapa mL masukkan ke dalam air ↓

2.

Air yang digunakan adalah air dingin dan air panas 800C ↓

3.

Pengamatan dilakukan terhadap kecepatan serbuk terlarut dalam air ↓

4.

Semakin cepat waktu rekonstitusi maka sediaan tersebut semakin baik

VII.

DATA HASIL EVALUASI

No

1.

2.

Jenis

Prinsip

Jumlah

Hasil

Evaluasi

Evaluasi

Sampel

Pengamata

1

n Tidak bocor

Syarat

Uji

Wadah

Kebocoran

diletakkan

ampul yang

pada posisi

bocor(Lachman,dkk.

terbalik

1994)

Volume

Sediaan

Terpindahkan

dipindahkan

1

Volume tetap

Tidak satupun

Rata-rata kurang dari 100% dan dan

dari ampul ke

tidak satupun

dalam gelas

kurang dari 95%

ukur dan

( Depkes RI, 1995)

dilakukan pengamatan 3.

Uji Partikulat

volume Memerlukan

1

Ada

Jumlah partikel

sistem

>50µm= negatif

elektronik

>25µm= <1000

penghitung

>10µm= <1000

partikel

( Depkes RI, 1995)

pengotor cairan yang dilengkapin 4.

Uji

dengan alat Wadah sediaan

1

Terdapat

Tidak ditemukan

Kejernihan

akhir disinari

Partikel

serat atau pengotor

dari samping

(Lachman,dkk.

dengan latar

1994)

belakang warna hitam untuk melihat partikel putih dan latar putih untuk melihat partikel 5.

Uji pH

berwarna Dengan pH

1

7,4

meter

Amoksisilin Natrium stabil pada pH 6,5. pH injeksi berada pada rentang pH darah yakni 7,35-7,45 (Depkes

6.

Uji Waktu

Sediaan diisi

Rekonstitusi

aqua hingga

1

>30 menit

RI.1995) Waktu rekonstitusi

tidak larut

yang baik kurang

tanda diukur

dari 30 detik

waktu yang

(Depkes RI, 2014)

dibutuhkan

Semakin cepat

serbuk melarut

waktu rekonstitusi maka sediaan tersebut semakin baik . ( Depkes RI, 1995)

VIII. PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini kami melakukan pembuatan sediaan steril berupa injeksi rekonstitusi amoksisilin natrium 5% bertujuan untuk mengetahui dan melakukan evaluasi sediannya yang meliputi uji kebocoran, uji volume terpindahkan, uji partikular, uji kejernihan, uji pH, dan uji waktu rekonstitusi. Tujuan suatu sediaan dibuat steril, karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing tidak selengkap pada saluran cerna atau gastrointestinal. Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relative steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril. Dan injeksi merupakan sediaan yang perlu di sterilkan dan harus bebas dari mikroorganisme hidup maupun pirogen. Injeksi rekonstitusi adalah sediaan parenteral berbentuk serbuk yang dilarutkan terlebih dahulu kedalam pelarut yang sesuai ketika akan digunakan. Injeksi rekonstitusi cocok untuk zat aktif mudah terhidrolisis. Alasan sediaan dibuat rekonstitusi (suspensi kering) karena stabilitas zat aktif di dalam pelarut air terbatas, baik stabilitas kimia atau stabilitas fisik. Umumnya antibiotik mempunyai stabilitas yang terbatas di dalam air. Dalam praktikum kali ini kami menggunakan berbagai macam alat diantaranya gelas kimia 250ml, batang pengaduk, spatel, kaca arloji, pipet tetes, corong, pinset. Alat alat tersebut digunakan secara steril yang mana dalam hal ini untuk alat-alat tersebut dilakukan metode sterilisasi kering dengan menggunakan oven 1700C selama 1 jam. Alat-alat yang akan disterilisasi menggunakan metode panas kering dibungkus dengan kertas perkamen sebanyak 2 lapis.Alat yang sudah dibungkus tersebut dimasukkan ke dalam oven. Kemudian ditata posis alat tersebut sehingga udara yang berada di dalam oven tersebut mengalir secara merata. Setelah diatur posisi alat oven ditutup lalu ditekan tombol ON. Disetting oven pada suhu 700C selama 1 jam. Lalu ditunggu sampai proses sterilisasi selesai. Kemudian untuk alat gelas ukur 50 ml desterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Pada prinsipnya sterilisasi dengan autoclave adalah membunuh mikroba dengan menggunakan panas dan tekanan dalam keadaan basah. Panas dapat diperoleh dengan cara memanaskan dengan api gas atau dengan listrik, sedangkan

kondisi basah diperoleh dengan mengalirkan uap air atau memanaskan air dalam autoclave. (Ansel, H.C., 1989) Adapun untuk alat yang lain seperti karet penutup pipet tetes, buret, jarum buret, penyaring 0,22 µm tan tissue atau serbet dilakukan cara sterilisasi dengan direndam mengggunakan etanol 70% selma 24 jm. Untuk penyaring (membran filter) dan tissue disterilisasi dengan menggunakan oven. Untuk selanjutnya dilakukan penyiapan wadah yang mana terdapat vial yang dilakukan dengan cara sterilisasi oven pada suhu 1700C selama 1 jam. Ampul dan vial dilakukan kan untuk bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah amoksisilin natrium yang berfungsi sebagai zat aktif dimana berfungsi sebagai antibiotik (Tjay dan Rahardja.2007). Untuk NaH2PO4 (Natrium dihidrogen fosfat ) dan Na2HPO4 (Dinatrium Hidrogen Fosfat) berfungsi sebagai pendapar. Biasanya dapar/buffer dibutuhkan untuk sedian obat suntik yang peka terhadap perubahan pH, seperti amikoksisilin. Kapasitas dapar/buffer yang digunakan biasanya rendah(tidak mengubah pH dari cairan tubuh pada penyuntikan),tetapi cukup kuat untuk menahan perubahan pH selama penyimpanan dan penggunaan. Alasan untuk penambahan dapar/buffer yaitu untuk mengurangi kerusakan jaringan dan rasa sakit pada saat penyuntikan,meningkatkan efektifitas terapeutik beberapa obat, dan meningkatkan stabilitas kimia dari obat.(Lachman, dkk , 1994) Benzyl alkohol berfungsi sebagai pengawet antimikroba. Pengawet digunakan untuk mempertahankan sterilitas sediaan larutan obat suntik dosis berganda. Syarat- syarat pengawet dalam obat suntik yaitu mampu mencegah pertumbuhan bakteri dan membunuh mikroba yang mengkontaminasi, dapat bercampur dengan obat meskipun dalam penyimpanan lama, stabil pada pensterilan, tidak toksis pada jumlah digunakan, daya absorpsi ke dalam karet kecil, tidak mengganggu identifiksi sediaan, dan dapat larut dalam pembawa yang dipakai.(Tungadi, Robert. 2017). Kemudian terdapat Aqua pro injeksi berfungsi sebagai pelarut yang mana untuk melarutkan zat aktif maupun zat tambahan. Aqua Pro Injeksi adalah Aqua bidest dengan pH tertentu, tidak mengandung logam berat (timbal, Besi, Tembaga), juga tidak boleh mengandung ion Ca, Cl, NO3, SO4, amonium, NO2, CO3. Harus steril dan penggunaan diatas 10 ml harus bebas pirogen Aqua steril Pro Injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya

Cara pembuatan : didihkan air selama 30 menit dihitung dari setelah air mendidih di atas api lalu didinginkan. ( Depkes RI. 1995). Adapun untuk bahan-bahan yang digunakan seperti amoksisilin natrium dilakukan sterilisasi dengan cara radiasi (cara dingin), NaH 2PO4 (Natrium dihidrogen fosfat ) dan Na2HPO4 (Dinatrium Hidrogen Fosfat) dilakukan sterilisasi dengan oven pada suhu 1700C selama 1 jam. Kemudian benzyl alkohol dan aqua pro injeksi dilakukan sterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Kemudian dilakukan prosedur pembuatan injeksi rekonstitusi amoksisilin natrium, yaitu yang pertama adalah prosedur mencuci tangan yang dilakukan dengan basahi kedua telapak tangan setinggi pertengahan lengan memakai air yang mengalir, ambil sabun kemudian usap dan gosok kedua telapak tangan secara lembut. Lalu usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian jangan lupa jari-jari tangan, gosok sela-sela jari hingga bersih. Kemudian bersihkan ujung jari secara bergantian dengan mengatupkan. Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian. Lalu letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan .Bersihkan kedua pergelangan tangan secara bergantian dengan cara memutar, kemudian diakhiri dengan membilas seluruh bagian tangan dengan air bersih yang mengalir lalu keringkan memakai handuk atau tisu. Kemudian sebelum masuk ke ruangan, hendaknya menggunakan baju grey area aatupun white area sesuai yang dipersyaratkan. Setelah itu melakukan penyiapan ruangan dilakukan dengan sterilisasi ruangan menggunakan penyinaran lampu UV selama 24 jam. Untuk selanjutnya dilakukan prosses pembuatan injeksi yang dibagi dalam beberapa ruangan. Yang pertama terdapat grey area (ruang sterilisasi) dimana pada ruangan tersebut dilakukan pembuatan aqua pi steril dengan cara akuades sebanyak 150 mL disterilkan dengan autoklaf 1210C selma 15 menit. Gelas kimia yang akan digunakan ditara terlebih dahulu sesuai dengan volume yang dibutuhkan. Semua alat dan wadah yang telah dicuci bersih disterilisasi menurut prosedur yang sesuai. Kemudian menuju ke ruang grey area ( ruang penimbangan) yang mana di dalamnya dilakukan penimbangan di atas kaca arloji steril. Untuk benzyl alkohol sebanyak 0,1 ml diambil dan dimasukkan ke dalam cawan penguap. Akua pi sebanyak 100ml diambil dan dimasukkan kedalam gelas kimia 250 ml steril yang sudah ditara. Setelah itu, pada ruang white area grade A background B (LAF) dilakukan prosedur amoksisilin natrium digerus dalam mortar sampai halus. Kemudian Ke dalam serbuk

amoksisilin natrium ditambahkan dapar fosfat lalu diaduk hingga homgen. Serbuk yang berisi zat aktif dan dapar tersebut ditimbang sebanyak jumlah zat aktif dan dapar per vial, yaitu 0,6 g ke dalam masing-masing vial. Lalu vial ditutup sementara dengan menggunakan alufoil. Kemudian pada ruang white area grade A background B (ruang pencampuran) dilakukan prosedur benzyl alkohol dilarutkan dengan air sedikit demi sedikit sampai volume mencapai 100 ml dengan gelas kimia 250 ml (hingga mencapai tanda). Larutan diaduk dengan menggunakan membran filter 0,22 µm ke dalam gelas kimia 250 ml steril sebanyak 2 kali. Lalu buret steril dibilas dengan aqua pi hingga tidak ada sisa alkohol, kemudian buret dibilas dengan larutan pembawa secukupnya. Larutan dimasukkan ke dalam buret steril, bagian atas buret ditutup dengan alufoil. Kemudian menuju ke ruang pengerjaan dimana dalam ruang tersebut dilakukan prosedur dua tetes pertama larutan dibuang untuk mengindari masuknya alkohol ke dalam ampul. Isi 6 ampul 10 ml dengan 10,5 ml larutan, tutup ujung ampul dengan alufoil. Di dalam ruang grey area (ruang penutupan) ampul dan vial ditutup. Lalu pada ruang grey area (ruang sterilisasi), sterilisasi akhir dilakukan dengan autoklaf 1210C selama 15 menit. Kemudian dilakukan pemeriksaan kebocoran dengan membalik posisi sediaan dalam gelas kimia yang telah dilapisi kapas. Dan pada grey area (ruang evaluasi) sediaan diberi etiket dan dikemas dalam wadah sekunder lalu dilakukan evaluasi pada sediaan yang telah diberi etiket dan kemasan. Grey area merupakan area produksi, dimana proses produksi berlangsung. Pada area ini kebebasan telah dikurangi, yaitu barang atau karyawan tidak bebas memasuki area ini. Dilakukan penganganan khusus terhadap udara, rancang bangun dan konstruksi ruangan, seperti lantai dan langit – langit tidak boleh bercelah dan tahan terhadap bahan kimia, dinding harus terbuat dari beton dan dicat dengan cat yang tahan dicuci, serta pintu dan peralatan lainnya tidak boleh terbuat dari kayu. (grey area) yang meliputi antara lain ruang penimbangan, ruang sterilisasi akhir, dan ruang evaluasi. Pada grey area supply udara yang akan disalurkan dalam ruang produksi berasal dari 2 sumber, yaitu berasal dari udara yang disirkulasi kembali (sebanyak 80%) dan berasal dari udara bebas (20%). Supply udara tersebut melalui filter yang terdapat di dalam filter house yang terdiri dari pre-filter yang memiliki efisiensi penyaringan sebesar 35% dan medium filter yang memiliki efisiensi penyringan sebesar 95%. Selanjutnya, supply udara ini melewati cooling coil (evaporator) yang akan menurunkan suhu dan kelembaban relatif udara. Jumlah udara yang masuk ke dalam ruang produksi diatur dengan menggunakan

volume dumper. Kelas-kelas ruangan ini menunjukkan tingkatan kontaminasi partikel di ruangan tersebut. (Hadioetomo, R. S., 1985) White area merupakan area produksi untuk sediaan steril. Untuk memasuki white area, karyawan harus mencuci tangan dan kaki serta mengganti pakaian dari grey area dengan pakaian khusus yang steril. Peralatan yang digunakan harus disterilkan terlebih dahulu, demikian juga ruangan harus dibersihkan dengan desinfektan.(Hadioetomo, R. S., 1985) Untuk selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan yang sudah jadi. Yang pertama dilakukan adalah pengujian kebocoran, yang mana uji tersebut bertujuan untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas serta kestabilan sediaan. Uji kebocoran untuk cairan yang tidak berwarna dilakukan dengan cara wadah diletakkan dengan posisi terbalik. Wadah takaran tunggal ditempatkan diatas kertas saring atau kapas, jika terjadi kebocoran maka kertas saring atau kapas akan basah. Dari uji kebocoran ini diperoleh hasil tidak bocor, dan dari hasil tersebut menunjukkan sesuai dengan literatur karena untuk persyaratan uji kebocoran adalah tidak ada satupun ampul yang bocor., ketidakbocoran wadah/kemasan yang digunakan ini akan meminimalisir terjadinnya kontaminasi. (Lachman,dkk. 1994) Kemudian dilakukan uji volume terpindahkan yang bertujuan untuk mengetahui volume sediaan apakah sudah sesuai dengan volume yang tertera pada etiket. Pengujian ini dilakukan dengan cara disiapkan alat glass ukur yang bervolume 100 ml yang telah disterilisasi. Dituangkan sediaan pada gelas ukur. Kemudian diamati volume sediaan apakah sudah sesuai dengan pada etiketnya lau dicatat hasil pengamatannya. Adapun untuk hasil pengujian ini adalah volume tetap yang mana hasil tersebut sesuai dengan literaur karena persyaratan untuk uji volume terpindahkan adalah rata-rata kurang dari 100% dan dan tidak satupun kurang dari 95%.(Depkes RI,1995) Selanjutnya dilakukan uji partikulat yang bertujuan untuk menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang ukuran tertentu pada sediaan injeksi. Pengujian ini dilakukan dengan cara kemasan dari larutan parental harus bebas dari label dan stiker yang meleka, lalu di pegang kemasan pada bagian atas dan secara hati-hati putar bagian pinggang kemasan dengan gerakan memutar yang perlahan jika terlalu cepat, gerakan memutar dapat menimbulkan gelembung pada bagian permukaan. Gelembung ini dapat menjadi biass antara partikulat pengotor atau gelembung. Kemudian pegang kemasan secara horizontal sekitar 4 inci dibawah sumber cahaya yang berlawaban arah dengan background hitam putih. Cahaya harus dijauhkan dari inspertor dan tangan harus berada dibawah sumber lampu agar tidak terlalu silau Jika tidak ada partikel yang terlihat, balik kemasan perlahan & amati ada/tidaknya partikel berat yang tidak tersuspensi dengan gerakan memutar. Observasi

setidaknya dilakukan selama 5 detik untuk setiap bagiam hitam dan 5 detik lagi untuk bagian putih. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan diperoleh hasil adanya partikular (terdapat partikel) yang mana hasil tersebut tidak sesuai dengan persyaratan. Adapun syarat untuk uji partikulat ini yaitu Jumlah partikel >50µm = negatif ; >25µm = <1000 ; >10µm = <1000 (Depkes RI,1995). Kehadiran partikulat dalam sediaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dalam proses produksi, bahan baku, peralatan yang digunakan, maupun kemasan yang digunakan. Kehadiran partikulat dalam sediaan injeksi akan menimbulkan bahaya biologis. Karena injeksi langsung masuk ke dalam pembuluh darah, adapun bahaya yang dapat ditimbulkan oleh partikulat asing antara lain timbulnya granuloma paru dan emboli. Kemudian dilakukan uji kejernihan yang bertujuan untuk memastikan bahwa larutan injeksi bebas dari partikulat yang dapat terlihat secara visual. Pengujian ini diperiksa dengan melihat wadah injeksi pada latar belakang hitam dan putih, lalu disinari dari samping. Kotoran berwarna akan nampak pada backgraound putih dan kotoran tidak berwarna akan terlihat pada background hitam. Adapun hasil dari pengujian ini yaitu terdapat partikel . Dari hasil tersebut menunjukkan sediaan tidak sesuai dengan literature. Karena persyaratan untuk uji kejernihan yaitu tidak ditemukan ada serat ataupun pengotor (Lachman,dkk.1994). Adanya partikel dapat disebabkan karena bahan yang digunakan adalah amoksisilin natrium yang stabilitas di dalam pelarut air terbatas, baik stabilitas kimia atau stabilitas fisik. Umumnya antibiotik mempunyai stabilitas yang terbatas di dalam air. Walaupun dalam proses pembuatan telah dilakukan penyaringan, zat yang tidak terlarutkan tersebut tetap mempengaruhi terhadap kejernihan larutan. Untuk sediaan injeksi dipersyaratkan larutan yang jernih karena injeksi langsung masuk ke dalam pembuluh darah, apabila terdapat partikel maka akan berbahaya dan dapat menyebabkan infeksi. Untuk selanjutnya dilakukan pengujian penetapan pH yang bertujuan untuk mengetahui pH dari suatu sediaan injeksi dan untuk mengetahui kesesuaiannya dengan persyaratan yang telah ditentukan. Uji pH ini dilakukan dengan cara disiapkan sediaan injeksi amoksisilin natrium 5% yang sudah jadi, kemudian dicek dan diamati dengan menggunakan pH universal, lalu dicatat hasilnya di lembar kerja. Adapun hasil yang diperoleh pada pengujian ini yaitu diperoleh pH nya sebesar 7,4. Dari hasil tersebut menunjukkan sesuai dengan literature pH darah yaitu pada rentang pH 7,35-7,45. Sedangkan untuk pH zat aktif dan dapar stabil pada pH 6,5 (Depkes RI, 1995) . Seperti yang sudah diketahui pH sediaan injeksi harus masuk pada rentang pH darah yakni 7,35-7,45.. Tetapi hal tersebut tidak selalu dapat dilakukan karena sediaan harus dibuat pada pH yang mendukung stabilitas dari sediaan. Rentang pH yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh yakni pH >9 yang dapat menimbulkan

terjadinya nekrosis (rusaknya sel jaringan) dan hemolisa. Sedapat mungkin isohidris (pH larutan sama dengan pH darah,pH fisiologis tubuh = 7,4) dan isotonis ( tekanan osmosis larutan sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh). Tujuan sediaan injeksi dibuat isotonis untuk meminimalkan trauma pada pembuluh darah. (Depkes RI, 1995). Dan yang terakhir yaitu uji waktu rekonstitusi yang bertujuan untuk mengetahui berapa waktu yang dibutuhkan serbuk untuk dapat melarut dengan pelarutnya.Uji ini dilakukan dengan cara mengambil injeksi amoksisilin natrium beberapa mL, lalu dimasukkan ke dalam air. Air yang digunakan adalah air dingin dan air panas 800C. Pengamatan dilakukan terhadap kecepatan serbuk terlarut dalam air. Semakin cepat waktu rekonstitusi maka sediaan tersebut semakin baik. Hasil yang diperoleh pada pengujian ini yaitu > 30 menit tidak larut. Dari hasil tersebut menunjukan waktu rekonstitusi yang tidak baik dan tidak sesuai dengan literatur yang mana untuk persyaratan waktu rekonstitusi yang baik yaitu kurang dari 30 detik.(Depkes RI, 2014) Semakin cepat waktu rekonstitusi maka sediaan tersebut semakin baik.( Depkes RI, 1995). Waktu rekonstitusi adalah waktu yng diperlukan untuk mendispersikan granul. Syarat granul yang baik salah satunya memiliki kriteria mudah terdispersi dengan homogen pada saat dilarutkan. Kemudahan granul untuk direkonstitusi adalah karena granul merupakan kumpulan partikel-partikel dengan permukan kasar yang memiliki ikatan antar partikel yang lemah, ikatan antar partikel ini mudah rusak ketika terjadi kontak dengan air, serta dengan bentuk granul yang berpori akan mempermudah masuknya air ke dalam granul sehingga terjadilah proses rekonstitusi. Semakin cepat waktu rekonstitusi, kan menyebabkan sediaan menjdi lebih baik sehingga mempermudah konsumen untuk menggunakan sediaan tersebut karena tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk mendispersikan larutan secara homogen.(Ansel,H. C. 1989).

IX.

KESIMPULAN

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat dibuat kesimpulan bahwa : 1. Injeksi amoksisilin natrium mempunyai khasiat sebagai antibiotik 2. Uji kebocoran diperoleh hasil ampul tidak bocor. 3. Uji volume terpindahkan diperoleh hasil volume tetap. 4. Uji partikular diperoleh hasil ada partikular. 5. Uji Kejernihan diperoleh hasil terdapat partikel 6. Uji penetapan pH diperoleh nilai pH 7,4 7. Uji waktu rekonstitusi diperoleh hasil >30 menit tidak larut.

III. 1.

DAFTAR PUSTAKA Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi ke 4. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia .

2.

Depkes RI . 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia .

3.

Depkes RI .1995.Farmakope Indonesia Edisi IV.Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

4.

Depkes RI .2014.Farmakope Indonesia Edisi V.Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .

5.

Hadioetomo, R. S., 1985. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek.Jakarta : PT. Gramedia.

6.

Lachman, dkk , 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia .

7.

Parrot,E.L. 1970. Pharmaceutical Technology: Fundamentl Pharmaceutics. USA: Alpha Edition

8.

Rajesh M. Patel; Parenteral suspension: An overview, International Journal of Current Pharmaceutical Research Vol 2, Issue 3, 2010.

9.

Rowe,Ramond.C. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th Edition .Great Britain : Pharmaceutial Press.

10. Stefanus, Lukas. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta. C.V ANDI OFFSET. 11. Sweetman,S.C. 2007. Martindale, The Complete Drug Reference, 35th Ed. London : Pharmaceutical Press 12. Syamsuni, H.A., 2006.Ilmu Resep.Jakarta: Penerbit BukuKedokteran EGC . 13. Tjay dan Rahardja . 2007. Obat-Obat Penting . Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 14. Tungadi, Robert. 2017. Teknologi Sediaan Steril. Jakarta : Sagung Seto 15. Voight, R., 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press .

Related Documents


More Documents from "Samuel Tangka"