Lk Fistulografi

  • Uploaded by: ranggasalendra
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lk Fistulografi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,497
  • Pages: 24
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Seiring dengan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran semakin berkembang yaitu dengan ditemukannya alat dan metode yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa terhadap penderita dilakukan berbagai cara antara lain: pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium

dan

pemeriksaan secara radiologis. Pemeriksaan secara radiologi mampu memberikan informasi secara radiografi yang optimal baik keadaan anatomis maupun fisiologis dari suatu organ di dalam tubuh yang tidak dapat diraba dan dilihat oleh mata secara langsung serta mampu memberikan informasi mengenai kelainan-kelainan yang mungkin dijumpai pada organ-organ yang akan diperiksa. Pada saat ini hampir semua organ dan sistem di dalam tubuh kita dapat diperiksa secara radiologis, bahkan setelah ditemukan media kontras yang berguna memperlihatkan jaringan organ yang mempunyai nomor atom yang lebih kecil sehingga kelainan pada organ tersebut dapat didiagnosa. Pemeriksaan radiologi secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan radiologi tanpa kontras dan pemeriksaan radiologi dengan kontras. Dalam Laporan Kasus ini penulis menyajikan salah satu pemeriksaan radiologi yang menggunakan bahan kontras yaitu pemeriksaan Fistulografi . Pemeriksaan Fistulografi adalah pemeriksaan radiologi dengan menggunakan bahan kontras positif yaitu Barium Sulfat dan bahan kontras negatif yaitu udara dengan tujuan untuk memvisualisasikan keadaan fistel dan muara dari saluran fistel tersebut yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui lubang – lubang fistel. Adapun teknik-teknik yang rutin dilakukan pada pemeriksaan Fistulografi yaitu dengan menggunakan proyeksi antero-posterior (AP) dan Oblique . Dengan latar belakang diatas penulis tertarik untuk menyusun sebuah Laporan

1

Kasus yang berjudul “TEKNIK PEMERIKSAAN FISTULOGRAFI PADA KASUS FISTULA PERIANAL”. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana

tatalaksana

pemeriksaan

FISTULOGRAFI

pada

kasus

FISTULA PERIANAL di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten Sidoarjo. 1.3 Tujuan Penulisan Untuk

mengetahui

penatalaksanaan

pemeriksaan

radiologi

FISTULOGRAFI pada kasus FISTULA PERIANAL di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten Sidoarjo. 1.4 Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus ini : 1.4.1 Bagi penulis. Untuk memenuhi tugas Laporan Kasus PKL 2 di Semester 4, serta menambah wawasan pengetahuan bagi penulis terutama tentang teknik pemeriksaan FISTULOGRAFI. 1.4.2

Bagi Rumah Sakit. Dengan hasil Laporan Kasus ini dapat memberi masukan dan saran yang berguna bagi rumah sakit, dalam hal ini Instalasi Radiologi pada umumnya mengenai teknik pemeriksaan FISTULOGRAFI.

1.4.3

Bagi Institusi. Hasil laporan ini dapat menambah kepustakaan dan pertimbangan referensi tentang teknik pemeriksaan FISTULOGRAFI.

1.4.4

Bagi Pembaca. Memberikan gambaran yang jelas tentang teknik pemeriksaan FISTULOGRAFI.

2

BAB II DASAR TEORI 2.1 Anatomi 2.1.1. Rectum Sebuah ruangan yang berawal dari ujung kolon dan berakhir di anus. rektum biasanya kosong, karena tinja disimpan pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi mudah mengalami kekurangan dalam pengendalian otot untuk menunda buang air besar.

Gambar 1 : Anatomi Rektum 2.1.2. Anus

Gambar 2 : Anatomi Anus

3

Bagian akhir dari saluran pencernaan berupa lubang keluar yang disebut anus. Sisa pencernaan dari usus besar dikeluarkan melalui anus. Bahan padat hasil pembusukan dikeluarkan sebagai tinja dan gas. Gas dikeluarkan berupa kentut. Sisa pencernaan yang berupa cairan disalurkan dan disaring dalam ginjal. Cairan yang tidak berguna dikeluarkan melalui lubang kemih berupa air seni. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup. Adapun perjalanan feses pada colon ialah dari colon ascenden naik melalui sebelah kanan lumbal menuju belokan yang disebut sebagai fleksura hepatica lalu berjalan mendatar melalui tepi epigastric sebagai colon transversum. Di bawah limpa membelok sebagai fleksura linealis dan kemudian berjalan turun melalui sebelah kiri lumbal sebagai colon descenden. Seterusnya terdapat belokan lagi yang disebut fleksura sigmoid atau colon sigmoid. Kemudian melalui rektosigmoid selanjutnya ke rektum dan berakhir di anus (Sulhaerdi,2012) Colon terdiri atas 4 lapisan dinding yang sama seperti usus halus, yaitu : a. Membran mukosa b. Sircular muscle c. Longitudinal muscle d. Connective tissue (Syaifuddin,1997) Longitudinal muscle pada lapisan berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari pada yang ada di usus halus dan tidak memiliki villi. Colon tidak ikut serta dalam pencernaan, bila makanan pada usus halus mencapai caecum maka semua zat makanan telah diabsorbsi. Selama perjalanan di dalam colon sisa makanan tersebut menjadi semakin padat karena absorbsi dan saat mencapai rektum feses sudah bersifat lunak. Peristaltik pada colon

4

sangatlah lambat, diperlukan waktu kira-kira 20 jam bagi sisa makanan tersebut mencapai fleksura sigmoid dan rektum. Fungsi colon adalah : a. Menyerap air selama proses pencernaan. b. Tempat dihasilkannya vitamin K dan vitamin H sebagai hasil simbiosis dengan bakteri usus,misalnya E.coli. c. Membentuk massa feses. d. Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (feses) keluar dari tubuh dengan gerakan peristaltik. 2.1.3.

Buli Merupakan suatu organ berongga yang terletak dibelakang tulang simfisis pubis dan menempati sebagian besar rongga pelvic. Dalam keadaan buli penuh, letaknya lebih tinggi dari tulang simpisis pubis sehingga dapat diraba atau diperkusi dari luar. Bila isi buli melebihi kapasitas buli over distensi, baik akut maupun kronis, maka usus akan terdorong ke atas dan benjolan dapat terlihat dari luar. Berdasarkan topografinya pada laki-laki di bagian posterior buli terdapat vesika seminalis, vasdeferen, ureter dan rectum. Daerah fundus dan posterior dilapisi oleh peritoneum. Secara garis besar dibagi atas dua komponen yaitu : korpus yang terletak diatas orifisium ureter, dan dasar buli yang terdiri dari trigonum posterior deep destrusor dan dinding anterior buli. Secara histologis otot longitudinal dari dasar buli meluas kearah distal kedalam uretra membentuk lapisan longitudinal yang melingkari leher buli. (Harrison Simon CW, 1994 & Tanagho E.A ,1992)

Gambar 3 : Anatomi Buli Dinding buli terdiri dari 3 lapisan otot detrusor yang arah seratnya saling menyilang sedemikian rupa sehingga kontraksi otot-otot tersebut menyebabkan buli mengkerut, dengan demikian terjadi pengosongan isi rongga. Ureter bermuara pada trigonum buli dengan menembus otot detrusor secara oblig. Perjalanan ureter

5

yang seperti ini dapat memberikan suatu mekanisme katup untuk mencegah kembalinya urin dari buli ke ginjal.( Steer W.D.,1998) Ada tiga fungsi utama buli yaitu : sebagai reservoir urin, fungsi ekpulsi urin, dan anti refluk. Sebagai reservoir buli-buli berkapasitas 200-400 cc. Fase pengisian buli ditandai dengan penyesuaian volume buli-buli terhadap peningkatan jumlah urin pada suatu tekanan yang rendah, kurang 20 cm H2O. Dengan penuhnya volume buli-buli akan menyebabkan peregangan dinding yang dapat merangsang reseptor sehingga otot buli berkontraksi, tekanan dalam buli meningkat dan uretra posterior membuka. Keadaan ini dirasakan sebagai perasaan ingin kemih, namun masih dapat diatur secara volunter oleh spingter eksterna. Pada waktu ekpulsi tekanan buli meningkat 70-100 cmH2O. Kegagalan pada mekanisme penyimpanan ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal atau inkontinensia (Tanagho E.A. ,J.W. McAninch,1992)

2.2 Patologi Fistula Fistula ialah saluran tidak normal yang menghubungkan organ-organ bagian dalam tubuh yang secara normal tidak berhubungan, atau menghubungkan organ-organ bagian dalam dengan permukaan tubuh bagian luar, dapat pula diartikan sebagai abnormal connection atau passageway antara 2 organ epithelium-lined atau vessel yang secara normal tidak berhubungan. Fistula perianal merupakan sebuah hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis anal dan epidermis dari kulit perianal. Fistula ani adalah bentuk kronik dari absess anorektal yang tidak sembuh sehingga membentuk traktus akibat inflamasi. Ada prevalensi penyakit ini adalah 8,6 kasus tiap 100.000 populasi. Prevalensi pada pria adalah 12,3 dari 100.000 populasi dan pada wanita 5,6 dari 100.000 populasi. Rasio antara pria dan wanita adalah 1,8:1 yang menggambarkan lebih seringnya penyakit ini pada pria. Umur rata-rata pada penderita fistel ani adalah 38 tahun.

6

Hampir semua fistel perianal disebabkan oleh perforasi atau penyaluran absess anorektum, sehingga kebanyakan fistel mempunyai satu muara di kripta di perbatasan anus dan rectum dan lubang lain di perineum di kulit perianal.

Gambar 4 : Gambar Fistel 2.2.1 Type Fistula

Adapun type dari pada fistula antara lain : a.

Blind (buntu) ujung dan pangkalnya hanya pada satu tempat tetapi menghubungkan dua struktur.

b.

Complete (sempurna) mempunyai ujung dan pangkal pada daerah internal dan eksternal.

c.

Horseshoes (bentuk sepatu kuda) menghubungkan anus dengan satu atau lebih titik pada permukaan kulit setelah melalui rektum.

d.

Incomplete (tidak sempurna) yaitu sebuah pipa atau saluran dari kulit yang tertutup dari sisi bagian dalam atau struktur organ.

7

2.2.2 Penyebab Fistula a.

Sebagian besar karena infeksi, trauma atau tindakan bedah medis oleh dokter (Medical Ilustration Team, 2004).

b.

Fistula disebabkan cacat bawaan (kongenital) sangat jarang ditemukan (Emmet, 1964).

c.

Daerah anorektal merupakan tempat yang paling sering ditemukannya fistula (Price,1992).

2.2.3 Patofisiologi. Hampir semua fistel perianal disebabkan oleh perforasi atau penyaliran abses anorektum, sehingga fistel mempunyai satu muara di kripta di perbatasan anus dan rektum, dan lobang lain di perineum di kulit perianal. Fistel perianal sering didahului oleh pembentukan

abses. Abses perianal sering dimulai sebagai

peradangan kriptus ani, yang terletak pada ujung bawah kolum Morgagni. Kelenjar anus bermuara dalam kriptus ani. Obstruksi atau trauma pada salurannya menimbulkan stasis dan predisposisi terhadap infeksi. Abses perianal biasanya nyata, tampak sebagai pembengkakan yang berwarna merah, nyeri, terletak di pinggir anus. Nyeri diperberat bila duduk atau batuk. Abses sub mukosa atau iskiorektal dapat diraba sebagai pembengkakan pada waktu pemeriksaan anus. Abses pelvirektal dapat lebih sukar ditemukan. Tanda pertama dapat berupa keluarnya nanah dari fistel perianal. Fistel dapat terletak di subkutis, sub mukosa antar sfingter atau menembus sfingter, lateral, atau posterior. Bentuknya mungkin lurus, bengkok, tak beraturan atau mirip sepatu kuda. Bila gejala diare menyertai fistula perianal yang berulang, perlu dipikirkan penyakit Crohn, karena 75% penderita penyakit Crohn, yang terbatas pada usus besar, akan mengalami fistula perianal. 25% penderita akan mengalami fistula perianal bila penyakit Crohn terbatas pada usus halus.

8

2.2.4 Tanda dan gejala Tanda dan gejala perianal fistel adalah: a.

Ada riwayat kambuhan abses perianal dengan selang waktu diantaranya.

b.

Terdapat luka/lubang di daerah perianal.

c.

Keluar pus didekat anus (dari lubang/fistel) yang berbau busuk.

d.

Kadang-kadang nyeri di sekitar anus, nyeri bertambah bila duduk atau batuk.

e.

Pada pemeriksaan Rektal thouce (colok dubur), kadang fistel dapat diraba perjalanannya.

Gambar 5 : Fistulani

9

2.3 Prosedur Pemeriksaan

Pada pemeriksaan fistulografi tidak memerlukan periapan khusus, hanya didaerah fistula terbebas dari benda-benda yang dapat menganggu radiograf (Briyan, 1979). Apabila pemeriksaan untuk fistula pada daerah abdomen maka saluran usus halus terbebas dari udara dan fekal material (Ballinger, 1999).

2.3.1

Persiapan Alat: Alat dan bahan yang harus dipersiapkan sebelum dilakukan pemeriksaan antara lain: a.

Pesawat Sinar-X

b.

Kaset dan Film sesuai kebutuhan

c.

Marker R dan L + ID Camera

d.

Apron

e.

Sarung tangan Pb

f.

Cairan saflon

g.

Peralatan steril meliputi : duk steril, kateter, spuit ukuran 5 ml20 ml, korentang, gunting, hand scoen, kain kassa, jeli, abocath, duk lubang.

2.3.2

h.

Alkohol

i.

Betadine

j.

Obat anti alergi

k.

Media kontras jenis water soluble yaitu iodium.

Persiapan Pasien a.

Komunikasi dengan pasien

b.

Menghindarkan benda-benda asing yang dapat mengganggu gambaran radiograf

10

2.3.3. Teknik Pemeriksaan Pemeriksaan fistula tergantung dari lokasinya, dapat didiagnosa dengan beberapa macam pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan untuk pemeriksaan pada peradangan penyakit usus,

seperti

pemeriksaan

barium

enema,

colonoscopy,

sigmoidoscopy, endoscopy dan dapat juga didiagnosa dengan pemeriksaan fistulografi (Wake Forest University School of Medicine Division of Radiologic Sciences, 2001) a.

Sebelum media kontras dimasukkan terlebih dahulu dibuat plain foto dgn proyeksi Antero Posterior (AP),

b.

Media kontras dimasukkan dengan kateter atau abocath melalui muara fistula yang diikuti dengan fluoroskopi.

c.

Kemudian dilakukan pemotretan pada saat media kontras disuntikkan melalui muara fistula yang telah mengisi penuh saluran fistula.

d.

Hal ini dapat dilihat pada layar fluoroskopi dan ditandai dengan keluarnya media kontras melalui muara fistula (Ballinger, 1995).

e.

Jumlah media kontras yang dimasukkan tergantung dari luas muara fistula.

2.3.4

Teknik memasukan media kontras a.

Tujuan pemasukan media kontras adalah untuk memperlihatkan fistula pada daerah perianal.

b.

Pemasukan media kontras dimulai dengan membersihkan daerah sekitar fistula dengan betadine.

c.

Media kontras dimasukkan ke dalam muara fistula kira-kira sedalam 2-3 cm secara perlahan-lahan melalui kateter yang sudah diberi jeli dan diikuti dengan fluoroskopi.

d.

Kemudian media kontras disuntikan perlahan-lahan sehingga media kontras masuk dan memenuhi lubang fistula yang di

11

tandai dengan menetesnya media kontras dari lubang fistula. (Ballinger, 1995). 2.3.5

Proyeksi Pemeriksaan 2.3.5.1.Proyeksi Antero Posterior (AP) a.

Posisi pasien supine di atas meja periksaan, kedua tangan diletakkan di atas dada dan kedua kaki lurus. Pelvis simetris terhadap meja pemeriksaan.

b.

Kedua kaki endorotasi 15-20 derajat, kecuali jika terjadi fraktur atau dislokasi pada hip joint.

c.

Sinar vertikal tegak lurus kaset, central point pada pertengahan kedua krista iliaka dengan FFD 100 cm.

d.

Eksposi pada saat pasien tahan nafas.

Gambar 6 : Proyeksi Antero Posterior (AP)

2.3.5.2. Proyeksi Lateral a.

Penderita diatur miring di salah satu sisi yang akan difoto dengan kedua lengan ditekuk ke atas sebagai bantalan kepala.

b.

Mid Sagital Plane sejajar meja pemeriksaan, dan bidang axial ditempatkan pada pertengahan meja pemeriksaan.

12

c.

Spina iliaka pada posisi AP sesuai dengan garis vertikal sehingga tidak ada rotasi dari pelvis.

d.

Central Point pada daerah perianal kira-kira Mid Axila Line setinggi 2-3 inchi di atas simfisis pubis, sinar vertikal tegak lurus terhadap kaset dan FFD 100 cm. Eksposi pada saat pasien tahan nafas

Gambar 7 : Proyeksi Lateral 2.3.5.3. Proyeksi Oblique a.

Posisi pasien prone di atas meja pemeriksaan, tubuh dirotasikan ke salah satu sisi yang diperiksa yang menunjukan letak fistula kurang lebih 45 derajat terhadap meja pemeriksaan.

b.

Lengan yang dekat kaset diatur di bawah kepala untuk bantalan kepala sedangkan lengan yang lain diatur menyilang di depan tubuh. Kaki yang dekat kaset menempel meja pemeriksaan, kaki yang lain ditekuk sebagai penopang tubuh.

c.

Pelvis diatur kurang lebih 45 derajat terhadap meja pemeriksaan. Untuk fiksasi, sisi pinggang yang jauh dari kaset diberi penganjal.

d.

Sinar diatur vertikal tegak lurus terhadap kaset dan central point pada daerah perianal kurang lebih 2-3 inchi di atas simfisis pubis, tarik garis 1 inchi tegak

13

lurus ke arah lateral. FFD diatur 100 cm. Eksposi pada saat pasien tahan nafas.

Gambar 8 : Proyeksi Oblique (PA)/RAO 2.3.6. Proteksi Radiasi 2.3.6.1.Proteksi Radiasi Bagi Pasien. a. Kolimasi

secukupnya

dengan

memperkecil

luas

lapangan penyinaran. b. Menggunakan faktor eksposi yang tepat. c. Tidak terjadi pengulangan foto karena kesalahan. d. Waktu penyinaran sesingkat mungkin. e. Pasien menggunakan apron. f. Pasien hamil pada trimester I ditunda pemeriksaannya 2.3.6.2. Proteksi Radiasi bagi petugas. a. Tidak menggunakan berkas sinar – X yang mengarah ke petugas b. Berlindung pada tabir / tirai, saat melakukan eksposi. 2.3.6.3. Proteksi Radiasi bagi masyarakat. a. Pintu pemeriksaan tertutup rapat. b. Tidak mengarahkan sinar sumber sinar – X keruangan umum.

14

BAB III PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Profil Kasus Pesien mengeluh terdapat luka yang mengeluarkan nanah pada daerah sekitar anus, dan pada tanggal 10 Mei 2014 pasien dating ke Poli bedah di RSUD. Sidoarjo . Pada Tanggal 12 Mei 2014 pasien dilakukan pemeriksaan Fistulografi

dengan klinis fistel perianal di Instalasi Radiologi RSUD.

Sidoarjo, dengan identitas pasien sebagai berikut : a.

Nama

: Tn. P

b.

Umur

: 52 th

c.

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

d.

Alamat

: Alam Mutiara

e.

Nomor RM

: 1571775

f.

Diagnosa

: Fistel Perianal

g.

Pemeriksaan yang diminta

: Fistulografi

h.

Kiriman foto

: Poli Bedah

5.3 Persiapan alat a.

Pesawat Sinar-X

b.

Kaset CR

c.

Marker R dan L

d.

Apron

e.

Cairan Kontras Iopamiro

f.

Peralatan steril meliputi : duk steril, kateter, spuit ukuran 5 ml-20 ml, korentang, gunting, hand scoen, kain kassa, jeli, abocath, duk lubang.

g.

Alkohol

h.

Betadine

i.

Obat anti alergi

j.

Media kontras jenis water soluble yaitu iodium dan kontras jenis barium.

15

Gambar 9 : Pesawat Sinar X

Gambar 10 : Alat dan bahan pemeriksaan Fistulografi

16

5.4 Prosedur Pemeriksaan

3.4.1 Persiapan Pasien a. Pada pemeriksaan fistulografi di Instalasi Radiologi RSUD. Sidoarjo tidak memerlukan persiapan khusus, hanya didaerah fistula terbebas dari bendabenda yang dapat menganggu radiograf. b. Komunikasi dengan pasien tentang pemeriksaan yang akan dilakukan.

3.4.2 Teknik Pemeriksaan a. Sebelum media kontras dimasukkan terlebih dahulu dibuat plain foto dengan proyeksi Antero Posterior (AP), b. Media kontras dimasukkan dengan abocath melalui muara fistula. c. Kemudian dilakukan pemotretan pada saat media kontras disuntikkan melalui muara fistula yang telah mengisi penuh saluran fistula. d. Hal ini dapat dilihat pada layar fluoroskopi dan ditandai dengan keluarnya media kontras melalui muara fistula. e. Jumlah media kontras yang dimasukkan tergantung dari luas muara fistula.

3.4.3 Teknik memasukan media kontras a. Tujuan pemasukan media kontras adalah untuk memperlihatkan fistula pada daerah perianal. b. Pemasukan media kontras dimulai dengan membersihkan daerah sekitar fistula dengan betadine. c. Media kontras dimasukkan ke dalam muara fistula kira-kira sedalam 2-3 cm secara perlahan-lahan melalui kateter yang sudah diberi jeli dan diikuti dengan fluoroskopi. d. Kemudian media kontras disuntikan perlahan-lahan sehingga media kontras masuk dan memenuhi lubang fistula yang di tandai dengan menetesnya media kontras dari lubang fistula. e. Ditambah memasukan media kontras barium melalui kateter pada anus untuk melihat adakah hubungan lubang fistel dengan rectum.

17

3.4.4

Proyeksi Pemeriksaan

3.4.4.1 Proyeksi Posterior Anterior (PA) a. Sebelum di masukan media kontras di buat foto polos terlabih dahulu. b. Posisi pasien prone di atas meja periksaan, kedua tangan diletakkan di sisi kepala dan kedua kaki lurus. Pelvis simetris terhadap meja pemeriksaan. c. Sinar vertikal tegak lurus kaset, central point pada pertengahan kedua krista iliaka dengan FFD 100 cm. d. Eksposi pada saat pasien tahan nafas. e. Pasang marker pada lubang anus dan lubang fistula. f. Faktor Eksposi

kV : 70 , mA : 200 , Second : 0.160.

Gambar 11 : Proyeksi PA

3.3.4.2.Proyeksi Oblique a. Posisi pasien prone di atas meja pemeriksaan, tubuh dirotasikan ke salah satu sisi yang diperiksa yang menunjukan letak fistula kurang lebih 45 derajat terhadap meja pemeriksaan. b. Lengan yang dekat kaset diatur di bawah kepala untuk bantalan kepala sedangkan lengan yang lain diatur menyilang di depan tubuh. Kaki yang dekat kaset menempel meja pemeriksaan, kaki yang lain ditekuk sebagai penopang tubuh.

18

c. Pelvis diatur kurang lebih 45 derajat terhadap meja pemeriksaan. Untuk fiksasi, sisi pinggang yang jauh dari kaset diberi penganjal. d. Sinar diatur vertikal tegak lurus terhadap kaset dan central point pada daerah perianal kurang lebih 2-3 inchi di atas simfisis pubis, tarik garis 1 inchi tegak lurus ke arah lateral. FFD diatur 100 cm. Eksposi pada saat pasien tahan nafas. e. Media kontras dimasukkan ke dalam muara fistula kira-kira sedalam 2-3 cm secara perlahan-lahan melalui kateter yang sudah diberi jeli dan diikuti dengan fluoroskopi. f. Kemudian media kontras disuntikan perlahan-lahan sehingga media kontras masuk dan memenuhi lubang fistula yang di tandai dengan menetesnya media kontras dari lubang fistula. g. Faktor Eksposi

kV : 70 , mA : 200 , Second : 0.160.

Gambar 12 : Proyeksi Oblique (PA)LAO

19

3.4

Jawaban hasil pemeriksaan Radiologi

Gambar 13 : Hasil bacaan dokter radiologi

Kontras non-ionik di injeksikan sebanyak ± 20 cc dengan spuuit melalui masing – masing lubang fistel Tampak kontras masuk melalui lubang fistel dan keluar melalui lubang fistel lain ; tak tampak kontras masuk ke dalam rektum Tak tampak leakage kontras Kesimpulan : Fistel Multiple intrakutan regio perianal.

20

BAB IV PEMBAHASAN

Setelah penulis melakukan pengamatan dan melaksanakan secara langsung terhadap jalannya pemeriksaan, dalam pembahasan ini penulis akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan hasil dari teknik pemeriksaan Fistulografi ada kasus Fistula perianal di Instalasi Radiologi RSUD Sidoarjo 4.1 Prosedur Pemeriksaan Pada pemeriksaan fistulografi di Instalasi Radiologi RSUD. Sidoarjo tidak memerlukan periapan khusus, hanya didaerah fistula terbebas dari benda-benda yang dapat menganggu radiograf. Dan sangat perlu dikakukan komunikasi dengan pasien tentang pemeriksaan yang akan dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 4.2 Keuntungan yang dapat diambil dengan proyeksi tersebut adalah : a. Dilakukan Proyeksi Posterior Anterior (PA) dengan diberi marker yang bertujuan untuk membedakan lubang fistel dan lubang rectum. b. Dilakukan Proyeksi Oblique yang bertujuan untuk melihat jalanya media kontras selain itu pada posisi ini memudahkan petugas memasukan media kontras ke dalam lubang fistel. 4.3 Teknik memasukan media kontras a. Tujuan pemasukan media kontras adalah untuk memperlihatkan fistula pada daerah perianal. b. Media kontras dimasukkan ke dalam muara fistula kira-kira sedalam 2-3 cm secara perlahan-lahan melalui abocath yang sudah diberi jeli.

21

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Dalam laporan ini dapat disimpulkan : a. Pada pemeriksaan Fistulografi pada kasus Fistula Perianal di Instalasi Radiologi RSUD. Sidoarjo , dilakukan hanya dilakukan 2 posisi yaitu : Proyeksi Anterior Posterior dan Proyeksi Oblique. b. Pada pemeriksaan Fistulografi pada kasus Fistula Perianal di Instalasi Radiologi RSUD. Sidoarjo , menggunakan media kontras water soluble dengan dimasukan ke lubang fistel . c. Tujuan pemeriksaan Fistulografi pada kasus Fistula Perianal di Instalasi Radiologi RSUD. Sidoarjo adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara lubang fistel dan organ lain di sekitarnya. 5.2 Saran a. Perlunya penjelasan tentang persiapan pemeriksaan pada pasien agar penderita paham maksud dan tujuan dari pemeriksaan yang akan dilakukan. b. Sebaiknya usaha proteksi radiasi tetap dilakukan agar mengurangi dosis radiasi yang di setiap pasien, petugas dan masyarakat umum. c. Agar tidak terjadi infeksi pada daerah fistel, pemeriksaan ini harus menggunakan peralatan yang steril.

22

DAFTAR PUSTAKA

Bontrager, K.L., 2001, Textbook of Radiographic and Related Anatomy, Mosby Inc., Missouri. Ballinger, P.W. 1995. Atlas of Radiographic Possitions and Radiologic Procedurs. Eight edition. St. Louis : The CV. Mosby Company. Pearce, E.C, 1989, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, PT Gramedia, Jakarta. Pearce, Evelyn, C. 1999. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke – 6, tahun 1997.Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995 Patel, Mokul. 2003. Anal Fistula (Fistula in ano). Di akses tgl 30 November dari http;//www.proctocure.com/anal_fistula.htm http://nursingbegin.com/anatomi-dan-fisiologi-buli/

23

LAMPIRAN

24

Related Documents

Lk Fistulografi
March 2021 0
Lk Isos
January 2021 3
Lk Urdu
February 2021 2
Lk Cedera Kepala Berat
February 2021 1

More Documents from "PIKO MOB"

Lk Fistulografi
March 2021 0